Edisi: 4/Mei/V/2019
KOLOM GUS DUR
Ruang Bagi Negosiasi
S
ikap hampir seluruh parpol peserta pemilu legislatif tahun 2004 sangatlah mengejutkan. Dengan pemungutan suara, mereka menolak hasil-hasil pemilu yang berlangsung pada tanggal 5 April 2004 itu. Segera dilakukan upaya demi upaya untuk menggoyangkan parpol-parpol tersebut dari sikap itu. Tetapi, setelah dilakukan upaya demi upaya tidak formal untuk menggagalkan sikap itu, beberapa hari yang menentukan berjalan tanpa menggoyahkan tuntutan tersebut sama sekali. Dengan kata lain, rupanya tuntutan akan pergantian Ketua, Wakil Ketua dan Sekjen KPU akan terjadi. Sekarang, bagaimanakah sikap orang-orang seperti penulis, dalam hal ini? Penulis menganggap bahwa harus ada ruang untuk kompromi, dengan tidak memerlukan pihak manapun dalam mencapai hasil akhir yang ingin kita capai. Persoalannya terletak pada penerimaan kepada hasil pemilu legislatif itu sendiri. Dalam pandangan penulis, apa yang telah terjadi adalah merupakan pelajaran sangat pahit, bagi kita sebagai bangsa. Namun, ini tidak dapat menghalangi sikap untuk menerima hasilnya sebagai kenyataan sejarah, jika ketiga orang pimpinan KPU itu digantikan oleh orang-orang yang kemudian hari dapat menjamin obyektivitas hasil pemilu itu sendiri. Di sinilah terletak adanya sesuatu yang sangat penting bagi kita yaitu demokratisasi sebagai sebuah proses sejarah, jika ia dapat dijamin dalam kehidupan kita dimasa-masa yang akan datang, sudah cukup lah hal itu bagi kita. Namun yang terpenting dari proses tersebut adalah kita tidak memiliki rasa dendam atau sikap apapun yang negatif kepada siapapun dalam kehidupan sebagai bangsa.
“Namun yang terpenting dari proses tersebut adalah kita tidak memiliki rasa dendam atau sikap apapun yang negatif kepada siapapun dalam kehidupan sebagai bangsa...
Diterbitkan oleh: Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian Pelindung: Alissa Wahid Penanggung Jawab: Jay Akhmad Tim Redaksi: Heru Prasetya (Pemimpin Umum), Sarjoko Wahid (Pemimpin Redaksi), M. Autad An-Nasher, Rifqiya H. Mufidah (Redaktur) Website: gusdurian.net, gusdur.net | Email: redaksi@gusdurian.net | Instagram: jaringangusdurian | Twitter: @gusdurians
2
dalam kehidupan bangsa kita. Belum pernah penulis mendengar ada sebuah ‘Museum’ yang mengkhususkan diri pada perbedaan-perbedaan dan juga persamaanpersamaan antara keduanya. Karena Bung Hatta kurang mendapatkan penghargaan dari pemerintahan Orde Baru dan Bung Karno dianggap sebagai tokoh yang harus dilupakan, maka dengan sendirinya harapan itu, yang sebenarnya sangat diperlukan oleh generasi muda bangsa kita, sampai hari ini tidak pernah terwujud. Karena itu, penulis menganggap kita sebagai bangsa masih punya hutang yang besar kepada mereka dan kawankawan seperjuangan mereka yang secara langsung, tanpa ada yang menentang peran dari salah seorang mereka, walaupun keduanya secara historis dan perspektif “pelengkap dan pendukung” menjadi pihak yang merupakan kawan seperjuangan. Kedewasaan kita untuk menumbuhkan rasa seperti itu akan sangat menentukan bagi bangsa ini. Dengan melihat prespektif jangka panjang itu yaitu tegaknya demokrasi dari kehidupan politik kita, sangatlah penting untuk merumuskan di titik mana kita harus terus berjuang dan di titik manapula kita harus berhenti untuk memperbaiki dan melakukan konsolidasi atas apa yang telah kita capai pada suatu tahap. Di sinilah pengetahuan kita akan kekurangan yang ada dibutuhkan, sambil meyakini benarnya proses yang telah kita capai pada sewaktuwaktu. Kemampuan seperti ini membuat kita memahami sebuah kenyataan sejarah yang tidak hanya telah terjadi. Kalau kita sanggup memahami hal ini dan juga dengan konsolidasi, maka tumbuhlah kepemimpinan yang diperlukan untuk mensukseskan sebuah tahapan penting bagi bangsa kita. Karena pada saat ini, kita memerlukan konsolidasi hasil-hasil yang kita capai dalam menegakkan kehidupan politik yang demokratis. Tentu kita berbeda-beda pandangan mengenai hakikat kekehidupan politik yang demokratis, namun dalam jangka panjang kita akan mencapai kompromi yang diterima semua pihak mengenai hal ini. Nah, “kesediaan berhenti” untuk berkompromi dan merumuskan serta mengkonsolidasikan hasil-hasil sementara yang dicapai, adalah tanda kedewasaan yang harus kita kembangkan dalam kehidupan kita dewasa ini. Ini adalah kenyataan ajaran orang yang dibimbing oleh pragmatis politik, yang mungkin tidak sejalan dengan pendapat para
edisi 4/mei/V/2019
Inilah inti dan proses sejarah yang terjadi dalam kehidupan kita sebagai bangsa pada saat ini, dan di sinilah kita harus bertahan untuk memelihara keutuhan kita sebagai bangsa. Proses sejarah itu merupakan sesuatu yang membawa keberkahan bagi diri kita, karena kejadian demi kejadian tidak merupakan tahap-tahap yang berdiri sendiri, melainkan suatu rangkaian utuh dari masa yang sangat panjang untuk mencapai kedewasaan dan kematangan. Karena itu, kita tidak boleh membiarkan perkembangan demi perkembangan terganggu oleh kecenderungan masing-masing, yang justru akan memperlambat tercapainya demokrasi itu sendiri. Prinsip inilah yang harus mengarahkan kita dalam meniti perkembangan sejarah. Ketika Mochamad Hatta mencapai kesepakatan dengan pihak Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) akan kemerdekaan kita di tahun 1945, sangat banyak yang menentangnya termasuk Bung Karno sahabat karibnya dan teman seperjuangan. Bung Karno khawatir persetujuan melalui KMB akan memungkinkan pihak Belanda untuk menyalahi janji kemerdekaan dan kita akan dijajah kembali oleh Belanda. Di antara bukti yang dikemukakan adalah kenyataan Irian Barat masih “dipegang” Belanda. Dengan usaha yang sangat bersungguh-sungguh dari para pejuang lainnya, dengan Trikora Bung Karno berhasil mengembalikan Propinsi itu ke pangkuan Ibu Pertiwi. Di sinilah terletak “keindahan” proses politik yang kita lalui 12 sampai 13 tahun waktu itu. Kembalinya Irian Barat dengan perjuangan Trikora ke tangan pangkuan Ibu Pertiwi, dimungkinkan karena Bung Karno dan kawankawan terlebih dahulu menerima hasil-hasil yang dicapai Bung Hatta melalui KMB itu. Memang ia tidak puas, tapi belakangan apa yang terjadi memperkuat posisi kita sebagai bangsa yang merdeka. Inilah hal yang terpenting yang harus kita lakukan, untuk kebesaran bangsa dan negara. Karena itu dalam pandangan penulis, Bung Karno dan Bung Hatta adalah dua sosok pejuang dan pemimpin yang membawa kita kepada kebesaran bengsa yang kita miliki dewasa ini. Sedetik pun, penulis tidak pernah menganggap kepemimpinan mereka sebagai sesuatu yang terpecah. Dua sejoli Bung Karno dan Bung Hatta adalah warisan sejarah yang sangat langka bagi bangsa kita, yang dalam pandangan penulis terkadang kurang dihargai
idealis politik. Kedua kelompok ini sangat kita perlukan sekarang, dan ini harus kita akui sebagai kenyataan sejarah . Dengan demikian menjadi jelas bagi kita, sebuah proses politik sekecil apapun, bukanlah sesuatu yang sederhana. Ia pernah ada dengan berbagai kemungkinan, yang harus kita perhitungkan dengan teliti. Mereka yang tidak mengerti politik sebenarnya, tetapi menganggap diri sebagai praktisi politik yang ulung, setelah gagal menyatakan bahwa dalam politik sikap orang harus berubah-ubah. Inilah yang menimbulkan kesan bahwa berpolitik adalah bertindak oportunistik dalam segala hal. Padahal sebagaimana diterangkan
di atas dalam tulisan ini, untuk menilai motifmotif tindakan politik yang kita ambil, tergantung kepada apa yang kita perbuat. Kalau kita sekarang menginginkan dunia politik yang demokratis sudah tentu dengan jeli kita harus mengenal cara tercapainya hal itu, dan berhenti pada titik tersebut. Ini diperlukan untuk memantapkan kedudukan demokrasi itu sendiri, yang harus kita pelihara baik-baik dan kita jaga terus menerus dari berbagai kecenderungan kita sendiri ini mudah dikatakan namun sulit dijalankan bukan? Jakarta, 13 April 2004 Sumber: Kompas
KATA GUSDURIAN
Tuhan Modernitas dan Tuhan Penjaga di Tokyo dan Kwaba
D
Oleh: Kalis Mardiasih Periset dan tim media kreatif Jaringan Gusdurian
gusdurpedia: gus dur dan demokrasi
i hadapan kuil arca berbentuk alat kelamin pria, Akemi Sensei bercerita tentang sejarah God of Cause milik penganut Shinto di Jepang. Dulu, simbol itu dibuat ketika pemeluk Shinto mengalami masalah dengan kesehatan, utamanya urusan fertilitas. Orang-orang berdoa dengan memberikan koin persembahan, membungkukkan badan tiga kali dengan tangan menelungkup di dada dan bertepuk tangan. Kini, orang-orang yang bermasalah dengan fertilitas tidak lagi pergi ke kuil Sang Tuhan Kejadian sebab mereka telah mengenal sains dan teknologi medis. Meskipun di desa Kawaba kuil itu masih dirawat, tapi terasa betul bahwa perilaku yang terbentuk dari tradisi manusia terhadap kepercayaan tentu saja berbeda dengan tradisi perilaku terhadap sains. Suatu hari desa Kawaba didatangi oleh sepasang turis dari Amerika Serikat. Turis itu bertanya, atau lebih tepat dibilang tak bisa memahami mengapa Tuhan Kebahagiaan dalam tradisi Shintoism berbentuk sepasang Tuhan lakilaki dan perempuan yang membawa botol sake,
sedangkan Tuhan Sakha dalam tradisi Buddhisme hanya satu wujud laki-laki yang mengatupkan kedua tangan di depan perut sambil bersila di hamparan bunga lotus. Seorang pegawai pariwisata menceritakan habitus bule Amerika itu dengan masygul. Apa yang harus mereka lakukan untuk melayani turis dengan baik? Mereka bingung memilih, apakah harus berfokus untuk menyesuaikan selera turis Timur ataukah turis Barat. Minggu ini, saya datang ke Jepang untuk sebuah program yang diadakan oleh Japan Foundation Asia Center. Dalam kunjungan EYES Program for Embracing Diversity, kami berkunjung ke desa Kawaba di wilayah Gunma. Kawaba sedang bersiap menyambut kunjungan turis global pada Olimpiade 2020. Sebagai muslim, saya takjub melihat Kawaba. ia adalah wajah lain dari Jepang yang seringkali hanya diasosiasikan dengan Tokyo. Di Tokyo, orang Jepang berjalan dengan langkah yang begitu gegas, tak saling menengok dan mengobrol di jalanan maupun dalam transportasi publik. Hampir tak ada senyuman di
3
4
telah sangat teratur dan telah banyak restoran yang menyiapkan kebutuhan pokokmu? Saya bilang bahwa dalam Islam, orang-orang menjalani pernikahan tidak hanya untuk saling menyiapkan kebutuhan, tapi juga sebagai misi saling mengasihi dan saling memberikan kenyamanan satu sama lain. Dalam diskusi soal depopulasi, saya bilang barangkali Jepang mesti mengingat folklore, dongeng klasik, atau tradisi spiritualitas Jepang yang berkisah tentang berpasang-pasangan agar strategi pemerintah Jepang untuk meningkatkan angka kelahiran berhasil. Isu depopulasi di Jepang membuat negara ini terbuka pada penduduk migran. Jepang yang homogen, penduduknya yang tak mau bicara bahasa Inggris, kini mulai mencari strategi hidup dalam keragaman. Mau tak mau, dunia memang telah menjadi desa global. Tapi, menerima kelompok asing tentu saja bukan perkara mudah. Wajah Islam dunia seringkali hanya diwakili oleh suara-suara menyakitkan yang datang dari kelompok ekstremis yang membuat sejumlah aksi teror yang menyakiti kemanusiaan. Sebagai muslim Indonesia tentu saya gembira sebab memiliki tradisi keberagamaan yang menyenangkan. Beragama dengan banyak tradisi kenduri mengajarkan muslim Indonesia terbiasa untuk terbuka dengan tetangga tanpa memandang perbedaan latar belakang. Beragama dengan banyak tradisi ziarah menuturkan generasi masa kini untuk menyambung jejak dengan masa lalu, agar meskipun penemuan sains kian tak terjangkau, manusia senantiasa mengingat asal usulnya, yakni tanah tempatnya berpijak sekaligus tercipta. Rekan saya, Sarah Monica dari Abdurrahman Wahid Center-UI memberi masukan agar Kawaba memfasilitasi turis muslim dengan menyediakan tempat berwudu. Tokyo dan Kawaba seperti dua sisi mata uang. Satu sisi bicara modernitas yang tampak maju namun diam-diam begitu rapuh. Kawaba bagaikan surga tersembunyi yang diam-diam dirindukan. Sumber: Detikcom
edisi 4/mei/V/2019
jalanan Tokyo. Orang-orang keluar dari rumah untuk pergi bekerja di pagi hari dan pulang ke rumah pada sore hari. Di Kawaba waktu berjalan begitu lambat. Di gerbang desa terpasang simbol alas kaki raksasa yang terbuat dari batang padi. Ia adalah simbol kesejahteraan warga desa. Memasangnya di gerbang desa adalah kepercayaan bahwa seluruh desa terlindungi oleh roh penjaga. Para leluhur di Jepang percaya bahwa Tuhan ada di mana-mana. Arca Tuhan Shinto ada di kuil tiap rumah, di tengah kebun, di bawah tiang listrik, di depan perkantoran desa, bahkan di dalam toilet pun ada Tuhan penjaga. Sepanjang perjalanan ziarah ke situs penganut Shinto, Buddhisme, dan kuburan tersembunyi penganut Katolik yang dipersekusi militer Samurai Jepang di masa lalu, saya berlarian sambil memetik buah di perkebunan apel dan blueberry. “Bukan Kawaba yang mesti memenuhi kebutuhan para turis, para turis itulah yang harus memberi penghormatan ketika datang ke Kawaba,� ucap saya dengan penuh harap. Desa Kawaba masih begitu hijau dan perawan. Pada sebuah sudut, saya diajak berhenti di sebuah sungai yang aliran airnya dapat langsung diminum. Mereka sangat percaya diri bahwa penyaringan tanah dan bebatuan dari alam di Kawaba terjaga dengan sempurna. Hutan lindung di Kawaba dikelola oleh pemerintah dengan sangat hati-hati sehingga aliran air yang begitu deras dan jernih itu mereka sebut air Tuhan. Dari sumber air pegunungan Kawaba itu juga mereka membuat sake, yang komposisinya berasal dari 80% air dan 20% beras terbaik persawahan di Jepang. Tentu saja saya tidak bisa minum sake. Tapi, Tuhan Sake yang terpasang di sudut-sudut ruang pabrik sake modern cukup membuat berdecak kagum. Hari-hari ini, Jepang mengalami masalah depopulasi yang cukup serius. Toshihiro Menju menulis dalam New Challenges for Japan: Can Japan Open to the World? bahwa gejala depopulasi telah mengakibatkan pengurangan 6811 sekolah negeri sejak 2002, juga sejumlah jalur kereta dan jalur bus umum. Anak-anak muda di Jepang malas menikah dan punya anak. Mereka berkelakar, untuk apa menikah jika segala sesuatu di Jepang