“Melalui utopia arsitektur b sebagai proyek rancangan p individual. Ia ingin berpikir nyempurnakan� masa depa semua. Ia menjadi pemikira (Marco Kusumawijaya, 200 jongArsitek!
jongarsitek@gmail.com
Selamat menikmati.. Desain menginspirasi
Except where otherwise noted, content on this magazine is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License
jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i
berhenti pesanan r “mean untuk an� 09)
3
photo : kezia paramita
JongEDITORIAL! oleh : Danny Wicaksono
bantuan berbagai pihak) di pamerkan dengan baik, di Galeri Salihara, Jakarta. Kedepannya kami berencana untuk membawa materi ini untuk keliling Indonesia. Jadi jika ada rekan-rekan yang ingin agar materi pameran ini hadir di kotanya, bisa langsung menghubungi kami. Kembali ke edisi ini. jongEditorial
Seperti yang sudah-sudah, kami selalu Mohon maaf untuk absennya kami selama 4 bulan membawakan tulisan-tulisan dari para pemikir muda arsitektur Indonesia. Edisi ini terakhir ini. pun tidak berbeda. Masih tetap segar, tetap Tetapi bukan berarti dengan absen selama 4 bulan mentah, dan mudah-mudahan (bisa) tetap memprovokasi dan menginspirasi. ini, kami tidak produktif. ;) Selama 4 bulan kemarin, 2 editor jongArsitek! Setelah 4 bulan, selamat menikmati jongAr(Saya, dan Paskalis Khrisno Ayodyantoro) ber- sitek! lagi. sama Avianti Armand, Marco Kusumawijaya, Jay Subijakto, Adi Purnomo dan 81 arsitek muda indonesia lainnya, yang terbagi dalam 14 kelompok, terlibat dalam sebuah workshop untuk arsitek-arsitek muda. Workshopnya sendiri berjudul “Ruang Danny Wicaksono Tinggal Dalam Kota�. Workshop yang di-inisiasi oleh jongArsitek! dan Avianti Armand ini bertujuan untuk melihat kembali kemungkinan-kemungkinan ruang tinggal yang bisa hadir di dalam konteks urban, ketika pola kehidupan berkota sudah berkembang sangat jauh. Selain itu, workshop ini juga ingin mengajak arsitek-arsitek muda untuk lebih dalam berpikir, dan terlibat secara intelektual dalam perkembangan budaya bangun kontemporer bangsa ini. Workshop yang juga diselenggarakan untuk memperingati 20 tahun AMI ini sendiri telah (dengan
Kontributor
jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i
tanpa basa basi, anda bisa mengecek profil mereka langsung ke Facebook dan media sosialweb lainnya.
Avianti Armand Farid Rakun Danny Wicaksono http://www.facebook.com/pro-http://www.facebook.com/pro- http://fairdkun.multiply.com/ file.php?id=1375534065 file.php?id=537977711
lindung soemarhadi http://www.flickr.com/photos/ lindung_soemarhadi/
Rafael Arsono http://www.facebook.com/ profile.php?id=1395037422
Paskalis Khrisno Ayodyantoro Realrich Syarief http://www.facebook.com/re- http://www.facebook.com/ profile.php?id=1395037422 alrich
p4
p20
sambutan dari redaksi kita
“The Visionary” dan “The Builder”
jongEditorial
p8
jongFoto
jongTulisan
p14
jongKarya Learning Paradise
jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i
p10
p30
Note of Respect!
Arsitektur Nusantara
jongTulisan
jongTulisan
p24
p36
Oxymoronic Geniuses
Bengkel Kerja
jongTulisan
jongKuratorial
8
lindung soemarhadi
jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i
Marina bay sands, singapore Marina bay sands is a new type of urban place that integrates the waterfront promenade with a grand, multi-leveled retail arcade combining civic space, shopping, indoor and outdoor spaces endowed with city skyline views, daylight and plant life, providing an abundance and variety of activities. It is a place that is vibrant and dynamic, a place that transforms from hour to hour, from day to night, and is evocative of the great urban places. It is here that the imaginings of a global city become a reality. Marina bay sands, to be open in 2009, will feature three 50-story hotel towers containing 1,000 rooms each, crowned by a two acre sky garden bridging across the towers, offering 360-degree views of the city and the sea, outdoor amenities for the hotel such as jogging paths, swimming pools, spas, and gardens; an iconic arts and sciences museum on the promontory; one-million square feet of integrated waterside promenade and shopping arcade; a state-of-the art one-million square foot convention center; two 2,000-seat theaters; a casino; and a 4,000 car garage.(Http:// www.Themarinabaysands.Com.Sg/) --
10
NOTES OF RESPECT! jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i
Rafael Arsono
My journey now has come to a point where architecture is about character & personality. And moreover it is about the personality of the architect. As I’m writing now, I’m sitting in Plaza Fuente de las Batallas, a decent plaza couple blocks away to the east from Granada Cathedral. It has fountains designed in an antique style, the plaza surrounded by shops and restaurant with the coffeetable set sprawling the plaza. Hotel Zaida, which renovated by Portuguese respectable architect, Alvaro Siza, seems to be the only newly refurbished building in the background. What an ordinary classical European plaza can offer in a bright summer evening anyway?? The people like it. The fountain is visible from many directions, so it’s just at the right position to attract people in a terrific way. At the same time the splash coming out of it gives sort of comfort cooling for the 35 degrees summer weather. Everybody gathers there, parents with their children, couples, youngsters passing by, and mostly
grandma & grandpa take a rest and have a chat with neighbor which I suppose they live nearby. The plaza covered by polished orange marble, which I guess came from around the town. The plaza opens to many points, at one side blend to another plaza, and underneath it there is a parking lot. It seems to me that the place became a rendezvous spot. At 21.30 the lighting on the fountains turns on, giving elegant and soft welcome to the night as the sun fade away. The key is, everything is working! Each element in the location doesn’t act too much to speak for itself. The plaza, the shops, the fountains, the benches, the hotel play they role in a very justenough part, together they define harmony. If you cut the element piece by piece, if you see only the buildings you directly say nothing special about them. But if you see them as a whole, they just work.
11
It’s peaceful to enjoy a place with no elements overwhelming each others.
12
Imagine for a while if the fountain designed with a fancy-red sculpture in the middle of it, the old people who gather there most of the time probably won’t like it, people doesn’t feel familiar with it. Hence, they might look for another place to hang out. Hotel Zaida, by the way, renovated in a very modest way that you cannot see it was touched by Siza. Certainly not his best work, Siza’s stroke can be considered weak, nothing special. Lower part of the building is covered by grey stone, and the upper part paint in white, nothing fancy with the windows. Just the way it is. White modernist building often results a stand apart from the surrounding, especially in classical one. But this one is decent, seems fade away (or should I say blend), that when you are sitting there, you even didn’t notice the building. I assume Siza did realize he didn’t want to speak up loud. I appreciate his humble approach as I enjoyed the plaza as a whole. You see the intention is not to draw attention.
jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i
13 The value that we should learn is, architecture is live by the surroundings. The identity of a design comes from a collective way of understanding a place. Sometime architecture demand features, a newness. But never forget that most of the time architecture is about being proper and respectful. These are what we can and should learn from vernaculars, making something that belongs and has to work within an environment. An environment which particular and where ones obliged to read and interpret by themselves. Maybe I was over-rating, surely my justification came out of a subjective matter, or because I am growing older (?). But you can’t beat this enjoyable feeling. I’m pretty sure that we shall underline ourselves when it comes to designing, that is, architecture is about balancing oneself whether he/ she doing too much, too less, or just enough. Granada 29 July 2009 Rafael Arsono
14
LEARNING PARADISE Desain Kompleks Vokasi Universitas Indonesia Realrich Syarief Konsep desain kompleks vokasi UI ini didasarkan pertimbangan atas 3 aspek, pertama, desain bangunan yang sesuai dengan iklim tropis. Kedua, desain bangunan yang kontekstual dengan pencitraan ui, dan ketiga, desain bangunan yang mampu memanfaatkan potensi lahan semaksimal mungkin. Penataan masterplan didasarkan dari penempatan ‘learning promenade’ di axis utama lahan yang menghubungkan node potensial transit oriented development dari Universitas Indonesia di titik selatan dengan node potensial titik wisata air amphi teater yang ada di sisi utara .
Ide perancan dari 3 noda u gan sungai y bagian intera titik pusat pe merupakan a
Pembagian in dengan angg hokum, dan v gelompokkan dan ilmu - ilm dengan gedu berdasarkan hasiswa di ta
jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i
ngan dari kompleks Vokasi UI merupakan rangkaian utama yaitu, - Kondisi eksisting yang berbatasan denyang membelah dari utara ke selatan yang menjadi aksi dengan air, - Jalan disisi selatan yang merupakan erhentian bus kampus dan - Jalan di sisi barat yang area servis GKU dan parkir belakang.
ni didasarkan dari pembagian fungsi-fungsi terbesar gota terbesar, seperti kedokteran dengan p’rodi baru, vokasi campuran. Hirarki ini juga didasarkan dari penn dari ilmu manusia [kedokteran], ilmu etika [hukum], mu umum dengan menghubungkan keseluruhan fungsi ung kuliah umum. Susunan pengelompokkan diatur besaran ruang yang diestimasikan dengan jumlah maahun 2013 sejumlah 11700 orang.
15
Konsep desain kompleks vokasi UI ini didasarkan pertimbangan atas 3 aspek, pertama, desain bangunan yang sesuai dengan iklim tropis. Kedua, desain bangunan yang kontekstual dengan pencitraan ui, dan ketiga, desain bangunan yang mampu memanfaatkan potensi lahan semaksimal mungkin. Penataan masterplan didasarkan dari penempatan ‘learning promenade’ di axis utama lahan yang menghubungkan node potensial transit oriented development dari Universitas Indonesia di titik selatan dengan node potensial titik wisata air amphi teater yang ada di sisi utara. Di sepanjang learning promenade ini diletakkan fungsi – fungsi un-
16
tuk mengaktifasi kehidupan kampus vokasi. Di sini ada mahasiswa yang membaca buku di perpustakaan linear sepanjang learning promenade, disini ada juga cafĂŠ untuk para mahasiswa dan dosen berinteraksi, potensi landsekap yang mengikuti kontur juga bisa di optimalkan.Daerah kompleks vokasi ini juga akan rimbun akan pepohonan diantara massa yang menghadap utara dan selatan sehingga bayangan yang ada akan mereduksi panas dari sinar matahari di lantai dasar. Vista yang terbentuk ketika memasuki kompleks vokasi dari arah selatan terbentuk dari 3 elemen yaitu : vista menuju amphiteater air, vista transparansi massa gedung perpustakaan di sisi barat juga vista cafĂŠ menuju sungai dengan wisata air, dan vista di sebelah barat berupa alokasi lahan untuk taman obat dari geprogram kedokteran. Bangunan - bangunan penunjang seperti massa lobby utama diletakkan sepanjang boulevard yang diperuntukkan untuk galeri utama. Massa - massa dihubungkan dengan selasar yang dilengkapi dengan kanopi sedangkan di sisi selatan, diletakkan akomodasi hunian mahasiswa berlantai tingkat rendah dengan aksesibilitas menuju ke kampus vokasi UI. Daerah landsekap didesain sesuai eksisting dari kampus UI dengan orientasi aktifitas terhadap sungai dengan menghubungkan sisi timur sungai dengan
lahan melalui rangkaian jembatan untuk akses pejalan kaki. Lahan parkir diletakkan di sisi barat kompleks Vokasi UI. ‘Bangunan - bangunan di kompleks Vokasi UI juga didesain dengan menggunakan arah orientasi bangunan Utara - Selatan yang sesuai dengan iklim tropis. Keadaan ini meminimalisasi cahaya matahari langsung yang masuk ke bangunan. Bangunan ini menggunakan konstruksi baja, penggunaan solar panel pada sisi atas bangunan, dan wind turbine di sisi dalam bangunan. Penggunaan batu bata juga mendinginkan suhu bangunan disamping meminimalisasi carbon foot print dengan penggunaan bahan yang reusable. Glenn Murcutt pernah berkata “The light and sounds of land are already there I just make the instrument make the instruments that allow people to perceive these natural qualities.� Demikian juga perencanaan vokasi ini yaitu berusaha menjawab sebaik mungkin apa yang dibutuhkan oleh program studi Vokasi UI dengan tepat melalui pengolahan potensi konteks lingkungan yang ada. Ketua tim : Realrich Sjarief, ST. IAI. Anggota tim : Dicke Nazary Akbar Lubis, ST.
jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i
17
18
jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i
19
THE VISIONARY DAN THE BUILDER 20
Danny Wicaksono Keyakinan seorang arsitek terhadap arsitektur, pada satu titik krusial, akan mempengaruhi sikap, jalan, jenis, dan kualitas arsitektur yang akan dihasilkan olehnya. Keyakinan ini bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan oleh siapapun, melainkan datang lewat pemahaman atas banyak hal yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh arsitektur. Pemahaman tentang sejarah panjang perjalanan arsitektur, wawasan seni dan kebudayaan, keberpihakan atas situasi sosial, maupun kepekaan dalam melihat hal-hal dalam keseharian, hanyalah sedikit dari banyak variabel kehidupan yang kemudian dapat membentuk keyakinan arsitektur seorang arsitek.
jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i Sangat menyenangkan jika kita bisa menyadari keberadaan, banyaknya ragam keyakinan arsitektur yang kemudian mewujud menjadi arsitektur yang terbangun. Memahami sikap-sikap desain, jauh lebih mendalam dari sekedar apa yang kasat mata. Mengerti maksud dari setiap langkah dan membaca latar belakang semua keputusan pengambilan langkah-langkah itu, lewat analisa kritis yang melatih rasionalitas arsitektur kita. Presedenpreseden yang, jika dapat kita kontrol, akan dapat membantu kita, menemukan arsitektur kita sendiri. Hal ini adalah sebuah perjalanan. Proses. Tidak akan pernah instan, dan memang tidak boleh instan. Biarkan semua peristiwa teralami lewat kegagalan dan semangat untuk tidak pernah menyerah. Renzo Piano pernah berkata, bahwa arsitek itu seharusnya hidup 200 tahun, karena mereka menghabiskan 60 tahun pertama dalam hidup mereka untuk belajar. Proses ini (sampai titik ini) membawa saya untuk melihat 2 kutub besar dalam arsitektur. Mereka yang saya sebut “The Visionary� dan “The Builder�. Mungkin Ini hal yang agak terlalu tergesa, karena ada ribuan arsitek dan hampir mustahil mengeneralisir sesuatu yang seperti ini. Tapi saya akan mengambil kecendrungan arsitektur yang terjadi sejak awal abad ke-21, dan Pritzker Prize adalah shortlistnya. Pritzker Prize di periode 2000-2009 memunculkan para arsitek terbaik dekade ini. Zaha Hadid, arsitek wanita pertama yang pernah memenangkan penghargaan ini. Paulo Mendes da Rocha, brutalis dari Brazil. Jacques Herzog & Pierre De Meuron, Thom Mayne, Jorn Utzon, Jean Nouvel, semua adalah yang terbaik. Tanpa sedikit pun ragu. Tapi saya tidak bisa menampik, bahwa yang paling menarik untuk saya pelajari adalah Rem Koolhaas (Pritzker Prize tahun 2000) dan peraih Pritzker Prize tahun 2009, Peter Zumthor. kiri : bruderklaus, Peter Zumthor, diambil dari http:// www.flickr.com/photos/arnout-fonck/2919192019/in/poolbruder-klaus-kapelle Atas: bruderklaus, Peter Zumthor, diambil dari http://www. flickr.com/photos/thom_mckenzie/3262898219/in/poolbruder-klaus-kapelle Bawah: Thermal bath, Peter Zumthor
21
22
Rem Koolhaas, adalah arsitek yang menurut saya bertanggung jawab untuk semua revolusi arsitektur yang terjadi di abad ke-21. Visioner sejati yang karya arsitekturnya tidak hanya dalam bentuk bangunan. Pernah masuk ke dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia, Rem Koolhaas bisa jadi adalah seorang arsitek yang paling terkenal di muka bumi ini, dengan bangunan-bangunan yang menentang konvensionalitas dan tercipta lewat konflik atas ruang. Peter Zumthor adalah seorang arsitek rendah hati dari Swiss. Dengan rasionalitas arsitektur yang sangat terjaga, dan kemampuan diatas rata-rata untuk mengontrol diri dan arsitekturnya. Beberapa menyebutnya “The Hermit Architect from Haldenstein” (Arsitek pertapa dari Haldenstein) Mengapa membandingkan mereka menarik untuk dijadikan sebuah proses pembelajaran? Karena bagi saya, mereka adalah 2 raksasa arsitektur, yang mewakili 2 kutub besar dalam arsitektur kontemporer. Rem adalah “The Visionary”, seorang arsitek dengan kemampuan melihat, apa yang tidak dilihat orang lain, dan mendefinisi gejala kehidupan manusia modern yang teranggap sehari-hari oleh mayoritas orang. Memiliki ratusan proyek yang tersebar di 3 benua, dan kantor di 3 negara. Ia juga seorang pemikir dan penulis, dengan pemikiran yang memprovokasi. Arsitekturnya selalu berawal dari konsep-konsep besar akan ruang, yang kemudian memberikan definisi ulang terhadap tipologi bangunan yang di kerjakannya. Seattle Public Library Amerika, CCTV Cina, Jussieu Library (tidak terbangun) adalah beberapa bangunan yang memberikan contoh nyata tentang argumen ini. Masingmasing tercipta dari proses riset mendalam mengenai ruang dan hubungan-hubungannya pada tiap fungsi bangunan. Dia adalah pendefinisi, seseorang yang selalu menantang kemapanan, dan mencoba untuk menemukan definisi baru. Yang rasanya paling hebat tentang Rem Koolhaas adalah pengaruh yang dia berikan kepada mereka yang pernah bekerja bersamanya. Winy Maas, Zaha Hadid, Alejandro Zaera Polo, Bjarke Ingles, Fernando Romero, Minsuk Cho, Ole Scheeren, REX, adalah beberapa diantara mereka yang pernah bekerja bersama Rem Koolhaas, kemudian muncul sebagai arsitek-arsitek muda dengan arsitektur yang menarik. Namun kita masih
bisa melihat ke-Koolhaas-an dalam desain mereka. Sebegitu besarnya pengaruh Rem Koolhaas. Peter Zumthor adalah “The Builder”. Salah satu yang terbaik. Memiliki hanya satu studio, di sebuah desa kecil bernama Haldenstein, di kaki gunung alpen dan di jalankan oleh tidak lebih dari 20 orang. Dia jauh dari hingar bingar publikasi dunia. Tidak banyak media arsitektur dunia yang meliput karyakarya nya, karena memang karya arsitekturnya tidak pernah banyak. Jumlahnya sedikit, tapi kualitas arsitekturnya sangat tinggi. Keyakinannya, bahwa inti dari arsitektur terletak pada ruang dan material yang membentuknya, membuat arsitekturnya terasa sangat sensitif, dan menggugah perasaan. Dia sangat memperhatikan hal-hal paling kecil dari material yang dipakainya, dan merangkainya menjadi sebuah ruang dengan cerita dan pengalaman yang hanya bisa di rasakan ketika kita mengalami ruangnya, bukan lewat diagram atau gambar denah tampak potongan. Cara memotong, teknik mengecor, pola rangkai, hingga urutan langkah merangkai material, yang di pelajari dan diterapkan dengan memperhatikan karakteristik khusus dan membawa potensi guna material sampai di titik maksimal, adalah hal-hal yang membuat bangunan-bangunannya menjadi sangat spesial. Kuntshaus di Bregenz, Jerman; Thermal Bath di Vals, Swiss; dan Bruder Klauss Chapel di Wachendorf, Jerman adalah beberapa contoh karyanya yang memperlihatkan keinginan untuk mau mengenal material dan karakteristiknya. Kecendrungan desain ini terpengaruh oleh konsep Phenomenology Heidegger. Sebuah konsepsi pemikiran untuk mengenali identitas dan kesejatian karakter sebuah benda, melalui proses mengenali, tanpa adanya upaya untuk melakukan rekayasa yang merubah karakteristik asli benda tersebut. Dalam konteks Peter Zumthor, sebuah material dicoba untuk dikenali kelebihan dan kekurangannya. Keaslian ekspresinya dan faktor-faktor apa yang dapat menutupinya. Kesejatiannya di pelajari, untuk kemudian di gunakan dengan maksimal sebagai material pembentuk ruang dan arsitektur. Lewat pengenalan yang mendalam akan sebuah material, pemanfaatannya dalam sebuah desain akan menjadi lebih optimal; sehingga sebuah arsitektur yang berkarakter
jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i dapat hadir melalui metode bangun yang bisa lebih efektif dan sederhana. “The Visionary� and the “The Builder�, adalah dua kutub besar arsitektur. Kecendrungan desain yang membentuk wajah arsitektur kontemporer. Yang satu adalah seorang akrobator, yang secara konstan jemu dengan kemonotonan, dan ingin selalu mendefinisi hal baru, lewat arsitektur yang menantang dan merekayasa material bangun, dan beberapa percaya bahwa arsitektur adalah jawaban untuk dunia yang lebih baik. The agent of architectural conflict and chaos. Yang satu lagi, berusaha untuk tetap pada keyakinan, bahwa arsitektur adalah ilmu membangun; Konstalasi ruang yang tercipta melalui susunan material-material yang dirangkai dengan ketelitian tinggi, perhitungan yang cermat dan efisiensi yang membuat semuanya terkontrol dengan baik. Mereka percaya bahwa di akhir hari, tugas seorang arsitek hanyalah menghasilkan sebuah bangunan, jadi fokuslah untuk membuat sebuah bangunan yang baik, dengan sebaik-baiknya.
Ini hanya dua tipe kecendrungan desain, yang teridentifikasi karena dominasi mereka lewat karya-karya yang lalu mendefinisi arsitektur. Dengan luasnya dunia ini, banyak kecendrungan lain yang ada, dan juga memiliki kualitas desain yang sama. Kecendrungankecendrungan desain inilah yang sebaiknya dapat kita identifikasi dengan sensitivitas yang tinggi; Lalu dengan kritis menganalisanya, agar kita dapat belajar dari apa yang baik dan buruk tentangnya, dengan tujuan besar, untuk menemukan kecendrungan arsitektur kita sendiri. Saya rasa dan saya pikir, memiliki identitas desain yang berintegritas itu penting. Budaya bangun kontemporer kita masih terlalu seragam. Kita butuh lebih arsitek-arsitek dan desainer-desainer dengan desain yang kental dalam ciri, kuat dalam karakter. Sesuatu yang masih langka. Sangat langka.
Atas: Jussie Public Library / OMA. Diambil dari http:// www.flickr.com/photos/31177644@N04/3328618395/ Bawah: CCTV / OMA. Diambil dari http://www.flickr.com/ photos/22869081@N08/2919375630/
23
24
Not only emotion, material, atmosphere, spirit, memory, biography, history, essence, + texture; but also oxymoron + idiosyncrasy.
, , ,
oxymoronic geniuses
jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i
25
Either as a standalone, or combined to form a phrase [emotional materialism, spiritual texture, idiosyncratic oxymoron, etc.], these opening words are the ones that constantly ring in my head every time I hear either of these two following names. I still could not remember why I relate one name with the other, maybe they were mentioned together in a sentence on one of the design/fashion/whatnot magazines I read in my stolen time during work. You can consider me a master thief in that sense.
26
I’m focusing on not only about two individuals right now, but also about two brands. As every individual, they have names, + as every brand; they have carefully threaded nuances about them. To be considered as something mysterious + cool as these two is never a given thing, it’s a product of total control. Considering that I’m writing for an architectural publication, I’m proud to mention that the first of the two is Peter Zumthor. Considering the high image [therefore fashion] consciousness of my readers further, I can’t help but picking the other half to be Helmut Lang. It might be dubious to compare human beings with, say, Apple products or Lomo cameras, but as corporations have succeeded to invade our everyday lives as individuals [according to Adbusters, they apparently have ‘the right towards free speech, the ability to own property, the right to lobby government officials and protection against self-incrimination’], why not switch the position for awhile? Anyone’s name can be seen as a brand of a corporation too. As the core strength of any business, let’s begin with the products, the respective commodities being traded here: buildings, books + teaching positions for Zumthor; clothes, shoes + perfumes for Lang. Both of the mentioned parties’ works have received a lot of praise, and who could disagree with those fashion insiders, trend setters, architectural critics + Pritzker Prize’s judges? As far as my abilities can go, as the rest of us regular beings, I have to be content with what I read, watch or listen to. Quoting the parties’ favorite words, in a sense: phenomenological. I have nothing to say about them in this proffesional realm anyway: I’ve never been to any of Zumthor’s buildings [he always insists on ‘experiencing the architecture first hand’, + to ‘never believe in photographs’] + never owned any of Lang’s pieces [be it before or after his departure from his own label in 2oo5,
does not make any difference to me, albeit his persistence of his presence for the present - while ‘buying back a number of [his own] older pieces on Ebay’, according to W.] To push myself in this direction would be senseless. A pity, since the first collection of words written as the opening of this article could only be applied in this territory of conversation. Instead, there is another side of their story that I could focus on: the similarities of how they react to the world at large, and how it would reflect on their so-called personalities.27 Zumthor is famous for being a recluse. A genius hermit, they say he is [I never got around + deciphered the phrase actually, do they mean ‘a genius who happened to also be a hermit’ or ‘a genius in being a hermit’? Maybe both.] As for Lang, he’s known to ‘never been interested in the event when I’m the center of attention’, + would ‘rather have my work just be there’, autobiographically, + known to be ‘shy, reticient + mysterious’, according to others [who happens to be the famous sculptor + Lang’s close collaborator, Louise Bourgeois.] Zumthor lives in a village near Chur, in the border of Germany + Swiss: not necessarily the most convenient place to get to in order to know the man better or conducting an interview. On the other case, by not showing to the 2ooo Fashion Awards, Lang insulted a lot of fashion insiders [Anna Wintour on the incident: ‘If I had known he wasn’t coming, I would have called him. It was discourteous not to turn up’], but for the die-hard fans, they always come up as extremist martyrs. It gives the image of an uninterrupted artist working on his studio, tune-crafting their pieces, for us the consumers to devour. Time is no longer a well-guarded right + leisure is non-existent with these hard-working personas. They sacrifice their pleasurable moments not caring about parties, celebrities’ events, + other demanding festivities others see as a marketing tool. But is it fair to say that they don’t do any marketing at all? And does this reclusiveness hurt or make the men? ‘Image is all-important to the marketing side, because it is something you can control… not totally creative--it is also managerial’, said Giacorno Santucci, the managing director of Helmut Lang for Prada. The hard-to-get image, in this sense, has paid off big time. In Zumthor’s case, it has finally shown some results. Although he projected some humbleness in receiving the Pritzker – ‘That a body of work as small as ours is
recognized in the professional world makes us feel proud and should give much hope to young professionals that if they strive for quality in their work it might become visible without any special promotion’, he said in his infamous speech – he is still refusing to reprint his earlier catalogue of publications. By not making these books available to the demanding general public right after his big break, it could only make his persona more mysterious, utilizing further the fact that we have obsession towards things we cannot afford. Zumthor, as a consequence, increase in price [the latest news was that the used copy of Thinking Architecture, first edition, has worn USD 2,ooo as its price tag.] For Lang, on the other hand, it had rewarded him immensely from 1986, the first year he showed his own collection in Paris, until 2oo5, the year he left the brand-name. His decision to practice solely in the art world since then, will further demonstrate us the strength of a marketing strategy. Anti-advertisement advertising is working on the field of architecture and fashion, will it work also in art? Give the microphone to Banksy, please. Further, anti-advertisement as a promotion strategy is an aged worn-off oxymoronic idea. But maybe that is the only righteous option in this crisis-ridden financially-conscious age [proven that even the frivolous Pritzker judges could not escape this notion.] However we want to argue, we should not fail to see it as it is: a marketing scheme. An evolved, advanced form of it, maybe, but it still is a mere scheme. Seeing the method applied rigorously on Peter Zumthor, not only as a person but also as an architectural firm; as well on Helmut Lang, not only as a fashion-designer-cum-artist but also as a line-of-clothing28 +-accessories-cum-collectibles, form my reason on insisting to call them trademarks. It’s clear that they were born through a deliberate conscious action of branding. To call them otherwise, as a lot of people tend to do, is an oxymoron. Other argument would be that it is basically each of their idiosyncratic move, psychoanalyzing them as old-school European intellectuals for whom no alternatives worth pursuing. Replying this notion, I’m borrowing the words of the amazingly funny writer of ‘How to Become a Famous Architect’ blog, Conrad Newel, on there is no exit strategy: ‘good work + good promotion = fame + recognition.’ Regardless what route being taken, a good promotion will end up in recognition. Having the last two of the opening sentence explained, I rest my case over. For now.
Text + Illustrations: farid rakun Original photos taken from Flickr. Links to the photos: http://www.flickr.com/photos/superterrific/48389713/sizes/l/ http://www.flickr.com/photos/seier/3122721913/sizes/l/ http://www.flickr.com/photos/8718754@N02/533310153/sizes/l/ http://www.flickr.com/photos/25405336@N05/2968979771/sizes/l/ http://www.flickr.com/photos/avvocato/273171479/sizes/o/ http://www.flickr.com/photos/seier/3151935486/sizes/l/ http://www.flickr.com/photos/charlydiazazcue/3579244256/sizes/o/ http://www.flickr.com/photos/roryrory/2498171797/sizes/o/ http://www.flickr.com/photos/tonneti/3019353242/sizes/l/ http://www.flickr.com/photos/kentwang/30782386/sizes/l/ http://www.flickr.com/photos/rufusknight/2993455890/sizes/l/ http://www.flickr.com/photos/ma79ia/431560723/sizes/o/
additional notes
For those Zumthor +/or Lang wannabes:29 1. Find your ivory tower + live in it. Not to be taken literally, but consider anything difficult to reach as a plus. Marginal but grounded, comfortable spacious cavelike hideouts are the best. Example: the East Hampton Richard Gluckman-renovated farmhouse for Lang; a self-renovated light-bathed den-like concrete-gated structure in a village near Chur, Switzerland, for Zumthor. 2. Develop your own style so people can call it YOUR uniform. Example: Zumthor’s dark-toned somber tops + Lang’s ‘casual elegance’ [in reality it’s crew neck shirt with washed out denim, combined with newest black patent-leather shoes. Important: sockless.] Wear your own brand every possible chance. 3. Find simplicity in the essence of what you’re doing + flaunt it shamelessly. Be smart about it. Don’t be afraid if in the end of the day you found that you are useless. Even nothingness can be transformed into luxury these days. Example: PR agents for both men. 4. Be brave and say ‘no.’ Countless times to invitations, project proposals, collaboration offers, etc. Example: Lang’s fall out with Prada group + Zumthor’s infamous hardheadedness. 5. Give diplomatically vague answers. Be constant about it. Example: Lang, ‘My body of work in fashion will always stand on its own and will not go away—or it will go away—it doesn’t matter.’ Zumthor, ‘Dreaming becomes even easier, and maybe I can be happy to go on dreaming even stronger.’ 6. Don’t ever read design/architecture/fashion/style/whatnot magazines. By reading the sentence, it’s a fact that you’re still reading. A sad fact: you’ll never be on the same level as them. Accept it, + better still, flaunt it. Example: this article by yours truly. 7. Insist on having the last words. Example: ‘Good luck trying!’
Nusan A R S I T E K T U R
menyelami kearifan lokal m
30
Waitabula, sumba barat, 23 juli 2009 “Hey, pak, mari, lihat! Kita akan potong kerbau dan babi!� Beberapa orang bergegas gegas, beramai ramai, pria pria kemudian berhamburan. Pikuk rasanya saat itu. Ibu ibu berteriak teriak. Di sebelah jauh seekor banteng di tarik dengan kedua tali panjang mengikat, membentang panjang dari sebelah kiri tanduk kerbau berjejer orang menarik, sekitar 10 hingga 15 orang, dan dari sebelah kanan masih tidak kalah banyak, orang orang menarik. Beberapa meter tali yang tersisa menjuntai, dengan sigap diraih oleh pria penduduk desa yang masih mengganggur menyaksikan saja.
gan kain kain putih menggantung di luar rumah, tampak pemuda menari, menarik golok nya dari sabuk, dan menari, di ikuti oleh 2 sampai 3 orang. Mereka berjingkat, tersenyum, berputar putar, sesekali melihat ke arah kamera Kerbau yang jauh sudah berada di pelataran rumah sekarang. Satu pemuda berpenutup kepala kain berwarna kuning, dengan cepat menghampiri kerbau yang masih bingung Syuuuuuttttttt!!!
Pekik ibu ibu bertambah nyaring bertambah banyak.
Goloknya mengenai leher kerbau, lantas kerbau jantan pun berontak. Mimik mimik orang kiri kanan tanduk kerbau langsung berparas meringis serius menahan. Kerbau jantan itu sekarang bergolak, hendak lari, kesakitan, hendak menyeruduk siapa saja yang ada di dalam pandangannya.. Dari kerongkongan yang terputus, suara nafas kerbau jantan mengeras, dan mengeluarkan darah ke sekitarnya.
Tiba tiba dari dalam rumah yang di hias den-
Pemuda pemuda yang menari terus mengham-
jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i
ntara.
melalui bangunan tradisional
31
piri, menyabetkan goloknya ke kerbau, sehingga beberapa kali kerbau memberontak, dan akhirnya perlahan tumbang. Masih berusaha menggapai nyawanya. Setelah kerbau jatuh, masyarakat tergelak dan bersorai.. Tarian semakin cepat, dan ibu ibu berteriak kencang. Demikian satu kerbau berlalu dan sekali lagi di laksanakan, bersama dengan 5 ekor babi persembahan. Persembahan dari masyarakat kepada empunya rumah baru. Kemudian setiap orang bersorak karena telah resminya sebuah rumah baru dan penghuninya. Diterima dalam satu lingkungan kampung ini. Lebih tepatnya diterima oleh penduduk, dalam hampir seluruh perbukitan. Waerebo, manggarai, 26 juli 2009 “Are you not afraid that the young people will leave from their place now and not coming back? Leaving their culture now?� Salah se-
orang wisatawan dari Belanda bertanya Jam 20.39 Wit waktu menunjukkan di rumah bundar ini. Di pusat kampung. Rumah inang ini begitu sesak, dipadati oleh seluruh penduduk kampung dan 15 wisatawan dari belanda dan Belgia berbadan bongsor. Walaupun mereka masih lelah setelah mendaki, wisatawan yang rata rata berumur 50 - 60 tahun ini masih memperhatikan rumah inang ini. Satu alasan utama kenapa mereka terbang sejauh puluhan ribu kilometer dari negara mereka. Berkendara bis (truk) kayu berhempas debu sepanjang perjalanan mereka, dan mendaki sejauh 20 km naik gunung berjalan selama 3.5 Jam. “Kami selalu memberikan kebebasan bagi saudara kami disini, mereka bebas merantau, bersekolah dan bekerja keluar sana,namun satu, bahwa dalam setiap kesempatan malam, setiap ibu bernyanyi, setiap malam kami pun bernyanyitentang tradisi dan asal usul budaya kami, dan saya yakin, dalam setiap ikatan keluarga ini, mereka akan kembali, baik singgah
32
jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i
ataupun kembali menetap, meneruskan tradisi kami, tradisi sebagai orang waerebo” Sungguh, saat ini malu mendera, dari sekian jumlah pengunjung desa ini, sekian banyak hampir 80 persen adalah wisatawan mancanegara yang mengisi tiap minggu dari akhir mei hingga awal oktober. Bahkan tampak raut kekagetan yang masi kami ingat, ketika agustus tahun lalu, kami bertandang dan pak alexander sang ketua adat bertanya “Ada apa gerangan, saudara, ibu kami, datang jauh dari jakarta” Karena pak alex, begitu panggilnya seperti layaknya alexander the great yang bijak, merasa selama ini masyarakat indonesia yang berkunjung, datang ke desa bertujuan hanya karena ingin memberi bantuan atau penelitian. Berbeda dengan wisatawan mancanegara ini untuk berwisata, berplesir, dan mendaki gunung. Merasakan potensi budaya dan alam negara kita. Labuhan bajo, 28 juli 2009 Lelah rasanya setelah duduk selama berjam jam, Terlebih setelah berjalan kaki menuruni gunung dari waerebo ke denge selama 2.5 Jam. Walaupun dalam mobil besar macam toyota land cruiser ber air conditioning ini, rasanya lelah sekali, kami menerpa padang savana, dan jalan berbatu Masih segar dalam ingatan ini. Sepanjang perjalanan, pasir, tanah coklat, keringnya daun daun pepohonan. Pasir tandus sepanjang lintas selatan pulau flores, disertai dengan pemandangan memukau pantai selatannya, ditambah dengan kegagahan pemandangan pulau mulas. Handphone pun berbunyi, dengan susah menyerap daya baterai mencari sinyal miskin di pulau ini. Sebuah pesan singkat bertulis : “Terima kasih atas kesempatan untuk melihat kebudayaan kami di sumba, semoga baik baik di jalan” pesan singkat dari pastor robert, seorang redemptoris dari sumba yang membantu kami menunjukkan seluruh Kekayaan budaya sumba barat dengan baik.”
kiri : Tipikal rumah adat Sumba yang mencapai hingga 11 meter, dengan konstruksi knock down.
33
“Dengan kain ini, berarti anak, akan menjadi bagian dari sumba, kita telah terikat, sehingga anak bisa datang kapan saja, menjadikan sumba menjadi rumah kalian, dan kami akan selalu menerima kalian sebagai satu saudara� sangat singkat, kali itu pastor robert dari suku kodi membawa kami ke ketua suku laura dan membawa kami melihat rumah adat di bakuregha. Bagaimana rasanya mengalami keramahan dan persaudaraan dalam kunjungan singkat kami. Dalam uma kalada (rumah utama) terbesar di sumba barat, yang setinggi pitu liku (7 hasta = sekitar 10.5 Meter).
34
Setiap kunjungan ke rumah adat, masih ingat bahwa selalu ada tradisi dan budaya. Budaya yang melekat dalam rumah yang telah terhimpun ber ratus tahun. Bahwa rumah di indonesia merupakan hasil trial dan error yang menakjubkan, bersamaan dengan pendukung kegiatan budayanya. Baik dari perjalanan pulau nias, toraja, hingga ke sumba dan flores, rumah selalu menjadi tempat yang suci. Bangunan yang didirikan atas dasar kebutuhan primer. Bangunan bangunan yang terbentuk karena karakter budaya dan lingkungan setempat, menemani sebagai saksi masyarakat ber regenerasi, berkembang berbudaya. Bangunan tradisional indonesia, adalah bagian dari usaha manusia pada satu jaman, Menjawab kebutuhan diri, komunitas dan masalah lingkungannya. Setiap berhadapan dengan bangunan tradisional ini, kita mendapatkan ceritera, Ruang yang terbentuk karena kesucian, kebutuhan manusia beregenerasi. Bagaimana menghargai atas : rumah tradisional daerah manggarai, Flores barat yang berbentuk bundar, digunakan sebagai rumah hingga 8 keluarga. bawah : struktur gempa pada rumah nias yang dibuat dari kayu dengan sistem knock down
jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i
komunitas dalam tatanan yang teratur, bagaimana menempatkan ketuhanan dalam kepercayaan mereka, bagaimana rumah mengatur hubungan suami istri, bagaimana rumah mengatur hubungan dengan masyarakat setempat, bagaimana rumah mengatur hubungan dengan lingkungan alam sekitar, dan terlebih bagaimana rumah mengatur hubungan dengan masalah yang terjadi di sekitarnya seperti masalah gempa, dan angin kencang. Jawaban jawaban seperti damper penahan gempa pada rumah nias, atap ijuk yang menahan cuaca setempat, dan menciptakan silang angin pada rumah dari rumah berpanggung yang berhembus menembus sela atap alang dan ijuk. Dalam setiap kesempatan bertemu dengan penduduk setempat, di jelaskan bahwa penggunaan material bangunan haruslah berada dalam sekitar dan perlunya sebuah acara khusus untuk mengambil kayu dari hutan sekitar, dan bagaimana mengembalikan tumbuhan yang diambil itu kembali. Rumah bukan lah hal yang mudah untuk dibangun, karena rumah adalah simbol kesucian, sehingga tahapan tahapan pembangunan harus melalui pelbagai upacara. Di mulai dari pengambilan material, perletakan batu atau kayu utama, hingga tutup atap dan peresmian sebelum digunakan Manusia indonesia percaya, bahwa membuat rumah berarti kita meminta ijin kepada alam, dengan mengambil material, berbicara dengan alam untuk membuat lingkungan binaan baru untuk manusia. Dari situlah kebijakan dan kebajikan budaya menghasilkan manusia dan masyarakat yang sempurna. Sempurna dalam menata hubungan multi dimensinya. Sebentar lagi, dalam ke gegapgempitaan 64 tahun indonesia merdeka, ketika seluruh dunia berjuang dengan masalah iklim karena pemanasan global. Ternyata leluhur kita, menyebar di seluruh indonesia, telah lama mengajarkan, bagaimana ber arsitektur dan tetap bersahabat dengan alam. Hidup bersama dengan alam dan binaan nya. Mari belajar kembali, dari kearifan budaya kita. Negeri yang sedang bertumbuh tetap berjuang dalam tradisi dan modernisasi. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya? Selamat ulang tahun, Indonesia.
Paskalis khrisno ayodyantoro
35
bengkel kerja avianti armand
36
dunia, tiba-tiba dilanda kegelisahan yang sama. Kita pelahan mengalami hal dan masalahmasalah yang sama yang menuntut penyelesaian bersama. Tanpa itu, kita akan bersamasama pula menuju ke kepunahan yang cepat dari ras manusia. Apakah kita peduli?
PAMERA WORKSH ARSITEK INDONE 999 Saya akan mulai dengan sekumpulan fakta: Pembangunan kota jadi makin cepat dan nyaris tak terkendali, gempita – namun tunggang langgang. Ada kepadatan yang menyesakkan – di saat yang bersamaan, tak merata. Komodifikasi dari hampir segala hal membuat harga tanah di tengah kota tak terjangkau. Terpinggirnya masyarakat menengah ke luar kota. Suburbanisasi kian menjadi. Jarak antara rumah dan tempat kerja makin jauh. Kemacetan yang bertambah mengakibatkan pemborosan energi, waktu dan tenaga. Tingginya tingkat stres. Sistem angkutan umum yang buruk. Jumlah kendaraan pribadi bertambah secara drastis. Bertambahnya ruas jalan yang tak menyelesaikan apa-apa. Berkurangnya ruang hijau di dalam kota dengan kecepatan yang mencemaskan. Berkurangnya resapan kota. Terjadi perluasan daerah reklamasi yang mengikis hutan bakau dan memprivatisasi pesisir. Intrusi air laut ke tengah kota. Polusi yang makin parah. Banjir tahunan makin lama makin tinggi. Kurangnya pasokan air bersih untuk semua. Pemukiman kumuh dalam lipatan-lipatan kota: pinggir rel kereta api, bawah jembatan, pinggir sungai, dan lahan-lahan tidur. Penggusuran yang sewenang-wenang dan tak manusiawi. Ketiadaan fasilitas sosial yang memadai. Sampah kota tidak tertangani dengan baik. Bertambahnya jumlah kaum miskin kota. Gerak modal dan barang yang makin cepat. Kota yang terus bergerak dan tak pernah tidur. Kita, yang bangun pagi dengan mata cemas. Selalu. Kota, dengan segala kegairahan dan permasalahannya, kini menjadi begitu hadir. Ia menderas masuk, kita tak lagi bisa mengelaknya. Ruang tinggal, tak bisa dilepas dari konteksnya, dipagari dan dilabeli dengan sekedar ‘rumah’ atau ‘apartemen’. Begitu banyak hal dan makna telanjur terlekat padanya. Ia, juga arsitektur, tak dapat dipandang sebagai satu entitas yang berdiri sendiri, melainkan terajut dalam lapis demi lapis jaringan majemuk yang menyusun kota, bahkan lebih luas lagi: dunia. Sekarang, semenjak lebih dari 50 % populasi manusia bermukim di kota, apa yang terjadi dalamnya adalah gambaran dari apa yang terjadi di planet ini. Kita, juga umat manusia di seluruh
Ya. Tentu dalam kapasitas kita masing-masing. Tentu dalam cakupan ruang gerak dan dengan keunikan masalah masing-masing. Dalam konteks ini: arsitek Indonesia – kota-kota di Indonesia. Ruang tinggal dalam kota telah masuk sebagai hal yang tak terhindarkan dalam kesadaran kita. Hal itu tak bisa lagi dipandang sebagai masalah pemerintah, penyelenggara kota, developer, atau institusi lain. Ia atelah menjadi masalah kita bersama. Karena itu, bukan suatu hal yang mengherankan apabila workshop, atau lebih baik kita sebut bengkel kerja, yang diselenggarakan dalam rangka merayakan ulang tahun kelompok Arsitek Muda Indonesia yang ke 20, dengan tema Ruang Tinggal Dalam Kota, mendapat animo yang baik sekali. Pada tengat pengumpulan, ada sekitar 40 proposal yang masuk. Sayang sekali, karena keterbatasan waktu, tempat, dan juga tenaga reviewer, penyelenggara harus memilih 17 saja dari antaranya. Menarik melihat bagaimana para arsitek muda dan mahasiswa-mahasiswa arsitektur ini menanggapi tema yang cukup luas itu. Ada kepekaan yang mengagumkan, hal penting yang dibutuhkan oleh seorang arsitek untuk dapat menghasilkan karya yang berjiwa. Ada keberanian untuk keluar dari paradigma lama. Dari situ lalu tercetus beragam cara pandang terhadap ‘ruang tinggal’ dan terhadap ‘kota’. Juga cara memaknainya. Pendekatan yang ditempuh, walau tidak selalu baru, pun bermacam-macam dan menawarkan terobosan untuk perbaikan kualitas ruang tinggal dalam kota.
Salah satunya adalah tentang waktu – yang dirasakan sebagai unsur yang begitu kuat bekerja dalam ruang. Dalam proposal “ruang. waktu. tinggal.”, waktu digunakan untuk mendefinisi penggunaan ruang, dari situ luasan dan bentuknya. Ruang terasa begitu hidup, ketika waktu dihayati sebagai sebuah fenomena perubahan. Ruang menjadi sangat sementara dan fleksibel. Suatu kualitas yang sering diabaikan praktek professional arsitektur di dunia yang
jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i malas bergerak – karena itu besaran ruang menjadi bengkak. Suatu kualitas yang sering dipendam di mana arsitektur dituntut untuk jadi sesuatu yang abadi – karena itu: mati.
Dalam skala luas, masalah keberlanjutan diangkat oleh kelompok “linear city”. Kelompok ini mengkonversi gelar kota dari horizontal menjadi vertikal. Seluruh fungsi ditumpuk dan dijajarkan secara linear pada jalur utama, sehingga tercipta bentang hijau yang cukup luas di daerah yang ditinggalkan, yang bisa dimanfaatkan sebagai area resapan, lahan pertanian, peternakan, rekreasi, hutan lindung, dan fungsi-fungsi lain yang bisa menjadikan kota satu lembaga yang mampu menghidupi diri sendiri. Kegagalan kota menyediakan ruang tinggal untuk semua, ditanggapi dengan simpatik oleh kelompok “ruang mimpi”. Merefleksi kondisi masyarakat marjinal, usulan yang diajukan sama sekali tidak konfrontatif terhadap kesewenang-wenangan yang biasa terjadi – melainkan adaptif. Dengan rumah siap gusur, mereka menanggapi penggusuran dengan desain rumah beroda yang ringan dan murah. Dengan tak terjangkaunya harga rumah permanen di tengah kota oleh masyarakat marjinal, kelompok ini mengusulkan pemanfaatan tepi rel kereta untuk jadi rumah sewa manusiawi yang dikelola oleh Jawatan Kereta Api. Mungkin takkan lagi jadi mimpi untuk punya hunian, di pinggir rel sekalipun.
AN HOP K MUDA ESIA Hampir tak pernah terlibat dalam bengkel kerja, proposal “ruang kembali” mengikat ruang tinggal pada satu waktu di masa lalu sebagai tempat ‘pulang’. Sebuah memori yang membuat betah. Waktu diterjemahkan ke dalam lorong serupa spiral yang merentang ‘kini’ dan ‘dulu’. Mungkin juga ‘nanti’. Sama seperti ruang, waktu lalu tidak diperlakukan linear, melainkan parallel – bahkan acak.
Dengan perhatian yang sama terhadap waktu, kelompok “didedikasikan untuk komuter” meniadakan waktu tempuh yang melelahkan, juga ruang kosong yang membentang antara kota dan area suburban. Jalan tol, sebagai media penghubung, tapi juga pemisah antar ruang di dalam kota, lalu diokupasi dengan beragam kegiatan yang mengembalikan ikatan antar kepingan-kepingan kota, mengembalikan ruangruang premium kota kepada publik dan, yang terutama, mengembalikan para komuter ke dalam kota. Masalah waktu tempuh, yang secara drastis mengurangi waktu yang berkualitas dari banyak sekali keluarga yang bermukim di area suburban, juga menjadi hal yang melandasi proposal “mobile house”. Kelompok ini lalu memisahkan hunian menjadi ‘kepompong’ dan ‘inang’nya, atau yang mereka sebut core. Secara sporadis, core disebar di berbagai tempat yang potensial untuk menjadi magnet. Kepompong memiliki kebebasan untuk melekat di mana saja tergantung pada pilihan kegiatannya. Dengan demikian, hunian bergeser dari makna konvensionalnya, tidak lagi terikat oleh tempat, melainkan program. Kesementaraan dan fleksibilitas ruang dicerna kelompok “topical capsul bungalow” dengan cara yang sedikit berbeda. Di sini hunian benarbenar dilepas dari anasirnya, jadi satu badan yang kompak dan lengkap hingga tak perlu terikat tidak saja tempat, tapi juga program. Ia bisa hinggap di mana saja dalam kondisi apa saja. Karena itu, material penyusun dan utilitas pendukungnya menjadi sangat penting untuk mempertahankan keberlanjutannya.
Selain rel kereta api, kota penuh dengan “ruang bayangan” – ruang-ruang sisa yang nyaris dianggap tak ada: kolong jembatan, tepi sungai, belakang gedung tinggi. Ruang bayangan selalu bersifat ambigu. Terabaikan oleh pengelola kota, ruang-ruang ini selalu dilihat sebagai peluang oleh masyarakat pinggiran. Proposal ini mencermati beberapa titik di dalam kota dan mencoba mengolahnya untuk dimanfaatkan sebagai hunian yang layak. Bambu digunakan sebagai katalis yang memungkinkan simbiose mutualisma antara ruang dan program yang ditawarkan. Kemampuan manusia untuk beradaptasi, terutama pada bencana, dijadikan ide dasar oleh kelompok “nenek moyangku seorang pelaut” untuk menelurkan gagasan mereka tentang rumah apung. Di sini, banjir tidak lagi dilihat sebagai satu bencana yang menyedihkan, tapi ‘musim’ yang akan terus menerus datang. Rumah apung, yang bisa mengakomodasi satu atau lebih keluarga selama beberapa hari adalah usulan mereka. Air, diakrabi – seperti nenek moyang kita dulu ketika pertama datang ke kepulauan ini.
37
Kota, mungkin akan jadi ruang tinggal yang lebih baik jika segalanya dikembalikan pada tubuh – sebagai subyek – dalam mengalami ruang. Kurang lebih begitu yang diimplikasikan oleh kelompok “kota skala kita” dan “black out architecture”.
38
Bandung, khususnya daerah Dago ditelaah dengan seksama, menggunakan tubuh sebagai parameter, untuk mendeteksi masalahmasalahnya. Kesemrawutan, keberagaman fungsi yang terkotak-kotak dan tidak saling berhubungan, mobil yang menciptakan jarak antara manusia dengan kotanya, ditera sebagai masalah di daerah ini. Kota lalu dipecah menjadi serangkaian pengalaman sensorik yang menerus dan simultan dengan membagi dan menjalinnya ke dalam lapis demi lapis ruang. Dago lalu menjadi sehimpunan ruang yang kaya, dengan sequence yang tak pernah sama. Proposal “black out architecture”, secara sederhana mengingatkan kita pada satu fakta yang sangat purba, bahwa Tuhan menciptakan manusia tidak hanya untuk ‘melihat’ tapi juga ‘mengalami’. Dalam melihat, selamanya ada ‘jarak’. Mungkin itu yang mengakibatkan kegagalan penataan kota kita. Mungkin itu alasan kenapa ruang tinggal kita menjadi begitu asing. Mungkin itu sebabnya kita, sebagai arsitek dan calon arsitek, harus belajar untuk menjadi lebih peka. Dengan instalasinya, kelompok ini mengajak kita menajamkan indera dan menghayati pengalaman ruang. Mengambil ‘tubuh’ sebagai analogi, kelompok “metabolisme kota Jakarta” mencermati Jakarta sebagai sebuah tubuh yang sakit. Masalah di petakan ke dalam titik-titik, alur-alur, dan pergerakan. Seperti dokter, kelompok ini mengusulkan penguraian jaringan yang kusut, relokasi, dan rehabilitasi lingkungan yang bermasalah. Sehat? Tak ada jaminan. Kita cuma ditantang untuk mencobanya.
Masih menggunakan ‘tubuh’ sebagai parameter yang unik, kelompok “rumah ini tidak untuk dijual” menolak komodifikasi dari hampir segala sesuatu. Rumah, diretas jadi satu entitas yang sangat personal, tapi juga sangat fleksibel, hingga tak bisa dijual – sebelum dikembalikan ke kondisi generiknya. Ia bisa berdiri sebagai satu unit tunggal, maupun majemuk, dengan penyelenggaraan yang sangat mudah – hampir seperti permainan anak-anak yang menyenangkan. Proposal ini menjadikan ruang tinggal sebagai satu domain yang unik, dan pengalaman yang asyik. Fashion, juga digunakan sebagai satu bahasa untuk mendekati arsitektur. Dalam “fashion, Bandung, arsitektur”, Dago, sekali lagi, ditelaah sebagai satu area yang mengalami perubahan fungsi, dari hunian ke komersial. Perubahan yang parsial mengakibatkan pengalaman ruang yang terpenggal-penggal. Kelompok ini berusaha mengaitkannya dengan fungsi-fungsi kecil yang diibaratkan sebagai aksesori dalam fashion. Dari 17 proposal yang terjaring, pada akhirnya memang tinggal 14 yang tersisa. Dalam bengkel kerja ini telah terjadi pergulatan pemikiran, kritik-kritik tajam dari reviewer tetap dan reviewer tamu, ide yang dikunyah dan diperdalam lagi, masalah yang dipersempit, niat dan kesiapan yang maju mundur, namun semangat yang tak pernah kendur. Bangkel kerja yang diselenggarakan dengan tanpa biaya (terima kasih untuk Komunitas Salihara yang dengan murah hati menyediakan tempat dan segala sarana kerja yang kami butuhkan) akhirnya berujung di pameran ini. Saya berani berkata bahwa bengkel kerja ini, pilot project dalam tradisi Arsitek Muda Indonesia, telah berjalan dengan baik. Apa yang telah terjadi mungkin bisa dikemas dalam beberapa kalimat. Kita memiliki generasi arsitek muda yang berpikiran terbuka, penuh semangat, berani mendobrak paradigma lama dan mengeksplorasi ide-ide baru – yang radikal sekalipun. Antusiasme mereka menunjukkan kepedulian, bukan cuma untuk menguji diri, tapi untuk berbuat sesuatu bagi orang lain. Kota, bisa saja telah membuat kita menjadi sehimpunan orang yang skeptis. Tapi workshop ini, mudah-mudahan, adalah sebutir garam dunia.
jongArsitek! E d i s i 2 . 3 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i
39