25 minute read

KEADILAN BAGI MASYARAKAT ADAT

Next Article
PUTUSAN VERSTEK

PUTUSAN VERSTEK

BIODATA PENULIS

Adam Setiawan, S.H., M.H. lahir di Samarinda Kalimantan Timur, 31 Agustus 1992. Menyelesaikan pendidikan Strata 1 di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta kemudian menyelesaikan pendidikan Strata 2 di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia dengan Bidang Kajian Umum Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, dan saat ini sedang melanjutkan studi Strata 3 di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia. Pekerjaan saat ini sebagai Dosen di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Aktif menulis baik dalam bentuk jurnal Aktif menulis baik dalam bentuk jurnal maupun buku antara lain: (1) Buku Sosiologi Hukum Kontemporer Analisis Kritis Terhadap Penegakan Hukum (2018); (2) Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Purwokerto “Partisipasi Civil Society dalam Pembentukan UndangUndang” (2018); (3) Jurnal Hukum dan Pembangunan Universitas Indonesia “Eksistensi Lembaga Pengawasan Pengelolaan Keuangan Negara” (2019); (4) Justitia Jurnal

Advertisement

Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya “Kedudukan KPK dalam Sistem Ketatanegaraan Pascaditerbitkannya Revisi Undang- Undang KPK” (2020); (5) Jurnal Mimbar

Hukum Universitas Gadjah Mada “Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab Pribadi dalam Penggunaan Diskresi” tahun 2020 JurnalVeritas et Justitia “Pelaksanaan

Fungsi Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia Terhadap Kepala Daerah” (2020); (6) Buku “Politik Hukum Indonesia: Teori dan Praktik” (2020); (7) Jurnal Supremasi

Hukum: Kajian Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga “Analisis Yuridis terhadap Penataan Struktur Organisasi Kementerian dalam Rangka PeningkatanReformasi Birokrasi” (2021); (8) Buku Hukum Tata Negara Indonesia: Teori, Historis dan Dinamika I (2022); Jurnal Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan Universitas IslaM Negeri Alauddin Makassar “Transformation of Prophetic Law in Pancasila

Values Viewed from the Wadas Village Conflict”.

Nehru Asyikin, S.H.,M.H. lahir di Pandan Agung Kabupaten OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan, lulus pendidikan Strata 1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (2010-2016), dan lulus pendidikan Strata 2 Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia dengan Bidang Kajian Umum Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (2017-2019). Berprofesi sebagai Advokat / Pengacara, mulai berkarir menjadi Advokat Magang di Lembaga Bantuan Hukum Aksa Bumi (2017-2019), Direktur Lembaga Bantuan Hukum Aksa Bumi (2019-2020), Pembela Umum Lembaga Bantuan Hukum Aksa Bumi (2020- sekarang), Peneliti di Pusat Penelitian Hak Asasi Manusia dan Pelayanan Publik Yayasan Aksa Bumi Yogyakarta (2018-2020).

RESTRUKTURISASI PERTANAHAN DI INDONESIA DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN BAGI MASYARAKAT ADAT

Faiqah Nur Azizah Peneliti pada Lembaga Hukum dan Kebijakan Publik Juris Polis Institute faiqahnurazizah@gmail.com Athari Farhani

Peneliti pada Lembaga Hukum dan Kebijakan Publik Juris Polis Institute tarilaw835@gmail.com Nur Kholifah

Peneliti pada Lembaga Hukum dan Kebijakan Publik Juris Polis Institute nkholifah849@gmail.com

Abstrak

Bagi masyarakat hukum adat, tanah ulayat merupakan suatu kesatuan yang tak dapat terpisahkan yang memiliki sifat religio-magis. Keberadaannya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun, seiring berjalannya waktu keberadaan masyarakat hukum adat dan tanah ulayat tergerus oleh perkembangan globalisasi akibat pertambahan penduduk dan pembangunan infrastruktur yang masif. Dengan demikian perlu suatu upaya pembaharuan hukum agraria yang dimaknai sebagai penataan atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan (P4T) atau dimaknai sebagai sumber-sumber agraria menuju struktur P4T yang berkeadilan dengan langsung mengatasi pokok persoalannya melalui reforma agraria. Dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan upaya harmonisasi aturan yang ada berkaitan dengan pertanahan, hukum adat dan masyarakat hukum adat.

Kata Kunci: Reforma Agraria; Tanah Ulayat; Masyarakat Hukum Adat.

Abstract

For customary law communities, ulayat land is an inseparable unit that has a religious-magical character. Its existence has existed long before Indonesia's independence. However, over time the existence of customary law communities and ulayat lands has been eroded by the development of globalization due to population growth and massive infrastructure development. Thus, there is a need for an effort to reform agrarian law which is interpreted as an arrangement for control, ownership, use and utilization (P4T) or interpreted as agrarian resources towards a just P4T structure by directly addressing the main issue through agrarian reform. In this case, the government needs to make efforts to harmonize existing regulations relating to land, customary law and customary law communities.

Keywords: Agrarian Reform; Customary Land; Customary Law Communities

I. PENDAHULUAN

Dewasa ini, kondisi pertanahan di Indonesia masih mengalami banyak permasalahan seperti permasalahan tumpang tindih kepemilikan tanah, tanah terlantar, kebijakan pengelolaan pemanfaatan lahan, baik yang berkaitan dengan kebijakan pengadaan atas tanah, status tanah dan kepemilikan, hak-hak atas tanah, maupun metode untuk memperoleh hak-hak atas tanah. Belum lagi permasalahan sumber daya, sarana, dan prasarana, pengakuan tanah adat/ulayat yang masih terdapat kekaburan norma, terkait pendaftaran hak komunal atas tanah karena tidak jelasnya pengaturan terkait letak, batas dan batas tanah sebagaimana data fisik, dan tidak jelas status tanahnya serta kepemilikan bersama seluruh masyarakat hukum adat sebagai bukti yuridis dalam sertipikat hak atas tanah. Hal ini menunjukkan adanya tumpang tindih regulasi antara pengaturan yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional No. 10 Tahun 2016 khususnya yang berkaitan dengan data fisik dalam Pasal 1 angka 15 dan data yuridis dalam Pasal 1 angka 11, dengan yang ada dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang tidak mengakomodir hak komunal atas tanah.186 Belum lagi persoalan ganti rugi tanah. Seringkali ganti rugi tanah yang diberikan oleh pemerintah hanya berdasarkan ganti rugi secara fisik saja tanpa memperhatikan ganti kerugian non fisik secara bertanggung jawab terhadap tanah warga yang terkena dampak pembangunan untuk kepentingan umum,187 dan lain sebagainya Selain itu, hal yang paling mendasar dalam masalah pertanahan di Indonesia, khususnya terkait dengan masyarakat hukum adat adalah lemahnya pengakuan dan perlindungan hukum terhadap keberadaan masyarakat hukum adat itu sendiri. Konflik dalam penggunaan tanah dalam berbagai sektor pembangunan dikarenakan bertambahnya jumlahpenduduk, kelangkaan tanah dan kemunduran kualitas tanah, yang pada akhirnya menyebabkankemiskinan, sempitnya lapangan kerja, dan akses yang tidak seimbang dalam perolehan pemanfaatan tanah sehingga semakin

186 Wimba Roofi Hutama, “Eksistensi Hak Ulayat Pasca Berlakunya Peraturan Menteri Agraria Nomor 18 Tahun 2019”, Notaire ed. (2021), hlm. 492. 187 Iga Gangga Santi Dewi, “Konflik Tentang Ganti Rugi Non Fisik Pada Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum”, Jurnal Masalah-masalah Hukum ed. (2017), hlm. 283.

terdesaknya hak-hak masyarakat hukum adat.188 Tujuan dalam hukum agraria nasional diwujudkan melalui reforma agraria sebagaimana tertuang di dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Tujuan tersebut juga tertuang dalam ketentuan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan ditindaklanjutidengan terbitnya Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria.189

Menurut hukum adat, hubungan antara masyarakat hukum adat dengan lingkungannya, khususnya dengan tanah adat yang diduduki dan didiami memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain bahkan dianggap sebagai satu kesatuan yang bersifat relegio-magis.190 UUPA menjelaskan bahwa kepemilikan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayat sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Untuk itu, negara harus hadir dalam rangka memberikan perlindungan dan pengakuan kepada masyarakat hukum adat dengan adanya institusi dan lembaga masyarakat yang menaungi kepentingan mereka dalam mengelola dan mengusahakan tanah yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat.191 Lebih lanjut, UUD NRI Tahun 1945 telah mengakomodir kepentingan masyarakat hukum adat tersebut, yakni tertuang dalam pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

188 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahaan Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 45. 189 Dessy Ghea Herrayani, et.al., “Eksistensi Hak Komunal Masyarakat Hukum Adat dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria,” Jurnal Kertha Patrika ed. (2019), hlm. 284. 190 Roberth Souhaly, Hukum dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, (Unesa UniversityPress: Surabaya, 2006), hlm. 50. 191 Dessy Ghea Herrayani, et.al., “Eksistensi Hak Komunal Masyarakat Hukum Adat dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria,” Jurnal Kertha Patrika ed. (2019), hlm. 285.

undang-undang.”

Pada prosesnya, pasca kemerdekaan sampai saat ini, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia mengalami 4 (empat) fase:192 Pertama, setelah kemerdekaan Indonesia, para The Founding Father telah merumuskan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dalam UUD NRI Tahun 1945, yang mana dikatakan bahwa di Indonesia terdapat 250 daerah-daerah dengan susunan pasti (zelfbesturende, volksgemeenschappen), seperti marga, desa, dusun, dan nagari. Pengaturan terhadap masyarakat hukum adat merupakan salah satu bentuk pengakuandanperlindungandariUUD NRI Tahun1945 yang tidak terdapat dalam kontitusi-konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, seperti UndangUndang Dasar Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Kedua, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat telah diakomodir dalam peraturan perundang-undangan sejak tahun 1960 yang ditandai dengan lahirnya UUPA. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak ulayat dilakukan sepanjang masih eksis dan sesuai dengan kepentingan nasional serta harus selaras dengan aturan perundang-undangan di atasnya. Ketiga, pada masa awal orde baru, pemerintah mengesahkan beberapa undang-undang yang di dalamnya juga mengatur masyarakat hukum adat beserta hak-haknya, diataranya adalah: Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) dan Undang-undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan (UU Pertambangan). Kedua undang-undang ini mengatur mengenai pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sepanjang masih ada keberadaannya.193 Pada perkembangannya, pengaturan pengakuan masyarakat hukum adat dalam setiap peraturan perundang-undangan yang diundangkan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1) dalam kenyataan masih ada; 2) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional; 3) tidak bertentangan dengan aturan

192 Hayatul Ismi, “Pengakuan Dan Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Adat Atas Tanah Ulayat Dalam Upaya Pembaharuan Hukum Nasional,” Jurnal Ilmu Hukum ed. (2012), hlm. 16-17. 193 Hayatul Ismi, “Pengakuan Dan Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Adat Atas Tanah Ulayat Dalam Upaya Pembaharuan Hukum Nasional,” Jurnal Ilmu Hukum ed. (2012), hlm. 1617. Lihat Pasal 17 UU Kehutanan dan Pasal 11 UU Pertambangan, beserta penjelasannya.

yang lebih tinggi; dan 4) ditetapkan dengan peraturan daerah. Konsep ini dikenal dengan konsep pengakuan berlapis. Dengan demikian, eksistensi dari masyarakat hukum adat harus memenuhi syarat sosiologis, politis, normatif, dan prosedural (ditetapkan melalui Peraturan Daerah). Di masa ini, eksistensi dari masyarakat hukum adat oleh undang-undang diberikan batasan-batasan. Keempat, pasca reformasi, yang menghasilkan beberapa pengaturan atas pengakuanterhadap masyarakat hukumadat. Berdasarkanketentuanpasal18B ayat (2) UUD 1945 Amandemen Kedua, pasal 41 Tap. MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia II. Piagam HAM, pasal 6 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan ketentuan Undang-Undang lain yang terkait. Di masa ini, eksistensi masyarakat hukum adat juga sama sepertipada masa orde baru, yakni memiliki batasan-batasan yang berlapis.

Dengan demikian, sampai saat ini peraturan perundangan-undangan yang ada hanya sebatas pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat yang masih memiliki batasan-batasan. Hal ini menyebabkan posisi negara dalam melindungi masyarakat hukum adat menjadi tidak jelas dan aturan-aturan yang ada kerap kali menimbulkan penafsiran yang multitafsir sehingga tidak dapat mengakomodir tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat, bahkan sering meniadakan dan merugikan masyarakat hukum adat itu sendiri. Olehkarena itu, perlunya suatu upaya pengaturan restrukturisasipertanahan demi terwujudnya nilai-nilai keadilan bagi masyarakat hukum adat di Indonesia yang eksistensinya belum terlalu optimal diakui dan dilindungi oleh negara berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 dan berdasarkan tujuan darireforma agraria. Dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas lebih jauh mengenai bagaimana reforma agraria mengatur restrukturisasi tanah dan bagaimana reforma agraria mewujudkan keadilan bagi masyarakat adat.

II. PEMBAHASAN

REFORMA AGRARIA DALAM MENGATUR RESTRUKTURISASI

PERTANAHAN

Secara etimologis, kata agraria berasal dari kata bahasa Latin ager yang artinya sebidang tanah (sacre). Kata bahasa Latin aggrarius meliputi arti yang ada

hubungannya dengan tanah, pembagian atas tanah terutama tanah umum, bersifat perdesaan. Kata reform merujuk pada perombakan, mengubah dan menyusun/membentuk kembali sesuatu menuju perbaikan. Dengan demikian reforma agraria dapat diartikan secara sederhana sebagai penataan kembali struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, buruh tani.194 Sementara pengertian reforma agraria yang lebih lengkap adalah suatu upaya sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatifcepat, dalam jangka waktu tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat ‘baru’ yang demokratis dan

berkeadilan; yang dimulai dengan langkah menata ulang penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul dengan sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan produktivitas petani khususnya dan perekonomian rakyat pada umumnya.195 Sebagaimana dinyatakan oleh Christodoulou yang dikutip oleh Gunawan Wiradi, “Agrarian Reform is the offspring of Agrarian Conflict.”196 Pernyataan tersebut memberi arti bahwa reforma agraria adalah anak kandung konflik agraria. Artinya, lahirnya gagasan tentang perombakan struktur pemilikan/penguasaan tanah (yang juga dikenal dengan istilah “landreform,” berkembang menjadi “agrarian reform,” dan dalam bahasa Indonesia disebut “reforma agraria”) merupakan respon terhadap situasi konflik dalam masalah pertanahan. Karena itu, untuk memahami seluk beluk reforma agraria, perlu juga dipahami dulu masalah konflik agraria. Sebagaisuatu gejala sosial, konflik agraria adalah suatu situasiproses, yaitu

194 Oswar Mungkasa, “Reforma Agraria: Sejarah, Konsep dan Implementasinya, Buletin Agraria Indonesia” ed. (2014), hlm. 1. 195 Bonnie Setiawan, “Konsep Pembaruan Agraria: Sebuah Tinjauan Umum”, dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Dianto Bachriadi, Erpan Faryadi, dan Bonnie Setiawan (ed.), (Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Univ. Indonesia, 1997), hlm. 3-38. 196 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 42.

proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas objek yang sama, yaitu tanah dan bendabenda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air, tanaman, tambang, dan juga udara yang berada diatastanah yang bersangkutan. Pada tahapansaling “berlomba” untuk mendahului mencapai objek itu, sifatnya masih dalam batas “persaingan.” Akan tetapi, pada saat mereka saling berhadapan untuk memblokir jalan lawan, terjadilah “situasi konflik.” Jadi, “konflik adalah bentuk ekstrim dan keras dari

persaingan.”

Kunciutamauntuk memahami konflik agraria adalahkesadaran kita sendiri, yaitu sejauh mana kita menyadari bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang sangat vital, yang melandasi hampir semua aspek kehidupan. Bukan saja sekedar sebagai aset, tetapi juga merupakan basis bagi teraihnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik. Ketimpangan dalam hal akses terhadap tanah akan sangat menentukan corak masyarakat dan mencerminkan dinamika tertentu hubungan antar lapisan masyarakat tersebut.197 Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia karena tanah adalah sumber dari kehidupan, kekuasaan, dan kesejahteraan. Eksistensi tanah memiliki artidalamkehidupan manusia sekaligus memiliki fungsiganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Dalam perannya sebagai social asset, tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk kehidupan dan penghidupan. Sedangkan, perannya sebagai capital asset, tanah sebagai faktor modaldalam pembangunan. Pengaturan soal pertanahan atau agraria, telah disadari oleh negara-negara di dunia sejak berabad-abad lamanya. Pembaharuan pertanahan/agraria dilakukan untuk memenuhi asas keadilan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana sifatnya yang multidimensional tersebut dan sarat dengan persoalan keadilan, persoalan-persoalan pertanahan seakan tidak pernah surut.198

Berbagai macam konflik yang ada dalam bidang pertanahan di Indonesia

197 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 43. 198 Suwardi dan Arief Dwi Atmoko, “Pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis,” ed. (2019), hlm. 230.

disebabkan oleh beberapa hal seperti keterbatasan ketersediaan tanah pada suatu wilayah yang berkonflik, tumpang tindih antara hak milik dan hak pengelolaan atas tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, praktek manipulasi tanah dalamperolehan hak, adanya dualisme kewenanganantara pusat dandaerah tentang urusan pertanahan. Konflik tersebut kerap kali merugikan masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh politik hukum agraria itu sendiri. Sebagai landasan konstitusional bagi pembentukan politik hukum di bidang agraria telah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 33 ayat (3) yang berisi perintah kepada negara bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Harapan mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya untuk kesejahteraan tidak terlalu berdampak signifikan terutama setelah dikeluarkannya kebijakan berkaitan dengan pendistribusian tanah. Hal ini memunculkan fenomena penjualan tanah dan berbagai persoalan yang semakin kompleks seiring digiatkannya pembangunan-pembangunan untuk sarana dan kepentingan umum, sedangkan kebutuhan akan ketersediaan tanah berbanding lurus dengan meningkatnya pembangunan. Dengan demikian perlu suatu upaya pembaharuan hukum agraria yang dimaknai sebagai penataan atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) atau dimaknai sebagai sumber- sumber agraria menuju struktur P4T yang berkeadilan dengan langsung mengatasi pokok persoalannya. Apabila makna ini didekomposisi, terdapat lima komponen mendasar di dalamnya, yaitu: (a) restrukturisasi penguasaan aset tanah ke arah penciptaan struktur sosial-ekonomi dan politik yang berkeadilan (equity) (b) sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasis keagrariaan (welfare); (c) penggunaan/pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainnya secara optimal (efficiency); (d) keberlanjutan (sustainability), dan (e) penyelesaian sengketa tanah (harmony).199

Upaya pembaharuan pertanahan atau pembaharuan hukum agraria lebih dikenal sebagai konsep reforma agraria, yakni mengarah pada peningkatan

199 Diyan Isnaeni, “Kebijakan Landreform Sebagai Penerapan Politik Pembaharuan Hukum Agraria yang Berparadigma Pancasila,” JU-Ke: Jurnal Ketahanan Pangan ed. (2017), hlm.84-85.

kesejahteraan masyarakat dan untuk mengatasi berbagai persoalan tanah serta masalah pengelolaan sumber daya alam.

Reforma agraria di dunia pertama kali dikenali pada jaman Yunani Kuno di masa pemerintahan Solon (sekitar 549 SM) yang ditandai dengan diterbitkannya undang-undang agraria (Seisachtheia). Undang-undang ini diterbitkan untuk membebaskan Hektemor (petani miskin yang menjadi penyakap/penggarap tanah gadaian atau bekas tanahnya sendiri yang telah digadaikan pada orang kaya) dari kondisi pemerasan oleh pemegang gadai. Usaha ini dilanjutkan oleh Pisistratus melalui program redistribusi disertai fasilitas kredit.

Pada belahan dunia lain, di Roma pada zaman Romawi Kuno, telah dimulai reforma agraria dalam bentuk redistribusi tanah milik umum untuk mencegah pemberontakan rakyat kecil. UU Agraria (Iex Agrarian) berhasil diterbitkan pada 134 SM yang intinya membatasi penguasaan tanah dan redistribusi tanah milik umum. Sementara di Inggris, reforma agraria dikenal sebagai enclosure movement, yaitu pengaplingan tanah pertanian dan padang penggembalaan yang tadinya disewakan untuk umum menjadi tanah individu.200

Konsep reforma agraria merupakan restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria (khususnya tanah).Tujuannyaadalah mengubahsusunanmasyarakat warisan stelsel feodalisme dan kolonialisme menjadi masyarakat yang adil dan merata.201 MenurutBernhard Limbong, reforma agraria (Land Reform) menjadi dasar yang kokoh bagistabilitas ekonomi dan sosial. Tidak hanya itu, juga dapat menjadi dasar bagi pengembangan kehidupan masyarakat yang demokratis. Program ini akan menjadipeluang besar terjadinya pembentukan modal di perdesaan sebagai dasar dari prosespembentukan industrialisasi yang kokoh.202

Landasan utama reforma agraria (landreform) tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

200 Oswar Mungkasa, “Reforma Agraria: Sejarah, Konsep dan Implementasinya, Buletin Agraria Indonesia” ed. (2014), hlm. 4. 201 Muhammad Ilham Arisaputra, “Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan” Rechtldee Jurnal Hukum ed. (2015), hlm. 42. 202 Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan, (Jakarta: Margaretha Pustaka, 2012), hlm.171.

dalamnya dikuasaioleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sehingga secara historis dapat dikatakan bahwa upaya pengaturan pertanahan, termasuk landreform, di Indonesia telah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan. Hal ini kemudian ditindaklanjuti melalui UUPA, yang penyelenggaraannya diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria Pasal 3.203

REFORMA AGRARIA DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN BAGI

MASYARAKAT HUKUM ADAT

Tanah merupakan kebutuhan, hal itu mendorong setiap manusia berusaha untuk memilikinya. Kebutuhan terhadap tanah bersifat pokok. Hal itu pula yang menurut Rosnidar Sembiring menjadikan tanah memiliki kedudukan tinggi dalam kehidupan manusia, yakni sebagai tempat lahir, tumbuh besar, tinggal, sumber nafkah dan menjadi tempat ketika meninggal dunia. Dengan berkembangnya jumlah penduduk di Indonesia, maka kebutuhan tanah semakin meningkat dan lahan yang dikuasai semakin luas. Dalam perkembangannya dengan kondisi yang demikian, kebutuhan tanah semakin meningkat, lahan tanah semakin terbatas, semakin kuatnya hak perorangan dalam penguasaan tanah, sehingga akan semakin menipisnya hak-hak komunal dalam penguasaan dan pemilikan tanah.204

Sementara itu, konflik agraria yang merebak selama ini adalah tanda lain dari perlu dilaksanakannya reforma agraria karena konflik agraria itu sendiri merefleksikan pudarnya keadilan agraria di dalam suatu masyarakat (negara). Reforma agraria dimaksudkan untuk menjawab ketimpangan dan konflik yang timbul. Konflik agraria selain merupakan akibat tidak dilaksanakannya reforma agraria, juga dapat terjadi dalam proses reforma agraria apabila persiapannya tidak matang. Karena itu, untuk mencegah terjadinya konflik yang biasanya menyertai pelaksanaan reforma agraria, maka reforma agraria perlu dipersiapkan dengan matangdengan memenuhiberbagaiprasyarat yangdiperlukan. Perannegara(dalam

203 Oswar Mungkasa, “Reforma Agraria: Sejarah, Konsep dan Implementasinya, Buletin Agraria Indonesia” ed. (2014), hlm. 6. 204 Rosnidar Sembiring, Hukum Pertanahan Adat, (Depok: Rajagrafindo Persada, 2017),

hlm.3.

hal ini: pemerintah) sangat penting, bahkan tidak tergantikan dalam pelaksanaan reforma agraria, termasuk menyediakan prasyarat-prasyaratnya. Prasyarat pelaksanaan reforma agraria yang dimaksud meliputi: (1) kemauan politik, (2) data keagrariaan yang lengkap dan akurat, (3) adanya organisasi tani yang kuat, (4) elit politik dan elit bisnis yang harus terpisah, dan (5) dukungan dari angkatan bersenjata.

Reforma agraria di Indonesia sebenarnya telah dimulai saat UUPA itu lahir. Pada saat itu fokus pemerintah terhadap pertanahan di Indonesia yakni melakukan penataan dan redistribusi tanah pertanian, atau yang dikenal sebagai Land Reform yang merupakan inti dari Agraria Reform. 205 Eksistensi UUPA ini juga merupakan salah satu wujud yuridis formal untuk mengimplementasikan amanat UUD NRI Tahun 1945 Pasal33 ayat (3) yakni “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” yang selanjutnya disusun melalui 8 (delapan) prinsip sebagaimana termaktub dalam UUPA, sebagai berikut: Pertama, Asas Kenasionalan (Pasal1 jo. Pasal9 UUPA); Kedua, Asas Hak MenguasaiNegara dan Penghapusan Pernyataan Domain (Pasal 2 UUPA); Ketiga, Asas Pengakuan Terhadap Hak Ulayat (Pasal 3 UUPA) dan Dasar Pengakuan Hukum Adat Sebagai Dasar HukumAgraria Nasional(Pasal 5 UUPA); Keempat, Asas FungsiSosial Hak Atas Tanah (Pasal 6 UUPA); Kelima, Asas bahwa Waarga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik (Pasal 9 jo. Pasal 21 ayat (1) UUPA); Keenam, Asas Persamaan Derajat Laki-laki dan Perempuan (Pasal 9 ayat (2) UUPA); Ketujuh, Asas Agrarian Reform dan Land Reform (Pasal 7 jo. Pasal 10 jo. Pasal 17 UUPA); dan Kedelapan, Asas Perencanaan Atas Tanah (Pasal 14 UUPA).206

Secara khusus keberadaan dari UUPA terdapat sikap ambivalen pemerintah terhadap hukum adat dan masyarakat hukum adat. Pada satu sisi, undang-undang ini secarategas menyatakan bahwa hukumadat merupakan sumber Hukum Agraria

205 Muhammad Ilham Arisaputra, “Access Reform Dalam Kerangka Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Keadilan Sosial,” Jurnal Perspektif ed. (2016), hlm. 84. 206 Muhammad Ilham Arisaputra, “Access Reform Dalam Kerangka Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat”, (Disertasi Program Doktor Universitas Airlangga, Surabaya, 2015), hlm. 1-2.

Nasional. Namun di sisi lain, eksistensi dari masyarakat hukum adat dan hakhaknya dibebani oleh beberapa kondisionalitas secara cepat atau lambat dapat membuka peluang termarginalisasikannya eksistensi dari masyarakat hukum adat tersebut.207 Beberapa kelemahan yang ada menurut Maruarar Sihaan dikarenakan keraguan dan belumrampungnya penelitian yang dilakukan oleh legislatorterhadap proses pembentukan UUPA pada kondisi geografis masyarakat hukum adat yang terdapat di luar pulau Jawa, akibatnya bentuk hak ulayat tidak masuk dalam kelompok hak atas tanah, dan ketentuan konversi tidak mengatur hak-hak adat atas tanah berdasarkan hak ulayat.208 Sehingga instrumen hukum yang terdapat dalam UUPA belum sepenuhnya dapat mengakomodir kepentingan hukum adat dan masyarakat hukum adat. UUPA dianggap belum tuntas menyelesaikan permasalahan yang diwariskan oleh penjajahan Belanda yakni eksploitasi dan feodalisasi terhadap masyarakat hukum adat.

Adapun dalam aturan lain seperti dalam pasal 4 huruf j Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. IX/MPR/2001 menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat harus diakui oleh Reforma Agraria, sedangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 masyarakat hukum adat tidak disebutkan sebagai subjek dari Reforma Agraria. Hal ini akan memicu konflik agraria di kemudian hari karena seolah-olah aturan yang ada menegasikan eksistensi dari masyarakat hukum adat yang ada. Pembagian sertifikat tanah tentu belum dapat dikatakan efektif dalam memberikan rasa keadilan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, tapi juga harus diimbangi dengan pembagian redistribusi dan penyediaan akses bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang menjadi subjek reforma agraria. Dapat berupa penyediaan sarana prasarana seperti infrastruktur, pendampingan, pasar, permodalan, teknologi dan lain-lain. Dengan demikian, masyarakat dapat meningkatkan kapasitasnya. Sehingga manfaat dari program pemerintah berupa reforma agraria yang terdiri dari penataan aset dan

207 Darwin Ginting, “Politik Hukum Agraria Terhadap Hak Ulayat Mayarakat Hukum Adat,” Jurnal Hukum dan Pembangunan ed. (2012), hlm. 30-31. 208 Maruar Sihaan, “Pengakuan Dan Perlindungan Hak Ulayat: Aspek Penting Pembangunan Indonesia Menuju Sebesar-Besar Kemakmuran Rakyat,” Jurnal Ketatanegaraan ed. (2018), hlm.75.

pemberian akses dapat dirasakan oleh masyarakat,209 khususnya oleh masyarakat hukum adat.

Selain itu, dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat hukum adat melalui program reforma agraria, pemerintah perlu melakukan upaya harmonisasi aturan yang ada berkaitan dengan pertanahan, hukum adat dan masyarakat hukum adat, seperti UUPA, UU Perhutanan, UU Pertambangan, dsb. Sehingga eksistensi masyarakat hukum adat yang telah ada sejak sebelum kemerdekaan ini tidak tergerusolehketidakpastianhukum yang saling tumpang tindih satu sama lain, serta oleh batasan-batasan aturan perundang-undangan yang sarat akan kepentingan politik. Sudah saatnya pemerintah melakukan restrukturisasi dengan melihat tujuan awal reforma agraria yakni memberikan kesejahteraan pada masyarakat.

Reforma Agraria adalah basis pembangunan progresif berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat pemerasan. Pembangunan yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat adalah untuk merombak struktur pertanahan guna merealisasikan keadilan sosial. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial, maka reforma agraria menjadi pijakan kebijakan pemerintah yang penting dalam memberikan kepastian hukum terhadap kepemilikan tanah. Dengan demikian, reforma agraria mencangkup semua sumber-sumber agraria, seperti perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan lain-lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 UUPA. Termasuk hak-hak komunal dari masyarakat hukum adat. Sehingga jika diberikan kepastian hukum kepada masyarakat hukum adat, seperti didaftarkannya hak komunal pada instansi atau kantor pendaftaran tanah maka masyarakat hukum adat dapat meningkatkan produktivitas dari hasil pertanahan.210

III. PENUTUP

Tanah memiliki kedudukan tinggi dalam kehidupan manusia, yakni sebagai tempat lahir, tumbuh besar, tinggal, sumber nafkah, dan menjadi tempat ketika

209 Dessy Ghea Herrayani, et.al., “Eksistensi Hak Komunal Masyarakat Hukum Adat dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria,” Jurnal Kertha Patrika ed. (2019), hlm. 287. 210 Dessy Ghea Herrayani, et.al., “Eksistensi Hak Komunal Masyarakat Hukum Adat dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria,” Jurnal Kertha Patrika ed. (2019), hlm. 295.

meninggal dunia. Dengan berkembangnya jumlah penduduk di Indonesia, maka kebutuhan tanah semakin meningkat dan lahan yang dikuasai semakin luas. Sementara itu, konflik agraria yang merebak selama ini adalah tanda lain dariperlu dilaksanakannya reforma agraria karena konflik agraria itu sendiri merefleksikan pudarnya keadilan agraria di dalam suatu masyarakat (negara). Reforma agraria dimaksudkan untuk menjawab ketimpangan dan konflik yang timbul. Reforma agraria di Indonesia sebenarnya telah dimulai saat UUPA itu lahir. Pada saat itu fokus pemerintah terhadap pertanahan di Indonesia, yakni melakukan penataan dan redistribusi tanah pertanian atau yang dikenal sebagai Land Reform yang merupakan inti dari Agraria Reform. Beberapa kelemahan terhadap proses pembentukan UUPA pada kondisi geografis masyarakat hukum adat yang terdapat di luar pulau Jawa, akibatnya bentuk hak ulayat tidak masuk dalam kelompok hak atas tanah, dan ketentuan konversi tidak mengatur hak-hak adat atas tanah berdasarkan hak ulayat. Sehingga, instrumen hukum yang terdapat dalam UUPA belum sepenuhnya dapat mengakomodir kepentingan hukum adat dan masyarakat hukum adat. Hal ini akan memicu konflik agraria di kemudian hari karena seolaholah aturan yang ada menegasikan eksistensi darimasyarakat hukumadat yang ada. Sehingga, manfaat dari program pemerintah berupa reforma agraria yang terdiri dari penataan aset dan pemberian akses dapat dirasakan oleh masyarakat, khususnya oleh masyarakat hukum adat. Selain itu, dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat hukumadat melalui program reforma agraria, pemerintah perlu melakukan upaya harmonisasi aturan yang ada berkaitan dengan pertanahan, hukum adat dan masyarakat hukum adat, seperti UUPA, UU Perhutanan, UU Pertambangan, dsb. Sehingga, eksistensi masyarakat hukum adat yang telah ada sejak sebelum kemerdekaan ini tidak tergerus oleh ketidakpastian hukum yang saling tumpang tindih satu sama lain, serta oleh batasan-batasan aturan perundangundangan yang sarat akan kepentingan politik. Reforma Agraria adalah basis pembangunan progresif berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat pemerasan. Pembangunan yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat adalah untuk merombak struktur pertanahan guna merealisasikan keadilan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Limbong, Bernhard. Konflik Pertanahan. Jakarta: Margaretha Pustaka.2012.

Sembiring, Rosnidar. Hukum Pertanahan Adat. Depok: Rajagrafindo Persada. 2017.

Setiawan, Bonnie. “Konsep Pembaruan Agraria: Sebuah Tinjauan Umum”, dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda

Pembaruan Agraria di Indonesia. Dianto Bachriadi, Erpan Faryadi, dan

Bonnie Setiawan (ed.). (Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Univ.

Indonesia, 1997)

Souhaly,Roberth. Hukum dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. UnesaUniversity Press: Surabaya. 2006. Sumardjono, Maria S.W. Kebijakan Pertanahaan Antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Kompas. 2001. Wiradi, Gunawan. Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar. 2009.

JURNAL DAN MAJALAH

Arisaputra, Muhammad Ilham. Access Reform Dalam Kerangka Reforma

Agraria Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Disertasi Program

Doktor Universitas Airlangga. Surabaya. 2015.

Arisaputra, Muhammad Ilham. Access Reform Dalam Kerangka Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Keadilan Sosial. Jurnal Perspektif ed. 2016. Arisaputra, Muhammad Ilham. Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan. Rechtldee Jurnal Hukum ed. 2015. Dewi, Iga Gangga Santi. Konflik Tentang Ganti Rugi Non Fisik Pada Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Jurnal Masalah-masalah Hukum ed. 2017.

Ginting, Darwin. Politik Hukum Agraria Terhadap Hak Ulayat Masyarakat

Hukum Adat. Jurnal Hukum dan Pembangunan ed. 2012.

Herrayani, Dessy Ghea, et.al. Eksistensi Hak Komunal Masyarakat HukumAdat dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria. Jurnal Kertha Patrika ed. 2019.

Hutama, Wimba Roofi. Eksistensi Hak Ulayat Pasca Berlakunya Peraturan

Menteri Agraria Nomor 18 Tahun 2019. Notaire ed. 2021.

Ismi, Hayatul. Pengakuan Dan Perlindungan Hukum Hak Masyarakat AdatAtas

Tanah Ulayat Dalam Upaya Pembaharuan Hukum Nasional. Jurnal Ilmu

Hukum ed. 2012.

Isnaeni, Diyan. Kebijakan Landreform Sebagai Penerapan Politik Pembaharuan

Hukum Agraria yang Berparadigma Pancasila. JU-Ke: Jurnal Ketahanan

Pangan ed. 2017. Mungkasa, Oswar. “Reforma Agraria: Sejarah, Konsep danImplementasinya,

Buletin Agraria Indonesia” ed. 2014. Sihaan, Maruar. Pengakuan Dan Perlindungan Hak Ulayat: Aspek Penting

Pembangunan Indonesia Menuju Sebesar-Besar Kemakmuran Rakyat.

Jurnal Ketatanegaraan ed. 2018. Suwardi dan Arief Dwi Atmoko. Pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia.

Jurnal Hukum Bisnis ed. 2019.

BIODATA PENULIS

Faiqah Nur Azizah lahir di TG. Balai Karimun, 24 September 1997. Faiqah menyelesaikan pendidikan Strata 1 di Fakultas Syariah Hukum UIN Syarif Hidayatullah dan Strata 2 di program Magister Hukum Pemerintahan Universitas Airlangga. Saat ini, Faiqah aktif menjadi Konsultan Hukum Kebijakan Publik. Ia juga aktif menulis jurnal, seperti Jurnal JuristDiction “Dilematika Antara Hak

Pendidikan dan Hak Kesehatan Dalam Proses

Pembelajaran di Masa Pandemi” (2022); Buletin Hukum ‘ADALAH “Konsep Penyalahgunaan Wewenang Dalam Penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Sebagai Tindak Pidana Korupsi” (2022); Buletin Hukum ‘ADALAH

“Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan

Sumber Daya Alam Laut Di Wilayah Pesisir”

(2022); Buletin Hukum ‘ADALAH “Perbandingan

Sistem Perubahan Konstitusi di Negara Amerika, Perancis dan Indonesia” , (2022); dan “Ketiadaan

Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Yang Tidak Diikutkan Program Pensiun Dalam UU Cipta Kerja” (2022).

Nur Kholifah lahir diPandeglang, 10 Juni1999. Nur menyelesaikan pendidikan Strata 1 di Fakultas SyariahHukumUIN Syarif Hidayatullah dan saat ini sedang menjalani program Magister Kenotariatan di Universitas Jayabaya. Ia juga aktif menulis jurnal, seperti “Kedaulatan Negara atas Ruang Udara Terhadap Pelayanan Flight Information Region (FIR) Singapura Perspektif Siyasah Kharijiyyah”, “Pemberlakuan KembaliGBHN Ditinjau dariAspek HierarkiPeraturan Perundang-undangan dan Konsep Musyawarah dalam Islam”, dan “Kesetaraan HAM

di Muka Hukum Dalam Kerangka Negara Kesejahteraan”.

Athari Farhani lahir di Tangerang, 1 Maret 1996. Athari menyelesaikan pendidikan Strata 1 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Strata 2 di Fakultas Hukum Universitas

Airlangga, Surabaya. Athari aktif menulis buku dan jurnal, seperti buku Konstitusi & Ruang Angkasa (2020),jurnal Jurist-Diction “Dilematika Antara Hak Pendidikan dan Hak Kesehatan dalam Proses

Pembelajaran di Masa Pandemi (2022); jurnal Cita Hukum “The Legal Implications of Exploration and

Exploitation of Space Natural Resources for Indonesia” (2021); jurnal Konstitusi “Penguasaan Negara Terhadap Pemanfaatan Sumber Daya Alam Ruang Angkasa Menurut UUD NRI Tahun 1945”

(2019).

This article is from: