M e n g g e r a k k a n Tr a d i s i , M e n e g u h k a n I n d o n e s i a
Edisi 10 / Desember 2013
Bulan Gus Dur Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, opini, berita melalui selasar.redaksi@gmail.com. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis. Newsletter ini adalah produk nonprofit.
S
SEKADAR MENDAHULUI
Bulan Gus Dur
D
esember seolah tidak pernah lepas dari kenangan-kenangan besar sepanjang sejarah. Pada bulan ini, Natal menjadi sesuatu yang dinantikan oleh umat Kristiani. Pada bulan ini juga, KH. Abdurrahman Wahid berpulang ke rahmatullah, dan bahkan sekarang, Desember dinobatkan sebagai Bulan Gus Dur oleh banyak kalangan, termasuk media. Kabar duka di tahun ini juga muncul, rekan seperjuangan Gus Dur, pejuang antiapartheid dari Afrika Selatan, Nelson Mandela berpulang. Memperingati semua itu, kami menyajikan secara spesial pada edisi Desember 2013. Tulisan yang kami sajikan adalah buah karya murid-murid Gus Dur. Adalah Ahmad Suaedy dan Nur Khalik Ridwan yang menyajikan wacana apik untuk kita kaji bersama. Untuk melengkapinya, kami juga menambahkan halaman lebih banyak dari edisiedisi sebelumnya. Selamat membaca dan memperingati Bulan Gus Dur.
e-newsletter SELASAR /edisi 10/2013
2
Penanggung jawab
SekNas JGD Penasihat
Alissa QM Wahid Heru Prasetia koordinator Divisi Media JGD
Heru Prasetia
Pemimpin Redaksi
Nabilah Munsyarihah Redaksi
Misbahul Ulum Zahrotien Editor
Abas Z g. Tata letak & Ilustrasi cover
Muhammad Nabil Kontributor
GUSDURian di berbagai daerah Sirkulasi
Manajemen Informasi Jaringan GUSDURian
3
Menggerakkan Tradisi
GUS DUR
&
Antisipasi Sumber
Kebudayaan Islam
Oleh: Ahmad Suaedy
S
alah satu warisan Gus Dur yang jarang atau belum diperhatikan adalah antisipasi perubahan besar peta sumber kebudayaan Islam Indonesia akibat perubahan geopolitik dan ekonomi dunia. Ini sudah diperingati Gus Dur secara intensif sejak dini. Yaitu bangkitnya sumber kebudayaan dunia yang sempat tenggelam pada era kolonial dan paska kolonial. Tentu, boleh jadi, dalam wujud yang sama sekali baru. Para sejarawan menginformasikan, kebudayaan Islam Jawa atau nusantara tidak lain berasal dari tiga puncak kebudayaan dunia pra kolonial, yaitu Persia, Cina dan India. Dari tiga poros inilah sesungguhnya Islam semula diolah sedemikian rupa sebagai sebuah kebudayaan yang matang dan mendalam, kemudian merambah ke Nusantara (kini Indonesia). Di dalamnya termasuk hubungan dagang dan penguasaan akan laut. Beberapa novel Pramudya Ananta Toer mengindikasikan interaksi ini. Dennis Lombard di pihak lain, misalnya, menginformasikan bahwa ketinggian budaya Jawa dan Islam di Nusantara sesungguhnya merupakan pergeseran dari Indochina. Indochina merupakan semacam transito ingredient Islam-Hindu-Buddhis-Animis sebelum ke Jawa. Tentu ada penyebar Islam yang berasal dari Arab langsung, juga orang nusantara yang belajar ke Arab, tetapi perannya tidak sebesar mereka. Konon, tidak satu pun dari sembilan wali di Jawa yang kesohor itu adalah pribumi nusantara. Sebagian besarnya para sufi berasal dari tiga poros tersebut. Penundukan Barat (Eropa dan Amerika), atas sebagian besar pusat-pusat Islam seperti Saudi Arabia, Mesir, Afghanistan,
Ilustrasi: Muhammad Nabil
e-newsletter SELASAR /edisi 10/2013
4
Turki menempatkan mereka sebagai sumber alternatif utama Islam nusantara dari sebelumnya. Kombinasi antara modernisasi Barat yang sentralistik dan Arab yang anti kebudayaan menggantikan sumber-sumber kebudayaan Indonesia yang kaya kombinasi spiritual sufistik yang mendalam dan keterampilan berdagang. Sumber utama kebudayaan Islam Indonesia pra kolonial tersebut lantas nyaris hilang dari memory umat Islam Indonesia. Namun kini, Iran, Cina dan India siap menantang dominasi Barat. Apa reaksi Islam Indonesia? *** Sewaktu menjadi presiden, Gus Dur bukan hanya merancang suatu poros dagang (sesungguhnya politik dan kebudayaan juga) Jakarta-Peking-New Delhi tetapi sebelumnya Gus Dur sudah sering mengintroduksi peranan Indochina sebagai sumber kebudayaan Islam Indonesia. Indochina terletak di halaman depan Cina dan halaman belakang India. Sedangkan dalam perspektif Asia Tenggara sekarang, Indochina yang dominan Buddhis adalah mainland sementara Indonesia dan sekitarnya yang dominan Islam adalah semenanjung. Karena itu, Islam dan Buddhisme sesungguhnya, dengan segala dinamikanya, adalah dua basis utama kebudayaan Asia Tenggara kini. Gus Dur sering memperkenalkan Cham atau Campa, bahkan dia sendiri mengaku sebagai keturunan putri Champa. Cham adalah kerajaan besar Hindu sejaman dengan hegemoni Majapahit di Jawa dan Sriwijaya di Sumatera yang ditundukkan oleh Angkor di Kamboja, yang kemudian timbul kembali. Pada kemunculan kedua inilah dikuasai oleh Islam, sebelum kemudian dihabisi oleh kerajaan Viet di Vietnam. Betapa kuatnya Islam dalam masyarakat Cham, meskipun hanya sebagai nama kerajaan dan bukan sejenis etnis atau ras, tetapi penduduk wilayah itu yang kemudian terpencar karena aksi bumi hangus Viet, juga yang tertinggal di sekitarnya, menyebut dirinya sebagai Cham: setara degan etnis atau ras. Sebuah situs overseas milik jaringan orang-orang Cham mengumumkan secara agak aneh: barang siapa yang merasa keturunan penduduk dari kerajaan Cham diminta mendaftarkan diri ke situs yang
berpusat di California itu. Kerajaan Cham telah dibumihanguskan sejak abad ke-18 tetapi penduduknya masih mengakui sebagai keturunan mereka. Jika disebut kata Cham maka hampir selalu berkonotasi Muslim meskipun sebagian kecilnya beragama Hindu. Islam melewati tiga poros dunia tersebut, dengan demikian, tidak hanya numpang lewat melainkan terlebih dahulu menaklukkan pusat kekuasaan dan menguasai rakyatnya. Islam tampil bukan hanya dalam bentuk kekuasaan melainkan menjadi tradisi dan spiritual yang menghunjam ke dalam masyarakat dengan sangat dalam. Taj Mahal, salah satu warisan kebudayaan Islam yang sangat tinggi di India, misalnya, hanyalah sebuah simbol fisik. Lebih dari itu tradisi kehidupan dan spiritual masyarakatnya di wilayah itu jauh lebih dalam. Jangan lupa bahwa India kini masih tercatat sebagai Negara dengan penduduk Muslim terbesar kedua di dunia setelah Indonesia, di atas Negara-negara Timur Tengah sekalipun. *** Dinamika politik di Indochina, Kamboja, Vietnam, Laos, Myanmar juga Thailand sebagai bagian dari arus globalisasi, di mana Islam masuk sebagai bagian dari dinamika tersebut, selayaknya mengingatkan kita pada antisipasi Gus Dur tersebut. Tidak seperti masa pra kolonial di mana Indochina sebagai transito Islam, kini justru Indonesia sebagai pusat Islam itu sendiri. Para pewaris visi perdamaian Gus Dur perlunya memperkuat, bukan hanya mengingat, kembali secara sengaja dan sistematis dialog Islam yang bersifat kawasan dan antar kebudayaan dan keagamaan --dengan seluruh dimensinya-- untuk diarahkan ke kawasan tersebut.***
Bendungan Jatiluhur, 30 November 2013 Coordinator Abdurrahman Wahid Centre for Inter-Faith Dialogue and Peace (AWCentre-UI) 3rd Floor Library Building, Universitas Indonesia (UI), Depok Campus, INDONESIAÂ Phone: +62-811193248; Email: suaedy@gusdur.net; awcentre.ui@gmail.com Website: awcentre.ui.ac.id/
5
Menggerakkan Tradisi
Refleksi 4 tahun Meninggalnya Gus Dur
Dinamisme Sang
E
Oleh Nur Khalik Ridwan*
Guru Bangsa
mpat tahun lalu, tepatnya 30 Desember 2009, Gus Dur telah menggenapi takdirnya “menghadap Rabbil `Alamin”, meminjam istilah al-Ghazali dalam Minhâjul `Âbidîn. Gus Dur dimakamkan di kompleks pemakaman pesantren Tebuireng, Jombang. Makamnya terus diziarahi oleh masyarakat dari berbagai lapisan hingga saat ini. Tidak terasa, sudah 4 tahun Gus Dur “meninggalkan fisik” Bangsa Indonesia. Bagi penulis, tidak penting Gus Dur diangkat sebagai pahlawan nasional atau tidak. Bagi bangsa Indonesia, eksistensi, pemikiran, dan tradisi dinamisnya, telah melampaui itu semua: menempatkannya sebagai guru bangsa. Tulisan ini ingin mengenang sosok Gus Dur dari satu segi, yaitu dasar-dasar pemikirannya yang dinamis sebagai guru bangsa. Tentang ini, Greg Barton menyebut dasar pemikiran dinamis Gus Dur adalah humanitarianisme-liberal. Dua hal utama yang mendorong humanitarianisme di dalam pemikiran Gus Dur disebutkan: rasionalitas dan keyakinan bahwa melalui usaha rasional terus menerus, Islam lebih dari sekadar mampu menjawab tantangan modernitas (Greg Fealy dan Greg Barton, 1997: 169). Tidak sedikit kemudian yang menjuluki Gus Dur, baik karena mengagumi atau memusuhinya sebagai guru bangsa, dengan istilah “muslim liberal”, terlepas beberapa kategori ini menimbulkan kerancuan. Menurut penulis, memang aspek-aspek perhatian Gus Dur terhadap harmoni sosial, toleransi, kebebasan berpendapat, dan hak-hak minoritas, tidaklah diragukan sama sekali. Apakah itu diambil dari nilai liberal, adalah suatu yang tidak sederhana, karena Gus Dur melihat Islam dalam pemahamannya mampu menjembatani aspek-aspek kemanusiaan itu. Karenanya, dasar-dasar dinamis Gus Dur
e-newsletter SELASAR /edisi 10/2013
6
dikaitkan dengan humanitarianisme-liberal, sama sekali tidak mewakili aspek yang lebih luas dari sosok Gus Dur, bahkan sebuah kesalahan. Kalau dilihat dari pemikiran Gus Dur secara lebih luas sebagai guru bangsa, tendens dan dasar-dasar pemikiran dinamisnya, bukanlah nilai-nilai liberal. Nilai-nilai positif dari liberalisme hanya satu bagian saja yang diserap Gus Dur: itupun sudah tidak dalam label nilai liberal, tetapi dipahaminya dari pemahaman tradisi Islam. Lebih dari itu, Gus Dur mengemukakan banyak segi pemikirannya dalam kerangka besar yang disebutnya “nilainilai Indonesia”. Baginya nilai yang disebut “paling Indonesia” di antara semua nilai yang diikuti oleh warga bangsa ini adalah “pencarian tidak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali dengan masa lampau kita” (Gus Dur, 2007: 153-163). Nilai yang demikian ini menurutnya menampilkan watak kosmopolitan, yang diimbangi rasa keagamaan yang kuat (dan Gus Dur berasal dari nilai-nilai Sunni dengan tauhid sebagai porosnya), dan kesediaan untuk mencoba gagasan-gagasan tentang pengaturan masyarakat yang lebih luas; dengan tetap berpijak pada kerendahan hati yang timbul dari kesadaran akan kekuatan dasar masyarakat tradisi untuk mempertahankan diri di tengah perubahan, berhadapan dengan kenyataan perubahan. Gus Dur menerjemahkan nilai “paling Indonesia” itu untuk konsumsi masyarakat yang lebih luas, dari konsep sederhana yang berkembang di pesantren, yaitu al-muhâfazhah `alâ al-qadîm ash-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh (menjaga hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Dengan konsep inilah pengembangan masyarakat dan
kondisi sosial senantiasa diterima, termasuk adalah penafsiran orisinil dan penggalian masa dalam pemikiran, tetapi dengan tetap berpijak lalu untuk menyelesaikan masalah-masalah pada tradisi yang berkesinambungan. dan perkembangan masa kini. Di sini kaum Tentu saja, Gus Dur juga menyadari muslimin dituntut untuk merumuskan kembali aspek-aspek penggalian nilai Indonesia itu arti Islam bagi kehidupan umat manusia, yang dari sejarah nusantara seperti tampak dalam justru disediakan oleh Islam itu sendiri, tanpa buku Membaca Sejarah Nusantara (2010). harus dalam kerangka negara Islam. Dalam penaggalian sejarah nusantara, Gus Jauh lebih penting, sebagai seorang Dur menyadarai aspek penting kecenderungan santri, Gus Dur menginginkan Islam yang masyarakat nusantara untuk menerima demikian adalah Islam yang memiliki segi-segi positif dari luar, tetapi juga tetap kontribusi bagi penyelesaian masalah nasional berpegang pada tradisi yang ada. Aspek di Indonesia. Oleh karena itu, menurutnya tradisi ini tidak dipotong sama sekali. Bahkan, “kalau kita berbicara umat, tidak bisa lepas nilai al-muhâfazhah `alâ al-qadîm ash-shâlih dari bangsa dan negara kita secara keluruhan. wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh yang Ini yang harus kita ingat…” Dari jurusan ini, ada di kalangan pesantren NU, merupakan ditambah aspek pengembangan nilai-nilai pengayaan dari aspek-aspek dan pengalamn Indonesia di atas, Gus Dur lagi-lagi lebih tradisi pesantren di kalangan NU di tengah tampak sebagai seorang santri nasionalis; dan masyarakat nusantara. keberpihakannya pada aspek-aspek masalah Lebih dari itu, Gus rakyat, menjelaskan tendens Dur adalah seorang santri, kerakyatannya. ”meneruskan dan karenanya dasarBukan hanya itu, sebagai tradisi secara dasar dinamisnya juga seorang muslim, Gus Dur tetap dinamis jauh lebih bersumber dari nilai-nilai melaksanakan tradisi shalat, Islam. Dalam soal ini Gus berziarah ke makam leluhur, berat dan sukar Dur mengemukakan dalam daripada membuat wirid, shalawatan, tawasul, kerangka seorang yang beberapa anak muda diminta tradisi itu sendiri” berfondasikan Sunni Asy`ari, secara kahusus mendawamkan yang menghargai peranan shalat, tahlilan, dan sejenisnya. (2010: 76) perbuatan manusia dalam Ini menunjukkan dengan iktisabnya, tetapi juga melihat ada kekuasaan terang benderang bahwa Gus Dur bukan yang lebih kuat dari Yang Maha Kuasa yang seorang yang berangkat dari dasar-dasar menentukan takdir manusia. Dalam kerangka humanitarianisme-liberal dalam tradisi Barat, itu, Gus Dur berupaya dengan usahanya untuk meskipun nilai-nilai positifnya diterima. memimpikan “kebangakitan Islam” di dalam Jadi, sebagai guru bangsa, Gus Dur arus perubahan dunia. adalah seorang muslim, yang hidup dan Apa yang diinginkannya adalah diairi dalam tradisi santri di Indonesia; dan penafsiran kembali tentang apa yang disebut karena hidup di tanah air Indonesia, Gus kebangkitan Islam yang dikaitkan dengan Dur terpanggil untuk juga berbicara tentang upaya mendinamiskan tradisi Islam, dan pada masalah-masalah rakyat; dan karena ia seorang saat yang sama itu hanya akan terjadi, kalau manusia dan Indonesia bagian dari dunia, Gus Islam terlibat dalam persoalan-persoslan riil Dur juga inheren berbicara tentang nilai-nilai masyarakat. Harus ada upaya massif kalangan kemanusiaan, sekaligus meneriakan keadilan Islam untuk memecahkan persoalan-persoalan tatanan global. Mewujudkan kemajuan dalam dasar manusia, dengan tetap berpijak pada pengertian itu semua adalah sebuah jihad. tradisi. Wallâhu a’lam. Dalam agenda demikian itu, menurut Gus Dur justru ”meneruskan tradisi secara dinamis jauh lebih berat dan sukar daripada membuat tradisi itu sendiri” (2010: 76). *)Nur Khalik Ridwan, penulis buku “Gus Dur dan Negara Pancasila” (2010), dan “Suluk Gus Dur (2013). Karenanya, kebangkitan Islam bagi Gus Dur
7
e-newsletter SELASAR /edisi 10/2013
8
design by: Morenk Beladro
9
Foto: Nabilah Munsyarihah
Forum Imam Aziz:
Pejuang Rekonsiliasi dan HAM
T
ertanggal 26 Maret 2000, melalui wawancaranya di Forum Keadilan, Pramoedya Ananta Toer dengan tegas menolak rekonsiliasi. Permintaan maaf Gus Dur kepada para korban kesewenang-wenangan Peristiwa 65 dijawab Pram dengan, “gampang amat!”. Sepekan kemudian, Goenawan Mohammad (GM) turut menyesalkan penolakan permintaan maaf itu dalam rubrik Kolom Tempo. Pram pun menjawab GM dengan menyangsikan permintaan maaf Gus Dur sebagai basa-basi. “Sekalipun dalam kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa meminta maaf. Negara ini mempunyai lembaga-lembaga perwakilan, dan biarkan lembaga negara seperti DPR dan MPR mengatakannya. Bukan Gus Dur yang harus mengatakan itu. Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan,” tulisnya.
e-newsletter SELASAR /edisi 10/2013
10
Penderitaan sebagai korban Peristiwa 65 tampak begitu membekas dalam diri Pram. Hingga kini, persoalanan terkait Peristiwa 65 belum terselesaikan dengan tuntas. Oleh karena itulah, Imam Aziz mendirikan Syarikat pada tahun 2001 untuk mengurai kekusutan itu. “Awalnya, programnya hanya penelitian tentang Peristiwa 65,” tutur Ketua PBNU itu. Syarikat mencoba mengklarifikasi Peristiwa itu dari berbagai pihak yang terkait. “Agar kita dapat jernih menilainya,” imbuhnya. Selain itu, juga dilakukan rehabilitasi para korban Peristiwa tersebut, baik dari pihak PKI, NU, dlsb. “Nah, baru setelah itu institutional reform, baik itu negara maupun undangundangnya yang melanggar HAM,” pungkasnya saat ditemui Tim Selasar usai memberikan materi Sekolah Pemikiran Gus Dur di Lkis pada Minggu (1/12) lalu. (*)
Pergulatan
Bulan (untuk) Gus Dur
D
esember dinobatkan sebagai bulan Gus Dur oleh banyak kalangan, termasuk media massa yang menyediakan space khusus untuk menampung tulisan-tulisan tentang mantan Presiden keempat Republik Indonesia ini secara khusus selama satu bulan. Tulisan-tulisan dan kajian-kajian tentang Gus Dur tersebut cukup menggembirakan karena menampung banyak hal yang terlupakan dari sosok mantan Ketua PBNU ini, termasuk sepak terjang dan guyonan yang menjadi ciri khasnya. GUSDURian juga demikian, sebagai generasi penerus perjuangan suami dari Shinta Nuriyah ini dalam bidang diluar politik praktis, juga memperingatinya. Banyak hal yang dilakukan oleh masing-masing komunitas didaerah, termasuk berdirinya sejumlah komunitas baru seperti di Manado. Peringatan dalam bentuk seremoni penting sebagai upaya mempopulerkan kembali apa yang dulu telah diperjuangkan Gus Dur. Tetapi mengambil makna dibalik semua itu adalah yang paling penting. Yakni, menentukan
kembali langkah gerakan kita untuk semakin maju dan berkembang. Seperti titik nol, mencapai bulan Desember, seolah kita sudah berada di puncak peringatan, dan akan kembali pada titik start di bulan berikutnya. Adalah sangat baik ketika pada penghujung tahun juga terdapat semacam ide-ide baru yang digagas untuk setahun kedepan, tentunya dalam bidang melanjutkan perjuangan Gus Dur. Memperbaharui konsep perjuangan adalah contohnya. Zaman semakin bergulir menuju kemajuan, dinamika masyarakat juga semakin bergeser tatanannya. Untuk itu, mencari langkah-langkah dan strategi baru juga sepertinya perlu kita lakukan sehingga tujuan dari perjuangan kita menegakkan 9 nilai dasar GUSDURian tercapai dengan sempurna. Desember adalah akhir tahun, menuju tahun baru dan menuju strategi baru untuk semakin berkembang dan maju. Selamat Bulan Desember, Selamat Bulan Gus Dur, selamat Natal dan selamat menikmati akhir tahun. (*)
Mati ketawa
Dicium Artis Cantik
M
agnet sense of humor Gus Dur yang tinggi membuat kesengsem salah satu artis cantik saat hadir dalam suatu acara di rumah salah seorang pengasuh Pondok Kajen. Saking gemesnya, artis itu dengan santai langsung ngesun (mencium) pipi Gus Dur tanpa pakai kulo nuwun alias permisi. Kisah ini diceritakan Gus Mus, kiai kharismatik asal Rembang, Jawa Tengah. Menurut Gus Mus, aksi artis cantik itu jelas membuat beberapa di antara mereka yang hadir langsung kaget dan bingung. Siapa yang kuat ngeliat kiat nyentrik cuma diem aja disun (dicium) artis cantik. Tak lama kemudian begitu sudah agak sepi, Gus Mus yang sedang di antara mereka, langsung numpahin sederet kalimat yang sudah dari tadi cuma bisa disimpan dalam hati. “Loh Gus, kok Gus Dur diam saja sih disun sama perempuan?� ujar Gus Mus. Dengan santai dan silakan bayangin sendiri gayanya, Gus Dur malah ngasih jawaban sepele. “Lha wong saya kan nggak bisa lihat. Ya mbok sampeyan jangan kepingin,� ujar Gus Dur. (*)
11
Resolusi Jihad Jilid II
R
Jombang yang digelar di Aula Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang yang dilaksanakan pada tanggal 7-8 Desember lalu. “Kami akan mendeklarasikan ini di seluruh Indonesia dengan Jombang sebagai titik start kami,” tandas pria yang koordinator GUSDURian Jawa Timur ini. (*)
Foto: Liputan6.com
Yogyakarta
esolusi jihad dikumandangkan pertama kali oleh Nahdlatul Ulama untuk mencapai kemerdekaan Indonesia seutuhnya. Dalam hal itu, seluruh umat Islam rela mengorbankan apapun yang dimiliki untuk berperang fisik melawan tentara Belanda. Kini, setelah Tentara Belanda pergi, perjuangan belum berakhir, problematika baru bermunculan dan perlu dilakukan penyelesaian. Front Nahdhiyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FN-KSDA) mendeklarasikan Resolusi Jihad Jilid II sebagai upaya perjuangan terhadap bentuk penjajahan baru (Kapitalisme ekstraktif). “Langkah ini kami ambil sebagai upaya penyelamatan lingkungan dari ekspolitasi secara terus menerus dan berbagai hal yang menyangkut kedaulatan sumber daya alam,” kata Koordinator FN-KSDA, Aan Anshori. Ia mengatakan hal tersebut pada rapat akbar
Foto: Dokumen panitia
Konkow
Peringati Haul Gus Dur dengan Kirab dan Orasi Budaya
P
eringatan haul ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Yogyakarta berlangsung meriah, Senin (16/12). Hadir dalam acara bertema “Napak Tilas Perjalanan Gus Dur dalam Merawat Kebhinnekaan” ini warga dari berbagai komunitas dan pemeluk agama. Rangkaian perhelatan haul dimulai sejak pukul 15.00 WIB dengan melakukan kirab budaya dari gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta menuju Monumen Serangan Umum 1 Maret. Malamnya, berbagai tokoh lintas agama bergantian membaca puisi dan menyampaikan orasi budaya untuk mengenang Gus Dur. Dalam orasinya, istri Gus Dur, Ny Hj Shinta
Nuriyah Abdurrahman Wahid mengatakan, semakin banyaknya orang yang meneruskan perjuangan Gus Dur membuat presiden ke-4 ini terus serasa di tengah-tengah masyarakat. “Gus Dur itu adalah oase yang menjadi sumber mata air bagi kehidupan. Kita semua punya tugas penting untuk menjaga sumber ini, agar selalu mengalir dan memebrikan kehidupan bagi manusia,” ujarnya. Haul Gus Dur juga digelar di kediamannya Ciganjur Jakarta (28/12) dan Pondok Pesantren Tebuireng (3/1) awal tahun mendatang. (diolah dari nu online)