INAKOS Journal vol 2 no 1

Page 1

Vol. II No. 1 April 2011

1

PERAN NEGARA DALAM PERKEMBANGAN INDUSTRI DI KOREA SELATAN TULUS WARSITO (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia/ Profesor Tamu di Universiti Utara Malaysia, Malaysia)

ABSTRACT THE ROLE OF STATE IN SOUTH KOREA’S INDUSTRIAL DEVELOPMENT Discussing the success of South Korea as a New Industrialized Country literally means talking about the country’s success in managing its industrial relations. Since Korea possesses limited natural resources, it has taken the advantages of its human resources as the main power for its industrial solution. Some might imagine that this success has been due to the tight integrity among the industrial communities: labors, business conglomerates (Chaebol), and the government. Some may also think that the success is caused by the lack of labors unrests in Korea. In fact, hundreds of strikes occurred every year in the last decade of the last century (1990’s). Despite the fact that some strikes were still visible in the last century; they did not pose major threat nor cause severe damages to public facilities. This paper is aimed to find out how those industrial actors interacted one another during the process of tremendous industrialization. It also attempts to portray how the government conducted, directed, and managed the industrial relations in such a way that Korea managed to surpass the crisis in 1998. Key words: industrial relations, developmental state, human resources, business conglomerate, Korea (국문요약) 논문제목 : 한국의 산업발전을 위한 국가의 역할 신흥 산업국가로서의 한국의 성공을 얘기하는 것은 한국이 어떻게 노사관계를 성공적으로 관리하였는가를 얘기하는 것과 같다. 한국은 자연자원이 거의 전무한 상태에서 산업발전의 주요 해결책으로 인적자원을 최대한 활용하였다. 이 같은 성공은 산업 커뮤니티, 즉 노사와 정부 사이가 탄탄하게 결합되었기 때문에 가능했다고 볼 수도 있다. 일부에서는 성공의 요인으로 노동 불안정 요인이 상대적으로 많지 않았던 것을 꼽는다. 사실은 지난 1990년대의 10여 년간 한국에서는 매년 노동 파업이 끊이지 않았다. 공공부분에 크게 위협을 가하지는 않았지만, 노동 파업은 끊임없이 지속 되었다. 본고는 위와 같은 산업 주체들이 산업화 과정에서 어떻게 상호작용할 수 있었는지 고찰해 보는 것이다. 이를 통해서 한국 정부가 어떻게 노사관계를 관리하여 1998년 위기를 순조롭게 극복할 수 있었는지 이해할 수 있게 된다. 주제어: 산업국가, 인적자원, 파업, 노동 불안정, 노사관계


2

Korean Studies in Indonesia

PENDAHULUAN Banyak orang percaya bahwa keberhasilan Korea Selatan menjadi Macan Ekonomi Baru Asia adalah berkat kecermatan kebijakan industri mereka. Negeri yang hampir tak memiliki sumber daya alam itu telah dengan sedemikian rupa memanfaatkan kekuatan Sumber Daya Manusianya(SDM) untuk mendorong laju perkembangan ekonomi menjadi tumpuan hidup dan harga diri bangsa mereka. Orang lalu membayangkan bahwa kemajuan industri Korea Selatan didukung oleh bersatunya semua kekuatan buruh dan cermatnya para eksekutif industri maupun pemerintah. Banyak orang pula yang menganggap bahwa industri Korea Selatan terbebas dari tuntutan perburuhan. Kenyataannya, ratusan kali aksi demo dan pemogokan terjadi tiap tahun pada dasawarsa terakhir abad yang lalu(1990-an). Sepuluh tahun terakhir ini pun tidak sepenuhnya terhindar dari aksi serupa. Bahkan aksi tersebut juga diwarnai dengan kekerasan, walaupun tanpa merusak fasilitas publik. Paper singkat ini disusun untuk memahami lebih jauh tentang bagaimana hubungan antara kelompok pengusaha dan buruh perlu bekerjasama dengan penguasa. Kita akan cermati sejauh mana pemerintah (negara) berperan mengelola hubungan industrial sehingga mereka bisa keluar dari berbagai krisis dan muncul sebagai kekuatan ekonomi Asia yang amat disegani. Sebagai bagian dari proses demokratisasi, bentuk kesepakatan tindakan sejumlah komponen politik (dalam hal ini adalah yang ada pada hubungan industrial, yakni: pemerintah, kelompok bisnis dan buruh) terhadap sejumlah “aturan main� tertentu dalam rangka mencapai kepentingan bersama menjadi penting untuk dicermati. Untuk memahaminya ada baiknya dimulai dari konsep tentang negara, terutama sekali dalam konteks developmental state, yakni peranan negara sebagai inisiator sekaligus fasilitator berlangsungnya perekonomian suatu bangsa. Pada bagian awal makalah ini juga telah dikemukakan secara singkat mengenai keberhasilan pertumbuhan ekonomi Korea Selatan yang menakjubkan, yang oleh banyak pihak diyakini berkat intervensi negara. Di lain pihak, krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 juga diakibatkan oleh peran negara, yang oleh karena ada perubahan rejim pemerintahan, menjadikan pengawasan keuangan nasional tak lagi dapat dikendalikan oleh negara. Peran negara pembangunan, developmental state, menjadi sangat signifikan untuk dikaji lebih lanjut dalam sub bab berikut ini.


Vol. II No. 1 April 2011

3

KONSEP DEVELOPMENTAL STATE Kesinambungan pertumbuhan ekonomi Korea Selatan dalam tiga dasawarsa berturutturut telah menjadikannya sebagai sebuah model pembangunan. Pengalaman keberhasilan negara-negara maju lain menjadi tertandingi, dan memasukkan Korea Selatan sebagai Negara Indusrti Baru (NIB). Para pengamat dan pengambil keputusan tak habis pikir mengenai hal ini, bagaimana Korea Selatan yang kecil dan masih muda itu bisa melakukannya? Bisakah keberhasilan tersebut menjadi contoh negeri lain? Sejumlah literatur telah berupaya mengungkapnya, bahkan ada beberapa yang sangat komprehensif.1 Pembahasan dalam bab ini terutama mengenai peranan negara dan pasar untuk menjelaskan keberhasilan ekonomi Korea. Walaupun ada beberapa pengamat yang meyakini bahwa negara sangat berperan dalam mengatur pembangunan ekonomi Korea, tetapi tak sedikit juga yang menyangsikannya dan menganggap bahwa justru negara telah diatur oleh kekuatan pasar. Dengan demikian ada dua pendapat yang saling bertentangan, yakni yang menganggap bahwa negara “mengatur� pembangunan ekonomi dan yang menganggap bahwa negara “diatur� oleh pasar.2 Yang menarik dari perdebatan antar kedua pendapat adalah, bahwa keduanya merasa tak sempurna. Keduanya berdebat di seputar ketidaktegasan peran negara dan pada gilirannya mencoba menelusuri akibat-akibat dari peran serupa itu pada sektor ekonomi. Pertanyaan utama mengenai mengapa Korea Selatan berhasil melakukan industrialisasi, dan isu-isu historis yang terkait pada ekonomi politik Korea cenderung tak memiliki dasar tolok ukur. Banyak hal yang harus dipelajari tentang model pembangunan Korea berdasarkan perspektif sejarah yang lebih panjang, terutama merujuk lebih jauh kembali pada warisan kolonial Jepang. Namun demikian ada baiknya terlebih dulu dicermati beberapa hal yang menandai eksistensi deveolpmental state.

CIRI-CIRI DEVELOPMENTAL STATE Di antara para pengamat peran negara dalam pembangunan ekonomi ada yang menilai bahwa peran negara ada yang positif, ada juga yang negatif. Yang positif disebut sebagai developmental state, sedangkan yang negatif disebut predatory state.3 Peran negara bisa berupa: mencarikan pinjaman dana, mengembangkan arah kebijakan, atau sekedar intervensi. Diperlukan analisis yang lengkap untuk menentukan apakah suatu negara berperan positif atau negatif dalam perekonomian nasional. Khusus mengenai Korea Selatan, pada awal abad 20 telah berkembang dari predator menjadi pengembang. Developmental State mempunyai ciri-ciri otonomi yang mengakar; otonomi negara birokrasi yang mempunyai kapasitas mengarahkan perubahan sosial, dan nilai-nilai sosial


4

Korean Studies in Indonesia

yang mengakar, sebagai akibatnya, khususnya mengenai hubungan antara pemerintah dan bisnis, memungkinkan para elit pemerintah bekerjasama dengan kelas bisnis dalam proyekproyek ekonomi negara.4 Kualifikasi penting pertama adalah mengenai pihak mana yang paling berperan dalam menentukan kebijakan ekonomi negara. Yang sering dilakukan biasanya hanya menjelaskan tentang arah dan tujuan pembangunan, tetapi bukan mengenai dari mana kebijakan tersebut pada mulanya diawali. Arah kebijakan di masyarakat manapun memang mencerminkan proses yang kompleks, yang melibatkan penguasa tertinggi dalam menyesuaikan kepentingan-kepentingan mereka dengan tekanan nasional maupun internasional. Dalam kasus Korea era kolonial, sudah jelas arah kebijakannya: yaitu perdagangan bahan mentah dan produk-produk manufaktur, diikuti dengan pengembangan industri pengolahan pangan, investasi Jepang dalam sektor manufaktur, bersama partisipasi Korea di masa akhir kolonial, dan berakhir dengan ekonomi perang yang berciri industrialisasi yang cepat, merupakan prioritas dari Jepang, dengan sedikit konsesi atas tekanan dari Korea. Dalam politik yang berdaulat, prioritas kebijakan merupakan suatu hal yang kompleks dan memerlukan pemahaman yang lebih rinci untuk menjelaskan pihak mana yang paling berperan. Komparasi antara pemerintahan Joseon5 atau Dinasti Yi akhir dengan pemerintahan kolonial dapat juga dipakai sebagai perbandingan tentang negara predator dan negara pengembang. Pemerintah Joseon akhir sangat personalistik dan terfaksionalisasi di tingkat atas, dengan pengaruh terhadap lapisan masyarakat bawah yang amat lemah, dan itupun masih diintervensi oleh para tuan tanah. Ciri-ciri ini menunjukkan ketidakmampuan politis. Sebagai akibatnya, pemerintah Yi sangat lemah dalam mengendalikan arah perubahan ekonomi. Sebaliknya, rejim kolonial merupakan pemerintahan yang sangat efektif. Walaupun belum merupakan negara pembangunan dalam konteks membantu menyejahterakan seluruh masyarakat, agak brutal, dan ekslusif, tetapi justru dapat menciptakan ketertiban dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Jepang untuk menambahkan kekuasaan pemerintah dapat dipahami dalam tiga hal berikut ini; perubahan struktur pemerintahan, menciptakan sarana ekonomi di tangan kekuasaan pemerintah, dan pola hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat tertentu. Perubahan struktur pemerintahan setidaknya terdiri dari tiga hal; pertama, menciptakan otoritas terpusat dengan agenda perubahan yang jelas; deperso-nalisasi struktur kekuasaan agar kepentingan publik dan swasta dapat dipisahkan dan kemudian diintegrasikan lagi dalam basis yang baru dengan kepentingan publik sebagai acuannya; dan penetrasi kekuasaan pemerintah ke seluruh lapisan masyarakat melalui birokrasi yang berdisiplin tinggi.6 Kedua, negara juga membuat instrumen politik baru yang memungkinkan peningkatan kemampuan pemerintah secara langsung dalam sektor ekonomi; sistem moneter yang rasional, pengawasan


Vol. II No. 1 April 2011

5

terhadap bank dan lembaga kredit, perencanaan ekonomi jangka pendek maupun janka panjang, teknologi baru, dan berbagai subsidi langsung maupun tidak langsung. Dan yang terakhir, negara dan kelas-kelas sosial membangun pola hubungan baru. Di pedesaan maupun perkotaan, pemerintah dan kalangan bisnis bekerjasama dalam proyek yang ditentukan oleh pemerintah tetapi saling menguntungkan keduanya; pemerintah berkepentingan untuk dapat menjamin stabilitas pertumbuhan produksi, sedangkan para pengusaha memperoleh dukungan politik untuk menjamin keuntungan mereka. Pemerintah dan kelas bisnis berkolaborasi dalam mengendalikan petani dan buruh dalam strategi perburuhan yang represif. Untuk mempertegas penjelasan kasus developmental state di Korea, beberapa pengamat ekonomi Korea menggambarkan pentingnya mengkaitkan hubungan antara Korea pada masa kolonial dan sesudahnya.7 Masalah ini juga nampak pada beberapa tulisan tentang sensitifnya kelembagaan di Korea; di antaranya adalah yang mediskusikan era kolonial tetapi dengan segera menyimpulkan bahwa hal tersebut tak mempunyai dampak yang signifikan, yang lain bahkan menolak peranan kolonial ini8, dan yang lain tak mempersoalkannya, karena ada satu pandangan yang meyakini bahwa perubahan penting dalam perekonomian Korea dimulai sesudah diperkenalkannya model pembangunan yang berorientasi ekspor pada awal tahun 1960-an9. Penelitian-penelitian lain tentang Korea, walaupun dapat dipahami, kebanyakan mengesampingkan; semangat nasionalisme seringkali mendorong penolakan terhadap keterkaitan antara era kolonial dengan pasca-kolonial, bahkan menganggap keberhasilan yang diperoleh masa sekarang ini dilihat sebagai produk kebencian terhadap masa kolonial.10 Hanya sedikit pengamat Korea, terutama dengan kejelian ilmu sejarah yang kuat, yang bisa memahami dan menempatkan akar kolonial Jepang untuk kesekarangan dalam kaitannya dengan pertumbuhan tinggi ekonomi politik Korea itu. Berdasarkan pendapat dari kelompok yang terakhir inilah tulisan berikut akan dikembangkan dalam rangka menyusun kerangka konsep yang komparatif dan bersifat internasional. Uraian berikut ini menunjukkan bahwa kolonialisme Jepang, yang begitu brutal itu, telah meninggalkan bekas atau jejak ekonomi politik Korea Selatan yang kemudian memiliki kemampuan pertumbuhan yang tinggi sebagai jalan menuju pembangunan. Seperti yang pernah dikatakan oleh Cumings, penjajahan Jepang berbeda dengan yang dilakukan oleh kolonialis Eropa. Sebagai penjajah baru, Jepang memanfaatkan kekuasaan secara brutal dalam rangka mempercepat perubahan di Korea11. Dampak penjajahan yang semakin mendalam dan makin menyakitkan untuk membuat pertumbuhan ekonomi Korea pada kisaran lebih dari 3% per tahun selama tiga setengah dasawarsa, dan menunjukkan tingkat industrialisasi (hampir 35% “produksi nasional� Korea pada tahun 1940 berasal dari sektor pertambangan dan manufaktur)12. Walaupun ada beberapa ketidakterkaitan dalam periode pasca kolonial, luka yang digoreskan oleh kolonialisme


6

Korean Studies in Indonesia

Jepang di negeri Korea sangat dalam. Korea Selatan di bawah Park Chung Hee boleh dikatakan seolah kembali pada luka lama tersebut selama tahun 1980-an. Korea telah berusaha memperbaiki sejarahnya, misalnya: sudah ada perbedaan jauh antara jaman Joseon (Korea di bawah dinasti Yi)13 dengan tradisi birokratik agraris. Kemudian ada beberapa kecenderungan revolusi di Korea Utara, dan mulai adanya pengaruh dari Amerika Serikat. Lebih dari itu, jejak yang lebih lengkap bisa saja dibangun. Yang paling penting adalah bahwa sulit untuk memisahkan keberhasilan Korea Selatan dengan pengaruh kuat dari penjajahan Jepang. Setidaknya ada 3(tiga) pola dari kolonialisme Jepang tersebut yang bisa dikenali. Yang pertama, mengenai bagaimana negeri Korea di bawah kolonialis Jepang dapat mengubah birokrasi agraris tradisional ke arah otoritarian dan organisasi modern yang efektif. Kedua, aliansi negeri baru yang berbasis pada produksi dengan kelas dominan, yakni suatu aliansi mendukung kemampuan negara dalam hal pengawasan dan perubahan. Juga menjadi penting untuk mencatat keterkaitan perubahan struktur politik dalam bidang ekonomi, tidak hanya dalam hal pertumbuhan dan industrialisasi ekonomi politik, melainkan juga ekonomi yang berorientasi ekspor termasuk ekspor hasil manufaktur. Pola terakhir adalah, represi yang brutal dan pengawasan yang sistematik terhadap kelas bawah, baik yang di kota maupun di pedesaan. Kumpulan impak dari konfigurasi peran negara ini diharapkan dapat membantu terciptanya kerangka perubahan ekonomi politik yang bersifat represif di satu pihak, dan pertumbuhan yang tinggi di pihak lain. Uraian ini memang bukan dimaksudkan untuk membakukan sejarah, melainkan sekedar merangkum beberapa catatan sejarah. Mengingat pentingnya posisi Korea Selatan dalam wacana kontemporer mengenai pembangunan, maka perlu reinterpretasi dan menggabungkan beberapa hal tertentu dengan implikasi yang lebih umum (general). Yang pertama perlu dipahami adalah, adanya beberapa pertanyaan tentang Korea yang bisa dikaitkan dengan kasus negara lain, misalnya; seberapa banyak pilihan bagi negara berkembang ketika mereka mengadopsi strategi pembangunan tertentu. Dalam hal Korea Selatan, seberapa jauh manfaat warisan sejarah penjajahan yang secara spesifik mendorong model pembangunan dengan pertumbuhan yang tinggi dan berorientasi pada ekspor. Juga mengenai issu tentang dapat tidaknya “model Korea� ditransfer keluar negeri, jika akar dari ekonomi politik Korea Selatan memang secara unik diilhami oleh pengalaman kolonial. Untuk kondisi yang sedemikian itu apakah negeri lain dapat menirunya? Hal kedua adalah, pada tingkat generalisasi yang lebih tinggi, ada beberapa teori yang berkisar tentang konsep “negara pembangunan� (developmental state): apa yang menjadi ciricirinya? Dan dari mana ciri-ciri tersebut berasal? Dan yang terakhir adalah, pada tingkat yang paling umum, setidak-tidaknya ciri-ciri kolonial tersebut memang ada pada ekonomi politik Dunia Ketiga sebagai akarnya. Jika hal ini mengandung kebenaran, maka perlu menjelajahi


Vol. II No. 1 April 2011

7

lebih lanjut tentang akar-akar kolonialisme terhadap Dunia Ketiga kontemporer yang sering dikesampingkan dalam analisis pembangunan era pasca-kolonial. Pada waktu Jepang memperoleh pengaruh kekuasaan di Korea, kira-kira tahun 1905, yakni setelah memenangi perang melawan Rusia tahun 1904, kerajaan tua Joseon sudah dalam tahap disintegratif. Tanpa bermaksud mengorek sejarah secara detil, pemahaman tentang hubungan antara negara-masyarakat pada era Joseon akhir merupakan hal yang penting, terutama ketika Jepang menaklukkannya dengan kekuatan kolonial14. Dinasti Yi telah memerintah secara stabil dan berkesinambungan selama kurang lebih limaratus tahun. Aliansi yang rumit antara negara dan klas sosial tertentu yang menjamin stabilitas itu pula sekaligus yang menjadikan hambatan utama untuk mengadaptasi tekanan perubahan eksternal, terutama pada paroh kedua abad sembilan belas. Sebagai contoh, munculnya ketidakberdayaan dari monarki yang sentralistik itu sebagai akibat dari ketidakmampuannya menarik pajak bagi negara dari pendapatan agraris, terutama dari kelompok elite Yangban15 yang kuat, yakni tuan-tanah terbesar saat itu16. Ketidakmampuan yang kronis ini pada gilirannya bertumpuk dengan kecenderungan masalah-masalah politik lainnya. Pertama, negara menawarkan beberapa pembebasan pajak pertanian (jika petani tersebut bersedia menjadi buruh atau tentara), dalam rangka membantu pembangunan militer dan membatasi populasi petani17. Kedua, keterbatasan sumber daya negara memperburuk persaingan dan tekanan politik di puncak elite yang terlanjur dipersonalisasi dan terfaksionalisasi. Terakhir, keterbatasan finansial melumpuhkan mobilitas militer dalam rangka menghadapi tekanan dari luar. Menurut James Palais, imobilitas dalam politik yang sentralistik itu terjadi karena keluarga kerajaan dan kelompok bangsawan Yangban selalu saling mengecek kekuatan mereka masingmasing. Kekuatan Yangban terletak pada pemilikan tanah subur secara turun-temurun dan juga kolusi dengan para birokrat. Begitu juga dalam hal rekrutmen birokrasi bagi keluarga bangsawan yang memungkinkan kelompok mereka dapat mengawasi tanah dan sumber-sumber kekuatan raja sepengetahuan Yangban.18 Sementara perimbangan kekuatan ini merupakan dasar bagi stabilitas negeri sampai dengan datangnya tekanan dari luar - dan ketika itu negera memerlukan pajak dan sumber-sumber sosio-ekonomi lainnya- hal ini sekaligus menjadikan hambatan utama bagi pihak kerajaan untuk memulai suatu perubahan. Negeri kerajaan tersebut tak mampu memecahkan persoalan yang berkait pada otoritas politik untuk mencapai kepentingan nasional. Dinasti Yi merupakan kekuatan yang sentralistik, tapi sekaligus lemah.19 Masih ada beberapa hal yang dapat menjelaskan imobilitas dalam keterbatasan perimbangan kekuatan antara keluarga kerajaan dengan kelompok Yangban. Pertama, bukan hanya karena adanya kelompok penguasa tanah yang membatasi kekuasaan kerajaan, melainkan juga karena adanya kelompok yang selalu mengawasi secara langsung kantor-kantor kerajaan. Kedua, karena monarki Korea tersebut terlanjur terpersonalisasi dan menjadi lembaga yang


8

Korean Studies in Indonesia

patrimonialistik, yang tak lagi mampu bertindak sebagai lembaga publik yang harus dibedakan dengan lembaga swasta, dengan demikian tak lagi mampu merancang pembangunan ekonomi yang didasarkan pada peran negara untuk mencapai kepentingan nasional.20 Ketiga, bahwa lingkaran elit di sekitar raja sangat terfaksionalisasi.21 Masalah pada lingkaran elit penguasa ini mempersulit raja untuk membangun respons yang kohesif dalam menghadapi tantangantantangan yang berkembang. Yang terakhir, perlu digarisbawahi bahwa jangkauan dinasti Yi dari pusat ke daerah sangatlah terbatas. Walaupun semua petugas di propinsi maupun daerah di bawahnya semuanya diangkat oleh Seoul, masing-masing daerah (magistrate) membawahi kurang lebih 40.000 warga (ada 330 magistrate untuk 12 juta rakyat Korea)22. Karena petugas daerah ini sering dirotasi, maka mereka seringkali tergantung pada kelompok Yangban di wilayahnya. Lebih dari itu, pejabat di tingkat lebih rendah, di bawah magistrate, merupakan petugas tanpa gaji. Untuk itu mereka membentuk kelompok turun temurun yang diijinkan memungut pajak lokal sebagai bayarannya. Fungsi jabatan yang absurd ini sering bertingkah seperti raja kecil, sulit diperintah atasan dan hanya peduli pada eksploitasi populasi petani. Impak dari kolonialisme Jepang jelas sekali mengubah ciri negara kerajaan Korea dan hubungannya dengan beberapa kelas sosial yang ada di negeri itu. Kemenangan militer Jepang atas Rusia pada tahun 1904 menandai munculnya Jepang sebagai kekuatan regional yang penting, suatu kekuatan yang muncul secara mantap sejak Restorasi Meiji tahun 1860. Sebagai akibatnya, sebagai penakluk kekuatan Barat, menjadikannya amat mudah mendominasi dan menguasai Korea. Motivasi Jepang di Korea, seperti umumnya kekuatan imperialis yang lain, adalah gabungan antara mengendalikan Korea secara politik dan mengeksploitasi ekonomi untuk kepentingan negerinya. Masalah militer menjadi sangat penting mengingat Korea merupakan objek persaingan kekuatan regional sejak lama, tetapi para oligar Meiji Jepang merupakan kekuatan yang makmur baik secara nasional maupun dalam konteks kesempatan internasional. Beberapa aspek penting dari imperialisme Jepang perlu dicatat agar dapat dipahami dampaknya terhadap Korea. Pertama, Jepang sendiri baru saja lepas dari imperialisme. Sebagai negara maju dan imperialis baru, Jepang menjajah negara tetangga yang ras dan kebudayaannya hampir sama dengan bangsanya. Sebagai akibatnya, banyak orang Jepang yang menduduki jabatan langsung pada pemerintahan kolonial, termasuk di militer dan kepolisian, berbeda dengan kolonialis Eropa di negara jajahan mereka di benua lain.23 Kedekatan geografis dan kebudayaan menjadikan Jepang yakin bahwa kekuasaan politiknya akan berlangsung lama, bahkan diharapkan Korea akan menjadi bagian yang integral dari negeri Jepang. Kemungkinan semacam ini sangat berpengaruh terhadap strategi politik Jepang di Korea, terutama pada sektor industrialisasi yang sejak semula diperkenalkan sebagai sektor andalan.


Vol. II No. 1 April 2011

9

Lebih dari itu, strategi kolonialis Jepang diilhami oleh keberhasilan dalam negeri mereka sejak restorasi Meiji. Di antara negara-negara kolonial yang lain, Jepang merupakan satusatunya yang berhasil mentransformasikan nilai-nilai masyarakat dalam negerinya ke negeri jajahannya. Melalui “trial & error� para petinggi Meiji telah merancang ekonomi politik yang mampu mengejar (catching up) keunggulan Barat. Unsur terpenting dari ekonomi politik ini adalah: menciptakan pemerintahan yang terpusat, yang dapat mengontrol dan mentransformasikan nilai-nilai Jepang. Mengembangkan intervensi pemerintah di sektor-sektor pembangunan pertanian, dan pengembangan industri yang cepat; dan menciptakan sumber daya manusia yang disiplin, loyal dan terdidik. Model pembangunan yang mengedepankan pada state building dan penggunaan kekuasaan negara untuk memfasilitasi perubahan ekonomi yang dilakukan oleh rejim kolonial Jepang di Korea. Tidak mengherankan jika yang dilakukan Jepang pertama kali di Korea adalah menghancurkan pemerintahan Joseon dan menggantikannya dengan pemerintahan kolonial yang modern, pengawasan politik dan eksploitasi ekonomi agar menjadi tergantung kepada Jepang. Sejak itu sejumlah perubahan politik diberlakukan antara tahun 1905-1910. Sebagai akibatnya pada dasawarsa 1910-1920 keadaan politik menjadi sangat mencekam, di bawah otoritarian yang keras, pemerintahan yang modern dan represif diberlakukan di Korea. Konseptor dasar dari pemerintahan kolonial yang baru tersebut adalah seorang oligar Meiji dan pendiri Meiji awal di Jepang, yakni: Ito Hirobumi. Sebagai seorang muda Ito pernah memimpin sejumlah gerakan revolusi Meiji dan yang selalu ambil bagian dalam reformasi yang kemudian menghancurkan keshogunan Tokugawa. Ito berkeliling Eropa dan mengagumi birokrasi Prusia sebagai model bagi Jepang. Model Prusia ini memberinya pelajaran tentang rasionalitas dan modernitas Barat, tanpa harus meniru liberalisme Anglo-Amerika. Di Jepang, Ito mengkampanyekan birokrasi sebagai dasar politik bagi sistem pemerintahan yang absolut di tahun 1887. Ito juga membantu mereorganisasi universitas Tokyo sebagai sekolah birokrasi pemerintah di tahun 1881, dan pada tahun 1887 menerapkan model Prusia yang berbasis pada pelayanan sipil itu.24 Dengan pengalaman ini, ketika Ito terpilih sebagai penguasa protektorat Korea, dimana kekuasaannya sebagai residen jenderal hampir absolut sehingga dijuluki sebagai Raja Tanpa Mahkota - ia sangat percaya diri. Dia berusaha menjadikan Korea sebagai negeri modern yang kuat di kemudian hari. Ito dan para pengikutnya secara sedemikian rupa berupaya membangun koloni baru. Tugas pertama adalah memperoleh kekuasaan sentral. Dengan kekuatan militer di belakangnya ia melucuti tentara Korea, dan menggabung-kannya dalam pasukan di bawah komando Jepang, dan memaksa raja Korea untuk tunduk kepadanya. Setelah menguasai pusat pemerintahan, pemerintah kolonial berupaya men-depersonalisasi arena publik, untuk melebarkan dan memperdalam pengaruh politiknya, menekan maupun bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan


10

Korean Studies in Indonesia

politik Korea. Misalnya, unsur-unsur patrimonial dalam sistem pemerintah kerajaan diganti dengan sistem pemerintahan parlemen yang dijabat oleh birokrat Jepang. Dengan berlakunya sistem yang baru ini, yaitu sistem penunjukan birokrat sampai ke tingkat bawah, maka pemerintah Korea segera menyesuaikan diri dengan ciri-ciri pemerintahan yang rasional. Para peneliti mencirikan pelayanan sipil pemerintah kolonial Jepang sebagai tegas, pekerja keras dan kader yang loyal dan sangat bangga dengan kelompoknya. Unsurunsur birokratik dengan gaya meritokrasi Jepang ditransfer ke Korea. Tetapi tidak seperti yang terjadi di Jepang, pemerintahan kolonial Korea menampilkan kekejaman dan kekerasan kepada rakyat. Walaupun kekuatan kolonial lainnya membangun kepedulian terhadap pelayanan sipil(misalnya: Inggris di India) proyek kolonial Jepang berbeda dalam hal luas dan intensitas penetrasi birokrasinya. Ada sekitar 10.000 jabatan dalam pemerintah kolonal Jepang-Korea di tahun 1910, dan berkembang menjadi 87.552 di tahun 1937. Lebih dari setengah dari jumlah tersebut adalah orang Jepang. Sangat berbeda dengan kolonial Perancis di Vietnam, atau Inggris di Afrika yang hanya berkisar antara 3000 orang. Jumlah birokrat Korea yang terlatih dan dipekerjakan oleh Jepang adalah sekitar 4000 orang sebelum Perang Dunia II. Walaupun sebagian besar orang Korea tidak menduduki jabatan senior di pemerintahan kolonial selama 4 dasawarsa, mereka bangga sebagai bagian dari birokrat pemerintah kolonial. Lebih dari itu, selama Perang Dunia II, pada saat kebutuhan pejabat Jepang meningkat di mana-mana, banyak pejabat Korea yang naik pangkat dalam hirarki birokrasi. Para birokrat Korea itulah yang sebenarnya menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, termasuk ketika pemerintahan militer AS sampai dengan terbentuknya pemerintahan Korea yang berdaulat. Ciri pemerintahan kolonial yang lain yang perlu digarisbawahi adalah keberhasilannya dalam membangun jaringan antara kekuasaan yang terpusat di Seoul dengan birokrasi yang tersebar di daerah-daerah. Semua birokrasi menghadapi masalah mengenai bagaimana memastikan bahwa para pejabat di tingkat bawah bertindak benar sesuai dengan komando atasan. Pada gilirannya hal ini menjadikan pejabat tingkat bawah selalu mempedulikan tanggungjawabnya hanya kepada atasannya saja(sesuai dengan hirarki birokrasi) daripada terhadap kepentingan personal atau kepentingan masyarakat setempat. Memang ada suatu kondisi yang dapat menjelaskan mudahnya menjalin jaringan antara pusat-daerah pada pemerintahan kolonial Jepang di Korea yakni, bahwa hubungan kekuasaan di Seoul sangat otoriter - kekuasaan gubernur jenderal Jepang dalam pengambilan keputusan maupun pelaksanaannya adalah absolut, semuanya adalah perwira tinggi militer dan Korea memang bukanlah negeri yang luas. Sebagai kelengkapan birokrasi sipil, Jepang membangun angkatan kepolisian dengan sangat terorganisasi. Keistimewaan polisi kolonial Jepang di Korea ini adalah bersifat ekstensif


Vol. II No. 1 April 2011

11

maupun intensif. Angkatan kepolisian ini dirancang berdasarkan konsep polisi Meiji, dengan demikian sangat terpusat dan berdisiplin tinggi dan berperan secara luar biasa dalam pengawasan sektor sosial dan ekonomi. Polisi juga bertugas untuk mengamankan dan melaksanakan program-program pemerintah dalam hal menjamin keamanan, mengawasi lalulintas dan investigasi kriminal. Mereka mengawasi kelancaran perekonomian, menekan lembaga-lembaga perburuhan, menginspeksi pabrik-pabrik, menyensor publikasi, mendaftari perusahaan-perusahaan komersial, mengurusi bantuan kesejahteraan umum, mengawasi lalulintas narkoba, memonitor orang ataupun kelompok orang yang dianggap berbahaya bagi pemerintah dan apa saja untuk menjamin jalannya pemerintahan sesuai dengan kepentingan Jepang. Angkatan kepolisian di pemerintahan kolonial Jepang berkembang sangat pesat, dari sejumlah 6.222 orang pada tahun 1910 menjadi 20.777 di tahun1922, dan bertambah lagi menjadi 60.000 pada tahun1941.25 Untuk menjamin stabilitas pemerintahan kolonial memang diperlukan jumlah polisi yang banyak, untuk memastikan bahwa setiap orang dapat diawasi sampai ke pelosok desa. Para perwira tinggi umumnya dijabat oleh orang Jepang, sedangkan lebih dari separoh yang lain adalah orang Korea, bahkan dari kelas bawah. Orangorang Korea ini dilatih oleh orang-orang Jepang di akademi polisi yang khusus didirikan untuk keperluan tersebut. Catatan menunjukkan bahwa setiap satu lowongan anggota polisi diperebutkan oleh sepuluh hingga duapuluh orang pelamar, yang berarti mengindikasikan betapa pentingnya kolaborasi antara Jepang dan Korea (hal ini menjadi issu yang eksplosif pada waktu pasca kemerdekaan Korea).26 Di samping latihan yang formal, pihak Jepang juga mengawasi secara ketat anggota polisi tersebut, misalnya: selama tahun 1915-1920, kurang lebih sebanyak duaribu anggota polisi, atau satu di antara sepuluh polisi, dipecat setiap tahun karena dinilai tidak berdisiplin.27 Polisi dengan disiplin sangat ketat ini, yang bisa menyusup ke setiap pedesaan, bertingkah lebih dari polisi biasa dalam hal hukum dan penjaga ketertiban. Wewenang mereka meliputi pengawasan terhadap politik, pendidikan, agama, moral, kesehatan, kesejahteraan umum, dan pemungutan pajak.28 Polisi, dalam seragam militer yang dipersenjatai dengan pedang, juga memiliki wewenang tambahan dalam hal mengadili dan menghukum pelanggaran kecil. Dalam hal produksi pertanian, polisi lokal juga mempunyai kekuasaan untuk memaksa sejumlah pedesaan untuk mengganti tanaman pangan agar sesuai dengan kebutuhan untuk ekspor ke Jepang. Begitu besarnya wewenang polisi sehingga seolah-olah seluruh semenanjung Korea bagaikan kamp militer, karena semua tempat dan setiap orang diawasi untuk mengerjakan segala hal demi kepentingan Jepang.29 Satu aspek penting lainnya dari peran polisi adalah jaringan antara polisi dengan masyarakat lokal melalui elite lokal. Polisi berhasil menerapkan sistem “carrot & stick� bekerjasama dengan para tetua di pedesaan. Dengan mengkaitkan


12

Korean Studies in Indonesia

pengaruh mereka ke dalam struktur otoritas lokal maka semakin luaslah wewenang mereka. Begitu luasnya sehingga polisi dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengaruh elite untuk mengendalikan kelahiran, jenis tanaman yang tumbuh, menghitung mobilitas penduduk, mencegah penyebaran penyakit, menggerakkan tenaga kerja dan melaporkan penyimpangan ataupun subversi.30 Polisi dan elite lokal pada gilirannya dianggap oleh masyarakat Korea secara sinis sebagai kolaborator. Celakanya, banyak elite lokal yang semula memiliki tanah itu kemudian disingkirkan sebagai kekuatan politik melalui land-reform seiring dengan berlangsungnya Perang Korea, sedangkan polisi kolonial itu bergabung dengan struktur pemerintahan Korea Selatan yang sama sekali baru.

PENUTUP Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa pemerintahan agrarian yang lama yang telah terbukti mampu menghadapi tantangan modernisme digantikan dengan pemerintahan kolonial yang mampu menerobos dan mengawasi warganya; pemerintahan yang terakhir ini adalah rejim yang tiran sekaligus sangat efektif. Kekuasaan legislatif dan eksekutif yang terpusat dan hampir absolut, dan yang menentukan kepentingan nasional, selalu mengatur, masyarakat yang berdisiplin tinggi serta birokrasi polisional merupakan ciri utama dari pemerintahan baru tersebut. Hampir di semua sektor, praktek pemerintahan kolonial Jepang di Korea adalah otoriter yang amat brutal. Sebagai contoh, persuratkabaran Korea kalau tidak dicurigai maka disensor secara ketat, protes politik dilarang dan diancam dengan hukuman tinggi, organisasi politik dan pertemuan politik sama sekali dilarang. Para pejuang nasionalis Korea dibuang atau diadudomba, padahal dukungan diam-diam kepada gerakan nasionalis sebenarnya sangat luas, juga terhadap aktifis komunis pada masa kolonial, akan tetapi gerakan nasional tidak pernah diijinkan di Korea. Rejim Jepang juga mengerahkan polisi yang khusus menangani masalah ideologi untuk menghadapi orang-orang yang berpikiran subversif, serta mengembangkan sistem intelejen untuk membantu birokrasi sipil dan polisi yang merupakan lembaga terbaik di dunia. Pemerintah kolonial sangat menyadari penggunaan kebijakan represifnya dalam rangka menanamkan rasa takut di benak setiap orang Korea dan untuk meminimalisasi perlawanan dan memperkuat pengawasan birokrasi. Untuk menghindari kesan bosan di mata publik, menjadi penting bagi pemerintah untuk membangun integritas kewibawaan pemerintah dan menanamkan citra kepada masyarakat tentang kehormatan rejim baru. Melihat dampak buruk dari pemerintahan yang dibuat oleh kolonial Jepang, ternyata birokrasi yang kuat dan mampu mengawasi seluruh lapisan masyarakat serta politik menakutnakuti, sebagai alat kekuasaan kolonial, belumlah cukup. Perkembangan birokrasi juga telah


Vol. II No. 1 April 2011

13

memungkinkan pemerintah mengambil alih peranan penentu ekonomi agar sesuai dengan pertumbuhan yang direncanakan, dan represi dapat penciptakan ketertiban, yang memberi peluang kepada para elite memusatkan perhatiannya hanya pada kepentingan ekonomi. Untuk hal ini pemerintahan kolonial Jepang memerlukan kerjasama dengan warga Korea, itulah sebabnya mereka juga mengembangkan politik pecah belah, dalam kerangka sosialisasi nilainilai kolonial yang baru. Pertama, menguasai segmen elite politik Korea pada era pra kolonial. Sebagai contoh, ketika orang merasa ketinggalan modernitas maka para kolonial Jepang menunjukkan pada konsep Meiji sebagai model. Bagi orang Korea, modernitas adalah Jepang.31 Para elit Korea ini, baik dari kalangan resmi maupun yang tidak resmi, berkumpul menjadi satu dalam sistem hukum kolonial yang baru. Kedua, pemerintah kolonial menciptakan beberapa kerjasama dengan orang-orang kaya Korea, baik secara implisit maupun eksplisit. Dalam hal ini, kemampuan ekonomi Korea tak banyak berfungsi untuk melawan kekuasaan Jepang. Sebagian besar kekayaan mereka bahkan ditanamkan dalam proyek-proyek yang dibuat oleh Jepang. Sedangkan ketiga adalah, kolonial Jepang mengambil-alih kepemimpinan sektor pendidikan, memfasilitasi propaganda dan resosialisasi politik. Pada tahun 1910 ada kurang lebih 10.000 siswa yang memerlukan sekolah, tahun 1941 meningkat menjadi 1,7 juta, dan tingkat butahuruf pada tahun 1945 adalah 50%. Fokusnya adalah pada pendidikan dasar, dan kurikulumnya dirancang dengan sasaran untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan negara.32 Intinya adalah, bahwa kolonial Jepang menggeser rejim Yi yang lemah dengan pemerintahan yang terpusat dan terpimpin. Pusat pengambilan keputusan berada di kantor Gubernur Jenderal. Keputusan Gubernur Jenderal yang mencerminkan keputusan imperial akan diimplementasikan melalui birokrasi yang ketat, berdisiplin dan terlatih. Pemerintahan yang berhasil membangun hubungan penetrasi ke bawah; birokrasi sipil maupun polisi dapat menjangkau sampai dengan lapisan masyarakat paling bawah, sekaligus menghormati hubungan vertikal ke pemerintah pusat. Elite lokal Korea telah dikooptasi dalam lingkaran kekuasaan lokal di bawah pengawasan badan intelejen kepolisian maupun pemerintah.

CATATAN KAKI 1

Beberapa tulisan yang dianggap populer adalah Alice H.Amsden, 1989, Asia’s Next Giant: South Korea and Late Industrialization, New York, Oxford University Press; Bruce Cumings, “The Origin and Development of the Northeast Asian Political Economy: Industrial Sectors, Product Cycles, and Political Consquences� dalam International


14

2

3 4 5 6 7

8

9

10

Korean Studies in Indonesia

Organization 38, no.1 (Winter 1984), pp. 1-40; Frederic C. Deyo, ed., 1987, The Political Economy of New Asian Industrialism, Ithaca, Cornell University Press, : Stephan Haggard, 1991, Pathways from the Periphery: The Politics of Growth in the Newly Industrializing Countries, Ithaca, Coenell University Press, terutama bab mengenai Korea Selatan; Lerroy P. Jones and Il Sakong, 1980, Government, Business and Enterpreneurship in Economic Development: The Korean Case, Cambridge, Harvard University Press; Edward Mason, et.al., 1980, The Economic and Social Modernization of the Republic of Korea, Cambridge, Harvard University Press, dan masih banyak lagi yang lain. Perbedaan pendapat ini diangkat oleh Robert Wade, 1990, dalam Governing the Market: Economic Theory and the Role of Government in East Asian Industrialization, Princeton, Princeton University Press, terutama di halaman 28 dan bab 10. Pengamat yang secara jelas menganggap pemerintah Korea telah mempengaruhi harga untuk menciptakan pertumbuhan adalah Alice Hamden; lihatlah pada Asia’s Next Giant terutama pada bab 6. Yang berpendapat sebaliknya, yakni yang percaya bahwa keberhasilan ekonomi Asia Timur adalah berkat pasar bebas adalah Bela Balassa dalam essay, The Newly Industrializing Countries in the World Economy, New York, Pergamon, 1981; dan Anne O.Krueger, “Trade Policy as an Input Development”, American Economic Review 70, no.2 (1980), pp.228-92. Lihat Atul Kohli, op.cit., p.132. Ibid. Kerajaan Joseon adalah kerajaan yang terakhir dalam sejarah Korea, yang berlangsung enam abad dari awal abad ke 14 sampai dengan awal abad ke 20. ibid. Misalnya saja Charles R.Frank Jr., Kwang-Suk Kim dan Larry E.Westphal, 1975, Foreign Trade Regimes and Economic Development: South Korea, New York, Columbia University Press; Parvez Hasan, 1976, Korea: Problems and Issues in Rapidly Growing Economy, Baltimore, John Hopkins University Press; dan Anne O.Krueger, 1979, Studies in the Modernization of Korea: The Developmental Role of the Foreign Sector and Aid, Cambridge, Harvard University Press. misalnya Amsden dalam Asia’s Next Giant, bahkan dalam halaman 31-35 dia menegaskan bahwa warisan yang ditinggalkan oleh kolonial Jepang kepada Korea sama sekali tak berguna bagi perjuangan pembangunan mereka ke depan. Stephen Haggard misalnya, telah berupaya mempertegas jawaban dari pertanyaan tentang “mengapa” dan “bagaimana” industrialisasi Korea, terutama tentang peranan model orientasi ekspor di bawah Park Chung Hee pada, Pathways from the Periphery, op.cit. yang dimaksud dalam hal ini adalah penelitian yang berbahasa Inggris. Satu contoh menarik tentang bias nasionalisme adalah tulisan Sang-Chang Suh, 1978, Growth and


Vol. II No. 1 April 2011

11 12

13 14

15

16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

15

Structural Changes in The Korean Economy, 1910-1940, Cambridge, Council on East Asian Studies, Harvard University. Cumings, Origins of Korean War, vol.1. Lihat Suh, Growth and Structural Changes, yang dimaksud sebagai data “produksi nasional” tidak termasuk konstruksi, perdagangan, jasa dan pelayanan publik yang biasanya secara konvensional dianggap sebagai “produksi nasional”. Kerajaan Joseon dikuasai oleh keluarga/keturunan Raja Yi, yang nama keluarganya sama dengan Lee. Beberapa tulisan menarik tentang era akhir Joseon adalah James B.Palais, 1975, Politics and Policy in Traditional Korea, Cambridge, Harvard University Press. Dalam sudut pandang yang agak berbeda lihatlah Ching-Young Chou, 1972, The Rule of the Taewongun, 18641873; Restoration in Yi Korea, Cambridge, East Asian Research Centre, Harvard University; Ki-baik Lee dalam Carter J.Eckert et.al., 1990, Korea Old and New: A History, Seoul, Ilchokak Publisher. Pada masa Dinasti Joseon terdapat dua kelompok kemasyarakatan, yaitu golongan elite Yangban dan golongan rakyat kebanyakan yang disebut Sangmin, yang biasanya bekerja di bidang pertanian, perdagangan, dan pekerjaan umum. Palais, ibid. Lee dalam Ecker, et.al., Korea Old and New, p.111. Palais, op.cit. ibid. Cumings, Origins of Korean War, 1:10 Palais, loc.cit. Ibid. Ibid. Ibid., pp.35-36. Robinson, in Eckert, et.al., Korea Old and New, p.259. Ibid., p.236. Ibid., pp.236-239. Robinson, dalam Eckert et.al., Korea Old and New, p.259 Lihat Chen, “Police and Community Control Systems”, pp. 228-231. Ibid., p.226. Lihat George Henderson, 1968, Korea: The Politics of Vortex, Cambridge, Harvard University Press, p.67. Para elit pro Jepang ini kemudian melakukan reformasi Kabo 1985 yang disponsori oleh Jepang. Kemudian mendirikan organisasi Ilchin-hoe(Masyarakat Maju) dan memperoleh bantuan Jepang dari tahun 1905-1910, yang beranggotakan kurang


16

32

Korean Studies in Indonesia

lebih 140.000 orang. Lihat juga Vipin Chandra, “An Outline Study of the Ilchin hoe (Advancement Society) of Korea”, dalam Occasional Papper on Korea 2, March 1974, pp. 43-72. Lihat Ireland, New Korea, p.190.

DAFTAR PUSTAKA Chen, Ching-Chih. “Police and Community Control System in the Empire” dalam Myers dan Peattie, eds. Japanese Colonial Empire, p.225. Conroy, Hilary. 1960, The Japanese Seizure of Korea, 1868-1910, Philadelphia, University of Pennsylvania Press; Peter Duus, “Economics Dimensions of Meiji Imperialism: The Case of Korea, 1895-1910” dalam Myers dan Peattie, eds., Japanese Colonial Empire, pp. 132-133. Cumings, Bruce. 1981, dalam “Origins and Development of the Northeast Asian Political Economy”, atau pada The Origins of the Korean War: Liberation and the Emergence of Separate Regime. 1945-1947, vol.1, Princeton, Princeton University Press. Grajdanzev, Andrew J. 1944, Modern Korea, New York, John Day, p.55. Halliday, John. 1975, A Political History of Japanese Capitalism, New York, Pantheon, p.37 Ireland, Alleyne. 1926, The New Korea, New York, EP Dutton, p.104 Jones dan Sakong, Government, Business and Enterpreneurship, pp. 22-37 Kohli, Atul. “Where Do High-Growth Political Economies Come From? The Japanase Lineage of Korea’s Developmental State” dalam Meredith Woo-Cumings,ed., 1999, The Developmental State, Ithaca, Cornell University Press, p.98. Kublin, Hyman. “The Evolution of Japanese Colonialism” dalam Comparative Studies in Society and History 2, no.1, October 1959, pp.67-84 menjelaskan bahwa doktrin kolonial Jepang yang diterapkan di Formosa (Taiwan) dan kemudian diberlakukan di Korea. Ladd, George Trumball. 1908, In Korea with Marquis Ito, New York, Charles Scribner’s Sons, pp.435. Lee, Chong-Sik. 1963, The Politics of Korean Nationalism, Berkeley, University of California Press. Juga pada Michael E. Robinson, 1989, Cultural Nationalism in Colonial Korea, 1920-1925, Seattle, University of Washington Press. Robinson, Michael E. dalam Ecker, et.al., Korea Old and New, p.257. Spaulding , Robert M. Jr., “The Bureaucracy as Political Force, 1920-1945” dalam James William Morley, ed., 1971, Dilemmas of Growth in Prewar Japan, Princeton, Princeton University Press, pp.36-37.


Vol. II No. 1 April 2011

THE IMPLEMENTATION OF PUBLIC HEALTH CARE POLICY IN SOUTH KOREA LUQMAN HAKIM (Brawijaya University, Indonesia)33

ABSTRAK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAYANAN KESEHATAN DI KOREA SELATAN Pada umumnya negara berkembang dihadapkan pada berbagai kesulitan. Dalam kurun waktu yang lama negara-negara ini dihadapkan pada kemiskinan, kekurangan pangan, rendahnya mutu pendidikan, kekacauan politik, rendahnya kondisi kesehatan masyarakat dan kesulitan-kesulitan lain yang menyebabkan masyarakat merasa berada dalam kehidupan sosial yang tidak aman dan kondisi lingkungan yang miskin. Semua kondisi semacam ini tidak terjadi di negara-negara maju. Korea Selatan adalah negara berkembang yang tidak hanya berhasil mengubah dirinya menjadi negara maju, melainkan juga berhasil melakukan reformasi pelayanan publik bidang kesehatan sehingga masyarakatnya mendapatkan jaminan kesehatan yang baik dengan cara yang sangat murah, mudah dan cepat. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai keberhasilan Korea Selatan dalam memperbaiki pelayanan publik bidang kesehatan. Kata kunci dalam memahami perbaikan pelayanan publik di Korea Selatan adalah keberhasilan negara ini mewujudkan sistem jaminan sosial kesehatan. Jaminan sosial ini dapat diperoleh warga dengan cara membayar premi dalam jumlah tertentu. Ketika proses-proses pembangunan ekonomi yang semakin cepat juga membawa efek negatif berupa pengangguran, masyarakat sempat berfikir mengenai asuransi pengangguran. Meskipun demikian, ketika hal itu dikhawatirkan justru akan mendorong orang malas bekerja, mereka segera memilih untuk membuat jaminan sosial kesehatan tenaga kerja. Oleh karena itu, sistem jaminan sosial kesehatan ini berhasil karena etos kerja yang tinggi dari bangsa Korea Selatan. Proses-proses terbentuknya jaminan itu relatif cepat yaitu hanya dalam dua dekade yaitu antara awal 1970an hingga akhir 1980an. Bagaimana Korea dalam waktu sesingkat itu berhasil melakukan reformasi pelayanan publik yang mantap tentu menarik perhatian dan perlu menjadi pelajaran bagi masyarakat di negara-negara berkembang. Untuk memberikan gambaran menyeluruh bagaimana proses-proses reformasi pelayanan kesehatan publik dimaksud, tulisan ini mencakup aspek sejarah, kelembagaan, dan tahapan kemajuan yang dicapai dari waktu ke waktu. Kata kunci: kebijakan publik, etos kerja, jaminan sosial kesehatan, tenaga kerja

17


18

Korean Studies in Indonesia

(국문요약) 논문제목 : 한국의 공공의료 서비스정책 일반적으로 개도국은 정부시책을 수행함에 있어서 갖가지 어려움에 처하게 된다. 이들 국가들은 오랜 시간 동안 빈곤, 기근, 낮은 교육의 질, 정치 혼란, 양호함으로부터 먼 국민건강 상태 등 불안전하고 불안정한 사회환경에 살고 있다는 사실이다. 선진국에서는 이와 같은 상황은 당연하게 찾아 볼 수가 없다. 한국은 개도국으로서 선진국으로 진입하는 데 성공했을 뿐만 아니라, 공공의료 서비스정책에도 성공을 거두어 모든 국민이 아주 저렴하고, 용이하며, 빠른 방법으로 건강을 보장받을 수 있게 되었다. 한국의 공공의료 서비스를 이해하기 위한 핵심은 사회 건강보험 시스템을 구축하는 데 성공했다는 사실이다. 건강보험 시스템의 구축은 1970년대부터 시작하여1980년대를 거쳐 약 20년간의 시간이 소요되었는데, 그 과정은 여타의 의료선진국에 비해서 상대적으로 빨리 진행되었다. 이 기간 동안 한국은 공공의료 서비스 개혁을 성공적으로 이루어 내어, 많은 개도국에서 이에 관심을 가지고 노하우를 전수받고자 한다. 본고는 한국의 공공의료 서비스제도가 성공적으로 이루어질 수 있었던 과정을 파악하기 위해서 한국의 의료정책과 제도, 의료서비스의 발전과정을 다루었다. 주제어: 정부시책, 국민건강, 공공의료, 서비스정책

INTRODUCTION Most commonly, developing countries suffer from various shortages. For such a long time they have been suffered from poor economy, lack of food, bed education, political disorder, bed condition of health, and other various kind of shortages because of which people live in such a severe of condition of poor physical environment as well as social insecurity. However, all these conditions seem not to be case in Korea (South). A short letter sent by Lisa, a Canadian, to the Korean below insinuates a brief description on current health care system enjoyed by the common population in Korea. THURSDAY, JANUARY 07, 2010 Healthcare System in Korea? Dear Korean, I came across your blog from a reference to your ”Fan Death is Real” post (which I LOVED btw, thanks for putting us expats in our place a little bit). I was wondering if you could explain how the Korean healthcare system works. It’s amazing, efficient and dirt-cheap. I’m a Canadian, who avoids hospitals and clinics like the plague because back home you will sit


Vol. II No. 1 April 2011

19

and wait in an emergency room for 4 hours unless you are bleeding profusely from a major artery and have to wait at least 3 months to get an appointment with your doctor, never mind how long you have to wait for a specialist. Never mind how much everybody talks about how great our free health care system is. It is great believe me, to not have to give up your university career because you’ve been sidelined by appendicitis or a tonsillectomy. But it’s completely backlogged, and all our nurses and doctors are overworked and medicine is ridiculously expensive. Since living in Korea, I’ve been amazed by the medical system here. Today I walked into an EMPTY throat specialist’s office with tonsillitis. Within 15 minutes I was out the door with a prescription in hand for less than 3500 won [= $3.50] and on top of that my medication cost all of 3200 won [= $3.20]! How? How does that happen? How does all the medical equipment, office space, staff and doctors salaries get paid for and still charge so little to the patient? Same goes for pharmacies. In Canada and America, it insanely expensive to get medication. How do the Koreans do it??? Lisa, Suncheon, Jeollanamdo, South Korea3434

The letter contains some points which make this letter is worth taken to be introduction of the article. First and for most, the letter was writen in such a frank and honest way. Secondly, the letter shows an acknowledgment that Korean Health Care System is amazingly has a better performance, even when it is compared to the system in one of the most developed countries, Canada. Of course money matters. However, the good system must not only be measured by the amount of money the individual patient has to spend for the service, but more importantly it must be measured by customer satisfaction. Accordingly, Lisa shows her satisfaction to the Korean system over the health care system of her country because when she got sick and has to receive medical treatment in Korea, She found the system was not only cheap but also provided better services compared to the Canadian which she describes as ridiculous no matter the service is free of charge. Last but not least, the letter raises a very important and strategic question such as how does it happen? How does all the medical equipment, office space, staff and doctors salaries get paid for and still charge so little to the patient? Same goes for pharmacies. Apparently, for the Korean there is no need of comparing the Korean Health Care System to the America’s since the Korean has not been following the details of America’s healthcare debate at all. So the Korean does not have a solid grasp of how the proposed Obamacare is supposed to work out.


20

Korean Studies in Indonesia

Sorry Mr. President, the Korean just doesn’t care. Besides, to the Korean, it is obvious that a country should guarantee its citizens a health insurance, and the cheapest way to achieve that is a single-payer system like Korea’s. Scores of advanced and semi-advanced countries in the world manage to do this without turning their country into Russia (Unless, of course, if their country is Russia) or otther countries. Thus, there is no point in watching a debate where the other side is arguing the sky is not blue. Secondly, at any rate, Korea’s healthcare system is absolutely beautiful. It can go in that way because, physical health of everyone of the population is covered (with some deductible amount) as long as the procedure is not elective. As the result, as Lisa noted, not only that everything is dirt-cheap, but the wait time is also short. The system has just started working in that way since 1989. It means that in fact, the system is still relatively young since other country’s health delivery system may take longer time in order to establish such a stable, effective and efficient way. In accordance to that, they may be some questions worth answering. First, how the system comes into existence and it develops. Secondly, how the system works to meet the societal need. Third, how supporting insurance companies are organised? This article is concerned with exploring the process of development of the health care delivery system in Korea. However, beyond the questions there exists an expectation to be pursued, that is what lesson can be learned from the Korean experience of establishing a developed health care delivery system.

HISTORICAL BACKGROUND Nothing comes into being without prior process to it’s existence with no exception to the health care system in Korea. It was in the early 1970s that Korea began to discuss the


Vol. II No. 1 April 2011

21

need for an unemployment insurance system to stabilize the living conditions of the unemployed. When the first oil shock hit the Korean economy in 1973, the Administration of Labor and some scholars discussed the need for an unemployment insurance system. Those discussions, however, proceeded only informally within the Administration of Labor, and they decided not to discuss it openly because they thought the Korean economy at that time was too underdeveloped to implement the system efficiently. When the second oil shock and political turmoil caused by the assassination of former president Park Chung-Hee hit the Korean economy in 1979, the economy recorded a negative economic growth rate, and the unemployment rate reached 7.5 percent in 1980. The high unemployment in the early 1980s forced the Korean government to consider introducing the unemployment insurance system when the Korean government designed the Fifth FiveYear (1982-1986) Economic and Social Development Plan in 1981. Even in the early 1980s, however, most Koreans were opposed to introducing the unemployment insurance system because they believed it would weaken the job search efforts of the unemployed, thereby resulting in a higher unemployment rate. Moreover, many people thought the time was not yet right mature for Korea to introduce the unemployment insurance system because the Korean economy was not strong enough to implement it. Hence, the Korean government decided not to introduce the unemployment insurance system during the 1980s. In the process of discussing the unemployment insurance system in 1981, however, Korea achieved a very important social consensus on the direction of the Korean system. This was that the government should not seek to address unemployment with a cash benefits. Rather, the important thing was to prevent unemployment itself through stable economic growth and an efficient labor market system. In this respect, they agreed to name the future Korean system the Employment Insurance System rather than the Unemployment Insurance System. After successful economic development since 1960s, the Korean economy faced a turning point in the late 1980s. The average GNP growth rate during the 1962-1988 period was 8.8 percent. The per capita GNP increased remarkably from USD82 in 1962 to USD4,127 in 1988. As a result of rapid economic growth, the Korean economy ranked 17th in total GNP and 12th in trade amount in the world in 1988. Until the 1970s, Korea’s rapid economic development was mainly due to diligent, cheap and abundant labor. However, economic development absorbed abundant labor from the rural areas, and Korea’s unlimited supply of labor ¹ ended in the mid-1970s. With the fall of the authoritarian regime in June 1987, Korea underwent rapid political, social and economic changes. The Korean economy suffered from explosive labor disputes from the second half of 1987 to 1989 and high increases in wages until 1996. Workers no


22

Korean Studies in Indonesia

longer accepted dirty, difficulty and dangerous jobs, and thus labor-intensive manufacturing sectors suffered from serious labor shortages from the end of the 1980s. Labor was no longer a cheap resource in Korea. High increases in wages and the labor shortage forced the Korean economy to convert from a labor intensive economy to a technology intensive economy, and this transformation in the economy created a considerable mismatch between the skills workers actually possessed and those needed for jobs. Strong trade unions demanded a lot of economic and social reforms from the government and employers. Introducing the Employment Insurance System became the top priority.The depletion of cheap labor, strong trade unions and a considerable mismatch between workers’ skills and occupations called for a new paradigm in economic and labor management strategies in Korea. In 1990, the Korean government assigned several public research institutes to design a specific area of the Seventh Five-Year (1992-1996) Economic and Social Development Plan. The Korea Labor Institute was in charge of designing labor policies for the year 1992-1996. It recommended the government to introduce the Employment Insurance System and provided an outline of the Korean system. The Government reviewed the proposal from the Korea Labor Institute and held several public hearings. It later confirmed that most people supported the proposal. On August 23, 1991, Korean government finally decided to introduce the Employment Insurance System during the mid-1990s. On March 9, 1992, the government decided to ask the Korea Labor Institute to design a detailed Korean Employment Insurance System. At the government’s request, the Korea Labor Institute launched the Employment Insurance Research Commission on May 18, 1992. The Commission was composed of 28 scholars, and observers from the government, management and labor were invited to participate in the discussion process of the Commission. The role of the Commission was to design the Korean Employment Insurance System in detail and carry out the necessary research. The Commission studied the unemployment insurance systems and experiences of many developed countries, as well as Korea’s labor market conditions. After one year of research and a series of workshops and seminars with representatives from the government, labor, management and academia, the Commission presented its research findings and policy recommendations to the government on May 18, 1993, under the name, Proposed Employment Insurance System for Korea. The government then collected opinions of various strata of society through public hearings, created the Employment Insurance Bill based on the Commission’s recommendations and submitted it to the National Assembly in September 1993. The National Assembly passed the bill unanimously on December 1, 1993, promulgating it on December 27, 1993. The Employment Insurance Law was put into effect on July 1, 1995, and the unemployment


Vol. II No. 1 April 2011

23

benefits, which requires at least a year’s contribution by the insured, became operational from July 1, 1996.

HOW THE SYSTEM WORKS In Korea, doctor’s offices and hospitals are privately owned, except a small number of community hospitals. There is a national health insurance, funded by nationally levied tax, in which everyone must enroll. Private health insurance exists to cover expenses that the national health insurance does not cover. The centerpiece of this structure is the national health insurance, governed by National Health Insurance Act. As the Korean mentioned earlier, every Korean citizen living in Korea (and a few others) are automatically enrolled in the health insurance. The only exception is those who receive “medical protection,” which is an out-and-out welfare system – essentially, everything is paid for and there is no premium. This is reserved for the extremely poor, refugees, children of independence fighters and other significant contributors to Korea, possessors of important intangible cultural products (e.g. artisans of very rare traditional ceramics,) and so on. Everyone who is enrolled in the insurance must pay a premium. There are two avenues through which payments are made. Those who have a job pay half of the premium deducted out of their paycheck, and the employing company pays the other half. Those who do not have a job pay their premium directly to the death panel National Health Insurance Corporation, a government-owned corporation that administers the insurance. The two types of premium are roughly the same in amount, but not identical. In 2009, each family in Korea paid around $8,000 a year for the premium. The NHIC is run by a number of committees, whose members usually are representatives of the medical community, taxpayers, the government, etc. For example, the board of directors that governs the entire corporation has 18 members, which is broken down as follows: the chairman is appointed by the president based on the recommendation from the Minister of Health, Welfare and Family; the chairman in turn appoints five members; heads of related governmental agencies take up four positions; unions, employer associations, consumer organizations, fishing/agricultural associations can each appoint two. Under this leadership, the biggest function of the NHIC is to set the cost of every single medical procedure that the law covers. This is a big range, since the law requires coverage of all medical procedures except electives and certain other expenses, such as an upgrade to a nicer hospital room or food. Significantly, this covers medicine – which makes prescription medicine extremely cheap. [Updated with commenter Brett’s point:] NHIC insurance also covers traditional medicine (herbal remedies, acupuncture, etc.) and other semi-medical practitioners, like chiropractors.


24

Korean Studies in Indonesia

The Korean had pneumonia when he was a kid, and spent about a month in one of these rooms. So this is how the whole machinery works, in a very simplified form. A patient visits a doctor. After diagnosis, the patient pays a small amount of deductible – usually a small percentage of the cost set by NHIC (which varies from the type of treatment and the type of doctors one visits) – to obtain a prescription. The patient takes the prescription to a pharmacy, where again she pays a small amount of deductible to get her medicine. Then the doctor and the pharmacist claim the full cost (which is pre-set by NHIC) of the visit to the NHIC. The NHIC pays the doctor and the pharmacist, out of the premium that every Korean has paid Although the national health insurance covers a lot, private health insurance companies still exist in Korea. Even with the national health insurance coverage, certain disease or chronic conditions – for example, cancer – can still be very costly for middle class Koreans, because the treatments for those diseases include many options that are considered elective, and the treatments tend to get drawn out while rendering the patients unable to work. Therefore, many Koreans also join a private health insurance that covers what the national health insurance does not cover, such as deductibles (which can get high, since it’s a percentage of the NHIC-set cost rather than an absolute amount,) lost wages, etc.

1.

The Benefits

The benefits of this system are obvious. First, everyone gets affordable healthcare. This is huge, and cannot be stated with enough emphasis — in Korea, everyone can visit just about any doctor for anything for less than $5 [fixed because of overstatement] relatively small amount of money. Koreans very frequently visit the doctor’s office for any common cold. Often, this leads to early detection/treatment of a more serious illness.


Vol. II No. 1 April 2011

25

Also, Korean patients almost never have to deal with any bureaucracy, since main exchange of paperwork happens between the doctor and the NHIC. As long as the patients can pay the deductibles, they can visit any doctor in Korea. Given that nearly every corner in the country can be traveled under three hours on a high-speed train, it is very easy to visit the best doctor in the country (who would likely be in Seoul) if anyone wants to. On top of that, the whole system is really cheap. No one likes taxes, and Koreans grumble on the national health insurance fee as much as anyone. But Koreans on the whole spend about 6.3 percent of its GDP on healthcare, which is lower than Europe/ Canada (which is around 10 percent) and a lot lower than America (which spends appalling 15 percent.) The low cost is partly achieved by having a single-payer system, which significantly lowers the administrative cost.

2. The Costs But there is no such thing as free lunch. If the system is cheap, it means that it is squeezing savings from someone or something. Then where are the savings coming from (other than the single-payer administrative cost)? First, the coverage under the Korean national health insurance is not as good as the European countries, especially when it comes to more expensive diseases. Given that Koreans generally pay less for premium compared Europeans/Canadians, NHIC tends to be more conservative on what type of procedure counts as covered. This is not a big deal with primary care where a procedure for common cold, for example, is straightforward. But this could pose a problem when it comes to a chronic condition or a complex disease like cancer where there are many extra tests, etc, that the national health insurance does not cover. (Which this makes cancer insurance a good idea for many Koreans.) It also does not help that these diseases/conditions drag on for years. The end result is that while European/Canadian national health insurance pays up to 90 percent of the total medical cost, Korea’s national health insurance ends up paying around 55 percent of the total cost. While Korea does not have too many cases of a middle class family receiving treatment all the way to bankruptcy as happens in America, there are definitely cases where lower-middle class families do not invest in a private health insurance and later get bowled over by cancer treatment expenses. (Which is a popular recurring theme in Korean dramas.) Second, doctors just don’t earn a whole lot of money. Korean doctors are well-off compared to the rest of the society, but they earn about half of European and Japanese doctors, and about a quarter of American doctors in PPP-controlled income. This is because even if you are the best doctor in the country, you still have to charge the NHIC-set price –


26

Korean Studies in Indonesia

and the NHIC price, compared to the rest of the developed world, is pretty low. There is some differentiation in the NHIC price that factors in the doctor’s expertise, the hospital’s facilities, etc., but that difference is not big. For each of the same medical procedure, Korean doctors can only charge one-eighth of what American doctors charge or one quarter of what European/Japanese doctors charge. Doctors and pharmacists have some influence over the NHIC price through their representatives on the NHIC committees, and they actively lobby every year to raise the price. But they cannot be too vigorous in asking for a raise, since it does not look good for them in the eyes of the public given that they are still in a relatively high-earning profession.mThis has real effects on healthcare. Think about it from the doctor’s perspective – if the price is fixed, how can they earn money? Broadly, there are three ways: (1) see more patients; (2) perform treatments that have a higher NHIC price or are not covered by NHIC; (3) find another way to get paid.

Pity us, we got a family to feed. Because Korean doctors are incentivized to see more patients, they often cram in as many patients as they can, in a practice derisively called “five-minute diagnosis.” As of 2005, each Korean doctor sees three to four times more outpatients than doctors in other OECD countries. Many Korean patients complain about this practice, as they do not feel adequately cared for. Korean doctors are also incentivized to over-treat a patient or recommend more expensive treatment. For example, Korea is the world leader in caesarian delivery – a whopping 43 percent of all births – partly because doctors are more likely to recommend a c-section, which has the higher NHIC price. Korea also has more hospital beds, CT scanners and MRI machines than OECD average, partly because hospital stay and advanced scanning has the higher NHIC price. Koreans have longer hospital stays than the OECD average, for the same reason.


Vol. II No. 1 April 2011

27

One can argue under this system, patients who do not require extended hospital stay are wasting resources. Also, to avoid the grip of the NHIC price, top medical students often adopt a specialty that the NHIC generally does not cover, like plastic surgery or dermatology. Doctors also look for other ways to get paid under this system, and the most common way is to receive kickbacks from pharmaceutical companies for prescribing their medicine. This practice sometimes leads to a pattern of over-prescription that has a direct consequence on the national health. For example, Korean patients are notorious for having high immunity against antibiotics, because very strong antibiotics are over-prescribed partly due to doctors’ profit motives. It is also somewhat common for doctors to form an alliance with certain neighborhood pharmacies and receive some amount of fee for referring to patients there to pick up their prescription, which can be considered an unfair business practice. Lastly, because the patients can visit any doctor in the country, they often opt to visit the best doctor in the country for any petty ailment. So the best hospitals in Korea – like Seoul National University Hospital, Yonsei Severance Hospital, National Cancer Center, etc. – often have a significant waiting time not unlike the horror stories one hears about other socialized medicine countries.

Seoul National University Hospital, arguably the best hospital in Korea.

PUBLIC HEALTH AND SOCIAL WELFARE Health conditions have improved dramatically since the end of the Korean War. Between 1955 and 1960, life expectancy was estimated at 51.1 years for men and 54.2 years for women. In 1990 life expectancy was 66 years for men and 73 years for women. The death rate declined significantly, from 13.8 deaths per 1,000 in 1955-60 to 6 deaths per 1,000 in 1989—one of the lowest rates among East Asian and Southeast Asian countries. Nevertheless, serious health problems remained in 1990. South Korea’s infant mortality rate was significantly higher than the rates of other Asian countries and territories such as


28

Korean Studies in Indonesia

Japan, Taiwan, Hong Kong, Singapore, and peninsular Malaysia. Although practically all the inhabitants of Seoul and other large cities had access to running water and sewage disposal in the late 1980s, environmental pollution and poor sanitation still posed serious threats to public health in both rural and urban areas.

Health Conditions The main causes of death traditionally have been respiratory diseases—tuberculosis, bronchitis, and pneumonia—followed by gastrointestinal illnesses. However, the incidence and fatality of both types of illness declined during the 1970s and 1980s. Diseases typical of developed, industrialized countries—cancer, heart, liver, and kidney ailments, diabetes, and strokes—were rapidly becoming the primary causes of death. The incidence of parasitism, once a major health problem in farming communities because of the widespread use of night soil as fertilizer, was reported in the late 1980s to be only 4 percent of what it had been in 1970. Encephalitis, a viral disease that can be transmitted to humans by mosquitoes, caused ninety-four deaths in 1982. To reduce fatalities, the Ministry of Health and Social Affairs planned to vacChinate 17.2 million persons against the disease by 1988. The tensions and social dislocations caused by rapid urbanization apparently increased the incidence of mental illness. In 1985 the Ministry of Health and Social Affairs began a large-scale program to expand mental health treatment facilities by opening mental institutions and requiring that new hospitals have wards set aside for psychiatric treatment. The ministry estimated the number of persons suffering from mental ailments at around 400,000. South Korea has not been entirely immune from the health and social problems generally associated with the West, such as Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) and addictive drugs. A handful of AIDS cases was reported during the late 1980s. Seoul responded by increasing the budget for education programs and instituting mandatory AIDS testing of prostitutes and employees of entertainment establishments. An AIDS Prevention Law was promulgated in November 1987. In late 1989, the government drafted a law requiring AIDS testing of foreign athletes and entertainers intending to reside in South Korea without their spouses for more than three months. Previously, the majority of those infected with AIDS had been prostitutes working near United States military bases, oceangoing seamen, and South Koreans working abroad. In the late 1980s, however, homosexuals began to account for an increasing number of those infected with the AIDS virus. The traditional Korean attitude toward homosexuality, which was to deny its existence, made it extremely difficult to treat this part of the population. The 200-percent annual increase in the number of AIDS-infected persons (from one reported case in 1985 to twenty-two cases in 1988) worried health officials.


Vol. II No. 1 April 2011

29

While the use of heroin and other opiates was rare in South Korea and the use of cocaine limited, the use of crystalline methamphetamine, or “ice,” known in South Korea as hiroppon, had become a serious problem by the late 1980s. Estimates of the number of South Korean abusers of this illegal drug (known in the United States as speed) ranged from 100,000 to 300,000 people in the late 1980s. Because use of the drug was believed to involve just low-status members of society, such as prostitutes and gangsters, the problem of hiroppon abuse had long been ignored in South Korea. The problem received greater attention from police and other government agencies during the late 1980s as the drug increased in popularity among professionals, students, office workers, housewives, entertainers, farmers, and laborers. Some observers suggested the drug’s popularity was caused in part by a high-pressure work environment, in which people used hiroppon to cope with long working hours. It also has been suggested that the tighter border controls imposed by Seoul have resulted in diverting the product to the domestic market and contributing to greater domestic consumption. An estimated 2,000 to 4,000 kilograms of methamphetamine were produced within South Korea annually, much of this total destined for shipment to Taiwan, Japan, and the United States by South Korean and Japanese yakuza, or gangsters. Since the majority of users injected the drug intravenously (although smoking and snorting it were becoming popular), South Korean health officials were concerned that the drug could contribute to the spread of AIDS. In 1989 Seoul established a new antinarcotics division attached to the prosecutor general’s office and increased almost fourfold the number of drug agents.

Health Care and Social Welfare35 The traditional practice of medicine in Korea was influenced primarily, though not exclusively, by China. Over the centuries, Koreans had used acupuncture and herbal remedies to treat a wide variety of illnesses. Large compilations of herbal and other prescriptions were published during the Joseon Dynasty: the 85 - volume Hyangyak chipsongbang (Great Collection of Korean Prescriptions) published in 1433 and the 365-volume Uibang yuch’wi (Great Collection of Medicines and Prescriptions) published in 1445. Shops selling traditional medicines, including ginseng, a root plant believed to have strong mediChinal and aphrodisiac qualities, still were common in the 1980s. Because of the expense of modern medical care, people still had to rely largely on such remedies to treat serious illnesses until the 1980s—particularly in rural areas. The number of physicians, nurses, dentists, pharmacists, and other health personnel and the number of hospitals and clinics have increased dramatically since the Korean War. In 1974 the population per physician was 2,207; by 1983 this number had declined to


30

Korean Studies in Indonesia

1,509. During the same period, the number of general hospitals grew from 36 to 156 and the number of hospital beds tripled from 19,062 to 59,099. Most facilities, however, tended to be concentrated in urban areas, particularly in Seoul and Pusan. Rural areas had limited medical facilities, because in the past there was little incentive for physicians to work in areas outside the cities, where the major of the people could not pay for treatment. Several private rural hospitals had been established with government encouragement but had gone bankrupt in the late 1980s. The extension of medical insurance programs to the rural populace, however, was expected to alleviate this problem to some extent during the 1990s. The South Korean government committed itself to making medical security (medical insurance and medical aid) available to virtually the entire population by 1991. There was no unified national health insurance system, but the Ministry of Health and Social Affairs coordinated its efforts with those of employers and private insurance firms to achieve this goal. Two programs were established in 1977: the Free and Subsidized Medical Aid Program for people whose income was below a certain level, and a medical insurance program that provided coverage for individuals and their immediate families working in enterprises of 500 people or more. Expenses were shared equally by employers and workers. In 1979 coverage was expanded to enterprises comprising 300 or more people, as well as to civil servants and teachers in private schools. In 1981 coverage was extended to enterprises employing 100 or more people and in 1984 to firms with as few as 16 employees. In that year, 16.7 million persons, or 41.3 percent of the population, had medical insurance. By 1988 the government had expanded medical insurance coverage in rural areas to almost 7.5 million people. As of the end of 1988, approximately 33.1 million people, or almost 79 percent of the population, received medical insurance benefits. At that time, the number of those not receiving medical insurance benefits totaled almost 9 million people, mostly independent small business owners in urban areas. In July 1989, however, Seoul extended medical insurance to cover these selfemployed urbanites, so that the medical insurance system extended to almost all South Koreans. Differences in insurance premiums among small business owners, government officials and teachers, people in farming and fishing areas, and those employed by business firms remained a divisive and unresolved issue. Medical insurance programs for farming and fishing communities, where the majority of people were self-employed or worked for very small enterprises, also were initiated by the government. In 1981 three rural communities were selected as experimental sites for implementation of a comprehensive medical insurance program. Three more areas, including Mokp’o in South Cholla Province, were added in 1982. Industrial injury compensation schemes were begun in the early 1960s and by 1982 covered 3.5 million workers in most major industries.


Vol. II No. 1 April 2011

31

During the 1980s, government pension or social security insurance programs covered designated groups, such as civil servants, military personnel, and teachers. Private employers had their own schemes to which they and workers both contributed. Government planners envisioned a public and private system of pensions covering the entire population by the early 1990s. In the wake of rapid economic growth, large sums have been allocated for social development programs in the national budget. In FY (fiscal year) 1990, total spending in this area increased 40 percent over the previous year. Observers noted, however, that serious deficiencies existed in programs to assist the handicapped, single-parent families, and the unemployed.

THE NEED OF REFORM South Korea is one of the world’s most rapidly industrializing countries. Along with industrialization has come universal health insurance. Within the span of 12 years, South Korea went from private voluntary health insurance to government-mandated universal coverage. Since 1997, with the intervention of the International Monetary Fund, Korean national health insurance (NHI) has experienced deficits and disruption. However, there are lessons to be drawn for the United States from the Korean NHI experience. South Korea achieved a universal health insurance in 12 years. This remarkable achievement started modestly in 1977 when the government mandated medical insurance for employees and their dependents in large firms with more than 500 employees. In 1989, national health insurance (NHI) was extended to the whole nation. Most Western analysis were surprised. Many predicted Korean NHI would falter financially, but trends in financial receipts and disbursements from 1990 to 1995 showed no sign of financial instability. Everything went smoothly in both administration and financing in the first half of the 1990s. However, with the advent of the economic crisis of 1997 throughout southeast Asia, Korean NHI began to run a financial deficit. At the end of 1997, despite some Korean resistance, the International Monetary Fund (IMF) intervened in Korean financial affairs, causing a dramatic increase in the NHI’s deficit, which then grew each year until 2002. When the government announced that NHI would separate reimbursement for pharmaceuticals from medical care in July of 2000, Westernized medical practitioners closed their clinics and refused to treat patients. This policy of separating reimbursement for pharmaceuticals from medical care is regarded as the most significant factor in disrupting the financial structure of Korean NHI. How did Korea succeed in providing health insurance to the whole nation within 12 years? Before 1977, Korea had only voluntary health insurance. In 1977, President Park Chung-Hee and the legislature passed a law that mandated medical insurance


32

Korean Studies in Indonesia

for employees and their dependents in large firms with more than 500 employees. Gradually health insurance coverage was expanded to different groups in the society: in 1979 to government employees, private school teachers, and industrial workplaces with more than 300 employees, and in 1981 to industrial workplaces with more than 100 employees. In the late 1980s, health insurance expansion became regionally based, first to rural residents in 1988 and then to urban residents in 1989. Each of these expansions was mandated by government.

MODEL OF DEVELOPMENT Clearly, South Korea had adopted Japan’s health insurance system as a model. Given the overall impact of the Japanese model of industrialization on the socioeconomic development of Korea, it is not surprising that the Japanese health insurance system became a prototype for Korean NHI. This in spite of the fact that American medicine had a dominant influence on the development of Korean medicine after 1945. However, the American model was not an ideal model for the Korean health insurance system because the United States had failed to achieve compulsory, universal health insurance. The Japanese model’s influence in shaping Korean health insurance was most notable in 3 areas: (1) the administrative structure of the system, (2) the choice about who would be covered, and (3) the policy for mobilizing financial resources for the system. While Japanese health insurance was a dual system in the 1970s, consisting of employer- and employee-financed health insurance and governmentsponsored NHI, at the outset Korea adopted only the former scheme of employer–employee health insurance in firms with more than 500 employees. According to the legislation, as in the Japanese model, the employer and the employee each paid half the premium. There was some government subsidy, not for the beneficiary but for the operating budgets of “medical insurance societies.” Premiums were determined by multiplying the standard monthly salary by the health insurance contribution rate, which ranged from 3% to 8% of wages. The insurers, as the agents in charge of managing the program, consisted of 2 types of medical insurance societies. The class 1 medical insurance society was made up of the employers and class 1 employees. The class 2 medical insurance society consisted of any resident within regional jurisdiction of the medical insurance society who wanted to join. To provide health insurance for the uninsured, the minister of health and social affairs could order a medical insurance society to join the Central Federation of Medical Insurance Societies (CFMIS). The major role of CFMIS was to ensure stable insurance financing and to manage medical and welfare institutions. Both medical insurance societies and the CFMIS were regulated by the rules established in civil law.


Vol. II No. 1 April 2011

33

Why did the Park government choose the medical insurance society as the administrative organ responsible for implementing NHI? What are the policy implications for the country of this choice? The issue of whether or not to have a decentralized medical insurance society–based administrative system has been a hotly debated policy issue in Korea. Several factors favored the choice of decentralized administration, implicit in the organization of medical insurance societies. First, this was essentially the structure of the Japanese health insurance system. Second, the Park government considered the decentralized health insurance system as an intermediate step between a completely private voluntary health insurance system (e.g., health maintenance organizations) that would emphasize cost containment and a state-administered health insurance system (e.g., single-payer NHI) that might place substantial financial burdens on the state. Third, the bureaucratic machinery to administer an NHI system just did not exist within the Korean government in 1977, when President Park decided to mandate health insurance for large employers. Therefore, medical insurance societies appeared to be the best vehicle for gradually extending health insurance to the whole nation. Since 1977, when the Park government endorsed decentralized medical insurance societies, there has been a continual political and policy struggle between those favoring unification of the medical insurance societies under a national system and those opposed to unification, preferring decentralization without government regulation. This struggle has shaped the unique development of the Korean national health care system. The battleground between those for medical insurance unification and those against it has encompassed 3 policy debates. The first debate focuses on the reduction of income inequality between rich and poor. Those for unification insist that unification will reduce the income disparities that exist between industrial employees and the self-employed. Those for decentralization argue that unification will result in transferring insurance premiums paid by industrial employers and their employees to the selfemployed, whose premiums are inadequate to cover their expenses. While those for unification argue that unification will help create a spirit of solidarity among all classes of workers, resembling the foundation of the Western welfare state, those for decentralization believe that unification scheme will result in a “Korean unique case,” organizationally incompatible with the decentralized administrative model of NHI developed by the Japanese, French, and Germans. The second policy debate centers around the issue of government financial assistance to the NHI system. Kim Dae-Jung, once a political prisoner and then a Nobel Peace Laureate, when he became Korea’s president, used the issue of NHI administration to consolidate his power. President Kim chose unification not because he agreed with its policy objectives, but because he felt that it would more effectively empower the political base of his go-


34

Korean Studies in Indonesia

vernment. However, in spite of the Kim administration’s initial promise to financially back 50% of the total expenditures of regional health insurance, ultimately the government decided to limit its contribution to $700 million. The third policy debate involves how to equitably impose insurance premiums on the workforce throughout the nation. Korean workers are represented by 2 different labor organizations, which take opposite positions in this debate. The Korean Confederation of Trade Unions, representing the progressive wing of the labor movement, is strongly opposed to decentralization. The Federation of Korean Trade Unions endorses decentralization, declaring that the insurance premiums paid by employees should not be pooled (centralized) with the insurance premiums paid by the self-employed. The Federation of Korean Trade Unions argues that an equitable health insurance premium “tax” on all workers is impossible because 53% of the self-employed do not pay any income tax.

FINANCIAL CRISIS IN HEALTH CARE SYSTEM After 1996, Korean NHI began to develop significant deficits. From 1996 to the present, total health expenditures have exceeded total income. During the economic crisis of 1997, when the Korean economy was controlled by the IMF, NHI’s financial deficit grew worse. In addition, the financial structure of Korean NHI was disrupted by the separation of reimbursement for medical care and reimbursement for pharmaceutical services in July 2000. Although government continually raised the mandatory insurance premiums to make up for the deficit, many health policy experts predicted that increased governmental funding would not solve the problem. Korean NHI has been unable to control health care expenditures. The Korean government, on the one hand, has assumed exclusive control over medical care financing without including the medical profession in the policymaking process. Organized medicine has complained that only 65% of customary medical care costs are reimbursed by current health insurance. Korean physicians blame the government, claiming that it has developed a universal health insurance system at the expense of their professional incomes and autonomy. Korean medical professionals, on the other hand, have practiced without any public accountability. Government has never tried to intervene in the clinical autonomy of medical doctors. These laissez-faire practices have resulted in some appalling health care statistics—excessive overuse of antibiotics, more magnetic resonance imaging machines per million population than anywhere else in the world, and cesarean delivery rates of about 40% of live births. While the Korean government has begun to show interest in controlling health insurance costs, it has done little public monitoring and regulating of health care services provided by


Vol. II No. 1 April 2011

35

doctors and pharmacists. As a result of this unbalanced governmental approach, the Korean people have been exposed to excessive and sometimes harmful health services.36 This structural problem derives from 3 interrelated weaknesses in the Korean health care system. First, medical specialists make up more than 80% of practicing medical doctors in Korea. In addition, one fourth of Korean medical doctors have 2 or more specialties. In most Western industrialized countries, medical specialists constitute no more than 50% of all practicing physicians. Korean medical care costs have escalated because medical specialists generate high-tech, expensive tests and treatments in highly commercialized university hospitals. This, in turn, has exacerbated the financial deficit of NHI. The Korean government has developed no policy tools with which to discourage Korean medical doctors from becoming specialists. Second, the private medical care sector currently consumes about 90% of total health care resources, particularly in terms of hospital beds. Korean governments have had little interest in expanding the public health care delivery sector, except for community public health centers known as Bogeunso. The other publicly owned institutions are the National Medical Center, built by the US Army during the Korean War in 1950, and provincial medical centers built by Japanese colonizers. These public institutions provide only 10% of total health care services. Almost all the rest of Korean health care facilities are for-profit. This private sector–dominated health care system is another stimulus for the increased use of highly expensive medical care. As in the case of the oversupply of medical specialists, the Korean government has not been able to formulate any policy alternatives to the private sector–dominated delivery system. Third, pharmaceutical expenditures have consumed about 30% of total health expenditures. Before the policy of separating medical care reimbursement from pharmaceutical reimbursement was implemented in July 2000, Korean pharmacists were free to sell antibiotics and other potent biomedical drugs to customers without a doctor’s prescription. Government has never prevented pharmacists from serving as primary health care practitioners. This factor has contributed to NHI’s financial crisis. To make matters worse, shortly after the separation policy was implemented, pharmaceutical expenditures began to rise rapidly because of the intense lobbying by multinational pharmaceutical companies to allow marketing of high-cost drugs. When the minister of health and welfare was replaced in July 2002, he blamed the government for playing into the hands of the multinational pharmaceutical industry.

LESSONS LEARNED FROM REFORM OF THE KOREAN INSURANCE SYSTEM Many nations can learn from Reform of Korean Insurance System. The United States can learn 4 lessons from the Korean experience with health care reform.37 The first centers on


36

Korean Studies in Indonesia

the question, Is decentralization or unification more desirable for the initiation of an NHI program in the United States? In Korea, neither of these 2 administrative systems has proven to be more efficient and effective than the other. Progressive policy experts and nongovernmental organizations (NGOs) insist that unification is logically preferable. However, even in a small country such as Korea, there have been serious problems after unification. Given the larger size of the United States, in both population and geography, it will be even more difficult to launch a unified administrative system in the United States. The second lesson focuses on the newly recognized role of governmental policies in regulating the supply side of the market. Cost containment–centered government policies had worked effectively in Korea for 20 years until the IMF intervened in 1997. The Korean case shows that governmental cost containment in the absence of enhanced capacities for regulating the supply side of the market is no longer effective in controlling health care expenditures. Korea’s success in developing NHI over 2 decades can be attributed to this policy of tightened cost controls by government. However, the Korean government failed to recognize the significance of the supply-side aspects of cost containment in maintaining the financial stability of NHI. The following examples of government failure to regulate the supply side of the market have resulted in excessively high health care expenditures in both Korea and the United States: (1) a laissez-faire approach to practices by medical specialists, (2) private sector–centered hospitals and clinics’ overuse of high medical technology, and (3) multinational pharmaceutical enterprises’ campaigns promoting the use of expensive antibiotics and other drugs. Without successful regulation on the supply side, little financial stability in health insurance is possible, whether the insurance is nationalized or private. The third lesson emphasizes the balance of power between the state and civil society. In Pharmacracy, Thomas Szasz writes, “The United States is the only country explicitly founded on the principle that, in the inevitable contest between the private and public realms, the scope of the former should be wider than that of the latter.”38 If the United States wants to establish any public system such as an NHI program, the state must, first of all, transform the current private-centered health care system into a public-centered one. The last lesson stresses the role of NGOs. Many Korean NGOs, including progressive labor unions and health care–related professional organizations, aggressively called for government intervention in health care reform in response to the failure to regulate the supply side of the market. They asserted that market-driven health care reform in Korea weakened the financial structure of NHI.39 As Beauchamp argues in Health Care Reform and the Battle for the Body Politic, “the purpose of reform is not simply to solve the health care crisis, but also to reconstruct the disorganized public.”40 Given the strong interest-group


Vol. II No. 1 April 2011

37

influence, NGOs remain the only sector that can empower the public to demand a financially stable national health program, in Korea as well as in the United States. Furthermore, Korean and American NGOs should share their experiences in health care reform in order to strengthen their unique position in the health care system, independent of both governmental dominance and medical professional autonomy. Do the same lessons apply to other countries such as Indonesia? As an independent country, Indonesia is three years older then Korea. Indonesia declares her independence in 1945 while Korea (South) was established in 1948. Given the fact that the two countries have almost the same age, individually they are quite differ almost in every aspect of life. The South Korean economy grew significantly and the country was transformed into a major economy and a full democracy. The country has become the fourth largest economy in Asia and the 15th largest in the world. The economy is export-driven, with production focusing on electronics, automobiles, ships, machinery, petrochemicals, and robotics. South Korea is a member of the United Nations, WTO, OECD and G-20 major economies. Meanwhile, Indonesia remains a developing country. The fact does not imply in the economic development but also in the provision of public services. Constitutionally, the state must take a major role in coping with the problems of public health. Article 34 especially verse (2) and (3) the Constitution 1945 Amandement clearly state the obligations which must be realised by the state. Literally verse (2) states: “The state developes social security system for the whole population and empowers the weak part of society in accordance to the human dignity.” Verse (3) states “The sate is responsible upon the provision of public health and feasible public fascilities.” All the verses (1–4) in this article are new in the sense that they are resulted in the fourth amandement. However, the had assumed to take over the problems before the amandement. The policy towards better provision of public health system had been started in 1980s under President Soeharto. Based on relatively limited capacity of the state, President launched bare food doctor program. Puskesmas (Centres for Public Health) were widespradely built almost in every sub district through out the country. The government, not the indivdual doctor who decides where he or she will be working. Together with other related policies, people enjoy very cheap and even free health services. The government assumes almost 100% of public health expenses. However, as cost of health services tends to increase, it becomes more burden to the state budget which eventually it may become no longer reasonable to be taken over by the government alone. Besides, cheap price is certainly one thing, but not everything. There exists such a kind of discourse among society which says that health is not everthing, but without health everything means nothing. As economic power of the people grows, their expectation to their physical health follows. Under such a circumstance, not only cheap


38

Korean Studies in Indonesia

price they want, but also good services. In accordance to this tendency, the additional verses of the constitution become relavant. Unfortunately, trial and error in breaking down the constitution norms into realities is not as easy as claping hands. Some insurance companies operate in the countries, but most of them are private and unaffordable by general population. At least, there exist two different government-promoted insurance system have been introduced to the society. They are namely Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja which can be translated as Social Security for the Labour) and Askes (Asuransi Kesehatan which can be translated as Health Insurance). Based on public opinion developing among the population the two systems are accepted unsatisfactorily by the people. The first system, Jamsostek, is very much dependent upon payment of the premium by the labour to the company. As those who get involved in the insurance is only limited number of the employees whle the premium is relatively small and unstable too it bring unsatisfying service by the provider. The second system, Askes, shows similar performance. This system is imposed to the government civil servants. Although, individual of the member pays some amount to the system of insurance, the fact that the government is responsible upon most of the health expenditure. As the government is also supposed to take major role in the provision of public health, the system has given too much burden to the government budget. There is a famous local Chinese phrase saying “Sit Mo Ban” which means “There is no Free Lunch.” As the burden keeps increasing, in effect the provision of the service hardly can be increased. Accordingly, the phase seems to apply for the future of better Indonesia Public Health System. However, since the public services must have a strong social touch in nature, the cost the people have to pay is distributed between the triangle partite, government, private sector and society so people do not have to avoid clinics or public health centres like Lisa does. Certainly, there must be many factors affecting the final result. However, low income of the people and inequality may become key constraints to the success. Based on Korea’s experience, economic development was the only key factor to the people acceptance to the insurance health system. Accordingly, undoubtedly the major role of the government is the key factor meanwhile collaboration between government, private sector and society is another factor which can not just be disobeyed. This must be the most importat lesson from the success story of Korean Health System to belearned by such developing countries as Indonesia.

CONCLUDING REMARKS This article starts with some experience based questions. Although the questions were personal at the the begining, they provoke curiosities to learn among developing nations to


Vol. II No. 1 April 2011

39

learn. The questions of how the system comes into existence and develops, how the system works to meet the societal need, and how supporting insurance companies are organised in Korea have al of theml given important lessons to be learned. Country like Indonesia should take lessons from Korea Health System for three reasons. First, when Korea started developing the system there existed an uncondusive situation as recent Indonesia has been facing that is economic underdevelopment, poverty, high unemployement, and seriuos political turmoil. However, political willl of the government coupled with and diligent labours the country successfully escape from the trap. Secondly, based on the amandement of the constitution, Korea developes social security system for the whole population and empowers the weak part of society in accordance to the human dignity. Verse (3) states “The sate is responsible upon the provision of public health and feasible public fascilities.” All the verses (1–4) in this article are new in the sense that they are resulted in the fourth amandement. Accordingly, the government and the labour succeeded in comprimising the right and obligation which must be fulfiled by all the parties. Although the compromise from the private sectors came later on they follows rules imposed by the government. In fact, Indonesia has also done the same. The Constitution of 1945 has as the experience as Korea. Even the addition in the article 34, especially verse 3 and 4 contains exactly as the same idea as Korea Constitution. Nevertheless, there exist differences in state’s capacity to breakdown the normative rules into realities. Accordingly, the most important lesson from Korea is her ability to reach partnership between public and private and promotes its development over the time. Apparently, for Korea such kind of thing has become the key factor to the success. As the result, as Lisa said, the system performs dirt-cheap, good and satisfying. Finally, Indonesia has not to be Korea nor America. However, Indonesia must not feel a shame to learn from experience of the other nations including Korea. How all these existing conditions when Korea started to sort out the prroblerms and the existing conditions may be good lesson to Indonesia and may be to the other countries too.

CATATAN KAKI 33

34 35

Dr. Drs. Luqman Hakim M.Sc, adalah dosen pada strata sarjana, magister dan program doktor di lingkungan Unversitas Brawijaya. Saat ini penulis menjabat Ketua Program Ilmu Administrasi Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya (UB), Malang, Indonesia. http://askakorean.blogspot.com/2010/01/healthcare-system-in-korea.html Based on information from Edward S. Mason et al., The Economic and Social Modernization of the Republic of Korea, Cambridge, 1980, 402, 404; and The Statesman’s


40

36 37 38 39 40

Korean Studies in Indonesia

Yearbook, 1988-89, New York, 1988, 775. Source: U.S. Library of Congress (Google, 21 JANUARY 2010). Similar opinion also proposed by Prof. Yang Seung Yun, HUFS, interview, Seoul, 27 January 2010. Jong-Chan Lee, DrPH, Ajou University, Won-Chon Dong San 5, Pal-Dal Gu, Suwon 442-721, South Korea (e-mail: pubheal@ajou.ac.kr). Szasz T. Pharmacracy: Medicine and Politics in America. Westport, Conn: Praeger Publishers; 2001. Cho BH. The role of NGOs in the process of health care reform [in Korean]. Health Social Sci.2001;10:5–36. Beauchamp DE. Health Care Reform and the Battle for the Body Politic. Philadelphia, Pa: Temple University Press; 1996.

BIBLIOGRAPHY http://askakorean.blogspot.com/2010/01/healthcare-system-in-korea.html Beauchamp DE. Health Care Reform and the Battle for the Body Politic. Philadelphia, Pa: Temple University Press; 1996. Cho BH. The role of NGOs in the process of health care reform [in Korean]. Health Social Sci.2001;10:5–36. Jong-Chan Lee, DrPH, Ajou University, Won-Chon Dong San 5, Pal-Dal Gu, Suwon 442721, South Korea (e-mail: pubheal@ajou.ac.kr). Park Hyongki, Arirang News. Sulastomo, Dr MHP AAK, pemrakarsa deklarasi “Jalan Lurus,” Kompas, Rabu, 7 November 2001. Szasz T. Pharmacracy: Medicine and Politics in America. Westport, Conn: Praeger Publishers; 2001.


Vol. II No. 1 April 2011

PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI DI KOREA: PERMASALAHAN DAN TANTANGAN DI MASA DEPAN41 YANG SEUNG-YOON (Hankuk University of Foreign Studies, Korea)

ABSTRACT TERTIARY EDUCATION IN KOREA: PROBLEMS AND PROSPECTS From the past, Korean people have been preoccupied with the strive for higher level education because it has been the only way to elevate one’s social status and to access high official positions in the kingdom. The Korean kingdoms established various tertiary educational institutions to educate royal families and to boost the advancement of arts and humanities. This historical tradition has been carried over to the modern tertiary education in Korea. Tertiary education (or universities) have flourished by leaps and bounds, particularly after the 1970s along with a rapid economic development. Thriving tertiary education in Korea has greatly contributed to economic development, formation of national identity, democratization, and the advancement of human rights. Meanwhile, economic betterment in society has induced an excessive desire to access to tertiary education. Accordingly, numerous universities have been founded in a short period of time without an adequate calculation on the demand of university graduates. As a result, a higher level of redundancy among university graduates and the decrease of enrollment rate in tertiary educational institutions have become a thorny task for the government. Modern tertiary education in Korea has suffered from the frequent changes of government policies and a severe competition among universities. These obstacles could be overcome through the merger, restructuring, and specialization of tertiary educational institutions. But, it will take a long time and entail a painful process. Key words: higher level education, economic development, human rights, educational institutions

41


42

Korean Studies in Indonesia

(국문요약) 논문 제목: 한국의 대학교육: 문제점과 전망 역사적으로 한국인들은 고등교육을 갈망해 왔는데, 그 이유는 고등교육을 통해서 사회적 신분을 격상시키고 왕국의 높은 관직에 오를 수 있는 유일한 수단이었기 때문이었다. 역대 왕실 또한 왕국의 번영과 왕가 자녀들의 수학을 위해서 최고 교육기관을 적극 운영하여 학문발전이라는 성과도 가져왔다. 이러한 역사적 전통 때문에 한국의 대학교육은 특히 지난1970년대 이후 경제성장과 더불어 급속하게 팽창하였다. 한국의 대학교육은 경제성장에 직접적으로 기여하였으며, 국가 정체성 확립과 인권과 민주주의 신장에도 크게 영향을 미쳤다. 그러나 경제성장에 따른 가계소득증대는 대학진학을 희망하는 너무 많은 예비대학생들을 양산하는 결과를 낳았다. 이에 따라 짧은 시간 동안에 수많은 대학교육기관들이 설립되었는데, 정책부실과 대학을 졸업한 고급인력의 적정한 수요공급 예측이 빗나감에 따라 대학교육의 정상화는 중대한 국가적 문제로 대두되었다. 무엇보다도 예비대학생의 숫자가 크게 줄어 들고 있다는 사실에 주목할 필요가 있다. 정부의 대학교육 정책은 수시로 변경되고 있으며, 대학 간의 경쟁이 심화되고 있는 실정이다. 이러한 문제점들은 대학 간의 통폐합을 위시하여 대학의 구조조정과 특성화로 점차 정상화의 방향으로 나아가고 있으나, 진통이 뒤따르고 많은 시간이 소요될 것이다. 주제어: 고등교육, 경제성장, 인권과 민주주의, 대학교육의 정상화, 구조조정과 특성화

PENDAHULUAN Sejak zaman dahulu bangsa Korea sangat mementingkan pendidikan. Setiap kerajaan dalam perjalanan sejarah Korea selalu membuka sekolah kerajaan untuk mendidik para anggota keluarga raja dan kaum bangsawan yang berkedudukan tinggi. Di masa awal Kerajaan Joseon (1392-1910), kerajaan terakhir dalam sejarah Korea, telah dibuka Dewan Pendidikan Kerajaan yang disebut Sungkyunkwan. Saat ini, Universitas Sungkyunkwan di Seoul Korea merupakan perguruan tinggi tertua di Korea, yang memiliki sejarah lebih dari 700 tahun. Sejak masa awal Kerajaan Joseon, di tingkat rakyat umum juga terdapat organisasi pendidikan yang disebut seodang. Seodang di Korea dalam sepanjang masa Kerajaan Joseon berfungsi sebagai tempat pendidikan untuk rakyat umum dan dapat disamakan dengan pondok pesantren di Jawa. Akan tetapi, berbeda dengan pondok pesantren, pendidikan di seodang sangat jarang memberikan kesempatan kepada anak-anak dari rakyat umum untuk belajar. Karena sang raja dan kerajaan sangat mementingkan pendidikan, maka dalam waktu singkat terwujudlah semboyan kerajaan yang mementingkan dan mengutamakan pendidikan. Konsep goon-sa-bu il-che yang berasal dari Konfusianisme dan terwujud pada abad ke-14 itu digunakan sepanjang masa Kerajaan Joseon. Semboyan atau kebijakan pendidikan Kerajaan Joseon itu berarti bahwa posisi guru sama dengan posisi raja dan orang tua, sementara konsep dasar pentingnya pendidikan itu berakar mendalam dan berpengaruh di segenap bidang negara dan bangsa sampai saat sekarang. Walaupun demikian, kesempatan pendidikan untuk rakyat umum di masa seodang sangat rendah, karena kebanyakan rakyat umum digolongkan kaum miskin sehingga semua anggota keluarga sampai anak-anak praremaja


Vol. II No. 1 April 2011

43

pada umumnya ikut mencari bahan makanan atau barang-barang kebutuhan hidup seharihari. Dalam keadaan seperti itu, dalam sejarah Korea terdapat sistem ujian tingkat kerajaan yang disebut gwa-geo dan dae gwa-geo. Baik keturunan bangsawan maupun keturunan orang kebanyakan boleh ikut serta dalam ujian kerajaan gwa-geo dan dae gwa-geo. Ujian tingkat provinsi (gwa-geo) dan tingkat kerajaan (dae gwa-geo) itu tentu saja sangat sulit. Akan tetapi mereka yang berhasil lulus ujian gwa-geo dan dae gwa-geo akan secara langsung diangkat menjadi pegawai kerajaan yang berkedudukan tinggi. Maka dari itu, tidak hanya keturunan bangsawan, tetapi juga semua rakyat umum yang miskin itu sangat mengagumi ujian kerajaan tersebut. Para pemuda yang bersemangat itu mulai diajari oleh pak guru yang disebut hunjang. Dalam sepanjang sejarah Korea pentingnya pendidikan oleh hunjang tidak mengenal batas, bahkan terus meningkat. Dalam hal itu, posisi hunjang disamakan dengan posisi bapak dan sang raja. Hal-hal sedemikian itu jelas menunjukkan bahwa satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari kemiskinan dan golongan orang kebanyakan adalah pendidikan tinggi di Korea yang tidak banyak terdapat lingkungan hidup yang layak. Setelah Korea merdeka pada tahun 1945, semua rakyat yang sangat haus akan pendidikan umum giat mengikuti kegiatan pengajaran resmi. Pendidikan wajib yang bebas biaya pendidikan segera diumumkan oleh Pemerintah Korea, yaitu selama 6 tahun di SD (1952), kemudian selama 9 tahun sampai SMP (1974). Walaupun ada banyak tantangan, kerusuhan, dan kesengsaraan seperti Perang Korea (1950-1953) serta kemiskinan total, bangsa Korea tetap memberanikan diri untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi. Dalam waktu yang cukup singkat, angka buta huruf di Korea semakin berkurang karena 100 persen anak-anak muda ikut dalam kegiatan wajib belajar sampai SMP. Dalam hal itu, UNESCO menetapkan Penghargaan Raja Sejong Agung yang diberikan kepada kepala negara yang pernah berusaha sekuat tenaga untuk memberantas buta huruf di negeranya masingmasing. Raja Sejong Agung adalah raja ke-4 dalam sejarah Joseon Korea yang berhasil menciptakan huruf Korea (han-geul) pada tahun 1443. Banyak negara yang sedang berkembang di dunia telah menerima hadiah UNESCO tersebut. Presiden Park Chung-Hee yang berhasil melakukan kudeta pada tahun 1961 untuk pertama kali menghidupkan kegiatan pendidikan di Korea. Beliau adalah seorang mantan guru SD. Menurut Presiden Park, apabila kegiatan pendidikan hidup, semua bidang kenegaraan pun akan ikut bangkit dan bergerak untuk maju ke depan. Dengan tujuan itu, Presiden Park menaikkan gaji guru dua kali lipat dalam waktu singkat. Di masa Pemerintahan Presiden Rhee Syngman, gaji guru adalah berupa satu kwintal beras saja. Presiden Park memberikan hak khusus kepada guru SD untuk tidak harus memenuhi kewajiban militer selama 3 tahun yang berjalan pada masa itu. Presiden Park sangat percaya bahwa pendidikan adalah


44

Korean Studies in Indonesia

unsur terpenting di negara yang miskin akan sumber-sumber alam seperti Korea. Mereka yang dididik akan memegang peran penting untuk mengembangkan negara dan bangsanya, demikian sering kali ucap Presiden Park. Belum lama ini Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama berkali-kali memujimuji dan memberi penghargaan tinggi terhadap keberhasilan bidang pendidikan di Korea. Menurut Presiden Obama, Korea berhasil mencapai kesuksesan karena rakyat Korea selalu mementingkan pendidikan, sementara semua orang tua di Korea dengan seribu daya berusaha menyekolahkan keturunannya setinggi-tingginya, yaitu sampai perguruan tinggi. Keberhasil Korea, baik di bidang perdagangan internasional maupun di bidang olahraga dan lain sebagainya, merupakan hasil pendidikan yang tetap mengutamakan ‘selalu berusaha semampunya’ dan ‘etika kerja dalam pekerjaan milik sendiri’, demikian puji Presiden Obama. Pada tanggal 7 Oktober 2010 beliau sekali lagi menjelaskan hal tersebut dalam kampanye pemilihan Gubernur Merriland, bahwa semua rakyat Korea menginginkan anak-anaknya masuk universitas terbaik dan tetap berusaha meraih nomor satu dalam persaingan apa saja. (Joseon Ilbo, 9-Oktober 2010). Kini di Korea (Selatan) terdapat lebih dari 400 perguruan tinggi, sementara di manamana di seluruh dunia terdapat mahasiswa Korea. Sebuah contoh, di Amerika Serikat jumlah mahasiswa asing terbanyak pada tahun 2009 berasal dari Korea. Demikian pula, di China dan Selandia Baru. Sementara itu, lebih dari 80 persen yang tamat belajar dari SMU masuk ke perguruan tinggi. Kecenderungan sedemikian itu mengakibatkan taraf pengangguran tinggi dari golongan yang terdidik. Penganggur yang terdidik sampai perguruan tinggi bahkan tidak mau bekerja di bidang 3D (dirty, difficult, dangerous). Dalam hal itu, Pemerintah Korea tiap tahun mengundang puluhan ribu orang tenaga kerja asing. Seperti sama halnya dengan ‘penyakit Belanda’, pendidikan perguruan tinggi di Korea tetap memiliki dua wajah yang berlainan, seperti keberhasilan dan tantangan yang sangat sulit dan rumit.

KEBERHASILAN PENDIDIKAN 1.

Ekonomi Nasional

Sangat berbeda dengan halnya di Indonesia, di Korea hampir tidak terdapat sumbersumber alam, bahkan terdapat musim dingin yang panjang dan beku. Sampai pertengahan tahun 70-an industri nasional yang diperhatikan secara khusus oleh pemerintah adalah industri pembuatan semen. Hal itu jelas menunjukkan bahwa di kawasan Korea (Selatan) hanya terdapat batu kapur. Sementara itu, sepanjang tahun 70-an barang ekspor terpenting yang pernah memimpin ekspor Korea adalah kayu lapis dari kayu gelondongan hasil hutan Kalimantan. Para pelopor Korea bidang perindustrian menyeberangi padang pasir Arab


Vol. II No. 1 April 2011

45

Saudi dan menerobos hutan Amerika Latin dan Afrika. Mereka berhasil memperoleh pesanan kapal raksasa pada awal tahun 70-an, walaupun sampai saat itu belum ada pengalaman untuk membangun kapal laut berukuran sebesar 260.000 ton. Pada tahun 1974 Pemerintah Korea menetapkan Hari Ekspor untuk merayakan jumlah angka ekspor barang-barang jadi produksi Korea yang telah mencapai 100 juta dollar Amerika. Empat tahun kemudian, jumlah ekspornya sudah melebihi 100 kali lipat, yaitu 10 milyar dollar Amerika. Keberhasilan dalam urusan perdagangan Korea tidak mengenal lelah dalam sepanjang tahun 80-an. Keajaiban Sungai Han yang melewati ibukota Seoul sempat diperlihatkan oleh masyarakat internasional melalui pesta olahraga Olimpiade Seoul pada tahun 1988. Keberhasilan Korea itu lebih mengandung arti, sebab Korea dapat berhasil mengatasi krisis minyak untuk kedua kali dalam tahun-tahun 70-an. Korea sama sekali tidak menghasilkan produksi minyak, sementara lagi-lagi barang-barang ekspor Korea sebagiannya dibuat dari industri kimia yang membutuhkan minyak. Tantangan dan krisis ekonomi masih terus menyusahkan negara dan bangsa Korea. Krisis moneter internasional IMF pada akhir tahun 1997 merupakan tantangan dan kesulitan terbesar bagi Korea menuju masa globalisasi. Banyak pihak menganalisa bahwa Korea dapat berhasil sukses dalam usaha pembangunan negara, khususnya di bidang perekonomian nasional, karena negara dan bangsa Korea terlebih dahulu berhasil menyediakan kaum elite terdidik, baik di segi ilmu maupun segi identitas bangsanya. Kini di seluruh dunia terdapat pedagang profesional, diplomat berkemampuan tinggi, dan sejumlah besar ahli yang melakukan penelitian dan mengumpulkan informasi. Mereka berusaha sekeras tenaga untuk memperluas pasar bagi barang-barang produksi Korea dan fungsi serta peran baru Pemerintah Korea di masa globalisasi. Bersama dengan Indonesia, China, dan India, Korea (Selatan) masuk ke G20, dan Korea Selatan sudah menjadi anggota tetap di antara 10 negara perdagangan terbesar di dunia. Menurut World Bank, dalam tahun 2010 jumlah volume perdagangan Korea akan mencatat angka sebesar 950 milyar dollar Amerika.

2.

Identitas Nasional

Masalah identitas nasional bagi negara dan bangsa Korea sangat berbeda dengan halnya di Indonesia. Walaupun negara Korea dibagi dua setelah Perang Dunia ke-2, namun bangsa Korea telah memiliki sejarah panjang, lebih dari 2.000 tahun. Negara Korea kuno didirikan oleh Dan-Gun yang dianggap sebagai leluhur nenek-moyang sesama bangsa Korea. Berbeda dengan Indonesia sebagai negara kepulauan yang berlainan suku yang mendiami, negara Korea yang berbentuk semenanjung kecil didiami oleh satu suku bangsa, yaitu bangsa Korea. Mereka mempunyai satu bahasa, yaitu bahasa Korea dan satu huruf, yaitu huruf Korea yang disebut han-geul, ciptaan Raja Sejong Agung.


46

Korean Studies in Indonesia

Bangsa Korea tetap mempunyai kesamaan dalam budaya makanan, yaitu nasi dan kimchi. Mereka tetap dipengaruhi oleh kebudayaan Konfusianisme, yang intinya adalah setia pada raja dan kepala negara, selalu mengedepankan urusan nasional dan urusan umum, menghormati silsilah keturunan nenek-moyang, berbakti kepada orang tua, dan menyayangi saudara kandung dan sebagainya. Keberhasilan ‘Gerakan Mengumpulkan Emas’ di Korea di masa krisis keuangan internasional pada akhir tahun 1997 lalu didasarkan pada konsep identitas nasional yang bersifat khas di Korea. Melalui gerakan nasional itu, rakyat Korea dapat berhasil mengumpulkan emas senilai 2,5 milyar dollar Amerika dalam waktu 3 bulan. Uang dollar itu berhasil mengobarkan api semangat untuk menghidupkan kembali ekonomi nasional di Korea. Gerakan ‘sin-to bu-ri’ merupakan sebuah contoh lain, yang masih berlangsung di Korea setelah gerakan mengumpulkan emas. Setelah Pertemuan Uruguay (Uruguay Round) pada awal tahun 1980-an, baik pemerintah maupun masyarakat Korea mulai melancarkan gerakan sin-to bu-ri, yaitu rasa cinta terhadap barang-barang produk pertanian di tanah air. Pertemuan Uruguay, kemudian WTO dan lain sebagainya merupakan suatu kecenderungan atau fenomena ketertiban masyarakat internasional yang baru. Dalam hal itu, pasar internasional jauh lebih cepat mendekati dan mempengaruhi rakyat dan pasar Korea. Akan tetapi, sebagian besar rakyat Korea tetap mengingat semboyan kemasyarakatan Korea tersebut dan dapat mengurangi pengaruh dari luar negeri. Hal-hal serupa itu didasarkan pada pendidikan identitas nasional yang secara khusus dititikberatkan di masa awal Republik Korea di bawah kepemimpinan Presiden Rhee Syngman (kepala negara pertama) dan Presiden Park Chung Hee (kepala negara kedua).

3.

Hak Asasi Manusia

Sebagai salah satu negara di wilayah Asia Timur dalam kental dengan budaya Konfusianisme, dalam sepanjang perjalanan sejarah negara dan bangsanya, Korea jauh lebih mengutamakan urusan kerajaan dan urusan umum dari pada urusan pribadi. Konsep dasar bangsa Korea serupa itu memberikan pengaruh besar dalam sejarah Korea, yaitu bahwa di semenanjung kecil dan sempit dapat dibangun kerajaan besar, seperti Kerajaan Goryeo dan Kerajaan Joseon yang masing-masing berlangsung selama 5 dan 6 abad lamanya. Walaupun ada banyak serangan, ancaman, dan tantangan dari luar negeri, namun rakyat umum diwajibkan untuk ikut serta mempertahankan negaranya. Hal itu menjelaskan bahwa rakyat Korea lebih mementingkan urusan kerajaan dari pada urusan pribadi. Apabila kerajaan makmur, kesejahteraan rakyat umum akan terjamin. Akan tetapi, saat kerajaan sedang menghadapi berbagai kesulitan, rakyat umum terlebih dahulu berkorban berdasarkan konsep mengutamakan kepentingan umum. Dari masa ke masa, para pemegang


Vol. II No. 1 April 2011

47

kekuatan politik tidak memberikan penghargaan terhadap hak asasi manusia dan konsep demokrasi yang dimiliki rakyat biasa. Dalam sejarah perang yang cukup panjang, korban yang jatuh di medan perang dibiarkan terbuang di tempat. Apa lagi di masa penjajahan Jepang (1910-1945). Para penjajah Jepang atas nama ‘Politik Polisi Militer’ menguasai rakyat umum di Korea. Sejumlah besar pemuda Korea dipaksa oleh politik polisi militer tersebut untuk mengorbankan diri di berbagai medan perang. Sementara itu, gadis-gadis pra-remaja serta sejumlah besar wanita Korea dipaksa dengan untuk terjun ke medan perang atas nama ‘jugun ianfu’ dengan tujuan untuk menghibur serdadu-serdadu Jepang yang kelelahan. Setelah merdeka pada tahun 1945, di Korea masih belum ada hak asasi manusia karena terlalu miskin. Kemiskinan total diderita oleh pemerintah dan rakyat umum, sehingga sama sekali tidak dikenal ide-ide kemanusiaan. Selama 3 dasawarsa di masa pemerintahan semi-militer di Korea, yaitu dari masa almarhum Presiden Park Chung-Hee sampai dengan masa pemerintahan mantan presiden Chun Doo-Hwan, hak asasi manusia belum berani dibicarakan dengan alasan pembangunan ekonomi nasional. Walaupun sering terjadi kerusuhan masyarakat dan terdengar seruan suci dari kalangan mahasiswa dan kelompok elite terdidik, para pemegang kekuatan politik dengan paksa meredam suara-suara tersebut dengan menggunakan kekuatan politiknya. Setelah terjadinya Revolusi Mahasiswa pada bulan April 1960, di Korea sering terjadi gerakan untuk memulihkan hak asasi manusia. Gerakan Perjuangan Demokratisasi GwangJu yang pecah pada tanggal 18-Mei 1980 merupakan puncak suara rakyat untuk memperjuangkan demokrasi, demokratisasi dan hak asasi manusia di Korea. Gerakan sipil dan kegiatan atau aksi mahasiswa yang tak henti-hentinya itu semakin lama mengakibatkan mempersingkat masa terwujudnya Pemerintahan Sipil di Korea. Banyak pihak berpendapat bahwa terwujudnya masa hak asasi manusia di Korea itu dimungkinkan dengan adanya golongan elite terdidik sampai perguruan tinggi.

4.

Demokrasi

Setelah merdeka pada tahun 1945, di Korea didirikan Pemerintah Militer Amerika Serikat. Selama 3 tahun pemerintah militer itu mencoba menanamkan benih-benih demokrasi di belahan selatan Semenanjung Korea. Presiden pertama Republik Korea, Rhee Syngman (Alm) pernah mempelajari ideologi demokrasi di negara demokrasi Amerika Serikat. Presiden Rhee berjuang keras supaya beliau dapat menempatkan demokrasi di Korea. Akan tetapi terdapat banyak unsur tentangan di Korea dalam melawan upaya demokratisasi menuju masyarakat yang demokratis, yaitu jejak-jejak dan sisa-sisa kebudayaan Konfusianisme dan ideologi sosialis-komunis dari Pemerintah Militer Uni Soviet (pada saat itu) di wilayah Korea Utara. Apa lagi, masih terdapat pengaruh negatif dari masa penjajahan Jepang (1910-1945).


48

Korean Studies in Indonesia

Menghadapi sosialisme-komunisme yang berkembang pesat di Korea Utara, pihak Korea Selatan terpaksa menjaga demokrasi dan kapitalisme. Pada awal masa demokratisasi, rakyat Korea di Korea Selatan salah mengerti terhadap ideologi demokrasi, yaitu demokrasi sama artinya dengan kebebasan. Apalagi ideologi kapitalisme pun sangat sulit ditempatkan di wilayah Korea Selatan karena tidak ada dana untuk memperoleh pengalaman kapitalisme. Kesalahpahaman terhadap demokrasi dan kekurangan dana untuk mengembangkan ekonomi nasional berdasarkan ideologi kapitalisme itu lama-lama melahirkan ideologi demokrasi dan kapitalisme yang tidak normal di Korea. Berdasarkan latar belakang lahirnya ideologi demokrasi sedemikian itu, demokrasi dianggap sebagai belenggu untuk mengembangkan ekonomi nasional. Apalagi budaya konfusianisme yang jauh lebih mementingkan kepentingan umum dari pada keuntungan pribadi, menjadikan ideologi demokrasi tidak disukai oleh pemerintahan semi-militer di Korea. Gerakan demokratisasi di Korea akhirnya pecah pada bulan Juni 1987. Pada saat itu calon presiden Roh Tae-Woo memberanikan diri untuk menggunakan sistem pemilihan kepala negara oleh rakyat secara langsung. Keputusan itu berdasarkan gerakan demokratisasi yang pecah setelah 30 tahun masa otoriter militer dan semi-militer di Korea. Demokratisasi di bidang politik sejak saat itu semakin lama semakin berkembang maju, walaupun sejarahnya sangat singkat. Demokrasi dan demokratisasi di Korea di bidang ekonomi menghadapi kesulitan yang lebih besar lagi dibandingkan bidang politik. Rencana pembangunan nasional serta industrialisasi di Korea tidak mempunyai persiapan lengkap, bahkan cenderung kurang pengalaman, kebijakan, dukungan finansial, dan kesepakatan masyarakat umum. Banyak korban bermunculan dalam masa industrialisasi di Korea. Bunuh diri, mogok kerja, penutupan pabrik, pembubaran paksa oleh kekuatan politik dan sebagainya, secara bergiliran dan berturut-turut mengiringi kompleks industri Korea. Akhirnya dibentuk komite nasional ‘no-sa-jeong’ di masa Pemerintahan Presiden Kim Dae-Jung. Lahirnya komite nasional yang secara langsung dikuasai oleh kepala negara itu terdiri dari tiga kekuatan, yaitu kaum buruh(no), para pengusaha(sa), dan pemerintah(jeong). Pendidikan demokrasi di Korea tidak berhasil sukses dalam waktu singkat. Pertamatama konsep dasar orang Korea jauh lebih condong ke arah konfusianisme, setelah itu salah diajari oleh pengaruh penjajahan Jepang. Setelah merdeka, ideologi-ideologi antara Dunia Timur dan Barat diperjuangkan dengan keras untuk dapat ditanamkan di Semenanjung Korea oleh Korea Utara dan Korea Selatan. Di masyarakat Korea Selatan sendiri bermunculan konflik besar antara kaum sayap kiri dan kanan, disusul lagi oleh konflik-kerusuhan antara para pemegang kekuatan politik dan ‘jae-ya’, yaitu golongan masyarakat anti kekuatan politik yang sedang berkuasa. Golongan jae-ya pada umumnya terdiri dari mereka yang terdidik di perguruan tinggi. Walaupun masih jauh jalan menuju ke masyarakat yang


Vol. II No. 1 April 2011

49

demokratis, namun demokrasi dan demokratisasi di Korea dapat dikembangkan oleh pendidikan demokrasi.

PERMASALAHAN 1.

Latar belakang

Dari masa feodalisme sampai masa penjajahan Jepang rakyat Korea jarang berkesempatan untuk dididik secara resmi. Setelah merdeka, pendidikan resmi baru diwajibkan oleh Pemerintah Republik Korea kepada semua rakyat. Sejalan dengan berkembangnya perekonomian, semua orang Korea ingin sekali menyekolahkan keturunannya sendiri sampai ke perguruan tinggi. Ada dua alasan yang penting. Yang pertama, mereka yang belum sempat dididik di perguruan tinggi itu percaya bahwa pendidikan tinggi berarti kesempatan untuk masuk ke dalam golongan atas dalam masyarakat Korea yang jelas dipengaruhi oleh Konfusianisme. Mereka yang tergolong dalam masyarakat yang terdiri dari rakyat umum (orang kebanyakan) itu sangat menginginkan kenaikan posisinya dalam masyarakat. Yang kedua, banyak orang Korea juga percaya bahwa pendidikan perguruan tinggi pasti akan menjamin masa depan anak-anaknya sendiri. Untuk dapat diangkat menjadi pegawai sipil negara yang berkedudukan tinggi, mereka percaya bahwa pendidikan tinggi merupakan cara yang tepat untuk mewujudkannya. Di masa merdeka, di Korea hanya terdapat beberapa perguruan tinggi. Selain dari Universitas Sungkyunkwan, terdapat beberapa perguruan tinggi yang bersejarah panjang, seperti Yonsei University, Korea University, Ehwa Woman’s University, dan Seoul National University (SNU). Pemerintah Korea yang baru saja dilahirkan segera membuka perguruan tinggi nasional di setiap ibukota provinsi. Walaupun demikian, jumlah perguruan tinggi masih sangat sedikit. Sementara itu, di masa awal kemerdekaan jumlah mahasiswanya pun tidak banyak, karena masyarakat terlalu miskin untuk dapat membayar uang sekolah dan kekacauan yang berlangsung dalam masyarakat Korea masih belum mereda. Suasana sepi di dalam perguruan tinggi di Korea berlangsung sampai awal tahun 60-an. Pendidikan Korea mulai bangkit setelah Presiden Park Chung-Hee memegang kekuatan politik dan mengutamakan urusan pendidikan sebagai kebijakan nasional yang paling unggul. Presiden Park jelas menyadari keadaan negeri Korea yang sangat miskin akan sumber-sumber alam, tanahnya tidak subur, apa lagi memiliki musim dingin yang bersuhu udara dingin sekali. Dalam hal itu, cara mengembangkan negara dan bangsa adalah mengutamakan pendidikan dalam rangka mengembangkan kemampuan dan kepribadian bangsa. Beliau percaya bahwa bangsa Korea dapat menciptakan apa saja dari nol, apabila kemampuan mereka sudah dikembangkan. Presiden Park Chung Hee mulai menitikberatkan pentingnya pendi-


50

Korean Studies in Indonesia

dikan. Untuk itu, beliau menaikkan posisi guru dengn cara memberikan berbagai hak istimewa kepada mereka. Menaikkan gaji dan mendirikan banyak sekolah, serta mendorong masyarakat lebih menghormati guru. Bersama dengan pendidikan dasar dan menengah, Presiden Park memperhatikan pendidikan perguruan tinggi. Beliau percaya bahwa daya saing antar negara sangat bergantung pada pengembangan otak manusia. Sebagai tahap pertama, beliau mengundang banyak sarjana Korea di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang saat itu bekerja di luar negeri untuk kembali ke Korea. Mereka tentu saja diberikan janji untuk mendapatkan fasilitas yang setara dengan fasilitas yang mereka dapatkan di negara-negara tempat mereka bekerja saat itu. Kemudian, sejumlah perguruan tinggi swasta diperbolehkan berdiri. Sejalan dengan berkembangnya ekonomi dan jumlah perguruan tinggi yang baru saja dibuka, jumlah mahasiswanya segera bertambah banyak. Jumlah perguruan tinggi (sederajat kuliah S-1) di Korea pada masa awal tahun 60-an kurang dari 100. Jumlah perguruan tinggi itu pesat bertambah, sehingga pada akhir tahun 70-an jumlahnya sudah melebihi 200. Namun, jumlahnya itu terus bertambah hingga mencapai hampir 400 pada akhir tahun 90-an.

2.

Banyaknya perguruan tinggi dan berkurangnya jumlah mahasiswa

Sekitar 70 persen perguruan tinggi di Korea bersifat swasta. Berbeda dengan perguruan tinggi nasional dan yang dikuasai oleh organisasi masyarakat umum seperti pemerintah provinsi, perguruan tinggi swasta boleh menetapkan sendiri uang sekolah yang dipungut dari mahasiswanya sampai awal tahun 2010-an. Setelah itu, berapa banyaknya uang sekolah mulai dicampurtangani oleh Departemen Pendidikan Nasional. Walaupun demikian, uang sekolah pergurun tinggi swasta jauh lebih mahal daripada perguruan tinggi negeri atau perguruan tinggi umum. Karena bantuan dari anggaran pemerintah terbatas, maka Departemen Pendidikan memperbolehkan universitas yang bersangkutan menetapkan sendiri uang sekolahnya. Uang sekolah mahasiswa Korea per tahun (2 semester) adalah 5.000 sampai 8.000 dollar Amerika untuk perguruan tinggi swasta, sementara untuk mahasiswa universitas negeri membayar sekitar 60 sampai dengan 70 persen daripada universitas swasta. Pada akhir tahun 90-an, perubahan mulai terjadi di kalangan perguruan tinggi di Korea. Karena kekurangan dana, maka muncullah universitas swasta yang mencari kelompok bisnis dan menjual dirinya. Misalnya Universitas Sungkyunkwan dan Joongang University, yaitu perguruan tinggi berskala besar dan memiliki sejarah panjang di ibukota Seoul, masingmasing dibeli oleh Kelompok Bisnis Samsung dan Doosan. Sementara itu, sejumlah universitas swasta di kota-kota kecil mulai mengalami kekurangan jumlah mahasiswa, yang telah memperoleh ketentuan jumlah penerimaan mahasiswa barunya dari Departemen Pendidikan Nasional. Kecenderungan seperti itu sebenarnya sudah dimulai pada awal tahun 80-an.


Vol. II No. 1 April 2011

51

Banyak mahasiswa yang belajar di berbagai perguruan tinggi di kota-kota kecil giat berusaha untuk dapat pindah ke perguruan tinggi yang berlokasi di ibukota Seoul. Pada awal September 2010, Departemen Pendidikan Nasional mengumumkan 30 perguruan tinggi yang tidak akan mendapatkan bantuan anggaran pemerintah. Menurut data yang disampaikan kepada DPR Republik Korea, 30 universitas tersebut selama 3 tahun (2007-2009) telah menerima bantuan senilai 30 milyar won (250 milyar rupiah) dari pemerintah (Joongang Ilbo, 20 Sep. 2010), namun tanpa adanya bantuan dari luar kampus (selain dari uang sekolah mahasiswa), universitas-universitas tersebut dalam waktu tidak lama lagi akan menutup pintu gerbang kampusnya. Kecenderungan sedemikian itu sebenarnya sudah lama diperingatkan oleh banyak pihak karena calon mahasiswa semakin berkurang sejak awal tahun 90-an. Menurut data Departemen Pendidikan Nasional dan statistik sensus nasional yang sudah beberapa kali diumumkan, jumlah calon mahasiswa, yaitu mereka yang tamat belajar dari berbagai bentuk SMA, akan menjadi sama angkanya dengan jumlah mahasiswa baru dari tahun 2015 mendatang. Hal itu memberi arti yang kurang menyenangkan bagi kalangan perguruan tinggi di Korea. Pertama-tama, bersama dengan jumlah mahasiswa yang berkurang drastis, jumlah perguruan tinggi yang kehilangan daya saingnya di kota-kota kecil diperkirakan akan ditutup. Kedua, kecenderungan pindahnya mahasiswa dari kota-kota kecil ke ibukota Seoul pasti akan cepat dan banyak. Yang ketiga dan yang terburuk adalah jumlah mahasiswa yang berhenti atau dihentikan pelajarannya sebelum tamat belajarnya. Sebuah data yang dilaporkan Joongang Ilbo terbitan 20 September 2010 menjelaskan bahwa selama 3 tahun antara tahun 2007-2009 sebanyak 26.400 orang mahasiswa dari 35 universitas nasional mengundurkan diri dari pelajarannya sebelum menyelesaikan kuliahnya.

3.

Kebijakan pendidikan yang sering diperbaiki

Pendidikan di Korea merupakan urusan terpenting dan paling berat bersama dengan urusan pertahanan. Anggaran belanja pemerintah paling banyak dipusatkan kepada kedua bidang tersebut. Dengan demikian, hampir semua rakyat Korea selalu memperhatikan kebijakan pendidikan. Dalam hal itu, setiap orang yang menjabat sebagai menteri Departemen Pendidikan Nasional, yang kini diberi nama baru sebagai Departemen Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, mencoba melakukan perbaikan kebijakan berdasarkan pendapat umum yang baru. Apabila seorang menteri baru menitikberatkan pentingnya pendidikan bahasa Inggris, misalnya, sebagai bahasa perdagangan internasional, dalam waktu sangat singkat kurikulum, bahan materi pelajaran, sistem pengajaran, organisasi pendidikan khusus untuk bahasa Inggris dan sebagainya segera ikut diubah dan diganti. Ada banyak pihak yang menanggapi dengan sangat aktif. Sebagian golongan yang bersifat aktif itu memberani-


52

Korean Studies in Indonesia

kan diri untuk membiarkan anak-anaknya pergi bersekolah ke negara-negara berbahasa Inggris. Maka dari itu, di Selandia Baru terdapat banyak siswa-siswi Korea. Demikian pula di Malaysia. Kepala keluarga (suami) berani berpisah dengan isterinya karena anak-anaknya yang bersekolah di luar negeri membutuhkan perlindungan ibu mereka. Menurut seorang diplomat Korea di Kuala Lumpur, pada akhir tahun 2009 di kota Kuala Lumpur, Malaysia sendiri terdapat kurang-lebih 1.600 orang ‘single mom’ dari Korea. Bagi orang tua Korea, pendidikan terbaik untuk anak-anaknya sendiri merupakan urusan terpenting, sehingga dengan tujuan itu mereka bersedia untuk mengorbankan diri. Hal itu sering menimbulkan permasalahan besar, seperti berkurangnya jumlah penduduk (karena sulit untuk memberikan pendidikan terbaik, maka mereka tidak mau melahirkan banyak anak), perceraian (karena suami-isteri yang masih muda berpisah dengan alasan pelajaran anaknya sendiri), bunuh diri karena kebangkrutan dan sebagainya. Hampir semua orang tua Korea ingin sekali menyekolahkan keturunannya di perguruan tinggi yang ternama di ibukota Seoul, atau perguruan tinggi ternama di negara-negara maju. Suami-isteri berpisah, karena suami harus mencari uang di dalam negeri, sementara isteri selaku ibu dari anakanaknya ikut keluar negeri untuk mendampingi anak-anaknya sendiri. Uang sekolah dan biaya hidup cenderung lebih mahal di luar negeri, sehingga sang suami harus mencari lebih banyak uang. Walaupun demikian, tidak semua anak-anak dari orang tua yang aktif itu berhasil sukses. Dalam keadaan serupa itu, kebijakan pendidikan sering diperbaiki. Karena urusan pendidikan, semua pihak di Korea sedang berada dalam kesulitan serius. Salah satu yang tidak kalah seriusnya adalah masalah 35.000 orang dosen tidak tetap.

4.

Persaingan keras antar perguruan tinggi

Harian Joongang Ilbo pada akhir bulan September 2010 mengumumkan hasil persaingan antar universitas sepanjang periode satu tahun sebelumnya. Susunan 20 universitas terkemuka diumumkan. Perguruan tinggi yang paling maju di bidang teknologi, seperti KAIST dan POSTECH, menduduki urutan nomor satu dan dua. KAIST yang didirikan oleh almarhum Presiden Park Chung Hee sampai saat ini memfokuskan diri pada bidang teknologi, sedangkan POSTECH sepenuhnya didukung oleh POSCO (Pohang Steel Company), salah sebuah perusahaan konglomerat di Korea. Semua mahasiswa KAIST dan POSTECH mendapatkan beasiswa penuh dan juga memperoleh pelayanan asrama yang lengkap. Seoul National University (SNU) menduduki urusan nomor berikutnya. Yonsei University, Korea University, Sungkyunkwan University, Kyunghee University, Sogang University, Hanyang University, Ehwa Woman’s University merupakan ‘Top 10 University’ di Korea untuk tahun 2010. Selanjutnya, Inha University, Joongang University, Aju University, Konkuk University, Hankuk University of Foreign Studies (HUFS) masing-masing tercatat di urutan nomor 11 sampai 15. Harian Joongang


Vol. II No. 1 April 2011

53

Ilbo membedakan 4 bidang persaingan antarUniversitas, yaitu universitas yang fokus pada ilmu murni, ilmu teknologi, ilmu internasional, dan universitas tanpa fakultas kedokteran. Penilaian dalam persaingan antar universitas jelas berbeda antara universitas yang memiliki fakultas kedokteran dan yang tidak memiliki fakultas kedokteran. Sebagai universitas yang memfokuskan diri pada ilmu murni dan menduduki urutan nomor satu adalah Korea University, sedangkan nomor satu di bidang ilmu internasional tetap diduduki oleh HUFS. Hasil penelitian tahunan dalam hal persaingan antar universitas dalam negeri Korea sedemikian itu sudah dimulai sejak awal tahun 2000. Pengumuman susunan perguruan tinggi tersebut menimbulkan pengaruh besar, tidak hanya di lapisan pendidikan saja, tetapi juga di setiap kalangan masyarakat Korea. Banyak perguruan tinggi bersaing meningkatkan daya persaingannya. Semua calon mahasiswa memusatkan perhatiannya pada urutan nomornya, sehingga setelah masuk tahun 2000 perguruan tinggi swasta tidak berani membuka kampus. Perguruan tinggi swasta di kota-kota kecil sudah mulai kehilangan daya bersaing. Hal itu berarti jumlah mahasiswa baru semakin berkurang. Kecenderungan persaingan antar universitas serupa itu juga mengakibatkan munculnya persaingan bidang-bidang ilmu dan dosen. Misalnya, harian Joseon Ilbo sejak tahun 2005 mulai mengumumkan hasil perbandingan ilmu dari perguruan tinggi di Korea dengan perguruan tinggi terkemuka di seluruh dunia. Melalui laporan tahunan untuk tahun 2010, Joseon Ilbo melaporkan bahwa terdapat banyak kemajuan, namun masih jauh untuk bersaing dengan universitas-unversitas terkemuka di dunia. Dalam persaingan ilmu di seluruh dunia, SNU menduduki urutan ke-7 dalam bidang ilmu obat-obatan, sedangkan KAIST menduduki urutan ke-29 di bidang teknologi umum (engineering). Joseon Ilbo memeriksa sekitar 10.824 jurnal akademik di seluruh dunia untuk dapat melaporkan daya persaingan di kalangan perguruan tinggi dalam negeri dengan dunia luar. Ada banyak dorongan kepada dosen supaya mereka menghasilkan banyak laporan penelitian. Hal itu kini memanaskan suasana kampus di perguruan tinggi di Korea.

PENUTUP Di sebuah negara kecil yang memiliki tanah yang sempit dan jumlah penduduk yang banyak, Korea sudah dapat tampil di arena masyarakat internasional sebagai salah satu negara yang berhasil sukses dalam bidang perekonomian nasional dengan keadaan masyarakatnya yang cukup demokratis. Banyak pihak berpendapat bahwa keberhasilan Korea itu sebagian besarnya bergantung pada kesuksesan bidang pendidikan. Benar saja, di negara yang sangat miskin akan sumber-sumber alam serta memiliki musim dingin yang panjang dan beku itu kiranya sulit mengusahakan dan mewujudkan keberhasilan di beberapa bidang tanpa mendidik generasi mudanya. Di sepanjang sejarahnya, nenek moyang Korea dengan


54

Korean Studies in Indonesia

seribu daya berusaha keras untuk menyekolahkan keturunannya sebab usaha itu merupakan satu-satu jalan agar mereka dapat melepaskan diri dari kemiskinan serta meningkatkan posisi diri dan keluarganya untuk dapat masuk ke lapisan masyarakat kelas atas. Untuk memenuhi keinginan rakyat Korea serupa itu, sejak tahun 70-an lalu jumlah perguruan tinggi bertambah dengan pesat. Sejalan dengan bertambahnya jumlah perguruan tinggi itu, baik orang tua maupun calon mahasiswa ikut merasa senang karena terbuka banyak kesempatan untuk menjadi mahasiswa. Namun sejak awal tahun 2000 muncul berbagai masalah yang semakin bertambah serius. Pertama-tama, berkurangnya jumlah calon mahasiswa secara drastis seiring dengan kecenderungan semakin berkurangnya jumlah anak yang dilahirkan di Korea. Yang kedua, tidak sesuainya angka kebutuhan masyarakat, khususnya di lapisan perindustrian nasional, dengan angka tamat belajar dari perguruan tinggi. Yang ketiga, mutu ilmu dan pengetahuan baru dari perguruan tinggi yang telah cepat meningkat jumlahnya itu tidak mengikuti perkembangan ilmu dan pengetahuan baru di tingkat internasional serta tidak sejalan dan tidak sesuai dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Menyadari permasalahan tersebut, beberapa harian terkemuka di Korea mulai menyajikan penilaian kemampuan perguruan tinggi dengan tujuan untuk menormalisasikan ilmu dan misi pendidikan perguruan tinggi dalam cara yang sangat terinci di segala bidang, tidak hanya unsur-unsur akademik dalam kampus saja, tetapi juga kebutuhan dalam masyarakat serta keinginan kalangan industri lainnya. Hasil pengumuman tersebut menimbulkan dampak dan pengaruh besar, baik kepada pemerintah yang bersangkutan maupun kepada segenap perguruan tinggi di Korea. Walaupun ada beberapa pihak memandang secara negatif, tapi banyak pihak lainnya percaya bahwa hal tersebut akan mempersingkat waktu untuk menormalisasikan kembali pendidikan perguruan tinggi. Dalam perjalanan yang cukup jauh dan serius itu, banyak hal akan dipertanyakan. Di antaranya adalah bagaimana caranya meredakan keinginan orang tua untuk menyekolahkan anak keturunannya sampai perguruan tinggi, bagaimana caranya mengurangi jumlah perguruan tinggi atau mengkhususkan dan memfokuskan pendidikan di perguruan-perguruan tinggi itu pada bidang-bidang ilmu dalam kursus pendidikan di perguruan tingginya, bagaimana caranya mengurangi angka pengangguran yang merupakan lulusan perguruan tinggi, dan bagaimana caranya mengembangkan mutu akademik serta hasil-hasil penelitian yang setaraf dengan perguruan-perguruan tinggi terkemuka di dunia.


Vol. II No. 1 April 2011

55

CATATAN KAKI 41

This work was supported by Hankuk University of Foreign Studies Research Fund of 2011.

DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Sejarahwan Muda di Korea, 1984, Sejarah Korea (Seoul: Penerbit Cheong-A). Ensikelopi Sejarah Korea. Informasi Daegyohyup, Korea. Informasi Pemerintah Republik Korea. Harian Joseon Ilbo, Korea. Harian Joongang Ilbo, Korea. Kim Tae-Hwan, 1999, Pendidikan Korea (Seoul: Il Jo Gak). Lee Myung-Jo, 2005, “Pokok-pokok Permasalahan Pendidikan di Korea”, Jurnal Pendidikan Korea Vol. XXI. Asosiasi Sejarahwan Muda di Korea, 1984, Sejarah Korea (Seoul: Penerbit Cheong-A). Mohtar Mas’oed dkk, 2005, Memahami Politik Korea (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press). Nur Aini dkk, 2003, Sejarah Korea (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press). Wagner W. Edward, 1990, Korea: Old and New (New York: Harvard University Press). Yang Seung Yoon, 2005, 40 Tahun (1966-2005) Hubungan Indonesia-Korea (Yogyakarta: UGM Press).


56

Korean Studies in Indonesia

PEMBANGUNAN, SAEMAUL UNDONG, DAN GLOBALISASI DI KOREA DALAM PROSES PERKEMBANGAN SEJARAH NUR AINI (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)

ABSTRACT DEVELOPMENT, SAEMAUL UNDONG, AND GLOBALIZATION IN KOREA Development can be defined as an undergoing process to change. During the process of development, human lives will experience continuity and gradual changes over time to achieve a certain condition. In a development, a certain level of achievement must preceed in order to proceed into the next stage. Therefore, when it comes to talking about the global dimensions of development, it is important to cope with the reality of international relations from the initial stages of development up to the current situation. At this point, the values, structure, and norms of development from its initial conceptualization until its manifestation should be on par with the global setting as a dominant force. To understand the globalization in South Korea, this paper will examine the historical development of globalization in Korea by tracing the internalization events since early centuries until the contemporary period. Thus, it is important to see Korea’s past and present and at the same time acknowledging where Korea will go, and what Korea does to achieve its development goals in the era of globalization. In the 19th century, Chinese had a strong influence in the fields of cultural, religious, governmental, and economic system in Korea. During the reign of President Park Chung Hee, a development movement known as Saemaul Undong was encouraged to achieve growth and productivity. Under Kim Young Sam’s presidency, Korean society expected the government to open up a more democratic stance leading to the present era of globalization. Key words: development, policy maker, methods of Korea’s development, Saemaul Undong, Park Chung Hee


Vol. II No. 1 April 2011

57

(국문요약) 논문제목 : 역사 발전 과정에서 한국의 개발과 세계화 속의 새마을운동 모든 형태의 사회발전은 진행형이라고 정의될 수 있다. 인간의 삶의 질적 또는 양적 성장과정으로서 사회발전은 반드시 연속성과 점진적 변화를 동반하기 마련이다. 어느 정도 목표를 성취를 했다는 것은 사회발전이 특정 단계까지 이루어졌으며, 다음 단계로 이전할 준비가 되어 있다는 것을 말한다. 정책수립자들은 발전을 본격화 하는 데 있어서 종종 서구의 사회구조와 가치에 얽매이게 된다. 한국의 과거와 현재는 어떠하며, 미래는 어떠할 것인가, 그리고 한국이 글로벌 시대에 목표한 바를 이루기 위해서는 어떻게 해야하는가? 대한민국의 세계화를 이해하기 위해서, 본고는 현대와 그 이전 시기의 국제사회의 사례를 뒤돌아 봄으로써 한국 세계화의 역사적인 발전을 고찰한 것이다. 19세기에 중국은 한국의 문화, 종교, 정치, 경제 분야에 걸쳐 지대한 영향을 끼쳤다. 이와 흡사하게, 박정희 대통령 정부 시절, 새마을운동으로 대표되는 경제발전운동이 한국의 성장과 생산성을 최우선의 국가목표에 두고 경제발전을 이끌었다. 이후 김영삼 대통령 정부 때, 한국사회는 글로벌시대에 맞는 민주화의 토대를 마련하기 위해서 문민 대통령으로서 김영삼의 책무를 기대했다. 주제어: 사회발전, 정책수립자, 글로벌시대, 새마을운동, 박정희 대통령

PENDAHULUAN Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu peristiwa yang berproses. Pembangunan sebagai proses perkembangan peristiwa kehidupan manusia mengalami kontinyuitas dan perubahan yang bertahap dari masa ke masa untuk mencapai keadaan yang harus dicapai. Capaian dalam bentuk tingkat-tingkat tertentu harus diraih untuk dapat dikatakan bahwa pembangunan telah mencapai tahap tertentu dan memasuki tahap berikutnya. Oleh karena itu, ketika orang membicarakan dimensi global pembangunan, maka Negara harus merujuk pada kenyataan hubungan Internasional sejak awal hingga saat ini. Hal ini disebabkan bekerjanya kekuatan “pasar” secara universal menjadi faktor dominan hubungan global perekonomian antar Negara dan selanjutnya akan memiliki dampak besar pada dimensi nilai, struktur, dan normatif dari konseptualisasi pembangunan, meliputi perumusan-perumusan tujuannya harus tunduk pada setting global sebagai kekuatan dominan. Pada waktu pembangunan dioperasionalkan, penentu kebijakan sering terjebak pada struktur dan tata nilai masyarakat Barat, sehingga “keinginan global” dianggap harus diterima secara universal. Dimana Korea dulu dan sekarang berada, kemana Korea hendak pergi, dan bagaimana cara Korea menuju tempat yang akan dituju melalui pembangunan di era globalisasi ini? Untuk dapat mengerti makna dari globalisasi di Korea Selatan, tulisan ini akan menelaah perkembangan sejarah dari globalisasi di Korea dengan merunut peristiwaperistiwa Internalisasi dari awal abad hingga periode kontemporer. Pada abad ke-19 China memiliki pengaruh yang kuat baik di bidang kebudayaan, religi, sistem pemerintahan dan ekonomi di Korea. Demikian pula, pada masa pemerintahan Presiden Park Chung Hee gerakan pembangunan yang dikenal dengan Saemaul Undong digalakkan guna pembangunan ekonomi yang memprioritaskan pertumbuhan dan produktivitas. Adapun pada periode


58

Korean Studies in Indonesia

Presiden Kim young Sam, masyarakat Korea mengharapkan presiden dapat mengemban tugasnya dengan membangun Negara yang lebih demokratis di era globalisasi ini.

KOREA PADA ABAD 19: ANTARA TRADISI DAN MODERNITAS Semenanjung Korea merupakan wilayah yang strategis terletak di kawasan Asia Timur dan berada di tengah jalur lintas hubungan Rusia, China, dan Jepang dengan dunia luar. Di pertengahan abad ke-19, gaya hidup di semenanjung Korea dibangun dibawah pengaruh yang besar dari China baik dalam kebudayaan, religi, ekonomi, politik, dan sosial. Dapat dilihat bahwa unsur-unsur tradisional ketimuran yang dibangun China sangat bertolak belakang dengan unsur modern yang lahir di Eropa. Periode tradisional China disusun sebagai sebuah unit tunggal dengan susunan hirarki yang memiliki kekuatan besar dan kecil yang berbeda dengan periode internasional pada masa Eropa modern disusun sebagai sebuah Negara dengan multibangsa. Di samping itu, ketika tujuan utama bangsa Eropa di masa modern telah berusaha untuk mengejar kemakmuran guna kesejahteraan bangsanya, China baru berusaha untuk mengejar prestasi-prestasi dengan perilaku yang benar (Sadae Chaso).42 Negara di kawasan Asia Timur yang pertama paling tanggap dan menerima peradaban Barat adalah Jepang dan disusul Korea. Sebenarnya Jepang sendiri tidak dengan sepenuhnya menerima unsur peradaban Barat, tetapi mereka menerima unsure peradaban Barat dengan menyesuaikan tradisi lokal yang telah mengakar kuat dalam kebudayaan Jepang. Oleh karena itu, sewajarnya jika kaum muda Jepang mengalami culture shock ketika masuknya westernisasi. Meskipun demikian, bangsa Jepang pada akhirnya mencapai peradaban yang mereka citacitakan dan tumbuh melampaui Korea dalam hal globalisasi. Di dalam proses penyesuaian peradaban Barat sebagai sebuah standar peradaban di dunia, Korea dihadapkan pada dilema yang serius antara keseimbangan tradisi dan modernitas. Pada akhirnya Korea bercermin pada keberhasilan Jepang dalam menyikapi unsurunsur budaya barat agar dapat mencapai identitas bangsa. Yu Kil-chun (1856-1914) adalah seorang yang memimpin kaum sarjana Korea untuk dibawa keabad pencerahan. Yu Kilchun banyak bercermin Yukuzawa Yukichi (1835-98) yang sering menggunakan istilah Bunmei (budaya yang bersinar) sebagai pengganti istilah peradaban yang muncul dari Barat. Yu Kilchun mengatakan bahwa Negara-negara Barat masih belum memiliki tingkatan pencerahan yang dikedepankan, Korea masih mempunyai kesempatan untuk memperoleh pencerahan melalui kerja keras. Yu mencoba menggabungkan periode internasioanalisasi yang didasarkan pada hukum modern internasional dan kebenaran tradisional, hubungan antara raja dan rakyat, harmoni yang dipunyai peradaban barat dan Konfusius. Pada akhirnya Korea berhasil dapat bersaing dengan kekuatan-kekuatan Barat pada abad 19.


Vol. II No. 1 April 2011

59

Korea selanjutnya mengadopsi kebijakan-kebijakan internasional guna membenahi sektor-sektor dalam negeri. Kebijakan itu salah satunya adalah di bidang ekonomi. Dengan demikian, Korea memulai globalisasi di wilayahnya dengan membenahi industrialisasi ekonomi. Selanjutnya pada masa pemerintahan Park Chung Hee Korea Selatan menerapkan ekonomi industrialisasi bersamaan dengan ekonomi berbasis pertanian.

KOREA PADA ABAD 20: SAEMAUL UNDONG DAN PROSES PEMBANGUNAN Secara historis pasca 1945 pembangunan pedesaan di Korea Selatan dapat dibagi dalam dua tahap, masa pertumbuhan yang lambat atau bahkan stagnasi dan era pembangunan. Pada awalnya pedesaan di Korea Selatan menghadapi kemiskinan dan kekacauan ekonomi. Korea Selatan merupakan negara yang mewarisi penjajahan Kolonial sehingga sektor pedesaan berorientasi ekspor. Mereka juga harus serius menanggulangi krisis politik dan militer pada pasca penjajahan.43 Kemiskinan yang relatif dari daerah pedesaan ini ditandai dengan kondisi umum yaitu landlessness, hilangnya pendidikan, dan hilangnya kesempatan kerja. Dalam periode kedua Korea Selatan menghadapi tekanan demografi yang serius. Peningkatan kepadatan penduduk menghasilkan pengaruh negatif terhadap produktivitas pertanian, sejak tahun 1950 penduduk Korea Selatan adalah petani kecil yang menyebar di wilayah pedesaan. Di satu sisi petani hanya memiliki modal yang kecil sehingga tidak dapat membeli dan memelihara produk teknologi pertanian yang canggih seperti misalnya mekanisasi. Pedesaan Korea hanya memiliki tenaga kerja yang berlebihan baik untuk bekerja di bidang pertanian maupun di bidang industri. Pembangunan industri di Korea Selatan cukup dinamis pada 20 tahun pertama setelah kemerdekaan, sehingga pengangguran dapat berkurang karena pembangunan industri membutuhkan tenaga manusia. Meskipun pengangguran dapat sedikit tertolong, tetapi tidak berarti semua orangorang yang meninggalkan desa dan berpindah menuju ke kota untuk mengadu nasib memperoleh pekerjaan di sektor industri. Para migran di Korea Selatan dari tahun 1970 hingga tahun 1980 tidak dapat tertampung untuk bekerja di sektor industri. Akibatnya para migran di perkotaan membentuk suatu group yang disebut dengan “pool of surplus labor,� sehingga di daerah perkotaan banyak pengangguran migran yang berasal dari desa. Konsekuensi negatif dari kepadatan penduduk selain mengakibatkan banyaknya pengangguran juga munculnya ketegangan politik. Ketegangan politik mencapai puncaknya ketika terjadi konflik bersenjata di propinsi Cholla dan propinsi Kyungsang pada tahun 1946-1949. Konflik bersenjata ini mereda setelah dilakukan landreform oleh Rhee. Persoalan tersebut di atas menyadarkan Presiden Park Chung Hee untuk memulai serangkaian rencana pembangunan nasional. Rencana pembangunan nasional itu meliputi


60

Korean Studies in Indonesia

upaya untuk mengembangkan ekonomi baik di sektor pertanian maupun di sektor industri dengan harapan ada keseimbangan di kedua sektor itu. Rencana pembangunan yang dicanangkan Presiden Park Chung Hee tidak hanya bermaksud untuk membangun pedesaan dari aspek ekonmi murni saja, tetapi juga memiliki motif politik. Politik kontrol yang bersifat diktaktor atas daerah pedesaan dilakukan dengan ketat dengan tujuan untuk memenangkan Partai Rakyat Demokrat dalam pemilihan umum berikutnya. Masyarakat pedesaan hingga periode Presiden Park Chung Hee berakhir tidak ada yang protes pada kebijakan yang dilakukannya. Meskipun ketidakpedulian politik masyarakat pedesaan itu tidak berarti bahwa penduduk desa selalu puas dengan kebijakan pemerintah yang lebih mengakumulasikan modal untuk kepentingan industri dari pada pertanian.

KERANGKA PEMIKIRAN : PEMBANGUNAN DESA DAN PERANAN PEMERINTAH Perdebatan yang mewarnai pemikiran tentang pembangunan pedesaan di negara-negara berkembang adalah bagaimana merubah sistem pemerintah dalam usahanya untuk meningkatkan modernisasi dan pembangunan pedesaan. Konsep pembangunan desa terpadu diterapkan karena kebutuhan untuk mengkoordinasikan kebijakan sektoral dan program yang didirikan oleh berbagai lembaga untuk memecahkan persoalan pembangunan desa. Target utama dari program pembangunan desa adalah meningkatkan produktivitas dan meningkatkan kesejahteraan masyarkat desa. Untuk mencapai target itu secara khusus adalah diperlukan pembangunan infrastruktur, menciptakan pekerjaan di desa, dan meningkatkan produksi pertanian. Menurut Waterson, ada enam unsur dasar yang dimiliki program pembangunan desa terpadu yaitu 1. Pembangunan pertanian dengan tenaga kerja yang intensif, 2. Kesempatan kerja yang baru perlu diciptakan, 3. Tenaga kerja berskala kecil diintensifkan oleh pembangunan industri kecil di wilayah pedesaan, 4. Ditingkatkan kepercayaan pada diri sendiri dan partisipasi masyarakat desa dalam pengambilan keputusan, 5. Pembangunan wilayah kota dapat membantu pembangunan desa, 6. Lembaga pembangunan dapat mengkoordinasikan proyek dari berbagai macam sektor.44 Prinsip lain dari pembangunan masyarakat meliputi pertama, pertumbuhan pertanian sebagai kondisi awal yang cukup untuk pembangunan pedesaan seperti diversifikasi pertanian, industri desa, dan organisasi desa dilakukan oleh petani itu sendiri. Kedua, urbanisasi sebagai suatu faktor yang menfasilitasi pembangunan desa. Prinsip ini menekankan pada transformasi dari sektor pertanian subsisten menjadi sektor pertanian pasar. Pendekatan ini juga menganggap kemungkinan adanya penyatuan antara strategi Topdown dan strategi bottom-up. Strategi Top-down menekankan pada kebijakan pemerintah, sedangkan strategi Bottop-up strategi yang menekankan pada sumber daya lokal dan keikut-


Vol. II No. 1 April 2011

61

sertaan masyarakat pedesaan untuk melakukan program pembangunan desa. Dengan demikian, keberhasilan strategi pembangunan desa dapat terwujud jika mengkombinasikan kedua strategi itu. Kombinasi kedua strategi Top-down dan strategi bottom-up adalah mencoba menyeimbangkan kekuatan negara dan kekuatan masyarakat pedesaan dalam menentukan arah dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat pedesaan. Dengan demikian, dalam menggerakkan pembangunan di wilayah pedesaan harus ada equal-partnership antara rakyat desa dan aparat perencana dan pelaksana pembangunan.

LATAR BELAKANG BERDIRINYA SAEMAUL UNDONG Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa Kepadatan penduduk mengakibatkan dampak negatif bagi masyarakat yaitu meningkatnya tingkat pengangguran yang tinggi. Kondisi itu telah menyadarkan Presiden Park Chung Hee untuk memulai serangkaian rencana pembangunan nasional. Pembangunan di wilayah pedesaan Korea Selatan diawali dengan kondisi yang memprihatinkan yang mana infrastruktur terbatas dan kondisi kehidupan masyarakat sangat miskin akibat perang dan konflik internal. Oleh karena itu, cara yang ditempuh Presiden Park Chung Hee dalam rencananya untuk membangun wilayah desa adalah dengan cara “modernisasi” . Presiden Park Chung Hee menyadari bahwa modernisasi merupakan rencana utama pembangunan untuk membawa bangsa Korea ke arah yang lebih modern. Pada tanggal 22 April 1970, Presiden Park Chung Hee pada acara pertemuan gubernur di seluruh Korea Selatan meminta kepada para pegawai adminstrasi daerah agar menyediakan program pengembangan pedesaan baru yang mandiri.45 Usaha modernisasi di pedesaan itu dikenal dengan nama “Saemaul Undong”. “Saemaul Undong” berasal dari kata Sae yang berarti baru yang mengacu pada nilainilai modernisasi, sedangkan Maul berarti desa yang mengacu pada nilai-nilai tradisional masyarakat. Adapun kata Undong artinya adalah gerakan. Dengan demikian, kata Saemaul Undong memiliki arti gerakan desa baru. Saemaul Undong dapat disimpulkan sebagai gerakan untuk melakukan modernisasi dan sekaligus melanjutkan nilai-nilai tradisional yang masih relevan untuk masyarakat. Dalam rencana pembangunan desa ini Saemaul Undong memiliki tiga keunikan yang menarik yang berbeda dengan rencana pembangunan di negara-negara lain pada waktu itu. Keunikan itu terletak dari bagaimana prinsip yang dimiliki dari Saemaul Undong yaitu Rajin (Diligence), Mandiri (Self-help), dan Gotong royong (Cooperation).46 Dengan demikian, Saemaul Undong dapat dikatakan sebagai suatu gerakan “revolusi mental” dengan tujuan untuk


62

Korean Studies in Indonesia

meningkatkan kesejahteraan, memperbaiki lingkungan fisik dan sosial masyarakat desa itu sendiri. Gerakan revolusi mental ini mengajak masyarakat untuk membangun kemampuan diri sendiri serta kerja sama yang baik dengan masyarakat sekitar. Gerakan ini berhasil membangkitkan keinginan masyarakat untuk membangun desanya, sehingga gerakan ini juga mendukung kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Gerakan SU menekankan pada pembangunan dan perbaikan infrastruktur, seperti listrik, jalan, sarana komunikasi dan lain-lain di pedesaan dan melakukan program penghijauan. Dalam pelaksanaan gerakan ini, pemerintah hanya memberikan bantuan dalam bentuk semen dan bahan bangunan lainnya. Dengan investasi pemerintah untuk semen sebesar US$ 10 juta. Pendapatan per kapita penduduk meningkat tajam dari US$ 1.025 pada tahun 1971 menjadi US$2.961 pada tahun 1977. Gerakan ini selain membangun wilayah pedesaan secara bersama, juga menumbuhkan kepercayaan masyarakat Korea akan potensi yang dimiliki serta membangun mentalitas untuk bekerja keras guna mencapai kesejahteraan yang lebih baik. Untuk mencapai tujuan SU, pemerintah Korea Selatan memobilisasi kekuatan militer dan berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat yang selanjutnya termotivasi untuk mencapai tujuan itu melalui kerja keras. Semangat kerja keras hingga sekarang menjadi moto mayarakat Korea, dengan bekerja keras masyarakat dapat berhasil dalam membangun desa secara bersama-sama. Keberhasilan SU adalah mengubah pola pikir masyarakat dalam memandang berbagai peluang yang ada di sekitarnya, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat luas. Dengan demikian, tujuan program Saemaul Undong (SU) adalah memberikan solusi yang mendasar terhadap persoalan-persoalan ekonomi dari masyarakat pedesaan di Korea Selatan. Program SU menekankan pada kesejahteraan, pembangunan, dan pemerataan pertumbuhan ekonomi. Setelah terjadi perang Korea tahun 1950-1953, Korea belum menjadi negara yang kuat di kawasan regional, kesenjangan industri dan pertanian masih nampak tinggi seiring dengan lajunya pertumbuhan ekonomi. SU didirikan dalam usahanya untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi baik di bidang pertanian, industri maupun di bidang ekonomi dengan proses distribusi pendapatan secara merata. Melalui gerakan SU, Korea Selatan dapat bangkit untuk membangun pedesaan dan diikuti oleh Rencana Pembangunan Ekonomi Lima Tahun (Five-Years Economic Development Plan ) 1962-1976 yang berhasil mengubah wilayah pedesaan menjadi dasar pembangunan Korea secara menyeluruh, sehingga Korea Selatan dapat menjadi salah satu negara maju di dunia peringkat ke 11 di bidang ekonomi.


Vol. II No. 1 April 2011

63

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DESA DI KOREA SELATAN Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang pertama dan kedua 1962-1971, kebijakan pemerintah adalah merangsang pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi dan pertanian. Pada Repelita pertama (1962-1966) kebijakan pemerintah selain menekankan pada industri tekstil juga menekankan pada upaya peningkatan produksi bahan pangan dan modernisasi sistem produksi pertanian serta perluasan areal pertanian. Di samping itu, pemerintah juga memperbaiki sistem penelitian dan penyuluhan pertanian dengan menetapkan satu organisasi Rural Development Administration (RDA) sebagai wadah yang mengorganisasikannya. Dana untuk melancarkan repelita pertama ini mendapat bantuan dari Amerika Serikat karena Korea Selatan merupakan negara yang miskin akan sumber daya alam, sehingga pada awal berdirinya negara setelah perang Korea (1950-1953), Korea Selatan tidak memiliki modal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Repelita kedua (1967-1971) Korea selatan lebih beralih menjadi negara industri berat. Akan tetapi, rencana pembangunan ini memiliki dampak negatif yaitu telah terjadi kesenjangan pendapatan yang tajam antara penduduk di perkotaan dan di pedesaan. Kesenjangan yang tajam antara penduduk di pedesaan dan perkotaan antara lain karena kebijakan pemerintah tentang harga bahan pokok seperti harga gandum dan beras ditetapkan di bawah harga pasar dengan tujuan untuk menyediakan bahan makanan bagi penduduk perkotaan khususnya yang bekerja di lingkungan perindustrian. Oleh karena itu, pada tahap kedua pembangunan ini presiden Park Chung Hee lebih menfokuskan pada pengembangan berbagai varietas padi berdaya hasil tinggi seperti Tongil. Pada tahap ketiga (1972-1976), Presiden Park Chung Hee melalui gerakan Saemaul Undong mencanangkan program pencukupan kebutuhan pangan penduduk dari produksi sendiri. Meskipun pada periode ini menekankan pembangunan industri petrokimia berskala besar serta mengembangkan mekanisasi, tetapi tujuan pembangunan industri petrokimia ini adalah untuk mendukung pembangunan desa dan pembangunan pertanian. Melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun itu, Korea selatan berhasil mengubah negara yang miskin menjadi negara maju di dunia. Strategi SU merupakan cara terbaik untuk memecahkan permasalahan di daerah pedesaan. SU mengadopsi strategi top-down, tetapi juga menggunakan strategi bottom-up. Strategi SU yang demikian adalah unik karena pemerintah pusat memiliki peran yang penting untuk merencanakan, mengkontrol, mendukung, mengkoordinasi, dan mengawasi SU, sedangkan orang desa diberi kebebasan untuk memilih pemimpinnya secara demokratis.


64

Korean Studies in Indonesia

CATATAN KAKI 42 43 44 45

46

Democratization and Globalization in Korea. See, among others, the South Korean guerrilla conflict of 1948-49, the Korean War. Sunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (Development and Society Deceive), Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004. hlm. 45. Park, Chang-Ho and Anggoro Sigit Sutanto (eds), Gerakan masyarakat Baru di Korea: Filosofi dan Aplikasi Saemaul Undong (New Community Movement in Korea: Philosophy and Application of Saemaul Undong (Jakarta: Koica-Department of Indonesian Education, 2002), hlm. 7. The National Council of Saemaul Undong Movement In Korea, Saemaul Undong In Korea, Seoul, hlm. 6. Park, Chang-Ho and Anggoro Sigit Sutanto (eds), Gerakan masyarakat Baru di Korea: Filosofi dan Aplikasi Saemaul Undong (New Community Movement in Korea: Philosophy and Application of Saemaul Undong (Jakarta: Koica-Department of Indonesian Education, 2002), hlm. 7.

DAFTAR PUSTAKA Boyer, William W., and Ahn, Byong Man. Rural Development in South Korea: A Sociopolitical Analysis. London: University of Delaware Press, 1991. Park, Chang-Ho and Anggoro Sigit Sutanto (eds), Gerakan masyarakat Baru di Korea: Filosofi dan Aplikasi Saemaul Undong (New Community Movement in Korea: Philosophy and Application of Saemaul Undong. Jakarta: Koica-Department of Indonesian Education, 2002. Sunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (Development and Society Deceive), Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004.


Vol. II No. 1 April 2011

POLITIK JENDER DI KOREA MENJELANG ABAD XX ARIEF AKHYAT (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)

ABSTRACT WOMEN AND THE POLITICS FEMINISM IN THE EARLY 20TH CENTURY KOREA AND INDONESIA The Korean women’s movement in the early 20th Century was actually a freedom movement in the name of nationalism, democracy, and the break out of cultural limitations. The early 20th Century is a period when the phenomenon of Korean women’s political history is hardly analyzable from merely the political perspective. The early 20th Century movement of Korean women was indeed varied, not only in its substance, but also in the model and medium of their movement. Some women did deliberately choose to express their freedom movement through art works and democratization stance. Some others chose to break themselves free from external influences whilst at the same time clinging to Confucian traditons. In terms of modern Korean history, this women’s movement can be regarded as a movement of modern feminism. It is simply because they did not just express their movement by freeing women from their inferiority, but also by expressing their rights through politics, art, religious rituals, and educational system. In comparison, the Indonesian women’s movement in the early 20th Century was dominated by political and cultural movements, especially their efforts to break the patrialchal traditions and to gain more access in education. Numerous political movements emphasized more on the equality between women’s and men’s rights. This resulted in the less attention towards cultural expression, religious freedom, and art traditions. Seeing the fact that cololonialism brought about different implications towards women’s movement in Korea and Indonesia, it is challenging to compare both country’s women movement in the 20th Century. Keywords: women movement, traditions, nationalism, democracy, modern movement

65


66

Korean Studies in Indonesia

(국문요약) 논문제목: 20세기 초 한국의 여성 정치 20세기 초 한국의 여성운동은 민족주의와 민주주의를 표방하고 문화적 한계를 타파하고자 하는 자유운동이었다. 당시의 여성운동은 단편적인 정치적 시각으로는 분석할 수 없는 여성 정치역사 현상의 그 자체라 할 수 있다. 당시 한국의 여성운동은 내용 뿐만 아니라, 형태와 운동 방식에 있어서도 다양성을 띠었다. 예술 작품 활동과 민주주의에 있어서 표현의 자유를 요구하거나, 유교적 전통을 고수하면서 외부의 모든 요소로부터 자유를 추구하고자 하였다. 한국 현대사의 맥락에서 보면, 이 같은 여성 운동은 현대적 여성 정치운동이라고 보아도 무방하다. 왜냐하면 여성을 열등한 존재로 평가하는 전통적인 시각으로부터 여성들을 대변하는 데, 정치적 요소를 활용하였을 뿐 아니라, 정치, 예술, 종교부터 교육 시스템을 통한 전통의 현대화 운동까지 다양한 표현 전달방식으로 현대 여성운동의 다양한 형태를 제시하였기 때문이다. 20세기 초기를 기준으로 인도네시아와 한국의 여성운동을 비교해 보면, 인도네시아의 여성운동의 대부분이 정치와 문화분야에 치우친 경향이 있다. 특히, 가장제 정치철학의 전통적인 족쇄로부터 자유를 추구하고 교육을 통해서 현대화를 이루고자 했던 사례들을 들 수 있다. 다양한 여성 정치운동이 남녀평등과 관련된 사안에 집중되어 문화, 종교, 전통 및 예술 분야에서는 상대적으로 낮은 관심의 대상이었다. 20세기 초 한국과 인도네시아의 여성운동을 비교하는 것이 흥미로운 이유는 두 국가의 여성운동에서 피식민통치 국가로서 제국주의적 요소가 같지 않다는 점이다. 주제어: 여성운동, 민족주의, 민주주의, 표현의 자유, 현대화 , 제국주의적 요소

POLITIK JENDER KOREA: AWAL DISKUSI Sejarah Korea pada akhir abad XIX telah memberikan inspirasi bagi pergerakan politik perempuan. Hal ini terkait dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, terutama pada masa Dinasti Choson yang telah memberikan batasan etnisitas, perbedaan jender, sistem kelas dan berbagai batasan lainnya terkait dengan hukum keluarga. Berdasarkan laporan ekspedisi Ernest Oppert (1832-1903) pada tahun 1868, bahwa sistem hierakhi yang ditemukan di Korea pada zaman Choson (1392-1910) lebih merupakan sistem kasta yang pernah diterapkan oleh Hindu dan Budha. Berdasarkan sistem kasta Choson ini maka masyarakat dikelompokkan berdasarkan Yangban (kelompok sipil dan militer), chungin (kelompok priyayi dan adminitratur), sangmin atau yangmin (kelompok masyarakat kebanyakan) dan cho_min (wong cilik). Menurut Oppert, kelompok perempuan yang masih diberi kebebasan adalah kelompok perempuan yang menjadi dukun dan perempuan penghibur (Kisaeng). Untuk mendeskripsikan dukun dan penghibur ini ini, seorang pelukis Korea yang konfusianistik yang bernama Yunbok melukiskan perilaku keduany sebagai perilaku “pembebasan”. Yaitu dengan lukisan berupa simbol Shamanisme sebagai bentuk penganut agama masyarakat orang kecil dengan kebebasannya mereka mengekspresikan kebebasan dengan menari-nari menggunakan pedang. Juga lukisan yang menunjukkan dukun perempuan yang sedang melakukan ritual keagamaan sebagai simbol kebebasan berhubungan dengan Tuhan.


Vol. II No. 1 April 2011

67

Deskripsi pengibur juga dimunculkan dalam lukisan Yunbok dengan menggambarkan seorang mucikari sedang menyuguhkan tamu-tamunya dengan minuman keras. Munculnya peraturan yang diterapkan oleh Diansti Choson ini menjadi persoalan yang menarik, pada saat gerakan feminisme muncul di Korea. Makalah ini ingin mencoba melihat kedudukan dan fungsi perempuan di Korea pada awal abad XX terkait dengan gerakan-gerakan politik. Sebagai upaya analisis, maka makalah ini juga dicoba untuk mencari perbandingan dengan kasus Indonesia.

POLITIK JENDER DI KOREA PADA MENJELANG AWAL ABAD XX Akhir Abad XIX, perubahan terjadi terutama sejak didirikannya beberapa sekolah Kristen Barat yang didirikan oleh para missionaries yang didatangkan ke Korea. Di antara sekolah-sekolah tersebut didirikan khusus untuk perempuan di Seoul, misalnya Sekolah Ehwa Women’s University didirikan tahun 1886, Sekolah Perempuan Chongsin didirikan tahun 1890 dan Sekolah Paehwa didirikan tahun 1898. di Pyongyang didirikan Sekolah Perempuan Songui. Hasil didikan sekolah perempuan ini kebanyakan kerja di sektor seni, pendidikan, pengajaran agama. Munculnya sekolah-sekolah perempuan di atas telah memberikan harapan baru bagi dunia modern untuk perempuan yang setelah mengalami tindakan represif dari Dinasti Choson. Salah satu contoh perempuan didikan Barat yang berhasil memperoleh derajat sarjana dokter adalah Esther Pak (1877-1910). Dia dokter perempuan pertama Korea yang berhasil lulus dari Sekolah Ehwa dan melanjutkan ke Amerika Serikat di Baltimore setelah dia masuk agama Kristen. Dia kuliah sambil bekerja di pertanian dan hal ini kemudian yang menjadi salah satu sebab meninggalnya dia setelah mengidap TBC. Dia merupakan anggota keluarga tidak mampu yang berhasil dididik untuk mencapai gelar sarjana. Tokoh perempuan lain adalah Na Hyesok (1896-1949). Dia adalah tokoh pelukis modern pertama di Korea. Dia juga seorang pelukis dan novelis. Tidak seperti Esther, Hyesok merupakan keturunan orang kaya dan menikah dengan seorang pejabat Jepang dan hampir 3 tahun dia mempelajari seni lukis di Eropa. Tetapi tipe Hyesok berbeda dengan Esther, Hyesok lebih memilih kebebasan dalam mengekspresikan jiwa seninya dan juga bercinta. Menurut Jun Yoo, kebebasan mengeksprsikan cintanyalah yang kemudian dia jatuh sakit dan meninggal dalam kondisi yang mengenaskan. Perubahan radikal terjadi pada akhir abad XIX dan awal abad XX, dimana pengaruh Confusianism semakin kuat. Sebuah lembaga studi yang bernama Qing Studies (Northern Learning= Pukhak) dengan menggunakan model gerakan Pembelajaran Praktis (Sirhak), sebagai contoh, telah menempatkan modernisasi di Korean semakin gencar. Hal ini ditandai dengan kemajuan ekonomi dan teknologi. Juga Reformasi 1894 (Kabo Kyongjang) telah


68

Korean Studies in Indonesia

mengubah tatanan politik ekonomi Korea. Perubahan politik ekonomi Korea tersebut membawa dampak pada kebutuhan tenaga kerja terdidik paling tidak pada saat pendudukan Jepang di Korea (Kolonialiasm Jepang) pada tahun 1910-1945. Pada tahun 1924, pemerintah mendirikan Kyoungseong Imperial University, pendidikan yang ditawarkan hanya pendidikan hukum dan kedokteran (Lee:1998, 18-19) Hasil investigasi historis Lee menunjukkan bahwa di universitas tersebut kebanyakan mahasiswanya adalah orang laki-laki Jepang. Memang pada masa berikutnya, penduduk yang memasuki lembaga pendidikan semakin bertambah kira-kira totalnya 45% yang masuk di Sekolah dasar pada tahun 1945. Proporsi perempuan yang dapat memasuki sekolah itu tercatat 30% untuk tingkat sekolah dasar, dan 30% untuk tingkat sekolah menengah. Walaupun demikian, 77% penduduk Korea pada tahun itu masih buta huruf (Lee: 1998, 19). Tsurumi memandang, dengan melihat komposisi jumlah murid perempuan yang masuk, maka sebenarnya persoalan perseimbangan jender sudah memenuhi syarat. Hal ini jika dilihat dari prosentase yang lebih dari 25% tiap tingkatan sekolah, namun jika dilihat dari daya serap tenaga kerja maka terjadi diskriminasi dan sangat bias jender. Hal ini memang ada unsur kesengajaan dalam pembatasan kesempatan dunia kerja bagi perempuan. Inilah yang dikatakan Tsurumi sebagai bentuk-bentuk ambiguitas kebijakan pemerintah dalam hubungannya antara sistem pendidikan dengan praktik dunia kerja. Bagi Lee, mengutip Standing (1982), memberikan argumentasi bahwa akses dunia keja memang sangat terbatas bagi perempuan apalagi yang berstrata rendah. Perkembangan lain yang merupakan dampak Kolonialisme Jepang adalah munculnya berbagai kesempatan dalam “ruang publik� bagi perempuan untuk memunculkan diri sebagai komunitas liberal. Beberapa perempuan Korea melihat perubahan ini sebagai cara untuk mengekspresikan intelektualitas mereka dengan isu-isu liberalisasi. Pemikiran Bonnie B.C. Oh yang menulis “The Conflicting Worlds of King Iryop� telah menempatkan perempuan Korea sebagai perempuan yang mampu mengusung pemikiran-pemikiran model Jepang dan Barat sekaligus. Tokoh lain misalnya Kim Iryop (1896-1971), Kim lebih mampu mengurai pemikiran-pemikiran tentang anarchi moralitas yang sebelumnya sulit untuk dibongkar. Anarchi moralitas lebih menempatkan negara sebagai kekuatan untuk mengatur moralitas, termasuk moralitas perempuan. Iryop adalah tokoh revolusionaris yang ingin mengubah status perempuan melalui gerakan-gerakan politik, penulisan karya sastra dan modernisasi perempuan Korea. Pada perkembangan Iryop telah mampu memberikan pendalaman pemikiran kesastraan yang Budistis dan modernis. Dalam bidang kesastraan ada beberapa catatan mengenai tokoh Han Moo-Sook (19181993). Dia perempuan Korea yang menulis beberapa Novel seperti Tungpul tunun yoin (perempuan pembawa lampu) yang ditulis dalam bahasa Jepang dan mendapatkan hadiah


Vol. II No. 1 April 2011

69

Novel terbaik versi majalah Sinsidae. Novel itu membuat Han menjadi lebih memerankan peran yang penting dalam politik jender di Korea. Dia mampu membuat genre baru dalam sastra dengan memasukkan berbagai ragam “peran� (Multifaces) dan ragam talenta. Menurut Yung Hee Kim, Han lebih menitikberatkan pada genre-genre radikalis karena dilatarbelakangi dengan sikap kritik jender yang ia perjuangkan. Ia frustasi dengan hidup, karena penuh konflik, ketidakadilan dan penuh dengan batasan-batasan kreativitas. Pada perkembangannya, Han mengkritik otoritas Confusianism yang dianggap sebagai penyebab adanya otoritas patriarki. Bagi Han, salah satu cara membongkar otoritas Confusianisme itu adalah dengan membuat keharmonitas kultural dengan menempatkan model dialketika antara “Korea dan Non-Korea�

PRAKTIK-PRAKTIK BIAS JENDER: PROSES DOMESTIFIKASI Pengaruh Neo-Confusionism tampaknya sangat kuat dalam pola tradisi sejak kepemimpinan dinasti Choson. Sebagai feedback kesejarahan, bisa dilihat perkembangan tradisi Choson, ada tiga kewajiban (samjong chido) selalu dibebankan kepada perempuan yaitu harus mengabdi pada ayah, suami dan anak. Pada periode Goryeo, kebebasan gerakan perempuan semakin terbatas, bahkan beberapa penganut Confucionism lebih menempatkan perempuan yang tidak nikah untuk memperkuat posisi keluarga melalui bentuk-bentuk upacara ritual keagamaan dan adat. Kebanyakan perempuan yang tidak nikah ini dikarenakan karena harga maskawin (kyolnap) yang setara dengan harga lembu di pasaran. Ada beberapa kasus, perkawinan yang tidak menggunakan mas kawin, karena mereka tidak mampu, yaitu dengan membayar mas kawin melalui lembaga Pangsabon yang ditanggung oleh keluarga laki-laki selama kirakira 3 tahun.(Jun Yoo: 2008:24) Bagi yang tidak mampu kawin dengan menggunakan lembaga Pangsabon, maka mereka adalah orang-orang yang dianggap miskin atau budak. Budak dalam tradisi Korea dibagi menjadi beberapa kelas, pertama kelas kongnobi (budak yang dimiliki negara) dan sanobi (budak yang dimiliki perorangan). Dalam perekembangan sanobi dibagi menjadi Solgo nobi (khusus budak pelayan) dan Oego nobi (budak bebas). Pada kasus perkawinan budak, budak perempuan justru memiliki kesempatan lebih luas untuk nikah, seperti boleh nikah dengan budak miliki perorangan, pembantu, tentara, marinir, dan orang biasa (Jun Yoo:2008:25). Jika melihat kasus-kasus perkawinan yang melibatkan budak dapat diambil contoh pada abad XVII. Perkawinan budak di Korea menurut catatan Han Yong Guk yang telah melakukan survey pada tahun 1609 di daerah Ulasan, ada sekitar 572 budak yang tecatat menikah, 314 laki-laki dan 158 budak perempuan. Dari jumlah tersebut, tercatat dalam akte pernikahan sebanyak 144 budak (94 perempuan, 50 laki-laki). Jika data abad XVII ini


70

Korean Studies in Indonesia

benar, maka proses manajemen yang mengarah pada kebijakan yang bias jender, sudah muncul cukup lama. Pada kasus-kasus munculnya perempuan yang mencoba melihat dunia dengan lukisan, menjadi profesi dokter dan perkawinan budak adalah salah satu fenomena yang menempatkan perempuan Korea dalam posisi yang ambivalen. Jun Yoo mensinyalir, bahwa kecenderungan perempuan Korea berada pada tataran yang “kebebasan” dan “eksploitatif” karena penerapan ajaran Confusionism yang berbeda pada periode satu ke periode lainnya.

MELIHAT INDONESIA: SUATU KOMPARASI Konteks pada tahun 1900-an, terlihat jelas bagaimana keperempuanan larut dalam posisi dilematis. Yaitu, satu sisi, mereka masih berada pada proses transisi dari politik tradisionalis berbasis pada Confucianisme dan praktik-praktik kedinastian, sisi lain, perempuan Korea berada pada persimpangan jalan yang tidak jelas, satu sisi sudah masuk dalam kemodernan kolonialisme Jepang, sisi lain pembatasan peran perempuan justru menjadi alat penguat ideologi “patriarchis”. Tidak mudah bagi aktivitas-aktivitas perempuan maupun pejuang jender dalam menyikapi perubahan politik di Korea. Trauma pada Dinati Choson, tampaknya cukup memberi arti kehidupan kaum perempuan dalam memaknai keperempuanan. Walaupun Jepang mencoba mengangkat derajat melalui sistem pendidikan, namun justru akan menciptakan bias-bias jender yang dilembagakan yaitu di sekolah. Untuk melihat kasus Korea, sangat penting jika dilihat juga kasus di Indonesia Perlu kajian yang lebih dalam untuk melihat seberapa jauh trauma perempuan-perempuan pedesaan yang terkotak-kotak dalam berbagai faksi. Sebuah novel, karya Teguh Winarso (2007), menunjukkan bagaimana halusinasi keperempuanan dibungkus dengan mistik dan ideologi. Perempuan genjer-genjer adalah produk Orde Lama, namun menyisakan berbagai dilematisasi ketika mereka masuk dunia Orde Baru. Gambaran perempuan yang teralienasi oleh belenggu agama, ideologi dan adat. Walau hanya sebuah novel, namun yang “tidak” ada belum tentu Tidak Ada, begitu juga sebaliknya. Novel ataupun cerita fiksi yang lain jusru sering lebih tajam dan dalam dari pada narasi historis. Juga Gadis Pantai karya Pramudya Ananta Toer, cukup menggoda untuk menganalisis bagaimana perjuangan gadis pantai dalam dunia feudal dan egalitarian sekaligus. Juga novel Ronggeng Dukuh Paruk, Karya Ahmad Tohari (2003) menjadi semakin jelas, bahwa peristiwa 1965 menjadikan perempuan bangkit untuk menjadi dirinya sendiri, walau mereka terasing dari lingkungannya, masyarakatnya, keluarganya bahkan tuhannya. Namun, mereka hadir dalam sejarah manusia. Munculnya seniwati-seniwati tayub, yang diperkirakan muncul sejak zaman kolonial di daerah pedesaan adalah satu bentuk bagaimana perempuan “manggung” untuk memperlihatkan simbol-simbol keberdayaan dalam konteks masyakarat petani. Walaupun kehadiran-


Vol. II No. 1 April 2011

71

nya banyak terobsesi oleh suasana politik dan ekonomi pada masanya, namun tersirat dari gerakan-gerakannya sebagai bentuk perjuangan untuk melawan kondisi pedesaan yang tidak jelas. Mereka pernah larut dalam sejarah kelam Indonesia. Bahkan mereka tampil sebagai entertainment ketika paceklik dan pageblug melanda tanah-tanah pertanian mereka, terutama pada tahun-tahun 1960-an. Kehadirannya memiliki dimensi yang majemuk, mereka kadang tampil sebagai “pendoa” bagi keberhasilan tanaman pertanian, menjadi mediator dalam berkomunikasi dengan para “Dewi-Dewi”, kadang tampil sebagai seniwati yang menjadi rujukan hiburan masyarakat pedesaan pada saat dilanda berbagai ragam krisis, kadang pula sebagai penopang ekonomi keluarga pada saat para lelaki kehilangan sumber ekonomi akibat gagal panen dan involusi pertanian, bahkan mereka menjadi propaganda pembawa pesan pembangunan. Mereka menghadirkan feminisma yang jauh berbeda dengan apa yang pernah terpikir oleh seorang R.A. Kartini. Mereka bukan sekadar sebagai simbol emansipasi, tetapi mereka justru muncul dan hadir sebagai tokoh sejarah yang melintasi batas kodratnya. Mereka bukan perempuan-perempuan yang memakai seragam dengan arisan sebagai aktivitasnya. Mereka bukan perempuan-perempuan yang pandai berorasi menawarkan program pembangunan dengan tas berisi berbagai catatan. Tayub sering hanya membawa gagasan, abstraksi budaya, symbol perlawanan dan bahkan kepercayaan atau “agama” masyarakat petani yang dikemas dalam tarian dan nyanyian.

DAFTAR PUSTAKA Chung-Kim, Yung, Women of Korea, A History From Ancient Times to 1945, Seoul: Ewha Woman University Press, 1976. Jun Yoo, Theodore, The Politic of Gender in Colonial Korea: Education, Labor and Health 19101945, Berkeley, Los Angeles, London : California, University of Califorania Press, 2008. Ki Bui, Moo, ed., Women’s Wages and Employment in Korea, Seoul: Seoul National University Press, 1995. Key, Young and Kim, Renand (eds.), Creative Women of Korea: The Fifteenth Through the Twentieth Centuries, Armond, New York, London: M.E. Sharpe, 2004. Lee, Mijeong, Woman’s Education Work and Marriage in Korea, Seoul: Seoul National University Press, 1998. Scholten, Locher, E., Women and teh Colonial State: Essays on Gender and Modernity in the Netherlands-Indies 1900-1942, Amsterdam: Amsterdam University Press, 2000.


72

Korean Studies in Indonesia

ISLAM DAN TOLERANSI DI KOREA SELATAN ANTON MINARDI (Universitas Pasundan, Indonesia)

ABSTRACT ISLAM AND TOLERANCE IN SOUTH KOREA South Korea is a developed country renowned for its people’s high work ethos, politeness, and tolerance. Such conditions are apparent in Korean people’s attitude and their government’s non-discriminatory policies towards the differing religious beliefs. In terms of Moslems in Korea, they also receive their rights and freedom to adhere and practise their principal belief in the midst of non-Moslem majority and some nonbelievers. Keywords: tolerance, Islam, non Moslem, non-discriminatory policy (국문요약) 논문제목 : 한국의 이슬람과 관용 대한민국은 선진국이며, 그 국민들은 일에 대한 확고한 신념을 갖고 있고, 친절하며 참을성이 많은 것으로 잘 알려져 있다. 또한 다른 믿음을 갖고 있는 국민들에 대해 동등한 태도와 정책을 펼치는 한국 정부도 그와 같은 상황을 형성하는 데 빠지지 않고 등장한다. 한국 정부는 이슬람교도들에게도 종교적 믿음에 따라 신앙생활을 할 수 있도록 대다수가 비이슬람교도이거나 혹은 무신론자(無神論者)인이 한국 국민들 사이에서 종교의 자유를 주고 있다. 주제어: 일에 대한 신념, 이슬람, 비이슬람 교도, 종교의 자유

PENDAHULUAN Korea selatan adalah negara yang maju dengan masyarakat yang berperadaban modern. Terletak di kawasan timur Asia, Korea Selatan adalah negeri dengan penduduk yang menganut banyak agama dan kepercayaan. Dengan luas wilayah 99.274 km² dan populasi 48.539.493 sensus (hasil tahun 2006) Korea Selatan masuk dalam daftar negara Asia Timur yang maju secara ekonomi dan industri.


Vol. II No. 1 April 2011

73

Korea Selatan dengan ibukota Seoul secara geografis terletak di Semenanjung Korea, di wilayah Asia Timur. Di sebelah utara, negara ini berbatasan dengan Korea Utara. Dua Korea sebelum tahun 1948 adalah satu negara. Jepang berada di seberang Laut Jepang (disebut “Laut Timur� oleh orang-orang Korea) dan Selat Korea berada di bagian tenggara. Pendapatan perkapita di negara ini di atas 17 ribu USD dan berarti masuk dalam kategori negara dengan ekonomi stabil. Korea Selatan dikenal sebagai salah satu dari empat Macan Asia Timur. Negara ini telah mencapai rekor pertumbuhan memukau yang membuatnya menempati posisi ekonomi terbesar ke-12 di seluruh dunia. Padahal berakhirnya PDII, PDB per kapita kira-kira sama dengan negara miskin lainnya di Afrika dan Asia. Kondisi itu diperparah dengan meletusnya Perang Korea. Namun kini PDB per kapita kira-kira 20 kali lipat dari Korea Utara dan sama dengan ekonomi-ekonomi menengah di Uni Eropa. Tahun 2004, Korea Selatan bergabung dengan klub dunia ekonomi trilyun dolar. Korea Selatan merupakan pemimpin dalam akses internet kecepatan-tinggi, semikonduktor memori, monitor layar-datar dan telepon genggam. Dari sisi industri Korea Selatan menempati urutan pertama dalam pembuatan kapal, ketiga dalam produksi ban, keempat dalam serat sintetis, kelima dalam otomotif dan keenam dalam baja. Secara lahiriyah, negara ini boleh dibilang makmur dengan pendapatan perkapita yang tinggi, tingkat pengangguran rendah, dan pendistribusian pendapatan yang relatif merata (voa-islam.com). Di tengah gemerlap materi, di Korea Selatan Islam mulai tumbuh dan dikenal. Agama ilahi yang dibawa oleh utusan Allah terakhir, Rasulullah Muhammad SAW. mulai menapakkan kaki di Korea Selatan di saat negeri itu dilanda perang. Islam dikenalkan kepada warga di sana oleh dua tentara asal Turki bernama Zubercoch dan Abdul Rahman yang ikut dalam barisan pasukan penjaga perdamaian di bawah payung PBB. Beberapa warga Korea yang tinggal di kamp-kamp penampungan berikrar masuk Islam setelah mendengarkan penjelasan dari kedua tentara Turki itu. Kini dakwah Islam dan perkembangan agama suci ini di Korea Selatan cukup pesat. Itu terlihat dari mulai banyaknya masjid-masjid dan mushalla yang berdiri di sana. Ahmad Cho Min-Haeng, Wakil Ketua Persatuan Islam Korean Muslim Federation (KMF) menyatakan cukup bangga dengan perkembangan Islam di negaranya. Saat ini sekitar 10 masjid dan lebih dari 50 mushalla telah berdiri di negeri yang baru disinggahi oleh Islam sekitar 60 tahun lalu. Menurutnya, jumlah warga Muslim di Korea Selatan mencapai sekitar 100 ribu jiwa. Mereka hidup di sebuah negeri yang 50 persen warganya tidak beragama, sementara 23 persen memeluk agama Budha. Ahmad menjelaskan bahwa sebagian masjid dibangun oleh para pendatang dari negara Arab, Pakistan dan Bangladesh. Dengan adanya masjid, identitas warga Muslim di negeri ini


74

Korean Studies in Indonesia

dapat diketahui dan masjid sebagai lambang keagungan Islam dan kekuatan umat menjadi pusat rujukan masyarakat Muslim yang ingin menanyakan masalah agama. Di kota-kota besar seperti Busan, Ansan, Paju, Bupyeong dan Jeonju dapat dijumpai masjid. Masjid juga dibangun di Central Seoul di Itaewon. Selain masjid, warga Muslim Korea Selatan juga mendirikan pusat-pusat pendidikan Islam. Bagi warga Muslim yang ingin mendalami ajaran agamanya, dapat mengunjungi pusat-pusat pendidikan Islam itu. Salah satu pusat pendidikan itu adalah College Islam Yongin di Gyungi-do. Di komplek Masjid Central Seoul juga terdapat pusat pendidikan Islam (voa-islam.com). Dari penduduk keseluruhan Korea Selatan penduduk asli yang menganut Islam ada sekitar 45.000 dari komunitas muslim sekitar 125.000. Komposisi penduduk beragama di sana adalah 20% menganut Buddhism atau Shamanism, 20% Kristian Katolik, 20% Kristian Protestan Selebihnya Free Thinker atau Atheis (http://www.darulkautsar.com/keindahanislam/ keunggulanislam/KYbooklet.htm).

HUBUNGAN ISLAM DAN MASYARAKAT KOREA SELATAN Lebih jauh daripada itu hubungan Islam dan masyarakat Korea sebenarnya memiliki sejarah yang cukup panjang. Berikut ini merupakan fase hubungan tersebut:  Pertama, Dari pertengahan hingga akhir abad 7 M, pedagang-pedagang Islam telah dikenal dari Khilafah yang pergi ke negara China Tang serta membuat perhubungan dengan Silla, salah satu daripada Tiga Kerajaan Korea.  Kedua, Abad 9 M perhubungan skala kecil dengan bangsa-bangsa yang mayoritas beragama Islam, khususnya orang Uyghur, terus berjalan. Satu perkataan dalam bahasa Korea bagi Islam, hoegyo (회교, 回敎) datang daripada huihe (回 ), satu nama lama China bagi orang Uyghur. Semasa tempoh akhir Goryeo, terdapat masjid-masjid di ibukota Gaeseong. Semasa pemerintahan Mongol di Korea, orang-orang Mongol amat bergantung pada orang Uyghur untuk membantu mereka mengurus kerajaan mereka yang luas itu karena pengalaman orang Uyghur dalam pengurusan jaringan-jaringan perdagangan yang berkembang luas.  Ketiga, Semasa Perang Korea, Turki mengirim tentara kedua terbanyak (setelah Amerika Serkat) untuk membantu Korea Selatan di bawah arahan PBB. Zubercoch dan Abdul Rahman adalah di antara da’i nya. Di samping sumbangan mereka dalam medan pertempuran, orang Turki juga membantu dalam kerja kemanusiaan, membantu mengurus sekolah-sekolah masa perang bagi anakanak yatim akibat peperangan. Tidak lama selepas perang itu, beberapa orang Turki yang


Vol. II No. 1 April 2011

75

ditempatkan di Korea Selatan sebagai pasukan PBB mulai mengajari orang-orang Korea mengenai Islam. Persatuan Orang Islam Korea berdiri pada tahun 1955, ketika masjid pertama di Korea Selatan dibangun. Persatuan Orang Islam Korea berkembang cukup besar sehingga menjadi Persekutuan Orang Islam Korea pada tahun 1967 (http://id.wikipedia.org/ wiki/Islam_di_Korea). Selanjutnya hubungan Islam dengan masyarakat Korea berkembang pesat. Berikut adalah kronologis perkembangan berikutnya: 1955 (September): Imam Zubercoch dan Abdul Rahman, Berpartisipasi dalam Perang Korea sebagai anggota dinas militer, meraih Quran untuk pertama kalinya di Korea. 1955 (Oktober): Komite Muslim korea mulai (Umar Kim Jin Kyu sebagai Ketua: Imam dan Sekretaris Jenderal uhammad Doo Yoon Young). 1961 (September): 14 orang misi yang dipimpin oleh Senator Ubaidulla dari Malaysia tinggal di Korea selama 13 hari. 1962 (Agustus): Para Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman menyumbang $ 33.000 untuk dana pembangunan Masjid Tengah dari Muslim Korea. 1963 (Oktober): Pembicara dari Malaysia saudara Haji Muhammad Noh mengunjungi Korea (berjanji untuk mengusulkan kepada pemerintah untuk Malasian pengembangan Korea Muslim). 1967 (Maret): Yayasan Islam Korea disetujui oleh Departemen Kebudayaan dan Informasi Korea Persetujuan No 114, 3 Maret 1967) (Ketua Sulaiman Lee Hwa Shik), Sekretaris Jenderal Abdul Aziz Kim Il Cho). 1974 (Desember): Melalui Presiden Park Jung Hee, 1.500 m2 tanah disumbangkan sebagai lokasi pembangunan Masjid Sentral. 1974 (Mei): Konstruksi dari Seoul Central Masjid dan Islamic Center sudah selesai dan dibuka. 1976 (Desember): Masjid sementara Busan dibuka, Br. Kim Myung Hwan mulai melakukan kerja dakwah. 1976 (Maret): Pusat Kebudayaan Islam Korea dipasang dan dioperasikan di Jeddah, Arab Saudi. 1978 (April): Masjid temporer dibuka pada Yok-ri Gwangjoo-eup, Gyunggi-do, Korea: saudara Abdullah Deuk Juni Lin mulai mengajarkan Islam kepada masyarakat. 1978 (Oktober): kelompok ziarah terbesar dari 132 orang pergi untuk melakukan ziarah suci untuk pertama kalinya dalam Sejarah Korea; Masjid Temporer Kuwait dibuka. 1980 (Mei): Perdana Menteri yang kemudian Choi Gyu Hwa berjanji kepada Raja Khalid dari Arab Saudia untuk menyumbangkan tanah untuk pembangunan Islamic College Korea selama join comminique.


76

Korean Studies in Indonesia

1980 (Juli): 130 ribu Pyongs tanah disumbangkan untuk pembangunan College Islam Yongin, Gyunggi-do, Korea. 1980 (September): Upacara pembukaan Pusan Masjid Al-Fatah diselenggarakan. 1981 (Juni): Uparaca pembukaan Masjid Kwang-Ju diselenggarakan. 1982 (Agustus): Cabang Indonesia. 1983 (Agustus): W.A.M.Y. Daerah Seoul Camp diadakan di bawah naungan OKI & W.A.M.Y. 1984 (Agustus): W.A.M.Y. Camp Muslim lokal dilaksanakan. 1985 (Juli): The 1st Leadership Training Camp diadakan. 1985 (Agustus): The 2nd W.A.M.Y. Camp Muslim lokal dilaksanakan. 1986. (April): Upacara membuka Masjid Anyang Rabita Al-Alam Al-Islam diadakan. 1986 (September): Upacara membuka Masjid Joo Jeon Abu Bakr Sidiq diadakan. 1987 (Agustus): 87 W.A.M.Y. Camp Muslim lokal dilaksanakan. 1988 (Agustus): 88 W.A.M.Y. Camp Muslim lokal dilaksanakan (http://islamic-world.net). Selanjutnya hubungan diperkuat dengan hubungan diplomasi dan kedatangan para tenaga kerja dari negara-negara muslim.

SIKAP TOLERAN PEMERINTAH Negeri ginseng yang terkenal mayoritas penduduknya beragama budha ini sangat menjaga toleransi dan menghargai perbedaan keyakinan. Langkah yang berani dari Korea Selatan yang mayoritas penduduknya adalah Budhism telah memberikan atmosphir segar bagi umat Islam di sana. Sebuah Yayasan Islam disetujui oleh Pemerintah Korea dan terdaftar secara resmi di Kementerian Kebudayaan dan Informasi (Pendaftaran no. 114, 13 Maret 1967). Kehadiran Perdana Menteri Choi Gyu Hwa dalam peresmian mesjid pertama di Korea pada tahun 1976 yang dihadiri oleh sekitar 55 perwakilan dari 20 negara asing, menunjukkan sikap tolerannya terhadap umat Islam. Pejabat asing (VIP) yang berpartisipasi dalam upacara peresmian mesjid pertama itu mengunjungi Perdana Menteri Choi Gyu Hwa untuk melakukan peran meningkatkan minat dalam Islam. Sementara itu, Muslim Korea mendapatkan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah (Baitullah Ka’bah) untuk menginspirasi orang-orang dengan keyakinan Islam dan setia melakukan tugas pada tahun 1979, dan Muslim Korea memacu kegiatan dakwah di Korea mengambil kesempatan apa yang disebut “Boom Timur Tengah�(19741980) dengan menaikkan hubungan dengan Timur Tengah dan Islam. Muslim Korea tidak malas dalam melakukan ziarah ke tanah suci, yang merupakan salah satu dari 5 Kewajiban Islam. Selanjutnya setiap tahun umat Islam Korea melakukan


Vol. II No. 1 April 2011

77

tugas suci dengan menyelenggarakan kelompok pilgrims. Ziarah pertama dipimpin oleh Haji Subri Seo Jung Gil di tahun 1960. Salah satu kelompok terbesar (ekspedisi pertama) yang pernah dilakukan Haji adalah pada tahun 1978 dengan 130 orang pada tahun 1979, 104 orang berhasil menunaikan ibadah haji (http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Korea).

KONDISI MUSLIM DI KOREA MASA KINI Setidaknya ada sekitar 45.000 orang penganut agama Islam (bahasa Korea 이슬람: Iseullam) di Korea, tidak termasuk tenaga kerja Muslim yang bekerja di Korea ada sekitar 120.000-130.000 lebih (KMF). Islam juga merupakan agama yang berkembang dengan pesat di Korea Selatan. Termasuk juga pekerja-pekerja Korea yang memeluk agama Islam yang pulang dari negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi. Di Korea Selatan, populasi orang Islam semakin meningkat sejak pengenalan agama tersebut tak lama selepas Perang Korea. Masyarakat Islam (kelahiran Korea dan asing) terpusat di sekitar Seoul. Terdapat 10 Mesjid dan 55 Musholla yang tersebar di sekitar kota-kota besar seperti Seoul, Gwangju, Busan dan Daegu. Terdapat pertumbuhan pelan tapi nyata perpindahan orang-orang Timur Tengah (Iran, Irak, Kuwait dan Qatar) beserta Pakistan dan Malaysia (dan Indonesia) ke Korea Selatan yang mayoritas beragama Islam semasa tahun 1990-an dan 2000-an, biasanya datang sebagai tenaga kerja ke negara ini. Bahkan berbeda dengan tentara AS yang lebih cenderung membuat “onar” di negeri orang, tentara Korea Selatan justru mendapatkan Hidayah Islam. Dari sekitar 3.600 tentara Korea Selatan yang ditempatkan di Irak 37 orang tentara menyatakan syahadat (masuk Islam). Di balik fakta bahwa orang Islam Korea adalah masyarakat yang kecil, mereka merupakan sebagian daripada struktur berbagai agama masyarakat Korea yang merupakan penganut agama Buddha, ajaran Tao dan agama Kristen (voa-islam.com).

HAMBATAN TOLERANSI Toleransi yang begitu kondusif dan mendapatkan pengawalan secara baik oleh pemerintah setempat, tetapi diakui oleh Muslim di sana beberapa hambatan dalam mereka melakukan aktivitas kesehariannya baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan sosialnya. Di antaranya pertama, Komite Darurat Islamic Korean Foundation menemukan beberapa masalah tenaga kerja muslim yang mengadukan berbagai masalahnya. Kedua, masalah makanan, minuman, pakaian hingga stigma teroris. Ketiga, perbedaan terkadang disebut sebagai eksklusifisme. Keempat, peristiwa pengeboman WTC di New York 11/9/2001 cukup memberikan beban kepada warga muslim di sana terutama karena muslim dan Islam yang dipojokkan dalam kasus tersebut (ln/KoreaTimes).


78

Korean Studies in Indonesia

Pengakuan Warga Muslim: Lee Ju-hwa, direktur Pendidikan dan Dakwah Korea Muslim Federation mengatakan, masyarakat Korea pada umumnya membuka diri terhadap agama Islam, yang di Korea dianggap sebagai agama baru. “Di forum-forum di internet, hampir semua orang menuding kami. Tapi sekarang, saya melihat banyak orang yang berusaha memberikan pandangan yang obyektif, “ tukas Ju-hwa. Ia meminta warga non-Muslim Korea untuk menunjukkan keterbukaannya dan mau menerima agama Islam. “Kami melarang segala bentuk kekerasan, kami tidak menindas kaum perempuan dan kami seperti juga penganut agama lainnya yang menginginkan kehidupan yang lebih baik, “ sambung Ju-hwa. Meski terasa berat, warga Muslim Korea mengaku bangga dengan pilihan mereka menjadi seorang Muslim. Hasna Bae, misalnya, menegaskan tidak akan menyembunyikan agamanya dalam situasi apapun, termasuk saat mencari kerja. “Tapi saya tidak akan bekerja di perusahaan yang tidak menghormati keyakinan karyawannya, “ tandas Bae yang mengambil jurusan disain metal. (ln/KoreaTimes).

Walaupun demikian, alhamdulillah saat ini banyak orang Islam Korea mengatakan perbedaan gaya hidup mereka membuatkan mereka dapat berdiri teguh dibanding orang lain dalam masyarakat. Walau bagaimana pun, kebimbangan terbesar mereka ialah sikap trauma yang dirasakan mereka selepas peristiwa 11 September 2001, ketika banyak orang menunjukkan minat terhadap ide-ide keislaman.

DISKRIMINASI DIJAWAB TOLERANSI Ketika Lee Myung-bak menjadi walikota Seoul, ia menyatakan kota Seoul “sebagai tempat suci yang dipimpin oleh tuhan” dan warga Seoul sebagai “orang-orang tuhan”. Ia menyerahkan kota Seoul “kepada tuhan”. Pada tahun 2006, Lee juga mengirimkan sebuah video pesan doa kepada sebuah perkumpulan Kristen dimana pemimpin kebaktiannya berseru kepada tuhan “biarkanlah kuil-kuil Buddhis di kota ini luluh lantak”. Beberapa minggu belakangan ini tahun 2008, puluhan ribu umat Buddha di Korea Selatan mengadakan demonstrasi di Seoul, untuk memprotes diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah President Lee Myung-bak. Seperti yang dikutip oleh Bhagavant.com dari Joseon.com, seorang mantan pastor yang ditunjuk sebagai sekretaris presiden sempat membandingkan para demonstran tersebut sebagai “antek-antek setan”.


Vol. II No. 1 April 2011

79

Aksi damai ini menuntut President Lee Myung-bak yang beragama Presbyterian (salah satu aliran Kristen Protestan) untuk menghentikan diskriminasi agama dan meminta maaf atas perilaku beberapa pejabat senior pemerintahan dan juga dirinya yang cenderung menganaktirikan Buddhisme dan menganakemaskan agama Kristen (Bhagavant.com).

BUKTI TOLERANSI Pemerintahan rupanya ingin membuktikan kesungguhannya dalam toleransi umat beragama. Selain meminta maaf mengenai insiden tersebut di atas, pemerintah Korea Selatan juga memperbaiki sikapnya. Khususnya bagi umat Islam pemerintah setempat membuktikannya dalam bentuk: Pertama, warga Muslim di negeri ginseng ini akhirnya memiliki sekolah Islam pertama dengan seizin pemerintah Korea Selatan telah diresmikan pada Maret lalu. Sekolah itu dibiayai lewat dana hibah dari pemerintah Arab Saudi. Tahun 2008 lalu, Duta Besar Saudi di Seoul sudah menyerahkan dana sebesar 500 ribu dolar AS pada Korea Muslim Federation (KMF) untuk biaya pembangunan sekolah. kedua yang cukup menggembirakan para Muslim di sana adalah dibukanya sebuah pusat pengaduan masalah hak azasi manusia (HAM) khusus bagi masyarakat Muslim di Korea Selatan. Lembaga HAM Muslim ini merupakan yang pertama berdiri di Korea Selatan. Ketiga, pusat kebudayaan Islam yang berada di kota Seoul.

PENUTUP Perkembangan Islam yang pesat di Korea Selatan tidak terlepas dari sikap toleransi masyarakat dan kebijakan anti diskriminasi pemerintah setempat. Kebebasan beragama yang dirasakan oleh umat Islam di sana dapat juga dirasakan oleh umat Islam di belahan bumi lainnya sebagai bentuk persaudaraan hakiki. Perasaan itu juga dirasakan oleh umat Islam di Indonesia. Selain potensi teknologi yang tinggi dan modal yang besar dari Korea Selatan, sikap toleransi yang telah ditunjukkan oleh masyarakat di sana sangat cukup untuk memperkuat jalinan kerjasama yang lebih erat dan lebih luas antara Korea Selatan dengan Indonesia terutama karena Indonesia yang berpenduduk mayoritas beragama Islam. Semakin toleran masyarakat dan pemerintah Korea Selatan terhadap Islam dan umatnya, maka akan semakin terbuka peluang kerja sama yang lebih luas lagi antara Korea Selatan dengan Indonesia.


80

Korean Studies in Indonesia

DAFTAR PUSTAKA Bhagavant.com Blog: Berbagi Ilmu Pengetahuan English.voa-islam.com http://www.darulkautsar.com/keindahanislam/keunggulanislam/KYbooklet.htm. http://islamic-world.net/islamic-state/islam_in_korea.htm. http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Korea Ln/iol/www.kispa.org Lpk/kapanlagi.com Republika www.ln/KoreaTimes www.koreamuslimfederation


Vol. II No. 1 April 2011

81

PERAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM BIDANG LOGISTIK DI INDONESIA H. SUTARMAN (Pasundan University, Indonesia)

ABSTRACT THE ROLE OF INDONESIAN HUMAN RESOURCES IN LOGISTICS Despite the fact that Indonesia is richly abundant in natural resources, its resources have yet to play a major role in its economic growth due its inefficient system in logistics handling. Should this country be able to overcome and reform its logistics system, an effective and efficient movement and warehousing of goods from producers to consumers will be of greater advantage to the national economy. Apart from its weak system, the competitive capability in operating the logistics should also be of major concern. The main factor contributing to the problem is the country’s lack of competitive human resources in logistics handling. Keywords: human capital, customer service, inventory, transportation, warehousing (국문요약) 논문제목 : 인도네시아의 물류시스템에 있어서 인적자본의 역할 인도네시아는 비옥한 땅과 풍부한 해양자원을 보유하고 있는 군도대국이다. 그러나 물류 시스템의 절대적인 부족으로 경제성장을 이끌어내지 못하고 있다. 인도네시아가 양호한 물류시스템을 갖추고 있다면, 생산자로부터 소비자에 이르는 물류 이동과 보관을 보다 효과적이고 효율적으로 운영할 수 있을 것이 분명하다. 현재의 불비(不備)한 물류시스템 이외에도 공공부문과 민간부문에서도 경쟁적인 물류시스템 운영을 하지 못하고 있다. 이와 같은 현상은 주로 물류부문에서 인적자원을 증대시키지 못하고 있기 때문이다. 주제어 : 물류시스템, 공공부문, 민간부문, 인적자원

PENDAHULUAN Sejak tahun 1997 Indonesia dilanda badai kritis moneter, sehingga semua struktur ekonomi bangsa ini menjadi porak poranda, aktor-aktor penopang ekonomi Indonesia yang meliputi perbankan dan industri manufaktur/jasa, mengalami penurunan kinerja secara drastis, sehingga ekspor tersendat dan akhirnya negara tak mampu menahan krisis multidimensional.


82

Korean Studies in Indonesia

Namun kini ekonomi Indonesia mulai bangkit, krisis moneter telah lewat, sehingga krisis ekonomi, politik, dan hukum perlahan tapi pasti telah menunjukan peningkatan yang cukup signifikan, hal ini diindikasikan dengan kurs dolar yang stabil, tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan, suhu politik terasa mulai sejuk, dan supremasi hukum sedang menampakan sinar cerah, kita berharap selama lima tahun mendatang ekonomi Indonesia akan kembali pulih, dan yang lebih penting lagi dunia politik kita akan mengalami kedewasaan. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau, yang berada pada 12,5% dari total panjang lintasan garis ekuator, dengan lahan yang subur dan kandungan kekayaan laut yang melimpah. Kekayaan tersebut menjadi sumber pasokan untuk keperluan domestik maupun ekspor, jika Indonesia mampu berperan sebagai pemasok utama berbagai komoditas untuk kepentingan ekspor, maka laju pergerakan barang akan meningkat, dan proses interaksi bisnis akan berkembang pesat. Dampaknya akan mampu mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, khususnya pertumbuhan sektor riil, sehingga laju permintaan dan penawaran komoditas keperluan industri dan masyarakat akan meningkat dan hal ini pun niscaya akan mengungkit terhadap laju pergerakan dan penyimpanan komoditas, akibatnya adalah akan menambah keperluan tenaga kerja untuk menggerakkan industri, baik yang bersekala besar, menengah, maupun kecil. Agar pebisnis dapat menjalankan usahanya dengan baik, diperlukan sistem distribusi komoditas yang mantap, sehingga industri mampu mengirim dan menerima barang secara tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu, tepat tempat, tepat ongkos dan dikirim pada sasaran yang tepat. Untuk mewujudkan situasi tersebut diperlukan intervensi pihak pemerintah, melalui pembuatan regulasi dan pembangunan infrastruktur transportasi yang mampu memperlancar pergerakan dan penyimpanan komoditas keperluan industri.

KONDISI EKSIS (EXISTING CONDITION ) Saat ini pergerakan komoditas masih banyak restriksi-restriksi, karena sistem regulasi, prasarana dan sarana logistik masih terasa cukup mengganggu laju pergerakan komoditas yang diperlukan industri maupun masyarakat sebagai konsumen akhir, sehingga harga komoditas di pasar sering tidak stabil dan tingginya disparitas antar daerah, dengan kata lain biaya komersial untuk proses distribusi jauh lebih mahal dibanding biaya manufaktur. Pada tahun 2007 Bank Dunia melakukan survey tentang Logistics Performance Index (LPI), dari 150 negara yang disurvey, peringkat Indonesia berada pada posisi ke-43, sedangkan Singapura ke-1, Malaysia ke-27 dan Thailand urutan ke-31, survey tersebut juga berhasil


Vol. II No. 1 April 2011

83

mengungkap tentang peringkat biaya logistik Indonesia, dan ternyata berada pada posisi 93, dengan kata lain masih tingginya biaya logistik Indonesia dibanding biaya logistik negaranegara ASEAN. Adapun hasil survey yang dilakukan Bank Dunia pada tahun 2009, peringkat LPI Indonesia turun menjadi peringkat ke-75, masih tetap jauh di bawah kinerja negara-negara ASEAN. Berdasarkan hasil survey tersebut menyatakan bahwa rendahnya kinerja sistem logistik nasional ditandai dengan: 1. kelangkaan stok dan flukstuasi harga kebutuhan bahan pokok masyarakat, terutama pada hari-hari besar nasional dan keagamaan. 2. tingginya disparitas harga pada daerah perbatasan, terpencil dan terluar 3. rendahnya tingkat penyediaan kualitas dan kuantitas infrastruktur. 4. adanya pungutan tidak resmi dan biaya transaksi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. 5. tingginya waktu pelayanan ekspor dan impor, serta adanya hambatan operasional pelayanan di pelabuhan. 6. terbatasnya kapasitas dan jaringan pelayanan penyedia jasa logistik nasional.

PERAN SISTEM LOGISTIK NASIONAL (THE ROLE OF NATIONAL LOGISTICS SYSTEM) Secara umum peran sistem logistik yang baik adalah mampu menjamin terjadinya efektif dan efisiennya arus barang dari asal ke tujuan, dengan diimbangi biaya logistik yang bersaing dan pelayanan yang memuaskan. Mengingat posisi Indonesia sebagai negara kepulauan, maka menciptakan sistem logistik yang baik merupakan tantangan berat, namun pemerintah harus mampu mewujudkannya, karena melalui sistem logistik yang baik akan berakibat terhadap terciptanya biaya logistik yang kompetitif, sehingga komoditas yang dihasilkan bangsa Indonesia mampu bersaing di pasar global. Sistem logistik sangat berhubungan erat dengan keberadaan infrastruktur (prasarana) transportasi yang meliputi dermaga pelabuhan, bandar udara, jalan raya, trek kereta api, terminal peti kemas, selain itu perlu dukungan sarana berupa fasilitas logistik yang meliputi pergudangan, moda transportasi, sistem informasi dan regulasi. Jika sistem logistik tersebut memiliki kualitas dan kuantitas yang memadai dan sudah terintegrasi, maka akan membangkitkan iklim bisnis sehingga mendorong terhadap lancarnya pergerakan barang, dengan biaya yang efisien dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan meningkat.


84

Korean Studies in Indonesia

ROLE OF HUMAN CAPITAL 1.

2.

Ruang lingkup logistik secara umum membahas tentang beberapa faktor kritis, yaitu: The Role of Logistics in the Economy and Organization  Peran manager dalam menerapkan pendekatan sistem sangat penting karena pendekatan sistem sebuah konsep kritis dalam logistik, mengingat logistik sendiri adalah sistem jaringan dari beberapa aktivitas yang saling berhubungan untuk mengatur aliiran material dan personil dalam sebuah rantai pasok, maka pengaturan logistik yang baik, akan berakibat menurunnya biaya logistik, dan berdampak pada meningkatnya laba perusahaan.  Logistik memainkan peran kunci dalam ekonomi, dengan 2 cara. Pertama, logistik adalah merupakan pengeluaran utama dalam bisnis, maka akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi. Kedua, logistik mendukung pergerakan dan aliran transaksi ekonomi.  Manajemen logistik yang efektif telah diakui sebagai kesempatan kunci untuk memperbaiki profitabilitas dan kinerja bersaing sebuah perusahaan.  Aktivitas kunci logistik adalah meliputi: customer service, demand forecasting, inventory management, logistics communications, material handling, order processing, packaging, parts and service support, plant and warehouse site selection, procurement, return goods handling, reverse logistics, traffic and transportation, warehousing and storage. Logistik akan berperan secara efektif terhadap pertumbuhan ekonomi dan perusahaan jika mutu sumberdaya manusia yang terlibat di dalamnya memiliki tingkat kecerdasan dan keterampilan dalam mengatur sistem logistik. Customer service  Menetapkan kebijakan customer service yang didasarkan kepada kebutuhan pelanggan dan mendukung terhadap strategi pemasaran, adalah upaya yang sangat esensial. Apalah artinya tingkat produksi yang tinggi, harga kompetitif, promosi yang baik, jika produk tersebut tidak tersedia untuk konsumen?  Manajemen harus menetapkan standard customer service, harus mengembangkan standar kinerja, karyawan harus melaporkan secara teratur tentang tingkat customer service yang dicapai manajemen.  Kinerja Customer service yang dapat diukur dan dikontrol.  Harus memiliki sistem bagaimana strategi memperbaiki kinerja customer service. Sehubungan customer service logistik perusahaan sangat bersentuhan dengan kepentingan pelanggan, maka peran manager logistik dalam melayani pelanggan sangatlah penting dan keberadaannya bisa dinyatakan representasi perusahaan.


Vol. II No. 1 April 2011

85

Diperlukan mutu sumber daya manusia yang mampu merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan logistik agar order dapat dikirim tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu, tepat tempat, dan dengan biaya yang bersaing. 3.

Logistics Information Systems  Customer order cycle meliputi semua waktu yang diperlukan dari mulai pelanggan melakukan pemesanan, sampai dengan pesanan dapat diterimanya. Tahapannya adalah terdiri dari (1) order preparation and transmittal, (2) order receipt and order entry, (3) order processing, (4) warehousing picking and packing, (5) order transportation, (6) customer delivery and unloading.  Order entry and processing merupakan komponen dari fungsi logistik yang memanfaatkan teknologi elektonik dan teknologi komputer.  Sistem yang sudah berkembang bisa memastikan besarnya stock yang dimiliki dan kapan harus melakukan reorder.  Electronic Data Interchange (EDI) adalah sebuah system yang mampu mentransfer dokumen bisnis standard antar organisasi, melalui computer-to-computer.  Integrasi order processing dengan system informasi manajemen logistik perusahaan adalah merupakan keharusan yang tidak bisa ditinggalkan. Semakin kompleksnya permasalahan logistik, karena jumlah pemasok dan pelanggan yang banyak dan lokasi yang tersebar, produk yang customized, ekspektasi pelanggan yang dinamis, jumlah dan jenis part yang banyak dan bervariasi, maka memerlukan peranan sistem informasi logistik yang terintegrasi dan handal. Dalam upaya melayani pelanggan dan mengoperasikan sistem yang canggih, diperlukan dukungan sumber daya manusia yang terlatih dan terampil, baik dalam mendesain dan membangun, serta mengoperasikan sistem.

4.

Inventory Management  Secara umum tugas dari manager persediaan adalah harus dapat memutuskan (1) berapa ukuran order yang harus dipesan, dan (2) kapan order sebaiknya dilakukan.  Metode apa yang sebaiknya digunakan dalam mengambil keputusan tersebut.  Bagaimana melakukan koordinasi dengan bagian keuangan, pengadaan, dan produksi agar persediaan selalu termonitor secara up to date. Upaya perusahaan agar senantiasa mengetahui status persediaan bahan baku ataupun barang jadi, memerlukan manajer persediaan yang mampu melakukan keputusan kapan dan berapa ukuran pemesanan yang optimum dan berapa jumlah stok yang ada. Dengan


86

Korean Studies in Indonesia

demikian keterampilan karyawan pada bidang ini merupakan persyaratan yang harus dipenuhi. 5.

Transportation  Kewajiban manajer transportasi dalam upaya mendukung efektifnya aktivitas logistik adalah harus mampu melakukan penjadwalan transportasi, menentukan moda apa yang digunakan, pengadaan jasa trasnportasi, menggunakan rute perjalanan mana yang ekonomis, dan konsumen mana yang menjadi prioritas yang harus dikirim lebih dahulu.  Sarana transportasi bisa dilakukan dengan menggunakan moda kapal, truk, kereta api, pesawat dan lain-lain. Sehubungan kegiatan logistik merupakan agregasi dari kegiatan “move and store activity”, maka dalam memenuhi kegiatan “move”, pasti berhubungan dengan transportasi. Maka kegiatan transportasi perlu mendapat perhatian serius agar kondisi produk terjaga keamanannya, dan dapat sampai di lokasi konsumen tepat pada saat diperlukan. Apalah artinya produk tersedia, jika transportasinya tidak handal maka produk tidak akan sampai di komunitas pelanggan. Agar kegiatan logistik dapat dijalankan secara efektif diperlukan manajer transportasi yang berpengalaman dan responsif.

6.

Warehousing  Kegiatan pergudangan adalah kegiatan untuk menyimpan bahan baku atau barang jadi, agar siap digunakan untuk kegiatan produksi, dan siap dikirim ke pelanggan.  Sebelum bahan baku mengalami proses produksi, maka terlebih dahulu disimpan di gudang agar siap saat diperlukan bagian produksi.  Sebelum barang jadi dikirim ke pelanggan, terlebih dahulu disiapkan di gudang, dan bisa dilakukan pengemasan, labeling dll.  Kegiatan yang memiliki frekuensi tertinggi di gudang adalah kegiatan picking, dan banyak sekali para picker yang bekerja dalam gudang. Sehubungan gudang adalah tempat menyimpan aset yang besar, dan banyak pihak yang mengandalkan keterampilan kinerja gudang, maka diperlukan karyawan yang berintegritas tinggi dan keterampilan manajerial yang handal karena tingginya intensitas kerja di bagian ini.

7.

Purchasing  Purchaser adalah bagian yang berhubungan dengan pihak pemasok dalam upaya pengadaan barang atau jasa.


Vol. II No. 1 April 2011

87

Bertugas untuk mencari penjual atau pemasok yang memiliki kriteria yang cocok dengan kepentingan perusahaan. ď ˇ Bagian ini bertugas untuk mendapatkan barang yang sesuai dengan spec dan harga yang murah, serta dapat diperoleh secara tepat waktu. Selain harus menguasai product knowledge yang diperlukan bagian produksi, terdapat tantangan yang senantiasa dihadapi oleh bagian ini adalah “godaanâ€? dari pihak pemasok/penjual, agar produknya bisa diterima walau dengan mutu yang tidak sesuai. Maka diperlukan petugas yang yang berpengalaman dalam menetukan spec produk, dan diperlukan juga ketrampilan negosiasi, serta kejujuran yang luar biasa. ď ˇ

Ke-6 aktivitas kunci logistik yang meliputi pengelolaan logistics system, logistics customer service, logistics information system, inventory management, transportation, warehousing, and purchasing, masih memerlukan human capital yang lebih, baik dipandang dari sudut mutu maupun jumlah. Berdasarkan data pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, belum ada fakultas atau program studi S1,S2 maupun S3 yang secara eksplisit menyelenggarakan bidang ilmu logistik, hal ini berakibat terhadap mutu kinerja logistik Indinesia masih di bawah negara tetangga.

PENUTUP Bedasarkan uraian pada latar belakang, kondisi eksisting, peran system logistik nasional, maka The role of human capital on Indonesia Logistics, adalah sebagai berikut: 1. Human Capital on Indonesian logistics, masih belum memenuhi persyaratan, hal ini terbukti bahwa peringkat Logistics Performance Index masih sangat rendah disbanding dengan negara ASEAN. 2. Agar human capital dalam bidang logistic Indonesia mencapai mutu dan jumlah yang memadai, perlu dibuka Perguruan Tinggi yang memusatkan perhatiannya pada bidang logistik. 3. Kementerian Perdagangan dan Kementrian Perindustrian RI perlu mempromosikan pentingnya logistics knowledge kepada pihak pengusaha, agar mereka mampu bersaing di pasar global. 4. Kementerian Pekerjaan Umum perlu mendorong terbentuknya system logistik nasional yang handal, agar mampu mengurangi ekonomi biaya tinggi.


88

Korean Studies in Indonesia

DAFTAR PUSTAKA Ballou, Ronald. H, 1990 : Business Logistics Management, Planning and Control, 3 rd Edition, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey 07632. Blanchard, Benjamin S, 1992 : Logistics Engineering and Management, Fourth Edition, Prentice Hall International Series in Industrial and System Engineering, Englewood Cliffs, NJ07632. Donath, Bob, Joe Mazel, Cin Dubin, Perry Patterson, 2002 : The IOMA Handbook of Logistics and Inventory Management, John Willey & Sons, Inc. USA. Lambert, Douglas M, James R. Stock, Lisa M. Elram, 1998 : Fundamentals of Logistics Management, International Edition, Irwin McGreaw-Hill International Edition. Vavra, Terry G, 1997 : Improving Your Measurement of Customer Satisfaction, ASQC Quality Press, Milwaukee, Wisconsin , USA. Cetak Biru Sistem Logistik Nasional 2009.


Vol. II No. 1 April 2011

89

PRODUK ALAMI UNTUK KESEHATAN DAN KOSMETIK DARI INDONESIA DAN KOREA AMIR HUSNI (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)

ABSTRACT NATURAL PRODUCTS FOR HEALTH AND COSMETICS FROM INDONESIA AND KOREA Indonesia—ther world’s largest archipelagic country with 17,508 islands and 81,000 km coastline—is recognized as a country with abundant biodiversities, including coral reefs and other marine organisms. The natural sea products have attracted a lot of attention from chemists and biologists in the country for the past five decades. On the other hand, Korea is one of a few countries that excels in terms of medicine and cosmetic products. Since the 1970s and continued in the 1980s, Korea has developed new kinds of medicinal products. The focus on antibiotics had been initiated in the 1990s, while starting from the 2000s the trend has been geriatric medicine. At present, the major focus of Korean pharmaceutical industry has been on the efforts to improve people’s life quality such as ways to overcome obesity, alopecia (baldness), and erectile dysfunction. Keywords: organism diversity, medicinal products, cosmetic products, pharmaceutical industries (국문요약) 논문제목 : 인도네시아와 한국의 건강 식품 및 화장품 자연원료 인도네시아는 17,508개의 섬으로 이루어져 있고 81,000 km에 걸친 영해를 차지하고 있는 세계 최대의 도서국가로서 전세계적으로 가장 많은 해양생물을 보유하고 있는 자원부국으로 인정받고 있다. 해양자원은 지난 50여 년간 화학과 생물학 분야에서 많은 전문가들의 관심대상이 되어 왔다. 한국은 의약품 및 화장품 분야가 발전한 국가 중 하나이다. 1970년대부터 의약품을 직접 제조하기 시작했고, 이후 1980년대에는 신약개발에도 착수하였다. 1990년대까지는 항생제 개발에 주력하였고, 2000년대 이후로는 노인의약품 개발에 박차를 가하기 시작했다. 앞으로는 삶의 질을 향상시키기 위해서 비만, 탈모, 발기부전 의약품 개발이 한국 의약품 산업의 주요 개발품목이 될 것이다. 주제어: 해양생물, 의약품, 화장품, 신약개발


90

Korean Studies in Indonesia

PENDAHULUAN Produk alami atau metabolit sekunder adalah senyawa organik yang dibentuk oleh tanaman dan binatang dan tidak memiliki fungsi secara jelas dalam organisme. Sejumlah spesies tertentu menghasilkan metabolit sekunder. Senyawa ini menarik minat ilmiah karena mereka biasanya mempunyai pengaruh terhadap organisme hidup lain; sering memainkan bagian dalam mengarahkan interaksi antara tanaman, mikroorganisme, serangga dan hewan. Pertahanan bahan kimia, anti-feedants, atraktan dan feromon semua merupakan produk alami. Manusia telah menggunakan ekstrak tanaman atau hewan untuk mengobati berbagai penyakit sejak zaman kuno, bahkan diperkirakan lebih dari 40% dari obat yang sedang digunakan berasal dari produk alami dan turunannya. Selama 40 tahun terakhir, produk alami laut telah menjadi semakin populer dalam bidang penelitian. Lebih dari 12.000 senyawa baru telah diekstrak dari tumbuhan laut, mikroorganisme dan hewan. Penjualan produk alami laut secara global pada tahun 2002, termasuk senyawa anti-kanker, antibiotik dan antivirus, diperkirakan sekitar US $ 2,4 miliar. Sebagai contoh, keuntungan tahunan obat dari spons untuk mengobati herpes mencapai nilai sebesar US $ 50 juta (Dewi dkk., 2008). Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau dan 81.000 km garis pantai diakui sebagai yang terkaya di dunia dalam hal keragaman organisme laut. Terumbu karang Indonesia secara khusus memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, membentuk pusat keragaman organisme laut. Keanekaragaman hayati yang luar biasa ini menawarkan peluang yang besar dan tantangan untuk penemuan gen baru, enzim, metabolit sekunder yang mungkin sangat berguna dari kedua perspektif ilmiah dan biomedis. Korea merupakan salah satu negara yang cukup maju di bidang obat-obatan dan kosmetik. Korea telah mulai membuat obat-obatan sejak tahun 1970-an, kemudian pada tahun 1980-an mulai mengembangkan obat-obatan yang baru. Fokus pengembangan antibiotik sampai tahun 1990-an dan setelah tahun 2000 mulai mengembangkan obat geriatric. Selanjutnya, untuk meningkatkan kualitas hidup, obesitas, alopecia, dan obat-obatan disfungsi ereksi akan menjadi pengembangan utama industri farmasi Korea.

PRODUK ALAMI DARI ORGANISME LAUT (INDONESIA DAN KOREA) Produk alami laut telah menarik perhatian para ahli kimia dan biologi selama lima dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa produk-produk alami dari laut telah menunjukkan struktur molekul yang sangat menarik dan aktivitas biologis yang menjanjikan. Produk alami laut sebagian besar berasal dari invertebrata laut seperti spons, karang lunak, ascidia, gorgonia, pena laut, ganggang, dan jamur.


Vol. II No. 1 April 2011

1.

91

Spons

Spons merupakan hewan akuatik dari filum Porifera. Spons dibagi ke dalam kelas berdasarkan jenis spikula dalam kerangka mereka. Tiga kelas spons adalah boni (Calcarea), glas (Hexactenellida) dan spongin (Demospongiae). Produk alami dari bunga karang Indonesia sebagian besar berasal dari spongin (Demospongiae) sebagai contoh Haliclona sp., Xestospongia sp., Theonella sp. dan Hyrtios sp. Penelitian tentang spons di Indonesia dimulai pada akhir 1980-an oleh Corney dkk., yang menemukan dua macrolides baru dari Hyatella sp. yaitu laulimalide dan isolaulimalide. Kedua senyawa mempunyai aktivitas sitotoksis terhadap cell line KB (IC50 = 15 ng/ml). Selain itu, laulimalide juga menunjukkan potensi yang tinggi terhadap cell line multidrug resisten SKVLB-1 (IC50 1.2 pM). Sebaliknya, isolaulimalide secara signifikan kurang kuat terhadap cell line KB (IC50> 200 nM) serta cell line SKVLB-1 (IC50 1.6 mM). Hasil ini menunjukkan bahwa gugus epoksida laulimalide untuk kegiatan antitumor sangat penting ditingkatkan. Penelitian terbaru juga melaporkan bahwa laulimalide bertindak sebagai agen stabilisasi-mikrotubulus dan menghambat P-glikoprotein yang bertanggung jawab untuk resistensi multiobat pada sel tumor. Hal tersebut juga telah menunjukkan bahwa laulimalide 100 kali lipat lebih kuat daripada Taxol cell line multi-drug resisten. Dengan demikian, laulimalide merupakan kelas baru dari agen penstabil-mikrotubulus yang mempunyai potensi klinis yang signifikan. Pada tahun 1993, Carney dkk. telah mengisolasi makaluvamine G, sebuah alkaloid pyrolloquinoline dari Histodermella sp. yang juga menunjukkan tingkat sitotoksisitas yang signifikan terhadap beberapa sel tumor dan merupakan inhibitor moderat topoisomerase-I, DNA, RNA, dan sintesis protein. Pada tahun yang sama, Ichiba dkk. telah berhasil mengisolasi dua bromo baru-tersubstitusi asam lemak tak jenuh ganda C16 dari spons Indonesia, Oceanapia sp. Dua senyawa antitumor, asam manadic A-B dan asam elenic ditemukan masing-masing pada Plakortis sp. dan Plakinastrella sp. Asam manadic A ditemukan cukup aktif sebagai agen antitumor dan imunomodulator, sedangkan asam manadic B hanya aktif sebagai antitumor terhadap beberapa sel tumor. Namun demikian kedua senyawa tidak aktif sebagai antiHIV. Asam elenic menunjukkan sitotoksisitas dengan IC50 5 ug/mL dalam P-388, A-549 dan MEL-28 dengan menghambat topoisomerase-II, yang dianggap sebagai enzim indikator dalam pengobatan kanker paru-paru pada konsentrasi 0,1 mug/mL. Selama tahun 19942000, senyawa yang lebih baru juga telah dilaporkan, namun kebanyakan tidak memiliki aktivitas farmakologi yang menarik. Taman dkk. menyelidiki senyawa bastadins, turunan tirosin dari Ianthella basta. Kumusine dari Theonella sp., kauluamine dari Prianos sp., waiakemikeamide dari Ircinia dendroides, clathryimine A dari Clathria basilana, laulimalide, suatu macrolide dari


92

Korean Studies in Indonesia

Hyatella sp., noelaquinone dari Xestospongia sp., diketotriterpenoids dari Hyrtios erectu dan barangamide A-C, serangkaian peptida dari Theonella swinhoei, juga dilaporkan. Hanya satu publikasi baru yang menunjukkan adanya senyawa bioaktif dari Axinella carteri. Enam alkaloid juga telah diisolasi, termasuk turunan baru brominasi guanidin, 3-hymenialdisine. Hymenialdisine dan hymenialdisine debromo ditemukan menunjukkan aktivitas insektisida terhadap larva neonate dari polifagus hama serangga Spodoptera littoralis (LD50 masing-masing 80 ppm dan 125 ppm). Debromohymenialdisine, hymenialdisine, dan 3-bromohymenialdisine juga menunjukkan aktivitas sitotoksik terhadap sel limfoma, sementara sisanya alkaloid tidak aktif. Mulai dari tahun 2000, pengembangan yang signifikan dari penelitian produk alami dari organisme laut Indonesia meningkat. Dari spons laut, Strepsichordaia aliena, Jimenez dkk. menemukan honulactones A-L, yang menunjukkan sitotoksisitas terhadap P-388, A549-HT 29, dan MEL-28 (IC50 1 mg/mL). Sementara Aoki dkk. memperoleh serangkaian polyacetylenes baru dari Haliclona sp. yang dikenal sebagai lembehynes A-C yang menunjukkan aktivitas neuritogenic pada pheochromocytoma PC12 dan sel neuroblastoma Neuro 2A pada konsentrasi 2 dan 0,1 mg/mL. Penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa rantai karbon panjang dan gugus hidroksil pada C-3 di lembehynes sangat penting untuk aktivitasnya, sedangkan obligasi tak jenuh kurang berperan terhadap aktivitas tersebut. Labuanine A, alkaloid baru pyridoacridine juga diperoleh dari Biemna fortis, menginduksi diferensiasi neuronal pada sel neuroblastoma. Sebuah modulator multidrug assistance (MDA) pada sel tumor, kendarimide A dari Haliclona sp. dilaporkan pada tahun berikutnya. Selanjutnya alkaloid steroid anti-angiogenik, cortistatins J-L diisolasi dari Corticium simplex, tetapi hanya cortistatin J yang menunjukkan aktivitas anti proliferasi terhadap sel endotel vena umbilikalis manusia (HUVECs) pada konsentrasi 8 nM. Proses diferensiasi K562 chronic myelogenous leukemia (CML) oleh smenospongine dari Dactylospongia elegans juga telah diteliti. Enam studi memberikan kontribusi untuk memperoleh produk antimikrobia alami yang dilakukan sepanjang 2003-2007. Tiga seri terpenoid diisolasi dari Haliclona sp., Melophlus sarassinorum dan Acanthodendrilla sp. yaitu halicotriol A-B, sarasinosides J-M dan acantholides AE. Calcul dkk. menyelidiki alkaloid baru kelas aaptamine dari spons laut genus Xestospongia. Aktivitas antimikroba mereka diuji terhadap strain bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus) dan Gram negatif (Escerichia coli dan Vibrio anguillarum) dan jamur (C. tropicalis). Hanif dkk. juga melaporkan difenil eter bifenil dari Lamellodysidea herbacea yang memiliki aktivitas antimikroba terhadap Bacillus subtilis dan sitotoksisitasnya lemah terhadap sel epitel kandung kemih tikus NBT-T2, dan menunjukkan bahwa kehadiran dua kelompok hidroksil phenolic dan bromines di C-2 dan/atau C-5 berperan penting untuk aktivitas antibakteri.


Vol. II No. 1 April 2011

93

Pada tahun 2003-2006 Rao telah memberikan kontribusi delapan belas alkaloid baru manzamines bersama dengan dua carbolines beta dan lima nukleosida yang diisolasi dari Acanthrostrongylophora sp. yang berpotensi untuk pengobatan penyakit tropis (malaria dan Leishmania) serta TBC dan agen antimikroba. Namun demikian semua oxamanzamines dilaporkan tidak aktif terhadap M. tuberculosis, P. falciparum, dan L.. donovani. Pengujian SAR menunjukkan bahwa pengurangan dari olefin C-32 dan C-33 dan oksidasi C-31 juga secara signifikan mengurangi aktivitas antimalaria untuk alkaloid manzamine secara in vivo. Perbedaan yang signifikan dalam aktivitas biologis manzamine A, manzamine E, dan 12,34-Oxa-derivatif menunjukkan bahwa hidroksi C-12, methine C-34, atau konformasi cincin alifatik rendah memainkan peran kunci dalam antimalaria dan aktivitas leishmanicidal dan memberikan pemahaman yang berharga tentang gugus struktural yang dibutuhkan untuk aktivitas antimalaria dan Leishmania. Perbedaan dalam kegiatan antimalaria dan antileishmania dari manzamines A dan J menunjukkan bahwa ikatan antara N-27 dan C-34 kemungkinan sangat penting untuk aktivitas antimalaria dan Leishmania. Perbandingan M. tuberculosis dan aktivitas antimalaria dari manzamine E dan turunannya hidroksil yang menunjukkan bahwa fungsi hidroksil dan posisinya pada bagian Ă&#x; -carboline kemungkinan memainkan peran yang signifikan dalam aktivitas biologis. Aktivitas leishmanicidal sangat signifikan terhadap A irChinal, IC50 0,9 mg/mL dan pada tingkat IC90 1,7 mg/mL menunjukkan bahwa gugus Ă&#x; carboline tidak penting untuk kegiatan melawan parasit Leishmania secara in vitro namun secara signifikan berbeda dari malaria. Selain itu, hasil penelitian Hamann dkk. menunjukkan bahwa manzamine A efektif dalam meningkatkan hyperphosphorylation dalam sel neuroblastoma manusia dan menghambat glikogen sintase kinase-3 (GSK-3), sehingga dapat dirancang sebagai agen terapi yang potensial untuk penyakit Alzheimer’s. Beberapa senyawa lain yang memiliki antitumor juga ditemukan dan diidentifikasi sebagai bitungolides dari Theonella inhoei, puupehenone dari Hyrtios sp., naamines dan naamidines dari Leucatta chagosensis, plakorstatins dari Plakortis nigra, dan asam coelidiol dan coeloic dari Coelocarteria singaporensis. Rashid dkk. pada tahun 2001 melaporkan penemuan microspinosamide dari Sidonops microspinosa, efektif dalam menghambat efek infeksi cytopathic HIV-1 secara in vitro dengan EC50 0,2 mg/mL. Sementara Suna dkk. mengisolasi alkaloid guanidin pentasiklik, crambescidin 800 dari Monanchora ungiculata, yang melindungi sel hippocampal terhadap proses oksidasi yang disebabkan oleh stress-glutamat oksidatif. Dua pyrroloiminoquinone alkaloids dari kelas discorhabdin telah diisolasi dari spon Sceptrella sp., koleksi dari Gageodo, Korea. Senyawa tersebut menunjukkan aktivitas sitotoksik, antibakteri, dan aktivitas penghambatan terhadap sortase A dari moderat sampai signifikan (Jeon et al., 2010).


94

2.

Korean Studies in Indonesia

Karang Lunak

Karang dapat tumbuh secara alami pada kedalaman lebih dari 0,6 m, dan ditemukan dalam berbagai warna. Karang lunak ditemukan terutama di perairan tropis di seluruh dunia dalam berbagai lingkungan mulai dari terumbu karang dekat pantai pantai hingga kedalaman 60 m. Karang lunak membantu menjaga kesehatan dan keseimbangan ekosistem terumbu dan memberikan perlindungan pada hewan banyak. Di sisi lain, karang lunak banyak juga memancarkan lendir dengan jejak bahan kimia yang menolak organisme lain seperti spons dan ganggang, yang tumbuh di atas karang lunak. Tidak seperti spons, penelitian tentang karang lunak di Indonesia jauh lebih sedikit. Dari 1997-2002, hanya tiga penelitian yang melaporkan tentang temuan senyawa baru dari karang lunak Indonesia. Handayani dkk. meneliti Nephtea chabrolii dan mememukan dua seskuiterpena baru, yaitu hydroxycolorenone dan methoxycolorenone. Ini adalah laporan pertama terjadinya seperti metabolit liverwort terestrial di karang lunak laut. Hydroxycolorenone menunjukkan aktivitas insektisida terhadap larva neonate dari polifagus hama serangga Spodoptera littoralis dengan EC50 dari 8,8 ppm dan LC50 sebesar 453 ppm. Sebuah secosterol dengan rantai samping gorgosterol dan pola oksigenasi yang tidak biasa pada cincin A dan B ditemukan oleh Morris dkk. dari Lobophytum sp dan dilaporkan memiliki aktivitas antitumor dan antileukimia terhadap tumor ovarium manusia dan sel leukemia manusia. Pada tahun 2002, Anta dkk. juga mengidentifikasi serangkaian xeniolides, diterpenoids dari Xenia sp. namun tidak ada aktivitas biologis yang dilaporkan.

3.

Ascidians

Ascidiacea adalah kelas dalam subfilum Tunicata. Sementara anggota Thaliacea dan Larvacea berenang bebas seperti plankton, menyemprotkan laut adalah hewan sesil: mereka tetap terpasang kuat ke dasar seperti batu dan kerang. Ada 2.300 spesies ascidia dan tiga jenis utamanya adalah: ascidia soliter, ascidia sosial yang membentuk masyarakat yang terlampir mengelompok di pangkalan mereka dan ascidia senyawa yang terdiri dari individuindividu kecil yang banyak (masing-masing individu disebut zooid) membentuk koloni dengan diameter hingga beberapa meter. Lissoclinum cf. badium dan Polycarpa aurata dilaporkan berturut-turut mengandung lissoclibadins dan polycarpaurines. Semua senyawa tersebut mempunyai aktivitas menghambat pembentukan koloni sel V79. Lissoclibadins juga menunjukkan aktivitas antimikroba lemah terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Saccharomyces cerevisiae. Dari genus yang sama untuk Lissoclinum cf. badium, Lissoclinum patela juga memproduksi Lissoclinamide 910, peptida tanpa aktivitas farmakologi.


Vol. II No. 1 April 2011

4.

95

Gorgonians

Ini koloni karang besar yang mudah untuk dikenali karena bentuknya yang menyenangkan. Sebuah gorgonia, juga dikenal sebagai cambuk laut atau kipas laut, merupakan urutan koloni cnidarian sessile yang dapat ditemukan di seluruh lautan dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis. Gorgonia diklasifikasikan dalam filum Cnidaria, kelas Anthozoa, di antara ordo Alcyonacea (karang lunak) dan Pennatulacea (pena laut). Ada sekitar 500 spesies yang berbeda dari gorgonia ditemukan di lautan dunia, terutama di perairan dangkal Atlantik dekat Florida, Bermuda, dan Hindia Barat. Gorgonia termasuk ke dalam genus Junceella (Gorgonacea) dikenal menghasilkan diterpenoids kelas briarane (cembranoids 3,8-cyclized). Garcia dkk. melaporkan bahwa kelompok junceellolides dari Junceella fragilis memiliki substituen kloro dan kelompok epoksida, sedang diterpenoids baru lainnya, stecholide H dan J, juga ditemukan dari Briaerum sp. Namun, baik junceellolides dan senyawa stecholides ditemukan tidak memiliki aktivitas biologis. Di sisi lain, Isis hippuris diakui sebagai sumber yang kaya steroid polyoxigenated sitotoksik. Tiga belas steroid baru telah diisolasi oleh Gonzales dkk. dan dilaporkan memiliki aktivitas sitotoksik. Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan bahwa steroid bantalan cincin spiroketal lebih aktif daripada mereka yang tidak memiliki fitur ini.

5.

Pena Laut

Pena laut Pennatulacea adalah salah satu dari empat ordo dari kelas Octorallia, yang dapat diidentifikasi oleh adanya delapan tentakel. Ada 14 famili dalam ordo tersebut; mereka diperkirakan memiliki distribusi kosmopolitan di perairan tropis dan subtropis di seluruh dunia. Pena laut dikelompokkan sebagai Oktokoral (“karang lunak�), bersama dengan cambuk laut dan bulu laut. habitat yang dipilih antara pena laut berlumpur substrat di fjord terlindung. Mereka hidup di semua kedalaman 15-20 meter atau lebih. Sejauh ini, hanya satu publikasi yang melaporkan temuan senyawa baru dari pena laut, Varetillum malayense. Fu dkk. telah mengisolasi malayenolides A-D, empat diterpenes briarane baru, yang menunjukkan toksisitas pada uji letalitas air garam (BSLT). Diterpenes baru tersebut memiliki substituen benzoat dan senecioate, keduanya merupakan senyawa langka di antara produk-produk alami laut.

6.

Algae

Organisme laut lain yang juga dianggap sebagai sumber potensial senyawa bioaktif adalah algae. Algae laut merupakan kelompok besar dan beragam dari organisme tumbuhan sederhana, mulai dari bersel satu ke bentuk multiseluler. Bentuk algae laut terbesar dan paling kompleks disebut rumput laut. Mereka dianggap “seperti-tumbuhan� karena mereka


96

Korean Studies in Indonesia

mempunyai kemampuan berfotosintesis dan “sederhana� karena mereka tidak memiliki organ yang berbeda sebagaimana organ pada tanaman yang lebih tinggi seperti daun dan jaringan vaskular. Banyak sumber modern membatasi definisi algae untuk organisme eukariotik. Beberapa spesies algae membentuk hubungan simbiosis dengan organisme lain. Dalam kasus dengan spons simbiosis alga, algae membantu fotosintesis (bahan organik) ke spons yang memberikan perlindungan kepada sel-sel algae. Algae dapat dimanfaatkan untuk makanan, obat-obatan dan bahan baku farmasi lainnya. Alginat hanyalah salah satu produk dari algae laut kelas Phaeophyceae (algae coklat) yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku untuk produk-produk kefarmasian juga industri makanan dan minuman. Pada tahun 2000, Tan dkk. menemukan bioaktif baru heptapeptide siklik dari Ceratodyction spongiosum ganggang merah yang berasosiasi dengan spons Sigmadocia symbiotica. Namun, hanya trans, trans-ceratospongamide ditemukan berpotensi menghambat ekspresi SPLA (2) dalam suatu model berbasis sel untuk antiinflamatori (ED50 32 nM), sedangkan cis, cis isomer tidak aktif. Trans, trans-ceratospongamide juga terbukti dapat menghambat ekspresi SPLA(2) sebesar 90%. Penelitian Kim dkk. (2009) menunjukkan bahwa 2 jenis rumput laut dari Pulau Jeju Korea mempunyai aktivitas sitotoksik. Ekstrak Sargassum thunbergii menunjukan aktivitas sitotoksisitas yang sangat baik terhadap sel HL-60. Selanjutnya ekstrak Dictyopteris divaricata (Jeju Seaweeds) mempunyai aktivitas sitotoksik terhadap sel HT-29 dan sel B16F10. Produksi rumput laut Indonesia, khususnya jenis-jenis rumput laut yang tumbuh di daerah tropis adalah yang terbesar di dunia. Kontribusi Indonesia dalam bahan baku sudah diakui internasional, tetapi peran dan kontribusi Indonesia dalam industri pengolahan rumput laut masih harus ditingkatkan dan masih memiliki peluang cukup besar, seperti untuk industri agar-agar dan industri karaginan. Konsumen merupakan pasar yang potensial bagi perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan pangan. Pada umumnya yang pertama kali diperhatikan konsumen saat memilih makanan atau minuman adalah kenampakan visualnya, terutama warna. Tidak sedikit orang yang membeli suatu jenis makanan hanya karena melihat warnanya yang menarik. Menyadari pentingnya warna, maka produsen makanan seringkali menambahkan pewarna pada produk makanannya baik berupa pewarna alami (pigmen) ataupun pewarna sintetik. Pigmen atau zat warna alami dapat diperoleh dari tanaman atau hewan. Pigmen yang dihasilkan dari rumput laut coklat dapat menggantikan pewarna sintetis yang akhir-akhir ini penggunaannya semakin meningkat. Beberapa pigmen yang dinyatakan seringkali digunakan sebagai bahan pewarna alami, antara lain karotenoid, fukosantin, karamel, kurkumin, klorofil, flavonoid, seperti tannin, katekin, antosianin dan lain-lain.


Vol. II No. 1 April 2011

97

Untuk pewarna tekstil, alga coklat yang digunakan adalah yang memiliki struktur manuronat lebih banyak dalam hal ini ada pada Sargassum dan Turbinaria. Struktur kimianya mengikat zat pewarna, namun lebih mudah melepaskannya pada bahan kain. Bahan pewarna alami ini kini mulai banyak digunakan menggeser pewarna sintetis. Hal ini tentunya akan memberi banyak keuntungan bagi Indonesia yang memiliki rumput laut jenis alga coklat yang melimpah. Selain ramah lingkungan karena bukan bahan kimia berbahaya dan beracun, harga pewarna alami dari rumput laut juga relatif murah dibandingkan pewarna kimia sintetis. Pembuatan batik cap dengan pewarna rumput laut dapat menekan biaya hingga 25 persen. Berbeda halnya dengan di Jepang dan Korea yang telah memanfaatkan Undinaria (salah satu jenis rumput laut coklat) sebagai bahan makanan yang kaya akan fukosantin. Jenis rumput laut penghasil alginat antara lain Laminaria (Norwegia, Perancis, China, Jepang, Korea), Lessonia (Chile), Ascophyllum (Skotlandia, Irlandia), Ecklonia (Jepang, Korea), Macrocystis (Australia, Amerika Utara), Sargassum dan Turbinaria (Indonesia, Filipina). Spirulina merupakah salah satu algae yang tidak kalah pentingnya dari rumput laut. Menurut USDA, spirulina memiliki kandungan lengkap vitamin dan mineral. Spirulina mengandung kalsium 3 kali lebih tinggi dibanding susu hewani, zat besi 3 kali lebih besar dibanding bayam. Suku Aztec memanfaatkan spirulina sebagai makanan sehari-hari untuk menjaga kesehatan. Ia efektif meningkatkan stamina dan sistem kekebalan tubuh. Algae berwarna hijau kebiruan itu awalnya hanya diketahui sebagai penurun kolesterol. Namun dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa spirulina juga kaya antioksidan karena mengandung 3 pigmen kaya protein yaitu phykosianin, klorofi l, dan zeasantin. Phykosianin, antioksidan larut air, penunjang kesehatan hati dan ginjal. Zeasantin, antioksidan pelindung mata terutama saat tua. Sedangkan klorofi l merupakan antioksidan yang bersifat antikanker dan antiracun. Selain antikanker dan antiracun, spirulina dalam konsentrasi 5-10 ?g/ml mampu menghambat pembelahan sel HIV-1. Itu disebabkan spirulina memiliki kandungan kalsium spirulan, molekul polimerisasi gula berisi kalsium dan sulfur. Konsumsi spirulina terbukti memberikan masa hidup lebih lama pada pasien AIDS. Selain itu ekstrak spirulina memiliki sifat antiviral. Ia efektif melawan virus herpes simpleks tipe 2, pseudorabies virus (PRV), human cytomegalovirus (HCMV), dan HSV-1, dengan dosis efektif (ED50) masing-masing sebesar 0,069, 0,103, 0,142, dan 0,333 mg/ml.

7.

Fungi/Jamur

Selama 2000-2008, tiga studi pada fungi laut telah dilakukan. Fermentasi fungi laut ditemukan metabolit baru ordo hexaketidel, iso-cladospolide B; Seco-patulolide C dan 12macrolides yaitu pandangolide 1 dan pandangolide 2. Dari spons laut yang berasosiasi


98

Korean Studies in Indonesia

dengan fungi, Aspergillus versicolor, telah dilaporkan menghasilkan 6 derivatif chromone baru yaitu aspergione A-F. Studi lain juga melaporkan enam poliketida baru angucyclinone, yaitu panglimycins A-F, yang diisolasi dari ekstrak strain Streptomyces ICBB8230. Tak satu pun dari senyawa yang disebutkan di atas yang menunjukkan potensi bioaktivitas.

8.

Timun Laut/Teripang

Teripang adalah echinodermata laut dari kelas Holothuroidea yang hidup di berbagai habitat dasar laut dan dapat ditemukan di perairan tropis yang hangat ke dingin parit laut dalam. Teripang telah lama digunakan tidak hanya sebagai tonik makanan yang beredar di wilayah Indo-Pasifik tetapi juga sebagai obat tradisional di Asia Timur termasuk Korea karena nilai nutraceuticalnya yang tinggi (Zhong et al, 2007). Ekstrak teripang telah dibuktikan memiliki beberapa aktivitas biologis seperti antijamur, antioksidan, antitumor, antibakteri, imunomodulator dan juga untuk bahan kosmetik (Husni et al., 2009). Indonesia merupakan penghasil teripang terbesar di dunia. Teripang tidak hanya digunakan untuk makanan akan tetapi sejak zaman purba teripang Stichopus hermanii telah dikenal berkhasiat sebagai obat. Itu tak hanya kepercayaan masyarakat Korea dan China, tetapi juga berbagai bangsa. Nelayan Malaysia, misalnya, lazim meminum ekstrak teripang sebelum melaut. Efek toniknya menguatkan badan. Di Pulau Langkawi, Kedah, teripang digunakan sebagai obat luka ringan, sakit sendi, radang, asma, paru-paru, tekanan darah tinggi, dan kencing manis. Sebagai sumber protein teripang mempercepat penyembuhan luka dalam setelah operasi, bersalin normal, dan caesar. Teripang juga dapat dibuat dalam bentuk jeli. Secara klinis, teripang dapat meningkatkan daya tahan tubuh, mengurangi rasa sakit dan gatal pada permukaan kulit, menurunkan kadar gula, menurunkan kolesterol, membersihkan racun dalam hati, menurunkan tekanan darah, melancarkan peredaran darah, menyembuhkan penyakit maag, dan dapat menyembuhkan penyakit asma kronis. Selain itu ekstrak teripang juga dapat digunakan sebagai perawatan kecantikan karena mempunyai senyawa penghambat enzim tyrosinase dan penyembuh luka pada ibu-ibu usai bersalin karena mengandung protein dan collagen. Teripang mengandung 86% protein. Proteinnya mudah diuraikan oleh enzim pepsin. Dari jumlah itu sekitar 80% berupa kolagen. Itu sebagai pengikat jaringan dalam pertumbuhan tulang dan kulit Dalam pertumbuhan tulang, suplemen kalsium saja tidak cukup, lantaran tulang terdiri dari kalsium fosfat dan kolagen sebagai pengisi. Kandungan lain dalam teripang adalah mucopolisacharida atau glycosaminoglycans (GAGs). Dalam bentuk kondroitin sulfat ekstrak teripang dapat memulihkan penyakit-penyakit sendi dan membangun kembali tulang rawan. Zat tersebut menghilangkan linu sendi akibat duduk terlalu lama.


Vol. II No. 1 April 2011

99

CONTOH PERUSAHAAN DAN PRODUK ALAMI Beberapa perusahaan dari Korea yang menghasilkan produk alami laut antara lain: 1. BINEX Company, 2. Bio Max Co.,Ltd., 3. BioLeaders Corporation, 4. Bioneer Corporation, 5. Bioprogen Co., Ltd., 6. Biosesang Inc., 7. Biospectrum,Inc, 8. BKF, 9. CELLTRION, 10. Crea Gene Inc., 11. Daesang, 12. Dbio Inc., 13. F&F Company, 14. Genochekc, 15. Genofocus, Inc., 16. Genomictree. Inc., 17. Greengene Biotech Inc., 18. Gyeonguk Institute for BioIndustry, 19. Humasis, 20. Insect Biotech, 21. LabFrontier Co., Ltd., 22. LabGenomics, 23. MACROGEN. Inc. 24. Medy-Tox Inc., 25. Neopharm Co., Ltd., 26. Neurogenex Co., Ltd., 27. REGEN Biotech, Inc., 28. Rexgene Biotech Co., Ltd., 29. Samchully Pharm. Co. LTD, 30. Seegene, Inc., 31. SEOUL PROPOLIS CO., LTD., 32. Seoulin Bioscience (SLB), 33. Sewon Cellontech, 34. SK chemicals, dan 35. ViroMed Co. Ltd. Berbagai macam produk obat yang telah dikembangkan di Korea terdapat dalam Tabel 1. Tabel 1. Produk Obat-obatan dari Korea Selatan No.

Produk

Perusahan

Indikasi/Efikasi

1

Sumpla injection

SK Chemicals

Kanker usus

2

EGF topical solution

Daewoong Pharm. Co., Ltd.

Diabetic antiulcerant

3

Milican

Dong Wha Pharm.

Anti Liver Cancer

4

Q-roxin Tablet

ChoongWae Pharma Corporation

Urinary infection

5

Joins Tablet

SKchemicals

Antiarthritis

6

Stillen Capsule

Dong-A Pharm. Co.,Ltd.

Gastritis

7

Factive Tablet

LG Life Sciences Ltd.

Antibiotic

8

Apitoxin

GuJu Pharm. Co., Ltd.

Antiarthritis

9

Pseudovaxin injection

CJ

Pseudomonas aeruginosa

10

Camtobell injection

Chong Kun Dang Pharm. Corp.

Anticancer

11

Revanex Tablet

YUHAN Corporation

Antiulcer

12

Zydena Tablet

Dong-A Pharm. Co.,Ltd.

Erectile Dysfunction

13

Levovir Capsule

Bukwang Pharm.Co.,Ltd.

Hepatitis B

14

Mvix Tablet

SK chemicals

Erectile Dysfunction


100

Korean Studies in Indonesia

DAFTAR PUSTAKA Dewi, A.S., K. Tarman and A.R. Uria, 2008. Marine Natural Products: Prospects and Impacts on the Sustainable Development in Indonesia. Proceeding of Indonesian Students Scientific Meeting, Delft, The Nedherlands, May 2008. 54–63. Husni, A., I.S. Shin, S.S. You and D. Chung, 2009. Antioxidant Properties of Water and Aqueous Ethanol Extracts and Their Crude Saponin Fractions from a Far-eastern Sea Cucumber, Stichopus japonicas. Food Sci. Biotechnol. Vol. 18, No. 2, pp. 419–424. Jeon, J.E., Z Na, M. Jung, H.S. Lee, C.J. Sim, K. Nahn, K.B. Oh and J.H. Shin, 2010. Discorhabdins from the Korean Marine Sponge Sceptrella sp. J. Nat. Prod., 2010, 73 (2), 258–262. Kim, K.N., Y.M. Ham, J.Y. Moon, M.J. Kim and D.S. Kim et al., 2009. In vitro cytotoxic activity of Sargassum thunbergii and Dictyopteris divaricata (Jeju Seaweeds) on the HL-60 tumour cell line. Int. J. Pharmacol., 9: 298–306. Kim, Y.C., 2008. Global Development : Korea’s Perspective and the role of KFDA. East Asian Pharmaceutical Regulatory Symposium 2008. Korean Food and Drug Administration. Seoul, Korea. Rho, J.R. (2005). Recent study on marine natural products in Korea. The 5th Joint Seminar between Korea and Japan by KOSEF JSPS Core University Program on Fisheries Science. 29–30 August 2005, Kunsan National University, Kunsan, Korea. Zhong, Y.,M.A. Khan and F. Shahidi, 2007. Compositional characteristics and antioxidant properties of fresh and processed sea cucumber (Cucumaria frondosa). J. Agr. Food Chem. 55: 1188–1192.


Vol. II No. 1 April 2011

101

KATA PENGGOLONG MANUSIA DALAM BAHASA KOREA DENGAN BEBERAPA PERBANDINGAN TERHADAP BAHASA INDONESIA PRIHANTORO47 (Universitas Diponegoro, Indonesia)

ABSTRACT HUMAN-RELATED NOUN CLASSIFIERS IN KOREAN LANGUAGE: ITS COMPARISON WITH THOSE OF INDONESIAN LANGUAGE Classifier is a relatively unique linguistic unit since it corresponds with the semantics of its referring noun. If a classifier does not correspond with its referring noun, then a phrase or a sentence is unacceptable. For instance, animal or plantrelated noun classifiers are incompatible with human related nouns in term of its semantic meaning. There have been numerous researches on Korean language classifiers as well as those of Indonesian language. Yet, constrastive researches on both languages classifiers are hardly existing. Considering the increasing trend of interaction between these two languages, a research on the subject is of great significance. This research attempts to iniate a comparison between the two languages classifiers by focusing on the human-related noun classifiers. The result indicates that a relatively intricate and complex noun classifiers are apparent in Korean language compared to those of Indonesian’s in term of their social dynamics and grammaticalization. As a result, Indonesians may find it difficult to learn Korean language noun classifiers; while Koreans may find it easier to learn Indonesian language noun classifiers. Keywords: classifiers, semantics, grammaticalization, honorific degree (국문요약) 논문제목 : 한국어와 인도네시아어 분류사 대조연구 분류사는 지시물이 되는 명사의 의미역과 관련성이 있기 때문에 특별한 언어단위 중 하나라고 볼 수 있다. 분류사가 지시물, 즉 명사와 적절하게 대응되지 않을 때는 해당 구(構) 또한 받아들여지지 않는다. 예를 들어 동물이나 식물을 지시할 때 사용되는 분류사를 사람의 의미역에 있는 명사와 연결시키면 안 되는 것이다. 한국어 분류사에 대해 많은 연구논문이 있고, 인도네시아어 분류사에 대한 논문들도 일부 있다. 그러나 한국어와 인도네시아어의 분류사를 비교하는데 초점을 둔 연구는 많지 않다. 본 논문은 한국어와 인도네시아어를 활용하여 활발한 교류가 일어나고 있다는 것에 착안하여, 두 언어의 분류사를 비교 연구한 것이다. 이 논문에서 사람과 연관되는 분류사를 중점으로 한국어와 인도네시아어의 분류사를 비교해 보았다. 연구 결과, 인도네시아인 한국어 학습자들이 사회적으로 아주 중요한 문법특징인 한국어의 분류사를 학습하는 것이 어렵다는 사실을 알게 되었다. 한편, 한국인 인도네시아어 학습자들이 인도네시아어를 공부할 경우 사람과 연관된 분류사를 배우는 데는 큰 어려움이 없음을 확인하였다. 주제어: 분류사, 의미역, 문법화, 대우법


102

Korean Studies in Indonesia

PENDAHULUAN Bahasa Korea dan bahasa Indonesia merupakan bahasa dari dua rumpun bahasa yang berbeda. Bahasa Indonesia berasal dari rumpun Austronesia sedangkan asal usul bahasa Korea masih menjadi topik diskusi para ahli tipologi bahasa. Sebagian berpendapat bahwa bahasa Korea adalah salah satu bahasa rumpun Altaik, seperti Jepang dan Mongolia. Memang secara struktur ada beberapa kemiripan, namun sebagian ahli bahasa lain berpendapat bahasa Korea termasuk bahasa terisolasi (isolated language). Dewasa ini semakin banyak orang Indonesia yang datang ke Korea dengan tujuan belajar ataupun bekerja. Begitu juga di Indonesia, banyak pabrik-pabrik pengusaha Korea dan juga mahasiswa Korea yang tertarik belajar di Indonesia. Sejauh ini kajian linguistik tentang bahasa Korea dan Indonesia masih diadakan secara terpisah. Belum banyak kajian komparatif yang dilakukan untuk pasangan dua bahasa ini. Yang menarik adalah, walaupun berasal dari rumpun bahasa yang berbeda, terdapat kata penggolong baik dalam bahasa Korea maupun bahasa Indonesia. Paper ini membahas kata penggolong manusia dalam bahasa Korea dengan beberapa perbandingan terhadap bahasa Indonesia. Tidak seperti bahasa Indonesia, bahasa Korea memiliki tingkat tutur yang bisa ditandai oleh pilihan kata, akhir kalimat, dan kata penggolong. Tidak seperti penggunaan kata penggolong lain dalam bahasa Korea, kata penggolong manusia sangat bergantung pada status sosial nomina intinya. Kata penggolong manusia dalam bahasa Korea juga cukup bervariasi dari tingkat gramatikalisasinya. Ada kata penggolong yang tingkat gramatikalisasinya sangat tinggi, namun ada juga yang sangat rendah. Selain merujuk kepada beberapa literatur kata penggolong bahasa Korea, data tentang kata penggolong manusia dalam paper ini diperoleh dari dua pusat database elektronik. Yang pertama adalah KorLex 1.5 dan yang kedua adalah DECO. Tulisan dalam paper ini tersusun sebagai berikut. Bagian pertama merupakan pendahuluan yang membahas tentang latar belakang penulisan paper ini. Pembahasan secara singkat fenomena tingkat tutur dalam bahasa Korea dapat ditemukan pada bagian dua. Bagian ke tiga, membahas tentang kata penggolong dari segi tipologi bahasa. Pada bagian ini juga akan ditunjukan bahwa kata penggolong bahasa Korea dan bahasa Indonesia secara tipologis berjenis sama, yaitu kata penggolong numeralia. Bagian ke empat akan membahas tentang kata penggolong manusia dalam bahasa Korea, dinamika sosial, dan gramatikalisasinya. Bagian kelima menyajikan kesimpulan dan saran untuk penelitian selanjutnya.

1. Tingkat Tutur Bahasa Korea memiliki tingkat tutur yang dapat dilihat secara langsung baik dari struktur maupun pilihan katanya. Ihm (2001:208-212) menjelaskan tingkat tutur berdasarkan


Vol. II No. 1 April 2011

103

situasi penggunaanya: formal dan informal. Keduanya masih dibagi lagi masing-masing menjadi tingkat tutur tinggi dan rendah. Perhatikan illustrasi berikut. Ilustrasi 1. Tingkat Tutur Bahasa Korea

Dalam situasi formal, gaya bahasa cenderung langsung dan obyektif. Tingkat tutur tinggi bisa digunakan untuk memberi penghormatan pada lawan bicara. Namun tingkat tutur ini juga digunakan pada saat jarak sosial si pembicara dan lawan bicara belum terlalu dekat, misalnya pertama kali bertemu seseorang. Bentuk ini juga digunakan pada komunikasi satu arah yang bersifat resmi seperti pidato atau berita. Bentuk rendah biasa digunakan dari orang yang lebih tua ke orang yang lebih muda, misalnya guru ke murid. Namun bentuk rendah ini juga bisa digunakan orang yang sebaya, apabila hubungan mereka cukup dekat. Bentuk ini juga digunakan dalam media-media tulis seperti majalah atau koran. Apabila jarak antara lawan bicara sudah cukup dekat, dan salam situasi santai, maka bentuk informal dapat digunakan. Tingkat tuturnya juga terbagi menjadi tinggi dan rendah. Jika hubungan antar pembicara tidak terlalu dekat yang digunakan biasanya adalah bentuk tinggi. Bentuk rendah hanya bisa digunakan saat pembicara dan lawan bicara sudah sangat akrab. (1)

Penanda tingkat tutur bahasa Korea a. 그분의 말씀은 그 뜻이 아닙니다. keu-bun-I malssem-eun keu-ttes-i animnida Itu-orang[+honorifik] omongan[+honorifik]-GEN itu-makna bukan[+honorifik] ‘itu bukan maksud omongan orang itu’ b.

영희는 지금 잔다.

Yonghee-neun jigeum canda Yonghee-TOP sekarang tidur ‘Yonghee sedang tidur’


104

Korean Studies in Indonesia

c.

꽃을 선생님께 드렸어요? Kkuc-eul sseonsaengnim-kke deriyossoyeo? Bunga-OBJ guru-ke[+honorifik] beri[+honorifik]? ‘apakah bunga itu sudah kamu berikan ke Pak/Bu guru?’

d.

오늘 저녁엔 뭐 먹어? Oneul jonyeok-en muo mogo? Hari ini malam-TOP apa makan? ‘Malam hari ini kita makan apa?’

Identifikasi tingkat tutur biasanya dilakukan dengan mengamati bentuk akhir kalimat. Pada contoh satu di atas, kita lihat beberapa frasa dengan bentuk akhiran yang berbeda-beda. Akhiran –eumnida (contoh 1a, formal) dan –yeo (contoh 1c, informal) menandakan bentuk tinggi sedangkan sisanya adalah bentuk rendah. Selain akhir kalimat, penghormatan juga bisa dilakukan dengan penggunaan partikel tertentu atau pilihan kata khusus seperti contoh (1c), dimana digunakan partikel –kkeu dan derida. Di samping penanda yang dijelaskan sebelumnya bentuk penghormatan juga bisa diidentifikasi dari kata penggolong. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian ke empat paper ini. Namun sebelumnya, ada baiknya kita membahas tentang kata penggolong secara tipologis yang akan disajikan pada bagian ke tiga paper ini.

2. Kata Penggolong Lucy (1992, 1993) mengadakan kajian perbandingan antara penutur dua bahasa: bahasa Inggris dan bahasa Yucatec. Bahasa Inggris merupakan bahasa yang sudah cukup banyak penuturnya. Adapun Yucatec adalah salah satu bahasa dengan kata penggolong, yang digunakan salah satu suku di pedalaman Amazon. Eksperimen yang ia lakukan bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang sistem klasifikasi nomina bahasa Yucatec. Dalam eksperimennya, Lucy memberikan sebuah benda yaitu kardus. Kemudian, ia memberikan pilihan pada para penutur dua bahasa tersebut, apakah kardus tersebut lebih mirip sebuah kotak atau mirip dengan karton. Penutur bahasa Inggris semua memilih kotak, sedangkan penutur Yucatec memilih karton. Lucy dengan ini menyimpulkan, bahwa bahasa secara kognitif dapat mempengaruhi sistem klasifikasi nomina. Hal yang membantunya mencapai kesimpulan ini adalah kata penggolong yang digunakan dalam bahasa Yucatec. Kata penggolong merupakan satu komponen gramatika yang unik, karena ia dapat menunjukkan penggolongan nomina dalam sistem kognitif manusia. Penggunaan kata penggolong ini selalu berkorespondensi langsung dengan domain semantik nomina referen. Apabi-


Vol. II No. 1 April 2011

105

la kata penggolong hewan, misalnya, digunakan pada nomina berdomain semantik manusia, maka frasa tersebut tidak akan berterima secara semantik. (2)

Korespondensi Kata penggolong dan domain semantik Nomina referen (bahasa Korea) a. 소 한 마리 so han mari sapi satu ekor b.

소 한 *명 so han *myeong sapi satu orang

Pada contoh bahasa Korea di atas bisa kita lihat bahwa penggunaan myeong untuk nomina hewan tidak berterima. Ini karena kata penggolong myeong hanya bisa digunakan untuk nomina berjenis manusia. Dalam bahasa Indonesia pun prinsip ini juga berlaku. Nomina ‘presiden’ tentu saja lebih memilih kata penggolong ‘orang’ dibanding ‘buah’ atau ‘ekor’.

2.1 Tipologi Kata Penggolong Ada dua syarat formal bagi sebuah unit linguistik untuk bisa disebut sebagai kata penggolong. Menurut Allan (1977:285), satu komponen bahasa dapat disebut kata penggolong apabila: 1) Hadir dalam bentuk morfem; 2) Memberikan keterangan tentang domain semantik nomina referen. Setiap bahasa tentu saja memiliki klasifikasi nomina. Namun tidak semuanya dapat diidentifikasi secara langsung, karena banyak yang tidak memberikan ciri permukaan secara khusus. Oleh karena itu, sebuah kata penggolong haruslah hadir dalam bentuk morfem pada bentuk permukaan. Syarat yang kedua, morfem tersebut haruslah memberikan keterangan semantik tentang nomina referen, seperti pada contoh (2a).

2.2 Kata Penggolong Numeralia Secara tipologis, kata penggolong bahasa Korea dan bahasa dapat dikelompokan ke jenis kata penggolong numeralia. Selain nomina referen, kata penggolong yang dikelompokan dalam jenis ini membutuhkan kehadiran numeralia (Allan 1977, Kiyomi 1997, Aikhenvald 2000). Perhatikan contoh berikut.


106

Korean Studies in Indonesia

(3) Penggolong bahasa Cina dan bahasa Assam a. (san|*{E}) ge shu (bahasa Cina) (tiga|*{E}) CL[+BUKU] buku Tiga CL[+kata penggolong buku] buku ‘tiga buah buku’ b.

manuh-jon man-CL[+HUM] (bahasa Assam) manusia-CL[Kata penggolong manusia] ‘manusia’

Cina merupakan salah satu bahasa yang paling banyak penuturnya di dunia. Sedangkan Assam, adalah salah satu bahasa di daerah India bagian timur laut. Kata penggolong bahasa Cina dikelompokan secara tipologis ke dalam kata penggolong numeralia. Sedangkan penggolong48 bahasa Assam dikelompokan sebagai penggolong nomina. Dengan kata lain, penggolong dalam bahasa Assam hanya membutuhkan nomina, dan tidak membutuhkan numeralia (3b). Hal ini berbeda dengan bahasa Cina, dimana numeralia wajib muncul mendampingi kata penggolong (3a). Apabila numeralia dihilangkan {E}, maka frasa tersebut tidak akan berterima secara semantik (3a). Fenomena wajibnya numeralia pada kata penggolong ini juga ditemukan pada bahasa Indonesia dan Bahasa Korea. Perhatikan contoh berikut. (4) Kata Penggolong Numeralia: bahasa Indonesia dan bahasa Korea a. (se-|*{E}) ekor harimau (bahasa Indonesia) b.

호랑이 (한|*{E}) 마리 (bahasa Korea) ea)

Horangi (han|*{E}) mari Harimau (satu|*{E}) ekor ‘satu ekor harimau’ Contoh (4a) dapat terkomposisi oleh unit linguistik berikut: se-(numeralia) ekor (kata penggolong), dan harimau (nomina inti). Apabila kata penggolong dihilangkan, maka frasa dalam contoh (4a) menjadi ‘ekor harimau’ yang masih berterima secara semantik, namun maknanya berubah. ‘Ekor’, bukan lagi sebagai kata penggolong namun sebagai nomina inti. Dalam bahasa Korea penghilangan numeralia han menjadikan frasa tersebut sama sekali tidak berterima. Contoh di atas membuktikan bahwa dari kata penggolongnya, bahasa Indonesia dan Korea berada dalam klasifikasi yang sama, yaitu kata penggolong numeralia.


Vol. II No. 1 April 2011

107

3. Kata Penggolong Manusia Banyak ahli yang mengklasifikasikan kata penggolong berdasarkan domain semantik nomina referen. Allan (1977) misalnya, mengelompokan kata penggolong menjadi tujuh: material, bentuk, konsistensi, ukuran, lokasi dan kuanta. Klasifikasi ini merupakan hasil penelitiannya pada lebih dari 50 bahasa dengan kata penggolong. Namun ketika kategori ini dicoba diaplikasikan pada bahasa yang lain, tidak semuanya muncul. Adams and Conklin (1973) menawarkan klasifikasi sebagai berikut: bentuk, fungsi dan animasi. Beberapa tahun setelahnya Denny (1976) menawarkan kategori baru berdasarkan interaksi kata penggolong: fisik, fungsi, sosial. Hingga sekarang, masih sulit menemukan klasifikasi yang universal. Tiap bahasa biasanya memiliki penggolongan yang unik. Namun dari bahasa-bahasa tersebut, ada beberapa fitur yang hampir pasti ditemukan. Pertama, berdasarkan sifat individunya mereka bisa dibagi menjadi tiga: kata penggolong kelompok, individu dan bagian (Oh, 1994 dan Wahyuni, 1996). Kata penggolong kelompok adalah yang mengelompokan beberapa individu dalam satu kesatuan seperti ‘gerombolan’ dan ‘kawanan’ dalam bahasa Indonsia. Kata penggolong bagian membagi satu benda utuh menjadi beberapa bagian seperti ‘iris’ dan ‘potong’. Sedangkan kata penggolong individu digunakan untuk mengacu pada satu individu secara utuh seperti ‘orang’ dan ‘ekor’. Kedua, terdapat kata penggolong Individu untuk manusia. Dalam berbagai bahasa, seperti Cina, Assam, Thai, Burma, Melayu, Indonesia, Jepang dan Korea, kata penggolong individu manusia dapat ditemukan dengan mudah. Fenomena inilah membuat penulis memfokuskan tulisan ini pada kata penggolong manusia.

3.1 Jenis dan Dinamika Sosial Meskipun bahasa Indonesia dan bahasa Korea sama-sama memiliki kata penggolong, namun tidak semuanya berkorepondensi satu-satu. Kata penggolong untuk hewan dalam bahasa Indonesia hanya satu, yaitu ekor. Namun dalam bahasa Korea, ada dua kata penggolong hewan, yaitu mari dan phil. Mari digunakan untuk hewan secara umum, sedangkan kata penggolong phil49 digunakan untuk hewan tani atau tunggangan seperti sapi dan kuda.


108

Korean Studies in Indonesia Ilustrasi 2. Perbedaan Jumlah Kata Penggolong

Apabila kata penggolong yang sudah jarang digunakan atau bahkan yang arkaik juga diperhitungkan, daftar ini bisa bertambah. Menurut data dari database DECO, ada 18 kata penggolong hewan. Namun diantara kata penggolong tersebut, memang dua kata penggolong hewan di ataslah yang paling sering dipakai. Dalam bahasa Indonesia, digunakan kata ‘orang’ untuk kata penggolong individu manusia yang masih hidup (Alwi 1986, Kridalaksana 2005). Sedangkan dalam Bahasa Korea terdapat berbagai macam kata penggolong untuk nomina berjenis sama. Oh (1994:87) mencatat ada dua kata kata penggolong murni50 bun dan myeong. Namun ia sendiri menyebutkan, jika pseudo classifier51 juga diperhitungkan, maka daftar ini bisa bertambah menjadi sembilan. Dari database DECO didapatkan 10 kata penggolong individu manusia dalam Bahasa Korea. Sedangkan KorLex 1.5 mencatat sembilan kata penggolong, namun daftar ini sudah termasuk kata penggolong manusia berjenis kelompok. Penulis merangkumnya dalam ilustrasi ini menjadi sebelas kata penggolong. Ilustrasi 3. Perbedaan Jumlah Kata Penggolong Manusia dalam bahasa Indonesia dan bahasa Korea


Vol. II No. 1 April 2011

109

Perbedaan jumlah kata penggolong di atas menunjukan sistem klasifikasi nomina manusia dalam bahasa Korea lebih kompleks dari bahasa Indonesia. Dilihat dari segi pembelajaran bahasa, maka pembelajar bahasa Korea yang berasal dari Indonesia akan mengalami kesulitan sedangkan pembelajar bahasa Indonesia dari Korea realtif lebih mudah mempelajari bahasa Indonesia. Kompleksnya penggunaan kata penggolong tersebut diakibatkan sensitivitas sosial nomina manusia dalam korespondensinya terhadap kata penggolong yang dipilih. Pemilihan kata penggolong yang tidak sesuai dengan status sosial nomina referen akan menyebabkan frasa tidak berterima secara semantik. Perhatikan contoh berikut. (5)

Seleksi kata penggolong manusia a. 학생 다섯 (명|분|놈) Hakseng taseot (myeong|bun|nom) Siswa lima (kata penggolong: netral|tinggi|rendah) ‘lima orang siswa’ b.

선생님 다섯 (명|분|놈) Seonsaengnim taseot (myeong|bun|nom) Guru lima (kata penggolong: netral|tinggi|rendah) ‘lima orang guru’

c.

도둑 다섯 (명|분|놈) Doduk taseot (myeong|bun|nom) pencuri lima (kata penggolong: netral|tinggi|rendah) ‘lima orang pencuri’

Ada tiga nomina berdomain semantik manusia yang dicontohkan di atas (5): yaitu siswa, guru dan pencuri. Ketiga-tiganya sama-sama berdomain semantik manusia, namun preferensi kata penggolongnya berbeda-beda. Ada tiga kata penggolong yang dicontohkan, yaitu myeong, bun dan nom. Kata penggolong bun, misalnya, hanya digunakan untuk nomina manusia yang memiliki fitur honorifik atau status sosial yang dihormati (5b). Dalam contoh ini, ditunjukan bahwa nomina ‘guru’ menolak keras kata penggolong nom. Di sini penggunaan myeong pun bisa digunakan, walaupun bun lebih sopan. Kata penggolong nom dipilih oleh nomina ‘pencuri’ di (5c) yang merupakan nomina berstatus rendah. Rendah di sini maksudnya memiliki konotasi tidak baik, seperti nomina ‘perampok’, ‘pembunuh’, ‘koruptor’ dan lain-lain. Tentu saja nomina menolak kata penggolong bun yang berstatus honorifik. Dari ketiga kata penggolong pada contoh (5), yang paling netral adalah myeong. Kata penggolong ini dipilih oleh nomina ‘siswa’ pada (5a) namun dapat juga bersanding dengan nomina ‘pencuri’ pada (5c). Untuk nomina berstatus sosial honorifik, penggunaan myeong


110

Korean Studies in Indonesia

sebenarnya bisa saja terjadi, namun bun dianggap lebih sopan. Dari contoh di atas, bisa dilihat bahwa kata penggolong manusia dalam bahasa Korea masih terbagi menjadi tiga golongan besar, yaitu: honorifik atau tinggi, netral, dan rendah. Ilustrasi 3. Pembagian Kata Penggolong

Di antara kata penggolong individu manusia yang rendah, kita lihat dua komponen terakhir diberikan tanda khusus, yaitu sekki dan mari. Menurut Oh (1994: 98), kata penggolong sekki memiliki makna anak binatang. Sedangkan mari sendiri merupakan kata penggolong hewan. Secara semantis kedua kata ini tidak berterima, karena nomina yang digolongkan bukan berjenis binatang tetapi manusia. Namun secara pragmatis, dengan maksud merendahkan status nomina manusia yang diacu, hal ini bisa dilakukan. Akan tetapi Oh sendiri dalam bukunya tidak memberikan contoh tentang penggunaan dua kata ini, karena pada kehidupan nyata sangat jarang digunakan. Dari kata-kata penggolong di atas, berikut adalah daftar kata penggolong yang sering digunakan.


Vol. II No. 1 April 2011

111

Tabel 1. Kata Penggolong Manusia yang Sering Digunakan Kata Penggolong

Status Sosial Nomina

Contoh

myeong

netral

학생 세 명

Tiga orang siswa

saram

netral

승무원 세 사람

Tiga orang pramugari

bun

honorifik

교수님 세 분

Tiga orang dosen

nom

rendah

범인 세 놈

Tiga orang pencuri

Untuk kata penggolong individu manusia yang sudah mati (mayat, jasad), sebaliknya, bahasa Indonesia memiliki lebih banyak pilihan. Dalam bahasa Korea, yang digunakan adalah gu atau gae (Kata penggolong generik seperti ‘buah’ dalam bahasa Indonesia). Sedangkan dalam bahasa Indonesia biasanya bisa digunakan ‘bujur’, ‘sosok’ atau ‘buah’ (kata penggolong generik). Namun kata penggolong ‘bujur’ dan ‘sosok’ sendiri tidak sepenuhnya bisa dialamatkan pada manusia. ‘sosok’ bisa juga menjadi penggolong untuk objek yang tidak dikenal seperti ‘hantu’. ‘sosok’ juga masih bisa digunakan untuk menggolongkan manusia yang masih hidup seperti misalnya pada ‘sesosok pemimpin’.

3.2 Gramatikalisasi Dalam hirarki kelas kata bahasa Korea, kata penggolong dikelompokan di bawah independent noun. Independent Noun berada di bawah kelas nomina. Independent noun ini sangat unik sifatnya. Sebelumnya, kita mengenal morfem bebas dan morfem berikat, dimana morfem bebas sering diasosisikan dengan kata, karena ia bisa berdiri sendiri. Sedangkan morfem berikat harus hadir dengan morfem lain, dan biasanya berupa imbuhan. Kaitanya dengan morfem bebas dan berikat, Independent Noun adalah kata (bukan imbuhan) yang tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus hadir dengan kata lain. Dari bentuk, nomina ini mirip seperti morfem bebas, namun dari fungsinya mirip seperti morfem berikat. Kebanyakan kata penggolong berasal dari kata benda. Hal ini menyebabkan masih tersisanya sisa-sisa sifat sintaksis nomina murni. Hasilnya, kata-kata seperti ini terkadang bisa berdiri sendiri tanpa bantuan kata lain. Namun saat ia berada dalam konstruksi sintaksis penggolong bersama numeralia, kata ini dikelompokan menjadi kata penggolong. Kata penggolong jenis ini tingkat gramatikalisasinya sangat rendah. Perhatikan contoh berikut. (6)

Kata penggolong dengan gramatikalisasi terendah a. 경찰 다섯 사람 (Koo, 2008:7-8) kyeongchal taseot saram


112

Korean Studies in Indonesia polisi lima orang ‘lima orang polisi’

b.

그 사람 (Koo, 2008:7-8) keu saram itu orang ‘orang itu’

c.

사람 saram ‘orang’

Koo (2008) meletakkan kata saram pada dua struktur sintaksis yang berbeda. Pada contoh (6a) ia meletakan kata saram pada struktur frasa penggolong (Nomina-numeraliakata penggolong). Pada contoh (6b) ia meletakan saram setelah kata tunjuk. Saya memberikan satu contoh dimana kata saram dapat berdiri sendiri tanpa bantuan numeralia, nomina, kata tunjuk, maupun kata lainnya pada (6c). Dari sini bisa kita lihat bahwa saram memiliki tingkat gramatikalisasi yang sangat rendah, karena masih bisa berdiri sendiri sebagai nomina. Sedangkan pada contoh (6a), saram menjadi kata penggolong karena lingkungan sintaksisnya. Kata penggolong dalam bahasa Indonesia pun kebanyakan seperti ini. misalnya ‘orang’ yang bisa berdiri sendiri sebagai nomina. Namun ‘orang’ bisa menjadi kata penggolong karena konstruksi sintaksis. (7) Kata penggolong ‘orang’ dalam bahasa Indonesia a. Lima orang polisi b. Ada orang di sana Kata ‘orang’ pada contoh (7a) menjadi kata penggolong karena konstruksi sintaksisnya . Namun pada dasarnya kata ‘orang’ dapat berdiri sendiri seperti pada contoh (7b). Kata penggolong manusia yang tingkat gramatikalisasinya paling tinggi adalah myeong. Kata ini murni sebagai kata penggolong dan betul-betul bergantung pada kehadiran numeralia. Hal ini penting karena kata penggolong dalam bahasa Korea bertipe numeralia. Apabila komponen ini tidak ada, maka kata penggolong myeong tidak akan bisa muncul ke struktur permukaan. 52

(8) Kata penggolong manusia yang tingkat gramatikalisasinya paling tinggi a. 여자 다섯 명 yeoja taseot myeong


Vol. II No. 1 April 2011

113

perempuan lima orang ‘lima orang perempuan’ b.

여자 *{E}명 yeoja *{E} myeong perempuan *{E} orang [kata penggolong]

c.

*{E} {E}…명 *{E} {E} myeong *{E} {E} orang [kata penggolong]

Kata penggolong lain yang tingkat gramatikalisasinya ada di tengah-tengah adalah bun. Kata ini tidak membutuhkan kehadiran numeralia, tapi ia perlu hadir dengan kata lain. Ketika berdampingan dengan kata tersebut, fungsinya sintaksisnya berubah dari kata penggolong menjadi nomina inti. Perhatikan contoh berikut. (9)

Kata Penggolong dengan tingkat gramatikalisasi medium a. 교수님 세 분이 오셨어요. kyosunim se bun-I osyeosseoyo dosen tiga orang[+honorofik]-SUBJ datang ‘tiga orang dosen datang’ b.

그선생님은 좋은 분이다. keu-seonsaengnim-eun joeun bun ida itu-guru-TOP baik orang ‘guru itu orang baik’

c.

세 분이 오셨어요. Se bun-I ossyosoyo tiga orang[+honorifik]-SUBJ datang ‘tiga orang datang’

d.

*{E} 분이 왔다. *{E} bun-I watta *{E} orang[+honorifik]-SUBJ datang

Kata bun bisa berfungsi sebagai kata penggolong (9a) maupun nomina inti (9b-c). Namun ia tak boleh hadir sendiri. Perhatikan contoh (5b) dimana bun hadir dengan verba deskriptif joeun dan contoh (9c), dimana bun hadir dengan numeralia. Namun pada contoh


114

Korean Studies in Indonesia

(9d), karena tak ada kata lain yang menjadi host, bun tak bisa berdiri sendiri. Contoh ini (9d) tidak berterima secara gramatika. Kata penggolong ini dari level gramatikalisasinya digolongkan ke level medium. Dengan demikian, menurut tingkat gramatikalisasinya, kata penggolong bahasa Korea dapat dikelompokan menjadi tiga: tinggi, medium dan rendah.

PENUTUP Paper ini telah memberikan gambaran tentang properti semantik kata penggolong manusia dalam bahasa Korea dengan beberapa perbandingan terhadap bahasa Indonesia. Walaupun kata penggolong bahasa Indonesia dan Korea berjenis numeralia, terlihat bahwa sistem penggolongan nomina manusia dalam bahasa Korea lebih kompleks dari bahasa Indonesia. Ada perbedaan dalam beberapa aspek. Pertama, kata penggolong dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan lebih netral daripada bahasa Korea, karena semua nomina yang berdomain semantik manusia, memilih satu kata penggolong tanpa memperdulikan status sosial manusia yang diacu. Sebaliknya, nomina manusia dalam bahasa Korea sangat unik, karena digolongkan ke dalam tiga status (honorifik, netral dan rendah) dimana masing-masing akan memilih kata penggolong tersendiri. Kedua, tingkat gramatikalisasi kata penggolong bahasa Korea lebih bervariasi. Ada kata penggolong yang tingkat gramatikalisasinya tinggi sekali, ada yang medium, dan ada yang sangat rendah sehingga masih bisa berdiri sendiri seperti nomina lain. Perbedaan-perbedaan ini menyebabkan pembelajar bahasa Korea yang berasal dari Indonesia mengalami kesulitan dalam hal penguasaan kata penggolong, sedangkan sebaliknya pembelajar bahasa Indonesia dari Korea lebih mudah mempelajari kata penggolong bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, teks-teks buku pelajaran bahasa Korea haruslah memberikan keterangan yang lengkap beserta contoh nomina yang beragam pada pokok bahasan kata penggolong, khususnya kata penggolong manusia.

CATATAN KAKI 47 48

Terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Yang Seung Yoon dari Hankuk University of Foreign Studies atas saran-saran dan kesediaanya membaca naskah awal tulisan ini. Disebut penggolong saja, karena dalam bahasa Assam, entitas yang dirujuk sebagai kata penggolong adalah morfem berikat. Sehingga untuk bahasa Assam, istilah ‘kata penggolong’ dirasa kurang tepat. Namun pada bahasa Indonesia dan Korea, istilah ‘kata penggolong’ dapat diterima, karena entitas penggolong dalam dua bahasa ini hadir dalam bentuk morfem bebas.


Vol. II No. 1 April 2011

49 50 51 52

115

Walaupun bisa digunakan pada ‘sapi’ dan ‘kuda’, penutur bahasa Korea saat ini sering menggunakan mari sebagai kata penggolong nomina ‘sapi’. Yang dimaksud kata penggolong murni adalah yang tingkat gramatikalisasinya sangat tinggi. Yang dimaksud pseudo classifier adalah kata penggolong yang tingkat gramatikalisasinya rendah. Beberapa kata penggolong bahasa Indonesia cukup unik, karena kata tersebut dapat berdiri sendiri, namun ketika berada dalam konstruksi sintaksis penggolong, maknanya berubah, seperti ‘ekor’ dan ‘buah’ (untuk menggolongkan benda lain selain buah).

DAFTAR PUSTAKA Adams, KL and Conklin NF. 1973. Towards a Theory of Natural Classification. Chicago Linguistic Society 9.1-10. Aikhenvald, AY. 2000. Classifiers: A Typology of Noun Categorization Device. Oxford University Press:USA. Allan, K. 1977. Classifiers, Language . 53. 285-311. Alwi, H. Dardjowidjojo, S. Lapoliwa, H. Moeliono, A. 1986. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Denny, P. J. 1976. ‘What are Noun Classifiers Good for?’ Chicago Linguistic Society 12.122132. Ihm, Ho Bin. 2001. Korean Grammar for International Learner. Yonsei University Press: Seoul. Kiyomi, S. (1992). Animateness and Shape in Classifiers, Word 43: 15-36. Koo, M-C.2008.Grammaticalization of Korean numeral classifiers, Trends in Linguistics. Studies and Monographs 205 (2008). Kridalaksana, H. 2005. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Gramedia: Jakarta. Lucy, J. (1992a). Grammatical Categories and Cognition: A Case Study of the Linguistic Relativity Hypothesis. Cambridge: Cambridge University Press. ______ (1992b). Language diversity and thought: A reformulation of the linguistic relativity hypothesis. Cambridge: Cambridge University Press. Oh, S-R. 1994. Korean Numeral Classifier: Semantic and Universal. Seoul: Seoul National University Press. Wahyuni, Sri. 2006. Numeral Classifier in Indonesian. Memoirs, Faculty of Education, Shimane University: Japan. Sarmah, P. 2003. Classifiers and Definiteness in Assamese Presented at Classifiers of the languages of North East India, CIIL, Mysore.


116

Database Bahasa Korea

Korean Studies in Indonesia

: DECO. Nam, J-S. DICORA Hankuk University of Foreign Studies (http://dicora.hufs.ac.kr/) : Korlex 1.5. NLP Lab Busan University (http://corpus.fr.pusan.ac.kr/korlex/)

Kamus Korea-Inggris Korea

: www.endic.naver.com : Kamus Standar Bahasa Korea, http://www.korean.go.kr/09_new/index.jsp The National Institute of the Korean Language. 1999. The Great Dictionary of Standard Korean. Seoul: Dusandonga. Korea-Indonesia : Edwar, E. Christina, R. 김홍기 .설혜윤 , et al. 1995. Kamus Bahasa Korea Indonesia. Seoul: 문병식 펀저 Indonesia-Korea : 안영호. 1995. 인도네시아어-한국어사전. 서울:한국외국어대학교 출판부

Indonesia

: Kamus Besar Bahasa Indonesia http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php


Vol. II No. 1 April 2011

APRESIASI K-POP DI KALANGAN GENERASI MUDA YOGYAKARTA: STUDI KASUS PENGUNJUNG K-POP FESTIVAL UKDW 201053 Suray Agung Nugroho (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)

ABSTRACT K-POP APPRECIATION AMONG YOUNG GENERATION IN YOGYAKARTA: A STUDY CASE OF VISITORS TO THE 2010 UKDW’S K-POP FESTIVAL At the onset of 2009 K-Pop began to gain its utmost and on-going success as the new image of Hallyu—or recently dubbed as the New Korean Wave. K-Pop has transcended national boundaries and captured the hearts of youngsters around the world—those including in Indonesia. The much- praised K-Pop has resulted in numerous ways of appreciation among those youngsters. As it would be too overwhelming to capture the whole K-Pop appreciation around Indonesia, this paper attempts to capture the small-scale situation in Yogyakarta—especially through the K-Pop enthusiasts who attended one particular K-Pop Festival held in the city in 2010. Thus, it portrays three aspects: the background surrounding K-Pop explosion; the types of mass media that help spread the burgeoning K-Pop, and the influences KPop has bestowed upon young generations in Yogyakarta. The results indicate that first, K-Pop’s attractive MV and catchy lyrics rank as the major background of its popularity; second, as what happen in most part of the world, internet is the most widely used media by Yogyakarta’s K-Popers in catching up with the latest K-Pop craze; and third, their craze upon K-Pop has somewhat led those youngsters to love and know more about Korea. Keywords: K-Pop, mass media, young generations, influences

117


118

Korean Studies in Indonesia

(국문요약) 족자카르타의 젊은이들이 K-Pop에 관심의 연구: 2010 UKDW K-POP페스티벌을 중심으로 K-Pop은 2009년 초부터 한류의 새로운 이미지로 떠오르기 시작하였고 지금까지 지속적인 성공을 이어가고 있다. 특히 K-Pop은 국경을 초월하여 세계를 넘나들고 있으며 인도네시아의 젊은 세대를 포함한 전 세계 젊은이들의 마음을 사로잡고 있다. 근래에 들어서 더욱더 K-Pop이 인도네시아의 많은 젊은이들 사이에서 아주 좋은 평가를 받고 있으며 그와 더불어 K-Pop을 즐겨듣는 사람들의 수도 점점 늘어나고 있는 상황이다. 그래서 인도네시아의 모든 지방을 대상으로 왜 이러한 현상이 일어났는지를 분석하기란 쉬운 일이 아니다. 그런 이유로 이 연구는 족자카르타 라는 작은 도시를 하나 지정하여 그 도시에 사는 젊은이들을 대상으로 설문조사를 한다. 이 설문조사의 목적은 인도네시아의 K-Pop 현황이 어떤지를 해석하는 것이다. 특히 2010년에 열렸던 UKDW K-Pop 페스티벌에 참석한 젊은이들의 느낌과 견해를 알아보고자 한다. 첫째, 이 연구는 족자카르타의 젊은이들이 K-Pop에 관심을 가진 배경을 분석하고 둘째, 어떤 대중 매체를 통해서 K-Pop이 인도네시아의 전 도시에 퍼졌는지를 알아보고 셋째, K-Pop이 젊은이들에게 미치는 영향을 관찰한다. 결론에서는 족자카르타의 젊은 세대가 K-Pop에 대해서 어떤 생각을 가지고 있는지를 알 수가 있다. 첫째로, K-Pop의 매력적인 MV (music video)와 기억하기 쉬운 가사는 K-Pop의 인기에 큰 비중을 차지한다. 이것은 젊은 세대들이 노래가사를 통해서 공감대를 형성하고 있다는 것을 엿볼 수 있다. 둘째로는, 광범위하게 분포되어 있는 인터넷을 통해 K-Pop에 대한 정보를 쉽게 얻을 수 있다는 것이다. 인터넷은 K-Pop을 좋아하는 족자의 젊은이들에겐 제일 중요하면서도 필수적인 역할을 한다. 셋째로는 KPop을 통해 한국에 대한 관심이 점점 증가하고 있다. 키워드: K-Pop, 대중 매체, 젊은세대, 영향

1. PENDAHULUAN Dalam satu dekade terakhir (2000-2010) Korea Selatan telah memperlihatkan perkembangan industri budaya yang pesat. Hal ini dapat dilihat dari transformasi status Korea Selatan dari negara importir produk industri budaya negara lain, terutama produk Amerika Serikat (baca: Hollywood), menjadi produsen dan pengekspor produk industri budayanya sendiri, yang dikenal dengan istilah Hallyu ‘Gelombang Korea’. Salah satu pendorong perubahan ini adalah adanya keunikan budaya Korea yang bernuansa kental dengan tradisi bangsanya sendiri yang mampu mereka oleh dengan menyisipkan tema nilai-nilai kehidupan orang Asia pada umumnya yang mereka kemas dengan bingkai modern.54 Berbagai hasil industri budaya Korea Selatan, khususnya budaya pop berupa film, drama, dan musik telah mendapat tempat penting di hati masyarakat Korea. Bahkan di pasar domestik negeri ginseng tersebut, produk budaya pop Korea telah menggeser produk budaya pop dari negara lain seperti AS dan Jepang yang dalam dekade sebelumnya mendominasi pasar Korea Selatan. Pencapaian ini karena pemerintah Korea Selatan dan para pelaku industri Korea Selatan, misalnya para konglomerat seperti Samsung, SK, dan perusahaan besar lainnya giat mendukung perkembangan industri budaya mereka. Dalam hal ini mereka mendukung dalam hal kebijakan, dana, pemasaran, dan promosi di berbagai ajang bergengsi


Vol. II No. 1 April 2011

119

internasional.55 Sebagai akibatnya, produk industri budaya pop Korea, terutama sinetron pada tahun 2004 telah menjadi salah satu komoditas ekspor Korea yang menghasilkan 100 juta USD dengan pasar utama Jepang, Asia Tenggara dan Timur Tengah.56 Semenjak itu berbagai produk industri budaya pop Korea lainnya mulai dikenal oleh masyarakat dunia secara luas, termasuk Indonesia. Hal yang perlu disimak dalam kaitan meluasnya budaya pop Korea adalah meningkatnya perkembangan budaya pop Korea selama paruh kedua dekade ini. Peningkatan ini menjadi bukti nyata pengaruh budaya pop Korea di Indonesia. Paling tidak ada tujuh identifikasi adanya pengaruh tersebut di Indonesia, yaitu semakin populerya artis dan aktor Korea di Indonesia; meningkatnya jumlah fans club Hallyu; munculnya forum-forum online yang khusus membahas budaya pop Korea; munculnya situs internet yang dibuat oleh orang Indonesia demi kecintaan mereka terhadap drama dan film Korea; populernya vcd, cd, dvd, mp3 yang berkaitan dengan budaya pop Korea; munculnya komik terjemahan dari Korea; dan munculnya majalah/tabloid yang fokus terhadap industri hiburan Korea.57 Salah satu dari tujuh pengaruh Hallyu di Indonesia yang sangat menarik adalah pesatnya peningkatan jumlah penggemar budaya pop Korea Selatan di Indonesia dalam kurun waktu antara 2009-2010. Apresiasi mereka terhadap budaya pop Korea dalam hal ini K-Pop (Korea Pop) diwujudkan dalam bentuk interaksi sesama penggemar dan pembentukan komunitaskomunitas seperti kelompok penggemar (fans club). Bentuk interaksi penggemar K-Pop ini cukup unik karena menggabungkan teknologi informasi seperti internet dengan pertemuan langsung sesama penggemar dalam jumlah besar maupun kecil yang biasa disebut dengan istilah gathering. Selama berinteraksi, khususnya secara online, mereka melakukan berbagai macam aktivitas mulai dari saling tukar atau sharing lagu secara online, mendistribusikan lagu-lagu online, serta menyebarkan berbagai macam info mengenai artis kesayangan mereka. Itulah sekelumit perkembangan the New Korean Wave yang terutama digerakkan oleh K-Pop terutama pada tahun 2009 – 2010, setelah sebelumnya dimandori oleh K-Drama. Untuk itulah, pengamatan, tulisan, riset-riset tentang perkembangan dunia K-Pop dan produk budaya populer Korea telah banyak dilakukan. Dalam riset mengenai K-Pop di Yogyakarta ini, ada dua penelitian yang menjadi acuan dan pijakan yang membantu mencetuskan ide dan pemikiran penulis untuk melakukannya, yaitu penelitian Dr. Sun Jung dari Victoria University dan penelitian dari Young-hee Chung, Ph.D. dari Korea University. Berikut adalah gambaran dua penelitian tersebut. Pertama, Dr. Sun Jung dari Victoria University, Melbourne mengatakan bahwa transmisi budaya pop Korea Selatan mengikuti model “distribusi mikro� yang memungkinkan transmisi produk budaya secara simultan, ke berbagai arah, dan lintas negara. Model distribusi mikro yang mampu menduplikasi dan mentransmisikan budaya pop Korea Selatan ke


120

Korean Studies in Indonesia

seluruh dunia tersebut dimungkinkan akibat munculnya teknologi media digital terbaru seperti Web 2.0.58 Penelitian Dr Sun membuktikan bahwa generasi baru dengan teknologi informasi yang berkembang bersamanya telah melipatgandakan konsumsi dan sirkulasi budaya pop Korea Selatan di negara Asia terutama Hong Kong dan Filipina tempat dia melakukan risetnya. Riset itu menggambarkan misalnya berapa lama para fans menghabiskan waktunya untuk online guna mencari informasi dan bergabung dengan rekannya di daerah lain untuk mendiskusikan hal-hal mengenai K-Pop. Dr. Sun Jung melakukan riset ini dengan mendatangi langsung negara-negara tempat K-Pop meledak, meneliti langsung suatu acara K-Pop di suatu negara, bertemu serta mewawancarai para penggemar K-Pop sebagai bagian untuk menyelami kecintaan mereka, dan menyarikannya dalam sebuah laporan penelitian. Hasil lain dari risetnya adalah pembuktian popularitas facebook yang telah membantu pecinta K-Pop dalam berinteraksi. Jejaring sosial yang satu ini telah banyak dijadikan tempat maya bagi para komunitas para penggemar K-Pop dari strata sosial yang luas—tak tekecuali di Indonesia. Sebenarnya fenomena yang terjadi di negara lain seperti yang telah terekam di riset Dr. Sun juga sedang terjadi di Indonesia. Bahkan bisa dikatakan intensitas dan apresiasi para penggemar K-Pop di Indonesia pun tak kalah dibandingkan dengan situasi di negara lain. Satu ilustrasi yang bisa digambarkan untuk mewakili euforia mewabahnya demam KPop di Indonesia adalah adanya sejumlah penyanyi Korea yang datang dan berkonser di Indonesia, di antaranya adalah Wonder Girls dan Rain. Yang terakhir ini bahkan memberikan dampak yang luar biasa dengan besarnya tiket berkisar antara Rp 750.000 hingga Rp 3.000.000 ini.59 Hal lain yang patut disinggung di sini adalah fakta bahwa sebenarnya interaksi antara artis dan penggemarnya tak sekedar dalam batas bagaimana artis memanfaatkan ketenarannya untuk mengadakan konser untuk urusan komersial, namun unsur sosial pun telah muncul di antara mereka. Pada tanggal 5 Desember 2010 sebuah mini konser bertajuk Pray for Indonesia digelar oleh oleh salah seorang mantan penyanyi boyband grup 2PM yaitu Jay Park yang bertujuan untuk menggalang dana. Hal ini tentu menyiratkan adanya hubungan dekat antara keberadaan para penggemar Indonesia (sebagai salah satu negara tempat para penggemar K-Pop) dengan para artis Korea. Sejak bulan Agustus 2010 di Indonesia telah terbentuk sebuah wadah bernama UKLI (United K-Pop Lovers Indonesia) sebagai tempat bersatunya para fandom (perkumpulan penggemar) dari berbagai kota di Indonesia. Sampai saat ini terdapat 20 distrik yang terwakili dari Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi yang tersebar di kota-kota seperti Makassar, Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Samarinda, Palembang, Indramayu, Sukabumi, Semarang, Yogyakarta, Garut, Bogor, Malang, Tasikmalaya, Kediri, Jambi, Banjarmasin, Kendari, dan Balikpapan.60 Terbentuknya UKLI ini pun tak lepas dari adanya berbagai


Vol. II No. 1 April 2011

121

acara bertemakan K-Pop yang menjamur di berbagai kota di Indonesia. Untuk daerah Jogjakarta, perlu disinggung pula adanya beberapa acara yang diadakan oleh sekolah menengah dan universitas serta fandom-fandom yang menggelar berbagai kegiatan budaya Korea. Sebagai contohnya adalah apa yang diadakan oleh UGM dalam tajuk Korean Days yang diadakan sejak tahun 2000 dan UKDW dengan tajuk K-Pop Fest sejak tahun 2010. Selain itu, tak terhitung jumlahnya berbagai macam acara berkonsep cosplay meniru gaya fesyen dan dandanan para penyanyi Korea yang sebenarnya acara ini pun meniru acara-acara khas budaya Jepang yang telah lebih dulu terkenal dengan manga dan harajuku stylenya. Kedua, Young-hee Chung, Ph.D. dari Korea University meneliti tentang konsumsi drama Korea dengan judul “TV Drama Consumption in South Korea: Focusing on My Name is Kim Sam-Soon�. Dia meneliti bagaimana reaksi, kepuasan, dan pendapat para penonton drama tersebut dengan mengadakan penelitian melalui surat-surat dari para penggemar drama tersebut melalui apa yang mereka tulis di suatu majalah. Dengan menggunakan audience report, dia mendapatkan suatu hasil risetnya. Dengan melakukan wawancara dengan para respondennya, dia berhasil merasakan apa yang dirasakan respondennya sehingga meningkatkan kedalaman hasilnya, yaitu mengetahui bagaimana para respondennya memandang seorang tokoh dan realitas serta kepuasan yang mereka rasakan dalam drama tersebut. Dengan melihat gambaran-gambaran tersebut dan menapaki cara penelitian yang telah dilakukan oleh Dr. Sun Jung dan Young-Hee Chung, Ph.D, walaupun dengan tingkat yang jauh berbeda dan sederhana, riset ini berusaha menggambarkan dan memaparkan bagaimana bentuk-bentuk apresiasi para generasi muda Yogyakarta terhadap K-Pop, terutama dilihat dari kacamata para pengunjung K-Pop Festival di UKDW (Universitas Kristen Duta Wacana) Yogyakarta pada tahun 2010. Walaupun ada keterbatasan (limitations) yang dalam hal ini adalah kecilnya cakupan lokasi riset mengenai K-Pop, namun K-Pop Festival yang pengunjungnya terutama berasal dari remaja-remaja berbagai sekolah dan universitas di Yogyakarta yang sebenarnya juga merupakan Indonesia mini ini diharapkan dapat memberikan pijakan untuk memberikan gambaran nyata mengenai apa yang sedang terjadi dengan dunia K-Pop di Yogyakarta khususnya, serta Indonesia pada umumnya.

2. SEKILAS TENTANG K-POP DAN MEDIA MASSA Budaya pop tak bisa dilepaskan dari pengaruh dan peran media massa. Tanpa media massa, bisa jadi budaya pop tak akan bisa tersebar dan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat. Sifat media massa yang mampu menjadi penghubung sebuah karya pop dengan masyarakat umum membuat budaya pop mampu berkembang pesat sebagai sesuatu yang sangat popular. Hal ini berlaku pula dalam kasus penetrasi K-Pop di Indonesia.


122

Korean Studies in Indonesia

K-Pop di Indonesia telah mencengkeramkan pengaruhnya melalui berbagai macam media seperti televisi, radio, dan terakhir internet. Salah satu bukti bahwa K-pop telah menjadi salah satu budaya Korea yang terkenal adalah adanya stasiun televisi semacam MTV Indonesia melalui Global TV yang menayangkan video musik (MV61 ) para penyanyi Korea setiap minggunya melalui acara semacam Seoul Sunday dan adanya acara semacam ajang pencarian bakat yang pesertanya banyak yang mencoba meniru gaya boyband dan girlband Korea.62 Selain televisi, beberapa radio pun tak ketinggalan untuk ikut serta memutar lagu-lagu Korea. Walaupun data mengenai hal ini belum ada, terutama bagaimana situasinya di kota-kota lain di Indonesia, namun di Yogyakarta sendiri, dua radio yaitu, Radio Sasando dan Radio Swaragama tengah memiliki acara yang memutar lagu-lagu Korea untuk para pecinta K-Pop di kota ini. Sebagai tambahan, muncul pula majalah-majalah seperti Asian Plus dan My Idol, yang khusus didedikasikan untuk mengekspos dunia hiburan dari negeri Korea, Cina, dan Jepang. Hal-hal ini adalah segelintir dari apa yang tengah berlangsung di tengah maraknya pengaruh K-Pop di Indonesia, khususnya Yogyakarta—bila dilihat dari konteks riset ini. Media terakhir yang patut untuk diilustrasikan di sini adalah internet. Di tengah adanya kekhawatiran meredupnya dunia industri rekaman di Korea, internet telah berperan penting dalam menjual dan memasarkan lagu-lagu Korea. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa internet merupakan katalis kesuksesan K-Pop dalam dua tahun terakhir ini. Hal ini bisa dijelaskan seperti apa yang diberitakan oleh Jeong Deok-hyeon dalam majalah Korea (People & Culture) edisi April 2011. K-Pop has taken a leading role in the new Korean wave, largely because its ontent is so webfriendly. Music videos and music files—cotent that can be consumed in a shor time—are much better fit for the internet than TV drama. The spread of music is also less impeded by any language barriers, unlike dramas. So Korean songs that ar spread through internet have transcended the boundaris of the old Korean wave. (Jeong: hal. 6, 2011) Apa yang terjadi saat ini di belahan dunia lain termasuk Indonesia, memang seperti gambaran cuplikan berita tersebut. Dengan media internet seperti youtube, misalnya, para penggemar K-Pop dengan mudah dan waktu nyata (realtime) dapat pula mengikuti perkembangan terkini K-Pop dari negara asalnya. Musik yang filenya tidak begitu besar dapat dengan mudah diunduh dan diunggah lewat internet, yang akibatnya pada K-Pop dalam hal ini adalah berhasilnya musik pop Korea melewati batas negara tanpa mempedulikan adanya kendala bahasa. Satu hal penting yang perlu digarisbawahi dari cuplikan di atas adalah adanya istilah old Korean wave. Memang, sekarang memang saatnya new Korean wave yang berupa K-Pop, di mana yang tua adalah drama dan film Korea yang telah terlebih dahulu menjadi motor penggerak Hallyu di Indonesia pada awal tahun 2000-an.


Vol. II No. 1 April 2011

123

3. METODE PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS Pengambilan data riset ini dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada para pengunjung acara UKDW K-Pop Festival yang diadakan pada tanggal 6–7 November 2010. Dalam hal ini, kuesioner memang menjadi sarana utama untuk mendapatkan data dari para pengunjung mengenai apresiasi mereka terhadap K-Pop. Alasan dipilihnya para pengunjung K-Pop Festival sebagai responden dalam upaya untuk melihat bagaimana para remaja Yogyakarta mengapresiasi K-Pop adalah adanya asumsi yang bisa dikatakan kuat bahwa mereka adalah para pencinta K-Pop. Hal ini diperkuat dengan adanya dua fakta berikut: pertama, para pengunjung acara ini harus rela menyisihkan Rp 20.000,00 untuk membeli tiket acara; kedua, para pengunjung bisa disimpulkan sebagai orang-orang yang berani dan fanatik. Hal terakhir ini adalah karena mengingat situasi dan kondisi Yogyakarta yang pada saat itu masih dibayang-bayangi bahaya meletusnya gunung Merapi yang pada waktu tersebut masih diselubungi ketidaktentuan keadaan. Kendati demikian, mereka tetap datang menyaksikan rangkaian acara K-Pop Festival tersebut. Mengenai jumlah kuesioner dan hal-hal terkait, dari 200 (dua ratus) lembar kuesioner yang disebarkan pada pengunjung, ada 104 lembar kuesioner yang dikembalikan dalam keadaan diisi lengkap dan layak untuk diteliti lebih lanjut. Dari jumlah 104 kuesioner tersebut, diketahui bahwa 43 orang adalah mahasiswa, 47 orang adalah murid SMA atau sederajat; dan sebanyak 14 orang adalah mereka yang mengenyam pendidikan jenjang SMP. Sementara itu, dari segi jenis kelamin, 100 orang adalah perempuan, sedangkan sisanya (4 orang) adalah laki-laki. Setelah data diolah dan didapatkan gambaran awal, maka langkah selanjutnya adalah mengadakan forum group discussion (FGD). Tidak semua responden layak untuk mengikuti sesi FGD ini. Satu cara yang digunakan untuk memilih siapa saja yang berhak mengikuti FGD adalah dengan melihat bagaimana mereka mengisi pertanyaan terbuka dalam kuesioner. Hal ini untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan dan rasa penasaran atau kecintaan para resonden mengenai K-Pop. Pengetahuan dan kecintaan mereka diasumsikan terlihat dalam gaya mereka menuliskan jawaban dalam bentuk penjabaran baik yang panjang maupun singkat. Dari beberapa jawaban terhadap pertanyaan seperti berapa banyak grup musik Korea yang mereka ketahui dan apa saja yang mereka lakukan per hari untuk mengikuti perkembangan K-Pop, ada 20 responden yang layak untuk dipanggil dan diminta kesediaannya untuk bertukar pikiran dalam FGD. Namun demikian, dari 20 orang responden hanya 14 orang yang dapat menghadiri FGD. Dari hasil pertemuan inilah, data-data mengenai kecintaan, bentuk apresiasi, pendapat para responden mengenai K-Pop dapat terkuak dan menjadi data pendukung utama yang sangat membantu dalam analisis. Semua pernyataan keempat belas orang responden dalam FGD dicatat dan digunakan sebagai acuan untuk


124

Korean Studies in Indonesia

meneliti gambaran-gambaran apresiasi mereka terhadap K-Pop. Hasil dari rekapitulasi kuesioner akan diperkuat dan didukung dengan pernyataan-pernyataan para peserta FGD. Dengan cara menuliskan apa adanya apa yang mereka katakan selama FGD dengan disertai paparan dari hasil kuesioner, riset sederhana ini mencoba menggambarkan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan remaja-remaja ini. Dengan cara ini diharapkan tergambarkan berbagai macam bentuk apresiasi mereka terhatap K-Pop yang telah dan sedang menjangkiti mayoritas para remaka putri dan sebagian remaja putra.

4. GAMBARAN APRESIASI GENERASI MUDA YOGYAKARTA TERHADAP K-POP Untuk memudahkan penggambaran bagaimana masyarakat muda atau generasi muda di Yogyakarta mengapresiasi K-Pop, maka penulisan hasil-hasil penelitian dalam bagian ini dibuat dalam bentuk sebuah cerita dengan menggambarkan hasil kuesioner dengan disisipi pendapat-pendapat sebagian responden saat melakukan FGD. Dari penelitian yang dilakukan dengan melibatkan 104 orang partisipan yang 90% dari mereka adalah para mahasiswa dan pelajar SMA dengan umur yang hampir sama, maka paling tidak didapatkan gambaran bahwa umur para penggemar K-Pop memang sesuai dengan dugaan awal; yaitu mereka yang berumur antara 17 hingga 20 tahunan. Alasan lain yang bisa dijadikan landasan untuk menyatakan bahwa mayoritas penggemar K-Pop adalah para remaja adalah fakta bahwa para artis K-Pop memang banyak yang masih berusia muda dengan citra manis dan manja, muda dan macho, atau keren dan trendi seperti yang sering tercitrakan di dalam MV-MV para penyanyi Korea. Dilihat dari hal itu saja, bisa dipahami bila para murid SMA dan para mahasiswa-lah yang paling banyak menjadi penggemar KPop. Walaupun perlu penelitian lebih lanjut, ada hal yang mengusik mengenai seberapa besar minat mereka yang berusia 30 tahun ke atas terhadap K-Pop. Hal ini karena walaupun peneliti beberapa kali mendengar bahwa peminat K-Pop pun ada yang telah berusia tidak muda, namun hal ini tak tercermin sedikit pun dalam riset kali ini. Dilihat dari maraknya perkumpulan penggemar K-Pop di Indonesia seperti yang bersatu di dalam wadah UKLI (United K-Pop Lovers Indonesia) dan perkumpulan-perkumpulan kecil dan besar lainnnya seperti UILYU, Rumah Tujuh, Sujunesia-Super Junior Indonesia, 100.000.000 ELF Indonesia Mendukung Super Junior Konser di Indonesia, KPOPers Shop, Shawol Yogyakarta, Yoboseyo KPOP Goodies,63 dan lain sebagainya; para penggemar Korea di Yogyakarta dan kemungkinan di kota-kota besar lainnya di Indonesia bisa dikatakan telah tak lepas dari pengaruh Hallyu atau gelombang Korea. Bila sebelumnya drama-drama Korea-lah yang menyebarkan wabah demam Korea, maka dalam satu atau dua tahun terakhir (2009-2010) ini musik pop Korea (K-Pop) telah mengambil alih peran drama Korea. Hal ini tercermin dari pendapat-pendapat dan hasil kuesioner pada para


Vol. II No. 1 April 2011

125

partisipan mengenai berbagai macam hal tentang K-Pop. Berikut adalah tiga gambaran penting yang bisa mengindikasikan hal tersebut.

4.1. Awal Mula Para Remaja Menyenangi K-Pop Partisipan riset mengatakan bahwa mereka mulai mengenal K-Pop kurang lebih 2 tahun terakhir. Para mahasiswa menyatakan bahwa mereka mulai banyak mengenal K-Pop lebih dari 2 tahun. Sementara itu para remaja setingkat SMA menyatakan bahwa mereka mulai mengenalnya kurang lebih dalam waktu 1 tahun belakangan. Sementara itu, para remaja setingkat SMP tak banyak terwakili dalam hasil riset ini. Selain karena jumlah para partisipan dari kelompok mereka yang sedikit, mereka pun ternyata baru mengenal mengenai K-Pop kurang dari setahun, sehingga bila mereka pun menjadi penggemar K-Pop, tingkat kegemaran mereka pun masih kalah dibandingkan para senior mereka di SMA maupun universitas. Berbagai macam hal yang melatarbelakangi para partisipan akhirnya menjadi penggemar Korea didapatkan lewat kuesioner dan FGD. Ada yang mulai tahu K-Pop karena ajakan teman, kakak yang lebih dulu menyukai K-Pop, sampai ada yang jadi suka K-Pop karena salah unduh. “Pas aku ngecek lagi hasil downloadku di rumah, eh malah lagu dengan bahasa aneh enggak jelas yang keputer. Trus aku tanya ke temenku, dia bilang kalo itu boyband Korea gitu. Kalo enggak salah itu lagunya Shinee yang replay.� (Alfian Hidayat, pelajar) Apa yang dialami oleh Alfian bisa jadi hanya salah satu gambaran bahwa dari hal yang tak disengaja melahirkan suatu kegemaran yang akhirnya membuat seseorang menyukai hal tersebut. Cerita ini juga mengindikasikan bahwa unduh-mengunduh lagu bukanlah sesuatu yang asing bagi para remaja. Alfian menambahkan bahwa sebenarnya dia mau mengunduh lagu Barat dan entah mengapa ada lagu Korea yang menyangkut di filenya. Itu pun akhirnya berujung dengan kecintaannya pada K-Pop. Hal yang mirip juga terjadi pada seorang mahasiswa Sastra Inggris UGM yang perkenalannya dengan K-Pop baru mulai pada awal tahun 2010. “Waktu itu ada temenku yang iseng masukin lagu Wonder Girls ke dalam flashdisk pas transfer tugas dari dia. Temen-temenku yang lain juga senasib, diisengin ninggalin lagu Korea di flashdisk mereka. Ternyata MV mereka catchy dan lucu, ya udah deh jadi mulai suka Korea.� (Shasa Mercya, mahasiswa)


126

Korean Studies in Indonesia

Para remaja lain mengatakan bahwa unduh-mengunduh dan tukar-menukar file memang sudah hal biasa karena mereka memang meluangkan waktu untuk hal ini. Pendapat ini didukung oleh pendapat mereka mengenai waktu yang mereka luangkan untuk mendukung kegemaran mereka terhadap K-Pop ini. Para mahasiswa dan remaja SMA meluangkan waktu untuk mencari tahu atau mengikuti perkembangan dunia K-Pop melalui media internet paling tidak 1 sampai 2 jam dalam sehari. Namun wawancara dan hasil riset menunjukkan bahwa ternyata mahasiswa tidak meluangkan waktu dengan sengaja untuk khusus mencari tahu tentang hal-hal ini. Hal ini bertolak belakang dari para remaja SMA yang secara khusus rata-rata meluangkan waktu khusus untuk K-Pop. Bisa jadi hal ini terjadi secara kebetulan karena hasil ini berbalikan dari dugaan awal bahwa para mahasiswa-lah yang lebih banyak mengakses informasi mengenai K-pop mengingat waktu kuliah mereka yang fleksibel. Sementara itu para remaja SMA terbatas waktunya mengingat jam belajar mereka yang tersedot untuk kelas dari pagi hingga sore. Namun, dari wawancara pun terlihat bahwa para remaja SMA ternyata lebih “heboh” ketika mereka diminta untuk membicarakan K-Pop dibandingkan rekan mahasiswa. Hal selanjutnya yang membuat para responden menyukai K-Pop adalah penampilan para anggota grup boyband maupun girlband industri musik Korea. Bisa dikatakan bahwa K-Pop memang identik dengan para penyanyi atau penari perempuan (baca: remaja-remaja muda) yang menjadi anggota suatu grup musik. Mereka rata-rata cantik dan bisa dikatakan terlalu cantik untuk nyata ada karena memang kebanyakan seakan-akan flawless ‘tanpa catat’ dari segi fisik. Begitu pula para remaja laki-laki anggota boyband-boyband Korea. Terlepas dari fakta bahwa operasi plastik, diet ketat, dan latihan fisik adalah keharusan mutlak yang menjadikan semua itu nyata, itulah yang memang digemari oleh para penggemar K-Pop. Seperti halnya yang dituturkan oleh seorang responden: “Sekumpulan perempuan seksi, bagi saya wajah mereka sama atau hampir sama. Sebagai laki-laki saya suka melihat sesuatu yang “bening”, girlband Korea memberikan suatu yang baru bagi dunia musik meski sedikit mengekor girlband Jepang tapi mereka mampu mengimprove musik dan tarian…” (Rifki, Laki-laki, 22 tahun) Satu hal lagi yang patut disinggung di sini adalah mengenai bagaimana para remaja tersebut mulai tertarik dengan lagu Korea yang pada dasarnya semua liriknya ditulis dan dinyanyikan dalam bahasa Korea—salah satu bahasa yang masih jarang diajarkan secara umum atau mulai dilirik oleh orang Indonesia. Ternyata kendala bahasa bukanlah hal utama yang dipikirkan para pecinta K-Pop ini. Hal ini terbukti dari fakta bahwa lebih dari setengah (58,7%) partisipan tidak mengerti atau memiliki latar belakang pernah belajar bahasa Korea.


Vol. II No. 1 April 2011

127

“Biarpun nggak paham artinya, toh lagunya masih asyik buat didengerin.� (Rizky Amalia Fajri, pelajar) Kebanyakan dari mereka hanya suka lagu Korea karena musiknya serta karena para artisnya yang keren dan trendi. Hal ini membuktikan bahwa produk pop Korea telah berhasil melampaui batas universal atau kendala bahasa melalui musik yang mereka ciptakan. Bahkan efek yang ditimbulkan dari kecintaan terhadap K-Pop ini malah berimbas pada keinginan para partisipan untuk mengetahui bahasa Korea. Bahasa Korea yang dibawakan oleh para penyanyi Korea ini terdengar sangat keren di mata mereka walaupun mereka tak memahaminya. Namun sebenarnya alasan utama mereka menyukai K-Pop bukanlah hanya karena wajah keren dan cantik para penyanyinya saja, lagu dan tarian yang dinamis-lah yang menjadi daya tarik pertama yang akhirnya menjadikan mereka menjadi penggemar K-Pop. Sebanyak 90% partisipan mengakui hal yang sama. Setelah mereka menyukai lagu dengan bahasa yang asing pertama kali buat mereka, mereka lalu mencari tahu informasi lebih lanjut yang mana rasa suka dan penasaran mereka dengan K-Pop semakin berkembang. Partisipan menggambarkan bahwa setelah beberapa saat menyukai musik Korea, mereka tertantang dan merasakan keinginan untuk mengetahui arti dan makna dari lagu-lagu yang mereka dengarkan. Sebanyak 84 partisipan (80%) rela menelusuri dunia maya untuk mencari translasi lirik lagu favoritnya. Sementara itu, sisanya mengakui tak perlu tahu arti lagu tersebut. Untuk itu, sebagian dari mereka mengambil cara dengan belajar bahasa Korea secara otodidak lewat buku-buku yang mereka beli atau pun belajar dari internet mengenai arti setiap kata yang ada di lagu lewat terjemahan lagu-lagu tersebut. Keingintahuan mereka ini mengindikasikan bahwa mereka ternyata tak sekedar menikmati lagu dan musik K-Pop dan berhenti pada proses tersebut. Mereka lebih lanjut berusaha dengan mencari translasi lagu Korea tersebut agar pertama, mereka bisa mendendangkan lagu Korea dengan mudah sembari mendengarkannya; dan kedua, agar mereka lebih mudah memahami kata-kata dalam lirik lagu Korea setelah mereka mendapatkan terjemahan lagu tersebut baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Perlu diketahui pula bahwa 41% partisipan mengatakan bahwa mereka yang sudah paham arti lagu—karena belajar dari hasil terjemahan lirik—maupun maupun mereka yang dari awal sudah tahu bahasa Korea, semuanya mengatakan bahwa kegiatan mencari translasi lirik lagu Korea favorit bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk menambah kosakata bahasa Korea mereka. Ini bisa menjadi nilai tambah dalam menghayati lagu yang mereka dengarkan. Bisa dikatakan bahwa apa yang telah dilakukan para partisipan dalam menyukai lagulagu Korea ternyata bukanlah sekedar menyukai. Dengan caranya sendiri, mereka telah


128

Korean Studies in Indonesia

mengapresiasi K-Pop bukan sebagai sekedar produk budaya yang lewat begitu saja. Mereka ternyata lebih lanjut ingin mengetahui lebih jauh sarana yang dipakai dalam lagu-lagu Korea itu, yaitu bahasa Korea sebagai bahasa pengantarnya.

4.2. Beberapa macam media pendukung aktivitas penggemar K-Pop Di Indonesia, kecuali MTV dengan Global TV-nya, tidak (belum) ada televisi nasional yang secara khusus menyiarkan musik Korea dalam salah satu programnya. Hal ini berbeda dengan drama dan film Korea yang sejak tahun 2000 hingga awal 2011 sering menghiasi layar kaca beberapa stasiun televisi swasta nasional. Khusus untuk fenomena K-Pop, naik daunnya grup musik Korea beserta dengan para artisnya di Indonesia memang tak lepas dari besarnya pengaruh dunia internet. Memang ada stasiun TV seperti MTV, Arirang TV, dan KBS World yang memiliki acara khusus untuk musik-musik Asia terutama Korea, namun ini pun hanya dalam porsi yang tak begitu signifikan. Ditambah lagi tak semua orang memiliki akses untuk siaran televisi tersebut karena dua di antaranya hanya bisa dinikmati lewat siaran TV berbayar. Jadi menilik apa yang sedang terjadi pastilah menimbulkan tanda tanya yang besar. Bagaimana fenomena merebaknya K-Pop bisa begitu besar di beberapa negara Asia terutama di Indonesia dengan situasi yang kurang mendukung seperti itu. Ternyata faktor yang mendukung adalah media internet sebagai media utama dan satu lagi peran telepon seluler 3G yang bisa mendukung file-sharing dan downloading (bagi dan unduh file) dengan mudah saat ini. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa melalui SNS (Social Network Service) seperti YouTube, Facebook, dan Twitter, para bintang K-Pop telah berhasil meluaskan cengkeramannya. Media-media tersebut terbukti melampaui batas waku dan ruang yang akhirnya membantu K-Pop termasuk bintangnya menjadi ikon global. (Jeong, dalam Korea: People & Culture, hal. 10, 2011) Menyinggung belum adanya TV lokal yang secara rutin menayangkan acara K-Pop memang diakui sebagian partisipan sebagai salah satu kendala untuk memuaskan keinginan mereka melihat artis Korea mereka; seperti apa yang dirasakan oleh salah seorang partisipan. “Bisa update info K-Pop dan ngeliat MV mereka di rumah sambil lihat TV rasanya lebih dekat dengan mereka. Kalo acara-acara K-Pop Festival tuh biasa banget. Cuma muterin MV trus liat bareng-bareng, trus cover dance dan gitu-gitu sajalah. Mendingan liat di TV saja.� (Nareswari Astiti, mahasiswa) Namun demikian, seperti yang disinggung di atas, melihat K-Pop lewat TV pun tak bisa dilakukan oleh semua orang walaupun sebenarnya hal itu pastinya akan membantu para penggemar K-Pop untuk memperbarui info-info tentang K-Pop mengingat setiap minggu tayangan di televisi mengikuti perkembangan situasi yang terjadi di Korea. Untuk menyikapi


Vol. II No. 1 April 2011

129

hal tersebut, salah seorang responden berbeda pendapat dengan Nareswari, dia mengatakan bahwa ikut di suatu acara K-Pop sudah cukup baginya. “Aku lebih milih ngadain event, lebih bisa sharing dan kenalan ma orang-orang dari fandom lain. Yang kayak di UKDW itu udah cukup, kita juga bisa tau sebanyak apa orang-orang di Jogja yang suka K-Pop.” (Aditya Rizky, mahasiswa) Selain hal-hal tersebut, dari FGD diketahui pula bahwa semua partisipan memiliki akun email, memiliki akun Facebook, dan memiliki akses ke internet lewat warnet atau telepon seluler mereka. Mereka sepakat bahwa internet-lah yang menjadi pilihan utama untuk mencari, melihat, mendengarkan lagu dan artis Korea mereka. Terlebih dengan adanya YouTube, para partisipan mengatakan bahwa mereka sangat terbantu dengan adanya situs tersebut karena mereka bisa mencari apa pun yang mereka inginkan tentang K-Pop. Pilihan kedua baru pada radio lokal di Yogyakarta yang memang dalam waktu-waktu tertentu menyiarkan lagu-lagu Korea. Pertama, seperti yang ada di Radio Sasando FM Jogjakarta (90,3FM – www.sasandofm.com/orient-time) yang setiap hari pada pukul 13.00–15.00 menyiarkan Orient Time, sebuah acara musik yanng menyajikan lagu hits Mandarin, Korea, dan Jepang sebagai acara hiburan dengan info aktual seputar selebritis Mandarin, Korea, dan Jepang, serta berita terhangat dari ketiga negara tersebut sebagai informasi ringat untuk menambah wawasan pendengarnya. Kedua, seperti apa yang disiarkan oleh Radio Swaragama FM (101,7 FM—www.swaragamajogja.com). Radio ini memiliki K-season, sebuah acara yang disiarkan setiap hari Minggu pukul 09.00 -10.00 WIB yang didedikasikan untuk pecinta K-Pop dengan lagu-lagu hit Korea yang dirangkum dengan berbagai info menarik seputar budaya pop Korea Selatan. Sementara itu, media televisi dan majalah adalah pilihan ketiga. Khusus mengenai majalah, perlu disinggung bahwa di Indonesia sejak tahun 2008 telah beredar beberapa tabloid yang khusus memberitakan artis-artis Asia termasuk Korea. Bintang Asia, Asian Stars, My Idol Plus, dan Asian Plus adalah empat tabloid utama yang menjual ketenaran dan fenomena KPop pada konsumen Indonesia. Di samping itu, majalah-majalah remaja seperti Kawanku dan Olga, misalnya, juga sering kali memuat artikel mengenai artis dan penyanyi Korea. Tabloid dan majalah-majalah ini telah menjadi salah satu sumber informasi penggemar Korea baik yang fanatik maupun yang baru tertarik dengan Korea.64 Kembali ke media utama, yaitu internet; para partisipan mengatakan bahwa mereka bisa mendapatkan update berita-berita dan info-info mengenai artis Korea baik lewat situs dalam negeri yang berbahasa Indonesia; situs negara tetangga yang berbahasa Inggris; maupun situs langsung dari Korea yang berbahasa Inggris. Situs-situs dari Korea yang berbahasa Korea ternyata tak menjadi sumber langsung karena adanya kendala dalam mengakses huruf


130

Korean Studies in Indonesia

Hangeul yang tak terbaca di semua jenis komputer serta adanya kendala membaca apalagi memahami makna informasi dalam bahasa Korea. Bisa ditambahkan pula bahwa akses tanpa batas terhadap berbagai macam situs yang tersedialah yang menjadikan media internet sebagai media utama para penggemar K-Pop ini. Berkaitan dengan hal ini, internet selain sebagai media untuk mencari informasi mengenai sang penyanyi, lebih sering media ini juga digunakan sebagai alat untuk mengunduh lagu Korea secara gratis atau untuk membagi file lagu Korea dengan para penggemar lain.

4.3. Pengaruh K-Pop pada kehidupan para partisipan Hasil yang sangat menarik dari kuesioner maupun hasil dari FGD adalah fakta yang menyatakan bahwa baik para mahasiswa maupun pelajar SMA dan SMP rata-rata mendengarkan musik pop Korea setiap harinya dengan intensitas yang berbeda-beda. Walaupun para mahasiswa disebutkan tak memiliki waktu khusus untuk K-Pop, mereka rata-rata pernah menjadikan lagu Korea sebagai ringback tone telepon seluler mereka ataupun memasukkan lagu-lagu Korea ke dalam komputer maupun Mp3 mereka. Hal ini mengindikasikan bahwa lagu-lagu Korea telah menjadi bagian dari kehidupan keseharian mereka. Dugaan awal sebelum penelitian ini adalah bahwa para penggemar K-Pop biasanya adalah mereka yang benar-benar fanatik terhadap apa pun yang berbau Korea. Mereka akan melakukan apa pun untuk membuat diri mereka terselubungi dengan hal-hal yang berkaitan dengan KPop beserta pernak-perniknya. Walaupun dalam tataran tertentu ada benarnya, tapi sebenarnya hal itu tak mendasar. Para partisipan mengatakan bahwa mereka masih juga mendengarkan (tidak harus menyukai) lagu-lagu Indonesia, lagu Barat, dan lagu-lagu lain. Para partisipan dari kalangan mahasiswa dan SMA mengaku bahwa mereka kebanyakan masih menyukai musik selain K-Pop. Hanya sebagian kecil (10%) yang mengatakan bahwa mereka hanya mendengarkan musik K-Pop setelah mengenal musik Korea. Gambaran ini pada tataran tertentu sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Adi Sutrisno dalam penelitiannya mengenai Globalisasi dan Hibridasi Budaya.65 Dalam konteks penelitian tentang K-Pop ini, bisa dikatakan telah ada semacam arus globalisasi dari negara Asia ke sesama negara Asia—tidak melulu dari Barat ke negara Timur atau dari negara maju ke negara terbelakang dan berkembang seperti yang kebanyakan telah terjadi pada abad ke-20. Yang menarik, para remaja yang doyan K-Pop ini walaupun secara terus terang menyukai musik Korea dan menjadikannya sebagai asupan sehari-hari, mereka tetap melirik dan mendengarkan musik negaranya sendiri. Hal lain yang patut dituangkan di sini adalah bagaimana K-Pop ini mengubah sesuatu dalam kehidupan mereka. Para mahasiswa dan pelajar berpendapat bahwa mereka lebih bersemangat dan membuat mereka lebih mudah berpikir saat dan setelah mendengarkan lagu-lagu K-Pop. Sementara itu, para remaja SMA rata-rata mengatakan bahwa lagu-lagu K-


Vol. II No. 1 April 2011

131

Pop lebih banyak memberikan mereka rangsangan untuk aktif secara fisik dalam artian mereka selalu ingin ikut menari bersamaan dengan lagu-lagu K-Pop itu. Khusus mengenai pendapat yang menyatakan bahwa K-Pop membuat sebagian partisipan bersemangat dan lebih mudah berpikir, hal ini memerlukan riset lebih lanjut mengenai dalam hal apa saja mereka menggunakan lagu-lagu Korea untuk penyemangat mereka. Namun ada satu siswi SMA 1 Yogyakarta yang mengatakan apa gunanya K-Pop buat dia. “Aku lebih suka mendengarkan K-Pop saat belajar, alasannya dengan mendengarkan K-Pop rasanya ide-ide baru muncul dan menambah semangat belajar.� (Vania Aniska Yuliani, pelajar) Khusus untuk pendapat yang mengatakan bahwa lagu-lagu Korea membuat para partisipan ingin ikut menari, ada penjelasan mengenai hal itu. Hal ini tak lepas dari fakta bahwa sebagian besar K-Pop adalah lagu-lagu berirama dinamis dan rancak yang sebenarnya merupakan gabungan berbagai genre musik seperti hip-hop, R&B, rap, dan pop tentunya. Terlebih lagi, lagu-lagu tersebut mayoritas dinyanyikan secara keroyokan oleh para boyband atau girlband atau lebih tepatnya sekumpulan penyanyi laki-laki dan perempuan yang selalu menggunakan tarian-tarian ciri khas K-Pop. Satu alasan lagi yang bisa dijadikan penyebab mengapa lagu-lagu K-Pop ini dengan mudah diterima di sebagian remaja adalah berbedanya jenis musik lagu Indonesia yang sedang populer di Indonesia dengan yang ada di Korea saat ini. Bisa dikatakan bahwa lagu pop di Korea ternyata berbanding terbalik dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia. Bila boyband dan girlband mendominasi pentas musik Korea dengan musik dan irama rancaknya, grup band-grup band seperti ST12, D’Massive, Nidji, dan grup-grup indie lain dengan lagu-lagu bercengkok dan bernuansa Melayu serta kontemporer-lah yang sedang bertengger di puncak pentas lagu Indonesia. Hal ini mendorong para remaja tadi mencari sesuatu yang lain dari apa yang sering mereka dengarkan di Indonesia. Saat mendengarkan lagu-lagu Korea pun ternyata memunculkan kekhasan tersendiri. Munculnya fenomena K-Pop telah menciptakan kebiasaan-kebiasaan baru dalam mendengarkan sebuah musik. Lebih dari 50% partisipan mengatakan bahwa K-Pop lebih asyik bila didengarkan dan dinikmati bersama dengan teman-teman lain yang juga suka musik sejenis. Sebanyak 46 partisipan (44%) mengatakan bahwa untuk menikmati K-Pop pun tak diperlukan waktu khusus karena bisa kapan saja dan di mana saja. Mereka bisa melakukannya melalui netbook atau komputer atau dengan telepon seluler dengan pemutar musik yang menyertainya. Mereka bisa saling bernyanyi, menari, dan bercerita bersama mengenai kegemaran mereka ini bila menikmati lagu Korea bersama-sama. Namun, yang menarik adalah walaupun mereka suka berkumpul-kumpul untuk menikmati K-Pop, sebagian besar dari


132

Korean Studies in Indonesia

mereka (75%) menyatakan bahwa mereka tidak atau belum perlu bergabung dengan salah satu fans club musik Korea yang ada. Jadi hal ini bertentangan dengan dugaan awal dari riset ini yang beranggapan bahwa para penikmat K-Pop punya minat atau malah sudah bergabung dengan salah satu fans club baik secara online maupun tidak. Dari FGD terkuak bahwa mereka yang menjadi anggota fans club salah satu grup musik Korea pastilah atau hanyalah mereka yang benar-benar fanatik dan sangat suka (sekali) dengan musik atau penyanyi Korea yang rata-rata cantik dan ganteng serta imut untuk ukuran remaja sebaya mereka. Untuk itulah, hanya sebagian kecil (10%) saja yang menyatakan telah bergabung dengan fans club atau komunitas pencinta K-Pop untuk lebih menyatakan identitas mereka dan kecintaan mereka terhadap K-Pop. Sementara itu, untuk urusan mendapatkan lagu, selain kebanyakan mendapatkannya dengan mengunduh dari internet, namun ada sebagian yang kurang puas apabila tidak mendapatkan CD yang asli. Untuk itu kegiatan berburu CD asli baik impor maupun rilisan distributor lokal pun menjadi kegiatan yang mewarnai kecintaan mereka pada K-Pop. Untuk di Jogja yang notabene toko kaset dan CD tidaklah banyak selain di Disctarra di Ambarukmo Plaza dan Malioboro Mall, toko kaset lain tak banyak yang menjual CD lagu Korea. Untuk itulah mereka rela berburu dan selalu mencari informasi untuk mendapatkannya. Sampai saat ini hanya grup band yang memiliki fan besar saja yang telah secara resmi memiliki distributor resmi untuk mengedarkan album mereka. Grup band itu adalah Super Junior dan Shinee. Untuk yang lain, sepertinya para penggemar K-Pop harus tetap rela mengunduhnya dari internet. Apa yang bisa disimpulkan dari fakta tersebut adalah bahwa kebanyakan dari mereka menikmati K-Pop sebagai kegemaran personal semata. Sebagian dari mereka melakukan apa pun untuk memuaskan keinginan mereka. Sebagian yang lain merasa tak perlu harus menunjukkan kegemaran mereka itu kepada orang lain karena hal itu bukanlah sesuatu yang dipandang perlu—kecuali terutama pada 10% dari para partisipan yang secara sengaja menjadi anggota suatu komunitas pencinta K-Pop. Namun, walaupun hanya 10% yang menjadi member suatu fans club, ada sesuatu yang sungguh menarik karena 90% sisanya menyatakan bahwa mereka telah menjadikan dirinya atau mau sebagai duta penyebar KPop kepada siapa pun yang mereka kenal. Alasannya sederhana, mereka ingin membagi pengalaman menyukai musik Korea dengan orang lain paling tidak dengan teman-temannya, seperti apa yang dituturkan oleh seorang pelajar SMA 1 Yogyakarta. “Aku sama teman-teman yang juga pecinta K-Pop bahkan punya julukan Korean Squad karena menyebarkan demam Korea di sekolah. Kita sih, yang bikin julukan itu saking kita pengen banget Korea populer.� (Vania Aniska Yuliani, pelajar)


Vol. II No. 1 April 2011

133

Untuk itulah sebagian besar dari mereka selalu ada minat atau keinginan untuk mengikuti kegiatan semacam gathering (istilah yang sering digunakan para pecinta K-Pop) yang diadakan untuk menukar informasi, menjual langsung pernak-pernik artis Korea, dan menjalin persahabatan lewat berbagai macam lomba dan pertunjukan. Sebagian bahkan rela untuk datang ke acara gathering yang diadakan di kota-kota lain dengan biaya transportasi dan akomodasi sendiri—belum termasuk tiket acara gathering yang berkisar antara Rp 25.000 hingga Rp 100.000. Untuk itulah, acara semacam Korean Days-nya UGM dan K-Pop Festival yang diadakan oleh UKDW menjadi salah satu tempat untuk para pecinta K-Pop untuk berkumpul, bertemu, dan mengekspresikan minat mereka dengan sesama fan dari daerah lain. Hal ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh seorang partisipan dengan mengikuti lomba cover dance66 di K-Pop Festival UKDW. “Waktu di K-Pop Fest kemarin aku cover dance juga, kog. Ini temanku si Idha juga nge-dance juga kemaren.” (Alfian Hidayat, pelajar) Alfian yang dalam FGD memakai T-shirt bertuliskan 소녀시대 (sonyeoshidae)677 juga menambahkan bahwa dia memakai atribut-atribut lain yang menunjukkan kesukaan dia akan K-Pop terutama grup musik favoritnya. Alfian termasuk 17,6% partisipan yang mengatakan bahwa mendatangi acara semacam K-Pop Festival sebagai pengunjung biasa tidaklah cukup untuk menunjukkan dirinya sebagai penggemar K-Pop sejati. Hal itulah yang mendorongnya untuk ikut lomba cover dance, cover song, atau cosplay mirip artis yang mereka sukai. Hal lain yang muncul dari riset adalah adanya hal yang bersifat personal. Berbagai macam kegiatan yang melibatkan diri dengan kegiatan di luar memang perlu, namun ada juga (35,4%) partisipan yang ingin sekedar menunjukkan identitasnya dengan melakukan hal-hal personal. Pertama, ada yang menambahkan nama belakang mereka di akun Facebook mereka; seperti apa yang diungkapkan oleh salah seorang partisipan. “Aku lebih memilih nambahin nama facebookku dengan elfcassiehottest bla bla bla...buat nunjukkin identitas dan kesukaanku....biar semua orang tahu.” (Nur Fitri Ramadhani, mahasiswa) Kedua, cara mengekspresikan kesukaan mereka adalah dengan merelakan kocek atau uang saku mereka untuk membeli pernak-pernik boyband favorit mereka dan berburu fesyen yang mirip atau sama dengan apa yang dipakai oleh artis mereka. Apa yang diilustrasikan tersebut memang menunjukkan bahwa mereka adalah penyuka sejati budaya K-Pop. Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa seseorang yang menyukai belum tentu seseorang yang bisa mengapresiasi. Bagi mereka yang benar-benar penggemar


134

Korean Studies in Indonesia

sejati, maka melihat artis mereka di televisi atau sekedar membaca artikel dan berita tentangnya di majalah tidaklah dirasa cukup. Untuk itu, para penggemar ini merasa perlu untuk mencari lebih lanjut dan lebih banyak mengenai K-Pop tersebut. Untuk itulah, media internet yang selama 24 jam terus ada dan takterbatas dalam memberikan berita menjadi pilihan yang tepat. Dari situs-situs internet baik lokal maupun internasional, mereka yang benar-benar fanatik akan selalu mengupdate pengetahuan mereka mengenai K-Pop. Lewat internet, perkembangan terbaru dari Korea mengenai K-Pop seputar lalu-lagu terbaru, MV-MV terbaru, gosip, dan berita terbaru pun akan dengan mudah terdeteksi dan dikonsumi untuk memuaskan kegemaran mereka. Dengan situs-situs semacam www.google.com atau www.google.co.id dan YouTube atau pun lainnya, dengan memasukkan kata kunci yang mereka inginkan, para penggemar fanatik K-Pop dapat menjelajahi dunianya. Inilah gambaran bahwa internet memang telah menjadi media yang digunakan pecinta K-Pop untuk mencari hal-hal terkait dengan KPop; seperti yang diungkapkan salah seorang responden berikut ini: “ Biasanya 3-4 jam gitu (memakai internet) nyari info K-Pop, download, kalau bosan juga lihat variety show K-Pop. Tiap hari sih intinya‌â€? (Aditya Risky, mahasiswa) Melihat bagaimana para remaja, yang terwakili dari para responden riset ini, dapat terlihat bagaimana pengaruh K-Pop dalam kehidupan para remaja ini. Bisa dipahami bahwa waktu 3–4 jam adalah waktu yang dia habiskan di dunia maya saja, belum termasuk waktu lain yang kemungkinan dia lakukan juga untuk hal-hal lain terkait kecintaan mereka pada K-Pop. Bagi sebagian orang yang tak memahami K-Pop, ada kemungkinan bahwa waktu tersebut dianggap sebagai sesuatu hal yang sia-sia karena menghabiskan waktu sebanyak itu hanya untuk musik Korea adalah sesuatu yang sulit untuk dipahami. Namun, apabila dilihat dari fakta bahwa para penggemar fanatik K-Pop adalah mereka yang rela melakukan apa pun untuk memuaskan kehausan mereka, maka buat mereka itu adalah waktu yang sepadan. Fakta-fakta tersebut adalah apa yang terjadi saat ini, maka ada kemungkinan bahwa perkembangan musik pop Korea akan terus diikuti terus oleh para penggemar mudanya di Indonesia dengan berbagai macam apresiasi yang mereka tunjukkan. Inilah cara-cara mereka mengapresiasi sesuatu yang mereka sukai, yaitu dengan mengekpresikan dirinya dengan apa yang mereka sukai tentang K-Pop; mendatangi langsung ke suatu acara K-Pop; berpartisipasi langsung di dalamnya baik sebagai pengunjung biasa sebagai maupun pengisi acara dengan mengikuti berbagai macam lomba; memastikan diri untuk selalu dapat mengetahui berita-berita terbaru K-Pop melalui berbagai macam media massa; atau dengan cara-cara lain sesuai dengan keinginan mereka.


Vol. II No. 1 April 2011

135

5. PENUTUP Telepas dari berbagai macam kendala seperti akses terhadap K-Pop secara langsung yang kurang—selain internet, K-Pop telah mendapat tempat di hati para generasi muda yang hadir pada acara K-Pop Festival di Universitas Kristen Duta Wacana pada tahun 2010. Ada tiga kesimpulan yang bisa dituangkan mengenai bagaimana apresiasi para generasi muda Yogyakarta terhadap K-Pop. Pertama, hal yang bisa diungkap adalah alasan mengapa para partisipan menyukai KPop. Ternyata mereka memiliki berbagai macam alasan. Tak ada satu alasan yang cukup mewakili latar belakang mereka menjadi pencinta K-Pop. Hal ini karena partisipan menyatakan bahwa mereka suka K-Pop karena beberapa alasan. Salan satunya adalah karena musik dan irama lagu Korea yang enak didengar dan dinamis sesuai dengan jiwa mereka. Dalam artian, K-Pop mudah diterima dan mudah diikuti. Selain itu, partisipan yang sama juga mengatakan bahwa mereka juga mencintai K-Pop karena faktor wajah atau tampang artis Korea yang menurut mereka tampan dan cantik. Kedua, media massa terutama internet saat ini adalah media ampuh dan andalan para pecinta K-Pop di Yogyakarta. Melihat hasil riset, gambaran ini sedikit banyak juga membenarkan fakta dan berita-berita bahwa internet memang menjadi media promosi K-Pop yang cepat, murah, dan handal. Hal ini sesuai dengan apa yang diyakini industri K-Pop dari Korea sendiri yang sengaja menggunakan media internet untuk menyebarkan industri mereka. Tak pelak, para responden (baca: generasi muda di Yogyakarta) pun menggunakan media yang sama untuk memuaskan keingintahuan mereka setiap saat tentang dunia K-Pop. Ketiga, terlepas dari kefanatikan, kecintaan, kegemaran para responden terhadap K-Pop beserta pernaik-pernik yang menyertainya, sebagian besar menyatakan bahwa mereka tetap tidak meninggalkan musik tanah air, walaupun dengan kadar yang berbeda. Selain itu, melalui K-Pop ini mereka lebih terdorong untuk lebih aktif dan termotivasi untuk mempelajari sesuatu yang baru. Sebagai tambahan terakhir dari tulisan ini adalah hal positif yang perlu diketahui dari adanya K-Pop. Hal positif tersebut adalah fakta bahwa kecintaan mereka terhadap K-Pop ternyata tak sekedar kecintaan yang superficial atau di permukaan saja. Fakta bahwa setelah mereka suka pada musiknya, mereka ingin tahu lebih banyak tentang negara, budaya, dan bahasa Korea adalah sesuatu yang menarik untuk dikaji dan direnungkan. Hal yang kelihatan sederhana ini adalah sesuatu yang bisa menjadi pembelajaran yang penting untuk diketahui masyarakat umum di Indonesia. Hal ini tak lain karena keberhasilan K-Pop memang didukung penuh oleh dunia swasta dan pemerinta Korea yang mendukung agar gaungnya di dunia internasional terus berlanjut. Lewat diplomasi budaya, suatu negara akan mendapatkan citra yang positif di mata internasional. Dalam kasus ini, para generasi muda di Yogyakarta


136

Korean Studies in Indonesia

telah menyatakan bahwa mereka sekarang memandang Korea dengan kacamata yang lebih baik; yang secara tak sadar mereka pun telah menjadi duta budaya kontemporer Korea— sesuatu yang tetap harus dilihat sebagai pencapaian positif.

CATATAN KAKI 53

54 55

56 57

58

59

60

Tulisan ini adalah ringkasan kecil dari riset tahun 2010 yang kemudian ditulis ulang hingga awal awal 2011 dengan memasukkan perkembangan terbaru dari the new Korea Wave. Anwar, Ratih Pratiwi, “Menengok Sinetron Negeri Ginseng.” Diakses 1 September 2010. http://tribhuanadevi.blogspot.com/2005/09/menengok-sinetron-negeri-ginseng.html Shim, Doobo.2010.”Korean Media Industries and the Korean Wave.” Makalah yang dipresentasikan dalam Korea Forum ke-10 yang terselenggara atas kerja sama SEASREP, KASEAS, dan Pusat Studi Korea UGM dengan tema Culture Matters- Korean Wave and Southeast Asian Phenomenon. 20 Juli 2010. Lee, Yong-won. 2005. “Era of $ 100 Million of Korean TV Drama Exports”. Korea Focus. Nugroho, Suray Agung. 2010.”The Recent Depiction of Hallyu in Indonesia”. Paper dipresentasikan dalam KOREA FORUM ke-10 yang diselenggarakan atas kerjasama SEASREP, KASEAS, dan Pusat Studi Korea UGM bertema Culture Matters: Korean Wave and Southeast Asian Phenomenon. 20 Juli 2010. Jung, Sun. 2010.”K-Pop Fandom in HK and Manila: Transcultural Micro-Distribution and New Online Culture”. Paper dipresentasikan dalam KOREA FORUM ke-10 yang terselenggara atas kerjasama SEASREP, KASEAS, dan Pusat Studi Korea UGM bertema Culture Matters: Korean Wave and Southeast Asian Phenomenon. 20 Juli 2010. http://www.medantalk.com/rain-dibayar-mahal-ke-indonesia/ Dalam situs ini tertuliskan bahwa harga tiket VIP berharga Rp 3.000.000 dan yang termurah, yaitu kelas festival seharga Rp 750.000 http://www.ukli.org Di dalam website ini terdapat berbagai macam kegiatan para penggemar K-Pop se-Indonesia yang tersebar di setiap distrik di berbagai kota di Indonesia. Melalui website ini kegiatan para penggemar K-Pop Korea dapat terpantau. Selain itu perlu diketahui pula bahwa UKLI hanya salah satu dari sekian persatuan penggemar KPop di Indonesia. Alasan mengapa UKLI dicantumkan sebagai salah satu hal yang penting dalam riset ini adalah karena UKLI berdiri karena ide dari pecinta Korea di Yogyakarta.


Vol. II No. 1 April 2011

61

62

63

64

65

66

67

137

MV (musik video): sebutan yang akrab di telinga para pencinta musik lewat tv. Istilah yang mulai biasa dilakukan setelah adanya stasiun televisi semacam MTV. Akhir-akhir ini MV pun menjadi idiom yang sering digunakan para pencinta K-Pop untuk menyebut video penyanyi Korea yang sedang tren baik di TV maupun di internet. Salah satu grup boyband terkenal jebolan ajang semacam ini adalah grup SM*ASH (SMASH) yang terdiri dari tujuh orang. Dibentuk sejak 10 April 2010. (http:// id.wikipedia.org/wiki/Sm*sh) http://www.facebook.com/yoboseyokpop Dari situs-situs semacam facebook inilah, gambaran mengenai seberapa besar dan dalam penetrasi K-Pop dan hal-hal yang menyertainya dapat terlihat. Ini baru salah satu atau sebagian kecil situs pecinta K-Pop yang menggunakan facebook untuk menunjang aktivitasnya. Salah satu gambaran dari riset mengenai peran majalah dalam penyebaran K-Pop di Indonesia yang ditulis oleh peneliti dalam makalahnya “The Recent Depiction of Hallyu in Indonesia” yang dipresentasikan dalam The 10th Korea Forum on Korean Culture yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Korea UGM, KASEAS, dan SEASREP pada 10 Juli 2010. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa masuknya budaya asing ke Indonesia memang tidak serta merta menghilangkan akar budaya yang telah ada, namun tidak bisa dipungkiri bahwa budaya asing itu dipraktekkan sebagian orang Indonesia. Cover Dance dalam kaitannya dengan K-Pop adalah istilah yang digunakan untuk sebuah tarian yang dipertunjukkan oleh para fan boyband atau girlband K-Pop dengan meniru hampir 100% gaya, fesyen, dan cara menari seperti yang terlihat di musik video grup musik tersebut. Cover Dance sudah menjadi salah satu lomba wajib untuk kegiatan gathering atau K-Pop Festival di seluruh Asia termasuk Indonesia. Istilah lain dengan makna yang mirip, tetapi untuk lagu adalah cover song. Atau disingkat SNSD adalah nama fanclub penggemar grup band yang anggotanya semua perempuan. Grup ini bernama SNSD yang merupakan singkatan dari frase bahasa Korea sonyeoshidae yang berarti girl’s generation.

REFERENSI Anwar, Ratih Pratiwi.”Menengok Sinetron Negeri Ginseng.” http://tribhuanadevi.blogspot.com/ 2005/09/menengok-sinetron-negeri-ginseng.html, diakses pada 1 September 2010 Chung, Young-Hee. 2010. “TV Drama Consumption in South Korea: Focusing on My Name is Kim Sam-Soon”. Pop Culture Formations across East Asia. Seoul: Jimoondang. Jeong Deok-hyeon. 2011. “K-Pop and The New Korean Wave Rock the World”. Korea: People & Culture. Edisi April.


138

Korean Studies in Indonesia

Jung, Sun. 2010.”K-Pop Fandom in HK and Manila: Transcultural Micro-Distribution and New Online Culture”. Paper dipresentasikan dalam KOREA FORUM ke-10 yang terselenggara atas kerjasama SEASREP, KASEAS, dan Pusat Studi Korea UGM bertema Culture Matters: Korean Wave and Southeast Asian Phenomenon. Lee, Yong-won. 2005. Era of $ 100 Million of Korean TV Drama Exports. Korea Focus. Vol. 13, No. 2. Nugroho, Suray Agung. 2010. “The Recent Depiction of Hallyu in Indonesia”. Paper dipresentasikan dalam KOREA FORUM ke-10 yang diselenggarakan atas kerjasama SEASREP, KASEAS, dan Pusat Studi Korea UGM bertema Culture Matters: Korean Wave and Southeast Asian Phenomenon. Shim, Doobo. 2010. “Korean Media Industries and the Korean Wave.” Makalah yang dipresentasikan dalam Korea Forum ke-10 yang terselenggara atas kerja sama SEASREP, KASEAS, dan Pusat Studi Korea UGM dengan tema Culture Matters- Korean Wave and Southeast Asian Phenomenon. Sutrisno, Adi. 2005. “Globalisasi dan Hibridasi Budaya.” Potret Transformasi Budaya di Era Global. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM

Laman http://www.medantalk.com/rain-dibayar-mahal-ke-indonesia/ Diakses 10 Desember 2010 http://www.swaragamajogja.com http://www.sasandofm.com http://www.ukli.org Diakses Januari 2011


Vol. II No. 1 April 2011

139

Sekilas tentang INAKOS 1.

VISI

INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia “Menjadi Lembaga Asosiasi International tentang penelitian, kerja sama antaranggota, dan membina kemitraan antarlembaga terkait di Indonesia serta menjadi lembaga yang unggul, berwawasan kebangsaan, dan peduli pada kepentingan generasi muda.

2.

MISI

1.

Menghasilkan anggota INAKOS yang mempunyai pengetahuan dan wawasan studi Korea yang luas untuk memperkaya wawasan bangsa Indonesia tentang budaya negara lain. Mengembangkan penelitian studi Korea yang didasarkan pada pendekatan interdisipliner untuk mendorong kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Membangun jaringan kerja sama dalam bidang studi Korea antaranggota yang relevan dengan pengembangan penelitian dan pengetahuan studi Korea. Membina kemitraan antarlembaga dalam bidang studi Korea baik di dalam maupun luar negeri yang bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Melakukan kajian dan mempublikasikan hasil-hasil karya yang berkaitan dengan studi Korea. Menyelenggarakan seminar, lokakarya, dan pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan Indonesia–Korea.

2. 3. 4.

5. 6.

SEJARAH INAKOS Pada bulan Oktober 2008 Prof.Dr. Yang Seung Yoon dan Dr. Nur Aini Setiawati di Seoul, Korea Selatan memiliki gagasan untuk membuat Asosiasi Alumnus dari universitasuniversitas di Korea Selatan. Hal ini berkaitan dengan semakin banyaknya mahasiswa Indonesia yang telah menyelesaikan studi di Korea. Sebagai tindak lanjut gagasan tersebut, maka untuk mewujudkannya terjadilan pertemuan di Cafe Galeria Yogyakarta pada tanggal 22 Februari 2009. Pertemuan tersebut diawali dengan pembicaraan antara Prof. Yang dan Dr. Nur Aini Setiawati untuk mengkonkritkan gagasan itu.


140

Korean Studies in Indonesia

Atas dorongan Prof. Yang Seung-Yoon, pada tanggal 6 April 2009 para alumnus dari universitas di Korea Selatan terutama para pengajar di UGM yaitu, Dr. Nur Aini Setiawati, Dr. Novi siti Kussuji Indrawati, Dr. Mukhtasar Syamsudin, Dr. Ustadi, Dr. Panjono, Dr. Yuda Febrianto, Suray Agung Nugroho, M.A., Amin Basuki, M.A., dan Ratih Anwar Pratiwi, M.Si. mengadakan rapat di kantor Pusat Studi Korea UGM. Mereka mengadakan rapat untuk mewujudkan gagasan pendirian asosiasi alumnus dari universitas di Korea Selatan dan membuat draft awal Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga asosiasi yang akan dibentuk. Asosiasi ini memiliki tujuan umum untuk memajukan kajian Korea-Indonesia, membina kemitraan dan meningkatkan kerja sama antaranggota. Sedangkan tujuan khusus asosiasi ini adalah meningkatkan pendidikan bagi generasi muda. Akhirnya pada rapat yang diadakan tiga kali dalam jangka waktu satu bulan, pada bulan April 2009 telah berhasil disetujui nama asosiasi yaitu “The International Association of Korean Studies in Indonesia” dengan singkatan INAKOS. Pada hari Kamis 7 Mei 2009, diadakanlah pertemuan pertama dalam acara “INAKOS Forum” yang dihadiri kurang lebih 100 orang yang disaksikan oleh 1. The Ambassador of the Republic of Korea to Indonesia, His Excellency Mr. Kim Ho Young; 2. Direktur P.T. Solar Park Indonesia, Mr. Park See Woo; 3. Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr. Ida Rochani Adi; 4. Pengusaha-pengusaha Korea; dan para perwakilan pengajar dan pelajar SMU se-Indonesia serta pengajar dan pelajar Korea yang tertarik dengan studi Korea. Pada acara tersebut dideklarasikanlah berdirinya “INAKOS” secara resmi dan sekaligus terpilihlah presiden INAKOS yang pertama, yaitu Prof. Dr. Mochtar Mas’oed. Upacara pendeklarasian itu dipimpin oleh Dr. Muhammad Mukhtasar Syamsuddin, Dekan Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Selanjutnya, pada acara yang sama juga telah diresmikan kantor sementara “INAKOS” oleh Bapak Rektor UGM, Prof. Ir. Soedjarwadi, M.Eng, Ph.D, dengan meminjam ruangan di kantor Pusat Studi Korea UGM, yaitu di Bulaksumur B 9 Yogyakarta. Mengingat pentingnya keberadaan INAKOS, para pionir INAKOS ini pun mengadakan pertemuan kembali pada hari Selasa, 19 Mei 2009 untuk memilih pengurus dan dalam rapat itu diputuskan pengurus INAKOS yang terdiri dari:


Vol. II No. 1 April 2011

Penasehat

141

: 1. H.E. Mr. Kim Young-sun (Duta Besar Republik Korea untuk Indonesia) 2. H.E. Mr. Nicholas Tandi Dammen (Duta Besar Republik Indonesia untuk Korea) 3. Prof. Ir. Soedjarwadi, M.Eng, Ph.D (Rektor Universitas Gadjah Mada) 4. Prof. Dr. Gumilar R. Somantri (Rektor Universitas Indonesia) 5. Prof. Dr. Yang Seung Yoon (Profesor, Hankuk University of Foreign Studies) Presiden : Prof. Dr. Mohtar Mas’oed Wakil Presiden : Dr. Tulus Warsito (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) Sekretaris : Dr. Nur Aini Setiawati Asisten Sekretaris : Suray Agung Nugroho, M.A Koordinator Urusan Internasional : Dr. Ibnu Wahyudi (Universitas Indonesia) Koordinator Pendidikan : Dr. Novi Siti Kussuji Indrastuti Koordinator Penerbitan : Dr. Muhammad Mukhtasar Syamsuddin Koordinator Penelitian : Dr. Ustadi Koordinator Pengembangan : Dr. Panjono Koordinator Umum : Dr. Yudha Heru Fibianto


142

Korean Studies in Indonesia

ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA INTERNATIONAL ASSOCIATION OF KOREAN STUDIES IN INDONESIA (INAKOS) Bab 1 Tujuan Pasal 1 Tujuan Asosiasi ini bertujuan untuk mengkaji dan mempresentasikan hasil-hasil kajian IndonesiaKorea, meningkatkan kerja sama antaranggota, dan membina kemitraan antarlembaga yang terkait. Pasal 2 Kegiatan Asosiasi ini melakukan kegiatan-kegiatan berikut untuk mencapai tujuan yang tersebut pada pasal 1. 1. Melakukan kajian dan mempublikasikan hasil-hasilnya. 2. Menyelenggarakan seminar, workshop, lokakarya, dan pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan Indonesia-Korea. 3. Membangun jejaring antarlembaga, baik di dalam maupun luar negeri. Bab 2 Nama dan Alamat Pasal 3 Nama Asosiasi ini bernama International Association of Korean Studies in Indonesia (INAKOS) atau Perhimpunan Internasional untuk Studi Korea di Indonesia.


Vol. II No. 1 April 2011

143

Pasal 4 Alamat Asosiasi ini beralamat di Pusat Studi Korea, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, Indonesia. Bab 3 Anggota Pasal 5 Anggota Anggota asosiasi ini terdiri atas anggota (biasa) dan anggota luar biasa. Anggota adalah (1) alumni perguruan tinggi dan lembaga pendidikan; (2) pengajar; (3) peneliti; (4) dan pemerhati Korea. Anggota luar biasa adalah seseorang yang diminta secara khusus oleh asosiasi. Pasal 6 Persyaratan Anggota Syarat keanggotaan asosiasi ini adalah dengan mengisi dan menyerahkan formulir pendaftaran dan membayar biaya keanggotaan dalam jumlah tertentu yang harus dibayarkan setiap enam (6) bulan sekali.

(1) (2) (3)

Pasal 7 Kewajiban dan Hak Anggota Kewajiban anggota asosiasi adalah membayar biaya keanggotaan dan menjaga nama baik asosiasi. Anggota biasa mempunyai hak menyampaikan pendapat dan memutuskan. Anggota luar biasa berhak untuk menyampaikan pendapat untuk kemajuan asosiasi; memperoleh hasil-hasil penerbitan dari asosiasi; dan memberi kontribusi untuk perkembangan asosiasi.

Pasal 8 Status keanggotaan Status keanggotaan akan hilang jika anggota tersebut mengundurkan diri atau tidak memenuhi kewajibannya.


144

1. 2. 3. 4. 5.

1. 2.

1. 2.

1. 2.

Korean Studies in Indonesia

Pasal 9 Kepengurusan Struktur organisasi kepengurusan asosiasi ini terdiri atas: ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, dan beberapa koordinator bidang. Pasal 10 Pemilihan Pengurus Pemilihan pengurus dalam asosiasi ini sebagai berikut. Ketua dipilih melalui rapat umum khusus. Perangkat dalam struktur organisasi yang lain dipilih oleh ketua yang telah dipilih dalam rapat umum khusus. Pasal 11 Jabatan Pengurus Semua pengurus, termasuk ketua dan wakil ketua bertugas selama 2 tahun. Apabila ketua tidak dapat menjalankan tugasnya sampai akhir jabatan, maka diadakan rapat umum khusus untuk memilih ketua yang baru. Pasal 12 Tugas Ketua/Wakil Ketua Ketua bertugas mewakili asosiasi dan mengelola seluruh tugas dalam asosiasi. Wakil ketua bertugas membantu ketua asosiasi. Pasal 13 Tugas Sekretaris Sekretaris asosiasi bertugas melaksanakan tugas-tugas administrasi dan kesekretariatan.

1. 2.

Pasal 14 Tugas Bendahara Bendahara melaksanakan tugas sebagai berikut. Mengelola keuangan dan aktiva asosiasi. Memeriksa pertanggungjawaban keuangan asosiasi.


Vol. II No. 1 April 2011

145

Bab 4 Rapat Umum Pasal 15 Tugas Koordinator Bidang Koordinator Bidang bertugas melaksanakan dan mengembangkan kegiatan di bidangnya masing-masing. Pasal 16 Fungsi Rapat Umum 1. 2. 3.

1.

2.

1.

2. 3.

Rapat umum berfungsi: meminta laporan pertanggungjawaban ketua lama; memilih ketua baru; dan mengubah peraturan. Pasal 17 Pelaksanaan Rapat Umum Rapat Umum terdiri atas Rapat Umum dan Rapat Umum Khusus. Rapat Umum diadakan dua tahun sekali, sedangkan Rapat Umum Khusus diadakan sesuai dengan kebutuhan. Rapat Umum dipimpin oleh ketua sidang terpilih. Pasal 18 Kuorum Rapat Umum Rapat Umum dapat dimulai jika dihadiri oleh 50% (kuorum) dari jumlah seluruh anggota. Apabila setelah penundaan satu jam kuorum belum terpenuhi, rapat dianggap sah sesuai dengan jumlah peserta yang hadir. Keputusan Rapat Umum dianggap sah jika disetujui oleh minimum 50% suara (kuorum) dari jumlah seluruh anggota yang hadir. Suara anggota yang tidak dapat hadir dalam Rapat Umum bisa diwakilkan kepada anggota lain melalui surat resmi yang ditujukan kepada pimpinan rapat.

Pasal 19 Alternatif Bentuk Rapat Dalam hal-hal tertentu rapat dapat dilaksanakan melalui rapat secara tertulis atau melalui media lain.


146

Korean Studies in Indonesia Bab 5 Keuangan dan Kekayaan

1. 2. 3. 4.

Pasal 20 Keuangan dan Kekayaan Sumber keuangan dan kekayaan asosiasi ini berasal dari: biaya pendaftaran dan iuran rutin anggota; sumbangan dari donatur; biaya penelitian yang bersumber dari institusi lain; dan pemasukan dari kegiatan bisnis dan kegiatan lainnya. Bab 6 Pembubaran

Pasal 21 Pembubaran Asosiasi Pembubaran asosiasi ini dapat dilakukan melalui Rapat Umum setelah mendapat persetujuan lebih dari 2/3 anggota. Pasal 22 Pengembalian Aktiva Asosiasi Apabila terjadi pembubaran asosiasi, sisa aktiva akan disumbangkan kepada negara atau institusi yang serupa.

1. 2.

Bab 7 Peraturan Tambahan Permasalahan yang tidak dibahas dalam peraturan ini akan diatur kemudian. Peraturan ini akan mulai diberlakukan sejak tanggal ditetapkan.


Vol. II No. 1 April 2011

147

Daftar Judul Paper dalam Jurnal INAKOS Vol. I, No. 1 September 2009 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Qodarian Pramukanto (Lecturer, Department of Landscape Architecture, Institut Pertanian Bogor-IPB) Paper: The Geomancy Order of Seoul City Suray Agung Nugroho (Lecturer, Korean Department, UGM) Paper: Hallyu ‘Korean Wave’: A Reflection to Develop Korean Studies in Indonesia Yang Seung-Yoon (Professor, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul) Paper: A Study on Korea-Indonesia Relation through Education among Young Generations Novi Siti Kussuji Indrastuti (Lecturer, Korean Department UGM) Paper: Traditional Beliefs in Indonesia and Korea As Seen in Folktales: A Pragmatic Analysis Nur Aini Setiawati (Lecturer, Department of History, UGM) Paper: History of Korea-Indonesia Education and Future Prospects Purnawan Basundoro (Lecturer, Department of History, Universitas Airlangga, Surabaya) Paper: Between Eupseong Hanyang (Seoul) and Beteng Keraton (Yogyakarta): A Historical Comparison Ratih Pratiwi Anwar & Mukhibbin (Lecturer, Korean Department, UGM / Researcher, PSEKP, UGM) Paper: Enhancing Economic Ties between Indonesia and Korea through International Trade Puji Lestari & Reflinur (SNU, Indonesian Center for Agricultural Biotechnology Reseacher); Soon-wook Kwon (Korea National Open University); Tae-ho Ham, Backki Kim, Ho-hoon Lee, Mi-ok Woo, Hee-jong Koh (School of Plant Sciences, SNU); Young-chan Cho (National Institute of Crop Sciences, Suwon) Paper: Developing Molecular Markers and Their Genotypic Test to Evaluate the Eating Quality of Japonica Rice (Oryza Sativa L.)


148

9.

10.

11.

12.

13.

14.

Korean Studies in Indonesia

Muhammad Mukhtasar Syamsuddin (Dean, Faculty of Philosophy, UGM) Paper: Merleau-Ponty’s Solutions to Mind-Body and Their Philosophical Implications towards Togye’s Thinking Concept on Self Assessment Novi Siti Kussuji Indrastuti (Lecturer, Korean Department, UGM) Paper: Korean and Indonesian Mask Dance Dramas in The Dimension of Literature and Performance Art: Cross-cultural Semiotic Study Nur Aini Setiawati (Lecturer, Department of History, UGM) Paper: A Comparative Study on the State Policy and Its Impacts on Rural Development between South Korea and Indonesia: A Historical Perspective 1961-1998 Panjono (Lecturer, Department of Animal Husbandry) Paper: The Characteristic Quality of Hanwoo Meat (Korean Cattle) in Regards to Different Sex Conditions, Raising Altitudes, and Slaughter Season Ustadi (Lecturer, Department of Fisheries, UGM) Paper: Characteristics of the Protease Inhibitors Purified from Fish Eggs Yuda Heru Fibrianto (Lecturer, Department of Veterinary Studies, UGM) Paper: In Vitro Oocyte Maturation and Intergeneric Somatic Cell Cloning in Dogs


Vol. II No. 1 April 2011

149

Daftar Judul Paper dalam Jurnal INAKOS Vol. I, No. 2 April 2010 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Amin Basuki (Lecturer, English Department, Faculty of Cultural Sciences, UGM) Paper: Education in Korea Anton Minardi (Lecturer & Researcher, Department of International Relation, Pasundan University & IDEAS) Paper: The Revival of South Korea in the Post Crisis Economy and Its Contributions to Indonesia Mappa Nasrun (Lecturer, Hasanuddin University, Makassar-South Sulawesi) Paper: Indonesia-Korea: Promoting an International Education Partnership Nur Aini Setiawati (Lecturer, Department of History, Faculty of Cultural Sciences, UGM) Paper: Korea: Why (there has to be) Ideological War? Roustine (Lecturer, Korean Department, UI) Paper: The Korean Armies (Gunsok) during Japanese Colonization in Ambarawa, Indonesia Tulus Warsito (Lecturer, Dept. of International Relation, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) Paper: Korea, Why Should It Be South and North? Tunjung Linggarwati (Lecturer, Dept. of International Relation, Jendral Soedirman University, Purwokerto) Paper: Increasing Indonesia-Korea Cooperation through Investment at the Local Level: The Case Study on the Role of Korean Industries in Purbalingga Regency, Central Java Upik Sarijati (Researcher, Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia – LIPI) Paper: The Roles of Migrant Workers Advocacy in Solving the Migrant Workers’ Problems in Korea


150

9.

Korean Studies in Indonesia

Yang Seung-Yoon (Professor, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul) Paper: Why Korea: The Newest Examples 10. Yulius Purwadi Hermawan (Lecturer, Dept. of International Relation, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung) Paper: Clientelism and Democratic Consolidation in Improving the Welfare in South Korea


Vol. II No. 1 April 2011

Para Penyandang Dana INAKOS (INAKOS International Supporting Institutions and Corporations) • • • • • • • • •

The Embassy of the Republic of Korea to Indonesia The Embassy of the Republic of Indonesia to Korea Korea Foundation Vitamin House, Inc. Korea PT Komitrando-Empiro CV Sinar Mutiara Bali E. Feel La Co., Ltd. PT KIDECO JAYA AGUNG POSCO

151


152

Korean Studies in Indonesia


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.