Edisi #10 April 2016
SAPHARA
Sebuah Perjalanan, Sebuah Kehidupan
Surga Pecandu Ketinggian di Tanah Pasundan KULON PROGO MASRONDAK GUGUSAN UTARA PAPUA MEDIA TANAM PASIR
MEGALITIK PETI KUBUR BATU
SAPHARA | 2
Sumber Gambar: http://2.bp.blogspot.com
SALAM PEMRED Salam Pemimpin Redaksi
DAFTAR ISI
Salam Pemred Desa Lintas Kota Laporan Utama Wisata Budaya Halaman Acara Inforial Foto Essay
3 4 6 8 16 18 20 22 24
Operasi
28
Kata Kita
30
Refleksi
32
Etalase
34
Buah Pena
35
Martinus Antonius Weselinus Brouwer atau akrab dipanggil M.A.W. Brouwer, seorang Budayawan asal Belanda yang menghabiskan lebih dari separuh hidupnya di tanah Sunda pernah berkata, “Bumi Pasundan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum.� Boleh jadi ungkapan Brouwer tersebut tak berlebihan. Dengan kepercayaan awal masyarakat Nusantara masa lampau bahwa semakin tinggi tempat maka semakin dekat dengan Tuhan, maka demikian dengan Jawa Barat. Alam tanah Pasundan yang kaya akan dataran tinggi dan gunung-gunung yang mengililingi boleh jadi salah satu cermin religiusitas masyarakatnya. Tebing-tebing yang menjulang adalah salah satu contoh kekayaan alam sekaligus surga wisata khususnya bagi para pegiat olahraga Panjat Tebing. Oleh karenanya, laporan utama terkait tebing-tebing di Jawa Barat kali ini diharapkan merehatkan sejenak explorer dari rutinitas sehari-hari yang memenatkan. Selamat Menikmati! Explore! Pemimpin Redaksi
Muhammad Rifqy Fadil
SAPHARA Pemimpin Umum: Rakanda Ibrahim Gandapermadi Pemimpin Redaksi: Muhammad Rifqy Fadil - Redaktur Budaya & Desa: Aflah Satriadi Redaktur Opini: Arkani Dieni Ikrimah Redaktur Perjalanan: Olfi Fitri Hasanah Redaktur Acara dan Lingkungan: Alfa Ibnu Wijaya Redaktur Foto dan Perwajahan: Wibi Pangestu Pratama Reporter: Khairunnisa Zenfin, Andhika Soeminta Putra, Kholidah Nur Rahmah, Arfi Zulfan, Panji Arief Sumirat, Astika, Muhammad Akbar, Dicky Septiansyah Advertising: Ryan Dwi Destiadi Email: kappafikom@gmail.com Alamat Redaksi: Gedung Student Centre (SC) Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung - Sumedang KM 21, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat
SAPHARA | 3
DESA
Tak Ada Tanah, Pasir Pun Jadi Teks : Arkani Dieni Ikrimah Foto: Resti Octaviani
M
atahari mulai menyembul di ufuk timur 8 Agustus lalu, saat Ishyanti (43) pergi ke kebun cabai dan semangka miliknya. Ia dan suaminya pergi memanen cabai sekaligus menyemai bibit semangka. Semua kegiatan budidaya tersebut mereka lakukan di atas lahan pasir. Meski begitu, kebun miliknya terlihat hijau tak tampak gersang. Kebun tersebut menghasilkan panen yang tak kalah apik dengan kebun konvensional pada umumnya. Kegiatan berkebun biasanya dilakukan pada tanah humus. Pasalnya, jenis tanah humus memiliki unsur hara yang tinggi sehingga membuat tanaman menjadi subur. Hal ini kontras berbeda dengan lahan pasir yang gersang sehingga tak cocok untuk digarap sebagai perkebunan. Namun, masyarakat di Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istemewa Yogyakarta
SAPHARA | 4
(DIY) justru menggunakan lahan pasir sebagai media budidaya tanaman hortikultura, seperti cabai, terong, paria, semangka, dan melon. Bahkan, Bugel pun telah mendistribusikan hasil panennya ke kota-kota besar, seperti Jakarta dan Batam. Hampir seluruh masyarakat Desa Bugel melakukan hal serupa . “Budidaya holtikutura telah berlangsung sejak tahun 1980an,” kata Humas Eksternal Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP), Widodo, saat ditemui di kediamannya. Sejak tahun 1984 masyarakat pesisir pantai melakukan babat alas membuka lahan pasir menjadi lahan pertanian. Awalnya lahan tersebut adalah lahan kosong yang dipenuhi tumbuhan pandan. “Imam Rejo adalah orang yang pertama kali mempraktikan menanam di lahan pasir”, tutur salah seorang pengurus PPLP-KP, Sumanto.
Karakteristik Unik Lahan pesisir pantai selatan memiliki sifat dan karakteristik yang unik. Hal itu dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar. Sedangkan untuk teknologi pendukung kegiatan bertani menggunakan teknologi rekayasa pupuk dan pembuatan lapisan semipermiabel plus amolirasi. “Lapisan semipermiabel adalah selaput yang hanya bisa dilewati air dan ion,” kata staff pengajar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Djafar Shiddieq, saat ditemui di kantornya 10 Agustus lalu. Sedangkan Amolirasi adalah proses perbaikan sifat organik dan kimia tanah kaitannya dengan kesuburan tanah.
Rekayasa pupuk, kata Djafar, dilakukan guna meningkatkan efisiensi pemupukan di lahan pasir pantai. Seydangkan pembuatan lapisan semipermiabel plus amolirasi bertujuan untuk menentukan ketepatan frekuensi dan volume air penyiraman yang optimal. Hal tersebut juga membantu memperbaiki kondisi zona perakaran dan meningkatkan produksi tanaman hortikultura. Teknologi lapisan tersebut menggunakan bentonit (zat untuk menaikan daya supensi air pembilas), lempung, zeolit (zat penjaga keseimbangan tanah), dan bahan organik. Kegiatan budidaya menanam hortikultura sudah berlangsung secara turun menurun. “Hal ini telah membantu masyarakat setempat terbebas dari kemiskinan,” kata pria asli Yogyakarta tersebut. Tetapi menurutnya, masyarakat merasa terancam dengan adanya rencana penambangan pasir besi yang dilakukan oleh PT. Jogja Magasa Iron (JMI). Tercatat sekitar 123.601 jiwa yang menggantung-kan hidup pada 4.434 ha lahan pasir pan-tai produktif merasa terancam terkena dampak dari eksploitasi penambangan pasir besi tersebut.
Ancaman Kehilangan Penghidupan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta mencatat pada 2006, PT. JMI akan membongkar kawasan lahan pasir pantai sekitar 22 km x 1,8 km (6,8%) dari total luas Kabupaten Kulon Progo yaitu 586.27 km2. “Penambangan pasir besi yang akan dilakukan di Kulon Progo akan menyebabkan terganggunya peranan fungsi jasa biologis dan hidrologis pepohonan,” ujar Djafar. Selanjutnya menurut dia, rusaknya vegetasi sebagai habitat satwa liar serta hilangnya sumber plasma nutfah potensial menjadi kemungkinan selanjutnya. Menurunnya produktifitas dan stabilitas lahan, serta terganggunya sistem tata air tanah dangkal serta meningkatnya laju air dan erupsi air laut juga menjadi kemungkinan. Menurut Djafar, Penambangan yang terjadi di lahan pesisir pantai daerah Kulon Progo yang dulunya adalah lahan marginal telah berubah menjadi sentra hortikultura yang dapat mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Masyarakat mengubahnya deangan kerja yang tekun lebih dari sepuluh tahun dan bekerjasaa dengan Perguruan Tinggi dan instansi terkait di seluruh DIY.
Adanya penambangan yang terjadi menyebabkan stres psikologis masyarakat tani. “Penambangan pasir besi akan menghancurkan kehidupan petani dengan kehilangan sumber penghidupan, rusaknya lahan pasir pantai produktif yang telah dikelola secara turun menurun,” ucap dia. Selain itu ciri khas lahan pasir pantai di DIY, yang notabene sangat jarang ada di Indonesia, berpotensi besar alih fungsi dari yang awalnya sebagai cagar alam.
SAPHARA | 5
LINTAS KOTA Sesampainya di dermaga Dawai, Distrik Yapen Timur, Kabupaten Kepulauan Yapen, tim kami disambut oleh tarian selamat datang, nama tarian tersebut adalah mansrondak. Suara musik khas dari alat musik yang khas, membuat tim melangkah lebih cepat untuk segera menuju sumber suara. Dibawah teriknya matahari, para penari sangat bersemangat, lengkap dengan aksesoris yang berwarna. Tarian tersebut sangatlah sederhana, tidak dengan melentikan jari atau bermain lirikan mata. Emosi yang kuat tersaji dengan hanya berjingkrak-jingkrak mengikuti alunan musik.
Menikmati Masrondak di Gugusan Utara Papua Teks dan Foto : Arfi Zulfan
Tarian Mansrondak, adalah salah satu tarian yang berasal dari Papua Barat. Tarian ini melambangkan kepahlawanan dan kegagahan rakyat Papua. Tarian ini biasanya dibawakan oleh masyarakat Papua. Pada awal mulanya, tarian ini digelar ketika kepala suku memerintahkan untuk berperang, karena tarian ini mampu mengobarkan semangat. Karena tidak ada batasan jumlah penari, tarian perang Papua ini termasuk dalam tarian grup, atau bahkan bisa menjadi jenis tarian kolosal. Seperti umumnya tarian di Papua, tarian Mansrondak pun diiringi Tifa. Gerakan penari mengikuti hentakan pukulan
SAPHARA | 6
tangan pemusik pada kulit Tifa. Tifa adalah alat musik yang
kedekatan masyarakat Papua pada alam.
berasal dari papua, tifa mirip seperti
Kurang Diminati Kaum Muda
gendang, dimainkan dengan cara
Pada mulanya tarian ini gelar
dipukul. Terbuat dari sebatang kayu yang
untuk berperang dan penyambutan
dilubangi tengahnya kemudian pada
kembalinya pasukan dari medan perang,
bagian luarnya dibuat ukiran khas Papua
setidaknya itu yang diungkapkan oleh
dan pada salah satu sisi ujungnya ditutup
Adam Smith Reba, Ketua Badan
menggunakan kulit soa-soa atau biawak
Musyawarah Kampung (BAMUSKAM)
yang telah dikeringkan. Dengan mengenakan busana
sekaligus pemimpin tarian Mansrondak
tradisional khas Papua, seperti aksesoris penghias dada yang terbuat dari taring babi hutan, kulit kerang dan manikmanik, rok yang terbuat dari akar, tutup kepala yang terbuat dari bulu burung kasuari dan cendrawasih menjadi bukti
hari itu. “Dulu, ada ritual sakral tertentu sebelum melakukan tarian ini. Sebelum memulai tarian dan perang, suku Dawai melakukan ritual penyembahan dipohon besar dan goa yang dianggap sakral oleh masyarakat Dawai dengan memberikan
berbagai sesaji untuk para arwah leluhurnya,” ujar dia menuturkan. Masyarakat Papua menggunakan tarian perang untuk memberi dorongan spiritual dalam menghadapi peperang. Namun seiring perkembangan zaman dan peraturan pemerintah yang melarang keras adanya peperangan antar suku, tarian ini kini hanya menjadi tarian penyambut tamu. Kurangnya minat anak muda untuk melestarikan tarian ini, juga mulai terasa di benak Adam. Menurut dia,
hanya segelintir saja yang tetap melestarikannya. Adam Smith sebenarnya bermimpi agar budaya ini tetap lestari. “Tujuan saya merangkul masyarakat dan khususnya anak muda adalah keinginan untuk membuat sanggar budaya, supaya budaya dan adat tetap terjaga, karena saya merasa
“
Masyarakat Papua menggunakan tarian perang untuk memberi dorongan spiritual dalam menghadapi peperang. Namun seiring perkembangan zaman dan peraturan pemerintah yang melarang keras adanya peperangan antar suku, tarian ini kini hanya menjadi tarian penyambut tamu.
masyarakat khususnya anak muda.” Ujanya. Saat ini, menurut Adam membuat pakaian dan aksesoris adat sebagaimana orisinilnya sangat sulit. Menurutnya, bahan baku terkait makin susah didapat, seperti bulu burung Kasuari dan kepala burung Cendrawasih. “Karena sudah mulai jarang ditemui, mungkin kita akan menggunakan material lain yg lebih ramah terhadap lingkungan dan habitat,” tambahnya.
dosa kalau saya tidak melestarikan dan tidak mengajarkan kepada
SAPHARA | 7
LAPORAN UTAMA
SAPHARA | 8
Surga Pecandu Ketinggian di Tanah Pasundan Teks : Istnaya Ulfathin, Aflah Satriadi, Khairunnisa Zenfin Foto : Panji Arief Sumirat, Kholidah Nur Rahmah, Alfa Ibnu Wijaya, dan beberapa sumber dalam jaringan
Jawa Barat mahsyur dikenal sebagai Tanah Priangan atau Tanah Parahyangan, yang bermakna tanah tempat para Hyang (Dewa) bersemayam. Masyarakat Nusantara, dalam konteks ini termasuk masyarakat Sunda sebagai penghuni asli wilayah ini, meyakini bahwa para Dewa bersemayam di tempat tinggi. Dengan geografis secara umum terdiri dari pegunungan dan dataran tinggi, maka tak heran julukan tersebut disematkan untuk tanah ini. Menjadi sebuah keniscayaan pula, banyak tebing-tebing tinggi surga para penikmat olahraga Panjat Tebing terdapat di wilayah ini. Untuk yang tak hobi terkaitpun, tebingtebing tersebut boleh jadi menjadi tempat kunjungan wisata guna melepas penat dari rutinitas sehari-hari. Selamat menikmati ulasan situs-situs tebing yang mahsyur di Jawa Barat, Explorer:
SAPHARA | 9
LAPORAN UTAMA
PESONA MEDAN VERTICAL CITATAH
K
awasan ini memiliki beberapa t e b i n g d e n g a n karakteristiknya masingmasing, menggoda para pemanjat tebing untuk menjelajahi medan-medan vertikal yang ada di sana. Citatah 48, Citatah 90, dan Citatah 125 adalah beberapa nama tebing yang dikenal dan banyak digunakan sebagai tempat pemanjatan. Tebing-tebing tersebut memiliki khasnya tersendiri yang dapat menjadi daya tarik bagi para pemanjat. Lokasinya pun tak jauh dari Gerbang Tol Padalarang. Secara administratif, Citatah terletak di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Dimulai dari tebing yang memiliki ukuran terpendek yaitu Citatah 48, atau sering disebut warga sekitar dengan nama Gunung Tebing Manik yang memiliki ketinggian sekitar 48
SAPHARA | 10
meter. Tebing ini berada di sisi kiri jalan, jika kita berjalan dari arah Padalarang dan tepat sebelum jalan masuk, terdapat plang yang menjelaskan secara tersurat, bahwa tebing tersebut merupakan kawasan latihan Kopassus. Tak sampai lima menit setelah memasuk jalan terebut, disana dapat terlihat gapura bertuliskan “Komando�, sama seperti sebutan lainnya bagi tebing ini, yaitu Tebing Komando. Lapangan terbentang, terdapat beberapa besi pull-up di sisi lapang, dan saat menoleh ke kiri, sebuah tebing tepat menghadap ke arah lapang dengan beberapa jalur panjat. Tebing ini merupakan jenis batuan kapur. Pada puncaknya dapat terlihat tugu pisau yang menjadi ciri khas tebing ini. Jalur panjat yang dimilikinya bervariasi, ada sekitar 25 jalur yang dapat dicoba para
pemanjat. Namun, karena berada di bawah pengawasan Kopassus, maka prosedur perihal perizinan dan masalah administrasi lainnya untuk bisa memanjat di tebing ini perlu diurus ke Pusat Pendidikan Latihan Pasukan Khusus atau Pusdipassus yang berlokasi di Batujajar, serta harus melalui proses yang cukup lama setelahnya. Kembali ke jalan raya, lalu menuju arah Padalarang, sekitar 15 menit perjalanan menggunakan kendaraan, di sisi kiri jalan dapat ditemukan sebuah jalan penuh batuan-batuan kecil serta menurun, yang merupakan akses menuju Citatah 90. Setelah masuk jalan berbatu tersebut, sekitar 200 meter, dapat terlihat sebuah tebing menjulang di sebelah kanan jalan. Tebing ini biasa disebut Tebing Pengantin. Dapat dikatakan tebing tersebut jarang dipakai karena
S o s o k B h i n n e k a Tu n g g a l I k a Postmodern Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki ideologi yang terbilang eksklusif. Berlandaskan Pancasila yang mencantumkan nilai-nilai normatif karangan Presiden Pertama Ir. Soekarno dan bermoto Bhinneka Tunggal Ika yang dicatut dari salah satu pupuh karangan Mpu Tantular, menjadikan Indonesia sebagai Negara Demokrasi yang berlandaskan kesatuan meskipun memiliki banyak perbedaan. Ideologi Pancasila dan moto Bhinneka Tunggal Ika memang sering digebu-gebukan oleh masyarakat Indonesia kala itu (orde lama), berhubung Indonesia merupakan Negara yang baru mendapatkan gelar kemerdekaan. Memasuki era Orde Baru dan Reformasi, kelunturan ideologi dan moto Indonesia mulai dirasakan. Beragam konflik sampai pertikaian bernuansa agama, adat dan ras seringkali terjadi, bahkan menimbulkan dampak yang mengkhawatirkan pihak terkait. Tapi tidak dengan desa Benteng dan desa Ciampea yang terdapat di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Tak jauh dari Pasar Lama Ciampea yang terletak diantara kedua desa itu, terdapat beragam rumah peribadatan untuk umat beragama, seperti Gereja, Klenteng,
Vihara, dan juga Masjid. Jarak antar rumah ibadat cukup dekat, sekitar ± 500 meter. Sama halnya dengan ibukota Jakarta, kedua desa ini memiliki beragam etnis yang mendudukinya. Etnis Sunda, Batak, Bali, Jawa, dan Tionghoa, dengan mayoritas etnis Sunda dan Tionghoa. Perbedaannya, ibukota Jakarta memiliki luas daerah yang lebih besar 135x ketimbang kedua desa ini. Dari beragamnya etnis serta umat beragama di kedua desa ini, belum pernah ada kejadian konflik ataupun pertikaian yang bernuansa agama, adat maupun ras sekalipun.
Setiap umat beragama yang ingin beribadah dengan khusyuk melakukan ibadahnya tanpa adanya ancaman dari kelompok tertentu
Setiap warga terlihat sangat menjunjung tinggi kerukunan hidup. Warga melakukan transaksi jual beli dipasar tanpa melihat perbedaan siapa pembeli dan siapa penjualnya. Setiap umat beragama yang ingin beribadah dengan khusyuk melakukan ibadahnya tanpa adanya ancaman dari kelompok tertentu. Semua ini terlihat sangat tenang, seakan-akan tidak ada perbedaan diantara mereka, hal ini yang dirasa nyaman oleh semua warga di Desa Ciampea. Bahkan sering kali tempat peribadatan melakukan aksi sosial untuk kesejahteraan warga yang kurang mampu. Menurut Oki, pengelola Klenteng Hok Tek Bio Ciampea mengatakan, “Dua kali setahun umat Konghucu mengadakan aksi sosial membagikan sembako bagi warga yang kurang mampu, ini karena pada hari-hari itu umat konghucu memperingati hari besarnya”. “Jika sedang ada hari besar agama, tidak jarang dari setiap tempat peribadatan melakukan kegiatan sosial seperti bagi-bagi bahan pokok untuk warga yang kurang mampu. Semua di data tanpa melihat agama apa yang di anutnya.” Kata Andreaz salah satu aparat Desa Ciampea.
SAPHARA | 11
LAPORAN UTAMA Bersemayam dalam latar perbukitan kapur beserta prasasti yang menjadi ornamennya. Dilengkapi beragam pintu menuju lokasi bertamasya dan dibumbui dengan keharmonisan antar umat beragama. Kecamatan dengan sebutan lamanya Tjampea menjadi penghangat bagi dinginnya kota hujan, Bogor
sumber : alidesta.wordpress.com
Ciampea (Tjampea) Awan Cerah dari Mendungnya Bogor
S
ecara administratif, Kecamatan Ciampea terletak di Kabupaten Bogor dengan luas ± 3.300 H e k t a r. C i a m p e a m e m i l i k i 1 3 desa/kelurahan di dalamnya yang dikelilingi oleh tempat wisata alam seperti Gunung Salak Endah, Bukit Kapur Ciampea, Sungai Cisadane, petilasan purbakala di Ciaruteun dan arca di Gunung Cibodas Bukit Kapur Ciampea merupakan salah satu wisata alam yang cukup tenar diantara wisata alam lainnya. Bukit ini merupukan deretan perbukitan kabur yang memanjang, sehingga memiliki jalur berupa batuan karst (kapur) dengan tingkat kemiringan yang cukup terjal. Diantara perbukitan ini terdapat beberapa tempat yang juga lebih tenar ketimbang gunung ini sendiri, ialah Gua Gajah, Gua Si Lenglang, dan Tebing Ciampea.
SAPHARA | 12
Gua Si Lenglang berada tepat di antara jalur pendakian Bukit Kapur. Sedangkan Gua Gajah dan Tebing Ciampea terletak di pinggiran area perbukitan, uniknya kedua tempat ini merupakan tempat latihan TNI. U n t u k Te b i n g C i a m p e a sepertinya seringkali digunakan TNI untuk latihan memanjat dan aksi turun tebing (rappelling), terlihat dari bekas peralatan seperti tali tambang yang berada di sekitar tebing. Tempat yang sudah kesohor di kalangan pemanjat ibukota ini memiliki tinggi berkisar antara 10 - 15 meter. Terdapat banyak jalur di tebing ini, seperti jalur “SS”, jalur “Kambing”, jalur “Intifadhah”, jalur “Bicycle”, dan jalur “Tokek”. Adapula jalur “One moment in time” yang disebut-sebut oleh para pemanjat sebagai yang paling ganas di tebing ini. Ada tambahan dua jalur bernama “Taliban”
dan “Strawbery” yang baru dibuat tahun 2001. Secara keseluruhan grade (tingkat) jalur pemanjatan yang ada di tebing Ciampea berkisar antara 5.10 - 5.11. Dengan banyaknya jalur, Tebing Ciampea merupakan surga bagi pemanjat yang berniat mencari sensasi baru. Dari segi potensi wisata, Kecamatan Ciampea memiliki beberapa desa yang memiliki kampung wisata, seperti Desa Cihideung Udik dengan Kampung Wisata Cinangeng, Desa Tegal Waru dengan Kampung Wisata Rumah Joglo, dan Desa Benteng dan Desa Ciampea dengan keragaman tempat peribadatan. Dari sekian destinasi wisata yang ada, Ciampea bisa menjadi awan cerah yang muncul di tengah mendungnya kota Bogor.
LAPORAN UTAMA 12.000 rupiah per orang untuk kemudian menyusuri rute perjalanan yang terus menanjak selama kurang lebih satu jam. Selanjutnya, Explorer akan dikenai tarif lima ribu rupiah untuk memasuki kawasan wisata panjat tebing Gunung Parang. Pegunungan andesit yang kokoh berdiri di antara dua bendungan besar di Indonesia, yakni Jatiluhur dan Cirata ini memiliki ketinggian 983 mdpl. Gunung Parang atau Tebing Parang memiliki tiga jalur pemanjatan tebing, atau biasa dikenal dengan istilah tower. Tower 1 Tebing Parang memiliki puncak dan tingkat kesulitan memanjat paling tinggi dibandingkan tower lainnya. Tower 2 memiliki tinggi puncak kurang lebih sama dengan Tower pertama, sementara Tower 3 memiliki ketinggian 875 mdpl. Dari “Jalur Kopassus” Hingga Pemanjat Cilik
Menjajaki
Gunung Parang Tebing Kedua Tertinggi di Asia Tak hanya dikenal lewat Sate Maranggi, Purwakarta juga dikenal mendunia melalui salah satu wisata alamnya yang mampu menarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Terletak di Kampung Cihuni, Desa Sukamulya, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Badega Gunung Parang merupakan perpaduan dari keasrian gunung nan hijau, kegagahan tebing, dengan kearifan budaya Sunda
SAPHARA | 13
S
atu hal yang membuat nama kawasan Badega Gunung Parang ini familiar di kalangan para wisatawan, terutama para pecinta tebing, adalah ketinggian dari pegunungan Tebing Parang itu sendiri, yang diklaim sebagai tebing tertinggi kedua di Asia. Akses menuju tebing ini cukup mudah, terletak sekitar tiga jam berkendara dari Jakarta melalui rute Purbaleunyi—Jatiluhur—Plered. Setelah sampai di Plered, carilah “Pasar Plered” untuk kemudian meneruskan perjalanan ke Kampung Cihuni. Bila berangkat menggunakan kendaraan umum, Explorer perlu menumpang mobil kijang dengan tarif
Tower ketiga merupakan jalur pemanjatan yang paling diminati oleh para pemanjat, baik oleh pemanjat pemula maupun pemanjat tingkat mahir. Tower yang juga dikenal dengan nama “Tower Kopassus” ini memiliki beberapa tahapan jalur pemanjatan dengan rentang kesulitan mulai dari grade 5.7 hingga 5.12. Mula – mula, Explorer akan disuguhi jalur pemanjatan dengan tingkat kesulitan yang paling mudah, yakni 5.7 dan tidak memiliki bayak poin, hanya sejumlah celahan atau crack. Namun, telah sampai pada ketinggian 20 meter ke atas, tingkat kesulitan mulai bertambah, dan poin sudah tidak hanya terdiri dari crack saja. Selain dapat memilih untuk ditemani oleh petugas Badega, Explorer juga bisa memilih untuk memanjat sendiri Tower 3, karena setiap pemanjat hanya perlu mengikuti jalur yang sudah ada—yang sekaligus juga mudah diingat. Pada awalnya, Explorer perlu mendaki melewati jalan setapak menuju Bale Fatimah, kemudian melewati hutan, dan tidak sampai setengah jam, Explorer telah sampai di Tower 3 Gunung Parang. Jangan heran, ketika berjalan menuju tower , Explorer akan banyak menjumpai
terlihat dari medan tebing yang lebat serta hanya terdapat dua hanger pada
Sayangnya beberapa jalur sudah tertutup semak dan belum sempat dibersihkan. Selain itu, kawasan pabrik yang terlalu dekat dengan tebing ini juga dinilai cukup mengganggu. Tidak Hanya Soal Manjat
jalurnya. Beberapa bagian tebing telah terlihat rapuh dan tidak memungkinkan digunakan sebagai jalur pemanjatan. Selain itu, puncak tebing dipenuhi kera yang lalu lalang. Untuk masalah perizinan memanjat, hanya perlu melapor kepada warga sekitar yang bertempat tinggal tak jauh dari dasar tebing. Namun permukaan yang rapuh, serta banyaknya penambangan yang beroperasi di kawasan itu, menyebabkan tebing ini tidak sepopuler tebing lainnya dan sangat jarang dikunjungi para pemanjat. Kali ini berada di sebelah kanan jalan, setelah menempuh jarak sekitar 500 meter dari Citatah 90, dapat terlihat akses jalan menuju sebuah tebing yang selalu ramai dikunjungi para pemanjat. Gunung Tebing Pabeasan atau lebih dikenal para pemanjat dengan nama Citatah 125 ini, merupakan tebing dengan banyak jalur yang variatif. Sama seperti dua tebing lainnya yakni Citatah 48 dan Citatah 90, tebing ini juga dinamai sesuai dengan ketinggiannya yang mencapai 125 meter. Kawasan tebing ini sering dijadikan tempat pelatihan yang ideal bagi para pemanjat karena tingkat kesulitan tebing di setiap jalurnya yang beragam. Pada ketinggian sekitar 30 meter dari dasar tebing, terdapat goa yang memungkinkan para pemanjat untuk memasang tambatan guna kepentingan latihan. Untuk dapat memanjat di kawasan tersebut, prosedur yang ditempuh untuk perizinan hanyalah dengan melapor pada ketua RT atau
karang taruna setempat. Kawasan tebing ini berada dalam pengawasan warga Pabeasan. Merekalah yang mengurus segala kepentingan, mulai dari mempermudah akses jalan, kebersihan kawasan tebing, serta fasilitas umum berupa toilet yang telah selesai dibangun. Hal-hal itu pula yang mungkin menjadi alasan mengapa kawasan tebing ini ramai dikunjungi. Menurut Ade, ketua RT setempat, ada beberapa persyaratan dalam melakukan pemanjatan di Citatah 125. “Jaga omongan, jangan sompral. Terus malam Selasa dan malam Jumat kalau bisa jangan melakukan pemanjatan,” ujarnya. Kawasan ini memang menjadi kawasan tebing yang dinilai komplit serta ideal dilihat dari segi keterjangkauan lokasi, medan tebing, tingkat kesulitan, dan juga variasi jalur.
“
Jaga omongan, jangan sompral. Terus malam Selasa dan malam Jumat kalau bisa jangan melakukan pemanjatan,
”
Citatah sebenarnya tak hanya memiliki tiga kawasan pemanjatan, masih terdapat pula kawasan lain seperti Goa Pawon serta Gunung Hawu. Goa Pawon yang juga tak jauh dari kawasan Citatah 90 yakni kawasan Gunung Masigit, saat ini merupakan salah satu objek pariwisata yang ada di Citatah. Di Goa inilah dapat ditemukan beberapa jalur pemanjatan. Selain itu, masih ada pula Gunung Hawu, sebuah kawasan tebing yang berada di belakang Citatah 125. Tebing tersebut dinilai cukup tersembunyi serta memiliki jalur-jalur yang cukup sulit bagi para pemanjat pemula. Di luar kawasan-kawasan tersebut, masih banyak area pemanjatan yang terdapat di Citatah. Citatah sendiri memang merupakan kawasan yang menyimpan banyak keindahan serta dapat menjadi suatu tempat ideal untuk mengasah kemampuan memanjat. Menurut pemanjat profesional Indonesia sekaligus pembuat jalur-jalur pemanjatan, Tedy Ixdiana, Citatah memang memiliki banyak kelebihan yang diantaranya adalah dekatnya tebing satu dengan yang lainnya, dan juga keterjangkauan kawasan Citatah yang cukup dekat dengan Kota Bandung. “Kawasan tebing citatah adalah salah satu tempat terbaik untuk latihan panjat tebing, ini dilihat dari fasilitas jalur pemanjatan yang telah tersedia dan karakter medan pemanjatan yang variatif,” tambahnya. Hal ini ternyata juga dirasakan oleh para pemanjat lainnya. “Rasanya seru, banyak jalurjalur buat latihan, cocok buat latihan pemula maupun professional,” ujar Okky, salah satu pemanjat yang aktif menggunakan Citatah 125 sebagai arena latihan di sana.
SAPHARA | 14
anak – anak yang asyik bermain di sekitaran tebing. Pemandangan ini menjadi sangat lumrah, bahkan ketika anak – anak tersebut juga ikut memanjat tebing dengan tidak memakai pengaman sama sekali hingga ketinggian 10-15 meter. Gunung Parang adalah lahan bermain mereka, bahkan sesekali tim Saphara melihat ayunan yang sengaja dipasang di hutan, dekat Bale Fatimah, guna menunjang area bermain anak – anak Kampung Cihuni. Bagi pengunjung, pemandangan seperti ini bisa jadi terlihat sangat unik dan cenderung ekstrim. Namun, bagi masyarakat di sekitar gunung Parang, ini sama halnya seperti melihat anak – anak yang tengah bermain petak umpet ; sangat lumrah!
Para Penjaga Parang Kolaborasi antara budaya, alam dan olahraga menjadi ciri khas dari desa wisata Badega Gunung Parang. Pakaian adat bernuansa hitam – hitam atau biasa disebut “Jas Takwa” dipadukan dengan ikat kepala a la Sunda, “Iket”, menjadi pakaian sehari – hari para “Badega” alias penjaga Gunung Parang. “Dalam Bahasa Sunda, Badega secara harfiah dapat diterjemahkan menjadi pembantu, namun kami cenderung menafsirkannya sebagai penjaga. Jadi, Badega Gunung Parang adalah para penjaga Gunung Parang,” ujar Ketua Penanggung Jawab Badega Gunung Parang, Wawan. Ia mengatakan, tugas para Badega adalah menjaga Gunung Parang
dari penambangan liar, pembabatan hutan, dan hal-hal lain yang dapat merusak kelestarian gunung. Di samping itu, para Badega juga mengemban misi memperkenalkan kembali budaya Sunda yang, menurut Wawan, sudah tidak menjadi tuan di rumahnya sendiri. “Sekarang kebanyakan pemuda Sunda sudah beralih menjadi Sunda yang modern, mereka tidak lagi mau mengenakan pakaian seperti kami kecuali bila menghadari acara keadatan. Kadang mereka juga malu jika harus berbahasa Sunda, mereka saja sudah jarang menggunakan bahasa ibu,” ia menambahkan.
SAPHARA | 15
WISATA BUDAYA
Saksi Bisu Kematian Manusia Megalitik Teks dan Foto: Panji Arief Sumirat
Kematian merupakan salah satu siklus kehidupan manusia. Dimana kematian menutup keseluruhan tahap kehidupan manusia di dunia. Berbagai cara dilakukan manusia yang masih hidup untuk mengantarkan manusia lain ke tempat peristirahatan terakhirnya. Cara-cara tersebut diadopsi dari tata cara baik sudut pandang agama maupun adat istiadat. Hal itu dikarenakan setiap agama dan adat istiadat memiliki tata cara pemakaman yang diikuti umat atau pengikutnya.
D
i Indonesia, upacara pemakaman adat masyarakat Hindu Bali menjadi salah satu yang dikenal. Prosesi pemakaman adat dengan cara membakar jenazah dikenal dengan istilah Ngaben. Kemudian abu dari sisa pembakaran tersebut disimpan dalam satu wadah untuk kemudian dilarung ke laut. Seluruh prosesi Ngaben sudah diadaptasi secara turun temurun oleh masyarakat ketika ada salah satu keluarga yang mangkat. Budaya memakamkan manusia juga diadaptasi oleh manusia zaman megalitikum di Indonesia. Hal itu
SAPHARA | 16
dibuktikan dengan sejumlah temuan peti kubur dari batu yang tersebar di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Salah satu temuan peti kubur yang terkenal adalah di Desa Cipari, Kecamatan C i g u g u r, K a b u p a t e n K u n i n g a n . Masyarakat sekitar menyebut peti mati yang ditemukan dengan sebutan Peti Kubur Batu. Nama Peti Kubur Batu diambil dari bahan dasar pembuatan peti tersebut, yaitu batuan andesit pipih berbentuk papan. "Dulunya tempat ini lahan pertanian warga. Salah satu petani menemukan batu mirip meja, saat
dilakukan penggalian oleh tim arkeologi ditemukanlah Peti Kubur Batu ini," ujar salah satu juru pelihara Situs Purbakala Cipari, Rokiman. Rokiman menjelaskan penggalian percobaan dilakukan pada 1972. Penggalian percobaan tersebut menghasilkan temuan berupa Peti Kubur Batu dan beberapa gerabah pada zaman megalitikum. Kemudian tim arkeolog yang dibantu mahasiswa Arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM), melakukan penggalian total pada 1975 dengan total luas penggalian sekitar 7000 m2. Dari hasil penggalian total
ditemukan Peti Kubur Batu lainnya. Namun dari Peti Kubur Batu yang ditemukan tidak satupun ditemukan kerangka tubuh manusia megalitik di dalamnya. “Menurut hasil penelitian kandungan tanah di Cipari ini memiliki keasaman dan kelembapan yang sangat tinggi. Sehingga jenazah yang dimakamkan disini akan cepat hancur beserta tulangnya. Itulah yang menyebabkan tidak ditemukannya kerangka manusia megalitik,” tambah Rokiman. Dua Peti Kubur Batu yang ditemukan di Cipari letaknya tidak berjauhan satu sama lain. Dari data hasil penelitian, disebutkan ukuran salah satu peti yaitu memiliki panjang 205 cm, lebar 75 cm, dan tinggi 87 cm. Sedangkan peti lainnya memiliki panjang 186 cm, lebar 56 cm, dan tinggi 67 cm. Bentuk Peti Kubur Batu tidak berbentuk persegi panjang seperti peti mati modern. Peti Kubur Batu lebih mirip trapesium karena memiliki dua sisi lebar yang berbeda. Kemudian kedua Peti Kubur Batu tersebut terletak membujur dari arah barat daya dan timur laut, jika dilihat menurut arah mata angin. “Mengapa peti ini menghadap barat daya dan timur laut, besar kemungkinan dahulu manusia megalitikum melihat arah terbit dan terbenamnya matahari. Sehingga diadaptasikan pada Peti Kubur Batu yang ada di Cipari ini,” tutur Rokiman. Peneliti Utama Balai Arkeologi
Bandung, Lutfi Yondri menjelaskan nama asli Peti Kubur Batu ini adalah situs Ratu Genjreng. Menurut Lutfi, di Kabupaten Kuningan sendiri memiliki 11 tempat penemuan Peti Kubur Batu salah satunya yang ada di Cipari ini. Peti Kubur Batu di 11 tempat berbeda tersebut, memiliki karakteristik yang berbeda-beda pula. Perbedaan karakter Peti Kubur Batu bergantung dari hasil batuan dari daerah setempat. “Batuannya ada yang berbentuk balok batu, ada juga yang berbentuk papan batu. Di sekitar Cipari banyak ditemukan sumber batu. Manusia megalitik akan mencari batuan yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka,” kata Lutfi.
Manusia megalitik memiliki anggapan bahwa matahari merupakan segala sumber kehidupan
Dalam jurnal penelitian Lutfi yang berjudul Jejak Aktivitias Penguburan Masyarakat Megalitik di Kaki Gunung Ciremai Jawa Barat menjelaskan kaitan arah hadap bangunan megalitik. Manusia megalitik memiliki anggapan bahwa matahari merupakan segala sumber kehidupan. Oleh sebab itu
banyak bangunan megalitik mengarah timur dan barat sesuai dengan terbit dan tenggelamnya matahari. Ada pula bangunan megalitik yang berorientasi ke arah utara, sebagai bukti peringatan bahwa nenek moyang mereka datang dari utara. Peti Kubur Batu oleh masyarakat pendukung budaya megalitik dibuat tentunya tidak terlepas dari wujud pengagungan dan penghormatan kepada arwah. Menurut kepercayaan waktu itu, roh orang yang meninggal akan terus di dunia arwah. Roh orang yang mati akan kembali ke dunia arwah yang dianggap berada di pulau-pulau yang jauh, puncak gunung, atau tempat-tempat yang dianggap sakral lainnya. Kepercayaan inilah yang kemudian memberikan pengaruh terhadap arah dan penempatan bangunan megalitik. Manusia megalitik beranggapan penempatan tersebut akan memudahkan arwah menuju ke alamnya. Saat ini Peti Kubur Batu di Cipari masuk dalam daftar koleksi Taman Purbakala Cipari. Temuantemuan lain seperti alat masak, kapak, serta perhiasan zaman megalitik disimpan rapih di Museum Purbakala C i p a r i . Ta m a n P u r b a k a l a y a n g diresmikan pada 23 Februari 1978 tersebut biasa dijadikan wisata edukasi sejarah. Jaraknya yang hanya empat kilometer dari pusat Kota Kuningan, menjadikan Taman Purbakala Cipari sebagai destinasi tujuan wisata edukasi siswa sekolah di Kabupaten Kuningan dan kabupaten yang ada disekitarnya.
SAPHARA | 17
HALAMAN
SAPHARA | 18
SAPHARA | 19
ACARA
STOP! Cara Memandang Ular dari Sisi Positif
Teks & Foto: Astika
Apa yang ada dibenak Anda ketika mendengar atau melihat ular? Banyak yang beranggapan jika ular adalah hewan melata yang harus dihindari karena berbisa. Paradigma, mitos hingga anggapan jika ular berbahaya telah melekat pada hampir semua masyarakat awam yang tidak mengetahui tentang ular. Diperkuat dengan media yang sering menampilkan ular sebagai sosok “antagonis”, seperti pada tayangan sinetron dan film yang seakan mengukuhkan paradigma masyarakat jika ular itu hewan yang “menjijikkan” dan berbahaya. Pada kenyataannya tidak semua ular berbahaya, Teks dan Foto : Astika
D
i Indonesia jumlah ular mencapai 400 jenis ular yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Habi-tatnya pun bervariasi tergantung pada jenis ularnya, seperti ular air (Aquatik) yang seluruh hidupnya di air, ular setengah perairan (Semi Aquatik) yang hi-dupnya terkadang di air dan di darat, ular darat (Terresterial) yang seluruh aktifi-tasnya di darat, ular pohon (Arboreal) yang seluruh aktifitasnya di pohon, dan yang terakhir ular gurun yang aktifitas-nya di gurun. Walaupun jenis ular telah diklasifikasi menurut habitatnya, tidak menu-tup kemungkinan jika ularular tersebut berada pada wilayah yang bukan habi-tatnya. Secara keseluruhan, ular adalah perenang dan pemanjat yang ulung. Melihat banyaknya jumlah spesies ular yang ada di Indonesia serta perse-baran habitatnya yang
SAPHARA | 20
ada di setiap tem-pat seakan menyadarkan kita akan per-lunya pengetahuan tentang bagaimana menghadapi ular. Setidaknya inilah yang digemborkan oleh Yayasan Sioux Ular Indonesia. Organisasi yang berdiri sejak 30 November 2003 silam mengenalkan prinsip STOP sebagai upaya ketika berha-dapan dengan ular tanpa harus mem-bunuh ular tersebut. Pertama S yaitu silent (diam), diam ditempat, tidak bergerak, namun boleh bersuara. Karena pada hakikatnya ular tidak memi-liki telinga sehingga sangat peka terhadap gerakan, tetapi tidak dengan suara. Selanjutnya T yaitu thinking (berpi-kir), menganalisis jenis ular yang sedang dihadapi. Kemudian O yaitu observe (mengamati), melihat dan mengamati keadaan sekitar. Dan yang terakhir P yaitu prepare (mempersiapkan), mem-persiapkan
apa yang akan dilakukan selanjutnya. Ketika prinsip STOP ini telah dilakukan terutama silent, maka dapat dipastikan kita akan aman dari serangan ular. Paradigma negatif yang terbentuk di kalangan masyarakat tentang ular tidak mudah untuk dihilangkan. Hal itulah yang membuat Sioux sebagai lembaga non pemerintahan yang lahir dan ter-bentuk dari rasa kecintaan terhadap ular hadir di masyarakat dengan tujuan memberikan pengetahuan dan edukasi tentang ular, teknik-teknik dasar penanganan bahaya gigitan ular, serta cara mencegah serangan ular. Tujuannya, agar masyarakat merasa lebih aman jika ada ular disekitarnya. “Proses edukasi tentang ular inilah yang membedakan Sioux dengan komunitas-komunitas pencinta r e p t i l l a i n nya ,” ka t a O w i e n
“Sebenarnya
ular tidak mengganggu manusia, tapi manusia yang mengganggu ular sehingga ular merasa terancam karena salah kita sendiri, jadi ketika kita tidak mengganggu ular maka ular juga tidak Darvesh si Muscle Cilik Muhammad Darvesh Sagraha adalah salah satu muscle, sebutan untuk ang-gota Sioux, yang baru bergabung de-ngan Sioux sejak Mei 2015. Murid kelas 2 Sekolah Alam Bekasi ini mulai tertarik dengan ular sejak usia enam tahun keti-ka pertama kali melihat stand Sioux
pada pameran Festival Desa di Ragunan. Hing-ga sekarang, ia berani berinteraksi de-ngan ular tanpa ada rasa takut. “Aku suka ular karena ular itu lucu”, ucap Darvesh atau akrab di sapa koko. Sebelum bergabung dengan Sioux, Koko sering menghadiri setiap acara yang diselenggarakan Sioux. Orang tua Koko sebenarnya tidak ada dasar suka pada ular, namun koko lah yang mem-buat orang tuanya suka terhadap ular. Sabath Dilpa Maryo selaku Ayah Koko menuturkan, “Tidak ada paksaan dari kami sebagai orang tua agar koko menjadi anggota Sioux, ini murni karena kemauannya sendiri. Dalam hal ini bu-kan kami sebagai orang tua yang mem-pengaruhi koko melainkan kami yang dipengaruhi koko untuk suka pada ular”, saat ditemui pada acara Nuansa Ular yang diselenggarakan oleh Sioux di Universitas Padjadjaran, Dipati Ukur, Minggu (6/12) lalu. Koko juga pernah mempraktikkan
contoh mengahadapi ular dengan prinsip STOP di sekolahnya, dengan menjadikan dua ekor ular peliharaannya sebagai model. Diusianya yang baru delapan tahun, ia sudah mempunyai cita-cita untuk me-ngembangbiakkan ular, tujuannya agar ular tidak punah. Koko juga bercita-cita untuk melakukan kampanye dengan tema selamatkan ular Indonesia, supaya rantai makanan tetap terjaga, dan jaga kekayaan Indonesia. “Sebenarnya ular tidak mengganggu manusia, tapi manusia yang menggang-gu ular sehingga ular merasa terancam karena salah kita sendiri, jadi ketika kita tidak mengganggu ular maka ular juga tidak akan mengganggu kita”, ucap Koko menutup perbincangan.
Foto: Tempo.co
SAPHARA | 21
INFORIAL
SELAMAT DATANG, ABINAYA SAKTI!
Teks dan Foto : Muhammad Rifqy Fadil
R
egenerasi adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah organisasi. Akan sulit bagi sebuah organi-sasi untuk menjalankan roda struktural guna estafet menuju citacita bersama jika tanpa regenerasi. Oleh karenanya, maka bagi Klub Aktifis Pegiat dan Pemerhati Alam Fakultas Ilmu Komuni-kasi, Univer-sitas Padjadjaran (KAPPA Fikom Unpad) melaksanakan Pendidi-kan dan Latihan Dasar (Diklatsar) setiap tahunnya secara berkesinambungan. Pada 27 Desember 2015 hingga 7 Januari 2016 kemarin telah dilaksanakan Diklatsar XIX KAPPA Fikom Unpad yang diikuti oleh 15 orang peserta maha-
SAPHARA | 22
siswa angkatan 2015 Fikom Unpad. Setelah-nya, lahirlah angkatan termuda KAPPA Fikom Unpad dengan nama angkatan "Abinaya Sakti" yang bermakna kumpulan orang-orang tangguh dan kuat. Penamaan ini bukan sembarang, sebab mengikuti kegiatan Diklatsar KAPPA selama 10 hari di medan alam bebas memang dibutuhkan mental yang kuat didukung fisik yang mumpuni. Diklatsar XIX kemarin sendiri diawali dengan materi pemanjatan tebing di Tebing Citatah 125, Cipatat, Kab. Bandung Barat. Kemudian dilanjutkan dengan pengarungan Sungai Citarum, Rajamandala, Kab. Bandung Barat & Kab. Cianjur. Setelahnya, para peserta
Diklatsar XIX melanjutkan dengan longmarch atau jalan panjang dari Cikole, Lembang, Kab. Bandung Barat, menuju Gunung Palasari, Kab. Bandung sejauh 25 km. Aktifitas dilanjutkan dengan pema-terian navigasi darat serta sosialisasi pe-desaan dan keorganisasian. Kemudian dilanjutkan dengan perjalanan menuju gunung Manglayang, Kab. Sumedang untuk pematerian Survival. Dan perja-lanan Diklatsar XIX berakhir di Kampus Fikom Unpad Jatinangor, Kab. Sume-dang pada 7 Januari 2016. Tujuan utama Diklatsar XIX kali ini adalah penanaman nilai loyalitas,
tang-gung jawab, dan kreatifitas kepada para angkatan termuda KAPPA Fikom. "Kebutuhan akan kemajuan zaman membuat kreatifitas adalah sebuah keniscayaan. Tetapi kreatifitas mestilah digabungkan dengan prinsip loyalitas dan tanggung jawab dalam memikul perputaran roda organisasi kedepannya," ujar Ketua Dewan Pengurus XVII, Rakanda Ibrahim Gandapermadi. Juga melihat kebutuhan internal KAPPA, maka dirumuskanlah targettarget utama pendidikan tersebut oleh panitia Diklatsar XIX. "KAPPA membutuhkan lebih banyak suntikan kreatifitas dan tentunya diimbangi dengan loyalitas dan tanggung jawab untuk anggota muda yang masuk ini. Maka untuk KAPPA yang lebih inovatif dalam berkegiatan di alam dan tetap selaras dengan visi dan misi organisasi ini, dirumuskan tujuantujuan inti tersebut," ucap Ketua Diklatsar XIX KAPPA Fikom, Fatia Shaliha, saat penutupan kemarin
“
Kebutuhan akan kemajuan zaman membuat kreatifitas adalah sebuah keniscayaan. Tetapi kreatifitas mestilah digabungkan dengan prinsip loyalitas dan tanggung jawab dalam memikul perputaran roda organisasi kedepannya
Lanjut Fatia, diharapkan para ang-gota termuda ini dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat dalam Diklatsar XIX dalam setiap kegiatan keorganisasian KAPPA, maupun pengaplikasiannya da-lam bermasyarakat sehari-hari. "Juga mereka dapat berkontribusi sesuai de-ngan penanaman nilai-nilai tersebut utamanya terhadap kepedulian lingkungan," kata Fatia. Selamat datang Abinaya Sakti!
�
Ketua Dewan Pengurus XVII, Rakanda Ibrahim Gandapermadi.
SAPHARA | 23
FOTO ESSAY
Rock Climbing atau panjat tebing di Gua Pawon, Padalarang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Berikut adalah hasil dokumentasi perjalanan KAPPA Fikom Unpad dalam kegiatan Mini Journey divisi Tebing Dinding Komuniti (Bidik). Oleh : Panji Arief Sumirat
.
SAPHARA | 24
SAPHARA | 25
FOTO ESSAY
SAPHARA | 26
27 SAPHARA | 29
OPERASI
BERGELIAT MEMOTRET DI TEBING Teks : Wibi Pangestu Pratama
http://fotografiindonesia.net/
Dengan berbagai kerumitan dan bahaya yang mengancam pelakunya, olahraga panjat tebing menempati posisi 10 olahraga paling berbahaya di dunia. Olahraga seekstrem ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi para pelakunya. Risiko yang diambil akan sepadan dengan kepuasan yang didapat setelah menyelesaikan pemanjatan.
M
eskipun tergolong sebagai olahraga, aktivitas panjat tebing tak hanya dilakukan untuk mengolah kekuatan raga, aktivitas ini pun kerap digunakan untuk keperluan ekspedisi dan penelitian. Apapun tujuannya, terdapat salah satu hal yang tak mungkin dilewatkan, yaitu dokumentasi. Meskipun puncak tebing telah ditapaki, tak lengkap rasanya jika proses pemanjatan tak terdokumentasikan. Pendokumentasian di medan vertikal terbilang cukup rumit. Untuk bisa mengambil gambar, fotografer/videografer harus berada di dekat pemanjat. Ia pun harus bisa menjamin keselamatan dirinya saat melakukan pendokumentasian tanpa
SAPHARA | 28
mengganggu pergerakan pemanjat. Untuk melakukan pendokumentasian di medan vertikal, banyak hal yang harus diperhatikan. Faktor keamanan tentu menjadi poin paling penting, hasil dokumentasinya pun harus sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan. Pahami Tekniknya Teknik SRT (Single Rope Technique) merupakan teknik pemanjatan yang digunakan fotografer/videografer untuk bisa mencapai ketinggian. Dengan menggunakan teknik ini, pergerakan akan menjadi lebih dinamis (mudah untuk bergerak naik, turun, atau bergeser). Sang fotografer/videografer
hanya perlu mencari posisi yang aman dan baik untuk mengambil gambar. Banyak alat yang diperlukan untuk bisa melakukan SRT. Untuk bisa menggantung, memerlukan alat-alat pemanjatan seperti tali kernmantle, harness, ascender, descender, sling, serta berbagai pengaman lainnya. Jangan lupakan juga kamera. Siapkan baterai, memori, serta lensa yang sesuai dengan kebutuhan. Teknik dasar dalam SRT adalah teknik naik dan turun. Pergerakan dilakukan untuk menyesuaikan posisi dengan pemanjat. Bisa dibilang fotografer/videografer sama-sama melakukan pemanjatan seperti si pemanjat.
Siapkan Fisik Melakukan pendokumentasian di tebing menguras tenaga cukup banyak. Fotografer/videografer harus terus bergerak untuk mendapatkan gambar yang ciamik. Naik, turun, bergeser menyebrangi jalur si pemanjat, dll. Tenaga akan lebih terkuras saat tali yang digunakan untuk melakukan SRT tak bisa langsung dipasang ke anchor point di atas tebing, fotografer/videografer pun harus melakukan pemanjatan. Diperlukan kekuatan fisik yang baik untuk melakukan pendokumentasian di tebing. Latihan fisik hukumnya wajib sebelum melakukan pendokumentasian di tebing. Berbagai jenis latihan dapat dilakukan, seperti latihan kekuatan, ketahanan, juga kelincahan. Tentukan Jalur Pergerakan Pemanjat akan menentukan lebih awal jalur mana yang akan ia gunakan, PR selanjutnya dari fotografer/videografer adalah menentukan jalur yang akan ia gunakan untuk melakukan SRT. Jalur tersebut tidak boleh mengganggu pergerakan pemanjat. Pertimbangan pemilihan jalur bagi fotografer/videografer tak lain
adalah proyeksi gambar yang akan dihasilkan. Saat fotografer hendak mengambil gambar pemanjat yang disertai pemandangan di sebelah timur pemanjat, maka fotografer/videografer harus berada di sebelah barat si pemanjat, pun sebaliknya. Bukan sebuah dosa jika fotografer/videografer bergerak keluar dari jalurnya. Terkadang ia harus menyebrangi pemanjat untuk mendapatkan angle gambar tertentu. Selama fotografer/videografer dapat berkomunikasi dengan baik bersama si pemanjat, pergerakan ke manapun sahsah saja. Buat Variasi Gambar S u d a h m e n j a d i k u a s a fotografer/videografer untuk menentukan posisinya terhadap pemanjat, apakah ingin berada di atas pemanjat atau terus sejajar. Semua bergantung pada gambar yang ingin dihasilkan. Namun, untuk membuat hasil dokumentasi lebih hidup, gambar yang diambil harus bervariasi. Jelajahi berbagai angle saat mengambil gambar, seperti dari atas, bawah, samping, dll. Selain itu, libatkan juga objek-objek di sekitar pemanjat yang bisa dicampurkan dalam gambar, apakah belayer di bawah, pemandangan di sekitarnya, atau mungkin keindahan
formasi tebing yang sedang dipanjat. Pemanjat menjadi objek utama dalam pendokumentasian saat pemanjatan. Dapatkan momen dengan gestur tubuh yang menarik, dapatkan juga ekspresi si pemanjat untuk menunjukkan emosi dalam pemanjatan. Ada pula tips jika ingin mengambil gambar dari atas pemanjat, dapatkan gambar pemanjat secara lengkap, kepala, pundak, punggung, kaki, semua terlihat, agar gesture pemanjat dapat terilhat secara keseluruhan. Jangan Lupa Makanan dan Minuman! Fotografer/videografer akan menggantung cukup lama di tebing jika ia mendokumentasikan pemanjatan di tebing yang amat tinggi, atau mungkin jika mendokumentasikan banyak pemanjat (seperti dalam kegiatan fun climbing). Agar perut tidak rewel, alangkah baiknya untuk menyediakan makanan dan minuman untuk dibawa naik. Makanan dapat diwadahi dengan dry bag atau wadah lain yang mudah disangkutkan ke harness, sementara minuman dapat diwadahi dalam botol yang mudah disangkutkan pula. Bawalah makanan dan minuman yang bervariasi, agar lidah tetap merasa nyaman.
SAPHARA | 29
KATA KITA
Olahraga panjat tebing merupakan salah satu olahraga ekstrem di dunia. Keahlian, pengalaman, serta bekal berupa alat-alat pendukung yang terjamin keselamatannya merupakan harga mati. Untuk pemula, sangat tidak disarankan melakukan olahraga ini tanpa bimbingan dari instruktur berpengalaman mengingat resikonya yang fatal. Lalu, apa kata sahabat explorer tentang olahraga ini? Berikut hasil rekapan celoteh sahabat explorer yang direkap oleh Andhika Soeminta.
“Menurutku olahraga ekstrim satu ini keren banget, memacu adrenalin! Apalagi kalo udah mau sampe puncak keliatan banget kalo pemanjatnya menikmati momenmomen itu. Dan olahraga ini juga melatih kita untuk jangan pantang menyerah. By the way salam untuk para pemanjat yang mengaku dirinya pemanjat! Mau dong dipanjat hatinya.”
“Menurut saya olahraga panjat tebing itu termasuk salah satu ekstrim sport yang seru dan tidak mudah untuk dilakukan. Perlu pengamanan yang tinggi, tidak semua orang bisa melakukan dengan sembarangan tapi bisa belajar dan mencoba. Saya melihat olahraga ini merupakan olahraga yang seru dan menyenangkan.” Nila Kusumasari Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad
Azizah N Syahna Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad
“Panjat tebing itu olahraga yang paling pas buat yang ingin melatih kemampuan fisik, memperkuat otot tubuh, dan tentunya memacu adrenalin. Saat orang lagi climbing keliatan kaya mudah namun ketika dicoba sendiri ternyata susah. Yang paling asik itu kalo udah hampir sampai puncak dan ngeliat kebawah, rasanya perjuangan manjatnya langsung kebayar dan bangga atas pencapaian diri kita.”
“Panjat tebing itu olahraga ekstrim. Tapi lebih dari itu panjat tebing bukan sekadar olahraga, atau bahkan sekadar memacu adrenalin pemanjat. Panjat tebing itu ibarat belajar menggapai tujuan hidup. Perlu kerja keras, usaha, kesabaran, kerjasama dengan belayer, dan rasa syukur yang banyak atas pencapaian yang sudah di dapat.” Lulita O Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung
Fadel Muhammad Fakultas Geodesy & Geomatics ITB Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi
SAPHARA | 30
SAPHARA | 31
REFLEKSI
Mitos dan Tren Kegiatan Outdoor Teks : Wibi Pangestu Pratama Foto : Rakanda Ibrahim
M
ei 2014, Tama mendapat kabar bahwa kekasihnya hendak mengikuti acara pendakian bersama. Tujuannya Gunung Papandayan, gunung yang jaraknya tak lebih dari 7 km dari rumahnya. Spontan Tama pun mengajak teman-temannya untuk naik ke Papandayan di hari yang sama dengan kekasihnya mendaki. 4 orang bersedia menemani, mereka p a h a m k e i n g i n a n Ta m a u n t u k “membuntuti� kekasihnya. Rapat antara Tama dan 4 orang temannya hanya dilakukan lewat chat. Semua selesai dibahas kecuali waktu keberangkatan. Temannya meminta pendakian diundur 1 sampai 2 minggu agar 2 orang temannya bisa turut bergabung, namun Tama ngotot memperjuangkan kehendaknya. “Kalau
SAPHARA | 32
naiknya diundur, mending ga usah naik sekalian, ga bakal ketemu pacar,� pikir Tama. Waktu pendakian pun disepakati, Tama tetap dapat bertemu kekasihnya. Pendakian dimulai dengan hanya beranggotakan 5 orang. Siang mereka berangkat, sore harinya mereka tiba di lokasi kemah. Malam harinya Tama mendengar segerombolan orang melewati tendanya, ternyata itu adalah rombongan kekasihnya. Bertemulah mereka. Mereka berkumpul di sekitar api unggun yang kecil. Hanya sedikit kayu yang bisa didapat. Bukan karena malas mencari, Tama merasa kesal karena ia sering menemukan banyak sampah berserakan selama ia mencari kayu. Sudah mencari jauh dari tempat kemah
pun ia tetap saja menemukan sampah. Te n a g a Ta m a t e r b u a n g u n t u k menggerutu sambil memunguti sampah, kayu diabaikan. Beragam sampah yang ia temukan, mulai dari plastik, styrofoam bekas makanan instan, dan yang palingnyeleneh adalah botol-botol minuman keras. Niat sekali orang-orang membebani tasnya dengan membawa minuman keras. Isinya habis, botolnya ditinggal. Meninggalkan sampah kecil saja sudah berupa masalah, apalagi botol kaca. Tak pernah sebelumnya gunung dianggap sebagai medan bermain. Gunung kerap dilihat sebagai tempat sakral yang hanya mampu ditapaki oleh orang berkeahlian dan orang yang berniat baik. Namun entah kapan
awalnya nilai tersebut memudar. Zaman dahulu gunung digunakan sebagai tempat bersemedi, tempat orangorang mencari ketenangan dan berkomunikasi dengan Sang Hyang. Gunung pun dijadikan tempat berkomunikasi dengan orang di daerah lain. Salah satu caranya dengan mengirimkan simbol melalui asap yang dapat terlihat dari gunung lain yang jauh jaraknya. Kini cerita yang terjadi di sebagian gunung di Indonesia memang tak seperti dulu lagi. Mitos pun tak jadi perhatian utama lagi seiring berkembangnya pola pikir para pendaki. Sayangnya, lunturnya mitos tersebut membuat gunung tak lagi dianggap suci. Kesadaran untuk menjaga gunung pun turut menurun. *** Desember 2015, Tama kembali mengunjungi tebing Citatah 125, tebing yang sempat membuat kuku kakinya lepas. Tak banyak hal yang berubah semenjak terakhir ia ke sana. Air tetap sulit didapat, namun kesenangan mudah didapat. Bukan hanya lewat panjat tebing, kesenangan didapat karena warga di sana semakin aktif berinteraksi dengan para pemanjat. Tama tak melakukan pemanjatan, ia hanya mengawasi rekan-rekannya yang sedang berlatih memanjat di jalur market. Pemanjatan berlangsung cukup lama, Tama yang hanya menunggu di goa saja kelelahan, apalagi rekannya yang naik turun memanjat tebing. Seusai memanjat, mereka pun bersiap tuk santap malam. Malam hari di Citatah tidaklah sunyi, gemuruh suara mesin dari pabrikpabrik pengolahan batu terus terngiang di telinga. Karena cukup sulit untuk tidur di tengah kebisingan, Tama dan rekan-
rekannya memilih untuk mengobrol. Salah satu yang menjadi perbincangan mereka adalah hammock. Hammock menjadi tren akhirakhir ini dalam jagat Instagram. Orangorang mengunggah foto-foto mereka ber-hammock di berbagai tempat, halaman rumah, hutan, pantai, hingga di atas tebing. Tempat terakhir tersebut terbilang ekstrem. Dari banyak foto hammocking di tebing yang diunggah, Tama menilai ada keseragaman, faktor keamanan. Hanya sedikit orang dalam foto yang ia temukan yang menggunakan pengaman (harness) saat bergelantungan.
Orang-orang mengunggah fotofoto mereka berhammock di berbagai tempat, halaman rumah, hutan, pantai, hingga di atas tebing. Bergelantungan di hammock tak jauh berbeda dengan bergelantungan di tenda vertical. Meski lebih sederhana, faktor keamanan haruslah tetap diperhatikan. Pemanjat harus tetap tersangkut pada pengaman. Aktivitas hammocking memang belum setenar pendakian gunung, namun saat orang-orang berbondong-bondong mulai melakukan hammocking, tebing menghadapi ancaman tersendiri. Nilai sakral dari sebuah tebing yang kokoh pun terancam dikesampingkan demi foto
yang potensial mendapat like dalam Instagram. Citatah yang menjadi salah satu lokasi hammocking di Bandung mendapat perhatian khusus dari para pegiat alam. Setelah komplek tebing ini rusak oleh pertambangan, jangan sampai aktivitas pemanjatan dan hammockingturun member kontribusi dalam perusakan. Bicara hammocking di Citatah, Karang Taruna di sana menyediakan fasilitas pemandu hammocking. Karang Tarunalah salah satu motor yang menggerakkan masyarakat di sekitar tebing Citatah 125 untuk akrab dengan panjat tebing, juga dengan para pemanjat. Para pemuda di sana diberi pelatihan agar bisa memanjat dan memandu tamu. Karang Taruna tersebut berusaha menggerakkan masyarakat agar kerusakan akibat pertambangan tidak terus meluas. Mereka bergerak dengan menghidupkan tebing melalui pemanjatan dan hammocking. Kelestarian tebing tak bisa hanya diusahakan oleh warga saja, namun juga oleh para pemanjat. Sebagian warga mengeluhkan kedatangan para pemanjat yang hanya datang, memanjat, lalu pulang, tanpa berinteraksi dengan warga. Sebagian pemanjat pun kerap menggunakan kakus dan mengambil air dalam jumlah banyak, tanpa tahu bahwa air di sana adalah barang langka. Warga mendapat jatah air dari perusahaan dalam jumlah terbatas, untuk kebutuhan mandi dan mencuci selama seminggu saja kurang. Beban mereka bertambah saat akhir pekan jumlah pemanjat yang datang ke sana melonjak. Ini menjadi bahan renungan tersendiri bagi Tama dan rekan-rekannya yang saat itu mengambil air berliter-liter.
SAPHARA | 33
ETALASE
Produk Ultra-lightweight banyak diminati oleh para pegiat alam bebas, selain mengurangi beban bawaan produk ultra-lightweight juga tidak meninggalkan prinsip safety dalam kegiatan. Tak mau ketinggalan produsen produk panjat tebing Petlz membuat ascender dengan berat yang tergolong sangat ringan dibandingkan ascender lainnya. Dengan berat hanya 39 gram dan desain tidak memiliki gagang, Tibloc dapat digunakan sebagai ascender ketika dalam keadaan darurat atau penyelamatan. Tibloc dapat digunakan dengan kernmantel 8 mm hingga 11 mm dan menggunakan carabiner sebagai kunci. Ascender ini dibandrol dengan harga Rp 400.000
Ultra-lightweight Ascender Tibloc Self-breaking Descender Stop Self-breaking Descender Stop Tak hentinya berinovasi dalam perkembangan alat panjat tebing, kali ini Petzl kembali membuat inovasi dengan merilis Petzl Stop yang berfungsi sebagai descender dan belay device dengan badan yang bisa dibuka sehingga explorer tidak perlu melepas alat untuk memasang tali. Selain itu, Descender ini memiliki fungsi unik yaitu self-breaking system yang membuat descender terkunci secara otomatis ketika tuas dilepas. Berminat memilikinya? Explorer bisa mendapatkan Petzl Stop dengan harga Rp 1.300.000
Black Diamond Deluxe Single Fly Mendirikan tenda di tebing memberikan sensasi tersediri bagi Explorer, tidur di ketinggian tentu memberikan pengalaman tersendiri. Black Diamond Deluxe Single Fly dirancang sebagai tenda yang dapat melindungi penggunanya dari cuaca ekstrim di ketinggian. Tenda ini dirancang agar dapat dipasang dengan mudah dan cepat. selain itu Black Diamond Deluxe Single Fly dilapisi dengan CPIA-84 tahan api, sehingga explorer tidak perlu takut untuk memasak didalam tenda. Tenda ini dibandrol dengan harga Rp 6.300.000 sebanding dengan fungsi dan kualitasnya.
Black Diamond Deluxe Single Fly Oleh : Muhammad Akbar
SAPHARA | 34
BUAH PENA
Oleh : Aflah Satriadi
SAPHARA | 35
S
Sumber Gambar: http://rifaldidwiputra.blogspot.com