Juris Vol. 12, No. 2

Page 115

Volume 12 Nomor 2, September 2022

Penanggung Jawab Redaksi Muhammad Firman

Pemimpin Umum NafilaAndriana Wakil Pemimpin Umum Melody Akita Jessica Santoso

Pemimpin Redaksi Venitta Yuubina

Wakil Pemimpin Redaksi Aliffia Dwiyana Sekti

Redaktur Pelaksana

Angelica Catherine Edelweis Ashilah Claira Yasmin Aulia Safitri

Febrian Ramdan Rafiki

Nisya AriniDamara Ardhika Said Fathurrahman

Staf Redaksi

Chelsea Raphael Rajagukguk Cornellia Desy Natallina Darren Yosafat Sitorus

FadliNur Iman Hasbullah Metta Yoelandani Ninsya Amaris Minar Suci Lestari Palijma

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

ii

Reviewer

Ahmad Ghozi, S.H., LL.M. Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Wiwiek Awiati, S.H., M. H. Akademisi Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Dr. Yeni Salma Barlinti, S.H., M.H. Akademisi Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Efraim J. Kastanya, S.H. Asisten Dosen Ilmu Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Dr. Daly Erni, S.H., M.Si., LL.M. Akademisi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Ghunarsa Sujatnika, S.H., M.H. Akademisi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Dessy Eko Prayitno, S.H., M.H. Asisten Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Indonesia

iii
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

KATA PENGANTAR TIM REDAKSI

Bidang hukum yang saat ini telah mengalami perubahan seiring dengan berkembangnya teknologi dan informasi masih memerlukan beberapa hal untuk dikaji kembali. Mengingat bahwa bidang hukum diharapkan dapat menciptakan suatu ruang yang aman, adil, dan sejahtera bagi masyarakat, maka diperlukan kesesuaian hukumdengan lingkungan dankondisiyang terjadi di masyarakat saat ini. Maka dari itu, diperlukan suatu produk-produk hukum yang baru dengan tujuan mengikuti perkembangan yang ada dan menjawab berbagai isu-isu yang timbul melalui peran pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Untuk mengikutiperkembangan dan menjawab berbagai isu yang berada dalam lingkup Hukum Internasional saat ini, suatu entitas harus berkontribusi untuk memberikan pemahaman dan pemikirannya kepada suatu karya yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat luas. Bidang Literasi dan Penulisan Lembaga Kajian dan Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LK2 FHUI) menghadirkan Juris sebagai wadah bagi berbagai pihak yang meliputi praktisi, akademisi, dan mahasiswa-mahasiswi dalam menuliskan karya hukum. Adanya Juris ini membuka secara luas kepada pihak yang ingin berkontribusi agar dapat menuangkan ide dan pemikirannya sehingga meningkatkan pemikiran kritis akan berbagai peristiwa hukum Internasional yang terjadi. Dengan hadirnya Juris, diharapkan dapat memberikan manfaat yang baik dengan menambah wawasan para pembaca sehingga menghasilkan inspirasi untuk menciptakan berbagai produk-produk hukum lainnya. Sekian kata pengantar yang kami berikan, kami seluruh Tim Redaksi mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi dan turut membantu dalam proses penyusunan jurnal hukum "Juris" ini. Kami seluruh Tim redaksi membuka diri untuk menerima berbagai kritik dan masukan yang dapat membangun serta menjadikan Juris sebagai wadah yang lebih baik untuk edisi selanjutnya. Kami memiliki harapan agar Juris dapat menjadi acuan dan bermanfaat kepada para pihak terutama para pembaca, mahasiswa-mahasiswi, dan negara agar dapat menggali ilmu serta wawasan yang lebih luas pada masa yang akan datang.

Selamat Membaca, Tim Redaksi Juris

iv Volume
JURIS LK 2 FHUI
12 Nomor 2, 2022

SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2 FHUI 2021

Assalammualaikum Wr.Wb. Salam kebajikan dan salam kebangsaan untuk kita semua. Perkenalkan saya Muhammad Firman yang tahun ini diamanahkan sebagai Direktur EksekutifLK2 FHUIperiode2022.Sebelumnya,sayaucapkan terima kasih kepada segenap penulis dan reviewer yang telah berkenan untuk berkarya dan membantu pembangunan hukum di Indonesia dari setiap coretan gagasan-gagasan dalam tulisan ini. Saya juga berterima kasih kepada segenap panitia dari Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI periode 2022 yang telah membantu mensukseskan kegiatan penulisan ini.

Pembangunan hukum di Indonesia sejatinya dapat dilandaskan kepada Pancasila sebagai rechtsidee atau cita hukum bangsa Indonesia. Permasalahan yang menaun menjadi berkembang dan terinfiltrasi dengan faktor-faktor lain membuat hukum di Indonesia perlu untuk berbenah dan dibenahi oleh para pembelajar hukum nya. Oleh karena itu, JURIS ini menjadi sebuah sumbangsih bagi kami LK2 FHUI untuk memberikan dan berbagi wadah untuk bekerja sama membangun sebuah hukum yang sesuai dengan cita bangsa indonesia. Terakhir, pengantar ini saya tutup dengan mengutip sebuah kalimat dari Professor Djokosoetono "Georden denken end geordered door den denken." Sekian dari saya semoga bermanfaat dan selamat membaca.

LK2 FHUI Get Friends Gain Knowledge

v
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

DAFTAR ISI

Reviewer............................................................................................................................ii

KATA PENGANTAR TIM REDAKSI iii SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2 FHUI 2021.............................................v

PENEGAKAN HUKUM BAGI PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH ANAK SEBAGAI PERLINDUNGAN HAK ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 1 PROBLEMATIKA KEIKUTSERTAAN MASYARAKAT DALAM PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PASCA UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA 26 RATIO DESIDENDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA PALU NOMOR: 510/PDT.G/2020/PA.PAL MENGESAHKAN KUASA JUAL / PERALIHAN HAK DI BAWAH TANGAN BERDASAR AKAD MURABAHAH BIL WAKALAH DENGAN PUTUSAN VERSTEK 48 PERWUJUDAN MEANINGFUL PARTICIPATION DALAM PROSES LEGISLASI MELALUI REVISI KEDUA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 75 KEWENANGAN PRESIDEN DALAM PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH YANG TIDAK MELAKSANAKAN PROGRAM STRATEGIS NASIONAL DI INDONESIA 93 URGENSI REDESAIN PENGISIAN JABATAN HAKIM KONSTITUSI PASCA REVISI UU MAHKAMAH KONSTITUSI 115 RESTRUKTURISASI PERTANAHAN DI INDONESIA DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN BAGI MASYARAKAT ADAT 154

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

vi

PENEGAKAN HUKUM BAGI PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

OLEH ANAK SEBAGAI PERLINDUNGAN HAK ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Agus Supriyanto

Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon agussupriyanto02000@gmail.com

Ryan Abdul Muhit

Fakultas Syariah IAIN Syekh Nurjati Cirebon ryan.muhit@gmail.com

Abstrak

Dalam sistem peradilan pidana anak, anak yang berhadapan dengan hukum dalam penanganan perkara tindak pidana akan berbeda dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penegakan hukum terhadap penyalahguna narkotika oleh anak untuk melindungi hak anak berdasarkan sistem peradilan pidana anak. Metode yang digunakan penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kepustakaan. Adapun hasil dalam penelitian ini yaitu penyalahgunaan narkotika oleh anak dapat dikenakan sanksi berupa tindakan dan pidana yang diatur dalam ketentuan khusus yaitu UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mana tentu memperhatikan kepada hak-hak anak itu sendiri karena kejiwaan anak dan orang dewasa berbeda.

KataKunci: Peradilan Pidana Anak, Penyalahgunaan Narkotika, Hak Anak

7
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

LAW ENFORCEMENT FOR THE MISUSE OF NARCOTICS BY CHILDREN AS A PROTECTION OF CHILDREN'S RIGHTS BASED ON THE JUVENILE CRIMINAL JUSTICE SYSTEM LAW

Abstract

In the juvenile criminal justice system, children who face the law in handling criminal cases will be different from adults who commit criminal acts. This study aims to determine law enforcement against drug abusers by children to protect children's rights based on the juvenile criminal justice system. The method used in this research is normative juridical with a literature approach. The results of this study are that drug abuse by children can be subject to sanctions in the form of actions and crimes regulated in special provisions, namely the Juvenile Criminal Justice System Law, which pays more attention to the rights of the child himself because the psyche of children and adults is different.

Keywords: Juvenile Criminal Justice, Narcotics Abuse, Children’s Rights

8 Volume 12
2, 2022 JURIS LK 2 FHUI
Nomor

I. PENDAHULUAN

Perbuatan tindak pidana di Indonesia secara konstruksi hukum di Indonesia tentunya melihat dari sisi subjek sebagai pelaku tindak pidana itu sendiri. Hal itu berarti subjek pelaku tindak pidana terdapat suatu ukurannya untuk menjadi suatu pertimbangandalammemberikandan menerapkan suatu sanksi olehaparat penegak hukum, yang mana hal itu menandakan tidak semuanya memiliki standar baku (sama). Maksudnya di sini adalah ketika terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur tentunya akan berbeda dalam penerapan hukum dan sanksidengan pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Dengan melihat hal tersebut maka diaturlah dalam ketentuan atau peraturan perundangundangan secara khusus sebagaimana asas lex specialis derogat lex generalis guna memberikan perlindungan hukum secara maksimal dan aturan yang lebih khusus. Pelaku tindak pidana bukan hal yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh anak, hal ini terlihat dalam lingkar lingkungan kehidupan di sekitaran yang mana salah satunya adalah anak yang terjerumus ke dalam penyalahgunaan narkotika. Anak yang terjerumus ke dalam penyalahgunaan narkotika secara hukum tentunya anak tersebut sudah melakukan suatu perbuatan yang tidak dibenarkan oleh hukum, dan akan tetap diproses secara hukum untuk dimintai pertanggungjawabannya.

Anak yang sedang berhadapan dengan hukum meskipun tetap menjalani proses peradilan, namun anak harus tetap mendapatkanperlindungan. Perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan hukum yang tentunya harus memperhatikan kepada hak-hak anak itu sendiri supaya hak-haknya tidak hilang sebagai anak, karena kejiwaan anak tentunya sangat berbeda dengan orang dewasa. Perilaku anak yang melakukan tindak pidana atau perbuatan melanggar hukum yang termasuk penyalahgunaan narkotika, berdasarkan Pasal 1 ayat 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dijelaskan bahwa penyalahgunaan narkotika adalah “orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum” 1 Selanjutnya, Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012tentang SistemPeradilanPidana Anak (UU SPPA), menegaskan bahwa anak yang berkonflik dengan hukumadalah anak yang telah berumur 12 tahun, dan

1 Indonesia, Undang-Undang Narkotika, UUNo. 35 Tahun 2009, LN No. 143 Tahun 2009, TLN No. 5062, Ps. 1 ayat 15.

9 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

belum berumur 18 Tahun yang diduga melakukan suatu tindak pidana. Anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika yang dimaksud dalam penulisan ini adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)tahun, yangdidugamenggunakan narkotikatanpa hak atau melawan hukum.2 Sehingga anak yang melakukan tindak pidana penyalahguna narkotika, adalah anak yang diduga melakukan tindak pidana narkotika. Meskipun diduga melakukan suatu tindak pidana narkotika, namun anak tetaplah anak yang tentunya secara kejiwaan sangat berbeda dengan orang dewasa dan masih perlunya bimbingan dan arahan dariorangtuanya sehingga harus dapat dilindungi secara khusus supaya hakhaknya sebagai anak tidak hilang.

Anak merupakan harapan bangsa dannegara sebagaigenerasi muda penerus perlu dilakukannya pembinaan, perlindungan secara konsisten dalamkelangsungan hidup yang baik3 , bermanfaat dan mempunyai jiwa yang ditumbuhkan untuk pengabdian, dalam anak inilah suatu tatanan baru yang lebih baik dalam pertumbuhan dan perkembangan mental, fisik dan sosial. Sebagai aset bangsa seluruh unsur negara wajib memperhatikan anak sebagai generasi perjuangan citacitauntukmemperhatikansumberdayamanusiauntuklebihberkualitasagarfaktorfaktor negatif tidak merusak generasi muda dan adanya lembaga-lembaga yang dapat meningkatkan kualitas anak harus dapat melakukan pembinaan yang berkualitas bagian unsur penting untuk hak asasi anak dalam Peraturan Internasional konvensi hak-hak anak 1989 maupun Peraturan Nasional wajib implementasikan untuk melanjutkan suatu perlindungan anak dari segala kemungkinanyangburuk ataupunyang bahayaanakdimasadepannanti.Narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya, menjadi faktor utama dalam kehidupan anak yang rusak akibat dampak dari narkotika maupun obat-obatan terlarang. Anak sering menjadi target dan sasaran para pengedar narkotika hal itu dikarenakan anak sangat mudah untuk dipengaruhi dan secara emosional anak masih terbilang labil, sehingga berpotensiterjerat dalam penyalahgunaan narkotika

2 Indonesia, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332, Ps. 1 ayat 3.

3 Beniharmoni Harefa, “Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Penyalahguna Narkotika dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia”, Jurnal Perspektif 22 (2017), hlm. 223.

10
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

atau obat-obatan terlarang. Anak dalam hal penyalahgunaan narkotika tentunya dapat terjadi oleh beberapa faktor, baik faktor eksternal karena adanya pengaruh dari luar seperti paksaan dan perintah, lalu faktor internal karena iseng, coba-coba, dan ingin terlihat berani di mata temannya. Anak hanyalah korban karena ketidaktahuannya atau ketidakpahamannya dalam memahami bahayanya narkotika, oleh sebab itu tidak sepatutnya, negara memberikan hukuman yang sama dengan orang dewasa atau pengedar yang sesungguhnya. Sebagai korban penyalahguna narkotika maka anak wajib mendapatkan perlindungan dari negara. Perlindungan anak merupakan usaha yang wajib untuk menciptakan kondisi secara kondusif agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar, baik fisik, mental, dan kehidupan sosial.4 Berdasarkan latar belakang di atas timbullah suatu permasalahan yang menjadi rumusan masalah yaitu bagaimana penegakan hukum dalam hal penerapan sanksi terhadap penyalahguna narkotika oleh anak dalam rangka melindungi hak anak berdasarkan sistem peradilan pidana anak (SPPA).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yang merupakan metode pendekatan yang digunakan untuk mengetahui norma hukum yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan. Pendekatan penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan, yang mana merupakan penelitian dengan data yang diperoleh dari berbagai sumber dan literatur, yang kemudian dituangkan secara deskriptif pada penulisan ini.5 Sumber data yang dipakai adalah sumber data sekunder atau data yang diperoleh secara tidak langsung melalui studi kepustakaan. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif-kualitatif yang mana ditujukan untuk memperoleh kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.6

II. PEMBAHASAN

4 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 33.

5 Suharsini Arikujnto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), hlm. 10.

6 Wahyu S. Tampubolon, “Upaya Perlindungan Hukum bagi Konsumen Ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen”, Jurnal Ilmiah Advokasi 4 (2016), hlm. 4.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

11

a. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Anak

Penegakan hukum terhadap tindak pidana anak tentunya berbeda dengan pelaksanaan penegakan hukum terhadap orang dewasa pada umumnya. Perbedaan tersebut yaitu apabila anak yang melakukan suatu tindak pidana, maka pelaksanaan penegakan hukum akan memiliki sistem tertentu atau khusus. Perbedaan tersebut bukan disebut sebagai diskriminasi sistem penegakan hukum, namun anak dan orang dewasa pada kenyataannya memiliki perbedaan yang dapat dilihat secara nyata yaitu anak masih dianggap lemah atau belum mampu dan masih perlunya bimbingan dan pembinaan yang maksimal demi masa depan anak. Sedangkan, orang dewasa pada umumnya dianggap sudah mampu bahkan tidak harus selalu untuk dibimbing karena sudah memiliki kemandirian dalam bertindak, walaupun pada hakikatnya sama saja antara anak maupun orang dewasa bimbingan dan pembinaan itu sangat diperlukan. Dengan begitu dapat dipahami bahwa dalam hal ini anak dan orang dewasa dapat dibedakan berdasarkan salah satunya adalah porsi yang mana pada anak harus lebihdiperhatikan dalam hal bimbingan dan pembinaan sehingga hak-hak anak sebagai peran anak tidak hilang. Pelaksanaan penegakan hukum anak berbeda dengan peradilan pidana pada umumnya. Dimulai dari tahap penyidikan yang dilakukan oleh penyidik anak, kemudian penuntut umum anak, hingga hakim anak dan dalam pelaksanaannya, sistem peradilan anak diutamakan keadilan restoratif. Keadilan restoratif ini merupakan pelaksanaan dalam penyelesaian masalah yang dihadapi dengan menemukan titik temu secara berkeadilan yang melibatkan para pihak yang berkait, daripelaku, korban, maupun keluarga yang terkait dalam suatu tindak pidana untuk mencari secara bersama-sama dalam penyelesaian tindak pidana dan implikasi dengan mengembalikan keadaan semula dan tidak menuntut suatu hukuman pemidanaan.7

Kata “Sistem Peradilan Pidana Anak”, terdapat 2 (dua) unsur yaitu Sistem Peradilan Pidana dan Anak. Mengapa hal ini demikian harus terdapat kata anak, hal tersebut sudah jelas bahwa pelaksanaan suatu penegakan hukum yaitu dalam sistem peradilan pidana anak, berbeda dengan sistem peradilan dewasa. Dengan begitu

7 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 33.

12 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

kata “anak” dalam sistem peradilan pidana harus dicantumkan karena sistem peradilan pidana anak tersebut khusus yaitu bagi anak.8

Sistem Peradilan Pidana Anak memiliki fungsi yaitu tidaklah jauh berbeda dengan fungsiperadilan pada umumnya yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, namun khusus untuk Peradilan Pidana Anak perkara yang ditangani ini hanya menyangkut perkara anak. Pemberian perlakuan khusus dimaksudkan untuk menjamin pertumbuhan fisik dan mental anak sebagai aset negara dan generasi penerus bangsa yang harus diperhatikan masa depannya, di mana dalam hal ini pun untuk memberikan suatu keadilan, hakim melakukan berbagai upaya tindakan dengan menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya. 9

Penegakan hukum terhadap tindak pidana anak yang memang dalam hal ini anak adalah sebagai pelaku dalam sistem peradilan pidana anak akan berkaitan dengan bagaimana penangananperkara pidana yang dilakukan olehanak itu sendiri. Menghadapi dan menangani terhadap proses peradilan anak yang mana si anak sebagai pelaku tindak pidana, maka terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dan tidak boleh dilupakan yaitu melihat kedudukannya sebagai anak dengan memiliki sifat dan ciri-ciri yang khusus, dengan demikian orientasinya adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses penanganannya sehingga akan berpihak kepada kesejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut. Proses hukum dalam penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh anak memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan dan perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.10

Mengenai upaya perlindungan hukum terhadap anak yang khususnya anak berhadapan dengan hukum (ABH), telah diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam undang-

8 Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Jakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 35.

9 Bambang Purnomo, Gunarto, Amin Purnawan, “Penegakan Hukum Tindak Pidana Anak sebagai Pelaku dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”, Jurnal Hukum Khaira Ummah 13 (2018), hlm. 48.

10 Solehuddin, “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak yang Bekerja di Bidang Konstruksi (Studi di Proyek Pembangunan CV. Karya Sejati Kabupaten Semarang)”, Jurnal Universitas Brawijaya (2013), hlm. 12.

13 Volume
12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

undang tersebut diatur mengenai diversi dan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum(ABH), haltersebut bertujuan supaya hak-hak anak yang dalam hal ini berhadapan dengan hukum (ABH) dapat lebih terlindungi dan terjamin. Selain itu, bahkan dalam undang-undang tersebut bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan diversi. Diversi ini adalah langkah kekeluargaan untuk musyawarah bersama dalam hal ini antara pelaku dan korban namun tetap di dalam setiap tahap proses peradilan.11

Diversiadalah langkah yang tepat karena menjadi jawaban atastujuanuntuk penyelesaian perkara anak secara adil. Namun, dalam pelaksanaan diversi ini memerlukan beberapa persyaratan yang sudah menjadiketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, seperti dengan melihat usia anak, sifat perbuatannya apakah baru pertama kali dilakukan atau bentuk pengulangan, diberlakukan dalam tindak pidana ringan, adanya persetujuan dari korban dan kesepakatan para pihak, serta kerelaan masyarakat untuk mendukung proses diversi.12 Diversi merupakan salah satu bentuk keadilan restoratif yang mana diversi dan keadilan restoratif sudah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan

Pidana Anak yang lebih mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal. Undang-Undang SistemPeradilanPidana Anak mengatur mengenaikewajiban para penegak hukum mengupayakan diversi (pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana) pada seluruh tahapan proses hukum. Bahkan keadilan restoratif yang merupakan sebagai pelaksanaan diversi, terdapat turunannya dari Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam PERMA tersebut terdapat poin penting yaitu hakim wajib menyelesaikan persoalan anak yang bermasalah dengan hukum (ABH)

11 Bambang Purnomo, Gunarto, Amin Purnawan, “Penegakan Hukum Tindak Pidana Anak sebagai Pelaku dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”, Jurnal Hukum Khaira Ummah 13 (2018), hlm. 49.

12 Yoga Nugroho, Pujiyono, “Penegakan Hukum Pelanggaran Lalu Lintas oleh Anak: Analisis Kepastian dan Penghambat”, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 4 (2022), hlm. 55.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

14

dengan cara diversi dan memuat tata cara pelaksanaan diversi yang menjadi pegangan Hakim dalam penyelesaian perkara pidana anak.13 Pada prinsipnya diversi bertujuan untuk memberikan anak secara perlindungan psikis maupun fisik agar dapat menjalani kehidupan yang tidak dipandang sebagai penjahat, tidak melakukan tindakan yang sama dan untuk menjadi pembelajar hidup. Dalam penyelesaian perkara di luar peradilan dengan mengembalikan kepada masyarakat dengan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya agar kehidupan anak lebih baik. Ketika Anak yang berhadapan dengan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang melalui proses Informal dapat dengan cara mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat ataupun melaluiPemerintah maupunNon pemerintah. Diversimembawakan suatu peradilan anak yang membawakan dampak psikologi anak secara baik dan memberikan rasa keadilan kepada perkara anak yang melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum untuk dapat melindungi hak-hak anak dan sebagai penegak hukum dapat melaksanakan upaya alternatif agar dapat menjadi solutif. Adanya sistem peradilan khusus dalam hal ini sistem peradilan pidana anak tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa keterlibatan anak dalam perbuatan pidana atau berhadapan dengan hukum dapat terjadi, dengan begitu hadirnya sistem peradilan khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini selain sebagai pembeda dari pidana yang dilakukan oleh orang dewasa pada umumnya, dan memperhatikan hak-hak anak sebagai generasi penerus bangsa di masa depan, tetapi juga sebagai upaya pencegahan terhadap diskriminasi hak asasi yang melekat sejak lahir dari anak. Dengan begitu penerapan penegakan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak harus bisa menyesuaikan dengan sifat, karakter dan emosional anak (kejiwaan anak).

b. Perlindungan Hukum dan Pemenuhan Hak-Hak Bagi Anak Terhadap

Penyalahgunaan Narkotika

Adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang sistem peradilan pidana anak, dapat memberikan landasan hukum yang

13 Yul Ernis, “Diversi dan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 10 (2016), hlm. 163.

15
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

kuat agar dapat membedakan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, termasuk anak yang dibawah umur dalam kasus penyalahgunaan narkotika merupakan bagian korban dari jaringan narkotika itu sendiri oleh sebab itu anak harus diperhatikan secara khusus dan aparat penegak hukum dapat memberikan perlindungan pada saat proses penegakan hukum dengan melihat secara komprehensif dalam mengambil keputusan yang sesuai peraturan yang ada dan bagaimana anak dapat mengembang diri, mengembalikan masa depan anak sebagai penerus bangsa atau warga negara indonesia yang bertanggungjawab di dalam bermasyarakat.

Penyalahgunaan narkotika dijelaskan pada Pasal 1 ayat 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dalam pengertian penyalahgunaan narkotika memang tidak dijelaskan secara eksplisit, namun hanya dijelaskan bahwa “orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum”, dan dijelaskan pula bahwa narkotika adalah salah satu obat yang bermanfaat bagi pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan,14 namun pada prakteknya banyak yang menyalahgunakan narkotika sebagai salah satu kebutuhan bagi pecandu oleh karena itu harus adanya kontrol dan pengawasan yang ketat. Dampaknya bila disalahgunakan narkotika dapat menimbulkan bahaya fisik maupun mental bagi yang menggunakan dan dapat menimbulkan ketergantungan bagi pengguna. Yang dapat kita artikan adalah adanya keinginan yang sangat kuat bersifat psikologis untuk mempergunakan obat tersebut secara terus menerus karena sebab-sebab emosional. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang telah beberapa kali diubah pada beberapa pasal yang mengatur tentang perlindungan anak secara teknisnya, di dalam penjelasan terkait perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-hak anak dapat dipenuhi untuk dapat hidup secara maksimal sebagaimana anak, dan dapat berkembang tumbuh serta ikut berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat manusia, dengan diberikan perlindungan dari diskriminasi maupun kekerasan. Perlindungan anak harus diberikan oleh pemerintah kepada anak dalam situasi darurat dan harus

14 Indonesia, Undang-Undang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, LN No. 143 Tahun 2009, TLN No. 5062, Ps. 1 ayat 15.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

16

dipelihara bagi anak yang terlantar sesuai dengan amanat konstitusi pasal 34 UUD 1945 dan pasal 59 yang memberikan perlindungan khusus berdasarkan UndangUndang Perlindungan Anak.15 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) pada Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang berhadapan dengan hukum menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah sebagai berikut:

1. Pasal1 angka 3, bahwa anak yang berkonflik dengan hukumselanjutnya disebut anak adalahanak yang telahberumur 12 (dua belahtahun), tetapi belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang diduga melakukan tindak pidana, atau yang biasa disebut anak.

2. Pasal 1 angka 4, disebutkan bahwa anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

3. Pasal 1 angka 5, bahwa anak yang menjadi saksi tindak pidana, yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikanketeranganguna kepentingan penyidikan, penuntutan, danpemeriksaansidang diPengadilan tentang suatu perkara yang didengar, dilihat, dan dialaminya sendiri.

Berkaitan dengan anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika, tentunya dalam Undang-Undang Narkotika diatur terkait dengan sanksi hukum yang diberikan, seperti bagi setiap penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun, Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun, dan Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun.16

15 Maidi Gultom, Perlidungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), hlm. 32.

16 Rachmadhani Mahrufah Riesa Putri, Subekti, “Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Pada Anak dalam Hukum Positif di Indonesia”, Jurnal Recidive 8 (2019), hlm. 204.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

17

Dalam penelitiannya Beniharmoni Harefa, pada praktiknya setidaknya terdapat 2 (dua) pasal yang acap kali digunakan dalam menjerat anak pelaku tindak pidana narkotika. Yakni Pasal111 dan Pasal127 Undang-Undang Narkotika. Pasal 111 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun. Sedangkan, Pasal 127 mengatur setiap penyalah guna narkotika golongan I, II, III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling lama 4 (empat) tahun, 2 (dua) tahun, dan 1 (satu) tahun.

Kemudian, Beniharmoni Harefa menyebutkan bahwa apabila melihat Pasal 111 dan Pasal 127 dari ancaman pidana, maka Pasal 111 pelaku yang ancaman pidana penjaranya paling lama 12 (dua belas) tahun, maka ancaman pidananya di atas 7 (tujuh) tahun atau melebihi yang menjadi syarat dilakukannya diversi. Kemudian Pasal 127 pelaku yang diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau di bawah 7 (tujuh) tahun dan wajib dilakukan diversi. Sehingga kedua pasal tersebut berbeda, yang mana Pasal 127 merupakan pasal yang dimungkinkan untuk dilakukannya diversi (memenuhi syarat untuk dilakukannya diversi). Sedangkan Pasal 111, tidak memenuhi syarat diversi. 17

Perlindungan hukum terhadap anak penyalahguna narkotika, selain dilakukannya diversi juga dapat dilakukannya dengan rehabilitasi. Jika seorang anak dinyatakan dan terbukti telah menyalahgunakan narkotika, maka berdasarkan aturan undang-undang, anak tersebut wajib untuk direhabilitasi. Selain itu, orang tua/wali dari penyalahguna narkotika yang belum cukup umur wajib untuk melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan sosial.18

17 Beniharmoni Harefa, “Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Penyalahguna Narkotika dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia”, Jurnal Perspektif 22 (2017), hlm. 227.

18 Indonesia, Undang-Undang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, LN No. 143 Tahun 2009, TLN No. 5062, Ps. 55 ayat 1.

18
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Berangkat dari uraian di atas, tentunya kembali lagi kepada penjelasan sebelumnya diatas, bahwa bagi anak yang berhadapan dengan hukumdalam hal ini adalah penyalahgunaan narkotika oleh anak, tentunya akan kembali kepada ketentuan atau peraturan khusus yang mengatur terkait dengan pidana anak yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mana penegakan dan penerapan hukum dalam proses hukum akan menyesuaikan dengan kejiwaan anak supaya hak-hak anak tidak luntur sebagai generasi penerus bangsa di masa depan.

Hak-hak anak dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, tertuang pada Pasal 3 yaitu:

1. Diberlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya.

2. Dipisahkan dari orang dewasa.

3. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif.

4. Melakukan kegiatan rekreasional.

5. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya.

6. Tidak dijatuhi pidana mati atau seumur hidup.

7. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.

8. Memperoleh keadilan dimuka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang tertutup untuk umum.

9. Tidak dipublikasikan identitasnya.

10. Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak.

11. Memperoleh advokasi sosial.

12. Memperoleh kehidupan pribadi.

13. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat.

14. Memperoleh pendidikan.

15. Memperoleh pelayanan kesehatan dan memperoleh haklain sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

19
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Kemudian, selain daripada Pasal 3 UU SPPA yang menjelaskan terkait dengan hak-hak anak, Pasal 4 UU SPPA juga memberikan hak-hak anak ketika sedang menjalani pemidanaan, wajib diberikan yaitu:

1. Remisi atas pengurangan masa pidana.

2. Asimilasi.

3. Pembebasan bersyarat.

4. Cuti menjelang bebas.

5. Cuti bersyarat.

6. Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.19

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menganut double track system (sistem dua jalur), dengan begitu dapat dimungkinkan terhadap anak yang terbukti melakukan tindak pidana dapat dijatuhkan sanksi berupa tindakan atau sanksi berupa pidana. Adapun menurut Pasal 82 UU SPPA, tindakan yang dapat dikenai sanksi terhadap anak yaitu:

1. Pengembalian kepada orang tua/wali

2. Penyerahan kepada seseorang

3. Perawatan di rumah sakit jiwa

4. Perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS)

5. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta

6. Pencabutan surat izin mengemudi

7. Perbaikan akibat tindak pidana. Menurut Pasal 21, apabila anak yang berhadapan dengan hukum belum berumur 12 tahun dan melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan yaitu:

1. Menyerahkan kembali kepada orang tua/wali; atau

2. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) di instansi yang menangani bidang

19 Indonesia, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332, Psl. 3-4.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

20

kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam hal ini Balai Pemasyarakatan (BAPAS) wajib melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan.

Karena Anak masih memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan lanjutan, masa pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan yang dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.20

Penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak tentunya terkait sanksi diatur dalam ketentuan undang-undang yang berlaku dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) tetap dimungkinkan, walaupun ditentukan persyaratan yang ada. Penerapan sanksi pidana terhadap anak harus benar-benar disesuaikan dengan kejiwaan anak dan tidak boleh disamakan dengan penerapan sanksi pidana orang dewasa.

Anak penyalahguna narkotika, apabila ditempatkan di dalam sistem peradilan pidana formal, dapat dipastikan akan mengalami dampak buruk. Hal ini jelas, melanggar hak-hak anak.21 Seperti yang dijelaskan pada uraian sebelumnya bahwa Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) wajib melakukan pendekatan Keadilan Restoratif yang mana pengalihan proses pidana formal ke informal sebagai alternatif terbaik dalam penanganan perkara terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dengan cara semua pihak yang terlibat dalam suatutindak pidana tertentu, bersama-sama memecahkan masalah untuk menangani perkara tersebut akibat ulah perbuatan anak di masa yang akan datang.22 Dalam hal ini Keadilan Restoratif dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dilakukan melaluidiversi, yang mana bertujuanuntuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar pengadilan, menghindari anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, menanamkan rasa tanggung jawab terhadap anak. Berdasarkan uraian di atas, tentunya terkait dengan perlindungan hukum dalam pemenuhan hak-hak anak terhadap penyalahgunaan narkotika oleh anak,

20 Rachmadhani Mahrufah Riesa Putri, Subekti, “Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Pada Anak dalam Hukum Positif di Indonesia”, Jurnal Recidive 8 (2019), hlm. 205.

21 Beniharmoni Harefa, Vivi Ariyanti, Seputar Perkembangan Sistem Peradilan Pidana Anak dan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), hlm. 85.

22 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 203-204.

21
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur haltersebut yang mana penegakan hukum dan penerapan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam hal ini melakukan tindak pidana, berbeda dengan penegakan hukum dan penerapan hukum bagi orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Hal tersebut aturan hukum harus menyesuaikan dengan kondisi dan kejiwaan anak yang berbeda dengan orang dewasa. Anak masih memiliki perjalanan yang panjang untuk meraih masa depannya sebagai generasi penerus bangsa, perlunya bimbingan orang tua/wali, pembinaan yang matang, dan sosialisasi yang sempurna dalam keluarga. Penegakan dan penerapan hukum yang khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum ini dilakukan adalahtiada lain untuk mewujudkan tujuan hakiki dari hukum itu sendiri yaitu untuk mencapai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

III. PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai penegakan hukum dalam hal penerapan sanksiterhadap penyalahguna narkotika oleh anak untuk melindungi hak anak berdasarkan sistem peradilan pidana anak (SPPA), yaitu penegakan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum memiliki sistem yang diatur khusus dan berbeda dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana, dalam hal ini diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam UndangUndang tersebut mewajibkan adanya keadilan restoratif melalui diversi sesuai dengan ketentuan. Terhadap penyalahgunaan narkotika oleh anak tentu dapat dikenakan sanksi berupa tindakan dan pidana, walaupun secara eksplisit dalam Undang-Undang Narkotika kurang penjelasan terkait anak sebagai penyalahguna narkotika. Namun, pelaksanaan dan penerapan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum jelas diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mana Undang-Undang tersebut lebih memperhatikan kepada hak-hak anak itu sendiri karena kondisi dan kejiwaan anak dengan orang dewasa sangatlah berbeda. Undang-Undang Sistem Peradilan Anak juga adalah wujud dari negara untuk melindungi hak anak yang berhadapan dengan hukum.

22
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Arikujnto, Suharsini. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2011.

Gultom, Maidi. Perlidungan Hukum Terhadap Anak. Bandung: PT.Refika Aditama, 2010.

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2008. Harefa, Beniharmoni, Vivi Ariyanti. Seputar Perkembangan Sistem Peradilan Pidana Anak dan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia. Yogyakarta: Deepublish, 2016. Marlina. Peradilan Pidana Anak di Indonesia Bandung: RefikaAditama, 2009. Wahyudi, Setya. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Jakarta: Genta Publishing, 2011.

JURNAL

Harefa, Beniharmoni. “Perlindungan Hukumterhadap Anak sebagai Penyalahguna Narkotika dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia”. Jurnal Perspektif 22 (2017). Hlm. 227.

Nugroho,Yoga, Pujiyono.“Penegakan HukumPelanggaran LaluLintas olehAnak: Analisis Kepastian dan Penghambat”. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 4 (2022). Hlm. 55.

Purnomo, Bambang, Gunarto, Amin Purnawan. “Penegakan Hukum Tindak Pidana Anak sebagai Pelaku dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”. Jurnal Hukum Khaira Ummah 13 (2018). Hlm. 49.

Riesa Putri, Rachmadhani Mahrufah, Subekti. “Tindak Pidana Penyalahgunaan NarkotikaPada Anak dalam HukumPositif di Indonesia”. Jurnal Recidive 8 (2019). Hlm. 204.

S.Tampubolon,Wahyu.“UpayaPerlindunganHukumbagiKonsumen Ditinjaudari Undang-Undang Perlindungan Konsumen”. Jurnal Ilmiah Advokasi 4 (2016). Hlm. 4.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

23

Solehuddin. “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak yang Bekerja di Bidang Konstruksi (Studi di Proyek Pembangunan CV. Karya Sejati Kabupaten Semarang)”. Jurnal Universitas Brawijaya (2013). Hlm. 12.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, UUNo.11Tahun2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332. Indonesia. Undang-Undang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, LN No. 143 Tahun 2009, TLN No. 5062.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

24

BIODATA PENULIS

Agus Supriyanto adalah mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon (UNTAG Cirebon). Penulis lahir pada tanggal

13 Agustus 2000 di Tegal. Penulis pernah menjadi pengurus BEM FH Universitas 17 Agustus Cirebon (UNTAG Cirebon). Penulis juga pernah lolos ke tingkat nasional pada Kompetisi Debat Mahasiswa Indonesia (KDMI) pada tahun 2021 dan telah mengikuti berbagai kompetisi debat nasional. Penulis aktif dalam organisasi eksternal yang pada saat ini menjabat sebagai Wakabid Hukum dan Advokasi di DPC GMNI Cirebon. Selain itu, penulis juga sekarang aktif di LBH Cirebon yang sekarang menjabat sebagai Ketua Paralegal LBH Cirebon.

Ryan Abdul Muhit adalah mahasiswa Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon (lulus pada tahun 2022). Penulis lahir pada tanggal 30 Maret 2000 di Majalengka. Penulis pernah menjadi anggota LBH Cinta Lingkungan dan Pencari Keadilan (DPP Jawa Barat) bagian Ketenagakerjaan dan Perindustrian. Penulis juga pernah meraih Juara I Debating Sharia Economic Law Competition (SHELTON) IAIN Syekh Nurjati Cirebon pada tahun 2020. Penulis di bidang penulisan karya tulis ilmiah pernah menerbitkan jurnal pada Jurnal Ekonomika dan Bisnis dengan judul “Upaya UPT LTK Disnaker Kota Cirebon dalam Mengurangi Pengangguran Melalui Program Pelatihan Kerja Berbasis Kompetisi” dan author di beberapa tulisan media online. Penulis juga merupakan Founder dari Platform Bahas Hukum (@bahas.hukum) yang juga penyelenggara dari berbagai event hukum dari Bahas Hukum. Penulis saat ini aktif di kantor hukum DR Law & Partner.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

25

PROBLEMATIKA KEIKUTSERTAAN MASYARAKAT DALAM PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PASCA UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Abdhy Walid Siagian

Fakultas Hukum Universitas Andalas abdhy.walid11@gmail.com

Abstrak

Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) mempersempit ruang gerak serta ketidakadilan bagi masyarakat dalam penyusunan Analisis MengenaiDampak Lingkungan(AMDAL). AMDAL merupakan langkah preventif untuk mencegah kerusakan lingkungan sekaligus prasyarat untuk mendapatkan izin lingkungan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui problematika dalam keikutsertaan masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL dengan hadirnya UUCK yang banyak menimbulkan polemik dalam hal transparansi dan partisipasi masyarakat. Proses penelitian ini akan menggunakan metode yuridis normatif, denganpendekatan statute approach dan conceptual approach. Hadirnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap pentingnya transparansi dan partisipasi dari masyarakat dalam penyusunan AMDAL.

Kata Kunci: Peran Serta Masyarakat, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Undang-Undang Cipta Kerja.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

26

PROBLEMS OF COMMUNITY PARTICIPATION IN DEVELOPING AN ANALYSIS OF ENVIRONMENTAL IMPACTS POST EMPLOYMENT LAW

Abstract

Law no. 11 of 2020 concerning Job Creation (UUCK) narrows the space for movement and injustice for the community in the preparation of Environmental Impact Analysis (AMDAL). AMDAL is a preventive measure to prevent environmental damage as well as a prerequisite for obtaining environmental permits. The purpose of this study was to find out the problems in community participation in the AMDAL preparation process with the presence of UUCK which caused a lot of polemics in terms of transparency and community participation. The research process will use a normative juridical method, with a statute approach and conceptual approach. The presence of this research is expected to provide an understanding of the importance of transparency and participation from the community in the preparation of the AMDAL.

Keywords: Community Participation, Environmental Impact Analysis, UndangUndang Cipta Kerja.

27
FHUI
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2

I. PENDAHULUAN

Pengelolaan sumber daya alam merupakan salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Hal ini telah diatur dalam rumusan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakya.t” Rumusan Pasal 33 UUD 1945 ini bukan sekedar memberikan petunjuk tentang susunan perekonomian dan wewenang negara mengatur kegiatan perekonomian dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, melainkan mencerminkan cita-cita dan suatu keyakinan yang dipegang teguh serta diperjuangkan secara konsisten oleh para pimpinan bangsa.45

Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana diungkapkan oleh Abrar Saleng “Hak menguasai negara merupakan instrumen (bersifat instrumental), sedangkan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan tujuan (objectives).”46 Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat dinikmati oleh generasi masa kini dan generasi masa depan secara berkelanjutan. Maka, pembangunan saat ini harus dilakukan secara optimal yaitu dengan memanfaatkan sumber daya alam yang sebesar-besarnya untuk generasi sekarang tetapi tidak merusak lingkungan hidup, sehingga generasi yang akan datang dapat memanfaatkansumberdayaalam seperti halnyagenerasi saat ini. Dari persoalan inilah lahirnya konsep “Pembangunan Berkelanjutan” (Sustainable Development) Konsep inidiyakinidapat menjawabberbagaimasalahdan tantangan perkembangan lingkungan dan pembangunan.

Prinsip pembangunan berkelanjutan diperlukan implementasi dalam wujud peraturan perundang-undangan maupun kebijakan pemerintah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkuti, “Pembangunan berkelanjutan merupakan kemauan politik untuk membangun tanpa merusak yang digariskan dalam kebijaksanaan lingkungan dan memerlukan perangkat hukum dalam bentuk

45 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm.45.

46 Abrar Saleng, “Kapita Selekta Hukum Sumber Daya Alam” Jurnal Dinamika Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Volume 12 Nomor 4 Juli, 2013, hlm 149.

28
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

peraturan perundang-undangan lingkungan.”47 Prinsip pembangunan berkelanjutan telah diakomodir di Indonesia melalui peraturan perundang-undangan, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Pada Pasal 1 angka 3 dijelaskan bahwa “Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.” Aktivitas pembangunan yang dilakukan dalam berbagai bentuk usaha maupun kegiatan lain, pada dasarnya akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Dengan diterapkannya prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam proses pelaksanaan pembangunan, dampak terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh berbagai aktivitas dari pembangunan tersebut dapat dianalisis sedini mungkin mulai dari awal perencanaannya, sehingga pengendalian dampak negatif dari kegiatan dapat diatasi.48 Akan tetapi, segala strategi dan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan memerlukan tafsir konstitusi secara khusus ketika aktor-aktor negara ingin melaksanakan aktivitas perekonomian.49 Oleh karena itu, investor/pelaku usaha yang akan mendirikan atau membangun kegiatan/usaha harus memiliki surat izin lingkungan karena izin tersebut merupakan syarat untuk mendapatkan izin usaha/kegiatan.50 Setiap orang adalah bagian dari masyarakat dan masyarakat memiliki hak, kewajiban dan peran yang sama dalam pengelolaan lingkungan, tanpa terkecuali masyarakat desa dan kota karena ruang lingkup lingkungan bukan hanya di tempat tertentu saja namun seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, landasan konstitusi juga memberikan jaminan pada Pasal 28 H Ayat (1) UUD 1945“Setiap orang berhak, hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

47 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional Edisi Ketiga (Surabaya: Airlangga University Press, 2005) hlm. 384.

48 Sumadi Kamarol Yakin, “Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Sebagai Instrumen Pencegahan Pencemaran dan Perusakan Lingkungan” Badamai Law Jurnal, Volume 2 Nomor 1 Maret 2017, hlm. 114.

49 Pan Mohamad Faiz, “Perlindungan Terhadap Lingkungan Dalam Presfektif Konstitusi” Jurnal Konstitusi, Volume 13 Nomor 4 2016, hlm. 774.

50 Yurike Inna Rohnawati Ciptaningrum, Warah Atikah, Nurul Laili Fadhilah, “Peran Serta Masyarakat dalam Proses Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup” E-Journal Lentera Hukum, Volume 4 Nomor 1 April 2017, hlm. 64.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

29

mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan.” Keberadaan masyarakat akan efektif sekali jika perannya dalam mengontrol pengelolaan lingkungan yang ada. Hak masyarakat yang ditekankan disini adalah, setiap orang berhak mendapatkan akses informasi, akses partisipasi, danakseskeadilandalammemenuhihakataslingkunganhidupyangbaikdansehat, serta berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana kegiatanyang diperkirakan dapat menimbulkan kerusakan lingkungan.

Selanjutnya, terhadap keterlibatan dan peran serta masyarakat kedudukannya sudahdiperkuat dalamUUPPLH yang dengantegas mengakuiperan serta masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 70 UUPPLH yaitu:

1. Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

2. Peran masyarakat dapat berupa; a. pengawasan sosial, b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau c. penyampaian informasi dan/atau laporan.

Sebagaimana peran serta masyarakat dalam rangka memberikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang bertujuan menjaga kelestarian lingkungan yang baik dan sehat, maka diperlukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). AMDALadalahbagian yang sangat penting darisuatu rencana kegiatan eksplorasi lingkungan hidup atau sumber daya alam. Dasar hukum AMDAL terdapat didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, sebagaimana telah dirubah melalui UUPPLH selanjutnya aturan pelaksanaanya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang analisis mengenai dampak lingkungan hidup dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.11 Tahun 2006 tentang jenis rencana usaha dan atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL. Dengan demikian hadirnya AMDAL merupakan sarana teknis yang dipergunakan untuk memperkirakan dampak negatif dan positif yang akan ditimbulkan oleh suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

30

AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.51 Peran masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL baik itu dalam memberikan masukankepadapemrakarsauntukpenyusunanmerupakanhalyangsangatpenting. Peran ini kemudian dijelaskan dalam Peraturan Menteri Lingkungan HidupNomor 17 Tahun 2012 tentang Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin lingkungan, dalam Permen ini menegaskan beberapa poin berupa: (1) masyarakat mendapatkan informasi mengenai rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting bagi lingkungan; (2) masyarakatdapat menyampaikan saran, pendapat dan/atau tanggapan atas rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan; (3) masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan rekomendasi kelayakan atau ketidaklayakan atas rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan; dan (4) masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan/atau tanggapan atas proses izin lingkungan.52 Berbagai peran masyarakat dalam penyusunan AMDAL mengalami perubahan setelah hadirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK). Hal ini dibuktikan dengan polemik yang muncul dari Pasal 24, 25, dan 26 UUCK yang sebelumnya ada di dalam UUPPLH. Berbagai polemik ini muncul dari hilangnya partisipasi masyarakat langsung, kurangnya transparansi, hingga dihilangkanya pemerhati lingkungan dalam proses penyusunan dokumen AMDAL. Dalam transparansi dokumen AMDAL, keterlibatan masyarakat sangat penting, salah satunya adalah dengan cara diikutsertakan masyarakat ke dalam pembahasan AMDAL. AMDAL bermanfaat untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan agar layak secara lingkungan. Dengan AMDAL, suatu rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan diharapkan dapat meminimalkan kemungkinan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, dan mengembangkan

51 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

52 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI No. 17 Tahun 2012 Tentang Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan.

31
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

dampak positif, sehingga sumber daya alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (Sustainable).

II. PEMBAHASAN

A. Mekanisme dan Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Proses Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Pasca UndangUndang Cipta Kerja

Peran serta masyarakat merupakan proses komunikasi dua arah yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses kegiatan, di mana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan dianalisa.53 Tujuan dari peran serta masyarakat itu sendiri adalah untuk menghasilkan masukan dan persepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang berkepentingan dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan tentang lingkungan. Hal ini penting dikarenakan dengan melibatkan masyarakat yang potensial terkena dampak kegiatan dan kelompok kepentingan tersebut, para pengambil keputusan dapat menangkap pandangan, kebutuhan, dan pengharapan dari masyarakat dan kelompok tersebut yang nantinya akan tertuang dalam konsep pelaksanaan nantinya.54 Jika membahas tentang peran serta masyarakat, kita harus juga memperhatikan peran masyarakat dalam penyusunan dokumen AMDAL. Beberapa permasalahan mengenai perumusan AMDAL tersebut sebagaimana dengan dikeluarkannya UUCK. Oleh karena itu kita harus mengetahui mekanisme penyusunandokumen AMDAL, sebagai keikutsertaan masyarakat dalam melaksanakan peran sertanya.

Dalam proses penyusunan AMDAL melibatkan beberapa pihak dalam pelaksanaannya, pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses AMDAL yaitu:55

53

Lalu Sabardi, “Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor32 Tahun 2009 TentangPerlindungan dan Pengelolaan LingkunganHidup” Yustisia, Vol. 3 No. 1 Januari - April 2014, hlm. 7.

54 Arimbi HP, “Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakkan Hukum Lingkungan” Jurnal Hukum Lingkungan, Vol. I No. 1, 1994, hlm. 79.

55 Keputusan Kepala Bapedal Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

32

1. Pemerintah

Pemerintah berkewajiban memberikan keputusan apakah suatu rencana kegiatan layak atau tidak layak lingkungan. Keputusan kelayakan lingkungan ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan rakyat dan kesesuaian dengan kebijakan pembangunan berkelanjutan.

2. Pemrakarsa

Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atassuaturencanausahadanatau kegiatan yang akandilaksanakanPerkara inilah yang berkewajiban melaksanakan kajian Amdal Meskipun pemrakarsa dapat menunjuk pihak lain seperti konsultan lingkungan hidup.

3. Masyarakat yang berkepentingan

Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh oleh segala bentuk keputusan dalamproses AMDAL. Masyarakat dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan masyarakat yang terpengaruh atas keputusan merupakan subyek yang harus diikut sertakan dalam proses pengambilan keputusan tentang hal-hal yang berkaitan dengan AMDAL.

Implikasi pasca lahirnya UUCK terhadap UUPPLH terdapat pembatasan peran serta masyarakat dalam penyusunan dokumen AMDAL dengan jangka waktu yang terlalu singkat untuk menyampaikan saran, pendapat, dan tanggapan. Selain itu, PP PPLH juga tidak menyebutkan pernyataan bagaimana jika masyarakat menolak karena tidak diatur mekanisme untuk penolakan. Ketentuan ini terkesan bahwa masyarakat harus menerima rencana usaha dan/atau kegiatan.

Pasca lahirnya UUCK terdapat pembatasan terhadap masyarakat yang terdampak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan, yang mana objek kajian dalam penelitian kali ini terhadap Pasal 24, Pasal 25 dan Pasal 26 UUCK, yang mengalami perubahan di dalam UUPPLH. Hal ini kemudian kami jelaskan sebagai berikut:

Tabel 1. Perbandingan Undang-Undang 32 Tahun 2009 dengan UndangUndang 11 Tahun 2021

33
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Undang-Undang No, 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 24

Dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup

Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Pasal 24

(1) Dokumen AMDAL merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan. (2) Uji kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim uji kelayakan lingkungan hidup yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan lingkungan hidup Pemerintah Pusat. (3) Tim uji kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan ahli bersertifikat. (4) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup berdasarkan hasil uji kelayakan lingkungan hidup. (5) Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan sebagai persyaratan penerbitan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana uji kelayakan lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah.

34
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Pasal 25

Dokumen AMDAL memuat: a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan; c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan; d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan; e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Pasal 26

(1) Dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat. (2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

Pasal 25

Dokumen AMDAL memuat: a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan; c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan; d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan; e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Pasal 26

(1) Dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.

(2) Penyusunan dokumen AMDAL dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses pelibatan masyarakat

35
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

a. yang terkena dampak; b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL. (4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen AMDAL

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Sumber: Undang-Undang 32 Tahun 2009 dan Undang-Undang 11 Tahun 2020 Dengan perbandingan yang telah di jelaskan di atas, maka penulis menguraikan menjadi 3 tahapan yakni: Pertama, Pasal 24 Perubahan Pasal 24 tentang Dokumen AMDAL yang mana sebagai dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan. Dimana pasal ini mengalami perubahan menjadi lima ayat, sementara di dalam UUPLH hanya satu. Sementara di dalam pasal 26 UUCK, tidak memperbaiki posisi AMDAL sebagai informasi menentukan rencana kegiatan, tapi disini hanya sebagai instrumen administrasi sehingga belum bisa menjadi andalan dalam mengendalikan kerusakan lingkungan hidup.

Kedua, Pasal 25

Perubahan Pasal 25 huruf c “ saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan,” dalam UUPPLH, “ saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.” Perubahan ini mempersempit lingkup partisipasi “masyarakat”, sekaligus kata relevan berpotensi “mengaburkan” objek partisipasi melalui saran masukan dalam partisipasi.

Ketiga, Pasal 26

Perubahan yang terjadi adalah mengenai mengurangi peran serta masyarakat dalam proses pembentukan dokumen AMDAL. Hal ini telah tertuang dalam Pasal 26 ayat (2) UUCK yang mana hanya pada masyarakat

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

36

terkena dampak langsung.56 Berarti masyarakat di sini dibatasi hanya pada masyarakat yang berada dalam wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan saja. Sedangkan masyarakat yang berbatasan langsung atau bahkan masyarakat yang berada di luar wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan tidak dapat mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan. Padahal mereka juga berkemungkinan akan terkena dampak darikegiatan. Ini berarti bahwa masyarakat yang terlibat dalam pengambilan keputusan semakin dibatasi. Termasuk juga pemerhati lingkungan yang akan mewakili kepentingan lingkungan hidup, karena dampak pencemaran tidak hanya dirasakan oleh manusia, tetapi juga makhluk hidup lain dan lingkungan. Menurut Pasal 28 ayat (3) PP PPLH, pelibatan masyarakat yang terkena dampak langsung yaitu melalui pengumuman rencana usaha dan/atau kegiatan serta konsultasi publik.57 Dalam hal ini masyarakat dapat mengajukansaran, pendapat dantanggapanterhadap rencana usaha dan/atau kegiatan dalam jangka waktu 10 (sepuluh hari) kerja sejak pengumuman, dan diajukan secara tertulis. Dengan ketentuan ini berarti jika dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari tidak disampaikan saran, pendapat dan tanggapan, berarti masyarakat dianggap menerima. Dan dalam PP tidak disebutkan pernyataan bagaimana jika masyarakat menolak karena tidak diatur mekanisme untuk penolakan. Ketentuan ini terkesan bahwa masyarakat harus menerima rencana usaha dan/atau kegiatan dimaksud. Dalam arti masyarakat menerima dilaksanakannya kegiatan di wilayah mereka. Berdasarkan uraian di atas terdapat berbagai perubahan dan penghapusan pasal yang mana itu merupakan suatu tujuan yang mempengaruhi norma terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Jika kita kaitkan dengan pendapat Jimly “apabila perubahan itu mencakup lebih dari setengah atau 50% materi undang-undang yang bersangkutan, maka sangat dianjurkan

56 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 26 ayat (2) “Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan”.

57 Masyarakat yang terkena dampak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap rencana Usaha dan/atau Kegiatan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

37

apabila undang-undang yang dibuah itu dicabut saja, dan kemudian disusun kembali dalam undang-undang yang baru sama sekali yang mengatur hal yang sama. ”58 Oleh karena itu alangkah baiknya untuk menyusun kembali UUCK, jika esensi norma yang terkandung di dalam UUPPLH mengalami perubahan yang cukup mendasar. Beberapa ketentuan perubahan menimbulkan permasalahan hukum atau paling tidak berpotensi menimbulkan konflik norma antar UUCK dengan UUPPLH dalam pelaksanaan dan penegakan hukum lingkungan hidup di kemudian hari.59

B. Pentingnya Mengikutsertakan Masyarakat Dalam Penyusunan

Dokumen AMDAL

Keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL merupakan tahapan yang berada di hulu dari suatu kegiatan, oleh karenanya, dengan peran sertamasyarakatdapatmenentukanmasadepandaripembangunanwilayah yang ditinggali dengan memberikan saran, masukan dan tanggapan kepada pemrakarsa maupun pemilik usaha. Menurut Diana Conyers ada 3 (tiga) alasan mengapa partisipasi masyarakat begitu penting dibutuhkan: 60

1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh suatu informasi mengenai kondisi kebutuhan dan sikap masyarakat, karena tanpa kehadirannya programpembangunan akan mengalami kegagalan;

2. Masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program atau program pembangunan jika mereka merasa dilibatkan, mulai dari proses persiapan, perencanaan, danpelaksanaannya. Hal ini akan menimbulkan perasaan memiliki terhadap proyek-proyek atau pembangunan tersebut;

3. Mendorong adanya partisipasi umum di banyak negara karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokratis bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat itu sendiri

hal.25. 58 Prof. Dr. JimlyAsshiddiqie;SH., Perihal Undang-Undang (Depok: Rajawali Pers,2017),

59Nila Amania, “Problematika Undang-Undang Cipta Kerja Sektor Lingkungan Hidup,” Jurnal Syariati: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Hukum VI, no. 2 (2020).

60 Diana Conyers dalam N.H.T Siahaan, 2008, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 150

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

38

Peran serta masyarakat mengalami perubahan dengan dikeluarkanya UUCK yang mana sebelumnya telah diatur di dalam UUPPLH, di dalam UUPPLH dijelaskan di Pasal 26 ayat (3), yang selanjutnya mengklasifikasikan ada 3 (tiga) keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL. 61 Selanjutnya di dalam Pasal 26 ayat (2) UUCK, terjadi pengurangan yang mana sebelumnya di dalam UU-PPLH terdapat 3 (tiga) peran serta masyarakat, yang mana kemudian justru hanya menjadi 1 (satu).62

Ini menjelaskan terjadinya pengurangan keikutsertaan masyarakat terhadap penyusunan dokumen AMDAL. Terhadap frasa “masyarakat yang terkena dampak langsung,” termasuk bagaimana menentukan masyarakat terkena dampak langsung yang umumnya tidak dapat didekati hanya dengan wilayah administrasi usaha saja. Semua ini tidak ada penjelasan sama sekali di dalam PP PPLH.63 Kemudian penghapusan “pemerhati lingkungan hidup,” penghapusan sebagai anggota penyusun AMDAL membuat posisi pihak ketiga menjadi lemah. Mereka yang terdampak langsung oleh kegiatan industri berada di wilayah pedalaman. Akibatnya, penyusunan AMDAL akan timpang dan menyisihkan peran kelompok independen sekaligus menghentikan distribusi serta pemakaian ilmu pengetahuan.

Sejatinya AMDAL merupakan instrumen yang dibuat oleh pemerintah dengan guna untuk menanggulangi kerusakan lingkungan, AMDAL sebagai salah satu perangkat preventif pengelolaan lingkungan hidup yang harus terus diperkuat melalui peningkatan akuntabilitas dalam pelaksanaan penyusunan AMDAL dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai AMDAL dan diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen AMDAL, serta dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang AMDAL. AMDAL juga

61 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 26 ayat 3 “Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (a) yang terkena dampak; (b) pemerhati lingkungan hidup; dan/atau (c) yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.

62 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 26 ayat (2) “Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.

63 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 28

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

39

menjadi salah satu persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum diperoleh izin usaha.64

AMDAL juga harus memiliki sifat transparan, dimana sifat ini dapat dimulai dengan diumumkannya rencana proyek sebelum penyusunan AMDAL. Kemudian transparansi juga sangat penting terhadap keterlibatan masyarakat dengan diikut sertakannya wakil masyarakat dalam pembahasan AMDAL dalam sidang komisi. Pada tahap ini banyak metode ilmiah yang dikaji dan beberapa pihak masyarakat memiliki keterbatasan ilmu pengetahuan tentang hal tersebut, wakil masyarakat bisa menilai ujung, atau kesimpulannya apakah proyek itu memberikan manfaat positif atau sebaliknya. Dengan transparansi tersebut, proyek atau kegiatan tidak akan dihentikan paksa ketika sudah berlangsung karena kedua belah pihak sudah saling mengerti. Perusahaan mengerti kekhawatiran dan keinginan masyarakat dan masyarakat mengerti apa manfaatnya proyek tersebut dankompensasiapa yang akan diterima jika dampak dari kegiatan itu dapat dikendalikan.65 Melemahnya peran serta masyarakat dalam penyusunan dokumen AMDAL disebabkan salah satunya oleh masyarakat itu sendiri. Hal dikarenakan kurangnya pengetahuan lingkungan masyarakat menyebabkan ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungannya dan tidak diperhatikannya keterlibatan mereka dalampenyusunan dokumen AMDAL. Contohnya nyatanya keterlibatan masyarakat dalamproses AMDAL kegiatan pertambangan bauksit PT. Harita di Kecamatan Air Upas Kabupaten Ketapang masih belum diimplementasikan. masyarakat disana menyatakan tidak pernah dilibatkan dalam proses AMDAL. PT. Harita hanya memberikan pengumuman melalui selebaran (pamflet) yang ditempel pada kantor desa, melalui pengumuman di koran dan melalui pengumuman di radio serta konsultasi publik terhadap rencana usaha.66

64 Konsideran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

65 Anonym, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, htpp://publichealth08.blogspot.com/2011/07/analisis-mengenai-dampak-lingkungan.html3.

66 Rudini, Fransmini Ora, “Implementasi Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Amdal Kegiatan Pertambangan Bauksit Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2012”, hlm. 7

40 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Kemudian, ketiadaan pemerhati lingkungan dan yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan tentunya merupakan sebuah kemunduran.67 Pemerhati Lingkungan sangat penting untuk dimasukkan ke dalam bagian masyarakat terdampak pada penyusunan AMDAL di karena pemerhati lingkungan memiliki peran yang sangat besar dalam proses pembangunan untuk merealisasikan program pembangunan. Pemerhati lingkungan juga memiliki peran dalamupaya pemberdayaan masyarakat terhadap lingkungan hidup. Pemerhati lingkungan yang berada di Indonesia dapat ditemui beberapanya seperti Rumah Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Konservasi Alam (Rumah YAPEKA),68 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI),69 serta Indonesian Center For Environmental Law (ICEL).70 Pemerhati lingkungan serta yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan memiliki peran penting dalam memperkuat kapasitas masyarakat terhadap faktor pelemahan untuk meningkatkan partisipasi publik dalam proses penyusunan AMDAL seperti yang telah disebutkan diatas. Selain itu, peran dan kinerja pemerhati lingkungan hidup dalam AMDAL pada dasarnya bertujuan dalam upaya pengusahaan masyarakat untuk mendapatkan hak atas informasi yang memadai, mendampingi masyarakat untuk dapat berpartisipasi aktif dan proporsional, serta membantu masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap keadilan.71

Sebagai perbandingan, penulis mengambil contoh negara Vietnam, di dalam negara Vietnam, pemrakarsa Project owners diwajibkan untuk berkonsultasi dengan pemerhati lingkungan, selain dengan badan regulator dan masyarakat yang terdampak secara langsung dari suatu proyek.72 Konsultasi

67

Indonesian Center For Environmental Law, “Setelah UU Cipta Kerja: Meninjau Esensi Partisipasi Publik Dalam Amdal” Seri Analisis #5 (2020), hlm. 92

68 Rimbakita.com. 2019. “Daftar LSM Kehutanan dan Lingkungan Indonesia”. https://rimbakita.com/lsm-kehutanan-indonesia/ Diakses pada 26 September 2021 pukul 21.00.

69 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. 2020. “Visi dan Misi”. https://www.walhi.or.id/visidan-misi. Diakses pada 26 September 2021 pukul 21.35.

70 Indonesian Center For Environmental Law. 2021. “Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia”. https://icel.or.id/. Diakses pada 26 September 2021 pukul 21.55. 37 Ibid., hlm. 10

71 Ibid., hlm. 10.

72 Vietnam Law No. 55/2014/QH13 on Environmental Protection, Ps. 21 ayat (2) disandurkan oleh Indonesian Center For Environmental Law, “Setelah UU Cipta Kerja: Meninjau Esensi Partisipasi Publik Dalam Amdal” Seri Analisis #5. (2020), hlm. 9.

41
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

publik dilakukan dengan pimpinan pemrakarsa dan people's committee of the commune73 dalam bentuk community meeting atau forum Bersama. Seluruh masukkan dari perwakilan diwajibkan untuk dituliskan dalam notulen rapat. Artinya, pemberitahuan harus diberikan seluas-luasnya untuk menjaring aspirasi masyarakat, disertai dengan bahasa yang dapat dimengerti masyarakat, serta wajib diberikan salinan kajian yang telah dilakukan beserta lembar fakta proyek secara lengkap kepada masyarakat yang hendak berpartisipasi dalam proses konsultasi publik.

Proses penyusunan AMDAL yang terdiri dari beberapa tahapan selalu melibatkan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 1. Keterlibatan Masyarakat dalam Penyusunan AMDAL

Penapisa Pelingkupa

KesepakatanANDA

Penyusunan RKLdan

Keputusan kelayanan

PENGUMUMA

KONSULTASI MASYARAKAT

PartisipasiMasyarakat (Melalui Perwakilan)

Sumber: Martika Dini Syaputri74

Setelah pemaparan diatas, kesimpulan yang dapat diberikan oleh penulis adalah bahwa keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL selalu dibutuhkan mulai dari tahapan awal hingga akhir. Pemerhati lingkungan juga dibutuhkan dalam setiap proses penyusunan AMDAL sebagai salah satu masyarakat yang memiliki ilmu guna menjelaskan kepada masyarakat lainya.

73 Vietnamlawmagazine. 2017. “Current local administration system in Vietnam”. disandurkan oleh Indonesian Center For Environmental Law, “Setelah UU Cipta Kerja: MeninjauEsensi Partisipasi Publik Dalam Amdal” Seri Analisis #5. (2020), hlm. 9

74 Partisipasi Masyarakat Dalam Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Berdasarkan UU No 32 Tahun 2009

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

42

Salah satu peran masyarakat dalam aktivitas lingkungan adalah ruang pengawasan. Partisipasi masyarakat dalam kerangka untuk melindungi hak atas lingkungan yang baik dan sehat sesuai instrumen lingkungan hidup.

III. PENUTUP

Lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola secara baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan dan asas keadilan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus berkembang dalam suatu sistemdimanaterdapatketerpaduankebijakannasionaldanpengelolaanlingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat sesuai asas dan konsekuen dari pusat hingga daerah. Hadirnya instrumen hukum melalui UUCK menimbulkan permasalahan, mulai dari direduksi peran dan serta masyarakat dalam penyusunan AMDAL. Polemik ini terdapat perubahan Pasal 24 tentang Dokumen AMDAL yang mana sebagai dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan. Sementara di dalam pasal 26 UUCK, tidak memperbaiki posisi AMDAL sebagai informasi menentukan rencana kegiatan, namun hanya sebagai instrumen administrasi sehingga belum bisa menjadi andalan dalam mengendalikan kerusakan lingkungan hidup. Kemudian perubahan Pasal 25 huruf c mempersempit lingkup partisipasi masyarakat, sekaligus kata relevan berpotensi mengaburkan objek partisipasi melalui saran masukan dalam partisipasi.

Keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL merupakan tahapan yang berada di hulu dari suatu kegiatan, karena dengan adanya peran sertamasyarakatdapatmenentukanmasadepandaripembangunanwilayah yang ditinggali dengan memberikan saran, masukan dan tanggapan kepada pemrakarsa maupun pemilik usaha. Hadirnya UUCK sebagai instrumen hukum baru yang melindungi perlindungan dan pengelolaan lingkungan sejatinya melindungi peran dan serta dari masyarakat dalam penyusunan AMDAL. AMDAL juga harus memiliki sifat transparan, dimana sifat ini dapat dimulai dengan diumumkannya rencana proyek sebelum penyusunan AMDAL. AMDAL harus dilakukan oleh para pelaku usaha terhadap masyarakat terdampak, maka pemerintah sebaiknya melaksanakan sosialisasi dan pengawasan yang lebih mendalam terhadap setiap pelaku usaha terkait

43
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

transparansi AMDAL. Pentingnya memasukkan peran masyarakat dalam aktivitas lingkungan adalah ruang pengawasan, agar partisipasi masyarakat dalam kerangka untuk melindungi hak atas lingkungan yang baik dan sehat sesuai instrumen lingkungan hidup.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

44

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung: Mandar Maju, 1995.

Diana Conyers dalam N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta,Sinar Grafika, 2008.

Indonesian Center For Environmental Law, Setelah UU Cipta Kerja:Meninjau Esensi Partisipasi Publik Dalam Amdal, Seri Analisis 5 2020.

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Depok: Rajawali Pers,2017.

Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya: Airlangga University Press, 2005.

UNU-CS, Engaging Citizens for Sustainable Development: A Perspective, October 2018.

Vietnamlawmagazine, “Current local administration system in Vietnam” https://vietnamlawmagazine.vn/current-local-administration-system-invietnam-6058.html disandurkan oleh Indonesian Center For Environmental Law, “Setelah UU Cipta Kerja: Meninjau Esensi Partisipasi Publik Dalam Amdal”, Seri Analisis 5, 2020.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia, Keputusan Kepala Bapedal Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Indonesia, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik IndonesiaNo. 17 Tahun 2012 Tentang Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan.

Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Indonesia, Peraturan Presiden tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, Perpres No. 59 Tahun 2017.

Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

45

Indonesia, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

JURNAL

Abrar Saleng, “Kapita Selekta Hukum Sumber Daya Alam”. Jurnal Dinamika Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Volume 12 Nomor 4 Juli, 2013.

Ahmas Qisa’I, “Sustainable Development Goals (SDGs) and Challenges of Policy ReformonAsserRecoveryin Indonesia”, Indonesian Journal of International Law Vol. 17 No. 2, 2020.

Arimbi HP, “Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakkan Hukum Lingkungan” Jurnal Hukum Lingkungan, Vol. I No. 1, 1994.

Edward B. Barbier and Joanne C. Burgess, “The Sustainable Development Goals and the systems approach to sustainability”, Economics: The Open Access, Open-Assessment E-Journal 2017.

Lalu Sabardi, “Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan PengelolaanLingkunganHidup” Jurnal Yustisia,Vol. 3No.1 April 2014.

NilaAmania, “ProblematikaUndang-Undang CiptaKerjaSektorLingkungan Hidup” Jurnal Syariati: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Hukum VI, no. 2, 2020. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Aksi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/ Sustainable Development Goals.

INTERNET

Rimbakita.com. 2019. “Daftar LSM Kehutanan dan Lingkungan Indonesia”. https://rimbakita.com/lsm-kehutanan-indonesia/ Diakses pada 26 Juni 2022 pukul 21.00.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. 2020. “Visi dan Misi”. https://www.walhi.or.id/visidan-misi, Diakses pada 26 Juni2022 pukul21.35. Indonesian Center For Environmental Law, 2021, “Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia”, https://icel.or.id/, Diakses pada 26 Juni 2022 pukul 21.55.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

46

BIODATA PENULIS

Abdhy Walid Siagian, lahir di Padang, Sumatera Barat, pada 11 April 1999. Ia adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas. Abdhy bergabung di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Energi Fakultas Hukum Univeritas Andalas sejak tahun 2022. Sejak menjadi mahasiswa, Abdhy sudah banyak mengikuti berbagai kegiatan seputar kepenulisan. Ia telah menerbitkan beberapa karya dalam bentuk artikel, karya tulis ilmiah dan beberapa jurnal diantaranya: Tulisan di Rumah Pemilu; Best Paper Lomba Essay PUSHEP;Tulisan di Koran Mata Banua; Menerbitkan Katalog Kombad Justitia dengan Tema Penegakan Demokrasi dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Sesuai Amanat UUD 1945; Ikut serta sebagai pemakalah pada Prosiding kerjasama Auriga, Greeenpeace dan Fakultas Hukum Universitas Andalas “Kebijakan Valuasi Ekonomi Untuk Pemulihan Lingkungan Hidup Dalam Kebijakan Dan Pasca Putusan Pengadilan"; beberapa tulisan di Artikel Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional dengan tema hukum lingkungan, internasional, dan hukum tata negara. Abdhy juga menerbitkan tulisan pada jurnal APHTN-HAN Vol 1 No 2 Tahun 2022 “Tinjauan Yuridis Kewenangan Badan Pengawas Pemilu Dalam Menangani Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum Pasca Penetapan Suara Nasional Oleh Komisi Pemilihan Umum.” Ia telah Publish Jurnal Legislatif Universitas

Hassanuddin Makassar Vol 5 No 2 Tahun 2022 "Konstitusionalitas Penundaan Pemilihan Umum Tahun 2022”.

47
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

RATIO DESIDENDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA PALU

NOMOR:510/PDT.G/2020/PA.PAL MENGESAHKAN KUASA JUAL / PERALIHAN HAK DI BAWAH TANGAN BERDASAR AKAD MURABAHAH BIL WAKALAH DENGAN PUTUSAN VERSTEK

Mochammad Iwan Soenarto Mahasiswa Program Studi Kenotariatan Universitas Narotama Surabaya adviwan5758@gmail.com

Habib Adjie Notaris/PPAT Kota Surabaya Abstrak

Produk-produk perbankan syariah sejalan dengan keinginan masyarakat dalam menggunakan jasa-jasa yang bernafaskan islam yang bersumber pada alquran dan hadits serta riwayat-riwayat yang ditulis oleh para sahabat yang telah diakui keberadaannya oleh sebagian besar ulama dan diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ataupun dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Perkara nomor 510/Pdt.G/2020/PA.Pal, berawal dari akad Murabahah bil Wakalah antara PT. Bank BRI Syariah dengan dengan nasabahnya bernama Kifran yang dibuat di bawah tangan, untuk menjamin kepastian pembayaran angsuran, Bank meminta jaminan, atas jaminan tersebut pada hari dan tanggal selain penandatangan akad, juga ditandatangani surat surat kuasa jual atas barang yang dijadikan jaminan. Perbuatan hukum tersebut menurut penulis adalah cacat kehendak, untuk selanjutnya penulis akan mengkritisi pertimbangan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut dalam tulisan yang bertemakan ratio “Ratio Desidendi Putusan Pengadilan Agama Kota Palu Nomor:510/Pdt.G/2020/PA.Pal Mengesahkan Kuasa Jual/Peralihan Hak Dibawah Tangan Berdasar Akad Murabahah bil Wakalah dengan Putusan Verstek”. Kata kunci: Akad, Murabahah, Wakalah, Kuasa Jual, Cacat Kehendak,Verstek.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

48

Abstract

Islamic banking products are in line with the public's desire to use Islamic inspired services that are sourced from the Qur'an and hadith as well as narrations written by friends whose existence has been acknowledged by most scholars, which is accommodated in Law number 21 of 2008 regarding syariah banking or in the Fatwa of the Indonesian Ulama Council, Case number 510/Pdt.G/2020/PA.Pal, starting from the Murabahah bil Wakalah contract between PT. BRI syariah bank with a customer named Kifran which is made under the hand, to guarantee the certainty of installment payments, the Bank asks for a guarantee, on the day and date other than the signing of the contract, also signed a power of attorney to sell the goods used as collateral. According to the author, this legal act is a defect of will, henceforth the author will criticize the considerations of the panel of judges who examined and decided on the case in an article with the theme of the ratio "Decision Ratio for the Decision of the Religious Court of Palu City Number: 510/Pdt.G/2020/PA.Pal endorsed Power of Sale / Transfer of Rights under the Hand based on the Murabahah bil Wakalah Agreement with Verstek Decision''.

Keywords: Akad, Murabahah, Wakalah, Power of Sale, Defect of Will,Verstek.

49 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada hari Senin tanggal 21 Agustus 2017, akad Murabahah bil Wakalah Nomor: 422-5230/141/ID0010132/08/2017, telah ditandatangani oleh nasabah PT. Bank BRI Syariah. Tbk. yang berkedudukan di jalan Wolter Monginsidi nomor 133 C, kelurahan Tatura Selatan, kecamatan Palu Selatan, kota Palu dengan identitas nama Kifran.

Pada saat yang sama debitur menandatangani surat kuasa untuk menjual atau mengalihkan hak atas jaminan nomor 004/SKJ/MONGINSIDI/08/2017 tanggal 21 agustus 2017, Semua kesepakatan dibuat dibawah tangan. Seiring berjalannya waktu, terjadi gagal bayar yang kemudian ditempuhlah upaya perdamaian pun, tetapi tidak ada titik temu, ntuk mendapatkan kepastian hukum terhadap pengembalian modalnya, PT. Bank BRI Syariah mengajukan gugatan ke pengadilan agama kota Palu dan terdaftar di kepaniteraan pengadilan agama kota Palu tanggal 26 Juni 2020 dengan register nomor perkara 510/Pdt.G/2020/PA.Pal. majelis hakim memutus perkara tersebut secara verstek 75

Penulis mengkritisi dalam tiga (3) hal yaitu: kuasa jual untuk mengalihkan hak sebagai bentuk jaminan pengembalian hutang (perjanjian assecoir) terhadap akad murabahah bil wakalah, jaminan atas akad murabahah bil wakalah tidak didaftarkan pada lembaga penjaminan. dan dalam putusan verstek apakah selalu memenangkan penggugat atas ketidak hadiran tergugat.

1.2. Rumusan Masalah

Ratio Desidendi Putusan Pengadilan Agama Kota Palu Nomor: 510/Pdt.G/2020/PA.Pal mengesahkan Akad Murabahah bil Wakalah yang mengandung cacat kehendak dengan Putusan Verstek.

75 “Putusan Pengadilan Agama Kota Palu Nomor: 510/Pdt.G/2020/PA”, https://ditbinganis.badilag.net/ekonomisyariah/dokumen_putusan/147.pdf, diakses 3 November 2020.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

50

1.3. Metodologi Penelitian

Tipe penelitian pada penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu-isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum adalah menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum.

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu yang sedang ditangani. Pendekatan undang-undang untuk menemukan ratio legis dan dasar ontologis antara undang-undang dan isu yang ditangani. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.76 Untuk menemukan ratio desidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.

II. PEMBAHASAN

Dalam pertimbangan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara aquo, penulisi mengrikisi pertimbangan yang terdapat pada halaman 10-11 putusan yang berupa akta dibawah tangan, akad murabahah bil wakalah, jaminandankuasa peralihan hak :

1. Menimbang, bahwa berdasarkan buktiP2 sampai buktiP7, bukti- buktitersebut merupakan akta dibawah tangan, yang dibuat dalam rangka suatu Perikatan antara Penggugat danTergugat sertasegala akibatnya dan karena dianggap pula diakui oleh Tergugat, maka Akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sempurna (volledig) dan mengikat (bidende) sesuai Pasal 285 Rbg, dan Pasal 1868 KUHPerdata;

2. Menimbang, bahwa BuktiP3, P4 dan P7, ketiga buktitersebut mendukung dalil Penggugat bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah melakukan persetujuan

76 Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H.,M.S., LL.M., Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2021), hlm. 47.

51 Volume
JURIS
FHUI
12 Nomor 2, 2022
LK 2

tentang prinsip pembiayaan untuk Investasi beserta persyaratan lainnya sejumlah Rp200.000.000,00 (bukti P4) dengan disertai akad wakalah tentang Pembelian Barang dalam rangka Pembiayaan Murabahah dari Penggugat (P7) denganperjanjianakad Murabahah bil Wakalah, yaitu pihak Penggugat sebagai pihak Penjual dan Tergugat sebagai pihak pembeli dalam bentuk pembelian rumah dengan harga Penggugat sejumlah Rp297.888.000,00 (dua ratus sembilan puluh tujuh juta delapan ratus delapan puluh delapan ribu rupiah) dengan angsuran selama 48 bulan (bukti P3).

3. Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P2, dan P6. Bukti-bukti tersebut mendukung dalil Penggugat bahwa dalam Perjanjian Murabahah bil Wakalah tersebut dengan Jaminan Tergugat berupa Sertifikat Hak Milik Nomor 537/Kotarindau atas nama Tergugat (P6) dengan surat kuasa dari Tergugat untuk menjual/mengalihkan hak atas jaminan tersebut (P2).

2.1. Cacat Kehendak

Misbruik van omstandigheden atau cacat kehendak adalah niat terselubung yang dengan sengaja diciptakan oleh salah salah satu pihak yang bertujuan untuk sebuah keuntungan meskipun dengan alasan untuk melindungi kepentingan, biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan dalam hal kerjasama atau pemberian pinjaman. Niat awal nasabah yang awalnya adalah kerjasama dalam bentukyangdisepakatidankebiasaandaribankuntukmelindungipembiayaan yang diberikan kepada nasabah adalah meminta jaminan, hal ini memang diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalan undang-undangtentang hak tanggungan.

Surat kuasa untuk menjual atau mengalihkan hak atas jaminan yang dibuat dan ditanda tangani bersamaan dengan akad murabahah bil wakalah, terdapat dua perbuatan hukum yang berbeda, pada akad Murabahah bil wakalah adalah perbuatan hukum transaksi jual beli tanah beserta bangunan antara bank dan nasabah, bank membiayai pembelian objek tersebut sesuai harga asal dari pemilik objek (pemasok) ditambah dengan keuntungan (margin). Atas pembiayaan tersebut nasabah melunasi atau membayar dengan cara mencicil. Jadi akadnya adalah pembiayaan. Sedang kuasa untuk menjual atau mengalihkan hak adalah perbuatan

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

52

hukum a quo adalah nasabah memberikan kuasa untuk menjual objek kepada bank atau yang ditunjuk oleh pemberi kuasa.

Pasal 21 kompilasi hukum ekonomi syariah pada huruf J menegaskan bahwa asas akad itu menekankan pada itikad baik dan bertujuan untuk menegakkan kemaslahatan dan tidak mengandung unsur jebakan dan perbutan buruk. Pasal1320 KUHPerdata syarat sahnya perjanjian pada angka 4 sesuatu yang halal. Pasal 1321 KUHPerdata tida sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Putusan Mahkamah Agung RI nomor: 1904 K/Sip/1982 tanggal 28 Januari 1984 tentang pembatalan perjanjian dan putusan Mahkamah Agung RI nomor : 3431 K/Pdt/1985 tertanggal 04 Maret 1987 tentang kasus dana pensiun.

Dua perbuatan hukum berbeda dan mempunyai akibat hukum berbeda dikemas dalam satu akad adalah penyelundupan hukum, niat debitur untuk mendapakan pinjaman dialihkan memberikan kuasa untuk menjual jaminan. Surat kuasa untuk menjual atau mengalihkan hak atas jaminan nomor 004/SKJ/MONGINSIDI/08/2017tanggal21Agustus2017yangdibuatdanditanda tangani bersamaan dengan akad murabahah bil wakalah Nomor: 4225230/141/ID0010132/08/2017 merupakan perbuatan hukum yang sesat.

2.2. Akad Murabahah bil Wakalah

Pengertian akad menurut Pasal 20 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariat selanjutnya disebut (KHES) adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum.77 Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur. Wakalah adalah pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu.78

77 Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2020), hlm. 15.

78 Ibid., hlm. 16.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

53

Akad menurut Pasal 1 ayat (3) UU Perbankan Syariah adalah kesepakatan tertulis antara bank syariah atau USS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.79 Akad menurut Habib Adjie merupakan suatu perjanjian, perikatan atau permufakatan hukum tertentu yang dibenarkan oleh syara’ (prinsip syariah).80

Akad atau al-aqdu berarti perjanjian, perikatan, dan permuafakatan (alittifaq), yang dapat dirumuskan sebagai perjanjian antara dua pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang dilakukan dalam suatu hal yang khusus.81 Rukun dan syarat akad yaitu, syarat rukun (ijab dan qobul), syarat subyektif (almuta’aqidain/al-aqidain/pihak yang berakad), syarat objektif (al-ma’qud alaih/maha al-aqd/objek akad dan maudhu al-aqd/tujuan akad).82

Pasal 21 kompilasi Hukum Ekonomi Syariah huruf J menyatakan bahwa asas akad menekankan pada itikad baik untuk menegakkan kemaslahatan dan tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk. Pada Pasal 27 mengkategorikan tiga hukum akad, yaitu akad yang sah, akad yang fasad/dapat dibatalkan, akad yang batal demi hukum. Pasal 28 memberi pengertian hukum akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya. Rukun terdapat pada Pasal 22 terdiri dari pihak-pihak yang berakad, objek akad, tujuan pokok akad, dan kesepakatan.83 Akad Murabahah bil Wakalah mengandung dua kepentingan hukum yang berbeda dan mempunyai aturan hukum yang berbeda yakni Akad Murabahah dan Wakalah. 84 Akad Murabahah menitik beratkan pada perjanjian sedangkan wakalah menitik beratkan pada kuasa. Akad Murabahah dengan pendekatan asas praduga sah seperti yang didefinisikan oleh Habib Adjie yang mengatakan jika dalam pembuatan akta notaris tersebut (1) berwenang untuk membuat akta sesuai dengan

79 Indonesia, Undang-Undang Perbankan Syariah, UU No. 21 Tahun 2008, LN No. 94 Tahun 2008, TLN No. 4867.

80 Dr. Habib Adjie, S.H., M. Hum. dan Dr. Muhammad Hafidh,S.H.,M.Kn., Akta Notaris Untuk Perbankan Syariah, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2017), hlm. 20.

81 H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), hlm. 17.

82 Ibid., hlm. 21.

83 Pusat Kajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2020).

84 Dr. Habib Adjie,S.H., M.Hum., dan Dr. Muhammad Hafidh, S.H.,M.Kn., Op.Cit. hlm. 20.

54
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

keinginan para pihak (2) secara lahiriah, formal, dan materiil telah sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta notaris maka akta notaris tersebut dianggap sah.85

Akad Murabahah yang dibuat dibawahtangandenganketentuan berdasarkan kesepakatanpihakdansesuaidenganperaturanperundanganituidentikdengan asas praduga sah dalam sebuah akta notaris.

Ketentuan umum tentang Wakalah dalam KHES Pasal 460 ayat (1) suatu transaksi yang dilakukan oleh seorang penerima kuasa dalam hak hibah, pinjaman, gadai, titipan, peminjaman, kerja sama dan kerja sama dalam bentuk modal/usaha,harus disandarkan kepada kehendak pemberi kuasa. (2) apabila transaksitersebut pada ayat (1) tidak merujuk untuk diatas namakan pemberikuasa, maka transaksi itu tidak sah. Pasal 461 Transaksi pemberian kuasa sah apabila kekuasaannya dilaksanakan oleh penerima kuasa dan hasilnya diteruskan kepada pemberi kuasa.86

Prof. Subekti mendefinisikan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakansuatu hal.87 SedangkanProf. Isnaeni mendefinisikanperikatan sebagai “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, dalam lapangan harta kekayaan, dimana satu pihak wajib memenuhi prestasi, itulah sosok debitur, dan ada pihak yang berhak atas prestasi tersebut, dan inilah yang disebut pihak kreditor”. Pasal 1234 KUH Perdata yang secara khusus mengatur wujud prestasi, yaitu berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.88

Perjanjian atau kontrak yang berdasarkan Pasal 1233 KUH Perdata dapat melahirkan perikatan, ujung-ujungnya di pundak para pihak seperikatan akan terpukulsuatukewajiban. Dalamperistiwaini,parapihaksalingbertukarkewajiban sebagaiprestasi yang disanggupi, untuk dipenuhisesuatu janji-janji yang

85

Dr. Habib Adjie,SH.M.Hum., Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm.79

86

Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Madani Op.cit., hlm. 125-126.

87

Prof. Subekti, S.H., Hukum Perjanian, (Jakarta: Intermasa, 1979), hlm. 1.

88

Prof. Dr. H. Moch.Isnaeni, S.H., MS., Seberkas Diorama Hukum Kontrak, (Surabaya: Revka Petra Media, 2017), hlm.18.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

55

diikrarkan. Oleh karena itulah perikatan yang lahir dari perjanjian ini punya daya pikat yang disebabkan oleh adanya prinsip pacta sunt servanda 89 Volmacht (kuasa) tidak diatur dalam KUHPerdata di Indonesia dan dalam NBW diatur dalam bab tersendiri tentang Volmacht. Konsep volmacht sebagai tindakan hukum sepihak, di mana pemberi kuasa memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk mewakili kepentingan hukum pemberi kuasa, bukan untuk kepentingan penerima kuasa atau pihak lain.90

2.3. Akad dibawah Tangan

SudiknoMertokusumomendefinisikanaktadibawahtanganadalahaktayang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan.91 Sedangkan perbedaan antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah sebagai berikut:

1. Akta otentik:

a. dibuat dalam bentuk sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang; b. Harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang; c. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, terutama mengenai waktu, tanggal pembuatan, dan dasar hukumnya; d. Kalau kebenarannya disangkal, maka si penyangkal harus membuktikan ketidak benarannya.

2. Akta di bawah tangan:

a. Tidak terikat hukum formal melainkan bebas; b. Dapat dibuat bebas oleh setiap subjek hukum yang berkepentingan; c. Apabila diakui oleh penanda tangan atau tidak disangkal, akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sama halnya seperti akta otentik;

89 Ridwan Khairandy, Pokok-pokok hukum dagang Indonesia, (Yogyakarta: FH UII press, 2013), hlm. 21.

90 Dr. Herlien Budiono, S.H., Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Bidang Kenotariatan Buku Kesatu, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2016), hlm. 271.

91 Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1979), hlm. 125.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

56

d. Tetapi bila kebenarnya disangkal, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan sebagai bukti, yang harus membuktikan kebenarannya (melalui bukti atau saksi-saksi).

Kekuatan mengikatnya akta di bawah tangan terletak pada tanda tangan dalam akta diakui atau tidaknya oleh orang terhadap siapa akta itu hendak dipakai, maka akta di bawah tangan merupakan salah satu alat bukti yang bisa dibawa ke ranah pengadilan apabila terjadi sengketa antara para pihak.92 (P2)-(P7) alat bukti berupa kata yang dibuat dibawah tangan, dan bukan alat bukti yang sempurna. Alat bukti akta yang memiliki pembuktian sempurna adalah alat bukti otententik berupa akta yangdibuat dihadapan Notaris.

2.4.

Surat Kuasa

Pemberian kuasa merupakan perjanjian sepihak di mana kewajiban untuk melaksanakan prestasi pada satu pihak, yaitu pada penerima kuasa kecuali diperjanjikan sebaliknya sebagaimana dalam Pasal 1794 KUHPerdata dan dalam hal ini akan merupakan perjanjian timbal balik, suatu pemberian kuasa tidak selalu memberikan kewenangan untuk mewakili pemberi kuasa, ada kemungkinan kuasa tidak merupakan bagian dari pemberian kuasa, tetapi dapat pula dalam pemberian kuasa tersebut diberi wewenang untuk mewakili apabila wewenang tersebut diberikan berdasarkan perjanjian pemberian kuasa terjadilah perwakilan yang bersumber pada perjanjian.

Pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1792 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang dapat seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Pasal 1792 KUHPerdata berbunyi sebagai berikut pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasa kepada orang lain yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan urusan. Dapat kita lihat bahwa unsur-unsur pemberian kuasa adalah:

1. Persetujuan; 92 R. Soeroso, Perjanjian di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 9.

57
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

2. Memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa dan;

3. Atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan; Pertama-tama, haruslah unsur persetujuan dan syarat untuk sahnya suatu perjanjian sebagaimana telah diuraikandidalam butir satu diatas dipenuhi. Unsur kedua, yaitu memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa menunjukkan adanya pihak pemberi kuasa dan penerima kuasa yang telah disetujui oleh para pihak. Unsur ketiga, di mana penerima kuasa melakukan tindakan hukum tersebut demi kepentingan dan untuk atas nama pemberi kuasa baik yang baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata tegas. Salah satu larangan dalam pembuatan dan pemberian kuasa adalah yang mengandung unsur selbsteintritt Selbsteintritt terjadi jika penerima kuasabertindak sebagai wakil pemberi kuasa selaku pihak penjual dan penerima kuasa bertindak untuk dirinya sendiri selaku pembeli dan dalam selbsteintritt tidak terdapat pihak ketiga. Selbsteintritt ini melahirkan benturan kepentingan (conflict of interest) antara pemberi kuasa dan penerima kuasa yang disebabkan adanya perbedaan kepentingan. Seharusnya surat kuasa itu dibuat secara otentik. Fungsi dari akta kuasa menjual merupakan alat bukti otentik untuk adanya tindakan hukum tersebut. Oleh karena itu, tatacara/prosedur dari pembuatan akta otentik sesuai dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2004 jo. Undang Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) harus dipenuhi.

2.5. Jaminan

Perbankan syariah belum mempunyai lembaga jaminan syariah sehingga untuk lembaga jaminan masih tunduk dengan ketentuan pada lembaga perbankan konvensional, seperti Hak Tanggungan, Fidusia, Hipotik dan gadai. Pemberian kuasa yang diberikan dan ditandatangani olehdebitur ataupemilik jaminan kepada kreditor pada tanggal yang bersamaan dengan tanggal penandatanganan akta pengakuan hutang atau perjanjian kredit untuk menjual barang, jaminan secara di bawah tangan, menurut Herlien Budiono bertentangan dengan asas yang bersifat bertentangan dengan kepentingan umum (van openbare orde) karena penjualan benda jaminan apabila tidak dilakukan secara sukarela

58 Volume 12
2022 JURIS LK 2 FHUI
Nomor 2,

haruslah dilaksanakan di muka umum secara lelang menurut kebiasaan setempat sehingga pemberian kuasa jual semacam ini adalah batal demi hukum. Mahkamah Agung di dalam putusannya tanggal 29 Juli 1987 Register Nomor 3309 K/PDT/1985 memutuskan, bahwa jual beli berdasarkan kekuasaan yang termaktub dalam Pasal/sub 6 Akta Pengakuan Utang tertanggal 25 April 1975 Nomor 72 adalah tidak sah. Demikian pula putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Mei 1990 Nomor : 1726K/PDT/1986.

Para pihak bebas untuk membuat perjanjian dan menambahkan janji-janji (bedding) pada suatu pembebanan jaminan, namun ada pula ketentuan-ketentuan yang bersifat van openbare orde sehingga terhadap ketentuan ini tidak dapat disimpangi seperti halnya pelaksanaan pengambilan tindakan alas suatu jaminan. Dengan lain perkataan, kuasa diberikan secara sukarela. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kuasa khusus hanya menyangkut/mengenai satu atau lebih kepentingan tertentu. Di dalam pemberian suatu kuasa khusus harus disebutkan secara tegas tindakan atau perbuatan apa yang boleh dan dapat dilakukan oleh yang diberi kuasa, misalnya untuk menjual sebidang tanah atau kuasa untuk memasang hipotik. Sudah barang tentu dapat juga ditambah dengan uraian mengenai perbuatan hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perbuatan hukum yang dikuasakan untuk dilakukan itu, misalnya dalam hal penjualan tanah, untuk menerima uang penjualannya dan memberikan tanda penerimaan untuk itu serta menyerahkan tanah itu kepada pembelinya.

Selain hal yang telah diuraikan di atas, dalam pembuatan kuasa menjualperlu diperhatikan ketentuan Pasal 1470 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan begitu juga tidak diperbolehkan menjadi pembeli pada penjualan di bawah tangan, atas ancaman yang sama, kebatalan, baik pembelian itu dilakukan oleh mereka sendiri maupun oleh orang-orang perantara, kuasa-kuasa mengenai barang-barang yang mereka dikuasakan menjualnya.

Tujuan dari larangan tersebut adalah agar penerima kuasa tidak menyalahgunakan pemberian kuasa untuk manfaat dirinya sendiri. Berkaitan dengan ratio larangan ketentuan tersebut, maka Selbsteintritt hanya mungkin dilaksanakan dalam hal penerima kuasa atas nama pemberi kuasa semata-mata melaksanakan prestasi yang merupakan hak penerima kuasa dan masih harus

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

59

dilakukan oleh pemberi kuasa terhadap penerima kuasa. Pasal 1321 KUHPerdata mempertegas bahwa tidak ada kesepakatan sah jika sepakat itu mengandung khilaf, paksaan, dan penipuan.

2.6. Hak Tanggungan

Dalam pemahaman terhadap bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Habib Adjie mengatakan embrio lahirnya lembaga jaminan atas tanah, yaitu hak tanggungan telah diamanatkan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).93 Undang Undang Nomor 4 Tahun1996 tentang Hak Tanggungan atasTanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah Pasal 15 ayat: 94

1. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan; b. tidak memuat kuasa substitusi; c. mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlahutang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan

2. Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).

3. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.

4. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.

93 Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum., Pemahaman Terhadap Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), (Bandung: CV. Mandar Maju, 2011), hlm.4. 94 Kitab Undang-Undang Agraria dan Pertanahan, Pustaka Buana, hlm. 67.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

60

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.

Dalam pertimbangan hukum majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara aquo yang tedapat pada halaman 10, penulis mengkritisi:

1. Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat tidak hadir di persidangan meskipun telahdipanggil secara resmi dan patut dan tidak ternyata tidak hadirnya tersebut disebabkan oleh suatu halangan yang sah, maka Tergugat harus dinyatakan tidak hadir dan perkara ini dilanjutkan pemeriksaaannya tanpa hadirnya Tergugat dan berdasarkan ketentuan Pasal 149 Ayat (1) R.Bg. gugatan Penggugat diputus secara verstek.

2.7.

Putusan Verstek

Putusan Verstek yang diputus oleh majelis hakim pengadilan agama kota Palu, menurut penulis tidak mencerminkan tugas dan kewajiban hakim, harusnya menggali dan meneliti alat bukti yang diperiksa dalam sidang terbuka. Meskipun tergugat secara patut telah dipanggil dan tidak menghadiri sidang, dalam hal melakukan penemuan hukum yang tertuang dalam putusan seyogjanya alat bukti surat juga diteliti,apakah mengandung cacat formil atau materiil, meskipun diputus dalam putusan verstek ada nilai keilmuan dan hukum yang harus dijunjung tinggi.

Pasal 125 ayat (1) HIR berbunyi “jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya,meskipun ia di panggil dengan patut maka gugatan itu diterima

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

61

dengan tidak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri bahwa pendakwaan itu melawan hak dan tidak beralasan. 95

Yahya Harahap menyikapi pasal tersebut dengan memperhatikan frase ternyatagugatantersebut melawan hukumatau ketertibandan kesusilaan (unlawful) dan tidak beralasan atau tidak mempunyai dasar hukum (no basic reason) hakim dapat menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontankelijke verklaard), salah satunya adalahdalil gugatan yang berdasar pada perjanjian yang mengandung unsur kuasa yang haram (ongeoorloofde oorzaak).96

Buktisurat, berupa surat kuasa dariTergugat untuk menjual/mengalihkan hak atas jaminan tersebut (P2) dan Jaminan Tergugat berupa Sertifikat Hak Milik Nomor 537/Kotarindau atas nama Tergugat (P6) hanya diperiksa kesesuaian antara dalil gugatan dan bukti persidangan, dan tidak mengkaji terhadap kaidah-kaidah hukum yang berlaku, yang telah diurai penulis di atas.

Perkara a quo alat bukti surat dengan tegas memberikan informasi kepada majelis bahwa ada akad murabahah bil wakalah yang dibarengi dengan surat kuasa megalihkan jaminan (P2) jelas ini bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian tentang sebab-sebab yang halal.

Pemberian kredit dengan jaminan (P6) harusnya tunduk pada ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Undang Undang Nomor 4 Tahun1996 tentang Hak Tanggungan atasTanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah Pasal 15. Dan ii tidak dilakukan oleh Kreditur/Penggugat.

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yangdimaksud pada ayat (3) atau ayat (4),atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum, apalagi jaminan tersebut tidak dipasang hak tanggungan.

95 R. Soesilo, RIB/HIR (Bogor: Politea,1995), hlm.83

96 M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika,2007), hlm 398.

62 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Pasal 21 kompilasi Hukum Ekonomi Syariah huruf J menyatakan bahwa asas akad menekankan pada itikad baik untuk menegakkan kemaslahatan dan tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk. Pada Pasal 27 mengkategorikan tiga hukum akad, yaitu akad yang sah, akad yang fasad/dapat dibatalkan, akad yang batal demi hukum. Pasal 28 memberi pengertian hukum akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya. Rukun terdapat pada Pasal 22 terdiri dari pihak-pihak yang berakad, objek akad, tujuan pokok akad, dan kesepakatan

Penjelasan diatas sangat objektif dan rasional bahwa meskipun dengan tidak hadirnya tergugat, majelis hakim harusnya lebih seksama meneliti alat bukti dan posita yang dibangun oleh penggugat, petitum penggugat untuk meminta majelis hakim apabila berpendapat berbeda dengan petitum penggugat (Ex Aequo et Bono) dan keinginan penggugat untuk diputus perkara seadil-adilnya, maka menurut penulis selain kekuasaan hakim adalah bebas dan mandiri, dan bisa berpendapat berbeda dengan petitum penggugat, berdasarkan alat bukti yang ada maka majelis hakim harus memutus perkara a quo dengan tidak menerima gugatan penggugat (niet ontankelijke verklaard).

2.8. Pertimbangan Majelis

Keberdaan pertimbangan hukum majelis hakim sangatnya penting, dan apakah pertimbangan ini cukup kaidah hukum dan kesesuaian alat bukti, atau sebaliknya yang bisa memperaruhi hasil putusan hakim yang mengakomodasi rasa keadilan,kepastian dan kemanfaata.

Keadilan adalah nilai penting dalam hukum, berbeda dengan kepastian hukum yang bersifat menyamaratakan, keadilan bersifat individual sehingga dalam pelaksanaan dan penegakkan hukum, masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum keadilan harus diperhatikan.

Menurut John Rawls, keadilan itu adalah fairness yang mengandung asasasas bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingannya hendaknya memperoleh kedudukan yang sama pada saat memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka yang memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki yang mengatakan bahwa

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

63

keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang menjadi hak.97

Kemanfaatan merupakan salah satu tujuan hukum, hukum yang baik adalah yang mendatangkan kemanfaatan bagi manusia, kemanfaatan dapat juga diartikan kebahagiaan (happiness) sehingga dalam pelaksanaan dan penegakkan hukum, masyarakat mengharapkan adanya kemanfaatan. Jadi baik buruknya hukum tergantung sejauh mana hukum itu memberikan kebahagiaan bagi manusia, Jeremy Bentham berpendapat bahwa negara dan hukum semata-mata ada hanya untuk manfaat sejati, yaitu kebahagian masyarakat, kemanfaatan itu sendiri dapat diartikan sebagai optimalisasi dari tujuan sosial dari hukum, setiap hukum di samping dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan sebagai tujuan akhir, tetapi juga mempunyai tujuan sosial tertentu, yaitu ketentuan yang diinginkan untuk diwujudkan melalui hukum, baik yang berasal dari perseorangan maupun dari masyarakat negara.98

Kepastian hukum merupakan perlindungan terhadap tindakan kesewenangwenangan, yang diharapkandalamkeadaantertentu, masyarakat mengharap adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena tujuannya untuk ketertiban masyarakat.99 Kepastian memiliki arti ketentuan atau ketetapan yang menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Dalam proses peradilan putusan hakim harus memberikan kepastian hukum tanpa meninggalkan aspek rasa keadilan dan kemanfaatan. Dalam mewujudkan adanya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi para pihak yang berperkara maka putusan hakim merupakan salah satu perwujudan dari apa yang diharapkan oleh masyarakat pencari keadilan.

97 John Rawls, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2019), hlm.3

98 Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan, (Bandung: Nuansa Cendikia, 2019),

Instruksi Ketua Mahkamah Agung RI nomor : KMA/015/ INSTR/VI/1998 tanggal 1 Juni 1998 menginstruksikan agar para hakim memantapkan profesionalitasnya dalam mewujudkan peradilan yang berkualitas dengan putusan hakim yang eksekutabel yang berisikan ethos (integritas), pathos (pertimbangan hlm.125

99 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakrta: Liberty, 2007), hlm.160.

64 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

yuridis yang pertama dan utama), filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat) serta logos (diterima dengan akal sehat) demi terciptanya kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman.

Pertimbangan hukum yang dilakukan oleh seorang hakim sekaligus juga merupakan salahsatu tugas dankewajiban hakim, yaitu wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini menjadi materi yang diolah untuk membuat pertimbangan hukum. Tersirat pula bahwa seorang hakim dalam menjalankan tugasnya dapat melakukan penemuan hukum atau rechtsvinding.

Berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1), bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya jika terdapat kekosongan aturan hukum atau aturannya tidak jelas, maka untuk mengatasinya seorang hakim harus memilikikemampuan dankeaktifan untuk menemukan hukum (rechtsvinding). Hal yang dimaksud dengan rechtsvinding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi dasar untuk mengambil keputusan. Putusan verstek, yaitu putusan yang dijatuhkan karena tergugat tidak hadir dalam persidangan padahal sudah dipanggil secara resmi, namun penggugat hadir.

Kesenjangan antara teks dan fakta memunculkan permasalahan dalam penerapan hukumnya, hakim sebagai penentu dalam persidangan harus melakukan telaah dan identifikasi kaidah hukum dalam teks hukum yang kemudian dihubungkan dengan fakta in konkreto yang dihadapi. Pengadilan sebagai lembaga yudikatif dalam struktur ketatanegaraan Indonesia memiliki fungsi dan peran strategis dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa yang terjadi.

Fungsi pengadilan diselenggarakan atas koridor independensi peradilan yang merdeka darisegala bentuk intervensidaripihak manapun, Pasal3 ayat (2)UndangUndang Nomor 48Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “segala campur tangan dalamurusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

65

dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.

Peradilan yang independen melahirkan sebuah putusan, putusan merupakan produk keadilan yang pertama dan utama karena merupakan jawaban akhir dari persengketaan yang diajukan oleh para pihak serta hasil dari proses peradilan yang dijalankan. Putusan hakim memuat pertimbangan-pertimbangan hukum yang mempresentasikan kewibawaan pengadilan. Sebagai produk pengadilan, putusan harus sedapat mungkin dilengkapi dengan pertimbangan yang cukup ,putusan yang kurang pertimbangan, selain merendahkan mutu putusan, juga membawa hakim pada kesimpulan akhir yang keliru atau kurang mencerminkan keadilan,baik bagi para pencari keadilan maupun masyarakat pada umumnya. 100

Dalam konteks demikian, putusan pengadilan harus disusun oleh hakim secara sistematis dan komprehensif, melingkupi seluruh bagian gugatan penggugat. Pasal 178 ayat (1) dan (2) HIR juncto Pasal 189 ayat (1) dan (2) RBg mengatur perihal kewajiban hakim dalam memutus suatu perkara sebagai berikut: “(1) hakim karena jabatannya waktu bermusyawarah wajib mencakup segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak. (2) hakim wajib mengadili semua bagian gugatan”.

Kriteria suatu putusan yang dikategorikan kurang pertimbangan hukum (onvoldoende gemotiveerd) dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Putusan tidak memuat pertimbangan tentang bukti lawan yang diajukan dalam persidangan.

2. Putusantidakmempertimbangkan dan/atau mengadilieksepsiyangdiajukan oleh tergugat.

3. Putusan tidak mempertimbangkan keseluruan fakta persidangan yang relevan dengan pokok perkara,sehingga menyebabkan putusan tersebut menjadi bias (deviatif) yang merugukan salah satu pihak.

4. Putusan tidak mengadili seluruh bagian gugatan penggugat atau permohonan pemohon. (Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2) R.Bg.)

100 Bagir Manan, Memulihkan Peradilan yang Berwibawa dan Dihormati, Pokok-Pokok Pikiran Bagir Manan dalam Rakernas, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia,2008), hlm.47.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

66

5. Konklusi hakim yang selanjutnya dituangkan dalam diktum atau amar putusan tidak dilandasi atas pertimbangan yang lengkap dan akurat. (Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

III. PENUTUP

Akad atau perjanjian menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian. Atas dasar kesepakatan, perjanjian harus dibentuk berdasarkan kehendak bebas dan dalam suasana yang bebas pula. Apabilaterdapatkecacatandalampembentukankatasepakatdarisuatukontrak atau perjanjian, disebut cacat kehendak (wilsgebreken atau defect of consent). Cacat kehendak terjadi pada periode atau fase pra-kontrak.

Periode pra-kontrak merupakan masa sebelum para pihak mencapai kesepakatan mengenai rencana transaksi yang mereka adakan. Pada periode ini dilakukan negosiasi atau perundingan oleh para pihak mengenai rencana kerja sama atau transaksi diantara mereka. Apabila dalam suatu perjanjian diduga terdapat cacat kehendak, harus diteliti lebih lanjut mengenai fase atau periode ini dalam suatu perjanjian oleh hakim.

Pada periode tersebut, hakim dapat meneliti apakah dalam pembentukan kata sepakat terdapat penyalahgunaan keadaan merupakan faktor yang membatasi atau mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua belah pihak. apabila dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme, penyalahgunaan keadaan ini dianggap bertentangan dan karenanya akan mengganggu eksistensi perjanjian yang bersangkutan. Terkait dengan adanya penyalahgunaan keadaan ini, J.H. Nieuwenhuis mengemukakan 4 syarat sebagai berikut:

1. Keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheiden) seperti keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak berpengalaman.

67
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

2. Suatu hal yang nyata (kenbaarheid), disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup (membuat) suatu perjanjian.

3. Penyalahgunaan (misbruik), salah satu pihak melaksanakan perjanjian itu ataupun dia mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya.

4. Hubungan kausal (causaal verband), adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian itu tidak akan ditutup (dibuat).

Maka dengan irah-irah Bismillahirrahmanirahim dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Akad Murabahah bil Wakalah a quo harusnya dinyatakan batal demi hukum dan gugatan a quo tidak dapat diterima. Dengan demikian ratio desidendi putusan pengadilan agama kota palu nomor: 510/Pdt.G/2020/PA.Pal mengesahkan Akad Murabahah bil Wakalah berdasarkan pada :

1. Pasal 21 kompilasi Hukum Ekonomi Syariah huruf J menyatakan bahwa asas akad menekankan pada itikad baik untuk menegakkan kemaslahatan dan tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk.

2. Pasal27 mengkategorikan tiga hukum akad, yaitu akad yang sah, akad yang fasad/dapat dibatalkan, akad yang batal demi hukum.

3. Pasal 28 memberi pengertian hukum akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya.

4. Pasal 22 terdiri dari pihak-pihak yang berakad, objek akad, tujuan pokok akad, dan kesepakatan.

5. Putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Juli 1987 Register Nomor 3309 K/PDT/1985 memutuskan, bahwa jual beli berdasarkan kekuasaan yang termaktub dalam Pasal/sub 6 Akta Pengakuan Utang tertanggal 25 April 1975 Nomor 72 adalah tidak sah.

6. Mahkamah Agung tanggal 31 Mei 1990 Nomor : 1726K/PDT/1986.

7. Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

68
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

8. Pasal 15 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah

9. Instruksi Ketua Mahkamah Agung RI nomor : KMA/015/ INSTR/VI/1998 tanggal 1 Juni 1998 menginstruksikan agar para hakim memantapkan profesionalitasnya dalam mewujudkan peradilan yang berkualitas dengan putusan hakim yang eksekutabel yang berisikan ethos (integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang pertama dan utama), filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat) serta logos (diterima dengan akal sehat) demi terciptanya kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman.

10. Pasal 125 ayat (1) HIR adalah putusan yang tidak berdasar pada fakta hukum dan kaidah hukum, tidak mencerminkan rasa keadilan. Kepastian hukum yang diharapkan tentunya juga harus menggali, mempertimbangkan, memposisikan hak dan kewajiban pencari keadilan dan yang diadili serta menciptakan kemanfaatan.

Pendekatan normatif untuk menemukan ratio legis bangunan agurmentasi pertimbanganhukummajelishakimyangsamasekalitidakmempertimbangkan alat bukti berupa kuasa peralihan hak objek jaminan maka antara Das Sollen (kaidah hukum)dan Das Sein (fakta hukum)tidak sejalan, sehinggaRatio Desidensiputusan a quo juga tidak sejalan. Putusan verstek yang tidak didukung oleh pertimabngan hukum yang kuat, akan mencederai rasa keadilan bagi nasabah atau tergugat.

Ratio desidendi putusan pengadilan agama kota Palu nomor: 510/Pdt.G/2020/PA.Pal mengesahkan Akad Murabahah bil Wakalah terdapat ketidak sesuaian antara fakta hukum,pertimbangan hukum dan kaidah hukum yang dibangun oleh majelis hakim :

1. (P2)-(P7)tentang kedudukanalat buktiakta dibawahtangan bukalahalat bukti sempurna, alat buktisempurna adalah alat bukti otentik berupa akta yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang/Notaris/PPAT. Dikarenakan alat buktisurat

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

69

dibawah tangan maka untuk pembuktiannya harus diakui oleh para pihak yang ada dalam akta tersebut.

2. (P2) tentang jaminan berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) tanpa adanya kuasa untuk memasang Hak Tanggungan, Meskipun lembaga perbankan syariah belum mempunyai Lembaga penjaminan syariah,tentunya harus menggunakan lembaga penjaminan yang ada. Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.sehingga ada kepastian hukum baik debitur maupun kreditur terhadap barang yang digunakan sebagai jaminan.

3. (P6) tentang kedudukan surat kuasa peralihan hak, alat bukti (P6) adalah assecoir alat buktisurat (P3), (P4),(P7), perjanjian yang dibarengidengankuasa menjual adalah perjanjian yang mengandung unsur cacat kehendak,dan batal demi hukum karena undang-undang dan dapat dibatalkan oleh majelis hakim.

4. Tergugat tidak hadir di persidangan meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut dan tidak ternyata tidak hadirnya tersebut disebabkan oleh suatu halangan yang sah, maka Tergugat harus dinyatakan tidak hadir dan perkara ini dilanjutkan pemeriksaaannya tanpa hadirnya Tergugat dan berdasarkan ketentuan Pasal 149 Ayat (1) R.Bg. Gugatan Penggugat diputus secara verstek, meskipun diputus verstek bukan berarti majelis hakim mengabulkan semua petitum gugatan pengguga, pertimbangan hukum majelis hakim pun, harus memehuni rasa keadilan,kepastian dan kemanfaatan, kedudukan alat buktisurat (P2),(P4),(6) adalah bentuk perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang. Meskipun diputus secara verstek, isi putusan harusnya menolak dan/atau tidak diterima gugatan tersebut,atau atau diterima dengan putusan membantalkan akad murabahah bil wakalah.

5. Sehingga putusan a quo menurut penulis adalah putusan yang sesat.

12 Nomor 2, 2022

70
Volume
JURIS LK 2 FHUI

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adil, Ustad. Mengenal Notaris Syariah Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2011.

Adjie, Habib dan Muhammad Hafidh. Akta Notaris untuk PerbankanSyariah. Bandung: Citra Aditya Sakti, 2017.

Adjie, Habib. Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris SebagaiPejabat Publik. Bandung: PT. Refika Aditama, 2008.

Adjie, Habib. Pemahaman Terhadap Bentuk Surat Kuasa MembebankanHak Tanggungan (SKMHT) Bandung: CV. Mandar Maju, 2011.

Bagya Agung Prabowo, SH.M.Hum, Aspek Hukum PembiayaaanMurbahah Pada Perbandang Syariah Yogyakarta : UII Pres, 2012.

Betham, Jeremy. Teori Perundang-Undangan.Bandung: NuansaCendekia,2019.

Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Bidang KenotariatanBuku Kesatu. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2016.

Isnaeni. Seberkas Diorama Hukum Kontrak Surabaya: PT. Revka PetraMedia, 2017.

Khairandy, Ridwan. Pokok-pokok hukum dagang Indonesia Yogyakarta:FH UII Press, 2013.

Khairany, Ridwan. Kebebasan berkontrak & Pacta Sunt Servanda versusItikad Baik. Yogyakarta: UII Press, 2015.

Latumenten, Pieter. Cacat Yuridis Akta Notaris Dalam Peristiwa HukumKonkrit dan Implikasi Hukumnya Jakarta: Tumas Press, 2011.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Kencana,2021.

71 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Mertokusumo, Soedikno. Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar Yogyakarta: Liberty, 1979.

Mustafida, Latifa. Penerapan Doktrin Misbruik van Omstandigheden terhadap Pembatalan Akta Notaris Berdasarkan Putusan Pengadilan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2022.

M.Yahya Harahap, S,H. Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

Naja,Daeng. Akad Bank Syariah.Yogyakarta: PustakaYustisia,2011. Panggabean. Penyalahgunaan Keadaan Misbruik van Omstandigheden. Yogyakarta: Liberty, 2010.

Rawls, John. Teori Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019.

Soesilo, R. RIB/HIR Bogor: Politeia, 1995.

Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa, 1979.

Sjahdeini, SutanRemy. Perbankan Syariah Jakarta: Prenada MediaGroup,2015.

Soeroso. Perjanjian di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Subekti, R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:PT. Pradnya Paramita. 1999.

Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Madani. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Jakarta: Kencana, 2020.

Kitab Undang-Undang Agraria dan Pertanahan. Bandung: Pustaka Buana,2014.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Perbankan Syariah, UU No. 21 Tahun 2008,LN No. 94 Tahun 2008, TLN No. 4867.

72
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Indonesia. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun2009, LN No. 157 Tahun 2009, TLN No. 5067.

Indonesia. Undang-Undang Peradilan Agama, UU No. 50 Tahun2009, LN No. 159 Tahun 2009, TLN No. 5078.

PUTUSAN PENGADILAN

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 638K/Sip/1969.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 1860K/Pdt/Tahun1984.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 1992K/Pdt/2000.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

73

BIODATA PENULIS

Mochammad Iwan Soenarto lahir di Surabaya, 20 Februari 1978. Penulis telah menempuh studi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (1996-2002), dan sekarang sedang menempuh Studi di Magister Kenotariatan Universitas Narotama Surabaya.

Habib Adjie lahir di Bandung, 20 Mei 1961. Penulis telah menempuh studi S1 Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, Pendidikan Notariat di Universitas Padjajaran, Magister hukum di Universitas Diponegoro, dan Pascasarjana Ilmu Hukumdi Universitas Airlangga. Penulis adalah mediator nonhakim dan negosiator tersertifikat, pengajar kenotariatan di Universitas Narotama Surabaya, serta bekerja sebagai Notaris/PPAT di Kota Surabaya.

74 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

PERWUJUDAN MEANINGFUL PARTICIPATION DALAM PROSES

LEGISLASI MELALUI REVISI KEDUA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011

Josua Satria Collins

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia josuasatriaemail@gmail.com

Abstrak

Setiap produk legislasi akan berdaya guna jika melibatkan aspirasi masyarakat. Namun, masih banyak proses legislasi yang tidak melibatkan masyarakat secara serius. Indonesian Parliamentary Center mencatat dari 7 Undang-Undang yang diselesaikan pada 2021, hanya 1 aturan yang disertai publikasi risalah rapat. Momentum optimalisasi partisipasi publik hadir setelah dikeluarkannya Revisi Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Penulis ingin mencari tahu bagaimana revisi tersebut dapat mewujudkan meaningful participation. Melalui analisa data sekunder, didapati bahwa terdapat tiga terobosan partisipasi publik. Pertama, masukan masyarakat dapat dilakukan secara daring. Kedua, naskah akademik harus dapat diakses publik. Ketiga, pembentuk legislasi harus mampu menjelaskan hasil pembahasan aspirasi masyarakat.

KataKunci: Legislasi, Masyarakat, Partisipasi, Revisi, Undang-Undang

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

75

Abstract

Every product of legislation will be effective if it involves the aspirations of the people. However, there are still many legislative processes that do not involve the community seriously. The Indonesian Parliamentary Center recorded that of the 7 acts that were finalized in 2021, only 1 regulation was accompanied by the publication of the minutes of the meeting. The momentum for optimizing public participation came after the issuance of the Second Revision of Law Number 12 of 2011. The author wanted to find out how this revision could realize meaningful participation. Through secondary data analysis, it was found that there were three breakthroughs in public participation. First, public input can be done online. Second, academic manuscripts must be publicly accessible. Third, legislators must be able to explain the results of the discussion of people's aspirations.

Keywords: Act, Legislation, Public, Participation, Revision

76
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

I. PENDAHULUAN

Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yang baik, tidak akan cukup tanpa adanya peran serta masyarakat. Hal ini mengingat proses legislasipada akhirnya menghasilkan produk hukum yang berdampak kepada masyarakat. Undang-undang yang mampu menyerap aspirasi dan kebutuhan masyarakat tentunya akan lebih berdaya guna.

Lebih lanjut, perkembangan zaman saat ini penuh dengan tuntutan demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas, utamanya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Diperlukan suatu pendekatan bahkan paradigma di mana setiap stakeholders dapat berinteraksi dan berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang didasari dan disemangati nilainilai kemanusiaan dan peradaban yang luhur, serta diselenggarakan dengan mengindahkan prinsip good governance.101

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan bahwa keterlibatan publik dalam perumusan suatu undangundang berperan supaya tidak ada resistansi dikemudian hari. Ia pun menambahkan bahwa partisipasi publik masuk ke dalam aspek sosiologis dari kekuatan suatu undang-undang.102

Sementara itu, Mas Achmad Santosa menambahkan, pengambilan keputusan public yang partisipatif bermanfaat agar keputusan tersebut benar-benar mencerminkan kebutuhan, kepentingan serta keinginan masyarakat luas.103 Senada dengan itu, Lothar Gundling mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat punya makna penting sebagai upaya democratizing decision-making 104

Akan tetapi, proses legislasi yang partisipatif masih jauh dari harapan. Menurut catatan Indonesian Parliamentary Center, dari 7 Rancangan UndangUndang (RUU) yang berhasil diselesaikan pada 2021, hanya 1 RUU yang disertai

101 Syahmardan, “Pertisipasi Masyarakat: Wujud Transparansi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Demokratis,” Jurnal Legislasi Indonesia 9 (2012), hlm. 136.

102 Muhammad Zulfikar, “Wamenkumham: Partisipasi publik penting dalam perumusan suatu UU” https://www.antaranews.com/berita/2819345/wamenkumham-partisipasi-publik-pentingdalam-perumusan-suatu-uu diakses 9 Agustus 2022.

103 Mas Achmad Santosa, Good Governance dan Hukum Lingkungan (Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2001), hlm. 138.

104 Lothar Gundling, Public Participation in Environmental Decision Making, Trends in Environmental Policy and Law (Switzerland: IUCN Glamd,1980), hlm.134-136.

77 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

dengan publikasi risalah rapat. Pada aspek partisipasi, dari 49 RUU yang diproses pada tahun 2021, hanya 5 RUU yang disertai dengan publikasi aspirasi publik terbanyak. Di luar itu, banyak RUU lain yang partisipasi publiknya tidak dikelola dengan serius.105

Hal ini menjadi ironis ketika anggaran pembuatan RUU dalamkurun waktu satu periode Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencapai Rp 1,57 triliun. Bila dirinci, biaya yang dikeluarkan dalam menyelesaikan 1 RUU mencapai Rp 11 miliar. Tentunya menjadi pertanyaan ketika produk peraturan perundanganundangan yang dibentuk dengan biaya mahal nyatanya tidak sesuai kebutuhan masyarakat.106

Momentum optimalisasi partisipasi publik hadir setelah dikeluarkannya Revisi Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam Konsultasi Publik Badan Keahlian DPR RI atas Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 di Surabaya (3 Februari2022), KepalaPusatPerancangan Undang-Undang (PUU)Badan Keahlian Setjen DPR RI Lidya Suryani Widayati menekankan bahwa partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) dan akan ditegaskan melalui Revisi Kedua Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011.107

Berdasarkan paparan latar belakang dan pembatasan masalah sebagaimana disebutkan di atas, permasalahan yang dikaji adalah bagaimana revisitersebut dapat mewujudkan meaningful participation. Lebih jauh, penulis ingin mengetahui apa saja perubahan-perubahan substansi dari Revisi Kedua Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang secara nyata mendorong perwujudan meaningful participation.

105 Indonesia Parliamentary Center, Catatan Akhir Tahun Legislasi 2021, (Jakarta: Indonesia Parliamentary Center, 2021), hlm. 1.

106 Rofiq Hidayat, “Minim Partisipasi Publik Penyebab Produk UU Berujung ke MK” https://www.hukumonline.com/berita/a/minim-partisipasi-publik-penyebab-produk-uu-berujungke-mk-lt5da83b13e8ca5/ diakses 30 April 2022.

107 Ron, “Perlu Partisipasi Publik dalam Pembentukan UU agar Tercipta ‘Meaningful Participation”

https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/37434/t/Perlu+Partisipasi+Publik+dalam+Pembentukan+UU +agar+Tercipta+%E2%80%98Meaningful+Participation%E2%80%99 diakses 9 Agustus 2022.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

78

II. PEMBAHASAN

1. Konsep Meaningful Participation

Istilah partisipasi masyarakat dapat dijumpai dalam berbagai terminologi. Beberapa diantaranya menyebutkan, peran serta masyarakat, inspraak (Bahasa Belanda), public participation (Inggris), atau partisipasi publik. 108 Partisipasi (participation) atau “turut berperan serta”, “keikutsertaan”, atau “peran serta” merupakan kondisi di mana semua anggota dalam suatu komunitas terlibat dalam menentukan tindakan atau kebijakan yang akan diambil terkait kepentingan mereka. Henk Addink menilai, partisipasi adalah keterlibatan aktif anggota kelompok dalam suatu proses di kelompok.109

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson mendefinisikan partisipasi publik sebagai “Political participation as activity by private citizens designed to influence governmental decision-making”.110 Artinya, proses pembuatan peraturan perundang-undangan, tidak semata-mata menjadi wilayah kekuasaan mutlak pemerintah ataupun parlemen. Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat, baik secara individual maupun kelompok, secara aktif dalam penentuan kebijakan publik atau peraturan.111

Lebih jauh, Dahl menilai, demokrasi hanya dapat dibangun dengan partisipasi, di mana semua warga masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk ikut berperan serta mendiskusikan/membahas masalahmasalahnya dan mengambil keputusan.112 Tidak mungkin suatu negara mengklaim dirinya demokratis jika proses pengambilan keputusan terkait kepentingan mereka dilakukan tanpa keterlibatkan warganya.

108 Yuliandri, 2009, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 185

109 Henk Adding, Sourcebook Human Rights and Good Governance, Asialink Project on Education in Good Governance and Human Rights, 2010, hlm. 36.

110 Saifudin, 2009, Partisipasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Yogyakarta: FH UII Press, hlm. 93.

111 Kamarudin,“TinjauanYuridisPartisipasiMasyarakatdalam ProsesPembentukanUndangUndang” Jurnal Perspektif Hukum 15 (2015), hlm. 188.

112 Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi, Menjelajahi Teori dan Praktik Demokrasi Secara Singkat, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm. 15.

79 Volume
12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Keikutsertaan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan memiliki arti penting bagi lahirnya produk hukum yang berkualitas. Menurut Erni Setyowati, apabila peraturan perundangundangan yang dihasilkan oleh lembaga yang berwenang tidak melibatkan masyarakat dalam proses pembentukannya, setidaknya terdapat 4 (empat) dampak buruk yang ditimbulkan, yakni:113

● Peraturan tersebut tidak efektif, dalam arti tidak dapat mencapai tujuan yang diharapkan

● Peraturan tersebut tidak implementatif, dalam arti tidak dapat dijalankan sejak diundangkan atau gagal sejak dini;

● Peraturan tersebut tidak responsif, yang sejak dirancang sampai diundangkan mendapatkan penolakan yang keras dari masyarakat

● Peraturan tersebut bukannya memecahkan masalah sosial malah menimbulkan kesulitan baru di masyarakat.

Meaningful participation menjadi tolok ukur suatu produk hukum telah tersusun dengan sempurna secara formil sehingga secara materiil juga memenuhi rasa keadilan yang dikehendaki masyarakat. Bila ditarik ke belakang, konsep partisipasi yang bermakna awalnya berasal dari konsep yang dikembangkan oleh Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan dalam perkara doctors for life di tahun 2006. Doktrin ini bertujuan untuk melihat apakah lembaga legislatif telah menempuh langkah-langkah yang layak dalam memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berpartisipasi secara efektif di dalam proses pembentukan undangundang.114

113 Kamarudin, “Tinjauan Yuridis Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembentukan UndangUndang” Jurnal Perspektif Hukum 15 (2015), hlm. 186.

114 Fitriani Ahlan Sjarif, “Arti Meaningful Participation dalam Penyusunan Peraturan” https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-imeaningful-participation-i-dalam-penyusunanperaturan-lt62ceb46fa62c0 diakses 9 Agustus 2022.

80
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Dalam perkara tersebut, “Meaningful participation” dapat diukur dengan cara menguji prosedur yang disediakan oleh legislatif terhadap dua pertanyaan mendasar sebagai berikut115

o Apakahkewajiban untuk membuka partisipasi bagi masyarakat dalam pembentukan undang-undang telah dijamin secara normatif?

o Apakah lembaga legislatif telah mengambil langkah-langkah yang memadai untuk memastikan masyarakat memiliki kesempatan atau kemampuan untuk menggunakan mekanisme partisipasi yang diberikan?

Berkaitan dengan hal ini, penting untuk memperhatikan pernyataan Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan sebagai berikut: “Public access to Parliament is a fundamental part of public involvement in the law-making process. It allows the public to be present when laws are debated and made…. In addition, these provisions make it possible for the public to present oral submissions at the hearing of the institutions of governance. All this is part of facilitating public participation in the law-making process”.116

Di Indonesia, sejatinya Mahkamah Konstitusi pernah mengangkat doktrin ‘meaningful participation’ dalam perkara Nomor 32/PUUVIII/2010tentang pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Di dalam Putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa partisipasi atau ‘memperhatikan pendapat masyarakat’, tidak dapat dilakukan sebatas memenuhi ketentuan formal prosedural. Mahkamah menyatakan bahwa tujuan utama partisipasi adalah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial warga negara.

Terkini, konsep ini kemudian dipakai oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan perkara yang mendapatkan sorotan public, yakni uji

115 Susi Dwi Harijanti, Lailani Sungkar, dan Wicaksana Dramanda, “Pengujian Formil UndangUndang oleh Mahkamah Konstitusi: Urgensi dan Batu Uji,” (Bandung: FakultasHukum Universitas Padjajaran, 2020), hlm. 78.

116 Susi Dwi Harijanti, Lailani Sungkar, dan Wicaksana Dramanda, “Pengujian Formil UndangUndang oleh Mahkamah Konstitusi: Urgensi dan Batu Uji,” (Bandung: FakultasHukum Universitas Padjajaran, 2020), hlm. 78.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

81

formil UU Cipta Kerja. Dalam Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah Konstitusi mengartikan meaningful participation (partisipasi yang bermakna) sebagai: (1) hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, (2) hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan (3) hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

Berdasarkan putusan di atas, pada dasarnya Mahkamah Konstitusi menghendaki bahwa partisipasi harus dilakukan secara dialogis dimana warga negara diberikan hak untuk didengar dan dipertimbangkan (right to be heard and to be considered). Selain itu, partisipasi dikehendaki pula untuk bersifat terbuka, dan dilakukan dengan bahasa atau penyampaian yang mudah.

Akhirnya, penerimaan warga negara (legal efficacy) atas suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat terwujud apabila pembentukan undang-undang (legislative process) dilakukan dengan memberikan ruang partisipasi yang layak (meaningful) kepada warga negara, sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh hukum (legislative due process). Sesuai prosedur hukum disini artinya hukum yang telah mengakomodasi meaningful participation dari prinsip ke dalam norma pembentukan undang-undang dan tidak sekedar menyandarkan pada norma yang ada. Hal ini berarti juga meaningful participation penting untuk memastikan bahwa prosedur yang ditempuh oleh organ pembentuk peraturan perundangundangan dilakukan secara substantif dan jauh dari bentuk-bentuk yang tokenistic atau manipulatif.117

2. Optimalisasi Partisipasi Publik dalam Revisi UU PPP Merespon Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, DPR bersama Pemerintah bergerak cepat melakukan perubahan kedua atas UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan (Revisi UU PPP). Sejak inisiasi pada 6 Desember 2021 dalam Rapat Badan Legislasi, pembahasan Revisi UU PPP berhasil diselesaikan 117 Ibid, hlm. 99

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

82

pada 13 April 2022 dan akhirnya disahkan DPR menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna ke-23 masa sidang V tahun 2021-2022 pada 24 Mei 2022.118

Dampak dari konsep meaningful participation dalam pertimbangan hakim di Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 adalah sedikit banyak diakomodir dalam UU 13/2022. Dalam UU tersebut terdapat beberapa perubahan salah satunya Pasal 96 yang mengatur mengenai partisipasi masyarakat/publik. Perubahan yang dimaksud cukup signifikan yaitu yang awalnya dalam Pasal 96 UU 12/2011 hanya memiliki 4 buah ayat, kemudian diubah dalam Pasal 96 UU 13/2022 menjadi 9 buah ayat. Garis besar perubahan Pasal 96 adalah merinci nomenklatur pada 4 ayat asli dan penambahan mekanisme lanjutan dalam 5 ayat baru.

a) Masukan masyarakat dapat dilakukan secara daring Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan semua orang di dunia dapat terhubung tanpa dibatasi oleh jarak dan waktu. Keadaan ini kemudian mengubah cara masyarakat dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Perkembangan teknologi juga telah diimplementasikan pada manusia yang pada hakikatnya merupakan makhluk sosial, sehingga teknologi dapat dikatakan telah ikut serta dalam rangka advokasi hak-hak manusia sebagai warga negara di bawah suatu hukum yang berlandaskan ideologi dan Undang-Undang Dasar yang telah disusun dan telah disepakati bersama. Perubahan yang terjadi memungkinkan terjadinya kolaborasi antar individu tanpa adanya tatap muka.

Melalui Revisi Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, masukan masyarakat dapat dilakukan secara daring. Sebelumnya, bentuk-bentuk partisipasi publik dalam proses legislasi hanya dibatasi dalam beberapa bentuk forum konsultasi publik secara fisik, mulai dari RDPU, kunjungan kerja, hingga seminar publik. Dengan adanya

118 Komar, “Rapat Paripurna, DPR Sahkan Revisi RUU PPP“ https://www.kemenkumham.go.id/berita/rapat-paripurna-dpr-sahkan-ruu-ppp diakses 9 Agustus 2022.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

83

perkembangan teknologi dan pengalaman pandemi Covid-19, tentunya perlu pengakuan partisipasi publik secara online Tentunya, perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi dapat memudahkan masyarakat dalam mendapatkan informasi dan melakukan komunikasi termasuk dalam proses legislasi. Partisipasi masyarakat dalam proses legislasi berbasis teknologi turut memberikan pengaruh terhadap kinerja pemangku kepentingan. Bentuk partisipasi dengan memanfaatkan pelayanan publik berbasis teknologi dalam menyalurkan aspirasi, masukan kritik dan saran, akan lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan penyaluran aspirasi kritik dan saran dengan cara konvensional.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Muhammad Nur Sholikin mengatakan perkembangan teknologi dan informasi harus dimanfaatkan betul dalam memunculkan model-model partisipasi publik. Menurutnya, dengan teknologi bisa menggalang dukungan dan informasi relatif lebih cepat dan mudah. “Persoalannya, tak hanya bagaimana mendapat dukungan dan menggerakan masyarakat sipil, tapi bagaimana strategi menyuarakan aspirasi untuk mengkomunikasikan ide dan gagasannya. Teknologi bisa menggalang dukungan dan informasi relatif lebih cepat dan mudah,” tuturnya.119 International Association for Public Participation (IAP2) Indonesia memberikan istilah khusus untuk bentuk partisipasi masyarakat yang didukung Teknologi Informasi dan Komunikasi, yakni E-Participation atau Electronic Participation. Hal ini menjadi solusi terbaik dalam meningkatkan partisipasi publik di masa pandemi dikarenakan lebih mudah dan efisien. Lebih jauh, menurut IAP2 Indonesia, terdapat 4 manfaat E-Participation, yaitu:120

119

Rofiq Hidayat, “Memperkuat Partisipasi Publik Bermakna Lewat Teknologi” https://www.hukumonline.com/berita/a/memperkuat-partisipasi-publik-bermakna-lewat-teknologilt62a047482db52/?page=all diakses 9 Agustus 2022.

120 Pundarika Vidya Andika, “E-Participation untuk Meningkatkan Partisipasi Publik di Masa Pandemi COVID-19” https://iap2.or.id/e-participation-untuk-meningkatkan-partisipasi-publik-dimasa-pandemi-covid-19/ diakses 9 Agustus 2022.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

84

● Memudahkan kolaborasi antar stakeholder pada skala nasional hingga internasional;

● Meningkatkan komunikasi dengan masyarakat untuk mengumpulkan input;

● Proses manajemen pada organisasi dan pemerintah dalam partisipasi publik lebih efisien dan efektif;

● Mempermudah dalam menganalisis insight dari input masyarakat (what, where, who, dan how much) pada platformpartisipasipublik digital.

b) Naskah akademik harus dapat diakses publik

Pada Revisi Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, diatur bahwa Naskah akademik dan/atau rancangan peraturan perundangundangan harus dapat diakses oleh publik. Sebelumnya, UU PPP hanya mengamanatkan masyarakat dapat mengakses rancangan peraturan perundang-undangan. Akses penuh terhadap naskah akademik tentunya menjadi penting, mengingat setiap alasan pembentukan ataupun landasan keberlakuan suatu peraturan perundangan-undangan tertuang dalam naskah akademik tersebut.

Secara definisi, Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.121

Naskah akademik merupakan media nyata bagi peran serta masyarakat dalam proses pembentukan atau penyusunan peraturan perundang-undangan. Naskah akademik akan memaparkan alasan-alasan, fakta-fakta atau latar belakang masalah atau urusan sehingga hal yang

121

Daniel Putra, “Pentingnya Penyusunan Naskah Akademik” https://jakarta.kemenkumham.go.id/berita-kanwil-terkini-2/pentingnya-penyusunan-naskahakademik#:~:text=Keberadaan%20naskah%20akademik%20memiliki%20nilai,penyusunan%20su atu%20rancangan%20perundang%2Dundangan diakses 9 Agustus 2022.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

85

mendorong disusunnya suatu masalah atau urusan sehingga sangat penting dan mendesak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Naskah akademik dipandang sebagai hal krusial karena dalam pembuatannya memuat landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis sebagai dasar yang baik untuk suatu peraturan atau perundangan-undangan. Dengan adanya naskah akademik yang memadai, diharapkan dapat dibentuk peraturan perundang-undangan yang aplikatif dan futuristik.122

Selain itu, naskah akademik juga memuat keterkaitan peraturan perundang-undangan baru dengan peraturan perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, status peraturan perundangundangan yang ada, sehingga naskah akademik mampu mencegah tumpang tindih peraturan.123

Pada akhirnya, keberadaan Naskah Akademik memiliki nilai yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan peraturan perundangundangan yang baik, karena penyusunan Naskah Akademik diawali dengan riset nilai-nilai yang ada di masyarakat, sehingga besar kemungkinan peraturan perundang-undangan yang dibuat berdasarkan Naskah Akademik akan diterima oleh masyarakat.

c) Pembentuk legislasi harus mampu menjelaskan hasil pembahasan aspirasi masyarakat

Revisi Kedua UU PPP mengamanatkan pembentuk peraturan perundang-undangan harus mampu menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat. Melalui ketentuan ini, masyarakat akan memperoleh kepastian apakah aspirasinya dipertimbangkan atau tidak. Hal ini pun menjadi perwujudan hak masyarakat untuk mendapatkanpenjelasanatau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Bila dikaitkan dengan konsep “tangga partisipasi masyarakat” yang dikenal dengan istilah “Arnstein’s Ladder”, pemberian informasi kepada

122 Nurhadi, “Seberapa Penting Sebuah Peraturan Memiliki Naskah Akademik?” https://nasional.tempo.co/read/1552851/seberapa-penting-sebuah-peraturan-memiliki-naskahakademik diakses 9 Agustus 2022.

123 Ibid.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

86

masyarakat tentang pilihan mereka menjadi langkah yang penting menuju partisipasi masyarakat yang ideal. Apabila masyarakat tidak dapat memastikan, bahwa suara atau gagasan yang telah diberikan diperhatikan oleh pemegang kekuasaan, maka suara yang telah diberikan tidaklah berguna. tingkatan kekuasaan terbesar partisipasi dalam pengambilan keputusan dapat tercapai jika masyarakat dimungkinkan untuk bernegosiasi dan terlibat dalam pertukaran informasiatau pengetahuan dengan pemegang kekuasaan. Selain itu, masyarakat juga diberikan waktu untuk memahami informasi yang diberikan ataupun bantuan lainnya dalam rangka menunjang partisipasinya oleh pemegang kekuasaan.124 Koesnadi Hardjasoemantri mengatakan bahwa peran serta masyarakat memerlukan adanya penyaluran informasi kepada masyarakat dengan cara yang berhasil guna dan berdaya guna. Menurutnya, ada 4 kriteria ideal penyaluran informasi kepada masyarakat, yaitu:125

● Pemastian penerimaan informasi. Pemangku kebijakan perlu untuk mengumumkan informasi dalam penerbitan resmi dan atau melalui media massa, baik pada tingkat lokal, propinsi maupun pada tingkat nasional, tergantung pada ruang lingkupnya. Di samping itu, perlu juga dikirimkan pemberitahuan kepada warga masyarakat, kelompok dan organisasi konservasi alam yang menaruh perhatian.

● Informasi lintas-batas (transfrontier information). Pemangku kebijakan diwajibkan untuk menetapkan prosedur tentang bagaimana dan bilamana ada negara lain yang terkena dampak dari suatu kebijakan publik, akan diberitahukan tentang dampak dari sesuatu kebijakan itu.

● Informasi tepat waktu (timely information). Peran serta masyarakat yang berhasilguna memerlukan informasi sedini dan seteliti mungkin. Informasi perlu diberikan pada saat belum diambil

124 Fasiol Rahman, “Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup” https://pslh.ugm.ac.id/peran-serta-masyarakat-dalam-pengelolaan-lingkungan-hidup/ diakses 9 Agustus 2022.

125 Ibid.

87
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

sesuatu keputusan yang mengikat serta masih ada kesempatan untuk mengusulkan alternatif-alternatif lainnya.

● Informasi lengkap (comprehensive information)

● Informasi yang dapat dipahami (comprehensible information). Setiap informasi harus dapat dipahami oleh warga masyarakat. Kalau tidak, maka informasi tersebut tidak berguna sama sekali.

III. PENUTUP

Berkaca kepada hasil Revisi Kedua UU PPP, masyarakat mendapat angin segar atas pentingnya partisipasi mereka dalam proses legislasi. Hadirnya momentum tersebut menjadi sinyal agar DPR dan Pemerintah segera berbenah dalam mengoptimalkan partisipasi publik dengan memperbaiki mekanisme dan tools untuk menghadirkan partisipasi yang bermakna.

Melalui Revisi Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, terdapat penegasan hak masyarakat bahwa partisipasi masyarakat terbuka di setiap tahap penyusunan, baik secara daring dan/atau luring, dan berhak memiliki akses yang mudah atas naskah akademik dan/atau rancangan peraturan perundang-undangan. Selain itu, bagi pembentuk peraturan perundang-undangan kini wajib menginformasikan penyusunan dan dibukanya ruang untuk menjelaskan kepada masyarakat.

Tentunya, kita masih harus menunggu penerapan nyata dari Revisi Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Selain itu, pemangku kepentingan masih harus membentuk aturan turunan mengenai partisipasi masyarakat sebagaimana amanat dari Pasal 96 Revisi UU PPP. Namun, setidaknya kita punya harapan untuk memiliki sistem legislasi yang sungguh-sungguh mendengarkan dan mempertimbangkan masukan publik

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

88

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adding, Henk. Sourcebook Human Rights and Good Governance. Asialink Project on Education in Good Governance and Human Rights. 2010.

Indonesia Parliamentary Center. Catatan Akhir Tahun Legislasi 2021 Jakarta: Indonesia Parliamentary Center. 2021.

Gundling, Lothar. Public Participation in Environmental Decision Making, Trends in Environmental Policy and Law. Switzerland: IUCN Glamd. 1980.

Santosa, Mas Achmad. Good Governance dan Hukum Lingkungan. Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). 2001.

Dahl, Robert A. Perihal Demokrasi, Menjelajahi Teori dan Praktik Demokrasi Secara Singkat Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2001.

Saifudin. Partisipasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yogyakarta: FH UII Press. 2009.

Harijanti, Susi Dwi, Lailani Sungkar, dan Wicaksana Dramanda. PengujianFormil Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi: Urgensi dan Batu Uji Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran. 2020.

Yuliandri. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yangBaik: Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2009.

JURNAL

Kamarudin. “Tinjauan Yuridis Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembentukan Undang-Undang” Jurnal Perspektif Hukum Vol. 15. (2015).

Syahmardan. “Pertisipasi Masyarakat: Wujud Transparansi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Demokratis.” Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9. (2012).

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

89

INTERNET

Putra, Daniel. “Pentingnya Penyusunan Naskah Akademik” https://jakarta.kemenkumham.go.id/berita-kanwil-terkini-2/pentingnyapenyusunan-naskahakademik#:~:text=Keberadaan%20naskah%20akademik%20memiliki%20ni lai,penyusunan%20suatu%20rancangan%20perundang%2Dundangan. Diakses 9 Agustus 2022.

Rahman, Fasiol. “Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup” https://pslh.ugm.ac.id/peran-serta-masyarakat-dalam-pengelolaanlingkungan-hidup/. Diakses 9 Agustus 2022.

Sjarif, Fitriani Ahlan.“Arti Meaningful Participation dalam Penyusunan Peraturan” https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-imeaningfulparticipation-i-dalam-penyusunan-peraturan-lt62ceb46fa62c0. Diakses 9 Agustus 2022.

Komar. “Rapat Paripurna, DPR Sahkan Revisi RUU PPP“ https://www.kemenkumham.go.id/berita/rapat-paripurna-dpr-sahkan-ruuppp Diakses 9 Agustus 2022.

Zulfikar, Muhammad. “Wamenkumham: Partisipasi publik penting dalam perumusan suatu UU” https://www.antaranews.com/berita/2819345/wamenkumham-partisipasipublik-penting-dalam-perumusan-suatu-uu Diakses 9 Agustus 2022.

Nurhadi. “Seberapa Penting Sebuah Peraturan Memiliki Naskah Akademik?” https://nasional.tempo.co/read/1552851/seberapa-penting-sebuah-peraturanmemiliki-naskah-akademik Diakses 9 Agustus 2022.

Andika, Pundarika Vidya. “E-Participation untuk Meningkatkan Partisipasi Publik di Masa Pandemi COVID-19” https://iap2.or.id/e-participation-untukmeningkatkan-partisipasi-publik-di-masa-pandemi-covid-19/. Diakses 9 Agustus 2022.

90 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Hidayat, Rofiq. “Memperkuat Partisipasi Publik Bermakna Lewat Teknologi” https://www.hukumonline.com/berita/a/memperkuat-partisipasi- publikbermakna-lewat-teknologi-lt62a047482db52/?page=all. Diakses 9 Agustus 2022.

Ron,.“Perlu Partisipasi Publik dalam Pembentukan UU agar Tercipta‘Meaningful Participation” https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/37434/t/Perlu+Partisipasi+Publik+dal am+Pembentukan+UU+agar+Tercipta+%E2%80%98Meaningful+Participat ion%E2%80%99 Diakses 9 Agustus 2022

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

91

BIODATA PENULIS

Josua Satria Collins, S.H. lahir di Jakarta, 14 Juni 1997. Meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Indonesia (UI) pada 2018 dan lulus selama 3,5 tahun. Saat menempuh pendidikan, Josua aktif mengikuti kegiatan organisasi, volunteer, meraih prestasi dari berbagai perlombaan dan menjadi finalis Mahasiswa Berprestasi Fakultas Hukum UI. Josua juga memiliki pengalaman magang di Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (2017), Kejaksaan Republik Indonesia (2016) danMahkamah Konstitusi(2015). Saat ini aktifbekerja sebagai Tenaga Ahli Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Sebelumnya pernah bekerja sebagai Peneliti Hukum di Indonesian Judicial Research Society (IJRS) pada 2020-2021 dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) pada 2018-2019.

Josua aktif menjadi narasumber dalam berbagai acara, salah satunya pernah diundang diacara Mata Najwa (2019). Membangun sebuah komunitas Jurist Wanna Be, yang merupakan platform informasi hukum berbasis digital sejak 2020 hingga sekarang. Josua juga aktif menulis dan tulisan-tulisannya pernah dipublikasikan oleh Direktorat Hukum dan Regulasi Bappenas RI (2022), Padjajaran Law Review (2021) dan Jurnal Konstitusi (2018). Josua dapat dihubungi pada alamat e-mail josuasatriaemail@gmail.com.

92 Volume
12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

KEWENANGAN PRESIDEN DALAM PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH YANG TIDAK MELAKSANAKAN PROGRAM STRATEGIS NASIONAL DI INDONESIA

UIN Alauddin Makassar muhammad.mutawalli@uin-alauddin.ac.id

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang kewenangan presiden dalam pemberhentian kepala daerah yang tak taat hukum yang telah berlaku di Indonesia. Hal utama yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai kewenangan yang dimiliki presiden untuk memberhentikan kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategisnasional. Disampingitu,dibahaspulamengenaiprogramstrategis nasional yang hendaknya dilaksanakan oleh kepala daerah. Untuk tujuan pelaksanaan agenda strategis nasional yaitu meningkatkan upaya bersama antara pemerintah pusat dan daerah untuk mencapai tujuan pemerintah negara Indonesia melalui program pembangunan nasional. Keterkaitan pembangunan nasional dalam rangka memenuhi tujuan bernegara sejatinya hanya dapat dilaksanakan oleh seluruh unsur penyelenggara negara dan masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya peraturan perundang-undangan yang memuat kewajiban pelaksanaan program strategis nasional. Kepala daerah tidak akan bisa sewenang-wenang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan program strategis nasional.

Kata Kunci: Presiden, Kepala Daerah, Program Strategis Nasional

93
JURIS LK
FHUI
Volume 12 Nomor 2, 2022
2
Muhammad Mutawalli

PRESIDENT'S AUTHORITY IN TERMINATION OF REGIONAL

WHO DOES NOT IMPLEMENT THE PROGRAM

Abstract

HEAD

This study discusses the president's authority in dismissing regional heads who do not obey the laws that have been in force in Indonesia. Besides that, it will also discuss the national strategic program that should be implemented by regional heads. For the purpose of implementing the national strategic agenda, namely increasing joint efforts between the central and local governments to achieve the goals of the Indonesian state government through national development programs. The linkage of national development in the context of fulfilling the goals of the state can only be implemented by all elements of state administrators and the community. Therefore, it is necessary to have laws and regulations that contain the obligation to implement national strategic programs. Regional heads will not be able to arbitrarily carry out their duties and obligations, especially those related to the implementation of national strategic programs.

Keywords: President, Regional Head, National Strategic Program

94 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

I. PENDAHULUAN

Cita-cita negara Indonesia pada prinsipnya adalah mewujudkan negara berdaulat yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk mencapai tujuan nasionalnya dengan pengintegrasian program nasional sebagai prioritas utama. Cara Indonesia memperhatikan pemberdayaan yang sangat spesifik di seluruh wilayah Indonesia. Kebersamaan yang dimaksud merupakan bentuk keragaman pada pelaksana pemerintahan menggunakan konsep otonomi wilayahPembentukanpemerintahandaerah.1 Haltersebutberdasarkankewenangan yang terkandung dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 yang melahirkan berbagai undang-undang dan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Undang-undang No. 23 Tahun 2014 serta yang terakhir adalah UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 merupakan legitimasi penyerahan urusan pemerintahan daerah. Dari kedua UU tersebut ada beberapa perubahan lain yang bersifat mendasar. Peraturan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 meletakkan peranan kepala daerah itu sangat strategis, hal tersebut dikarenakan kepala daerah merupakan komponen yang sangat signifikan terkait keberhasilan pembangunan nasional, karena Pemerintah Daerah merupakan bagian sub sistem pemerintahan pusat.

Perludiketahui bahwaotonomi daerahtidak selamanyaberjalanmulus, posisi yang strategis ini justrumenjadisalahsatu sebabyangdapat menimbulkanmasalah. Banyak kepala daerah yang berurusan dengan aparat hukum dikarenakan terbukti melakukan pelanggaran atau penyelewengan yang mengharuskan mereka untuk terlibat dan menjalani proses hukum yang akan memberikan putusan tentang pemberhentian kepala daerah sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya selaku kepala daerah.2

Praktik otonomi daerah di Indonesia telah mengalami perbaikan pasca reformasi yakni pada tahun 1998. Hal ini memberikan kesempatan bagi rakyat untuk lebih leluasa dalam memilih kepala daerah secara langsung dari lokal ke lokal. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Tujuan

1 Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 10.

2 J. Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah: Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 4.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

95

pengaturan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh penduduk lokal adalah untuk memastikan bahwa mereka yang terpilih melewati pilihan yang benar-benar baik dari sudut pandang moral, intelektual, dan pengabdiannya pada masyarakat.3 Adanya anggapan bahwa kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh masyarakat merupakan legitimasi rakyat di tingkat daerah, sehingga pemberhentian kepala daerah dinilai bukanlah menjadi hak atau kewenangan presiden untuk memberhentikannya, sebab gubernur dan bupati dan walikota merupakan suatu jabatanyang diisi melaluiproses politikdemokrasiyangsah.Pandanganini dibahas kembali di tahun 2020 disaat pemerintah menyarankan Rancangan UndangUndang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja).

Tito Karnavian menyatakan bahwa belum ada hukum pada RUU Cipta Kerja yang mengungkapkan ihwal pemberhentian kepala daerah oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) atau Presiden.4 Sehubungan dengan pernyataan Mendagri sehabis dilakukan pengesahan RUU Cipta Kerja sebagai Undang-Undang yakni di lima Oktober 2020, sudah tidak ada pembahasan bahwa presiden dan mendagri yang bisa menonaktifkan kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional. Walaupun rumusan norma tersebut tidak ada atau tidak dicantumkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja, namun isi rumusan tersebut sudah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (UU No. 23 Tahun 2014) mengenai Pemerintah Daerah.5

Norma tadi sudah berjalan dengan baik lebih dari 6 tahun. Namun, sampai sekarang belum ada kepala daerah yang diberhentikan karena tidak menyelenggarakan rencana Strategis Nasional yang tidak melaksanakan Program Strategis Nasional. Jika kita cermati pasal-pasal yang terdapat pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah terdapat beberapa ketentuan yang menyampaikan wewenang presiden maupun mendagri untuk memberhentikan kepala daerah secara langsung. ialah pemberhentian tadi dilakukan oleh presiden serta mendagri tanpa adanya usul dari DPRD. Aturan tersebut terdapat dalam Pasal 7 ayat (1), (2), Pasal 78, 79 hingga Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 tentang

3 Marulak Pardede, “Legitimasi Pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah Dalam Sistem Pemerintahan Otonomi Daerah,” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 18 (2018), 127–148, hlm.133.

4 Tempo, “Tito Bantah Ada Pasal Presiden Bisa Pecat Gubernur di Omnibus Law,” https://nasional.tempo.co/read/1298345/tito- bantah-ada-Pasal-presiden-bisa-pecat-gubernur- diomnibus-law/full&view=ok, diakses 25 Juli 2020.

5 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587, Ps. 68 ayat (1), (2), dan (3).

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

96

pemerintah daerah. Dalam pasal tersebut secara konstruksi peraturan membolehkan presiden dan menteri untuk memberhentikan seorang kepala daerah dengan alasan tertentu. Pengertian tersebut didasarkan pada program strategis nasional, yaitu peristiwa yang ditetapkan oleh Presiden sebagai peristiwa yang bersifat strategis. termasuk upaya memelihara pertahanan dan keamanan negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Penjelasan ini sesuai dengan penerangan dalam UU No. 23 Tahun 2014.

TujuanpelaksanaanProgramStrategis Nasional adalahagarpemerintahpusat dan daerah melaksanakan tujuan-tujuan Strategis Nasional dalam rangka mencapai tujuanPemerintah Nasional Indonesia.Untukmensukseskanprogramkerja seorang presiden tetapi pula termasuk upaya untuk melaksanakan program pembangunan yang dimulai dari program strategis nasional. Dalam hal ini, Presiden menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional. Berdasarkan uraian tersebut adapun yang dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut: Bagaimana wewenang presiden dalam kasus pengunduran diri kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional, apa saja yang merupakan program strategis nasional yang harus dilaksanakan oleh kepala daerah di daerah serta, bagaimana sanksi terhadap kepala daerah yang tidak melakukan program strategis nasional.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum yang dilakukan dengan menganalisis dan mengkaji peraturan yang terkait dengan masalah hukum.6 Selain itu, pendekatan yang bersifat konseptual berasal dari berbagai pandangan atau doktrin-doktrin yang telah berkembang dalam dunia hukum.

1. Bahan hukum pokok adalah bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari normanorma atau aturan-aturan dasar yang termuat dalam UUD NRI Tahun 1945, peraturan dasar, peraturan perundang undangan.

2. Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang bersumber dari pendapat ilmiah parasarjanadanliteraturlainnyayangberkaitandengankewenangankepaladaerah.

6

hlm. 132.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

97
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta Timur: Prenada Media Group, 2019),

3. Data hukum tersier adalah format kamus yang memberikan pengertian, pedoman, dan penjelasan atas data hukum primer dan sekunder. Kajian hukum ini memakai data sekunder yang terbagi menjadi dokumen hukum primer, sekunder dan tersier. Dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan bahan-bahan yang diperoleh dari bahan pustaka, dan bahan pustaka yang diteliti diklasifikasikan sebagai data sekunder.7

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

a. Pengaturan Kewenangan Presiden Dalam Pemberhentian Kepala Daerah Yang Tidak Melaksanakan Program Strategis Nasional Pemerintah Daerah diberikan wewenang dalam hal untuk menyelenggarakan pemerintahan yakni dengan mengatur serta mengurus sendiri urusan pemerintahan, hal ini sesuai dengan penggunaan asas otonomi dan tugas pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya. Wewenang itu dilaksanakan di wilayah daerah tertentu dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai atau menggunakan pedoman negara kesatuan. Pada negara kesatuan, tidak ada kedaulatan di wilayah karena kedaulatan hanya terletak pada pemerintahan sentra. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada wilayah artinya tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintah daerah tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Asas otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan pemerintah yang didasarkan di pemerintahan daerah. Hadirnya pemerintahan daerah karena terjadi desentralisasi yang mendelegasikan kewenangan pada hal pengurusan tempat tinggal tangga daerahnya sendiri yang bersumber dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Segala urusan pemerintahan sepenuhnya akan diserahkan ke wilayah yang asal berasal kekuasaan yang dimiliki presiden menjadi pemegang kekuasaan pemerintahan yang didasarkan pada UUD NRI 1945.

Konstruksi hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah yang terdapat dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 mengenai pemerintahan daerah telah koheren atau sesuai dan memiliki hubungan dengan konsep teoritis negara kesatuan yang memakai konseppelimpahankewenangan. Undang-UndangNomor 23 Tahun2014

7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 12-13.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

98

telah menyusun atau mengkonstruksikan kekuasaan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai turunan dari kekuasaan yang dimiliki presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.8 Jadi, dapat disimpulkan bahwa sumber dari kekuasaan daerah adalah kekuasaan pemerintahan presiden yang didelegasikan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kekuasaan yang dimiliki daerah merupakan suatu pelimpahan dan tidak bersifat nyata kekuasaan yang dimiliki oleh presiden terbagi dan menjadi urusanpemerintah yang dilakukan olehpresiden denganyangdi bantuanolehpara menteri-menteri dan daerah masing-masing menurut dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.9

Desentralisasi adalah bentuk penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada wilayah otonom, berdasarkan pada asas otonomi. Sebab Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah menganut asas desentralisasi maka ada tugas-tugas eksklusif yang diurus sendiri sebagai akibatnya menyebabkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya interaksi kewenangan, keuangan, pengawasan, serta antar satuan organisasi pemerintahan yang satu dengan yang lainnya.

Atas dasar hal tersebut, dapat diketahui bahwa klasifikasi urusan pemerintahan itu mencakup tiga bagian yaitu urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren urusan pemerintahan umum. Hal ini sinkron dengan karakter yang berasas negara kesatuan maka pemerintah pusat memutuskan suatu kehendak menjadi pijakan dari menyelenggarakan berbagai urusan pemerintahan. Adapun bentuk implikasinya yakni pemerintah pusat akan melakukan pembinaan dan supervisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah serta dianalisis akhir, presiden mempunyai tanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintah pusat serta wilayah itu sendiri. Sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah daerah adalah kekuasaan pemerintahan untuk presiden. Presiden merupakan permulaan kekuasaan bagi para pemerintah yang dimiliki oleh daerah dimana dalam menjalankan kekuasaan tersebut daerah diberikan kewenangan.

8 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587, Ps. 5 ayat (1).

9 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587, Ps. 5 ayat (2) – (4).

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

99

Urusanpemerintahan absolut adalahurusanyangdiberikanhakpenuhkepada pemerintah pusat. Urusan pemerintahan tertentu adalah urusan yang diratakan diantara para pemerintah. Daerah provinsi dan wilayah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren diserahkan ke daerah yang sebagai dasar pelaksanaan pemerintahan daerah. Sedangkan yang terakhir yakni urusan pemerintahan umum yaitu urusan presiden yang kewenangannya diberikan kepada para pemerintah. Wewenang yang dimiliki presiden serta mendagri dalam hal pemberhentian kepala daerah merekayang tidak melakukanprogram strategis nasional secarakeseluruhan mengikuti aturan yang tercantum dalam Pasal 68 UU UU No. 23 Tahun 2014. Selainitu,dasarteoritis presidenbisamemberhentikankepaladaerahbisaditelusuri dengan meninjau teori bentuk negara, bentuk negara dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu konfederasi, federasi, dan negara kesatuan. Negara Indonesia pada UUD NRI 1945 secara tegas disebutkan adalah negara kesatuan. Dalam ilmu kenegaraan,yangdimaksuddenganpenggunaansistempemerintahanadalahsistem hukum tata negara, baik yang berbentuk monarki juga republik yang dimana hal itu perihal hubungan antar pemerintah dengan lembaga negara lain baik di tingkat pusat hingga daerah sebagai wakil warga.10 Sistem pemerintahan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu presidensial, kabinet parlementer dan campuran. Dalam sistem pemerintahannya, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Menurut S. L Witman dan J.J Wuest, ada 4 ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensial yaitu sebagai berikut:

1. Hal tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan;

2. Forum eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk membubarkan parlemen serta pula tidak perlu berhenti bila sewaktu-saat kehilangan dukungan penuh asal secara umum dikuasai anggota parlemen;

3. Tidak mempunyai tanggung jawab yang berbalas yakni hubungan antara presiden dan para kabinetnya, karena ujung-ujungnya semua tanggung jawab akan dipikul oleh presiden sendiri (sebagai kepala pemerintahan); dan

4. Presiden dipilih secara langsung oleh pemilih (masyarakat). Dari uraian tersebut dapat dikemukakan ciri-ciri sistem presidensial yaitu sebagai berikut:

1. Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan;

10

100 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Harun Alrasyid, “Kajian Sistem Pemerintahan Dan Ruang Lingkupnya,” Majalah Mahasiswa Universitas Pasundan (Bandung, 2002), hlm. 1.

2. Presiden dipilih oleh rakyat;

3. Presiden memiliki kedudukan yang sama dengan legislatif;

4. Presiden membentuk kabinet, sehingga kabinet bertanggung jawab kepada presiden; dan

5. Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif dan presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif.11

Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut sistem presidensial, presiden adalah yang memegang kekuasaan negara sekaligus yang bertanggung jawab tentang urusan pemerintahan. Tentang kinerja para pemerintah yang separuhnya sudah diserahkan pada pemerintahan wilayah merupakan urusan pemerintahan yang dimiliki sang presiden. Maka, pada hal ini presiden memiliki hak buat melakukan pengawasan dan pembinaan tentang urusan pemerintahan yang sebelumnya sudah diserahkan pada wilayah. Adapun tujuan dari pengawasan yang dilakukan oleh presiden terhadap pemerintahan wilayah ialah agar ketua wilayah senantiasa mematuhi dan sadar akan kewajiban melakukan urusan pemerintahan. Presiden juga melakukan pelatihan yang melingkupi sanksi administratif bagi para menterinya karena gagal melaksanakan event strategis nasional.12

2. Program Strategis Nasional Yang Wajib Dilaksanakan Oleh Kepala Daerah

Garis Besar Haluan Negara digunakan sebagai pedoman artinya pedoman yang digunakan di proses pembangunan negara Indonesia yakni berdasar pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun2004 tentang Sistem PerencanaanPembangunan Nasional (SPPN). Sistem tadi merupakan satu kesatuan adat perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah serta tahunan yang dilaksanakan oleh penyelenggara negara bersama rakyat baik itu ditingkat pusat juga wilayah.13 Sehabis melakukan perencanaan pembangunan nasional, maka akan menghasilkan Rencana Kerja Pembangunan

11 Octovina, Ribkha Annisa, "Sistem Presidensial di Indonesia," CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan 4 (2018), hlm. 248.

12 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587, Ps. 7 ayat (2).

13 Indonesia, Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 25 Tahun 2004, LN No. 104 Tahun 2004, TLN No. 2441, Ps. 1 angka 3.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

101

Jangka Panjang (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan Rencana Pembangunan Tahunan.

Penyusunan dokumen tentang RPJPN terdapat pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 mengenai rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang Tahun 2005-2025. RPJPN ialah pembagian terstruktur mengenai ihwal tujuan asal pembentukan pemerintahan negara Indonesia yang tercantum di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 pada bentuk rumusan visi, misi, serta arah berasal pembangunan nasional.

Dokumen RPJPN berlaku selama 20 tahun asal tahun 2005 hingga menggunakan tahun 2025.buat melaksanakan RPJPN selama 20 tahun, Presiden akan menghasilkan RPJMN dibentuk Perpres. RPJMN 2005–2009, RPJMN 2010–2014, RPJMN 2015–2019, dan RPJMN 2020-2024. RPJMN adalah penyempurnaan berasal visi, misi, serta program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJPN. Aplikasi RPJMN siklus setiap lima tahun sekali, dan diperlukan negara ini terus berkembang berasal masa jabatan presiden ke masa berikutnya.14

Kelanjutan pembangunan nasional dalam rangka pencapaian tujuan nasional hanya bisa dilakukan oleh penyelenggara negara pada tingkat pusat serta daerah dan seluruh elemen warga. Oleh sebab itu, perlu adanya pengaturan ihwal kewajiban aplikasi program strategis nasional bagi ketua wilayah. Adanya aturan perihal kewajiban yang harus dilaksanakan sang kepala wilayah mengenai program strategis nasional. Adanya aturan perihal kewajiban melaksanakan acara strategis nasional bagi ketua wilayahdimulaisejak diundangkannyaUUNo. 23Tahun2014. Sesuai dengan diundangkannya UU No. 23 Tahun 2014 serta peresmian presiden terpilih, acara strategis nasional pertama yang dilaksanakan oleh ketua wilayah adalah program Strategis Nasional pada bawah Presiden Jokowi, yang mengacu di RPJMN 2015-2019. Selesainya RPJMN 2015-2019 berakhir, visi, misi, serta acara kerja Presiden Joko Widodo termin kedua akan dijabarkan dalam RPJMN 2020-2024.Presiden memutuskan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024. Pengertian program Strategis Nasional pada uraian Pasal 23, Pasal 67 (f) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

14 Indonesia, Undang-Undang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025, UU No. 17 Tahun 2007, LN No. 33 Tahun 2007, TLN No. 4700, Ps. 3.

102

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

ialah bahwa pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, dan pertahanan dan keamanan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pada sisi lain, Perpres Nomor 3 Tahun 2016 untuk proses penyelenggaraan proyek strategis nasional tidak menggunakan kata proyek strategis nasional, melainkan istilah proyek strategis nasional. Instruksi Presiden ini artinya proyek strategis nasional, proyek yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pelaku ekonomi, seni manajemen berfungsi mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan pada rangka menaikkan kepentingan awam serta pembangunanwilayah.Disparitasantara“program”UUNo.23Tahun2014dengan “Proyek” Perpres No. 3 Tahun 2016 adalah bahwa proyek tersebut adalah bagian dari acara yang sedang dilaksanakan, sedangkan masih dalam tahap konseptual. Diantara dua pengertian istilah yang dimaksudkan, bisa disimpulkan bahwa seluruh program Presiden yang diuraikan pada dokumen RPJMN yang bersifat strategis nasional artinya bagian berasal program Strategis Nasional. Berdasarkan Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan program strategis nasional, kepala daerah memiliki tanggung jawab/ peran dalam melaksanakan program strategis nasional yaitu sebagai berikut:

1. Pelaksana proyek strategis nasional;

2. Memberikan perizinan juga non perizinan yang dibutuhkan dalam rangka melaksanakan proyek strategis nasional sinkron dengan kewenangan yang dimilikinya. Perizinan serta non perizinan yang dibutuhkan yakni mengenai penetapan lokasi, izin lingkungan dan izin mendirikan bangunan;

3. Menyelesaikan penetapan rencana tata ruang wilayah yang ada di provinsi, kabupaten/ kota, zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;

4. Menyediakan tanah untuk pelaksanaan proyek strategis nasional;

5. Melaksanakan akselerasi pengadaan barang atau jasa pada aplikasi proyek strategis nasional;

6. Menuntaskan berbagai hambatan serta konflik di suatu bidang dalam pelaksanaan proyek strategis nasional; dan

7. Menyelesaikan permasalahan hukum dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.15 15 Indonesia, Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Perpres No. 3 Tahun 2016, Ps. 31.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

103

Meskipun ketua wilayah atau kepala daerah memiliki sejumlah kewenangan dalam hal untuk mengurus pengeluaran izin dan penolakan, duduk perkara pembebasan lahan seringkali merusak aplikasi proyek strategis nasional. Hal ini terjadi sebab undang-undang kedua tahun 2012 perihal peruntukan tanah pembangunan buat kepentingan umum, yang menjadi payung aturan pengadaan tanah pembangunan buat kepentingan awam, telah terdapat.

Dari segi solusi untuk mengatasi duduk perkara tadi, pada 31 Mei 2017, Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 56 tentang Penanganan dampak Sosial Terhadap masyarakat dalam Rangka Peruntukan huma Proyek Strategis Nasional. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kecepatan perolehan tanah yang dikelola beserta serta meminimalkan dampak sosial dari perolehan tanah serta buat pengembangan proyek strategis nasional di masyarakat menjadi yang akan terjadi dari penerapan Perpres Nomor 56 Tahun 2017, diketahui bahwa Perpres Nomor 3 Tahun 2016 terpengaruh, dan dilakukan penyesuaian. Misalnya, pada 16 Juni 2017, Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 yang membaharui atau melakukan perbaikan demi terciptanya suatu pembaharuan, Perpres Nomor 3 Tahun 2016 bertujuan untuk mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional, dan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 mengukuhkan kewenangan gubernur untuk menemukan proyek strategis nasional. Kiprah akhir ketua daerah khususnya gubernur dalam hal ini artinya menentukan lokasi proyek strategis nasional. Pada pelaksanaannya, pemerintah sudah mengidentifikasi proyek-proyek yang tergolong proyek strategis nasional. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menjadi bagian berasal pelaksanaan proyek strategis, pelaksanaanproyekstrategis nasional perludipercepat. Terkait hal itu, pada 8 Januari 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden(Perpres) angka 3Tahun2016 wacana akselerasi software proyek strategis nasional.

Perpres ini dilaksanakan oleh pemerintah, Pemerintah Daerah, dan /atau pelaku ekonomi yang proyek strategis nasionalnya bersifat strategis buat mendorong pertumbuhan serta pemerataan pembangunan, bagi kepentingan awam, serta buat menaikkan pembangunan daerah, yang dinyatakan menjadi proyek. Proyek yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional diantaranya proyek pembangunan infrastruktur jalan tol. Proyek jalan raya nasional atau seni manajemen nasional bebas. Proyek infrastruktur dan sistem kereta barah antarkota.

104

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Proyek kereta bara antarkota; Proyek revitalisasi bandara, Pembangunan bandara baru, Proyek pengembangan bandara strategis lainnya. Pembangunan pelabuhan baru serta pengembangan kapasitas. acara 1 juta tempat tinggal. Pembangunan kilang minyak, proyek pipa gas atau terminal LPG. Proyek tenaga limbah; Proyek penyediaan infrastruktur air minum. Proyek saluran air limbah kota; pembangunan hambatan banjir; proyek pasca pembangunan lintas batas (PLBN) serta lembaga pendukung. Proyek bendungan, acara peningkatan cakupan pita lebar, proyek strategis infrastruktur ilmiah lainnya, proyek metalurgi, proyek pertanian, dan kelautan.

Sehubungan menggunakan percepatan aplikasi proyek strategis nasional buat kepentingan awam serta kemanfaatan awam, Pemerintah juga telah mengeluarkan Perpres pertama tahun 2016 perihal akselerasi pelaksanaan proyek strategis nasional yang ditujukan pada Menteri. Kabinet Kerja, Jaksa Agung Republik Indonesia, ketua Kepolisian Negara Republik Indonesia, ketua Sekretaris Kabinet, ketua Staf Kepresidenan, ketua forum pemerintah non-kementerian, Gubernur, serta Bupati/ Walikota. Apa yang wajib dilakukan buat pemangku kepentingan: tindakan terkait kiprah, fungsi serta kewenangan masing-masing, pemecahan problem serta hambatan, penetapan taktik akselerasi pelaksanaan proyek strategis nasional.

Tindakan strategis lainnya yang akan dilakukan diantaranya menyelesaikan problem dan kendala dalam pelaksanaan proyek strategis nasional, atau membantu akselerasi pelaksanaan proyek strategis nasional, pada antaranya mempunyai keleluasaan untuk mengatasi duduk perkara-masalah spesifik yang mendesak. memperbaiki, meniadakan, dan /atau mengubah ketentuan aturan dan peraturan yang tidak mendukung atau mengganggu akselerasi pelaksanaan proyek strategis nasional. Menyusun undang-undang serta/atau pedoman yang diperlukan buat percepatan aplikasi proyek strategis nasional.akselerasi pengadaan tanah bagi pelaksanaan proyek strategis nasional menggunakan menggunakan batas saat minimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pengadaan Tanah buat Pembangunan buat Kepentingan awam. Akselerasi pengadaan barang/jasa menjadi bagian dari akselerasi pelaksanaan proyek strategis nasional.

Melalui Perpres 1 Tahun 2016, Presiden menginstruksikan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk:

105

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

a. Memperkuat pengendalian tata kelola dan mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional;

b. Melakukan audit investigasi/ audit untuk tujuan tertentu dalam hal terjadi penyalahgunaan jabatan (pelanggaran administratif) untuk mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional;

c. Besaran (jumlah) kerugian keuangan negara apabila ditemukan kerugian negara dalam melakukan audit/ review investigasi dengan tujuan tertentu atas penyalahgunaan jabatan (pelanggaran administratif) untuk mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional perhitungan;

d. Mengawasi tindak lanjut hasil audit dilakukan oleh badan pengawas internalnegaraprovinsi/lembagadalamhalterjadi kerugiankeuangannegara; dan

e. Melakukan pendampingan dalam rangka pengadaan barang/jasa eksklusif pada aplikasi Proyek Strategis Nasional sesuai permintaan menteri/ketua lembaga atau Komite Penyelarasan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). Mencermati uraian yang terdapat dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016,peran pengurus wilayahpadaaplikasi program strategis nasional terkait desentralisasi serta aplikasi tugas penunjang, dengan memperhatikan uraian peranan pengurus wilayah sebagaimana dimaksud dengan pendelegasian wewenang, gubernur diberikan wewenang buat menjatuhkan hukuman administratifpadabupati/ walikotadandapat merogohalihwewenang bupati/ walikota. Pendelegasian wewenang merupakan penyerahan sebagian wewenang pemerintah pusat kepada lembaga atau badan sendiri pada wilayah.

Pengertian pelimpahan wewenang menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah mensyaratkan bahwa sebagian pekerjaan pemerintah yang berada di bawah pemerintah pusat dilimpahkan kepada gubernur atas nama pemerintah pusat. Tugas dekonsentrasi dipercayakan pada gubernur buat mengemban tugas menjadi wakil pemerintah pusat dan tugas-tugas pemerintahan awam, namun desentralisasi kepada bupati/ walikota hanya sebatas tugas-tugas pemerintahan awam. Sedangkan tugas yang diberikan pada gubernur serta bupati/walikota sinkron dengan Perpres Nomor 3 Tahun 2016 artinya bagian berasal aplikasi tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

106

3. Implikasi Hukum Terhadap Pemberhentian Kepala Daerah Yang Tidak Melaksanakan Program Strategis Nasional

Kata tanggung jawab merupakan bentuk dari pertanggung jawaban yang merupakan suatu keadaan yang wajib ditanggung segala sesuatunya jika ada hal yang perlu dituntut, boleh dituntut, dipersalahkan dan juga diperkarakan.16 Tanggung jawab dihubungkan dengan suatu keharusan yang harus diiringi dengan adanya sanksi atau hukuman, apabila ada suatu hal yang dianggap tidak sesuai atau tidak beres dalam suatu keadaan, maka wajib ditanggung oleh pihak yang bersangkutan. Bentuk pertanggung jawaban diartikan sebagai suatu proses yang menyangkut berbagai hal seperti tindakan, perbuatan maupun keputusan yang diambil oleh satu pihak yang memiliki hubungan dengan pihak lain yang terlibat sehingga dapat menerima hak dan wewenangnya serta sanksi yang akan menjadi konsekuensi di dalamnya. Adapun dalam administrasi publik pertanggungjawaban memiliki tiga konotasi yaitu diantaranya:17

1. Akuntabilitas adalah tanggung jawab. Tanggung jawab berperan di sini jika suatu badan harus dimintai pertanggungjawaban atas kebijakan tertentu;

2. Penyebab akuntabilitas. Jenis akuntabilitas ini muncul ketika orang mengatakan bahwa suatu organisasi bertanggung jawab untuk melakukan tugas-tugas tertentu; dan

3. Tanggung jawab sebagai kewajiban. Jika seseorang bertanggung jawab atas kewajiban untuk melakukan sesuatu, itu berarti:

1. Dia harus mampu menggunakan kemampuannya untuk menjelaskan sebab dan akibat kepada orang yang telah mempercayakan tugas itu kepadanya, untuk menyelesaikan hal-hal yang akan dilaporkan; dan

2. Dia harus menjelaskan langkah demi langkah menyumbangkan sebab dan akibat mereka. Salah satu asas negara hukum adalah bahwa segala tindakan instansi pemerintah harus berdasarkan wewenang, erat kaitannya dengan asas “geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid” (tidak ada wewenang tanpa tanggung jawab) atau “zonder” bevoegdheid geen verantwoordelijkheid” (tidak wewenang, tidak ada tanggung jawab).

16 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Cet.9, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 318.

17 Herbert J. Spiro, Responsibility in Government Theory and Practice, (New York: Van Nostrand ReinholdCompany, 1969), hlm. 14, telah dikutip kembali oleh Wahyudi Kumorotomo, Etika administrasi Negara, Cet. 2, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 146.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

107

Pada umumnya setiap tindakan instansi pemerintah merupakan pelaksanaan wewenang, karena selalu dikaitkan dengan tanggung jawab. Titiek Sri Djatmiati mengatakan bahwa, "setiap penggunaan wewenang dalam bentuk apapun, baik dalam pengaturan, pengawasan, atau keputusan sanksi oleh lembaga pemerintah, selalu disertai dengan tanggung jawab."18

Lukman Hakim berpendapat bahwa, ada dua jenis tanggung jawab, yaitu (1) tanggung jawab moral; dan (2) akuntabilitas politik. Akuntabilitas etis adalah akuntabilitas yang tidak memerlukan hukuman hukum, karena penghormatannya tidak dipaksakan dari luar (dengan cara yang tidak biasa), tetapi ketaatannya otonom dari dalam hati nurani "pejabat" atau otoritas itu sendiri. Meskipun tanggung jawab moral tidak diterjemahkan ke dalam pengenaan sanksi yudisial, melalui penegakan hukum yang aktif, badan atau lembaga publik tidak dibenarkan mengabaikan prinsip-prinsip etika. Dibalik tanggung jawab moral, terdapat tanggung jawab politik, yaitu tanggung jawab yang berujung pada pengenaan sanksi “politik” berupa pemberhentian seorang “pejabat” atau pimpinan yang berwenang dari jabatannya sendiri sebelum saya selesai. tugasnya (dakwaan).19

Pada UU No. 23 Tahun 2014 mengenai pemerintahan wilayah menyatakan bahwa kepala wilayah yang tidak melaksanakan program strategis nasional bisa saja diberhentikan eksklusif sang presiden. Pemberhentian dilakukan dikarenakan ketua wilayah melakukan pelanggaran administratif dan tidak melaksanakan program yang telah ditetapkan sang pemerintah pusat, hal tersebut tercantum pada UU No. 23 Tahun 2014 Pasal 68 yang mengatur tentang penjatuhan sanksi yakni berupa teguran tertulis pertama, kedua, sementara, dan pemberhentian pemimpin daerah yang dengan terang-terangan tidak melaksanakan program strategis nasional. Konsep sanksi administratif adalah gagasan doktrinal dan tidak didefinisikan oleh undang-undang. Hukum administrasi menyarankan bahwa hukuman administratif artinya konsekuensi negatif atas kewajiban publik dan hukum serta pelanggaran kewajiban. Namun, waktu menerapkan sanksi administratif untuk pemberhentian sementara serta pemberhentian kepala daerah

18 Herbert J. Spiro, Responsibility in Government Theory and Practice, (New York: Van Nostrand ReinholdCompany, 1969) , hlm. 14, telah dikutip kembali oleh Wahyudi Kumorotomo, Etika administrasi Negara, Cet. 2, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 146.

19 Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ & Lembaga Daerah, (Malang: Setara Press, 2012), hlm. 44.

108 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

sesuai Pasal 23, Pasal 68 UU No. 23 Tahun 2014, belum jelas apakah ini akan dilakukan melalui jalur yudisial atau non-yudisial. Presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 12 Tahun 2017 wacana training dan pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah buat melaksanakan ketentuan istiadat sanksi administratif sesuai Pasal 23, Pasal 353 UU No. 23 Tahun 2014. Tata cara pengenaan sanksi administratif kepada Kepala Daerah yang tidak melaksanakan kegiatan strategis nasional diatur dalam Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017. Sanksi administratif berupa teguran tertulis berlapis oleh Mendagri Gubernur dan Gubernur atas nama bupati/ walikota pemerintah pusat. sanksi teguran tertulis administratif dikeluarkan menggunakan sangat hati-hati serta objektif berasal akibat peninjauan serta didukung oleh lepas, berita, dan /atau dokumen lain yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran .20

Bila kepala daerah tidak melaksanakan Program Strategis Nasional pada ketika 14 dan 21 hari semenjak peringatan tertulis kedua, maka akan dikenakan pemberhentian ad interim selama tiga bulan.21 Pemberhentian sementara walikota dilakukan atas usul menteri oleh gubernur dan atau wakil gubernur dan bupati atau wakil bupati walikota serta/atau wakil walikota dan penyidikan yang objektif dan tunduk pada data, informasi, serta/atau teguran tertulis ke 2. Pada pembebasan ad interim pengurus daerah tidak mendapatkan hak protokoler, tetapi memiliki hak finansial berupa honor pokok, tunjangan anak serta tunjangan suami/istri. Hukuman sementara adalah langkah maju sesudah ketua wilayah tidak mengabaikan dua sanksi peringatan tertulis yang dimuntahkan pemerintah pusat. Pengenaan recall sementara juga dilakukan sang presiden secara berjenjang dengan gubernur atas usul mendagri serta bupati/ walikota diberhentikan oleh mendagri. Selain itu, berlaku pemberhentian pada para kepala daerah khusus bila mereka tetap tidak melaksanakan program strategis nasional sesudah merampungkan Pemberhentian Tiga Bulan oleh Menteri dan Presiden atas usul Menteri diberhentikan oleh Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.

Tigabulansehabis penangguhaneksekusi berakhir, koordinator wilayah akan diberhentikan bila acara Strategis Nasional belum dilaksanakan. Norma pemutusan korelasi kerja sementara sama memakai adat pemutusan korelasi kerja (tetap).

20 Indonesia, Peraturan Pemerintah Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaran Pemerintahan Daerah, PP No. 12 Tahun 2017, Ps. 38 ayat (3).

21 Ibid., Ps. 38 ayat (8).

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

109

Presidenmenjatuhkanhukumanataspemberhentiansementarasertapemberhentian gubernur atas usul mendagri. Usulan pemberhentian mendagri harus ditindaklanjuti oleh presiden dalam waktu 30 hari sejak diterimanya usul tersebut. tidak selaras menggunakangubernur, pemberhentiansementaradan(permanen)bupati/walikota tidak memperlihatkan usul dan dikenai eksekusi yang didukung sang data, gosip, serta/ataudokumenlain, akandikenakan.Pihakyangmenyidikdugaanpelanggaran administratif terhadap ketua wilayah ialah Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).

Setelah APIP menyelesaikan pemeriksaan pendahuluan dalam waktu paling lama 45 hari kerja, proses administrasi dan verifikasi pengenaan sanksi administratif dilakukan oleh inspektur jenderal kementerian atas sanksi yang dijatuhkan oleh presiden atau menteri dalam negeri dan oleh pejabat gubernur sebagai wakil pemerintah pusat atas sanksi yang dijatuhkan oleh gubernur dalam pasal 38 bukan. dari 2017,22 dapat diketahui bahwa ciri-ciri tata cara pemberian sanksi dalam hal pemberhentiankepaladaerahdilakukanmelalui jalurnon yudisial, ini sanksi yang paling berat bagi kepala daerah, namun proses pemeriksaan hingga verifikasi pengenaan sanksi administratif yang dilakukan hanya berdasarkan evaluasi internal oleh pemerintah, kemungkinan besar akan menimbulkan tudingan bahwa presiden akan bertindak sewenang-wenang, karena bukan hal yang mustahil jika alasan yang akan presiden katakana nanti adalah alasan politik dan bukan alasan yang berdasarkan hukum. Jika alasan politik digunakan, maka terjadilah resentralisasi dan hal ini akan berpotensi merusak pondasi negara.23

Sedangkan proses pemberhentian kepala daerah telah diperbaiki, sebagaimana diatur dalam undang-undang semakin diperumit dengan keterlibatan beberapa pihak, untuk menggarisbawahi fungsi kontrol dan keseimbangan antara berbagai elemen kekuasaan yang berkepentingan terhadap daerah. Kemajuan penting dan mengejutkan dalam sistem baru pemberhentian kepala daerah adalah keterlibatan lembaga peradilan. Anggota DPR telah memberikan kewenangan

22 Indonesia, Peraturan Pemerintah Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaran Pemerintahan Daerah, PP No. 12 Tahun 2017, LN No. 73 Tahun 2017, TLN No. 6041, Ps. 38 ayat (18).

23 Lentera Timur, “Siasat Resentralisasi Pemerintah Pusat,” http://archive.lenteratimur.com/2014/09/ siasat-resentralisasi-pemerintah-pusat/.

110 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

intervensi tersebut kepada Mahkamah Agung (MA) sebagai salah satu kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia.24

UU No. 23 Tahun 2014 mengatur dua model pencabutan undang-undang berdasarkan putusan pengadilan tetap dan putusan MA. Paling sedikit 5 tahun korupsi,terorisme,pengkhianatanterhadapnegara,pelanggarankeamanannasional dan/atau tindakan lain yang dapat menyebabkan persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan putusan pengadilan tetap. MA terlibat dalamputusanDPRDyangberpendapat bahwapimpinaneksekutiftelahmelanggar sumpah/janji pada saat menjabat, tidak memenuhi kewajibannya untuk mematuhi semua ketentuan undang-undang, melanggar larangan dan melakukan perbuatan tercela.

IV. PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial, Presiden adalah pemegang kekuasaan terhadap pemerintahan negara sekaligus menjadi penanggung jawab urusan pemerintahan. Mengenaiurusanpemerintahanyangsebagiansudahdiserahkanpadapemerintahan daerah yang juga merupakan urusan pemerintahan pusat. Sehingga presiden memiliki hak untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap urusan pemerintahan yang sebelumnya sudah diserahkan pada daerah. Adapun tujuan dari pengawasan yang dilakukan oleh presiden terhadap pemerintahan daerah adalah agar kepala daerah senantiasa mematuhi dan sadar akan kewajiban melaksanakan urusan pemerintahan.

Program strategis nasional yang patut menjadi fokus penyelenggaraan oleh kepala daerah mencakup aspek pengembangan ekonomi daerah, program pembangunan nasional yang bersifat integratif baik di bidang sumber daya alam dan manusia di setiap daerah otonom di Indonesia. Program strategis nasional yang juga menjadi unsur terpenting dalam pembangunan nasional adalah pembangunan sarana dan prasarana yang wajib menyentuh hingga daerah terpencil, dengan

24

Arasy Pradana A Azis, “Kekosongan Hukum Acara Dan Krisis Access To Justice Dalam Kasus-Kasus Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Di Indonesia,” Jurnal Hukum & Pembangunan 49 (2019), hlm. 1–43.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

111

memberikan tanggung jawab penuh terhadap kepala daerah melalui skema paksaan atas dasar kepentingan umum.

Pemerintah artinya kepala daerah yang melaksanakan tugas pemerintahan yang dilakukan melalui desentralisasi, sentralisasi dan koordinasi bertanggung jawab kepada pimpinan tertinggi yaitu presiden. Hal ini memberikan kekuasaan kepada presiden untuk mengarahkan dan mengawasi penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh para pemimpin daerah. Selain itu, pelaksanaan rencana strategi nasional menurut teori kesejahteraan sangatlah berguna untuk menjadi alat yang digunakan demi mencapai tujuan untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia dan seluruh negara Indonesia, dan memajukan kemakmuran bersama dan pencerahan nasional.

Sanksi administratif yang dapat diberikan berupa pemberhentian sementara, pemberhentian (tetap) bagi kepala daerah yang tidak melaksanakan Program Strategis Nasional perlu dilakukan secara konkret dan dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Instrumen yang dapat dijadikan sebagai dasar kewenangan presiden lainnya ialah melalui keputusan MA sebagai dasar presiden dan mendagri untuk menjatuhkan hukuman pemecatan kepada kepala daerah yang tidak menjalankan program strategis nasional.

2. Saran

Presiden dalam sistem presidensial selayaknya memiliki kekuasaan untuk mengontrol penuh dan eksklusif terhadap para badan dan pejabat-pejabat pemerintah yang memiliki dan menjalankan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif. Tanggung jawab dihubungkan dengan suatu keharusan yang harus diiringi dengan adanya sanksi atau hukuman, apabila ada suatu hal yang dianggap tidak sesuai atau tidak beres dalam suatu keadaan, maka wajib ditanggung oleh pihak yang bersangkutan. Bentuk pertanggung jawaban diartikan sebagai suatu proses yang menyangkut berbagai hal seperti tindakan, perbuatan maupun keputusan yang diambil oleh satu pihak yang memiliki hubungan dengan pihak lain yang terlibat sehingga dapat menerima hak dan wewenangnya serta sanksi yang akan menjadi konsekuensi di dalamnya.

Skema penegakan hukum melalui penegakan administratif perlu dilaksanakan secara konsisten dan konkrit. Perlunya dirumuskan terkait pengaturan tentang pelaksanaan program strategis nasional oleh kepala daerah berikut sanksi dan

112 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

proses pemberian sanksi terhadap kepala daerah wajib dituangkan ke dalam Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah sebagai bentuk legitimasi pemberian sanksi terhadap kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

113

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Hakim, Lukman. Filosofi Kewenangan Organ & Lembaga Daerah. Malang: Setara Press, 2012.

HR., Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Cet.9. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013.

Kaloh, J. Kepemimpinan Kepala Daerah: Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Kumorotomo, Wahyudi. Etika administrasi Negara. Cet.2. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta Timur: Prenada Media Group, 2019.

Ridwan. Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah. Cet. 1. Yogyakarta: FH UII Press, 2014.

Sabarno, Hari. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Spiro, Herbert J. Responsibility in Government Theory and Practice. New York: Van Nostrand Reinhold Company, 1969.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.

JURNAL

Alrasyid, Harun. “Kajian Sistem Pemerintahan Dan Ruang Lingkupnya.” Majalah Mahasiswa Universitas Pasundan (2002).

Azis, Arasy Pradana A. “Kekosongan Hukum Acara Dan Krisis Access To Justice Dalam Kasus-Kasus Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Di Indonesia.” Jurnal Hukum & Pembangunan 49 (2019). Hlm. 1–43.

Octovina, Ribkha Annisa. "Sistem Presidensial di Indonesia." CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan 4 (2018).

Pardede, Marulak. “Legitimasi Pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah Dalam Sistem Pemerintahan Otonomi Daerah.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 18 (2018). Hlm. 127–148.

114

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587.

Indonesia. Undang-Undang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025, UU No. 17 Tahun 2007, LN No. 33 Tahun 2007, TLN No. 4700

Indonesia. Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 25 Tahun 2004, LN No. 104 Tahun 2004, TLN No. 2441.

Indonesia. Peraturan Pemerintah Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah No. 12 Tahun 2017, LN No. 73 Tahun 2017, TLN No. 604.

Indonesia. Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, No. 3 Tahun 2016.

INTERNET

Tempo. “Tito Bantah Ada Pasal Presiden Bisa Pecat Gubernur di Omnibus Law.” https://nasional.tempo.co/read/1298345/tito- bantah-ada-Pasal-presidenbisa-pecat-gubernur- di-omnibus-law/full&view=ok. Diakses 25 Juli 2020.

Lentera Timur. “Siasat Resentralisasi Pemerintah Pusat.” http://archive.lenteratimur.com /2014/09/siasat-resentralisasi-pemerintahpusat/. Diakses Agustus 2020.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

115

BIODATA PENULIS

Muhammad Mutawalli lahir di Limboro, 2 Februari 1995. Penulis telah menempuh studi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dan sekarang sedang menempuh program doktoral Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Sekarang, penulis aktif berprofesi sebagai pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Lembaga Negara dan Konstitusi pada UIN Alauddin Makassar, Universitas Sulawesi Barat, dan STAIN Majene.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

116

URGENSI REDESAIN PENGISIAN JABATAN HAKIM KONSTITUSI

PASCA REVISI UU MAHKAMAH KONSTITUSI

Adam Setiawan

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia adamsetiawanmunif@gmail.com

Nehru Asyikin

Praktisi Hukum di Lembaga Bantuan Hukum Aksa Bumi Yogyakarta nehruasyikin1@gmail.com

Abstrak

Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Dalam rangka melaksanakantugas dan fungsinya, MK diisi oleh sembilan orang hakim konstitusiyang dituntut harus memenuhi syarat objektif integritas dan kepribadian yang tidaktercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi. Proses pengangkatan jabatan hakim konstitusi melibatkan Dewan PerwakilanRakyat,PresidendanMahkamahAgung.Padarisetinimenggunakanpenelitian hukum doktrinal dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian adalah pertama, untuk menjadi hakim konstitusi harus memenuhi syaratobjektif dan subjektif. Kedua, dengan menggunakan model split and quota dalam pengisian jabatan Hakim Konstitusi telah membuka ruang bagi institusi pemilih untuk memonopoli calon Hakim Konstitusi. Tidak adanya pengaturan yang baku mengenai tata cara, pemilihan, dan pengajuan Hakim Konstitusi mengakibatkan ketidakpastian hukum. Ketiga, desain pengisian jabatan Hakim Konstitusi yang ideal diantaranyatidakmelibatkanDPRdanPresiden.SelanjutnyaperludibentukPanitiaSeleksi yang independen yang langsung ditunjuk oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Urgensi melibatkan masyarakat dalam proses pemilihan Hakim Konstitusi guna menghasilkan Hakim Konstitusi yang berintegritas dan berkepribadian yang tidak tercela, adil negarawan yang menguasaikonstitusi.

KataKunci: Rekrutmen Hakim Konstitusi, Transparan, Partisipasi Publik.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

117

Abstract

The Constitutional Court (MK) was formed to ensure that the constitution as the highest law can be enforced properly. In order to carry out the duties and functions of the Constitutional Court, it must consist of nine constitutional judges who must have the objective requirements of integrity and personality that is not blameworthy, fair, statesman who controls the constitution. The process of filling in the constitutional judges involves the House of Representatives, the President and the Supreme Court. This study uses doctrinal legal research with a statutory and conceptual approach. The results of the study are first, to become a constitutional judge, one must meet objective and subjective requirements. Second, using the split and quota model in filling the positions of Constitutional Justices has opened up space for voters to monopolize candidates for Constitutional Justices. There is no standard regulation regarding the procedures, and the submission of the Constitutional Court Justices regarding election uncertainty. Third, the ideal design for filling the position of a Constitutional Justice includes not involving the DPR and the President. Furthermore, it is necessary to form an independent Selection Committee which is directly appointed by the Supreme Court and the Judicial Commission. The urgency to involve the public in the process of selecting Constitutional Justices in order to produce Constitutional Justices with integrity and personality who are not reprehensible, just statesmen who control the constitution.

Keywords: The Recruitment of Constitutional Judges, Transparency, Public of Participation.

118 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

I. PENDAHULUAN

Pasca runtuhnya rezim Orde Baru semangat reformasi semakin menggeliat. Hal demikian mengantarkan Indonesia pada masa transisi dari sistem politik yang otoriter ke arah sistem politik yang demokratis. Implikasinya masyarakat menuntut perubahan demi perubahan di pelbagai sektor. Salah satunya melalui perubahan konstitusi yang secara substansial menginginkan pembatasan kekuasaan eksekutif dan menghadirkan mekanisme checks and balances antar kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai wujud nyata melaksanakan prinsip checks and balances, yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antarlembaga negara.126

Selain itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi juga sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.127

Secara konseptual bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi biasa disebut sebagai the guardian of the constitution dan sekaligus sebagai penafsir konstitusi (the interpreter of the constitution). Selain itu Mahkamah Konstitusi juga dapat disebut sebagai pengawal proses demokratisasi dengan cara menyediakan sarana dan jalan hukum untuk untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di antara penyelenggaraan pemilu

126 Indonesia, Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 127Ibid.

119 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

dengan peserta pemilu. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering pula dikenal dengan sebutan the guardian of democracy 128

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengawal konstitusi Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan antara lain:129

a. untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; c. Memutus pembubaran partai politik; d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; e. Memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Untuk melaksanakan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.130 Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi.131 Sembilan Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.132

Salah satu kewenangan MK adalah melakukan judicial review semata-mata untuk menciptakan mekanisme check and balances dalam halmengkoreksiundangundang, yang notabene produk DPR bersama Pemerintah. Adapun produk legislasi atau undang-undang bukanlah ranah yang independen, dan tidak lepas dari anasir politis. Sebuah undang-undang juga tidak mungkin selalu bisa lepas dari dinamisasi modernitas, oleh karenanya undang-undang suatu saat pastiakan usang. Di lain sisi, tidak semua undang-undang bisa memenuhi ekspektasi banyak pihak, bahkan

128 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Negara Pasca Reformasi,(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 132.

129 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 24Cayat (1) dan ayat (2)

130 Ibid,Pasal 24C ayat (3).

131

132

Ibid, Pasal 24C ayat (4).

Ibid, Pasal 24C ayat (5).

120 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

undang-undang bisa jadi telah merugikan seseorang.133 Oleh karena itu untuk menguji norma undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan melaksanakan kewenangan lainnya, Hakim Konstitusi dituntut mempunyai integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi. Jabatan hakim, termasuk hakim konstitusi harus diperlakukan sebagai jabatan terhormat sehingga hanya orang-orang yang diakui terhormat dan terpercaya serta negarawan sajalah yang di nilai pantas untuk di angkat menjadi hakim konstitusi.

Hakim konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman merupakan unsur terpenting dari suatu negara hukum. Kondisi ini menunjukan betapa signifikan dan krusial posisi seorang hakim konstitusi terutama dalam menegakkan hukum dan keadilan pada sebuah negara demokrasi konstitusional.134 Kendati demikian, nama baik MK yang telah terbangun sebagai institusi yang bersih dari tindak pidana korupsi, akhirnya tercoreng juga akibat ulah oknum mantanHakimnyayangsecaraterbuktimelakukantindakpidanakorupsiyakniAkil Mochtar dan Patrialis Akbar. Tentunya apa yang dilakukan oleh kedua mantan Hakim Konstitusi tersebut telah bertentangan bahkan kontraproduktif dengan makna integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan. Selain itu, problematika hukum semakin bertambah tatkala terbitnya Undang-Undang 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Revisi UU MK). Adapun problematika utama dari terbitnya Revisi UU MK adalah berubahnya syarat batas usia untuk menjadi calon hakim menjadi paling rendah 55 (lima puluh lima tahun) dan dihapusnya Pasal 22 terkait masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Dengan kata lain, hakim konstitusi yang diangkat akan menjabat selama 15 tahun sebagaimana ketentuan di Pasal 23 ayat (1) huruf c,

133 Puguh Windrawan “Pergeseran Kekuasaan Tipologi Ketiga; (Fenomena Kekuasaan Ke Arah Constitusional Heavy)” , Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4, (Desember 2012), hlm. 615.

134 Achmad Edi Subiyanto dan I Gede Hartadi Kurniawan, “Model Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, (Hasil Penelitian Universitas Esa Unggul, 2018), hlm.12.

121 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

bahwa hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun. Banyak kalangan yang menilai bahwa UU a quo sarat akan kepentingan, dan cenderung menguntungkan hakim MK.135

Berdasarkan uraian di atas maka fokus utama pembahasan terletak pada syarat menjadi hakim konstitusi serta pola pengisian jabatan hakim konstitusi yang hendaknya terlaksana secara objektif hingga menghasilkan kandidat Hakim yang mempunyai kapasitas, profesionalitas mumpuni hingga bahkan kandidat hakim yang mempunyai sikap negarawanan. Jika ditinjau dari pola rekrutmen yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD NRI 1945) dengan model split and quota136 yaitu memberi “jatah” Presiden, DPR dan MA untuk “memajukan” tiga hakim konstitusi. Selanjutnya mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang.137 Dengan model atau mekanisme split and quota yang diterapkan telah membuka ruang bagi institusi pemilih untuk memonopoli calon sesuai dengan kriteria hingga akhirnya hakim konstitusi dihasilkan dari ego sektoral dan menanggalkan sistem merit selection

Untuk menjawab isu hukum yang diangkat, riset ini akan menggunakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Jenis penelitian hukum normatif adalah meneliti hukum dari perspektif internal dengan objek penelitiannya adalah norma hukum.138 Dengan demikian, pendekatan yang dipergunakan dalam riset ini adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) dengan sifat comprehensive, all inclusive, dan systematic.139 Di samping itu, untuk menjawab

135 Kompas, “PSHK: Revisi UU MK Jadi Hadiah Bagi Hakim Konstitusi”,https://nasional.kompas.com/read/2020/09/01/12570781/pshk-revisi-uu-mk-jadihadiah-bagi-hakim-konstitusi?page=all, 14 Juli 2022.

136 Pendapat Ahli Mohammad Fajrul Falaakh lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1-2/PUU-XII/2014.

137 Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

138 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 30.

139 Sifat Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan lain secara logis. All-Inclusive adalah kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak ada kekurangan hukum. Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis, lihat Johnny Ibrahim, Teori dan Metologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2008), hlm. 303.

122

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

isu hukum yang diangkat akan digunakan juga pendekatan konseptual (concept approach) yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

II. PEMBAHASAN

a. Syarat dan Mekanisme Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi

1. Syarat-syarat Menjadi Hakim Konstitusi

Untuk menjadi hakim konstitusi, kandidat dituntut memenuhi kriteria yang telah ditentukan UUD NRI 1945 yakni Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi. Selanjutnya syarat-syarat menjadi hakim konstitusi, diafirmasi dalam Pasal 15 Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah ketiga kali dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020, yaitu:

(1) Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; b. adil; dan c. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat: a. warga negara Indonesia; b. berijazah doktor (strata tiga) dengan dasar sarjana (strata satu) yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum; c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia; d. berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun; e. mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban; f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; g. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkanputusan pengadilan; dan h. mempunyaipengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/ataupernah menjadi pejabat negara dan/atau untuk calon hakim yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagai hakim tinggi atau sebagai hakim agung

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

123

Ihwal syarat-syarat menjadi hakim konstitusi, dapat diklasifikasikan menjadidua syarat, yakni syarat objektifdan subjektif. Pasal15 ayat (1) merupakan syarat objektif, sedangkan Pasal 15 ayat (2) merupakan syarat subjektif. Adapun syarat objektif dan subjektif, ada dua isu hukum yang perlu dianalisa secara elaboratif dan ekstensif.

Pertama, berkaitan dengan syarat objektif, adanya rumusan norma yang berbunyi “integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasaikonstitusi” dalam konteks pengisian jabatanhakim konstitusi mengingat tidak ada penjelasan secara detail baik dalam UUD NRI 1945 maupun di tingkat undang-undang.

1. Makna dari “integritas dan kepribadian yang tidak tercela”, menginginkan hakim konstitusi mempunyai sikap yang jujur dan menjunjung nilai-nilai rohani yang tercermin baik dalam menjalankan profesinya maupun dalam kehidupan sehari-harinya.140

2. Makna “adil” yang harus dimilikioleh hakim konstitusi lebih pada sikap egaliter dan imparsial dalam menangani sebuah perkara di Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya, istilah “negarawan” yang disebutkan secara expressis verbis dalam UUD NRI 1945 hanya disematkan pada hakim konstitusi.

3. Makna “negarawan” sendiri sama dengan politisi. Namun apabila ditarik intinya, negarawan mempunyai pola pikir yang visioner dalam rangka mengelola negara menjadi lebih baik dengan menanggalkan kepentingan pribadi. Berbeda dengan politisi yang berpikir pragmatis yang orientasinya terletak pada keuntungan individu atau kelompoknya.141

4. Makna “menguasai konstitusi dan ketatanegaraan” mempunyai maksud agar posisi hakim konstitusi diduduki bagi expertise konstitusi dan ketatanegaraan.

5. Makna “tidak merangkap sebagai pejabat negara”, frasa ini mempunyai maksud, agar tatkala menjadi hakim konstitus, yang bersangkutan terbebas dari conflict of interst.

Menurut Subiyanto makna “negarawan” harus dibaca secara utuh dan ekstensif yaitu “negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan”.

140

141 Ibid.

124 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Adam Setiawan, Menemukan Hakim Negarawan, Tribun, 7 Maret 2019.

Kemudian syarat tersebut dihubungkan dengan tujuan dibentuknya kekuasaan kehakiman sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945, yaitu menegakkan hukum dan keadilan. Namun pandangan demikian hanya berpijak pada tingkatan das sollen yang bersifat rigid, karena jika mengacu pada tingkatan das sein, dengan mencuplik realitas, ada oknum mantan Hakim Konstitusi yang terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi, tentunya tindakan tersebut kontraproduktifdengan makna “negarawan”. Oleh karena itu hendaknya memaknai “negarawan” terpisah dengan maksud menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, karena makna “negarawan” dan “menguasai konstitusi dan ketatanegaraan” merupakan makna yang berbeda seperti yang telah kemukakan sebelumnya. Meskipun makna negarawan diintegrasikan menjadi satu frasa dengan makna menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, dapat diartikan sebagai hakim konstitusi yang memiliki karakter negarawan serta memiliki keahlian di bidang konstitusi dan hukum tata negara.142

Konstruksi makna “negarawan” semakin problematik tatkala syarat umur menjadi Hakim Konstitusi diubah menjadi 55 tahun, adapun penjelasan dari pemerintah dan DPR terkait umur 55 tahun sebagai syarat usia minimum menjadi Hakim Konstitusi karena umur 55 dipandang memiliki integritas dan kepribadian yang lebih baik, memiliki pengalaman lebih luas serta diharapkan memiliki sifat negarawan dan dapat menguasai konstitusi dan ketatanegaraan yang lebih baik. Menurut Bulmer syarat demikian diklasifikasikan menjadi dua yaitu legal ability dan qualities of character.143 Apabila diartikan, ada ketidakjelasan parameter yang digunakan untuk menilai calon Hakim Konstitusi dari umurnya, padahal tidak ada jaminan bahwa umur 55 tahun memiliki track record yang baik apalagi dikatakan negarawan, karena pada akhirnya hanya akan menutup peluang partisipasi anak

142 Danang Hardianto, “Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, (Juni 2014), hlm. 330.

143 Legal ability (professional qualification and experience; outstanding knowledge of the law and it’s application; extensive practice of law before the courts or wide applied knowledge of the law in other branches of legal practice; overall excellence as a lawyer); and Qualties of character (personal honesty and integrity; impartiality, open mindness and good judgment; patience, social sensitivity and common sense; the ability to work hard) lihat Elliot Bulmer, “Judicial Appointments”, International IDEA Constitution-Building Primer 4, hlm. 19.

125

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

bangsa yang memiliki pengalaman, integritas dan kualitas yang mumpuni untuk menjadi Hakim Konstitusi.

Di samping itu, ihwal tidak adanya syarat bagi hakim konstitusi terbebas dari partai politik (bukan bagian dari partai politik) dalam peraturan perundangundangan harus disikapi sebagai bentuk pengingkaran terhadap syarat utama hakim konstitusiyang dituntut menjadi seorang Negarawan. Negarawan harus mempunyai pola pikir yang visioner dalam rangka mengelola negara menjadi lebih baik dengan menanggalkan kepentingan pribadi. Berbeda dengan politisi yang berpikir pragmatis-oportunitas yang orientasinya terletak pada keuntungan individu atau kelompoknya. Memang sebelumnya pengaturan mengenai syarat tidak boleh menjadi anggota partai politik pernah diakomodasi dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, hingga akhirnya dibatalkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUUXII/2014.

Dalam Putusan a quo Mahkamah Konstitusi mempunyai pertimbangan hukum bahwa syarat tidak boleh menjadi bagian dari partai politik, hal ini merupakan stigmatisasi dari kasus yang terjadi pada M. Akil Mochtar kemudian dijadikan dasar bahwa setiap anggota partai politik pastilah tidak pantas menjadi Hakim Konstitusi. Stigmatisasi seperti ini menciderai hak-hak konstitusional seorang warga negara yang terkena stigmatisasi tersebut padahal haknya dijamin olehUUD NRI 1945. Hak untuk menjadiHakim Konstitusibagisetiap orang adalah hak dasar untuk ikut dalam pemerintahan. Oleh karenanya, setiap pembatasan terhadap hak tersebut haruslah memiliki landasan hukum yang kokoh dan valid.144 Menurut Ahli dariPresiden, Siahaan, bahwa dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i Perppu MK diatur mengenai syarat untuk menjadi hakim konstitusi, yaitu ”tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi.”145

144 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1-2/PUU-XII/2014. 145 Ibid.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

126

Lebih lanjut, menurut pendapat Ahli, penetapan batasan waktu ”paling singkat 7 (tujuh) tahun” tersebut dinilai cukup untuk memberikan jaminan independensi dan imparsialitas seorang hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi. Hal demikian juga sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor81/PUU-IX/2011 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum terhadap UUD NRI 1945, yang dalam pertimbangan hukum menyebutkan bahwa harus adanya limitasi terhadap kader partai politik dengan tenggang waktu 5 (lima) tahun pengunduran diri dari partai politiknya agar bisa mencalonkan diri sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum.146

Menurut Mochtar, MK pernah membangun logikanya secara sangat menarik di Putusan MK Nomor 81/PUU-IX/2011, MK membangun basis argumentasi agar menghindari benturan kepentingan. Caranya dengan menganalogikan bahwa pemain tidak boleh menjadi wasit. Seorang pemain, haruslah pensiun sekurangkurangnya lima tahun sebelum menjadi wasit. Nalar ini tiba-tiba alpa dari MK di putusan soal undang-undang yang menetapkan Perppu soal penyelamatan MK.147

Menurut Isra, penambahan syarat calon hakim konstitusi harus dipandang sebagai langkah strategis untuk mencegah dominasi aktivis parpol jadi hakim konstitusi.148 Rishan memberikan konklusi bahwa terdapat garis demarkasi antara kekuatan politik dan peradilan. Membatasi jangka waktu bebas aktif anggota partai politik untuk memastikan calon hakim bebas dari kepentingan atau intervensi. Hal ini menjadi penting syarat hakim konstitusi mengingat salah satu kewenangan MK adalah mengadili sengketa pemilu.149Pendapat demikian menguatkan argumentasi bahwa independensi peradilan diperlukan karena masyarakat mengharapkan penegakan keadilan dilaksanakan secara objektif.150 Dengan demikian sudah

146 Ibid.

147 Zainal Arifin Mochtar, Menegakkan Konstitusi Melawan Korupsi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2018), hlm. 98.

148 Pendapat Saldi Isra sebelum menjadi Hakim Konstitusi, Saldi Isra “Selamatkan Jalan Hakim MK”, Opini Kompas, 24 Februari 2014.

149 Idul Rishan, Kebijakan Reformasi Peradilan: Pertarungan Politik, Realitas Hukum, & Egosentrisme Kekuasaan, Yogyakarta: FH UII Press, 2018, hlm. 232.

150 Nils A. Engstad, et.al, The Independence of Judge, (Den Haag: Eleven International Publishing, 2014), hlm. 62.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

127

seyogianya syarat menjadi hakim konstitusi berkaitan dengan tidak pernah menjadi anggota partai politik dengan waktu tertentu direvitalisasi. Hal demikian guna menjaga independensi peradilan, meminamalisasi masuknya kepentingan partai politik ke Mahkamah Konstitusi

Kedua, berkenaan dengan syarat subjektif, ditemukan problematika konstitusional yang paradigmatik yakni batas usia menjadi hakim konstitusi dan pengalaman kerja khusus calon hakim yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagai hakimtinggiatausebagaihakimagung. Eksistensi dari Revisi UU MK menimbulkan resistensi dari sebagian kalangan sehingga berakhir dengan judicial review diMK. BerdasarkanPutusanMahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XVIII/2020 yang amar putusannya menyatakan bahwa dalam pengujian formil menolak permohonan untuk seluruhnya dan dalam pengujian materil dinyatakan permohonan tidak dapat diterima. Kendati demikian, ada beberapa pendapat yang bisa dijadikan rujukan basis argumentasi bahwa norma yang mengatur sebagaimana disebutkan di atas memiliki problematika konstitusional yang paradigmatik. Isu hukum mengenai “batas usia menjadi hakim konstitusi” dijelaskan sebagai berikut:151

Pertama, persoalanusia menjadi perhatian utama, Mochtar dalamketerangan Ahli mengemukakan bahwa ada potensi masalah ketika ketentuan batas usia yang diatur saat ini, karena dengan hakim-hakim yang terpilih denganusia 47 tahun, tetapi kemudian diperpanjang serta mengalami perubahan pada batas usia awal menjadi 55 tahun dan batas akhir di usia 70 tahun, atau dengan 15 tahun pengabdian. Lebih dalam, bahwa suatu kebijakan yang baru, maka seharusnya diberlakukan secara prospektif. Dengan kata lain berlaku ke depan untuk hakim hasil rekrutan mendatang dan bukan untuk hakim yang ada saat ini. Kedua, Isra dalam dissenting opinion menyatakan MK selalu membatasi diri khususnya persoalan angka dengan alasan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), menurut Saldi Isra, MK sebenarnya bisa mengubah batasan usia minimum tersebut secara tidak langsung dengan mengikuti pola putusan terdahulu.

151 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XVIII/2020, hlm, 126-354.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

128

Selanjutnya, isu hukum mengenai “pengalaman kerja khusus calon hakim yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagai Hakim Tinggi atau sebagai Hakim Agung”, dijelaskan sebagai berikut:152

Pertama, menurut Mochtar, UUD tidak menyebutkan bahwa hakim harus berasal dari unsur yang mengajukan. Oleh karena itu jika dibatasi menjadi unsur MA harus dariunsur hakim, maka potensidilakukan penafsiran serupa, hakim dari Presiden harus berasal dari lingkungan pemerintahan dan dari DPR harus berasaldariunsur politisi. Kedua, dengan berlakunya norma a quo menurut Adams dalam dissenting opinion bahwa terjadi ketidakpastian hukum karena menegasikan prinsip “terbuka”. Lebih jauh, Adams menilai bahwa proses seleksi dan pemilihan calon Hakim Konstitusi yang diajukan MA menjadi “tertutup dan diskriminatif” hanya diikuti oleh warga negara yang sedang menjabat sebagaiHakim Tinggi atau Hakim Agung. Ketiga, Isra dalam dissenting opinion, mengemukakan bahwa norma a quo telah mempersempit, membatasi serta mereduksi prinsip keterbukaan warga negara yang dapat mengajukan diri sebagai calon Hakim Konstitusi. Untuk melengkapi ulasan dan analisa terkait masa jabatan, perlu ditelusuri lebih jauh masa jabatan hakim konstitusi di beberapa negara, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Perbandingan Masa Jabatan Hakim Konstitusi

No Negara Dasar Hukum

1. Thailand Pasal 207 dan Pasal 208 Konstitusi Thailand 2017

2. Korea Selatan Pasal 122 Konstitusi

Korea Selatan 1948 dan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi Korea

Pengaturan

Pasal 207, a Judge of the Constitutional Court shall hold of officefor a term of seven years as from the date of appointment by the King

Pasal 208, in addition to the vacation of office upon the expiration of term, a judge of Constitutional Court Vacates office upon : 4. Being 75 years old

Pasal 122, the term of office of the Justices of the Constitution Court shall be six years and they may be reappointed.

Pasal 7 ayat (2) the retirement age of a Justices shall be 70.

129 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

152 Ibid

Selatan Nomor 17469 tahun 2020

3. Italia Pasal 135 Konstitusi Italia 1947

4. Hungaria

Pasal 24 ayat (8) Konstitusi Hungaria 2011 dan Pasal 15 ayat (1) a dan b UU Mahkamah Konstitusi Hungaria

The Judges of the Constitutional Court shall be appointed for nine years,beginning in each case from the day of theirswearing in, and they may not be reappointed.

Pasal 24 ayat (8), the Constitutional Court shall be a body composed of fifteen members, each elected for twelve years with the votes of two-thirds of the Membersof the National Assembly.

Pasal 15 ayat (1) membership in the Constitutional Court shall terminate: a. upon reaching the age of 70 years, or b. upon the expiry of the term of office.

5. Jerman UU Mahkamah Konstitusi Jerman

6. Turki Pasal 147 Konstitusi Turki 1982

7. Kolombia Pasal 239 Konstitusi Kolombia 1991

The term of office of the Justices shall be twelve years, though it shall not extend beyond retirement age.

The members of the Constitutional Court shall be elected for a term of twelve years.

The Judges of the Constitutional Court shall be elected by the Senate of the Republic for single terms of eight yearsfrom lists presented to it by President of the Republic, theSupreme Court of Justice, and the Council of State.

8. Afrika Selatan Pasal 176 ayat (1) Konstitusi Afrika Selatan 1996

A Constitutional Court Judges holds office for a non-renewable term of 12 years, or until he or she attains the age of 70, whichever occurs first, except where an Act of Parliament extends the term of office of a Constitutional Court judge.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas telah menjelaskan bahwa persoalan batas usia menjadi hakim konstitusi perlu diberikan jalan keluar untuk memberikan kepastian hukum. Alasannya, bukan tidak mungkin batas usia menjadi hakim konstitusi dan dihapusnya periodesasi hanya memberikan keuntungan bagi hakim konstitusi yang sedang menjabat ketika dipilih belum berumur 55 tahun, dengan kata lain yang bersangkutan akan menjabat sebagai hakim konstitusi lebih 15 tahun. Apabila dibandingkan dengan beberapa negara sebagaimana tabel di atas, masa jabatan Hakim Konstitusi di Indonesia tidak disebutkan secara eksplisit, karena hanya mengikuti konstruksi batas umur dapat menjadi Hakim Konstitusi

130 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

diumur 55 tahun hingga masa pensiun diumur 70 tahun karena dihapusnya ketentuan Pasal 22 yang menyebutkan rentang masa jabatan.

Selain itu berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa konstruksi masa jabatan hakim konstitusidisebutkansecara tegas bahkandiatur mengenaitidak dapat dipilih kembali, misalnya konstitusi Italia secara eksplisit membatasi masa jabatan Hakim Konstitusi secarategas dengan masajabatan 9tahun dantidak dapat dipilihkembali. Pengaturan yang serupa juga diterapkan oleh Jerman, bahwa hakimkonstitusi menjabat dalam rentang waktu 12 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Dengan demikian ada ketidakpastian hukum terkait masa jabatan Hakim Konstitusi Indonesia, akibat tidak disebutkan secara tegas konstruksi masa jabatan Hakim Konstitusi.

Sementara itu, menurut Ginsburg153,Opeskin154 dan Manan155masa jabatan yang panjang atau seumur hidup untuk menghindari anasir-anasir eksternal karena tidak mungkiri bahwa potensi conflict of intrest terjadi ketika proses pengangkatan selanjutnya. Dalam hal ini, pentingnya pembatasan masa jabatan tidak dapat diperbarui agar tidak mendapatkan keuntungan pribadi dengan cara memihak pada kasus-kasus yang menyangkut pemerintah. Oleh karena itu masa jabatan yang panjang sebagai upaya menjaga independensi Mahkamah Konstitusi sehingga putusan Hakim Konstitusi senantiasa mencerminkan prinsip fairness, impartiality, tidak bias, dan menjamin memberikan keadilan. Namun tidak sepenuhnya pendapat demikian diterima karena secara faktual potensi hadirnya campur tangan para elit selalu ada dalam Putusan Pengadilan. Jadi, sekalipun ketentuan batas usia dipertahankan eksistensinya mengingat MK tetap berpendapat bahwa masa jabatan merupakan ranah open legal policy, maka dari itu hendaknya perubahan masa jabatan Hakim Konstitusi diberlakukan secara prospektif, agar menghindari terjadinya conflict of interest

153

Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies Constitutional Courts in Asia Cases, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hlm. 46.

154

Brian Opeskin, “Model of Judicial Tenure: Reconsidering Life Limits, Age Limits and Term Limits for Judges”, Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 35, No. 4 (2015), hlm. 655

155

Bagir Manan, Periodesasi Jabatan Hakim serta Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam Achmad Edi Subiyanto, et.al (editor), Bagir Manan Keterangan Ahli di Mahkamah Konstitusi, (Depok: Rajawali Pres, 2021), hlm. 79.

131 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Persoalan berikutnya yang menjadi sorotan adalah perihal pengalaman kerja khusus calon hakim yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagai hakim tinggi atau sebagai hakim agung, akan berimplikasi pada proses rekrutmen yang tidak transparan dan akuntabel karena calon Hakim Konstitusi hanya berasal dari lingkungan Hakim saja sehingga kesannya menjadi diskriminasi. Ditambah pula pola ini akan melahirkan ego sektoral lembaga masing-masing pengusul (DPR, Presiden dan MA). Oleh karena itu hendaknya norma a quo dibatalkan untuk menghindari persoalan konstitusional diakibatkan ego sektoral, karena nantinya akan berimplikasi pada kinerja MK.

2.

Mekanisme Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi

Proses pengisian jabatan Hakim Konstitusi melalui model split and quota, sebagaimana disebutkan Pasal 24C Ayat (3) UUD NRI 1945, yang menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh Presiden. lebih lanjut berdasarkan Pasal 24C Ayat (6) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.

Ihwal mekanisme pengisian jabatan Hakim Konstitusitelah dielaborasidalam Undang-Undang tentang MK, bahwa Keputusan Presiden ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan calon diterima Presiden.156Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif157 Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusidiatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).158 Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara objektif dan akuntabel.159

156 Indonesia, Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

157

158

Ibid, Pasal 19.

Ibid, Pasal 20 ayat (1).

159 Ibid, Pasal 20 ayat (2).

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

132

Berdasarkan redaksi Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan bahwa mengenai tata cara seleksi, pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang. Dengan model atau mekanisme split and quota tersebut telah membuka ruang bagi institusi pemilih untuk menggunakan tata caranya masing-masing. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketentuan Pasal 20 Ayat (2) memberikan ruang penafsiransecara bebas bagi masing-masing lembaga negara (DPR, MA dan Presiden) dalam melakukan seleksi hakim konstitusi. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum tentang standarisasi seleksi hakim konstitusi.160

Dalam hal ini menurut Rishan, implementasi kebijakan cenderung dilakukan secara inkonsisten, baik itu dilakukan oleh calon Hakim Konstitusi yang diajukan oleh Presiden, DPR maupun MA. Persoalan tata cara pengangkatan diserahkan sebagai bentuk open legal policy sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (6) UUD NRI 1945.161 Karena jika ditelaah secara cermat ada kekeliruan yang sistematis, berdasarkan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak terlepas dari turunan dari Pasal 24C ayat 6 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Perihal pengangkatan hakim konstitusidansyarat-syaratnyadiaturdalamundang-undang.NamundidalamPasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa mengenai tata cara seleksi, pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang.

Adanya perbedaan norma tersebut jelas menimbulkan ketidakpastian hukum yang berujung pada inkompatibilitas pengaturan seleksi hakim konstitusi. Justru dengan amanat UU Kekuasaan Kehakiman membuka celah kepada Presiden, DPR dan MA merumuskan suatu standar baku yang dapat dijadikan pedoman bersama dalam melakukan seleksi hakim konstitusi. Ketentuan standar baku tersebut harusnya ditetapkan dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang secara

160 Fence M. Wantu,et.al., “Studi Efektivitas Sistem Rekrutmen dan Seleksi Hakim Konstitusi RI”, Hasil Penelitian Kerjasama Mahkamah Konstitusi Dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo, 2017, hlm. 45.

161 Idul Rishan, op.cit, hlm. 276.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

133

spesifik mengatur secara kelembagaan. Sayangnya, celah hukum tersebut dinafikan oleh pembentuk Undang-Undang dalam merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pada tahun 2011.162

Implikasi dari produk legislasi demikian, menjadikan tata cara pengangkatan Hakim Konstitusi menjadi tidak seragam dan berpola.163 Untuk membuktikan itu Idul Rishan dalam penelitiannya kemudian mengklasifikasikan melalui tiga model seleksi. Pertama, penunjukan secara tertutup (close appointee); kedua, pemilihan (open election); ketiga, berdasarkan sistem merit (merit selction) biasanya sistem merit melibatkan kalangan ahli sebagai Panitia Seleksi. Perihal pengangkatan Hakim Konstitusi, Rishan menyajikannya data sebagai berikut:164 Tabel 2: Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi

No Hakim Konstitusi Unsur Kelembagaan Mekanisme Pengangkatan 1 Jimly Asshiddiqie DPR Open election 2 Laica Marzuki MA Closed Appointee 3 Abdul Mukhtie Fadjar Presiden Periode I: Closed Appointed Periode II : Merit Selection

Dengan melibatkan Tim ahli 4 Harjono165 Presiden dan DPR Closed Appointee Open election 5 M. Mahfud MD DPR Open election

162 Fence M. Wantu, et.al., op.cit, hlm. 48.

163 Idul Rishan, op.cit, hlm. 278. 164 Ibid

165 Sebagai catatan Hakim Harjono menjadi Hakim Konstitusi yang diajukan melalui dua pintu yaitu Presiden dan DPR. Masa bakti tahun 2003-2008 diajukan dari unsur Presiden, kemudian untuk masa bakti 2008-2013 diajukan dari unsur Presiden.

134

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

6 Achmad Sodiki Presiden Merit Selection denganmelibatkan Tim ahli 7 Akil Mochtar DPR Open election 8 Hamdan Zoelva Presiden Closed Appointee 9 Achmad Roestandi DPR Open election 10 Sudarsono MA Closed Appointee 11 H.A.S. Natabaya Presiden Closed Appointee 12 Maruarar Siahaan MA Closed Appointee 13 Muhammad Alim MA Closed Appointee 14 Patrialis Akbar Presiden Closed Appointee 15 Maria Farida Presiden Periode I: Merit Selection denganmelibatkan tim ahli Periode II : Closed Appointee 16 Ahmad Fadil Sumadi MA Closed Appointee 17 Arsyad Sanusi MA Closed Appointee 18 Anwar Usman MA Closed Appointee 19 Aswanto DPR Merit Selection denganmelibatkan (Tim Pakar) 20 Arief Hidayat DPR Open election 21 Wahiduddin Adams DPR Merit Selection denganmelibatkan (Tim Pakar)

135 Volume
JURIS LK 2 FHUI
12 Nomor 2, 2022

22 I Dewa Gede Palguna166

DPR

Periode I : Open election Periode II : Merit Selection melibatkan Panitia Seleksi (Pansel) 23 Suhartoyo MA Closed Appointee 24 Manahan M.P Sitompul MP Closed Appointee 25 Saldi Isra Presiden

Merit Selection melibatkan Panitia Seleksi (Pansel) 26 Enny Nurbaningsih Presiden

Merit Selection melibatkan Panitia Seleksi (Pansel)

Tabel 3: Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi167 No Hakim Konstitusi Unsur Kelembagaan Mekanisme

Pengangkatan 1 Aswanto DPR

Periode II: Merit Selection 2 Wahiduddin Adams DPR Periode II: Merit Selection 3 Suhartoyo MA

Periode II: Closed Appointee 4 Daniel Yusmic Pancastaki Foekh Presiden

Merit Selection melibatkan Panitia Seleksi (Pansel)

166 Sebagai catatan Hakim I Dewa Gede Palguna menjadi Hakim Konstitusi yang diajukan melalui dua pintu yaitu DPR dan Presiden. Masa bakti tahun 2003-2008 diajukan dari unsur DPR, kemudian untuk masa bakti tahun 2015-2020 diajukan dari unsur Presiden. 167 Penulis mencoba menampilkan data terbaru dalam kurun waktu 2019-2020.

136
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Selain data yang disebutkan di atas, perlu pula ditelusuri lebih jauh perbandingan mekanisme pengangkatan Hakim Konstitusi di berbagai negara, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4: Perbandingan Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi

No Negara Dasar Hukum

1. Thailand Pasal 200 Konstitusi Thailand2017

Pengaturan

The Constitutional Court consists of nine Judges of the Constitutional Court appointed by the King from following Persons:

1. three judges in the Supreme Court holding a position not lower than Presiding Justice of the Supreme Court for not less than three years elected by a plenary meeting of the Supreme Court;

2. two judges of the Supreme Administrative Court holding a position not lower than judge of the Supreme Administrative Court for not less than five years, and currently having renowned academic work;

3. one qualified person in law obtained by selection from persons holding or having held a position of Professor of a university in Thailand for not less than five years, and currently having renowned academic work;

4. one qualified person in political science or public administration obtained by selection from persons holding or having held a position of Professor of a university in Thailand for not less than five years, and currently having renowned academic work;

5. two qualified person obtained by selection from persons holding or having held position not lower than Director-General of a position not lower than Director-General or a position equivalent to a head of government

137 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

2. Korea Selatan Pasal 111 ayat (2), (3) dan (4) KonstitusiKorea Selatan 1948

agency, or a position equivalent to a head of government agency, or a position not lower than Deputy Attorney-General, for not less than five years.

Pasal 111 ayat (2), the Constitutiona Court shall be composed of nine Judges qualified to be court Judges, and they shall be appointed by the President; (3) among the Judges referred to in Paragraph (2), three shall be appointed from persons selected by the National Assembly, and three appointed from persons nominated by the Chief Justice; and (4) the head of the Constitution Court shall be appointed by the President from among the Judges with the consent of the National Assembly.

3. Italia Pasal 135 paragrap 1 Konstitusi Italia 1947

4. Hungaria

Pasal 7 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi Hungaria

The Constitutional Court shall be composed of fifteen Judges, a third by Parliament in joint sitting and a third by the ordinary and Administrative Supreme Court

Members of the Constitutional Court shall be proposed by a Nominating Committee, made up of at least nine and at most fifteen members, appointed by the parliamentary fractions of the parties represented in the Parliament. The Committee shall contain at least one member from each of the parliamentary fractions.

5. Jerman Pasal 94 ayat (1) Konstitusi Jerman

The Federal Constitutional Court shall consist of federal judges and other members. Half the Members of the Federal Constitutional Court shall be elected by the Bunderstag and half by the Bundesrat. They may not be members of the Bundestag, of the Bundesrat, of the Federal Government, or of any of corresponding bodies of a Land.

6. Turki Pasal 146 Konstitusi Turki 1982

The Grand National Assembly of Turkey shall elect, by secret ballot, two members from among three candidates to be nominated by and from among the president and members of the Court of Accounts, for each vacant position, and one member from among three candidates nominated by the heads of the bar associations from among self-employed lawyers. In this election to be

138 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

held in the Grand National Assembly of Turkey, for each vacant position, two thirds majority of the total number of members shall be required for the first ballot, and absolute majority of total number of members shall be required for the second ballot. If an absolute majority cannot be obtained in the second ballot, a third ballot shall be held between the two candidates who have received the greatest number of votes in the second ballot; the member who receives the greatest number of votes in the third ballot shall be elected.

7. Kolombia Pasal 239 Konstitusi Kolombia1991

8. Afrika Selatan Pasal 174 ayat (4) Konstitusi Afrika Selatan 1996

The Judges of the Constitutional Court shall be elected by the Senate of the Republic for single terms of eight years from lists presented to it by President of the Republic, the Supreme Court of Justice, and the Council of State

The other judges of the Constitutional Court are appointed by the President, as head of the national executive, after consulting the Chief Justice and the leaders of parties represented in the National Assembly, in accordance with the following procedure:

a. The Judicial Service Commission must prepare a list of nominees with three names more than the number of appointments to be made, and submit the list to the President.

b. The President may make appointments from the list, and must advise the Judicial Service Commission, with reasons, if any of the nominees are unacceptable and any appointment remains to be made.

c. The Judicial Service Commission must supplement the list with further nominees and the President must make the remaining appointments from the supplemented list.

Merujuk tabel perbandingan mekanisme pengangkatan hakim konstitusi terlihat ada beragam model prosedur pengangkatan hakim konstitusi. Secara

139 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

teoritis, Bulmer membagi3 modelpengangkatan yaitu: (a) single-body appointment mechanisms; (b) professional appointments; (c) cooperative appointment mechanisms; dan (d) representative appointment mechanisms 168Adapun negara yang disebutkan di atas sebagian besar mendesain pengangkatan hakim konstitusi dengan model coperative appointment mechanisms antara lain Italia, Hungaria, Kolombia dan Afrika Selatan. Sedangkan model representative diterapkan oleh Korea Selatan, Jerman dan Turki serta diikuti pula oleh Indonesia. Model representative dengan melibatkan peran tiga kekuasaan, eksekutif, legislatif dan yudikatif dapat juga disebut dengan model split and quota. Model representative yang diterapkan oleh beberapa negara, menurut Ginsburg memiliki kelemahan jika dibandingkan dengan model coperative. Alasannya kemungkinan terjadinya politisasi terhadap calon yang diajukan sehingga cenderung terfragmentasi secara internal.169

Sementara itu melihat praktik pengisian jabatan Hakim Konstitusi di Indonesia sebagaimana tabel di atas menunjukan bahwa persoalan konsistensi norma pengaturan karena metode pengangkatan jabatan hakim konstitusi belum memiliki standar baku bahkan mengabaikan perintah undang-undang yang berbunyi “pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Selain itu bertentangan pula dengan “pemilihan hakim konstitusi dilaksanakan secara objektif dan akuntabel”.170Sejauh ini, ketentuan mengenai seleksi, pemilihan dan pengajuan baru dilihat dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Hal demikian tidak memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid). Fuller memberikan gambaran kepastian hukum, harus dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum dan tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.171 Selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Fuller sudah seyogianya pembuat undang-undang merekonstruksi mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi secara definitif dan dituangkan dalam norma undang-undang yang lebih mapan

168 Elliot Bulmer, op.cit, hlm. 9-11

169 Tom Ginsburg, op.cit, hlm. 45.

170 Pasal 19 dan Pasal 20 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

171 Lon Fuller dalam Fence M. Wantu, Idee Des Recht, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 79.

140 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

bukan malah memberikan kewenangan pada lembaga pemilih untuk mengatur mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi.

b. Tantangan Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi

Diakomodasinya model representative atau split and quota secara ajeg sebagaimana diakomodasidalam UUD NRI 1945 yaitu memberikan “jatah” kepada Presiden, DPR dan MA untuk “memajukan” tiga hakim konstitusi. Dalam hal ini tentunya memiliki konsekuensi politis tersendiri bahkan hal demikian berimplikasi pada integritas dan kualitas Hakim Konstitusi yang dihasilkan dari proses seleksi. Proses pengisian jabatan Hakim Konstitusi yang dilakukan oleh DPR dan Presiden sarat dengan nuansa politik hal tersebut selaras dengan apa yang dikemukan oleh Mochtar bahwa pola atau metode yang digunakan Indonesia dalam memilih Hakim Konstitusi adalah political appointing (pengangkatan politik).172Sebagai contoh ketika publik dikejutkan dengan berita digelarnya uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon hakim Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat yang pada saat itu masih menjabat sebagai Ketua MK. Keterkejutan itu disebabkan karena selama ini tidak diketahui ada pengumuman dari DPR soal perekrutan dan pencalonan Hakim Konstitusi.173 Tentunya hal tersebut bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabel.

Dalam hal ini Mochtar mempertanyakan beberapa hal yang harus dijawab oleh DPR, Pertama, bagaimana dengan keharusan transparansi? Artinya, DPR seharusnya menjelaskan alasan dibalik gerakan tiba-tiba memberi karpet merah kepada orang tertentu. Mengapa untuk kali ini DPR memilih untuk langsung melakukan uji kepatutan dan kelayakan sebagai sarana sahih menakar integritas, kapabilitas dan aksetabilitas seorang kandidat. Akan tetapi dengan cara hanya memberikan kesempatan uji kepatutan dan kelayakan kepada satu orang, itu sama dengan mengatakan bahwa yang layak untuk dinilai integritas, kapabilitas dan

172 M. Dani Pratama Huzaini, “Independensi Diragukan, Mekanisme Pengisian Jabatan Hakim MK Perlu Dievaluasi”, <https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a3740d8774f8/independensi-diragukan mekanisme-pengisian-jabatan-hakim-mk-perlu-dievaluasi/>, diakses 17 Juli 2022.

173 Syamsuddin Radjab, Cacat Hukum Pemilihan Hakim Konstitusi, https://antikorupsi.org/en/news/cacat-hukum-pemilihan-hakim-konstitusi, diunduh 17 Juli 2022.

141 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

akseptabilitas hanyalah satu orang dengan batas penalaran wajar, dapat dikatakan bahwa sebenarnya DPR sudah memilih dan hanya mengonfirmasi pilihannya saja. Padahal, harusnya bisa mendapatkan pandangan awal mengenai integritas dan kapabilitas jika DPR menggunakan panitia seleksi atau Dewan Pakar sebagaimana biasanya proses seleksi.174

Kedua, bagaimana dengan partisipatif? Partisipatif seharusnya diartikan bahwa siapapun bebas berpartisipasi, sehingga jika ada mekanisme yang bersifat privilage terhadap seorang, itu sama dengantindakan yang menegasikanpartisipasi. Atau, jangan-jangan Komisi III tengah menunjuk kepongahan partisipasi politik yang dianggap lebih penting daripada partisipasi publik. Hal yang sederhananya akan bisa menghasilkan Hakim Konstitusi yang mendapatkan akseptabilitas politik semata tanpa adanya akseptabilitas publik artinya prinsip partisipatif seharusnya memberikan kemungkinan siapa saja untuk berpartisipasi.175

Ketiga, persoalan obyektif dan akuntabel, bukan sekedar pelanggaran atas prinsip partisipasi, memberikan “wild card” untuk langsung ke tahap pemilihan tanpa uji kepatutan dan kelayakan adalah hal tersendiri yang juga harus diberi garis tebal. Sulit untuk mengartikan pemberian langsung itu sebagai suatu hal yang tetap berada pada koridor obyektif dan akuntabel. Obyektif seharusnya diartikan sebagai penilaian secara merata tanpa membedakan pengalaman atau apa yang telah dilakukan. Siapapun yang mendaftar sebagai calon Hakim Konstitusi haruslah dipandang sebagai calon Hakim yang memulai dari nol. Karena itu dengan alasan terhadap sosok tertentu yang telah menjadi Hakim, ia diberikan jalan lapang langsung untuk uji kepatutan dan kelayakan adalah sesuatu yang tidak pas. Secara teoritik, ini sulit diterima. Bagaimanapun, pada diri seorang Hakim terdapat dua unsur perbuatan yang melekat pada dirinya, sebagai seorang Hakim sekaligus sebagai warga biasa.176 Proses pencalonan Hakim Konstitusi secara tertutup bukan kali ini saja terjadi. Setidaknya, dua mantan Hakim Konstitusi pernah menikmati praktik ini,

174 Zainal Arifin Mochtar, op.cit, hlm. 105-106.

175 Ibid.

176 Ibid.

142 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

yaitu Akil Mochtar dan Patrialis Akbar keduanya berakhir na’as karena terlibat tindak pidana korupsi saat menjalankan tugasnya sebagai hakim MK.177 Kritik pun tidak terhindarkan dari kalangan Ahli di antaranya Mochtar yang menyatakan bahwa ketika Patrialis Akbar dipilih tanpa suatu proses yang berarti, yakni dengan standar-standar transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel. Patrialis Akbar dipilih dengan pilihan yang terlihat konklusi mendahului analisis. Makanya, keputusan Presiden untuk pengangkatannya dipersoalkan di PTUN dan mendapatkan catatan besar kesalahan di tingkat pertama maupun banding. Ini tentu saja menjadi catatan bahwa ke depan, prinsip-prinsip ini harus kembali dikuatkan dan dilaksanakan dengan kesungguhan. Harus ada aturan detail yang mengatur bagaimana keempat prinsip tadi dituangkan dalam proses pemilihan sehingga tidak sekadar memberikan itu kepada itu kepada Presiden, DPR dan MA untuk memilih cek kosong.178

Isra menyatakan hal yang sama dengan apa yang dikemukakan oleh Mochtar, bahwa Undang-Undang tentang MK telah mengatur proses seleksi calon Hakim MK dilakukan secara transparan dan partisipatif. Tidak hanya itu proses pemilihannya juga dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel. Tiga Instansi yang memiliki otoritas untuk mengajukan calon tidak memiliki standar dan proses yang sama dalam menyeleksi Hakim MK. Misalnya, sebagai salah satu lembaga yang memiliki otoritas mengajukan Hakim MK, proses seleksi calon Hakim MK di Mahkamah Agung masih tertutup. Padahal, proses transparan dan partisipatif menjadikewajiban bagi semua lembaga yang memilikiotoritas mengajukanHakim MK . Begitu pula calon yang diajukan Presidenm merujuk sejumlah pengalaman, proses seleksi yang dilakukan dengan standar yang berbeda.

Berdasarkan pendapat beberapa Ahli yang intinya menekankan bahwa realitas pengisian jabatan Hakim Konstitusi tidak dilalui dengan tahapan yang transparan partisipatif, objektif, dan akuntabel karena berbagai tantangan yang salah satunya adalah ego sektoral para pemilihnya (DPR, Presiden dan Mahkamah

177 Syamsuddin Radjab, loc.cit.

178 Zainal Arifin Mochtar, op.cit,hlm.110-111.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

143

Agung). Oleh karena sudah seharusnya kita men-desain ulang mekanisme pengisian jabatan Hakim Konstitusi.

c. Desain Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi yang Ideal.

Penelitian Fence dan kawan-kawan menjelaskan bahwa, model rekrutmen dan seleksi hakim Mahkamah Konstitusi dengan menggunakan Panel Seleksi baik oleh Lembaga Masing-masing Pengusul hakim konstitusi ataupun Panel seleksi dalam bentuk Kesepakatan bersama Lembaga Pengusul Hakim Konstitusi adalah pembaharuan hukum yang tujuan utamanya adalah menghasilkan Hakim Konstitusi yang memiliki integritas ideal sebagai seorang negarawan sejati. Proses rekrutmen dengan menggunakan Panel Seleksi yang jelas dan baku merupakan pemenuhan terhadap prinsip utama dalampengisian jabatan Hakim Konstitusi yang diamantkan oleh Undang-undang Dasar dan Undang-undang Mahkamah Konstitusi yakni akuntabel (proses serta hasilnya dapat dipertanggungjawabkan), partisipatif (adanya keikutsertaan publik proses keseluruhan seleksi), obyektif (berdasar presentase kompetensi), sertatransparansi (diketahuipublik). Selain itu, kedudukan panel seleksi ini tidak bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang ada, selama dimaknai tidak adanya kewenangan lembaga lain yang akan mereduksi kewenangan lembaga pengusul hakim konstitusi.179

Sedangkan penelitian Indramayu, et.al, menerangkan, mekanisme seleksi calon Hakim Konstitusi harus diarahkan pada tercapainya Hakim Konstitusi yang berintegritas, berkeperibadian yang baik, adil dan negarawan yang menguasai konstitusimelaluibeberapatahapanseleksi.Mekanismeseleksidisusundengan tiga tahapan yang terdiri dari persiapan seleksi, pelaksanaan seleksi dan pasca seleksi. Pada tahapan persiapan, masing-masing lembaga pengaju mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan dalam pelaksanaan seleksi termasuk pembentukan Panel Ahli. Setelah Panel Ahli terbentuk, Panel Ahli melakukan publikasi melalui media massa baik cetak maupun elektronik terkait akan diadakannya seleksi hakimkonstitusi. Pelaksanaan seleksi terdiri dari seleksi administratif di mana calon hakimkonstitusi menyerahkanpersyaratanadministrasiyangdiatur dalamUU MK, 179 Fence M. Wantu, et.al.,op.cit, hlm.126.

144 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

seleksi Akademis di mana calon hakim konstitusi akan diuji mengenai pemahaman konstitusinya melalui pembuatan makalah dan presentasinya serta praktek persidangan semu sederhana. Selain itu, Panel Ahli akan menelusuri rekam jejak masing-masing calon hakim konstitusi yang melibatkan KPK dan PPATK guna menelusuri harta kekayaan calon hakim konstitusi dan pelibatan organisasi masyarakat, LSM dan/atau masyarakat guna memberikan pertimbanganpertimbangan dalam memilih hakim konstitusi. Panel Ahli akan mengadakan musyawarah Panel Ahli untuk menentukan calon hakim konstitusi yang memenuhi kualifikasi, setelah itu Panel Ahli akan melakukan musyawarah bersama dengan masing-masing lembaga pengaju untuk menentukan calon hakim konstitusi yang akan diajukan, sehingga terpilihlah calon hakim konstitusi terbaik yang akan diajukan kepada presiden untuk dilantik. Tahapan ketiga yakni tahapan pascaseleksi di mana Panel Ahli membuat laporan pertanggungjawaban guna mewujudkan seleksi hakim konstitusi yang akuntabel.180

Di pihak lain, Hastuti dalam konklusinya menyebutkan dalam proses perekrutan hakim konstitusi harus ada pelibatan DPR dalam pengangkatan hakim agung dan hakim konstitusi sejatinya merupakan bagian dari penguatan DPR yang dilakukan melalui perubahan UUD NRI 1945, yang mempunyai semangat memperkuat DPR dan membatasi kekuasaan Presiden. Penguatan ini tidak terlepas dari agenda demokrasi yang bergulir seiring terjadinya masa transisi demokrasi pasca Orde Baru, di mana agenda demokrasi salah satunya dilakukan dengan memperkuat lembaga demokrasi-di antaranya DPR-melalui konsolidasi demokrasi. Meskipun pelibatan tersebut merupakan bagian dari agenda demokrasi, pada kenyataannya pelibatan tersebut tidak sesuai dengan asas separation of power di mana seharusnya lembaga kehakiman tidak diintervensi oleh lembaga lain seperti DPR, termasuk dalam seleksi hakim-hakimnya. Pelibatan tersebut juga tidak sesuai dengan asas check and balances karena dalam seleksi hakim agung, DPR bukan berhadapan dengan kekuasaan Presiden tetapi berhadapan dengan Komisi Yudisial yang merupakan state auxiliary organ. Sedangkan pada pengangkatan hakim

180 Indramayu, et.al., “Rekonseptualisasi Seleksi Hakim Konstitusi Sebagai Upaya Mewujudkan Hakim Konstitusi yang Berkualifikasi”, Jurnal Lentera Hukum, Volume 4, Nomor 1, (April 2017), hlm. 16.

145

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

konstitusi, DPR justru mempunyai otoritas penuh atas pengusulan tiga Hakim Konstitusi.181

Dalam konteks pengisian jabatan Hakim Agung dan Hakim Konstisusi, Harijanti mengatakan bahwa pengaturan dan pengisian Hakim Agung dan Hakim Konstitusi di Indonesia masih bersifat dinamis, dalam arti masih terjadi perubahanperubahan pengaturan, terutama berkenaan dengan syarat-syarat dan mekanisme pengangkatan jabatan. Perubahan peraturan disebabkan munculnya tuntutan akan proses seleksi yang lebih terbuka dan akuntabel sehingga mampu menghasilkan hakim yang lebih profesional. Sayangnya, keinginan untuk menghasilkan hakim yang lebih berkualitas tidak selalu terwujud karena berbagai hambatan. Pengalaman pemilihan Hakim Konstitusi jalur DPR tahun 2014 memperlihatkan secara nyata bahwa kehadiran panitia seleksi tidak terlalu bermanfaat. Para anggota DPR seakan-akan tidak memperlihatkan kemauan untuk menggunakan hasil panitia seleksi, melainkan lebih mengedepankan preferensi pribadi atau politik. Selain itu, panitia seleksi juga tidak terlepas dari kritik, antara lain berkenaan dengan syarat anggota dan cara mereka melakukan tugasnya. Mekanisme fit and proper test tidak dilaksanakan secara wajar sehingga terdapat kesan, anggota panitia seleksi melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat ‘merendahkan’ calon. Seharusnya, para anggota panitia seleksi lebih menempatkan dirinya sebagai orang yang ditugaskan untuk melakukan elaborasi kemampuan para calon dari berbagai perspektif.182

Sistem rekrutmen calon hakim konstitusi di DPR menggunakan pilihan keterbukaan terhadap masyarakat (partisipasi publik) dari sejak awal hingga akhir sehingga dapat menghasilkan calon hakim konstitusi yang ideal. Dalam implementasinya, prinsip transparansi dan partisipasi publik telah dilaksanakan sejak awal sampai akhir rekrutmen calon hakim konstitusi pada Periode I, Periode IV, Periode V, dan Periode VI, namun untuk Periode II tidak dilakukan fit and

181 Sri Hastuti Puspitasari, “Pelibatan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengisian Jabatan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum,Volume 25, Nomor 25, (September 2018), hlm. 446.

182 Susi Dwi Harijanti, “Pengisian Jabatan Hakim: Kebutuhan Reformasi dan Pengekangan Diri”,Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Volume 21, Nomor 4, (Oktober 2014), hlm. 554.

146 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

proper test pada salah satu incumbent dan waktu yang terbatas untuk publik memberikan masukan rekam jejak, sedangkan Periode III sama sekali tidak ada fit and proper test. Seluruh proses mekanisme dan sistem rekrutmen calon Hakim Konstitusi haruslah memenuhi prinsip-prinsip yakni transparansi (dapat diketahui publik), partisipatif (turut melibatkan publik dalam setiap prosesnya), obyektif (berbasis kompetensi), dan akuntabel (hasilnya dapat dipertanggungjawabkan). Selain itu, pilihan cara rekrutmen melalui partisipasi publik merupakan suatu kebijakan politik yang tepat diambil DPR dimulai dari pendaftaran calon hakim konstitusi sampai penetapan hakim konstitusi telah terpenuhi sebagaimana amanat konstitusi “the right man in the right position through the appropriate selectionof recruitment mechanism” (orang yang tepat pada jabatan yang tepat melalui pilihan mekanisme rekrutmen yang tepat pula).183

Demokrasi akan memberikan kesempatan-kesempatan untuk, pertama, partisipasi yang efektif; kedua, persamaan dalam memberikan suara; ketiga, mendapatkan pemahaman yang jernih; keempat, melaksankana pengawasan akhir terhadap agenda; kelima, pencakupan orang dewasa. Jadi, ketika kesempatankesempatan yang merupakan konsekuensi dari ukuran umum negara demokrasi ini tidak dijalankan, maka negara tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai negara demokrasi.184

Untuk memahami konsep partisipasi secara singkat dengan mengutip pendapat Vaneklasen dan Miller yang membagi partisipasi ke dalam beberapa bentuk salah satunya sebagai berikut:185

1. Partisipasikonsultatif, yaitu masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab beberapa pertanyaan. Hasil jawaban masayarakt ini akan dinalisis oleh pihak luar untuk mengindentifikasi masalah dan cara untuk mengatasi masalah tersebut tanpa perlu memasukkan pandangan masyarakat;

2. Partisipasi interaktif, yaitu masyarakat berpartisipasi dalam mengembangkan dan menganalisa rencana kerja. Partisipasi dilihat sebagai hak, bukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan, prosesnya melibatkan metodolgi dalam

183 Winda Wijayanti, et.al., “Transparansi dan Partisipasi Publik dalam Rekrutmen Calon Hakim Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 4, (Desember 2015), hlm. 687.

184 Saifudin, Partisipasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2009), hlm. 14-15

185 Salahudin, Korupsi Demokrasi & Pembangunan Daerah, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Lapindo Bidos, 2012, hlm. 32-33.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

147

mencari perspektif yang berbeda serta menggunakan proses belajar yang terstruktur. Karena masyarakat dilibatkan dalam pengambilan keputusan, maka mereka mempunyai keterikatan untuk mempertahankan tujuan dan insitusi lokal yang ada di masyakarat menjai kuat.

3. Pengeorganisasian diri, yaitu masyarkat berpartisipasi dengan merencanakan secara mandiri. Mereka mengembangkan kontak dengan pengembangan eksternal untuk sumber data dan saran-saran teknis yang dibutuhkan, namun kontrol bagaimana sumber daya tersebut digunakan, berada di tangan masyarakat sepenuhnya. Tipe partisipasi masyarakat ini sangat ideal, karena menunjukkan bagaimana masyarakat sudah sangat berdaya, mampu mengadvokasi dirinya sendiri masalah yang menimpanya. Dengan demikian, dalam konteks pengangkatan jabatan Hakim Konstitusi bangunan premis terkait desain pengangkatan jabatan hakim konstitusi yang ideal di masa depan dari perspektif ius constituendum. Pertama, harus ada pengaturan yang baku mengenai tata cara, pemilihan, dan pengajuan calon Hakim Konstitusi guna menghindari ketidakpastian hukum. Alangkah baiknya ketentuan mengenai tata cara pengangkatan jabatan Hakim Konstitusi diatur secara expressis verbis dalam UUD NRI 1945 atau UU MK;

Kedua, kendatirumusanPasal22C Ayat (3)UUD 1945 berbunyi“ Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan tiga orang oleh Presiden”, sudah seyogianya direkonstruksi proses pengangkatan jabatan Hakim Konstitusi tidak melibatkan DPR dan Presiden karena tidak sesuai dengan asas separation of power dan prinsip check and balances. Oleh karena itu perlu diadakan amandemen UUD NRI 1945 berkenaan dengan substansi rekrutmen Hakim Konstitusi;

Ketiga, perlu dibentuknya Panitia Seleksi yang independen terbebas dari conflict of interest karena rasanya sukar menjaring Hakim yang mempunyai karakter negarawan jika yang melakukan seleksi memiliki konflik kepentingan. Susunan Panitia Seleksi terdiri dari para Ahli Hukum dan berbagai Profesi Hukum lainnya (advokat, Mantan Jaksa, Mantan Hakim) yang ditunjuk langsung oleh Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial;

Keempat, transapransi dan partisipatif merupakan kebutuhan yang urgensi bagi menghadirkan sosok negarawan sejati. Demi mewujudkan proses yang transparan dan partisipatif dalam proses pengangkatan jabatan Hakim Konstitusi,

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

148

perlu diadakan uji publik terhadap kandidat Hakim Konstitusi, dengan konsekuensi diterima atau ditolak oleh rakyat, jika diterima Ketua Mahkamah Agung menetapkan dan melantik Hakim terpilih namun jika ditolak akan dilakukan seleksi ulang. Urgensi melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan Hakim Konstitusi guna menghasilkan Hakim Konstitusi yang berintegritas dan berkepribadian yang tidak tercela, adil negarawan yang menguasai konstitusi.

III. PENUTUP

Syarat untuk menjadi hakim konstitusi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu syarat objektif dan syarat subjektif. Syarat objektif adalah untuk dapat menjadi Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi. Di samping itu ada syarat subjektif yang harus dipenuhi antara lain: a. warga negara Indonesia; b. berijazah doktor (strata tiga) dengan dasar sarjana (strata satu) yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;c. bertakwa kepadaTuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia; d. berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun; e. mampu secara jasmanidanrohanidalam menjalankan tugasdankewajiban; f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukumtetap; g.tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan h. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/ataupernah menjadi pejabat negara dan/atau untuk calon hakim yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagai hakim tinggi atau sebagai hakim agung.

Dari kedua syarat tersebut terdapat problematik hukum, pertama problematik filosofis yakni memaknai istilah “negarawan”menjadi rumit ketika pemerintah bersama DPR memaknai umur 55 tahun sebagai batas umur dikatakan negarawan, karena tidak ada parameter yang jelas, pada akhirnya hanya akan menutup kesempatan bagi anak bangsa yang memiliki pengalaman, integritas dan kualitas untuk menjadi Hakim Konstitusi. Kedua, perubahan masa jabatan dan dihapusnya periodesasi hanya untuk memberikan keuntungan bagi Hakim Konstitusi yang sedang menjabat ketika dipilih belum berumur 55 tahun.

149 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Mekanisme pengangkatan jabatan Hakim Konstitusi dengan menggunakan model representative atau split and quota, yaitu memberi “jatah” Presiden, DPR dan MA untuk “memajukan” tiga hakim konstitusi. Model split and quota yang diterapkan telah membuka ruang bagi institusi pemilih untuk memonopoli calon hingga akhirnya Hakim Konstitusi lahir dari egoisme pemilihnya dan menanggalkan sistem merit selection. Hal demikian disebabkan belum adanya standar baku yang mengatur mekanisme pengangkatan jabatan hakim konstitusi hingga akhirnya tidak memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu harus ada pengaturan yang baku mengenai tata cara, pemilihan, dan pengajuan Hakim Konstitusi guna menghindari ketidakpastian hukum (legal uncertainty).

Dalam proses pengisian jabatan Hakim Konstitusi sudah seharusnya tidak melibatkan DPR dan Presidenkarena tidak sesuaidengan asas separation of power. Perlu dibentuknya Panitia Seleksi yang independen terbebas dari conflict of interest karena rasanya sukar dan sumir menjaring Hakim yang negarawan jika yang melakukan seleksi memiliki konflik kepentingan. Urgensi melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan Hakim Konstitusi guna menghasilkan Hakim Konstitusi yang berintegritas dan berkepribadian yang tidak tercela, adil negarawan yang menguasai konstitusi.

150
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

A. Engstad, Nils et.al, The Independence of Judge, Den Haag: Eleven International Publishing, 2014.

Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Ginsburg Tom, Judicial Review in New Democracies Constitutional Courts in Asia Cases, Cambridge: Cambridge University Press, 2003.

Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2017. Mochtar, Zainal Arifin, Menegakkan Konstitusi Melawan Korupsi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2018.

Rishan, Idul, Kebijakan Reformasi Peradilan: Pertarungan Politik, Realitas Hukum, & Egosentrisme Kekuasaan, Yogyakarta: FH UII Press, 2018.

Saifudin, Partisipasi Publik dalam Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, Cetakan pertama Yogyakarta: FH UII Press, 2009.

Salahudin, Korupsi Demokrasi & Pembangunan Daerah, Cetakan Pertama Yogyakarta: Lapindo Bidos, 2012.

Subiyanto, Achmad Edi et.al (editor), Bagir Manan Keterangan Ahli di Mahkamah Konstitusi, Depok: Rajawali Pres, 2021

Wantu, Fence M., 2011, Idee Des Recht, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

JURNAL DAN PENELITIAN

Bulmer, Elliot, “Judicial Appointments”, International IDEA ConstitutionBuilding Primer 4, Harijanti, Susi Dwi, “Pengisian Jabatan Hakim: Kebutuhan Reformasi dan Pengekangan Diri”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Volume 21, Nomor 4, 2014.

Hardianto, Danang, “Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

151

Indramayu, et.al., “Rekonseptualisasi Seleksi Hakim Konstitusi Sebagai Upaya MewujudkanHakimKonstitusiyangBerkualifikasi” , Jurnal Lentera Hukum, Volume 4, Nomor 1, 2017.

Opeskin, Brian, “Model of Judicial Tenure: Reconsidering Life Limits, Age Limits and Term Limits for Judges”, Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 35, No. 4 2015.

Puspitasari, Sri Hastuti, “Pelibatan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengisian Jabatan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum,Volume 25, Nomor 25, 2018.

Subiyanto, Achmad Edi dan I Gede Hartadi Kurniawan, “Model Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Hasil Penelitian Universitas Esa Unggul, 2018.

Wantu. Fence M.,et.al., “Studi Efektivitas Sistem Rekrutmen dan Seleksi Hakim Konstitusi RI”, Hasil Penelitian Kerjasama Mahkamah Konstitusi Dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo, 2017.

Wijayanti, Winda. et.al., “Transparansi dan Partisipasi Publik dalam Rekrutmen Calon Hakim Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor4, 2015.

Windrawan Puguh, “Pergeseran “Kekuasaan Tipologi Ketiga; Fenomena Kekuasaan Ke Arah Constitusional Heavy” , Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4, 2012.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. UndangUndang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

PUTUSAN PENGADILAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1-2/PUU-XII/2014.

PutusanMahkamah KonstitusiRepublik Indonesia Nomor 100/PUU-XVIII/2020.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

152

INTERNET

Huzaini, M Dani Pratama. Independensi Diragukan, Mekanisme Pengisian Jabatan Hakim MK Perlu Dievaluasi, <https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a3740d8774f8/independensidiragukan mekanisme-pengisian-jabatan-hakim-mk-perlu-dievaluasi/>, diakses18 Januari 2020.

Saldi Isra “Selamatkan Jalan Hakim MK”, Opini Kompas, 24 Februari 2014. Setiawan, Adam. “Menemukan Hakim Negarawan”, Tribun, 7 Maret 2019.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

153

BIODATA PENULIS

Adam Setiawan, S.H., M.H. lahir di Samarinda Kalimantan Timur, 31 Agustus 1992. Menyelesaikan pendidikan Strata 1 di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta kemudian menyelesaikan pendidikan Strata 2 di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia dengan Bidang Kajian Umum Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, dan saat ini sedang melanjutkan studi Strata 3 di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia. Pekerjaan saat ini sebagai Dosen di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Aktif menulis baik dalam bentuk jurnal Aktif menulis baik dalam bentuk jurnal maupun buku antara lain: (1) Buku Sosiologi Hukum Kontemporer Analisis Kritis Terhadap Penegakan Hukum (2018); (2) Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Purwokerto “Partisipasi Civil Society dalam Pembentukan UndangUndang” (2018); (3) Jurnal Hukum dan Pembangunan Universitas Indonesia “Eksistensi Lembaga Pengawasan Pengelolaan Keuangan Negara” (2019); (4) Justitia Jurnal Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya “Kedudukan KPK dalam Sistem Ketatanegaraan Pascaditerbitkannya Revisi Undang- Undang KPK” (2020); (5) Jurnal Mimbar Hukum Universitas Gadjah Mada “Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab Pribadi dalam Penggunaan Diskresi” tahun 2020 JurnalVeritas et Justitia “Pelaksanaan

154 Volume
12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Fungsi Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia Terhadap Kepala Daerah” (2020); (6) Buku “Politik Hukum Indonesia: Teori dan Praktik” (2020); (7) Jurnal Supremasi Hukum: Kajian Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga “Analisis Yuridis terhadap Penataan Struktur Organisasi Kementerian dalam Rangka PeningkatanReformasi Birokrasi” (2021); (8) Buku Hukum Tata Negara Indonesia: Teori, Historis dan Dinamika I (2022); Jurnal Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan Universitas IslaM Negeri Alauddin Makassar “Transformation of Prophetic Law in Pancasila Values Viewed from the Wadas Village Conflict”.

Nehru Asyikin, S.H.,M.H. lahir di Pandan Agung Kabupaten OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan, lulus pendidikan Strata 1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (2010-2016), dan lulus pendidikan Strata 2 Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia dengan Bidang Kajian Umum Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (2017-2019). Berprofesi sebagai Advokat / Pengacara, mulai berkarir menjadi Advokat Magang di Lembaga Bantuan Hukum Aksa Bumi (2017-2019), Direktur Lembaga Bantuan Hukum Aksa Bumi (2019-2020), Pembela Umum Lembaga Bantuan Hukum Aksa Bumi (2020- sekarang), Peneliti di Pusat Penelitian Hak Asasi Manusia dan Pelayanan Publik Yayasan Aksa Bumi Yogyakarta (2018-2020).

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

155

Faiqah Nur Azizah

Peneliti pada Lembaga Hukum dan Kebijakan Publik Juris Polis Institute faiqahnurazizah@gmail.com

Athari Farhani

Peneliti pada Lembaga Hukum dan Kebijakan Publik Juris Polis Institute tarilaw835@gmail.com

Nur Kholifah

Peneliti pada Lembaga Hukum dan Kebijakan Publik Juris Polis Institute nkholifah849@gmail.com

Abstrak

Bagi masyarakat hukum adat, tanah ulayat merupakan suatu kesatuan yang tak dapat terpisahkan yang memiliki sifat religio-magis. Keberadaannya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun, seiring berjalannya waktu keberadaan masyarakat hukum adat dan tanah ulayat tergerus oleh perkembangan globalisasi akibat pertambahan penduduk dan pembangunan infrastruktur yang masif. Dengan demikian perlu suatu upaya pembaharuan hukum agraria yang dimaknai sebagai penataan atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan (P4T) atau dimaknai sebagai sumber-sumber agraria menuju struktur P4T yang berkeadilan dengan langsung mengatasi pokok persoalannya melalui reforma agraria. Dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan upaya harmonisasi aturan yang ada berkaitan dengan pertanahan, hukum adat dan masyarakat hukum adat.

Kata Kunci: Reforma Agraria; Tanah Ulayat; Masyarakat Hukum Adat.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

156
RESTRUKTURISASI PERTANAHAN DI INDONESIA DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN BAGI MASYARAKAT ADAT

Abstract

For customary law communities, ulayat land is an inseparable unit that has a religious-magical character. Its existence has existed long before Indonesia's independence. However, over time the existence of customary law communities and ulayat lands has been eroded by the development of globalization due to population growth and massive infrastructure development. Thus, there is a need for an effort to reform agrarian law which is interpreted as an arrangement for control, ownership, use and utilization (P4T) or interpreted as agrarian resources towards a just P4T structure by directly addressing the main issue through agrarian reform. In this case, the government needs to make efforts to harmonize existing regulations relating to land, customary law and customary law communities.

Keywords: Agrarian Reform; Customary Land; Customary Law Communities

157 Volume
JURIS LK 2 FHUI
12 Nomor 2, 2022

I. PENDAHULUAN

Dewasa ini, kondisi pertanahan di Indonesia masih mengalami banyak permasalahan seperti permasalahan tumpang tindih kepemilikan tanah, tanah terlantar, kebijakan pengelolaan pemanfaatan lahan, baik yang berkaitan dengan kebijakan pengadaan atas tanah, status tanah dan kepemilikan, hak-hak atas tanah, maupun metode untuk memperoleh hak-hak atas tanah. Belum lagi permasalahan sumber daya, sarana, dan prasarana, pengakuan tanah adat/ulayat yang masih terdapat kekaburan norma, terkait pendaftaran hak komunal atas tanah karena tidak jelasnya pengaturan terkait letak, batas dan batas tanah sebagaimana data fisik, dan tidak jelas status tanahnya serta kepemilikan bersama seluruh masyarakat hukum adat sebagai bukti yuridis dalam sertipikat hak atas tanah. Hal ini menunjukkan adanya tumpang tindih regulasi antara pengaturan yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional No. 10 Tahun 2016 khususnya yang berkaitan dengan data fisik dalam Pasal 1 angka 15 dan data yuridis dalam Pasal 1 angka 11, dengan yang ada dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang tidak mengakomodir hak komunal atas tanah.186 Belum lagi persoalan ganti rugi tanah. Seringkali ganti rugi tanah yang diberikan oleh pemerintah hanya berdasarkan ganti rugi secara fisik saja tanpa memperhatikan ganti kerugian non fisik secara bertanggung jawab terhadap tanah warga yang terkena dampak pembangunan untuk kepentingan umum,187 dan lain sebagainya Selain itu, hal yang paling mendasar dalam masalah pertanahan di Indonesia, khususnya terkait dengan masyarakat hukum adat adalah lemahnya pengakuan dan perlindungan hukum terhadap keberadaan masyarakat hukum adat itu sendiri. Konflik dalam penggunaan tanah dalam berbagai sektor pembangunan dikarenakan bertambahnya jumlahpenduduk, kelangkaan tanah dan kemunduran kualitas tanah, yang pada akhirnya menyebabkankemiskinan, sempitnya lapangan kerja, dan akses yang tidak seimbang dalam perolehan pemanfaatan tanah sehingga semakin

186 Wimba Roofi Hutama, “Eksistensi Hak Ulayat Pasca Berlakunya Peraturan Menteri Agraria Nomor 18 Tahun 2019”, Notaire ed. (2021), hlm. 492.

187 Iga Gangga Santi Dewi, “Konflik Tentang Ganti Rugi Non Fisik Pada Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum”, Jurnal Masalah-masalah Hukum ed. (2017), hlm. 283.

158 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

terdesaknya hak-hak masyarakat hukum adat.188

Tujuan dalam hukum agraria nasional diwujudkan melalui reforma agraria sebagaimana tertuang di dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyebutkan bahwa

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Tujuan tersebut juga tertuang dalam ketentuan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan ditindaklanjutidengan terbitnya Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria.189

Menurut hukum adat, hubungan antara masyarakat hukum adat dengan lingkungannya, khususnya dengan tanah adat yang diduduki dan didiami memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain bahkan dianggap sebagai satu kesatuan yang bersifat relegio-magis.190 UUPA menjelaskan bahwa kepemilikan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayat sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Untuk itu, negara harus hadir dalam rangka memberikan perlindungan dan pengakuan kepada masyarakat hukum adat dengan adanya institusi dan lembaga masyarakat yang menaungi kepentingan mereka dalam mengelola dan mengusahakan tanah yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat.191 Lebih lanjut, UUD NRI Tahun 1945 telah mengakomodir kepentingan masyarakat hukum adat tersebut, yakni tertuang dalam pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

188 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahaan Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 45.

189

Dessy Ghea Herrayani, et.al., “Eksistensi Hak Komunal Masyarakat Hukum Adat dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria,” Jurnal Kertha Patrika ed. (2019), hlm. 284.

190 Roberth Souhaly, Hukum dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, (Unesa UniversityPress: Surabaya, 2006), hlm. 50.

191 Dessy Ghea Herrayani, et.al., “Eksistensi Hak Komunal Masyarakat Hukum Adat dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria,” Jurnal Kertha Patrika ed. (2019), hlm. 285.

159

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

undang-undang.”

Pada prosesnya, pasca kemerdekaan sampai saat ini, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia mengalami 4 (empat) fase:192

Pertama, setelah kemerdekaan Indonesia, para The Founding Father telah merumuskan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dalam UUD NRI Tahun 1945, yang mana dikatakan bahwa di Indonesia terdapat 250 daerah-daerah dengan susunan pasti (zelfbesturende, volksgemeenschappen), seperti marga, desa, dusun, dan nagari. Pengaturan terhadap masyarakat hukum adat merupakan salah satu bentukpengakuandanperlindungandariUUD NRI Tahun1945 yang tidak terdapat dalam kontitusi-konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, seperti UndangUndang Dasar Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.

Kedua, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat telah diakomodir dalam peraturan perundang-undangan sejak tahun 1960 yang ditandai dengan lahirnya UUPA. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak ulayat dilakukan sepanjang masih eksis dan sesuai dengan kepentingan nasional serta harus selaras dengan aturan perundang-undangan di atasnya.

Ketiga, pada masa awal orde baru, pemerintah mengesahkan beberapa undang-undang yang di dalamnya juga mengatur masyarakat hukum adat beserta hak-haknya, diataranya adalah: Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) dan Undang-undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan (UU Pertambangan). Kedua undang-undang ini mengatur mengenai pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sepanjang masih ada keberadaannya.193 Pada perkembangannya, pengaturan pengakuan masyarakat hukum adat dalam setiap peraturan perundang-undangan yang diundangkan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1) dalam kenyataan masih ada; 2) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional; 3) tidak bertentangan dengan aturan

192 Hayatul Ismi, “Pengakuan Dan Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Adat Atas Tanah Ulayat Dalam Upaya Pembaharuan Hukum Nasional,” Jurnal Ilmu Hukum ed. (2012), hlm. 16-17. 193 Hayatul Ismi, “Pengakuan Dan Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Adat Atas Tanah Ulayat Dalam Upaya Pembaharuan Hukum Nasional,” Jurnal Ilmu Hukum ed. (2012), hlm. 1617. Lihat Pasal 17 UU Kehutanan dan Pasal 11 UU Pertambangan, beserta penjelasannya.

160

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

yang lebih tinggi; dan 4) ditetapkan dengan peraturan daerah. Konsep ini dikenal dengan konsep pengakuan berlapis. Dengan demikian, eksistensi dari masyarakat hukum adat harus memenuhi syarat sosiologis, politis, normatif, dan prosedural (ditetapkan melalui Peraturan Daerah). Di masa ini, eksistensi dari masyarakat hukum adat oleh undang-undang diberikan batasan-batasan. Keempat, pasca reformasi, yang menghasilkan beberapa pengaturan atas pengakuanterhadap masyarakat hukumadat. Berdasarkanketentuanpasal18B ayat (2) UUD 1945 Amandemen Kedua, pasal 41 Tap. MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia II. Piagam HAM, pasal 6 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan ketentuan Undang-Undang lain yang terkait. Di masa ini, eksistensi masyarakat hukum adat juga sama sepertipada masa orde baru, yakni memiliki batasan-batasan yang berlapis.

Dengan demikian, sampai saat ini peraturan perundangan-undangan yang ada hanya sebatas pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat yang masih memiliki batasan-batasan. Hal ini menyebabkan posisi negara dalam melindungi masyarakat hukum adat menjadi tidak jelas dan aturan-aturan yang ada kerap kali menimbulkan penafsiran yang multitafsir sehingga tidak dapat mengakomodir tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat, bahkan sering meniadakan dan merugikan masyarakat hukum adat itu sendiri. Olehkarena itu, perlunya suatu upaya pengaturan restrukturisasipertanahan demi terwujudnya nilai-nilai keadilan bagi masyarakat hukum adat di Indonesia yang eksistensinya belum terlalu optimal diakui dan dilindungi oleh negara berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 dan berdasarkan tujuan darireforma agraria. Dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas lebih jauh mengenai bagaimana reforma agraria mengatur restrukturisasi tanah dan bagaimana reforma agraria mewujudkan keadilan bagi masyarakat adat.

II. PEMBAHASAN

REFORMA AGRARIA DALAM MENGATUR RESTRUKTURISASI PERTANAHAN

Secara etimologis, kata agraria berasal dari kata bahasa Latin ager yang artinya sebidang tanah (sacre). Kata bahasa Latin aggrarius meliputi arti yang ada

161 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

hubungannya dengan tanah, pembagian atas tanah terutama tanah umum, bersifat perdesaan. Kata reform merujuk pada perombakan, mengubah dan menyusun/membentuk kembali sesuatu menuju perbaikan. Dengan demikian reforma agraria dapat diartikan secara sederhana sebagai penataan kembali struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, buruh tani.194

Sementara pengertian reforma agraria yang lebih lengkap adalah suatu upaya sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatifcepat, dalam jangka waktu tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat ‘baru’ yang demokratis dan berkeadilan; yang dimulai dengan langkah menata ulang penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul dengan sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan produktivitas petani khususnya dan perekonomian rakyat pada umumnya.195

Sebagaimana dinyatakan oleh Christodoulou yang dikutip oleh Gunawan Wiradi, “Agrarian Reform is the offspring of Agrarian Conflict.”196 Pernyataan tersebut memberi arti bahwa reforma agraria adalah anak kandung konflik agraria. Artinya, lahirnya gagasan tentang perombakan struktur pemilikan/penguasaan tanah (yang juga dikenal dengan istilah “landreform,” berkembang menjadi “agrarian reform,” dan dalam bahasa Indonesia disebut “reforma agraria”) merupakan respon terhadap situasi konflik dalam masalah pertanahan. Karena itu, untuk memahami seluk beluk reforma agraria, perlu juga dipahami dulu masalah konflik agraria.

Sebagaisuatu gejala sosial, konflik agraria adalah suatu situasiproses, yaitu

194 Oswar Mungkasa, “Reforma Agraria: Sejarah, Konsep dan Implementasinya, Buletin Agraria Indonesia” ed. (2014), hlm. 1.

195 Bonnie Setiawan, “Konsep Pembaruan Agraria: Sebuah Tinjauan Umum”, dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Dianto Bachriadi, Erpan Faryadi, dan Bonnie Setiawan (ed.), (Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Univ. Indonesia, 1997), hlm. 3-38.

196 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 42.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

162

proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas objek yang sama, yaitu tanah dan bendabenda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air, tanaman, tambang, dan juga udara yang berada diatastanah yang bersangkutan. Pada tahapansaling “berlomba” untuk mendahului mencapai objek itu, sifatnya masih dalam batas “persaingan.” Akan tetapi, pada saat mereka saling berhadapan untuk memblokir jalan lawan, terjadilah “situasi konflik.” Jadi, “konflik adalah bentuk ekstrim dan keras dari persaingan.”

Kunciutamauntuk memahami konflik agraria adalahkesadaran kita sendiri, yaitu sejauh mana kita menyadari bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang sangat vital, yang melandasi hampir semua aspek kehidupan. Bukan saja sekedar sebagai aset, tetapi juga merupakan basis bagi teraihnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik. Ketimpangan dalam hal akses terhadap tanah akan sangat menentukan corak masyarakat dan mencerminkan dinamika tertentu hubungan antar lapisan masyarakat tersebut.197

Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia karena tanah adalah sumber dari kehidupan, kekuasaan, dan kesejahteraan. Eksistensi tanah memiliki artidalamkehidupan manusia sekaligus memiliki fungsiganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Dalam perannya sebagai social asset, tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk kehidupan dan penghidupan. Sedangkan, perannya sebagai capital asset, tanah sebagai faktor modaldalam pembangunan. Pengaturan soal pertanahan atau agraria, telah disadari oleh negara-negara di dunia sejak berabad-abad lamanya. Pembaharuan pertanahan/agraria dilakukan untuk memenuhi asas keadilan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana sifatnya yang multidimensional tersebut dan sarat dengan persoalan keadilan, persoalan-persoalan pertanahan seakan tidak pernah surut.198

Berbagai macam konflik yang ada dalam bidang pertanahan di Indonesia

197 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 43.

198 Suwardi dan Arief Dwi Atmoko, “Pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis,” ed. (2019), hlm. 230.

163 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

disebabkan oleh beberapa hal seperti keterbatasan ketersediaan tanah pada suatu wilayah yang berkonflik, tumpang tindih antara hak milik dan hak pengelolaan atas tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, praktek manipulasi tanah dalamperolehan hak, adanya dualisme kewenanganantara pusat dandaerah tentang urusan pertanahan. Konflik tersebut kerap kali merugikan masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh politik hukum agraria itu sendiri. Sebagai landasan konstitusional bagi pembentukan politik hukum di bidang agraria telah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 33 ayat (3) yang berisi perintah kepada negara bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Harapan mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya untuk kesejahteraan tidak terlalu berdampak signifikan terutama setelah dikeluarkannya kebijakan berkaitan dengan pendistribusian tanah. Hal ini memunculkan fenomena penjualan tanah dan berbagai persoalan yang semakin kompleks seiring digiatkannya pembangunan-pembangunan untuk sarana dan kepentingan umum, sedangkan kebutuhan akan ketersediaan tanah berbanding lurus dengan meningkatnya pembangunan. Dengan demikian perlu suatu upaya pembaharuan hukum agraria yang dimaknai sebagai penataan atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) atau dimaknai sebagai sumber- sumber agraria menuju struktur P4T yang berkeadilan dengan langsung mengatasi pokok persoalannya. Apabila makna ini didekomposisi, terdapat lima komponen mendasar di dalamnya, yaitu: (a) restrukturisasi penguasaan aset tanah ke arah penciptaan struktur sosial-ekonomi dan politik yang berkeadilan (equity) (b) sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasis keagrariaan (welfare); (c) penggunaan/pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainnya secara optimal (efficiency); (d) keberlanjutan (sustainability), dan (e) penyelesaian sengketa tanah (harmony).199

Upaya pembaharuan pertanahan atau pembaharuan hukum agraria lebih dikenal sebagai konsep reforma agraria, yakni mengarah pada peningkatan

199 Diyan Isnaeni, “Kebijakan Landreform Sebagai Penerapan Politik Pembaharuan Hukum Agraria yang Berparadigma Pancasila,” JU-Ke: Jurnal Ketahanan Pangan ed. (2017), hlm.84-85.

164 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

kesejahteraan masyarakat dan untuk mengatasi berbagai persoalan tanah serta masalah pengelolaan sumber daya alam.

Reforma agraria di dunia pertama kali dikenali pada jaman Yunani Kuno di masa pemerintahan Solon (sekitar 549 SM) yang ditandai dengan diterbitkannya undang-undang agraria (Seisachtheia). Undang-undang ini diterbitkan untuk membebaskan Hektemor (petani miskin yang menjadi penyakap/penggarap tanah gadaian atau bekas tanahnya sendiri yang telah digadaikan pada orang kaya) dari kondisi pemerasan oleh pemegang gadai. Usaha ini dilanjutkan oleh Pisistratus melalui program redistribusi disertai fasilitas kredit.

Pada belahan dunia lain, di Roma pada zaman Romawi Kuno, telah dimulai reforma agraria dalam bentuk redistribusi tanah milik umum untuk mencegah pemberontakan rakyat kecil. UU Agraria (Iex Agrarian) berhasil diterbitkan pada 134 SM yang intinya membatasi penguasaan tanah dan redistribusi tanah milik umum. Sementara di Inggris, reforma agraria dikenal sebagai enclosure movement, yaitu pengaplingan tanah pertanian dan padang penggembalaan yang tadinya disewakan untuk umum menjadi tanah individu.200

Konsep reforma agraria merupakan restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria (khususnya tanah).Tujuannyaadalah mengubahsusunanmasyarakat warisan stelsel feodalisme dan kolonialisme menjadi masyarakat yang adil dan merata.201 MenurutBernhard Limbong, reforma agraria (Land Reform) menjadi dasar yang kokoh bagistabilitas ekonomi dan sosial. Tidak hanya itu, juga dapat menjadi dasar bagi pengembangan kehidupan masyarakat yang demokratis. Program ini akan menjadipeluang besar terjadinya pembentukan modal di perdesaan sebagai dasar dari prosespembentukan industrialisasi yang kokoh.202

Landasan utama reforma agraria (landreform) tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

200 Oswar Mungkasa, “Reforma Agraria: Sejarah, Konsep dan Implementasinya, Buletin Agraria Indonesia” ed. (2014), hlm. 4.

201 Muhammad Ilham Arisaputra, “Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan” Rechtldee Jurnal Hukum ed. (2015), hlm. 42.

202 Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan, (Jakarta: Margaretha Pustaka, 2012), hlm.171.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

165

dalamnya dikuasaioleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sehingga secara historis dapat dikatakan bahwa upaya pengaturan pertanahan, termasuk landreform, di Indonesia telah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan. Hal ini kemudian ditindaklanjuti melalui UUPA, yang penyelenggaraannya diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria Pasal 3.203

REFORMA AGRARIA DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN BAGI MASYARAKAT HUKUM ADAT

Tanah merupakan kebutuhan, hal itu mendorong setiap manusia berusaha untuk memilikinya. Kebutuhan terhadap tanah bersifat pokok. Hal itu pula yang menurut Rosnidar Sembiring menjadikan tanah memiliki kedudukan tinggi dalam kehidupan manusia, yakni sebagai tempat lahir, tumbuh besar, tinggal, sumber nafkah dan menjadi tempat ketika meninggal dunia. Dengan berkembangnya jumlah penduduk di Indonesia, maka kebutuhan tanah semakin meningkat dan lahan yang dikuasai semakin luas. Dalam perkembangannya dengan kondisi yang demikian, kebutuhan tanah semakin meningkat, lahan tanah semakin terbatas, semakin kuatnya hak perorangan dalam penguasaan tanah, sehingga akan semakin menipisnya hak-hak komunal dalam penguasaan dan pemilikan tanah.204

Sementara itu, konflik agraria yang merebak selama ini adalah tanda lain dari perlu dilaksanakannya reforma agraria karena konflik agraria itu sendiri merefleksikan pudarnya keadilan agraria di dalam suatu masyarakat (negara). Reforma agraria dimaksudkan untuk menjawab ketimpangan dan konflik yang timbul. Konflik agraria selain merupakan akibat tidak dilaksanakannya reforma agraria, juga dapat terjadi dalam proses reforma agraria apabila persiapannya tidak matang. Karena itu, untuk mencegah terjadinya konflik yang biasanya menyertai pelaksanaan reforma agraria, maka reforma agraria perlu dipersiapkan dengan matangdengan memenuhiberbagaiprasyarat yangdiperlukan. Perannegara(dalam

203 Oswar Mungkasa, “Reforma Agraria: Sejarah, Konsep dan Implementasinya, Buletin Agraria Indonesia” ed. (2014), hlm. 6.

204 Rosnidar Sembiring, Hukum Pertanahan Adat, (Depok: Rajagrafindo Persada, 2017), hlm.3.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

166

hal ini: pemerintah) sangat penting, bahkan tidak tergantikan dalam pelaksanaan reforma agraria, termasuk menyediakan prasyarat-prasyaratnya. Prasyarat pelaksanaan reforma agraria yang dimaksud meliputi: (1) kemauan politik, (2) data keagrariaan yang lengkap dan akurat, (3) adanya organisasi tani yang kuat, (4) elit politik dan elit bisnis yang harus terpisah, dan (5) dukungan dari angkatan bersenjata.

Reforma agraria di Indonesia sebenarnya telah dimulai saat UUPA itu lahir. Pada saat itu fokus pemerintah terhadap pertanahan di Indonesia yakni melakukan penataan dan redistribusi tanah pertanian, atau yang dikenal sebagai Land Reform yang merupakan inti dari Agraria Reform. 205 Eksistensi UUPA ini juga merupakan salah satu wujud yuridis formal untuk mengimplementasikan amanat UUD NRI Tahun 1945 Pasal33 ayat (3) yakni “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” yang selanjutnya disusun melalui 8 (delapan) prinsip sebagaimana termaktub dalam UUPA, sebagai berikut: Pertama, Asas Kenasionalan (Pasal1 jo. Pasal9 UUPA); Kedua, Asas Hak MenguasaiNegara dan Penghapusan Pernyataan Domain (Pasal 2 UUPA); Ketiga, Asas Pengakuan Terhadap Hak Ulayat (Pasal 3 UUPA) dan Dasar Pengakuan Hukum Adat Sebagai Dasar HukumAgraria Nasional(Pasal 5 UUPA); Keempat, Asas FungsiSosial Hak Atas Tanah (Pasal 6 UUPA); Kelima, Asas bahwa Waarga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik (Pasal 9 jo. Pasal 21 ayat (1) UUPA); Keenam, Asas Persamaan Derajat Laki-laki dan Perempuan (Pasal 9 ayat (2) UUPA); Ketujuh, Asas Agrarian Reform dan Land Reform (Pasal 7 jo. Pasal 10 jo. Pasal 17 UUPA); dan Kedelapan, Asas Perencanaan Atas Tanah (Pasal 14 UUPA).206 Secara khusus keberadaan dari UUPA terdapat sikap ambivalen pemerintah terhadap hukum adat dan masyarakat hukum adat. Pada satu sisi, undang-undang ini secarategas menyatakan bahwa hukumadat merupakan sumber Hukum Agraria

205 Muhammad Ilham Arisaputra, “Access Reform Dalam Kerangka Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Keadilan Sosial,” Jurnal Perspektif ed. (2016), hlm. 84.

206 Muhammad Ilham Arisaputra, “Access Reform Dalam Kerangka Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat”, (Disertasi Program Doktor Universitas Airlangga, Surabaya, 2015), hlm. 1-2.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

167

Nasional. Namun di sisi lain, eksistensi dari masyarakat hukum adat dan hakhaknya dibebani oleh beberapa kondisionalitas secara cepat atau lambat dapat membuka peluang termarginalisasikannya eksistensi dari masyarakat hukum adat tersebut.207 Beberapa kelemahan yang ada menurut Maruarar Sihaan dikarenakan keraguandan belumrampungnya penelitian yang dilakukan oleh legislatorterhadap proses pembentukan UUPA pada kondisi geografis masyarakat hukum adat yang terdapat di luar pulau Jawa, akibatnya bentuk hak ulayat tidak masuk dalam kelompok hak atas tanah, dan ketentuan konversi tidak mengatur hak-hak adat atas tanah berdasarkan hak ulayat.208 Sehingga instrumen hukum yang terdapat dalam UUPA belum sepenuhnya dapat mengakomodir kepentingan hukum adat dan masyarakat hukum adat. UUPA dianggap belum tuntas menyelesaikan permasalahan yang diwariskan oleh penjajahan Belanda yakni eksploitasi dan feodalisasi terhadap masyarakat hukum adat. Adapun dalam aturan lain seperti dalam pasal 4 huruf j Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. IX/MPR/2001 menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat harus diakui oleh Reforma Agraria, sedangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 masyarakat hukum adat tidak disebutkan sebagai subjek dari Reforma Agraria. Hal ini akan memicu konflik agraria di kemudian hari karena seolah-olah aturan yang ada menegasikan eksistensi dari masyarakat hukum adat yang ada. Pembagian sertifikat tanah tentu belum dapat dikatakan efektif dalam memberikan rasa keadilan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, tapi juga harus diimbangi dengan pembagian redistribusi dan penyediaan akses bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang menjadi subjek reforma agraria. Dapat berupa penyediaan sarana prasarana seperti infrastruktur, pendampingan, pasar, permodalan, teknologi dan lain-lain. Dengan demikian, masyarakat dapat meningkatkan kapasitasnya. Sehingga manfaat dari program pemerintah berupa reforma agraria yang terdiri dari penataan aset dan

207 Darwin Ginting, “Politik Hukum Agraria Terhadap Hak Ulayat Mayarakat Hukum Adat,” Jurnal Hukum dan Pembangunan ed. (2012), hlm. 30-31.

208 Maruar Sihaan, “Pengakuan Dan Perlindungan Hak Ulayat: Aspek Penting Pembangunan Indonesia Menuju Sebesar-Besar Kemakmuran Rakyat,” Jurnal Ketatanegaraan ed. (2018), hlm.75.

168 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

pemberian akses dapat dirasakan oleh masyarakat,209 khususnya oleh masyarakat hukum adat.

Selain itu, dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat hukum adat melalui program reforma agraria, pemerintah perlu melakukan upaya harmonisasi aturan yang ada berkaitan dengan pertanahan, hukum adat dan masyarakat hukum adat, seperti UUPA, UU Perhutanan, UU Pertambangan, dsb. Sehingga eksistensi masyarakat hukum adat yang telah ada sejak sebelum kemerdekaan ini tidak tergerusolehketidakpastianhukum yang saling tumpang tindih satu sama lain, serta oleh batasan-batasan aturan perundang-undangan yang sarat akan kepentingan politik. Sudah saatnya pemerintah melakukan restrukturisasi dengan melihat tujuan awal reforma agraria yakni memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Reforma Agraria adalah basis pembangunan progresif berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat pemerasan. Pembangunan yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat adalah untuk merombak struktur pertanahan guna merealisasikan keadilan sosial. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial, maka reforma agraria menjadi pijakan kebijakan pemerintah yang penting dalam memberikan kepastian hukum terhadap kepemilikan tanah. Dengan demikian, reforma agraria mencangkup semua sumber-sumber agraria, seperti perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan lain-lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 UUPA. Termasuk hak-hak komunal dari masyarakat hukum adat. Sehingga jika diberikan kepastian hukum kepada masyarakat hukum adat, seperti didaftarkannya hak komunal pada instansi atau kantor pendaftaran tanah maka masyarakat hukum adat dapat meningkatkan produktivitas dari hasil pertanahan.210

III. PENUTUP

Tanah memiliki kedudukan tinggi dalam kehidupan manusia, yakni sebagai tempat lahir, tumbuh besar, tinggal, sumber nafkah, dan menjadi tempat ketika

209 Dessy Ghea Herrayani, et.al., “Eksistensi Hak Komunal Masyarakat Hukum Adat dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria,” Jurnal Kertha Patrika ed. (2019), hlm. 287.

210 Dessy Ghea Herrayani, et.al., “Eksistensi Hak Komunal Masyarakat Hukum Adat dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria,” Jurnal Kertha Patrika ed. (2019), hlm. 295.

169 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

meninggal dunia. Dengan berkembangnya jumlah penduduk di Indonesia, maka kebutuhan tanah semakin meningkat dan lahan yang dikuasai semakin luas. Sementara itu, konflik agraria yang merebak selama ini adalah tanda lain dariperlu dilaksanakannya reforma agraria karena konflik agraria itu sendiri merefleksikan pudarnya keadilan agraria di dalam suatu masyarakat (negara). Reforma agraria dimaksudkan untuk menjawab ketimpangan dan konflik yang timbul. Reforma agraria di Indonesia sebenarnya telah dimulai saat UUPA itu lahir. Pada saat itu fokus pemerintah terhadap pertanahan di Indonesia, yakni melakukan penataan dan redistribusi tanah pertanian atau yang dikenal sebagai Land Reform yang merupakan inti dari Agraria Reform Beberapa kelemahan terhadap proses pembentukan UUPA pada kondisi geografis masyarakat hukum adat yang terdapat di luar pulau Jawa, akibatnya bentuk hak ulayat tidak masuk dalam kelompok hak atas tanah, dan ketentuan konversi tidak mengatur hak-hak adat atas tanah berdasarkan hak ulayat. Sehingga, instrumen hukum yang terdapat dalam UUPA belum sepenuhnya dapat mengakomodir kepentingan hukum adat dan masyarakat hukum adat. Hal ini akan memicu konflik agraria di kemudian hari karena seolaholah aturan yang ada menegasikan eksistensi darimasyarakat hukumadat yang ada. Sehingga, manfaat dari program pemerintah berupa reforma agraria yang terdiri dari penataan aset dan pemberian akses dapat dirasakan oleh masyarakat, khususnya oleh masyarakat hukum adat. Selain itu, dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat hukumadat melalui program reforma agraria, pemerintah perlu melakukan upaya harmonisasi aturan yang ada berkaitan dengan pertanahan, hukum adat dan masyarakat hukum adat, seperti UUPA, UU Perhutanan, UU Pertambangan, dsb. Sehingga, eksistensi masyarakat hukum adat yang telah ada sejak sebelum kemerdekaan ini tidak tergerus oleh ketidakpastian hukum yang saling tumpang tindih satu sama lain, serta oleh batasan-batasan aturan perundangundangan yang sarat akan kepentingan politik. Reforma Agraria adalah basis pembangunan progresif berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat pemerasan. Pembangunan yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat adalah untuk merombak struktur pertanahan guna merealisasikan keadilan sosial.

170
Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Limbong, Bernhard. Konflik Pertanahan. Jakarta: Margaretha Pustaka.2012.

Sembiring, Rosnidar. Hukum Pertanahan Adat. Depok: Rajagrafindo Persada. 2017.

Setiawan, Bonnie. “Konsep Pembaruan Agraria: Sebuah Tinjauan Umum”, dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Dianto Bachriadi, Erpan Faryadi, dan Bonnie Setiawan (ed.). (Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Univ. Indonesia, 1997)

Souhaly,Roberth. Hukum dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. UnesaUniversity Press: Surabaya. 2006.

Sumardjono, Maria S.W. Kebijakan Pertanahaan Antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Kompas. 2001.

Wiradi, Gunawan. Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar. 2009.

JURNAL DAN MAJALAH

Arisaputra, Muhammad Ilham. Access Reform Dalam Kerangka Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Disertasi Program Doktor Universitas Airlangga Surabaya. 2015.

Arisaputra, Muhammad Ilham. Access Reform Dalam Kerangka Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Keadilan Sosial. Jurnal Perspektif ed. 2016. Arisaputra, Muhammad Ilham. Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan. Rechtldee Jurnal Hukum ed. 2015.

Dewi, Iga Gangga Santi. Konflik Tentang Ganti Rugi Non Fisik Pada Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Jurnal Masalah-masalah Hukum ed. 2017.

Ginting, Darwin. Politik Hukum Agraria Terhadap Hak Ulayat Masyarakat

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

171

Hukum Adat. Jurnal Hukum dan Pembangunan ed. 2012.

Herrayani, Dessy Ghea, et.al Eksistensi Hak Komunal Masyarakat HukumAdat dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria. Jurnal Kertha Patrika ed. 2019.

Hutama, Wimba Roofi. Eksistensi Hak Ulayat Pasca Berlakunya Peraturan Menteri Agraria Nomor 18 Tahun 2019. Notaire ed. 2021.

Ismi, Hayatul. Pengakuan Dan Perlindungan Hukum Hak Masyarakat AdatAtas Tanah Ulayat Dalam Upaya Pembaharuan Hukum Nasional. Jurnal Ilmu Hukum ed. 2012.

Isnaeni, Diyan. Kebijakan Landreform Sebagai Penerapan Politik Pembaharuan Hukum Agraria yang Berparadigma Pancasila. JU-Ke: Jurnal Ketahanan Pangan ed. 2017.

Mungkasa, Oswar. “Reforma Agraria: Sejarah, Konsep danImplementasinya, Buletin Agraria Indonesia” ed. 2014.

Sihaan, Maruar. Pengakuan Dan Perlindungan Hak Ulayat: Aspek Penting Pembangunan Indonesia Menuju Sebesar-Besar Kemakmuran Rakyat. Jurnal Ketatanegaraan ed. 2018.

Suwardi dan Arief Dwi Atmoko. Pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia. Jurnal Hukum Bisnis ed. 2019.

Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

172

BIODATA PENULIS

Faiqah Nur Azizah lahir di TG. Balai Karimun, 24 September 1997. Faiqah menyelesaikan pendidikan Strata 1 di Fakultas Syariah Hukum UIN Syarif Hidayatullah dan Strata 2 di program Magister Hukum Pemerintahan Universitas Airlangga. Saat ini, Faiqah aktif menjadi Konsultan Hukum Kebijakan Publik. Ia juga aktif menulis jurnal, seperti Jurnal JuristDiction “Dilematika Antara Hak Pendidikan dan Hak Kesehatan Dalam Proses Pembelajaran di Masa Pandemi” (2022); Buletin Hukum ‘ADALAH “Konsep Penyalahgunaan Wewenang Dalam Penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Sebagai Tindak Pidana Korupsi” (2022); Buletin Hukum ‘ADALAH “Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Laut Di Wilayah Pesisir” (2022); Buletin Hukum ‘ADALAH “Perbandingan Sistem Perubahan Konstitusi di Negara Amerika, Perancis dan Indonesia” , (2022); dan “Ketiadaan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Yang Tidak Diikutkan Program Pensiun Dalam UU Cipta Kerja” (2022).

173 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Nur Kholifah lahir diPandeglang, 10 Juni1999. Nur menyelesaikan pendidikan Strata 1 di Fakultas SyariahHukumUIN Syarif Hidayatullah dan saat ini sedang menjalani program Magister Kenotariatan di Universitas Jayabaya. Ia juga aktif menulis jurnal, seperti “Kedaulatan Negara atas Ruang Udara Terhadap Pelayanan Flight Information Region (FIR) Singapura Perspektif Siyasah Kharijiyyah”, “Pemberlakuan KembaliGBHN Ditinjau dariAspek HierarkiPeraturan Perundang-undangan dan Konsep Musyawarah dalam Islam”, dan “Kesetaraan HAM di Muka Hukum Dalam Kerangka Negara Kesejahteraan”. Athari Farhani lahir di Tangerang, 1 Maret 1996. Athari menyelesaikan pendidikan Strata 1 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Strata 2 di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Athari aktif menulis buku dan jurnal, seperti buku Konstitusi & Ruang Angkasa (2020),jurnal Jurist-Diction “Dilematika Antara Hak Pendidikan dan Hak Kesehatan dalam Proses Pembelajaran di Masa Pandemi (2022); jurnal Cita Hukum “The Legal Implications of Exploration and Exploitation of Space Natural Resources for Indonesia” (2021); jurnal Konstitusi “Penguasaan Negara Terhadap Pemanfaatan Sumber Daya Alam Ruang Angkasa Menurut UUD NRI Tahun 1945” (2019).

174 Volume 12 Nomor 2, 2022 JURIS LK 2 FHUI

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.