Saphara Edisi 9, Oktober 2015

Page 1

Edisi #9 Oktober 2015

SAPHARA

Sebuah Perjalanan, Sebuah Kehidupan

BAKAR JABAR PELATARAN HYANG

CIKASUR

MENJAJAKI

PARANG

CERMINAN TATO

MENTAWAI


alifiaonline.wordpress.com


SALAM PEMRED Asap dan kebakaran hutan sedang menjadi “buah bibir” dalam banyak aktivitas masyarakat di republik ini. Angka korban terpapar asap mencapai 25 juta jiwa tersebar di lima provinsi. Itu artinya 1 dari 10 orang Indonesia adalah korban terpapar asap. Juga lebih dari 70ribu orang terserang penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Hal-hal tersebut jika kita bicara dalam konteks dampak kepada manusia imbas dari bencana tersebut. Bagaimana dengan dampak ekologis? Lucunya, di luar pulau Sumatera dan Kalimantan, sang “kampiun” justru diraih oleh tanah Pasundan. Catatan Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam Provinsi Jawa Barat (BBKSDA Jabar), sekitar 1300 hektar hutan di Jawa Barat hangus terbakar. Jumlahnya meningkat hampir 400% menilik catatan tahun sebelumnya dari sumber yang sama, yakni sekitar 300 hektar. Bagaimana Jawa Barat meraih gelar “kampiun” se-pulau Jawa dan siapa yang “berhasil berprestasi” dalam “liga” kebakaran hutan tingkat nasional musim ini? Selamat membaca! Muhammad Rifqy Fadil, Pemimpin Redaksi.

DAFTAR ISI PERJALANAN LOKAL DESA LINTAS KOTA LAPORAN UTAMA WISATA BUDAYA HALAMAN ACARA BUAH PENA FOTO ESSAY OPERASI KATA KITA REFLEKSI ETALASE REVIEW

4 6 8 10 18 20 22 23 24 32 34 36 38 39

8

4

8

18

20

SAPHARA Pemimpin Umum: Dwy Anggreni Mutia Pemimpin Redaksi: Muhammad Rifqy Fadil - Redaktur Budaya & Desa: Aflah Satriadi Redaktur Opini: Istnaya Ulfathin - Redaktur Perjalanan: Olfi Fitri Hasanah Redaktur Acara dan Lingkungan: Noor Alfath Aziz - Redaktur Foto dan Perwajahan: Panji Arief Sumirat Reporter: Alfa Ibnu Wijaya, Jenjen Jaenudin, Arfi Zulfan, Dimas Jarot Bayu, Rakanda Ibrahim Gandapermadi, Artia Lestari Yohana, Arkani Dieni Ikrimah, Syifa Khairun Nisa, Kartika Putri, Astika, Dicky Septiansyah. Advertising: Nadia Septriani (081221168234) Email: kappafikom@gmail.com Alamat Redaksi: Gedung Student Centre (SC) Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung - Sumedang KM 21, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

SAPHARA

|3


PERJALANAN LOKAL

Menjajaki Gunung Parang, Tebing Kedua Tertinggi di Asia Teks: Istnaya Ulfathin Foto: Khairunnisa Zenfin

Tak hanya dikenal lewat Sate Maranggi, Purwakarta juga dikenal mendunia melalui salah satu wisata alamnya yang mampu menarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Terletak di Kampung Cihuni, Desa Sukamulya, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Badega Gunung Parang merupakan perpaduan dari keasrian gunung nan hijau, kegagahan tebing, dengan kearifan budaya Sunda. Satu hal yang membuat nama kawasan Badega Gunung Parang ini familiar di kalangan para wisatawan, terutama para pecinta tebing, adalah ketinggian dari pegunungan Tebing Parang itu sendiri, yang diklaim sebagai tebing tertinggi kedua di Asia. Akses menuju tebing ini cukup mudah, terletak sekitar tiga jam berkendara dari Jakarta melalui rute P u r b a l e u ny i — J a t i l u h u r — P l e re d . Setelah sampai di Plered, carilah “Pasar Plered” untuk kemudian meneruskan perjalanan ke Kampung Cihuni. Bila berangkat menggunakan kendaraan umum, Explorer perlu menumpang mobil kijang dengan tarif 12.000 rupiah per orang untuk

SAPHARA

|4

kemudian menyusuri rute perja-lanan yang terus menanjak selama kurang lebih satu jam. Selanjutnya, Explorer akan dikenai tarif lima ribu rupiah untuk memasuki kawasan wisata panjat tebing Gunung Parang. Pegunungan andesit yang kokoh berdiri di antara dua bendungan besar di Indonesia, yakni Jatiluhur dan Cirata ini memiliki ketinggian 983 mdpl. Gunung Parang atau Tebing Parang memiliki tiga jalur peman-jatan tebing, atau biasa dikenal dengan istilah tower. Tower 1 Tebing Parang memiliki puncak dan tingkat kesulitan memanjat paling tinggi dibandingkan tower lainnya. Tower 2 memiliki tinggi puncak

kurang lebih sama dengan Tower pertama, sementara Tower 3 memiliki ketinggian 875 mdpl. Dari “Jalur Kopassus” Hingga Pemanjat Cilik Tower ketiga merupakan jalur pemanjatan yang paling diminati oleh para pemanjat, baik oleh pemanjat pemula maupun pemanjat tingkat mahir. Tower yang juga dikenal dengan nama “Tower Kopassus” ini memiliki beberapa tahapan jalur pemanjatan dengan rentang kesulitan mulai dari grade 5.7 hingga 5.12. Mula – mula, Explorer akan disuguhi jalur pemanjatan dengan tingkat kesulitan yang paling mudah,


Dalam Bahasa Sunda, Badega secara harfiah dapat diterjemahkan menjadi pembantu, namun kami cenderung menafsirkannya sebagai penjaga. Jadi, Badega Gunung Parang adalah para penjaga Gunung Parang.

Wawan. Ketua Penanggung Jawab Badega Gunung Parang

yakni 5.7 dan tidak memiliki bayak poin, hanya sejumlah celahan atau crack. Namun, telah sampai pada ketinggian 20 meter ke atas, tingkat kesulitan mulai bertambah, dan poin sudah tidak hanya terdiri dari crack saja. Selain dapat memilih untuk ditemani oleh petugas Badega, Explorer juga bisa memilih untuk memanjat sendiri Tower 3, karena setiap pemanjat hanya perlu mengikuti jalur yang sudah ada—yang sekaligus juga mudah diingat. Pada awalnya, Explorer perlu mendaki melewati jalan setapak menuju Bale Fatimah, kemudian melewati hutan, dan tidak sampai setengah jam, Explorer telah sampai di Tower 3 Gunung Parang. Jangan heran, ketika berjalan menuju tower , Explorer akan banyak menjumpai anak – anak yang asyik bermain di sekitaran tebing. Pemandangan ini menjadi sangat lumrah, bahkan ketika anak – anak tersebut juga ikut memanjat tebing dengan tidak memakai pengaman sama sekali hingga ketinggian 10-15 meter.

Gunung Parang adalah lahan bermain mereka, bahkan sesekali tim Saphara melihat ayunan yang sengaja dipasang di hutan, dekat Bale Fatimah, guna menunjang area bermain anak – anak Kampung Cihuni. Bagi pengunjung, pemandangan seperti ini bisa jadi terlihat sangat unik dan cenderung ekstrim. Namun, bagi masyarakat di sekitar gunung Parang, ini sama halnya seperti melihat anak – anak yang tengah bermain petak umpet ; sangat lumrah! Para Penjaga Parang Kolaborasi antara budaya, alam dan olahraga menjadi ciri khas dari desa wisata Badega Gunung Parang. Pakaian adat bernuansa hitam – hitam atau biasa disebut “Jas Takwa” dipadukan dengan ikat kepala a la Sunda, “Iket”, menjadi pakaian sehari – hari para “Badega” alias penjaga Gunung Parang. “Dalam Bahasa Sunda, Badega secara harfiah dapat diterjemahkan menjadi pembantu, namun kami

cenderung menafsirkannya sebagai penjaga. Jadi, Badega Gunung Parang adalah para penjaga Gunung Parang,” ujar Ketua Penanggung Jawab Badega Gunung Parang, Wawan. Ia mengatakan, tugas para Badega adalah menjaga Gunung Parang dari penambangan liar, pembabatan hutan, dan hal-hal lain yang dapat merusak kelestarian gunung. Di samping itu, para Badega juga mengemban misi memperkenalkan kembali budaya Sunda yang, menurut Wawan, sudah tidak menjadi tuan di rumahnya sendiri. “Sekarang kebanyakan pemuda Sunda sudah beralih menjadi Sunda yang modern, mereka tidak lagi mau mengenakan pakaian seperti kami kecuali bila menghadari acara keadatan. Kadang mereka juga malu jika harus berbahasa Sunda, mereka saja sudah jarang menggunakan bahasa ibu,” ia menambahkan.

SAPHARA

|5


DESA

Uma :

Lestari Budaya VS Ancaman Kesehatan Teks dan Foto: Arfi Zulfan

Rasa pengap langsung menyergap ketika memasuki sebuah ruangan pada sebuah rumah. Dinding-dinding papan yang berguna sebagai pengaman bagian dalam rumah, tidak membiarkan sinar matahari langsung masuk ke dalam rumah tersebut. Tidak ditemukan satupun jendela sebagai ventilasi udara dan celah sinar matahari masuk ke dalam rumah. Keadaan rumah tersebut, bisa dijumpai di rumah-rumah adat daerah Hulu, jauh di pedalaman Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Masyarakat Mentawai menyebut rumah adat tersebut dengan sebutan Uma. Ketika masuk ke bagian depan rumah, terdapat sebuah teras tempat orang Mentawai berkumpul. Namun setelah melewati sebuah pintu, keadaan yang sebelumnya terang benderang menjadi gelap seketika. Tidak ada sekat yang membatasi bagian-bagian rumah seperti dapur, kamar tidur, dan ruang tamu. Jika melirik ke bagian langit-langit rumah, berjajar berbagai tulang benulang binatang hasil buruan. Asal-usul bentuk rumah di Mentawai dijelaskan salah satu warga kelahiran Mentawai, Abag Kook. Menurutnya, rumah-rumah di Mentawai dibuat sedemikian rupa agar penghuni rumah terlindung dari berbagai gangguan dari luar rumah.

SAPHARA

|6

Keadaan alam Mentawai yang sebagian besar terdiri dari hutan, memungkinkan satwa-satwa liar mengganggu penghuni rumah. Dinding-dinding berfungsi pula untuk menahan gangguan cuaca. “Dulu rumah-rumah terletak di tengah-tengah hutan. Belum ada pemukiman seperti ini, semua berkumpul dalam satu desa. Dahulu terpisah-pisah di dalam hutan-hutan Mentawai,� kata Abag. Material-material yang digunakan untuk membangun rumah adat Mentawai, diambil langsung dari dalam hutan Mentawai. Dinding-dinding dibuat dari potongan-potongan kayu yang dibuat pipih. Kemudian, atap dibuat dari daun-daun pohon sagu yang

biasa masyarakat Mentawai sebut Rumbia. Rumah adat Mentawai dibuat berbentuk rumah panggung, rangkarangka penyangga rumah dibuat dari kayu gelondongan. Seiring perkembangan zaman, rumah adat Mentawai banyak mengalami perkembangan. Atap dari rumbia diganti dengan atap asbes. Pondasi rumah diperkuat beton dari campuran batu, pasir, dan semen. Serta jendelajendela dibuat sebagai media sirkulasi udara. Namun hanya sedikit rumah yang mengalami perkembangan ini, rumahrumah adat Mentawai asli masih dengan mudah dijumpai. Bentuk dan keadaan rumah adat Mentawai memiliki pengaruh bagi penghuninya.


Resiko Segi Kesehatan Salah satu relawan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan dalam penugasannya ke Mentawai, dr. Fajar H. Panjaitan, mengatakan dilihat dari segi kesehatan, fentilasi udara dan cahaya matahari yang terdapat di rumah itu sangat penting fungsinya. Dengan masuknya udara segar dari luar, ditambah sinar matahari dapat membunuh virus-virus penyebab penyakit. Salah satunya adalah virus penyakit Tuberculosis (TBC). Menurut Fajar, penyakit TBC banyak diderita masyarakat Mentawai karena desain rumah adat tersebut. “Wajar bila banyak masyarakat Mentawai yang mengidap penyakit TBC. Apalagi desain hunian yang tertutup memudahkan virus untuk berkembang, kemudian menularkan kepada anggota keluarga yang lainnya,” ucap Fajar. Sebuah rumah pada umumnya memiliki sekat atau pembatas, antara satu ruangan dengan ruangan lainnya. Namun berbeda dengan keadaan rumah adat Mentawai yang tidak memiliki sekat. Kebiasaan berkumpul sesama masyarakat Mentawai, menjadikan rumah dibuat luas tanpa ada sekat yang membatasi satu ruangan dengan ruangan lainnya. Ketika memasak masyarakat menggunakan kayu bakar,

alhasil seisi rumah dipenuhi asap selama memasak. Kebersihan dan Sanitasi Selain masalah sirkulasi udara yang tidak begitu baik pada rumah adat Mentawai. Permasalahan lainnya adalah kebersihan sarana Mandi Cuci Kakus (MCK), yang kurang diperhatikan masyarakat setempat. Tidak mudah menemukan sebuah rumah yang memiliki MCK di Mentawai, masyarakat setempat terbiasa mencuci baju, mandi, hingga buang air di sungai yang terdapat di perkampungan. Aktivitas ini sudah dilakukan dari dulu hingga sekarang. Keadaan MCK yang tidak memadai menyebabkan masyarakat Mentawai, kerap terjangkit penyakit diare dan cacingan. Hal itu dikemukakan Kepala Puskesmas Muara Siberut, dr. Tony Ruslim. Menurutnya dalam satu desa terdapat kurang lebih 200 kepala keluarga, hanya ada kurang dari 10 kepala keluarga yang rumahnya dilengkapi sarana MCK. Sehingga menjadi hal yang wajar ketika penyakit diare dan cacingan menjangkiti masyarakat Mentawai. “Pada 2013 lalu di daerah Hulu terkena wabah diare. Ratusan orang terjangkit diare, delapan orang diantaranya meninggal dunia,” kata Tony. Tony menambahkan masyarakat Mentawai belum banyak mengetahui

penyakit-penyakit yang kapan saja bisa menjangkiti mereka. Kurangnya informasi mengenai kesehatan dari gaya hidup sehari-hari, menjadi penyebab utama masyarakat kerap terjangkit p e nya k i t . M e n u r u t To ny p e ra n pemerintah setempat dalam mencanangkan program kesehatan masyarakat, memerlukan kerjasama dengan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. “Untuk pencegahan, Puskesmas memberikan berbagai penyuluhan. Kemudian mengadakan Puskesmas keliling setiap satu bulan sekali, sekaligus mengobati masyarakat yang sakit,” tutur Tony. TBC, diare, dan cacingan merupakan penyakit yang umum menjangkiti masyarakat Mentawai. Gaya hidup adat masyarakat Mentawai, sudah menjadi budaya dari para leluhur hingga sampai saat ini. Mulai dari rumah adat hingga kebiasaan dalam beraktivitas seharihari, bisa menjadi bumerang bagi kesehatan masyarakat Mentawai sendiri. Penyelarasan budaya dengan keadaan kesehatan masyarakat, menjadi hal yang diperlukan agar keduanya bisa berjalan. Sehingga budaya adat bisa tetap dipertahankan, dan kesehatan masyarakat tetap terjaga.

SAPHARA

|7


LINTAS KOTA

Menghayati Cikasur, Menikmati Pelataran

Sang Hyang Teks : Muhammad Rifqy Fadil Foto : Rakanda Ibrahim Gandapermadi

Lapangan udara di pedalaman Papua mungkin saja menjadi fasilitas transportasi yang paling rasional. Infrastruktur transportasi darat disana hingga saat ini boleh dikatakan belum seberapa memadai. Siapa sangka hal tersebut pernah terjadi di pulau Jawa. Lapangan udara Cikasur yang terletak di Dataran Tinggi Hyang, diantara Kabupaten Probolinggo dan Situbondo, Jawa Timur adalah contohnya. Cikasur terletak di ketinggian 2200 mdpl dengan akses masuk jalan setapak

SAPHARA

|8

P

asca kemerdekaan Indonesia lapangan terbang ini sudah tak difungsikan lagi. Bekas landasan pacu yang sudah tertutup sabana yang terhampar, serta bangunan berupa rumah sebagai pengontrol lapangan terbang sudah rusak dan tinggal menyisakan reruntuhan dan tiang-tiang pancang bangunan. Sejauh mata memandang di Cikasur, maka sajian yang dapat dinikmati ialah lautan padang rumput yang luas dengan beberapa buah bukit dihiasi satu dua pohon Pinus yang tumbuh berjarangan. Berjalan agak ke tengah sedikit, maka akan terlihat dua garis sejajar memanjang sekitar 150 m. Cikasur merupakan salah satu pos pendakian menuju Gunung Argopuro, puncak tertinggi dataran tinggi Hyang dengan ketinggian 3088 mdpl. Perjalanan dimulai melalui jalur Desa Baderan, Kecamatan Sumber Malang, Kabupaten Situbondo Wilayah pegunungan Hyang sendiri terletak di empat kabupaten di provinsi Jawa Timur yakni Situbondo, Jember, Bondowoso, dan Probolinggo. Seperti yang dituturkan oleh Sabli (20), Mahasiswa asal Malang yang m e r u p a ka n s a l a h s e o ra n g d a r i pengunjung Cikasur. “Saat mendengar


suara burung Merak di pagi hari, indah sekali. Perjalanan panjang kami menuju Argopuro terbayar dengan indahnya Cikasur” ujar dia saat dihampiri di Cikasur (14/8). Populasi hewan liar seperti Merak, Kijang, Rusa, Babi Hutan, Monyet, dan Macan Kumbang memang masih banyak dapat ditemukan di sekitar Cikasur meskipun agak jarang ditemui apalagi jika pengunjung sedang dalam jumlah yang banyak. Para hewan tersebut umumnya muncul di malam hari untuk meminum air dari Sungai Qolbu yang mengalir melintang di pinggir Cikasur. Peninggalan Hindu Budha Menurut Sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, pada awal abad IX seorang peneliti Inggris, H.G Quaritch Wales mengadakan penelitian tentang pemujaan terhadap dewa-dewa di tanah Jawa dana mengumpulkannya di dalam sebuah buku yang berjudul Mountain of God. “Tempat pemujaan biasanya berada di puncak-puncak gunung. Atau jika tempat ibadahnya terdapat di lereng, maka arah orientasi ibadahnya ialah ke arah puncak gunung,” kata Dwi menjelaskan. Jalur lapangan terbang sendiri dibuat awalnya bertujuan untuk m em u d a h ka n Wa les m ela ku ka n risetnya. Dijelaskan bahwa Wales tidak sendirian melainkan disertai oleh ahli Biologi dan ahli Botani yang juga melakukan penelitian. Usai penelitian berlanjut, di areal argopuro banyak ditemukan spesies hewan yang perlu

dilindungi di Argopuro. “Salah satu tujuan riset saat itu, dibuatlah penangkaran di sekitar areal cikasur dengan pertimbangan di daerah tersebut terdapat tanah yang relatif rata sehingga memungkinkan,” ucap dia. Tetapi menurut dia, dua buah garis sejajar atau bekas jalur lapangan

Tempat pemujaan biasanya berada di puncak-puncak gunung. Atau jika tempat ibadahnya terdapat di lereng, maka arah orientasi ibadahnya ialah ke arah puncak gunung

Dwi Cahyono. Sejarawan Universitas Negeri Malang terbang tersebut sebelumnya pada saat tradisi Hindu Budha memang sudah ada. “Dahulunya kemungkinan bekas jalan berbatu untuk jalur pemujaan. Sehingga saat Wales dan tim membuat landasan terbang maka tinggal mengikuti bekas jalur tadi,” ujar dia. Tidak Disarankan Untuk Didaki Cikasur merupakan salah satu checkpoint jika memulai pendakian Argopuro melalui jalur Baderan. Untuk

mencapai Cikasur, dibutuhkan waktu normal sekitar dua hari perjalanan, atau jika berjalan tanpa istirahat dibutuhkan waktu normal sekitar 12 jam perjalanan. Cukup melelahkan terutama bagi pendaki pemula. Karena alasan itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur tidak menyarankan untuk mendaki gunung ini dikarenakan tidak m e nya ra n ka n u nt u k m e l a ku ka n pendakian di Argopuro. “Argopuro ini sebenarnya tidak disarankan untuk didaki karena ini Suaka Margasatwa, bukan Taman Nasional,” ujar Arifin, Staf Sub BKSDA Jawa Timur Wilayah Jember, saat ditemui di Desa Bermi, Probolinggo, dimana perjalanan ini berakhir (18/8). Juga akan lumrah ditemui warga Baderan yang lalu lalang menggunakan sepeda motor di jalur pendakian. Menurut Arifin, sebenarnya dulu dibuka jalur untuk sepeda motor bertujuan untuk perlombaaan sepeda motor trail. “Dulu dibuka oleh Bupati Jember, dan ditutup kembali begitu perlombaan usai. Namun dibuka kembali oleh warga,” kata dia. Warga memanfaatkan jalur motor tersebut untuk mengambil bunga Angin yang ada di sekitar sabana Cikasur, juga kadang untuk berburu Rusa dan Kijang yang dapat ditemukan di Cikasur. “Apalagi soal perburuan tersebut, sebenarnya tidak boleh. Namun apa boleh buat, kami hanya bisa menghimbau. Semuanya dikembalikan ke masyarakat lagi,” ujar Arifin menutup perbincangan.

SAPHARA

|9


LAPORAN UTAMA

SAPHARA

| 10


BAKAR JABAR Teks: Aflah Satriadi, Alfa Ibnu Wijaya, Arkani Dieni Ikrimah, Muhammad Rifqy Fadil, Olfi Fitri Hasanah, Syifa Khoirun Nisa. Foto: Diolah dari beberapa sumber tercantum.

SAPHARA

| 11


LAPORAN UTAMA

PASUNDAN

Sumber Gambar: waspadadini.co.id

JAWARA TERBAKAR DI PULAU JAWA Musibah asap yang tengah melanda negeri ini boleh dibilang sedang hangat menjadi bahan perbincangan rakyat seantero nusantara. Nusantara di sini bukan hanya mengacu pada Indonesia, melainkan wilayah imperium Majapahit yang membentang di hampir separuh wilayah Asia Tenggara. Imbas asap kebakaran hutan di beberapa wilayah Indonesia nyatanya telah dirasakan bahkan oleh jiran, seperti Malaysia, Singapura, dan sebagian wilayah Thailand.

L

ebih dari 25 juta jiwa atau hampir 10 persen penduduk Indonesia terpapar asap keba-karan hutan. Secara rinci, penduduk terdampak asap kebakaran mencapai 22,6 juta jiwa di Sumatera dan 3 juta jiwa di Kalimantan. Puluhan ribu jiwa di antaranya terjangkit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Seperti dilansir oleh Tempo.co, di Provinsi Riau sendiri tercatat 78.993 jiwa terjangkit ISPA per 21 Oktober dengan kans jumlah yang terus bertambah. Jumlah warga terjangkit ISPA tersebut belum ditambah puluhan ribu kasus ISPA di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan banyak daerah lainnya. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga mencatat sebanyak 503.874 jiwa menderita ISPA di enam provinsi sejak 1 juli hingga 23 Oktober 2013. Sejauh ini, penderita ISPA terbanyak ada di provinsi Jambi dengan

SAPHARA

| 12

jumlah 129.229 jiwa, disusul 101.333 jiwa di Sumatera Selatan, 97.430 jiwa di Kalimantan Selatan, 80.263 jiwa di Riau, 52.142 jiwa di Kalimantan Barat. September lalu, situs berita bbc.com melansir ungkapan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, yang menyatakan bahwa kerugian total kebakaran hutan penyebab musibah asap di berbagai wilayah di Indonesia kemungkinan melebihi Rp 20 triliun. Jumlah yang cukup membangun sekitar 25 ribu gedung sekolah baru dengan estimasi biaya pembangunan sebesar Rp800 juta per sekolah. “Ya pasti. Kalau melihat skalanya lebih tinggi (kerugiannya). Pada 2014 terkonsentrasi terutama di Riau, sekarang lebih meluas penyebaran asapnya di Sumatera dan Kalimantan. Saya lagi menghitung ini (kerugiannya),�

kata Sutopo. Estimasi Sutopo tersebut berdasar pada kerugian sebesar Rp20 triliun akibat kabut asap tahun lalu yang dihitung selama tiga bulan sejak Februari hingga April hanya dari Provinsi Riau. Kondisi tersebut belum terkalkulasi dengan total luas lahan yang terba-kar. Data terakhir yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui situs sipongi.menlhk.go.id mencatat lebih dari 10.527 hektar lahan terbakar tahun ini. Akan tetapi jumlah tersebut tak bisa dipastikan hingga akhir tahun ini mengingat data rilisan belum diperbaharui. Berdasarkan data yang dirilis Kementerian LHK tersebut, Riau menempati urutan pertama dengan luasan sebesar 2.643 hektar, diikuti Jambi serta Kalimantan Tengah seluas 2.217 hektar dan 1.220 hektar.


Sumber Gambar: inilah.com

Pasundan “Mendominasi” Jawa Provinsi Jawa Barat boleh dibilang menempati peringkat pertama di pulau Jawa untuk jumlah lahan terbakar tahun ini. Pasalnya, wilayah tatar Pasundar yang terbakar mencapai 1.029 hektar atau lebih besar ketimbang Kalimantan Barat (995 hektar) dan Jawa Timur (553 hektar). “Bahkan data kami mencatat lebih dari 1.300 hektar hutan terbakar di Jawa Barat,” ujar Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam Jawa Barat (BBKSDA Jabar) yang membawahkan bagian hubungan masyarakat, Muhammad Yusuf Indrabrata, pada Selasa (13/10) lalu. Yusuf menyebutkan, pihaknya saat ini belum bisa menjelaskan penyebab pasti kebakaran di hutanhutan areal Jawa Barat. “BBKSDA belum mendata secara terperinci mengenai penyebabnya,” lanjut Yusuf. Menurutnya, memastikan jumlah terbakar di Jawa Barat memerlukan waktu yang lebih. “Paling tidak satu minggu baru bisa ketahuan,” tukasnya. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Dadan Ramdan, menyatakan bahwa ribuan hektar lahan terbakar di Jawa Barat setiap tahunnya dengan pelbagai motif. “Selama lima tahun terakhir, tiap tahun itu ada di angka enam ribu sampai 15 ribu hektar kawasan yang terbakar,” kata Dadan kepada SAPHARA awal Oktober kemarin. Dengan kemarau berkepanjangan tahun

ini, pihaknya memperkirakan jumlahnya akan meningkat lagi. Akhir Oktober ini, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat menyatakan data yang berbeda tentang jumlah lahan terbakar di Jawa Barat yakni sekitar 960 hektar, sebagaimana dilansir oleh Pikiran Rakyat. Setidaknya ada 13 titik kebakaran di Jawa Barat yang tersebar di beberapa daerah pengelolaan yang berbeda. Tujuh titik berada di bawah pengelolaan BBKSDA Jabar, satu titik di Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, dan lima titik di lokasi yang dikelola oleh Perhutani. Untuk kebakaran di wilayah BBKSDA Jabar ialah 334,7 hektar di Suaka Margasatwa Cikepuh, 138,9 di Cagar Alam Kamojang (Guntur), 3,5 hektar di Cagar Alam Kamojang blok Cipateungteung, Cagar Alam Papandayan 328,5 hektar, Cagar Alam Burangrang sebanyak lima hektar, Taman Buru Kareumbi sebanyak 10,5 hektar, Cagar Alam Bojonglarang Jayanti sebanyak 8,5 hektar, serta Gunung Ciremai sebanyak 107 hektar. Sementara kawasan yang dikelola Perhutani yakni Gunung Malabar sebanyak lima hektar, Gunung Parang di Purwakarta sebanyak 10 hektar, Gunung Manglayang sebanyak dua hektar, Gunung Plered Purwakarta sebanyak satu hektar, Kepuh dan Ciwaringin di Majalengka dan Cirebon sebanyak 12 hektar. Kesemua data tersebut dirilis per 26 Oktober 2015.

Selama lima tahun terakhir, tiap tahun itu ada di angka enam ribu sampai 15 ribu hektar kawasan yang terbakar

” Dadan Ramdan. Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat

SAPHARA

| 13


LAPORAN UTAMA

ULANG TAHUN HUTAN TERBAKAR

Manusia memaknai ulang tahun sebagai bertambahnya usia hidup di dunia. Lain kisahnya dengan kebakaran. Ulang tahun bagi kebakaran memiliki makna bertambahnya luasan hutan dan lahan yang mati dilalap api. Pohon yang semestinya sahabat paru-paru, kini tak lagi ramah karena berubah menjadi kabut asap dan abu. Langit pun nampak suram di tengah biru. Namun, tetap masih banyak yang tak peduli, pura-pura tidak tahu. “Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) ini terjadi setiap tahun di Indonesia. Makanya, saya sebut ulang tahun kebakaran hutan dan lahan,” ucap pengamat kehutanan yang juga Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Togu Manurung saat diwawancarai SAPHARA melalui ponsel awal Oktober lalu. Di Jawa Barat sendiri, menurut data milik Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat pada periode tahun 2010-2015, kebakaran hutan terluas terjadi pada 2011 dan tahun ini. Pada tahun 2014 ke 2015 terjadi lonjakan angka luasan hutan yang terbakar sebesar lebih dari 400 persen, yakni dari 303,57 ha pada 2014 menjadi 1.345,49 ha hutan dan lahan terbakar pada 2015. Togu menjelaskan, faktor alam seperti kemarau panjang bukan faktor utama dalam terjadinya kebakaran

SAPHARA

| 14

hutan. Apalagi di Jawa Barat yang didominasi oleh tipe hutan hujan tropis dengan tingkat kelembapan tinggi. Lanjutnya, hutan dengan kondisi baik tidak akan mudah terbakar sekalipun kandungan biomassanya menurun akibat kemarau. Namun, pada kenyataannya hutan sudah banyak yang mengalami kerusakan akibat penebangan liar oleh manusia. September lalu, jejak korporasi terendus berada di balik kasus karhutla di beberapa kabupaten Provinsi Riau. Sementara yang terjadi di Jawa Barat, Togu menduga masyarakat menjadi aktor utama di samping ada atau tidaknya pihak lain di balik peristiwa tersebut. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi pemerintah dan penegak hukum untuk mengusutnya lebih jauh. Kecil Kemungkinan Faktor Alam Badan Penanggulangan Bencana

Daerah Jawa Barat (BPBD Jabar) melalui Kepala Seksi Kedaruratan, Budiman SKM, menyatakan terdapat tujuh kasus tersebut terjadi di tiga Kabupaten, di antaranya Kabupaten Garut tepatnya Gunung Papandayan, Kabupaten Sukabumi, dan Bogor. “Tujuh kasus tersebut terjadi tidak kurang dalam jangka 9 hari (6 – 15 September 2015) berdasarkan hasil rekap BPBD Jawa Barat,” ujar Budiman saat ditemui SAPHARA September lalu. Menurut Budiman, Jawa Barat yang cenderung berada di dataran tinggi dan lembab tidak menjamin untuk lebih aman dari kebakaran hutan. “Terlebih saat ini bisa dikatakan musim kemarau,” ucapnya. Dia mengatakan sejauh pengamatan pihaknya, kebanyakan faktor kebakaran hutan di Jawa Barat hanya ada dua, faktor alamiah dan human error. “Misalnya kalau dari faktor


Sumber gambar: lampost.co

kesalahan manusia berasal dari sisa bara yang digunakan untuk menghangatkan tubuh dan memasak pada saat pendakian,” ucap Budiman. Bara yang belum mati, lanjut Budiman, secara sempurna tersebut kemudian tertiup oleh hembusan angin dan kembali menjadi api. Pakar kehutanan Achmad Sjarmidi, berkata lain soal penyebab karhutla yang melanda Jawa Barat. Achmad menyatakan bahwa kebakaran di Jawa Barat terlalu kecil kemungkinan jika disebabkan oleh faktor alam. “Jika dikatakan faktor alam, faktor alam seperti apa memangnya? Bagaimana penjelasan logikanya?” ujar Achmad ketika diwawancarai SAPHARA. Dia menjelaskan, kecil kemungkinannya terjadi kebakaran hutan yang dikarenakan faktor alam kecuali dalam hal-hal tertentu seperti gunung meletus yang mengeluarkan lahar. “Pada dasarnya, api itu bukan bagian dari ekosistem hutan. Jadi tidak mungkin itu (kebakaran hutan) alamiah. Pasti ada

Jawa Barat yang cenderung berada di dataran tinggi dan lembab tidak menjamin untuk lebih aman dari kebakaran hutan

” Budiman SKM. Kepala Seksi Kedaruratan BPBD Jabar

yang bakar,” tukas pria yang juga menjadi pengajar Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH ITB) ini. Bagi Achmad, jika memang mau dikatakan alamiah, berarti hal tersebut lebih tepat bila yang dimaksud adalah pergerakkan angin. “Tetapi tentu saja api bukan faktor utama. Faktor utama itu, bahwa terjadi human error disana,” ujar dia. Hingga berita ini dimuat, kebakaran hutan di Jawa Barat masih terus terjadi. Awal Oktober kemarin, bahkan terjadi kebakaran hutan di Gunung Geulis, Jatinangor, Sumedang, tak jauh dari pusat pendidikan tinggi Jatinangor. Dalam berita yang dilansir oleh metrotvnews.com, total lahan yang habis terlalap api dalam peristiwa ini mencapai hingga 15 hektar. Kasus tersebut menambah panjang daftar wilayah hutan yang terbakar di areal Jawa Barat.

SAPHARA

| 15


LAPORAN UTAMA

ANTROPOSENTRIS POPULER SIKAPI KARHUTLA

M

enurut Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat ini, faktor non alam dari kebakaran hutan juga dinilai menjadi penyebab beberapa kasus kebakaran hutan. Mulai dari meningkatnya aktivitas di kawasan hutan yang dapat memicu kebakaran, hingga kepentingan-kepentingan tertentu yang dengan sengaja memilih menghanguskan sejumlah lahan. Terbakarnya sejumlah kawasan hutan, menurut Dadan, tentunya menimbulkan dampak yang berarti bagi beberapa aspek kehidupan, seperti lingkungan, ekonomi, sosial, maupun pariwisata. “Jawa Barat memiliki 18% kawasan hutan dari total luas wilayah, di mana seharusnya daerah ini perlu memiliki minimal 30% kawasan hutan sebagai fungsi perlindungan dan konservasi,” ujar Dadan kepada SAPHARA saat ditemui awal Oktober kemarin. Dengan terjadinya kebakaran hutan, jumlah ini tentu semakin berkurang dan jauh dari ideal bahkan angka minimal. Tak hanya itu, hangusnya sejumlah lahan juga berdampak pada penurunan kualitas ekosistem. “Kede-

SAPHARA

| 16

Bencana kebakaran di Jawa barat bukan baru ini saja terjadi. Setiap tahun sejak 2011, Jawa Barat selalu dikunjungi si jago merah di wilayah hutan dan lahannya. Bagi sebagian pihak, fokus permasalahan tak seharusnya berakhir hanya di isu kebakaran hutan, namun bagaimana peristiwa ini terjadi dan bagaimana penanganan sesudahnya. Setidaknya itu yang dimaklumkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Provinsi (Walhi) melalui Dadan Ramdan.

pannya, di musim hujan wilayah yang rusak karena terbakar ini juga rentan terkena longsor,” tambah Dadan. Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga Ketua Dewan Pengawas Indonesia Forest Watch, Togu Manurung, menyatakan faktor alam seperti kemarau panjang bukan faktor utama dalam terjadinya kebakaran hutan. Apalagi di Jawa Barat yang didominasi oleh tipe hutan hujan tropis dengan tingkat kelembapan tinggi. Togu memperkenalkan Gill Burning atau pembakaran dengan cara yang ditemukan oleh Dr Malcolm Gill, seorang pakar lingkungan dari Universitas Nasional Australia (ANU). Praktisnya, cara tersebut menurut Togu mengatur perihal pembakaran hutan dan lahan oleh masyarakat adat hanya seluas dua hektare. Lantas, siapa yang menjadi dalang kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) besar-besaran ini? Akhir bulan September lalu, jejak korporasi terendus berada di balik kasus kebakaran hutan di beberapa kabupaten di Provinsi Riau. Sementara yang terjadi di Jawa Barat, Togu menduga masya-

rakat menjadi aktor utama di samping ada atau tidaknya pihak lain di balik peristiwa tersebut. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi pemerintah dan penegak hukum untuk mengusutnya lebih jauh. “Padahal ulang tahun, terjadi setiap tahun. Tetapi pemerintah seperti abai dan seolah-olah dilecehkan oleh para pelaku kebakaran hutan. Oleh karena itu, sangat penting untuk penegakkan supremasi hukum,” tandas Togu. Menurutnya, saat ini hukuman yang menjerat para pelaku pembakar hutan terhitung ringan dan tidak menimbulkan efek jera. Selain hukuman pidana, ia merekomendasikan adanya denda untuk pemulihan atau rehabilitasi lingkungan hidup. “Jika perlu, cabut izin industrinya bagi korporasi yang menjadi pelaku pembakar hutan. Tapi tetap perlu diingat, masyarakat sekalipun tidak ada pengecualian hukum,” katanya. Dalam penelusuran terkait siapa pelaku dan penanggung jawab kebakaran hutan di suatu daerah, saat ini keberadaan teknologi satelit rasanya cukup membantu. Satelit seperti NOAA18 dan Terra Aqua milik NASA


alam bebas, api sebagai salah satu unsur penting terutama dalam pendakian menjadikan pendaki sebagai pihak yang cukup berpotensi menyebabkan kebakaran hutan. Abai akan etika pendakian adalah masalahnya. Penyataan Togu menegaskan hal tersebut, “Bukan berarti tidak boleh, pendaki-pendaki di dunia pun mungkin melakukannya. Tetapi, lakukanlah dengan baik dan benar.”

Sumber Gambar: sindonews.net

dapat menangkap titik api atau hotspot beserta koordinatnya. Dari sana, dapat diidentifikasi pemilik lahan yang terbakar tersebut. Selain penanggulangan, langkah preventif dan perbaikan tak kalah penting dilakukan ke depannya. “Salah satu rekomendasinya adalah orientasi indeks kinerja kunci (key performance index) pemerintah pada monitoring dan pencegahan. Pemerintah daerah terdekat tentu memiliki tanggung jawab besar sebagai pihak di lingkaran pertama,” ucap Togu. Langkah monitoring dan pencegahan tersebut diusulkannya ada dalam daftar APBN atau APBD setempat sebesar 80 persen dari total anggaran tahunan. Ia menilai besaran tersebut tidak akan lebih mahal dari biaya yang harus dikeluarkan selama proses penanggulangan kebakaran hutan. Minim Sumber Daya Manusia Persoalan anggaran pun disampaikan oleh Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam Jawa Barat (BBKSDA Jabar) yang membawahi bagian hubungan masyarakat, Muhammad Yusuf Indrabrata. Ia menduga ada kesalahan perihal alokasi dana baik dari pusat maupun daerah.

Dugaannya berangkat dari jumlah anggaran yang diterima oleh Unit Pelaksana Teknik (UPT) Jabar tidak lebih besar dari UPT lainnya, padahal UPT Jabar adalah penyumbang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) terbesar di Indonesia yakni sebesar 720 miliar. Sementara, untuk monitoring dan pencegahan, Yusuf mengaku terbentur dengan keterbatasan sumber daya manusia. Hal itu diungkapkannya ketika SAPHARA menceritakan temuan di lapangan tepatnya pos pendakian Gunung Papandayan, Kabupaten Garut, yang masih mengizinkan ada aktivitas pendakian padahal masih ada beberapa titik api belum berhasil dipadamkan. Yusuf menyampaikan, petugas BBKSDA setiap harinya hanya berjaga di pos pendakian Gunung Papandayan hingga pukul empat sore. “Semestinya sih 24 jam, namun tidak memungkinkan mengingat banyak polisi hutan yang biasa berjaga di pospos sudah banyak yang berumur dan tahun ini 30 persennya akan pensiun,” kata Yusuf. Maka dengan demikian, di atas pukul empat sore, kata Yusuf, terkadang kawasan tersebut di luar pengawasan petugas BBKSDA, diambil alih oleh warga. Terkait dengan konsep kegiatan

Salah Siapa? Pakar Kehutanan Achmad Sarmidji, menyatakan bahwa ada yang salah dari cara pandang banyak pihak dewasa ini terkait bencana kebakaran hutan. “Cara pandang kita terlalu antroposentris dalam memandang banyak kejadian kerusakan lingkungan,” ujar Achmad. Antroposentris, dijelaskan oleh Achmad sebagai cara yang menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta. Lingkungan dalam konteks ini hanya sebagai nilai instrumental, sebagai objek eksploitasi, dan eksperimen untuk kepentingan manusia. “Jujur saja, saat ada kejadian seperti ini pasti cara pandang kita pasti ke arah sana,” lanjut Pengajar Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH ITB) tersebut. Namun yang perlu diperhatikan adalah apa dampak bencana alam kepada lingkungan, yang kemungkinan besar nantinya akan berpengaruh kepada manusia juga. Dia memberi contoh, api yang membakar hutan suhunya bisa mencapat 800 derajat celcius. “Kalau suhunya setinggi itu, namanya terjadi kepunahan lokal di ekosistem tersebut,” kata dia. Memang ada kemungkinan bisa terjadi regenerasi sehingga kembali seperti awal ekosistemnya. “Tapi kalau kondisinya seperti di Gunung Gede misalnya, itu butuh sekitar 350 tahun untuk mengembalikannya,” ujar Achmad. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jawa Barat (BPBD Jabar) sendiri, melalui Kepala Seksi Kedaruratan, Budiman SKM, menyatakan bahwa penanggulangan bencana dari segi dampak kepada manusia adalah yang utama. “Jadi selama belum ada dampaknya kepada masyarakat, bukan bagian kita,” ujarnya kepada SAPHARA akhir September lalu. Hingga saat ini, kebakaran hutan masih terus berlanjut. Bahkan kebakaran hutan dalam tingkat yang lebih parah di pulau Sumatera dan Kalimantan masih belum mencapai titik terang duduk permasalahannya. Apakah hal yang sama akan terjadi juga di Jawa Barat?

SAPHARA

| 17


WISATA BUDAYA

Tato Mentawai,

Cerminan Kearifan Arat Sabulungan Teks dan Foto: Arfi Zulfan

Kabupaten Mentawai adalah salah satu gugusan pulau eksotis di tanah air yang menjadi destinasi pariwisata mancanegara. Secara geografis, kepulauan ini terletak di Provinsi Sumatera Barat, terpisah dengan bagian Sumatera Barat yang berada di daratan utama pulau Sumatera. Struktur daratannya memanjang di ujung barat sejajar dengan Sumatera dan dikelilingi Samudera Hindia. Kabupaten Mentawai memiliki pulau-pulau indah dengan ombaknya yang besar sehingga menjadi surga tersendiri bagi penikmat olahraga Selancar. Perlu diketahui juga, Mentawai menempati peringkat ketiga sebagai lokasi ombak terbaik di dunia.

T

ak sekadar memiliki panorama alam yang eksotis, kepulauan yang berjarak 150 km dari lepas pantai Sumatera ini juga menyimpan budaya dan tradisi yang menjadi ciri khas khusus bagi masyarakat Mentawai. Salah satunya adalah tato yang menjadi nilai budaya. Tatu atau titi, begitu orang Mentawai sering menyebutnya, adalah salah satu ciri yang menjadi khas suku Mentawai yang telah dikenal oleh seluruh dunia. Menurut Ady Rosa, Pakar S e n i M u r n i , A l u m n u s P ro g ra m Pascasarjana Fakultas Seni Rupa Dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), tato Mentawai merupakan seni lukis tubuh tertua di dunia. “Orang Mentawai sudah mentato badannya sejak kedatangan mereka ke pantai Barat Sumatra. Bangsa proto melayu ini datang dari daratan asia (indocina), pada

SAPHARA

| 18

Zaman logam, 1500 SM-500SM,� kata dia. Tidak sedikit seniman yang terinspirasi dari pola tato khas Mentawai. Seiring berkembangnya seni merajah tubuh, kini tidak hanya masyarakat lokal saja yang memiliki tato bercorak khas Mentawai, tetapi juga pecinta dan seniman tato dalam negeri maupun mancanegara. Dalam proses pembuatannya, tidak sembarang orang bisa melakukan-nya. Ada seniman khusus yang bertugas untuk membuat tato, atau biasa disebut sipatiti. Dari segi alat dan bahan untuk membuat tato Mentawai bisa dibilang sangat tradisional. Jarum tato biasanya terbuat dari tulang hewan atau kayu karai. Sedangkan tintanya berasal dari kerak hitam bekas pembakaran tungku atau lampu minyak, yang diberi cabai dan air tebu atau kelapa.

Proses merajah tubuh ini dimulai dengan membuat sketsa motif pada tubuh orang yang akan ditato dengan menggunakan lidi dan tinta. Setelah sketsa rampung, garis motif diperjelas dengan menusuk-kan karai yang telah dibentuk sedemikian rupa menyerupai jarum atau paku yang telah diberi tinta dengan cara mengetukngetuk-kannya berulang kali oleh sipatiti. Bagi masyarakat Mentawai, tato memiliki makna mendalam dan menjadi salah satu nilai yang disakralkan dalam kehidupannya. Tato bagi mereka adalah cara mengekspresikan budaya, adat istiadat, dan nilai seni yang dianut. Tak heran, diperlukan ritual tertentu sebelum dan sesudah tubuh seseorang dirajah tinta. “Ritual-ritual sakral yang harus dilakukan dalam proses pra dan pasca


perajahan dipimpin oleh Rimata (Kepala Suku) dan Sikerei (dukun). Awalnya, warga yang hendak ditato memberikan berbagai macam persembahan seperti babi, ayam, dan berbagai hasil bumi lainnya untuk para leluhur,� tutur Bajak Derik (53) , salah satu penduduk Desa Matatonan, Kepulauan Mentawai.

ciri khas warga Mentawai. Hanya segelintir masyarakat yang sampai sekarang masih mempertahankan tradisinya, yaitu para orang tua atau leluhur. Sayangnya, mereka tinggal jauh di pedalaman.

Motif Tato dan Filosofisnya Durga, salah seorang tattoo artist yang yang telah melakukan riset tentang tato Mentawai, dalam karyanya berjudul Tatto Revival Mentawai mengungkapkan bahwa ada berbagai macam motif tato, dan masing-masing motif memiliki makna tersendiri. “Setiap motif merepresentasikan simbol-simbol penghormatan terhadap roh, alam, serta menjadi sarana penghormatan terhadap agama Arat Sabulungan,� begitu Durga menyatakan dalam karyanya. M o t i f tato ya n g a d a d i punggung misalnya, disebut sarepak abak yang melambangkan keseimbangan. Bentuk sarepak abak diambil dari pola sebuah cadik atau penyeimbang perahu. Umumnya masyarakat Mentawai banyak menggunakan perahu sebagai alat transportasi sehari-hari. Ada pula motif durkat yang biasanya dilukiskan pada bagian depan tubuh, mulai dari pusar hingga dada, serta leher sampai kedua pipi. Pola ini melambangkan pepohonan dan rantingranting, tetapi secara keseluruhan melambangkan jaraik. Jaraik adalah sebuah simbol ukiran pada kayu dan ditempatkan dalam sebuah uma (rumah) untuk menangkal roh-roh jahat, sekaligus mengundang roh-roh baik. Selain itu, pada lengan bagian atas biasanya orang Mentawai menggambar motif ekor buaya atau biasa disebut paepae sikaoenan. Dalam kebudayaan Mentawai, buaya merupakan hewan yang disakralkan.Kemudian, tato pada bagian lengan hingga jari dinamai motif gaigai. Bagian pinggul, pantat, paha, hingga lutut disebut bouk. Sedangkan rajahan dari betis sampai pergelangan kaki disebut saliou. Berbeda dengan para leluhurnya, di balik pro kontra serta aturan pemerintah mengenai tato, generasi muda suku Mentawai perlahan mulai meninggalkan tradisi ini. Kini, tidak lagi terlihat pemuda lokal dengan hiasan tato di kulitnya. Sama halnya seperti tato, pakaian dan aksesoris yang menjadi ciri khas suku Mentawai seperti kabit (pakaian yang menyerupai celana dan terbuat dari kulit pohon), kalung dari manik-manik, dan aksesoris lainnya perlahan mulai ditinggalkan. Padahal, budaya ini sudah begitu melekat sejak lama dan menjadi

Orang Mentawai sudah mentato badannya sejak kedatangan mereka ke pantai Barat Sumatra

“

�

Ady Rosa. Pakar Seni Murni Sistem Kepercayaan Masyarakat Mentawai secara umum menganut kepercayaan tradisional tempatan, yaitu Arat Sabulungan. Nilai dan aturan hidup ini dipegang kuat dan diwariskan secara turun temurun dari leluhur sebagai sebuah pedoman. Dalam Arat Sabulungan, terdapat beberapa tokoh untuk menja-

lankan ritual, yakni Sikerei (dukun) selain memiliki pengetahuan tentang obatobatan, mereka dianggap memiliki pengetahuan untuk menghubungkan manusia yang ada di dunia dengan rohroh leluhur dan juga alam. Rimata (kepala suku) mewakili masing-masing suku di Mentawai, bertugas memimpin khususnya saat ada acara adat, dan Sipatiti (tukang tato) adalah seniman pelukis tubuh suku Mentawai. Ketiga tokoh ini mempuyai tugas masing-masing dan sangat dihargai dikalangan masyarakat suku Mentawai. Biasanya seorang sipatiti memiliki paturukat atau tempat khusus untuk membuat tato. Lambat laun, Arat Sabulungan dihapuskan oleh pemerintah karena dianggap meresahkan kehidupan b e ra ga m a , b e r m a sya ra kat , d a n berbangsa. Rapat tiga agama pada masa pemerintahan Soekarno menghasilkan surat keputusan SK.NO.167/ Promosi/1945 yang memerintahkan agar masyarakat Mentawai meninggalkan kepercayaannya dan memilih agama yang diakui oleh pemerintah

SAPHARA

| 19


HALAMAN

SECANGKIR CERITA DARI GOSONGNYA PAPANDAYAN Teks & Foto: Alfa Ibnu Wijaya

Rumpunan bunga abadi yang mengisi ruang kosong di padang itu kini telah menjelma menjadi bunga mati. Keabadiannya tidak bisa berkutik ketika dihanguskan oleh api yang menjalar dengan ganas. Menghempas batang dan kelopaknya yang mekar menjadi layu. Memudarkan rona hijau tanda kealamiannya. Bercak-bercak hitam yang membekas menjadi simbol bahwa inilah suasana baru yang akan dikenang. Setelah terbakarnya Tegal Alun pada 6 September 2015 di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat.

P

adang Edelweis terluas di Jawa Barat ini menjadi lokasi pertama munculnya titik api di Gunung Papandayan. Dalam kurun waktu yang singkat, api dapat menyebar ke berbagai lokasi yang berdekatan dengan bantuan angin dan tidak adanya hujan. Kondisi di sekitar Tegal Alun yang dipenuhi rumput dan semak yang kering juga memudahkan api untuk merembet dengan cepat. Vegetasi yang rapat di sekitar lokasi pun menjadi salah satu bahan bakar untuk api dapat hidup lebih lama. “Lebih dari 600 hektar lahan yang sudah hangus terbakar hingga saat ini. Penyebabnya bisa diperkirakan dari dua hal, bekas perapian yang belum mati sempurna atau puntung rokok yang baranya masih menyala�, ujar Mashurohmat selaku Koordinator Lapangan Tim Pemadam Kebakaran Gunung Papandayan. Mashurohmat menambahkan kalau rembetan api sudah mencapai Pondok Aul, Pondok Cero, Desa Citampang , Desa Cileuleuy dan Kampung Stamplat hingga September kemarin.

SAPHARA

| 20

Melihat kondisi seperti ini, bala bantuan beserta relawan sesegara mungkin diterjunkan ke lokasi kejadian. Mulai dari Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Komunitas Rawayan (relawan pemadaman kebarakan hutan), para pegiat alam, hingga warga sekitar. Sempat juga ada Persatuan Mendaki Malaysia yang ikut serta membantu pemadaman api sekitar 3 hari. Untuk memperlancar proses pemadaman, Departemen Kehutanan Taman Wisata Alam (Dephut TWA) Gunung Papandayan yang bertugas menutup akses umum bagi pendaki ataupun wisatawan yang berkunjung hingga kondisi Gunung Papandayan sudah aman untuk didaki. Pemadaman api dilakukan dengan cara penyekatan. Bermodalkan perkakas seperti, cangkul, golok tebas, dan gergaji mesin. Metode penyekatan ini dilakukan dengan cara, mengeruk tanah 2-3 meter dari jarak api, dengan kedalaman 30-50 centimeter. Ketika sampai di garis penyekatan yang telah dikeruk, api dipadamkan dengan cara

dipukul-pukul kedalam tanah yang tadi telah digali. Robi Nuryadin, anggota Komunitas Rawayan yang juga ambil bagian sebagai relawan menimpali bahwa cara tersebut sangat efisien dan efektif untuk memutus rembetan api. Tentunya dengan alat seadanya,� kata dia. Suasana Baru Tegal Alun Hadirnya warna hitam legam di beberapa tempat, melengkapi pesona wisata Tegal Alun. Beberapa hektar hutan mati baru juga hadir di sekitar tegal alun, menyuguhkan suasana baru bagi wisatawan. Tak ayal masih ada pengunjung yang hadir di lokasi bekas terjadinya kebakaran pada minggu, 20 September 2015. Sekitar 50 orang pendaki dari Jakarta Traveller yang menginap di Pondok Saladah sejak sabtu kemarin. Meskipun adanya peraturan dari pihak Dephut TWA Gunung Papandayan yang melarang segala jenis pendakian umum sampai kondisi gunung telah aman untuk didaki. Pos Pondok Saladah masih bisa digunakan untuk bermalam jika bisa


membujuk warga yang sedang berjaga, celetuk seorang pengunjung ketika ditanya perihal larangan pendakian umum oleh Dephut TWA Gunung Papandayan. Robi menyebutkan pendakian sepertinya memang sudah diperbolehkan oleh pihak dibawah (Dephut TWA dan KSDA). “Dari sabtu kemarin sudah banyak juga kok yang naik (mendaki),” katanya. “Tidak ada hubungannya dengan pengunjung atau pendaki yang dilarang naik,” kata dia. Yang Berkewajiban Pun Pergi Hanya terlihat 5 orang saja yang menempati Pos Tim Damkar, sekitar 200 meter ke arah barat laut Pos 2. Iman Suryana selaku Ketua Komunitas Rawayan yang baru saja datang menggunakan motor trailnya. Mashurohmat, Koordinator Lapangan Tim Damkar yang juga anggota Komunitas Rawayan juga hadir disana bersama Robi Nuryadin, Dedi dan Ica, relawan dari warga Kampung Stamplat, Desa Panawa, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Garut, yang kampungnya sudah terbakar sebagian.

Mereka berlima masih berseragam lengkap dengan sepatu bot, topi rimba, dan golok tebas yang melekat di pinggang. Noda tanah dan abu pun masih menyelimuti mereka ketika menyeruput kopi dan berbicara dengan kami. Mereka memang diberi logistik seperti, tenda, bahan makanan, bahan minuman siap saji, alat masak, berserta bahan bakarnya, tapi tidak dengan juru masaknya. Mau atau tidak, mereka harus memasak setelah menyelesaikan pemadaman di tebing-tebing terjal Gunung Papandayan. Biasanya juga banyak yang datang kesini sebagai relawan, dari Pegiat Alam yang ada di Garut dan sekitarnya, ataupun warga yang kampungnya sudah terkena rembetan api Gunung Papandayan. Di hari Minggu, barulah mereka pulang dan kembali lagi kesini di hari Jumat, sebut Robi sambil melahap nasi beserta lauk-pauk di piringnya. Mashurohmat menambahkan, “Kalau BKSDA cuma datang 2-3 hari di awal terbakarnya Tegal Alun, untuk donor logistik dan melakukan kepentingan (pencarian data) mereka.

Setelah itu, mereka belum kembali lagi kesini sampai sekarang (20/9),” kata Masrurhormat.

SAPHARA

| 21


ACARA

Tata Wilayah Masyarakat Sunda Awal, Jawaban Atas Maraknya Kebakaran Hutan Oleh : Muhammad Rifqy Fadil & Aflah Satriadi Sekitar sepuluh orang duduk bersila di depan panggung dalam ruangan berukuran sedang. Sebagian lengkap dengan alat musik karinding dan beberapa alat musik khas tanah Pasundan lainnya. “Sampurasun,” ujar salah seorang mereka. “Rampes,” jawaban para hadirin yang hadir.

K

ira-kira itulah gambaran suasana diskusi Tata Ruang Masyarakat Sunda Awal yang digelar oleh Blue Hikers, Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (FIB UNPAD) pada 30 September lalu. Setelah memperlihatkan beberapa lagu tradisional Sunda, sepuluh orang dari Dewan Pancen Gawe Pangauban Ageung Cimanuk tersebut melanjutkan dengan diskusi terkait. “Ruang menurut sunda itu tempat dimana kita hidup dan kita menyambung hidup yakni gunung dan pegunungan. Maka sudah sewajarnya ini menjadi hal yang vital,” kata Asep Maher, Humas Dewan Pancen Gawe Pangauban Ageung Cimanuk, yang hadir menjadi pembicara dalam diskusi hari itu. Menurut dia, teori-teori mengenai prinsip tata wilayah masyarakat Sunda awal semuanya berdasarkan dari prinsip gunung. Asep melanjutkan, dalam prinsip hidup orang sunda ada tiga hal yang

SAPHARA

| 22

pasti, atau dia sebut sebagai tritangtu. “Sunda itu punya tritangtu (tiga kepastian) yakni Tata Wayah (waktu), Tata Wilayah (Ruang), Tata Lampah (Laku),” kata dia. Pada zaman dahulu, Asep melanjutkan, masyarakat Sunda ini sedari dulu sudah ada persilangan kebudayaan secara damai. “Sunda itu harmoni, menerima nilai-nilai luar tapi juga memperkuat nilai-nilai yang ada di dalam,” ujar dia. Tetapi semakin hari, Asep menganggap bahwa nilai-nilai itu juga semakin langka. “Salah satu dampak modernitas adalah kerusakan alam,” kata Asep. Menurut dia, masyarakat Sunda mmesti kembali lagi ke aspek lokalitas. Salah satunya dalam konsep tata ruang ini. Asep menuturkan bahwa sekarang gunung sudah tidak stabil lagi karena alam sudah banyak dirusak oleh manusia. “Kebakaran hutan adalah salah satu contohnya,” ujarnya. Kaitannya dengan kebakaran gunung konkritnya dalam paparan Asep,

bahwa dalam budaya Sunda, adal wilayah sakral atau larangan. “Jangankan ditebang, kita masuk pun tidak boleh. Sebenarnya budaya ini adalah konsep konservasi yang turun temurun dari leluhur-leluhur kita,” kata dia. Selanjutnya, Asep menyayangkan bahwa akibat banyak yang sudah tidak memahami konsep kelokalan sunda ini, sekarang penebangan liar merajalela. Harapan dia, dengan menjaga tradisi ini, tentunya juga turut menjaga siklus perputaran air dan ekologi hutan juga. Sekitar 40 peserta hadir dalam diskusi yang digelar di Fakultas Ilmu Budaya tersebut. Acara itu digelar salah satunya dalam dalam rangka perayaan ulang tahun Blue Hikers. “Kita ingin membagi ini kepada masyarakat Fakultas Ilmu Budaya dan Pecinta Alam Sahabat Blue Hikers tentang solusi yang sebenarnya kita sudah miliki saat ini,” ujar Haga Muhammad Rifa'i, Ketua Pelaksana dalam Perayaan Ulang Tahun Blue Hikers tentang diskusi ini.


BUAH PENA

SAPHARA

| 23


FOTO ESSAY

KAPPA Fikom Unpad kembali melaksanakan Independent Journey Angkatan XVIII. Foto-foto ini diambil saat Divisi Gunung Rimba Hutan (Gurita) melaksanakan perjalanan di Gunung Argopuro, Jawa Timur. Sebagai gunung yang terkenal dengan panjang jalur pendakiannya, Argopuro menyimpan lanskap alam yang dapat memanjakan mata setiap orang yang menjamahi tubuhnya. Foto: Dimas Jarot Bayu & Olfi Fitri Hasanah

SAPHARA

| 24


SAPHARA

| 25


FOTO ESSAY

SAPHARA

| 26


SAPHARA

| 27


FOTO ESSAY

SAPHARA

| 28


SAPHARA

| 29


FOTO ESSAY

SAPHARA

| 30


SAPHARA

| 31


OPERASI

KOMPOR ALTERNATIF BERKEGIATAN DI ALAM BEBAS Oleh: Jenjen Jaenudin & Astika

SAPHARA

| 32

1

3

2

4


CARA MEMBUAT 1. Pertama siapan terlebih dahulu alat-alat yang dibutuhkan untuk membuat trangikola seperti, bekas botol parfum (gunakan botol parfum yang berbahan seng), gunting, pisau, dan tang. 2. Buka bagian seng pada tutup parfum menggunakan pisau dengan cara mencongkel setiap sisi-sisinya. 3. Tutup yang tadi telah dibuka dibiarkan masuk kedalam dan akan dikeluarkan saat pemotongan botol. 4. Selanjutnya potong sepertiga botol menggunakan gunting ataupun pisau. 5. Rapikan permuaan sepertiga bagian bawah botol yang telah dipotong menggunakan tang agar permuaan botol yang telah dipotong tidak tajam. Begitu pun dengan sepertiga bagian atas potongan botol. 6. Satukan sepertiga bagian bawah dan atas botol hingga membentuk kerangka trangikola. 7. Sisa potongan bagian tengah botol dibelah dan dibuat melebar menggunakan gunting dan tang kemudian digulung untuk disimpan di tengah-tengah kerangka trangikola. Untuk ukuran tinggi bagian tengahnya tergantung dengan tinggi kerangga trangikola yang tealh dibuat sebelumnya. 8. Potong sedikit sisi bagian bawah seng yang tadi telah digulung agar spirtus bisa menyebar ke segala arah dan masukkan seng tersebut ke tengah-tengah kerangka trangikola. 9. Bolongkan setiap sisi-sisi bagian atas trangikola agar api naik dan menyebar ke sebagian trangikola yang telah dibolong. 10. Lebih baik tambahkan gaspul (saringan knalpot) dipinggir lingkaran tengah agar menghemat penggunaan spirtus. 11. Agar tidak ada api yang keluar dari sisi-sisi trangikola (selain dari bolongan atas trangikola) sebaiknya dilem lerlebih dahulu menggunakan super glue. 12. Trangikola siap untuk digunakan.

5

7

6

SAPHARA

| 33


KATA KITA

Kalau merujuk kepada perkataan DR. Achmad Sjarmidi, bahwa pola pikir dan anggapan tingkat ukur kerusakan alam melulu soal dampak kepada manusia adalah sangat antroposentris. Antroposentris sendiri adalah pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta. Lingkungan dalam konteks ini hanya sebagai nilai instrumental, sebagai objek eksploitasi, dan eksperimen untuk kepentingan manusia. Lalu, apa kata temanteman soal kebakaran hutan dan gunung dan dampaknya menurut mereka? Mari kita simak Explorer...

“ Kalau menurut saya sih ya tergantung penyebab kebakaran itu sendiri, kalau isalkan penyebabnya adalah kemarau panjang dan faktor alam lainnya ya saya bisa memaklumi. Namanya alam kan, toh gak bakal bisa ngelawan. Nah kalau misalkan kebakaran itu disebabkan oleh tangan-tangan nakal para pendaki, saya sungguh teramat kecewa. Dan ada baiknya untuk para Mapala Jawa Barat maunpun non Mapala, ya umumnya untuk semua pendaki gunung tersentuh hatinya untuk terjun ke lapangan menanggulangi hal tersebut. Ya maksudnya mencegah terjadi lagi kebakaran yang berkelanjutan. Untuk para pendaki juga jangan sembarangan buang benda atau sampah yang memang bisa mengundang kehadiran Si Jago Merah. Mencegah lebih baik dari pada memadamkan. “ Riki Apriyadi Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

“Menurut aku jelas bahwa kebakaran hutan adalah suatu kerugian besar untuk negara dan masyarakat khususnya jawa barat. Hutan Jawa Barat yang sebelumnya sudah minim akan mengganggu ekosistem di Jawa Barat. Dampaknya akan sangat terasa di sektor ekonomi, lingkungan dan wisata. Solusi untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan jangka pendek ialah dengan membuat bendungan di titik tertentu. Untuk ukuran Jawa Barat minimal ada 20 bendungan yang siap mengairi lahan dan memadamkan api jika terjadi kebakaran. Kebakaran hutan memang menjadi keuntungan jangka pendek untuk beberapa kalangan yang mempunyai kepentingan lain, tetapi untuk jangka panjang pastinya tidak ada yang diuntungkan. Pendaki gunung yang sudah memiliki pendidikan dan latihan sebenarnya sudah tahu, hanya saja mereka tidak mempunyai dasar agama yang kuat. Pada umumnya pendaki gunung hanya memikirkan kepentingan fisik dan kepuasan diri bukan untuk lebih mendekatkan diri pada yang maha menciptakan.� Ismadi Sirojudin D3 Akuntansi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

SAPHARA

| 34


“Pendapatku tentang kebakaran? Ya pasti mirislah kalau tahu kebakarannya. Tapi apa daya, itu semua ya karena salah kita sendiri sebagai manusia, kelalaian dan kecerobohan kita. Terus buat solusi sama saran, kalau itu sih kita saling intropeksi sama tegur aja kalau misalnya kita sedang dalam posisi salah.” Akbar Maulana Fakultas Ilmu Terapan Telkom University

“Kalau kata saya sih kebakaran hutan terjadi kemaren emaren tuh harusnya jadi pemicu kepedulian kita sama lingkungan dan alam. Harusnya kejadian itu juga bikin orang-orang yang gemar berkegiatan dialam bebas mau dari suatu organisasi atau individual bisa lebih mikirin bahwa alam tuh bukan Cuma buat dipakai senang-senang tapi butuh kita pelihara, jaga, lestariin, sama pulihkan kembali.” Raka Rabean Alifazza Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran

“Kondisi gunung-gunung di Indonesia khususnya Jawa Barat pada musim kemarau sangat mempriharinkan selain tidak ada air juga tanah atau tumbuhan menjadi semakin kering, itu memicu adanya percikan api dikarenakan suhu yang begitu tinggi dan membakar ranting atau kayu, selain itu kelalaian manusia juga menjadi faktor kebakaran hutan, entah membuang sampah puntung rokok sembarangan dan lain-lain. Kita sebagai mahasiswa khususnya pegiat alam, tidak boleh diam melihat keadaan sepeeti ini kita bersatu untuk membuat hutan atau gunung kembali menjadi habitat yang nyaman bagi hewan dan tumbuhan misal dengan cara penanaman pohon kembali, dan dengan ilmu-ilmu yang lain agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali.” Egi Virgiawan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

“Banyak faktor, salah satunya keteledoran para pendaki. Lalu dipengaruhi juga oleh iklim yang menimbulkan potensi titik panas sehingga menjadi pemicu (bahan bakar) kebakaran gunung atau hutan. Yang penting pengaruh adanya sosialisasi atau penyuluhan mengenai hal tersebut baik itu masyarakat sekitar ataupun pendaki. Terus kontrol dari pihak pengelolan hutan tersebut.” Wasmanudin Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti

SAPHARA

| 35


REFLEKSI

INVESTASI PUSAKA Oleh:

Dimas Jarot Bayu Dewan Redaksi SAPHARA “Dia... adalah pusaka sejuta umat manusia yang ada di seluruh dunia� Begitulah kira-kira penggalan lirik –yang juga menjadi judul lagu- dari band asal ibukota, Naif, dalam menggambarkan keberadaan hutan. Hanya dengan membaca penggalan tersebut, kita tentu tahu bagaimana Naif memandang dan menyikapi hutan sebagai pusaka. Secara definitif, pusaka bisa diartikan sebagai warisan, harta benda peninggalan nenek moyang yang begitu berharga.

SAPHARA

| 36


S

aya kira bukan hanya Naif yang memandang hutan sebagai warisan, melainkan juga banyak masyarakat dunia, khususnya yang berada di Indonesia. Sejarah telah mencatat bagaimana nenek moyang kita begitu menghargai alam. Beberapa suku, seperti Dayak, Badui, ataupun Mentawai pun hingga saat ini masih menganut prinsip konservatif terhadap alam dalam berbagai aspek kehidupannya. Beberapa lainnya, tentu mewariskannya kepada kita sebagai sumber daya yang cukup bernilai. Seberapa berharganya warisan tersebut jika dihitung secara materiil dalam aspek ekonomi? Beberapa jenis kayu dari hutan, seperti mahoni di pasar internasional dihargai hingga USD 1000 per meter kubik. Nilai jual dan nilai guna kayu-kayu ini jika diolah secara baik tentu akan meningkat. Bayangkan saja, untuk hal-hal kecil seperti membuang ingus saja kita menggunakan hasil olahan kayu. Beberapa perabot dan furnitur di rumah kita menggunakan kayu sebagai bahan utamanya. Menuntut ilmu pun, kita menggunakan kertas yang merupakan hasil olahan kayu. Jangan heran bila beberapa perusahaan raksasa pulp and paper, seperti APP dan APRIL terus memperluas areal konsesinya. Belum lagi ratusan perusahaanperusahaan kecil yang mensuplai hasil hutan ini. Bagaimana jika hutan terbakar? Jangan khawatir. Lahan terdampak kebakaran tersebut justru akan bertambah nilai jualnya. Riset Center for International Foresty Research (CIFOR) mencatat bahwa terjadi kenaikan harga lahan sekitar Rp 3 juta setelah pembakaran lahan. Lahan-lahan tersebut tentu bisa dijual kepada berbagai perusahaan sebagai areal perluasan konsesi mereka. Jika tak bersedia menjualnya ke perusahaan, mungkin lahan tersebut bisa dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, seperti Sinarmas dan Wilmar ataupun tambang, seperti Kodeco dan lainnya yang banyak terjadi di Sumatera dan Kalimantan dewasa ini. Setelah ditanami sawit ataupun dijadikan pertambangan, harganya tentu akan melonjak drastis. Roll on Investment (ROI) lahan ini bisa

menembus kisaran Rp 100 juta per hektarnya. Dalam ilmu ekonomi, spekulasi lahan seperti ini tentu sangat menjanjikan. Menjanjikan karena hanya dengan sepuntung rokok atau bekas bara api unggun, kita sudah bisa membakar hutan berpuluh-puluh –bahkan beratus-ratus- hektar, apalagi dengan kondisi kemarau ekstrem yang sedang terjadi. Investasi tersebut sama menjanjikannya terhadap berbagai hajat hidup orang banyak, salah satunya pada aspek kesehatan. Dengan melakukan pembakaran hutan, kita menginvestasikan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) akibat asap kebakaran. ISPA nantinya menjadi investasi jangka panjang ke banyak orang, termasuk saudara, tetangga, dan kerabat. Kebakaran hutan yang telah terjadi sejak Juli hingga Oktober 2015 ini telah memaparkan asap kepada 25 juta jiwa penduduk Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 503.874 jiwa di antaranya telah terjangkit ISPA, sedangkan 10 orang telah menghembuskan nafas terakhirnya akibat dampak langsung maupun tidak langsung asap kebakaran hutan. Kita juga akan menginvestasikan kerugian terhadap negara. Bukan saja negara sendiri, melainkan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, maupun Thailand. Dalam dua bulan mulai Agustus hingga September 2015, kerugian ekonomi negara akibat kabut asap kebakaran hutan mencapai sekitar Rp 20 Triliun, sedangkan Singapura mengklaim kerugian sekitar Rp 16 Triliun. Kerugian tersebut diprediksi meningkat dua kali lipat hingga akhir Oktober 2015. Investasi kebodohan pun tak pelak kita hadirkan. Bayangkan saja dalam beberapa bulan terakhir, banyak sekolah di wilayah terdampak kebakaran diliburkan. Akibatnya, kegiatan pendidikan tak berjalan sebagai mana mestinya. Revolusi mental di aspek pendidikan nampaknya harus ditunda karena ribuan siswa di wilayah terdampak asap tak bisa mengenyam ilmu secara efektif. Investasi selanjutnya muncul pada aspek lingkungan. Kita nantinya

turut berkontribusi dalam menghasilkan emisi gas karbon. CIFOR mencatat bahwa hanya dengan kebakaran hutan di Riau tahun ini, sekitar 1,5 hingga 2 miliar ton karbon dioksida dilepaskan ke udara. Riset LIPI mengemukakan hal yang lebih mencengangkan. Dari 125 spesies tanaman hutan yang diidentifikasi di Kalimantan Tengah, hanya 10 persen dari populasinya tersisa akibat kebakaran hutan. Sisanya musnah. Padahal, biodiversitas hutan tropis Indonesia memiliki lebih dari 260 spesies tanaman per hektarnya, jauh lebih banyak dibandingkan Brazil dan Zaire. Kita turut menginvestasikan kerusakan biodiversitas Indonesia dengan adanya kebakaran hutan. Selain itu, kita juga akan menginvestasikan bencana terhadap anak cucu kita. Pasalnya, hutan yang telah terbakar tak akan sanggup menahan laju air hujan yang menerpa. Hal ini disebabkan habisnya wilayah resapan air yang biasanya dipenuhi oleh pepohonan dan tanaman. Risiko tanah longsor dan kekeringan juga berpotensi terjadi pasca kebakaran. Tanah longsor mudah terjadi akibat tak adanya lagi pepohonan yang mengikat butir tanah lewat akarnya. Sedang kekeringan terjadi akibat tak adanya lagi sumber cadangan air dari pepohonan yang telah terbakar. Lantas masihkan kita menginginkan investasi “pusaka� kita lewat kebakaran atau dengan cara alternatif, yaitu proses konservatif atas lingkungan tempat kita bernaung? Cara alternatif tersebut tak perlu dilakukan bak mega proyek. Kita bisa melakukannya mulai dari hal-hal kecil, seperti tidak merusak lingkungan dan meminimalisirnya dengan pengetahuan serta pemahaman yang mumpuni dalam menjaga alam. Kita bisa memulainya dengan melakukan penanaman di pekarangan rumah. Kita bisa memulainya dengan mengkampanyekan ide-ide untuk menjaga lingkungan dan melakukan usaha preventif atas kerusakan lingkungan. Memang cara alternatif tersebut tak menimbulkan dampak ekonomis secara langsung, namun pusaka yang diwariskan oleh nenek moyang nantinya bisa tetap dinikmati oleh anak cucu kita.

SAPHARA

| 37


ETALASE

SUUNTO AMBIT WATCH Suunto adalah salah satu jam terbaik yang pernah dibuat oleh manusia dan telah di akui oleh dunia. Akurasi busur derajat Suunto disahkan untuk di pergunakan oleh Angkatan Pertahanan Finland dan Angkatan darat Inggris. Cermin optik kompas disahkan untuk dipergunakan oleh NATO, Angkatan Darat Kanada dan berberapa unit pasukan khusus Amerika. Hampir semua produk Suunto di lengkapi dengan LIVE GPS dimana pengguna dapat mengetahui derajat posisi berada. Jam suunto ini nampaknya sangat cocok untuk dimiliki oleh explorer yang gemar menjelajahi setiap sudut muka bumi

Setelah melakukan perjalan yang menguras banyak energi tentulah istirahat yang nyaman adalah sesuatu yang diidamkan. Tidur diatas kasur yang empuk dan berselimut adalah suatu keinginan yang wajar adanya. Namun, bagaimana jika Anda berada di alam bebas dan Anda pun harus mempertimbangkan barang-barang apa saja yang penting untuk dibawa ? Sleeping Pad Klymit Static V2 adalah Sleeping Pad angin yang cukup bisa untuk memenuhi kebutuhan kalian para explorer yang menginginkan ringan, ringkas, mudah dibawa, tidak membutuhkan ruang tempat banyak, dan empuk.

KLYMIT STATIC V SLEEPING PAD Teks: Kartika Ayu

SAPHARA

| 38


REVIEW

EVEREST (2015)

Sutradara Produser Durasi Produksi Pemeran

P

: Baltasar Kormakur : Tim Bevan & Eric Fellner : 2 jam 30 menit : Universal Pictures : Jason Clarke, Josh Brolin, John Hawkes, Robin Wright, Emily Watson, Keira Knightley, Sam Worthington, Jake Gyllenhaa

ada bulan Maret 1996, tim ekspedisi dari beberapa negara tiba di Lukla , Nepal untuk mendaki Gunung Everest. Rob Hall (Jason Clarke) adalah salah satu dari tiga pemandu kliennya termasuk Beck Weathers (Josh Brolin), seorang pendaki berpengalaman, Doug Hansen (John Hawkes), seorang mantan tukang pos mengejar mimpinya , dan Yasuko Namba (Naoko Mori) seorang pendaki veteran yang sebelumnya mencapai enam dari tujuh puncak dan berusaha untuk menjadi wanita tertua untuk mendaki Everest. Scott Fischer (Jake Gyllenhaal) adalah pemandu utama. Pada basecamp petama, tim ekspedisi bertemu Helen Wilton (Emily Watson), manajer basecamp, yang berkomunikasi dengan pemandu melalui walkie-talkie saat mereka mendaki. Rob mencoba membujuk kelompok lain untuk mendaki pada tanggal yang berbeda, tapi mereka menolak. Pada tanggal 10 Mei,

kelompok Rob berangkat Camp IV sebelum fajar, berencana untuk mencapai puncak dan pulang pukul 02:00, waktu yang aman dan memungkinkan bagi mereka untuk kembali ke Camp IV sebelum malam tiba. Namun, perjalanan tertunda selama satu jam akibat tali sang pemandu belum dpasang. Beck memiliki masalah dengan pandangannya. Rob mengatakan kepadanya untuk kembali jika kondisinya tidak membaik. Rob mencapai puncak pada tepat waktu, tapi tidak dengan yang lainnya. Dilanjut oleh Yasuko dengan tancapan bendera Jepang yang dia tancapkan di puncak gunung Evrest . Sebuah serangan badai salju datang dalam perjalanan turun, Rob bertemu Doug yang tertatih- tatih dengan Hillary. Sekonyong-konyong Rob memerintahkan dia untuk kembali. Rob enggan jika kembali ke puncak bersama mereka. Oksigen semakin menipis dan tidak ada tabung gas oksigen cadangan.

Doug mulai kehilangan kesadaran diri. Rob menghubungi Helen melalui radio untuk mengirim seseorang membawa oksigen dan air. Doug, dibiarkan saja oleh Rob, tali carabiner kemudian dilepaskan oleh Doug. Petualangan Konsultan Panduan Andy Harold Harris memberi Rob tabung oksigen, pada intinya adalah bertujuan untuk memberi kabar bahwa Doug tewas. Andy malah kemudian menderita hipoksia dan berhalusinasi yang akhirnya berujung kepada kematian Andy. Rob menghubungi Helen melalui radio, mengatakan padanya bahwa dia masih di atas Tanjakan Hilary dengan jasad Andy dan Doug. sudah meninggal. Kaki dan tangan Rob mulai membeku. Dilema terjadi karena Helen mengabari bahwa istri Rob, Jan, tengah mengandung. Berharap Rob memberi respon dan bisa segera turun gunung. Pada akhirnya Rob menyusul Andy dan Doug yang sudah tewas. Teks: Dicky Septiansyah

SAPHARA

| 39



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.