Dimensi edisi 21 tahun 2008

Page 1

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMĂŤNSI [ 1 ]


[2]

DIMĂŤNSI

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008


Ibarat jamur di musim hujan, maraknya sekolah-sekolah bertaraf Internasional yang terjadi di berbagai kota di Indonesia juga menjadi sebuah fenomena pendidikan yang terjadi di daerah Tulungagung, sebuah kota paling selatan pulau jawa ini. Ternyata tak terpungkiri, angin globalisasi telah berhembus di segala penjuru Indonesia.

Baca hlm. 6

Cover : Siswa SD Foto : Istimewa Desain : Kasful Anwar

Wajar dikdas adalah salah satu kebijakan pemerintah dalam rangka pemerataan proses pendidikan untuk semua orang. Program yang memasuki tahunnya yang keempat ini, semula direncanakan akan berakhir pada tahun ajaran 2003/2004, alih-alih menjadi berubah untuk dituntaskan pada tahun ajaran mendatang (2008/ 2009). Selanjutnya, jika program ini berhasil, akan dimantapkan lagi pada tahun ajaran 2009/ 2010. Baca hlm. 10

Baca hlm. 14

DAFTAR ISI DIMëNSI Redaksi........................... 2 Suara DIMëNSI............................... 3 DIMëNSI Utama.............................. 6 NUSANTARA.................................. 17 Editorial............................................ 21 TERAS.............................................. 22

Klik..................................................... 24 SWARA.............................................. 26 BUDAYA............................................ 32 Resensi............................................. 37 Suplemen......................................... 42 Sastra................................................ 46

Index

Berbagi satu ruang untuk kegiatan belajar dua kelas adalah hal yang biasa dilakukan di SD Negeri 02 Sendang, sebuah SD terpencil yang memiliki murid sekitar 40 anak, yang terletak di dusun Ngantup desa Nyawangan kecamatan Sendang Tulungagung.

DIMëNSI adalah media informasi yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung menyajikan beragam informasi tentang realitas kehidupan masyarakat; baik politik, budaya, ekonomi, pendidikan maupun agama. DIMëNSI juga menerima tulisan berupa artikel, cerpen, resensi, kolom untuk ikut berpartisipasi demi terwujudnya Civil Society dan bangsa yang bermartabat di mata bangsa lain. Redaksi berhak mengedit setiap tulisan yang masuk dengan tidak merubah esensi

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMëNSI [ 3 ]


DIMëNSI Redaksi

DIMëNSI Paradigma Pemikiran Alternatif

Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) DIMeNSI STAIN Tulungagung Pelindung Ketua STAIN Tulungagung (Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag.) Penasehat Pembantu Ketua (PK) III (Drs. Saifudin Zuhri, M. Ag) Pemimpin Umum Pidik Wahono Kru DIMëNSI foto bersama setelah forling (forum keliling)

Assalamu’alaikum Wr. Wb Salam persma! Salam sejahtera kami haturkan kepada kawan mahasiswa dan pembaca pada umumnya. Dari masa ke masa, walaupun banyak kendala yang dihadapi oleh kawan-kawan dimensi, namun itu bukanlah halangan yang berarti dalam rangka tetap menerbitkan DIMëNSI edisi XXI ini. Disadari atau tidak, walau banyak yang mengirimkan layangan kata-kata atau tulisan ke dimensi, entah itu sebagai sesuatu yang positif ataukah yang negatif, kawan-kawan dimensi tetap berusaha memberikan alternatif pada kawan-kawan mahasiswa dan juga pembaca pada umumnya. Dalam edisi XXI ini, DIMëNSI kembali hadir memberikan alternatifnya pada kawan-kawan mahasiswa, yaitu dengan mengusung tema “Revitalisasi Nilai Pendidikan”. Seperti yang telah kita ketahui bersama, berbagai fenomena muncul hari ini. Layar kaca televisi telah dihiasi oleh rintihan kaum miskin yang semakin jatuh miskin dan bodoh, media cetak tanah air semakin getol-getolnya menampilkan kisah tragis anak-anak bangsa yang putus atau bahkan tidak sekolah. Di lain pihak, para penguasa di birokrat semakin asyik duduk manis menanti datangnya hari di atas kursi empuk dan mewahnya. Korupsi yang terjadi di berbagai departemen dan lembaga pemerintah telah membudaya dan menjadi sesuatu yang hanya sekedar angin lalu. Lewat majalah DIMëNSI edisi XXI ini, kita berusaha mengajak kawan-kawan mahasiswa untuk merenungkan dan merefleksikan satu masalah yang terbesar, “untuk apa bersekolah kalau tidak menjadikan murid-muridnya berpendidikan? Lalu bagaimana nasib generasi bangsa jika sekolah menjadi satu komoditi bergengsi yang hanya bisa dimiliki oleh orang yang beruang?. Kami adalah layaknya manusia biasa yang selalu tidak pernah lepas dari salah dan luput. Apa yang telah kami torehkan dalam kertas ini adalah salah satu cara kami untuk berproses sebagai mahasiswa. Dan kami yakin, kawan-kawan mahasiswa masih bersemangat dalam melakukan gerakan dan berfikir. Untuk itu, hanya kritik dan saran yang membangunlah yang dapat membantu kita semua mewujudkan cita-cita besar bangsa, Tulungagung pada khususnya. Wassalamualaikum Wr. Wb.

[4]

DIMëNSI

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

Sekretaris Umum Arini Hidayati Bendahara Qurrotu A’yunina Pemimpin Redaksi Nunung Afu’ah Dewan Redaksi Abdul Haris, M. Saiqul H, Amnan, Maya E. M, Nurul Huda, Izzatur Rofi’ah, Endang S, Rofiqotul Hidayah Departemen Litbang Andi Mahifal (Co), Ani Rohma,Umi Kasanah Departemen Perusahaan Bayu N.C.P (Co), Faizah Nurmaningtyas, Miftakhul Khoiriyah Fotografer Kasful Anwar, Bramanta Desain Grafis Kasful anwar Reporter Evi S, Bramanta, Nurul, Binti M, Laili K, Nike F. A, Sukron H, Karim, Rois Abin, Hadi Pitoyo, all of crew Dimensi Alamat Redaksi Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung Kodepos 66221, Phone: (0355) 321513 E-mail: dimens_i@plasa.com


Suara DIMëNSI Eh…aku nitip uneg-uneg yang mengganjal ini ya…. Kampus ini untung lho….punya perpustakaan, lumayan sih bukunya. Tapi kok lemot ya…., saat mahasiswa membutuhkan buku-buku yang diperlukan. Eeee...kok gak disediakan? Tapi ketika tugas, makalah telah selesai bukubuku yang dicari sebagai acuan/referensi baru dikeluarkan. Terus buat apa? Saat mahasiswa membutuhkan tidak disediakan? Perpustakan juga menghimpun buku, kenapa gak dikeluarkan semua saja…. Waalaikumsalam WR. WB Ya… mungkin kalau dikeluarkan semua takut rusak kali. Kan masih diperlukan buat adik-adik kita…

Kita juga nggak mau kalah

Dimensi kok tetap saja? Assalamu’alaikum! Hallo Dim, To the point aja, dari dulu dimensi kok tetap saja, kenapa terbitnya selalu lemot? Emang waktu tiga bulan dibuat apa? Gak cukup buat proses pengeditan? Tambah bayar di depan sebelum majalah jadi, namanya dagang itu ada uang ada barang? (Hin- semester v) Wa’alaikumsalam, Hallo juga, Trimakasih ya atas perhatian yang kamu berikan buat dimensi. Itu berarti kamu termasuk mahasiswa yang peduli. Dimensi dari dulu tetap bagus ya, untuk proses penerbitan memang membutuhkan waktu yang lama, bukannya kami sengaja untuk molor. Tidak hanya proses pengeditan saja, tapi memang ada hambatan-hambatan lain terkait masalah investigasi yang dilakukan oleh kru DIMeNSI. DIMeNSI nggak dagang lo, Kampus kita yang tercinta memang tidak memberikan anggaran untuk proses percetakan, DIMeNSI berharap teman-teman mahasiswa dapat memakluminya, karena partisipasi teman-teman mahasiswa lah DIMeNSI bisa tetap ada. Untuk keterlambatan penerbitan, kami mohon maaf. Semoga kehadiran DIMeNSI edisi XXI ini dapat mengobati kekecewaan teman-teman.

Tak mau repot Hai dim, sekarang di STAIN kok pakai bayar spp di bank segala dan lagi program KRS-nya pakai online. Seperti tidak mau repot saja kampusnya? Someone smtr VII hai juga, sebenarnya kampus kita mencoba untuk setingkat lebih maju, biar sama dengan yang di luar sana. Asalkan diimbangi dengan kualitas tata administrasi yang memadai, jangan Cuma bergaya saja, ya nggak?

Perpustakaan kok lemot juga? Assalamu’alaikum, Dim gimana kabare…

Hai kang dim, kita-kita mahasiswa STAIN pengen juga berkarya menulis baik artikel, cerpen atau puisi di dimensi. Jangan Cuma anak yang menjadi anggota dimensi saja yang berkarya. Lagi pula kalau banyak yang nulis kan meringankan tugas anak dimensi ga’ usah cari-cari materi buat majalah atau bulletin. Biar tambah ramai gitu loh. Bas PAI V Hai juga! Terimakasih kawan Bas, sebenarnya kita sudah mencoba mempublikasikan penerimaan karya tulisan kawan-kawan mahasiswa, baik lewat DIMAR yang skala kecil, ataupun DIMëNSI yang setingkat majalah. Namun, sepertinya masih belum terlalu ada peminatnya. Kalau Bas ingin menyumbang karya, bisa langsung dimasukkan kotak DIMëNSI. Dalam jangka dekat ini, DIMëNSI ingin menampung karya kawan-kawan mahasiswa dalam bidang sastra. Tunggu saja tanggal mainnya.

Ditunggu On-linenya Dear, Dimensi. Dim….gimana ni dimensi kok belum bisa diakses di internet. Buat website atau blog dong….kapan majunya kalau Cuma ngandalin majalah yang hanya terbit satu semester sekali. Jangan ketinggalan jaman. Katanya mahasiswa kok gak mengikuti perkembangan jaman. //Mahasiswa peduli teknologi Ya…terimakasih sekali atas usulannya. DIM juga sedang mengusahakan untuk itu. Nanti, pasti akan dipublikasikan ke kawan-kawan mahasiswa.

Megah Sana-sini Salam buat dimensi, Hay guys q mau curhat ni… Sebenarnya kampus-kampus pasti punya daya tawar yang jelas terkait kualitas kampus. Tapi kenapa STAIN malah sibuk bangun fisik saja. Gedungnya setiap tahun ada yang baru sedangkan kualitas mahasiswanya tetap begitu-begitu saja. Jadi prihatin kalau suatu saat nanti tidak ada yang mau masuk STAIN karena Kalah kualitas dengan Kampus

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMëNSI [ 5 ]


lain. Di bagian timur, barat dan setiap sudut kampus sibuk pembangunan demi kemegahan saja. Bisa-bisa kampus kita ini terjepit ga’ bisa bergerak lagi karena pembangunan yang terlalu padat bukan karena mahasiswanya. Kita sebagai KBM bisa shock kalau kampusnya akan tidak ada yang berminat suatu saat nanti. //Brow “yang peduli” smstr VII Ya.. semoga kita tak hanya megah pada gedungnya, tapi juga intelektualnya. Semoga uneg-uneg mu ini dibaca pihak birokrasi dan selanjutnya mendapat tanggapan.

Buka Usaha Hai Dim, gimana kabarnya? Aku cukup senang dengan adanya kamu di kampus terutama NC, rasanya kampus lebih hidup. Sayangnya kenapa NC selalu telat dalam penerbitan, gimana nich? Nitip usul juga gimana kalau dimensi menerima rental makalah, print, foto kilat, cetak foto dll. Kayaknya bakal banyak yang minat, kan lumayan…he..he…dan mahasiswa gak susah-susah keluar kalau di kampus sendiri sudah ada. Buat Dimensi crew trimakasih dan tetap semangat berjuang! //Ban’s smstr III Hai juga! Alhamdulillah kabar DIM baik-baik saja, walau sering terlambat nongol. Sebenarnya itu usul yang bagus sekali, untuk pengembangan jiwa wira usaha mahasiswa. Namun, kita mempunyai agenda yang berkaitan dengan tulis menulis, sehingga komputer yang ada di DIM on terus. Jadi, untuk mengalihkan ke yang lainnya, menjadi sesuatu yang masih belum diperhitungkan. Kan ada KOPMA?

Serba Risih Assalamu’alaikum wr.wb Apa kabar Dim, nitip uneg-uneg nich… Q itu ngrasa nggak nyaman kalo mo sholat di masjid kampus, soalnya tempat wudhunya itu terbuka banget…padahal kita yang cewek harus lepas jilbab, gimana nich…pihak kampus itu jangan hanya sibuk bangun gedunggedung baru, masjid kan perlu diperhatikan juga!// someone/V waalaikumsalam wr. wb kabar Dim baik-baik saja, cuma kadang-kadang kita telat nongol aja. iya, masjid menjadi tempat yang “kurang” nyaman buat para cewek, semestinya memang masjid dahulu yang dibenahi, baru gedung-gedung yang mewah serba tinggi itu. atau mungkin itu yang mencerminkan karakter birokrat kita? ya.. kalau tidak seperti itu, setidaknya, ada agenda untuk membenahi “tempat spiritual” kita, apalagi ini bulan romadhon. ya nggak?

Nasib Praktikum Kita? hai DIM.... aku mau nitip grundelan nih, aku mahasiswa semester V TBI, udah mengikuti program praktikum selama hampir

[6]

DIMëNSI

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

dua tahun ini, tapi rasanya kok gimana gitu... hampir nggak ada rasanya... gimana to sebenernya kejelasan praktikum itu?//Nu/TBI V Hai Nu.. DIMëNSI turut prihatin juga sama keadaan kamu dan temen-temen seangkatan kamu, sebenarnya dahulu dimensi sudah pernah mencoba mengadakan dialog bareng dosen-dosen PLPT terkait masalah praktikum, dan mereka memberi alternatif, bahwa perlu adanya kerjasama antara HMPS dan Kaprodi masingmasing untuk menjadwal ulang mata kuliah praktikum, namun realisasinya Nu bisa rasakan sendiri awal semester ini. Tinggal bagaimana kawan-kawan mahasiswa mencoba untuk mendialogkannya kembali. oke..? mogamoga aja nggak sekedar janji, ya to?

Dasarnya apa? assalamualikum wr wb hallo kang dim,, piye kabare? kok suwi gak muncul?aku pengen nyampekne unek-unek, ki bahasane campur-campur zo... UAS kemarin, ada banyak keganjilan pada nilaiku dan temen-temenku, ada yang dapat bagus walau gak aktif di kelas bahkan tak kumpulin tugas-tugas UTS, ada yang dapat jelek walau aktif banget di kelas, sebenarnya, kriteria dosen menilai itu seperti apa to ya? kok kesannya asal.. gitu... //suwung waalaikum salam wr wb alhamdulillah DIM baik-baik saja, cuman ada beberapa kendala yang membuat kita jadi lama tidak muncul, tapi semoga tetep diharapkan kawan-kawan mahasiswa. soal Nilai, DIM juga tak terlalu banyak tahu darimana pijakan para dosen itu, tapi yang jelas, seharusnya ada nilai dari setiap karya, ya nggak? kan seharusnya kampus menciptakan suasana yang penuh penghargaan terhadap intelektual? tanpa diskriminasi dan memang diperuntukkan untuk orang yang layak.

Suara DIMëNSI menerima segala kritik, saran dan masukan yang bernada membangun. Surat bisa dikirim via pos, email: <dimens_i@plasa.com> atau langsung bisa di antar ke kantor redaksi DIMëNSI dengan menyertakan identitas asli. Harap ditulis juga tujuan surat bersangkutan dikirim, yakni, News-Camp, DiM-ar atau Majalah DIMëNSI sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemuatan. Surat-surat yang sudah masuk ke redaksi tidak akan dikembalikan lagi.


No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMĂŤNSI [ 7 ]


DIMëNSI UTAMA Menengok RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional)

Di Tulungagung; Diskriminasi Pendidikan Ibarat jamur di musim hujan, maraknya sekolah-sekolah bertaraf Internasional yang terjadi di berbagai kota di Indonesia juga menjadi sebuah fenomena pendidikan yang terjadi di daerah Tulungagung, sebuah kota paling selatan pulau jawa ini. Ternyata tak terpungkiri, angin globalisasi telah berhembus di segala penjuru Indonesia.

lobalisasi yang ada saat ini membuat manusia tertuntut untuk kreatif dan inovatif mendayagunakan potensi diri dan alam, dengan tidak adanya jarak antara ruang dan waktu, sehingga penguasaan teknologi dan bahasa asing menjadi sebuah keniscayaan. Hal inilah yang menjadi kajian baru ‘pemaksaan’ peningkatan mutu pendidikan tanah air. Mengacu pada UU sikdiknas No 20 tahun 2003 terutama pada pasal 50 ayat 3,peraturan Pemerintah dalam pasal 61 ayat 1, rencana strategis pendidikan nasional tahun 2005-2009, RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) adalah kebijakan pemerintah dengan menerapkan konsep sekolah berbasis ICT (Information Communication and Technology). Hal ini terlihat dengan adanya kerja sama yang konsisten antara pemerintah pusat dan pemerintah di masing-masing kota/kabupaten dan minimal satu sekolah di setiap jenjangnya. Sementara di Tulungagung, sampai tahun 2008 ini, terdapat dua sekolah menengah pertama yang mencanangkan program RSBI, yaitu SMPN1 dan SMPN 3 Tulungagung. Hal ini seperti diungkapkan oleh Maryoto Birowo, kepala diknas Tulungagung, sedangkan yang lainnya masih SSN (Sekolah Standar Nasional) yang antara lain

G

[8]

DIMëNSI

Para siswa SMPN 1 Tulungagung sedang mengadakan penelitian di laboratorium MIPA

SMPN 1 Kauman, SMPN 2 Tulungagung, SMPN 1 Sumber Gempol, SMPN 1 Ngunut, SMPN 1 Bandung, SMPN 1 Tulungagung dan SMPN 3 Tulungagung (selain kelas internasional). Menurut Maryoto Birowo, latar belakang munculnya RSBI salah satunya adalah kawasan Tulungagung adalah kawasan yang mayoritas penduduknya adalah TKI di luar negeri, sehingga kadang-kadang mereka membawa anggota keluarga untuk pindah ke tempat mereka bekerja, mengakibatkan anak-anak yang pada mulanya sekolah di Tulungagung harus pindah sekolah. “Dulu pernah ada anak SMA 2 yang ingin pindah sekolah ke luar negeri, secara administrasi harus menunjukkan rapor, sedangkan untuk mata pelajaran di sini kan tidak sama, jadi harus terminal (berhenti; red) dulu.

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

Untuk itu, dengan SBI ini diharapkan dapat langsung masuk tanpa terminal” ungkap Maryoto. Untuk memperoleh label Internasional harus memenuhi 8 standar yang diberikan pemerintah, seperti diungkapkan oleh Wakasek SMPN 3, yaitu; 1). Kurikulum, 2). kompetensi kelulusan, minimal 7.0, 3). Kompetensi Guru, harus S1 dan minimal 10%-nya S2, 4). Sarana prasarana, yang mencakup Lab Komputer, Lab. Bahasa, Lab MIPA juga fasilitas kelas harus berAC, dan memiliki note-book sendiri (laptop), lahan minimal 1.5 Ha, 5). Jam pelajarannya paling tidak 1 minggu 32 jam menjadi 38 jam, dan ada tambahan pada mata pelajaran MIPA, B. Inggris, DIK (komputer), 6). Materi tambahan yang tidak dimiliki sekolah reguler, 7). Standar manajemen, 8). Standar penilaian.


DIMëNSI UTAMA

Martadi Jika sudah memenuhi 8 syarat tersebut, maka sekolah yang bersangkutan bisa punya label RSBI. Menurut Martadi, seorang dosen jurusan seni rupa FBS (Fakultas Bahasa dan seni) UNESA mengatakan, “Sebelum memulai RSBI, setidaknya pihak sekolah tahu sebenarnya RSBI itu seperti apa, posisi sekolahnya dimana, apa yang akan dilakukan dengan sarana dan prasarana yang dipunyai, metode pembelajarannya dan kualitas guru-gurunya, juga jaringannya dengan lembaga luar bagaimana”, sehingga dapat difahami bahwa untuk menjadikan sekolah sebagai RSBI itu memang tidak serta merta begitu saja, karena pemahaman yang salah tentang RSBI bisa membuat dis-orientasi. Seharusnya, berbicara masalah standar internasional, tidak hanya karena “speaking English” saja, karena kemampuan intelektual peserta didik tidak hanya bisa dilihat dari satu sisi saja, namun, merupakan gabungan dari berbagai potensi yang dimiliki. “SBI itu tidak hanya karena memakai Bahasa Inggris saja lewat programnya yang Bilingual (dua bahasa; red) tapi juga karena memakai kurikulum dan standar internasional.” Imbuh Martadi, yang saat ini menjabat sebagai koordinator kerjasama di UNESA dan juga melakukan pendampingan terhadap RSBI di wilayah Surabaya ketika ditemui di sela-sela rapat oleh kru DIMëNSI. Di SMPN 1 yang berlabel Internasional, tahun 2007 lalu, membuka dua kelas dengan jumlah murid 24 per

kelas. “Kami membuka dua kelas, yang masing-masing kelas berisi 24 orang”. Ungkap Leny Agustina, penangung jawab Teknis RSBI di SMPN 1 Tulungagung. Selain fasilitas ruang yang ber-AC, di SMPN 1 juga menggunakan Komputer multimedia 24 unit yang online internet selama 24 jam. “Komputer online 24 jam, kecuali malam minggu dan malam senin, untuk Guru MIPA dan Bahasa Inggris selain menggunakan buku, juga menggunakan literatur dari internet”, tutur Noerdaryanto, penanggung jawab Lab. Multimedia SMPN I Tulungagung untuk RSBI. “Kalau ikut kelas RSBI, setiap hari harus berbicara dengan bahasa Inggris, karena English Speaking Area,” ungkap Faqih yang saat ini duduk di kelas VIII A SBI SMPN 1 Tulungagung, “dan biasanya kalau ketahuan nggak pakai Bahasa inggris, ada punishmentnya.” Imbuhnya. Pembedaan yang terjadi antara kelas RSBI dan kelas reguler biasa adalah penambahan jam pelajaran pada RSBI. Selain itu juga penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, sehingga pada mata pelajaran MIPA, pengantarnya memakai bahasa inggris. Misalnya di SMPN 1 Tulungagung, 2 kali istirahat, untuk semua kelas, baik reguler maupun RSBI. Akan tetapi, kelas reguler pulang jam 13.30 sedangkan kelas RSBI pulang jam 15.00. Tenaga pengajar untuk sekolah RSBI, adalah tenaga pengajar pilihan yang memenuhi standar dari pemerintah. Untuk program MIPA dan Bahasa Inggris, guru pengampu selain menguasai materi yang akan disampaikan, juga harus memahami bahasa inggris sebagai bahasa pengantarnya. “Usia maksimalnya 45 tahun, karena pada usia muda itu dapat diajak berubah, sedang usia tua terkadang sulit untuk diajak berubah.” Imbuh Leny. Selain itu, pengajar RSBI di Tulungagung mendapatkan pendampingan dari tenaga pengajar dari UM (Universitas Malang). Mereka datang secara berkala ke sekolahsekolah RSBI. Sedangkan untuk konsultan kebahasaan, ada pendampingan dari native speaker, salah satunya adalah dari Denmark,

yang juga datang secara berkala. Di samping itu, mereka juga mengikuti kursus-kursus bahasa inggris. Martadi juga menambahkan bahwa yang menjadi pokok utama RSBI itu adalah peningkatan kualitas guru, karena guru adalah pemain utama KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) di kelas, walaupun pada tahap ini guru menjadi fasilitator. Menjadi sebuah Dilema Realitas yang terjadi di lapangan jauh berbeda dengan konsep yang telah ditawarkan, sehingga RSBI menjadi sebuah dilema. pasalnya dari 300 sekolah yang telah menerapkan standar ini telah menjadi program amburadul yang diterapkan pemerintah, sehingga program RSBI ini memang layak untuk ditinjau kembali (seperti dikutip di tabloid edukasi edisi maret 2008). Seperti diungkapkan oleh Imam Baidowi, aktivis LSM FKGTTM (Forum K o m u n i k a s i G u r u Ti d a k Te t a p Madrasah), “Kalau kita memandang SBI kita tetap memandang dari kurikulum standar Internasional-nya itu seperti apa,” dalam penuturan selanjutnya, dia menceritakan pengalamannya ketika berkunjung di Jakarta, “Sekolah SBI yang ada di Jakarta menggunakan standar dari sekolah Singapura, sedangkan di Surabaya menggunakan standar dari Inggris. Dan kesemuanya memiliki otonomi sendiri dalam mengatur kebijakan kurikulumnya. Sehingga, dapat dikatakan sekolah yang berstandar internasional belum memiliki kurikulum yang pasti.”

Noerdaryanto

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMëNSI [ 9 ]


DIMëNSI UTAMA

Penggunaan komputer multimedia dalam penyampaian materi pelajaran menjadi suatu keharusan di sekolah berstandar internasional

Baidowi juga menambahkan bahwa SBI yang dirintis, dijadikan semacam proyek, mengingat begitu mahal biayanya dan juga diberikannya kebebasan sekolah SBI untuk membuat patokan standar masuk sendiri. Hal ini tidak menutup kemungkinan kalau ada sistem lobi antara pihak sekolah dengan wali murid yang mengiginkan anaknya masuk walaupun nilainya tidak mencukupi. Sehingga, tujuan pendidikan yang memanusiakan manusia menjadi bergeser untuk mengejar materi semata. “RSBI itu kan masih rintisan, jadi kapan jadi SBI-nya kan masih lama, dan itu juga belum jelas kapannya, jadi kalau menurut saya sebaiknya sekolahsekolah itu jangan berlomba-lomba untuk mendapatkan label RSBI, tapi pembenahan kualitas sekolah baru mendapatkan label RSBI, jangan memaksakan diri untuk berlabel internasional, yang penting benahi dulu kualitas sekolahnya, baru setelah itu memberinya label internasional, sekarang itu yang dicari-carikan labelnya, bukan bagaimana membenahi kualitas sekolahnya.” Ungkap Martadi. Kemudian, dia juga menambahkan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia saat ini adalah seperti antara langit dan bumi, tidak seimbang antara yang kaya dan yang miskin, hal ini menyebabkan diskualitas pendidikan. “Bedanya dengan di Jepang, kalau di sana tidak diberi label internasioanal pun tarafnya sudah

[ 10 ] DIMëNSI

internasional, kalau Indonesia, tarafnya internasional tapi kakinya kok dua. Ya nasional ya internasional.” Imbuh Martadi Tidak Harus dengan Label Dengan adanya kebebasan (baca: otonomi) tersebut, hal ini juga menunjukkan ketidak percayaan sekolah dengan standar yang dibuat pemerintah (UAN). Pasalnya, dalam setiap masuk sekolah RSBI, calon murid harus melewati tiga tahap tes masuk, yaitu seleksi administrasi, seleksi akademis, dan seleksi non akademis. Hasil ketiga tes tersebutlah yang akan menentukan seorang siswa dapat diterima di RSBI atau tidak. “walaupun belum mengikuti UAN yang penting nilai rapor kelas III sampai VI dan hasil tes

Son Warsono

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

masuk tadi”. Tutur Leny. Dia juga menambahkan kalau yang diambil di dalam UAN itu hanyalah STL (Surat Tanda Lulus)-nya saja, karena menurutnya nilai dalam UAN belum mewakili yang diperioritaskan adalah nilai hasil tes masuk tadi. “Bagi saya, UAN itu tidak fair, padahal murid itu kemampuannya tidak hanya bisa dijudge lewat UAN yang cuma tiga hari, sedangkan sekolahnya selama 3 tahun, maka dari itu di SMPN ini ada juga hiden curiculumnya, termasuk kedisiplinan, tingkah laku dan kesopanan juga yang lain-lain. Karena orang yang cerdas itu tidak hanya IQ, tapi juga EQ. dan SQ, jadi cerdas otak dan juga cerdas hati.” Ungkap Son Warsono, kepala sekolah SMPN 1 Kauman saat ditemui kru DIMeNSI di kantornya. Dia juga menambahkan bahwa sekolahnya memang berstandar Nasional, tapi untuk kualitas juga tidak kalah dengan sekolah-sekolah yang bertaraf internasional, hal ini terbukti bahwa seluruh muridnya lulus UAN. “Sebenarnya, kalau SMPN 1 Kauman dan SMPN 2 Tulungagung memenuhi 8 standar itu, kita bisa menjadi RSBI, tapi karena selain luas tanah yang belum memadai atau mencukupi, juga Human Resources yang kurang, sehingga belum mencapai RSBI,” imbuhnya lagi. Hal ini diperjelas oleh komentar seorang guru di SMPN 2 Tulungagung yang tidak berkenan disebutkan namanya, “Meskipun SMPN 2 Tulungagung ini hanya bertaraf SSN, tapi sekolah ini mampu bersaing dengan sekolah yang bertaraf SBI. Hal ini dibuktikan dengan naiknya peringkat dalam ujian nasional, yaitu dari peringkat 5 naik menjadi peringkat 3, out put juga bagus, hasil-hasil kompetisi yang diikuti SMPN 2 Tulungagung baik yang bersifat akademik maupun non akademik juga menunjukkan bahwa SMPN ini mampu bersaing dengan SMPN yang lainnya.” Berdasarkan hasil investigasi kru DIMëNSI, dalam hal fasilitas, SMPN 2 sudah bisa dikatakan hampir sama dengan sekolah yang bertaraf internasional. Hal ini terbukti dengan SMPN 2 yang bisa mengurus administrasi rumah tangga sendiri,


DIMëNSI UTAMA

M. Abdul Manab ruang kelas yang sudah menggunakan fasilitas TV-e (Empero; SMPN dua; red), yang bisa langsung memberikan informasi penting dari sekolah ke kelas-kelas. Cara pengajarannya juga sudah menggunakan komputerisasi. Pihak sekolah sangat optimis bahwa masyarakat masih mempercayakan SMPN 2 Tulungagung sebagai salah satu SMPN unggulan, meskipun ada SMPN RSBI. “Sekolah ini tetap meningkatkan kualitas dalam segala hal agar lebih bagus, tidak ada perasaan tertekan, optimis dengan perjuangan teman-teman, sebenarnya dalam perjalanan kita kalah dengan sistem, kalah cerdik. Tapi kita tetap mempertahankan dan berusaha dengan jujur.” Imbuh Guru SMPN 2 yang tidak mau disebutkan namanya tadi. Hal ini juga diperkuat oleh M. Abdul Manab, salah satu pengurus yayasan pondok Pesantren Modern Darul Hikmah Tawangsari Tulungagung, “Sekolah yang kami dirikan (Mts Darul Hikmah Tawangsari) sebenarnya bisa dikatakan Internasional, karena kami menekankan pada penguasaan dua bahasa asing, yaitu bahasa arab dan inggris. Tapi kami tidak menggunakan tema SBI, karena tidak bisa diterapkan disini, jaringannya juga dari luar negeri, di Jakarta aja nggak ada. Ukuran ujiannya harus internasional juga, tapi nyatanya ujiannya masih nasional, kan sama saja.” MTs Darul Hikmah Tawangsari Tulungagung, memang telah membuktikan bahwa dengan input yang biasa-biasa saja bisa menghasilkan output yang mampu bersaing dengan sekolah-sekolah berstandar nasional maupun internasional. Pasalnya, yang

dapat menjadi calon murid sekolah ini syaratnya adalah lulus SD, tidak ada tes penyeleksian seperti sekolah-sekolah unggulan lainnya. Dengan program penguasaan bahasa arab dan inggris yang harus dikuasai murid pada awal masuk selama 3 bulan, murid-murid sekolah ini dapat diterima dengan mudah di sekolah-sekolah Luar negeri, terbukti ketika salah satu lulusan murid MTs Darul Hikmah ada yang menetap di New Zealand, Australia. Bahkan baru-baru ini yang mendapatkan peringkat tertinggi adalah seorang anak yatim yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja. “basisnya kita kan iklhlas tanpa tarif, konsep pendidikan di sini tidak muluk-muluk, tapi menerapkan teori-teori yang meningkatkan dunia pendidikan”. Imbuhnya lagi. Sementara itu dari pihak orang tua murid, “Sebenarnya kalau menurut saya pendidikan yang baik itu harus seimbang antara agama dan umum.” Ungkap Suryani, salah satu wali murid SMPN 1 Tulungagung. “Maka dari itu, sebenarnya awalnya saya tidak terlalu setuju ketika anak saya ingin masuk SMPN 1, tapi lama-lama saya fikir ada baiknya memang. Dan bagi saya, masalah finansial itu tidak terlalu terfikirkan, asalkan ada kompensasi yang jelas untuk wali murid”. Imbuh Suryani yang saat ini menjadi guru Qur’an Hadits di MTsN Tulungagung. “Akan tetapi, untuk mengimbangi itu, anak saya kalau malam saya wajibkan untuk mengaji, biar imbang agamanya,” imbuhnya lagi. Dia juga menambahkan, yang sedikit menjadi kekhawatiran adalah penggunaan

Suryani

internet, pasalnya dia beranggapan bahwa dengan menggunakan internet, memungkinkan adanya penyalahgunaan. Hal ini jauh berbeda dengan penuturan Musirah (41), seorang tukang bungkus brondong, “SPPne 150 ewu, durung buku-bukune jali he? duwik teko ngendi? Po rayo mending sing biasabiasa ae? (SPP-nya 150 ribu, belum buku-bukunya, uang dari mana? lebih baik memilih yang biasa-biasa saja; red). Dia juga mengaku bahwa anaknya yang bernama Ika seharusnya dapat melanjutkan ke SMPN 3 yang RSBI jika memungkinkan, tapi hal itu tidak dipilihnya karena alasan ekonomi. Lagilagi, pendidikan menjadi tidak terjangkau karena alasan yang klasik, kemiskinan. Dengan melihat realitas yang ada, kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan besar tentang hakikat pendidikan yang sebenarnya. Kemunculan RSBI, program peningkatan mutu sarana dan prasarana pendidikan setidaknya dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan demi untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa, sesuai yang termaktub dalam undang-undang, mencerdaskan kehidupan bangsa, bagaimanapun bentuk latar belakangnya. Adalah sangat ironis ketika peserta didik yang berprestasi harus ‘menggigit jari’ atas ketidakberpihakan nasib padanya, dan semua itu dikarenakan alasan kemiskinan yang kian menjerat rakyat. Terlebih, mengingat kondisi daerah Tulungagung yang mayoritas adalah masyarakat pesisir yang berada pada kelas sosial menengah ke bawah. Mengingat, pendidikan yang menyeluruh adalah yang tidak hanya mengembangkan IQ (intelektual) saja, tapi juga aspek emosional, dan spiritual. Ketiga aspek itu mejadi lebih lengkap jika diimbangi dengan kemampuan daya kretifitas, sehingga dapat menciptakan perubahan-perubahan baru demi kelangsungan generasi bangsa. Karena pada dasarnya masyarakat saat ini sudah lebih pandai untuk memilih, terninabobokkan oleh sebuah pencitraan pada label ataukah pemenuhan atas kebutuhan dasar manusia akan pendidikan yang bisa memanusiakan manusia? //bull; newn; vie; luxs//

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMëNSI [ 11 ]


DIMĂŤNSI UTAMA

Wajar Dikdas Dalam Teka-Teki Wajar dikdas adalah salah satu kebijakan pemerintah dalam rangka pemerataan proses pendidikan untuk semua orang. Program yang memasuki tahunnya yang keempat ini, semula direncanakan akan berakhir pada tahun ajaran 2003/2004, alih-alih menjadi berubah untuk dituntaskan pada tahun ajaran mendatang (2008/2009). Selanjutnya, jika program ini berhasil, akan dimantapkan lagi pada tahun ajaran 2009/2010. Tujuannya adalah untuk pemerataan pendidikan anak yang putus sekolah karena faktor kemiskinan. Sedangkan di sisi lain, melihat implementasi yang ada, pemerintah seolah-olah hanya asal-asalan menjalankannya. alam beberapa tahun terakhir, kondisi pendidikan di Indonesia bisa dikatakan masih jauh untuk mencapai tingkat kesuksesan, terbukti dengan jumlah angka partisipasi kasar atau APK level SMP masih kurang dari 80% sebanyak 111 kabupaten/kota dan tujuh provinsi hingga akhir 2007. Masih banyak terdapat daerah yang pencapaian APK SMP dibawah 50 persen, seperti Kabupaten Teluk Bintuni di Papua Barat dengan APK SMP sederajat baru 46,92 persen dan Kabupaten Yahukimo di Papua dengan APK 48,32 persen. Sampai saat ini pemerataan pendidikan masih tetap menjadi permasalahan yang serius. Masih banyak kita temukan di beberapa daerah anak-anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan dasar dan tingginya angka putus sekolah, baik daerah pinggiran maupun perkotaan. Padahal, sesuai dengan fitrahnya, memperoleh pendidikan adalah termasuk hak yang harus didapatkan oleh seluruh warga, entah kaum mayoritas maupun kaum minoritas.

D

Pemerataan Pendidikan Sesuai dengan amanat yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang layak. Melihat kondisi pendidikan yang masih dalam taraf rendah baik kualitas maupun tingkat pemerataannya. Pemerintah berusaha meningkatkan kesetaraan pendidikan dengan mencanangkan program wajar dikdas (wajib belajar pendidikan dasar) sejak tahun 1994. Tujuannya adalah

[ 12 ] DIMĂŤNSI

Suasana ujian wajar dikdas

untuk pemerataan pendidikan anak yang putus sekolah karena faktor kemiskinan. Selain itu program ini juga untuk perluasan pelayanan pendidikan dasar yang bermutu dan terjangkau baik melalui jalur formal maupun non formal. Sehingga seluruh anak usia 7-15 tahun baik laki-laki maupun perempuan dan anak-anak yang memerlukan perhatian khusus dalam memperoleh pendidikan dapat memperoleh pendidikan setidaktidaknya sampai sekolah tingkat pertama atau sederajat. Program wajar dikdas yang memasuki tahun ke empat ini, sesuai dengan dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (2); UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SisDIKNAS) Pasal 6 ayat (1); dan Inpres No 1 Tahun 1994 tentang Penun-

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

tasan wajar dikdas 9 tahun Diharapkan, pendidikan kesetaraan merupakan bagian penting dari pendidikan non-formal yang memberikan fleksibilitas pada peserta untuk menjalani pendidikan sesuai dengan minat dan kondisinya. Dalam kaitannya dengan program pemerintah mencanangkan wajar dikdas sembilan tahun untuk anak usia sekolah, pendidikan kesetaraan mampu memberi kontribusi 4,6% pada Angka Partisipasi Kasar (APK) secara nasional (Kompas 15/07/08). Ditargetkan pada tahun ajaran 2008/ 2009 program tersebut akan selesai dengan tuntas. Selanjutnya, jika berhasil, program ini akan dimantapkan pada tahun ajaran berikutnya, yakni tahun ajaran 2009/2010.


DIMëNSI UTAMA Implementasi Pelaksanaan program wajar dikdas 9 tahun tidak semata-mata hanya dengan menyediakan sekolah, ruang kelas, dan membangun sekolah baru. Namun sejak program ini dicanangkan, sampai saat ini masih banyak terjadi berbagai masalah dalam pengaplikasiannya. Padahal, program ini semula ditargetkan akan selesai pada tahun ajaran 2003-2004, akan tetapi kenyataannya belum selesai sampai sekarang. Program wajar dikdas khususnya di daerah Tulungagung dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu jalur formal dan jalur non formal yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan dan Departemen Agama. Masing-masing diantara keduanya memiliki program penuntasan wajar dikdas sembilan tahun. Hanya saja ada sedikit perbedaan dalam proses pelaksanaanya. Lembaga pendidikan yang berada dalam naungan Depag, yang setara dengan MI/SD disebut Madrasah Ula dan Madrasah Wustha yang setara dengan Madrasah Tsanawiyah. Program wajar dikdas yang melalui jalur Depag ini dilaksanakan lewat beberapa pondok pesantren. Sedangkan di bawah naungan Diknas, programnya disebut paket A, paket B, dan paket C. “Kalau program kita, karena kita punya jalur Direktorat Jenderal pendidikan formal informal, dan kita mengikuti jalur yang ada, kalau di Diknas namanya kejar paket A, paket B dan paket C, sedang di Depag namanya Madrasah Ula dan Wustha.

Mardjaji

Tujuh Isu pendidikan nasional 1. Penuntasan wajar dikdas 9 tahun, 2. Pemberantasan buta aksara 3. Peningkatan akses SLTA dan perimbangan jumlah SMA:SMK 4. Peningkatan akses dan kualitas pendidikan tinggi, terutama melalui peningkatan kapasitas peluasan politeknik 5. Redistribusi guru dan antisipasi kekurangan guru dalam waktu lima tahun ke depan 6. Evaluasi pelaksanaan ujian nasional, kurikulum tingkat satuan pendidikan, e-administrasi, e-pembelajaran, akreditasi sekolah/madrasah dan perguruan tinggi, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan BOS buku, rehabilitasi sarana/prasarana sekolah, peningkatan kualifikasi dan sertifikasi guru/dosen, dan pendidikan kecakapan hidup. 7. Evaluasi pelaksanaan otonomi pendidikan, satuan pendidikan, dan peran serta masyarakat. Sembilan terobosan kebijakan pendidikan 1. Pendanaan Pendidikan 2. Peningkatan Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi Guru dan Dosen 3. Penerapan TIK untuk e-pembelajaran dan e-administrasi 4. Pembangunan prasarana dan sarana pendidikan 5. Rehabilitasi prasarana dan sarana pendidikan 6. Reformasi perbukuan 7. Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan secara komprehensif 8. Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra public pendidikan secara komprehensif 9. Evaluasi pelaksanaan otonomi pendidikutip dari edukasidikan, satuan pendidikan dan peran serta masyarakat. Dikutip dari tabloit Edukasi

Jadi antara Depag dan Diknas itu sama saja, setara, hanya sasarannya saja yang berbeda”, tegas Mardjaji ketua Dikluspora Tulungagung ketika ditemui Kru DIMëNSI di kantor Diknas Tulungagung. Program Wajar Dikdas melalui jalur Depag yang dilaksanakan di Pondok Pesantren ini, akan memperkuat peranan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia dan peranannya untuk menjadi lembaga yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa pun telah diakui masyarakat. Sebagian pondok pesantren telah mampu mengembangkan fungsi dan peranannya sebagai pusat pengembangan masyarakat. Pondok pesantren salafiyah masih mempertahankan sistem pendidikan khas pondok pesantren, baik kurikulum maupun metode pembelajaran, menjadi sasaran utama program ini. Tujuannya adalah meningkatkan peran serta pondok pesantren Salafiyah dalam penyelenggaraan program wajar dikdas sembilan tahun bagi para peserta didik (santri). Hal ini dimaksudkan agar pondok pesantren bisa bersaing dalam modernitas, artinya lulusan pondok pesantren bisa melanjutkan studinya dengan cara mengikuti ujian nasional. Sehingga para santri dapat memiliki kemampuan setara dan kesempatan yang sama untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan memasuki lapangan pekerjaan.

Adapun jenjang pendidikan untuk program wajar dikdas pada pondok pesantren Salafiyah, terdiri dari dua jenjang : 1. Salafiyah Ula atau dasar yang setara dengan pendidikan sekolah dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) selama 3 tahun; dan 2. Salafiyah Wustha atau lanjutan yang setara dengan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) selama 2 tahun. Berdasarkan rekap data wajar dikdas kabupaten Tulungagung tahun 2007/ 2008, dari Depag tercatat 19 pondok pesantren yang melaksanakan program wajar dikdas. Diantara beberapa pondok pesantren yang paling banyak melaksanakan Wajar dikdas adalah di daerah Campurdarat, berjumlah 4 pondok pesantren. Selainnya adalah di daerah Gondang, Besuki, Sumbergempol, Pucanglaban, Kalidawir, Sendang, Kauman, Pakel, Bandung, dan Ngantru. Mereka yang mengikuti wajar dikdas adalah yang belum mengenyam pendidikan dasar, belum setara dengan pendidikan formal, dan belum memiliki ijasah. Rata-rata peserta wajar dikdas di pondok pesantren adalah santri dan warga sekitar lingkungan pondok yang sudah bukan usia sekolah. Bahkan ada yang sudah bekerja menjadi pamong desa. Sehingga waktu pembelajaran sesuai dengan kesepakatan dan

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMëNSI [ 13 ]


DIMëNSI UTAMA “Sebenarnya mereka merasa terbebani dengan akreditasi dan sertifikasi yang dilakukan di negeri ini, ” masih Mukti Ali. Dalam hal kualitas proses pembelajaran, wajar dikdas di pondok pesantren masih terkesan belum maksimal. Hal ini terlihat dari keterbatasan tenaga dan kualitas pendidik yang masih banyak lulusan setara dengan SMA, bahkan tak jarang muridnya lebih menguasai-dalam suatu bidang ilmu-dari pada gurunya. Misalnya sewaktu mengaji diniyah sebagai murid, tetapi ketika dalam proses belajar wajar dikdas mereka dapat berperan sebagai guru dan juga sebaliknya. Seperti ditegaskan oleh Abdul Choliq sebagai kepala seksi pendidikan keagamaan pondok pesantren (Kasi Pekapondok pesantren) di lingkungan Depag, “gurunya ya ada yang belum mencapai standar kompetensi, yang penting bisa menyesuaikan lebih luwes dan yang penting lagi mampu, sing iso bahasa inggris yo ngulang bahasa inggris (yang bisa bahasa inggris, ya mengajar bahasa inggris;red).” Pembelajaran di lembaga pendidikan kesetaraan melalui program wajar dikdas ini perlu ditingkatkan tanpa membuatnya menjadi kaku seperti disekolah formal. Sama halnya di beberapa pondok pesantren di Tulungagung, seperti di pondok pesantren Panca Hidayah. Mereka dan pendidiknya diambilkan guru/ustadz dari pondok pesantren sendiri dengan sistem belajar tradisional, dan jika memungkinkan mengambil tenaga pendidik dari sekolah formal. Sehingga proses pembelajaran tetap bersifat uji kesetaraan. Tahun 2008 ini, dari 15 pondok pesantren di Tulungagung yang Sumber: Depag

disesuaikan dengan waktu senggang peserta. Salah satu contohnya adalah Pondok Pesantren Panca Hidayah, Tunggangri Kalidawir, yang sudah berjalan hampir 2 periode (2 kali ujian) dengan jumlah pendidik 6 guru dan santri tingkat jenjang pendidikan Wustho 26 santri, laki-laki 19 santri dan perempuan 7 santri. Seperti yang diungkapkan Mukti Ali selaku penanggung jawab wajar dikdas di pondok pesantren Panca Hidayah Tunggangri ketika ditemui kru DIMëNSI di sela-sela jam istirahat mengajar, “wajar dikdas ini untuk memenuhi kebutuhan masyarakat

Mukti Ali

[ 14 ] DIMëNSI

seperti pamong (perangkat desa) yang belum mempunyai ijasah, dan meraka sangat membutuhkan pendidikan ini, di sisi lain ada peserta wajar dikdas yang masih usia sekolah.” Alasan mengikuti program wajar dikdas selain banyaknya jumlah anakanak yang DO, pondok pesantren hanya membantu pelaksanaan pendidikan untuk anak-anak di lingkungan sekitar pondok dan bertujuan untuk menghidupkan suasana pondok dengan mengaji diniyah serta tersedianya kesempatan dari pemerintah. “Di daerah ini banyak anak yang DO, ya, kita sekedar membantu mereka, mumpung ada kesempatan dari pemerintah, awalnya untuk menghidupkan diniyah di pondok ini, tapi karena mereka yang lulus SMP sungkan untuk mengaji diniyah, sehingga dengan wajar dikdas ini mereka tetap mengaji diniyah dan masuk sekolah formal. Jadi tidak hanya formalnya saja tapi diniyahnya tetap hidup dan jalan”. Ungkap Saiful Ma’arif penanggung jawab pelaksana program wajar dikdas di pondok pesantren Madrasah Diniyah Mambaul Ulum– Betak Kalidawir. Sebenarnya, mereka telah mumpuni dalam wacana keilmuan yang mereka pelajari, juga mendapat ijasah dari pesantren tempat mereka mengaji, namun yang masih dibutuhkan adalah pengakuan secara formal dari pemerintah atau untuk kesetaraan.

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008


DIMëNSI UTAMA

Abdul Choliq mengikuti ujian paket B pada tanggal 13 juli kemarin, tercatat 329 peserta ujian wajar dikdas di tingkat Wustho. Sedang pendidikan penyetaraan dalam naungan Diknas, tercatat 25 peserta paket A, 334 paket B telah mengikuti ujian Akhir yang hasil kelulusannya diumumkan tanggal 11 agustus 2008. Sedang paket C telah meluluskan peserta tingkat SLTA sebanyak 237 dan tidak lulus 21, selanjutnya yang tidak lulus paket C akan mengikuti ujian periode ke 3 tanggal 11-14 november 2008 yang akan dilaksanakan di daerah kabupaten. Ujian paket ini dimanfaatkan sebagai alternatif memperoleh kelulusan dan STL (Surat Tanda Lulus), yang dapat digunakan untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Seperti yang diungkapkan Mardjaji “ujian paket ini sebagai alternatif kelulusan bagi mereka yang tidak lulus UAN di sekolah formal, kalau tidak lulus ujian periode pertama, berarti dilanjutkan lagi ikut ujian periode ke dua, tiga sampai memperoleh kelulusan dan mendapat ijasah yang setara dengan ijasah sekolah formal”. Akan tetapi, hal ini akan menjadi masalah baru, ketika ada asumsi bahwa program ini tidak hanya sebagai program pemerataan pendidikan, tetapi juga sebagai ladang legitimasi pemerintah atas ijasah yang pernah dipunyai seseorang. Apalagi, melihat kenyataan yang ada, program ini pun terkesan asalasalan. Seperti yang diungkapkan Syaiful Kamal sebagai koordinator bidang

pendidikan di FGMTP2 (Forum Generasi Pemuda Tulungagung Peduli Pendidikan), “itu memang salah satu kelemahan program wajar dikdas ketika diterapkan di lapangan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan sendiri, tetapi hanya sekedar kejar paket, dapat ijasah dan melanjutkan sekolah ataupun kuliah”. Kamal yang juga pernah diberi tawaran untuk menjalankan program wajar dikdas di Dinas pendidikan, menjelaskan, “mereka (orang-orang dinas) malah marem (senang; red) kalau ada anak-anak yang tidak lulus, kadang merekapun berdoa agar anak-anak tidak lulus UAN, biar ada yang ikut program kejar paket sehingga ada program baginya untuk dijalankan.” Jelas Kamal yang saat ini masih menjadi mahasiswa program studi bahasa inggris STAIN Tulungagung. Dia juga tetap ingin menjadi pengontrol kerja Dinas Pendidikan dan menghimbau konsep wajar dikdas tidak bisa disamaratakan. Artinya, konsep yang ada seharusnya disesuaikan dengan subjeknya (mereka yang masih usia sekolah dan usia diluar sekolah) sehingga dapat menerapkan nilai-nilai dan tujuan pendidikan yang sesungguhnya, serta menjadikan generasi yang lebih baik dan terintelektual. Hal senada juga dirasakan oleh salah satu guru Sekolah Dasar Dono, yang menilai bahwa program wajar dikdas ini hanya untuk memenuhi tuntutan pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun, sedangkan proses belajar tidak begitu diperhatikan. Tingkat SMP/SLTA yang seharusnya lama belajarnya 3 tahun, menjadi 2 atau 1 tahun saja, begitu juga dengan tingkat SD/MI yang hanya ditempuh 3 tahun. “Jika dinilai secara kualitas wajar dikdas ini belum terpenuhi, tetapi jika kita menilai dari penyetaraan pendidikan program ini terpenuhi. Yang penting, wajar dikdas ini tuntas dan telah dilaksanakan sampai selesai, entah itu kualitas baik atau tidak, itu nomor dua, itu nanti.” Dari sini dapat dilihat, pelaksanaan wajar dikdas hanya sebagai pemenuhan standar belajar sembilan tahun dan tuntutan dari pemerintah untuk mempunyai ijasah sebagai pengakuan, dan itu (sekali lagi) hanya sebagai formalitas saja. Kecerdasan dan

kelebihan seseorang dinilai bukan terletak pada prestasi dan apa yang telah dilakukan dan dibaktikan pada masyarakat, tetapi pada ijasah yang dilegalisir. walau begitu, pendidikan kesetaraan yang dilaksanakan di Tulungagung secara umum bisa dikatakan tuntas. Sesuai dengan pendataan yang diperoleh dari Diknas Tulungagung, 99,5% tuntas, namun sesuai dengan kenyataan lapangan, baru 97% tuntas. Dengan program penyetaraan ini maka usaha negara untuk mengentaskan warganya dari buta aksara, buta bahasa dan buta pendidikan dasar 9 tahun sebagai program wajar telah terpenuhi meskipun belum mencapai taraf sempurna. Lunturnya Nilai-nilai Pendidikan Diakui atau tidak, program wajar dikdas telah sedikit menggeser tujuan pendidikan yang semestinya. karena, kenyataan yang ada di lapangan, banyak dari peserta didik mengikuti program ini dengan alasan untuk pencapaian legitimasi pemerintah berwujud ijasah. Kemudian, program yang seharusnya menjadikan awal yang baik untuk mewujudkan kesetaraan pendidikan, malah diimplementasikan dengan asal-asalan. Pasalnya, program ini belum menyentuh lini terkecil dari masyarakat Indonesia yang berada dalam garis kemiskinan, khususnya yang berada di daerah pinggiran, misalnya, Tulungagung. Hal ini bisa dilihat, dari seluruh penduduk Indonesia, 37,17 juta(16.58%) jiwa adalah masyarakat miskin (BPS, Akhir 2007) dan mereka belum mendapatkan pendidikan yang layak. Sementara itu, tahun 2008 ini, pemerintah Jawa Timur, merencanakan merintis adanya wajar dikdas 12 tahun yang akan selesai pada tahun 2018. Setidaknya, jika memang pemerintah merencanakan pemerataan pendidikan, yang direncankan selesai tahun kapanpun, memang benar-benar bertujuan untuk memberantas buta huruf dan memberikan pendidikan bagi mereka yang kurang mampu, bukan sekedar fasilitas untuk mendapat sebuah pengakuan formalitas, legitimasi ijasah. //umy,ney,dixs//

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMëNSI [ 15 ]


DIMëNSI UTAMA Realita Pendidikan di SD Pedalaman;

Dua Kelas dalam Satu Ruang Berbagi satu ruang untuk kegiatan belajar dua kelas adalah hal yang biasa dilakukan di SD Negeri 02 Sendang, sebuah SD terpencil yang memiliki murid sekitar 40 anak, yang terletak di dusun Ngantup desa Nyawangan kecamatan Sendang Tulungagung.

roma khas pegunungan mulai menyeruak masuk hidung, udara pagi itu begitu dingin. Dengan jarak tempuh sekitar 35 km dari wilayah kota Tulungagung, empat orang kru DIMeNSI melakukan investigasi di Sekolah Dasar Negeri 02 Sendang, yang persis terletak di dusun Ngantup, desa Nyawangan kecamatan Sendang Tulungagung. Walau jalan yang dihadapi begitu tajam dan berkelok-kelok, hal ini tidak menyurutkan keinginan empat kru DIMeNSI untuk melihat dari dekat SD yang telah berdiri sekitar 39 tahun yang lalu ini. Keempat kru DIMeNSI disambut begitu hangat oleh para guru SD ini, yang pada saat itu tengah berlangsung Ujian Akhir Sekolah (UAS) untuk kelas 1-5.

A

Sarana Prasarana yang Terbatas SD Negeri 02 Sendang ini adalah satu dari 35 SD di daerah Sendang (Tulungagung dalam Angka, BAPPEDA 2006) yang hampir saja luput dari perhatian masyarakat Tulungagung. Sekilas dari kejauhan bangunan SD yang beratap asbes ini tidak bermasalah, tetapi jika kita mengamatinya lebih dekat, akan tampak sekali kalau bangunan itu kurang perawatan. Tiang-tiang penyangga yang lapuk serta langit-langit yang jebol dimakan waktu, serta ruang

[ 16 ] DIMëNSI

SD Negeri 02 Sendang; walau tiang-tiang penyangga lapuk serta langit-langit jebol dimakan waktu, proses belajar tetap berlangsung

kelas yang sebenarnya kurang layak untuk melakukan proses pembelajaran. SD yang teletak di daerah perkebunan karet dan terletak di puncak gunung ini, hanya memiliki 3 ruang kelas. Di setiap kelasnya, ada sebuah papan sekat yang membagi ruangan menjadi dua. Sehingga ada dua kegiatan belajar mengajar di setiap ruang kelasnya. Kelas satu digabung dengan kelas dua, kelas tiga digabung dengan kelas empat, dan kelas lima digabung dengan kelas enam. “Dalam keseharian mengajar, kita harus benar-benar menjadwal dengan baik, nanti kalau yang satu matematika, lalu yang kelas sebelahnya menyanyi, kasihan kan?” tutur Agus Indarto, salah seorang guru yang mengajar di SD ini. SD ini memulai aktivitas belajar mengajarnya pada pukul delapan pagi bahkan bisa dimulai pukul setengah sembilan. “Jam segitu, sampean (jawa:

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

kamu; red) tanya saja, 97% dari mereka pasti belum makan pagi.” Masih Agus. Menurut pengakuan mereka, pernah ada murid yang pingsan saat upacara karena belum makan. “Berangkatnya jam enam pagi, terus sampai sekolah ya jam setengah tujuh”

Agus Indarto


DIMëNSI UTAMA terpencil dengan jalan yang masih belum beraspal. Tidak jarang jika musim penghujan banyak dari guru yang jatuh dari sepeda motor karena jalan yang teramat sulit dan licin. Di samping itu kesejahteraan para guru dan kepala sekolah masih memprihatinkan. Seperti yang di ungkapakan oleh Nurohmad, “Saya sudah mengajukan mutasi sebanyak tiga kali akan tetapi belum ditanggapi.” Selain itu, sedikit sekali bantuan yang diberikan untuk menyejahterakan sekolah ini. Yang pernah diberikan adalah bantuan uang transportasi 30 ribu, dua kali saja selama dua tahun, juga bantuan sepatu untuk guru-guru hanya sekali saja. “Ya sepatu yang sekarang saya pakai ini,” ungkap Nurohmad, laki-laki paruh baya yang telah mengabdikan dirinya selama 21 tahun di SD Negeri 02 Sendang ini, sembari memperlihatkan sepatu yang bagian talinya bertuliskan guru kepada kru DIMeNSI. Dia mengabdikan dirinya bersama 10 orang guru yang lainnya, empat orang diantaranya adalah pegawai negeri sipil, dua orang yang lainnya Minim kesejahteraan Persoalan yang banyak menjadi adalah calon pegawai negeri, sedangkan keluhan para guru adalah lokasi yang e m p a t s i s a n y a a d a l a h g u r u h o n o r e r. M e r e k a semua harus m e n e m p u h perjalanan beberapa kilometer setiap harinya untuk mengajar. “Dulu, juga pernah ada bantuan uang makan untuk murid-murid dari Pak Bupati, 500 ribu. Setelah beliau pulang, beberapa hari kemudian saya pernah mencoba menghubungi beliau untuk berterimakasih, tapi berkali-kali saya coba tidak pernah diangkat,” kata Agus, “ya sama dengan falsafah lama to, yang dekat dewa yang enak,” sahut Eva (9 thn). Sekolah sambil menjajakan makanan Nurohmad. “ya, kecil untuk teman-teman sekolahnya bukannya gimanatutur Gunawan, yang saat ini sedang duduk di kelas 3 SD bersama 6 orang temannya. Sama halnya Gunawan, Eva (9), sejak kelas 1 SD menempuh pendidikan dengan sarana dan prasarana yang terbatas. Selain itu, dia dan juga beberapa temannya harus menempuh perjalanan yang jauh untuk menuju sekolah ini. Di samping itu, dia juga menjajakan makanan kecil kepada teman-temannya untuk menambah penghasilan kedua orang tuanya. Dengan latar belakang daerah pegunungan, yang sebagian besar bermata pencaharian petani dan penyadap karet, membuat masyarakat itu minim pengetahuan. “Dulu, pernah kejadian begini, pas upacara bendera, tiba-tiba ada seekor kidang (rusa;red) yang muncul di sekitar kawasan sekolah ini, tanpa disuruh pun, semua murid yang ikut upacara bubar.” Terang Agus sembari tertawa kecil, yang diikuti oleh empat kru DIMeNSI yang lainnya.

Nurohmad gimana, saya hanya ingin mengucapkan terima kasih saja,” balas Agus, laki-laki yang berdomisili di Gedang Sewu Tulungagung. Layaknya SD pada umumnya, jangan dibayangkan siswa di sini berseragam lengkap. Ada sebagian yang tidak berseragam, bahkan ada yang membawa adiknya ke sekolah, atau istilah jawanya momong (mengasuh;red), hal ini dilakukan karena ditinggal orang tua mereka bekerja seharian di ladang (menyadap karet). Pada sekitar tahun 1992, dengan membawa seragam sekolah, guru-guru menghampiri rumah-rumah penduduk untuk mengajak anak-anak usia sekolah mau belajar di SD ini. Ditengah-tengah wawancara, seorang anak kelas enam, yang berjalan bersama teman-temannya yang hendak pulang, bertanya kepada Agus dan Nurohmad, “Pak, besok bawa tas nggak?”, Agus pun menjawab, “Sembarang nduk, bawa takir yo oleh sing penting mlebu (terserah nak, membawa takir (jawa: makanan bungkus) juga boleh, asalkan masuk sekolah;red).” Sambutan ramah dan hangat, jalan berkelok-kelok dan terjal yang membuat adrenalin dalam darah meningkat, senyum anak-anak kecil yang ceria nan polos, adalah kenangan yang tak terlupakan saat empat kru DIMeNSI meninggalkan SD ini. Terbersit satu tanya, sampai kapankah proses pendidikan mereka akan terus seperti ini? //bans,dixs,nu,vi//

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMëNSI [ 17 ]


[ 18 ] DIMĂŤNSI

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008


NUSANTARA PENDIDIKAN AFEKTIF PERLU MENDAPAT PERHATIAN Oleh: Luk-luk Nur Mufidah fektif merupakan salah satu dari tiga domain yang harus selalu ada dalam proses pembelajaran. Afektif telah menjadi bagian dari pembelajaran di sekolah selama beberapa dekade. Dia muncul dalam berbagai bentuk yang berbeda seperti pendidikan humanis, pengembangan moral, aktualisasi diri, pendidikan nilai dan lain-lain. Afektif juga muncul sebagai respon dari kebutuhan sosial yang bermacammacam seperti maraknya pemakaian obat-obat terlarang dan juga pergaulan bebas. Di Indonesia, Afektif masih kurang mendapat perhatian jika dibandingkan dengan domain kognitif. Padahal penelitian yang dilakukan oleh Goleman tentang Emotional Intelegence menyatakan bahwa antara domain kognitif dan domain afektif memiliki keterkaitan yang sangat erat. Kata “Afektif” sudah sangat dikenal di lingkungan pendidikan kita, sementara pendidikan afektif terkait dengan pengalaman-pengalaman murid di sekolah dan umumnya digunakan untuk mengambarkan program-program yang terkait dengan perkembangan personal sosial. Pendidikan afektif berarti pendidikan untuk pengembangan sosial-individu, perasaan, emosi, moral, etika. Dan sering terisolasi dalam kurikulum. Adapun domain afektif berarti komponen-komponen perkembangan afektif yang terfokus pada proses atau perubahan-perubahan internal atau kategori tingkah laku dalam pendidikan afektif sebagai sebuah proses atau produk akhir. Kenapa afektif perlu diperhatikan? Kita menyadari bahwa antara proses belajar, tingkah laku, pertumbuhan dan perkembangan manusia dan bagaimana pemikiran kita dan perasaan kita saling berhubungan dan sangat berpengaruh dalam penentuan keputusan. Kita

A

juga membutuhkan generasi yang produktif, sehat secara mental, jujur dan dapat menjaga diri dan keluarga mereka. Maraknya kembali pendidikan afektif di Amerika dikarenakan ledakan penyalahgunaan obat, kehamilan remaja, kekerasan geng, Kriminal, perceraian, dan masalah sosial yang lain. Di sekolah, konflik interpersonal meningkat drastis dan kedisiplinan menghilang. Hal ini memicu orang seperti Thomas Lincona, misalnya, untuk menulis sebuah buku yang khusus berbicara pendidikan nilai-nilai kepribadian bagi anak sekolah, “Educating for Character.” Bagi Lincona, peningkatan gejala-gejala semacam itu tidak lepas dari kebijakan pemerintah Amerika Serikat di bidang pendidikan sejak tahun enam puluhan. Saat itu, pendidikan nilai-nilai moral di sekolah dipandang tabu dalam sistem pendidikan. Alasannya, pendidikan nilai moral di sekolah umum, merupakan bentuk pemaksaan nilai-nilai tertentu kepada siswa yang pluralis, sehingga nilai-nilai moral tertentu dianggap sebagai suatu yang sangat subyektif. Lincona lalu mengusulkan dua nilai moral dasar yang harus diajarkan kepada siswa di sekolah, yaitu persoalan respect dan responsibility. Respect yang mencakup tiga hal— penghargaan terhadap diri sendiri, terhadap segala bentuk kehidupan, dan lingkungan hidup—merupakan sisi “larangan” moralitas yang mengajarkan apa yang sebaiknya jangan dilakukan. Sedangkan responsibility merupakan sisi “tanggung jawab” yang mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan. Di Indonesia, masalah serupa juga sedang merajalela, seperti Banyaknya kriminalitas, korupsi, penyalahgunaan obat terlarang. Di lingkungan lembaga pendidikan terjadi kemerosotan moral

Luk-luk Nur Mufidah Dosen STAIN Tulungagung

Belajar bukan hanya menambah pengetahuan dan keterampilan siswa, tetapi juga harus menanamkan budi pekerti dan moral yang baik. Domain afektif hendaknya mulai diperhatikan dan dimasukkan dalam setiap proses pembelajaran.

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMëNSI [ 19 ]


NUSANTARA siswa, ketidak disiplinan dan kurangnya motivasi belajar. Sejujurnya, sumbangan apakah yang telah diberikan oleh pendidikan nasional selama ini dalam pencerdasan bangsa? Jika seperti yang ditemukan oleh ilmuwan di bidang psikologi pendidikan, bahwa kecerdasan manusia itu terdiri dari kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Lantas model kecerdasan seperti apa yang telah dibangun oleh sistem pendidikan kita? Pertanyaan ini penting untuk diajukan, mengingat harapan dan tumpuan masa depan bangsa banyak dilimpahkan kepada dunia pendidikan. Sejumlah kerusakan dan kemunduran dalam ragam aspek kehidupan, kini dinilai sebagai akibat dari tidak berfungsinya sistem pendidikan kita dalam mengembangkan pribadi-pribadi handal yang memiliki kesadaran diri dan lingkungannya. Pendidikan divonis telah gagal menghasilkan pribadi yang mampu melakukan individualisasi dan partisipasi. Akibatnya, keluaran pendidikan kita bukan hanya miskin dalam kapasitas skill dan intelektual, tetapi juga rapuh dalam karakter dan moral. Masalah nasional yang muncul sesudahnya bukan hanya menyangkut pengangguran dan keahlian rendah para alumnus, tetapi juga melebar kepada ancaman kerusakan moral dan kriminalitas. Sistem pendidikan yang otoriter dan terlalu tergantung pada sentra kekuasaan yang berlangsung lebih dari tiga puluh tahun, juga berakibat fatal terhadap perkembangan pendidikan kepribadian dan pengembangan domain afektif di sekolah. Alih-alih diberi apresiasi otonom untuk mengembangkan potensi keunikan diri masingmasing, siswa malah dicekoki dengan format moral seragam yang sama sekali mengabaikan pendekatan afektif dalam proses pembelajarannya. Inilah alasan yang paling rasional untuk menjawab pertanyaan penting yang kini banyak diajukan; mengapa reformasi yang didengung-dengungkan itu justru hanya melahirkan manusia-manusia bejat dan tidak bermoral (koruptor, preman, pelacur, pengkhianat, perancang makar, penjilat dsb.) mulai dari

[ 20 ] DIMĂŤNSI

cara yang paling halus, sampai yang paling kasar. Beraksi mulai dari ganggang sempit, jalan raya, hingga gedunggedung di Senayan. Ironisnya, hal ini terjadi justru ketika bangsa ini mendambakan manusia-manusia berkepribadian, memiliki integritas moral, dan akhlak yang mulia. Kenyataan ini tentu saja patut dijadikan keprihatinan tersendiri bagi dunia dan insan pendidikan di Indonesia. Bagaimanapun, sekolah dalam sistem pendidikan kita masih memegang posisi yang sangat menentukan bagi perkemb a n g a n kepribadian

repro internet

siswa. Secara kuantitatif, siswa kita menghabiskan hampir separuh dari waktunya setiap hari. Amat disayangkan jika waktu sebanyak itu tidak dimanfaatkan untuk merancang program pembelajaran yang khusus ditujukan untuk pembinaan dan pengembangan kepribadian siswa. Dengan menerapkan beberapa model pendidikan afektif yang ada, sekolah sesungguhnya dapat dioptimalkan untuk mendidik siswanya lebih manusiawi, dengan pendekatan belajar menyenangkan, dan berorientasi pada pembentukan karakter. Selain beberapa alasan di atas penelitian Goleman juga mengatakan bahwa otak terbagi dua, emosional dan rasional. Jika dua komponen ini bekerja seimbang dia akan mudah mandiri dan akan beroperasi secara terpisah. Pusat

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

emosional dalam otak adalah hal pertama yang berkembang atau bekerja untuk membuat keputusan atau menghadapi masalah. Ini artinya dalam pendidikan murid harus belajar dan diajar untuk memanfaatkan emosi mereka atau dikenal dengan emosional intelegence. Dengan mengajarkan metode untuk mengatur perasaan, siswa akan menjadi waspada, meningkatkan ketrampilan sosial dan kognitif dan menjadi lebih empatik. Mengabaikan emotional dalam belajar akan memperlambat efisiensi pembelajaran dan memahaminya merupakan kunci untuk mengembangkan kognitif. Norton berpendapat bahwa integralitas antara etika dan moral adalah landasan pendidikan untuk kehidupan moral. John P. Miller (2002), seorang ahli pendidikan dari Ontario Institute for Studies in Northwestern Center, menawarkan sejumlah model pembelajaran yang mampu menumbuhkan daya kreatif siswa sehingga tumbuh menjadi pribadi yang cerdas sekaligus memiliki keluhuran budi. Ia menuangkan gagasannya tersebut dalam sebuah buku berjudul “Humanizing The Class Room; Models of Teaching in Affective Education.� Dalam buku tersebut, Miller memperkenalkan 17 model pembelajaran yang dapat dipilih oleh pelaku pendidikan dalam penerapan di kelas sesuai dengan keberadaan anak dan lingkungan yang mengitarinya. Ketujuhbelas model tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat rumpun model, yakni (1) pengembangan (developmental), (2) konsep diri (selfconcept), (3) kepekaan dan orientasi kelompok atau sosial (sensitivity and group orientation), dan (4) perluasan kesadaran (consciousness-expansion). Guru dan praktisi pendidikan di sekolah, selanjutnya dapat memilih model-model tersebut dengan mempertimbangkan dua hal; pertama, tujuan dan kepentingan yang menjadi prioritas bagi guru/fasilitator dalam proses pembelajaran yang ditanganinya. Kedua, dengan memperhatikan dan menyesuaikan struktur dan suasana lingkungan yang mengitari anak didiknya.[]


Pendidikan; Menuju Kesadaran Perubahan dan Perlawanan Oleh: Makrus Habibi “Pendidikan yang Sukses Besar Tidak Lain Karena Mampu Mencetak Para Pemberontak Terhadap Kedzaliman Kekuasaan….” arna merah fajar pagi abad XX ditandai dengan suatu perubahan politik di Belanda yang akhirnya nanti juga akan merubah suasana di Hindia Belanda. Saat itu pemerintah kolonial Belanda harus melaksanakan Politik Etis. Politik Etis ini berisi agenda antara lain Edukasi, Irigrasi, dan Transmigrasi. Walaupun penuh dengan kepentingan kaum pemodal Belanda, pemerintah kolonial Belanda berdalih politik etis ini adalah sebuah bentuk balas budi Belanda, terhadap kontribusi Hindia (baca; Indonesia), yang dengan hasil buminya, Belanda mampu melepaskan diri dari penjajahan Jerman dan tentunya menjadi salah satu negeri terkaya di dataran Eropa. Dari ringkasan sejarah diatas, kita bisa mencatat bahwa politik etis terutama di bidang Edukasi, secara langsung merupakan “senjata makan tuan” bagi pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial memberi kesempatan kepada kaum pribumi (inlandeer) untuk mengenyam bangku sekolah. Suatu hal yang tidak pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya, walaupun ini hanya terbatas bagi mereka kaum pribumi kelas menengah ke atas.

W

Filosofi Pendidikan Pendidikan merupakan sebuah kata yang menggambarkan sebuah anganangan besar tentang masa depan yang cerah. Dengan pendidikan nantinya diharapkan akan mampu mewujudkan segala sesuatu yang dicita-citakan. Harapan-harapan tentang masa depan seolah-olah telah mendapat jaminan ketika kita sudah melewati sebuah tahapan-tahapan dalam pendidikan. Namun sungguh ironis, sesuatu yang dipercaya sebagai penjamin demi

kehidupan yang lebih baik, tak mampu membuktikan ketika lembaga yang merepresentasikan sebuah pendidikan yang biasanya disebut sekolah tidak mampu secara signifikan memberikan perwujudan dari sesuatu yang dianganangankan. Sekolah menjadi lembaga yang angkuh yang terpisah dari kehidupan masyarakat yang sebenarnya. Sekolah yang seharusnya berfungsi memberikan wacana tentang seluruh pengetahuan yang dibutuhkan, akhirnya hanya menjadi salah satu sarana legitimasi kelas sosial. Sebelum kita melanjutkan pembahasan, lebih baik terlebih dahulu kita fokuskan pemahaman kita tentang pendidikan. Menurut Andreas Harefa, pendidikan merupakan sebuah proses dalam rangka menjadikan seseorang menjadi lebih manusiawi sehingga disebut sebagai manusia dewasa dan mandiri. Dewasa dan mandiri berarti bertanggung jawab atas dirinya sendiri serta mampu menyatakan, mengaktualisasikan, mengeluarkan potensi dan karakter yang ada di dalam dirinya sendiri. Pemahaman terhadap filosofi pendidikan menurut beberapa tokoh, berarti kita ingin mengetahui hakekat dan tujuan pendidikan yang berkenaan dengan etika sosial yang di dalamnya terdapat filosofi moral dan filosofi politik. Filosofi moral merupakan dasar-dasar etis yang berubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan, keyakinan, serta tentang kebebasan personal yang dimiliki oleh setiap manusia. Dimana setiap manusia memiliki nilai-nilai universal dan tanggung jawab sosial yang harus dilaksanakan. Sedangkan filosofi politik merupakan dasar praktis yang digunakan sebagai arahan dan kebijakan pemerintah dalam menentukan berbagai kebijakan

Makrus Habibi Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Tulungagung.

pendidikan harus berorientasi pada realitas diri manusia dan lingkungannya sendiri, sehingga dalam prakteknya, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus, yaitu: pengajar, peserta didik dan realitas dunia, yang kesemuanya berperan sebagai subjek yang sadar, disadari dan tersadarkan.

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMëNSI [ 21 ]


NUSANTARA tentang pendidikan di suatu negara. Jadi, bertolak dari filosofi pendidikan yang dirumuskan sebagai perwujudan filosofi moral dan filosofi politik diatas menjadi representasi dari nilai-nilai etis dan praktis dalam melakukan hubungan sosial serta dalam melakanakan tanggung jawabnya terhadap sosialnya. Dalam kurun beberapa generasi, kita telah menjadikan dunia pendidikan menjadi tempat yang lebih baik, yaitu dengan cara menyediakan banyak sekolah, tetapi usaha ini mengalami kekandasan di tengah jalan. Sehingga yang kita peroleh dari sana hanyalah pemaknaan di sana-sini terhadap peserta didik untuk menapaki tangga pendidikan yang tidak bermutu dan tanpa ada ujung pangkalnya. Keadaan yang demikian hanya akan menguntungkan bagi individu yang telah mangawali pendidikan sejak awal, sementara sisanya sudah dapat dipastikan mengalami kegagalan. Disisi yang lain, sistem pengajaran yang diterapkan oleh dunia pendidikan justru menjadi pembunuh bagi karakter dan kehendak peserta didik, karena dalam prakteknya pengetahuan diibaratkan sebagai komoditas yang dikemas dan dapat diperjualbelikan. Akan tetapi selalu langka dipasaran. Keadaan seperti ini tidak bisa terus-menerus dibiarkan, karena kalau dibiarkan akan menyebabkan ilmu pengetahuan menjadi mahal. Di belahan dunia manapun, pengetahuan dianggap sebagai bekal pertahanan hidup yang pertama, bahkan menjadi sebentuk mata uang yang lebih cair ketimbang rupiah maupun dolar sekalipun. Mungkin dengan membaca hasil-hasil pemikiran para tokoh yang revolusioner, misalnya Karl Marx, kita menjadi berani untuk berteriak tentang nasib yang melanda para buruh, serta berani berteriak tentang nasib mereka dalam masyarakat, akan tetapi yang terpenting sekarang adalah kita harus mengenali keterasingan masyarakat dari proses belajarnya sendiri. Ketika pengetahuan telah menjadi produk profesi (guru dan dosen) dan peserta didik menjadi konsumennya.

[ 22 ] DIMĂŤNSI

Dengan demikian, maka asumsi yang muncul dalam pikiran kita adalah dengan belajar dan bersekolah, kita akan memiliki banyak menyediakan pengetahuan dalam gudang yang ada di kepala yang diperoleh dari dunia sekolah. Dari itu kemudian, kita merasa berhak untuk memperoleh keistimewaan dalam hidup dan berpenghasilan tinggi. Keadaan ini telah menjadikan dunia persekolahan menjadi dan bersifat kapitalis, dengan tanpa sadar kita terima dan selanjutnya pasti akan kita praktekkan dalam semua sistem pendidikan kita selamalamanya, sehingga sekolah-sekolah akan lebih menawarkan pendidikan untuk hidup dan bukannya menawarkan pendidikan dalam kehidupan, ini menjadi suatu kenyataan yang telah ada saat ini. Melihat kenyataan yang demikian itu, hal tersebut tidak hanya terjadi sekarang, akan tetapi itu sudah terjadi sejak lama, seperti salah satunya teori pendidikan dari tokoh Brazil, yaitu Paulo Freire yang berusaha memberikan gambaran tentang realitas pendidikan pada masyarakat waktu itu. Teori ini mencoba menawarkan sistem pendidikan yang berpijak pada kehidupan yang nyata. Ia berkeyakinan, bahwa di dunia ini sebagian besar manusia hidup dan menderita sedemikian rupa, sementara sebagian yang lain menikmati jerih payah orang lain dengan cara tidak adil, mereka ini adalah kelompok minoritas yang berpendidikan. Dari segi jumlahnya saja, Freire melihat adanya ketidakseimbangan dan ketidakadilan, dan hal inilah yang disebut dengan penindasan. Penindasan dengan apapun nama, bentuk dan alasannya merupakan sebuah tindakan yang tidak manusiawi, karena telah menafikan harkat dan martabat kemanusiaan (dehumanisasi human). Dalam kondisi demikian, usaha untuk memanusiakan manusia kembali menjadi pilihan yang mutlak untuk dilakukan. Sehingga ketika kita melihat suatu kenyataan yang menyimpang dari yang seharusnya, maka akan menjadi kewajiban secara bersama untuk meluruskannya. Karena fitrah

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

manusia sejati adalah menjadi subjek bagi dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya, ia harus menjadi pelaku yang sadar untuk bertindak mengatasi dunia dari realitas yang menindas, atau bahkan akan melakukan penindasan yang lebih kejam lagi terhadap lingkungannya. Karena pada hakekatnya manusia mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya. Dengan bekal pikiran dan tindakan, manusia akan mampu merubah dunia dan realitas. Dengan demikian, manusia akan menjadi manusiawi, karena dia menjadi pecipta dari sejarahnya sendiri. Selanjutnya, disisi yang lain, pendidikan harus berorientasi pada realitas diri manusia dan lingkungannya sendiri, sehingga dalam prakteknya, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus, yaitu: pengajar, peserta didik dan realitas dunia, yang kesemuanya berperan sebagai subjek yang sadar, disadari dan tersadarkan. Sementara yang terjadi selama ini, dalam prakteknya guru selalu menjadi pusat dari segalanya. Maka akan menjadi kewajaran, apabila peserta didik mengandaikan diri mereka kelak seperti gurunya (imitation). Jika hal ini dibiarkan, maka dunia pendidikan hanya akan menjadi dan menghasilkan duplikat manusia-manusia baru yang tidak mempunyai identitas dan jati diri. Maka dari itu, pendidikan harus menjadi kekuatan yang mampu memberikan penyadaran dan pembebasan bagi umat manusia. Dalam kenyataan ini, pendidikan seharusnya menjadi sebuah kekuatan pembebasan terhadap umat manusia. Pendidikan seharusnya menggarap realitas hidup manusia, karena itu harus bertumpu pada aksi dan refleksi, yakni prinsip bertindak yang didasari oleh kesadaran total untuk merubah kenyataan yang menindas dan tidak manusiawi yang pada sisi simultannya akan menimbulkan kesadaran terhadap realitas yang dihadapi serta munculnya keinginan untuk melakukan perubahan dengan didasarkan pada sebuah kesadaran absolut yang mempunyai identitas dan jati diri.[]


Editorial

Catatan dari negeri (yang) hilang lobalisasi kini telah mencengkeram kuat negara-negara ‘kecil’ di seluruh belahan bumi. Produk-produk globalisasi sangat mudah ditemui dimanapun, tidak hanya di daerah perkotaan yang syarat akan sebuah perubahan yang dinamis-dan kadang terkesan frontal-, juga terjadi di daerah terpencil. Sebuah kejayaan, kemewahan, budaya praktis nan ‘ekonomis’, citra yang terbaik, yang terunggul, dan ter ter yang lain, menjadi suatu komoditi pasar yang semakin merebakdi pasar iamajinasi generasi bangsa. Dahulu, cita-cita negeri adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Melalui pendidikan, yang bermula dari adanya politik etis Negara Belanda, akhirnya mencetuskan sebuah ide akan pemersatuan dan pembebasan bangsa dari penjajahan, seluruh pemuda dan cendekia mendedikasikan semangatnya yan membara untuk mewujudkan satu kata! Pembebasan dari ketertindasan. Hingga pada akhirnya bangsa ini menuai hasilnya pada setengah abad kemudian. Proklamasi pun di kumandangkan di setiap penjuru negeri. Dan tahun ini, negeri besar ini memperingati hari kemerdekaanya yang ke 63, negeri yang sudah tak muda lagi ini memang perlu untuk berefleksi sejenak. Merefleksikan semua yang (pernah) dimiliki oleh bumi pertiwi Indonesia. Negeri yang tersebut sebagai negeri gemahripah loh jinawi, zamrud khatulistiwa dan negeri yang kaya sejuta pesona, sekarang menjadi satu catatan kelam bangsa. Founding father, soekarno sangat mewanti-wanti generasi negeri besar ini dengan sebutan jas merah, jangan lupakan sejarah, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang mengerti dan tahu sejarah bangsanya. Jika hal ini terlupakan, maka keruntuhan sebuah bangsa besar ini tinggal menunggu waktunya saja. Ketika begini, siapa lagi yang patut disalahkan? Akankah kita menyalahkan para pendahulu kita yang tidak mau melestarikan peninggalan-peninggalan bangsa? Ataukah harus menyalahkan generasi muda saat ini yang terlena akan gemerlap produk-produk kapitalisme? Walau 63 tahun kemerdekaan telah berlalu, ternyata kita memang belum merdeka. Warisan-warisan bangsa elok nan permai, kemajemukan budaya, suku, ras, etnik dan bahasa yang dahulu sebagai khasanah kekayaan bangsa, malah menjadi satu alat pemicu berkobarnya kemelut. Perbedaan yana ada bukan menjadi satu cara untuk memupuk rasa tepo seliro, perbedaan yang ada menjadi sesuatu yang malah mebedakan. Kalau sudah ‘akut’ seperti ini, rakyat Indonesia senyata-nyatanya harus benar-benar sadar. Kita masih menghirup udara di tempat yang sama, yakni Indonesia. Dan kemudian, pendidikan yang seutuhnya adalah menjadi penting kiranya, tentunya pendidikan yang memang mencerdaskan kehidupan bangsa, yaitu, pendidikan yang benar-benar mencerdaskan intelektual generasi bangsa akan ‘kekayaan’ yang pernah dimilikinya. Cerdas bahwa bangsa ini harus (di)bangun kembali, cerdas bahwa perbedaan atas kemajemukan yang kita miliki adalah anugerah yang maha dahsyat dari Tuhan untuk membuat kita lebih berfikir dewasa tentang makna sebuah perbedaan. Cerdas bahwa jika kita lupa sejarah bangsa, bagsaini akn hilang ditelan arus globalisasi yang menghantam pertahanan ‘jati diri’ bangsa yang mulai ‘hilang’ ini. Untuk itu, mengumpulkan kembali catatan-catatan yang beserakan ini menjadi kewajiban generasi bangsa yang cerdas. Lewat satu proses, pendidikan yang seutuhnya! jangan biarkan bangsa ini benar-benar hilang. Mari berefleksi kawan! //redaksi//

G

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMëNSI [ 23 ]


Teras

Suasana akreditasi HMPS Tadris Bahasa InggrisI

Ketika Akreditasi Hanya sebatas For malitas

S

TAIN Tulungagung sebagai satusatunya kampus yang berstatus negeri di kawasan Tulungagung dalam satu tahun terakhir ini mengalami beberapa proses akreditasi oleh BANPT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi). Yakni pada program studi PBA (Pendidikan Bahasa Arab), TMT (Tadris Matematika), dan TBI (Tadris Bahasa Inggris). Status akreditasi yang diberikan oleh BAN-PT setelah proses peninjauan dan evaluasi (akreditasi) yang diberikan kepada STAIN Tulungagung merupakan cerminan kinerja dari seluruh dosen pada program studi tertentu dan menggambarkan mutu, efisiensi, serta relevansi suatu program studi yang diselenggarakan. Pada saat ini terdapat

[ 24 ] DIMĂŤNSI

2 jenis akreditasi yang diberikan oleh pemerintah pada program studi di Perguruan Tinggi, yaitu; Status Terdaftar, Diakui, atau Disamakan yang diberikan pada Perguruan Tinggi swasta dan Status Terakreditasi atau NirAkreditasi yang diberikan kepada semua perguruan tinggi (Perguruan Tinggi Negeri, Perguruan Tinggi Swasta, dan Perguruan Tinggi Kedinasan). Melihat STAIN Tulungagung merupakan Perguruan Tinggi negeri maka berhak untuk mendapatkan Status Terakreditasi atau Nir-Akreditasi dari BAN-PT. Sedangkan dalam proses memperoleh status ini tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan, akan tetapi pihak yang bertugas dari STAIN Tulungagung harus mengajukan

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

ke BAN-PT terlebih dahulu, yang untuk selanjutnya apabila disetujui, maka tim Asesor dari BAN-PT datang untuk mengadakan peninjauan dan pengevaluasian program studi yang akan diakreditasi, sedangkan hasilnya akan diberikan kurang lebih satu bulan kemudian. Asesor merupakan tenaga pakar pada bidang ilmu, bidang studi, profesi, dan atau praktisi yang mewakili BAN-PT. Sukarsono, seorang dosen senior STAIN Tulungagung mengatakan bahwa dalam penilaian akreditasi program studi melalui dua tahap penilaian yang biasanya dilakukan dalam dua hari berturut-turut. Tahap atau hari pertama penilaian terhadap barang atau portofolio program studi beserta


Teras lampiran-lampirannya melalui pengkajian di atas meja, sedangkan tahap atau hari yang kedua penilaian di lapangan (peninjauan langsung) untuk validasi dan verifikasi hasil dari pengkajian di atas meja, dan memberikan penilaian pada program studi. “Sampai sekarang ini di STAIN Tulungagung, berbagai macam program studi dari tiap-tiap jurusan belum semuanya terakreditasi, namun masih dalam proses, sedangkan yang terakreditasi, kebanyakan dari jurusan Tarbiyah, yaitu PAI, PBA, TMT, TBI dengan nilai akreditasi yang bervariasi,” ungkap Ashrof. Nur Efendi juga menambahkan bahwa untuk program studi PGMI (Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah), karena merupakan prodi yang baru, maka belum berhak untuk mendapatkan akreditasi (belum diajukan dalam proses pengakreditasian). ***** Kriteria penilaian untuk akreditasi program studi, antara lain; (a) Identitas (b) Izin penyelenggaraan program studi (c) Kesesuaian penyelenggaraan program studi dengan peraturan perundang-udangan (d) Relevansi penyelenggaraan program studi (e) Sarana dan prasarana (f) Efisiensi penyelenggaraan program studi (g) Produktivitas program studi, dan (h) Mutu lulusan. Pengklasifikasian nilai untuk semua kriteria tersebut ditentukan oleh 3 aspek, yaitu mutu (50%), efisiensi (25%), dan relevansi (25%). Sesudah melalui penghitungan semua nilai kriteria, didapat peringkat akreditasi perguruan tinggi sebagai berikut: 0-400 = NA s(Nir- Akreditasi), 401-500 = C (Kurang), 501-600 = B (Baik), 601-700 = A (Amat Baik). “Pengaruh dari akreditasi ini sangatlah besar, terutama bagi lulusan karena menunjang masa depan mereka dan kualitas ijazah, misalnya saja lulusan dari STAIN Tulungagung yang notabenenya di bawah naungan Departemen Agama ketika melamar

pekerjaan di lingkungan Pendidikan PT, maka sayang sekali jika program Nasional, maka akan dipertimbangkan studi yang telah terakreditasi dalam terlebih dahulu dalam hal penerimaan, proses pengakreditasiannya oleh tim berbeda dengan lulusan dahulu yang Asesor hanyalah sebuah rekayasa atau belum adanya akreditasi pada tiap-tiap bisa dikatakan mengada-adakan prodi” ujar Nia selaku mahasiswa TBI/ sesuatu yang belum ada. Seperti VI. Hal senada di sampaikan oleh Retno halnya di STAIN Tulungagung ini jauh Indayati selaku Pembantu Ketua II, “Lulusan hari sebelum tim Asesor datang untuk dari Perguruan Tinggi yang sudah ter- mengevaluasi, seluruh dosen yang berakreditasi tentu akan lebih di sangkutan disibukkan dengan segala utamakan.” persiapan-persiapan; yang imbasnya Masa berlakunya akreditasi ini perkuliahan menjadi kosong karena tergantung pada nilai yang diberikan alasan tersebut, Arina Shofiya selaku oleh BAN-PT pada tiap-tiap prodi, jika Dosen STAIN Tulungagung juga berharap nilainya baik maka masa berlakunya akan kalau rekayasa tersebut tidak untuk lebih lama didijadikan banding dengan sementara prodi yang ketika ada “Pengaruh dari akreditasi ini mendapat nilai proses pengsangatlah besar, terutama jelek. Karena ini akreditasian itu merupakan berlangsung, bagi lulusan karena akreditasi perakan tetapi menunjang masa depan tama kali di untuk selamamereka dan kualitas ijazah, S T A I N nya. “Rencana Tulungagung, perbaikan atau misalnya saja lulusan dari maka para perlengkapan STAIN Tulungagung yang mahasiswa sarana prasanotabenenya di bawah sangat mengrana itu sudah harapkan untuk naungan Departemen Agama ada sejak dae v a l u a s i hulu, akan tetapi ketika melamar pekerjaan di kembali setelah karena pelaklingkungan Pendidikan dua tahun agar sananya belum lebih baik dari ada maka belum Nasional, maka akan tahun-tahun terealisasi, dan dipertimbangkan terlebih sebelumnya. ini menjadi hamTapi sayangnya batan dalam hal dahulu dalam hal masyarakat perbaikan di penerimaan, berbeda belum banyak tiap-tiap prodi,” dengan lulusan dahulu yang mengetahui statambahnya. tus akreditasi Sampai belum adanya akreditasi ini, kebanyakan berita ini pada tiap-tiap prodi” dari mereka diturunkan, menganggap pada awal kalau perguruan bulan agustus, tinggi yang negeri dipandang lebih baik tim assesor telah melakukan akreditasi daripada Perguruan Tinggi swasta, pada program Pasca Sarjana STAIN sehingga mereka lebih memilih Tulungagung. Terlepas dari semua itu, menyekolahkan anaknya ke sekolah dengan atau tanpa akreditasi, negeri tanpa memperdulikan status diharapkan STAIN Tulungagung tetaplah yang di sandang oleh Perguruan Tinggi menjadi perguruan tinggi yang memang memiliki tawaran atas alternatif tersebut. pendidikan yang berada di daerah Sebuah Formalitas pinggiran.//amn,yun// Karena akreditasi ini merupakan sebuah pengakuan yang diberikan oleh pemerintah berdasarkan atas hasil akreditasi yang dilaksanakan oleh BAN-

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMëNSI [ 25 ]


[ 26 ] DIMĂŤNSI

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008


No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMĂŤNSI [ 27 ]


Swara

Persimpangan Agama dan Pendidikan Oleh: Ali Ngimron *)

Dipandang dari segi epistemologi, pendekatan ilmu di Perguruan Tinggi Islam banyak yang keliru. Seorang ilmuan muslim seharusnya memandang kegiatan ilmiah apapun adalah bentuk pengabdian kepada Allah dalam rangka beribadah dan mencari ridloNya. Karena itu menjadi sarjana muslim, sama artinya dengan siap menggali kandungankandungan ayat-ayat Allah (baik yang kauniah maupun yang tanziliah) dan sunnah Nabi Muhammmad SAW. elama 14 abad terakhir, peradaban yang dikembangkan umat Islam hanya dikonsentrasikan pada kajian ayatayat tanziliah (meliputi ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu kalam, ilmu fiqih, ilmu ushul, ilmu tasawuf dan akhlak) juga kajian-kajian ayat-ayat kauniah (meliputi ilmu sejarah, sosiologi, ekonomi, astronomi, kimia, biologi, kedokteran, dan lainnya). Istilah-istilah tersebut sekarang dikenal dengan ilmu-ilmu umum. Padahal jauh sebelumnya, tepatnya zaman periode klasik sejarah peradaban Islam, para Ilmuwan muslim sudah mengembangkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan modern yang menjadi acuan dasar hingga saat ini. Masa ini terjadi pada pemerintahan Abbasiyah (744-1258 M), zaman Umayyah Andalus (756-1031 M), hingga peristiwa Reconquesta (1498 M). Di antaranya muncul beberapa tokoh yang menonjol, seperti Ibnu Khaldun (1332-1406 M) sebagai ahli sejarah dan biologi, Ibnu Sina (980-1037 M) sebagai ahli farmasi, dimana buku al-Qanun fi al-Thib karangannya masih menjadi rujukan ilmu kedokteran (farmasi) modern di barat hingga saat ini. Bukunya telah diterjemahkan ke dalam bermacam bahasa, sedangkan Ibnu Sina sendiri di barat lebih dikenal dengan nama Avicena. Tokoh ilmuwan muslim lain yang banyak memberikan kontribusi untuk dunia pendidikan baik di barat maupun di timur adalah al-Khawarizmi (232H), dikenal sebagai ahli aljabar dan aritmatika (salah satu bagian khusus dalam matematika; red) bahkan yang paling fenomenal dari temuannya adalah daftar logaritma ciptaannya. Jabir Ibn Hayyan (120-210 H) dikenal sebagai ahli kimia terbesar dalam sejarah ilmu pengetahuan (Philip K Hitti, History The Arabs 1970). Dalam perkembangannya, pasca zaman periode klasik, peradaban Islam tidak lagi mengembangkan disiplin ilmu yang diwariskan oleh ilmuwan selama sebelumnya. Akibat mengabaikan disiplin ilmu alam, sosial dan humanisme

S

[ 28 ] DIMĂŤNSI

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

tersebut, sudah bisa ditebak, unsur membangun tsaqawah wa al hadlarah (peradaban dan budaaya) mengalami stagnasi. Ekonomi, teknologi, fisika, kimia, biologi, botani dan sejenisnya tidak lagi dikenal di dunia Islam. Perlu dijadikan catatan, bahwa sebelumnya orang baratlah yang berkiblat kepada kita. Dikotomi pandangan terhadap ilmu ini merambah wilayah akademi. Walaupun pada dasarnya, semua Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), baik Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) maupun sekolah tinggi agama Islam negeri (STAIN) tampil dengan cita-cita yang sama yaitu mengembalikan pendidikan Islam ke aslinya baik tentang kajian terhadap ayat-ayat tanziliyah maupun ayat-ayat kauniyah, sebagai pendobrak pandangan dikotomi ilmu. Sampai di sini ada satu hal yang perlu di mengerti bahwa perbedaan nama itu bukan kebetulan atau terjadi begitu saja. Secara idealis, identitas Islam yang ditonjolkan dalam sebuah nama universitas bukanlah hanya pajangan belaka, bukan pula sekedar untuk menarik simpati dan minat masyarakat saja. Lazimnya identitas adalah sebuah pengakuan, disamping memiliki nilai jual sesuai dengan tawaran disiplin ilmu dengan ciri khas ke-Islam-an. Sehingga di tuntut adanya kemampuan yang memberi jaminan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pendidikan dalam perspektif Islam Jika kembali kepada gerakan Renaissance di barat (sejak abad 15) dikembangkan dengan prinsip bebas nilai (valuefree), dimana ilmu tidak lagi dikembangkan dalam perspektif agama. Sebagaimana pembangunan sosial, budaya dan politik juga harus lepas dari perspektif agama (sekuler). Sinergis dengan gerakan ini, maka ilmu pengetahuan yang


Swara dikembangkan di Barat harus pula sekuler. Sebagai konsukensi dari sebuah bangunan besar dengan nama PTAIN yang mengusung kerangka ilmu ke-Islaman, maka perlu adanya perspektif Islam dalam pengembangan ilmu-ilmu umum. Gerakan renaissans modern tampil dalam rangka melawan dominasi gereja Katolik Roma abad pertengahan. Sejak abad pertama hingga abad pertengahan (abad 15), Eropa tenggelam pada masa yang disebut Dark-Age (abad kegelapan). Hal ini ditengarai karena ulah gereja, dimana pada saat itu gereja memegang kendali penuh atas nama Tuhan menguasai masyarakat (civil), raja-raja (pemerintah tertinggi pada saat itu), dan para ilmuwan Eropa. Sampaisampai gereja menentukan tarif untuk formulir pengampunan dosa dan karcis surga (Letter De Cashet). Bahkan, akibat dituduh menentang doktrin gereja, Galilei Galileo dan Bruno harus menjalani hukum di penjara Siena, sebelum akhirnya dijatuhi hukuman mati. Galileo dihukum mati akibat fahamnya yang bertentangan dengan gereja pada saat itu. Pada abad ke tujuh belas ini inquisi menjadi institusi kristen paling tinggi dan suci tanpa bisa ditawar ataupun digugat sama sekali. Pasca inquisi gereja yang diangap paling jahat dan kejam dalam sejarah panjang umat manusia. Pada abad ke 18 lahirlah apa yang di sebut renaissance. Bersamaan dengan itu lahir pula gerakan untuk memisahkan ilmu dan agama. Para ilmuwan dan cerdik-cendikia barat beramai-ramai menyerang gereja. Nietszche tampil dengan cerpennya God Is Dead, Karl Marx(1818-1883) dan Engels (1820-1895) dengan filsafat atheisme dan komunisme. Charles Darwin (1809-1882) tampil dengan teori evolusinya yang seolah menafikan bahwa manusia adalah mahluk “paling seksi” ciptaan Tuhan di muka bumi. Sigmund Freud (1859-1939) tampil dengan teori alam bawah sadar manusia (das ich). Sekularisme kadang diartikan agama lepas dari pendidikan dan urusan-urusan dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat “give the church to the people, castle to the king”. Berbicara masalah sekularisme kadang tidak bisa lepas dari Renaisance pula. Dimana keduanya adalah produk barat. Anggapan ini bisa benar juga bisa salah. Sampai di sini ada satu hal yang perlu di perhatikan, bahwa pengaruh renaisance di Indonesia dikenalkan lewat para kolonialis lewat pendidikan-pendidikan umum pada saat itu. Hasilnya bisa dirasakan sampai saat ini. Di mana pendidikan agama “kadang-kadang” terpisah sama sekali dengan pendidikan umum. Akibat dikotomi dan dualisme seperti ini, seorang mahasiswa merasa bidang studi yang digelutinya tidak ada hubungannya dengan moral dan agama. Seorang mahasiswa tidak merasa ada kaitan tugas profesionalnya di satu sisi dengan kewajiban ta’abbudi (menyembah dan tunduk kepadaNya) sebagai seorang muslim di sisi lain. Hal ini perlu dicermati sebelum akhirnya dilakukan oleh semua umat muslim sebagai ibadah mahdloh atau gairu mahdloh. Demi terciptanya ilmuwan muslim yang betul-betul saleh. Baik kesalehan dalam wilayah sosial maupun kesalehan sebagai hamba tuhan yang taat. Sampai pada gilirannya tidak ada lagi alasan terjadinya praktek-praktek korupsi dan penyalahgunaan wewenang, karena pendidikan moral agama tidak bisa dicerna dalam lubuk hati. Kita perlu mengevaluasi

kembali tentang sejauh mana kesiapan mental spiritual kita, baik sebagai seorang pendidik atau siswa didik biar terjadi adanya kesinergian antara wilayah amaliah dan ilmiah. Dan ini bersifat overhaul. Membangun epistimologi pendidikan Islam. Di pandang dari segi epistemologi pendekatan ilmu di perguruan tinggi Islam banyak yang keliru. Seorang ilmuwan muslim seharusnya memandang kegiatan ilmiah apapun adalah bentuk pengabdian kepada Allah dalam rangka beribadah dan mencari ridloNya. Karena itu menjadi sarjana muslim, sama artinya dengan siap menggali kandungankandungan ayat-ayat Allah (baik yang kauniah maupun yang tanziliah) dan sunnah Nabi Muhammmad SAW. Berbicara tentang sejauh mana keterkaitan agama Islam dalam pendidikan menjadi menarik terutama dalam upaya menggali sumber daya umat Islam. Islam, baik sebagai agama maupun pandangan hidup, diyakini mempunyai landasan etis serta moral pendidikan. Antara Islam dan pendidikan mempunyai hubungan filosofis yang amat mendasar.baik secara ontologis (pandangan terhadap pengetahuan ilmiah), epistemologis (menyangkut metodologi pengembangan ilmu), maupun aksiologis (penggunaan pengetahuan ilmiah). Namun perlu diketahui bahwa upaya menghubungkan antara Islam dan pendidikan “dalam peta pemikiran Islam” masih dijumpai adanya perbedaan yang belum tuntas hingga saat ini. Dalam konteks semacam ini ditemui tiga aliran pemikiran yang kontroversial. Pertama, aliran ini mengatakan bahwa Islam adalah agama terakhir dan penyempurna, yang ajarannya mencakup segala aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya adalah bidang pendidikan. Diantara tokohnya adalah Syeh Hasan al Bana, Sayyid Quttub, M Rasyid Ridlo, dan lain sebagainya. Kedua, aliran ini mengatakan bahwa Islam hanya mengatur hubungan antara manusia dan tuhannya. Sedangkan pendidikan secara epistemologi berada dalam kawasan bebas nilai tidak mempunyai kontek dengan Islam. Masih menurut kelompok kedua Islam hanya menempati kawasan aksiologi, nilai-nilai etis dalam pemanfaatan dan berada di luar struktur pendidikan. Karena pendidikan Islam pendidikan yang mampu mengemban misi Islam. Baik yang dikelola oleh kaum muslim sendiri (termasuk juga pondok pesantren salaf maupun khalaf) atau yang bersifat umum. Termasuk tokoh pada aliran ini adalah Ali Abd Razik dan Taha Husain. Ketiga, aliran ini berpendapat bahwa Islam bukanlah sebuah sistem kehidupan yang praktis dan baku, melainkan sebuah sistem nilai dari norma (amar dan nahi) yang secara dinamis harus dipahami dan diterjemahkan berdasarkan setting dalam dimensi ruang dan waktu tertentu. Karena itulah, secara praktis dalam Islam tidak terdapat sistem ekonomi, politik, bahkan pendidikan secara baku. Salah satu tokoh aliran ini adalah Mohammad Husain Haikal. Lepas dari pendapat para tokoh islam di atas tentunya hubungan agama dengan pendidikan adalah sejajar, dimana keduanya memberi tempat pada manusia untuk lebih baik.

*) Penulis adalah ketua SMJ Ushuludin 2008-2009, mahasiswa prodi TH (Tafsir Hadis) semester V

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMëNSI [ 29 ]


Swara

Mengembalikan Bingkai Pendidikan Anak Bangsa Oleh: Maya Amil Masrina *)

ecenderungan semakin cepatnya perubahan situasi global dan latar budaya yang bergerak berbasiskan pola hidup yang konsumtif, hedonis, dan pragmatis akan memicu melemahnya kualitas hidup manusia dan memudarnya komitmen moral dalam percaturan politik negara. Sehingga pendidikan menjadi sangat rentan dengan kondisi yang seperti itu. Walaupun, perkembangan metode pendidikan dewasa ini sebenarnya sedikit banyak telah menerapkan metodologi pendidikan kritis partisipatif yang sejak awal telah digagas oleh tokoh-tokoh terkemuka, namun pada dasarnya, metode ini belum mampu menyentuh substansi pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan tidak hanya untuk menjadikan siswa senang dan betah di dalam kelas, tetapi ia adalah usaha sadar manusia untuk saling belajar dan memahami akan kondisi diri dan sosial sekitar, ia tidak hanya harus menjadikan kuat karakter yang ada pada anak tetapi juga membawanya agar lebih dewasa, utuh dan bermartabat sepenuhnya, mempunyai nilai-nilai dalam dirinya sebagai tujuan yang melandasi kehidupan. Hal ini sangat penting dalam menyikapi gejala yang muncul dewasa ini dimana nalar hidup formalisme dan pragmatis telah menjadi satu karakter dalam masyarakat kita. Banyak hal yang menjadi penyebab semakin berkembang luasnya gejala ini, salah satunya karena kekuatan dunia telah dicengkeram oleh korporatokrasikorporatokrasi yang mampu menguasai berbagai macam kekuatan di dunia, mulai dari lembaga-lembaga keuangan sampai pada lembaga-lembaga elit politik. Di satu sisi perusahaan-perusahaan meraup keuntungan sebesarbesarnya lewat berbagai isu yang sangat populis dikalangan masyarakat modern dewasa ini. Seperti isu-isu pemanasan global, ketahanan pangan, dan peningkatan taraf hidup masyarakat bawah. Jadi orang berbicara tentang sebuah nilai kehidupan hanya dalam rangka kepentingan kalkulasi ekonomi. Di sisi yang lain mereka menggunakan kekuatan birokrasi pemerintah untuk merebut kharisma dari masyarakat, agar mareka terdorong untuk mengkonsumsi produk mereka. Selain itu pengaruh dari transisi demokrasi telah memicu kuatnya arus politik dengan berbagai macam kepentingan. Karena di tingkatan bawah masyarakat yang mereka terbiasa dengan kehidupan yang serba praksis tidak akan mau tahu

K

[ 30 ] DIMĂŤNSI

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008


Swara dengan berbagai macam alasan yang panjang lebar. Sehingga tokoh yang memegang kendali atas nilai-nilai dan normamereka cenderung mengambil jalan pintas mana yang bisa norma adat yang berlaku. mereka lakukan untuk mempertahankan hidup mereka. Dalam sudut pandang diskursus ini kita mengakui Sehingga berbagai macam kebijakan dan perbedaan bahwa ada beberapa individu, entah sadar atau tidak kepentingan di tingkatan elit tanpa ada sosialisasi dan meraka diperankan untuk mendukung sebuah sistem pengawalan yang berkelanjutan akan banyak mengalami dengan beberapa keahlian dan potensi yang dimiliki, entah distorsi yang signifikan. di wilayah material atau pun non material. Hal inilah yang sebenarnya dapat terlihat nyata, Di sisi lain ada kesadaran akan nilai-nilai yang memang dimana banyak sekali sekolah yang terjebak pada usaha- terbangun dengan sendirinya, karena kondisi yang ada dari usaha pencapaian pendidikan yang cenderung teknis- masyarakat sekitarnya. Sehingga tanpa sadar mereka p r o s e d u r a l s a j a . M a s i h j a r a n g s e k o l a h y a n g mendukung sistem yang ada meskipun di satu sisi memperhatikan aspek bangunan mental dan moral dalam pembagian sumber daya alam sama sekali tidak adil, tidak diri siswa. Pemahaman akan adanya nilai-nilai dalam diri proposional dengan apa yang telah mereka kerjakan, yang mendasari sistem sosial dalam ataupun ada beberapa pihak yang masyarakatnya sering hanya sebatas sengaja memperoleh keuntungan dari pendidikan harus pengetahuan dan informasi. Sehingga keberadaan sistem ini. pengetahuan yang ditanamkan secara Sedangkan pada poin standar mendorong anak didik paksa seringkali membunuh potensi berikutnya, siswa dipaksa untuk untuk mampu siswa. melaksanakan norma-norma yang ada. bertindak secara lebih fakta inilah yang menyebabkan Sebagai contoh, kemunculan banyak sekolah berstandar internasional bukan kontradiksi. Maka dari itu seringkali proporsional pada jaminan menjadikan bangsa ini menjadi sistem dan tata nilai masyarakat yang tempatnya untuk lebih baik dan bermartabat, walaupun dibangun menjadi bahan perbincangan bertujuan untuk menghadapi tantangan semata dan bahan lelucon yang pada membantu global, namun di sisi lain, jika tanpa ada akhirnya menjadi hilang daya tawar dan memberikan penguatan komitmen moral dan kekuatan hukumnya di masyarakat. Atau pemahaman akan keberpihakan yang jelas dalam proses malah yang sering terjadi adalah belajar, akan melahirkan generasi-generasi maraknya kekerasan karena pemaksaan kondisi yang terjadi yang konsumtif terhadap produk pasar dan doktrin yang ada dalam masyarakat. pada masyarakatnya globalisasi. Sedangkan selama ini pihak Pemahaman yang ada hanya sekolah sendiri kebanyakan terjebak berlandaskan pada tata hukum, tidak dalam pemenuhan prosedur-prosedur rumit dalam standar- ada pertimbangan yang lebih substansif dan bisa diterima standar kompetensi yang dicanangkan pemerintah. oleh semua lapisan. Kondisi seperti ini, sebagian disebabkan karena Pada sisi inilah perlu kita kaji lebih cermat dimana kerancuan pada silabus mata pelajaran yang ada di sekolah posisi pendidikan seharusnya berpijak. Permasalahan entah karena ketidakfahaman secara total dari pengetahuan selanjutnya adalah bukan melaksanakan atau tidak yang mereka miliki atau memang hanya dalam rangka melaksanakan sistem yang telah ada-setelah kesadaran memenuhi kewajiban praksis seorang guru. Contoh tercipta- tentang dimana letak permasalahan yang terjadi kerancuan ini dapat dilihat dalam silabus mata pelajaran dalam masyarakat. Akan tetapi, pendidikan harus sosiologi. Dalam rumusan standar kompetensi nasional, mendorong anak didik untuk mampu bertindak secara lebih pertama, siswa diharapakan akan memahami tentang proporsional pada tempatnya untuk membantu memberikan adanya perilaku keteraturan hidup sesuai dengan nilai dan pemahaman akan kondisi yang terjadi pada norma yang berlaku dalam masyarakat, namun pada bagian masyarakatnya. yang kedua siswa menerapkan nilai dan norma dalam Karena pendidikan bukan hanya sebatas pada proses pengembangan kepribadian. Ini adalah dua hal yang pengetahuan yang diberikan, namun bagaimana anak didik sangat berlawanan, karena di satu sisi siswa harus mampu mengambil sikap. Dan orang-orang yang keluar atau memahami dan mengetahui bagaimana tentang adanya bahkan anti sistem merupakan imbas dari sistem yang ada. sebuah sistem masyarakat yang merupakan bentukan dari Manusiawi tentunya bukan hanya sebatas terpenuhinya masing masing masyarakat, namun di sisi yang lain mereka dan kompetensi dalam profesionalitas kerja dan teknologi, dipaksa untuk melaksanakan sistem tersebut. namun lebih dari itu mereka menyadari sepenuhnya Sistem disini bukan hanya mencakup wilayah keberadaan potensi sebagai media untuk mewujudkan nilaipembagian sumber daya alam yang ada namun secara nilai yang ada dalam dirinya. keseluruhan juga mencakup masalah pembangunan struktur budaya dan pembagian kewenangan hukum di masyarakat. Sebuah sistem masyarakat dimana unsur-unsur *) penulis adalah Mahasiswa TMT (Tadris Matematika) penyusunnya merupakan bentukan dari masing-masing semester VII juga anggota Dewan Redaksi LPM DIMĂŤNSI individu yang ada di dalamnya, termasuk tokoh agama atau STAIN Tulungagung.

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMĂŤNSI [ 31 ]


Swara Pendidik an har endidikan harii ini; Compang–Camping Oleh: Nuruddin*

“Manusia bermartabat terinspirasi oleh pendidikan, sedang kemajuan sebuah bangsa dilahirkan melalui sebuah pendidikan ideal.� endidikan merupakan salah satu hal penting yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Dengan pendidikan, manusia akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, setidaknya akan dapat menjadi sebuah faktor pendorong mobilitas kemampuan manusia. Dalam sebuah Negara yang maju tidak akan lepas dari pengaruh pendidikan yang berkualitas. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, tujuan nasional pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari pernyataan tersebut menunjukkan cita-cita pemerintah Indonesia sangat besar kepada aspek pendidikan sejak berdirinya Negara ini. Banyak tokoh yang telah memberikan sumbangsih pemikirannya dalam pendidikan. Ki Hajar Dewantara, salah satu tokoh penting dalam pendidikan bangsa kita. Dengan konsep Tri pusat pendidikan, yaitu pendidikan di lembaga pendidikan,

P

[ 32 ] DIMĂŤNSI

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di lingkungan keluarga; telah menunjukkan seberapa besar kepeduliannya terhadap pendidikan dan mempertegas bahwa pendidikan adalah sebuah aspek penting dalam kemajuan sebuah Negara. Namun ketika melihat realitas pendidikan saat ini masih mungkinkah konsep tri pusat pendidikan akan memajukan Negara? Atau bahkan semuanya seakan-akan mustahil untuk terwujud? sedang realitas pendidikan sangat memprihatinkan. Pertama, dengan biaya pendidikan yang relatif mahal, menjadi sangat tidak seimbang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia yang sebagian besar merupakan keluarga yang kurang mampu. Sedangkan disisi lain banyak dari lembaga pendidikan seakan-akan berlomba-lomba menaikkan biaya pendidikan. contoh kecil disalah satu sekolah dasar di Tulungagung memberikan biaya masuk sekolah sebesar hampir 600 ribu untuk


Swara keperluan pendaftaran dan perlengkapan siswa seperti terjadi ternyata penyeragaman kurikulum tanpa melihat seragam, atribut dan alat tulis serta kebutuhan yang lain. perbedaan latar belakang sekolah. Dan bisa dibayangkan bagaimana dengan biaya sekolah Lain cerita dengan sistem pendidikan dengan di tingkat pendidikan yang lebih tinggi, apakah tidak lebih menggunakan KTSP yang awalnya merupakan sistim parah? Sedangkan orang tua akan merasakan beban penyempurna kurikulum sebelumnya. KTSP dengan yang sangat berat dengan biaya pendidikan yang menggunakan prinsip dasar bahwa pemerintah menguras kantong dan dipaksakan untuk di tanggung memberikan kewenangan kepada setiap satuan olehnya yang sebagian besar adalah keluarga dengan pendidikan untuk membuat sebuah kurikulum yang penghasilan pas-pasan. nantinya diberikan kepada siswa dan memberikan dasarMasih banyak lagi contoh yang mungkin akan dasarnya sebagai acuan. Secara teoritis hal itu sangatlah menyesakkan nafas kita. Walaupun mulai tahun 2005 bagus jika bisa dilaksanakan, karena kurikulum dapat telah digelontorkan dana subsidi oleh disesuakan dengan kebudayaan yang pemerintah dalam bentuk dana BOS berlaku dalam daerah tertentu. Namun pihak sekolah lebih (bantuan operasional sekolah) dalam fakta di lapangan, ternyata pihak bentuk uang pembiayaan langsung dan cenderung menggemari sekolah lebih cenderung menggemari dalam bentuk buku paket. Namun dalam predikat unggulan, favorit atau predikat unggulan, realitasnya, pengalokasian dana BOS berstandart internasional tanpa melihat favorit atau berstandart kembali bahwa pola pendidikan dalam masih belum tepat, dana BOS malah masuk kantong bos. Dana lain yang sekolah tersebut sudah sesuai atau internasional tanpa seharusnya dapat digunakan sebagai belum dengan kebutuhan dan melihat kembali bahwa dana pembangunan infrastuktur kemampuan siswa. Atau malah akan pola pendidikan dalam pendukung proses belajar mengajar di mencetak lulusan yang lupa terhadap dalam sekolah. Lagi-lagi semua itu hanya sekolah tersebut sudah kebudayaannya sendiri. dirasakan oleh sebagian pihak saja. Ketiga, kebijakan pemerintah yang sesuai atau belum Dapat dilihat banyak sekali kejadian yang lemah dalam mengawal perjalanan dengan kebutuhan dan sistem pendidikan di Indonesia. Kondisi memperlihatkan bagaimana kondisi yang memprihatikan pada bangunan sekolah. seperti itu memberikan kesempatan kemampuan siswa. Atap rusak, tembok yang sudah dan keleluasaan untuk berkemdigambari oleh lumut, gedung sekolah banganya komersialisme dan roboh yang memaksa pihak sekolah untuk mengambil kapitalisme pendidikan. kebijakan untuk mengungsi ke sekolah lain. Selain ketiga hal yang menjadi gambaran masalah Kedua, sistem pendidikan yang silih berganti. Dari era yang ada dalam dunia pendidikan kita masih ada banyak 90an muncul CBSA dan dilanjutkan dengan sistem KBK permasalahan lain yang perlu diperhatikan, misalnya dan yang kemudian disempurnakn dengan sistem KTSP keputusan pemerintah standarisasi kelulusan dan kesemuanya sistem tersebut belum bisa memberikan sertifikasi guru. Kenaikan nilai standar kelulusan seakan kontribusi yang jelas terhadap peningkatan mutu sebagai semangat baru dalam peningkatan kualitas pendidikan. pendidikan bukan lagi menjadi sebuah cermin kemampuan Sistem CBSA yang menerapkan pola kecenderungan dan kompetensi siswa tidak lebih sebagai hanya menjadi pasif terhadap siswa yang mengakibatkan terjadinya alat permainan untuk menentukan kelulusan siswa. pengekangan kemampuan siswa sehingga mengakibatkan Melihat pada kondisi pendidikan bangsa yang kemunduran kreatifas siswa. Siswa lebih diharuskan diam semakin terpuruk, patutlah kiranya ada pembenahan dari dan mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh segala pihak, baik yang bersifat materi maupun immateri, seorang guru tanpa adanya interaksi yang lebih jauh. karena kalau hal ini tidak dilakukan, maka cita-cita Setelah itu muncul sistem KBK, yang secara teori memiliki bangsa untuk mencerdaskan seluruh warga negaranya banyak perubahan terhadap pola sistem pendidikan kita. menjadi mustahil dilakukan. Karena sudah Saatnya Dimana siswa diberikan kesempatan dan peluang untuk bangsa ini berefleksi. berkreatifitas sesuai dengan bakat dan potensinya masingmasing secara aktif. Namun sistem KBKpun sama saja. Banyak masalah yang timbul disebabkan oleh inkonsistensi aplikasi yang menyebabkan amburadulnya pelaksanaan pendidikan di Indonesia dan adanya perbedaan interpretasi dan implementasi KBK antara tingkat penatar, kepala sekolah dan para guru. *) Penulis adalah mahasiswa prodi MU (Muamallah) Seharusnya, kondisi sekolah di Indonesia yang tidak sama semester VII yang menjabat sebagai menjadi kerangka dasar bagi pemerintah untuk Ketua KOPMA 2008/2009 membentuk dan menerapkan KBK. Akan tetapi, yang STAIN Tulungagung

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMĂŤNSI [ 33 ]


Budaya Menilik Pendidikan Alternatif Usia Dini di Ponpes Daruttaibin Campurdarat

D

ari sebuah ruang, terdengar riuh tawa bergelombang. “Cah, ayo dolanan ancak-ancak alis!” ajakan penuh semangat itu keluar dari bibir mungil Kayun, gadis kecil yang sehari-harinya belajar di TK setempat. “Yo…” teman-teman sebayanya menyambut ajakan Kayun penuh suka cita. Dalam hitungan detik, kumpulan yang terdiri dari belasan anak itu membentuk formasi serupa kereta api, sementara dua orang di antara mereka mengangkat lengan menyerupai terowongan. “Ancak-ancak alis/ alise gaga welut/ sawahe lagi matun/ mbok emping, mbok tali/ njaluk emping, njaluk tali…/ “ Sebuah permainan yang benar-benar hidup menyapa, saat kaki melangkah menuju pesantren Daaruttaibin yang terletak di desa Campurdarat, Kecamatan Campurdarat, di dekat pantai selatan Tulungagung. Keceriaan menghiasi suasana pesantren yang dipenuhi puluhan anak melantunkan ayat-ayat Qur’an di serambi masjid. Formasi anak-anak pun berputar melewati terowongan diiringi lagu ancak-ancak alis. Saat lagu berakhir, terowongan ditutup dan tertangkaplah salah satu anak. “Njaluk emping apa tali? (minta emping atau tali?; red)” tanya anak-anak penjaga ‘terowongan’ pada seorang anak yang tertangkap oleh mereka. “Emping!” jawab yang tertangkap. Kemudian, anak tersebut pun mengambil posisi di belakang anak yang menjadi terowongan, tergantung pada pilihannya; emping atau tali. Permainan pun berlanjut sampai anak-anak yang menjadi kereta habis tertangkap. Babak berikutnya dari dolanan ancak-ancak alis menanti. Kedua anak yang berperan sebagai terowongan melakukan suit untuk memperebutkan

[ 34 ] DIMëNSI

anak-anak yang berdiri di belakang mereka. Bila pemenang telah didapat, maka ia kemudian berperan sebagai Luk-luk wing sedangkan yang kalah suit berperan sebagai babon yang hendak menyambar anak-anak Luk-luk wing . Anak-anak yang berdiri merapat di belakang Lukluk wing. Terjadi dialog unik

a n t a r a pemeran Luk-luk wing dengan si Babon penyambar: Babon: Luk-luk wing kowe duwe opo? Luk-luk wing : gedang mas Babon: aku njaluk oleh opo ora? Lok-lokweng : ojo, adahmu opo? Babon: godhong sentherewe Luk-luk wing : nek gatelen piye? Babon:awas engko, nek njaluk geni ning omahku anakmu tak samber siji!

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

(luk-luk wing, kamu punya apa?// pisang emas//aku minta boleh atau tidak?//jangan! Wadahmu apa?//daun sentherewe//kalau gatal-gatal bagaimana?//awas! Kalau nanti minta api di rumah ku, anakmu ku culik satu!). Dan berputarlah si penyambar berusaha menangkap salah satu anak Luk-luk wing. “ha..!!!” serentak anakanak luk-luk wing berteriak takut tidak mau diculik. Bak naga, anak-anak berputar meliuk dengan rinai tawa dan jerit yang terus mengalir sampai tertangkap salah seorang anak. Alur permainan seperti itu adalah salah satu kegiatan pada Taman Pengembangan Potensi Anak (TPPA) Daaruttaibin Campurdarat Tulungagung yang didirikan atas prakarsa Mulyono, seniman sekaligus konsultan UNICEF yang menjadi salah satu pelaksana program “Early Childhood Care for Development” (ECCD). ECCD adalah program pengembangan potensi anak yang dikembangkan diberbagai daerah di Indonesia. Yang dikembangkan oleh Mulyono sebelumnya di Pacitan dan Ponorogo. Program tersebut lalu dia tawarkan untuk dikembangkan di Tulungagung, dengan mengadakan pelatihan ECCD kepada sekitar sepuluh orang pemuda di rumah anggota DPRD Tulungagung, Ahmad Syafi’i. “Kemudian, sebagai praktek dari pelatihan itu adalah kegiatan kita (permainan) tadi,” ungkap Fathur Rahman, yang menjadi salah satu fasilitator TPPA Daaruttaibin. “Kegiatan ini merupakan sebuah alternatif pendidikan bagi anak. Selama ini pendidikan lebih menaruh perhatian pada kognisi anak, padahal potensi lain juga harus dikembangkan, yaitu potensi afeksi dan motorik,” ungkap Naimatul Fauziyah yang akrab dipanggil Ima, juga


Budaya fasilitator. “Bila ada potensi yang tidak dikembangkan sejak dini, akan terjadi cacat permanen hingga dewasa,” tambah Fathur. Kegiatan ini bertempat di pesantren, untuk menarik minat anakanak yang biasa mengaji di TPQ (Taman Pendidikan al Qur’an). Selain itu, media yang digunakan adalah alam sekitar. Dengan demikian, pendidikan dapat diperoleh dengan biaya yang murah. Dengan media pendidikan alam sekitar, Fathur dan rekan-rekannya ingin mengarahkan anak-anak peserta didik untuk menggali potensi mereka dan lingkungannya. Para fasilitator menjadi teman bagi mereka. Peran fasilitator hanya memberikan stimulus, bukan memaksa anak melakukan sesuatu. Hal ini dilakukan lewat permainan, gerak, dan lagu. Seperti ketika bermain ancak-ancak alis. saat anak-anak lari, potensi motorik kasar mereka terstimulus. Sedangkan ketika anak-anak memegang tangan temannya, dan menggenggamnya, motorik halus yang terstimulus. Sementara itu, panca indera menerima stimulus ketika anak-anak melihat dan mendengar. Bentuk lain stimulus yang dapat menggugah potensi anak adalah dengan menggunakan APE (Alat Permainan Edukatif) seperti menempel biji-bijian hingga membentuk sebuah pola. Fathur menambahkan bahwa dengan membayangkan jadi kucing saat menyanyi “Kucingku Telu” atau membayangkan jadi sayuran, pohon, dsb, maka potensi afeksi mereka akan terstimulus. Kegiatan yang ada di TPPA Daaruttaibin diadakan setiap sore hari Jumat dan Sabtu, mereka bermain dan belajar di TPPA. Sementara setiap hari minggu diberikan alternatif belajar di luar ruangan (out bond) sebagai bentuk refresing agar anak-anak tidak mengalami kejenuhan, namun ini tidak berlangsung lama. Hal ini seperti yang diungkapkan Ima, “Dulu kita juga masuk pada hari Minggu dengan kegiatan out bond, tapi pada hari itu cuma sedikit anak yang ikut. Kebanyakan mereka sudah punya acara sendiri-sendiri dengan keluarga,”

Anak-anak yang mengikuti kegiatan TPPA Daaruttaibin adalah anak-anak usia emas (golden age), yaitu mereka yang berusia 0-5 tahun. Masa usia emas tersebut adalah masa yang paling penting dalam perkembangan anak. Pada masa tersebutlah pertumbuhan fisik dan perkembangan potensi anak, baik pancaindera, kognisi, afeksi, maupun motorik berlangsung pesat. Lewat beragam permainan, gerak dan lagu, ditanamkan berbagai nilai, seperti arti kekerasan, kesetaraan gender, dan kecintaan terhadap alam. Kedepannya, TPPA Daaruttaibin menargetkan dapat memberikan pendidikan holistik yang sesuai Konvensi Hak Anak 2 September 1990 yaitu: 1. Hak atas kelangsungan hidup (Survival) 2. Hak untuk tumbuh kembang (Development) 3. Hak atas perlindungan (Protection) 4. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat (Participation) Sedangkan pihak pesantren Daaruttaibin sendiri sangat mendukung keberadaan dan kegiatan TPPA. “Intinya positif,” ungkap KH. Damanhuri, pengasuh Pesantren Daaruttaibin, saat ditemui kru DIMëNSI. “Pesantren sendiri berangkat dari rumpun sosial terrendah/ masyarakat bawah yang menjadi pondasi masyarakat. Istilahnya adat masuk tradisi jadi tidak masalah,” imbuhnya. Lebih jauh lagi, KH. Damanhuri menerangkan, dengan pola pendidikan dini kembali ke alam, ada prinsip akidah yang ditanamkan pada anak lewat contoh dari alam, seperti: daun hijau dijemur menjadi kuning, lalu merah, merupakan pengenalan terhadap ayat-ayat yang tidak terbaca (tergantung pada kemampuan berpikir). Pengenalan terhadap alam sebagai wujud malaikat dalam melaksanakan tugas dalam membagi rizki tidak pernah berlaku durhaka. Menggali alam semesta dengan perintah Allah merupakan cerminan Ulil Albab. Bahwa tak ada produk Allah yang sia-sia. Dengan demikian, anak dapat memahami bahwa segala sesuatu yang maju pada dasarnya berasal dari alam.

Munculnya TPPA Daaruttaibin merupakan salah satu bentuk jawaban dari banyaknya masalah pendidikan saat ini, seperti biaya yang mahal, output yang tidak mampu menghadapi realitas masyarakat, hingga seragamnya materi pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan global. Padahal, potensi lokal berupa tradisi dan kekayaan alam merupakan warisan yang harus dilestarikan sebagai jati diri bangsa di tengah gempuran globalisasi. Hanya melalui pendidikanlah tujuan mulia tersebut dapat dicapai. Akan tetapi, misi mulia TPPA Daaruttaibin menemui kendala dalam pelaksanaannya. Salah satunya, Kurikulum yang belum terbentuk rapi membuat materi pembelajaran berjalan di tempat. Lagu atau nyanyian yang diberikan kepada anak-anak masih minim kreatif, selain itu sosialisasi kepada orang tua santri minim. “Akibatnya, lagu yang kita nyanyikan masih itu-itu saja, juga permainannya. Belum ada perkembangan,” jelas Fathur. “Selain itu, sosialisasi ke orang tua santri masih kurang, meskipun dulu sudah kita sosialisasikan waktu PHBI Maulid Nabi Muhammad,” tambahnya. Kesibukan para fasilitator di luar TPPA Daaruttaibin tampaknya juga menjadi kendala. Rata-rata fasilitator adalah mahasiswa STAIN Tulungagung yang berdomisili di pusat kota, bahkan ada yang berdomisili di luar Tulungagung. Aktivitas para fasilitator di luar TPPA Daaruttaibin membuat pengabdian mereka dalam menstimulasi potensi anak-anak belum bisa optimal. “Sudah sekitar tiga minggu ini nggak ada yang ke sini (Daaruttaibin), Mbak,” ungkap Wulan, perempuan muda yang mendampingi adik dan keponakannya belajar mengaji dan mengembangkan potensi di Daaruttaibin ketika kru Dimensi menjumpainya sebulan setelah kunjungan pertama . Sampai tulisan ini diturunkan, kegiatan TPPA di Daruttaibin mengalami kekosongan. Hal ini memang sangat disayangkan ketika muncul konsep pendidikan alternatif bagi anak-anak usia emas menjadi terbengkalai karena minimnya fasilitator dari kalangan pemerhati dan pendidik di Tulungagung.//zah//

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMëNSI [ 35 ]


Budaya Pendidikan Moral dan Etika;

Dalam Bahasa dan Gerak (…Jowo berasal dari kata prasojo waloko, berarti seseorang harus memiliki sifat jujur dan apa adanya. “ojo sênêng géroh, ojo sênêng gawé têmbung-têmbung sing muluk-muluk…” Jawi, merupakan bahasa krama dari jowo, berarti seseorang harus memiliki subosito, yang terdiri dari tata krama dan tata susila. Kemudian Jiwi, nyawiji lawan Hyang Widhi (menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa; red)…”(Sri Dasimen)

Anak-anak sedang belajar menari di sanggar kembangsore

K

etika manusia lahir, bahasa dan gerak merupakan alat komunikasi pertama yang bisa memahamkan manusia pada segala hal yang ditemuinya. Dengan keduanya, baik gerak maupun bahasa, sejarah dan kebudayaan manusia mulai terukir. Kebudayaan nan agung mulai muncul satu per satu di muka bumi. Hingga akhirnya manusia mencapai masa keemasan atas penguasaannya terhadap alam. Akan tetapi, perkembangan zaman begitu pesat, memaksa manusia mengimbanginya dengan segala potensi yang dia miliki. Dan tak jarang, manusia menjadi lupa akan tradisi dan ikut arus globalisasi yang menarik manusia jauh dari akar

[ 36 ] DIMëNSI

sejarahnya. Seperti halnya di Kota Tulungagung, sebuah kota yang biasa disebut kota INGANDAYA, terletak di pesisir pantai selatan yang dahulu lekat dengan budaya jawanya. Akan tetapi berbeda dengan sekarang, jarang ditemui masyarakat yang bisa dikatakan sebagai masyarakat jawa yang njawani, entah dilihat dari segi tutur maupun tanduknya. Di tengah-tengah kondisi seperti ini, ternyata di belahan kota Tulungagung bagian barat laut kota, masih ada segelintir orang yang berusaha melestarikan budaya jawa. Mereka adalah Sri dasimen, seorang perempuan yang pernah menjadi dalang perempuan ketiga di jawa, dan Hariadi,

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

lelaki yang menenggelamkan dirinya pada gerak indah tarian jawa. Budayawan Ulung Sri dasimen, atau yang biasa dipanggil bu purbo, adalah pemilik sanggar pasinaon yang didirikan dalam rangka dedikasinya yang tinggi akan bahasa jawa. Sanggar pasinaon, yang berdiri 19 tahun yang lalu, terletak di desa Mojosari kauman Tulungagung. Dengan bertempat di rumah tuanya, bu Purbo mengabdikan seluruh hidupnya pada penguasaan bahasa jawa. “Banyak orang jawa yang telah menggunakan bahasa jawa secara salah kaprah” tutur perempuan yang bulan desember nanti genap berusia 71 tahun.


Budaya Sementara itu, bertempat di sanggar kembang sore, merupakan cabang dari sanggar keraton Surakarta, seorang laki-laki paruh baya, Hariadi, menyibukkan dirinya pada lemah gemulai tarian jawa. Mereka berdua, memiliki pandangan yang hampir sama terhadap budaya jawa. Jika bu Purbo mewujudkan pendidikan moralnya pada wilayah bahasa, yaitu bahasa jawa, menurutnya, budaya adalah sesuatu yang turun temurun, seperti contohnya pergantian raja di keraton, jadi harus dari keluarga keraton, hal ini berbeda dengan pergantian presiden yang bisa diganti oleh siapa saja yang dianggap mampu. Baginya, Kebudayaan Jawa adalah wewangunan (bangunan; red), misalnya bangunan-bangunan kerajaan yang masih utuh dan belum pernah terjamah, antara lain Surakarta Diningrat, Ngayogjokarto Diningrat, dan kerajaan di Cirebon; dan boso (bahasa; red), serta sejarah. Boso disini termasuk dalam tata cara upacara, seperti upacara pengantin dalam budaya jawa. Sejarah, misalnya, sejarah berdirinya maupun terbentuknya sebuah wewangunan, seperti bangunan yang berupa kerajaan ataupun keraton, keris, ataupun gongso (gamelan/gong; red). Sehingga dalam hal ini dapat dibedakan antara agama maupun budaya. Masih bu purbo, agama merupakan sesuatu yang sifatnya pribadi atau suatu kepercayaan yang dianut seseorang, sedang budaya merupakan suatu yang melibatkan banyak orang, komunitas. Sedikit berbeda dengannya, Hariadi mengajarkan etika dan moral lewat gerak gemulai nan indah dari tari. Layaknya sebuah sanggar, ada beberapa materi yang harus dikuasai murid-muridnya. Di sanggar pasinaon, materi-materi yang diajarkan adalah segala hal yang berhubungan dengan penguasaan bahasa, mulai dari Basa Jawi, tata busana jawi, tata krama lan kasusilan/subosito, tata cara lan upacara manten, macapat, kawruh gendhing, kabudayan jawi, kawruh beksan, pancasila dan hamicoro. “berbahasa jawa itu kedah laras soho leres (serasi dan benar; red), Leres meniko ngengingi bab paramasastra

(benar sesuai aturan tata bahasa; red) menawi laras meniko dipun jumbuhaken kalian kawontenan (sesuai dengan keadaan; red) “, tutur bu Purbo. Dia mengatakan bahwa sanggar yang diasuhnya ini adalah cabang dari sanngar yang berada di keraton Surakarta. Jadi kurikulum yang dia gunakan adalah bersumber dari sana. pasalnya, di keraton inilah, situs budaya jawa yang masih terlindungi hingga saat ini. Sedangkan di sanggar kembangsore, tari-tari yang bisa dikuasai oleh peserta didiknya adalah Sri Panganti Suyung, guyub rukun, ronggeng asoy, reno(sukaria), jaran kore, gajah melin, wercito, rampak, tari gembira, perang-perangan. Materimateri tari tersebut disampaikan sesuai pada tahap-tahap yang telah ditempuh. Seperti tari Sri Panganti Suyung, tari Guyub Rukun, dan tari Ronggeng Asoy, merupakan tari yang di pelajari oleh siswa yang sudah sampai pada tingkat atas, sebab tari-tari tersebut merupakan tari-tari orang dewasa. Sedang untuk tari Reno (sukaria), tari Jaran Kore, tari Gajah Melin, tari Wercito, tari Rampak, tari Gembira, dan tari perang-perangan, adalah tari yang dipelajari pada program dasar, sehingga siswa-siswanya kebanyakan anakanak yang masih duduk di bangku SD. Biasanya, ketika siswa sudah sampai pada tahap magang, dia diperbolehkan untuk langsung melatih siswa-siswa pada tahap dasar. Dalam perwujudan budaya, ada beberapa pesan dan aturan yang memang harus dipakai oleh masyarakat, karena budaya tidak serta merta timbul tanpa ada kejelasan sebab musababnya. Misalnya, dalam kebudayaan jawa, mengucapkan salam dengan lantang dan berkacakpinggang adalah tidak sopan. Hal ini merupakan subosito (tata krama; red) yang buruk. Pesan-pesan atau petuah untuk bertingkah laku sesuai dengan subosito yang benar, sebenarnya telah diajarkan sejak budaya jawa ini muncul. Jika gendhing diiringi musik, sebaliknya dengan macapat. Dalam tembang-tembang macapat, mengandung hal-hal yang bersifat piwulang (pengajaran), pepeling (peringatan),

pepuji (puji-pujian), pangajak (ajakan), dan panantang (tantangan). Sedangkan secara umum bisa dikatakan bahwa tembang macapat merupakan jenis tembang yang menekankan pada nasehat dan petuah untuk selalu memegang teguh tata krama sebagaimana yang menjadi ciri dan karakter orang timur khususnya orang jawa. Jadi tembang macapat seringkali menjadi alat atau sarana penyampaian nilai-nilai kesusilaan atau moralitas masyarakat jawa. Salah satu contoh tembang macapat adalah; Mungguh laku Miwah urip iku Wus cinakup ing aksoro jowo Jowo Jawi lan Jiwine Jowo pikajengipun Prasojo waloko yekti Jawi boso kromonyo Subositonipun Jiwaning budayaniro Jiwi iku nyawiji lawan Hyang Widhi Pun ning aksoro jowo Dengan suara yang mengalun indah, bu Purbo menyanyikan tembang macapat ini kepada kru dimensi. Menurutnya, dalam tembang macapat di atas, terdapat penjelasan atau pesan yaitu, hidup itu terangkum dalam aksara jawa, yaitu Jowo, jawi lan jiwine. Jowo berasal dari kata prasojo waloko, berarti seseorang harus memiliki sifat jujur dan apa adanya. “ojo sênêng géroh, ojo sênêng gawé têmbungtêmbung sing muluk-muluk…” Jawi, merupakan bahasa krama dari jowo, berarti seseorang harus memiliki subosito, yang terdiri dari tata krama dan tata susila. Kemudian Jiwi, nyawiji lawan Hyang Widhi (menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa; red). Sedangkan, di gerak tubuh manusia, terdapat suatu pesan dan aturan yang ingin disampakan. “Pendidikan tari merupakan media yang mengandung moral, etika maupun estetika sebagai penyalur kejiwaan yang kemudian mampu membentuk karakter bangsa Indonesia yang sebenarnya,” ungkap hariadi. Sanggar Kembang sore ini didirikan atas keinginan melestarikan budaya jawa yang semakin tenggelam oleh budaya-budaya asing yang semakin marak masuk ke Indonesia, khususnya

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMëNSI [ 37 ]


budaya tari. Menurut bapak Hariadi yang akrab disapa dengan pak Har ini, koordinator pengajar di sanggar kembang sore, yang berdiri pada bulan Februari tahun 1984 yang lalu, bahwa generasi saat ini cenderung tidak mengindahkan budaya jawa. Hal ini disebabkan semakin banyaknya budaya-budaya asing yang masuk. Budaya Indonesia sekarang akan tertekan dengan budaya asing yang kurang sesuai kebudayaan kita, maka dengan pendidikan budaya sekarang ini diharapkan mampu menjadi filter dan antisipasi atas masuknya budaya asing tersebut. Perhatian pemerintah dan Respon Masyarakat Selama kurang lebih tujuh tahunan, sanggar pasinaon belum pernah mendapat bantuan berupa apapun dari Pemkab. Padahal, bu Purbo tidak berhenti untuk mengajukan proposalproposal guna mendapat bantuan untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan sanggarnya tersebut. Namun, menurut pengakuannya, justru proposal itu tertahan di Departemen Pariwisata. “Inginnya, kelas saya ini diperbaharui, lihat saja mbak, meja dan

alasnya saja seadanya,” katanya kemudian. Tidak jauh berbeda dengan sanggar pasinaon, sanggar Kembang Sore, menurut pak Har, walaupun perlengkapan atau properti tari yang dimiliki saat ini sangat tidak memadai dan kurang karena perhatian pemerintah yang tidak maksimal, namun tempat latihan yang biasa digunakan itu merupakan pinjaman dari pendopo lama milik Pemkab. Tapi bagaimanapun beliau juga sedikit kecewa atas sikap Pemkab yang terkesan kurang perhatian. Sedangkan respon masyarakat cukup antusias atas adanya sanggar kembang sore ini. Hal ini terbukti dengan selalu bertambahnya peminat ataupun peserta tari setiap tahunnya. Bahkan menurut salah satu pengunjung yang juga merupakan salah satu ibu yang mengantar anaknya latihan tari, justru yang berkeinginan untuk menari itu anaknya sendiri. “Lawong yang minta itu anaknya sendiri lo mbak, jadi yo kita turuti aja.” ungkapnya. Untuk sanggar pasenaon, respon masyarakat sangat baik walaupun para peminatnya adalah orang-orang dewasa. “saya pengen tahu lebih dalam

tentang bahasa jawa, sekaligus mengajarkannya pada anak-anak saya, karena kebetulan juga istri saya bukan orang jawa.” Ujar Sujarwo (43), yang mengaku sudah sekitar dua bulanan belajar budaya jawa di Pasenaon. Melihat peminat dari sanggar Pasenaon yang ternyata mayoritas adalah orang-orang dewasa (para petani dan pegawai; red), muncul tanda tanya besar tentang generasi muda sekarang. Budaya jawa yang adiluhung menjadi sesuatu yang tidak diminati oleh generasi muda, karena tergeser oleh budaya-budaya ‘globalisasi’ yang membuat orang jawa lupa akan jawanya. “Istilahnya, wong jowo ra jawani,” tutur bu Purbo. “Sehingga, budaya jawa harus dilestarikan dan dijaga agar semakin ngremboko (berkembang; red) dan kuat, belajar budaya itu harus didasari rasa cinta terlebih dulu, lek mboten mekaten, para generasi muda iku mesti awang-awangen (malas; red).” ungkap Ibu yang pernah menimba ilmu di sanggar milik seniman kondang Bagong Kusuma Diharja di akhir wawancara dengan kru DIMëNSI. (bans/rien)

Kata ibu aku harus rajin belajar, kata bapak aku harus menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dilingkunganku, aku tak tau mengapa bapak dan ibu melarang aku menikmati hak yang sebagaimana kawan-kawan sebayaku, mungkin karena aku anak orang tak mampu.apa boleh buat, aku akan menggoreskan sendiri jalan hidupku karena bagiku, tak semua yang berhasil karena melalui jalan itu. aku takkan pernah berhenti meraih cita-citaku.

[ 38 ] DIMëNSI

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008


Resensi Peran Media dalam Mendialogkan Agama Judul buku

Editor Pengantar Tebal Buku Penerbit Cetakan

alam pluralisme mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh Karena itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya yang paling benar sedangkan agama yang lain salah. Perdebatan seputar isu pluralisme di Indonesia ahir-ahir ini semakin memuncak. Akan tetapi, pluralisme mungkin dapat dikategorikan sebagai salah satu tema yang paling sering disalahartikan. Padahal, Perbedaan (distinction) bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan dan dibedakan (discrimination), tetapi perbedaan adalah apa yang bisa kita pelajari dengan perbedaan tersebut. Berangkat dari hal tersebut diatas buku yang berjudul “Resonansi Dialog Agama dan Budaya” ini mencoba menyuguhkan wacana tentang kebebasan beragama, pendidikan multikultural, sampai RUU Anti Pornografi. Buku ini sebenarnya adalah rekaman ‘apik’ dari kegiatan yang dilakukan oleh Centre for Religion and Cros-cultural Studies (CRCS) Universitas Gajah Mada. Yang menekankan pergumulan pandangan agama-agama terutama Islam, dalam merespon keberagaman masalah sosial dan hubungan antar agama sendiri menemukan signifikansinya. CRCS memilih program media, melalui RRI Nasional dan TVRI Jogya dalam bentuk talkshow, serta melalui editorial di Koran Radar Jogya serta website, karena semua dianggap memiliki daya jangkau yang sangat luas untuk mengembangkan masyarakat sipil yang terbuka, demokratis, dan dialogis. Tema-tema yang dipilih dalam pro-

D

: RESONANSI DIALOG AGAMA DAN BUDAYA; Dari Kebebasan Beragama, Pendidikan Multikultural, Sampai RUU Anti Pornografi : Suhadi Cholil : Dr. Fatimah Husein : xxi + 428 hlm; 16 x 23 cm : Center for Religious & Cross-culture Studies (CRCS) : ke-1, April 2008

gram yang diberi nama “Talkshow Resonansi Agama Budaya”, CRCS mengembangkan pendekatan yang elegan, tidak berat sebelah dalam membahas isu-isu yang kontroversial. Gambaran ini terlihat dari pemilihan nara sumber yang berbeda latarbelakangnya. Bahasan tentang agama, demokrasi, kebebasan agama dan hak sipil menjadi perhatian khusus dalam buku ini. Dari beberapa tema yang diangkat, dalam kaitannya dengan Konghuchu sangat menarik, terutama dalam kaitannya dengan penguatan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara Indonesia. Pengakuan atas Konghuchu adalah sebagai salah satu tanda berkembangnya kebebasan beragama di Indonesia, namun di sisi lain masih menyisakan masalah baik bagi umat Konghuchu sendiri maupun bagi kelompok agama minoritas. Misalnya, Sapta Dharma, yang belum mendapatkan hak-haknya. Bagi umat konghuchu masalahnya adalah perlunya jaminan bahwa pengakuan tersebut juga diiringi penghapusan diskriminasi atas mereka yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Bagi kelompok agama minoritas lain, hak sipil mereka harus disandarkan pada afiliasi terhadap salah satu agama resmi lain. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 1969 yang direvisi menjadi Peraturan Bersama Menteri tahun 2006, terlalu memojokkan kelompok agama minoritas mengenai pendirian rumah ibadah. Masalah pengembangan dialog dan toleransi antar umat beragama secara

sistematis, terbuka, dan terus-menerus sebenarnya semakin diperlukan, sehingga konflik antar agama dapat diminimalisir. Upaya untuk mengembangkan toleransi dan benar-benar menghargai perbedaan dapat ditempuh dengan pendidikan multikultural, lintas agama dan pendidikan anak usia dini. Simaklah contoh berikut yang ditulis dalam bagian buku ini. Ada anak bertanya pada bapaknya,”Pa, kasihan ya Pa, si Dodo dan keluarganya”. “ Memang kenapa dengan si Dodo dan keluarganya ?” tanya bapaknya. “Kata Bu guru mereka akan masuk neraka karena agama mereka berbeda dengan kita. Kasihan kan Pa, padahal kan mereka baik sekali “. Anggapan seperti itu mungkin tidak hanya dimiliki oleh seorang anak, tetapi sudah menjadi bagian dari kesadaran banyak orang dewasa yang terlanjur dididik untuk menganggap ‘yang berbeda’ sebagai yang lebih rendah dari agamanya, budayanya, etnisnya dan tradisinya. Pada titik inilah pendidikan agama pada anak usia dini patut mendapatkan perhatian Di tengah–tengah upaya pengembangan kebebasan beragama dan toleransi umat beragama di Indonesia, penerapan Syariat Islam di beberapa kota dan kabupaten di Indonesia patut menjadi sorotan. Belum selesai persoalan yang dihadapi oleh pemeluk agama minoritas tentang tidak diakuinya berbagai kepercayaan mereka dan ketatnya izin bagi pendirian rumah ibadah, munculnya Komite Penegakan Syariat maupun peraturan yang berwujud peraturan daerah mengusung masalah baru, tidak hanya bagi kelompok minoritas tersebut, namun juga bagi beragam wajah umat islam di Indonesia. Sebenarnya jika umat islam mau menggali ulang nilainilai luhur yang dikandung Syariat Islam dalam konteks kekinian dan keindonesiaan, tentu tidak akan melukai harmoni yang sedang terus diupayakan bagi beragam warga Indo-

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMëNSI [ 39 ]


Resensi Membuk a TTabir abir Membuka elemahan Di Balik K Kelemahan Perempuan

Judul buku Penulis Tebal buku Penerbit Cetakan

: Perempuan Pemicu Perang : Imas Kurniasih : 186 Hlm : Pinus : Pertama, januari 2008

nesia. Masalahnya, sudah siapkah kita menjadi warga Indonesia seutuhnya? Penerapan Perda-Perda Syariat tersebut ternyata memiliki konsekuensi negatif bagi sebagian wanita muslimah yang merasa termarginalkan. RUU AP (Rancangan Undang-Unang Anti Pornografi ) yang menimbulkan pro dan kontra tersebut dapat dipandang sebagai tameng yang dapat memagari

[ 40 ] DIMĂŤNSI

erempuan, satu kata yang mempunyai interpretasi yang beragam dari orang-orang yang memaknainya. Membicarakan perempuan ibarat membuka bejana yang berisi air yang mendesak-desak keluar. Bagi kebanyakan orang, perempuan adalah makhluk yang paling sempurna dengan kelebihan, keindahan, dan kekurangan yang dimilikinya mampu menjadi sumber inspirasi kehidupan yang tidak pernah kering. Di balik keindahan, kecantikan, kelembutan dan kehalusannya, perempuan menyimpan kekuatan ampuh untuk menghancurkan. Bagai air tenang menghanyutkan, ada kekuatan besar tersimpan di balik pesonanya. Walau dalam kenyataannya, banyak asumsi mengatakan bahwa perempuan hanya dijadikan pemuas nafsu belaka, perempuan selalu diposisikan sebagai yang kedua dan kehadirannya hanya sebagai pelengkap pria dan sering dianggap sebagai sosok yang kurang diperhitungkan dan dipandang sebelah mata. Buku karya Imas kurniasih inilah yang akan membuka tabir kelebihan perempuan yang sering dilupakan. “Perempuan Pemicu Perang� judul buku yang ditulisnya. Lewat buku inilah penulis mencoba menguak kisah-kisah

P

perempuan tangguh yang menjadi sebab pecahnya masalah besar yang tidak diinginkan oleh sebagian orang; perang. Juga dia menyuguhkan fakta sejarah yang ada di masyarakat tentang peran penting seorang perempuan, bagaimana keterlibatan perempuan dalam suatu peperangan dengan kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Jika seperti Helena, Dewi Shinta, dan Diyah Pitaloka menjadi perempuan pemicu perang, dalam buku ini dijelaskan pula perempuan-permpuan yang malah menjadi pemimpin perang, seperti Aisyah, Cut Nyak Dien dan Margaret Thatcher. Di bagian pertama buku ini, Imas mengisahklan Aisyah binti Abu Bakar R.A.(istri Nabi Muhammad SAW). Perempuan yang tak hanya cantik lahirnya, sopan tuturnya, lembut perilaku tetapi juga terkenal perempuan yang cerdas dan termasuk perempuan Al-Mukatsirin (orang yang banyak meriwayatkan hadist nabi). Dalam sejarah Aisyah adalah perempuan yang telah membuktikan kepada dunia sejak 14 abad lalu, bahwa seorang perempuan memungkinkan untuk sama pandainya dengan laki-laki atau bahkan lebih dari pada kaum laki-laki dalam hukum, pengobatan, politik, strategi

generasi muda dari tindak amoral, namun disisi lain dapat merugikan perempuan yang dianggap sebagai pokok persoalan perbaikan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah dan marginalisasi terhadap perempuan, salah satunya adalah lewat pembuatan undang-undang KDRT (Kekerasan Dalan Rumah Tangga)

beserta sanksi-sanksinya. Namun, di atas semua itu yang diperlukan adalah penegakan hukum di samping juga perbaikan atas pemahaman budaya dan agama yang menjadi kunci suksesnya diskriminasi kekerasan terhadap perempuan. Di dalam buku ini terdapat rekaman dialog yang hangat, hidup dan diskursif tentang agama dalam publik reason

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008


perang atau dalam hal apapun. Pada bagian berikutnya, penulis menceritakan tentang Dewi Shinta, putri dari prabu janaka. Seorang perempuan cantik dari negeri Mantili yang telah berhasil mengobarkan perang masa itu karena perebutan para pangeran yang ingin bersanding dengannya. Perebutan itu akhirnya dimenangkan oleh Rama dari kerajaan Ayodya. Sementara itu, bagian berikutnya ada Helena, seorang perempuan yang sudah bersuami, Mineleus (Raja Sparta) dari negeri Troya namun menjalin cinta terlarang dengan pangeran lain, yakni pengeran paris. Cinta terlarang ini tak pelak telah membuat perang berkobar hampir selama sepuluh tahun. Kisah lain yang disuguhkan Imas, adalah perempuan populer dari Romawi, Cleopatra. Seorang perempuan tidak harus menjadi ratu seperti Cleopatra yang dikenal sebagai perempuan paling berbahaya dalam sejarah, penggoda yang telah memikat laki-laki paling berkuasa di dunia (Yulius Caesar dan marcus Antonius). Kepribadiaanya yang berbeda, daya tarik yang unik dan ambisi, cita-cita serta wawasannya yang jauh ke depan menjadikan Cleopatra menjadi seoarang ratu pemberani yang hampir menaklukkan seluruh dunia. Analisis penulis dalam kisah ini terlepas dari sisi gelap Cleopatra, Kisah ini memberikan cerminan dan mengandung subtansi bahwa kecantikan dan kemolekan tubuh bukan segalanya bagi perempuan. Eksistensi yang ada pada Cleopatra bukan lantaran kecantikan dan kemampuan menaklukkan laki-laki, Namun dibalik semua itu, kemashuran yang ada pada dirinya lantaran kepiawaiannya dalam

membangun peradaban mesir. Kecerdikan membebaskan negerinya dari cengkraman utang, korupsi dan inflasi dan keahliannya membangun perekonomian rakyatnya. Di bagian akhir cerita tentang perempuan tangguh asal aceh. Tak lelah berperang, tak henti berjuang. Bahkan setelah fisik menjadi lemah dan diri tak berdaya. Cut Nyak Dien yang terbuang dari tanah kelahirannya, tetap berjuang melawan kebodohan dengan berbagai ilmu di negeri orang, Sumedang. Cut Nyak Dien yang memimpin perang dari hutan ke hutan demi mewujudkan kemerdekaan bangsanya. Margaret Thatcher yang mampu menunjukkan kekuasaan kepada dunia dengan mengomando tentaranya untuk berperang hingga memperoleh kemenangan. Begitu pula dengan Dyah Pitaloka, yang rela mempersembahkan nyawanya dalam perang demi mempertahankan kehormatan negerinya yang berdaulat. Dalam beberapa cerita yang dituliskan Imas, secara tersirat penulis ingin membuat perempuan sadar akan peranannya dalam ranah kehidupan, mengajak perempuan bernyanyi tentang keajaiban, eksplorasi potensi diri dan getar perjalanan menuju yang tidak diketahui. Seorang perempuan dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sebenarnya juga mampu untuk membangun peradaban, seperti yang telah dilakukan oleh Cleopatra. Banyak kaum hawa yang meraih popularitas karena fisiknya rata-rata akan pupus tertelan masa. Sebenarnya eksistensi popularitas dan kemashuran bukanlah tujuan utama. Menjadi perempuan adalah ketetapan dan apa yang bisa dilakukan perempuan

dan kemampuan yang dimiliki adalah pilihan. Sebuah pilihan yang akan dipertanggung jawabkan dihadapanNya. Karena wajah cantik dan keindahan tubuh adalah anugerah yang relatif untuk setiap perempuan, sementara menggali potensi diri adalah suatu hal yang bisa dilakukan setiap perempuan tanpa batasan fisik. Melalui karyanya yang kedua ini penulis tidak hanya menjelaskan bahwa perempuan dalam kiprah membentuk peradaban bangsa tidak harus menjadi politikus ulung atau Perdana Menteri, tetapi perempuan walaupun dianggap lemah dan dianggap sebagai yang kedua, setidaknya bisa melihat kembali kesempatan mereka yang terbuang, visi mereka yang kacau, ketidaksadaran mereka untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki dan memahami kekurangannya. Selain itu, masih banyak bagian-bagian penting dan menarik dalam buku ini, sebagai inspirasi untuk pengembangan diri, memahami kelebihan dan kekurangan bisa menjadi kekuatan dalam kehidupan. Namun sayangnya, penulis tidak memberikan analisa dilihat dari berbagai perspektif, entah itu gender, feminisme, atau yang lainnya. Sehingga, yang dipaparkan seolah hanya sekedar sejarah dan perjalanan beberapa perempuan yang bisa mengobarkan perang apalagi bagi pembaca awam. Padahal, kalau saja penulis bisa menambahkan itu, pembaca (khususnya perempuan) bisa tersadar akan posisi dan peranannya dalam kehidupan. Akan tetapi, terlepas dari kekurangannya, buku ini baik dikonsumsi oleh kalayak umum kususnya kaum hawa dan baik untuk tambahan koleksi.//rhm@//

mutakhir di Indonesia. Dilengkapi editorial yang tajam dan ringkasan dialog yang cerdas. Buku ini mengajak pembaca menyelami gagasan para tokoh dengan latar yang berbeda. Buku ini layak dikonsumsi Mahasiswa bahkan seluruh lapisan masyarakat. Tema–tema yang diangkat merupakan penyuaraan keprihatinan yang terjadi di masyarakat dengan bahasa yang luwes

namun ada sekian kata–kata yang mungkin perlu diperjelas lagi baik arti ataupun makna. kenyataannya, berbagai kebijakan pemerintah yang tampaknya sebagai kebijakan yang menjanjikan, tetapi pada dasarnya merupakan pemikiran yang tidak relevan dengan kondisi serta kebutuhan masyarakat. Pengolahan sistem pendidikan, khususnya

pendidikan dini merupakan dasar utama mencetak generasi dan bangsa yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia seutuhnya. Akan tetapi, sistem pendidikan yang ada, tidak kenamengena bahkan tidak mendukung dengan apa yang ada dan hidup di masyarakat. Sehingga terlihat jelas adanya sikap yang memperdebatkan perbedaan.//ley//

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMĂŤNSI [ 41 ]


Resensi Ketika Penyakit Moral Semakin Menggejala Judul buku Penulis Tebal buku Penerbit Cetakan

Membicarakan perempuan seolah-olah tidak ada habisnya. Perempuan, sering dianggap sebagai yang kedua, termarjinalisasi dan tersubordinasikan. Akibatnya, kekerasan terhadap perempuan masih saja muncul dan terjadi dalam berbagai bentuk, baik secara langsung maupun tidak langsung. Perbedaan yang terjadi adalah tidak terlepas dari relasi sosial yang selama ini diciptakan dan dianggap sebagai budaya. Inilah yang ingin disampaikan oleh Fadmi Sustiwi, penulis buku “Mengapa Perempuan (sebuah ‘Potret Buram’ perempuan), yang juga merupakan wartawan sebuah media cetak di yogyakarta. Persoalan-persoalan yang diangkatnya, tidak semata-mata karena belum terfahamkannya masyarakat terhadap peraturan yang melindungi anak dan perempuan, akan tetapi tidak adanya kesepahaman terhadap kesetaraan relasi perempuan dan lelaki

[ 42 ] DIMëNSI

: Mengapa Perempuan ( Sebuah ‘Potret Buram’ Perempuan ) : Fadmi Sustiwi : xvii, 144 hlm : Multi Presindo, Yogyakarta : ke-1, april 2008

(relasi jender) yang telah dibuat (dikonstruksikan) masyarakat dengan tidak adil bagi perempuan. Akibatnya bisa ditebak, kaum perempuan dan anakanak lebih sering menjadi korban. Bahkan kehadiran UU No 23/2002 tentang perlindungan anak dan UU No 23/2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak menyurutkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dan juga rekaman peristiwa yang terkait dengan persoalan kesehatan reproduksi remaja, penyalahgunaan narkoba dan merebaknya masalah HIV/AIDS yang sudah dimuat di Kedaulatan Rakyat selama periode 2003-2005 (di antaranya juga ada tulisan yang dimuat di Majalah Gerbang milik Depdiknas dan buletin Embrio milik PKBI Yogya). Tulisan dalam buku ini, dikelompokkan menjadi 3 bagian yang dilakukan dengan ‘menyatukan’ persoalan yang ada. Bab 1 tentang permasalahan kesehatan reproduksi remaja, Bab 2 tentang berbagai liputan dan tulisan mengenai permasalahan anak dan kekerasan yang dihadapi dan Bab 3 ialah tentang generasi muda, penyalahgunaan narkoba dan HIV/AIDS yang kini menjadi ancaman serius bangsa. Dimana sebagian besar

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

korbannya adalah kaum muda. Membaca buku ini, membuat kita tahu bahwa penulis begitu lincah dan jeli menuliskan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Selain karena latar belakangnya seorang wartawan, hal ini dikarenakan penulis juga banyak terlibat pada masalah-masalah kesehatan reproduksi dan relasi jender (yang jarang diminati oleh teman sejawat wartawan yang lainnya). Selain itu, membuat pembaca sadar, bahwa untuk membangun moral bangsa harus dimulai dengan membangun moral warganya. Dan hal ini dilakukan oleh kita ketika mengalami proses pendidikan. Jadi pendidikan yang tepat dan sesuai, adalah jawaban dari masalah-masalah moral yang telah tersebutkan di atas. Karena tujuan akhir pendidikan adalah membentuk kepribadian manusia yang beradab dan bertaqwa. Akan tetapi, buku ini menjadi kurang cocok jika diberi judul MENGAPA PEREMPUAN (sebuah ‘potret buram’ perempuan), karena seperti telah tersebutkan pada 3 babnya, isinya tidak hanya melulu masalah perempuan, tapi juga menyangkut hal-hal umum yang lain, seperti masalah anak-anak dan narkoba. Walaupun begitu, buku ini tetap layak untuk dibaca, karena rangkaian peristiwa nyata yang benarbenar harus diperhitungkan asal muasal penyebabnya dan dicarikan solusi yang tepat untuk itu.//bans//


NU dalam pergerakan budaya Judul buku Penulis Tebal buku Penerbit Cetakan

Dalam perjalanan sejarah, NU merupakan salah satu organisasi yang diikuti oleh mayoritas pemeluk agama Islam di Indonesia, baik dari golongan masyarakat bawah maupun dari masyarakat menengah ke atas. Dan bahkan, organisasi ini pernah menjadi partai politik pada tahun 1960-an. Banyak tokoh besar lahir dari organisasi ini. Menilik pada sejarah tersebut, Choirotun Chisaan mencoba untuk memberikan sumbangan wacana tentang ke-NU-an, khususnya pada wilayah kebudayaan dan sejarahnya pada masa itu. “Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan�, begitulah judul buku yang ditawarkan oleh penulis. Lesbumi merupakan sebuah lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan partai NU ketika NU menjadi partai politik tahun 1960-an. Pada masa itu dapat dipastikan bahwa partai-partai politik yang mempunyai basis masa besar memiliki lembaga kebudayaan masing-masing. Seperti Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN/PNI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra/ PKI), Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi/NU), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI/ Masyummi), Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi/ Partindo), Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam (Leksi/ Perti), Lembaga Kebudayaan Indonesia Katolik (LKIK/Partai Katolik) dan lainlain. Hal ini menunjukkan bahwa seni budaya telah dimanfaatkan sebagai alat tindakan politik. Dalam buku ini, Choirotun Chisaan bermaksud menganalisis tentang historisitas lesbumi. Chisaan juga bermaksud menganalisis bagaimana posisi lesbumi di tengah perdebatan

: Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan : Choirotun Chisaan : xvi + 247 hlm : LKIS : Pertama, Maret 2008

politik aliran seni budaya di Indonesia kurun waktu 1960-an. Tentang apa titik persamaan dan perbedaan lesbumi dari lembaga seni budaya yang lain. Buku yang terdiri dari lima bab ini merupakan tesis S2 Choirotun chisaan di program Magister Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Melalui buku ini penulis berupaya mengungkap NU dari aspek seni budaya dan pergaulannya. Perhatiannya lebih dikhususkan pada gerakan lesbumi. Karena baginya dirasa dapat mewakili pandangan NU. Bab pertama dari buku ini menyajikan tinjauan sejarah terhadap tiga peristiwa penting pada abad ke 20 tentang perdebatan politik Indonesia. Pembahasan dimulai dari bagaimana polemik kebudayaan memandang NU. Pesantren dan kyai yang diidentikkan sebagai sesuatu yang tradisional dan klasik, menjadi uraian awal dalam bab kedua karena dianggap mempunyai cita rasa ketimuran. Kehadiran lesbumi bagi kalangan NU sendiri kurang begitu mendapat sambutan yang hangat, hal ini terlihat atas anggapan mereka bahwa lesbumi dianggap sebagai penanda arus modernisasi, dan kurang menjaga martabat NU. Dalam anialisa penulis, penanda kemodernan disini adalah seni budaya yang dianggap masih baru. Memang jika dilihat siapa yang aktif dalam mengurusi lesbumi ini, sebagian besar pengurusnya mempunyai latar belakang yang berbeda dari NU pada umumnya. Penulis juga mengungkap sejarah tiga seniman budayawan yang sekaligus menjadi pendiri lesbumi. Ketiga seniman tersebut adalah Djamaludin Malik, Usman

Ismail dan Asrul Sani. sebagai seniman dan budayawan, peranan mereka tidak perlu diragukan lagi. Mereka telah memberi warna dan corak serta menggerakkan lesbumi. Dalam bab ini juga dicantumkan beberapa karya dari ketiga seniman tersebut. Dalam bagian penutup buku ini, penulis memberikan sebuah kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Lesbumi sebagai organisasi kebudayaan di bawah naungan NU, melalui upaya pendefinisian seni budaya Islam, telah melakukan kompromi politik dan agama dalam konteks kemusliman. Dalam konteks yang lebih luas, upaya ini merupakan wujud dari respon NU terhadap modernitas. Membaca buku ini, penulis mengajak pembaca menelusuri sejarah politik kebudayaan Indonesia selama tahun 1950-1960. Buku ini sangat penting terutama bagi mereka yang berminat pada persoalan debat politik kebudayaan Indonesia dalam masa itu. Pemahaman terhadap buku ini mensyaratkan pengetahuan akan sejarah terutama sejarah tentang NU, Kurangnya pemahaman tentang sejarah menjadikan pembaca kesulitan dalam memahami buku ini. Untuk memudahkan pembaca dalam memahami buku ini, dalam setiap babnya, penulis memberikan pembuka sebagai pengantar dan penutup sebagai kesimpulannya. Dari pembuka dan penutup tersebut pembaca dapat langsung menangkap apa bahasan dari bab tersebut. Penulis juga memberikan analisisnya dari peristiwa yang ada. Tapi tidak menutup kesempatan bagi pembaca untuk memberikan analisisnya setelah membaca buku ini.//coy//

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMĂŤNSI [ 43 ]


Suplemen Membaca Berita; Upaya Membangun Kesadaran Oleh: Bayu Nur Cahyo Putro *)

Membaca berita tak hanya sebatas mencari informasi. Lebih dari itu, membaca berita bisa juga untuk memenuhi kebutuhan akan pengetahuan, sekaligus memperkaya wacana pembaca. Membaca berita adalah suatu tindakan yang mengarah pada bentuk analisa yang mendalam. Sehingga kelayakan suatu informasi dalam berita bisa berpadu dengan curahan pendapat pembaca.

Membaca Berita erita merupakan Mirror of Reality. Artinya, berita adalah cerminan realitas. Berita bisa ditransmisikan dalam bentuk media cetak, media elektronik-auditif, hingga media audio visual. Dalam proses transmisi untuk menjadi berita, diperlukan tahapan-tahapan Journal, mulai dari pertama, mencari, merumuskan dan mengidentifikasi masalah, kedua, mencatat data yang dibutuhkan sesuai identifikasi masalah, ketiga, proses editing. Sebagai hasil akhirnya, lahirlah berita yang dikonsumsi khalayak ramai, entah hanya sebatas untuk mencari informasi atau lebih dari itu, untuk akumulasi pengetahuan. Bagi kalangan yang memanfaatkan berita untuk akumulasi pengetahuan, entah kaum awam maupin cendekiawan, berita bisa menjadi alat pemenuhan kebutuhan akan wacana. Dengan wacana tersebut, bisa dimanfaatkan kalangan yang senang akan pertukaran ide atau gagasan. Namun berbanding dari berbagai realitas diatas ternyata berita tidak cukup dikaji oleh keseluruhan pembacanya tentang keabsahannya, maksudnya; tentang berbagai hal yang membangun terbentuknya suatu berita sebelum sampai pada tahap konsumsi publik, termasuk siapa yang membuat berita, kenapa dan apa untungnya membuat berita tersebut serta apa dan bagaimana sisi intrinsik dan ekstrinsik objek yang dijadikan berita. Ulasan mengenai berita tidak cukup pada apa yang menjadi kebutuhan pembaca semata. Nyatanya hingga saat ini belum cukup pemahaman akses informasi dan komunikasi yang tersirat dan tersurat dalam setiap penulisan berita. Hal ini bisa dilihat dari tujuan para pembaca berita yang hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan membaca, serta sebagai akses koleksi informasi tanpa melihat lebih dalam dari unsur yang membentuk berita tersebut, semisal unsur yang membentuk fakta dari berita tersebut. Fakta berita bisa bersumber dari proses pertarungan dari kekuatan ekonomi, politik hingga kekuatan sosial yang ada di masyarakat, maksudnya; berita tidak mungkin merupakan cermin darirealitas, karena berita hanya cermin dari kepentingan kekuatan dominan. Namun terkadang, fakta bisa juga bersumber dari sesuatu yang diatur oleh kaidah-kaidah

B

[ 44 ] DIMĂŤNSI

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

tertentu yang bersifat universal, maksudnya; berita adalah cermin dari kenyataan, oleh karena itu berita harus sama dan sebangun dengan fakta yang diliput. Keseluruhan pendapat di atas masih dilihat dari unsur realitas yang disajikan dalam pemberitaan yang mengena pada aspek fakta dan belum manjangkau dari unsur lain yang membentuk berita termasuk penempatan atau posisi media, wartawan, hingga hasil dari liputan yang juga sangat penting untuk menjadi bahan pembacaan yang lebih mendalam mengenai pemberitaan. Sehingga melalui pembacaan yang detail dan mendalam mengenai berita, maka secara tidak langsung membentuk pembaca untuk lebih kritis dalam setiap proses akses transimisi informasi dan lebih cerdas dalam wilayah kajian informasi-informasi hingga bahasan wacana yang dibangun dalam media pemberitaan dan akhirnya berdampak pada segala objek penulisan berita yang dapat diinterpretasikan secara jelas oleh pembacanya. Unsur Pembentuk Berita Manufactured Consent seperti inilah label yang diberikan oleh Stuart Hall dalam bukunya yang berjudul “ Rediscovery Of Ideology� terhadap hasil dari media pemberitaan yang berupa berita sekaligus mengandung pengertian bahwa berita memiliki tujuan dalam membangun kesadaran bagi pembacanya. Ada beberapa macam unsur pembentuk berita jika berpangkal dari salah satu bentuk contoh unsur diatas, diantaranya yaitu; tujuan pembentukan berita, baik itu berbentuk Explanasi, Prediksi, Kontrol, Kritik Sosial, Transformasi, Emansipasi hingga Penguatan Sosial yang menjadi ragam tujuan terbentuknya berita tersebut. Berpadu pada adanya aspek tujuan pembentukan berita di atas maka tak melewatkan dari sisi realitas yang juga secara tidak langsung berperan dalam setiap tahap pembentukan berita. Realitas yang dimaksud di sini bisa berupa relitas yang real adanya, termasuk yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku secara universal walaupun kebenaran pengetahuan tentang itu hanya bisa diperkirakan secara Probabilistik (Sebuah kemungkinan; red) atau bisa berbentuk


realitas yang semu yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, budaya, ekonomi bahkan politik. Selain unsur-unsur diatas, terdapat pula unsur-unsur pembentuk yang sangat baku, yaitu seseorang pembentuk berita (penulis) beserta cara seseorang tersebut membentuk berita, hal ini juga merupakan fase terbentuknya suatu berita. Dalam pembentukan berita, seseorang penulis bisa ditempatkan dalam dua posisi, diantaranya yaitu; penulis berperan sebagai Disinterested Scientist atau bisa disebut netral dan bahkan bisa juga menempatkan diri kedalam posisi seorang aktivis, advokat atau bahkan Transformative Intellectual sebagai bentuk keberpihakannya. Didalam pemerannya sebagai Disintersted Scientist seorang penulis meletakan posisi nilai, etika, dan pilihan moral diluar titik penulisan berita yang menjadi prioritasnya, sedangkan hal tersebut berbalik dari bentuk pemeranan seorang penulis yang memposisikan dirinya sebagai seorang aktivis, advokat, atau bahkan transformatif intelektual. Lalu beranjak dari bentuk peran seorang penulis terhadap pembentukan berita, maka cara apa yang digunakan seorang penulis untuk merealisasikan berita tersebut. Ada beberapa hal yang menjadi arahan seorang penulis dalam penulisan beritanya, yaitu nilai objektivitas atau subjektivitas, dimana ketika berita tersebut bernilai objektif maka haruslah berbentuk Reliable (Dapat dipercaya; red) dan valid serta tidak menyertakan panafsiran individu dalam pemahamanya, sedangkan dalam penulisan berita yang mengandung nilai subjektif lebih menekankan pada pemahaman yang mengikutsertakan fase Historical Situadness atau mengikutsertakan konteks historis, sosial, budaya, ekonomi, hingga politik dalam penulisan berita. Dari keseluruhan pembahasan mengenai unsur terbentuknya berita maka hal tersebut di atas akan langsung mengarahkan pada pembahasan selanjutnya yaitu tentang bagaimana cara membaca berita dengan berorientasi tidak hanya pada aktivitas membaca semata tetapi juga aktivitas meneliti hingga mengkaji secara mendalam untuk memperdalam penafsiran berita tersebut.

sebagai faktor eksternal dengan segala bentuk kepasifanya dalam kehidupan manusia. Itu pun bergantung pada seperti apa pembaca menafsirkan dan bagaimana penulis merangkai tujuan pembentukan berita tersebut. Sehingga, tak khayal bila ideologi bisa meresap serta terkonstruksi dalam teks untuk memenuhi tujuan penulis menulis berita tersebut, dan bahkan berada di tengah masyarakat untuk membentuk suatu konsensus terhadap nilai-nilai yang dianggap normal atau penyimpangan (deviance) dalam pandangan bersama. Seperti halnya nilai yang berkategori produktif, berguna, layak dan bernilai. Lebih jelasnya, konsensus tersebut tidak timbul secara alamiah dan spontan, akan tetapi terbentuk melalui proses yang kompleks yang melibatkan konstruksi sosial dan legitimasi, maka disinilah berita melalui media yang ada memainkan peranan penting dengan mereproduksi dan memapankan definisi dari situasi yang mendukung dan meligitimasi suatu struktrur, mendukung suatu tindakan dan meligitimasi tindakan lain. Rumitnya cara pandang dari berita itulah yang menjadi sebuah alternatif membaca berita lebih mendalam lagi, sehingga acungan berita tidak hanya berhenti pada saat para pembacanya atau penikmatnya hanya bertujuan pada akumulasi informasi dan debat opini dari koleksi argumen atau bahasan wacana yang ada dalam berita tersebut. Sama halnya dengan seseorang yang duduk menunggu berjalannya waktu dengan sebendel kertas berita yang dibacanya, atau bahkan berjamu dengan menikmati beragamnya acara berita yang ditawarkan dalam media elektronik auditif atau bahkan audio visual, yang kemudian meyakini dengan apa yang sudah ditawarkan media tersebut dalam bentuk berita dan didalamnya berjubel begitu banyak informasi yang hanya terakumulasi oleh para penikmatnya, dan itu terjadi terus menerus tanpa suatu tindakan aktif, dan justru malah terpublikasikan antar penikmat berita tersebut. Sehingga, kebenaran yang objektif dan logis tidak akan pernah tercipta manakala tidak ada persesuaian antara pengetahuan dan objeknya (baca: soetriono).

Paradigma dalam Membaca Berita Ada dua bentuk pemikiran atau cara pandang membaca suatu berita yang bisa juga terbilang sebagai metode alternatif. Pandangan pertama, lebih berorientasi pada melihat berita sebagai suatu bentuk faktor yang berada di luar manusia, maksudnya; berita menjadi suatu objek yang beridiri sendiri dan berada diluar objek manusia, sehingga berita hanya mampu berkutat sebagai suatu representasi berita itu sendiri. Sedangkan yang kedua, lebih mengarah pada pemahaman bahwa berita diposisikan sebagai suatu faktor yang mendasari kehidupan manusia, artinya; berita juga ikut dalam mendefinisikan realitas, mendasari terbentuknya suatu pemahaman politik, transaksi diskusi publik dan relasi ekonomi. Hal tersebut memperlihatkan kita bahwa berita ternyata mampu diposisikan sebagai faktor internal dengan segala bentuk keaktifanya di dalam kehidupan manusia atau bahkan

Referensi : Hall, Stuart. 1982. “ Ideologi And Commuinication Theory�. Dalam Brenda Dervins et al. (ed.), Rethinking Communication: Paradigm Issue. Newbury Park: Sage Publication. Soetriono, 1993, Mencari Pengetahuan yang Benar, Makalah pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. Soetriono, 2007, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, ANDI, Yogyakarta. Eriyanto, 2001, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media,LKIS, Yogyakarta

*) Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Tadris Bahasa Inggris (TBI) periode 2008/2009. Saat ini juga menjadi Koordinator Bagian Perusahaan LPM DIMĂŤNSI STAIN Tulungagung.

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMĂŤNSI [ 45 ]


Suplemen LANDSCAPE PENDIDIKAN PEDESAAN Refleksi Atas Inisiatif Masyarakat Desa di Kecamatan Ngantru, Kauman dan Sendang dalam menyelesaikan Rendahnya Kualitas Pendidikan Pedesaan Oleh :Fadiq Mohammad *) arapan dengan penuh keyakinan itu terpancar dari wajah anak berseragam putih merah. Wajah polos dengan tas kain tebal berjalan menelusuri jalanan di pematang sawah. Tak lama serombongan anak dengan seragam yang sama pun mengikuti. Sebuah wajah keceriaan dan keluguan canda membalut perjalanan sepulang dari sekolah. Tidak ada beban, pun masalah yang dihadapi anakanak itu. Mereka hanya tahu belajar dan meraih nilai terbaik untuk lulus dan melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Tak terpikir oleh mereka bagaimana sistem pendidikan dan bagaimana kebijakan ujian nasional yang hendak mereka hadapi. Harapan besar yang dimiliki anak-anak desa tersebut seketika kendur ketika dihadapkan pada realita pendidikan yang ada dihadapan kita. Infrastruktur pendidikan yang lemah, harga buku yang mahal, pungutan oleh sekolah, Student style, dan sebagainya. Semua biaya pendidikan yang terus meninggi tetapi tidak serta merta diikuti oleh naiknya mutu pendidikan. Belum lagi masih banyak ketidakjelasan nasib yang harus mereka terima sebagai “kelas terdidik” menjadi beban sosial tersendiri dari lingkungan sekitarnya. Belum lagi fasilitas sekolah hingga gedung sekolah yang banyak mengalami kerusakan hingga butuh banyak pungutan. Akibatnya seperti yang sering kita baca di media, banyak anak yang putus sekolah lantaran harus membantu ekonomi orang tuanya. Bagi yang masih bertahan tidak terbayang pula ke perguruan tinggi mana kelak mereka menuju. Itu pun kalau ada biaya untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Tidak berlebihan jika dikatakan kalau kondisi pendidikan kita masih memprihatinkan, banyak terjadi reduksi potensi humanisme pendidikan oleh dominasi kompetensi akademik yang ternyata mutunya pun tak bisa dikatakan baik, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan daya saing kita di tingkat global. Kita sadari sepenuhnya bahwa masalah mutu pendidikan kita, sudah sampai pada tingkat masalah “multidimensional” yang tidak lagi linear serta berdiri sendiri. Terlebih oleh pengaruh yang sangat dominan dalam bentuk anomali pranata kehidupan sosial, sehingga menimbulkan rusaknya tatanan “normatif dan estetis bangsa ini”. Maka menjadi keniscayaan jika mutu pendidikan Indonesia jeblok pada level Asia dan dunia, hal itu menunjukkan kegagalan pencapaian tujuan pendidikan. Bila diusut lebih dalam sampai tingkat satuan pendidikan atau sekolah, maka

H

[ 46 ] DIMëNSI

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

yang paling punya peran dalam urusan tersebut tak lain adalah pemimpinnya atau kepala sekolahnya. Alasannya, kepala sekolah adalah seorang manager, dan ia dituntut sebenarbenarnya mampu menjadi seorang pemimpin. Dalam artian, ia harus mampu menggerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengerahkan, dan bahkan menghukum, serta membina, dengan maksud agar manusia sebagai media manajemen mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan administrasi secara efektif dan efisien tanpa menghilangkan sisi-sisi kemanusiaan lembaga pendidikan (Mulyasa,2002). Alhasil, dalam peringkat Indeks Pembangunan Pendidikan atau EDI (Education Development Index), posisi pendidikan di Indonesia merosot dari posisi 58 ke 62 dari 130 negara menurut laporan United Nations Educational Scientific and Culture Organitation (UNESCO). Penilaian ini berdasarkan partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun, partisipasi pendidikan gender dan angka bertahan siswa hingga kelas 5 sekolah dasar (SD). Hal ini tidak begitu mengejutkan jika kita melihat situasi pendidikan sekarang yang carut marut. Bisa dikatakan Indonesia sebuah potret bagaimana sebuah sistem pendidikan gagal membangun manusianya. Sistem pendidikan kita memang sudah baik pada tataran normatif. Namun sangat tidak baik pada tataran implementatif. Masih tidak seimbangnya tataran regulasi dan tataran pelaksanaan menjadi masalah sehingga output yang dihasilkan pun jauh dari harapan. Kalau kita lihat filosofi pendidikan yang disampaikan Paulo Freire, seorang pendidik multikultural dari Brazil, pendidikan harus mencapai pengenalan realitas. Pendidikan dilakukan untuk mencapai pembebasan beranjak dari kondisi objektif dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Kondisi ini sangatlah jauh bila dilihat dengan sistem pendidikan kita. Potret buram ini berawal dari jauhnya realitas dengan sistem pendidikan yang diciptakan. Salah satu dari ketidak pekaan itu adalah, kondisi ekonomi masyarakat kita yang tinggal di pedesaan dan masih tergolong ekonomi menengah ke bawah tidak menjadi pijakan dalam menentukan sistem pendidikan. Lembaga pendidikan tumbuh menjadi industri kapitalis dan jauh dari misi sosial kemanusiaan. Padahal tiga perempat penduduk tinggal di pedesaan dan kemiskinan pun mayoritas terjadi di pedesaan. Maka, menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari kalau kemiskinan telah menjauhkan mereka dari akses yang baik terhadap pendidikan. Anak-anak yang lahir di desa rata-rata putus sekolah, pun kelompok orang dewasanya banyak yang buta huruf. Inilah tantangan untuk mewujudkan Pendidikan Untuk Semua (PUS) di wilayah pedesaan, untuk melayani pembangunan di pedesaan.


Memajukan kualitas pendidikan di pedesaan memang bukan hal yang mudah, apalagi jika dihadapkan pada masih terbatasnya sarana-prasarana yang mendukung berlangsungnya proses pendidikan yang baik. Akan tetapi hal tersebut tidak selayaknya menjadi alasan untuk menghentikan langkah pembaharuan pendidikan di pedesaan. Adalah Bahrudin, pendiri sekolah alternatif Qoryah Thoyyibah di Salatiga Jawa Tengah, menyebutkan bahwa pendidikan yang sekarang ini berlangsung di Indonesia telah merubah wajah pendidikan dari melayani kemanusiaan menjadi melayani kepentingan pasar. Akibatnya pendidikan menjadi sebuah industri komersil dengan jasa-jasa kemanusiaan yang bersifat komersil pula. Menurutnya, pada titik inilah masyarakat di pedesaan mulai menjauh dari pendidikan dan mengalami keterasingan. Karena itu diperlukan terobosan untuk memajukan kualitas pendidikan di pedesaan, tentunya tanpa dibayang-bayangi ketakutan biaya pendidikan yang mahal. Untuk mewujudkan pendidikan semacam itu, sangat diperlukan adanya peran aktif masyarakat dan tidak terbatas pada para pendidik semata. Setiap stake-holder masyarakat selayaknya mengorgansir diri dalam komunitas untuk bersamasama membantu penyelesaian masalah pendidikan dipedesaan. Jika Bahrudin bersama masyarakat di Salatiga menyelenggarakan SMP Qoryah Thoyyibah sebagai lembaga pendidikan yang melayani masyarakat miskin dengan biaya murah dan kualitas yang baik. Di Kabupaten Tulungagung tepatnya di Kecamatn Ngantru, Kauman dan Sendang, stake holder masyarakat telah mengorganisir diri dalam bentuk Komite Pendidikan Masyarakat Desa atau KPMD. Institusi ini menjadi modal sosial baru bagi masyarakat desa di wilayah tersebut dalam meningkatkan kualitas pendidikan di pedesaan. Berawal dari dialog yang dilakukan secara terus menerus, orang-orang di beberapa desa di kecamatan Ngantru, Kauman dan Sendang mulai memetakan secara subyektif masalahmasalah yang dihadapi oleh masyarakat di sekitarnya. Salah satu yang mengkhawatirkan mereka adalah sangat banyak anak-anak desa khususnya perempuan yang mengalami Drop Out (DO) dan tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Identifikasi yang dilakukan terhadap faktor faktor yang menjadi sebab munculnya situasi tersebut antara lain; Tidak tersedianya biaya untuk melanjutkan pendidikan, Akses tehadap lembaga pendidikan yang sulit, adanya tekanan dari institusi pendidikan selama proses pendidikan berlangsung, Layanan dan fasilitas pendidikan yang tidak sensitif gender, Pembagian peran dan tanggung jawab dilingkungan keluarga juga masih belum adil gender, ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan hasil belajar di lembaga pendidikan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, juga rendahnya kemampuan lembaga pendidikan dalam mengakomodasi dinamika peserta didik. Untuk menjembatani kompleksitas persoalan tersebut, mereka membentuk organisasi yang diberi nama Komite Pendidikan Masyarakt Desa atau KPMD. Dengan tujuan untuk meningkatkan keberdayaan potensi sumberdaya pendidikan masyarakat di pedesaan yang bertujuan untuk

mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. Untuk tujuan tersebut KPMD melakukan beragam aktifitas, diantaranya memberikan motifasi terhadap orang tua dan masyarakat mengenai pentingnya pendidikan bagi anak, menfasilitasi pengembangan kecakapan hidup anak-anak yang mengalami drop-out dan putus sekolah, serta membentuk forum-forum belajar bagi anak dan orang dewasa. Disamping itu juga berupaya menjauhkan anak-anak dari ancaman Drop Out akibat tidak memiliki kemampuan yang baik untuk memenuhi kebutuhan belajar. Sejak dikembangkan 2 tahun yang lalu peran KPMD didalam membantu menyelesaikan masalah-masalah pendidikan di pedesaan sudah banyak dirasakan oleh masyarakat; di desa Padangan, mereka melakukan pengorganisasian potensi desa untuk mengembangkan sebuah lembaga pendidikan anak di desa tersebut, kini sebuah sarana-dan prasana belajar yang layak telah dimiliki oleh anak-anak;tidak kurang dari 350 anak terlibat didalam aktifitas yang dilakukan oleh komunitas tersebut. Akan tetapi keberadaan lembaga KPMD bukan semata untuk pengembangan sarana fisik pendidikan, semata, beberapa telah mengembangkan kelompok belajar anak, pada kelompok belajar ini dilakukan proses Pendidikan informal berupa pelatihan dan kursus serta penyelenggaraan kejar Paket A dan B. Bahkan di desa Kedoyo kecamatan Sendang, kemampuan KPMD dalam mengorganisir masyarakat untuk peduli terhadap pendidikan telah melibatkan hampir seluruh warga desa tersebut. Aktifitas yang dikembangkan berupa infaq Rp.100, yang dikumpulkan melalui organisasi-organisasi kultural seperti yasinan, kelompk kesenian, pentas seni tradisonal dsb. Yang dipergunakan untuk meringankan beban pendidikan anak-anak dari lingkungan keluarga miskin. Biyanto salah satu angota KPMD Kedoyo menyatakan, bahwa dampak adanya institusi ini didesa cukup baik, kalau dulu kita bertanya pada anak-anak mengenai keinginan sekolah, sebagian besar akan menggelengkan kepala, tetapi saat ini rata-rata setiap anak akan mengatakan dengan tegas keinginannya untuk melanjutkan pendidikan. Lantas bagaimana pemerintah memberikan respon positif akan keberadaan institusi tersebut. Merujuk pada filosof pendidikan asal brazil, Paulo Freire; bahwa substansi pendidikan adalah untuk membangun kesadaran kritis, yakni kesadaran akan realitas dimana seseorang tinggal, realitas yang jikalau disadari secara struktural seringkali sangat menindas. Maka keberadaan komunitaskomunitas masyarakat tersebut menjadi sangat penting, komunitas masyarakat warga yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan menjadi urgen untuk terorganisir dengan baik. Disamping berperan sebagai katalisator penyelenggaraan pendidikan formal yang acapkali jauh dari keadilan pendidikan, keberadaan komunitas-komunitas tersebut juga dapat didayagunakan untuk mengembangkan kemandirian masyarakat warga sehingga kemandirian dan kelangsungan pendidikan bagi anak-anak dapat dilakukan dengan baik. Wassalam *) Penulis adalah ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Paricara, PU DIMeNSI 1999

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMĂŤNSI [ 47 ]


Elang! Aku segera bergegas menuju ke tempat pemberhentian bis, hari ini aku ingat ada pertemuan penting dengan ketua LSM Dwipa. Aku juga harus menyusun draft pertanyaan untuk wawancara dengan Andre, sang ketua. Matahari pagi ini begitu terik, seakan hari telah siang. Lima belas menit aku telah berdiri di halte ini, bis yang aku tunggu akhirnya muncul juga. Begitu masuk, ku sisiri lekuk-lekuk dalam bis ini, namun tak ku temui sisa kursi untukku. Aku mendapat jatah untuk berdiri lagi pagi ini. “tak apalah..” batinku. Sepanjang perjalanan.. fikiranku melayang-layang, teringat pada suatu kisah. Waktu itu... “Nduk, apa yang kamu harapkan dari dunia itu?”, aku terdiam dan membisu, aku ingin mengatakan alasan itu, tapi sepertinya aku lebih baik memilih diam. Dan sekali lagi, ibu mendekati dan membelai lembut rambutku, “ya sudah nduk, kalau memang itu pilihanmu, ibu cuma bisa berpesan, jangan lupa sholat, dan..” Ibu menatapku lekat-lekat dan menggenggam erat kedua tanganku, “jangan lupa fitrahmu nduk..”, kata terakhir ibu yang diiringi dengan butiran air mata yang keluar dengan begitu saja dari kelopak mataku. Aku membenamkan kepala ku dalam dekapan lembut Ibu, andai aku bisa mengatakan yang sesungguhnya pada ibu... Tak terasa butiran-butiran air mendesak-desak keluar dari kelopak mataku, aku terhenyak kaget ketika tiba-tiba seorang pengamen mendesak masuk dengan paksa dalam bis. Dan tanpa aba-aba, dia mulai begitu saja berceloteh, kemudian memetik gitar bututnya dengan lihai, “yah.. sebuah lagu buat penumpang yang mulai

[ 48 ] DIMëNSI

gelisah dengan keadaan zaman, jreng..jreng.. Apa kabar suara hati.? sudah lama tak terdengar lagi.. kemana saja suara hati.? tanpa kau sepi rasanya hari.. kabar buruk apa kabar baik? yang kau bawa mudah-mudahan baik dengar-dengar dunia lapar lapar sesuatu yang berat suara hati kenapa pergi.? suara hati jangan pergi lagi.. kau dengarkah orang-orang yang menangis? Sebab hidupnya dipacu nafsu. Kau rasakah sakitnya orang-orang yang tertindas oleh derap sepatu pembangunan? Kau lihatkah pembantaian? Demi kekuasaan yang secuil.. Kau tahukah alam yang kesakitan? Lalu apa yang akan kau suarakan? Suara hati kenapa pergi? Suara hati jangan pergi lagi..* (Iwan Fals, Suara Hati) Aku mengamatinya lekat-lekat, sepertinya aku pernah tahu laki-laki jakung berambut panjang dan bermata tajam yang memainkan gitar dengan lentiknya ini. Tak lama kemudian, dia sadar bahwa seseorang sedang memperhatikannya, kemudian dia menoleh padaku dan menyunggingkan senyumnya, sembari memberikan kantong bungkus permen lusuh, “mbak..?”, tanpa berkata apa-apa aku begitu faham maksudnya, entah kenapa aku langsung begitu saja memberikan uang lembaran 10 ribuan dari dalam tas ranselku. Dengan senyumnya yang lebar, dia berkata, “terima kasih mbak.., permisi..” Sejurus kemudian dia langsung memberi aba-aba pada pak kondektur

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

untuk diturunkan pada ujung jalan depan itu. Dan entah, aku juga begitu saja meminta pak kondektur untuk turun persis sama dengan laki-laki jakung itu, “hey.. tunggu!”, sesaat dia menoleh, “ya?”, “mm..aku..”, tiba-tiba saja aku bingung, apa yang akan aku perbuat kemudian? Tanpa alasan yang jelas, aku begitu saja ingin mengikuti dan menyapanya. Diam.. dan hening, aku berdiri mematung di depannya. Aku juga tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sepertinya terbungkam oleh mata hitamnya yang tajam. “Sepertinya mbak buru-buru mau ada acara, lebih baik mbak segera saja menuju ke sana”. Deg! Aku langsung teringat akan janjiku dengan Andre, untuk wawancara siang ini. Dia tersenyum dan membalikkan badannya pelan-pelan, aku masih terdiam mematung, “oh ya, kalau mbak pas tidak lagi ada urusan, mungkin bisa main ke tempatku.” “eh iya, aku pasti main ke tempat kamu...mm..”, “Elang, panggil saja aku Elang”. katanya sambil mengulurkan tangan nya yang sudah hitam legam, “Kirana, teman-teman biasa panggil aku Rana”, ku sambut uluran tangannya. Hemm.. Elang, nama yang sesuai untuk matanya yang hitam dan tajam. ******* Di suatu siang... “Na, ada hot news di wilayah pusat kota. Ini bisa jadi headline buat berita kita, beberapa penduduk pinggiran kota melakukan demonstrasi, dan sepertinya mereka akan anarkis!” kata pak Sutha suatu pagi setelah dia menerima telfon. “saya akan segera menuju ke lokasi pak!”. Kamera, tape recorder, block-note, pulpen, dan perlengkapan reportase


lain langsung aku masukkan kedalam tas ransel, kecuali Id card biru yang aku kalungkan di leherku. Di pusat kota.. Aku mengambil gambar dengan sigap, tentunya objek yang benar-benar mendukung berita ku, “pasti jadi headline nih,” batinku. Naluri curiousity ku langsung bermain. Membidik kerumunan demonstran, para petugas pengaman, dan semua yang aku temukan di sana. Tiba-tiba. Aku terdiam sejenak. Kameraku menangkap sosok yang pernah aku kenal, seorang laki-laki yang berdiri paling depan dari kerumunan para demonstran, dia adalah korlap aksi yang dilakukan oleh penduduk pinggiran kota. Mereka menuntut ganti rugi atas penggusuran paksa yang telah dilakukan beberapa hari sebelumnya. Kameraku terus memburu korlap itu. Walau dari kejauhan, aku melihat dengan jelas, peluh yang terus menetes dari tubuh laki-laki itu, aku zoom dan zoom lagi, dekat dan menjadi dekat. Oh Tuhan... laki-laki jakung berambut panjang dan bermata tajam waktu itu, Elang!! Saat itu, aku hanya tahu bahwa ia adalah seorang pengamen yang aku temui di Bis. Bapak-bapak di ruang dewan! “Bapak-bapak Kami hanya menuntut satu kata!! Ke-A-Di-Lan!!” dengan lantang Elang terus berorasi di depan temantemannya. Aku merasakan sesuatu yang lain dalam aliran darahku. Katakata Elang membuat adrenalin dalam darahku meningkat. Aku lupakan tugas reportaseku, aku langsung berjalan ke arah kerumunan orang-orang itu, ya teman-teman Elang! Karena yang ingin aku lakukan hanya satu! mendekati mereka!. Dengan langkah pasti, aku berjalan menuju mereka. Di sampingku kini, berdiri seorang Ibu menggendong anaknya yang masih seumuran adik kecilku yang di rumah, ah surya... sebesar apa kau sekarang dik? berikan Ibu itu terus saja berkata “berikan hak kami!!” walaupun anaknya sedari tadi terus menangis karena kepanasan, dengan sabar Ibu itu berbisik kepadanya,”cup.. cup.. sabar nak.. Ibu sedang ajarkan kepadamu makna keadilan.. sabar sayang.. tunggu sampai

Ibu benar-benar memberi keadilan buat kamu nak...”. Seolah faham dengan kata-kata Ibunya, anak itu terdiam, walau sebenarnya masih aku dengar isakan tangis kecilnya. “nah..begitu baru anak Ibu, tak akan menangis hanya karena keangkuhan mentari siang ini” ucapnya sembari mengusap peluh yang menetes dari kedua mata anaknya. Ugh!! Hatiku amat tertusuk! Ibu... aku rindu padamu.. Dengan sigap, aku mengambil gambar sosok bijak di samping ku. Walau berpakaian lusuh, kulit hitam legam, rambut agak sedikit gimbal, namun satu hal yang terlihat di balik wajah tua nya, sebuah semangat untuk berubah! Lamat-lamat kemudian aku mendengar suara Elang dari megaphone di depan sana, “Apakah ini yang memang kalian inginkan? Membantai kami atas nama pembangunan?”, seperti terhipnotis, dengan lantang aku berkata, “Katakan L A W A N! Atas penindasan dan pembantaian berdalih pembangunan!” Serentak, kerumunan orang-orang itu menoleh kepada ku, dan Elang! Dia menoleh kepadaku, sambil memberikan tatapan tajam dan segurat senyum pada ku, sama seperti saat itu. Spontan, teman-teman seprofesiku langsung menjadikan aku sebagai sasaran empuk jepretan kameranya, “pasti akan jadi headline!”, fikirku, walau begitu, aku yakin, apa yang aku pilih ini adalah benar. “ya.. aku temukan dirimu kembali!”, bisik lirih suara hati yang lama telah hilang. ******** “Rana! Saya menyuruh kamu untuk meliput! Bukan untuk ikut-ikutan berteriak-teriak ngawur seperti gembel itu! Bagaimana kalau seandainya kamu.. bla..bla...”, kata-kata pak Sutha kali ini benar-benar membuatku muak. Tanpa fikir panjang, aku langsung keluar dari ruangannya, aku telah benar-benar lelah kali ini. Satu yang aku inginkan, PULANG. ku langsung mengemas barang-barang di meja kerja ku. Di luar kantor.. Aku memandangi gedung mewah berlantai 4 di depanku. Walau aku bisa bertahan hidup di kota karenanya, tapi

hari ini, bukan ini yang ingin aku cari. Tak terasa, aku berdiri begitu lama, ku pandangi Id card biru di genggaman tanganku. Tertulis di sana, Kirana Prameswari; wartawan. Ah..! wartawan? Benarkah itu aku? Tanpa fikir panjang, aku pun langsung beranjak pergi sebelum aku benar-benar temukan jawaban dari pertanyaanku itu. Langkah kaki ini semakin berat, aku bahkan tak tahu lagi apa yang aku cari di sini, di kota ini. Aku menuju tempat pemberhentian Bis. Tekadku kali ini sudah bulat, aku ingin pulang dulu. Aku ingin menenggelamkan kepalaku yang penat ini pada peluk hangat Ibu, berharap Ibu menghapus peluh yang tak kunjung kering ini, seperti Ibu bijak siang itu. Dengan mata sedikit berkaca-kaca, aku memasuki bis yang hampir penuh sesak. Seperti biasa, aku harus berdiri (lagi). Sejenak aku tertegun, dan lamatlamat aku mendengar seorang pengamen bernyanyi, “...Ibuku sayang... masih terus berjalan.. walau tapak kaki penuh darah.. penuh nanah.. seperti udara.. kasih yang engkau berikan.. “, jantungku langsung berdesir. Seketika aku sibak himpitan orang-orang yang berdiri di sampingku, aku ingin tahu, apa itu dia..? “...tak mampu aku an FFalsalsmembalas.. IBU..IBU.. ..*(Iw (Iwan Ibu) ”. Aku bersiap untuk menyapanya, setelah dia benar-benar begitu dekat, ternyata.. itu bukan dia. Bukan laki-laki jakung berambut panjang dan bermata tajam waktu itu. Bukan orang yang berteriak dengan lantang siang itu. Dan memang dia bukan Elang. Karena yang aku tahu, aku tak pernah tahu siapa dia, seperti elang dia melayang. Sebelum dia menepati janjinya untuk membawa ku main ke tempatnya. Sebelum angin benar-benar telah membawanya pulang siang itu. Kembali aku terdiam, senyum ku menjadi pasi sekarang. “Ibu.. aku ingin pulang”, bisik hatiku kemudian. //seseorang yang punya hutang diskusi

‘antropologi kampus’,thanks//

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMëNSI [ 49 ]


Lukisan Buram Pendidikan Senja di ufuk barat tak lagi mampu diterjemahkan dengan kata karena keindahan untuk ruang ekspresipun tak ada… ketika manusia berjalan menuju dunia yang penuh dengan penindasan dan tipu daya, membuat anak-anak hanya bisa terbelanga… hanya mimpi… langkah – langkah kecil terdengar dari balik dinding yang kotor, baju yang dekil, dan sehelai kertas di tangannya, yang tak pernah digunakan. mereka takut... takut untuk menggoreskan pena di kertas putihnya. Karena kejamnya dunia Yang tak mengizinkan anak-anak kecil itu untuk berkarya Pendidikan yang semestinya bisa membebaskan Kini dipersulit karena ketamakan dan keserakahan para penguasa Sudah merdekakah pendidikan? Semangat seorang perempuan kecil mengais ilmu dari lorong demi lorong membuat haru hati ketika ia mencoba tegar demi sebuah harapan tak mampukah kita berbuat sesuatu demi mereka? Suara para cendekiawan kini hanya sebuah hiasan Hiasan tanpa arti... Hingga para anak – anak pun tak paham Untuk apa sebenarnya pendidikan.. Mereka hanya butuh kenyamanan Untuk belajar… Sehingga mereka mampu untuk menorehkan sebuah impian Di masa depan... by: DWK

[ 50 ] DIMëNSI

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008


No. 21 Tahun 11 Agustus 2008

DIMĂŤNSI [ 51 ]


[ 52 ] DIMĂŤNSI

No. 21 Tahun 11 Agustus 2008


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.