The 2nd Series of Book on Korea

Page 1

BAB I PENDAHULUAN

1


Politik dan Pemerintahan Korea

2


Dinamika Korea dan Persoalan Politik di Sekitarnya

DINAMIKA KOREA DAN PERSOALAN POLITIK DI SEKITARNYA Mukhtasar Syamsuddin (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)

Korea merupakan negeri semenanjung kecil yang terapit di antara negara-negara adi kuasa di dunia. Dari sejarah awal perkembangannya, alam negeri yang sempit itu tidak subur, bahkan ditutupi oleh gunung-gunung berbatu. Kebekuan akibat musim dingin yang berkepanjangan pada masa awal musim semi pada zaman dahulu kala melanda hampir seluruh tanah Korea, termasuk lahan-lahan pertanian sehingga kematian penduduk yang terjadi akibat kelaparan sulit diatasi. Catatan sejarah juga menunjukkan bahwa di sepanjang sejarah awal Korea, kerajaan-kerajaan China seringkali ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan kerajaan Korea. Tindakan kerajaan-kerajaan China itu senantiasa menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, mengganggu ketenteraman hidup dan meminta secara paksa bermacam-macam barang, harta benda, bahkan gadis-gadis yang tergolong masih belia. Untuk mencapai tujuannya, kerajaan-kerajaan China juga sering menebarkan teror dengan mengirimkan pasukan untuk menakut-nakuti kerajaan Korea melalui berbagai macam ancaman. Sementara itu, dari pihak Jepang selalu menampakkan sifat berwajah ganda. Pada saat pemerintahan kerajaan dan bangsa Korea kuat, mereka meminta bantuan, namun saat pihak Korea lemah, Jepang dengan seluruh kekuatannya melakukan serangan. Walaupun terserang, independensi dan identitas Korea tetap terjaga. Segenap sejarahwan dunia mengungkapkan bahwa dalam sejarah kehidupan manusia, keberadaan sekitar 6.000 negara baik besar maupun kecil di dunia mengalami nasib timbul dan tenggelam. Lain halnya dengan keberadaan bangsa Korea. Sungguh sebuah keajaiban karena bangsa yang berlokasi di semenanjung antara China dan Jepang, dalam timbul-tenggelamnya negara-negara menurut sejarahwan itu, nenek-moyang bangsa Korea tetap mampu mempertahankan wilayah kerajaan, kebudayaan, dan identitas bangsanya.

3


Politik dan Pemerintahan Korea

Bagaimanapun, bukti sejarah menunjukkan bahwa campur tangan luar negeri telah menjadi salah satu sumber konflik politik dalam negeri Korea. Hal itu dapat disaksikan melalui peristiwa pergantian raja dari kerajaan China yang senantiasa menimbulkan persoalan politik di Korea. Hubungan dan perlakuan pihak Jepang atas Korea juga ikut menyusahkan panggung politik Korea. Hal itu, secara khusus dapat disaksikan melalui kemunculan persoalan dang-jaeng, suatu konflik partai politik berupa persaingan antar partai politik pada masa Kerajaan Joseon (1392-1910) yang pada gilirannya melemahkan dan meruntuhkan kekuatan kerajaan Joseon sebagai akibat dari konflik partai politik tersebut tak sanggup diatasi. Berbeda dengan negara-negara di Asia Tenggara yang pernah dijajah oleh Eropa, Korea yang dijajah oleh Jepang selama 35 tahun (1910-1945) mengalami kesengsaraan yang lebih besar karena melalui ‘pengontrolan polisi militer’, Jepang secara terus-menerus melancarkan kebijakan penjajahannya atas Korea. Nampaknya, penjajah Jepang ingin mengubah rakyat Korea menjadi rakyat Jepang tingkat ke-2. Setelah merdeka pada tahun 1945, nasib bangsa Korea berada di bawah Pemerintah Militer Amerika Serikat atas nama PBB selama 3 tahun. Dua tahun kemudian, yaitu setelah di negeri semenanjung Korea didirikan dua pemerintah yang berbeda secara ideologis, atas bantuan dan dukungan penuh Uni Sovyet dan China, Korea Utara tiba-tiba menyerang Korea Selatan. Serangan ini melahirkan Perang Korea yang berlangsung selama 3,5 tahun (19501953). Akibat dari perang itu, jutaan jiwa rakyat Korea menjadi korban dan lebih dari 10 juta keluarga terpisah, semua fasilitas industri mengalami kerusakan, dan kemiskinan di Korea makin tidak terkendali. Dalam keadaan tingkat perekonomian nasional yang masih sangat rendah, Pemerintah Republik Korea (Korea Selatan) yang pertama mengutamakan anti-komunisme dan reunifikasi. Berhubung karena Korea kekurangan pegawai sipil negara terdidik dan berpengalaman, maka setelah merdeka, rakyat yang pro-Jepang di masa penjajahan Jepang masih dapat menduduki posisi penting dalam pemerintahan baru. Kenyataan tersebut terjadi karena tidak adanya perubahan revolusioner pada saat terjadi perubahan persaingan ideologi dan sistem politik di Korea. Dengan kata lain, dalam sejarahnya, orang Korea telah kehilangan kesempatan dalam membersihkan masa lalunya sebagai persiapan menuju masa depan yang baru. Dengan dipenuhi oleh situasi yang serba kacau dan merajalelanya korupsi, Pemerintah Korea yang pertama juga sulit untuk mengembangkan kebijakan baru dalam rangka menciptakan masyarakat baru yang penuh dengan harapan, tertib, dan sejahtera. Pemerintah Korea pertama di masa lalu itu, bahkan tidak memiliki kesempatan untuk menghidupkan ekonomi dan sistem

4


Dinamika Korea dan Persoalan Politik di Sekitarnya

kemasyarakatan yang baik bagi rakyat umum sehingga akhirnya terjadilah kudeta militer pada tahun 1961. Di masa pemerintahan semi-militer yang dipimpin oleh Presiden Park Chung Hee, semua kemampuan dan kekuatan masyarakat dikerahkan sepenuhnya untuk membangun ekonomi dan pertahanan nasional. Kepemimpinan Presiden Park Chung Hee sesungguhnya cukup berdampak positif pada sisi kemajuan ekonomi, namun pada sisi demokrasi terjadi kemunduran. Banyak rakyat Korea yang kini menikmati kemakmuran ekonomi sangat mempercayai bahwa kemajuan ekonomi sepanjang dua dasawarsa (1960-1970) merupakan hasil usaha dan perjuangan almarhum Presiden Park. Meskipun demikian, terdapat pula banyak penentang yang tidak setuju dengan kebijakan almarhum dan menyerukan agar demokrasi diwujudkan dalam kehidupan masyarakat. Masa semi-militer di Korea berlangsung selama kepemimpinan Presiden Chun Doo Hwan (1981-1988) dan berakhir pada masa pemerintahan Presiden Roh Tae Woo (1988-1993). Selama masa jabatan kedua mantan presiden yang berasal dari kalangan militer itu, sering terjadi kerusuhan besar yang melibatkan kaum terdidik (warna putih) di Korea. Rakyat Korea menginginkan sistem pemerintahan yang adil dan masyarakat yang demokratis, terutama proses demokratis dalam pemilihan kepala negara sehingga sesuai dengan aspirasi rakyat sendiri. Oleh karena adanya dorongan yang sangat kuat pada upaya mewujudkan demokrasi, baik dalam pemerintahan maupun dalam kehidupan masyarakat, pemerintahan semi-militer itu akhirnya terpaksa bertekuk lutut di bawah kehendak rakyat pada bulan Juni 1987. Pada masa pemerintahan berikutnya, yaitu masa kekuasaan Presiden Kim Young Sam, sistem pemerintahan sipil mulai dijalankan. Sistem pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Presiden Kim Young Sam itupun tidak berhasil meraih sukses dalam melakukan reformasi pemerintahannya, sebab sepanjang masa jabatannya, beliau menghadapi berbagai macam tuntutan dari segenap kalangan masyarakat. Korupsi politik dilakukan oleh sebagian besar bawahannya, termasuk oleh anak kandungnya sendiri sehingga akhirnya tidak berdaya dalam mengatasi krisis moneter internasional yang melanda Korea pada akhir tahun 1997. Kim Dae Jung sebagai pesaing dan musuh politik berhasil naik takhta untuk menggantikan Kim Young Sam. Kim Dae Jung yang cenderung mengikuti arah ideologi sosialisme-komunisme daripada arah yang dominan dijalankan para politikus di Korea Selatan saat itu mendekatkan pemerintahannya dengan Pemerintah Beijing dan Korea Utara daripada Amerika Serikat dan Dunia Barat. Kecenderungan itu mendorong Kim Dae Jung mulai menyelenggarakan ‘sunshine policy’ terhadap Korea Utara.

5


Politik dan Pemerintahan Korea

Kebijakan mendekati China dan Korea Utara tersebut terus berlangsung sampai berakhirnya masa pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Roh Moo Hyun. Dalam kurun waktu 10 tahun berjalannya sunshine policy, banyak bantuan diberikan kepada Korea Utara, baik berupa bantuan keuangan (dollar) maupun berupa makanan (beras), dan obat-obatan. Sambil menerima bantuan yang melimpah itu, sebaliknya pihak Korea Utara dengan giat mengembangkan bom nuklir untuk kepentingan bangsanya sendiri. Dalam masamasa yang tersisa dari 10 tahun berjalannya sunshine policy, Presiden Lee Myung Bak menghadapi masa krisis di masa awal jabatannya, sebab menolak untuk melanjutkan sebagian dari kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya, termasuk sunshine policy. Berbeda dengan negara-negara lainnya di dunia ini, Korea merupakan sebuah negara yang memiliki persoalan politik yang cukup rumit. Penyebabnya terkait dengan syarat-syarat geopolitis, jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan luas wilayah, kurang terpenuhinya segala keperluan rakyat, masalah reunifikasi, dan berbagai persoalan lainnya. Walaupun demikian, rakyat Korea secara bijaksana dapat keluar dari berbagai krisis dan persoalan yang dihadapinya. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa pada dasarnya, rakyat Korea memiliki ketangguhan dan bersifat dinamis dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Rakyat Korea merupakan masyarakat yang telah memiliki pengalaman dalam menghadapi konflik yang terjadi antar partai politik. Dalam sejarah kebangsaan, rakyat Korea selalu berjuang dalm membela dan mempertahankan kerajaan dan mengembangkan hidup bermasyarakat secara baik. Setidaktidaknya, hal itu telah ditunjukkan selama 500 tahun di masa kerajaan Joseon. Pengalaman rakyat yang pernah menyelenggarakan ‘gerakan menghentikan merokok’ untuk membayar kembali hutang pada masa akhir kerajaan Joseon, kembali dilakukan dan berhasil mensukseskan ‘gerakan mengumpulkan emas’ pada saat negara mereka dilanda krisis moneter internasional di tahun 19971998. Singkatnya dapat dikatakan bahwa terdapat banyak kesulitan dan kesengsaraan yang telah dialami, namun tidak sedikit pula kesuksesan dan keajaiban terjadi di sepanjang sejarah Korea. Buku pengantar Korea yang diberi judul Politik dan Pemerintahan Korea terasa masih sangat kurang dari yang diharapkan. Salah satu penyebab utamanya adalah masih kurangnya sarjana politik Indonesia yang berminat untuk menulis persoalan politik Korea. Oleh karena itu, tulisan-tulisan yang termuat dalam buku ini merupakan hasil kumpulan dari beberapa tulisan yang sudah diterbitkan di Indonesia dan hasil terjemahan dari naskah-naskah yang telah terbit di luar negeri. Dalam hal ini, tim editor akan berupaya untuk terus-menerus menerbitkan buku pengantar Korea secara serial, walaupun tidak sema-

6


Dinamika Korea dan Persoalan Politik di Sekitarnya

ta-mata terkait dengan persoalan politik, namun juga dengan sejarah, pemerintahan, budaya, bahasa, filsafat, dan lain sebagainya. Jogjakarta, Februari 2011 Ketua Tim Editor

7


Politik dan Pemerintahan Korea

NEGARA KOREA DAN POKOK-POKOK PERMASALAHAN Yang Seung Yoon (Hankuk University of Foreign Studies, Korea)

Kondisi Geografis Korea merupakan salah satu negara yang terletak di kawasan Asia Timur Laut. Korea adalah sebuah negara tua yang terletak di belahan bumi bagian timur, di semenanjung yang berbukit-bukit di kawasan Asia Timur Laut itu. Negara Korea, dalam berabad-abad sejarahnya, merupakan negara yang sangat penting di kawasan tersebut sebagai negara yang menghubungkan Asia Timur Laut dengan dunia luar, terutama dengan Kepulauan Jepang yang letaknya dekat sekali dengan Semenanjung Korea. Posisi geografi Semenanjung Korea yang strategis menyebabkan Korea dalam sepanjang sejarahnya, mempunyai arti penting dari sudut strategi. Hal ini karena, seperti halnya negara Israel di tengah kawasan Timur Tengah dan Singapura di tengah Lautan Malay, Semenanjung Korea terletak di tengah tiga negara besar, yaitu Jepang, China, dan Rusia. Bahkan, pada akhir masa abad ke-19, Amerika juga mencoba memberikan pengaruhnya ke tanah Korea. Semenanjung Korea, yang luasnya kira-kira sama dengan Inggris, terletak antara 33Ú,06’ dan 43Ú lintang utara serta antara 124Ú,11’ dan 131Ú,52’ bujur timur. Panjang Semenanjung Korea dari ujung utara ke ujung selatan kira-kira 1.000 km, yang kurang lebih sama dengan panjang Pulau Jawa dari ujung timur ke ujung barat, sedangkan lebarnya pada daerah tersempit adalah 216 km. Semenanjung Korea dipisahkan di sebelah utara oleh Sungai Amnok (Yalu) dan Duman (Tumen). Di sebelah utara kedua sungai itu masing-masing terdapat Daratan China dan perbatasan China-Rusia. Pelabuhan Angkatan Laut Rusia, Vladivostok, berada tidak jauh dari perbatasan Korea-China-Rusia itu. Kedua sungai Amnok dan Duman itu berasal dari gunung Baekdu, yang berarti gunung bertopi putih dan dianggap oleh rakyat Korea sebagai gunung

8


Negara Korea dan Pokok-pokok Permasalahan

suci. Gunung Baekdu itu merupakan gunung tertinggi di Semenanjung Korea, dengan tingginya yang mencapai 2.744 meter dari permukaan air laut. Berbeda dengan gunung-gunung yang ada di Indonesia dimana gununggunung itu merupakan satu gunung tersendiri dan terpisah dari gunung yang lain, gunung-gunung yang ada di Korea merupakan suatu rangkaian pegunungan yang saling menyambung dan mengelilingi Semenanjung Korea. Gunung Baekdu merupakan salah satu bagian dari rangkaian pegunungan itu dan memiliki ketinggian yang paling tinggi di antara gunung-gunung yang lain. Korea mempunyai garis pantai yang banyak menjorok ke darat dengan panjang keseluruhannya mencapai lebih dari 17.000 km. Negeri itu mempunyai sekitar 3.000 pulau besar maupun kecil di lepas pantai yang semuanya terdiri dari batu-batu sedangkan 200 buah pulau cukup luas untuk didiami orang. Pulau Jeju yang terletak kurang lebih 100 km di sebelah selatan semenanjung adalah pulau yang terbesar dan paling penting. Pulau yang dapat disebut sebagai Pulau Bali-nya Korea itu terkenal sebagai salah satu daerah pariwisata di kawasan Asia Timur Laut. Sepanjang tahun Pulau Jeju dipenuhi wisatawan asing, khususnya wisatawan Jepang dan Taiwan. Di pulau yang sangat indah itu terdapat banyak wanita yang rajin bekerja di ladang yang berbatu-batu di tengah angin yang sedang bertiup kencang. Dengan demikian, di masa lalu, pulau itu lebih sering disebut samdado, yaitu pulau yang memiliki tiga kekayaan seperti wanita, batu, dan angin. Kurang lebih 70% tanah Korea terdiri dari pegunungan. Walaupun negeri ini terdiri dari banyak pegunungan, namun hasil hutannya sangat kecil. Dari satu hektar pegunungan, hanya dihasilkan 44 mÂł hasil hutan. Hasil ini kecil bila dibandingkan dengan Indonesia yang setiap hektar hutannya menghasilkan 165 mÂł. Yang di belahan utara lebih banyak terdapat pegunungan daripada sawah dan ladang, sedangkan di belahan selatan lebih banyak terdapat sawah dan ladang daripada pegunungan. Karena banyaknya pegunungan dan sempitnya semenanjung, sungai-sungai yang terdapat di Semenanjung Korea pada umumnya dangkal, pendek, dan deras. Sungai Amnok yang merupakan sungai terpanjang dengan panjang 790 km dan di sebelah kiri dan kanannya merupakan pegunungan. Dua sungai yang panjangnya lebih dari 500 km terdapat di belahan selatan, yaitu Nakdong yang panjangnya 525 km dan sungai Han yang panjangnya 514 km mengalir dari belahan timur ke belahan barat melalui ibu kota Seoul. Struktur tanah air Korea seperti itu jelas menunjukkan bahwa di belahan utara Semenanjung Korea cukup banyak terdapat sumber-sumber alam, khususnya biji-biji pertambangan, sedangkan di belahan selatan hanya dapat memproduksi bahan

9


Politik dan Pemerintahan Korea

makanan, khususnya beras yang merupakan bahan makanan pokok bagi semua orang Korea. Negeri Korea beriklim sedang, yaitu pertemuan antara suhu benua dan suhu samudera, tetapi lebih condong kepada suhu benua. Di negeri Korea terdapat empat musim yang jelas berbeda satu sama yang lain, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Karena letak semenanjung condong kepada daratan, suhu udara sepanjang musim dingin menjadi sangat dingin dan turun banyak salju. Pada musim panas sering diserang angin taufan dan dibarengi musim penghujan yang dimulai pada bulan Juni dan berakhir pada bulan Agustus. Catatan menunjukkan bahwa selama musim penghujan ini, hujan yang turun rata-rata meliputi 50% dari seluruh hujan setiap tahun. Perbedaan panas dinginnya suhu udara sangat besar. Suhu udara di tengah musim panas naik sampai 38 derajat Celcius seperti di Daerah Istimewa Daegu, sementara suhu udara itu seringkali turun hingga mencapai lebih dari 20 derajat Celcius di bawah nol. Kota kecil Yangpyong yang terletak di pinggir Danau Paldang tidak jauh dari ibukota Seoul belum lama ini mengalami suhu udara hampir 30 derajat Celcius di bawah nol. Sementara itu, suhu udara kota terdingin, Joonggangjin, di kaki Gunung Baekdu, sepanjang musim dingin berada di bawah nol derajat Celcius. Luas Semenanjung Korea kira-kira kurang lebih 220.000 km². Korea Utara sedikit lebih luas 120.000 km², sedangkan Korea Selatan sedikit kurang dari 100.000 km². Pemerintah Republik Korea, yang sering disebut Korea Selatan, mempunyai ibu kotanya di Seoul yang terletak di tengah Semenanjung Korea di sekitar Sungai Han. Korea Selatan terdiri dari satu daerah khusus ibu kota, enam daerah khusus (kota metropolitan), dan sembilan propinsi. Enam pemerintah daerah khusus itu adalah Busan, Daegu, Incheon, Gwangju, Daejeon, dan Ulsan. Busan adalah kota pelabuhan yang terbesar di Korea. Jumlah penduduknya sekitar 5 juta dan karena berdekatan dengan Kepulauan Jepang, selain dari pesawat terbang, terdapat pula banyak kapal penumpang antara Busan, Korea dan Simonoseki, Jepang. Jumlah warga Korea di seluruh dunia sudah tercatat lebih dari 80 juta jiwa. Sekitar 50 juta (2010) diantaranya kini bermukim di Korea Selatan, 24 juta (2010) di Korea Utara, dan jumlah sisanya di luar negeri, khususnya di benua Amerika Utara, Jepang, China dan Rusia. Jumlah penduduk ibu kota Seoul kini hampir mencapai 11 juta (2010) yang sudah lama menjadi kota kembar dengan DKI Jakarta. Dengan banyaknya jumlah penduduk dan sempitnya tanah, dewasa ini tingkat kepadatan Korea Selatan menduduki urutan ke-3 di seluruh dunia.

10


Negara Korea dan Pokok-pokok Permasalahan

Struktur Pemerintahan Seoul sebagai ibukota negara merupakan pusat dari segala aktivitas penyelenggaraan pemerintahan. Kementerian-kementerian dipusatkan di Seoul dan Kotamadya Gwacheon, yaitu sebuah kotamadya satelit di pinggir ibukota Seoul sebelah selatan. Sedangkan semua jawatan dipusatkan di Daejeon, yang memakan waktu perjalanan selama satu jam dengan menggunakan kereta api ekspress dari ibukota Seoul, kecuali Jawatan Kepolisian yang ditempatkan di ibukota Seoul. Struktur pemerintahan Korea terbagi menjadi tiga macam daerah tingkat I antara lain ibukota Seoul, 6 daerah khusus (kota metropolitan), 8 propinsi, dan 1 propinsi istimewa. Nama pemerintah daerah tingkat I tersebut masingmasing adalah ibukota Seoul, Busan, Daegu, Incheon, Gwangju, Daejeon, Ulsan, Propinsi Gyeonggi, Propinsi Choongnam, Propinsi Choongbuk, Propinsi Jeonnam, Propinsi Jeonbuk, Propinsi Gyeongnam, Propinsi Gyeongbuk, Propinsi Gangwon, dan Propinsi Istimewa Jeju. Ibukota disebut Teukbyol Shi (kota istimewa) sedangkan daerah khusus (kota metropolitan) disebut Gwangyok Shi (yang artinya kota luas atau kota metropolitan). Sementara itu, propinsi disebut Do seperti misalnya Propinsi Gyeonggi disebut Gyeonggi Do dan Propinsi Choongbuk yang disebut Choongbuk Do. Kepala kekuasaan eksekutif pemerintah daerah tingkat I Korea memiliki sebutan yang berbeda. Untuk ibu kota, kepada kekuasaan eksekutifnya disebut ‘Walikota Khusus Istimewa’, untuk daerah khusus disebut ‘Walikota Istimewa’, sedangkan untuk propinsi disebut Gubernur meskipun ketiganya mempunyai derajat yang sama. Yang membedakan adalah bahwa ‘Walikota Khusus Istimewa’ memiliki kedudukan sederajat dengan menteri dan oleh karenanya tergabung dalam kabinet, namun kedudukan yang dimiliki oleh Walikota Istimewa dan Gubernur hanyalah sebagai wakil menteri. ‘Walikota Khusus Istimewa’ memiliki kedudukan yang lebih tinggi karena mewakili penduduk Seoul yang mencapai hampir 11 juta jiwa dari keseluruhan penduduk Korea sebesar 50 juta jiwa (tahun 2010). Dalam masing-masing 16 daerah tingkat I tersebut terdapat Pemerintah Daerah Tingkat I dan DPRD I. Wilayah administratif pemerintahan ibukota dan 6 daerah khusus terbagi ke dalam beberapa Gu (sederajat kotamadya) sedangkan wilayah administratif pemerintahan 9 propinsi terbagi menjadi beberapa kotamadya, Eup dan Gun yang sederajat dengan kabupaten. Eup sederajat dengan kotamadya yang dalam waktu yang tidak lama lagi dapat ditingkatkan menjadi kotamadya. Di dalam Gu, kotamadya (Eup) dan

11


Politik dan Pemerintahan Korea

Gun terdapat Pemerintah Daerah Tingkat II dan DPRD II. Gu dan kotamadya terbagi lagi menjadi beberapa Dong (distrik) sedangkan Gun terbagi lagi menjadi beberapa Myon (sederajat dengan kecamatan. Kepala kekuasaan eksekutif pemerintah daerah tingkat II juga memiliki sebutan yang berbeda. Untuk kotamadya, kepala kekuasaan eksekutifnya disebut Walikota (Shijang), kepala kekuasaan eksekutif Gun disebut Gunsu sedangkan kepala kekuasaan eksekutif Gu disebut Guchongjang. Sampai Desember 2010, di Korea, selain 16 pemerintah daerah tingkat I, terdapat 230 pemerintah daerah tingkat II, yaitu 75 Kotamadya, 86 Gun dan 69 Gu.

Karakteristik Sistem Politik Sejak awal tahun 1980-an, Asian Value menjadi fokus perhatian dan pembicaraan di kawasan Asia Tenggara. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai Asian Value, sejumlah pemimpin negara Asia Tenggara, seperti mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew dan mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad, sudah berhasil melaksanakan ideologi tersebut demi memajukan negaranya sebagai salah sebuah negara maju dan menyelamatkan negaranya dari krisis moneter internasional yang melanda negaranya. Asian Value tersebut mengandung arti bahwa cara orang-orang Asia dalam menilai berbagai macam hal berbeda dengan cara penilaian orang-orang Barat yang dipengaruhi dan dikembangkan menurut ideologi demokrasi dan liberalisme. Para pemimpin negara di Asia Timur, khususnya di kawasan Asia Tenggara, menilai bahwa alat ukur yang dimiliki oleh orang-orang Barat dan orang-orang Asia tidaklah sama karena disesuaikan dengan keadaan dan situasi dalam negeri masing-masing negara. Oleh sebab itu, panjang pendeknya alat ukur tersebut memiliki sifat luwes (flexibility). Menghadapi dibukanya pasar komoditi pertanian internasional sesuai dengan hasil kesepakatan Putaran Uruguay dan sistem perdagangan internasional yang baru (WTO), sejak awal tahun 1980-an lalu, di Korea mulai dilaksanakan gerakan sosial yang diberi nama Shintobulee, yang berarti badan orang dan hasil-hasil produksi dari tanah tempat tinggalnya tidak bisa dibedakan, atau dengan kata lain, orang-orang Korea harus makan hasil produksi tanah airnya sendiri. Dengan menikmati hasil tanahnya sendiri, semakin lama orang setempat akan mencintai apa yang dimiliki dan dihasilkan oleh tanah airnya sendiri. Jika berbicara dalam lingkup yang lebih besar, kecintaan terhadap tanah airnya ini akan mencakup pula kecintaan terhadap ideologi, tradisi, maupun kebiasaan

12


Negara Korea dan Pokok-pokok Permasalahan

di berbagai bidang yang dimiliki oleh bangsanya. Hal-hal inilah yang kemudian menciptakan identitas nasional negara dan bangsa yang jelas berbeda dengan identitas negara dan bangsa lain. Konsep-konsep seperti itu jelas menunjukkan bahwa negara-negara tertentu dapat memiliki ideologi kenegaraan yang berlainan. Di Indonesia, urusan kekeluargaan jauh lebih dipentingkan daripada urusan-urusan lain sedangkan negara dan bangsa Korea sudah sejak lama paling mengutamakan urusan kenegaraan, suatu urusan yang bagi banyak orang dianggap jauh lebih penting daripada urusan pribadi. Keberhasilan Korea menduduki urutan keempat dalam pertandingan Piala Dunia Korea-Jepang pada bulan Juni 2002 di Korea dan Jepang bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk nyata dari perwujudan kepentingan negara yang lebih diutamakan dari kepentingan pribadi. Keberhasilan itu didorong oleh semangat kebersamaan yang harmonis yang dimiliki oleh bangsa Korea. Pada umumnya, pemain sepakbola negara-negara Barat jauh lebih mengutamakan kemampuan individu sebab tiap-tiap pemain profesional itu secara langsung terkait dengan pendapatan. Akan tetapi tim kesebelasan Korea jauh lebih mementingkan kebersamaan yang harmonis yang diikuti semua pemain. Apabila pemain sepak bola profesional dari dunia Barat memperlihatkan kemampuan terbaiknya untuk mencari pendapatan yang lebih banyak, pemain sepak bola Korea lebih mengutamakan rasa bangga karena terpilih sebagai tim kesebelasan nasional yang bertugas untuk membela nama negaranya. Berdasarkan hal itu, untuk dapat mengetahui politik Korea, seorang harus terlebih dahulu mengetahui karakteristik khusus yang sudah lama dikembangkan berdasarkan berbagai unsur yang ada dan dimiliki oleh bangsa Korea. Walaupun ada cukup banyak kemiripan, namun juga terdapat banyak perbedaan antara negara dan bangsa Korea dan Indonesia. Secara politis, di Korea, antara negara dan rakyat sudah ada konsensus nasional untuk menuju demokrasi liberal dan menerapkan sistem persaingan secara bebas dalam bidang ekonomi. Dengan demikian, masalah-masalah dasar kehidupan politik Korea didasarkan pada kedua konsensus yang terjalin antara negara, pemerintah dan rakyat tersebut. Berdasarkan kedua konsensus itulah, politik Korea berlangsung. Politik Korea mempunyai banyak karakteristik khusus, baik dalam segi sejarah politik maupun segi pelaksanaan demokrasi liberal. Dari segi politiknya, politik Korea antara lain dicirikan sebagai berikut. Pertama, politik Korea didasarkan pada tradisi demokrasi yang masih dangkal, ditandai dengan tidak konsistennya pelaksanaan politik berdasarkan konstitusi (baik karena kudeta ataupun karena pergantian pemerintahan yang

13


Politik dan Pemerintahan Korea

diikuti oleh pergantian Undang-Undang Dasar). Hal tersebut menyebabkan politik Korea menjadi tidak stabil. Kedua, tradisi demokrasi yang dangkal itu disebabkan karena demokrasi Korea merupakan demokrasi ala Barat yang mulai dilaksanakan pada tahun 1945, bersamaan dengan berakhirnya Perang Dunia II, bukan demokrasi yang didasarkan pada pemikiran, kebiasaan dan tradisi asli bangsa Korea. Oleh sebab itu, demokrasi ala Barat tersebut belum cukup mengakar dalam kehidupan politik Korea. Ketiga, sistem politik Korea merupakan sistem Otokratisme, warisan dari Kerajaan Joseon (1392-1910) yang mendasarkan pemerintahannya pada ajaran-ajaran Konfusius yang telah ada selama 500 tahun sebelum Korea mulai melaksanakan demokrasi. Setelah Korea merdeka, politik Korea mencoba mempelajari demokrasi liberal, tetapi dengan menggunakan alasan keamanan nasional, mengatasi pemborosan kekuatan nasional, dan juga alasan keunggulan kediktatoran untuk mengembangkan pembangunan nasional, maka diktator serta para politikus pengikutnya di Korea masih menerapkan praktekpraktek Otokratisme dalam politik Korea. Dengan demikian demokrasi liberal belum berjalan secara murni di Korea. Keempat, pada beberapa periode kepemimpinan di Korea, masalah keamanan nasional menjadi prioritas utama. Hal itu disebabkan oleh latar belakang sejarah Korea yang didasarkan pada pemisahan bangsa Korea oleh Sekutu dan Perang Korea (1950-1953) yang pernah menghancurkan semua fasilitas industri dan mengorbankan jutaan jiwa. Ketakutan terhadap adanya serangan dari luar, khususnya Korea Utara, menyebabkan pemerintah masih menekankan pentingnya masalah keamanan nasional dan sering menggunakan isu tersebut dalam kampanye nasional, dan sebagainya. Dan kelima, Korea mengalami suatu keterbelakangan politik, yaitu suatu kecenderungan dimana sistem politik tidak bisa mengembangkan diri sesuai dengan pemahaman politik baru yang dimiliki oleh masyarakat luas. Dengan kata lain terdapat kesenjangan antara kesadaran politik rakyat yang telah jauh lebih maju dengan capaian-capaian dalam sistem yang sudah ada di Korea. Sedangkan dari segi pelaksanaan demokrasi liberal, politik di Korea mempunyai karakteristik, antara lain: pertama, seperti kebanyakan negara di dunia, terdapat tiga badan negara dalam sistem pemerintahan Korea, yaitu Badan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Di Korea, Badan Eksekutif mempunyai wewenang yang jauh lebih besar daripada kedua badan yang lain, dan bagi rakyat umum, pegawai pemerintah (eksekutif) dianggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan pegawai legislatif dan yudikatif.

14


Negara Korea dan Pokok-pokok Permasalahan

Hal itu disebabkan karena di masa kerajaan, pegawai kerajaan yang memiliki semua hak itu berfungsi sebagai penengah yang menghubungkan raja dan rakyat umum. Pada umumnya, raja memberikan hak istimewa dan harta benda yang cukup banyak kepada pegawai kerajaan agar mereka melaksanakan tugasnya masing-masing dengan lebih baik. Dengan kata lain, pegawai kerajaan pada masa dahulu, yang pada masa sekarang merupakan pegawai pemerintah yang bekerja di Badan Eksekutif, secara langsung menguasai segenap rakyat sebagai pengganti raja. Oleh sebab itu, Badan Eksekutif cenderung mempunyai peran yang lebih besar dibanding dengan kedua badan yang lain. Besarnya peran Badan Eksekutif menyebabkan Badan Legislatif dan Yudikatif tidak dapat secara efisien mengontrol sepak terjang Badan Eksekutif. Peranan Badan Legislatif untuk mengontrol setiap peraturan sangat lemah sehingga peraturan dapat dibuat menurut keinginan Badan Eksekutif. Pendek kata, kedudukan ketiga badan itu tidak seimbang dan belum berfungsi secara efisien untuk saling mengontrol satu sama lain. Kedua, pengaruh politik dalam masyarakat Korea sangat besar. Hal tersebut disebabkan karena sistem kediktatoran dan kemiliteran Korea yang selalu menekankan isu-isu politik dalam menarik perhatian masyarakat. Partisipasi politik masyarakat Korea dalam pemilu masih cukup besar, yaitu kurang lebih 70% masyarakat Korea ikut memberikan suaranya dalam pemilu. Meskipun perhatian terhadap politik sangat besar, masyarakat Korea masih belum memiliki kemampuan untuk mengontrol keseimbangan antara ketiga badan pemerintah. Sementara itu, perbaikan dan perubahan UUD terlalu sering terjadi. Isu terpenting dalam setiap perbaikan UUD itu adalah mengenai masa jabatan kepala negara. Dari masa Korea merdeka sampai pada masa Presiden Park Chung Hee, ditetapkan bahwa masa jabatan kepala Negara adalah 4 tahun. Namun, karena tidak ada pasal yang membatasi seorang kepala negara untuk menduduki lagi jabatannya, maka dalam perbaikan UUD yang dilakukan sebelum masa pemerintahan Presiden Chun Doo Hwan, ditetapkan bahwa masa jabatan presiden diperpanjang menjadi 7 tahun namun terbatas pada satu kali masa jabatan. Dalam masa revolusi sipil yang terjadi pada bulan Juni 1987, sekali lagi muncul isu mengenai lama masa jabatan kepresidenan sehingga diputuskan bahwa masa jabatan pemerintahan Presiden Roh Tae Woo, Kim Young Sam, Kim Dae Jung, Roh Moo Hyun, dan Lee Myung Bak, seorang kepala Negara hanya dapat menduduki jabatannya selama 5 tahun. Akan tetapi, di pertengahan masa pemerintahan Presiden Lee Myung Bak, isu tersebut muncul kembali. Masa sekali 5 tahun dianggap terlalu pen-

15


Politik dan Pemerintahan Korea

dek bagi seorang kepala negara untuk menjalankan pemerintahannya. Oleh karena itu, diusulkan bahwa masa jabatan kepala negara dikurangi lagi menjadi 4 tahun tapi kepala negara tersebut dapat terpilih kembali untuk masa jabatan yang kedua. Sampai awal tahun 2011 usulan tersebut masih dibicarakan oleh pemerintah Korea. Dalam hal ini, walaupun telah ada konsensus masyarakat umum mengenai demokrasi liberal, kemampuan dan tekad masyarakat untuk mengubah sistem politik Korea dan mulai melaksanakan demokrasi liberal belum cukup sehingga peran pemerintah masih cukup besar dan UUD masih terlalu sering diperbaiki. Ketiga, pada beberapa periode kepemimpinan di Korea, masalah keamanan nasional menjadi prioritas utama. Hal itu disebabkan oleh latar belakang sejarah Korea yang didasarkan pada pemisahan bangsa Korea oleh Sekutu dan Perang Korea (1950 - 1953) yang pernah menghancurkan semua fasilitas industri dan mengorbankan jutaan jiwa. Ketakutan terhadap adanya serangan dari luar, khususnya dari Korea Utara, menyebabkan pemerintahan masih menekankan pentingnya masalah keamanan nasional dan sering menggunakan isu tersebut dalam kampanye pemilu dan sebagainya. Bahkan dalam kampanye pemilu untuk pemilihan presiden pada tanggal 19 Desember 2002 yang lalu, masalah keamanan nasional masih muncul sebagai isu hangat di samping isu mengenai pemindahan ibukota administratif dari Seoul ke Daejeon. Keempat, partai politik di Korea tidak memiliki cukup dukungan dari rakyat dan belum memiliki ideologi yang tetap dan menjunjung keadilan sebagaimana yang diharapkan. Sementara itu, partai di Korea juga masih mendasarkan perolehan suaranya pada tokoh-tokoh khusus, bukan pada ideologi partai. Hal ini menyebabkan sistem demokrasi dalam parpol tidak berkembang. Rakyat menjadi tidak percaya pada parpol dan politikus. Di Korea terdapat istilah ‘Politik Tiga Kim’, yaitu suatu istilah untuk mengacu pada besarnya peran Kim Young Sam (presiden Republik Korea : 1995-1999), Kim Dae Jung (presiden Republik Korea : 1999-2003) dan Kim Jong-Pil (mantan perdana menteri Republik Korea) dalam politik Korea yang melebihi peran partai politiknya. Parpol sering berubah bentuk untuk menyesuaikan diri dengan aktivitas politik ketiga tokoh tersebut. Walaupun politik tiga Kim itu berpengaruh selama lebih dari empat dasawarsa belakangan ini dalam politik Korea, namun setelah pemilu 2002, banyak pengamat politik Korea yang menganalisa bahwa masa politik tiga Kim itu sudah berlalu dengan terpilihnya Roh Moo-Hyun, yang pada tahun 2007 berusia 57 tahun, sebagai pengganti Presiden Kim Dae Jung. Kelima, sampai sekarang, kelompok kepentingan (interest group) di Korea tidak independen. Kelompok-kelompok kepentingan yang ada di Korea

16


Negara Korea dan Pokok-pokok Permasalahan

tidak mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk mempengaruhi kebijakan pemerintahan, justru sebaliknya di mana pemerintah lebih berpengaruh terhadap aktivitas kelompok kepentingan tersebut. Hal ini menjadikan kelompok kepentingan Korea tidak dapat memperjuangkan kepentingan rakyat Korea melainkan hanya memperjuangkan kepentingan beberapa tokoh politik saja. Akan tetapi, di akhir masa pemerintahan Presiden Kim Dae Jung, mulai bermunculan kelompok kepentingan yang bersifat sukarela. Salah satu contoh adalah setelah dua orang siswi SMP meninggal karena tertabrak tank pasukan Amerika Serikat di Korea, sejumlah ratusan ribu sukarelawan tiap malam berkumpul di alun-alun balai kota Seoul sambil memegang lilin yang menyala. Dengan suara bulat mereka menyerukan diperbaikinya persetujuan antara pemerintah Korea Selatan-Amerika Serikat (SOFA), khususnya dalam hal penentuan posisi pasukan AS di Korea Selatan, dan agar dua orang prajurit AS yang mengakibatkan peristiwa keji itu segera dihukum. Karena Kedutaan Besar Amerika Serikat terletak di dekat balai kota Seoul, media massa internasional termasuk CNN dan BBC mengabarkan bahwa cahaya lilin dari ratusan ribu sukarelawan itu seolah-olah menelan Kedutaan Besar AS di Seoul. Contoh kelompok sukarelawan tersebut jelas memperlihatkan bahwa politik kepentingan di Korea akan dapat memiliki sifat yang relatif independen di masa dekat. Keenam, konglomerat bisnis yang disebut Chaebol sangat terkait erat dengan politik seperti halnya yang terjadi di Indonesia. Chaebol, dapat dikatakan tumbuh dan dibesarkan oleh negara melalui kebijakan pembangunan ekonomi yang dikendalikan oleh pemerintah. Kondisi inilah yang kerab disebut ‘keistimewaan kapitalisme Korea’. Sejarah perkembangan kapitalisme Korea itu sendiri terlalu singkat, tidak stabil dan tidak sempurna. Oleh sebab itu, konglomerat dapat dengan mudah bekerja sama dengan elit politik dan memberikan pengaruh negatif pada perkembangan politik Korea. Dalam kampanye pemilihan presiden, calon presiden Roh Moo-Hyun telah menitikberatkan bahwa keberadaan Chaebol dapat diakui dan fungsi serta peranannya sangat dihormati. Akan tetapi, Roh Moo-Hyun juga menegaskan bahwa dirinya akan memberanikan diri untuk memperbaiki kebiasaan yang salah tersebut yang sampai sekarang masih terus berlangsung. Ketujuh, pertentangan antar elit politik yang begitu kuat. Penyebabnya adalah karena adanya konflik yang sangat besar antara parpol. Partai pemerintah dan partai oposisi selalu bertentangan dan sulit mencapai situasi harmonis. Partai politik Korea berulang kali mengadakan perdebatan tentang hasil dan proses pemilu di dalam badan legislatif. Akibatnya, politik Korea selalu ditandai dengan pertentangan antar elite politik.

17


Politik dan Pemerintahan Korea

Sejarah mencatat, akibat begitu kuatnya pertentangan politik semacam ini, di Korea sering terjadi perubahan UUD dan bahkan tokoh militer juga pernah berkuasa. Akan tetapi, menghadapi persoalan politik seperti ini, masyarakat khususnya generasi muda terus melakukan demontrasi melawan sistem politik Korea yang tidak adil dan tidak jujur itu. Kedelapan, regionalisme (sifat kedaerahan) yang begitu kuat. Hal ini sangat mengganggu keharmonisan bangsa dan menghambat pencapaian kesejahteraan rakyat. Sifat kedaerahan atau pertentangan antar wilayah memberikan pengaruh besar pada setiap pelaksanaan pemilihan umum dalam sejarah Korea modern. Wilayah Korea Selatan yang sangat sempit menjadikan masalah regionalisme muncul sebagai satu masalah yang sangat serius, khususnya antara daerah Cholla dan Kyongsang. Persaingan antara wilayah Cholla dan Kyongsang tersebut ditandai dengan adanya kesenjangan yang sangat tajam antara kedua wilayah tersebut. Sentra-sentra industri yang lebih banyak terdapat di wilayah Kyongsang, sedangkan wilayah Cholla lebih banyak terdiri dari daerah pertanian. Tidak mengherankan, secara ekonomi, wilayah Kyongsang jauh lebih makmur dibanding wilayah Cholla. Banyaknya presiden Korea yang berasal dari Kyongsang, menyebabkan kebijakan-kebijakan yang diambil juga cenderung untuk mengutamakan wilayah Kyongsang. Sedangkan di sisi lain, bibit-bibit perlawanan masyarakat Korea, sejak masa penjajahan hingga pasca kemerdekaan lebih banyak tumbuh di wilayah Cholla. Pertentangan antara kedua wilayah ini pada derajat tertentu, tentu saja dapat membahayakan demokrasi di Korea, karena pertentangan antar wilayah ini kerap dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politis. Dan yang kesembilan, terdapat kesenjangan yang sangat lebar antara praktek-praktek politik pemerintahan di Korea dengan pengetahuan politik masyarakat. Pemahaman politik masyarakat Korea telah cukup maju sedangkan sitem politik Korea masih tetap diwarnai oleh pertentangan antar elite dan belum dapat berkembang menjadi sistem politik baru yang lebih modern.

Pokok-pokok Permasalahan dalam Politik Korea Politik Korea masih berjuang keras untuk menuju ke masa demokrasi liberal secara total. Dalam usaha perjuangan itu, masyarakat dan rakyat Korea harus menghilangkan permasalahan-permasalahan yang ada. Yang Pertama, demokratisasi secepatnya harus ditempatkan di Korea secara luas dan secara total. Demokratisasi secara total itu lebih harus diutamakan daripada struktur demokrasi itu sendiri. Dalam hal itu, semua rakyat, baik masyarakat umum, negarawan, dan politikus harus lebih mementingkan

18


Negara Korea dan Pokok-pokok Permasalahan

sistem dan proses yang lebih demokratis. Pendek kata, sistem dan struktur politik tidak penting dibandingkan dengan proses politik sebagai syarat demokrasi. Kedua, korupsi dengan memanfaatkan jabatan-jabatan politik dan money politics harus dihapuskan. Berbagai macam korupsi dalam masyarakat Korea merupakan sebuah kecenderungan masyarakat yang terus berkembang bersama dengan berkembangnya politik ekonomi nasional. Di Korea, korupsi dengan memanfaatkan jabatan-jabatan politik lebih serius daripada korupsi lain dalam masyarakat. Ketiga, meluaskan konsesus masyarakat umum terhadap pentingnya dasar politik Korea. Berdasarkan konsensus masyarakat umum tersebut penting untuk menyelesaikan berbagai masalah politik termasuk regionalisme. Keempat, bidang dan pengaruh politik Korea terlalu besar. Oleh karena itu usaha untuk menegakkan atau menciptakan pemerintah yang kecil tetapi kuat harus dilakukan. Di Korea, lingkungan politik terlalu besar dan berpengaruh sehingga kekuatan politik masih terlalu sering disalahgunakan. Oleh karena itu sangat diperlukan sebuah sistem untuk mencegah penyalahgunaan politik dan reformasi bidang politik perlu dilakukan dengan dipimpin oleh badan eksekutif. Kelima, peranan pokok sistem politik adalah penghapusan konflik dalam masyarakat. Dengan demikian, harus segera dikembangkan sistem politik yang harmonis untuk menghapuskan konflik kemasyarakatan yang diakibatkan oleh perubahan sosial dan perkembangan industrialisasi. Politik Korea mempunyai permasalahan baru yang mempersulit pengembangan masyarakat sipil yang adil dan makmur. Masyarakat sipil yang adil dan makmur tetap memiliki tekad untuk mengkritik sambil tetap menjaga haknya sendiri. Hak-hak rakyat masih dibatasi oleh kekuatan pemerintah. Untuk itu, masyarakat sipil yang terdiri dari semua rakyat umum harus lebih terbuka. Masyarakat sipil yang adil dan makmur adalah ciptaan demokrasi, namun demikian masyarakat sipil juga bertugas untuk melindungi dan mengembangkan demokrasi itu sendiri. Masyarakat sipil yang adil dan makmur sangat diperlukan untuk mengurangi lingkungan politik yang telah berkembang menjadi besar selama masa kediktatoran yang lalu. Proses variasi kemasyarakatan dan munculnya kelompok kepentingan masyarakat sipil yang adil dan makmur itu berperan penting agar masyarakat dan sejumlah kelompok kepentingan dapat saling bekerja sama. Politik Korea memiliki tugas yang sangat penting dalam suasana berubahnya masyarakat internasional dan sistem politik internasional. Sampai sekarang politik Korea sangat dipengaruhi oleh pengaruh dari luar. Ekonomi Korea sangat tergantung pada unsur-unsur luar negeri. Akan tetapi, sistem

19


Politik dan Pemerintahan Korea

Perang Dingin sudah runtuh dan masyarakat dunia kini sedang sibuk menuju arah ketertiban baru sehingga politik Korea khususnya bidang diplomatik dan keamanan harus melepaskan tradisi di masa Perang Dingin dan segera mempersiapkan diri untuk menghadapi pesatnya perubahan masyarakat internasional. Penulis: Yang Seung Yoon Ph.D. (Universitas Gadjah Mada, Indonesia), dosen senior pada Jurusan Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies. E-mail:syyang@hufs.ac.kr

DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Sejarahwan se-Korea. 1999. Sejarah Politik Korea. Seoul: Hanul Academy. Han Sung Ju. 1990. Politik Korea Modern, Seoul: Korea University Press. Lee Chung Hee.1998. Politik Korea, Seoul: Hankuk University of Foreign Studies Press. Yang Seung Yoon. 2007. Politik, Ekonomi, Masyarakat Korea: Pokok-pokok Kepentingan dan Permasalahan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

20


Negara Korea dan Pokok-pokok Permasalahan

BAB II SEJARAH DAN KEBUDAYAAN POLITIK

21


Politik dan Pemerintahan Korea

22


Sejarah Politik Korea

SEJARAH POLITIK KOREA Mohtar Mas’oed (Universitas Gadjah Mada, Indonesia) Yang Seung Yoon (Hankuk University of Foreign Studies, Korea)

Pendahuluan Semenanjung Korea terletak tidak jauh dari pusat Daratan China dan kawasan Manchuria yang didiami oleh bangsa nomaden sehingga Korea selalu menghadapi ancaman serangan dari arah utara. Letak geografisnya yang strategis seperti ini mempersulit bangsa Korea untuk dapat mengembangkan sebuah negara yang nyaman dan sejahtera tanpa adanya gangguan dari luar. Selain itu, Semenanjung Korea juga berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan Daratan China dengan Kepulauan Jepang. Jepang, dengan alasan mengadakan kontak secara langsung dengan China, seringkali mengganggu Korea. Dalam keadaan seperti itu, semua kerajaan Korea selalu memusatkan perhatiannya pada urusan politik demi keselamatan negara dan bangsa. Menjelang abad ke-20, situasi politik di sekitar Semenanjung Korea cenderung lebih condong ke Jepang daripada ke Daratan China. Kecenderungan itu disebabkan oleh adanya pandangan kedua negara tersebut terhadap dunia luar dimana pandangan masing-masing negara itu sangat berbeda satu sama lain. China masih menganggap dirinya sebagai pusat dunia dan percaya bahwa kebudayaan yang dimilikinya jauh lebih unggul daripada kebudayaan yang dimiliki oleh dunia luar. Dengan anggapan dan kepercayaan seperti itu, China tidak mau melihat semua hal yang dikembangkan di luar Daratan China, apalagi membandingkannya dengan semua hal yang dimilikinya. Sedangkan Jepang, yang sebagai negara kepulauan tidak memiliki banyak pilihan, sejak awal telah mengarah menuju dunia luar melalui laut. Jepang mengambil dan meniru hal-hal menarik dari dunia luar dan mengembangkannya di dalam negerinya sehingga semakin lama kekuatan nasional Jepang semakin bertambah kuat. Lama kelamaan mereka mencoba untuk memperluas kekuatan nasionalnya ke arah daratan.

23


Politik dan Pemerintahan Korea

Bangsa Korea membuka pelabuhan Incheon bai negara Barat pertama kali pada tahun 1876. Sejak saat itu, sejarah modern di Korea mengalami perubahan besar, baik dalam sejarah politis maupun historisnya. Di tengah masa berubahnya periode sejarah itu, gerakan nasionalisme menjadi peristiwa sejarah politik yang terpenting di Korea. Gerakan untuk membentuk negara rakyat mulai dijalankan dari masa akhir Dinasti Joseon, diteruskan selama masa penjajahan Jepang (1910-1945) dan berkembang setelah Korea merdeka.

Masa Penjajahan Jepang (1910-1945) Penjajahan Jepang di Korea yang mulai berlangsung pada masa akhir kerajaan Joseon telah menghancurkan kerajaan dan rakyat Korea. Penjajahan Jepang di negara lain dan penjajahan oleh negara-negara Eropa pada umumnya didasarkan pada tujuan ekploitasi ekonomi dan sosialis. Akan tetapi, kebijakan penjajahan Jepang di Korea berbeda dengan kecenderungan tujuan Jepang menjajah negara-negara lainnya. Akibat posisi geografis Semenanjung Korea yang strategis, Jepang ingin menguasai Semenanjung Korea sebagai bagian wilayah Jepang, serta memerintah Korea secara langsung dengan cara menguasai rakyat Korea dan memasukkan rakyat Korea dalam struktur masyarakat Jepang. Penjajahan Belanda terhadap Indonesia dan penjajahan terhadap Semenanjung Korea sangatlah berbeda. Sejarah dunia menjelaskan bahwa Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1605, dan pada sekitar tahun 1910 negara penjajah itu dapat menguasai seluruh kepulauan Indonesia. Selama masa tiga abad itu, di Indonesia masih banyak terdapat kerajaan kecil dan besar termasuk Mataram yang masih berlangsung kerajaannya di Yogyakarta, walaupun banyak gangguan dan siksaan dari Belanda. Pada berlangsungnya sejarah 300 tahun tersebut, Belanda secara keseluruhannya menerapkan kebijakan penguasaan secara tidak langsung dan kebijakan memecah belah samnbil memelihara golongan pengikut atau pro Belanda, kemudian sedikit demi sedikit memperluas territorial yang dikuasainya dalam masa penjajahannya. Oleh karena itu, Prof. Dr. Alfian Ibrahim sejarawan terkemuka Universitas Gadjah Mada, Indonesia, berpendapat bahwa masa penjajahan Belanda di Indonesia pada dasarnya hanya 35 tahun seperti halnya dengan penjajahan Jepang di Korea. Di luar masa 35 tahun tersebut, menurut Alfian Ibrahim, dapat disebut sebagai masa dua Negara Indonesia – Belanda. Tujuan penjajahan Belanda terhadap Indonesia adalah tujuan ekonomi, mereka menginginkan rempar-rempah, teh, gula, kopi, dan sebagainya yang dapat diekspor ke pasar Eropa. Den Haag merupakan pasar hasil-hasil perke-

24


Sejarah Politik Korea

bunan yang terbesar di dunia. Pada masa itu, hampir sepenuhnya kebutuhan pasar di Den Haag dipenuhi oleh hasil bumi yang didapatkan dari Indonesia. Dibandingkan dengan penjajahan Belanda di Indonesia, penjajahan Jepang di Korea dilandasi keinginan untuk menjadikan Semenanjung Korea sebagai teritorial miliknya sendiri. Dengan kata lain, kebijakan penjajahan Jepang terhadap Korea didasarkan pada tujuan politis. Sebagai negara kepulauan, Jepang ingin menjadi negara daratan. Keinginan ini tentu saja dapat terpenuhi jika Jepang dapat menjadikan Semenanjung Korea sebagai bagian dari wilayahnya. Dengan demikian, Jepang dapat melancarkan pengaruhnya di benua Asia. Masa penjajahan Jepang di Korea dimulai dari penggabungan dinasti Joseon pada tahun 1910. Sebelumnya, Jepang terlebih dahulu memotong campur tangan China dan Rusia terhadap Semenanjung Korea. Untuk itu, negara kepulauan yang kecil itu berani menyatakan perang melawan dua negara raksasa di utara benua Asia itu. Walaupun ada perubahan kebijakan penjajahan dalam sepanjang 35 tahun, antara tahun 1910-1945, sama halnya penjajahan Belanda terhadap Indonesia, namun kebijakan pokok, secara politisnya tersebut sama sekali tidak berubah. Dapat dipilih dua buah contoh yang teramat jelas. Yang pertama, Jepang dari awal masa penjajahannya tetap memegang kebijakan ‘Naesun Ilche’ yaitu, Jepang dan Joseon (Korea) adalah satu badan. Satu yang lain adalah sebutan Laut Timur (oleh Korea) dan Laut Jepang (oleh Jepang). Mereka menyebut laut antara Semenanjung Korea dan Jepang sebagai Danau Jepang. Sebutan Danau Jepang itu, jelas menunjukkan bahwa mereka menginginkan negara daratan bersama dengan kepulauan dan semenanjung, sementara di tengah daratan itu terdapat danau raksasa. Jepang masih sampai sekarang mengklaim sebutan kuno Laut Jepang yang berasal dari Danau Jepang walaupun masa penjajahannya sudah lama berakhir. Kebijakan eksploitasi ekonomi secara total, segera akan dilancarkan setelah tujuan politiknya berhasil. Untuk mencapai tujuan itu, kebijakan penjajahan Jepang terhadap Korea dapat digolongkan dalam dua tahap penting sebagai berikut : pertama, masa awal tekanan Jepang terhadap Korea. Dari masa akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-19, para pedagang Jepang, yang dibantu oleh kelompok-kelompok bersenjata seperti misalnya bajak laut, dengan membabi buta melakukan eksploitasi terhadap Korea. Bahkan, kadang-kadang atas nama perdagangan, mereka melakukan perdagangan dan tukar menukar barang dengan pedagang Korea secara tidak seimbang. Di samping itu, selama abad ke-19, eksploitasi ekonomi dilakukan oleh para kapitalis Jepang atas nama perdagangan bebas. Eksploitasi perda-

25


Politik dan Pemerintahan Korea

gangan pada masa kedua ini dilakukan secara sah oleh Jepang dan sebagian pegawai kerajaan Joseon yang melakukan korupsi ataupun yang dipaksa. Eksploitasi ekonomi dilakukan Jepang dengan cara mengekspor barangbarang industri Jepang yang murah ke Korea dan mengimpor bahan-bahan mentah yang mahal dari Korea namun dengan harga yang sangat murah. Kedua, akhir abad 19 sampai masa pecahnya Perang Dunia II. Pada masa ini, penjajah Jepang jauh lebih mementingkan penanaman modal di Korea daripada melakukan ekspor-impor barang industri. Penanaman modal ini dilakukan oleh kaum kapitalis yang memonopoli keuangan Jepang. Untuk menyelamatkan modalnya yang ditanam di Korea, Jepang memperkuat kebijakannya di Korea, baik secara politis maupun secara militeris. Penjajah Jepang, dengan menggunakan satu tangannya menguasai kaum feodal Korea, dan dengan menggunakan tangan yang lain memasukkan nilai-nilai kapitalismenya ke dalam tradisi masyarakat Korea dan mulai melakukan modernisasi masyarakat Korea. Modal untuk melakukan modernisasi ini didapat dari hasil penanaman modal Jepang di Korea. Pada saat perekonomian Korea telah dipegang kuat oleh Jepang, Jepang secara perlahan-lahan mulai menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat Korea, menguasai wilayah Semenanjung Korea dan memasukkan masyarakat Korea ke dalam struktur masyarakat Jepang. Untuk menjaga kepentingannya menguasai Semenanjung Korea, Jepang berperang melawan Rusia dan China agar Rusia dan China—kedua negara yang wilayahnya sangat dekat dengan Semenanjung Korea itu—tidak berusaha menguasai Semenanjung Korea dan menjatuhkan kekuasaan Jeapng di sana. Masa penjajahan Jepang akhir abad 19 sampai masa pecahnya Perang Dunia II dapat dibedakan menjadi beberapa tahap. Pertama, tahun 1910-an. Pada masa ini, kebijakan pemusnahan rakyat Korea tetap dilakukan oleh penjajah Jepang. Pasukan Jepang ditempatkan di Korea dan panglima pasukan tersebut ditunjuk menjadi gubernur Jenderal yang memegang kekuasaan tertinggi di Korea. Dengan dipegangnya jabatan gubernur Jenderal oleh panglima pasukan Jepang, sistem politik yang ada di Korea menggunakan sistem politik militer. Pada saat itu, polisi militer berlaku sebagai polisi. Polisi militer tersebut memegang hak memerintah sehingga masyarakat sipil tidak berkuasa. Polisi militer juga memiliki hak untuk memberi hukuman mati di tempat bagi rakyat Korea. Saat itu, selain dari polisi militer, semua guru sekolah negeri pun membawa pedang Jepang sebagai senjata dan alat untuk menegakkan kewibawaan penjajah Jepang di mata rakyat Korea. Sementara itu, kebijakan eksploitasi tetap dilakukan secara luas di Korea oleh imperialis keuangan Jepang.

26


Sejarah Politik Korea

Untuk melawan kebijakan politik militer Jepang itu, gerakan perjuangan kemerdekaan Korea dikobarkan pada tanggal 1 Maret 1919. Dalam waktu singkat gerakan perjuangan kemerdekaan Korea meluas ke seluruh Semenanjung Korea bahkan hingga kawasan Manchuria China. Pada masa penjajahan Jepang, sebagian besar rakyat Semenanjung Korea melarikan diri ke kawasan China Utara dan sebagian kecil kawasan Rusia karena mereka anti terhadap penjajahan Jepang. Mereka tidak mau tunduk pada otoritas dan kebijakan penjajah Jepang. Rakyat Korea yang berada di wilayah China dan Rusia itulah yang ikut mengobarkan gerakan perjuangan kemerdekaan Korea sehingga gerakan itu terjadi dimana-mana, di seluruh wilayah di mana terdapat rakyat Korea. Di wilayah Jepang sendiri, bangsa Korea sudah mulai membentuk pasukan dan satuan kemerdekaan yang memiliki senjata. Di dalam negeri, dibentuk Sinminhoe (Badan Masyarakat Baru) yang artinya adalah perkumpulan rakyat baru yang ikut memberikan dukungan bagi gerakan kemerdekaan. Di samping itu, organisasi-organisasi keagamaan dan kaum petani juga bergerak mengumpulkan dana untuk memberikan dukungan bagi gerakan kemerdekaan. Pada bulan September 1919, gerakan perjuangan kemerdekaan itu juga berhasil mendirikan Pemerintahan Sementara Korea di Shanghai, China. Pemerintah sementara itu menegakkan ideologi baru untuk mendirikan suatu negara yang memakai sistem republik demokrasi sebagai pengganti sistem kerajaan. Kedua, tahun 1920-an. Dengan adanya gerakan perjuangan kemerdekaan Korea Imperialisme Jepang mulai memperbaiki kebijakan penjajahannya yang didasarkan pada kebijakan eksploitasi. Sebagai pengganti kebijakan eksploitasi, Jepang mengumumkan politik kebudayaan, yang intinya sama dengan kebijakan politik militer sebelumnya. Jadi, dengan demikian Jepang hanya mengganti istilah kebijakannya saja, dari kebijakan politik militer menjadi kebijakan politik kebudayaan, dan tidak mengganti isi maupun pelaksanaan kebijakan penjajahannya. Di bawah kebijakan itu, kebijakan menghancurkan rakyat Korea dan menyatukan rakyat Korea-Jepang itu sama sekali tidak berubah. Akan tetapi, karena Jepang ingin menciptakan kesan bahwa Jepang bukanlah penjajah bangsa Korea, mereka memperbolehkan rakyat Korea memperoleh pendidikan. Pada masa ini, penjajah Jepang labih memperkuat kebijakannya menguasai Korea dan kemudian memasukkan bangsa Korea ke dalam struktur masyarakat mereka. Proyek pembangunan dasar (infra structure) mulai dikerjakan di Korea seperti pemasangan rel kereta api, pembangunan stasiun pembangkit tenaga listrik, fasilitas pelabuhan, jalan raya, dan lain sebagainya. Pembangunan

27


Politik dan Pemerintahan Korea

itu memang berguna untuk memulai proses modernisasi Korea namun jelas lebih banyak dipergunakan untuk melancarkan kebijakan penjajahan Jepang, baik segi ekonomi, maupun politik. Sebagian politikus Jepang, di masa awal jalinan hubungan diplomatik penuh antara Korea-Jepang, sering menyatakan bahwa modernisasi Korea dibentuk oleh kebijakan penjajahan Jepang. Pernyataan yang sangat menimbulkan kemarahan rakyat Korea itu didasarkan pada kebijakan Jepang pada masa penjajahan dalam melaksanakan proyekproyek untuk membangun infrastruktur ekonomi tersebut. Melalui gerakan perjuangan kemerdekaan itu, rakyat Korea menyadari bahwa gerakan membangkitkan semangat patriotisme saja tidak cukup untuk mencapai kemerdekaan. Kekuatan rakyat harus duiperkuat dan kaum elite harus diberi pendidikan yang lebih baik. Hubungan internasional pun sangat diperlukan dan kekuatan ekonomi Korea juga harus ditingkatkan, agar bangsa Korea dapat memperoleh kemerdekaannya. Pada tahun 1920-an, di tengah pelaksanaan kebijakan Politik Kebudayaan tersebut, ideologi sosialisme mulai masuk ke Korea dan menjadi ideologi alternatif untuk mencapai kemerdekaan. Ideologi untuk memperoleh kemerdekaan Korea pun menjadi terpecah dan menimbulkan pertentangan dua ideologi besar, yaitu ideologi kanan (right wing) dan kiri (left wing). Ketiga, tahun 1931-1945. Pada tahun 1931, Jepang mengobarkan Perang Manchuria. Kemenangan Jepang dalam Perang Manchuria berhasil meningkatkan posisi Semenanjung Korea secara strategis. Sejak saat itu, Jepang menjadikan Semenanjung Korea sebagai basis logistik perang. Dengan demikian, kebijakan politik kebudayaan di Korea sudah berakhir dan Jepang mulai secara langsung melakukan eksploitasi secara besar-besaran untuk membuat peralatan perang. Peralatan makan rakyat Korea (mangkuk, sendok, garpu, dan lain sebagainya) yang terbuat dari logam disita dan dilebur kembali untuk dijadikan senjata perang Jepang. Rakyat Korea dipaksa untuk menggunduli pohon-pohon pinus yang disebut sonamu, dan mengambil damarnya untuk dijadikan bahan bakar kendaraan perang pengganti bensin. Sejak saat itu, sambil menyerang kawasan Manchuria, penjajah Jepang melarang rakyat Korea mempelajari apapun yang terkait dengan perkembangan Korea, baik sejarah, huruf Korea, bahasa, maupun peristiwa seni budaya Korea. Di samping itu, imperialis Jepang juga mencoba memasukkan sejarah Korea sebagai bagian dari sejarah Jepang. Melalui pendidikan, Jepang memaksa rakyat Korea mempelajari bahwa sejak jaman dahulu rakyat Korea memiliki pertalian nasib secara historis dengan bangsa Jepang di mana bangsa Korea harus berada di bawah kekuasaan bangsa Jepang. Saat itu, semua organisasi pendidikan, termasuk SD, menggunakan bahasa Jepang agar Je-

28


Sejarah Politik Korea

pang dapat menanamkan pengertian kepada rakyat Korea bahwa bangsa Korea adalah rakyat bawahan dibawah raja Jepang. Sejalan dengan kebijakan itu, Jepang memaksa bangsa Korea mengganti nama keluarga mereka seperti keluarga orang Jepang. Hal itu berarti bahwa hubungan bangsa Korea dengan nenek moyangnya menjadi tercabut. Bangsa Korea sejak zaman dulu sangat mementingkan pemeliharaan susur galur keluarganya masing-masing. Dengan mengganti susur galurnya dan menirukan cara penamaan yang dipakai oleh orang Jepang berarti bangsa Korea mengingkari leluhurnya dan mencabut kebiasaan penamaan nenek moyangnya yang telah diwariskan turun temurun. Sistem penamaan keluarga yang dipakai oleh bangsa Korea dan bangsa Jepang sangat berbeda. Sejak awal sejarahnya, orang Korea telah memiliki nama keluarga yang dipengaruhi oleh kebudayaan China, sedangkan sejarah penamaan orang Jepang didasarkan pada lingkungan hidup tempat mereka tinggal. Sebagai contoh, nama keluarga Danaka, yang artinya di tengah ladang, muncul karena pada awalnya mereka berdiam di tengah ladang. Selama masa penjajahan Jepang, para imperialis Jepang tidak hanya melakukan eksploitasi secara ekonomis terhadap Korea tetapi juga menghancurkan tatanan kehidupan rakyat Korea. Tujuan utama penjajahan Jepang tersebut adalah untuk menyatukan Jepang dan Korea menjadi satu negara Jepang sehingga terjadi asimilasi negara dan bangsa Korea dengan Jepang. Pada saat itu, rakyat Korea telah menyadari tujuan imperialis Jepang. Kesadaran itulah yang mendorong seluruh rakyat Korea, baik dalam unit-unit kecil seperti kampung dan desa maupun dalam unit sosial yang lebih besar, yaitu negara, mulai berani melakukan gerakan untuk melawan kebijakan penjajahan Jepang itu. Dipengaruhi oleh Revolusi Rusia, di Korea mulai muncul ideologi sosialisme. Kemunculan ideologi sosialisme ini membuat gerakan perjuangan kemerdekaan Korea terpecah menjadi dua left wing yang disebut dja ik dan right wing yang disebut woo ik. Mulanya sifat ideologi sosialisme di Korea pada umumnya adalah Marxisme dan Leninisme. Tetapi kemudian ideologi sosialisme Korea pada masa itu berkembang menjadi demokratis sosialis. Setelah Perang Dunia II berakhir, banyak negara-negara baru merdeka mengalami masa revolusi untuk membersihkan pemerintahan yang ada dari sisa-sisa kolonial dan membentuk pemerintahan baru yang bersih. Namun Korea tidak mengalami masa revolusi itu. Setelah berakhirnya masa penjajahan Jepang (1910-1945) dan masa penguasaan Sekutu (1945-1948) yang sangat singkat, Korea langsung memulai kembali pemerintahannya sebagai negara merdeka dengan melanjutkan pemerintahan yang telah ada sebelumnya tanpa membersihkan unsur-unsur kolonial dari pemerintahannya tersebut.

29


Politik dan Pemerintahan Korea

Orang-orang yang pada masa penjajahan bersikap pro terhadap penjajah dapat tetap memegang kekuasaannya tanpa perlu merasa khawatir akan dijatuhkan oleh orang-orang pro kemerdekaan. Pejabat-pejabat pemerintah yang sebelumnya pro penjajah tetap memegang kekuasaan besar dalam menyusun peraturan baru Korea sehingga peraturan-peraturan baru tersebut masih memuat nilai-nilai kolonial. Di satu sisi, para politikus pro penjajah melakukan korupsi untuk menjaga kedudukannya dan menyelamatkan diri mereka sendiri. Mereka dengan berbagai cara menunjukkan kesetiaan kepada seorang kepala pemerintahan yang baru. Sedangkan di sisi yang lain, kepala pemerintahan yang baru belum memiliki banyak pengalaman politik dan oleh karenanya belum dapat mengangkat para elite politik yang baru. Kondisi itu menjadikan kerja sama antara kepala pemerintahan yang baru dan kaum politikus pro penjajah dapat berlangsung, tetapi dalam situasi yang tidak seimbang. Konflik dan kerusuhan dalam lingkungan politik terjadi sebagai akibat dari hubungan yang tidak adil tersebut.

Pendudukan Pemerintahan Militer Amerika Serikat (1945-1948) Di bawah penguasaan pemerintah militer Amerika Serikat, negara dan bangsa Korea tetap berusaha untuk menjadi negara dan bangsa yang bersatu meskipun tanah air Korea telah terbagi dua sebagai akibat Perang Dunia II. Pada saat itu, belahan utara Semenanjung Korea mulai melaksanakan pemerintahan militer di bawah Uni Soviet. Usaha penyatuan negara dan bangsa Korea oleh rakyat Korea Selatan itu dihalang-halangi oleh pemerintahan militer Amerika Serikat di Korea Selatan karena pada saat itu Amerika Serikat dan Uni Soviet merupakan Sekutu dan pembagian Semenanjung Korea tersebut telah ditetapkan dalam perundingan Sekutu. Oleh karena itu, pemerintah militer Amerika Serikat terus membujuk pemerintah dan rakyat di Korea Selatan untuk memihak Amerika Serikat dan menerima pembagian Semenanjung Korea. Selama tiga tahun masa pemerintahan militer Amerika Serikat itu, Amerika Serikat tidak menyetujui usaha unifikasi negara dan bangsa Korea. Meskipun demikian, di bawah penguasaan pemerintahan militer Amerika Serikat itu, pembangunan nasional Korea Selatan berlangsung sedikit demi sedikit berdasarkan prinsip politik demokrasi dan prinsip ekonomi kapitalisme. Pemerintahan di bawah kepemimpinan Sekutu (Amerika Serikat) itu mencegah masuknya pengaruh komunis di negara Korea Selatan, karena Amerika Serikat ingin Korea Selatan menerapkan ideologi kapitalisme dan demokrasinya sendiri, dan bukan menerapkan sistem komunisme. Dua hal inilah yang menjadi sisi positif penguasaan Amerika Serikat terhadap Korea. Dengan

30


Sejarah Politik Korea

demikian, pemerintahan militer sementara itu telah meletakkan suatu landasan yang memungkinkan negara Korea Selatan dapat berkembang menjadi salah satu negara dalam sistem dunia Barat yang berdasarkan demokrasi dan liberalisme.

Kemerdekaan dan Republik Pertama (1948-1960) Pada tanggal 15 Agustus 1948, Presiden Rhee Syngman mendirikan Republik Pertama di Korea. Dengan berkuasanya Presiden Rhee itu, negara Republik Korea (Korea Selatan) secara resmi membuka masa pemerintahannya yang baru. Selama 16 tahun masa penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden di Korea Selatan, Presiden Rhee berani melanggar Undang-Undang Dasar dengan tujuan agar tetap dapat memegang pemerintahan Korea sesuai dengan kemauannya sendiri. Presiden Rhee Syngman menggunakan konsep politik Machiavelis sehingga tradisi untuk mengganti pemerintahan secara bebas dan damai menurut prinsip persaingan antar politik tidak dapat tercipta di Korea. Kekuasaan Presiden Rhee itu memicu munculnya ketidakpuasan di kalangan mahasiswa yang kemudian memicu meletusnya revolusi mahasiswa pada tanggal 19 April 1960. Meskipun masa pemerintahan pertama yang dikuasai oleh Presiden Rhee Syngman disalahgunakan oleh sikap penguasaannya yang berlangsung secara Machiavelis atau berkuasa penuh, akan tetapi pada saat itu kehidupan politik Korea sudah mulai melaksanakan prinsip-prinsip persaingan, mencoba melaksanakan pemerintahan lokal secara bebas, serta berusaha untuk mewujudkan prinsip pembagian tiga kekuasaan pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).

Revolusi Mahasiswa dan Pemerintahan Kedua (1960-1961) Melalui Revolusi Mahasiswa 19 April 1960, Partai Liberal dan Presiden Rhee Syngman yang berkuasa saat itu diganti oleh Partai Demokrasi. Dengan pergantian partai politik itu, pemerintahan baru Korea diwujudkan oleh kekuatan sipil. Pergantian pemerintahan itu mengandung arti yang sangat penting karena baru pertama kalinya dalam sejarah politik Korea modern pergantian pemerintahan dilakukan oleh kekuatan sipil. Setelah meruntuhkan pemerintahan anti sipil sebelumnya, pemerintahan Republik Kedua (1960-1961) yang dipimpin oleh Perdana Menteri Chang Myon meluaskan lingkungan politiknya bagi partisipasi masyarakat luas. Akan tetapi, pemerintahan Korea yang kedua ini tidak banyak melakukan langkah-langkah politik karena tujuan mereka hanyalah memperjuangkan

31


Politik dan Pemerintahan Korea

pergantian pemerintahan saja. Permasalahan penting Korea seperti pembagian Semenanjung Korea, hubungan luar negeri dan masalah kelas dalam masyarakat Korea, tidak diperhatikan oleh Chang Myon dan para tokoh Partai Demokrasi. Ini menyebabkan situasi politik Korea menjadi kian memanas. Kekacauan politik itu mendorong munculnya kudeta militer pada tahun 1961. Meskipun demikian, keruntuhan Republik Kedua di Korea mengandung beberapa arti politik. Yang pertama, untuk dapat melaksanakan sistem politik. Namun, keadilan sistem politik tersebut juga harus didukung oleh sifat efisien sistem politik. Dua hal ini menjadi faktor penting perkembangan sistem politik demokratis. Kedua, konflik dan pertentangan luar biasa antara para politikus dan kaum elite dalam pemerintahan menjadi unsur utama yang dapat menghalang-halangi usaha mengembangkan politik demokrasi. Dan yang ketiga, untuk dapat mengembangkan demokrasi dengan sukses, diperlukan kesesuaian antara kesadaran kekuatan politik dan tuntutan demokrasi oleh rakyat. Republik kedua Korea telah gagal dalam melaksanakan pemnyesuaian itu sehingga demokrasi menjadi kurang berkembang di Korea. Walaupun Republik Kedua di Korea memiliki masa jabatan yang sangat singkat, pemerintahan itu berhasil melaksanakan sistem parlementer dan sistem pemerintahan lokal yang demokratis. Di samping itu, organisasi-organisasi yang melanggar hak-hak asasi manusia juga dikurangi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Republik Kedua di Korea telah mencoba memperluas partisipasi dan kebebasan politik rakyat.

Kudeta Militer 16 Mei dan Pemerintahan Militer (1961-1963) Pada tanggal 16 Mei 1961, Jenderal Park Chung Hee melancarkan kudeta terhadap pemerintahan kedua dengan alasan menyelamatkan bangsa dari kekacauan politik dan kemiskinan rakyat. Setelah kudeta tersebut berhasil menjatuhkan kekuasaan pemerintahan kedua, Jenderal Park segera membentuk Badan Eksekutif untuk Pembangunan Nasional dan selama tiga tahun kemudian memimpin pemerintahan militer. Kudeta 16 Mei itu mengandung dua hal yang sangat bertentangan. Di sisi negatif, partai politik dan pemerintahan parlementer yang ada hanya menjadi suatu simbol pemerintahan saja karena elite militer-lah yang menguasai semua kekuatan politik. Elite sipil hanya berada di sekeliling elite militer saja. Dengan dominasi elite militer itu, sistem politik Korea menjadi sistem militer otoriter. Militer sangat dipolitisasikan dan budaya militer diterima secara luas dalam kehidupan politik Korea. Dalam budaya militer itu, kepatuhan dalam hubungan antara pihak yang memberi perintah dengan pihak yang melaksanakan perintah sangat diuta-

32


Sejarah Politik Korea

makan. Budaya politik yang tidak adil tersebut tentu saja mengakibatkan munculnya perlawanan oleh pihak-pihak yang ingin menegakkan kekuasaan demokrasi. Pertentangan antara budaya militer dan kekuatan demokrasi menyebabkan munculnya ketidakstabilan situasi politik dan lingkaran setan antara tekanan dan tantangan terjadi secara terus-menerus. Di sisi lain, kudeta 16 Mei itu juga memiliki sifat positif yaitu mendorong menguatnya keaktifan untuk mengadakan perubahan sosial yang dapat mempercepat industrialisasi dan modernisasi di Korea dan menetapkan sistem teknokrasi dalam pemerintahan. Namun, sifat positif itu sendiri juga menimbulkan akibat negatif lainnya. Diterapkannya sistem teknokrasi dalam pemerintahan semakin memperkuat penyalahgunaan wewenang oleh para teknokrat. Di samping itu, industrialisasi dan modernisasi yang terus dipacu pada akhirnya mengakibatkan membesarnya kesenjangan masyarakat Korea. Hal inilah yang menjadi perbedaan menyolok antara pemerintahan militer dengan pemerintahan demokratis sebelumnya.

Perubahan Pemerintahan Militer dan Republik Ketiga (1963-1972) Jenderal Park Chung Hee pada akhirnya bersedia menerima keinginan rakyat serta memenuhi janjinya untuk mengubah pemerintahan militer dan membuka masa era Republik Ketiga di Korea dengan melaksanakan sistem pemilihan presiden oleh rakyat. Walaupun sistem pemerintahannya berubah dari sistem politik kemiliteran menjadi sistem politik sipil, masa Republik Ketiga Korea tidak diikuti oleh pergantian tokoh-tokoh intinya. Pergantian sistem itu sendiri tidak dapat menciptakan proses demokrasi sehingga demokratisasi di Korea tidak terjadi. Oleh sebab itu pemerintahan Republik Ketiga di Korea yang terus dipimpin oleh Presiden Park Chung Hee selalu menghadapi ancaman dari kekuatan demokrasi. Masyarakat Korea yang baru saja melepaskan diri dari kemiskinan, dapat mencari pekerjaan berkat hasil rencana pembangunan nasional yang mulai dijalankan sejak pertengahan tahun 1960-an. Oleh karena itu, rakyat mulai giat mendukung posisi Presiden Park Chung Hee dengan pemerintahannya. Tetapi di sisi yang lain, kekuatan demokrasi yang mulai muncul dalam masyarakat Korea semakin memperbesar tekanan rakyat terhadap kebijakan Park Chung Hee. Di tengah kondisi tersebut, Presiden Park akhirnya memutuskan untuk membentuk pemerintahan di bawah kepemimpinan dirinya sendiri yang jauh lebih berkuasa daripada pemerintahan sebelumnya dengan alasan melangsungkan modernisasi tanah air dan industrialisasi perekonomian bangsa di bawah sistem Yu Shin.

33


Politik dan Pemerintahan Korea

Sistem Yu Shin dan Republik Keempat (1972-1979) Walaupun Republik Ketiga di Korea telah berubah menjadi sitem politik sipil, namun tokoh-tokohnya tetap saja orang militer yang hanya beralih menjadi tokoh-tokoh sipil. Hal ini menyebabkan Republik Ketiga ini memiliki legitimasi politik yang sangat rendah sehingga dalam waktu yang relatif singkat telah menghadapi ancaman dan pertentangan lainnya. Mengambil pelajaran dari berjalannya pemerintahan Republik Ketiga itu, Republik Keempat di Korea dibentuk berdasarkan kebijakan darurat sampai berlangsungnya sistem politik Yu Shin. Arti Yu Shin itu sendiri adalah perbaikan peraturan dan sistem lama secara sempurna. Dengan alasan untuk mengembangkan negara dan bangsa dalam industrialisasi dan modernisasi, sistem politik Yu Shin dengan seribu daya berusaha menghapus obyek-obyek pertentangan, baik yang berasal dari partai politik maupun kelompok-kelompok di bidang sosial dan kebudayaan. Inti sistem politik Yu Shin adalah keunggulan kekuasaan presiden di atas tiga badan kenegaraan. Dalam hal ini, kekuasaan badan legislatif dan yudikatif jauh lebih dikurangi daripada masa-masa sebelumnya dan sistem kediktatoran khusus terus dikembangkan. Dalam sistem politik Yu Shin itu, presiden berhak untuk memilih sepertiga anggota DPR, membubarkan DPR dan juga memiliki hak-hak khusus dalam situasi darurat. Pada saat itu DPR tidak berhak untuk memanggil presiden ke DPR, memeriksa anggaran belanja badan eksekutif, serta campur tangan dalam hal pengangkatan dan penurunan kepala Mahkamah Agung (badan Yudikatif). Selama 8 tahun berlangsungnya Republik keempat di Korea itu, organisasi masyarakat seperti pers, asosiasi kaum buruh, aksi mahasiswa serta organisasi-organisasi sosial lainnya diawasi secara ketat oleh pemerintah dan berada dalam sistem mekanisme penguasaan negara. Namun, selama masa Republik Keempat di Korea, ekonomi Korea berkembang maju dan dapat mengakhiri masa kelaparan. Jumlah angka ekspor dapat ditingkatkan dengan pesat dan bisnis konglomerat pun semakin bertambah. Sejak tahun 1974, Gerakan Rakyat untuk Memulihkan Demokrasi mulai dibentuk dan dilaksanakan. Pada tahun 1979, Kesatuan Rakyat untuk Penyatuan Rakyat dan Demokrasi dibentuk dan gerakan anti pemerintah, organisasi-organisasi keagamaan dan gerakan kaum tani, kaum buruh dan mahasiswa pun semakin cepat memperluas lingkungan gerak mereka. Di belakang kegiatan-kegiatan politik itu, Jaeya mulai mengumpulkan dukungan dari kalangan masyarakat luas. Kelompok Jaeya ini, sepanjang masa jabatan Presiden Park Chung Hee, memperkuat aksi anti pemerintahnya.

34


Sejarah Politik Korea

Peristiwa 26 Oktober 1979 dan Republik Kelima (1980-1988) Pada tanggal 26 Oktober 1979, terjadi peristiwa pembunuhan Presiden Park Chung Hee. Pembunuhan itu dilakukan oleh Kim Jae-Kyu yang saat itu menjabat sebagai kepala Badan Intelijen Korea. Peristiwa politik yang sangat memalukan itu disebabkan oleh meruncingnya konflik politik yang terjadi dan terus menumpuk selama masa jabatan Presiden Park Chung Hee. Jenderal Chun Doo Hwan, Kepala Badan Intelijen Militer Korea, segera menggunakan kesempatan itu untuk merebut kekuasaan pemerintahan sehingga dapat memegang kekuatan politik Korea yang baru. Jenderal Chun menyalahgunakan UUD yang baru supaya dapat dipilih menjadi presiden Korea melalui pemilihan tidak langsung. Cara memilih presiden Chun itu hampir sama dengan pemilihan kepala negara Indonesia oleh MPR. Dengan demikian, Jenderal Chun berhasil memimpin Korea selama 7 tahun sampai tahun 1987. Sistem Republik Kelima di Korea masih didasarkan pada sistem Yu Shin sehingga sistem dan karakteristik pemerintahan Presiden Chun Doo Hwan hampir sama dengan sistem sebelumnya, yaitu pada masa Republik Keempat di Korea. Oleh karena itu, posisi presiden tetap berada diatas tiga badan kenegaraan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam sistem itu, Presiden Chun tetap memegang kekuatan politik Korea seperti hak milik pribadinya. Selama masa berlangsungnya Republik Kelima di Korea, kelompok militer menguasai seluruh bidang kenegaraan, baik politik, ekonomi, sosial, maupun bidang-bidang kenegaraan lainnya. Dengan demikian, masa pemerintahan Presiden Chun lebih memperkuat posisi kelompok militer bila dibandingkan dengan Republik Keempat sebelumnya yang hanya memanfaatkan kelompok militer sebagai basis dukungan politik saja. Pada saat itu, kaum teknokrat elite juga sangat diutamakan karena melalui teknokrat elite, pemerintah melancarkan industrialisasi di seluruh bidang perekonomian Korea. Pada masa Republik Kelima ini muncul berbagai macam permasalahan serius di bidang politik. Diantaranya adalah penyalahgunaan kekuasaan dan munculnya KKN di sekitar keluarga presiden dan lingkungan pegawai pemerintahan yang berkedudukan tinggi, seperti yang terjadi di Indonesia. Situasi ini mengakibatkan munculnya pertentangan antara kedua kekuatan itu menjadikan situasi politik Korea semakin memanas. Republik kelima di Korea yang dipimpin oleh Presiden Chun Doo Hwan juga menetapkan tujuan nasional, yaitu pembangunan negara kesejahteraan dan demokrasi. Namun tujuan tersebut dalam perkembangannya hanya menjadi semboyan simbolis saja. Yang terjadi justru sebaliknya di mana sebagian kebijakan pemerintahan Presiden Chun merupakan kebalikan dari tujuan nasional semulanya.

35


Politik dan Pemerintahan Korea

Revolusi Sipil Juni 1987 dan Republik Keenam (1988-1993) Di akhiri masa jabatannya, Presiden Chun mencoba mewariskan kekuasaan politik yang dipegangnya kepada kolega militernya. Pewarisan kekuasaan politik itu dilakukan dengan menggunakan prosedur yang sama dengan pengangkatan dirinya sendiri. Menyadari rencana pergantian kepala negara seperti itu, semua rakyat Korea mulai melakukan demonstrasi untuk memprotes rencana tersebut. Demonstrasi sipil terjadi, dan memuncak pada akhir bulan Juni 1987. Menghadapi demonstransi rakyat tersebut, calon pengganti Presiden Chun yaitu mantan Jenderal Roh Tae Woo akhirnya menerima keinginan massa sipil. Roh Tae Woo memutuskan untuk bersaing dalam pemilihan secara umum. Setelah memenangkan pemilihan umum, Presiden Roh memimpin masa pemerintahan Republik Keenam. Munculnya Republik Keenam di Korea mengandung beberapa arti yang terpenting. Yang pertama, kekuatan politik dapat memiliki sifat keadilan dan juga basis dukungan dari rakyat karena pemilihan presiden dilakukan melalui pemilihan oleh rakyat. Kedua, dibandingkan dengan Republik Kelima, pada masa Republik Keenam badan legislatif dan yudikatif diperkuat, baik kekuatannya maupun sifat otonomnya. Dengan demikian, sistem pemerintahan yang terdiri dari tiga badan utama mulai mencari kembali keseimbangannya. Ketiga, otonomi pemerintah lokal dihidupkan kembali setelah selama 3 dasawarsa tidak dilaksanakan di Korea. Sifat independent kalangan pers juga hidup kembali dan kegiatan perburuhan mulai digiatkan kembali. Dengan demikian, keinginan rakyat telah terpenuhi oleh pemerintah yang baru. Dalam dua kali pemilihan umum yang diselenggarakan selama masa berlangsungnya Republik Keenam, konflik politik menjadi semakin tajam karena kebebasan politik telah mengakibatkan munculnya persaingan luar biasa di seluruh kalangan politik Korea. Rakyat Korea yang tengah menikmati kebebasan politik, kemudian justru disalahgunakan oleh para politikus oportunis. Sementara itu, pemerintahan Presiden Roh juga tidak mampu memenuhi dan mengendalikan keinginan rakyat yang terus meluap seiring dengan desakan demokratisasi yang terjadi. Oleh karena itu, Presiden Roh kemudian secara sembunyi-sembunyi menggabungkan partainya dengan dua partai oposisi sipil. Dengan penggabungan itu, partai pemerintah yang sangat besar muncul di Korea. Karena partai politik pemerintah yang besar itu terdiri dari berbagai kelompok kepentingan maka sifat partai politik pemerintah itu pun sangat bervariasi. Hal ini lama-kelamaan menimbulkan kerusuhan politik di Korea. Keberhasilan Republik Keenam di Korea ini terkait dengan Republik Kelima sehingga kaum elite politik dapat memegang peranannya dengan lebih

36


Sejarah Politik Korea

besar lagi dapat meneruskan republik. Akan tetapi, karena basis kekuatan politik Presiden Roh Tae Woo didasarkan pada kudeta militer dan juga karena Presiden Roh juga seorang Jenderal yang ikut membantu mantan Presiden Chun melakukan kudeta militer, maka kekuasaan Presiden Roh dianggap kurang memiliki keadilan. Roh Tae Woo hanya memperoleh 36,6% suara dalam pemilu pada saat terpilih menjadi presiden dan suara itu diperoleh presiden Roh dengan memanfaatkan persainan regionalisme yang tajam. Oleh karena itu Republik Keenam di Korea dibawah kepemimpinan Roh Tae Woo berusaha untuk menghapuskan peran militer sambil mencoba mengembangkan pemerintahan sipil. Masa Republik Keenam itu menjadi kekuatan penengah antara politik militer dan politik sipil.

Penutup: Pembukaan Masa Politik Sipil Pemerintah Presiden Kim Young Sam akhirnya mengakhiri masa pemerintahan militer di Korea dan mengawali masa demokrasi sipil. Pada masa awal pemerintahan Presiden Kim Young Sam, terdapat perubahan sistem politik secara total, yaitu dari sistem kekuatan militer ke sistem kekuatan sipil. Hal itu mengisyaratkan perubahan secara revolusioner dalam lingkungan politik Korea. Kekuatan politik mantan Presiden Roh Tae Woo didasarkan pada dukungan elite militer tetapi kekuatan politik Presiden Kim Young Sam didasarkan pada kekuataan elit sipil yang pernah dengan keras menentang penguasaan kelompok militer dan memperjuangkan demokratisasi di Korea. Berlangsungnya pemerintahan Presiden Kim Young Sam tidak mengandung arti bahwa penyempurnaan dan konsolidasi demokrasi telah berjalan di Korea. Bahkan penyempurnaan demokrasi dan konsolidasi demokrasi itu masih merupakan masalah terpenting dalam pemerintahan Kim Young Sam. Konsolidasi demokrasi tidak bisa dimungkinkan tanpa reformasi secara total. Hal itu menyebabkan lima tahun berlangsungnya pemerintahan Kim Young Sam merupakan masa persiapan untuk menyempurnakan demokratisasi di Korea. Profesor Prasett, salah seorang pengamat politik Korea dari Tammasat University, Thailand pernah menganalisa bahwa keberhasilan pemerintah Presiden Kim Young Sam disebabkan oleh yang pertama, dalam waktu singkat pemerintahan Kim Young Sam menggantikan elite militer dengan elite sipil dan menghapuskan sebagian besar kekuatan kemiliteran yang telah menguasai politik Korea selama tiga dasawarsa. Kedua, pemerintahan Presiden Kim Young Sam sejak awal telah mencoba untuk mewujudkan kestabilan tiga badan pemerintahan terpenting dan memperkuat peranan Badan Pemeriksa Keuangan.

37


Politik dan Pemerintahan Korea

Namun, para elit politik sipil yang kekuatan politiknya telah dikekang selama ini menjadi terlalu bersemangat dalam mengajukan perubahan sistem politik sehingga usulan-usulan tersebut menjadi terlalu banyak dan hanya bisa ditampung oleh pemerintahan Kim Young Sam tanpa dapat dilaksanakan. Dalam usahanya melaksanakan keinginan elit sipil dan masyarakat luas tersebut, Presiden Kim Young Sam terlalu sering mengubah susunan kabinetnya. Dan pada akhirnya, masa jabatan Presiden Kim Young Sam yang hanya lima tahun menjadi terlalu pendek untuk melaksanakan semua tuntutan sipil itu. Usaha Presiden Kim untuk memperbaiki kondisi politik Korea itu. Penulis : Mohtar Mas’oed Ph.D. (Ohio State University, Amerika Serikat), Profesor Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. E-mail: mohtar@ugm.ac.id Yang Seung Yoon Ph.D. (Universitas Gadjah Mada, Indonesia), dosen senior pada Jurusan Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies. E-mail: syyang@hufs.ac.kr

DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Sejarahwan se-Korea. 1999. Sejarah Politik Korea. Seoul: Hanul Academy. Bae Dong Sung. 1990. Politik Korea dan Permasalahannya, Seoul: Hak Go Jae Press. Han Sung Ju. 1990. Politik Korea Modern, Seoul: Korea University Press. Lee Chung Hee.1998. Politik Korea, Seoul: Hankuk University of Foreign Studies Press. Park Jae Kyu dkk. 2000. Urusan Politik dan Dua Korea, Masan: Kyungnam University Press. Yang Seung Yoon. 2007. Politik, Ekonomi, Masyarakat Korea: Pokok-pokok Kepentingan dan Permasalahan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

38


KEBUDAYAAN KONFUSIANISME DALAM URUSAN POLITIK KOREA Kihl Young Whan (Iowa State University, Amerika Serikat)

Peran apakah yang dipegang oleh kebudayaan Konfusius dan institusiinstitusi sosialnya dalam proses modernisasi masyarakat Korea tradisional? Hal ini menjadi pertanyaan penting yang memiliki arti dan relevansi kontemporer karena peninggalan kebudayaan Konfusius seringkali dikaitkan dengan kesuksesan dan transformasi Korea Selatan menuju suatu sistem politik dan ekonomi yang kuat yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Untuk menjawab pertanyaan ini, akan sangat berguna untuk memisahkan Konfusianisme sebagai ideologi dan sistem nilai (yang dalam hal ini merupakan fokus utama) dari Konfusianisme sebagai agama dan kepercayaan. Meskipun saat ini Konfusianisme sebagai agama tidak lagi dipraktekkan secara meluas di Korea, tetapi Konfusianisme sebagai prinsip moral dan etika masih merasuk dalam masyarakat Korea Selatan.

1.

Tradisi, Modernisasi, dan Konfusianisme

Pengaruh Konfusianisme dalam kebudayaan tradisional Korea, meskipun sesungguhnya tidak perlu untuk dikatakan, sangatlah dalam dan mengakar. Selama masa Dinasti Joseon (1392-1910), terlihat dengan jelas bahwa Konfusianisme baru merupakan “ideologi intelektual, aristokrasi dan akademik” dari kelas penguasa Yangban dan “pengaruhnya bagi kehidupan dan pemikiran masyarakat Korea benar-benar mengakar sangat dalam.” Seperti yang dikemukakan oleh Hyon Sang-yun dalam karyanya yang terkenal Joseon Yuhaksa (Sejarah Konfusianisme Korea), Konfusianisme “memberikan arah filosofi dan sebuah karakter bagi bangsa Korea, dan Konfusianisme telah mendorong terjadinya perubahan politik, kebudayaan dan ekonomi nasional yang cukup penting.” Pertanyaan mengenai peran Konfusianisme dalam perubahan sejarah dan transformasi masyarakat Korea selama masa akhir Dinasti Joseon pada awal abad 20 telah banyak diperdebatkan dan dinilai secara kritis oleh banyak

39


Politik dan Pemerintahan Korea

pihak. Menurut sejarah, ideologi Konfusianisme yang ditanamkan di Korea telah berkembang dengan baik, seperti halnya dengan filosofi dan agama utama lainnya, misalnya Shamanisme, Taoisme, Budha, dan Kristen. Bagaimanapun, pengaruh kebudayaan Konfusius dalam masyarakat Korea diterima dengan lebih kritis dan seimbang antara peninggalan positif maupun negatifnya. Lebih lanjut lagi, menurut Hyon Sang-yun, sebagian pengaruh Konfusianisme “dapat dianggap sebagai hal yang berguna sekaligus merugikan bagi masyarakat Korea”. Yang termasuk dalam daftar “kebaikan” positif Konfusianisme menurut Hyon adalah:  dorongan semangat untuk belajar (bagi manusia superior)  penghormatan atas etika dan moralitas  penghormatan atas kejujuran, kesetiaan dan kebenaran Di sisi yang lain, “keburukan” Konfusianisme yang termasuk dalam daftar Hyon adalah:  pemujaan terhadap China  pengelompokan (faksionalisme)  kekeluargaan (atau suku bangsa/klan)  pemikiran kelas  kesusastraan yang feminin  memperlemah kapasitas industri komersial  penghormatan terhadap gelar  penghormatan terhadap masa lalu Dalam menampilkan pandangan yang pro maupun kontra terhadap peninggalan Konfusius ini, Hyon sepertinya menggambarkan masa historis dan proses yang telah dialaminya. Sesungguhnya generasi Hyon hidup pada masa sejarah yang sangat sulit, masa-masa dimana identitas nasional Korea semakin melemah, dominasi kolonial sebelum tahun 1945 dan kekacauan pasca kemerdekaan Korea. Kritik Hyon, tidaklah mengejutkan, sangat difokuskan pada kerusakan dan peninggalan negatif Konfusianisme sebagai kebudayaan tradisional Korea. Persepsi atau penafsiran terhadap Konfusianisme terus mengalami perubahan dan semakin bervariasi seiring dengan berjalannya waktu terutama pada abad 20 saat masyarakat Korea mengalami masa sejarah kolonialisme dan pembagian nasional. Sebagai contoh, banyak kalangan intelektual menyalahkan Konfusianisme atas hilangnya kemerdekaan dan kedaulatan Korea serta kegagalan Korea melaksanakan modernisasi saat pergantian abad. Penilaian Hyon atas aspek “baik dan buruk” Konfusianisme yang telah

40


Kebudayaan Konfusianisme dalam Urusan Politik Korea

disebutkan di atas tidak hanya dilebih-lebihkan dan bersifat pribadi tetapi juga “cacat” seperti yang dikatakan oleh ahli sejarah Michael Robinson, bahkan jika pendapatnya “mencerminkan konsensus umum di antara banyak kalangan intelektual pada akhir masa kolonial” dan masa pasca Perang Dunia II. Pertanyaan mengenai peran yang tepat bagi Konfusianisme dalam proses modernisasi masyarakat Korea tradisional pada abad 20 belum dapat dijawab dengan menggunakan alasan apapun. Sebagai contoh, banyak pengamat Barat, termasuk Max Weber, mendukung pandangan yang menyatakan bahwa “Konfusianisme merupakan rintangan bagi pembangunan ekonomi” dengan alasan bahwa “kegagalan sebuah negara seperti China atau Korea untuk mencapai suatu terobosan ekonomi terjadi pada saat pengaruh Konfusius dalam masyarakat sedang berada di titik puncak”. Pandangan ini lebih merupakan pandangan yang sederhana yang membutuhkan lebih banyak keterangan yang bersifat ilmiah. Pandangan ini tidak sebesar pandangan ideologi Konfusianisme sebagai sosiologi bagi keberadaan aristokrasi yang sangat berkuasa atas dasar tanah yang sepertinya menghalangi proses modenisasi masyarakat tradisional Korea. Kenyataan sejarahnya adalah bahwa elite Yangban Kerajaan Joseon, yang telah dididik mengenai Konfusianisme Baru dengan baik, “secara mendasar telah menentang reformasi ekonomi dan sosial dengan menggunakan alasan Konfusianisme Baru yang kokoh.” Lebih lanjut lagi, ada kepentingan yang bangkit kembali dalam pertanyaan mengenai peran Konfusianisme dalam proses modernisasi Korea. Saat ini, penilaian yang lebih positif diberikan bagi Konfusianisme, pada saat pembangunan sosio-ekonomi dan politik terjadi dengan cepat tidak hanya di Korea Selatan tetapi juga di banyak negara Asia Timur. Banyak nilai-nilai Konfusius kini dilihat sebagai faktor pertumbuhan ekonomi yang cepat di Korea Selatan, termasuk:  kepatuhan seorang anak dan kesetiaan kepada keluarga  pemahaman dan penerimaan anggapan bahwa negara merupakan agen moral yang aktif dalam pembangunan masyarakat  penghormatan atas status dan hierarkhi  penekanan pada pengembangan diri sendiri dan pendidikan  perhatian terhadap harmoni sosial (Eckert et al., 1990:409) Meskipun banyak nilai-nilai ini telah ditampilkan dengan tingkat yang berbeda-beda dalam kebudayaan Korea sepanjang sejarah, “apa yang perlu dilakukan oleh Kerajaan Joseon bagi penggunaan Konfusianisme Baru” seperti yang dikemukakan oleh sejarawan Carter Eckert, “adalah memberikan kerangka kerja filosofis yang lebih baik bagi nilai-nilai ini dan menyebarkan

41


Politik dan Pemerintahan Korea

nilai-nilai ini ke seluruh masyarakat pada level yang lebih mendalam daripada sebelumnya�. Adalah tidak berbahaya untuk menganggap bahwa semua bidang kehidupan masyarakat Korea saat ini, termasuk politik dan ekonomi, nampak dipengaruhi oleh nilai-nilai, norma dan lebih banyak lagi aspek kebudayaan Konfusius. Terlihat dengan jelas adanya kebutuhan untuk memeriksa kembali tingkat-tingkat dimana tradisi dan modernitas akan berinteraksi untuk menghasilkan konsekuensi yang tidak terduga dalam politik dan ekonomi Korea kontemporer. Oleh sebab itu, tulisan ini akan menggali lebih jauh mengenai cara-cara tradisi kebudayaan Konfusius dalam mempengaruhi proses politik di Korea Selatan, terutama pada masa transisi demokrasi dan reformasi politik. Namun, sebelum melakukannya berusaha menggali lebih jauh, tulisan ini akan terlebih dahulu mengemukakan beberapa pertanyaan konseptual dan teoritis berdasarkan premis dasar dan kerangka analisa, diikuti oleh pembahasan mengenai teori dan praktek politis Konfusianisme Korea serta modernisasi Korea. 1.1 Politik dan Kebudayaan: Lama dan Baru Sejak politik menjadi seni dan ilmu pengetahuan, seperti yang telah diamati oleh Aristoteles pada masa dahulu, politik dapat dipelajari sebagai suatu keahlian dan juga sebagai sebuah badan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan dalam praktek. Pemimpin politik, sebelum merasa siap untuk memerintah wilayahnya, harus memperoleh tidak hanya pengetahuan tetapi juga keahlian mengenai bagaimana cara memerintah rakyat. Baik teori-teori ilmuilmu sosial maupun ajaran-ajaran dalam bacaan-bacaan klasik, seperti Konfusianisme, akan sangat membantu dalam proses belajar seorang politisi. Tantangan bagi kepemimpinan politik, baik apakah politik itu memimpin dalam masyarakat tradisional dan agraris atau dalam negara industri modern maupun masyarakat demokratis, adalah untuk menguasai seni kenegaraan dan pemerintahan yang dapat mempertemukan harapan dan tuntutan rakyat secara efektif. Politik, dari perspektif ilmu sosial, dapat dibayangkan sebagai suatu tindakan pembagian nilai-nilai yang sah terhadap masyarakat yang sesuai dengan permintaan dasar tatanan politik, keadilan maupun kebaikan bersama. Kekuasaan, otoritas, dan pemerintahan merupakan nilai-nilai kunci dan fokus dominan dalam politik. Sebab itu, usaha untuk menegakkan hukum dan peraturan, sebagaimana keadilan sosial dan kepentingan publik dalam masyarakat, akan berada dalam wilayah politik yang sah. Kegiatan dalam masyarakat yang melibatkan dan membutuhkan hubungan kekuasaan, aturan dan otoritas, menurut definisi, adalah bersifat politis.

42


Kebudayaan Konfusianisme dalam Urusan Politik Korea

Ada berbagai macam pengertian mengenai kebudayaan. Kebudayaan, dalam pengertian yang lebih luas, merupakan cara hidup suatu masyarakat pada suatu ketika dan benda-benda yang melambangkan cara hidup itu. Nilai-nilai, norma-norma dan institusi-institusi (seperti keluarga dan sekolah) adalah bukti nyata kebudayaan dalam suatu masyarakat. Kebudayaan, sebagai konsep tingkah laku, juga dapat berarti “bentuk-bentuk simbolis yang tersedia dalam masyarakat untuk digunakan sebagai pengalaman dan menyatakan maksud.” Seperti yang dikemukakan oleh Ann Swindler, “kebudayaan mempengaruhi tindakan, bukan dengan menyediakan nilai-nilai dasar bagi arah suatu tindakan tetapi dengan membentuk tata cara atau panduan perilaku, keahlian, dan gaya yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk membangun ‘strategi tindakan.’ Sebuah penekanan baru terhadap kebudayaan telah muncul untuk memainkan peran utama dalam ilmu sosial kontemporer. Perspektif analitis yang baru ini, terpisah dari pendekatan interpretatif yang berlaku yang dipopulerkan oleh antropologi, akan berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “bagaimanakah unsur-unsur kebudayaan memaksakan atau mempermudah pola-pola tindakan; aspek-aspek warisan budaya apakah yang memiliki dampak abadi terhadap tindakan masyarakat; dan perubahan sejarah khusus apakah yang dapat merusak kekuatan beberapa pola kebudayaan dan mengembangkan kebudayaan yang lain.” Dari perspektif yang lebih teoritis, tiga pandangan yang berbeda mengenai kebudayaan dapat diidentifikasi. Pertama, kebudayaan dapat berarti “sebuah sistem tingkah laku, nilai, dan ilmu pengetahuan yang digunakan secara meluas dalam masyarakat dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya”. Cara Korea Selatan menanggapi situasi yang ada, dalam konteks individual atau agen masyarakat kolektif yang membuat pilihan-pilihan rasional, dibentuk oleh orientasi subyektif yang diperoleh norma-norma dan nilainilai budaya. Kedua, kebudayaan dapat berarti “perkiraan pengertian sosial” yang seringkali dituangkan dalam bahasa dan tindakan yang terkait dengan kekuasaan dan partisipasi individu terhadap kelompok. Ketiga, kebudayaan juga berarti “unsur pengertian yang diakui secara sosial” terikat pada simbolsimbol dan tanda-tanda dalam masyarakat, seperti misalnya bangsa, masyarakat, negara dan sebagainya. Norma-norma dan nilai-nilai Konfusius adalah salah satu dari adat istiadat dan warisan yang membentuk “strategi tindakan” dalam masyarakat Korea Selatan kontemporer. Agama tradisional yang lain, termasuk Shamanisme dan Budha, dan agama Kristen kontemporer juga berusaha mempengaruhi dan mengubah tindakan-tindakan masyarakat dan institusi-institusi Korea Selatan. Gagasan mengenai demokrasi liberal dan ideologi nasionalisme

43


Politik dan Pemerintahan Korea

juga mempengaruhi kepercayaan kontemporer yang dianut oleh sebagian besar pemimpin dan warga Korea Selatan. Sebuah ideologi adalah “suatu sistem ritual dan kepercayaan yang sangat terartikulasi dan sadar akan dirinya, berkeinginan untuk menawarkan suatu jawaban yang menyatu bagi masalah-masalah tindakan sosial.� Ideologi, dalam pemikiran ini, dapat dipandang sebagai sebuah tahap dalam pembangunan suatu sistem pengertian kebudayaan.

2.

Doktrin Politik dan Praktek Konfusianisme Korea

Kebudayaan Konfusius Korea menggambarkan suatu perbedaan tajam, dan pembedaan, antara Yangban sebagai orang sipil dan aristokrat turun temurun serta rakyat jelata sebagai orang awam. Kelas sosial yang lain adalah pedagang dan seniman. Budak merupakan kelas sosial yang berada di lapisan paling bawah yang, sama seperti kelas Paria, merupakan orang-orang yang statusnya lebih rendah daripada orang awam. Bisnis yang dijalankan oleh pemerintah merupakan bidang kekuasaan dan tanggung jawab istimewa yang dimiliki oleh aristokrat Yangban. Konfusianisme di Korea mengharapkan orang-orang berkuasa, berdasarkan pelaksanaan mandat dari surga, untuk memerintah dengan bantuan birokrat profesional, kaum terpelajar, yang menjadi pewaris aristokrasi. Meskipun dalam teorinya rekrutmen birokrasi sipil terbuka bagi semua pihak, namun berdasarkan sistem ujian dinas sipil yang kompetitif, orang awam disingkirkan dari partisipasi dalam urusan-urusan negara yang menangani semua keperluan-keperluan praktis. Kaum terpelajar menuntut hak untuk dapat mengatur negara berdasarkan kemampuan kesarjanaan dan intelektualitasnya. Sistem rekrutmen kompetitif ini, berdasarkan manfaatnya, terdengar seperti sebuah sistem yang rasional. Namun, hanya keturunan kelas Yangban, berdasarkan akses terhadap hak-hak istimewa dan kelahiran, yang dapat memanfaatkan kesempatan belajar dan pendidikan. Dalam hal ini, Konfusianisme Korea dalam prakteknya menjadi sistem politik elitis dan anti pada persamaan derajat (anti-egaliter). Atau dengan kata lain, doktrin politik Konfusianisme Korea merupakan filosofi elitis dan anti demokrasi. 2.1 Konfusianisme sebagai Ideologi Politik Konfusianisme, sebagai perwujudan ajaran Konfusius, menyajikan seni dan pengetahuan mengenai pemerintahan yang baik. Konfusianisme didasarkan pada prinsip-prinsip etika dan moral tentang pemerintah yang baik yaitu bahwa pangeran dan raja harus belajar untuk menguasai dan memerintah wilayah serta mengatur rakyatnya. Dalam hal ini, Konfusianisme merupakan teori politik yang menawarkan saran-saran praktis kepada penguasa.

44


Kebudayaan Konfusianisme dalam Urusan Politik Korea

Konfusianisme sebagai ideologi politik Dinasti Joseon merupakan doktrin konservatif yang didasarkan pada pemikiran-pemikiran untuk meningkatkan prinsip-prinsip etika moral dan institusi-institusi sosial dalam rangka menjaga tata politik yang damai serta harmoni sosial. Ideologi Konfusianisme juga menggambarkan “sebuah masyarakat yang hierarkis dimana di dalamnya kekuasaan diperkuat oleh kebajikan kelas atas terhadap kelas bawah, kesetiaan yang saling timbal balik serta kepatuhan rakyat terhadap negara.” Politik, dalam teori Konfusianisme, merupakan bagian pelengkap “sebuah sistem sosial universal yang diatur oleh nilai-nilai tertentu dan diharmonisasikan oleh kepatuhan terhadap norma-norma yang ada.” Konfusianisme lebih merupakan sebuah sistem yang cenderung menjaga status quo daripada sebuah sistem perubahan dan reformasi yang mendorong modernisasi. Sebagai contoh, nilai-nilai Konfusius mengenai kesetiaan dan kepatuhan seorang anak memberi sumbangan bagi penciptaan etos sosial yang membantu mengembangkan stabilitas dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diramalkan. Menurut ideologi ini, sebuah negara yang terpusat harus diperintah oleh penguasa yang baik yang dibantu oleh menteri-menterinya yang setia dan peraturan-peraturan yang dibuatnya didukung oleh pandangan rasional etika mengenai keselarasan alam dan manusia. Norma-norma kebudayaan Konfusius memberikan penekanan yang lebih besar kepada institusi keluarga, keselarasan sosial, penghormatan terhadap pendidikan dan tata politik dan ekonomi “moral”. Konfusius mengatakan, dalam Analects, bahwa dia hanyalah seorang penyebar tradisi kuno mengenai kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan. Dia memandang dunia sebagai “sebuah kebaikan” dan dapat diubah melalui pendidikan. Inti Konfusianisme adalah prinsip-prinsip hierarkis dan kedudukan dalam hubungan sosial yang diperintah oleh apa yang disebut ‘tiga ikatan dan lima hubungan.’ Dalam sistem Konfusius, moralitas dan politik tidak dapat dipisahkan karena ada hubungan penting antara diri sendiri, keluarga, masyarakat dan negara. Hal ini menjadi doktrin politik pengembangan diri sendiri, pengaturan keluarga, keselarasan sosial, dan aturan politik. Kaum intelektual, menurut Mencius, adalah penguasa kebudayaan dan oleh karena itu harus menjaga dasar kepemimpinan moral dan politik dalam negara. Konfusianisasi masyarakat Korea terjadi melalui periode waktu sejarah yang sangat panjang dan penting, yaitu selama masa tiga kerajaan. Konfusianisme Baru mulai diperkenalkan kepada Dinasti Goryeo (918-1392), selama penguasaan Mongol terhadap Korea pada abad 13-14, dan juga pada masa awal Dinasti Joseon (1392-1910). Ajaran itu mempengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat Korea, termasuk pendidikan, pemerintahan,

45


Politik dan Pemerintahan Korea

keluarga, upacara pemakaman dan perkabungan, serta penghormatan terhadap leluhur. Urusan-urusan negara pada masa Dinasti Joseon dijalankan oleh pejabat-pejabat terdidik Konfusianisme Baru, yang meningkatkan pengajaran tentang Konfusius yang kemudian ditafsirkan oleh berbagai murid dan sekolah. Konfusianisme Baru sebagai ajaran intelektual di Korea berasal dari pengajaran Zhu Xi (1120-1200) dan para pengikutnya pada masa Dinasti Song China selama abad 14. Konfusianisme Baru pertama kali diperkenalkan ke Korea oleh An Hyang (1243-1306) dan Paek I-jong (fl. 1310-20) sekitar awal abad 14 sampai akhir abad 14. Namun, Konfusianisme Baru ini belum cukup kuat untuk menandingi Budha sebagai ideologi pemerintahan Dinasti Goryeo. Konfusianisme Baru menambahkan sifat filosofis dan keagamaan dalam ajaran Konfusianisme sebelumnya, dan berusaha menjelaskan asal mula manusia dan dunia dalam konteks metafisika. Sejak kemunculan Konfusianisme Baru, ajaran politik dan moral Konfusianisme tradisional menjadi terbuka bagi filosofi dan metafisika ajaran-ajaran Taoisme dan Budha, juga bagi agama asli Shamanisme yang dipraktekkan secara meluas dalam masyarakat. Saat Konfusianisme memiliki daya tarik yang sangat besar dalam mengajarkan etika politik yang menekankan pada hubungan yang saling menguntungkan antara penguasa dan subyek, Konfusianisme Baru dengan segera berubah menjadi sebuah doktrin yang tidak memiliki toleransi dan dengan cepat menolak semua ajaran lain termasuk Budha. 2.2 Konfusianisme Sebagai Pergerakan Politik Dengan adanya perebutan kekuasaan oleh Jendral Yi Song-gye pada tahun 1392, banyak diantara kelas berpendidikan berusaha untuk menjadikan Konfusianisme Baru sebagai ideologi negara, sistem kepercayaan dan nilainilai dominan mengenai manusia, masyarakat, legitimasi politik dan kekuasaan. Chong To-jon (1342-98) adalah tokoh pemimpin kalangan terdidik Konfusius yang memegang peran penting sebagai perancang pemerintahan baru dengan menetapkan sebuah rencana tata politik dan sosial Dinasti Joseon. Sebagian besar tulisannya kemudian menjadi dasar bagi penyusunan hukum terakhir Kyonguk taejon (Undang-Undang besar bagi pemerintahan negara, 1471), yang menjadi dasar Undang-Undang Dinasti Joseon. Pembentukan negara Konfusius pada tahun 1392 mengandung arti bahwa kelas terdidik baru kini memiliki kekuasaan untuk melaksanakan negara birokratis. Sepanjang kelas berkuasa tetap utuh dan bersatu, negara Konfusius adalah negara sipil dan sebuah contoh politik yang teratur dalam rangka mencapai tata etika dan moral yang lebih tinggi. Namun, dalam waktu yang tidak lama kemudian, Dinasti Joseon mengalami gerakan pembersihan kelas

46


Kebudayaan Konfusianisme dalam Urusan Politik Korea

terdidik dan perpecahan faksional antara elite-elite penguasa. Isu yang diperdebatkan bukanlah pada substansi ajaran Konfusius, tetapi lebih pada ritual dan interpretasi dogma dan ajaran-ajaran. Di samping pemerintahan oleh meritokrasi, dengan didasarkan pada kompetisi terbuka dan ujian pegawai sipil yang kompetitif, golongan keturunan dan pengikut-pengikut personal juga ikut memerintah. Hasilnya dari keadaan tersebut adalah tahun-tahun panjang yang penuh dengan kekerasan dalam melakukan pembersihan kelas terdidik dan perpecahan faksional. Pada abad 17-18, gerakan intelektual baru yang disebut Shilhak, atau “Pembelajaran Praktis,” dimunculkan oleh beberapa sarjana Konfusianisme Baru yang merasa tidak puas dan disingkirkan dari posisi-posisi penting pemerintahan. Perhatian utama mereka adalah untuk membawa perubahan bagi tata politik dan sosial yang tetap dengan mulai melaksanakan reformasi praktis di bidang pertanian. Beberapa pemikir Shilhak mengajukan berbagai macam gagasan, seperti Yu Hyong-won (1622-1673) yang mengemukakan gagasan mengenai “sistem tanah publik” dimana negara dapat memegang hak kepemilikan tanah tersebut dan dapat memberikan jumlah yang tetap kepada setiap petani; Yi Ik (1681-1836) yang mengemukakan gagasan mengenai “sistem tanah yang seimbang” dimana sistem ini menjamin kepemilikan tanah oleh para petani yang minimal dapat digunakan untuk menjaga penghasilannya; dan Chong Yak-yong (1762-136) yang menekankan penerapan sebuah “sistem tanah desa” dimana tanah dapat dimiliki dan diolah secara bersama oleh masyarakat disetiap unit desa, dan kemudian hasil panennya dibagi berdasarkan kerja nyata setiap individu. Gagasan para pemikir Shilhak mengenai petani yang bekerja mengolah tanahnya sendiri jelas merupakan suatu kemajuan dan menjadi pergerakan reformasi. Dengan demikian, catatan mengenai Konfusianisme Baru sebagai pergerakan politik merupakan gabungan antara kesuksesan dan kegagalan. Sebagai sebuah sistem ide, ideologi Konfusianisme Baru memperjuangkan tata politik dan moral yang meletakkan landasan bagi terciptanya masyarakat yang stabil dan selaras. Sebagai sebuah sistem praktis, negara Konfusian Dinasti Joseon tidaklah sempurna dengan adanya stagnasi ekonomi dan konflik perpecahan faksional yang melemahkan energi dan kreativitas masyarakat. Hasilnya adalah bahwa Dinasti Joseon dengan segera menghadapi kenyataan mengenai bahaya eksternal kekuatan politik, dimana kekuatan-kekuatan besar saling bertarung dan bersaing untuk memegang dominasi dan penaklukan pada abad 19. Dinasti Joseon kemudian menjadi korban imperialisme dan menjadi koloni Jepang pada tahun 1910.

47


Politik dan Pemerintahan Korea

Doktrin politik pelaksanaan pemerintahan selama masa negara Konfusia terbagi dalam tiga tingkat yang masing-masing menekankan Kyongse (untuk mengatur dunia), chemin (untuk menyelamatkan rakyat) dan ch’iguk (untuk memerintah negara). Dengan demikian, kyongse mengacu pada cara mengatur dunia, chemin mengenai bagaimana menyelamatkan rakyat, dan ch’iguk mengenai bagaimana memerintah negara. 2.3 Konfusianisme Sebagai Sistem Politik Semua sifat yang tercakup dalam Konfusianisme sebagai ideologi, dan Konfusianisme Baru sebagai filosofi, menimbulkan kesulitan untuk memisahkan politik dan masyarakat. Kesan ideal negara Konfusian adalah Surat Perintah Keluarga, dimana Kaisar atau Raja ibarat ayah dari negara dan subyeknya bertindak seperti layaknya seorang anak (dari halaman 121). Prinsipprinsip moral dan etika keluarga pada gilirannya harus berlaku pada negara dan masyarakat Konfusian. Sistem politik Konfusian, menurut Robinson, memimpikan “sebuah negara yang harmonis dimana kekuasaan kerajaan diartikulasikan melalui birokrat sipil yang memerintah masyarakat,” mengesahkan “kekuasaan seorang raja ...... (yang didasarkan pada) aturan orang bijak ..... (dan) memilih pegawai berdasarkan sifat baik mereka.” Seberapa jauh Konfusianisme diterapkan sebagai ideologi resmi negara pada masa Dinasti Joseon (1392-1910), dapat dilihat dari pengaruhnya yang sangat luas, tidak hanya mempengaruhi pemikiran kelas penguasa Yangban tetapi juga mempengaruhi cara hidup masyarakat Korea tradisional. Konfusianisme Baru, sebagai formulasi ajaran Konfusianisme yang lebih teoritis dan rasional, memberikan prinsip intelektual, etika dan spiritual yang penting kepada Dinasti Joseon (de Bary dan Haboush, 1984). Dengan demikian, pemikiran dan institusi Konfusianisme Baru, seperti pada saat mereka memegang dominasi di masa lalu, ikut mempengaruhi proses modernisasi Korea dan pembentukan identitas nasional Korea yang sedang mengalami perubahan. Pada awal masa hubungan Korea dengan dunia luar pada tahun 1870, sistem politik yang digunakan oleh Dinasti Joseon Korea yang terakhir adalah sistem kerajaan dan birokrasi negara Konfusian. Korea adalah negara kerajaan tetapi kekuasaan rajanya diperkuat oleh keturunan aristokrasi Yangban yang selalu memonopoli akses terhadap kekuasaan politik melalui rekrutmen para sarjana untuk dapat melayani negara. Pola timbal balik digunakan untuk menetapkan sifat hubungan yang terjalin antara kerajaan dan aristokrasi. Seperti yang diamati oleh sejarawan James Palais, “raja merupakan sumber terbaik legitimasi yang dimiliki oleh para aristokrat dan birokrat, dan oleh karenanya birokrasi serta elite sosial dapat menjamin keabadian kerajaan.” Hasilnya adalah keseimbangan dan persamaan kekuatan antara kerajaan dan

48


Kebudayaan Konfusianisme dalam Urusan Politik Korea

aristokrasi, dimana “keseimbangan kekuatan tidak akan pernah dapat dihancurkan” bahkan jika “negara seimbang dapat beralih dari satu kutub ke kutub yang lain – yaitu dari kerajaan yang relatif kuat menuju aristokrasi yang didominasi oleh birokrat kerajaan.” Negara Konfusian Dinasti Joseon terakhir bersifat khusus, sui generis dari negara birokratis. Yang membuatnya menjadi penting dan patut diperhatikan adalah bahwa, meskipun merupakan birokrasi tingkat tinggi dan terpusat, ada beberapa tingkat pengawasan dan keseimbangan yang digunakan oleh aristokrasi Yangban dalam masyarakat sipil. Seperti yang diamati oleh sejarawan James Palais, “hubungan timbal balik antara struktur pemerintahan kerajaan, birokratis dan terpusat dengan sistem sosial aristokratis dan hierarkis” menghasilkan perdamaian dan stabilitas Dinasti Joseon yang bertahan cukup lama sampai 5 abad. “Tidak ada desentralisasi politik atau perkembangan feodalisme,” seperti pada Tokugawa Jepang, “karena aristokrasi ditetapkan dengan struktur terpusat sebagai birokrat dan menggunakannya untuk mempertahankan hak sosial dan ekonomi istimewa mereka.” “Di sisi yang lain, struktur pemerintahan yang terpusat dan otokratis telah mengaburkan realitas kekuasaan aristokrasi,” dan, “dalam kenyataannya, elite sosial menguasai struktur birokrasi, melemahkan struktur tersebut dan menggunakannya untuk mengawasi kekuasaan kerajaan.” Di luar pengalaman sejarah kehidupan negara Konfusius ini, model dan motif yang unik dari kebudayaan politik Korea berkembang seiring dengan perjalanan waktu. Seperti yang dituliskan oleh Lucian Pye, “kekuasaan politik sangat peka terhadap nuansa kebudayaan” dan oleh karenanya “perbedaan budaya ikut menentukan penetapan pembangunan politik”. Pendek kata, kebudayaan politik Korea dibentuk oleh norma-norma dan nilai-nilai Konfusius.

3.

Modernisasi, Otoritarianisme, dan Demokrasi

Bagaimana cara untuk mentransformasikan tata politik Konfusianisme tradisional melalui pembangunan sosio-ekonomi menjadi suatu sistem politik yang modern dan demokratis telah menjadi tantangan dan sumber inspirasi sebagian besar kalangan intelektual Korea pada abad 20. Sebelumnya, Korea telah membuang suatu kesempatan untuk ikut serta dalam modernisasi dan pembangunan politik demokratis karena kondisi sejarah Korea selama pergantian abad yang menyebabkan hilangnya kedaulatan Korea. Proses sejarah Korea yang “terpotong”, yang diakibatkan oleh aturan kolonial di bawah kekuasaan Jepang dan pembagian wilayah serta pembedaan ideologi negara setelah Perang Dunia II, tidak memberikan kesempatan yang wajar bagi sejarah Korea untuk mengarah ke modernisasi dan demo-

49


Politik dan Pemerintahan Korea

krasi pada era pasca Perang Dunia II. Bagaimanapun, di bawah kondisi kehidupan kenegaraan yang terbagi, tugas pembangunan ekonomi dan modernisasi telah dikembangkan Korea dengan kesuksesan yang patut dipertimbangkan. Di bidang politik, otoritarianisme jelas merupakan motif dominan di Korea Selatan sampai saat ini. Sejak tahun 1987, kehidupan politik di Korea Selatan telah ditransformasikan dalam rangka usaha untuk bergerak ke arah demokrasi, mencapai demokrasi itu dan menjauh dari politik otoritarianisme yang telah berlangsung di masa lalu. Pergerakan menuju demokrasi ini dipimpin oleh pemimpin politik yang reformis, mahasiswa radikal serta kekuatan demokratis. Modernisasi Korea Selatan selama ini, termasuk “keajaiban ekonomi� yang dicapai pada tahun 1970-1980an, telah membentuk kondisi dan dorongan bagi demokratisasi politik dan masyarakat Korea Selatan selama tahun 1987-1993. Oleh sebab itu, modernisasi dan demokratisasi menjadi kekuatan ganda pendorong sejarah politik Korea Selatan pada dekade terakhir abad 20. 3.1 Ekonomi Politik Pembangunan Modernisasi Korea Selatan telah dicapai melalui industrialisasi ekonomi dan strategi ekspansi ekspor serta pertumbuhan ekonomi yang dipimpin oleh negara. Masa dimulainya strategi pembangunan ekonomi Korea Selatan dipengaruhi oleh sejarah. Korea Selatan telah menampilkan kasus sebuah negara yang terlambat menjalankan industrialisasi ekonominya. Proses industrialisasi dan masuknya Korea Selatan ke dalam ekonomi kapitalis dunia ditentukan oleh kondisi geopolitik dan sejarah Korea Selatan sebagai sebuah negara bangsa yang baru merdeka dan terbagi setelah Perang Dunia II. Sebagai negara kapitalis yang sedang berkembang, pada tahun 1960-an Korea Selatan beralih dari strategi ekonomi substitusi impor ke strategi industrialisasi ekonomi berorientasi ekspor dengan ditunjang oleh kekuasaan negara yang sangat kuat. Selama masa ini, dengan adanya dominasi dan kekuatan negara, bila dibandingkan dengan kekuatan pasar, proses pertumbuhan ekonomi Korea lebih merupakan peraturan daripada sebuah perkecualian. “Keajaiban ekonomi� Korea Selatan direncanakan dan dikembangkan oleh rezim otoritarian negara berkembang kapitalis. Negara berkembang kapitalis ditandai oleh adanya campur tangan negara yang kuat dalam pasar untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi, otonomi negara tingkat tinggi terhadap masyarakat sipil, birokrasi yang efisien, dan sebuah rezim otoriter serta model politik otoritarianisme. Rezim otoriter Korea Selatan melakukan tindakan-tindakan untuk menindas dan menyingkirkan sektor umum khusus yang ada dalam masyarakat sipil, dan menolak peran aktif serta partisipasi mereka di

50


Kebudayaan Konfusianisme dalam Urusan Politik Korea

dalam politik. Contohnya adalah pencabutan hak perundingan kolektif dan mobilisasi politik kalangan buruh yang telah terorganisir. Oposisi politik dan rezim berkuasa bertemu satu sama lain secara rutin dan hubungan yang terjalin diantara mereka merupakan hubungan yang bersifat konfrontasi. Rezim otoriter, dengan semua keuntungan yang mereka kuasai, terlalu kuat dan pihak oposisi pada umumnya bersifat lemah dan terpecah. Kini, di saat Korea Selatan telah mencapai “keajaiban ekonomi� industrialisasi, masyarakat sipil telah berkembang menjadi kuat dan sektor sosial menjadi aktif secara politis. Reformasi politik menjadi agenda dalam masyarakat Korea Selatan pasca otoriterisme dan pasca Konfusianisme tahun 1990an. Rezim otoriter birokratis dalam politik tidak dapat lagi diterima oleh masyarakat yang telah mengalami pencerahan. Demokrasi dan rezim pasca demokratisasi kini menjadi utuh (dari halaman 125). Demokrasi Korea baru ini kini memegang legitimasi dan mandat penting untuk menjalankan reformasi politik dan mempersiapkan sebuah masyarakat dan negara makmur dengan masa depan yang cerah. Di era baru demokrasi dimana masyarakat sipil semakin kuat dan aktif, pemerintahan pembangunan Korea Selatan yang kuat tidak lagi dapat dimungkinkan dan terus berjalan. Kembali ke sistem otoriterian masa lalu tidak akan dapat terjadi dan tidak dapat ditolerir oleh masyarakat umum. Transisi yang terus berlangsung menuju suatu periode demokrasi yang lebih kokoh kini menjadi masalah utama Korea Selatan. Dengan berkurangnya peran negara dalam pasar dan meningkatnya serta menguatnya posisi kelompok kepentingan dalam masyarakat sipil, sebuah periode politik yang lebih dinamis dan terbuka, dengan partisipasi dan gerakan warga yang lebih besar, telah dimulai di Korea Selatan. Ini berarti bahwa suatu era pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan kurang dramatis mungkin akan berlangsung di Korea Selatan pada abad 21. Dalam proses transisi demokrasi, perubahan peran negara dan hubungan antara negara dan masyarakat merupakan faktor utama dalam transformasi sejarah. Selama tahap pembangunan ekonomi yang otoriter, otonomi negara sangat tinggi dan negara secara langsung ikut campur tangan dalam masyarakat sipil yang tidak mendapat status politik yang otonom. Namun, selama periode demokratisasi, otonomi negara menjadi terdesak oleh kelompok sosial baru yang sangat aktif dalam masyarakat, seperti kelas pekerja dan warga kelas menengah. 3.2 Demokrasi, Modernisasi, dan Pembangunan Politik kontemporer Korea Selatan telah mengalami serangkaian perubahan politik serta perubahan rezim yang menyesakkan napas. Keruntuhan

51


Politik dan Pemerintahan Korea

pemerintahan otoriter dan penggantiannya oleh demokrasi pada akhir tahun 1980-an merupakan salah satu pembangunan politik yang paling dramatis dalam sejarah modern Korea. Proses perubahan politik dan transisi demokrasi dimulai dengan pemilu Majelis Nasional pada bulan Februari 1985 dan berakhir dengan pemilihan presiden pada bulan Desember 1992 serta pelantikan pemerintahan sipil baru pada bulan Februari 1993. Namun, proses perubahan politik dari otoriterianisme menuju demokrasi tidaklah berjalan dengan mudah dan lancar. Korea Selatan di bawah Roh Tae Woo dapat dilihat sebagai “penandaan awal baru” dalam demokratisasi politik yang berusaha untuk mengakhiri krisis legitimasi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun dalam politik Korea, sedangkan Korea dibawah Kim Young Sam dapat dipandang sebagai masuknya Korea dalam era baru politik “pasca demokratisasi”, dengan pemerintah demokratis sipil baru yang terpilih melalui pemilu dan memiliki legitimasi yang lebih besar. Bila modernisasi dan pembangunan ekonomi dengan mudah dicapai melalui industrialisasi, sebaliknya, modernisasi dan pembangunan politik Korea Selatan melalui demokrasi sangat sulit dicapai masyarakat dan kebudayaan Korea pascaKonfusianisme. Ada perdebatan mengenai apakah tujuan modernisasi dan pembangunan akan dapat dicapai oleh salah satu negara daratan Asia seperti Korea karena sifat budaya dan pengalaman sejarahnya yang unik. Misalnya, beberapa orang beranggapan bahwa modernisasi dan pembangunan tidak begitu sama atau cocok dan bahwa kebudayaan “patrimonial” Korea akan menghalangi pembangunan politik yang sesungguhnya yang akan menuntun pada demokrasi. Sebagai contoh, menurut sosiolog Norman Jacobs, jalan Korea Selatan menuju demokratisasi ditandai oleh apa yang disebutnya sebagai patrimonialisme atau “aturan sosial patrimonial” dimana di dalamnya “ kelompok prajurit yang terorganisir dan terikat oleh ikatan sosial hak, hak istimewa dan kewajiban yang berbeda antara superior dan inferior bukanlah merupakan unit sosial yang utama, melainkan sebuah birokrasi sipil yang anggota-anggota kelas bawahnya menerima kewajiban yang tidak terbatas dari atasannya yang tidak mau, dan biasanya tidak akan, menawarkan hak atau hak istimewa balasan kepada bawahannya.” Dalam pandangan Jacobs, modernisasi adalah “pengenalan alat baru untuk meningkatkan hasil yang dapat dicapai masyarakat, tetapi dengan tujuan bahwa perubahan itu tidak akan menentang, dan dalam kenyataannya justru memperkuat, beberapa tujuan berharga dan prosedur organisasional,” sedangkan pembangunan adalah “maksimalisasi kemampuan masyarakat, tanpa menghiraukan tujuan dan prosedur organisasional masyarakat yang telah ada”. Menurut pandangan ini, Korea Selatan telah mencapai moderni-

52


Kebudayaan Konfusianisme dalam Urusan Politik Korea

sasi ekonomi dan politik tetapi tidak berhasil mencapai tujuan pembangunan politik dan demokrasi. Kebudayaan Konfusius Korea, menurut pandangan ini, memperkuat patrimonialisme yang pada gilirannya akan menentukan bentuk dan pola kebudayaan politik dan praktek institusional Korea. Kekuasaan politik di Korea, menurut Jacobs, merupakan salah satu “alat patrimonial” formal yang dimanfaatkan oleh pemimpin dan para stafnya. Di bawah pengaturan tertentu, kekuatan politik cenderung menjadi sangat terpusat dan birokrasi sebagai alat administatif peraturan menjadi kuat, sedangkan kekuasaan lokal dan organisasi komunal menjadi lemah. Faksionalisme juga semakin berkembang luas dan dapat meresap ke dalam pusat. Sejak kebudayaan merupakan tradisi yang hidup dan terus berkembang secara konstan dan saat warisan masyarakat membentuk “strategi tindakan,” seseorang tidak perlu mengambil posisi filosofis ketetapan kebudayaan, seperti yang dinyatakan dalam penafsiran patrimonial kebudayaan Korea Norman Jacobs. Ada sifat pesimis dan kebulatan tekad mengenai kemungkinan pemerintah Korea dengan “patrimonialisme” dan kebudayaan Konfusiannya akan dapat mencapai tujuan pembangunan politik yang menuntun pada demokrasi. Bahkan, menurut Jacobs, tanggapan Korea terhadap tantangan modernisasi merupakan salah satu reaksi katarsis. Pergerakan Shilhak tidak hanya mencerminkan filosofi katarsis, menurut Jacobs, tetapi senjata Taewon Yushin, dalam menanggapi tekanan internal dan eksternal pada tahun 1960an, merupakan “reformasi katarsis”. Terakhir, pergerakan dan reformasi politik dalam masyarakat Korea, menurut Jacobs, merupakan salah satu “pemberontakan dan perlawanan katarsis” yang ditandai oleh kegagalan revolusi. Jacobs menambahkan, pergerakan reformasi di Korea biasanya dimulai sebagai perbaikan moral melawan korupsi tetapi biasanya berakhir sebagai pemberantasan dan revolusi moral. 3.3. Transisi dan Konsolidasi Demokrasi Sejak oposisi politik dalam masyarakat Korea Selatan pasca Konfusianisme melemah dan terbagi, tantangan yang muncul adalah untuk memperkuat peran dan posisi oposisi politik terhadap negara dan rezim. Hubungan antara rezim dan oposisi dalam politik otoriterian menjadi tidak seimbang dan berat sebelah demi kepentingan partai penguasa. Namun, di bawah demokrasi, pihak oposisi diharapkan dapat memainkan peran yang lebih positif dan konstruktif sebagai penyeimbang keseimbangan sosial, sebuah tugas yang sulit untuk dicapai dalam kebudayaan Konfusian dan masyarakat pasca Konfusianisme.

53


Politik dan Pemerintahan Korea

Semakin tajamnya masalah legitimasi penguasa otoritarian Yu shin Korea, dan rezim penggantinya pada republik kelima dan keenam, dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi Korea Selatan yang sangat cepat pada periode pasca 1962, telah menyediakan tahapan bagi terwujudnya “keajaiban politik” demokratisasi dan pembangunan demokrasi pada tahun 1990-an. Untuk kecenderungan bahwa perjalanan Korea Selatan menuju demokrasi didukung oleh kekuatan eksternal, pengalaman masyarakat Korea yang unik dan sukses dalam pergerakannya menuju demokrasi akan mendorong negara lain untuk ikut bergabung dalam perjalanan bersama menuju demokrasi di masa pasca Perang Dingin ini. Korea Selatan bersama dengan birokrasi-otoriterian yang hampir sama kini menjadi serangkaian karakteristik negara industri baru yang memudahkan proses transisi politik menuju demokrasi. Menurut ilmuwan politik Samuel Huntington, lima faktor berikut ini, dari perspektif yang sangat luas dan komparatif, memegang tanggung jawab secara umum untuk mendorong perubahan demokrasi pada tahun 1960-an dan 1970-an:  semakin tajamnya masalah legitimasi sistem otoriterian  pertumbuhan ekonomi global tahun 1960-an yang tidak pernah terjadi sebelumnya  perubahan doktrin dan aktivitas Gereja Katolik yang ketat  perubahan kebijakan aktor eksternal yang kuat seperti Amerika Serikat dan Komunitas Eropa  efek “bola salju” atau demonstrasi transisi demokrasi yang pertama terhadap pengikut yang berikutnya. Sebagian besar faktor-faktor ini juga terjadi dalam demokratisasi Korea Selatan, bahkan pengalaman demokratisasi Korea Selatan dari tahun 19851993 lebih unik dan berbeda dari pengalaman demokratisasi negara lain. Warisan kebudayaan Korea Selatan sebagai masyarakat pasca Konfusianisme telah menyebabkan timbulnya perbedaan dalam hal model dan pola transisi demokrasi. Sebagai contoh, warisan kebudayaan Konfusius bagi pendidikan dan hierarkhi mempengaruhi cara penyelesaian dan pengaturan konfrontasi antara rezim dan oposisi. Nilai-nilai Konfusianisme yang lain, seperti penghormatan atas kekuasaan dan disiplin, tidak diragukan lagi telah memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi maupun politik Korea Selatan. Namun, tingkat dan bentuk kontribusi yang tepat setiap norma Konfusianisme sulit untuk diwujudkan secara meyakinkan. Beberapa norma budaya Korea, seperti penghormatan kepada ketua-ketua patriarkal, jelas ada lebih dahulu sebelum Konfusianisme. Agama Budha Korea terlalu mengagungkan pelayanan terhadap orang tua dan para pengganti orang tua. Apa yang

54


Kebudayaan Konfusianisme dalam Urusan Politik Korea

telah dicapai dengan sukses oleh Konfisuanisme Baru hanyalah memperkuat dan mewujudkan beberapa praktek kebudayaan asli ini. Agenda reformasi yang sedang berjalan untuk membangun “Korea Baru” dalam “Abad Baru” kelihatannya sesuai dengan tradisi intelektual Konfusius masa lalu tentang pembentukan tata ekonomi dan politik “moral”. Hal ini sejalan dengan tantangan intelektual bagi usaha Korea untuk mencari identitas baru selama masa Perang Dingin. Situasi Korea Selatan pasca Konfusianisme di bawah pemerintahan Presiden Kim Young Sam, hampir sama dengan masa Dinasti Joseon yang dimulai pada tahun 1392 dalam hal semangat dan keyakinan moral terhadap pembentukan tata politik baru untuk abad baru, bahkan jika tidak ada dogma atau rencana pembangunan sosial yang setara dengan Konfusianisme Baru Chong To-jon. Yang secara logis akan mengikuti proses transisi demokrasi adalah konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi adalah agenda kebijakan reformasi pada tahap pasca transisi pembangunan demokrasi. Agenda politik Korea Selatan saat ini terus berlanjut untuk mewujudkan dan mencapai demokrasi tidak hanya di bidang politik tetapi juga dalam masyarakat selama masa krisis politik Korea Selatan pasca transisi. Seberapa kuatkah rezim demokrasi baru pimpinan Presiden Kim Young Sam untuk dapat tetap menduduki jabatannya sampai tahun 1997? Jawaban atas pertanyaan ini akan tergantung pada kesuksesan atau kegagalan agenda reformasi tertentu yang saat ini tengah dilaksanakan. Proses konsolidasi demokrasi, seperti yang dicatat oleh J.S. Valenzuela, “terdiri dari pengurangan institusi, prosedur, dan pengharapan yang bertentangan dengan kerja minimal rezim demokratis”. Pengurangan praktek-praktek lama masa otoriterian melalui pelembagaan reformasi akan memudahkan pemerintahan demokratis yang baru terpilih untuk mengembangkan lebih jauh pembangunan demokrasi. Agenda reformasi pemerintahan presiden Kim Young Sam yang terus berjalan berkisar pada tiga program kebijakan spesifik tersebut. Hal ini mendorong langkah-langkah penguatan demokrasi, pembentukan tata moral dan politik baru, dan pencapaian persatuan dan reunifikasi Korea di masa depan. Langkah pertama, pembentukan pemerintahan demokratis, dapat diselesaikan dengan mengurangi korupsi politik dan tindakan tidak bermoral pegawaipegawai pemerintahan, langkah kedua, perbaikan tata moral dan sosial, dilakukan dengan cara memperbaiki kesalahan-kesalahan dan ketidakteraturan yang terjadi di masa lalu, dan langkah ketiga, peningkatan persatuan dan keselarasan rakyat, dilakukan dengan cara mempersiapkan Korea Selatan untuk menghadapi tantangan baru di abad 21 melalui internasionalisasi dan reunifikasi Korea.

55


Politik dan Pemerintahan Korea

4.

Modernisasi Korea dan Warisan Kebudayaan Konfusius

Warisan Konfusianisme dalam kebudayaan Korea merupakan bukti nyata dalam proses modernisasi dan pembangunan politik Korea. Konfusianisme, bermula sebagai serangkaian prinsip dan ritual yang ditujukan untuk menyelaraskan hubungan antar manusia, kini lebih menjadi “tuntunan tingkah laku sosial.” Sebagai teori politik, Konfusianisme menyediakan sebuah metode pemerintahan yang bertumpu pada para sarjana atau elite terdidik dan teknokrat dalam konteks modern. Konfusianisme merupakan teori elite yang menyarankan suatu tatanan yang nyata mengenai masyarakat dan pembagian kelaskelas sosial. Sebagai pandangan dunia, Konfusianisme jelas lebih sekuler dan berorientasi praktis sebagai pengganti dogma atau agama dunia yang eksklusif. Keputusan Konfusianisme apa yang kemudian menjadi faktor penunjang bagi modernisasi sosio-ekonomi dan politik Korea Selatan sebagai salah satu negara Asia Timur? Apakah warisan kebudayaan Konfusius dalam berbagai bentuk memegang tanggung jawab atas pertumbuhan ekonomi dan modernisasi Korea Selatan yang berjalan dengan cepat? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus menghindari, seperti yang dikemukakan oleh Tu Wei-ming, penempatan hubungan timbal balik langsung macam apa pun antara Konfusianisme dan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, kita harus mengetahui “efek sebuah komitmen nyata dan teliti yang cenderung melemahkan etika Konfusius Baru dalam proses pembangunan” seperti yang terjadi pada elite aristokrat Yangban dalam pemerintahan Joseon. Namun, seperti yang disarankan oleh Tu, “saat orientasi masyarakat beralih menuju modernisasi,” banyak norma dan nilai-nilai Konfusius, “kini menjadi terinternasionalisasikan dan tidak lagi nyata, dan dapat menyediakan suatu basis budaya bagi transformasi ekonomi yang sangat dibutuhkan.” Pendek kata, efek Konfusianisme bagi pertumbuhan ekonomi dan modernisasi Asia Timur merupakan contoh klasik “akibat yang tidak disengaja,” “hampir sama dengan efek Calvinisme” dan semangat etika Protestan pada masa awal kapitalisme Barat. Elite teknokrat Korea Selatan dan angkatan kerja terdidik yang menjadi perkecualian kemudian menjadi “akibat yang tidak disengaja” warisan kebudayaan Konfusius Korea Selatan. Benar bahwa banyak “warga Korea Selatan yang ambisius kini membaca Paul Samuelson dan Martin Feldstein,” sebagai ganti kegiatan mereka membaca Mensius dan Zu Xhi, seperti yang disarankan secara pasti oleh Eckert. Tetapi, hal ini tidak menghilangkan fakta bahwa “penghormatan atas pendidikan dan komitmen untuk peningkatan diri sendiri melalui proses belajar masih sama seperti masa Dinasti Joseon.” Pandangan dunia Konfusian seperti itu telah menemukan penyesuaian modernnya di negara-negara Asia Timur seperti China, Korea dan Jepang karena kayanya warisan kebudayaan Konfusius di wilayah Asia Timur. Konfu-

56


Kebudayaan Konfusianisme dalam Urusan Politik Korea

sianisme di wilayah Asia Timur, seperti yang diamati oleh Rozman, menampilkan “serangkaian cita-cita, dibarengi dengan alat untuk mencapai cita-cita tersebut pada tingkat individu, masyarakat dan negara”. Meskipun semua negara Asia Timur dengan seimbang menyerap dan mengajarkan nilai-nilai dan konsep kekuasaan Konfusius, masing-masing negara memiliki sendiri pengalaman sejarah dan pola penyesuaian budaya yang unik. Misalnya, Konfusianisasi masyarakat Korea tradisional lebih sempurna dan giat dalam hal penerapan dan penyesuaian dogma bila dibandingkan dengan penerapan dan penyesuaian dogma dalam masyarakat Jepang dan China. Pendekatan dan versi Korea mengenai kekuasaan Konfusius secara alami berbeda dengan cara dan pendekatan yang digunakan oleh China dan Jepang. Hasilnya, menurut seorang pengamat, Korea dapat memperoleh “paduan aturan yang berbeda dan kurangnya larangan-larangan yang membuat kebudayaan politik Korea sedikit berbeda dari adat istiadat China dan Jepang yang tercampur secara sederhana”. Di Korea, menurut Pye, “Konfusianisme memberi sumbangan bagi konsep kekuasaan yang menekankan kegunaan pendekatan Jepang dan rasa kebijaksanaan China, suatu paduan yang menghasilkan sebuah gaya tindakan yang berani mengambil resiko. Seperti yang ditulis oleh Pye: “Secara historis, politik Korea terlalu banyak dihabiskan dengan pertentangan faksional untuk memperbolehkan berkembangnya khayalan China yang menyatakan bahwa semua politik dapat diarahkan pada pencapaian negara harmonis yang stabil. Rakyat Korea pernah terlalu serius menyingkap Konfusianisme dan oleh karena itu menjadi percaya bahwa kebijaksanaan dapat dan akan dihadiahkan; oleh sebab itu, elit sanggup mengambil resiko. Namun, pada saat yang sama, ketidakpastian mengenai untuk siapa elit yang sah menciptakan sebuah negara yang tidak aman secara dinamis dan menghasilkan orangorang yang bergerak sendiri-sendiri, memiliki kecenderungan pengambilan resiko yang oleh Weber dikaitkan dengan pembaharuan kapitalisme Protestan.” Beberapa perwujudan versi unik kebudayaan Konfusianisme Korea ini merupakan bukti nyata proses politik dari politik kontemporer Korea Selatan, seperti yang telah disebutkan di atas, dalam hal ideologi dan institusi politik. Terakhir, apakah peran yang dimainkan oleh warisan kebudayaan Konfusius terhadap tataran politik tertentu transisi dan konsolidasi demokrasi Korea? Seseorang tidak dapat menggambarkan dengan jelas hubungan sebab akibat antara Konfusianisme dan demokrasi, seperti hubungan sebab akibat antara Konfusianisme dan keajaiban ekonomi. Yang lebih sama, mo-

57


Politik dan Pemerintahan Korea

dernisasi yang dihasilkan oleh keajaiban ekonomi telah menyediakan suatu konteks yang dapat menjadi asal munculnya keajaiban politik dari demokrasi dan pembangunan, selain pesimisme budaya terhadap patrimonialisme Jacobs dan nilai-nilai tradisional Konfusianisme. Lebih lanjut, ada perdebatan mengenai apakah modernisasi menuntun pada demokrasi dalam konteks Korea. Sebagai contoh, James Cotton berpendapat, seperti yang dikemukakan juga oleh Lucian Pye, bahwa “tuntutan masyarakat bagi partisipasi politik dan kesediaan elit untuk mengakui partisipasi politik masyarakat tersebut” lebih merupakan akibat modernisasi. Bagaimanapun, penting untuk mengingat bahwa pembangunan hanya menjelaskan masa pergerakan suatu negara menuju demokrasi, bukan menjelaskan mengenai kepastian pergerakan tersebut. Dengan kata lain, kita dapat berhenti melakukan kesalahan dalam menentukan, misalnya ekonomi menentukan politik. Untuk kecenderungan bahwa Asia Timur dikenal sebagai “wilayah mendalam perkecualian,” (dari halaman 133) seperti yang dinyatakan oleh Chalmers Johnson, kita harus menghindari untuk memakai Asia Timur modern sebagai sebuah tempat sampah bagi teori-teori Barat mengenai pembangunan ekonomi dan modernisasi politik,” terutama saat mendekati “subyek teori kuat seperti demokrasi”. Masyarakat Korea Selatan pasca Konfusius, dengan “keajaiban ekonomi”nya yang saat ini telah tercapai, menjadi mudah terpengaruh untuk tahap modernisasi dan pembangunan kedua melalui penguatannya terhadap masyarakat sipil dan perubahan dalam hubungan negara dengan masyarakat. Transformasi peraturan Korea Selatan yang kedua, melalui suatu “keajaiban politik” demokrasi, kini terbentang di tahun 1990-an. Terlihat jelas bahwa masyarakat dan negara Korea Selatan pasca Konfusianisme akan memperoleh gaya serta pola modernisasi dan pembangunan politiknya sendiri di abad 21. Dalam proses pembentukan demokrasi ini, Korea Selatan berharap dapat mencapai cita-cita dan nilai-nilai modernisasi yang meliputi, sebagian di antaranya, pertumbuhan ekonomi yang dinamis, keseimbangan ekonomi dan keadilan sosial yang lebih besar, struktur sosial yang beraneka ragam dan berbeda, kebudayaan demokrasi politik sipil, keterbukaan dan toleransi yang lebih besar, dan suatu lingkungan eksternal yang mencakup perdamaian dan stabilitas dalam wilayah tersebut. * Naskah aslinya berjudul “Peninggalan Kebudayaan Konfusius dan EkonomiPolitik Korea Selatan: Sebuah Penafsiran (The Legacy of Confucian Culture and South Korean Politics and Economics: an Interpretation)”. Naskah ini dipilih oleh Prof. Dr. Mohtar Mas’oed dan diterjemahkan oleh Tim Editor (Lenny Dianawati).

58


BAB III PEMERINTAHAN

59


Politik dan Pemerintahan Korea

60


SISTEM BIROKRASI KOREA Mohtar Mas’oed (Universitas Gadjah Mada, Indonesia) Yang Seung Yoon (Hankuk University of Foreign Studies, Korea)

Pendahuluan Dari segi sejarahnya, rakyat Korea menerima keunggulan negara/pemerintah atas rakyat tanpa merasa keberatan sama sekali sebab pada saat itu konsep mengenai masyarakat sipil belum ada di Korea. Oleh karena itu, hubungan antara negara dan rakyat terwujud dalam bentuk hubungan patronclient, yaitu hubungan antara atasan dan bawahan. Berdasarkan sifat keunggulan negara dan pemerintah itu, kekuatan politik yang ada dalam sistem kenegaraan mengontrol dan memelihara semua kalangan masyarakat sipil dengan paksa. Alasan yang mendasari pemilikan keunggulan oleh kerajaan atau negara yang luar biasa itu sangat bervariasi. Beberapa yang terpenting diantaranya adalah pengaruh kebudayaan ajaran Konfusius dalam tradisi masyarakat, sisasisa pemerintahan penjajahan Jepang, struktur politik Semenanjung Korea yang terbagi menjadi dua negara Korea, dan masa pemerintahan militer yang berlangsung lama. Berdasarkan hal-hal tersebut, sistem birokrasi Korea pernah mengalami perubahan ke dalam berbagai bentuk berdasarkan sifat pemerintahan dan kebutuhan lingkungan politik. Republik Pertama di Korea jelas memperlihatkan dan menonjolkan sistem birokrasi yang berfungsi untuk memelihara sistem politiknya sedangkan sistem birokrasi di masa Republik Ketiga, Keempat, dan Kelima bersifat keras dalam hal paksaan dan pengembangan negara dan bangsa. Setelah mengalami revolusi sipil pada bulan Juni 1987, sistem birokrasi sudah memasuki era baru dalam hal perubahan sifat sistem itu sendiri. Akan tetapi, keadaan politik yang masih rusuh menyebabkan kalangan pegawai pemerintah dan birokrat tidak mau aktif bekerja melainkan hanya menerima perintah dari atasan saja. Hal itu diperkirakan menjadi sebuah kecenderungan penyakit dalam sistem birokrasi Korea di masa transisi.

61


Politik dan Pemerintahan Korea

Sistem Birokrasi di Masa Republik Pertama Perekonomian dan kekayaan nasional yang dimiliki oleh bangsa Korea di masa republik pertamanya hanya terdiri dari penjualan harta benda yang ditinggalkan oleh penjajah Jepang dan bantuan keuangan asing. Kekayaan nasional itu akan dibagikan hanya kepada beberapa pengusaha dalam bentuk ransum istimewa. Oleh karena itu, semua kegiatan dalam masyarakat sipil sangat tergantung pada sistem birokrasi dan jelas memperlihatkan sifat keunggulan negara dan pemerintah. Sistem birokrasi di masa Republik Pertama Korea itu merupakan sistem birokrasi yang berfungsi untuk memelihara struktur politik pemerintah dan sistem politik. Tujuan dasar dan terpenting sistem birokrasi seperti itu adalah untuk memelihara keamanan struktur politik dan ketertiban masyarakat sipil. Pendek kata, sistem birokrasi pada saat itu tidak sempat untuk menciptakan sistem masyarakat sipil yang lebih makmur baik dari segi ekonomi maupun segi sosial lainnya.

Sistem Birokrasi di Masa Republik Ketiga, Keempat, dan Kelima Sistem birokrasi Korea pada awal masa Republik Ketiga sebagian besar sudah ditetapkan dan sistem birokrasi itu terus dijalankan sampai pada masa akhir Republik Keempat dan dikembangkan lagi pada masa Republik Kelima di Korea. Sistem birokrasi yang dipergunakan selama masa tiga republik itu didasarkan pada budaya militer. Sifat negara, pemerintah, maupun pegawai pemerintahannya jauh lebih menekankan sifat otoritarian sehingga golongan birokrasi itu semakin mantap menempati posisi tersendiri dalam struktur kemasyarakatan. Sementara itu, kalangan birokrat terus memperdalam fungsinya menangani proses pemupukan modal dalam usaha industrialisasi yang dipimpin secara kuat oleh pemerintah. Dengan demikian golongan birokrasi itu dapat berfungsi sebagai kekuatan pemimpin di masa industrialisasi Korea. Di masa industrialisasi dan modernisasi Korea, meskipun ada banyak hal yang harus dikritik, sistem birokrasi dan kalangan birokrat Korea telah memegang fungsi dan peranan penting dalam memimipin masyarakat sipil yang semakin cepat berkembang.

Sistem Birokrasi di Masa Transisi Demokrasi Memasuki era Republik Keenam Korea sampai dengan masa pemerintah sipil, sistem birokrasi mengalami perubahan untuk mengganti sistem otoriter dan menyesuaikan diri menjadi sistem birokasi yang baru. Di masa pemerintahan Presiden Roh Tae Woo, sistem otoriter yang pernah dikuasai secara langsung

62


Sistem Birokrasi Korea

oleh budaya militeristik semakin dihilangkan, sementara pemerintah sipil secara positif mencoba melakukan reformasi sistem politik dan restrukturisasi. Kecenderungan seperti itu menunjukkan adanya perubahan dari penekanan pada keunggulan negara dan pemerintah di masa Republik Pertama sampai Republik Kelima Korea menuju masa terciptanya hubungan baru yang memungkinkan bagi adanya partisipasi dan pembagian secara adil antara birokrat dan masyarakat sipil.

Permasalahan dan Tantangan ke Depan Saat ini semua negara di dunia memiliki sistem birokrasi. Namun dalam pelaksanaan demokrasi dan sistem politik modern, sistem birokrasi seringkali dikritik karena mengandung unsur-unsur negatif, seperti misalnya korupsi di mana sebagian besar korupsi terjadi dalam sistem birokrasi atau justru sistem birokrasi itu sendiri yang mengandung korupsi. Sementara itu, fungsi dan peran birokrasi sangat penting bagi upaya demokratisasi Korea, namun akibat yang ditimbulkan oleh fungsi dan peran itu seringkali berlawanan dengan arah demokratisasi. Sistem birokrasi Korea sampai saat ini tetap didasarkan pada ajaran Konfusius yang berasal dari masa Dinasti Joseon. Hal ini menyebabkan sistem birokrasi Korea masih mengandung permasalahan yang sangat rumit dan tradisi Korea itu masih memperlihatkan kewibawaannya sampai sekarang. Sebagai contoh, hal ini terlihat dalam konsep kesadaran Kwan jon min bi, yaitu suatu konsep yang menetapkan bahwa sistem birokrasi dan pegawai pemerintah harus dihormati dan kedudukan masyarakat sipil harus berada di bawah sistem birokrasi dan pegawai pemerintah. Pendek kata, untuk mengembangkan sistem birokrasi Korea, yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menghilangkan pikiran atau tradisi seperti itu dan mengarah pada prosedur yang didemokratisasikan. Salah satu kritik yang paling serius terhadap sistem birokrasi korea adalah bahwa kalangan birokrat mengangkat dirinya sendiri sebagai kalangan yang lebih unggul daripada kalangan masyarakat sipil lainnya. Sementara itu, kalangan birokrat seringkali bertindak seperti layaknya bawahan yang menerima perintah dari kekuatan politik tertentu.1 1

Kalau memilih contoh dari Taiwan. Di Negara itu terdapat 5 badan pemerintahan, yaitu badan eksekutif, legislatif, yudikatif, badan pemeriksa keuangan, dan badan pengangkatan dan pemberhentian pegawai pemerintah. Badan Kepegawaian Negara itu memeriksa dengan tegas penyalahgunaan hak khusus pegawai pemerintah. Pegawai pemerintah dapat independen dan dijamin posisinya, namun mereka tidak boleh menyalahgunakan hak khusus mereka. Hal itu juga terjadi di Singapura.

63


Politik dan Pemerintahan Korea

Meluasnya kalangan birokrat dan kekuatan sistem birokrasi pernah mengurangi kemauan masyarakat sipil untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri. Sebaliknya, mereka kemudian cenderung semakin bergantung kepada pemerintah. Dalam kecenderungan itu, seiring dengan semakin meningginya kemauan rakyat umum terhadap sistem birokrasi, rasa ketidakpuasan rakyat umum terhadap sistem birokrasi juga semakin meningkat. Korupsi dalam kalangan birokrasi tidak dapat berkurang karena konsep pertanggungjawaban bersama yang ada dalam masyarakat sipil masih belum dapat membedakan antara kewajiban dan pertanggungjawaban. Organisasi birokrasi yang memiliki tanggung jawab bersama dalam masyarakat sipil dapat dengan mudah melibatkan diri dalam berbagai macam korupsi. Organisasi-organisasi birokrasi tersebut adalah polisi, pegawai perpajakan, organisasi yang bertugas dalam perijinan urusan masyarakat sipil, organisasi yang bertugas untuk mengontrol kehidupan rakyat umum, organisasi yang mengontrol fungsi pasar, organisasi yang melakukan kontrak dan pembelian, dan sebagainya, termasuk juga Badan Penyuplai Pusat yang sama dengan Bulog di Indonesia. Berkembangnya masyarakat sipil yang terdidik dan semakin bertambah banyaknya elite sosial mendorong sering diselenggarakannya gerakan masyarakat untuk menjernihkan hubungan antara masyarakat sipil dan organisasi-organisasi yang berkaitan dengan fungsi pemerintah Korea. Namun sampai sekarang, di mata rakyat umum, gerakan- gerakan itu belum memuaskan dan masih jauh dari konsep masyarakat sipil yang demokratis. Sampai sekarang, sistem birokrasi Korea masih belum mencapai tujuan yang memuaskan baik bagi kalangan birokrasi itu sendiri maupun kalangan masyarakat umum. Salah satu alasan penting yang lain ialah sistem badan eksekutif masih memiliki sifat ketidakefisienan dan urusan antara masyarakat sipil dan badan eksekutif masih belum memperlihatkan perbedaan.

Penutup: Upaya Perbaikan Sistem birokrasi Korea kini memiliki dua tugas yang sangat penting. Yang pertama, sistem birokrasi itu harus melepaskan keinginannya untuk menguasai rakyat umum, bahkan sistem birokrasi itu harus memberikan bantuan kepada anggotanya maupun masyarakat sipil dan pencapaian tujuan-tujuan bersama, baik untuk kepentingan umum maupun keuntungan pribadi ditempuh melalui prosedur partisipasi rakyat umum. Yang kedua, sistem birokrasi Korea seharusnya mencoba untuk mengarah pada sudut pandang yang baru agar dapat melepaskan diri dari sistem kewibawaan dan konsep kwan jon min bi yang digunakan di masa lalu. Selanjutnya, untuk memperbaiki arah sistem birokrasi Korea, terlebih dahulu harus

64


Sistem Birokrasi Korea

diciptakan suatu kekuatan otonomi pribadi pegawai pemerintah dan juga keadaan lingkungan yang menguasai pegawai pemerintah tersebut serta memberikan pula tanggungjawab yang harus diembannya. Selama ini sistem birokrasi Korea sangat tertutup non-demokratis. Alasannya adalah karena mereka yang berada di dalam sistem birokrasi itu memiliki konsep dan kesadaran bahwa mereka mempunyai hak khusus. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, reformasi terhadap berbagai kalangan harus diarahkan. Untuk memperoleh kejelasan mengenai prosedur penyelenggaraan urusan birokrasi, pegawai pemerintah berusaha sedapatnya untuk meningkatkan fungsi dan peranannya sebagai pelayan negara melalui usaha peningkatan kemampuan serta usaha penciptaannya. Sementara itu, rakyat dalam masyarakat sipil juga ikut serta secara positif dalam prosedur birokrasi demi kepentingan diri sendiri dan mengawasi kegiatan pegawai pemerintah. Pendek kata, urusan dalam sistem birokrasi berkaitan dengan urusan sehari-hari anggota masyarakat sipil sehingga setiap anggota sistem birokrasi tersebut sangat diharapkan memiliki konsep dan kesadaran sebagai tuan rumah. Penulis : Mohtar Mas’oed Ph.D. (Ohio State University, Amerika Serikat), Profesor Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. E-mail : mohtar@ugm.ac.id Yang Seung Yoon: Ph.D.(Universitas Gadjah Mada, Indonesia), dosen senior pada Jurusan Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies. E-mail: syyang@hufs.ac.kr

DAFTAR PUSTAKA Ahn Byung Man. 1999. Perbandingan Birokrasi, Seoul: Penerbit Ji Sung Sa. Bae Dong Sung. 1990. Politik Korea dan Permasalahannya, Seoul: Hak Go Jae Press. Lee Chung Hee.1998. Politik Korea, Seoul: Hankuk University of Foreign Studies Press. Kim Young Rae. 2003. Birokrasi Korea dan Permasalahannya, Suwon: A-Ju University Press. Park Jae Kyu dkk. 2000. Urusan Politik dan Dua Korea, Masan: Kyungnam University Press. Yang Seung Yoon. 2007. Politik, Ekonomi, Masyarakat Korea: Pokok-pokok Kepentingan dan Permasalahan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

65


Politik dan Pemerintahan Korea

BADAN LEGISLATIF KOREA Mohtar Mas’oed (Universitas Gadjah Mada, Indonesia) Yang Seung Yoon (Hankuk University of Foreign Studies, Korea)

Pendahuluan Korea memiliki 3 badan kenegaraan seperti yang terdapat di negaranegara demokratis di dunia. Satu di antara badan kenegaraan itu adalah badan legislatif. Walaupun ada pergantian sistem, fungsi dan struktur dasar badan legislatif Korea terus menerus dikembangkan sampai sekarang. Badan legislatif Korea atau yang biasa disebut DPR pertama kali dibentuk pada tanggal 31 Mei 1948. Masa jabatan anggota DPR Korea sepanjang sejarahnya bervariasi, antara 2 tahun (pada masa DPR Korea pertama yang disebut DPR Pembentuk UUD Korea) sampai 6 tahun (pada masa pemerintahan Republik Kelima) namun pada umumnya masa jabatan anggota DPR Korea 4 Tahun. DPR kelima pada masa pemerintahan Republik Kedua di Korea (29 Juli 1960–16 Mei 1961) menetapkan sistem dua majelis yaitu Min ui won dan Cham ui won yang sama dengan Majelis Rendah dan Majelis Tinggi. Kecuali dalam masa yang singkat itu, Korea tetap memelihara sistem satu perwakilan rakyat. Selama berlangsungnya sejarah legislatif Korea, pembentukan majelis dan anggotanya untuk kelima kalinya.

Pembentukan dan Fungsi Badan Legislatif di Masa Republik Pertama dan Kedua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pertama Korea disebut sabagai DPR Pembentuk Undang-Undang. Fungsi dan peran DPR pertama kali itu sangat luas. Selain memiliki kekuatan dan fungsi sebagai badan legislatif, DPR pertama Korea mempunyai hak untuk memeriksa pemeritahan, memanggil menteri kabinet untuk memberikan keterangan mengenai kebijakan pemerintah, membuka rapat umum, mendakwa presiden dan pejabat tinggi pemerintahan, memberikan persetujuan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat tinggi pemerintahan, melakukan penyesuaian kebijakan reformasi dan hak untuk memilih presiden.

66


Badan Legislatif Korea

Bila dibandingkan dengan kekuatan DPR pertama yang sangat luas dan berkuasa itu, DPR Korea selanjutnya terus menerus melemah. Pada tahun 1952 dan 1954, DPR Korea, atas pelaksanaan kepala negara, terlibat dalam penetapan peraturan yang tidak sah. Saat itu Korea sedang berada dalam masa berlangsungnya Perang Korea. Dalam penetapan yang tidak sah oleh DPR pada tahun 1952, DPR pada masa ini kehilangan hak untuk memilih presiden dan fungsinya untuk mengendalikan kegiatan presiden dan aktivitas badan eksekutif sangat dikurangi. Sedangkan penetapan yang tidak sah oleh DPR pada tahun 1954 membuka kemungkinan bagi presiden pertama Korea, Rhee Syngman, untuk dipilih menjadi kepala negara seumur hidup sama seperti halnya pengangkatan Presiden Sukarno sebagai presiden seumur hidup Indonesia pada tahun 1960an. Selain itu, DPR menetapkan sistem referendum (yang dapat digunakan dengan sengaja untuk membentuk pendapat umum) dan menghapuskan hak tidak setuju yang dimiliki oleh perdana menteri dan menteri-menteri dalam kabinet. Oleh karena itu, DPR di masa Republik Pertama semakin lama berada di bawah pengawasan Partai Liberal. Hak dan kekuasaan DPR sebagai badan legislatif juga dihapuskan. Setelah memasuki masa Republik Kedua, hak dan kewajiban DPR Korea hidup kembali. Menurut UUD baru, sistem legislatif Majelis Tunggal diganti menjadi sistem Dua Majelis. Anggota Majelis Rendah dipilih dari daerah pemungutan berskala kecil dengan jumlah satu orang dari setiap daerah pemungutan dengan masa jabatan selama 4 tahun. Anggota Majelis Tinggi dipilih sebanyak beberapa orang dari daerah pemungutan yang berskala besar dengan masa jabatan selama 6 tahun. Pada masa Republik Kedua, peran dan kewibawaan DPR Korea sangat diperkuat sebab struktur kekuasaan dan pemerintahan Korea diganti dari sistem kepresidenan menjadi sistem kabinet. Pada saat itu, baik kepala negara yang haknya bersifat simbolis maupun perdana menteri yang memiliki hak nyata dalam lingkungan politik dipilih dari DPR.

Pembentukan dan Fungsi Badan Legislatif (Masa Republik KetigaKeenam) Setelah kudeta yang terjadi pada tanggal 16 Mei 1961, melalui perubahan UUD, Repulik Ketiga menghidupkan kembali sistem kepresidenan dan sistem Majelis Tunggal. Sejak saat itu, sampai akhir masa Republik Kelima, sistem legislatif mengalami kemerosotan peran dan fungsi. Hal itu jauh lebih buruk daripada yang terjadi pada masa Republik Pertama sebab negara tetap me-

67


Politik dan Pemerintahan Korea

miliki sifat negara eksekutif. Itu berarti eksekutif memiliki semua hak dan keistimewaan sementara hak dan keistimewaan badan-badan lain semakin berkurang dan pada akhirnya menjadikan Korea semakin mengarah kepada negara administratif. UUD di masa Republik Ketiga Korea sangat menjatuhkan martabat rapat kabinet dengan tujuan untuk memperkuat kekuatan presiden. Oleh karena itu, menteri tidak berhak untuk menetapkan kebijakan tetapi hanya berhak untuk merundingkannya saja. Pengangkatan Perdana Menteri juga tidak perlu disahkan melalui DPR. Setelah dimulainya sistem Yu Shin dan masa Republik Keempat pada tahun 1972, sistem parlementer jauh lebih banyak menambahkan sifat-sifat negara administratif. Di masa Republik Keempat, sistem pemilihan angggota DPR diubah menjadi sistem daerah pemungutan berskala menengah di mana setiap daerah pemungutan memilih 2 orang anggota DPR, yaitu seorang dari partai pemerintah dan seorang yang lain dari partai oposisi. Selain itu, sepertiga anggota DPR akan dipilih oleh kepala negara. Dengan demikian, partai pemerintah secara otomatis memperoleh lebih dari dua pertiga kursi DPR. Hal seperti itu juga terlihat di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Suharto. Kursi bagi perwakilan militer dipilih sepenuhnya oleh kepala negara. UD dalam sistem Yu Shin itu juga menghapuskan hak DPR untuk meneliti kekuatan badan legislatif dan membatasi pembukaan DPR sampai hanya 150 hari per tahun. Dengan demikian, kegiatan, fungsi, dan peranan badan legislatif dimasa sistem Yu Shin sangat dikurangi dan sangat tidak bisa berkembang. Fungsi dan kewibawaan badan legislatif pulih pada masa Republik Kelima. Sistem pengangkatan anggota DPR oleh presiden dihapuskan. Sebaliknya, UUD Republik Kelima menetapkan konstituensi nasional dan mengangkat sejumlah besar anggota DPR dari konstituensi nasional. Sementara itu hak DPR untuk mengawasi kegitan-kegiatan pemerintah dipulihkan kembali. Akan tetapi, dua pertiga anggota DPR yang terpilih dari konstituensi nasional itu tetap diberikan kepada partai pertama yaitu partai pemerintah. Hal itu berarti walaupun keberadaan partai oposisi telah diakui, partai oposisi itu tetap berada dibawah kontrol ketat pemerintah. Pada saat berlangsungnya Republik Kelima, partai oposisi seperti Partai Demokrasi Korea dan Partai Rakyat berfungsi sebagai partai politik tetapi kegiatannya sangat dibatasi dan partai politik menjadi hal yang sia-sia saja. UUD di masa Republik Keenam memperlihatkan sifatnya sebagai UUD yang telah sedikit demokratis meski hanya sebatas kulit luarnya saja. Sementara itu, hak khususnya yang dinikmati oleh partai pemerintah hampir se-

68


Badan Legislatif Korea

muanya sudah dihapuskan karena jumlah kursi dalam DPR yang dimiliki oleh partai pemerintah lebih sedikit jumlahnya daripada yang dimiliki oleh partai oposisi. Oleh karena itu, hak untuk meneliti kebijakan nasional dan mengawasi aktivitas pemerintah dihidupkan kembali. Pemulihan kembali hak DPR itu menjadi dasar bagi DPR untuk memanggil mantan presiden Chun Doo Hwan dalam rapat tanya jawab khusus dengan anggota DPR.

Hubungan antara Badan Eksekutif dan Badan Legislatif Hubungan antara badan eksekutif dan badan legislatif dapat berkembang maju apabila badan legislatif dapat mengontrol badan eksekutif. Walaupun mengalami perubahan, DPR Korea memiliki hak-hak khusus untuk mengontrol badan eksekutif. Beberapa hak khusus diantaranya adalah hak untuk memeriksa anggaran negara yang telah dibelanjakan oleh pemerintah, hak untuk memeriksa kegiatan pemerintah, hak pendakwaan, hak perintah darurat, hak darurat untuk pengeluaran anggaran sementara, dan hak untuk mengakui kebijakan pemerintah yang penting. Walaupun DPR Korea mempunyai hak khusus seperti halnya negaranegara lain yang telah mengalami demokratisasi, selama berlangsungnya sejarah DPR Korea, perwujudan hak-hak itu sering kali dibatasi. Akan tetapi, setelahnya memasuki masa pemerintahan presiden sipil setelah tahun 1993, hak-hak khusus yang dimiliki oleh DPR diperkirakan akan semakin mencari kondisi yang sesuai untuk penerapannya.

Penutup: Permasalahan dan Tantangan ke Depan Dewasa ini kebanyakan negara-negara di dunia lebih memperlihatkan keunggulan badan eksekutif daripada badan legislatif. Dengan kata lain, kecenderungan menuju negara administratif semakin diperdalam dengan tujuan untuk melancarkan kebijakan negara menuju negara yang lebih sejahtera. Meskipun demikian, bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya di dunia, perbedaan antara badan eksekutif dan badan legislatif di Korea masih terlalu besar. Sementara itu, di mata rakyat umum, kemampuan anggota DPR sebagai perwakilan rakyat masih belum mencukupi, baik dari segi sifat moral, politis, maupun profesionalismenya. Fungsi dan peran DPR masih belum memuaskan karena selama 3 dasawarsa belakangan ini, DPR selalu berada di bawah ideologi anti komunisme, sistem pemerintah militer dan kebijakan industrialisasi yang sepenuhnya dilakukan oleh kekuatan eksekutif dengan didukung oleh rakyat umum.

69


Politik dan Pemerintahan Korea

Untuk dapat meningkatkan fungsi badan legislatif Korea, terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Yang pertama, fungsi dan peran DPR diperkokoh melalui pembukaan DPR sepanjang tahun dan waktu untuk mengadakan rapat anggota DPR juga diperpanjang. Dengan demikian anggota DPR akan dapat menetapkan permohonan dan rekomendasi hak badan eksekutif untuk mengajukan UU. Dengan demikian, semakin lama posisi dan kekuatan badan legislatif dan badan eksekutif akan menjadi sama. Di samping itu, fungsi dan peran rapat tanya-jawab dalam DPR perlu digiatkan dan semua penetapan peraturan dan pembicaraan wajib dilakukan melalui rapat tersebut. Oleh sebab itu, para anggota DPR harus meningkatkan sifat profesional karena tenaga profresional sangat dibutuhkan untuk mendukung kegiatan penetapan UU agar UU yang dihasilkan dapat mewakili kepentingan rakyat umum. Dengan sikap profesional itu pula, lama kelamaan anggota DPR hanya ikut serta dalam satu komite khusus. Posisi kepala DPR juga harus dijamin setara dengan kepala negara. Dengan demikian, dapat menetapkan identitas badan legislatif sehingga mereka dapat memiliki sifat otonom. Untuk itu, pemilihan kepala DPR seharusnya ditetapkan secara independen oleh anggota-anggota DPR dan dalam hal itu, pelepasan identitas partai dari seluruh anggota DPR harus dijamin. Kepala DPR juga harus memiliki hak istimewa agar dapat mengontrol semua urusan dalam DPR. Kegiatan politik kepala DPR tersebut tentu saja dijamin secara nyata dan fungsional oleh UU. Penulis : Mohtar Mas’oed Ph.D.(Ohio State University, Amerika Serikat), Profesor Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. E-mail : mohtar@ugm.ac.id Yang Seung Yoon: Ph.D.(Universitas Gadjah Mada, Indonesia), dosen senior pada Jurusan Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies. E-mail: syyang@hufs.ac.kr

DAFTAR PUSTAKA Byun Hyeong Yoon. 1999. Sejarah Legislatif di Korea, Seoul: Penerbit Beob Ryoon Sa. Choi Sung Won. 1990. Badan Legislatif di Amerika Serikat, Busan: Busan University Press. Hwang Sang Bum. 2003. Fungsi dan Peran Legislatif di Korea, Seoul: Il Go Gak Press.

70


Lee Chung Hee.1998. Politik Korea, Seoul: Hankuk University of Foreign Studies Press. Kim Young Rae. 2003. Birokrasi Korea dan Permasalahannya, Suwon: A-Ju University Press. Park Chang Hwan. 2000. Perseimbangan antara Pemerintahan dan Legislatif, Seoul: Chulpan ui Jib. Yang Seung Yoon. 2007. Politik, Ekonomi, Masyarakat Korea: Pokok-pokok Kepentingan dan Permasalahan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

71


Politik dan Pemerintahan Korea

PEMERINTAHAN LOKAL DI KOREA Mohtar Mas’oed (Universitas Gadjah Mada, Indonesia) Yang Seung Yoon (Hankuk University of Foreign Studies, Korea)

Pendahuluan Sepanjang sejarahnya, pemerintah Korea selalu menerapkan sistem pemerintahan terpusat atau juga disebut sistem Gwan Chi di mana negara mengontrol dan menguasai rakyat sipil secara langsung. Sistem Gwan Chi ini mulai diterapkan di Korea sejak masa Kerajaan Goryeo (936-1392). Pada masa berikutnya, negeri Korea telah memperlihatkan sedikit pentingnya pemerintahan lokal. Kerajaan Goryeo menggunakan sistem Sa Sim Gwan1 sedangkan Kerajaan Joseon menggunakan sistem Hyang Yak.2 Kedua sistem ini mengakui keberadaan pemerintah lokal. Pada masa Korea merdeka, disusun UU Otonomi Pemerintahan Lokal. Walaupun sejak awal sejarahnya Korea telah mengakui adanya kewenangan pemerintah lokal, namun dalam perkembangannya perwujudan kewenangan pemerintah lokal tersebut terus mengalami hambatan. Setelah menghadapi tantangan dan mengalami perbaikan dan perubahan sistem politik lokal, di 1

2

Pegawai kerajaan yang ditempatkan di ibukota (Songak, sekarang ini Gaesung, Korea Utara) di masa Kerajaan Goryeo (918-1392) mengontrol dan mencampuri urusan regional daerah asalnya. Sementara itu, raja mengangkat pegawai kerajaan dari tokoh-tokoh terhormat setempat dan kemudian meminta mereka untuk mengumpulkan semua informasi setempat. Raja akan mendengar nasehat dari kedua belah pihak dan memanfaatkannya untuk menguasai daerah itu. Sa Sim Gwan itu sendiri adalah posisi pegawai kerajaan. Sa Sim Gwan diberi tugas oleh raja untuk mencari tokoh-tokoh penting yang akan dapat diangkat menjadi pegawai kerajaan, memperadil beban pajak dan memperbaiki serta memelihara kebiasaan tradisi setempat. Hyang Yak adalah perjanjian otonom tidak tertulis yang terdapat di suatu desa di masa Kerajaan Joseon (1392-1910). Sama seperti gotong royong di Indonesia, anggota desa saling memberikan pertolongan. Jika ada seseorang melakukan kesalahan, para tetua desa akan memberikan hukuman bagi orang sedesa untuk bekerja. Sebaliknya, jika seseorang melakukan perbuatan baik, orang itu akan mendapatkan pula pujian dan hadiah dari mereka.

72


Pemerintahan Lokal di Korea

masa pemerintahan sipil, Korea telah memasuki era otonomi pemerintah lokal. Namun, sampai sekarang masih terdapat bayak permasalahan yang sulit diatasi.

Pemerintah Lokal di Masa Republik Pertama sampai Keenam Pada masa awal Korea merdeka, Presiden Rhee Syngman segera menyusun UU Otonomi Pemerintahan Lokal dalam rangka menjalankan pemerintahan negara Korea yang baru merdeka. UU Otonomi Pemerintahan Lokal itu menjadi dasar hukum untuk mengembangkan sistem pemerintahan daerah. Dengan UU ini pemerintah Korea telah menunjukkan arah dasar bagi pelaksanaan otonomi di tingkat lokal. Akan tetapi, dengan alasan pecahnya Perang Korea, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk pertama kalinya baru dapat dibentuk pada tahun 1952. Sesudah itu, UU tentang Otonomi Pemerintahan Lokal tersebut mengalami 4 kali perbaikan sehingga tujuan awalnya mulai mengalami perubahan. Otonomi di tingkat lokal pada mulanya merupakan otonomi penuh. Namun sifat otonomi penuh itu semakin lama berubah menjadi sistem administratif yang dikuasai oleh pemerintah (Gwan Chi). Dengan kata lain, pemerintah Republik Pertama berani menjalankan otonomi pemerintahan lokal dengan maksud untuk mewujudkan demokrasi namun lama-lama tujuan dasar itu beralih menjadi suatu sistem administratif yang dikuasai pemerintah karena partai pemerintah saat itu, yaitu Partai Liberal, mulai menggunakan sistem birokrasi yang ada dalam sistem otonomi pemerintahan lokal sebagai sarana pendukungnya dalam pemilu. Partai Demokrat yang menguasai pemerintahan melalui revolusi mahasiswa segera melakukan perbaikan UU untuk kelima kali setelah 4 kali perbaikan pada masa Republik Pertama. Melalui perbaikan itu sistem otonomi pemerintah lokal dicoba untuk dijalankan secara sempurna. Untuk pertama kalinya dalam seajrah Korea, para anggota DPRD dan kepala pemerintah daerah dipilih secara langsung, melalui pemilu. Namun percobaan itu tidak bertahan lama karena adanya kudeta yang mengakhiri masa Republik Kedua. Pemerintah Partai Demokrat di masa Republik Kedua tidak mampu meningkatkan kekuatannya dalam mengontrol urusan administratif karena kerusuhan sosial. Pada saat itu, otonomi pemerintahan lokal tidak banyak berhasil karena adanya konflik yang terjadi antara pemerintah dan organisasi pemerintah lokal. Berdasarkan kegagalan usaha untuk menyelengarakan otonomi pemeritah lokal di masa Republik Kedua, pemerintah militer menjalankan sistem administratif regional dengan alasan mengefisienkan sistem pemerintahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada masa ini otonomi pemerintah lokal

73


Politik dan Pemerintahan Korea

dihilangkan. Bahkan setelah masuk masa sistem Yu Shin, di dalam UUD Korea ditambahkan kalimat yang berbunyi ‘pembentukan DPRD ditangguhkan sampai pada saat tanah air Korea bersatu.’ Pemerintah Presiden Park Chung Hee sangat mementingkan struktur kekuasaan sentral dan menjalankan sistem administratif yang dikuasai secara langsung oleh pemerintah pusat kepada gubernur propinsi dengan alasan untuk memperkuat kekuatan lokal. Akan tetapi, usaha itu memberikan pengaruh negatif bagi otonomi lokal sebab wewenang yang diberikan itu justru berarti bahwa pemerintah pusat memberikan lebih banyak tugas kepada gubernur propinsi. Peralihan wewenang dan tugas dari pemerintah pusat kepada gubernur propinsi itu didorong oleh semakin bertambah banyaknya tugas pemerintah pusat sebagai akibat dari proses industrialisasi yang sedang dijalankan oleh pemerintah pusat saat itu. Masa Republik Kelima Korea dimulai dari tekanan terhadap demokratisasi oleh kelompok militer baru yang memanfaatkan waktu kevakuman kekuasaan. Tidak kuatnya dasar dukungan politik pemerintahan Republik Kelima menyebabkan mereka harus menjalankan sistem penguasaan sentral yang sangat ketat. Oleh karena itu, walaupun pada masa Republik Kelima telah ditetapkan UU mengenai pemerintahan lokal, yang menetapkan bahwa pemerintah daerah dapat berdiri sendiri secara keuangan dan diperbolehkannya sistem otonomi pemerintahan lokal, namun tidak ada keputusan untuk menyempurnakan lebih lanjut sistem dasar bagi pelaksanaan otonomi lokal tersebut. Bersama dengan mulainya masa Republik Kelima, pemerintahan Presiden Chun Doo Hwan sepanjang masa jabatannya selalu dikritik karena sistem politiknya yang otoriter, Kritik-kritik tersebut menyebabkan dasar kekuatan politiknya menjadi tidak stabil. Oleh karena itu, untuk menghapuskan masalah itu, pemimpin Republik Kelima sangat memperkuat sistem pemerintahan pusat, jauh lebih kuat daripada masa Republik Ketiga dan Keempat sebelumnya. Setelah pemerintahan Republik Keenam mulai menjalankan pemerintahannya, UU otonomi Pemerintahan Lokal segera diperbaiki. Berdasarkan perubahan UU tersebut, pada tahun 1991, DPRD I, dan DPRD II dibentuk. Saat itu, bila dibandingkan dengan partai oposisi, partai pemerintah tidak berkuasa dengan kuat karena jumlah kursinya tidak melebihi separuh kursi DPR. Dalam hal itu, pihak partai oposisi dengan giat memperbesar dan menambah unsur-unsur otonomi pemerintahan lokal dengan maksud politis. Dengan berkembangnya kekuatan politik daerahnya sendiri, anggota DPR setempat ikut memperbesar pengaruh politiknya, baik ditempatnya sen-

74


Pemerintahan Lokal di Korea

diri maupun di dalam DPR Nasional. Sebaliknya, pemerintah pusat juga berusaha untuk memperbanyak unsur-unsur Gwan Chi. Walaupun tujuannya berbeda, prosedurnya yang digunakan untuk mencapainya adalah sama sehingga partai pemerintah dan partai oposisi setuju untuk menyusun berbagai macam peraturan dan UU dalam sistem otonomi politik regional. Walaupun pada masa Republik Keenam belum terjadi pemilihan untuk memilih kepala pemerintah daerah, namun semua kegiatan dalam lingkungan politik sangat mengandung arti karena otonomi politik regional dapat dipulihkan kembali. Suasana hangat untuk pelaksanaan demokratisasi setelah revolusi sipil Juni 1987, dapat dikaitkan dengan pulihnya otonomi pemerintahan lokal sehingga dapat dikatakan masa pemerintahan Republik Keenam merupakan masa batas bagi kelancaran pelaksanaan otonomi lokal.

Pemerintah Lokal di Masa Pemereintahan Sipil Pemerintah sipil yang dipimpin oleh Presiden Kim Young-Sam memulai babak otonomi lokal yang baru. Politik di tingkat lokal dihidupkan melalui pemilihan umum untuk memilih jabatan-jabatan politik di tingkat lokal. Pada tanggal 27 Juni 1995 diselenggarakan pemilihan untuk memilih anggota DPRD I dan DPRD II dan kepala pemerintah daerah pertama dan kedua. Melalui tiga kali perbaikan UU Sistem Otonomi Politik Lokal, pemerintah sipil secara resmi membuka era politik di tingkat lokal. Daya persaingan antara pmerintah dan organisasi otonomi di tingkat lokal diperkuat dan melalui daya persaingan itu sistem otonomi politik di tingkat lokal akan diterapkan dan terus dikembangkan. Untuk itu, sifat efisien untuk mengontrol DPRD I dan DPRD II dan kegiatan anggotanya secara sistematis mendapat jaminan. Sistem otonomi lokal setelah masa Republik Keenam Korea merupakan sistem gabungan antara unsur-unsur sistem kekuasaan pemerintah pusat dan unsur-unsur kekuasan pemerintah lokal. Pendek kata, dalam sistem gabungan itu, separuh dikuasai oleh pemerintah pusat masih menggunakan kekuatan penguasaan yang keras melalui kekuatan pemberian bantuan keuangan dan kontrol terhadap pengangkatan dan pemberhentian pegawai pemerintah lokal yang berkedudukan tinggi. Uang serta hak untuk mengangkat dan memberhentikan pegawai masih berada di tangan pemerintah pusat. Pada masa itu, gubernur dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur itu mempunyai 2 orang wakil. Seorang wakil diangkat oleh gubernur itu sendiri sedangkan seorang wakil yang lain diangkat oleh pemerintah pusat dan propinsi. Pengangkatan wakil gubernur oleh pemerintah pusat itu didasarkan pada alasan untuk memperlancar hubungan pemerintah pusat dan propinsi. Hal itu sepertinya memperlihatkan bahwa pemerintah pusat masih mempu-

75


Politik dan Pemerintahan Korea

nyai peran yang cukup besar. Akan tetapi sebenarnya hak dan wewenang kepala pemerintah daerah sangat luas dan berkuasa. Namun permasalahan yang terpenting ialah bahwa urusan pemerintah daerah sangat terbatas dan pemisahan kekuatan politik antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah masih belum dilaksanakan secara sempurna. Sementara itu, dalam peraturan dan UU terdapat terlalu banyak kalimat-kalimat perkecualian sehubungan dengan sistem otonomi lokal. Hal itu berarti membatasi otonomi lokal.

Penutup: Permasalahan dan Tantangan ke Depan Politik lokal di Korea memiliki sejarah yang sangat dangkal dan telah mengandung bermacam-macam masalah. Yang terpenting diantaranya adalah pemerintah pusat Korea masih memegang kebijakan untuk menguasai pemerintah daerah sebagai obyek kontrol. Hubungan kerja sama antara DPRD dan kepala pemerintah daerah pun masih belum diwujudkan. Masalah konflik antara pemerintah daerah khususnya pemerintah daerah tingkat dua sangat serius sebab selama ini rakyat Korea sudah dibiasakan berada dalam sistem penguasaan sentral sehingga egoisme regional sangat tajam dan kesadaran bekerjasama dengan daerah-daerah sekelilingnya masih belum kuat. Dalam hal itu, baik pemerintah pusat maupun organisasi politik regional harus secepatnya menyusun peraturan untuk mengatasi egoisme regional. Masalah kekurangan keuangan pemerintah daerah juga sangat serius dan hal itu akan dapat mengakibatkan munculnya krisis sistem otonomi politik regional di Korea. Sampai akhir tahun 1997 lalu, hanya 35 Pemerintah Daerah di antara 248 pemerintah daerah yang dapat memenuhi syarat keunangan Pemerintah Pusat, yaitu 50% anggaran belanja Pemerintah Daerah harus dapat dibiayai sendiri. Selain itu, kecenderungan tiap-tiap kepala pemerintahan dan anggota DPR, baik dari pemerintah pusat sampai pemerintah tingkat II dan anggota DPRD tingkat II, untuk menonjolkan partai politiknya masing-masing seringkali menimbulkan beragam konflik. Untuk mencegah terjadinya perpecahan di antara kalangan pemerintahan akibat kecenderungan tersebut, sangat diharapkan agar kalangan pemerintah daerah tingkat II dan DPRD tingkat II tidak memilih dan menonjolkan suatu partai politik tertentu dalam proses pemilihannya dan dalam pelaksanaan pemerintah daerahnya. Masalah sistem pemilihan daerah juga harus diperbaiki. Walaupun UU Pemilihan Bersama (di Korea ada tiga kali pemilihan yaitu pemilihan kepala negara, pemilu untuk membentuk DPR dan pemilihan untuk membentuk

76


Pemerintahan Lokal di Korea

DPRD I dan II dan kepala pemerintah daerah) telah ditetapkan secara rinci setaraf dengan negara demokrasi yang maju, akan tetapi cara menyelenggarakan kampaye pemilu masih sangat dibatasi sehingga mereka yang memiliki hak untuk memilih sangat sedikit agar sejumlah besar yang lain dapat ikut serta memilih dalam pemilihan di tingkat lokal. Masalah politik lokal itu sendiri merupakan isu baru dalam politik lokal Korea. Kepala pemerintah daerah tingkat I (gubernur DKI Seoul, DI Busan, DI Daegu, DI Incheon, DI Daejeon dan DI Ulsan dan 9 gubernur propinsi) kekuasaannya setaraf dengan anggota DPR setempat atau justru lebih unggul kekuatannya. Sementara itu, berbeda dengan anggota DPR setempat, kepala pemerintah daerah memiliki hak dan keistimewaan seperti misalnya kekuatan untuk mengangkat dan memberhentikan pegawai, membentuk organisasi, menetapkan anggaran belanja, hak untuk melakukan mobilisasi, dan sebagainya. Berdasarkan kekuasaan dan hak kekuatan seperti itu, kepala pemerintah daerah di masa pemerintahan sipil di Korea muncul sebagai pemimpin politik yang sangat berkuasa. Kecenderungan seperti itu membuka kemungkinan bagi terjadinya persaingan tajam antara kekuatan sentral dan kekuatan daerah. Rakyat umum Korea sudah sejak lama terbiasa berada dalam sistem Gwan Chi, yang telah diperkuat selama masa Dinasti Joseon. Setelah Korea merdeka, setiap pemerintahan di Korea mencoba mengembangkan politik regional. Akan tetapi, konsep Gwan Chi itu sulit sekali dikurangi bahkan pembangunan ekonomi nasional yang diutamakan justru semakin memperkuat politik pemerintahan pusat. Memasuki masa pemerintahan sipil Korea, kepentingan politik regional dan kecenderungan masyarakat internasional sudah banyak diketahui oleh masyarakat umum. Semua peraturan dan sistemnya pun sudah tersedia di Korea. Namun, masih banyak permasalahan besar lainnya. Masalah pemenuhan angaran belanja pemerintah daerah merupakan permasalahan terbesar. Selain itu, hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta hubungan antar pemerintah daerah kini menjadi bahan perbincangan hangat. Dengan demikian, politik regional harus dikembangkan, baik karena pemerintah daerah tidak boleh menggantungkan semua urusan regionalnya kepada pemerintah pusat, maupun karena adanya persaingan dan hubungan saling kontrol antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah itu sendiri. Adanya persaingan dan hubungan saling kontrol tersebut tentu akan mendorong semua pihak untuk dapat lebih berkembang dan mencapai kemajuan.

77


Politik dan Pemerintahan Korea

Penulis : Mohtar Mas’oed Ph. D. (Ohio State University, Amerika Serikat), Profesor Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. E-mail : mohtar@ugm.ac.id Yang Seung Yoon: Ph. D. (Universitas Gadjah Mada, Indonesia), dosen senior pada Jurusan Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies. Email: syyang@hufs.ac.kr

DAFTAR PUSTAKA Lee Chung Hee.1998. Politik Korea, Seoul: Hankuk University of Foreign Studies Press. Park Chang Ho. 1999. Ilmu Pemerintahan Lokal, Seoul: Penerbit Beob Moon Sa. Yang Seung Yoon. 2007. Politik, Ekonomi, Masyarakat Korea: Pokok-pokok Kepentingan dan Permasalahan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Workshop Papers. 2010. Asoasiasi Sarjana Ilmu Pemerintahan Korea dan Pusat Penelitian Ilmu Pemerintahan Gadjah Mada University Indonesia.

78


BAB IV POLITIK

79


Politik dan Pemerintahan Korea

80


KELOMPOK KEPENTINGAN DAN PARTAI POLITIK Mohtar Mas’oed (Universitas Gadjah Mada, Indonesia) Yang Seung Yoon (Hankuk University of Foreign Studies, Korea)

Karakteristik Kelompok Kepentingan Dalam sistem politik yang demokratis, kelompok kepentingan mempunyai peran yang sangat penting. Untuk mencapai kepentingan kolektif, masyarakat yang mempunyai berbagai macam kepentingan, melalui berbagai kelompok kepentingan dapat memberikan pengaruh positif dalam proses pelaksanaan politik demi mewujudkan kepentingan mereka masing-masing. Oleh karena itu, kelompok kepentingan sudah sejak lama ditampilkan dalam lingkungan diferensiasi politik sebagai salah satu pelaku politik yang sangat penting. Kelompok kepentingan itu pun sangat bervariasi, khususnya karena masyarakat Korea telah mengalami proses demokratisasi sepanjang tahun 1980an. Hal itu menyebabkan kelompok kepentingan yang berkembang pesat, baik kuantitas maupun kualitasnya, secara giat memberikan pengaruh terhadap proses politik di Korea. Setelah memasuki tahun 1990-an, kegiatan kelompok kepentingan menjadi jauh lebih aktif karena pada masa sistem politik otoriter sebelumnya mereka tidak memiliki banyak kesempatan untuk menampilkan kepentingannya. Dengan demikian, setelah memasuki tahun 1990-an, bersama dengan semakin berkembangnya masyarakat sipil, kegiatan aktif kelompok kepentingan telah menjadi sebuah unsur penting untuk mengembangkan politik Korea. Perkembangan masyarakat sipil tentu saja telah menciptakan dasar untuk meningkatkan kepentingan secara adil melalui persaingan bebas antara semua kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Sebagai kekuatan kolektif, kelompok kepentingan di Korea pada tahun 1990-an mempunyai kesempatan secara bebas dan seimbang untuk ikut serta dalam proses politik. Kecenderungan ini menimbulkan efek yang sangat positif bagi perkembangan politik kepentingan kolektif di Korea. Di tahun 1990-an, di Korea, khususnya dalam kalangan politik, telah tersedia kesempatan bagi semua kekuatan sosial untuk memberikan pengaruh kepada semua kalangan yang mereka tuju.

81


Politik dan Pemerintahan Korea

Dengan demikian, sebagai ganti keunggulan dan kemenangan yang dengan mudah didapatkan oleh kelompok tertentu, semua kelompok kepentingan dapat ikut serta dalam persaingan yang ada dalam proses politik. Akhirnya, melalui kegiatan kelompok kepentingan seperti itu pembentukan pendapat politik dapat dilakukan secara demokratis dan menjadi dasar pengembangan politik Korea. Adanya kecenderungan perubahan yang besar dari hanya sekedar mengejar keuntungan pribadi atau kelompok tertentu menjadi mengejar kepentingan kolektif telah memperlihatkan kemungkinan baru dalam politik kepentingan kolektif di Korea. Munculnya kelompok kepentingan dan aktifnya kegiatan mereka menimbulkan pula efek negatif dalam masyarakat Korea sebab antara masing-masing kelompok kepentingan, antara kelompok kepentingan dan badan eksekutif, antara kelompok kepentingan dan badan legislatif dan antara partai politik mengalami konflik besar dan kecil dalam membentuk hubungan kerjasamanya. Berbeda dengan halnya di dunia Barat, politik kepentingan kolektif di Korea sudah sejak lama dikuasai secara langsung oleh sistem politik otoriter dan pengawasan kolektivisme nasional. Di bawah sistem itu, mereka belum memiliki banyak pengalaman untuk membentuk hubungan kerjasama dan persaingan secara adil, sebaliknya, karena berada dibawah kontrol negara, politik kepentingan kolektif itu belum terbiasa untuk menyesuaikan diri dan mengontrol lingkungan kelompok kepentingan secara otonom. Setelah memasuki tahun 1990-an, masyarakat sipil Korea secara besarbesaran menyambut era masyarakat sipil. Perubahan dari masa kenegaraan yang sering memberikan paksaan dan tekanan menuju masyarakat sipil yang bervariasi telah memberikan sumbangan besar bagi perkembangan politik kepentingan kolektif di Korea. Perkembangan masyarakat sipil terus terjadi dan semakin dikembangkan dalam proses industrialisasi dan demokratisasi. Industrialisasi secara kapitalis yang telah dimulai sejak tahun 1960-an pernah menciptakan perkembangan ekonomi yang sangat tinggi di Korea sehingga perkembangan ekonomi tersebut dapat menjadi dasar material untuk mengembangkan masyarakat sipil di Korea. Usaha industrialisasi yang berlangsung terus-menerus di Korea itu mengakibatkan deferensiasi struktur sosial dan membentuk sejumlah besar kelompok kepentingan yang bervariasi sementara kelas menengah dalam masyarakat dikembangkan secara meluas supaya kelas menengah itu dapat memimpin masyarakat sipil Korea. Pada khir tahun 1980-an, bersama dengan gerakan kemasyarakatan di Korea, kelompok kepentingan diperbesar kuantitasnya sementara fungsi dan peranannya dalam masyarakat sipil pun diutamakan. Kelompok kepentingan di Korea itu tidak hanya mengejar keuntungan kolektifnya sendiri tetapi juga

82


Kelompok Kepentingan dan Partai Politik

ikut serta dengan giat dalam kegiatan kemasyarakatan demi mendapatkan dukungan masyarakat umum. Pesatnya perkembangan kegiatan kelompok kepentingan di Korea itu mengakibatkan munculnya kelompok kepentingan yang bergerak di bidang yang sama. Mereka bersaing untuk dapat lebih banyak memberikan pengaruh dan juga mendapatkan lebih banyak dukungan dalam proses politik. Kelompok kepentingan yang bergerak di bidang yang sama biasanya ditandai dengan baik adanya persaingan maupun kerja sama di antara mereka. Dalam isu-isu tertentu mereka dapat meningkatkan hubungan kerja sama, sementara di isu yang lain mereka memperlihatkan konflik yang sangat tajam. Kelompok kepentingan Korea yang memiliki karakteristik seperti itu antara lain kelompok kepentingan masyarakat sipil, perburuhan, kelompok guru, kelompok wanita, dan kelompok kepentingan lingkungan hidup. Di masa sistem politik otoriter, masyarakat sipil Korea berada di bawah kekuatan negara. Sistem politik yang keras itu semakin menghilangkan daya penguasaan sosial pada akhir tahun 1980-an. Sedangkan kepentingan berbagai kalangan masyarakat dan keuntungan fungsional yang terakumulasi sebagai akibat industrialisasi semakin mempengaruhi proses politik. Latar belakang yang mengakibatkan perubahan politik yang bervariasi melalui perkembangan masyarakat sipil, dan dimulainya pelimpahan kewenangan pemerintah daerah. Setelah pertengahan tahun 1990-an, peroses perumusan dan pengambilan pemerintah dipengaruhi oleh kegiatan- kegiatan kelompok kepentingan sebagai konsekuensi logis dari demokratisasi dan reformasi di segala bidang. Dalam sistem politik yang demokratis, pada umumnya kelompok kepentingan mampu bekerja secara otonom dalam mengejar kepentingan kolektifnya. Akan tetapi, di Korea, sistem kelompok kepentingan masih belum mampu bekerja secara sempurna dalam menyalurkan kepentingan yang bervariasi.

Permasalahan Kelompok Kepentingan dan Tantangan ke Depan Dalam masa transisi sangat penting untuk membentuk sistem khusus supaya semua kelompok kepentingan diberikan kesempatan yang sama untuk melakukan persaingan secara bebas dan adil serta dapat mengontrol pembagian keuntungan secara adil dalam suatu sistem persaingan bebas. Bila ada ketidakseimbangan yang serius antara kekuatan sosial dalam fungsinya untuk memberikan pengaruh kepada proses pembentukan pendapat politik, pengontrolan kepentingan yang adil tidak akan terjadi, bahkan suatu kelompok kepentingan akan menonjol dan memonopoli kepentingan mereka itu sehingga mereka dominan dan menguasai proses pembentukan pendapat politik.

83


Politik dan Pemerintahan Korea

Sampai sekarang fungsi kelompok kepentingan di Korea pada umumnya dipusatkan pada badan eksekutif melalui permohonan dan kegiatan untuk menghapuskan masalah tertentu. Bahkan kelompok kepentingan belum terbiasa memberikan pengaruh dan tekanan secara aktif terhadap badan legislatif dan partai politik untuk menciptakan kepentingannya. Sementara itu, partai politik dan badan legislatif di Korea tidak menganggap kelompok kepentingan tersebut sebagai pelaku politik yang seimbang. Bahkan badan legislatif dan partai politik menganggap kelompok kepentingan sebagai kelompok yang hanya mengejar kepentingan bersama yang akan dapat digunakan sebagai alat mobilisasi dalam pemilihan umum. Sistematisasi untuk menciptakan hubungan kerja sama dan hubungan persaingan yang adil perlu dilakukan agar kelompok–kelompok kepentingan dapat saling mengisi dan diisi fungsi politiknya di antara partai politik dan kelompok kepentingan. Sistematisasi serupa itu akan menciptakan keseimbangan antara dua kelompok tadi dalam fungsinya menyampaikan dan mengumpulkan informasi, mengontrol kepentingan dan sebagainya. Sementara itu, perbaikan dan penyempurnaan sistem dan berbagai peraturan yang dapat secara adil mengontrol sistem penciptaan kepentingan memegang peran penting dalam perkembangan politik kepentingan kolektif di Korea yang sedang beralih dari masa kolektivisme nasional menuju masa kepentingan politik yang bervariasi. Setelah memasuki masa reformasi, semua kelompok kepentingan di Korea semakin lama menyadari adanya dua hal yang berlainan tetapi selalu berada di waktu dan posisi yang sama. Hal yang pertama adalah kemenangan melalui persaingan dan perjuangan dalam hubungan baru, baik hubungan dalam pemerintahan sipil antara kelompok kepentingan-badan legislatif-pemerintah, maupun dalam hubungan antar kelompok kepentingan itu sendiri. Dan hal yang kedua adalah penetapan dan penyesuaian diri dalam struktur baru antara kelompok kepentingan-badan legislatif-pemerintah. Bila di masa sebelum reformasi kelompok kepentingan lebih bertindak sebagai alat partai politik untuk mengumpulkan dukungan rakyat umum, kini kelompok kepentingan lebih bertindak sebagai corong rakyat umum dalam menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan rakyat kepada pemerintahbadan legislatif dengan kelompok kepentingan yang dulu berjalan satu arah, kini berubah bentuk menjadi hubungan timbal balik yang seimbang. Pemerintah, badan legislatif dan partai politik tetap berusaha memperoleh dukungan dari kelompok kepentingan dan sebagai timbal balik dari dukungannya itu, kelompok kepentingan mendesak pemerintah, badan legislatif, dan partai politik untuk memperjuangkan dengan lebih keras kepentingan rakyat umum yang diwakili oleh kelompok kepentingan tersebut.

84


Kelompok Kepentingan dan Partai Politik

Oleh karena itu, walaupun kaum buruh sering menjalankan aksinya sendiri dengan turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi dan mogok kerja, namun sejumlah kelompok kepentingan tetap melakukan kegiatannya yang mendukung asosiasi perwakilan kaum buruh tersebut. Pembentukan Komite nosajung dan peraturan terkait mengenai komite tersebut yang sudah ada dan mulasi berlangsung di Korea menjadi wadah yang sangat tepat bagi kelompok kepentingan untuk dapat memperjuangkan kepentingan rakyat umum dengan keikutsertaannya dalam komite tersebut sebagai perwakilan dari kaum buruh. Meskipun memberikan pengaruh positif bagi keseimbangan hubungan antara pemerintah, badan legislatif, dan kelompok kepentingan tertentu (seperti buruh, guru, dan lain sebagainya), keberadaan kelompok kepentingan juga dapat menimbulkan ancaman bagi persatuan rakyat Korea Selatan. Di tengah kondisi masa reformasi politik yang semakin mempertajam regionalisme dan persaingan kepentingan, isu yang ditampilkan oleh masing-masing kelompok kepentingan akan semakin mengeraskan persaingan dan menimbulkan perpecahan dalam masyarakat Korea. Pada akhirnya, kalangan masyarakat menyadari bahwa persaingan luar biasa yang dilakukan oleh sejumlah besar kelompok kepentingan akan merugikan semua pihak.

Perkembangan Partai Politik Sepanjang masa Dinasti Joseon, negara dan bangsa Korea pernah mengalami konflik tajam seputar masalah partai politik. Pada saat itu, isu atau urusan yang dibahas dan menjadi bahan pertentangan di dalam partai politik merupakan hal-hal yang sangat sederhana. Contohnya, adalah masalah mengenai bagaimana membedakan jangka waktu pemakaian pakaian pemakaman ketika ratu/permasuri wafat. Hal itu menunjukkan bahwa partai politik di Korea lebih sering berkonflik daripada melakukan penyesuaian dan keharmonisan dalam lingkungan politik serta dapat menciptakan suasana yang hangat yang memungkinkan rakyat umum untuk dapat lebih rajin bekerja demi kehidupan mereka sendiri, negara, maupun bangsa. Tradisi konflik seperti itu terus berkembang dan masih terlihat dalam lingkungan politik Korea sampai saat ini. Politik partai politik di Korea seperti itu tidak sepenuhnya mengandung arti segi atau pandangan negatif saja. Politik parpol itu dalam sepanjang sejarah Korea merdeka mengembangkan pula politik demokrasi di Korea yang kini menuju politik dua partai politik setelah mengalami serangkaian peristiwa anti demokrasi. Proses perkembangan dan pembentukan sistem partai politik di Korea dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu masa Korea merdeka sampai masa

85


Politik dan Pemerintahan Korea

pembentukan pemerintahan Republik Korea, masa dimulainya pemerintahan republik Korea sampai masa pembentukan dua partai politik besar (Partai Liberal dan Partai Demokrat), serta masa setelah berakhirnya penjajahan Partai Liberal dan dimulainya partai politik untuk rakyat umum yang memiliki struktur partai politik. Pertama, masa pembentukan pemerintahan Republik Korea atau yang disebut juga sebagai masa partai politik yang berbentuk ‘Duta Besar’. Selama 3 tahun masa pemerintahan militer Amerika Serikat (1945-1948), di Korea bermunculan partai politik. Partai politik saat itu merupakan partai politik setaraf kelompok-kelompok kecil. Karena tidak memiliki kaitan dengan penguasaan rakyat, partai politik saat itu sama sekali tidak memiliki hubungan dengan pengawasan rakyat sehingga para pemimpin partai politik itu sendiri bertemu dan bergaul saja seperti layaknya pertemuan duta besar. Karena belum ada badan legislatif maka partai politik belum bisa menjadi partai politik yang berfungsi dalam kegiatan legislatif. Para pemimpin partai politik itu merupakan sebagian kecil cendekiawan Korea saat itu, sehingga partai politik mereka bersifat seperti kelompok bangsawan. Pertemuan pemimpin partai politik itu pun merupakan pertemuan bangsawan. Kedua, masa partai politik dalam pemerintahan. Setelah tahun 1948, di bawah pemerintahan independen terdapat banyak partai politik, namun partai politik tersebut masih setaraf dengan kelompok pribadi. Partai politik saat itu belum memiliki kaitan dan tanggung jawab terhadap rakyat. Pemilihan umum pertama dalam sejarah Korea diselenggarakan pada tangal 10 Mei 1950 namun partai-partai politik yang bersifat netral (pertengahan sayap kiri dan sayap kanan) seperti Partai Kemerdekaan tidak ikut serta dalam pemilu tersebut. Dalam keadaan seperti itu, Partai Liberal dan partai-partai kecil pendukung Presiden Rhee Syngman saja yang mengikuti pemilu tersebut. Oleh karena kemenangannya dalam pemilu, Partai Liberal menjadi satu-satunya partai Korea yang sah dan dikuasai oleh presiden sehingga partai tersebut dapat dipastikan berada dalam pemerintahan dan berfungsi sebagai salah satu badan pemerintah. Ketiga, masa partai politik untuk rakyat umum. Sejak akhir tahun 1958, Korea memasuki masa politik untuk rakyat umum. Karena Partai Liberal terlalu sering melakukan pemilihan yang tidak sah, rakyat umum mulai melakukan penentangan besar-besaran terhadap partai politik yang tidak jujur itu. Sejak saat itu, rakyat umum memusatkan perhatiannya pada partai politik yang mementingkan rakyat umum dan bertanggung jawab terhadap rakyat umum. Sejak akhir masa Pemerintahan Liberal, partai-partai politik di Korea terus menerus dikembangkan menjadi partai rakyat umum sehingga lama kelamaan

86


Kelompok Kepentingan dan Partai Politik

kebijakan partai politik sudah ditempatkan menjadi landasan dasar struktur politik Korea. Melalui perubahan politik yang terjadi beberapa kali di Korea, sebagian besar partai politik dihapuskan dan sebagian yang ada semakin dikurangi fungsi dan peranannya. Akan tetapi, atas dukungan rakyat, dalam waktu singkat partai politik itu dihidupkan kembali menjadi kekuatan yang berperan di pusat lingkungan politik. Partai politik di Korea juga digolongkan menjadi dua, yaitu satu partai pemerintah dan satu atau dua partai oposisi. Partai pemerintah sering mengganti namanya seperti Partai Liberal (masa Republik Pertama), Partai Republik (masa Republik ketiga dan keempat), Partai Demokrasi dan Keadilan (masa Republik Kelima) dan Partai Demokrasi dan Liberal (masa Republik keenam). Meskipun berganti nama, sifat, struktur dan kepemimpinan partai hampir sama satu sama lain. Sementara itu, partai oposisi yang bermula dari Partai Demokrasi Korea kadang-kadang dipecah, disatukan dan dipecah lagi, seperti misalnya Partai Demokrasi Rakyat, Partai Demokrasi, Partai Demokrasi baru, Partai Demokrasi Korea Baru, Partai Demokrasi Perdamaian dan sebagainya. Kadangkadang partai oposisi ketiga dan keempat muncul. Partai pembangkang atau ‘partai nyamuk’ tidak dapat bertahan lama karena tidak memegang kekuasaan. Bila ada kesempatan partai-partai itu segera digabungkan dengan partai lain yang lebih besar. Partai politik Korea semakin lama berkembang menjadi sistem dua partai politik besar. Sistem dua partai di Korea tersebut didorong oleh sistem pemungutan suara yang dianut Korea yaitu sistem pemungutan suara satu kali. Dengan sistem pemungutan suara seperti itu, partai-partai politik yang kalah dalam pemilu dengan selisih perolehan suara yang tipis tidak dapat mengharapkan dilakukannya pemungutan suara ulang untuk memperoleh suara yang lebih banyak lagi sehingga mereka tidak dapat berkembang besar dan menjadi partai pemerintah.

Permasalahan Partai Politik dan Tantangan ke Depan Partai politik Korea memiliki sifat-sifat positif. Bentuk dan struktur partai politik telah cukup ideal, apalagi dengan adanya bantuan keuangan dari pemerintah, partai politik dapat mengontrol partainya dengan stabil. Akan tetapi, sistem partai politik di Korea mempunyai beberapa permasalahan yang sangat serius. Partai Politik Korea dikuasai oleh seorang tokoh yang sangat berkuasa dan berada di bawah sistem otoriter dengan kendali di tangan seorang pemimpin tertinggi. Pembentukan, pembubaran, dan pemisahan partai politik, baik partai pemerintah maupun partai oposisi, sangat

87


Politik dan Pemerintahan Korea

tergantung pada tokoh yang sedang berkuasa tersebut. Dalam hal ini, partai politik Korea pada umumnya muncul sebagai dasar kekuatan dan dukungan bagi seorang politikus yang berkuasa. Dengan demikian, politik Korea dapat kita sebut sebagai ‘politik seorang kepala negara’ di mana partai politik hanya menjadi alat sampingan untuk memelihara kelanggengan pemerintahannya. Semua kebijakan dan keputusan negara tetap saja ditetapkan oleh kepala negara (presiden) sehingga perintah kepala negara akan segera ditetapkan menjadi prinsip atau tujuan politik negara. Dalam keadaan seperti itu, partai politik dibentuk untuk membenarkan keputusan kepala negara. Oleh sebab itu, partai pemerintah dan kepala negara sangat terkait sehingga apabila kepala negara diganti, partai politiknya juga diganti dan muncul lagi partai pemerintah yang baru. Sesuai dengan kecenderungan itu, partai pemerintah sangat berkuasa menyebabkan semua partai oposisi memiliki kekuatan yang sangat lemah. Dalam sejarah Korea modern, semua partai pemerintah sangat berkuasa. Seperti misalnya pada masa pemerintahan mantan presiden Rhee Syngman, Partai Liberal sangat menguasai lingkungan politik Korea, sedangkan Partai Republik berkuasa pada masa pemerintahan mantan presiden Park Chung Hee, Partai Demokrasi dan Keadilan pada masa pemerintahan mantan presiden Chun Doo Hwan dan Partai Demokrasi dan Liberal pada masa pemerintahan mantan presiden Roh Tae Woo. Di Korea, pemerintah tidak diciptakan oleh partai politik, malahan sebaliknya pemerintahlah yang menciptakan partai politik. Pada umumnya, di negara-negara yang sudah menerapkan kebijakan partai politik, partai politik yang didukung oleh sebagian besar rakyat dan memperoleh banyak kursi di badan legislatif akan membentuk pemerintahannya sendiri. Namun, tidak demikian halnya di Korea. Di Korea, pemerintahanlah yang membentuk partai politik. Pada waktu sejumlah tokoh yang berkuasa bersama dengan kepala negara membentuk partai politik, sejumlah politikus lain yang tidak bisa diikutsertakan dalam pembentukan partai pemerintah baru itu dapat dipastikan akan membentuk partai oposisi sebagai pesaing partai pemerintah. Akan tetapi para politikus itu segera akan masuk kembali ke partai pemerintah tanpa pertimbangan apabila ada undangan khusus. Dengan adanya permasalahan-permasalahan diatas, partai politik menjadi kurang mampu menjalankan fungsinya untuk menghubungkan pemerintah dan rakyat umum. Partai politik pada umumnya mengaku sebagai wakil rakyat umum, namun dalam kenyataannya mereka tidak mampu menjalankan

88


Kelompok Kepentingan dan Partai Politik

tugasnya sebagai wakil rakyat sehingga bagi mata rakyat umum, para pemimpin partai politik itu lebih mementingkan keuntungan mereka sebagai salah satu kelompok kepentingan. Sementara itu, partai politik Korea juga tidak memiliki sifat politis sehingga tidak dapat dibedakan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, di Korea hanya terdapat perbedaan antara partai yang berkuasa dengan partai oposisi yang dipinggirkan dari kancah politik Korea.

Mencapai Partai Politik yang Ideal Untuk mengembangkan partai politik ideal di Korea, partai politik tidak boleh mendukung kepentingan satu orang politikus yang berkuasa saja. Partai politik harus terus berlangsung dan tidak memiliki kaitan dengan masa jabatan pemimpin tertinggi. Dan untuk dapat lebih mengembangkan diri, partai politik harus menegakkan identitasnya sendiri dengan jelas. Partai politik juga harus dapat memelihara struktur yang stabil dan tetap serta menjaga sistem kekuatan dan anggota-anggotanya. Partai politik seharusnya berfungsi dan memiliki kemampuan untuk menghubungkan rakyat umum dan pemerintah sebab fungsi utama partai politik adalah menghubungkan masyarakat sipil dan pemerintah. Dengan demikian, partai politik Korea harus memperkuat fungsinya dalam mengawasi kebijakankebijakan pemerintah karena partai politik bertugas untuk menyampaikan pendapat rakyat umum kepada pemerintah untuk kemudian diwujudkan menjadi kebijakan. Oleh karena itu, semua partai politik harus memiliki badan atau struktur yang dapat mengatur kebijakan pemerintah dan menghubungkan pemerintah dengan rakyat umum. Partai politik juga harus meningkatkan jumlah dan kualitas anggotanya karena anggota partai merupakan unsur pengaruh yang penting dalam sistem politik. Penulis : Mohtar Mas’oed Ph.D.(Ohio State University, Amerika Serikat), Profesor Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. E-mail : mohtar@ugm.ac.id Yang Seung Yoon: Ph.D.(Universitas Gadjah Mada, Indonesia), dosen senior pada Jurusan Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies. E-mail: syyang@hufs.ac.kr

89


Politik dan Pemerintahan Korea

DAFTAR PUSTAKA Lee Chung Hee.1998. Politik Korea, Seoul: Hankuk University of Foreign Studies Press. Kim Young Rae dkk. 2002. Kelompok Kepentingan di Korea, Seoul: Asosiasi Sarjana Ilmu Kelompok Kepentingan. Kim Young Rae dkk. 2003. Fungsi dan Peran Kelompok Kepentingan, Seoul: Asosiasi Sarjana Ilmu Kelompok Kepentingan. Shim Ji Yeon. 2007. Permasalahan dan Masa Depan Kelompok Kepentingan di Korea, Seoul: Penerbit Oreum. Yang Seung Yoon. 2007. Politik, Ekonomi, Masyarakat Korea: Pokok-pokok Kepentingan dan Permasalahan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

90


POLITIK LUAR NEGERI KOREA Yang Seung Yoon (Hankuk University of Foreign Studies, Korea) Mohtar Mas’oed (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)

Pendahuluan Secara geopolitis, letak Semenanjung Korea dapat dibandingkan dengan Israel di dunia Timur Tengah dan Singapura di Lautan Melayu. Secara khusus, Korea Selatan merupakan sebuah negara kecil yang terpojok di wilayah Asia Timur Jauh. Korea Selatan telah sekian lama bermusuhan dengan Korea Utara dan kedua negara itu selalu bertentangan dengan menggunakan kekuatan militer yang dimilikinya. Korea Selatan juga dikelilingi oleh China dan Rusia yang selama ini lebih condong kepada Korea Utara sebagai negara sahabat sosialis internasional. Selain itu, Korea Selatan selalu diganggu oleh Jepang supaya negara kecil itu tidak bisa maju berkembang sebagai negara tetangga terdekat yang bersaing dengan Jepang dalam masyarakat internasional. Amerika Serikat yang sampai sekarang masih menempatkan pasukannya di Korea Selatan, ingin sekali meletakkan Korea Selatan di bawah pengaruh mereka, baik dalam bidang politik militer maupun perekonomian internasional. Terlebih lagi, Korea Selatan selalu mementingkan dan mengutamakan dua kebijakan nasional yang dijalankan dalam waktu yang bersamaan; yaitu, mengembangkan ekonomi nasional sambil terus memperkuat kekuatan pertahanannya. Kebijakan nasional seperti itu disebabkan karena adanya Korea Utara yang masih mengutamakan ideologi nasional daripada faktor-faktor nonideologi, yaitu faktor-faktor praktis, dan selalu mengancam Korea Selatan. Pembagian Semenanjung Korea oleh Sekutu pada tahun 1945 dan perkembangan kedua negara Korea menjadi bukti jelas adanya persaingan keunggulan ideologi di masa sistem Perang Dingin. Keadaan sedemikian itu berlangsung selama setengah abad belakangan ini dan secara khusus memberikan pengaruh istimewa terhadap politik luar negeri Korea Selatan. Politik luar negeri Korea dapat digolongkan ke dalam 4 periode besar. Periode pertama adalah masa pelaksanaan politik luar negeri Korea terhadap

91


Politik dan Pemerintahan Korea

kerajaan-kerajaan China. Periode kedua adalah politik luar negeri Korea terhadap Jepang. Periode ketiga adalah politik luar negeri Korea di masa Perang Dingin dan periode terakhir adalah politik luar negeri Korea di masa pasca Perang Dingin.

Politik Luar Negeri Korea dengan Kerajaan-Kerajaan China Sejak jaman dahulu, setelah berhasil menyatukan daratannya, Kerajaan China sering sekali mengganggu negara-negara kecil yang ada di sekelilingnya. Tak terkecuali Korea, yang pernah mengembangkan kerajaan kecil di Semenanjung Korea. Semenanjung Korea terhubung secara langsung dengan Daratan China dan terletak tidak jauh dari pusat kerajaan China, baik dari daratan maupun dari tepian daratan China. Ditambah lagi dengan arti penting Semenanjung Korea, baik dari segi strategis maupun tanahnya yang cukup subur dan dapat menghasilkan beberapa produk istimewa, seperti beras, emas, sutra dan ginseng.1 Hal-hal seperti itulah yang mendorong kerajaan-kerajaan China dari masa ke masa berusaha menggulingkan Semenanjung Korea dan menjadikannya sebuah propinsi bagian China atau daerah teritorial yang mempunyai pemerintahan otonom. Oleh karena itu, sampai abad ke-15, hampir sepanjang sejarahnya, Korea selalu terkait dengan satu-satunya negara China. Untuk mempertahankan kerajaannya, kerajaan dan rakyat Korea selalu menghadapi kemungkinan ancaman dari China. Dalam hal ini, kerajaan-kerajaan Korea terpaksa menerima atau mengakui hubungannya dengan China sebagai hubungan antara raja dan raja bawahan. Dalam sistem itu, raja baru biasanya meminta pengakuan resmi kepada raja China untuk dapat disahkan dan dikukuhkan sebagai raja Korea yang baru. Kerajaan Korea juga harus sering mengirimkan upeti yang besar kepada kerajaan China, dan sebagai kebalikannya, kerajaan China menjamin keamanan kerajaan bawahannya, seperti sama halnya dengan hubungan antara Kerajaan Malaka dan Kerajaan Ming, China. Dalam hubungan itu, Korea mendapatkan pengaruh dari kerajaan China secara langsung dalam segala bidang, tidak hanya bidang politik dan ekonomi saja tetapi juga bidang sosial dan kebudayaan. Karena letak Semenanjung Korea yang terpojok di Asia Timur Laut dan berada dipinggiran Daratan China, Korea dapat mengembangkan sistem kerajaannya sendiri, ekonomi, dan sistem kemasyarakatan dan kebudayaan yang khas yang berbeda dengan

1

Nama asli ginseng adalah insam. Orang Jepang memasarkan insam produksi Korea ke pasar internasional dengan menyebutnya sesuai dengan bahasa mereka, yaitu jinseng.

92


Politik Luar Negeri Korea

sumber asalnya. Pendek kata, walaupun dalam sepanjang sejarahnya, Semenanjung dan kerajaan-kerajaan Korea secara langsung berada dalam pengawasan dan pengaruh dari China, Korea masih dapat menjaga keistimewaannya baik dari segi sifat kerajaannya maupun segi pengaruh pada bidangbidang lainnya.

Politik Luar Negeri Korea dengan Jepang Hubungan kerajaan-kerajaan Korea dengan Jepang dari segi politik luar negerinya hampir sama dengan hubungan China dan Korea yaitu hubungan antara raja dan raja bawahannya. Semenanjung Korea dalam hubungan itu berfungsi sebagai jembatan antara China Daratan dengan Kepulauan Jepang. Baik seni budaya maupun alat-alat civilisasi yang berkembang di Jepang, dibawa oleh China melalui Semenanjung Korea. Dalam keadaan itu, sampai abad ke-16, bagi kerajaan Jepang, kerajaan Korea adalah satu-satunya negara tetangga. Namun setelah masuknya abad ke-17, Jepang sudah mulai memberanikan diri untuk keluar negeri, selain dari Korea, melalui lautan. Sebagai negara kepulauan, orang Jepang pintar menirukan dan mengembangkan apa yang telah diperkenalkan. Salah satu contohnya adalah ketrampilan untuk membuat kapal. Sejak abad ke-17 itu, orang Jepang sudah mulai bermunculan di Kepulauan Indonesia. Kerajaan Korea yang terletak diantara lautan China dan Kepulauan Jepang tidak memandang negara lain selain dari 2 negara tetangga, namun sejak abad ke-17 Jepang sudah mengenal dunia luar. Oleh karena itu, mereka sering menyerang Kerajaan Joseon di Korea. Lama kelamaan, kekuatan nasional kerajaan itu menjadi semakin melemah sedangkan kekuatan nasional Jepang semakin bertambah kuat. Di akhir masa akhir kerajaan itu, kekuatan nasional Korea tidak mampu lagi menghadapi Jepang. Sebagai tahap pertama untuk melakukan penjajahan terhadap Korea, Jepang memaksa Korea menandatangani persetujuan persahabatan antar negara pada tahun 1876. Perjanjian itu merupakan perjanjian modern pertama yang terjalin antara kedua negara dan mengarahkan Korea untuk membuka jalan terhadap dunia luar. Setelah menjalin hubungan diplomatik dengan Jepang, negara-negara Eropa lainnya ikut masuk ke Korea dan menjalin hubungan diplomatik. Amerika Serikat secara resmi mendirikan hubungan diplomatik dengan Korea pada tahun 1882 dan kemudian disusul oleh Qing China (1882), Jerman (1882), Inggris (1883), Rusia (1884), Italia (1884), Prancis (1886) dan Austria (1892). Negara-negara adikuasa itu bersaing untuk merampas berbagai keuntungan ekonomi dari Kerajaan Joseon. Seiring dengan semakin melemahnya kekuatan nasional kerajaan itu, persaingan untuk merebut keuntungan itu semakin menguat.

93


Politik dan Pemerintahan Korea

Dari persaingan itu, Rusia berhasil memperoleh hak pertambangan serta hak penebangan kayu sementara Amerika Serikat memperoleh hak pemasangan rel kereta api antara kota Seoul dengan kota pelabuhan Inchon, hak penambangan emas dan juga hak pemasangan saluran listrik dan air minum di kota Seoul. Jepang berhasil memperoleh hak pemasangan rel kereta api antara kota Seoul dengan kota pelabuhan Pusan, hak penambangan emas serta hak penangkapan ikan di sekitar perairan Semenanjung Korea, Prancis memperoleh hak pemasangan rel kereta api antara kota Seoul dengan kota perbatasan Shinuiju, Inggris memperoleh hak penambangan perak sedangkan Jerman memperoleh hak penambangan emas. Dalam persaingan keras itu, Jepang akhirnya memutuskan untuk menguasai perekonomian Korea dan memegang hak monopoli di seluruh Kerajaan Joseon. Keputusan Jepang itu memicu pecahnya perang antara Jepang dengan Qing China (1894-1895) dan Rusia (1904-1905). Ketiga negara tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu memonopoli semua hak ekonomi Kerajaan Joseon, sehingga mereka harus terlibat perang untuk memenangkan hak tersebut. Setelah berhasil mengusir semua gangguan dan campur tangan negara-negara adikuasa itu, Jepang dapat menggabungkan Kerajaan Joseon dengan negaranya pada tahun 1910.2 Selama masa penjajahan Jepang (1910-1945), Jepang menguasai hak dan fungsi politik luar negeri Korea secara sempurna. Meskipun demikian, Korea tetap berusaha untuk menjalankan politik luar negerinya sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat internasional namun setiap saat Jepang berhasil menghalangi usaha itu. Utusan diplomatik rahasia pernah dikirim oleh Kerajaan Korea ke Eropa. Sementara tokoh-tokoh independen juga seringkali melakukan kegiatan urusan diplomatik Korea di luar negeri.

Politik Luar Negeri Korea Selatan di Masa Perang Dingin Pembagian Semenanjung Korea merupakan salah sebuah bukti jelas yang diakibatkan oleh masa persaingan ideologi. Setelah Sekutu memenang-

2

Jepang, dalam sistem Imperialisme, ingin mengembangkan negaranya sebagai negara daratan, sebab sebagai sebuah negara kepulauan, perkembangan dan peningkatan kemakmuran tanah air epang sangat terbatas. Dengan keinginannya tersebut, Jepang menggabungkan Korea ke dalam negaranya. Saat itu, Laut Timur (sebutan menurut Korea) atau Laut Jepang (menurut Jepang) yang terletak diantara Semenanjung Korea dan Kepulauan Jepang disebut sebagai Danau Jepang. Disamping itu, Jepang tetap memiliki kebijakan ‘Jepang-Korea adalah satu badan (negara)’. Kedua hal itu jelas menunjukkan kemauan keras Jepang demi mengembangkan negaranya, lepas dari bentuk negara kepulauan.

94


Politik Luar Negeri Korea

kan Perang Dunia II, Semenanjung Korea dibagi dua oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat pada garis lintang 38ยบ. Bagi Uni Soviet yang baru saja bergabung dengan Sekutu sebelum Perang Dunia II berakhir, pemberian belahan utara Semenanjung Korea sudah cukup memuaskan, sementara bagi Amerika Serikat, Semenanjung Korea adalah wilayah yang berada di luar garis pertahanannya. Atau dengan kata lain, Kepulauan Jepang-lah yang akan dijadikan garis pertahanan dunia Barat dalam menghadapi masa Perang Dingin mendatang. Oleh karena itu, sebagai pengganti Jepang, negara yang menyebabkan pecahnya Perang Pasifik dan Perang Dunia II, Sekutu tanpa keragu-raguan sedikitpun dapat membagi Semenanjung Korea. Dengan adanya pembagian itu, kedua Korea terpaksa dikuasai secara langsung oleh 2 negara adikuasa yang masing-masing kemudian berkembang menjadi negara pemimpin dalam masa Perang Dingin. Dalam situasi sedemikian itu, posisi Semenanjung Korea berkembang menjadi tempat persaingan ideologi antara komunisme-sosialisme dan kapitalisme-demokrasi. Lama kelamaan, Korea Utara didukung secara kuat oleh Uni Soviet dan RRC sementara Korea Selatan juga secara total dibantu oleh Amerika Serikat dan Jepang. Oleh karena itu, politik luar negeri Korea Selatan tidak mempunyai pilihan sama sekali, hanya condong dan mengikuti dunia Barat saja. Karena pihak Korea Utara selalu mencoba untuk mengkomuniskan Korea Selatan dan dengan alasan itu juga Korea Utara pernah menyulut Perang Korea (1950-1953), Korea Selatan terpaksa memperbolehkan penempatan pasukan PBB di dalam wilayah Korea Selatan. Pasukan PBB itu lama kelamaan diganti dengan pasukan Amerika Serikat. Sementara itu, rencana pembangunan ekonomi Korea Selatan tetap dibantu oleh dunia Barat, khususnya oleh Jepang dan Amerika Serikat, sehingga politik luar negeri Korea Selatan, baik bidang politik maupun ekonomi sangatlah condong kepada dunia Barat. Berkat politik luar negeri Korea yang condong sepihak ke dunia Barat, Korea Selatan dapat berhasil mengembangkan perekonomian nasionalnya. Akan tetapi, Korea Selatan sama sekali mengabaikan urusan diplomatik dengan dunia Timur. Dunia Ketiga dan negara non-blokpun lebih memihak Korea Utara sehingga Korea Selatan mengalami kesulitan dalam mengembangkan kegiatan diplomatiknya terhadap Dunia Ketiga dan negara-negara non-blok tersebut. Selain dari politik luar negeri, permasalahan antar Korea di masa Perang Dingin pun hampir tidak menunjukkan kemajuan. Masalah reunifikasi Semenanjung Korea dan masalah-masalah antar Korea, khususnya proyek mempertemukan keluarga yang terpisah, tidak banyak berhasil bila dibandingkan

95


Politik dan Pemerintahan Korea

dengan usaha keras yang telah dilakukan.3 Sebagai ganti keberhasilan perundingan itu, persaingan politik luar negeri antara Korea Utara-Korea Selatan justru menimbulkan persaingan peningkatan kekuatan militer dan persaingan diplomatik di seluruh dunia. Sampai akhir tahun 1980-an, persaingan diplomatik bagi kedua Korea seringkali menimbulkan kritik tajam dari masyarakat internasional, khususnya kritikan terhadap Korea Utara. Dengan menggunakan hak istimewa yang dimiliki oleh para diplomatnya, Korea Utara berani melakukan penyelundupan obat bius dengan maksud untuk mencari valuta asing di negara-negara Eropa Utara dan Timur Tengah. Hal itu disebabkan oleh persaingan diplomatik antar Korea yang terlalu keras. Persaingan yang tidak membawa keberhasilan nyata sedikitpun itu baru dapat berakhir setelah Uni Soviet runtuh pada awal tahun 1990-an.

Politik Luar Negeri Korea Selatan di Masa Pasca Perang Dingin Runtuhnya Uni Soviet yang menyusul keruntuhan blok Eropa Timur segera membawa dunia internasional ke dalam suasana berakhirnya persaingan dalam sistem Perang Dingin. Di antara negara-negara yang mengalami kekacauan akibat perubahan ideologi negara, Korea Selatan termasuk salah satu negara yang paling sibuk dalam menangani urusan politik luar negerinya. Dengan segera Korea Selatan dapat berhasil menjalin hubungan diplomatik penuh dengan dua negara adikuasa dari dunia sosialis internasional yaitu RRC dan Uni Soviet (saat itu). Hampir semua negara Eropa Timur dan Vietnam (Republik Sosialis Vietnam) juga menormalisasikan hubungan kenegaraannya dengan Korea Selatan, baik sebelum maupun sesudah Korea Selatan menjalin hubungan diplomatik dengan dua negara sosialis raksasa itu. Kemajuan yang terjadi dalam jangka waktu pendek itu, dari akhir tahun 1980-an sampai awal tahun 1990an, benar-benar diluar dugaan karena kemajuan dan keberhasilan yang dicapai oleh politik luar negeri Korea Selatan jauh lebih banyak dan lebih memuaskan daripada yang pernah diusahakan dalam jangka waktu lebih dari 4 dasawarsa sebelumnya. Sebaliknya, posisi politik luar negeri Korea Utara segera terpojok dan merosot karena kedua negara raksasa sahabatnya di belahan utara menjalin 3

Hal itu jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Jerman. Sejak awal, orang Jerman, baik yang berdiam di belahan Jerman Timur maupun Jerman Barat, dapat mengadakan kontak surat-menyurat maupun bertemu secara langsung walaupun harus melalui prosedur yang cukup rumit. Apalagi dasar ekonomi antara Jerman Timur dan Jerman Barat tidak pernah dipisahkan.

96


Politik Luar Negeri Korea

hubungan diplomatik dengan Korea Selatan. Yang jauh lebih buruk lagi bagi Korea Utara adalah bertambah buruknya perekonomian nasionalnya. Di masa Perang Dingin, Korea Utara dapat memperoleh bantuan dan mengimpor barang-barang kebutuhannya, khususnya minyak mentah dan biji-bijian dengan harga yang murah, yaitu harga yang disebut sebagai harga sahabat sosialis internasional, dari China, Rusia dan negara-negara Eropa Timur. Akan tetapi, setelah berakhirnya sistem Perang Dingin, semua negara mulai mengutamakan urusan perekonomian daripada ideologi nasionalnya. Hal itu berarti bahwa, negara-negara sahabat Korea Utara itu tidak berdaya dan tidak bisa memberikan bantuan ekonomi kepada Korea Utara. Berhentinya pemberian bantuan itu menyebabkan Korea Utara segera mengalami 4 kekurangan yang sangat serius, yaitu kekurangan valuta asing, bahan mentah untuk industri, tenaga listrik dan bahan makanan. Dalam keadaan seperti itu, Korea Utara terpaksa mengeluarkan kartu terakhirnya, yaitu menanggapi pendekatan yang dilakukan oleh Korea Selatan secara positif. Untuk menormalisasikan hubungan antar Korea dan menyelesaikan permasalahan Semenanjung Korea, Korea Selatan mengajak Korea Utara untuk turun ke arena masyarakat internasional. Sebagai tahap pertama, Korea Selatan membiarkan Korea Utara dan negara adikuasa dari dunia Barat seperti Jepang dan Amerika Serikat saling mendekati dan mulai mengusahakan prosedur yang dibutuhkan untuk menjalin hubungan diplomatik. Sebagai hasilnya, sejumlah negara dunia Barat telah memulihkan kembali hubungan diplomatik dengan Korea Utara, termasuk Australia, Italia, Prancis, Jerman dan sebagainya. Dalam hal itu, dunia Barat menyerukan supaya Korea Utara membuka kembali pintu gerbang negaranya yang selama ini tertutup rapat, menyelesaikan masalah hak asasi manusia yang terjadi di Korea Utara dan juga menghentikan kemungkinan pengembangan bom nuklir dan menghentikan ekspor peluru kendali jarak jauh ke negara-negara Timur Tengah. Korea Selatan yang juga berusaha bersama dengan dunia Barat untuk mengajak Korea Utara bergabung dalam organisasi-organisasi, tidak hanya organisasi internasional seperti Organisasi Tenaga Nuklir International (IAEA), tetapi juga organisasiorganisasi regional seperi ASEAN Regional Forum (ARF).

Penutup Sebagai salah satu negara kecil yang baru saja merdeka setelah Perang Dunia II, Republik Korea atau Korea Selatan, pernah mengalami politik luar negeri yang sangat serius karena letak geografisnya yang strategis dan juga karena pembagian Semenanjung Korea. Pembagian Semenanjung Korea menjadi dua Korea pernah menyebabkan seriusnya politik luar negeri bagi

97


Politik dan Pemerintahan Korea

Korea Utara dan Korea Selatan. Apalagi kedua Korea dikelilingi oleh 4 negara adikuasa sehingga sering disamakan dengan Israel dan Singapura yang masing-masing dikelilingi oleh dunia Arab dan Lautan Melayu. Kesulitan politik luar negeri untuk kedua Korea itu berlangsung sepanjang masa Perang Dingin dan persaingan diplomatik antar Korea itu telah menelan biaya politik yang sangat mahal. Runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya sistem Perang Dingin pada awal tahun 1990-an telah mengakibatkan terjadinya perubahan besar dalam urusan politik luar negeri Korea Utara maupun Korea Selatan. Korea Selatan yang selama Perang Dingin hanya dekat dengan dunia Barat segera berhasil menjalin hubungan diplomatik penuh dengan dua negara adikuasa di dekat Semenanjung Korea, dan sebaliknya, Korea Utara yang dekat dengan dunia Timur tengah berada dalam prosedur untuk mengadakan normalisasi hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan Jepang. Selain itu, dengan maksud menyelesaikan permasalahan Semenanjung Korea dan menormalisasikan hubungan antar Korea, Korea Selatan berusaha mengajak Korea Utara ke terjun ke dalam arena masyarakat internasional dan regional, dan sudah berhasil menyelenggarakan pertemuan puncak dengan pemerintah tertinggi di Korea Utara. Penulis : Yang Seung Yoon Ph. D. (Universitas Gadjah Mada, Indonesia), dosen senior pada Jurusan Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies. E-mail: syyang@hufs.ac.kr Mohtar Mas’oed: Ph.D.(Ohio State University, Amerika Serikat), Profesor Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. E-mail : mohtar@ugm.ac.id

DAFTAR PUSTAKA Lee Chung Hee. 1998. Politik Korea, Seoul: Hankuk University of Foreign Studies Press. Koo Youngnok & Han Sung-joo. 1985. The Foreign Policy of the Republic of Korea, New York: Columbia University Press. Mohtar Mas’oed & Yang Seung Yoon. 2004. Politik Luar Negeri Korea Selatan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Scalapino, R.A. 1987. Major Power Relations in Northeast Asia, Lanham, MD: University Press of America.

98


Politik Luar Negeri Korea

Yang Seung Yoon. 2007. Politik, Ekonomi, Masyarakat Korea: Pokok-pokok Kepentingan dan Permasalahan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

99


Politik dan Pemerintahan Korea

POLITIK INTERNASIONAL KOREA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL YANG CEPAT BERUBAH Yang Seung Yoon (Hankuk University of Foreign Studies, Korea) Mohtar Mas’oed (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)

Perubahan Konstelasi Politik Internasional Semenanjung Korea kini berada dalam tahap peralihan dari sistem Perang Dingin menuju sistem peredaan peperangan dalam konstelasi politik internasional yang tengah berubah. Mengamati serangkaian peristiwa politik yang pernah berkembang di Semenanjung Korea khususnya setelah masuknya tahun 90-an, perubahan kecenderungan tersebut sedang terjadi di sekitar kawasan Asia Timur Jauh termasuk Semenanjung Korea. Kedua Korea di Semenanjung Korea selama ini berusaha untuk menyesuaikan diri terhadap kecenderungan internasional itu melalui penandatanganan persetujuan Korea Utara dan Korea Selatan, penyelenggaraan pertemuan puncak Seoul-Pyongyang pada tanggal 15 Juni 1999, keberhasilan proyek mempertemukan keluarga yang terpisah, serangkaian pertemuan tingkat menteri untuk meningkatkan hubungan kerja sama antara Korea Utara dan Korea Selatan dan sebagainya. Korea Selatan selama ini melaksanakan diplomasi secara positif dengan kebijakan ‘mengarah ke Utara’ untuk mengatasi permasalahan Semenanjung Korea yang dikelilingi dan memiliki kaitan dengan 4 negara raksasa di sekitarnya. Kebijakan diplomatik yang dinamakan kebijakan ‘mengarah ke Utara’ yang diinisiatifkan oleh Korea Selatan telah memperoleh keberhasilan nyata dengan tercapainya normalisasi hubungan diplomatik penuh dengan negaranegara sosialis termasuk Uni Soviet dan Republik Rakyat China. Kedua negara sosialis itu sampai akhir tahun 1980-an tetap mendukung posisi Korea Utara dan sama sekali tidak menanggapi, seperti halnya dengan Amerika dan Jepang yang sampai saat sekarang mendukung posisi Korea Selatan. Memasuki abad ke-21, Korea Utara berkeinginan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan Jepang dengan maksud untuk melepaskan kesulitan ekonomi nasionalnya, dan keinginan Korea Utara itu masih dipertimbangkan oleh kedua negara tersebut.

100


Politik Internasional Korea dalam Masyarakat Internasional yang Cepat Berubah

Pemerintahan presiden Kim Dae Jung yang baru saja dibentuk setelah Korea Selatan mengalami serangkaian kegagalan dalam melaksanakan kebijakannya terhadap Korea Utara, jelas memperlihatkan pelaksanaan kebijakan terhadap Korea Utara yang berlangsung secara terus menerus dan konsisten. Dasar kebijakan pemerintah Kim Dae Jung terhadap Korea Utara pertama-tama mengarah pada hubungan kebersamaan secara damai untuk mengejar keuntungan bersama sambil mengurangi sikap permusuhan yang ada sebelumnya. Korea Selatan di masa pemerintahan Kim Dae Jung pada setiap kesempatan mengajak dan mengundang Korea Utara di arena internasional supaya negara yang tertutup rapat itu membuka pintu gerbang negaranya terhadap dunia luar. Sebuah keberhasilan nyata pada akhir tahun 1990-an adalah keikutsertaan Korea Utara dalam ASEAN Regional Forum (ARF) sebagai salah satu negara anggota tetap. Bedasarkan konsep dasar tersebut, pemerintah Kim Dae Jung mengajak Korea Utara untuk melaksanakan kebijakan reformasi dan keterbukaan terhadap dunia luar. Sementara itu, Korea Selatan secara positif mencoba melaksanakan penyatuan perdamaian yang diwujudkan sedikit demi sedikit tanpa mencoba untuk meruntuhkan sistem politik dan pemerintahan Korea Utara. Pendek kata, pemerintahan sipil Kim Dae Jung mengambil dua kebijakan yang penting terhadap Kora Utara yaitu prinsip untuk memisahkan politik dan ekonomi serta prinsip saling ketergantungan. Permasalahan Semenanjung Korea bukan sekedar permasalahan internal negara dan bangsa Korea, akan tetapi juga merupakan masalah eksternal. Permasalahan Semenanjung Korea berlangsung dalam hubungan antar negara raksasa yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan pengaruh besar bagi keuntungan dan keamanan masing-masing negara raksasa di sekitar Semenanjung Korea. Pertentangan antara negara-negara raksasa yang termanifestasi dalam Perang Dingin tersebut berpengaruh terhadap situasi di Semenanjung Korea. Sehingga berakhirnya perang dingin yang membawa konsekuensi bagi perubahan konstelasi politik internasional, pada gilirannya juga berpengaruh pada hubungan dua Korea. Isu terpanas di masa pasca Perang Dingin di Semenanjung Korea, antara lain proyek KEDO (Organisasi Pembangunan Energi Korea), persetujuan Geneva antara Korea Utara dan Amerika Serikat, perundingan normalisasi hubungan diplomatik penuh antara Korea Utara-Amerika Serikat dan Korea Utara-Jepang, perundingan peluru kendali jarak jauh antara Korea UtaraAmerika Serikat, penyelesaian masalah fasilitas nuklir Korea Utara dan sebagainya, pernah menimbulkan situasi darurat antara tiga negara yaitu Korea Selatan, Amerika Serikat dan Jepang. Isu-isu panas tersebut telah memper-

101


Politik dan Pemerintahan Korea

sulit pula permasalahan untuk menjamin keamanan dan memelihara perdamaian di Semenanjung Korea. Pemerintah Presiden Bill Clinton Amerika Serikat pernah memilih kebijakan intervensi dalam urusan internasional dan menunjukkan kelakuan nyata (tindakan militeris). Dalam hal itu, Amerika Serikat menaruh perhatian besar pada masalah regional khususnya permasalahan Semenanjung Korea. Pemerintah Bill Clinton berusaha mengatasi krisis yang berkembang dalam permasalahan Semenanjung Korea sehubungan dengan kecurigaan Amerika Serikat terhadap pengembangan nuklir oleh Korea Utara. Bersama dengan dimulainya masa pasca Perang Dingin, masyarakat internasional menghadapi masalah perluasan senjata nuklir sementara Korea Utara menolak pengawasan senjata nuklir yang dilakukan oleh Organisasi Tenaga Nuklir Internasional. Dalam hal itu, pemerintah Bill Clinton dengan keras meminta Korea Utara supaya mereka mau menerima pengawasan senjata nuklir dan masuk kembali ke dalam sistem NPT (Nuclear Protection Treaty). Dalam situasi itu, Semenanjung Korea menghadapi ketegangan baru yang memuncak pada tahun 1994. Krisis itu mulai mereda dengan adanya persetujuan Geneva antara Korea Utara-Amerika Serikat. Meskipun demikian, suasana krisis tetap berlanjut dan situasi Semenanjung Korea terus menerus mengarah pada ketidakstabilan karena sikap Korea Utara yang keras tetap berlangsung dan pemerintah Korea Selatan tidak memperlihatkan sikap yang jelas terhadap permasalahan Semenanjung Korea itu. Pada saat itu pemerintah Korea Selatan berusaha untuk tidak memegang peranan tersendiri sedangkan Amerika Serikat juga mengalami konflik pelaksanaan kebijakan terhadap Korea Selatan menyebabkan posisi Korea Selatan semakin berkurang. Dalam keadaan seperti itu, pemerintah Korea Selatan terpaksa menerima doktrin Amerika Serikat yang keras dalam permasalahan Semenanjung Korea. Karena pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Il Sung tiba-tiba meninggal menjadikan situasi tegang. Hal itu mengandung arti bahwa kekuatan politik Korea Utara tetap dipusatkan pada seorang pemimpin tertinggi dan para pengikut dibawahnya tidak boleh menangani urusan nasional. Setelah masuknya era baru Presiden George W.Bush, pemerintah Amerika Serikat meningkatkan sikap kerasnya kepada Korea Utara. Alasannya adalah Korea Utara masih belum lepas dari kecurigaan Amerika Serikat sehubungan dengan pengembangan nuklir dan ekspor peluru kendali jarak jauhnya ke negara-negara Timur Tengah. Peningkatan kesiagaan dan kecurigaan terhadap Korea Utara itu menunjukkan bahwa Pemerintah Presiden George W. Bush tidak mau lagi mengejarngejar sikap Pemerintah Pyongyang yang tidak mengenal sifat luwes. Dalam hal itu, pemerintah Presiden Kin Dae-Jung berada dalam posisi yang sulit antara Korea Utara dan Amerika Serikat.

102


Politik Internasional Korea dalam Masyarakat Internasional yang Cepat Berubah

Sementara itu, pemerintah Jepang menyadari bahwa ketertiban masyarakat internasional akan cepat berubah dan memasuki tatanan ketertiban yang baru. Berdasarkan kesadaran dan pengertian itu, pemerintah Jepang mulai mendekati masalah Semenanjung Korea, khususnya dalam hal menjalin hubungan baru dengan Korea Utara. Jepang pada dasarnya mencoba menjalin untuk hubungan baru dengan Korea Utara demi meredakan ketegangan dalam masyarakat internasional, khususnya di kawasan Asia Timur Jauh. Hubungan Korea Selatan-Jepang melalui Deklarasi Bersama Tokyo semakin bertambah membaik. Kedua negara menyepakati pula peningkatan hubungan persahabatan, penghapusan sejarah tragedi antara dua negara, perluasan hubungan tukar-menukar rakyat umum berdasarkan prinsip ekonomi pasar dan sebagainya. Berdasarkan hubungan kerja sama yang akrab antara Korea Selatan dan Jepang, Kedua negara menyepakati pula perundingan yang akrab mengenai pelaksanaan kebijakan terhadap Korea utara. Isu terpenting bagi Jepang terhadap permasalahan Semenanjung Korea adalah masalah normalisasi hubungan diplomasi penuh antara Korea Utara-Jepang, masalah mengenai partisipasi Jepang dalam usaha penyelesaian Semenanjung Korea dan masalah penyelesaian peluru kendali jarak jauh Korea Utara.

Konstelasi Politik Internasional Pasca Perang Dingin Setelah berakhirnya sistem Perang Dingin, wilayah Asia Timur Jauh menjadi pusat perhatian internasional disebabkan karena posisi strategisnya semakin bertambah penting. Dalam keadaan itu, di sekitar wilayah tersebut kini terjadi persaingan ketat antara Amerika Serikat, China, Jepang dan Rusia untuk memperebutkan kepentingan nasional masing-masing negara.1

1

Pada saat kedua Korea menyepakati pengoperasian kembali rel kereta api yang memanjang melintasi kedua negara di Semenanjung Korea itu dan akan menyambung rel kereta api itu dengan rel kereta api yang ada di Daratan China dan Siberia, Rusia, Jepang serta menanggapinya dengan menyampaikan usul untuk menggali terowongan bawah laut di Selat Korea antara Korea dan Jepang. China ikut memberikan ucapan selamat atas kemungkinan terjadinya kerja sama yang nyata antar Korea. Rusia secara langsung, oleh Presiden Vladimir Putin, menyarankan bahwa pembangunan rel kereta api itu akan jauh lebih menguntungkan bila melalui Daratan Rusia bagian timur jauh. Pemerintah Presiden Kim Dae Jung telah memberi nama rel kereta api itu sebagai “Jalan Sutra Lewat Rel Kereta Api.� Apabila pembangunan rel kereta api yang menghubungkan kawasan Asia Timur Jauh dengan Eropa bener-bener diwujudkan, maka pengangkutan barang-barang ekspor-impor antara kedua kawasan itu dapat dipastikan akan berkembang secara besar-besaran. Terhadap pengoperasian kembali rel kereta api itu, Amerika Serikat telah bersedia untuk ikut serta dalam proyek raksasa itu melalui bentuk apapun.

103


Politik dan Pemerintahan Korea

Dengan demikian, apabila persaingan antara negara-negara tersebut semakin tajam, masalah untuk menjamin keamanan dan perdamaian juga akan semakin bertambah rumit. Oleh karena itu, kerjasama mulitirateral di sekitar wilayah tersebut, yaitu antara dua Korea dan 4 negara besar, menjadi sangat penting dalam memasuki abad 21 yang mengarah pada kesejahteraan bersama. Berbeda dengan masa Perang Dingin, lingkungan politik internasional di wilayah Asia Timur Jauh berkembang dalam berbagai bentuk. Hal itu diakibatkan oleh hubungan multirateral antara 4 negara raksasa di wilayah tersebut. Negara-negara tersebut kini mencoba untuk saling mendekati dan melepaskan diri dari hubungan permusuhan. Dengan kata lain, negara-negara raksasa tersebut secara strategis saling memerlukan satu sama lain. Perubahan strutural antar negara itu pasti akan memberikan pengaruh besar bagi posisi diplomatik Korea Selatan pada umumnya dan juga bagi masalah reunifikasi dan perdamaian di Semenanjung Korea pada khususnya. Setelah runtuhnya Uni Soviet, Federasi Rusia yang berkekuatan nasionalnya sangat lemah mencoba mencari hubungan kesatuan baru. Dalam keadaan itu, tiga negara tersebut (China, Rusia dan Jepang) memperlihatkan sikapnya untuk menerima perubahan baru sambil merencanakan kebijakan strategis yang baru. Federasi Rusia mengutamakan perbaikan hubungan dengan Jepang dengan maksud untuk mengatasi krisi ekonomi nasionalnya. Berdasarkan keberhasilan diplomatik yang diselenggarakan oleh mantan perdana menteri Jepang, Hashimoto, yang disebut sebagai Deklarasi Tokyo, Rusia dan Jepang telah menandatangani persetujuan perdamaian sehingga kedua belah pihak berusaha untuk terus menyempurnakan hubungan kenegaraannya. Sementara itu, China dan Jepang merupakan dua negara yang bertanggung jawab menjaga keamanan di wilayah Asia Pasifik dan mengembangkan kesejahteraan bersama sehingga kedua negara itu tidak hanya melakukan hubungan bilateral saja tetapi juga memegang peranan penting untuk mengembangkan semua negara di wilayah Asia Pasifik menuju abad 21 yang makmur dan sejahtera. Seiring dengan perubahan hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, Federasi Rusia dan Jepang juga saling mencari hubungan kerja sama yang baru. Sementara itu, seperti halnya di masa Perang Dingin, Amerika Serikat dan Jepang tetap memelihara hubungan persahabatan dan kerja sama. Kini kedua negara tersebut melancarkan kebijakan strategis baru untuk meningkatkan hubungan kerja sama di bidang pertahanan. Hubungan bilateral Rusia-Jepang yang baru tidak akan berpengaruh terhadap hubungan erat yang telah terjalin antara Jepang dan Amerika Serikat.

104


Politik Internasional Korea dalam Masyarakat Internasional yang Cepat Berubah

Perubahan hubungan antara Amerika Serikat-China, hubungan bilateral antara Amerika Serikat-Jepang dan hubungan China-Jepang memperlihatkan berbagai aspek yang baru. Di masa pasca Perang Dingin, sangat berbeda dengan Eropa, benua Asia sangat tergantung pada perkembangan China dan pemerintah Beijing. Fungsi dan peranan pemerintah Beijing di wilayah Asia Timur Jauh masih terlihat dengan jelas. Perhatian Amerika Serikat terhadap pemerintah Beijing walaupun masih sangat keras dan mengkritik dengan tajam namun tetap memperlihatkan cara yang dapat digunakan untuk memperdalam hubungan kepercayaan. Pemerintah Presiden Bill Clinton tetap memegang kebijakan strategis yang dinamakan kebijakan ‘ikatan politik’. Dengan kata lain, sebagai ganti kebijakan untuk mengucilkan pemerintah Beijing, Amerika Serikat tetap memikirkan cara untuk melakukan ikatan politik yaitu melalui pengendalian dan kerja sama. Setelah runtuhnya Perang Dingin, di wilayah Asia Pasifik, Amerika Serikat menyampaikan kebijakan strategis baru untuk menjamin keamanan. Pada bulan Juli 1994, Pemerintahan Bill Clinton mengumumkan kebijakan keamanan yang disebut kebijakan ‘pengikatan dan perluasan’ (engangement and enlargement). Berbeda dengan kebijakan blokade terhadap wilayah komunis di masa Perang Dingin, Amerika Serikat mencoba membentuk konstruksi baru untuk menjamin ketertiban baru ang mengarah pada penerapan demokrasi liberal di seluruh dunia. Untuk memenuhi tujuan nasionalis itu, Amerika Serikat mengendalikan kebijakan strategis untuk menjamin keamanan melalui kebijakan startegis ‘engangement and enlargement’ sambil mempertinggi kepentingan ekonomi nasionalnya. Kebijakan diplomatik yang ditekankan oleh pemerintah Bill Clinton itu bertujuan untuk mengejar keuntungan ekonomi nasional sambil memperkukuh ketertiban liberalisme.

Kesimpulan Sementara Untuk menciptakan keamanan dan perdamaian di Semenanjung Korea, pertama-tama kedua negara yang bersangkutan harus dapat mewujudkan sistem peredaan ketegangan dan sebagai tahap terakhir kedua negara harus melakukan sistematisasi hubungan Korea Utara dan Korea Selatan menuju ke arah penyatuan Semenanjung Korea secara damai. Berbeda dengan apa yang terjadi di masa sistem pertentangan Perang Dingin, sehubungan dengan hubungan antar Korea yang baru itu, sejumlah negara di sekitar Semenanjung Korea membentuk hubungan bilateral dan struktur yang rumit dan mencakup banyak aspek. Peredaan ketegangan di Semenanjung Korea akan jelas mempengaruhi, tidak hanya hubungan antar Korea melainkan juga seluruh wilayah Asia Timur Jauh.

105


Politik dan Pemerintahan Korea

Walaupun demikian, unsur-unsur konflik dan acaman masih berlangsung di sekitar Semenanjung Korea seperti halnya di masa Perang Dingin. Seiring dengan berakhirnya struktur Perang Dingin internasional, hubungan struktur yang saling mengancam antara Korea Utara-Korea Selatan kini tengah mencari jalan untuk mendorong terjadinya perubahan. Dalam hal itu, hubungan antar Korea serta permasalahan Semenanjung Korea akan terus dipertanyakan kemampuannya untuk memelihara perdamainan dan keamanan dalam hubungan kerja sama bilateral. Penulis : Yang Seung Yoon Ph.D.(Universitas Gadjah Mada, Indonesia), dosen senior pada Jurusan Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies. E-mail: syyang@hufs.ac.kr Mohtar Mas’oed: Ph.D.(Ohio State University, Amerika Serikat), Profesor Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. E-mail : mohtar@ugm.ac.id

DAFTAR PUSTAKA Hahn Bae Ho & Lee Chae Jin. 1999. Patterns of Inter Korean Relations, Seoul: the Sejong Institute. Lee Chung Hee. 1998. Politik Korea, Seoul: Hankuk University of Foreign Studies Press. Kim Dalchoong & Noordin Sopiee (eds.). 1998. Regional Cooperation in the Pacific Era, Seoul: Institute of East and West Studies, Yonsei University. Mohtar Mas’oed & Yang Seung Yoon. 2004. Politik Luar Negeri Korea Selatan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Steve, Chan. 1990. East Asia Dynamism, Boulder, CD: Westview Press.

106


BAB V DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI

107


Politik dan Pemerintahan Korea

108


PARTAI POLITIK DAN DEMOKRATISASI DI KOREA Shin Doh Chull (University of Illinois, Amerika Serikat)

Pendahuluan Dua dekade terakhir telah menjadi saksi kelahiran lebih dari 40 demokrasi baru di seluruh dunia. Sebagian besar diantaranya terjadi di negara-negara yang memiliki nilai-nilai kultural atau kondisi sosio-ekonomi yang dianggap tidak dapat menerima kelahiran dan pertumbuhan demokrasi. Sebagai contoh, negara demokrasi baru di Eropa Timur tidak memiliki dasar ekonomi yang kuat, kepemilikan sektor swasta dan mekanisme pasar. Negara-negara di Afrika dan Eropa Tengah berubah menjadi negara demokrasi baru tanpa memiliki pengertian mendalam mengenai identitas kolektif antar etnis dan bahasa. Negara yang lain, terutama di Asia dan Amerika Latin, muncul atau muncul kembali dengan sedikit kemajuan dalam mengubah budaya politik otoritarian mereka menjadi budaya politik demokratis. Konsekuensinya, demokrasi yang paling berkembang dalam ‘gelombang demokratisasi ketiga’ dihadapi dengan adanya suatu tugas yang sulit dan tidak pasti mengenai cara menyatukan lembagalembaga dan aturan-aturan baru bagi politik demokratis. Seberapa sulitkah tugas menyatukan lembaga-lembaga politik dan aturan-aturan demokratis di suatu tempat yang telah memiliki tradisi politik otoritarian dalam jangka waktu yang cukup panjang? Seberapa tidak pastikah tugas konsolidasi politik di tempat-tempat itu? Mengapa begitu sulit dan tidak pasti? Tulisan ini akan menggali pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang belum banyak terjawab dalam literatur terbaru mengenai demokratisasi. Tulisan ini akan memusatkan perhatiannya pada masalah konsolidasi sistem partai demokratis di Korea Selatan untuk dua alasan. Pertama, Korea Selatan sering tampil sebagai model kemunculan negara pasca-otoritarian di belahan bumi yang lain. Lebih penting lagi, Korea Selatan merupakan salah satu dari beberapa negara yang telah membuktikan anggapan umum bahwa transisi yang sukses dari aturan otoritarian akan menuntun secara alami ke arah demokrasi yang terkonsolidasi.

109


Politik dan Pemerintahan Korea

Model sistem partai apakah yang paling dipilih oleh rakyat Korea Selatan? Apakah sistem partai demokratis murni yang berakar pada aturan-aturan dasar multipartai dan persaingan dalam pemilu secara bebas? Seberapa baikkah anggota masyarakat memperoleh informasi mengenai urusan-urusan partai dan seberapa jauhkan mereka terlibat dengan partai-partai politik? Seberapa dekatkah hubungan antara masyarakat dengan partai-partai politik? Apakah kesetiaan partisan mereka semakin menguat setelah selama 6 tahun berada dalam aturan-aturan demokratis? Faktor-faktor apakah yang paling mendorong rakyat Korea Selatan untuk kembali pada partai politik mereka? Apakah persepsi mereka mengenai penampilan partai politik sebagai lembaga perwakilan demokrasi? Ini adalah pertanyaan spesifik yang diajukan dalam survei nasional yang diadakan di Korea Selatan selama bulan November 1993.

Pokok-pokok Pembicaraan Studi mengenai demokratisasi telah menjadi “industi yang benar-benar berkembang� seperti yang diperlihatkan dengan adanya peningkatan pesat jumlah konferensi profesional dan publikasi yang menyoroti masalah demokratisasi. Dalam 3 tahun terakhir saja, lebih dari selusin jurnal profesional yang berbeda menyoroti satu atau lebih isu topik umum demokratisasi atau perubahan demokratis yang terjadi di berbagai wilayah dunia. Literatur empiris maupun teoritis terutama difokuskan pada transisi demokrasi itu sendiri, dan pada tahapan demokratisasi-yang meliputi penyusunan konstitusi baru dan pemilihan para pemimpin politik oleh anggota masyarakat. Sebagai hasilnya, hanya sedikit orang yang mengetahui tahap demokratisasi selanjutnya yang mencakup konsolidasi pemilu yang kompetitif dan juga konsolidasi lembaga demokrasi baru lainnya. Dari berbagai macam lembaga dalam demokrasi baru, partai politik memainkan peran penting dalam mengkonsolidasikan tujuan demokratis. Secara spesifik, partai dapat berperan dalam dua dimensi integral konsolidasi demokrasi, yang dibagi oleh Geoffrey Pridham ke dalam konsolidasi positif dan negatif. Dibandingkan lembaga demokratis yang lain, partai politik dapat bersifat efektif dalam mencegah pembalikan ke arah aturan-aturan otoritarian. ‘Dalam ketiadaan partai-partai yang bersaing secara bebas,’ Dankwart A. Rustow mengamati bahwa ‘kekosongan organisasional demokrasi baru dapat diisi oleh kudeta militer, seperti yang terjadi di negara-negara dunia ketiga pada tahun 1960-an dan 1970-an, atau oleh pergerakan populis atau fasis semu, seperti yang terjadi di beberapa negara pasca-komunis di Eropa Tengah dan Timur.’ Sebagai tambahan untuk menggeser tantangan otoritarian menuju demokrasi, partai politik yang kompetitif dan kuat dapat berperan penting dalam pembangunan demokrasi penuh. Tidak seperti kelompok kepentingan atau

110


Partai Politik dan Demokratisasi di Korea

asosiasi politik sukarela yang lain, partai memiliki basis di daerah-daerah dan berorientasi pada pemilu sehingga selalu berusaha untuk mengatur dan memenangkan pemilu yang kompetitif. Oleh sebab itu, dengan menawarkan kebijakan alternatif dan meminta adanya segmen pemilu yang beragam, mereka dapat menawarkan saluran lain partisipasi politik kepada rakyat umum. Lebih lanjut lagi, partai dengan basis masyarakat umum di seluruh wilayah negara, dapat secara langsung meningkatkan legitimasi dan kemajuan demokratisasi dengan mengumpulkan kepentingan yang saling bertentangan dari masyarakat dan menjamin kemampuan para pemimpin politik. Beberapa partai, tidak seperti kelompok kepentingan dan asosiasi profesional yang memiliki basis dukungan yang sempit, lebih mampu memobilisasi dan mewakili masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan. Ini menjadi alasan mengapa Gianfranco Pasquino mengemukakan bahwa ‘konsolidasi demokrasi adalah sebuah proses yang didominasi oleh partai dimana hal ini tidak selalu terjadi dalam transisi demokrasi.’ Ini juga menjadi alasan mengapa Geoffrey Pridham dan Seymour Martin Lipset memandang partai politik sebagai agen penting konsolidasi demokrasi. Sebagai agen konsolidasi demokrasi, partai politik hanya memperoleh sedikit perhatian dari komunitas pendidikan dan dari lingkungan pemerintahan bila dibandingkan dengan perhatian yang diberikan kepada lembaga dan prosedur demokratis lainnya, termasuk struktur pemerintahan dan tata cara pemilihan umum. Pilihan antara pemerintahan presidensiil atau parlementer, dan antara perwakilan pluralitas dan proporsional, dapat mempengaruhi daya tahan demokrasi baru, terutama dalam masyarakat yang terbagi secara kultural maupun etnis. Tanpa perkembangan partai yang kompetitif dan berbasis massa, demokrasi ini tidak dapat dikonsolidasikan. Beberapa partai sendiri dapat mendorong pergantian kekuasaan politik antara kekuatan yang saling bersaing dengan damai dan stabil. Seperti yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dan Stephanie lawson, tidak ada kemungkinan demokrasi murni dan konsolidasi demokrasi selama tidak ada pergantian kekuasaan antara partai-partai yang bersaing. Sampai saat ini, hanya sedikit usaha yang telah dilakukan untuk mendekati konsolidasi demokrasi dari perspektif pembangunan partai yang kompetitif dan kuat dengan basis massa yang berskala nasional. Sebagai contoh, dalam buku-buku terbaru mengenai demokratisasi yang dikarang oleh Axel Hadenius, John Higley dan Richard Gunther, Samuel Huntington, Scott Mainwaring, Guillermo O’Donnel dan J. Samuel Valenzuela, Guillermo O’Donnel, Phillippe C. Schmitter dan Laurence Whitehead, serta Robert Pinkney, partai politik dapat diketahui dengan adanya keberadaan mereka, seperti yang dikemukakan oleh Daniel Levine di awal tulisannya. Dalam buku yang dikarang

111


Politik dan Pemerintahan Korea

oleh Geoffrey Pridham, dan Dietrich Rueschemeyer, Evelyn Huber Stephens dan John D. Stephens, perhatian yang paling utama diberikan kepada organisasi dan lingkungan partai politik. Pada sisi yang lain, dalam buku yang diedit oleh Arthur Miller, William M. Reisinger, dan Vicki Hesli dan Frederick Weil, Jeffrey Huffman, dan Mary Gautier, penekanan utama diberikan pada ikatan partai terhadap massa pemilih. Pendeknya, penelitian empiris mengenai partai politik di negara-negara demokrasi baru terlalu terbatas untuk dapat menawarkan laporan yang komprehensif dan seimbang tentang kemunculan partai politik selama masa konsolidasi demokrasi. Secara substantif, penelitian telah difokuskan pada karakteristik struktural dan penampilan masing-masing partai atau dikonsentrasikan pada jumlah dan sumber dukungan partai yang diterima dari masyarakat. Konsekuensinya, penelitian ini tidak mampu menentukan secara sistematis bagaimana struktur dan penampilan partai politik serta dukungan masyarakat saling berhubungan satu sama lain. Seperti yang dikemukakan oleh Nancy Bermeo dan William Crotty, partai politik harus dimasukkan dalam studi mengenai konsolidasi demokrasi agar dapat dihasilkan suatu laporan yang lebih lengkap tentang kompleksitas dan ketidakpastian yang tercakup dalam proses itu. Pendekatan yang berbeda juga harus digunakan untuk mengawasi integrasi partai dalam praktek-praktek standar demokrasi perwakilan. Tulisan ini mengusulkan dan menguji sebuah pendekatan yang berhubungan dengan dimensi penampilan dan dukungan dan juga pendekatan terhadap figur partai politik sebagai organisasi penengah terpenting antara warga negara dan negara demokratis.

Pertimbangan Teoritis mengenai Pembentukan Semangat Partai Akhir-akhir ini, sebagian besar kalangan terpelajar meningkatkan penggunaan penelitian survei untuk mengikuti pembentukan semangat partai dalam masyarakat demokrasi baru. Kesimpulan utama yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah: (1) bahwa mayoritas massa dalam demokrasi baru tetap tidak terikat pada partai politik manapun; dan (2) bahwa kesimpulan mereka tentang adanya kesetiaan partisan yang stabil serta berjalan dengan sangat lamban dan tidak jelas, berkebalikan dengan apa yang mungkin diharapkan seseorang dari teori asosiatif atau korporatisme demokratis yang telah ada sebelumnya. Mengapa begitu banyak masyarakat umum dalam demokrasi baru menolak untuk mengidentifikasikan diri mereka dengan sarana institusional standar demokrasi perwakilan ini? Mengapa masyarakat tetap tidak teridentifikasi dengan partai sementara mereka terikat kuat dengan ideologi dan kepribadian politik? Faktor-faktor apakah yang menghalangi pertumbuhan identifikasi

112


Partai Politik dan Demokratisasi di Korea

mereka dengan partai, yang memainkan peran penting dalam demokrasi yang stabil? Empat model teori yang berbeda telah diperkenalkan baru-baru ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Model pertama memusatkan perhatiannya pada lamanya pengalaman personal dengan politik demokratis. Menurut Philip Converse, semangat partai yang stabil adalah sebuah fungsi bagian masa demokratis, yang menggambarkan keterlibatan personal dalam dua prosedur minimum demokrasi perwakilan, yaitu pemilu dan partai politik. Berdasarkan pada pengalaman politik demokrasi lama dimana pemilu yang kompetitif dan partai muncul secara perlahan dalam waktu yang sangat panjang, model sosialisasi ini menyatakan bahwa semangat partai yang stabil bukanlah fenomena dalam satu generasi saja; tetapi lebih merupakan proses antar generasi yang hanya dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Model kedua menekankan peran media massa, terutama media elektronik, dalam menjelaskan proses politik kepada warga negara. Dalam era komunikasi massa ini, partai harus bersaing dengan televisi dan media lainsebagai sumber informasi bagi para pemilih dan juga sebagai agen yang mengarahkan pilihan politik mereka dan meningkatkan partisipasi mereka dalam politik. Menurut model ini, jika rakyat semakin memperhatikan media massa, mereka akan semakin kurang teridentifikasi dengan partai politik dan bergabung dengan partai-partai itu. Model ketiga menekankan perkembangan peran kelompok kepentingan dan asosiasi profesional sebagai penengah antara rakyat dan negara. Menurut Phillips Schmitter, rakyat sekarang memiliki ‘serangkaian kepentingan yang lebih banyak dan lebih beragam’ dan ‘keahlian organisasional yang agak berbeda.’ Oleh sebab itu, mereka semakin tidak tergantung pada partai politik untuk mempertahankan dan mewakili kepentingan tersebut terhadap negara, tetapi beralih pada saluran perwakilan alternatif dimana kelompok kepentingan dan asosiasi profesional berperan sebagai pemain kunci. Menurut model Korporatis Baru ini, jika orang-orang semakin terlibat dengan kehidupan asosiasional, mereka akan makin kurang terikat dengan partai politik dan terlibat dalam politik partisan. Model keempat dipusatkan pada penampilan demokratis partai-partai politik. Agar masyarakat secara perorangan dapat tertarik kepada partai politik, tiap partai harus membedakan dirinya dari partai lain dengan secara rutin menawarkan alternatif kebijakan yang jelas. Ketidakmampuan partai untuk menampilkan kebijakan dan tugas penting demokrasi perwakilan yang lain secara efektif akan melemahkan keinginan warga untuk mengidentifikasikan dirinya dengan partai politik. Menurut model penampilan demokratis ini, semakin positif rakyat menilai penampilan partai, mereka akan semakin dekat dengan partai tersebut.

113


Politik dan Pemerintahan Korea

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan survei lintas-sektoral untuk menguji tiga dari empat model alternatif yang telah dijelaskan diatas, yaitu media, neo-korporatis dan penampilan. Model pertama, yang difokuskan pada sosialisasi politik, tidak dapat diuji secara langsung karena pengujian model itu akan membutuhkan survei longitudinal. Sebagai gantinya, model ini akan dinilai secara tidak langsung dengan bukti-bukti survei yang berkaitan dengan orientasi pilihan terhadap partai politik sejak penyerahan kekuasaan otoritarian di Korea 6 tahun lalu.

Konseptualisasi Konsolidasi demokrasi partai-partai politik dikonseptualisasikan dalam tulisan ini sebagai proses dinamis yang melibatkan interaksi antara partaipartai dan masyarakat yang perlu diwakili dalam proses pembuatan kebijakan. Secara khusus, proses konsolidasi itu berada dalam dua tingkat, makro dan mikro. Pada tingkat makro, proses itu melibatkan peningkatan kapasitas partai untuk mewakili rakyat; sedangkan pada tingkat mikro, proses itu melibatkan peningkatan dukungan rakyat terhadap partai sebagai sebuah lembaga perwakilan. Dasar dari konseptualisasi ini adalah 2 premis sederhana. Pertama, masing-masing partai dalam demokrasi dapat tetap ada dan berfungsi lebih baik saat mereka memiliki basis dukungan rakyat sebagai sandarannya. Kedua, partai demokratis dapat membentuk suatu dukungan hanya jika mereka melayani rakyat pada basis yang berkelanjutan. Partai politik dalam rezim demokratis membutuhkan basis dukungan rakyat yang permanen diseluruh negeri agar dapat bertahan dari kekalahan pemilu ataupun kesalahan kebijakan. Tanpa dukungan rakyat yang setia, partai-partai dapat dengan mudah hilang, kemudian melenyapkan keberadaan oposisi yang efektif, ‘sine qua non demokrasi kontemporer’ (dari halaman 260). Ketiadaan basis dukungan akan membawa pada penurunan atau pergantian partai berkuasa dan oposisi dalam banyak negara demokrasi baru, termasuk Serikat Warga Negara di Jerman Timur, Partai Rakyat di Korea dan Serikat Pusat Demokrasi di Spanyol. Seperti yang terlihat dalam pemilu parlementer dalam demokrasi Eropa Timur, ketiadaan basis dukungan yang stabil juga mengurangi kemampuan partai demokratis yang lain, seperti Blok Non-Partai Polandia untuk Mendukung Reformasi, dalam mewakili kepentingan minoritas demokratis diantara masyarakat. Sebagai kebalikan tajam dari partai demokrasi baru yang sial itu, beberapa partai bekas komunis di Eropa Timur dan Tengah dengan basis dukungan yang solid hanya memiliki pilihan antara tetap bertahan dalam keruntuhan komunisme atau memperoleh kekuatannya dalam parlemen pasca otoritarian. Aliansi Demokrasi Kiri di Polandia, Partai Buruh Demokratis di Lithuania dan

114


Partai Politik dan Demokratisasi di Korea

Partai Sosialis di Hongaria, umpamanya, kini kembali berkuasa dengan mengelompokkan kembali kelompok-kelompok bekas komunis. Daya tahan partai politik sangat tergantung pada jumlah dimana mereka didukung oleh berbagai segmen yang ada dalam masyarakat umum. ‘Memiliki sekurang-kurangnya dua partai dengan basis kesetiaan masyarakat yang tak dapat dibantah,’ oleh sebab itu, ‘hampir menjadi kondisi yang dibutuhkan bagi sebuah demokrasi yang stabil.’ Di Amerika Serikat dan negara-negara demokrasi lama, identifikasi psikologis atau pendekatan terhadap partai individu telah lama disamakan dengan dukungan bagi partai politik. Sayangnya, praktek penelitian ini, meskipun terlalu sederhana, telah diterapkan pada studi mengenai partai politik dalam demokrasi baru. Model satu dimensi dukungan partai, bagaimanapun, tidaklah cocok untuk suatu pemahaman yang akurat dan penuh arti terhadap apa yang telah terjadi di banyak negara dalam gelombang baru demokratisasiantara massa dan partai politik. Hubungan mereka tidak statis ataupun satu dimensi; sebaliknya, hubungan mereka bersifat dinamis dan multi-dimensi. Model dukungan massa terhadap partai yang sudah ada dinyatakan dalam dua asumsi kritis mengenai pengalaman politik kewarganegaraan masyarakat, yang tidak satu pun diantaranya dapat ditemukan dalam demokrasi baru. Yang pertama adalah bahwa masyarakat secara keseluruhan berada dalam sistem partai demokratis yang terdiri dari dua atau lebih partai politik yang saling bersaing. Yang kedua adalah asumsi bahwa mereka secara seimbang memperoleh informasi mengenai konfigurasi sistem partai demokratis mereka yang sedang berubah. Berkebalikan dengan asumsi-asumsi ini, masyarakat mayoritas atau plural dalam demokrasi baru seringkali tidak mendukung partai politik demokratis, seperti yang diperlihatkan dalam pemilu parlemen yang diadakan di Bulgaria, Hongaria, Lithuania, Polandia, Rumania dan Rusia. Sebagai gantinya, mereka mendukung partai anti sistem demokratis yang didasarkan pada aturan-aturan politik otoritarian. Tak dapat diragukan, gelombang terbaru pendekatan masyarakat terhadap partai-partai anti sistem ini tidak dapat diterima sebagai indikator sah konsolidasi demokrasi. Oleh sebab itu, perbedaan krusial harus dibuat antara tipe semangat partisan demokratis dan anti demokratis karena ‘partai-partai anti sistem memiliki tanggung jawab terhadap hasil konsolidasi demokrasi dan tingkat dimana konsolidasi demokrasi itu dicapai.’ Demokrasi transisional dapat dikonsolidasikan hanya bila masyarakat mampu memilih antara partai yang terikat pada aturan-aturan politik demokratis. Labih jauh lagi, dalam demokrasi baru, partai politik tidak terkonsolidasi dalam suatu cara yang sama dengan cara yang digunakan pada masa demokrasi lama. Mereka tidaklah kohesif dan stabil melainkan sangat terpecah-

115


Politik dan Pemerintahan Korea

pecah dan labil. Konsekuensinya, banyak partai politik cenderung datang dan pergi antara suatu pemilu. Dalam jangka waktu pendek, banyak partai yang menghilang sementara banyak pula bermunculan partai-partai baru. Di beberapa negara seperti Polandia, Hongaria, dan Rusia, sebagai contoh, beberapa lusin partai politik ikut berperan dalam pemilu parlementer terakhir. Pada sisi yang lain, di negara demokrasi baru seperti Korea Selatan, pemimpin 3 partai konservatif secara tiba-tiba dan rahasia setuju untuk bergabung menjadi satu sambil berusaha menjaga agar orang-orang yang setia pada partai tidak memperhatikan perubahan yang mendadak itu. Dalam berbagai situasi perpecahan, ketidakstabilan dan kerahasiaan, masyarakat tidak dapat dianggap memperoleh informasi secara seimbang mengenai perubahan konfigurasi sistem partai mereka yang terjadi dengan cepat. Untuk alasan ini, penelitian yang penuh arti mengenai dukungan partai dalam demokrasi baru harus melihat dibalik tingkatan pendekatan psikologis kepada partai diantara massa pemilih. Penelitian itu harus mempelajari pertanyaan yang lebih mendasar seperti besarnya dukungan masyarakat untuk sistem partai demokratis dan seberapa baikkah masyarakat mendapat informasi mengenai sistem tersebut. Dukungan bagi sistem partai demokratis dikonseptualisasikan dalam tulisan ini sebagai fenomena multi-segi dengan empat dimensi yang berbeda. Pertama, dimensi politik/evaluatif: bahwa sebuah sistem partai dengan dua atau lebih partai yang saling bersaing lebih baik daripada sistem satu partai atau sistem dimana tidak ada persaingan antar partai. Kedua, dimensi kognitif: bahwa dukungan didasarkan pada berbagai tingkat informasi faktual yang berbeda tentang pelaksanaan sistem partai. Ketiga, afeksi: bahwa dukungan untuk sistem partai akan berubah-ubah dengan reaksi positif atau negatif kepada anggota pemilihnya. Dan terakhir, dimensi perilaku: derajat keterlibatan fisik dalam kegiatan partai-partai tersebut. Dengan demokratisasi, akan ada gerakan, baik kuantitatif maupun kualitatif, dalam setiap dimensi-dimensi tersebut. Tetapi sebuah penilaian akurat tentang dukungan masyarakat umum bagi sistem partai demokratis harus memperhitungkan perubahan dalam keempat dimensi model itu. Apa yang harus dilakukan partai politik demokratis untuk mengamankan basis massa yang setia? Kunci untuk pertanyaan yang berorientasi pada kebijakan ini terletak pada kualitas penampilan mereka. Partai-partai dalam demokrasi perwakilan berbeda secara mendasar dengan partai-partai yang ada dalam rezim non-demokratis dalam hal raison d’etre (dari halaman 263) mereka. Mereka tidak bertindak menurut aturan-aturan otoritarian bahwa masyarakat memiliki satu kepentingan yang sama dan bahwa hanya ada satu cara yang benar untuk mengorganisir kepentingan mereka. Sebagai gantinya, partai-partai demokratis bertindak menurut prinsip-prinsip pluralisme

116


Partai Politik dan Demokratisasi di Korea

dan interaksi sosial. Oleh sebab itu, untuk mengamankan basis dukungan di seluruh negeri, partai-partai demokratis harus melakukan lebih banyak kegiatan daripada hanya memobilisasi dukungan personal untuk kepemimpinan dan kebijakan partainya. Secara khusus, partai politik dalam demokrasi baru harus mampu memperkuat masyarakat secara perorangan untuk membuat dan memperlihatkan pilihan mereka dengan tindakan politik perorangan maupun kolektif. Sebagai tambahan, partai-partai demokratis juga harus mampu mewakili pilihan-pilihan masyarakat, dan tidak hanya keinginan para pemimpin mereka, dalam proses pembuatan kebijakan. Yang paling penting lagi, partai-partai harus berada dalam suatu posisi untuk dapat menawarkan pilihan pemerintahan kepada para pemilih, dengan mengembangkan kebijakan alternatif dan dengan mengkritik satu sama lain. Saat dua partai atau lebih dalam demokrasi baru menjalankan semua tugas ini secara efektif, sistem partainya menjadi terkonsolidasi secara demokratis. Selain daripada itu, sistem partai itu menjadi rezim campuran, elemen paduan antara otokrasi dan demokrasi, atau sebuah demokrasi yang tidak terkonsolidasi seperti dictablandas atau democraduras (dari halaman 264). Penelitian mengenai partai politik dalam demokrasi baru Korea Selatan dirancang untuk menilai secara bersama, baik kemampuan penampilan mereka dan basis dukungan masyarakat mereka. Dengan mempelajari kedua dimensi politik partai demokratis, penelitian ini akan menghasilkan informasi yang lebih dapat dipercaya mengenai kesulitan dan ketidakpastian konsolidasi demokrasi daripada informasi yang diberikan oleh penelitian mengenai partai politik sebelumnya.

Pengukuran Seberapa baik atau burukkah partai-partai politik Korea menjadi perantara antara masyarakat secara perorangan dengan negara demokratis? Untuk menggali pertanyaan umum ini, penulis menanyakan kepada responden 3 pertanyaan spesifik. Yang pertama adalah untuk menentukan bagaimana partai politik secara keseluruhan memperkuat dan memperluas partisipasi sebagian besar masyarakat Korea Selatan dalam politik. Pertanyaan kedua adalah apakah partai-partai lebih melayani kepentingan para pemimpin mereka daripada kepentingan masyarakat umum. Pertanyaan ketiga berkaitan dengan kapasitas partai untuk menyusun kebijakannya yang secara substantif berbeda satu sama lain. Jawaban-jawaban positif atas 3 pertanyaan ini kemudian dipadukan dalam suatu angka indeks kapabilitas penampilan, yang berkisar dari angka 1 sampai 4. Nilai 1 menunjukkan bahwa partai politik Korea tidak mampu menjalankan fungsi krusial demokrasi perwakilan. Nilai 4, pada sisi

117


Politik dan Pemerintahan Korea

yang lain, menyatakan bahwa partai politik dapat menjalankan semua fungsifungsi tersebut. Seberapa kuat atau lemahkah masyarakat Korea mendukung partai politik sebagai sarana institusional demokrasi perwakilan? Disini ada 4 rangkaian pertanyaan. Rangkaian pertanyaan pertama (tiga pertanyaan) adalah untuk menentukan seberapa banyak dukungan warga Korea Selatan untuk sebuah sistem partai yang didasarkan pada persaingan bebas dan sistem multipartai. Secara khusus, pertama-tama responden ditanya apakah mereka setuju atau tidak dengan pernyataan bahwa partai politik selalu dibutuhkan untuk pembangunan demokrasi. Kemudian mereka ditanya apakah negara mereka akan menjadi lebih baik dengan sistem partai tunggal. Terakhir, mereka ditanya apakah persaingan bebas antara partai-partai sangat penting untuk membangun demokrasi. Jawaban mereka atas tiga pertanyaan tersebut kemudian dinilai secara bersama untuk dapat menentukan tipe sistem partai yang paling diinginkan oleh warga Korea Selatan. Sistem partai berkisar dari sistem nonpartai, sistem satu partai dan multi-partai non-kompetitif, sampai sistem multi partai yang kompetitif. Dimensi kedua dukungan partisan difokuskan pada tingkat pengetahuan faktual mengenai politik partai. Untuk mengetahui seberapa baik dan seberapa akurat seorang individu memperoleh informasi, pertama-tama responden diminta untuk menyebutkan nama semua partai yang mereka yakini dapat terwakili dalam parlemen. Jumlah jawaban yang tidak benar kemudian dikurangi dari jumlah jawaban yang benar untuk menyusun sebuah indeks informasi partisan, yang berkisar dari minus 4 (–4) sebagai angka terendah sampai angka 4 (+4) sebagai angka tertinggi. Angka negatif dan positif dalam indeks ini berturut-turut menunjukkan informasi yang salah dan informasi yang benar: besarnya angka menunjukkan kecenderungan apakah responden telah mendapatkan informasi yang benar atau salah. Pada sisi yang lain, angka nol menunjukkan ketidakpedulian atau posisi tengah antara dua kecenderungan itu. Responden yang jawabannya memperoleh angka diatas +2, berarti responden tersebut mampu mengidentifikasi lebih dari dua partai diantara 4 partai yang terwakili dalam parlemen Korea, dan dipandang sebagai orang yang telah mendapat informasi secara seimbang. Dimensi ketiga berkaitan dengan perasaan positif atau negatif terhadap partai politik. Untuk mengukur tingkatan, responden ditanya apakah mereka mempunyai partai yang dirasakan dekat dengan mereka secara personal pada saat survei. Untuk menentukan perubahan kedekatan masyarakat terhadap partai selama proses demokratisasi, mereka juga ditanya apakah mereka menjadi semakin condong atau justru menjauh dari partai secara keseluruhan sejak berakhirnya pemerintahan otoritarian 6 tahun yang lalu. Berdasarkan

118


Partai Politik dan Demokratisasi di Korea

jawaban mereka terhadap dua pertanyaan ini, responden digolongkan dalam satu dari 6 tipe kedekatan yang berbeda, termasuk partisan dan non partisan yang progresif dan agresif. Dimensi keempat, dukungan bagi partai politik demokratis, difokuskan pada tingkat keterlibatan personal dalam kegiatan partai. Secara khusus, responden ditanya apakah mereka pernah bekerja untuk suatu partai. Sebagai tambahan, mereka ditanya mereka pernah menjadi anggota partai apa. Berdasarkan jawaban mereka atas dua pertanyaan tersebut, responden dikelompokkan ke dalam satu dari 3 kategori: (1) tidak aktif; (2) agak aktif; dan (3) sangat aktif. Terakhir, semua indikator bagi keempat indeks dimensi dinilai secara bersama untuk menentukan keseluruhan tingkat dan tipe dukungan bagi politik partai demokratis diantara masyarakat Korea Selatan. Untuk menentukan tingkat dukungan, nilai-nilai indeks itu dibagi dalam 2 bagian dengan cara dijumlahkan. Pada sisi yang lain, tipe dukungan, diidentifikasikan dengan menilai angka-angka itu dalam urutan khusus, dimulai dengan dimensi pilihan untuk sistem multipartai yang kompetitif, melalui informasi dan pengaruh, sampai pada keterlibatan dalam kegiatan partai. Langkah ini telah menghasilkan lima tipe yang berbeda: (1) lawan politik partai demokratis; (2) pendukung politik partai demokratis yang tidak mendapatkan informasi; (3) pendukung politik partai demokratis yang telah memperoleh informasi namun tidak terikat; (4) pendukung politik partai demokratis yang telah memperoleh informasi dan terikat namun tidak aktif; dan (5) pendukung politik partai demokratis yang telah memperoleh informasi, terikat dan aktif. Partai politik bukanlah satu-satunya sarana institusional demokrasi perwakilan. Kelompok kepentingan, asosiasi kalangan profesional dan sebagainya merupakan saluran alternatif yang menghubungkan rakyat dengan negara. Oleh sebab itu, partisipasi dan asosiasi yang bersifat sukarela dan perantara ini seringkali mempertimbangkan dimensi integral konsolidasi demokratis. Untuk mengukur kecenderungan keterlibatan masyarakat dalam kelompokkelompok serta asosiasi-asosiasi tersebut, penulis menanyakan kepada para responden apakah mereka menjadi anggota kelompok kepentingan, organisasi kultural ataupun kelompok profesional disamping menjadi anggota partai politik. Jumlah kelompok dan organisasi dimana para responden menjadi anggota dianggap sebagai indikator keanggotaan asosiasi secara sukarela. Arti penting partai politik, terutama sebagai agen komunikasi politik mengalami penurunan yang sangat tajam dengan penyebaran teknologi persuasi massa yang baru dan canggih. Masyarakat umum semakin disuguhi pesanpesan politis yang diusung oleh media massa. Untuk menghitung jumlah sajian berita media massa terhadap rakyat Korea, penulis menanyakan kepada

119


Politik dan Pemerintahan Korea

para responden apakah mereka menerima informasi mengenai politik dari televisi, radio, surat kabar atau majalah. Suguhan media mereka kemudian diukur dengan jumlah sumber media yang disebutkan.

Kesimpulan Pembahasan 1.

Dukungan Bagi Sistem Partai Demokratis

Tipe sistem partai seperti apakah yang diinginkan masyarakat Korea Selatan bagi pengembangan selanjutnya sistem politik demokratis mereka yang baru? Apakah mereka memilih sebuah sistem multi-partai yang berdasarkan prinsip persaingan bebas dan terbuka? Untuk menjawab pertanyaan ini, analisa univariate (dari halaman 268) dibuat pada data dari contoh survei nasional yang diselenggarakan selama bulan November 1993. Seperti yang diharapkan, suatu mayoritas yang luar biasa (95%) setuju bahwa partai sangat diperlukan bagi pembangunan demokrasi. Lebih lanjut lagi, mayoritas yang besar (89%), memilih sistem multi-partai dengan tidak setuju pada pernyataan bahwa negara mereka akan lebih baik dengan sistem satu partai. Walaupun demikian, banyak pendukung sistem multi partai tidak bersedia untuk mengakui prinsip-prinsip persaingan bebas antara partai-partai untuk pengembangan demokrasi; kurang dari setengah (44%) yang mengakui prinsip-prinsip itu. Meskipun 9 dari 10 warga Korea Selatan memilih sistem multi-partai, 2 dari 5 warga Korea (38%) memilih sistem mutipartai yang kompetitif. Kesimpulan ini membuat jelas bahwa pengertian demokrasi liberal mengenai sistem partai yang kompetitif belum mengakar dalam masyarakat Korea. Seberapa jauhkan warga Korea memperoleh informasi mengenai urusan-urusan partai mereka? Dari 4 partai yang terwakili dalam parlemen Korea, hampir 9 dari 10 responden (87%) dapat menyebutkan dengan benar satu atau lebih nama partai-partai tersebut. Lebih dari setengah (54%) mampu mengidentifikasi lebih dari 2 partai. Namun, hanya kurang dari seperempat (23%) yang mampu mengidentifikasi seluruh partai. Dari jumlah responden yang tidak mendapat informasi dengan baik, lebih dari sepertiganya (36%) kurang mendapat informasi yang benar mengenai satu atau lebih partai. 2 dari 7 responden (29%) pada beberapa hal mendapat informasi yang salah mengenai komposisi sistem partai parlementer mereka. Saat jawaban yang benar dan salah dinilai bersama, lebih dari satu diantara 25 responden (4%) lebih banyak mendapatkan informasi yang salah daripada informasi yang benar. Pada sisi yang lain, 1 dari 5 responden (20%) lebih tidak mendapatkan informasi daripada telah mendapatkan informasi, sehingga tidak dapat mengidentifikasi secara akurat satu atau lebih dari 4 partai parlementer. Sedikit lebih banyak (21%) dapat mengidentifikasi secara

120


Partai Politik dan Demokratisasi di Korea

akurat hanya dua partai parlementer. Responden yang memperoleh informasi secara akurat mengenai lebih dari 2 partai hanya sebanyak kurang dari setengah (45%) masyarakat Korea Selatan. Jadi, hanya 1 dari 5 warga Korea Selatan (21%) yang mendapatkan informasi yang mendalam dan akurat mengenai komposisi sistem partai parlementer. Secara keseluruhan, warga Korea cenderung mempercayai aturan-aturan partai politik, tetapi mereka tidak memperoleh informasi yang cukup mengenai pelaksanaan aturan-aturan partai tersebut. Lebih lanjut lagi, secara psikologis, mayoritas warga Korea tidak terikat secara dekat dengan partai manapun. Saat ditanya apakah mereka merasa dekat dengan sebuah partai, hanya sedikit lebih banyak dari sepertiga responden (36%) yang menjawab ya. Angka indeks semangat partai ini lebih rendah 4 poin dari gambaran yang ditemukan di Spanyol pada tahun 1978 saat Spanyol berada dalam tahap konsolidasi demokrasi yang hampir sama. Angka indeks Korea Selatan itu juga tidak seimbang dengan angka indeks yang diperoleh 8 negara Eropa Timur yang mengalami demokratisasi pada tahun 1994 dimana Polandia merupakan satu-satunya negara yang mencatat angka indeks semangat partai yang lebih rendah daripada Korea Selatan. Apakah masyarakat Korea menjadi lebih berorientasi terhadap partai politik setelah mengalami 6 tahun masa demokratisasi? Seperti yang dinyatakan dalam model sosialisasi Philip Converse, banyak warga Korea Selatan menjadi lebih tertarik pada partai saat mereka mendapatkan pengalaman politik demokratis yang lebih banyak. Lebih dari 2 diamtara 5 responden (43%) yang diwawancarai menunjukkan keterikatan partai yang lebih besar, sementara hanya 11% yang menunjukkan jawaban sebaliknya. Hal ini menyatakan bahwa pengalaman politik demokratis berperan secara positif pada perkembangan kesetiaan partisan, tetapi tidak terlihat memberikan sumbangan yang lebih besar bagi pertumbuhan semangat partai itu sendiri -yang menopang demokrasi yang stabil- setidaknya selama periode awal demokratisasi. Sekitar setengah dari masyarakat Korea (49%) gagal untuk mengarahkan diri mereka menjadi lebih dekat dengan partai, bahkan setelah lebih dari 6 tahun pengalaman demokratisasi. Walaupun demikian, sangat menguatkan bahwa hampir 1 dari 4 (23%) warga Korea sedang mengarah untuk menjadi partisan. Seberapa aktifkah masyarakat Korea terlibat dalam politik partai? Seperti yang telah dapat diperkirakan dari rendahnya semangat partai mereka, mereka lebih tidak bersedia untuk terlibat dalam politik partai. Minoritas yang kecil (18%) menunjukkan bahwa mereka bekerja untuk suatu partai dalam beberapa kapasitas. Hanya 1 dari 20 (5%) menyatakan bahwa mereka adalah anggota partai pada saat survei itu dilaksanakan. Ukuran keanggotaan partai Korea lebih kecil bila dibandingkan dengan 5 dari 9 demokratisasi Eropa Timur.

121


Politik dan Pemerintahan Korea

Survei ini juga dimaksudkan untuk mengetahui dukungan masyarakat terhadap sistem partai demokratis dalam 4 dimensi partai yaitu pilihan, informasi, pengaruh dan keterlibatan. Dari 4 dimensi itu, dimensi informasi memperoleh tingkat dukungan tertinggi, yaitu 45%, diikuti oleh dimensi pilihan (38%), pengaruh (36%) dan keterlibatan (18%). Tidak mengejutkan bahwa hanya sedikit minoritas masyarakat Korea terikat dan terlibat dalam partai politik. Dalam demokrasi yang lain, dimensi pengaruh dan perilaku politik partai demokratis juga tumbuh secara perlahan. Meskipun demikian, yang mengejutkan adalah bahwa aspek kognitif dan evaluatifnya juga tumbuh secara perlahan. Setelah pelaksanaan pemilu yang bebas dan kompetitif, mayoritas masyarakat Korea telah belajar mengenai arti penting partai-partai yang kompetitif. Secara seimbang, banyak warga Korea yang telah mendapatkan informasi yang cukup mengenai partai-partai yang saling bersaing untuk mendapatkan dukungan dan suara mereka. Kesimpulan ini memperkuat pengakuan mengenai kesulitan dan ketidakpastian yang ada dalam konsolidasi aturan-aturan demokratis. Survei ini juga memperoleh kesimpulan mengenai distribusi responden dalam semua indeks yang menjumlahkan jawaban-jawaban dukungan terhadap 4 dimensi. Angka 1 dalam indeks ini menunjukkan bahwa responden tidak mendukung satu dimensi pun sedangkan angka 5 menunjukkan bahwa mereka mendukung semua dimensi. Hasil yang diperoleh survei ini menunjukkan bahwa pluralitas responden (33%) tidak mendukung satu dimensi pun sedangkan mayoritas (54%) tidak mendukung atau mendukung hanya satu dimensi. Angkaangka ini hampir 3 kali lebih tinggi daripada angka lain (19%) yang menunjukkan jumlah responden yang mendukung sebagian besar atau semua dimensi tersebut. Rata-rata, masyarakat Korea mendukung politik partai demokratis hanya pada 2 dimensi dari 4 dimensi yang ada. Distribusi responden dalam 5 tipe orientasi demokratisasi partai politik yang berbeda juga dapat diketahui dari survei ini. Tipe pertama adalah penentangan terhadap sistem partai demokratis. Hampir 3 dari 5 responden (58%) menentang sistem multi partai yang kompetitif. Tipe kedua adalah dukungan yang tidak memperoleh informasi. Seperenam (16%) mendukung sistem multipartai yang kompetitif meskipun mereka tidak memperoleh informasi yang memadai mengenai persaingan partai politik. Tipe ketiga adalah dukungan yang memperoleh informasi namun tidak terikat. Seperdelapan (12%) terdiri dari pendukung sistem partai demokratis yang tidak terikat secara dekat pada partai politik manapun meskipun mereka telah mendapat informasi yang cukup mengenai partai politik. Tipe keempat adalah pendukung yang memperoleh informasi dan terikat namun tidak terlibat dalam partai politik. Seperduapuluh (5%) terdiri dari pendukung partisan yang telah memperoleh

122


Partai Politik dan Demokratisasi di Korea

informasi yang memadai namun tidak terlibat secara langsung dalam urusanurusan partai. Kelima, tipe yang terakhir, adalah pendukung yang tidak pantas. Minoritas yang sangat kecil (3%) merupakan pendukung tipe ini yang tidak hanya telah memperoleh informasi dan terikat pada partai politik namun juga terlibat dalam kegiatan partai tersebut. 2.

Persepsi Mengenai Penampilan Partai dan Semangat Partai

Partai politik dalam sistem demokrasi, tidak seperti partai politik yang ada dalam sistem non-demokrasi, harus menampilkan bermacam-macam fungsi yang terkait dengan susunan, pemberitaan, dan perwakilan pilihan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan. Untuk menilai mutu penampilan mereka sebagai partai demokratis, pertama-tama penulis menanyakan kepada para responden apakah partai mereka telah memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam politik. Mayoritas responden (57%) menjawab ya. Saat ditanya mengenai kepentingan apa yang diwakili oleh partai mereka, mayoritas responden yang lebih besar (69%) mengatakan bahwa partai-partai itu cenderung mewakili kepentingan para pemimpin partai daripada kepentingan masyarakat Korea. Mayoritas responden yang lebih besar lagi (72%) menyatakan bahwa partai mereka tidak berbeda dengan partai-partai yang lain. Kesimpulan ini memperjelas bahwa partai politik Korea merupakan pengaruh positif dalam membawa sejumlah besar masyarakat Korea masuk dalam proses politik. Bagaimanapun, di luar tahap awal mobilisasi massa ini, partai-partai terlihat hanya sedikit berperan dalam perkembangan lebih jauh demokrasi perwakilan. Bagi mayoritas masyarakat Korea Selatan, partaipartai masih lebih bertindak sebagai alat elit dan tidak menawarkan pemerintahan demokratis alternatif untuk massa pemilih. Penilaian masyarakat Korea terhadap penampilan partai politik dalam 3 bidang fungsi dapat ditunjukkan melalui angka indeks. Dalam indeks 4 angka ini, yang berkisar dari angka terendah 1 (tidak demokratis sama sekali) sampai angka tertinggi 4 (sangat demokratis), partai-partai Korea secara keseluruhan mendapatkan angka 2,1 dimana angka tersebut lebih menunjukkan persepsi penampilan yang tidak demokratis daripada penampilan yang demokratis. Jumlah responden yang menempatkan partai dalam indeks terendah kedua (hampir demokratis) hampir dua kali lipat dari jumlah responden yang menempatkan partai dalam indeks tertinggi kedua (sedikit demokratis). Hampir duapertiga responden (65%) terkelompok dalam tingkat dimana penampilan partai politik mereka digolongkan sebagai tidak demokratis daripada sebagai partai politik yang demokratis. Lebih buruk lagi, dua perlima dari para responden ini menggolongkan penampilan partai-partai mereka sebagai partai yang tidak demokratis sama sekali. Angka persentase itu (26%)

123


Politik dan Pemerintahan Korea

menunjukkan penampilan yang tidak demokratis sama sekali hampir 3 kali lebih tinggi daripada angka persentase yang lain (9%) yang menunjukkan penampilan yang sangat demokratis. Bagaimanakah partai-partai Korea memenuhi fungsi mereka sebagai lembaga terpenting demokrasi perwakilan bila dibandingkan dengan negaranegara Eropa Timur? Dalam semua dari 3 fungsi yang disurvei, masyarakat Korea menempatkan partai-partai mereka di posisi terendah. Sebagai contoh, dari 46% sampai 64% masyarakat Eropa Timur tidak setuju dengan pernyataan bahwa partai politik lebih banyak mewakili kepentingan para pemimpin partainya. Namun, dalam masyarakat Korea hanya 27% yang memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa, saat partai politik dalam demokrasi Eropa Timur berusaha untuk mewakili mayoritas warga negaranya, partaipartai Korea masih bekerja hanya untuk kepentingan minoritas pemimpin partai mereka. Semua kesimpulan ini, saat dinilai bersama, menyatakan bahwa hanya sedikit kemajuan yang telah dicapai dalam demokratisasi partai politik Korea. Kesimpulan ini juga menyatakan bahwa partai politik lebih sulit untuk didemokratisasikan daripada lembaga politik lainnya seperti militer atau pelayanan masyarakat. Apakah kegagalan partai politik untuk menjadi lebih demokratis akan memperlemah keterikatan emosional masyarakat Korea terhadap partai-partai tersebut? Apakah kegagalan itu juga memperlambat pertumbuhan ikatan partai? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis meneliti hubungan antara persepsi penampilan partai dan 2 variabel semangat partai. Persentase responden yang terikat secara dekat dengan suatu partai meningkat secara cepat dan tajam dari kategori penilaian penampilan yang sangat tidak demokratis menjadi kategori yang sangat demokratis. Persentase partisan 3 kali lebih beragam diantara responden yang menggolongkan diri dalam kategori yang sangat tidak demokratis. Bila masyarakat Korea memandang bahwa penampilan partai politiknya semakin demokratis, maka mereka akan semakin terikat pada partai-partai itu. Persepsi penampilan partai yang demokratis secara positif terkait dengan pergeseran orientasi partisan yang diinginkan dan secara negatif terkait dengan pergeseran orientasi yang tidak diinginkan (dari halaman 278). Saat ditanya apakah orientasi mereka terhadap partai menjadi lebih diinginkan atau semakin kurang diinginkan selama 6 tahun pertama masa demokratisasi, jawaban yang mengatakan menjadi lebih diinginkan memimpin jawaban sebaliknya dengan beda suara 29% dan 14% diantara responden yang menggolongkan partai politik sebagai sangat tidak demokratis. Diantara responden yang menggolongkan partai politik sebagai sangat demokratis, jawaban yang menyatakan menjadi lebih diinginkan juga memimpin jawaban sebaliknya

124


Partai Politik dan Demokratisasi di Korea

dengan beda suara 59% dan 6%-lebih besar dari 3 kali lipat. Persentase perbedaan antara perubahan yang diinginkan dan kurang diinginkan dalam semangat partai menjadi lebih besar secara tajam dan signifikan saat penampilan partai-partai dinilai lebih demokratis. Antara dua penggolongan penampilan partai, ada perbedaan besar mencapai 38%. Hal ini menawarkan dukungan yang kuat bagi hipotesa yang menyatakan bahwa bila rakyat Korea memandang bahwa partai-partai mereka semakin demokratis dalam menjalankan fungsi-fungsinya, maka mereka akan semakin mengarahkan diri mereka pada partai-partai itu. 3.

Kehidupan Asosiasi dan Dukungan Bagi Sistem Partai Demokratis

Sejak saat de Tocqueville, asosiasi sukarela telah dianggap sebagai dasar demokrasi perwakilan modern. Tanpa asosiasi sipil, negara demokrasi baru tidak dapat menanamkan pengertian mengenai kepercayaan sosial dan pembagian tanggung jawab atau mengajarkan kepada warga negaranya keahlian praktis kerja sama. Oleh sebab itu, tanpa adanya ikatan kuat rakyat terhadap asosiasi-asosiasi itu, demokrasi baru seperti Korea tidak akan mampu mengatasi dilema aksi kolektif. Tanpa peningkatan substansial partisipasi rakyat dalam asosiasi ini, akan menjadi tidak mungkin bagi masyarakat untuk mencegah kekuasaan pusat terus mendominasi masyarakat sipil. Ada sedikit keraguan bahwa pertumbuhan keanggotaan dalam organisasi menengah ini adalah dimensi penting lain dalam demokratisasi. Seberapa luaskah keterlibatan rakyat Korea dalam asosiasi sukarela? Secara umum, keanggotaan rakyat Korea dalam asosiasi sukarela terbagi dalam 9 kategori, yaitu (1) pelayanan sosial; (2) perlindungan konsumen; (3) perlindungan lingkungan alam; (4) serikat buruh; (5) kerjasama produsen dan asosiasi kalangan profesional; (6) badan-badan keagamaan; (7) hobi dan persahabatan; (8) pembangunan regional; dan (9) lain-lain. Ukuran keanggotaan asosiasi antara kategori yang satu dengan kategori yang lain bervariasi. Misalnya, lebih dari setengah rakyat Korea (56%) tergabung dalam kelompok hobi atau persahabatan sementara hanya satu diantara 45 rakyat Korea (2%) menjadi anggota badan perlindungan konsumen. Selain itu, 47,5% rakyat Korea tergabung dalam badan-badan keagamaan, 15,5% dalam asosiasi kalangan profesional, 13,4% dalam pelayanan sosial, dan 13,1% dalam pembangunan regional. Rakyat Korea yang tergabung dalam asosiasi perlindungan lingkungan alam, serikat buruh dan lain-lain masing-masing sebesar 5,4%, 7,5% dan 4,3%. Rakyat Korea secara keseluruhan lebih terikat pada asosiasi persahabatan dan keagamaan daripada pada tipe organisasi yang lain. Ikatan rakyat Korea pada asosiasi perlindungan konsumen dan perlindungan lingkungan alam juga sangat terbatas.

125


Politik dan Pemerintahan Korea

Hanya sebagian kecil rakyat Korea (16%) tidak tergabung dalam asosiasi atau kelompok kepentingan manapun. Lebih dari setengah rakyat Korea yang telah dewasa (51%) tergabung dalam dua asosiasi atau lebih dan lebih dari 4 diantara 5 orang Korea (84%) tergabung dalam sedikitnya satu asosiasi. Angka-angka ini lebih dari 2 kali lipat angka-angka yang dicatat di Spanyol selama 15 tahun. Hampir duapertiga rakyat Spanyol tidak tergabung dalam asosiasi sukarela, sedangkan di Korea hanya seperenamnya saja yang tidak tergabung. Berdasarkan kesimpulan ini, seseorang dapat mengatakan bahwa demokrasi Korea dibangun diatas dasar masyarakat sipil yang cukup kuat. Bertentangan dengan apa yang diharapkan oleh teori Neo-Korporatis dari demokrasi perwakilan, 3 dari 4 indeks dimensi yang dihasilkan dari survei menunjukkan dukungan yang lebih besar bagi partai politik pada tingkat tertinggi kegiatan sukarela. Persentase responden yang mengatakan bahwa sistem multipartai penting bagi demokratisasi lebih tinggi diantara responden yang terlibat aktif dalam asosiasi sukarela dibandingkan dengan responden yang tidak terikat dengan asosiasi. Persentase responden yang secara psikologis terikat dengan partai dan responden yang lebih memilih condong kepada partai-partai itu juga lebih tinggi diantara responden yang terlibat aktif dalam asosiasi sukarela dibandingkan dengan responden yang tidak terikat dengan asosiasi. Sebagai tambahan, pekerja dan anggota partai lebih beraga, diantara responden yang aktif dalam organisasi masyarakat bila dibandingkan dengan responden yang tidak aktif. Ada pola hubungan positif antara partisipasi dalam organisasi-organisasi tersebut dan keseluruhan dukungan untuk sebuah sistem multipartai dengan dukungan massa yang luas. Kesimpulan ini bertentangan dengan teori Neo-Korporatis bahwa partai politik digantikan oleh kelompok kepentingan dan asosiasi kalangan profesioanal yang proliferating. 4.

Pemberitaan Media dan Dukungan Bagi Sistem Partai Demokratis

Partai politik dan media massa semakin dipandang sebagai sarana alternatif untuk membentuk dan mewakili pilihan publik dalam alternatif kebijakan. Apakah anggota masyarakat Korea lebih tertarik kepada media massa daripada partai politik untuk mendapat informasi politik dan terlibat dalam politik? Bagaimanakah pemberitaan media elektronik dan media cetak mempengaruhi dukungan mereka bagi demokratisasi sistem partai politik? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis menanyakan kepada responden apakah dan untuk kecenderungan apa televisi, radio, koran atau majalah melayani mereka sebagai sumber informasi politik. Seperti yang diperkirakan, rakyat Korea lebih tertarik pada televisi daripada media yang lain. 9 diantara 10 masyarakat Korea (90%) mendapat

126


Partai Politik dan Demokratisasi di Korea

informasi politik dengan menonton televisi. Kemudian diikuti oleh surat kabar (76%), radio (31%), dan majalah (24%). Angka-angka ini jauh lebih tinggi daripada angka-angka untuk para pekerja atau anggota partai. Hampir setiap orang Korea (99%) memperoleh informasi politik dari sedikitnya 1 media berita diantara 4 media yang disurvei. Hampir tiga perempat (74%) mendapatkan informasi dari 2 media atau lebih. Angka ini 45% lebih tinggi daripada angka terkait untuk keanggotaan asosiasional. Menurut kesimpulan ini, orang Korea lebih tertarik pada media massa daripada tertarik pada partai politik. Pemberitaan media mereka juga lebih luas daripada keterlibatan mereka dalam organisasi sipil. Namun, penerimaan berita yang luas dari media massa tidak seimbang dalam memperlemah dukungan rakyat Korea terhadap sistem partai demokratis (dari halaman 283-284). Sebaliknya, justru lebih memperkuat dukungan rakyat Korea terhadap sistem partai demokratis. Pemberitaan media tidak berhubungan dengan kedekatan psikologis terhadap partai dan juga tidak terkait dengan pergeseran yang diinginkan dalam suatu kedekatan. Bila rakyat Korea semakin condong kepada media massa untuk memperoleh informasi, maka mereka akan semakin kurang menyukai partai politik dan tidak bersedia untuk meningkatkan semangat partai mereka. Namun, dalam 3 dimensi dukungan sistem partai demokratis yang lain, terlihat pula hubungan yang positif dimana semakin tinggi tingkat pemberitaan media, semakin besar pula tingkat dukungan partai. Rakyat yang lebih tertarik kepada media akan lebih ingin mengakui prinsip-prinsip demokratis persaingan partai dan menjadi pekerja atau anggota partai. Sebagai imbangannya, jelas bahwa media massa, seperti asosiasi sipil, tidak menggantikan partai politik sebagai alat demokrasi perwakilan, setidaknya pada tahap awal konsolidasi demokrasi. 5.

Sumber-Sumber Dukungan Masyarakat Umum Bagi Sistem Partai Demokratis

Dalam analisa diatas, penulis telah mempelajari bagaimana setiap variabel independen yang diidentifikasi dalam penelitian terdahulu –meliputi penampilan partai, keanggotaan asosiasi dan pemberitaan media- terkait dengan dukungan masyarakat untuk sistem partai demokratis. Dari analisa ini, terlihat bahwa semua variabel itu memberikan sumbangan pada sistem partai demokratis daripada memperkecilnya. Tetapi kesimpulan dari analisa itu sangat sedikit mengungkapkan mengenai seberapa besar setiap variabel independen, dalam isolasinya dengan variabel lain, memberikan sumbangan pada penganekaragaman dukungan. Analisa ini juga sangat sedikit mengungkapkan tentang bagaimana tiga variabel ini seimbang dalam hal kekuatan dengan

127


Politik dan Pemerintahan Korea

ikatan regional dan dengan kecenderungan ideologi, dua variabel yang telah lama membentuk pembagian politis dalam kekuasaan tertinggi Korea. Analisa Klasifikasi Beragam (AKB) dipakai dalam data survei nasional untuk menentukan arah kecenderungan dukungan sistem partai demokratis dan dapat diperhitungkan dengan menggunakan serangkaian variabel dalam isolasi dan dalam kombinasi. Teknik ini dipilih terutama karena teknik ini tidak memerlukan alat seperti ikatan-ikatan regional yang dipakai pada skala interval atau rasio. Hasil analisa ini seperti yang ditunjukkan oleh tabel berikut ini.

Wilayah Ideologi Penampilan Partai Asosiasi Media RÂł

Pilihan Multipartai Persaingan eta Beta eta Beta .07 .11 .07 .01 .11* .09 .11* .09 .08 .05 .10 .04 .05 .06 .04 .06 .08 .20* .08 .19* 2,5% 6,0%

Sarana Dukungan Sistem Partai Demokratis Informasi Pengikatan Keterlibatan Tingkat Perubahan eta Beta eta Beta eta Beta eta Beta .11* .19* .08 .07 .10* .20* .08 .04 .04 .06 .14 .04 .03 .05 .12 .03 .06 .30* .26* .14* .05 .29* .25* .14* .09 .06 .07 .18* .08 .09 .08 .16* .12 .07 .04 .05 .13* .06 .04 .05 3,4% 14,0% 9,4% 5,4%

Semuanya eta Beta .12* .13* .10 .08 .20* .20* .10* .12* .09 .10* 8,4%

* Penting secara statistik pada tingkat .05

Koefisien beta dalam tabel tersebut setara dengan koefisien kemunduran standar dan mengindikasikan kekuatan relatif tiap alat dalam menerangkan setiap sarana dukungan untuk politik partai demokratis. Pembanding koefisien beta diseberang kolom tabel 12 membuka kemungkinan untuk menggali pertanyaan-pertanyaan penting apakah setiap variabel mempengaruhi dimensi yang berbeda antar dukungan partai demokratis dalam cara yang sama. Koefisien beta dari alat yang sama agak menyimpang dari satu komponen dukungan terhadap komponen dukungan yang lain. Hal ini menyatakan bahwa membangun dukungan umum untuk sistem partai demokratis adalah suatu proses yang memiliki banyak segi dan kompleks dimana satu segi dibentuk secara berbeda oleh atribut atau perilaku individu masyarakat yang sama. Dengan berkonsentrasi pada koefisien beta yang penting secara statistik, penulis dapat mengidentifikasi beberapa pola pengaruh yang berbeda dimana dukungan partai demokratis mungkin memiliki 5 karakteristik demografis dan perilaku. Tidak ada satupun dari 5 karakteristik yang dinilai itu mampu mempengaruhi lebih dari 2 diantara 4 dimensi dukungan. Tabel diatas menunjukkan

128


Partai Politik dan Demokratisasi di Korea

bahwa 3 variabel mempengaruhi 2 dimensi, dan bahwa dua variabel yang lain hanya mempengaruhi satu dimensi. Yang lebih penting lagi adalah bahwa tidak ada satupun dari 5 variabel ini mempengaruhi dimensi yang sama. Misalnya, saat sifat ideologi mempengaruhi pilihan sistem partai dan keterikatan partisan, penampilan partai lebih mempengaruhi keterikatan dan keterlibatan partisan. Pemberitaan media mempengaruhi pilihan sistem dan informasi mengenai politik partai. Ikatan regional memiliki pengaruh penting pada pengaruh partisan sementara keanggotaan asosiasi memiliki pengaruh pada perilaku partisan. Begitu juga, faktor-faktor yang berbeda membentuk aspek pembangunan sistem partai demokratis stabil yang berbeda. Sesungguhnya, ini adalah sebagian bukti lain bahwa tugas mengkonsolidasikan lembaga demokratis dalam demokrasi baru tidak hanya sesuatu yang benar-benar kompleks tetapi juga tidak memiliki kepastian. Pembanding koefisien beta diseberang dalam tabel diatas dapat membantu penulis memperkirakan nilai penting relatif tiap variabel independen melawan 4 variabel yang lain. Variabel manakah yang paling kuat mempengaruhi masing-masing dimensi dari 4 dimensi dukungan? Menurut koefisien beta dalam kolom pertama, ideologi politik adalah pengaruh terkuat dalam pilihan untuk sistem multipartai; ideologi politik juga satu-satunya variabel yang koefisiennya lebih besar dari 0,10, dimana koefisien beta menjadi penting, baik artinya maupun secara statistik. Secara substansi, semakin sedikit masyarakat Korea yang berorientasi pada kelompok Kiri, pilihan untuk sistem multipartai akan semakin kuat. Dalam kolom kedua, dapat terlihat bahwa pemberitaan oleh media massa sangat berkuasa dalam mengarahkan masyarakat Korea terhadap sistem partai yang kompetitif. Arti penting relatif media massa sebagai suatu kekuatan yang mendorong pembenaran publik terhadap sistem hampir 2 kali lebih berkuasa dibandingkan variabel lain yang tercakup dalam persamaan AKB. Dengan menyajikan pandangan politik yang berbeda kepada masyarakat Korea melalui media yang saling bersaing, akan secara timbal balik menjadi alat pemeliharaan kebudayaan politik yang paling efektif sesuai dengan sistem partai yang kompetitif. Dapat dipahami, pemberitaan media juga terlihat dalam kolom ketiga sebagai sarana peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai politik partai yang paling efektif. Koefisien beta untuk 2 indikator pengaruh terhadap partai politik tercantum dalam kolom ketiga dan keempat. Indikator pertama adalah dua sarana kesetiaan partisan. Indikator kedua adalah 3 sarana perubahan orientasi terhadap partai. Menurut koefisien beta, kesetiaan partisan tidak sepenuhnya dibentuk oleh keanggotaan asosiasi maupun pemberitaan media, dua variabel yang telah dianggap sebagai penentu utama kesetiaan partisan oleh para

129


Politik dan Pemerintahan Korea

teoritisi neo-korporatisme dan ahli komunikasi massa elektronik. Sebenarnya, kesetiaan partisan masyarakat Korea dibentuk terutama oleh penilaian mereka terhadap penampilan partai dan latar belakang regional. Dari kedua hal tersebut, kualitas demokrasi penampilan partai adalah 45% lebih berkuasa daripada ikatan regional dalam mengubah mereka baik menuju maupun bertentangan dengan partai politik. Ini adalah kesimpulan penting yang bertentangan secara langsung dengan teori pembangunan partai demokratis yang sudah ada. Kesimpulan ini menyatakan bahwa partai politik harus tampil lebih baik untuk membentuk basis dukungan yang stabil. Seperti dalam kasus kesetiaan partisan, kualitas penampilan partai adalah hal yang paling berpengaruh dalam mengubah kesetiaan itu. Semakin demokratis rakyat Korea menilai partai-partai mereka, mereka akan semakin memilih partai tersebut. Sekali lagi, keterlibatan dalam asosiasi dan pemberitaan media memiliki kaitan yang sangat kecil terhadap perkembangan atau penurunan kesetiaan partisan. Ikatan regional juga memiliki dampak yang kecil pada dinamika kesetiaan partisan tersebut. Yang lebih menarik daripada kesimpulan ini adalah bahwa ideologi politik mampu memotivasi rakyat Korea untuk mengubah kecenderungan partisan mereka. Ideologi politik kanan lebih dapat membentuk ikatan kepada partai daripada ideologi politik kiri. Dalam kasus pengaruh partisan, kualitas penampilan partai secara penting mempengaruhi keterlibatan dalam politik partisan. Hal ini mudah dipahami bahwa rakyat menjadi lebih terlibat dalam suatu partai saat mereka melihat partai berfungsi secara demokratis. Namun, keterlibatan dalam politik partai semakin dibentuk dengan keterlibatan dalam asosiasi sukarela lain. Kesimpulan ini menyatakan bahwa hubungan antara partai-partai politik dan asosiasi sipil yang lain bukanlah hubungan yang saling bermusuhan; sebaliknya, merupakan hubungan yang saling melengkapi atau simbiosis. Perbandingan koefisien beta dalam kolom terakhir memperlihatkan arti penting relatif setiap alat dalam keseluruhan tingkat dukungan untuk konsolidasi demokrasi sistem partai Korea. Dari 5 alat yang tercakup dalam AKB, penampilan partai lebih berkuasa bila dibandingkan dengan alat-alat yang lain, kemudian berturut-turut diikuti oleh ikatan regional, keanggotaan asosiasi, pemberitaan media dan ideologi politik. Dari kesimpulan ini, sangat jelas bahwa demokratisasi partai politik sangat diperlukan untuk membangun dukungan masyarakat bagi sistem partai demokratis. Para pemimpin partai harus mengubah kepemimpinan otoritarian mereka menjadi kepemimpinan demokratis sebelum mereka dapat mengharapkan masyarakat mendukung partai mereka dalam suatu basis dukungan yang berkelanjutan.

130


Partai Politik dan Demokratisasi di Korea

Kesimpulan Pembahasan Analisa multi variasi yang disajikan diatas menilai 5 variabel dalam usahanya untuk menjelaskan variasi dukungan untuk sistem partai demokratis dari masyarakat Korea. Namun, 5 variabel ini sebagai suatu rangkaian gagal untuk menawarkan perhitungan yang memuaskan mengenai dukungan sistem partai demokratis. Jumlah variasi penjelasan perhitungan itu tidak perlu diperhatikan, berkisar dari 3% untuk dimensi pilihan sistem multipartai sampai 14% untuk dimensi pengaruh partisan. Saat keempat dimensi itu dinilai, 5 variabel diamati untuk menghitung hanya 8% perbedaan mereka. Seseorang bertanya-tanya variabel lain apakah yang sedang bekerja mempengaruhi masyarakat Korea baik untuk memilih maupun menjauh dari sistem multipartai yang kompetitif (dari halaman 289). Kebudayaan tradisional Konfusian memegang kunci bagi lambatnya pertumbuhan dukungan masyarakat umum terhadap partai politik demokratis di Korea. Dalam dunia politik Konfusian, lembaga-lembaga seperti partai politik hanya berperan kecil. Yang paling penting adalah kualitas personal atau keadilan moral para pejabat politik. Dalam bahasa Lucian Pye, ‘ideologi Konfusian sangat menekankan semua arti penting moralitas pribadi dan pemujaan rakyat terhadap para pegawai pemerintahan. Perilaku individu lebih penting daripada mekanisme lembaga atau tujuan masyarakat yang khusus.’ Bahkan dalam era komunikasi massa, birokrasi dan kelompok penekan saat ini, masyarakat Korea lebih menanggapi kualitas personal para pemimpin politik, daripada kapasitas organisasional partai-partai dan lembaga mereka. Dari data yang diperoleh melalui serangkaian survei nasional yang berkaitan mengenai faktor-faktor yang dianggap paling menentukan bagi rakyat Korea dalam menentukan calon untuk pemilu DPR Nasional selama hampir 40 tahun, diketahui bahwa dalam setiap survei pemilu mulai tahun 1954, saat survei pertama mulai diadakan, kepribadian para calon terlihat lebih mempengaruhi para pemilih daripada identifikasi partai atau orientasi kebijakan para calon tersebut. Bahkan dalam pemilu tahun 1992, antara 33% sampai 50% rakyat pemilih Korea memperlihatkan bahwa mereka memilih para kandidat mereka lebih didasarkan pada atribut personal mereka daripada komitmen mereka terhadap partai maupun programnya. Yang lebih mengejutkan lagi adalah fakta bahwa tradisi Konfusian mengenai politik berdasarkan kepribadian ini tidak kehilangan sedikitpun kekuatannya saat Korea telah melihat perkembangan perusahaan-perusahaan dan penyebaran teknologi komunikasi massa yang canggih, muncul sebagai salah satu kekuatan ekonomi yang paling sukses di dunia. Selama 35 tahun, 10% pemilih telah memberikan penilaian serius kepada partai politik saat memilih

131


Politik dan Pemerintahan Korea

kepemimpinan partai. Itulah sebabnya mengapa, dalam bangsa seperti Korea dengan tradisi Konfusian-nya, peran kebudayaan tidak dapat disingkirkan saat mencoba untuk menjelaskan keburaman yang menyelimuti lambatnya pertumbuhan sistem partai demokratis. Beberapa keburaman tersebut tidak akan pernah dijelaskan dengan teori Neo-Korporatis atau yang ditimbulkan oleh efek komunikasi elektronik massa.

Penutup Gelombang demokratisasi kini bergerak dengan pesat dari tahap perluasan menuju tahap konsolidasi. Dengan kemunduran dalam pergerakan global menuju demokrasi selama beberapa tahun terakhir ini, masalah konsolidasi demokrasi telah menjadi subyek perhatian yang terus meningkat dan berkembang luas, tidak hanya dalam komunitas pendidikan tetapi juga dalam lingkaran pemerintahan. Alat dan kebijakan apa yang diperlukan untuk mengkonsolidasikan demokrasi yang mulai berkembang dan seberapa sulit dan bermasalahkah tugas tersebut? Hal tersebut merupakan tujuan artikel ini, yaitu untuk memberikan sumbangan bagi penggalian pertanyaan ini secara sistematis, sambil merancang pendekatan alternatif untuk menyelidiki dinamika konsolidasi sistem partai demokratis. Konsolidasi demokrasi, tidak seperti transisi demokrasi, memerlukan perkembangan sistem mutipartai yang kompetitif. Sebelum suatu sistem dapat menjadi terkonsolidasi secara demokratis, partai terpilih pertama-tama harus membentuk basis dukungan massa yang luas dan stabil. Mereka juga harus mampu memenuhi fungsi perwakilan dasar demokrasi modern. Apakah pemerintahan demokratis Korea selama 6 tahun telah memperbesar basis dukungan massa bagi partai-partai politiknya? Apakah mereka juga memperkuat kapasitas mereka untuk menanggapi kepentingan dan pilihan mayoritas rakyat Korea? Dalam tulisan ini, penulis telah mencoba untuk menilai kesulitan-kesulitan dan ketidakpastian yang menyelimuti tugas konsolidasi demokrasi di Korea Selatan. Dari kesimpulan-kesimpulan yang telah dijelaskan diatas, terlihat jelas bahwa pemilu presiden, DPR dan juga pemilu lokal selama 6 tahun telah gagal mengubah sistem multipartai di Korea Selatan menjadi sistem partai yang benar-benar demokratis. Seperti sebelum berada dibawah pemerintahan otoriter, partai politik Korea tidak memiliki ikatan yang luas dan saling tergantung yang menghubungkannya dengan sebagian besar rakyat Korea. Tidak seperti pasangan mereka dalam demokrasi lama yang terkonsolidasi, kedua partai berkuasa dan oposisi Korea kurang memiliki dukungan dari militer. Setiap pemilu diadakan dengan banyak staf pekerja bayaran atau pekerja kampanye bayaran. Lebih lanjut lagi, partai Korea Selatan tidak mam-

132


Partai Politik dan Demokratisasi di Korea

pu menyusun dan menyajikan alternatif kebijakan yang dapat memungkinkan para pemilih untuk membuat pilihan pemerintahan. Secara keseluruhan, sulit untuk melihat bagaimana mereka berbeda dari partai yang sebelumnya bertindak sebagai alat kepemimpinan dibawah rezim otoriter Park Chung Hee dan Chun Doo Hwan. Tugas yang dihadapi Korea, dari mengembangkan sistem partai semidemokratis menuju sistem yang sangat demokratis, terjadi dengan lambat. Sebagai fenomena yang memiliki banyak segi, perkembangan politik partai demokratis dipengaruhi secara berbeda oleh bermacam-macam kekuatan, yang sebagian besar diantaranya tidak dapat bergantung pada manipulasi kebijakan dalam jangka waktu yang singkat Yang paling tidak bisa dikendalikan dari kekuatan ini adalah kebudayaan politik yang berakar sangat dalam pada prinsip-prinsip Konfusianisme, yang menekankan pada kualitas personal pemimpin secara individual terhadap afiliasi organisasi mereka. Selama 40 tahun terakhir, kebudayaan Konfusian telah menolak untuk mengalah. Oleh sebab itu, tidak terlihat bahwa, dalam masa depan yang telah dapat diketahui, kebudayaan Konfusian akan berubah menjadi suatu kebudayaan yang mendorong perkembangan sistem partai demokratis penuh. Pandangan untuk sistem partai demokratis di Korea Selatan sangatlah tidak pasti. Meskipun semua pemimpin politik terikat kuat pada tugas mendemokratisasikan militer dan badan-badan pemerintah anti demokrasi lainnya, mereka tidak sepenuhnya terikat pada tugas mendemokratisasikan organisasi partai mereka sendiri dan membuka proses pembuatan kebijakan bagi para pemilihnya. Untuk bagiannya, para pemilih tidak siap untuk menghadapi partai politik sekian lama seperti mereka terus melayani kepentingan para pemimpinnya daripada pilihan rakyat. Jelasnya, ada tekanan dinamis antara 2 proses lain yang berhubungan: mendemokratisasikan penampilan partai politik di satu sisi dan memobilisasikan dukungan massa terhadap partai politik pada sisi yang lain. Kegagalan untuk mencapai salah satu hal akan menimbulkan akibat yang parah bagi hal yang lain. Dalam situasi-22 ini, sangatlah tidak jelas apakah sistem multipartai yang kompetitif dengan dukungan massa yang luas dan stabil akan atau tidak akan muncul dalam masa depan Korea Selatan. Untuk meringkas, ada sejumlah besar kesulitan dan ketidakjelasan yang menyelimuti proses konsolidasi demokrasi di Korea, sebuah negara yang diketahui oleh masyarakat dunia telah mengalami salah satu transisi demokrasi yang paling sukses, dan yang seringkali dipandang sebagai model alternatif transisi demokrasi untuk negara-negara pasca otoritarian yang muncul di belahan dunia yang lain. Pengalaman Korea selama 6 tahun berada dibawah pemerintahan yang demokratis menunjukkan bahwa transisi dan konsolidasi demokrasi menyusun dua proses perubahan politik yang cukup berbeda

133


Politik dan Pemerintahan Korea

dan bahwa keberhasilan transisi demokrasi tidak dengan serta merta membawa keberhasilan serupa bagi konsolidasi demokrasi. Labih jauh lagi, dua proses itu dibentuk secara lebih luas dengan faktor-faktor dan kekuatan-kekuatan yang berbeda. Secara konseptual, kesimpulan penulis menunjukkan bahwa konsolidasi sistem partai demokratis adalah suatu proses dinamis yang terjadi baik di tingkat makro maupun mikro. Secara teoritis, kesimpulan penulis menyatakan bahwa kebudayaan Konfusian tidak menghalangi secara seimbang proses transisi dan konsolidasi demokrasi; kebudayaan Konfusian hanya lebih memperlambat proses konsolidasi demokrasi dibandingkan proses transisi demokrasi. Secara substantif, kesimpulan yang diperoleh tidak sesuai dengan pandangan Francis Fukuyama bahwa sejarah manusia akan segera berakhir dalam demokrasi liberal Barat.

* Naskah aslinya berjudul “Partai Politik dan Demokratisasi di Korea Selatan: Rakyat Umum dan Konsolidasi Partai Politik (Political Parties and Democratization in South Korea: the Mass Public and the Democratic Consolidation of Political Parties)�. Naskah ini dipilih oleh Prof. Dr. Mohtar Mas’oed dan diterjemahkan oleh Tim Editor (Lenny Dianawati).

134


Partai Politik dan Demokratisasi di Korea

DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI DI KOREA Tulus Warsito (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia/ Profesor Tamu di Universiti Utara Malaysia, Malaysia)

Yang dimaksud dengan demokrasi dan demokratisasi Korea dalam tulisan ini adalah keadaan sosial politik, terutama dalam hal hubungan industrial, pada saat krisis moneter tahun 1997 yang terjadi di Korea Selatan. Bab ini disusun terutama untuk memahami kasus tentang hubungan antara tiga pihak; yaitu buruh, pengusaha dan pemerintah, atau yang dikenal di masyarakat Korea sebagai pola hubungan no-sa-jeong1, dalam komparasi era sebelum dan sesudah krisis moneter 1997. Krisis moneter 1997 dipilih sebagai batas waktu karena hal tersebut merupakan fenomenon yang sangat monumental di kawasan Asia, bahkan secara global, sehingga menjadi menarik untuk dipakai sebagai ukuran perubahan waktu. Lebih dari tiga dasawarsa Republik Korea (RK) berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan. Terhitung sejak awal tahun 1960-an, negara tersebut secara rata-rata memperoleh pertumbuhan 10% tiap tahunnya. Keberhasilan tersebut dikembangkan berdasarkan kebijakan pemerintah yang kuat, yang sering juga disebut sebagai pendekatan statist (etatisme). Berdasarkan pendekatan serupa itu pemerintah membangun rencana besar ekonomi untuk pembangunan nasional dan sektor bisnis juga dijalankan berdasarkan kebijakan ini. Atas keberhasilan tersebut, terutama di Asia Timur, pendekatan statist menjadi popular di kalangan pengamat maupun praktisi di seluruh dunia sebagai model yang baik untuk pembangunan ekonomi yang cepat. Setidaknya ada 3 (tiga) unsur penting yang mendukung keberhasilan pertumbuhan ekonomi Korea Selatan. Pertama adalah, ketika presiden Park Chung-Hee2, pada tahun 1961, memperkenalkan kebijakan ekonomi yang 1

2

“no” adalah singkatan dari nodongja (buruh), “sa” adalah singkatan dari sayongja (pengusaha), dan “jeong” dari jeongbu atau pemerintah. Semboyan kampanye gerakan nasional di masa presiden Park Chung-Hee adalah “Meningkatkan Jumlah Produksi, Ekspor dan Pembangunan Nasional”

135


Politik dan Pemerintahan Korea

lebih menekankan ekspor daripada substitusi import dengan mengendalikan tingkat nilai tukar matauang asing berdekatan dengan nilai tukar bayangan, telah membuat ekonomi Korea Selatan menjadi lebih kompetitif di pasar global. Kedua, tingkat tabungan dan investasi (lebih dari 30% GDP) selama lebih dari 30 tahun sangat menolong akumulasi cadangan modal secara cepat. Ketiga, sumber daya manusia yang terdidik dan bersemangat tinggi sangat membantu pertumbuhan yang cepat tersebut. Kalaupun harus mencari sebab yang keempat, konsep tandingan yang dapat menjelaskan permulaan pembangunan ekonomi Korea Selatan adalah pendekatan statis (kadangkala disebut sebagai negara pembangunan). Dalam hal ini, negara atau pemerintah mengintervensi dan mengendalikan pengambilan keputusan sektor swasta dalam rangka pembangunan ekonomi nasional. Struktur politik Korea Selatan dapat dicirikan sebagai negara yang kuat, yang didominasi oleh eksekutif tingkat tinggi yang menghasilkan mekanisme pengambilan keputusan yang menghindar dari tekanan-tekanan sosial. Oleh karena itu menjadi penting untuk memahami bahwa ada 4 (empat) faktor yang memungkinkan Korea Selatan memberlakukan pendekatan statist: (1) adanya lembaga-lembaga non politik yang mampu mengintervensi usaha swasta; (2) lemahnya kelas buruh; (3) rejim otoritarian yang anti-komunis; dan (4) adanya teknokrat yang secara sadar membangun struktur industri dengan tujuan utama untuk menciptakan kemandirian ekonomi. Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai pembangunan ekonomi nasional adalah peraturan dan pengendalian ekonomi pemerintah secara top-down, bukannya sistem pasar yang terdesentralisasi. Pendekatan ini berlangsung lancar selama periode ekspansi ekonomi. Namun demikian, ketika bangsa tersebut memulai proses demokratisasi pada tahun 1980, beberapa faktor yang disebut tadi menjadi tidak begitu penting atau terpaksa dikompromikan dengan tekanan-tekanan yang terjadi. Misalnya, munculnya serikat buruh yang kuat, yang kemudian melakukan pemogokan-pemogokan. Menurut catatan Organisasi Buruh Dunia (ILO), hari kerja yang hilang akibat pemogokan dan unjukrasa meningkat tajam pada akhir tahun 1980an dan awal 1990-an. Misalnya, pada tahun 1985 hanya 64.000 hari kerja per orang yang hilang akibat pemogokan, meningkat menjadi 4.487.000 hari kerja per orang di tahun 1990. Selama tahun 1990-an tingkat kerugian hari kerja akibat pemogokan secara rata-rata merupakan yang tertinggi kedua di Asia. Sampai dengan tahun 1997, yakni hingga terjadinya krisis moneter yang juga melanda kawasan Asia lainnya, setidaknya ada dua pola hubungan

136


Demokrasi dan Demokratisasi di Korea

antara penguasa-pengusaha-buruh.3 Yang pertama, sejak pemerintahan Syngman Rhee (1948-1960) sampai dengan berakhirnya masa jabatan presiden Roh Tae Woo (1987), kelompok buruh selalu pada posisi yang lemah. Seperti di negara-negara lain yang baru saja memulai industrialisasi, Korea Selatan juga menghadapi hambatan perburuhan yang sama. Ada tiga kendala klasik yang biasa muncul pada masa awal industrialisasi. Pertama, lemahnya kemampuan organisasi mereka. Kedua, belum ada partai buruh ataupun partai politik yang secara signifikan memperjuangkan kepentingan buruh. Sedangkan yang ketiga adalah, bahwa para buruh “senior” masih belum siap bersaing secara terbuka dengan yang “junior”. Keadaan perburuhan serupa itu ditambah lagi ketika pemerintah Republik Korea mulai berkembang setelah Perang Dunia II, pemerintah presiden Syngman Rhee mengutamakan kebijakan Anti-Komunisme. Karena Korea Utara masih berada di bawah kepemimpinan Partai Buruh Korea, sehingga kata “buruh” itu sendiri menjadi tabu bagi masyarakat Korea Selatan. Sejalan dengan itu, kegiatan para buruh, partai politik berdasarkan kaum buruh, hubungan kerjasama dengan kalangan buruh sangat sulit dibicarakan sampai akhir tahun 1970an. Kebijakan pembangunanisme menunjukkan dominasi negara (penguasa) sebagai pihak yang paling menentukan hubungan industrial saat itu. Terutama pada masa pemerintahan Park Chung Hee, melalui dekrit presiden yang kemudian dikenal sebagai Konstitusi Yushin(yang berarti pembaruan), Park tidak saja telah memposisikan penguasa sebagai penentu arah kebijakan industri dan perburuhan, melainkan juga dinobatkan sebagai presiden seumur hidup, menambah (dengan cara mengangkat) seratus orang anggota parlemen, dan mengawasi pers dan kampus di bawah undang-undang darurat militer. Kebijakan Park yang sangat kaku itu mengakibatkan dia terbunuh oleh mantan kepala badan intelejennya sendiri (1979). Pembantaian tersebut memicu keberanian gerakan pembaharuan yang lebih terbuka, terutama oleh kalangan mahasiswa, sampai dengan terjadinya Tragedi Gwangju (nama salah satu kota besar di wilayah selatan Korea), yaitu terbunuhnya sekitar 200 mahasiswa yang dibantai oleh militer, yang kemudian mengantarkan jenderal Chun Doo Hwan menjadi presiden Korea Selatan yang kelima. Di bawah Chun sistem politik semakin represif, pola hubungan industrial semakin menempatkan posisi negara sebagai pihak yang paling menentukan. Kebijakan ekonomi ekspor memang telah mengalirkan investasi asing yang digaransi oleh peme-

3

Lihat Tabel I: Pola Hubungan Antara Pemerintah-Bisnis-Buruh di Korea Selatan

137


Politik dan Pemerintahan Korea

rintah, tetapi yang memperoleh keuntungan hanyalah para konglomerat (Chaebol)4, sedangkan kelompok buruh tetap saja pada posisi paling lemah. Sementara itu, hubungan antara politik dan bisnis mulai berkurang ketika demokratisasi mulai berjalan, dan sumbangan politik menjadi semakin transparan. Selama masa ekspansi ekonomi, hubungan antara pemerintah dan bisnis berlangsung berdasarkan pada hubungan saling menguntungkan. Pemerintah dengan mudah memberikan kredit kepada sejumlah kecil konglomerat (Chaebol) dan sebagai imbalannya para konglomerat tersebut dengan sukarela menyediakan dana untuk kampanye partai yang berkuasa begitu juga biaya operasional sehari-harinya. Di lain pihak, walaupun kekerabatan kaum buruh sangat tinggi (sehingga tak dapat di-PHK), tetapi secara politis organisatoris mereka tak boleh mendirikan serikat sekerja. Mereka diangkat untuk bekerja seumur hidup, tetapi tak boleh ikut campur dalam eksekusi perusahaan. Itulah sebabnya kelompok buruh Korea Selatan dianggap sangat kuat di satu pihak (karena dipekerjakan seumur hidup, tidak akan kena PHK), tetapi sekaligus merupakan kelompok yang lemah, karena tak punya posisi tawar-menawar untuk memperjuangkan kepentingan mereka, misalnya kenaikan gaji dan lain sebagainya. Pola yang kedua adalah ketika pemerintahan sipil menggantikan supremasi militer, atau pada saat Kim Young Sam menggantikan Roh Tae Woo (1992). Kalau pola pertama disebut sebagai hubungan korporatisme negara, yaitu ketika negara (baca: penguasa) menjadi master dari semua proses industrialisasi, sementara kelompok buruh masih menjadi “budak�, maka pada pola kedua ini kelompok buruh sudah memperoleh kemajuan posisi bargaining, karena kebijakan ekonomi ketat telah menghasilkan kelas menengah baru. Tradisi yang saling menguntungkan antara penguasa dan pengusaha pada masa rejim militer berubah ketika Kim Young Sam, seorang tokoh oposisi, terpilih menjadi presiden. Ia langsung mengumumkan bahwa ia tidak akan pernah menerima sumbangan politik dari sektor bisnis.

4

Chaebol berarti kelompok orang berada, tetapi berkembang menjadi konglomerasi bisnis. Selain dari Chaebol di Korea terdapat Hakbol yang berarti kelompok sesama alumni sekolah tertentu yang terkenal, seperti Gunbol di China, yaitu kelompok militer. Chaebol, Hakbol, dan Gunbol merupakan kelompok kepentingan.

138


Demokrasi dan Demokratisasi di Korea

Tabel 1.1: Pola Hubungan Antara Pemerintah-Bisnis-Buruh di Korea Selatan Periode

Kepala Pemerintahan

Sistem Politik dan Pemerintahan

PRA KRISIS

Syngman Rhee 1948-1960

Republik I Demokrasi konstitusional Diktator

Chang Myon 1960-1961

Republik II

Park Chung Hee 1961-1979

Republik III (19611972) Semi Otoritarian

Formasi Hubungan Industrial Pre-Industri, Masa kerja buruh seumur hidup, tetapi tdk boleh berserikat/ berpolitik. Hub. Pem-bisnis-buruh sangat hierarkis, peran Butuh lemah Jeong Sa No

Korporatisme Negara, Pem.sangat kuat, terjadi kolusi antara penguasa & bisnis No-Sa Jeong

Republik IV (1972 – 1979) Reformasi/revitalisasi

Republik V (1980 1987) Otoritarian-Militer

Neo-Liberal (pluralis)

Republik VI (1992 ….) Demokrasi Sipil

Dikudeta oleh Park

Industri mulai diarahkan ke Hi-Teknologi berorientasi expor

Park dibunuh oleh Kepala Badan Intelijen

Roh Tae Woo 1987-1992

Kim Young Sam 1992 –1997

-Belum ada ormas nasional -Ancaman Komunis -Polisi/birokrasi terlalu kuat -Pem. Berubah menjadi Diktator -Demo mhs. mengakhiri pem.Rhee

UU Yushin menetapkan Park sebagai presiden seumur hidup, mengangkat 100 anggota parlemen tambahan, dan mengawasi kampus & pres

Choi Kyu Hah 1979 –1980 Chun Doo Hwan 1980 – 1987

Keterangan

Sa >< Jeong No

Tragedi Kwangju, 200 mhs. terbunuh oleh operasi militer -Mulai ada Serikat Buruh, melancarkan pemogokan. -Menjadi anggota PBB (1991), sehingga hrs. mentaati peraturan ILO -Pemilihan presiden secara langsung.

139


Politik dan Pemerintahan Korea KRISIS MONETER 1997

PASCA KRISIS

Kim Dae Jung 1997 – 2002

Korporatisme Sosial (pro-buruh) Pemerintah-Bisnis-Buruh sejajar NO-SA-JEONG

-Dibentuk Komisi Segi Tiga antara pem-bisnisburuh PCIRR, tetapi gagal karena ditentang gol. Radikal. -Gagal menjadi anggota OECD Bbrp. Chaebol gulung tikar GNP merosot tajam Perlu bantuan extra dari IMF UU Buruh, boleh PHK, gaji naik Dibentuk Komisi Tripartit GNP naik 10 % Investasi asing naik Utang IMF dilunasi Konflik menurun

Dua pendahulunya, Chun Doo Hwan dan Roh Tae Woo dituduh telah menerima suap. Setelah melalui persidangan pengadilan yang meng-hebohkan, pada tanggal 17 April 1997 Chun dijatuhi hukuman seumur hidup dan Roh diganjar 17 tahun.5 Beberapa Chaebol yang terlibat dalam skandal suap politik ini juga dijatuhi hukuman sampai dengan sepuluh tahun penjara dan denda yang tinggi. Kebijakan ekonomi pemerintah yang sudah berlangsung begitu lama mengakibatkan terjadinya kemerosotan moral di tingkat internasional maupun di dalam negeri. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, rejim presiden Park selalu memberikan jaminan pinjaman internasional yang diperoleh perusahaanperusahaan besar Korea Selatan. Hal ini dianggap sebagai sesuatu yang praktis untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang cepat karena pasar uang internasional tidak sepenuhnya menyadari kondisi perusahaan-perusahaan tersebut. Sejak tahun 1990, pemerintah tidak lagi memberikan jaminan kepada sebagian besar pinjaman serupa itu, walaupun para pemberi utang internasional masih berharap bahwa pemerintah akan melakukan hal yang sama di kemudian hari. Pemerintah juga bertindak secara aktif di dalam negeri selama tahun 1960-an dan 1970-an, baik dalam hal keuangan maupun persoalan ekonomi pada umumnya, khususnya dalam hal pengalokasian kredit. Pemerintah lebih suka investasi untuk membangun kapasitas produksi (khususnya dalam bidang 5

Keduanya kemudian diampuni pada 23 Desember 1997 dan dibebaskan.

140


Demokrasi dan Demokratisasi di Korea

manufaktur skala besar). Pengusaha besar yang mengembangkan industri ekspor memperoleh kemudahan lebih baik daripada pengusaha kecil-menengah yang memproduksi bahan pokok. Dengan demikian pemerintah memberikan insentif kepada para chaebol untuk menanam investasi dalam kapasitas yang produktif walaupun keuntungannya kecil. Hal ini membuat perekonomian kelihatan tumbuh cepat, padahal itu terjadi lebih dikarenakan bertambahnya modal daripada meningkatnya keuntungan. Hingga tahun 1996 banyak konglomerat yang memperoleh keuntungan sangat kecil, bahkan ada yang tak dapat untung sama sekali, walaupun catatan penjualan mengalami peningkatan hingga 30% per tahun. Hal inilah yang pada gilirannya menggerogoti kekuatan ekonomi Korea Selatan. Negeri tersebut mulai menunjukkan tanda-tanda kemerosotan ekonominya pada tahun 1996. Pertumbuhan hasil industri menurun dari 14% per tahun 1995 menjadi 10% di tahun 1996. Tingkat pertumbuhan penjualan bidang manufaktur juga menurun dari 20% tiap tahun 1995 menjadi 10% per 1996. Duapuluh tujuh persen dari 30 konglomerat terkemuka mengalami rasio utang-jaminan lebih dari 300% pada akhir 1996, dan 14 konglomerat lainnya bahkan menderita rasio lebih dari 500%. Lembaga keuangan serupa itu segera bangkrut. Nilai saham di pasar bursa merosot hingga 35%. Kurang-lebih 50.000 pekerja di sektor tersebut terkena PHK di tahun1996. Utang luar negeri melonjak dari 102 milyar $AS pada akhir 1996, dan 110 milyar $AS pada Oktober 1997, sedangkan persentase utang jangka pendek meningkat hingga 59% dalam satu tahun. Akhirnya, total defisit berjumlah 23.1 milyar $AS pada tahun 1996, yang merupakan 4.8% dari GDP. Untuk memperbaiki penampilan ekonominya pemerintah Korea Selatan berusaha mengubah struktur ekonomi nasional melalui reformasi regulasi di parlemen. Yang pertama adalah undang-undang mengenai perburuhan yang diajukan ke parlemen pada tahun 1996 yang hendak menghapus masa-kerja seumur hidup dengan menawarkan kemungkinan pemberlakuan pemecatan (PHK). Hal ini dimaksudkan untuk memperbaiki tingkat persaingan perusahaan Korea Selatan (di tingkat internasional) melalui pasar angkatan kerja yang lebih terbuka. Namun demikian, kuatnya oposisi dari serikat buruh dan partai oposisi mengakibatkan rancangan undang-undang tersebut terbengkelai di parlemen sampai datangnya krisis. Yang kedua adalah rancangan undang-undang tentang keuangan yang diajukan pada bulan Agustus 1997. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk mengkonsolidasikan pengawasan bank-bank komersial dan dagang dalam rangka meningkatkan otonomi bank sentral Korea. Seperti RUU perburuhan, rancangan ini juga terhenti di parlemen sampai terjadinya krisis. Kedua RUU ini terjegal karena sejumlah perkembangan yang terjadi sebelumnya.

141


Politik dan Pemerintahan Korea

Yang pertama karena perusahaan Hanbo (salah satu dari 30 perusahaan besar pada masa pemerintahan Kim Young Sam) mengalami kebangkrutan pada Januari 1997 dengan utang sebesar 6 milyar $AS. Ini merupakan kebangkrutan pertama dari satu konglomerat terkemuka pada dasawarsa itu. Rancangan Undang-undang perburuhan dan keuangan tersebut gagal kedua-duanya. Kondisi transisional yang ditandai dengan kekuasaan sipil seolah hancur berantakan karena kebangkrutan ekonomi yang datang secara tiba-tiba. Pada perkembangan selanjutnya, Kim Dae Jung yang terpilih sebagai presiden awal tahun 1998 melakukan sejumlah terobosan ekonomi dan politik. Pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 10,7 % (tahun sebelumnya hanya 5,8%). Pendapatan nasional per kepala meningkat tajam sebesar 1.839 dollar AS dibandingkan tahun sebelumnya (tahun 1998 hanya 6.742 dollar AS menjadi 8.581 dollar AS, naik 2 point pada peringkat terbaik ke 37 dunia, sebelumnya peringkat 39).6 Kebijakan perburuhan juga mendapat kemajuan yang sangat signifikan. Walaupun jumlah perundingan antara pemerintah, pengusaha dan buruh meningkat, tetapi intensitas konflik menurun tajam. Upaya membangun budaya kerja di era milenium baru dengan semangat rekonsiliasi dan kerjasama untuk menghadapi persaingan global ternyata telah berhasil mengurangi perilaku konfrontatif yang sebelumnya menghinggapi para pengusaha dan buruh. Komisi segitiga (Tri Partite) yang dibentuk di bawah lembaga kepresidenan untuk mengurusi hubungan nosajung pada tahun 1999 berhasil mengintroduksi keputusan kenaikan gaji bagi buruh, sekaligus mengubah sistem pengangkatan kerja seumur hidup dengan pemberlakuan kemungkinan PHK, pengurangan jam kerja per minggu serta menggaji para pengurus organisasi buruh yang full timer. Satu jajak pendapat yang dilakukan oleh Monthly Newsmagazine Win untuk menilai kinerja tahun pertama pemerintahan Kim Dae Jung memperlihatkan bahwa sebanyak 87,7 persen responden menganggap bahwa penanganan krisis ekonomi Kim sangat berhasil, begitu juga dukungan luar negeri terhadap pemerintahannya dinilai sangat memuaskan (54.4% responden). Bahkan 82,1% percaya bahwa lembaga kepresidenan di bawah Kim Dae Jung dianggap sangat cocok untuk menyelesaikan keadaan yang dihadapi Korea saat itu. Secara garis besar pemerintahan Kim Dae Jung dinilai telah berhasil melewati krisis. Dalam kasus pola hubungan nosajeong yang semula diwarnai dengan perselisihan dan pemogokan, tiba-tiba terjalin satu konsolidasi nasio6

Korean Annual 2000, 37th Annual Edition, 2000, Yonhap News Agency, Seoul, pp. 137140.

142


Demokrasi dan Demokratisasi di Korea

nal yang sedemikian hebat untuk menghadapi krisis tersebut. Dari perspektif demokratisasi, rekonsiliasi pemerintah-pengusaha-buruh, apalagi sampai dengan kesepakatan untuk memberlakukan kemungkinan PHK yang sebelumnya tak dikenal dalam perburuhan negeri itu, mengindikasikan bahwa kesadaran politik ketiga belah pihak telah sampai pada tingkat yang matang untuk berdemokrasi. Krisis ekonomi telah mendorong munculnya konsolidasi demokrasi di antara ketiga pihak tersebut. Penulis: Tulus Warsito Ph. D. (Universitas Gadjah Mada, Indonesia), Profesor di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Indonesia. Kini Visiting Professor di Universiti Utara Malaysia (UUM), Kedah, Malaysia. E-mail: tulusw_umy@yahoo.com

DAFTAR PUSTAKA Alice H.Amsden, 1989, Asia’s Next Giant, Oxford University Press, New York. Heather Smith dalam “Korea” pada Ross H.McLeod dan Ross Garnaut (eds.), 1999, East Asia in Crisis: From Being a Miracle to Needing One?, London, Routledge. ILO, Task Force on Industrial Relations, 1997, World Labor Report 1997-98: Industrial Relations, Democracy, and Social Stability, Geneva: ILO, Table 4.3. Heo Uk dan Kim Sunwoong, “Financial Crisis in South Korea, Failure of the Government-Led Development Paradigm” dalam Asian Survey, Vol.XL, No:3, May/June 2000. Lee Yeon-ho, 1997, The State, Society and Big Business in South Korea, London, Routledge. Lee Hahn Been, “Korean Development Revisited: Half A Century of Interplay of Democratic expectations and Economic Development”, dalam Yang Sung Chul (ed.), 1995, Democracy And Communism, Theory, Reality and The Future, The Korean Association of International Studies, Seoul. Park Jong-joo, “President Kim’s First Year in Office: Survey Result” dalam Korea Focus, Vol.7, No:2, 1999, March-April.

143


Politik dan Pemerintahan Korea

JALAN BERLIKU KE DEMOKRASI DI KOREA SELATAN: Peristiwa Gwangju, Diplomasi Amerika dan Konfusianisme Lim Kim-Hui (Dosen Universitas Kebangsaan Malaysia, Malaysia (1994-2010) Profesor Tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Korea)

Pendahuluan Gwangju1 adalah kota keenam terbesar di Korea Selatan. Kota ini merupakan kota metropolitan yang dikontrol langsung dari pemerintah pusat Mendagri. Kota ini juga merupakan ibukota Propinsi Jeolla Selatan sampai kantor propinsinya berpindah ke desa selatan bernama Namak di Muan County pada 2005. Gwang (광, 光 ) berarti “cahaya” dan ju (주, 州 ) berarti “negarabagian” atau “propinsi.” Kebetulan atau ketentuan sejarah, kota propinsi “cahaya” ini kini menjadi lambang sejarah kegelapan dan pencerahan kepada politik Korea Selatan. Kegelapannya karena berlakunya peristiwa pembantaian besar-besaran dalam sejarah Korea Selatan moden. Bagaimanapun, sesudah mendung kegelapan berlalu, Gwangju juga diraikan pada 18 Mei sebagai tempat bermulanya inspirasi demokratisasi di Korea Selatan. Gwangju kadang-kadang disebut “tempat keramat demokrasi Korea” karena insiden pembantaian ini, yang sekarang dikenal sebagai Gerakan Demokratisasi Gwangju. Dalam politik, demokratisasi merujuk kepada proses yang mengacu pada transisi dari rezim otoriter ke rezim yang lebih demokratis atau dari otoritarianisme (atau semi-otoriter) ke sistem politik yang lebih demokratis. Dengan menggunakan peristiwa berdarah Gwangju sebagai latar sejarah, tulisan ini menjelaskan jalan-jalan berliku yang dilalui Korea Selatan bagi harga sebuah demokrasi. Penulis menjelaskan pengajaran yang didapati daripada peristiwa tersebut dan dilema demokratisasi Korea Selatan yang terjepit antara budaya Konfusianisme dan kelicikan diplomasi Amerika ketika itu. Penulis menegaskan bahwa perjuangan demokrasi mana-mana negara hanya bisa dicapai atas pengorbanan diri sendiri dan tidak bisa disandarkan kepada kekuatan luar. Penulis seterusnya berpendapat demokrasi liberal ala Barat

1

Secara resmi dikenal sebagai Kota Metropolitan Gwangju. Namanya juga sering dieja sebagai Kwangju dalam artikel-artikel berbahasa Inggris.

144


Jalan Berliku ke Demokrasi di Korea Selatan

tidak semestinya yang terbaik dan tidak mungkin tercapai di Korea Selatan dan menyarankan agar suatu bentuk demokrasi yang bersandarkan tradisi budaya Korea khususnya nilai-nilai Asia dan Konfusianisme menjadi kerangka perkembangan sebuah model demokrasi yang lebih sesuai dalam mencari perimbangan antara kepentingan individu dan tanggung jawab terhadap kelompok.

Peristiwa Gwangju dan Jalan Berliku ke Demokrasi di Korea Selatan Pemberontakan Gwangju2 (18-27 Mei 1980) adalah sebuah demonstrasi mahasiswa di Gwangju bagi memprotes penerapan darurat militer, dan penangkapan beberapa pemimpin oposisi, termasuk Kim Dae Jung. Sebagai menanggapi aksi brutal polisi, para demonstran menyerang pemerintah, polisi, dan institusi militer, yang kemudiannya hanya dapat dibungkamkan oleh kekuatan pasukan payung elit (Palmowski 2004). Banyak orang diperkirakan meninggal akibat kebrutalan pemerintah. Peristiwa tersebut turut dijadikan tema beberapa film, misalnya film berjudul “A Petal” (꽃잎 - Kkonnip)3 dan film “18 May” (atau 화려한 휴가 - Hwaryeohan Hyuga)4. Setelah liberalisasi politik 1980-an, peristiwa tersebut menjadi simbol kebrutalan pemerintah yang paling kuat, sedangkan penuntutan terhadap mereka yang bertanggung jawab, khususnya mantan presiden Chun dan Roh, menjadi salah satu isu perselisihan politik dalam negeri pada era 1990-an yang paling banyak diperdebatkan, dan indikator penting tentang keseriusan komitmen negara terhadap reformasi politik (Palmowski 2004). Peristiwa Gwangju (Hangeul: 광주 민주화 운동 Gwangju minjuhwa undong secara resmi, bahasa seharihari 광주 사건 Gw angju s ageon atau 오일팔 oilpal al (5,18) Hanja: 光州民主化運動, 光州 事件 ) mengacu pada banyak kematian dari pemberontakan populer di kota Gwangju, Korea Selatan dari 18 Mei hingga 27 Mei 2

3

4

Senarai daftar pustaka karya berbahasa Inggris tentang peristiwa Gwangju, silakan baca: http://populargusts.blogspot.com/2006/05/bibliography-of-kwangju-uprisingin.html. Lihat juga Warnberg (1987) dan Lee Tae-hoon (2010). A Petal (꽃잎 - Kkonnip) adalah sebuah film Korea Selatan yang memenangkan hadiah pada tahun 1996 dan disutradarai oleh Jang Sun-woo. Film ini menceritakan kisah seorang gadis yang mengalami pemberontakan Gwangju pada usia 15, dan pengaruh peristiwa ini pada kehidupannya di kemudian hari. Film ini dirilis pada 2007 dan disutradarai Kim Ji-hun berdasarkan peristiwa pembantaian di Gwangju pada 18 Mei, yang terjadi ketika Presiden Chun Doo Hwan berusaha menghapuskan pemberontak dengan menggunakan kekuatan militer. Ceritanya mengisahkan Min-woo menjalani hidup yang relatif damai dengan adiknya Jin-woo sampai hari para prajurit mengamuk terhadap warga negara. Para warga membentuk milisi bertekad untuk melindungi orang yang dicintai, dan Min-woo menemukan dirinya di tengah-tengah semuanya itu.

145


Politik dan Pemerintahan Korea

1980. Selama periode ini, warga bangkit melawan kediktatoran militer Chun Doo Hwan dan mengambil alih kota. Dalam rangka pemberontakan, para warga mengangkat senjata untuk membela diri, namun akhirnya dihancurkan oleh tentara Korea Selatan. Peristiwa ini kadang-kadang disebut 518, mengacu pada tanggal pemberontakan ini dimulai. Setelah Kim Chaegyu, direktur Korea Central Intelligence Agency (KCIA), membunuh Park Chung Hee pada 26 Oktober 1979, Jenderal Chun Doo Hwan dan Roh Tae Woo merebut kekuasaan dalam satu kudeta pada 12 Desember tahun itu dan mendirikan Republik Kelima (1979-1987). Pembunuhan Park Chung Hee menggemparkan seluruh negara. Naiknya jenderal Chun Doo Hwan ke tampuk kekuasaan menandakan pemerintahan diktatur militer. Kudeta militer secara tidak sah itu tidak disenangi oleh banyak pihak. Keadaan ini menyebabkan demonstrasi demi demonstrasi dianjurkan untuk membantah kudeta tersebut. Sementara demonstrasi besar dipentaskan di Seoul dan kota-kota lain, demonstrasi besar-besaran juga berlangsung di Gwangju pada Mei 1980. Kira-kira 6.000 mahasiswa dari Universitas Nasional Chonnam turun ke jalan dan mengadakan demonstrasi di depan Dewan Propinsi Jeolla Selatan pada 14 Mei. Jumlah pengunjuk rasa lebih dari dua kali lipat pada hari berikutnya apabila disertai para mahasiswa dari universitas lain dalam kampanye tersebut. Pada 16 Mei, sekitar 30.000 mahasiswa dari sembilan universitas di Gwangju mengadakan rapat besar dan berjanji untuk berkumpul di pintu gerbang depan Universitas Nasional Chonnam keesokan paginya, sekiranya suatu “situasi yang luar biasa� terjadi. Apa yang ditakuti menjadi kenyataan apabila pemimpin militer memperluaskan Darurat Militer ke seluruh negara pada 17 Mei dan berusaha untuk membubarkan Majelis Nasional (Lee Tae-hoon 2010). Namun bukan semua orang tunduk terhadap penindasan tersebut. Mahasiswa dan anak muda di Gwangju memprotes hukum darurat tersebut dengan keluar ke jalan-jalan. Pada 18 Mei 1980, ratusan mahasiswa dari Universitas Nasional Chonnam berarak ke pintu pagar universitas tersebut yang dikepung oleh tentara. Mereka membantah tindakan militer mengambil alih universitas tersebut. Demonstrasi aman tersebut berakhir dengan respons yang ganas dari pihak militer. Para demonstran dipukul, ditahan dan rumah-rumah mereka digeledah untuk melacak aktivis mahasiswa (Amin Iskandar 2010). Jeneral Chun bukan sahaja memakai tentara tapi juga media. Stasiun TV Munhwa Broadcasting Corporation (MBC) yang dikontrol oleh militer membuat liputan tentang demonstrasi tersebut menurut selera pemerintah. Para demonstran dituduh komunis dan agen kepada Korea Utara atau terinspirasi oleh simpatisan Komunis. Tindakan ganas tentara dan manipulasi media bagaimanapun tidak melemahkan semangat mahasiswa, malah turut menye-

146


Jalan Berliku ke Demokrasi di Korea Selatan

marakkan kemarahan rakyat Gwangju. Mereka akhirnya bergabung tenaga untuk melawan tirani dan kekejaman pemerintah. Pada 20 Mei mereka akhirnya menguasai Stasiun TV MBC yang menjadi alat pemerintah untuk menyebarkan propaganda (Amin Iskandar 2010). Keesokan harinya demonstrasi menjadi semakin besar. Diperkirakan lebih 300.000 rakyat bergabung dalam demonstrasi tersebut. Demonstran menawan kantor polisi dan tempat penyimpanan senjata militer. Senjatasenjata dirampas dan ‘tentara rakyat’ didirikan untuk melawan tentara-tentara Chun Doo Hwan. Sebagai reaksi kepada kebangkitan rakyat di Gwangju, jenderal Chun telah mengirimkan pasukan yang lebih besar. Gwangju telah dikepung oleh tentara pemerintah dan semua jalan keluar masuk ke kota tersebut ditutup (Amin Iskandar 2010). Ketika blokade dilakukan, rakyat di Gwangju bergabung membentuk sebuah ‘komunitas’. Komunitas tersebut berjalan secara efektif untuk mengontrol keamanan dan melakukan konsultasi dengan pihak militer. Konsultasi penduduk Gwangju dan militer menemui jalan buntu. Kesepakatan tidak dapat dicapai. Pada 27 Mei, unit khusus dari 5 divisi tentara menabrak masuk, mengalahkan para demonstran dalam hanya 90 menit (Lee Tae-hoon 2010). Tak lama setelah pemberontakan di Gwangju, Chun terpilih sebagai presiden dalam pemilihan tidak langsung pada Agustus 1980, di mana ia adalah satu-satunya calon yang bertanding. Peristiwa kebangkitan rakyat di Gwangju akhirnya berkelanjutan dan menjadi inspirasi kepada pergerakan prodemokrasi di seluruh Korea Selatan. Dalam pemilihan Majelis Nasional Maret 1981, Partai Keadilan Demokrat militer (DJP) memenangi 151 dari 276 kursi. Manakala pemilihan Majelis Nasional pada 12 Februari 1985, pencapaian DJP jauh lebih buruk, menang hanya 35,3 persen suara dan 87 dari 276 kursi, sedangkan oposisi memenangi 30 persen suara dan lima kota terbesar di Korea Selatan bersama dengan 67 kursi. Pada saat ini dua pemimpin oposisi utama, Kim Young-sam dan Kim Dae Jung, tetap dilarang dari kegiatan politik. Pada 6 Maret 1985, pemerintah menghapuskan larangan kepada beberapa politisi oposisi, tetapi Kim Dae Jung masih dilarang dari kegiatan politik (Jacobs 2007: 240). Dari 1984, jumlah siswa dan peserta protes meningkat secara substansial berbanding bertahun-tahun sebelumnya. Pada 1987 jumlah siswa pengunjuk rasa meningkat menjadi lebih dari 930,000 dan protes seperti itu tidak lagi terbatas pada siswa dan protes terjadi di seluruh negara. Pada Juni 1987, sebanyak 3.362 protes diadakan di Korea Selatan, melibatkan satu juta peserta dalam tiga puluh tujuh kota. Pada 10 Juni 1987, perarakan mahasiswa yang didukung rakyat telah sampai ke puncaknya. Demonstrasi intensif selama tujuh belas hari secara berturut-turut membawa kepada langkahlangkah utama pertama menuju demokratisasi di Korea Selatan, pihak

147


Politik dan Pemerintahan Korea

berwenang melepaskan tembakan lebih dari 300.000 tabung gas air mata kepada para demonstran. Gas air mata ini saja menelan biaya sekitar Š 6000000000 atau US $ 7,3 juta (Jacobs 2007: 237-238). Mereka membanjiri kota Seoul dan akhirnya Chun Doo Hwan harus mematuhi tuntutan rakyat, dan mengundurkan diri. Presiden Roh Tae Woo yang menggantikan Chun akhirnya terpaksa tunduk kepada kebangkitan rakyat pada bulan Juni 1987 (Amin Iskandar 2010). Sementara Presiden Chun Doo Hwan menolak untuk berkompromi dengan oposisi; pengganti pilihannya, pemimpin partai Roh Tae Woo, memberikan pidato terkenal delapan-poinnya pada 29 Juni, 1987 yang memberi banyak konsesi kepada para demonstran, termasuk amandemen konstitusi yang disetujui oleh pemerintah dan oposisi, pemilihan presiden secara langsung, revisi UU Pemilu Presiden, amnesti dan pemulihan hak-hak sipil bagi Kim Dae Jung, membebaskan semua tahanan politik kecuali mereka yang ditahan karena pengkhianatan atau kekerasan, pers bebas, kebebasan untuk partai politik, otonomi daerah, pemerintahan sendiri oleh universitas, dan kampanye menentang kejahatan dan korupsi. Roh Tae Woo mengimplementasikan janji-janji tersebut dan menjelang akhir Oktober, orang-orang Korea Selatan menyetujui konstitusi baru Republik Keenam (Jacobs 2007: 241). Meskipun Roh Tae Woo adalah salah seorang jenderal yang telah melakukan kudeta tanggal 12 Desember 1979, dan terlibat dalam penindasan pemberontakan Gwangju Mei 1980, beliau tampaknya telah menjadi jauh lebih demokratis pada pertengahan 1987. Pada pemilihan presiden tanggal 17 Desember 1987, Roh menang dengan hanya 37 persen suara melawan Kim Youngsam dan Kim Dae Jung, yang membagi 55 persen suara di antara mereka. Dalam pemilihan Majelis Nasional tanggal 26 April 1988, yang diadakan empat bulan setelah pemilihan presiden, partai Roh hanya memperoleh 125 dari 299 kursi, walaupun pada 24 Maret 1992, dalam Pemilu Majelis Nasional, yang diadakan dekat waktu akhir Roh sebagai presiden, partainya memperoleh 149 dari 299 kursi (Jacobs 2007: 241). Pada tahun 1997, mantan presiden Chun Doo Hwan dan Roh Tae Woo, serta 17 orang lainnya, yang dihukum dan kemudian diampuni karena mereka didapati ada hubungan dengan kudeta 12 Desember 1979, Pemberontakan Gwangju, dan perubahan dana. Penindasan di Korea Selatan dari Pemberontakan Gwangju menyebabkan banyak orang yang terkorban dan angkanya bisa berbeda-beda dari ratusan ke ribuan orang. Laporan Lee Tae-hoon (2010) dalam The Korea Times (17 Mei 2010) menyatakan bahwa: The official number of victims of the brutality is 4,369; 154 killed, 74 missing, 4,141 wounded including those who died from their wounds

148


Jalan Berliku ke Demokrasi di Korea Selatan

and were placed under arrest. The number of people illegally taken into custody during the period of Martial Law was more than 3,000, and nobody knows how many people were unjustly arrested (Jumlah resmi korban kebrutalan adalah 4.369, 154 tewas, 74 hilang, 4.141 terluka termasuk mereka yang meninggal karena luka mereka dan ditempatkan dalam tahanan. Jumlah orang yang ditahan secara ilegal selama periode Darurat Militer lebih dari 3.000, dan tak seorang pun tahu berapa banyak orang yang ditangkap secara tidak adil) (terjemahan penulis). Pada tahun 2002, sebuah pemakaman nasional dan hari peringatan (18 Mei), bersama dengan tindakan untuk memberi kompensasi, dan mengembalikan kehormatan kepada para korban telah didirikan.

Peristiwa Gwangju dan Amerika Serikat: Demokrasi atau Kepentingan? Amerika Serikat selalu menggambarkan dirinya sebagai juara yang memperjuangkan suatu masyarakat yang demokratis. Namun, sikap Amerika terhadap rezim otoriter di Korea Selatan sebelum insiden Gwangju dipandang oleh banyak pihak sebagai secara tidak langsung mendukung rezim otoriter. Sikap Amerika seperti itu dikatakan antara sebab melonjaknya sentimen AntiAmerikanisme di Korea, yang secara luasnya bisa dilacak ke peristiwa Mei 1980 itu (Katsiaficas t.th.). Anti-Amerikanisme di Korea Selatan tetap menjadi masalah yang signifikan bahkan sehingga hari ini di sebalik hubungan diplomasi yang baik antara Korea Selatan dengan Amerika Serikat. Peristiwa Gwangju juga turut meyakinkan generasi baru Korea bahwa gerakan demokrasi telah berkembang bukan dengan dukungan dari Washington, seperti yang sering dipikirkan oleh generasi tua Korea yang lebih konservatif. Amerika malah secara tidak langsung mendukung diktator yang sebenarnya bisa memadamkan aspirasi demokrasi rakyat Korea. Pada akhir tahun 1980, sebagian besar warga Korea Selatan percaya bahwa Amerika Serikat adalah teman baik dan akan membantu mereka mencapai demokrasi. Selama Pemberontakan Gwangju, titik genesis kontemporer anti-Amerikanisme, desas-desus tersebar luas menyatakan pengangkut pesawat USS Coal Sea memasuki perairan Korea untuk membantu pemberontak menentang Chun Doo Hwan dan kediktatoran militer baru. Setelah hal ini menjadi jelas bahwa AS telah mendukung Chun dan mendorong penguasa militer baru untuk menekan pemberontakan tersebut, anti-Amerikanisme di Korea Selatan muncul dengan kecepatan yang mengejutkan (Katsiaficas t.th.). Dalam waktu dua tahun sejak penindasan Pemberontakan Gwangju, pelaku kebakaran (arsonist) menyerang kantor United States Information

149


Politik dan Pemerintahan Korea

Service (USIS) di Gwangju dan Pusan, pada September 1983, sebuah bom meledak di depan Pusat Kebudayaan Amerika di Daegu; pada 23 Mei 1985, perpustakaan USIS di Seoul diduduki selama tiga hari sampai semua 73 siswa ditangkap, sedangkan Mei 1986 kerusuhan di Inchon memiliki nada antiAmerika yang berbeda; dan selama Pemberontakan besar Juni 1987, Wartawan AS mengeluh bahwa orang-orang berteriak “Yankee Go Home!” ketika mereka mencoba membuat liputan berita demonstrasi (Katsiaficas t.th.). Dalam memori orang Korea, banyak pernyataan publik yang kurang baik oleh para pejabat AS mengipasi api perasaan anti-Amerika baik sebelum dan sesudah Gwangju: Pada 29 November 1979, Duta Besar AS William H. Gleysteen, Jr mengucapkan komentar terkenal merujuk kepada masyarakat Korea sebagai “masyarakat bawang putih dan pejuang makan lada (society of garlic and pepper eating combatants)”, dan pada 1982, Duta Besar AS Richard L. Walker mengatakan kepada wartawan di South Carolina bahwa mahasiswa dan intelektual Korea adalah “anak nakal yang dimanjakan (spoiled brats)”, manakala dalam tahun yang sama, Jenderal John A. Wickham, Jr, yang ketika itu memegang jabatan sebagai komandan pasukan AS dan PBB di Korea, dikatakan telah membuat pidato mengibaratkan orang Korea sebagai “lemming” (sejenis tikus) yang membabi buta mengikuti setiap pemimpinnya (Katsiaficas t.th.). Seperti yang telah dicatatkan, kemunculan semangat anti-Amerikanisme Korea Selatan kontemporer dimulai dengan tindakan AS selama Pemberontakan Gwangju. Memang, salah satu item utama yang pertama dibicarakan dalam Majelis Nasional setelah diktatur militer digulingkan pada 1987 adalah untuk mendengar pendapat tentang peristiwa Gwangju. Pada 1989 wakilwakil dari Amerika Serikat, yang telah secara resmi diminta untuk bersaksi secara pribadi, sebaliknya memilih untuk mengajukan jawaban tertulis berhubung serangkaian pertanyaan yang sangat spesifik terkait dengan masalah apakah AS diam-diam berkolaborasi dengan Chun Doo Hwan dan penguasa militer baru atau tidak dalam usaha menggulingkan pemerintahan pascaPark dan menekan Pemberontakan Gwangju pada 1980. Kertas Putih Departemen Luar Negeri tentang Gwangju yang masih-kontroversial, yang diterbitkan pada 19 Juni 1989, menyatakan AS “tidak memiliki kewenangan atau pengetahuan sebelumnya tentang gerakan unit-unit khusus Komando Warfare untuk Gwangju” dan sedapat mungkin berusaha mengelak daripada dikritik. Kegagalan Kertas Putih berkenaan bagi mengakui tanggung jawab AS, memprovokasi sentimen anti-Amerika seterusnya. Di luar rincian spesifik, yang jelas, banyak orang Korea masih menganggap dukungan AS kepada rezim Chun antara 1979-1987 sebagai fakta sejarah (Katsiaficas t.th.).

150


Jalan Berliku ke Demokrasi di Korea Selatan

Hal-hal mendasar timbulnya gerakan ini adalah persepsi orang muda khususnya tentang keterlibatan AS dalam membantu Chun naik ke kekuasaan, dan, lebih khusus lagi, dalam pembantaian Gwangju itu sendiri. Hal-hal ini bagaimanapun masih tetap kontroversial. Apa yang jelas, misalnya, bahwa pihak berwenang AS memberi izin kepada Divisi 20 Angkatan Darat Korea untuk kembali mengambil Gwangju - sebagaimana yang diakuinya dalam surat tahun 1982 yang dikirim kepada New York Times oleh Duta Besar Amerika ketika itu, Gleysteen. The general (read: General Wickham), with my concurrence, permitted transfer of well-trained troops of the twentieth R.O.K.A. Division from martial-law duty in Seoul to Gwangju because law and order had to be restored in a situation that had run amok following the outrageous behavior of the Korean Special Forces, which had never been under General Wickham’s command ([Jenderal Wickham], dengan persetujuan saya, mengizinkan perpindahan tentara terlatih dari Divisi R.O.K.A. kedua puluh dari tugas hukum bela diri di Seoul ke Gwangju karena hukum dan ketertiban harus dikembalikan dalam situasi yang begitu berkecamuk berikutan perilaku keterlaluan pihak Pasukan Khusus Korea, yang tidak pernah di bawah perintah Jenderal Wickham (Dlm Scott-Stokes & Lee 2000: 231, terjemahan penulis). Pengalaman di Gwangju memperlihatkan ketegasan dan keyakinan perjuangan Korea untuk membebaskan negara dari kediktatoran, mereka juga harus menjauhkan diri dari kontrol AS. Sejak perang Korea, puluhan ribu tentara AS telah ditempatkan di Korea Selatan dan pada saat pemberontakan Gwangju, seorang jenderal AS masih mempertahankan pengendalian operasional tertinggi atas pasukan gabungan AS dan Korea Selatan. “AS telah mendukung Park Chung Hee sejak [ia mengambil kekuasaan] pada tahun 1961, dan AS tidak melakukan apa-apa pun sewaktu Chun Doo Hwan merampas kuasa,” kata Bruce Cumings, profesor sejarah di Universitas Chicago dan ahli Korea terkemuka, kepada situs web BBC News (Branford 2005). “Keadaan ini sejelas hidung di wajah siapa pun bahwa AS telah mendukung Park Chung Hee dan kemudian anak didiknya, dan AS jauh lebih khawatir tentang stabilitas dan Korea Utara daripada tentang demokrasi di Korea Selatan.” “Gwangju hanya meracuni hubungan Korea Selatan dengan Amerika Serikat.”

151


Politik dan Pemerintahan Korea

Cumings mengatakan bahwa sementara pihak berwenang di Korea Selatan telah pergi jauh dan ekstensif untuk mendokumentasikan apa yang terjadi di Gwangju, Washington tidak pernah melakukan “penyelidikan serius” ke dalam peran AS dalam pembantaian (Dlm Branford 2005). Tim Shorrock5 (2010), melalui analisisnya terhadap banyak dokumen pemerintah AS yang baru-baru ini dibuka untuk publik (declassified documents), membuat kesimpulan berikut mengenai keterlibatan AS dalam insiden tersebut. Antara kesimpulannya, beliau mengatakan bahwa pejabat senior dalam pemerintahan Jimmy Carter menyetujui rencana Chun untuk menggunakan unit militernya atas para demonstran yang mengguncang kota-kota Korea pada musim semi 1980 karena berasa takut bahwa kekacauan di Korea Selatan akan menggoda Korea Utara untuk bercampur tangan. Shorrock demikian menyimpulkan: The Carter administration, concerned that the crisis in South Korea could destabilize U.S. security interests and possibly trigger “another Iran” — a revolution overthrowing a U.S. ally — gave tacit approval to the Korean military to use force to put down student and worker protests, while warning generals not to use excessive force. Then, when the Kwangju citizens fought back against military atrocities, the same officials approved the dispatch of Korean troops under U.S. command to put down the rebellion. Carter’s actions helped pave the way for nearly eight more years of repressive military rule in South Korea and triggered a wave of anti-American feeling throughout South Korea that persists to this day. (Administrasi Carter, prihatin bahwa krisis di Korea Selatan bisa menggoyahkan kepentingan keselamatan AS dan mungkin memicu “satu lagi Iran” - sebuah revolusi yang menumbangkan sekutu AS - memberikan persetujuan secara diam-diam kepada militer Korea untuk menggunakan kekuatan bagi mengamankan protes mahasiswa dan pekerja, sedangkan jenderal diberi peringatan untuk tidak menggunakan kekerasan yang berlebihan. Kemudian, ketika warga Gwangju berjuang kembali melawan kekejaman militer, para pejabat yang sama menyetujui pengiriman pasukan Korea di bawah perintah Amerika Serikat untuk mengamankan pemberontakan. Tindakan Carter membantu membuka jalan selama hampir delapan 5

Tim Shorrock adalah seorang penulis Washington dan kontributor lama untuk Foreign Policy in Focus. Artikel-artikelnya tentang Korea telah muncul di The Nation, The Progressive, dan publikasi lainnya. Bukunya, Spies for Hire: The Secret World of Intelligence Outsourcing, diterbitkan pada 2008. Pendapat-pendapatnya tentang Korea juga bisa dibaca di situs www.timshorrock.com.

152


Jalan Berliku ke Demokrasi di Korea Selatan

tahun pemerintahan kekuasaan militer yang represif di Korea Selatan dan memicu gelombang perasaan anti-Amerika di Korea Selatan yang bertahan sampai hari ini (terjemahan penulis). Shorrock turut menyatakan bahwa pada tanggal 22 Mei 1980, di tengahtengah pemberontakan Gwangju, pemerintahan Carter menyetujui penggunaan lebih lanjut kekuatan untuk merebut kembali kota dan bersetuju untuk memberikan dukungan jangka pendek untuk Chun jika Chun bersetuju terhadap perubahan politik jangka panjang. Pada pertemuan Gedung Putih pada tanggal tersebut, rencana juga dibahas untuk intervensi langsung militer AS jika situasi menjadi tidak bisa dikontrol. Donald Sohn, generasi kedua KoreaAmerika dan seorang pegawai tentara yang mengusahakan gelar masternya di Cornell, sewaktu mempresentasikan sebuah makalah berjudul “Chun’s Manipulation of the Carter Administration” seperti yang dikutip oleh Peterson (t.th.) bagaimanapun tidak bersetuju dengan Shorrock. Menurutnya, “It is preposterous to suggest this report holds the “smoking gun” showing the US had prior knowledge of the deployment of Korean Special Forces troops to Kwangju (Sungguh tidak masuk akal untuk menyarankan laporan ini memegang “senapan berasap” bagi menunjukkan AS memiliki pengetahuan sebelumnya berkenaan pengerahan Pasukan Khas Korea ke Gwangju).” Baginya, meskipun semangat dari banyak sarjana dan wartawan untuk mengatasi “han” (kepahitan membara tentang kesalahan masa lalu) orang Korea, pertanyaan apakah AS benar-benar dimanipulasi oleh Chun atau apakah AS sengaja membiarkan dirinya dimanipulasi memerlukan investigasi lebih lanjut. Tujuan penelitian yang dilakukan dengan semua dokumen rahasia yang berkaitan dengan Gwangju termasuk yang terkait dengan pembunuhan Park Chung Hee adalah diperlukan untuk mengungkapkan sepenuhnya sejarah insiden Gwangju yang sebenarnya (Dlm. Peterson t.th.). Sejarawan lain, seperti Don Oberdorfer dalam bukunya The Two Koreas: A Contemporary History (1997), bagaimanapun memberi gambaran jauh lebih terbatas tentang keterlibatan AS dan menyatakan Washington tidak menyadari jumlah angkatan Chun yang direncanakan untuk digunakan6.

Tradisi Budaya Konfusianisme: Penghalang Demokrasi dan Demokratisasi di Korea Selatan? Sesudah peristiwa Gwangju yang mendedahkan sikap kepentingan diplomasi Amerika Serikat, apakah Korea Selatan sudah benar-benar menuju 6

Lihat: http://wiki.galbijim.com/Gwangju_massacre. Akses: 12.12.2010.

153


Politik dan Pemerintahan Korea

ke arah demokrasi? Apakah tantangan sebenar datangnya dari tradisi budaya Konfusianisme yang kuat berakar di Korea? Persoalan-persoalan ini mengundang berbagai pendapat yang berbeda. Dari satu sisi, generasi baru umumnya mengimpikan demokrasi ala Barat, manakala generasi lama masih merasa ragu-ragu tentang kesesuaian demokrasi ala Barat dengan nilai-nilai Asia dari sisi lain. Banyak orang Korea khususnya generasi lama ternyata masih merindui keberhasilan kebijakan ekonomi seorang “diktator bersih” seperti Park Chung Hee. Yang Seung Yoon (2010) misalnya merupakan antara penulis yang masih merindui zaman Park sewaktu membandingkan bagaimana Park dapat mengalahkan Kim Il Sung. Keberhasilan Park dalam mengangkat ekonomi Korea Selatan turut dilihat sebagai keberhasilan “Kapitalisme Konfusianisme” (Dlm Zheng & Zhang 2009). Polemik kesesuaian demokrasi Barat dengan nilai-nilai Asia sebenarnya bukan suatu isu baru. Selama lebih dari satu dekade, para sarjana dan pembuat keputusan telah memperdebatkan secara keras kesesuaian dan kompatibilitas demokrasi liberal di Asia Timur. Di beberapa negara Asia Timur, kalangan berpengaruh berpendapat bahwa demokrasi dan hak asasi manusia adalah konsep Barat dan tidak cocok untuk tatanan politik dan sosial bagi dunia Asia. Pembela nilai Asia seperti Lee Kuan Yew (1994) berpendapat bahwa demokrasi liberal Barat tidak cocok dan tidak kompatibel dengan Konfusianisme Asia Timur, di mana kesejahteraan kolektif, tugas sosial, dan prinsipprinsip moral filsafat Konfusianisme lainnya telah berakar. Sebagai alternatif kepada sebuah demokrasi liberal berdasarkan prinsip-prinsip hak-hak individu dan kontrak sosial, pendukung nilai Asia telah menganjurkan pemerintahan berdasarkan nilai-nilai Asia, sebuah bentuk pemerintahan paternalistik yang diklaim oleh pendukung demokrasi liberal sebagai ketinggalan zaman dan menindas. Gagasan bahwa nilai Asia dan nilai liberal tidak berkompatibel bagaimanapun ditanggap dan disanggah secara meyakinkan oleh Kim Dae Jung dalam artikelnya “Is Culture Destiny? The Myth of Asia’s Anti-Democratic Values” (1994). Bagi menjawab argumen Lee Kuan Yew (1994), Kim berpendapat bahwa orang Asia memiliki tradisi demokratis mereka sendiri yang bisa dibanggakan dengan merujuk kepada satu set ideal demokrasi “pribumi” Asia terutamanya di China dan Korea. Persoalannya apakah nilai-nilai Asia berdasarkan pemikiran Konfusius berkompatibel dengan demokrasi liberal Barat? Analisis Survei Barometer Asia Timur7 yang dilakukan di Korea Selatan mengungkapkan keterikatan 7

Survei ini dilakukan oleh Survey Research Center di Korea University. Sampel dipilih untuk mewakili populasi Korea yang berusia 20 dan ke atas dengan memakai multistage random sampling berdasarkan prinsip probabilitas proporsional dengan saiz. Lihat situs proyek EAB: http://www.asiabarometer.org.

154


Jalan Berliku ke Demokrasi di Korea Selatan

terhadap nilai-nilai Konfusianisme menjadikan seseorang lebih sulit untuk menolak pemerintahan otoriter daripada untuk merangkul demokrasi. Temuan ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Asia mengurangi demokratisasi budaya terutama dengan memelihara masyarakat agar berorientasi pada kebajikan politik otoriter massa (lihat Park & Shin 2006). Banyak nilai yang dikutip sebagai nilai Asia atau Konfusianisme termasuk pentingnya keluarga, kepedulian terhadap kebajikan dan etika, keunggulan kelompok atas individu, penekanan atas kesatuan atau kerukunan, kerja keras, hemat, dan pentingnya pendidikan. Studi Park & Shin (2006) ini bagaimanapun hanya berfokus pada nilai-nilai Asia yang ada relevansi politik, nilai-nilai ekonomi dan sosial seperti kerja keras, hemat, dan pentingnya pendidikan, yang sering muncul dalam penjelasan pembangunan ekonomi Asia Timur, dikecualikan dari analisis mereka. Moralitas Konfusianisme, sumber utama berbagai nilai Asia, mengasumsikan bahwa seseorang secara inheren terhubung kepada orang lain. Karena itu, hak-hak individu haruslah dilihat dalam konteks kepentingan kelompok. Dalam Konfusianisme, hak individu ideal didefinisikan dan ditetapkan dalam hal hubungan seseorang dengan orang lain. Orang yang ideal diharapkan dapat bekerja untuk kebaikan kelompok dan untuk menyesuaikan diri dengan harapan orang lain. Karena individu tidak dilihat sebagai yang terpisah dari orang lain, mereka berkewajiban untuk bekerja melalui kelompok-kelompok dari mana mereka berasal. Oleh karena itu, perhatian seseorang untuk kebutuhan sendiri dan hak selalu dianggap sekunder untuk kewajiban sosialnya atau kesejahteraan kolektif. Orang yang menganuti ideal Konfusianisme tidak mementingkan diri sendiri tetapi mencari kepentingan kelompok (Park & Shin 2006). Temuan Survei EAB yang disajikan mengungkapkan bahwa budaya politik kontemporer Korea masih memanifestasikan warisan Konfusianisme kolektivisme hirarkis dan kebaikan paternalisme. Mayoritas orang Korea setidaknya sebagian tetap melekat pada beberapa nilai Asia yang dikutip. Hanya sedikit yang sepenuhnya terlepas dari nilai-nilai tersebut. Terutama, keluarga sebagai nilai ideal Konfusius tetap menjadi model pemerintahan negara di mata kebanyakan orang Korea biasa. Dalam pikiran mereka, keluarga masih merupakan sumber moral hubungan sosial dan politik. Gagasan organik masyarakat atau negara sebagai satu keluarga besar masih diterima secara meluas. Hak-hak individu dipandang kurang penting berbanding dengan kesejahteraan kolektif (Park & Shin 2006). Salah seorang pengkritik yang melihat Konfusianisme sebagai bertentangan dengan demokrasi Barat ialah Samuel Huntington yang mengukir namanya lewat tesisnya The Clash of Civilizations (Benturan Peradaban). Pada 1991 lewat artikelnya, “Religion and the Third Wave,� Huntington me-

155


Politik dan Pemerintahan Korea

nunjukkan hubungan sebab akibat antara Kristen dan demokrasi bagi mengantisipasikan teori “benturan peradaban”nya (Huntington 1991b: 29-42). Dalam The Clash of Civilizalions and the Remaking of World Order (1996), pandangannya mengenai hal ini tetap tidak berubah secara substansial. Beliau memuji golongan Kristen dalam mempromosi gerakan demokrasi di Korea Selatan: Selama tahun 1970-an dan 1980-an lebih dari tiga puluh negara bergeser dari otoriter ke sistem politik yang demokratis. Menurut Huntington, demokratisasi paling berhasil di negara-negara di mana pengaruh Kristen dan Barat itu kuat. Rezim demokratis baru tampaknya paling mungkin menjadi stabil di negara-negara Eropa Selatan dan Tengah yang didominasi Katolik atau Protestan dan, kurang pasti, di negara-negara Amerika Latin. Di Asia Timur, Filipina yang kuat dipengaruhi Katolik dan Amerika kembali ke demokrasi pada 1980-an, sementara para pemimpin Kristen mempromosikan gerakan menuju demokrasi di Korea Selatan dan Taiwan (Huntington 1996: 192193). Huntington di sana-sini dalam tulisan-tulisannya turut menjadikan Konfusianisme sebagai sasaran kritikannya, misalnya: “Traditional Confucianism was either undemocratic or antidemocratic (Konfusianisme tradisional baik tidak demokratis atau antidemokrasi)” (Huntington 1991a: 300). “In practice Confucian and Confucian-influenced societies have been inhospitable to democracy (Secara praktiknya masyarakat Konfusian dan Konfusianisme didapati tidak ramah kepada demokrasi)” (Huntington 1991a: 301). “China’s Confucian heritage, with its emphasis on authority, order, hierarchy and the supremacy of the collectivity over the individual, creates obstacles to democratization (warisan Konfusianisme China, dengan penekanan pada otoritas, ketertiban, hirarki dan supremasi kolektivitas atas individu, menciptakan hambatan untuk demokratisasi)” (Huntington 1996: 238). Yu (2005) bagaimanapun membantah tesis Huntington bahwa Konfusianisme berkonflik dengan Barat dengan mengidentifikasi China Komunis sebagai penganut “Konfusius.” Menggunakan bukti dan karya sarjana Konfusianisme, Yu berpendapat bahwa hampir tidak ada benturan peradaban di bidang agama, ilmu sains dan bahkan demokrasi, dan karena itu “hal ini hanya adil apabila budaya Konfusianisme dibebaskan dari segala tuduhan” (hal. 215). Dalam bagian berkenaan “demokrasi”, Yu (2005) menjelaskan bahwa Konfu-

156


Jalan Berliku ke Demokrasi di Korea Selatan

sianisme bukanlah penghalang atau antidemokrasi seperti yang sering diklaim oleh Barat. Bagi Yu (2005), kalau diteliti dari sejarah China, penemu dan pendukung demokrasi China yang terawal di akhir abad kesembilan belas adalah tidak lain dari para sarjana Konfusius yang berpikiran reformasi, seperti Wang Tao (1828-1897), Guo Songtao (1818-1891) dan Xue Fucheng (1838-1894). Manakala pada pergantian abad ini pula, ada dua aliran Konfusianisme yang bersaing di China. Aliran Teks Baru mengklaim Kang Youwei (1858-1927), Tan Sitong (1865-1898), dan Liang Qichao (1873-1929) sebagai pemimpinnya, manakala Aliran Teks Lama dipimpin oleh Zhang Binglin (1868-1936) dan Liu Shipei (1884-1919). Menurut Yu, menariknya, kedua aliran ini menganjurkan demokrasi, meskipun masing-masing dengan caranya yang tersendiri. Aliran Teks Baru yang reformis mendukung monarki konstitusional sementara saingannya Aliran Teks Lama yang bersifat revolusioner mendukung republikanisme. Sketsa sejarah di atas jelas menunjukkan bahwa ide demokrasi menemukan audiens yang paling simpatik di China di kalangan para elit Konfusianisme. Sebaliknya, kelompok-kelompok sosial lainnya, termasuk pedagang dan petani, pada umumnya tidak cukup termotivasi untuk terlibat secara aktif dalam politik. Katanya, alasannya sudah tentu tidak susah untuk dicari. Pendidikan Konfusianisme sering menanamkan di benak orang muda rasa keadilan, tanggung jawab sosial, kesetaraan manusia, kesejahteraan rakyat, dll, yang merupakan beberapa kesetaraan terdekat pemikiran Konfusius dengan kebajikan sipil Barat. Inilah sebenarnya roh “sipil” Konfusius yang berperan mendedahkan intelektual China kepada banyak ide demokrasi Barat pada waktu pergantian abad. Menurut Yu (2005) seterusnya, Konfusianisme akan melakukannya dengan baik sebagai salah satu “doktrin komprehensif yang masuk akal” yang merupakan bagian dari “budaya latar belakang” dari sebuah rezim demokratis konstitusional. Baginya, karena demokrasi tidak bisa berkembang di tanah yang miskin budaya, tingkat tinggi budaya elit merupakan prasyarat bagi keberhasilan awal demokratisasi (Yu 2005: 213). Dalam hal tersebut, penulis cenderung bersetuju dengan pendapat Yu (2005) dan berpikir Konfusianisme bukanlah penghalang sebenar demokrasi. Perkataan Konfusius dan Mensius patut dipelajari. Pernyataan seperti “Rakyat sesungguhnya yang tertinggi, dan kedaulatan pemerintah yang terakhir” (Mensius) dan “Dalam ajaran tidak boleh ada perbedaan kelas” (Konfusius) semuanya tidak bertentangan dengan demokrasi dan layak untuk dieksplorasi lebih lanjut. Menurut Zheng & Zhang (2009), sikap orang Korea yang ingin belajar dan terbuka untuk menyerap esensi dari budaya China serta budaya Barat yang modern menciptakan budaya nasional Korea yang sangat baik dengan fitur-fitur khas. Konfusia-

157


Politik dan Pemerintahan Korea

nisme China telah menghasilkan pengaruh tidak hanya di Semenanjung Korea kuno, tetapi juga modernisasi Korea dan kehidupan sosial saat ini.

Penutup : Antara Hak Individu dan Tanggung Jawab Terhadap Kelompok Peristiwa Pemberontakan Gwangju menjelaskan tiga bentuk pengajaran berharga buat warga Korea, yaitu pertama, demokrasi bukan sesuatu yang datang secara gratis, seperti kata Lee Hyo-won (2009) dalam laporannya sewaktu wafatnya Kim Dae Jung: “democracy could not be achieved without sacrifice and conviction� (demokrasi tidak bisa dicapai tanpa pengorbanan dan keyakinan). Peristiwa Gwangju membuktikan demokrasi hanya bisa tercapai di Korea dengan darah dan air mata. Kedua, demokrasi tidak bisa dicapai hanya dengan bergantung kepada orang lain semata-mata meskipun Amerika Serikat. Tanpa perjuangan dari orang Korea sendiri, demokrasi tidak mungkin terjadi. Ketiga, budaya Konfusianisme bukanlah penghalang sebenar demokrasi seperti yang disuarakan oleh penggerak demokrasi Korea itu sendiri, yaitu Kim Dae Jung (1994). Reid dalam bukunya Confucius Lives Next Door (1999) mengajak pembacanya untuk mempertimbangkan keajaiban non-ekonomi di Asia Timur seperti tingkat kejahatan, perceraian, penyalahgunaan narkoba, dan masalah sosial lainnya yang luar biasa rendah berbanding dengan Barat. Beliau menunjukkan bagaimana negara-negara Asia Timur telah membangunkan masyarakat industri modern yang menampilkan jalan-jalan yang paling selamat, sekolah terbaik, dan keluarga paling stabil di dunia. Reid memberi kredit keberhasilan Asia seperti itu kepada nilai-nilai etika Konfusius, yang mengajarkan nilai harmoni dan pentingnya memperlakukan seseorang individu dengan sopan. Maka, persoalan yang lebih relevan ditanyai adalah sebagai sebuah negara di mana tradisi budaya Konfusianisme dan peradaban China sudah kuat mengakar dalam budaya Korea, bagaimanakah Korea mampu mengharmoniskan kepentingan keluarga dan kelompok dengan kepentingan individu dan hak asasi manusia dalam sistem demokrasi liberal? Persoalan lain yang relevan adalah: Bagaimana pula Korea Selatan membedakan ruang pribadi dengan ruang publik? Manakala pembela nilai tradisi Asia terlalu memberi penekanan kepada tanggung jawab kepada kelompok sehingga melupakan hak individu sebagai manusia, pejuang demokrasi di Barat bagaimanapun terlalu memberi penekanan kepada hak individu sehingga mengabaikan tanggung jawab mereka terhadap kelompok, yaitu mayoritas yang menjadi tonggak kepentingan demokrasi. Barangkali itulah tantangan sebenar demokratisasi di Korea Selatan pasca peristiwa Gwangju!

158


Jalan Berliku ke Demokrasi di Korea Selatan

Penulis : Lim Kim-Hui Ph.D. (Universitas Hamburg, Jerman), pernah bertugas sebagai dosen di Universitas Kebangsaan Malaysia, Malaysia (1994-2010) dan kini Profesor tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Korea. E-mail : limkimhui@yahoo.com

DAFTAR PUSTAKA Amin Iskandar. 2010. 30 tahun inspirasi Gwangju. Malaysiakini Online. 21 Mei. Diperoleh: http://www.malaysiakini.com/columns/132437. Akses: 17.09.2010. Branford, Becky. 2005. Lingering legacy of Korean massacre. 18 May. BBC News. Diperoleh: http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4557315.stm. Akses: 16.10.2010. Huntington, Samuel. 1991a. The Third Wave. Democratization in the Late Twentieth Century. Norman and London: University of Oklahoma Press. Huntington, Samuel. 1991b. Religion and the third wave. National Interest 24 (Summer): 29-42. Huntington, Samuel. 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon & Schuster. Jacobs, J. Bruce. 2007. Taiwan and South Korea: Comparing East Asia’s two “third-wave” democracies. Issues & Studies 43(4)(December): 227260. Katsiaficas, Georgy. t.th. Neo-librealism and the Gwangju uprising. Diperoleh:http://www.eroseffect.com/articles/ neoliberalismgwangju.htm#_ednref71. Akses: 16.10.2010. Kim, Dae Jung. 1994. Is culture destiny? The myth of Asia’s anti-democratic values. Foreign Affairs 73(6): 189-194. Lee, Hyo-won. 2009. Democracy is not free. Korea Times, 20 August. Diperoleh: http://www.koreatimes.co.kr/www/news/art/2009/12/ 153_50450.html. Akses: 3.11.2010. Lee, Kuan Yew. 1994. Culture is destiny, an interview with Fareed Zakaria. Foreign Affairs 73: 109–126. Lee, Tae-hoon. 2010. Gwangju movement bitter turning point for democracy. Korea Times, 17 May. Diperoleh: http://www.koreatimes.co.kr/www/ news/special/2010/08/ 180_66017.html. Akses: 3.11.2010. Palmowski, Jan. 2004. “Kwangju Uprising.” A Dictionary of Contemporary World History. Encyclopedia.com. (September 16, 2010). http:// www.encyclopedia.com/doc/1O46-KwangjuUprising.html.

159


Politik dan Pemerintahan Korea

Park, Chong-Min & Shin, Doh Chull. 2006. Do Asian values deter popular support for democracy in South Korea? Asian Survey 46(3): 341–361. Peterson, Mark. t.th. The Kwangju resistance movement, May, 1980: Some American perspectives. Diperoleh: http://altair.chonnam.ac.kr/~cnu518/ conf/simpo33.html. Akses: 18.09.2010. Reid, T.R. 1999. Confucius Lives Next Door. What Living in the East Teaches Us About Living in the West. New York: Random House. Scott-Stokes, Henry & Lee, Jai-eui. (eds.). 2000. The Kwangju uprising: eyewitness press accounts of Korea’s Tiananmen. Foreword by Kim Dae Jung. Armonk, New York: M. E. Sharpe. Shorrock, Tim. 2010. The lasting significance of Kwangju (Washington, DC: Foreign Policy In Focus, June 1). Diperoleh: http://www.fpif.org/articles/ the_lasting_significance_of_kwangju. Akses: 06.12.2010. Warnberg, Tim. 1987. The Kwangju uprising. Korean Studies 11: 33–54. Yang, Seung-Yoon. 2010. Park Chung Hee dan Kim Il Sung: Bagaimana Park dapat mengalahkan Kim? Dlm. INAKOS (The International Association of Korea Studies in Indonesia). Sejarah Korea menuju masyarakat modern: Beberapa peristiwa penting: 136-142. Yogyakarta: INAKOS & Pusat Studi Korea Universitas Gadjah Mada. Yu, Ying-shih. 2005. Confucianism and China’s encounter with the West in historical perspective. Dao: A Journal of Comparative Philosophy IV (2): 203-216. Zheng, Fengxia & Zhang, Shunxing 郑 凤 霞, 张 顺 兴 . 2009. 中国 儒家 传 统 文化对 韩 国 社会 发 展的影响 (Influences of China’s Confucianism on Korea’s social development). Journal of Yanbian University (Social Science) 42(4)(August): 62-66.

160


BAB VI HUBUNGAN ANTAR KOREA

161


Politik dan Pemerintahan Korea

162


HUBUNGAN ANTAR KOREA SEBELUM KEGAGALAN SUNSHINE POLICY Mohtar Mas’oed (Universitas Gadjah Mada, Indonesia) Yang Seung Yoon (Hankuk University of Foreign Studies, Korea)

Pendahuluan Bagi generasi sesudah Perang Dunia II, pembagian Semenanjung Korea merupakan salah sebuah kondisi yang telah ada sejak masa kelahirannya. Lebih dari separuh penduduk Korea kini dapat digolongkan sebagai generasi sesudah Perang Dunia II. Berdasarkan hal itu konsep pembagian wilayah dianggap sebagai konsep normal seperti halnya pembagian Semenanjung Korea. Akan tetapi pertemuan puncak antara Korea Utara dan Korea Selatan tahun 1999 telah menggantikan sifat ketidaknormalan pembagian Semenanjung Korea dengan sifat keharmonisan penyatuan tanah air. Dengan itu, pembagian Semenanjung Korea merupakan kenyataan sejarah yang tidak normal. Meskipun demikian, penyatuan negara merupakan proses terakhir dalam normalisasi sejarah bangsa Korea. Walaupun sejarah pembagian 55 tahun Semenanjung Korea cukup panjang, namun semua anggota masyarakat internasional perlu mengerti dengan seksama pentingnya penyatuan negara dan bangsa Korea. Kini, di Semenanjung Korea dan lingkungan sekelilingnya, perubahan tatanan masyarakat internasinal khususnya di Asia Timur Jauh sedang giat dibicarakan. Pokok-pokok pembicaraannya termasuk pula masalah pembongkaran sistem Perang Dingin di Sekitar Semenanjung Korea, pembentukan tatanan baru di Asia Timur Jauh, keaktifan kerja sama ekonomi antar Korea dan permasalahan antar Korea lainnya khususnya kunjungan balasan Kim Jong-Il, pemimpin tertinggi Korea Utara selaku kepala Komite Urusan Ketahanan Nasional Korea Utara itu diperkirakan akan membawa perubahan besar tidak hanya bagi permasalahan antar Korea tetapi juga bagi perubahan status quo di sekitar Semenanjung Korea.

Sejarah Pemisahan 55 Tahun Semenanjung Korea Kebebasan dari masa penjajahan pada tahun 1945 menimbulkan bayangan sedih atas apa yang dinamakan pembedaan tanah air. Pada saat itu,

163


Politik dan Pemerintahan Korea

rakyat Korea dipenuhi rasa gembira karena terlepas dari penjajahan Jepang dan tetapi juga dalam waktu yang bersamaan diliputi oleh perasaan sedih karena harus berpisah dengan keluarganya yang berada di kawasan Korea Utara dan Korea Selatan. Dengan alasan melucuti senjata pasukan Jepang, kekuatan militer Amerika Serikat dan Uni Soviet, masing-masing mendarat di Korea Selatan dan Korea Utara, saling bertentangan di kawasan Semenanjung Korea yang sempit. Dengan prinsip Sekutu, Semenanjung Korea dibagi dua pada garis 380 dan masing-masing diduduki oleh kedua negara pemimpin Sekutu dalam Perang Dingin. Karena di masing-masing pihak Korea didirikan pemerintahan yang berlainan sistem dan ideologinya, hal itu mengakibatkan pembedaan pemisahan Semenanjung Korea seacra politis. Pada tahun 1948, kedua Korea mendirikan pemerintahnya masing-masing. Dengan nama Demokratik Rakyat Republik Korea, Korea Utara mendirikan pemerintahannya sendiri dengan ibukota Pyongyang di belahan Semenanjung Korea bagian utara sedangkan Korea Selatan dengan ibukota Seoul mendirikan pemerintahan Republik Korea. Dengan demikian, satu suku bangsa membangun dua pemerintahan yang berbeda. Pecahnya Perang Korea pada tahun 1950 menyebabkan satu suku bangsa yang dipisahkan menjadi Korea Utara dan Selatan saling bermusuhan dan lama-lama menimbulkan hubungan pertentangan yang sangat serius. Hubungan pertentangan itu, semakin lama berkembang menjadi pemecahan tanah air dan juga pemisahan sesama bangsa Korea. Setelah persetujuan gencatan senjata ditandatangani pada tahun 1953, sistem pembagian antar Korea semakin diperkukuh. Bagi Korea Selatan, kawasan Korea Utara dianggap sebagai teritorial miliknya yang hilang dan harus dimiliki kembali. Sementara bagi Korea Utara, kawasan Korea Selatan merupakan daerah obyek yang harus dikomuniskan dalam waktu singkat. Pembedaan itu menjadi semakin kuat apabila sistem kapitalisme di Korea Selatan semakin diperkuat dan sistem sosialisme di Korea Utara juga semakin diarahkan agar lebih dapat diwujudkan. Ideologi Korea Utara dan Selatan yang jelas berbeda menyebabkan hubungan antar Korea menjadi saling menjauh. Korea Selatan dikuasai oleh pemerintahan otoriter yang mengarah pada ideologi anti komunisme sedangkan Korea Utara semakin diperkuat dengan sistem satu-satuya yang berdasarkan ideologi Ju Che sehingga kedua Korea saling bermusuhan sambil masing-masing pihak terus memperkuat sistem pemerintahannya sendiri. Keadaan itu menyebabkan hubungan antar Korea

164


Hubungan Antar Korea Sebelum Kegagalan Sunshine Policy

menjadi hubungan ketergantungan yang bermusuhan. Ideologi Ju Che1 di Korea Utara tiada lain ialah ajaran pemimpin tertinggi Kim Il Sung. Pemisahan yang berlangsung selama 5 dasawarsa itu pertama-tama memperlebar sifat ketidaksamaan antara sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Misalnya, pemerintah Korea Utara menerima bahasa asing dengan cara sebagian besar katakata asing, khususnya di bidang olah raga, teknologi dan sebagainya, diKoreanisasikan, sedangkan sebagian kata-kata asing yang lain diambil dari katakata dalam bahasa Rusia.2 Pembedaan itu tidak hanya mencakup pembedaan ideologi kapitalisme dan sosialisme tetapi juga prinsip ekonomi politik, nilai masyarakat umum, cara kehidupan, penggunaan bahasa, pengertian seni budaya, dan sebagainya ikut dibedakan. Sebagai jiwa politik sosialis, rakyat Korea Utara yang menyamakan kehidupannya dengan kehidupan pemimpin tertinggi tidak bisa disamakan dengan rakyat Korea Selatan yang berada dalam suatu masyarakat sipil yang kekuatan politiknya dipisahkan dari negara. Dengan demikian, konsep anggota masyarakat pribadi dan rakyat di Korea Utara dan Korea Selatan jelas dibedakan. Situasi pembedaan Korea Utara dan Korea Selatan semakin mempertajam hubungan pertentangan yang saling bermusuhan. Walaupun ada persetujuan genjatan senjata yang ditandatangani secara resmi, konflik militer dan pertentangan kekuatan militer sering sekali terjadi sehingga hubungan antar Korea berlangsung dalam hubungan pertentangan dan konflik. Jarang sekali terjadi dialog namun jika ada kesempatan untuk melakukan dialog, setiap kesempatan itu jelas akan memperlihatkan adanya konflik yang tajam. Pendek kata, hubungan antar Korea tetap terwujud dalam permusuhan dan persaingan karena masing-masing pihak terus berusaha untuk memper-

1

2

Ideologi Ju Che atau disebut Ju che sa sang di Korea Utara adalah ajaran Kim Il-Sung, mantan presiden Korea Utara yang pernah mendirikan Pemerintah Pyongyang dan menguasai Korea Utara secara total selama setengah abad. Dengan didasarkan pada Marxisme dan Leninisme, ideologi Ju Che pernah dikembangkan secara tersendiri untuk memegang kekuatan politik yang dipusatkan kepada seorang pemimpin tertinggi dan kekuatan mengontrol dan menguasai rakyatnya dalam sistem Kolektivisme. Untuk melaksanakan ideology Ju Che, Kim Il-Sung memiliki kebijakan untuk mengkomuniskan seluruh Semenanjung Korea. Sejalan dengan kebijakan itu, Korea Utara menuntut penarikan pasukan Amerika Setikat dari Korea Selatan. Arti kata Ju Che itu sendiri adalah ‘berdiri sendiri’ tanpa bantuan orang lain (negara asing). Akan tetapi, sejak pertengahan tahun 80-an lalu, pemerintah Korea Utara semakin menaruh perhatian untuk mempelajari bahasa Inggris dengan alasan mereka harus mengerti dan memahami musuh (Amerika Serikat) agar mereka dapat mengalahkannya.

165


Politik dan Pemerintahan Korea

tahankan identitasnya sendiri yang telah tertanam selama lebih dari 5 dasawarsa dan tidak mau menerima identitas pihak lain. Dalam hal itu, penyatuan antar Korea secara sempurna yang mengarah pada sistem politik tunggal, pemerintahan yang bersatu, kehidupan rakyat umum yang persis sama dan sebagainya tidak bisa diwujudkan dalam waktu singkat. Perbedaan ideologi, konsep maupun mentalis menjadikan usaha penyatuan tersebut tidak dapat dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Penyatuan Korea dibawah sistem tunggal seperti itu menjadi taraf persatuan bangsa terakhir yang dapat dicapai sehinga tujuan seperti itu akan dapat dimungkinkan walau diperlukan waktu yang cukup panjang.

Kebijakan Sunshine policy Korea Selatan terhadap Korea Utara Menyadari situasi dan keadaan yang jelas berbeda antar Korea, pemerintahan presiden Kim Dae Jung jauh menekankan pentingnya keadaan kebersamaan, perdamaian dan peningkatan kerja sama daripada masa pemerintahan sebelumnya. Atas nama kebijakan Sunshine Policy yang berari kebijakan Sinar Matahari, pemerintahan presiden Kim Dae Jung memilih kebijakan penyatuan secara de facto melalui lebih banyak kontak dan kerja sama antara Utara dan Selatan daripada penyatuan sistem dan hukum (de jure). Untuk menuju taraf penyatuan terakhir yang akan memakan waktu yang cukup panjang untuk dapat hidup bersama sebagai sesama bangsa di negara kesatuan harus diciptakan suasana yang damai untuk memperkecil situasi pembedaan yang telah ada selama ini. Untuk itu, melalui kebijakan Sunshine Policy, pemerintahan Kim Dae Jung tak henti-hentinya berusaha keras untuk lebih menciptakan suasana damai daripada suasana hubungan tekanan dan konflik, menuju ke arah suasana rukun daripada suasana diliputi oleh ketidakpercayaan antara Korea Utara dan Korea Selatan, menuju kerjasama daripada hubungan persaingan yang hanya menelan biaya politik sia-sia saja. Sambil menyadari situasi dan keadaan pembedaan sekarang ini, sebagai tahap pertama untuk menuju era penyatuan kedua pihak mencoba untuk mengurangi kerugian yang diderita oleh masing-masing pihak sebagai akibat dari keadaan pembedaan yang terus berlangsung sampai sekarang. Berdasarkan pengertian dan kesadaran tentang pembedaan dan pentingnya menyatukan tanah air dengan tulus iklas, hubungan ketergantungan bermusuhan yang diakibatkan oleh sistem Perang Dingin di Korea Utara dan Korea Selatan akan dapat dihapuskan dan dalam waktu tidak lama lagi dapat diciptakatan pula hubungan kehidupan bersama yang saling berkerukunan yang disesuaikan dengan masa pasca Perang Dingin.

166


Hubungan Antar Korea Sebelum Kegagalan Sunshine Policy

Setelah Uni Soviet dan blok Eropa Timur runtuh pada akhir tahun 80-an sampai awal tahun 90-an, sikap Korea Utara jauh lebih keras daripada masamasa sebelumnya di mana Korea Utara masih mendapatkan bantuan dan dukungan besar dari masyarakat sosialis internasional. Menyadari keadaan Korea Utara khususnya keadaan perekonomian nasionalnya yang makin memburuk, pemerintahan presiden Kim Young Sam mencoba menghisap Korea Utara seperti halnya Jerman Barat terhadap Jerman Timur. Namun usaha pemerintahan Kim Young Sam itu justru mengarahkan Korea Utara menuju ke arah yang lebih keras lagi, memperkuat kekuatan militer sambil mengembangkan kekuatan senjata modern. Akan tetapi, pemerintahan Presiden Kim Dae Jung mengganti sikapnya mengenai kebijakan terhadap Korea Utara sehingga walaupun Korea Utara tidak mau mendengar dan tidak menanggapi secara positif kebijakan Korea Selatan itu, Korea Selatan tak henti-hentinya memberikan isyarat untuk mendekatinya sambil memperlihatkan lebih banyak kemungkinan baru dan keuntungan bersama. Kebijakan itu diberi nama kebijakan Sunshine Policy. Analogi yang mengiringi nama kebijakan tersebut adalah bila orang yang memakai pakaian tebal sebagai perlindungan dirinya terhadap hawa dingin terus menerus terkena sinar matahari, pada akhirnya orang yang berpakaian tebal itu akan melepaskan pakaian tebalnya. Bagi orang yang merasakan lapar dan kedinginan, sinar matahari pada mulanya tidak banyak gunanya tetapi lama kelamaan sinar matahari akan menghangatkan orang tersebut dan memberikan suasana nyaman. Pada dasarnya pemerintah Korea Selatan tidak hanya menerima dan mengejar perubahan dan kecenderungan masyarakat internasional yang cepat sekali berubah setelah masuk tahun 90-an, tetapi juga secara positif mengembangkan kebijakan diplomatik termasuk kebijakan masalah antar Korea. Kesadaran dasar yang dimiliki pemerintah Korea Selatan terhadap perubahan situasi internasional adalah sebagai berikut. Yang pertama, posisi Amerika Serikat dan Uni Soviet yang memiliki keunggulan sebagai negara raksasa semakin melemah dan kekuatan kemiliteran yang selama ini menjamin posisi keunggulan kedua negara itu terlihat semakin berkurang bila dibandingkan dengan masa-masa lalu. Dengan kata lain, situasi internasional telah mengalami perubahan dari pertentangan ideologi menjadi persaingan kekuatan ekonomi. Kedua, teori ‘zero sum’ yang ditampilkan dalam sistem dua blok raksasa atau sistem persainganideologi, semakin berubah dan mengganti menjadi sistem politik internasional yang lebih mementingkan kerja sama untuk keuntungan bersama. Sesuai dengan kecenderungan itu, sejumlah banyak negara dalam masyarakat internasional mengejar hubungan kerja sama dan

167


Politik dan Pemerintahan Korea

persaingan demi mempertinggi keuntungan ekonomi, tidak menuju hubungan pertentangan secara politis dan militeris. Ketiga, Masyarakat internasional sangat mementingkan hubungan saling ketergantungan multilateral untuk menghapuskan kerusuhan internasional, polusi lingkungan alam, pengembangan nulkir, masalah hak asasi manusia, narkotika, pengembangan ekonomi bersama dan sebagainya. Dan yang keempat, sistem perundingan dalam multilateral untuk menyelesaikan permasalahan sedunia itu membawakan kerja sama diinternasionalisasikan. Dalam cepat berubahnya keadaan dan kecenderungan yang cepat berubah itu, dalam masalah antar Korea, pemerintah Korea Utara juga terpaksa ikut berubahnya kecenderungan masyarakat internasional.

Penutup: Arti Pertemuan Puncak antar Korea Pertemuan puncak antara presiden Kora Selatan, Kim Dae Jung, dan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Il, pada tahun 1999 di Pyongyang, Ibukota Korea Utara, sangatlah mengandung arti dalam sejarah pemisahan Korea. Yang terpenting diantaranya ialah bahwa Korea Utara dan Korea Selatan telah menghapuskan hubungan bermusuhan dan menyediakan suatu landasan bagi terciptanya hubungan kerukunan dan melakukan kehidupan yang damai dan sejahtera. Adanya saling pengakuan terhadap sistem politik lawan antara Korea Utara dan Korea Selatan dan hubungan kebersamaan yang damai juga merupakan hasil nyata yang sangat penting yang tercapai dalam pertemuan puncak antara Kim Dae Jung dan Kim Jong Il. Melalui pertemuan puncak itu, kedua Korea memilih cara penyatuan dengan cara hidup bersama secara damai, bukan cara penyatuan di bawah sistem dan kehidupan yang persis sama. Dengan demikian Korea Utara dan Korea Selatan mulai menginjakkan kakinya menuju penyatuan dalam kehidupan bersama secara damai dan tidak menuju penyatuan dalam struktur tunggal antara Utara-Selatan. Berdasarkan arti pertemuan puncak yang terpenting tersebut, kedua belah pihak Korea sangat memerlukan sikap untuk menuju masa pasca Perang Dingin dan menghapuskan hubungan pertentangan di masa perang dingin. Di bawah kepemimpinan presiden yang baru, sangat diharapkan perbaikan hubungan antara Korea Selatan-Korea Utara akan berjalan lebih cepat dan lancar. Harapan itu diperbesar dengan adanya penegasan dari Presiden Roh Moo Hyun bahwa mengenai masalah hubungan dengan Korea Utara, pemerintahannya akan melaksananakan kebijakan yang didasarkan pada tiga hal pokok, yaitu tetap melanjutkan kebijakan Sunshine Policy yang telah dijalankan oleh pemerintahan President Kim Dae Jung, terus memberikan bantuan ekonomi kepada masyarakat Korea Utara, dan akan menjalankan

168


Hubungan Antar Korea Sebelum Kegagalan Sunshine Policy

kebijakan terhadap Korea Utara secara terbuka. Keterbukaan itu dimaksudkan agar seluruh rakyat Korea dapat mengetahui secara jelas usaha penyatuan yang dilaksanakan oleh pemerintahan Roh Moo Hyun dan bahkan dapat ikut berperan serta dalam usaha pemerintah tersebut. Keikutsertaan masyarakat umum Korea Selatan dipercaya akan mampu mendorong cepat terwujudnya reunifikasi bangsa Korea. Penulis : Mohtar Mas’oed Ph.D.(Ohio State University, Amerika Serikat), Profesor Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. E-mail : mohtar@ugm.ac.id Yang Seung Yoon: Ph.D.(Universitas Gadjah Mada, Indonesia), dosen senior pada Jurusan Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies. E-mail: syyang@hufs.ac.kr

DAFTAR PUSTAKA Han Yong Sup. 2002. “The Sunshine Policy and Security on the Korean Peninsula,” Asian Perspective Vol. 26 No. 3. Lee Dong Hyung. 2003. “The Korean Sunshine Policy: Its Light and Shade,” Pacific Focus Vol.18 No. 1. Mohtar Mas’oed dkk. 2005. Memahami Politik Korea, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nye, Joseph S. 2004. Soft Power, New York: Public Affairs. Yang Seung Yoon. 2003. Sejarah Korea , Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wit, Joel. 2001. “The US, North & South Korea,” Asia Peace and Security Network (2001. 6. 26).

169


Politik dan Pemerintahan Korea

SUNSHINE POLICY DAN RISIKO POLITIK DI SEMENANJUNG KOREA DALAM ERA PASCA-PERANG DINGIN Park Jae Bong (Hankuk University of Foreign Studies, Korea)

Pendahuluan Hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara menjadi titik terburuk pada tahun 2010 karena adanya serangan Korea Utara terhadap Kapal Perang milik Korea Selatan pada Maret 2010, dan Pulau Yeonpyeong, suatu pulau di Laut Kunning (Yellow Sea) pada bulan November 2010. Ketegangan militer antar Korea menarik perhatian internasional karena hal ini dapat berdampak negatif terhadap situasi keamanan dan perekonomian di Asia Timur Utara (North East Asia). Dengan adanya geo-politik yang rumit, Semenanjung Korea disangka sebagai titik berapi (flash point) di kawasan Asia Timur Utara selama masa Perang Dingin (Cold War) karena pertentangan militer antar Korea menjadi show window-nya perang ideologi antara rejim komunisme dan rejim kapitalisme. Kebanyakan media internasional segera melaporkan bahwa “Sunshine Policy”1 yang dilaksanakan oleh Korea Selatan telah gagal dan meramalkan bahwa risiko politik di Korea Selatan akan dinaikkan (Economist, 29 Desember 2010; Wall Street Journal, 27 Desember 2010). Ini berarti investor asing melarikan diri dari pasar Korea Selatan untuk menghindari risiko-risiko yang akan timbul dari ketegangan militer di Semenanjung Korea. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Pilipina dan Indonesia, mempersiapkan rencana darurat untuk mengungsi rakyat mereka dari Korea Selatan ketika terjadi perang saudara antar Korea (Yonhap News Agency, 27 Desember 2010). Bagaimana tanggapan masyarakat Korea Selatan dan institusi-institusi penilaian internasional setelah peristiwa itu? Apakah risiko politik di Korea Selatan segera dinaikkan? Apakah ketegangan militer itu berasal dari kega-

1

“Sunshine Policy” berarti “Kebijakan Sinar Matahari”. Kebijakan ini dilaksanakan oleh Presiden Kim Dae-jung selama 1998-2002 untuk menjalin hubungan perdamaian dengan Korea Utara.

170


Sunshine Policy dan Risiko Politik di Semenanjung Korea dalam ...

galan “Sunshine Policy”? Ternyata peramalan media internasional tidak terjadi di Korea Selatan. Orang-orang Korea Selatan tidak memperlihatkan tindakan panik dan situasi ekonomi Korea Selatan tidak tergoncang. Satu institusi internasional pun tidak menaikkan risiko politik Korea Selatan setelah peristiwa tersebut. Tujuan makalah ini membahas dua hal yang saling berkaitan, yaitu “Sunshine Policy” dan risiko politik di Korea Selatan dalam era pasca-Perang Dingin. Argumentasi makalah ini adalah bahwa dalam era Pasca-Perang Dingin, risiko politik Korea Selatan tidak begitu dipengaruhi oleh ketegangan militer antar Korea dan “Sunshine Policy” adalah salah satu kebijakan pemerintah Korea Selatan yang bersifat golongan progresif.

Konsep Risiko Politik Risiko politik (political risk) adalah risiko kesulitan membayar kewajiban oleh negara peminjam dengan persyaratan yang telah ditetapkan sebagai akibat terganggunya stabilitas politik di negara peminjam (Wikipedia 2011). Risiko politik umumnya sering juga disebut sebagai risiko negara (sovereign risk) karena sangat berkaitan dengan kondisi perpolitikan suatu negara, misalnya perubahan rejim politik dan penetapan kebijakan pemerintah baru seperti undang-undang pajak, kebijakan perdagangan dan sebagainya. Selain itu, ruang lingkup risiko politik juga mencakup risiko pertahanan (security risk) seperti peperangan, terorisme, dan kerusuhan antar daerah, antar etnik, antar komunitas (Shinkman 2007: 1). Hal ini sangat berkaitan dengan geo-politik Semenanjung Korea karena ketegangan dan kerusuhan antar Korea akhir-akhir ini dapat mempertinggi risiko pertahanan di Semenanjung Korea dan sekitarnya. Ada beberapa institusi dan perusahaan internasional yang memproduksi risiko politik dunia (lihat Wikipedia 2011). Eurasia Group, suatu perusahaan konsultasi bisnis, menjadi institusi yang terkenal dengan memproduksi index risiko politik (political risk index), khususnya 24 negara-negara berkembang (Eurasia Group 2011). Institusi ini menganalisis dan mengumumkan indeks itu untuk memberi informasi kepada para investor dan pemerintah. Guna menghindari risiko politik yang berdampak negatif pada investasi internasional dan pemberian pinjaman, para pengusaha dan pemerintah yang ingin berbisnis di negara atau daerah tentu perlu mengamati . Makalah ini akan menggunakan indeks risiko politik dari Eurasia Group untuk menjelaskan kasus Semenanjung Korea.

Geo-Poltik di Asia Timur Utara Selama Perang Dingin Tragedi dua Korea mulai ketika Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945 karena Semenanjung Korea dibagi dua oleh Persatuan Bangsa-Bangsa

171


Politik dan Pemerintahan Korea

(PBB) yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) dan Blok Komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet. Pembagian Semenanjung Korea ini terjadi tanpa konsultasi dengan Perwakilan Korea dan bertentangan dengan kemauan rakyat Korea. Uni Soviet dan Republik Rakyat China (RRC) menanam komunisme dan memberikan berbagai senjata-api kepada Korea Utara. Sedangkan AS dan negaranegara Barat mendukung Korea Selatan untuk mengembangkan demokrasi dan kapitalisme. Dengan demikian, Semenanjung Korea segera menjadi “show window�-nya Perang Dingin di Asia Timur selama setengah abad (Yang dan Mas’oed, 2007: 114). Perang Saudara antar Korea (Korean War) dipecahkan oleh serangan mendadak pihak Korea Utara pada bulan Juni 1950. Pihak Korea Selatan yang sama sekali tidak menduga serangan itu, sehingga tidak ada pilihan kecuali mundur saja ke arah selatan. PBB segera mengirimkan pasukan sekutu terdiri dari 16 negara ke medan Perang Korea. Kali ini pasukan Korea Utara mundur ke arah utara. Pada waktu itu ratusan ribu pasukan RRC membantu pasukan Korea Utara. Akhirnya kedua belah pihak antara Korea Selatan-Pasukan PBB dan Korea Utara-RRC mencapai persetujuan untuk gencatan senjata2 dan menandatangani perjanjian pada tahun 1953. Perang ini tidak ada yang kalah dan yang menang, hanya ada kesengsaraan dan korban. Selama tiga setengah tahun, Perang Saudara antar Korea mengakibatkan jutaan korban manusia dan menghancurkan segala prasarana di Semenanjung Korea. Sejak itu kedua Korea saling bermusuhan satu sama lain. Rasa bermusuhan semakin meningkat karena masing-masing pihak pemerintahan mengupayakan daya persaingan dalam segala bidang, tidak hanya ideologi dan kemiliteran, tetapi juga bidang diplomasi dan ekonomi. Sampai akhir tahun 1960-an Korea Utara mengungguli Korea Selatan dalam bidang ekonomi dan kemiliteran. Pemimpin tertinggi di Korea Utara, Kim Il-sung terus-menerus mencoba melakukan serangan dengan tujuan reunifikasi Semenanjung Korea. Akan tetapi, Presiden Korea Selatan, Park Jung-hee melaksanakan dua kebijakan pemerintahnya, yaitu pembangunan ekonomi dan pertahanan nasional. Dalam hal itu, kekuatan nasional pihak Korea Selatan semakin meningkat dan mulai mengungguli Korea Utara pada pertengahan tahun 1970-an (Yang, 2010: 12). Dalam perkembangan ekonomi dan pertahanan nasional di Korea Selatan, AS and negara-negara Barat berperan penting. Mereka memberi bantuan dana dan senjata-api modern kepada Korea Selatan. Berdasarkan bantuan tersebut dan ketrampilan rakyat, kekuatan ekonomi dan pertahanan nasional Korea Selatan semakin berkembang. Akan tetapi, kekuatan Korea Utara 2

Perang Korea belum selesai dari segi hukum internasional karena dua Korea belum pernah menandatangani perjanjian perdamaian sampai saat ini.

172


Sunshine Policy dan Risiko Politik di Semenanjung Korea dalam ...

Peta Semenanjung Korea dan Negara-negara Tetangganya

<Source: GraphicMaps.com>

semakin berkurang karena kelemahan sistem ekonomi dan politik, yaitu komunisme. Sejak tahun 1980-an, perkembangan ekonomi Korea Selatan mendukung perluasan hubungan diplomatiknya di dunia internasional termasuk negaranegara ASEAN. Kebanyakan negara ASEAN menyambut hangat penanaman modal asing dari perusahaan-perusahaan Korea Selatan dan volume perdagangan antara Korea Selatan dan negara-negara ASEAN meningkat pesat. Sedangkan, Korea Utara semakin terpojok dari dunia internasional karena pemerintahnya tidak mau membuka diri terhadap arus globalisasi.

173


Politik dan Pemerintahan Korea

Transformasi Asia Timor Utara dalam Era Pasca-Perang Dingin Runtuhnya sistem Perang Dingin (Cold War) pada awal tahun 1990-an mengubah strategi keamanan di Asia Timur termasuk Semenanjung Korea. Ketegangan militer antara Amerika Serikat dan Uni Soviet sudah terhapus dan kepentingan kemiliteran semakin berkurang dalam politik internasional. Sedangankan kerja sama ekonomi dan regionalisme mulai mendominasi agenda-agenda masyarakat internasional. Dengan kata lain, situasi internasional telah mengalami perubahan dari konflik ideologi menjadi persaingan kepentingan ekonomi. Dalam situasi ini, kawasan Asia Timur Utara (North East Asia) menjadi pusat perhatian internasional disebabkan karena posisi strategisnya semakin bertambah penting. Empat negara adidaya, seperti Amerika Serikat, Jepang, Federasi Russia, dan RRC, bersaing untuk memperebutkan kepentingan nasional masing-masing di kawasan ini. Dengan demikian, apabila persaingan antara negara adidaya tersebut semakin tajam, masalah untuk menjamin keamanan dan perdamaian juga akan semakin bertambah rumit dan tidak stabil. Oleh karena itu, konfigurasi hubungan internasional yang baru antara negara-negara tersebut menjadi sangat penting bagi Korea Selatan dan Korea Utara. Berbeda dengan masa Perang Dingin, suasana politik internasional di kawasan ini berkembang dalam berbagai dimensi. Hubungan multilateral antara negara-negara adidaya tersebut karena mereka mencoba saling mendekati dan melepaskan diri dari hubungan permusuhan. Dengan kata lain, secara strategis mereka harus mengakui dan menjalin hubungan ekonomi yang erat dengan negara-negara yang bermusuhan, misalnya antara Amerika Serikat-Russia dan Jepang-RRC (Yang dan Mas’oed, 2007: 128-9).

Keadaan Keamanan di Semenanjung Korea Perubahan seperti itu juga mendatangkan transformasi konsep keamanan di Semenanjung Korea. Ketegangan militer and kemungkinan perang saudara antar Korea sudah menajdi sangat kecil karena satu negara pun di Asia Timur tidak mau menggoncang stabilitas regional. Misalnya, Russia tidak mampu mendukung Korea Utara dan Republik Rakyat China (RRC) tidak mau menghancur kepentingan ekonomi dengan kedua Korea. Sehingga meskipun rejim Korea Utama masih menganut Komunisme dan bermusuhan dengan Korea Selatan, situasi hubungan internasional di Asia Timur tidak mendukung serangan sekala besar-besaran antar Korea. Sesuai dengan kecenderungan itu, pemerintah Korea Selatan, Presiden Roh Tae-woo (1988-1992), mulai melaksanakan diplomasi yang baru terhadap Russia dan RRC. Namanya “Look North Policy� karena Russia dan RRC

174


Sunshine Policy dan Risiko Politik di Semenanjung Korea dalam ...

terletak di bagian utara dari Korea Selatan. Dengan kebijakan ini, Korea Selatan berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan Russia dan RRC yang disangka negara-negara permusuhan selama masa Perang Dingin. Korea Selatan menggunakan peluang emas ini untuk mengecilkan ancaman dari negaranya. Kebijakan ini mengakibatkan perubahan situasi keamanan di Asia Timur Utara. Ketegangan keamanan di daerah ini menurun pesat dan kerja sama ekonominya menjadi agenda pokok antara mereka. Perkembangan internasional baru ini tidak mempengaruhi hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara. Suasananya cukup matang untuk kerja sama anatar Korea. Tetapi dua Korea masih tetap bermusnah satu sama lain dan tidak terjadi pertukaran barang dan manusia. Perang ideologi dan ketegangan militer masih menjalar di Semenanjung Korea karena kedua pemerintahannya masih menerapkan pendekatan idelogi untuk menurus hal-hal yang bersangkuat reunifikasi Semenanjung Korea. Pemerintahan-pemerintahan Korea Selatan yang dikuasai oleh golongan konservatif tidak berusaha kekerjasamaan dengan Korea Utara dan pihak Korea Utara terus mengembangkan senjata-api modern seperti kendali jarak jauh untuk mengungguli Korea Selatan dalam bidang kemiliteran. Hubungan serupa itu bertahan sampai perubahan rejim di Korea Selatan pada tahun 1998. Korea Selatan mengalami perubahan rejim politik dari golongan konservatif ke golongan progresif. Perubahan rejim ini pertama kali dalam sejarah Korea Selatan modern dan mempengaruhi secara langsung pada kebijakan pemerintah terhadap Korea Utara. Sebelum Pemerintahan Kim Dae Jung, pemerintahan-pemerintahan Korea Selatan dikuasai oleh golongan konservatif dan kebijakan halus (atau perdamaian) terhadap Korea Utara jarang diterapkan. Kecenderungan itu masih berlangsung sampai Pemerintahan Kim Young-sam (1993-1997) karena golongan konservatif yang menguasai pemerintah tetap mengutamakan kebijakan ideologi terhadap Korea Utara dan mereka mementingkan aliansi dengan AS. Presiden Kim Dae Jung (1998-2002) segera mengubah kebijakan pemerintah terhadap Korea Utara karena dia menjanjikan menjalin hubungan perdamaian dengan Korea Utara ketika mengadakan kampanye presiden pada tahun 1997. Kebijakan itu diterima dan diakui oleh golongan progresif masyarakat Korea Selatan. Kebijakan itu dinamakan “Sunshine Policy�. Logika yang mengiringi nama kebijakan tersebut adalah bahwa bila orang yang memakai pakaian tebal sebagai perlindungan dirinya terhadap cuaca dingin terus menerus terkena sinar matahari, pada akhirnya orang itu akan melepaskan pakaian tebalnya (Yang dan Mas’oed, 2007). Presiden Kim Dae Jung mengira bahwa pembekalan bantuan ekonomi kepada Korea Utara yang sudah berada ambang kebangkrutan pasti akan melunakkan sikap kerasnya sedikit demi sedikit terhadap Korea Selatan dan

175


Politik dan Pemerintahan Korea

Dunia Barat. Presiden Kim memperbaiki berbagai peraturan dan hukum antiKorea Utara dan memberi bantuan barang, termasuk beras, pupuk kimia, dan biji-bijian. Dia mengunjungi Korea Utara untuk mengadakan pertemuan puncak dengan Pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jung Il pada tahun 1999. Hal ini merupakan titik tertinggi dalam sejarah hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara. Sejak itu kedua pihak melancarkan berbagai kebijakan perdamaian untuk melaksanakan persetujuan-persetujuan yang ditera dalam pertemuan puncak.

Foto-foto dari Pertemuan Puncak Antar Korea pada tahun 1999 dan 2007. Pertemuan-pertemuan Puncak ini melambangkan “Sunshine Policy” Korea Selatan. Kebijakan “Sunshine Policy” berlangsung 10 tahun sampai akhir masa kepresidenan Presiden Roh Moo Hyun (2003-2007). Sebetulnya rakyat Korea Selatan memilih lagi calon presiden yang berbasis golongan progresif. Presiden Roh meneruskan kebijakan “Sunshine Policy” dan berusaha mengembangkan hubungan perdamaian dengan Korea Utara. Presiden Roh mengunjungi Korea Utara untuk mengadakan pertemuan puncak dengan Pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jung Il pada tahun 2007. Sementara itu, Presiden Roh menuntut kebijakan diplomasi yang relatif independen dari Amerika Serikat dibandingkan dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Hakekat kebijakannya condong ke nasionalis (atau Korea-centric) dari pada ideologi sehingga tututan dan permintaan dunia luar terutama Amerika Serikat sering diabaikan oleh Pemerintahan Roh dalam proses pembuatan kebijakannya terhadap Korea Utara. Misalnya Pemerintahan Roh membatalkan Hak Keminipinan Militer Amerika Serikat ketika melancarkan perang saudara anatar Korea. Dengan kebijakan yang baru itu Korea Selatan akan menangani sendiri kebijakannya terhadap Korea Utara tanpa campur tangan Amerika Serikat pada tahun 2012. Kebijakan yang independen ini mengajak kritik dan protes tajam dari golongan konservatif Korea Selatan karena kebanyakan

176


Sunshine Policy dan Risiko Politik di Semenanjung Korea dalam ...

rakyat Korea Selatan yang golongan konservatif mempunyai sifat ketergantungan pada Amerika Serikat dalam hal pertahanan nasional. Di masa dua presiden itu (1998-2007), kompleks industri di Gae-sung dibuka setelah kompleks kepariwisataan di sekitar Gunung Gemgang-san. Dua kompleks itu menajdi jalur penting untuk kerja sama antar Korea dan mendatangkan banyak keuntungan bagi kedua pihak. Kelihatannya suasana keharmonisan hangat sudah timbul di Semenanjung Korea. Pendekatan nasional yang diterapkan oleh dua presiden Korea Selatan yang berbasis golongan progresif menghasilkan perdamaian antar Korea. Akan tetapi, suasana ini berubah drastis ketika Bapak Lee Myung Bak, yang didukung oleh golongan konservatif, dipilih sebagai Presiden pada tahun 2007. Presiden Lee Myung Bak (2008-2012) telah menjanjikan pengambilalihan kebijakan pemerintah terhadap Korea Utara dari “Sunshine Policy� ke kebijakan konfrontasi ketika dia mengadakan kampanye presiden. Strategi seperti ini diciptakan untuk memperoleh suara dari golongan konservatif Korea Selatan yang tidak puas dengan “Sunshine Policy�. Akhirnya dia dipilih sebagai presiden Korea Selatan dan kebijakan pemerintah terhadap Korea Utara diubah seperti dia janji. Presiden Lee mengyangka bahwa bantuan beras dan jagung dari Korea Selatan untuk rakyat umum di Korea Utara tidak disampaikan kepada mereka yang lapar bahkan tetap disimpan untuk kepentingan militer. Tambahan lagi, bantuan finansial dari Korea Selatan digunakan untuk mengembangkan senjata peperangan (Yang, 2010). Asumsi seperti ini sangat berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan progresif sebelumnya. Pemerintahan Lee berjanji bahwa kalau Korea Utara benar-benar menghentikan pengembangan bom nuklir dan turun ke arena masyarakat internasional yang lapang dan terbuka, Korea Selatan akan memberikan bantuan nyata secara sebesar-besarnya atas bantuan dan kerjasama dengan Dunia Barat. Adanya perjanjian tersebut, Korea Utara sangat marah dengan perhentian bantuan ekonominya. Dengan demikian, suasana perdamaian dan dialog antar Korea semakin memburuk. Sejak tahun 2008, institusi-institusi dialog yang sudah terputus dan orang-orang yang bersifat konservatif keras menguasai Departmen Reunifikasi dalam Pemerintahan Lee. Pemerintahan Lee juga menerapkan kebijakan diplomasi yang mengutamakan Amerika Serikat. Presiden Lee berusaha menjalin hubungan erat militer dengan Amerika Serikat, sambil berusaha meminimalkan hubungan dengan Korea Utara. Kebijakan seperti ini juga menimbulkan ketegangan antar Korea karena rejim Korea Utara sangat peka dengan hubungan kemiliteran erat antara Korea Selatan dan Amerika Serikat. Korea Utara menyangka perkembangan itu menjadi ancaman terbesar baginya. Dalam situasi ini, Korea Utara mengadakan tes bom nuklir pada Mei 2009. Perkara ini memusatkan perhatian dunia internasional dan

177


Politik dan Pemerintahan Korea

mengajak kritik keras dari PBB dan negara-negara Barat. Sangsi ekonomi dan militer terhadap Korea Utara ditingkatkan (Yonhap News Agency, 22 Mei 2009). Suasana yang tegang ini berdampak negatif terhadap stabilitas Semenanjung Korea. Misalnya kapal perang Korea Selatan dihancurkan dan memakan 46 jiwa pada Maret 2010, dan akhirnya suatu pulau di Laut Kunning (Barat) diserang oleh Korea Utara pada bulan November 2010 (Reuters, 4 Januari 2011).

Evaluasi Risiko Politik di Semenanjung Korea Dalam era pasca-Perang Dingin, pemerintahan-pemerintahan Korea Selatan yang bersifat progresif, yaitu Presiden Kim Dae Jung dan Roh Moohyun, dapat melaksanakan “Sunshine Policy” terhadap Korea Utara. Kebijakan atau pendekatan ini sangat berbeda dengan pemerintahan-pemerintah sebelumnya yang bersifat konservatif. Situasi politik internasional cukup mendukung kebijakan itu karena diplomasi “soft power” dan kerjasama ekonomi antar negara tanpa perhitungan ideologi sudah menjalar di mana saja. Lagi pula, “Sunshine Policy” dapat membawa keuntungan besar pada dua Korea karena perusahaan-perusahaan Korea Selatan dapat menikmati biaya pekerja (labor cost) yang murah dan Korea Utara mendapat uang kontan (hard currency) dari kerjasama ekonomi tersebut. Selain itu, kerjasama seperti ini memperbanyak pertukaran barang, ide dan manusia antar Korea. “Sunshine Policy” dapat dilaksanakan karena situasi keamanan di Semenanjung Korea sudah meminimalkan kemungkinan perang saudara antar Korea walaupun Korea Utara sudah mengembangkan bom nuklir. Kalau sistem Perang Dingin masih berlaku di Semenanjung Korea, pemerintahan Korea Selatan apa pun tidak mampu melaksanakan kebijakan perdamaian. Menurut berbagai laporan dari Eurasia Group, angka risiko politik Korea Selatan pada tahun 2007 adalah 76 dan angka ini tercatat 77 pada tahun 2010. Ini berarti perubahan angka risiko politik di Korea Selatan selama Presiden Roh Moohyun (golongan halus) dan Presiden Lee Myung Bak (golongan keras) tidak signifikan. Pendekatan atau kebijakan pemerintah sendiri tidak mempengaruhi risiko politik Korea Selatan secara keseluruhan (EIU, 2007). Persepsi seperti ini sudah biasa bagi rakyat Korea Selatan sehingga mereka tidak memperlihatkan tindakan panik ketika adanya serangan artileri Korea Utara di Pulau Yeonpyung pada Desember 2010. Ini berarti risiko politik di Semenanjung Korea tidak begitu terpengaruh dari ketegangan militer antar Korea, melainkan dari runtuhnya rejim Korea Utara secara serentak. Menurut suatu laporan dari Australi, masa kini risiko politik Korea Selatan yang paling penting adalah unsur Korea Utara. Akan tetapi, risiko itu tidak berasal dari ancaman militer Korea Utara, melainkan dari runtuhnya rejim

178


Sunshine Policy dan Risiko Politik di Semenanjung Korea dalam ...

Komunis Korea Utara karena Korea Selatan harus menanggung biaya untuk menangani kelaparan rakyat Korea Utara (Stamer 2010: 2). Evaluasi ini berarti perang saudara antar Korea yang dapat hancur dua-duanya akan tidak memungkinkan. Laporan itu menjelaskan bahwa kekacauan militer secara besar sangat sulit terjadi di Semenanjung Korea karena adanya kesulitan ekonomi di Korea Utara dan adanya dukungan militer Amerika Serikat untuk Korea Selatan. Sehingga risiko politik Korea Selatan sangat tergantung pada perubahan suasana Korea Utara. Apakah analisis sperti ini dapat diterima? Bagaimana ancaman militer Korea Utara terhadap Korea Selatan akhir-akhir ini? Sebetulnya berbagai laporan tentang risiko politik Korea Selatan tidak berubah sesudah terjadinya serangan militer Korea Utara terhadap Korea Selatan pada tahun 2010. Institusi-institusi penilaian internasional tidak menurun risiko negara Korea Selatan dan mereka tetap mengakui Korea Selatan sebagai negara yang dapat menanam investasi. Sampai saat ini (Januari 2011) institusi penilaian kredit internasional seperti Fitch, Moody’s, and Standard and Poors tidak menaikkan risiko politik Korea Selatan setelah peristiwa-peristiwa sekitar Laut Kunning akhir-akhir ini. Hal ini membujuk para investor asing untuk menginvestasi dananya ke pasar Korea Selatan. Oleh karena itu, pasar bursa Korea Selatan sekarang memperlihatkan suatu gejala yang sangat bergairah (booming) dengan datangnya banyak investor asing (Yonhap News Agency, 5 January 2011). Pada Januari 2011, masih banyak media internasional melaporkan peristiwa-peristiwa di Semenanjung Korea sebagai berita utama (headline news). Mereka menganalisis situasi di Semenanjung Korea dan meramalkan bahwa adanya kemungkinan peningkatan ketegangan antar Korea, tetapi ketegangan ini tidak menyeret situasi ke arah perang (Eurasia Group, 2011; Economic Times, 4 January 2011). Mereka yakin bahwa geo-politik pada masa pascaPerang Dingin tidak memperbolehkan perang terbuka antar Korea karena kepentingan ekonomi bagi pihak-pihak bersangkutan, termasuk AS, Jepang, RRC, dan Russia, akan dihancurkan olehnya. Situasi politik internasional sekitar Semenanjung Korea sudah berubah dan kepentingan ekonomi sudah menjadi agenda terpenting bagi mereka.

Penutup Tulisan ini membahas adanya golongan halus (progresif) dan golongan keras (konservatif) di Korea Selatan terhadap Korea Utara dalam era pascaPerang Dingin. Sebagai kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh golongan halus, “Sunshine Policy” membuka zaman baru di Korea Selatan karena pemerintahan-pemerintahan sebelumnya tidak pernah melaksanakan pendekatan seperti ini. “Sunshine policy” dirancang sesuai dengan perubahan tata

179


Politik dan Pemerintahan Korea

politik internasional yang sudah menjagokan kerjasama ekonomi. Tetapi kebijakan perdamaian ini telah dibatalkan pada tahun 2008 oleh pemerintahan Presiden Lee Myung Bak karena tokoh-tokoh pemerintah ini terdiri atas golongan keras. Sehingga secara teori, “Sunshine Policy” tidak gagal karena kebijakan ini tidak diterapkan lagi ketika terjadi ketegangan militer di Laut Kunning pada tahun 2010. Kalau golongan halus menguasai pemerintah Korea Selatan pada masa depan, kebijakan perdamaian seperti “Sunshine Policy” akan dihidupkan lagi. Ini berarti “Sunshine Policy” menjadi suatu strategi bagi golongan halus untuk memperoleh suara dari pemilihan umum dan pemilihan presiden di Korea Selatan. Apakah selama kebijakan “Sunshine Policy”, hubungan antar Korea semakin membaik dan risiko politik Korea Selatan menjadi kecil? Jawabannya masih rumit( Persoalan ini masih dipertanyakan). Dari segi ekonomi ada banyak perkembangan antar Korea, tetapi dari segi keamanan situasinya belum berkembang apa yang dikehendaki oleh banyak orang. Sebetulnya risiko politik Korea Selatan sudah menjadi marjinal ketika runtuhnya Perang Dingin pada awal tahun 1990an karena issue pertahanan sudah menjadi issue yang usang dan kerjasama ekonomi timbul sebagai issue yang panas. Dengan adanya kesadaran seperti ini, ancaman militer Korea Utara mempengaruhi hanya sedikit pada risiko politik Korea Selatan termasuk serangan militer di sekitar Laut Kunning pada tahun 2010. Penulis : Park Jae Bong Ph.D.(University of New South Wales, Austrailia), staf pengajar Jurusan Bahasa Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies. E-mail : jaebongp@yahoo.co.kr

DAFTAR PUSTAKA Economic Times. 2011. “Key Political Risks to Watch in Asia in 2011” (January 10). Economist. 2011. “Tensions on the Korean Peninsula: from Sunshiners to Hardliners” (December 2 9, 2011). EIU (Economist Intelligence Unit). 2007. World Investment Prospects to 2011, The Economist EurasiaGroup. 2011. “Top Risks 2011”. Reuters. 2011. “Top Global Political Risk Trends for 2011”. Sachs, Jeffrey D. 2007. “Addressing Political Risk in the energy sector”, World Investment Prospects to 2011, the Economist: 80-83.

180


Sunshine Policy dan Risiko Politik di Semenanjung Korea dalam ...

Shinkman. Matthew. 2007. “The Investors’ View: Economic Opportunities vs Political Risks in 2007-11", World Investment Prospects to 2011, the Economist: 84-94. Stamer, Manfred. 2010. Country Review: South Korea, Euler Hermes Group. Yang Seok Mo. 2010. Kegagalan Sunshine Policy dalam Reunifikasi Semenanjung Korea, Skripsi, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Yang Seung Yoon dan Mohtar Mas’oed. 2007. Politik Ekonomi Masyarakat Korea, Yogyakarta: GadjahMada University Press.

181


Politik dan Pemerintahan Korea

182


Sunshine Policy dan Risiko Politik di Semenanjung Korea dalam ...

BAB MAHASISWA

183


Politik dan Pemerintahan Korea

184


Korean Wave (Hallyu) Sebagai Soft Diplomasi Korea Selatan

KOREAN WAVE (HALLYU) SEBAGAI SOFT DIPLOMASI KOREA SELATAN Reza Lukmanda Yudhantara

Pendahuluan Untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan suatu negara merdeka, unsur kekuatan diplomasi sangat diperlukan. Kekuatan diplomatik akan sangat bermanfaat bagi suatu negara untuk dapat menjaga pertahanan nasional serta mencari kesempatan baru dalam menjalin hubungan persahabatan dengan dunia lain. (Yang Seung Yoon, 2004: 1), Selain berfungsi sebagai instrumen politik luar negeri, diplomasi juga ikut memainkan peranan dalam perumusan politik luar negeri itu sendiri terutama sumbangan berupa informasi, asulusul kebijakan ataupun rancangan kebijakan khususnya dalam tahap penentuan agenda (agenda setting) dan perumusan kebijakan. Karena kedekatan konsep politik luar negeri dan diplomasi, maka sering diplomasi diidentikkan dengan politik luar negeri (hard power), tapi perlu dipahami juga, pada masa modern saat ini, diplomasi dapat dilakukan dengan banyak cara. Meminjam dari pernyataan Prof. Yang, kekuatan diplomatik itu dapat dijalankan tanpa meminta biaya politik dan kekuatan militer yang cukup besar (Yang Seung Yoon, 2004: 2), pernyataan tersebut menguatkan bahwa terdapat kekuatan lain atau instrumen lain dalam penentuan kebijakan luar negeri. Soft diplomasi merupakan bentuk nyata dari penggunaan instrumen selain politik dan militer dalam hubungan internasional. Soft diplomasi membawa unsur dari Soft power dalam pengaplikasiannya, yaitu dengan mengedepankan keunggulan nilai nilai budaya dan moral(SEKDILU, 2010). Dengan hal hal tersebut maka Soft diplomasi mampu meng’goal’kan kepentingan nasional suatu negara dalam kancah internasional tanpa penggunaan kekerasan atau tekanan kepada pihak lain. Korea Selatan, sebuah negara industri baru di Asia, telah menerapkan bentuk diplomasi yang menggunakan instrumen lain tersebut. Perubahan yang dialami oleh industri budaya Korea, baik produk budaya televisi, film,

185


Politik dan Pemerintahan Korea

maupun industri rekaman merupakan suatu fenomena yang menarik, karena budaya-budaya tersebut telah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah Soft diplomasi yang mampu menguatkan posisi Korea Selatan di dunia internasional. Untuk itu, dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana sebuah budaya Korea Selatan yang sebelumnya hanya merupakan suatu kearifan lokal dari suatu negara, menjadi komoditas berharga untuk sebuah Soft diplomasi dan telah berhasil memasuki kancah internasional (Korean Wave). Dimulai dari seperti apa dan bagaimana Korean Wave tersebut, lalu bagaimana Korean Wave menjadi sebuah instrumen bagi Soft diplomasi, juga akan disinggung bagaimana pemerintah Korea Selatan sendiri menanggapi fenomena tersebut, dan apa saja yang telah dihasilkan dari Soft diplomasi tersebut. Fenomena ini merupakan pembelajaran yang sangat menarik, karena banyaknya pihak yang saling berpadu dengan baik. Diharapkan negara lain (Indonesia) yang juga memiliki potensi besar dalam ekspor budaya dapat menjadikan fenomena seperti ini sebagai sebuah kesempatan, karena fenomena seperti ini sudah terbukti menjadi komoditas-komoditas yang sangat berharga bagi Korea Selatan.

Korean Wave dan Proses Penyebarannya Seorang jurnalis China pada akhir tahun 90’an melihat suatu fenomena baru di China, tentang kegemaran masyarakat China terhadap produk-produk Korea yang notabene adalah Korea Selatan. Kegemaran ini dimulai dengan masuknya budaya pop Korea ke negara-negara Asia Timur yang sampai sekarang sudah menjamur ke Asia Tenggara dan Amerika. Tidak salah lagi kegemaran akan budaya Pop ini menjadi pemicu utama digemarinya produk-produk Korea, begitu juga dengan fashion, makanan dan model penampilan para bintang-bintang Korea (Korean Culture and Information, 2010: 46-53) Hanliu, begitu China memberikan nama kepada fenomena ini, yang akhirnya disebut dengan Hallyu (sesuai dengan sebutan di Korea). Hallyu sendiri berarti Korean (Cultural) Wave/Current (Arus gelombang budaya Korea). Fenomena ini menjelaskan adanya suatu fenomena perkembangan budaya Korea Selatan ke dunia Internasional. Hallyu yang pada awalnya hanya berupa kegemaran akan budaya pop Korea, semakin melebar menjadi kegemaran akan serial drama Korea. Sampai saat ini, Hallyu diikuti dengan banyaknya perhatian akan produk Korea Selatan, seperti masakan, barang elektronik, musik dan film. Fenomena ini turut mempromosikan Bahasa Korea dan budaya Korea ke berbagai negara (Korean Culture and Information, 2010: 4653)

186


Korean Wave (Hallyu) Sebagai Soft Diplomasi Korea Selatan

Kebangkitan drama Korea merupakan buah dari demokratisasi yang dimulai akhir 1980. Sejak rezim otoriter Korea tak berkuasa, ada kemerdekaan yang membuat film atau drama tanpa terkungkung kreativitasnya. Walaupun Korea masih terpecah antara Korea Selatan dan Korea Utara, pemerintah tak menekan media untuk menjadi agen propaganda. Tingkat independensi media massa tercatat menduduki urutan ke-21 dunia. (Kompas, 2010) Perkembangan penyebaran drama Korea inipun mulai terlihat semakin besar sejak tahun 2000. Kebesaran ini terlihat dari status Korea selatan sebagai urutan kesembilan dunia dalam pangsa pasar film, dan menjadi negara paling besar belanjanya untuk pertunjukkan dan film (Kompas, 2010). Hal ini karena terus meningkatnya kepopularitasan industri tersebut, kepopularitasan tersebut disebabkan kandungan cerita, teknologi, akting dan lokasi yang semuanya terpadu dengan sangat baik dan menarik. Drama Korea dikatakan memiliki sensasi yang berbeda dari apa yang dimiliki Hollywood, dikarenakan drama Korea memiiliki cirri-ciri dan sentimen Korea yang kuat yang mana kebanyakan negara negara Asia dapat dengan mudah memahami dan menyerapnya (Yang Seung-Yeon, 2008 ). Misalnya, film Korea yang berjudul Shiri telah menjadi populer di Jepang, Hongkong dan Taiwan disebabkan caranya mengendalikan isu sensistif Korea utara dan Korea Selatan, bahkan film ini mengalahkan Titanic dengan 4,7 juta penontonnya, Shiri dengan 5,78 juta penonton (Cine21, 2001). Hal ini sempat mengejutkan Hongkong, dikarenakan pada awal 90’an, Korea masih belajar tentang pembuatan film yang baik di Hongkong namun dalam waktu singkat Korea berhasil menjadikan industri perfilmannya menjadi salah satu komoditi ekspor yang utama di negaranya. Sesungguhnya nilai-nilai yang dibawa Korean Wave pada awalnya adalah nilai dari kehidupan Asia yang sebenarnya, yaitu konfusianisme. Hal tersebut yang juga menjadi nilai lebih drama Korea dibandingkan drama produk barat. Bagi masyarakat Asia, budaya barat dikritik karena tidak realistik bagi masyarakat Asia Timur dan Asia tenggara yang masih memegang teguh pada nilai-nilai ketimuran (Yang Seung-Yeon, 2008 ) Kejayaan Korean Wave juga dianggap karena adanya pertunjukan inner passion dan powerful energy, dan juga pertunjukkan kebudayaan tradisional yang menarik. Ini membuktikan kejayaan Korean Wave juga didukung oleh perasaan keyakinan dan sifat nasionalisme yang tinggi. Dalam beberapa drama Korea, beberapa nilai tradisional Korea diperlihatkan, seperti adanya anggota keluarga yang akan hamil bila salah satu anggota keluraga tersebut bermimpi tentang ikan koi. Hal ini berhasil ditanamkan kepada para penonton drama tersebut, yang dapat disimpulkan drama tersebut telah menjadi duta secara tidak langsung tentang penyebaran budaya tradisional Korea Selatan.

187


Politik dan Pemerintahan Korea

Lalu, bagaimana Hallyu dapat memasuki budaya global yang sedang berjalan dan dapat bersaing dalam budaya global tersebut. Pertama adalah media. Media adalah salah satu faktor berpengaruh dalam perubahan peradaban yang ada saat itu, disebutkan sebelumnya bahwa tingkat independensi media menduduki peringkat ke 21 (Kompas, 2010), tidak ada tekanan dari pihak manapun bagi media dalam peranannya menyebarkan pengaruh tentang Hallyu. Pengaruh tersebut memang tidak bisa dipungkiri dari perannya sebagai pembawa informasi. Kecanggihan teknolgi saat ini, memungkinkan peran media semakin besar dalam menyampaikan berbagai berita atau peristiwa kepada publik. Media tidak lagi terbatas pada media cetak yang meliputi koran atau majalah, tetapi juga media elektronik seperti televisi dan internet. Peran media tersebut membantu membentuk suatu citra tentang film buatan negeri sendiri, bahkan mereka (media) tidak ragu untuk mengkritik film-film Korea sendiri demi membangun yang lebih baik (Nugroho, 2005). Dengan berkembangnya teknologi informasi telah membawa perubahan besar dalam role model akses terhadap suatu berita melalui suatu media cetak maupun elektronik. Terkait diplomasi budaya Hallyu yang cukup mempengaruhi masyarakat internasional, turut serta membawa role model media dalam pemberitaan kepada publik. Role model tersebut tidak hanya pada bagaimana budaya itu menyebar tetapi juga pada pembentukkan konsepsi apa, siapa, dan bagaimana Hallyu itu sendiri. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada akhirnya persepsi mengenai Hallyu di dalam publik internasional sendiri tidak jauh berbeda. Setidaknya ada beberapa persamaan ketika publik internasional mendefinisikan dan memahami Hallyu. Aspek lain yang berperan setelah media dalam penyebaran Hallyu adalah globalisasi. Held (2000) memahami globalisasi sebagai perubahan perubahan dalam bidang ekonomi dan sosial yang berkombinasi dengan pembentukan hubungan regional dan global yang unik, yang lebih ekstensif dan intensif dibandingkan dengan periode sebelumnya, yang menantang dan membentuk kembali komunitas politik, dan secara spesifik, negara modern (SEKDILU, 2010). Dalam proses penyebaran Hallyu, globalisasi memberikan corak budaya baru, dan memberikan dampak yang luas terhadap kebebasan budaya setempat dan mengukuhkan budaya Korea dalam budaya lokal.

Mengenal Korea melalui Hallyu Merebaknya Hallyu di negara-negara Asia Timur dan beberapa negara Asia Tenggara telah menunjukkan adanya aliran budaya dari Korea ke negaranegara tetangganya. Terlepas dari dampak panjang yang akan terus berlanjut, Hallyu memang suatu fenomena tersendiri dalam dunia industri hiburan modern Korea. Dalam situasi dunia pada saat pertukaran informasi terjadi

188


Korean Wave (Hallyu) Sebagai Soft Diplomasi Korea Selatan

hampir tanpa halangan apa pun, Korea telah menjejakkan pengaruhnya di kawasan Asia (Nugroho, 2005: 64). Hallyu memeperluas jangkauannya ke hampir seluruh Asia tenggara melalui drama Korea Winter Sonata, Endless Love, Dae Jang Geum, dan Full House. Drama tersebut seperti pembuka awal perkembangan pengenalan Korea Selatan di Asia tenggara. Pada kurun waktu tahun 2000 hingga 2007, beberapa stasiun televisi swasta dibeberapa negara Asia tenggara gencar bersaing menayangkan film-film maupun sinetron-sinetron Korea, beberapa film tersebut bahkan bisa dikatakan sukses dalam penayangannya. Sinetron buatan negeri ginseng ini telah berhasil menarik perhatian sebagian masyarakat Asia tenggara.(Nugroho, 2008) Setelahnya, terus-menerus Korea mengeluarkan karya-karyanya dan dapat dikatakan selalu mencapai kesuksesan. Kesuksesan ini tentunya diikuti dengan munculnya masyarakat penggemar budaya Korea atau biasa disebut Korean Lover yang pada awalnya hanya berupa komunitas masyarakat yang menggemari budaya Korea. Akan tetapi, seiring semakin berkembangnya Hallyu, maka para penggemar ini pun bertranformasi menjadi suatu komunitas yang memiliki pergerakan seperti duta Korea di Negara tersebut. Mereka sering melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan mengenalkan budaya Korea ke masyarakat lokal. Fenomena-fenomena ini terjadi di China pada awalnya dan mulai merambah Taiwan, Thailand, Singapura, dan Vietnam. Khusus negara yang disebut terakhir ini, pengaruh Hallyu sangatlah kuat hingga beberapa kali diadakan jumpa fans dengan artis sinetron Korea tersebut dalam rangka untuk menjembatani kerjasama antardua negara tersebut (Nugroho, 2008). Hallyu telah membuka perkenalan bagi produk-produk Korea, minat masyarakat terhadap produk-produk Korea semakin meluas, dan produk-produk Korea secara perlahan menjadi bagian dari dalam masyarakat tersebut. Pencitraan positif terhadap produk produk Korea ini merupakan buah dari masuknya Korean Wave, brand LG, Samsung, merupakan produk-produk yang sering dilihat masyarakat dari proses Korean Wave. Semakin melebar, Hallyu saat ini menjadi pembuka bagi studi Korea di beberapa negara, hal ini merupakan segi positif yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah lokal dari penyebaran Hallyu. Pada akhirnya dengan semakin bertambahnya jumlah studi Korea, maka secara tidak langsung akan mendukung para investor Korea. Banyaknya perusahaan Korea yang berinvestasi di beberapa negara, membutuhkan banyak tenaga ahli yang paling tidak mengetahui dan menguasai bagaimana berniaga dengan orang Korea. Faktor bahasa merupakan faktor utama di sini, terlepas dari kenyataan bahwa orang Korea pun bisa melakukan bisnis dengan bahasa Inggris, namun kebutuhan akan

189


Politik dan Pemerintahan Korea

ahli yang menguasai bahasa Korea dipandang sangat penting dan strategis untuk ’memenangkan’ dan mengisi celah yang ada sebagai konsekuensi maraknya investasi Korea di dunia Internasional. Di sisi inilah, berbagai kalangan memerlukan adanya ahli yang menguasai tentang Korea untuk membantu lancarnya kemitraan-kemitraan seperti di atas.

Hallyu sebagai Soft Diplomasi Diplomasi adalah instrumen utama untuk pelaksanaan politik atau kebijakan luar negeri. Geoffry Jackson mengatakan “foreign policy is what you do and diplomacy is how u do it”(SEKDILU, 2010). Dalam hubungan internasional, kebijakan luar negeri suatu negara akan didasarkan oleh kepentingan nasionalnya. Untuk itu diplomasi akan bertujuan akhir untuk memenuhi kepentingan atau tujuan suatu bangsa. Bung Hatta dalam pidatonya mengatakan bahwa diplomasi adalah muslihat yang bijaksana dengan perundingan untuk mencapai cita-cita bangsa (Hatta, 1945). Pendapat lain mengenai diplomasi adalah menurut diplomat kenamaan Inggris, Ernest Mason Satow (1843-1929), diplomasi adalah “the application of intelligence and tact to conduct of official relation between the governments of independent states”. Dari pernyataan-pernyataan tersebut, diplomasi dapat dimaknai dengan beberapa kata, yaitu, strategi, hubungan, pemerintah, kepentingan nasional. Dilihat dari gayanya, secara umum diplomasi ada dua cara, yakni cara keras (hard) dan cara lunak (Soft). Diplomasi cara keras umumnya dipraktikkan oleh pemimpin negara-negara yang (cenderung) berhaluan sosialis atau bekas negara sosialis seperti Korea Utara, Bolivia, Venezuela, Libya, Iran, dan lain-lain, terutama dalam menghadapi negara-negara kapitalis yang diwakili Amerika Serikat. Diplomasi cara lunak pada umumnya diterapkan oleh negara-negara demokrasi dalam menjalin hubungan dengan negara-negara demokrasi yang lain seperti hubungan antara Amerika dengan sekutu-sekutunya seperti Inggris, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, dan lain-lain. Soft diplomasi akan menggunakan Soft power sebagai instrumennya, karena menggunakan pendekatan budaya atau daya tarik sosial sebagai sarana utnuk berdiplomasi. Konsep Soft power diperkenalkan oleh Joseph S Nye, Guru Besar/Dean Kennedy School of Government Harvard University, A.S. dan mantan wakil Menteri Pertahanan A.S. Dalam dua karyanya: Bound to Lead (1990) dan The Paradox of American Power (2002), Joseph Nye mengembangkan konsep Soft power ini dalam konteks teori hubungan internasional dan merelevankannya dengan AS. Sejak saat itu Soft power dipakai secara luas dalam hubungan internasional oleh para praktisi, analis, media dan negarawan. Joseph Nye sendiri mendefinisikan Soft power sebagai

190


Korean Wave (Hallyu) Sebagai Soft Diplomasi Korea Selatan

kemampuan untuk membuat pihak lain menjalankan apa yang kita inginkan tanpa kita harus menggunakan kekerasan atau membayar, melainkan melalui daya tarik (SEKDILU, 2010). Diplomasi budaya, mungkin itu merupakan kata yang tepat bagi Soft diplomasi Korea dalam penyebaran budaya Hallyu. Istilah ini biasanya dipakai oleh suatu negara yang ingin mencapai kepentingan nasionalnya di luar bidang politik. Diplomasi kebudayaan merupakan salah satu cara pelaksanaan diplomasi dengan menggunakan pendekatan kebudayaan, yang antara lain berarti mencoba untuk meningkatkan citra Korea di luar negeri khususnya dan untuk mencapai sasaran dan tujuan kepentingan luar negeri pada umumnya. Diplomasi kebudayaan menunjuk pada kegiatan-kegiatan di bidang budaya yang diintegrasikan ke dalam kebijakan politik luar negeri suatu negara dan pelaksanaannya dikoordinasikan sepenuhnya oleh Departemen Luar Negeri. Diplomasi kebudayaan juga harus didukung dengan kekuatan dan kewibawaan ekonomi, politik, dan militer. Oleh karena itu, diplomasi kebudayaan pada umumnya efektif dijalankan oleh negara-negara maju (Muhaimin, 2007: 14-15). Inilah yang dilakukan Hallyu terhadap dunia internasional, diplomasi budaya ini berjalan sangat efektif. Sesuai dengan tujuan untuk meningkatkan citra Korea Selatan, Hallyu membuktikan bahwa terdapat kestabilan politik, serta keamanan yang terjaga dalam Korea Selatan, dan secara umum berhasil mempengaruhi beberapa aspek penting seperti ekonomi dan hubungan internasional Korea Selatan. Kekuatan budaya dalam Hallyu menjadi kunci dasar dalam usaha diplomasi budaya. Hallyu menjadi salah satu strategi pemerintah dalam upayanya memperkenalkan Korea secara agresif di luar negeri. Bahkan melalui strategi ini, pihak pemerintah menargetkan dapat meningkatkan kunjungan sebesar 20 juta pengunjung pada tahun 2020. Hal ini bukanlah sesuatu yang tidak mungkin, melihat data sebelumnya yaitu pada tahun 2009 sekitar 7,8 juta orang. Angka itu menurut organisasi Pariwisata Korsel menunjukkan peningkatan sebesar 14% dari 6,13 juta orang pada periode yang sama tahun lalu. Pencapaian angka ini dianggap oleh pemerintah Korsel sangat bermakna (The Global Review, 2009). Terkait dengan industri manufaktur Korea, Hallyu telah memainkan perannya dengan sangat baik. Secara perlahan, produk-produk Korea mulai bersaing dengan produk-produk China dan Jepang. Hal ini terlihat dari semakin kuatnya ‘chaebol’ atau dinasti dagang perusahaan Korea. Kebutuhan akan produk Korea terus meningkat, bahkan di beberapa negara yang di dalam masyarakatnya terdapat penggemar Hallyu. Mereka seperti mewajibkan bagi dirinya sendiri untuk memiliki produk-produk Korea.

191


Politik dan Pemerintahan Korea

Berbicara tentang industri manufaktur, tentunya berhubungan dengan dunia pasar. Ekspansi pasar mempunyai implikasi luas dalam kehidupan suatu komunitas, karena dapat mempengaruhi sistem nilai dan tata hubungan sosial. Dalam masyarakat yang berorientasi pada pasar, cara pandang terhadap dunia mulai mengalami pergeseran akibat adanya pengaruh etos kerja kapitalistik yang semakin meluas dan mendalam. Masyarakat serupa itu melihat kehidupan tak ubahnya seperti proses transaksi (Abdullah, 2006: 112). Hubungan sosial, termasuk hubungan antar negara, telah didasarkan pada pertimbangan untung dan rugi. Dunia kebudayaan pun tidak terbebas dari proses itu. Dalam kondisi serupa itu diplomasi kebudayaan lantas menjadi proses transaksi produk-produk kebudayaan, sedangkan para aktor yang terlibat di dalamnya bertindak dan berperilaku seperti pebisnis. Mereka harus memikirkan cara mengemas produk kebudayaan, melakukan survei pasar untuk memahami minat dan selera konsumen, melihat perbedaan kondisi antara negara satu dan yang lain sebagai segmen pasar, dan akhirnya melakukan transaksi. Modifikasi budaya dalam diplomasi kebudayaan dapat dilihat terutama dengan memperhatikan transaksi kebudayaan melalui program Tourism Trade and Investment.Melalui pemikiran tersebut, para aktor pendukung Hallyu melakukan strategi untuk mengemas Hallyu menjadi bentuk produk yang dapat dijual ke luar negeri. Dengan tujuan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa para aktris Hallyu merupakan duta kebudayaan Korea Selatan sekaligus aktor pemasaran kebudayaan dalam rangka ekspansi pasar internasional. Hal ini tentu terkait dengan besarnya nasionalis yang dimiliki orang Korea. Bukti bahwa berperannya aktris-aktris Hallyu dalam perannya sebagai duta negaranya adalah banyaknya penyanyi maupun bintang idola Korea yang mau melakukan jumpa fans di beberapa negara walaupun honor mereka lebih kecil dibandingkan dengan tour mereka di negaranya (Kim-Y, 2002), ini membuat mereka semakin dekat dengan para penggemarnya dan membuat para penggemarnya semakin mencintai Korea. Meminjam pernyataan Nye tentang Soft diplomasi, berbagai cerita diatas merupakan usaha dari Soft diplomasi Korea terhadap internasional. Memang saat ini tujuan dari diplomasi kebudayaan tersebut adalah peningkatan ekonomi yang akhirnya semakin membaawa kemakmuran bagi rakyat Korea Selatan dan pencitraan yang baik terhadap Korea Selatan. Melalui pernyataan tersebut, maka sangat mungkin di masa mendatang akan ada ekspansi budaya besar-besaran oleh Korea kepada dunia internasional, yang tentu saja tujuan akhir dari penyebaran budaya tersebut tidak lagi mengenai peningkatan ekonomi ataupun pencitraan, mungkin juga dengan tujuan lain.

192


Korean Wave (Hallyu) Sebagai Soft Diplomasi Korea Selatan

Pemerintah Korea Selatan terhadap Hallyu Kim Dae Jung pada saat menjabat presiden Korea Selatan tahun 1998 mengatakan bahwa salah satu tujuan pemerintahannya adalah meningkatkan ekspor budaya Korea. Korea diharapkan tidak hanya mengekspor hasil industri kepada dunia, tetapi juga dapat memberikan hal lain yang tentunya juga dapat membuat Korea semakin diperhitungkan di dunia internasional, yaitu melalui produk budaya. Salah satu hal yang bisa dijadikan perbandingan adalah besarnya ekspor produk budaya Amerika ke segala penjuru dunia hanya dari sektor perfilman saja. Hal ini bisa dijadikan satu gambaran bahwa ekspor budaya juga bisa memberikan nilai yang besar bagi pendapatan suatu negara (Nugroho, 2005: 60 ) Pada awal milenium ini telah terbukti bahwa Korea akhirnya bisa juga mengekspor produk budayanya. Produk budaya Korea ini telah berhasil mengemas nilai-nilai Asia yang dipasarkan dengan gaya modern. Di sini ada istilah yang dipakai oleh Kim Song Hwan, seorang pengelola sindikat siaran televisi Korea Selatan, yaitu Asian Values-Hollywood Style. Istilah ini mengacu pada cerita-cerita yang dikemas bernuansakan kehidupan orang Asia, namun pemasarannya memakai cara pemasaran internasional yang mengedepankan penjualan nama seorang bintang atau menjual style. Produk-produk perfilman Korea sering mengangkat tema sentral kehidupan nilai orang Asia, walaupun ceritanya bisa saja terjadi di setiap sudut dunia mana pun (Nugroho, 2005: 60 ) Pemerintah memutuskan untuk memberikan dukungan lebih banyak terhadap penyebaran pengaruh Hallyu, yang semakin memuncak dan meningkatkan jati diri bangsa. Pengaruh Hallyu ini dapat mempengaruhi pola hidup dan cara berpikir masyarakat di berbagai belahan dunia yang berhasil meningkatkan citra nasional. Dengan demikian menyebar luasnya pengaruh budaya Hallyu, akan memainkan peranan penting dalam meningkatkan jati diri bangsa (KBS World, 2009). Pemerintah Korea pun saat ini masih terus berusaha untuk mempertahankan citra yang diperoleh dari fenomena ini. Salah satu usahanya adalah dengan dicanangkannya tahun wisata Korea yang mengedepankan programprogram yang menjual keindahan Korea Selatan, terutama paket-paket wisata yang secara emosional bisa menarik para wisatawan untuk berkunjung. Beberapa di antaranya adalah merebaknya paket-paket wisata Winter Sonata dan Endless Love. Paket ini sengaja dirancang untuk dipasarkan kepada para wisatawan di China,Taiwan, Singapura dan Malaysia, yaitu tempat sinetronsinetron Korea pernah ditayangkan (Nugroho, 2005) Pihak Kementerian Luar Negeri Korea Selatan pada awal tahun 2004 berencana untuk mempromosikan Korea melalui sinetron-sinetron Korea

193


Politik dan Pemerintahan Korea

kepada negara-negara lain di luar kawasan Asia dengan gratis. Pihak kementerian menyuplai sinetron ke stasiun-stasiun televisi di Rusia, kawasan Timur Tengah dan bahkan Amerika Selatan setelah menyeleksi sinetron yang sesuai dengan kawasan tersebut. Tujuan tunggal adalah untuk menyebarkan Hallyu ke kawasan selain Asia (Asia times, 2004) Pemerintah juga mendukung pemasaran budaya di pasar internasional dengan membangun prasarana yang kuat untuk memperlancar ekspor komoditi kebudayaan, dan memanfaatkan penyebaraluasan Hallyu untuk mempromosikan industri pariwisata dan ekspor komoditi lainnya, seperti alat-alat kecantikan, produksi-pertanian dan lain-lain. Dalam mendukung globalisasi pengaruh budaya Korea, pemerintah Korea juga memperkuat jaringan kerja sama internasional badan-badan kebudayaan dari berbagai negara dan meningkatkan alokasi dana untuk kegiatan pertukaran budaya (KBS World, 2009). Di pihak lain, penyebaran pengaruh budaya Korea tidak hanya meningkatkan peluang untuk melaksanakan pertukaran budaya, tetapi juga akan meningkatkan interaksi budaya antara Korea dengan berbagai bangsa di seluruh dunia. Dalam hal ini, kelanjutan penyebaran pengaruh budaya Korea juga sangat berarti terhadap pengembangan aset budaya Asia. Keputusan pemerintah untuk memberi dukungan penuh terhadap penyebaran atau globalisasi pengaruh budaya Korea, sangat bermanfaaat bagi kepentingan nasional dan kepentingan seluruh rakyat. Pihak pemerintah dari awal memang tidak terlalu melihat penyebaran budaya ini sebagai diplomasi yang efektif bagi Korea Selatan, mengingat Korea memeiliki beberapa permasalahan high politic di beberapa bidang. Namun, masa pemerintahan Kim Dae Jung telah berhasil menangkap ini sebagai peluang bagi Korea untuk mengembangkan sayapnya, dan akhirnya berhasil mengemas fenomena ini menjadi sesuatu yang mendorong kemajuan ekonomi Korea dan menaikkan citra Korea Selatan di kancah internasional.

Penutup Soft diplomasi yang dipraktikkan oleh Korea sebagai strategi untuk mencapai kepentingan nasional di tengah masyarakat internasional merupakan peristiwa kebudayaan yang kompleks. Kompleksitas itu dapat dijelaskan dengan terlebih dahulu memahami tiga realitas yang menjadi konteks penting diplomasi kebudayaan Korea Selatan. Pertama, ekspansi budaya yang mendorong transformasi ke arah penataan sistem sosial dengan orientasi, nilai-nilai, dan norma-norma yang bersifat gobal. Dalam prosesnya, Hallyu bekerja melalui proses globalisasi yang menghilangkan batas-batas dan ikatan tradisional yang semula dijadikan

194


Korean Wave (Hallyu) Sebagai Soft Diplomasi Korea Selatan

basis identitas lokal atau nasional. Terdapat kemungkinan berkurangnya kemurnian dari identitas Korea, karena adanya proses pembauran dengan identitas global. Namun kemungkinan tersebut telah dibuktikan dengan bertahannya Hallyu dalam budaya global yang bentuk akhirnya adalah identitas tunggal. Kedua, dalam diplomasi kebudayaan Korea Selatan terjadi proses konsumsi simbolis. Konsumsi simbolis ini terjadi pada konsumsi atas suatu produk yang lebih ditekankan pada nilai-nilai simbolis produk tersebut. Pada saat masyarakat internasional membeli benda-benda budaya atau produkproduk Korea karena pengaruh Hallyu. Yang mereka konsumsi adalah nilai sosial yang terselip di balik tampilan produk-produk kebudayaan itu. Konsumsi simbolis merupakan bagian dari proses konstruksi identitas, karena produk yang dikonsumsi dapat mewakili kehadiran dan citra seseorang atau suatu komunitas. Ketiga, dalam diplomasi kebudayaan terjadi proses modifikasi budaya yang ditandai dengan cara berbagai pihak memperlakukan diplomasi kebudayaan sebagai proses transaksi berbagai produk kebudayaan. Dalam proses ini pihak-pihak dalam diplomasi kebudayaan saling berbagi peran. Diplomasi kebudayaan pada akhirnya menjadi bidang kegiatan dengan perhitungan untung dan rugi. Ini merupakan implikasi lebih jauh dari proses ekspansi pasar yang telah menjadikan pasar sebagai kekuatan utama dalam sistem sosial. Terkait dengan pembagian peran, fenomena Hallyu juga tidak terlepas dari peran rakyat Korea Selatan. Peranan masyarakat ini menjadi sendi dari tindakan diplomasi itu, tenaga perjuangan rakyat yang kuat, serta nasionalis yang tinggi sangat diperlukan untuk menyokong usaha diplomasi yang dijalankan pemerintah. Pada akhirnya juga dapat dipahami bahwa Korea Selatan memiliki kestabilan politik dan perekonomian yang baik, karena suatu negara akan bisa memulai penyebaran budayanya secara besar-besaran apabila ekonomi dan kestabilan negara tersebut sudah sangat kuat (Yang Seung Yoon, 2004) Penulis : Reza Lukmanda Yudhantara Mahasiswa Pasca Sarjana, Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Telah mengambil kuliah “Politik Luar Negeri Korea Selatan� pada semester ganjil tahun kuliah 2010-2011. Paper ini dipilih sebagai salah sebuah paper yang diberi nilai A. E-mail : leza.lukmanda@gmail.com

195


Politik dan Pemerintahan Korea

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. 2006. ‘Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan’. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dalam Utama, Mahendra.P, ‘Globalisasi, Diplomasi Kebudayaan, dan Komodifikasi Budaya’ 2009, article UNDIP 2009. Asia Times : www.atimes.com/atimes/Korea/FA22Dg02.html, dalam Nugroho, Suray Agung, ‘Hallyu,Gelombang Korea di Asia dan Indonesia: Tren Merebaknya Budaya Pop Korea’, 2005. Cine21: No. 315, August 2001, (www.cine21.co.kr) Ikhtisar Uraian SEKDILU (Sekolah Pendidikan Luar Negeri) Angkatan XXXIV, ‘Instrumen Politik Luar Negeri’, 2010 Kompasiana, 2008, ‘Drama Korea yang Membuai Asia’, Kompas.com Kompasiana, 2009, ‘Film dan Strategi Budaya Korea’, Kompas.com Muhaimin, Yahya A.. 2007. ‘Diplomasi Kebudayaan yang Bermakna’ dalam Warsito dan Wahyuni Kartikasari, ‘Diplomasi Kebudayaan: Konsep dan Relevansi bagi Negara Berkembang, Studi Kasus Indonesia’, Yogyakarta. Nugroho, Suray Agung. ‘ Hallyu, Gelombang Korea di Asia dan Indonesia: Tren Merebaknya Budaya Pop Korea’, 2005. _____‘Korean Movies as Reflected in Korean Movies Magazines (20002001)’. M.A.Thesis. Graduate School of International Area Studies. Hankuk University of Foreign Studies, 2002. _____‘Hallyu : Refleksi untuk Memajukan Studi Korea di Indonesia’, Universitas Gadjah Mada, Program Studi Bahasa Korea FIB, 2008. Passport to Korean Culture. Korean Culture and Information Service - Ministry of Culture, Sports and Tourism , Seoul, Republic of Korea. 2010. hlm. 4653. ISBN 978-89-7375-153-2 03910) Sung Sang Yeon. 2008, ‘Why do Asian prefer Korean Pops Culture’, dalam http://asiamedia.ucla.edu/article. The Global Future Institute, 2009, ‘Indusri pariwisata Korea Selatan Targetkan 20 Juta Pengunjung di Tahun 2020’, theglobal-review.com Yang Seung Yoon. 2000, ‘Expanding Cultural Exchange with Southeast Asia’. Korea Focus. Yang Seung Yoon dan Mohtar Mas’oed. 2004, ‘Politik Luar Negeri Korea Selatan’, Gama Press, Jogjakarta

196


Hambatan Sunshine Policy dalam Upaya Reunifikasi Korea

HAMBATAN SUNSHINE POLICY DALAM UPAYA REUNIFIKASI KOREA Sari Mulyani

Pendahuluan Akhir November 2010 dapat dikatakan sebagai titik terburuk hubungan dua Korea sepanjang tahun ini. Ditengah musim dingin, hubungan Korea Utara dan Korea Selatan justru memanas. Serangan artileri Korea Utara ke salah satu pulau berpenduduk sipil, Yeonpyeon, Korea Selatan, telah menjadi provokasi untuk memulai ‘perang’ baru antara keduanya. Perseteruan Korea kali ini semakin menjauhkan kedua negara dari upaya unifikasi yang telah dilakukan semenjak perang terbuka antara kedua Korea berakhir tahun 1953, termasuk menghambat bekerjanya Sunshine Policy. Berakhirnya Perang Korea pada tahun 1953 hanya ‘meresmikan’ terpecahnya Korea menjadi dua, yaitu Korea Utara yang berpahamkan komunis dan Korea Selatan yang memiliki ideologi Demokrasi. Tidak adanya perjanjian damai secara resmi yang dikeluarkan kedua negara tersebut seolah membenarkan hubungan gencatan senjata antara Utara dan Selatan terjadi. Hubungan kedua Korea pasca perang dapat dikatakan pasang surut bahkan sering mengalami ketegangan. Namun dibalik semua itu, kedua negara memiliki keinginan yang kuat untuk bersatu kembali, meski hingga hari ini Semenanjung Korea berada dalam titik yang rawan terhadap perang terbuka akibat provokasi yang dilakukan oleh Korea Utara pada tanggal 23 November 2010. Serangan Korea Utara ini kemudian semakin memperburuk keadaan Semenanjung Korea yang memang sejak awal tahun 2010 sudah dalam keadaan yang panas. Meski demikian, harapan terhadap berhasilnya Sunshine Policy untuk menyatukan kedua Korea tidak hilang begitu saja. Sunshine Policy atau kebijakan sinar matahari merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Korea Selatan di bawah kepemimpinan Presiden Kim Dae Jung pada tahun 1997 dengan tujuan untuk menyatukan kedua Korea. Sunshine Policy membawa perubahan yang cukup besar bagi langkah besar kedua negara untuk bersatu. Salah satu bentuk keberhasilan dari kebijakan ini adalah

197


Politik dan Pemerintahan Korea

dilaksanakannya pertemuan tingkat tingggi antara pemerintah Korea Selatan dan Korea utara pada Juni 2000. Namun ketegangan kedua Korea pada akhir tahun 2010 menjadi hambatan dalam berjalannya Sunshine Policy untuk menyatukan Korea. Keadaan ini semakin memperkecil semangat reunifikasi dalam Sunshine Policy yang sempat di keluarkan oleh Korea Selatan untuk menarik Korea Utara melakukan unifikasi dengan cara damai. Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk melihat beberapa hal yang menjadi penghambat dalam upaya reunifikasi kedua Korea yang tercetus dalam kebijakan Sunshine Policy. Dalam makalah ini penulis akan mencoba mengurai sejarah singkat hubungan kedua Korea, Sunshine Policy sebagai salah satu bentuk upaya untuk mewujudkan reunifikasi Korea Utara dan Korea Selatan, serta melihat beberapa faktor yang menghambat kerja dari Sunshine Policy.

Pembahasan Secara resmi Jepang menduduki Korea pada tahun 1910 dalam Perjanjian Aneksasi Jepang –Korea. Hingga jatuhnya bom sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, dua kota industri Jepang pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 membuat Jepang lumpuh dan akhirnya menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945. Kekalahan Jepang ini mengharuskan negara tersebut melepaskan wilayah-wilayah yang mereka duduki ketika Perang Dunia II, termasuk didalamnya Korea. Korea kemudian mendapat kemerdekaan dari Jepang, namun masalah baru yang muncul kemudian adalah kekosongan kekuasaan. Kekaisaran Joseon yang merupakan dinasti terakhir di Korea telah berakhir setelah wafatnya Kaisar Dojong, kaisar terakhir Joseon. Dengan begitu, sekutu kemudian mengambil alih kekuasaan di Korea untuk sementara dengan tujuan menetralkan kawasan Korea pasca Perang Dunia II. Pembagian Korea menjadi Korea Utara dan Korea Selatan kemudian dimulai. Di dalam sebuah proposal yang ditolak oleh hampir seluruh bangsa Korea, Amerika Serikat dan Uni Soviet setuju untuk sementara menduduki negara Korea sebagai wilayah perwalian dengan zona pengawasan yang didemarkasi pada sepanjang 38 derajat lintang utara. Tujuan perwalian ini adalah untuk mendirikan pemerintah sementara Korea yang akan menjadi “bebas dan merdeka pada waktunya.�1 Korea Utara akan berada dibawah pengawasan dari Uni Soviet dan Korea Selatan berada dibawah pengawasan Amerika Serikat. Bahwa kedua negara

1

Sejarah Korea, tersedia dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Korea, diakses pada tanggal 20 November 2010.

198


Hambatan Sunshine Policy dalam Upaya Reunifikasi Korea

pengawas, Amerika Serikat dan Uni Soviet memiliki ideologi yang berbeda. Amerika Serikat dengan demokrasi liberal dan Uni Soviet dengan komunis sosialis. Hal ini ternyata mempengaruhi model negara yang sedang mereka bagi, Korea. Pada akhirnya, Korea Utara menggunakan komunis sebagai ideologi mereka dan wilayah Korea bagian selatan menerima model demokrasi dalam kehidupan mereka.

Perang Korea (1950-1953) Perang Korea kemudian pecah pada tahun 1950 yang dipicu oleh invasi Korea Utara terhadap Korea Selatan. Keinginan Korea Utara agar Semenanjung Korea dapat bersatu dibawah bendera komunis. Dengan dibantu oleh Uni Soviet dan China, Korea Utara menyerang Korea Selatan pada Juni 1950. Korea Selatan yang dalam keadaan tidak siap perang kemudian di dukung oleh Amerika Serikat beserta Inggris dan negara sekutu yang lainnya. Hingga Juli 1953, perang terbuka tersebut berakhir tanpa ada kesepakatan damai yang resmi. Kemudian Amerika Serikat, Republik Rakyat China, dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan senjata. Presiden Korea Selatan, Rhee Seungman, menolak menandatanganinya namun berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata tersebut.

Pasca Perang Korea 1.

Korea Utara

Pasca berakhirnya Perang Dingin, bubarnya Uni Soviet sebagai negara komunis terbesar memiliki dampak yang cuku berarti bagi Korea Utara. Bahwa Uni Soviet merupakan salah satu negara besar yang mendukung Korea Utara telah bangkrut dan berganti dengan Rusia yang secara ‘resmi’ juga berganti menjadi negara demokrasi. Hal ini membuat Korea Utara kemudian kehilangan pendukungnya, baik itu dari segi ideologi, maupun dari segi ekonomi. Korea Utara dapat dikatakan sebagai negara yang miskin. Dengan kediktatoran pemimpinnya, Kim Il Sung, yang kemudian digantikan oleh putranya, Kim Jong Il, Korea Utara merupakan negara yang membangun pertahanan dan militer, tanpa memperhatikan pertumbuhan ekonomi mereka. Keadaan rakyat Korea Utara secara umum cukup memprihatinkan. Namun hal ini tidak diperdulikan oleh Pemerintah mereka. Pemerintah Korea Utara selalu melakukan propaganda terhadap rakyat mereka untuk selalu mendukung pertahanan negara mereka. Ideologi Juche yang dianut oleh Korea Utara membuat negara tersebut selalu bangga terhadap diri mereka, terhadap Pemimpin Agung mereka, Kim Jong Il. Kemudian Korea Utara menganggap perlu untuk mengembangkan persenjataan militer modern, termasuk nuklir.

199


Politik dan Pemerintahan Korea

Hingga akhirnya Korea Utara melakukan pengembangan dan pengayaan uranium untuk membangun nuklir. Pembangunan nuklir ini memakan banyak sekali biaya. Hal yang kemudian dikesampingkan oleh Pemerintah Korea Utara adalah rakyat mereka. Pemenuhan kebutuhan rakyat, terutama pangan di Korea Utara sangat minim. Banyak Rakyat yang harus menderita dan meninggal karena kelaparan. Perekonomian rakyat Korea Utara sangat buruk, tidak banyak pekerjaan di negara tersebut membuat kehidupan masyarakat mereka jauh dibawah garis kesejahteraan. Bantuan ekonomi, terutama pangan di dapat dari China dan Korea Selatan. Ya, Korea Selatan hingga hari ini masih memberikan bantuan ekonomi, terutama pangan kepada Korea Utara. China adalah negara yang paling memiliki kedekatan dengan Korea Utara. Kerjasama China- Korea Utara adalah kerjasama yang didasarkan persamaan ideologi, dan itulah dasar yang paling kuat untuk saling memberi pertolongan bahkan dalam keadaan perang. Rusia adalah negara bekas Uni Soviet yang walaupun sudah berubah menjadi lebih liberal namun masih memiliki sisa-sisa kebesaran komunisme. Dan hubungan bilateral Moskow dengan Pyongyang adalah hubungan bilateral yang erat. Bantuan China dan Rusia tidak hanya sebatas masalah ekonomi dan pangan saja, kedua negara juga membantu sebagai pemasok senjata utama di Korea Utara. Sehingga apabila Korea Utara terlibat dalam konflik atau perang, tidak menutup kemungkinan China dan Rusia akan terlibat. Dalam upaya unifikasi, Korea Utara tetap berpegang teguh terhadap prinsip mereka yang dituangkan dalam Peraturan Partai Buruh Korea Utara, dimana melakukan penyebaran komunis di seluruh Semenanjung Korea. Dengan kata lain, Korea Utara ingin bersatu atau melakukan unifikasi dibawah bendera komunis atau ketika Korea Selatan mau menerima komunis sebagai ideologi mereka. Hal ini menjadi bertentangan dengan keinginan Korea Selatan, dan hal ini pula yang kemudian menjadi penghambat reunifikasi kedua Korea. 2.

Korea Selatan

Pasca perang Korea, Korea Selatan mencoba membangun kembali negaranya. Keberhasilan ekonomi Korea Selatan mulai terlihat semenjak tahun 1974, ketika itu, ekspor Korea Selatan mencapai 100 dollar Amerika. Bagi Korea Selatan, memperkuat pertahanan itu sama pentingnya dengan meningkatkan perekonomian negara mereka. Hal ini kemudian terbukti dengan majunya Korea selayan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Korea Selatan kini dikenal sebagai negara industri maju yang turut mempengaruhi perekonomian dan pasar global.

200


Hambatan Sunshine Policy dalam Upaya Reunifikasi Korea

Dalam segi pertahanan, Korea Selatan memang dapat dikatakan maju, akan tetapi kerjasama pertahanan yang dibuat oleh Korea Selatan dengan Amerika Serikat membuat negara tersebut mendaptkan ‘jaminan’ keamanan dari Amerika Serikat. Korea Selatan akan mendapatkan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung dari Amerika Serikat dan sekutunya. Pihak Korea Selatan merupakan pihak yang paling gencar melakukan upaya untuk reunifikasi. Pasca Perang Korea tahun 1953, Korea Selatan telah beberapa kali membuat kebijakan untuk unifikasi dua Korea. Setiap pemerintahan yang memimpin Korea Selatan selalu memiliki cara untuk menyatukan kembali Semenanjung Korea. Meskipun tidak selalu ditanggapi dengan baik oleh pihak Korea Utara, bahkan sering ditolak. Berbeda dengan Korea Utara yang memiliki satu prinsip dalam mengambil kebijakan reunifikasi, Korea Selatan akan mengambil kebijakan yang berbeda sesuai dengan pemimpin/ presiden yang menjabat di negara tersebut. Setiap pemerintahan yang baru biasanya akan mengambil kebijakan yang berbeda pula. Hal ini tercermin dari perbedaan prinsip mengenai kebijakan Korea Selatan untuk reunifikasi dengan Korea Utara akan berbeda pada setiap pemerintahan. Contohnya, pemerintahan Rhee Syngman mengambil prinsip yang keras dan antipati terhadap komunisme. Sedangkan Pemerintahan lainnya, seperti Pemerintahan Kim Dae Jung, lebih terkesan soft dan fleksible serta persuasif dalam mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan upaya reunifikasi dengan Korea Utara.2

Upaya untuk Reunifikasi, Sunshine Policy Reunifikasi Korea adalah usulan penyatuan kembali Korea Utara dan Korea Selatan dibawah suatu pemerintahan yang satu. Salah satu kebijakan Korea Selatan dalam upaya untuk reunifikasi adalah Sunshine Policy, yaitu kebijakan matahari terbit yang di cetuskan pada tahun 1998 oleh Presiden Kim Dae Jung, pemimpin Korea Selatan pada saat itu. Sunshine Policy atau Kebijakan Sinar Matahari merupakan bentuk analogi dari sinar matahari. Yang memiliki maksud seperti bila orang memakai pakaian tebal sebagai perlindungan dirinya terhadap hawa dingin terus menerus jika terkena sinar matahari, pada akhirnya orang yang berpakaian tebal ini akan melepaskan pakaian tebal mereka karena sinar matahari tersebut. Begitu pula jika ada orang yang merasakan lapar dan kedinginan, sinar matahari lama kelamaan akan memberi kehangatan dan rasa nyaman bagi orang

2

Yang Seung Yoon dan Mohtar Mas’oed, Politik Luar Negeri Korea Selatan, Penyesuaian Diri terhadap Masyarakat Internasional, Yogyakarta, UGM Press, 2004, hal 31 dan 41.

201


Politik dan Pemerintahan Korea

tersebut. Analogi inilah yang kemudian menjadi latar belakang penggunaan nama Sunshine Policy dalam kebijakan Kim Dae Jung tersebut. Kim Dae Jung menggunakan metode pendekatan yang lembut dan konsisten terhadap Pyongyang dengan secara aktif menawarkan berbagai bentuk pembicaraan dan kerjasama dengan Korea Selatan. Dan kebijakan ini mencapai puncak keberhasilannya ketika, Presiden Kim Dae Jung dan Presiden Kim Jong-Il dapat dipertemukan dalam pertemuan tingkat kepala negara yang pertama dalam sejarah hubungan Korea pada 15 Juni 2000. Dan dari pertemuan tersebut tercapai beberapa kesepakatan yang dituangkan dalam deklarasi bersama. Secara umum isi dari deklarasi tersebut merupakan penguatan komitmen terhadap kesepakatan untuk melakukan kerjasama antara kedua Korea, salah satunya adalah pembangunan kembali jalur rel kereta api yang mengubungkan dua wilayah. Proses menuju reunifikasi dimulai ketika pada saat itu, kedua negara setuju untuk mencapai reunifikasi yang damai di masa depan.3 Sunshine Policy kemudian diteruskan oleh Presiden Roh Moo Hyun yang resmi menjabat semenjak tahun 2003. Presiden Roh Moo Hyun lebih mengarahkan kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara melalui Peace and Prosperity Policy. Melalui kebijakan ini, reuni keluargakeluarga yang terpisah selama perang, membangun komplek industri di Gaeseong dan program pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan kedua negara dilanjutkan. Dan yang paling utama adalah menjaga perdamaian di Semenanjung Korea dan tetap melakukan penyatuan dengan cara damai. Walau demikan, Korea Utara tidak mau mendengar dan tidak menanggapi secara positif kebijakan dan permintaan Korea Selatan untuk melakukan penyatuan dengan damai, namun pihak Korea Selatan tidak henti-hentinya untuk mendekati Korea Utara dengan rasa perdamaian dan meyakinkan Korea Utara untuk reunifikasi tanpa menggunakan kekerasan dan kekuatan militer. Oleh karena itu, meski sering ‘diserang’ oleh Korea Utara, Korea Selatan tetap memberikan bantuan kepada saudara utara mereka tersebut. Atas nama persaudaraan dan rasa kemanusiaan, Korea Selatan berusaha menghindari menggunakan militer dalam upaya mereka untuk melakukan reunifikasi dengan pihak utara. Akan tetapi selalu terdapat rintangan dalam proses reunifikasi akibat perbedaan politik dan ekonomi yang besar antara Korea Utara dan Korea Selatan. Pihak Korea Selatan tidak pernah akan bosan mengupayakan rekonsiliasi, perdamaian, bahkan reunifikasi, betapapun sulitnya jalan yang harus ditempuh. Upaya perdamaian sudah sejak lama diupayakan Korea Selatan 3

Reunifikasi Korea,tersedia dalam www.wikipedia.com, diakses pada tanggal 29 November 2010.

202


Hambatan Sunshine Policy dalam Upaya Reunifikasi Korea

dan Korea Utara hampir selalu bersikap curiga merespon tindakan Korea Selatan ini. Upaya reunifikasi Korea Selatan lainnya adalah mempertemukan saudara dan keluarga yang terpisah akibat Perang Korea. Dan Bulan November 2010 memperlihatkan sikap Korea Utara yang semakin arogan dengan melakukan serangan terbuka terhadap Korea Selatan. Hal Ini seperti merusak upaya-upaya damai yang ada dalam Sunshine Policy.

Hambatan dalam Reunifikasi Kebijakan Sinar Matahari atau Sunshine Policy mulai menghadapi masa sulit secara internal dan eksternal setelah Korea Utara melakukan uji coba nuklir pada tahun 2006. Partai politik konservatif Korea Selatan menyerukan pemberhentian kebijakan tersebut. Masyarakat internasional juga berkehendak memberlakukan sanksi terhadap Utara melalui resolusi PBB. Jika sanksi ekonomi ini diberlakukan, maka Korea Utara akan kembali mengalami situasi sulit seperti yang terjadi pada pertengahan tahun 90an, yang menyebabkan banyak orang meninggal akibat kelaparan. Serangan Rudal Korea Utara ke Pulau Yeonpyeong pada 23 November 2010 semakin memperkuat kegagalan dari upaya dalam reunifikasi Sunshine Policy. Penulis mencoba melihat beberapa kemungkinan hambatan yang menyebabkan kegagalan dalam Sunshine Policy yang terlihat jelas dari serangan Korea Utara ke Yeonpyeong.

1.

Hambatan Internal

1.

1 Ideologi Ju Che di Korea Utara

Ju Che adalah ideologi resmi rejim Korea Utara. Juche adalah teori yang mengadilkan sistem penguasaan tunggal di bawah Kim Il sung hingga ‘Ju Che’ bisa dikatakan sebagai pemujaan personal untuk Kim Il-sung sebagai ideologi yang didukung oleh konstitusi. Istilah ‘Ju Che’ pertama kali diungkapkan secara resmi dalam pidato yang dilaksanakan oleh Kim dalam Sidang propaganda dan promosi partai buruh Korea pada 28 Desember 1955. Ideologi Ju Che itu dirancang untuk memblokir pengaruh negatif dari luar.4 Ju Che diperkenalkan sebagai suatu pedoman untuk arah proyek terkait ideologi. Kemudian konsep ideologi Ju Che berubah sesuai dengan perubahan keadaan. Ketika awal diperkenalkan, Ju Che sebagai filsafat berdasarkan prinsip bahwa manusia (rakyat umum) tersendiri adalah tuan (pelaku utama)

4

Ju Che,tersedia dalam KBS World Radio, http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/ nkorea_nuclear/general_04b.htm, diakses pada tanggal 29 November 2010.

203


Politik dan Pemerintahan Korea

dalam segala hal dalam sejarah, dan harus memutuskan segalanya atas kemampuan diri sendiri. Tetapi dalam proses selanjutnya, Ju Che semakin berkembang hingga prinsip ini juga diterapkan sebagai pedoman di bidang diplomatik Korea Utara Istilah ‘ideologi Ju Che’ yang berarti perwujudan kesatuan politik dan ideologi di masyarakat Korea Utara berdasarkan ideologi Ju Che yang juga mengajarkan rakyat Korea Utara untuk memuja secara besar-besaran terhadap pemimpin agung mereka, Kim Il Sung. Dalam sidang Partai Buruh Korea ke-5 tahun 1970, Ju Che diresmikan sebagai ideologi resmi partai di negara komunis. Kemudian konstitusi yang direvisi pada tahun 1982, Ju Che ditetapkan sebagai ideologi nasional resmi Korea Utara. Ju Che semakin dipandang sebagai ideologi yang semakin lama semakin memuja Pemimpin mereka, dimulai dari Kim Il Sung hingga anaknya, Kim Jong Il yang menjadi presiden Korea Utara menggantikan ayahnya. Korea Utara berharap dengan digunakannya ideologi Ju Che ini akan membantu mereka untuk menyebarkan paham komunis di Semenanjung Korea. Walau dengan kekerasan dan kekuatan militer, Korea Utara akan melakukan reunifikasi dengan prinsip Ju Che, yaitu Korea Utara akan melakukan reunifikasi dengan salah satu syaratnya, Korea Selatan harus menjadi negara komunis. Hal ini menjdi bertentangan dengan Korea Selatan yang menganut demokrasi. Bagi Korea Selatan, reunifikasi harus dilakukan dengan cara damai dan memegang nilai kemanusiaan. Provokasi-provokasi yang dilakukan Korea Utara terhadap Korea Selatan di respon dengan ‘damai’ oleh Korea Selatan. Korea Selatan masih berupaya untuk menyelesaikan konflik dengan tidak menggunakan kekuatan militer. Korea Selatan menyadari bahwa penggunaan kekuatan militer hanya akan menimbulkan kerugian dari kedua belah pihak Korea. Selama Korea Utara masih menganut prinsip Ju Che dalam kehidupan negara mereka, maka akan semakin kecil kemungkinan reunifikasi dengan menggunakan Sunshine Policy sukar akan terwujud. Serangan Korea Utara terhadap Yeonpyeong, Korea Selatan pada November 2010 adalah bentuk dari sikap Korea Utara yang keras. Apabila Korea Selatan membalas serangan ke utara, maka akan sia-sia upaya reunifikasi lewat Sunshine Policy. 1. 2 Nuklir Korea Utara Berkaitan dengan ideologi Ju Che yang mengharuskan Korea Utara untuk menjadi bangsa yang mandiri, termasuk membangun pertahanan yang mandiri, Korea Utara menjadi negara yang membangun persenjataan dan kekuatan militer secara terus-menerus. Bahkan Korea Utara lebih mementingkan membangun persenjataan modern daripada memperhatikan kebutuhan rakyat mereka. Berakhirnya Perang Dingin membuat Amerika Serikat menjadi negara besar dengan kekuatan demokrasi mereka. Merasa Uni Soviet, yang

204


Hambatan Sunshine Policy dalam Upaya Reunifikasi Korea

pada saat Perang Dingin merupakan lawan seimbang dari Amerika Serikat, telah bubar, Korea utara kemudian melihat Amerikan Serikat sebagai sebuah ‘ancaman’. Pada pertengahan tahun 90an, Korea mulai mencoba untuk membangun persenjataan nuklir. Alasan utama Korea Utara membangun dan mempertahankan nuklirnya yaitu untuk melindungi keamanan negaranya terutama dari Amerika Serikat yang dipandang sebagai ancaman, maka nuklir dapat dikatakan sebagai salah satu cara ‘berdiplomasi’ Korea Utara. Korea Utara yakin bahwa program nuklirnya adalah cara diplomasi yang efektif agar dapat melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat. Selain itu, nulkir juga digunakan sebagai suatu alat penjamin keamanan rezim Korea Utara. Program nuklir pada akhirnya menjadi sebuah alat tawar Korea Utara dalam posisinya di internasional dan regional Asia Timur pada khususnya. Dapat dikatakan bahwa tujuan Korea Utara memiliki nuklir adalah : • Menjaga keamanan rezim Korea Utara, karena pada umumnya Korea Utara menganggap Amerika Serikat sebagai ancaman utama. • Dengan kepemilikan senjata nuklir, membuat Korea Utara memiliki posisi unggul dalam negosiasi di dalam percaturan internasional, terutama dalam hubungannya dengan Amerika Serikat. • Memenuhi kebutuhan sumber daya negaranya, dengan adanya nuklir yang dimilikinya maka Korea Utara mendapatkan posisi tawar dan mendapatkan kebutuhan ekonomi dari negara lain, termasuk Korea Selatan. Nuklir juga digunakan sebagai ‘alat’ untuk mencabut sanksi-sanksi ekonomi yang pernah diberikan Korea Utara.5 Pengembangan senjata nuklir Korea Utara sudah pasti menjadi ancaman bagi Korea Selatan, negara yang berbatasan langsung dengan Korea Utara. Korea Selatan sudah beberapa kali meminta kepada Korea Utara untuk mengurangi, jika bisa menghentikan program nuklir mereka. Karena nuklir akan membahayakan seluruh Semenanjung Korea. Namun Korea Utara tetap tidak merespon tuntutan Korea Selatan. Bahkan beberapa tahun belakang, Korea Utara seperti sengaja ‘memamerkan’ kekuatan nuklir mereka. Penggunaan nuklir oleh Korea Utara sangat jelas bertentangan dengan upaya reunifikasi dalam Sunshine Policy. Dapat dikatakan, nuklir merupakan salah satu faktor utama yang menghambat perdamaian dua Korea.

5

Nuklir sebagai Alat Diplomasi (Diplomasi Koersif Korea Utara dalam Politik Internasional), tersedia dalam http://fisip.unand.ac.id/hi/blog/?p=260, di akses pada tanggal 20 Novemver 2010.

205


Politik dan Pemerintahan Korea

1.3 Kerjasama Pertahanan Korea Selatan dan Amerika Serikat Hubungan pertahanan antara Amerika Serikat dan Korea Selatan sudah terjalin sejak berakhirnya Perang Dunia II. Pada akhirnya, Korea Utara akan selalu menganggap Amerika Serikat adalah ancaman. Hubungan kedua Korea akan selalu memanas jika berkaitan dengan kedekatan Korea Selatan dengan Amerika Serikat. Keberadaan Amerika Serikat di Korea Selatan merupakan hal yang sangat tidak bisa di terima oleh Korea Utara. Oleh karena itu Sunshine Policy masih tidak berjalan sesuai dengan harapan Korea Selatan juga berkaitan dengan keberadaan pasukan Amerika Serikat yang berada di Korea Selatan. Hal ini terlihat pada sepanjang tahun 2010, ketika ada masanya Amerika Serikat dan Korea Selatan akan melakukan latihan militer bersama, maka pada saat yang bersamaan pula, Korea Utara akan ‘mencari perhatian’ dengan menunjukkan kekuatan militer mereka. Hal ini dapat dilihat pada saat serangan terhadap kapal militer Korea Selatan, Cheonan pada Maret 2010. Kecurigaan pelaku jatuh pada Korea Utara, meski hingga kini, Korea Utara tidak mengakui hal tersebut. Lalu pada 23 November 2010, Korea Utara menyerang pulau yang masuk dalam perairan kedaulatan Korea Selatan, Yeonpyeong, ttepat beberapa hari sebelum Amerika Serikat dan Korea Selatan melakukan latihan militer bersama. Internasional menuding Korea Utara melakukan provokasi, serangan awal kepada Korea Selatan. Namun Korea Utara menyatakan bahwa yang melakukan provokasi adalah Korea Selatan, yaitu dengan melakukan latihan militer bersama dengan Amerika Serikat disekitar wilayah perairan Korea Utara. Hal ini dianggap ancaman leh Korea Utara sehingga untuk merespon latihan bersama Amerika Serikat tersebut, Korea Utara kemudian menyerang Yeonpyeong. Dari pernyataan Korea Utara mengenai alasan penyerangan ke Yeonpyeong, dapat dilihat bahwa selama Korea Selatan menjalin hubungan pertahanan dengan Amerika Serikat, selama itu pula reunifikasi melalui jalan damai akan susah diwujudkan. Namun demikian, pada dasarnya, aliansi keamanan Amerika Serikat-Korea Selatan masih tetap dibutuhkan oleh kedua belah pihak dalam beberapa waktu ke depan. Untuk menciptakan stabilitas regional di kawasan Semenanjung Korea, Korea Selatan masih memerlukan ‘payung keamanan’ Amerika Serikat. Stabilitas keamanan regional tersebut diperlukan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi di Korea Selatan dan Asia Timur pada umumnya. Dengan melihat kepentingan Korea Selatan ini, akan sukar untuk memenuhi keinginan Korea Utara untuk ‘membersihkan’ Semenanjung Korea dari pasukan Amerika Serikat.

206


Hambatan Sunshine Policy dalam Upaya Reunifikasi Korea

1. 4 Regime Change dalam pemerintahan Korea Selatan Perubahan rezim dalam pemerintahan di Korea Selatan juga memberikan pengaruh terhadap berjalannya Sunshine Policy. Dilantiknya Lee Myung Bak secara resmi memperlihatkan pergantian pemerintahan di Korea Selatan dari golongan progresif ke golongan konservatif dan pragmatis. Perubahan ini kemudian membawa pengaruh pula dalam pelaksanaan kebijakan Perubahan rezim dalam pemerintahan di Korea Selatan juga memberikan pengaruh terhadap berjalannya Sunshine Policy. Sikap Korea Selatan kepada Korea Utara di bawah pimpinan Presiden Lee lebih ‘tegas’ dari pada pendahulunya, yaitu Presiden Kim dan Presiden Roh. Jika Presiden Kim dan Presiden Roh melakukan Korea Utara dengan lembut dan membujuk agar Korea Utara mau membuka diri mereka. Presiden Lee sepanjang tahun 2010 memperlihatkan sikap yang tegas dan ketat terhadap Korea Utara. Beberapa serangan Korea Utara yang terjadi sepanjang tahun 2010 di tanggapi dengan sikap yang keras pula oleh pemerintahan Presiden Lee. Hal ini semakin membuat upaya reunifikasi dengan cara damai yang tertuang dalam kebijakan Perubahan rezim dalam pemerintahan di Korea Selatan juga memberikan pengaruh terhadap berjalannya Sunshine Policy semakin sukar untuk terwujud. Dalam sunshine policy, Korea Selatan diharuskan untuk tetap berupaya bersikap lembut seperti sinar matahari untuk menyinari Korea Utara yang ‘dingin’. Meski kemudian tindakan lembut Korea Selatan ini tidak langsung ditanggapi dengan baik oleh Korea Utara, namun pada masa Presiden Kim dan Presideisn Roh, hubungan kedua negara dapat dikatakan dalam kondisi yang cukup baik walau masalah juga cukup sering terjadi diantara keduanya. Perubahan kepemimpinan Presiden Kim dan Roh yang progresif kepada Presiden Lee yang konservatif juga memberi pengaruh terhadap pelaksanaan dari Sunshine Policy. Perubahan rezim dalam pemerintahan di Korea Selatan dari progresif ke konservatif juga memberikan pengaruh terhadap berjalannya Sunshine Policy untuk menyatukan kedua Korea. Tindakan tegas Presiden Lee terhadap Korea Utara dengan mendukung embargo terhadap negara tersebut menjadi salah satu cerminan sikap Presiden Lee yang konservatif. Dengan sikap konservatif ini, semakin menjauhkan tujuan dari Sunshine Policy. Bagaimanapun, Sunshine Policy merupakan salah satu upaya terbaik Korea Selatan untuk menyatukan Korea, namun perubahan orang-orang dalam pemerintahan Korea Selatan juga akan merubah pandangan terhadap pelaksanaan dari Sunshine Policy. Sehingga, regime change yang terjadi di Korea Selatan dapat dikatan sebagai salah satu penghambat dari Sunshine Policy.

207


Politik dan Pemerintahan Korea

2.

Hambatan Eksternal

2.1 Pihak Amerika Serikat dan China dalam Hubungan antar Korea Bahwa keadaan di Semananjung Korea tidak akan terlepas dari dua kekuatan besar dunia, Amerika Serikat dan China. Kedua negara besar ini dapat dikatan sebagai ‘pendukung’ dari dua Korea. China yang mendukung Korea Utara dan Amerika Serikat yang menjadi kekuatan bagi Korea Selatan. Dunia internasional juga dapat melihat adanya persaingan antara Amerika Serikat dan China dalam beberapa hal, terlepas dari dukungan kedua negara terhadap dua Korea. Selama ini China akan selalu bersikap bungkam jika berbicara mengenai Korea Utara. Amerika Serikat dengan tegas menyatakan dukungannya terhadap Korea Selatan, terlebih jika itu berkaitan dengan hubungannya dengan Korea Utara. Sepanjang tahun 2010 dapat dilihat sikap China terhadap Korea Utara yang melakukan serangan-serangan terhadap Korea Selatan. China berkesan hanya diam dan hanya memberi peringatan kepada Korea Utara tanpa diiringi dengan tindakan yang berarti. Alasan penyerangan Korea Utara, yaitu karena Korea Selatan akan melakukan latihan militer bersama dengan Amerika Serikat. China juga pernah menyatakan kepada Korea Selatan dan Amerika Serikat, bahwa latihan militer yang dilakukan oleh kedua negara akan mendapat respon yang buruk dari Korea utara. Dapat dilihat bahwa baik China maupun Amerika Serikat memiliki peran yang cukup kuat untuk mempengaruhi pergerakan di Semenanjung Korea. Korea Selatan harus mengakui bahwa aliansi keamanannya dengan Amerika Serikat dapat mengganggu proses damai reunifikasi Korea yang sedang berlangsung karena Korea Utara akan selalu curiga dengan aliansi pertahanan tersebut. Pihak asing dalam hubungan kedua Korea akan menjadi penghambat model reunifikasi damai yang dicetuskan dalam Sunshine Policy. Apabila Korea Utara benar-benar akan menyerang Korea Selatan karena aliansi pertahanan negara tersebut dengan Amerika Serikat, hal yang pertama dapat dipastikan adalah Amerika Serikat akan membantu Korea Selatan. Dan China pasti tidak akan tinggal diam menghadapi konflik senjata di Semenanjung Korea. Karena itu, hal yang perlu dilakukan Amerika Serikat dan China adalah berusaha menangani krisis Korea yang terjadi saat untuk menciptakan stabilitas keamanan di Asia Timur, bukan memberi dukungan terjadinya perang terbuka lagi antara Korea Utara dan Korea Selatan.

Penutup Perang selalu menimbulkan penderitaan. Ini adalah hal yang pasti dan Semenanjung Korea mengalami penderitaan yang panjang akibat perang

208


Hambatan Sunshine Policy dalam Upaya Reunifikasi Korea

yang terjadi setengah abad yang lalu. Perang Korea berakhir dengan kesepakatan gencatan perang dan tidak adanya perjanjian damai. Yang ada hanyalah Korea pecah menjadi dua, Korea Utara dan Korea Selatan. Reunifikasi menjadi salah satu agenda utama dari kedua Korea sejak perang berakhir. Perbedaan Ideologi antara Korea Utara (komunis) dan Korea Selatan (demokrasi) membuat kebijakan reunifikasi yang diambil selalu berbenturan. Kemudian pada tahun 1998, Presiden Korea Selatan pada saat itu, Kim Dae Jung mengeluarkan kebijakan reunifikasi Korea Selatan kepada Korea Utara yang dikenal dengan Sunshine Policy. Kebijakan ini menunjukkan sikap yang sangat soft dan fliksible dari Korea Selatan kepada Korea Utara. Selama dari 1998-2008 Sunshine Policy gagal dan pemerintah Korea Selatan menyatakan tidak ada perubahan positif atas sikap Pyongyang meskipun diberikan bantuan besar-besaran dan dorongan selama satu dasawarsa. Berbagai faktor penghambat reunifikasi dalam Sunshine Policy ini untuk terwujud. Penulis menyimpulkan peghambat tersebut adalah faktor internal yang berasal dari dalam negeri Korea Utara dan Korea Selatan, yaitu antara lain adalah ideologi Ju Che yang dianut Korea Utara yang cenderung anarki, kepemilikan senjata nuklir Korea Utara dan Aliansi Pertahanan Korea Selatan dan Amerika Serikat yang selalu memicu tindak provokasi Korea Utara serta regime change yang terjadi di Korea Selatan yang memberi pengaruh terhadap sikap Korea Selatan kepada Korea Utara dalam pelaksanaan Sunshine Policy. Adapun Faktor eksternal adalah keterlibatan pihak asing seperti China dan Amerika Serikat dalam permasalahan di Semenanjung Korea. Bagaimanapun juga Kedua Korea sangat menginginkan perdamaian. Serangan Korea Utara terhadap Korea Selatan pada akhir November 2010 telah membuka kembali kemungkinan peperangan antara kedua Korea. Namun Korea Selatan tampaknya masih berharap dan berupaya untuk menghindari perang dengan pihak utara. Reunifikasi akan terus diupayakan, Sunshine Policy masih akan terus menjadi jalan reunifikasi. Karena Korea adalah satu rumpun, satu bangsa dan sudah seharusnya menjadi satu Korea yang berkehidupan damai. Penulis : Sari Mulyani Mahasiswa Pasca Sarjana, Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Telah mengambil kuliah “Politik Luar Negeri Korea Selatan� pada semester ganjil tahun kuliah 2010-2011. Paper ini dipilih sebagai salah sebuah paper yang diberi nilai A. E-mail : sari_bluzz@yahoo.com

209


Politik dan Pemerintahan Korea

DAFTAR PUSTAKA Danandjaja, James. 1997, Foklor Jepang Dilihat Dari Kacamata Indonesia, Jakarta : PT. Pustaka, Utama Grafiti. Yang Seung Yoon dan Mohtar Mas’oed. 2004, Politik Luar Negeri Korea Selatan, Penyesuaian Diri terhadap Masyarakat Internasional, Yogyakarta, UGM Press. ____2009. Kebudayaan Korea, Tanah dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: UGM Press. ____2003. Politik Ekonomi Masyarakat Korea, Pokok-pokok Kepentingan dan Permasalahan. Yogyakarta: UGM Press. Ju Che,tersedia dalam KBS World Radio, http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/nkorea_nuclear/general_04b.htm, diakses pada tanggal 29 November 2010. Nuklir sebagai Alat Diplomasi (Diplomasi Koersif Korea Utara dalam Politik Internasional), tersedia dalam http://fisip.unand.ac.id/hi/blog/?p=260, di akses pada tanggal 20 Novemver 2010. Sejarah Korea, tersedia dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Korea, diakses pada tanggal 20 November 2010. “AS, China dan Konflik Korea”, Kompas 27 November 2010. “Dua Korea di Ambang Perang”, Kompas 26 November 2010. “Dunia Mengecam Korut”, Kompas 24 November 2010. “Konflik Semenanjung Korea, Di bawah ancaman Taepodong”, Kompas 26 November 2010. “Militer KorSel Siaga Penuh”, Kompas 25 November 2010. “Tentara Korut Tewaskan Dua Marinir Korsel”, Kompas 24 November 2010.

210


Hambatan Sunshine Policy dalam Upaya Reunifikasi Korea

211


Politik dan Pemerintahan Korea

212


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.