29 minute read

INDONESIA

KEWENANGAN PRESIDEN DALAM PEMBERHENTIAN KEPALA

DAERAH YANG TIDAK MELAKSANAKAN PROGRAM STRATEGIS

Advertisement

NASIONAL DI INDONESIA

Muhammad Mutawalli

UIN Alauddin Makassar

muhammad.mutawalli@uin-alauddin.ac.id

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang kewenangan presiden dalam pemberhentian kepala daerah yang tak taat hukum yang telah berlaku di Indonesia. Hal utama yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai kewenangan yang dimiliki presiden untuk memberhentikan kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional. Disamping itu, dibahas pula mengenai program strategis nasional yang hendaknya dilaksanakan oleh kepala daerah. Untuk tujuan pelaksanaan agenda strategis nasional yaitu meningkatkan upaya bersama antara pemerintah pusat dan daerah untuk mencapai tujuan pemerintah negara Indonesia melalui program pembangunan nasional. Keterkaitan pembangunan nasional dalam rangka memenuhi tujuan bernegara sejatinya hanya dapat dilaksanakan oleh seluruh unsur penyelenggara negara dan masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya peraturan perundang-undangan yang memuat kewajiban pelaksanaan program strategis nasional. Kepala daerah tidak akan bisa sewenang-wenang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan program strategis nasional.

Kata Kunci: Presiden, Kepala Daerah, Program Strategis Nasional

PRESIDENT'S AUTHORITY IN TERMINATION OF REGIONAL HEAD

WHO DOES NOT IMPLEMENT THE PROGRAM

Abstract

This study discusses the president's authority in dismissing regional heads who do not obey the laws that have been in force in Indonesia. Besides that, it will also discuss the national strategic program that should be implemented by regional heads. For the purpose of implementing the national strategic agenda, namely increasing joint efforts between the central and local governments to achieve the goals of the Indonesian state government through national development programs. The linkage of national development in the context of fulfilling the goals of the state can only be implemented by all elements of state administrators and the community. Therefore, it is necessary to have laws and regulations that contain the obligation to implement national strategic programs. Regional heads will not be able to arbitrarily carry out their duties and obligations, especially those related to the implementation of national strategic programs.

Keywords: President, Regional Head, National Strategic Program

I. PENDAHULUAN

Cita-cita negara Indonesia pada prinsipnya adalah mewujudkan negara berdaulat yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk mencapai tujuan nasionalnya dengan pengintegrasian program nasional sebagai prioritas utama. Cara Indonesia memperhatikan pemberdayaan yang sangat spesifik di seluruh wilayah Indonesia. Kebersamaan yang dimaksud merupakan bentuk keragaman pada pelaksana pemerintahan menggunakan konsep otonomi wilayah Pembentukan pemerintahan daerah.1 Hal tersebut berdasarkan kewenangan yang terkandung dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 yang melahirkan berbagai undang-undang dan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Undang-undang No. 23 Tahun 2014 serta yang terakhir adalah UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 merupakan legitimasi penyerahan urusan pemerintahan daerah. Dari kedua UU tersebut ada beberapa perubahan lain yang bersifat mendasar. Peraturan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 meletakkan peranan kepala daerah itu sangat strategis, hal tersebut dikarenakan kepala daerah merupakan komponen yang sangat signifikan terkait keberhasilan pembangunan nasional, karena Pemerintah Daerah merupakan bagian sub sistem pemerintahan pusat.

Perlu diketahui bahwa otonomi daerah tidak selamanya berjalan mulus, posisi yang strategis ini justru menjadi salah satu sebab yang dapat menimbulkan masalah. Banyak kepala daerah yang berurusan dengan aparat hukum dikarenakan terbukti melakukan pelanggaran atau penyelewengan yang mengharuskan mereka untuk terlibat dan menjalani proses hukum yang akan memberikan putusan tentang pemberhentian kepala daerah sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya selaku kepala daerah.2

Praktik otonomi daerah di Indonesia telah mengalami perbaikan pasca reformasi yakni pada tahun 1998. Hal ini memberikan kesempatan bagi rakyat untuk lebih leluasa dalam memilih kepala daerah secara langsung dari lokal ke lokal. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Tujuan

1 Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 10. 2 J. Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah: Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 4.

pengaturan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh penduduk lokal adalah untuk memastikan bahwa mereka yang terpilih melewati pilihan yang benar-benar baik dari sudut pandang moral, intelektual, dan pengabdiannya pada masyarakat.3 Adanya anggapan bahwa kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh masyarakat merupakan legitimasi rakyat di tingkat daerah, sehingga pemberhentian kepala daerah dinilai bukanlah menjadi hak atau kewenangan presiden untuk memberhentikannya, sebab gubernur dan bupati dan walikota merupakan suatu jabatan yang diisi melalui proses politik demokrasi yang sah. Pandangan ini dibahas kembali di tahun 2020 disaat pemerintah menyarankan Rancangan UndangUndang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja).

Tito Karnavian menyatakan bahwa belum ada hukum pada RUU Cipta Kerja yang mengungkapkan ihwal pemberhentian kepala daerah oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) atau Presiden.4 Sehubungan dengan pernyataan Mendagri sehabis dilakukan pengesahan RUU Cipta Kerja sebagai Undang-Undang yakni di lima Oktober 2020, sudah tidak ada pembahasan bahwa presiden dan mendagri yang bisa menonaktifkan kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional. Walaupun rumusan norma tersebut tidak ada atau tidak dicantumkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja, namun isi rumusan tersebut sudah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (UU No. 23 Tahun 2014) mengenai Pemerintah Daerah.5

Norma tadi sudah berjalan dengan baik lebih dari 6 tahun. Namun, sampai sekarang belum ada kepala daerah yang diberhentikan karena tidak menyelenggarakan rencana Strategis Nasional yang tidak melaksanakan Program Strategis Nasional. Jika kita cermati pasal-pasal yang terdapat pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah terdapat beberapa ketentuan yang menyampaikan wewenang presiden maupun mendagri untuk memberhentikan kepala daerah secara langsung. ialah pemberhentian tadi dilakukan oleh presiden serta mendagri tanpa adanya usul dari DPRD. Aturan tersebut terdapat dalam Pasal 7 ayat (1), (2), Pasal 78, 79 hingga Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 tentang

3 Marulak Pardede, “Legitimasi Pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah Dalam Sistem Pemerintahan Otonomi Daerah,” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 18 (2018), 127–148, hlm.133. 4 Tempo, “Tito Bantah Ada Pasal Presiden Bisa Pecat Gubernur di Omnibus Law,” https://nasional.tempo.co/read/1298345/tito- bantah-ada-Pasal-presiden-bisa-pecat-gubernur- diomnibus-law/full&view=ok, diakses 25 Juli 2020. 5 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587, Ps. 68 ayat (1), (2), dan (3).

pemerintah daerah. Dalam pasal tersebut secara konstruksi peraturan membolehkan presiden dan menteri untuk memberhentikan seorang kepala daerah dengan alasan tertentu. Pengertian tersebut didasarkan pada program strategis nasional, yaitu peristiwa yang ditetapkan oleh Presiden sebagai peristiwa yang bersifat strategis. termasuk upaya memelihara pertahanan dan keamanan negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Penjelasan ini sesuai dengan penerangan dalam UU No. 23 Tahun 2014.

Tujuan pelaksanaan Program Strategis Nasional adalah agar pemerintah pusat dan daerah melaksanakan tujuan-tujuan Strategis Nasional dalam rangka mencapai tujuan Pemerintah Nasional Indonesia. Untuk mensukseskan program kerja seorang presiden tetapi pula termasuk upaya untuk melaksanakan program pembangunan yang dimulai dari program strategis nasional. Dalam hal ini, Presiden menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional. Berdasarkan uraian tersebut adapun yang dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut: Bagaimana wewenang presiden dalam kasus pengunduran diri kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional, apa saja yang merupakan program strategis nasional yang harus dilaksanakan oleh kepala daerah di daerah serta, bagaimana sanksi terhadap kepala daerah yang tidak melakukan program strategis nasional.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum yang dilakukan dengan menganalisis dan mengkaji peraturan yang terkait dengan masalah hukum.6 Selain itu, pendekatan yang bersifat konseptual berasal dari berbagai pandangan atau doktrin-doktrin yang telah berkembang dalam dunia hukum. 1. Bahan hukum pokok adalah bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari normanorma atau aturan-aturan dasar yang termuat dalam UUD NRI Tahun 1945, peraturan dasar, peraturan perundang undangan. 2. Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang bersumber dari pendapat ilmiah para sarjana dan literatur lainnya yang berkaitan dengan kewenangan kepala daerah.

6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta Timur: Prenada Media Group, 2019), hlm. 132.

3. Data hukum tersier adalah format kamus yang memberikan pengertian, pedoman, dan penjelasan atas data hukum primer dan sekunder. Kajian hukum ini memakai data sekunder yang terbagi menjadi dokumen hukum primer, sekunder dan tersier. Dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan bahan-bahan yang diperoleh dari bahan pustaka, dan bahan pustaka yang diteliti diklasifikasikan sebagai data sekunder.7

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

a. Pengaturan Kewenangan Presiden Dalam Pemberhentian Kepala Daerah Yang Tidak Melaksanakan Program Strategis Nasional

Pemerintah Daerah diberikan wewenang dalam hal untuk menyelenggarakan pemerintahan yakni dengan mengatur serta mengurus sendiri urusan pemerintahan, hal ini sesuai dengan penggunaan asas otonomi dan tugas pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya. Wewenang itu dilaksanakan di wilayah daerah tertentu dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai atau menggunakan pedoman negara kesatuan. Pada negara kesatuan, tidak ada kedaulatan di wilayah karena kedaulatan hanya terletak pada pemerintahan sentra. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada wilayah artinya tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintah daerah tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Asas otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan pemerintah yang didasarkan di pemerintahan daerah. Hadirnya pemerintahan daerah karena terjadi desentralisasi yang mendelegasikan kewenangan pada hal pengurusan tempat tinggal tangga daerahnya sendiri yang bersumber dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Segala urusan pemerintahan sepenuhnya akan diserahkan ke wilayah yang asal berasal kekuasaan yang dimiliki presiden menjadi pemegang kekuasaan pemerintahan yang didasarkan pada UUD NRI 1945.

Konstruksi hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah yang terdapat dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 mengenai pemerintahan daerah telah koheren atau sesuai dan memiliki hubungan dengan konsep teoritis negara kesatuan yang memakai konsep pelimpahan kewenangan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 12-13.

telah menyusun atau mengkonstruksikan kekuasaan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai turunan dari kekuasaan yang dimiliki presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.8 Jadi, dapat disimpulkan bahwa sumber dari kekuasaan daerah adalah kekuasaan pemerintahan presiden yang didelegasikan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kekuasaan yang dimiliki daerah merupakan suatu pelimpahan dan tidak bersifat nyata kekuasaan yang dimiliki oleh presiden terbagi dan menjadi urusan pemerintah yang dilakukan oleh presiden dengan yang di bantuan oleh para menteri-menteri dan daerah masing-masing menurut dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.9

Desentralisasi adalah bentuk penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada wilayah otonom, berdasarkan pada asas otonomi. Sebab Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah menganut asas desentralisasi maka ada tugas-tugas eksklusif yang diurus sendiri sebagai akibatnya menyebabkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya interaksi kewenangan, keuangan, pengawasan, serta antar satuan organisasi pemerintahan yang satu dengan yang lainnya.

Atas dasar hal tersebut, dapat diketahui bahwa klasifikasi urusan pemerintahan itu mencakup tiga bagian yaitu urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren urusan pemerintahan umum. Hal ini sinkron dengan karakter yang berasas negara kesatuan maka pemerintah pusat memutuskan suatu kehendak menjadi pijakan dari menyelenggarakan berbagai urusan pemerintahan. Adapun bentuk implikasinya yakni pemerintah pusat akan melakukan pembinaan dan supervisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah serta dianalisis akhir, presiden mempunyai tanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintah pusat serta wilayah itu sendiri. Sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah daerah adalah kekuasaan pemerintahan untuk presiden. Presiden merupakan permulaan kekuasaan bagi para pemerintah yang dimiliki oleh daerah dimana dalam menjalankan kekuasaan tersebut daerah diberikan kewenangan.

8 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587, Ps. 5 ayat (1). 9 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587, Ps. 5 ayat (2) – (4).

Urusan pemerintahan absolut adalah urusan yang diberikan hak penuh kepada pemerintah pusat. Urusan pemerintahan tertentu adalah urusan yang diratakan diantara para pemerintah. Daerah provinsi dan wilayah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren diserahkan ke daerah yang sebagai dasar pelaksanaan pemerintahan daerah. Sedangkan yang terakhir yakni urusan pemerintahan umum yaitu urusan presiden yang kewenangannya diberikan kepada para pemerintah. Wewenang yang dimiliki presiden serta mendagri dalam hal pemberhentian kepala daerah mereka yang tidak melakukan program strategis nasional secara keseluruhan mengikuti aturan yang tercantum dalam Pasal 68 UU UU No. 23 Tahun 2014. Selain itu, dasar teoritis presiden bisa memberhentikan kepala daerah bisa ditelusuri dengan meninjau teori bentuk negara, bentuk negara dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu konfederasi, federasi, dan negara kesatuan. Negara Indonesia pada UUD NRI 1945 secara tegas disebutkan adalah negara kesatuan. Dalam ilmu kenegaraan, yang dimaksud dengan penggunaan sistem pemerintahan adalah sistem hukum tata negara, baik yang berbentuk monarki juga republik yang dimana hal itu perihal hubungan antar pemerintah dengan lembaga negara lain baik di tingkat pusat hingga daerah sebagai wakil warga.10 Sistem pemerintahan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu presidensial, kabinet parlementer dan campuran. Dalam sistem pemerintahannya, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Menurut S. L Witman dan J.J Wuest, ada 4 ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensial yaitu sebagai berikut: 1. Hal tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan; 2. Forum eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk membubarkan parlemen serta pula tidak perlu berhenti bila sewaktu-saat kehilangan dukungan penuh asal secara umum dikuasai anggota parlemen; 3. Tidak mempunyai tanggung jawab yang berbalas yakni hubungan antara presiden dan para kabinetnya, karena ujung-ujungnya semua tanggung jawab akan dipikul oleh presiden sendiri (sebagai kepala pemerintahan); dan 4. Presiden dipilih secara langsung oleh pemilih (masyarakat). Dari uraian tersebut dapat dikemukakan ciri-ciri sistem presidensial yaitu sebagai berikut:

1. Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan;

10 Harun Alrasyid, “Kajian Sistem Pemerintahan Dan Ruang Lingkupnya,” Majalah Mahasiswa Universitas Pasundan (Bandung, 2002), hlm. 1.

2. Presiden dipilih oleh rakyat; 3. Presiden memiliki kedudukan yang sama dengan legislatif; 4. Presiden membentuk kabinet, sehingga kabinet bertanggung jawab kepada presiden; dan 5. Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif dan presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif.11

Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut sistem presidensial, presiden adalah yang memegang kekuasaan negara sekaligus yang bertanggung jawab tentang urusan pemerintahan. Tentang kinerja para pemerintah yang separuhnya sudah diserahkan pada pemerintahan wilayah merupakan urusan pemerintahan yang dimiliki sang presiden. Maka, pada hal ini presiden memiliki hak buat melakukan pengawasan dan pembinaan tentang urusan pemerintahan yang sebelumnya sudah diserahkan pada wilayah. Adapun tujuan dari pengawasan yang dilakukan oleh presiden terhadap pemerintahan wilayah ialah agar ketua wilayah senantiasa mematuhi dan sadar akan kewajiban melakukan urusan pemerintahan. Presiden juga melakukan pelatihan yang melingkupi sanksi administratif bagi para menterinya karena gagal melaksanakan event strategis nasional.12

2. Program Strategis Nasional Yang Wajib Dilaksanakan Oleh Kepala Daerah

Garis Besar Haluan Negara digunakan sebagai pedoman artinya pedoman yang digunakan di proses pembangunan negara Indonesia yakni berdasar pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Sistem tadi merupakan satu kesatuan adat perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah serta tahunan yang dilaksanakan oleh penyelenggara negara bersama rakyat baik itu ditingkat pusat juga wilayah.13 Sehabis melakukan perencanaan pembangunan nasional, maka akan menghasilkan Rencana Kerja Pembangunan

11 Octovina, Ribkha Annisa, "Sistem Presidensial di Indonesia," CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan 4 (2018), hlm. 248. 12 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587, Ps. 7 ayat (2). 13 Indonesia, Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 25 Tahun 2004, LN No. 104 Tahun 2004, TLN No. 2441, Ps. 1 angka 3.

Jangka Panjang (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan Rencana Pembangunan Tahunan.

Penyusunan dokumen tentang RPJPN terdapat pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 mengenai rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang Tahun 2005-2025. RPJPN ialah pembagian terstruktur mengenai ihwal tujuan asal pembentukan pemerintahan negara Indonesia yang tercantum di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 pada bentuk rumusan visi, misi, serta arah berasal pembangunan nasional.

Dokumen RPJPN berlaku selama 20 tahun asal tahun 2005 hingga menggunakan tahun 2025.buat melaksanakan RPJPN selama 20 tahun, Presiden akan menghasilkan RPJMN dibentuk Perpres. RPJMN 2005–2009, RPJMN 2010–2014, RPJMN 2015–2019, dan RPJMN 2020-2024. RPJMN adalah penyempurnaan berasal visi, misi, serta program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJPN. Aplikasi RPJMN siklus setiap lima tahun sekali, dan diperlukan negara ini terus berkembang berasal masa jabatan presiden ke masa berikutnya.14

Kelanjutan pembangunan nasional dalam rangka pencapaian tujuan nasional hanya bisa dilakukan oleh penyelenggara negara pada tingkat pusat serta daerah dan seluruh elemen warga. Oleh sebab itu, perlu adanya pengaturan ihwal kewajiban aplikasi program strategis nasional bagi ketua wilayah. Adanya aturan perihal kewajiban yang harus dilaksanakan sang kepala wilayah mengenai program strategis nasional. Adanya aturan perihal kewajiban melaksanakan acara strategis nasional bagi ketua wilayah dimulai sejak diundangkannya UU No. 23 Tahun 2014.

Sesuai dengan diundangkannya UU No. 23 Tahun 2014 serta peresmian presiden terpilih, acara strategis nasional pertama yang dilaksanakan oleh ketua wilayah adalah program Strategis Nasional pada bawah Presiden Jokowi, yang mengacu di RPJMN 2015-2019. Selesainya RPJMN 2015-2019 berakhir, visi, misi, serta acara kerja Presiden Joko Widodo termin kedua akan dijabarkan dalam RPJMN 2020-2024. Presiden memutuskan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024. Pengertian program Strategis Nasional pada uraian Pasal 23, Pasal 67 (f) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

14 Indonesia, Undang-Undang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025, UU No. 17 Tahun 2007, LN No. 33 Tahun 2007, TLN No. 4700, Ps. 3.

ialah bahwa pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, dan pertahanan dan keamanan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pada sisi lain, Perpres Nomor 3 Tahun 2016 untuk proses penyelenggaraan proyek strategis nasional tidak menggunakan kata proyek strategis nasional, melainkan istilah proyek strategis nasional. Instruksi Presiden ini artinya proyek strategis nasional, proyek yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pelaku ekonomi, seni manajemen berfungsi mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan pada rangka menaikkan kepentingan awam serta pembangunan wilayah. Disparitas antara “program” UU No. 23 Tahun 2014 dengan

“Proyek” Perpres No. 3 Tahun 2016 adalah bahwa proyek tersebut adalah bagian dari acara yang sedang dilaksanakan, sedangkan masih dalam tahap konseptual.

Diantara dua pengertian istilah yang dimaksudkan, bisa disimpulkan bahwa seluruh program Presiden yang diuraikan pada dokumen RPJMN yang bersifat strategis nasional artinya bagian berasal program Strategis Nasional. Berdasarkan Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan program strategis nasional, kepala daerah memiliki tanggung jawab/ peran dalam melaksanakan program strategis nasional yaitu sebagai berikut: 1. Pelaksana proyek strategis nasional; 2. Memberikan perizinan juga non perizinan yang dibutuhkan dalam rangka melaksanakan proyek strategis nasional sinkron dengan kewenangan yang dimilikinya. Perizinan serta non perizinan yang dibutuhkan yakni mengenai penetapan lokasi, izin lingkungan dan izin mendirikan bangunan; 3. Menyelesaikan penetapan rencana tata ruang wilayah yang ada di provinsi, kabupaten/ kota, zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 4. Menyediakan tanah untuk pelaksanaan proyek strategis nasional; 5. Melaksanakan akselerasi pengadaan barang atau jasa pada aplikasi proyek strategis nasional; 6. Menuntaskan berbagai hambatan serta konflik di suatu bidang dalam pelaksanaan proyek strategis nasional; dan 7. Menyelesaikan permasalahan hukum dalam pelaksanaan Proyek Strategis

Nasional.15

15 Indonesia, Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Perpres No. 3 Tahun 2016, Ps. 31.

Meskipun ketua wilayah atau kepala daerah memiliki sejumlah kewenangan dalam hal untuk mengurus pengeluaran izin dan penolakan, duduk perkara pembebasan lahan seringkali merusak aplikasi proyek strategis nasional. Hal ini terjadi sebab undang-undang kedua tahun 2012 perihal peruntukan tanah pembangunan buat kepentingan umum, yang menjadi payung aturan pengadaan tanah pembangunan buat kepentingan awam, telah terdapat.

Dari segi solusi untuk mengatasi duduk perkara tadi, pada 31 Mei 2017, Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 56 tentang Penanganan dampak Sosial Terhadap masyarakat dalam Rangka Peruntukan huma Proyek Strategis Nasional. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kecepatan perolehan tanah yang dikelola beserta serta meminimalkan dampak sosial dari perolehan tanah serta buat pengembangan proyek strategis nasional di masyarakat menjadi yang akan terjadi dari penerapan Perpres Nomor 56 Tahun 2017, diketahui bahwa Perpres Nomor 3 Tahun 2016 terpengaruh, dan dilakukan penyesuaian. Misalnya, pada 16 Juni 2017, Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 yang membaharui atau melakukan perbaikan demi terciptanya suatu pembaharuan, Perpres Nomor 3 Tahun 2016 bertujuan untuk mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional, dan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 mengukuhkan kewenangan gubernur untuk menemukan proyek strategis nasional. Kiprah akhir ketua daerah khususnya gubernur dalam hal ini artinya menentukan lokasi proyek strategis nasional. Pada pelaksanaannya, pemerintah sudah mengidentifikasi proyek-proyek yang tergolong proyek strategis nasional. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menjadi bagian berasal pelaksanaan proyek strategis, pelaksanaan proyek strategis nasional perlu dipercepat. Terkait hal itu, pada 8 Januari 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) angka 3 Tahun 2016 wacana akselerasi software proyek strategis nasional.

Perpres ini dilaksanakan oleh pemerintah, Pemerintah Daerah, dan /atau pelaku ekonomi yang proyek strategis nasionalnya bersifat strategis buat mendorong pertumbuhan serta pemerataan pembangunan, bagi kepentingan awam, serta buat menaikkan pembangunan daerah, yang dinyatakan menjadi proyek. Proyek yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional diantaranya proyek pembangunan infrastruktur jalan tol. Proyek jalan raya nasional atau seni manajemen nasional bebas. Proyek infrastruktur dan sistem kereta barah antarkota.

Proyek kereta bara antarkota; Proyek revitalisasi bandara, Pembangunan bandara baru, Proyek pengembangan bandara strategis lainnya. Pembangunan pelabuhan baru serta pengembangan kapasitas. acara 1 juta tempat tinggal. Pembangunan kilang minyak, proyek pipa gas atau terminal LPG. Proyek tenaga limbah; Proyek penyediaan infrastruktur air minum. Proyek saluran air limbah kota; pembangunan hambatan banjir; proyek pasca pembangunan lintas batas (PLBN) serta lembaga pendukung. Proyek bendungan, acara peningkatan cakupan pita lebar, proyek strategis infrastruktur ilmiah lainnya, proyek metalurgi, proyek pertanian, dan kelautan.

Sehubungan menggunakan percepatan aplikasi proyek strategis nasional buat kepentingan awam serta kemanfaatan awam, Pemerintah juga telah mengeluarkan Perpres pertama tahun 2016 perihal akselerasi pelaksanaan proyek strategis nasional yang ditujukan pada Menteri. Kabinet Kerja, Jaksa Agung Republik Indonesia, ketua Kepolisian Negara Republik Indonesia, ketua Sekretaris Kabinet, ketua Staf Kepresidenan, ketua forum pemerintah non-kementerian, Gubernur, serta Bupati/ Walikota. Apa yang wajib dilakukan buat pemangku kepentingan: tindakan terkait kiprah, fungsi serta kewenangan masing-masing, pemecahan problem serta hambatan, penetapan taktik akselerasi pelaksanaan proyek strategis nasional.

Tindakan strategis lainnya yang akan dilakukan diantaranya menyelesaikan problem dan kendala dalam pelaksanaan proyek strategis nasional, atau membantu akselerasi pelaksanaan proyek strategis nasional, pada antaranya mempunyai keleluasaan untuk mengatasi duduk perkara-masalah spesifik yang mendesak. memperbaiki, meniadakan, dan /atau mengubah ketentuan aturan dan peraturan yang tidak mendukung atau mengganggu akselerasi pelaksanaan proyek strategis nasional. Menyusun undang-undang serta/atau pedoman yang diperlukan buat percepatan aplikasi proyek strategis nasional.akselerasi pengadaan tanah bagi pelaksanaan proyek strategis nasional menggunakan menggunakan batas saat minimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pengadaan Tanah buat Pembangunan buat Kepentingan awam. Akselerasi pengadaan barang/jasa menjadi bagian dari akselerasi pelaksanaan proyek strategis nasional.

Melalui Perpres 1 Tahun 2016, Presiden menginstruksikan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk:

a. Memperkuat pengendalian tata kelola dan mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional; b. Melakukan audit investigasi/ audit untuk tujuan tertentu dalam hal terjadi penyalahgunaan jabatan (pelanggaran administratif) untuk mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional; c. Besaran (jumlah) kerugian keuangan negara apabila ditemukan kerugian negara dalam melakukan audit/ review investigasi dengan tujuan tertentu atas penyalahgunaan jabatan (pelanggaran administratif) untuk mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional perhitungan; d. Mengawasi tindak lanjut hasil audit dilakukan oleh badan pengawas internal negara provinsi/lembaga dalam hal terjadi kerugian keuangan negara; dan

e. Melakukan pendampingan dalam rangka pengadaan barang/jasa eksklusif pada aplikasi Proyek Strategis Nasional sesuai permintaan menteri/ketua lembaga atau Komite Penyelarasan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). Mencermati uraian yang terdapat dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016, peran pengurus wilayah pada aplikasi program strategis nasional terkait desentralisasi serta aplikasi tugas penunjang, dengan memperhatikan uraian peranan pengurus wilayah sebagaimana dimaksud dengan pendelegasian wewenang, gubernur diberikan wewenang buat menjatuhkan hukuman administratif pada bupati/ walikota dan dapat merogoh alih wewenang bupati/ walikota. Pendelegasian wewenang merupakan penyerahan sebagian wewenang pemerintah pusat kepada lembaga atau badan sendiri pada wilayah.

Pengertian pelimpahan wewenang menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah mensyaratkan bahwa sebagian pekerjaan pemerintah yang berada di bawah pemerintah pusat dilimpahkan kepada gubernur atas nama pemerintah pusat. Tugas dekonsentrasi dipercayakan pada gubernur buat mengemban tugas menjadi wakil pemerintah pusat dan tugas-tugas pemerintahan awam, namun desentralisasi kepada bupati/ walikota hanya sebatas tugas-tugas pemerintahan awam. Sedangkan tugas yang diberikan pada gubernur serta bupati/walikota sinkron dengan Perpres Nomor 3 Tahun 2016 artinya bagian berasal aplikasi tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat.

3. Implikasi Hukum Terhadap Pemberhentian Kepala Daerah Yang

Tidak Melaksanakan Program Strategis Nasional

Kata tanggung jawab merupakan bentuk dari pertanggung jawaban yang merupakan suatu keadaan yang wajib ditanggung segala sesuatunya jika ada hal yang perlu dituntut, boleh dituntut, dipersalahkan dan juga diperkarakan.16

Tanggung jawab dihubungkan dengan suatu keharusan yang harus diiringi dengan adanya sanksi atau hukuman, apabila ada suatu hal yang dianggap tidak sesuai atau tidak beres dalam suatu keadaan, maka wajib ditanggung oleh pihak yang bersangkutan. Bentuk pertanggung jawaban diartikan sebagai suatu proses yang menyangkut berbagai hal seperti tindakan, perbuatan maupun keputusan yang diambil oleh satu pihak yang memiliki hubungan dengan pihak lain yang terlibat sehingga dapat menerima hak dan wewenangnya serta sanksi yang akan menjadi konsekuensi di dalamnya. Adapun dalam administrasi publik pertanggungjawaban memiliki tiga konotasi yaitu diantaranya:17 1. Akuntabilitas adalah tanggung jawab. Tanggung jawab berperan di sini jika suatu badan harus dimintai pertanggungjawaban atas kebijakan tertentu; 2. Penyebab akuntabilitas. Jenis akuntabilitas ini muncul ketika orang mengatakan bahwa suatu organisasi bertanggung jawab untuk melakukan tugas-tugas tertentu; dan

3. Tanggung jawab sebagai kewajiban. Jika seseorang bertanggung jawab atas kewajiban untuk melakukan sesuatu, itu berarti: 1. Dia harus mampu menggunakan kemampuannya untuk menjelaskan sebab dan akibat kepada orang yang telah mempercayakan tugas itu kepadanya, untuk menyelesaikan hal-hal yang akan dilaporkan; dan 2. Dia harus menjelaskan langkah demi langkah menyumbangkan sebab dan akibat mereka. Salah satu asas negara hukum adalah bahwa segala tindakan instansi pemerintah harus berdasarkan wewenang, erat kaitannya dengan asas “geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid” (tidak ada wewenang tanpa tanggung jawab) atau “zonder” bevoegdheid geen verantwoordelijkheid” (tidak wewenang, tidak ada tanggung jawab).

16 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Cet.9, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 318. 17 Herbert J. Spiro, Responsibility in Government Theory and Practice, (New York: Van Nostrand ReinholdCompany, 1969), hlm. 14, telah dikutip kembali oleh Wahyudi Kumorotomo, Etika administrasi Negara, Cet. 2, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 146.

Pada umumnya setiap tindakan instansi pemerintah merupakan pelaksanaan wewenang, karena selalu dikaitkan dengan tanggung jawab. Titiek Sri Djatmiati mengatakan bahwa, "setiap penggunaan wewenang dalam bentuk apapun, baik dalam pengaturan, pengawasan, atau keputusan sanksi oleh lembaga pemerintah, selalu disertai dengan tanggung jawab."18

Lukman Hakim berpendapat bahwa, ada dua jenis tanggung jawab, yaitu (1) tanggung jawab moral; dan (2) akuntabilitas politik. Akuntabilitas etis adalah akuntabilitas yang tidak memerlukan hukuman hukum, karena penghormatannya tidak dipaksakan dari luar (dengan cara yang tidak biasa), tetapi ketaatannya otonom dari dalam hati nurani "pejabat" atau otoritas itu sendiri. Meskipun tanggung jawab moral tidak diterjemahkan ke dalam pengenaan sanksi yudisial, melalui penegakan hukum yang aktif, badan atau lembaga publik tidak dibenarkan mengabaikan prinsip-prinsip etika. Dibalik tanggung jawab moral, terdapat tanggung jawab politik, yaitu tanggung jawab yang berujung pada pengenaan sanksi “politik” berupa pemberhentian seorang “pejabat” atau pimpinan yang berwenang dari jabatannya sendiri sebelum saya selesai. tugasnya (dakwaan).19

Pada UU No. 23 Tahun 2014 mengenai pemerintahan wilayah menyatakan bahwa kepala wilayah yang tidak melaksanakan program strategis nasional bisa saja diberhentikan eksklusif sang presiden. Pemberhentian dilakukan dikarenakan ketua wilayah melakukan pelanggaran administratif dan tidak melaksanakan program yang telah ditetapkan sang pemerintah pusat, hal tersebut tercantum pada UU No. 23 Tahun 2014 Pasal 68 yang mengatur tentang penjatuhan sanksi yakni berupa teguran tertulis pertama, kedua, sementara, dan pemberhentian pemimpin daerah yang dengan terang-terangan tidak melaksanakan program strategis nasional. Konsep sanksi administratif adalah gagasan doktrinal dan tidak didefinisikan oleh undang-undang. Hukum administrasi menyarankan bahwa hukuman administratif artinya konsekuensi negatif atas kewajiban publik dan hukum serta pelanggaran kewajiban. Namun, waktu menerapkan sanksi administratif untuk pemberhentian sementara serta pemberhentian kepala daerah

18 Herbert J. Spiro, Responsibility in Government Theory and Practice, (New York: Van Nostrand ReinholdCompany, 1969) , hlm. 14, telah dikutip kembali oleh Wahyudi Kumorotomo, Etika administrasi Negara, Cet. 2, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 146. 19 Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ & Lembaga Daerah, (Malang: Setara Press, 2012), hlm. 44.

sesuai Pasal 23, Pasal 68 UU No. 23 Tahun 2014, belum jelas apakah ini akan dilakukan melalui jalur yudisial atau non-yudisial.

Presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 12 Tahun 2017 wacana training dan pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah buat melaksanakan ketentuan istiadat sanksi administratif sesuai Pasal 23, Pasal 353 UU No. 23 Tahun 2014. Tata cara pengenaan sanksi administratif kepada Kepala Daerah yang tidak melaksanakan kegiatan strategis nasional diatur dalam Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017. Sanksi administratif berupa teguran tertulis berlapis oleh Mendagri Gubernur dan Gubernur atas nama bupati/ walikota pemerintah pusat. sanksi teguran tertulis administratif dikeluarkan menggunakan sangat hati-hati serta objektif berasal akibat peninjauan serta didukung oleh lepas, berita, dan /atau dokumen lain yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran .20

Bila kepala daerah tidak melaksanakan Program Strategis Nasional pada ketika 14 dan 21 hari semenjak peringatan tertulis kedua, maka akan dikenakan pemberhentian ad interim selama tiga bulan.21 Pemberhentian sementara walikota dilakukan atas usul menteri oleh gubernur dan atau wakil gubernur dan bupati atau wakil bupati walikota serta/atau wakil walikota dan penyidikan yang objektif dan tunduk pada data, informasi, serta/atau teguran tertulis ke 2. Pada pembebasan ad interim pengurus daerah tidak mendapatkan hak protokoler, tetapi memiliki hak finansial berupa honor pokok, tunjangan anak serta tunjangan suami/istri.

Hukuman sementara adalah langkah maju sesudah ketua wilayah tidak mengabaikan dua sanksi peringatan tertulis yang dimuntahkan pemerintah pusat. Pengenaan recall sementara juga dilakukan sang presiden secara berjenjang dengan gubernur atas usul mendagri serta bupati/ walikota diberhentikan oleh mendagri. Selain itu, berlaku pemberhentian pada para kepala daerah khusus bila mereka tetap tidak melaksanakan program strategis nasional sesudah merampungkan Pemberhentian Tiga Bulan oleh Menteri dan Presiden atas usul Menteri diberhentikan oleh Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.

Tiga bulan sehabis penangguhan eksekusi berakhir, koordinator wilayah akan diberhentikan bila acara Strategis Nasional belum dilaksanakan. Norma pemutusan korelasi kerja sementara sama memakai adat pemutusan korelasi kerja (tetap).

20 Indonesia, Peraturan Pemerintah Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaran Pemerintahan Daerah, PP No. 12 Tahun 2017, Ps. 38 ayat (3). 21 Ibid., Ps. 38 ayat (8).

Presiden menjatuhkan hukuman atas pemberhentian sementara serta pemberhentian gubernur atas usul mendagri. Usulan pemberhentian mendagri harus ditindaklanjuti oleh presiden dalam waktu 30 hari sejak diterimanya usul tersebut. tidak selaras menggunakan gubernur, pemberhentian sementara dan (permanen) bupati/ walikota tidak memperlihatkan usul dan dikenai eksekusi yang didukung sang data, gosip, serta/atau dokumen lain, akan dikenakan. Pihak yang menyidik dugaan pelanggaran administratif terhadap ketua wilayah ialah Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).

Setelah APIP menyelesaikan pemeriksaan pendahuluan dalam waktu paling lama 45 hari kerja, proses administrasi dan verifikasi pengenaan sanksi administratif dilakukan oleh inspektur jenderal kementerian atas sanksi yang dijatuhkan oleh presiden atau menteri dalam negeri dan oleh pejabat gubernur sebagai wakil pemerintah pusat atas sanksi yang dijatuhkan oleh gubernur dalam pasal 38 bukan. dari 2017,22 dapat diketahui bahwa ciri-ciri tata cara pemberian sanksi dalam hal pemberhentian kepala daerah dilakukan melalui jalur non yudisial, ini sanksi yang paling berat bagi kepala daerah, namun proses pemeriksaan hingga verifikasi pengenaan sanksi administratif yang dilakukan hanya berdasarkan evaluasi internal oleh pemerintah, kemungkinan besar akan menimbulkan tudingan bahwa presiden akan bertindak sewenang-wenang, karena bukan hal yang mustahil jika alasan yang akan presiden katakana nanti adalah alasan politik dan bukan alasan yang berdasarkan hukum. Jika alasan politik digunakan, maka terjadilah resentralisasi dan hal ini akan berpotensi merusak pondasi negara.23

Sedangkan proses pemberhentian kepala daerah telah diperbaiki, sebagaimana diatur dalam undang-undang semakin diperumit dengan keterlibatan beberapa pihak, untuk menggarisbawahi fungsi kontrol dan keseimbangan antara berbagai elemen kekuasaan yang berkepentingan terhadap daerah. Kemajuan penting dan mengejutkan dalam sistem baru pemberhentian kepala daerah adalah keterlibatan lembaga peradilan. Anggota DPR telah memberikan kewenangan

22 Indonesia, Peraturan Pemerintah Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaran Pemerintahan Daerah, PP No. 12 Tahun 2017, LN No. 73 Tahun 2017, TLN No. 6041, Ps. 38 ayat (18). 23 Lentera Timur, “Siasat Resentralisasi Pemerintah Pusat,” http://archive.lenteratimur.com/2014/09/ siasat-resentralisasi-pemerintah-pusat/.

intervensi tersebut kepada Mahkamah Agung (MA) sebagai salah satu kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia.24

UU No. 23 Tahun 2014 mengatur dua model pencabutan undang-undang berdasarkan putusan pengadilan tetap dan putusan MA. Paling sedikit 5 tahun korupsi, terorisme, pengkhianatan terhadap negara, pelanggaran keamanan nasional dan/atau tindakan lain yang dapat menyebabkan persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan putusan pengadilan tetap. MA terlibat dalam putusan DPRD yang berpendapat bahwa pimpinan eksekutif telah melanggar sumpah/janji pada saat menjabat, tidak memenuhi kewajibannya untuk mematuhi semua ketentuan undang-undang, melanggar larangan dan melakukan perbuatan tercela.

IV. PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial, Presiden adalah pemegang kekuasaan terhadap pemerintahan negara sekaligus menjadi penanggung jawab urusan pemerintahan.

Mengenai urusan pemerintahan yang sebagian sudah diserahkan pada pemerintahan daerah yang juga merupakan urusan pemerintahan pusat. Sehingga presiden memiliki hak untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap urusan pemerintahan yang sebelumnya sudah diserahkan pada daerah. Adapun tujuan dari pengawasan yang dilakukan oleh presiden terhadap pemerintahan daerah adalah agar kepala daerah senantiasa mematuhi dan sadar akan kewajiban melaksanakan urusan pemerintahan. Program strategis nasional yang patut menjadi fokus penyelenggaraan oleh kepala daerah mencakup aspek pengembangan ekonomi daerah, program pembangunan nasional yang bersifat integratif baik di bidang sumber daya alam dan manusia di setiap daerah otonom di Indonesia. Program strategis nasional yang juga menjadi unsur terpenting dalam pembangunan nasional adalah pembangunan sarana dan prasarana yang wajib menyentuh hingga daerah terpencil, dengan

24 Arasy Pradana A Azis, “Kekosongan Hukum Acara Dan Krisis Access To Justice Dalam Kasus-Kasus Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Di Indonesia,” Jurnal Hukum & Pembangunan 49 (2019), hlm. 1–43.

memberikan tanggung jawab penuh terhadap kepala daerah melalui skema paksaan atas dasar kepentingan umum.

Pemerintah artinya kepala daerah yang melaksanakan tugas pemerintahan yang dilakukan melalui desentralisasi, sentralisasi dan koordinasi bertanggung jawab kepada pimpinan tertinggi yaitu presiden. Hal ini memberikan kekuasaan kepada presiden untuk mengarahkan dan mengawasi penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh para pemimpin daerah. Selain itu, pelaksanaan rencana strategi nasional menurut teori kesejahteraan sangatlah berguna untuk menjadi alat yang digunakan demi mencapai tujuan untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia dan seluruh negara Indonesia, dan memajukan kemakmuran bersama dan pencerahan nasional.

Sanksi administratif yang dapat diberikan berupa pemberhentian sementara, pemberhentian (tetap) bagi kepala daerah yang tidak melaksanakan Program Strategis Nasional perlu dilakukan secara konkret dan dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Instrumen yang dapat dijadikan sebagai dasar kewenangan presiden lainnya ialah melalui keputusan MA sebagai dasar presiden dan mendagri untuk menjatuhkan hukuman pemecatan kepada kepala daerah yang tidak menjalankan program strategis nasional.

2. Saran

Presiden dalam sistem presidensial selayaknya memiliki kekuasaan untuk mengontrol penuh dan eksklusif terhadap para badan dan pejabat-pejabat pemerintah yang memiliki dan menjalankan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif. Tanggung jawab dihubungkan dengan suatu keharusan yang harus diiringi dengan adanya sanksi atau hukuman, apabila ada suatu hal yang dianggap tidak sesuai atau tidak beres dalam suatu keadaan, maka wajib ditanggung oleh pihak yang bersangkutan. Bentuk pertanggung jawaban diartikan sebagai suatu proses yang menyangkut berbagai hal seperti tindakan, perbuatan maupun keputusan yang diambil oleh satu pihak yang memiliki hubungan dengan pihak lain yang terlibat sehingga dapat menerima hak dan wewenangnya serta sanksi yang akan menjadi konsekuensi di dalamnya.

Skema penegakan hukum melalui penegakan administratif perlu dilaksanakan secara konsisten dan konkrit. Perlunya dirumuskan terkait pengaturan tentang pelaksanaan program strategis nasional oleh kepala daerah berikut sanksi dan

proses pemberian sanksi terhadap kepala daerah wajib dituangkan ke dalam Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah sebagai bentuk legitimasi pemberian sanksi terhadap kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Hakim, Lukman. Filosofi Kewenangan Organ & Lembaga Daerah. Malang: Setara

Press, 2012. HR., Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Cet.9. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013.

Kaloh, J. Kepemimpinan Kepala Daerah: Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku

Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Kumorotomo, Wahyudi. Etika administrasi Negara. Cet.2. Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 1994. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta Timur: Prenada Media Group, 2019.

Ridwan. Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah. Cet. 1. Yogyakarta: FH UII

Press, 2014. Sabarno, Hari. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta:

Sinar Grafika, 2008. Spiro, Herbert J. Responsibility in Government Theory and Practice. New York:

Van Nostrand Reinhold Company, 1969. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.

JURNAL

Alrasyid, Harun. “Kajian Sistem Pemerintahan Dan Ruang Lingkupnya.” Majalah

Mahasiswa Universitas Pasundan (2002). Azis, Arasy Pradana A. “Kekosongan Hukum Acara Dan Krisis Access To Justice

Dalam Kasus-Kasus Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Di

Indonesia.” Jurnal Hukum & Pembangunan 49 (2019). Hlm. 1–43. Octovina, Ribkha Annisa. "Sistem Presidensial di Indonesia." CosmoGov: Jurnal

Ilmu Pemerintahan 4 (2018). Pardede, Marulak. “Legitimasi Pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah Dalam

Sistem Pemerintahan Otonomi Daerah.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 18

(2018). Hlm. 127–148.

This article is from: