![](https://assets.isu.pub/document-structure/230215052907-2b9b7000253b2dbf39b8796539142f1e/v1/c3f431cebf6868e4a8df2f556ef03f60.jpeg?crop=&height=3072&originalHeight=3072&originalWidth=2165&width=720&zoom=&quality=85%2C50)
7 minute read
Jendela Teologi :SANTAN KAMBING DARI KOREA SELATAN
SANTAN KAMBING DARI KOREA SELATAN
*)John H.L Serworwora, Ph.D.
Jika Anda mengunjungi pasar swalayan orang Yahudi masa kini, hampir dipastikan Anda tidak akan menemukan produk susu berdekatan dengan daging. Terdapat jarak yang memisahkan kedua produk makanan itu. Demikian pula jika keluarga Yahudi mengundang Anda untuk bersantap di rumah mereka, jangan berharap Anda akan dapat menikmati sarapan disertai daging dan susu pada saat yang bersamaan atau daging dan keju pada saat santap siang. Kedua hal ini hanyalah bagian kecil dari kosher, sebuah istilah yang merujuk kepada aturan-aturan mengenai apa yang boleh dimakan dan bagaimana menyantapnya sesuai dengan hukum-hukum keagamaan Yahudi yang mereka ambil dari Kitab-Kitab Musa. Pemisahan antara susu dan daging, baik di dalam penjualan maupun penyajiannya, merupakan penafsiran para rabi Yahudi akan apa yang diperintahkan oleh Musa kepada bangsa Israel di dalam Keluaran 23:19b, “Janganlah kaumasak anak kambing dalam susu induknya” (Osborn & Hatton, 1999).
Terdapat beberapa pandangan terhadap ayat ini dan aplikasinya di dalam kehidupan umat Allah. Jacob Milgrom, seorang rabi Yahudi, menjelaskan bahwa masyarakat purbakala sudah menjadikan susu dari induk hewan sebagai simbol dari kesuburan (Jacob Milgrom, 1985). Berbeda dengan praktik orang Yahudi masa kini, Casper J. Labuschagne lebih menekankan kepada unsur darah yang terdapat di dalam susu induk kambing. Memasak susu tersebut
![](https://assets.isu.pub/document-structure/230215052907-2b9b7000253b2dbf39b8796539142f1e/v1/40b3c0343a06eeb20fda6d0402486210.jpeg?width=2160&quality=85%2C50)
berarti menyertakan darah yang merupakan simbol kehidupan dan Allah secara tegas melarang umatNya untuk makan darah (Ul. 12:23). Oleh karena itu, larangan tersebut perlu diturunkan oleh Allah kepada umat-Nya (C. J. Labuschagne, 1992). Pendapat lain dikemukakan oleh Jack M. Sasson, seorang Guru Besar Yahudi, yang melihat kata “susu” lebih tepat diterjemahkan “lemak.” Sehingga untuk memasak dengan menggunakan lemak dari seekor induk kambing berarti kambing tersebut harus disembelih terlebih dulu. Membunuh seekor induk kambing yang sedang menyusui – yang seharusnya dapat diternakkan lagi – akan memberikan dampak negatif bagi usaha perkembangbiakan hewan tersebut (Jack M. Sasson, 2002). Atau, dengan kata lain seperti yang dipaparkan oleh John D. Hannah, sesuatu yang seharusnya memberikan kehidupan tidak sepantasnya dipakai untuk menghancurkan kehidupan (John D. Hannah, 1985).
Lantas, apa sesungguhnya yang dimaksudkan oleh Firman Tuhan kepada bangsa Israel sebagai penerima langsung perintah ini dan apa maknanya bagi kita orang non-Yahudi yang taat pada Firman
Tuhan dan hidup pada era modern ini? Perintah yang terkesan aneh ini terdapat tiga kali di dalam
Perjanjian Lama; selain Keluaran 23:19, perintah serupa terdapat di dalam Keluaran 34:26 dan Ulangan 14:21. Mengapa Musa perlu mengulangi perintah itu sebanyak tiga kali dan apa hubungannya dengan perintah yang terdapat sebelumnya, yaitu untuk membawa yang terbaik dari buah bungaran
haruslah dibawa kepada Tuhan? Sebagian sarjana
Alkitab, seperti Stuart, Hannah, dan Osborn, berpendapat bahwa Allah melarang bangsa
Israel untuk meniru apa yang menjadi praktik dari penyembah-penyembah berhala di sekitar mereka. Dengan kata lain, bangsa Israel dituntut untuk menjauhkan diri mereka dari kebiasaan (custom) dan kepercayaan (belief) kebudayaan lain.
Perlu diingat bahwa perintah, ketetapan, dan hukum yang diberikan oleh Allah kepada bangsa Israel pada waktu keluar dari Mesir adalah untuk membentuk mereka baik sebagai sebuah etnis, bangsa, dan juga umat pilihan Allah. Sebagian besar memang secara langsung merupakan perintah yang merupakan ketetapan yang Allah berikan kepada bangsa Israel untuk hidup sebagai umat pilihan-Nya. Misalnya, sepuluh Hukum Tuhan, korban-korban bakaran, kesucian hidup, dan lain-lain. Terdapat juga hukum-hukum yang kemudian menjadi landasan bagi mereka bernegara dan bahkan masih berlaku hingga saat ini. Pilihan Allah atas umat Israel menuntut mereka untuk memiliki kehidupan yang berbeda dari bangsa-bangsa di sekeliling mereka. Perintah untuk tidak mempersembahkan anak di dalam Imamat 18:21 merupakan salah satu larangan yang diberikan karena praktik-praktik yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain. Namun lebih utama lagi, perintah ini berhubungan dengan hukum pertama: Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku (Kel. 20:3).
Douglas K. Stuart di dalam New American Commentary berpendapat bahwa larangan untuk memasak anak kambing di dalam susu induknya merupakan praktik yang dilakukan oleh bangsa Kanaan sebagai upaya untuk memohon kesuburan atas usaha pertanian mereka (Douglas K. Stuart, 2006). Stuart menjelaskan bahwa praktik ini, seperti juga mengawinkan dua jenis benih yang berbeda, dilakukan untuk memperkuat kualitas panen kebun-kebun yang mereka tanami. Berangkat dari pemikiran bahwa susu merupakan faktor utama dalam memberikan pertumbuhan bagi anak kambing, maka mereka berkeyakinan bahwa akan ada kekuatan yang lebih dahsyat lagi jika anak kambing dipersembahkan sebagai masakan/ rebusan di dalam susu induknya. Perlu diingat bahwa ketika mempersembahkan korban di atas mazbah, bangsa Israel bukan saja membakar korban-korban tersebut tetapi juga memasak atau merebusnya (Ulangan 16:7). Hal ini juga dilakukan oleh bangsa Kanaan dan apa yang menjadi persembahan mereka kepada dewa-dewa mereka adalah daging anak kambing yang direbus di dalam susu induknya. Dengan melakukan hal ini, bangsa Kanaan memohon kepada dewa mereka yang memiliki kuasa atas hasil pertanian dan perkebunan untuk memberikan kesuburan.
Pendapat ini sesuai dengan konteks perikop tersebut yang sedang berbicara mengenai tiga
perayaan yang berhubungan dengan hasil panen mereka, yaitu Hari Raya Roti Tidak Beragi (ayat 15), Hari Raya Menuai (ayat 16), dan Hari Raya Pengumpulan Hasil (ayat 16b). Kalimat sebelumnya di dalam ayat 19 juga memberikan petunjuk bahwa Allah sedang berbicara mengenai persembahan yang harus diberikan kepada-Nya ketika Dia berkata, “Yang terbaik dari buah bungaran hasil tanahmu haruslah kau bawa ke dalam rumah TUHAN, Allahmu.” Ketika Allah memerintahkan umat-Nya untuk mempersembahkan yang terbaik dari hasil tanah mereka, Allah pun berjanji akan memberikan yang terbaik kepada mereka. Mempersembahkan daging anak kambing yang dimasak di dalam susu induknya sebagai upaya untuk memohonkan kesuburan, merupakan hal yang bertentangan dengan perintah Allah. Jelas di sini, kita dapat melihat bahwa kepercayaan bangsa Kanaan, yang kemudian kebudayaan mereka ditentang oleh Allah karena pada saat bangsa Israel meniru kebudayaan tersebut berarti mereka mengutamakan allah lain daripada kuasa dan kekuatan Allah Israel.
Perkembangan dunia yang global saat ini memungkinkan kebudayaan masyarakat tertentu ditiru dan dipraktikkan oleh masyarakat lain. Tren yang sedang berkembang di dalam masyarakat yang kemudian menjadi sesuatu yang terus-menerus menjadi pembicaraan, gaya hidup, dan sesuatu yang diagung-agungkan. Sehingga sadar atau tidak sadar akan menjadi ilah-ilah lain di dalam kehidupan kita. Sangatlah lumrah untuk seseorang menggandrungi drama-drama Korea layaknya seorang lain menjadi penggemar film-film Hollywood atau Bollywood. Adalah wajar bagi generasi muda untuk menjadi penggemar dari kelompok-kelompok musik Korea, seperti penulis juga menggemari The Beatles atau Air Supply pada tahun 80-an. Permasalahan yang timbul adalah ketika semuanya ini, baik drama Korea, musik Korea, film Hollywood, dan lain sebagainya
sudah menjadi yang prioritas di dalam kehidupan orang percaya dan menggantikan waktu yang seharusnya dapat dipakai untuk bercakap-cakap dengan Allah atau melayani Dia melalui tugas-tugas keluarganya.
![](https://assets.isu.pub/document-structure/230215052907-2b9b7000253b2dbf39b8796539142f1e/v1/19c4b72ae953468080256201b97b9960.jpeg?width=2160&quality=85%2C50)
Interaksi dengan bangsa lain adalah suatu keniscayaan bagi bangsa Israel. Larangan ini, dan juga ratusan perintah dan larangan lainnya, yang Allah berikan kepada bangsa Israel diberikan pada saat umat pilihan Allah ini masih belajar dan bertumbuh di dalam pengenalan mereka akan Allah. Kerinduan Allah agar umat pilihan-Nya mendedikasikan segala penyembahan mereka kepada Tuhan menuntut umat-Nya untuk tidak tenggelam dalam kebudayaan lain yang dapat merintangi mereka dalam berhubungan dengan Allah dan pada akhirnya membawa mereka jauh dari hubungan dengan Allah yang sejati. Seperti halnya dengan bangsa Israel, generasi muda Kristen yang sedang belajar dan bertumbuh di dalam pengenalan akan Allah perlu selektif di dalam menyelami kebiasaan yang diambil dari kebudayaan lain. Sangat tepat jika tulisan ini ditutup dengan mengutip pesan Paulus kepada jemaat di Roma 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
Penulis adalah Direktur Lembaga Literatur Baptis Pertanyaan atau interaksi tentang artikel ini dapat dikirimkan melalui jserworwora@gmail.com
Editor: Trisanti Karolina Napitu