49 minute read

REVISI UU MAHKAMAH KONSTITUSI

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN

Advertisement

No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587. Indonesia. Undang-Undang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025, UU No. 17 Tahun 2007, LN No. 33 Tahun 2007, TLN No. 4700 Indonesia. Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 25 Tahun 2004, LN No. 104 Tahun 2004, TLN No. 2441. Indonesia. Peraturan Pemerintah Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah No. 12 Tahun 2017, LN No. 73 Tahun 2017, TLN No. 604.

Indonesia. Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis

Nasional, No. 3 Tahun 2016.

INTERNET

Tempo. “Tito Bantah Ada Pasal Presiden Bisa Pecat Gubernur di Omnibus Law.”

https://nasional.tempo.co/read/1298345/tito- bantah-ada-Pasal-presidenbisa-pecat-gubernur- di-omnibus-law/full&view=ok. Diakses 25 Juli 2020. Lentera Timur. “Siasat Resentralisasi Pemerintah Pusat.”

http://archive.lenteratimur.com /2014/09/siasat-resentralisasi-pemerintahpusat/. Diakses Agustus 2020.

BIODATA PENULIS

Muhammad Mutawalli lahir di Limboro, 2 Februari 1995. Penulis telah menempuh studi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dan sekarang sedang menempuh program doktoral Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Sekarang, penulis aktif berprofesi sebagai pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Lembaga Negara dan Konstitusi pada UIN Alauddin Makassar, Universitas Sulawesi Barat, dan STAIN Majene.

URGENSI REDESAIN PENGISIAN JABATAN HAKIM KONSTITUSI

PASCA REVISI UU MAHKAMAH KONSTITUSI

Adam Setiawan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia adamsetiawanmunif@gmail.com

Nehru Asyikin Praktisi Hukum di Lembaga Bantuan Hukum Aksa Bumi Yogyakarta nehruasyikin1@gmail.com

Abstrak

Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya, MK diisi oleh sembilan orang hakim konstitusiyang dituntut harus memenuhi syarat objektif integritas dan kepribadian yang tidaktercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi. Proses pengangkatan jabatan hakim konstitusi melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dan MahkamahAgung.Padariset inimenggunakanpenelitian hukum doktrinal dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian adalah pertama, untuk menjadi hakim konstitusi harus memenuhi syaratobjektif dan subjektif. Kedua, dengan menggunakan model split and quota dalam pengisian jabatan Hakim Konstitusi telah membuka ruang bagi institusi pemilih untuk memonopoli calon Hakim Konstitusi. Tidak adanya pengaturan yang baku mengenai tata cara, pemilihan, dan pengajuan Hakim Konstitusi mengakibatkan ketidakpastian hukum. Ketiga, desain pengisian jabatan Hakim Konstitusi yang ideal diantaranya tidak melibatkan DPR dan Presiden. Selanjutnya perlu dibentuk Panitia Seleksi yang independen yang langsung ditunjuk oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Urgensi melibatkan masyarakat dalam proses pemilihan Hakim Konstitusi guna menghasilkan Hakim Konstitusi yang berintegritas dan berkepribadian yang tidak tercela, adil negarawan yang menguasai konstitusi.

KataKunci: Rekrutmen Hakim Konstitusi, Transparan, Partisipasi Publik.

Abstract

The Constitutional Court (MK) was formed to ensure that the constitution as the highest law can be enforced properly. In order to carry out the duties and functions of the Constitutional Court, it must consist of nine constitutional judges who must have the objective requirements of integrity and personality that is not blameworthy, fair, statesman who controls the constitution. The process of filling in the constitutional judges involves the House of Representatives, the President and the Supreme Court. This study uses doctrinal legal research with a statutory and conceptual approach. The results of the study are first, to become a constitutional judge, one must meet objective and subjective requirements. Second, using the split and quota model in filling the positions of Constitutional Justices has opened up space for voters to monopolize candidates for Constitutional Justices. There is no standard regulation regarding the procedures, and the submission of the Constitutional Court Justices regarding election uncertainty. Third, the ideal design for filling the position of a Constitutional Justice includes not involving the DPR and the President. Furthermore, it is necessary to form an independent Selection Committee which is directly appointed by the Supreme Court and the Judicial Commission. The urgency to involve the public in the process of selecting Constitutional Justices in order to produce Constitutional Justices with integrity and personality who are not reprehensible, just statesmen who control the constitution.

Keywords: The Recruitment of Constitutional Judges, Transparency, Public of Participation.

I. PENDAHULUAN

Pasca runtuhnya rezim Orde Baru semangat reformasi semakin menggeliat. Hal demikian mengantarkan Indonesia pada masa transisi dari sistem politik yang otoriter ke arah sistem politik yang demokratis. Implikasinya masyarakat menuntut perubahan demi perubahan di pelbagai sektor. Salah satunya melalui perubahan konstitusi yang secara substansial menginginkan pembatasan kekuasaan eksekutif dan menghadirkan mekanisme checks and balances antar kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai wujud nyata melaksanakan prinsip checks and balances, yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antarlembaga negara.126

Selain itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi juga sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.127

Secara konseptual bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi biasa disebut sebagai the guardian of the constitution dan sekaligus sebagai penafsir konstitusi (the interpreter of the constitution). Selain itu Mahkamah Konstitusi juga dapat disebut sebagai pengawal proses demokratisasi dengan cara menyediakan sarana dan jalan hukum untuk untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di antara penyelenggaraan pemilu

126 Indonesia, Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 127Ibid.

dengan peserta pemilu. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering pula dikenal dengan sebutan the guardian of democracy. 128 Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengawal konstitusi Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan antara lain:129 a. untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; c. Memutus pembubaran partai politik; d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; e. Memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Untuk melaksanakan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.130 Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi.131 Sembilan Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.132

Salah satu kewenangan MK adalah melakukan judicial review semata-mata untuk menciptakan mekanisme check and balances dalam halmengkoreksiundangundang, yang notabene produk DPR bersama Pemerintah. Adapun produk legislasi atau undang-undang bukanlah ranah yang independen, dan tidak lepas dari anasir politis. Sebuah undang-undang juga tidak mungkin selalu bisa lepas dari dinamisasi modernitas, oleh karenanya undang-undang suatu saat pastiakan usang. Di lain sisi, tidak semua undang-undang bisa memenuhi ekspektasi banyak pihak, bahkan

128 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Negara Pasca Reformasi,(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 132. 129 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 24Cayat (1) dan ayat (2) 130 Ibid,Pasal 24C ayat (3). 131 Ibid, Pasal 24C ayat (4). 132 Ibid, Pasal 24C ayat (5).

undang-undang bisa jadi telah merugikan seseorang.133 Oleh karena itu untuk menguji norma undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan melaksanakan kewenangan lainnya, Hakim Konstitusi dituntut mempunyai integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi. Jabatan hakim, termasuk hakim konstitusi harus diperlakukan sebagai jabatan terhormat sehingga hanya orang-orang yang diakui terhormat dan terpercaya serta negarawan sajalah yang di nilai pantas untuk di angkat menjadi hakim konstitusi.

Hakim konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman merupakan unsur terpenting dari suatu negara hukum. Kondisi ini menunjukan betapa signifikan dan krusial posisi seorang hakim konstitusi terutama dalam menegakkan hukum dan keadilan pada sebuah negara demokrasi konstitusional.134 Kendati demikian, nama baik MK yang telah terbangun sebagai institusi yang bersih dari tindak pidana korupsi, akhirnya tercoreng juga akibat ulah oknum mantan Hakimnya yang secara terbukti melakukan tindakpidana korupsi yakniAkil Mochtar dan Patrialis Akbar. Tentunya apa yang dilakukan oleh kedua mantan Hakim Konstitusi tersebut telah bertentangan bahkan kontraproduktif dengan makna integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan.

Selain itu, problematika hukum semakin bertambah tatkala terbitnya Undang-Undang 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Revisi UU MK). Adapun problematika utama dari terbitnya Revisi UU MK adalah berubahnya syarat batas usia untuk menjadi calon hakim menjadi paling rendah 55 (lima puluh lima tahun) dan dihapusnya Pasal 22 terkait masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Dengan kata lain, hakim konstitusi yang diangkat akan menjabat selama 15 tahun sebagaimana ketentuan di Pasal 23 ayat (1) huruf c,

133 Puguh Windrawan “Pergeseran Kekuasaan Tipologi Ketiga; (Fenomena Kekuasaan Ke Arah Constitusional Heavy)” , Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4, (Desember 2012), hlm. 615. 134 Achmad Edi Subiyanto dan I Gede Hartadi Kurniawan, “Model Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, (Hasil Penelitian Universitas Esa Unggul, 2018), hlm.12.

bahwa hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun. Banyak kalangan yang menilai bahwa UU a quo sarat akan kepentingan, dan cenderung menguntungkan hakim MK.135

Berdasarkan uraian di atas maka fokus utama pembahasan terletak pada syarat menjadi hakim konstitusi serta pola pengisian jabatan hakim konstitusi yang hendaknya terlaksana secara objektif hingga menghasilkan kandidat Hakim yang mempunyai kapasitas, profesionalitas mumpuni hingga bahkan kandidat hakim yang mempunyai sikap negarawanan. Jika ditinjau dari pola rekrutmen yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD NRI 1945) dengan model split and quota136 yaitu memberi “jatah” Presiden, DPR dan MA untuk “memajukan” tiga hakim konstitusi. Selanjutnya mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang.137 Dengan model atau mekanisme split and quota yang diterapkan telah membuka ruang bagi institusi pemilih untuk memonopoli calon sesuai dengan kriteria hingga akhirnya hakim konstitusi dihasilkan dari ego sektoral dan menanggalkan sistem merit selection.

Untuk menjawab isu hukum yang diangkat, riset ini akan menggunakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Jenis penelitian hukum normatif adalah meneliti hukum dari perspektif internal dengan objek penelitiannya adalah norma hukum.138 Dengan demikian, pendekatan yang dipergunakan dalam riset ini adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) dengan sifat comprehensive, all inclusive, dan systematic.139 Di samping itu, untuk menjawab

135 Kompas, “PSHK: Revisi UU MK Jadi Hadiah Bagi Hakim Konstitusi”,https://nasional.kompas.com/read/2020/09/01/12570781/pshk-revisi-uu-mk-jadihadiah-bagi-hakim-konstitusi?page=all, 14 Juli 2022. 136 Pendapat Ahli Mohammad Fajrul Falaakh lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1-2/PUU-XII/2014. 137 Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 138 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 30. 139 Sifat Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan lain secara logis. All-Inclusive adalah kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak ada kekurangan hukum. Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis, lihat Johnny Ibrahim, Teori dan Metologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2008), hlm. 303.

isu hukum yang diangkat akan digunakan juga pendekatan konseptual (concept approach) yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

II. PEMBAHASAN

a. Syarat dan Mekanisme Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi 1. Syarat-syarat Menjadi Hakim Konstitusi

Untuk menjadi hakim konstitusi, kandidat dituntut memenuhi kriteria yang telah ditentukan UUD NRI 1945 yakni Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi. Selanjutnya syarat-syarat menjadi hakim konstitusi, diafirmasi dalam Pasal 15 Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah ketiga kali dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020, yaitu:

(1) Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; b. adil; dan c. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat: a. warga negara Indonesia; b. berijazah doktor (strata tiga) dengan dasar sarjana (strata satu) yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum; c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia; d. berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun; e. mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban; f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; g. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkanputusan pengadilan; dan h. mempunyaipengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/ataupernah menjadi pejabat negara dan/atau untuk calon hakim yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagai hakim tinggi atau sebagai hakim agung

Ihwal syarat-syarat menjadi hakim konstitusi, dapat diklasifikasikan menjadidua syarat, yakni syarat objektifdan subjektif. Pasal15 ayat (1) merupakan syarat objektif, sedangkan Pasal 15 ayat (2) merupakan syarat subjektif. Adapun syarat objektif dan subjektif, ada dua isu hukum yang perlu dianalisa secara elaboratif dan ekstensif.

Pertama, berkaitan dengan syarat objektif, adanya rumusan norma yang berbunyi “integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasaikonstitusi” dalam konteks pengisian jabatanhakim konstitusi mengingat tidak ada penjelasan secara detail baik dalam UUD NRI 1945 maupun di tingkat undang-undang.

1. Makna dari “integritas dan kepribadian yang tidak tercela”, menginginkan hakim konstitusi mempunyai sikap yang jujur dan menjunjung nilai-nilai rohani yang tercermin baik dalam menjalankan profesinya maupun dalam kehidupan sehari-harinya.140 2. Makna “adil” yang harus dimilikioleh hakim konstitusi lebih pada sikap egaliter dan imparsial dalam menangani sebuah perkara di Mahkamah

Konstitusi. Selanjutnya, istilah “negarawan” yang disebutkan secara expressis verbis dalam UUD NRI 1945 hanya disematkan pada hakim konstitusi. 3. Makna “negarawan” sendiri sama dengan politisi. Namun apabila ditarik intinya, negarawan mempunyai pola pikir yang visioner dalam rangka mengelola negara menjadi lebih baik dengan menanggalkan kepentingan pribadi. Berbeda dengan politisi yang berpikir pragmatis yang orientasinya terletak pada keuntungan individu atau kelompoknya.141 4. Makna “menguasai konstitusi dan ketatanegaraan” mempunyai maksud agar posisi hakim konstitusi diduduki bagi expertise konstitusi dan ketatanegaraan. 5. Makna “tidak merangkap sebagai pejabat negara”, frasa ini mempunyai maksud, agar tatkala menjadi hakim konstitus, yang bersangkutan terbebas dari conflict of interst.

Menurut Subiyanto makna “negarawan” harus dibaca secara utuh dan ekstensif yaitu “negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan”.

140 Adam Setiawan, Menemukan Hakim Negarawan, Tribun, 7 Maret 2019. 141 Ibid.

Kemudian syarat tersebut dihubungkan dengan tujuan dibentuknya kekuasaan kehakiman sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945, yaitu menegakkan hukum dan keadilan. Namun pandangan demikian hanya berpijak pada tingkatan das sollen yang bersifat rigid, karena jika mengacu pada tingkatan das sein, dengan mencuplik realitas, ada oknum mantan Hakim Konstitusi yang terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi, tentunya tindakan tersebut kontraproduktifdengan makna “negarawan”. Oleh karena itu hendaknya memaknai “negarawan” terpisah dengan maksud menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,

karena makna “negarawan” dan “menguasai konstitusi dan ketatanegaraan”

merupakan makna yang berbeda seperti yang telah kemukakan sebelumnya. Meskipun makna negarawan diintegrasikan menjadi satu frasa dengan makna menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, dapat diartikan sebagai hakim konstitusi yang memiliki karakter negarawan serta memiliki keahlian di bidang konstitusi dan hukum tata negara.142

Konstruksi makna “negarawan” semakin problematik tatkala syarat umur

menjadi Hakim Konstitusi diubah menjadi 55 tahun, adapun penjelasan dari pemerintah dan DPR terkait umur 55 tahun sebagai syarat usia minimum menjadi Hakim Konstitusi karena umur 55 dipandang memiliki integritas dan kepribadian yang lebih baik, memiliki pengalaman lebih luas serta diharapkan memiliki sifat negarawan dan dapat menguasai konstitusi dan ketatanegaraan yang lebih baik. Menurut Bulmer syarat demikian diklasifikasikan menjadi dua yaitu legal ability dan qualities of character.143 Apabila diartikan, ada ketidakjelasan parameter yang digunakan untuk menilai calon Hakim Konstitusi dari umurnya, padahal tidak ada jaminan bahwa umur 55 tahun memiliki track record yang baik apalagi dikatakan negarawan, karena pada akhirnya hanya akan menutup peluang partisipasi anak

142 Danang Hardianto, “Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, (Juni 2014), hlm. 330. 143 Legal ability (professional qualification and experience; outstanding knowledge of the law and it’s application; extensive practice of law before the courts or wide applied knowledge of the law in other branches of legal practice; overall excellence as a lawyer); and Qualties of character (personal honesty and integrity; impartiality, open mindness and good judgment; patience, social sensitivity and common sense; the ability to work hard) lihat Elliot Bulmer, “Judicial Appointments”, International IDEA Constitution-Building Primer 4, hlm. 19.

bangsa yang memiliki pengalaman, integritas dan kualitas yang mumpuni untuk menjadi Hakim Konstitusi.

Di samping itu, ihwal tidak adanya syarat bagi hakim konstitusi terbebas dari partai politik (bukan bagian dari partai politik) dalam peraturan perundangundangan harus disikapi sebagai bentuk pengingkaran terhadap syarat utama hakim konstitusiyang dituntut menjadi seorang Negarawan. Negarawan harus mempunyai pola pikir yang visioner dalam rangka mengelola negara menjadi lebih baik dengan menanggalkan kepentingan pribadi. Berbeda dengan politisi yang berpikir pragmatis-oportunitas yang orientasinya terletak pada keuntungan individu atau kelompoknya. Memang sebelumnya pengaturan mengenai syarat tidak boleh menjadi anggota partai politik pernah diakomodasi dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, hingga akhirnya dibatalkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUUXII/2014.

Dalam Putusan a quo Mahkamah Konstitusi mempunyai pertimbangan hukum bahwa syarat tidak boleh menjadi bagian dari partai politik, hal ini merupakan stigmatisasi dari kasus yang terjadi pada M. Akil Mochtar kemudian dijadikan dasar bahwa setiap anggota partai politik pastilah tidak pantas menjadi Hakim Konstitusi. Stigmatisasi seperti ini menciderai hak-hak konstitusional seorang warga negara yang terkena stigmatisasi tersebut padahal haknya dijamin olehUUD NRI 1945. Hak untuk menjadiHakim Konstitusibagisetiap orang adalah hak dasar untuk ikut dalam pemerintahan. Oleh karenanya, setiap pembatasan terhadap hak tersebut haruslah memiliki landasan hukum yang kokoh dan valid.144 Menurut Ahli dariPresiden, Siahaan, bahwa dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i Perppu MK diatur mengenai syarat untuk menjadi hakim konstitusi, yaitu ”tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi.”145

144 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1-2/PUU-XII/2014. 145 Ibid.

Lebih lanjut, menurut pendapat Ahli, penetapan batasan waktu ”paling

singkat 7 (tujuh) tahun” tersebut dinilai cukup untuk memberikan jaminan independensi dan imparsialitas seorang hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi. Hal demikian juga sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor81/PUU-IX/2011 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum terhadap UUD NRI 1945, yang dalam pertimbangan hukum menyebutkan bahwa harus adanya limitasi terhadap kader partai politik dengan tenggang waktu 5 (lima) tahun pengunduran diri dari partai politiknya agar bisa mencalonkan diri sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum.146

Menurut Mochtar, MK pernah membangun logikanya secara sangat menarik di Putusan MK Nomor 81/PUU-IX/2011, MK membangun basis argumentasi agar menghindari benturan kepentingan. Caranya dengan menganalogikan bahwa pemain tidak boleh menjadi wasit. Seorang pemain, haruslah pensiun sekurangkurangnya lima tahun sebelum menjadi wasit. Nalar ini tiba-tiba alpa dari MK di putusan soal undang-undang yang menetapkan Perppu soal penyelamatan MK.147

Menurut Isra, penambahan syarat calon hakim konstitusi harus dipandang sebagai langkah strategis untuk mencegah dominasi aktivis parpol jadi hakim konstitusi.148 Rishan memberikan konklusi bahwa terdapat garis demarkasi antara kekuatan politik dan peradilan. Membatasi jangka waktu bebas aktif anggota partai politik untuk memastikan calon hakim bebas dari kepentingan atau intervensi. Hal ini menjadi penting syarat hakim konstitusi mengingat salah satu kewenangan MK adalah mengadili sengketa pemilu.149Pendapat demikian menguatkan argumentasi bahwa independensi peradilan diperlukan karena masyarakat mengharapkan penegakan keadilan dilaksanakan secara objektif.150 Dengan demikian sudah

146 Ibid. 147 Zainal Arifin Mochtar, Menegakkan Konstitusi Melawan Korupsi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2018), hlm. 98. 148 Pendapat Saldi Isra sebelum menjadi Hakim Konstitusi, Saldi Isra “Selamatkan Jalan Hakim MK”, Opini Kompas, 24 Februari 2014. 149 Idul Rishan, Kebijakan Reformasi Peradilan: Pertarungan Politik, Realitas Hukum, & Egosentrisme Kekuasaan, Yogyakarta: FH UII Press, 2018, hlm. 232. 150 Nils A. Engstad, et.al, The Independence of Judge, (Den Haag: Eleven International Publishing, 2014), hlm. 62.

seyogianya syarat menjadi hakim konstitusi berkaitan dengan tidak pernah menjadi anggota partai politik dengan waktu tertentu direvitalisasi. Hal demikian guna menjaga independensi peradilan, meminamalisasi masuknya kepentingan partai politik ke Mahkamah Konstitusi

Kedua, berkenaan dengan syarat subjektif, ditemukan problematika konstitusional yang paradigmatik yakni batas usia menjadi hakim konstitusi dan pengalaman kerja khusus calon hakim yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagai hakimtinggiatausebagaihakimagung. Eksistensi dari Revisi UU MK menimbulkan resistensi dari sebagian kalangan sehingga berakhir dengan judicial review diMK. BerdasarkanPutusanMahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XVIII/2020 yang amar putusannya menyatakan bahwa dalam pengujian formil menolak permohonan untuk seluruhnya dan dalam pengujian materil dinyatakan permohonan tidak dapat diterima. Kendati demikian, ada beberapa pendapat yang bisa dijadikan rujukan basis argumentasi bahwa norma yang mengatur sebagaimana disebutkan di atas memiliki problematika konstitusional yang paradigmatik. Isu hukum mengenai “batas usia menjadi hakim konstitusi” dijelaskan sebagai berikut:151

Pertama, persoalanusia menjadi perhatian utama, Mochtar dalamketerangan Ahli mengemukakan bahwa ada potensi masalah ketika ketentuan batas usia yang diatur saat ini, karena dengan hakim-hakim yang terpilih denganusia 47 tahun, tetapi kemudian diperpanjang serta mengalami perubahan pada batas usia awal menjadi 55 tahun dan batas akhir di usia 70 tahun, atau dengan 15 tahun pengabdian. Lebih dalam, bahwa suatu kebijakan yang baru, maka seharusnya diberlakukan secara prospektif. Dengan kata lain berlaku ke depan untuk hakim hasil rekrutan mendatang dan bukan untuk hakim yang ada saat ini. Kedua, Isra dalam dissenting opinion menyatakan MK selalu membatasi diri khususnya persoalan angka dengan alasan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), menurut Saldi Isra, MK sebenarnya bisa mengubah batasan usia minimum tersebut secara tidak langsung dengan mengikuti pola putusan terdahulu.

151 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XVIII/2020, hlm, 126-354.

Selanjutnya, isu hukum mengenai “pengalaman kerja khusus calon hakim

yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagai Hakim Tinggi atau sebagai Hakim Agung”, dijelaskan sebagai berikut:152

Pertama, menurut Mochtar, UUD tidak menyebutkan bahwa hakim harus berasal dari unsur yang mengajukan. Oleh karena itu jika dibatasi menjadi unsur MA harus dariunsur hakim, maka potensidilakukan penafsiran serupa, hakim dari Presiden harus berasal dari lingkungan pemerintahan dan dari DPR harus berasaldariunsur politisi. Kedua, dengan berlakunya norma a quo menurut Adams dalam dissenting opinion bahwa terjadi ketidakpastian hukum karena menegasikan prinsip “terbuka”. Lebih jauh, Adams menilai bahwa proses seleksi dan pemilihan calon Hakim Konstitusi yang diajukan MA menjadi “tertutup dan diskriminatif” hanya diikuti oleh warga negara yang sedang menjabat sebagaiHakim Tinggi atau Hakim Agung. Ketiga, Isra dalam dissenting opinion, mengemukakan bahwa norma a quo telah mempersempit, membatasi serta mereduksi prinsip keterbukaan warga negara yang dapat mengajukan diri sebagai calon Hakim Konstitusi.

Untuk melengkapi ulasan dan analisa terkait masa jabatan, perlu ditelusuri

lebih jauh masa jabatan hakim konstitusi di beberapa negara, dapat dilihat pada

tabel berikut.

Tabel 1. Perbandingan Masa Jabatan Hakim Konstitusi

No Negara Dasar Hukum 1. Thailand Pasal 207 dan Pasal 208 Konstitusi Thailand 2017 Pengaturan Pasal 207, a Judge of the Constitutional Court shall hold of office for a term of seven years as from the date of appointment by the King

Pasal 208, in addition to the vacation of office upon the expiration of term, a judge of Constitutional Court Vacates office upon : 4. Being 75 years old

2. Korea Selatan Pasal 122 Konstitusi Korea Selatan 1948 dan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi Korea Pasal 122, the term of office of the Justices of the Constitution Court shall be six years and they may be reappointed.

Pasal 7 ayat (2) the retirement age of a Justices shall be 70.

152 Ibid

Selatan Nomor 17469 tahun 2020 3. Italia Pasal 135 Konstitusi Italia 1947

4. Hungaria Pasal 24 ayat (8) Konstitusi Hungaria 2011 dan Pasal 15 ayat (1) a dan b UU Mahkamah Konstitusi Hungaria

5. Jerman UU Mahkamah Konstitusi Jerman

6. Turki Pasal 147 Konstitusi Turki 1982 7. Kolombia Pasal 239 Konstitusi Kolombia 1991

8. Afrika Selatan Pasal 176 ayat (1) Konstitusi Afrika Selatan 1996 The Judges of the Constitutional Court shall be appointed for nine years,beginning in each case from the day of theirswearing in, and they may not be reappointed. Pasal 24 ayat (8), the Constitutional Court shall be a body composed of fifteen members, each elected for twelve years with the votes of two-thirds of the Membersof the National Assembly.

Pasal 15 ayat (1) membership in the Constitutional Court shall terminate: a. upon reaching the age of 70 years, or b. upon the expiry of the term of office. The term of office of the Justices shall be twelve years, though it shall not extend beyond retirement age. The members of the Constitutional Court shall be elected for a term of twelve years. The Judges of the Constitutional Court shall be elected by the Senate of the Republic for single terms of eight yearsfrom lists presented to it by President of the Republic, the Supreme Court of Justice, and the Council of State. A Constitutional Court Judges holds office for a non-renewable term of 12 years, or until he or she attains the age of 70, whichever occurs first, except where an Act of Parliament extends the term of office of a Constitutional Court judge.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas telah menjelaskan bahwa persoalan batas usia menjadi hakim konstitusi perlu diberikan jalan keluar untuk memberikan kepastian hukum. Alasannya, bukan tidak mungkin batas usia menjadi hakim konstitusi dan dihapusnya periodesasi hanya memberikan keuntungan bagi hakim konstitusi yang sedang menjabat ketika dipilih belum berumur 55 tahun, dengan kata lain yang bersangkutan akan menjabat sebagai hakim konstitusi lebih 15 tahun. Apabila dibandingkan dengan beberapa negara sebagaimana tabel di atas, masa jabatan Hakim Konstitusi di Indonesia tidak disebutkan secara eksplisit, karena hanya mengikuti konstruksi batas umur dapat menjadi Hakim Konstitusi

diumur 55 tahun hingga masa pensiun diumur 70 tahun karena dihapusnya ketentuan Pasal 22 yang menyebutkan rentang masa jabatan.

Selain itu berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa konstruksi masa jabatan hakim konstitusidisebutkansecara tegas bahkandiatur mengenaitidak dapat dipilih kembali, misalnya konstitusi Italia secara eksplisit membatasi masa jabatan Hakim Konstitusi secarategas dengan masajabatan 9tahun dantidak dapat dipilihkembali. Pengaturan yang serupa juga diterapkan oleh Jerman, bahwa hakimkonstitusi menjabat dalam rentang waktu 12 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Dengan demikian ada ketidakpastian hukum terkait masa jabatan Hakim Konstitusi Indonesia, akibat tidak disebutkan secara tegas konstruksi masa jabatan Hakim Konstitusi.

Sementara itu, menurut Ginsburg153,Opeskin154 dan Manan155masa jabatan yang panjang atau seumur hidup untuk menghindari anasir-anasir eksternal karena tidak mungkiri bahwa potensi conflict of intrest terjadi ketika proses pengangkatan selanjutnya. Dalam hal ini, pentingnya pembatasan masa jabatan tidak dapat diperbarui agar tidak mendapatkan keuntungan pribadi dengan cara memihak pada kasus-kasus yang menyangkut pemerintah. Oleh karena itu masa jabatan yang panjang sebagai upaya menjaga independensi Mahkamah Konstitusi sehingga putusan Hakim Konstitusi senantiasa mencerminkan prinsip fairness, impartiality, tidak bias, dan menjamin memberikan keadilan. Namun tidak sepenuhnya pendapat demikian diterima karena secara faktual potensi hadirnya campur tangan para elit selalu ada dalam Putusan Pengadilan. Jadi, sekalipun ketentuan batas usia dipertahankan eksistensinya mengingat MK tetap berpendapat bahwa masa jabatan merupakan ranah open legal policy, maka dari itu hendaknya perubahan masa jabatan Hakim Konstitusi diberlakukan secara prospektif, agar menghindari terjadinya conflict of interest.

153 Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies Constitutional Courts in Asia Cases, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hlm. 46. 154 Brian Opeskin, “Model of Judicial Tenure: Reconsidering Life Limits, Age Limits and Term Limits for Judges”, Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 35, No. 4 (2015), hlm. 655 155 Bagir Manan, Periodesasi Jabatan Hakim serta Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam Achmad Edi Subiyanto, et.al (editor), Bagir Manan Keterangan Ahli di Mahkamah Konstitusi, (Depok: Rajawali Pres, 2021), hlm. 79.

Persoalan berikutnya yang menjadi sorotan adalah perihal pengalaman kerja khusus calon hakim yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagai hakim tinggi atau sebagai hakim agung, akan berimplikasi pada proses rekrutmen yang tidak transparan dan akuntabel karena calon Hakim Konstitusi hanya berasal dari lingkungan Hakim saja sehingga kesannya menjadi diskriminasi. Ditambah pula pola ini akan melahirkan ego sektoral lembaga masing-masing pengusul (DPR, Presiden dan MA). Oleh karena itu hendaknya norma a quo dibatalkan untuk menghindari persoalan konstitusional diakibatkan ego sektoral, karena nantinya akan berimplikasi pada kinerja MK.

2. Mekanisme Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi

Proses pengisian jabatan Hakim Konstitusi melalui model split and quota, sebagaimana disebutkan Pasal 24C Ayat (3) UUD NRI 1945, yang menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh Presiden. lebih lanjut berdasarkan Pasal 24C Ayat (6) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.

Ihwal mekanisme pengisian jabatan Hakim Konstitusitelah dielaborasidalam Undang-Undang tentang MK, bahwa Keputusan Presiden ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan calon diterima Presiden.156Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif157 Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusidiatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).158 Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara objektif dan akuntabel.159

156 Indonesia, Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 157 Ibid, Pasal 19. 158 Ibid, Pasal 20 ayat (1). 159 Ibid, Pasal 20 ayat (2).

Berdasarkan redaksi Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan bahwa mengenai tata cara seleksi, pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang. Dengan model atau mekanisme split and quota tersebut telah membuka ruang bagi institusi pemilih untuk menggunakan tata caranya masing-masing. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketentuan Pasal 20 Ayat (2) memberikan ruang penafsiran secara bebas bagi masing-masing lembaga negara (DPR, MA dan Presiden) dalam melakukan seleksi hakim konstitusi. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum tentang standarisasi seleksi hakim konstitusi.160

Dalam hal ini menurut Rishan, implementasi kebijakan cenderung dilakukan secara inkonsisten, baik itu dilakukan oleh calon Hakim Konstitusi yang diajukan oleh Presiden, DPR maupun MA. Persoalan tata cara pengangkatan diserahkan sebagai bentuk open legal policy sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (6) UUD NRI 1945.161 Karena jika ditelaah secara cermat ada kekeliruan yang sistematis, berdasarkan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak terlepas dari turunan dari Pasal 24C ayat 6 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Perihal pengangkatan hakim konstitusi dan syarat-syaratnya diatur dalam undang-undang.Namun di dalamPasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa mengenai tata cara seleksi, pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang.

Adanya perbedaan norma tersebut jelas menimbulkan ketidakpastian hukum yang berujung pada inkompatibilitas pengaturan seleksi hakim konstitusi. Justru dengan amanat UU Kekuasaan Kehakiman membuka celah kepada Presiden, DPR dan MA merumuskan suatu standar baku yang dapat dijadikan pedoman bersama dalam melakukan seleksi hakim konstitusi. Ketentuan standar baku tersebut

harusnya ditetapkan dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang secara

160 Fence M. Wantu,et.al., “Studi Efektivitas Sistem Rekrutmen dan Seleksi Hakim Konstitusi RI”, Hasil Penelitian Kerjasama Mahkamah Konstitusi Dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo, 2017, hlm. 45. 161 Idul Rishan, op.cit, hlm. 276.

spesifik mengatur secara kelembagaan. Sayangnya, celah hukum tersebut dinafikan oleh pembentuk Undang-Undang dalam merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pada tahun 2011.162

Implikasi dari produk legislasi demikian, menjadikan tata cara pengangkatan Hakim Konstitusi menjadi tidak seragam dan berpola.163 Untuk membuktikan itu Idul Rishan dalam penelitiannya kemudian mengklasifikasikan melalui tiga model seleksi. Pertama, penunjukan secara tertutup (close appointee); kedua, pemilihan (open election); ketiga, berdasarkan sistem merit (merit selction) biasanya sistem merit melibatkan kalangan ahli sebagai Panitia Seleksi. Perihal pengangkatan Hakim Konstitusi, Rishan menyajikannya data sebagai berikut:164

Tabel 2: Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi

No Hakim Konstitusi Unsur Kelembagaan Mekanisme Pengangkatan

1 Jimly Asshiddiqie DPR Open election

2 Laica Marzuki MA Closed Appointee

3 Abdul Mukhtie Presiden Periode I:

Fadjar Closed Appointed Periode II :

Merit Selection

Dengan melibatkan Tim ahli

4 Harjono165 Presiden dan DPR Closed Appointee Open election

5 M. Mahfud MD DPR Open election

162 Fence M. Wantu, et.al., op.cit, hlm. 48. 163 Idul Rishan, op.cit, hlm. 278. 164 Ibid. 165 Sebagai catatan Hakim Harjono menjadi Hakim Konstitusi yang diajukan melalui dua pintu yaitu Presiden dan DPR. Masa bakti tahun 2003-2008 diajukan dari unsur Presiden, kemudian untuk masa bakti 2008-2013 diajukan dari unsur Presiden.

6 Achmad Sodiki Presiden Merit Selection

denganmelibatkan Tim ahli

7 Akil Mochtar DPR Open election 8 Hamdan Zoelva Presiden Closed Appointee 9 Achmad Roestandi DPR Open election 10 Sudarsono MA Closed Appointee 11 H.A.S. Natabaya Presiden Closed Appointee 12 Maruarar Siahaan MA Closed Appointee 13 Muhammad Alim MA Closed Appointee 14 Patrialis Akbar Presiden Closed Appointee 15 Maria Farida Presiden Periode I:

16 Ahmad Fadil

Sumadi Merit Selection

denganmelibatkan tim ahli

Periode II :

Closed Appointee MA Closed Appointee

17 Arsyad Sanusi 18 Anwar Usman

19 Aswanto MA Closed Appointee MA Closed Appointee DPR Merit Selection

20 Arief Hidayat DPR

21 Wahiduddin Adams DPR denganmelibatkan (Tim Pakar) Open election Merit Selection

denganmelibatkan (Tim Pakar)

22 I Dewa Gede Palguna166 DPR Periode I :

Open election Periode II :

Merit Selection melibatkan Panitia

23 Suhartoyo 24 Manahan M.P

Sitompul 25 Saldi Isra Seleksi (Pansel) MA Closed Appointee MP Closed Appointee

Presiden Merit Selection

melibatkan Panitia

Seleksi (Pansel) 26 Enny Nurbaningsih Presiden Merit Selection melibatkan Panitia

Seleksi (Pansel)

Tabel 3: Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi167

No Hakim Konstitusi Unsur Kelembagaan Mekanisme Pengangkatan

1 Aswanto DPR Periode II:

Merit Selection

2 Wahiduddin Adams DPR Periode II:

Merit Selection

3 Suhartoyo

4 Daniel Yusmic

Pancastaki Foekh MA Periode II:

Closed Appointee Presiden Merit Selection

melibatkan Panitia

Seleksi (Pansel)

166 Sebagai catatan Hakim I Dewa Gede Palguna menjadi Hakim Konstitusi yang diajukan melalui dua pintu yaitu DPR dan Presiden. Masa bakti tahun 2003-2008 diajukan dari unsur DPR, kemudian untuk masa bakti tahun 2015-2020 diajukan dari unsur Presiden. 167 Penulis mencoba menampilkan data terbaru dalam kurun waktu 2019-2020.

Selain data yang disebutkan di atas, perlu pula ditelusuri lebih jauh perbandingan mekanisme pengangkatan Hakim Konstitusi di berbagai negara, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4: Perbandingan Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi

No Negara Dasar Hukum 1. Thailand Pasal 200 Konstitusi Thailand2017 Pengaturan The Constitutional Court consists of nine Judges of the Constitutional Court appointed by the King from following Persons: 1. three judges in the Supreme Court holding a position not lower than

Presiding Justice of the Supreme Court for not less than three years elected by a plenary meeting of the Supreme Court; 2. two judges of the Supreme

Administrative Court holding a position not lower than judge of the Supreme

Administrative Court for not less than five years, and currently having renowned academic work; 3. one qualified person in law obtained by selection from persons holding or having held a position of Professor of a university in Thailand for not less than five years, and currently having renowned academic work; 4. one qualified person in political science or public administration obtained by selection from persons holding or having held a position of Professor of a university in Thailand for not less than five years, and currently having renowned academic work; 5. two qualified person obtained by selection from persons holding or having held position not lower than

Director-General of a position not lower than Director-General or a position equivalent to a head of government

2. Korea Selatan Pasal 111 ayat (2), (3) dan (4) KonstitusiKorea Selatan 1948

3. Italia Pasal 135 paragrap 1 Konstitusi Italia 1947

4. Hungaria Pasal 7 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi Hungaria

5. Jerman Pasal 94 ayat (1) Konstitusi Jerman

6. Turki Pasal 146 Konstitusi Turki 1982 agency, or a position equivalent to a head of government agency, or a position not lower than Deputy Attorney-General, for not less than five years.

Pasal 111 ayat (2), the Constitutiona Court shall be composed of nine Judges qualified to be court Judges, and they shall be appointed by the President; (3) among the Judges referred to in Paragraph (2), three shall be appointed from persons selected by the National Assembly, and three appointed from persons nominated by the Chief Justice; and (4) the head of the Constitution Court shall be appointed by the President from among the Judges with the consent of the National Assembly. The Constitutional Court shall be composed of fifteen Judges, a third by Parliament in joint sitting and a third by the ordinary and Administrative Supreme Court Members of the Constitutional Court shall be proposed by a Nominating Committee, made up of at least nine and at most fifteen members, appointed by the parliamentary fractions of the parties represented in the Parliament. The Committee shall contain at least one member from each of the parliamentary fractions. The Federal Constitutional Court shall consist of federal judges and other members. Half the Members of the Federal Constitutional Court shall be elected by the Bunderstag and half by the Bundesrat. They may not be members of the Bundestag, of the Bundesrat, of the Federal Government, or of any of corresponding bodies of a Land. The Grand National Assembly of Turkey shall elect, by secret ballot, two members from among three candidates to be nominated by and from among the president and members of the Court of Accounts, for each vacant position, and one member from among three candidates nominated by the heads of the bar associations from among self-employed lawyers. In this election to be

7. Kolombia Pasal 239 Konstitusi Kolombia1991

8. Afrika Selatan Pasal 174 ayat (4) Konstitusi Afrika Selatan 1996 held in the Grand National Assembly of Turkey, for each vacant position, two thirds majority of the total number of members shall be required for the first ballot, and absolute majority of total number of members shall be required for the second ballot. If an absolute majority cannot be obtained in the second ballot, a third ballot shall be held between the two candidates who have received the greatest number of votes in the second ballot; the member who receives the greatest number of votes in the third ballot shall be elected. The Judges of the Constitutional Court shall be elected by the Senate of the Republic for single terms of eight years from lists presented to it by President of the Republic, the Supreme Court of Justice, and the Council of State. The other judges of the Constitutional Court are appointed by the President, as head of the national executive, after consulting the Chief Justice and the leaders of parties represented in the National Assembly, in accordance with the following procedure: a. The Judicial Service Commission must prepare a list of nominees with three names more than the number of appointments to be made, and submit the list to the President. b. The President may make appointments from the list, and must advise the

Judicial Service Commission, with reasons, if any of the nominees are unacceptable and any appointment remains to be made. c. The Judicial Service Commission must supplement the list with further nominees and the President must make the remaining appointments from the supplemented list.

Merujuk tabel perbandingan mekanisme pengangkatan hakim konstitusi terlihat ada beragam model prosedur pengangkatan hakim konstitusi. Secara

teoritis, Bulmer membagi3 modelpengangkatan yaitu: (a) single-body appointment mechanisms; (b) professional appointments; (c) cooperative appointment mechanisms; dan (d) representative appointment mechanisms. 168Adapun negara yang disebutkan di atas sebagian besar mendesain pengangkatan hakim konstitusi dengan model coperative appointment mechanisms antara lain Italia, Hungaria, Kolombia dan Afrika Selatan. Sedangkan model representative diterapkan oleh Korea Selatan, Jerman dan Turki serta diikuti pula oleh Indonesia. Model representative dengan melibatkan peran tiga kekuasaan, eksekutif, legislatif dan yudikatif dapat juga disebut dengan model split and quota. Model representative yang diterapkan oleh beberapa negara, menurut Ginsburg memiliki kelemahan jika dibandingkan dengan model coperative. Alasannya kemungkinan terjadinya politisasi terhadap calon yang diajukan sehingga cenderung terfragmentasi secara internal.169

Sementara itu melihat praktik pengisian jabatan Hakim Konstitusi di Indonesia sebagaimana tabel di atas menunjukan bahwa persoalan konsistensi norma pengaturan karena metode pengangkatan jabatan hakim konstitusi belum memiliki standar baku bahkan mengabaikan perintah undang-undang yang berbunyi “pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Selain itu bertentangan pula dengan “pemilihan hakim konstitusi dilaksanakan secara objektif dan akuntabel”.170Sejauh ini, ketentuan mengenai seleksi, pemilihan dan pengajuan baru dilihat dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Hal demikian tidak memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid). Fuller memberikan gambaran kepastian hukum, harus dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum dan tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.171 Selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Fuller sudah seyogianya pembuat undang-undang merekonstruksi mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi secara definitif dan dituangkan dalam norma undang-undang yang lebih mapan

168 Elliot Bulmer, op.cit, hlm. 9-11 169 Tom Ginsburg, op.cit, hlm. 45. 170 Pasal 19 dan Pasal 20 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 171 Lon Fuller dalam Fence M. Wantu, Idee Des Recht, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 79.

bukan malah memberikan kewenangan pada lembaga pemilih untuk mengatur mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi.

b. Tantangan Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi

Diakomodasinya model representative atau split and quota secara ajeg sebagaimana diakomodasidalam UUD NRI 1945 yaitu memberikan “jatah” kepada Presiden, DPR dan MA untuk “memajukan” tiga hakim konstitusi. Dalam hal ini

tentunya memiliki konsekuensi politis tersendiri bahkan hal demikian berimplikasi pada integritas dan kualitas Hakim Konstitusi yang dihasilkan dari proses seleksi. Proses pengisian jabatan Hakim Konstitusi yang dilakukan oleh DPR dan Presiden sarat dengan nuansa politik hal tersebut selaras dengan apa yang dikemukan oleh Mochtar bahwa pola atau metode yang digunakan Indonesia dalam memilih Hakim Konstitusi adalah political appointing (pengangkatan politik).172Sebagai contoh ketika publik dikejutkan dengan berita digelarnya uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon hakim Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat yang pada saat itu masih menjabat sebagai Ketua MK. Keterkejutan itu disebabkan karena selama ini tidak diketahui ada pengumuman dari DPR soal perekrutan dan pencalonan Hakim Konstitusi.173 Tentunya hal tersebut bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabel.

Dalam hal ini Mochtar mempertanyakan beberapa hal yang harus dijawab oleh DPR, Pertama, bagaimana dengan keharusan transparansi? Artinya, DPR seharusnya menjelaskan alasan dibalik gerakan tiba-tiba memberi karpet merah kepada orang tertentu. Mengapa untuk kali ini DPR memilih untuk langsung melakukan uji kepatutan dan kelayakan sebagai sarana sahih menakar integritas, kapabilitas dan aksetabilitas seorang kandidat. Akan tetapi dengan cara hanya memberikan kesempatan uji kepatutan dan kelayakan kepada satu orang, itu sama dengan mengatakan bahwa yang layak untuk dinilai integritas, kapabilitas dan

172 M. Dani Pratama Huzaini, “Independensi Diragukan, Mekanisme Pengisian Jabatan Hakim MK Perlu Dievaluasi”, <https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a3740d8774f8/independensi-diragukan-mekanisme-pengisian-jabatan-hakim-mk-perlu-dievaluasi/>, diakses 17 Juli 2022. 173 Syamsuddin Radjab, Cacat Hukum Pemilihan Hakim Konstitusi, https://antikorupsi.org/en/news/cacat-hukum-pemilihan-hakim-konstitusi, diunduh 17 Juli 2022.

akseptabilitas hanyalah satu orang dengan batas penalaran wajar, dapat dikatakan bahwa sebenarnya DPR sudah memilih dan hanya mengonfirmasi pilihannya saja. Padahal, harusnya bisa mendapatkan pandangan awal mengenai integritas dan kapabilitas jika DPR menggunakan panitia seleksi atau Dewan Pakar sebagaimana biasanya proses seleksi.174

Kedua, bagaimana dengan partisipatif? Partisipatif seharusnya diartikan bahwa siapapun bebas berpartisipasi, sehingga jika ada mekanisme yang bersifat privilage terhadap seorang, itu sama dengantindakan yang menegasikanpartisipasi. Atau, jangan-jangan Komisi III tengah menunjuk kepongahan partisipasi politik yang dianggap lebih penting daripada partisipasi publik. Hal yang sederhananya akan bisa menghasilkan Hakim Konstitusi yang mendapatkan akseptabilitas politik semata tanpa adanya akseptabilitas publik artinya prinsip partisipatif seharusnya memberikan kemungkinan siapa saja untuk berpartisipasi.175

Ketiga, persoalan obyektif dan akuntabel, bukan sekedar pelanggaran atas prinsip partisipasi, memberikan “wild card” untuk langsung ke tahap pemilihan tanpa uji kepatutan dan kelayakan adalah hal tersendiri yang juga harus diberi garis tebal. Sulit untuk mengartikan pemberian langsung itu sebagai suatu hal yang tetap berada pada koridor obyektif dan akuntabel. Obyektif seharusnya diartikan sebagai penilaian secara merata tanpa membedakan pengalaman atau apa yang telah dilakukan. Siapapun yang mendaftar sebagai calon Hakim Konstitusi haruslah dipandang sebagai calon Hakim yang memulai dari nol. Karena itu dengan alasan terhadap sosok tertentu yang telah menjadi Hakim, ia diberikan jalan lapang langsung untuk uji kepatutan dan kelayakan adalah sesuatu yang tidak pas. Secara teoritik, ini sulit diterima. Bagaimanapun, pada diri seorang Hakim terdapat dua unsur perbuatan yang melekat pada dirinya, sebagai seorang Hakim sekaligus sebagai warga biasa.176

Proses pencalonan Hakim Konstitusi secara tertutup bukan kali ini saja terjadi. Setidaknya, dua mantan Hakim Konstitusi pernah menikmati praktik ini,

174 Zainal Arifin Mochtar, op.cit, hlm. 105-106. 175 Ibid. 176 Ibid.

yaitu Akil Mochtar dan Patrialis Akbar keduanya berakhir na’as karena terlibat tindak pidana korupsi saat menjalankan tugasnya sebagai hakim MK.177 Kritik pun tidak terhindarkan dari kalangan Ahli di antaranya Mochtar yang menyatakan bahwa ketika Patrialis Akbar dipilih tanpa suatu proses yang berarti, yakni dengan standar-standar transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel. Patrialis Akbar dipilih dengan pilihan yang terlihat konklusi mendahului analisis. Makanya, keputusan Presiden untuk pengangkatannya dipersoalkan di PTUN dan mendapatkan catatan besar kesalahan di tingkat pertama maupun banding. Ini tentu saja menjadi catatan bahwa ke depan, prinsip-prinsip ini harus kembali dikuatkan dan dilaksanakan dengan kesungguhan. Harus ada aturan detail yang mengatur bagaimana keempat prinsip tadi dituangkan dalam proses pemilihan sehingga tidak sekadar memberikan itu kepada itu kepada Presiden, DPR dan MA untuk memilih cek kosong.178

Isra menyatakan hal yang sama dengan apa yang dikemukakan oleh Mochtar, bahwa Undang-Undang tentang MK telah mengatur proses seleksi calon Hakim MK dilakukan secara transparan dan partisipatif. Tidak hanya itu proses pemilihannya juga dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel. Tiga Instansi yang memiliki otoritas untuk mengajukan calon tidak memiliki standar dan proses yang sama dalam menyeleksi Hakim MK. Misalnya, sebagai salah satu lembaga yang memiliki otoritas mengajukan Hakim MK, proses seleksi calon Hakim MK di Mahkamah Agung masih tertutup. Padahal, proses transparan dan partisipatif menjadikewajiban bagi semua lembaga yang memilikiotoritas mengajukanHakim MK . Begitu pula calon yang diajukan Presidenm merujuk sejumlah pengalaman, proses seleksi yang dilakukan dengan standar yang berbeda.

Berdasarkan pendapat beberapa Ahli yang intinya menekankan bahwa realitas pengisian jabatan Hakim Konstitusi tidak dilalui dengan tahapan yang transparan partisipatif, objektif, dan akuntabel karena berbagai tantangan yang salah satunya adalah ego sektoral para pemilihnya (DPR, Presiden dan Mahkamah

177 Syamsuddin Radjab, loc.cit. 178 Zainal Arifin Mochtar, op.cit,hlm.110-111.

Agung). Oleh karena sudah seharusnya kita men-desain ulang mekanisme pengisian jabatan Hakim Konstitusi.

c. Desain Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi yang Ideal.

Penelitian Fence dan kawan-kawan menjelaskan bahwa, model rekrutmen dan seleksi hakim Mahkamah Konstitusi dengan menggunakan Panel Seleksi baik oleh Lembaga Masing-masing Pengusul hakim konstitusi ataupun Panel seleksi dalam bentuk Kesepakatan bersama Lembaga Pengusul Hakim Konstitusi adalah pembaharuan hukum yang tujuan utamanya adalah menghasilkan Hakim Konstitusi yang memiliki integritas ideal sebagai seorang negarawan sejati. Proses rekrutmen dengan menggunakan Panel Seleksi yang jelas dan baku merupakan pemenuhan terhadap prinsip utama dalampengisian jabatan Hakim Konstitusi yang diamantkan oleh Undang-undang Dasar dan Undang-undang Mahkamah Konstitusi yakni akuntabel (proses serta hasilnya dapat dipertanggungjawabkan), partisipatif (adanya keikutsertaan publik proses keseluruhan seleksi), obyektif (berdasar presentase kompetensi), sertatransparansi (diketahui publik). Selain itu, kedudukan panel seleksi ini tidak bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang ada, selama dimaknai tidak adanya kewenangan lembaga lain yang akan mereduksi kewenangan lembaga pengusul hakim konstitusi.179

Sedangkan penelitian Indramayu, et.al, menerangkan, mekanisme seleksi calon Hakim Konstitusi harus diarahkan pada tercapainya Hakim Konstitusi yang berintegritas, berkeperibadian yang baik, adil dan negarawan yang menguasai konstitusi melalui beberapa tahapan seleksi. Mekanisme seleksi disusun dengan tiga tahapan yang terdiri dari persiapan seleksi, pelaksanaan seleksi dan pasca seleksi. Pada tahapan persiapan, masing-masing lembaga pengaju mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan dalam pelaksanaan seleksi termasuk pembentukan Panel Ahli. Setelah Panel Ahli terbentuk, Panel Ahli melakukan publikasi melalui media massa baik cetak maupun elektronik terkait akan diadakannya seleksi hakimkonstitusi. Pelaksanaan seleksi terdiri dari seleksi administratif di mana calon hakimkonstitusi

menyerahkanpersyaratanadministrasiyangdiatur dalamUU MK,

179 Fence M. Wantu, et.al.,op.cit, hlm.126.

seleksi Akademis di mana calon hakim konstitusi akan diuji mengenai pemahaman konstitusinya melalui pembuatan makalah dan presentasinya serta praktek persidangan semu sederhana. Selain itu, Panel Ahli akan menelusuri rekam jejak masing-masing calon hakim konstitusi yang melibatkan KPK dan PPATK guna menelusuri harta kekayaan calon hakim konstitusi dan pelibatan organisasi masyarakat, LSM dan/atau masyarakat guna memberikan pertimbanganpertimbangan dalam memilih hakim konstitusi. Panel Ahli akan mengadakan musyawarah Panel Ahli untuk menentukan calon hakim konstitusi yang memenuhi kualifikasi, setelah itu Panel Ahli akan melakukan musyawarah bersama dengan masing-masing lembaga pengaju untuk menentukan calon hakim konstitusi yang akan diajukan, sehingga terpilihlah calon hakim konstitusi terbaik yang akan diajukan kepada presiden untuk dilantik. Tahapan ketiga yakni tahapan pascaseleksi di mana Panel Ahli membuat laporan pertanggungjawaban guna mewujudkan seleksi hakim konstitusi yang akuntabel.180

Di pihak lain, Hastuti dalam konklusinya menyebutkan dalam proses perekrutan hakim konstitusi harus ada pelibatan DPR dalam pengangkatan hakim agung dan hakim konstitusi sejatinya merupakan bagian dari penguatan DPR yang dilakukan melalui perubahan UUD NRI 1945, yang mempunyai semangat memperkuat DPR dan membatasi kekuasaan Presiden. Penguatan ini tidak terlepas dari agenda demokrasi yang bergulir seiring terjadinya masa transisi demokrasi pasca Orde Baru, di mana agenda demokrasi salah satunya dilakukan dengan memperkuat lembaga demokrasi-di antaranya DPR-melalui konsolidasi demokrasi. Meskipun pelibatan tersebut merupakan bagian dari agenda demokrasi, pada kenyataannya pelibatan tersebut tidak sesuai dengan asas separation of power di mana seharusnya lembaga kehakiman tidak diintervensi oleh lembaga lain seperti DPR, termasuk dalam seleksi hakim-hakimnya. Pelibatan tersebut juga tidak sesuai dengan asas check and balances karena dalam seleksi hakim agung, DPR bukan berhadapan dengan kekuasaan Presiden tetapi berhadapan dengan Komisi Yudisial yang merupakan state auxiliary organ. Sedangkan pada pengangkatan hakim

180 Indramayu, et.al., “Rekonseptualisasi Seleksi Hakim Konstitusi Sebagai Upaya Mewujudkan Hakim Konstitusi yang Berkualifikasi”, Jurnal Lentera Hukum, Volume 4, Nomor 1, (April 2017), hlm. 16.

konstitusi, DPR justru mempunyai otoritas penuh atas pengusulan tiga Hakim Konstitusi.181

Dalam konteks pengisian jabatan Hakim Agung dan Hakim Konstisusi, Harijanti mengatakan bahwa pengaturan dan pengisian Hakim Agung dan Hakim Konstitusi di Indonesia masih bersifat dinamis, dalam arti masih terjadi perubahanperubahan pengaturan, terutama berkenaan dengan syarat-syarat dan mekanisme pengangkatan jabatan. Perubahan peraturan disebabkan munculnya tuntutan akan proses seleksi yang lebih terbuka dan akuntabel sehingga mampu menghasilkan hakim yang lebih profesional. Sayangnya, keinginan untuk menghasilkan hakim yang lebih berkualitas tidak selalu terwujud karena berbagai hambatan. Pengalaman pemilihan Hakim Konstitusi jalur DPR tahun 2014 memperlihatkan secara nyata bahwa kehadiran panitia seleksi tidak terlalu bermanfaat. Para anggota DPR seakan-akan tidak memperlihatkan kemauan untuk menggunakan hasil panitia seleksi, melainkan lebih mengedepankan preferensi pribadi atau politik. Selain itu, panitia seleksi juga tidak terlepas dari kritik, antara lain berkenaan dengan syarat anggota dan cara mereka melakukan tugasnya. Mekanisme fit and proper test tidak dilaksanakan secara wajar sehingga terdapat kesan, anggota panitia seleksi melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat ‘merendahkan’ calon. Seharusnya, para anggota panitia seleksi lebih menempatkan dirinya sebagai orang yang ditugaskan untuk melakukan elaborasi kemampuan para calon dari berbagai perspektif.182

Sistem rekrutmen calon hakim konstitusi di DPR menggunakan pilihan keterbukaan terhadap masyarakat (partisipasi publik) dari sejak awal hingga akhir sehingga dapat menghasilkan calon hakim konstitusi yang ideal. Dalam implementasinya, prinsip transparansi dan partisipasi publik telah dilaksanakan sejak awal sampai akhir rekrutmen calon hakim konstitusi pada Periode I, Periode IV, Periode V, dan Periode VI, namun untuk Periode II tidak dilakukan fit and

181 Sri Hastuti Puspitasari, “Pelibatan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengisian Jabatan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum,Volume 25, Nomor 25, (September 2018), hlm. 446. 182 Susi Dwi Harijanti, “Pengisian Jabatan Hakim: Kebutuhan Reformasi dan Pengekangan Diri”,Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Volume 21, Nomor 4, (Oktober 2014), hlm. 554.

proper test pada salah satu incumbent dan waktu yang terbatas untuk publik memberikan masukan rekam jejak, sedangkan Periode III sama sekali tidak ada fit and proper test. Seluruh proses mekanisme dan sistem rekrutmen calon Hakim Konstitusi haruslah memenuhi prinsip-prinsip yakni transparansi (dapat diketahui publik), partisipatif (turut melibatkan publik dalam setiap prosesnya), obyektif (berbasis kompetensi), dan akuntabel (hasilnya dapat dipertanggungjawabkan). Selain itu, pilihan cara rekrutmen melalui partisipasi publik merupakan suatu kebijakan politik yang tepat diambil DPR dimulai dari pendaftaran calon hakim konstitusi sampai penetapan hakim konstitusi telah terpenuhi sebagaimana amanat konstitusi “the right man in the right position through the appropriate selectionof recruitment mechanism” (orang yang tepat pada jabatan yang tepat melalui pilihan mekanisme rekrutmen yang tepat pula).183

Demokrasi akan memberikan kesempatan-kesempatan untuk, pertama, partisipasi yang efektif; kedua, persamaan dalam memberikan suara; ketiga, mendapatkan pemahaman yang jernih; keempat, melaksankana pengawasan akhir terhadap agenda; kelima, pencakupan orang dewasa. Jadi, ketika kesempatankesempatan yang merupakan konsekuensi dari ukuran umum negara demokrasi ini tidak dijalankan, maka negara tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai negara demokrasi.184

Untuk memahami konsep partisipasi secara singkat dengan mengutip pendapat Vaneklasen dan Miller yang membagi partisipasi ke dalam beberapa bentuk salah satunya sebagai berikut:185

1. Partisipasikonsultatif, yaitu masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab beberapa pertanyaan. Hasil jawaban masayarakt ini akan dinalisis oleh pihak luar untuk mengindentifikasi masalah dan cara untuk mengatasi masalah tersebut tanpa perlu memasukkan pandangan masyarakat; 2. Partisipasi interaktif, yaitu masyarakat berpartisipasi dalam mengembangkan dan menganalisa rencana kerja. Partisipasi dilihat sebagai hak, bukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan, prosesnya melibatkan metodolgi dalam

183 Winda Wijayanti, et.al., “Transparansi dan Partisipasi Publik dalam Rekrutmen Calon Hakim Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 4, (Desember 2015), hlm. 687. 184 Saifudin, Partisipasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2009), hlm. 14-15 185 Salahudin, Korupsi Demokrasi & Pembangunan Daerah, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Lapindo Bidos, 2012, hlm. 32-33.

mencari perspektif yang berbeda serta menggunakan proses belajar yang terstruktur. Karena masyarakat dilibatkan dalam pengambilan keputusan, maka mereka mempunyai keterikatan untuk mempertahankan tujuan dan insitusi lokal yang ada di masyakarat menjai kuat. 3. Pengeorganisasian diri, yaitu masyarkat berpartisipasi dengan merencanakan secara mandiri. Mereka mengembangkan kontak dengan pengembangan eksternal untuk sumber data dan saran-saran teknis yang dibutuhkan, namun kontrol bagaimana sumber daya tersebut digunakan, berada di tangan masyarakat sepenuhnya. Tipe partisipasi masyarakat ini sangat ideal, karena menunjukkan bagaimana masyarakat sudah sangat berdaya, mampu mengadvokasi dirinya sendiri masalah yang menimpanya.

Dengan demikian, dalam konteks pengangkatan jabatan Hakim Konstitusi bangunan premis terkait desain pengangkatan jabatan hakim konstitusi yang ideal di masa depan dari perspektif ius constituendum. Pertama, harus ada pengaturan yang baku mengenai tata cara, pemilihan, dan pengajuan calon Hakim Konstitusi guna menghindari ketidakpastian hukum. Alangkah baiknya ketentuan mengenai tata cara pengangkatan jabatan Hakim Konstitusi diatur secara expressis verbis dalam UUD NRI 1945 atau UU MK;

Kedua, kendatirumusanPasal22C Ayat (3)UUD 1945 berbunyi“ Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan tiga orang oleh Presiden”, sudah

seyogianya direkonstruksi proses pengangkatan jabatan Hakim Konstitusi tidak melibatkan DPR dan Presiden karena tidak sesuai dengan asas separation of power dan prinsip check and balances. Oleh karena itu perlu diadakan amandemen UUD NRI 1945 berkenaan dengan substansi rekrutmen Hakim Konstitusi;

Ketiga, perlu dibentuknya Panitia Seleksi yang independen terbebas dari conflict of interest karena rasanya sukar menjaring Hakim yang mempunyai karakter negarawan jika yang melakukan seleksi memiliki konflik kepentingan. Susunan Panitia Seleksi terdiri dari para Ahli Hukum dan berbagai Profesi Hukum lainnya (advokat, Mantan Jaksa, Mantan Hakim) yang ditunjuk langsung oleh Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial;

Keempat, transapransi dan partisipatif merupakan kebutuhan yang urgensi bagi menghadirkan sosok negarawan sejati. Demi mewujudkan proses yang transparan dan partisipatif dalam proses pengangkatan jabatan Hakim Konstitusi,

perlu diadakan uji publik terhadap kandidat Hakim Konstitusi, dengan konsekuensi diterima atau ditolak oleh rakyat, jika diterima Ketua Mahkamah Agung menetapkan dan melantik Hakim terpilih namun jika ditolak akan dilakukan seleksi ulang. Urgensi melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan Hakim Konstitusi guna menghasilkan Hakim Konstitusi yang berintegritas dan berkepribadian yang tidak tercela, adil negarawan yang menguasai konstitusi.

III. PENUTUP

Syarat untuk menjadi hakim konstitusi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu syarat objektif dan syarat subjektif. Syarat objektif adalah untuk dapat menjadi Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi. Di samping itu ada syarat subjektif yang harus dipenuhi antara lain: a. warga negara Indonesia; b. berijazah doktor (strata tiga) dengan dasar sarjana (strata satu) yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;c. bertakwa kepadaTuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia; d. berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun; e. mampu secara jasmanidanrohanidalam menjalankan tugasdankewajiban; f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukumtetap; g.tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan h. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/ataupernah menjadi pejabat negara dan/atau untuk calon hakim yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagai hakim tinggi atau sebagai hakim agung.

Dari kedua syarat tersebut terdapat problematik hukum, pertama problematik filosofis yakni memaknai istilah “negarawan”menjadi rumit ketika

pemerintah bersama DPR memaknai umur 55 tahun sebagai batas umur dikatakan negarawan, karena tidak ada parameter yang jelas, pada akhirnya hanya akan menutup kesempatan bagi anak bangsa yang memiliki pengalaman, integritas dan kualitas untuk menjadi Hakim Konstitusi. Kedua, perubahan masa jabatan dan dihapusnya periodesasi hanya untuk memberikan keuntungan bagi Hakim Konstitusi yang sedang menjabat ketika dipilih belum berumur 55 tahun.

Mekanisme pengangkatan jabatan Hakim Konstitusi dengan menggunakan model representative atau split and quota, yaitu memberi “jatah” Presiden, DPR

dan MA untuk “memajukan” tiga hakim konstitusi. Model split and quota yang diterapkan telah membuka ruang bagi institusi pemilih untuk memonopoli calon hingga akhirnya Hakim Konstitusi lahir dari egoisme pemilihnya dan menanggalkan sistem merit selection. Hal demikian disebabkan belum adanya standar baku yang mengatur mekanisme pengangkatan jabatan hakim konstitusi hingga akhirnya tidak memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu harus ada pengaturan yang baku mengenai tata cara, pemilihan, dan pengajuan Hakim Konstitusi guna menghindari ketidakpastian hukum (legal uncertainty).

Dalam proses pengisian jabatan Hakim Konstitusi sudah seharusnya tidak melibatkan DPR dan Presidenkarena tidak sesuaidengan asas separation of power. Perlu dibentuknya Panitia Seleksi yang independen terbebas dari conflict of interest karena rasanya sukar dan sumir menjaring Hakim yang negarawan jika yang melakukan seleksi memiliki konflik kepentingan. Urgensi melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan Hakim Konstitusi guna menghasilkan Hakim Konstitusi yang berintegritas dan berkepribadian yang tidak tercela, adil negarawan yang menguasai konstitusi.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

A. Engstad, Nils et.al, The Independence of Judge, Den Haag: Eleven International

Publishing, 2014. Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Ginsburg Tom, Judicial Review in New Democracies Constitutional Courts in Asia Cases, Cambridge: Cambridge University Press, 2003.

Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2017. Mochtar, Zainal Arifin, Menegakkan Konstitusi Melawan Korupsi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2018. Rishan, Idul, Kebijakan Reformasi Peradilan: Pertarungan Politik, Realitas Hukum, & Egosentrisme Kekuasaan, Yogyakarta: FH UII Press, 2018. Saifudin, Partisipasi Publik dalam Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, Cetakan pertama Yogyakarta: FH UII Press, 2009. Salahudin, Korupsi Demokrasi & Pembangunan Daerah, Cetakan Pertama Yogyakarta: Lapindo Bidos, 2012. Subiyanto, Achmad Edi et.al (editor), Bagir Manan Keterangan Ahli di Mahkamah Konstitusi, Depok: Rajawali Pres, 2021 Wantu, Fence M., 2011, Idee Des Recht, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

JURNAL DAN PENELITIAN

Bulmer, Elliot, “Judicial Appointments”, International IDEA ConstitutionBuilding Primer 4, Harijanti, Susi Dwi, “Pengisian Jabatan Hakim: Kebutuhan Reformasi dan Pengekangan Diri”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Volume 21, Nomor 4, 2014.

Hardianto, Danang, “Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah

Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014.

Indramayu, et.al., “Rekonseptualisasi Seleksi Hakim Konstitusi Sebagai Upaya Mewujudkan Hakim Konstitusi yang Berkualifikasi” , Jurnal Lentera Hukum, Volume 4, Nomor 1, 2017. Opeskin, Brian, “Model of Judicial Tenure: Reconsidering Life Limits, Age Limits and Term Limits for Judges”, Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 35, No. 4 2015.

Puspitasari, Sri Hastuti, “Pelibatan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengisian

Jabatan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum,Volume 25, Nomor 25, 2018. Subiyanto, Achmad Edi dan I Gede Hartadi Kurniawan, “Model Pengisian Jabatan

Hakim Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Hasil Penelitian Universitas Esa Unggul, 2018. Wantu. Fence M.,et.al., “Studi Efektivitas Sistem Rekrutmen dan Seleksi Hakim

Konstitusi RI”, Hasil Penelitian Kerjasama Mahkamah Konstitusi Dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo, 2017. Wijayanti, Winda. et.al., “Transparansi dan Partisipasi Publik dalam Rekrutmen Calon Hakim Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor4, 2015. Windrawan Puguh, “Pergeseran “Kekuasaan Tipologi Ketiga; Fenomena Kekuasaan Ke Arah Constitusional Heavy” , Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4, 2012.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

PUTUSAN PENGADILAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1-2/PUU-XII/2014. PutusanMahkamah KonstitusiRepublik Indonesia Nomor 100/PUU-XVIII/2020.

INTERNET

Huzaini, M Dani Pratama. Independensi Diragukan, Mekanisme Pengisian Jabatan Hakim MK Perlu Dievaluasi, <https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a3740d8774f8/independensidiragukan--mekanisme-pengisian-jabatan-hakim-mk-perlu-dievaluasi/>, diakses18 Januari 2020.

Saldi Isra “Selamatkan Jalan Hakim MK”, Opini Kompas, 24 Februari 2014. Setiawan, Adam. “Menemukan Hakim Negarawan”, Tribun, 7 Maret 2019.

This article is from: