Penanggung jawab
SekNas JGD
Penasihat
Alissa QM Wahid koordinator
Tata Khoiriyah Redaksi
Nabilah Munsyarihah, Zahrotien Editor
Abas Z g. Tata letak
Morenk Beladro
Kontributor
GUSDURian di berbagai daerah
Menggerakkan Tradisi, Meneguhkan Indonesia
Sirkulasi
SekNas Jaringan GUSDURian
Edisi 4 / Juni 2013
S
Sekadar Mendahului
ampai kapan kita memperdebatkan Pancasila dalam ranah wacana? Ibarat agama, Pancasila adalah rukun sosial untuk bisa menjadi bangsa Indonesia yang utuh seperti yang diyakini oleh para pendahulu. Sebagai rukun sosial, ia tidak bisa diimplementasikan hanya dengan satu sila saja, Pancasila adalah satu kesatuan yang seharusnya menjadi kerangka berfikir dalam setiap perilaku berbangsa dan bernegara. Pancasila tidak hanya berkutat dimasalah ketuhanan yang maha esa, tapi juga kemanusian dan keadilan, persatuan bangsa, permusyawaratan dan perwakilan rakyat, serta keadilan sosial. Untuk mewujudkan Bangsa Indonesia yang dicita-citakan, perlu usaha yang melibatkan semua warga bangsa dalam mengimplemetasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, opini, berita melalui selasar.redaksi@gmail.com. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis. Newsletter ini adalah produk nonprofit.
“Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas & ia akan ada selamanya. Pancasila adalah gagasan tentang negara yg harus kita miliki & kita perjuangkan.� KH. Abdurrahman Wahid 1
Menggerakkan Tradisi
Yayan Royani >>> Gusdurian Unwahas Semarang
Mengembalikan Hak yang Terkoyak
Refleksi Rombongan Gowes Peduli Syiah di Semarang
e-newsletter SELASAR /edisi 4/2013
2
P
ukul 12.00 WIB, 5 Juni 2013, rombangan gowes sepeda peduli Syiah tiba di Kota Semarang. Rombongan yang terdiri dari 18 orang langsung disambut oleh tim penyambutan dari jaringan Komunitas GUSDURian Wahid Hasyim, eLSA Semarang, LBH Semarang, LRC-KJHAM, PMII Kota Semarang dan HMI Kota Semarang. Perjalanan dilanjutkan menuju Bundaran Kampus Universitas Dipenogoro Pleburan yang letaknya tidak jauh dari gedung pemerintahan dan DPRD Jateng. Saat itu peserta diperkirakan mencapai 50 an orang dan langsung melaksanakan aksi damai. Atribut berupa sepeda ontel dengan baju yang bertuliskan “jangan rampas tanah kami” ternyata cukup membuat orang-orang sekitar merasa penasaran dan akhirnya ikut bergabung dalam aksi tersebut, menyedot pula antusias para jurnalis yang telah lama menunggu untuk meliput. “Sebagai sesama warga negara, kami ikut prihatin atas kejadian yang menimpa teman-teman Syiah di Sampang,” ungkap salah seorang partisipan. Pukul 15.00 WIB, rombongan gowes melanjutkan perjalan ketem-
pat peristirahatan di rumah salah satu Jama’ah Ahlul Bait Semarang. “Kami merasa harus ikut bertanggung jawab atas rombongan yang telah membela saudara-saudara kami di Sampang. Meskipun tidak secara langsung ikut mendampingi sepanjang perjalanan, akan tetapi kami terus melakukan pemantauan,” ungkap Ustadz Nur Kholis salah seorang mubaligh Ahlul Bait Kota Semarang. Hari berikutnya, pukul 09.00 WIB, rombongan bergegas untuk melanjutkan agenda yaitu diskusi publik dan konferensi pers dengan tema “Mengembalikan Hak yang Terkoyak; Solusi Masalah Syi’ah Sampang”. Kegiatan ini dipanitiai GUSDURian Universitas Hahid Hasyim dan bertempat di markasnya sendiri yaitu kampus Universitas Wahid Hasyim Semarang. Acara dimulai pukul 10.30 dan dihadiri 70an peserta dari rombongan gowes, tim penyambutan dan masyarakat semarang yang pro hak asasi manusia serta wartawan. Berlaku sebagai pembicara Tedi Kholiluddin (eLSA Semarang), Andiyono (LBH Semarang), Miftahul Khoir (Pendamping Romobongan Gowes), Abdul Rasyid (Korban Syiah Sampang) dan dimoderatori oleh Rifqi Mubarok (Komunitas GUSDURian Unwahas). Tedi Kholiluddin mencoba membandingkan fenomena warga Syiah yang ada di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sejauh pemantauannya, warga Syiah di Jawa Tengah hidup rukun berdampingan dengan masyarakat lainnya. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal, diantarnya kesadaran toleransi tokoh dan masyarakat yang lumayan tinggi. Kedua karena adanya ruang bersama yang didasarkan kepada kesadaran toleransi antara warga Syiah dan masyarakat setempat. “Hampir di berbagai daerah di Jawa Tengah, warga Syiah selalu dapat berintraksi den-
gan baik dengan warga sekitar,” ungkapnya. Berbeda dengan pandangan Tedi, munurut Fatkhul Khoir dalam kasus Syiah Sampang Negara tidak gagal dalam menjalankan tugasnya akan tetapi justru menjadi aktor pelanggar HAM. “Mereka merencanakan untuk melakukan relokasi atas dasar keresahan warga sekitar, faktanya antara warga Syiah dan warga setempat tidak terjadi pertentangan,” ungkapnya. Khoir bahkan menemukan bukti bahwa Bupati maupun Wakil Bupati pernah berpidato akan melakukan pengusiran terhadap warga Syiah yang berada di daerahnya. Peritiwa penyerangan Syiah pun penuh dengan kejanggalan. “Penyerang seakan dilakukan oleh ahli dalam bidangnya,” ungkap Khoir. Menegaskan pendapat pembicara sebelumnya, Andi memberikan sudut pandang dari regulasi yang harus ditaati Negara ketika terjadi pelanggaran HAM. “Untuk mengembalikan hak yang terkoyak, maka sudah seharusnya kita kembali kepada aturan yang berlaku,” paparnya. Menurut ketua LBH Semarang
ini, kasus Syiah tidak hanya berkaitan dengan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, lebih dari itu terkait dengan hak ekonomi, pendidikan dan lainnya. Diakhir acara, secara singkat Khoir memberikan closing statement yang menyatakan bahwa tujuan kegiatan gowes dari Sampang menuju ibukota, diantarnaya adalah menagih janji presiden untuk menyelesaikan masalahan Syiah Sampang. Lain dari itu meminta dukungan dari berbagai lembaga pemerintahan maupun komisi yang berkaitan dengan isu terkait di Jakarta. Hal lain yang paling penting adalah dukungan dari masyarakat. Pada sore harinya rombongan gowes di sekretariat eLSa, dikunjungi oleh beberapa simpatisan dari berbagai kalangan, diantaranya tokoh Ahmadiyah, Pendeta Gereja injili di Tanah Jawa (GITJ), aktivis gerakan sampai aparat intelijen untuk kemudian mereka berdialog santai. Secara umum, semua elemen yang hadir prihatin atas apa yang menimpa warga Syiah Sampang, seluruhnya mendukung pemenuhan kembali hak-hak yang terenggut dari warga Syiah Sampang dan menuntut pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secepatnya. Tanggal 7 Juni 2013, pukul 08.00 WIB para rombongan gowes berkumpul di depan gerbang Kampus III IAIN Walisongo Semarang. Acara tersebut sekaligus mengakhiri kunjungan rombongan di Semarang, yaitu dengan penglepasan keberangkatan rombongan gowes bersama eLSA Semarang dan akitivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Walisongo. (*)
3
Menggerakkan Tradisi
Hadi >>> Gusdurian Bandung
e-newsletter SELASAR /edisi 4/2013
4
Menimbang Pribumisasi Islam Satu persoalan penting yang banyak melanda masyarakat modern adalah apa yang disebut Anderson sebagai existential vacuum (kekosongan eksistensi) yang ditandai dengan kebosanan dan pengkaburan tujuan hidup. Masyarakat dunia modern kini tengah mengalami pendegradasian atas nilai-nilai kemanusiawiannya. Yang terjadi malah merebaknya fundamentalisme dan kultus dengan kecenderungannya yang lebih mengutamakan kamapanan suatu doktrin agama dan berpijak pada sikap literer yang sangat kaku dan kurang toleran terhadap kelompok lain. Akibatnya, secara sosiologis agama yang pada awalnya mengandaikan kehidupan yang rukun, adil, dan sentosa pada kenyataannya seringkali menjadi biang konflik. Memang, pada satu sisi agama merupakan potensi bagi terwujudnya persatuan (integritas) tetapi pada wajah lain merupakan suatu faktor pemecah (desintegrasi). Dengan bahasa lain, agama mengemban fungsi memupuk persaudaraan (internal) tetapi sekaligus pemecah persatuan (eksternal). Indonesia sebenarnya merupakan bangsa yang pada dasarnya telah berhasil menahan gejolak kekerasan yang terjadi atas nama agama tersebut. Indonesia memiliki kebudayaan adiluhung, di mana itu me rupakan sebuah ruang dialog bagi adanya hal-hal keberbedaan. Ini dapat dilihat, dari falsasah keberbangsaan yang berbunyi, bhineka tunggal ika. Dapat pula dijumpai dalam sejarah perkembangan Islam di nusantara ini melalui jalur kebudayaan. Hasilnya, Islam menyebar tidak lewat konflik. Malah, pada gilirannya Islam dijalankan dengan formulasi baru yang khas Indonesia. Inilah yang disebut dengan gagasan pribumisasi Islam. Di mana Islam didialogkan dengan konteks kebudayaan Indonesia. KH. Abdurrahman Wahid telah berupaya menjawab tantangan itu sejak tahun 1980-an, lewat konsepsi pemikirannya mengenai “Pribumisasi Islam”.
Melalui gagasannya ini, Gus Dur meres pon secara intens dengan mengajukan alternatif antitesa sebagai penyelesaian atau mungkin juga ‘wacana counter’ terhadap gejala keagamaan masyarakat modern yang kering, paradoks, ahistoris dan eksklusif, sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Ia masih melirik akan pentingnya tra disi, kebudayaan lokal Indonesia. Karena itu, yang ditawarkan adalah lokalisasi Islam, bukannya artikulasi dari keislaman yang harus serba seragam, apalagi serba Arab. Dia seolah yakin bahwa Islam akan lebih mudah dihayati oleh masyarakat mad’u (objek dakwah), apabila para da’i atau muballigh (penyebar agama) terlebih dahulu memperhatikan kebudayaan setempat pada saat Islam disebar dan ditafsirkan ulang. Ide “Islam Pribumi” lahir untuk melawan gagasan otentifikasi Islam, yang tidak jarang mengarah pada fundamentalisme keberagamaan. “Islam Pribumi” meyakini tiga sifat, yaitu: sifat kontekstual, Islam dipahami sebagai ajaran menga lami perubahan dan dinamika dalam merespon perubahan zaman. Kedua, Islam dipahami sebagai aga ma yang progresif, kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman penyimpangan terhadap ajaran Islam melainkan sebagai pemicu untuk melakukan respon kreatif secara intens. Ketiga, “Islam Pribumi” memiliki karakter membebaskan, yaitu ajaran yang mampu menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnis. Karena itu Gus Dur dengan konsep “Pribumisasi Islam” nya tidak sependapat kalau proses Islamisasi di Indonesia diarahkan pada proses Arabisasi. Sebab, itu hanya akan membuat tercerabutnya ma syarakat Indonesia dari akar budayanya sendiri.
Forum
PaLM, Rayakan Keberagamaan Lewat Jalan Sehat
Komitmen yang dibangun Paguyuban Lintas Masyarakat (PaLM) Kota Kediri terhadap keberagaman patut untuk dicontoh. Komunitas yang berdiri pada peringatan hari pahlawan 2010 silam ini mencoba menjadi benteng terdepan dalam mera wat keberagaman masyarakat di Kota Kediri. Jalan sehat dipilih menjadi salah satu media kampanye karena dinilai akan lebih efektif karena langsung menyentuh masyarakat banyak. Memilih jalan sehat sebagai media oleh komunitas yang dijenderali tokoh lintas agama dan etnis di Kota Kediri ini didasarkan pertimbangan bahwa keberagaman selain dirayakan melalui diskusi wacana juga dibutuhkan aksi nyata melalui kegiatan yang dapat diserap langsung oleh masyarakat. Dalam event jalan sehat yang dibanderol nama Jalan Sehat Amal Bhineka Tunggal Ika ini, diikuti oleh tokoh agama, pejabat, pemuda, dan masyarakat umum. Uniknya, dalam menempuh perjalanan, peserta juga melakukan kunjungan ke tempat ibadah seperti masjid, makam ulama, Posko Penghayat Kepercayaan, Klenteng Tjoe Hwie Kiong, GKI dan Komunitas Hindu Dharma. Rencana akan dilakukan setiap tahun karena animo masyarakat sangat tinggi. Selain melalui jalan santai, PaLM yang menjadi gawang keberagaman juga menggelar program dialog melalui radio. Program ini diarahkan untuk menyosialisasikan pentignya wacana pluralisme kepada masyarakat. Jadwal siarnya setiap Minggu malam pukul 19.30-21.00 di Jayabaya FM. Kegiatan lainnya, PaLM rajin mengunjungi komunitas aga ma atau etnis secara rutin dan bergantian. Ini dilakukan untuk mendialogkan perbedaan tanpa perselisihan. Sebagai salah satu trobosan, digelar PaLM Futsal Cup 2013 yang mempertemukan tim futsal lintas agama dan etnis. Setiap grup diatur agar beragam sehingga tidak didominasi salah satu agama atau etnis. Komunitas yang menggunakan gambar Gus Dur sebagai bagian dari logonya ini, menunjukkan bahwa menggunakan strategi populer itu cukup efektif dalam mengampanyekan gagasan keberagaman tanpa melepaskan substansi. Taufik/Nabila
Mati Ketawa
SIAPA YANG PALING DEKAT DENGAN TUHANNYA? Perbedaan dalam berbagai hal termasuk aliran dan agama, kata mantan Presiden RI ini, sebaiknya diterima karena itu bukan sesuatu masalah. Jika sudah bisa menerima perbedaan maka akan lebih terbuka dalam berdialog, bahkan kata Gus Dur, lahir lelucon seperti yang dilontarkan seorang kyai (islam), pedande (hindu), dan pendeta (kristiani). Lelucon ini disampaikan Gus Dur di sebuah acara. Pendeta “Kami dekat sekali dengan Tuhan. Jadi kami memangil Tuhan Anak, Tuhan Bapak. Bisa dibayangin bagaimana kedekadatan seorang anak dengan bapak.” Pedande tidak mau kalah, ia menimpali “Agama kami juga, kami menyebut Ommm suasti…….. Meski bukan manggil Bapak, tapi Om, keponakan dan om kan juga deket. Lha bagaimana dengan Anda, pak kyai?” Pak Kyai menjawab “Boroboro mau deket, manggil-nya aja mesti pake menara (azdan. Red).” urai Gus Dur diiringi tawa seisi ruangan.
5
Pergulatan
Menguji Pancasila
e-newsletter SELASAR /edisi 4/2013
6
“Pancasila tidak diperdebatkan lagi,� kata Bung Karno dalam seminar pertama Pancasila 20 Februari 1959. Pancasila diterima sebagai dasar negara, tetapi ia tak pernah berhenti ditafsiri untuk pelbagai kepentingan. Dalam seminar itu, Pancasila digunakan Bung Karno untuk melegitimasi demokrasi terpimpin. Pada Orde selanjutnya, Soeharto menggunakan Pancasila untuk melumpuhkan kewibawaan Orde Lama. Pancasila lantas ganti diperalat untuk melegitimasi kekuasaan Orde Baru guna menjaga stabilitas negara di bawah rezim otoritarian. Di masa ini pula, Gus Dur muncul melawan penguasa Orba dengan gagasan Pancasila sebagai prinsip etis yang harus selaras dengan keadilan. Pancasila sebagai prinsip etis ini juga disebut-sebut oleh Taufiq Kiemas di pidato terakhirnya. Ketua MPR ini menggagas rumusan empat pilar kebangsaan yang tak lepas dari banyak kritik. Pancasila sakti karena ia terus bertahan meski diuji tiada henti. Usai menantu Bung Karno ini,siapa lagi tokoh yang akan menguji kesaktian Pancasila dalam menjaga Indonesia? Nabila
Bunga Rampai Buku:
Ilmu Bahagia Menurut Ki Ageng Suryomentaraman Tebal buku: x + 158 halaman Penerbit: Kepi, Cetakan 1, Oktober 2012 Penulis: Afthonul Afif
Ki Ageng Suryomentaraman lahir pada 20 Mei 1892 di Kraton Yogyakarta, anak ke 55 dari 79 anak Sultan Hamengku Buwono VII. Ibunya, B.R. A. Retnomandoyo, anak perempuan patih Danurejo VI, adalah istri golongan kedua (garwo ampeyan) Sultan. Ia menolak gelar pangeran dari sang ayah. Saat ia berusia 18 tahun. Ibunya diceraikan Sultan. Istrinya meninggal dunia tepat setelah melahirkan putra. Dipicu oleh kegalauan batin serta keingintahuannya yang besar terhadap masalah kejiwaan dan kebahagiaan, Ki Ageng memilih menanggalkan status kepangerannya beserta semua fasilitas kemewahan yang ia miliki. Ia memilih meninggalkan kraton. Ki Ageng berpindah menuju desa Bringin, Salatiga. Di sana ia berniat untuk mencari hakekat hidup, mengamati dan meneliti perjalanan serta pengalaman hidupnya sendiri. Ia mengembangkan pengetahuan mengenai jiwa manusia yang kemudian melahirkan ilmu yang ia namakan Kawruh Jiwa, ilmu atau pengetahuan tentang jiwa manusia. Bagi Ki Ageng, ilmu pengetahuan itu bukan pelajaran kebatinan, bukan pula pelajaran budi pekerti yang mengatur bagaimana cara berperilaku dengan baik dan benar. Namun ilmu pengetahuan adalah sistematika penalaran yang mampu mengarahkan orang untuk berpikir rasional, maupun memilah-milah segala persoalan ke dalam kategori-kategori yang benar. Proses inilah yang melahirkan kejernihan pikir dan keteraturan tindakan (hlm.9).
Agenda ///////////////////////////////////// JAKARTA | 5 Juli Pukul 19.00 | Forum Jumat Pertama Jakarta
Aula Wahid Institute (Jl. Taman Amir 7, Pegangsaan, Jakarta Pusat) Gratis & Umum | CP 082141232345 MADIUN | 20 Juni Pukul 19.00 WIB | Diskusi Jumat Legi: Gus Dur, Pancasila & NKRI | Rumah ARif Gumantia (Jl. Raya Saradan 58, Madiun) | Gratis & Umum | CP 081554848990 JOGJA | 29 Juni Pukul 19.00 | Diskusi Tematik: Memikirkan Islam dalam Kesatuan Tanpa Keseragaman Bersama Habib Ismail Fajri Alatas ( Kandidat Doktor University of Michigan) | Lokasi: Dalam Konfirmasi | Gratis & Umum | CP 082141232345 DEPOK | 15 Juli | Ulang Tahun Abdurrahman Wahid Center | AW Center Perpus Umum UI | Gratis & Umum | CP 082141232345
Bagian II
Moralitas: Keutuhan & Keterlibatan*)
Gus Dur Bertutur
Oleh: Abdurrahman Wahid
B
anyak lagi contoh lain dapat dikemukakan, tapi dari manifestasi di atas itu saja sudah tampak nyata betapa telah mendalamnya cengkaman moralitas ganda itu atas sikap dan pandangan hidup kaum muslimin dewasa ini. Herankah kita jika agama Islam belum menampakkan diri sebagai pendorong pembangunan dalam arti yang sesungguhnya? Kesibukan “kegiatan agama dengan pembuatan sarana-sarana lahiriah seperti mesjid, kepadatan ‘kehidupan beragama’ dengan acara ritus-ritus semu seperti M.T.Q., kepuasan ‘mengabdi kepada agama’” dengan berbagai kerja penyiaran agama, kesemuanya itu menutup mata kaum muslimin pada umumnya dari tugas utama agama: mengangkat derajat manusia dari kemiskinan dan kehinaan. Kalau diingat betapa eratnya ajaran Islam berkait dengan upaya meringankan beban si miskin dan si yatim, akan ternyata betapa jauhnya suasana kehidupan kaum muslimin di mana-mana dari inti agama mereka. Untuk memperbaiki kepincangan di atas, jelaslah kaum muslimin harus mampu dan berani mengadakan koreksi atas moralitas yang mereka hayati selama ini. Mereka tidak boleh bersikap masa bodoh terhadap kerusakan berat yang ditimbulkan dalam sikap dan pandangan hidup mereka oleh moralitas ganda yang ada. Membiarkan terjadinya korupsi besar-besaran dengan menyibukkan diri dengan ritus-ritus hanyalah akan berarti membiarkan berlangsungnya proses pemiskinan bangsa yang semakin melaju. Sikap pura-pura tidak tahu menahu tentang upaya menegakkan hak-hak asasi manusia, untuk dicukupkan bersantai-santai dengan manifestasi keagamaan yang bersifat lahiriyah belaka, tidak lain hanya berarti semakin tertundanya proses perataan kemakmuran. Dengan demikian, moralitas yang harus ditumbuhkan haruslah memiliki watak utama yang berupa keterlibatan kepada perjuangan si miskin untuk memperoleh kehidupan yang layak dan penghargaan yang wajar atas hak-hak asasi mereka. Hanya dengan cara demikianlah derajat agama itu sendiri ditunjang oleh para pemeluknya. Semakin tinggi martabat manusia yang menjadi pemeluknya, semakin tinggi pula martabat agama itu sendiri. Moralitas yang sedemikian penuh
dengan keterlibatan kepada upaya mengangkat martabat manusia inilah yang dikehendaki dari kaum muslimin sekarang ini, bukannya moralitas cengeng yang penuh dengan persoalan-persoalan sampingan seperti kehirukpikukan sekitar bahaya narkotika, rambut gondrong dan sebagainya. Moralitas Islam adalah moralitas yang merasa terlibat dengan penderitaan sesama manusia, bukannya yang justeru menghukumi mereka yang menderita itu. Kalau kita sudah memahami arti moralitas yang dibawakan agama sebagai rasa keterlibatan yang digambarkan di atas, nyata pula bahwa moralitas yang seperti itu harus memiliki keutuhan dalam dirinya, tidak terpecah-pecah menjadi dua kepingan masing-masing untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Keutuhan moralitas itu akan membawa integritas yang tinggi dalam sikap dan perbuatan, yang menjadi pertanda dari ketinggian martabat seseorang. Sayang sekali, masih sedikit tokoh-tokoh agama di kalangan kaum muslimin yang memiliki sikap yang utuh. Kalau orang-orang tidak beragama seperti Andrei Sakharov, Pyotr Grigorengko, Andrei Amalrik, dan Yuri Orlov mampu menumbuhkan integritas moral yang tinggi untuk menghadapi maut dan kesengsaraan dalam diri mereka, untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia di Uni Soviet, integritas seperti itu justru sedikit sekali ditemui di kalangan kaum muslimin di mana-mana. Bukan atas nama agamalah para eksponen manikebu menghadapi bahaya di zaman Orla di negeri kita, demikian juga tergesernya beberapa ilmiawan dari jabatan ilmiah mereka dalam lingkungan establishment ilmu pengetahuan kita baru-baru ini, karena berani memprotes terjadinya pemasungan kreativitas. Tak heranlah kalau kita bertanya-tanya, benarkah agama mampu menjadi pendorong bagi pembangunan bangsa yang penuh dengan keharusan berani berkorban untuk kepentingan masa depan? Jawaban atas pertanyaan di atas masih ditunggutunggu dari kalangan pemuka agama khususnya dan kaum muslimin umumnya. Kalau mereka mampu menumbuhkan integritas sikap dan perbuatan yang didukung oleh keutuhan moralitas agama yang merasa terlibat dengan upaya membela si miskin dan memperjuangkan hak-hak asasi manusia, barulah agama Islam akan menjadi relevan dengan pembangunan bangsa. Dalam keadaan demikian eksistensi Islam sendiri menjadi terjamin, karena ia lalu menjadi kebutuhan bagi manusia yang membangun.
* Artikel ini pernah dimuat di Majalah TEMPO pada 17 Juni 1978
7
Kongkow
Surabaya
Jombang
Pengungsi Syi’ah “Mengungsi” Ke Istana
GUSDURian Peduli Bencana Industri
Derita 200 pengungsi syiah yang masih tertahan di GOR Sampang, Madura membawa keprihatinan tersendiri. Diantara jumlah tersebut, 10 aktivis memilih untuk ‘mengungsi’ ke Istana Negara untuk mengadukan nasib mereka kepada Presiden. Rombongan kecil ini menempuh perjalanan 860 kilometer dengan mengayuh sepeda onthel. Para penggowes yang dijenderali oleh aktivis KontraS Surabaya Fatkhul Khoir dengan dukungan Jaringan GUSDURian dan berbagai pihak lainnya mengawali putaran roda sepedanya setelah menziarahi makam KH. Abdurrahman Wahid di Jombang pada 1 Juni lalu. Diprediksikan, 16 hari perjalanan akan menghadapkan mereka ke presiden untuk mengadu. Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian, Alissa Wakhid, telah melakukan koordinasi dengan komunitas GUSDURian di daerah jalur lintas gowes. Sebanyak 15 cek poin yang menjadi titik istirahat mereka akan difasilitasi penuh oleh komunitas ini. Seperti diketahui, nasib ratusan jiwa warga Syiah Sampang diusir dari desanya pada Agustus 2012 lalu. Hingga saat ini mereka belum dapat kembali kerumahnya masing-masing dan terpaksa tinggal di pengungsian. (red)
Komunitas GUSDURian Jombang, Jawa Timur, menilai persoalan bencana industri harus mendapat perhatian serius. Salah satu faktor pertimbangannya, bencana semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo agar tidak terulang kembali. Persoalan tersebut menjadi pembahasan serius dalam Peringatan 7 Tahun Lapindo yang digelar di Grahamedia, Jombang awal Juni lalu. Geolog, Bosman Batubara, MA, menyimpulkan terkait bencana industri perlu diregulasikan. Bosman masalah Lapindo berdampak pada mitigasi bencana, hukum dan HAM, ekonomi serta sosial politik. Alumnus Jurusan Teknik Geologi UGM ini menilai, pemerintah lamban menyelesaikan kasus tersebut lantaran tidak adanya definisi yang pas untuk memahami bencana tersebut. Hingga saat ini, lanjut Bosman, pemerintah memahami semburan lumpur Lapindo di Porong sebagai bencana teknologi. Padahal, Bosman meyakini jika bencana tersebut terjadi akibat kelalaian pekerja Lapindo dalam melakukan pengeboran. Kesalahan berawal dari PT Lapindo Brantas yang tidak memasang chasing pengeboran pada sumur bor Banjar Panji 1. Hal itu, lanjut Bosman, dilakukan untuk menekan biaya pengeboran. (lal)
Jogjakarta
e-newsletter SELASAR /edisi 4/2013
8
Koordinasi Nasional Jaringan GUSDURian Pertumbuhan komunitas baru di berbagai Kabupaten/Kota di Indonesia membuat Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian perlu melakukan koordinasi dan pembahasan terkait kode etik jaringan. Rapat Koodinasi Nasional sendiri digelar di Pendopo LKiS Yogykarta, 16-17 Mei lalu. Hadir dalam kegiatan tersebut ratusan aktivis komunitas GUSDURian dari berbagai kota di Jawa dan luar Jawa serta para pegiat GUSDURian generasi 1, 2 dan 3. Pada pertemuan tersebut dibahas program kerja dan kode etik. Terkait program kerja dan tatanan komunitas, GUSDURian dirasa perlu melakukan database seluruh komunitas yang ada berikut tugas pokok SekNas sebagai induk dari 80 komunitas yang telah terdaftar. Untuk pembahasan kode etik jaringan, salah satu titik poin yang paling penting adalah penegasan bahwa jaringan GUSDURian tidak terlibat dalam politik praktis, termasuk pemberian dukungan kandidat kepala daerah. “Posisi Jaringan GUSDURian berada dibawah Yayasan Bani Abdurrahman Wahid yang tidak ada kaitannya dengan politik praktis,” tegas Koordinator Nasional, Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid. (red)