Hindia Belanda. Serangan ini tidak hanya muncul melalui tokoh Hijdo. Tokoh lainnya, Raden Ajeng Woengoe, melakukan hal serupa. Dia menolak mentahmentah cinta Controleur Walter. Woengoe lebih memilih mempertahankan cintanya pada Hidjo, sekali pun pujaannya itu sudah bertunangan. Penolakan ini juga menyadarkan Walter bahwa dirinya tidak berdaya di hadapan perempuan Jawa. Bahkan dengan derajatnya sebagai bangsa Belanda sekaligus controleur–controleur merupakan jabatan yang bertugas mengawasi bupati, hanya diisi oleh orang-orang berkebangsaan Belanda.
Penolakan dan pencampakkan. Begitu lah cara Marco menghina Belanda dan memperoleh kemenangan kecilnya. Hal ini berhasil berkat gaya penceritaan Marco yang memposisikan semua tokohnya setara. Atau malah, kesetaraan merupakan gagasan dasar dari ceritanya. Ini bisa dilihat sejak Marco menggambarkan Hidjo yang berusaha menaikkan derajat lewat pendidikan, bukan lagi melalui garis keturunan. Kemudian, pengalaman semasa Hijdo di Belanda bahwa dia bisa memerintah orangorang di negeri tersebut. Hal yang tidak akan ditemukan di kampungnya, Hindia Belanda.
Novel pendek yang mengambil latar waktu 1913-1914 ini bisa memperkaya imajinasi kita tentang situasi Jawa di tahun-tahun tersebut. Lebih dari itu, novel ini bisa menjadi jembatan untuk memahami cara pandang Marco tentang zamannya. Zaman yang membuat dia menolak menyerah menyerang kekuasaan kolonial. Meski berkali-kali dipenjara karena tuduhan presdelict –pasal karet yang dibuat untuk membendung kebebasan berpendapat yang dirayakan kaum pergerakan dengan mengkritik habis kekuasaan kolonial. Dan salah satu perayaannya, Student Hidjo. // Daniel (@batakdaniel)
WARTA MPA Edisi 1 2015
BUKAN HANYA RUTINITAS
PANDUAN BERPIKIR KRITIS DAN MERDEKA
KUNJUNGI
WWW.DIDAKTIKAUNJ.COM 8 
Warta MPA 2015
Edisi 1
1
Resensi Buku
Dari Redaksi
S
alam setengah merdeka. Ya, setengah merdeka. Sebab bangsa Indonesia belum menunjukan kalau bangsanya benar-benar merdeka total. Pendidikan, yang menjadi ruang untuk strategis untuk memerdekakan manusia, nyatanya masih mebentuk manusia-manusia robot yang patuh pada birokrasi. Oleh sebab itu, kami kembali hadir melalui buletin ini dengan gagasan-gagasan untuk memerdekan manusia. Wa bil khusus buletin ini diperuntukan bagi kalian para mahasiswa baru Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Untuk edisi pertama, kami menampilkan tiga rubrik. Dalam rubrik berita ada berita seputar Masa Pengenalan Akademik (MPA). Untuk berita kali ini kami mengkritisi tema MPA. Tema MPA kali ini adalah Membangun Jiwa Muda yang Berprestasi dan Berwawasan Global. Frase terakhir dari tema tersebut menjadi perhatian kami. Berwawasan global bisa memiliki seribu satu makna. Maknanya bisa saja membawa ke arah jurang keterpurukan bangsa Indonesia, atau justru malah membawa kesejahteraan. Melihat situasi yang berkembang saat ini, jurang keterpurukan menjadi hal yang perlu dikhawatirkan. Untuk menambah referensi soal itu, dalam rubrik opini kami coba membongkar di balik frase “berwawasan global” tersebut. Dan di rubrik resensi, masih satu garis tema besar soal wawasan global, kami meresensi buku Student Hijo karya Mas Marco. Pesan dari buku tersebut adalah soal kesetaraan antar manusia. Tentu ini kritikan keras terhadap wawasan global yang beraliran neoliberal, yaitu aliran yang justru merusak “kesetaraan” tersebut. Selamat membaca dan memahami! Buletin WARTA MPA diterbitkan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika. Universitas Negeri Jakarta. Gedung G lantai 3 Ruang G 304//083894266589//Twitter@ lpmdidaktika//lpm. didaktikaunj@yahoo.com
2
Warta MPA 2015
Kemenangan Kecil Dari Sebuah Fiksi
Susunan Redaksi Pemimpin Redaksi: Harsaid Yogo Sekertaris Redaksi: Latifah Editor: Daniel Fajar Virdika Rizky Reporter: Latifah, Fahri Naswati
Judul
: Student Hidjo Pengarang : Marco Kar todikromo Penerbit : Narasi Tahun Terbit : Cetakan II, 2015 Tebal : 140
Layouter: Harsaid Yogo
Lagi, sebuah karya dari penjara yang patut dibaca.
J
Daftar Isi Dari Redaksi Liputan Utama Opini Resensi
2 3-4 5-6 7-8
udulnya Student Hidjo, ditulis oleh Marco Kartodikromo semasa penahanannya di Weltevreden, Batavia, 1918. Novel ini berkisah tentang pemuda bernama Hidjo yang baru lulus dari Hogere Burger School (HBS). Pada masa penjajahan, HBS termasuk jenjang pendidikan tinggi yang bisa diakses bumipo-
etra, itu pun terbatas pada kalangan yang mampu secara sosial dan ekonomi. Di antaranya, para bangsawan dan saudagar kaya. Ayah Hidjo, Raden Protonojo, termasuk dalam kelompok yang belakangan disebut tadi. Tetapi, HBS dirasa belum cukup. Raden Protonojo berencana melanjutkan pendidikan Hidjo ke sekolah insinyur di Belanda. Ini merupakan upaya Protonojo untuk menaikkan derajat anaknya setingkat dengan bangsawan pemerintah. Sebab, statusnya sebagai saudagar masih dipandang rendah dibandingkan pegawai pemerintah. Usul ini segera ditentang sang istri, Raden Nganten Protonojo. Dia takut Hidjo bakal rusak karena pengaruh kebudayaan Belanda, khususnya soal perempuan. Dia sering mendengar tabiat buruk gadis-gadis di negeri tersebut. Apalagi, Hidjo sudah memiliki tunangan. Lebih dari itu semua, Raden Nganten sangat khawatir dengan keselamatan putra semata wayangnya itu. Demi meredakan kekhawatiran sang istri, Raden Protonojo mengingatkan tentang kepribadian Hidjo yang kuat. Pemuda itu sangat suka belajar, tidak banyak waktu yang disisakan untuk bermain. Hidjo juga tidak
Edisi 1
banyak bicara, kecuali halhal yang dianggapnya perlu. Karakter yang kaku sekali. Untung kekakuan ini tidak membuat Hidjo tergagap saat mengungkapkan cintanya pada Raden Ajeng Biroe, tunangannya. Dengan sejumlah kekhawatiran yang tersisa, sang ibu merestui kepergian anaknya. Sialnya, kekhawatiran itu menjadi kenyataan. Di Belanda Hidjo berselingkuh dengan Betje. Perkenalannya dengan gadis ini dimulai saat perjalanan berangkat menuju negeri kincir angin tersebut. Lewat perkenalan itu, Hidjo diijinkan indekost di rumah keluarga Betje. Hubungan keduanya pun berjalan makin intim. Modal kepribadian ternyata tak cukup membentengi Hidjo. Dia tidak mampu menahan hasrat seksualnya dengan Betje. Keadaan ini berlangsung hingga Hidjo memutuskan untuk menghentikan studinya agar terbebas dari perbuatan tercela ini. Meski tabu, perselingkuhan Hidjo bisa dilihat sebagai serangan Marco terhadap Belanda dalam novel ini. Marco menggambarkan betapa Betje, gadis dari bangsa penjajah itu, tergila-gila pada sosok Hidjo. Malah kemudian, Hidjo mencapakkannya begitu saja ketika pulang ke
7
Liputan Utama
Sekali lagi saya tegaskan. Dua kebijakan itu diimplementasikan agar Negaranegara di dunia menerapkan wawasan liberal: wawasan yang melepaskan segala mekanisme kehidupan kepada hukum alam. Siapa yang lebih kuat, dialah yang akan berkuasa, dialah yang akan meraup keuntungan besar, dialah yang mendapatkan kemakmuran. Tentu kita sepakat siapa pihak yang paling kuat. Ya, mereka adalah pihak yang memiliki modal besar – kalangan ini sering disebut dengan istilah kaum kapitalis. Dalam dunia modern seperti saat ini, ekonomi menjadi panglima. Orang bekerja
6
keras untuk memperoleh harta sebesar-besarnya. Orang berpolitik untuk menimbun harta sedalam mungkin. Sebagian ustadz berceramah untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Bahkan, Orang bersekolah untuk bekerja agar mendapatkan uang banyak. Maka tak heran, bila institusi pendidikan, dalam hal ini Perguruan Tinggi, memakai logika ekonomi: untuk memperoleh pendidikan kualitas, harus mengeluarkan uang banyak, seperti anda membeli barang berkualitas yang mengharuskan merogoh kocek yang dalam. Dan bahayanya lagi, ekonomi yang merasuk ke
Warta MPA 2015
dalam dunia pendidikan adalah ekonmi liberal. Ekonomi kerakyatan, yang berlandaskan keadilan sosial, kini hanya menjadi teks mati yang terpampang dalam kitab Undang-undang Dasar. Akses terhadap pengetahuan kian elitis. Yang pintar, ya, yang kaya. Yang kaya, ya, sudah pasti pintar. Mungkin tepat apa yang dikatakan oleh guru besar Universitas Negeri Jakarta, H.A.R Tilaar, yang mengutip perkataan George Ritzer, bahwasanya globalisasi for nothing diisi dengan glokalisasi, yaitu nilai-nilai, potensi, kesempatan-kesempatan, yang terdapat di dalam masyarakatnya sendiri. Dengan begitu kita bisa menghargai bangsa kita sendiri. “Jangan sampai kita menjadi “kikuk” di Negera-nya sendiri,” begitlah pesan dari sastrawan W.S Rendra dalam puisinya yang berjudul Seonggok Jagung. Jangan Anda berargumen kalau nilai budaya lokal Indonesia tidak bisa mensejahterakan. Sebab, paham liberal juga bagian dari nilai budaya lokal AS. Lalu kenapa kita tidak berani untuk menggunakan nilai-nilai budaya lokal? Seperti ekonomi kerakyatan. Tugas institusi pendidikan untuk menggerakkan, agar masyarakat Indonesia berani dan percaya diri untuk menggali dan mengembangkan nilai-nilai budaya lokal menjadi pakaian jiwanya. Beranikah? // Yogo (@ Yogohars)
Mahasiswa baru 2015 sedang mengikuti brieϔing
T
MPA, Bukan Hanya Rutinitas
ahun ajaran baru identik dengan Masa Pengenalan Akademik (MPA) yang menjadi ajang penyambutan bagi mahasiswa baru (maba) di seluruh universitas di Indonesia. Di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sendiri MPA diadakan selama 8 hari. 2 hari masa brieϔing dan 6 hari masa pelaksanaan sebagai penyambutan untuk 5.400 mahasiswa barunya. Kegiatan ini didasarkan pada surat keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor: 38/DIKTI/ Kep/2000 tentang pedoman
Edisi 1
penyelenggaraan penerimaan mahasiswa baru pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) di lingkungan departemen pendidikan nasional. Kemudian, diperkuat dengan surat keputusan Rektor UNJ nomor 347/SP/2000 tentang pedoman pelaksanaan MPA. Tahun ini tema yang diangkat yaitu “Membangun Jiwa Muda Berprestasi dan Berwawasan Global”. Menurut Ketua Pelaksana MPA Nadi Firas Huda tema tersebut merupakan gabungan dari ide panitia dan pihak rektorat. Sebelumnya, panitia
3
Opini mengusulkan tema “Membangun Jiwa Muda yang Merdeka dan Berprestasi”.Firas mengatakan usul menghilangkan kata “merdeka” berangkat dari anggapan bahwa kita telah lama merdeka. Penggantinya, “wawasan global” dirasa cocok dengan keadaan zaman saat ini. Abdul Kholik selaku staf kemahasiswaan memiliki pendapat terkait tema ini. “Kita harapkan dari caloncalon mahasiswa baru ini yang masih memiliki idealisme dan jiwa muda mempunyai prestasi sesuai bidangnya masing-masing, baik itu sosial, seni, olahragadan berwawasan global. Maksudnya, mereka sadar akan kondisi zamannya saat ini,” ucapnya panjang. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diadakan MPA yang berlangsung selama enam hari. Pelaksanaannya dibagi beberapa tahap, yaitu pembukaan pada Senin (24/08). Selasa (25/08) dilanjutkan dengan gelombang pertama untuk Fakultas Ekonomi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Teknik (FT) dan Fakultas Ilmu Pendidikan. Kemudian, gelombang kedua untuk Fakultas Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Fakultas Bahasa dan Seni dilanjutkan pada dua hari berikutnya. Terakhir, Sabtu (29/08) merupakan acara penutup. Rencananya MPA akan di-
4
laksanakan di kampus UNJ. Namun, karena keterbatasan tempat, pihak kampus terpaksa menyewa GOR Rawamangun untuk FT. Selain itu, permasalahan seperti komunikasi antar pihak kampus dengan panitia kampus, maupun panitia kampus dengan panitia fakultas dan jurusan masih sering terjadi. Contohnya, perbedaan tema yang diangkat kampus dengan fakultas dan jurusan, karena harus disesuaikan dengan latar budaya masingmasing fakultas dan jurusan. Meski begitu, menurut Firas hal ini tidak terlalu signi ikan dan sedapat mungkin dihindari. Terkait dengan isu perploncoan, Kholik merujuk pada keputusan yang dikeluarkan oleh dikti dan pihak rektorat. “Kita sangat menghindari kekerasan, apalagi sampai jatuh korban nyawa,” ungkapnya. Bila aturan ini dilanggar maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang terjadi seperti yang tertera dalam buku panduan untuk maba 2015/2016, halaman 30 pasal 17. Kemudian, Pembantu Rektor Bidang Akademik Mukhlis R.Luddin berpendapat bahwa MPA seharusnya diarahkan untuk memperkenalkan mahasiswa baru dengan semua komponen universitas, baik itu lingkungan kampus, dosen, administrasi, maupun budaya akademikn-
Warta MPA 2015
ya seperti tulis menulis. Agar nantinya dapat menghasilkan karya yang diakui secara nasional maupun internasional. Hal ini berangkat dari keinginan untuk meningkatkan kualitas UNJ yang minim produktivitas karya ilmiahnya. Bahkan, “budaya”copypaste(plagiarisme) masih terdapat dalam diri sebagian civitas akademika. Tidak hanya di UNJ, melainkan seluruh kampus di Indonesia.Berdasarkan penelitian dari The Chronicle of Higher Education menunjukkan 55 persen mahasiswa melakukan plagiat skripsi (kompasiana.com, 1/07/2013). Untuk mencapai hal tersebut, Mukhlis yakin hal ini bisa dicapai melalui pengenalan etika kehidupan kampus, pembentukan karakter, ditambah dengan Masa Pembinaan Mahasiswa Baru. Kegiatan yang disebut belakangan berlangsung pasca MPA. Tentunya, MPA diharapkan tidak hanya sebagai rutinitas tahunan dalam menyambut maba. Apalagi, menurut Firas pihak panitia universitas membutuhkan dana sekitar 50 juta rupiah untuk acara ini. Makanya, Firas berharap melalui acara ini bisa menghasilkan mahasiswa yang mengenal UNJ, cinta UNJ dan membanggakan UNJ. Selamat Berdialektika. // FAHRI (@kareystg109ap)
Dibalik Wawasan Global
A
rus globalisasi kian mengalir deras menuju relung-relung kehidupan masyarakat Indonesia. Kita makin sulit untuk mengidenti ikasi identitas manusia Indonesia. Dalam ber-fashion misalnya, manusia Indonesia kerap mengadopsi fashion-fashion asing. Bahkan, perilaku pun ikut tergerus oleh perilaku asing. Hal itu bisa dilihat berapa besar presentase masyarakat Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, yang masih menganut nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, seperti kerjasama. Yang terjadi justru sebaliknya, persainganlah yang saat ini menjadi nilai luhurnya. Dalam ranah perguruan tinggi misalnya, nilai persaingan kini kian terlihat taringnya. Saling sikut antar teman pun bisa terjadi, bila keegoisan dikedepankan. Keegoisan atau mementingkan kepentingan dirinya sendiri merupakan ciri dari paham liberalisme. Dengan demikian, paham liberalisme merupakan efek dari globalisasi. Universitas Negeri Jakarta (UNJ), sejauh pengamatan saya, kini makin terlihat bergerak menuju paham liberalisme tersebut. Hal ini
bisa terlihat di tema Masa Pengenalan Akdemik (MPA) yang salah satu pointnya adalah menciptakan mahasiswa berwawasan global. Dan diawal sudah saya singgung, wawasan yang berkembang di dunia global adalah wawasan liberalisme. Wawasan liberalism lahir dari Negara-negara Barat. Awal kemunculannya, wawasan liberal dipakai dalam ranah perekonomian. Diakhir 1920-an wawasan liberal menancapkan kakinya begitu dalam, sehingga sampai hari ini begitu sulit untuk kembali dicabut. Diakhir 1920-an ekonomi global mengalami depresi besar-besaran. Para ahli ekonomi – khsusunya dari Amerika Serikat (AS) dan Inggris – mengklaim depresi tersebut disebabkan kontrol Negara yang terlalu besar terhadap aktivitas ekonomi. Maka solusinya adalah memberikan aktivitas ekonomi sepenuhnya kepada tiap-tiap pelaku usaha. Negara dilarang ikut campur dalam aktivitas ekonomi tersebut. Ada beberapa metode yang dilakukan agar paham tersebut bisa menyebar ke seluruh Negara. Diantaranya adalah melalui kebijakan marshall plan dan dekolonisasi. Marshall plan
Edisi 1
yang kita kenal sebagai program bantuan untuk Negara berkembang, nyatanya memiliki peran penting dalam menginternasionalkan wawasan liberal. Dibalik pemberian bantuan tersebut, AS menginginkan laju perekonomian Negara berkembang bisa tumbuh. Harapanya agar masyarakat berkembang mampu membeli barang-barang dagangan maupun jasa. Sederhanya, melalui Marshall plan AS secara tidak langsung menciptakan masyarakat yang konsumtif. Dan, benar. Saat ini, Negara-negara berkembang hanya menjadi konsumen saja. Keuntungan besar didapat oleh Negara-negara produsen, dalam hal ini AS dan Negara-negara barat. Sementara itu, ada kebijakan dekolonisasi. Dalam kebijakan itu, AS menentang Negara-negara yang masih menjajah. Kebijakan dekolonisasi tujuan utamanya bukan untuk membebaskan Negara-negara terjajah, tapi untuk menyebarluaskan wawasan liberal kepada Negara-negara terjajah. Sebab, bila masih ada Negara yang dijajah, wawasan liberal akan sulit memasuki Negara yang dijajah tersebut. Hal itu dikarenakan terhalang oleh Negara penjajah.
5