JUROS UAPKM UB 2018 #2

Page 1

Rentetan Aksi Teror Bom Ciderai Umat Beragama

INFOGRAFIS - Beberapa rentetan aksi teror di Indonesia

MALANG.KAV-10 Potensi konflik antar elemen umat beragama di Indonesia masih cukup tinggidan dinamis dengan munculnya berbagai kasus teror atas dasar agama. Permasalahan yang sedang ramai dibicarakan yakni isu radikalisme dan terorisme yang kembali mencuat karena aksi teror bom di Surabaya tanggal 13-14 Mei 2018 berlokasi di Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS). Hubungan dan kepercayaan antar umat beragama kembalimenghadapi tantangan. Koordinator Pencegah BNPT Hamli saat ditemui di Fakultas Hukum UB memaparkan situasi konflik. “Surabaya meledak tiga bom.Sudah sekitar 210 orang ditangkap. Polisi itu tidak semena-mena, kalau pak jaksa tidak menerima ya sudah tidak. Akhirnya meledak duluan,” ungkapHamli. Seseorang bisa di sebut radikal ketika orang tersebut terdampak paparan radikalisme, bisa dilihat dalam tiga dimensi yaitu tataran pemikiran, tataran attitude, tataran aksi. “Ada tiga dimensi dalam radikalisme yaitu tataran pemikiran, tataran attitude, tataran aksi. Dulu baru aksi bisa dilakukan tindakan,” jelas Hamli. Meski berpotensi sangat kecil untuk dikatakan radikalisme yang mengarah pada aksi terorisme. Disini radikalisme yang menyangkut pautkan pada tindakan dan pemikiran keras terhadap aksi-aksi yang memicu terjadinya terorisme. “Karakteristik mereka yang radikal biasanya adalah muda kemudian laki-laki, kemudian juga memahami agama secara literal,” ujar Yusli dalam seminar Fakultas Hukum UB (13/08). Dalam respon BNPT dalam menanggulangi aksi teror di Indonesia. BNPT mengupayakan deradikalisasi lebih cepat

penanganannya. Namun, sejauh ini tindakantindakan yang dilakukan BNPT lebih banyak mengarah setelah terjadinya kasus. “Tidak bisa merencanakan preventive justice (sistem tindakan yang diambil oleh pemerintah dengan mengacu pada pencegahan langsung kejahatan,red). Sebelum mereka melakukan (identifikasi,red) persiapan itu dilakukan densus 88 agar tidak salah orang,” ujar Hamli. Berbeda dengan Hamli, Dosen Hubungan Internasional UB Yusli Effendi menegaskan perlu bukti yang lebih kuat mengenai isu kampus sebagai sarang teroris. “Banyak orang protes apakah benar kampus itu produsen teroris, harus bedakan antara batasan radikal dan teroris. Karena kalau ini masuk ke radikal itu adalah pelaku teror, ada data yang menunjukkan bahwa kasus tersebut memproduksi perilaku teror,” Yusli menanggapi. Yusli mengatakan dalam menanggulangi radikalisme harus berhati-hati karena soal mengorbankan kebebasan. “Bisa mengorbankan kebebasan. Baik kebebasan akademik maupun kebebesan sipil,” tambahnya lagi. Yusli juga menanggapi bahwa wewenang kekuasaan bisa memepengaruhi pengambilan keputusan dalam konteks kebijakan radikalisme. “Disini kita mereaksi bukan merespon. Ini yang harus kita hati-hati. Negara juga harus kita lihat bagaimana penyalahgunaan kekuasaan jangan sampai melebihi wewenangnya,” tambahnya lagi. (atw/odp/sad)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.