PRINSIP HIDUP ABAD 21 STOIKISME
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221103025416-d556df3ffae4fa90f9333402a514ef42/v1/7afbd680cdf0b46f49138c1fb264c0d5.jpeg)
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221103025416-d556df3ffae4fa90f9333402a514ef42/v1/acdf99fd9146e20e674379fe60ab83b3.jpeg)
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221103025416-d556df3ffae4fa90f9333402a514ef42/v1/4d8826757a52f0c102e3f2da7528e2ca.jpeg)
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221103025416-d556df3ffae4fa90f9333402a514ef42/v1/3de259cbc57bfc35ab5cb8eb307b9801.jpeg)
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221103025416-d556df3ffae4fa90f9333402a514ef42/v1/bef8a57716bffab92296c848396e8c4a.jpeg)
KASTRAT IMTI adalah bidang yang bertanggung jawab atas pencerdasan warga, khususnya warga Teknik Industri UI, mengenai isu isu POLEKSOSBUDHANKAMLING yang terjadi di Indonesia maupun internasional. Kajian merupakan salah satu hasil kegiatan KASTRAT terhadap isu yang diangkat dalam program kerja ONAR. Selain itu, kajian bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman warga terhadap isu tersebut.
Pada kesempatan kali ini, KASTRAT IMTI mengangkat sebuah kajian yang berkaitan dengan filosofi yang sedang ramai diperbincangkan di berbagai kalangan, filosofi tersebut adalah stoikisme. Kami membahas mulai dari definisi, prinsip-prinsipnya, hingga bagaimana cara mengutilisasi ajaran stoikisme untuk memanajemen emosi. Maka dari itu, kami mengumpulkan berbagai informasi dari berbagai sumber untuk membantu dalam proses perumusan hingga terbentuk suatu kajian yang berjudul "Stoikisme: Prinsip Hidup Abad 21".
Akhir kata, tim penulis menyadari bahwa kajian ini masih jauh dari kata sempurna dan mengandung banyak aspek yang dapat dikembangkan. Oleh karena itu, terbuka pintu yang lebar bagi warga yang ingin memberikan saran dan masukkan sebagai perbaikan di masa yang akan datang.
Salam kepedulian, KASTRAT IMTI FTUI 2022
Kondisi kuliah yang tidak menentu membuat mahasiswa menjadi mudah stress, frustrasi, dan terkena gangguan mental, terutama dengan kembalinya kuliah offline yang berbeda sekali dengan kuliah online yang telah dirasakan untuk dua tahun terakhir ini. Walaupun ada mahasiswa yang dapat beradaptasi dengan mudah, harus diingat bahwa ada juga mereka yang belum tentu bisa beradaptasi dengan baik. Pola pikir dan prinsip yang kuat dapat memudahkan para mahasiswa untuk menghadapi kehidupan kuliah dengan baik.
Salah satu prinsip yang tertua dan terkenal adalah stoikisme yang berasal dari Yunani. Prinsip stoikisme telah terbukti dalam membantu orang untuk menangani stress, melawan depresi, dan berkinerja lebih efektif dalam kehidupannya. Banyak sekali unsur yang menyusun prinsip stoikisme ini dan masing masing dapat dipelajari dengan dalam.
Penganutan prinsip stoikisme sendiri membutuhkan proses sebelum dapat diintegrasikan dalam kehidupan mahasiswa, namun membuahkan hasil yang bermanfaat. Para mahasiswa perlu sadar akan hal ini dan mempertimbangkan untuk menganutnya demi mencapai kebahagiaan yang berkelanjutan.
Kata Kunci: Mahasiswa, Stoikisme, KebahagiaanStoikisme merupakan filosofi kehidupan yang mengajarkan manusia untuk memaksimalkan emosi positif, mengurangi emosi negatif, dan membantu individu untuk menjalani kehidupan yang bahagia.
Kata ‘stoik’ sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu stōïkos yang memiliki arti “dari stoik (serambi, atau beranda)” mengacu pada stoa Poikile atau “Beranda Berlukis” di Athena. stoa Poikile sendiri merupakan tempat dimana filsuf stoik Zeno dari Citium pernah mengajar. Maka dari itu stoikisme sering disebut sebagai filosofi teras. Pada dasarnya, ajaran stoikisime membagi dimensi kehidupan menjad internal dan dimensi ek cenderung lebih meng internalnya ketimbang. eksternal .karena seorang stoik percaya bahwa mereka dapat hidup bahagia tanpa terpengaruh oleh hal hal di luar dirinya. Terlebih lagi, semua dimensi eksternal yang terjadi pada manusia merupakan hukum sebab akibat yang terjadi dari alam. Sekeras apapun manusia ingin mengubah dimensi eksternalnya, kita tidak akan bisa melawan alam. Dengan demikian, yang manusia hanya bisa lakukan adalah mengendalikan dimensi internalnya.
“Some things are in our control and others not.”
-Epictetus
Stoikisme adalah aliran/mazhab filsafat Yunani Romawi kuno yang berkembang dari 300 SM 200 M yang dipengaruhi oleh Socrates dan kaum Sinis serta terlibat dalam perdebatan sengit dengan kaum skeptis, akademisi, dan Epicurean. Stoikisme lahir di Yunani, kemudian berkembang secara pesat di Romawi. Stoikisme berpindah ke Roma di mana ia berkembang selama periode kekaisaran dan secara terbuka dianut oleh kaisar bernama Marcus Aurelius. Stoikisme sempat redup ketika Kekaisaran Romawi resmi menganut agama Kristen. Akan tetapi, akhir akhir ini stoikisme kembali populer di belahan dunia lain, dengan munculnya tulisan tulisan kontemporer/modern yang mengulas filsafat ini. Filsafat jadul ini dianggap sebagai “mind hack” untuk masa kini.
Dalam filosofi stoikisme, terdapat empat prinsip pokok yang dipegang oleh para penganutnya. Prinsip-prinsip tersebut adalah kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan kesederhanaan. Kebijaksanaan berarti para stoik melihat keadaan secara apa adanya, bukan melihat keadaan sebagai sesuatu yang mereka harapkan. Keberanian berarti menghadapi tantangan hidup dan konflik dengan berani dan tetap berpegang teguh pada kebenaran meski dilanda rasa takut. Keadilan ialah prinsip yang membentuk ikatan masyarakat dan ikatan komunitas virtual dalam kehidupan. Bersikap adil berarti tidak melukai atau merugikan makhluk lain. Terakhir, prinsip kesederhanaan mendorong penggunaan moderasi, disiplin diri, dan pengendalian diri dalam segala bidang kehidupan. Kesederhanaan merupakan sebuah pengetahuan bahwa kelimpahan berasal dari memiliki apa yang esensial.
Manusia, dengan segala permasalahan yang dihadapinya seringkali berujung pada timbulnya emosi negatif seperti stres dan burnout. Hal tersebut juga berlaku bagi mahasiswa. Mahasiswa selalu dituntut oleh orang lain untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal walaupun di tengah gempuran masalah perkuliahan. Padahal, tidak semua orang akan merasa termotivasi dengan adanya dorongan dari eksternal, banyak juga yang akan merasa tertekan karena adanya beban atas ekspektasi orang lain. Maka dari itu, bagaimana kita menyikapi serta merespons tekanan dan permasalahan sangatlah penting untuk meminimalisir munculnya emosi negatif. Kita dapat memilih apakah akan menelan mentah mentah tekanan dari luar sehingga emosi yang bersumber dari dimensi eksternal menyetir perilaku kita atau lebih menyortir dimensi eksternal dan mengontrol emosi diri lebih baik. Apabila kita membiarkan tekanan sehingga emosi yang bersumber dari luar menyetir perilaku kita, tendensi timbulnya stres dan burnout akan lebih besar. Maka dari itu, selain memfilter hal hal yang bersifat eksternal dan tidak dapat kita kendalikan, penting bagi mahasiswa untuk menerapkan manajemen emosi.
Tujuan dari ajaran stoikisme bukanlah untuk menghilangkan emosi, tetapi untuk meminimalisir emosi negatif seperti rasa frustasi, marah, sedih, dan cemburu yang dialami (Irvine, 2019). Emosi merupakan respon wajar dari berbagai stimulus yang diterima dalam kehidupan. Filsafat stoik memandang emosi sebagai sebuah proses yang terdiri dari dua tahap.
Involuntary experience merupakan respon yang tidak diinginkan oleh tubuh. Hal ini merupakan salah satu cara tubuh untuk memberi sinyal bahwa kita merasa terancam, baik itu dari segi fisik, mental, maupun sosial. Para stoik menamakan reaksi ini sebagai propatheiai. Reaksi ini dipandang sebagai sesuatu yang netral, tidak baik dan juga tidak buruk. Maka dari itu, kita tidak perlu malu atau khawatir terhadap reaksi ini.
Tahap kedua adalah conscious rationalism. Pada tahap ini, kita punya kekuasaan untuk menentukan respon terhadap involuntary experience yang dialami, yaitu untuk menerima, menguji, dan melakukan sesuatu mengenai hal itu. Langkah pertama setelah mengalami respon emosional adalah menerima bahwa kita merasakan emosi negatif karena suatu hal. Setelahnya, kita dapat mengamati dan mencari sebab datangnya emosi tersebut. Dalam kehidupan akademis, misalnya, apakah karena nilai kita tidak memenuhi ekspektasi? Lalu, kita harus kembali berpikir apakah ekspektasi kita sudah realistis di tengah kondisi yang ada. Langkah terakhir adalah melakukan sesuatu. Berdasarkan salah satu prinsip stoik, “keberanian”, kita harus berani mengambil langkah konstruktif di tengah emosi yang kuat. Namun, hal penting yang harus diingat adalah kita tidak boleh menyalahkan keadaan dan berdalih dari tanggung jawab untuk memperbaiki diri.
Dalam kehidupan sehari hari, terkadang stimulus yang datang tidak bisa kita tangani dengan baik sehingga kondisi mental menjadi lelah. Hal ini sering berujung pada burnout. Dikutip dari American Psychological Association, burnout didefinisikan sebagai kelelahan fisik, mental, atau emosional yang dibarengi dengan turunnya motivasi, performa, dan perilaku negatif terhadap diri sendiri maupun orang lain. Burnout yang awalnya ditemukan pada pekerja kini telah menyebar pada pelajar. Fenomena yang muncul baru baru ini rupanya telah terjadi di masa lampau saat Seneca, seorang filsuf stoik, diasingkan ke Corsica.
Filsafat stoik memiliki tiga prinsip yang dapat menetralisir burnout jika diaplikasikan dalam merespon stimulus yang kita terima.
Menurut Seneca, filosofi kehidupan harus dimulai dengan definisi manfaat dan tujuannya. Stoikisme menerapkan prinsip kebajikan untuk mendefinisikan hal tersebut. Dalam kehidupan ini, kita tidak memerlukan pencapaian, popularitas, maupun kekayaan. Manfaat dan tujuan dari hidup kita adalah untuk menebar kebaikan. Berfokuslah pada proses dalam kehidupan sehari-hari dan yakinkan bahwa kita sudah menjalankan hal tersebut demi kebaikan. Ukur pencapaian kita dari apa saja yang sudah kita lakukan untuk menjadi manfaat bagi lingkungan sekitar. Tindakan dan pikiran kita dipengaruhi dan dikendalikan oleh diri sendiri, bukan oleh situasi eksternal.
Di antara stimulus dan respon terdapat ruang. Dalam ruang itulah kita mempunyai kekuasaan untuk memilih respon kita. Dalam respon tersebut terdapat pertumbuhan dan kebebasan (Frankl, 2014). Emosi seharusnya adalah sebuah alat karena emosi dapat memberi kita informasi mengenai lingkungan sekitar dan memotivasi kita untuk berlaku baik. Namun, emosi akan menghalangi ketika kita terlalu sibuk berurusan dengannya dan kehilangan kontak dengan realita. Emosi juga dapat menyebabkan kita bertindak gegabah. Ajaran stoikisme selalu mengingatkan kita untuk mengontrol emosi karena yang bisa kita kendalikan hanyalah tindakan dan pikiran kita. Terdapat tiga level pengaruh yang kita miliki terhadap dunia (Irvine, 2019). High influence, yaitu pilihan kita terhadap pikiran dan tindakan. Partial influence, yaitu pengaruh terhadap kesehatan, kekayaan, hubungan, dan hasil dari perilaku kita. No influence, yaitu cuaca, etnis, dan situasi eksternal lain. Maka dari itu, Stoikisme dapat membantu kita saat mengalami kelelahan emosional dengan mengolah emosi dan membedakan hal yang dapat kita kendalikan maupun tidak.
Ada masanya kita mengalami depersonalisasi saat burnout. Depersonalisasi merupakan kecenderungan individu untuk menjauhi lingkungan sosialnya, bersikap sinis, apatis, tidak berperasaan, dan tidak peduli terhadap lingkungannya (Maslach, 1994). Ajaran stoik menekankan berjalannya hubungan yang harmonis dengan alam dan manusia. Stoikisme juga mengajarkan untuk berkontribusi untuk kebaikan dan perkembangan keadaan dalam lingkungan sekitar. Maka dari itu, penting untuk berdamai dan memaafkan ketidaksempurnaan manusia lain dan hidup berdampingan.
Dalam kehidupan sehari hari, ekspektasi merupakan hal yang penting untuk dimiliki karena dapat menjadi motivasi untuk mencapai suatu hal. Namun, masyarakat cenderung mempersepsikan segala sesuatu akan berjalan dengan baik dan mengenyampingkan risiko yang akan terjadi. Padahal pada realitanya, banyak hal yang terkadang tidak sesuai dengan ekspektasi kita dan kita pun tidak memiliki kendali untuk mengubah hal tersebut. Hal hal seperti itulah yang memunculkan emosi negatif dalam diri kita, mulai dari perasaan sedih, iri hati, sampai kecemasan yang berlebih sehingga berdampak pada rasa tidak tenang dalam keseharian. Maka dari itu, produktivitas kita dapat terganggu sehingga turut memengaruhi keseimbangan dari kesehatan mental seseorang. Berikut adalah cara membentuk pola pikir stoikisme untuk membuat kehidupan lebih bahagia dan mensyukuri apa telah dimiliki:
Praktik ini merupakan konsep penting tentang bagaimana membedakan hal-hal yang bisa diubah maupun tidak serta hal yang kita miliki maupun tidak. Contoh hal yang kita miliki sekaligus dapat kita ubah adalah tinggi badan, bentuk tubuh, dan tanah kelahiran. Sedangkan, contoh hal yang tidak kita miliki maupun tidak dapat kita ubah, yaitu kendali atas pandangan orang lain terhadap suatu hal sehingga tidak peduli seberapa keras usaha kita, tidak akan pernah bisa memaksa orang lain untuk menyukai kita. Oleh karena itu, dibandingkan memikirkan hal hal yang tidak dapat kita capai, lebih baik kita lebih bersyukur terhadap apa yang sudah kita miliki saat ini.
Terdapat banyak ketidakbahagiaan yang disebabkan oleh pemikiran dimana kita menganggap bahwa kita bisa mengendalikan hal hal yang sebenarnya tidak bisa dikendalikan. Epictetus, sage Yunani Kuno dan tokoh filsuf Stoa, mengungkapkan bahwa kita dapat mengontrol apa yang terjadi pada diri kita sendiri. Berdasarkan prinsip dasar dari Epictetus, yaitu kita harus memfokuskan diri bukan kepada hal-hal yang membuat kita marah, namun kepada cara berpikir tentang berbagai hal yang terjadi pada diri kita. Misalnya, apabila kita berpikir ada suatu hal buruk yang akan terjadi, kita akan dilanda rasa takut, cemas, dan sedih. Konsep stoikisme mengajarkan bahwa semua rasa emosi yang kita rasakan merupakan hasil dari penilaian kita terhadap sesuatu. Sedangkan, hal yang terdapat dalam diri kita sendiri sebenarnya bersifat netral sebab apa yang mungkin terlihat mengerikan bagi kita mungkin saja terlihat sepele bagi orang lain, dan begitupun sebaliknya.
Dalam menjalani kehidupan pasti akan ada waktunya kita terpuruk, terjatuh, dan juga terluka. Maka dari itu, penerapan ilmu stoikisme dalam kehidupan memiliki arti bahwa kita harus siap dengan sebuah pandangan bahwa sejatinya hidup itu tidak selalu nyaman dan bahagia. Sehubungan dengan itu, kita harus berusaha untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kemungkinan terburuk serta belajar untuk dapat berdamai dan menerima emosi emosi negatif, seperti takut ataupun cemas.
3.
Terdapat banyak ketidakbahagiaan yang disebabkan oleh pemikiran dimana kita menganggap bahwa kita bisa mengendalikan hal hal yang sebenarnya tidak bisa dikendalikan. Epictetus, sage Yunani Kuno dan tokoh filsuf Stoa, mengungkapkan bahwa kita dapat mengontrol apa yang terjadi pada diri kita sendiri. Berdasarkan prinsip dasar dari Epictetus, yaitu kita harus memfokuskan diri bukan kepada hal hal yang membuat kita marah, namun kepada cara berpikir tentang berbagai hal yang terjadi pada diri kita. Misalnya, apabila kita berpikir ada suatu hal buruk yang akan terjadi, kita akan dilanda rasa takut, cemas, dan sedih. Konsep stoikisme mengajarkan bahwa semua rasa emosi yang kita rasakan merupakan hasil dari penilaian kita terhadap sesuatu. Sedangkan, hal yang terdapat dalam diri kita sendiri sebenarnya bersifat netral sebab apa yang mungkin terlihat mengerikan bagi kita mungkin saja terlihat sepele bagi orang lain, dan begitupun sebaliknya.
Hal lain dari konsep stoikisme yang mengingatkan diri sendiri terkait hal yang tidak penting, yaitu memahami bahwa kita bukan lah center of attention sebab dunia tidak hanya berputar di sekitar kita saja. Seperti yang dikatakan Epictetus, apabila kita mengharapkan bahwa semesta akan memberikan hal-hal yang kita inginkan, maka yang akan kita dapatkan justru kekecewaan. Namun jika kita menerima apapun yang diberikan oleh semesta, maka hidup kita akan jauh lebih damai dan bahagia.
Apatheia dan ataraxia merupakan bagian dari eudaimonia, yang merupakan kehidupan yang berkembang. Singkatnya, apatheia adalah kebebasan dari nafsu. Apatheia juga bisa diartikan sebagai ketenangan hati. Kaum stoik membedakan 4 nafsu: lupē, phobos, epithumia, dan hēdon. Lupē berarti kesusahan (distress), yang merupakan reaksi emosional yang terkait dengan penilaian dari sesuatu yang tidak berada dalam kendali kita. Phobos artinya ketakutan (fear), yang berkaitan dengan hadirnya sesuatu yang Anda benci atau kehilangan sesuatu yang Anda inginkan. Epithumia berarti nafsu (lust). Kita bisa bernafsu terhadap orang, makanan, dan bahkan benda (yang terjadi pada orang yang memiliki fetish). Ini juga berarti bahwa objek keinginan kita memiliki kekuatan tertentu atas kita dan, dengan demikian, dapat memanipulasi tindakan kita. Hēdonē artinya kesenangan (delight) yang sedikit lebih halus daripada nafsu. Ini berarti bahwa kita menikmati hal-hal yang terjadi tetapi dengan cara yang tidak rasional. Kaum stoik percaya bahwa kebebasan dari hasrat tersebut mencirikan keadaan eudaimonic. Sekarang, mungkin juga untuk mengubah bayangan hasrat yang tidak sehat menjadi hasrat yang sehat, jika kita terlebih dahulu mengakuinya dalam diri kita dan melihatnya sebagai peluang untuk berubah. Ketakutan dapat diubah menjadi kehati hatian, yang membantu kita untuk tetap berada di jalan yang benar. Nafsu bisa berubah menjadi keinginan, yang berarti menginginkan hal yang benar. Kesenangan dapat diubah menjadi kegembiraan, yang berarti menikmati kebajikan dalam diri orang lain dan diri kita sendiri.
Kata apatis dapat diartikan sebagai absennya rasa peduli atau perasaan secara keseluruhan. Secara klinis, para ahli telah mendapatkan beberapa gambaran mengenai sikap apatis ini dari pasien dan keluarga sebagai rasa "percikan semangat itu hilang." Robert S. Marin, seorang ilmuan yang bidang studinya mendalami sikap apatis, merasa bahwa sikap apatis mencakup sejumlah fitur psikologis, dan mendefinisikan apatis sebagai, pada intinya, kurangnya motivasi. Marin membedakan apatis sebagai gejala (yaitu, gangguan mood, perubahan tingkat kesadaran, atau gangguan kognitif), dan apatis sebagai sindrom perubahan suasana hati (pengaruh), perilaku, dan kognisi yang didapat bukan karena gangguan mood, perubahan tingkat kesadaran atau gangguan kognitif.
Sebenarnya sikap apatis sendiri sering dianggap sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala. Biasanya, kondisi ini ditandai dengan beberapa kondisi, seperti berikut:
Tidak produktif dalam berkegiatan. Kurangnya motivasi untuk meraih sesuatu yang diinginkan. Terlihat tidak peduli dengan tujuan yang sebelumnya ingin dicapai. Hilangnya keinginan untuk merawat diri. Tidak memiliki respons emosional terhadap berita baik maupun berita buruk. Sulit menunjukkan perasaan apapun, baik senang, sedih, maupun marah.
Berdasarkan artikel spesial yang dirilis oleh The Journal of Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences, penyebab dari sifat apatis dapat dikaitkan dengan disfungsi kognitif, depresi, dan umur.
Menurut Stoikisme, penderitaan muncul dari reaksi terangsang pada manusia dengan empat kelas emosi, yaitu kesedihan, ketakutan, keinginan dan kesenangan. Cita cita stoik adalah untuk mencapai apatheia, yaitu penerimaan dari peristiwa alam, sikap pasif terhadap rasa sakit dan kesenangan, penghapusan reaksi emosional, serta kurangnya gairah terhadap apapun. Seperti yang telah dibahas sebelumnya tentang apatheia dan apatis yang kerap memiliki konotasi negatif, yakni ketidakpedulian. Akan tetapi, jika kita menelusuri asal usul istilah ini jauh ke belakang, ia memiliki hubungan dengan filosofi stoikisme. Aliran filsafat yang didirikan oleh Zeno dari kota Athena, Yunani, sekitar abad ke 3 SM ini menumbuhkan kemampuan pengendalian diri di hadapan ombak perasaan yang menerpa kehidupan batin seseorang. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai adalah rasa apatheia yang bukanlah sejenis apatisme sebagai ketidakpedulian terhadap lingkungan sekitar, melainkan sikap kejiwaan yang tegar, kontrol diri yang sempurna sehingga tak hanyut dalam perasaan yang terus naik turun.
Namun dalam penerapannya, stoikisme tidak menganjurkan sikap apatis seperti yang tertulis pada paham yang digunakan saat ini karena seorang stoik tidak seharusnya tidak peduli dengan apa pun yang terjadi. Kata "apatis" sendiri berarti tidak adanya nafsu, di mana "gairah" dalam filsafat stoik berarti emosi negatif yang dihasilkan dari kesan palsu tentang dunia. Artinya, "apatis" berarti "tidak terganggu oleh faktor eksternal". Tetapi terdapat perbedaan antara tidak terganggu dan tidak peduli. Dimana seorang stoik akan tetap berusaha dalam mencapai goals yang dimilikinya, tetapi lebih menitikberatkan kepeduliannya kepada seberapa baik upaya yang mereka lakukan, bukan terhadap apakah hal itu benar-benar berjalan dengan baik.
Semua orang pastinya ingin merasakan kebahagiaan terus menerus dalam hidupnya. Namun, kebahagiaan tidak akan datang dengan sendirinya dan tidak bisa dikendalikan, maka dari itu kita harus bisa menciptakan cara agar dapat bahagia. Di sisi lain, kebahagiaan sangat erat dengan hal yang kita tidak bisa kendalikan, contohnya seperti tanggapan orang lain. Kini, banyak orang yang lebih sering fokus kepada hal yang tidak bisa kita dikendalikan sehingga akan sulit untuk memunculkan kebahagiaan. Untuk memiliki kebahagiaan yang nyata kita dapat menerapkan ilmu stoik/stoikisme karena selain ‘kebahagiaan’, kita juga mendapatkan added value lainnya yaitu :
Prinsip Stoikisme pada dasarnya tidak “menjanjikan” apapun kepada para penganutnya, seperti harta kekayaan dan kesejahteraan sosial. Namun, filosofi ini bisa menawarkan rasa damai serta tenteram yang bertahan lama karena berakar kokoh dari dalam diri masing masing. Oleh karena itu, melalui filosofi ini kita dapat belajar untuk berdamai dengan kondisi yang tidak diharapkan dan tidak menyenangkan yang salah satu caranya adalah dengan membebaskan diri dari emosi negatif.
Kita juga dapat belajar mengenai cara untuk menjadi pemimpin yang baik melalui Filosofi Teras ini. Dimana, arti “pemimpin” di sini tidak melulu berarti soal organisasi, tim, atau suatu kelompok, melainkan mengajarkan kita tentang cara untuk mengatur kehidupan diri sendiri menjadi dengan baik.
Sebagai Media Untuk MBelajar enerima Masa Sulit
Menurut hasil penelitian oleh Psikologi Unmul, stres yang paling banyak dialami mahasiswa saat ini ada pada kategori stres sedang. Kondisi tersebut membuktikan, mahasiswa mengalami tekanan akademik selama melaksanakan kuliah. Jika dikaitkan dengan filsafat stoisisme, perkuliahan sendiri bergantung dari persepsi setiap individu dalam menyikapinya.
Berdasarkan hasil riset pada sekelompok mahasiswa, didapatkan bahwa mereka dapat berempati lebih baik kepada sesamanya dan membiasakan diri untuk meletakkan diri mereka di dalam sudut pandang dosen, teman, dan fungsionaris kampus lainnya.
Dengan demikian, kita dapat melihat bagaimana pentingnya menyingkirkan perasaan-perasaan serta pemikiran-pemikiran negatif dalam hidup kita untuk mencapai hidup yang lebih baik. Berdasarkan 4 aspek dari Stoikisme, yaitu prudence, justice, fortitude, dan temperance.
Akbar, F. (2022, February 23). Filosofi Teras untuk Belajar Menjadi Manusia. Satu Persen. https://satupersen.net/blog/filosofi-teras-untuk-belajarmenjadi-manusia
Brown, M. E. L. (2022, May 3). Can stoic training develop medical student empathy and resilience? A mixed methods study BMC Medical Education. BioMed Central. https://bmcmededuc.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12909 022 03391 x
Fikry, A. (2022, June 9). Mengatasi Gaya Hidup Konsumtif Melalui Filsafat StoaKompasiana.com. KOMPASIANA. https://www.kompasiana.com/adnanfikry9897/62a1490abb44863f2034b1f 2/mengatasi gaya hidup konsumtif melalui filsafat stoik
Filsafat Stoikisme dan Penerapannya dalam Kehidupan Sehari hari. (n.d.). Retrieved November 2, 2022, from https://www.qureta.com/post/filsafatstoikisme-dan-penerapannya-dalam-kehidupan-sehari-hari
Irvine, W. B. (2019). The Stoic Challenge: A Philosopher's Guide to Becoming Tougher, Calmer, and More Resilient. WW Norton & Company.
Noviyanto Rahmadi . (n.d.). Penerapan Stoisisme dalam Kehidupan Kampus. Sketsa Universitas Mulawarman. Retrieved November 2, 2022, from https://sketsaunmul.co/opini/penerapan-stoisisme-dalam-kehidupankampus/baca
Weaver, T. (2020, April 17). What Do Stoics Think About Emotions? Orion Philosophy. https://www.orionphilosophy.com/stoic blog/what do stoics think about emotions