Jurnal inakos vol 2 no 2 april 2015

Page 1

Korean Studies in Indonesia

ISSN 2085-9538

KOREAN STUDIES IN INDONESIA adalah jurnal ilmiah berkala yang diterbitkan oleh INAKOS (International Association of Korean Studies in Indonesia). Jurnal ini diterbitkan pertama kali pada bulan September 2009 yang pada intinya memuat hasil penelitian berbagai bidang tentang Korea yang dilakukan oleh para pemerhati Korea di Indonesia maupun di luar negeri. Jurnal INAKOS terbit dua kali setahun pada bulan April dan September. Jurnal berisi tulisan yang diambil dari paper yang dipresentasikan dalam INAKOS Forum serta hasil-hasil penelitian, kajian, ulasan buku serta esai mengenai berbagai bidang yang berkaitan dengan Korea. Jurnal ini mengundang para pakar dan sivitas akademika perguruan tinggi untuk menulis artikel ilmiah yang berkaitan dengan Korea. Naskah yang masuk disunting oleh penyunting jurnal. Penyunting berhak melakukan perubahan/penyuntingan tanpa mengubah isinya. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------Komite Penasehat: H.E. Mr. Cho Taiyoung (Duta Besar Republik Korea untuk Indonesia) H.E. Mr. John A. Prasetia (Duta Besar Republik Indonesia untuk Korea) Prof. Dr. Yang Seung-Yoon (Profesor, Hankuk University of Foreign Studies)

Penanggung Jawab: Mukhtasar Syamsuddin Mohtar Mas’oed Dewan Redaksi: Anton Minardi Grace Lestariana Min Seon-hee Nur Aini Setiawati Ratih Pratiwi Anwar Tulus Warsito Yuliawati Dwi Widyaningrum

Penyunting: Novi Siti Kussuji Indrastuti Suray Agung Nugroho Tri Mastoyo

Sekretariat dan Distribusi: Eka Susanti

Alamat Sekretariat: INAKOS (International Association of Korean Studies in Indonesia) Pusat Pengkajian Korea UGM Telepon +62-8122696995 +82-1077685735 Email: admin@inakos.org

1


Daftar Isi Kata Sambutan * Secuil Kajian Bahasa, Sastra, & Budaya Korea * Penggunaan Computer Assisted Language Learning Application Berbasis Kearifan Lokal Korea untuk Pembelajar Tingkat Awal Bahasa Korea Prihantoro (Universitas Diponegoro) Mengenal Budaya Korea Melalui Sapaan Hwang Who Young (Ehwa Womans University, Korea & Universitas Gadjah Mada, Indonesia) Arah Kajian Kesusastraan Korea di Indonesia: Sebuah Tinjauan Awal Eva Latifah (Universitas Indonesia) Pengajaran Bahasa Korea di Indonesia: Peluang dan Tantangan Rurani Adinda (Universitas Indonesia) * Esai tentang Korea & Indonesia dalam Pembangunan Bangsanya * Mengembalikan Kejayaan Bangsa Indonesia: Sebuah Upaya untuk Membangkitkan Rasa Nasionalisme Bangsa Annisa Budiutami Soeraadiwidjaja (Park Chung Hee School of Policy and Saemaul Undong - Yeungnam University) Kembali Menjadi Indonesia Adie Dwiyanto Nurlukman (Universitas Padjajaran & Park Chung Hee School of Policy and Saemaul Undong Yeungnam University) Mentalitas Rakyat dan Peran Pemerintah dalam Pengembangan SDM Andy Tirta (Yeungnam University) Roles of Gender in the Making of Modern Korean Society: Feminist Scholarship Perspective Suray Agung Nugroho (Universitas Gadjah Mada) Sekilas mengenai INAKOS AD & ART INAKOS Daftar judul paper dalam Jurnal INAKOS (Vol. I, No. 1) September 2009 Daftar judul paper dalam Jurnal INAKOS (Vol. I, No. 2) April 2010 Daftar judul paper dalam Jurnal INAKOS (Vol. II, No.1) April 2011 2


Kata Sambutan

Annyonghasimnika dan Salam Sejahtera! Tidak terasa telah hampir 4 tahun sejak kami terakhir kali menerbitkan jurnal INAKOS pada pertengahan tahun 2011 lalu. Bersamaan dengan puncak musim semi pada bulan April di Korea serta seiring dengan mekarnya berbagai bunga dan menggeliatnya tetumbuhan, kami INAKOS melahirkan lagi jurnalnya yang ke-4. Sudah selayaknya kami mohon maaf kepada khalayak umum, terutama para pemerhati bidang ke-Korea-an di Indonesia maupun di mana saja atas ketidakhadiran jurnal kami selama beberapa waktu. Namun, itu tidak berarti bahwa kami sama sekali tidak memiliki aktivitas yang patut kami banggakan. Justru, sebaliknya kami tetap giat menjadi wadah dan jembatan dalam hal kajian tentang Korea serta hubungan kedua negara selama ini. Berbagai seminar dan penerbitan buku tentang Korea terus berlangsung selama ini. Mengenai jurnal ke-4 ini, kami telah merangkum beberapa isu yang diangkat oleh berbagai peneliti baik yang berada di Indonesia maupun Korea, terutama tulisan-tulisan yang telah dipresentasikan pada seminar kerjasama Indonesia dan Korea di UGM bulan November 2014. Selain itu, jurnal ini juga memuat esaiesai tentang Korea dan Indonesia dilihat dari pembangunannya melalui semangat Saemaul Undong dan Tri Sakti yang digaungkan oleh kedua negara. Diharapkan tulisan-tulisan ini bisa menjadi acuan untuk bahan pembelajaran di kedua negara. Akhir kata, kami ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Mr. Kim Sang-kuk dari Vitamin House, Inc. Korea yang tiada henti mendukung secara moril dan finansial demi lahirnya jurnal ini. Semoga jurnal ke-4 ini menjadi pendorong dan titik awal lagi bagi terbitnya jurnal-jurnal selanjutnya, yang kami proyeksikan sebuah jurnal bisa diterbitkan setiap tahunnya. Selamat membaca dan kamsahamnida. Yang Seung-Yoon Penasehat INAKOS 3


Secuil Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Korea

4


Penggunaan Computer Assisted Language Learning Application Berbasis Kearifan Lokal Korea untuk Pembelajar Tingkat Awal Bahasa Korea Prihantoro (Dosen, Jurusan Sastra Inggris - Universitas Diponegoro)

Abstrak Dalam perkembangan pembelajaran bahasa, khususnya di era digital saat ini, komputer menjadi sebuah media pembelajaran yang semakin sering digunakan. Hal ini terbukti dengan banyaknya digitalisasi buku-buku bahasa ataupun kamus elektronik. Paper ini menyodorkan sebuah aplikasi pembelajaran bahasa Korea untuk pembelajar tingkat awal. Dalam pembelajaran, khususnya untuk pembelajar tingkat awal, tingkat dependensi pembelajar terhadap pengajar masih sangat tinggi. Namun tingkat ketergantungan ini bisa dikurangi dengan aplikasi pembelajaran bahasa Korea yang baik. Aplikasi ini memuat soal latihan bahasa Korea tingkat awal dengan berbagai kompetensi kebahasaan: listening, reading, vocabulary, writing dan grammar. Materi aplikasi ini diambil dari dongeng anak-anak Korea dengan beberapa pertimbangan 1) tingkat kemudahan, 2) pengenalan dongeng korea, 3) kearifan lokal. Setelah menggunakan aplikasi ini, sangat disarankan untuk berdiskusi dengan pengajar mengenai nilai-nilai positif yang bisa diambil dari cerita-cerita tersebut, sehingga pembelajaran bahasa dan budaya bisa terjadi secara sekaligus. Abstract The Use of Local Wisdom Based Computer Assisted Language Learning Application For Beginners to Learn Korean Language learning in this digital era makes use of computer as one of the learning tools. The use of electronic dictionary and digital book are some of the instances of the crucial importance of computer. This paper proposes an application for Korean language learners (beginners). The learning of Koran especially for beginners is reflected by the higher degree of dependency to teachers/instructor. However, the degree of dependency may be reduced by a proper self-learning tool. This application covers exercise items from diverse range of skills: listening, reading, vocabulary, writing dan grammar. The content is obtained from a Korean folktale. The preference the folktale is under the following considerations: 1) the simplicity of the language, 2) the introduction of Korean folktale to students, 3) the introduction of Korean local wisdom. It is highly recommended that students discuss the result with their teachers about the positive values obtained from the tale, to integrate language and culture learning.

5


1. BAHASA KOREA SEBAGAI BAHASA ASING Seseorang dapat memperoleh status bilingual ketika ia menguasai lebih dari satu bahasa. Namun, apakah batasan penguasaan tersebut? Tingkat awal, menengah, mahir? Banyak ahli sosiolinguistik yang berpendapat seseorang baru bisa dikatakan bilingual ketika ia mampu menggunakan bahasa lain, selain bahasa pertama (atau bahasa ibu)nya dengan mahir. Ada dua istilah untuk bahasa yang dikuasai (selain bahasa ibu), yaitu bahasa ke dua atau bahasa asing (Felder & Henriques, 1995). Perbedaan istilah ini sebenarnya mengacu pada status kebahasaan tersebut yang merupakan refleksi penggunaannya di lingkup sosial kemasyarakatan. Yang satu (bahasa asing) diajarkan secara sistematis dan berjenjang, sedangkan yang satu lagi (bahasa ke dua), diperoleh secara natural. Bahasa Inggris, misalnya, merupakan bahasa asing di Indonesia. Namun di Malaysia, India atau Singapura, bahasa Inggris merupakan bahasa ke dua. Ini karena di negara-negara tersebut, bahasa Inggris adalah salah satu official language. Selain lingkup sosial kemasyarakatan, status bahasa ke dua juga bisa diperoleh dari lingkup yang lebih sederhana. Misalnya saja, bagi anak-anak ekspatriat di Indonesia yang bisa berbahasa Indonesia, status bahasa Indonesia adalah bahasa ke dua. Bagaimana dengan Bahasa Korea? Status bahasa Korea bisa dilihat dari beberapa sudut pandang. Pertama tentu saja adalah bahasa pertama atau bahasa ibu. Mereka yang bahasa pertamanya adalah bahasa Korea mendapatkan status penutur jati (Native Speaker). Yang ke dua, adalah sebagai bahasa ke dua. Hal ini bisa terjadi pada anak-anak Korea yang hidup di luar negri, di mana mereka lebih fasih berbicara dalam bahasa Inggris, namun masih menggunakan bahasa Korea. Jika kita menghubungkan dengan konteks Indonesia, maka status bahasa Korea pada umumnya adalah bahasa (yang cukup) asing. Paling tidak lebih asing daripada bahasa Inggris, Arab atau Perancis. Bahasa asing dipelajari secara sistematis dan berjenjang baik melalui kursus atau pendidikan tinggi. Ketika ia diajarkan secara sistematis dan berjenjang, pendekatannya tentu saja berbeda dengan bahasa ke dua yang lebih natural (Rivers, 1981). Bisa dihitung berapa banyak peserta kursus atau mahasiswa jurusan bahasa Korea yang menggunakan bahasa Korea di konteks luar kelas. Untuk membantu meningkatkan penguasaan bahasa Korea, maka dibutuhkanlah media yang tetap bisa membuat mereka berinteraksi dengan bahasa Korea, walaupun berada di luar kelas/perkuliahan.

6


2. KOMPUTER SEBAGAI ALAT BANTU PENGAJARAN (TEACHING AIDS) Di bidang linguistik terapan dan pendidikan bahasa, istilah alat bantu pengajaran bukanlah sesuatu yang jarang kita dengar. Pada dasarnya, segala media yang membantu kita untuk memperlancar proses belajar-mengajar bisa disebut alat bantu pengajaran (Smith, 1997). Alat bantu ini bisa bervariasi, dari yang sederhana seperti papan tulis, poster, atau, alat peraga sampai yang kompleks seperti sistem elearning. Yang biasa digunakan pada pembelajaran bahasa, termasuk bahasa Korea adalah penggunaan flash card, yang biasa diajarkan pada kelas awal membaca aksara Korea (Nam, 2013). Bahasa Korea adalah salah satu bahasa yang memiliki Aksara tersendiri, yang disebut Hangul. Aksara ini kadang dianggap sulit bagi mereka yang baru pertama kali atau belum pernah mempelajari bahasa Korea, namun sebenarnya aksara ini bisa lebih sistematis daripada aksara romanisasi (Chang, 1982) yang kita gunakan dalam bahasa Indonesia. Sistem romanisasi sebetulnya lebih rumit karena harus menyesuaikan dengan romanisasi yang digunakan pada bahasa si penutur. Di era teknologi komunikasi seperti sekarang ini, orang-orang banyak menggunakan teknologi untuk berbagai hal, termasuk juga untuk pembelajaran bahasa (Warschauer & Healey, 1998). Untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman, alat bantu pengajaranpun berevolusi. Di Internet bisa kita lihat banyak sekali situs-situs yang bisa membantu kita mempelajari bahasa Korea. Namun yang perlu diperhatikan adalah konten yang sesuai dengan kebutuhan kita. Terkadang kita berselancar di dunia maya cukup lama, namun bahan yang kita temukan terlalu sulit, atau terlalu mudah atau tidak sesuai dengan kebutuhan kita. Jadi ada kalanya, sebelum menemukan bahan yang tepat kita harus berselancar cukup lama. Di sinilah peran bahasa Korea sebagai bahasa asing diuji. Para pengajar harus meramu bahan-bahan pengajaran, kadang termasuk dari internet juga, supaya bisa disesuaikan dengan level kompetensi pembelajar. Masalah lain adalah, meskipun berada di era internet, tapi tidak semua orang memiliki akses terhadap internet itu sendiri. Kita tahu bahwa di tempat-tempat umum seperti kampus, mall atau di cafe-cafĂŠ sudah tersedia internet secara wireless. Untuk tempat-tempat yang tidak menyediakan wireless, orang tetap bisa mengakses internet menggunakan telepon genggam atau modem. Namun yang perlu diingat, tidak semua sambungan wireless bisa diakses dengan cuma-cuma. Kadang kita harus membeli satu produk tertentu baru bisa menggunakan sambungan tersebut. Apabila menggunakan telepon, bisa dipastikan kita harus membeli paket data atau menggunakan pulsa yang ada. Hal ini setali tiga uang dengan modem. Hal yang paling mendasar adalah alat untuk mengakses internet adalah perangkat kerasnya. Meski tidak memiliki telepon yang mampu mengakses internet, kebanyakan mahasiswa memiliki PC atau laptop karena itu sangat krusial untuk membuat tugas 7


kuliah. Oleh karena itu, aplikasi yang saya desain di sini kompatibel dengan PC atau laptop yang didukung Windows Operating System dan Flash Player (biasanya sudah otomatis terinstal bersama windows 7 ke atas). Bagi yang OSnya belum didukung Flash Player bisa mendownload, salah satunya di laman ini http://get.adobe.com/flashplayer/.

3. KEARIFAN LOKAL DAN APLIKASI PEMBELAJARAN Konten Ada beberapa metode pengajaran bahasa asing (Brown, 1994) mulai dari metode yang paling dasar seperti grammar-translation method, audiolingual, suggestopedia sampai ke yang paling banyak diadopsi, yaitu communicative language teaching (CLT). Dalam CLT pengajaran dibuat sekontekstual mungkin mirip dengan situasi aslinya; salah satunya adalah dari materi atau konten itu sendiri. Dalam CLT, materi pengajaran hendaklah bersifat otentik meskipun untuk pembelajar awal, pasti ada beberapa penyesuaian. Konten dalam aplikasi yang saya buat ini saya ambil dari sebuah dongeng asli Korea yang berjudul Horangi wa kotkam (재욱김, 2010) atau Harimau dan Buah Kesemek Kering. Dongeng ini disampaikan dari mulut ke mulut dan sudah ditulis ulang beberapa kali. Jika Anda memiliki kesempatan mem-browsing internet, maka Anda akan menemukan beberapa versi, namun secara garis besar kurang lebih sama. Dongeng ini berkisah tentang seekor harimau yang turun gunung, dan ketika ia hendak memakan sapi yang ada dalam kandang di samping rumah, ia mendengar seorang ibu yang sedang berusaha menenangkan anaknya yang menangis. ―Jangan menangis, nanti harimau datang!‖ begitu kata si ibu. Harimau yang mendengar hal itu terkejut, bagaimana sang ibu tahu bahwa ia datang. Karena sang anak tak kunjung diam, ibu menawarkan sesuatu ―Ayo berhenti menangis, nanti ibu beri kesemek kering‖. Sang anak berhenti menangis seketika. Harimau itu terkejut. Ia tidak tahu apa itu kesemek kering yang bisa membuat si anak berhenti menangis. ― Apa itu kesemek kering? Apakah lebih menakutkan dariku?‖. Di saat yang sama, seorang pencuri masuk ke kandang sapi. Karena gelap, alih-alih sapi, ia naik ke punggung harimau. Harimau berlari ketakutan, karena menyangka di punggungnya ada kesemek kering yang sebetulnya ia tidak tahu seperti apa bentuknya. Sang harimau lalu berlari ketakutan. Lama kelamaan si pencuri heran, kenapa sapi bisa lari secepat ini. Saat ia sadar ia menaiki harimau, ia langsung lompat memanjat pohon. Harimau terus berlari ke puncak gunung. Hingga akhir cerita, ia tidak menyadari bahwa yang ada di punggungnya tadi adalah manusia, bukan kesemek kering. 8


Bahasa merupakan sarana yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai kearifan moral (Harman, 1999). Ada beberapa nilai kearifan lokal yang bisa diambil dari cerita ini. Pertama adalah seperti si harimau, jangan takut kepada sesuatu yang belum kita ketahui jelas. Ke dua adalah seperti yang terjadi kepada si pencuri, kita haruslah cermat menggunakan indera yang lain ketika indera yang biasa kita gunakan terhalang. Dan yang ke tiga, kita melihat ada kesamaan sifat antara orang tua Indonesia dan Korea zaman dahulu, yaitu menggunakan binatang sebagai obyek nasihat berupa konsekuensi atas apa yang kita lakukan. Pada cerita ini, harimau akan datang kalau si anak tidak berhenti menangis. Tapi di Indonesia, mungkin kita pernah mendengar kakek nenek kita, ketika kita jatuh, berkata ‗Wah, kodoknya nakal!‘, dalam hal ini obyeknya adalah kodok. Inilah beberapa nilai kearifan lokal yang bisa kita ambil dari cerita tadi. Yang saya lakukan adalah bagaimana nilai kearifan lokal ini diperoleh bersamaan dengan bahasa Korea. Aplikasi Pembelajaran Aplikasi pembelajaran yang saya buat ini ditujukan untuk pembelajar bahasa Korea tingkat awal, di mana penguasaan bahasa Korea belumlah begitu baik. Ini juga merupakan alasan mengapa dongeng Korea tersebut saya pilih. Secara pilihan kata dan stilistika kalimat, dongeng Harimau dan Kesemek kering ini sangat sederhana. Buku ini memang ditujukan untuk pembelajar bahasa Korea tingkat dasar. Gambar 1. Cover Buku

Dalam cover buku tersebut disebutkan, 짧고 간결한 문장을 반복해서 읽다보면 자연스럽게 실력이 항상됩니다, yang maknanya adalah sebagai berikut ‗dengan 9


mempelajari kalimat yang sederhana dan berulang, maka kemampuan berbahasa Korea akan meningkat. Memahami teks secara keseluruhan juga tidak terlalu sulit. Buku dongeng ini terdiri dari 20 halaman dengan panjang teks per halaman kurang lebih 20 kata. Jika ditotal, jumlah kata tidak lebih dari 400 kata. Pilihan kata pun sangat sederhana, sehingga penumpukan detil pada satu gagasan pokok yang biasanya mempersulit pemahaman pembaca bisa dihindari. Berikut salah satu contoh teks pada salah satu halaman. Gambar 2. Contoh Teks pada Salah Satu Halaman 그때 엄마가 아이에게 말했습니다. "자, 여기 곳감이 있다. 이제 그만 울어" 그러자, 아이가 울음을 그쳤습니다. Bisa kita lihat stilistika yang sangat sederhana pada teks di atas, bahkan tidak ada kalimat di atas yang merupakan kalimat majemuk. Ketimbang menggunakan reported speech, misalnya, penulis menggunakan bentuk kutipan langsung. Lalu setiap kalimat tunggal memuat diksi yang sangat sederhana. Selain itu, dukungan grafis juga memegang peranan yang sangat penting. Setiap teks pada setiap halaman didukung dengan gambar, bahkan ada yang hanya dengan melihat gambarnya saja sudah mampu menebak apa yang sedang terjadi tanpa membaca teksnya. Gambar 3. Contoh Dukungan Grafis

10


Sebagai prototip, aplikasi yang saya buat ini memberikan 20 soal pertanyaan terbuka dan tertutup yang melatih berbagai kompetensi kebahasaan. Untuk 20 soal ini, waktu yang dialokasikan adalah 20 menit. Perhatikan introductory page pada gambar 4: Gambar 4. Timer

Ada total 20 pertanyaan dan setiap pertanyaan bernilai 10. Passing rate adalah 80 persen, di mana user harus menjawab benar 16 soal. Waktu total 20 menit. User dari aplikasi ini bebas menggunakan 20 menit tersebut untuk menjawab 20 soal. Tidak ada batasan waktu untuk satu soal tertentu. Untuk soal berbentuk listening misalnya, mereka bisa mengulang-ulang sebanyak-banyaknya. Namun, mereka 11


harus sadar bahwa waktu terus berjalan dan menghabiskan banyak waktu untuk satu soal berarti mengurangi waktu untuk soal yang lain. Gambar 5. Soal Listening

Untuk soal seperti ini, jawaban harus diketik. Maka dari itu, hematnya sebelum memulai, instal dulu font Hangeul, karena jawaban tidak akan diterima apabila menggunakan alfabet romanisasi1. Soal listening di atas bisa diulang-ulang dengan menekan tombol yang sudah disediakan. Untuk soal ini, jenisnya adalah mengisi bagian yang kosong. Bagian tersebut diisi pada kotak yang sudah disediakan. Setelah mengisi, klik tombol ‗submit‘ yang ada pada bagian kanan bawah. Hal ini berlaku pada semua soal. Tombol ‗submit‘ harus diklik sebagai tanda menyetujui perintah untuk mengirim jawaban. Setelah jawaban terkirim, Anda bisa melangkah ke soal selanjutnya. Soal di atas adalah salah satu contoh pertanyaan yang jenisnya terbuka. Beberapa pertanyaan berjenis tertutup (jawaban sudah disediakan). Untuk gambar 5, yang dilatih adalah kosakata dengan metode listening. Perhatikan gambar 6 yaitu soal lain yang melatih kosakata. Gambar 6. Soal Pilihan Ganda

1

Romanisasi berusaha memberikan akses bagi orang yang tidak bisa membaca bahasa Korea dengan menuliskan aksara korea dengan huruf romawi (seperti bahasa Indonesia). Namun ada beberapa tantangan menggunakan huruf romawi ini, selain untuk kepentingan penulisan akademis, yaitu tidak sama antara pengucapan dan tulisannya.

12


Soal pada gambar 6 memfokuskan pada verba dengan bentuk dasar. Soal di atas berjenis pilihan ganda, yang cukup sering ditemui dalam berbagai jenis soal. Pada soal ini, user diminat menebak di dalam apa si sapi berada (tentu saja kandang) dalam bahasa Korea. Dalam soal ini, user cukup mengeklik pilihan yang mereka anggap benar. Selain pilihan ganda, jenis soal tertutup lain yang ada dalam aplikasi ini adalah menjodohkan, atau memasangkan. Perhatikan gambar 7. Gambar 7. Soal Menjodohkan

Tidak seperti soal no 6, pada soal no 7 user harus melakukan drag and drop dengan cara klik kiri, tahan dan geser ke bagian yang dianggap benar. Ada juga tipe soal yang melatih cara berpikir logis, yaitu dengan menyusun kalimat secara naratif (tidak dapat dibolak-balik). Soal seperti ini juga menggunakan metode drag and drop dalam pemilihan jawaban. Perhatikan gambar 7. Gambar 7. Soal Berpikir Logis 13


Pada gambar 7, terdapat paragraf yang sebenarnya sudah tersusun dengan logis. Paragraf ini tersusun dari beberapa kalimat. Untuk soal ini dipilih yang 4 kalimat. Kalimat ini kemudian dipotong-potong, dan fragmen potongannya (yang ada di sebelah kanan) diacak. Tugas user adalah menyusun kembali kalimat ini menjadi kalimat yang logis. Soal jenis lain melatih kemampuan mengubah bentuk dasar. Dalam bahasa Korea, bentuk dasar bisa berubah menjadi beberapa bentuk. Misalkan saja contoh berikut: 있다>>있어>>있어요>>있습니다 . Penggunaan bentuk dasar dan bentuk lainnya

terkait

dengan

ranah

dan

mitra

tutur.

Misalnya,

bentuk

dasar 있다 digunakan pada teks berjenis berita atau teks yang sifatnya kaku. Sedangkan bentuk 있어 digunakan pada ragam percakapan non formal dengan mitra tutur yang jarak sosialnya tidak jauh seperti teman atau sahabat. Sedangkan bentuk 있어요 digunakan pada situasi non formal namun tetap mempertahankan kesantunan. Bentuk 있습니다 digunakan pada situasi sangat formal dan sangat sopan. Oleh karena itu, sangat penting bagi pembelajar bahasa Korea untuk menguasai perubahan bentuk ini. Ada beberapa soal yang digunakan untuk menguji kemampuan mengubah bentuk dasar. Perhatikan gambar 8. Gambar 8. Perubahan Bentuk Verba.

14


Secara morfosintaksis, bahasa Korea memiliki penanda nomina baik itu penanda subyek, obyek, pos-posisi dll. Dalam istilah linguistik, penanda ini disebut case. Menariknya beberapa case dalam bahasa Korea juga sensitif terhadap fitur morfologis nomina. Misalnya untuk penanda nomina topik 2 yang berakhiran dengan konsonan harus mengambil penanda 은 dan 는 jika vokal. Perhatikan juga pos3 posisi penanda tempat. Perhatikan gambar 9. Gambar 9. Merangkai Kata menjadi Kalimat

Soal lain melatih word relation, yaitu hubungan satu kata dengan kata lainnya. Pada soal di gambar 10, yang dilatih adalah pengetahuan mengenai kategorisasi: kata umum dan kata khusus.

Gambar 10. Kategorisasi (Umum–Khusus)

2

Penutur asli bahasa Korea dapat dengan mudah membedakan topik dan subyek. Tapi bagi penutur bahasa Indonesia, hal ini tidak mudah. Salah satu cara membedakannya adalah dengan sistem fokus. Nomina dengan penanda topik memfokuskan pada verba, sedang penanda subyek memfokuskan pada subyeknya itu sendiri. Sehingga kalau ditanya ‘apa yang kamu lakukan kemarin?’ maka gunakan penanda topik 는 pada 저는 채을 샀다. Sedangkan jika pertanyaanya, ‘siapa yang membelik buku ini?’ maka gunakan penanda subyek 가 pada 제가 책일 샀다. Perhatikan juga perubahan 저 menjadi 제, namun tidak terjadi pada semua nomina. Lawan dari preposisi, karena letaknya ada di belakang. Misalnya penanda tempat 에 yang ekivalen dengan di. Dalam bahasa Indonesia preposisi digunakan sebelum nomina, misalnya di rumah. Namun dalam bahasa Korea 3

digunakan setelah nomina 집에.

15


Pada gambar 10, satu kata umum memiliki beberapa contoh kata khusus. Yang harus dilakukan user adalah mencocokkan kata umum dan kata khususnya. Misalnya harimau, kelinci dan sapi pasti masuk ke kategori hewan dan bukan kesehatan. Untuk soal no 11, yang dilatih adalah pemahaman kalimat. User harus memahami kalimat tersebut sebelum menentukan apakah kesimpulan yang diambil betul atau salah. Konteks paragraf dihadirkan untuk membantu user menjawab pertanyaan tersebut. Gambar 11. Soal True-False

Pada gambar no 12, yang dilatih adalah pemahaman word relation. User harus mendengarkan narasi untuk mengidentifikasi kata yang hilang dari teks tersebut. Setelah mengidentifikasi kata tersebut, user harus mencari antonim/ lawan kata dari bagian yang hilam. Soal seperti ini memiliki tingkat kompleksitas yang cukup tinggi dan memerlukan konsentrasi dari user, karena terkadang user tidak berkonsentrasi pada instruksi dan memilih jawaban yang melengkapi bagian yang hilang, padahal yang diminta adalah lawan katanya. Konteks sengaja disediakan lengkap untuk membantu user.

16


Gambar 12. Mendengar dan Mencari Lawan Kata

4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dari pemaparan paper ini bisa disimpulkan bahwa aplikasi yang saya buat memiliki varian pertanyaan yang cukup banyak dan juga melatih beragam kompetensi berbahasa Korea, mulai dari vocabulary, listening, grammar sampai writing. Aplikasi seperti ini hendaknya diperbanyak, bukan hanya untuk level pembelajar pemula, tapi juga sampai level lanjut. Setiap buku bahasa Korea hendaknya memiliki suplemen aplikasi pembelajaran seperti ini sehingga kendala dimensi dan berat buku bisa diatasi. User dapat memiliki aplikasi ini hanya dengan bermodal flash disk dan dapat dibawa ke mana-mana. Aplikasi ini bisa digunakan meski tanpa internet. Di masa mendatang, hendaklah aplikasi ini juga tersedia untuk versi telpon genggam, karena banyak user yang sudah menggunakan smartphone.

17


Referensi Brown, H.-D. (1994). Teaching by principles: An interactive approach to language pedagogy . New Jersey: Prentice Hall Regents. Chang, S.-J. (1982). English and Korean. Annual review of applied linguistics, 3 , 85-98. Felder, R.-M., & Henriques, E.-R. (1995). Learning and teaching styles in foreign and second language education. Foreign Language Annals, 28(1) , 21-31. Harman, G. (1999). Moral philosophy and linguistics. The Proceedings of the Twentieth World Congress of Philosophy (Vol. 1), (pp. 107-115). Nam, K.-M. (2013). Children‘s understandings of different writing systems and scripts: Korean written in the Hangul alphabet, and English written in the Roman alphabet. Opening New Lines of Communication in Applied Linguistics , 3437. Rivers, W.-M. (1981). Teaching foreign-language skills. Chicago : University of Chicago Press. Smith, B. (1997). Virtual realia. The Internet TESL Journal, 3(7) , 1-5. Warschauer, M., & Healey, D. (1998). Computers and language learning: An overview. . Language teaching, 31(02) , 57-71. 재욱김. (2010). ―외국인을 위한 한국전래동화 다독 라이브러리.‖ Seoul: Korean Language Plus.

18


Mengenal Budaya Korea Melalui Sapaan Hwang Who Young (Ewha Womans University, Korea, - Dosen Tamu (Korea Foundation) pada Program Studi Bahasa Korea, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada)

Abstrak Untuk berkomunikasi baik sesuai denga etika berbahasa Korea, seorang penutur bahasa Korea harus mengetahui sapaan bahasa Korea serta cara penggunaan yang tepat. Sapaan bahasa Korea diklasifikasikan atas 8 jenis dan dijelaskan cara penggunaannya. Karena banyak dan beragamnya sapaan bahasa Korea, penggunaan sapaan mempunyai kerumitan tersendiri baik pada tataran sintaksis maupun pada tataran semantik. Penggunaan sapaan bahasa Korea sangat erat hubungannya dengan tata cara hidup dan bermasyarakat orang Korea yang dipengaruhi oleh konfusianisme. Pada masa kini sapaan bahasa Korea mengalami perubahan. Perubahan itu merupakan suatu keunikan bahasa Korea dan mencerminkan fenomena yang terjadi di dalam masyarakat Korea. Dari cara penggunaan sapaan oleh orang Korea, budaya Korea dijelaskan. Abstract In order to be able to communicate a well-deserved Korean language, a learner of Korean language should acknowledge a special trait that Korean language possseses, i.e. appellation by which one should address other people in their daily social interaction. Since there are quite a few number of variants by which one should address others, appellation in Korean language poses its own degree of semantic and syntactic difficulties. Appellation in Korean language is closely associated with Koreans‘ way of life and social interaction which are influenced by Confucianism. Nowadays, however; appellation in Korean language has undergone some changes. The changes do not only depict the uniqueness of Korean language itself, but they also reflect a social phenomenon within Korean society. By portraying how Korean people address other people, in this case, how appellation is being used, Korean culture is eventually exposed. Pendahuluan Salah satu pertanyaan yang paling sering dilontarkan oleh orang asing kepada orang Korea adalah "Mengapa orang Korea selalu menanyakan umur pada waktu pertama kali bertemu? Bagi orang yang bahasa ibunya tidak memiliki tingkat tutur, hal tersebut tentu terasa aneh. Namun bagi orang yang bahasa ibunya memiliki sistem tingkat tutur seperti orang Korea, informasi tentang lawan bicara seperti usia, sangat penting dan diperlukan sebelum percakapan dimulai. Dengan informasi itu, orang Korea dapat menentukan sapaan dan bentuk tingkat tutur yang tepat dan pantas dalam percakapan itu. 19


Sapaan merupakan salah satu bagian kecil dalam suatu bahasa, tetapi ketika berbahasa Korea, unsur bahasa ini berperan penting. Apabila penutur salah gunakan sapaan dan tingkat tutur, penutur tersebut melanggar etika dan kaidah berbahasa Korea dan akan menimbulkan kesalahpahaman. Oleh karena itu, untuk berkomunikasi dan berbahasa Korea baik, cara penggunaan sapaan serta budaya Korea yang tersirat di dalamnya perlu diketahui. Penggunaan sapaan bahasa Korea yang tepat bukanlah hal yang mudah karena jenis dan ragamnya sangat banyak dan rumit. Namun demikian, bila memperhatikan penggunaan sapaan bahasa Korea, dapat diketahui juga budaya dan fenomena-fenomena masyarakat Korea pada masa lampau maupun masa kini. Sapaan Bahasa Korea Sapaan adalah morfem, kata, atau frase yang dipergunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan dan yang berbeda-beda menurut sifat hubungan antara pembicara (Kridalaksana, 1993). Di antara alat bahasa, alat yang paling mencerminkan hubungan sosial antara penutur dan lawan bicara adalah sapaan. Dengan demikian, sapaan yang digunakan penutur akan dapat mengeratkan atau bahkan bisa melonggarkan hubungan antara penutur dan lawan bicara (Park Jeung Un, 2005). Kekhasan sapaan bahasa Korea adalah jenis dan ragamnya sangat banyak. Kenyataan ini dapat diartikan bahwa sapaan sangat penting dan dibutuhkan dalam masyarakt Korea untuk membentuk atau menyusun sosial kemasyarakatan dan budaya Korea. Walaupun ada perbedaan pendapat antara ahli-ahli, secara garis besar sapaan bahasa Korea dapat dibagi atas 8 jenis yaitu, 1) sapaan nama, 2) sapaan kekerabatan, 3) sapaan status sosial, 4) sapaan nomina biasa, 5) sapaan alsal usul atau pekerjaan suami, 6) sapaan seruan, 7) sapaan pronomina, 8) sapaan bentuk gabungan dengan sapaan lain. 1. Sapaan Nama Sapaan berupa nama dalam bahasa Korea tidak dapat dipakai sendiri. Jenis sapaan ini harus diikuti oleh partike vokatif (vocative particle) berupa -a (-아), -ya (야), -i (-이), atau harus diikuti oleh nomina terikat seperti ssi (씨), gun (군), yang (양) untuk menandai kedekatan hubungan antara penutur dan lawan bicaranya atau hubungannya sebagai atasan dan bawahan. Jenis sapaan nama dapat diklasifiksi sebagai berikut ini. nama

ssi

gun yang 20

-a -ya

-i

Mr. Ms.


marga+nama

Lee Yuna

Lee Yuna ssi

Kim Ujin gun I Yuna yang

*

Kim UJini I Yuna

*

nama

Yu Na

Yu Na ssi

Ujin gun Yuna yang

UJin-a Yuna-ya

U Jini Yuna

*

marga

*

Lee ssi

Kim gun Lee yang

*

*

Mr. Kim Ms. Lee

Nomina terikat penanda sapaan ssi, gun, yang dll tidak dapat berdiri sendiri sebagai sapaan atau rujukan. Penanda sapaan tersebut dapat digunakan sebagai sapaan bila mengikuti nama orang atau dalam bentuk 'marga + nama' seperti contoh (1) berikut ini. (1) a. Kim Ujin ssi, Kim Ujin gun, Lee Yuna yang b. Ujin ssi, Ujin gun, Yuna yang c. Kim ssi, Kim gun, Lee yang 1) Ssi (씨) Penanda sapaan ssi ini dapat dipakai dengan cara ‗marga + ssi‘, ‗nama + ssi‟ atau 'marga + nama + ssi' bila lawan bicaranya tidak memiliki nama jabatan apa pun. Selain itu, orang yang dapat disapa dengan ssi ini adalah orang yang lebih muda dan umurnya sama atau orang yang status sosialnya lebih rendah daripada penutur. Bentuk sapaan Kim UJin ssi pada (1a) tersebut adalah bentuk halus (honorifik) untuk lawan bicara, tetapi seperti (1b) Ujin ssi, Yuna ssi yang disusun 'nama + ssi' hanya dapat digunakan bila hubungan penutur dan lawan bicara agak dekat. Dengan demikian, penggunaan bentuk Ujin ssi seperti ini tidak pantas dipakai untuk menyapa orang yang baru kenal karena hubungan mereka tidak dapat dikatakan dekat. Jadi waktu pertama kali berkenalan dengan lawan bicara sebaiknya dipakai sapaan berbentuk 'marga + nama + ssi' seperti Kim Ujin ssi. Bentuk sapaan ini lebih sesuai dengan kaidah dan etika bahasa Korea. Hal yang menarik dari bentuk sapaan (1c) 'marga + ssi' seperti Kim ssi adalah memberi kesan bahwa orang yang disapa itu adalah orang yang dianggap derajat sosialnya rendah seperti buruh atau kuli. Dengan demikian, bila seorang menyapa orang lain dengan bentuk sapaan ini, hubungan antara kedua pihak itu menunjukkan perbedaan derajat atau kelas sosial yang besar. Namun, bentuk sapaan Kim ssi tidak pernah dipakai untuk menyapa seorang perempuan. Sapaan yang lazim digunakan untuk perempuan adalah Lee Yuna ssi atau Yuna ssi. Bentuk sapaan yang hampir sama dengan Kim ssi tersebut untuk perempuan adalah Kim ssi ajumeuni, Park ssi halmeuni yang bermakna 'tante Kim, nenek Park'. 21


2) Mr. dan Ms. Kebanyakan orang asing yang belajar bahasa Korea berpikir bahwa sapaan ssi ini sering dipadankan dengan sapaan 'Mr' atau 'Ms' dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Akan tetapi, sapaan 'Mr' atau 'Ms' sangat berbeda pemakaiannya dalam bahasa Korea. Dalam bahasa Inggris, sapaan 'Mr'. atau 'Ms' mengandung makna menghormati orang yang disapa. Dalam bahasa Indonesia, sapaan ini dipakai untuk orang asing dengan maksud menghormatinya. Sementara dalam bahasa Korea kedua sapaan tersebut mengandung maksud merendahkan lawan bicara. Oleh karena itu, bila orang yang lebih tua atau atasan penutur disapa seperti 'Mr. Yang' atau 'Ms. Hwang' sangat tidak pantas dan tidak sopan. 3) Gun (ęľ°) Nomina terikat penanda sapaan gun ini dipakai untuk laki-laki. Dengan maksud akrab, sapaan ini dipakai untuk teman atau orang yang lebih muda atau orang bawahan penutur. Sapaan gun ini tidak dipakai oleh orang muda, melainkan dipakai oleh orang yang cukup berusia. Bentuk sapaan gun ini semakin kurang dipakai. 4) Yang (ě–‘) Nomina terikat penanda sapaan yang hanya dipakai untuk menyapa perempuan muda yang belum menikah. Penanda sapaan ini penggunaanya semakin menyempit. Sapaan bentuk 'marga + nama + yang' seperti Lee Yuna yang mengandung makna menghormati orang yang disapa. Namun, apabila seorang perempuan disapa dengan bentuk 'marga + yang' seperti Lee yang, sapaan tersebut memberi kesan merendahkan perempuam yang disapa itu, bahkan memberi kesan bahwa orang yang disapa itu adalah perempuan muda yang bekerja di bidang jasa. 2. Sapaan Kekerabatan (Kinship) Dalam bahasa Korea, sapaan kekerabatan sangat banyak dan diklasifikasikan secara rinci. Istilah kekerabatan bahasa Korea berjumlah sekitar 1200 buah (Jeon Hea Young, 1999). Tentu bahasa lain juga memiliki sistem sapaan kekerabatan, tetapi sapaan kekerabatan bahasa Korea memiliki ciri khas dan cara penggunaan yang unik. Sapaan kekerabatan Korea menggunakan istilah atau terminologi kekerabatan. Istilah atau terminologi kekerabatan Korea merupakan suatu sistem yang sangat rumit, yang dibuat berdasarkan 10 jenis prinsip (Han Sang-Bok, 2011). Prinsip-prinsip yang menentukan istilah atau terminologi kekerabatan Korea adalah

22


1) Membedakan anggota kerabat yang lineal dan anggota kerabat kolateral. 2) Prinsip generasi. Dalam istilah kekerabatan Korea tidak ada istilah yang sama untuk mengacu anggota kerabat dari generasi tertentu sehingga sangat jelas siapa dan apa hubungan kekerabatan dengan penutur. 3) Umur anggota kerabat dari generasi yang sama. Dalam istilah kekerabatan tercermin adanya perbedaan umur antar anggota kerabat sehingga di antara saudara laki-laki dan saudara perempuan, yang lebih tua daripada penutur disebut hyungnim (kakak laki-laki), nunim (kakak perempuan), sementara untuk saudara yang lebih muda daripada penutur disebut dongseng (adik laki-laki), nuidongseng (adik perempuan). Demikian juga untuk generasi ayah yaitu saudara laki-laki ayah juga ada yang disebut bekbu (kakak laki-laki ayah), dan sukbu (adik laki-laki ayah). 4) Umur orang yang menjadi keluarga karena pernikahan. Sanak saudara pihak suami atau isteri menjadi kerabat karena pernikahan. Misalnya, kakak ipar perempuan menjadi kerabat saya karena dia menikah dengan kakak laki-laki saya. Dalam hal ini orang yang menjalin hubungan kerabatan adalah kakak laki-laki. Istri kakak laki-lak disebut hyungsu bila saya seorang laki-laki atau olkhe bila saya seorang perempuan, tetapi isteri adik laki-laki disapa jesu, gesu bila saya laki-laki atau olkhe bila saya perempuan. Demikian juga, untuk isteri kakak lakilaki ayah disebut baekmo, sedangkan sukmo disapa untuk isteri adik ayah. Tetapi untuk menentukan sapaan kerabat ini, perbedaan umur antara ayah dengan bekmo dan sukmo tidak diacuhkan. 5) Jenis kelamin anggota kerabat. Hampir semua istilah kekerabatan Korea menyiratkan jenis kelamin. 6) Jenis kelamin penutur. Dalam istilah/sapaan kekerabatan Korea tercermin jenis kelamin penutur. Apabila penutur menyapa kakak dengan hyung atau nuna, maka penutur tersebut adalah laki-laki. Sementara itu, apabila penutur memanggil kakak dengan oppa atau unni, maka penutur tersebut adalah perempuan. 7) Jenis kelamin orang yang menjalin hubungan kerabat Saudara sepupu dari pihak saudara laki-laki ayah dan saudara sepupu yang dari saudara perempuan ayah dibedakan menjadi chinsachon dan gojong sachon. 23


Mereka menjadi kerabat karena saudara laki-laki atau saudara perempuan ayah. Berdasarkan jenis kelamin mereka, saudara sepupu menjadi chinsachon (hubungan saya dengan anak saudara laki-laki ayah) atau gojongsachon (hubungan saya dengan anak saudara perempuan ayah). Demikian juga saudara sepupu dari pihak ibu juga dibedakan berdasarkan jenis kelamin saudara ibu. 8) Membedakan anggota kerabat pihak ayah dan pihak ibu Anggota kerabat pihak ayah dan pihak ibu dibedakan secara jelas. Sapaan atau istilah kekerabatan untuk anggota kerabat dari pihak ibu ditandai prefiks wesehingga menjadi wesamchon (saudara laki-laki ibu), wesukmo (isteri saudara laki-laki ibu), wesachon hyoung (kakak sepupu laki-laki dari pihak ibu) dan lain sebagainya. 9) Membedakan kerabat bertalian darah dan kerabat karena pernikahan. Anggota kerabat dari garis keturunan bapak dibedakan dari kerabat dari pihak ibu. Hal ini dilakukan baik dari pihak suami maupun pihak isteri. Ketika suami menyapa kerabat pihak isteri, dia harus menggunakan prefiks cheu-, sementara isteri menggunakan prefiks si- sehingga isteri menyebut kerabat suaminya seperti siabeujI (mertua laki-laki), sieumeni (mertua perempuan). 10) Jauh dekatnya hubungan darah. Di Korea jauh dekatnya hubungan darah dapat diketahui dari istilah kekerabatan. Seperti samchon (3촌), sachon (4촌), ochon (5촌), yukchon (6촌) dan lain sebagainya dapat dipakai sejauh mungkin untuk mengukur jauh dekatnya pertaliann darah antar anggota kerabat. Pada umumnya, kekerabatan tersebut hanya sampai phalchon (8촌). Budaya tingkat kekerabatan merupakan suatu budaya yang unik yang tidak dapat ditemukan di negara lain selain Korea. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa istilah kekerabatan yang digunakan sebagai sapaan Korea jumlahnya banyak sekali dan juga sangat rinci. Ini berarti bahwa silsilah dan tingkat kekerabatan sangat penting dalam budaya Korea. Istilah kekerabatan Korea seperti khunabeuji (kakak laki-laki ayah), jakeunabeuji (adik laki-laki ayah), wesamchon (saudara laki-laki ibu), samchon (saudara laki-laki ayah), imobu (suami saudara perempuan ibu), gomobu (suami saudara perempuan ayah), dangsuk (sepupu laki-laki ayah), jedangsuk dan lain-lain bila diterjemahkan atau dicari kata padanannya dalam bahasa Inggris adalah ‗uncle' atau 'paman' dalam bahasa Indonesia. Suatu masyarakat yang menggunakan satu istilah kerabat terhadap banyak anggota kerabat yang berbeda-beda dapat dikatakan bahwa silsilah tidak penting dalam masyarakat itu. Sementara bagi masyarakat Korea yang membedakan setiap 24


anggota kerabat dengan istilah yang berbeda-beda, tentu silsilah dan tingkat kekerabatan itu sangat penting dan dibutuhkan untuk mempertahankan masyarakat dan kehidupannya. Dalam sapaan kekerabatan Korea yang menjadi patokan adalah silsilah dari keluarga sendiri dan silsilah dari garis ayah karena sapaan yang didasarkan pada silsilah dari garis ibu jumlahnya jauh lebih sedikit. 3. Sapaan Status Sosial 1) Penggunaan -Nim (님) dan Status Sosial Sapaan status sosial dapat dipilih oleh penutur setelah mengetahui status sosial lawan bicara. Bila lawan bicaranya lebih tinggi status sosialnya, maka bentuk sufiks -nim dipakai, tetapi bila lawan bicaranya berstatus lebih rendah, maka sufiks nim tidak dapat dipakai. Kebanyakan orang Korea ingin status sosialnya cepat naik sehingga dipanggil dengan sapaan yang lebih tinggi karena status sosial seseorang tersirat dalam sapaan. Contoh sapaan status sosialnya adalah sebagai berikut. (2) a. nama jabatan + -nim : (kwajangnim, seunsengnim, kyosunim, hakjangnim) b. marga + jabatan + (-nim) : (Kim kwajang(nim), Kim seunseng(nim), Kim kyosu(nim) c. marga + nama + jabatan + (-nim) : (Kim Ujin seunseng(nim), Kim Ujin kyosu(nim) Sapaan (2b) dan (2c) dapat ditemukan dalam bahasa-bahasa lain seperti bahasa Indonesia, Inggris dan bahasa Jepang. Namun bentuk sapaan yang berbagai 'nama jabatan + -nim' seperti (2a) itu merupakan bentuk sapaan yang khas bahasa Korea. Selain itu, bentuk sapaan 'marga + seunsengnim' seperti dalam Kim seonsengnim itu hanya dapat digunakan antar guru, tidak pantas dipakai oleh siswa atau muridnya untuk memanggil gurunya. Bentuk sapaan yang benar yang boleh dipakai oleh siswa atau muridnya adalah 'seunsengnim' atau 'Kim Ujin seunsengnim' yang susunannya 'marga + nama + seonsengnim'. Sapaan dalam bahasa Korea digunakan saat penutur perlu menghormati atau menghargai lawan bicara (Kim kwajangnim/ seunsengnim, Kim UJin kwajangnim). Bila lawan bicaranya adalah orang yang dihormati maka bentuk sapaan 'nama + sapaan' seperti *UJin seunsengnim, *Yuna kyosunim tidak boleh dipakai. Bila penutur dan lawan bicaranya bertatapan muka, penggunaan bentuk sapaan yang 'marga + 25


sapaan' mendapatkan banyak keterbatasan. Khususnya bila lawan bicaranya adalah atasan langsung penutur, maka bentuk sapaan yang berupa 'marga + sapaan' seperti Kim bujangnim, Kim kyosunim tidak dapat dipakai, melainkan 'nama jabatan + -nim' seperti bujangnim, kyosunim. Nama status sosial atau perkerjaan seperti eusa (dokter) atau kyosu (dosen) tidak dapat berdiri sendiri sebagai sapaan dalam bahasa Korea. Sapaan yang digunakan untuk seorang dokter adalah eusa seunsengnim (pak/ibu dokter), sedangkan seorang dosen disapa kyosunim (pak/ibu dosen). Hal ini berbeda dari bahasa Indonesia yang menyapa dokter denga kata 'dokter' saja. Walaupun ada beberapa kata jabatan seperti kwanhosa (perawat) dan banjang (wakil kelas) dapat dipakai sebagai sapaan tanpa penanda sapaan, tetapi dalam percakapan dengan bertatapan muka, kata kwanhosa dan banjang hampir tidak dapat digunakan. 2) Perubahan Status Sosial dan Sapaan Bila ada perubahan pada status sosial terhadap suatu pekerjaan, maka sapaan untuk pekerja pun mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat dari kwanhosa (perawat) yang awalnya kwanhobu berubah kwanhowon kemudian kwanhosa. Dengan berubahnya status sosial dan nama pekerjaan perawat di Korea, maka sapaan yang dipakai bersama perawat juga berubah dari eunni (kakak perempuan) atau agassi (nona) menjadi seunsengnim (ibu/bapak guru). Fenomena yang sama terjadi pada nama pekerjaan sopir. Awalnya dari unjeunsu berubah unjeunsa kemudian gisa dan sapaan yang digunakannya juga berubah dari ajeussi (om) menjadi gisanim (pak/ibu sopir) yang berstruktur 'pekerjaan+nim‗. Hal yang menarik adalah sapaan status sosial seperti Kim kyosu (dosen Kim), Kim sajang (presiden direktur Kim) dipakai juga untuk saudara sendiri atau saudara sepupu. Fenomena ini memperlihatkan bahwa orang Korea menghargai status sosial yang diperoleh sanak saudaranya. Dari uraian tersebut, disimpulkan bahwa hubungan antar manusia di Korea sangat ditentukan oleh kedudukan sosial yang diperoleh masing-masing individu. Fenomena lain yang berhubungan dengan penggunaan sapaan status sosial adalah bahwa orang menyapa lawan bicara dengan sapaan yang dianggap lebih tinggi status sosialnya daripada status lawan bicara sebenarnya. Sapaan status sosial harus sesuai dengan status lawan bicara, tetapi bila penutur tidak tahu perkerjaan lawan bicaranya, maka sapaan sajangnim (presiden direktur, bos) dipakai kepada laki-laki berumur setengah baya dan samonim (bentuk honorfik untuk menyapa isteri orang lain) dipakai untuk perempuan berumur setengah baya. Alasan atau penyebab menggunakan sapaan yang lebih tinggi untuk lawan bicara adalah untuk melancarkan komunikasi dengan lawan bicara selain maksud menghormati orang yang disapa. 26


Fenomena-fenomena disebut di atas sangat sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari di Korea. Penyebab fenomena seperti ini dapat dikatakan bahwa cara berpikir dan cara sapaan orang Korea masih dipengaruh oleh budaya Korea pada masa lampau yang peka terhadap status sosial tinggi dan status sosial yang rendah. 4. Sapaan Nomina Biasa Bentuk sapaan yang termasuk ke dalam jenis ini adalah jenis kata nomina biasa seperti juineureun (pemilik), sonnim (tamu), chonggak(bujangan), hakseng (pelajar), jeulmeuni (pemuda), yeurebun (saudara-saudara), eujang (ketua rapat), eeumma (ibu anak), jubunim (ibu rumah tangga) dan lain sebagainya dipakai sebagai sapaan. Bentuk sapaan ini sering dipakai ketika penutur tidak begitu banyak mengetahui informasi tentang orang yang disapa sehingga ciri lawan bicara yang terlihat dijadikan sebagai sapaan. 5. Sapaan Nama Asal Usul atau Pekerjaan Suami Jenis sapaan ini dibentuk dengan nama kampung halaman, tempat asal usul atau nama pekerjaan suaminya ditambah dengan kata benda dek (bentuk honorfik untuk kata rumah). Sapaan jenis ini biasanya dipakai untuk perempuan yang sudah menikah. Contohnya adalah Chungjudek (tempat asal-usulnya atau kampung halamannya adalah Chungju), pansadek (pekerjaan suaminya hakim). Cara sapaan ini jarang dipakai oleh orang yang masih muda. Sapaan ini masih dipakai oleh orang yang berusia tua. Dari cara sapaan ini, kita dapat mengetahui bahwa status laki-laki dan status perempuan yang sudah menikah pada zaman dulu tidak sejajar. Zaman dulu perempuan yang sudah menikah tidak disapa dengan namanya sendiri, melainkan dengan nama keluarga suami, nama pekerjaan suami atau nama kampung halamannya. 6. Sapaan Seruan Cara menyapa orang dengan kata atau ungkapan seru seperti yeuboseyo (halo), iba (lihat ini), ye (ye), yah (yah), jeugiyo (anu, itu), itjanayo (adakan). Sapaan ini digunakan untuk menarik perhatian sekitarnya bukan untuk memanggil atau menyapa langsung orangnya. Cara sapaan ini sering dipakai di tempat umum seperti rumah makan, tempat belanja, di jalan dan lain sebagainya. Bentuk ye (ye) dipakai kepada anak kecil atau remaja yang umurnya jauh lebih muda daripada si penutur. Bentuk iba (lihat ini) dan yah (yah) dipakai kepada orang yang dianggap 27


status sosialnya rendah atau umurnya jauh muda, tetapi kedua sapaan ini terasa kasar. Sementara, yeuboseyo (halo), jeugiyo (anu, itu), dan itjanayo (adakan) dapat dipakai terhadap orang yang umurnya sebaya, yang lebih muda maupun yang tua. 7. Sapaan Pronomina Pronomina orang kedua neu, jane, dangsin, jagi, geude dan lain sebagainya dapat dipakai sebagai sapaan. Dalam penggunaan pronomina orang kedua ini banyak syarat penggunaannya. Sapaan pronomina ini hanya dapat dipakai kepada orang yang sama umur atau yang lebih muda dan tidak dapat dipakai untuk orang yang lebih tua atau lebih tinggi status sosialnya. Hal itu disebabkan oleh budaya Korea yang berakar kuat pada konfusianisme, yang tidak memperbolehkan orang yang lebih tua atau lebih tinggi statusnya disapa dengan pronomina. Orang yang dituakan harus disapa dengan sapaan kekerabatan atau nama jabatannya.

8. Sapaan Bentuk Gabungan Tipe sapaan ini dapat dikatakan jenis sapaan yang khas bahasa Korea dan sulit ditemukan dalam bahasa-bahasa lain. Sapaan bentuk gabungan ini dapat diklasifikasi atas tiga jenis sebagai berikut ini. (3) a. nama jabatan + sapaan kekerabatan b. nama anak + sapaan kekerabatan c. kata serapan dari bahasa asing + sapaan kekerabatan Jenis sapaan (3a), (3b), dan (3c) dibuat dengan cara menggabungkan unsurunsur yang dianggap penting oleh orang Korea, yaitu status sosial atau jenis pekerjaan, keluarga, dan kekerabatan. Sapaan tipe (3a) dibentuk dari nama jabatan dan sapaan kekerabatan, misalnya gukgun ajeussi (om tentara), ganhosa eunni (kakak perawat), hwejang halabeuji (kakek ketua). Contoh (3b) yang berupa gabungan nama anak dan sapaan kekerabatan adalah Ujin abeuji (ayah Ujin), Minho nuna (kakak perempuan Minho), Yuna samchon (paman Yuna). Contoh sapaan (3c) dapat ditemukan seperti miss Kim eunni (mba miss Kim), mister Kim (Mr. Kim), 'dakter Kim (ajeunssi)' (om doktor Kim). Dari sapaan bentuk gabungan tersebut, kita dapat membaca bahwa penggunaan sapaan kekerabatan sangat meluas. Hal tersebut dapat terjadi dalam sapaan Korea karena cara berpikir orang Korea yang sangat berorientasi pada keluarga atau kerabat. Hal ini mudah dijelaskan karena masyarakat Korea pada zaman dahulu hidup dalam satu komunitas atau masyarakt yang terbentuk oleh 28


pertalian darah. Mereka memiliki budaya yang berorientasi kuat pada kekerabatan sehingga seorang kakek atau nenek yang dapat bertemu di dalam kampungnya pasti kerabatnya. Dengan demikian, orang Korea mudah menggunakan istilah sapaan kekerabatan kepada orang yang baru kenal dan bukan sanak saudara atau kerabat seperti dijelaskan di atas.

Ciri-ciri Khas Sistem Sapaan Bahasa Korea Ciri-ciri khas dalam sapaan bahasa Korea dapat dijelaskan dengan lima sebagai uraian berikut ini. Pertama, sistem sapaan Korea jelas membedakan antara sapaan honorfik dan sapaan non-honorfik. Sapaan honorfik dapat dibubuhi sufiks -nim, sedangkan sapaan non-honorfik tidak dapat dibubuhi sufiks -nim. (4) Sapaan honorfik a. sufiks honorfik -nim: seusengnim (guru), kwajangnim (manajer), kyosunim (dosen) b. leksikal bermakna honorfik: eujang (ketua), kakha (paduka, yang mulia), euresin (datuk), c. istilah kekerabatan: halabeuji (kakek), abeuji (ayah), eumeuni (ibu), sukbunim (paman), d. seruan membuka pembicaraan honorfik: yeuboseyo (halo). (5) Sapaan non-honorfik a. nama + -a/-ya: UJina, Yunaya, b. nama keluarga/nama + gun, yang: Kim UJin, Kim UJin gun, Kim gun, Lee yang, c. istilah kekerabatan untuk yang lebih muda + -a/-ya: jokhaya (keponakaan), dongsenga(adik), ebiya (ayah; dipakai untuk anak laki-laki yang sudah menikah), eumeuma (ibu anak; dipakai bagi menantu perempuan yang beranak), d. seruan non-honorfik: ya, yeh, ibwa, yebo. 29


Kedua, sapaan Korea dapat menentukan tingkat tutur yang terwujud dengan bentuk honorfik pada predikat. Bila sapaan honorfik digunakan, predikat yang dipakai juga harus bentuk honorfik dan sebaliknya sapaan non-honorfik harus disertai oleh predikat non-honorfik. Misalnya, seorang dapat bertanya kepada teman "Kim seunseng, eudi ga?" (Guru Kim, pergi ke mana?), tetapi "Kim seunsengnim, eudi ga?“ (Pak/Ibu guru, pergi ke mana?) tidak tepat. Dengan demikian, akhiran predikat akan berubah sesuai dengan sapaan yang dipilih. Banyak masalah dapat timbul karena bentuk sapaan yang digunakannya tidak tepat. Contohnya, ada mahasiswa yang dimarahi oleh petugas administrasi universitas gara-gara mahasiswa itu menyapa petugas tersebut dengan sapaan ajeussi (om) bukan seunsengnim (pak guru). Bila dilihat dari kejadian seperti itu, sapaan status sosial lebih disenangi daripada sapaan kekerabatan oleh orang Korea. Ketiga, sulit menentukan kriteria pemilihan sapaan. Menurut I Ik Seup(1994), banyak faktor penentu untuk memilih sapaan seperti umur, jenis kelamin, generasi, kedudukan, status sosial, keakraban. Tetapi bila tingkatan (rank) dan keakraban digabungkan maka tingkatan lebih besar pengaruhnya daripada keakraban. Tingkatan dalam kekerabatan lebih berpengaruh daripada tingkatan dalam kelompok yang bersifat sosial. Pemilihan sapaan kadang berdasarkan status sosial, kadang berdasarkan umur atau keakraban. Banyak orang mengalami kesulitan waktu memilih sapaan karena sapaan yang dipakai belum tentu disukai oleh orangnya seperti perempuan sebaya marah karena dia disapa dengan ajumma (tante). Dalam komunitas mahasiswa dan juga ekstrakurikuler yang diikuti, kriteria pemilihan sapaan didasarkan pada tahun masuk perguruan tinggi(angkatan). Sementara di tempat kos, asrama, alumni, dan lain sebagainya, bentuk sapaan yang dipakai orang Korea berdasarkan pada tahun lulusan SMA dan usia. Keempat, sapaan bahasa Korea dalam situasi percakapan dapat dialihkan dari satu sapaan ke sapaan yang lain dengan luwes. Dengan demikian, sangat diperlukan kemampuan untuk menggunakan sapaan yang sesuai dengan situasinya. Dalam suatu percakapan dengan orang yang sama, sapaan yang dipakai pertama kali tidak selalu dipakai sampai akhir percakapan. Sapaan yang dipakai dapat berubah karena suasana percakapan atau karena ada orang yang masuk dalam percakapan. Pengalihan sapaan ini dapat terjadi karena si penutur mempertimbangkan hubungannya dengan lawan bicara atau dengan orang yang ketiga yang masuk dalam percakapan itu. Misalnya, ketika seorang guru bercakapcakap dengan rekannya, guru tersebut dapat menyapa dengan ye (sapaan untuk anak kecil atau teman) bila percakapan itu bersifat pribadi. Namun apabila ada orang lain di sekitarnya, maka sapaannya dialihkan menjadi Kim seunseng (guru Kim) atau Kim seunsengnim (pak/ibu guru Kim). Ini berarti penutur harus memilih sapaan yang sesuai pada lawan bicara dengan mempertimbangkan status sosial atau 30


kedudukan lawan bicara dan sesuai dengan kondisi wacana atau percakapan itu sendiri. Hal ini dapat diartikan bahwa penggunaan sapaan Korea berkait erat dengan cara berpikir orang Korea yang berorientasi pada hubungan antar manusia. Kelima, berbagai jenis sapaan dapat digabungkan dengan fungsi tersendiri. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa nama, pekerjaan, jabatan, istilah kekerabatan digabungkan dengan sapaan lain dan memiliki fungsi tersendiri. Bukan hanya sistem honorfik saja, melainkan sistem pembentukan sapaan Korea juga sangat rumit. Bentuk sapaan ini digunakan secara luas dan produktif sehingga membentuk suatu fenomena bahasa baru. Fenomena Sosial dalam Sapaan Korea Pada dasarnya masyarakat Korea sangat dipengaruhi oleh budaya konfusianisme. Demikian juga, dalam sistem sapaan Korea pun terlihat ciri-ciri budaya konfusianisme. Namun, dengan berubahnya masyarakat Korea yang cepat, maka sapaan bahasa Korea juga mengalami perubahan. Perubahan itu dapat dijelaskan sebagai berikut ini. Pertama, adanya fenomena penolakan terhadap nilai-nilai budaya konfusianisme oleh generasi muda sekarang. Di antara menantu-menantu masa kini, ada yang ingin memanggil mertuanya dengan sapaan eumma (mama) yang seharusnya dipakai untuk ibunya sendiri. Mereka ingin disapa oleh mertuanya dengan nama mereka sendiri, bukan nama kekerabatan untuk seorang menantu. Banyak juga perempuan yang baru menikah memanggil dan dipanggil dengan namanya dengan saudara iparnya, bukan degan sapaan kekerabatannya. Ini adalah suatu perubahan yang terjadi dalam masyarakat Korea, yang dimulai dari generasi muda yang menolak nilai-nilai budaya konfusianisme yang mengutamakan urutan berdasarkan silsilah, hubungan darah, tingkat kekerabatan, dan status sosial. Kedua, fenomena penggunaan sapaan kekerabatan yang meluas kepada orang lain merupakan suatu proses identifikasi yang sengaja dilakukan oleh penutur demi menjalin hubungan yang nyaman dan stabil. Fenomena penggunaan sapaan kekerabatan kepada orang yang bukan kerabatnya merupakan suatu hal yang unik, yang sulit ditemukan dalam bahasa lain. Penyebabnya dapat dicari dari ciri khas bahasa Korea sendiri, yaitu bahasa Korea sangat berorientasi pada hubungan antar penutur dan lawan bicara. Maka bila penutur tidak memperoleh informasi tentang lawan bicara, hubungan dengan lawan bicaranya tidak dapat ditentukan dan merasa tidak nyaman. Oleh karena itu, orang Korea ingin menandai lawan bicaranya dengan hubungan kekerabatan atau dengan status sosial lawan bicara sebelum percakapan dimulai. Ketiga, fenomena sosial modern yang baru tercermin dalam penggunaan sapaan bahasa Korea. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata 31


samchon (paman) dan imo (bibi) yang dipakai pada bukan paman dan bibinya. Pada masa kini penggunana sapaan kekerabatan seperti ini semakin meluas. Banyak orang tua memperkenalkan teman atau kenalannya dengan sapaan kekerabatan kepada anaknya sendiri karena sapaan itu terasa lebih akrab. Akibatnya semakin banyak generasi muda yang tidak tahu mana sapaan kekerabatan yang tepat untuk kerabatnya. Selain hal tersebut, pada masa kini orang Korea menikah pada umur semakin tua dan semakin banyak orang tidak menikah sehingga angka kelahiran bayi sangat rendah. Dengan demikian, jumlah orang yang dapat dipanggil dengan sapan kekerabatan juga berkurang. Hal ini menjadi salah satu latar belakang mengapa orang Korea semakin luas menggunakan sapaan kekerabatan pada orang yang bukan kerbatnya. Keempat, orang semakin banyak menggunakan sapaan -nim pada nomina biasa atau nama sehingga akhir-akhir ini banyak muncul sapaan yang sama sekali baru. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pengguna internet dan SNS yang semakin meningkat jumlahnya. Pengguna internet secara produktif membuat sapaan jenis ini karena mereka ingin menggunakan sapaan yang tidak mencerminkan status atau strata sosial pada dirinya maupun orang yang disapa dalam dunia maya itu. Mereka berkeinginan menjadi sejajar, saling menghormati tanpa memandang status sosial, umur dan lain sebagainya.

Penutup Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sapaan sebagai salah satu unsur bahasa yang harus digunakan ketika orang ingin berkomunikasi dengan orang lain mengandung banyak unsur budaya di dalamnya. Melalui delapan jenis sapaan serta cara penggunaan yang diperkenalkan di atas, dapat diketahui budaya tradisional yang masih dipertahankan dalam masyarakat Korea, fenomena-fenomena sosial Korea masa kini, dan perubahan cara berpikir masyarakat Korea. Jumlah dan ragam sapaan bahasa Korea sangat banyak dan dengan fungsinya masing-masing dapat membatasi gramatika secara sintaksis bahasa Korea. Hal itu menyiratkan bahwa masyarakat Korea adalah suatu masyarakat yang sangat kompleks. Selain itu, masyarakat Korea yang dipengaruhi oleh ajaran konfusianisme, memiliki budaya yang sangat mementingkan hubungan darah, kekerabatan, silsilah, status sosial, tingkatan dalam masyarakat. Dengan berkembangnya zaman, upaya orang ingin menghilangkan perbedaan status sosial antar sesama dan upaya ingin mengisi kekosongan yang terjadi dalam struktur kekerabatan, yang disebabkan oleh masalah sosial seperti pernikahan, angka kelahiran bayi terlihat dalam sapaan bahasa Korea dan menjadi budaya berbahasa Korea. 32


Daftar Pustaka Han Sang Bok, Lee Moon Ung, Kim Kwang Euk. 2011. Cultural Anthropology. Seoul: Seoul National University Press. Jeon, Hea Young. 1999. "Confucian Culture in Korea Language" in Korean Culture and Korean.(Gukje Hankook Hakhwe ed.) Paju: Sakeheul. Jo Sang Hyee. Man is 'Uncle', Woman is 'Sister and Aunt':Term of Address Counteroffensive. Fnnews.com 14th Agust 2014. Kim, Hyee Sook. 2005. "Paradox of Korean Terms of Address". Sociolinguistics. Vol. 11 No.1. Ko, Jong Seuk. 2006. Address Term, Reference Term. Hankookilbo.com, 21st October 2006. Ko, Sung Hwan. 2009. "Address Term and Reference Term in Korean Text Book". Tongil Inmunhak Youngu. Vo.l 1 No.2 pp 29~57. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Edisi Ketiga. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Lee Ik Seup. 1994. Sociolinguistics. Seoul: Mideumsa. Lee Yun Bok. 2008. "Information Culture Korea through Social Network Service". KADO issue Report Vol. 59 No.10. Park, Jeung Un.2005. Terms of Address in Korean. Seoul: Yeukryang.

33


Arah Kajian Kesusastraan Korea di Indonesia: Sebuah Tinjauan Awal Eva Latifah (Dosen, Program Studi Bahasa & Kebudayaan Korea - Universitas Indonesia) Abstract The title of this paper is An Introduction to the Development of Korean Literature Studies in Indonesia. The idea started from the fact that the study of Korean literature is somehow weak, even on the previously translated works on Korean novel and poems. Thus, the study of Korean literature needs to be extended. After being established in 2006, the study of Korean literature as a formal and structural work has begun at the Korean Language Department in University of Indonesia. The problem now is that the emphasis on the study about literature is mostly based on the instrinsic features. The scholars (students) seem to avoid the extrinsic or even multidisciplinary works. This study aims to explore the problems on Korean literature studies in Indonesia and suggests alternative ways to support Korean literature studies in Indonesia. Keywords: Korean literature study, comparative literature

Pendahuluan Membaca tren kajian kesusastraan Korea di Indonesia bukanlah satu perkara mudah mengingat masih pendeknya sejarah kajian keKoreaan itu sendiri di Indonesia, yang secara kelembagaan baru resmi berdiri dengan hadirnya Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea FIB UI pada 2006 silam. Walaupun demikian, upaya kajian dan penerjemahan karya sastra secara mandiri sudah jauh dilakukan sebelumnya. Atas kesadaran inilah, judul di atas dilengkapi dengan catatan; sebuah tinjuan awal. Tinjauan yang penulis anggap layak dan perlu untuk diangkat sebagai bahan bagi pengembangan kajian kesusastraan Korea selanjutnya. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan pemetaan minat kajian kesusastraan, khususnya di Universitas Indonesia, analisa permasalahan, dan tawaran alternatif pemecahannya. Kajian kesusastraan Korea di luar ini, seperti penerjemahan karya sastra, penulisan di koran, dsb disertakan sebagai informasi tambahan yang akan memperkaya analisa. Penelitian dilakukan lewat tinjauan kepustakaan dengan metode analisis deskriptif.

Selayang Pandang Kajian Kesusastraan Korea Upaya pengenalan sastra Korea di Indonesia bermula pada penerjemahan karyakarya sastra seperti puisi, cerpen, dan novel. Penerjemahan puisi, misalnya, 34


dilakukan oleh Maman S. Mahayana dengan buku berjudul Kumpulan Cerpen Korea Selepas Perang (1996). Tahun 2007, Chung Young Rim menerjemahkan kumpulan puisi karya 25 penyair Korea, dengan judul Puisi Buat Rakyat Indonesia. Buku ini diberi pengantar oleh Sapardi Djoko Damono, sastrawan yang sekaligus akademisi terkemuka di Indonesia. Di tahun yang sama, kumpulan Cerpen Laut dan Kupu-kupu hadir dan menjadi salah satu karya terjemahan yang meramaikan dunia terjemahan cerpen Korea di Indonesia. Buku ini diterjemahkan oleh dua professor asal Korea dan Indonesia, Koh Young Hun dan Tommy Christomy. Para penerjemah bukubuku tersebut di atas adalah orang-orang yang meskipun tidak seluruhnya berlatar belakang bahasa dan kesusastraan Korea, telah diakui kepakarannya dalam kesastraan. Selain penerjemahan teks-teks sastra, menjelang berdirinya program studi Bahasa dan Kebudayaan Korea tahun 2006, di FIB dilaksanakan sebuah seminar tentang kesusastraan Korea. Seminar ini menghadirkan para sastrawan Korea. Seminar ini dapat dikatakan sebagai langkah untuk memperkenalkan sastrawan Korea ke kalangan akademisi. Selain bertujuan memperkenalkan karya sastra Korea ke Indonesia, sastrawan Korea yang ikut membaca dan menelaah sastra Indonesia mengataan bahwa meski Korea dan Indonesia berjauhan, ada bayak karya yang memiliki persamaan. Sebagai contoh adalah karya sastra yang mengangkat tema perang. Korea yang juga pernah dijajah oleh Jepang dapat ikut merasakan penderitaan yang tergambar dalam novel-novel perang Indonesia. Singkatnya, peluang untuk penelitian kajian sastra bandingan masih sangat terbuka lebar. Kajian sastra bandingan di Korea pernah dilakukan penulis dalam disertasi yang berjudul 한국과인도네시아전후소설비교연구: 항순원과누그로호의작품을중심으로. Lewat sastra bandingan diharapkan terjadi kesepahaman di antara kedua negara. Setelah program studi bahasa dan kebudayaan Korea didirikan di FIB UI pada tahun 2006, disusul oleh UGM pada tahun berikutnya, kajian kesusastraan diharapkan meningkat. Patut diakui bahwa karya terjemahan sastra Korea semakin mudah ditemui di toko-toko buku di Indonesia. Ada beberapa penerbit yang tampak menaruh perhatian dalam menerbitkan novel atau puisi Korea. Sebut saja Penerbit Ufuk yang menerbitkan buku terjemahan Tango karya Goo Hye Sun (2012). Penerbit Bentang meluncurkan karya terjemahan novel Princess Deokhye karya Kwon Bee Young (2012) dan novel Hello Goodbye karya Eru (2012).Tiap penerbit mempunyai misi dan warna yang berbeda dalam memilih karya sastra yang diterjemahkannya. Sebagaian besar lebih membidik karya sastra kontemporer dan yang sedang best seller di negara Korea. Pemilihan karya sastra yang best seller tentu atas pertimbangan pasar. Demam Hallyu yang melanda Indonesia mempengaruhi pemilihan karya. Salah satu karya 35


terjemahan yang cukup mendapat sambutan adalah Please Look After Mom. Buku ini dinilai sebagai buku yang membuka jalan bagi K-literature untuk mendunia. Sayang novel ini tidak diterjemahkan dari buku versi bahasa Korea, tetapi dari bahasa Inggrisnya. Upaya-upaya di atas, baik atas inisiatif pribadi maupun kelembagaan, menunjukkan bahwa kesusastraan Korea adalah bidang yang cukup menarik minat para pecinta sastra di Indonesia. Masih minimnya informasi terkait dengan sastra Korea sekaligus menunjukkan masih terbuka lebarnya bidang kajian ini. Bila dilihat dari para penerjemah yang kebanyakan bukan berlatar belakang pendidikan bahasa dan atau kesusastraan Korea, peluang bagi akademisi yang berkecimpung di dalam kesusastraan Korea semakin besar. Bagaimanapun, dalam penerjemahan dituntut kemahiran dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran dengan sama baiknya (Hoed, 2006). Di program studi Korea FIB UI, bidang sastra awalnya bukanlah bidang yang dianggap menarik untuk dikaji sebagai tugas akhir mahasiswa. Angkatan pertama yang menulis skripsi pada tahun 2010 tercatat berjumlah empat orang mahasiswa. Dari keempat skripsi ini, tidak ada satupun skripsi tentang sastra. Pada tahun berikutnya, 2011, dari lima skripsi yang dihasilkan, dua di antaranya adalah skripsi tentang sastra. Hal yang sama terjadi pada tahun 2012. Minimnya jumlah peminat sastra Korea dikarenakan beberapa hal. Pertama, sastra adalah bidang yang dianggap susah untuk dimengerti. Kedua, terbatasnya tenaga pengajar yang berlatar belakang ilmu susastra. Ketiga, minimnya jumlah rujukan terkait dengan kesusastraan. Keempat, kurangnya kemampuan bahasa mahasiswa. Dalam meneliti karya sastra, mahasiswa dituntut untuk dapat membaca karya tersebut dalam bahasa Korea. Dengan alasan keterbatasan kemampuan berbahasa, banyak mahasiswa yang menyerah untuk membaca karya sastra. Belum lagi adanya tuntutan untuk mencari informasi berkenaan dengan karya, yang lagilagi kebanyakan berbahasa Korea. Barulah pada tahun 2013, peminat kajian kesusastraan Korea meningkat tajam. Dari sepuluh mahasiswa yang menulis skripsi, tujuh di antaranya menulis skripsi tantang sastra. Loncatan yang juga cukup tajam tampak pada tahun 2014. Dari dua puluh mahasiswa yang menulis skripsi, dua belas mahasiswa menulis skripsi dalam kajian kesusastraan. Sebaran skripsi sejak tahun 2010 sampai tahun 2014, data jumlah mahasiswa yang menulis skripsi sastra, dan judul skripsi dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

36


Tabel data jumlah mahasiswa Prodi Korea FIB UI yang menulis skripsi dalam bidang sastra. n o

Tahun

Total Skrip si

Skripsi Kesusastra an

1

2010

4

0

2

2011

5

2

Judul

Cinta Kasih Yang Menyembuhkan Luka Perang dan Memulihkan Hubungan Persahabatan: Analisis Tema dalam Cerpen Hak Karya Hwang Sunwon Fokalisasi dan Tema dalam Novel Mamok Karya Park Wan Seo

3

2012

5

2

Analisis Tema dan Unsur Surealisme dalam Cerpen Nalgae Karya Yisang Tokoh, Penokohan, dan Tema dalam Novel a Toy City Karya Lee Dong Ha

4

2013

10

7

Penolakan terhadap Pemerintah Kolonial Jepang dalam Novel Redimeideu Insaeng Karya Chae Mansik: Analisis Tema Ambiguitas Identitas Dua Korea dalam Film Eui Hyeongje Tema Utama dan Tema Tambahan dalam Novel Malhaneun Dol Karya Moon Soon Tae Ekspresi Cinta dalam Puisi-puisi Karya Won Tae-yon dan Kim So-yeop Analisis Penokohan Poknyo: Amanat dalam Cerpen Gamja Representasi Budaya Joseon dalam Drama Televisi Dae Jang Geum Proses Tumbuhnya Cinta dalam Film Heart dan Daisy: Sebuah Perbandingan 37


5

2014

20

12

Representasi Keterpurukan Individu Korea Tahun 1930an dalam Puisi “Geoul� Karya Yisang: Sebuah Analisis Tema Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan Film Dwaeji-eui Wang Arahan Sutradara Yeon Sang-Ho: Analisis Penokohan Digitalisasi Cerita Rakyat Kongtjwi dan Patjwi: Sebuah Perbandingan Kajian Tokoh dan Tema dalam Film Bandhobi Arahan Shin Dong Il Representasi Penulis dalam Karya: Studi Lirik lagu Karya Tablo Analisis Tokoh, Penokohan, dan Tema dalam Cerpen Sunan Idea Karya Ha Geun-chan Perbandingan Alur, Penokohan, dan Tema Seonnyeowa Namukkun dan Asal Mula Botu Liodu Lei Lahilote Refleksi Tema Kebudhaan di dalam Sejumlah Puisi karya Midang Berbagai Makna Nim dalam Antologi Puisi Nim-ui Chimmuk Karya Han Yong-Un Penokohan dan Tema dalam Cerita Rakyat Indonesia jaka Taub dan Cerita Rakyat korea Namukkungwa Seonyo: Sebuah Studi Bandingan Fanatisme K-Pop di Korea Selatan pada Tahun 1990an: Studi Kasus Tokoh Seong Shiwon dalam Drama Eungdabhara 1997

Dari tabel di atas tampak jelas bahwa kajian kesusastraan Korea di UI masih belum memadai, meski jumlahnya cenderung meningkat dua tahun belakangan. 38


Ada beberapa permasalahan yang bisa dilihat dari judul yang tercatat dalam tabel di atas. Pertama, skripsi tentang kesusastraan masih berkutat dalam kajian intrinsik. Penulis, penyair, atau karya yang diangkat sudah beragam tetapi tidak beranjak dari telaah alur, tokoh-penokohan, latar, dan tema. Bila hal ini terus berlanjut maka kajian kesusastraan hanya menyentuh hal yang termaktub dalam karya sastra, tanpa mampu mengungkap hal di luar sastra yang dapat membantu pemahaman tentang Korea secara lebih menyeluruh. Padahal, kajian kesusastraan bisa mengungkap banyak hal yang terkait dengan kondisi masyarakat, pola pikir, gaya hidup, dsb lewat kajian sosiologi sastra, psikologi sastra, kajian semiotik, atau lainnya. Kekhawatiran lainnya adalah mahasiswa hanya tahu dan terbiasa pada kajian instrinsik. Kajian ekstrinsik dan atau multidisiplin tidak dianggap penting. Yang paling dikhawatirkan dari kondisi ini adalah mahasiswa tidak tertantang untuk membaca kajian lain atau bahkan hanya meng-copypaste teori dari skripsi-skripsi yang telah ada sebelumnya. Bila hal terakhir yang terjadi, peluang terjadinya plagiarisme akan terbuka lebar, kajian kesusastraan menjadi sempit, dan pada akhirnya akan sampai pada titik jenuh. Tentu hal ini perlu disiasati segera. Skripsi yang dibuat pada tahun 2014 secara umum sudah menunjukkan kecenderungan yang baru. Kajian sastra bandingan, sastra digital, alih wahana adalah kajian yang ternyata mulai menarik minat mahasiswa. Kajian kesusastraan yang seperti ini menjadi bahan kajian yang juga diminati di Korea dan Indonesia. Di Korea, kajian sastra digital atau yang sering juga disebut dengan digital story telling menjadi isu kajian sastra yang dianggap sesuai dengan kemajuan tekhnologi saat ini (Polkinghorne dalam Kim Hyon-sok, terj., 2009). Di Indonesia, kajian alih wahana menjadi kajian yang juga sedang banyak diangkat. Sayangnya, skripsi-skripsi tahun 2014 pun masih belum berani keluar dari kajian intrinsik. Kajian tema, alur, dan penokohan menjadi wilayah aman bagi mahasiswa dalam mengkaji sastra. Tidak beraninya mahasiswa keluar dari ‗zona aman‘ bisa juga disebabkan oleh belum adanya contoh kajian kesusastraan Korea yang bisa dijadikan rujukan. Terutama kajian kesusastraan Korea di Indonesia. Buku-buku kajian kesusastraan Korea terbitan Korea yang tersedia di Indonesia pun jumlahnya terbilang minim. Buku-buku kesusastraan yang diterima sebagai sumbangan kebanyakan adalah buku-buku kumpulan puisi atau novel. Buku-buku ini tentu penting sebagai bahan bacaan mahasiswa. Hanya saja, saat penelitian, buku kritik sastra dan atau teori yang mendukung pemahaman tentang karya yang sedang dikaji tentu juga dibutuhkan. Sayangnya, buku-buku teori dan atau kritik sastra Korea belum banyak tersedia di Indonesia.

39


Penyebab lainnya adalah belum terdatanya kajian kesusastraan Korea di Indonesia dengan baik. Sebagai contoh, saat penelusuran data kajian kesusastraan Korea dengan mengakses laman perpustakaan Universitas Indonesia, banyak informasi yang tidak terkait dengan kajian kesusastraan Korea ikut terakses sehingga proses penelusuran data menjadi lama. Di perpustakaan UGM, data tentang kajian kesusastraan Korea yang diperoleh hanya dua. Yang pertama, Fenomena Kecanduan Budaya Barat Pada Generasi Muda Korea: Kajian Sosiologi Sastra Terhadap Puisi Gonggi Gaunde Deullyeo Ollyeojin Namja(공기가운데들려올려진남자) dan yang kedua, Representasi dan Dampak Hallyu Pada Kehidupan Masyarakat Korea Dalam Drama Reply 1997 (응답하라 1997). Dengan belum terpadunya data kajian kesusastraan Korea, ada kemungkinan munculnya kajian sejenis atau mirip, seperti skripsi tentang drama Reply 1997 yang keduanya ditulis di UI dan UGM. Oleh karena itu, perlu sebuah data base yang mencakup kajian kesusastraan Korea di Indonesia yang mungkin bisa diprakarsai oleh lembaga seperti Korean Cultural Center.

Beberapa Alternatif Kajian Kesusastraan Korea di Indonesia Setelah melihat beberapa permasalahan dalam kajian kesusastraan Korea, baik di lingkungan akademik maupun masyarakat umum, penulis ingin merekomendasikan beberapa alternatif pengembangan kajian kesusastraan. Dalam menarik minat mahasiswa akan sastra, pengajar dan pendidik perlu memberikan keyakinan bahwa sastra bukanlah bidang yang menakutkan. Banyak hal menarik yang bisa dilihat lewat karya sastra. Dalam perkembangan tekhnologi yang demikian pesat, sastra janganlah dilihat hanya sebatas puisi, prosa, dan drama konvensional. Pengajaran kesusastraan yang berbasis kompetensi, berbasis tekhnologi, dan kekinian perlu dikembangkan. Dengan kemajuan tekhnologi yang Korea miliki, digitalisasi karya sastra kuno saja, misalnya, mudah diakses lewat internet. Cerita klasik yang dikemas secara modern, seperti kartun tentang cerita rakyat Babo Ondal, bisa ditayangkan di kelas sehingga mahasiswa tertarik dan mudah mengingatnya. Di tingkat mahasiswa, penelaahan kesusastraan bisa dimulai dari hal yang paling mahasiswa minati. Secara umum, mahasiswa program studi Korea adalah orang-orang yang terkena wabah Korean Fever, yang dikenal dengan istilah Hallyu. Beberapa mahasiswa yang ditanya tentang motivasi mereka memilih program studi Korea, 70% adalah karena kesukaan mereka pada K-pop, K-drama, dan K-movie. Dengan ketertarikan mereka pada budaya pop Korea, mudah sebenarnya menarik keingintahuan mereka ke arah sastra. Lagu, misalnya, bila dilepas nadanya, maka 40


bisa dilihat sebagai teks puisi, seperti tersirat dalam definisi lagu yang dibuat Scott (1965).. Drama dan film bisa dipilih yang populer tetapi mengandung ‗sesuatu‘ yang bisa diteliti, seperti film Wang-ui Namja yang mengangkat salah satu bentuk karya sastra kuno Korea dalam ceritanya. Kajian alih wahana juga menjadi salah satu alternatif pengembangan kajian kesusastraaan di Indonesia. Korea adalah negara yang sangat sadar betul bahwa karya sastra bisa dibuat menjadi karya seni lain yang menarik minat masyarakat dan menguntungkan secara finansial, seperti novel Harry Potter yang dibuat versi film, komik, game, dsb. Di Korea, OSMU (One Source Multi Use) menjadi isu yang hangat sejak tahun 2005. Kim Jonghui (2006) mengatakan bahwa Sonagi Mael adalah salah satu contoh dari OSMU di Korea. Sonagi awalnya adalah sebuah cerpen karya Hwang Sunwon yang sangat terkenal karena ceritanya yang sederhana namun menyentuh. Isi cerita adalah cinta monyet dua anak belia dengan latar belakang sosial yang berbeda. Tokoh perempuan digambarkan sakit dan meninggal setelah kehujanan saat bermain dengan tokoh laki-laki. Cerpen Sonagi kemudian dibuat theme park Sonagi Mael yang dibangun dengan berdasarkan potongan-potongan cerita yang ada di dalam cerpen. Salah satu spot yang menarik adalah taman terbuka yang dilengkapi dengan semacam keran yang dapat menyemprotkan air secara tiba-tiba. Seperti di dalam cerpen, pengunjung dapat merasakan seolah-olah menjadi tokoh di dalam cerpen yang basah karena hujan yang datang tiba-tiba. Ada juga lokasi yang dibuat seperti sungai kecil dengan potongan batu di tengahnya. Lokasi ini persis seperti yang digambarkan di dalam novel tempat si tokoh wanita berhenti sejenak memainkan air sungai sebelum melanjutkan menyeberangi sungai. Alternatif lainnya adalah kajian karya sastra modern yang dianggap merepresentasikan nilai Korea. Yoo Hui-sok (2010) menganjurkan bahwa pembacaan karya sastra Korea tidak hanya pada karya sastra Korea Selatan, tetapi juga mencakup Korea Utara di dalamnya. Yoo Hui-sok mencontohkan novel Please Look after Mom yang menjadi best seller di Korea dan Amerika. Novel ini dianggap dapat menjadi novel yang berterima oleh pembaca kedua negara, Selatan dan Utara, meski dibuat oleh pengarang asal Korea Selatan, Shin Kyong-sook. Asumsi ini dibangun atas argumentasi bahwa permasalahan yang dihadapi oleh ibu (perempuan) yang hidup dalam masa transisi dari pramodern ke modern adalah sama, baik di Korsel maupun Korut. Dengan kata lain, novel semacam Ommareul Buthakhae, judul bahasa Koreanya, bisa dipakai untuk memahami nilai dan permasalahan yang ada di kedua negara. Selanjutnya, untuk memberikan gambaran yang menyeluruh tentang kesusastraan Korea dan memenuhi kepentingan kajian kesusastraan Korea yang lebih komprehensif, penerjemahan dan pengkajian karya-karya klasik sangat 41


diperlukan. Sampai saat ini, belum ada buku dan atau kajian yang mengangkat sastra klasik. Tentu, untuk memenuhi ambisi ini diperlukan kemampuan bahasa Korea yang lebih tinggi karena kesusastraan klasik Korea umumnya banyak memakai huruf Hanja, tulisan Cina. Untungnya saat ini di Korea mulai tersedia buku-buku sejarah kesusastraan kuno yang dibuat untuk penutur asing, seperti 외국인을위한한국문학사 (2013), 외국인을위한한국문학의이해 (2013). Kedua buku ini memberikan informasi tentang kesusastraan klasik dalam bahasa Korea yang sederhana disertai Hanja yang sudah disisipkan Hangeulnya. Tampaknya Korea mulai menyadari betul bahwa pengenalan sastra klasik mereka juga penting untuk menopang misi K-literature sebagai bagian dari Hallyu. Kesimpulan Masih minimnya jumlah kajian kesusastraan Korea di Indonesia bisa dipahami sebagai hal yang kurang baik tetapi berefek positif. Kurang baik karena seharusnya kajian kesusastraan Korea menjadi ujung tombak bagi upaya pemahaman Korea secara mendalam. Kesusastraan, seperti yang selama ini dipahami, adalah jendela untuk memahami sebuah kebudayaan. Sayangnya, kurangnya informasi dan atau kajian tentang sastra Korea membuat Indonesia belum sepenuhnya paham akan negeri Ginseng ini. Sisi positifnya, kekurangan yang ada dijadikan sebagai kekuatan untuk melakukan banyak hal yang perlu dilakukan. Kekurangan ini tentu harus disikapi dengan dilakukannya penerjemahan karya sastra klasik dan sastra modern dengan sama banyaknya. Penerjemahan novel pop dan best seller bisa tetap berjalan untuk memenuhi kebutuhan informasi terkini. Akan tetapi, penerjemahan dan kajian sastra klasik juga tidak bisa diabaikan untuk bisa mendukung pemahaman sastra modern. Sastra modern tidaklah berdiri begitu saja dan terlepas dari akar tradisionalnya. Selain penerjemahan sastra klasik dan modern, pengkajian kesusastraan Korea harus diperkaya dengan tidak hanya terfokus pada kajian instrinsik seperti yang tampak dalam skripsi-skripsi mahasiswa. Kajian alih wahana, sastra digital, dan sastra bandingan adalah kajian-kajian yang masih belum tergarap secara luas. Bila usulan kajian di dalam tulisan ini bisa dilaksanakan, tidak mustahil K-literature juga akan mendapat tempat di hati para pecinta Korea yang tidak sedikit jumlahnya di Indonesia.

42


Daftar Pustaka 김현. 2011. 현대한국문학의이론/사회와윤리. 서울: 문학과지성사. 김현석 (공역). 2009. 내러티브, 인문과학을만나다. 인문과학연구의새지평. 서울: 학지사. 권오경 (공저). 2013. 외국인을위한한국문학의이해. 부산: 부산외국어대학교출판부. 이선이·김현양·채호석지음. 2012. 외국인을위한한국문학사. 서울: 한국문화사. Chung Young Rim, terj. 2013. Puisi Buat Rakyat Indonesia. Kumpulan Puisi 25 Penyair Korea. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hoed, Benny. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Koh Young Hun & Tommy Christomy, terj. 2007. Laut dan Kupu-kupu. Kumpulan Cerpen Korea. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mahayana, Maman S. & Teguh Imam Subarkah. 1996. Pertemuan:Kumpulan Cerpen Korea Selepas Perang. Jakarta: Pustaka Jaya. Scott, A.F. 1965. Current Literary Terms: A Concise Dictionary. London: The Macmillan Press, Ltd. Yoo Hui-sok. Jan-Feb 2010. Promoting Korean Literature? A Short Note. World Literature Today(Norman), Vol.84, Iss.1, page. 53

43


Pengajaran Bahasa Korea di Indonesia -Peluang dan TantanganRurani Adinda (Dosen, Program Studi Bahasa & Kebudayaan Korea - Universitas Indonesia) Abstrak Fenomena Hallyu di seluruh di dunia termasuk di Indonesia telah memberikan dampak positif bagi pendidikan di Indonesia, khususnya Bahasa Korea. Sudah banyak kalangan muda Indonesia mengenal Korea dari drama, lagu, dan produk-produk Korea itu sendiri. Tetapi dari bidang Bahasa masih banyak yang belum menguasai, banyak bidang kerja yang membutuhkan kemampuan berbahasa Korea bahkan pembelajaran Bahasa Korea sudah meningkat di tingkat pendidikan setara SMA, MA, dan SMK. Disisi lain perkembangan tersebut merupakan tantangan bagi pengajar bahasa Korea juga merupakan peluang yang baik . Untuk mencapai kebutuhan tersebut perlu dilakukan upaya pemerintah dan pengajar bahasa Korea berkerjasama agar peluang dan tantangan dapat tercapai. Kata kunci : pendidikan bahasa Korea, peluang, tantangan, pengajaran bahasa Korea Abstract Hallyu phenomenon throughout the world, including in Indonesia has positive impact on education in Indonesia, especially on Korean Language. Recently in Indonesia, there are a lot of young people who know about Korean drama, Korean pop song, and also Korean famous products. Nowadays in Indonesia there are a lot of Korean companies that demand their worker to show their fluent mastery of Korean language. Even the Ministry of Education has issued a regulation about Korean Language education in high school like SMA, MA, and SMK. On the other hand, these challenge can be seen as a good opportunity for the Korean language teachers to help and set the goal to meet the requirements. It is in this case that Indonesian government needs more collaboration with Korean language teachers to meet the opportunities and challenges. Keywords: Korean language education, opportunities, challenges, teaching Korean language

A. Pembuka Perkembangan Korean Wave (Hallyu) di seluruh dunia bahkan di Indonesia tidak dapat dipungkiri lagi telah menarik minat orang untuk lebih mengetahui tentang Korea. Korea yang dulu di Indonesia hanya dikenal sebagai negara kecil di Asia Timur, masyarakat Indonesia umumnya dan generasi muda khususnya lebih mengenal dan mengetahui tentang Jepang daripada Korea. Masih sedikit orang Indonesia yang memahami tentang Korea.

44


Berkembangnya Hallyu di negara-negara Asia Timur dan di Asia Tenggara telah menunjukkan adanya aliran budaya dari Korea ke negara-negara tetangganya. Hallyu memang suatu fenomena ―seni populer‖ yang sangat digemari dan diminati bukan saja para remaja, bahkan para ibu rumah tangga, dan semakin banyak kalangan menyukai ―seni populer ― dari Korea ini. Sehubungan dengan maraknya Hallyu di Indonesia, semakin populer juga bahasa Korea di kalangan remaja dan di berbagai kalangan masyarakat. Semakin banyak remaja mengetahui ungkapan salam bahasa Korea seperti „kamsahamnida, annyounghaseyo, dan palli palli”. Selain itu, pemerintah Korea melalui kedutaannya di Indonesia juga aktif mempromosikan produk seni populer mereka di Indonesia Mereka juga aktif menawarkan beasiswa studi lanjut ke Korea atau dengan promosi wisata Korea dengan paket paket tur yang menggiurkan, serta memperkenalkan sistem ujian kemampuan bahasa Korea (TOPIK – Test of Proficiency in Korean Language) sebagai syarat untuk dapat bekerja dan melanjutkan studi di Korea Selatan. Kini memang semakin marak pelajar Indonesia dan pekerja yang memilih Korea sebagai tempat tujuan untuk melanjutkan studi di Korea atau bekerja di korea. Tentu mereka juga berusaha mempelajari bahasa Korea dengan baik dan benar. Fenomena ini menjadi tantangan bagi pengajar bahasa Korea di Indonesia untuk mampu menghadapi tantangan ini, selain tentunya hal ini juga berarti peluang peluang yang baik. Berikut ini adalah paparan penulis untuk mengajak Anda sekalian membahas dan mengetahui peluang dan tantangan para pengajar Bahasa Korea di Indonesia. B. Pendidikan Bahasa Korea di Indonesia Perkembangan pendidikan bahasa Korea di Indonesia boleh dibilang belum lama. Lembaga pendidikan resmi yang mengadakan pendidikan bahasa Korea yang telah kita ketahui adalah Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Nasional (UNAS). Pembelajaran bahasa Korea di tingkat perguruan tinggi tergolong baru karena UI membuka program studi Bahasa dan Kebudayaan Korea pada 2006, UNAS membuka program studi Bahasa Korea pada 2005, dan UGM membuka program studi Bahasa Korea pada 2007. Walaupun program studi Korea di Indonesia masih tergolong baru, tetapi minat pelajar untuk memasuki ketiga lembaga pendidikan tersebut sangat tinggi. Setiap tahun bertambah peminatnya. Akan tetapi, setiap lembaga pendidikan mempunyai batas dan kriteria untuk dapat meloloskan kandidat dalam ujian. Program studi Bahasa Korea di UI jika dilihat dari jumlah peminat dan yang lolos dari saringan ujian masuk SNPTN 2014, maka bisa terlihat bahwa UI hanya sanggup menampung 45


60 siswa saja, padahal peminat untuk memasuki program studi Korea pada tahun 2013 berjumlah 1753 (sumber: megapolitan.kompas.com). Hal ini naik lima kali lipat dari jumlah peminat pada program yang sama pada 2006. Di samping itu para calon tenaga kerja Indonesia yang ingin bekerja di Korea selatan semakin meningkat. Hal ini salah satunya bisa dilihat dari fakta bahwa BNP2TKI dengan programna (G to G) elah banyak mengirim warga Indonesia untuk bekerja di Korea (sumber: BNP2TKI.go.id). Pemerintah Korea Selatan pada tahun 2014 memberi kuota sebanyak 10.200 orang (sumber: tribunnews.com). Bagi para peminat kerja ke Korea, pihak BNP2Tahwa mereka harus telah lulus tes ujian EPS – TOPIK (Employment Permit System- TOPIK). Oleh karena itu, calon tenaga kerja ke Korea sebelum bekerja di Korea harus dibekali terlebih dahulu, salah satunya adalah pemahaman tentang bahasa Korea. Sementara itu, Peraturan Menteri Pendidikan No. 69 tahun 2013 mengatakan bahwa pengajaran bahasa Korea telah dimasukkan dalam kelompok mata pelajaran peminatan setara Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah dan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan. Hal tersebut diperkuat lagi dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 64 tahun 2014, pada Peraturan Menteri pasal 3 ayat 1–3 yang menyatakan bahwa peserta didik wajib melakukan pilihan mata pelajaran dalam kelompok bahasa asing lain, seperti bahasa Arab, Mandarin, Jepang, Korea, Jerman, dan Perancis . Dengan dikeluarkannya peraturan menteri tersebut, sejumlah sekolah di Jakarta telah menyelenggarakan pengajaran bahasa Korea di lembaga pendidikannya, terutama lembaga setingkat SMK. Bahkan, ada juga yang memasukkan pengajaran bahasa Korea ini sebagai kegiatan ekstra kurikuler sekolah di lembaga pendidikan setingkat SMP. Dilihat dari itu semua, memang perkembangan pembelajaran bahasa Korea di Indonesia secara kuantitatif sangat pesat. Namun, secara kualitif masih banyak menghadapi kendala. Minat pembelajar bahasa Korea dari tahun ke tahun terus bertambah, tetapi lembaga penyelenggara masih harus ditingkatkan. Hal ini diakibatkan oleh terbatasnya jumlah tenaga pendidik bahasa Korea. Karena dari ituah, sangat besar peluang dan tantangan pengajar bahasa Korea dalam menghadapi masalah ini. C.

Peluang bagi para pengajar bahasa Korea

Berdasarkan gambaran di atas, peluang untuk berkiprah di dunia pendidikan bahasa Korea masih sangat cukup terbuka. Sebagai guru atau dosen misalnya, kesempatan itu dapat muncul dalam setting lembaga formal dan non-formal. Di lembaga formal, mereka dapat menjadi pengajar di perguruan tinggi, sekolah menengah atas, bahkan di wilayah tertentu mereka bisa berkarir di sekolah 46


menengah pertama yang sudah mengajarkan bahasa Korea. Sementara itu, di lembaga non-formal, mereka dapat menjadi pengajar pada lembaga kursus, instruktur pelatihan untuk persiapan calon tenaga kerja ke Korea, termasuk sebagai pengelola atau penanggung jawab pada lembaga yang menyelenggarakan pendidikan bahasa Korea. Sejak tahun 2004 Indonesia diminta untuk mengirimkan tenaga kerja ke Korea. Pada tahun 2014 Indonesia diminta mengirimkan tenaga kerja sebanyak 10.200 orang. Adanya permintaan dari pihak Korea Selatan itu dapat membuka peluang bagi sebagian orang untuk dapat menjadi instruktur pelatihan bahasa Korea bagi mereka. Sementara itu, minat terhadap budaya Korea juga cenderung meningkat dengan semakin banyaknya peminat drama Korea, animasi Korea. Terkait hal ini, terbukalah peluang untuk menjadi penerjemah film dan drama-drama Korea. Selain itu, mereka dapat juga menjadi penerjemah karya-karya berbahasa Korea, baik mengenai keilmuan atau pun bacaan populer seperti novel dan komik. Penerjemahan karya-karya Korea ke dalam bahasa Indonesia cukup menantang dan menjanjikan harapan. Seiring dengan perjalanan waktu, jabatan pengajar sebagai guru atau dosen akan terus berkembang dalam kinerja yang menembus waktu dan ruang yang tidak terbatas tanpa kehilangan jati dirinya. Maka, tidaklah terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa di masa mendatang, pengajar, dosen, atau guru bahasa Korea pun bisa menjadi salah satu SDM yang paripurna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Terlepas dari kritik terhadap pengajar, guru atau dosen, mengajar menawarkan karier yang cerah bagi mereka yang dapat menjawab tantangan intelektual dan sosial dari pekerjaan ini. Masyarakat modern membutuhkan sekolah yang memiliki pengajar ahli untuk mengajar. Untuk itulah, guru atau dosen diharapkan mempraktekkan terbaik dari apa yang mereka miliki untuk membantu siswa mempelajari berbagai ketrampilan. Artinya, seorang pengajar bahasa Korea tidak cukup sekedar menerapkan praktik-praktik mengajar yang semata-mata didasarkan pada kepentingan institusi, preferensi pribadi, atau kearifan konvensional, tetapi mereka juga harus mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan perkembangan lingkungan. Di sisi lain, peluang untuk pengembangan bahasa Korea semakin terbuka, karena seseorang yang menguasai bahasa Korea dapat dipastikan memiliki modal dasar untuk mendalami dan mengembangkan kajian Korea, atau setidaknya mengembangkan studi ilmu-ilmu tentang Korea seperti linguistik, budaya, sejarah, ekonomi, susastra, dan sebagainya, tentunya dengan cara merevitalisasi penelusuran (eksplorasi) dan elaborasi sumber-sumber aslinya. Dengan kata lain, 47


bahasa Korea dapat dijadikan sebagai alat dan modal hidup untuk mencari dan memperoleh sesuatu yang lain di luar bahasa Korea, baik itu segi keilmuan maupun ketrampilan dalam berkomunikasi lisan. Berikut ini adalah peluang untuk pengembangan profesi keguruan, yaitu menjadi tenaga pengajar bahasa Korea yang profesional. Seperti yang telah disebutkan pada Peraturan Menteri No. 64, pembelajaran bahasa Korea sebagai mata pelajaran peminatan untuk tingkat sekolah menengah, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, dan lembaga pendidikan yang sederajat menawarkan kompetensi dan kewenangan akademik dan profesional. Untuk mencapai itu semua, tentu saja diperlukan para lulusan pendidikan bahasa Korea. Dalam hal usaha menggiatkan dan membudayakan tradisi penelitian dan pengembangan kajian Korea, maka perlu adanya Ilmu kekorean. Ilmu ini harus diupayakan agar semakin berkembang, dinamis, dan maju. Melalui penggiatan penelitian, tentu saja karya akademik dalam bidang ini dapat dihasilkan. Pada akhirnya, komunitas kajian Korea bisa pula menjadi lebih tercerahkan. Namun demikian, selama ini yang menjadi hambatan adalah kurangnya minat meneliti atau rendahnya dana penelitian. Untuk itulah, penting bagi setiap dosen untuk meneliti atau menulis karya-karya akademik yang relevan dengan keilmuannya. Tentu saja, kegiatan penelitian ini harus didukung dengan insentif yang memadai. Peluang berikutnya adalah kesempatan studi lanjut ke Korea, mengingat hubungan Korea dan indonesia yang sangat erat. Dalam hal ini, pemerintah Korea setiap tahun memberi kesempatan kepada kaum muda pelajar dan peneliti Indonesia untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Korea dengan pemberian beasiswa baik dari pemerintah Korea maupun perusahaan besar Korea yang telah lama berada di Indonesia. Di antaranya adalah beasiswa dari kementerian pendidikan Korea atau yang disebut NIIED (National Institute of International Education), Korea Foundation Fellowship, Posco, Unesco, serta beasiswa dari kerjasama antaruniversitas, termasuk pelatihan singkat yang diadakan di Korea, seperti pelatihan untuk pengajar bahasa Korea, pendidikan bahasa Korea , dan masih banyak lagi. Tentu, semua itu diutamakan bagi mereka yang telah dapat berbahasa Korea atau mereka yang berkutat atau meneliti bidang kekoreaan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka perlu disadari bahwa peluang untuk berkarir sebagai pengajar bahasa Korea sangat terbuka. Hal ini mengingat bahwa pengajar adalah guru yang merupakan komponen penting dalam pendidikan dan mereka berperan sangat strategis. Pengajarlah yang langsung berhadapan dengan para pembelajar, mengantarkan pembelajar ke puncak cita-citanya. Dengan lahirnya undang- undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, peran pengajar semakin mendapat apresiasi karena UU tersebut mengatur tentang penghargaan 48


terhadap guru dan dosen, baik dari segi profesionalisme maupun finansial serta perlindungan hukum dan keselamatan dalam melaksanakan tugas. D. Tantangan bagi pengajar bahasa Korea Sebagaimana yang telah disebutkan di awal tulisan ini, di Indonesia baru terdapat tiga lembaga pendidikan tinggi yang membuka program studi bahasa Korea, maka kegiatan pembelajarannya pun masih terbilang baru jika dilihat dari masa sejak dibukanya program studi tersebut. Namun, kebutuhan tenaga pengajar bahasa Korea sangatlah tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tingginya minat orang Indonesia terhadap budaya dan bahasa Korea setelah Hallyu menerjang Indonesia. Selain itu, sekali lagi perlu diingat bahwa saat ini telah ada Peraturan Menteri yang mengatur peminatan mata pelajaran bahasa asing, dengan bahasa Korea sebagai salah satunya. Hal itu berimbas pada meningkatnya kebutuhan pengajar untuk para calon pembelajar bahasa Korea termasuk mereka yang ingin menjadi tenaga kerja ke Korea—terlebih dengan adanya kewajiban mereka untuk lolos ujian EPS-TOPIK sebelum bekerja. Faktor-faktor itu adalah tantangan bagi pengajar bahasa Korea. Seperti yang telah diketahui, permasalahan pengajaran bahasa Korea berkisar pada jumlah pembelajar yang terus meningkat, tetapi tidak disertai oleh jumlah pengajar yang seimbang. Akibatnya banyak pengajar bahasa Korea di lembaga kursus, maupun di lembaga pendidikan resmi yang kemampuan bahasa Koreanya masih rendah. Selain itu, kesempatan pembelajar untuk berbicara dalam bahasa Korea pun masih sangat rendah. Suatu profesi bukanlah dimaksudkan hanya untuk mencari keuntungan bagi dirinya, baik dalam arti ekonomis maupun dalam arti psikis, tetapi profesi itu juga harus dipandang sebagai bentuk pengabdian pada masyarakat. Itu berarti bahwa profesi sebagai pengajar bahasa Korea tidak boleh merugikan atau menimbulkan malapetaka bagi orang lain dan masyarakat. Sebaliknya, profesi itu harus menimbulkan kebaikan, keberuntungan serta kesejahteraan masyarakat. Hal lain yang masih bisa menjadi kendala bagi para pengajar bahasa Korea adalah kurangnya sarana dan prasarana, seperti buku ajar, dan kurangnya informasi mengenai budaya Korea. Selama ini, buku ajar yang digunakan untuk perguruan tinggi masih tergantung pada buku ajar yang dikeluarkan dari berbagai universitas di Korea untuk orang asing yang belajar bahasa Korea di Korea. Ketiga lembaga perguruan tinggi seperti UI, UGM, dan UNAS, pada awalnya menggunakan buku ajar bahasa Korea yang diterbitkan oleh universitas di Korea, misalnya buku Sogang Hangugo dari Universitas Sogang. Kini, buku itu masih digunakan sebagai buku ajar untuk pembelajar di prodi Korea UI. Tentu hal itu dipakai dengan cara memperbanyak buku tersebut dengan memfotokopi buku aslinya. Tetapi sejak 49


ajaran baru 2014, Prodi Korea UI telah menggunakan buku ―Bahasa Korea Terpadu untuk Orang Indonesia‖ yang dikeluarkan oleh Korea Foundation bekerja sama dengan Kookmin Bank Korea. Bantuan buku tersebut sangatlah membantu pembelajar untuk lebih memahami bahasa Korea, karena isinya diikuti dengan situasi di Indonesia, sehingga pembelajar lebih cepat belajar bahasa Korea dengan baik. Tetapi buku tersebut ditujukan untuk orang yang belajar di tingkat perguruan tinggi. Jika digunakan untuk para pelajar setara SMU dan para calon pekerja yang akan bekerja di Korea kurang cocok. Hal ini berarti masih diperlukan buku yang bersifat lebih sederhana dan tidak terlalu sulit. Banyak buku tentang pembelajaran bahasa Korea di tokotoko buku di Indonesia, tapi buku tersebut hanya sebagai pengantar awal atau pengetahuan awal tentang bahasa Korea, juga hanya sebagai panduan belajar singkat untuk keperluan terbatas saja. Keterbatasan buku ajar bahasa Korea merupakan tantangan para pengajar bahasa Korea untuk membuat buku ajar yang sesuai dengan tingkat didik pembelajar. Bahkan sampai saat ini pihak BNSP masih berupaya mencari para penulis untuk dapat bekerja sama dengan para penerbit untuk membuat buku ajar bahasa Korea untuk tingkat SMU/MA dan SMK. Buku ajar haruslah disesuaikan dengan isi kurikulum pada Peraturan Menteri No. 69 tahun 2013. Untuk menangani keterbatasan buku ajar pada tingkat SMU, MA dan SMK, pihak Kedutaan Korea memberi bantuan buku bahasa Korea secara gratis. Tentu saja, hal itu bisa dilakukan jika pihak sekolah menginformasikan kepentingannya untuk mendapatkan buku bahasa Korea bagi para siswanya. Selain buku ajar untuk pembelajar tingkat perguruan tinggi dan yang setara dengan pendidikan menengah, masih banyak jenis buku bahasa Korea yang harus dibuat, misalnya, buku bahasa Korea tentang perkantoran, bisnis, pariwisata, teknik, dan lain sebagainya. Ini semua merupakan tantangan bagi pengajar bahasa Korea di Indonesia. Selain itu, hambatan yang ditemui dalam pembelajaran bahasa Korea untuk para calon tenaga kerja dan pembelajar sekolah-sekolah adalah prasarana kelas, jumlah siswa yang terlalu banyak, motivasi belajar siswa yang kurang, persiapan pengajar yang kurang, dan lab yang tidak memadai. Hal itu ditambah dengan kurangnya jumlah tenaga pengajar, kurangnya kesempatan berinteraksi langsung dengan native speaker dan kurang fleksibelnya kurikulum. Upaya yang mungkin dapat dilakukan dalam mengatasi hambatan itu semua adalah dengan digunakannya fasilitas pribadi, seperti laptop, gambar-gambar, dan mini audio untuk latihan mendengar; dibaginya para siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil, sertai dibiasakannya para siswa untuk berbicara bahasa Korea. 50


Perlu juga diingatkan bahwa sebelum merebaknya Hallyu di Indonesia, sudah banyak perusahaan-perusahaan besar Korea seperti Samsung, Hyundai, LG, dan Kideco yang berkibar di Indonesia. Bahkan, kini semakin banyak perusahaan Korea yang berinvestasi di Indonesia seperti Lotte, Tou Le Jours, SK, dan perusahaan terkenal lainnya. Tentu saja perusahaan itu membutuhkan orang Indonesia yang mempu berbahasa Korea dengan baik. Di sisi ini, ada juga perusahaan Korea yang malah memberikan pelajaran bahasa Korea untuk para karyawannya agar mereka bisa berkomunikasi dan saling dapat memahami kebudayaan dua negara. Hal ini merupakan tantangan bagi pengajar bahasa Korea untuk dapat membawa dan mengarahkan para siswanya untuk siap menghadapi tantangan tersebut . E. Penutup Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa banyak persoalan dan tantangan bagi para pengajar bahasa Korea yang perlu dihadapi, disikapi, dan dicarikan solusinya secara akademik dan dalam batas-batas tertentu secara politik. Mencermati peluang dan tantangan pengajar bahasa Korea, ada banyak pemikiran yang menarik. Namun, semua itu pada dasarnya bermuara pada pengajar bahasa Korea untuk membina diri agar tetap profesional dengan cara membuat rancangan yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan saat ini dan yang akan datang. Banyak hal yang harus segera dilakukan bagi pengajar bahasa Korea. Salah satunya tentang buku ajar dan bagaimana membentuk siswa yang mampu menghadapi kebutuhan tenaga terampil berbahasa Korea dalam waktu dekat semaksimal mungkin. Untuk mendukung tantangan dan peluang tersebut, perlu dua hal, yaitu pentingnya pengembangan pembelajaran bahasa Korea yang lebih inovatif demi meningkatnya kualitas lembaga-lembaga pendidikan; serta pentingnya usaha untuk menghasilkan calon guru bahasa Korea yang bisa mencetak para pembelajar, siswa, murid, termasuk para tenaga kerja yang mampu berbahasa Korea profesional di bidangnya.

51


Daftar Pustaka Peraturan Mentri Nomor 69 tahun 2013, Kementrian Pendidikan Budaya Indonesia Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 64 tahun 2014 Yang Seung-Yoon, 2005, 40 tahun Hubungan Indonesia-Korea Selatan, Yogyakarta:Gama Press Universitas Gajah Mada http//www. Bpnp2tki.go.id http:// idn.mofa.go.kr/pendidikan http//www.kf.org.kr http:// megapolitan. kompas.com/read/2014/09/09/1721022/ Karena K-Pop, peminat prodi Korea UI naik 5 kali lipat, diunduh 9 september 2014 pkl. 17.21 http//www. Niied.go.kr http://www.dikti.go.id, Oktober 2014 http://www.dikti.go.kr/smptn/ Peminat perguruan tingi Oktober 2014 http://www.dikti.go.id/peraturan mentri, Oktober 2014 http://id.koreancullture.org/navigator.do?siteCone=null&langCode=null&menuC ode=201105180003&action=VIEW&seq=55265 http:/tribunnews.com/nasional/2014/06/13/tenaga-kerja Indonesia favorit di Korea Selatan, diunduh 13 juni 2014, pkl. 22.40

52


Esai tentang Korea dan Indonesia dalam Pembangunannya

53


Mengembalikan Kejayaan Bangsa Indonesia: Sebuah Upaya untuk Membangkitkan Rasa Nasionalisme Bangsa Annisa Budiutami Soeraadiwidjaja (Park Chung Hee School of Policy and Saemaul Undong) Yeungnam University

Selama 69 tahun bangsa kita, Indonesia merdeka. Dalam kurun waktu tersebut telah banyak fase dinamika pembangunan yang telah kita lewati, mulai dari periode kepemimpinan Bung Karno hingga periode kepemimpinan baru di bawah presiden terpilih Indonesia ketujuh, yaitu Joko Widodo. Dengan rentang waktu yang cukup lama itu, kita sebagai bangsa Indonesia harus dapat berkaca dari pengalaman terdahulu sebagai sebuah instropeksi dan restropeksi. Kita harus menggunakan itu semua untuk memajukan bangsa Indonesia. Jangan sampai pengalaman dan tragedi buruk di masa lampau terulang kembali dan menyebabkan kondisi bangsa kita menjadi terpuruk. Seperti yang kita ketahui, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya. Jika dilihat dari tinjauan secara geografis, wilayah bangsa Indonesia terbentang dari pulau Sabang hingga Merauke, di mana terdapat rangkaian pulau besar di dalamnya, yaitu pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi serta Papua, serta ribuan pulau kecil yang mengelilingi alam Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kekayaan alam yang sangat besar. Potensi kekayaan alam Indonesia sangat luar biasa, baik dari sumber daya alam hayati maupun non hayati. Kekayaan alam Indonesia tersebut meliputi kekayaan laut, kekayaan agraris, dan kekayaan lainnya yang terkandung di dalam bumi, seperti aneka bahan tambang dan minyak bumi. Seluruh kekayaan tersebut merupakan milik bangsa Indonesia dan diperuntukkan bagi rakyat Indonesia. Melihat fenomena kekayaan alam tersebut, seharusnya Indonesia dapat menjadi sebuah negara yang makmur dan unggul atas pengelolaan sumber daya alamnya. Namun pada kenyataannya, hal tersebut tidak seperti yang diharapkan. Fenomena tersebut ternyata berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Fakta yang terjadi adalah banyaknya rakyat Indonesia yang masih terjerat tali kemiskinan dalam hidupnya. Hal tersebut dikarenakan bangsa kita yang seharusnya dapat menjadi produsen kebutuhan pokok dalam sektor pertanian dan kekayaan alam lainnya di negara sendiri. Namun, ternyata kita tidak (atau belum) mampu untuk mengolah potensi sumber daya alam yang ada. Lantas, apakah penyebab dari ketidakmampuan bangsa Indonesia untuk menjadi produsen di negaranya sendiri? 54


Membicarakan tentang ketidakmampuan bangsa kita dalam mengelola potensi sumber daya alamnya, setidaknya terdapat beberapa faktor penyebab yang melatarbelakanginya. Salah satu faktor penyebab tersebut antara lain adalah adanya korupsi yang dilakukan oleh para birokrat dalam pemerintah. Perilaku korupsi di Indonesia telah mewabah dan terstruktur. Korupsi telah merajalela di hampir seluruh instansi publik dalam pemerintahan pusat maupun daerah. Skandal korupsi yang terjadi di Indonesia bahkan dapat disamakan seperti skandal yang ada di Rusia ataupun Tiongkok. Korupsi merupakan sebuah hambatan sosial yang menyebabkan rusaknya sendi-sendi bernegara. Korupsi telah merusak struktur pemerintahan dan menjadi penghambat proses pembangunan nasional. Hakikat dari korupsi ini sendiri adalah sebuah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatannya guna mendapatkan keuntungan pribadi, yang mana hal tersebut telah merugikan kepentingan umum dan negara. Dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, tindak korupsi sendiri terjadi dalam hal penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik di dalam berbagai sektor, seperti kehutanan, perkebunan, pertanahan, pertambangan, seperti terlihat dalam tindakan suap-menyuap dari berbagai pihak, baik pihak lokal maupun asing. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan izin dalam mengeksplorasi sumber daya alam Indonesia. Dengan mendapatkan izin tersebut, para pihak lokal maupun asing semakin leluasa dalam menyerap keuntungan pada sumber daya alam kita. Fenomena tersebut telah membuat semakin sempitnya peluang rakyat Indonesia untuk mengelola dan mengolah kekayaan alam negeri ini. Faktor penyebab yang selanjutnya adalah kecenderungan pemerintah yang berpihak pada kebijakan impor untuk memenuhi kebutuhan rakyat dalam sektor sumber daya alam. Pada dasarnya kebijakan impor sendiri memiliki tujuan yang baik. Impor adalah usaha untuk mendatangkan barang dari luar negeri dengan ketentuan yang berlaku guna memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Namun, pada perkembangannya kebijakan impor ini menjadi tidak seimbang dan berlebih. Terlampau banyaknya impor ini terindikasi muncul karena kurangnya pengawasan dari pemerintah pusat dalam pengelolaan dan pemenuhan sumber daya alam bagi rakyat. Pemerintah dalam hal ini kurang cermat dalam menyeleksi jenis komoditi apa saja yang perlu dan tidak perlu dipenuhi untuk didatangkan dari luar negeri. Dalam kebijakan impor, selama ini Indonesia telah mengimpor produk konsumsi yang berupa bahan baku dan bahan sekunder. Semua produk itu telah melebihi batas impor yang seharusnya. Hal tersebut tentunya akan menimbulkan dampak di kemudian hari. Seperti contohnya di sini adalah jenis komoditi beras. Beras merupakan komoditi utama di negara kita. Beras pun merupakan kebutuhan 55


pangan pokok bagi masyarakat Indonesia sehari-hari. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil padi terbesar di dunia. Menurut data lembaga dunia FAO, Indonesia pada tahun 2009 berada di urutan ketiga dari atas setelah India, sebagai produsen padi terbesar di dunia. 4 Pencapaian tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kekuatan besar dalam sektor agrarisnya. Indonesia dalam hal ini bisa dikatakan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya sendiri. Dengan demikian, sebetulnya Indonesia tidak perlu mengimpor beras dari luar.Dalam hal ini, pemerintah seharusnya dapat mendorong dan memberikan dukungan lebih terhadap para petani di Indonesia dalam meningkatkan produktivitas panennya. Bisa dikatakan bahwa sebenarnya kebutuhan rakyat terhadap beras dapat dipenuhi tanpa impor. Selain itu, pemerintah seharusnya membatasi kuota impor yang berkaitan dengan bidang sumber daya alam. Adanya pembatasan dan peraturan yang tertib dalam impor tentunya akan memberi dampak positif terhadap produsen lokal. Kondisi tersebut akan membuat para petani produsen lebih percaya diri dalam mengembangkan kualitas panennya. Hal selanjutnya yang menjadi penyebab terhambatnya bangsa Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya adalah kurangnya sumber daya manusia yang terampil dan profesional di negara Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa keberadaan sumber daya alam di bumi Indonesia ini tersebar dengan tidak merata. Oleh karena itu, keberadaannya harus dijaga agar terhindar dari eksploitasi. Saat ini, permasalahan yang muncul adalah terjadinya penurunan sumber daya alam di Indonesia. Fenomena ini muncul karena terlalu terpusatnya kekuasaan dalam sistem pengelolaan sumber daya alam. Pada dasarnya seluruh rakyat Indonesia memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya alam. Walaupun tidak tertulis, tetapi hak ini diakui dan dihormati oleh setiap masyarakat. Namun, hal yang terjadi saat ini adalah penguasaan sumber daya alam yang ada pada masyarakat daerah telah diambil alih oleh negara (pemerintah pusat). Hal tersebut terjadi karena kesalahpahaman terhadap pengartian salah satu pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa ‖bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.‖ 5 Kondisi tersebut diperburuk dengan adanya sebagian oknum dari pemerintah yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Hal ini berakibat pada tidak terdistribusinya dengan baik keuntungan dari sumber daya alam kepada rakyat.

4

Diunduh dari situs Food and Agricultural Organization: www.fao.org, pada Jumat, 17 Oktober 2014, pukul 16.30 5

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Diunduh dari situs http://www.dpr.go.id/id/uudan-ruu/uud45 , pada Sabtu, 18 Oktober 2014, pukul 08.00

56


Itulah ketiga permasalahan utama yang menjadi penyebab mengapa bangsa Indonesia tidak dapat mengelola sumber daya alamnya dengan baik. Setelah mencermati ketiga faktor tersebut, inti dari seluruh permasalahan tadi adalah kembali pada unsur nasionalisme. Lemahnya nasionalisme yang melekat pada bangsa Indonesia, baik rakyat maupun pemerintah menjadi penyebab utama di sini. Terdegradasinya semangat kebinnekhatunggalikaan, turunnya penghormatan terhadap nilai-nilai moral, dan lunturnya faham bahwa bangsa kita berlandaskan ketuhanan. Semua itu terjadi karena adanya kepentingan pribadi pada beberapa kelompok masyarakat yang kurang dapat menghargai perbedaan dan yang kurang bisa bertoleransi. Melihat fenomena tersebut, rasa nasionalisme harus kembali dibangkitkan dan dikembangkan pada setiap jiwa rakyat Indonesia. Hal itu merupakan tantangan besar bagi bangsa Indonesia untuk dapat mengembalikan spirit nasionalisme di tengah-tengah proses pembangunan nasional. Pengembangan rasa nasionalisme ini ditujukan untuk memupuk rasa cinta tanah air pada bangsa dan negara Indonesia di setiap hati rakyat Indonesia. Tidak hanya itu saja. Pembangkitan rasa nasionalisme ini harus disertai dengan pengujian bahwa apakah jiwa nasionalisme bagi bangsa Indonesia sudah merasuk pada sebagian besar rakyat dan pemerintahnya. Jika dalam prosesnya, kita telah dapat lebih mengutamakan kepentingan bangsa dibandingkan kepentingan yang lainnya, maka artinya nasionalisme kita telah tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, marilah kita berkaca terhadap pengalaman bangsa lain. Sebagai seorang pelajar yang menempuh graduate program di Korea Selatan, Korea Selatan merupakan sebuah negara yang dapat menjadi contoh baik dalam membangun nasionalisme bangsanya. Korea Selatan adalah salah satu negara yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dalam diri konsumennya. Lihatlah produkproduk unggulan yang diciptakan oleh negara ini, seperti Samsung, LG, Hyundai. Semua label produk tersebut saat ini telah menyebar dan memiliki pangsa pasar di berbagai belahan dunia. Hal ini tidak terlepas dari peran seorang presiden, yaitu presiden Park Chung Hee yang telah membangun nasionalisme pada rakyat Korea Selatan. Seperti yang kita ketahui, pada era tahun 1950an, Korea Selatan merupakan salah satu negara termiskin di dunia. Namun setelah empat dekade berjalan, Korea Selatan bertransformasi dari negara berkembang menjadi negara maju di dunia. Bahkan saat ini Korea Selatan telah menjadi salah satu negara yang aktif memberikan peran sertanya sebagai negara pendonor pada negara berkembang di dunia. Pesatnya pembangunan tersebut dapat terjadi di Korea Selatan karena keberhasilan presiden Park Chung Hee dalam menggalang semangat nasionalisme 57


dalam spirit Saemaul Undong. Saemaul Undong pada mulanya merupakan gerakan perubahan dalam pembangunan nasional Korea Selatan. Gerakan ini ditujukan pada masyarakat pedesaan guna menyejahterakan kehidupan mereka dan mengurangi tingkat kemiskinan. Terdapat tiga unsur utama dalam prinsip pembangunan ini, yaitu dilligence atau ketekunan, self help atau swadaya, dan cooperation atau kerjasama. 6 Dengan ketiga unsur tersebutlah, Presiden Park Chung Hee membangun rasa nasionalisme pada bangsanya. Rasa nasionalisme tersebut telah berhasil menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas pada bangsa Korea. Dengan melekatnya nasionalisme tersebut, Saemaul Undong telah menjadi sebuah spirit yang sangat melekat dan tertanam dalam diri rakyat Korea Selatan. Dalam perkembangannya, rasa nasionalisme juga tercermin pada kebijakankebijakan perekonomian di negara Korea Selatan. Walaupun sistem perekonomian Korea Selatan menerapkan liberalisasi dalam pembangunannya, namun Korea Selatan tidak melepas7 begitu saja sektor perekonomiannya terhadap pasar. Negara melalui pemerintah masih memiliki keterkaitan dan campur tangan dalam mengatur pasar, meskipun tidak signifikan. Bukti peran pemerintah dalam mengatur pasar adalah adanya kebijakan Export Oriented Industrialization. Kebijakan Export Oriented Industrialization ini merupakan perubahan baru dalam strategi industri di Korea Selatan dari yang sebelumnya menerapkan strategi Industrialisasi Substitusi Impor. Kebijakan Export Oriented Industrialization ini menjadi strategi utama pada pembangunan pangsa pasar bagi industri manufaktur di Korea Selatan. Saat itu perekonomian Korea Selatan bergantung penuh terhadap sektor ekspornya. Dalam pemerintahannya, presiden Park Chung Hee memberikan dorongan besar terhadap sektor swasta dan Chaebol-nya untuk berperan aktif dalam mewujudkan agenda pembangunan pada pengembangan industri manufaktur, berupa produkproduk elektronik, baja, otomotif, dan sebagainya. Pada perkembangannya, kebijakan ini telah berhasil menggandeng berbagai perusahaan konglomerat Korea Selatan yang dikenal sebagai Chaebol untuk maju bersama-sama membangun perkonomian di Korea Selatan.8 Chaebol merupakan sebuah sektor bisnis besar atau konglomerasi, berorientasi pada prinsip kebijakan industri yang dirintis pada tahun 1950an oleh presiden Park Chung Hee. Chaebol di sini telah berperan besar dalam menciptakan produk-produk dalam negeri berkualitas yang dicintai oleh rakyat Korea Selatan.

6

Chung Kap Jin. 2009. Summary Report on Saemaul Undong: Experiences and Lessons from Korea's Saemual Undong in the 1970s . South Korea: Korea Development Institute. 77

Dwight H.Perkins.1997.The Korean Economy 1945-1995:Performance and Vision for the 21st Century. Seoul: Korea Develoment Institute, page 44-51. 8 Jong Won Lee.2006.Industrial Policies, Chaebols, and Market Reform Agenda in Korea.Journal of East Asian Affair, Sungkyunkwan University, page 135-137.

58


Hal tersebut berlanjut hingga sekarang. Penanaman nasionalisme melalui cinta terhadap tanah air dan cinta terhadap produk buatan dalam negeri terus berlangsung di Korea Selatan. Marilah kita mengamati iklan yang ditampilkan pada fasilitas-fasilitas umum, seperti pada kereta bawah tanah (subway) di Korea Selatan. Kolom iklan tersebut terisi dengan berbagai produk dalam negeri yang ditampilkan, seperti Samsung Smartphone, LG Smart TV, dan lain sebagainya. Hal itu menjadi bukti bahwa hingga saat ini penanaman rasa cinta terhadap tanah air dan produk bangsanya sendiri masih terus digalang oleh pemerintah Korea Selatan. Setelah melihat keberhasilan negara Korea Selatan dalam membangun nasionalisme dengan Saemaul Undongnya, maka giliran kita sekarang untuk segera berbenah diri. Saat ini merupakan sebuah momentum yang baik. Dalam kabinet pemerintahan yang baru ini, sudah saatnya kita mengembalikan kembali pembangunan Indonesia pada konsep nasionalisme dalam Pancasila. Sebagai bangsa Indonesia, kita harus menyadari bahwa tantangan terbesar ke depan adalah masuknya kita dalam arus pusaran globalisasi. Dengan masuknya kita dalam arus globalisasi tersebut, hal yang harus kita jaga selalu adalah rasa nasionalisme. Nasionalisme tersebut harus selalu ditanamkan untuk memupuk rasa kecintaan rakyat terhadap bangsa dan negara Indonesia. Melalui penanaman rasa nasionalisme tersebut, tentunya akan tercipta sumber daya manusia berkualitas, yang mana akan selalu memprioritaskan kepentingan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Dengan itulah, kesejahteraan dalam pemanfaatan dan pemerataan sumber daya alam akan tercapai.

59


Kembali Menjadi Indonesia Adie Dwiyanto Nurlukman (Universitas Padjajaran & Park Chung Hee School of Policy and Saemaul Undong Yeungnam University)

“Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudra agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 ½ sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela mederita demi pembelian cita-cita.” (Sukarno, Presiden Pertama Indonesia). Indonesia sebuah negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-empat di dunia dengan penduduk 237.641.326 orang (Badan Pusat Statistik, 2010) yang hidup di atas sebuah daratan seluas 1.922.570 km2. Indonesia juga merupakan sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.466 pulau (Bakosurtanal, 2014), yang menjadikannya sebuah negara maritim dengan luas lautan 5,8 juta km² dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2014), dan juga sebagai sebuah negara yang memiliki keindahan dari keberagaman suku dan ethnik yang berjumlah sekitar 1.340 suku bangsa (Badan Pusat Statistik, 2010). Dengan melihat hal-hal tersebut, Indonesia sudah merupakan sebuah negara yang kaya. Belum lagi jika kita menggabungkan jumlah sumber daya mineral yang terkandung di dalamnya, Indonesia memang sebuah negeri yang luar biasa kayanya. Sebuah negara yang lahir dan berdiri dengan cita-cita nasional yang sangat mulia yang dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar dalam bernegara ―membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.‖. Maka sudah sepatutnya jika seluruh kegiatan ataupun program yang dilakukan pemerintah haruslah bertujuan dan berorientasi pada hasil sesuai dengan apa yang telah diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Setelah peristiwa reformasi, Indonesia seperti kehilangan pondasi-pondasi pembangunannya. Lambatnya restrukturisasi ekonomi pasca krisis moneter masih terasa sampai saat ini. Orde Baru di bawah sistem yang penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme bertanggung jawab atas membusuknya pondasi-pondasi ekonomi yang 60


ada (Chanigo, 2012). Pembusukan tersebut terjadi akibat praktik komersialisasi dan swastanisai yang dilakukan oleh Orde Baru. Menurut Adrianof Chaniago (2012), kerja sama yang baik antara pemerintah atas nama kebijakan penyesuian struktural melalui deregulasi, badan-badan dunia seperti IMF, ADB, dan Bank Dunia atas nama liberalisasi demi efisiensi pasar, dan juga atas nama peningkatan partisipasi swasta dalam meningkatkan investasi, telah menjadikan penguasaan lahan dalam skala luas, pembangunan infrastruktur publik, dan pembangunan perumahan sebagai bisnis andalan untuk memperlihatkan prestasi pertumbuhan ekonomi. Model pembangunan yang ditujukan untuk memperkuat sektor perekonomian berubah menjadi aglomeration ―industriproperti‖ yang kemudian menciptakan kawasan komersial Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (JABOTABEK). Model pembangunan yang kemudian menciptakan ketimpangan sosial ini kemudian berakibat pada munculnya daerah-daerah kumuh di sekitar yang kemudian perlahan mulai merapuhkan nilai ekonomi dan nilai sosial, hilangnya sejumlah modal sosial, kekacauan sistem tata ruang, dan merosotnya etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. KEKUATAN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PEMBANGUNAN. Hans Kohn mendefinisikan bangsa sebagai hasil tenaga hidup manusia dalam sejarah. Definisi lain diungkapkan oleh Anthony D. Smith, bangsa adalah suatu komunitas manusia yang memiliki nama, menguasai suatu tanah air, memiliki mitos-mitos dan sejarah bersama, budaya publik bersama, perekonomian tunggal, dan hak serta kewajiban bersama bagi semua anggotanya. Sedangkan negara menurut George Jellink adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu. Dari beberapa definisi tentang bangsa dan negara yang dijelaskan di atas, unsur yang penting dari hal tersebut adalah manusia. Sumber daya manusia dalam pembangunan adalah hal yang sering terlupakan, padahal sumber daya manusia adalah unsur penting bagi terbentukya sebuah bangsa dan negara. Kesalahan fatal yang dilakukan model pembangunan di Indonesia dapat dikatakan dikarenakan model pembangunan yang ada mengabaikan pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia. Hal tersebut berakibat pada lahirnya nilai-nilai individualisme, materialisme, dan oportunisme dalam masyarakat. Model pembangunan yang terfokus pada komersialisasi dan privatisasi dalam lingkup yang luas seperti lahan dan energi mineral memang memberikan peningkatan 61


ekonomi yang cepat, tetapi tidak menumbuhkan pondasi-pondasi ekonomi yang bertujuan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Beberapa orang berpendapat sumber daya manusia adalah sumber daya yang luar biasa dan tidak terbatas kemampuannya. Oleh karenanya pengembangan sumber daya manusia adalah sebuah usaha penting dalam pembangunan. Ketika berbicara tentang potensi yang ada dalam sumber daya manusia, maka hal ini menyangkut dua aspek penting, yaitu aspek kuantitas dan kualitas (M.M. Papayungan, 1995). Indonesia dapat belajar dari pengalaman Korea Selatan dalam mencapai perkembangan ekonomi yang sangat cepat. Korea Selatan dengan keberhasilannya saat ini adalah karena pembangunan yang dilakukan dengan menekankan pada pondasi-pondasi ekonominya, termasuk salah satunya adalah pengembangan sumber daya manusia. Pada sejak awal-awal setelah kemerdekaan di bawah kepemimpinan presiden Syngman Rhe, Korea menaruh perhatian yang sangat besar terhadap sistem pendidikannya, yang kemudian juga berlanjut kepada era kepemimpinan setelahnya. Setidaknya ada 4 hal penting yang dilakukan oleh pemerintah Korea untuk meningkatkan sektor pendidikannya, yaitu (1) mengorganisasi sistem pendidikan dengan mengadopsi sistem pendidikan AS (1945-1959), (2) mendukung sistem pendidikan yang membantu kebutuhan industri (1960-1979), (3) reformasi sistem pendidikan dengan mengubah sistem seleksi untuk penerimaan di level universitas (1980-1990), dan (4) fokus pada pengembangan untuk level global (2000-sekarang). (Sakong Il, 2010). Perhatian besar Korea dalam peningkatan dan pengembangan sumber daya manusia pada akhirnya berbuah manis. Korea dengan depat bergerak dari level sebagai negara miskin menjadi salah satu negara dengan tingkat perekonomian tertinggi di dunia. Jika melihat dengan keadaan yang ada, Korea bukanlah negara yang dianugerahi kekayaan alam yang melimpah seperti Indonesia dengan tanahnya yang subur. Seperti sudah dijelaskan, kebergantungan sistem ekonomi pada sektor migas dan komersialisasi lahan dalam bentuk investasi properti harus diubah. Pola pembangunan yang hanya terpusat kepada pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan pemerataan yang berakibat pada munculnya ketimpangan sosial harus mulai perlahan digeser menuju restrukturisasi pondasi-pondasi ekonomi melalui pengembangan sumberdaya manusia.

GOTONG-ROYONG , MODAL SOSIAL PEMBANGUNAN. 62


Matinya dan runtuhnya nilai sosial kemasyarakatan serta merosotnya etika sosial yang melahirkan individualisme adalah kegagalan sistem ekonomi yang dibangun dan dibentuk oleh era Orde Baru. Masyarakat terlihat lebih individualis. Bahkan, ungkapan ―mendahulukan kepentingan sosial di atas kepentingan pribadi‖ mulai luntur dalam kehidupan masyarakat saat ini. Sejatinya Indonesia sebagai sebuah bangsa dibangun dari nilai-nilai yang hidup dari masyarakat yang kemudian menjadi modal sosial. Nilai-nilai saling menghargai dan menghormati perbedaan serta bertoleransi adalah satu-kesatuan kuat yang harus dibangun dalam kebersamaan, seperti halnya yang ada dalam gotong-royong—sebuah modal sosial yang dimiliki Indonesia. Selama ini kita mengenal gotong-royong sebagai karakter nasional Indonesia. Tapi kemudian dengan perlahan karakter ini hilang, tertandingi oleh individualisme. Padahal hal ini sudah sempat diperingatkan oleh Sukarno dalam pidato kemerdekaan pada 1966. Dalam pidato tersebut Sukarno mengungkapkan jika kelemahan Indonesia adalah kita kurang percaya diri sebagai sebuah bangsa, sehingga kita menjadi penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah rakyat gotong-royong. Jika Pancasila adalah pondasi, maka gotong-royong adalah implementasinya. Gotong-royong digambarkan sebagai sebuah ruh dan karakter peradaban Indonesia. Banyak negara besar karena memegang teguh karakternya seperti Jepang, Korea Selatan, dan saat ini China. Konsep gotong-royong pada dasarnya menyerupai dengan semangat Saemaul Undong Korea. Dengan semangat Saemaul Undong, presiden Park Chung Hee dapat menyatukan Korea dengan semangat penuh optimisme dan kebersamaan yang kemudian melahirkan kepercayaan diri sebagai sebuah kesatuan. KESIMPULAN Kegagalan dan keruntuhan pondasi ekonomi dan sosial negara kita adalah karena kita mengadopsi sistem luar yang kemudian mematikan nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan kepecayaan diri sebagai sebuah kesatuan bangsa dan negara. Sistem ini kemudian melahirkan ketergantungan kepada pertumbuhan ekonomi yang berasal dari komersialisasi dan swastanisasi yang hasilnya hanya dapat dirasakan oleh kalangan atas. Restrukturisasi pondasi-pondasi dan transformasi sistem sudah selayaknya dilakukan. Rasa kepercayaan diri dan kebersamaan sebagai sebuah kesatuan atas nama Indonesia harus dibangkitkan. Kita harus kembali berfokus kepada 63


pengembangan sumber daya manusia untuk mengurangi ketergantungan kita pada eksploitasi sumber daya alam. Mengembalikan ruh dan karakter bangsa dalam semangat gotong-royong harus kembali dikampanyekan sebagai upaya untuk membangun kesatuan bangsa untuk menjadi bangsa yang percaya diri dan mandiri.

Referensi Chaniago, Adrianof. 2012. Gagalnya Pembangunan: Membaca Ulang Keruntuban Orde Baru. Jakarta. LP3S M. M Papayungan. 1995. Pengembangan dan Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia Menuju Masyarakat Industrial Pancasila. Bandung. Mizan Sakong, Il. 2010. The Korean Economy: Six Decades of Growth and Development. Korean Development Institute.

64


Mentalitas Rakyat dan Peran Pemerintah dalam Pengembangan SDM Andy Tirta (School of Materials Science and Engineering, Yeungnam University)

Adalah hal yang menarik bagi sebagian orang di luar Korea saat mereka melihat perkembangan negeri ini yang seperti tiba-tiba muncul menguasai pangsa pasar dunia dengan beragam produknya selama dekade terakhir ini. Sebut saja produk-produk dari Samsung, SK, LG, Hyundai, Lotte, dan POSCO yang merangsek masuk ke sendi kehidupan masyarakat saat ini, mulai dari consumer goods, automotif, infrastruktur, makanan, industri kimia, dlsb. Belum lagi perkembangan ekonomi Korea yang juga terlihat sangat signifikan, di mana pada tahun 60an, pendapatan per kapita rakyat Korea hanya di bawah 80 USD, namun melonjak hingga menjadi 25,977 USD di tahun 20139. Ketakjuban tersebut ternyata tidak diikuti oleh pengetahuan historis dan kultural yang menjadi fondasi kesuksesan hari ini. Mendalami sedikit perkembangan negeri ini dalam berbenah diri dan membangun, tentu menjadi kajian yang menarik untuk disimak. Mentalitas bergerak cepat dan kerja keras Bukan hal yang aneh jika di Korea kita bisa melihat orang tua, anak kecil, bahkan ibu hamil, bergerak cepat ketika menghampiri sebuah bus yang akan berhenti di sebuah halte bus. Berbeda mungkin bagi beberapa kalangan yang berpendapat ‗biar lambat asal selamat‘, ‗akan ada kesempatan kedua‘ atau ‗tunggu kesempatan menghampiri‘. Hal tersebut sepertinya tidak berlaku di negeri ginseng ini. Melihat keseharian seperti tersebut (dan juga di beragam aktivits lainnya), tercermin seperti ada sebuah ‗silicon chip‘ yang tersimpan di alam bawah sadar orang-orang Korea, bahwa setiap kesempatan harus dilakukan segera dan sesegera mungkin untuk diselesaikan. ‗Kerja cepat-cepat‘ (palli palli) dan ‗kerja keras‘ (yolshimi) juga menjadi frasa yang biasa disampaikan dari atasan kepada para bawahannya atau dari orang tua kepada anaknya. Mentalitas di atas tidak terlepas dari revolusi mental yang dilakukan oleh Presiden Park Chunghee (1917-1979) di era awal industrialisasi Korea. Melalui program lima tahunan yang didetailkan dalam target tahunanan yang cukup tinggi, Presiden Park menargetkan pembangunan ekonomi dan negara dalam rentang waktu yang ‗secepat mungkin‘ ala militer. Hal ini bisa jadi sebagai salah satu ekses dari adanya perang dingin antar dua blok kekuatan dunia, terutama kepada negara

9

World Bank national accounts data, and OECD National Accounts data files, 2014.

65


saudara–tetangga yang juga menjadi musuh dalam perang sebelum Presiden Park menjabat, yaitu Korea Utara10. Mental kerja keras di Korea Selatan juga bisa dipahami dari kondisi geografis batuan berbukit yang mengisi sekitar 2/3 daerah di Korea Selatan dan iklim 4 musim yang membuat setiap orang harus siap menghadapi musim panas dan dingin yang bisa mencapai kondisi ekstrim. Apalagi, pasca Perang Korea (1950-1953), kondisi diperparah dengan adanya kelaparan, macetnya perekonomian dan hancurnya infrastruktur hampir di seluruh Korea. Tiga konsep dasar ditawarkan dan menjadi doktrin kepada rakyat Korea saat itu oleh Presiden Park melalui program Saemaul Undong: kerja keras, kemandirian, dan kolaborasi. Kini, program Saemaul Undong dianggap sukses sebagai langkah taktis keluar dari kemiskinan melalui pembangunan komunitas-komunitas, terutama di wilayah pedesaan, dan sejatinya mengakar menjadi kepribadian bangsa Korea hingga hari ini. Kehadiran institusi riset dan dukungan universitas sebagai basis perkembangan teknologi Berkaca dari Korea Selatan, inisiasi perkembangan riset memang terlihat signifikan dengan adanya peran universitas dan banyaknya institusi riset yang ada. Pemerintah Korea di bawah Presiden Park menyadari akan pentingnya keberadaan institusi riset yang mendukung kinerja pemerintah dan negara secara keseluruhan. Pada tahun 1966, Korea Institute of Science and Technology (KIST) didirikan di Seoul. Tidak berhenti sampai di sana, keberadaan insititusi riset lainnya juga mengikuti di beragam bidang dan di kota-kota lain. Sebut saja Daedok Science Town yang menjadi pusat riset beragam bidang, mulai dari nuklir, telekomunikasi, elektronik, material, mesin dlsb di tahun 60-70an. Sehingga tidak aneh, pada era pemerintahaan Presiden Park, ilmu pengetahuan dan teknologi tampak menonjol daripada bidang lainnya. Dukungan pemerintah Korea juga dibuktikan dengan adanya penyertaan dana abadi (endowment fund) dan kepastian ketersediaan pendanaan, bahkan Presiden Park sendiri menyumbangkan uang pribadinya sebagai bentuk simbolis dukungan dan keberpihakan pemerintah. Status sebagai pekerja riset pun menjadi lebih bergengsi, salah satunya dikarenakan gaji yang diberikan pada saat itu 3 kali lebih besar daripada gaji akademisi di universitas nasional. Karena kondisi itu pula, para talenta yang berada di luar negeri tertarik untuk pulang dan membangun Korea11.

10

Kun-ha Yu. Time for Korea to revamp its ‘pali pali’ culture. The Korea Herald, 20 April 2014. bisa diakses online pada:http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20140420000037 11 Manyong Moon. STI Policy Review. STI in History : The Creation of Government-supported Research Institutes during the Park Chung-hee Era. Vol. 2 No. 2. 2011

66


Kebijakan pemerintah Korea di bidang riset juga termasuk tertinggi di dunia. Setidaknya 3.6% dari APBN dianggarkan oleh pemerintah setiap tahunnya untuk kebutuhan riset dan pengembangan—kedua tertinggi di dunia setelah Israel 12 . Beragam Research Fund seperti melimpah ruah di beragam bidang. Sebagai contoh, pada tahun 1999, Pemerintah Korea mencanangkan program ―21st Century Frontier R&D Program‖, di mana program ini menjadi acuan bagi riset jangka panjang negara hingga tahun 2025 (Long term vision for Science and Technology Development Toward 2025). Pada program tersebut ada 23 proyek unggulan selama 10 tahun yang diberikan kepada pihak universitas dan institut riset serta pihak swasta untuk mengembangkan beragam hal seperti nanoteknologi, industri kedirgantaraan, biologi, dlsb. Paling tidak, setiap proyek tersebut mendapatkan $1 juta13. Tentunya, semua dukungan pemerintah seperti itu akan memberikan dampak yang sangat signifikan, terutama berkaitan dengan geliat para inovator, peneliti, dan akademisi. Investasi pada Sumber Daya Manusia “Resources are limited, creativity is unlimitied”, sebuah kalimat pembuka di pintu masuk perusahaan POSCO menjadi sebuah model ideal bagi Korea yang meyakini bahwa investasi dan pengembangan kepada sumber daya manusia (SDM) adalah hal yang sangat penting bagi negeri yang tidak kaya bahan alam seperti negara lainnya. Hal ini ternyata juga sangat disadari sepenuhnya oleh orang Korea, bahwa semangat hidup yang tinggi dan kerja keras haruslah menjadi pilihan hidup yang harus dilakukan. Realitas para siswa yang masuk sekolah pukul 7.30 pagi, pulang sekolah pukul 6.30 malam, bahkan tidak jarang yang masih menambah jam pelajaran di tempat kursus hingga pukul 11 malam, adalah sebuah pilihan hidup sebagai bekal untuk berkompetisi ketika besar nanti. Menambah jam kerja pada hari kerja, masuk pada hari Sabtu atau tidak jarang pada hari Minggu adalah sebuah pilihan hidup sebagai cara jitu mengejar ketertinggalan perusahaan atau menjadi yang unggul di bidangnya. Menyisihkan gurauan di jam-jam kuliah dengan pergi ke perpustakaan dan berlatih untuk ujian yang akan datang 2-3 minggu kemudian, juga menjadi pilihan hidup, agar nilai kuliah bisa bagus, agar bisa bersaing dengan para ‗kompetitor‘ lain yang juga memperebutkan lahan pekerjaan bergengsi yang dapat memberi kenyamanan hidup di masa tua kelak. Dalam sebuah gurauan seorang teman berkelakar: “Hidup di Korea amatlah berat, persaingan begitu ketat…”, ya,

12

Battelle, R&D Magazine, International Monetary Fund, World Bank, CIA Fact Book, December 2013. Gwang-Hi Jeung et. al. Why Science is Golden for South Korea. CNRS international magazine. Bisa diakses online pada: http://www2.cnrs.fr/en/1171.htm 13

67


mungkin ketika persaingan yang muncul begitu berat, maka seluruh potensi hidup seseorang akan mudah terlihat, melesat seperti kilat. Akhir kalam, bisa kita simpulkan, kesuksesan Korea hari ini, adalah buah perpaduan antara mentalitas masyarakat yang kuat dan atensi pemerintah dalam pengembangan SDM secara tepat dan akurat.

68


Roles of Gender in the Making of Modern Korean Society: Feminist Scholarship Perspective Suray Agung Nugroho (Universitas Gadjah Mada & Hankuk University of Foreign Studies, Seoul) When it comes to talking about the transformation of Korea from being one of the poorest countries in the world in the post-Korean War into the one of the developed countries in the world, one may probably touch the issue through the economic lenses. The same goes with the discourses of how Korea was described during the late 19th century, colonial era under Japanese occupation, and post colonial era leading towards the Korean War and up into the present day Korea; in this case, historical perspective would be in the front row of the tool to expose and explain how Korea has evolved. However, although that is not entirely incorrect, that kind of perspective may obscure or leave out the underlying layer(s) that helped reinforce those transformations to come into existence and shaped modern Korean society today. One of the layers beneath the transformation is how Korean men and especially women managed to adjust and readjust their roles during the process. This is where the perspective of feminist scholarship using the lenses of gender set in. I will set forth three worth-mentioning issues that the feminist scholars bring about in order to shed light the shaping of modern Korea society. In this essay, I will outline the issues portrayed by some scholars and how their arguments were presented to help us understand the making of modern Korean society. At the same time, I will also point out how they connect one another in a continuum expanding from the colonial, post-colonial leading up to the postwar Korea. The first issue is birth control. Scholars argue that the current fact of Korea being one of the industrialized countries with the lowest birth rate is a great shift from what happened in the past. The issue of birth control attracted the feminist scholars and they used it as a way to portray how Korea has evolved during the colonial era and continued right 69


into the post-war industrialization era. First, let me outline how Kim Sonja outlined birth control in the colonial Korea. During this era, the debate of birth control as a way to liberate women from the unproductive labor of bearing many children set its initial stronghold and attracted women‘s interest in the issue. Debates, discourses, as well as advertisements on contraceptives appeared in newspapers at that time, for instance in the women‘s journal sin yosong in the 1925. In time, these led to the dawn of interest towards birth control among many members of the society, including reformists and of course, the women themselves. All of the growing interests in birth control-related issues somewhat brought back the idea of sin yosong ‗New Woman‘ which was already famous in the 1920s. It referred to freely liberated, educated ‗modern‘ women who rejected the old Confucian values and older gender roles—one of which, women being the one who should stay at home and followed the ‗wise mother, good wife‘ model they were trained for at school. Interestingly, Korean artists, writers, and public figures, like a female reporter Yun Songsang argued that birth control was the women‘s rights as equal members of the society as men. Seen from this case alone, it could be seen as a remarkable finding that women in the 1920s and 1930s Korea voiced their concern over this issue, considering the fact that Korea was under Colonial rule at that time. However, Kim Sonja did not jump to the conclusion that it was what actually happened. Rather, she argues that the discourse of birth control was only one of the tools that Korea used to create and support the idealized vision of society under the colonial Korea. In other words, birth control during that era was not really about women‘s liberation; rather it was about whether Korean women should reproduce or not for the sake of Korean society as a whole. Corresponding to this, it is not surprising that the colonial government, through mass media, discouraged birth control in its colonial territory, i.e. Korea. Furthermore, in Korea‘s colonial context, although it was not common for women to have easy access about knowledge on contraception, there are two notions 70


about birth control in Colonial Korea that is worth-mentioning. First, birth control turned out to be associated with women‘s bodies as reproductive role. If women failed to give birth or being infertile, they were deemed tragic; on the other hand, should they practice birth control to enjoy sex as their choice of life, they would be deemed abominable. The latter referred to sexually liberal young, unmarried women who rejected reproducing. Either way, it placed women or female‘s bodies as the main object. And this surely related to the common idea at that time that women‘s social roles were as mothers and that they should meet the needs of family, society, and nation. Second, birth control was regarded as a way to achieve a new set of value called a nuclear family with two or three children—a value which turned out to be continued even during the process of modernization in the post-war Korea. And this leads me to bring about another issue of how birth control was carried out in the post-war Korea via ‗family planning program‘ in the 1960s and 1970s Korea to strife for modernity. To portray the birth control, in this case ‗family planning‘ program in the post-war Korea, especially in the 1960s even until today; it is important to understand that Korean government used to make use or mobilize the female bodies for the sake of the nation‘s purposes. In the 1960s and 70s it was to reduce population amidst the industrialization process, then in the recent decades, the government has desperately wanted to increase the population—considering Korea‘s lowest birth rate. In short, government has always had a great interest in women‘s bodies since the government see the future of a nation from the female‘s womb—an unchanged idea of women as the mother of the nation—which brings me to set forth the second issue brought up by feminist scholarship. The second issue is motherhood. Taking into account the discourse of motherhood in the post colonial Korea, it would be incomplete to not include Suzy Kim‘s remarkable portrayal of how women as mothers were uplifted in the North Korea case. Although the real perception of how mothers in the South should be put as a comparison; still, peeping into the North‘s stance towards mothers during the 71


post-colonial Korea could give us a meaningful insight into women‘s roles in shaping Korea today—no matter how greatly changed they may have been. Principally, women in the North during that period were expected—once again, expected—to be revolutionary mothers and at the same time, masters of the home in the sense that while they were liberated from the burden of the housework and raising children, they also began to enter the labor force and joined the political sphere for the sake of the nation. In other words, in the midst of its initial nation building after liberation from Japanese Colonial rule, North Korea set itself apart and elaborately ‗differentiated‘ itself apart from South Korea and even from Communist-based countries at that time. It turned out that the North managed to redefine the ‗new‘ meaning imposed on women who lived in the new country as new housewives in new home. North Korea managed to bridge the old and the new through a concept of ‗motherhood‘ and an ideology of ‗wise mother good wife‘. All of these were to make women at once as a mother and as a wife. Even, women began to engage in political sphere. Simply put, North Korea successfully emphasized the way to uplift the women‘s place in the society and attempted to combine the roles of women as both mothers (domestic) and workers (role in public sector, equal to men). Superficially, it looked and sounded good. The reality was that women had double jobs and tasks. Women were still marginalized compared to men when we look at the issue from the mere existence of gender segregation in workplaces and their differing payments. At this point, they began to question men‘s roles in the housework. This alone is enough to give us a glimpse of how far ahead North Korea was at that time in term of women‘s demand or inquiries for equality—an issue which still rings the bell today. In short, in the post-colonial North Korea, women were the embodiments of the Korean nation. Although during the traditional society, they were seen as obstacles for progress, the post-colonial North Korea began (again) to regard women as mothers to be something distinctly Korean. Interestingly, even after the Korean 72


War, Cold War, and the division of the peninsula, mother or motherhood was and is still seen as a symbol and proof of one‘s service and sacrifice to their nation. The question now, what about those in South Korea? In this respect, I would like to highlight Cho Haejoang‘s arguments in outlining the transformation of women in South Korea from the colonial era into the post modern Korea. Cho Haejoang points out that the generational differences among Korean women is an important factor in understanding the transformation of women‘s roles in the society. Thus, today‘s women‘s preoccupation with physical beauty by being fashionable and attractive as well as pursuing careers over families and postponing or evading marriage could be traced back by looking into how their mothers (the 1960s generation) raised them and wanted them to be. Referring to Cho‘s paper which cleverly outlines the three generational transformation dated from grandmother generation, succeeded by mother‘s generation, and continued on until the daughter‘s generation, we could regard the last decade of the 20th century or the first decade of the 21st century Korean women as the likely product or successor of this ‗daughter‘s generation‘. At this time, feminine has been constructed in the images of attractive and sexy woman. Women‘s preoccupation with physical appearance, apart from their inner wish of self-fulfillment, is also a result of social and occupational pressure that women are pressured to be or must look good to succeed. Especially women in the 1990s and 2000s, advocated with the increased number of private clinics offering plastic surgery are empowered and, ironically, able to gain access to better incomes and forms of employment. This fact, apart from indicating the competitive job market in Korea, also reveals South Korea employers‘ patriarchal system that dictates the fates of job seekers, especially those of women. Based on Cho‘s argument, the issue of motherhood in South Korea was mainly emphasized during the grandmothers (who were vividly exposed to and experienced the colonial era and Korean War) and mother‘s generation (who lived in 73


the rigorous industrialization era). However, when it comes to the daughter‘s generation (those who vividly got exposed to the economic vitality of latter years of 1980s and 1990s), the issue of motherhood, in the sense that women should be aware of their socially constructed-role as mothers, hence motherhood, was no longer an interesting issue for them. Instead, as previously touched upon, they were prone to consumer world and engaged themselves in being attractive. Both young females and even housewives of this generation tended to pay attention more on their looks simply because they did not want to look like the image of middle-aged married women (ajumma)—who mostly happened to resemble the generation of their own mothers. Having discussed how the generational transformation of women in South Korea, now the question that remains is as to whether such changes—if anything— brought about any significant changes to feminine and gender issue in Korea. One thing for sure, even the daughter‘s daughter (in this case grand-granddaughter‘s generation—a later generation that Cho has yet to dealt upon) is going to be an intriguing issue to look upon since they are also somewhat differing away from their own mothers. Girls, women born in the 1990s and now living the somewhat affluent Korean society could be showing a differing trend from that of their mothers (daughter‘s generation). I know that it needs further researches on this one, however, hypothetically speaking, the social lives of post-IMF era Korean society has changed, so may these granddaughters‘ lives be. In the post-modern Korea, one thing is still unchanged. Male-centered society still dominates the lives of women. As Cho suggests, women still exists for men‘s everyday lives and to cater the male ego. To top it off, the homo-social world (a culture that values same-sex friendship and social interaction over heterosexual relationship) of Korean women is rapidly disintegrating. The antagonism among various images of women is also rising. Seen from this alone, it may still be a long way for feminists to materialize their voices of concerns on the feminist issues in Korea. 74


Now, let me start the third issue that feminist scholarship uses to portray the changing Korean society. The third issue is strife for modernity. Some scholars made the best use of Korea‘s strife for modernity or to be a modern country as a pair of lenses to portray Korea‘s transformation into the present day modern Korean society. Apart from the fact that there are various definitions on modernity, first, in Korea‘s context, let me outline the so called ‗militarized modernity‘ and how feminist scholars see this ‗modernity‘. Under the military rule of Park Chung-hee, Korean men and women were conceived as the indispensible factors to boost the modernity, in this case, men as the protector and family provider, while women as the reproducer of children and family life. Accordingly, men had to undergo conscription, the mandatory military service and had to be the backbone or labor force of the industrialization. On the other hand, women became a marginalized secondary workforce, i.e. carrying the role to carry out the birth control/family planning and the ‗rational management of the household.‘ And this is what scholars like Moon Seung-sook called it ‗gendered mass mobilization‘ during the industrialization process of Korea. Men and women alike were called in to contribute to the process of nation building in the post-war era. However, as the gendered mass mobilization indicates, the roles of men and women were distinguished in such a way that they both carried their respective roles. While men did most of the workforce outside of domestic spheres, women, on the other hand; had to live in marginalized roles that the society and government wanted them to be, rearing children, for instance. Viewed from above explanation, it seems that the notion of modernity that Korea tried to achieve is somewhat different from the notion of modernity that the West may have experienced. Still, it is through these lenses that we can understand Korea‘s local context of achieving modernity. Additionally, it is said that the Orientalist scholars tend to regard men and women in Korea in the post-colonial and during the industrialization era as being 75


passive under the authoritarian state. However, the feminist scholars tried to perceive it differently. Underneath the seemingly passive roles of men and women during the mass mobilization era, Koreans underwent a complex processes which can only be understood by understanding how those men and women kept on making and remaking themselves as the subjects or the 국민 kungmin or the citizens of their own country under the mobilization era in the pursuit of modernity. Thus, by doing so, women and men as the subjects are visible as the central roles in Korea‘s transformation. Women and men collectively redefined their sense of being Koreans during the process—which is pivotal for feminist scholar like Moon Seungsook, for instance. In this case, scholars like Moon perceives women‘s subordination during that era as their way of putting themselves in their specific structural positions during the industrialization process, especially, emphasis is put on the women‘s roles in their domestic household; as opposed to men‘s main roles as the family provider which is the core of the social relations of gender in realizing Korea‘s industrialization. Thus, it can be summed up that women has been the indispensible ‗adhesive‘ that connects the continuum of Korea‘s transformation during the colonial era as well as during the industrialization era, especially in the debate of birth control; as well as becoming the ‗adhesive‘ that connects how mothers (motherhood) has been viewed during the colonial Korea, post-colonial Korea (both in the North and South Korea) and the post-war (South Korea). Lastly, women has actually been in the center of the discourse of modernity during the Colonial era, right into the post-war Korea in the midst of industrialization era and amidst the male-oriented conscription of Korea‘s militarized modernity. All in all, through the above issues, feminist scholarship has attempted to shed light on the central role of gender in shaping modern Korean society as we witness today. 76


References: Haejoang Cho. ―Living with Conflicting Subjectivities: Mother, Motherly Wife, and Sexy Woman in the Transition from Colonial-modern to Postmodern Korea.‖ in Laurel Kendall, ed. Under Construction: The Gendering of Modernity, Class, and Consumption in the Republic of Korea. Honolulu: University of Hawai‘i Press, (2002): 165-195 John. D. Dimoia. ―알맞게 낳아서 훌륭하게 기르자!‖ (Let‘s Have the Proper Number of Children and Raise Them Well!): Family Planning and Nation-Building in South Korea, 1961-1968.‖ East Asian Science, Technology and Society: an international Journal, no. 2 (2008): 361-379 Seungsook Moon. ―The Gender Politics of Nation Building and Citizenship in South Korea.‖ Militarized Modernity and Gendered Citizenship in South Korea. Durham, NC: Duke University Press, (2005). Sonja Kim.‖Limiting Birth: Birth Control in Colonial Korea (1910-1945).‖ East Asian Science, Technology and Society: an International Journal (2008) No. 2: 335-359. Suzy Kim.‖Revolutionary Mothers: Women in the North Korean Revolution, 19451950‖ Comparative Studies in Society and History 52, No. 4 (2010): 742-767.

77


Sekilas mengenai INAKOS 1. VISI INAKOS (International Association of Korean Studies in Indonesia) ―Menjadi Lembaga Asosiasi International tentang penelitian, kerja sama antaranggota, dan membina kemitraan antarlembaga terkait di Indonesia serta menjadi lembaga yang unggul, berwawasan kebangsaan, dan peduli pada kepentingan generasi muda.‖ 2. MISI 1. Menghasilkan anggota INAKOS yang mempunyai pengetahuan dan wawasan studi Korea yang luas untuk memperkaya wawasan bangsa Indonesia tentang budaya negara lain. 2. Mengembangkan penelitian studi Korea yang didasarkan pada pendekatan interdisipliner untuk mendorong kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan. 3. Membangun jaringan kerja sama dalam bidang studi Korea antaranggota yang relevan dengan pengembangan penelitian dan pengetahuan studi Korea. 4. Membina kemitraan antarlembaga dalam bidang studi Korea baik di dalam maupun luar negeri yang bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. 5. Melakukan kajian dan mempublikasikan hasil-hasil karya yang berkaitan dengan studi Korea. 6. Menyelenggarakan seminar, lokakarya, dan pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan Indonesia – Korea.

SEJARAH INAKOS Pada bulan Oktober 2008 Prof. Dr Yang Seung Yoon dan Dr. Nur Aini Setiawati di Seoul, Korea Selatan memiliki gagasan untuk membuat Asosiasi Alumnus dari universitasuniversitas di Korea Selatan. Hal ini berkaitan dengan semakin banyaknya mahasiswa Indonesia yang telah menyelesaikan studi di Korea. Sebagai tindak lanjut gagasan tersebut, maka untuk mewujudkannya terjadilan pertemuan di Cafe Galeria Yogyakarta pada tanggal 22 Februari 2009. Pertemuan tersebut diawali dengan pembicaraan antara Prof. Yang dan Dr. Nur Aini Setiawati untuk mengkonkritkan gagasan itu. Atas dorongan Prof. Yang Seung-Yoon, pada tanggal 6 April 2009 para alumnus dari universitas di Korea Selatan terutama para pengajar di UGM yaitu, Dr. Nur Aini Setiawati, Dr. Novi siti Kussuji Indrawati, Dr. Mukhtasar Syamsudin, Dr. Ustadi, Dr. Panjono, Dr. Yuda Febrianto, Suray Agung Nugroho, M.A., Amin Basuki, M.A., dan Ratih Anwar Pratiwi, M.Si mengadakan rapat di kantor Pusat Studi Korea UGM. Mereka mengadakan rapat untuk mewujudkan gagasan pendirian asosiasi alumnus dari universitas di Korea Selatan dan membuat draft awal Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga asosiasi yang akan dibentuk. 78


Asosiasi ini memiliki tujuan umum untuk memajukan kajian Korea-Indonesia, membina kemitraan dan meningkatkan kerja sama antaranggota. Sedangkan tujuan khusus asosiasi ini adalah meningkatkan pendidikan bagi generasi muda. Akhirnya pada rapat yang diadakan tiga kali dalam jangka waktu satu bulan, pada bulan April 2009 telah berhasil disetujui nama asosiasi yaitu ―International Association of Korean Studies in Indonesia‖ dengan singkatan INAKOS. Pada hari Kamis 7 Mei 2009, diadakanlah pertemuan pertama dalam acara ―INAKOS Forum‖ yang dihadiri kurang lebih 100 orang yang disaksikan oleh 1. The Ambassador of the Republic of Korea to Indonesia, His Excellency Mr. Kim Ho Young; 2. Direktur P.T. Solar Park Indonesia, Mr. Park See Woo; 3. Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr. Ida Rochani Adi; 4. Pengusaha-pengusaha Korea; dan para perwakilan pengajar dan pelajar SMU se- Indonesia serta pengajar dan pelajar Korea yang tertarik dengan studi Korea. Pada acara tersebut dideklarasikanlah berdirinya ―INAKOS‖ secara resmi dan sekaligus terpilihlah presiden INAKOS yang pertama, yaitu Prof. Dr. Mochtar Mas‘oed. Upacara pendeklarasian itu dipimpin oleh Dr. Muhammad Mukhtasar Syamsuddin, Dekan Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Selanjutnya, pada acara yang sama juga telah diresmikan kantor sementara ―INAKOS‖ oleh Bapak Rektor UGM, Prof. Ir. Soedjarwadi, M.Eng, Ph.D, dengan meminjam ruangan di kantor Pusat Studi Korea UGM, yaitu di Bulaksumur B 9 Yogyakarta. Mengingat pentingnya keberadaan INAKOS, para pionir INAKOS ini pun mengadakan pertemuan kembali pada hari Selasa, 19 Mei 2009 untuk memilih pengurus dan dalam rapat itu diputuskan pengurus INAKOS yang terdiri dari: *Hingga tahun 2014 Penasehat

: 1. H.E. Mr. Kim Young-sun (Duta Besar Republik Korea untuk Indonesia) 2. H.E. Mr. Nicholas Tandi Dammen (Duta Besar Republik Indonesia untuk Korea) 3. Prof. Ir. Soedjarwadi, M.Eng, Ph.D (Rektor Universitas Gadjah Mada) 4. Prof. Dr. Gumilar R. Somantri (Rektor Universitas Indonesia) 5. Prof. Dr. Yang Seung Yoon (Profesor, Hankuk University of Foreign Studies) Presiden : Prof. Dr. Mohtar Mas‘oed Wakil Presiden :Dr. Tulus Warsito (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) Sekretaris : Dr. Nur Aini Setiawati Asisten Sekretaris : Suray Agung Nugroho, M.A Koordinator Urusan Internasional : Dr. Ibnu Wahyudi (Universitas Indonesia) Koordinator Pendidikan : Dr. Novi Siti Kussuji Indrastuti Koordinator Penerbitan : Dr. Muhammad Mukhtasar Syamsuddin Koordinator Penelitian : Dr. Ustadi Koordinator Pengembangan : Dr. Panjono 79


Koordinator Umum : Dr. Yudha Heru Fibianto Mulai tahun 2014, sususan kepengurusan telah berubah menjadi: Komite Penasehat: H.E. Mr. Cho Taiyoung (Duta Besar Republik Korea untuk Indonesia) H.E. Mr. John A. Prasetia (Duta Besar Republik Indonesia untuk Korea) Prof. Dr. Yang Seung-Yoon (Profesor, Hankuk University of Foreign Studies) Prof. Dr. Mohtar Mas‘oed (Profesor, Hubungan Internasional, UGM)

Presiden Wakil Presiden

: Dr. Muhammad Mukhtasar Syamsuddin (UGM) :Dr. Tulus Warsito (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) Sekretaris : Dr. Nur Aini Setiawati Asisten Sekretaris : Suray Agung Nugroho, M.A Koordinator Urusan Internasional : Dr. Ibnu Wahyudi Koordinator Pendidikan : Dr. Novi Siti Kussuji Indrastuti Koordinator Penerbitan : Drs. Tri Mastoyo, M.Hum. Koordinator Penelitian : Dr. Ustadi Koordinator Pengembangan : Dr. Panjono Koordinator Umum : Dr. Yudha Heru Fibianto

80


AGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA International Association of Korean Studies in Indonesia (INAKOS) Bab 1 Tujuan Pasal 1 Tujuan Asosiasi ini bertujuan untuk mengkaji dan mempresentasikan hasil-hasil kajian IndonesiaKorea, meningkatkan kerja sama antaranggota, dan membina kemitraan antarlembaga yang terkait. Pasal 2 Kegiatan Asosiasi ini melakukan kegiatan-kegiatan berikut untuk mencapai tujuan yang tersebut pada pasal 1. 1. Melakukan kajian dan mempublikasikan hasil-hasilnya. 2. Menyelenggarakan seminar, workshop, lokakarya, dan pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan Indonesia-Korea. 3. Membangun jejaring antarlembaga, baik di dalam maupun luar negeri.

Bab 2 Nama dan Alamat Pasal 3 Nama Asosiasi ini bernama International Association of Korean Studies in Indonesia (INAKOS) atau Perhimpunan Internasional untuk Studi Korea di Indonesia. Pasal 4 Alamat Asosiasi ini beralamat di Pusat Studi Korea, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, Indonesia.

Bab 3 Anggota

81


Pasal 5 Anggota Anggota asosiasi ini terdiri atas anggota (biasa) dan anggota luar biasa. Anggota adalah (1) alumni perguruan tinggi dan lembaga pendidikan; (2) pengajar; (3) peneliti; (4) dan pemerhati Korea. Anggota luar biasa adalah seseorang yang diminta secara khusus oleh asosiasi. Pasal 6 Persyaratan Anggota Syarat keanggotaan asosiasi ini adalah dengan mengisi dan menyerahkan formulir pendaftaran dan membayar biaya keanggotaan dalam jumlah tertentu yang harus dibayarkan setiap enam (6) bulan sekali.

Pasal 7 Kewajiban dan Hak Anggota (1) Kewajiban anggota asosiasi adalah membayar biaya keanggotaan dan menjaga nama baik asosiasi. (2) Anggota biasa mempunyai hak menyampaikan pendapat dan memutuskan. (3) Anggota luar biasa berhak untuk menyampaikan pendapat untuk kemajuan asosiasi; memperoleh hasil-hasil penerbitan dari asosiasi; dan memberi kontribusi untuk perkembangan asosiasi. Pasal 8 Status keanggotaan Status keanggotaan akan hilang jika anggota tersebut mengundurkan diri atau tidak memenuhi kewajibannya. Pasal 9 Kepengurusan Struktur organisasi kepengurusan asosiasi ini terdiri atas: 1. ketua, 2. wakil ketua, 3. sekretaris, 4. bendahara, dan 5. beberapa koordinator bidang.

82


Pasal 10 Pemilihan Pengurus Pemilihan pengurus dalam asosiasi ini sebagai berikut. 1. Ketua dipilih melalui rapat umum khusus. 2. Perangkat dalam struktur organisasi yang lain dipilih oleh ketua yang telah dipilih dalam rapat umum khusus.

Pasal 11 Jabatan Pengurus 1. Semua pengurus, termasuk ketua dan wakil ketua bertugas selama 2 tahun. 2. Apabila ketua tidak dapat menjalankan tugasnya sampai akhir jabatan, maka diadakan rapat umum khusus untuk memilih ketua yang baru. Pasal 12 Tugas Ketua/Wakil Ketua 1. Ketua bertugas mewakili asosiasi dan mengelola seluruh tugas dalam asosiasi. 2. Wakil ketua bertugas membantu ketua asosiasi. Pasal 13 Tugas Sekretaris Sekretaris asosiasi bertugas melaksanakan tugas-tugas administrasi dan kesekretariatan. Pasal 14 Tugas Bendahara Bendahara melaksanakan tugas sebagai berikut. 1. Mengelola keuangan dan aktiva asosiasi. 2. Memeriksa pertanggungjawaban keuangan asosiasi.

Bab 4 Rapat Umum Pasal 15 Tugas Koordinator Bidang Koordinator Bidang bertugas melaksanakan dan mengembangkan kegiatan di bidangnya masing-masing. 83


Pasal 16 Fungsi Rapat Umum Rapat umum berfungsi: 1. meminta laporan pertanggungjawaban ketua lama; 2. memilih ketua baru; dan 3. mengubah peraturan. Pasal 17 Pelaksanaan Rapat Umum 1. Rapat Umum terdiri atas Rapat Umum dan Rapat Umum Khusus. Rapat Umum diadakan dua tahun sekali, sedangkan Rapat Umum Khusus diadakan sesuai dengan kebutuhan. 2. Rapat Umum dipimpin oleh ketua sidang terpilih. Pasal 18 Kuorum Rapat Umum 1. Rapat Umum dapat dimulai jika dihadiri oleh 50% (kuorum) dari jumlah seluruh anggota. Apabila setelah penundaan satu jam kuorum belum terpenuhi, rapat dianggap sah sesuai dengan jumlah peserta yang hadir. 2. Keputusan Rapat Umum dianggap sah jika disetujui oleh minimum 50% suara (kuorum) dari jumlah seluruh anggota yang hadir. 3. Suara anggota yang tidak dapat hadir dalam Rapat Umum bisa diwakilkan kepada anggota lain melalui surat resmi yang ditujukan kepada pimpinan rapat. Pasal 19 Alternatif Bentuk Rapat Dalam hal-hal tertentu rapat dapat dilaksanakan melalui rapat secara tertulis atau melalui media lain.

Bab 5 Keuangan dan Kekayaan Pasal 20 Keuangan dan Kekayaan Sumber keuangan dan kekayaan asosiasi ini berasal dari: 1. biaya pendaftaran dan iuran rutin anggota; 84


2. sumbangan dari donatur; 3. biaya penelitian yang bersumber dari institusi lain; dan 4. pemasukan dari kegiatan bisnis dan kegiatan lainnya.

Bab 6 Pembubaran Pasal 21 Pembubaran Asosiasi Pembubaran asosiasi ini dapat dilakukan melalui Rapat Umum setelah mendapat persetujuan lebih dari 2/3 anggota. Pasal 22 Pengembalian Aktiva Asosiasi Apabila terjadi pembubaran asosiasi, sisa aktiva akan disumbangkan kepada negara atau institusi yang serupa.

Bab 7 Peraturan Tambahan 1. Permasalahan yang tidak dibahas dalam peraturan ini akan diatur kemudian. 2. Peraturan ini akan mulai diberlakukan sejak tanggal ditetapkan.

Daftar Judul Paper dalam Jurnal INAKOS (Vol. I, No. 1) September 2009 85


1. Qodarian Pramukanto (Lecturer, Department of Landscape Architecture, Institut Pertanian Bogor-IPB) Paper: The Geomancy Order of Seoul City 2. Suray Agung Nugroho (Lecturer, Korean Department, UGM) Paper: Hallyu ‗Korean Wave‘: A Reflection to Develop Korean Studies in Indonesia 3. Yang Seung-Yoon (Professor, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul) Paper: A Study on Korea-Indonesia Relation through Education among Young Generations 4. Novi Siti Kussuji Indrastuti (Lecturer, Korean Department UGM) Paper: Traditional Beliefs in Indonesia and Korea As Seen in Folktales: A Pragmatic Analysis 5. Nur Aini Setiawati (Lecturer, Department of History, UGM) Paper: History of Korea-Indonesia Education and Future Prospects 6. Purnawan Basundoro (Lecturer, Department of History, Universitas Airlangga, Surabaya) Paper: Between Eupseong Hanyang (Seoul) and Beteng Keraton (Yogyakarta): A Historical Comparison 7. Ratih Pratiwi Anwar & Mukhibbin (Lecturer, Korean Department, UGM / Researcher, PSEKP, UGM) Paper: Enhancing Economic Ties between Indonesia and Korea through International Trade 8. Puji Lestari & Reflinur (SNU, Indonesian Center for Agricultural Biotechnology Reseacher); Soon-wook Kwon (Korea National Open University); Tae-ho Ham, Backki Kim, Ho-hoon Lee, Mi-ok Woo, Hee-jong Koh (School of Plant Sciences, SNU); Young-chan Cho (National Institute of Crop Sciences, Suwon) Paper: Developing Molecular Markers and Their Genotypic Test to Evaluate the Eating Quality of Japonica Rice (Oryza Sativa L.) 9. Muhammad Mukhtasar Syamsuddin (Dean, Faculty of Philosophy, UGM) Paper: Merleau-Ponty‘s Solutions to Mind-Body and Their Philosophical Implications towards Togye‘s Thinking Concept on Self Assessment 10. Novi Siti Kussuji Indrastuti (Lecturer, Korean Department, UGM) Paper: Korean and Indonesian Mask Dance Dramas in The Dimension of Literature and Performance Art: Cross-cultural Semiotic Study 11. Nur Aini Setiawati (Lecturer, Department of History, UGM) 86


Paper: A Comparative Study on the State Policy and Its Impacts on Rural Development between South Korea and Indonesia: A Historical Perspective 1961-1998 12. Panjono (Lecturer, Department of Animal Husbandry) Paper: The Characteristic Quality of Hanwoo Meat (Korean Cattle) in Regards to Different Sex Conditions, Raising Altitudes, and Slaughter Season 13. Ustadi (Lecturer, Department of Fisheries, UGM) Paper: Characteristics of the Protease Inhibitors Purified from Fish Eggs 14. Yuda Heru Fibrianto (Lecturer, Department of Veterinary Studies, UGM) Paper: In Vitro Oocyte Maturation and Intergeneric Somatic Cell Cloning in Dogs

87


Daftar Judul Paper dalam Jurnal INAKOS (Vol. I, No. 2) April 2010

1. Amin Basuki (Lecturer, English Department, Faculty of Cultural Sciences, UGM) Paper: Education in Korea 2. Anton Minardi (Lecturer & Researcher, Department of International Relation, Pasundan University & IDEAS) Paper: The Revival of South Korea in the Post Crisis Economy and Its Contributions to Indonesia 3. Mappa Nasrun (Lecturer, Hasanuddin University, Makassar-South Sulawesi) Paper: Indonesia-Korea: Promoting an International Education Partnership 4. Nur Aini Setiawati (Lecturer, Department of History, Faculty of Cultural Sciences, UGM) Paper: Korea: Why (there has to be) Ideological War? 5. Roustine (Lecturer, Korean Department, UI) Paper: The Korean Armies (Gunsok) during Japanese Colonization in Ambarawa, Indonesia 6. Tulus Warsito (Lecturer, Dept. of International Relation, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) Paper: Korea, Why Should It Be South and North? 7. Tunjung Linggarwati (Lecturer, Dept. of International Relation, Jendral Soedirman University, Purwokerto) Paper: Increasing Indonesia-Korea Cooperation through Investment at the Local Level: The Case Study on the Role of Korean Industries in Purbalingga Regency, Central Java 8. Upik Sarijati (Researcher, Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia – LIPI) Paper: The Roles of Migrant Workers Advocacy in Solving the Migrant Workers‘ Problems in Korea 9. Yang Seung-Yoon (Professor, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul) Paper: Why Korea: The Newest Examples 10. Yulius Purwadi Hermawan (Lecturer, Dept. of International Relation, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung) Paper: Clientelism and Democratic Consolidation in Improving the Welfare in South Korea

88


Daftar Judul Paper dalam Jurnal INAKOS (Vol. II, No. 1) April 2011

1. Tulus Warsito (Univeristas Muhammadiyah Yogyakarta) Paper: Peran Negara dalam Perkembangan Industri di Korea Selatan 2. Luqman Hakim (Universitas Brawijaya, Malang) Paper: The Implementation of Public Health Care Policy in South Korea 3. Yang Seung-Yoon (Hankuk University of Foreign Studies, Korea) Paper: Pendidikan Perguruan Tinggi di Korea: Permasalahan dan Tantangan di Masa Depan 4. Nur Aini (Univeristas Gadjah Mada, Yogyakarta) Paper: Pembangunan, Saemaul Undong dan Globalisasi di Korea dalam Proses Perkembangan Sejarah 5. Arief Akhyat (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) Paper: Politik Jender di Korea Menjelang Abad XX 6. Anton Minardi (Universitas Pasundan, Bandung) Paper: Islam dan Toleransi di Korea Selatan 7. H. Sutarman (Universitas Pasundan, Bandung) Paper: The Role of Human Capital on Logistics in Indonesia 8. Amir Husni (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) Paper: Produk Alami untuk Kesehatan dan Kosmetik dari Indonesia dan Korea 9. Prihantoro (Universitas Diponegoro, Semarang) Paper: Kata Penggolong Manusia dalam Bahasa Korea dengan Beberapa Perbandingan terhadap Bahasa Indonesia 10. Suray Agung Nugroho (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) Paper: Apresiasi K-Pop di Kalangan Mahasiswa Yogyakarta: Studi Kasus Korean Pop Festival UKDW 2010

89


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.