The 4th Series of Book on Korea

Page 1

BAGIAN I PENDAHULUAN

1


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

2


PENDAHULUAN

Fenomena merebaknya budaya populer Korea Selatan (Hallyu ‘Korean Wave’) kini makin luas menjalar ke manca negara. Di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, gelombang Korea itu seperti wabah, masuk dan menjadi semacam trend bagi generasi muda di kawasan itu. Tentu saja gelombang Korea itu baru sebatas kulit luarnya; terlalu banyak kekayaan budaya Korea yang masih tertutup awan tebal atau selimut tipis. Bahkan, tata kehidupan masyarakatnya, tradisi kebudayaannya, kesenian dan sejarah panjang bangsa itu, seperti suara perlahan yang sayup-sayup terdengar. Ia berada nun jauh di sana. Kita terpesona oleh suara itu, namun belum jelas dari Korea bagian mana sumbernya. Oleh karena itu, segalanya perlu didekatkan, diurai jelaskan secara proporsional, dan disampaikan dengan berbagai cara. Sebagaimana dikatakan orang bijak: Tak kenal, maka tak sayang. Boleh jadi pemeo itu ada benarnya. Maka, suara Korea yang lalu menjadi gelombang itu perlu diikuti oleh informasi lain tentang berbagai aspek kehidupan sosial-budaya Korea secara lebih lengkap dengan cara yang diharapkan lebih terterima masyarakat luas dari berbagai kalangan. Jadi, mengenal Korea bukan cuma sekadar melalui gelombangnya yang sering kali sengaja dihembuskan lebih kencang oleh media massa, melainkan juga mengenal dalam arti yang sesungguhnya. Maka, kenalilah lebih jauh, luas, dan mendalam tentang Korea; tentang masyarakatnya, dan tentang tradisi seni-budayanya. “Pelajarilah Hangeul dan pahamilah filosofinya, maka pintu terbuka untuk memahami Korea secara paripurna,” begitulah semangat bangsa Korea menyambut—menerima bangsa asing. Buku ini tentu saja baru sebagian kecil dari kedalaman dan kompleksitas kehidupan sosial-budaya Korea. Untuk sampai pada pemahaman yang paripurna itu, masih diperlukan jalan panjang dan berliku. Oleh karena itu, langkah menuju pengenalan yang lebih baik,

3


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

tentu saja diperlukan dan harus terus dilakukan. Dengan demikian, pengenalan ini diharapkan akan menjadi jembatan penghubung. Lewat jembatan itu, lalu-lalang Korea—Indonesia atau sebaliknya, dapat berlangsung secara kontinu dan berkelanjutan. Jadi, penting artinya membuka peluang terjadinya pertukaran budaya yang nanti bermuara pada sikap saling mengerti dan saling memahami kehidupan sosial—budaya kedua bangsa. Pada suatu saat kelak, pepatah Korea yang berbunyi: anggur dan persahabatan, lebih lama lebih baik, akan menjadi sesuatu yang indah dan bermanfaat dalam usaha meningkatkan hubungan persahabatan— persaudaraan bangsa Korea—Indonesia. Begitulah, semangat menerbitkan buku Pusparagam Sosial—Budaya Korea ini lebih didasari oleh filosofi dua pepatah tadi. Berbagai informasi tentang sisi kehidupan masyarakat, tradisi budaya, dan kesenian Korea dihadirkan dalam buku ini dengan pretensi sebagai sebuah pengenalan yang lebih memadai. Dengan pertimbangan itu pula, penyajiannya sengaja dikemas dalam bentuk esai yang mengalir, enak dibaca, dan–diharapkan—lebih mengasyikkan. Bahwa di sana ada beberapa esai yang luas dan mendalam, bahkan juga ada sejumlah catatan kaki, pertimbangan pada aspek substansi esai, tetap dijaga agar pembaca tak perlu berkerut kening menikmatinya. Para penulis esai dalam buku ini kaum akademis yang memang mendalami berbagai aspek kekoreaan, atau setidak-tidaknya, memahami kehidupan sosial-budaya Korea dengan berbagai latar belakang sejarah dan tradisisosial-budayanya.Untuk melengkapi sisi lain atau sudut pandang lain tentang Korea, sengaja ditampilkan pula dua esai yang ditulis sastrawan Cecep Syamsul Hari yang pernah tinggal sebagai sastrawan tamu di Korea Selatan (2006) dan sastrawan—budayawan Rida K Liamsi yang menjadi salah seorang wakil sastrawan Indonesia dalam Festival Penyair Korea Selatan dan Asia Tenggara, November 2010. Dengan pertimbangan itu, buku ini memang dimaksudkan sebagai puspa yang semoga juga memancarkan aneka ragam wewangian dan keindahannya. Dengan begitu, gelombang Korea tidak hanya semarak dalam kemasan budaya pop, melainkan juga dengan informasi yang sepatutnya diketahui, lantaran ia mewartakan sisisisi lain dari sebuah bangsa yang punya sejarah panjang tentang tradisisosial-budayanya. Sangat mungkin perkara itu justru luput dari pemahaman masyarakat (: pembaca) Indonesia dewasa ini. *** Buku ini berisi 17 esai yang dibagi dalam tiga bagian. Bagian yang bertajuk: “Sisi Kehidupan” menyajikan gambaran tentang kehidupan masyarakat Korea yang coba ditelusuri dari berbagai sudut pandang. Di sana, kita akan menjumpai karakteristik bangsa Korea dalam tata pergaulan dengan

4


Pendahuluan

bangsa tetangganya: Cina dan Jepang. Ada pula kisah tentang sungai yang tenggelam, tetapi kemudian kini justru menjadi symbol kejernihan kota Seoul. Sisi yang lainnya lagi mengungkapkan model kata-kata sapaan yang erat berkaitan dengan sikap budaya, trend masa kini tentang operasi plastik generasi muda Korea, penelusuran perkara sampah, dan sebuah informasi tentang latar belakang dan latar depan gelombang Korea. Bagian kedua bertajuk: “Masyarakat dan Budaya� memberi titik tekan pada tradisi masyarakat Korea yang lalu menjadi sikap budaya bangsa itu. Simaklah, misalnya, tentang tradisi minum kopi masyarakat Korea. Sebuah perjalanan panjang terbentang di sana yang memberi pemahaman yang lebih holistik tentang perkara minum kopi. Periksa pula kebiasaan minum soju masyarakat Korea. Hampir selalu ada kehebohan ketika sekelompok orang minum soju. Tetapi, hendaknya pengamatan kita tidak berhenti hanya pada tawa lepas atau langkah sempoyongan para peminum itu. Di sebalik kehebohan minum soju, ada latar budaya; ada semangat menumbuhkan persahabatan—persaudaraan dalam arti yang sesungguhnya. Perbincangan lain dalam bagian ini coba menguak budaya belanja sebagai gaya hidup; hari raya Chuseok yang seronok, dan kisah seseorang yang terdampar di Hwarangdae. Bagian ketiga, “Potret Tradisi dalam Seni� menegaskan betapa kelahiran karya seni tidak terlepas dari akar tradisi budaya dan dinamika sosial yang melatarbelakanginya. Di sana, mitos-mitos dan tradisi, berkelindan melahirkan transformasi budaya, menanamkan tata nilai, menyelusup dalam puisi, tari atau bentuk kesenian lain. *** Kesan yang mungkin segera ditangkap atas rangkaian esai ini adalah lompatan-lompatan gagasan tentang berbagai hal. Itulah konsekuensi sebuah buku yang memuat beragam tema. Tetapi, bagaimanapun duduk perkaranya bukanlah terletak di sana. Esai-esai itu sekadar pengenalan lebih dekat, betapa Korea sesungguhnya menyimpan banyak hal. Maka kenalilah dahulu sudut-sudut yang boleh jadi belum banyak disentuh. Dengan demikian, persentuhan lebih jauh tentang tema-tema itu, terbuka untuk ditelusuri, diperdalam atau diperluas, dan diungkap sampai inti maknanya; hakikatnya; filosofinya. *** Penerbitan buku ini dimungkinkan oleh adanya bantuan dan keterlibatan banyak pihak. Dalam kesempatan ini, izinkanlah kami menyampaikan penghargaan yang setingginya dan ucapan terima kasih yang sedalamnya. Penghargaan yang setingginya tentu saja seyogianya kami sampaikan kepada para penulis esai buku ini. Di antara berbagai kesibukannya, mereka masih menyempatkan diri menulis dan menyumbangkan buah pikirannya 5 untuk khalayak pembaca buku ini. Tanpa esai-esai mereka itu, niscaya proses penerbitan buku ini akan berhadapan dengan waktu yang panjang yang entah kapan akan berakhir.


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

6


BAGIAN II SISI KEHIDUPAN

7



SUNGAI CHEONGGYECHEON: SIMBOL KEJERNIHAN SEOUL Novi Siti Kussuji Indrastuti

Sejak zaman Dinasti Joseon, Sungai Cheonggyecheon telah mengalami berkali-kali proses pemugaran dan pengerukan. Sungai ini mulai ditutup pada tahun 1958 setelah selama lebih dari 40 tahun sebelumnya mengalir di bawah bebatuan padat. Sungai ini diperbaharui kembali melalui sebuah proyek pemugaran besar yang dimulai pada bulan Juli 2003. Dibentuk dari pertemuan sungai-sungai kecil yang mengalir dari Gunung Inwangsan di barat laut Seoul, Gunung Bugaksan dan Gunung Namsan, Sungai Cheonggyecheon yang berarti ‘sungai jernih’ ini mengalir dari barat ke timur melalui tengah kota Seoul. Pada masa Dinasti Goryeo (918-1392), Cheonggyecheon merupakan sungai kecil dan dangkal yang kadangkala meluap pada musim hujan. Semenanjung Korea tidak secara teratur menerima curah hujan yang cukup tinggi, khususnya di Hanyang, atau yang sekarang disebut sebagai Seoul. Bahkan peningkatan aliran air juga tidak terlalu penting karena daerah ini berpenduduk sedikit sampai akhir masa Dinasti Goryeo. Meskipun demikian, setelah Dinasti Joseon (1392—1910) memindahkan ibukotanya ke Hanyang, pertumbuhan penduduk yang cukup pesat di kota itu menyebabkan terjadinya perubahan yang cukup besar atas arus-arus sungai yang sudah ada. Secara khusus, sarana-sarana pengairan harus dibangun dan sungai-sungai diperbaiki untuk membersihkan sampah-sampah yang menumpuk yang menyebabkan arus sungai sering mengalami banjir pada musim hujan. Sebagai tambahan, tanggul-tanggul harus dibuat di sepanjang sisi aliran sungai untuk mengawasi aliran air. Rencana proyek pembangunan berskala besar selesai pada tahun 1411, tahun ke-11 kerajaan Raja Taejong (1400—1418). Kerajaan membentuk departemen baru yang dikenal sebagai Gaecheondogan untuk mengawasi pelaksanaan proyek yang mulai dilaksanakan pada bulan Januari 1412. Sejak saat itu sungai Chenggyecheon yang terletak di tengah ibukota itu dicintai oleh semua penduduk kota.


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Perbaikan Cheonggyecheon Tenaga kerja yang diperlukan untuk proyek pembersihan tahap pertama berjumlah sekitar 50.000 pasukan militer dan mereka berhasil menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu kurang lebih satu bulan. Para pekerja membersihkan daerah aliran air, memperbesar saluran air, dan membangun tanggultanggul batu di sepanjang sisi sungai. Mereka juga membangun tebing kayu dari apa yang saat ini menjadi jalan ketiga dan keempat Cheonggyecheon ke Ogansumun (Lima Gerbang Air) dan mengganti jembatan kayu Gwangtonggyo dan Hyejeonggyo dengan jembatan batu. Sehubungan dengan dimulainya pembangunan, pemerintah mengambil alih persiapan-persiapan penting yang meliputi alat-alat pengamanan terpadu untuk menjamin keselamatan para pekerja. Sayangnya, 64 pekerja meninggal dalam pelaksanaan proyek tersebut. Perbaikan sungai ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun sistem pengairan dengan tanggul-tanggul batu telah dibangun, Cheonggyecheon dan cabang-cabangnya tetap mengalami banjir pada saat hujan deras. Lebih jauh lagi, kanal sempit yang mengalir di bawah dinding benteng menyebabkan kerusakan yang cukup parah dan memerlukan perbaikan dan pemeliharaan secara berkala. Proyek Cheonggyecheon yang kedua mulai dilaksanakan pada tahun 1422, tahun ke-4 pemerintahan Raja Sejong (1418—1450) dan selesai pada bulan Februari 1434, tahun ke-16 pemerintahan raja tersebut. Proyek renovasi selama 13 tahun ini dilaksanakan di luar masa bercocok tanam. Dengan demikian, Cheonggyecheon telah mengalami renovasi berkalikali, perbaikan dan pemeliharaan selama berabad-abad. Selama masa Dinasti Joseon, kata gaecheon digunakan sebagai kata benda umum yang mengacu pada sistem pembuangan air buatan manusia. Tidak hanya Cheonggyecheon, cabang-cabang sungai seperti Junghakcheon dan Cheonguncheon serta peningkatan sistem pembuangan air yang dibangun di desa-desa pedalaman semuanya mengacu pada gaecheon. Karena gaecheon berfungsi sebagai sistem pembuangan air, gaecheon bukanlah jalur air yang bersih atau menarik yang lebih dipertegas oleh bau busuknya yang menyengat. Warga miskin, pengemis dan gelandangan seringkali menetap di sepanjang Gaecheon, membangun gubuk-gubuk kumuh dan membuang sampah dan kotoran mereka ke dalam sungai. Bahkan juga dikatakan bahwa mayat pun dapat dibuang ke dalam sungai ini. Menurut Hangyeongjiryah, buku geografi Seoul dari masa akhir Dinasti Joseon, disebutkan bahwa raja secara teratur mengirimkan beras dan bahan-bahan makanan kering kepada warga di sekitar daerah gaecheon pada akhir tahun untuk membantu mereka melewati musim dingin.

10


Sungai Cheonggyecheon: Simbol Kejernihan Seoul

Selama tahun ke-16 masa pemerintahan Raja Sejong, yaitu pada tahun 1434, seorang pejabat pengadilan bernama Yi Hyeon-ro menyerahkan sebuah petisi kepada raja, memohon sebuah pemecahan bagi masalah bau sungai Cheonggyecheon yang sangat tidak enak mengingat Cheonggyecheon adalah sungai yang sangat baik menurut prinsip-prinsip geomansi, yaitu mengalir melalui pusat kota. Beberapa permohonan juga diajukan kemudian, memohon perbaikan sungai Cheonggyecheon. Tetapi pemerintah yang terkungkung dalam persoalan politik dan keuangan negara, menganggap bahwa skala proyek itu terlalu besar untuk ditindaklanjuti. Sebenarnya, sekitar 300 tahun telah terlewati sebelum proyek perbaikan lain dilaksanakan. Selama masa itu, Seoul telah rusak parah karena invasi Jepang atas Korea (1592—1598) dan konflik dengan Dinasti Qing China (1636—1637). Setelah invasi Jepang, pegunungan yang mengelilingi Seoul dijadikan sebagai ladang sayuran sehingga dengan curah hujan yang sedang saja dapat terjadi tanah longsor. Lumpur dan puing-puing dari tanah longsor itu mengalir menuju Cheonggyecheon dan menyebabkan arus sungai itu menjadi dangkal dan setara dengan dinding sungai itu. Sebuah proyek berskala besar untuk mengeruk dasar sungai diperintahkan pada tahun 1760, tahun ke-36 pemerintahan Raja Yeongjo (1724—1776). Proyek 57 hari ini dilaksanakan mulai tanggal 18 Februari sampai 15 April 1760, melibatkan mobilisasi 150.000 warga Seoul dan 50.000 buruh kontrak dan menjadi proyek padat karya yang membutuhkan dana sebesar 35.000 yang, unit mata uang Korea pada saat itu, serta 2.300 seok (1 seok = 144 kg) beras untuk memberi makan para pekerja. Warga lokal dan orang-orang di luar ibukota, termasuk warga di sekitar Provinsi Gyeonggi-do seperti para biksu Buddha, siap sedia untuk membantu proyek pekerjaan umum terbesar pada masa Dinasti Joseon. Keluarga-keluarga kaya di Seoul juga mengerahkan banyak pembantu mereka untuk membantu proyek itu. Untuk memperingati selesainya proyek ini, “Gyeongjinjipyeong” dituliskan dalam huruf China pada sebuah tiang di Jembatan Supyogyo. Gyeongjin mengacu pada 36 tahun pemerintahan Raja Yeongjo, sedangkan jipyeong dimaksudkan sebagai tanda untuk mengawasi ketinggian air sungai. Di tengah penyelesaian proyek renovasi ini, Raja Yeongjo membentuk Juncheonsa, yaitu badan pemerintah untuk mengawasi pemeliharaan berkala Sungai Cheonggyecheon. Badan ini meliputi enam pejabat tingkat tinggi yang bertindak sebagai staf tingkat pekerja dan tiga menteri ditugaskan sebagai penasihat. Pemerintah juga membagi sungai itu ke dalam beberapa bagian dan menugaskan tiga unit militer untuk bertanggung jawab atas pekerjaan pengerukan dan pemeliharaan.

11


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Menurut Buku Tahunan Dinasti Joseon, Sungai Cheonggyecheon telah dikeruk sebanyak delapan kali setelah kelahiran Raja Jeongjo (memerintah sejak tahun 1776— 1800) pada tahun 1752. Meskipun sungai ini merupakan tempat populer bagi masyarakat Joseon untuk bermain layang-layang dan “menjelajahi jembatan,� Cheonggyecheon bertahan dalam menghadapi cobaan dan bencana tak berkesudahan selama 500 tahun sejarah Dinasti Joseon.

Jembatan Melintasi Cheonggyecheon Ada beberapa jembatan batu di dalam empat gerbang utama Seoul selama masa Dinasti Joseon. Beberapa di antaranya tetap utuh di akhir masa penjajahan Jepang (1910—1945). Disebut sebagai Myeonggyecheon selama masa penjajahan Jepang, ada lebih dari 10 jembatan di atas Sungai Cheonggyecheon, termasuk Mojeongyo, Daegwangtonggyo, Jangtonggyo, Gwangjegyo, Supyogyo, Saedari, Hyogyeonggyo, dan Ogansugyo, dan semuanya merupakan saksi dari peristiwa sejarah. Jembatan yang paling perlu diperhatikan adalah Gwangtonggyo, jembatan terbesar di ibu kota; Supyogyo yang mengawasi ketinggian air sungai; dan Ogansugyo yang terletak di atas Gerbang Air Ogansumun. Jembatanjembatan itu memiliki struktur yang menarik. Di antara jembatan-jembatan itu, Ogansugyo adalah jembatan pertama yang dibongkar pada tahun 1907 berdasarkan rekomendasi insinyur Jepang yang memutuskan bahwa kanal di bawah tembok benteng di sepanjang Gerbang Dongdaemun harus dibongkar untuk meningkatkan aliran Cheonggyecheon. Pada tahun 1940-an, Mojeongyo dipindahkan saat bagian Cheonggyecheon yang mengalir menuju Mugyodong dibuka. Sesudah itu, Gwangtonggyo, Jangtonggyo, dan Hyogyeonggyo juga dibongkar mulai tahun 1958 saat sisa Sungai Cheonggyecheon ditutup. Dalam proses penutupan sungai Cheonggyecheon, tampaknya hanya ada sedikit pemikiran tentang upaya mempertahankan jembatan batu bersejarah itu. Lebih lanjut lagi, tidak ada dokumentasi tentang apa yang terjadi pada jembatan-jembatan itu saat mereka dibongkar. Perkecualian dari itu semua adalah Supyogyo yang arti pentingnya sangat diakui. Jembatan dengan lebar 7 m dan panjang 27 m yang melintasi Cheonggyecheon antara Supyo-dong dan Gwancheol-dong ini sangat elegan dan terlihat seperti jembatan kayu dari kejauhan. Supyogyo merupakan tempat favorit untuk melakukan permainan-permainan rakyat, seperti menjelajah jembatan dan bermain layang-layang, dan ada berbagai gambar yang berkaitan dengan tradisi-tradisi rakyat dan pengukuran ketinggian air di jembatan. Karena arti penting kebudayaan dan sejarahnya, Jembatan Supyogyo ditangani dengan pemeliharaan khusus. Oleh sebab itu, Supyogyo bersama dengan tiangnya yang digunakan untuk mengukur ketinggian air, tetap dipelihara.

12


Sungai Cheonggyecheon: Simbol Kejernihan Seoul

Supyogyo pertama kali dibangun di Hongje-dong dan kemudian dipindahkan ke Taman Jangchungdan pada tahun 1965. Tiang pengukur ketinggian air kemudian dibangun sebagai bagian dari Balai Kota Raja Sejong pada tahun 1973 dan ditetapkan sebagai Harta Negara No. 838 pada tanggal 3 Agustus 1985. Supyogyo di Taman Jangchungdan ditetapkan sebagai Bangunan Budaya Kota Seoul No. 18 pada bulan Juni 1973. Saat ini, lokasi awal dari Supyogyo disebut sebagai Supyo-dong dan Gwansu-dong, dan taman bermain untuk anak-anak didalamnya disebut Taman Supyo. Proyek pemugaran Cheonggyecheon menuntut pembangunan ulang Jembatan Mojeongyo, Gwangtonggyo, Jangtonggyo, dan Ogansugyo. Jembatanjembatan itu tidak akan terlihat persis sama dengan bentuk asli jembatanjembatan itu dulu karena adanya perubahan lebar sungai yang secara otomatis akan mempengaruhi lebar jembatan. Dengan demikian, sepertinya Supyogyo tidak akan kembali ke lokasi awalnya dan tetap berada di Taman Jangchungdan.

Cerita Cinta Yi An-nul Kebiasaan masyarakat menjelajah jembatan didasarkan pada kepercayaan bahwa berjalan melintasi 12 jembatan pada saat bulan purnama pertama akan menjauhkan orang tersebut dari penyakit dan kesialan sepanjang tahun. Di malam hari terang benderang karena cahaya bulan purnama, warga kota Seoul tanpa memandang umur, jenis kelamin, atau tingkat sosial akan berkumpul di Cheonggyecheon. Sangat banyak orang berjalan melintasi jembatan di tengah-tengah keramaian bunyi Lonceng Bosingak, sebuah pertunjukan yang hanya terjadi satu tahun sekali. Berikut ini adalah cerita romantis terkait dengan kebiasaan masyarakat ini. Yi An-nul adalah seorang penyair pada masa pemerintahan Raja Seonjo (1567—1608). Pada suatu malam yang terang benderang karena cahaya bulan purnama saat Yi masih muda, dia dan teman-temannya mabuk dan kemudian berjalan melintasi jembatan. Setelah berpisah dengan teman-temannya, Yi berusaha menemukan jalan menuju ke rumahnya. Di depan jembatan sebuah rumah besar dekat Cheonggyecheon, Yi jatuh pingsan. Rumah itu milik seorang penerjemah kelas menengah bernama Kim. Putri Kim sudah menikah tiga hari sebelumnya dan menantu Kim sedang pergi untuk mengunjungi orang tuanya setelah selesai melaksanakan upacara pernikahan. Seorang pembantu rumah tangga mengira Yi An-nul adalah menantu baru Kim saat menemukannya sedang tidur di depan pintu masuk dan membantunya masuk ke kamar pengantin wanita. Sang pengantin wanita juga mengira bahwa laki-laki mabuk itu adalah suaminya dan kemudian tidur dengan Yi.

13


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Saat Yi An-nul bangun keesokan harinya, dia terkejut mendapati dirinya tengah berada di kamar yang asing dan tidur bersama seorang wanita yang asing pula. Yi terburu-buru mengenakan kembali pakaian dan topinya dan berusaha menyelinap pergi. Namun wanita muda itu memegang celana Yi dan menahannya. Yi sangat terkejut karena dia telah melewatkan satu malam bersama seorang wanita dan dia juga harus mempertimbangkan situasi yang dihadapi oleh wanita itu. Pada saat itu aturan-aturan sosial benar-benar dijalankan secara ketat di mana pria dan wanita yang tidak saling mengenal tidak boleh berbincang-bincang satu sama lain. Wanita itu ingin bunuh diri karena merasa bersalah telah melewatkan satu malam bersama pria yang tidak dikenalnya. Tetapi keberaniannya untuk bunuh diri lenyap saat ia teringat tentang orang tuanya yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Akhirnya wanita itu meminta Yi untuk membawanya pergi. Setelah memikirkan beberapa kemungkinan, Yi memutuskan untuk membawa wanita itu ke rumah bibinya yang tinggal seorang diri di Pil-dong dan meminta bibinya untuk menjaga wanita itu sampai Yi berhasil lulus gwageo, ujian administrasi negara untuk pegawai pelayanan masyarakat tingkat atas. Sementara itu, kedua orang tua wanita itu kebingungan karena anak perempuannya menghilang tanpa jejak. Di saat yang sama, mereka juga menerima kabar bahwa menantu mereka sedang dalam perjalanan kembali ke rumah mereka. Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk memberi tahu menantu mereka itu bahwa istrinya tiba-tiba meninggal di tengah malam karena penyebab yang tidak dapat diketahui. Tiga tahun kemudian, Yi lulus gwageo. Kemudian Yi pergi menemui orang tuanya dan orang tua wanita itu, mengakui apa yang telah terjadi dan akhirnya menikahi wanita itu.

Pembatas yang Memisahkan Seoul Pada masa Dinasti Joseon, Cheonggyecheon tidak hanya berfungsi sebagai garis batas fisik, tetapi juga merupakan pembatas kelas dan kebudayaan untuk memisahkan Seoul, atau Hanyang pada saat itu. Setelah pendirian Dinasti Joseon, bagian utara sungai menjadi rumah bagi istana-istana kerajaan dan lembaga-lembaga pemerintahan yang utama. Perumahan bagi birokrat tingkat tinggi juga terletak di sebelah utara sungai. Bagian selatan sungai penuh dengan rumah yangban tingkat rendah serta masyarakat umum, termasuk pedagang dan seniman. Ada juga daerah penyangga, yaitu daerah-daerah di sepanjang sisi sungai di Jongno yang membentuk pusat distrik perdagangan pada masa Dinasti Joseon. Ini termasuk lingkungan pemukiman pedagang dan birokrat pemerintah tingkat menengah dan rendah, serta dokter dan penerjemah. Karena sungai ini mengalir melalui pusat kota Seoul, distrik ini disebut Jung-

14


Sungai Cheonggyecheon: Simbol Kejernihan Seoul

chon atau pemukiman kota. Kata jungin berasal dari Jungchon, untuk membagi kelas menengah antara elite yangban yang memerintah dan masyarakat umum. Daerah-daerah di sepanjang sisi sungai sebenarnya kurang layak untuk dijadikan pemukiman. Selain bau busuk sampah yang ada di sungai, adanya pemukiman di sekitar sungai dapat menjadi sumber terjadinya banjir dan penyebarluasan penyakit-penyakit infeksi. Lingkungan pemukiman itu semakin menimbulkan ancaman serius terhadap hilir sungai yang dihuni masyarakat miskin kota. Saat Dinasti Joseon membuka negaranya terhadap kekuatan kapitalis pada akhir abad ke-19, jumlah orang asing yang datang ke Seoul semakin meningkat. Namun pemerintah berusaha untuk menjauhkan orang-orang asing dari istana kerajaan dan membangun penginapan bagi orang-orang asing di sebelah barat dan selatan sungai. Dengan demikian, orang-orang asing mulai menetap di daerah di sekitar kampung-kampung diplomatik, termasuk masyarakat Jepang yang menetap di sebelah selatan Cheonggyecheon di kaki Gunung Namsan. Selaras dengan peningkatan pengaruh Jepang terhadap Korea, masyarakat Jepang yang tinggal di dalam tembok benteng yang mengelilingi Seoul pun semakin bertambah dengan cepat. Jauh sebelumnya, semua daerah di selatan Cheonggyecheon diambil alih oleh orang-orang Jepang. Mereka mendorong orang-orang Korea untuk pindah dari rumah mereka dengan menggunakan segala cara yang dapat digunakan, termasuk dengan cara memaksa dan menipu. Setelah kehilangan rumah mereka, orang-orang Korea ini dipaksa untuk pindah ke daerah-daerah dengan kondisi yang kurang baik atau pindah dari kota Seoul. Saat sejumlah besar rumah berukuran besar dan bagus dibangun di sekitar lereng Gunung Namsan, daerah-daerah di sepanjang sisi Cheonggyecheon dengan cepat menjadi terlalu padat dengan gubuk-gubuk kumuh. Sementara itu, polusi sungai terus berlanjut dan semakin parah. Sebenarnya, kondisi yang tidak sehat itu menimbulkan masalah kesehatan yang serius, namun pemerintah Jepang tidak berminat untuk meningkatkan kondisi kesehatan orang-orang Korea. Bagi mereka, kesejahteraan masyarakat hanya ditujukan untuk orang-orang Jepang. Peralatan-peralatan modern, seperti listrik, lampu jalan, dan jalan-jalan berbatu hanya dibangun di daerah-daerah pemukiman bangsa Jepang, sedangkan daerah-daerah pemukiman yang dihuni oleh orang-orang Korea diabaikan, bahkan kondisinya menjadi semakin buruk. Pada akhirnya, saat pemerintah Jepang mengeruk Cheonggyecheon pada tahun 1918, usaha ini gagal meningkatkan kondisi lingkungan di sekitar sungai karena lumpur dan sampah yang dikeruk dari dasar sungai hanya dibuang di jalanan-jalanan pemukiman bangsa Korea. Jalanan menjadi tertutup

15


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

oleh kotoran yang akhirnya menimbulkan bau busuk yang sangat menyengat. Menanggapi hal ini, surat-surat kabar Korea secara teratur menyajikan kritik yang pedas mengenai fakta ketidakadilan, yaitu bahwa truk-truk penyiram jalanan dapat menyiram jalanan di pemukiman Jepang beberapa kali dalam sehari, meskipun sesungguhnya penyiraman itu tidak diperlukan, sedangkan jalanan di distrik sebelah utara yang dihuni oleh masyarakat Korea kondisinya sangat berdebu dan berbau tidak sedap yang dapat menyesakkan napas orang-orang yang melewatinya. Tumpukan sampah hasil kerukan Sungai Cheonggyecheon yang semakin tinggi dibiarkan menumpuk begitu saja. Lebih jauh lagi, ternyata tindakan tersebut merupakan tujuan pemerintah Jepang. Mereka sengaja membiarkan jalanan yang ada di daerah pemukiman Korea menjadi semakin memburuk, sehingga menjadi “daerah yang tidak beradab”. Sementara, di sisi yang lain, pemerintah Jepang membangun berbagai fasilitas modern di daerah pemukiman orang Jepang untuk menciptakan situasi yang sangat kontras antara “bangsa Korea yang tidak beradab” dan “bangsa Jepang yang berbudaya.” Dengan melakukan tindakan tersebut, mereka berniat untuk menciptakan penderitaan psikologis dalam diri masyarakat Korea. Selama masa penjajahan Jepang, Cheonggyecheon berfungsi sebagai batas kultural antara “Korea dan Jepang” yang menyimbolkan perbedaan antara “barbar dan beradab.” Cheonggyecheon juga berfungsi sebagai batas “waktu” yang memisahkan masa lalu bangsa Korea dari masa depannya yang dengan semena-mena ditentukan oleh pemerintah penjajahan Jepang.

Hukuman terhadap Koruptor Pada masa Dinasti Joseon, ada kebiasaan untuk menghukum orang-orang yang melanggar hukum atau mencuri aset pemerintah atau orang lain dengan cara merebusnya di dalam air. Hukuman ini dikenal sebagai paenghyeong dan dilaksanakan di Jembatan Hyejeonggyo yang membentang di atas Junghakcheon, cabang Sungai Cheonggyecheon bagian atas. Terhukum diikat di sebuah periuk besar yang ditempatkan di atas ikatan kayu bakar. Hukuman yang mengerikan ini kabarnya masih dilakukan sampai awal abad ke-20. Sebagian besar orang yang dihukum dengan cara ini adalah pegawai pemerintah yang korup. Bagaimanapun, menurut seorang misionaris asing yang menyaksikan hukuman ini, paenghyeong tidak sungguh-sungguh merupakan cara “direbus di dalam air.” Tidak bisa diketahui apakah periuk besar itu diisi dengan air, dan meskipun kayu bakar diletakkan di bawah periuk itu, kayu-kayu bakar itu tidak benar-benar dinyalakan. Di masa lalu, Jongno adalah jalan utama dan padat seperti keadaannya sekarang dan di sinilah pegawai pemerintah yang korup dihukum. Tempat

16


Sungai Cheonggyecheon: Simbol Kejernihan Seoul

pembakaran yang tinggi dibangun di tengah Jembatan Hyejeonggyo yang berfungsi sebagai persimpangan Jongno, dan sebuah periuk yang cukup besar untuk menampung satu orang digantung di atas tumpukan kayu bakar di tempat pembakaran. Tenda militer didirikan dan para pelanggar hukum itu satu per satu diinterogasi oleh kepala polisi. Saat pertanyaan sudah selesai diajukan, polisi membawa terhukum yang telah diikat dengan tali ke dalam periuk besar, menutupnya dan berpura-pura menyalakan api. Setelah beberapa saat, kepala polisi mengumumkan bahwa pelaksanaan hukuman telah selesai. Saat pelaksanaan hukuman itu berakhir, keluarga terhukum yang menyaksikan dan ikut berdesak-desakan di antara kerumunan penonton, maju ke depan dan membuka penutup periuk itu untuk kemudian memindahkan terhukum dengan disaksikan oleh banyak orang. Mereka kemudian menempatkan orang itu di atas papan kayu yang biasa digunakan untuk mengubur jenasah. Pada saat itu, terhukum itu harus berpura-pura meninggal dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Meskipun tidak ada makam yang digali untuknya, terhukum itu dianggap telah meninggal sejak saat itu, dan meskipun ia memiliki anak, anak-anaknya akan dianggap tidak sah. Dinasti Joseon menggunakan bentuk hukuman simbolis ini untuk menakut-nakuti warganya agar takut melakukan tindak korupsi berapa pun jumlahnya dan dalam bentuk apa pun.

Penyakit Kota Tanggul batu yang dibangun di sepanjang dua sisi Cheonggyecheon pada pertengahan abad ke-18 merupakan warisan monumental bagi manajemen Korea atas sungai-sungai yang ada di kota pada abad pertengahan. Mengikuti pembangunan tanggul-tanggul batu, tiang-tiang yang digunakan untuk menumpuk sampah di sepanjang aliran sungai semakin dikurangi. Permukaan di atas tanggul berfungsi sebagai jalan kecil. Menurut peraturan penjajah Jepang, Cheonggyecheon tidak tercemar parah. Di mana pun air sungai mengalir dengan bersih, meskipun saat hujan arusnya cukup deras, para ibu rumah tangga akan berkumpul untuk mencuci pakaian dan anakanak mereka bermain air di dekatnya. Namun pemandangan tempat orangorang menikmati keindahan alam di jantung kota tersebut hanya berlangsung singkat karena masyarakat Korea kemudian mengalami masa penjajahan kolonial yang kemudian diikuti oleh modernisasi. Bangsa Jepang, setelah pendudukan mereka atas Korea pada awal abad ke-20, memandang Cheonggyecheon sebagai sistem air limbah yang hanya membutuhkan sedikit biaya pemeliharaan. Meskipun mereka mengejek orang-orang Korea yang mencuci pakaian dan sayuran di sungai itu, pemerin-

17


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

tah kolonial Jepang tidak menyumbangkan pemikiran apa pun untuk meningkatkan kualitas air Sungai Cheonggyecheon. Pada saat itu, orang-orang meninggalkan desa dan penduduk kota yang diusir dari rumah mereka sendiri oleh orang-orang Jepang mulai bermukim di dekat Cheonggyecheon. Saat orang-orang ini terus berdatangan ke daerah-daerah di dekat sungai, pondokpondok kumuh terlihat memenuhi setiap sudut dan celah yang ada. Bagaimanapun juga, kondisi yang sangat padat dan kacau itu hanya satu di antara sekian banyak masalah. Jalan-jalan kecil di atas tanggul yang memang terlalu sempit menjadi semakin menyempit saat struktur sungai mencapai permukaan tanggul. Saat hari hujan, pengantar telegram yang mengendarai sepeda sering jatuh dari jalan kecil itu dan orang-orang yang mabuk selalu terpeleset dan tenggelam di sungai. Jalan kecil di atas tanggul sungai itu kemudian dikenal sebagai “jalan maut.� Meskipun demikian, tidak ada perbaikan apa pun yang dilakukan untuk meningkatkan keselamatan mereka yang melewati daerah itu. Bahkan Cheonggyecheon kemudian disebut sebagai “penyakit kota.� Rencana untuk menutup sungai kemudian dikedepankan saat Jepang berusaha meningkatkan kemampuan perangnya. Sejak invasinya ke Manchuria pada tahun 1931 sampai kekalahannya dalam Perang Dunia II pada tahun 1945, Jepang hanya berkonsentrasi pada upaya-upaya perangnya. Selama masa itu, Seoul berfungsi sebagai titik persinggahan utama bagi produksi dan distribusi amunisi serta bahan-bahan persediaan untuk militer Jepang. Sebagai hasilnya, batas kota Seoul diperluas pada tahun 1936 yang kemudian membutuhkan pembangunan jaringan transportasi yang lebih luas. Gagasan untuk menutup Cheonggyecheon agar permukaannya dapat digunakan sebagai jalan mencapai puncaknya pada saat itu. Meskipun sebelumnya telah ada pembicaraan terkait, konsep jalan ini masih terhitung baru. Pada tahun 1905, daerah untuk kegiatan perdagangan telah disetujui dan kemudian diikuti oleh saran untuk pembangunan fasilitas-fasilitas hiburan pada tahun 1922. Bagaimanapun, pada akhirnya penutupan Cheonggyecheon tidak pernah terlaksana karena kurangnya dana dan alat-alat yang diperlukan.

Cheonggyecheon: Lenyap dari Pandangan Saat bangsa Jepang meninggalkan Korea setelah pengumuman kemerdekaan Korea pada tahun 1945, orang Korea yang mulai berusaha mencari kesempatan baru dan kembali ke tanah air mereka mulai membanjiri kota Seoul dan tentu saja rumah-rumah yang ditinggalkan oleh orang-orang Jepang tidak dapat menampung penduduk yang terus berdatangan. Rumah-rumah baru harus dibangun, namun bahan-bahan bangunan masih belum tersedia. Daerahdaerah di sepanjang sisi Cheonggyecheon terus diisi oleh pondok-pondok

18


Sungai Cheonggyecheon: Simbol Kejernihan Seoul

kumuh selama masa kerusuhan sosial yang terjadi sebagai akibat liberalisasi nasional dan Perang Korea (1950—1953). Cheonggyecheon kemudian menjadi rumah bagi daerah-daerah kumuh Seoul dan terus berlangsung sampai akhir tahun 1970-an saat sungai itu akhirnya benar-benar ditutup. Karena adanya peningkatan jumlah penduduk yang mendatangi daerahdaerah kumuh itu, pembuangan sampah menjadi masalah yang cukup serius. Di atas semua itu, perusahaan-perusahaan kecil yang tak terhitung jumlahnya, termasuk pabrik-pabrik cat, yang beroperasi di daerah sepanjang sisi Cheonggyecheon, membuang air limbah mereka yang belum diolah ke dalam sungai. Menanggapi fakta bahwa polusi Cheonggyecheon semakin memburuk, langkah-langkah penanganan masih mustahil dilakukan karena memburuknya kondisi ekonomi akibat perang. Dengan demikian, salah satu alternatif cara yang mungkin dilakukan adalah dengan menutup Sungai Cheonggyecheon. Proses penutupan sungai dimulai pada tahun 1958. Selama lebih dari empat tahun sesudahnya, daerah pusat sungai dari Jembatan Gwanggyo menuju Gerbang Air Ogansumun ditutup dengan beton dan pada tahun 1966 hilir sungai paling bawah juga ditutup. Pekerjaan ini selesai pada tahun 1977 dan Cheonggyecheon pun hilang dari pandangan masyarakat. Kekumuhan kota pun menjadi hilang. Jembatan-jembatan di atas Cheonggyecheon, monumen budaya Seoul pada zaman dulu, bersama dengan pondok-pondok kumuh di sepanjang tanggul Cheonggyecheon yang menjadi rumah bagi masyarakat miskin kota telah dipindahkan.

Cheonggyecheon: Simbol Kejernihan Seoul Proyek pemulihan kembali sungai Cheonggyecheon itu mulai dilaksanakan dari awal Juli 2003 sampai akhir September 2005, dan menelan biaya pembangunan 360 miliar won atau sekitar 3.000 miliar Rupiah. Selama 26 bulan masa pelaksanaan proyek itu dipekerjakan sejumlah 700 ribu orang. Dengan demikian, sungai Chenggyecheon akhirnya dilahirkan kembali di tengah ibukota Seoul. Berbeda dengan Jakarta atau Kuala Lumpur, Seoul menyambut perubahan musim sepanjang tahun. Oleh karena itu, peran dan fungsi sungai Chenggyecheon jauh lebih penting sebagai simbol kejernihan kota metropolitan. Banyak warga Korea sepanjang tahun beramai-ramai berkumpul di tepi sungai kecil itu bersama dengan keluarganya. Demikian pula, turis asing pun ingin ikut menyaksikannya. Mereka ingin tahu, bagaimana caranya sebuah sungai yang mati total lebih dari setelah abad dapat dipulihkan dan dilahirkan kembali. Sungai Cheonggyecheon dibuka untuk umum pada September 2005 dan dianggap sebagai kesuksesan besar dalam pembaharuan perkotaan. Di samping itu, kelahiran kembali Sungai Cheonggyecheon juga dianggap sebagai suatu keberhasilan dalam upaya memperindah kota Seoul. Menciptakan

19


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

lingkungan dengan air bersih dan habitat alami adalah capaian terpenting dari proyek perbaikan Sungai Cheonggyecheon ini. Beberapa spesies, seperti ikan, burung, dan serangga mengalami peningkatan yang signifikan karena penggalian sungai ini. Arus sungai membantu untuk mendinginkan suhu di kawasan dekat sungai, sehingga kawasan tersebut terasa lebih sejuk dibandingkan daerah-daerah lain di Seoul. Penggalian sungai ini juga juga menyebabkan jumlah kendaraan pribadi yang masuk kota Seoul mengalami penurunan sebesar 2.3%. Jumlah pengguna bus mengalami peningkatan sebesar 1.4% dan penumpang kereta bawah tanah (subway) juga mengalami peningkatan 4.3%. Hal ini berpengaruh positif karena dapat memperbaiki lingkungan atmosfer di wilayah tersebut. Proyek pembangunan Sungai Cheonggyecheon ini juga dimaksudkan untuk mempromosikan perekonomian di wilayah perkotaan melalui penguatan infrastuktur perkotaan. Seoul merupakan sebuah kota yang kompetitif dalam bidang bisnis dan di situ dikembangkan kawasan industri yang berpusat pada sungai. Dengan demikian, Sungai Cheonggyecheon menjadi pusat kegiatan perekonomian dan kebudayaan di Seoul. Lahirnya kembali Sungai Cheonggyecheon yang merupakan proyek pembaharuan perkotaan merupakan katalisator revitalisasi di pusat kota Seoul.

DAFTAR PUSTAKA Yang Seung Yoon. 2009. Kebudayaan Korea: Tanah dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press. Asosiasi Sejarahwan Muda Se-Korea. 1998. Sejarah Korea Modern. Seoul: Hanul Academy Press.

20


KATA SAPAAN: REFLEKSI SOSIAL BUDAYA KOREA Prihantoro

Salah satu fungsi dasar bahasa adalah alat komunikasi masyarakat penuturnya. Hanya dengan bahasa itulah setiap anggota masyarakat dapat berkomunikasi dan bekerja sama. Asumsi dasar yang paling banyak diterima adalah bahwa bahasa merupakan salah satu cermin sosial budaya penutur. Bahkan juga, semacam potret geografi daerah tempat bahasa tersebut digunakan. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, hanya dikenal kata salju. Namun di Antartika salju bisa diwujudkan menjadi beberapa kata yang berbeda sesuai dengan bentuknya, jenisnya, kedinginannya, dan entah apa lagi. Di sana hampir setiap hari orang melihat salju. Di Indonesia, kita mengenal, nasi, beras, padi, gabah dan gandum. Masyarakat yang tidak akan dengan padi, boleh jadi tidak membedakan nasi, beras, padi dan seterusnya itu, dan hanya disebut rice saja.

Bahasa, Budaya dan Kata Sapaan Masalah sosial dan budaya sangat besar pengaruhnya pada bahasa. Salah satunya dalam bidang pengajaran, terutama bahasa asing. Pada bidang ini, tidak jarang aspek sosial dan budaya menjadi salah satu kendala dan sekaligus tantangan terbesar dalam mempelajari bahasa asing. Mari kita simak percakapan berikut. Murid Guru

: “omma seonsaeng!� : “anio. Seon-saeng-nim�

Fragmen di atas diambil dari percakapan antara seorang murid dan guru di kelas Bahasa Korea. Sang murid yang baru saja belajar bahasa Korea, dan berasal dari Indonesia, berusaha memanggil gurunya yang kebetulan perempuan. Referensi yang digunakannya adalah sebuah kamus. Pada baris pertama contoh di atas ditunjukkan bahwa sang murid berusaha memanggil

21


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

gurunya dengan frasa omma (ibu) dan seonsaeng (guru), sesuai dengan kebiasaannya di Indonesia. Meskipun tentu saja sang guru memahami akan maksud muridnya itu, ia buru-buru menyilangkan tangannya di dada sambil berkata anio (bukan). Sang guru lalu memperbaiki cara memanggil yang digunakan si murid tadi menjadi seonsaeng (guru) ditambah akhiran –nim yang berfungsi sebagai penanda kehormatan: Seon-saeng-nim. Sekarang kita dapat memahaminya, bahwa cara memanggil kepada seorang guru dalam bahasa Indonesia dan bahasa Korea itu tidaklah sama: berbeda. Dalam bahasa Indonesia, kita menggunakan kata sapaan Bapak (Pak) atau Ibu (Bu) ditambah nama depan atau nama belakang, bergantung nama mana yang paling sering digunakan untuk memanggilnya. Namun, dalam bahasa Korea, yang digunakan adalah kata ‘guru’ ditambah akhiran honorifik (penghormatan). Dari contoh ini saja ada beberapa hal yang bisa kita cermati berkaitan dengan hubungan bahasa dengan persoalan sosial-budaya. Pertama, respek pada orang yang statusnya lebih tinggi diekspresikan dalam bentuk yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia, yang digunakan adalah istilah kekerabatan (kinship terms) Bapak atau Ibu dengan tujuan memperkental nuansa kekeluargaan antara guru dan murid yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Sedangkan dalam bahasa Korea, yang digunakan adalah satu partikel khusus –nim yang disematkan sebagai akhiran dari kata profesi ‘guru’. Kedua, dalam konteks contoh pertama tadi, dengan menggunakan istilah kekerabatan Ibu, aspek yang ditonjolkan adalah kedekatan dalam hubungan kekeluargaan, yang tujuannya untuk memperpendek jarak sosial antarlawan bicara. Sedangkan dalam bahasa Korea, fungsi akhiran –nim adalah mempertegas kedudukan antarpenutur yang salah seorang penuturnya dipandang lebih superior daripada yang lain. Fragmen percakapan tadi bisa dijelaskan sebagai refleksi status sosial dan keakraban antarpenutur dalam situasi percakapan tersebut. Dengan menggunakan kata atau akhiran tertentu, maka relasi antar penutur bisa bertambah lebar atau bertambah pendek.

Relasi Antarpenutur: Relasi Antarpenutur: Status dan keakraban Status dan keakraban

22


Kata Sapaan: Refleksi Sosial Budaya Korea

Ketiga, jika kita mencermati penggunaan istilah kekerabatan dalam bahasa Indonesia, maka kita akan melihat bahwa penggunaan Pak (Bapak) atau Bu (Ibu) cukup sensitif terhadap jenis kelamin: laki-laki atau perempuan. Itulah sebabnya, mengapa si murid menggunakan omma yang berarti Bu (Ibu). Sedangkan dalam bahasa Korea, kata panggilan yang digunakan pada contoh (1) seonsaengnim bisa dialamatkan pada laki-laki atau perempuan. Paling tidak, ketiga hal itulah yang bisa kita peroleh dari satu fragmen percakapan yang sangat singkat tadi. Nah, bagaimana dengan kata panggilan yang lain? Mari kita simak bagian selanjutnya.

Bahasa Korea dan Aspek Sosialnya Sebelum melihat komposisi dan penggunaan kata panggilan dalam bahasa Korea, perlu kita memahami bahwa bahasa Korea dan bahasa Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat mencolok, baik dalam hal aspek struktur, tipologi, maupun aspek sosial budayanya. Dalam bahasa Indonesia, kita cenderung tidak mengenal atau tidak mementingkan tingkat tutur atau undak usuk bahasa, seperti dalam bahasa Jawa atau Sunda, misalnya. Pada dua bahasa tersebut, paling tidak ada tiga tingkat tutur, yaitu tingkat tutur rendah, menengah, dan tinggi. Dalam bahasa Jawa, kata pergi dapat direpresentasikan paling tidak dalam dua bentuk, yaitu tindak (bentuk rendah), dan lunga (tinggi). Dalam bahasa Sunda, kata makan, bahkan dapat direpresentasikan dalam hubungan yang sangat menghormat sampai ke sangat menghina, seperti tuang dan neda (sangat halus) dan nyatu dan lelebok (sangat kasar). Bahasa Korea, walaupun secara struktur dan tipologi sangat berbeda dengan bahasa Jawa, dalam banyak hal sama-sama mempunyai tingkat tutur yang direpresentasikan dengan berbagai macam entitas kebahasaan seperti: pilihan kata, akhiran kata, atau akhiran kalimat, termasuk di dalamnya, kata panggilan atau kata sapaan.

Akhiran –nim Akhiran –nim cukup umum digunakan dalam bahasa Korea sebagai bentuk hormat atau untuk memberi penghormatan. Partikel ini disematkan sebagai akhiran pada kata profesi, seperti sajangnim (sajang ‘juragan atau bos’), kyosunim (kyosu ‘dosen/profesor’), atau seonsaengnim (seonsaeng ‘guru’). Dalam penggunaannya, akhiran –nim ini tidak selalu harus dihadirkan untuk mengacu pada orang yang status sosialnya lebih tinggi. Terkadang antar sesama kolega dosen dan dalam situasi yang formal, akhiran honorifik ini juga digunakan.

23


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Lee: Nam kyosu-nim, ottoke jinessoyo? (‘Profesor Nam, apa kabar?’) Nam: Jeo-neun jal jjinessoyo. Lee seonsang-nim-kedongan jal jinejyo? (Saya baik-baik saja. Profesor Lee selama ini baik-baik saja, bukan?) Kedua penutur adalah sesama profesor dalam satu kampus. Walaupun kedudukan mereka sama, partikel ini tetap saja digunakan untuk memberi penghormatan. Dalam beberapa kasus, partikel itu kadang-kadang boleh juga tidak digunakan. Dari percakapan di atas, kita bisa melihat bahwa yang digunakan untuk bersanding dengan akhiran -nim adalah nama keluarga, ditambah kata profesi. Dalam tradisi Korea, nama keluarga diletakkan di depan, seperti, misalnya, Nam Jee-Sun, Lee Hae-Yun, atau Chae Hee-Rak. Dengan demikian, komposisi kata panggilan tadi adalah: nama keluarga, nama profesi, dan bisa ditambahkan akhiran –nim. Akhiran nim juga bisa disematkan pada kata lain, seperti misalnya ketika kita sedang berbelanja. Untuk pembeli, dalam bahasa Korea, adalah kogek. Meskipun demikian, pramuniaga Korea tidak akan menyapa kita dengan panggilan kogek saja, melainkan dengan penambahan akhiran - nim (kogeknim), sebagai bentuk hormat, karena tujuannya memang untuk memberi penghormatan. Meskipun secara umum akhiran -nim digunakan sebagai bentuk sapaan pada orang yang status sosialnya lebih tinggi, adakalanya partikel ini digunakan sebagai bentuk sapaan untuk orang yang status atau kedudukanya lebih rendah. Misalnya, dari majikan ke seorang sopir. Majikan: Kisanim, wencok-ero kaseyo. (‘Pak Sopir, tolong belok kanan’) Sopir: Ye. Algesseumnida (‘Baiklah Bu’) Dalam fragmen percakapan ketiga ini, sang majikan bukanya mau menyangkal status sosialnya yang lebih tinggi, tetapi sekadar memberikan penghormatan. Akhiran –nim ini tidak hanya bisa disematkan pada kata profesi seperti yang dijelaskan di atas, tetapi juga bisa disematkan pada beberapa istilah kekerabatan, seperti samonim ‘istri’, abonim ‘ayah’, omonim ‘ibu’, meskipun pada konteks yang sangat terbatas.

Pentingnya Senioritas Bahasa Korea memiliki kata panggilan yang cukup unik yang berbasiskan senioritas. Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal kata senior dan junior yang kemungkinan besar diserap dari bahasa Inggris. Pasangan kata ini untuk menunjuk pada seseorang yang lebih tua atau lebih muda. Tetapi bisa juga

24


Kata Sapaan: Refleksi Sosial Budaya Korea

untuk mengacu pada seseorang yang lebih berpengalaman dan yang belum lama memasuki bidang pekerjaan tertentu. Dalam masyarakat Korea, kedua kata ini tidak digunakan sebagai kata panggilan. Kata sapaan senioritas yang sering digunakan: sonbae (senior) dan hubae (junior). Seperti contoh-contoh sebelumnya, partikel –nim juga bisa disematkan di akhir kata: sonbaenim, namun tidak untuk hubae. Bentuk sapaan ini netral terhadap jenis kelamin, sehingga bisa digunakan pada senior atau junior, laki-laki atau perempuan. Senioritas dihitung berdasarkan waktu bergabungnya seseorang dengan suatu organisasi, perusahaan, universitas, atau institusi lainnya. Kadang-kadang terjadi konflik, karena senioritas bergabungnya seseorang dalam satu organisasi, tidak selalu berbanding lurus dengan umur. Padahal, dalam memilih tingkat tutur, umur merupakan salah satu hal yang penting. Bahkan dari kata seonsaengnim yang sering digunakan untuk menyebut guru, salah salah satu makna seonsaeng sendiri adalah orang yang dilahirkan terlebih dahulu. Hal ini bisa dilihat pada topik yang paling sering ditanyakan orang Korea pada orang lain ketika pertama kali berkenalan, yaitu umur. Apabila umur para penutur setara, maka mereka akan bercakap-cakap dengan menggunakan tingkat tutur akrab. Namun, jika salah satunya lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya, penutur yang lebih muda atau lebih rendah harus memakai bentuk hormat. Dalam situasi ini, kadang penggunaan kata panggilan -nim dihindari, dan bentuk sapaan kakaklah yang digunakan (pada yang lebih tua, apa pun status senioritasnya), walaupun kedua orang tersebut tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Untuk orang yang tidak terlalu dekat, kata ssi digunakan sebagai panggilan. Meskipun kata ssi ini ditempatkan di akhir nama, seperti akhiran –nim, uniknya ia tidak menggunakan nama profesi atau keluarga. Hana: Suwon Ssi, neil hakgyoe kayo? (Suwon, apakah besok kamu akan pergi ke kampus’) Suwon: Halka-malka sengkakjungiyeo (‘Sedang saya pikirkan’) Percakapan di atas berlangsung antara dua orang Korea, yang katakanlah bernama Choi Suwon dan Kim Hana. Bisa kita lihat kata ssi tidak bergandeng dengan nama keluarga, atau profesi, tetapi dengan nama diri. Ssi bahkan biasa digunakan dari guru ke murid yang umurnya tidak berbeda jauh . Jika merasa sudah cukup akrab, maka si guru akan menanggalkan kata panggilan ini dan hanya memanggil dengan nama saja. Kata ssi ini bisa disebut sebagai kata panggilan cukup aman, karena menunjukkan kesetaraan dan jarak sosial yang tidak terlalu jauh.

25


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Kata panggilan khusus untuk kakak Kata panggilan untuk kakak merupakan salah satu yang paling sering digunakan dalam bahasa Korea. Mengapa bentuk sapaan ini perlu dibincangkan? Salah satunya dari segi jumlah. Ada empat kata khusus yang digunakan untuk memanggil Kakak dan semuanya memiliki aturan ketat: Onni dan Nuna untuk kakak perempuan, Hyong dan Oppa untuk kakak laki-laki. Perbedaannya dengan bahasa Indonesia, si pemanggil akan sangat menentukan pilihan katakata tersebut. Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal hanya Kakak untuk orang yang lebih tua. Kata Mas dan Mbak yang diserap dari bahasa Jawa digunakan untuk mengacu pada laki-laki atau perempuan. Dalam bahasa Korea, penggunaannya tidak sesederhana ini. Perhatikan ilustrasi berikut. Bagian kiri (Suwon dan Lee Minsuk) adalah perempuan dan lelaki yang lebih muda, bagian kanan (Hyangi dan Ilsung) adalah perempuan dan laki-laki yang lebih tua. Nama, jenis kelamin, umur Suwon, perempuan, lebih muda,

Nama, jenis kelamin, umur Hyangi, Perempuan, lebih tua

Kata Panggilan

Onni

Oppa

Minsuk, lelaki, lebih muda)

Ilsung, Lelaki, lebih tua Nuna

Hyong

26


Kata Sapaan: Refleksi Sosial Budaya Korea

Tidak seperti Mas dan Mbak dalam bahasa Indonesia yang penggunaanya berbasiskan jenis kelamin lawan bicara orang yang dipanggil, dalam bahasa Korea, pertimbangan kata panggilan yang digunakan juga berdasarkan jenis kelamin orang yang memanggil. Dari ilustrasi di atas, kita perinci bagaimana sebenarnya aturan kata panggilan terhadap kakak. Pertama, jika sang kakak adalah perempuan, dan sang adik juga perempuan, maka kata panggilan yang digunakan adalah Onni. Dalam ilustrasi di atas, bentuk sapaan yang digunakan oleh Suwon kepada Hyangi adalah Onni atau Hyangi Onni. Kedua, jika sang kakak adalah lelaki dan sang adik adalah perempuan, maka sang adik akan menggunakan bentuk sapaan Oppa kepada sang kakak. Dalam ilustrasi di atas, Suwon akan menggunakan bentuk sapaan Oppa atau Ilsung Oppa. Ketiga, jika sang kakak adalah perempuan dan sang adik adalah lakilaki, maka sang adik akan menggunakan bentuk sapaan Nuna. Dalam ilustrasi di atas, hal itu dicontohkan dengan penggunaan Nuna oleh Minsuk sebagai bentuk sapaan pada kakak perempuanya Hyangi. Keempat, jika sang kakak dan adik, keduanya lelaki, maka sang adik akan menggunakan bentuk sapaan Hyong. Dalam ilustrasi di atas, bentuk sapaan yang digunakan Minsuk kepada Ilsung adalah Hyong. Uniknya, dari keempat kata tersebut, hanya dua kata yang bisa disematkan akhiran –nim, yaitu: Nuna menjadi Nunim, dan Hyong menjadi Hyongnim. Jadi, akhiran –nim pada kata panggilan untuk kakak, baru hanya dapat digunakan oleh penutur laki-laki. Seperti juga kata sapaan Mas dan Mbak, makna dari empat kata panggilan untuk kakak sekarang ini telah meluas, sehingga tidak hanya berlaku antarpenutur yang memiliki hubungan darah, tetapi juga pada penutur yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Oppa misalnya, sering sekali dipakai seorang perempuan untuk memanggil pacar laki-lakinya. Dalam satu organisasi, Hyong juga kerap dipakai sebagai kata panggilan laki-laki yang sudah senior. Pemakaian kata sapaan kakak ini, dinilai akan mempererat rasa persaudaraan di antara para penutur dibandingkan dengan menggunakan Sonbae atau Hubae.

Pengaruh Konteks Setelah membaca uraian tentang beberapa kata panggilan dalam bahasa Korea, kita mengetahui bahwa selain faktor status dan jarak sosial, ada faktor lain yang mempengaruhi penggunaan kata panggilan. Tempat misalnya. Di sekolah, seorang guru dipanggil seonsaengnim oleh guru yang lain. Namun di luar sekolah, bisa saja ia hanya dipanggil dengan nama. Dalam sebuah seminar, seorang adik lelaki memanggil kakak perempuannya dengan sebut-

27


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

an kyosunim, karena peran kakak perempuannya di situ sebagai dosen pemateri. Tetapi di luar gedung seminar, apalagi di rumah, ia akan memanggil kakaknya dengan sebutan Nuna, tentu saja agar lebih nyaman dan lebih kekeluargaan. Seorang lelaki yang lebih tua, menggunakan panggilan Nunim pada wanita yang lebih muda. Selain menghormati, bisa saja tujuanya untuk mendapatkan nomor telepon wanita tadi. Nah, fakta-fakta seperti inilah yang menunjukkan, bahwa bahasa itu tidak berdiri sendiri. Bahasa yang baik digunakan sesuai dengan konteks situasi pemakaiannya. Apa saja konteksnya? Bisa tujuan, relasi antarpenutur, tempat bercakap-cakap, saluran komunikasi (surat, telepon, tatap muka) dan banyak lagi. Ada yang ingin ditambahkan, tokjanim?*

*

Tokja berarti pembaca. Maka, tokjanim adalah para pembaca budiman, atau para pembaca yang terhormat.

28


OPERASI PLASTIK GENERASI MUDA KOREA Ibnu Wahyudi

Merupakan suatu kenyataan yang tidak istimewa lagi pada beberapa tahun belakangan ini, bahwa hadiah yang sering dijanjikan, ditawarkan, atau diberikan oleh banyak orangtua di Korea bagi anak(-anak) mereka atas prestasi atau keberhasilan yang mereka raih, adalah dengan memfasilitasi buah hati mereka itu dengan tindakan operasi plastik (plastic surgery). Bukan hanya karena anak(-anak) mereka itu mampu masuk atau diterima di universitas bergengsi dan ternama—yang artinya mampu menunjukkan perjuangan atau kompetisi dengan mengalahkan pesaing yang luar biasa banyaknya— melainkan bahkan sewaktu si anak itu “sekadar” baru naik ke kelas VIII atau IX saja, hadiah semacam itu sudah disediakan. Lee Da-eun, Lim Dong-su, dan Yang Su-a telah memaparkan perubahan dan kenyataan sosiologis yang sedemikian ini melalui tulisan mereka di Korea JoongAng Daily beberapa waktu yang lalu. Dikemukakan pula adanya pergeseran realitas dalam keseharian, yaitu bahwa satu-dua tahun terakhir ini gagasan untuk melakukan operasi plastik bukan saja berasal dari para remaja itu, melainkan memang kerap kali datang dari orangtua mereka. Salah satu alasan orangtua mendorong anak remaja wanitanya untuk melakukan operasi plastik adalah agar sang anak mempunyai rasa percaya diri yang cukup di saat memasuki lingkungan SMA. Sudah barang tentu, yang dimaksud dengan operasi plastik di sini adalah tindakan untuk mempercantik diri atau lazim dikenal dengan cosmetic plastic surgery dan bukan suatu tindakan yang berkaitan dengan permasalahan medis. Kalaupun ada semacam “permasalahan” dalam hal ini, tidak lain berkenaan dengan “ketidakpuasan” atau “ketidaknyamanan” sebagian besar orang Korea— utamanya remaja atau anak-anak mudanya—atas anugerah mata dan hidung mereka. Itu pula sebabnya, operasi plastik yang paling banyak dilakukan atau paling digemari adalah “penciptaan” atau pembuatan lipatan kelopak mata (ssang-ku-pul) dan hal-hal renik di sekitar mata itu, serta yang berhubungan dengan bentuk hidung. Namun demikian, wilayah seputar mata adalah area yang paling banyak menjadi objek atau sasaran operasi plastik tersebut.

29


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Kenyataan ini tidak mengherankan, sebab seperti dikatakan oleh Sandy Cobrin (dalam tulisan Julia Yoo di http://web.mit.edu/cultureshock/fa2006/ www/essays/koreanbeauty.html); ada sekitar 75% orang Korea yang sejak dilahirkan memang tidak mempunyai lipatan kelopak mata. Sementara pengertian atau konsep “cantik” dalam konteks masyarakat Korea setidak-tidaknya adalah “bermata lebar dengan lipatan di kelopaknya serta berhidung mancung”, maka begitu kedua bagian wajah tadi (mata dan hidung) dirasa belum atau tidak mampu memenuhi harapan untuk suatu makna kecantikan, hal tersebut jelas dapat membebani dan tidak menumbuhkan suatu rasa percaya diri. Memang ukuran kecantikan yang telah menjadi pandangan umum masyarakat Korea bukan hanya pada mata dan hidung melainkan juga pada dagu dan mulut yang berbentuk mungil-menggemaskan, namun obsesi untuk memiliki dagu dan mulut yang seperti itu cenderung tidak lebih besar daripada keinginan untuk memiliki bentuk mata atau hidung yang ideal, sebagaimana telah disebutkan. Bahwa “pengubahan” atau “penambahan” lipatan pada kelopak atau bentuk mata maupun hidung banyak mengacu kepada “bentuk” yang dimiliki oleh sejumlah artis—utamanya bintang film dan penyanyi—hal tersebut tentu juga tidak perlu diherankan mengingat bahwa identifikasi diri, baik diam-diam maupun terbuka, senantiasa bermuara pada kecantikan atau juga ketampanan para artis itu. Khusus untuk para gadis atau remaja putri, sebagai contoh saja, harapan untuk mempunyai hidung seperti yang dimiliki oleh Lee Hyo-ri, Song Hye-kyo, atau Lee Min-jung, yang masing-masing belum lama ini dinobatkan sebagai pemilik hidung terindah pertama, kedua, dan ketiga (lihat pemberitaan dalam http://koreangossipgirl.com/lee-hyori-no1-nose-beauty-b2m), adalah juga suatu keinginan yang wajar dan berterima kendati penobatan terhadap ketiga artis Korea itu sangat mungkin bermuatan pesan terselubung. Bagaimanapun, terlepas dari adanya pesan ikutan yang sangat mungkin ada itu, realitas tersebut menunjukkan bahwa laku atau tindak operasi plastik di Korea jelas bukan lagi sesuatu yang harus dianggap luar biasa. Namun demikian memang perlu dipahami pula akan adanya efek atau kenyataan yang tidak menggembirakan, utamanya bersangkut paut dengan adanya risiko yang ada. Fakta menunjukkan bahwa kemajuan dunia operasi plastik tidak mampu menjamin sepenuhnya bahwa tindakan tersebut aman maupun tidak menimbulkan adanya efek psikologis tertentu. Pernah dilaporkan bahwa ada seorang gadis berusia 21 tahun yang tewas ketika tengah menjalani operasi plastik akibat siuman dari anestesi di saat seharusnya gadis bersangkutan masih dalam pengaruh bius. Selain karena faktor pemberian bius yang barangkali saja kurang tepat atau tidak sebagaimana mestinya sehingga mengakibatkan hal yang tentu tidak dikehendaki itu, faktor lain adalah adanya

30


Operasi Plastik Generasi Muda Korea

kemungkinan reaksi alergis terhadap anestesi. Kendati ada klaim bahwa risiko bertalian dengan operasi ini kecil, tetap saja hal itu mungkin terjadi. Selain itu pernah pula dilaporkan bahwa ada seorang wanita Korea yang kemudian mengalami adiksi atau kecanduan terhadap operasi plastik setelah ia menjalani operasi plastik. Wanita yang bernama Hang Mio-ku adalah contoh seorang wanita yang tidak (akan) merasa cukup dengan sekali operasi. Setelah menjalani operasi untuk pertama kali pada usia 28 tahun, obsesinya mengenai diri yang cantik ternyata terus saja memburu dan sayangnya ia selalu merasa kurang cantik. Maka dari satu operasi ke operasi lain (seperti dikabarkan oleh telegraph.co.uk) pun dijalani dan hanya di seputar wajah. Namun yang terjadi bukan wajah idaman yang diperoleh melainkan wajah yang membuat orang yang melihat, atau bahkan dirinya, jengah. Ketergantungan wanita yang kini menjelang separuh abad ini bahkan dapat dikatakan sebagai kelewatan sebab ketika silikon yang diberikan oleh dokter bedah plastiknya habis, ia sampai nekat menyuntikkan minyak goreng ke wajahnya. Ketika pada tahun 2009 salah satu stasiun televisi di Korea menampilkan wanita ini, banyak orang Korea—khususnya para wanita—yang terhenyak akan fakta yang memiriskan ini. Oleh dokter, dalam operasi perbaikan, sebanyak 60 gram cairan asing berhasil dikeluarkan dari wajahnya dan dari lehernya dikeluarkan sebanyak 200 gram. Sebuah jumlah yang tidak mainmain! Operasi perbaikan pun kemudian berlangsung tidak hanya sekali. Menurut Hang Mio-ku, ia telah melakukan tindakan yang gegabah dan menyesalinya, dan hal itu dikarenakan adanya keinginan atau obsesi untuk menjadi wanita cantik dan menawan. Maka hasrat yang masih tersimpan adalah keinginan untuk “hanya� kembali memiliki raut wajahnya semula, dan bukan lagi hasrat untuk berwajah bak selebritas atau artis ternama.

Tertinggi di Dunia Tidak dapat dimungkiri bahwa hukum ekonomi nyata-nyata berlaku dalam perilaku operasi plastik ini di Korea. Memang, seperti sudah disinggung di depan, ada kenyataan alamiah bahwa umumnya orang Korea tidak dianugerahi kelopak mata sehingga mereka cenderung berkeinginan melakukan operasi plastik semata-mata sebagai semacam cara untuk menjadi cantik, namun di balik pemenuhan akan keinginan yang sedemikian itu mengarus pula suatu implementasi dari kehidupan bisnis atau komersial. Itu sebabnya, tidak perlu merasa aneh jika kita melihat kenyataan bahwa hampir tidak ada rumah sakit atau bahkan klinik di kota-kota di Korea yang tidak menyediakan jasa operasi plastik. Majalah atau koran yang memasang promosi mengenai hal ini juga tidak terbilang lagi jumlahnya; hampir setiap hari dapat dijumpai.

31


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Bahkan mengenai tarif atau biayanya pun, sudah biasa terjadi semacam perang harga atau persaingan dalam memberikan pelayanan atau bonus, istimewanya pada masa ketika ujian masuk ke perguruan tinggi atau juga pada kenaikan kelas, baru saja berlalu. Bulan Desember dan Januari adalah bulan yang sangat ramai dengan tindakan mempercantik diri ini. Potongan harga yang diikuti oleh embel-embel hadiah tambahan yang dijanjikan oleh rumah sakit atau klinik kecantikan, menjadi media biasa dalam menarik sebanyak-banyaknya orang untuk melakukan operasi plastik. Jika beberapa tahun yang lalu, atau di masa ketika bukan seusai ujian seleksi atau kenaikan kelas, harga untuk operasi pembuatan lipatan kelopak mata, atau pemermakan hidung saja, adalah 3,7 juta won (kira-kira sama dengan $3273 atau hampir Rp 30.000.000) maka harga itu akan turun drastis menjadi hanya lebih kurang 900.000 won (setara dengan $793 atau Rp 7.100.000-an). Belum lagi dengan bonus botoks untuk ibu dari sang anak, maka harga operasi plastik ini di Korea dapat dikatakan begitu kompetitif dan atraktif. Oleh sebab yang sedemikian itu, serta didukung oleh kenyataan ekonomi masyarakat Korea umumnya yang pendapatan per kapitanya dapat dikatakan sebagai lumayan sangat tinggi, yaitu pada kisaran angka sebesar $20.000 (http://rki.kbs.co.kr/indonesia/ news/news_zoom_detail.htm?No=5694), jelas bukan hal yang aneh sekiranya perilaku operasi semacam ini menjadi bagian dari gaya hidup, tren, dan mode. Yang turut mencengangkan, yang menjadi pasien tindakan operasi ini bukan hanya remaja atau orang di bawah 30-an tahun melainkan juga sudah menarik minat orang-orang tua atau mereka yang dalam pandangan umum sudah tidak memerlukan lagi penampilan menawan atau yang harus mampu menarik perhatian. Dari sisi ini, tampak jelas bahwa demam untuk melakukan operasi plastik, selain karena teknologi operasi plastik yang benar sudah sedemikian maju di Korea, memang salah satunya dipicu oleh daya-bayar atau kondisi finansial yang memadai pada masyarakat Korea umumnya. Sebab, sekiranya pun biaya untuk melakukan operasi plastik itu, katakanlah, sekira 900.000won namun rata-rata penghasilan per kapitanya masih seperti di Indonesia yang baru pada kisaran $3,000 (pada tahun 2010) maka kegandrungan seperti di Korea itu, rasanya tidak akan terjadi. Oleh kenyataan yang seperti ini, maka apabila International Society of Aesthetic Plastic Surgery (ISAPS) sampai pada suatu kesimpulan bahwa Korea adalah negara yang persentase penduduknya paling banyak melakukan operasi plastik, sinyalemen itu cukup sahih. Dengan memanfaatkan cara penghitungan yang disebut PP10K, yang merupakan prosedur menghitung dengan pembandingan untuk setiap 10.000 orang dari semua umur setiap tahun, diperoleh data bahwa ada 74 orang dari setiap 10.000 orang di Korea, melaku-

32


Operasi Plastik Generasi Muda Korea

kan operasi plastik. Angka ini tertinggi di dunia sebab di negara lain jumlahnya lebih sedikit. Sebagai gambaran, di urutan kedua adalah Brasil (55 dari setiap 10.000), Taiwan (44 dari setiap 10.000), Amerika Serikat (42 dari setiap 10.000), Jepang (32 dari setiap 10.000), Thailand (11 dari setiap 10.000), China (9 dari setiap 10.000), dan India (6 dari setiap 10.000). Agar lebih jelas, berikut ini adalah tabel dari http://www.asianplasticsurgeryguide.com/news10-2/ 081003_south-korea-highest.html. Asian Plastic Surgery Guide's Highest Plastic Surgery Rates for 2009

Country

Total Procedures

Total Population

PP10K

South Korea

365,000

49,232,000

74

Brazil

1,054,000

193,000,000

55

Taiwan

103,000

22,929,000

44

United States

1,300,000

309,000,000

42

Japan

411,000

127,288,000

32

Thailand

76,000

65,500,000

11

China

1,215,000

1,322,000,000

9

India

683,000

1,184,000,000

6

Tampak Muda, Lebih Disuka Adakah di Korea hanya para gadis atau remaja putri yang senantiasa berhasrat untuk melakukan operasi plastik? Ternyata, jawabannya adalah “tidak�. Sesungguhnya, bersamaan dengan kecenderungan para wanita itu untuk melakukan bedah plastik untuk membentuk lipatan pada kelopak mata, merombak bentuk hidung, dan juga memungilkan mulut, tidak sedikit para pria yang melakukan hal serupa. Memang, dari segi jumlah, para pria yang melakukan operasi plastik ini lebih sedikit, namun bukan berarti tidak ada. Dari sebuah survei yang dilakukan terhadap 22.600 laki-laki di Seoul (http:// rokdrop.com/2010/09/03/cosmetic-surgery-popular-among-men-living-inseoul/) diperoleh data bahwa 30,5% kaum laki-laki berusia 20 sampai dengan 30-an tahun menyatakan berkeinginan untuk melakukan operasi plastik bagi

33


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

sebuah tujuan keindahan diri atau yang berdimensi estetis. Dan operasi yang dijalani oleh para pria ini juga bukan hanya sekali; bisa lebih dari tiga kali. Fakta bahwa bukan hanya para wanita yang rajin “bergaul” dengan rumah sakit atau klinik yang menyediakan jasa operasi plastik, tetapi juga para lelaki, mengindikasikan adanya suatu kesadaran yang sudah menjadi semacam “pengakuan” yang bersifat mental. Bahwa secara ekonomi orang Korea tidak bermasalah untuk membayar biaya operasi tersebut—seperti sudah dikemukakan—merupakan salah satu faktor penting yang menggerakkan banyak orang untuk tidak takut lagi dengan pisau dan peralatan operasi lainnya. Merupakan suatu kenyataan pula, bahwa hanya sekira 25% orang Korea diberi oleh Sang Pencipta lipatan di kelopak mata sehingga selebihnya, yang 75%, berada dalam kompleks rendah diri dan kemudian mereka umumnya hendak melepaskan keinferioritasannya itu dengan memermak wajah. Lantas adanya kecenderungan yang bersifat budaya yang melanda kaum muda umumnya, telah menggerakkan pula baik perempuan maupun laki-laki untuk menjalani operasi plastik. Semangat, untuk tidak menyatakannya sebagai ideologi, yang melandasi faktor ketiga ini adalah suatu konformitas untuk tidak tampil berbeda dengan lainnya. Apabila tidak sedikit juga wanita setengah baya yang pada akhirnya tidak hanya memanfaatkan botox yang diperoleh ketika mengantarkan anaknya operasi, tetapi juga mungkin mendaftar untuk dioperasi dengan tujuan estetis dan supaya tampil lebih modis, para lelaki paruh baya pun tercatat banyak yang berminat untuk melakukan operasi plastik ini. Adanya kecenderungan seperti ini sekurang-kurangnya merefleksikan adanya gejala pada diri orang-orang paruh baya itu, baik pria maupun wanita, untuk tetap sedap dipandang dan terus mampu beradaptasi dengan lingkungan dan kungkungan zaman yang cepat berjalan. Tentu, selalu saja ada faktor sampingan yang bisa saja disengaja maupun hanya efek ikutan, seperti munculnya kehidupan perselingkuhan dan semacamnya, namun gejala “lookism” ini tidak mungkin dihindari. Apalagi jika pria atau wanita ini sudah mulai memasuki usia 40-an ke atas sementara kesehariannya adalah pekerja atau pegawai yang harus banyak berhubungan dengan sesama manusia, pencitraan diri sebagai tetap atau selalu tampak muda dan ceria jelas merupakan suatu pilihan yang akan mampu mendukung perjalanan karier. Kenyataan seperti ini agaknya sungguh sangat disadari sehingga yang datang ke rumah sakit maupun klinik yang memfasilitasi operasi plastik tidak selalu anak muda, namun juga orangorang tua yang senantiasa berharap tetap bisa tampil muda. Sementara itu yang memang masih berusia muda, obsesi yang biasa dikejar adalah penampilan yang selalu segar dan enak dipandang sebab

34


Operasi Plastik Generasi Muda Korea

hanya dengan tampilan wajah, terutama, yang menyamankan, selalu akan ada harapan untuk menjadi perhatian dan lebih-lebih jika bisa sampai menjadi idola banyak kalangan. Dalam kaitan ini jelas bahwa acuan akan sosok bintang film yang sedang berada di papan atas atau artis penyanyi yang tengah meniti kesuksesan, selalu dipelihara dengan niatan untuk dapat sebagai bayangbayangnya. Jika faktor keberuntungan menghampiri, apa yang selama ini hanya dimimpikan, tidak mustahil akan menjadi kenyataan. Inilah mimpi yang tak bosan dipelihara sembari menyerahkan wajahnya untuk dipermak sesuai dengan idola atau mitos yang telah mengungkungnya.

Refleksi Satu Dekade Sebelumnya Sewaktu masih tinggal di Seoul sebagai pengajar tamu di Hankuk University of Foreign Studies antara tahun 1997 sampai dengan 2000, kami sekeluarga termasuk penyuka drama Korea yang ditayangkan baik oleh MBC, SBS, atau stasiun televisi lainnya. Kalau saya menyukai dan cukup terpukau dengan Kim Hee-sun dalam seri drama Goodbye My Love (An-nyeong Nae Sa-rang) dan Tomato (To-ma-to) maka istri saya lebih menyukai Kim Namjoo, misalnya dalam seri drama Steal My Heart (Nae Ma-eum-eul Baet-eoboa). Persoalan yang hendak saya kemukakan di sini bukan mengenai isi drama-drama itu melainkan pada kepenasaran, adakah Kim Hee-sun, Kim Nam-joo, atau bintang film lainnya seperti Bae Jong-ok, Ahn Jae-wook, Song Seung-heon, maupun Bae Yong-joon sudah dipermak wajahnya dengan operasi plastik? Kami cukup sering berdebat, sebab selain kurang mampu mengikuti pemberitaan atau gosip-gosip seputar selebritas, wajah nama-nama bintang film yang paling tidak telah saya sebutkan tadi tidak menampakkan adanya bekas-bekas “permakan� atau operasi. Entahlah, apakah kami yang sangat naif atau teknologi bedah plastik yang sudah maju pada akhir dasawarsa 1990an itu, atau karena bedak yang tebal? Yang pasti, jika para bintang film tadi sesungguhnya telah mengalami operasi, mungkin pada kelopak mata atau hidung, dan hasilnya sudah mendekati sempurna untuk masa sepuluh tahunan yang lalu, maka dapat dibayangkan, betapa canggihnya operasi atau bedah plastik dewasa ini. Sehingga jika kita sampai selalu terkelabui oleh penampilan anak-anak muda Korea sekarang ini, baik yang tengah naik daun maupun yang sedang giat di dunia kampus, hal itu tentu sangat wajar. Hanya, harapan yang dapat dikemukakan di sini mudah-mudahan kecenderungan untuk selalu tampil menawan itu tidak menjebak anak muda Korea terjerumus pada ketergantungan terhadap operasi plastik.*** Depok, Awal Mei 2011

35


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

MENYUSURI JEJAK PERSAMPAHAN DI KOREA Eva Latifah

Kali pertama datang ke Korea, saya harus menetap di asrama mahasiswa. Setiap pagi, setelah sholat subuh dan bersiap mandi, saya selalu berpapasan dengan Chongseo Ajumma (청소아줌마 )1 yang sedang memilah-milah tumpukan sampah yang tak tentu arah. Di sana memang tersedia banyak tempat sampah berukuran besar dengan tempelan petunjuk pemilahan sampah di atasnya. Namun, sepertinya memang susah untuk mengatur banyak orang dari berbagai negara dengan latar beragam. Petunjuk pemilahan sampah itu seakan hanya pajangan tak berkekuatan. Sampah bercampur baur tak menentu. Tak jarang terdengar gerutu kecil dari sang ajumma yang samar terdengar. Barangkali dia kesal karena setiap pagi berhadapan dengan kondisi yang sama. Setelah dua tahun hidup dalam asrama, akhirnya saya memutuskan pindah menyewa rumah yang lebih dekat ke kampus. Sejak saat inilah petualangan saya dengan sampah dan barang-barang bekas bermula.

Plastik Sampah Sehari setelah pindah, pemilik rumah sepertinya sengaja datang untuk mentraining saya dalam urusan sampah. “Anda sudah tahu kalau sampah harus dipisah-pisah?” tanyanya. Saya hanya mengangguk kecil. Jujur saat itu saya hanya tahu bahwa ada sampah yang bisa didaur ulang dan sampah biasa. Dia tahu kalau saya tak terlalu tahu. Lalu dimulailah kuliah panjang tentang pengaturan sampah di Korea yang ternyata tidak mudah dan tidak murah. Saya jadi mengerti mengapa dulu Ajumma di asrama terkadang kesal sekali pada para penghuni. 1

Ajumma adalah sebutan untuk wanita yang telah berusia atau sudah menikah. Sedangkan Chongseo berarti bersih-bersih. Chongseo Ajumma artinya perempuan yang umumnya setengah baya yang berprofesi sebagai petugas kebersihan di asrama, mall, sekolah, dan tempat fasilitas umum lainnya.

36


Menyusuri Jejak Persampahan di Korea

Berdasarkan petuah tuan rumah, sampah harus dibagi menjadi: 1) sampah makanan, 2) sampah yang tidak bisa didaur ulang (mereka menyebutnya ilban seregi atau sampah biasa), 3) sampah plastik bertanda segitiga daur ulang, 4) sampah kertas atau kardus, 5) sampah beling, 6) sampah kaleng, dan 7) sampah besar (berupa barang elektronik atau furnitur). Sampah makanan dan sampah biasa harus disimpan dalam plastik sampah yang memiliki warna berbeda tiap wilayahnya.2 Plastik-plastik sampah ini tersedia dalam dua kategori kebutuhan, sampah rumah tangga dan sampah industri (kantor, pabrik, apartemen, fasilitas umum dan atau sekolah). Ukuran plastik sampah rumahan adalah 5ℓ , 10ℓ , 20ℓ , 50ℓ , 100ℓ sedangkan plastik sampah industri berukuran 20ℓ , 50ℓ , dan 100ℓ . Sampah yang bisa didaur ulang seperti plastik, kertas, kaleng, atau beling harus dimasukkan ke dalam plastik transparan dan dikelompokkan secara terpisah. Plastik transparan ini tidak harus dibeli, tetapi bisa dengan memanfaatkan plastik bekas belanja. Alasan penggunaan plastik transparan adalah untuk memudahkan para pemulung3 memilih sampah daur ulang yang ingin dikumpulkannya.

Sampah, di Antara Rakyat dan Pemerintah Sampah adalah isu jitu yang dapat menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjalani amanah rakyat. Sampah dianggap masalah remeh-temeh, tetapi juga paling ampuh untuk mendekatkan atau menjauhkan rakyat pada pimpinannya. Gerakan penanggulangan sampah di Indonesia sayangnya jarang bermuara pada pemerintah. Gerakan seperti Bank Sampah4 di Bantul 2

3

4

Warna plastik sampah dibuat berbeda di setiap wilayah kecamatan. Jadi, kita harus membeli plastik sampah di wilayah sekitar tempat tinggal. Pada plastik itu tertera wilayahnya. Warna plastik sampah makanan dan sampah biasa juga dibuat berbeda. Untuk kecamatan Dongdaemun tempat tinggal saya, misalnya, plastik sampah makanan berwarna kuning jeruk dan plastik sampah biasa berwarna putih. Petugas kebersihan biasanya tidak akan mengambil sampah yang dianggap tidak mengikuti aturan, seperti memakai plastik sampah wilayah lain atau tidak memasukkan sampah ke dalam plastik yang semestinya. Biasanya para pemulung di Korea adalah para lansia yang sengaja mengumpulkan sampah-sampah daur ulang di sekitar tempat tinggalnya untuk dijual ke penampungan daur ulang. Para lansia ini biasanya menggunakan kereta-dorong-bayi bekas untuk menumpuk barang yang dikumpulkannya. Mereka biasanya dibayar sekitar 500 won untuk setiap kilogramnya. Gerakan Bank Sampah dimotori oleh Bambang Suwerda, seorang dosen FKM. Layaknya sebuah bank, gerakan ini mengumpulkan sampah plastik, kertas, botol atau kaleng yang merupakan setoran (tabungan) yang dicatat petugas (teller) dalam buku catatan (buku tabungan). Ada juga sistem bagi hasil dari sisa usaha. Sampai sekarang, gerakan ini sudah diterapkan di dua puluh desa di Bantul.

37


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Yogyakarta adalah salah satu contoh inisiatif rakyat. Meski pada awalnya kurang mendapat sambutan dari masyarakat, gerakan di Dusun Bandegan ini sukses dan telah menginspirasi desa lainnya. Dengan moto “Menabung sampah, hidup lebih bersih dan hari esok lebih baik,� bank sampah menjadi solusi penanganan sampah yang selama ini menumpuk. Di Korea, kebijaksanaan Pengaturan Sampah sudah dirintis sejak akhir 1994, tetapi baru dilaksanakan secara serempak di seluruh negeri pada Januari 1995. Saat itu, tentu saja ada juga masyarakat yang keberatan dengan kebijaksanaan ini.5 Meski begitu, rakyat tetap mematuhi dan menjalani. Sekarang, pemerintah dan rakyat Korea dapat menikmati lingkungan yang bersih. Jumlah sampah rumah tangga dan industri berhasil dikurangi dan angka pemakaian barang daur ulang meningkat secara signifikan. Meskipun demikian, kesadaran masyarakat dan usaha pemerintah dalam menangani sampah itu tidaklah berhenti sampai di sana. Dalam setiap kegiatan siswa (SD, SMP atau SMA) di luar sekolah, misalnya, seperti menonton konser atau pertandingan olahraga, kemping, atau mengunjungi tempattempat bersejarah, pihak sekolah secara resmi mengeluar surat edaran yang berisi berbagai hal yang harus diperhatikan para siswa. Salah satu butir yang terdapat dalam surat edaran itu adalah kewajiban untuk tidak meninggalkan sampah atau membuangnya di tempat sampah yang tersedia. Peringatan itu tentu saja tidak sulit dijalankan, sebab di hampir setiap pojok taman, di sudut-sudut gedung, di setiap lantai gedung bertingkat, di setiap halte bus, di berbagai sudut jalan selalu tersedia tempat-tempat sampah. Begitu mudahnya orang membuang sampah ke tempat sampah yang tersedia, sebab dalam beberapa langkah saja, kita akan menjumpai tempat sampah dengan berbagai ukuran.

5

Ada dua alasan keberatan masyarakat pada saat itu. Pertama, mereka merasa tak dapat lagi membuang sampah sekehendak hati. Kedua, mereka keberatan lantaran ada biaya yang harus dikeluarkan. Meskipun alasan pertama dapat dikompromikan, alasan kedua itulah yang sulit dapat diterima. Pada awalnya, membuang sampah dengan keharusan mengeluarkan biaya, dianggap sebagai tindakan yang tidak masuk akal. Belakangan, mereka menyadari, bahwa biaya yang harus dikeluarkan itu sesungguhnya tidak ada artinya jika dibandingkan dengan manfaat yang kemudian mereka rasakan. Meskipun harga plastik sampah dapat berbeda tiap wilayahnya, di kecamatan Dongdaemun, misalnya, plastik sampah makanan seharga 1000 won/10 dan plastik sampah biasa yang berukuran 10–! seharga 2000 won/10 plastik. Jadi, rata-rata untuk satu keluarga yang tidak banyak membuang sampah, biaya yang harus dikeluarkan sekitar 10,000 untuk plastik sampah setiap bulannya.

38


Menyusuri Jejak Persampahan di Korea

Tak Ada Barang Yang Sia-sia Terbuang Di Korea, barang bekas atau sampah diolah dan dikelola agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Misalnya, sampah makanan selain digunakan untuk pembuatan pupuk, konon juga dipakai untuk pakan ternak babi. Entah benar atau tidak, tetapi usaha pemanfaatan sampah menjadi benda bernilai guna. Tentu saja langkah itu perlu diteladani. Yang unik adalah saat kita ingin membuang sampah besar seperti TV, lemari, kulkas, kursi, atau barang-barang lain yang relatif besar. Pembuang sampah diharuskan pergi ke kantor kecamatan atau kelurahan untuk membeli stiker. Harga stiker sampah berkisar antara 2000-10,000 won.6 Stiker ini harus ditempelkan pada sampah besar yang dibuang. Dengan begitu orang tidak akan sembarangan membuang barang. Stiker ini juga menjadi tanda bahwa barang tersebut sudah dibuang. Bila ada orang lain yang memerlukannya, orang tersebut bisa langsung mengambil barang itu, tanpa takut dianggap sebagai pencuri.

Tempat Penampungan Barang Bekas Selain tempat penampungan barang-barang yang dapat didaur ulang, di Korea kita dapat dengan mudah menemukan tempat-tempat penampungan sekaligus penjualan barang-barang bekas. Kecenderungan orang Korea yang selalu ingin mengganti barang lama dengan yang baru atau model baru, boleh jadi telah menyebabkan tempat penampungan itu dipenuhi barang-barang yang sebetulnya masih bagus dan sangat layak pakai. Itulah sebabnya, tempat penampungan seperti ini menjadi semacam “pasar loak” yang cukup diminati oleh orang Korea maupun orang asing. Tentu saja barang-barang yang masih bagus itu akan dijual dengan harga sangat murah. Maka, tidak perlu heran, jika sejumlah orang kulit putih atau kulit sawo matang, kerap mengerumuni tempat-tempat seperti itu, di antara orang-orang Korea sendiri yang berumur setengah baya. Seorang mahasiswa Indonesia yang membawa anaknya bersekolah di Sekolah Dasar Korea, mengungkapkan: “Begitu pindah ke rumah sewa dekat kampus, saya harus melengkapi rumah dengan barang-barang yang diperlukan,”7 katanya. Sebagai mahasiswa yang bergantung pada beasiswa yang 6

7

Tinggi rendahnya harga stiker bergantung pada besar atau kecilnya barang bekas yang ingin dibuang. Kulkas dengan ukuran di atas 500–!, misalnya, harga stikernya 10,000 won dan yang di bawah 300–! seharga 4000 won. Stiker untuk membuang vacuum cleaner, spiker, kipas angin, video, layar komputer seharga 2000 won. Masih menurut keterangan mahasiswa itu, sebetulnya ada satu lagi cara yang mengurangi jumlah barang bekas di Korea, yaitu barang ‘warisan’. Waris-mewarisi barang umumnya dilakukan oleh mahasiswa asing senior yang telah lulus dan akan kembali ke tanah air kepada juniornya. “Saya beruntung karena ketika saya dating, seorang senior dari UGM, Ibu Nur Setiawati mewariskan banyak sekali barang pada saya,” katanya.

39


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

terbatas, tentunya ia tidak mudah membeli barang elektronik baru semacam kulkas yang harganya bisa sebulan atau lebih dari biaya hidup. Beruntunglah mahasiswa itu. Ia datang ke tempat penjualan barang-barang loak itu dan menemukan kulkas baru dan barang elektronik lainnya dalam kondisi masih sangat baik dengan harga yang jauh lebih murah. “Jadi, saya bisa berhemat sekaligus membantu mengurangi jumlah barang bekas di Korea,� ujarnya.

Pendidikan Sikap Terhadap Barang Satu program di sekolah yang sejauh pengamatan saya, belum ada di Indonesia adalah Program Pertukaran Barang. Uniknya barang yang harus ditukar adalah barang layak pakai yang dianggap sudah tidak lagi terpakai di rumah. Khusus di Chongryang Elementary School, misalnya, Program Pertukaran Barang ini biasanya dilakukan pada bulan Mei. Pada tahun lalu, Ashar, anak mahasiswa itu, pergi membawa celengan yang tidak terpakai. Pulangnya, dia membawa serutan elektronik. Serutan ini konon menjadi barang kesayangannya sampai sekarang. Menurut Ashar, Program itu dilakukan seperti layaknya sistem barter pada zaman dahulu. Siswa yang berminat pada satu barang milik temannya akan menawarkan barangnya kepada sang teman. Bila temannya terlihat enggan, peminat barang dapat meningkatkan tawaran dengan menambah barang yang akan ditukarkan. Semua siswa tampak bersemangat saling bertukar barang dan bernegosiasi. Siswa-siswa tampak senang karena dapat mengurangi jumlah barang yang sudah tidak terpakai lagi di rumahnya, dan sekaligus juga (berharap) akan mendapatkan barang baru. Menurut Kepala Sekolah, program seperti ini selain mendidik sikap menghargai barang dengan tidak sembarangan membuangnya, juga melatih bisnis dalam skala kecil. Mungkin karena pelatihan wira-usaha sederhana dilakukan sejak kecil itulah, banyak orang Korea yang terjun ke dunia bisnis di dalam dan luar negeri.

Seoul Folk Flea Market Di Seoul, tepatnya di wilayah Sinsoldong, ada sebuah pasar tempat menjual barang-barang bekas. Di tempat ini, pengunjung dapat menemukan bermacam-macam barang, mulai dari pakaian, sepatu, aksesoris, alat musik, sepeda, alat olahraga, sampai benda-benda antik. Pada hari-hari terntentu, orang asing juga dapat menjual barang yang sayang untuk dibuang. Peminat dapat mendaftarkan diri dengan mengambil formulir di kantor pengelola yang ada di dalam gedung.

40


Menyusuri Jejak Persampahan di Korea

Sayangnya kebanyakan penjual adalah orang-orang tua yang umumnya tidak dapat berbahasa Inggris. Bila ingin berbelanja di sana, tetapi tidak dapat berbahasa Korea, ada baiknya meminta bantuan teman Korea untuk mendampingi. Selain itu, teman Korea juga dapat membantu menawar barang, karena banyak juga pedagang yang suka memberi harga tinggi pada pembeli luar negeri. Bahkan ada juga pedagang yang tidak mau melayani pembeli asing dengan memberi tanda ‘pergi’ lewat gerakan tangan. Satu lagi yang perlu diwaspadai adalah adanya barang-barang aspal di sana. Bagi yang ingin berburu barang bermerk, ada baiknya berbekal pengetahuan tentang ciri dan cara membedakan barang asli atau aspal. Begitulah, di Korea barang bekas tidaklah meninggalkan bekas. Sampah, barang daur ulang, barang dibuang sayang, dan barang bekas semuanya dikelola sedemikian rupa hingga kembali berdaya dan berguna. Seoul, 10 Mei 2011

41


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

GELOMBANG KOREA (HALLYU) DI JEPANG DAN INDONESIA Rostineu

Hallyu (Korean Wave) atau Gelombang Korea mulai dikenal di beberapa negara di Asia sejak penayangan opera sabun Winter Sonata di beberapa program televisi. Sebelum opera sabun Winter Sonata ditayangkan di stasiun TV, masyarakat yang berada di kawasan Asia Tenggara sudah mulai menyukai budaya Korea, seperti makanan khas Korea yang dikenal kimchi, bulgogi, bibimbab; lagu atau penyanyinya. Merebaknya Hallyu beberapa negara di Asia Tenggara menunjukkan, bahwa masyarakat masing-masing negara tersebut menerima aliran budaya Korea. Hallyu bisa dianggap sebagai sebuah fenomena tersendiri dalam dunia hiburan modern. Uniknya, Hallyu tidak hanya merebak di kawasan Asia Tenggara. Masyarakat di dua negara terdekat Korea, yaitu China dan Jepang, yang memiliki banyak persamaan budaya dengan Korea, juga cukup banyak menerima aliran budaya Korea itu.8 Jika melihat perjalanan sejarah serta hubungan antara Korea dengan Jepang, umumnya masyarakat dunia akan mengatakan hal yang sama, bahwa di antara mereka terdapat perasaan benci dan curiga. Jepang dianggap sebagai musuh oleh Korea, karena tiga kali invansi yang pernah dilakukan Jepang mulai abad ke-16 sampai abad ke-19 (masa awal sejarah modern Korea). Di samping itu, penjajahan Jepang yang berlangsung selama tiga puluh lima tahun, terhitung mulai 1910 sampai 1945, turut menambah makin renggangnya hubungan antara Korea dan Jepang dalam beberapa dasawarsa.

8

Ketiga negara Asia Timur ini tidak hanya menunjukkan hubungan budaya yang begitu dekat, tetapi juga hubungan sejarah. Beberapa budaya yang sama dimiliki Cina, Korea, dan Jepang, adalah penggunaan karakter Cina yang dikenal dengan hanja dalam bahasa Korea, dan kanji dalam bahasa Jepang; ajaran Buddha dan Konfusian; penggunaan sumpit sebagai alat makan yang dikenal dengan jotkarak dalam bahasa Korea dan hashi dalam bahasa Jepang.

42


Gelombang Korea (Hallyu) di Jepang dan Indonesia

Terlepas dari hubungan sejarah antara Korea dan Jepang, bagi masyarakat Indonesia yang belum begitu banyak mengetahui perkembangan kedua negara Asia Timur itu, terutama di bidang budaya, boleh jadi tidak akan menyangka, bahwa masyarakat kedua negara ini sama-sama saling mempengaruhi dan terpengaruhi oleh berbagai produk budaya masing-masing. Untuk lebih memfokuskan pembahasan seputar budaya Korea di Asia Tengara dan Asia Timur, tulisan ini memaparkan budaya Korea apa saja yang banyak diterima dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia sebagai negara Asia Tenggara dan Jepang sebagai negara Asia Timur. Paparan ini dimulai dengan menengok kembali secara singkat hubungan Korea dengan Jepang yang difokuskan pada hubungan budaya, situasi budaya Korea di Jepang, dan situasi budaya Korea di Indonesia.

Hubungan Budaya Korea – Jepang Kebudayaan Korea sedikit banyak menerima pengaruh dari China yang mulai masuk pada masa awal kerajaan kuno dikenal dengan Kojoseon (Joseon Kuno). Ajaran Buddha, Konfusian, karakter China yang dikenal dengan hanja dalam bahasa Korea, adalah beberapa kebudayaan China yang berkembang pesat di Korea mulai masa tiga kerajaan (Koryeo, Baekje, Silla ) masa kerajaan terakhir di Korea (Joseon ), sampai Korea membuka diri pada dunia luar pada akhir abad ke-19. Kebudayaan China tidak hanya mempengaruhi kebudayaan Korea, tetapi juga kebudayaan Jepang yang disampaikan melalui orang-orang Korea yang berkunjung ke Jepang. Selain ajaran Buddha, Konfusian, dan karakter China yang dikenal dengan kanji dalam bahasa Jepang, budaya bercocok padi di Jepang pun mereka dapatkan melalui Korea. Dengan kata lain, pengaruh budaya China di Asia Timur berjalan dimulai dari Korea menuju Jepang. Perjalanan pengaruh budaya ini sesuai dengan posisi geografis ketiga negara tersebut. Korea lebih dekat dengan China dan mereka bisa saling berhubungan, baik melalui jalur darat maupun laut. Posisi China dengan Jepang terpisahkan oleh Korea, sehingga budaya asal China masuk ke Jepang lewat Korea. Pada abad ke-14 sampai akhir abad ke-19, Korea dan Jepang berada dalam satu ikatan hubungan yang dikenal dengan sistem Tributory. Sistem ini berasal dari China sebagai sistem tradisional untuk mengatur hubungan mereka dengan luar negeri. Sebelum Jepang resmi menjajah Korea pada tahun 1910, Jepang beberapa kali melakukan serangan terhadap Korea. Pada tahun 1592 dan 1597, Jepang menggelar invansi terhadap rakyat Korea yang dalam sejarah Korea dikenal dengan Imjin Hweran. Kedua invasi ini dipimpin oleh Toyotomi Hideyoshi dan berakhir dengan ketidakberhasilan Jepang menaklukkan perlawanan rakyat Korea. Tidak hanya itu, setelah

43


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

meletusnya perang antara China-Jepang tahun 1904, Jepang menguasai rakyat Korea dan akhirnya meresmikan Korea sebagai negara jajahannya pada tahun 1910. Jauh sebelum Jepang menjajah Korea, dengan strategi propagandanya, Jepang banyak merekrut pemuda Korea untuk dijadikan sebagai tentara sukarela yang diperlukan Jepang melawan China. Seiring dengan situasi perang yang semakin meluas di wilayah Asia Pasifik, Perang Dunia II pun akhirnya meletus. Jepang memberlakukan sistem mobilisasi paksa atas rakyat Korea, antara lain, dengan cara mobilisasi wanita Korea yang dikenal dengan Ilbongun wianbu, mobilisasi tentara dan buruh. Kekuasaan Jepang atas Korea tidak hanya sebatas itu. Selama masa penjajahan Jepang, rakyat Korea dilarang menyanyikan lagu tradisional bangsanya sendiri. Dalam kurun waktu tertentu, peraturan pemberlakuan pelajaran bahasa Jepang di sekolah-sekolah di Korea pada akhirnya berujung dengan pelarangan penggunaan bahasa Korea dan digantikan dengan bahasa Jepang. Hasil-hasil budaya rakyat Korea yang berupa kuil–kuil Buddha, turut dihancurkan. Kebijaksanaan lain yang menyakitkan bangsa Korea adalah peggantian nama Korea dengan nama Jepang. Bangsa Korea juga diwajibkan menyembah matahari. Walaupun penjajahan Jepang atas Korea berakhir pada bulan Agustus 1945, ini tidak berarti bangsa Korea bebas dari penderitaan. Setelah itu, terjadi perang saudara antara Korea Selatan dan Korea Utara atau dikenal dengan Perang Korea (1950—1953). Hubungan Korea dan Jepang, baru bisa terjalin kembali pada tahun 1965 setelah Presiden Park Chung Hee membuka hubungan diplomatik dengan Jepang, sebuah kebijaksanaan yang tidak populer pada waktu itu dan mendapat banyak penolakan dari rakyat Korea. Namun, pembukaan hubungan diplomatik dengan Jepang banyak mendatangkan manfaat, terutama dari investasi Jepang ke Korea dan pembayaran pampasan perang yang sangat berperan dalam sejarah industrialisasi di Korsel. Terjalinnya kembali hubungan normalisasi antara Korea dan Jepang tidak disertai hubungan baik dalam pertukaran budaya masing-masing. Sampai tahun 1998, pemerintah Korea memberlakukan peraturan yang melarang masuknya produk-produk budaya Jepang. Semua yang berkaitan dengan Jepang, seperti film, musik, dan buku mengalami kesulitan untuk bisa masuk pasaran di Korea. Semua ini tidak lain lantaran sentimen rakyat Korea yang sangat menderita selama 35 tahun masa penjajahan Jepang. Sentimen terhadap budaya satu negara tidak hanya dialami oleh masyarakat Korea, tetapi juga rakyat Jepang. Hubungan sejarah antara Korea dan Jepang yang cenderung didominasi oleh hubungan permusuhan, telah

44


Gelombang Korea (Hallyu) di Jepang dan Indonesia

membentuk sebagian rakyat Jepang berpandangan rendah terhadap Korea dan bersikap anti-Korea. Sebagian orang Jepang memandang rendah atas segala yang berhubungan dengan Korea. Dalam pandangan Jepang, orang Korea umumnya tidak terampil akan teknologi dan kurang memiliki pendidikan formal. Hubungan saling sentimen antara Korea dan Jepang selama beberapa masa itu menunjukkan bahwa di antara keduanya tidak terlihat itikad untuk bisa saling berdekatan layaknya posisi geografis mereka yang hanya dipisahkan oleh Laut Jepang. Rasa sentimen rakyat Korea pascaperang dan larangan masuknya segala jenis budaya Jepang membuat rakyat Korea tidak banyak mengenal budaya Jepang. Tetapi uniknya, selama peraturan pemerintah Korea melarang masuknya budaya Jepang ke wilayahnya, Korea juga tidak menunjukkan inisiatifnya untuk mempekenalkan budaya mereka ke luar negeri. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sebagian rakyat Jepang pun tidak banyak mengenal budaya Korea, termasuk negara-negara lain di dunia. Sikap Korea yang mengisolasi diri dari pengaruh budaya luar sejak perang Korea usai sampai tahun 1989, bukanlah keputusan pemerintah yang pertama. Di masa lalu, tepatnya sejak kerajaan terakhir Korea (Joseon) terikat sistem Tributory dengan China dan Jepang (mulai abad ke-14 sampai akhir abad ke-19), rakyat Korea terisolasi dari pengaruh negara luar. Pada masa itu, Korea menempatkan ajaran Konfusian sebagai ideologi untuk menjalankan sistem politik negara. Dengan sistem politik yang berlandaskan ajaran Konfusian, Korea memfokuskan hubungan nasional terbatas hanya dengan China dan Jepang. Di samping itu, Korea menutup diri dari kegiatan-kegiatan dagang dengan negara luar selain China dan Jepang. Bagi Korea saat itu, kegiatan perdagangan internasional dianggap sebagai kegiatan yang tidak produktif, sehingga mereka lebih memfokuskan pada kegiatan pertanian. Politik isolasi ini tidak berpengaruh pada hubungan Korea dengan negara-negara luar dalam bidang pertukaran budaya, termasuk kegiatan pertukaran budaya Korea dan Jepang.

Gelombang Korea (Hallyu) di Jepang Hallyu di Jepang diawali lewat penayangan drama TV asal Korea berjudul Kyoul Yonga yang tidak lain adalah Winter Sonata tahun 2002.9 Pemain dalam drama ini yang bernama Bae Yong Jun mendapat julukan Yonsama (Tuan Yon Yang Terhormat) dari masyarakat Jepang. Yonsama menjadi sindrom di antara masyarakat Jepang, terutama kaum wanita tengah baya yang sangat

9

Di Jepang drama ini dikenal dengan judul Fuyu no Sonata.

45


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

mengaguminya. Drama Winter Sonata ditayangkan sampai beberapa kali di stasiun TV Jepang, sehingga kehadiran drama ini menjadi simbol mulai merebaknya Hallyu di Jepang. Menyusul muncul pula drama TV lain, yaitu Daejanggeum yang tidak kalah populernya di kalangan masyarakat Jepang. Drama ini mengangkat kisah cinta seorang pegawai kerajaan dengan seorang staf kerajaan di masa Joseon. Drama yang kedua ini memperlihatkan unsur budaya tradisional Korea yang sangat kental yang berkembang di masa kerajaan Joseon. Selain drama, budaya Korea yang berkembang pesat di Jepang adalah musik K-Pop,10 makanan dan minuman keras khas Korea, tempat-tempat wisata terutama onchon,11 tempat pemandian air panas alami. Sebagaimana telah disinggung di awal, konflik politik antara Korea— Jepang dan sentimen rakyat Korea karena penjajahan Jepang, membuat sebagian rakyat Jepang tidak mengenal budaya Korea. Mereka masih berpandangan, bahwa rakyat Korea kurang berpendidikan dan tidak mempunyai keterampilan teknologi. Bahkan, mereka juga beranggapan, bahwa standar hidup rakyat Korea masih rendah dibandingkan Jepang. Akan tetapi, ketika drama TV Korea masuk dan ditayangkan di stasiun TV di Jepang, masyarakat Jepang, terutama kaum wanita setengah baya, mulai menyadari bahwa pandangan mereka selama ini tidak sama dengan fenomena dan budaya Korea yang dikemas dalam drama. Masyarakat Jepang kini mengakui bahwa wanita dan lelaki Korea pada umumnya berpenampilan menarik. Bahkan, Korea kini telah menjelma menjadi negara maju dengan teknologinya yang canggih. Penayangan drama TV Korea di Jepang, telah mengubah pandangan masyarakat Jepang terhadap rakyat dan budaya Korea. Bahkan, berpengaruh pula pada gaya hidup mereka. Kegiatan ibu rumah yang biasanya hanya mengurus pekerjaan di rumah serta melayani keluarga, menjadi lebih sibuk, karena kegiatan lain, seperti menggunakan internet untuk menulis blog, mencari informasi konser penyanyi Korea, sampai mencari kesempatan agar bisa bertemu dengan tokoh idola yang tampil dalam drama TV Korea. Drama TV Korea yang sangat digemari itu, juga menyebarkan pengaruh pada tingkah kaum wanita Jepang. Mereka keranjingan dengan segala hal yang berhubungan dengan drama TV Korea. Lagu pop Korea –K-Pop dan 10 11

Jepang: Ki poppu. Jepang: Onsen. Persamaan budaya antara masyarakat Jepang dan Korea yang punya kebiasaan berendam di air panas alami tanpa busana menjadikan tempat-tempat wisata di Korea yang menyediakan pemandian air panas alami menjadi perhatian sejumlah agen wisata di Jepang. Mereka memasukkan tempat pemandian air panas di Korea dalam paket promosi wisata. Adapun tempat-tempat tersebut, di antaranya terdapat di Seoul, Busan, dan Daegu.

46


Gelombang Korea (Hallyu) di Jepang dan Indonesia

konser para artis Korea, Boy Band dan Girl Group di Jepang menjadi incaran kaum muda dan para ibu rumah tangga. Kecantikan, ketampanan, dan kepiawaian penyanyi Korea dalam menari menjadi daya tarik bagi penggemar budaya Korea di Jepang. Aksi kaum wanita Jepang itulah yang menjadi kunci keberhasilan Hallyu di Jepang. Kini tidak sedikit dari masyarakat Jepang yang menghabiskan masa liburannya dengan berkunjung ke tempat-tempat wisata di Korea. Mereka datang ke Myeongdong untuk berbelanja aneka hasil kerajinan dan produk khas Korea atau ke kuil-kuil Buddha. Sebagai bangsa yang berada di kawasan Asia Timur, masyarakat Korea dan Jepang memiliki beberapa kemiripan dalam jenis makanan dan minuman. Produk agraria lebih mendominasi masakan mereka. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang terbiasa menyantap ikan laut tanpa dimasak. Masyarakat Jepang menyebutnya sebagai sashimi yang di Korea dinamakan hwe. Persamaan lain dalam makanan Korea dan Jepang adalah jenis gorengan yang dibuat dari umbi-umbian atau sayuran yang diberi tepung yang disebut tempura (Jepang) atau thwigim (Korea). Dalam jenis minuman, kedua bangsa itu juga mempunyai kebiasaan yang sama, yaitu minum minunam keras bersama teman, saudara, atau rekan kerja. Tujuannya semata-mata untuk mengakrabkan diri, agar bisa saling mengenal. Produk minuman keras yang khas kedua negara itu adalah sake (Jepang) dan sul (Korea). Jenis minuman dari air beras yang dibuat melalui proses permentasi. Tetapi, di Jepang dikenal juga minuman khas Korea lainnya, yaitu makgeoli.

Hallyu di Indonesia Drama Winter Sonata di Indonesia ditayangkan pada tahun 2002 di stasiun TV Indonsiar. Sejak itu, sebagian masyarakat Indonesia dari kalangan muda dan usia setengah baya mulai menggemari drama TV Korea. Kehadiran drama TV Full House di Indonesia juga ikut menyemarakkan perhatian kaum muda Indonesia yang menandai dimulainya Hallyu di Indonesia. Artis Rain yang menjadi pemeran utama kini menjadi salah satu idola yang digemari kaum muda Indonesia. Cerita percintaan yang lucu dan unik, serta penampilan fisik para pemainnya telah memikat kaum muda Indonesia menyukai dan mengidolakan tokoh drama Full House. Drama TV Korea di Indonesia mulai booming karena tingkah dan sikap para penggemarnya yang menunjukkan kecintaan mereka terhadap budaya Korea. Kondisi tersebut didukung pula oleh akses internet yang semakin mudah, sehingga banyak wanita Indonesia menyempatkan waktu mencari informasi tentang segala yang berhubungan dengan drama dan budaya Korea.

47


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Jika sebelumnya lagu-lagu artis Jepang, Utada Hikaru, banyak ditayangkan di beberapa stasiun TV swasta di Indonesia, kini posisinya digantikan lagu-lagu boy band, girl band, Rain (penyanyi solo Korea). Bahkan lagu-lagu tersebut banyak digunakan sebagai ring tone telepon selular. Bahkan, mereka yang kondisi finansial cukup baik, sibuk mencari informasi jadwal konser penyanyi Korea. Mereka berani mengeluarkan uang yang tidak sedikit demi mendapatkan kesempatan menonton konser dan bisa melihat langsung artis Korea idolanya. Acara konser artis Korea di Malaysia atau Singapura pun, banyak yang dihadiri kaum muda Indonesia. Di beberapa universitas di Indonesia, kini sudah dibuka jurusan bahasa Korea atau Korean Studies. Kondisi tersebut ikut memacu lembaga-lembaga bahasa asing untuk menyediakan kelas kursus bahasa Korea. Peserta yang masuk lembaga-lembaga bahasa Korea ini tidak sedikit. Sebagian dari mereka mengakui bahwa rasa suka dan cinta terhadap budaya Korea diawali dari kerutinan mereka menonton drama TV Korea. Alasan mereka menyukai budaya Korea adalah adanya keunikan dan gambaran yang memperlihatkan kehangatan keluarga, persahabatan antarteman, dan percintaan yang berakhir bahagia. Di samping unsur lain, seperti gaya busana, model rambut, pemandangan alam yang indah dan bersih, dan fenomena pembangunan kota yang maju. Seperti juga makanan dan minuman khas Korea yang digemari masyarakat Jepang, di Indonesia sekarang bermunculan restoran yang menyediakan hidangan makanan khas Korea. Sebagian masyarakat Indonesia kini tidak asing lagi dengan kimchi, bibimbab, sundubu, atau bulgogi. Cita-rasa masakan khas Korea rupanya sesuai dengan cita rasa lidah masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, minuman khas Korea, sul ternyata tidak menjadi trend di Indonesia. Bahkan budaya minum sul kadang menjadi pertanyaan masyarakat Indonesia: Apakah minum sul sudah menjadi kebiasaan seharihari setiap individu masyarakat Korea yang sudah dewasa? Atau di antara mereka ada yang tidak terbiasa dengan budaya minum sul? Tentu saja masalah ini berkaitan dengan perbedaan budaya dan agama yang melatarbelakanginya. Bukankah agama Islam melarang umatnya minum minuman keras. Begitu juga dengan kebiasaan berendam di air panas alami. Jika masyarakat Jepang berwisata ke Korea untuk mengunjungi tempat pemandian air panas alami, maka bagi masyarakat Indonesia berwisata dengan tujuan berendam air panas, meski banyak terdapat di berbagai tempat, khususnya di daerah pegunungan, hal tersebut belum begitu dapat diterima sepenuhnya. Mandi dan berendam bersama lawan jenis tanpa busana di tempat publik, dianggap tabu dan melanggar adab susila.

48


Gelombang Korea (Hallyu) di Jepang dan Indonesia

DAFTAR PUSTAKA Dator, Jim. 2004, “Korea as the Wave of a Future – The Emerding Dream Society of Icons and Resthetic Experience”, dalam Journal of Futures Studies IX No. 1 (Agustus), hlm. 31 - 40. Eun, Young Jun. 2009, “Transnational Korea: A Critical Assessment of the Korean Wave in Asia and the United States”, dalam Southeast Review of Asian Studies XXXI, hlm. 69 – 80. Lee, Peter H. et al. 1997. Source of Korean Tradition. Volume one: from early times through the sixteenth century. New York: Columbia University Press. Nugroho, Suray Agung. 2009, “Hallyu ‘Gelombang Korea’: Refleksi untuk Memajukan Studi Korea di Indonesia”, dalam Korean Studies in Indonesia – An International Journal I, No. 1 (Sepetember), hlm. 8 – 16. Palmer, Brandon, Japan’s Mobilization of Korean for War 1937-1945, Honolulu: Hawaii University Press, 2005. 朝倉, 敏夫(아사쿠라 토시오), 「현대일본에서의 한국음식/한국문화 」, 『Korean J. Dietary Culture 』, 17 巻 4号, 2001. pp. 214 – 224. 朝鮮人強制連行真相調査団, 『朝鮮人強制連行調査の記録』, 拍書房, 1992. 朴慶植, 『在日朝鮮人强制連行民族問題』, 株式会社三一書房, 1992.

49


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

SOSIO-KULTURAL BANGSA KOREA, CHINA, DAN JEPANG12 Yang Seung-Yoon

Pada tahun 1970-an dan 1980-an sering terjadi konflik dan kerusuhan di dalam kawasan industri Korea di Indonesia, seperti di kawasan industri Tangerang, Bekasi, dan Bogor. Konflik dan kerusuhan itu terjadi karena kekurangan wawasan dan pemahaman tentang perbedaan antara kebudayaan Indonesia dan Korea. Esai ini coba mengungkapkan keistimewaan sifat bangsa Korea. Tentu saja, ada banyak yang jelek dan memalukan, meski juga tidak sedikit yang baik dan menggembirakan. Dengan begitu, esai ini diharapkan dapat memberi informasi yang proporsional sebagai usaha mengurangi kesalahpahaman mengenai perbedaan kebudayaan Indonesia dan Korea. Paling tidak, esai ini dapat menambah khazanah wawasan tentang negara dan bangsa Korea di mata bangsa Indonesia. Sulit sekali untuk menerangkan keistimewaan bangsa Korea dalam karangan yang dibatasi jumlah halamanya. Dalam hal itu, penulis terpaksa mencoba membandingkan keistimewaan-keistimewaannya dengan tetangga bangsa Korea, yaitu China dan Jepang. Ketiga negara tersebut merupakan negara yang memiliki sejarah kebudayaan yang sangat mirip satu sama yang lain. Demikian juga letak geografisnya yang berada di kawasan Asia Timur.

12

Dalam banyak kesempatan mengajar atau memberi ceramah di Indonesia, penulis kerap menerima sejumlah pertanyaan mahasiswa Indonesia, khususnya mahasiswa UGM dan UI, tentang perbedaan sikap dan sifat perorangan antara orang Korea, Jepang, dan Cina. Pertanyaan sejenis juga muncul berkenaan dengan perbedaan antara drama Korea, Cina, dan Jepang yang pernah disiarkan di TV Indonesia. Meski spesialisasi penulis bukan di bidang antropologi, berdasarkan pengalaman sebagai orang Korea yang banyak berhubungan dengan orang Jepang dan Cina, serta berdasarkan sejumlah bacaan lain tentang tradisi budaya bangsa Asia Timur, penulis coba memberi paparan sebagaimana tersurat dalam judul esai ini.

50


Sosio-Kultural Bangsa Korea, China, dan Jepang

Latar Belakang Sosio-Kultural 1.

Korea

Sangat berbeda dengan masyarakat Eropa yang terdiri atas sejumlah suku bangsa yang besar dan kecil, sejak zaman dahulu di seluruh kawasan Asia Timur terdapat tiga negara yang terdiri atas satu suku bangsa, yaitu Korea, China, dan Jepang. Khususnya bagi bangsa Korea, tiga negara itu berarti seluruh dunia. Kalau melalui kepulauan Jepang, ditemui Lautan Teduh yang tidak ada batasnya, sedangkan daratan China merupakan bukan sebuah negara biasa, tetapi suatu benua yang luas sekali yang juga tidak ada batasnya. Bangsa Korea sangat takut pada negara China, sehingga tidak berani meluaskan kawasan teritorialnya, walaupun secara historis kekuatan kerajaan Korea pernah mencapai puncak kejayaannya. Berbeda halnya di Eropa, pemilik tiga negara di Asia Timur itu garis teritorialnya jelas sekali, yaitu pemilik negara Korea adalah bangsa Korea, pemilik negara China adalah bangsa China, dan pemilik negara Jepang adalah bangsa Kepulauan Jepang. Bangsa Korea tidak pernah mencoba berpindah ke tempat lain untuk mencari tanah yang lebih baik dan subur daripada tanah yang sudah dimilikinya. Hal itu sangat berbeda dengan kerajaan-kerajaan kepulauan Indonesia pada zaman dahulu. Sambil mempertahankan serangan Jepang, bangsa Korea selalu memusatkan perhatiannya kepada negara besar China. Apakah mereka tidak memarahi kerajaan Korea, lantaran pengiriman barang yang tidak memuaskan; duta Korea yang kurang ajar di hadapan kaisar China yang besar, atau karena raja Korea yang lupa menyampaikan selamat kepada salah satu ratu di kerajaan China yang berjumlah banyak? Dengan tidak mau menambahkan harta bendanya sendiri dan hanya memilihara atau mempertahankan harta yang sudah dimilikinya, bangsa Korea terpaksa senantiasa merasa puas pada negara dan bangsanya sendiri. Bangsa Korea banyak memanfaatkan sawah dan ladang yang subur, meskipun sama sekali tidak terdapat sumber-sumber alam yang penting. Demikian juga dengan musim dinginnya yang panjang dan membeku. Semua itu menunjukkan, bahwa negeri bangsa Korea sangat berlainan dengan negara kepulauan dan senantiasa menyesuaikan kehidupan dengan letak geografisnya sendiri sepanjang sejarah. Pendek kata, bangsa Korea ibarat tidak mengenal dunia luar, kecuali daratan China dan kepulauan Jepang. 2.

China

China yang mempunyai sebagian besar benua Asia yang subur, menamakan tanahnya Zhong Yuan (中ĺŽ&#x;) ), yang berarti daratan luas yang terletak di tengah dunia. Bangsa China, yaitu suku bangsa Han (柢 ) yang berasal

51


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

dari nenek moyang yang pernah menciptakan sivilisasi dan kebudayaan di tepi sungai Huang He (éťƒ河 ), merupakan salah satu sumber sivilisasi kebudayaan manusia di seluruh dunia, sehingga bangsa China sangat bangga atas nenek moyang, sejarah, sivilisasi, dan kebudayaannya. Mereka tidak perlu melanjutkan usaha penaklukannya ke dunia luar. Bangsa China menggangap bahwa selain dari tanah miliknya sendiri adalah tanah yang tidak berguna, seperti padang pasir dan tanah yang beku. Belahan barat dari daratan China kebanyakan terdiri atas padang pasir dan pegunungan yang tinggi-tinggi, belahan utara adalah tanah yang beku sepanjang tahun. Sementara itu, belahan selatan yang menunjukkan kawasan Asia Tenggara, juga dianggap oleh bangsa China sebagai tanah yang terlalu panas, lembab, dan banyak terdapat serangga dan cacing yang tidak disukai oleh mereka. Bangsa China menyebut mereka yang berdiam di kawasan Asia Tenggara sebagai Nan Man (ĺ?—č ť ), yang berarti orang biadab di belahan selatan. Bangsa China menganggap bahwa semenanjung Korea adalah tanah yang berguna, namun di mata mereka semenanjung Korea terlalu sempit untuk didudukinya, sementara para penduduk di Korea sangat setia, penuh sopan santun, dan terpaksa selalu membungkukkan badannya kepada mereka karena sebagaian takut dan sebagian sisanya karena hikmad terhadap China. Bangsa Korea sering mengirimkan barang-barang bernilai dan dengan tekun mempelajari ilmu-ilmu di China dan mengembangkannya dengan caranya tersendiri. Oleh karena itu, China tidak usah merebut semenanjung Korea yang sempit dan hanya sebesar biji mata. Setelah mendirikan Tembok China Raksasa (The Great Wall of China) untuk mempertahankan serangan mendadak dari suku bangsa barbar dari utara, bangsa China menganggap bahwa kawasan China sama dengan seluruh dunia. Menurut bangsa China, orang yang bermukim di luar terirorial China adalah orang yang dibuang. Dalam hal tersebut, suku bangsa asing di luar bangsa Han (柢 ) adalah orang yang biadab itu barbar. Tentu saja, bangsa China tidak mau menerima kebudayaan dan sivilisasi yang diciptakan oleh suku bangsa asing. Mereka setiap saat menolak yang datang dari luar, walaupun mereka mengetahui ada juga barang-barang atau hal-hal yang berguna atau bernilai yang dibawa bangsa asing. Selama beribu-ribu tahun lamanya bangsa China berada di dalam kungkungan dunia yang disangkanya sendiri. Di sekeliling tanahnya, mereka mendirikan tembok batu untuk menangkal musuh; dan di dalam hatinya mendirikan sebuah tembok yang tidak kelihatan, yaitu apa yang dapat kita namakan tembok kesombongan pada dirinya sendiri; rasa percaya diri yang berlebihan. Bangsa China dalam ribuan tahun itu menikmati lingkungan hidup mereka di dalam paviliun besar yang nyaman, aman, dan megah. Karena tembok yang

52


Sosio-Kultural Bangsa Korea, China, dan Jepang

dikelilingi paviliun yang dimiliki bangsa China itu terlalu keras, maka orangorang di luar tembok itu tidak berani merusak dan coba memasukinya. Bangsa China tidak mau mengenal suku bangsa asing dalam lingkungannya sendiri. Kadang-kadang mereka menyambut masa damai dan sejahtera, kadang-kadang tidak. Mereka sering menghadapi dan mengalami jutaan korban manusia, karena perang saudara, banjir, kekeringan, dan kelaparan. Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir bin Mohammad, dalam bukunya yang berjudul Dilema Melayu (1970), menunjukkan bahwa sifat bangsa China berkembang untuk mewujudkan sifat yang keras dan unggul melalui persaingan untuk melangsungkan hidup-mati sepanjang sejarahnya. Menurut Mahathir, oleh karena lingkungan hidup yang tidak mau mengenal dunia luar itu, sifat bangsa China dari masa ke masa terbentuk seolah-olah hanya untuk dapat mengatasi kesulitan dan kesengsaraan dalam bentuk dan macam apa pun. (Mahathir bin Mohammad, The Malay Dilema) Dari akhir masa abad ke-19, China yang merupakan negara besar itu mulai diserang oleh kekuasaan Eropa yang sudah sangat maju dalam bidang ekonomi, sivilisasi, dan kebudayaan. Dalam hal itu, China sama sekali tidak menyadari perkembangan dunia lain di luar China. Bangsa Eropa itu melengkapi dirinya dengan senjata api yang modern dan kapal yang dipasang meriam berukuran besar. Dalam waktu yang tidak lama, China yang sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan serangan itu, terpaksa dimakan habis oleh kekuasaan Eropa, dan mengalami sejarah yang pahit dan memalukan. 3.

Jepang

Berbeda dengan suku bangsa Korea dan China, bangsa Jepang mempunyai keistimewaan tersendiri. Yang terpenting adalah ‘lingkungan hidup mereka’. Jepang adalah sebuah negara kepulauan. Bangsa Jepang yang berdiam di wilayah kepulauan itu sejak zaman dahulu sudah pintar membuat kapal, berlayar menuju ke laut untuk menangkap ikan. Kenyataan serupa itu menunjukkan bahwa Jepang di masa modern diketahui pula sebagai salah satu negara perikanan. Kenyataan itu terjadi melalui proses panjang yang bukan tanpa akar sejarah. Menangkap ikan dengan kapal-kapal kecil di sekitar tepian laut biasanya tidak memuaskan nelayan. Kadang-kadang ikan itu pun tidak banyak yang ditangkap, maka orang Jepang sering berubah menjadi bajak laut atau perompak. Dalam ribuan tahun sejarah orang Korea, perompak Jepang itu sering menyerangi dan merusak kampung-kampung di pesisir laut Korea. Bagaimanapun juga banyak orang Jepang sudah sejak lama berani berlayar menuju laut terbuka, mengelilingi samudera sebagai pedagang atau kadang-kadang sebagai perompak. Tidak hanya semenanjung Korea dan

53


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

daratan China saja, mereka juga berani mengadakan kontak dengan dunia luar, seperti Vietnam, Indonesia, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Dalam sejarah Indonesia, pada awal abad ke-17, terjadi peristiwa pembunuhan besar-besaran di pulau Ambon (Amboyna Massacre). Dalam peristiwa historis yang diakibatkan oleh persaingan keras antara Inggris dan Belanda terhadap masalah perdagangan rempah-rempah pada tahun 1623 terlibat sebanyak sembilan orang perompak Jepang. (M.C. Ricklefs, Modern Indonesian History) Dari masa ke masa, orang Jepang sudah mengetahui bahwa dunia sangat luas dan sangat banyak terdapat berbagai hal yang bermutu tinggi bagi mereka. Dengan kesadaran itu, bangsa Jepang dalam sepanjang sejarahnya selalu bersiap-siap untuk mempelajari pengetahuan baru dan mencoba meniru barang-barang yang berguna bagi mereka. Melalui bangsa lain, bangsa Jepang mempelajari apa saja yang berguna bagi mereka, sementara melalui pelajaran yang tak henti-hentinya itu mereka akhirnya mencari cara untuk mengalahkan bangsa lain dalam bentuk apa saja. Hal itu sangat berbeda dengan bangsa China yang selalu memperturutkan hatinya terhadap tingginya nilai kebudayaan, panjangnya sejarah, suburnya sumber-sumber alam, dan berbagai hal lain yang mereka miliki. Sikap bangsa Jepang tersebut juga sangat berbeda dengan bangsa Korea yang sama sekali tidak memberikan perhatiannya pada dunia baru, kecuali China dan Jepang. Seperti China dan Korea, Jepang juga pada zaman dahulu tidak ada kaitan langsung dengan dunia Barat, namun bangsa Jepang sudah sejak lama mengetahui tiga negara di Asia timur laut itu bukan merupakan seluruh dunia. Mereka juga menyadari, bahwa jika ada hal apa pun sejauh harus dikejar untuk dipelajarinya, maka mereka kemudian akan mengolah dan memperbaikinya dalam prosedur peniruan dengan cara tersendiri yang khas dan unik. Usaha mereka yang demikian itu belum pernah putus dalam sejarah bangsa Jepang. Pengetahuan dan kesadaran bangsa Jepang tersebut sudah berkembang menjadi kunci yang menggantikan sejarah Jepang setelah memasuki abad ke-20. Juga menjadikan Jepang sebagai negara ekonomi terbesar kedua di selurh dunia dalam satu dua dasawarsa belakangan ini. 4.

Posisi Korea dalam Sejarah di antara China dan Jepang

Berdasarkan kenyataan dalam sejarah kebudayaan tiga negara tersebut, dapat kita ketahui bahwa bangsa China tetap mempunyai pendirian atau konsep zhong-hwa (中� ), yaitu anggapan, bahwa berbagai hal yang dimiliki dan berkaitan dengan China adalah yang terbaik di seluruh dunia. Selama beribu-ribu tahun lamanya, bangsa China menikmati lingkungan hidup mereka yang aman, nyaman, dan sejahtera, sedangkan bangsa Korea hanya memu-

54


Sosio-Kultural Bangsa Korea, China, dan Jepang

satkan perhatiannya ada kerajaan dan sivilisasi-kebudayaan China itu. Dibandingkan dengan bangsa China, bangsa Jepang sejak zaman dulu justru berani mengarungi laut terbuka, menggapai Vietnam, Indonesia, dan negaranegara di Asia Tenggara lainnya. Dalam perjalanan itu, bangsa Jepang mengetahui bahwa tiga negara di Asia Timur Laut bukanlah berarti seluruh dunia. Sementara itu, bangsa Jepang menyadari bahwa ada banyak barang dan hal yang berguna bagai mereka dan oleh karena itu mereka selalu berusaha untuk selalu mengejar dan mencari posisi yang lebih cocok dan lebih menyenangkan bagi mereka. Dengan pengertian dan kesadaran itulah, bangsa Jepang di kelak kemudian hari menduduki daratan China dan semenanjung Korea. Berbeda dengan bangsa China dan Jepang, bangsa Korea tidak mempunyai keistimewaan yang jelas kelihatan. Bangsa Korea hanya memilihara dan mempetahankan yang sudah ada di sekitar mereka, dan mencoba mengembangkannya, namun tidak menjauh dari yang asli yang ada awal. Secara sosio-kultural, dapat diketahui bahwa bangsa China mempunyai rasa kesombongan diri, sehingga menutup daratan China, termasuk Korea, kepulauan Jepang, dan kawasan Asia Tenggara lainnya. Dalam pada itu, bangsa Korea selalu memandang sebelah mata terhadap negara dan bangsa China. Tambahan pula, lingkungan hidup bangsa Korea tidak begitu memuaskan karena terdapat banyak pegunungan yang berbatu-batu, tidak banyak sawah dan ladang yang subur, dan sangat miskin akan sumber-sumber alam yang penting. Yang lebih buruk lagi bagi bangsa Korea adalah musim dingin yang panjang dan beku. Kalau kehilangan waktu untuk menanam padi pada musim semi, mereka terpaksa menderita kelaparan sepanjang musim dingin itu. Sifat orang Korea yang selalu terburu-buru itu berasal dari letak negara dan lingkungan hidupnya sendiri. Selalu memandang sebelah mata terhadap China, selalu bersiap-siap untuk menjaga serangan mendadak dari Jepang, dan tidak boleh melepaskan waktu menanam padi dari masa ke masa. Semua itulah yang melahirkan sifat bangsa Korea.

Perbedaan dan Kesamaan antara Bangsa Korea, China, dan Jepang 1.

Perbedaan Umum

“Hubungan berdekatan, tetapi berjauhan� yang berarti “dekat di mata, jauh di hati� sering diumpamakan sebagai hubungan antara Korea dan Jepang. Hal ini mengandung arti bahwa tetangga yang saling berdekatan biasanya intim, tolong-menolong dan selalu gotong-royong, tetapi sering juga berjauhan atau bermusuhan karena suatu persaingan untuk menuju tujuan yang sama.

55


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Sepanjang sejarah, kerajaan-kerajaan Korea berfungsi sebagai jembatan antara daratan China dengan kepulauan Jepang. Walupun Korea dan Jepang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan China, perkembangan kebudayaan Korea dan kebudayaan Jepang itu berbeda sesuai dengan letak geografis masing-masing. Agama Buddha yang berasal dari India, misalnya, disebarkan atau dipancarkan ke Korea, kemudian ke Jepang, lewat China. Akan tetapi, kebudayaan agama Buddha itu jauh lebih berkembang di Korea dibandingkan dengan China atau Jepang. Di Jepang, kebudayaan mereka sendiri, telah mengalami banyak perubahan dari keasliannya. Dengan demikian, kebudayaan agama Buddha itu sudah dibuat sedemikian rupa, sehingga menjadi kebudayaan milik Jepang atas nama kebudayaan Buddha di Jepang. 2.

Keunggulan Suku China

Ajaran-ajaran atau paham Konfusius (孔子 ) berasal dan berkembang dari China, kemudian disampaikan ke Jepang melalui semenanjung Korea. Ajaran atau paham Konfusius dalam bentuk aslinya tidak terdapat di China. Ajaran atau paham Konfusius lebih berkembang di Korea dan di Jepang. Ajaran Konfusius di Korea hampir sama dengan yang asli, tetapi orang Jepang mengajarkan ajaran-ajaran Konfusius yang berlainan dengan yang asli. Dengan menggunakan ajaran Konfusius yang asli, orang Jepang telah mengembangkannya sedemikian rupa, sehingga menjadi ajaran nenek moyang bangsa Jepang sendiri atau lebih mempopulerkan dan memasyarakatkan ajaran atau paham Mensius (孟子 ) oleh keturunan bangsa Jepang. Antara ajaran atau paham Konfusius dan Mensius terdapat beberapa hal yang sama dan yang berbeda. Dibandingkan dengan ajaran Konfusius yang lebih condong kepada hal-hal yang formal, ajaran Mensius lebih condong kepada hal-hal yang praktis. Bangsa China tidak banyak mengenal Konfusius dan Mensius, sebab di dalam masyarakat China sudah sejak lama bermunculan sejumlah ahli filsafat, termasuk Konfusius dan Mensius. Sebagai ganti sebutan Konfusius dan Mensius di Korea dan di Jepang, bangsa China lebih mengenal ‘zhu zi bai jia’ (諸子百家 ). Sebutan itu berarti bahwa di masyarakat China terdapat ratusan orang ahli filsafat sederajat Konfusius dan sejumlah ahli ternama itu masingmasing mempunyai sekolah dengan para pengikutnya, seperti halnya empat aliran sekolah dalam agma Islam. Dalam hal itu, bangsa China tidak usah mengejar atau mengikuti seorang ahli filsafat dan ilmunya. Bangsa China juga mempunyai banyak sifat yang baik. Satu hal yang kami pilih di antaranya adalah bahwa mereka tak bergerak atau menggantikan sikapnya, meskipun keadaan lingkungannya berubah. Sebuah contoh yang menarik ialah hubungan Korea Utara dengan China. Dalam waktu sangat

56


Sosio-Kultural Bangsa Korea, China, dan Jepang

singkat hubungan ekonomi antara China dan Korea Selatan masing-masing pihak mencatat nomor satu, tidak hanya di bidang perdagangan, tetapi juga bidang penanaman modal dan kerja sama di arena ekonomi internasional. Walaupun demikian, pemerintah Beijing selalu condong kepada Korea Utara dalam urusan dan masalah antara Korea di arena internasional, termasuk PBB. Masalah nuklir di Korea Utara belakangan ini menjadi isu panas dalam masyarakat internasional. Hampir semua negara anggota masyarakat internasional tidak setuju sikap Korea Utara yang tak henti-hentinya mengembangkan nuklir dengan tujuan anti-perdamaian. Dalam hal itu pun, China tidak mau menghentikan dukungannya terhadap pemerintah Pyongyang sampai saat yang terakhir. Demikian juga, ekonomi nasional Korea Utara sudah lama berada di ambang kebangkrutan. China mungkin sekali tidak mau, namun masih memberikan makanan dan bahan-bahan energi kepada Korea Utara. Sikap pemerintah Beijing tentu saja berdasarkan sifat bangsa China yang hadir secara turun-temurun sejak zaman dahulu. Sekali menjalin hubungan persahabatan, tidak akan menggantikan sikapnya, walaupun posisi dan lingkungannya berubah. 3.

Keistimewaan Suku Jepang

Orang Jepang mempunyai banyak sifat yang baik. Salah satu di antaranya adalah mereka tidak mengejar kekayaan, kehormatan, dan kedudukan tinggi dalam waktu yang bersamaan. Sering dilaporkan bahwa seorang pemilik perusahaan raksasa di Jepang tinggal di sebuah rumah kuno dengan dua kamar, satu dapur, dan satu kamar mandi yang sangat sederhana. Sebagai ganti kekayaan, pemilik perusahaan raksasa itu lebih mementingkan kehormatan di dalam masyarakat. Berbeda dengan bangsa China dan bangsa Korea, bangsa Jepang pada mulanya bersifat sangat rendah hati untuk mempelajari hal-hal yang baru dan pengetahuan yang berguna bagi mereka. Mereka selalu menjaga posisinya sendiri tidak mau dan tidak boleh menduduki posisi atau kedudukan orang lain. Kalau seorang warga Jepang memasak ‘mi-panas’ (㠆㠊ん ), dia sangat bangga kepada dirinya sendiri atas kecakapan dan keterampilan memasak mi itu yang dia peroleh dari nenek moyangnya. Orang yang memasak mipanas itu menganggap bahwa mi-panas yang dimasaknya adalah masakan terenak. Untuk itu, baik nenek moyang maupun dia sendiri selalu berusaha memperbaiki rasanya melalui pengamatan terhadap toko-toko mi-panas yang dimiliki orang lain. Berdasarkan sifat Jepang yang teliti itu, bangsa Jepang selalu mencari sesuatu yang baru, seperti barang-barang baru, pasar yang baru, kontrak yang baru, bidang-bidang pekerjaan yang baru, atau wajah

57


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

yang baru. Orang Korea biasanya tidak sama dengan orang Jepang yang mempunyai sifat sebaik itu. Orang Korea sering mengejar kekayaan, kehormatan, dan kedudukan tinggi dalam waktu bersamaan, walaupun usaha serupa itu sulit dicapai. Orang Jepang selalu bersopan-santun di depan orang lain. Mereka tidak pernah berkelahi di hadapan orang asing. Orang Jepang suka membungkukkan badannya di depan orang lain. Mereka tidak berkata dengan suara keras, melainkan dengan lemah lembut. Mereka ramah-tamah dan rajin bekerja. Orang yang mengejar ‘etika-kerja’ selalu dihormati dalam masayarakt Jepang. Orang Jepang, jika dilihat seorang demi seorang, tampak lemah dan tidak mempunyai kekuataan, tetapi 10 orang Jepang akan kelihatan sangat kuat. Hal ini berarti mereka secara naluriah bekerja sama dalam setiap aspek setiap saat, kapan dan di mana saja. Orang Jepang selalu menepati janji dengan orang lain. Bunuh diri karena tidak bisa menepati janji dengan orang lain dalam hal apa saja sangat wajar dan diterima oleh masyarakat Jepang sampai sekarang. Sifat rajin dan suka bekerja sama menjadikan Jepang sebagai negara ekonomi terkuat di dunia. Almarhum Profesor Ruth Benedict dari Universitas Columbia, Amerika, pernah menerbitkan sebuah buku yang terkenal dengan judul Bunga Krisan dan Pedang (The Chrysanthemum and the Sword) pada tahun 1946. Banyak orang –yang membaca buku itu—mengerti bahwa Profesor Ruth Benedict, coba menjelaskan sifat dualisme yang dimiliki bangsa Jepang. Menurutnya, berbeda dengan negara China yang berdasarkan sistem pemusatan pada Kerajaan (centralism) yang sangat berkuasa, Jepang sejak mula mengembangkan sistem feodalisme (feodalism) secara Eropa. Sementara konsep bangsa China dan Korea condong kepada sifat kepegawaian, konsep bangsa Jepang tidak bisa berubah, ketat memegang pada posisi kedudukan masyarakat semula. Di bawah kaisar yang mahaberkuasa, banyak terdapat golongan masyarakat yang jelas berbeda satu sama yang lain. Berbeda dengan golongan masyarakat yang terdiri atas kaum bangsawan dan orang kebanyakan di bawah raja di Korea, di Jepang terdapat banyak golongan masyarakat seperti halnya yang terdapat dalam Sistem Kasta (Caste System) di India. Golongan masyarakt di Jepang itu, antara lain, Kaisar, Bangsawan, golongan Samurai (さむらい ), golongan petani, para pengikut industri, para pedagang, dan golongan bawah atau para budak. Sangat berbeda halnya di Korea dan China, dalam sejarah Jepang segenap penduduk harus memperlihatkan posisi golongan masayarakat dengan memberikan tanda yang jelas. Sebuah contoh yang menarik adalah pakaian yang dibuat dari kain sutra, boleh dipakai oleh masyarakat di atas golongan Samurai, sedangkan penduduk dari golongan orang kebanyakan, tidak boleh

58


Sosio-Kultural Bangsa Korea, China, dan Jepang

makan nasi putih lebih dari tiga kali dalam sebulan. Dari masa ke masa, bangsa Jepang tetap menyadari bahwa semua orang harus menduduki posisinya sendiri sebagaimana tradisi yang diturunkan dari nenek moyangnya dari generasi ke generasi. Dalam sistem struktur sosial serupa itu pemberian hadiah dari atasan adalah kebaikan hati (恩: おん ), sedangkan apa saja yang diberikan oleh bawahan adalah rasa malu (恥: はじ). Sebab, kebaikan atau kemurahan hati itu pasti diberikan dari atasan, kemudian mengalir dari golongan atas ke golongan bawah, seperti halnya aliran air sungai. Dalam persetujuan politik antara Jepang, Jerman, dan Italia yang ditandatangani pada tahun 1940 dan Komunike Pernyataan Perang yang diumumkan oleh Jepang, pada akhir tahun 1941, ketika mereka secara mendadak menyerang Pearl Harbour, Hawaii, Pemerintah bangsa Jepang menggunakan kalimat yang berbunyi: “Semua negara di dunia harus mencari posisi yang cocok, yang disesuaikan dalam masayarakat internasional.” (Ruth Benedic, The Chrysantihemum and the Sword). Pasukan Sekutu yang pernah mendarat di Jepang terlebih dahulu menganggap bahwa bangsa Jepang pasti akan menjaga setiap jengkal tanahnya dengan ketat sambil memegang bambu runcing dan berani mengorbankan diri mereka sendiri sampai bangsa Jepang yang terakhir. Namun, terkejutlah Sekutu, ternyata semua bangsa Jepang menyambut selamat datang atas pendaratan pasukan Sekutu di sana. Oleh karena itu, pasukan Sekutu yang sebagian besar terdiri dari pasukan Amerika, akhirnya memutuskan tidak akan campur tangan pada Sistem Kaisar yang sangat dihormati oleh seluruh bangsa Jepang supaya tidak menimbulkan rasa malu mereka. Orang Jepang biasanya berwajah dua. Mereka selalu kelihatan sopansantun, tetapi juga mempunyai sifat yang berbeda dengan sifat yang kelihatan dari luar. Mereka selalu menyimpan sesuatu di dalam hatinya. Sambil membungkukkan tubuhnya kepada orang lain, mereka berkata dalam hatinya: “Saya setuju, saya kalah, tetapi lain kali kau pasti akan bertekuk lutut kepadaku. Lain kali aku pasti akan mengalahkanmu.” Demikian, ucap bangsa Jepang dalam hatinya. Seperti halnya kesimpulan Profesor Ruth Benedict, bangsa Jepang mempunyai dua sifat wajah yang sangat berlainan satu sama yang lain, seakan-akan bunga krisan (chrysanthemum) yang menyebarkan wangi unik, yang sangat disukai bangsa Jepang dan mata pedang (Sword) yang tajam, atau bunga krisan yang disembunyikan di dalam pedang. 4.

Suku Korea yang berbeda dengan suku China dan Jepang

Bangsa Korea, walaupun pernah menyampaikan kebudayaan dan bermacam-macam ajaran penting kepada bangsa Jepang secara suka rela selama berabad-abad, kini keadaannya justru sebaliknya. Bangsa Korea kerap

59


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

meminta pertolongan kepada Jepang dalam bidang politik-diplomatik, teknologi, dan perdagangan internasional. Pemerintah Jepang dalam tahun-tahun terakhir ini sering memberi sumbangan besar kepada negara-negara belum berkembang dan negara-negara sedang berkembang. Akan tetapi, sumbangan mereka itu pasti mengandung syarat tertentu di masa depan. Bangsa Jepang biasanya sangat kikir kepada bangsa Korea, khususnya di bidang teknologi. Total pendapatan nasional Korea, sekitar 20 persen dari total pendapatan nasional Jepang. Namun, Jepang selalu membatasi kemajuan Korea Selatan di mata masyarakat internasional. Tentang pembukaan kantor cabang perusahaan Korea di Jepang, mereka menyebutnya sebagai pendaratan atau serangan Korea ke Jepang. Orang Korea, jika mendengar ada pemandangan yang sangat indah, mereka berani mengunjungi tempat itu walalupun jauh sekali. Di sana bangsa Korea menikmati pemandangan yang indah itu dan suka mengubah puisi setelah melihat dan menikmati pemandangan itu untuk orang lain. Bangsa Jepang mengecilkan pemandangan yang indah tersebut di dalam halamannya yang sempit untuk dinikmati sendiri. Sebuah contoh kecil, sebagian anggrek hasil tanaman dari kepulauan Indonesia diambil oleh Jepang, kemudian diubah dan diproduksi menjadi anggerk Jepang yang “asli�. Bangsa China merupakan salah satu bangsa yang paling praktis di seluruh dunia. Dengan tekun mereka mencari uang dan tidak akan membelanjakannya. Perkara terpenting dalam kehidupan manusia adalah menyantap makanan enak, perumahan yang layak, dan pakaian yang bagus. Walaupun mereka sudah sejak lama mengetahui tiga syarat terpenting itu, bangsa China baru akan memutuskan untuk membelajakan uang ketika tetap mempunyai uang lebih dari lumayan. Di Korea posisi dosen sampai sekarang dihormati oleh masyarakat umum, sedangkan posisi pegawai pemerintah dianggap oleh masyarakat umum sebagai golongan masyarakat yang berbeda dengan masyarakat pedagang atau golongan masyarakat yang lain. Oleh karena itu, jika profesor mempunyai waktu luang di rumah, dia biasanya menghabiskannya dengan membaca buku atau mengarang, sementara pegawai pemerintah membaca koran atau menonton TV. Mereka, para dosen dan pegawai pemerintah itu, tidak diperbolehkan oleh masyarakat umum melakukan kegiatan dalam urusan dagang atau bekerja sambilan lainnya. Akan tetapi, masyarakat bangsa China justru membolehkan apa saja kepada mereka yang berkedudukan tinggi atau rendah supaya mereka mencari uang. Di negeri China, profesor dapat bekerja sambilan sebagai sopir taksi pada waktu malam hari dan pegawai pemerintah sesudah pulang bekerja dapat menjual sejenis kartu sumbangan berhadiah.

60


Sosio-Kultural Bangsa Korea, China, dan Jepang

Bangsa China biasanya berlaku sopan-santun dan rendah hati, namun dalam urusan yang berhubungan dengan mencari uang, mereka tidak akan sabar dan tidak mau hanya berdiam saja. Dalam hal itu, walau di Korea hutang dalam bermain kartu atau judi tidak usah mesti membayar kembali, bangsa China justru harus membayar-dibayar dalam bentuk apa saja dalam urusan membayar hutang. Bangsa Korea jauh lebih mementingkan hasil pekerjaan. Hasil pekerjaan seseorang sudah memuaskan atau tidak, orang itu segera dapat dinilai di mata orang lain. Berbeda dengan hal itu, bangsa China lebih mementingkan prosedur pelaksanaannya daripada hasil pekerjaan bahwa bangsa China berlaku terlalu terlambat (慢慢地 ). Akan tetapi, pekerjaan umum mereka, misalnya pembangunan jalan raya, bendungan, dan bangunan-bangunan besar lainnya, meski memakan waktu lama, pekerjaanpekerjaan bangsa China sama sekali tidak dapat dianggap telah melakukan kesalahan. Bangsa Korea dan bangsa Jepang biasanya mencari uang dengan maksud untuk menyekolahkan anak-anaknya setinggi-tingginya dan menyediakan masa depannya jika sudah pensiun kelak. Jika banyak uang dikumpulkan, bangsa Korea dan bangsa Jepang berani memberikan uang itu sebagai sumbangan kepada masyarakat. Sering dilaporkan bahwa seorang nenek tua dalam masyarakat Korea menyumbangkan uangnya yang dikumpulkan sepanjang usianya kepada universitas supaya sejumlah banyak mahasiswa miskin mendapat beasiswa. Memang ada juga di antara bangsa China, namun bangsa China biasanya bertujuan mencari uang itu untuk dirinya sendiri. Barubaru ini bangsa China suka menggunakan kata kerja ‘xiz hai’(下海 ) yang berarti ‘menuju ke laut’. Ucapan bangsa China itu berarti bahwa untuk mencari uang, orang harus berani ke luar negeri dengan seribu daya. Belakangan ini, koran-koran di Hongkong dan Amerika Serikat, sering melaporkan mengenai hal tersebut. Bangsa Korea mempunyai banyak kesamaan dan juga perbedaan dengan bangsa China dan bangsa Jepang. Namun, hal yang jelas membedakannya dengan bangsa Jepang dan China itu adalah bahwa bangsa Korea tetap mempunyai satu wajah dengan satu hati. Mereka berkata keras-keras, suka marah, suka tertawa, suka membuat janji, suka minum-minum dengan siapa saja, walaupun tidak banyak uang. Mereka sama sekali tidak menyembunyikan sesuatu dalam hatinya. Orang Korea di luar negeri biasanya memakai pakaian bagus dan selalu membawa uang, sehingga sering kali diserang penjahat. Walaupun di kamar hotel biasanya ada lemari atau tempat penyimpanan barang berharga pribadi yang aman, orang Korea tidak suka menyimpan uang di dalamnya.

61


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Sikap bangsa Korea itu berbeda dengan bangsa Jepang. Orang Jepang, biasanya, setelah masuk hotel terlebih dahulu memeriksa sistem keamanannya, termasuk uang yang akan disimpannya. Mereka biasanya cerdik menggunakan lemari pengaman itu. Setelah menyimpan barang-barang berharga di dalam lemari, mereka tidak melupakan membawa sedikit uang yang seolaholah akan dirampok penjahat. Berbeda dengan bangsa Korea dan bangsa Jepang, bangsa China selalu memakai pakaian sederhana dan hampir tidak membawa uang. Dengan sendirinya, kelihatan tidak punya uang. Contoh lain dapat disampaikan di sini. Menurut seorang dosen UGM yang berasal dari Sumatera, ketika terjadi kerusuhan kecil di Medan, Sumatera Utara, sebelum jatuhnya Pemerintahan Presiden Soeharto, ketiga bangsa itu masingmasing memperlihatkan sifatnya sendiri. Bangsa Jepang segera mencari apartemen yang dianggap aman, sedangkan bangsa China bersembunyi di suatu tempat yang dianggap paling aman dan sekaligus dapat memeriksa keadaan rumahnya sendiri. Akan tetapi, bangsa Korea tidak dapat memutuskan apa pun, dan hanya mencari, mendengar nasihat dari teman atau kenalan, dan akhirnya menarik kesimpulan, bahwa selanjutnya di Indonesia tidak akan terjadi apa-apa.

Penutup Agak sulit menarik kesimpulan terhadap keistimewaan sifat suku bangsa Korea, China, dan Jepang. Bangsa China yang pernah berada di dalam dua macam tembok yang keras, seperti tembok raksasa di belahan utara China dan tembok kesombongan pada dirinya sendiri tidak memperlihatkan wajahnya yang sungguh-sungguh. Ada orang yang mengatakan bahwa bangsa China mempunyai seribu wajah, sedangkan orang lain mengatakan bahwa bangsa China tidak mempunyai wajahnya sendiri. Bangsa Jepang mempunyai paling sedikit dua wajah, yaitu wajah yang kelihatan dan wajah yang tidak kelihatan. Wajah yang kelihatan menunjukkan sikapnya yang sopan dan penuhi senyum sedang berada di hadapan kita sendiri, tetapi pada saat yang sama, wajah yang tidak kelihatan sedang giat mencari posisi yang baru, yang lebih baik lagi. Sementara itu, bangsa Korea tak mempunyai wajah yang disembunyikan, tidak ada waktu untuk menyembunyikan wajahnya. Cepat marah, mudah membuat janji, suka minum sampai mabuk, sudi menolong orang, bertutur dengan suara keras-keras merupakan sifat-sifat yang mewakili bangsa Korea. Meskipun demikian, bangsa Korea tetap hanya mempunyai satu wajah. Si lawan bicara tidak usah mempertimbangkan apa yang diperhitungkan di dalam hatinya. Hal itu karena apa yang ada dalam hatinya adalah apa yang dinyatakannnya: wajah dan hatinya, satu dan sama.

62


Sosio-Kultural Bangsa Korea, China, dan Jepang

Ada sejumlah masalah perbedaan kebudayaan antara bangsa Indonesia dan bangsa Korea. Namun, semua itu akibat salah pengertian tentang kebudayaan antara kedua bangsa itu. Dalam hal itu, jika kedua pihak masingmasing bersedia mundur satu langkah ke belakang dan setiap saat berusaha mencoba menambah wawasan sejenak, salah pengertian antara bangsa Korea dan bangsa Indonesia dan perbedaan budaya kedua bangsa itu akan dapat dijembatani oleh pemahaman yang benar dan lengkap. Di sinilah pentingnya informasi tentang tradisi masyarakat dan kebudayaan bangsa Korea dan Indonesia, terus disebarluaskan kepada kedua bangsa itu.

REFERENSI KEBUDAYAAN KOREA Bishop, Isabella B., Korea and Her Neighbours. Seoul: Yonsei University Press, 1970. Chung, Ui-Haeng, Sejarah Agama Buddha di Korea. Seoul: Han Ma Dang Press, 1991. Covell, John Carter, Korea’s Cultural Roots. Seoul: Hollym Corp., 1981. Crane, Paul. S., Korean Patterns. Seoul: Royal Asiatic Society, Korea Branch, 1967. Ha, Tae-Hung, Guide to Korean Culture. Seoul: Yonsei University Press, 1989. Lembaga Nasional Bahasa Korea, Ensiklopedi Bahasa Korea. Seoul: Penerbit Doosan Dong-a, 1999. Yang, Seung-Yoon, Seputar Kebudayaan Korea. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995.

63


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

64


BAGIAN III MASYARAKAT DAN BUDAYA

65


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

66


BUDAYA KOPI DI KOREA: DABANG, NONA DOENJANG DAN KAFÉ MODERN Lim Kim Hui

Tidak mudah kita hendak menentukan sejarah kopi yang sebenarnya. Terdapat berbagai pendapat tentang etimologi kata “kopi.” Kata “coffee” (atau kopi dalam bahasa Indonesia) masuk ke dalam bahasa Inggris pada 1598 melalui kata Belanda Koffie. Kata ini diciptakan melalui kosa kata bahasa Turki: kahve, yaitu pengucapan Turki untuk kata qahwa dalam bahasa Arab, singkatan dari qahhwat al-bun atau “air anggur dari biji kopi (wine of the bean)”. Salah satu kemungkinan lain tentang asal nama kopi adalah dari nama Kerajaan Kaffa di Ethiopia, yang dikatakan sebagai asal tempat tanaman kopi; kopi di sana disebut bunn atau bunna, yaitu kata yang dipinjam ke dalam bahasa Arab sebagai “kopi mentah.”13 Di Korea, kopi ditulis secara hangeul sebagai 커피 (romanisasinya: keopi). Tetapi, hati-hati sewaktu membacanya, supaya jangan menjadi 코피 , yang bermakna sebagai darah hidung dengan romanisasinya betul-betul ditulis kopi. Salah satu sumber (Shinde t.th.) menyatakan, bahwa pada abad ke-6, petani dari Yaman sudah menanam biji kopi. Menurut legenda, seorang gembala kambing di Ethiopia bingung ketika melihat bahwa kambingnya begitu bertenaga setelah mengkonsumsi sejenis buah tertentu. Setelah itu, gembala kambing itu mencoba buah tersebut dan mendapati dirinya juga merasa berenergi. Umat Islam dikatakan paling awal menemukan cara untuk mengekstrak minuman ini dari buahnya, mengubah biji kopi menjadi minuman yang bisa “memabukkan” pikiran atau mengganggu keseimbangan indera (heady). Dengan demikian, kopi dikatakan menjadi minuman rahasia kaum muslim untuk sementara waktu dan terutama sebagai minuman revitalisasi mereka selama periode ibadah panjang. Menjelang tahun 900 Masehi, kopi sudah menjadi minuman biasa di seluruh wilayah Saudi. Dari periode itu

13

Silakan rujuk Online Etymology Dictionary. Diperoleh: http://www.etymonline.com/ index.php?search=coffee&searchmode=none. Akses: 15.03.2011.

67


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

sampai tahun 1500 Masehi, praktik penanaman kopi masih dirahasiakan, meskipun biji kopi sudah diekspor ke tempat lain (Shinde t th). Menurut tulisan itu lagi, namun tidak lama sesudah itu, Eropa dikatakan menemukan cara untuk membawa bibit kopi ke tanah mereka sendiri. Pada tahun 1615, pedagang dari Venesia mampu menanam keluar pohon kopi dari perbatasan Yaman dan dibawanya ke Eropa. Kali ini, kopi digunakan untuk tujuan terapeutik, yang dijual baik sebagai minuman maupun sebagai obat kesehatan. Ketika Belanda berhasil meraih wilayah Ethiopia, mereka mampu membawa tanaman kopi ke Belanda. Bagaimanapun, ketika mendapati bahwa iklim Belanda tidak kondusif untuk penanaman kopi, Belanda membawa kopi ke daerah lain. Ketika warung kopi pertama dibuka untuk umum di Oxford, Inggris pada tahun 1650, perempuan dilarang masuk. Hanya tiga tahun kemudian, ketika warung minum teh dibuka, perempuan menemukan tempat untuk berkumpul (Shinde t.th). Selanjutnya, kopi dikatakan turut menyimpan rahasia romantisnya yang tersendiri, seorang petugas penjaga pantai Brasil menemukan dua hal yang dicintainya ketika ia mengunjungi Cayenne di Guyana Prancis pada tahun 1727: pertama, kopi dan kedua, istri Gubernur. Inilah kasih sayang yang membuatnya memperoleh beberapa benih kopi untuk dibawa kembali ke Brasil, memulai berbagai produksi kopi Arabika dalam negeri. Brasil akhirnya menjadi produsen kopi terbesar di dunia pada tahun 1800.14 Apakah cerita tulisan Shinde tersebut suatu mitos atau realitas? Hal itu barangkali tidak mungkin dibuktikan, tetapi yang pasti kopi kini ternyata sudah menjadi sesuatu yang amat penting dalam kehidupan manusia dan sudah tentu banyak bibit cinta pasangan kekasih tumbuh di kafe-kafe. Setelah itu, kopi melakukan perjalanannya dari satu negara ke negara lain, menyebarkan popularitasnya sebagai minuman utama pilihan. Kopi diperkenalkan Inggris ke Jamaika tahun 1730. Pada tahun 1774, Amerika menyatakan kegemaran untuk kopi selama Boston Tea Party sebagai tanda bahwa mereka mau mengganti teh dengan kopi, karena pajak terlalu tinggi dikenakan pada perdagangan teh waktu itu. Kosta Rika memperoleh kopi dari Kuba, dan ini akhirnya menyebar ke Meksiko. Pulau Martinique membudidayakan kopi pada tahun 1700-an dan Hawaii pada tahun 1825. Saat itu, kopi dikatakan menjadi komoditas yang kedua paling banyak diperdagangkan di seluruh dunia sesudah minyak (Shinde t.th.). Bagaimana kedudukan kopi dalam

14

Brasil sehingga hari ini masih menjadi pengeskport utama dan menanam kira-kira sepertiga kopi dunia. Manakala Indonesia berada di tempat keempat. Silakan melihat negara-negara penghasil kopi utama dunia di situs web: http://www.coffeeterms.com/ coffee-producing-countries.htm.

68


Budaya Kopi di Korea: Dabang, Nona Doenjang dan KafĂŠ Modern

kehidupan orang Korea, sebuah masyarakat yang pada asalnya berbasis teh? Perjalanan kopi ke Korea ternyata juga tidak kurang menariknya.

Sejarah Budaya Kopi di Korea: Dari Dabang ke Kafe Modern Di Korea, Anda tidak akan menemukan kekurangan warung kopi sekarang ini. Anda akan menemukan kafe di setiap sudut kota, baik di jalan besar maupun di celah-celah gang kecil. Korea kini adalah masyarakat kopi, tetapi bagaimana hal ini terjadi? Sebelum pergantian abad ke-20, sama seperti China dan Jepang, Korea pada dasarnya mengamalkan budaya berbasis teh. Budaya minum kopi sehari-hari bagaimanapun hanya tumbuh populer di beberapa dekade terakhir di Korea. Kembali ke tahun 1970-an dan 80-an, tidak ada rantai multinasional seperti Starbucks atau The Coffee Bean & Tea Leaf di sini. Kini hampir semua rantai multinasional kopi berebutan hendak masuk ke dalam pasaran Korea. Sebaliknya dahulu, orang pergi ke kafe setempat yang disebut dabang. Dabang adalah tempat populer bagi orang muda pada waktu itu. Sebagian besar kopi yang disajikan di dabang ini merupakan kopi varietas instan yang ditambah Prima, sejenis creamer susu bubuk dan pemanis. Menurut laporan Yim (2010), kopi pertama kali diperkenalkan di Korea pada abad ke-19. Yoo Gil-Jun, mahasiswa Korea pertama yang studi di luar negeri, mengatakan dalam buku Seoyugyunmun, yang ditulisnya pada tahun 1895 setelah berkeliling Amerika dan Eropa. “Orang Barat biasa minum kopi dan jus seperti orang Korea minum sungnyung15 setiap hari,� mengacu pada minuman tradisional Korea yang disajikan setelah makan, terbuat dari nasi. Menurut tulisan Yim lagi, Penguasa Joseon, yaitu Raja Gojong (1852-1919) tampaknya menjadi salah seorang pencinta kopi terawal di Korea. Menurut catatan, raja pertama kali menikmati kopi pada tahun 1896, sewaktu mencari perlindungan di Kedutaan Besar Rusia karena pemberontakan populer dan kabinet waktu itu lebih ramah kepada Jepang (Limb 2006 & Yim 2010). Tetapi, seperti yang dilaporkan, kesukaan Gojong dan anaknya, Sunjong terhadap kopi hampir merenggut nyawa mereka, karena Kim-Ryuk Hong dikatakan berencana membunuh mereka pada 1898. Menurut buku Maecheonyarok yang ditulis antara 1864 dan 1910 oleh sarjana bernama Hwang Hyeon, Kim bekerja sebagai juru bahasa Rusia untuk Raja Gojong, sebuah posisi penting dan kuat menghubungkan raja dengan pemerintah asing. Tetapi raja mendapati Kim telah menggelapkan dana kerajaan dan memerintahkan dia diasingkan. 15

Sungnyung adalah minuman tradisional Korea yang terbuat dari beras hangus yang direbus. Minuman ini biasanya terbuat dari nurungji, yaitu kerak nasi (tapi tidak hangus) yang terbentuk pada bagian bawah panci setelah memasak nasi (catatan kaki ini tambahan penulis).

69


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Sebagai balas dendam, Kim berencana membunuh raja dan pangeran pada pesta ulang tahun Raja Gojong pada tahun 1898 dengan menyuap Kim Jonghwa, seorang juru masak kerajaan, supaya dimasukkan racun ke dalam kopi. Namun, raja memuntahkan minumannya setelah tegukan pertama, dan meskipun sang pangeran jatuh sakit, ia akhirnya sembuh (Yim 2010). Budaya kopi kemudian segera menyebar dari keluarga kerajaan ke pejabat tinggi lokal dan sastrawan pada tahun 1920-an dan 30-an. Minuman pahit tersebut sesudah itu menjadi bagian penting dari pertemuan penulis di dabang untuk membahas sastra. Pada saat itu, kopi dianggap mewah, tersedia hanya untuk orang kaya. Setelah Korea merdeka pada 1945, budaya kopi tumbuh dan berkembang, karena pengaruh Amerika, tetapi pengaruh itu tidak terjadi dengan serta-merta. Kopi waktu itu masih dibuat terus dari biji kopi sampai Perang Korea (1950-1953) ketika militer Amerika memperkenalkan kopi instan, yang mendominasi pasaran. Kedatangan kopi instan membantu mempopulerkan kopi di Korea, tetapi menyebabkan kopi yang digoreng hampir menghilang (Limb 2006). Menurut Yim (2010) lagi, ketika Presiden Syngman Rhee (1875-1965) disajikan kopi setelah konferensi pers, wartawan Korea dikatakan memasukkan sesendok demi sesendok gula ke dalamnya. Para wartawan asing terkejut, dan Presiden Rhee bercanda kepada mereka, “Kalian tambahkan gula kepada kopi, tetapi orang Korea cenderung untuk menambahkan kopi kepada gula� (Yim 2010). Sekarang hal tersebut tidak berlaku lagi. Kini, semakin banyak warga Korea yang memilih kopi hitam berbanding minuman manis atas kesadaran kesehatan. Sebagai contoh, menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Starbucks Coffee Korea dan International Food Therapy Association, sebanyak 70,8 persen dari 1.500 responden menjawab bahwa mereka lebih suka minum “Caffe Americano� dibandingkan minuman Starbucks lain (Yim 2010). Menurut Profesor Jia Choi dari Universitas Ewha, seperti yang dilaporkan Gray (2009), popularitas kopi di Korea berasal dari campuran berbagai pengaruh yang berbeda. Salah satu pengaruh utama datangnya dari Kaisar Sunjong. Kaisar Sunjong adalah raja terakhir Korea dan beliau sering mengadakan pesta makan malam gaya Barat di istana. Mereka akan memakai piring gaya Barat, pengaturan perak dan makanan seperti steak dan kentang atau daging sapi panggang. Mereka bahkan duduk di kursi gaya Barat dan disajikan di meja gaya Barat. Sebelum Kaisar Sunjong, setiap kali bertumpuk makanan disajikan di lantai dan meja kepada raja. Jadi kembali pada tahun 1920, makan malam gaya Barat dianggap cukup revolusioner. Setelah makan malam, Kaisar dan ayahnya, Kaisar Gojong akan minum kopi. Mereka bersemangat untuk minum dan anggota lain dari bangsawan akan bergabung dengan

70


Budaya Kopi di Korea: Dabang, Nona Doenjang dan Kafé Modern

mereka. Mengingat raja mewakili ide dan gaya bangsawan, rakyat biasa mulai minum kopi juga. Hal ini mungkin menjelaskan, mengapa pada awalnya di Korea, kopi identik dengan minuman mewah. Bagaimanapun, Profesor Choi mempunyai pendapat yang lain. Katanya, kopi cocok dengan rasa Korea. Ia percaya bahwa orang Korea benar-benar menyukai rasa pahit dan juga rasa yang kuat seperti cabe dan kimchi (Gray 2009). Pendapat ini barangkali didasarkan pada banyaknya orang Korea sekarang yang kelihatan lebih suka minum kopi hitam dibandingkan kopi dengan krim dan gula seperti laporan Starbucks Coffee dan International Food Therapy Association yang tadi disebutkan. Pada 1970-an, kafe berubah lagi karena minuman tersebut menjadi lebih dikomersialkan, dan pemilik berusaha untuk menjual merek daripada minuman (Limb 2006). Budaya Korea merupakan budaya kesadaran tentang kepentingan status, sehingga budaya kopi pada awalnya turut terasosiasi dengan status. Kini merek kopi juga menjadi sebagian daripada simbol status. Perubahan dari budaya minum kopi di dabang ke budaya kafe modern merupakan satu contoh dari transformasi tersebut. Kafe modern kini berkembang dengan banyaknya, dari kafe rantai internasional seperti Starbucks, Coffee Bean, Dunkins Donut sampai kafe lokal berbagai nama terdapat di hampir setiap pelosok jalan. Kafe kini menjadi tempat para mahasiswa berkumpul, belajar dan bersantai, para ibu rumah tangga bertemu teman-teman, para pengusaha membincangkan rencana bisnis, pertemuan pasangan kekasih maupun tempat menghabiskan waktu sementara menunggu acara lain. Di tempat lain, orang biasanya antre untuk minum kopi pada waktu pagi, tetapi orang Korea juga antre sesudah makan siang dan pulang ke kantor dengan secangkir kopi. Sebelum adanya kafe modern, dabang merupakan segala-galanya. Sebuah dabang merujuk pada suatu bentuk usaha Korea menghidangkan dan menjual kopi, teh atau minuman lainnya yang sudah disiapkan kepada klien. Dabang mungkin bisa diterjemahkan sebagai coffee house atau warung kopi, tetapi secara harfiah maksudnya kamar teh. Ketika Korea terbuka kepada pengaruh Barat pada periode akhir Dinasti Joseon, dabang mulai muncul. Kafekafe yang berafiliasi dengan Hotel Daebul dan Hotel Steward yang didirikan orang asing di Incheon menjadi dabang perintis. Padahal, dabang dengan fungsi dan gaya modern hanya muncul setelah Gerakan 1 Maret 1919. Dabang gaya hotel yang pertama di Seoul ditempatkan di dalam Hotel Sontag yang dibangun di sekitar Jeong-dong, Seoul pada tahun 1902 oleh Ibu Sontag, seorang keturunan Jerman-Rusia (Wikipedia 2010). Hotel ini dibangun untuk melayani diplomat asing di Korea. Sebuah salon dua tingkat bernama “Aokidô” (juga disebut “Cheongmok”) yang diusahakan orang Jepang di Seoul

71


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

dan Hotel Joseon (Chosen Hotel) yang didirikan pada tahun 1914 merupakan hotel dan dabang terbaik selama periode Korea di bawah kekuasaan Jepang. Pada saat itu, banyak budaya Barat semakin tersebar, intelektual yang belajar di Jepang atau Barat membentuk budaya mereka sendiri di Korea, sehingga kondisi dabang bisa diregulasi dan mulai matang (Wikipedia 2010). Pada saat itu, dabang juga sering menjadi tempat berkumpul untuk penulis dan penyair terkenal, yang menggunakan tempat tersebut untuk membaca puisi dan peluncuran buku. “Musik dabang” pada waktu itu sangat populer dan sering dikaitkan dengan rambut panjang, celana jeans biru dan gitaris rakyat. Penyair atau deejay dabang sering menjadi pujaan gadis-gadis remaja. Ketika tren tersebut mulai memudar, “tiket dabang” (티켓 다방) muncul, di mana hostes seksi akan melakukan lebih dari sekadar menuangkan kopi kepada pelanggan. Tiket dabang adalah varian dari dabang, di mana seorang wanita akan pergi langsung kepada klien dan menyediakan layanan seksual. Di sini juga kadangkala diasosiasikan dengan pelacuran. Sesudah setengah abad popularitas, dabang mulai membuka jalan masuknya kafe modern pada 1980-an. Kini banyak anak muda melihat dabang sebagai tempat yang lebih cocok untuk orang tua dan berstatus rendah. Kafe khusus seperti Jardin dan Waltz House—tiruan dari kafe-kafe bergaya Eropa versi Jepang— tersebar di mana-mana (Limb 2006). Versi Jepang akhirnya sehari demi sehari digantikan pula dengan kafe versi Barat, khususnya Amerika seperti Starbucks.

Permintaan dan Perkembangan Kopi di Korea Menurut Asosiasi Kopi Jerman (Deutscher Kaffeeverband), di Korea Selatan, sekitar 80 persen dari konsumsi kopi dicatatkan melalui mesin penjual. Laporan asosiasi kopi Jerman itu mengatakan bahwa saat survei dibuat, ada 480.000 mesin penjual minuman otomatis di Korea Selatan, dengan 350.000 daripadanya menjual kopi. Namun hal ini mulai berubah dengan cepat ketika peminum kopi mengembangkan rasanya kepada kopi bermerek. Rumah-rumah kopi gaya Barat pertama mulai muncul di kota-kota besar, seperti ibukota Seoul pada tahun 1999 dan pada akhir tahun 2001 sudah ada lebih dari 500 kafe. Perkembangan tersebut tidak mengherankan karena Korea Selatan telah memiliki budaya untuk bersosialisasi di rumah teh (dabang), sehingga mereka dengan cepat bisa menyesuaikan diri dengan budaya kafe modern. Faktor penyebab lainnya, karena banyak orang Korea yang tinggal di flat kecil, yang membuat sosialisasi lebih sesuai di tempat umum, rumah teh atau kopi dan restoran. Berbeda dengan pergantian cepat yang terjadi di rumah kopi Barat, laporan dari Asosiasi Kopi Jerman itu juga menyoroti bahwa di warung-warung

72


Budaya Kopi di Korea: Dabang, Nona Doenjang dan KafĂŠ Modern

kopi Korea Selatan, peminum kopi duduk sampai beberapa jam bersama minuman mereka, meluangkan waktu untuk bersosialisasi dan bersantai. Suasana seperti ini turut memaparkan kontradiksi orang Korea yang dikatakan suka kepada budaya bercepat-cepatan (palli-palli). Atau barangkali waktu mau cepat, orang Korea akan mencari kopi instan yang diperkenalkan Dongsuh Foods pada 1970 untuk memenuhi cara hidup Korea yang cepat (Chosun 2009b). Hari-hari kerja yang panjang dan waktu yang dihabiskan untuk bersosialisasi, sering pada akhir hari kerja, menentukan bahwa kafe harus buka sejak pagi sampai larut malam. Atas permintaan klien yang banyak, warung kopi di kotakota seperti Seoul bermunculan untuk menampung keperluan pekerja bisnis yang bergegas di awal pagi, jam makan siang kantor dan kemudian untuk sosialisasi sesudah jam kerja. Koneksi internet berkecepatan tinggi juga membantu untuk meningkatkan angka klien. Walaupun budaya warung kopi memasuki pasaran Seoul relatif terlambat, pasaran sudah menunjukkan tanda-tanda kejenuhan karena kecepatan di mana 11 juta penduduk kota telah memeluk budaya kafe. Hal ini membantu meningkatkan konsumsi per kapita kopi sampai 60 kg per tahun untuk 50 juta penduduk negara itu. Konsumsi tersebut merupakan 1,3 juta kantong kopi, dibandingkan dengan tingkat konsumsi dunia yang mencapai 62 juta karung pada tahun 2002. Saat ini pasaran terbesar adalah Amerika Serikat, sekitar 20 juta kantong dikonsumsi setahun (Deutscher Kaffeeverband 2004). Asosiasi tersebut mengatakan bahwa pemasok utama kopi ke Korea Selatan adalah Vietnam, dengan lebih dari 40 persen saham pasar, dengan Brasil, Honduras, Columbia dan Indonesia setiap satu mengambil antara 9 dan 11 persen saham pasar. Menurut Laporan Chosun Ilbo 29 Januari 2009 (lihat Chosun 2009a), di tengah resesi di seluruh dunia yang mempengaruhi hampir seluruh sektor ekonomi Korea, hanya pasar kopi masih stabil. Menurut koran bisnis Maeil, penjualan teh dan minuman ringan (soft drink), yang melonjak selama beberapa tahun, turun 10 sampai 20 persen tahun lalu, namun penjualan minuman kopi naik 20 persen menjadi W 400 miliar (US $ 1 = W1, 378). Starbucks, misalnya menurut laporan tersebut, menambah jumlah outlet di Korea dari 257 tahun lalu menjadi 272 outlet dan mencatatkan W 170 miliar penjualan. Sementara penjualan di negara-negara lain menurun, di Korea penjualannya justru meningkat W36 miliar. Kopi malah turut menjadi barang ekspor Korea. Nestle Korea mulai mengekspor kopi ke Amerika Serikat pada tahun 1994, dan saat ini ekspor kopi botol dan campuran kopi bernilai W 70 miliar setiap tahun untuk 26 negara. Tujuan utama adalah Amerika Serikat, Australia, Turki dan Afrika Selatan. Dongsuh Foods mulai mengekspor kopi bersama mitra dagangnya Starbucks

73


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

dari Juli tahun itu ke Hong Kong, dengan jumlah ekspor sekitar 10.000 botol per bulan (Chosun 2009d). Eksportir biji kopi juga berkembang baik. Unit Dunkin ‘Donuts Korea mendirikan pabrik kopi pertama di luar AS dan telah mengekspor biji kopi bakar ke negara-negara Asia lainnya seperti China dan Thailand. Dimulai dengan Malaysia tahun lalu, Hollys Coffee kini telah membuka cabang di Los Angeles, berencana untuk membuka dua lagi di Peru tahun depan, dan berencana meluncurkan cabangnya di China dan Vietnam pada paruh kedua tahun depan (Chosun 2009d). Persaingan bisnis kopi bagaimanapun turut membawa krisis hak cipta dan merek di Korea. Pengadilan independen Korea baru-baru ini menolak klaim pelanggaran hak cipta dan merek dagang oleh Starbucks Corporation, rantai toko kopi multinasional terbesar di dunia atas warung kopi rantai Starpreya. Starbucks menuduh Starpreya, rumah kopi dan toko lokal membajak merek dagang dan produk kopi mereka dan menyebabkan kebingungan kepada pelanggan. Perusahaan AS juga menuntut supaya pengadilan membatalkan merek dagang terdaftar dari outlet Korea itu. Namun pengadilan tingkat banding di Daejeon membantah gerakan terdakwa dan memutuskan bahwa kedua merek tidak dapat diartikan sebagai sama atau mirip. Menurut pengadilan, merek dari kedua perusahaan ini dikombinasikan dengan kata-kata, Star dan Preya, dan Star dan Bucks. Kata Star umumnya digunakan di Korea, dan Preya dan Bucks tidak memegang makna khusus, demikian menurut putusan itu. Menurut putusan tersebut lagi, kita sudah menilai bahwa merek dagang dan logo terlihat berbeda, dan bahwa mereka tidak memiliki niat apa pun untuk dibandingkan. Oleh karena itu, hakim Lee Ki-taik mengatakan, pengadilan tidak bisa mengakui pernyataan Starbucks Corporation bahwa merek dagang Starpreya telah membawa kesalahpahaman publik dan kebingungan, dan bahwa pengadilan tidak bisa memutuskan bahwa merek dagang penggugat telah ditiru (dalam Southernton 2007: 13-14). Pada bulan Maret 2005, Starbucks Corporation yang mengajukan gugatan terhadap Starpreya, mengatakan bahwa logo Starpreya mirip dengan logo putri duyung Starbucks. Namun pengadilan menolak gugatan hukum tersebut, dan menilai bahwa mereka berbeda karena Starpreya mempunyai bentuk sosok dewi (Southernton 2007: 14). Keputusan tersebut bagaimanapun turut menjadi diskusi hangat karena ada pendapat yang mengatakan bahwa keputusan mahkamah itu bersifat nasionalistik dengan membela perusahaan lokal. Starbucks membuka toko kopi pertamanya di Ewha Womans University, Seoul pada 27 Juli 1999, dan 10 tahun kemudian ia sudah mempunyai lebih 300 toko di lebih 35 kota di Korea (Starbucks 2009). Starpreya menjadi merek dagang terdaftar pada bulan Agustus 2003. Bagaimanapun juga keputusan-

74


Budaya Kopi di Korea: Dabang, Nona Doenjang dan Kafé Modern

nya, keadaan tersebut menggambarkan permintaan kopi yang semakin tinggi dalam budaya dan masyarakat orang Korea, sehingga setiap perusahaan ingin meraup keuntungan. Suasana permintaan terhadap kopi bukan saja merupakan fenomena ekonomi, tetapi turut mencetuskan fenomena sosiologis di Korea. Budaya Kopi, Modernitas dan Status Ekonomi: Doenjangnyeo (Nona Doenjang) dan Gochujang-nam (Pria Gochujang) Salah satu fenomena sosiologis yang paling menarik di Korea adalah lahirnya apa yang disebut “doenjangnyeo,” sebuah istilah yang berkonotasi agak menghina yang secara harfiah diterjemahkan sebagai “Nona Doenjang” (doenjang girl). Doenjang adalah pasta kacang kedelai tradisional Korea yang difermentasi, sedangkan nyeo adalah sufiks yang bermakna gadis atau nona. Kalau Anda tidak mengenal doenjang Korea, ia mungkin dekat dengan miso Jepang. Tetapi asal yang sebenarnya istilah tersebut tampaknya bukan “doenjang” (pasta kacang keledai), melainkan tanda seru “jyaenjang” yang digunakan untuk menyatakan ketidakpuasan dan secara kasar bisa diterjemahkan sebagai “Sialan!” (Chosun 2006). Istilah tersebut kemudian diperhalus dengan menggunakan referensi kuliner yang bunyinya lebih cocok. Kenapa dipanggil “nona doenjang”? Hal ini ada kaitannya dengan proses modernitas dan cara berbelanja orang Korea yang berubah dari sebuah masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Perdebatan tentang “nona doenjang” ini suatu ketika menjadi topik hangat. Situs web, buku komik dan permainan komputer bahkan online memberi perhatian terhadap topik tersebut. Bagaimanapun, hal ini mungkin bukan merupakan fenomena baru seperti orang berpikir. Seorang kritikus budaya baru-baru ini mencatat bahwa sekitar 100 tahun yang lalu, surat kabar Korea mengungkapkan kekhawatiran mereka tentang budaya konsumen dengan mengkritik perempuan muda, karena mengenakan pakaian berwarna cerah (Robert Koehler, pemimpin redaksi majalah SEOUL, dalam Southerton 2007: 7-8). Hal tersebut berkaitan dengan perubahan masyarakat menuju cara hidup modern. Bagaimanakah cara hidup seorang “nona doenjang” yang dikatakan suka berbelanja? Hal tersebut bisa dikatakan mempunyai sedikit persamaan dengan ungkapan Melayu “biar papa asalkan bergaya” yang bermaksud seseorang itu mau kelihatan cantik dan sanggup berbelanja membeli produk mahal, walaupun dirinya miskin. Pengamatan seorang pemakai internet dengan penuh sindiran terhadap kehidupan seorang “nona doenjang” berbunyi begini:

75


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Gets up at 7:30 a.m. to the sound of the cell phone alarm, even though her first class doesn’t start till 10, and heads for the bathroom. To give her hair the Jeon Ji-hyun-look, she refuses to use cheap shampoos ... she can’t eat breakfast because she’s too busy doing her makeup, so she heads for the Dunkin Donuts in front of her school. “For diet reasons, she orders a straight Americano — no sugar, no cream — but then eats donuts crammed with jam and sugar. Same for lunch. Because the doenjang-nyeo knows how precious she is (just like the L’Oreal commercials, she says to herself, ‘Because I’m worth it!’) she can never be seen eating with the rest of the students at the cafeteria or the student center. The three just don’t mesh. “The doenjang-nyeo blows in one sitting the amount a regular student spends on food for a week” (Chosun 2006) (Bangun jam 7:30 dengan bunyi alarm ponsel, meskipun kelas pertama tidak dimulai hingga jam 10, dan menuju ke kamar mandi. Untuk memberikan rambutnya kelihatan seperti Jeon Ji-hyun, dia menolak menggunakan shampo murah ... dia tidak dapat sarapan karena dia terlalu sibuk melakukan make-up, jadi dia pergi ke Dunkin Donuts di depan sekolahnya “Karena alasan diet, dia memesan Americano kosong - tanpa gula, tanpa krim - tetapi kemudian makan donat penuh dengan selai dan gula. Sama untuk makan siang. Karena nona doenjang tahu betapa berharga dirinya (seperti iklan L’Oreal, ia berkata kepada dirinya sendiri, ‘Karena aku berharga sebegitu!’) dia tidak pernah dapat dilihat makan dengan siswa-siswa lain di kafetaria atau di pusat mahasiswa. “Biaya makanan nona doenjang dalam sekali makan bisa sejumlah biaya makanan mahasiswa reguler selama seminggu.” [Terjemahan penulis]).

Isu status ekonomi tidak terhenti di situ saja, malah berkembang menjadi isu gender. Di sebalik skala ekonomi yang lain, muncul pula stereotip yang lain, yaitu “Gochujang-nam.” Gochujang adalah pasta cabe merah yang juga diperlukan dalam hampir setiap jenis makanan Korea, dan Nam adalah sufiks untuk laki-laki. Ciri-ciri Gochujang-nam digambarkan seperti ini: To save a mere W 300 (US$1 = W 965), he takes the neighborhood bus instead of the city bus. Eating at the school cafeteria is a waste of money, so he heads to the nearest convenience store” (Chosun 2006). Untuk menyimpan sekadar W 300 (US $ 1 = W 965), ia mengambil neighbourhood bus (seperti bus sekolah) dan bukan bus kota. Makan di kantin sekolah hanya membuang uang, jadi dia pergi ke toko kelontong (conveneience store) terdekat (Terjemah penulis).

Kedua gelar tersebut walaupun ada unsur-unsur menghina, keduanya turut menggambarkan kebanggaan dan keintiman orang Korea dengan

76


Budaya Kopi di Korea: Dabang, Nona Doenjang dan Kafé Modern

bumbu masyarakatnya. Makanan bukan saja menjadi kebanggaan orang Korea, tetapi juga turut mendapat tempat dalam pikiran orang asing. Banyak wisatawan dan warga asing cenderung melihat Korea lewat makanannya. Menurut sebuah survei yang dilakukan Corea Image Communication Institute, hampir 40 persen responden mengatakan makanan adalah hal pertama datang ke dalam pikiran ketika mereka berpikir tentang Korea. Di tempat kedua adalah huruf Korea, “Hangeul,” dengan 18 persen, diikuti dengan pakaian tradisional Korea, “hanbok,” dengan hampir 8 persen (Arirang News 2009).

Kesimpulan Modernitas mempunyai segi baik dan buruknya, tergantung kepada bagaimana orang menerimanya. Budaya kopi merupakan sebagian dari cara orang Korea menanggapi modernitas. Fenomena suka membazir atau terlalu pelit waktu berbelanja merupakan respons awal masyarakat Korea terhadapnya, sehingga menimbulkan berbagai stereotip seperti itu. Dari satu segi, stereotip seperti itu yang tercetus dari budaya kopi di Korea bisa dilihat sebagai suatu bentuk diskriminasi gender pada awalnya, bagaimanapun gelar seperti itu kini sudah berubah menjadi julukan tanpa membedakan gender, sehingga muncul doenjang-yeoja (wanita doenjang) dan doenjang namja (laki-laki doenjang). Dari segi yang lain, bukankah wacana tersebut turut menjadikan suasana kota yang kaku menjadi lebih menarik dan menjadi sebagian bumbu kehidupan masyarakat Korea? Menjadi bertambah menarik lagi, hal yang dahulu dianggap mewah, kini menjadi budaya sehari-hari Korea. Jika malam, banyak laki-laki Korea suka berkumpul dan kadangkala sampai mabuk dengan miras Korea, yaitu Soju; waktu siang banyak pula wanita Korea mengisi waktunya dengan secangkir kopi yang bisa saja beraroma kopi Vietnam, Brasil atau Indonesia. Tidak heranlah suatu penelitian melaporkan bahwa laki-laki Korea mendapat kebanyakan kalorinya dari Soju, sedangkan wanitanya mendapat tenaga dari kopi (Chosun 2007). Jualan kopi instan di supermarket Korea malah mengatasi beras, demikian menurut analisis E-Mart, supermarket milik perusahaan Shinsegae (Chosun 2009c). Begitulah pentingnya kopi dalam kehidupan orang Korea saat ini!

DAFTAR PUSTAKA Arirang News. 2009. Foreigners associate Korea with its food. 4 May. Diperoleh: http://english.chosun.com/site/data/html_dir/2009/05/04/ 2009050400677.html. Akses: 20.03.2011.

77


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Chosun. 2006. Shallow girls and the men who love to hate them. Diperoleh: h t t p : / / e n g l i s h . c h o s u n . c o m / s i t e / d a ta / h t m l _ d i r / 2 0 0 6 / 0 8 / 0 4 / 2006080461017.html. Akses: 12.03.2011. Chosun. 2007. Koreans fueled by soju and coffee, study shows. 2 May. Diperoleh: http://english.chosun.com/site/data/html_dir/2007/05/02/ 2007050261007.html. Akses: 20.03.2011. Chosun. 2009a. Korea’s coffee sale buck recession. 29 January. Diperoleh: h t t p : / / e n g l i s h . c h o s u n . c o m / s i t e / d a ta / h t m l _ d i r / 2 0 0 9 / 0 1 / 2 9 / 2009012961027.html. Akses: 19.03.2011. Chosun. 2009b. Koreans’ love affair with quick foods. 30 October. Diperoleh: h t t p : / / e n g l i s h . c h o s u n . c o m / s i t e / d a ta / h t m l _ d i r / 2 0 0 9 / 1 0 / 3 0 / 2009103000186.html. Akses: 20.03.2011. Chosun. 2009c. Instant coffee outsells rice in supermarkets. 7 December. Diperoleh: http://english.chosun.com/site/data/html_dir/2009/12/07/ 2009120700350.html. Akses: 20.03.2011. Chosun. 2009d. Korea does well as a coffee exporter. 11 December. Diperoleh: http://english.chosun.com/site/data/html_dir/2009/12/11/ 2009121100699.html. Akses: 20.03.2011. Deutscher Kaffeeverband. 2004. South Korea coffee market comes of age. 22 July. Diperoleh: http://www.beveragedaily.com/Markets/South-Koreacoffee-market-comes-of-age. Akses: 19.03.2011. Gray, Daniel (pengirim). 2009. The history of coffee in Korea. Diperoleh: http://www.seouleats.com/2009/12/history-of-coffee-in-korea.html. Akses: 12.03.2011. Limb, Jae-un. 2006. Percolating through the history of Korean cafes. Korea JoongAng Daily, 2 March. Diperoleh: http://joongangdaily.joins.com/ article/view.asp?aid=2692375. Akses: 12.03.2011. Shinde, Yogi. t.th. Where did coffee originate - The history of coffee across territories. Diperoleh: http://www.eslteachersboard.com/cgi-bin/stories/ index.pl?read=700. Akses: 12.03.2011. Southerton, Donald G. 2007. Coffee, Cars, and Corporations: Thoughts on Korean Business and Popular Culture. An Ebook. California: Bridging Culture Publications. Starbucks. 2009. Starbucks celebrates ten years in Korea with a passion to create a better future for local communities. 28 July. Diperoleh: http:// n e w s . s t a r b u c k s . c o m / n e w s / starbucks+celebrates+ten+years+in+korea.htm. Akses: 18.03.2011. Wikipedia. 2010. Dabang. Diperoleh: http://en.wikipedia.org/wiki/Dabang. Akses: 19.03.2011.

78


Budaya Kopi di Korea: Dabang, Nona Doenjang dan Kafé Modern

Yim Seung-hye, Ko Ran. 2010. Korea’s daily cup of coffee: an ever-changing brew. Korea JoongAng Daily, 28 January. Diperoleh: http:// joongangdaily.joins.com/article/view.asp?aid=2915862. Akses: 12.03.2011.

79


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

SOJU BAGI MASYARAKAT KOREA Nazarudin

Musim dingin Desember 2011, menurut sejumlah warga Seoul, dirasakan datang lebih dingin menggigit dari keadaan musim dingin sebelumnya. Di sebuah bar yang tidak begitu mewah, bahkan agak kecil, menyempil dekat salah satu kampus universitas swasta yang cukup besar di sekitar Incheon, duduk seorang pemuda tanggung. Lelaki muda itu menyendiri di kursi yang terletak di ujung bar. Ia hanya ditemani soju dan beberapa botol bir yang sudah kosong. Di sudut Seoul yang lain, sekelompok laki-laki dan perempuan setengah baya, bahkan beberapa di antaranya masih kelihatan muda, mungkin mahasiswa atau karyawan sebuah perusahaan, tampak seperti memendam kebosanan. Tumpukan buku, perpustakaan, kuliah tepat waktu, dan ujian-ujian bagi mahasiswa; atau rutinitas kerja di perusahaan yang harus serbacepat, boleh jadi yang membuat mereka harus mencari cara lain untuk menghilangkan kebosanan itu. Maka, berkumpulah mereka di sebuah tempat minum. Mereka duduk mengelilingi meja dengan deretan botol soda. Salah seorang di antara mereka memanggil pelayan. Seorang perempuan cukup cantik, bertubuh agak gemuk, datang penuh hormat. Dia mencatat semua pesanan. Tak berapa lama kemudian, pelayan membawa beberapa botol soju. Denting gelas dan gelak tawa mulai terdengar. Suasana berubah seketika. Mereka gembira, riuh, dan akrab. Hubungan senior-junior begitu cair. Seolah-olah tak ada jarak, tak ada sekat. Bahkan pelayan gemuk itu pun tiba-tiba menjadi bagian dari keakraban mereka, meski tetap tidak meninggalkan tugasnya menyiapkan minuman. Itulah gambaran sekilas tentang betapa pentingnya soju dalam kehidupan masyarakat Korea.

80


Soju Bagi Masyarakat Korea

Mereka bukan hanya menganggap soju sekadar minuman beralkohol, melainkan juga sebagai simbol solidaritas dan usaha mencairkan sekat-sekat tadi. Boleh jadi juga sebagai bagian dari pelarian untuk melupakan beban kebosanan dan rutinitas. Atau, memang sudah menjadi tradisi yang menunjukkan, soju sudah menjadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakat Korea.

Sejarah Soju Pembicaraan tentang soju dan masyarakat Korea, tentu saja tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sejarah masuk dan berkembangnya minuman beralkohol di tanah ginseng ini. Pada dasarnya banyak pendapat yang mengatakan, awalnya minuman alkohol masuk dari jazirah Arab yang disebut dengan Arak atau Araki. Namun pandangan ini masih perlu ditelusuri lagi. Ada perdebatan mengenai hal itu. Sebuah sumber tulisan bersejarah menunjukkan, bahwa minuman beralkohol pertama yang masuk ke tanah Korea ditemukan pada masa kerajaan Koguryo. In Korea, the first records of alcohol are in the foundation myth of the Koguryo˘ kingdom,Tongmyo˘ng-wang p’yo˘n (‘The Lay of King Tongmyo˘ng’) , which tells of three heavenly sisters sharing cups of wine until drunk. (Pettid, 2008)

Berdasarkan data tersebut, dapat kita lihat bahwa pada awalnya minuman beralkohol masuk ke Korea dan dikonsumsi terutama oleh kaum bangsawan atau kalangan keluarga kerajaan. Minuman fermentasi beralkohol yang mulai dikonsumsi di Korea berwarna pekat atau putih nyaris seperti susu, yang kemudian sekarang dikenal dengan sebutan makkoli. Minuman dibuat dari bahan dasar beras yang difermentasi. Setelah banyak anggota masyarakat yang mengetahui mudahnya cara membuatnya, minuman ini menjadi begitu populer. Bahkan kemudian menjadi minuman alkohol yang begitu banyak diminati masyarakat. Perkembangan makkoli di kalangan petani dan masyarakat umum yang pesat ini kemudian tercatat dalam beberapa karya sastra. Salah satunya adalah yang dicatat Yi Kyubo dari periode Goryo. Yi menulis beberapa puisi tentang makko˘ lli dan kegemarannya minum minuman keras (Pettid, 2008: 114). Selain itu, puisi bergaya sijo berikut ini ditulis oleh salah seorang penyair terkenal pada masa Choso˘ n, Cho˘ ng Ch’o˘ l (1536–1593). Puisi ini menunjukkan sebagian kecil dari fungsi sosial minuman berlakohol dalam masyarakat Korea.

81


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Over the hill at the house of So˘ ng Kwo˘ llong, yesterday I heard of wine being ripened. I kicked a lying cow and put a blanket on it to ride; Boy, is your master Kwo˘ llong home? Tell him Cho˘ ng Chwasu has come. (Pettid, 2008: 115)

Sejak dulu masyarakat Korea menganggap minuman beralkohol bukan hanya sekadar minuman pelepas dahaga atau minuman yang memabukkan, melainkan juga sebagai minuman yang memiliki fungsi sosial. Masa panen biasanya menjadi saat yang tepat untuk saling berkunjung dan berbagi, yang juga bermakna sebagai simbol penguatan persahabatan. Puisi di atas secara sederhana menggambarkan kegiatan umum, yaitu berbagi minuman dengan tetangga. Kebersamaan seperti itu sudah terlihat, bahkan jauh sebelum soju mulai dikenal oleh bangsa Korea. Sementara itu, kapan tepatnya soju mulai masuk ke Korea? Merakyatnya makkoli di kalangan masyarakat umum, telah menginspirasikan para bangsawan untuk mencari minuman yang lebih bersih dengan memulai proses penyulingan dan fermentasi model baru. Dengan demikian, muncullah minuman baru dengan warna yang lebih jernih, seperti warna air biasa. Dulu minuman tersebut masih dianggap sebagai arak obat. Namun, kemudian para bangsawan mulai beralih ke minuman yang berwarna jernih itu. Soju adalah simbol minuman fermentasi alkohol di Korea. Metode penyaringan minuman tersebut mulai diperkenalkan pertama kali pada masa dinasti Goryo dari Yuan China, pada masa dinasti Mongol. Pada saat itu, minuman ini dikenal dengan nama noju, yang berarti ‘minuman embun’ yang diambil berdasarkan proses pembuatannya melalui pengumpulan tetesan-tetesan alkohol jernih sebening embun. Karena proses pembuatannya yang mahal dan sulit, pada awalnya soju digunakan sebagai minuman untuk tujuan pengobatan. Soju terbuat dari berbagai macam padi-padian, termasuk beras, gandum, dan ditambah dengan beberapa bahan lainnya, seperti buah pir, jahe, dan bamboo untuk minuman keras. Berbeda dengan makkoli, minuman fermentasi beras, soju memiliki kandungan alkohol yang lebih tinggi, yaitu sekitar 20 sampai 24 persen. Soju dalam perkembangan selanjutnya segera menjadi minuman populer setelah diperkenalkan kepada masyarakat luas pada zaman dinasti Goryo, yaitu masa pemerintahan Raja Ch’ungnyo (1274 – 1308). Bahkan, saking terkenalnya hingga para penikmat setia soju bertambah dengan cepat dan dikenal dengan ‘kelompok soju’ (sojudo). Ketika itu, lokasi kamp tentara Mongol seperti di Kaesong, Andong, dan Pulau Jeju merupakan lokasi perkembangan soju yang paling pesat yang juga dikenal dengan soju berkualitas tinggi.

82


Soju Bagi Masyarakat Korea

Meskipun demikian, soju pernah dilarang pada masa Choson atau sekitar tahun 1490 melalui petisi pelarangan soju. Berdasarkan salah satu sumber, disebutkan bahwa pada tahun 2004 lebih dari tiga miliar botol soju dikonsumsi di Korea Selatan. Angka yang cukup mencengangkan, mengingat penduduk Korea Selatan yang hanya sekitar 70 juta jiwa. Salah satu yang menjadi faktor ketenaran soju di masyarakat Korea adalah harganya yang sangat murah. Satu botol soju di Korea dihargai mulai dari 1000 – 3000 won atau sekitar Rp8.000,00 – Rp24.000,00.

Soju dan masyarakat Korea Di kalangan masyarakat Korea modern, soju menjadi minuman paling populer di semua kalangan dari generasi ke generasi. Seberapa penting nilai soju dalam masyarakat Korea? Pertanyaan tersebut mungkin tidak bisa dijawab dengan mudah. Namun, soju, seperti telah disebutkan, bukan hanya sekadar minuman beralkohol bagi masyarakat Korea, tetapi juga memiliki nilai-nilai sosial yang kuat yang kemudian menjelma menjadi simbol kehidupan sosial di Korea. Salah satu nilai penting soju adalah untuk menjaga hubungan keakraban dan kedekatan antara seseorang dengan orang lain atau antara seseorang dengan suatu komunitas. Bagi masyarakat Korea, berkumpul dengan teman menjadi tidak lengkap tanpa kehadiran soju. Dalam hubungan pertemanan, berdasarkan cara meminum soju, kita dapat melihat kedudukan orang tersebut di antara teman-temannya. Hal itu terlihat pada caranya menuangkan soju. Seseorang yang berusia lebih muda tidak bisa begitu saja menuangkan soju ke dalam gelas orang yang lebih tua. Biasanya seseorang yang lebih muda akan sedikit menunduk dan tangan kiri memegang legang kanan, sementara lengan kanannya menuang soju perlahan-lahan dengan takzim. Selain itu, kita juga bisa mengetahui kelas sosial atau kedudukan orang Korea dari cara mereka meminum soju. Jika orang itu meminum soju sambil memalingkan muka dari orang yang menuangkan soju, artinya orang itu berkedudukan lebih rendah daripada orang yang menuangkan soju. Dengan kata lain, di Korea, orang akan dianggap tidak sopan jika meminum langsung sambil berhadap-hadapan dengan lawan minum yang berkedudukan lebih tinggi.

83


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Masyarakat Korea merupakan masyarakat yang sangat meyakini ajaran konfusius. Dalam konfusiasisme diajarkan beberapa sikap dasar dalam hidup. Salah satunya adalah prinsip pentingnya hubungan hierarki antarmanusia, dan seluruh pihak yang terlibat di dalam hubungan hierarki memiliki bagian mereka masing-masing berdasarkan kewajiban dari peran yang mereka miliki. Ada lima hubungan yang bersifat fundamental menurut konfusianisme, yaitu ayah-anak, suami-istri, kakak-adik, antarteman, dan penguasa-subjek. Masyarakat Korea sangat menerapkan prinsip tersebut, salah satunya terlihat dari cara mereka meminum soju. Di sisi lain, soju juga dapat berfungsi sebagai salah satu cara untuk bersosialisasi dan bergaul di lingkungan kerja. Berdasarkan penuturan beberapa orang narasumber, mereka menyebutkan bahwa soju dapat berperan penting untuk perkembangan dan pengembangan karier seseorang. Bagaimana bisa? Di Korea, hampir di semua jenis perjamuan makan pasti terdapat soju. Soju rupanya juga sudah terbukti dapat meningkatkan keberanian seseorang untuk mengungkapkan sesuatu. Dengan kata lain, obrolan bisnis pun –konon—dapat lebih lancar dan tidak kaku selepas soju menjadi bagian yang tak terpisahkan dari suasana percakapan itu. Berbeda dalam hubungannya dengan karier, dalam hubungan rumah tangga pun ada pula caranya yang memperlihatkan kekhasannya sendiri. Ada sebuah kebiasaan yang menarik yang berlaku dalam lingkungan keluarga di Korea. Rupanya para ayah memiliki cara yang unik untuk memilih lelaki sebagai calon menantu mereka. Para ayah itu melakukan sebuah pengetesan untuk mengetahui joosa (karakter seseorang ketika mabuk) dari lelaki calon menantu mereka. Tujuannya? Para ayah ingin mengetahui bagaimana sikap calon menantu mereka ketika mabuk, apakah dia akan menjadi tidak terkontrol, atau apakah dia masih bisa mengontrol diri dengan baik? Hal ini berkaitan dengan bagaimana cara laki-laki memperlakukan pasangan hidupnya ketika mereka sedang mabuk. Jika, ternyata didapati sifat laki-laki itu menjadi buruk ketika mabuk, sang calon mertua tentu saja tidak segan-segan untuk menolaknya. Ditambah lagi, terkadang dalam sebuah keluarga ada semacam pendidikan tentang bagaimana cara meminum soju yang baik (meskipun kebiasaan ini tidak selalu ada dalam lingkungan keluarga). Pendidikan oleh pihak keluarga ini, terutama dari ayah untuk anak laki-lakinya, dapat membantu sang anak untuk lebih sigap dan tanggap dalam bersosialisasi dengan orang lain. Bukan hanya dalam pekerjaan dan rumah tangga, soju juga masuk ke dalam lingkungan pendidikan. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah bar, tempat hiburan, dan toko-toko kecil yang menjual soju berbagai merek.

84


Soju Bagi Masyarakat Korea

Dengan harga murah, sekitar 1000 won (setara Rp8.000,00), para mahasiswa dapat berkumpul dan mengobrol dengan teman sambil menikmati soju dan anju (makanan kecil yang biasa disajikan bersama soju). Selain itu, biasanya setelah seminar atau pertemuan ilmiah, para profesor dan mahasiswa berkumpul dan mengadakan perjamuan bersama sambil tentu saja minum soju. Mungkin tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan “menikmati soju adalah salah satu cara untuk mengenal Korea�. Beberapa angka statistik menunjukkan tingginya tingkat konsumsi masyarakat untuk soju. Tua, muda, wanita, pria, selama mereka sudah cukup umur, mereka pernah mengonsumsi soju. Soju telah menjadi minuman yang bisa dimasukkan sebagai salah satu budaya di Korea. Ketika berbicara tentang soju, kita tidak akan terlepas dari bagaimana cara meminumnya dan aturan-aturan apa saja yang harus kita ikuti ketika minum soju. Tentu saja, Korea yang siklus dalam setiap tahunnya harus berhadapan dengan perubahan musim; musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin, sangat membutuhkan kehadiran minuman beralkohol. Soju menjadi minuman penting untuk menghangatkan tubuh di kala musim dingin; soju menjadi sebuah minuman perkenalan pada acara-acara tertentu, seperti temu kenal antara junior dan senior di kampus; soju juga sebagai salah satu tes pertama sebelum menikah, bahkan sebagai salah satu jembatan untuk mengembangkan karier. Maka, kita akan terlalu sulit untuk tidak menemukan soju di berbagai tempat di Korea. Dari sudut pandang antropologi, Douglas (1987) menyatakan bahwa minum minuman alkohol (selanjutnya disebut minum) secara signifikan diperlukan sebagai tindakan sosial, dan hal tersebut terjadi dengan tiga motivasi dasar. Pertama, motivasi perayaan, di mana minum sering dijadikan alasan untuk memperkuat hubungan sosial. Kedua, minum juga dapat memberikan pandangan struktural yang lebih jelas atas organisasi sosial dunia yang abstrak. Dengan kata lain, minum merupakan salah satu penanda pembeda antara pembatasan grup dan antara waktu kerja dan waktu pribadi. Ketiga, minum merupakan alat untuk membantu seorang individu untuk melarikan diri dari batasan yang ada dalam sebuah masyarakat, sekaligus menawarkan alternatif sosial lain, seperti dunia yang lebih baik. Sementara itu, alasan masyarakat Korea minum soju juga bisa diwakili oleh ketiga pembagian tersebut. Pertama, soju memiliki motivasi perayaan terhadap sesuatu. Hal ini terlihat dari penuhnya pengunjung bar, terutama setelah masa ujian akhir semester atau selepas seseorang selesai melaksanakan wajib militer. Sebagian besar mahasiswa pergi ke bar, karaoke, atau ke tempat-tempat hiburan lainnya untuk minum dan bersenang-senang.

85


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Motivasi yang kedua adalah untuk memperkuat hubungan sosial. Biasanya hal ini terjadi dalam ranah kerja atau hubungan pertemanan, bahkan ada juga dalam lingkup pendidikan. Sebuah pertemanan akan dianggap kurang akrab jika belum bersama-sama duduk dan minum soju. Beberapa peminum soju berpikiran bahwa mereka lebih leluasa bercerita dan mengobrol setelah menenggak minuman beralkohol. Hal itu berlaku pula bagi para penikmat soju. Mereka bertemu, minum bersama, mencairkan suasana kaku, dan mengakrabkan hubungan pertemanan. Motivasi ketiga ternyata juga merupakan salah satu alasan mengapa orang Korea minum soju. Sebagaimana yang sudah digambarkan di bagian awal tulisan ini, soju sering kali menjadi pilihan bagi individu-individu yang sedang bermasalah untuk sekadar menenangkan pikiran atau bahkan mengalihkan pikiran ke hal yang lain. Jadi, boleh dikatakan, ada dunia lain yang ditawarkan oleh soju.

Soju dan Minuman Lain Menurut Barthes dalam pemikirannya mengenai simbol dan masyarakat, dari segi bahasa sebuah simbol sangat berkaitan dengan pemaknaannya. Dalam hal ini, pemaknaan tersebut dapat dilihat berdasarkan dua sudut pandang yang berbeda, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan makna sesungguhnya dari sebuah simbol, sementara konotasi merupakan perluasan dari denotasi itu sendiri. Dengan kata lain, konotasi mewakili pandangan sosial terhadap sebuah simbol. Perkembangan soju di masyarakat Korea juga menunjukkan gejala yang seperti itu. Soju sebagai minuman beralkohol ternyata bersifat dinamis sehingga dapat dipadupadankan dengan minuman beralkohol lain, seperti bir atau whisky. Di kalangan penikmat soju berkembang sebuah istilah 소맥 (somaek) yang diambil dari penyingkatan nama dua buah minuman soju dan maekju (bir). Minuman ini merupakan sebuah variasi yang muncul dari akulturasi minuman lokal dengan kadar alkohol yang cukup tinggi dengan bir yang kandungan alkoholnya cenderung rendah. Akan tetapi, setelah kedua minuman tersebut bercampur, kandungan alkohol minuman tersebut malah meningkat. Di samping somaek, ada pula yang disebut dengan 폭탄주 (poktanju). Kata ‘poktan’ sendiri berarti ‘bom’, sedangkan ‘ju’ berarti minuman beralkohol. Dengan kata lain, minuman tersebut adalah minuman beralkohol yang memiliki sensasi seperti bom. Poktanju biasanya dibuat dari segelas kecil soju yang kemudian dimasukkan ke dalam segelas whisky atau vodka. Tentu saja minuman ini jauh lebih keras dari minuman alkohol lainnya.

86


Soju Bagi Masyarakat Korea

Berdasarkan hal tersebut, dapat kita lihat soju sebagai minuman beralkohol menunjukkan kedinamisannya terhadap minuman beralkohol lainnya. Hal ini tentunya terjadi atas tuntutan rasa berbeda dari penikmat soju itu sendiri. Nilai soju di Korea sedikit berbeda jika dibandingkan dengan anggur di Prancis. Anggur dapat dikatakan sebagai sebuah minuman yang sakral, bahkan dalam Injil juga disebutkan bahwa anggur merupakan minuman yang boleh diminum karena kemurniannya. Dalam dunia modern, anggur merupakan bagian integral dari kebudayaan dan gaya hidup Eropa, Prancis khususnya. Sementara itu, soju tidak bisa dikatakan sebagai sebuah minuman yang sakral. Meskipun demikian, pada beberapa perayaan atau upacara tertentu, masyarakat Korea juga menggunakan soju sebagai sesembahan atau sesajen. Salah satunya adalah ketika upacara kematian berlangsung. Pelawat datang dan bersujud di hadapan lukisan atau nisan orang yang sudah meninggal kemudian minum segelas kecil soju untuk menghormati arwah orang tersebut. Perbedaan nilai yang mencolok dari soju dan anggur, yaitu pada nilai estetika. Soju merupakan minuman yang sangat merakyat karena harganya yang relatif murah dan diproduksi dalam jumlah yang sangat banyak tanpa mengindahkan unsur estetika. Dalam memproduksi anggur, para petani harus memperhatikan banyak hal, serta penyimpanan yang dilakukan pun tidak sembarangan. Lain halnya dengan soju, minuman yang setara dengan minuman ringan biasa (dalam hal produksi massal) ini diproduksi dengan sederhana. Selain itu, faktor penyimpanan pun tidak menjadi hal yang terlalu penting karena tidak banyak variasi pada rasa soju dibandingkan anggur.

Kesimpulan Menikmati soju adalah salah satu cara untuk mengenal Korea. Anggapan itu sangat cocok mengingat soju ada di mana-mana dalam bagian kebudayaan Korea. Dari unsur kepercayaan atau religi, sering kali soju dipergunakan untuk menghormati arwah leluhur. Dalam hubungan antaranggota masyarakat Korea sendiri, soju sangat berperan penting dalam tindakan sosial. Melalui soju, kita dapat melihat dari kelas sosial mana orang itu berasal. Dengan minum soju, paling tidak kita bisa menjalin hubungan pertemanan yang lebih akrab dengan orang Korea, menghormati atasan, serta melepaskan stress. Sebagai sebuah minuman beralkohol soju memiliki sifat dinamis. Soju dapat dicampur dengan minuman-minuman lain, sesuai dengan selera. Dengan kata lain, Korea telah menampilkan dirinya, tidak hanya pada kimchi dan

87


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

ginsaeng yang sudah begitu populer, tetapi juga pada soju dengan berbagai makna simboliknya.

REFERENSI Pettid, Michael J. 2008. Korean Cuisine: An Illustrated History. China: Reaktionbooks Douglas, M. 1987. “A distinctive anthropological perspective”. In M. Douglas (Ed.), Constructive Drinking: Perspectives on Drink from Anthropology (pp. 3–15). New York: Cambridge University Press.

88


DUNIA BELANJA KOREA Eva Latifah

Belanja, dalam maknanya yang lebih luas sebagai sikap menyalurkan kesukaan menjadi konsumen (konsumerisme), lahir dan tumbuh bersamaan dengan perkembangan teknologi sebagai pengaruh langsung revolusi industri. Lebih jelasnya, berbagai penemuan mesin dan teknologi baru, telah berhasil membangun bidang industri sebagai wilayah yang memerlukan modal usaha, upah tenaga kerja, bahan baku produksi, dan segala hal yang berkaitan dengan produk yang akan dipasarkan dan hasil atau keuntungan yang (harus) diperoleh. Di situlah, faktor ekonomi menjadi begitu penting. Hasil produksi harus punya nilai jual dan diminati masyarakat. Para (calon) pembeli mesti memperoleh kepuasan pada produk yang dibelinya. Belakangan, pelayanan dan kenyamanan pembli juga menjadi sasaran perhatian, agar orang merasa berbahagia ketika berbelanja. Dari sanalah budaya belanja yang canggih secara perlahan-lahan menjadi bagian penting yang menyertai hasil produksi. Pemanjaan pada konsumen tidak hanya menghadirkan kenikmatan ketika berbelanja, tetapi juga mengandung makna dan kebanggaan. Ada nilai sebagai sikap hidup. Dengan demikian, ada pula nilai yang menjadikan hidup seolah-olah lebih bermakna. Demikianlah kesukaan berbelanja lalu menjadi gaya hidup (life style). Di sana, orang berbelanja bukan lagi berorientasi pada bagaimana memenuhi tuntutan keperluan rumah tangga atau melengkapi barang untuk kegiatan sehari-hari, melainkan sebagai usaha mencari makna, memperoleh nilai, mencapai gaya hidup yang lain. Dengan demikian, berbelanja pun mesti diperlakukan sebagai kegiatan penting dalam kehidupan, meskipun secara fungsional, barang-barang belanjaannya itu sesungguhnya tidak benar-benar diperlukan. Setakat ini, kemunculan ponsel pintar (smart phone),16 misalnya, dengan berbagai fungsi dan kecanggihannya, juga melahirkan cara berbelanja model 16

Mobil World Congress 2011 baru saja digelar di Kota Barcelona, Spanyol. Ketika produk telepon seluler (ponsel) masuk ke pasar kali pertama 25 tahun lampau, tidak ada seorang

89


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

baru yang cepat, mudah, dan personal.17 Setidak-tidaknya itulah yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Korea saat ini, sebuah gaya hidup baru yang mulai menjadi gengsi, terutama bagi kalangan muda di negara Ginseng ini. Gaya hidup itu seolah-olah telah menjadi trend baru di kalangan mereka untuk menunjukkan diri sebagai tidak ketinggalan zaman, modern, dan keren! Sebagai negara dengan akses internet tercepat di dunia,18 bisnis online Korea juga tidak kalah cepatnya. Online shopping untuk barang-barang seperti pakaian, sepatu, makanan, alat elektronik, alat kesehatan, atau barangbarang lainnya yang sebenarnya tidak penting-penting amat, seperti lem besi atau cairan untuk mencemerlangkan cat mobil, bahkan juga sampai ke persoalan konsultasi operasi plastik, bisa dengan cepat dan mudah diakses di mana pun dan dalam keadaan apa pun juga. Melalui ponsel ajaib itu, setiap orang—para pemakai ponsel itu— dapat melakukan transaksi mulai dari omzet dengan biaya puluhan ribu sampai jutaan won. Dengan kemajuan teknologi ini, Korea tak hanya menjangkau pasar ke segenap kota di dalam negeri, bisnis online Korea juga dapat merambah ke negara-negara yang menjadi ‘korban’ Korean Wave, termasuk Indonesia. Produk dengan embelembel Korea laris manis bak kacang goreng.

17

18

pun yang bisa memprediksi ke arah mana industri itu akan menuju. Setelah melalui riset dan uji pasar yang panjang, kini ponsel telah merasuki semua sendi kehidupan. Dengan mengusung platform baru yang diberi nama ponsel pintar (smartphone), ponsel telah menjelma bentuk menjadi sabak elektronik (tablet). ’’Fungsinya pun tidak bisa disebut lagi bergeser dari kegunaan awal sebagai alat komunikasi, berubah menjadi alat pengatur kehidupan sosial, penunjuk arah, pemacu produktivitas, hingga penyambung ke penyedia jasa berita. Aneka fungsi yang tak pernah terbayang lima tahun, apalagi 25 tahun lampau,’’ ujar President and CEO Nokia Stephen Elop yang menjadi pembicara utama pada pembukaan Mobil World Congress (MWC) 2011. Ajang MWC ini dihelat di Kota Barcelona, Spanyol, 14–17 Februari lalu. (http://www.radarjogja.co.id/component/content/article/2utama/14176-meneropong-arah-perubahan-gaya-hidup-dari-industri-seluler.html) Sekarang di Korea mulai bermunculan shopping mall online yang hanya menjual satu item dagangan. Model seperti ini dianggap cocok dengan keadaan smart phone. Online shop satu item ini tampak mulai sangat diminati oleh pengguna hape pintar karena memudahkan penelusuran item, tanpa harus bersentuhan dengan item belanja yang tidak diperlukan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh seorang pegawai perusahaan internet bernama Akamai, 23 Januari 2011, Korea menempati posisi teratas sebagai negara berakses internet tercepat di dunia. Kecepatan akses 14MB per detik hampir tujuh kali lipat dari kecepatan rata-rata dunia yang hanya berkisar 1.9MB per detik. Posisi kedua ditempati Hongkong dan diikuti Jepang pada posisi ketiga. Adapun Amerika hanya menempati posisi kedua belas dengan kecepatan 5MB per detik. http://news.chosun.com/ site/data/html_dir/2011/01/25/2011012500011.html

90


Dunia Belanja Korea

Korea memang memahami benar bagaimana mengemas produk menjadi sesuatu yang bercitra, bergengsi, dan punya nilai tersendiri bagi konsumen.19 Citra itulah yang akan membuat konsumen merasa menjadi ‘sesuatu’ seperti yang diiklankan produk. Dalam hal ini, sajian iklan menjadi bagian yang juga tidak kalah pentingnya. Era belanja saat ini memang sudah makin bergeser dan tidak lagi bertujuan pada fungsinya semata-mata. Konsumen masa kini telah menjadikan produk sebagai representasi dan citra diri, status sosial, gengsi, gaya hidup yang senantiasa up to date, ultramodern, dan segalanya menjadi easy going, tetapi elite dan berkelas. Tulisan ini –secara selayang pandang—coba hendak menguak dunia belanja Korea yang terekam dalam kehidupan keseharian mereka, teristimewa kaum mudanya. Untuk melengkapi pengamatan aktivitas sosial berbelanja itu, saya coba membandingkannya berdasarkan teks sebuah cerpen, berjudul ‘ 날개 ‘Sayap’.

Konsumerisme: Negatif atau Positif? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan, bahwa kon.su.mer.is.me diartikan sebagai:[n] (1) gerakan atau kebijakan untuk melindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjual, dan pengiklan; (2) paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dsb; gaya hidup yang tidak hemat: — jangan sampai ditumbuhkan dl masyarakat. Begitulah, contoh kalimat dalam KBBI itu menunjukkan kesan eksplisit, bahwa konsumerisme sebagai perbuatan atau tindakan negatif. Adapun dalam kamus bahasa Korea, konsumerisme tertulis sebagai berikut: 소비자 중심주의; 소비자 보호 (운동); 소비자의 ((건전한 경제의 기초로서 소비 확대를 주장하는)). 20

19

20

Citra barang dibentuk lewat iklan, kemasan, dan harga. Iklan dengan menggunakan model bintang iklan yang cantik atau tampan dan maco membuat konsumen merasa, bahkan mengidealisasikan diri menjadi seperti si model bintang iklan itu, jika ia memakai produk tersebut. Kemasan produk dibuat cantik dan menarik. Begitu mempesonanya kemasan produk itu, sampai-sampai ada orang Indonesia yang sengaja membawa botol-botol minuman air kemasan kosong untuk dibawa pulang karena kemasannya yang dianggap penuh pesona itu. Adapun harga, banyak orang Korea merasa bahwa semakin mahal harga suatu produk berarti semakin bermutu pula produk itu. Tidak mengherankan bila harga penjualan tas bermerk meningkat terus dari tahun ke tahun. Barangkali ini berhubungan dengan gengsi dan jati diri. Terjemahannya: konsumen sentris; (gerakan) perlindungan konsumen; (pembenaran atas peningkatan konsumsi sebagai dasar dari aspirasi ekonomi) bagi konsumen.

91


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Meskipun contoh kalimat dalam KBBI, sebagaimana telah disebutkan, terkesan negatif, jika kita melihat arti kata tersebut dalam kedua kamus di atas, tampak bahwa pada dasarnya konsumerisme tercipta justru untuk melindungi konsumen. Meskipun demikian, pada sisi yang lain konsumerisme, dapat diartikan sebagai suatu kegiatan konsumsi yang berlebihan yang berkonotasi negatif. Berdasarkan pengalaman selama bergaul dan berinteraksi dengan orang-orang Korea dari berbagai macam lapisan masyarakat, tampaknya mereka lebih cenderung melihat konsumerisme sebagai sesuatu yang bernilai positif. Belanja dianggap sebagai bagian dari kegiatan hiburan. Belanja, bagi sebagian besar warga Korea, ternyata tidak hanya berarti membeli dan mengguna, melainkan—lebih dari sekadar itu, yaitu menyusuri, mencermai, dan menikmati suatu barang (sebelum atau sesudah dibeli) juga dianggap sebagai bagian dari aktivitas belanja. Lihat saja, berbagai tayangan film, drama, musik video, atau adanya kesemarakan pada perayaan hari-hari yang mendukung budaya berbelanja secara jelas memperlihatkan gejala tersebut di atas.21 Istilah 쇟핑돸í™” (budaya belanja) ini menunjukkan bahwa belanja tidaklah dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Ia adalah budaya yang lahir sebagai cipta, rasa, dan karsa manusia. Budaya belanja, dalam bingkai modernisasi dan kapitalisme Korea, pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Jepang. Bersamaan dengan kolonialisasi, Jepang melakukan modernisasi22 di Korea dengan menyebarkan ide-ide modernisme. Jepang kemudian membangun jalan, gedung-gedung modern, bioskop, dan mall. Mall yang pertama kali dibangun adalah Mitsukoshi. Mitsukoshi dibangun pada bulan Oktober 1930. Ia menjadi tanda modernisasi sekaligus perubahan sistem kapitalisme di tanah Korea. Di lantai teratas gedung itu dibuat kafe dan taman kecil sebagai tempat bersenang-senang para

21

22

Korea memiliki budaya perayaan hari-hari yang bisa jadi tidak ditemukan di negara lain, termasuk Indonesia. Contohnya, adalah Pepero Day. Pepero adalah nama merk makanan yang berbentuk batangan. Dengan kejelian produsen makanan ini maka setiap tanggal 11 bulan 11 (11 November) dibuat sebagai hari perayaan yang mencitrakan produk yang dibuatnya, sama-sama berbentuk garis lurus. Setiap tanggal tersebut tentunya produsen makanan ini, bersama dengan produsen lain pembuat makanan berbentuk batangan, mendulang untung karena banyaknya orang yang membeli produk untuk dijadikan hadiah. Istilah modernisasi merupakan bahan diskusi yang masih menarik dibahas di Korea. Salah satu isu yang sering diangkat adalah bahwa modernisasi di Korea tumbuh dan berkembang setengah jadi. Alasannya adalah bahwa modernisasi yang terjadi tidaklah melalui revolusi internal seperti halnya di Barat. Proses modernisasi terjadi melalui perantara Jepang. Alasan lainnya adalah karena kaum cendekiawan Korea pada masa itu tidak langsung belajar dari Barat, tetapi melalui Jepang, hingga pemahaman (yang berimplikasi pada perwujudan) modernisasi tidaklah sempurna.

92


Dunia Belanja Korea

pengunjung. Mitsukoshi, yang pada tahun 2007 dipugar dan berganti nama menjadi Shinsegae, sampai sekarang masih menjadi pusat belanja berkelas di Korea. Lokasi tempat berdirinya Mitsukoshi, yaitu Myongdong, sampai sekarang tetap menjadi pusat pertokoan yang selalu ramai. Dan pemerintah Korea sekaligus memanfaatkannya sebagai tempat wisata belanja para wisatawan, khususnya wisatawan asal Jepang. Budaya belanja yang menjadi surga bagi para pemegang dana, ternyata juga tidaklah selalu bermuka manis tentunya. 과소비 atau belanja berlebihan adalah salah yang tidak bermuka manis itu. Keinginan memburu dan membeli berbagai macam jenis barang yang gila-gilaan menjadikan tingkat konsumtif negara ini tergolong tinggi. Dalam beberapa kasus yang terjadi di pasar-pasar swalayan atau pusatpusat perbelanjaan mewah, kerap kita menjumpai adanya insiden kecil pasangan suami—istri yang bertengkar. Kejadian itu tidak berhenti di sana. Belakangan mereka memilih jalan yang diangap dapat memuaskan kedua belah pihak, yaitu bercerai. Itulah salah satu contoh, bagaimana perceraian terjadi hanya lantaran salah seorang di antara pasangan itu tidak dapat mengendalikan diri memuaskan ambisinya berbelanja. Kasus-kasus lain dari dampak negatif konsumerisme yang berlebihan itu adalah munculnya semangat membeli tanpa mempertimbangkan kemampuan keungannya sendiri. Maka, tidak perlu heran jika kemudian, beberapa warga Korea banyak yang terlilit utang dan harus kehilangan rumah karena tak mampu membayar tagihan kredit yang mencekik. Bahkan, ada yang memilih jalan pintas, yaitu mengakhiri hidup, karena stress tidak dapat membayar utang, sementara keinginan untuk terus berbelanja tak dapat diredam.

Yi Sang: Masalah Uang yang Tak Pernah Usang Yi Sang23 adalah sastrawan Korea yang sayangnya harus menutup mata di usia muda. Sebagai kaum intelektual, masalah-masalah yang ditimbulkan oleh modernisasi tak luput dari perhatiannya. Perasaan tersisih dan kesepian yang dialami tokoh dalam cerpen ‘ 날개 ‘Sayap’ adalah gambaran orangorang yang tersapih dalam arus modernisasi. Tokoh Aku adalah lelaki yang tidak mempunyai pekerjaan. Bila istri keluar rumah, si Aku biasa masuk ke kamarnya, mencium aroma parfumnya, 23

Yi Sang, nama asli Kim Haegyong, dilahirkan di Seoul pada 20 Agustus 1910. Di usia yang masih sangat muda (28 tahun menurut perhitungan usia Korea), pada tanggal 17 April 1937, dia meninggal dunia. Sebenarnya latar belakang ilmunya adalah arsitektur, karenanya ia juga pernah bekerja sebagai arsitek sebelum terjun ke bidang sastra. Memulai karier sebagai penulis puisi, Yi Sang juga menghasilkan cerpen atau novel yang luar biasa. Karya utamanya adalah 《오감도》dan 날개》.

93


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

bermain-main korek, atau sekadar melihat-lihat saja. Bila istri datang bersama tamu, maka si tokoh Aku harus naik ke kamar atas dan menghabiskan waktu tidur dengan beralas selimut di sana. Bila tamu pergi, istri akan memberi uang. Semua uang pemberiannya dikumpulkan, karena si Aku tidak tahu bagaimana menghabiskan uang. Setelah terkumpul, uang itu dia berikan lagi kepadanya. Saat itulah, untuk pertama kali si tokoh Aku tidur istrinya. Suatu hari, karena kehujanan, si tokoh aku meringkuk di rumah. Istrinya memberikan obat yang dikira si tokoh Aku sebagai Aspirin. Ternyata itu obat tidur. Setelah terbangun, si Aku mendapati istrinya sedang bekerja sebagai pelacur di rumah. Dia bingung dan tidak tahu mesti berbuat apa. Tanpa sadar, si suami itu kemudian pergi ke Mitsukoshi Mall. Naik ke Kafe lantai atas. Suara sirene jam 12 siang terdengar. Ia teringat masa lalu. Tiba-tiba si Aku ingin terbang, tetapi tak punya sayap. Cerpen ini dinilai sebagai cerpen yang jelas sekali menggambarkan modernisasi dengan ide kapitalismenya. Ada banyak orang ke Mistukoshi Mall dan kafe untuk menghabiskan uang atau bersantai membuang kepenatan. Pada saat yang sama, ada banyak orang yang tidak berdaya dan bermasalah dengan uang. Mereka tersisih. Mereka terasing. Mereka merasa terbuang. Mereka ingin terbang. Gambaran yang ditangkap Yi Sang rasanya tak akan pernah usang. Perubahan sosial yang dihadapi Korea saat itu, tidak terlalu jauh berbeda dengan yang terjadi sekarang ini. Temuan teknologi atau trend yang cepat berganti bisa membuat orang terlena dalam kesenangan atau terseret dalam pusaran utang. Semoga kali ini ada sayapnya. Saya teringat rangkaian akhir dari cerpen “Sayap” itu: ‘날개야 다시 돋아라. 날자. 날자. 한번만 더 날자꾸나. 한번만 더 날아보자꾸나’..

(Duhai sayap, tumbuhlah kembali. Ayo terbang. Ayo terbang. Sekali lagi, ayo terbang. Sekali lagi saja, ayo coba terbang)

94


MERAYAKAN CHUSOK DENGAN “SERONOK� Ibnu Wahyudi

Sebagai orang yang baru “mengenal� Seoul, jelas bahwa belum semua perilaku atau kebiasaan yang ada di ibukota Korea Selatan ini dikenal dengan betul atau tanpa catatan. Banyak catatan yang seharusnya dipahami terlebih dahulu supaya tidak tersesat di jalan atau dapat bersapa dengan orang-orang atau suasana yang memang masih dan serba baru. Akan tetapi, mengingat keberangkatan ke Seoul dapat dikatakan lumayan agak tergesa-gesa, maka tentu banyak yang belum menjadi hal biasa atau semua rasanya menjadi senantiasa serba tiba-tiba. Bukan sekadar tentang makanan dan cara makan yang selalu bersama nasi yang ternyata tetap saja selalu terus perlu adaptasi, melainkan juga ketika harus menghadapi Seoul yang seketika itu terasa tidak mau lagi diajak bergaul. Bagaimana tidak? Seoul yang tidak kalah dengan Jakarta dalam hal hirukpikuknya, tidak dinyana lantas menjadi kehilangan suara. Dan aku hanya bisa terpana, alias pasrah saja. Ya, ternyata aku harus kehilangan beberapa teman baru yang selama itu menemaniku ke mana-mana. Hari-hari awal di Seoul itu hampir selalu ada yang mendampingi, dari misalnya ke kantor imigrasi sampai mencari nasi dan kebutuhan sehari-hari, Beberapa mahasiswa yang ditugaskan mendampingi dan seorang dosen-karibku, ternyata harus meninggalkanku sendiri di Seoul untuk merayakan Chuseok di kampung. Betul, pada pertengahan September 1997 itu mereka dan para penghuni kota Seoul lainnya, tampak bergegas memadati stasiun kereta atau menyemut di ruas-ruas jalan tol yang lebar dan mulus dengan mobil pribadi atau bus, menuju kampung halaman. Sepintas lalu, kesibukan atau keramaian orangorang meninggalkan Seoul ini serupa dengan ritual mudik lebaran yang kalau di Indonesia bisa berlangsung lebih panjang jika dihitung pada jumlah hari, sebab bisa dari lima belas hari sebelum dan sesudah Idul Fitri. Sementara yang terjadi di Seoul, dan sangat mungkin juga di kota-kota besar lainnya di Korea, seperti Busan, hanya dalam hitungan satu pekan. Biasanya, libur

95


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Chuseok adalah tiga hari ditambah dengan sekali perjalanan berangkat dan sekali perjalanan kembali. Tinggallah aku sendiri di ibukota Korea Selatan, yang dalam pandanganku saat itu, Seoul sungguh telah membuatku masygul. Memang, dosenkaribku tadi telah memberi beberapa won kepadaku agar aku bisa bertahan dan tidak kelaparan, namun apa artinya mempunyai beberapa uang Korea atau won ketika kita belum mampu berkomunikasi selain sekadar mengucapkan salam: anyonghaseo, sementara pusat-pusat perbelanjaan atau tokotoko makanan tidak buka seperti biasanya? Memang ada beberapa yang buka seperti istana-istana Gyeongbokgung, Changgyeonggung, Deoksugung, dan Changdeokgung, namun apa artinya jika aku belum mampu mencapai tempat-tempat itu lantaran memang belum begitu tahu seluk-beluk perjalanan di Seoul? Yang aku perlukan saat itu, bukan rekreasi atau menikmati tempattempat elegan di kota yang menawan itu, namun adalah makanan, setidaktidaknya selama aku sendirian. Sayangnya yang aku beli dan yang ada di dapur apartemenku baru beras dan peralatan sederhana seperti rice cooker, penggorengan, panci, dan cerek. Sementara bumbu-bumbu boleh dikatakan tidak ada selain hanya sambal dan saus tomat botolan yang aku bawa dari Jakarta. Oh ya, masih ada beberapa bungkus mi-tinggal-masak, tetapi, masa iya, hanya mengonsumsi makanan seperti itu melulu? Sungguh saat itu ingin rasanya aku makan masakan seperti jajangmyon atau champong yang dapat dipesan dan lalu diantar oleh orang yang menaiki sepeda motor dengan cheolgabang. Namun, bagaimana caranya? Baru satu-dua kata Korea yang aku tahu, dan seperti sudah kukisahkan, toko maupun restoran banyak yang tutup, maka keinginan makanan yang sedap menurut pengecapanku itu hanya sebatas anganangan. Namun karena rasa lapar tidak dapat lagi aku lawan, dengan sejuta kenekatan dan berbekal bahasa Tarzan, kuberanikan diri turun dari lantai tiga apartemen—tempat tinggalku—menuju ke toko kelontong yang buka. Masih dapat dikatakan beruntung, sebab ada satu-dua toko kelontong kecil di sekitar apartemen yang tetap buka; barangkali karena tidak ada lagi kerabat di kampung, pikirku dalam hati. Atau karena mau menolongku dengan menyediakan makanan untuk aku beli, lanjut duga-dugaku dalam hati. Ketika aku masuk ke toko kelontong itu, dengan ramah penjaga—atau mungkin juga pemilik; aku tak tahu persis—menyapa dan bertanya ini-itu padaku. Tetapi, aku tak mampu membalas kata-katanya atau menjawab, sebab aku memang sungguh tak paham apa yang telah diujarkannya. Kemudian dengan cepat, untuk menghindari “malapetaka� lanjutan, aku segera mengambil dua botol air mineral, selusin telur yang sudah tersedia dalam kemasannya,

96


Merayakan Chusok dengan “Seronok”

dan sebotol minyak goreng. Sudah sejak memutuskan membeli telur itu aku membayangkan bahwa malam itu aku akan berpesta sendirian dengan telur dadar atau ceplok. Setelah aku bayar sesuai dengan jumlah yang ditulisnya di secarik kertas, aku langsung kembali ke apartemen untuk mengatasi rasa lapar yang entah kenapa terasa begitu “elok”. Sebelum ke toko kelontong tadi, aku sudah menanak beras, dan nasi sudah tersedia. Sejurus setelah meletakkan belanjaan di meja dapur, kompor gas aku nyalakan dan kemudian penggorengan aku letakkan di atasnya. Bersamaan dengan memanasnya penggorengan, aku cepat-cepat membuka tutup botol minyak goreng, sementara telur sudah menunggu untuk menyatu dengan temannya, yaitu minyak goreng. Begitu penggorengan memanas, aku tuang minyak goreng ke permukaannya. Namun, apa yang terjadi? “Minyak goreng” itu langsung menguap. Aku coba lagi, dan berulang hal yang sama. Maka aku matikan kompor sebab sudah mulai tercium bau kurang sedap. Aku amati botol “minyak goreng” itu dan aku tidak juga memperoleh jawabannya sebab aku belum mampu membaca huruf Hangeul. Baru setelah aku endus aromanya, dapatlah aku menebaknya. Ternyata yang aku beli adalah cuka yang sepintas—mungkin karena warna botolnya—mirip dengan warna minyak goreng Indonesia yang biasanya berwarna agak kekuningan. Gagallah “pesta” makan malam dengan telur. Yang akhirnya kunikmati hanyalah sepiring nasi dengan saus tomat.

Chuseok dan Tradisinya yang Pokok Itulah nasib yang aku alami ketika liburan Chuseok tiba. Sangat mungkin tentu, ketika aku bermasalah dengan makan malam itu, di pelosok-pelosok Korea justru sedang penuh dengan gelak-tawa maupun cerita-cerita yang diperkaya dengan banyak makanan yang membuat rata-rata mereka berbahagia. Seperti sudah dikemukakan, jika di kampung-kampung atau pelosok Korea penuh keramaian, maka di Seoul berkebalikan: lengang! Yang dilakukan oleh orang-orang Korea pada pertengahan bulan di bulan kedelapan dalam kalender kamariah atau penanggalan berdasarkan hitungan bulan, yang dikenal sebagai Hari Raya Chuseok itu, adalah kembali ke kampung halaman dengan tujuan utama untuk memberikan penghormatan kepada para leluhur atas hasil panen yang diperoleh. Berdasarkan catatan atas fenomena alam yang telah dipahami turun-temurun, malam di bulan purnama pada bulan kedelapan di setiap kalender kamariah itu adalah malam yang paling bercahaya. Jika tidak ada anomali cuaca, artinya tidak ada hujan atau banjir, perayaan Chuseok akan berpuncak pada malam purnama yang gilang-gemilang dan langit kebiruan itu dengan mengerahkan sanak-saudara yang wanita untuk membuat makanan kecil yang bernama songpyeon.

97


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Songpyeon adalah makanan kecil yang pasti hadir dalam setiap menyambut Chuseok. Makanan kecil ini terbuat dari tepung beras hasil panenan yang dibuat menjadi adonan untuk kemudian dibentuk menjadi setengah bulatan. Bentukan adonan yang sedemikian itu kemudian diisi dengan pasta kacang merah, wijen, dan lainnya, tergantung dari ketersediaan bahan maupun kecenderungan yang biasa di suatu tempat. Adonan yang sudah selesai diisi dan dibentuk itu kemudian dikukus dan pada akhir proses diberi minyak wijen. Dalam tradisi Chuseok di Korea, songpyeon yang merupakan makanan istimewa dan paling penting dalam perayaan itu, selalu dibuat oleh para wanita. Dalam kaitan dengan wanita yang masih sendiri atau lajang, selalu ada penekanan atau semacam kepercayaan bahwa siapa saja wanita yang mampu menghasilkan kue atau makanan kecil ini dengan bentuk yang paling indah, niscaya wanita tersebut akan memperoleh jodoh pria yang sangat baik dan pengertian. Oleh, antara lain, sebab yang sedemikian itu, masih sangat banyak para gadis—utamanya—yang membuat atau membentuk kue songpyeon ini dengan bersungguh-sungguh dan dengan hati yang penuh. Selain menyediakan songpyeon dan berkumpulnya keluarga dari paling kurang tiga generasi—jika memungkinkan—ada pula sejumlah kegiatan yang menyertai Chuseok atau yang juga dikenal dengan Hangawi (berasal dari kata “han” yang berarti ‘besar’ dan “gawi” yang berarti ‘pertengahan’) ini yaitu seperti Beolcho, Charye, dan Seongmyo. Ketiga kegiatan atau tradisi ini adalah aktivitas mengenang para leluhur yang telah mereka anggap senantiasa menjaga dan memberikan kelimpahan panen serta mampu mengingatkan mereka terus-menerus untuk selalu memberikan rasa hormat kepada yang telah mendahului mereka. Pada pagi hari, ritual dilaksanakan di rumah dengan mempersembahkan atau menyajikan gabah serta hasil panenan lain seperti buah-buahan (apel, pir, dan yang lain), songpyeon, serta minuman seperti soju, semacam minuman keras yang dibuat dari beras, di sebuah altar persembahan. Ritual seperti inilah yang disebut sebagai Charye. Ketika ritual ini selesai dan semua keluarga telah berkumpul, mereka kemudian menuju ke kompleks pemakaman keluarga yang biasanya berada di perbukitan. Di tempat ini, mula-mula mereka melakukan Beolcho, yaitu membenahi atau membersihkan pemakaman dari rerumputan atau tanaman liar yang telah tumbuh selama musim panas. Setelah kompleks pemakaman menjadi bersih dan rapi, diadakanlah ritual Seongmyo yang merupakan ritual terakhir, berupa perhargaan dan penghormatan secara khusyuk terhadap para leluhur mereka yang telah menurunkan mereka hingga bisa beranak-pinak dan masih bisa tetap memperoleh panenan yang berharga.

98


Merayakan Chusok dengan “Seronok�

Mengingat bahwa dalam merayakan Chuseok mengharapkan adanya pertemuan kembali di antara saudara yang barangkali saja sudah tinggal berpencaran di kota-kota, maka tidaklah mengherankan jika pada perayaan Hari Raya Chuseok ini yang menjadi ramai dan dipenuhi oleh para kerabat adalah daerah-daerah pedesaan atau pedalaman. Agar perayaan yang seperti reuni antar-keluarga ini menjadi semarak, di beberapa tempat sering diadakan pesta dengan sejumlah pertunjukan tradisional. Salah satu permainan yang sangat populer dalam kaitan dengan Chuseok adalah apa yang disebut dengan Ganggangsullae. Permainan tradisional ini dimainkan oleh para wanita yang masing-masing saling berpegangan tangan dan menari dalam bentuk berupa lingkaran. Selain menari, mereka juga menyanyikan “Gang-gang-sullae�. Tarian yang bermula pada tahun 1592 ini diciptakan ketika Korea diinvasi oleh Jepang. Pada waktu itu, untuk memberi kesan bahwa tentara Korea jumlahnya sangat banyak, dikerahkanlah para wanita dengan berpakaian militer dan menari melingkar di sekitar perbukitan. Dengan melakukan strategi atau teknik manipulasi ini, Admiral Yi Sun-shin akhirnya mampu mengalahkan Jepang dalam pertempuran itu. Dalam hubungan merayakan kemenangan semacam inilah maka pertunjukan Ganggangsullae diadakan, sebagai representasi keberhasilan. Jika awalnya bentuk lingkaran itu untuk mengelabuhi Jepang dan akhirnya kemenangan yang diraih, maka dalam konteks Chuseok kemenangan atas daya juang mengolah alam yang menjadi semangatnya.

Berkegiatan di Kota atau Turut ke Desa? Jika kebetulan sedang di Seoul, misalnya, kita harus bertemu dengan perayaan Chuseok ini, sesungguhnya kita tidak perlu pesimis atau merana sebagaimana gambaran di bagian awal tulisan ini. The Korean Toursim Organization (KTO) biasanya mampu mengatasi rasa kesepian atau mungkin kesendirian banyak orang asing yang sedang menetap di Seoul ini dengan berbagai atraksi atau pameran yang digelar. Beberapa tempat yang layak didatangi, utamanya agar kita mempunyai pengetahuan yang lebih baik mengenai masyarakat dan budaya Korea, adalah The Korean Folk Village yang biasanya pada libur Chuseok menyelenggarakan Hangawimaji Keungut atau ritual samanistik. Juga The National Folk Museum, sangat layak didatangi, karena pada saat Chuseok sering diadakan aktivitas yang berkaitan dengan ritual Chuseok. Tentu istana seperti yang sudah disebutkan, yaitu Gyeongbokgung, Changgyeonggung, Deoksugung, dan Changdeokgung pun layak dikunjungi sebab selain tidak tutup, dari pengalaman langsung berinteraksi dengan warisan budaya Korea ini,

99


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

sangat mungkin kita akan memperoleh semangat Korea yang bisa saja berbeda dengan asal kita. Akan tetapi, jika sudah cukup lama di Seoul atau kota lainnya serta sudah mampu menata diri dalam menghadapi kehidupan Korea serta sudah mempunya banyak teman, tidak ada salahnya juga jika kita mencoba “mencicipi� atau bahkan menghayati ritual atau perayaan Chuseok ini di kampung halaman teman Korea kita. Dengan langsung ikut melakukan perjalanan pulang kampung tersebut, yang pada galibnya tidak berbeda jauh dengan tradisi mudik di Indonesia, niscaya kita akan mempeoleh suasana, wawasan, perbandingan, dan pengertian yang bernuansa antar-budaya dengan baik. Pengalaman berdesak-desakan di kereta atau mengalami kemacetan di jalanbebas-hambatan serta menyaksikan panorama pedalaman Korea yang menawan, maupun menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan pelaksanaan ritual yang bersifat mengenang dan menghormati leluhur di waktu Chuseok ini tentu akan menjadi catatan dan kenangan yang “seronok�. Depok, Mei 2011

100


CATATAN DI HWARANGDAE M. Yoesoef

Kawasan Hwarangdae tahun 2000 adalah satu permukiman masyarakat Seoul yang sedang membangun. Stasiun subway Hwarangdae terbilang baru saat itu, sebuah jalur baru yang menghubungkan pinggiran utara Seoul dengan pusat kota. Dari koridor itulah saya dan istri, memulai mengenali masyarakat dan budaya Korea. Dari kawasan itu pula kami memasuki budaya Korea dengan penuh perhatian. Setelah tujuh jam penerbangan dari Bandara Internasional Soekarno Hatta menuju Bandara Internasional Gimpo, Seoul hari masih pagi dan udara di Gimpo terasa sejuk dengan angin yang lumayan keras menerpa wajah. Sesaat setelah berurusan dengan imigrasi dan mengemas barang bawaan dari Jakarta, kami disambut dua orang mahasiswa Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies (HUFS). Dengan kendaraan pribadi milik salah seorang dari mahasiswa itu, kami menuju ke apartemen. Kesan pertama yang segera muncul dalam benak adalah ketika menelusuri jalan di Seoul dari bandara Gimpo menuju apartemen: lengang, tenang, nyaman, aman, dan tentu saja menyenangkan. Perjalanan itu sangat berbeda dengan delapan jam sebelumnya: Depok—Cengkareng. Sepanjang perjalanan menunju apartemen, tak terlihat sepeda motor berlalu lalang dan menyalip ke kiri-kanan mobil. Sepanjang jalan itu, selain hanya kendaraan pribadi dan bus yang berjaya di jalan raya yang licin tanpa lubang, juga trotoar tampak bersih dan tertata rapi. Inilah Seoul! Satu jam telah berlalu. Sampailah kami di apartemen yang disediakan di

101


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Gongneung-dong, sebuah kawasan di wilayah utara kota Seoul. Di situ juga terdapat universitas yang mengkhususkan diri pada bidang teknologi (seperti ITB di Indonesia) dan sebuah univeritas khusus perempuan: Ehwa Women University. Di apartemen itu, kami disambut satu keluarga dari Malaysia yang juga mengajar di HUFS. Dia satu tahun lebih awal dibandingkan saya. Dalam sekejap perasaan asing di negeri orang seolah-olah terpupus dengan sambutan teman dari Malaysia itu. Menghabiskan hari pertama di Seoul, kami disibukkan dengan meneliti dan mendaftar segala macam keperluan, mulai dari perabot dapur, keperluan cuci baju, dan lain-lain yang berkaitan dengan perkakas dapur sehari-hari. Keletihan fisik, setelah menempuh perjalanan dan dengan segala perasaan yang campur aduk dalam mengalami berbagai-bagai hal untuk kali pertama itu, akhirnya keletihan merajai fisik dan pikiran saya. Maka, satu-satunya yang harus dilakukan adalah beristirahat dan tidur. Malam pertama di Seoul. Dua tahun. Itulah waktu yang tersedia. Kami tentu saja harus mempersiapkan mental dan fisik untuk menghadapinya. Untuk mengatasi masalah komunikasi berbahasa, seorang mahasiswa HUFS mengajari saya mengenali aksara Korea yang disebut Hanggeul, yang diciptakan oleh Raja Sejong (1418-1450). Kata-kata yang penting untuk berkomunikasi secara instan pun dipelajari dengan cara mendengar, menuliskan dalam aksara Latin, dan melafalkannya. Di antara kata-kata itu adalah olmayeyo (kata tanya untuk menanyakan harga suatu barang), neil (hari ini), anyonghaseo (kata sapaan), pang (roti), mul (air), wencok, orencok (kiri dan kanan), dan sejumlah kata lain yang kerap digunakan dalam perkara kegiatan sehari-hari. Akibat belajar aksara itu, ada perilaku saya yang kemudian menjadi kebiasaan, yaitu membaca huruf-huruf Korea di sepanjang jalan manakala saya naik kereta bawah tanah atau ketika naik bus kampus dari Imun-dong ke Kampus Yong-in. Jadi, hampir setiap toko di sepanjang jalan itu tak satu pun yang luput dari pengamatan. Awalnya memang susah, tetapi karena sering melewatinya, maka lama-kelamaan, bisa juga membaca huruf-huruf itu kendati tidak tahu apa artinya. Dari membaca huruf di toko-toko, tahapan berikutnya adalah membaca dari suratkabar kampus atau suratsurat kabar yang tersedia gratis di setiap stasiun yang berbahasa Korea.

102


Catatan di Hwarangdae

Budaya di Meja Makan Sebagai orang asing dalam kehidupan masyarakat dan budaya baru, proses pengenalan terjadi setiap saat. Dari hari ke hari, frekuensinya semakin intens. Lalu, “terjun bebas� pun dilakukan ke dalam kehidupan masyarakat dan budaya Korea. Pengalaman itu antara lain dalam hal cara makan. Masyarakat Korea mempunyai kebiasaan makan bersama, baik di rumah maupun di luar rumah. Di rumah, tradisi makan untuk keluarga dijadikan sarana untuk berkomunikasi antaranggota keluarga. Di luar rumah, tradisi makan bersama dilakukan antarkawan sekantor atau untuk menjamu relasi. Sajian di atas meja makan antara lain adalah masakan ikan, daging sapi, mie, lalapan, dan sambal. Sementara itu, bagi mereka yang tidak bermasalah makan daging babi, hidangan daging babi dengan aneka macam masakannya, adalah salah satu menu favorit.* Tidak ketinggalan tentunya nasi putih yang menggiurkan serta peralatan makan, seperti sendok dan sumpit. Dari meja makan itulah saya mengenali cara makan dan budaya orang Korea. Meja makan adalah sarana untuk bersosialisasi, mengobrol yang mengalirkan dari satu topik pembicaraan ke topik yang lain, di sela-sela itu tangan dan lidah terus beraktivitas menikmati hidangan. Satu hal lagi yang tak pernah tertinggal dari peristiwa di meja makan itu adalah satu sama lain menuangkan minuman khas Korea, soju. Melalui soju keakraban dibangun dan kepenatan diluruhkan. Melalui hidangan di atas meja, dengan cara mengeroyok makanan dari satu piring, orang Korea bersatu sambil bercengkerama. Tak jarang setelah makan di restoran, kongkow dilanjutkan di cafe dengan menu utama minum soju atau minuman beralkohol lainnya yang biasanya hingga dini hari. Hal lain yang menarik soal makanan Korea adalah kesan pertama jenis makanan laut, yaitu ikan, sotong, kerang, gurita, abalon; jenis makanan binatang peliharaan, seperti sapi, babi, dan ayam; jenis sayuran antara lain sawi, cabe, tomat, paprika, sejenis seledri, dan sayuran yang bisa disebut lalapan; jenis umbi-umbian seperti kentang, ubi, bit; jenis bumbu dan makanan penyedap antara lain bawang putih, bubuk cabai merah, kecap, selai cabe merah. Makanan itu diolah menjadi sup, oseng-oseng, gorengan. *

Babi bagi masyarakat Korea adalah binatang simbol keberuntungan. Daging babi paling disukai, selain konon sangat enak, juga harganya murah. Meskipun daging babi sebagai makanan favorit, masyarakat Korea punya toleransi tinggi. Mereka tidak bakal menawari makanan itu jika teman makannya orang Indonesia, Brunei, atau Malaysia. Kebanyakan orang Korea menganggap, orang Indonesia itu beragama Islam. Jadi, pasti tidak makan daging babi. Tetapi, untuk acara minum soju, mereka tetap coba menawari untuk minum barang seteguk dua teguk. Jika tetap menolak, mereka menawari minuman lain yang tidak mengandung alkohol.

103


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Untuk penyegar mulut tidak tertinggal buah-buahan seperti pir, pisang, semangka, anggur, peach, kesemek. Berbagai jenis mie dimakan oleh orang Korea dan kebanyakan orang sangat menyukai jajangmeon yang konon, itulah satu-satunya makanan dari bahan mie yang dinobatkan sebagai warisan budaya nenek moyang bangsa Korea. Untuk mendapatkan makanan itu tidak sulit karena di mana-mana pelosok kota terdapat deretan restoran dan kios-kios yang menjual jenis-jenis makanan itu. Jika pagi atau sore tiba, waktunya makan makan pagi dan makan malam, hampir setiap restoran ramai oleh pengunjung, baik kelompok anak-anak muda, pegawai maupun keluarga. Korea memiliki empat musim dan untuk setiap musim terdapat makanan khas musim tersebut, yang tidak ada di musim lainnya. Salah satunya adalah naengmeon, makanan khas pada musim panas, yaitu mie putih yang kuahnya dingin, karena dicampur dengan es batu. Pada musim ini juga, makanan yang banyak dijual adalah samgyetang sejenis sup ayam sup yang terbuat dari daging ayam utuh yang diisi ginseng, hedysarum, nasi manis, jojoba, bawang putih dan kacang berangan. Beberapa jenis makanan yang menjadi favorit dan banyak dijadikan menu utama di restoran-restoran adalah kimchi bukembab, bulgogi, bibimbab, rabokki, yukaejang, galbi, dan tokbokki. Hampir semua restoran Korea selalu menghidangkan makanan-makanan khas Korea itu, sebelum pesanan utama datang. Layanan pesan-antar dari restoran menjadi satu ciri khas untuk memuaskan pelanggan. Sebuah sepeda motor ‘bebek’ bermerek “Halim” menjadi andalan yang berlalu lalang saat jam makan siang. Dengan tangan kanan memegang stang dan tangan kiri memegang makanan pesanan, pengantar makanan itu menjalankan motornya kadang kala ngebut atau perlahan-lahan menyusuri trotoar. Itulah salah satu hal lain lagi yang menjadi kekhasan Korea.

Kesantunan Korea Keramahan orang Korea yang sempat kami dapatkan adalah dari orangorang tua, yang kami kenal melalui sebutan ajjumma dan ajjossi. Di dekat apartemen ada sebuah toko roti. Kami biasa membeli roti untuk sarapan di toko itu. Suatu ketika, anak kami yang masih berumur satu tahun kami bawa dengan kereta bayi ke toko itu. Setelah membayar untuk sejumlah roti, kami kemudian diberi tambahan satu bungkus roti. Dengan bahasa isyarat, ajjumma itu menunjuk kepada anak perempuan kami. Sepatah kata dalam bahasa Inggris terucap dengan logat Korea, “Service!” Mengertilah kami bahwa roti itu adalah hadiah untuk anak kami. Kami pun membungkuk sambil mengucap-

104


Catatan di Hwarangdae

kan komapsemidah ‘terima kasih’ dan ajjumma itu pun tersenyum gembira mengantarkan kami ke luar toko. Tidak dilupakan pula ucapan untuk kembali lagi dalam bahasa Korea. Secuplik pengalaman dan kenangan akan keramahan itu terukir, bahwa masyarakat Korea adalah masyarakat yang santun dan menghargai tamunya. Berbicara tentang kesantunan masyarakat Korea dapat pula kita melihatnya dari perilaku para penumpang kereta bawah tanah (subway). Di setiap gerbong pada tempat duduk di kedua ujung gerbong tersedia tempat duduk khusus untuk lansia, anak-anak, dan ibu hamil. Merekalah yang berhak duduk di kursi itu, sehingga tak seorang pun laki-laki dan perempuan yang tidak tergolong “orang khusus� tadi akan duduk di kursi itu. Ketaatan yang bermuara pada kesantunan itu tentu saja berkaitan dengan sikap budaya mereka yang menempatkan guru, orang tua dan senior sebagai orang-orang yang harus dihormati. Hal tersebut tentu saja tak akan terjadi di KRL Jabotabek di Tanah Air. Semua yang terjadi dan diperlihatkan masyarakat Korea itu berkait pula dengan budaya taat aturan, keinginan menjaga tertib sosial, dan semangat untuk mementingkan orang lain daripada kenyamanan diri sendiri. Apabila kita membandingkan secara kasuistis antara kesantunan orang Indonesia dengan kesantunan orang Korea itu, maka betapa kesantunan bangsa kita hanya sebatas berada di bibir saja dan tidak dalam perbuatan. Sangat boleh jadi masalahnya juga bermuara pada sikap pemerintah, lebih khusus lagi para penegak hukum kita yang kerap mempermainkan hukum dan aturan, di samping juga sikap masyarakat kita yang kurang menghargai orang tua.

Kesadaran Budaya Dalam bidang kebudayaan, satu hal yang kuat diperhatikan oleh masyarakat dan pemerintah Korea adalah kesadaran untuk memelihara warisanwarisan budayanya. Usaha itu bersinggungan pula dengan kebijaksanaan pemerintah dalam membangun ruang publik, penataan kota, pariwisata, dan kehidupan masyarakat sehari-hari. Warisan budaya yang bersinggungan dengan tata kota terlihat dengan dipeliharanya bangunan-bangunan tua, seperti Dongdaemun, Namdaemun, istana Toksugung sebagai bangunan-banguna peninggalan Dinasti Joseon, yang sekaligus menjadi ikon Seoul. Di pinggiran kota Seoul terdapat sebuah desa tradisional Korea yang terpelihara dan menjadi daya tarik pariwisata. Dalam hal makanan, gimchi dan makanan tradisional lainnya adalah warisan kuliner nenek moyang yang bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari. Warisan-warisan itu secara terintegrasi menjadi objek pariwisata yang dijual kepada para wisatawan domestik dan

105


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

mancanegara. Kesenian yang menjadi pilar perekat masyarakat ditampilkan di gedung-gedung pertunjukan modern dan di televisi secara berkala, misalnya kesenian gayageum. Sementara itu, budaya bertani dalam sistem pertanian, masyarakat Korea sangat mempertimbangkan keniscayaan perubahan cuaca yang ditandai dengan perubahan musim, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Dengan memperhatikan perubahan alam yang terjadi dalam keempat musim itu, pertanian Korea ternyata mampu meningkatkan pendapatan dan ekonomi masyarakat, sehingga para petani menjadi pemasok utama sayur mayur, buah-buahan, dan hasil pertanian lainnya untuk dijual di supermarket-supermarket, baik Carrefour, E-Mart, maupun toko-toko bahan makanan di sepanjang jalan di kota Seoul. Di pasar tradisional Cheongyangni, misalnya, para ajjumma-ajjusi memenuhi trotoar dan pnggir-pinggir jalan dengan masing-masing barang dagangannya berupa hasil ladang dan laut senantiasa memperlengkapi kebutuhan sehari-hari masyarakat Korea. Hal itu bersandingan dengan tumbuhnya industri manufaktur yang menghasilkan barang-barang elektronik, kendaraan, alat-alat kantor, dan barang-barang rumah tangga. Teknologi Korea dalam waktu dua dekade mampu menyaingi teknologi Jepang dan Amerika. Perkawinan antara budaya tradisional dan budaya industri modern menjadi kekuatan bangsa Korea. Infrastruktur jalan dan jaringan kereta api bawah tanah terus bertambah dengan kualitas layanan yang nyaris sempurna. Hampir semua bagian di Seoul terjaring oleh jaringan subway, hampir semua kota terhubung oleh jalan bebas hambatan yang lurus, rata, dan tak berlubang. Apartemen-apartemen yang menjulang dan tertata dalam kompleks menjadi hiasan kota. Meski harganya sangat mahal, di apartemen-apartemen itulah masyarakat mendapatkan tempat berteduh, dan tempat pulang: ruang untuk keluarga. Inilah satu bukti pemerintah dan manusia Korea bekerja untuk rakyat dan bekerja dengan hati dan pikiran yang sehat. Semua itu terpulang pada budaya yang menempatkan layanan terbaik kepada masyarakat sebagai bagian dari sikap hidup. Untuk menghibur diri dan berekreasi, masyarakat Seoul dapat mendatangi tempat-tempat umum yang nyaman dan menyegarkan, antara lain Samsungmall, toko buku Kyobo, Seoul Land, menara Namsan, Seoraksan, di samping taman-taman kota dan tempat-tempat berolahraga dan rekreasi murah. Lihat saja sungai-sungai yang ada di Seoul. Sepanjang pinggir sungai, dibangun jalan-jalan yang tidak terlalu lebar khusus untuk berolahraga sepeda, sepatu roda atau sekadar joging. Di sebalh jalanan pinggiran sungai itu, dibangun pula taman-taman untuk beristirahat atau sekadar duduk-duduk santai. Kawasan sepanjang sungai Han (Han Gang), misalnya, adalah tempat

106


Catatan di Hwarangdae

paling favorit untuk masyarakat Seoul. Senang, sedih, susah, frustasi, penat, dan segala macam persoalan rasa yang dihadapi masyarakat Seoul semuanya tertumpah di Sungai Han. Itulah Seoul! Itulah Korea! Depok, 4 Mei 2011

107


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

108


Catatan di Hwarangdae

BAGIAN IV POTRET TRADISI DALAM SENI

109


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

110


TRANSFORMASI TRADISI MASYARAKAT KOREA Nur Aini Setiawati

Sejarah menunjukkan bahwa manusia penghuni pertama di Semenanjung Korea telah terjadi pada 30.000 dan 20.000 SM. Dalam perkembangannya, sekitar 1500 SM-300 SM di Korea mulai terbentuk masyarakat yang bercocok tanam menjadi masyarakat yang menetap dengan membuka dan menguasai wilayah yang luas. Pada saat itu, masyarakat mulai berkehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Pada zaman Mumun Muda sekitar 550 SM-300 SM, bukti arkeologi menunjukkan telah dilakukan upacara kematian penguburan dan pembacaan doa-doa bagi orang yang memiliki status tinggi.24 Kondisi ini menunjukkan, bahwa dalam perkembangan sejarah telah terjadi proses transformasi budaya masyarakat dari tingkat yang paling sederhana yaitu bercocok tanam, budaya bersosialisasi antarmasyarakat ke budaya upacara kematian yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Salah satu karakteristik khas yang paling mendasar dari budaya Korea adalah penekanan pada konsepsi khusus dari hubungan-manusia dengan kekuatan yang mereka percayai yang muncul berdasarkan kesadaran masyarakat. Pertemuan ajaran animisme dan dinamisme yang mereka yakini dengan transformasi melalui tiga karakteristik, yaitu kesadaran U-RI (kita), kesadaran keagamaan-surga, dan cara penyatuan dengan Tuhan. Ketiga karakteristik ini dapat dilihat melalui tradisi Chujahak (Neo Konfusianisme) dengan mitos “Tan’gun Wagon”dan agama Buddha yang banyak dianut masyarakat. Hubungan internal antara akumulasi tradisi keagamaan yang hidup sepanjang sejarah Korea dan mitos mitos Korea, menjadi salah satu inti yang paling penting dari sebuah pandangan orang Korea. Tokoh mitos Korea, Tan’gun Wanggom yang lahir dari dewa langit di kaki Gunung Baek-du dipercayai sebagai pendiri kerajaan yang pertama yaitu Gojoseon (Choson Kuno) pada tahun 2333 Sebelum Masehi. Tan’gun adalah

24

Carter J. Eckert, (eds). Korea Old And New: A History. (Seoul: Ilchokak, 1990), hlm 2.

111


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

putra Hwanin yang dipercaya oleh masyarakat Korea diturunkan dari surga. Hal ini memperlihatkan bahwa dia mengkombinasikan dirinya sebagai fungsi politik dan agama dalam tokoh tunggal (single personage).25 Walaupun legenda Tan’gun hanya sebuah mitos yang kurang didukung fakta-fakta sejarah, legenda tersebut justru menjadi kebanggaan bangsa Korea sebagai bangsa yang memiliki sejarah dan kebudayaan tertua. Oleh karena itu, bangsa Korea tetap melestarikan legenda tersebut untuk dijadikan sumber kebangkitan spiritual bagi bangsa Korea saat menghadapi krisis nasional. Dalam kondisi krisis nasional diperlukan pemimpin intelektual yang tangguh yang dapat mengubah alam pikiran masyarakat agar tidak tejebak dalam pikiran-pikiran mitos yang dapat menghambat kemajuan zaman. Pemimpin intelektual penting mengarahkan masyarakat dalam aktivitas kultural yang meliputi hasil berupa, antara lain, sejarah, filsafat, kesenian, dan kesusastraan. Hal ini dilakukan dalam usahanya untuk mencari identitas nasional suatu negara. Pemimpin intelektual tidak hanya melestarikan kebudayaan tradisional, namun juga menginterpretasikan sumber-sumber kultural dengan perspektif yang baru. Pada saat ini, nilai-nilai tradisional sering menjadi hambatan bagi proses modernisasi. Oleh karena itu, perlu disusun model budaya yang mencerminkan tipe ideal masyarakat dalam usahanya mencari identitas nasional. Dalam perkembangan sejarah saat ini, Korea secara terus-menerus menyesuaikan diri kepada arus globalisasi yang berubah dengan cepat, baik secara material, maupun spiritual.

Tradisi sebagai Sebuah Konsep Tradisi adalah hasil pikiran dan tingkah laku manusia yang dilakukan terus-menerus dalam masyarakat berdasarkan norma dan ajaran hidup yang baik. Tradisi terbagi dalam dua jenis, yaitu tradisi lisan dan tradisi tulisan. Jan Vansina mendefinisikan tradisi lisan sebagai pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini. Pesan verbal itu harus berupa pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan atau diiringi alat musik.26 Dengan demikian, tradisi lisan perlu disampaikan melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jejak tradisi lisan dapat diketahui dari folklor, mitologi, legenda, upacara, dan nyanyian yang ada dalam masyarakat.

25 26

Ibid., hlm. 11. Jan Vansina, Oral Tradition as History (James Currey Publishers, 1985), p. 27-29.

112


Transformasi Tradisi Masyarakat Korea

Adapun yang dimaksud dengan tradisi tulisan adalah segala kejadian masyarakat yang telah ditulis. Tradisi tulisan disebut juga dengan tulisan sejarah atau historiografi. Historiografi adalah tulisan sejarah yang didasarkan pada sudut pandang dan berbagai faktor sosial, politik, budaya, ekonomi, dan agama. Jejak sejarah ini dapat dilihat pada prasasti, syair, babad, dokumen pemerintah, surat kabar dan majalah, catatan harian dan lain-lainnya. Tradisi tulis di Korea dimulai sejak zaman dinasti Kogoryo pada tahun 39-668 (abad ke 4) dan berkembang hingga dinasti Chosun. Oleh karena itu, tradisi yang ada dalam masyarakat mengalami suatu perubahan dan transformasi sesuai dengan perkembangan zaman. Mengenai tradisi untuk suatu perubahan dan transformasi sosial perlu mengerti konteks sejarah dari bidang studi budaya. Berdasarkan catatan sejarah, Korea memiliki beragam tradisi yang unik. Tradisi yang dianut oleh masyarakat merupakan salah satu aspek yang turut menjadi pendukung utama terbentuknya budaya suatu masyarakat. Oleh karena itu, cara berpikir masyarakat Korea merupakan kunci untuk memahami budaya dan kehidupan masyarakat Korea.

Perspektif Historis Masyarakat Korea memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan yang diyakini. Oleh karena kebebasan itulah mewujudkan keberagaman agama yang diyakini dengan berbagai kepercayaan yang dianut dalam masyarakat. Shamanisme, Konfusionisme, Buddhisme, Taoisme merupakan kepercayaan yang paling mempengaruhi pemikiran masyarakat Korea. Hal ini mengakibatkan agama dan kepercayaan masyarakat Korea itu selanjutnya membentuk berbagai macam tradisi yang ada di Korea, seperti tradisi Korea gut (ritual gaib) dan talchum (tari topeng). Tradisi tentang ritual gaib yang ada di Korea itu, dapat dijelaskan dengan teori dari sebuah tradisi. Fernand Braudel mengatakan, bahwa sejarah merupakan akibat yang berlangsung perlahan dan tidak segera terasakan dari pengaruh ruang, waktu, dan iklim, serta teknologi dan tindakan manusia pada waktu yang lampau.27 Demikian pula, tradisi di Korea masih dipergunakan di masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang, meskipun tradisi telah mengalami perubahan. Menurut Lim Jae-Hae, tradisi gut merupakan produk pemikiran ritual keagamaan-shamanistik yang mengandung unsur artistik dan sosial; talchum adalah produk seni pemikiran humanistik yang mengan-

27

Fernand Braudel.The Mediterranean and Mediterranean World in the Age of Philip II. Glasgow: W illiam Collins, 1973.

113


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

dung unsur shamanistik dan sosial, dan Madang geuk merupakan produk reformasi pikiran ilmiah sosial yang mengandung shamanistik dan unsurunsur yang artistik.28 Shamanisme merupakan kepercayaan paling tua yang telah membentuk pikiran dan kehidupan masyarakat Korea sejak ribuan tahun yang silam meski pada saat ini praktiknya telah berkurang. Shamanisme merupakan kepercayaan asli rakyat Korea yang menggabungkan kepercayaan dan praktik yang dipengaruhi agama Buddha dan Taoisme. Dalam bahasa Korea, shamanisme disebut mu (무 ) dan sang pemraktik disebut mudang (무당 ). Shaman mengadakan gut atau upacara persembahan untuk melakukan penyembuhan, mendatangkan keberuntungan, serta menjadi perantara antara manusia dan dewa dengan cara kerasukan. Upacara gut juga diadakan untuk membimbing arwah orang yang sudah meninggal menuju surga.29 Ciri-ciri shamanisme Korea adalah dengan pengadaan upacara gut yang beraneka ragam untuk melakukan kontak antara manusia dan alam roh. Profesi shaman biasanya cukup dapat menghasilkan banyak uang di Korea. Tradisi supranatural dalam masyarakat ditunjukkan oleh adanya kepercayaan pada dewa-dewa. Di provinsi bagian tengah Korea Selatan, penduduk desa menggunakan Dodang-gut. Mereka mempersembahkan korban atau memiliki gut yang dilakukan untuk dewa desa setiap tahun minimal sekali yaitu sekitar tahun baru imlek atau di musim panas atau musim gugur. Pada saat itu juga mereka berdoa untuk memohon kemakmuran dan kelimpahan pangan bagi masyarakat desa. Di beberapa desa orang menggunakan Wido Ttibaegut yang merupakan salah satu cara untuk mengekspresikan kepercayaan dewa desa. Tujuan ritual ini adalah untuk memohon keberuntungan dan kemakmuran bagi para nelayan. Upacara seperti ini memerlukan biaya yang besar untuk penyelenggaraannya. Oleh karena itu, pada perkembangannya tradisi gut berubah menjadi talchum. Sejak tahun 1970-an, tradisi talchum berkembang lagi dengan diadakannya talchum di banyak perguruan tinggi. Tujuan pertunjukan ini diadakan oleh kaum terpelajar sebagai usaha untuk mempertahankan budaya asli dari Korea. Di samping itu, juga untuk melawan segala macam kebudayaan Barat yang komersial dan liberalis dan juga untuk melestarikan kebudayaan asli Korea. Bahkan, kaum terpelajar mempertunjukkan talchum untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang memerintah saat itu.30 28

29 30

Lim Jae-Hae, “Tradition in Korean Society: Continuity and Change” in Korean National Commission for UNESCO, Korean Anthropology: Contemporary Korean Culture in Flux (Seoul: Hollym Corporation Publisher), hlm. 14-15. http://id.wikipedia.org/wiki/Shamanisme_Korea, Akses 12 Juni 2011. Lim Jae-Hae , Op.Cit., hlm. 9-14.

114


Transformasi Tradisi Masyarakat Korea

Pada tahun 1980-an talchum yang dikembangkan di universitas membentuk model yang lebih menarik karena ceritanya diangkat dari kehidupan masyarakat yang masih ada dalam kehidupan sehari-hari. Model-model yang dikelompokkan dalam grup tari topeng memfokuskan pada gut (ritual perdukunan), pungmul (musik nelayan), minjo (musik rakyat). Di Seoul ibu kota Korea Selatan, grup talchum seperti itu sering digelar di tempat kesenian yang terbuka untuk umum seperti di Daehangno. Di tempat itu madang geuk (drama outdoor), yang merupakan organisasi yang lebih besar yang juga dibentuk oleh kaum terpelajar karena tidak puas dengan grup-grup kesenian kecil yang sering tampil secara terbuka. Drama dalam model outdoor itu menampilkan kritik sosial yang menggambarkan realitas politik saat itu dengan diiringi lagu-lagu baru. Pertunjukan ini menjadi populer di kalangan masyarakat luas dan bahkan talchum ini membawa perubahan-perubahan besar dalam bidang seni talchum, karena model tari dan lagu-lagunya tampak adanya akulturasi dengan budaya modern yang disertai kritik-kritik sosial. Pada pertengahan tahun 1980-an, pergerakan budaya itu bergeser yang memfokuskan bangkitnya talchum untuk penyajian Madang geuk yang selanjutnya kembali ke Madang gut (ritual udara terbuka) atau daedong nori (hiburan harmoni besar).31 Perubahan ini disebabkan adanya realitas sistem sosial dan politik yang mengalami perubahan, yaitu gerakan perubahan menuju reformasi politik, sosial, ekonomi dan juga merupakan sebuah gerakan yang melawan ideologi pemerintah. Pandangan ini mengarahkan pada gerakan reformasi yang menuntut terwujudnya budaya demokrasi di segala aspek. Gerakan kebudayaan ini juga memperkenalkan minjung (budaya populer). Budaya ini diperkenalkan seiring dengan berjalannya gerakan demokrasi. Gerakan ini bertujuan untuk mendapatkan kedamaian, ketenteraman, dan liberalisasi. Dengan demikian, dapat diketahui pergeseran gerakan kebudayaan terus berjalan sesuai dengan fenomena dalam perkembangan sejarah. Perubahan tradisi masyarakat didorong oleh tujuan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dan perubahan dalam memahami realitas yang ada. Orang berpikir bahwa semua persoalan yang ada dalam kehidupan mereka dapat diselesaikan dengan kekuatan supranatural, seperti menggunakan roh melalui mudang. Pikiran ini berkembang sesuai dengan kemajuan aktivitas manusia, khususnya setelah munculnya konfusionisme yang mempengaruhi pikiran masyarakat Korea dalam berbagai aspek kehidupan. Pemecahan masalah kehidupan dapat teselesaikan sesuai dengan perkembangan zaman.

31

Lim Jae-Hae, Op.Cit. hlm. 11-13.

115


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Penutup Globalisasi dan modernisasi yang sedang dialami oleh Korea memiliki dampak besar terhadap transformasi tradisi di Korea. Perubahan ini juga berdampak pada kehidupan religius yang didasarkan shamanisme dan konfusionisme. Masyarakat modern juga menganggap shamanisme sebagai tahayul dan menekan kehidupannya, sehingga tradisi ini telah mengalami banyak perubahan yang dapat dilihat dari isi atau model yang sering ditampilkan dari tradisi shamanisme. Akan tetapi, perubahan yang dialami oleh masyarakat Korea tidak menghilangkan nilai-nilai budaya asli bangsa Korea yang telah berabad-abad dan yang sudah mendarah daging sejak zaman dahulu. Meskipun nilai-nilai tradisional semakin menghilang karena masyarakat semakin modern dan berpikir rasional, pada kenyataannya nilai yang terkandung di dalamnya terus beradaptasi menyesuaikan dengan perubahan yang ada. Di satu sisi, tarian, lagu, dan syair mantra yang terdapat dalam upacara persembahan telah dimasukkan sebagai aset budaya bangsa yang tetap dilestarikan.

BIBLIOGRAFI Braudel, Fernand.The Mediterranean and Mediterranean World in the Age of Philip II. Glasgow: William Collins, 1973 Eckert, Carter J. (eds), Korea Old And New: A History. Seoul: Ilchokak, 1990. Korean National Commission for UNESCO, Korean Anthropology: Contemporary Korean Culture in Flux. Seoul: Hollym Corporation Publisher. Vansina, Jan, Oral Tradition as History. James Currey Publishers, 1985.

116


Transformasi Tradisi Masyarakat Korea

CERITA RAKYAT KOREA—INDONESIA: PEMBENTUK KARAKTER Maman S Mahayana

Benarkah cerita rakyat dapat digunakan sebagai pembentuk karakter? Tidakkah pemikiran ini terkesan hiperbolis; berlebihan? Bagaimana mungkin cerita rakyat yang fiksional dan irasional itu dapat berfungsi semacam ideologi? Sejumlah pertanyaan lain untuk menegaskan keragu-raguan itu tentu saja masih dapat diajukan dan skeptisme itu bukanlah hal yang berlebihan mengingat masyarakat dunia dewasa ini sudah melompat jauh ke depan meninggalkan banyak hal yang berbau tradisional. Meskipun begitu, tentu saja kita punya hak untuk coba menawarkan gagasan ini. Bahwa ada yang orang setuju atau tidak setuju, itu persoalan lain lagi. Mari kita coba telusuri! /1/ Sekarang marilah kita coba memasuki dunia cerita rakyat Korea32 dan Indonesia.33 Bagaimana cerita rakyat itu menawarkan hiburan dan sekaligus

32

33

Ucapan terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang tinggi, saya sampaikan kepada Prof Koh Young Hun yang telah melibatkan saya dalam usahanya menerjemahkan 10 cerita rakyat Korea ke dalam bahasa Indonesia. Dari ke-10 cerita rakyat itu, dalam tulisan ini, saya akan coba membicarakan empat cerita rakyat Korea, yaitu (1) Nyanyian Katak Hijau 글 이상배 / 그림 김동성 karya Lee Sang Bae, (2) Sim Cheong, Si Anak Patuh 효녀 심청 글 이미애 (diceritakan kembali oleh Lee Me Ai), (3) Heungbu dan Nolbu, Kakak Beradik 흥부 놀부 글 송재찬 (diceritakan kembali oleh Song Jae Chan), dan (4) Kacang Kedelai dan Kacang Merah 콩쥐 팥쥐 (diceritakan kembali oleh Lee Gyu Hee). Cerita rakyat Indonesia (Nusantara) yang akan dibicarakan, antara lain, (1) Si Malin Kundang (diambil dari situs Cerita Rakyat Nusantara, disederhanakan lagi oleh Maman S Mahayana) dan (2) Batu Menangis (Cerita Rakyat Minangkabau, diambil dari Djoko Dwinanto, Batu Menangis, Kumpulan Cerita Rakyat Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, cetakan pertama, 1997), (3) Anak Gadis yang tak Menurut Amanat (Zuber Usman, Dua Puluh Dongeng Anak-anak, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, Cetakan pertama, 1948), (4) Bawang Merah dan Bawang Putih (diambil dari situs Cerita Rakyat Nusantara, disederhanakan lagi oleh Maman S Mahayana), (5) Ki Satu dan Ki Dua (Zuber Usman, Dua Puluh Dongeng Anak-anak, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, Cetakan pertama, 1948).

117


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

juga pendidikan, ajaran moral dan etika, bahkan juga pengetahuan.34 Lebih daripada itu, cerita rakyat ini juga berfungsi sebagai alat untuk menegaskan ajaran moral, melegitimasi kekuasaan, memberi penyadaran akan masa depan, dan mengukuhkan kejatidirian—eksistensi kedirian warga masyarakat sebagai bagian dari sebuah komunitas budaya.35 Cerita Nyanyian Katak Hijau menggambarkan kisah seekor anak katak jantan yang sikap dan perilakunya selalu bertolak belakang dalam menjalankan perintah ibunya. Jika ibunya menyuruh pergi ke barat, ia makah pergi ke timur. Ketika hujan lebat dan banjir datang, ibunya akan berkata, “Nak, jangan bermain-main di pinggir sungai, berbahaya! Bermainlah di perbukitan.” Maka, seketika itu juga, anak katak itu justru langsung melompat ke sungai: “Plung!” menyelam, mempermainkan air, sambil, tentu saja, meledek ibunya. Ketika ibunya mengajarinya bernyanyi supaya suaranya lebih merdu: Kungkong, kungkong ~ kungkong, kungkong! Maka si anak katak itu akan menirukannya dengan bernyanyi: Kongkung, kongkung ~ kongkung, kongkung! Begitulah kelakuan anak katak, kerap bertentangan dengan yang diperintahkan ibunya. Menyadari anaknya selalu melakukan tindakan yang berlawanan dengan perintah ibunya, pada suatu saat, ketika si ibu katak jatuh sakit, ia berpesan kepada anaknya sebagai berikut: 34

35

Horatio menempatkan fungsi sastra sebagai pendidikan yang menghibur (“puisi itu indah dan berguna –dulce et utile) yang dikatakan Edgar Allan Poe sebagai didactic heresy –sastra berfungsi menghibur dan sekaligus juga mengajarkan sesuatu. Lihat Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta, Jakarta: Gramedia, 1995, hlm. 24—25. Dalam kesusastraan keraton, fungsi legitimasi itu tampak dari penggambaran tokohtokohnya yang mahasempurna, mahasakti, dan terlahir dari keturunan dewa. Dalam masyarakat modern, pola seperti ini juga digunakan untuk menciptakan dan membangun citra (image). Iklan-iklan produk kecantikan, company profile, atau bahkan kekuasaan politik pemerintah menggunakan pola seperti itu untuk membangun citra. Politik yang dijalankan Pemerintahan Orde Baru di Indonesia selama tiga dasawarsa menjadi pemerintahan yang kuat dan berwibawa, salah satunya berkat politik pencitraan dengan memamerkan keberhasilan-keberhasilan pemerintah di berbagai bidang. Jadi, jika dalam masyarakat tradisional legitimasi kekuasaan dan penyadaran dilakukan melalui cerita rakyat, maka dalam masyarakat modern, legitimasi kekuasaan dan politik pencitraan dilakukan melalui bantuan pers dan media massa. Film-film Amerika tentang perang Vietnam (Rambo, misalnya), sesungguhnya dimaksudkan untuk membangun citra Amerika yang heroik. Hal yang sama belakangan ini tampak juga dalam film-film Korea yang berkisah tentang konflik Korea Selatan – Korea Utara. Berbeda dengan film-film Amerika yang menampilkan heroisme Amerika sebagai negara adidaya dengan semangat nasionalismenya yang direpresentasikan melalui tokoh-tokoh kulit putih dan kulit hitam, film-film Korea kebanyakan berakhir dengan semangat reunifikasi; penyatuan kembali dua Korea. Jadi, dalam konteks ini film (seni, termasuk sastra), efektif digunakan untuk menanamkan ideologi kebangsaan, sebagaimana juga film-film Indonesia dasawarsa 1950—1960-an.

118


Cerita Rakyat Korea—Indonesia: Pembentuk Karakter

“Nak, rasanya Ibu tidak dapat hidup lama lagi. Walaupun nanti Ibu sudah meninggal, jadilah kamu katak yang baik, dan dapat membahagiakan Ibu. Kalau nanti Ibu meninggal, kuburkanlah Ibu di pinggir sungai, jangan di atas bukit. Inilah pesan terakhir Ibumu.”

Pesan itu sesungguhnya berlawanan dengan maksud sebenarnya yang diharapkan si ibu katak. Pertimbangannya, boleh jadi anaknya nanti akan melakukan hal yang sebaliknya, yaitu akan menguburkannya di atas bukit. Ketika ibunya meninggal, si anak katak itu benar-baenar menyesali perbuatannya selama ini, yaitu selalu melakukan perbuatan yang sebaliknya dengan apa yang diperintahkan ibunya. Dalam penyesalan itulah, ia selama hidupnya, ingin sekali saja menuruti perintah ibunya. Maka, sebagai bentuk penyesalannya, si anak katak menguburkan jasad ibunya sesuai dengan amanat terakhir almarhumah. Dikuburkanlah ibunya di pinggir sungai. Tetapi apa yang terjadi? Pada setiap turun hujan dan air sungai meluap banjir, si anak katak selalu dihantui ketakutan, yaitu kuburan ibunya akan lenyap terbawa banjir. Maka, setiap turun hujan, si anak katak itu selalu menangis sambil berdoa: Kungkong—kungkong! berharap agar kuburan ibunya tidak terbawa banjir. Apa makna cerita rakyat itu? Pesannya jelas, yaitu agar anak menuruti perintah orang tua. Tetapi di balik itu, ada makna kultural yang menyangkut tradisi nilai budaya masyarakat Korea. Kuburan adalah simbol leluhur. Maka sebagai bentuk penghormatan pada leluhur, kompleks pekuburan selalu ditempatkan di perbukitan. Pada hari perayaan Chu Seok,36 hari perayaan pada leluhur, masyarakat Korea akan mudik untuk berkumpul dengan keluarga, mendatangi orang tua, lalu bersama-sama membersihkan kuburan dan memberi penghormatan pada arwah leluhur. Kuburan sebagai simbol leluhur adalah wilayah yang sangat dihormati. Pesan di balik itu adalah penghormatan pada orang tua, atau orang yang lebih tua, atau senior.37

36

37

Pada hari raya Chu Seok, orang tua yang tinggal di desa akan berkumpul di mulut desa menyambut kedatangan anak-anaknya dari kota. Ini menunjukkan betapa pentingnya hubungan anak—orang tua. Mendatangi orang tua pada hari Chu Seok, bukanlah kewajiban, tetapi secara moral, seperti telah jadi keharusan. Jika tidak ada hal yang luar biasa, mereka melakukan itu sebagai bentuk penghormatan. Pentingnya harmoni dalam keluarga direfleksikan dengan adanya peringatan pada Hari Anak (5 Mei), Hari Ibu atau hari orang tua (8 Mei) dan Hari Guru (15 Mei). Bulan Mei disebut juga sebagai Bulan Keluarga.

119


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Sistem nilai budaya itu tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Korea. Kata sapaan: Anyonghaseo akan kita dengar di mana pun juga ketika seseorang yang lebih muda, berjumpa dengan seseorang (yang dikenalnya) yang berusia lebih tua. Dampak lainnya adalah penghormatan kepada guru.38 Kondisi itu juga difasilitasi oleh pemerintah. Maka, taman bermain, sarana olahraga, bahkan juga sekolah, dibangun khusus untuk orang tua. Lihat juga subway yang menyediakan tempat duduk khusus untuk orang tunadaksa, orang tua, dan ibu hamil. Sejauh pengamatan, mereka yang merasa masih muda, tidak ada yang berani duduk di bangku khusus itu. Selain itu, dalam setiap hari tertentu dalam seminggu, serombongan orang tua yang berusia di atas 65-an tahun itu, akan sibuk membersihkan jalan, tempat-tempat sampah, dan mengepel atau mengelap lantai dan dinding stasiun. Para orang tua yang sudah melewati masa pensiun itu, masih dikaryakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak memerlukan gagasan-gagasan cemerlang dan mengeluarkan tenaga besar. Bukankah perlakuan yang seperti itu boleh dikatakan merupakan representasi penghormatan kepada orang tua. Penghormatan kepada senior atau orang yang usianya lebih tua menjadikan masyarakat Korea berusaha memberi tempat yang baik pada orang yang lebih tua atau sahabat.39 Sangat mungkin terjadi kasus tertentu yang melanggar sistem nilai budaya itu, tetapi secara umum, sejauh pengamatan, pelanggaran itu jarang terjadi. Demikianlah, cerita rakyat Nyanyian Katak Hijau itu merupakan representasi perilaku (etika: tidak boleh melawan orang tua), pemikiran (ruang tentang lokasi kuburan), dan kepercayaan masyarakatnya (penghormatan pada leluhur). Jadi, pemahaman kita tentang sebuah masyarakat berikut kebudayaannya, dapat juga dilakukan melalui pemahaman kita terhadap khazanah cerita rakyatnya. Dalam konteks itu, jelas, bahwa cerita rakyat erat kaitannya dengan latar belakang sosiokultural yang berlaku dalam masyarakat masing-masing. Dengan demikian, pemahaman kita tentang cerita rakyat

38

39

Penghormatan kepada guru ditandai dengan peringatan nasional, yaitu 15 Mei sebagai Hari Guru. Pada hari itu murid-murid atau mahasiswa menghadiahi bunga, makanan kecil atau cenderamata lain. Boleh jadi sumbernya dari pengaruh filsafat konfusianisme yang juga sangat menghormati guru. Jadi, cerita rakyat itu juga memperlihatkan fungsinya sebagai alat legitimasi tentang posisi orang tua dan guru. Secara filosofis barangkali terwakili oleh pepatah Korea yang berbunyi: “Teman yang sudah dikenal lama adalah teman yang lebih baik� atau peribahasa “anggur dan sahabat, lebih lama lebih baik.�

120


Cerita Rakyat Korea—Indonesia: Pembentuk Karakter

Korea ini membawa kita pada pemahaman kebudayaan, bahkan juga kepercayaan yang berada di belakang alam pikiran masyarakatnya. Posisi orang tua yang mendapat tempat terhormat itu, tampak pula dalam cerita Sim Cheong, Si Anak Patuh. Meski dalam Nyanyian Katak Hijau, si tokoh mengalami kedukaan seumur hidup, dalam Sim Cheong, Si Anak Patuh, semua berakhir bahagia. Dalam cerita rakyat itu dikisahkan, Sim Cheong hidup berdua dengan ayahnya yang buta. Ibu Sim Cheong meninggal sesaat setelah melahirkan Sim Cheong. Ayahnya yang buta itu berusaha memelihara putri semata wayangnya dengan sebaik-baiknya. Menjelang remaja, Sim Cheong-lah yang mengurusi ayahnya. Suatu saat, ketika Sim Cheong pergi ke luar desa dan pulang terlambat, ayahnya berusaha mencari. Ketika hendak menyeberangi sungai, si ayah jatuh terperosok dan nyaris terbawa arus sungai. Untunglah saat itu datang biksu Buddha menolongnya. Bahkan, si biksu memberitahukan, bahwa matanya akan dapat melihat kembali jika ia mendermakan beras tiga ratus karung. Tetapi, dari mana Sim Cheong dapat memperoleh beras sebanyak itu, sementara untuk makan sehari-hari saja, putrinya itu harus bekerja keras? Meski tak yakin dapat mengumpulkan beras sebanyak itu, pesan biksu Buddha mengenai kesembuhan matanya, disampaikan juga pada putrinya. Sebagai anak yang berbakti, tentu saja Sim Cheong pun berharap, agar ayahnya dapat melihat kembali. Beberapa hari kemudian, ketika Sim Cheong pergi ke kota, ia mendengar, bahwa ada beberapa orang saudagar akan pergi berlayar ke China. Pelayaran itu akan melewati daerah Indangsu. Di kawasan inilah setiap kapal akan tenggelam, kecuali jika dikorbankan seorang perawan. Untuk itu, para pedagang mencari seorang gadis yang bersedia jadi tumbal. Mendengar berita itu, Sim Cheong serta-merta mengajukan diri dan menyatakan bersedia menjadi tumbal, asalkan ayahnya diberi 300 karung beras. Pengorbanan Sim Cheong tidak sia-sia. Ketika dilemparkan ke tengah laut, ia diselamatkan Raja Laut dan dipertemukan dengan ibunya yang hidup berbahagia di akhirat. Di tengah laut, ia pun diselamatkan seorang pangeran yang kemudian mempersuntingnya. Setelah menjadi permaisuri, ia tetap tak melupakan ayahnya. Akhirnya Sim Cheong jumpa ayahnya, dan pada saat itu pula, mata sang ayah, kembali bisa melihat. Happy ending! Begitulah, pengabdian anak (perempuan) pada ayah, betapapun beratnya, tidaklah sia-sia. Kembali, posisi ayah mendapat legitimasi. Demikian juga pengabdian anak pada orang tua. Maka, ketika ayah— anak (perempuan) menumpahkan pengabdiannya, semua akan sampai pada kebahagiaan. Di sini jelas, posisi ayah sebagai representasi penghormatan

121


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

kepada orang tua, dan di lain pihak, peranan anak perempuan begitu penting untuk mencapai kebahagiaan keluarga.40 Bandingkan dengan Si Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu lantaran mencampakkan ibunya. Bukahkah kesuksesan hidup, tidak seharusnya membuatnya melupakan ibu; atau dalam cerita Batu Menangis, anak gadis yang selalu menyakiti ibunya, juga dikutuk menjadi batu.41 Bukankah kecantikan fisik, tidak seharusnya pula menjadikannya sombong dan merasa malu mengakui ibu sendiri. Bahkan tidak seharusnya pula tega menganiaya dan memperlakukan ibunya semena-mena. Pertanyaannya: mengapa Malin Kundang dan si gadis harus mengalami nasib tragis? Berbeda dengan kebanyakan keluarga yang menganut garis keturunan berdasarkan ayah (patrilineal), masyarakat Minangkabau menganut garis keturunan berdasarkan ibu (matrilineal). Dibandingkan ayah, posisi ibu sangat penting. Oleh karena itu, pengingkaran pada ibu, akan menggoyahkan sistem kekerabatan. Maka, bentuk hukuman bagi anak (laki-laki atau perempuan) yang durhaka, tidak sekadar hidup dalam penyesalan, sebagaimana cerita Nyanyian Katak Hijau, tetapi mati dalam kutukan dan menjelma sesuatu (batu) yang tak diperhitungkan dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, dalam cerita-cerita rakyat yang disebutkan tadi, tersimpan juga fakta budaya.42

40

41

42

Boleh jadi citra positif anak perempuan ini berkaitan pula dengan mitos Dan Geun, asal-usul bangsa Korea. Ung Nyeo, beruang yang menjelma gadis cantik ini akhirnya menikah dengan pangeran Hwan Ung, anak Hwang In, rajanya para dewa yang bertahta di kerajaan langit. Dari perkawinan itu, lahirlah Dan Gun Wang Geom, pendiri kerajaan Cho Sun, kerajaan pertama bangsa Korea. Untuk lebih meyakinkan masyarakat, bahwa cerita Si Malin Kundang dan Batu Menangis benar-benar pernah terjadi dan merupakan kisah nyata, di sebuah pantai di kota Padang terdapat sebongkah batu karang yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai Malin Kundang. Adapun batu “menangis” berada tidak jauh dari Danau Maninjau. Pada setiap bulan ramadhan, dari lubang-lubang batu itu keluar air, dan itu dipercaya adalah tangisan si gadis sebagai bentuk penyesalan anak gadis yang telah memperlakukan ibunya dengan semena-mena. Dengan adanya kedua bongkahan batu itu, masyarakat seperti diingatkan pentingnya penghormatan pada ibu. Di luar persoalan itu, masyarakat Minangkabau agaknya memang gemar menciptakan mitos-mitos seperti itu. Di sebuah bukit di Padang, misalnya, kita dapat menjumpai kuburan Siti Nurbaya dan Samsul Bachri. Bahkan, jembatan yang menuju bukit itu dinamai sebagai jembatan Siti Nurbaya. Tentu saja fiksi yang dikesankan sebagai fakta ini tujuannya untuk meneguhkan ajaran moral yang terdapat dalam kisah fiksi itu. Edi Sedyawati menyebutkan, sedikitnya ada enam fakta budaya dalam tradisi lisan— termasuk di dalamnya, cerita rakyat, yang meliputi: (1) sistem genealogi, (2) kosmologi dan kosmogoni, (3) sejarah, (4) filsafat, etika, dan moral, (5) sistem pengetahuan (local knowledge), dan (6) kaidah kebahasaan dan kesastraan. Periksa, Edi Sedyawati, “Kedudukan Tradisi Lisan dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu-Ilmu Budaya,” Warta ATL, Edisi II, Maret 1996, hlm. 6.

122


Cerita Rakyat Korea—Indonesia: Pembentuk Karakter

Bentuk hukuman terhadap anak perempuan itu, berbeda dengan hukuman yang diterima anak perempuan yang tidak mengikuti pesan nenek, sebagaimana yang diceritakan dalam Anak Gadis yang tak Menurut Amanat. Dalam hal ini, pukulan si nenek pada kepala cucunya yang menyebabkan si gadis berubah menjadi monyet. Sesungguhnya ada dua pesan yang hendak disampaikan. Pertama, hukuman cucu yang tak mengindahkan pesan nenek, dan kedua, nenek yang tak punya kesabaran, sehingga memukul kepala cucunya yang lalu berakibat, cucunya menjelma menjadi monyet.43 Kembali kita melihat, bahwa hukuman dalam cerita rakyat Nusantara kerap berakhir tragis. Boleh jadi bentuk hukuman itu berkaitan dengan kepercayaan masyarakat akan adanya hukum karma, yaitu hukuman yang diterima seseorang, sesuai dengan kejahatan yang telah dilakukannya.44 Oleh karena itu, bentuk hukumannya harus lebih berat, agar orang tidak melakukan perbuatan sebagaimana yang digambarkan dalam cerita rakyat itu. Dalam Kacang Kedelai dan Kacang Merah atau Heungbu dan Nolbu, Kakak Beradik, meski di sana pun ada bentuk hukuman yang diterima Kacang Merah, ibu tiri, dan Nolbu, karena kejahatan yang telah diperbuatnya, akhir cerita ditutup dengan kebahagiaan setelah ada pemaafan. Sementara si pelaku kejahatan (Kacang Merah, ibu tiri, dan Nolbu) menyadari kesalahannya dan kembali ke jalan yang benar. Tetapi dalam Bawang Merah dan Bawang Putih atau Ki Satu dan Ki Dua, hukuman yang diterima Bawang Merah dan ibu tiri, serta Ki Dua, berakhir dengan kematian.45 Boleh jadi kematian sebagai hukuman dalam cerita rakyat Nusantara berkaitan dengan semangat menjauhkan anggota keluarga sebagai anak durhaka.46 Jadi, bentuk hukuman 43

44

45

46

Cerita rakyat ini berasal dari pulau Roti (Kepulauan Rote) Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di daerah ini ada pantangan bagi seorang ibu memukul kepala anaknya. Masyarakat meyakini, bahwa jika pantangan itu dilanggar, si anak yang dipukul kepalanya itu akan menjelma jadi monyet. Konsep hukum karma sebenarnya berasal dari kepercayaan Hindu. Meski agama Islam tidak mengenal konsep hukum karma, sebagian mempercayainya sebagai azab yang ditimpakan Tuhan (Allah) di dunia. Jadi, hukum karma hanya berlaku di dunia, sedangkan urusan di akhirat, yaitu alam setelah kematian, dipercaya kemungkinannya hanya satu: masuk surga atau masuk neraka, atau masuk neraka dulu, kemudian baru masuk surga setelah dosa-dosanya terampuni. Cerita rakyat Kacang Kedelai dan Kacang Merah mirip dengan cerita rakyat Bawang Merah dan Bawang Putih. Sedangkan kisah Heungbu dan Nolbu, alur ceritanya hampir sama dengan cerita Ki Satu dan Ki Dua. Dalam Bawang Merah dan Bawang Putih, Bawang Merah dan ibunya mati karena digigit binatang-binatang berbisa, sedangkan dalam Ki Satu dan Ki Dua, Ki Dua mati karena dibunuh oleh orang-orang kerdil. Konsep anak durhaka ini sangat mungkin juga berkaitan dengan doktrin Islam yang menempatkan ibu berada tiga tingkat di atas ayah, serta metafora: surga berada di bawah telapak kaki ibu. Dalam masyarakat Batak, posisi ibu (inang) juga ditempatkan

123


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

itu juga sebagai usaha untuk memberi penyadaran, bahwa kebaikan tidaklah dapat dikalahkan oleh kejahatan; bahwa kejahatan tetaplah bakal mendapat ganjaran yang setimpal, sebab dalam kehidupan ini selalu ada kekuatan yang tak terlihat, yaitu kekuatan yang menguasi alam dan kehidupan ini.47 Sementara itu, bentuk pemaafan dan pertobatan untuk kembali ke jalan yang benar yang kemudian berakhir dengan kebahagiaan dalam cerita rakyat Korea, sangat mungkin berkaitan dengan kesadaran pentingnya harmoni dalam kehidupan keluarga. Maka, ketertiban sosial, harus dimulai dari kehidupan keluarga yang bahagia. Dalam wilayah yang lebih luas, yaitu kehidupan bangsa, boleh jadi juga pemaafan dan pertobatan itu berkaitan dengan semangat reunifikasi atau semangat kembalinya bangsa Korea yang terbelah menjadi satu Korea. Dari sejumlah cerita rakyat Korea, kita juga dapat menemukan gambaran tentang hubungan manusia dengan alam. Bahwa persaudaraan manusia dengan alam akan mendatangkan keselamatan. Kacang Kedelai, misalnya, diselamatkan kerbau hitam, kodok batu, dan serombongan burung gereja, sehingga semua pekerjaannya, dapat diselesaikan dengan baik. Heungbu yang menyelamatkan anak burung walet, akhirnya dianugerahi harta kekayaan berlimpah. Sebaliknya, Nolbu, karena kejahatannya, mendapat balasan yang lebih mengerikan. Bagi masyarakat Korea, persaudaraan dengan alam merupakan hal yang penting mengingat dalam setahun mereka harus berhadapan dengan

47

secara terhormat, meski sistem kekerabatan berada pada garis keturunan ayah. Penggambaran hubungan anak dan ibu dalam keluarga Batak, diperankan dengan sangat baik oleh Dedy Mizwar dalam film Naga Bonar. Dengan adanya nilai-nilai agama dan budaya itu, bentuk hukuman bagi anak yang durhaka pada ibu, harus lebih menakutkan, yaitu menjadi batu atau menjadi monyet. Pengertian anak durhaka dalam masyarakat Korea berkaitan dengan perkembangan psikologis seorang anak ketika memasuki masa pubertas. Jadi merupakan perkembangan alamiah. Pepatah Korea yang berbunyi: Sa Chun Ki ‘Berpikir masa musim semi’ atau pepatah ‘Menginjak usia yang sulit’ ditujukan pada anak-anak (remaja) yang mulai berani menentang atau melawan orang tua. Jadi, tidak dikenal konsep anak durhaka sebagaimana yang diperlihatkan cerita Si Maling Kundang dan Batu Menangis. Jadi, jika ada anak yang tidak mengakui orang tuanya sendiri atau yang menganiaya orang tuanya dianggap sebagai perkecualian. Segenap anggota keluarga, tetangga, dan masyarakat akan memberi sanksi dengan penolakan keberadaan anak itu di tengah masyarakat. C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, diindonesiakan Dick Hartoko, Yogyakarta/ Jakarta: Kanisius/ BPK Gunung Mulia, 1976), memberi gambaran mendalam mengenai hubungan manusia—alam—kekuatan gaib yang lalu menghasilkan kebudayaan manusia.

124


Cerita Rakyat Korea—Indonesia: Pembentuk Karakter

perubahan empat musim.48 Dalam hal ini, alam seperti menyimpan ancaman terselubung. Oleh karena itu, persaudaraan dengan alam adalah bagian untuk menciptakan harmoni. Tujuan idealnya, untuk mencapai kebahagiaan. Dalam cerita rakyat Nusantara, paling tidak, dari cerita rakyat yang dibicarakan di sini, agak mengherankan, alam tidak diperlakukan sebagai hal yang harus ditempatkan sebagai bagian dari persaudaraan. Boleh jadi dasar pertimbangannya, karena alam bagi masyarakat Nusantara, bukanlah ancaman. Tanpa perlu mendapat bujuk rayu sekalipun, alam telah memberi begitu banyak kebahagiaan. Maka, untuk apa bujuk rayu itu jika alam sudah memberi kebaikannya yang berlimpah. Demikianlah, cerita rakyat ternyata menyimpan begitu banyak pesan nilai budaya suatu bangsa. Dengan begitu, memanfaatkan cerita rakyat untuk membentuk karakter (bangsa), bukanlah sesuatu yang mengada-ada. 49 Bukankah dalam cerita rakyat, sebagaimana yang sudah disinggung tadi, tersimpan banyak hal yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya? /3/ Uraian dalam esai ini tentu saja masih terlalu sedikit dibandingkan problem sesungguhnya tentang sistem nilai budaya masyarakat Korea atau 48

49

Kesadaran pada alam ini secara simbolik tertuang pada bendera Korea: Taegeukki yang mengandung filosofi sebagai berikut (Wawancara dengan Yun Hyun Sook): Bola bundar yang terbagi dua, merah dan biru, disebut Taegeukwon. Bagian merah berarti “Yang” bermakna terang dan panas dan bagian biru berarti “Eum” bermakna gelap dan dingin. “Yang” dapat juga dimaknai: langit, matahari, hari, api, dan laki-laki. “Eum” dapat juga dimaknai: bumi, bulan, malam, air, perempuan. “Yang” dan “Eum” adalah dua unsur yang membuat dunia mencapai keseimbangan sempurna, antara positif dan negatif. Selain Taegeukwon, ada empat kumpulan tiang di setiap sudutnya. Pertama, di atas kiri, ada yang berbentuk tiga tiang, disebut “geon” yang bermakna: langit, musim semi, kepintaran, dan arah timur. Kedua, di bawah kiri, ada empat tiang disebut “Yi” yang bermakna: matahari, musim gugur, kesopanan, dan arah selatan. Ketiga, di atas kanan, lima tiang, disebut “gam” yang bermakna bulan, musim dingin, kebijaksanaan, dan arah utara. Keempat, di bawah kanan, enam tiang, disebut “gon” yang bermakna tanah, musim panas, keberanian, dan arah barat. Dalam kehidupan sehari-hari, kesadaran tentang alam ini juga melahirkan berbagai macam jenis gimci, makanan khas Korea (perbincangan dengan Prof Koh Young Hun) tentang pentingnya sayuran dan nutrisi, dan makanan yang disesuaikan dengan musim, serta simbol-simbol dalam teoksal, cetakan untuk penganan tteok. Belum lagi berbagai macam jenis busana dan sepatu yang semuanya disesuaikan dengan keempat musim itu (cerita tentang Gimci dan Tteok itu juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Prof Koh Young Hun yang dibantu oleh Maman S Mahayana). Munculnya tindak penyelewengan, berbagai jenis penipuan, korupsi, ngapusi untuk kepentingan dan memperkaya diri sendiri, jangan-jangan –tanpa sadar—ada kaitannya juga dengan penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam cerita-cerita si kancil yang cerdik dan dengan kecerdikannya, dia selalu ngapusi sesamanya.

125


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Indonesia. Meskipun demikian, setidak-tidaknya kita dapat meneroka sebuah kebudayaan dan coba memahaminya melalui kesusastraan, dalam hal ini, cerita rakyat, sebagai salah satu pintu masuknya. Dari pembicaraan sepintas tentang nilai budaya yang terkandung dalam cerita rakyat Korea—Indonesia, penghormatan kepada orang tua, ayah dan terutama ibu (bagi masyarakat di Nusantara) merupakan hal yang tidak boleh diabaikan. Pelanggaran terhadap nilai-nilai etis ini akan berakibat buruk bagi pelakunya. Bahkan, bagi masyarakat Indonesia, untuk menghindari seseorang menjadi anak durhaka, hukuman terhadap pelanggaran itu, mesti berupa hukuman yang lebih berat dan tragis. Tidak ada toleransi bagi anak durhaka, selain kutukan dan kematian. Adapun bagi masyarakat Korea, harmoni keluarga adalah hal yang penting untuk mencapai kebahagiaan, karena pelanggaran terhadap harmoni itu, tidak hanya akan mendapat penistaan dari para leluhur (sebagaimana digambarkan dalam Heungbu dan Nolbu) atau mendapat sanksi hukum positif (Kacang Kedelai dan Kacang Merah), tetapi di luar itu menunggu sanksi sosial. Meskipun demikian, pelanggaran terhadap nilai budaya, masih mungkin dapat mencapai kebahagiaan jika anggota keluarga dapat melakukan pemaafan. Tanpa itu, masyarakat akan memberi sanksi lebih berat, yaitu pengucilan dan citra buruk seumur hidup akan melekat pada pelaku pelanggaran ini. Meskipun tidak secara eksplisit digambarkan bentuk sanksi sosial ini, nilai-nilai budaya yang melekat dalam diri masyarakat Korea yang menempatkan konsep anak durhaka sebagai penyimpangan dalam perilaku sosial, maka yang akan dihadapi si pelaku pelanggaran, bukan hanya keluarga, melainkan juga masyarakat. Dalam kehidupan keseharian masyarakat Korea, seseorang yang memiliki surat keterangan (tidak) baik, karier dan pekerjaannya dalam kehidupan sosial, seperti memasuki lorong gelap. Sangat boleh jadi sanksi itu akan melekat seumur hidupnya. Oleh karena itu, pemaafan dari pihak keluarga akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Demikianlah, dengan kesadaran betapa karya sastra, dalam hal ini cerita rakyat Korea—Indonesia mengandung nilai-nilai, maka pemanfaatannya untuk membentuk karakter bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Dengan begitu, uraian ringkas esai ini kiranya dapat diperlakukan sebagai jawaban atas sejumlah pertanyaan yang disampaikan di bagian awal. Semoga demikian! ***

126


Cerita Rakyat Korea—Indonesia: Pembentuk Karakter

PUSTAKA ACUAN Cassirer, Ernst. Language and Myth. New York: Dover Publications Inc., 1946. Cassier, Ernst. Manusia dan Kebudayaan, terj. Alois A. Nugroho, Jakarta: Gramedia, 1990. Danandjaja, James. Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain, Jakarta: Grafiti Pers, 1981. Dwinanto, Djoko. Batu Menangis, Kumpulan Cerita Rakyat Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Junus, Umar. “Kebudayaan Minangkabau,” dalam Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1979. Kim Ho-Yong. “Dubes Korsel ‘Kuasai’ Bahasa Indonesia.” Kompas.com, 7 Juli 2010. Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1974. Koh Young Hun. “Sutardji Calzoum Bachri bagi Orang Korea.” Maman S Mahayana (Ed.), Raja Mantera: Presiden Penyair (Depok: Yayasan Panggung Melayu, 2007. Mahayana, Maman S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik, Jakarta: Bening Publishing, 2005. Peursen, C.A. van. Strategi Kebudayaan. Diindonesiakan Dick Hartoko, Yogyakarta/ Jakarta: Kanisius/ BPK Gunung Mulia, 1976. Propp, Valdimir J., Morfologi Cerita Rakyat. Terj. Noriah Taslin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987. Sedyawati, Edi. “Kedudukan Tradisi Lisan dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan IlmuIlmu Budaya,” Warta ATL, Edisi II, Maret 1996. Udin, Syamsuddin, dkk. Seri Tradisi Lisan—Nusantara: Robab Pesisir Selatan: Malin Kundang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993. Usman, Zuber. Dua Puluh Dongeng Anak-anak, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, Cetakan Pertama, 1948. Usman, Zuber. Kesusasteraan Lama Indonesia. Melaka: Abas Bandong, 1978. Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia, 1995.

127


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

KISAENG DAN KESEPIAN Cecep Syamsul Hari

Tulisan ini adalah pembacaan kembali atas tema kesepian sejumlah puisi para penyair kisaeng yang terdapat dalam buku Songs of the Kisaeng, disunting dan diterjemahkan dari bahasa Korea ke dalam bahasa Inggris oleh Constantine Contogenis dan Wolhee Choe, dipublikasikan pertama kali pada 1997 oleh penerbit BOA Editions. Kisaeng adalah fenomenon penting dalam sejarah Korea. Hingga awal Abad ke-20, kisaeng merupakan satu-satunya kelompok perempuan yang terdidik secara baik dan konsisten. Sistem pelatihan dan persekolahan yang terperinci didirikan dan disediakan bagi mereka dan sarat dengan penghargaan dan sanksi akademis pada berbagai tingkatan dan subjek.50 Seorang calon kisaeng diambil dari keluarganya dan disekolahkan untuk meniti dan meraih kariernya kelak sebagai kisaeng dan hal ini mencegahnya untuk memiliki kehidupan normal dalam perkawinan dan berkeluarga. Meskipun demikian, pada umumnya mereka memiliki kehidupan dan kebebasan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan kaum perempuan lain pada masanya. Selain itu, mereka juga memiliki kebebasan yang sama dengan kaum lelaki dalam pendidikan dan kekuasaan. Dalam pengertian yang luas, seorang kisaeng “dapat menjadi dirinya sendiri� dan dapat mengolah dan mengelola identitasnya melalui keterampilannya. Secara sosial, mungkin mereka dipandang rendah oleh kaum perempuan lainnya, tetapi mereka memperoleh pendidikan yang baik dan hal itu membuat mereka menjadi pribadi yang unik. Pendidikan yang baik dan berkelanjutan yang diberikan kepada para kisaeng ini, menurut Kim Ok Kil, sebagai bagian dari kebijaksanaan pendidikan resmi selama lebih dari 500 tahun pada era Dinasti Chosun. Bagi para kisaeng pada masa itu, literacy was universal, and advanced knowledge of literature, social manners, and ritual music and dance was common.51 50

51

Lihat: Kim Ok Kil, et al., Hankuk Yosonga (A History of Korean Women), Seoul: Eewha Women’s University Press, 1977. Ibid, hlm. 518.

128


Kisaeng dan Kesepian

Kim Ok Kil juga mengatakan bahwa audiens utama para kisaeng adalah raja dan kadang-kadang juga ratu. Kelompok audiens kisaeng yang kedua secara eksklusif adalah kaum lelaki, termasuk perdana menteri, para gubernur provinsi dan kelas berkuasa dari kelompok sosial-birokrat (para penyair, pelukis, ahli kaligrafi), para bangsawan pengangguran, dan duta negaranegara asing. Para serdadu juga termasuk ke dalam kelompok ini, baik dari kalangan berpangkat tinggi, maupun rendahan. Namun demikian, Kim Ok Kil juga menggarisbawahi bahwa placements for the kisaeng ranged from the royal palace, where they might perform refined rituals at feasts of greeting and farewell to the king, to border guard military posts, where there principle role was probably sexual.52 Sepanjang kekuasaan Dinasti Chosun, jumlah kisaeng yang dipekerjakan pemerintah (dengan gaji resmi berupa tunjangan beras) berubah-ubah, bergantung pada siapa yang berkuasa. Pada masa awal kekuasaan dinasti itu, jumlah kisaeng yang direkrut setiap tiga tahun mendekati 100 orang dan dikirim ke istana raja. Para kisaeng dengan jumlah yang sama juga dikirim, setelah menyelesaikan pelatihan mereka, ke ibu-ibu kota provinsi dan pospos militer. Di seluruh negeri sangat mungkin terdapat kisaeng “tidak resmi” yang jumlahnya jauh lebih besar. Namun, pada masa kekuasaan Yunsangun (14941506), jumlah kisaeng di ibu kota negara saja mencapai 10.000 orang dan terbagi lagi ke dalam lebih dari 100 jenis kategori keahlian. Menurut Chang Sa-hun, kategori kisaeng yang tertinggi adalah mereka yang menjadi bagian dari rumah tangga kerajaan dan mereka yang secara resmi diberi tugas untuk mengurus ruang tidur raja.53 Seorang kisaeng dapat berbicara (dan menulis) sebagai seorang intelektual kepada lelaki yang menjadi tuannya. Meskipun secara sosial kisaeng tidak dipandang sebagai profesi yang terhormat, sebagai individu kisaeng memperoleh penghormatan bahkan dicintai dan dipuja para penyair terpelajar. Terdapat banyak kisah yang melegenda perihal hubungan kisaeng dan kaum lelaki dari kalangan terpelajar pada masa itu. *** Di luar persepektif kesejarahan itu, bagaimana para penyair kisaeng mengungkapkan inteligensia dan perasaan mereka dalam puisi-puisi yang mereka tulis, sangat menarik untuk dibaca lebih jauh. Untuk keperluan pemba52 53

Kim Ok Kil, ibid. hlm. 529. Chang Sa-hun, “Women Entertainers of the Yi Dinasty” in Young-hai Park (ed.), Women of the Yi Dinasti, Seoul: Sookmyung Women’s University Press, 1986: 262

129


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

caan kembali tersebut puisi-puisi para kisaeng dalam tulisan ini saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.54 Marilah kita mulai dengan Hwang Jini (1511-1541), kisaeng paling terkenal dalam sejarah Korea. Segera setelah meninggalnya, keterkenalannya bahkan mencapai tahapan mitos. Pada masanya, konon, ia memiliki banyak pengagum terkenal, dan di antaranya adalah seorang cendekia, seorang terpelajar, dan sekaligus seorang penyair, seorang pemuda yang menurut legenda meninggal karena cintanya kepada Hwang Jini dan selama upacara pemakamannya menolak untuk beranjak dari ambang pintu Hwang Jini, kisaeng pujaannya, sebelum Hwang Jini menghadiahinya pakaian untuk perjalanannya ke alam baka. Puisi-puisi Hwang Jini penuh dengan tema kesedihan, hasrat, cinta, dan kesepian, seperti yang dapat dibaca di bawah ini: DUHAI, APA SALAHKU? Duhai, apa salahku—seakan-akan aku tidak tahu perasaanku begitu dalam. Tak akan kutambahkan sepatah kata untuk menahannya. Ingin kupahami makna riang dari perasaan kehilangan. PERNAHKAH? Pernahkah daku ingkar janji? Kapankah daku pernah ingkar janji kepadamu. Kegelapan dalam nian dan bulan muncul hanya untuk tenggelam, dan kepadamu pertanda tiada akan dilimpahkan. Maut yang pergi bergetar karena angin musim semi, dan di dalam suaranya daku tiada sama sekali. PADA DINGIN TITIK BALIK MATAHARI Pada dingin titik balik matahari Kubelah malam, membimbing pinggangnya yang panjang

54

Puisi-puisi para kisaeng yang saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini diambil dari Songs of the Kisaeng, Constantine Contogenis dan Wolhee Choe (eds.), NY: BOA Editions, 1997. Hwang Jini: hlm. 25, 26, 28, 29, 30; Imniwol: hlm. 39; Kang Gangwol: hlm. 40, 41, 42; Keju: hlm. 43; Kungyo: hlm. 46; Okson: hlm. 57; Songi: hlm. 60, 62, 63, 64, 66, 67; Anonim: hlm. 73, 75.

130


Kisaeng dan Kesepian

ke ranjang kapasku, menggulung kegelapan di bawah renda-renda musim semi menunggu malam datang lagi untukmu. Sementara itu, cara bagaimana Hwang Jini melihat dunia bagai seekor burung yang terperangkap di sangkar emasnya dan mendambakan kebebasan. Oleh sebab itu pula imaji-imaji alam seperti gunung dan sungai menjadi diksi kesukaannya, sebagaimana dapat kita lihat pada puisi berikut: AKU INGIN Aku ingin seperti gunung yang biru; cintanya kepadaku hijau sungai yang mengalir. Akankah gunung biru berubah karena hijau deras alir sungai? Kekasihku tiada akan lupa biru gunung ini tangis hijaunya menggema saat dia pergi. GUNUNG PURBA Gunung purba, kau di sini selamanya, namun yang kulihat bukan arus sungai yang sama: meskipun menderas sepanjang masa, mengalir sepanjang hari, setiap malam. Kekasihku semurni air, datang kepadaku, pergi dariku. Sungguh mengagumkan bahkan ketika dia menulis tentang pencarian akan kebebasan, puisi-puisinya secara konstan memperlihatkan hasrat akan cinta yang meluap. Cinta, pada kasusnya, telah menjadi dasar dari caranya memandang dunia, seekor burung di dalam sangkar emas yang mendambakan kebebasan, namun rasa hormat dan kekagumannya pada cinta melampaui keinginannya untuk membebaskan diri dari dunia yang mengurungnya. Paradoks yang indah tetapi mengiris hati. Sementara itu, puisi-puisi para kisaeng lainnya seperti Imniwol, Kang Gangwol, Keju, Kungyo, Okson dan Songi merefleksikan spirit mereka sebagai kaum perempuan yang terisolasi untuk menemukan makna dari kata dasar

131


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

“sepi” dan kata imbuhan “kesepian”. Sulit bagi kita untuk menolak fakta bahwa pada dasarnya para kisaeng hidup di dunia yang terisolasi. Bagi Imniwol, makna kesepian adalah “untuk mencintai dan dicintai”. KUDANYA TELAH KUIKAT Kami ikatkan kudanya pada gerbang tenunan, genggaman tangan pun saling melepaskan. Apakah aku menangis dengan air mata kristal dan wajah sebening permata? Mungkin dia telah menjadi orang yang selamanya akan kukenang. Serupa dengan Imniwol, bagi Kang Gangwol kesepian merupakan persoalan mencintai dan dicintai. Namun demikian, baginya makna cinta, dan dengan sendirinya makna kesepian itu sendiri, jauh lebih dalam, lebih rumit, dan lebih kontemplatif. DALAM PERJALANAN Dalam seribu perjalanan, aku bertemu—kami saling menyentuh dan berpisah. Kini ketika mimpiku begitu jauh, kekasihku akan menunggu. Setiap pagi, aku terjaga, dengan bayangan impian. TELAT MALAM Telat malam, sendiri, terjaga, Kudengar tangis angsa. Sumbu terus menyala, aku terus terjaga. Jauh di bawah, berat suara hujan membuatku redup dan menjauh. MEMIKIRKAN DIA Memikirkan dia membuatku mengalirkan airmata.

132


Kisaeng dan Kesepian

Di musim gugur itu angsa-angsa liar terbang ke selatan langit menyertai mereka. Menjauhlah selagi kau bisa; waktu juga yang membawa pergi dan kembali. Sebaliknya, bagi Keju kesepian adalah bagian dari upaya dirinya menerjemahkan keelokan alam. PERAHU KASIA Biarkan perahu kasiaku terikat: Di tepi sungai penuh willow hijau dan rumput merah ini; telah tiba saatnya matahari pergi pada gunung dan sungai itu pula yang mungkin terjadi. Saat angin musim semi menyentuhku, sendiri, kuseberangkan perahuku ini. Puisi yang indah ditulis Kungyo. Puisi ini dengan sangat tepat merefleksikan takdir seorang kisaeng yang harus menjalani hari-harinya di dunia yang terisolasi. Kungyo membuat perbandingan antara takdir seekor ikan yang ditangkap dari laut bebas dan dipindahkan ke kolam di taman dengan takdir dirinya sendiri sebagai kisaeng yang hidup di dunia yang terisolasi. SIAPAKAH YANG MENANGKAPMU? Siapa yang menangkapmu, ikan, dan membebaskanmu di dalam kolam tamanku? Lebih jernihkah laut utara yang kau tinggalkan dari kolam mungilku ini? Sekali di sini, tiada jalan untuk melarikan diri kau dan aku sendiri. Para penyair kisaeng lainnya menulis puisi mereka dengan sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi masih di dalam sentuhan pikiran dan perasaan tentang bagaimana memberikan esensi makna pada kesepian mereka, seperti dapat dilihat pada puisi-puisi di bawah ini.

133


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Okson KATA MEREKA Kata mereka cinta seseorang, dapat dilihat dari caranya memahami perpisahan. Perlu seluruh hidupku untuk memahami waktu dapat berarti tiada pernah lagi. Kata mereka cinta harus dibeli dengan luka. Songi SEMUA YANG KAU LAKUKAN Semua yang kau lakukan, semua yang tiada kau lakukan, kebohongan. Saat aku mencinta, telah kubuat dirimu jadi musuhku. Namun kata-katamu Tetap tinggal dalam diriku. Songi TERJAGA Terjaga semalaman ketika yang lain lelap tidur. Aku tidak tahu siapa yang berdusta kekasihku atau kekasihnya. Karena kekasihku mencintai yang lain, dirinya tiada akan lagi kupikirkan. Songi SUNGAI GEMINTANG Sungai gemintang menggelegak menerjang jembatan magpi dan burung gagak kau, penggembala lembu langit, tak akan pernah paham jalan ke arahku. Aku hanyalah penganyam yang menunggu dengan hati seorang penenun.

134


Kisaeng dan Kesepian

Songi KUPU-KUPU DAN BUNGA Ketika kupu-kupu melihat bunga, ia akan menari, dan bunga tersenyum. Musim apa pun, bagimya adalah musim cinta. Cinta kita juga memiliki musim cuma semusim. Songi CINTA KITA Cinta kita bukan untuk kau berikan juga bukan untuk kau dambakan. Waspadalah, telah kau bawa pergi cinta kita bersamamu. Untuk cinta semacam itu, aku hidup; untuk hidup semacam itu, aku mencinta. Anonim JIKA HUJAN Jika hujan bisa datang, kenapa dia tidak? Jika awan bisa pergi, kenapa aku tidak? Ketika dia dan aku hujan dan awan, kita akan tahu muasal dan tempat kembali. Anonim BERHENTILAH Berhentilah berhembus, wahai angin, di atas salju kebun cahaya bulanku. Kau tiada akan pernah bisa menjadi suara pijakan sepatunya di atas salju. Tak akan dapat kau kembalikan yang telah pergi, biarkan aku mendengar, biarkan aku menanti.

135


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Ketika kita usai membaca puisi-puisi di atas dan puisi-puisi lainnya dalam Songs of the Kisaeng kita menemukan kenyataan bahwa puisi-puisi itu hampir seluruhnya berbicara tentang kesepian, hampir semuanya melagukan kesunyian. Puisi-puisi kesepian para penyair kisaeng ini merefleksikan dunia mereka yang sunyi, dunia mereka yang kesepian. ©

RUJUKAN: Chang Sa-hun, “Women Entertainers of the Yi Dinasty” dalam Young-hai Park (ed.), Women of the Yi Dinasti, Seoul: Sookmyung Women’s University Press, 1986. Constantine Contogenis dan Wolhee Choe (ed.), Songs of the Kisaeng, NY: BOA Editions, Ltd., Rochester, 1997. Kim Ok Kil, et. al., Hankuk Yosonga (A History of Korean Women), Seoul: Eewha Women’s University Press, 1977.

136


BERSAHABAT, MENGATASI PERBEDAAN BAHASA Rida K Liamsi

Korea-Asean Poets Literature Festival (Festival Penyair Korea-Asean), diselenggarakan di Seoul, Korea Selatan, 2—6 Desember 2010. The Poet Society of Asia (TPSA) yang berpusat di Kora Selatan, bertindak sebagai penyelenggara bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan, Korea Selatan. Itulah festival pertama yang digelar mereka. Pesertanya adalah penyair-penyair dari Asean dan para penyair Korea Selatan. Untuk kali ini ada 12 penyair Asean (dua orang dari Indonesia, dua dari Malaysia, satu dari Singapura, dua dari Thailand, dan masing-masing satu dari Brunai Darussalam, Singapura, Filipina, dan Myanmar). Korea Selatan selaku tuan rumah menghadirkan 20 penyair. Dari Indonesia, saya dan penyair Nirwan Dewanto (redaktur budaya Koran Tempo). Yang merekomendasikan ikut festival ini adalah budayawan Maman S Mahayana, yang kini menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS), Seoul. Sekitar dua bulan sebelum acara, Dr Lee Yeon, yang juga dosen HUFS mewawancarai dan meminta buku-buku kumpulan puisi saya. Tema festival adalah Creativity of Asian Poets, Asian Spirit for Becoming. Intinya: persahabatan antar-penyair Asia melalui saling berbagi informasi tentang kreativitas kepenyairan, budaya, dan pandangan ke depan tentang perdamaian. Oleh karena itu, ketika saya diminta mewakili para penyair Asean untuk memberi kata sambutan pada acara pembukaan di Ball Room Grand Hilton, Seoul, saya banyak memperkatakan masalah persahabatan, persaudaraan, dan perdamaian yang bisa hadir dari roh kekuatan sebuah puisi, sebuah kata, sebuah bahasa. Sebagai pengerasnya, saya mengutip katakata keramat yang ditinggalkan budayawan besar Melayu, Raja Ali Haji dalam bukunya Bustanul Katibin: “Kata Pena, akulah raja di ini dunia. Banyak pekerjaan pedang dapat dilakukan dengan kata-kata, tetapi tak banyak pekerjaan kata-kata yang dapat dilakukan dengan pedang. Beratus pedang yang sudah tercabut, dengan sepatah kata dapat tersarung kembali.�

137


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Dalam surat undangan resmi, para peserta diminta mengirim sebuah esai pendek yang berisi pandangan para penyair tentang tema “Becoming” serta melampirkan minimal delapan puisi yang mewakili perjalanan kepenyairan para peserta. Karena bahasa resmi (official language) yang dipakai adalah bahasa Inggris, para peserta diminta mengirim esai dan puisi-puisi itu dalam dua bahasa, yaitu bahasa negara asal dan bahasa Inggris. Menurut panitia, setelah dilakukan penyeleksian, esai dan puisi-puisi itu akan dibukukan sebagai dokumentasi dan panduan bagi festival. Panitia menerbitkan tiga buah buku. Sebuah kumpulan puisi peserta yang bertajuk Becoming dalam dua bahasa: Inggris dan Korea. Masing-masing penyair Asean menampilkan rata-rata tiga atau empat puisi. Sedangkan penyair Korea Selatan, rata-rata satu puisi. Dari Indonesia, empat puisi saya berjudul “Suatu Pagi di Sebuah Beranda”, “Ranting-Ranting Pauh” dan “Kelekatu dan ROSE 3”. Empat puisi Nirwan Dewanto: “Serpent”, “Terracota”, “Squid” dan “A Marble Torso”. Kumpulan kedua juga berjudul Becoming, tetapi isinya materi yang akan dibacakan pada acara-acara festival, baik esai, maupun puisi. Rata-rata penyair kebagian satu esai dan satu puisi. Saya diminta membaca esai saya: “Ketika Pekik Elang dan Gemuruh Karang” dan membaca puisi “Kelekatu”. Nirwan membaca puisi “Teracotta” dan esai “Poetry, At Play”. Satu lagi yang diterbitkan penyelenggara adalah majalah sastra Sipyung, edisi khusus yang memuat puisi-puisi penyair peserta festival yang tidak dimuat dalam kumpulan Becoming. Puisi saya yang dimuat di majalah ini adalah “Elegi”, “Di Stockholm”, dan “Di Borobudur”. Majalah ini seluruhnya dalam bahasa Korea dengan chief editor: Ko Hyeong Ryeol yang juga Ketua Pelaksana Festival. Bentuknya sebuah buku dengan tebal lebih dari 250 halaman. Persiapan penyelenggaraan tampak begitu cermat, hati-hati, apik. Festival dilaksanakan dengan sangat sederhana, meski sangat akrab dan tanpa formalitas yang berlebihan. Penyelenggara merancang festival ini sangat rapi, mulai dari sistem komunikasi, penyususnan agenda sampai ke hal-hal yang kecil. Untuk saya, yang mereka tahu sebagai seorang muslim, misalnya, diperhatikan betul sampai ke hal-hal yang sebenarnya tidak penting, seperti pertanyaan: Apakah saya memerlukan tempat solat yang khusus. Kursi saya di pesawat terbang Korean Airlane, misalnya, ditandai kertas kecil yang menunjukkan saya muslim. Oleh karena itu, hidangan makanan untuk saya berbeda dengan penumpang lain. Begitu juga untuk peserta dari Malaysia dan Brunei. Oleh karena itu, ketika ada di antara kami yang meneguk soju (minuman khas Korea yang beralkohol, seperti sake atau brem Bali ), para penerjemah yang mendamping kami, banyak yang kaget. “Tak apa, alkoholnya di bawah 10 %,” kata salah seorang dari kami bercanda. Juga untuk acara

138


Bersahabat, Mengatasi Perbedaan Bahasa

makan bersama, para peserta muslim diberi meja tersendiri dengan hidangan yang menurut mereka halal. Sementara di meja lain, kami bisa menyaksikan peserta yang nonmuslim menyantap dengan lahap sop kepala babi. Selain perbedaan kultur dan agama, yang paling menarik dari festival ini adalah soal bahasa. Dalam hal ini, bahasa bukan saja menjadi inti festival, tetapi juga yang justru membuat festival bergerak dan bermakna. Dan bahasa pulalah yang menjadi pengganjal festival ini sekaligus juga membuat festival ini agak unik. Meskipun secara resmi official language itu ditetapkan bahasa Inggris, dalam pelaksanaannya, sejak acara pembukaan sampai ke acara diskusi dan pembacaan puisi, sangat sedikit dari panitia dan penyair Korea itu yang mau berbicara dalam bahasa Inggris, baik saat membawa acara, maupun dalam memberi sambutan sebagai tuan rumah penyelenggara. Mereka tetap menggunakan bahasa nasional Korea. Bahkan, Ketua Organizing Comitte Festival, Ko Hyeong-Ryeol yang juga chief editor majalah sastra Sipyung dan sekretaris jenderal panitia, Jang Moo Ryong, juga hanya berbahasa Korea, sehingga apa pun urusan kami, harus selalu lewat penerjemah. Tak heran, ketika acara perkenalan para peserta atau giliran memberi sambutan, para penyair dari luar Korea jadi gelagapan dan selalu berbisik ke telinga penerjemah: Apa maksudnya? (berbeda dengan di Indonesia, khususnya di Riau. Jika menyelenggarakan even internasional, termasuk even sastra dan budaya, bahasa pengantar dan sambutan, semuanya dalam hahasa Inggris. Bahkan, banyak yang merasa malu jika berpidato menggunakan bahasa Indonesia atau berdiskusi, kecuali baca puisi mungkin). Perkara bahasa, selain memang soal keterbatasan, sama juga dengan beberapa peserta dari Asean, juga karena faktor nasionalisme. Mereka begitu bangga dengan bahasa nasional. Soal kemampuan berbahasa Inggris misalnya, beberapa penyair Korea Selatan yang ikut serta adalah dosen dan profesor, dan sering bepergian ke luar Korea. Beberapa panitia juga cukup baik berbahasa Inggris ketika menjadi pembicara seminar atau dalam percakapan di meja makan. Tetapi untuk tampilan di forum festival, mereka tetap menggunakan bahasa nasional. Memang, untuk kepentingan komunikasi panitia dengan peserta, misalnya, disediakan penerjemah –mahasiswa-mahasiswa HUFS. Untuk peserta Indonesia, disiapkan mahasiswa yang pernah belajar di Indonesia. Juga untuk bahasa Malaysia, Brunei, Thailand, Myanmar, Filipina dan Singapura, meskipun melalui bahasa Inggris. Jadi sangat fleksibel, meski organisasi penyelenggara hanya beberapa orang. Praktis para penerjemah dan Ketua SC dan OC-nya saja yang bersama kami ke mana pun rute perjalanan acara. Bahkan terkesan, para penerjemah itu menggunakan keberadaan kami dan festival

139


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

ini untuk memperlancar penguasaan bahasa dari negeri mana tamu yang mereka dampingi. Untuk forum pertemuan, terutama dalam diskusi ketika beberapa peserta menyampaikan pikiran-pikirannya, penyelenggara menampilkan materi seminar dalam dua bahasa: Korea dan Inggris, baik dalam buku panduan, maupun yang ditayangkan pada layar presentasi. Tetapi, mereka juga tidak keberatan jika peserta yang bukan Korea menyampaikan dalam bahasa asal mereka. Demikian juga ketika acara pembacaan puisi. Misalnya, peserta Vietnam menggunakan bahasa Vietnam, juga bagi peserta dari Thailand atau Miyanmar. Dengan begitu, festival ini menjadi begitu hidup dan unik, karena bahasa asal dari masing-masing negara peserta menjadi melodi khusus dan membuat festival jadi terasa lebih semarak. Bayangkan, esai dalam bahasa Vietnam atau puisi dalam bahasa Myanmar. Meskipun peserta bisa mengikuti, karena ada teks yang ditampilkan pada layar atau dalam buku panduan, mendengar puisi dibacakan dalam bahasa Vietnam, audiens memperoleh sesuatu yang terasa indah dan melodius. Puisi-puisi yang dibacakan dalam bahasa Korea, terasa sangat kuat dan menghentak di ujung baitnya. Indah. Model penyelengaraan pertemuan internasional seperti ini, sangat baik jika terorginisasi secara efektif, sehingga persoalan perbedaan bahasa tidak menjadi hambatan. Persoalan bahasa kini tiba-tiba menjadi sangat politis dan strategis. Bagaimanapun, bahasa (nasional) menjadi salah satu benteng nasionalisme yang masih bisa bertahan di tengah gempuran globalisasi dan teknologi informasi. “Belajarlah bahasa kami, untuk mengerti kami,� begitu seorang peserta Korea, seorang akedemisi menjelaskan. Sama seperti mereka, jika mau mengenal Indonesia, mereka belajar bahasa Indonesia. “Lebih paham dan mendalam jika dalam bahasa asal, daripada harus melalui bahasa internasional, seperti bahasa Inggris,� katanya lagi. Cara menerobos perbedaan bahasa dengan membiarkan semua bahasa asal peserta berseliweran di tengah forum festival, memang memperlihatkan bagaimana kini, dengan dukungan teknologi, rintangan bahasa bukanlah hambatan yang terlalu besar lagi. Para penyair Korea yang hadir dengan tetap berbahasa asal mereka, tetap dapat menjadi representasi penyair negara Asia lainnya selain Asean. Sedangkan para penyair Asean, dengan bahasa asal itu, juga dapat berkomunikasi melalui bahasa puisi, melalui degup bahasa tubuh dan ekspressi saat membacakan puisi, saat memberi aksentuasi pada bait-bait puisi atau membiarkan petikan gitar menerjemahkan kebersamaan luka, pedih, dan harapan menjadi milik bersama. Bagi Korea Selatan, tampaknya ada agenda masa depan yang diperlukan untuk menjembatani perbedaan bahasa, budaya dan tradisi itu, terutama untuk kepentingan bisnis. Samsung sudah hadir di seantero dunia. LG juga

140


Bersahabat, Mengatasi Perbedaan Bahasa

begitu. Tak heran para penerjemah yang mendampingi peserta, sudah bak escort yang memiliki pemahaman dan informasi tentang bisnis negeri mereka dan siap disampaikan kepada para tamu, apa pun pertanyaan yang diajukan. “Saya rasa Samsung sekarang sudah mengalahkan Sony, ya?” kata seorang penerjemah dengan bangga, apalagi suaminya ternyata salah satu eksekutif puncak di korporat raksasa itu. Tampaknya mengalahkan Jepang di bidang ekonomi merupakan obsesi besar mereka. “Kami punya lima perusahaan kelas dunia: Samsung, LG, Hyundai, KIA ... eee ya di Indonesia ada Korindo,” kata Choi Kyuwon dengan bahasa Indonesia yang cukup baik. Kyuwon, mahasiswi cantik yang pernah setahun belajar di UGM, Yogyakarta adalah teman bicara yang menyenangkan. Penguasaan bahasa Inggris juga sangat baik. Strategi demikian itu juga ada di negara mana pun, sepanjang negara itu sadar, bahwa untuk menjadi pemain dunia, seberapa hebat pun produk yang dihasilkan, seberapa besar pun kemampuan kapital yang menggerakkannya, hanya bahasa dan budaya yang bisa membuatnya menjadi eksis, dikenal dan berguna. Hanya bahasa dan budayalah yang memberi laluan, bagaimana pasar akan direbut. Dengan tetap yakin bahwa nasionalisme itu bisa dipertahankan melalui bahasa asal adalah sebuah keberanian yang patut dipuji dan ditiru, di tengah dunia yang tanpa batas ini.

Menghargai Puisi, Menghormati Penyair Tradisi membaca puisi di Korea Selatan, tampaknya terpelihara dengan baik. Forum-forum kecil pembacaan puisi dan diskusi sastra sesama penyair atau undangan terbatas, masih menjadi kebiasaan yang dipertahankan. Mereka terbiasa membaca puisi di ruangan-ruang tertutup, di aula sekolah kesenian, di area pertemuan di kuil-kuil, dan di kafe-kafe sambil minum teh sore atau makan malam bersama. Yang hadir bisa 20-an atau lebih sedikit. Kebanyakan yang hadir adalah penyair, akedemisi, peminat dan kritikus sastra. Semuanya bisa baca puisi. “Di Korea acara baca puisi seperti festival ini, sering dilakukan di banyak tempat,” kata Nirwan Dewanto, penyair Indonesia yang ternyata cukup banyak tahu tentang kesusastraan Korea. Menurutnya, dia juga punya beberapa sahabat penyair Korea. Gaya membaca puisi mereka masih sangat sopan, elegan, dan bagi penyair dari Asean terkesan masih “tradisonal”. Kebanyakan saat membaca puisi, berdiri dengan santun di podium atau di depan mikrofon sambil memegang kertas atau buku puisi, dan membacanya secara perlahan, dan bahkan terkesan bagai berguman. Mereka tampaknya masih percaya pada kekuatan kata, diksi dan intonasi; pada irama dan melodi kata. Apalagi bahasa Korea adalah bahasa yang sangat tegap dan menghentak-hentak di ujung kata, di

141


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

ujung sajaknya. Bahkan untuk ungkapan ekspresi yang agak emosional pun, mereka tidak membentangkan sebelah tangannya atau menggerakkan tubuh. Semuanya tenggelam dan terserap oleh kata-kata. Oleh karena itu, begitu di antara kami, seperti saya, Masli (Malaysia), Zefry (Brunei) atau Saksiri Meesomseub (Thailand) yang tampil membaca puisi dengan gaya yang sedikit urakan dan didukung oleh properti pertunjukan seperti musik, gerakan tangan dan tubuh yang ekspresif, yang meninggal tiang mikropon dan membawa mikropon mengitar pentas atau meraung, mereka agak terkaget-kaget. Masli dengan suara bariton yang ekspresif, berteriak, membentang tangan, dan meraung. Zefry dengan mengetuk-ngetuk mikropon menjadikannya irama musik, atau saya yang memutar instrumentalia “Atas nama Cinta-nya Rossa, untuk mengiringi pembacaan puisi, mencabut mikropon dan meluapkan ekspresi tubuh yang teaterikal, atau Saksiri yang bagiakan bernyanyi dengan lagu tradisional, mereka memberi apresiasi yang agak berbeda, dan terkesan tampilan itu sebagai sesuatu yang baru. “Saya senang bertemu dengan para penyair Asean, dan kami banyak belajar dari festival ini, terutama bagaimana membaca puisi,” komentar seorang penyair wanita Korea sebelum membacakan puisinya, tentu dalam bahasa Korea, dan saya harus berbisik ke telinga penerjemah untuk tahu apa yang dikatakan penyair cantik itu. “Cara membaca puisi mereka memang begitu,” kata Nirwan Dewanto. Itu sebabnya, mungkin menghormati tradisi Korea ini, Nirwan membaca puisinya “Tarakota” dengan gaya seperti penyair Korea. Santun, berdiri di sudut pentas, dengan buku puisi. “Gaya membaca puisi seperti kita yang dekat dengan puisi pentas ini, memang hanya ada di Asean. Di luar Asean hampir tak ada,” kata Zefry yang pernah pergi ke banyak negara membaca puisi. Makanya, ketika Zefry berbicara dalam esainya tentang menulis puisi pentas, puisi teater, banyak sekali pertanyaan dari penyair Korea tentang bagaimana proses kreatifnya, apa yang dimaksud dengan puisi pentas, dan mengapa itu harus dilakukan. Apa yang membedakannya dengan menyanyi atau opera dan teater. Model festival penyair Korea-Asean, juga tidak menjadi sebuah tampilan tunggal yang membosankan. Bukan hanya karena tempat acaranya yang berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain atau dari satu tempat ke tempat lain (dan ada panitia pelaksana sendiri), panitia festival juga telah melengkapi acaranya dengan beberapa cabang seni lainnya, seperti tari, musik, dan teater. Hanya, semua tampilan itu, individual dan tampil setelah sesi baca puisi oleh beberapa penyair, atau pembacaan esai sastra. Jadi, semacam selingan. Ada sesi tampilan tari tradisional Korea modern (Lee Sun Tae). Ada tampilan alat musik tradisional Korea (Halim dan Ahn Eun Cheong), ada monolog (Kim

142


Bersahabat, Mengatasi Perbedaan Bahasa

Young Chan), atau petikan gitar tunggal yang sangat bagus dari Indian Suny, penyanyi balada wanita Korea yang sangat terkenal. Tetapi, tampaknya penyair Korea memang belum terbiasa dengan bentuk pembacaan puisi yang berbeda. Di Pusat Kesenian Korea, di kota Ansan (mereka menamakan kota industri ini sebagai kota Asia, karena banyaknya orang Asia yang tinggal dan bekerja di sini, termasuk Indonesia), tempat salah satu acara pembacaan puisi dan esai dilakukan (saya membaca esai di sini “When the eagle shrieked and roar of the coral ....”) ternyata petikan gitar tunggal Indian Sunny dengan lagunya “There is moon in my heart” sebagai instrumen pengiring, tak membuat para penyair Korea itu bangkit emosi dan menjadikan musik sebagai kekuatan lain yang menggerakkan. Indian Sunny sendiri, melalui baladanya, menunjukkan betapa kalaborasi musik dan puisi itu menjadi penampilan yang sangat mengesankan. Tampaknya, bagi mereka membaca puisi adalah membaca puisi dalam pengertian sesungguhnya. Jika puisi sudah diiringi lagu, kata mereka, itu bukan lagi membaca puisi, tetapi sudah bernyanyi. Ada tradisi untuk tetap membedakan antara menyanyi dengan membaca puisi. Membedakan antara opera atau teater lainnya dengan poetry reading. Dengan cara itu, puisi dan pembaca puisi tetap masih setia untuk datang dan menyaksikannya dengan santun, penuh hormat, dan hanya akan bertepuk tangan, jika pembacaan sudah selesai. Di Indonesia, kini, pembacaan puisi sudah memasuki wilayah yang lebih jauh. Masuk ke tradisi musik dan teater, dan wilayah intertaimen. Ini tentu karena para pencinta sastra, khususnya puisi, sudah semakin sulit berkomunikasi dengan puisi-puisi yang sublim dan terisolasi. Karena tuntutan audiens, dan juga pasar, puisi-puisi kamar sudah tidak lagi dapat mengajak para penikmat puisi untuk datang dan bertepuk tangan. Sekarang membaca puisi di Indonesia, di Malaysia, Brunai, Thailand, dan juga Myanmar, bisa dengan iringan harmonika, suling, berkolobarasi dengan musik soul atau rock, bisa menjadi teater pendek. Menjadi sebuah pertunjukan tersendiri. Rendra, dulu membaca puisi dan audien bersedia membayar. Juga Sutarji Calzoum Bachri atau penyair lainnya. Ketekunan merawat tradisi membaca puisi, menghormati penyair, dan meletakkan sastra dan budaya sebagai ilmu dan bukan hanya karya kreatif adalah contoh terbaik yang diperlihatkan Korea Selatan melalui festival ini. Kampus-kampus tetap terbuka untuk puisi dan penyair, kuil-kuil, kafe-kafe dan pusat-pusat kesenian menjadi tempat para penyair berkomunikasi dan membangun spirit kehidupan. “Di Korea ini puisi masih menjadi maha-kata,” kata seorang teman penyair Asean. Masih menjadi kekuatan yang dipercaya untuk membangun persahabatan dan persaudaraan. Masih ada kearifan dan harapan. Masih menyajikan spirit nasionalisme dan kemerdekaan, seperti

143


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

yang mereka lihat pada sosok Han Yong Un, pendeta Buddha, penyair dan pejuang Korea Selatan yang sangat dihormati. Kumpulan Puisinya The Silence of My Love diterjemahkan dalam lima bahasa (Inggris, Prancis, Rusia, China dan Jepang ), selain Korea. Tradisi menghargai puisi, menghormati penyair, membuat Korea juga mengabadikan jejak kepenyairan dalam bentuk monumen. Ketika berkunjung ke kuil yang diwariskan Han Yung Un, saya berkelakar pada penerjemah bahwa saya menamakan kuil tempat nama Han Yong Un diabadikan itu sebagai Kuil Seribu Puisi. Karena di pelataran kuil itu, dari arah pintu masuk, di bawah bayang-bayang pohon-pohon maple, ada tembok setinggi 2,5 meter, pada dindingnya ditempel prasasti dari lempengan tembaga (mirip inkrisisti dalam tradisi Kristiani) yang isinyanya berupa puisi-puisi terbaik para penyair Korea. Saya tak tahu persis jumlahnya, tetapi hampir semua dinding tembok, kiri dan kanan, dipenuhi prasasti itu. Sementara di bagian tengah lapangan kuil, ada teater terbuka tempat pembacaan puisi. Lalu ada bangunan tempat para penziarah mampir jika lapar, dengan hidangan prasmanan dan menu khas Korea, Gim Chi. Tak jauh dari sana sebuah patung Han Yong Un, setengah badan, terletak di dekat pintu masuk gedung utama, yang berfungsi sebagai gedung kesenian, dan juga kuil. Tak ada kesan kuil tradisional. Semua didesain secara modern dengan konsep minimalis. Dan patung itu seakan memandang para penziarah yang ke sana, dan bertanya: “Kalian tahu tentang Korea?� Nama Han Yong Un juga dipakai untuk nama anugerah, seperti Hadiah Nobel, untuk kategori antara lain,: Perdamaian, Pengabdian, Kecemerlangan Akademik, Kesusastraan, dan Kesenian. Namanya Anugrah Manhae Prize. Nama Manhae itu berasal dari gelar kependetaan Han Yong Un. Di Indonesia, bagaimana wujud penghargaan pada karya puisi dan penyair ? Ada taman Ismail Marzuki (TIM ) di Jakarta, tempat penyair berkumpul dan berkarya. Tetapi itu nama seorang musikus. Ada Taman Chairil Anwar, tetapi tidak terpelihara dengan baik. Ada gedung teater Idrus Tintin di Pekanbaru atau Laman Bujang Mat Samsudin, untuk eks MTQ Nasional. Tetapi jejak puisi dan penyair di sana, bagaikan antara ada dan tiada.

Antara Geumgangsan dan Seoraksan, Menyusun Batu Malam. 1 Desember 2010. Itulah hari keberangkatan kami ke Korsel. Sampai hari terakhir, kami masih bimbang memutuskan: membatalkan, menunda atau berangkat sesuai jadwal. Kami terus bertukar informasi. Berita televisi gencar menyiarkan konflik Korsel dan Korut yang makin tegang dan memanas, apalagi setelah latihan bersama meliter Korsel-Amerika Serikat.

144


Bersahabat, Mengatasi Perbedaan Bahasa

Berbagai demo dan pembakaran bendera, terus terjadi. Saya sempat menelepon sebuah nomor di Korsel yang diperoleh dari sebuah suratkabar yang memberitakan keterangan pers Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalagawa. Berita itu juga menyebutkan nomor khusus itu, siaga 24 jam untuk dihubungi jika terjadi sesuatu di Korsel. Warganegara Indonesia perlu informasi cepat. Rupanya itu nomor khusus di KBRI Korsel, dan pejabat di sana dengan senang hati menjelaskan keadaan, dan meyakinkan belum terjadi hal-hal yang membahayakan, dan mereka belum akan mengumumkan semacam travel warning atau travel band bagi kunjuangan WNI ke Korsel. Nirwan juga kembali menyurati panitia pelaksana dan meminta informasi terakhir. Panitia meyakinkan, bahwa Korsel aman, dan yang terjadi di sana saat itu, menurut mereka hanya “perang kecil” dan sudah sering terjadi . Di pesawat airbus Korean Airlane, ketika bertemu dengan Nirwan, kami saling bercanda. “Kita kira, pesawatnya kosong, dan hanya kita yang terbang,” kata saya. Tetapi kami lega karena pesawat penuh, dan bukan hanya oleh penumpang warga Korsel, tetapi juga warganegara dari berbagai negeri termasuk dari Indonesia. “Tidak cemas berangkat ke Korsel?” sapa saya pada seorang penumpang Indonesia. Dia tersenyum, dan angkat bahu, seperti tak begitu perduli. Saya pun angkat bahu juga. Di bandara Incheon, setelah terbang enam jam lebih, keadaan memang biasa-biasa saja. Tak ada tentara yang hilir mudik atau tanda-tanda gawat lainnya. Padahal Incheon itu kota terdekat dengan pulau Yeonpyeong yang ditembaki Korut, dan kata berita tv, ke Incheon itulah penduduk pulau diungsikan. Di Seoul juga begitu. Jalan-jalan penuh dengan orang bermantel tebal (dingin sudah memasuki tiga derajat celcius ). Plaza dan pusat belanja tetap ramai. Matahari musim dingin ramah, dan angin dingin sesekali menyambar. Tajam dan pedih. Kami orang Asean sudah mulai menggunakan sarung tangan, topi woll, dan mantel. Menggigil memang, tetapi bukan karena ancaman perang. Selama lima hari di Seoul dan sekitarnya, kami juga dibawa ke Hwa Jin Po, sebuah kota perbatasan yang sangat dekat dengan garis perbatasan dengan Korut. Kami sempat melewati kawasan yang katanya di sanalah istana peristirahatan Presiden Korsel, dan di seberangnya lagi, di kawasan Korut, istana peristirahatan presiden Korut. Kami melewati wilayah yang disebut kawasan unifikasi, tempat tukar menukar tawanan. Memang kami tidak mendapat izin memasuki kawasan DMZ (Demarcation Militery Zone), tetapi sepanjang kawasan perbatasan itu tidak tampak para militer berjaga. Sesekali ada truk tentara lewat, hanya satu dua. Ada sebuah barak tentara kami lalui, tetapi amat sepi. Memang kawasan Hwa Jin Po ini berseberangan letaknya dengan Seoul dan pulau Yeonpyeong, sekitar lima jam bermobil. Tetapi sama-

145


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

sama di garis sempadan. Di sini, burung-camar dan itik musim dingin masih bebas terbang dan tidak takut ditembak meriam. “Di seberang sana itu ada peluru missil,” kata seorang teman penyair Asean berkelakar. *** Konflik politik Korut dan Korsel itu memang sudah berlangsung lama, jauh sebelum perang Korea 50 tahun lalu. Bahkan, Choi Kyuwon, penerjemah yang mahasiswa HUFS itu mengatakan, sengketa itu sudah ada sejak zaman dewa-dewa menguasai Korea dulu. Dari balik jendela kaca bus yang membawa rombongan menuju kota Sokcho, tempat salah satu acara festival akan dilakukan (di bagian timur Korsel) dia menunjuk gunung Geumgangsan, gunung terindah di Korea, punya 12.000 puncak kecil, seperti bukit-bukit. Itu di Korea Utara. Lalu Gunung Seoraksan, salah satu gunung tinggi di Korsel. “Dulu, dewa-dewa Korea pernah memerintahkan, semua gunung di Korea berkumpul jadi satu di gunung Geumgangsan, di Korea Utara. Tetapi gunung Seoraksan menolak, maka gunung Geumgangsan marah. Sejak itulah sengketa Korut dan Korsel itu bermula,” katanya, menceritakan legenda yang dia terima dari ayah ibu, dan neneknya. “Itu bukit Ulan, adalah korban sengketa dua gunung besar itu,” ujarnya lagi menunjuk sebuah bukit, berbatu cadas, yang indah di sore hari karena siraman cahaya petang. Bukit itu, kononnya, ingin bergabung ke gunung Geumgangsan di Korut, tetapi terlambat dan batas waktunya habis. Sedangkan ketika hendak kembali ke selatan, bukit itu ditolak Gunung Seoraksan. “Jadi dendam dan sengketa itu, mulai dari situ, dan memang dulu begitu,” lanjut mahasiswa HUFS semester akhir itu. Sebagai generasi muda yang tak lagi begitu peduli pada legenda dan asal mula sengketa, mereka menafsirkan konflik itu terutama karena perbedaan ideologi politik, antara komunis di Korut dan demokrasi di Korsel. Dan juga rasa iri, antara utara yang miskin dengan selatan yang makmur. Makanya, katanya, kalau ditanya kepada grenerasi muda Korsel, apa mereka setuju Korut dan Korsel bersatu, maka mereka langsung menolak. “Kami tak mau memikul beban sejarah dan politik. Kami tak mau kemakmuran kami di selatan harus dikuras untuk kepentingan utara,” kata mereka. Karena itu, mereka juga tidak merasa terlalu peduli sampai kapan sengketa itu akan berlangsung. “Kalau utara makmur, pasti tak ada perang. Mereka kan mestinya seperti China. Komunis, tetapi liberal, makmur,” katanya sederhana. Generasai muda Korsel sekarang mengejar kehidupan mapan, makanya mereka setuju saja jika pemerintahnya membangun perlindungan bagi negerinya, berapa pun biaya yang dikeluarkan, karena yakin, konflik itu tak mudah diselesaikan. “Kami punya sistem kehidupan bawah tanah. Subway,” katanya lagi. Sistem kehidupan bawah sebagai tempat berlindung, jika perang

146


Bersahabat, Mengatasi Perbedaan Bahasa

nuklir sampai terjadi, atau peluru kendali Korut tiba-tiba menyerang seperti tembakan meriam arteleri yang dilakukan pada pulau Yeonpyeong. Di subwaysubway, yang saat ini hidup sampai pukul 24.00 itu, semua telah dilengkapi fasilitas: air bersih, listrik, pemanas udara, dll, jika memang kawasan itu harus menjadi tempat perlindungan atau tempat evakuasi yang konon siap menampung lebih 20 juta orang. Seoul sekarang memang kota yang luar biasa majunya. Dalam waktu hanya 50 tahun sehabis perang, kota itu telah berubah menjadi kota megapolitan, yang apik, aman, tertib, dan nyaman. Sebanding dengan Tokyo, Shanghai dan New York. Jauh meninggalkan Jakarta yang masih tetap semerawut. Serangan suhu dingin saja, seperti tak begitu lagi mereka hiraukan karena sistem daya tahan musim dingin itu sudah mereka rancang berpuluhpuluh tahun, sebagai pengalaman menjadi negeri yang bermusim dingin, sejak zaman kekaisaaran. Itu bisa dilihat pada bangunan yang pernah menjadi istana kaisar zaman dulu yang menjadi objek wisata di sana. Atau pada kuil-kuil, restoran dan gedung-gedung untuk fasilitas umum. Seoul juga menjadi kota wisata baru di Asia Timur. Sorga belanja (meski terbilang mahal) dan wisata budaya. Hampir semua warisan sejarah mereka tawarkan kepada para pelancong. “Jika di Amerika ada Gedung Putih, di Korea Selatan ada Gedung Biru,� kata pemandu wisata yang membawa kami berkeliling Seoul di hari pertama, mulai dari bekas istana utama ke kaisaran Korea sampai ke istana presiden yang berada dalam satu kawasan yang luas, sambung-menyambung. Bangunan, tradisi, dan informasi budaya, dikemas dan ditawarkan. Jutaan wisatawan datang ke sana. Satu tempat wisata unik bisa ditemukan di kawasan Gunung Seoraksan, gunung kebanggaan masyarakat Korsel. Selain matahari sore yang indah, patung Buddha yang menjulang (memang tak setinggi Garuda Wisnu Kencana di Bali), juga ada tradisi menyusun batu, yang kata Choi Kyuwon, namanya Dol-Tap. Dan saya menamakannya Batu Harap. Para pelancong, saat berkeliling, dapat menemukan ceruk-ceruk yang tenang dengan pepohonan rimbun, dan tumpukan batu. Silakan menyusun batu-batu, tumpukkan, terserah berapa tinggi, lalu jangan lupa berdoa, apa harapan dan mimpi Anda. “Tetapi harus tegak, tidak boleh rubuh,� lanjutnya. Saya diajarkan menyusun batu harap itu oleh Ko Hyung Ryeol, Ketua Orgaizing Comitte Korea-Asean Poets Literature Festival. Berkali-kali dia membetulkan letak batu yang saya susun, ikut memilih batu dan mengganti yang kurang bagus sampai susunan batu jadi tegak dan kukuh. Dengan isyarat, dia menyuruh saya berdoa. Dan saya tertawa. Memang tradisi Dol-Tap itu, bisa ditemukan juga hampir merata di kawasan Seoul, di pinggir jalan yang lengang dan tenang. Bagai bonekaboneka, bagai stupa-stupa kecil, beratus-ratus banyaknya, berdempet-

147


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

dempet . “Tetapi yang paling diberkati, menyusun batu di Gunung Seoraksan. Tokoh sastra Korea, Han Yong Un pun memulai perjuangan dan mimpinya dari Gunung Seoraksan,” cerita pendamping saya. Dalam hati, saya menyimpulkan, begitulah orang-orang Korea, setiap saat berdoa, setiap waktu menyusun mimpi, setiap saat selalu optimis akan hidup yang lebih baik. Hanya bangsa yang terus optimis, yang terus berharap, dan terus memupuk mimpi yang yakin masa depan yang lebih baik akan datang. Ketika selesai makan siang di Kuil Manhae Han Yong Uh, saat para peserta Asean diminta membuat puisi tentang apa kesan mereka atas perjalanan ke Korea itu, saya menulis sebuah puisi alit. “Ini semacam haiku,” kata saya bercanda sambil menyerahkan puisi itu kepada panitia, dalam versi Indonesia dan Inggris : Menyusun Batu Di gunung Seoraksan Tegak .... Pile up The stones At Mount Seoraksan Stand Up Di Seoul Tower, di pelatarannya yang luas di punggung bukit, saya menemukan tembok-tembok yang penuh dengan gembok yang terkunci. Tergantung, timpa-menimpa, dan ribuan banyaknya. “Ini lambang cinta yang tak pernah putus,” kata Choi Kyuwon lagi. Ha ha ha Korea! ***

148


SPRING SONATA T. Christomy

SORE itu khas musim semi, bau tanah dan dedaunan tumbuh: terang benderang. “Coba tengok ke sana, Kang!” Dia menganga beberapa kejap saat matanya menyapu gaun-gaun gadis yang betisnya buligir. Menurut kawan saya, yang baru saja tiba di Seoul, gadis-gadis Seoul berhidung mancung dan berkaki lebih panjang dari orang Jepang. Sejenak, saya teringat Susan Sontag yang menguraikan betapa “cantik” itu punya daya yang kuat. Bahkan, katanya, bisa menjadi berbahaya bagi yang empunya sendiri. Bahaya, karena, kecantikan itu sendiri bisa membuat wanita lupa pada wilayah sosial lainnya yang sebetulnya menarik dan kaya untuk dieksplorasi serta dapat membantu umat manusia. Betulkah? Teman saya berbisik, “Lupakan sejenak si kolumnis Sontag itu.” Kali ini, di bawah siraman cahaya matahari musim semi, dia malah memakai kacamata hitamnya manakala dua dara Korea lewat di depan kami dan mengambil kursi kosong yang jaraknya empat depa dari tempat kami. Ingin saya membisikkan kepadanya, sebetulnya, gadis-gadis yang berseliweran yang renyah nan jelita itu, menurut mahasiswa saya, “Mungkin saja artifisial.” Mahasiswi di Seoul, bisa saja berkata, “Liburan semesteran nanti, aku mau betulin hidung.” Pada kali yang lain berujar, “Musim dingin tahun depan aku harus operasi dagu,” dan seterusnya. Tentu, biayanya bervariasi. Yang paling murah memperbaiki noda dan membetulkan alis dan ongkos paling mahal terkait payudara, dan yang lebih mahal dari itu mengubah lingkar wajah atau dagu supaya kelihatan lebih lonjong dan sebagainya. Urusan di sekitar payudara harganya 4.000-6.000 dolar AS. Untuk sedikit mengubah bentuk lingkar wajah bisa sampai 9 atau 10 ribu dolar bergantung siapa dokternya. Cukup mahal untuk sebagian mahasiswa, tetapi tidak untuk anak orang kaya atau mereka yang melihat bongkar pasang sebagai investasi. Saya tidak terlalu percaya, bisa saja mahasiswa saya memang sedikit iri dengan kecantikan mereka dan belum berhasil mendapatkan satu di antaranya. Yang pasti, paras cantik dan tinggi, selain mudah untuk mendapat

149


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

teman hidup, juga mudah untuk mencari kerja. Cita rasa Korea tentang cantik berubah karena globalisasi. Globalisasi tidak semata merambah tatanan ekonomi, tetapi juga tatanan wajah. Saat ini informasi dan cita rasa masuk ke wilayah batas yang sebelumnya tak terbayangkan. Ia tidak pilih-pilih. Ia menerjang siapa saja yang ada di jalurnya. Sebagian di antara “korban” bah tersebut mencari pegangan atau ditolong orang terdekat. Ia membedah ruang publik menjadi lebih luas dan terbuka, dan dengan sendirinya mudah diakses oleh berbagai pihak. Teknologi IT kemudian menyempurnakan keadaan ini. Sebagian beruntung bisa menaiki gelombangnya dan berselancar di atasnya ke arah yang kita inginkan. Sebagian lain terempas pada bebatuan dan tersangkut pada ranting-ranting. Playboy dan ingar bingar “kartun Denmark” pun kecipratan “air bah” yang datang bukan dari entah berantah, tetapi dari sikap ekonomi yang senantiasa lapar pasar dan segala hal yang bisa dijual. Sebagian media tidak hanya menjajakan sensasi dan gosip, tetapi juga menjajakan urusan kamar besar maupun kamar kecil, dan ruang-ruang kehidupan pribadi lainnya yang semula tersimpan rapat. Instant Cash dan pragmatisme melekat di balik bisnis seperti itu. Menjual produk inovatif dan kreatif lebih sukar ketimbang menjajakan Playboy. Pembeli selalu menunggu dan antre. PSK di jalanan pun tahu betul kaidah bisnis seperti ini. Tidak harus menjadi cendekia untuk memahami trik bisnis ala Playboy. Cita rasa berskala global acap menimbulkan kontras-kontras pemaknaan yang ironis dan lucu. Gaya hidup dan cita rasa baru seperti yang dialami sebagian gadis Korea pun menelikung sebagian kita tanpa basa-basi. Akibatnya, kadangkala sulit menyelaraskan takaran-takaran norma dengan kebutuhan untuk memenuhi gaya hidup tersebut. “Kesulitan ekonomi” sering menjadi sihir yang sulit ditemukan penawarnya. Buktinya, para pekerja seks yang ditangkap selalu bilang, “Kesulitan ekonomi!” Padahal, Mak Erot dari pinggir Galunggung atau Mang Anu yang setiap malam harus jaga pintu kereta, dan guru-guru bantu di pedalaman pun kesulitan ekonomi. Kompetisi yang ketat meninggalkan korban yang tidak sigap. Dan seringkali kemiskinan menjadi pembenaran atas perbuatan yang tidak diinginkan masyarakat. Tentu kita tidak ingin terlalu percaya pada hal ini, karena depresi, asusila, permisif yang disebabkan melorotnya pencapaian materi ternyata merambah pula yang kaya dan miskin sekaligus. Akhir-akhir ini, ada kecenderungan bunuh diri meningkat di Korea. Banyak CEO Korsel bunuh diri saat dalam posisi finansial di puncak karena depresi, affair, dan korup. Padahal, dari takaran masyarakat awam, fasilitas dan kehidupan mereka lebih dari cukup.

150


Spring Sonata

Bertemu Penyair Cecep Syamsul Hari memberikan kesempatan pada saya untuk membaca puisi-puisi made in Seoul-nya dengan mengirimkan satu puisinya. Cecep, selain terpesona oleh pembangunan Seoul juga “menyelinap” di belakang pencapaian duniawi itu ke wilayah batiniah. Di Tepi Sungai Han Setiap pagi hatiku melukis warna bibirmu dan memuja tatapan matamu Kau tak pernah bertanya aku di mana sebab kau tahu aku selalu di sini Di bawah langit musim semi ketika surga menemukan buminya kembali Di tepi Han-ga perahu-perahu diam menunggu usiaku tak ada artinya dibandingkan alir sungai itu Setiap pagi aku memuja tatapan wajahmu dan melukis warna bibirmu Seoul, April 2006 Sungai Han metafor utama untuk kendaraan kreatifnya. Cecep menorehkan pengalaman kreatifnya dengan mengeksploitasi imaji-imaji visual yang menubruk mata dan memesona penglihatannya. Lantas, Cecep menumpahkannya lewat imaji-imaji “warna”, “lukisan” “sungai”, dan mencoba masuk ke “kedalaman” cintanya Rumi. Kurang lebih setahun yang lalu, Joko Pradopo, penyair dan kritikus dari Yogyakarta, pun berkunjung ke Seoul untuk sebuah seminar. Setelah seminar, panitia mengajak kami jalan-jalan ke luar kota dan bus kami harus menyeberangi salah satu jembatan di Sungai Han. Tiba-tiba, Pak Pradopo mengeluarkan pena dan menuliskan puisinya. Sayang saya tidak ingat persis kata demi katanya, tetapi Beliau sempat menunjukkan isinya yang bertutur tentang ironi di kedalaman sungai Han itu. Tetapi biarlah, urusan komentar puisi saya serahkan lebih lanjut ke para kritikus kelak. Yang pasti, sampai tulisan ini dimuat, saya belum menceritakan “kisah lain” Sungai Han yang menjadi tumpuan inspirasi Cecep Syamsul Hari. Saya tidak ingin memengaruhi pergumulan pertamanya. Selain itu, Cecep juga bisa mendapatkan cerita itu dari media. **

151


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

SEJAK mendengar untuk kali pertama kabar buram tentang sungai Han dari Pak Pradopo, setiap lewat sungai itu saya melihat kontras-kontras kehidupan di antara mimpi-mimpi manusia dan pencakar langit yang bayangannya jatuh di atas riaknya sungai. Sungai Han membedah kota Seoul menjadi dua: bagian utara dan selatan. Di bagian selatan, dijejali gedung-gedung apartemen supermewah milik bintang film dan pengusaha. Sementara di sebelah utara, gedung-gedung tua berbata merah dari zaman awal kegemilangan industri. Gedung di Selatan lebih mahal daripada gedung di utara seloroh sebagian penduduk Seoul. Mengapa? Seandainya Korea Utara menyerbu, penduduk yang tinggal di selatan sungai Han, konon, masih punya cukup waktu untuk berkemas. Kota Seoul selalu dibayang-bayangi siaga satu. Kendati, pada saat yang sama, Seoul mencoba mengimbangi siaga satu itu dengan memanfaatkan berkah teknologi semikonduktor, LCD, pertanian intensif, industri berat, dan dengan sedikit tidur serta banyak bekerja. Sungai Han membawa keberuntungan untuk masyarakat Seoul sejak Dinasti Joseon. Tetapi untuk menikmatinya kadang kala tidak mudah. Muara Sungai Han di sebelah barat pun juga merupakan daerah operasi militer dan ajang infiltrasi Korut sampai sekarang. Bahkan beberapa tentara yang patroli di sekitarnya pun baru-baru ini dilahap muara sungai itu. Banjir bandang pernah menyikat penghuni di bantaran sungai. Selain itu, bagi pakar lingkungan, Sungai Han, yang sekarang menjelma sebesar Missisipi itu, contoh hubungan manusia dan alamnya. Semula sungai itu deras dan dijejali oleh batuan padas serta banyak memiliki pulau pasir. Karena kebutuhan pembangunan pada tahun 60-an, batu itu digerus untuk apartemen dan jembatan. Pernah juga, pada saat jam kerja yang padat, tiba-tiba jembatan yang penuh mobil itu berderak dan amblas membawa 30 orang ke dalam sungai. Tetapi yang menyedihkan, menurut Korean Times, pada tahun 2003 setidaknya 13.005 orang bunuh diri: 95 di antaranya tewas dengan cara melempar dirinya ke jalur kereta api bawah tanah, 65 orang mencoba meloncat ke sungai Han dan 41 orang di antaranya “sukses” menemui ajalnya (Korean Times, 20 Januari 2005). Sabtu 22 April, pukul 5 sore, Insadong Sebagai penggemar kopi berat, saya senantiasa mencari tempat ngopi yang baru yang menyediakan kopi jenis arabika, syukur-syukur dapat kopi kalosi toraja. Kadang hanya ingin mencicipi racikan baru atau sekadar menikmati interior kedai kopi yang unik. Menurut rencana, sore itu, Cecep Syamsul Hari akan mentraktir saya di sebuah kafe yang baru saja “ditemukannya”.

152


Spring Sonata

Dari HP bekas yang baru dibelinya, Cecep dengan lantang mengatakan, “Kang hari ini saya yang akan traktir.” Saya tentu gembira, bukan hanya karena kopi gratis, tetapi juga bisa mendengar olah kreatifnya selama di Seoul. Beberapa hari sebelumnya kami pernah mampir di “CB” dan “SB” tetapi racikan kopi di kedai itu terlalu Amerika. Kali ini saya mencoba kedai yang lebih Italia atau Turki. Janjinya, sekitar pukul lima sore kami akan bertemu di sekitar Insadong sebuah jalan lurus di pusat kota yang sengaja ditutup untuk pejalan kaki yang ingin menikmati galeri, warung teh, atau sekadar ngopi sambil melihat lalu lalang putri-putri ginseng dan turis dari berbagai bangsa. Setelah satu jam, Cecep belum kelihatan, bahkan setelah dua jam pun tetap tak ada kabar. Akhirnya saya memutuskan untuk ngopi sendiri di Kedai Kopi Turki dan mencoba menuliskan hal-hal yang bisa saya kirimkan ke Bandung. Lantas, saya bergegas ke stasiun bawah tanah yang terletak 30 meter di bawah jalan raya, mencari jalan pulang ke apartemen. Larut malam, saya buka internet dan menerima email dari Cecep dalam bahasa Sunda sebagai berikut: … kang punten pisan tadi teh. siang-siang pas uih ka bumi, maos perkawis tki nu tewas dina razia imigrasi. saterasna abdi feeling bad mood all day… Ia minta maaf atas janjinya yang tak ditepatinya karena mood-nya tibatiba jelek setelah menerima kabar tewasnya seorang TKI setelah polisi imigrasi Kota Seoul menggerebek mereka. Menurut Bung Etsar, kawan saya yang kini tengah mengambil doktor dalam bidang filsafat, yang kebetulan punya kontak bagus dengan rekan-rekan TKI, Nur Fuadi (TKI asal Kendal, Jawa Tengah) tewas di rumah Sakit Bucheon, Provinsi Kyeongki, setelah jatuh dari lantai tiga saat polisi merazia pekerja di pabriknya pada tanggal 17 April 2006. Diperkirakan Nur Fuadi tidak memiliki izin kerja pada saat penggerebegan dan mencoba menghindar petugas, tetapi terpeleset. ** TENAGA kerja asing di Korea, sebagaimana Nur Fuadi, banyak yang terperangkap di antara dua kepentingan: polisi dan majikan. Pengusaha kadang menginginkan tenaga kerja murah dan ilegal dari Indonesia. Pada saat yang sama, polisi mengejar-ngejar mereka. Diperkirakan sejumlah pabrik dan pertanian mempekerjakan 400-500 ribu tenaga kerja asing termasuk dari Indonesia yang merupakan kedua terbesar setelah China. Konon hanya 180 ribu pekerja asing yang legal. Banyak di antara kita ingin mengetahui

153


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

apa perasaan Nur Fuadi ketika mencoba lari dan meloncat ke luar gedung untuk meraih pegangan di bagian gedung yang lain. Barangkali, Nur Fuadi memikirkan kehidupannya, memikirkan rencana-rencanya, memikirkan keluarga dan handai taulannya. Tewasnya Nur Fuadi berbeda dengan tewasnya bekas presiden Daewo Engineerng & Construction, Nam Sang-kook, atau Ketua Hyundai Asan Corp, dan Gubernur South Cholla Park Tae-young yang semuanya loncat ke Sungai Han, karena berbagai skandal keuangan. Tewasnya Nur Fuadi, berbeda pula dengan tewasnya Lee Eun-je, artis cantik Korea yang sering berpose berani. Nur Fuadi gagal menggapai pegangan. Dia meluncur dari lantai tiga dan jatuh di bebatuan. Nur Fuadi tewas saat mencari nafkah yang sukar diraihnya di Indonesia. Innalillahi.***

154


Spring Sonata

TARI TRADISIONAL KOREA Sugihastuti

Seperti halnya di kebanyakan negara belahan bumi ini, sebelum marak berkembang seni modern, berbagai seni tradisional sudah ada. Demikian pula di Korea. Dalam arti leksikal (KBBI, 2008), seni merupakan keahlian membuat karya yang bermutu dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dan sebagainya. Seni merupakan karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa, seperti tari, lukisan, ukiran, dan sebagainya. Seni tari merupakan seni mengenai tari-menari atau gerak-gerik yang berirama. Adapun seni tari tradisional adalah seni tari yang hidup dalam masyarakat, seperti terdapat dalam upacara adat. Adakalanya dalam pentas seni tari tradisional itu, terselip seni tutur, yaitu seni bercerita menggunakan lisan, dan biasanya cerita tradisional seperti hikayat dan legenda. Seni tari tradisional dapat termasuk pula seni panggung, sekalipun panggung itu berupa tanah lapang, halaman, bahkan jalanan. Dalam seni panggung terlihat kebolehan dan keterampilan yang diperlukan dalam suatu pementasan. Seni ini pun merupakan seni peran, karena seni tari tradisional itu memerankan beberapa macam karakter manusia. Bahkan, seni tari tradisional pun adakalanya merupakan seni ritual, yaitu seni yang berkaitan dengan kepentingan memanunggalkan manusia dengan Tuhannya atau kekuatan adikodrati yang dipercayainya. Di dalam budaya Jawa, Nini Thowok termasuk kategori pergelaran seni ritual Jawa. Yang hampir berdekatan dengan seni tari tradisional sebagai seni ritual adalah seni Kubro Siswo.55 55

Seni Kubro Siswo ini merupakan tarian khas Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang ditarikan oleh para penari muda Islam. Seni tari tradisional ini digunakan sebagai media dakwah dengan interpretasi syair yang bernapaskan Islam dan dengan gerakan yang dinamis. Ada seni syubanul muslimin, yaitu seni pemuda muslim yang berfungsi sebagai sistem dakwah Islam. Seni syubanul muslimin ini ditarikan oleh para pemuda. Gerak tariannya merupakan kolaborasi gerak tubuh dan silat beregu. Pada lingkup yang lebih luas, seni tari tradisional akan meluas ke seni drama, yaitu seni mengenai pelakonan dalam pentas atau sandiwara.

155


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Dewasa ini seni tari tradisional Korea,56 sudah bukan lagi merupakan seni tradisional yang murni. Semula, seni tradisional Korea itu memang merupakan tradisi, yaitu adat kebiasaam turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat. Dalam tradisi seni itu, penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Misalnya, di Indonesia, perayaan hari besar agama yang juga adakalanya menampilkan seni tari tradisonal, bukan hanya merupakan tradisi semata-mata, melainkan masyarakat menghayati pula maknanya. Melihat tari tradisional Korea di gedung pertunjukan modern, yang sarat dengan fasilitas peralatan elektronik modern sebagai pendukung pentas, menjadikan seni tari tradisional itu seolah-olah luput dari kesan ketradisionalan. Bagiamana tidak. Postur tubuh penari yang oleh orang kebanyakan dikategorikan sebagai postur tubuh yang semampai dan elok menjadikan tampilan tari memukau. Para penari bertata rias wajah dalam paduan kostum yang menawan dan serasi. Komposisi tari beserta paduan irama musik yang padupadan menjadikan pentas tari tradisional di gedung modern itu nyaris terkategori prima. Tari merupakan gerakan badan (tangan dan sebagainya) yang berirama. Biasanya pertunjukan tari diiringi bunyi-bunyian berupa musik, gamelan, dan sebagainya. Yang mempertunjukkannya adalah penari, yaitu orang yang pekerjaannya menari. Sebutan populer untuk mereka adalah anak tari. Mereka membawakan tarian, yaitu menari dengan suatu gaya. Tari tradisional tidak terpisahkan dengan drama tradisonal Korea. Pada awalnya, drama tradisional Korea lebih merupakan drama rakyat. Dalam bidang sastra, drama merupakan komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku, peran, atau dialog yang dipentaskan. Dalam pengertian lain, drama adalah cerita atau kisah, terutama yang melibatkan konflik atau emosi, yang khusus disusun untuk pertunjukan drama. Tari tradisional Korea yang merupakan drama rakyat adalah drama yang timbul dan berkembang sesuai dengan festival rakyat yang ada, yang semua timbul di wilayah-wilayah pedesaan. Drama rakyat ini populer disebut folkdrama. Folkdrama juga berkait dengan adanya folklor, yaitu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-termurun, tetapi tidak dibukukan. Folklor juga merupakan ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan. Di dalam tari tradisional termuat folklor bukan lisan, yaitu folklor yang diciptakan, disebar56

Seni tari tradisional yang dimaksud di sini adalah seni tari yang menurut tradisi, yaitu yang menurut adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat.

156


Tari Tradisional Korea

luaskan, dan diwariskan tidak dalam bentuk lisan, melainkan dalam bentuk gerak dan musik tradisional. Folkdarama yang pada mulanya merupakan cerita lisan dari mulut ke mulut ini, pada kelanjutannya, berkembang dengan disertai gerakan tubuh. Tari, dengan demikian, tidak terpisahkan dengan drama. Dalam waktu lahir dan perkembangannya, seni tari tradisional ini bermula dari empat macam seni, yaitu (1) tarian topeng (a maspue), (2) pertunjukan boneka (a pippet show), (3) pertunjukan wayang (shadowgraph), dan (4) nyanyian drama (dramatic song). Di antara keempatnya, tarian topeng dan nyanyian drama merupakan jenis yang terpopuler. Tari topeng merupakan tari tradisional yang para pemainnya memakai topeng. Wajah-topeng menyimbolkan watak-watak tertentu penarinya, misalnya penari yang berwatak baik dan atau buruk, tersimbolkan dari raut muka topeng yang dikenakannya. Demikian juga halnya dengan tarian boneka. Bonekaboneka itu juga berpostur dan berwajah sesuai dengan karakternya. Hal ini juga tersimbolkan dalam pertunjukan wayang. Adapun nyanyian drama merupakan drama yang dialog-dialognya diselingi banyak nyanyian. Drama ini mirip dengan drama liris, yaitu drama yang berbentuk puisi. Tari tradisional Korea yang berkembang ke arah seni drama lebih merupakan drama domestik, yaitu drama yang menceritakan kehidupan rakyat biasa. Bahkan, seringkali drama ini dibungkus dengan selingan-selingan komedi hingga mirip drama komedi. Dalam bidang seni, ada drama ria, namun bukan drama komedi, yaitu drama ringan yang sifatnya menghibur walaupun selorohan di dalamnya dapat bersifat menyindir dan berakhir dengan kebahagiaan. Mengapa seni-seni ini terpopuler di antara seni tradisional yang lain? Alasannya adalah bahwa jenis tari tradisonal ini dapat mewadahi ekspresi seni kalangan bawah dan menengah. Melalui tari topeng dan nyanyian drama, mereka dapat mengekspresikan simbol kehidupannya sehari-hari. Bahkan, dalam perkembangannya kemudian, melalui kedua jenis seni tradisional ini, masyarakat kalangan bawah dapat mengemukakan kritik sosialnya yang ditujukan untuk masyarakat kalangan yang lebih atas. Tarian topeng merupakan salah satu drama tradisional Korea utama yang bernuansa penuh kelucuan dan kegelian. Isinya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat jelata. Pada waktu itu, rakyat jelata hidup sangat menderita. Dalam penderitaannya itu, mereka berusaha keras untuk dapat menunjukkannya kepada penguasa melalui simbol-simbol. Seni tari tradisional merupakan salah satu pilihannya. Seni tari topeng ini berkembang pada Dinasti Chosun, di area-area perdagangan. Oleh karena para pedagang dikenal sebagai saudagar-saudagar kaya, maka pada umumnya di arena tari tradisional ini pun kesempatan untuk berdagang atau berbisnis tidak pernah disia-siakan. Selain

157


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

berupa transaksi atau sekadar negosiasi, antara lain berjual-beli dagangan tertentu, para pedagang ada pula yang membawa dagangannya ke arena pertunjukan. Salah satu tari tradisional yang dipertunjukkan itu adalah tari topeng. Jenisnya pun bermacam-macam. Ada tari topeng kampung, tari topeng kelana, dan tari topeng kota. Jenis topeng, sifat, penikmat/penonton, dan pelakunya saling berbeda satu sama lain sesuai dengan karakter wilayah asal masing-masing. Salah satu contohnya adalah tari topeng Bongsan berikut ini. Tari topeng Bongsan berasal dari Kabupaten Bongsan, bagian utara Provinsi Hwanghae, dekat dataran China. Seni ini lahir pada abad-18. Tarian topeng ini ditargetkan menjadi seni utama bagi para pedagang yang berniaga dengan para pedagang China. Pada masa-masa ini, para pedagang menjadi penduduk kaya, karena majunya perdagangan mereka. Akibatnya, para penari pun berusaha meluaskan area seninya. Tarian topeng biasa digelar atas permintaan pentas oleh para pedagang yang kaya raya itu. Para penontonnya tidak terbatas para pedagang, tetapi juga rakyat jelata atau masyarakat umum. Sebagai area yang strategis, Bongsan yang terletak di tepi jalan raya perdagangan Korea—China merupakan jalur penting transportasi dan perkembangan bagi banyak sektor, termasuk berkembangnya seni tari tradisional ini. Pertunjukan boneka juga termasuk kesenian yang populer. Para pemainnya bisa disebut sebagai Namsadangpae (a troupe of players). Masyarakat awam sering menyebutnya sebagai Koktougaksinolum (a puppet show) dan Pakchemjinolum (park’s show). Koktougaksi dan Pakchemji adalah namanama pemain utama dalam pertunjukan seni boneka. Di dalam seni boneka ini, tidak terlihat gestur. Lain halnya dengan tari tradisional bukan tari boneka, yang gesturnya itu merupakan hal yang penting sekali. Menurut Morris (1977), begitu banyak sinyal-sinya kecil penari yang bisa memperlihatkan ketertarikan pada pihak lain. Beberapa di antaranya sangat jelas dan sebagian lagi tidak tampak, tetapi semuanya merupakan tanda tersendiri. Sinyal-sinyal tersebut merupakan gerak isyarat yang hangat dan dapat divisualisasikan, di antaranya melalui (1) melihat mata pihak lain lebih lama daripada biasanya; (2) melakukan sentuhan dan gerakan kecil, seperti membiarkan tangan berpegangan lebih lama; serta (3) tampilan khusus yang erotis seperti gerakan pada saat menari dengan lenggak-lenggok yang memberi aksen sensual disertai ekspresi atau mimik yang menggairahkan. Semua sinyal itu merupakan usaha untuk memberikan sugesti tentang pola kelakuan yang dikehendaki penari. Tidak demikian halnya dengan tarian boneka. Berdasarkan catatan Gudangseh, pertunjukan boneka Korea telah berkembang sejak zaman Goryo (918—1392). Dengan merujuk pada puisi karya Sang Lee-Gubo, setelah tontonan Koktougaksinolum, dapat diperkirakan bahwa sejarah pertunjukan

158


Tari Tradisional Korea

boneka Korea ini sudah diturunkan sejak zaman lampau yang amat jauh untuk dapat secara pasti dilacak dari sekarang. Masih ada juga tari yang beraksen dari gerakan tubuh, yaitu nyanyian drama. Highwater (1996) menyatakan bahwa “Although sex has often been notes as the fundamental reality behind the existence of the ballroom�. Tari tradisional berikutnya adalah nyanyian drama. Nama populer dari nyanyian drama ini adalah Pansori. Pansori lebih condong merupakan seni musik. Pertunjukan berlangsung lama, bahkan bisa sampai berjam-jam. Sesekali juga pertunjukan berlangsung seharian. Seorang penyanyi memakai kipas sebagai alat utama pentasnya. Citra yang terpancar dari gerakan kipas ini adalah citra sensual. Selain gerak dan ekspresi, sinyal kipas merupakan potensi daya pikat untuk dapat membangkitkan perhatian penonton. Dibantu dengan alat-peraga kipas, badan penari dipenuhi oleh berbagai macam sinyal. Masih menurut Morris, (1977) bahwa badan penari sebagai manusia itu dipenuhi oleh berbagai sinyal. Setiap lekukan dan setiap tonjolan selalu mengirimkan sinyal dasar ke mata para penonton. Oleh karena itu, dari pemakaian busana serta perhiasan pun dapat membuat penonton terpana, termasuk alat kipas yang diseni-tarikan itu. Melihat lekukan gemulai kipas di tangan, seolah-olah ada perasaan enjoy. Royce (1980) mengatakan bahwa perasaan enjoy pada tarian merupakan kenikmatan alamiah yang bisa melibatkan emosi, baik penari maupun penontonnya. Kondisi ini merupakan salah satu fungsi tari secara universal, yang dapat mengubah acara keseharian ke dalam bentuk rekreasi. Penari bernyanyi sesuai dengan irama drum atau yang dalam bahasa Korea disebut buk. Seperti halnya sifat-sifat seni tradisional Korea, Pansori juga merupakan seni yang bebas, tidak formulaik. Sebagai contoh, sampai dengan periode Song Hongrok, narasi Pansori hanya disebarluaskan dari mulut ke mulut secara lisan. Penyebarannya secara lisan ini menuntut kepiawaian ahlinya. Daya ingat yang tinggi menjadi ciri menonjol untuk seorang ahli Pansori untuk menyebarluaskannya secara lisan. Dalam sifat kelisanannya itu, reaksi langsung dari penonton sangat dimungkinkan muncul. Ciri-ciri kelisanan menjadi titik utama dalam pertunjukan Pansori. Hal ini seperti terlihat pula pada legenda atau cerita peri, nyanyian prajurit, dan drama rakyat yang lain. Fungsi sosial sebagai media ekspresi kritik kepada penguasa atau kelas sosial yang lebih atas menjadi ciri dominannya. Diselingi dengan humor-humor tertentu menjadikan aneka tari tradisional ini menarik dipertunjukkan. Humor, dengan demikian, menjadi pembungkus kritik sosial agar tidak transparan. Hal inilah yang menjadikan daya pikat penonton, sehingga mereka menggemarinya.

159


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Humor juga merupakan pelengkap gerak maknawi sebagai media ekspresi. Memang, penari sadar dengan kekuatan lokal, termasuk kekuatan humor, yang sangat efektif, khususnya yang melekat pada dirinya sebagai seorang penari. Media yang paling kuat adalah gerak tubuh. Di sebagian jenis tari yang lain, yang paling kuat adalah gerak tubuh erotisnya, seperti misalnya pada tari jaipong di Sunda, Jawa Barat. Pada tari tradisional jaipong, penari perempuan amat menggairahkan dan sering diimpikan sebagai sumber kebahagiaan dan kedamaian. Perempuan juga terus-menerus menjadi objek kerinduan seks, dengan segala bentuk kreasi pemujaannya (Sebatu, 1994). Laki-laki kebanyakan selalu ingin dekat dan kalau perlu bisa bermain cinta dengannya. Bahkan, hal yang sering terjadi pada seorang yang sudah beristri adalah ia juga masih memimpikan gairah seks dari perempuan yang bukan istrinya. Perempuan menginginkan cinta, laki-laki menginginkan seks (Giddens, 2004), demikianlah pepatah lama yang sering terdengar dari masa lalu sampai dengan sekarang. Senjata penari adalah ‘gerak-gerak’ atau ‘ekspresi’ yang memberikan sinyal simbolik tertentu pada penonton. Untuk dapat mengekspresikan sinyalsinyal tersebut, gerakan tubuh merupakan media ekspresi yang paling andal, khususnya ketika penari beraksi di atas panggung pertunjukan. Gerakan mereka merupakan gestur, yaitu pola-pola gerak maknawi yang telah dibuat dan dilakukan oleh penari untuk mengekspresikan perasaan mereka. Hal ini dapat dikatakan sebagai sejenis bahasa komunikasi atau bahasa fungsional yang telah dilakukan sejak awal hadirnya manusia di dunia dan mudah dikenali (Humphrey, 1983). Demikianlah sekilas tari tradisional Korea di mata penonton awam. Melihat tari tradisional Korea di panggung berteknologi modern menjadikan angan ini menerawang jauh ke latar belakang tumbuh dan berkembangnya. Dari uraian selayang pandang itu, tentu kita dapat serba-sedikit memaknai budaya Korea lewat salah satu seninya, yaitu seni tari tradisional sebagai bahan menambah wawasan budaya antarbangsa. Betapa elok dan uniknya jika persahabatan antarbangsa ini terus dikuatkan melalui berbagai sektor, termasuk seni tari. Seni tari ada karena ada penari. Begitulah pada kenyataannya, penari hidup di dua dunia. Di atas panggung mereka sebagai penari yang penuh pesona, dan di luar panggung, penari merupakan manusia biasa yang penuh dengan seribu satu masalah (Caturwati, 2011). Yogyakarta, Juni 2011

160


Tari Tradisional Korea

DAFTAR PUSTAKA Caturwati, Endang. 2011. Sinden-Penari di Atas dan di Luar Panggung. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Bandung: STSI Bandung. Giddens, Anthony. 2004. Transformation of Intimacy: Seksualitas, Cinta, dan Erotisme dalam Masyarakat Modern. Terjemahan Ridwan Nugroho. Jakarta: Fresh Book. Highwater, Jamake. 1996. Dance Rituals of Experience. Oxford: Oxford University Press. Humphrey, Doris. 1983. Seni Menata Tari. Terjemahan Sal Murdianto. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. Morris, Desmond. 1977. Manwatching: A Field Guide to Human Behavior. New York: Harry A. Abrams, Inc, Publisher. Royce, Anya Peter. 1980. The Anthropology of Dance. Bloomington and London: Indiana University Press. Sebatu, Alfons. 1994. Psikologi Jung: Aspek Wanita dalam Kepribadian Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sugihastuti. 2008. Beautiful E-mail from Korea. Yogyakarta: Carasvati Books. Tim Penyusun. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia.

161


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

162


Tari Tradisional Korea

Para Penulis

CECEP SYAMSUL HARI lahir di Bandung, 1967. Telah mempublikasikan tujuh buku kumpulan puisi, satu buku kumpulan cerpen, sebuah novel, dan beberapa buku terjemahan. Buku kumpulan puisinya antara lain: Efrosina (2005), Perahu Berlayar sampai Bintang (2009). Buku terjemahannya terbaru: Perajin Kaca: 100 Puisi Hongaria. Redaktur Majalah Sastra Horison dan publikasi mingguan online Sastra Digital (http:// sastradigital.com). Pernah tinggal sebagai sastrawan tamu di Korea Selatan (2006), Malaysia (2007), Hongaria (2009), Australia (2010). Official website: http://cecepsyamsulhari.webs.com. EVA LATIFAH, lahir di Jakarta, 30 November 1976. Dosen dan peneliti di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia ini, kini tercatat sebagai mahasiswa Program Ph.D, Bahasa dan Sastra Korea, Kyung Hee, Seoul. Di antara kesibukannya mengajar atau meneliti, ia juga banyak menerjemahkan. Alamat (Korea) Hoegi-dong 2-17, Dongdaemun-gu, Seoul, Korea Selatan, Ponsel: 010-2964-1138, E-mail na_evaya@hotmail.com IBNU WAHYUDI, pengajar tetap di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Menempuh pendidikan di Universitas Indonesia dan pascasarjananya di Monash University, Australia. Selama tiga tahun, 1997-2000, ia menjadi pengajar tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Mulai menulis puisi sejak pertengahan 1970-an. Kumpulan puisinya yang sudah terbit adalah Masih Bersama Musim (KutuBuku, 2005), Haikuku (Artiseni, 2009),

163


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

Ketika Cinta (Buku Pop, 2009), dan antologi prosamini berjudul Nama yang Mendera. Tahun 2006, Masih Bersama Musim masuk sepuluh besar Khatulistiwa Literary Award. Kini tengah menyiapkan kumpulan puisi berjudul “Perjalanan Tubuh” dan “Pantun-Pantunan Ramadan”. Bersama Sapardi Djoko Damono dan beberapa teman, ia menjadi redaktur Jurnal Puisi. Sebelumnya, sejak awal 1980-an, ia telah menjadi jurnalis dan penyunting untuk sejumlah media massa cetak dan penerbitan buku. Karyakarya yang pernah disuntingnya, antara lain Lembar-Lembar Sajak Lama (Balai Pustaka, 1983), Pahlawan dan Kucing (Balai Pustaka, 1987), Konstelasi Sastra (Hiski, 1990), dan Menyoal Sastra Marginal (Wedatama Widya Sastra, 2004). LIM KIM HUI dilahirkan di Kedah, Malaysia, 21 Juli 1962. Memperoleh gelar BA (Hons.) pada jurusan Penulisan Kreatif dan Deskriptif (kini dikenal sebagai Jurusan Pengajian Media) dari Universiti Malaya (1988). Tahun 1994, menerima MA dari universitas yang sama dengan spesialisasi dalam jurusan Logika Informal/ Pemikiran Kritis. Pada tahun 2002, ia menyelesaikan Ph.D. di Universitaet Hamburg, Jerman di bawah beasiswa penuh Deutscher Akademischer Austausch Dienst (DAAD). Lim telah menerbitkan beberapa buku, baik karya ilmiah maupun karya kreatif, di antaranya, Globalisasi, Media dan Budaya: Antara Hegemoni Barat dengan Kebangkitan Asia (ditulis bersama dengan Har Wai Mun, 2007), Pemikiran Retorik Barat: Sebuah Pengantar Sejarah (2007), Seni Pemikiran Kritis: Suatu Pendekatan Logik Tak Formal (2009) dan antologi puisi Kembara Fikir di Tanah Senja (2007). Pernah bertugas sebagai dosen dan Research Fellow di Universiti Kebangsaan Malaysia (1994-2010). Kini menjadi Profesor tamu di Jurusan Bahasa MelayuIndonesia, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Republik Korea. M. YOESOEF, Staf Pengajar Departemen Susastra, FIB-UI. Pernah bertugas sebagai dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan (2000—2002). Selain mengajar, ia aktif dalam pementasan drama. Sejumlah naskah drama yang pernah dipentaskan, antara lain, Bunga Roos dari Tjikembang (berdasarkan novel karya Kwee Tek Hoay dengan judul yang sama); Perang, Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari, dan Suara Hati dari Ranah Minang (dipentaskan di Osaka University of Foreign Studies, Jepang); Venus van Preanger atawa Oeler jang Tjantik (berdasarkan novel karya Soe Lie Pit). Menyutradari sejumlah pertunjukan

164


Para Penulis

drama bersama Teater Pagupon sejak tahun 1983—1998. Naskah drama yang pernah digarap, antara lain Brown Sang Dewa Agung (Eugene O’Neill), Lelakon Raden Beij Soerio Retno (F. Wiggers), “Bunga Roos dari Tjikembang” (Yoesoev), dan Jaka Tarub (Akhudiat). Hasil penelitiannya, antara lain, “Film Horor: Sebuah Definisi yang Berubah”, “Perempuan dalam Sajak-sajak Chairil Anwar”, “Cerpen-cerpen Utuy Tatang Sontani”, “Drama di Masa Pendudukan Jepang (1942—1945): Sebuah Catatan”, “Perempuan dalam Perjalanan Teater Modern Indonesia”, “Kisah Mangir di Tangan Pramoedya Ananta Toer”. MAMAN S MAHAYANA, dosen FIB-UI. Beberapa kali memperoleh penghargaan sebagai peneliti dan penulis buku teks. Mendapat Anugerah Serantau Pilihan Sagang dari Yayasan Sagang di Pekanbaru, Riau (2006) dan Anugerah Sastera Majelis Sastera Asia Tenggara (MASTERA) ke-5 untuk buku Sembilan Jawaban Sastra Indonesia, Kuala Lumpur, 27 November 2007. Menulis 15-an buku hasil penelitian, antara lain, Kesusastraan Malaysia Modern (1995), Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (1997), Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia & Malaysia, (2001, edisi revisi, 2010), Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (2005), Bermain dengan Cerpen (2006), Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (2007), Bahasa Indonesia Kreatif, (2008), Pantun Betawi: Refleksi Dinamika Sosial Budaya Masyarakat dalam Pantun Melayu—Betawi (2008). Bersama Prof Koh Young Hun menerjemahkan 10 buku cerita rakyat Korea (Seoul, 2010). Sebagai editor, ia telah menghasilkan 50-an buku berupa antologi cerpen, esai, puisi, dan sejumlah monograf. Ia dipercaya sebagai Konsultan Penerbit Balai Pustaka, Pembaca Ahli Jurnal Mahawangsa, Universiti Putra Malaysia, Pembaca Ahli Jurnal Asia Tenggara Hankuk University of Foreign Studies, Korea, dan konsultan Jurnal Asia, jurnal dwibahasa Inggris—Korea, memuat khazanah sastra dari negara-negara Asia. Kini tinggal di Seoul menjadi pengajar (S-1 dan S-2) di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul. NAZARUDIN, lahir di Jakarta, 24 Mei 1983. Lulus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia tahun 2005, setelah itu melanjutkan pendidikannya dalam bidang linguistik Korea di Inha University, Incheon, Korea (2010). Pernah mengikuti pelatihan leksikografi (Agustus 2006). Pengajar Program Studi Sastra Indonesia dan Program Studi Bahasa dan Sastra Korea FIB-

165


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

UI ini, juga mengajar di BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing). Pernah menjadi pengajar bahasa Indonesia di KOICA (Korean International Cooperation Agency), Hana Language Center (2006), menjadi editor berita, komentator, dan penerjemah di KBS World Radio Indonesian (2009), dan menjadi aktor dalam film Korea, Banga? Banga! (2009—2010). Sejumlah hasil penelitiannya telah dipublikasikan di berbagai media massa dan jurnal ilmiah serta dipresentasikan dalam seminar nasional dan internasional. NOVI SITI KUSSUJI INDRASTUTI, lahir di Yogyakarta, 5 November 1968. Sejak tahun 1995 menjadi pengajar tetap Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB-UGM). Pada tahun 2007, menjadi pengajar tetap di Program Studi bahasa Korea FIB-UGM. Menyelesaikan Program S-1 (1993) dan S-2 (1999) di FIB-UGM. Pada Februari 2008, ia menyelesaikan program doktornya (S-3) di bidang bahasa dan sastra Korea di Kyungnam University Korea dengan disertasi berjudul “Korean and Indonesian Mask Dance Dramas in the Dimensions of Literature and Performance Art: Cross-Cultural Semiotic Study”. Selain mengajar di dua program studi itu, juga mengajar di Pusat Kajian Asia Tenggara dan Pusat Kajian Wanita UGM. Kini menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Korea UGM, Diundang dalam berbagai pertemuan ilmiah, baik di tingkat nasional, maupun internasional. Banyak melakukan penelitian, di antaranya, “The Common Mistakes of the Korean Students in Learning Indonesian Language (2000, sponsor AUN-KASEAS), dan “The Analysis of Korean Usage Errors by Indonesian Migrant Workers in Korea: A Means to Develop an Effective Korean Teaching Methodology” (2010, sponsor Korea Foundation). Bukunya, antara lain, Percakapan Bahasa Korea Sehari-hari (2009) Penelitiannya yang lain dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, salah satu di antaranya, dimuat dalam buku Sejarah Korea menuju Masyarakat Modern (2010) E-mail Address : vindra68@yahoo.com atau pskugm@yahoo.com NUR AINI SETIAWATI, Ph.D, lahir di Yogyakarta, 22 November 1962. Sejarawan lulusan (S-3) Universitas Hanyang, Korea Selatan (2009) ini telah banyak melakukan berbagai penelitian sosial budaya, dan tentu saja penelitian sejarah yang menjadi kepakarannya. Pengajar tetap di FIB-UGM ini, juga telah mengikuti berbagai pelatihan yang sesuai dengan bidangnya. Ia juga dipercaya

166


Para Penulis

mengajar di beberapa perguruan tinggi lain. Ia kerap diundang menjadi pembicara dalam berbagai seminar atau pertemuan ilmiah, baik di tingkat nasional, maupun internasional. Beberapa karyanya penelitiannya telah dipublikasikan di sejumlah jurnal ilmiah. Sejak tahun 2009, ia dipercaya sebagai Ketua Ikasasdaya FIB-UGM, Sekretaris Jenderal International Association of Korean Studies in Indonesia dan Presiden KGSP (Korean Government Scholarship Program) Alumni. PRIHANTORO, Lahir di Solo, 29 Januari 1983. Lulus dari Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang. Sempat mengajar di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto sebelum kembali lagi ke Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro sebagai pengajar tetap. Mendapatkan beasiswa pascasarjana dari pemerintah Korea untuk Jurusan Linguistik dan Ilmu Kognitif di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS) Korea. Peneliti di Digital Language & Knowledge Contents Research Association Korea. Reporter Internasional majalah berbahasa Inggris ‘Argus’, beredar di Korea. Aktif dalam kegiatan pendidikan bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Korea sebagai tenaga pengajar luar biasa di Universitas Terbuka Korea. RIDA K LIAMSI, lahir di Tanjung Pinang, 17 Juli 1943. Budayawan Melayu yang juga penyair dan novelis ini, di kalangan pengusaha dikenal sebagai direktur lebih dari 10 perusahaan nasional. Wartawan senior ini juga banyak terlibat dalam berbagai organisasi kewartawanan dan bisnis suratkabar. Beberapa penghargaan yang diterimanya, antara lain, Anugerah Seniman Perdana (SP) dari Dewan Kesenian Riau (2007), Tokoh Budaya Nusantara dari Bank Permata, Indonesia (2007), Tokoh Pers Nasional dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau (2008), Tokoh Sosio Budaya Melayu dari Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI), Malaka (2009). Sebagai wartawan dan sastrawan, ia pernah diundang ke Amerika Serikat, beberapa negara Eropa, China, Korea, dan negara-negara ASEAN. Pembacaan Puisi Tunggal di Taman Ismail Marzuki (2006) pernah membacakan puisi-puisi di Seoul dan beberapa tempat sekitarnya. Karya-karyanya, antara lain, Ode X (Kumpulan Puisi, 1971), Tempuling (Kumpulan Puisi, 2002), Bulang Cahaya (Novel, 2007), dan Perjalanan Kelekatu (Kumpulan Puisi, 2008)

167


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

ROSTINEU, Lahir di Tasikmalaya, 8 Maret 1979. Sejak tahun 2009 menjadi staf pengajar di Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Ia telah menyelesaikan Bachelor Degree (S1) dalam bidang sastra dan bahasa Jepang di Universitas Gajah Mada (UGM) dan Master’s Degree (S2) di Inha University, Korea Selatan, dengan minat pada sejarah dan bahasa Korea. Ibu satu anak ini juga telah menyelesaikan training akademis di Tokyo University for Foreign Studies, Jepang (2002-2003). Thesis Master’s berjudul “Gerakan Kemerdekaan Korea Selatan di Indonesia pada Masa Penjajahan Jepang di Indonesia” (Hankukin gunsokin Indoneshiaeso Dokripundong) merupakan gambaran mengenai pengetahuannya mengenai Asia Timur dengan fokus sejarah Korea Modern yang berkaitan dengan masa penjajahan Jepang. Ia serta kemampuannya dalam berkomunikasi Bahasa Korea dan Bahasa Jepang. SUGIHASTUTI, lahir di Solo, 2 Januari 1959. Menyelesaikan pendidikan sarjana (1984) dan magister (S-2) (1991) di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Dosen FIB-UGM untuk mata-mata kuliah bahasa dan sastra Indonesia ini, banyak melakukan penelitian mengenai bahasa, sastra, dan budaya. Dikenal juga sebagai penulis esai untuk berbagai media massa ibukota. Pernah menjadi dosen tamu di HUFS (2002— 2004). Pengalamannya selama tinggal Korea itu kemudian dituangkannya dalam buku Beautiful E-mail from Seoul (2008). Penulis prolifik ini telah menghasilkan lebih dari 20-an buku. Beberapa di antaranya, Wanita di Mata Wanita (2000), Teori dan Apresiasi Sastra (2000), Sastra, Ideologi, Politik, dan Kekuasaan (2000), Manusia dan Dinamika Budaya (2000), Kritik Sastra Feminis (2002), Feminisme dan Sastra (2003), Rona Bahasa dan Sastra Indonesia (2005), Gender dan Inferioritas Perempuan (2007), Teori Fiksi Robert Stanton (2007), Lenses: Thought on Culture, Literature, and Linguistics (2009), Belenggu Ideologi Seksual (2010), Membongkar Androsentrisme dalam Prosa Lirik (2010).

168


Para Penulis

TOMMY CHRISTOMY, lahir di Tasikmalaya, 5 Mei 1959. Lulus Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1986) dan Pascasarjana Program Ilmu Susastra (S-2) tahun 1991. Ia kemudian melanjutkan pendidikan dalam bidang Kajian Asia Tenggara, Australian National University (S-3) yang diselesaikannya tahun 2007. Menjadi Dosen Tamu Hankuk University of Foreign Studies (2004—2007). Meneliti Wawacan Barjah dengan sponsor LPUI (1990) dan Wawacan Semaun dengan sponsor Toyota Foundation (1993). Selain menulis hasil penelitian yang dimuat di berbagai jurnal nasional dan internasional, ia juga telah menghasilkan sejumlah buku, antara lain, Indonesia: Tanda yang Retak (Ed., 2002), Wawacan Samaun (2003), Ideologi Budaya (2004), Semiotika Budaya (2004), Tolerating the Other at the Holy Sites (2007), Signs of Wali : Narratives at the Sacred Sites in Pamijahan (ANU E Press, 2008). Kerap juga diundang sebagai pemakalah dalam berbagai seminar internasional. Selain mengajar di FIB-UI dan program pascasarjana UI, ia dipercaya sebagai dosen inti di FIB-UI. E-mail: tommy.christomy@ui.ac.id YANG SEUNG YOON, profesor senior Hankuk University of Foreign Studies, memperoleh dua gelar doktor, yaitu dari Kyungnam University (Korea) dan Universitas Gadjah Mada (Indonesia) dalam bidang ilmu politik. Ia pernah menjabat sebagai Presiden Korean Association of Southeast Asian Studies. Pernah pula menjadi profesor tamu di Pernah diundang Fisipol UGM sebagai dosen tamu antara 2001-2002 dan 2008-2009 dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) selama beberapa tahun. Telah menerbitkan sejumlah buku ilmiah, dua di antaranya, 40 Tahun Hubungan Indonesia-Korea dan Sejarah Korea. Hasil penelitiannya, selain tersebar di beberapa jurnal ilmiah, juga termuat dalam buku antologi, antara lain, Politik dan Pemerintahan Korea (Februari 2010) dan Sejarah Korea menunju Masyarakat Modern (Oktober 2010). Berkat kepakarannya itu, ia kerap diundang dalam seminar atau kuliah umum, baik di Korea sendiri, maupun di beberapa negara lain. Fisip-UI, FIB-UI, The Habibie Center, dan UGM, misalnya, pernah mengundang dosen senior Department of Malay—Indonesian Studies ini, untuk menyampaikan ceramahnya khusus mengenai politik, sosial, dan budaya Korea. Prof Yang Seung Yoon juga tercatat sebagai salah seorang pendiri International Association of Korean Studies in Indonesia (INAKOS),

169


Pusparagam Sosial-Budaya Korea

sebuah lembaga kajian tentang Korea di Indonesia yang telah menerbitkan beberapa hasil penelitian tentang Korea yang ditulis oleh para pakar berbagai disiplin ilmu.

170


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.