Saphara Edisi 8, Juli 2015

Page 1

Edisi #8 Juli 2015

SAPHARA

Sebuah Perjalanan, Sebuah Kehidupan

METAMORFOSIS “PECINTA” ALAM INDUSTRI PICU

DEFORESTASI

NIRWANA INDONESIA DI

PANTAI KOLBANO

PLASTIK BERBAHAN

JAMUR


SAPHARA

|2

Sumber : sahabatairsmanesa.wordpress.com


SALAM PEMRED "Teman-teman, gue mau kasih kejutan buat kado persahabatan kita. Kita akan mendaki semeru," kata Genta. Petikan percakapan dalam sebuah film yang pop beberapa tahun yang lalu itu mungkin bukan faktor utama mengapa kegiatan alam bebas menjadi digandrungi. Setidaknya, film itu boleh jadi sebuah indikator, berkegiatan di alam bebas berubah dari passion menjadi fashion. Orang-orang yang berkegiatan di alam sekarang dengan mudah mendapat predikat sebagai "Pecinta Alam", ditilik dari indikasi pergeseran paradigma tadi. Wafatnya Erri Yunanto, Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Atmajaya Yogyakarta beberapa waktu lalu, boleh jadi lampu kuning, menaklukkan alam di hari kemarin belum tentu sama terulang hari ini. Ada satu budaya dalam pecinta alam dalam konteks sebagai suatu pertubuhan : tak ada yang pasti di alam, apalagi jika diri kita yang tak pasti. Maka, disiplin adalah harga mati bagi Pecinta Alam. Mari menggembosi pertumbuhan Pecinta Alam, Explorer! Muhammad Rifqy Fadil, Pemimpin Redaksi.

DAFTAR ISI PERJALANAN LOKAL LINTAS KOTA LAPORAN UTAMA HALAMAN ACARA ECHO-TECHNOLOGY FOTO ESSAY OPERASI KATA KITA REFLEKSI BUAH PENA ETALASE REVIEW

4 6 8 16 18 20 22 26 28 31 33 34 35

8

6

8

10

16

SAPHARA Pemimpin Umum: Dwy Anggreni Mutia Pemimpin Redaksi: Muhammad Rifqy Fadil - Redaktur Budaya & Desa: Noor Alfath Aziz Redaktur Opini: Istnaya Ulfathin - Redaktur Perjalanan: Olfi Fitri Hasanah Redaktur Acara dan Lingkungan: Nadia Septriani - Redaktur Foto dan Perwajahan: Panji Arief Sumirat Reporter: Alfa Ibnu Wijaya, Dimas Jarot Bayu, Sri Oktika Amran, Nia Hepy Kirana, Dwi Desilvani, Muhammad Akbar, Aflah Satriadi, Khairunnisa Zenfin, Resti Octaviani, Rakanda Ibrahim Gandapermadi, Arkani Dieni, Astika, Artia L. Yohana, Dicky Septiansyah, Kartika Ayu, Syifa Khairunnisa, M. Halim Perdanakusumah Advertising: Nadia Septriani (081221168234) Email: kappafikom@gmail.com Alamat Redaksi: Gedung Student Centre (SC) Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung - Sumedang KM 21, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

SAPHARA

|3


PERJALANAN LOKAL

Menggembosi Tampomas, Ode Bagi Pasir-pasir Teks dan foto: Nia Hepy Kirana, Sri Oktika Amran, Hella Pristiwaningsih (Kontributor)

Gunung Tampomas, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, merupakan salah satu gunung berapi yang masih aktif di Jawa Barat. Terletak sekitar 41 km timur laut kota Bandung, gunung setinggi 1684 meter diatas permukaan laut ini secara administratif berada di lima buah kecamatan di Kabupaten Sumedang yakni Buahdua, Conggeang, Paseh, Cimalaka dan Tanjungkerta. Tampomas mempunyai daya tarik tersendiri, karena masih banyak satwa liar seperti Kancil, Lutung, serta Babi Hutan mudah ditemui saat melakukan pendakian gunung ini. Bahkan konon katanya, jika anda beruntung maka anda dapat saja bertemu dengan hewan buas Macan Tutul, meskipun kebenarannya mesti dikroscek lagi.

M

elakukan perjalanan menuju Ta m p o m a s d a r i a r a h Bandung, maka Keindahan dalam perjalanan akan mudah dapati sepanjang Kabupaten Sumedang. Perjalanan dengan dihiasi pegunungan yang rimbun dan suasana hutan hijau yang basah. Melakukan googling lalu mengetik kata “Tampomas� maka kumpulan gambar-gambar hijaunya pegunungan akan keluar. Tetapi tunggu dulu, ekspektasi anda akan menjadi tidak nyata saat tiba di Taman Wisata Gunung Tampomas, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Bukan hijaunya pegunungan, tapi kebulan tambang pasir akan menyambut kedatangan anda. Industri pertambangan pasir di Gunung Tampomas menjadi komoditas perekonomian Kabupaten Sumedang yang sudah merambah ke luar kota. Lokasi pertambangan pasir tersebut

SAPHARA

|4

berada di beberapa titik, diantaranya Desa Mandalaherang, Desa Naluk, Desa Cibeureum Wetan, Desa Cibeureum Kulon, dan Desa Licin. Selain Kecamatan Cimalaka, lokasi pertambangan pasir juga berada di Kecamatan Paseh. Meskipun aktivitas pertambangan pasir hanya berada di beberapa kecamatan, orang-orang mengenal nama pasir itu sebagai pasir Sumedang. Tentang Pasir Sumedang Penambangan pasir untuk kategori industri sudah dimulai sejak tahun 1993 yang dikonsumsi untuk luar daerah seperti Bandung dan Jakarta. Sebelum itu, pertambangan pasir dilakukan dengan sistem manual dan hanya untuk kebutuhan lokal Sumedang, tepatnya dimulai tahun 1984. Selain Kordon, perusahaanperusahaan pertambangan pasir lainnya yaitu CV Putra Kartika, Sinar Kartika,

RDR, AR, CV Tampomas, CV MM Raya, CV Debora dan Laurus. Perusahaan itu pada umumnya dikelola oleh masyarakat yang berdomisili di Kecamatan Cimalaka. Hanya sedikit yang dikelola oleh para pendatang. Pertambangan pasir di Kecamatan Cimalaka tidak diizinkan lagi dalam sistem penggalian eksploitasi langsung. Sekarang pertambangan pasir yang menggunakan sistem itu tidak memungkinkan lagi karena lahannya sudah kritis dan diameter galian yang sudah meluas. “Rata-rata pengusaha pertambangan pasir tersebut sudah beralih ke penggilingan batu atau cluster. Selain itu, penggilingan batu resikonya tidak terlalu riskan dibandingkan dengan panggalian pasir secara langsung,� ujar Dede Sukanda, Kepala Subid Pengawasan dan Pembangunan Lingkungan Hidup (PPLH) BLH ketika ditemui di kantornya, Sumedang.


Disamping itu, pertambangan pasir di Kecamatan Cimalaka termasuk dalam kategori galian C. Dalam Undang Undang No. 11 Tahun 1976 tentang Pertambangan di Indonesia mengacu PP No. 25 Tahun 2000, secara rinci telah menjelaskan mengenai kewenangan pemerintah dan provinsi sebagai daerah otonomi di bidang pertambangan tentang klasifikasi bahan galian. Golongan A, yaitu golongan bahan galian yang strategis. Artinya bahan galian tersebut penting untuk pertahanan atau keamanan negara yang menjamin perekonomian negara. Golongan B, yaitu golongan galian yang vital yang menjamin hajat hidup orang banyak. Dan golongan C, yaitu bahan galian yang tidak termasuk ke dalam golongan A maupun B. “Dampak lainnya dari aktivitas pertambangan pasir ini adalah kerusakan jalan karena tonase kendaraan yang tidak sesuai dengan kualitas jalan, iklim Cimalaka yang tidak sejuk seperti dulu lagi, maraknya pungutan liar, suara bising dari aktivitas pertambangan pasir, dan masih banyak dampak lainnya,” kata Rama, salah satu pendiri Forum Komunikasi Pecinta Alam Sumedang (FPKAS). Menggembosi Tampomas Bekas penggalian pasir itu pun

meninggalkan cerukan yang dalam di lereng kaki Gunung Tampomas. Ini sangat berbeda dengan lahan dulu yang masih asri dengan pepohonan. Sekarang lereng di kaki Gunung Tampomas itu mirip mangkuk yang tidak ada isinya. Menurut BLH Sumedang, di sana-sini terdapat cerukan lahan dengan kisaran kedalaman 8 – 15 meter. Padahal untuk penggalian pasir itu batas tinggi teras maksimum tiga meter dan lebar dasar teras minimum enam meter atau perbandingan 1 : 2. “Bekas lahan penggalian pasir di Cimalaka memang sudah kritis. Hal ini juga sudah diteliti oleh mahasiswa jurusan Ilmu Tanah Universitas Padjadjaran (Unpad). Ya, memang harus diadakan reklamasi besar-besaran dan semua pihak harus terlibat,” ujar Rija Sudirja pengamat lingkungan Unpad ketika ditemui di kantor Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unpad. Kegiatan penambangan pasir dan batu yang dilakukan tanpa adanya usaha reklamasi dapat menimbulkan masalah lingkungan, contohnya penurunan kualitas tanah, longsor, erosi, dan terjadinya banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Hal ini diamini oleh Dr. Rija Sudirja, S.P., M.T., Kepala Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadja-

ran. Dia mengatakan pertambangan pasir memiliki dampak signifikan, salah satunya pada aspek tanah yang mengakibatkan tanah kritis. “Kondisi tanah di Cimalaka sudah bisa dikategorikan rusak atau kritis,” ujar Rija. Rija menilai, penggalian itu harus memperhatikan tanah lapisan atas. Karena lapisan tanah atas terbentuk dari batuan menjadi tanah (atau horison organik) dalam satu centimeter saja membutuhkan waktu ribuan tahun. Setiap penambangan, akan lebih baik tanah lapisan atas disimpan untuk kemudian dikembalikan ketika akan melaksanakan reklamasi. Pengawasan serta sosialisasi yang kurang mengenai kaidah lingkungan tersebut sering terjadi di lapangan. Alhasil lahan sulit dipertanahkan karena tanah bagian atas yang menjadi media tanam yang baik sudah hilang. Sementara itu, langkah konservasi dibutuhkan waktu lama tergantung penanganannya. Menurut Rija, dilihat segi keilmuan agar lahan tersebut bisa kembali, penanganannya harus segera ditutup dengan tanaman pioneer. Tanaman pioneer ini mampu mencegah erosi atau dampak pemanasan global. Tanaman pioneer ini contohnya akasia dan sengon. Penanaman pioneer bisa juga menjadi pupuk organik yg penting untuk lahan tersebut.

SAPHARA

|5


LINTAS KOTA

PANTAI KOLBANO

Sepotong Nirwana di Selatan Indonesia Teks dan Foto: Aflah Satriadi

Kepulauan Nusa Tenggara Timur memang menyimpan banyak pesona keindahan yang memanjakan seluruh pasang mata. Mulai dari lekuk pegunungan, keanekaragaman ornamen, hingga hamparan pantai dengan panorama laut yang luar biasa, menjadi kekayaan yang dimiliki jajaran pulau di timur Indonesia ini. Pulau Timor merupakan satu dari sekian banyak pulau di NTT. Tak kalah dengan pulau-pulau lainnya, pulau yang berbagi kepemilikan dengan Timor Leste, negara bekas provinsi ke-27 Republik Indonesia di masa lalu ini juga menyimpan keindahan alam yang tentunya mengundang decak kagum bagi yang melihatnya

SAPHARA

|6


D

ari sekian banyak tempat yang bisa dikunjungi, terdapat sebuah pantai unik yang terletak di Kecamatan Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Jika biasanya pantai terdiri atas pasir dan lautan, pantai satu ini memiliki batuan warna sebagai tepian air lautnya. Gradasi biru terlukis di hamparan laut yang terbentang di pantai ini. Berbagai macam jenis batu yang seakan tersusun mulai dari ukuran kecil hingga besar, turut pula menambah kecantikan pantai Kolbano. Untuk dapat menyaksikan pesona pantai batu ini, dibutuhkan waktu perjalanan sekitar 3 jam dari Kota Kupang, Ibukota Provinsi NTT, menggunakan kendaraan pribadi. Namun, jika menggunakan kendaraan umum, maka waktu tempuh yang diperlukan cenderung lebih lama, sekitar 5-6 jam. Lagipula, hanya ada satu pilihan jika anda menggunakan kendaraan umum, menggunakan bus yang berangkat dari Terminal Kupang, berangkat pukul 06.00 WITA. Adapun untuk masalah akomodasi penginapan, alternatif termudah ialah dengan mencari rumah penginapan di rumah penduduk dengan sistem sewa atau menginap di Mess Pemda Timor Tengah Selatan. Setelah melewati jalanan berkelok, ladang-ladang hijau, dan pemukiman warga, lautan biru akan segera menyambut sebelum sampai di pantai yang penuh bebatuan. Pantai Kolbano terhampar mulai dari Desa Spaha hingga Desa Noesiu. Kawasan yang biasanya dikunjungi terletak di Desa Spaha, di mana sebuah batu besar yang hampir menyerupai tebing berukuran 15 meter berdiri di pinggir pantai. Masyarakat sekitar biasa menyebut batu ini dengan nama Batu Fatu'un yang berarti batu pohon. Pantai Kolbano masih cenderung sepi didatangi pengunjung. Meski di

akhir pekan dan hari libur, terhitung jumlah pengunjung hanya berkisar 8-10 kendaraan pribadi. Para pengunjung biasanya masih berasal dari Kota Soe ataupun Kota Kupang. “Belum ada penarikan biaya, dari pemerintah daerahnya belumada urus lagi untuk tempat wisata,” ujar Welem Loopo, Kepala Desa Spaha ketika ditanya perihal aspek wisata Pantai Kolbano, saat ditemui 21 Maret lalu. Penambang Batu Di sisi lain, keindahan Pantai Kolbano tak sepenuhnya lagi utuh. Hal ini terlihat dari pemandangan di sepanjang pantai yang dipenuhi para penambang batu dan karung-karung hasil penambangan. Menambang batu ini merupakan mata pencharian mayoritas warga desa. Satu persatu batu diambil warga untuk merogoh serpihan rupiah guna kelangsungan hidup. Batu-batu yang dicari warga biasanya meliputi batu putih, merah, dan loreng. Batuan tersebut masingmasing dijual per karung dengan harga Rp 10 ribu untuk batu putih serta Rp 6.500 untuk batu merah dan loreng. Selain batu, pasir warna juga turut dikumpulkan penambang untuk dijual dengan harga Rp 4.500 per karung. “Kalau cari batu satu hari bisa sampai 3 karung,” kata Vera Banu, seorang wanita penambang batu. Penambangan batu ini telah berlangsung sejak 1992. Mulanya sebuah perusahaan swasta bernama Roventi mengambil alih kegiatan penambangan, namun karena terlibat penunggakan pajak akhirnya perusahaan ini berhenti pada tahun 2011. Selanjutnya, penambangan berlanjut dan dikelola oleh masyarakat sendiri. Lokasi penambangan kini dibagi per 100 m2, yang biasanya dikelola oleh seorang penadah atau pengawas. Pengawas inilah yang kemudian bertugas mengatur kegiatan

penambangan sesuai permintaan pasar. Hingga kini telah terdapat 10 pengawas yang mengkoordinir penambangan batu di Pantai Kolbano. Proses penambangan batu yang mengeruk hingga ratusan karung batu per hari ini, dikhawatirkan dapat menguras habis keindahan batuan warna Kolbano dalam jangka panjang. Di sisi lain, penambangan batu pun telah menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat di sepanjang pantai mengingat profesi nelayan kurang diminati di wilayah ini. “Untuk sementara kalau belum ada penegasan untuk lokasi wisata, ya kita cari makan dulu karena kita orang pribumi,” tutur Doris Lopo, selaku salah s a t u p e n ga wa s d i D e s a S p a h a memberikan penjelasannya terkait penambangan batu. Pembangunan Dermaga Selain penambangan batu, ancaman lain bagi pesona Pantai Kolbano adalah didirikannya sebuah dermaga di kawasan Desa Kolbano. Proses pembangunan dermaga ini telah berlangsung sejak tahun 2013 dan direncanakan selesai pada 2017. Dermaga ini merupakan Dermaga Niaga internasional yang meliputi kepentingan pengiriman barang atau kapal peti kemas. Pembangunan dermaga ini pun telah didukung dengan adanya perizinan dari Dinas perhubungan dan pertahanan. Kelak beberapa tahun ke depan, dengan adanya dermaga ini Pantai Kolbano ini akan segera dipenuhi oleh singahnya kapal-kapal barang yang berlabuh. “Adanya dermaga internasional ini diharapkan akan meningkatkan perekonomian masyarakat, khususnya bagi penambang batu,” ujar Otnial Taneo, Camat Kolbano kala menyinggung masalah pembangunan Dermaga di Pantai Kolbano 22 Maret silam.

SAPHARA

|7


LAPORAN UTAMA

METAMORFOSIS “PECINTA” ALAM SAPHARA

|8


Mendengar kata “anak pecinta alam”, “anak mapala”, atau “anak gunung”, kemudian apa yang ada di benak anda? Sosok berbalut kaos warna biru, merah, hijau, bahkan hitam serba muda karena memudar? Rambut gondrong plus celana denim dengan sobekan sana-sini? Atau serangkaian asesoris dan serba-serbi berbau outdoor dengan merk ternama yang konon dapat meningkatkan rasa percaya diri? Teks: Olfi Fitri Hasanah, Alfa Ibnu Wijaya, Muhammad Rifqy Fadil Foto: Dimas Jarot Bayu

SAPHARA

|9


LAPORAN UTAMA

Dok. Wanadri

Wanadri & Mapala UI,

WARNA DALAM SEJARAH PECINTA ALAM T Teks : Olfi Fitri Hasanah

adi hanyalah beberapa stereotype yang tertangkap oleh mata dari segi tampilan fisik. Lebih dalam dari itu, tersimpan banyak kisah tentang mereka dan para pendahulunya. Berbicara soal label pecinta alam, siapa yang tidak kenal Mapala UI dan Wanadri. Keduanya merupakan organisasi di bidang sejenis yang cukup berpengaruh dalam perkembangan pecinta alam hingga kini, khususnya di Indonesia. Soe Hok Gie dan Pergerakan Mapala UI, merupakan singkatan dari Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia ini terbentuk atas prakarsa para pentolan Jurusan Sastra di lembaga pendidikan tersebut. Kepopuleran Mapala UI pun tidak terlepas dari dari kisah kematian Soe Hok Gie di Gunung Semeru serta peranannya di balik tragedi Tri Sakti pada tahun 1998. Hok Gie dikenal sebagai seorang aktivis mahasiswa terkemuka pada masa itu. Tak jarang ia menjadi pelopor pergerakan mahasiswa dalam mengkritisi kondisi pemerintahan. Bermula dari kejenuhan situasi

SAPHARA

| 10

politik yang bergelora di kalangan mahasiswa, Gie memutuskan alam sebagai media yang tepat menjadi penawarnya. Bersama sahabat karibnya, Herman O. Lantang dan Aristides Katoppo, Gie menjadi pelopor tercetusnya ide pembentukan organisasi yang dapat menjadi wadah berkumpulnya berbagai kelompok mahasiswa. “Saat itu suasana di kampus sedang sangat tidak menyenangkan, politik sana-sini. Saya tidak suka politik, ber-beda dengan Gie. Tapi kami samasama cinta alam yang dapat memberi kete-nangan,� ujar Herman saat ditemui akhir Maret lalu (29/3), di bilangan Kuningan, Jakarta. Tepatnya pada tahun 1964 ,Mapala UI resmi menjadi suatu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sebagai wadah yang dimaksudkan Gie beserta rekan-rekannya. Organisasi tersebut menghim-pun mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang memiliki minat berkegiatan di alam bebas, berkontribusi bagi masyar-akat, serta peduli terhadap pelestarian lingkungan.

Ia menyampaikan nama pecin-ta alam dipilih karena itulah gambaran perasaan yang mereka temukan ketika berkegiatan di alam. Maknanya, dengan cinta terhadap alam, segala kegiatan tersebut dilakukan dengan segala tanggung jawab. Tidak meninggalkan sampah, merusak lingkungan, dan eksploitasi alam merupakan bentuk kecintaan mereka. “Walaupun soal safety procedure anak-anak sekarang lebih juara dengan teknologi yang sudah segala macam ada, tapi saya boleh sombong soal menjaga lingkungan seperti disebutkan tadi. Silakan diadu,� tegas pria berusia 75 tahun tersebut. Di hari yang bersamaan, SAPHARA berkesempatan juga bertemu dengan Aristides Katoppo di kediamannya langsung yang terletak di bilangan Setiabudhi, Jakarta Selatan. Perbincangan berlangsung santai pada siang itu. Berbeda dengan Herman yang berpakaian super nyentrik dengan topik khas koboi, Aristides cenderung lebih santai dan sederhana.


Prajnapa-ramita tuh Hok Gie yang punya ide. Dia suka sastra, jadi dia yang bisa dapat nama tersebut. Lalu berganti nama jadi Mapala UI hingga kini, memang terlihat ada beberapa perbedaan tentunya, yang pasti regenerasi anggota tetap berorientasi pada akademis,” kata Herman yang selalu mendapatkan update info dari juniornya, Syamsirwan Ichien, yang juga hadir dalam pertemuan tersebut. Wanadri, Berawal dari Pramuka B e r b e d a d e n ga n Wa n a d r i , organisasi pecinta alam ini mengaku enggan untuk diberi label “Pecinta Alam”. Organisasi penempuh rimba dan pendaki gunung tersebut merupakan tempat berkumpulnya sekelompok pemuda yang mencintai kehidupan di alam bebas. Mereka mempunyai aturan dan norma-norma kedisiplinan yang harus selalu dipatuhi, baik yang tertulis maupun tidak. Wanadri resmi berdiri pada tanggal 16 Mei di tahun yang sama dengan lahirnya Mapala UI yaitu 1964 atas prakarsa sekelompok pemuda Pramuka. Organisasi yang lahir pada era Orde Lama tersebut tetap mengedepankan nilai loyalitas serta pengabdian dalam kegiatannya. Bertolak dari sana, tak heran jika Wanadri memiliki hubungan erat dengan lembaga elit militer Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Hubungan tersebut sekaligus berperan dalam perkembangan organisasi Wanadri. “Pada saat itu Kopassus di bawah pimpinan Letjen Sarwo Edhie Wibowo secara langsung ataupun tidak langsung membantu dan mendorong pertumbuhan organisasi Wanadri hingga kini,” kata Effendi Soen, salah satu anggota senior Wanadri, saat diwawancarai di Bandung awal April 2015 lalu. Berlainan dengan Mapala UI yang berorientasi pada akademis dan skill

keorganisasian di samping teknik hidup alam bebas, Wanadri memiliki gaya lain. Latar belakang kemiliteran dalam perkembangan Wanadri dari awal terbentuk, membuat pola perekrutan dan regenerasi anggota yang dilakukan melalui rangkaian Pendidikan Dasar Wanadri (PDW) dilakukan dengan sistem semi militer. PDW menjadi salah satu event akbar yang dinanti-nanti oleh para pegiat alam seluruh Indonesia karena hanya dilaksanakan dua tahun sekali. “Segala kegiatan yang kami lakukan di alam bebas bersama organisasi Wanadri, menghadapkan kami pada berbagai rintangan. Kami dituntut belajar lebih tabah, tidak mudah putus asa, dan bersama alam seorang Wanadri akan menyadari nilai-nilai keagungan Tuhan,” ujar Effendi. Pada dasarnya, kegiatan kedua organi-sasi ini sama, yaitu dilakukan di alam bebas. Pengembaraan di gunung dan hutan rimba, tebing terjal, serta bergulat dengan jeram dan arus deras sungai merupakan basic kesamaan keduanya. Hanya latar belakang pembentukan organisasinya yang membedakan antara Mapala UI dengan Wanadri. Keduanya sama-sama cukup berpengaruh dalam perkembangan organisasi-organisasi pecinta alam di kalangan mahasiswa atau biasa disebut mapala (mahasiswa pecinta alam). Terlebih lagi dua organisasi pelopor pecinta alam ini hadir di Indonesia pada era yang sama. Ada anekdot yang cukup menggelitik. “Selama dengan niat yang kuat, masuk Mapala UI ataupun Wanadri sama-sama tidak ada yang sulit. Tetapi, percaya tidak percaya, yang sulit jadi anggota Mapala UI adalah keterima sebagai mahasiswa UI-nya dulu,” ucap Herman dan Tides berguyon.

Dok. Mapala UI

Tides, begitu ia biasa disapa menyampaikan hal yang tak jauh berbeda dengan Herman terkait Mapala UI. Satu hal yang disepakati bersama, ada kekecewaan yang dirasakan melihat fenomena tren pendakian yang sedang berlangsung saat ini. “Saya beberapa kali jalan bareng yang muda-muda. Melihat etika berkegiatannya semakin sini terlihat ada pemudaran rasa peduli dan aware-ness berkurang. Apalagi lihat sendiri lah Gunung Gede dan Gunung Semeru misalnya, sudah tidak ketahuan mana gunung dan mana sampah,” sindir Tides yang diamini oleh Herman. Dengan latar belakang akade-mik apalagi di salah satu universitas ternama, Mapala UI tidak lantas melupakan aspek akademis dalam setiap kegiatannya di alam bebas. Bahkan, saat pertama dibentuk, organisasi ini bernamakan Mapala Prajnaparamita yang diadaptasi dari bahasa Sanksekerta. Prajnaparamita berarti Dewi Pengetahuan, sementara Mapala bermakna berbuah atau ber-hasil. Kemunculan organisasi pecinta alam ini pun cukup membawa pengaruh besar terhadap berdirinya wadah serupa, khususnya di UI. Sampai tahun 1970-an, berdiri beberapa organisasi pecinta alam tingkat fakultas, seperti Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam (Impala) di Psikologi dan Yellow Xappa Student Family (Yexastufa) di Teknik. Itu pula alasan Mapala UI menjadi nama pengganti Prajnapa-ramita. Hal tersebut semata-mata agar organisasiorganisasi tersebut bersatu dalam satu wadah saja. Karena orientasinya yang berbasis akademis, proses perekrutan anggota Mapala UI dilakukan secara sistematis dan profesional berdasarkan pengalaman organisasi dan riset akademisnya. Proses tersebut masih berlangsung hingga kini. “Pertama terbentuk, nama

SAPHARA

| 11


Dok. KAPPA

LAPORAN UTAMA

MAHASISWA DAN ALAM, ADA APA? Teks : Alfa Ibnu Wijaya

B

erbicara perihal mahasiswa pecinta alam, mahasiswa pegiat a l a m , a t a u p u n o r ga n i s a s i mahasiswa yang berkegiatan di alam bebas, pada hakikatnya merupakan hal yang lumrah jika dibicarakan pada abad ke-20 seperti sekarang. Layaknya praktik korupsi yang menjangkit negeri ini, mereka—(baca: mahasiswa/ organisasi mahasiswa yang melakukan kegiatan di alam bebas)— menyebar di tiap pelosok nusantara. Hampir setiap universitas bahkan fakultasnya memiliki organisasi pecinta alam, seakan menjadi kewajiban yang tidak tertulis. Sebagai contoh, Universitas Padjadjaran (Unpad) memiliki PALAWA sebagai organisasi pecinta alam universitas, ditambah 11 dari 16 fakultas yang juga memiliki organisasi pecinta alam berbasis fakultas. Jika diakumulasikan dengan asumsi 8 dari 10 universitas yang ada di Indonesia beserta fakultasnya memiliki organisasi mahasiswa pecinta alam, bisa dibayangkan beraa banyak organisasi yang telah terbentuk sampai saat ini. Namun, bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa pemicunya? Dan bagaimana asal muasal serta sejarah organisasi mapala di Indonesia? Pertanyaan-

SAPHARA

| 12

pertanyaan inilah yang seringkali menghantui para anggota organisasi mapala. Soe Hok Gie, seorang aktivis di era 60-an yang tidak asing lagi di telinga mahasiswa. Kiprahnya dalam menulis artikel di berbagai media massa pada masa itu, seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya,membuat namanya harum. Tak hanya menulis, mendaki gunung pun sering dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) Jurusan Sejarah tahun 19621969 ini. Salah satu sahabat terdekat Gie, Herman O. Lantang, menyebutkan bahwa pada saat itu, mereka mendaki gunung untuk menyegarkan pikiran dari penatnya kisruh politik. Gunung juga dipilih sebagai media mereka berdiskusi politik serta merancang gerakan mahasiswa, karena ketenangan dan kondisinya yang aman dari pergolakan politik pada saat itu. Herman menambahkan, ”Di tahun 60-an masih jarang ditemukan orang yang mendaki gunung, sampah bekas camping minggu kemarin masih tersimpan di tempat yang sama ketika kami menaruhnya. Orang-orang lebih

sibuk dengan urusan politik ketimbang urusan mendaki gunung”. Gerah dengan situasi politik pemerintahan seperti itu, Gie bersama beberapa sahabat terdekatnya mencetuskan ide untuk membentuk suatu organisasi pecinta alam di akhir tahun 1964 untuk memulai perubahan, dengan nama Mapala Prajnapramita dan berganti nama menjadi Mapala-UI pada tahun 1970. Mewadahi berbagai kelompok mahasiswa FSUI untuk bersatu dan bekerja sama, merupakan harapan awal berdirinya Mapala-UI yang diusung Soe Hok Gie beserta sahabatnya. Tak luput dari namanya yang mengusung konten Pecinta Alam, organisasi mapala ini juga mengangkat persoalan lingkungan hidup yang nyaris tidak digubris kala itu. Aristides Katoppo, wartawan senior sekaligus salah satu tokoh pendiri surat kabar Sinar Harapan, mengatakan, “Konsep lingkungan hidup pada masa itu—(baca: Tahun 60-an)— nyaris tidak ada perbincangannya di sejumlah surat kabar yang ada”. Hal inilah yang membuat Tides— (baca: panggilan akrab untuk Aristides Katoppo)— ikut turun tangan dalam pembentukan Mapala-UI.


Jiwa muda mahasiswa yang kritis dan suka berpetualang, dibumbui dengan kondisi politik, sosial, dan ekonomi yang belum stabil di kala itu, menjadi pemicu utama berdirinya organisasi ini. Guru Besar Emeritus Psi-kologi Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, menuturkan, “Mahasiswa secara logika mencobacoba, menghubungkan teori yang ia pelajari dalam kelas dengan realitas”. Begitu pula dengan mahasiswa yang hidup di era orde lama (19501959), orde baru (1966-1998), hingga reformasi (1998 -sekarang). Mereka menghubung-kan teori yang dipelajari di bangku per-kuliahan dengan keadaan sebenarnya, kemudian memahami serta memapar-kannya kembali dengan pola pikirnya sendiri, alhasil menghasilkan pemikiran-pemikiran baru dan segar. Kondisi politik, sosial, dan ekonomi yang berbeda tidak dapat menghalangi jiwa muda mahasiswa untuk tetap kritis dan terus berpetualang. Jiwa muda mahasiswa yang bebas dan tidak terkekang juga menjadi alasan utama terbentuknya organisasi mapala baru di Indonesia. Tidak heran jika Mapala-UI menjadi pintu gerbang bagi organisasi mapala dari universitas lainnya untuk berdiri dan menyingsingkan lengan baju mereka agar bisa ikut ambil bagian. Pertumbuhan Yang Baik Mahasiswa gemar sekali untuk berdiskusi. Diskusi perihal mata kuliah yang telah ditempuh, kondisi politik, kehidupan sosial masyarakat, isu-isu lingkungan hidup, ataupun tamatnya serial komik Naruto yang dikarang oleh Masashi Kishimoto, semua hal bisa menjadi bahan untuk berdiskusi. Pola pikir yang sudah terasah

serta wawasan yang cukup luas, menjadikan diskusi antar mahasiswa membuahkan hasil berupa gagasan, ide, ataupun rancangan-rancangan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun lingkungan hidupnya. menjelaskan, “Mereka (mahasiswa) mulai memunculkan eksis-tensinya dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, mungkin inilah cikal bakal berdirinya organisasi mapala,” katanya. Dalam organisasi mapala, mahasiswa yang tergabung sebagai anggotanya pasti memiliki alasan serta motif yang beragam mengapa mereka bergabung dalam organisasi tersebut. Pada dasarnya, mereka memiliki kepuasan tersendiri ketika berada di alam bebas. Soetardjo menuturkan bahwa, mereka merasakan dan menghayati keindahan alam ketika masih ada, mereka menjaga keindahan tersebut agar tidak berubah, atau bahkan punah. Mahasiswa yang seringkali melakukan kegiatan di alam bebas akan lebih sensitif dan peka terhadap perubahan yang terjadi di alam. Mereka menggunakan ilmu pengetahuannya untuk melindungi, menjaga, bahkan memperbaiki ekosistem alam yang rusak. “Pertumbuhan organisasi mapala merupakan hal yang baik bagi negeri ini, setidaknya mereka ikut serta membantu mereparasi lingkungan hidup di Indonesia yang mulai mengkhawatirkan.”, tutur Soetardjo perihal banyaknya organisasi mapala yang telah berdiri sampai saat ini. Sejatinya, perguruan tinggi adalah satu-satunya subsistem pendidikan nasional yang memiliki peran penting dalam sosial masyarakat. Tri Dharma Perguruan Tinggi yang terlampir dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 20 Ayat 2 tentang Sistem Pendidi-

kan Nasional yang menyebutkan bahwa perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Organisasi mapala yang termasuk salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), mau tidak mau harus berpartisipasi untuk merealisasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam UndangUndang. Mendidik serta mengajarkan ilmu kepegiatan alam bebas kepada anggotanya, meneliti serta mengembangkan keilmuan tersebut untuk mengabdi kepada masyarakat, sehingga dapat memberikan manfaat yang nyata bagi kehidupan. Sampai saat ini, organisasi mapala dirasa cukup membantu pemerintah dalam mengelola lingkungan hidup beserta alamnya. Beberapa organisasi mapala cukup rutin melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menjaga kelestarian alam dengan membersihkan sampah di jalur-jalur pendakian gunung, serta melakukan penanaman bibit-bibit pohon di daerah gundul. Meskipun belum memberikan manfaat yang signifikan, setidaknya beberapa organisasi mapala tersebut telah rela menguras keringat dan melakukan tindakan yang nyata. Menurut Tardjo, “Mahasiswa yang ideal untuk saat ini adalah mahasiswa yang kritis, paham akan manfaat dan bahaya ilmu, serta mengerti tentang etika,. Ketika seluruh mahasiswa bisa menyerap dan memaknai pernyataan Tardjo, lambat laun Tri Dharma Perguruan Tinggi akan terlaksana secara nyata. Organisasi mapala mematuhi Kode Etik Pecinta Alam yang terlahir dari pertemuan akbar pecinta alam seIndonesia bernama Gladian Nasional, sebagai pedoman serta batasan mereka sebagai pecinta alam.

KODE ETIK PECINTA ALAM 1. Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa 2. Pecinta Alam Indonesia sebagian dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggung jawab terhadap Tuhan, bangsa, dan tanah air 3. Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa segenap Pecinta Alam adalah saudara, sebagai makhluk yang mencintai alam anugerah Tuhan Yang Maha Esa

SAPHARA

| 13


LAPORAN UTAMA

Foto : ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho Sejumlah anggota tim relawan dan SAR Boyolali bersiap untuk melanjutkan proses evakuasi pendaki yang jatuh dikawah Merapi , di Pos Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (18/5). Menurut petugas, tim SAR telah menemukan gambar posisi tubuh Eri Yunanto (21) seorang pendaki yang terjatuh dikawah Merapi dengan menggunakan bantuan alat drone, disisi utara puncak Merapi dengan kedalaman 200 meter.

BUKAN SOAL GAGAH-GAGAHAN Teks : Muhammad Rifqy Fadil

Dengan perkembangan media sosial yang kian pesat, kegiatan alam bebas seperti mendaki gunung dewasa ini seperti bukan lagi soal hobi dan passion. Awalnya karena passion justru kini berubah menjadi fashion. Naik gunung bukan lagi tafakur alam, menjadi up to date dan update-able mungkin menjadi alasan utama.

K

ecelakaan yang dialami oleh Erri Yunanto, Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Atmajaya Yogyakarta yang beberapa waktu yang lalu jatuh tergelincir ke kawah Gunung Merapi, Jawa Tengah, menjadi pelajaran untuk para explorer, modal keberanian ternyata tak cukup bagi explorer dalam berkegiatan di alam bebas. Erri yang niat awalnya berniat mengabadikan gambar di atas puncak Garuda, Gunung Merapi,

SAPHARA

| 14

justru menemui ajalnya karena tergelincir saat akan turun dari tempat itu. Ia jatuh hingga ke dasar kawah sedalam 200 meter, dan butuh waktu tiga hari bagi tim SAR gabungan untuk mengevakuasi jasadnya. Padahal, sudah ada larangan yang terpampang di pos Pasar Bubrah, puncak Merapi, untuk tidak melanjutkan pendakian melebihi titik tersebut. “Karena titik yang aman direkomen-

dasikan hanya sampai di titik itu,” ujar Kepala Pelaksanaan Harian Balai Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM), Tri Atmojo, kepada Saphara, Selasa, 19 Mei 2015. Ihwal pernyataan Tri tersebut dapat explorer lihat di banyak media sosial, seperti Instagram contohnya, saat menulis kata kunci “Merapi” maka akan muncul banyak foto pendaki yang mengabadikan momen di puncak Garuda.


Foto : Instagram @erriyunanto

Kenyataannya, saat ini kegiatan di alam bebas, khususnya mendaki gunung, tampak sudah menjadi sebuah tren di anak muda. Naik gunung, identik dengan senang-senang, selfie seperti yang lumrah digandrungi anak-anak muda masa kini, lalu kemudian diunggah ke media sosial. Sebagian dari mereka juga ada yang berbondong-bondong bergabung ke organisasi pecinta alam, baik itu Siswa Pecinta Alam (Sispala), atau Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala), karena menganggap dengan bergabung kesana maka mereka akan lebih sering berkegiatan di alam lalu selfie. Sebagian dari mereka ada juga yang emoh untuk gabung organisasi pecinta alam dan memilih untuk berkegiatan di alam tanpa ikatan. Di satu sisi, beruntungnya mereka yang awalnya masuk Mapala atau Sispala sekadar untuk naik gunung lalu s elf ie, p an d an gan mereka s o al berkegiatan di alam mulai dari segi manajemen perjalanan, perbekalan, kemampuan diri, hingga dokumentasi perjalanan kemungkinan lebih matang ketimbang yang bukan. “Disana perbedaannya naik gunungnya pecinta alam dan yang bukan pecinta alam,” menurut Effendi Soen, wartawan kawakan yang juga anggota senior Wanadri, sebuah organisasi pecinta alam paling tua di Indonesia. Effendi melanjutkan, seseorang berkegiatan di alam semestinya bukan

sekadar main-main. “Ada dua macam bahaya yang mengancam dalam berkegiatan di alam. Bahaya subyektif, yaitu yang berasal dari diri sendiri seperti rasa ragu, gugup, dan panik. Satu lagi adalah bahaya objektif, yaitu kondisi alam yang tak bisa diprediksi. Yang nomor dua ini paling bahaya, karena tak bisa diprediksi tadi. Tapi kadang oleh

“ itu Intinya adalah pulang dengan selamat. Puncak serta selfie itu bonus. ” orang awam, bahaya yang nomor dua tadi itu suka tak diperhatikan. Biasanya kalau dia pecinta alam, dua macam bahaya tersebut pasti diperhatikan,” ucap pria yang sudah menaklukkan Everest (Nepal), Carten (Papua, Indonesia), serta Alpen (Prancis-Swiss) dan melakukan dokumentasi disana.

Sekadar naik gunung lalu selfie, kan?Bagi dia, puncak serta unggahan ke media sosial sama sekali bukan tujuan utama berkegiatan di alam. “Intinya itu adalah pulang dengan selamat. Puncak serta selfie itu bonus,” kata Effendi menambahkan. Alumnus Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran tersebut tak menampik bahwa selfie dan banyak produk dokumentasi alam lainnya memang baik dan bermanfaat bagi orang banyak. “Jelas itu bagus, membuka wawasan dan jendela banyak mata kok,” kata dia. Tapi Effendi menambahkan, itu menjadi tak buruk s a a t ke g i a t a n t e r s e b u t j u s t r u mengesampingkan potensi bahaya yang dia sebutkan sebelumnya. Untuk itu, bagi dia kegiatan pecinta alam tak sebatas naik gunung lalu bersenang-senang. “Disinilah letak perbedaannya. Pecinta alam tak sekadar bersenang-senang karena mereka pasti diajarkan soal kedisiplinan,” kata Effendi. Terakhir, Effendi berpesan supaya para pegiat alam baik dia tergabung dalam organisasi pecinta alam atau tidak, seyogyanya memperhatikan betul-betul soal resiko berkegiatan di alam serta mempelajari disiplin ilmunya. “Terutama soal peraturan khusus yang kadang ada di lokasi-lokasi tertentu dimana banyak yang berkegiatan alam bebas disana. Jelas itu harus dipatuhi. Kalau tidak, tanggung sendiri resikonya,” kata dia mengakhiri pembicaraan via telepon pada 19 Mei kemarin.

SAPHARA

| 15


HALAMAN

Industri Picu Deforestasi Teks: Dimas Jarot Bayu Foto: Olfi Fitri Hasanah. Dimas Jarot Bayu

I

ndonesia mengalami kerusakan hutan 1,2 juta hektar selama dua dekade 1990-2010. Ini dipicu oleh tindakan pemerintah yang lebih banyak menghabiskan subsidinya untuk industri. Hal yang sama terjadi juga di Brasil, kerusakannya bahkan telah mencapai 2,7 hektar. Menurut Laporan Overseas Development Institute (ODI) yang dilansir Maret 2015, kedua negara ini memberikan lebih dari 40 miliar dollar AS sebagai subsidi untuk sektor kelapa sawit, kayu, kedelai, daging sapi, serta minyak bumi antara tahun 2009 hingga 2012. Angka ini 126 kali lebih banyak jika dibandingkan yang didapatkan oleh kedua negara ini untuk melestarikan hutan hujan. REDD+ PBB menyatakan bahwa Indonesia dan Brasil hanya mendapatkan 346 juta dollar AS untuk pelestarian hutan hujan. Negara yang paling banyak memberikan bantuan adalah Norwegia dan Jerman. "Fakta bahwa subsidi domestik untuk komoditas penyebab deforestasi jauh lebih besar daripada bantuan internasional yang diberikan untuk mencegah hal tersebut menunjukkan kita perlu memikirkan kembali hal ini secara mendasar," ujar salah satu penulis laporan ODI, Will McFarland. Menurut McFarland, dengan membuat biaya produksi yang lebih murah dibandingkan harga komoditi,

SAPHARA

| 16

subsidi dapat meningkatkan keuntungan industri dan membuatnya lebih diinginkan investor. Namun hal tersebut justru semakin mengancam kondisi hutan hujan di kedua negara tersebut. "Hal ini selanjutnya akan mengembangkan pertumbuhan industri. Namun mengancam kondisi hutan hujan lebih jauh. Dengan subsidi yang lebih besar 100 kali lipat dibandingkan bantuan pelestarian, kita harus segera berusaha mereformasi sistem ini," ujar McFarland.

“

Hal ini selanjutnya akan mengembangkan pertumbuhan industri. Namun mengancam kondisi hutan hujan lebih jauh

� Juru kampanye iklim inter-nasional untuk Friends of the Earth, Asad Rehman, menyamakan hal yang terjadi di Indonesia dan Brasil tersebut sebagai permintaan donasi untuk kegiatan p e nye m b u h a n ka n ke r s e ka l i g u s meberikan subsidi rokok di waktu

bersamaan'. "Deforestasi sangat didorong oleh permintaan konsumsi dari wilayah Utara dunia. Kita semua bertanggung jawab mengatasi bisnis yang berkolusi dalam kehancuran ini. Satu-satunya solusi nyata untuk kegagalan ini adalah memberdayakan masyarakat untuk menjaga hutan mereka," ujar Rehman. Lebih dari setengah kerusakan h u ta n d u n i a m u l a i d a r i ta h u n 1990 hingga 2010 berada di Indonesia dan Brasil. Kerusakan hutan tersebut mencapai rerata 1,2 juta hektar di Indonesia dan 2,7 juta hektar di Brasil. Tingkat kerusakan hutan di Indonesia melonjak drastis dalam satu dekade terakhir. Bahkan kerusakan hutan di Indonesia telah melampaui yang terjadi di Brasil di mana deforestasi di negara tersebut telah menurun sejak 2004. Sejak tahun 2008 hingga 2012, 61 persen pembukaan hutan menyumbangkan emisi gas rumah kaca Indonesia. Sedangkan Brasil hanya menyumbang 28 persen. Masalah tersebut berasal dari kurangnya koordinasi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melestarikan sumber daya alam dengan kementerian lainnya yang te r m o t i va s i ke p e nt i n ga n u nt u k melindungi ekspor komoditas dan mengurangi kemiskinan.


Kerusakan hutan di Indonesia tampaknya tak hanya didasarkan pada ketimpangan pemberian subsidi kepada industri berbasis hutan. Deforestasi hutan di Indonesia disinyalir disebabkan juga oleh lambatnya realisasi pertumbuhan hutan tanaman industri (HTI) yang direncanakan oleh pemerintah sebanyak 12,7 juta hektar. Ditambah lagi, pengurusan izin terkait penggunaan lahan kawasan hutan di Indonesia dipermudah oleh pemerintah. Bila sebelumnya proses perizinan dapat memakan waktu 380 hari hingga 2 tahun. Saat ini perizinan tersebut dapat dilakukan hanya dengan waktu maksimal 90 hari. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mengungkapkan proses perizinan tersebut telah dipermudah sesuai instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi), khususnya dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur Indonesia selama periode 20152019. "Sudah dipercepat sesuai perintah Presiden Jokowi di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sekarang hanya butuh waktu 52 hari hingga 90 hari untuk mengurus itu. 90 hari saja saya sudah dikeluhkan katanya kelamaan," ujar Siti di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (31/3/2015). Siti menambahkan, saat ini izin yang diberikan fokus kepada Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Hal tersebut diklaim akan mempermudah para pemohon untuk menggunakan kawasan hutan tanpa perlu mencari lokasi pengganti.

"Sekarang yang digunakan IPPKH saja. Izin dengan Tukar-Menukar Kawasan Hutan (TMKH) itu sulit dan lama karena harus dicari dulu lahannya. Persyaratan izinnya itu mengajukan permohonan, kasih peta rencana (Masterplan), buat Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), dan persetujuan untuk melakukan reboisasi di lokasi perizinan," lanjut Siti. Untuk jenis hutan yang dapat diberikan izin guna, lanjut Siti, hanya diperuntukkan pada hutan produksi konversi. Hutan dengan tingkat konservasi di atasnya tak diperbolehkan digunakan. "Kami memberikan izin untuk hutan produksi konversi. Saat ini masih tersisa 12,7 juta hektar yang dapat digunakan dari total 69 juta hektar hutan produksi konversi," tandas Siti. Ketua Perhimpunan Forest Watch Indonesia (FWI), Togu Manurung, menyatakan deforestasi di Indonesia juga disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan HTI di Indonesia. Hal ini kemudian menye-babkan terjadinya eksploitasi berlebihan pada hutan alam, seperti hutan produksi, hutan lindung, maupun hutan konservasi. "Seharusnya ada investasi dari pemilik areal konsesi untuk mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan. Mereka juga harus dituntut oleh pemerintah untuk merambah kayu dengan jumlah maksimal per satuan waktu pertumbuhan pohon dalam areal konsesi. Jadi kalau tidak ada pertumbuhan di areal konsesi, mereka tidak bisa mendapatkan kayu," ujar Togu ketika dihubungi di Jakarta, Senin (6/4/2015).

Togu mengungkapkan, realisasi yang dilakukan oleh pemilik lahan konsesi dalam melakukan penanaman masih belum dilakukan secara serius. Pasalnya berdasarkan catatan FWI tahun 2015, izin untuk industri HTI yang diberikan sebanyak 10 juta hektar hanya direalisasikan penanamannya sebanyak 2,5 juta hektar. "Izin ini kan sudah diberikan kepada 274 industri sebanyak 10 juta hektar. Tapi realisasi penanamannya baru sebanyak 2,5 juta hektar. Sedangkan industri butuh kayu lebih banyak untuk dikelola makanya mensuplai dari hutan alam. Hal-hal seperti ini harus diaudit lagi oleh pemerintah, jangan sampai dibiarkan," papar Togu. Selain itu, iklim persaingan bisnis industri berbasis kayu di Indonesia dianggap tidak sehat oleh Togu. hal ini disebabkan adanya duopsoni oleh dua perusahaan besar penghasil kertas di Indonesia. "Karena adanya larangan ekspor kayu bulat domestik, perusahaan kayu hanya melakukan penjualannya ke dua perusahaan besar penghasil kertas di Indonesia. Alhasil harga kayu dalam negeri menjadi terlalu murah. Iklimnya tidak sehat. Pemerintah harus bisa m e m b u k a ke r a n e k s p o r u n t u k mendongkrak harga kayu," tandas Togu. Oleh karena itu, dalam rangka mereduksi laju deforestasi hutan di Indonesia akibat industri, pemerintah dituntut melakukan pengkajian kembali pemberian izin hutan tanaman industri (HTI) pada areal konsesi industri.

SAPHARA

| 17


ACARA

Perangkap Ikan Dilarang, Solusinya Bagaimana? Teks : Syifa Khoirun Nisa'

“Tanpa penggunaan alatalat tangkap tersebut, nyatanya kami memang kesulitan menemukan solusi pengganti yang tepat,” ujar Tasrifin. Keputusan Menteri Kelautan Sri Pudjiastuti No.2 Tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan trawls atau ikan pukat hela dan seine nets pukat tarik di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia menimbulkan sikap pro dan kontra dari pelbagai kalangan. “Tanpa penggunaan alat-alat tangkap tersebut, nyatanya kami memang kesulitan menemukan solusi pengganti yang tepat,” ujar Tasrifin, perwakilan Him-punan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) cabang Indramayu, saat mengikuti diskusi kaitan munculnya peraturan tersebut di Fakultas Ilmu Kelaautan dan Perikanan Universitas Padjadjaran (FPIK Unpad), Sumedang, Jawa Barat, Kamis (2/4). Menurut dia, banyak solusi yang ditawarkan berupa wacana pemberian gaji rutin bagi para nelayan palingpaling hanya sebatas wacana belaka. “Solusi yang diberikan baru berupa wacana. Suatu kebijakan belum akan menjadi kebijakan bila Mahkamah

SAPHARA

| 18

Agung belum mengesahkan. kita butuh yang nyata,” ujar dia. Hingga saat ini, penggunaan alat tangkap yang dilarang tersebut terhitung masih masif. Kurangnya wawasan dan solusi yang belum konkrit diyakini Tasrifin menjadi dua alasan utama. “Diskusi semacam ini memang baik untuk menambah wawasan dan pengetahuan khususnya untuk para nelayan di Indramayu ini. Tetapi sayangnya solusi yang ditawarkan seperti sebatas wacana yang belum konkrit,” katanya. Pihak penyelenggara menyatakan, target diskusi terbuka ini memang baru sebatas wacana universal. “Artinya pihak-pihak terkait seperti Kementrian Kelautan, akademisi dari kampus, dan para mahasiswa serta nelayan memahami maksud dan tujuan peraturan baru yang dibuat tersebut,” ujar Sofyan, Ketua Penyelenggara Acara yang digelar oleh Parimanta, Mahasiswa Pecinta Alam FPIK Unpad. Turut hadir dalam acara ini perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Deddy H. Sutisna, serta Prof. Dr. Ir. H. Dulmiad Iriana dari Kepala Bidang Pe-nangkapan FPIK Unpad. Meskipun belum menemukan solusi yang memuaskan semua pihak, Tasrifin berharap wacana pemberian gaji bagi para nelayan tersebut segera bisa direalisasikan. “Solusi belum ada, peraturan sudah disahkan, kalau gaji tersebut masih sebatas wacana repot

juga. Paling tidak mereka mempunyai pendapatan yang menyejahterakan mereka di atas UMR. Atau harga ikan ditentukan, jangan sesuai pasar alias musiman, kasihan nelayan,” ujar dia.


SAPHARA

| 19

Sumber: https://berkelakar.files.wordpress.com


ECO-TECHNOLOGY

Minimalisir Penggunaan Plastik dengan Jamur Teks: Dimas Jarot Bayu

D

ewasa ini, penggunaan plastik secara berlebihan telah berdam-pak pada perusakan lingkungan. Menurut hasil riset yang dipublikasikan di jurnal Science tahun 2015 ini, para peneliti menghitung sekitar 275 juta ton sampah plastik dihasilkan 192 negara pantai setiap tahun. Hal ini menyebabkan delapan juta metrik ton sampah plastik masuk ke samudra setiap tahunnya. Pada 2015 sendiri para peneliti memprediksi akan ada lebih dari sembilan juta ton sampah plastik yang berakhir di samudra. Berbagai inovasi pun terus dilakukan untuk meminimalisir penggunaan plastik. Salah satu yang melaku-kannya adalah perusahaan ilmu material, Ecovative. Perusahaan tersebut me-ngembangkan Mushroom Material untuk menyediakan pilihan alami atas penggunaan plastik tradisional dan kemasan sintetis. Produk besutan Ecovative tersebut mengandung miselium, sebuah bagian vegetatif dari jamur yang merupakan lem alami. Bahan tersebut dapat mengikat limbah tanaman seperti sekam biji dan batang jagung

SAPHARA

| 20

untuk membentuk bioplastik. Tidak seperti plastik biasa yang terbuat dari senyawa petrokimia, Mushroom Material merupakan material berbasis tanam dan sepenuhnya kompos. Perkembangan terbaru dari produk peralatan 'a Grow it Yourself' (GIY) ini memungkinkan seniman dan desainer untuk mengembangkan bahan model mereka sendiri. Peralatan tersebut hadir dalam sebuah tas kecil berisikan Mushroom Material yang telah dikeringkan sehingga tak perlu didinginkan. Proses dehidrasi juga memungkinkan produk dapat dikemas dan dikirim secara global. "Untuk mulai menumbuhkan material ini, air dibutuhkan untuk merehidrasi produk. Proses ini membutuhkan waktu tiga hingga empat hari. Ini seperti saat Anda membiarkan adonan roti mengembang sebelum dibentuk dan dipanggang," ujar Ecovative. Setelah Mushroom Material dibasahi, produk tersebut dapat disimpan atau ditempatkan dalam ceta-kan yang dirancang khusus untuk tumbuh. Tahun 2014, Mushroom Material juga digunakan oleh studio

arsitektur The Living untuk membangun sebuah menara organik di halaman Museum of Modern Arts, New York, Amerika Serikat. "Pembuatan prototipe merupakan bagian penting dalam proses desain kami. Produk Ecovative GIY adalah cara yang hebat bagi kami untuk mengeks-plorasi pilihan secara cepat dan merasa-kan bagaimana material baru ini bekerja," ujar Kepala Studio The Living, David Benjamin. Desain lain yang telah dibuat dengan material ini meliputi lampu meja dan pot tanaman yang didesain oleh Danielle Trofe. Produk bernama Mush-lume dan Mush-bloom masingmasing menggunakan Mushroom Material yang dikompresikan dengan gabus dan beton. "Kemampuan untuk memiliki pengalaman langsung dengan Mushroom Material untuk menumbuhkan, mempelajari sifat, dan bereksperimen dengan karakteristik hidupnya tidak hanya menciptakan pengalaman pembuatan prototipe yang jauh lebih dinamis. Namun juga membuat lebih inventif serta menyelaraskan pendekatan atas produk desain berbasis material," ujarTrofe.


The Ocean Cleanup, Solusi Pengolah Sampah di Tengah Lautan Teks: Dimas Jarot Bayu

H

asil riset yang dipublikasikan jurnal Science tahun 2015 menunjukkan bahwa delapan juta metrik ton sampah plastik tersebar ke samudra setiap tahunnya. Para peneliti menghitung sekitar 275 juta ton sampah plastik dihasilkan oleh 192 negara pantai setiap tahunnya. Pada 2015 sendiri para peneliti memprediksi akan ada lebih dari sembilan juta ton sampah plastik yang berakhir di samudra. Oleh karena itu, serangkaian penghalang mengambang sejauh 100 kilometer ini tampaknya bisa digunakan sebagai solusi atas jutaan plastik yang mengambang di samudra tersebut. Pasalnya, properti yang didesain oleh penemu berusia 20 tahun ini bertujuan untuk membersihkan lautan dari sampah plastik. Mahasiswa teknik asal Belanda, Boyan Slat, menciptakan The Ocean Cleanup, sebuah konsep dengan tujuan membersihkan lautan dari bongkahan plastik yang sudah menumpuk akibat pertemuan arus. Saat ini sendiri ada lima tumpukan plastik seperti pulau besar di lautan. Tumpukan tersebut berisikan jutaan plastik tiap satu kilometer perseginya yang terus bergerak dalam formasi berputar. Hal ini berkontribusi

pada estimasi 500 juta kilogram sampah plastik yang mengambang di lautan dunia. Slat mengusulkan solusi yang melibatkan 100 kilometer penyaring mengambang yang bergerak statis. Hal tersebut bertindak sebagai penghalang untuk mengumpulkan sampah. "Pembersihan terhadap sampah di lautan selalu dianggap tidak mungkin karena memerlukan biaya miliaran dolar dan waktu ribuan tahun. Namun solusi yang kami tawarkan ada sebuah konsep pasif membersihkan lautan dari plastik hanya dalam waktu beberapa tahun. Konsep ini akan memanfaatkan arus alami untuk membiarkan lautan membersihkan dirinya. Ini akan jadi pembersihan besar dalam sejarah," ujar Slat. Digambarkan sebagai struktur terbesar yang pernah ditempatkan di lautan, penghalang akan disusun dengan dua lengan sepanjang 50 kilometer yang saling terhubung dengan pusat kendali, membentuk formasi V. Perangkat ini hanya akan menyaring pada tiga meter air di bagian atas karena studi Slat menunjukkan bahwa konsentrasi tertinggi sampah ha-nya ditemukan di bagian permukaan.

Arus utama yang berada di kedalaman lebih dari tiga meter mengurangi potensi terperangkapnya ikan dan kehidupan bawah laut lainnya dari sampah. Saat plastik tertangkap dalam susunan The Ocean Cleanup, gerakan air akan mendorongnya secara alami menuju ke pusat kendali. Di mana serpihan sampah akan terekstrasi dan tersortir. "The Ocean Cleanup memperkirakan biaya menghilangkan satu kilogram plastik sebesar 4,53 Euro. Ini 33 kali lebih murah dibandingkan metode pembersihan laut konvensional. Sementara itu kecepatan perangkat ini sekitar 7.900 kali lebih baik. 70 juta kilogram plastik dapat dihapuskan hanya dalam waktu 10 tahun," lanjut Slat. Perangkat ini akan memiliki kapasitas sebesar 10 ribu meter kubik dan dikosongkan setiap satu setengah bulan. Kemampuan pemrosesan sampah akan didukung oleh energi menggunakan anjungan dengan 162 panel surya. Menurut Slat, sejumlah besar plastik yang dikumpulkan nantinya dapat didaur ulang atau diubah menjadi produk minyak menggunakan proses kimia yang disebut pirolisis.

SAPHARA

| 21


FOTO ESSAY

Berkegiatan di alam tak semata soalan kesukaan, minat, dan perasaan. Tanpa kedisiplinan, terlalu banyak petaka mematikan saat berkegiatan di alam. Kedisiplinan tanpa melibatkan perasaan juga kosong, ibarat sayur kurang garam. Mungkin itulah pemahaman Henry Dunant, bahwa suatu negara tidak akan kekurangan pemimpin, jika pemudanya sering berkegiatan di gunung, hutan, dan lautan. Sebab, tanpa hati dan disiplin, jiwa kepemimpinan adalah semu. SAPHARA

| 22


FOTO ESSAY

SAPHARA

| 23


FOTO ESSAY

SAPHARA

| 24


SAPHARA

| 25


OPERASI

PACKING TABUNG Oleh: Muhammad Akbar

Explorer yang sering berkegiatan di luar rumah seperti bepergian ke alam maupun backpacker pasti memerlukan persiapan perjalanan yang matang, salah satunya mengemas barang-barang yang akan dibawa untuk bepergian. Mengemas barang atau biasa disebut packing diperlukan agar barang yang dikemas mudah diambil selain itu mengurangi beban bawaan dengan memaksimalkan ruang yang ada di tas ataupun koper. Salah satu cara packing yang benar yaitu menggulung pakaian lalu mengikatnya dengan karet gelang agar ruang yang ada dalam tas dapat dimaksimalkan. Tetapi dalam packing pakaian tentu diperlukan banyak karet gelang untuk mengikat pakaian yang sudah digulung. Namun dalam rubrik Operasi kali ini kami mengemas cara packing pakaian tanpa menggunakan karet gelang sehingga mengemas pakaian dapat lebih mudah dan penggunaan karet gelang dalam packing dapat diminimalisir. Berikut kami rangkum proses mengemas pakaian tanpa karet gelang yang dikutip dari video youtube yang di upload dari akun CrazyRussianHacker untuk explorer coba dirumah.

Berikut proses mengemas pakaian yang bisa langsung explorer praktikan: 1.Lipat bagian bawah baju keluar maksimal sekitar Âź dari ukuran pakaian dan rapikan bagian belakang lipatannya juga.

2. Lipat kedua lengan baju.

SAPHARA

| 26


OPERASI

3. Lipat bagian kiri dan kanan baju.

4. Gulung bagian leher baju sampai kebawah

5. Ambil lipatan pada bagian bawah baju yang telah dibuat dan sisipkan di gulungan baju.

6. Baju sudah dapat dikemas tanpa menggunakan karet gelang untuk menahan gulungan baju.

Bagaimana explorer mudah bukan? Dengan begitu baju yang dikemas dapat meminimalisir pemakaian ruang yang ada di tas selain itu juga explorer tidak perlu repotrepot menggunakan karet gelang untuk melakukan packing.

SAPHARA

| 27


KATA KITA

Mapala. Ya, Mapala sering dijumpai dalam lingkungan pendidikan tingkat Universitas. Mapala atau yang biasa Explorer kenal sebagai Mahasiswa Pecinta Alam adalah sebutan bagi sekelompok mahasiswa yang senang berkegiatan di alam bebas. Namun, apakah Explorer tau, kata “Pecinta Alam” yang ada dalam akronim Mapala, sering diperdebatkan? Tak jarang, “Mapala” enggan menyebut diri mereka sebagai “Pecinta” melainkan hanya ingin disebut sebagai “Pegiat”? Karena makna bagi “Pecinta Alam” amatlah berat dibandingkan makna “Pegiat Alam” yang sering mereka gembar – gemborkan. Apakah mahasiswa yang bukan Mapala tau kepanjangan dari kata Mapala yang sebetulnya? SAPHARA akan merangkumnya dalam Kata – kita.

“Mapala itu kepanjangannya adalah: Mahasiswa Pecinta Alam, yang berarti mahasiswa yang dapat menjaga alam dengan baik seperti hutan dan lingkungan sekitar.” Raihan Shadiqi Dalida, Universitas Padjadjaran.

“Mapala itu adalah sebuah perkumpulan mahasiswa pecinta alam, dimana kita bisa merasakan alam dengan bebas.” Adhi, Universitas Padjadjaran.

“Mapala itu ya pecinta alam. Jadi Mapala adalah mahasiswa yang bisa menjaga alam agar ekosistemnya dapat tetap terjaga.” Mahardika Denita, Universitas Parahyangan.

Pewawancara: Dicky Septiansyah

“Mapala adalah Mahasiswa Pecinta Alam yang hobinya jalan – jalan ke alam dan ikut serta dalam menjaga alam.” Reza, Universitas Padjadjaran.

SAPHARA

| 28


“Mapala itu adalah Mahasiswa Pecinta Alam yang isinya adalah orang-orang yang suka mendaki gunung dan hidupnya bersatu dengan alam ,serta biasanya berpenampilan anak gunung dan mencirikan mereka itu pecinta alam.”

“Mapala adalah Mahasiswa Pecinta Alam, yang merupakan wadah untuk belajar tentang alam, bukan hanya mencintai alam namun juga mempelajari bagaimana caranya untuk survive di alam.” Eggy, Universitas Maranatha.

Albi, Universitas Widyatama.

“Mapala itu sebutan bagi Mahasiswa Pecinta Alam. Menurut aku, Mapala adalah seorang yang punya mental dan fisik yang kuat dan bis beradaptasi dengan alam bebas di manapun mereka berada.”

“Mahasiswa Pecinta Alam itu biasanya merupakan sekelompok mahasiswa atau instansi pendidikan yang mencintai alam dengan melakukan aktivitas di alam bebas yang pertama dikumandangkan oleh aktivis Sok Hok-gie. Biasanya berkegiatan di alam bebas seperti rafting, climbing, hiking, camping, caving, rescue, penyelamatan alam bebas atau penanggulangan ulang alam bebas.”

Andriza, Universitas Padjadjaran. Rizky Abdurrahman, Universitas Pendidikan Indonesia.

“Menurut saya terdapat salah pengertian dengan kata pecinta alam, karena mayoritas orang berpendapat bahwa mahasiswa pecinta alam adalah orang yang senang bermain di alam.” Seharusnya pecinta alam melakukan kegiatan nyata untuk memperbaiki alam oleh para mahasiswa pecinta alam.”

“Mapala adalah Mahasiswa Pecinta Alam merupakan wadah orang-orang yang sama-sama ingin belajar survive di alam.” Sofi, Universitas Padjadjaran

Irham, Universitas Pasundan. Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi

SAPHARA

| 29


REFLEKSI

MAPALA

“SEBAGAI IDENTITAS” Oleh: M. Ilham Fauzi (Ketua Umum Wanadri 2012/2014) Organisasi MAPALA bukan sekedar organisasi biasa, tapi juga merupakan produk budaya dengan ke-khas-annya tersendiri, bahkan boleh dibilang “organisasi endemik” yang hanya ada di Tanah air. Namun bukan berarti sesuatu yang lahir dan berdiri sendiri secara tunggal. Sejauh pengetahuan penulis, MAPALA merupakan elaborasi dan transformasi dari organisasi, kelompok, atau bahkan gaya hidup lainnya yang sudah lebih dulu eksis. Seperti kelompok Pandu (scout), Militer, hingga mungkin mengambil referensi (interaksi simbolik) dari kelompok masyarakat adat. Tidak dipungkiri tren atau realitas sosial yang menjadi latar belakang kemunculan MAPALA di dekade 60'an dan setelahnya, turut juga mempengaruhi kematangan organisasi MAPALA itu sendiri sampai dengan sekarang.

SAPHARA

| 30

BACK AZIMUTH baratkan dalam bernavigasi, ketika kita sudah tidak mengetahui lokasi di mana kita berada maka kita harus membuka peta, melihat kembali titik awal dari mana kita memulai perjalanan, titik mana yang akan kita tuju, dan sejauh mana defiasi atau penyimpangan selama kita melakukan perjalanan tersebut. Ya, kita harus melakukan “Back Azimuth” untuk mengetahui sejauh mana MAPALA ini mendekati tujuannya, atau sudah seberapa jauh kita melenceng dari rute yang seharusnya. Adapun tujuan dari setiap organisasi MAPALA pasti secara spesisifik sudah dituangkan kedalam AD/ART masing-masing organisasi. Namun ada beberapa persamaan yang dirasa menjadi warna dan identitas pembeda MAPALA dengan organisasi atau individu lainnya. Paling pertama sekali terdapat identitas Mahasiswa yang melekat pada diri seorang MAPALA. Secara eksplisit, seorang mahasiswa itu merupakan individu yang agung “maha”, yang memiliki tendensi didalam kehidupan-nya terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan. Kata kedua pada akronim MAPALA adalah Pencinta. Cinta merupakan afeksi yang keberadaannya terdapat di alam bawah sadar kita, seusatu yang sangat halus dan mendalam. Sehingga ketika ada cinta pada diri seseorang, dan ia kemudian menjadi pencinta terhadap sebuah objek maka ia akan secara suka dan rela untuk hal apapun yang dinginkan objek tersebut. Kata terakhir adalah Alam. Alam dalam bahasa Indonesia mengacu pada kata “Nature”dari bahasa Inggris, yang juga merupakan pengembangan istilah dari bahasa Latin yakni “Natura” yang berarti kelahiran, asal muasal fitur-fitur yang ada di bumi (bentang alam) setelah Tuhan sebagai sumber utamanya. Tentu saja ini sepenuhnya subjektifitas dan cita rasa yang terbatas pada pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh diri penulis. Maka mengacu pada proposisi di paragraf sebelumnya MAPALA dapat memiliki arti secara etimologis yaitu; “Individu atau organisasi yang memiliki motivasi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, dengan alam bebas sebagai objek dari ekspresi perasaan cintanya”. Selanjutnya yang menjadi critical point-nya adalah, sejauh mana kita (MAPALA) meletakan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sebagai pondasi sekaligus tujuan dari setiap aktivitas petualangan atau perjalannya? Apakah cinta yang sudah kita curahkan merupakan cinta yang tulen, bukan cinta monyet, atau cinta-cintaan yang hanya manis di bibir saja? Judul “pencinta alam” ngurangin sampah plastik saat jajan ke warung aja kok males? Atau lebih banyak mana dalam satu tahunnya kita, berjalan di kedalaman hutan plus menghirup aroma lautan lepas atau kongkow-kongkow imut di warung kopi? Agar tidak terlalu melankolis, maka kita akan beranjak dari pemahaman filosofis diatas kepada level pemikiran manajemen strategis. Adapun poin pembahasan selanjutnya kembali berdasar pada pengetahuan dan analisa terhadap fenomenafenomena yang sering muncul dilingkungan organisasi MAPALA secara kebanyakan yang berdasarkan pemaknaan pengalaman pribadi diri penulis.

I


WAWASAN MANAJEMEN STRATEGIS 1. Kenali sejarah dengan “kaca spion” Menoleh kebelakang bukan berarti “ga bisa move on”. Seperti “Back Azimuth”, mempelajari sejarah adalah melihat apa yang sudah dilalui untuk kembali memahami siapa kita dan alasan kenapa kita harus tetap eksis. Terkadang dengan mengenal sejarah kita dapat jauh lebih memahami fenomena-fenomena yang muncul dikemudian hari. Aspek lainnya, salah satu yang kental pada diri seorang MAPALA adalah rasa kepemilikan terhadap organisasinya yang tinggi. Hal tersebut tidak dipungkiri buah dari metode kaderisasi dan transfer informasi yang berjalan melimpahkan nilai-nilai tidak tertulis sebagai sebuah kerja budaya didalam organisasi MAPALA. Hal tersebut tentu saja bagus dalam urusan menjaga akar identitas atau jati diri dari sebuah organisasi MAPALA. Namun, perlu menjadi catatan, ketika berkaitan dengan aspek sejarah banyak anggota baru atau junior dari MAPALA menerima itu sebagai sebuah dogma dan menghilangkan nalar atau logika kritisnya. Ingat sejarah hanya menjelaskan apa yang keliru di masa lalu dan apa yang harus tetap kita lestarikan. Kebanyakan MAPALA senior dengan rasa kepemilikan organisasinya, selalu memaksakan nilainilai ataupun perspektif yang dianut selama dia aktif, walaupun terkadang sudah tidak kontekstual dengan kebutuhan zaman atau bahkan malah apa yang dia lakukan dahulu tersebut keliru. Sehingga tetaplah kita harus bersandar pada nalar, sejarah dan senior harus kita tempatkan dalam bingkai yang terhormat. Karena tanpa peran senior (alumni) sulit rasanya sebuah organisasi MAPALA dapat menjadi besar. Namun, yang perlu diingat tidak juga hal tersebut menjadikan bentuk pengkultusan yang berlebihan. Ibarat melihat kaca spion yang memantulkan apa yang ada dibelakang, hal tersebut hanya untuk meluruskan jalan kita agar tetap pada jalur yang seharunya. Akhirnya kita sepakati saja bahwa “yang muda yang berjaya, yang tua yang keramat”. 2. Rancang perspektif baru dengan “muka jadul gaya up to date” Teknologi kini betul-betul menjadi imam bagi sebuah gerak zaman (zeitgeist). Teknologi menciptakan budaya, teknologi mengatur tata nilai kehidupan masyarakat yang baru. MAPALA boleh dibilang produk jadul,

tapi MAPALA juga tidak bisa dipisahkan dari masyarakat sekelilingnya. Sehingga pada diri MAPALA harus diciptakan perspektif dan cita rasa yang baru, yang adaptatif dan transformatif dengan masyarakat penyangganya. Hindari menara gading. Ekslusifitas hanya akan menjauhkan MAPALA dari masyarakat atau komunitasnya. Banyak pemimpin dan organisasi yang gagal saat ini buah dari ketidakmampuannya memahami kekuatan kolektif massa. Sekarang bukan zamanya bagi mereka yang merasa menjadi seorang “Raja” adalah cara untuk menang. Sekarang adalah zaman dimana mereka yang mampu menyatu dengan sebuah komunitas, dan pintar memanfaatkan potensi kolektif yang ada tersebut. Maka ketika MAPALA merasa paling jago dan menenmpatkan dirinya secara ekslusif, nampaknya akan sulit bertahan ditengah arus zaman saat ini. Ingat saat ini tidak perlu menjadi MAPALA untuk bisa naik gunung. Ketika arus infomasi penge-tahuan dan akses terhadap teknologi pendakian sudah dapat diakses oleh publik secara mudah. Namun juga, tidak diartikan harus selalu populer tapi kering makna. Nilainilai adiluhung seperti kesukarelaan, patriotisme, dan persaudaraan yang menjadi jati diri MAPALA harus secara tegas tetap dipertahankan. Intinya MAPALA saat ini harus sadar akan minat “pasar” alias siapa yang menjadi konsumen (calon kader). Misalkan MAPALA pada tingkat fakultas, jelas segmentasinya adalah komunitas mahasiswa dengan latar belakang keilmuan dan gaya karakter mahasis-wanya yang sama. Kita pasti bisa membedakan “gaya” mahasiswa kedokteran dengan gaya mahasiswa geologi, atau mahasiswa kehutanan dengan mahasiswa komunikasi. Ada nilai-nilai yang pembeda pada budaya dilingkungannya masing-masing. Kesadaran terahadap segmentasi tersebut, juga perlu dibangun ketajaman akan identitas MAPALA itu sendiri. Latar belakang keilmuan di tempat MAPALA itu bernaung menjadi salah satu keuntungan dan kemudahan untuk menentukan identitas tersebut. Karena menjadi umum akan sulit untuk unggul. Selain dapat menjadi pembeda diantara MAPALA satu dengan lainnya, juga menjadi warna yang beragam bagi potensi MAPALA yang ada dari berbagai macam perguruan tinggi di Indonesia. MAPALA fakultas ilmu komunikasi sudah berada pada jalan yang benar ketika ia mampu menciptakan sebuah media kreatif (pers mahasiswa) yang meliput dunia petualangan atau konservasi. Begitupula MAPALA fakultas kedokteran

“ Nilai-nilai adiluhung seperti kesukarelaan, patriotisme, dan persaudaraan yang menjadi jati diri MAPALA harus secara tegas tetap dipertahankan.

SAPHARA

| 31


REFLEKSI

Sumber Gambar: https://semipreciousandgoose.files.wordpress.com

sudah tepat jalannya ketika ia memiliki misi untuk melahirkan calon-calon dokter lapangan yang siap bertugas di remote area. Intinya, latar keilmuan dan label Mahasiswa yang menjadi identitas sebuah MAPALA, harus merembes kedalam perspektif dan setiap aktivitas petualangannya. Juga tidak lupa untuk menjadikan atau mengemasnya menjadi output yang memang diminati oleh “pasar” kekinian. 3. Dalam kaderisasi mana yang paling pertama, menentukan tujuan atau kendaraanya dulu? MAPALA merupakan organisasi kader. Organisasi kader adalah dimana Visi Misi organisasinya diajdikan Visi Misi pribadi anggotanya. Proses kaderisasi MAPALA biasanya melalui serangkaian metode inisiasi atau yang biasa kita kenal dengan istilah Pendidikan Dasar, DIKLATSAR, DIKDAS, LATSAR dan sebagainya. Namun, banyak MAPALA yang terjebak dalam aktivitas pendidikan kader atau rekruitmennya, hanya menjadi rutinitas belaka. Tanpa tahu maksud, cara, tujuan, dan manfaat dari setiap aktivitas yang ada dalam Pendidikan Dasar. Padahal syarat yang paling umum untuk sebuah pendidikan adalah adanya ukuran, cara, tempat, dan waktu. Jadi, ketika MAPALA melakukan aktivitas Pendidikan Dasar tidak dapat

SAPHARA

| 32

memberikan ukuran pada setiap kegiatan pendidikannya itu perlu menjadi pertanyaan. misalnya, “Kenapa memilih metoda pendidikan seperti A atau B?” “Kenapa harus ada longmarch? apa manfaatnya ada tamparan?” Paling penting, korelasinya dengan tujuan dari pendidikan tersebut. Apa ukuran keberhasilannya ketika sebuah Pendidikan Dasar itu sesuai dengan kebutuhan organisasi terhadap kaderkader barunya? Jadi jangan sampai Pendidikan Dasar hanya berupa rutinitas dan menjalankan template yang ada. Karena, alam sendiri pun telah berubah. Misalnya, gunung yang dulu dijadikan tempat latihan untuk berlatih survival s o l o b i va k , k i n i te l a h m e n j a d i perkebunan.Maka apakah ujian mental yang ingin dibangun tersebut tercapai ketikan sekelilingnya hanya perkebunan tomat, atau dekat dengan jalan raya. Maka, pertanyaaan apakah metoda atau tujuan yang kita perlu pilih terlebih dahulu dalam menyusun sebuah program pendidikan, jelas jawabanya adalah tujuan. Dengan memunculkan tujuan, barulah kita pilah dan pilih cara apa yang paling cepat dan benar, efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pendidikan. Karena, apabila metode yang kita urusi terlebih dahulu, jangan – jangan

lokasi, waktu, dan ilmu yang kita tuangkan kedalam sebuah Pendidikan Dasar malah menjauhkannya dari tujuan kebutuhan organisasi terhadap kadernya. Jadi saat ini kenali betul mulai dari sejarah, identitas, latar belakang keilmuan, dan Visi Misi dari MAPALA kita. Ketika MAPALA fakultas ilmu komunikasi menyisipkan kemampuan jurnalistik di dalam latihan pendakian gunung atau arung jeram, maka itu merupakan hal yang lumrah dan benar secara identitas. Sehingga MAPALA tersebut harus merumuskan formula pendidikan mendaki gunung dan arung jeram yang lebih advance. Karena bukan sekedar urusan bagai mana teknik-teknik pendakian gunung, dan cara hanyut ketika jatuh dari perahu, tapi juga bagaimana siswa Pendidikan Dasar tersebut mampu membuat produk jurnalistik dari aktivitasnya di alam bebas. Jangan sampai kita bersusah payah apalagi sampai terjadi korban jiwa dalam sebuah Pendidikan Dasar MAPALA tanpa tahu manfaat dan tujuannya. Sungguh hal itu sangat berdosa. “Identitas” sebuah MAPALA tentunya tak lepas ditentukan dari hal – hal yang dibahas di atas. Karena, sebuah organisasi hanya akan menjadi sebuah perkumpulan menusia berdaging, jika tidak memiliki “identitas” dan tujuan yang jelas.


BUAH PENA

Karya: Artia Lestari Yohana

SAPHARA

| 33


ETALASE Teks: Kartika Putri

Sonim Xp7 Extreme Handphone Sonim XP7 Extreme sangat cocok dimiliki oleh Explorer yang senang melakukan aktivitas menantang, seperti mendaki gunung, panjat tebing, hingga bermain ski. Sonim XP7 Extreme memiliki kemampuan luar biasa, yaitu dengan bertahan di dalam air hingga kedalaman 2 meter. Selain itu smartphone ini juga mampu tahan dari cairan kimia, debu, lumpur, salju hingga minyak. Kelebihan lain dari Sonim XP7 Extreme adalah mempunyai dual kamera. Kamera belakang berkekuatan 8 megapiksel, sedangan kamera depan memiliki kekuatan 1 megapiksel. Hp ini dibanderol dengan harga Rp7.000.000

Tang Multitools Gerber Pisau multifungsi model tang memang sedang banyak diminati. Praktis, karena menyimpan tools dalam satu alat. Tang multifungsi lengkap dengan dua pisau, pembuka botol, pembuka kaleng, kikir kuku, obeng besar dan kecil, adaptor kunci L, dan disertai sarung pisau. Simpel bukan? Explorer bisa langsung memesannya di www.adhistore.com dengan harga yang terjangkau, yakni Rp120.000

Powerbank Tenaga Surya Solar powerbank ini mengkombinasikan desain dan fungsi solar panel yang bisa Explorer tempatkan pada jendela rumah atau kaca mobil. Panel surya menerima sinar matahari yang tidak terbatas dan mentransformasikannya menjadi energi baru yang ramah lingkungan. Setelah sudah terisi energi, Explorer bisa langsung menggunakannya untuk pemenuhan kebutuhan perangkat digital. Tentunya, sangat ramah lingkungan. Bagi Explorer yang berminat bisa pesan langsung di www.powerbanktenagasurya.com dengan harga mulai Rp250.000

SAPHARA

| 34


REVIEW Teks: Astika

Dr. Seuss The Loraxx

Film yang diangkat dari buku cerita anak karangan Theodor Seuss Geisel atau akrab dipanggil Dr. Seuss ini, mengisahkan tentang kehidupan manusia di wilayah yang bernama Thneedville, dimana semua penduduknya hidup dengan lingkungan yang terbuat dari bahan plastik. Di wilayah yang modern itu, sama sekali tidak ditemui pohon, air bersih, tanah, dan rerumputan, semua digantikan oleh plastik yang dikelola oleh seorang pengusaha besar bernama O'Hare (Rob Riggle). Pada suatu ketika, seorang remaja bernama Ted (Zac Efron) berusaha mencari sesuatu yang diidamkan oleh gadis pujaannya yaitu Audrey (Taylor Swift) berupa pohon asli berjenis Trufulla. Lewat petunjuk dari sang nenek, Ted berusaha keras untuk mencari pohon asli Trufulla yang kemungkinan masih dimiliki oleh The Oce-ler (Ed Helms), yang masa hidupnya dipenuhi dengan penyesalan karena tidak mendengarkan amanat penjaga hutan bernama Lorax (Danny DeVito). Pada dasarnya, film Dr. Seuss' The Lorax dengan durasi 86 menit ini memiliki cerita yang sangat sederhana yaitu mencoba membangkitkan semangat generasi muda untuk melestarikan alam demi kehidupan masa depan yang lebih baik. Namun lewat tangan dingin sutradara Chris Renaud dan Kyle Balda, alur film ini seakan dimodifikasi dengan bentuk yang lebih menyenangkan seperti menambahkan unsur musikal dan animasi yang hebat di dalamnya.

Diangkat dari kisah nyata, sebuah film dengan durasi 110 menit ini, menceritakan tentang perjalan hidup seorang wanita yang hancur karena kematian ibunya. Diperparah juga ia memiliki kegagalan dalam rumah tangga. Mencoba melupakannya, ia membuat suatu keputusan besar dalam hidupnya, yakni mendaki jalur di Pacific Crest sejauh 110 mil melalui California dari Meksiko ke Kanada, sendirian. Meski tak memiliki pengalaman mendaki gunung sama sekali, ia terus membangun semangatnya agar berhasil sampai tujuan.

WILD

Film yang diangkat dari novel perjalanan hidup seorang Cheryl Strayed berjudul “Wild: From Lost to Found on the Pacific Crest Trail� ini dibintangi oleh Reese Witherspoon, Gaby Hoffmann, Laura Dern, dan beberapa artis pendukung lainnya. Film ini menampilkan bagaimana Cheryl (Reese Witherspoon) bertahan hidup selama 94 hari di alam bebas, dengan segala macam medan perjalanan, mulai dari padang gurun, sungai, salju, hutan, dan melewati beberapa pemukiman. Namun, itu semua tidak membuat patah semangat Cheryl untuk selamat sampai tujuan perjalanannya. Perjalanan ini membuatnya sadar akan artinya hidup yang ia lewati selama ini.

SAPHARA

| 35



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.