Edisi #7 Januari 2015
SAPHARA
Sebuah Perjalanan, Sebuah Kehidupan
AIR MATA MATA AIR PESONA DANAU
KELIMUTU
KISAH DEPOT AIR MINUM
JATINANGOR
MENYIBAK POTENSI
CIREUNDEU
SAPHARA
|2
SALAM PEMRED Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman... Petikan lagu dari Koes Ploes yang tenar di dekade 70an tersebut sebenarnya memberi gambaran kepada kita, bahwa tanah kita sangat kaya alamnya. Air, tanah, flora, dan fauna dapat tumbuh merata. Jawa Barat apalagi, termasuk salah satu provinsi paling subur di Indonesia. Dengan kelembaban yang cukup serta cadangan air yang melimpah, semestinya membuat provinsi ini makmur. Ironinya, justru di Tanah Pasundan yang subur ini, malah terjadi krisis air bersih. Kondisi ribuan warga yang tinggal di kampung-kampung di Taman Hutan Rakyat (tahura) Djuanda, kota Bandung, Jawa Barat, yang masih kekurangan akses air bersih seolah membuka mata kita, ada apa dengan Pasundan? Semoga pembaca melalui laporan utama ini, setidaknya dapat mencerahkan pembaca, bahwa yang indah tak lagi indah jika tak dikelola dengan baik. Explore! Muhammad Rifqy Fadil, Pemimpin Redaksi.
DAFTAR ISI PERJALANAN LOKAL DESA LINTAS KOTA LAPORAN UTAMA WISATA BUDAYA HALAMAN ACARA BUAH PENA FOTO ESSAY OPERASI KATA KITA REFLEKSI ETALASE REVIEW
4 6 8 10 20 22 24 25 26 32 34 36 38 39
8
6
8
22
24
SAPHARA Pemimpin Umum: Dwy Anggreni Mutia Pemimpin Redaksi: Muhammad Rifqy Fadil - Redaktur Budaya & Desa: Aflah Satriadi Redaktur Opini: Istnaya Ulfathin - Redaktur Perjalanan: Olfi Fitri Hasanah Redaktur Acara dan Lingkungan: Noor Alfath Aziz - Redaktur Foto dan Perwajahan: Panji Arief Sumirat Reporter: Alfa Ibnu Wijaya, Ryan Dwi Destyadi, Deando Dwi Permana, Dimas Jarot Bayu, Dina Aqmarina Yanuary Nelly Yustika E.B. , Dwi Desilvani, Andhika Soeminta, Nadia Septriani, Wini Selianti, Khairunnisa Zenfin, Fatia Shaliha, Resti Octaviani, Rakanda Ibrahim Gandapermadi, Kholidah Nur Rahmah, Wibi Pangestu, Mugni Fikri Alkamil Advertising: Nadia Septriani (085779388949) Email: kappafikom@gmail.com Alamat Redaksi: Gedung Student Centre (SC) Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung - Sumedang KM 21, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat
SAPHARA
|3
PERJALANAN LOKAL
Komersialisasi Tubuh Sang Pandai Besi Teks: Panji Arief Sumirat Foto: Alfa Ibnu Wijaya
Riuh keramaian manusia mulai terdengar ketika pendaki memasuki kawasan kemah Pondok Salada, Gunung Papandayan. Setiap akhir pekan, Gunung Papandayan dipadati oleh para pendaki, terlihat dari padatnya tenda-tenda yang berdiri di Pondok Salada. Meskipun luasnya sekitar empat kali lapangan bola, Pondok Salada seringkali tidak dapat menampung banyaknya pengunjung. Pondok Salada menjadi tempat yang direkomendasikan oleh pengelola Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Papandayan, untuk pendaki bermalam di gunung dengan puncak tertinggi 2662 Meter Diatas Permukaan Laut (MDPL) tersebut.
G
unung Papandayan terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Menurut warga sekitar, nama Gunung Papandayan berarti pandai besi. Jalur pendakian awal Gunung Papandayan berada di Kecamatan Cisurupan, sekitar satu jam waktu tempuh dengan kendaraan bermotor dari pusat Kota Garut. Keramahan jalur pendakian Gunung Papandayan menjadi alasan utama para pendaki, terutama pendaki pemula, untuk mendaki ke Gunung Papandayan. Para pendaki Gunung Papandayan umumnya datang dari luar Kabupaten Garut, pengunjung datang dari kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Dengan status gunung berapi yang disandangnya, Gunung Papandayan memiliki kawah yang eksotis dan menjadi salah satu daya tarik gunung ini. Daya tarik lain Gunung Papandayan
SAPHARA
|4
adalah hamparan bunga edelweissnya. Pendaki dapat memanjakan mata dengan suguhan pemandangan indah yang ada di Gunung Papandayan. Tak jarang para pendaki mengabadikan momen di Gunung Papandayan dengan berfoto ria. Gunung Papandayan memiliki tiga kawasan kemah yang dapat didiami oleh pendaki, kawasan kemah pertama bernama Camp David, kedua Camp Ghoberhood, ketiga Camp Pondok Salada. Camp David adalah pos pertama Gunung Papandayan, di tempat ini pendaki harus menyelesaikan beberapa administrasi pendakian. Pendaki juga bisa memenuhi beberapa perbekalan makan untuk pendakian di Camp David ini. Ada sekitar sepuluh warung permanen berdiri di Camp David. Pada penghujung tahun 2013 hanya ada sepuluh warung tersebut di Camp David. Namun, kini pemandangan
berbeda terlihat di Camp David. Sejumlah warung semi permanen yang terbuat dari bambu dan batang pohon berdiri di sana. Pedagang asongan seperti pedagang bakso, rujak, siomay, juga turut memenuhi Camp David. Entih, salah satu pemilik warung permanen di Camp David, mengatakan tidak tahu mengapa bisa ada warung semi permanen dan pedagang asongan. “Gak tahu awalnya gimana bisa ada pedagang kaki lima jualan di sini, sering ditertibkan tapi balik lagi, balik lagi,� ujar Entih ketika ditemui di warungnya. Entih mengaku menyewa kios permanen untuk berjualan di Camp David. Tetapi banyak orang mendirikan kios semi permanen untuk berjualan di Gunung Papandayan. Entih mengatakan, kios-kios semi permanen tersebut liar karena tidak berizin. Kehadiran
“
Wakil Bupati Garut waktu itu sudah datang langsung dan disuruh ditertibkan, karena didirikan tanpa izin dan mengganggu pemandangan, tapi gak lama ada lagi
”
Entih. Pedagang di Kawasan TWA Papandayan
pedagang liar ini tidak terkontrol, setiap orang bisa datang dan berjualan di Gunung Papandayan. “Wakil Bupati Garut waktu itu sudah datang langsung dan disuruh ditertibkan, karena didirikan tanpa izin dan mengganggu pemandangan, tapi gak lama ada lagi,” tambah Entih. Pemandangan berbeda bukan hanya ada di Camp David. Setelah pendaki melanjutkan perjalanan sekitar satu jam, pendaki sampai di Camp Ghoberhood atau Pos 2, dimana pendaki harus kembali mengurus administrasi pendakian. Di Camp Ghoberhood, kioskios semi permanen juga berdiri menjual beberapa perbekalan pendaki. Kemudian, di Camp Pondok Salada kembali dijumpai beberapa kios-kios serupa. Cicih, salah satu pedagang di kios semi permanen, mengaku mendirikan kiosnya tanpa izin dari pengurus TWA Gunung Papandayan ataupun dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA). Cicih mendirikan kiosnya di Camp Ghoberhood, sebelumnya ia mendirikan di Camp Pondok Salada dan ditertibkan oleh pengurus TWA Gunung Papandayan. Kemudian Cicih mendirikan kembali kiosnya di Camp Ghoberhood. “Ya kucing-kucingan aja sama petugas, jarang ditegur juga. Tapi kalau disuruh tutup ya tutup aja nanti buka lagi,” kata Cicih. Alasan ekonomi menjadi alasan utama Cicih dan beberapa pedagang lainnya, terus membandel membuka kios-kios tanpa izin di Gunung Papandayan. Jumlah pendaki yang tinggi menjadi ladang uang bagi para pedagang. Pendaki yang datang untuk berlibur, rela mengeluarkan tidak sedikit
uang untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu pedagang tanpa izin rela melewati medan yang sulit untuk membawa dagangannya. “Mau gimana lagi, kita butuh uang buat keperluan sehari-hari, jualan di sini untungnya gede,” ucap Cicih. Nanu Yanuar, salah satu pendaki Gunung Papandayan asal Bandung merasakan efek positif dan negatif keberadaan kios-kios liar di Gunung Papandayan. Efek positifnya, pendaki bisa membeli makanan dan perbekalan di atas gunung. Efek negatifnya, pemandangan indah Gunung Papandayan berkurang karena kios-kios berdiri tidak beraturan. Efek negatif lainnya adalah banyaknya sampah yang ditinggalkan pendaki dan pedagang di kios-kios liar tersebut. “Harusnya lebih ditertibkan saja biar enak dilihat, masalah berjualan di sini mah gak apa-apa,” ujar Nanu. Nanu mengeluhkan pemandangan indah Gunung Papandayan yang terganggu akibat keberadaan kios-kios liar ini. Sampah-sampah yang ditinggalkan pendaki dan pedagang juga dieluhkan Nanu, menurutnya sampah-sampah ini mengganggu dan bisa memengaruhi kesehatan lingkungan Gunung Papandayan. Pendapat yang sama juga dinyatakan Ichwan Arifin, yang juga pendaki Gunung Papandayan. Menurut Ichwan perlu ada peraturan tegas yang mengatur pedagang liar di Gunung Papandayan. “Ya kucing-kucingan aja sama petugas, jarang ditegur juga. Tapi kalau disuruh tutup ya tutup aja nanti buka lagi,” kata Cicih. Alasan ekonomi menjadi alasan utama Cicih dan beberapa pedagang
lainnya, terus membandel membuka kios-kios tanpa izin di Gunung Papandayan. Jumlah pendaki yang tinggi menjadi ladang uang bagi para pedagang. Pendaki yang datang untuk berlibur, rela mengeluarkan tidak sedikit uang untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu pedagang tanpa izin rela melewati medan yang sulit untuk membawa dagangannya. “Mau gimana lagi, kita butuh uang buat keperluan sehari-hari, jualan di sini untungnya gede,” ucap Cicih. Nanu Yanuar, salah satu penda-ki Gunung Papandayan asal Bandung merasakan efek positif dan negatif keberadaan kios-kios liar di Gunung Papandayan. Efek positifnya, pendaki bisa membeli makanan dan perbekalan di atas gunung. Efek negatifnya, pemandangan indah Gunung Papandayan berkurang karena kios-kios berdiri tidak beraturan. Efek negatif lainnya adalah banyaknya sampah yang ditinggalkan pendaki dan pedagang di kios-kios liar tersebut. “Harusnya lebih ditertibkan saja biar enak dilihat, masalah berjualan di sini mah gak apa-apa,” ujar Nanu. Nanu mengeluhkan pemandangan indah Gunung Papandayan yang terganggu akibat keberadaan kios-kios liar ini. Sampah-sampah yang ditinggalkan pendaki dan pedagang juga dieluhkan Nanu, menurutnya sampahsampah ini mengganggu dan bisa memengaruhi kesehatan lingkungan Gunung Papandayan. Pendapat yang sama juga dinyatakan Ichwan Arifin, yang juga pendaki Gunung Papandayan. Menurut Ichwan perlu ada peraturan tegas yang mengatur pedagang liar di Gunung Papandayan.
SAPHARA
|5
DESA
Cireundeu Menyibak Potensi Terpendam Teks & Foto: Olfi Fitri Hasanah
“Bukanlah makan bila tak menyantap nasi”. Kalimat itu lekat di telinga, khususnya masyarakat Indonesia. Belum tepat disebut bersantap rasanya tanpa kehadiran nasi di atas piring sebagai menu utama. Hal tersebut berlaku pula bagi masyarakat Kampung Cireundeu. Berbeda dengan daerah lain pada umumnya, untuk menghasilkan nasi masyarakat Cireundeu tidak mengolah beras dari padi, melainkan singkong.
R
asi atau beras singkong hanyalah satu dari sekian banyak kearifan lokal yang dimiliki oleh desa adat tersebut. Tradisi mengonsumsi rasi ini sudah dilakukan masyarakat sejak dahulu. Cara tersebut diyakini akan membebaskan ketergantungan akan konsumsi beras. Masyarakat Cireundeu beranggapan, sekecil apapun filosofi kehidupan yang diwariskan oleh nenek moyang, wajib untuk dipertahankan. “Pada intinya, kami percaya nenek moyang memiliki maksud baik dengan mengganti makanan pokok beras menjadi rasi. Terbukti sekarang harga beras makin mahal, mungkin seperti itu bentuk nyatanya,” ungkap tokoh adat Kampung Cireundeu yang biasa disapa Abah Emen. Abah Emen mengisahkan, peralihan makanan pokok masyarakat Kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi singkong dimulai sekitar tahun 1918. Ide tersebut berasal dari seseorang yang mereka sebut sebagai “Pahlawan Pangan” yaitu Omah Asnamah. Buah pikirannya itu dimaksudkan agar manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak ketergantungan pada sesuatu. “Tuhan kan sudah menyediakan
SAPHARA
|6
beragam sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, kalau semuanya makan beras dari padi, nanti ada ketidakseimbangan,” tambahnya. Kampung yang secara administratif terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kota Cimahi tersebut menawarkan banyak keunikan tersendiri. Warga disana merupakan komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara dan melestarikan adat istiadat secara turun temurun. Adanya keunikan tersebut, menarik para wisatawan dan pelancong untuk datang berkunjung. Namun, berdasarkan data milik pengelola Kampung Cireundeu, terlihat adanya penurunan dan kenaikan jumlah pengunjung sepanjang tahun 2014. Hasil tersebut mengindikasikan adanya kekurangan dalam pengelolaan wisata disana, seperti disebutkan oleh Dosen Program Studi Manajemen Resort dan Leisure Universitas Pendidikan Indonesia, Erry Sukriah. “Sayang sekali, padahal jika disadari, banyaknya pengunjung atau wisatawan yang datang dapat berdampak bagi kesejahteraan masyarakat,” ujar Erry. Ia menjelaskan, dengan banyaknya kunjungan, artinya akan semakin
meningkat pula permintaan terhadap produk-produk lokal hasil karya warga setempat. Secara otomatis, dapat berpengaruh pada pendapatan masyarakat disana. Kekayaan budaya yang dimiliki Kampung Cireundeu mampu memberikan pengalaman bagi pengunjung. Tak hanya dari makanan unik disana, tetapi juga tradisi adat yang masih kental. Sebagian besar masyarakat Cireundeu menganut dan memegang teguh kepercayaan yang disebut Sunda Wiwitan. Ajaran ini pertama kali dibawa oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan pada tahun 1918. “Kebetulan pas datang ke Cireundeu ada kepentingan buat tugas mata kuliah untuk liputan upacara adat Suroan. Terus disuguhi makan rasi, pengalaman yang unik sekali,” tutur salah satu mahasiswa yang berkunjung ke Kampung Cireundeu pada awal bulan November lal, Dhiany Nadya. Suroan merupakan salah satu upacara terbesar yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Cireundeu pada tanggal 1 Sura. Bagi mereka, perayaan 1 Sura layaknya lebaran bagi kaum muslim. Pakaian yang dikenakan dalam upacara tentu saja pakaian khas tanah
tanah Pasundan, yakni pangsi hitam dipadukan dengan ikat kepala batik bagi laki-laki serta kebaya putih bagi perempuan. Buah-buahan yang ditumpuk dan ditata sedemikian rupa sehingga menyerupai janur, tumpeng rasi, hasil bumi seperti rempah-rempah, dan ketela menjadi benda wajib dalam ritual. Pada puncak rangkaian, acara akan dimeriahkan oleh suguhan kesenian tradisional serta kehadiran tamu undangan yang berasal dari berbagai penjuru tanah air. Rangkaian ritual ini terbuka bagi siapa saja yang ingin melihatnya. Tak jarang, ritual tahunan tersebut menjadi objek menarik untuk diliput oleh para awak pers. Termasuk pula menarik minat wisatawan untuk datang. Menanggapi hal tersebut, Erry memiliki pendapat serupa yang ia peroleh melalui proses penelitian. Keunikan makanan pokok rasi serta tradisi adat Suroan merupakan kekuatan wisata yang cukup potensial dikembangkan di Kampung Cireundeu. Senada dengan hasil penelitiannya pula, sebagian besar wisatawan memang memiliki ekspektasi yang tinggi
terhadap kearifan lokal dan kekayaan budaya yang ada di Kampung Cireundeu. Sehingga mereka berharap bahwa masyarakat setempat dapat memperta-
“
Pada intinya, kami percaya nenek moyang memiliki maksud baik dengan mengganti makanan pokok beras menjadi rasi
�
Abah Emen. Tokoh Adat Kampung Cireundeu
hankan keunikan serta ciri khas Cireundeu sebagai desa wisata. Namun, Erry menambahkan, sebuah desa yang akan dijadikan desa
wisata, harus memperhatikan komponen utamanya yaitu tempat tinggal sebagai sarana akomodasi dan kehidupan keseharian penduduk setempat sebagai atraksi wisata di desa tersebut. Atraksi yang dimaksud yakni aktivitas masyarakat dapat berperan baik sebagai objek wisata maupun subjek wisata yang melibatkan pengunjung dalam aktivitas kesehariannya. “Umumnya, pengunjung melakukan kedatangan pertama dan hanya menghabiskan waktunya satu hingga tiga jam saja. Selain itu, tidak ada pengulangan setelah kunjungan pertamanya,� kata Erry. Erry memprediksi hal tersebut dapat diantisipasi dengan adanya peningkatan pengelolaan fasilitas wisata seperti homestay atau hunian sementara. Selain itu, memanfaatkan keunikan aktivitas keseharian masyarakat Cireundeu sebagai nilai jual. Tak hanya dari aspek komersil, peningkatan kualitas pengelolaan wisata Kampung Cireundeu akan meningkatkan nilai dari aspek edukasi melalui pengalaman dan pengetahuan tentang kehidupan masyarakat setempat.
SAPHARA
|7
LINTAS KOTA
D
Pesona Danau ‘Tiga Warna’ Kelimutu Foto & Teks: Mugni Fikri Alkamil
Banyaknya anak tangga ditambah dengan trek bebatuan, tak membuat Danau Kelimutu menjadi kehilangan pesonanya. Berasal dari asal kata 'keli' yang artinya gunung dan 'mutu' yang berarti mendidih, danau ini merupakan kawah yang terdapat di Gunung Kelimutu, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
anau yang terletak di zona inti Taman Nasional Kelimutu ini, terdiri dari tiga buah danau. Uniknya, ketiga danau tersebut memiliki warna yang berbeda-beda, yaitu Tiwu Ata Polo yang berwarna merah, Tiwu Nuamuri Koo Fai yang berwarna biru, dan Tiwu Ata Mbupu yang berwarna putih. Tidak hanya itu, warna-warna tadi selalu berubah secara alami seiring dengan perjalanan waktu. Kombinasi tiga warna Danau Kelimutu tidak hanya menarik karena pemandangannya yang memanjakan mata, tetapi juga menyimpan kisah tersendiri. Penduduk setempat percaya bahwa Danau Kelimutu menjadi tempat bersemayamnya para roh. Setiap roh mendiami salah satu danau sesuai dengan usia dan perbuatannya semasa hidup. Maka dari itu, penduduk Desa Pemo sebagai desa terdekat dari Danau Kelimutu ini menganggap Kelimutu sebagai tempat sakral. Sementara itu, para peneliti menjelaskan, perubahan warna di Danau Kelimutu disebabkan oleh adanya kandungan mineral yang mengalami proses kimiawi. Proses kimiawi tersebut merupakan bagian dari aktivitas Gunung Kelimutu.
Destinasi Wisata Tak dapat dipungkiri lagi keindahan Danau Kelimutu sudah sejak lama menarik banyak wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Untuk mencapai Danau Kelimutu, pengunjung harus menempuh perjalanan sekitar satu jam dengan berjalan kaki. Namun, luasnya hamparan padang rumput akan menemani pengunjung sepanjang perjalanan menuju danau tiga warna ini. “Saya ingin datang lagi ke sini bersama keluarga saya. Pemandangannya benar-benar indah,” ungkap salah satu pengunjung Danau Kelimutu asal Bandung, Hendra. Sebagai Objek Daerah Tujuan Wisata (ODTW), fasilitas di Danau Kelimutu terbilang cukup lengkap, seperti adanya toilet, kios-kios makanan dan minuman, tempat sampah, serta bangku sederhana untuk sekadar duduk menikmati pemandangan. Sama halnya dengan kebanyakan destinasi wisata alam lainnya, untuk memasuki kawasan Danau Kelimutu pengunjung harus membayar tiket masuk sebesar Rp15.000. “Setiap pengunjung dikenakan biaya masuk Taman Nasional Kelimutu sebesar Rp15.000. Dana tersebut
dialokasikan untuk perawatan dan pengelolaan baik fasilitas maupun rehabilitasi dan kelestarian hutan alam Gunung Kelimutu sebagai hutan lindung,” jelas Kepala Balai Taman
“
Saya ingin datang lagi ke sini bersama keluarga saya. Pemandangannya benar-benar indah
”
Hendra. Pengunjung Danau Kelimutu
Nasional Kelimutu, Gatot Soebiantoro, saat dihubungi melalui saluran telepon. Gatot menambahkan, jumlah pengunjung Kelimutu dapat mencapai ribuan apalagi saat akhir pekan. Ia beranggapan bahwa tingginya jumlah wisatawan tidak hanya karena daya tarik
dari Danau Kelimutu itu sendiri, tetapi juga karena mudahnya akses untuk mencapai lokasi wisata alam tersebut. Berjarak sekitar satu jam dari pusat Kabupaten Ende, Flores, menggunakan kendaraan bermotor, tentu saja tidak menjadi kendala bagi pengunjung datang ke sana. Bahkan, banyak pula kendaraan umum untuk mengantar wisatawan dari Labuan Bajo atau Kabupaten Manggarai yang juga merupakan destinasi wisata unggulan di Flores. “Keseimbangan ekosistem di Kawasan Kelimutu menjadi perhatian besar bagi pengelola dan pemerintah. Potensi Kelimutu sebagai objek wisata yang cukup besar tidak menjadi alasan Kelimutu menjadi objek ekploitasi,” tegas Gatot. Pernyataan Gatot bukan hisapan jempol belaka. Sepanjang jalan di kawasan Taman Wisata Alam Kelimutu akan sangat jarang ditemukan sampah yang notabene identik dengan objek wisata. Hal tersebut senada pula dengan keyakinan Suku Pemo. Mereka sebagai suku adat setempat yakin Kelimutu adalah penjaga kestabilan alam, juga gudang air di daerah Nusa Tenggara Timur.
SAPHARA
|9
LAPORAN UTAMA
AIR MATA MATA AIR Teks & Foto: Panji Arief Sumirat & Dina Aqmarina Yanuary
SAPHARA
| 10
Dulu, sewaktu kita masih duduk di bangku Sekolah Dasar, kita mempelajari ada dua jenis sumber daya alam di Bumi ini, yakni sumber daya alam yang bisa diperbaharui, seperti air, udara, tanah. Lalu, ada juga sumber daya alam yang tak bisa atau butuh waktu yang lama untuk diperbaharui, seperti minyak dan gas bumi. Lantas, bila melihat dari fenomena sekarang, khususnya di daerah Bandung, Jawa Barat, tampaknya air kini tak lagi menjadi sumber daya alam yang bisa diperbaharui dengan mudahnya. Sedangkan jumlah penduduk semakin banyak, pembangunan industri pun semakin pesat, lahan terbuka seperti sawah, dan hutan yang seharusnya menjadi tempat parkir air hujan, sekarang semakin minim keberadaannya. Air sudah tak mudah lagi untuk diproduksi ulang. Belum lagi perusahaan industri yang bermain nakal dalam peraturan air tanah. Akankah Indonesia kelak mengalami krisis air seperti di Afrika?
SAPHARA
| 11
LAPORAN UTAMA
TETES AKHIR HAK YANG TERKIKIS Mendung menggelayut di langit Bandung sore itu. Rerintikan hujan mulai membasahi bumi. Meski sekarang hujan sering menyapa kota lautan api ini, daerah pemukiman padat di kawasan belakang Jalan Braga, Bandung masih kesulitan air.
“Sudah sehari semalam air PDAM warga di sini mati,” tutur Imam Sadikin, ketua rukun warga (RW) 08, Gg. Cikapundung Kelurahan Braga, Kecamatan Sumur Bandung. Sejak didirikannya Braga City Walk pada 2001, aliran air tanah ke rumah warga Kelurahan Braga menjadi tersendat. Karena hal itu, warga pun memutuskan untuk menggunakan air PDAM. Namun, ternyata air PAM pun sering tidak mengalir, kadang semalaman, bahkan bisa juga hingga sehari semalam seperti pada Sabtu (22/11) silam. Meskipun pihak Braga City Walk sudah memberikan berbagai kompensasi kepada warga, seperti pembangunan aula untuk warga, renovasi Taman Kanak-kanak, pembuatan tempat mandi, cuci, kakus (MCK), dan pembuatan saluran air ke penampungan di RW 04 dan 08, tapi warga kerap kali mengalami kesulitan air. “Kadang air itu dijatah keluarnya. Biasanya dari pagi sampai siang air keluar. Kalau sore, air berhenti,” ucap Mira, warga Gg. Cikapundung RW 04 Kelurahan Braga, Kecamatan Sumur Bandung.
SAPHARA
| 12
Kesulitan memperoleh air pun tak hanya dialami oleh warga Kecamatan Sumur Bandung, tapi juga seperti halnya Prastiwi, warga Kelurahan Antapani Tengah Kecamatan Cicadas, Bandung. Ia menuturkan, di daerah rumahnya sulit memperoleh air tanah yang bersih. “Airnya suka ada genangan minyaknya. Jadi, kami harus menggunakan kaporit untuk membeningkan air,“ ucap wanita asli Purworejo ini. Prastiwi sudah menetap di Antapani sejak satu dekade silam. Mulanya daerah Antapani tengah ini termasuk kawasan pesawahan, tapi sekarang sudah menjadi kawasan perumahan. Hal ini menurut Prastiwi, membuat kualitas air tanah di daerahnya tergolong tidak bagus. Prastiwi tidak menggunakan PAM karena kala itu PDAM mengatakan tak ada jalur yang cocok untuk melakukan pemasangan pipa ke rumahnya. “Makanya, saya biasanya beli air bersih ke depot isi ulang atau gerobak air yang suka lewat,” ujar Prastiwi. Tak Ada Wilayah Resapan Kesulitan memperoleh air tanah
di Kota Bandung mengindikasikan sudah berkurangnya jumlah air tanah atau bisa dikatakan masuk pada tahap kelangkaan air. Ditemui di kantornya Jl. Piit No.5 Bandung, Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat Dadan Ramdan, memaparkan beberapa penyebab mengapa salah satu sumber mata air tersebut bisa berada pada zona kritis di Kota Bandung. “Zona kritis terjadi karena kuantitas ketersediaan air bawah tanah makin berkurang karena tingkat resapannya antara 0 sd 12 %, dan kemampuan tanah di Kota Bandung meresap air berada di bawah angka 12%,” papar Dadan. Sejalan dengan paparan Dadan, data peta zonasi air tanah dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Barat menunjukkan Kota Bandung sendiri tak memiliki kawasan daerah resapan air. Hal itu menjadi faktor utama mengapa kelangkaan air tanah bisa terjadi di kota kembang ini. Dalam peta zonasi tersebut beberapa titik zona rawan dan kritis di Kota Bandung antara lain, Sumur Bandung, Cicendo, Andir, Sukajadi, Kiara
Condong, Cicadas, dan Arcamanik. Zona rawan terjadi pada daerah yang memiliki penurunan muka air tanah sekitar 40%60%. Sedangkan zona kritis terjadi pada daerah yang memiliki penurunan muka air tanah lebih dari 80%, dan sudah tercemar oleh logam berat. Kemampuan tanah yang terus berkurang untuk meresap air membuat air hujan pada musim hujan banyak yang mengalir langsung ke sungai-sungai. Hal ini juga diamini Dosen Hidrologi Fakultas Teknologi Industri Pangan (FTIP) Universitas Padjadjaran, Chay Asdak. Ia memaparkan bila faktor bertambahnya jumlah penduduk juga menjadi salah satu hal yang memengaruhi daerah resapan air. “Sawah itu seharusnya menjadi tempat parkir air, tapi sekarang sawah sudah dijadikan perumahan. Sehingga tempat yang seharusnya meresap air hujan, malah menjadi banjir dan air hujan pun mengalir sia-sia,” jelas Asdak. Selain perumahan, perusahaanperusahaan komersilpun memengaruhi air tanah di Kota Bandung. Pada 1970an, jumlah volume pengambilan air tanah di Kota Bandung, meningkat drastis kala mulai munculnya perusahaan komersil seperti pabrik, restoran, dan hotel. Perusahaan-perusahaan tersebut kerap bermain licik dalam menggunakan air tanah. “Masih banyak perusahaan yang mengambil air bawah tanah secara berlebihan, tidak sesuai dengan kesepakatan yang sudah dibuat dengan pemerintah terkait, dan ada juga sekitar 5000 sumur artesis ilegal,” ujar Dadan. Sejalan dengan pemaparan Da-
dan, Kepala Bidang Pengelolaan Air Tanah dan Energi Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung, Lita Endang juga mengatakan bila banyak problematika yang terjadi terkait air tanah di Kota Bandung. “Banyak perusahaan yang nakal, misalnya dengan melubangi pipa-pipa artesis, sehingga menyedot air tanah dangkal yang seharusnya untuk masyarakat,” ucap Lita. Hal tersebut membuat permukaan air tanah menjadi turun, sehingga itulah mengapa warga sering mengalami kesulitan air bila di dekat daerahnya terdapat perusahaan komersil. Hak yang Terkikis “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.” Seharusnya bila berangkat dari UU No.7 pasal 5 tahun 2004 ini, kesejahteraan masyarakat atas air sudah dijamin. Namun, bila melihat fakta di lapangan, nyatanya hak warga atas air tanah pun terkikis oleh laju pesatnya pembangunan perusahaan-perusahaan komersil. Seperti kasus Mira di Kecamatan Sumur Bandung, dan Prastiwi di Kecamatan Cicadas. Mereka merupakan contoh kecil dari gagalnya penegakan peraturan di Indonesia. Melihat fenomena tersebut, Dadan berpendapat, sejatinya hak atas air adalah hak asasi manusia. Air adalah barang sosial yang memiliki fungsi sosial. Air memiliki fungsi sosial. Namun,
sekarang fungsi itu sudah berubah, air menjadi barang privat dan fungsi ekonomi. “Karena sulitnya memperoleh air tanah, dan bila ada air tanah tapi kadang tidak layak digunakan, sehingga sekarang mulailah muncul penjualan air. Padahal seharusnya air itu bebas dimiliki oleh semua orang,” kata Ketua Walhi Jawa Barat ini. Meskipun perusahaan-perusahaan komersil tersebut sudah memberikan kompensasi pada warga sekitar, tapi hal tersebut tak menyelesaikan masalah. Asdak menilai, hal tersebut hanya untuk meredam konflik sementara saja agar terlihat damai dari kedua belah pihak. Namun, sebenarnya kompensasi tidak bisa menjadi solusi atas pemenuhan hak warga terhadap air. “Industri oke lah bila mereka memberikan air kepada warga, memang tidak terjadi konflik, tapi lihat akibatnya. Air muka tanah menjadi menurun dan jumlahnya pun merosot,” ucap Asdak saat ditemui di FTIP seusai seminarnya mengenai pengelolaan air tanah. Otomatis, bila hak masyarakat atas air tak terpenuhi, tentunya mereka akan mencari solusi lain dengan cara membeli air. Padahal, dalam peraturan UU No.7 tahun 2004 dan Perda No.3 tahun 2012 sudah dijelaskan bila sumber daya air seharusnya bisa diperoleh secara bebas oleh masyarakat. Di sini lah segelintir orang mulai mencari peluang dengan menjual air. Lantas, apakah komersialisasi air itu patut dilakukan, sedangkan air adalah hak semua orang?
“
Sawah itu seharusnya menjadi tempat parkir air, tapi sekarang sawah sudah dijadikan perumahan. Sehingga tempat yang seharusnya meresap air hujan, malah menjadi banjir dan air hujan pun mengalir sia-sia
”
Chay Asdak. Dosen Hidrologi Fakultas FTIP Unpad
SAPHARA
| 13
LAPORAN UTAMA
JUAL-BELI KEBUTUHAN HIDUP Tempat tinggal Prastiwi berada di dalam gang sempit pemukiman padat penduduk. Untuk melalui gang tersebut, pengguna sepeda motor harus bergantian dengan kendaraan dari arah berlawanan. Bagian depan rumah Prastiwi adalah sebuah warung kecil untuk menambah pendapatan sehari-harinya. Di warung tersebut, setiap pagi Prastiwi biasa menunggu datangnya penjual air keliling langganannya.
P
rastiwi, warga Kelurahan Antapani Tengah, Kecamatan Cicadas, Kota Bandung menggunakan air setiap harinya untuk kebutuhan mencuci, mandi, dan minum. Prastiwi mengaku mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhannya dari sumber air yang berbeda-beda. Prastiwi merasa beruntung karena air sumurnya masih bisa digunakan, meskipun dengan keadaan yang tidak layak digunakan. Sadar akan kualitas air tanah rumahnya yang tidak layak untuk dikonsumsi, Prastiwi terbiasa dengan membeli air di penjual air keliling dengan harga Rp2.500 per jerigen. Menurut Prastiwi, air yang dijual oleh penjual air keliling tersebut adalah air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang layak dikonsumsi meski harus dimasak
SAPHARA
| 14
terlebih dahulu. Prastiwi juga terbiasa membeli air dari depot-depot air isi ulang disekitar rumahnya. Dengan uang Rp4.000, Prastiwi bisa menikmati sekitar 19 liter air untuk masak dan minum. “Air sumur di rumah saya masih ada airnya, terutama pas lagi musim hujan, kalau kemarau kadang kering enggak ada airnya. Kalau ada juga bisa dipakai paling cuma buat mandi sama cuci saja, karena airnya keruh dan berminyak,� ucap Prastiwi. Dengan keadaan air tanah yang tidak layak digunakan, Prastiwi memiliki beberapa cara untuk meminimalisasi buruknya kualitas air tanah rumahnya. Prastiwi menggunakan bantuan mesin jet pump untuk mengambil air tanah dari sumur bor miliknya. Setelah air berhasil keluar, Prastiwi menampungnya pada
sebuah wadah air besar kemudian mencampurnya dengan penjernih air berupa kaporit dan tawas. Jika sudah terlihat jernih dan kotoran sudah mengendap di bagian bawah wadah, Prastiwi dapat menggunakan air tersebut untuk mandi dan mencuci. “Masalahnya kalau air jernih belum tentu layak buat minum sama masak, jadinya saya pakai buat mandi sama cuci saja, daripada harus keluar uang buat berobat gara-gara sakit,� tambah Prastiwi. Kebutuhan terhadap air dari waktu ke waktu semakin meningkat seiring dengan berkembangnya jumlah populasi manusia. Tidak dapat dipungkiri, manusia tidak bisa hidup tanpa air. Manusia menggunakan air untuk berbagai kebutuhan seperti mencuci, mandi,
memasak, dan minum. Kenyataan itu mengharuskan manusia untuk berusaha mencari air dengan berbagai cara, termasuk membeli air. Membeli air tidak hanya dilakukan oleh Prastiwi, para tetangga Prastiwi juga menempuh cara yang sama untuk mendapatkan air. Daerah Antapani dan Arcamanik masuk dalam zona kritis air tanah, dalam peta zonasi konservasi air tanah yang dikeluarkan oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Barat. Karena keadaan itu mengharuskan warga untuk mendapatkan air dengan cara membeli untuk dikonsumsi. Musim Air di Pasirwangi Berangkat dari kebutuhan masyarakat terhadap air yang semakin meningkat, Uju, warga Kelurahan Pasirwangi, Kecamatan Ujungberung mencoba peruntungan dengan bisnis penjualan air. Uju melihat peluang yang besar dari bisnis air, ketika merintis usaha penjualan air miliknya pada 2004. Dengan modal yang tidak sedikit, Uju membuat sebuah pangkalan air yang terletak sekitar lima meter dari rumahnya. “Modalnya enggak sedikit buat bangun pangkalan air, sekitar seratus juta habis buat keperluan bangun pangkalan air. Modalnya dari jual rumah, jual sawah, sampai meminjam ke bank untuk pangkalan air ini,” kata Uju, ketika ditemui di pangkalan air miliknya. Pangkalan air milik Uju mendapat suplai air yang melimpah dari mata air miliknya. Mata air milik Uju jaraknya sekitar tujuh kilometer dari pangkalan air miliknya. Uju membuat jaringan pipa air untuk mengalirkan air yang berasal dari mata air ke pangkalan air. Di pang-
kalan air, air ditampung dalam bak besar untuk kemudian dipindahkan kembali ke truk-truk tangki air. Lalu lalang truk air menjadi pemandangan biasa di jalan utama Pasirwangi. “Kalau sekarang mah disini lagi musim air, banyak orang jualan air di Pasirwangi,” ucap Uju. Air yang dijual Uju dibanderol dengan harga Rp20.000 per 5.000 liter atau lima kubik air. Uju tidak sendiri dalam menjalankan bisnis airnya, Uju bekerja sama dengan beberapa pemilik truk tangki untuk mendistribusikan air kepada pelanggan-pelanggan di Kota Bandung dan sekitarnya. Satu truk tangki pembawa air berkapasitas 5.000 liter air, pada bagian tangki air ditempeli tulisan “Air Pegunungan” atau “Air Gunung”, truk-truk ini dengan mudah ditemui di jalanan Kota Bandung. Pemilik truk yang membeli air dari pangkalan air dengan harga Rp20.000, dijual kembali dengan kisaran harga Rp100.000 dan Rp200.000. Harga yang dipatok pemilik truk berdasarkan jauh dekatnya pelanggan air. Pembeli air biasanya depot-depot air isi ulang di Kota Bandung dan sekitarnya. Pembeli air juga berdatangan dari berbagai perusahaan yang membutuhkan air untuk operasionalnya. “Harga satu tangki air berbedabeda, tergantung yang beli air di mana posisinya. Kalau yang beli misalnya di daerah Ujungberung atau Cibiru, bisa Rp100.000 kalau yang beli sekitar Cililin atau Padalarang bisa sampai Rp200.000. Tergantung solar yang dipakai,” ujar Irfan, supir mobil tangki pembawa air asal Pasirwangi. Irfan biasa mengambil air dari pangkalan air milik Uju, pelanggan tetapnya ada di sekitaran Buah Batu,
Dayeuhkolot, dan Kopo. Irfan biasa membanderol dengan harga Rp150.000 per satu tangki ke tiga daerah tersebut. Para pelanggan tetapnya adalah pemilik depot air isi ulang. Kemudian depot isi ulang biasa menjual air dengan harga Rp4.000 per satu wadah air berukuran 19 liter. Pembeli air dari depot isi ulang tersebut adalah masyarakat sekitar depot yang membutuhkan air bersih. Jika dikalkulasikan, depot isi ulang dapat menjual sekitar 263 wadah air dari setiap pembelian 5.000 liter air dari truk air. Jika dikalikan dengan harga per satu wadah air, depot isi ulang air memeroleh keuntungan kotor sekitar Rp1.052.000. Keuntungan besar ini dibenarkan oleh Uju, selain memiliki pangkalan air, Uju juga memiliki sebuah depot isi ulang air minum di Pasirwangi. Masalah kualitas air yang dijualnya, Uju yakin airnya aman untuk langsung dikonsumsi. “Pangkalan air saya sudah diuji oleh laboratorium secara berkala, ada bukti-bukti pengujiannya. Bukti pengujian laboratorium itu juga digunakan untuk meyakinkan orang yang beli air di saya. Saya berani jamin kalau air yang saya jual aman dan layak buat diminum,” kata Uju, sembari menunjuk depot air miliknya. Uju merupakan satu dari sepuluh pemilik pangkalan air di Pasirwangi, yang. Pangkalan air juga bukan hanya ada di Pasirwangi, melainkan tersebar di daerah-daerah sekitar Kota Bandung. Para penjual air mendapat kucuran rezeki lebih dari kucuran air yang diperjualbelikan. Air yang bisa dimanfaatkan dengan cuma-cuma oleh masyarakat, kini menjadi kebutuhan yang harus dibeli akibat sulitnya memeroleh air di perkotaan.
“
Masalahnya kalau air jernih belum tentu layak buat minum sama masak, jadinya saya pakai buat mandi sama cuci saja, daripada harus keluar uang buat berobat gara-gara sakit
”
Prastiwi. Warga Antapani Tengah, Kota Bandung
SAPHARA
| 15
LAPORAN UTAMA
Sumber Foto: grahateknikabadi.com
GARIS BATAS PENGGUNAAN AIR TANAH
“Kalau ada pemeriksaan dari pemerintah atau polisi, saya siap menunjukkan bukti-bukti kalau usaha air milik saya punya izin yang jelas,” ucap Agus, pengusaha pangkalan air di Kelurahan Pasirwangi, Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung.
A
ir tanah adalah Sumber Daya Alam (SDA) yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh manusia. Meskipun begitu, regulasi pemakain air diatur jelas oleh negara. Di Kota Bandung sendiri, regulasi penggunaan air diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung, Nomor 03 Tahun 2012 tentang pengelolaan air ta-nah. Perda ini disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Walikota, dan Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung. Fungsinya seperti apa yang tercantum dalam Pasal 3, yaitu agar terkendalinya pemanfaatan sumber daya air secara bijaksana sesuai dengan daya suplainya.
SAPHARA
| 16
Staf Kasi Data dan Informasi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (SDM) Jawa Barat, Rizky Sontana, menjelaskan Kota Bandung sudah masuk dalam zona kritis air tanah. Dalam peta zonasi konservasi air tanah yang dibuat Dinas ESDM Jawa Barat, dapat dilihat beberapa wilayah di Kota Bandung yang tergolong dalam zona kritis air tanah. Rizky menjelaskan, kelangkaan air tanah di Kota Bandung disebabkan oleh pemakaian air tanah yang sangat tinggi. “Selain digunakan oleh masyarakat, air tanah juga digunakan oleh perusahaan-perusahaan seperti pabrik, pusat perbelanjaan, apartemen, dan
hotel. Misalnya pabrik, biasanya menggunakan lebih dari satu sumur air tanah, pemantauannya harus jelas agar terkontrol penggunaannya,” ujar Rizky ketika ditemui di Kantor Dinas ESDM Jawa Barat, Jalan Sukarno Hatta No.576 Kota Bandung. Menurut Rizky, Dinas ESDM Jawa Barat memfokuskan regulasi penggunaan air tanah yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar. Perusahaanperusahaan besar menggunakan air dengan jumlah air yang sangat besar setiap harinya. Sumber air yang digunakan perusahaan juga harus berbeda dengan sumber air yang digunakan oleh masyarakat. Rizky menjelaskan, masyarakat menggunakan sumber air tanah dangkal untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan perusahaan besar menggunakan sumber air tanah dalam atau artesis untuk kebutuhannya. “Jika perusahaan menggunakan prosedur pengambilan air yang baik dan benar, tidak ada pengaruhnya dengan sumur air tanah warga di sekitar perusahaan itu. Perusahaan bisa mengambil air, sumur warga sekitar juga aman karena berbeda lapisan air tanah,” tambah Rizky. Selain pengambilan air tanah yang baik dan benar, setiap pemanfaatan air tanah harus jelas izin penggunaannya. Perizinan terkait penggunaan air tanah diatur dalam bab kelima, Perda Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2012. Kepala Bidang Pengelolaan Air Tanah dan Energi BPLH Kota Bandung, Lita Endang, menjelaskan setiap masyarakat
Sumber Foto: suarapubliknews.files.wordpress.com
Kota Bandung yang memanfaatkan air tanah untuk usaha atau komersil, harus memiliki izin yang jelas dan sesuai prosedur yang sudah ditentukan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung. “Bukan cuma perusahaan besar saja yang wajib mengurus izin penggunaan air tanah, perusahaan kecil rumahan juga perlu mengurus izin jika menggunakan air tanah sebagai kebutuhan utamanya. Misalnya usaha cuci mobil atau laundry. Izin juga tidak melihat kedalaman sumur yang dipakai untuk usaha. Kecuali warga menggunakan air tanah untuk kebutuhan seharihari, tidak perlu izin dari pemerintah,” ucap Lita saat ditemui di Kantor BPLH Kota Bandung. Lita menjelaskan, prosedur untuk memeroleh izin pemanfaatan air dimulai dari pendaftaran izin di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Kota Bandung. BPPT bekerja sama dengan BPLH Kota Bandung dan Dinas ESDM Jawa Barat, untuk mengecek keadaan tempat yang mengajukan izin pengambilan air. Kemudian BPLH dan Dinas ESDM mengeluarkan Rekomendasi Teknis (Rektek), terkait keadaan air tanah di lokasi yang diajukan. Setelah Rektek sudah selesai, BPPT bisa memutuskan diizinkan atau tidaknya untuk memanfaatkan air di daerah tersebut. “Setiap perusahaan yang diberikan izin memanfaatkan air tanah, wajib melakukan konservasi terhadap air tanah yang sudah digunakan,” kata Lita. Menurut Lita, upaya konservasi air tanah yang bisa dilakukan perusahaan adalah dengan membuat sumur
imbuhan. Sumur imbuhan dibuat untuk memasukan air hujan atau air bekas pakai. Jika sumur yang digali sedalam 100 meter, maka sumur imbuhan juga dibuat sumur imbuhan sedalam 100 meter. Upaya konservasi lain yang bisa ditempuh perusahaan adalah pembuatan sumur resapan di sekitar perusahaan. Bisa juga dengan upaya penghijauan di sekitar perusahaan.
“
Bukan cuma perusahaan besar saja yang wajib mengurus izin penggunaan air tanah, perusahaan kecil rumahan juga perlu mengurus izin jika menggunakan air tanah sebagai kebutuhan utamanya
”
Lita Endang. Kepala Bidang Pengelolaan Air Tanah dan Energi BPLH Kota Bandung
Selain upaya konservasi, Lita juga mengatakan setiap perusahaan yang sudah memeroleh izin memanfaatkan air wajib membayar pajak air tanah. Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung mematok besaran pajak sebesar Rp5.000 per kubiknya. Harga ini masih jauh jika dibandingkan dengan pajak air di Kota Surabaya yang besarannya mencapai Rp25.000 per kubiknya. Pajak air ini diberlakukan agar setiap perusahaan bijak dalam menggunakan
air tanah. Lita juga membenarkan adanya pelanggaran yang kerap dilakukan perusahaan dalam pemanfaatan air. Pelanggaran yang dilakukan perusahaan seperti tidak memperpanjang izin pemanfaatan air, tidak melakukan usaha konservasi air tanah, membuat sumur air tanah diluar lokasi yang ditentukan oleh pemerintah, dan menunggak pembayaran pajak. “BPLH bertugas untuk mengawasi dan pengendalian. BPLH juga melakukan penertiban perusahaan yang melanggar peraturan. Ada timnya, terdiri dari Kejaksaan, Kepolisian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Pelayanan Pajak, BPLH, BPPT yang mengeluarkan izin, bagian hukum, dan ESDM,” jelas Lita. Perda Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2012 dalam Pasal 66 mengatur sanksi administratif bagi perusahaan pemegang izin yang melang gar ketentuan yang ada. Sanksi administratif yang diberikan diberikan bertahap. Dimulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara seluruh kegiatan, dan pencabutan izin penggunaan air. “Setiap pemanfaatan air tanah harus diikuti dengan penggunaan air yang bijak. Regulasi yang dibuat oleh pemerintah berfungsi agar keseimbangan air tanah tetap terjaga untuk anak cucu di masa yang akan datang. Jangan menunggu air habis untuk melakukan upaya konservasi. Hal kecil untuk menyelamatkan air berdampak besar bagi kehidupan yang akan datang,” tutup Lita.
SAPHARA
| 17
LAPORAN UTAMA
Sumber Foto: http://alamendah.org
TANAM AIR UNTUK MATA AIR “Ketika sungai-sungai kotor Mata air terkontaminasi Ketika air tanah berlimbah Jangan cuma diam dan menunggu Berbuatlah untuk air”
S
epenggal lirik lagu Krisis Air ciptaan Slank ini menjadi sentilan tajam bagi kita agar tak hanya diam dan menunggu untuk berbuat sesuatu terhadap air. Fenomena kelangkaan air bersih di beberapa titik Kota Bandung menjadi contoh agar masyarakat bisa lebih bijak menggunakan air. Ada banyak langkah yang bisa kita lakukan untuk memperbaharui air, dengan memulainya dari hal kecil, seperti membenahi perilaku konsumtif terhadap air. Selain itu, bisa juga dengan melakukan penanaman air atau yang kita kenal dengan nama biopori. Biopori, hal yang tak asing didengar di telinga kita, apalagi bagi warga Bandung. Sejak Ridwan Kamil terpilih menjadi orang nomor satu di Bandung, ia mulai menggalakan gerakan satu juta biopori. Namun, apakah tabung berlubang sedalam dua meter ini bisa menjadi solusi efektif untuk konservasi air? Menurut Kepala Bidang Pengelolaan Air Tanah dan Energi BPLH Kota Bandung Lita Endang pada dasarnya biopori sangat berguna untuk tanah dangkal karena mengurangi genangan, menggemburkan tanah, dan meresapkan air. Namun, ukurannya yang hanya beberapa meter saja tak bisa berdampak besar pada air tanah yang dieksploitasi oleh perusahaan
SAPHARA
| 18
komersial. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Dosen Teknik Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Fakultas Teknik Industri Pertanian (FTIP) Universitas Padjadjaran, Chay Asdak. Ia menuturkan, biopori tak bisa menjadi solusi yang efektif untuk mengonservasi air. Ada hal yang lebih efektif dibandingkan biopori. “Kolam itu lebih efektif dibandingkan biopori. Tidak hanya dalam skala besar saja, tapi juga bikin yang kecil-kecil. Small is beautiful because small is managable. Gunanya untuk menjaga infiltrasi air,” ucap Asdak. Pembuatan biopori nyatanya tak semudah yang dibayangkan. Tidak semua wilayah bisa dijadikan lahan penanaman biopori. Dosen Geologi Lingkungan Fakultas Teknik Geologi Unpad Sapari Dwi Hadian mengatakan, sebelum melakukan penanaman biopori, terlebih dahulu harus dilakukan penelitian terhadap bebatuan yang ada di daerah tersebut. “Tidak semua batuan bisa dibuat biopori. Permeabilitasnya harus diukur dulu. Seharusnya ada pemetaan detail, pemetaan geoteknik, pembuatan peta hidrogeologi dengan skala yang detail. Malah salah-salah bisa menjadi longsor,” jelas Sapari. Lantas, solusi lain untuk mulai mengonservasi air dari ranah kecil menurut Lita, bisa dilakukan dengan
membuat resapan di rumah masingmasing. Tidak membangun rumahnya dari beton saja, tapi juga menggunakan paving block. Selain itu, bisa dengan mendaur ulang air, seperti air bekas cucian sayur dan ikan, juga tampungan air hujan digunakan untuk menyiram tanaman. Lalu, tambah Lita, kita juga bisa mengubah kebiasaan mandi kita dari menggunakan gayung menjadi menggunakan shower agar bisa lebih menghemat air. Konservasi Artesis Banyak hal kecil yang bisa kita lakukan untuk mengonservasi air tanah dangkal. Namun, bagi warga biasa yang menggunakan air tanah dangkal atau aquifer, belum bisa melakukan konservasi untuk air tanah dalam atau artesis. Air tanah dalam ini lebih banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan komersil seperti, hotel, pabrik, restoran, dan apartemen. Oleh karena itu, Lita mengaku, BPLH sendiri memberikan imbauan kepada perusahaan untuk harus membuat sumur imbuhan dalam. “Kalau perusahaan tersebut buat sumur artesis 100 meter, dia harus menggali sumur imbuhan 100 meter juga. Selain itu, perusahaan tersebut juga harus membuat sumur-sumur resapan. Di Bandung sendiri, baru Trans Studio Mall yang membuatnya,” ungkap Lita.
Sumber Foto: www.radiodfm.com
Solusi lain datang juga dari Chay Asdak. Menurutnya, solusi untuk zona kritis di Kota Bandung yang masih tedapat banyak perusahaan komersil dengan cara membatasi penggunaan dan mengurangi kedalaman air tanahnya. “Regulasi pajak tak cukup untuk membatasi eksploitasi air tanah. Perusahaan harus menggunakan air hujan untuk menutupi sisa kebutuhannya terhadap air tanah,” ucap Asdak. Oleh karena itu menurutnya, di basement mall harus ada semacam sumur besar sebagai parkir air hujan (rain water adversting) yang mana air tersebut bisa digunakan untuk mendinginkan mesin agar tidak korosi. Jadi, tak perlu boros menggunakan air tanah karena air hujan pun mampu untuk mencegah korosi. Selain pembenahan dari perusahaan, regulasi yang dibuat oleh pemerintah soal air tanah pun perlu dibenahi. Menurut Ketua Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan, pemerintah harus membangun sistem tata kelola air yang lebih baik dalam regulasi maupun dalam implementasinya. “Harus ada tindak tegas bagi pelaku-pelaku pelanggaran, pencurian air. Batasi izin pengambilan dan pengusahaan air tanah pun harus dilakukan,” ujar Dadan. Solusi untuk mengonservasi air
tanah ini juga bisa dimulai dengan membenahi visi dan misi Kota Bandung. Sapari menuturkan, visi dan misi Kota Bandung harus ditentukan mau dijadikan sebagai kota pemerintahan atau ko-
“
Harus ada tindak tegas bagi pelakupelaku pelanggaran, pencurian air. Batasi izin pengambilan dan pengusahaan air tanah pun harus dilakukan
”
Dadan Ramdan. Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat
ta industri. Penggunaan air tanah secara besar-besaran, bisa mengakibat-kan sadelan, atau subsidance di kawan tersebut. Jadi, harus ditentukan zona resapan dan zona wahana berada sebelah mana. “Karena idealnya untuk techno park itu kita bedakan kota metropolitan, kota industri, kota, pemerintahan, jadi tidak disatukan seperti Bandung saat ini,” ungkap Sapari. Warisi Mata Air, Bukan Air Mata Menurut data m.jurnas.com tercatat Bandung memiliki hampir 400 mata air. Sekarang hanya sekitar 70 titik yang masih berfungsi dan sebagian besar sudah tidak mengeluarkan air lagi. Bagaimana kondisi 10 hingga 30 tahun yang akan datang? Masih adakah mata air untuk anak dan cucu kita kelak? Tentunya, menurut Dadan, harus ada upaya untuk melakukan konservasi air sehingga krisis air tidak terjadi, dan siklus air tetap berjalan. Lita pun menambahkan, kita harus memperlakukan lingkungan itu dengan baik. Jangan karena merasa punya uang jadi memperlakukan lingkungan dan sumber daya alam, terutama air dengan seenaknya. “Bagaimana kalau lingkungan sudah tidak mendukung? Apa uang bisa menggantikannya lingkungan?,” ujar Lita.
SAPHARA
| 19
WISATA BUDAYA
Reak, Harta dari Rakyat Pasundan Teks dan Foto: Alfa Ibnu Wijaya
Sorak sorai para tamu mulai meramaikan acara khitanan anak empunya hajat di Kampung Kudang, Cibiru Wetan, seakan menjadi penanda dimulainya acara. Persiapan sesajen, barong, kuda lumping, serta alat musik seperti, tong, brung, bedublak, bedug, terompet, talingtit, angklung, dan kecrek pun sudah selesai dilakukan. Ya, inilah saatnya kelompok Seni Reak Kuda Lumping Juarta Putra memainkan perannya.
S
eni Reak adalah sebuah kesenian yang muncul dari peradaban rakyat jelata (bukan bangsawan;orang biasa) di abad ke-12. Bermula dari masyarakat pedesaan yang sebagian besar berprofesi sebagai buruh tani. Setiap hari, minggu, bulan, hingga tahun mereka melakukan kegiatan yang sama berulang-ulang kali. Bangun pagi, mempersiapkan peralatan, sarapan, dan bekal makan siang, pergi ke ladang atau kebun, beristirahat makan siang, kembali bekerja di ladang atau kebun, kembali kerumah sebelum
SAPHARA
| 20
matahari terbenam, makan malam, kemudian beristirahat lebih cepat agar esok hari bisa bangun lebih pagi untuk mengulang kembali kegiatan yang sama. Namun, ada satu momen berbeda yang selalu mereka tunggu, masa panen. Ketika masa panen datang, mereka (para buruh tani) bersukacita dan melepas kepenatan mereka setelah sekian lama. Mereka memainkan alat musik sederhana yang biasanya mereka buat sendiri, kemudian berkeliling desa untuk membagi kegembiraannya tersebut. Dari sinilah kononnya Seni Reak
lahir, yang dari segi bahasa sunda “susurakan atau eak-eakan� yang berarti sorak-sorai gemuruh tabuhan bunyi alat musik, pemain, dan penontonnya. Mungkin sebagian besar warga Bandung dan sekitarnya masih bertanya-tanya seperti apa Seni Reak itu, seperti Seni Reog kah, seperti Kuda Lumping kah, atau seperti seni-seni lain yang hampir serupa? Bisa dibilang mungkin serupa, tetapi tidak sama persis. Awalnya, Seni Reak hanya berisi permainan alat musik yang ditabuh, karena berkembangnya zaman, ritual sesembahan (penyuguhan sesajen untuk meminta ijin kepada leluhur), seni tari, topeng, serta beragam jenis alat musik, mulai diikutsertakan untuk memeriahkan gelaran Seni Reak. Dimulai dengan ritual sesembahan sebagai pembuka acara, dan dilanjutkan dengan dentuman alat musik tong, brung, bedug, bedublak, dan kecrek sebagai penanda bahwa gelaran Seni Reak benar-benar telah dimulai. Alunan musik tiup seperti talingtit dan terompet pun ikut serta memeriahkan, dengan melantunkan lagu-lagu khas rakyat pasundan. Klimaksnya tari barong dan kuda lumping mulai mengeluarkan taringnya. Sorak sorai dari para pemain membuat suasana seakan hidup
dan mengajak penonton untuk bergembira bersama. Salah Satu Pelopor Seni Reak Kuda Lumping Juarta Putra adalah salah satu pionirnya. Kelompok seni yang bertempat di Kampung Ciguruwik, RT.04/RW.04, Desa Cinunuk ini merupakan generasi ketiga setelah dua generasi sebelumnya ketika masih dipimpin oleh Abah Juarta yang merupakan pendiri dan pencetus kelompok seni ini. Sejak tahun 1930 hingga saat ini kelompok ini masih berdiri
dengan pergantian pengurus serta nama di tahun 2006 lalu. Sejak itulah mulai bermunculan satu persatu grup-grup dan kelompok-kelompok yang memprakarsai Seni Reak. Mulai dari daerahdaerah terpencil yang berada di pinggiran kota, hingga ke kota-kota besar seperti Bandung, Indramayu, dan Sumedang. Budaya dan Keunikan Dari sejarahnya, Seni Reak merupakan salah satu kebudayaan rakyat pasundan yang tidak tergolong muda. Telah 8-abad kira-kira jika benar adanya kebudayaan ini muncul sejak abad ke12. Setiap kebudayaan pasti memiliki keunikan yang membuat suatu kebudayaan berbeda dengan kebuyaan lain, meskipun hampir serupa tetapi tidak sama persis. Seni Reak memiliki keunikan dari segi gelaran acara, pakaian, serta nilai-nilai luhur yang ditanamkan ke dalamnya. Ritual sesembahan selalu dilakukan sebelum memulai gelaran acara, hal ini diperuntukkan untuk mendoakan dan meminta izin kepada leluhur yang telah lebih dulu tiada, sekaligus meminta rahmat dan berkah kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kelancaran selama acara diselenggarakan. Inilah yang membedakan Seni Reak dengan seni kebudayaan lainnya, karena Seni Reak hanya melakukan ritual sebagai pembuka acara. Dari segi pakaian, Seni Reak sama sekali tidak mengharuskan pemainnya untuk menggunakan pakaian tertentu. Diberinya kebebasan dalam berpakaian ketika melakukan Seni Reak, merupakan sebuah simbol kesederhanaan yang ditanamkan kepada lakon atau pelaku Seni Reak. Sedangkan nilai-nilai luhur yang ditanamkan, merupakan nilai-nilai luhur yang sebagian besar menyimbolkan kesederhanaan. Tercermin dari asal mula, peralatan yang digunakan, hingga tujuan dari Seni Reak itu sendiri. Namun, ada satu nilai luhur yang sangat berbeda dari seni kebuyaan lainnya, yaitu ajakan melakukan ibadah sholat bagi yang menganut agama Islam. Abah Kundang, selaku sepuh (yang dituakan) kelompok Seni Reak Kuda Lumping Juarta Putra, menyebutkan, “Diawali dari urutan nama alat musik yang digunakan dalam Seni Reak, yaitu Tong, Brung, Talingtit, Bedublak, Bedug, dan diakhiri dengan Terompet. Urutan nama-nama alat musik ini, dapat dijadikan sebuah kalimat yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti, jangan tidak mau untuk menyegarakan sholat, kemudian disambut
dengan bedug sebagai penanda datangnya Adzan, dan diakhiri dengan terompet sebagai penanda lantunan Adzan”. Perkembangan serta Respon terhadap Seni Reak Berbicara mengenai perkembangan sebuah budaya, biasanya mengacu pada penyempurnaan gerakan, kemajuan serta kesohoran kebudayaan tersebut. “Dari dulu hingga sekarang, belum ada perkembangan serta perubahan signifikan yang terjadi pada Seni Reak. Hanya penyempurnaan urutan acara serta makna dan nilai-nilai luhur yang ditanamkan.”, sebut Kang Dodi Mulyadi, selaku pengurus Seni Reak Kuda Lumping Juarta Putra. Benar saja, mulai dari peralatan serta alat pendukung lainnya telah puluhan taun menemani kelompok ini. Belum ada pembaruan ataupun perawatan yang terjadi, terlihat dari goresan-goresan yang terdapat di sebagian besar alat musiknya. Ketua Prodi Sastra Sunda, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad, Drs. Teddi Muhtadin, M.Hum, menyebutkan, “Suatu kebudayaan dapat berkembang dan maju jika ada penggerak kebudayaan tersebut serta dukungan dari pemerintah untuk menopangnya. Pengaruh publikasi pun merupakan hal yang sangat penting untuk membantu berkembangnya sebuah kebudayaan.”. Hal ini membuktikan bahwa memang dibutuhkan tangan kedua, yaitu pemerintah untuk membantu berkembangnya suatu kebudayaan. “Budaya itu biasanya berasal dari upacara yang dilakukan oleh masyarakat, untuk menunjukkan kebahagiaan dan rasa syukur mereka. Hal ini pun bertujuan untuk berbagi rasa bahagia dan rasa syukur yang mereka rasakan.” sebut Drs. Teddi Muhtadin, M.Hum. Dengan begitu, maka Seni Reak merupakan salah satu dari budaya yang sudah seharusnya dapat dinikmati oleh berbagai kalangan. Dalam kasus ini, tidak perlu ada pihak yang harus disalahkan. Kita sebagai rakyat yang telah dititipkan harta berupa beragam kebudayaan oleh para leluhur, tidak bisa tinggal diam dan hanya menonton. Kita harus menjadi penggerak sekaligus pelopor, jika kita memang merasa sebagai rakyat yang berbudaya. Menurut Kang Dodi Mulyadi, “Seni itu adalah hobi yang harus dilestarikan. Seni Reak adalah kesenian buhun (tua), saya sebagai generasi penerus harus ngamumule (melestarikan) kesenian ini selagi saya masih bisa!”.
SAPHARA
| 21
HALAMAN
Kisah Depot Air Minum Jatinangor Teks & Foto: Resti Octaviani Salah satu kebutukan pokok sehari-hari makhluk hidup di dunia ini yang tidak dapat tergantikan adalah air. Tubuh manusia membutuhkan air untuk menjalani semua sistem dan organ tubuh, bahkan hewan dan tumbuhan pun memerlukan air. Kita mungkin masih bisa hidup untuk beberapa hari tanpa air, tapi membiarkannya lebih dari tujuh hari dapat menyebabkan kematian.
K
ecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat merupakan kawasan pendidikan. Dengan keberadaan empat kampus pendidikan tinggi yang terkenal namanya yaitu Universitas Padjadjaran, Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pemerintahan dalam Negeri (IPDN), dan Institut Koperasi Indonesia, membuat wilayah ini ramai penduduk pendatang yang berasal dari pelbagai penjuru negeri. Banyaknya pendatang di Jatinangor menambah angka kebutuhan air bersih, terutama air minum. Hal tersebut seiring dengan menjamurnya depot air minum di kawasan Jatinangor. Namun, apakah air tersebut aman dikonsumsi? Air yang layak untuk dikonsumsi menurut orang awam tentu saja air yang bersih. Kita sudah diperkenalkan sejak di pendidikan dasar bahwa ciri-ciri air yang
SAPHARA
| 22
layak minum adalah yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Indonesia memiliki ketetapan mengenai air bersih yang mengacu kepada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan industri. Pada Kepmen tersebut terdapat pengertian mengenai Air Bersih yaitu: air yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat diminum apabila dimasak. Pakar Kimia Anorganik FMIPA Unpad, Yusi Deawati, S.Si., M.Si., menjelaskan bahwa bakteri yang mencemari air tidak dinetralisir melainkan dapat dimatikan dengan cara-cara seperti memasak air hingga mendidih,
menyinari air dengan sinar ultraviolet, dan menambahkan ozon pada air (proses ozonisasi). Bakteri juga dapat tersaring sebagian oleh membran pada proses penjernihan air. Berdasarkan data dari Puskesmas Jatinangor pada Desember 2014, terdapat 60 depot air minum dari 12 desa di Jatinangor. Hampir semua depot air minum tersebut menggunakan sinar ultraviolet (UV) untuk mematikan bakteri yang ada sebelum dimasukkan ke dalam air galon isi ulang. Penyinaran ultraviolet (UV) memang merupakan salah satu metode yang dapat dilakukan untuk mensterilkan air dari bakteri. Namun permasalahannya beberapa depot air minum ada yang menyalahgunakan proses penyinaran ini, dengan menggantinya dengan sinar dari lampu biasa, sehingga bakteri tidak mati oleh sinar tersebut.
Hal ini sangat sulit untuk diketahui karena seringkali proses penyinaran ini tidak dapat diamati secara langsung oleh konsumen. Proses pembunuhan bakteri yang aman pada air minum biasanya tidak hanya dilakukan oleh satu metode saja, melainkan dilanjutkan dengan metode lain seperti ozonisasi disamping proses penyinaran dengan sinar UV. Satu-satunya cara untuk mengetahui bakteri telah mati dalam proses penyinaran adalah dengan memeriksakan sampel air di laboratorium. Jangan Digunakan Lebih dari Satu Bulan “Saya melakukan pengecekan air ke laboratorium setiap enam bulan sekali. Namun, sekarang saya telat belum melakukan pengecekan lagi, terakhir 6 April 2014,” ujar Ujang Ihsan (30), salah satu pemiliki depot air minum di Desa Cisaladah, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Dalam sehari Ujang Ihsan dapat menjual 200 galon isi ulang. Ia menghabiskan satu tangki air baku yang berisi 5000 liter air dalam dua hari. Galon yang akan diisi air baku, ia kocok terlebih dahulu dengan alat khusus agar tidak ada kotoran di dalam galon. Air baku tersebut ia dapatkan dari pemasok air baku milik Dadang Kosasih. Dadang Kosasih merupakan salah satu dari dua pemilki terminal air yang ada di kawasan Jatinangor. Air baku bersih yang ia sediakan berasal dari sumber mata air Gunung Manglayang. Ia rutin melakukan pengujian kualitas air ke Laboratorium Balai Pengujian Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Barat setiap tiga bulan sekali. Dalam sehari ia mendistribusikan 40 tangki air baku bersih ke sejumlah daerah di Rancaekek, Jatinangor, dan
Sumedang, serta menjadi pemasok utama air baku bersih untuk salah satu perusahaan air minum terbesar di Bandung. Terdapat tujuh unit mobil armada atau tengki air baku bersih dengan kapasitas 5.000 liter dan 8.000 liter yang beroperasi mulai pukul 05:00 WIB – 22:00 WIB sejak 2005. “Aku ngabisin satu air galon buat dua minggu paling lama,” ujar Setiani Rahma Fauziah mahasiswa Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran angkatan 2014 ketika ditemui di rumah kostnya.
“
Bakteri yang mencemari air dapat dimatikan dengan cara-cara seperti memasak air hingga mendidih, menyinari air dengan sinar ultraviolet, dan menambahkan ozon pada air
”
Yusi Deawati. Pakar Kimia Anorganik FMIPA Unpad
“Sebaiknya air galon isi ulang yang tidak bermerk digunakan tidak lebih dari 1 bulan, untuk mencegah berkembangnya bakteri, jika ada bakteri yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan pengamatan yang pernah saya lakukan, air isi ulang bermerk lebih tahan lama dibandingkan yang tidak bermerk, namun demikian tetap diperlukan kewaspadaan terhadap air isi ulang yang bermerk sekalipun. Jika air berlumut atau keruh, berubah warna, berbau, terdapat partikel-partikel yang mengendap atau mengambang dalam
air, itu indikasi bahwa air sudah tidak layak minum lagi, yang disebabkan oleh perkembangbiakan bakteri atau oksidasi ion-ion logam yang terkandung di dalamnya,” jelas Yusi Deawati ketika diwawancara melalui pesan elektronik. Yusi menambahkan bahwa bakteri yang perlu diwaspadai dalam air minum isi ulang adalah bakteri patogen yang tercantum dalam Kepmenkes yaitu Escherichia colli, Clostridium perfringens, Salmonella. Bakteri patogen tersebut dapat membentuk toksin (racun) setelah periode laten yang singkat yaitu beberapa jam. Keberadaan bakteri coliform (E.coli tergolong jenis bakteri ini) yang banyak ditemui di kotoran manusia dan hewan menunjukkan kualitas sanitasi yang rendah dalam proses pengadaan air. Makin tinggi tingkat kontaminasi bakteri coliform, makin tinggi pula risiko kehadiran bakteri patogen, seperti bakteri Shigella (penyebab muntaber), S. typhii (penyebab typhus), kolera, dan disentri. Pada proses mematikan/ membunuh bakteri akan sekaligus mematikan virus juga. Gejala yang akan dialami konsumen ketika terserang bakteri dalam air yang diminumnya di antaranya adalah muntah-muntah, bermasalah dalam buang air besar (mencret), sakit perut, demam, dan sakit kepala. “Sejauh ini, di Jatinangor belum ada keluhan masyarakat mengenai air minum isi ulang yang dikonsumsinya. Puskesmas melakukan pemantauan terhadap depot air yang ada di Jatinangor meliputi air baku, hasil uji laboratorium, sanitasi gedung, juga peralatan dan perlengkapan yang digunakan,” tutur Sanitarian Kesehatan Lingkungan Puskesmas Jatinangor Eliya Malakomar (38).
SAPHARA
| 23
ACARA
Aksi Hijaukan Gunung Manglayang Teks & Foto: Rakanda Ibrahim Gandapermadi
C
uaca yang mendung dan terlihat kurang bersahabat di Gunung Manglayang, tidak menyurutkan rasa antusias peserta kegiatan penanaman bibit pohon yang bertajuk “FKPAJ Go Green: Kita Berdiri Atas Kesamaan yang Sama Tanpa Perbedaan”. Kegiatan ini diselanggarakan oleh Forum Komunikasi Pecinta Alam Jatinangor (FKPAJ). Acara yang dihadiri oleh organisasi-organisasi pecinta alam di wilayah Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang ini, dilaksanakan pada tanggal 14-15 Desember 2014. Sekitar 545 bibit tanaman akan ditanam di wilayah Gunung Manglayang. Gunung Manglayang sendiri terletak di dua Kabupaten di Jawa Barat, yaitu Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang. Gunung dengan puncak tertinggi setinggi 1818 Meter Diatas Permukaan Laut (MDPL) ini, sangat akrab di telinga para pendaki yang umumnya berasal dari Bandung dan sekitarnya. Gunung Manglayang memiliki dua jalur pendakian yang kerap dilewati pendaki, jalur pertama adalah jalur Barubereum yang terletak di Kabupaten Sumedang. Sedangkan jalur kedua adalah jalur Batu Kuda yang terletak di Kabupaten Bandung. Pada hari pertama kegiatan dimulai pada pukul 08:00 WIB, para peserta mulai mengambil bibit tanaman yang berjumlah kurang lebih 272 bibit tanaman. Bibit tanaman tersebut rencananya akan ditanam di Puncak
SAPHARA
| 24
Prisma atau lebih dikenal dengan sebutan Puncak Bayangan Gunung Manglayang. Antusias yang tinggi ditunjukan oleh para peserta kegiatan ini, lebih dari seratus peserta mendaki ke Puncak Prisma, untuk menanam bibitbibit tersebut. Jalur pendakian Gunung Manglayang yang curam dan licin, tak mengurungkan niat dan semangat mereka untuk membawa dan menanam bibit-bibit pohon tersebut. Setelah kurang lebih menempuh waktu dua jam perjalanan, para peserta mulai mengumpulkan bibit ke tempat yang telah ditentukan panitia. Penanaman di Puncak Prisma tersebut berjalan selama dua jam. Sedangkan pada hari kedua, penanaman dilakukan di Kawasan Barubereum, yang terletak di kaki Gunung Manglayang. Jenis tanaman yang ditanam di Puncak Prisma dengan Barubereum berbeda. Jenis bibit tanaman yang ditanam di Barubereum, umumnya tanaman produksi atau tanaman yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Kegiatan di hari kedua diawali dengan penanaman secara simbolis oleh ketua pelaksana kegiatan dan tokoh masyarakat sekitar. “Puncak Prisma sudah mulai gundul dan melalui penanaman bibit ini diharapkan bisa menyentuh hati pendaki Gunung Manglayang untuk tidak mendirikan kemah di wilayah tersebut karena berbahaya dan
berpotensi mengalami longsor,” ucap Ages, Ketua Pelaksana kegiatan FKPAJ Go Green. Ages menambahkan, dulu Puncak Prisma bisa menampung satu tenda doom berkapasitas sepuluh orang, tetapi sekarang hanya dua tenda saja yang dapat ditampung di wilayah puncak prisma tersebut. Hal ini dikarenakan Puncak Prisma mengalami erosi karena sedikitnya pohon, sehingga tidak bisa menahan tanah dan mengalami penyempitan lahan. “Rencana kedepan akan ada pengontrolan dan pendataan terhadap bibit yang ditanam di Puncak Prisma dan di Kawasan Barubereum,” tambah Ages saat ditemui di sela-sela kegiatan. Para peserta yang terlihat antusias dalam kegiatan ini, tidak melewatkan momen-momen berharga yang dilewati, pemandangan indah di Gunung Manglayang tidak terlewat oleh mata lensa kamera yang peserta bawa. Muhammad Abdul Malik, peserta kegiatan ini sekaligus perwakilan dari Indonesia Go Green, mengatakan kegiatan ini sangat berdampak positif bagi masyarakat luas, terutama masyarakat di sekitar Gunung Manglayang. “Kegiatan yang sangat positif, semoga acara ini berkelanjutan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat serta menjadi langkah awal untuk kita, semoga anak cucu kita bisa menikmati alam yang lebih indah kelak,” tutup Pria yang akrab disapa Abah ini.
BUAH PENA
SAPHARA
| 25
FOTO ESSAY
SAPHARA
| 26
Forum Komunikasi Pecinta Alam Jatinangor (FKPAJ) adalah salah satu wadah berkumpulnya organisasi pegiat dan pecinta alam yang ada di Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Baru-baru ini FKPAJ membuat aksi lingkungan dengan menanam bibit pohon di Gunung Manglayang. Tujuan diselenggarakannya aksi ini tidak lain adalah menjaga keadaan alam di Gunung Manglayang. Foto: Wibi Pangestu
SAPHARA
| 27
FOTO ESSAY
SAPHARA
| 28
SAPHARA
| 29
FOTO ESSAY
SAPHARA
| 30
SAPHARA
| 31
OPERASI
resapan Air dengan Garam
Resapan Air dengan Garam Teks: Sri Oktika Amran
Explorer pasti pernah melihat genangan air di halaman rumah ketika hujan turun. Di Genangan air di cerukan halaman yang tidak rata, bekas galian tanaman, atau di selokan dekat halaman. Apalagi sekarang masih musim penghujan. Beberapa titik sekitar halam rumah pasti ada genangan air, bahkan bisa banjir jika resapan air kurang bahkan tidak ada. Namun, hal ini bisa diatasi dengan membuat lubang resapan air di halaman rumah. Dan yang terpenting, lubang resapan air bisa mengatasi kekurangan air tanah jika musim kemarau datang. Lubang resapan air yang biasa disebut biopori pun telah menjadi program lingkungan pada komunitas-komunitas lingkungan. Biopori tersebut biasa menggunakan pupuk kompos sebagai penyaringnya agar layak digunakan sebagai sumber air tanah. Namun dalam rubrik Operasi kali ini kami mengemas pembuatan lubang resapan air dengan garam. Pembuatan lubang resapan air ini sederhana dan alat-alatnya yang terjangkau. Jadi, explorer bisa mempraktikkannya di rumah. Berikut kami rangkum proses pembuatannya yang dikutip dari http://yanggiherdiana.blogspot.com/2014/02/sumurresapan-biopori-sederhana.html.
SAPHARA
| 32
Pertama, siapkan alat dan bahannya. Alat dan bahannya sebagai berikut: 1. Pipa dengan diameter 4� dengan panjang sekitar 57 Cm atau lebih baik lagi jika 10 Inch. 2. Garam bata yang sudah dihaluskan dan dicampur dengan air satu ember kecil. 3. Penutup pipa seperti tutup lubang air di kamar mandi. 4. Semen Setelah alat dan bahannya sudah tersedia, explorer bisa langsung mempraktikkannya dengan proses berikut: 1. Gali tanah dengan kedalaman minimal 60 Cm dan maksimal 2 Meter. Penggalian tanah diusahakan hingga bertemu permukaan tanah yang keras. Jangan tanah yang berlumpur atau berair karena tidak bisa menyerap air. 2. Kemudian, sekeliling pipa dilubangi dengan diameter sekitar 1 Cm. 3. Tancapkan pipa dalam galian yang sudah disiapkan dan harus kokoh. Bisa juga sekeliling pipa yang sudah ditancapkan, diberi penguat agar kokoh. 4. Isi pipa tersebut dengan air yang sudah dicampur garam hingga penuh. 5. Lalu tutup pipa dengan penutup/dop yang ada lubangnya, seperti di kamar mandi. 6. Rapikan dengan semen di sekitar permukaan pipa yang sudah ditutup. 7. Biarkan air meresap ke dalam tanah. Bagaimana? Mudahkan. Sekarang, explorer bisa praktikkan di rumah agar kehidupan kita layak mendapat sumber air tanah dan bisa menjadi tabungan air di masa depan. Juga mengurangi banjir yang masih berkelanjutan hingga sekarang.
SAPHARA
| 33
KATA KITA
Air merupakan sumber kehidupan. Kita membutuhkan delapan gelas atau setara dengan dua liter air setiap harinya. Tidak bisa dipungkiri, air merupakan kebutuhan primer yang harus selalu dipenuhi. Namun, apakah masyarakat kita tau, jika air yang sering kita konsumsi sebenarnya tidak boleh diperjualbelikan? Apa tanggapan mereka mengenai agen – agen yang menjual air galon? SAPHARA akan merangkumnya dalam Kata Kita.
“Ohiya? Ngga tau sih soal larangan jual beli air itu. Netral sih, Femi ngeliat mereka jual jasa olah air kotor jadi (mungkin) air layak minum. Femi bukan pengguna air galon gitu sih, jadi ya ngga masalah kalo buat Femi.” Femi Niati Rachma Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran
“Ohiya? Ngga tau tuh.. setau saya kalau air di alam bebas mungkin memang ngga boleh dijual. Tapi, kalau air bersih atau air untuk minum bukannya boleh ya untuk dijual? Menurut saya sah-sah aja. Karena air galon kemasan itu kan udah melalui serangkaian proses.. mulai diambil dari sumbernya, distrelisasi, dimasukkan dalam kemasan, ditambah zat-zat baiknya. Nah, kalau mata air diakuisisi lalu penduduk sekitar mata air harus beli untuk dapat air itu, baru itu ngga boleh.” Muhammad Hanif Izzatullah Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran
“Wah, aku ngga tau tuh soal jual beli itu, tapi kenapa PDAM bisa legal ya? Menurut aku sih ya.. agen-agen air galon itu baik-baik aja. Toh, mereka jualan sesuatu yang legal bagi aku tadinya. Jadi ngga ada masalah, karena sama aja seperti jualan produk-produk pangan lainnya. Tapi setelah tau ternyata ilegal ya kaget juga ya kenapa bisa ilegal. Malah ngerasa terbantu, justru menurut aku PR pemerintah gimana caranya mengusahakan kalo air-air yang dijual itu jadi legal bukan ilegal. Hm…sekarang kita juga bingung kenapa air itu diangap sesuatu hal yang ilegal apakah itu karena sumber daya mineral yang emang ngga boleh diperjual belikan atau dilestarikan karena kita pun ngga tau karena ngga pernah disosialisasikan.” Wiguna Darma Satria News Writer and Research Analyst di Concord Consulting
SAPHARA
| 34
“Ngga tau soal air yang gak boleh dijual itu. Namun, di satu sisi, agen-agen penjual galon juga punya hak buat berusaha untuk bertahan hidup melalui jual galon, tapi disisi lain, juga seharusnya bukan air barang yang diperjualbelikan karena tidak boleh dijual tu. Jadi dilematis. Hahaha. Tapi kondisinya harus seperti itu. Penjual galon harus bertahan hidup. Sama kebutuhan terhadap air bersih juga. Simbiosis mutualisme. Yasmin Anwar Putri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran.
“Pernah denger sih, kalo misalnya ada larangan tentang jual-beli air. Tapi kalau detailnya kurang tau. Air minum itu termasuk kebutuhan yang mutlak mungkin kebanyakan kita punya mindset bahwa sesuatu itu bisa dijual perbelikan. Bagi para agen penjual air galon mungkin ini langkah yang bagus untuk mencari keuntungan dalam ekonomi. Tapi tadi sebenarnya hanya ada beberapa agen tertentu punya kualitas air minum yang tinggi, tapi sekarang udah banyak agen-agen yang menjual harga air minum dengan sangat murah dan tidak rasional dari segi kesehatan itu sangat buruk.” Anna Pratiwi Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sriwijaya
“Dilihat dari kondisi sehari-hari, aku ngga pernah denger kalo air ngga boleh diperjualbelikan. Tapi, sempet baca beberapa artikel yang dilihat dari sisi agama (Islam khususnya). Kalo air itu harusnya ngga diperjualbelikan. Kenapa? Karena air itu diciptakan untuk semua umat dan tidak dikhususkan untuk kaum tertentu. Kalaupun air itu kehidupan nyata dijual dalam kehidupan sehari-hari, anggap saja dana yang kita bayar adalah biaya dimana air itu sudah diproses sehingga siap untuk dikonsumsi. Termasuk biaya kemasan untuk air dalam kemasan.”
“Ngga tahu ya soal itu. Sejauh ini saya belum pernah mendengar dan mencari tahu mengenai adanya larangan dalam menjual air, seperti penjualan air oleh agen-agen penjual galon. Jika kita lihat pada pasal 33 UUD 1945 ayat 3 dinyatakan bahwa: Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jika kita telaah, maka rakyat adalah konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Maka seharusnya Negara yang bernama Republik Indonesia sangat kaya dan mampu memakmurkan seluruh rakyat. Kenyataannya adalah sebaliknya, hanya sebagian orang Indonesia yang kaya, ada yang cukup kaya, sebagian besar cukup miskin dan sebagian lagi sangat miskin. Sehingga, jika rakyat dalam hal ini sebagian kelompok membuka tempat penjualan air galon, menurut saya sah saja untuk menyejahterakan kehidupannya.” Rika Dayanti Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya
Raven Dwipa Wangsa Chemical Engineering, University of Utah Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi
SAPHARA
| 35
REFLEKSI
IRONI MATA AIR TAHURA Oleh: Ag. Tri Joko Her Riadi Wartawan Harian Pikiran Rakyat Dengan bentangan area konservasi hingga 526 hektare, Taman Hutan Rakyat (Tahura) Djuanda merupakan oase air bersih bagi jutaan warga di cekungan Bandung, terutama Kota Bandung. Ia menangkap air hujan, lalu menyimpannya baik-baik di kedalaman. Simpanan air di Tahura ini vital bagi warga yang tinggal di bawahnya, sebagaimana hukum alami air mengalir dari ketinggian ke tempat lebih rendah. Belum lagi air permu-kaannya yang menjadi bagian lintasan layanan air bersih yang dikomersialisasi lewat Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtawening Kota Bandung.
SAPHARA
| 36
I
roni muncul justru ketika kita menelisik kondisi ribuan warga yang tinggal di kampung-kampung di sekitar Tahura. Hingga hari ini sebagian dari mereka masih bermasalah dengan air bersih. Dari sekitar 12 ribu warga Desa Ciburial, Kabupaten Bandung, diperkirakan masih 10 persen di antaranya tinggal dalam sanitasi yang buruk. Di Ciburial, sulit mengandalkan air tanah sebagai sumber air bersih. Titik penggaliannya harus sangat dalam sehingga membengkakkan biaya operasionalnya. Di sebagian wilayah bahkan sama sekali tidak memungkinkan pengambilan air tanah. Dalam kondisi seperti inilah, keberadaan mata air Tahura penting bagi warga sekitarnya. Konon dulu jumlahnya mencapai 400 titik, sebagaimana dipetakan koordinatnya oleh pemerintah kolonial Belanda. Kini, mata air yang tersisa tinggal 20 titik. Mata air tersisa inilah yang jadi rebutan. Mereka yang miskin susah-payah melanjutkan rituil puluhan tahun berjalan kaki ke sumber mata air dua kali sehari dengan mengangkut jeriken atau ember. Yang lain memilih membayar layanan instalasi mata air yang disediakan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Nah, mereka yang punya uang banyak, punya privilese. Apa yang tak bisa dibeli dengan uang? Jual-beli mata air Tahura sudah menjadi semacam rahasia umum. Orang-orang kaya-raya yang tinggal di sana bisa memesannya. Beberapa lembaga swasta juga mengeksploitasi mata air dengan bebas. Ketika saya menuliskan isu ini berdasarkan keterangan dari informan terpecaya beberapa bulan lalu, banyak pihak kebakaran jenggot. Mereka saling lempar tanggung jawab, saling bantah. Faktanya, itulah yang terjadi. Sekumpulan orang kaya
mengutus perwakilan untuk mengurus izin pemanfaatan mata air Tahura. Tidak ada biaya resmi yang harus mereka bayarkan ke Balai Pengelola Tahura Djuanda, sebuah lembaga di bawah Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, karena begitu aturannya. Namun ada uang bawah meja yang tetap harus disetorkan ke oknum. Jika mereka yang punya uang bisa memesan mata air, ribuan warga biasa harus sabar antre. Air dari pipa ngocor tiap tiga hari, memaksa mereka sering-
“
Pemenuhan air bersih, sebagai kebutuhan dasar manusia, tidak bisa menunggu. Segala cara dilakukan. Permasalahan bermunculan.
� sering kembali berjalan kaki ke mata air. Keterbatasan akses terhadap sanitasi yang sehat kembali memerangkap mereka. *** Akar permasalahan sengkarut pemanfaatan mata air Tahura adalah ketidakdisiplinan tata ruang di kawasan Bandung utara (KBU) tersebut. Pembangunan hunian yang mestinya dibatasi, karena peran sentral KBU dalam menjaga mutu lingkungan Bandung Raya, terus melaju bebas. Alih fungsi lahan dilakukan membabi-buta. Ketidakdisiplinan ini membuat kepadatan penduduk dan kepadatan
hunian tak terkontrol. Pemenuhan air bersih, sebagai kebutuhan dasar manusia, tidak bisa menunggu. Segala cara dilakukan. Permasalahan bermunculan. Perjanjian kerja sama pemanfaatan mata air selama ini tidak ada payung hukumnya. Bentuknya masih berupa nota kesepahaman sehingga memungkinkan adanya main belakang. Bentuk kerja sama semacam ini juga membuat posisi ratusan warga miskin pengakses mata air jadi rentan. Ketika mayoritas kerja sama sudah kadaluwarsa, sulit dicari tindakan berikutnya. Terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.64 Tahun 2013 yang mengatur kerja sama pemanfaatan ini mestinya bisa jadi momentum berbenah. Penguatan bentuk kerja sama pemanfaatan mata air dibarengi dengan keberpihakan pada warga miskin yang betul-betul bermasalah dengan akses air bersih sekaligus pada saat bersamaan menertibkan penyelewengan-penyelewengan. Ironi mata air Tahura membawa kita pada kesadaran: Jangan-jangan selama ini Tahura telah dieksploitasi secara tidak adil oleh Kota Bandung, oleh pemerintah-nya, oleh orang-orang kaya dan berpengaruh yang tinggal di kota. Jangan-jangan selama ini warga miskin di sekitar Tahura sengaja diabaikan sehingga tak kunjung aman dengan kebutuhan dasar mereka akan air bersih. Kita lantas bisa bertanya pada diri kita sendiri: sudah adilkan kita mengelola air di sekitar kita untuk kepentingan warga terdekat kita? Karena kita harus terus-menerus menyadari, air yang kita manfaatkan saat ini di tempat ini, akan berpengaruh pada orang-orang lain di lain tempat, lain waktu.
SAPHARA
| 37
ETALASE
The North Face – Men's Storm Waterproof
Sepatu yang ringan ini didesain sedemikian rupa untuk mendaki tanah yang basah dan tahan air. Explorer akan disuguhkan dengan bantalan sepatu yang handal. Kulit sepatu yang tahan air dengan Hydroseal, memungkinkan akan keluar tanah, salju, dan air ketika melalui lingkungan yang basah. Bahan pada pijakan bawah sepatu yang dapat memberikan perlindungan telapak kaki, untuk mengurangi memar karena batu ketika mendaki. Explorer bisa langsung memesannya di www.thenorthface.com dengan harga $ 100 atau setara dengan Rp1.100.000.
Canon PowerShot G7 X - Underwater Housing Canon PowerShot G7 X jenis sensor 20.2MP BSI CMOS -. Menawarkan auto fokus yang cepat dan tajam. Jika Explorer membeli produk ini, sudah termasuk beberapa include, yakni: Housing, Port cover, Flash diffuser, Flash deflector, Silicone lubricant 1cc tube, dan satu tahun garansi Underwater Housing for Canon PowerShot G7 X ini dihargai $550, atau setara dengan Rp 5.500.000. Tertarik? Explorer bisa langsung membuka webnya di www.ikelite.com Spesifikasi: Menjangkau kedalaman 60 m di air, 12-24 thread tray mounting with 3 in (76mm) spacing Berat 1180 gram Dimensi 6.9 x 5.0 x 5.4 in (175 x 127 x 137 mm) Diameter kaca lensa 3.0 inci.
Teks: Istnaya Ulfathin
SAPHARA
| 38
REVIEW Teks: Istnaya Ulfathin
TRACKS (2013)
DI BALIK 98 (2014) Reformasi pada tahun 1998 yang mengisahkan kejatuhan Presiden Soeharto (Amoroso Katamsi) dan kerusuhan yang terjadi pada mahasiswa. Demo besar – besaran oleh mahasiswa terjadi kala itu, menuntut turunnya presiden Soeharto. Salah seorang mahasiswi (Chelsea Islan) yang berasal dari keluarga tentara memutuskan menjadi salah satu aktivis 98, tapi ia mendapatkan tentangan dari keluarganya. Bersama kekasihnya (Boy William) serta anggota aktivis lainnya dia tetap menjalankan aksi demo yang berakhir membahayakan mereka semua. Kekacauan yang terjadi sudah tidak terkontrol lagi dan banyak korban dari kerusuhan tersebut. Selain jatuhnya korban, banyak keluarga yang tidak mengetahui keberadaan anggota keluarganya hingga sekarang. Film ini mengisahkan peristiwa 98 yang berlatarkan sisi kemanusiaan, bukan berdasarkan darai sisi politik.
Ditemani dengan anjing yang setia dan empat ekor unta, seorang wanita berkebangsaan Australia, Robyn Davidson ( Mia Wasikowska ), memenuhi keinginannya untuk menyendiri dengan memulai perjalanan solo. Melintasi padang pasir dari Alice Springs hingga ke Samudera Hindia, Robyn membutuhkan sekitar 60 hari untuk menyelesaikan perjalanannya. Jarak yang ditempuh tidak tanggung – tanggung yakni sekitar 1700 mil atau setara dengan 2720 km. Film yang berlatarkan tahun 1977 ini, diambil dari kisah nyata, yang terekam jelas dan didokumentasikan oleh majalah National Geographic.
SAPHARA
| 39
OU T
III XV
O KAPP T G A N I
FIKOM-UNPAD
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DASAR KLUB AKTIVIS PEGIAT DAN PEMERHATI ALAM FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS PADJADJARAN