32 minute read

PUTUSAN VERSTEK

Next Article
INDONESIA

INDONESIA

RATIO DESIDENDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA PALU

NOMOR:510/PDT.G/2020/PA.PAL MENGESAHKAN KUASA JUAL /

Advertisement

PERALIHAN HAK DI BAWAH TANGAN BERDASAR AKAD

MURABAHAH BIL WAKALAH DENGAN PUTUSAN VERSTEK

Mochammad Iwan Soenarto

Mahasiswa Program Studi Kenotariatan Universitas Narotama Surabaya adviwan5758@gmail.com

Habib Adjie Notaris/PPAT Kota Surabaya

Abstrak

Produk-produk perbankan syariah sejalan dengan keinginan masyarakat dalam menggunakan jasa-jasa yang bernafaskan islam yang bersumber pada alquran dan hadits serta riwayat-riwayat yang ditulis oleh para sahabat yang telah diakui keberadaannya oleh sebagian besar ulama dan diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ataupun dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Perkara nomor 510/Pdt.G/2020/PA.Pal, berawal dari akad Murabahah bil Wakalah antara PT. Bank BRI Syariah dengan dengan nasabahnya bernama Kifran yang dibuat di bawah tangan, untuk menjamin kepastian pembayaran angsuran, Bank meminta jaminan, atas jaminan tersebut pada hari dan tanggal selain penandatangan akad, juga ditandatangani surat surat kuasa jual atas barang yang dijadikan jaminan. Perbuatan hukum tersebut menurut penulis adalah cacat kehendak, untuk selanjutnya penulis akan mengkritisi pertimbangan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut dalam tulisan yang bertemakan ratio “Ratio Desidendi Putusan Pengadilan Agama Kota Palu Nomor:510/Pdt.G/2020/PA.Pal Mengesahkan Kuasa Jual/Peralihan Hak Dibawah Tangan Berdasar Akad Murabahah bil Wakalah dengan Putusan Verstek”. Kata kunci: Akad, Murabahah, Wakalah, Kuasa Jual, Cacat Kehendak,Verstek.

Abstract

Islamic banking products are in line with the public's desire to use Islamic inspired services that are sourced from the Qur'an and hadith as well as narrations written by friends whose existence has been acknowledged by most scholars, which is accommodated in Law number 21 of 2008 regarding syariah banking or in the Fatwa of the Indonesian Ulama Council, Case number 510/Pdt.G/2020/PA.Pal, starting from the Murabahah bil Wakalah contract between PT. BRI syariah bank with a customer named Kifran which is made under the hand, to guarantee the certainty of installment payments, the Bank asks for a guarantee, on the day and date other than the signing of the contract, also signed a power of attorney to sell the goods used as collateral. According to the author, this legal act is a defect of will, henceforth the author will criticize the considerations of the panel of judges who examined and decided on the case in an article with the theme of the ratio "Decision Ratio for the Decision of the Religious Court of Palu City Number: 510/Pdt.G/2020/PA.Pal endorsed Power of Sale / Transfer of Rights under the Hand based on the Murabahah bil Wakalah Agreement with Verstek Decision''. Keywords: Akad, Murabahah, Wakalah, Power of Sale, Defect of Will,Verstek.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada hari Senin tanggal 21 Agustus 2017, akad Murabahah bil Wakalah Nomor: 422-5230/141/ID0010132/08/2017, telah ditandatangani oleh nasabah PT. Bank BRI Syariah. Tbk. yang berkedudukan di jalan Wolter Monginsidi nomor 133 C, kelurahan Tatura Selatan, kecamatan Palu Selatan, kota Palu dengan identitas nama Kifran.

Pada saat yang sama debitur menandatangani surat kuasa untuk menjual atau mengalihkan hak atas jaminan nomor 004/SKJ/MONGINSIDI/08/2017 tanggal 21 agustus 2017, Semua kesepakatan dibuat dibawah tangan. Seiring berjalannya waktu, terjadi gagal bayar yang kemudian ditempuhlah upaya perdamaian pun, tetapi tidak ada titik temu, ntuk mendapatkan kepastian hukum terhadap pengembalian modalnya, PT. Bank BRI Syariah mengajukan gugatan ke pengadilan agama kota Palu dan terdaftar di kepaniteraan pengadilan agama kota Palu tanggal 26 Juni 2020 dengan register nomor perkara 510/Pdt.G/2020/PA.Pal. majelis hakim memutus perkara tersebut secara verstek. 75

Penulis mengkritisi dalam tiga (3) hal yaitu: kuasa jual untuk mengalihkan hak sebagai bentuk jaminan pengembalian hutang (perjanjian assecoir) terhadap akad murabahah bil wakalah, jaminan atas akad murabahah bil wakalah tidak didaftarkan pada lembaga penjaminan. dan dalam putusan verstek apakah selalu memenangkan penggugat atas ketidak hadiran tergugat.

1.2. Rumusan Masalah

Ratio Desidendi Putusan Pengadilan Agama Kota Palu Nomor: 510/Pdt.G/2020/PA.Pal mengesahkan Akad Murabahah bil Wakalah yang mengandung cacat kehendak dengan Putusan Verstek.

75 “Putusan Pengadilan Agama Kota Palu Nomor: 510/Pdt.G/2020/PA”, https://ditbinganis.badilag.net/ekonomisyariah/dokumen_putusan/147.pdf, diakses 3 November 2020.

1.3. Metodologi Penelitian

Tipe penelitian pada penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu-isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum adalah menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum.

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu yang sedang ditangani. Pendekatan undang-undang untuk menemukan ratio legis dan dasar ontologis antara undang-undang dan isu yang ditangani. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.76 Untuk menemukan ratio desidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.

II. PEMBAHASAN

Dalam pertimbangan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara aquo, penulisi mengrikisi pertimbangan yang terdapat pada halaman 10-11 putusan yang berupa akta dibawah tangan, akad murabahah bil wakalah, jaminandankuasa peralihan hak : 1. Menimbang, bahwa berdasarkan buktiP2 sampai buktiP7, bukti- buktitersebut merupakan akta dibawah tangan, yang dibuat dalam rangka suatu Perikatan antara Penggugat danTergugat sertasegala akibatnya dan karena dianggap pula diakui oleh Tergugat, maka Akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sempurna (volledig) dan mengikat (bidende) sesuai Pasal 285 Rbg, dan Pasal 1868 KUHPerdata; 2. Menimbang, bahwa BuktiP3, P4 dan P7, ketiga buktitersebut mendukung dalil

Penggugat bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah melakukan persetujuan

76 Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H.,M.S., LL.M., Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2021), hlm. 47.

tentang prinsip pembiayaan untuk Investasi beserta persyaratan lainnya sejumlah Rp200.000.000,00 (bukti P4) dengan disertai akad wakalah tentang

Pembelian Barang dalam rangka Pembiayaan Murabahah dari Penggugat (P7) denganperjanjianakad Murabahah bil Wakalah, yaitu pihak Penggugat sebagai pihak Penjual dan Tergugat sebagai pihak pembeli dalam bentuk pembelian rumah dengan harga Penggugat sejumlah Rp297.888.000,00 (dua ratus sembilan puluh tujuh juta delapan ratus delapan puluh delapan ribu rupiah) dengan angsuran selama 48 bulan (bukti P3). 3. Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P2, dan P6. Bukti-bukti tersebut mendukung dalil Penggugat bahwa dalam Perjanjian Murabahah bil Wakalah tersebut dengan Jaminan Tergugat berupa Sertifikat Hak Milik Nomor 537/Kotarindau atas nama Tergugat (P6) dengan surat kuasa dari Tergugat untuk menjual/mengalihkan hak atas jaminan tersebut (P2).

2.1. Cacat Kehendak

Misbruik van omstandigheden atau cacat kehendak adalah niat terselubung yang dengan sengaja diciptakan oleh salah salah satu pihak yang bertujuan untuk sebuah keuntungan meskipun dengan alasan untuk melindungi kepentingan, biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan dalam hal kerjasama atau pemberian pinjaman. Niat awal nasabah yang awalnya adalah kerjasama dalam bentuk yang disepakati dan kebiasaan dari bank untuk melindungi pembiayaan yang diberikan kepada nasabah adalah meminta jaminan, hal ini memang diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalan undang-undangtentang hak tanggungan.

Surat kuasa untuk menjual atau mengalihkan hak atas jaminan yang dibuat dan ditanda tangani bersamaan dengan akad murabahah bil wakalah, terdapat dua perbuatan hukum yang berbeda, pada akad Murabahah bil wakalah adalah perbuatan hukum transaksi jual beli tanah beserta bangunan antara bank dan nasabah, bank membiayai pembelian objek tersebut sesuai harga asal dari pemilik objek (pemasok) ditambah dengan keuntungan (margin). Atas pembiayaan tersebut nasabah melunasi atau membayar dengan cara mencicil. Jadi akadnya adalah pembiayaan. Sedang kuasa untuk menjual atau mengalihkan hak adalah perbuatan

hukum a quo adalah nasabah memberikan kuasa untuk menjual objek kepada bank atau yang ditunjuk oleh pemberi kuasa.

Pasal 21 kompilasi hukum ekonomi syariah pada huruf J menegaskan bahwa asas akad itu menekankan pada itikad baik dan bertujuan untuk menegakkan kemaslahatan dan tidak mengandung unsur jebakan dan perbutan buruk. Pasal1320 KUHPerdata syarat sahnya perjanjian pada angka 4 sesuatu yang halal. Pasal 1321 KUHPerdata tida sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Putusan Mahkamah Agung RI nomor: 1904 K/Sip/1982 tanggal 28 Januari 1984 tentang pembatalan perjanjian dan putusan Mahkamah Agung RI nomor : 3431 K/Pdt/1985 tertanggal 04 Maret 1987 tentang kasus dana pensiun.

Dua perbuatan hukum berbeda dan mempunyai akibat hukum berbeda dikemas dalam satu akad adalah penyelundupan hukum, niat debitur untuk mendapakan pinjaman dialihkan memberikan kuasa untuk menjual jaminan. Surat kuasa untuk menjual atau mengalihkan hak atas jaminan nomor 004/SKJ/MONGINSIDI/08/2017 tanggal 21Agustus 2017 yangdibuatdan ditanda tangani bersamaan dengan akad murabahah bil wakalah Nomor: 4225230/141/ID0010132/08/2017 merupakan perbuatan hukum yang sesat.

2.2. Akad Murabahah bil Wakalah

Pengertian akad menurut Pasal 20 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariat selanjutnya disebut (KHES) adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum.77 Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur. Wakalah adalah pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu.78

77 Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2020), hlm. 15. 78 Ibid., hlm. 16.

Akad menurut Pasal 1 ayat (3) UU Perbankan Syariah adalah kesepakatan tertulis antara bank syariah atau USS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.79 Akad menurut Habib Adjie merupakan suatu perjanjian, perikatan atau permufakatan hukum tertentu yang dibenarkan oleh syara’ (prinsip syariah).80

Akad atau al-aqdu berarti perjanjian, perikatan, dan permuafakatan (alittifaq), yang dapat dirumuskan sebagai perjanjian antara dua pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang dilakukan dalam suatu hal yang khusus.81 Rukun dan syarat akad yaitu, syarat rukun (ijab dan qobul), syarat subyektif (almuta’aqidain/al-aqidain/pihak yang berakad), syarat objektif (al-ma’qud alaih/maha al-aqd/objek akad dan maudhu al-aqd/tujuan akad).82

Pasal 21 kompilasi Hukum Ekonomi Syariah huruf J menyatakan bahwa asas akad menekankan pada itikad baik untuk menegakkan kemaslahatan dan tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk. Pada Pasal 27 mengkategorikan tiga hukum akad, yaitu akad yang sah, akad yang fasad/dapat dibatalkan, akad yang batal demi hukum. Pasal 28 memberi pengertian hukum akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya. Rukun terdapat pada Pasal 22 terdiri dari pihak-pihak yang berakad, objek akad, tujuan pokok akad, dan kesepakatan.83

Akad Murabahah bil Wakalah mengandung dua kepentingan hukum yang berbeda dan mempunyai aturan hukum yang berbeda yakni Akad Murabahah dan Wakalah. 84 Akad Murabahah menitik beratkan pada perjanjian sedangkan wakalah menitik beratkan pada kuasa. Akad Murabahah dengan pendekatan asas praduga sah seperti yang didefinisikan oleh Habib Adjie yang mengatakan jika dalam pembuatan akta notaris tersebut (1) berwenang untuk membuat akta sesuai dengan

79 Indonesia, Undang-Undang Perbankan Syariah, UU No. 21 Tahun 2008, LN No. 94 Tahun 2008, TLN No. 4867. 80 Dr. Habib Adjie, S.H., M. Hum. dan Dr. Muhammad Hafidh,S.H.,M.Kn., Akta Notaris Untuk Perbankan Syariah, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2017), hlm. 20. 81 H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), hlm. 17. 82 Ibid., hlm. 21. 83 Pusat Kajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2020). 84 Dr. Habib Adjie,S.H., M.Hum., dan Dr. Muhammad Hafidh, S.H.,M.Kn., Op.Cit. hlm. 20.

keinginan para pihak (2) secara lahiriah, formal, dan materiil telah sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta notaris maka akta notaris tersebut dianggap sah.85

Akad Murabahah yang dibuat dibawahtangandenganketentuan berdasarkan kesepakatan pihak dan sesuai dengan peraturan perundangan itu identik dengan asas praduga sah dalam sebuah akta notaris.

Ketentuan umum tentang Wakalah dalam KHES Pasal 460 ayat (1) suatu transaksi yang dilakukan oleh seorang penerima kuasa dalam hak hibah, pinjaman, gadai, titipan, peminjaman, kerja sama dan kerja sama dalam bentuk modal/usaha,harus disandarkan kepada kehendak pemberi kuasa. (2) apabila transaksitersebut pada ayat (1) tidak merujuk untuk diatas namakan pemberikuasa, maka transaksi itu tidak sah. Pasal 461 Transaksi pemberian kuasa sah apabila kekuasaannya dilaksanakan oleh penerima kuasa dan hasilnya diteruskan kepada pemberi kuasa.86

Prof. Subekti mendefinisikan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakansuatu hal.87 SedangkanProf. Isnaeni mendefinisikanperikatan sebagai “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, dalam lapangan harta kekayaan, dimana satu pihak wajib memenuhi prestasi, itulah sosok debitur, dan ada pihak yang berhak atas prestasi tersebut, dan inilah yang disebut pihak kreditor”. Pasal 1234 KUH Perdata yang secara khusus mengatur wujud prestasi, yaitu berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.88

Perjanjian atau kontrak yang berdasarkan Pasal 1233 KUH Perdata dapat melahirkan perikatan, ujung-ujungnya di pundak para pihak seperikatan akan terpukulsuatukewajiban. Dalamperistiwaini,parapihaksalingbertukarkewajiban sebagaiprestasi yang disanggupi, untuk dipenuhisesuatu janji-janji yang

85 Dr. Habib Adjie,SH.M.Hum., Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm.79 86 Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Madani. Op.cit., hlm. 125-126. 87 Prof. Subekti, S.H., Hukum Perjanian, (Jakarta: Intermasa, 1979), hlm. 1. 88 Prof. Dr. H. Moch.Isnaeni, S.H., MS., Seberkas Diorama Hukum Kontrak, (Surabaya: Revka Petra Media, 2017), hlm.18.

diikrarkan. Oleh karena itulah perikatan yang lahir dari perjanjian ini punya daya pikat yang disebabkan oleh adanya prinsip pacta sunt servanda. 89 Volmacht (kuasa) tidak diatur dalam KUHPerdata di Indonesia dan dalam NBW diatur dalam bab tersendiri tentang Volmacht. Konsep volmacht sebagai tindakan hukum sepihak, di mana pemberi kuasa memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk mewakili kepentingan hukum pemberi kuasa, bukan untuk kepentingan penerima kuasa atau pihak lain.90

2.3. Akad dibawah Tangan

Sudikno Mertokusumo mendefinisikan akta di bawah tangan adalah aktayang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan.91 Sedangkan perbedaan antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah sebagai berikut: 1. Akta otentik:

a. dibuat dalam bentuk sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang; b. Harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang; c. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, terutama mengenai waktu, tanggal pembuatan, dan dasar hukumnya; d. Kalau kebenarannya disangkal, maka si penyangkal harus membuktikan ketidak benarannya. 2. Akta di bawah tangan: a. Tidak terikat hukum formal melainkan bebas; b. Dapat dibuat bebas oleh setiap subjek hukum yang berkepentingan; c. Apabila diakui oleh penanda tangan atau tidak disangkal, akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sama halnya seperti akta otentik;

89 Ridwan Khairandy, Pokok-pokok hukum dagang Indonesia, (Yogyakarta: FH UII press, 2013), hlm. 21. 90 Dr. Herlien Budiono, S.H., Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Bidang Kenotariatan Buku Kesatu, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2016), hlm. 271. 91 Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1979), hlm. 125.

d. Tetapi bila kebenarnya disangkal, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan sebagai bukti, yang harus membuktikan kebenarannya (melalui bukti atau saksi-saksi). Kekuatan mengikatnya akta di bawah tangan terletak pada tanda tangan dalam akta diakui atau tidaknya oleh orang terhadap siapa akta itu hendak dipakai, maka akta di bawah tangan merupakan salah satu alat bukti yang bisa dibawa ke ranah pengadilan apabila terjadi sengketa antara para pihak.92 (P2)-(P7) alat bukti berupa kata yang dibuat dibawah tangan, dan bukan alat bukti yang sempurna. Alat bukti akta yang memiliki pembuktian sempurna adalah alat bukti otententik berupa akta yangdibuat dihadapan Notaris.

2.4. Surat Kuasa

Pemberian kuasa merupakan perjanjian sepihak di mana kewajiban untuk melaksanakan prestasi pada satu pihak, yaitu pada penerima kuasa kecuali diperjanjikan sebaliknya sebagaimana dalam Pasal 1794 KUHPerdata dan dalam hal ini akan merupakan perjanjian timbal balik, suatu pemberian kuasa tidak selalu memberikan kewenangan untuk mewakili pemberi kuasa, ada kemungkinan kuasa tidak merupakan bagian dari pemberian kuasa, tetapi dapat pula dalam pemberian kuasa tersebut diberi wewenang untuk mewakili apabila wewenang tersebut diberikan berdasarkan perjanjian pemberian kuasa terjadilah perwakilan yang bersumber pada perjanjian.

Pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1792 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang dapat seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Pasal 1792 KUHPerdata berbunyi sebagai berikut pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasa kepada orang lain yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan urusan. Dapat kita lihat bahwa unsur-unsur pemberian kuasa adalah:

1. Persetujuan;

92 R. Soeroso, Perjanjian di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 9.

2. Memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa dan; 3. Atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan; Pertama-tama, haruslah unsur persetujuan dan syarat untuk sahnya suatu perjanjian sebagaimana telah diuraikan didalam butir satu diatas dipenuhi. Unsur kedua, yaitu memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa menunjukkan adanya pihak pemberi kuasa dan penerima kuasa yang telah disetujui oleh para pihak. Unsur ketiga, di mana penerima kuasa melakukan tindakan hukum tersebut demi kepentingan dan untuk atas nama pemberi kuasa baik yang baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata tegas.

Salah satu larangan dalam pembuatan dan pemberian kuasa adalah yang mengandung unsur selbsteintritt. Selbsteintritt terjadi jika penerima kuasabertindak sebagai wakil pemberi kuasa selaku pihak penjual dan penerima kuasa bertindak untuk dirinya sendiri selaku pembeli dan dalam selbsteintritt tidak terdapat pihak ketiga. Selbsteintritt ini melahirkan benturan kepentingan (conflict of interest) antara pemberi kuasa dan penerima kuasa yang disebabkan adanya perbedaan kepentingan.

Seharusnya surat kuasa itu dibuat secara otentik. Fungsi dari akta kuasa menjual merupakan alat bukti otentik untuk adanya tindakan hukum tersebut. Oleh karena itu, tatacara/prosedur dari pembuatan akta otentik sesuai dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2004 jo. Undang Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) harus dipenuhi.

2.5. Jaminan

Perbankan syariah belum mempunyai lembaga jaminan syariah sehingga untuk lembaga jaminan masih tunduk dengan ketentuan pada lembaga perbankan konvensional, seperti Hak Tanggungan, Fidusia, Hipotik dan gadai.

Pemberian kuasa yang diberikan dan ditandatangani olehdebitur ataupemilik jaminan kepada kreditor pada tanggal yang bersamaan dengan tanggal penandatanganan akta pengakuan hutang atau perjanjian kredit untuk menjual barang, jaminan secara di bawah tangan, menurut Herlien Budiono bertentangan dengan asas yang bersifat bertentangan dengan kepentingan umum (van openbare orde) karena penjualan benda jaminan apabila tidak dilakukan secara sukarela

haruslah dilaksanakan di muka umum secara lelang menurut kebiasaan setempat sehingga pemberian kuasa jual semacam ini adalah batal demi hukum. Mahkamah Agung di dalam putusannya tanggal 29 Juli 1987 Register Nomor 3309 K/PDT/1985 memutuskan, bahwa jual beli berdasarkan kekuasaan yang termaktub dalam Pasal/sub 6 Akta Pengakuan Utang tertanggal 25 April 1975 Nomor 72 adalah tidak sah. Demikian pula putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Mei 1990 Nomor : 1726K/PDT/1986.

Para pihak bebas untuk membuat perjanjian dan menambahkan janji-janji (bedding) pada suatu pembebanan jaminan, namun ada pula ketentuan-ketentuan yang bersifat van openbare orde sehingga terhadap ketentuan ini tidak dapat disimpangi seperti halnya pelaksanaan pengambilan tindakan alas suatu jaminan. Dengan lain perkataan, kuasa diberikan secara sukarela. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kuasa khusus hanya menyangkut/mengenai satu atau lebih kepentingan tertentu. Di dalam pemberian suatu kuasa khusus harus disebutkan secara tegas tindakan atau perbuatan apa yang boleh dan dapat dilakukan oleh yang diberi kuasa, misalnya untuk menjual sebidang tanah atau kuasa untuk memasang hipotik. Sudah barang tentu dapat juga ditambah dengan uraian mengenai perbuatan hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perbuatan hukum yang dikuasakan untuk dilakukan itu, misalnya dalam hal penjualan tanah, untuk menerima uang penjualannya dan memberikan tanda penerimaan untuk itu serta menyerahkan tanah itu kepada pembelinya.

Selain hal yang telah diuraikan di atas, dalam pembuatan kuasa menjualperlu diperhatikan ketentuan Pasal 1470 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan begitu juga tidak diperbolehkan menjadi pembeli pada penjualan di bawah tangan, atas ancaman yang sama, kebatalan, baik pembelian itu dilakukan oleh mereka sendiri maupun oleh orang-orang perantara, kuasa-kuasa mengenai barang-barang yang mereka dikuasakan menjualnya.

Tujuan dari larangan tersebut adalah agar penerima kuasa tidak menyalahgunakan pemberian kuasa untuk manfaat dirinya sendiri. Berkaitan dengan ratio larangan ketentuan tersebut, maka Selbsteintritt hanya mungkin dilaksanakan dalam hal penerima kuasa atas nama pemberi kuasa semata-mata melaksanakan prestasi yang merupakan hak penerima kuasa dan masih harus

dilakukan oleh pemberi kuasa terhadap penerima kuasa. Pasal 1321 KUHPerdata mempertegas bahwa tidak ada kesepakatan sah jika sepakat itu mengandung khilaf, paksaan, dan penipuan.

2.6. Hak Tanggungan

Dalam pemahaman terhadap bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Habib Adjie mengatakan embrio lahirnya lembaga jaminan atas tanah, yaitu hak tanggungan telah diamanatkan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).93 Undang Undang Nomor 4 Tahun1996 tentang Hak Tanggungan atasTanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah Pasal 15 ayat: 94 1. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan; b. tidak memuat kuasa substitusi; c. mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlahutang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan 2. Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). 3. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak

Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan. 4. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak

Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.

93 Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum., Pemahaman Terhadap Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), (Bandung: CV. Mandar Maju, 2011), hlm.4. 94 Kitab Undang-Undang Agraria dan Pertanahan, Pustaka Buana, hlm. 67.

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.

Dalam pertimbangan hukum majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara aquo yang tedapat pada halaman 10, penulis mengkritisi: 1. Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat tidak hadir di persidangan meskipun telahdipanggil secara resmi dan patut dan tidak ternyata tidak hadirnya tersebut disebabkan oleh suatu halangan yang sah, maka Tergugat harus dinyatakan tidak hadir dan perkara ini dilanjutkan pemeriksaaannya tanpa hadirnya

Tergugat dan berdasarkan ketentuan Pasal 149 Ayat (1) R.Bg. gugatan

Penggugat diputus secara verstek.

2.7. Putusan Verstek

Putusan Verstek yang diputus oleh majelis hakim pengadilan agama kota Palu, menurut penulis tidak mencerminkan tugas dan kewajiban hakim, harusnya menggali dan meneliti alat bukti yang diperiksa dalam sidang terbuka. Meskipun tergugat secara patut telah dipanggil dan tidak menghadiri sidang, dalam hal melakukan penemuan hukum yang tertuang dalam putusan seyogjanya alat bukti surat juga diteliti,apakah mengandung cacat formil atau materiil, meskipun diputus dalam putusan verstek ada nilai keilmuan dan hukum yang harus dijunjung tinggi.

Pasal 125 ayat (1) HIR berbunyi “jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya,meskipun ia di panggil dengan patut maka gugatan itu diterima

dengan tidak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri bahwa pendakwaan itu melawan hak dan tidak beralasan. 95

Yahya Harahap menyikapi pasal tersebut dengan memperhatikan frase ternyatagugatantersebut melawan hukumatau ketertibandan kesusilaan (unlawful) dan tidak beralasan atau tidak mempunyai dasar hukum (no basic reason) hakim dapat menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontankelijke verklaard), salah satunya adalahdalil gugatan yang berdasar pada perjanjian yang mengandung unsur kuasa yang haram (ongeoorloofde oorzaak).96

Buktisurat, berupa surat kuasa dariTergugat untuk menjual/mengalihkan hak atas jaminan tersebut (P2) dan Jaminan Tergugat berupa Sertifikat Hak Milik Nomor 537/Kotarindau atas nama Tergugat (P6) hanya diperiksa kesesuaian antara dalil gugatan dan bukti persidangan, dan tidak mengkaji terhadap kaidah-kaidah hukum yang berlaku, yang telah diurai penulis di atas.

Perkara a quo alat bukti surat dengan tegas memberikan informasi kepada majelis bahwa ada akad murabahah bil wakalah yang dibarengi dengan surat kuasa megalihkan jaminan (P2) jelas ini bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian tentang sebab-sebab yang halal.

Pemberian kredit dengan jaminan (P6) harusnya tunduk pada ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Undang Undang Nomor 4 Tahun1996 tentang Hak Tanggungan atasTanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah Pasal 15. Dan ii tidak dilakukan oleh Kreditur/Penggugat.

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yangdimaksud pada ayat (3) atau ayat (4),atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum, apalagi jaminan tersebut tidak dipasang hak tanggungan.

95 R. Soesilo, RIB/HIR (Bogor: Politea,1995), hlm.83 96 M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika,2007), hlm 398.

Pasal 21 kompilasi Hukum Ekonomi Syariah huruf J menyatakan bahwa asas akad menekankan pada itikad baik untuk menegakkan kemaslahatan dan tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk. Pada Pasal 27 mengkategorikan tiga hukum akad, yaitu akad yang sah, akad yang fasad/dapat dibatalkan, akad yang batal demi hukum. Pasal 28 memberi pengertian hukum akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya. Rukun terdapat pada Pasal 22 terdiri dari pihak-pihak yang berakad, objek akad, tujuan pokok akad, dan kesepakatan

Penjelasan diatas sangat objektif dan rasional bahwa meskipun dengan tidak hadirnya tergugat, majelis hakim harusnya lebih seksama meneliti alat bukti dan posita yang dibangun oleh penggugat, petitum penggugat untuk meminta majelis hakim apabila berpendapat berbeda dengan petitum penggugat (Ex Aequo et Bono) dan keinginan penggugat untuk diputus perkara seadil-adilnya, maka menurut penulis selain kekuasaan hakim adalah bebas dan mandiri, dan bisa berpendapat berbeda dengan petitum penggugat, berdasarkan alat bukti yang ada maka majelis hakim harus memutus perkara a quo dengan tidak menerima gugatan penggugat (niet ontankelijke verklaard).

2.8. Pertimbangan Majelis

Keberdaan pertimbangan hukum majelis hakim sangatnya penting, dan apakah pertimbangan ini cukup kaidah hukum dan kesesuaian alat bukti, atau sebaliknya yang bisa memperaruhi hasil putusan hakim yang mengakomodasi rasa keadilan,kepastian dan kemanfaata.

Keadilan adalah nilai penting dalam hukum, berbeda dengan kepastian hukum yang bersifat menyamaratakan, keadilan bersifat individual sehingga dalam pelaksanaan dan penegakkan hukum, masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum keadilan harus diperhatikan.

Menurut John Rawls, keadilan itu adalah fairness yang mengandung asasasas bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingannya hendaknya memperoleh kedudukan yang sama pada saat memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka yang memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki yang mengatakan bahwa

keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang menjadi hak.97

Kemanfaatan merupakan salah satu tujuan hukum, hukum yang baik adalah yang mendatangkan kemanfaatan bagi manusia, kemanfaatan dapat juga diartikan kebahagiaan (happiness) sehingga dalam pelaksanaan dan penegakkan hukum, masyarakat mengharapkan adanya kemanfaatan. Jadi baik buruknya hukum tergantung sejauh mana hukum itu memberikan kebahagiaan bagi manusia, Jeremy Bentham berpendapat bahwa negara dan hukum semata-mata ada hanya untuk manfaat sejati, yaitu kebahagian masyarakat, kemanfaatan itu sendiri dapat diartikan sebagai optimalisasi dari tujuan sosial dari hukum, setiap hukum di samping dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan sebagai tujuan akhir, tetapi juga mempunyai tujuan sosial tertentu, yaitu ketentuan yang diinginkan untuk diwujudkan melalui hukum, baik yang berasal dari perseorangan maupun dari masyarakat negara.98

Kepastian hukum merupakan perlindungan terhadap tindakan kesewenangwenangan, yang diharapkandalamkeadaantertentu, masyarakat mengharap adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena tujuannya untuk ketertiban masyarakat.99 Kepastian memiliki arti ketentuan atau ketetapan yang menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Dalam proses peradilan putusan hakim harus memberikan kepastian hukum tanpa meninggalkan aspek rasa keadilan dan kemanfaatan.

Dalam mewujudkan adanya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi para pihak yang berperkara maka putusan hakim merupakan salah satu perwujudan dari apa yang diharapkan oleh masyarakat pencari keadilan.

Instruksi Ketua Mahkamah Agung RI nomor : KMA/015/ INSTR/VI/1998 tanggal 1 Juni 1998 menginstruksikan agar para hakim memantapkan profesionalitasnya dalam mewujudkan peradilan yang berkualitas dengan putusan hakim yang eksekutabel yang berisikan ethos (integritas), pathos (pertimbangan

hlm.125 97 John Rawls, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2019), hlm.3 98 Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan, (Bandung: Nuansa Cendikia, 2019),

99 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakrta: Liberty, 2007), hlm.160.

yuridis yang pertama dan utama), filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat) serta logos (diterima dengan akal sehat) demi terciptanya kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman.

Pertimbangan hukum yang dilakukan oleh seorang hakim sekaligus juga merupakan salahsatu tugas dankewajiban hakim, yaitu wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini menjadi materi yang diolah untuk membuat pertimbangan hukum. Tersirat pula bahwa seorang hakim dalam menjalankan tugasnya dapat melakukan penemuan hukum atau rechtsvinding.

Berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1), bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya jika terdapat kekosongan aturan hukum atau aturannya tidak jelas, maka untuk mengatasinya seorang hakim harus memilikikemampuan dankeaktifan untuk menemukan hukum (rechtsvinding). Hal yang dimaksud dengan rechtsvinding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi dasar untuk mengambil keputusan. Putusan verstek, yaitu putusan yang dijatuhkan karena tergugat tidak hadir dalam persidangan padahal sudah dipanggil secara resmi, namun penggugat hadir.

Kesenjangan antara teks dan fakta memunculkan permasalahan dalam penerapan hukumnya, hakim sebagai penentu dalam persidangan harus melakukan telaah dan identifikasi kaidah hukum dalam teks hukum yang kemudian dihubungkan dengan fakta in konkreto yang dihadapi. Pengadilan sebagai lembaga yudikatif dalam struktur ketatanegaraan Indonesia memiliki fungsi dan peran strategis dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa yang terjadi.

Fungsi pengadilan diselenggarakan atas koridor independensi peradilan yang merdeka darisegala bentuk intervensidaripihak manapun, Pasal3 ayat (2)UndangUndang Nomor 48Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “segala campur tangan dalamurusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman

dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.

Peradilan yang independen melahirkan sebuah putusan, putusan merupakan produk keadilan yang pertama dan utama karena merupakan jawaban akhir dari persengketaan yang diajukan oleh para pihak serta hasil dari proses peradilan yang dijalankan. Putusan hakim memuat pertimbangan-pertimbangan hukum yang mempresentasikan kewibawaan pengadilan. Sebagai produk pengadilan, putusan harus sedapat mungkin dilengkapi dengan pertimbangan yang cukup ,putusan yang kurang pertimbangan, selain merendahkan mutu putusan, juga membawa hakim pada kesimpulan akhir yang keliru atau kurang mencerminkan keadilan,baik bagi para pencari keadilan maupun masyarakat pada umumnya. 100

Dalam konteks demikian, putusan pengadilan harus disusun oleh hakim secara sistematis dan komprehensif, melingkupi seluruh bagian gugatan penggugat. Pasal 178 ayat (1) dan (2) HIR juncto Pasal 189 ayat (1) dan (2) RBg mengatur perihal kewajiban hakim dalam memutus suatu perkara sebagai berikut: “(1) hakim karena jabatannya waktu bermusyawarah wajib mencakup segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak. (2) hakim wajib mengadili semua bagian gugatan”.

Kriteria suatu putusan yang dikategorikan kurang pertimbangan hukum (onvoldoende gemotiveerd) dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Putusan tidak memuat pertimbangan tentang bukti lawan yang diajukan dalam persidangan. 2. Putusantidakmempertimbangkan dan/atau mengadilieksepsiyangdiajukan oleh tergugat. 3. Putusan tidak mempertimbangkan keseluruan fakta persidangan yang relevan dengan pokok perkara,sehingga menyebabkan putusan tersebut menjadi bias (deviatif) yang merugukan salah satu pihak. 4. Putusan tidak mengadili seluruh bagian gugatan penggugat atau permohonan pemohon. (Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2) R.Bg.)

100 Bagir Manan, Memulihkan Peradilan yang Berwibawa dan Dihormati, Pokok-Pokok Pikiran Bagir Manan dalam Rakernas, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia,2008), hlm.47.

5. Konklusi hakim yang selanjutnya dituangkan dalam diktum atau amar putusan tidak dilandasi atas pertimbangan yang lengkap dan akurat. (Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman).

III. PENUTUP

Akad atau perjanjian menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian. Atas dasar kesepakatan, perjanjian harus dibentuk berdasarkan kehendak bebas dan dalam suasana yang bebas pula. Apabila terdapat kecacatan dalam pembentukan kata sepakat dari suatu kontrak atau perjanjian, disebut cacat kehendak (wilsgebreken atau defect of consent). Cacat kehendak terjadi pada periode atau fase pra-kontrak.

Periode pra-kontrak merupakan masa sebelum para pihak mencapai kesepakatan mengenai rencana transaksi yang mereka adakan. Pada periode ini dilakukan negosiasi atau perundingan oleh para pihak mengenai rencana kerja sama atau transaksi diantara mereka. Apabila dalam suatu perjanjian diduga terdapat cacat kehendak, harus diteliti lebih lanjut mengenai fase atau periode ini dalam suatu perjanjian oleh hakim.

Pada periode tersebut, hakim dapat meneliti apakah dalam pembentukan kata sepakat terdapat penyalahgunaan keadaan merupakan faktor yang membatasi atau mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua belah pihak. apabila dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme, penyalahgunaan keadaan ini dianggap bertentangan dan karenanya akan mengganggu eksistensi perjanjian yang bersangkutan. Terkait dengan adanya penyalahgunaan keadaan ini, J.H. Nieuwenhuis mengemukakan 4 syarat sebagai berikut:

1. Keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheiden) seperti keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak berpengalaman.

2. Suatu hal yang nyata (kenbaarheid), disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup (membuat) suatu perjanjian. 3. Penyalahgunaan (misbruik), salah satu pihak melaksanakan perjanjian itu ataupun dia mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya. 4. Hubungan kausal (causaal verband), adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian itu tidak akan ditutup (dibuat).

Maka dengan irah-irah Bismillahirrahmanirahim dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Akad Murabahah bil Wakalah a quo harusnya dinyatakan batal demi hukum dan gugatan a quo tidak dapat diterima.

Dengan demikian ratio desidendi putusan pengadilan agama kota palu nomor: 510/Pdt.G/2020/PA.Pal mengesahkan Akad Murabahah bil Wakalah berdasarkan pada :

1. Pasal 21 kompilasi Hukum Ekonomi Syariah huruf J menyatakan bahwa asas akad menekankan pada itikad baik untuk menegakkan kemaslahatan dan tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk. 2. Pasal27 mengkategorikan tiga hukum akad, yaitu akad yang sah, akad yang fasad/dapat dibatalkan, akad yang batal demi hukum. 3. Pasal 28 memberi pengertian hukum akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya. 4. Pasal 22 terdiri dari pihak-pihak yang berakad, objek akad, tujuan pokok akad, dan kesepakatan. 5. Putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Juli 1987 Register Nomor 3309

K/PDT/1985 memutuskan, bahwa jual beli berdasarkan kekuasaan yang termaktub dalam Pasal/sub 6 Akta Pengakuan Utang tertanggal 25 April 1975 Nomor 72 adalah tidak sah.

6. Mahkamah Agung tanggal 31 Mei 1990 Nomor : 1726K/PDT/1986. 7. Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

Agraria (UUPA).

8. Pasal 15 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah 9. Instruksi Ketua Mahkamah Agung RI nomor : KMA/015/ INSTR/VI/1998 tanggal 1 Juni 1998 menginstruksikan agar para hakim memantapkan profesionalitasnya dalam mewujudkan peradilan yang berkualitas dengan putusan hakim yang eksekutabel yang berisikan ethos (integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang pertama dan utama), filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat) serta logos (diterima dengan akal sehat) demi terciptanya kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman. 10. Pasal 125 ayat (1) HIR

adalah putusan yang tidak berdasar pada fakta hukum dan kaidah hukum, tidak mencerminkan rasa keadilan. Kepastian hukum yang diharapkan tentunya juga harus menggali, mempertimbangkan, memposisikan hak dan kewajiban pencari keadilan dan yang diadili serta menciptakan kemanfaatan.

Pendekatan normatif untuk menemukan ratio legis bangunan agurmentasi pertimbangan hukum majelis hakim yang sama sekali tidak mempertimbangkan alat bukti berupa kuasa peralihan hak objek jaminan maka antara Das Sollen (kaidah hukum)dan Das Sein (fakta hukum)tidak sejalan, sehinggaRatio Desidensiputusan a quo juga tidak sejalan. Putusan verstek yang tidak didukung oleh pertimabngan hukum yang kuat, akan mencederai rasa keadilan bagi nasabah atau tergugat.

Ratio desidendi putusan pengadilan agama kota Palu nomor: 510/Pdt.G/2020/PA.Pal mengesahkan Akad Murabahah bil Wakalah terdapat ketidak sesuaian antara fakta hukum,pertimbangan hukum dan kaidah hukum yang dibangun oleh majelis hakim :

1. (P2)-(P7)tentang kedudukanalat buktiakta dibawahtangan bukalahalat bukti sempurna, alat buktisempurna adalah alat bukti otentik berupa akta yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang/Notaris/PPAT. Dikarenakan alat buktisurat

dibawah tangan maka untuk pembuktiannya harus diakui oleh para pihak yang ada dalam akta tersebut.

2. (P2) tentang jaminan berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) tanpa adanya kuasa untuk memasang Hak Tanggungan, Meskipun lembaga perbankan syariah belum mempunyai Lembaga penjaminan syariah,tentunya harus menggunakan lembaga penjaminan yang ada. Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.sehingga ada kepastian hukum baik debitur maupun kreditur terhadap barang yang digunakan sebagai jaminan. 3. (P6) tentang kedudukan surat kuasa peralihan hak, alat bukti (P6) adalah assecoir alat buktisurat (P3), (P4),(P7), perjanjian yang dibarengidengankuasa menjual adalah perjanjian yang mengandung unsur cacat kehendak,dan batal demi hukum karena undang-undang dan dapat dibatalkan oleh majelis hakim. 4. Tergugat tidak hadir di persidangan meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut dan tidak ternyata tidak hadirnya tersebut disebabkan oleh suatu halangan yang sah, maka Tergugat harus dinyatakan tidak hadir dan perkara ini dilanjutkan pemeriksaaannya tanpa hadirnya Tergugat dan berdasarkan ketentuan Pasal 149 Ayat (1) R.Bg. Gugatan Penggugat diputus secara verstek, meskipun diputus verstek bukan berarti majelis hakim mengabulkan semua petitum gugatan pengguga, pertimbangan hukum majelis hakim pun, harus memehuni rasa keadilan,kepastian dan kemanfaatan, kedudukan alat buktisurat (P2),(P4),(6) adalah bentuk perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang.

Meskipun diputus secara verstek, isi putusan harusnya menolak dan/atau tidak diterima gugatan tersebut,atau atau diterima dengan putusan membantalkan akad murabahah bil wakalah.

5. Sehingga putusan a quo menurut penulis adalah putusan yang sesat.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adil, Ustad. Mengenal Notaris Syariah. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2011.

Adjie, Habib dan Muhammad Hafidh. Akta Notaris untuk PerbankanSyariah.

Bandung: Citra Aditya Sakti, 2017.

Adjie, Habib. Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris SebagaiPejabat

Publik. Bandung: PT. Refika Aditama, 2008.

Adjie, Habib. Pemahaman Terhadap Bentuk Surat Kuasa MembebankanHak

Tanggungan (SKMHT). Bandung: CV. Mandar Maju, 2011.

Bagya Agung Prabowo, SH.M.Hum, Aspek Hukum PembiayaaanMurbahah Pada

Perbandang Syariah. Yogyakarta : UII Pres, 2012.

Betham, Jeremy. Teori Perundang-Undangan.Bandung: NuansaCendekia,2019.

Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Bidang KenotariatanBuku

Kesatu. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2016.

Isnaeni. Seberkas Diorama Hukum Kontrak. Surabaya: PT. Revka PetraMedia, 2017.

Khairandy, Ridwan. Pokok-pokok hukum dagang Indonesia. Yogyakarta:FH UII

Press, 2013.

Khairany, Ridwan. Kebebasan berkontrak & Pacta Sunt Servanda versusItikad

Baik. Yogyakarta: UII Press, 2015.

Latumenten, Pieter. Cacat Yuridis Akta Notaris Dalam Peristiwa HukumKonkrit dan Implikasi Hukumnya. Jakarta: Tumas Press, 2011.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Kencana,2021.

Mertokusumo, Soedikno. Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta:

Liberty, 1979.

Mustafida, Latifa. Penerapan Doktrin Misbruik van Omstandigheden terhadap

Pembatalan Akta Notaris Berdasarkan Putusan Pengadilan. Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2022.

M.Yahya Harahap, S,H. Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

Naja, Daeng. Akad Bank Syariah. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011. Panggabean.

Penyalahgunaan Keadaan Misbruik van Omstandigheden. Yogyakarta:

Liberty, 2010.

Rawls, John. Teori Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019.

Soesilo, R. RIB/HIR. Bogor: Politeia, 1995.

Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa, 1979.

Sjahdeini, SutanRemy. Perbankan Syariah. Jakarta: Prenada MediaGroup,2015.

Soeroso. Perjanjian di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan

Aplikasi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Subekti, R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:PT.

Pradnya Paramita. 1999.

Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Madani. Kompilasi Hukum Ekonomi

Syariah (KHES). Jakarta: Kencana, 2020.

Kitab Undang-Undang Agraria dan Pertanahan. Bandung: Pustaka Buana,2014.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Perbankan Syariah, UU No. 21 Tahun 2008,LN No. 94 Tahun 2008, TLN No. 4867.

Indonesia. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun2009,

LN No. 157 Tahun 2009, TLN No. 5067.

Indonesia. Undang-Undang Peradilan Agama, UU No. 50 Tahun 2009, LN No. 159 Tahun 2009, TLN No. 5078.

PUTUSAN PENGADILAN

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 638K/Sip/1969.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 1860K/Pdt/Tahun1984.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 1992K/Pdt/2000.

BIODATA PENULIS

Mochammad Iwan Soenarto lahir di

Surabaya, 20 Februari 1978. Penulis telah menempuh studi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (1996-2002), dan sekarang sedang menempuh Studi di Magister Kenotariatan Universitas Narotama Surabaya.

Habib Adjie lahir di Bandung, 20 Mei 1961. Penulis telah menempuh studi S1 Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Islam

Bandung, Pendidikan Notariat di Universitas Padjajaran, Magister hukum di Universitas Diponegoro, dan Pascasarjana Ilmu Hukumdi Universitas Airlangga. Penulis adalah mediator nonhakim dan negosiator tersertifikat, pengajar kenotariatan di Universitas Narotama Surabaya, serta bekerja sebagai Notaris/PPAT di Kota Surabaya.

This article is from: