Edisi No. 46/Th. XXX/2016
EDISI 46
Rp 20.000,1
ISSN 0215-7241
Redaksi menerima artikel maksimal 10.000 karakter (dengan spasi). Redaksi berhak mengedit artikel tanpa mengubah makna dan isi. Artikel yang dimuat akan mendapat imbalan yang layak dari redaksi. Untuk saran, kritik, serta komunikasi lanjut dapat hubungi kami di alamat kontak yang tercantum.
2
Pelindung Wakil Rektor III Pemimbing Jimmy Ph. Paat, DEA, DEA Pemimpin Umum Virdika Rizky Utama Sekretaris Umum Daniel Fajar Bendahara Umum Naswati Pemimpin Redaksi Yogo Harsaid Sekretaris Redaksi Latifah Sirkulasi dan Pemasaran Daniel Fajar, Fahri, Naswati Tim Redaksi Virdika Rizky Utama, Daniel Fajar, Yogo Harsaid, Latifah, Muhammad Fahri, Naswati, Hendrik Yaputra, Lutfia Harizzuandini, Annisa Fatiha, Annisa Nur Istiqomah, Yulia Adiningsih. Editor Yogo Harsaid, Daniel Fajar, Virdika Rizky Utama Tata Letak Yogo Harsaid Ilustrasi Dwi Zaka Maulana Refindo Fajar Taufik Hidayat Kulit Taufik Hidayat (DEPAN) Dwi Zaka Maulana (BELAKANG) Sekretariat Gedung G, Lantai 3, Ruang 304, Komplek UNJ. Jalan Rawamangun muka No.1 Jakarta timur, 13220 Email lpmdidaktikaunj@gmail.com Website www.didaktikaunj.com Facebook LPM Didaktika UNJ Twiiter @lpmdidaktika
Salam Setengah Merdeka! Puji Syukur dan terima kasih kepada semesta yang telah mendukung majalah DIDAKTIKA Edisi 46 terbit. Tak hanya itu, terbitnnya majalah kali ini didasari oleh semangat seluruh penggawa DIDAKTIKA yang ingin menyebarkan informasi dan gagasan kami kepada pembaca. Laporan utama pada edisi kali ini, kami membahas tema perpindahan pengelolaan Direktorat Pendidikan Tinggi (dikti) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) ke Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek). Perpindahan tersebut baru terlaksana pada 2014 lalu. Pemerintah beranggapan perpindahan tersebut dan mendorong budaya riset, kemudian hasil riset dari kampus berguna untuk industri. Namun, pada pelaksaannya masih jauh dari harapan. Tak hanya itu, perpindahan dikti ini bukan murni niatan pemerintah untuk mendorong riset, melainkan hanya untuk memindahkan anggaran dari kemendikbud ke kemenristek. Sudah menjadi rahasia umum, jika pemerintah sejak 2010 memberikan anggaran untuk dikti dalam hal riset. Kemudian, hal ini menjadi masalah bagi kampus Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) seperti UNJ. Dengan budaya riset yang masih minim dibandingkan kampus non-LPTK, kampus LPTK dipaksakan bersaing. Hasilnya, banyak riset hanya dilakukan hanya untuk mendapatkan dana besar tapi minim kualitas. Tak hanya itu, riset yang didorong untuk industri telah mengubah tujuan tri darma. Bukan pengabdian kepada masyarakat, melainkan kepada industri. Pada Rubrik Nasional, kami membahas tentang maraknya penggusuran demi melayani kepentingan pemodal terutama di Jakarta. Tentu saja, rakyat miskin menjadi korban. Hal ini yang dirasakan oleh warga Kampung Apung, Jakarta Utara. Demi melayani kepentingan pemodal dengan membangun perumahan, wilayah yang semula bernama Kapuk Teko terendam banjir abadi selama hampir 30 tahun. Tak ada ganti rugi dari pihak manapun. Pada Rubrik Suplemen, kami membahas konflik antara rakyat dan negara yang terjadi di wilayah Ujung Kulon, Banten. Beberapa warga sekitar tidak diperbolehkan mengambil Sumber Daya Alam (SDA), yang berada di kawasan Taman Nasional. Bagi yang melanggar akan dipidanakan. Tentu hal ini sangat merugikan rakyat. Bukankah negara ada untuk menjamin kehidupan dan melindungi rakyat? Sedangkan, Pada Rubrik Kampusiana kami membahas tentang pembangunan jilid II yang dilakukan oleh UNJ. Pembangunan ini bukan murnia karena ingin membangun. Pembangunan yang dilakukan UNJ ini dimaksudkan agar kembali mendapat dana hutang dari Islamic Develpomnet Bank (IDB) untuk membangun beberapa bangunan baru lainnya. Selain itu, banyak rubrik dan artikel menarik lainnya yang kami sajikan dalah majalah DIDAKTIKA 46 kali ini. Akhir kata, kami ucapkan selamat membaca dan berdialektika. Kami selalu menerima kritik dan saran dari pembaca, demi meningkatkan kualitas terbitan kami. Salam EDISI 46
3
EM BA CA TP RA SU
Lift Rusak di Gedung Baru Meski Universitas Negeri Jakarta (UNJ) memiliki empat gedung baru yang menggunakan seperti: Gedung Raden Ajeng Kartini, Gedung Dewi Sartika, Gedung Sertifikasi Guru dan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Perpustakaan. Rata-rata gedung tersebut terdiri dari 10 lantai. Akan tetapi, lift di semua gedung sering mengalami gangguan. Contohnya, lift di Gedung Sertifikasi Guru dan UPT Perpustakaan Namun, sering mengalami gangguan dengan tombol lift tersebut. Lift-lift tersebut kadang sering berhenti di lantai tertentu tanpa ada yang tahu penyebabnya. Akibatnya orang-orang yang menggunakan lift merasa waktunya terbuang percuma. Ukuran lift pun tak terlalu besar. Maka sering kali mahasiswa mengantre panjang untuk menggunakan lift. Tak hanya itu, sensor lift pun kurang sensitif.Ukuran lift di UPT juga tidak terlalu besar sehingga tidak mampu menampung orang banyak. Juga sensor lift tersebut kurang sensitif. Beberapa kali ada pengunjung yang hampir terjepit lift karena sensor lift yang kurang peka. Gusti Ayu Made HDS Mahasiswi Fakultas Ekonomi 2015
Wifi Berbayar Bikin Susah Mahasiswa Saat ini, kebutuhan internet sudah menjadi bagian yang tidak dipisahkan dari kehidupan seseorang. Di kalangan mahasiswa, hadirnya jaringan internet tanpa kabel—Wifi— memang sudah dirasakan manfaatnya. Wifi menjadi fasilitas yang sangat diminati oleh mahasiswa untuk mengakses berbagai informasi. Sayangnya, Wifi gratis yang ada di UNJ hanya tersedia di beberapa tempat saja. Contohnya, kampus tidak menyediakan Wifi gratis di Gedung Unit Kegiatan Mahasiswa—atau lebih dikenal dengan sebutan Guedung G. Padahal koneksi internet sangat dibutuhkan oleh pegiat organisasi. Sekarang ini, di UNJ lebih banyak Wifi berbayar atau Wifi.id yang disediakan oleh PT.Telkom dibanding Wifi gratis yang disediakan oleh kampus untuk mahasiswa. Wifiberbayar dirasa memberatkan mahasiswa. Musababnya, saban ingin melakukan koneksi, mahasiswa harus mengeluarkan uang untuk membeli pulsa. Lalu, bagaimana dengan kondisi mahasiswa yang kurang mampu? Saya sebagai mahasiswa mengharapkan pihak kampus meningkatkan pelayanan dengan menambah Hot-Spot untuk Wifi gratis untuk seluruh mahasiswa. Menurut saya kurang logis, jika mahasiswa harus membayar fasilitas yang ada di kampus sendiri. Duty Marsulan Mahasiswa Teknik Mesin 2012
Oknum Dosen yang tidak Demokratis Salam, Didaktika. Senang rasanya mengetahui bahwa majalah didaktika akan terbit kembali. Bersamaan dengan itu, saya ingin berbagi dengan kawan-kawan didaktika dan pembaca didaktika. Saya Mahasiswa Program Studi (Prodi) Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Beberapa minggu lalu, Badan Eksketuif Mahasiswa Prodi (BEMP) Sejarah ingin mengadakan bedah buku tentang D.N.Aidit, pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI). Anehnya, kegiatan ini justru ditentang oleh salah satu oknum dosen sejarah. Dia mengatakan, “Temanya terlalu “kiri”, kenapa tidak mendiskusikan tentang Islam saja. Lagi pula, ini merupakan salah satu skripsi mahasiswa sejarah. Itu sudah dibahas saat sidang skripsi. Jadi, tidak perlu lagi dibahas.” Hal ini tentu membuat saya merasa aneh. Bukankah kampus ini mimbar akademik? Segala hal boleh didiskusikan. Tapi, kenapa oknum dosen ini melarang. Selain itu, kita berkuliah di jurusan se-
4
jarah dan hidup di era reformasi. Jadi tidak perlu lagi ada larangan seperti itu. Bukankah stigma Aidit dan PKI pemberontak itu dibuat oleh Orde Baru. Sudah banyak sejarah yang digelapkan bahkan diubah oleh Orde Baru. Terlebih, oknum dosen tersebut bukan Kepala Prodi. Jadi, semestinya tak punya kewenangan untuk meralang. Saya kira, ini sebuah “penyakit” suatu sikap hipokrit. Kita mahasiswa diharuskan kritis, diharuskan banyak membaca, menulis, mendiskusikan apa pun oleh dosen. Tapi, ketika ada diskusi, malah dilarang. Saya kira cukup keluhan saya, semoga UNJ dapat menindak tegas siapaun yang bertindak seperti itu dan dapat menjamin kebebasan akademik. Salam. Nama ada pada redaksi Mahasiswa Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial.
LAPORAN UTAMA (8)
Pemisahan Dikti dari Kemendikbud Momen pemisahan Pendidikan Tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) terasa pas. Sebab, PT merasa kecewa dengan rumitnya birokrasi Kemdikbud dan kebijakankebijakannya dianggap sentralistik.
Nasional (20)
Kampung Apung yang Terisolasi Sejak ada pembangunan gedung pencakar langit, wilayah Kampung Apung mengalami banjir permanen
Suplemen (46) Konflik Agraria Ujung Kulon
Seni Budaya (40)
Tamu Kita (54) Phutut EA
Odong-odong dan Musiknya
Sastra (56)
Kolom (33)
Kampusiana (60)
Mengubah Pecundang Menjadi Pemenang
Opini (28) Pendidikan dan Perjuangan Kelas Kampus Mesin Hasrat
Karya (52) Cat Anti-Radar
Pembangunan UNJ
Resensi Buku (66) Mencari Sila Kelima Pengakuan
Kontemplasi (69) Meniru
DAFTAR ISI EDISI 46
5
BERANDA
Antara Birokrasi dan Komersialisasi Daniel Fajar
P
endidikan dan politik, dua hal yang sulit dipisahkan. Terlepas dari apapun kepentingan yang termuat di dalamnya. Pendidkian dapat menjadi entah itu sebagai alat pengenalan jati diri atau mesin pencetak sumber daya ekonomi berbentuk manusia. Proses pendidikan tetap bersifat politis. Jika tidak, maka negara tak akan mencantumkan bagaimana pendidikan akan diselenggarakan dalam konstitusi. Kostitusi lahir dalam momentum kemerdekaan, jadi dapat dikatakan bahwa tujuan pendidkan yang diselenggarakan oleh negara bertujuan untuk memerdekaan rakyatnya. Namun, makna kemerdekaan sepertinya terlalu luas. Sama luasnya dengan kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa�. Sehingga bermunculan interpretasi untuk memaknai cita-cita kemerdekaan itu dan bagaimana cara mendapatkannya. Pada kasus Pendidikan Tinggi, cita-cita kemerdekaan itu berbunyi: Terwujudnya pendidikan tinggi yang bermutu serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan inovasi untuk mendukung daya saing bangsa. Itulah visi pendidikan tinggi hari ini yang sekaligus menjadi visi lembaga-lembaga riset dan teknologi (ristek) nasional. Kini, keduanya sudah digabung dalam satu kementerian, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Alasan penggabungannya, pemerintah ingin memasifkan produk penelitian demi pembangunan. Apalagi, pemerintahan Jokowi sangat berorientasi pada pembangunan infrastruktur negara. Tersimpan harapan besar bahwa hasilhasil riset mampu berkontribusi dalam mensukseskan tujuan tersebut. Demi mewujudkannya, pemerintah membutuhkan sumber daya riset yang besar. Mengharapkan lembaga-lembaga ristek nasional saja tidak cukup. Menurut Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Iskandar Zulkarnain, jumlah rasio peneliti Indonesia hanya 90 peneliti per satu juta penduduk. Sementara di negara maju mencapai 700-5000 peneliti per satu juta penduduk (lipi.go.id). Oleh sebab itu, untuk menambah jumlah tersebut, salah satu lembaga yang potensial
6
ialah Perguruan Tinggi (PT). Lembaga ini, dianggap memiliki sumber daya riset dan dipercaya sebagai produsen ilmu pengetahuan. Kepercayaan itu bahkan tercantum dalam UndangUndang tentang Pendidikan Tinggi. Pada pasal 5 ayat c dikatakan: Pendidikan Tinggi bertujuan dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia. Di samping itu, momen pemisahan Pendidikan Tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) terasa pas. Sebab, PT merasa kecewa dengan rumitnya birokrasi Kemdikbud dan kebijakan-kebijakannya dianggap sentralistik. Banyak pihak menuntut otonomi sebagai jalan keluar. Agar bisa berkembang, PT harus memiliki kebebasan untuk mengelola kampusnya. Tidak bisa disangkal, otonomi memang syarat mutlak bagi PT. Campur tangan berlebihan dari pemerintah berisiko mencemari lingkungan akademik yang membutuhkan sikap objektif. Meski, objektivitas itu tidak sama dengan netral. Entah itu dari sistem pengelolaan atau proses pembelajaran, PT tidak memiliki kewajiban untuk membeo pada pemerintah, apalagi untuk melanggengkan kekuasaan. Namun, otonomi juga memiliki risiko, yaitu berhentinya aliran dana operasional dari pemerintah. Jika ini terjadi, maka kampus harus mencari sumber dana lain. Kemungkinannya dua, biaya kuliah atau investasi industri. Pilihan pertama jelas merugikan mahasiswa dan berpotensi membatasi akses masyarakat terhadap Pendidikan Tinggi. Sementara pilihan kedua, berisiko merubuhkan otonomi. Poin terakhir, sama saja kembali pada kondisi Pendidikan Tinggi di bawah Kemdikbud. Perbedaannya hanya pada pilihan subjek “tuan�-nya, apakah pemerintah atau korporat? Persoalan tersebut ditinggalkan dan pemerintah lebih memilih memfokuskan diri menggaet industri. Sebuah aturan sedang disusun tentang kompensasi terhadap perusahaan yang berinvestasi di Pendidikan Tinggi, khususnya dalam bidang riset.
Ini hanya akan mengembalikan pemerintah pada watak birokratis, yaitu sekadar memenuhi target angka. Jika watak birokratis tersebut belum berubah, apalah artinya pembentukan Kemristekdikti kalau bukan pembagian jatah kursi kekuasaan?
Kompensasinya bisa berupa pengurangan pajak. Bukankah ini sama saja dengan pemerintah yang membiayai? Wakil Rektor (WR) I Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Muchlis R. Luddin menyatakan bahwa hal tersebut tidak sama. Sebab, ada alur birokrasi yang diputus. Hal ini pun meminimalisir kemungkinan korupsi saat pencairan dana. Sehingga dianggap lebih efisien. Namun, perlu diperhatikan juga watak perusahaan yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Selain mendapat keuntungan pengurangan pajak, perusahaan tentu hanya akan berinvestasi pada PT yang mengadakan penelitian sesuai dengan kepentingan bisnisnya. Pemerintah seharusnya mencari solusi lain daripada harus bergantung kepada modal swasta. Misalnya, dengan memaksimalkan pendapatan pajak dan membuat aturan yang lebih sederhana dalam distribusi anggaran pendidikan. Hal yang juga penting adalah menaikkan alokasi anggaran pendidikan. Terakhir, terkait riset, pemerintah tidak perlu terpaku pada target angka-angka. Bahkan sampai mengadakan kompetisi untuk memotivasi kegiatan riset. Ini hanya akan mengembalikan pemerintah pada watak birokratis, yaitu sekadar memenuhi target angka. Jika watak birokratis tersebut belum berubah, apalah artinya pembentukan Kemristekdikti kalau bukan pembagian jatah kursi kekuasaan? EDISI 46
7
LAPORAN UTAMA
8
Mendorong Riset Lewat Birokrasi Di era kepemimpinan Jokowi memindahkan pengelolaan pendidikan tinggi (dikti) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) ke Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek). Hal ini otomatis mengubah nama lembaga yang terakhir tadi menjadi Kementerian Riset, Teknologi adan Pendidikan Tinggi (Kemristek-Dikti). Tentu perubahan terjadi bukan hanya pada nama, melainkan juga orientasi negara terhadap ketiga bidang tersebut.
EDISI 46
9
I
de penggabungan ini sudah dihembuskan sejak Januari 2014, sebelum pemilihan presiden berlangsung. Irman Gusman yang hadir sebagai pembicara dalam Temu Tahunan XVI Forum Rektor Indonesia mengklaim sebagai orang yang telah mengusung ide tersebut dan berhasil menjadikannya sebagai butir rekomendasi (KOMPAS, 6/3/2014). Dia berharap penggabungan Direktorat Pendidikan Tinggi dan Kemristek memudahkan upaya mensinergikan fungsi riset dan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan perguruan tinggi (PT). Sehingga, pencapaian riset dan IPTEK Indonesia lebih optimal. Berdasarkan laman pemeringkatan publikasi ilmiah www.scimagojr.com, dihitung sejak 1996—2014 Indonesia telah mempublikasi 32.353 jurnal ilmiah. Hal ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-57, di bawah tiga negara ASEAN lainnya, yaitu Thailand, Malaysia dan Singapura. Singapura yang berada di peringkat 32 telah mempublikasikan sebanyak 192.942 jurnal. Di sisi lain, Azyumardi Azra mengatakan justru ide penggabungan dikti dan ristek sudah digulirkan sejak 2008 (KOMPAS, 26/2/2014). Saat itu, Jusuf Kalla yang masih menjabat sebagai wakil presiden mengumpulkan berbagai pihak untuk merumuskan pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan yang akan direalisasikan pasca pemilu 2009. Tapi, berhubung Kalla gagal memenangkan pemilu, rumusan tersebut ditinggalkan. Azyumardi mengatakan beban kerja kemdikbud terlalu luas dengan tiga tingkatan pendidikan di bawah pengelolaannya. Sedangkan dikti dirasa semakin tersentralisasi di bawah kemdikbud. Agar lebih otonom, Guru Besar UIN itu pun yakin bahwa dikti memerlukan sebuah kementerian sendiri. Di samping itu, PT dinilai memiliki sumber daya yang potensial untuk mendorong pertumbuhan riset negara. Sayangnya, dana yang dimiliki PT sangat minim untuk penelitian. Azyumardi menilai penggabungan dikti dengan ristek bisa mengatasi persoalan tersebut. Dengan catatan, para dosen dan mahasiswa pasca sarjana didorong untuk memasifkan kegiatan riset di universitasnya masing-masing.
10
Mendengar kabar penggabungan tersebut, khususnya penekanan misi perguruan tinggi pada kegiatan riset, Daoed Joesoef memberikan tanggapannya melalui opini berjudul “Misi Perguruan Tinggi Kita” (KOMPAS, 18/2/2014). Dia mengaku terkejut sekaligus lega karena mengetahui akibat kekacuan PT selama ini disebabkan pengelolaannya berangkat dari kesalahpahaman tentang misi pendidikan keilmuan lembaga tersebut. Menurutnya, “PT memang menangani riset, tetapi tujuan esensialnya bukanlah menghasilkan sesuatu yang “siap pakai” di bidang kehidupan apa pun, melainkan membuat manusia berspirit ilmiah karena spirit inilah yang menggerakkan manusia untuk terus berusaha menyempurnakan pengorganisasian pengetahuan kita begitu rupa hingga menguasai semakin banyak potensi tersembunyi dalam alam dan pergaulan (interaksi) human.” Mantan Mendikbud era Orde Baru itu mengharapkan PT mampu menjadi tempat pembelajaran ketimbang mendorong produktivitasnya di bidang riset. Sebab produktivitas riset tidak akan optimal tanpa ditunjang kegiatan ilmiah yang mencakup keseluruhan kompleks dari ide, instrumen, lembaga, publikasi pemikiran dan riset, memedulikan karya orang lain serta diskusi interaktif. Dengan iklim seperti itu, PT akan mampu menyiapkan periset profesional yang akan bekerja di lembaga-lembaga riset, seperti BPPT, LIPI, kemristek dan lembaga-lembaga swasta di komunitas bisnis. Dalam nada yang tidak jauh berbeda Franz Magnis Suseno berkomentar tentang ukuran keberhasilan PT dalam tulisannya berjudul “Tempat Pendidikan Manusia Berkarakter”(Pendidikan Nasional: Arah Ke Mana?). Baginya yang menentukan bukan jumlah pengetahuan berapa pun modernnya yang disampaikan, bukan pula kepintaran dan kecanggihan jawaban-jawaban yang ditawarkan, melainkan apa universitas-universitas kita berhasil menciptakan iklim keterbukaan dan kebebasan kritis yang memungkinkan orang berani bertanya, mampu mencari bersama jawaban-jawaban terhadap tantangan-tantangan yang mereka hadapi, dalam keprihatinan bersama, dalam kejujuran dan keterlibatan pada masa depan bangsa. Terkait dana penelitian, H.A.R. Tilaar justru ragu reorganisasi dengan kemristek akan me-
naikan jumlah dana penelitian dikti. Guru besar UNJ itu justru menilai selama ini kemristek juga kekurangan dana untuk penelitian. Pada 2015 saja Indonesia hanya mengalokasikan 0,09% atau sekitar Rp, 8 triliun dari PDB untuk riset. Sementara Malaysia 1% dan singapura 2,6%. Salah satu sumber dana penelitian PT berasal dari Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Dalam UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, disebutkan bahwa minimal 30% dana BOPTN digunakan untuk membiayai penelitian. Saat ini, anggaran BOPTN sebesar Rp, 4,5 triliun. jika diambil 30%, hasilnya sekitar Rp, 1,6 triliun tersedia untuk riset. Tilaar menganggap jumlah ini masih belum cukup. Maka dari itu Tilaar mengatakan reorganisasi tidak berdampak pada penambahan dana penelitian, malah berpotensi mengurangi dana dikti. Pasalnya, dana PNBP Dikti sangat tinggi, bahkan yang paling tinggi ketika masih bergabung dengan kemdikbud. Dalam LKPP tahun 2014 saja, kemdikbud mendapatkan PNBP sebesar Rp, 2.895,8 miliar. Namun, ketika dikti keluar pada 2015, kemdikbud hanya memperoleh Rp, 1,2 miliar. Demi menyiasati kekurangan dana pada dua lembaga di bawah asuhannya ristek dan dikti, Kemristek-Dikti berencana mendorong angka investasi pihak swasta dalam penelitian. Berdasarkan survey litbang sektor industri manufaktur pada 2011, rasio belanja litbang sektor pemerintah di Indonesia mencapai 82,3%, sedangkan sektor swasta sebesar 17,7%. Malaysia sebaliknya, pada 2006 belanja litbang
Mereka (PTN-BH) terlalu sibuk dengan menutupi biaya operasionalnya karena mereka tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah dan nilai-nilai filosofi akademiknya hilang,
pemerintah hanya 15% dan sektor swasta 85%. Dalam tataran dikti, Kemristek-Dikti menyusun sejumlah program untuk mendorong kerjasama tersebut. Hingga 2019, kementerian menargetkan 851 penelitian kerjasama litbang PT dengan indsutri dan lembaga litbang. Selain itu, sejumlah perguruan tinggi juga akan difasilitasi untuk memperoleh status Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH). Alasannya, status PTN-BH memberikan otonomi lebih kepada PT untuk mengelola kampusnya. Ini mempermudah jalan bagi PT melakukan kerjasama dengan sektor industri. Wakil Rektor (WR) I UNJ, Muchlis R. Luddin mendukung kebijakan tersebut. Sebab, menurutnya pemerintah tidak memiliki cukup uang untuk membiayai pembangunan infrastruktur kampus, khususnya pembangunan laboratorium. Perkembangan alat laboratorium begitu cepat sehingga membutuhkan biaya yang besar. “Hari ini kita beli, 2-3 tahun ke depan sudah berubah lagi,� ucapnya. Menurutnya, PT seharusnya bisa menyiasati persoalan dana tersebut melalui kerjasama dengan pihak swasta. Namun, tidak semua PT boleh melakukannya, melainkan hanya yang berstatus PTN-BH. UNJ pun berniat memperoleh status itu. Ada sejumlah persyaratan yang diberikan pemerintah untuk mendapatkan status PTN-BH dan syarat tersebut harus dipenuhi dalam kurun 2-3 tahun. Salah satunya, minimal 300 jurnal terindeks SCOPUS. UNJ berupaya memenuhi target tadi pada 2016. Muchlis optimis bisa memenuhi target. Sebab, sejak menjabat sebagai WR I pada 2014 lalu, dia mampu menaikkan jumlah jurnal UNJ EDISI 46
11
M. Natsir Azyumardi Azra
yang terindeks SCOPUS. Ketika baru menjabat jumlahnya hanya delapan. Hingga akhir 2015 jumlahnya meningkat jadi 176. Muchlis mengklaim jumlah tersebut mampu mengantarkan UNJ ke peringkat 22 dari 189 PT di Indonesia. Namun, keterangan itu berbeda dengan data yang diambil dari laman scopus.com. Dalam penghitungan SCOPUS Januari 2016 disebutkan bahwa UNJ baru mempublikasikan 101 jurnal. Sementara ITB yang berada di peringkat pertama mempublikasikan sebanyak 5,037 jurnal. Terkait kesuksesan ITB, Muchlis mengatakan telah mengetahui cara kampus tersebut memperoleh hasil yang mengagumkan dan dapat ditiru oleh UNJ. “Ternyata selama ini kita salah. Kita selama ini bertumpu pada dosen. ITB enggak. Si dosen bekerja dengan mahasiswa,” ujarnya. Hal itu mendorong Muchlis untuk menulis surat kepada para dekan dan Kepala Program Studi (Kaprodi) untuk melibatkan mahasiswa dalam penelitian. Rencana pemberian otonomi kepada PT melalui status PTN-BH ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, PT bisa mendapatkan kebebasan untuk mengelola kampusnya. Sementara di sisi lain, PT bisa kehilangan independensinya karena terlalu bergantung pada investasi industri. Hal ini dikemukakan Dosen Sosiologi UNJ, Rakhmat Hidayat. “Mereka (PTN-BH) terlalu sibuk dengan menutupi biaya operasionalnya karena mereka tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah dan nilai-nilai filosofi akademiknya hilang,” ujarnya. Menurutnya, PT harus bisa menjaga jarak apabila harus bekerja sama dengan industri. Doktor lulusan Universitas Lumire Lyon 2,
12
itu juga menilai pemerintah bersikap terlalu ambisius dalam mengubah sejumlah PT menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Pemerintah tampak ingin melepaskan tanggung jawabnya terhadap PT. Tentu yang paling kentara pada soal pendanaan. Dia mengatakan terjadi dua fase untuk mewujudkan ambisi itu. Pertama, periode akhir 2000 yang membuat tujuh PT berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Seperti PTN-BH, status tersebut memberikan otonomi penuh kepada PT mengelola kampusnya. Sedangkan tahap kedua terjadi pada 2007, pemerintah membuat kebijakan tentang PKBLU. Status ini memberikan hak kepada PT untuk mengelola statusnya secara semi-otonom. Tahap terakhir dengan menjadikan seluruh kampus berstatus PTN-BH. Tahap ini mulai digencarkan Kemristek-Dikti. Menurut Rakhmat, pemerintah tidak bisa menerapkan hal ini secara terburu-buru. Karena tidak semua PT siap untuk menjalani perubahan tersebut. Jika ambisi tersebut tetap dipaksakan, sama saja pemerintah mengelola dikti secara sentralistik. Berarti tidak ada perubahan berarti dalam menajemen PT. Akhirnya hanya menciptakan birokrasi yang baru. “Dan itu menurut saya suatu pemborosan anggaran negara,” tuturnya.
Daniel Fajar
LAPORAN UTAMA
Foto: Didaktika
UNJ Bisa Terperosok
p
emindahan Dikti dari Kemdikbud ke Kemristek menyisakan permasalahan bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Dimulai mengenai riset tentang pendidikan yang masih rendah dan hubungan birokrasi yang rumit antara Kemristek-Dikti dan Kemdikbud. Sebenarnya, di era Soekarno, pemisahan antara pendidikan dasar dengan pendidikan tinggi juga pernah terjadi. Efeknya, masing-masing memiliki program pendidikannya masing-masing. Tak ayal kedua kementrian kerap “berkelahi” soal konsep bagaimana mendidik guru.
Jika sudah demikian, bukan tak mungkin LPTK—termasuk UNJ— akan semakin terperosok. Di era Jokowi-Kalla, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) dipisah dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Dikti akan bergabung ke Kementrian Riset dan Teknologi (Kemristek-Dikti). Pemisahan tersebut dilatarbelakangi oleh kritik dari berbagai kalangan atas buruknya kinerja riset dari Perguruan Tinggi (PT). Riset-riset PT dianggap belum maksimal. Tolok ukurnya ialah dari peringkat PT Indonesia yang belum mampu menembus 100 besar dunia. Selain persoalan penelitian, pemisahan Dikti dengan Kemdikbud menimbulkan persoalan lain yang dihadapi UNJ. Jalur birokrasi menjadi lebih rumit. “Sekarang harus dua kali, karena beda rumah,” ujar Wakil Rektor (WR) I Muchlis. Kesulitan birokrasi disebabkan karena UNJ merupakan kampus penghasil tenaga pendidik. Sementara tenaga pendidik sendiri merupakan produk yang dibutuhkan oleh Kemdikbud. Hal ini menjadi rumit, tatkala UNJ bergabung dengan Kemristek-Dikti. “Kadang-kadang kita (baca:Dikti) maunya begini, belum tentu pendidikan kebudayaan setuju,” tukas Muchlis. Berbeda ketika masih bergabung dengan Kemdikbud. UNJ tidak perlu berkoordinasi lagi dengan Kemristek-Dikti. UNJ bisa langsung mendiskusikannya ke Kemdikbud. Namun, EDISI 46
13
setelah bergabung dengan Kemristek-Dikti, UNJ harus mendiskusikannya di dua kementrian: Kemristek-Dikti dan Kemdikbud. Menurut Muchlis, kalau dulu koordinasinya menjadi mudah, karena proses dan aplikasinya satu atap. “Mendidiknya di Dikti, menggunakannya di dikdasmen (baca: pendidikan dasar dan menengah), itu satu kementrian,” imbuhnya. Pendapat yang hampir serupa juga dilontarkan oleh Fachrurrozi, Kepala Program Studi (Kaprodi) Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Menurutnya, pemisahan Dikti dengan Kemdikbud akan menimbulkan sekat. Fahruzi mencontohkan soal peningkatan kualitas guru dan sumber daya manusia (SDM) guru yang harus melwati lintas kementrian. “Dan itu yang membuat adanya semacam sekat antara Dikti dengan Kemdikbud,” tuturnya. Menjadi permasalahan baru ketika Dikti menjadi lembaga yang berbeda dengan guru atau pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen). Hal ini yag dikhawatirkan oleh Fachrurrozi. Menurutnya hal ini akan menyulitkan bagi mahasiswa bergelar Sarjana Pendidikan (S.Pd), untuk masuk ke wilayah domain Kemdikbud. Mereka nantinya akan menemui kesulitan ketika masuk ke sekolah-sekolah. Ambil saja dua contoh program pelatihan untuk calon guru, seperti SM3T dan Indonesia Mengajar. Keduanya merupkan program yang dicetuskan dari dua kementrian yang berbeda. SM3T dari Dikti, sementara Indonesia Mengajar dari Kemdikbud. Hal ini membuktikan kalau masing-masing kementrian memilliki standar guru terbaik yang berbeda-beda. “Kata Anis
Baswedan yang paling bagus Indonesia mengajar, tapi kata Dikti SM3T. Terjadi perbedaan orientasi dan cara pandang terhadap rekruitmen guru, pembinaan guru, penempatan guru,” ucap Muchlis. Tentu hal ini akan membawa kebingungan tersediri bagi kampus-kampus LPTK seperti UNJ. UNJ dituntut harus bisa mengadopsi standar guru dari Kemristek-Dikti dan Kemdikbud. Bukanlah hal mudah untuk mengadopsi ataupun memilah-milah mana standar guru yang terbaik. Di sini peran riset menjadi sangat dibutuhkan. UNJ dapat meriset standar guru terbaik dari masing-masing kementrian tersebut. “Riset itu merupakan apakah dia memenuhi kualifikasi akademik atau tidak (baca: guru terbaik). Dan dari riset bisa belajar menemukan teori baru,” tutur Muchlis. Namun di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), jumlah penelitian masih minim, khususnya riset-riset mengenai keguruan. Untuk mengatasi itu, UNJ melakukan berbagai upaya. Seperti mengompetisikan riset, serta menyuruh dosendosen untuk menulis jurnal. Karena menurut Muchlis, untuk mengetahui kualitas riset bisa dilihat dari karya jurnalnya. Selain itu, menurut pengamatan DIDAKTIKA, sejak UNJ bergabung dengan Kemristek-Dikti, Praktik Keterampilan Mengajar (PKM) yang dulunya bernama Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), tidak mengalami perubahan yang signifikan, bahkan cenderung berjalan di tempat. Mahasiswa yang mengikuti PKM hanya disibukkan persoalan adminstratif seperti pembuatan Renacana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Artinya,
Muchlis R. Luddin H.A.R Tilaar
14
Sederhananya, kampus melakukan berbagai perlombaan dalam riset, dengan iming-iming uang. Nah, hal ini bisa membelokkan tujuan penelitian itu sendiri. Mereka akan melakukan penelitian bukan karena memang tugasnya sebagai sivitas akademik. Namun bisa berbelok orientasi, yakni melakukan penelitian untuk memperoleh uang
perpindahan UNJ dari Kemdikbud menuju Kemristek-Dikti tidak membawa dampak banyak terhadap kualitas guru. Penyikapan yang Normatif Menyikapi persoalan pemisahan Dikti dengan Kemdikbud, UNJ hanya bisa memberi saran normatif, seperti menyarankan agar KemristekDikti bisa lebih bersinergi lagi dengan Kemdikbud. “Jadi untuk bisa menghubungkan itu, membutuhkan sinergi yang sangat erat antara Kemristek-Dikti dengan Kemdikbud. Terutama untuk penyediaan-penyediaan guru,” ucap Fachrurrozi. Saran serupa juga dikatakan oleh Muchlis. “Antisipasinya adalah harus mengencangkan koordinasinya,” sarannya. Seperti halnya dengan kebijakan Pendidikan Profesi Guru (PPG), UNJ terlihat seperti tidak mempunyai gagasan yang matang untuk mengantisipasi kebijakan dari pemerntah pusat. Alhasil UNJ hanya bisa memberi saran-saran normatif, meskipun kebijakan dari pemerintah pusat memberatkan UNJ – bahkan bisa mengebirinya. Faktor utama mengapa UNJ hanya bisa memberi saran normatif ialah tidak berjalannya iklim akademik dengan baik. Ruang-ruang dan aktivitas perdebatan gagasan keilmuan antar sivitas akademik jarang terlihat. Sebab perdebatanperdebatan gagasan merupakan cerminan kekritisan. “Nah budaya ini yang harus dibangun di universitas, sehingga warga universitas memproduksi ilmu,” tutur Muchlis. Sudah menjadi
konsekuensi logis bila dalam internal kampus tidak memilliki iklim perdebatan gagasan yang mempuni, maka untuk melakukan perdebatan terhadap kebijakan pemerintah pusat urung terjadi. Diakui pula oleh Guru Besar Emeritus UNJ, H.A.R Tilaar, pemisahan Dikti dari Kemdikbud semakin membawa UNJ kehilangan orientasi identitasnya. Tilaar melanjutkan, kalau pemerintah dan kampus-kampus LPTK tidak bisa belajar dari sejarah. Di era Soekarno, pemisahan antara pendidikan dasar dengan pendidikan tinggi juga pernah terjadi. Efeknya, masing-masing memiliki program pendidikannya masing-masing. Tak ayal kedua kementrian kerap “berkelahi” soal konsep bagaimana mendidik guru. “Inilah yang menjadi alasan Bung Karno untuk menyatukannya kembali,” ucap Tilaar. Tilaar mengingatkan jangan sampai kampus LPTK lepas dari pendidikan dasar dan kebudayaan. Dalam hal ini, Tilaar mendasarkan pada apa yang pernah dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara. Bagi Ki Hajar Dharma Perguruan Tinggi tidaklah hanya tiga (baca: mengajar, meneliti dan pengabdian masyarkata), tapi sebagai pusat untuk mengembangkan kebudayaan. “Bila kita tidak menghargai kebudayaan kita, maka kita kehilangan identitas,” tegasnya. Tilaar menambahkan, kebudaayan kita adalah gotong-royong, bukanlah kompetisi. Tentu hal ini bertolakbelakang dengan kebudayaan yang terjadi di dalam kampus UNJ. Contohnya ialah soal riset. Untuk merangsang para sivitas akademik untuk melakukan penelitian saja, UNJ menggunakan metode kompetisi. “Sekarang kita kompetisikan. Kita kasih biaya riset. Kita ingin mendorong itu,” ucap Muchlis. Sederhananya, kampus melakukan berbagai perlombaan dalam riset, dengan iming-iming uang. Nah, hal ini bisa membelokkan tujuan penelitian itu sendiri. Mereka akan melakukan penelitian bukan karena memang tugasnya sebagai sivitas akademik. Namun bisa berbelok orientasi, yakni melakukan penelitian untuk memperoleh uang. Bila demikian, kampus gagal dalam mencetak spirit penelitian. Karena seperti yang dikatakan oleh mahasiswa lulusan Sorbonne, Daoed Joesoef, nantinya setelah keluar dari lingkungan kampus, mereka akan berhenti berpikir analitik dan kritis layaknya peneliti. Oleh sebab itu, menjadi tak terperi dengan apapun model birokrasi kebijakan bila kondisi internal kampus masih belum mempuni. Artinya, dengan pemisahan Dikti dengan Kemdikbud, kampus UNJ akan tetap mengalami krisis identitas dan kulturnya, bahkan bisa bertambah buruk. Hal itu mungkin terjadi bila UNJ tidak memiliki iklim kultur akademik untuk menentukan konsep keguruan yang jelas. “UNJ bisa makin terperosok,” tutup Tilaar.
Harsaid Yogo
EDISI 46
15
LAPORAN UTAMA
Riset Untuk Komoditas
p
erpindahan Pendidikan Tinggi (Dikti) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi di bawah Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) pada awalnya diharapkan mampu meningkatkan angka riset perguruan tinggi. M. Nasir, menteri Kemenristekdikti menyebutkan bahwa Indonesia masih kekurangan peneliti. Dari jumlah penduduk sebanyak 250 juta jiwa, peneliti di lembaga penelitian pemerintah baru mencapai angka 9.000 orang (dikti.go.id, 6/4/2016). Pada 2015, hanya Universitas Indonesia yang masuk dalam daftar 1.000 universitas top dunia. Siasat dikti untuk meningkatkan angka riset di kalangan mahasiswa sebenarnya telah dimulai sejak 1997. Kala itu, Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, mendirikan Program Pengembangan Budaya Kewirausahaan di Perguruan Tinggi (PBKPT). Di mana programnya dibagi menjadi dua fokus, yaitu Karya Alternatif Mahasiswa (KAM) dan program untuk
16
Foto: Lemlit UNJ
dosen yang wajib melibatkan mahasiswa namun hanya sebagai pelaku lapangan. KAM sendiri hanya mewadahi mahasiswa untuk menciptakan barang atau jasa yang akan menjadi komoditas. Pada 2001, KAM yang telah berjalan dianggap membatasi ruang kreasi mahasiswa yang beragam, kemudian dikembangkan menjadi Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Hingga kini PKM dibagi menjadi beragam jenis yaitu, Penelitian, Kewirausahaan, Pengabdian kepada Masyarakat, Teknologi, Karsacipta, Artikel Ilmiah, dan Gagasan Tertulis. Di aman selain PKMArtikel Ilmiah, semua PKM bermuara pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS). Memasuki 2015, jumlah peserta PKM yang telah lolos PIMNAS mencapai 440 tim. Jumlah yang sama dengan peserta PIMNAS 2014 dan naik 9% dari peserta PIMNAS 2013. PIMNAS ke28 ini dikuti oleh 1.821 mahasiswa yang berasal dari 112 Perguruan Tinggi seluruh Indonesia. Banyaknya jumlah peserta PKM tiap tahun-
nya ini, nyatanya masih belum maksimal kegunaannya dan berakhir sebagai draf. M. Nasir menyebutkan baru 8% riset yang sudah digunakan dalam industri. Sedangkan angka ideal menurutnya adalah 15%. Pemerintah akan mendorong perguruan tinggi untuk menghasilkan riset yang mudah diserap oleh industri. Namun pandangan lain dikemukakan oleh Rocky Gerung, pengamat pendidikan sekaligus dosen Filsafat Universitas Indonesia. Ia melihat perguruan tinggi di Indonesia justru telah mendapat banyak orderan untuk melakukan riset dari industri. Hanya saja riset tersebut baru sebatas riset yang adaptif terhadap industri tertentu. Padahal seharusnya perguruan tinggi dapat menjadi penggagas dari sebuah riset, yaitu menawarkan riset dasar, bukan sekadar memenuhi orderan. Gejalanya dapat dilihat dari seminar-seminar yang kebanyakan diadakan di universitas-universitas. Seminar hanya menawarkan tema-tema yang membahas prihal metode, bukan ajang untuk membahas isu. Sekalipun membahas isu, yang dibahaspun baru isu hariannya saja. Tidak mendalam bagaimana isu harian tersebut bisa terjadi. Maka kemudian fenomena yang muncul
ialah kebanyakan mahasiswa mengarah pada riset yang bisa secara langsung diterapkan dalam industri atau berupa komoditas. Yudha Prasetya, mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni ini tengah mengikuti ajang Program Mahasiswa Wirausaha (PMW). Produk yang diikutsertakan berupa website. “Ikut PMW ya untuk mendapatkan dana yang akan saya dan tim gunakan untuk mengembangkan bisnis saya,” jelas mahasiswa semester empat ini. Atas sifat pendanaan yang hibah atau pemberian sebagai hadiah, tak sedikit lantas mahasiswa yang memanfaatkan dana yang mereka terima justru untuk keperluan di luar program yang mereka tawarkan. “Tahun lalu ada yang digunakan untuk membeli motor,” kisah Vera Maya Santi, dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada acara pelatihan roposal bisnis PMW. Arah tujuan riset yang dikemukakan Menteri sangat disayangkan oleh Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, HAR Tilaar. Ia menyebutkan Riset Perguruan Tinggi hari ini merupakan akibat dari liberalisasi pendidikan. Orientasi dari Perguruan Tinggi bukan lagi tentang tridharma perguruan tinggi yang salah satunya berisi tentang pengabdian masyarakat.
Latifah
Wawancara Khusus
Rocky Gerung: Pikiran itu Harus Otonom Dibawah kepemimpinan Jokowi dodo dan Jusuf kalla memutuskan untuk memindahkan Perguruan tinggi (PT) dari Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan) ke Kemenristek (kementrian Riset dan Teknologi. Rendahnya riset dari segi jumlah dan aspek keterpakaian menjadi alasannya. Berikut petikan wawancara reporter DIDAKTIKA, Virdika rizky utama dan Latifah dengan Rocky Gerung, dosen Ilmu filsafat Universitas Indonesia (UI), di kantornya. Terkait riset, apa yang kira-kira menjadi persoalan utamanya? Kalau kamu baca undang-undang pendidikan pasal 1 bunyinya adalah tugas dari pendidikan tinggi untuk menghasilkan mahluk yang berakhlak mulia, itu yang petamanya dan itu merupakan copy paste dari pasal satu dari konstitusi,
sama bunyinya konstitusi dan bunyi undang undang. Jadi basisnya adalah membentuk akhlak orang bukan mempertajam akal orang. Gimana kamu mau riset kalau akhlak kamu jelek, kan akhlak tidak bisa dibikin bersih. Jadi biarin aja orang dengan akhlak yang buruk tapi akal yang bagus bikin riset, kamu tidak akan dapat kesempatan buat riset kalau akhlak kamu buruk. Karena tim riset sudah tahu “wah ini bukan geng kita ini, bukan” hehe. Jadi itu kondisi risetnya, di Unisba (Universitas Islam Bandung) riset itu adalah quarto kepengusahaan anggota dan organisasi mahasiswa yang dapat dana riset, jadi kondisinya dipengaruhi kultur keluar dan kedalam, situasinya bukan kultur invasi yang dimiliki universitas, untuk masuk ke dalam universitas. Termasuk pemilihan tema-tema, kalau kamu dari awal memilih tema attachment, pasti dari awal dibatalin itu, padahal itu untuk mengetahui tahap perkembangan EDISI 46
17
generasi muda tentang apa sih sederhana, apa manfaatnya sederhana? Nanti kaitannya jadi korupsi, begitu.
Kalau menurut bapak, bagaimana suatu universitas yang dalam risetnya bekerjasama dengan pengusaha? Iya boleh dengan industri. Riset kebijakan, belum ada soal riset data ini. Tapi industri dalam artian kamu “industri� sama dengan perampok. Jadi harus dikasih catatan disitu. Misal riset dengan Asian Agri dengan UGM (Universitas Gadjah Mada), itu jelas riset yang manipulatif. Itu riset yang membela segala macem, riset yang buruk. Tapi kalau ditanya soal boleh atau tidak, iya boleh. Tapi itu contoh yang buruk dan hasilnya jelek. Jadi, harus dibedakan antara kongkalingkong industri dan para koruptor kecil di universitas. Iya kecil, kalau mau disogok saja berapa itu soal kasus UGM itu, beberapa dosen terlibat. Riset soal Lapindo, beberapa dosen mencoba memberi pandangan publik yang tersamar membenarkan.
Jadi perpindahan ini hanya maslah politik, tidak ada indikasi-indikasi tertentu? Ada indikasinya supaya pemerintah fokus pada pendidikan dasar menengah. Selama ini dianggap pendidikan tinggi itu hanya semacam bonus saja. Itu diringkas saja sama ristek. Klausul yang coba dipahami oleh publik. Itu kira-kira . Itu boleh-boleh saja. Tapi saya lihat ini ada kebutuhan untuk mendistribusikan menteri. Lalu pada ribut, bagaimana menyamakan urat nadinya dari dasar terus tinggi. Sehingga yang tinggi itu soal teknis aja itu. Ada lagi soal pendidikan, eh moral. Karena visi undang-undang dasar itu moral orang bukan akal orang. Waktu itu pasal itu pasal negosiasi dengan PKS . jelas kita kalau lihat memori itu jelas konstitusi itu original intensionnya adalah ada town religiositas. Jadi pendidikan itu tidak boleh jadi sekuler. Dan anda tahu katolik bikin seminar berkali-kali untuk tidak begitu rumusannya. Intensitasnya tinggi sekali waktu itu. Mending kamu baca korankoran waktu itu soal filosofi pendidikan dan akibatnya pada pertarungan diskursus politik islam dan politik sekuler pada waktu debat amandemen ke berapa itu. Kalau bapak memandang otonomi perguruan tinggi seperti apa? Iya karena otonomi PT itu esensinya kebebasan mimbar bukan soal dosennya diangkat. Saya kasih ilustrasinya nih, misal kamu menulis makalah di Didaktika, nanti ada dosen kamu yang juga menulis makalah di situ. Makalah kamu lebih bagus dari dosen tersebut. Terus editornya bilang, “tulisan kamu turunin dikit dong isi tulisannya biar dosen gak tersinggung�, Kan bisa begitu kan. Padahal di Didaktika, tidak ada
18
Foto: Istimewa
urusannya sama administrasi, karena ini menyoal pikiran. Ada hirarki itu di administrasi, di aturan, penggajian dan sebagainya. Kultur ini terus dibawa ke dalam kehidupan kampus. Jadi karena dia merasa golongannya IIIA sementara atasannya IIIB, maka apa yang disebutkan atasan dilakukan. Padahal atasan itu boleh melakukan instruksi dalam kondisi teknis bukan kondisi pikiran. Kalau si profesornya bodoh ya bodoh aja. Tapi tidak bisa seperti itu. Maka harus keras konsepnya. Karena otonomi itu adalah otonomi dalam kehidupan berpikir. Kalau tidak otonomi tidak ada gunanya lagi sekarang, semua dosen pegawai Dekdikbud baik itu dekan atau rektor. Harus diingat hirarki kepegawaian tidak boleh sejajar dengan hirarki akademis. Sekarang ngaco, jadi ketua jurusan harus profesor. Di jurusan itu tidak ada profesor malah diambil profesor dari jurusan lain. Gimana misalnya profesor sejarah jadi Kajur (kepala jurusan) teknik sipil misalnya. Aneh kan. Kira-kira kekacauannya seperti itu yang ditimbulkan. Jadi otonomi itu penting. Tapi faktanya di PTN tidak mungkin otonomi, tetap harus ada otonomi di mimbar akademik, mimbar pikiran. Dimana mimbar-mimbar itu, diskusi atau kelas. Jadi tidak boleh ada hirarki disitu. Menjajah mahasiswa di dalam kelas tidak bisa dibenarkan. Ujian skripsi atau menulis majalah-majalah kampus tidak boleh ada batasan. Pikiran itu harus otonom.
Data Publikasi Ilmiah Perguruan Tinggi Indonesia yang Terekam di Scopus Sumber: www.scopus.com Data dikumpulkan oleh: Gatot Soepriyanto (www.gsoepriyanto.com) Terhimpun 69 Perguruan Tinggi
Rank 04/01/ 16
Rank 23/06/ 15
Rank 16/01/ 15
1
1
1
Nama Perguruan Tinggi
Kota
4/01/2016
23/062015
16/01/2015
Institute Teknologi Bandung
Bandung
5,037
4483
4083
2
2
2
Universitas Indonesia
Depok
4,131
3,769
3,475
3
3
3
Universitas Gajah Mada
Yogyakjarta 2,744
2,139
1,974
4
4
4
Institute Pertanian Bogor
Bogor
1,920
1,694
1,538
5
5
5
Institute Teknologi Sepuluh November
Surabaya
1,390
1,225
1,113
6
6
7
Universitas Brawijaya
Malang
1,033
812
695
7
8
8
Universitas Padjajaran
Bandung
887
757
666
8
7
6
Universitas Diponegor
Semarang
886
810
744
9
9
10
Universitas Hassanudin
Makassar
819
721
641
10
10
9
Universitas Airlangga
Surabaya
777
704
656
11
14
14
Universitas Bina Nusantara
Jakarta
631
437
368
12
13
13
Universitas Andalas
Padang
592
494
449
13
12
12
Universitas Syioah Kuala
Banda Aceh
588
517
458
14
11
11
Universitas Udayana
Bali
579
529
493
15
15
15
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
455
358
301
16
17
17
Universitas Sumatra Utara
Medan
284
244
218
17
16
18
Universitas Sriwijaya
Palembang
282
248
212
18
19
31
Institute Teknologi Telkom
Bandung
269
225
100
19
18
16
Universitas Lampung
Lampung
257
233
218
20
20
19
Universitas Sam Ratulangi
Manado
244
222
205
21
21
20
Universitas Kristen Petra
Surabaya
240
222
198
22
22
21
Universitas Riau
Riau
224
204
190
23
23
22
Universitas Jenderal Sudirman
Purwekarto 201
179
156
24
24
23
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
159
146
192
25
25
25
Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
174
155
127
26
28
28
Universitas Negeri Malang
Malang
157
134
121
27
27
26
Universitas Jember
Jember
156
139
125
28
26
24
Universitas Tri Sakti
Jakarta
154
143
137
29
31
29
Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta
151
130
117
30
29
N/A
Universitas Halu Oleo
Kendari
144
131
N/A
38
41
N/A
Universitas Negeri Jakarta
Jakarta
101
86
N/A
39
39
38
Universitas Tarumanegara
Jakarta
98
91
83
EDISI 46
19
NASIONAL
Foto: Istimewa
Alih Fungsi Lahan tak Melulu Berefek Baik bagi Rakyat Jakarta sebagai ibu kota negara sangat erat dengan pembangunan. Tak terkecuali di bagian Utara Jakarta. Pembangunan Utara Jakarta secara masif mulai digalakkan saat era Orde Baru. Dengan, menggandeng pihak swasta, bagian Utara Jakarta yang dahulu berupa lahan tambak, diubah menjadi permukiman. Melalui berbagai macam cara, warga sekitar dipaksa menjual tanahnya, demi pembangunan.
20
Foto: Istimewa
S
Suatu hari pada pertengahan 1985, penambak ikan bandeng sedang mengumpulkan ikan bandeng yang akan diserahkan kepada tengkulak. Anak-anak berebut ingin membawa ikan kepada tengkulak. Mereka berharap dapat upah dari tengkulak dan penambak. Di sekeliling areal tambak, terdapat beberapa pedagang menjajakan barang dagangannya. Biasanya para penambak langsung membelanjakan uang hasil penjualan ikan bandeng dengan membelikan sembako. Kala itu, menurut Djuhri (59) ketua Rukun Warga (RW) 01 Kelurahan Kapuk, kurang lebih terdapat 20 lahan tambak di daerah Kapuk, Jakarta Barat. Di daerah itu dan sebagian besar bagian utara Jakarta lainnya, sebagian besar perekonomian warga sangat bergantung pada tambak, sisanya berdagang dan bertani. Meski tak jarang, penambak mengalami kerugian kala musim hujan dan banjir rob tiba. Ketika musim hujan dan banjir rob, warga
banyak mengungsi ke Wilayah RW 01. Hal ini bukan tanpa sebab, wilayah RW 01 lebih tinggi dibanding wilayang lainnya. “Wilayah ini dijadikan tempat mengungsi bagi warga sekitar Kapuk. Tak hanya itu, karena wilayah lebih tinggi, daerah ini juga merupakan daerah pertanian,� ungkapnya. Menurut Djuhri, kegiatan mengungsi, sudah menjadi rutinitas ketika banjir rob tiba dan musim hujan tiba. Kegiatan mengungsi membuat sebagian besar warga merasa bosan dan ingin pindah dari wilayah Kapuk. “Saat itu, keluarga saya dan beberapa penambak bosan, jadi memutuskan untuk pindah dari wilayah Kapuk,� ucap Muhammad Amin (58). Keinginan sebagian warga untuk pindah pun diiringi oleh kebijakan pemerintah provinsi (pemprov) DKI Jakarta, kala itu pemprov ingin membangun wilayah Utara Jakarta yang sebagian besar hutan mangrove untuk menjadi wilayah bisnis. Sebelumnya, Pada 1982, Dirjen Kehutanan mengeluarkan SK kepada PT EDISI 46
21
Ket: Pemakaman di Kampung Apung yang dipenuhi sampah dan lumpur
Metropolitan Kencana (MK), milik kelompok Ciputra, yang memutuskan perubahan fungsi kawasan Hutan Angke Kapuk dan sekitarnya menjadi tempat pemukiman, kondominium, pusat bisnis, rekreasi dan lapangan golf. Pada 1986, sebagian warga menjual tanahnya dengan harga murah kepada pihak pengembang—Metropolitan Kencana. Penjualan ini menurut Muhammad Amin, dilakukan secara massif, “penjualan ini melibatkan sekitar lima RW.” Amin menjelaskan, ketika mendapat uang penjualan tanah, banyak warga yang pindah ke luar daerah dan sebagain ke wilayah RW 01. “RW 01 menolak untuk menjual tanahnya, sebab daerah kami tidak pernah terkena banjir rob. Terlebih luas wilayah RW 01 sekitar enam hektare,” jelas Djuhri. Djuhri menambahkan, pihak pengembang juga ingin membeli wilayah RW 01, disebabkan letaknya yang cukup strategis. Tetapi hal itu urung terjadi, sebab warga memilih untuk tetap bertahan. “Kami sudah hidup di wilayah ini puluhan tahun sebelum datangnya pengembang. Jadi kami tidak akan menjualnya satu centimeter pun,” tegas Djuhri. Setelah hampir setahun proses penjualan tanah warga, pihak pengembang kemudian mulai membangun wilayah Kapuk. Wilayah tersebut kemudian diuruk oleh pengembang melebihi wilayah RW 01. Di tempat itu mulai didirikan gudang-gudang untuk kawasan industri dan perumahan pantai indah kapuk. Efeknya tentu saja, wilayah RW 01 ini mulai merasakan banjir. “Kita
22
baru merasakan banjir mulai 1989, itu pun banjirnya masih sekitar 20 cm per tahun,” ucapnya. Ia melanjutkan, ketika perumahan dan kawasan industri mulai berdiri dan sudah digunakan, pihak pengembang membuat riolering air pembungan dibangun dengan ketinggian tanah yang melebihi wilayah RW 01. Kemudian yang terjadi adalah salurah air pembungan dari kawasan industri dan perumahan mengalir ke wilayah RW 01. “Air limbah domestik mulai masuk RW 01 dan mengalir setiap hari ke wilayah kami,” paparnya. Hal ini kemudian diperparah ketika musim hujan tiba, banjir yang awalnya setinggi 20 cm, kini sampai satu meter. “Kita sudah protes kepada pengembang dan pemerintah saat itu. Tapi hasilnya nihil,” kata Djuhri. Kemudian, menurut Djuhri, pada 1997, wilayah RW 01 mengalami banjir permanen hingga mencapai ketinggian tiga meter. “Kami mau tidak mau membuat rumah panggung, dengan modal sendiri. Hasilnya semua kegiatan kita berada di atas rumah panggung, kemudian warga sekitar menyebut daerah kami dengan nama kampung Apung,” katanya. Pihak pengelola dan pembangunan Pantai Indah Kapuk, Fahrul Rozy ketika dihubungi melalui telepon menyatakan tak tahu-menahu terkait masalah tersebut. “Kami tidak tahu untuk masalah itu, kami mendirikan bangunan sudah sesuai dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),” katanya.
Ket: Empang Lele. Salah satu tempat mata pemcaharian warga kampung Apung. Tenggelamkan, Lalu Beli Ketika banjir permanen sudah dialami oleh Kampung Apung, pihak pengembang kembali mendatangi warga Kampung Apung untuk membeli tanahnya. “Lagi-lagi kami menolaknya dengan alasan yang sama seperti saat awal pihak pengembang ingin membeli,” ujarnya. Penolakan warga untuk menjual tanahnya dan lebih memilih untuk bertahan dapat dipahami. Sebab, dengan wilayah yang selalu banjir, harga tanah pun sudah pasti sangat murah. Akan tetapi, menurut Adnan (61) salah seorang warga Kampung Apung, pihak pengembang selalu berusaha untuk dapat membeli tanah warga dengan cara apa pun, termasuk cara-cara kekerasan. “Beberapa tahun lalu, banyak preman yang memaksa warga untuk menjual tanah ke pengembang,” tuturnya. Ia melanjutkan, sempat terjadi bentrok fisik antara warga dan beberapa preman. Ia pun menyangkan tidak ada perlindungan apapun dari pemerintah. “Kami dipakasa berjuang sendiri dan tidak merasakan adanya peran negara,” pungkasnya. Adnan melanjutkan bahwa dirinya enggan untuk pindah disebabkan sudah sangat mengenal karakteristik warga dan secara piskologis akan berbeda jika harus berbaur dengan daerah baru. “Kalau kami tidak punya uang, bisa pinjam dengan tetangga. Kalau di tempat baru belum tentu bisa pinjam,” ucapnya. Ia menceritakan tidak ingin nasibnya seperti Amin. Amin menceritakan, menjual tanahnya kemudian pindah
ke daerah Tangerang. Di tempat baru, Amin gagal beradaptasi dan ingin kembali ke daerah RW 01. Akan tetapi, hasil penjualan rumah di daerah Tangerang tak cukup untuk membeli tanah di daerah Jakarta dan hasilnya Amin pun hidup dengan mengontrak rumah. Hal serupa pun terjadi di daerah Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Warga Pegangsaan Dua yang menolak pembangunan komplek baru dan pusat perbelanjaan, harus rela daerahnya mulai menjadi daerah dataran rendah setelah menolak untuk menjual tanahnya. “Pihak perusahaan Agung Podomoro sejak 2010 sudah mulai mendatangi kami dan meminta kami untuk menjual tanah, tapi kami tolak,” ungkap Arief Budi ketua Rukun Warga (RW) 06. Ia menceritakan, pihak pengembang tak senang dengan penolakan warga. Kemudian, lanjutnya, pihak pengembang menguruk wilayah sekitar perkampungan RW 06 menjadi lebih tinggi. Alhasil, menurutnya, wilayah RW 06 kini menjadi lebih rendah dan menjadi sering banjir. “Setelah sekitar dua tahun kami mengalami banjir, pihak pengembang kembali mendatangi kami untuk membeli tanah dan harganya jadi lebih murah,” tutupnya. Hingga berita ini ditulis, pihak Agung Podomoro masih belum bersedia memberikan keterangan.
Virdika Rizky Utama
EDISI 46
23
NASIONAL
Atas Nama Pembangunan, Rakyat Kecil Diabaikan Ada sebuah adagium menyatakan bahwa di dunia ini tak ada yang bebas nilai. Terlebih, bila membahas pembangunan. Kepentingan pemodal selalu dapat bersinergi dengan pemerintah. Hal ini dilakukan untuk menambah
M
Maraknya pembangunan apartemen di Jakarta pada 10 tahun menjadi sorotan berbagai pihak. Pasalnya, pembangunan apartemen sering kali menyampingkan dampak bagi lingkungan dan masyarakat sekitar apartemen. Seperti yang diungkapkan pengamat tata ruang kota, Marco Kusumawijaya, menurutnya pembangunan apartemen hanya sekadar mementingkan keuntungan pengembang dan diraguka izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)-nya. “Seluruh pembangunan pembangunan apartemen mewah di Jakarta harus dipertanyakan izin AMDAL-nya,” ucapnya. Pada Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 1982 tentang AMDAL bertujuan untuk menciptakan pengendalian kondisi lingkungan yang memiliki harmoni yang baik dengan dimensi-dimesi pembangunan—termasuk manusia di dalamnya. Tak hanya itu, masyarakat pun mesti dilibatkan dalam AMDAL dan izin lingkungan seperti yang tertera dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2012. Tujuan aturan ini adalah mengatur peran masyarakat dalam izin lingkungan. Ia melanjutkan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh pengusaha properti dan pemerintah provinsi (pemprov) yang mengeluarkan AMDAL tidak pernah sedikit pun melibatkan masyarakat. “Ini kan jelas, pemerintah bersekutu dengan pengusaha dan mengebiri suara masyarakat,” ucap Alumnus Universitas Katolik Parahyangan ini. Marco melanjutkan, Jakarta
24
Foto: Istimewa
yang semestinya dimiliki oleh semua lapisan masyarakat hanya menjadi mitos, sebab pembangunan yang sedang berlangsung di Jakarta hanya dapat dinikmati oleh segelintir pihak saja. Mengenai hal tersebut, Dinas Penataan Kota Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Iswan Hamadi menyatakan bahwa setiap pembangunan termasuk pembangunan apartemen mewah dan real estate lainnya sudah sesuai dengan prosedur. “Semua izin sudah diproses melalui satu pintu, jika baik ya tentu kita loloskan,” ungkapnya. Iswan pun melanjutkan bahwa dalam setiap rencana pembangunan dan mengeluarkan AMDAL, pemprov DKI Jakarta selalu melibatkan masyarakat sekitar. “Kita gak pernah bertindak sepihak,” tegasnya. Namun, pernyataan pemerintah ini tidak pernah sesuai dalam praktiknya. Seperti yang dicontohkan oleh Djuhri, warga Kampung Apung, Kapuk, Jakarta Barat ini menilai pemerintah tidak pernah mengajak dialog tetapi sosialisasi. “Logikanya, jika masyarakat harus berpartisipasi, maka itu diambil sebelum ada keputusan. Yang terjadi selama ini, keputusan sudah ada, setelah itu warga diajak dialog,” pungkasnya. Djuhri mencontohkan, pada 2012 lalu Walikota Jakarta Barat ingin memindahkan warga Kampung Apung ke rumah susun atau memindahkan Kampung Apung ke daerah sebelah Kampung Apung yang tidak terkena banjir—lebih dikenal dengan istilah geser kampung. Ketika di Kantor Walikota, lanjutnya, semua rancangan pemindahan kampung dan tanggal peminda-
han kampung sudah ada. Padahal sebelumnya, menurutnya, warga tidak pernah dilibatkan atau tidak diberitahu terlebih dahulu. Muhammad Amin dan warga lainnya jelas menolak rencana tersebut. “Kami tidak setuju. Ini semena-mena,” paparnya. Muhammad Amin menjelaskan rencana pemerintah melalui Walikota itu bertepatan dengan gencar-gencarnya beberapa preman memaksa warga untuk menjual tanah ke pengembang. Lagi pula, menurut Amin, tanah warga di sini merupakan tanah milik bukan tanah pemerintah atau lainnya. “Kalau geser kampung, kita gak punya hak atas tanah dan pemerintah dengan mudah menggusur kita,” ungkapnya. Permasalahan pembangunan ini pun diakui oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat saat peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) se-dunia di Hotel Arya Duta. “Pembangunan dan penyediaan hunian yang layak bagi warga Jakarta memang masih menjadi kendala bagi kami (pemprov DKI Jakarta-red),” ucapnya. Menurut Djarot, penyediaan yang layak bagi warga kota merupakan indikator kota yang ramah terhadap HAM dan penyediaan itu membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak termasuk perusahaan properti. Marco Kusumawijaya menyebut bahwa pelibatan perusahaan properti menunjukkan bahwa pemerintah hanya berorientasi meraih keuntungan. “Dengan melibatkan pihak swasta pemerintah mendapatkan penghematan biaya pengeluaran. Tak hanya itu, berdirinya apartemen jelas memberikan pajak yang cukup besar dibanding pajak rumah warga biasa,” paparnya. Tak hanya itu, bagi Marco, selama ini pemprov menyandarkan pembuatan apartemen berdasarkan ratarata pendapatan perkapita Indonesia yang jelas-
jelas banyak keliru. “Gaji pengusaha besar dan pedagang asongan dihitung sama,” ungkapnya. Marco mencontohkan pembangunan wilayah utara Jakarta pada pertengahan 1980an. Utara Jakarta, kata Marco, merupakan daerah rawa-rawa dan tambak nelayan. Jika, ditarik pajak saat itu kurang lebih pemprov mendapatkan Rp 2.0000 per hektare selama setahun. Ketika menjadi perumahan, pemprov mendapatkan Rp 2.000.000 per hektare selama setahun. Kawasan utara Jakarta yang berubah fungsi saat itu sekitar 830 hektare, dengan demikian dana yang dapat diambil pemprov saat itu sekitar Rp 2 milyar per tahun. “Saat ini, kalikan saja 100, seperti itu pendapatan dana dari pembangunan yang menggusur alam dan rakyat miskin,” paparnya. Anggapan pembangunan pemprov yang hanya berorientasi bisnis, bukan isapan jempol belaka. Seperti yang dikutip dari laman bisnis.com, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama ingin menghapus AMDAL. “Jakarta sudah punya rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Sudah ada AMDAL nya. Harusnya sudah tidak ada perlu ada syarat lagi,” ucap Ahok. Dia menambahkan seharusnya pemerintah dapat berpegangan pada Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL) saja, tidak perlu mengurus AMDAL. “AMDAL hanya menghambat pengurusan perizinan. Prosesnya lama, isinya hanya copy paste saja,” pungkasnya. Tak Pernah Peduli Warga Kampung Apung dan Pegangsaan Dua yang menjadi korban dari pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha properti menyatakan tidak pernah dapat perhatian dari pemerintah. Muhammad Rifai, warga Pegangsaan Dua menyatakan, warga harus mengurus sendiri semua kerusakan yang dibuat atas pembangunan. “Kami memperbaiki jalan sendiri, kami sudah bilang ke Kelurahan tidak ada tanggapan. Padahal, kami membayar iuran kelurahan dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),” ucapnya. Sedangkan, Djuhri warga Kampung Apung menyatakan warga membangun sendiri, rumah panggung dan sarana prasarana lainnya. “Kami swadaya sendiri, kami merasa tidak ada gunanya birokrasi negara,” ucapnya. Tak hanya itu, dengan kondisi rumah panggung yang sudah berdiri hampir dua puluh tahun ini, kayu sudah mulai keropos dan membahayakan keselamatan warga. Dia menceritakan, pernah dua orang balita tercebur dan meninggal. “Bagi saya ini pembunuhan, sebab struktur pemerintahan membiarkan ini terjadi dan tidak ada penanganan lainnya,” tutupnya.
Virdika Rizky Utama
EDISI 46
25
Foto: Istimewa
NASIONAL
Bertahan Hidup dengan Mengapung Ketika rakyat menjadi korban dari kolaborasi antara pemodal dan pemerintah, yang bisa dilakukan hanya bekerja untuk menyambung hidup Segaris senyum terlihat pada murid-murid Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kampung Apung, Kapuk, Jakarta Barat. Mereka asyik bermain dan belajar di ruangan PAUD seluas 4x6 meter. Mereka tidak peduli lantai yang terbuat dari papan ala kadarnya bisa ambruk tiba-tiba. Nurul, salah satu murid PAUD tersebut menceritakan kebanggannya bisa mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Inggris yang diajarkan oleh gurunya. “Kupukupu itu Butterfly, Kucing itu Cat, Ikan itu Fish,” celotehnya yang baru berusia lima tahun. Di sela-sela Nurul menceritakan kecakapannya mengucapkan beberapa kata dalam Bahasa Inggris, teman-temannya pun gaduh dan menertawai Nurul, ketika Nurul lupa beberapa kata. Kegaduhan pun coba ditenangi oleh Siti Umayah, guru PAUD. Guru
26
yang sudah sekitar lima tahun mengajar PAUD ini menyatakan keinginannya untuk mengajar berdasarkan sukarela. “Saya senang dengan anak-anak, bisa mengajarnya membuat saya menjadi lebih hidup,” paparnya. Ketika anak-anak bersekolah, ibu-ibu mereka bekerja. Ada yang membuat cotton bath, melipat kertas. Jarak rumah dari rumah ke sekolah yang tak sampai 50 meter membuat ibu-ibu ini tak khawatir dengan keadaan anak-anaknya. “Menjaga anak dan sambil bekerja,” ungkap Humairoh ketika ditemui Didaktika. Menurut Humairoh (40), seluruh warga Kampung Apung memiliki pekrjaan rumahan seperti dirinya yang melipat kertas untuk bungkus makanan atau kerja lainnya. Menurutnya, pekerjaan ini sudah dilakukan sejak dua puluh tahun lalu. “Mau tidak mau
bekerja seperti ini. Dulu, orang tua saya punya kontrakan tapi kan sekarang sudah terendam air,” kenangnya. Ia melanjutkan, keluarganya dan sebagian besar keluarga lainnnya di Kampung Apung terpaksa untuk tetap tinggal di daerah Kampung Apung. “Tidak ada uang untuk pindah, kalau pun dijual tanahnya, tidak cukup untuk membeli rumah lagi,” celotehnya. Tak hanya itu, akibat terendamnya kampung Apung, banyak warga yang akhirnya kehilangan mata pencaharian. Sedangkan, di depan ruang PAUD, terdapat ruangan berisi beberapa komputer untuk pelatihan warga dan Mushola. Menurut Djuhri, ini merupakan upaya warga untuk tetap bertahan hidup. “Kami bertahuntahun hidup tanpa ada bantuan pemerintah. Oleh sebab itu, kami harus temukan cara untuk tetap bertahan hidup dan terisolasi sebab wilayah kampung Apung tertutup oleh pergudangan,” ungkapnya. Ia melanjutkan, harus menemukan cara agar masyarakat luar tahu bahwa ada daerah yang terendam akibat kesalahan pemerintah. “Kami mengadakan pertemuan dengan warga, akhirnya kami sepakat untuk membentuk kegiatan. Dari kegiatan tersebut diharapkan masyarakat lain tahu keadaan kami,” selorohnya. Lanjutnya, warga kemudian bergerilya mengumpulkan dana untuk membangun PAUD, Ruang Komputer dan Mushola. “Ada perusahaan yang menhibahkan komputer bekas untuk kami, ada yang menyumbang papan, ada mahasiswa teknik sipil yang membantu kami merancang dan membangun sarana prasarana,” ucap Muhammad Amin. Amin menceritakan, ketika membangun beberapa ruangan tersebut, warga sangat antusias. “Keantusiasan ini tidak lain bentuk emosi warga terhadap pemerintah. Warga tidak diberi jaminan apa pun, tidak ada upaya pemberdayaan dari pemerintah. Kami mandiri,” ujarnya. Amin mengatakan awalnya banyak yang pesimis terhadap kegiatan kami, termasuk beberapa preman yang ingin warga menjual tanahnya kepada pengembang Pantai Indah Kapuk.
Setelah berusaha hampir dua tahun, Djuhri menyatakan pengerjaan ini selesai dan cukup memuaskan. “Modal kami hanya harapan untuk hidup dan emosi terhadap pemerintah,” celetuknya. Setelah pengerjaan selesai, Djuhri menyatakan perlu adanya publikasi agar masyarakat lainnya tahu. Oleh sebab itu, kemudian ia mengundang beberapa wartawan untuk meliput pembangunan Kampung Apung ini. “Hasilnya memuaskan,” ucapnya seraya tersenyum. Setelah publikasi di media, baru banyak kalangan birokrasi pemerintahan yang mengunjungi Kampung Apung. “Saya tak habis pikir, Lurah kami yang baru menyatakan ‘bahwa baru tahu ada daerah ini’,” ucapnya. Walikota jakarta barat saat itu langsung ingin membuat mesin pompa air untuk menyedot air di Kampung Apung. Masing-masing mesin pompa mampu menyedot air 500 meter kubik per detik. Pembangunan rumah pompa ini bertujuan mengatasi banjir di Kampung Apung. Dana yang dihabiskan untuk membangun rumah pompa dan jaringan saluran kata Djuhri, mencapai Rp 12 miliar. Kemudian Djuhri merasa aneh, musababnya rumah pompa tersebut dibangun di lingkungan RW 04, dan bukan RW 01. Lagipula, jika rumah pompa tersebut dibangun di RW 01, panjang saluran air yang harus dibangun tidak lebih dari 300 meter menuju Kali Angke. Tetapi karena rumah pompa dibangun di lingkungan RW 04, saluran air yang dibangun bertambah panjang, sekitar satu kilometer. “Ketika rumah pompa itu diresmikan, kami warga RW 01 tidak pernah diundang. Kami pun belum pernah merasakan dampak kehadiran rumah pompa tersebut,” tegas Djuhri. Bagi Djuhri dan warga Kampung Apung lainnya hanya ingin bisa berkegiatan seperti dahulu. “Kami hanya ingin pemerintah buat Kampung kami tidak banjir dan kami bisa berkegiatan seperti sedia kala,” tutupnya.
Kami bertahuntahun hidup tanpa ada bantuan pemerintah. Oleh sebab itu, kami harus temukan cara untuk tetap bertahan hidup dan terisolasi, sebab wilayah kampung Apung tertutup oleh pergudangan.
Virdika Rizky Utama EDISI 46
27
Opini !
Ilustrasi: Taufik Hidayat
Ahmad Hedar*
Pendidikan dan Perjuangan Kelas “Sistem pendidikan harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas bagi umat manusia� – Paolo Freire
S
eperti bunyi undang-undang klise republik ini, bahwa salah satu tugas Negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsanya. Amanat itu tertanam hingga kealam bawah sadar kita. Diingatnya terus-menerus kata-katanya, hingga kita geram melihat realisasinya yang tak kunjung tiba. Dalam konteks itu, Negara harus menjamin akses dan pendidikan yang berkualitas bagi rakyat Indonesia. Menjamin lembaga pendidikan yang demokratis dan bervisi kerakyatan. Namun, persosalan dalam dunia pendidikan kita memang sangat kronis. Jerat kapitalisme yang masuk kedalam negara Indonesia juga turut menyerang dunia pendidikan. Melalui proses liberalisasi pendidikan nasional, praktik-praktik komersialisasi, diskriminasi, serta perampasan kebebasan akademik seakan menjadi legal untuk dilakukan oleh birokrasi kampus, aparat serta organisasi masyarakat yang reaksioner. Imbasnya, pendidikan menjadi mahal dan sulit diakses masyarakat, ruang-ruang demokrasi dalam kampus menjadi sempit, serta jamian kebebasan akademik menjadi hilang. Imbas lain dari proses liberalisasi tersebut ialah terkooptasinya lembaga pendidikan ke borjuasi-borjuasi dan pemilik modal. Imbasnya, swastanisasi pendidikan menjadi semakin massif dan menjamur. Dengan dalih otonomi kampus, biaya kuliah dinaikkan, atau dibuat logika subsidi silang seperti mekanisme Uang Kuliah Tunggal. Negara menjadi lepas tangan untuk memberikan akses pendidikan bagi rakyat, pendidikan sepenuhnya dibiarkan sesuai dengan kebutuhan pasar. Kita tahu, kalau pendidikan nasional kita hari ini jauh dari kebutuhan rakyat, pendidikan nasional kita hari ini jutrsu hadir untuk melanggengkan dominasi kapitalisme di Indonesia. Akhirnya eksploitasi sumber daya alam kita menjadi dibiarkan, rakyat menjadi apatis terhadap per-
28
ampasan sumber daya alam oleh borjuasi dan elit politik Negara. Padahal, jika sumber daya alam yang ada di Indonesia dikuasai Negara dan diperuntukkan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat seperti amanat UUD pasal 33 ayat 2, maka dijamin pendidikan nasional kita akan menjadi gratis. Namun lagi-lagi, Negara menjadi lepas tanggung jawab dan ikut serta melanggengkan liberalisasi tersebut. Sementara itu, demokratisasi didalam kampus juga masih saja terus dirampas, kebebasan akademik dan mimbar akademik menjadi tak terjamin. Imbasnya, diskriminasi sering terjadi, pemberangusan kajian, kegiatan-kegiatan mahasiswa, pemberangusan kebebasan pers, bahkan kriminalisasi menjadi tontonan yang sering terjadi di lingkungan kampus. Kasus-kasus itu real terjadi, dan banyak menimpa mahasiswa dan tenaga pendidik.
Ya berbagai persoalan dari mahalnya biaya pendidikan dan tak adanya demokratisasi kampus memang buah dari l a n g g e n g nya proses liberalisasi didalam pendidikan n a s i o n a l kita. Akar masalahnya adalah kapitalisme yang menjerat Negara kita. Elit politik, borjuasi, serta biroksai kampus saat ini semua tunduk pada mekanisme kerja kapital, sehingga rakyat menjadi korbannya. Pendidikan mahal, demokratisasi kampus diberangus, mahasiswa hanya dicekoki kurikulum pragmatis, sumber daya alam dirampas, kemiskinan menjamur, akhirnya penindasan terus terjadi tanpa henti. Dominasi Kelas Lembaga pendidikan dalam negara sebenarnya hanyalah alat untuk mengukuhkan dominasi kelas. Kelas yang menguasai Negara ialah kelas yang akan melakukan kontrol terhadap lembaga pendidikan didalamnya. Itu terjadi di Indonesia, kemenagan kapitalisme yang mendorong otoritarianisme rezim orde baru turut berkontribusi besar terhadap corak pendidikan nasional kita hari ini. Bahwa keniscayaan Kapitalisme ialah mendorong agar sistem pendidikan berada dalam kontrol borjuasi. Hal itu persis seperti yang dikatakan Bourdieu sebagai dominasi Habitus, bahwa
proses yang berjalan dalam lembaga pendidikan adalah proses reproduksi budaya kelas dominan. Bahwa lembaga pendidikan mempengaruhi dan memaksakan kelas terdominan (peserta didik) untuk mengikuti budaya atau kebiasaan kelas dominan. Pendeknya, berjalannya proses pendidikan dalam Negara ialah sebagai representase kebutuhan kelas penguasa. Celakanya, Indonesia selama puluhan tahun dikuasai oleh rezim Orde Baru hingga Neo-Orba, yang dalam banyak terminologi disebut sebagai representasi dari kepentingan kapitalisme. Bagaimana Melawannya Dalam praktek perubahan sistem, perjuangan kelas adalah sebuah solusi yang mesti dilakukan. Peserta didik (Siswa, Mahasiswa), dan tenaga didik (Guru, Dosen) harus mampu membaca kelas dan habitusnya. Mereka harus sadar bahwa perubahan sistem pendidikan tidak bisa diubah secara normatif. Sistem pendidikan nasional tidak bisa hanya diubah dengan melakukan tambal sulam kebijakan. Jauh dari itu, perjuangan secara politik dengan merebut dominasi kelas bojuasi harus dilakukan. Dalam konteks itu, kita bisa belajar dari Kuba, Revolusi pendidikan kuba dimulai dengan Revolusi Kuba secara ekonomi dan politik. Negara miskin yang pada tahun 1961, dibawah pemerintahan yang revolusioner, mampu menasionalisasikan seluruh jenjang pendidikan dari Sekolah Dasar hingga Pendidikan Doktoral dan menggratiskannya. Tak hanya gratis, Lembaga Pendidikan di Kuba juga mampu memproduksi tenaga pendidik yang berkualitas hingga berkontribusi besar terhadap pengentasan buta huruf dan pelayanan kesehatan bagi rakyat. Di Kuba proses Demokratisasi pendidikan juga tak sekedar menjadi reproduksi pengetahuan dalam kelas, melainkan menjadi praktek dengan mendorong siswa dan mahasiswanya untuk terlibat dalam perjuangan politik rakyat Kuba. Itulah alasan mengapa kemudian kesadaran kelas dan habitus menjadi penting. Uang Kuliah Tunggal, pembatasan kebebasan akademik, rendahnya mutu pendidik adalah riak-riak kecil dari kondisi pendidikan yang kapitalistik. Melawannya secara normatif bak melawan riak-riak kecilnya. Karenanya, rakyat yang terekploitasi dengan direbut hak pendidikan dan politiknya harus mampu melakukan pengorganisiran dengan bersatu dengan elemen rakyat di sektor buruh, tani dan sektor rakyat yang melawan lainnya. Semua dilakukan dalam rangka mobilisasi kekuatan melawan kelas dominan borjuasi. Pendidikan gratis, ruang yang demokratis, serta mutu yang merakyat akan mampu tercipta jika kelas yang mewakili borjuasi direbut. *Organisasi : Pemimpin Umum Persma RHETOR (Fakultas Dakwah dan Kominiasi UIN Sunan Kalijaga) periode 2013-2015, Yogyakarta. EDISI 46
29
Opini ! Naufal Mamduh*
Kampus Mesin Hasrat Ilustrasi: Taufik Hidayat
S
abtu kemarin (7/5/2016), sebuah group Whatsapp yang saya ikuti heboh perihal foto yang diunggah oleh salah satu anggotanya yaitu foto sekelompok orang sedang mengganti logo dan huruf Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang ada di plaza besar di dekat gedung IDB 1 dan 2. Sejurus kemudian, beredar pesan berantai yang mengatakan bahwa pergantian logo dan huruf dilakukan demi kegiatan syuting sinetron yang akan tayang di salah satu stasiun televisi swasta pada bulan Ramadhan. Kegiatan tersebut sontak menuai banyak
30
tanggapan. Cibiran bertubi-tubi diucapkan dan isu komersialisasi kampus mulai diperbincangkan. Bahkan muncul meme berupa gambar kegiatan pergantian logo dan huruf tersebut sembari bertuliskan “Komersialisasi Kampus, Kalian Terima?�. BEM UNJ bergerak dan menuliskan dua siaran pers hari itu. Pertama berisi mengenai kegiatan syuting tersebut dan hasil wawancara yang mengatakan jika mereka yang melakukan kegiatan syuting mengaku tidak melakukan koordi-
nasi dengan pihak birokrat. Kedua, pada pukul 13.34 WIB pihak BEM UNJ mendapat konfirmasi dari Bapak Asep selaku Kepala UPT Humas yang menyuruh pihak production house (PH) dan kru yang melakukan syuting meminta maaf karena dalam perizinannya tidak ada bentuk pengubahan logo dan simbol UNJ. Akhir cerita, foto terbaru muncul berupa surat permohonan maaf dari pihak PH atas kegiatannya tersebut. Kasus kemarin sempat membuat diskursus mengenai komersialisasi kampus muncul kembali. Mulai dari sekedar respon dalam bentuk komentar di media sosial sampai opini yang berbentuk artikel seperti yang ditulis Afif Makarim yang berjudul “Kampusku, Di Obral? (Unjkita. com, 8/5/2016). Insiden tersebut menyiratkan bahwa praktik komersialisasi kampus UNJ bukan tindakan yang disetujui oleh mahasiswa. Selain Afif, sebenarnya pada hari pendidikan, 2 Mei 2016 kemarin, ada juga beberapa kelompok mahasiswa seperti Solidaritas Pemoeda Rawamangun (SPORA), Serikat Mahasiswa Perubahan (Semeru) UNJ, Departemen Sosial dan Politik Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (BEM FIS) dan mahasiswa UNJ lainnya yang melakukan aksi menolak komersialisasi dan liberalisasi pendidikan, disertai menuntut pencabutan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di depan Gedung Rektorat (Didaktikaunj.com, 2/5/2016). Adanya komersialisasi perguruan tinggi negeri di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan yang dibuat negara. Pada sebuah tulisan dari dua pegiat di LPM Didaktika yaitu Kurnia Yunita Rahayu dan Indra Gunawan (2014) yang berjudul “Pengelolaan Parkir Kampus oleh Swasta: Sebuah Mitor Profesionalitas� praktik komersialisasi atau privatisasi di perguruan tinggi negeri seperti Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tidak terlepas dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi (UUPT) yang mempersilahkan perguruan tinggi untuk menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) atau Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU). Kedua status tersebut sama-sama memberi kesempatan perguruan tinggi untuk mencari sumber dana secara mandiri. UNJ sendiri pada November 2009 resmi menyandang status PK-BLU. Dampak dari status ini adalah segala fasilitas seperti gedung di UNJ tidak gratis termasuk mahasiswa. Ada biaya untuk mempergunakannya. Selain itu, masuknya pihak swasta dalam mengurus sistem parkir kendaraan di UNJ juga menjadi bukti bahwa status PK-BLU yang disandang UNJ membuat pihak swasta bisa menjalankan bisnisnya di institusi pendidikan. Pada akhir tulisannya, Kurnia dan Indra melihat dampak sosial dari kesemuanya yaitu merosotnya mutu pendidikan tinggi. Kemudian juga, karena ke-
hidupan kampus yang semakin mahal mulai dari uang kuliah sampai tarif parkir tentu akan mengakibatkan ke depannya, UNJ akan disesaki mahasiswa yang berotak kosong tetapi mampu membayar biaya kehidupan kampus yang mahal. Konsekuensinya justru membahayakan produktivitas ilmu pengetahuan dan kredibilitas UNJ sendiri, karena kualitas mahasiswa dan lulusannya akan makin merosot (Didaktikaunj.com, 04/02/2014) Mesin Hasrat Praktik komersialisasi di UNJ atau perguruan tinggi negeri lain, tidak terlepas dari aktor-aktor yang ada di dalamnya. Merekalah yang menjadi pemegang kendali dalam kegiatan komersialisasi di dunia kampus. Merekalah yang tetap teguh menjalankan praktik kapitalisme tersebut walaupun sudah dikritik banyak pihak seperti mahasiswa. Merekalah para individu yang terjebak dalam mesin hasrat. Para psikoanalis mulai dari Sigmund Freud hingga Jacques Lacan berpendapat bahwa hasrat merupakan sesuatu yang sudah ada sejak manusia lahir. Hasrat menyatu dalam diri manusia berada dalam id mereka tetapi selalu dibenturkan bahkan ditatoi. Hasrat dimanipulasi dalam kesadaran ego agar bisa sesuai dengan tatanan sosial sehingga jika wujud hasrat akan selalu berada dalam bayang-bayangnya apapun bentuk tatanan sosial tersebut. Pasca Perang Dunia II, arus perkembangan masyarakat dunia perlahan mulai bergerak ke arah modern. Perubahan terjadi dimana-mana dan ratusan produk baru bermunculan. Gerak modernitas tersebut tidak dapat terlepas dari ekonomi kapitalis. Di balik gemerlap modernitas, ada pihak-pihak yang mengambil banyak keuntungan dari itu semua. Modernitas dan bayang kapitalisme di belakangannya memiliki dampak sosial khususnya pada pola tindakan individu. Produk modernitas menjadi pilihan utama masyarakat. Kecenderungan itu ditangkap para aktor kapitalis dengan berusaha untuk terus berproduksi. Kembali pada konsep hasrat. Selain Freud dan Lacan, ada pemikir lain yang melihat bahwa kapitalisme telah menangkap hasrat sebagai alat untuk menjerat manusia. Adalah Gilles Deleuze dan Felix Guattari (1972). Berbeda dengan para pendahulunya, Deleuze-Guattari melakukan pendedahan secara radikal khususnya mengenai teritorialisasi atau pengkodean hasrat manusia. Sebenarnya perihal pengkodean hasrat, Lacan pun sudah menjelaskan mengenai proses pengkodean tersebut mulai dari tahapan pra-imajiner, imajiner sampai tahap simbolik. Tetapi DeleuzeGuattari, melihat secara lebih makro. Menurut mereka, teritorialisasi hasrat di masyarakat terjadi sebagai bentuk legitimasi pengkodean EDISI 46
31
hasrat kepada setiap individu karena hasrat murni yang sudah dimiliki manusia dipandangan bersifat nonkode sehingga jika tidak dilakukan pengkodean ditakutkan akan berdampak pada tatanan sosial masyarakat. Deleuze-Guattari mendedah sejarah teritorialisasi hasrat dari era masyarakat primitif, masyarakat despotis sampai masyarakat kapitalis. Pada era masyarakat primitif dan despotis, proses teritorialisasi terjadi dalam bentuk hukum negara, aturan adat, larangan insest dan kontrol kuat dari negara. Sedangkan pada era masyarakat kapitalis hasrat “dibebaskan� tetapi dalam pengawasan kapitalisme. Dengan kata lain, praktik pengkodean hasrat diganti dengan pengawasan arus gerak hasrat. Dalam “pelepasan� hasrat tersebut, kapitalisme menjelma sebagai produsen yang menghasilkan sesuatu yang harus memiliki daya jual bagi konsumen. Konsumen adalah setiap orang. Dengan demikian, target produksi kapitalisme adalah individu-individu, tepatnya hasrat setiap individu. Oleh kapitalisme hasrat setiap individu ditafsir sekaligus berusaha untuk dipuaskan melalui produkproduk tertentu. Semakin tinggi tingkat probabilitas kapitalisme dalam menafsir hasrat individu, maka semakin kukuh eksistensi kapitalisme dalam kehidupan sosial. Hasrat merupakan sumber atau bahan mentah terbesar produksi kapitalisme yang dieksplorasi atau dideteritorialisasi lalu dimodifikasi. Singkatnya, kapitalisme tidak bisa hidup tanpa hasrat individu (Hartono,2007:96) Tetapi kapitalisme tidak bisa menyentuh hasrat yang sesungguhnya. Menurut Deleuze-Guattari, kapitalisme hanya mampu menangkap aksioma dari hasrat atau sesuatu yang eksternal dalam hasrat tetapi sangat menyerupai hasrat. Yang disentuh oleh kapitalisme hanya sampai batas hasrat interior bukan eksterior atau hasrat skizrofenik yang merupakan hasrat murni milik manusia. Parahnya manusia tidak sadar akan praktik
32
Mungkin saja beberapa bulan atau tahun lagi gedung-gedung fakultas di kampus A UNJ yang sudah tua akan dijadikan lokasi syuting film bergenre horror dewasa ataupun lapangan di belakarang UPT Perpustakaan akan disulap menjadi arena kampanye para calon gubernur Jakarta lengkap dengan panggung dan musik dangdut di dalamnya.
delusi pemenuhan hasrat tersebut karena kapitalisme terus berusaha memanipulasi produk mereka seolah-olah sebagai objek yang dapat memuaskan hasrat individu. Maka dari situ lahirlah beragam mesin hasrat seperti uang, restoran cepat saji, produk teknologi canggih ataupun barang dengan beragam simulakra yang diciptakan kapitalisme untuk memanipulasi sehingga seolah-olah semua bisa memenuhi hasrat manusia. Insiden pencabutan logo dan huruf di plaza UNJ demi kegiatan syuting sinetron memang berhasil mengangkat kembali wacana mengenai komersialisasi kampus. Tetapi yang menjadi masalah adalah setelah ini. Seperti buih air laut yang langsung hilang dihantam batu karang. Mungkin beberapa minggu atau hari insiden tersebut akan dilupakan dan isu komersialisasi kampus kembali kehilangan diskursus. Ketika para mahasiswa kembali berkutat pada tugas dan pembuatan acara hura-hura, para aktor akan tetap berusaha memenuhi hasrat mereka dengan kembali menghidupkan praktik kapitalisme di kampus sembari bekerja sama dengan pembuat mesin hasrat. Mereka bisa saja akan terus melakukannya walaupun identitas kampus menjadi taruhan. Mungkin saja beberapa bulan atau tahun lagi gedung-gedung fakultas di kampus A UNJ yang sudah tua akan dijadikan lokasi syuting film bergenre horror dewasa ataupun lapangan di belakarang UPT Perpustakaan akan disulap menjadi arena kampanye para calon gubernur Jakarta lengkap dengan panggung dan musik dangdut di dalamnya. Asikasik joss!
Mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta,Anggota SEMERU UNJ
KOLOM
J. Sumardianta*
A
Mengubah Pecundang Menjadi Pemenang
da seorang kaisar yang hanya peduli pada pakaian alias penampilan luarannya. Dua orang penipu ulung, suatu hari, meyakinkan kaisar kalau mereka bisa merancang adibusana dari bahan kain paling anggun. Hanya kaum miskin dan bodoh saja yang tidak bisa melihat kain istimewa itu. Kaisar mengutus dua orang kepercayaannya menyelidiki kehebatan kain itu. Kain itu sebenarnya tidak ada. Kendati demikian, kedua penasehat tak mau berterus terang pada kaisar. Mereka justru memuji setinggi langit kain milik penipu. Rumor kain ajaib segera menyeruak ke segala penjuru kekaisaran. Kaisar memperbolehkan para penipu mendandaninya dengan setelan baru buat prosesi mengelilingi kota. Kaisar sesungguhnya menyadari kalau dirinya hendak ditelanjangi. Tapi dia tidak mau mengakuinya. Dia tidak mau dianggap miskin dan bodoh oleh rakyatnya. Segenap warga kota menyanjung kemegahan adibusana kaisar. Warga rupanya takut berterus terang kalau kaisar berparade telanjang menunggang kereta. Kehebohan pecah saat seorang bocah polos berteriak, “Kaisar telanjang!� Orang tua si bocah terkesiap. Mulut anaknya dibungkam rapat-rapat. Si bocah terus meronta, tidak mau tinggal diam. Teman-teman si bocah polos itu ikut-ikutan berseru. Kerumunan orang dewasa pun mulai gaduh dan berisik, “Anak-anak benar! Lelaki tua itu tidak mengenakan selembar benangpun. Dia pandir. Kaisar berharap kita rakyatnya sama dungunya seperti dia.� Kaisar tidak memedulikan teriakan dan suitan kerumunan massa yang mulai mencibirnya. Dia terus mengangkat kepala tinggi-tinggi dan menyelesaikan prosesi. *** Dongeng kaisar telanjang ditulis Hans Christian Anderson, pengarang mashyur Denmark,
pada 1837. Dongeng itu masih dan tetap relevan untuk memperingatkan dunia pendidikan---tanpa kecuali Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan (LPTK). Sistem pendidikan di Indonesia, terlebih pada zaman digital, tidak pernah mengakui kalau tidak mempersiapkan anak-anak menghadapi dunia nyata. Anak-anak meninggalkan bangku sekolah dalam kondisi telanjang. Mereka lulus dengan nilai istimewa dari perguruan tinggi terbaik negeri ini tapi seumur hidup dipaksa berparade dalam prosesi tipu menipu diri sendiri sebagai manusia pecundang. Baru pertama kali dalam sejarah, dunia kerja dan lembaga pendidikan di Indonesia, diisi empat generasi sekaligus: generasi kertas-pensil, generasi komputer, generasi internet, dan generasi smart phone. Abad ke-21 merupakan milenium konvergensi keempat teknologi itu. Generasi terakhir yang lahir dan dibesarkan pada awal dekade 2000-an, secara demografis, dijuluki Millenium Generation (Gen M). Secara psikografis disebut Connected Generation (Gen C). Gen C, mengacu piranti genggam cerdas yang kemanamana mereka bawa, merupakan generasi gadget (gawai). Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sumber dari segala penggerak perubahan tanpa kecuali dunia pendidikan. Eksklusif menjadi inklusif. Sekat dan tabir sosial dirubuhkan internet. Masyarakat makin inklusif dan transparan. Vertikal menjadi horisontal. Relasi kuasa gurumurid atau dosen-mahasiswa tidak relevan lagi. Pendidik bukan lagi menjadi satu-satunya sumber knowledge dan wisdom. Kompetisi individual bergeser menjadi sinergi sosial. Zaman mutakhir sekarang ini bercorak VUCA: vitality (dinamis dan cepat berubah), uncertainty (sulit diprediksi), complexity (rumit penuh komplikasi), dan ambiguity (membingungkan). Rhenald Kasali, dalam Agility: Bukan Singa yang Mengembik (2014), mencatat pada era trend break penuh ketidakpastian ini, generasi muda Indonesia abad ke-21 dibedakan jadi EDISI 46
33
dua tipe: driver (pengemudi) dan passanger (penumpang). Driver tahu alternatif jalan baru di luar jalan yang lazim ditempuh. Berani mengambil risiko tersesat tanpa melanggar hukum. Penumpang boleh terdiam, mengantuk, tertidur, makanminum, bercanda, tidak perlu tahu arah jalan, bahkan tidak perlu merawat kendaraan.
34
Pendidikan membentuk manusia berjiwa penumpang angkot atau bus kota. Sejak SD murid dibiasakan duduk manis, melipat tangan, dan menghapal. Meneruskan sejarah menggambar dua gunung berjajar, awan di atasnya, sawah di bawah berikut jalan rayanya. Mata pelajaran seabrek tapi tidak mendalam. Rumus sulit dibuatkan jembatan keledai agar mudah diingat. Pengajaran ini menghasilkan manusia bermental
Ilustrasi: Refindo Fajar
penumpang. Bangsa-bangsa lain sudah membebaskan diri dari pengajaran dogmatis-kognitif dengan jumlah pelajaran banyak. Indonesia justru gandrung sekolah berat. Terbentuklah berlapis-lapis generasi pasif. Generasi yang dipecundangi buruh migrant----berani merantau ke Arab, Singapura, Hongkong, Taiwan, Jepang, dan Korea.
TKI yang tidak sekolahan itu dipaksa berpikiran kritis agar bisa beradaptasi dengan lingkungan yang menuntut. Generasi penumpang pintar memindah pengetahuan dari buku teks pada lembar-lembar kertas ujian. Sarjana kertas yang diukur bedasarkan ujian tertulis dan paper. Birokrasi yang menangani kebijakan pendidikan setali tiga uang. Sulit menjadi penggerak perubahan karena takut mengambil keputusan. Penyebabnya? Mereka direkrut menggunakan sistem kecakapan dalam ujian tertulis (exam merit). SDM berkualitas rusa, kambing, dan keledai yang jinak dan guyup. Bukan singa yang tangkas, gesit, dan cepat bertindak. Tentu, kendati prosentasenya sedikit, ada birokrat yang mau berpikir. Birokrat berkarakter driver yang memperoleh gelar akademis dengan susah payah, ekonomi sulit, dan nyaris gagal. Lulus melalui pengorbanan, perjuangan berat. Bukan karena kemudahan dan kedekatan. Dunia kerja jelas lebih mengutamakan sarjana yang cakap memindahkan pikiran dalam tindakan nyata. Anak-anak sekolahan terisolasi dari lingkungannya yang dinamis. Generasi anak mami yang dibentuk servis yang dibeli orang tua ini kesulitan menemukan pekerjaan atau berwirausaha. Generasi ini memperoleh segala sesuatu dengan mudah. Pikiran mereka mandeg dan berlindung terus di balik kemudahan itu. Hidup mereka sudah selesai karena kurang menghargai perjuangan. Fenomena passanger sangat menonjol di kalangan terdidik. Orang-orang bermental penumpang cenderung: kurang mandiri, cepat menyerah, dikendalikan rutinitas, autopilot, mudah mengeluh dan bersungut-sungut, tidak paham alternatif jalan keluar, mudah frustrasi menghadapi keadaan yang cepat berubah, kurang maksimal dalam karir dan usaha, dan menjadi boros meski bermaksud hemat. Bangsa hebat disebut a driver nation terdiri dari pribadi-pribadi driver yang menyadari sebagai mandataris kehidupan. Mandat itu berhubungan dengan kendaraan yang dipinjamkan Tuhan selama kehidupan berlangsung. Kendaraan bernama self itu gabungan kompetensi (what you do), kecekatan (how agile you are), dan perilaku (your attitude and gesture). Pendidikan yang dijalani great driver merupakan proses belajar bagaimana memperbaiki, mengubah pola pikir, dan cara menjalani hidup. Bangsa Indonesia pada dekade millenium baru ini sedang berada di ambang kekacaun besar (the edge of big chaos). Ketidakteraturannya nyaris sempurna (a complete anarchy). Salah satu persoalan berat menghadapi perubahan adalah kemampuan keluar dari comfort zone. Pendidikan di Indonesia sangat mengabaikan latihan-latihan keluar dari zona nyaman. Gontaganti kurikulum terbukti bukan menyelesaikan EDISI 46
35
masalah. Itulah tantangan pendidikan di Indonesia yang membiarkan generasi mudanya lahir, dibesarkan, dididik, dan dilatih bekerja sebagai passenger. Generasi muda yang pasif karena inisiatifnya dibikin majal generasi pendahulunya yang biasa bergerak di lingkungan pasti, statis, dan lamban. Generasi rigidity yang kaku dan terbelenggu. Generasi penumpang itu beban. Tak ubahnya tubuh gendut bergelambir lemak. Pilihannya dibuang atau dikonversi menjadi energi. Rhenald Kasali, dalam Self Driving (2014), menyebut driver identik dengan pemenang (winner). Sedangkan passenger itu pecundang (loser). Pemenang menyusun program. Pecundang membuat alasan. Pemenang siap sedia membantu. Pecundang cuci tangan dari keruwetan. Pemenang melihat solusi pada setiap masalah. Pecundang menganggap masalah sebagai jalan buntu. Pemenang mempelopori perubahan. Pecundang enggan berubah karena satpam penjaga kepentingan. Pemenang menggali pemahaman sampai filosofi mendasar dan menjadi trend setter. Pecundang gemar menjiplak dan suka ikut arus utama kerumunan. Pemenang membayar kesuksesan dengan rasa sakit dan penderitaan. Pecundang menerabas jalan pintas. Pemenang itu visioner. Bekerja keras di garis start bukan di dekat garis finish. Pecundang kerjanya komplain, mencari perhatian, menyalahkan pihak lain, dan terpenjara masa lalu. Kaum pecundang berpikiran mandeg (fixed mindset). Mereka punya keyakinan kuat sebagai orang cerdas, pandai, dan ingin terlihat berkinerja hebat. Mereka, guna memelihara citra seperti itu, tidak menyukai tantangan-tantangan baru. Hanya berkutat pada bidang yang sudah dikuasai. Mereka khawatir bila mengerjakan perkara-perkara baru bakal tampak bodoh. Akibatnya mereka kurang tekun dalam memecahkan persoalan. Kurang tertantang melakukan sesuatu yang menuntut kerja keras. Mereka kurang memiliki kegigihan dalam berjuang. Mereka korban budaya instan ala motivator yang mempromosikan gaya hidup cepat kaya dan sukses. Mereka, karena terperangkap dalam fixed mindset, tidak terlatih menghadapi umpan balik negatif. Kritik atas hasil kerja atau kemampuan bekerja dianggap sebagai serangan terhadap pribadi. Hidup mereka jadi mandeg dan terisolasi karena kurang prigel mengolah umpan balik. Keberhasilan orang lain dipandang sebagai keberuntungan bukan hasil perjuangan. Sukses orang lain berarti ancaman bagi kaum pecundang. Pemenang memiliki pikiran yang tumbuh dan berkembang (growt mindset). Mereka tetap bekerja kendati lingkungan tidak mendukung. Meaning and values led. Mereka bergerak dibimbing visi dan tata nilai. Bukan berdasarkan atribut-atribut luaran. Bila mengalami kemunduran kinerja tidak bakal menyalahkan orang lain atau keadaan. Selalu memaknai kegagalan.
36
Tidak akan membuat alasan melainkan mengoreksi diri dan tetap mengambil inisiatif. Kecerdasan mereka seperti parasut. Terus berkembang karena dipakai buat bekerja. Otak, seperti otot, menjadi kuat karena dilatih setiap hari. Latihan dikerjakan untuk membuat kemajuan. Bagi mereka hidup yang tidak berarti adalah yang tidak mau menghadapi tantangan sama sekali. Citra mereka tidak hanya dibentuk keberhasilan dan kegagalan melainkan daya tahan menghadapi rintangan dan ujian. Kritik diperlakukan sebagai sumber informasi bukan sebagai serangan terhadap pribadi. Mereka bekerja bukan buat menyenangkan orang yang mengritik. Orang lain dipandang sebagai pelatih emosi pribadi. Orang lain yang berhasil mereka perlakukan sebagai sumber inspirasi dan tempat belajar. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Ini pepatah zaman manual. Guru ngetweet berdiri, murid selfie berlari. Ini parodi zaman gawai. Keduanya hendak nmenggambarkan betapa guru selalu tertinggal dalam banyak hal dari muridnya. Salah satu alasan mengapa sekolah gagal mendidik murid karena sistem pendidikan tidak bisa berpacu mengimbangi perubahan. Sistem pendidikan ditemukan pada era agrarian, diperbarui secara marginal untuk era industry. Itu sebabnya kurang bisa melayani generasi digital yang hidup di era informasi yang bergerak cepat, selalu berubah. Hal baru yang muncul hari ini, di era pemercepat percepatan informasi, menjadi usang dalam tempo kurang dari dua tahun. Sebagian besar murid dipaksa keadaan untuk bisa menyesuaikan diri dengan pemercepat percepatan itu. Sebagian besar guru dan sekolah keteteran beradaptasi. Akibatnya generasi muda zaman digital divonis mengalami attention deficit disorder (gangguan kemerosotan perhatian). Padahal, yang terjadi sesungguhnya, anak-anak mengalami kebosanan karena guru dan sekolahnya ketinggalan zaman. Anak-anak malas belajar tapi betah berjamjam dan kecanduan game on-line maupun play station. Sistem pendidikan harus direkayasa ulang dalam format yang bisa diterima anak-anak zaman gawai. Pada dasarnya anak memiliki hasrat ingin tahu dan belajar. Hasrat itu padam karena gurunya mengajar dengan langgam zaman manual. Tantangannya bagaimana guru dan sekolah menjadikan belajar menyenangkan, menarik, dan menawarkan pengalaman menantang, sebagaimana ditawarkan game yang membuat anak-anak kerasan dan kecanduan. Pengajaran diterjemahkan dalam kehidupan nyata, relevan, dan bermakna. Produk kemarin tak bakal laku dijual untuk konsumen masa kini. Generasi gawai abad ke-21 tidak bisa didik dengan pola-pola usang zaman manual abad ke-20. Guru dan pendidik harus berpikir dan bertindak dengan kotak baru. Tidak bisa lagi berkutat dengan kotak lama yang kada-
luwarsa. Setali tiga uang bubuk mesiu merobohkan dinding kastil raja dan ratu di Eropa pada abad ke-16 silam, perangkat mobile bisa merobohkan dinding suci pendidikan tradisional. Kendati demikian iPhone dan iPad tidak bakal menggantikan peran guru dan sekolah tradisional. Guru mesti proaktif melengkapi dan mempercepat pembelajaran anak menggunakan perangkat mobile. Moda pembelajaran elektronik menawarkan alternatif yang terjangkau bagi pendidikan tradisional. Guru dan sekolah didorong untuk berubah. Industri pendidikan, sayangnya, menurut Robert T Kiyosaki dalam Why “A” Students Work For “C” Students and “B” Students Work For Government (2013), merupakan salah satu industri yang memiliki tingkat perubahan paling lambat. Masa jeda masing-masing industri itu berbeda. Masa jeda adalah waktu yang dibutuhkan sejak suatu gagasan baru ditemukan sampai pengaplikasiannya. Waktu yang dibutuhkan suatu penemuan baru diaplikasikan teknologi informasi sekitar 18 bulan. Tak heran bila kompetisi menghadirkan produk baru ke pasar menjadi sangat brutal. Perusahaan-perusahaan baru dengan cepat mendapati dirinya terlempar dari bisnis karena perusahaan lain bisa memberikan produk teknologi yang lebih cepat, canggih, dan murah. Pager digusur generasi pertama HP NOKIA, ERICSSON, SIEMENS, dan MOTOROLLA. Generasi pertama HP disodok Black Berry. Black Berry dengan firur andalan BBM itu digeser HP berbasis Android buatan Korea dan China. Entah HP andoid nanti bakal dipecundangi siapa? Masa jeda era agrarian berlangsung ratusan tahun. Masa jeda industri konstruksi 60 tahun. Masa jeda era industri meningkat jadi 50 tahun. Masa jeda industri otomotif 25 tahun. Masa jeda birokrasi pemerintahan 35 tahun. Masa jeda era informasi cuma 6 bulan. Penyebab frustrasi banyak guru dan pengelola sekolah adalah di antara semua sektor industri, pendidikan memiliki masa jeda terlama kedua---50 tahun. Masa jeda berarti di dunia pendidikan anak-anak yang mulai bersekolah hari ini akan menjadi kakeknenek saat sistem pendidikan mengadaptasi perubahan yang ditawarkan 50 tahun lalu. Tidak di sangkal NOKIA, dalam sejarah penggunaan hand phone (HP), pernah menjadi “HP sejuta umat”. Nokia terpinggirkan gadget yang melengkapi diri dengan beranekaragam fitur sangat menarik. Saat konferensi pers, menandai mundurnya NOKIA dari panggung bersejarah, CEO Jorma Ollila mengumumkan persetujuan akuisisi Microsoft atas NOKIA. Dia menyampaikan pidato terakhir. “Kami tidak melakukan sesuatu kesalahan. Kami tidak tahu mengapa kami kalah.” Jorma Ollila, bersama puluhan eksekutif NOKIA lainnya, tak kuasa menahan tetesan air mata.
Berada di zona nyaman itu sangat berbahaya. Zona nyaman bukanlah hidup yang nyaman. Robohnya Sharp, Panasonic, Sony, dan NOKIA sudah membuktikannya. Hidup manusia selesai begitu masuk zona nyaman
NOKIA merupakan perusahaan mengagumkan. NOKIA tidak melakukan sesuatu yang salah. Dunia berubah terlalu cepat. Mereka terlena. Mereka melewatkan kesempatan belajar mengantisipasi perubahan. Mereka bukan saja melewatkan kesempatan untuk terus tumbuh berkembang. Pun kesempatan paling dasariah untuk bertahan hidup. Jika Anda mandeg maka posisi Anda akan digantikan yang lain. Jika pemikiran Anda usang bersiaplah gulung tikar. Keunggulan kemarin akan digantikan trend esok. Mengubah diri sendiri namanya kelahiran kembali. Diubah orang lain namanya tersingkir. Orang yang tidak mau berubah sesungguhnya orang yang takut kehilangan kenikmatan. Berada di zona nyaman itu sangat berbahaya. Zona nyaman bukanlah hidup yang nyaman. Robohnya Sharp, Panasonic, Sony, dan NOKIA sudah membuktikannya. Hidup manusia selesai begitu masuk zona nyaman. Banyak politisi parlemen maupun pejabat hidupnya berakhir di penjara karena menempatkan diri sebagai lebah ratu yang hidupnya dijamin pasukan birokrasi pemburu rente ekonomi korup dan kolutif. Zona nyaman itu perangkap kenikmatan yang bisa mengakhiri hidup Anda. Itulah tantangan riil yang dihadapi LPTK di era digitalisasi.*** *J. Sumardianta, Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Penulis buku Guru Gokil Murid Unyu (2013); Habis Galau Terbitlah Move-On (2014), dan bersama Dhitta Puti Sarasvati menulis buku Mendidik Pemenang Bukan Pecundang (2016).
EDISI 46
37
“CROSS CULTURAL” Oleh: Abi Rafdi (KMPF)
38
EDISI 46
39
SENI & BUDAYA
Odong-odong dan Krisis Lagu Anak
Odong-odong dan Krisis Lagu Anak Odong-odong diyakini sebagai salah satu wahana permaianan anak-anak yang masih melestarikan lagu anak-anak. Di saat media elektronik terus menampilkan acara-acara dewasa dengan tanpa ampun, odong-odong bisa menjadi counter acara-acara tersebut, meskipun hanya melalui lagu-lagunya. 40
EDISI 46
41
E
mpat orang anak kecil tertawa-tertawa kecil, ingin menunjukan betapa bahagianya mereka. Matanya berbinar. Masing-masing anak menunggangi replika mobil, kelinci, motor, dan doraemon yang terbuat dari kayu. Keempat benda replica tersebut bergerak maju-mundur menuruti pedal yang dikayuh. Sesekali anak kecil berusia sekitar 3-5 tahun itu menggerakkan tangannya. Berjoget mengikuti alunan musik. Ya, keempat anak itu tengah menaiki odong-odong. Permainan ini ditengarai menjadi alternatif permainan anak-anak yang masih melestarikan lagu anakanak. Dengan biaya murah, anak-anak sudah bisa menikmati lagu anak-anak. Melihat wajah ekspresi gembira anak-anak ketika menaiki odong-odong, reporter Didaktika, mencari tahu keterkaitan antara musik dengan perilaku si anak. Didaktika menemui Indah Juniasih, Dosen Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) UNJ, di ruang dosen PAUD. Menurut Indah, musik sangat mempengaruhi perilaku anak-anak. Karena pada prinsipnya, nada-nada yang dimunculkan dari musik itu berpengaruh pada kerja otak. Pikiran menjadi rileks dan nyaman. Jadi, nada-nada dalam musik inilah yang membuat si anak tertawa-tertawa kecil. Tertawa kecil ini menujukkan kalau si anak sedang merasakan kerileksan atau kenyamanan. Kerileksan atau kenyamanan inilah yang dibutuhkan oleh si anak. Karena ketika otak itu rileks dan nyaman, maka bagian atas otak yang disebut korteks itu bisa terbuka. “Bila korteksnya sudah terbuka, maka segala bentuk pengetahuan bisa disampaikan,” tutur Ibu dua anak ini. Oleh sebab itu, menurutnya music sangat efektif sebagai sarana pendidikan. Akan tetapi, tidak mudah untuk membuat anak menjadi nyaman dengan musik. Tidak semua jenis musik dapat membuat anak menjadi rileks. Biasanya musik yang baik untuk anak-anak lebih banyak pengulangan. Baik nada maupun liriknya. “Nadanya mudah dicerna. Dengan rentang nada yang tidak terlalu sulit. Cenderung mudah dicerna dalam rentang birama tidak terlalu banyak, tidak terlalu variatif,” indah menjelaskan. Lebih lanjut, Indah menjelaskan bagaimana pengetahuan bisa masuk ke dalam otak. “Prinsipnya bila anak mendengar satu stimulasi dari suara yang berbentuk syair, maka kemudian masuk telinga, setelah itu akan dicerna ke otak,” jelasnya. Maka syair lagu bisa membentuk perilaku anak. Bila syairnya cenderung dewasa, si anak akan berkata dan berperilaku layaknya orang dewasa. Maka dapat dikatakan bahwa lagu yang baik
42
untuk anak ialah lagu yang memiliki nada sederhana dan syair yang mengandung kata-kata positif bagi anak. Namun saat ini, lagu semacam itu sulit ditemui. Lagu-lagu yang sering tampil di televisi misalnya. Meskipun nadanya sederhana, tapi syairnya tidak mengandung kata-kata positif bagi si anak. Kata-kata yang keluar cenderung merepresentasikan percintaan orang dewasa. Menjadi tak heran bila hari ini banyak menemui anak-anak kecil bertingkah seperti orang dewasa. Melihat krisis lagu anak di era saat ini, Indah menyarankan menanyakan lebih jauh kepada RM Aditya Dosen Seni Musik UNJ. “Karena beliau baru saja menyelenggarakan konser yang ditujukan untuk anak-anak,” sarannya. Menurut RM Aditya, ia mengadakan konser untuk anak didasari atas keprihatinannya terkait perkembangan lagu untuk anak. ” Anak-anak sekarang lebih banyak mendengarakan lagu goyang dumang, sakitnya tuh di sini, dan lain-lain.,” Aditya mengawali perbincangan. Konser bertajuk “Konser Untuk Ananda” menampilkan kembali lagu anak-anak ciptaan dari Pak Kasur, Ibu Sud, serta AT Mahmud. Mereka terhitung sebagai komponis yang terakhir menciptakan lagu anak-anak. Setelah mereka meninggal, praktis lagu anak-anak yang berhasil masuk industri musiki tidak terdengar gaungnya. “Mungkin saat ini ada juga yang menciptakan lagu untuk anak-anak, tapi belum bisa menembus industri musik,” ujarnya. Tidak hanya lagu anak-anak yang ditampilkan, dalam konser tersebut, pria berkacamata ini mengikursertakan anak dalam penyelenggaraannya. Terhitung 30 anak kecil memainkan angklung, dan lebih dari 10 anak-anak menari di atas panggung. Konser yang berlangsung di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) mendapat sambuatan besar dari masyarakat. “Tiket sudah habis dua minggu sebelum konser,” katanya. Keuntungan dari konser tersebut disumbangkan ke Yayasan Kanker Anak Indonesia. Meskipun terhitung cukup ramai pengunjung, konser ini belum mampu memikat para media untuk mempublikasikannya. Padahal menurutnya, press release dan sponsor sudah diberikan kepada media-media. “Mungkin hal ini dikarenakan lagu anak-anak kurang menjual,” imbuhnya. Pria lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta ini menambahkan, kekuatan modal menjadi pemicunya. “Seandainya saya punya power untuk industri. Saya akan berusaha untuk itu. Tapi inilah masalah pemilik modal. Kalau kamu mau menjual sesuatu, ditanya lebih dahulu oleh poduser, ini menjual atau tidak. Saat ini yang menjual adalah lagu yang bisa bikin ‘joget’ (red: dangdut),” jelas Adit. Menjadi konsekuensi logis,
Foto: Istimewa
tatkala tayangan-tayangan yang menampilkan musik dangdut memakan jam tayang yang tidak pndek. Dua jam sudah menjadi waktu paling sebentar. Hal itu yang membuat Aditya sengajat tidak memiliki TV di rumah. “Alhamdulillah saya tidak punya tv. Lebih baik saya setelin youtobe yang kontennya bisa saya pilah sendiri. Mana yang edukatif untuk anak dan mana yang tidak,” ujarnya. Sama halnya dengan Indah. Aditya pun menyetujui pntingnya musik bagi perilaku manusia. Ia memberi contoh tatkala anak-anak ingin menghafal sesuatu. Menurutnya anak-anak lebih mudah menghafal bila diiringi dengan musik. “Contohnya anak usia 2-5 tahun disuruh menghafal A-Z, susah atau tidak? Tapi dengan musik mereka bisa dengan cepat menghafal. Dengan musik bisa memudahkan,” ujarnya. Inilah mengapa Aditya menganggap pentingnya musik. “Inilah pentingnya musik. Dia bisa menjadi sarana propaganda, religi, komunikasi, edukasi. Fungsinya banyak sekali,” tukasnya. Melengkapi Indah, Aditya memberi ciri-ciri lagu anak yang baik untuk anak-anak. Menurutnya ada tiga aspek yang harus diperhatikan untuk memilah mana lagu yang edukatif dan tidak, yaitu kefokusan tema, lirik yang positif
dan tidak ambigu, serta melodi yang sederhana. Terkait kefokusan tema, jangan sampai pesan yang disampaikan terlalu banyak. “Misalnya naik kererta apai. Dari awal sampai habis, dia membahasnya kereta api. Tidak kemana-mana. Karena kalau dalam satu lagu banyak informasi, akan sulit sampainya,” ucapnya. Kemudian terkait lirik, pria beranak dua ini mencontohkan kata ayo semangat. “Seperti kata ayo semangat. Ini mengajak anak untuk semangat,” tuturnya. Sedangkan untuk melodi, Adit mencontohkan lagu yang hanya menggunakan tiga chord. Karena menurutnya, tiga chord ini bisa membuat lagu enak didengar. “Lagu yang bagus itu kalau sekali denger, orang langsung nempel,” tuturnya. Namun harus kembali diakui, lagu semacam itu hanya bisa ditemui pada lagu-lagu karya Pak Kasur, Ibu Sud,serta AT Mahmud. Sebab, industri musik saat ini sedang bersuka ria menampilkan lagu-lagu orang dewasa. “Sebagai dosen, saya hanya bisa menyelenggarakan konser,” tutup Aditya. Yogo Harsaid
EDISI 46
43
SENI & BUDAYA
Kisah Dibalik Odong-Odong
A
da dua buah odong-odong siap pakai dipajang di sebuah bengkel odong-odong, di pinggir jalan Cipinang, Jakarta Timur. Satu odong-odng untuk disewakan, dan satu lainnya untuk dijual. Di bagian dalam ruangan, ada sekitar 4-6 orang sedang sibuk berkegiatan. Ada yang mengelas besi, mengetok besi, memasang kerangka odong, dan sebagainya. Termasuk Kang Asep, pemilik bengkel dan odong-odng, yang tengah sibuk mencari baut-baut. “Iya nih lagi ribet benget. Kalau mau wawancara besok siang saja datang lagi,” sarannya. Atas saran itu, keesokan harinya DIDAKTIKA,
44
Foto: Istimewa
kembali berkunjung ke bengkel odong-odong Kang Asep. Ketika ditemui, seperti hari kemarin, Kang Asep juga sedang sibuk beraktivitas. Kali ini tengah mengelas untuk kerangka odong-odng. “Ayo silahkan. Tidak apa-apa wawancara sambil seperti ini (baca:mengelas),” ujar Kang Asep, tangannya tetap memegang mesin las. Kang Asep adalah sosok yang bekerjanya kerap berkaitan dengan permainan anak-anak. Sebelum berkecimpung dengan dunia odongodong di Jakarta, Kang Asep telah berkecimpung lebih dulu dengan permaianan anak-anak di Lampung. “Awalnya saya di Lampung. Saya bekerja di permaianan anak-anak. Tong setan namanya,” ucapnya.
Kang Asep, pria asal Sukabumi ini membuka bengkel odong-odong sejak 2006. “Sudah 10 tahun yang lalu, yaitu ketika anak pertama saya berumur 7 tahun. Sekarang umurnya sudah 17 tahun,” ucapnya. Sebelum bisa membuka bengkel, Kang Asep menarik odong-odong sendiri terlebih dahulu. “Dulu sempet narik dulu.” Lambat laun bengkel tersebut tidak hanya memperbaiki odong-odong yang rusak. Tapi juga merancang odong-odong. Kang Asep mengakui, dalam merancang odong-odong dirinya belajar secara otodidak. “Merancang odongodong belajar sendiri. Saya selalu ingin mencoba. Ternyata Alhamdulillah, lebih awet bikin sendiri,” sahutnya. Dengan penuh keyakinan Kang Asep berani memberikan garansi dua tahun untuk tiap unit odong-odong. Karena menurtnya, ada odong-odong diluar buatannya tidak tahan lama. “Ada yang baru 3-4 bulan sudah ada yang patah besinya,” imbuhnya. Dalam pembuatannya, tidak sepenuhnya dibuat oleh Kang Asep. Mainannya, ia beli dari Pasar Gembrong, Jatinegara, Jakarta Timur. “Tadinya cetak sendiri pake fiber, tapi prosesnya lama kalo nyetak. Karena belum ngecatnya segala macem,” jela Kang Asep.
Kemudian, setelah uang terkumpul, empat tahun berselang Kang Asep menjadi orang yang menyewakan odong-odong. Bermula dari hanya empat unit yang disewakan, kini Kang Asep memiliki 20 unit yang siap untuk disewakan. Tiap satu odong-odong disewakan dengan harga Rp 30.000,- per harinya. Bukan perkara mudah bisa memiliki 20 unit odong-odong. Penipuan kerap dialami oleh Kang Asep. Setidaknya ada lima unit odong-odong yang pernah dibawa kabur oleh penyewa. “Lima unit odong-odong pernah hilang dibawa kabur. Ya namanya orang, tergantung niatnya,” keluh Kang Asep. Selain membuka jasa penyewaan dan memperbaiki kerusakan odong-odong, Kang Asep juga menerima pesanan bila ada yang berminat membeli odong-odong. Menurut Kang Asep, barang dagangannya sudah sampai ke Ambon. “Kereta saya jual kemaren sampai ambon,” ujar Kang Asep, sembari merancang odong-odong pesanan dari Bogor. *** Rumahnya tepat di depan kali. Pintu rumahnya hanya satu. Tempat mandi, ruang tamu, dan dapur, digabung dalam satu ruangan. Sementara itu, kamar tidur dan ruang keluarga, juga dipadu dalam satu ruangan. “Saya pilih kontrakan ini, karena kontrakan ini sudah yang paling murah,” ucap Ahmad Yani, penarik odong-odong. Dan letaknya yang tepat di depan kali menjadi nilai lebih tersendiri. Menurut Yani, setiap habis hujan banyak besi dan alumunium yang lewat kali. “Saya suka menyeroknya. Dan lumayan hasilnya,” tambahnya. Sudah enam tahun Ahmad bekerja sebagai penarik odong-odong. Awalnya, dia ditawari oleh temannya. “Saya sedikit dipaksa narik sekali oleh teman saya. Nanti katanya kalau merasa gak enak, boleh tidak narik lagi,” ucapnya. Ahmad pun menuruti permintaan temannya tersebut. “Saya justru jadi ketagihan.” Selain itu, pendidikan yang rendah turut menjadi penyebab dirinya menjadi penarik odong-odong. “Iya. Saya hanya hanya lulusan SMP,” ucap pria beranak satu ini. Di samping sebagai penarik odong-odong, Yani juga berjualan pempek. “Sore hari setelah narik (odong-odong), saya berjualan pempek,” akuinya. Menurutnya, pendapatan dari menarik odong-odong lumayan untuk nambah-nambahi pendapatan. Satu hari Ahmad bisa mendapatkan 140.000. Ada beberapa faktor agar berhasil mendapatkan uang sebanyak itu. Faktor pertama adalah cuaca. “Cuacanya kaya gini (baca:berawan). Jadi adem. Kalo panas, anak-anaknya jarang keluar,” tuturnya. Kemudia factor selanjutnya ialah terus menarik tanpa berhenti dari pagi hingga sore. “Tidak turun (dari odong-odong). Makan dijalan pakai roti. Dari pagi sampai sore,” akui Ahmad.
Yogo Harsaid EDISI 46
45
Suplemen
Ujung Kulon Tanpa Taman 46
Foto: Didaktika
D
Nasional
i ujung barat Pulau Jawa, banyak orang yang khawatir saat mencari nafkah. Menjadi nelayan kecil saja bisa dipenjara. Mereka, dituduh mencuri di laut, sumber penghidupan mereka selama turun-temurun. Ujung Kulon 2014. Musim kemarau berlangsung hingga Oktober. Para petani meninggalkan sawahnya yang kering. Sebagian memilih beristirahat di rumah, menunggu datangnya hujan untuk kembali bercocok tanam. Yang lainnya, mencari pekerjaan sementara agar nafkah tetap terpenuhi. Termasuk Damo, yang istrinya sedang hamil muda. Dia butuh tambahan biaya agar bisa memberi asupan gizi demi menjaga kesehatan sang istri, Juminah. Sebelumnya, dia pernah beberapa kali menjadi nelayan untuk memperoleh penghasilan tambahan. Kali ini, peruntungan itu coba diulangi kembali. Awal Oktober, pria paruh baya tersebut berangkat melaut bersama Misdan dan Rahmat. Dengan jaring dan jala, mereka mencari udang dan ikan di sekitar laut bagian barat Pulau Jawa. Kegiatan itu berlangsung selama berhari-hari. Hingga pada tanggal 3 Oktober, keadaan cuaca memburuk. Perahu yang membawa mereka hanya berukuran 9x1 meter. Tidak akan sanggup menahan sapuan gelombang laut. Mereka harus menepi ke daratan. Yang terdekat saat itu adalah Pulau Jamang. Di sana mereka kemudian melabuhkan perahunya. Sambil menunggu cuaca membaik, mereka sepakat untuk menyiapkan kerang rebus sebagai santapan. Tidak ada yang menyangka bahwa hari itu mereka akan ditangkap oleh petugas Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). **** Damo, Misdan dan Rahmat dijadikan tersangka atas tuduhan pencurian biota laut di kawasan TNUK. Sejak 4 Oktober mereka ditahan di rumah tahanan (rutan) Pandeglang. Persidangan kelima kasus tersebut digelar pada Selasa, 23 Desember, di kantor Pengadilan Pandeglang, Banten. Hadir sejumlah petugas TNUK yang menangkap ketiga orang tersebut untuk memberi kesaksian. Di antaranya Abud Syaifudin. Dalam kesaksiannya, Abud menceritakan kronologis penangkapan. Ketika itu, sebuah tim berjumlah 13 orang yang dipimpin olehnya berpatroli sejak jam sembilan pagi. Menggunakan kapal T.M. Jaya mereka menyusuri Pulau Handeuleum. Tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, mereka bertolak menuju Pulau Jamang. Di pulau yang terakhir ini tim patroli melihat sebuah perahu kecil di dekat pantai. Setelah didekati, Abud menemukan Misdan yang sendirian di dalam perahu. Atas sepengetahuan Misdan, tim patroli memeriksa perahu. Mereka pun mendapati sejumlah biota laut hasil tangkapan. “Kami menemukan 23 kepiting bakau, 1 kepiting bintang dan 4 udang lobster,� Abud menuturkan. Tidak jauh dari perahu, petugas melihat Damo dan Rahmat tengah berada di daratan Pulau Jamang. Abud menerangkan bahwa kedua orang tersebut tampak seEDISI 46
47
dang menyisihkan kerang dari jaring. Tim meyakini biota yang ditangkap ketiga nelayan tersebut berasal dari Pulau Jamang, salah satu kawasan yang dilindungi Taman Nasional. Hal tersebut diklaim menjadi dasar penangkapan Damo, Rahmat dan Misdan. Hakim Yunto Safarilo menanyakan tempat persebaran biota yang ditangkap tersebut. “Kepiting, udang dan kerang itu bisa gak ditemukan di pulau lain,” tanyanya. Abud menjawab bahwa hal itu kecil kemungkinannya. Sebab, kondisi alam Pulau Jamang memang mendukung sebagai habitat biota jenis tersebut. Lagi pula, Abud menekankan bahwa lokasi penangkapan biota yang menjadi persoalan. “Mereka tidak punya izin. Izin itu berupa tiket masuk,” ucapnya. “Ada tanda peringatan gak yang menunjukkan bahwa kawasan itu masuk zona konservasi,” Hakim Imelda Merlin Asani mengajukan pertanyaan. “Ada tapi sudah rusak,” kembali Abud menjawab. Jawaban itu segera memancing kecaman dari kuasa hukum Damo, Rahmat dan Misdan. Salah satunya Hendra Supriatna dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH). “Jika tidak ada papan peringatan, apa yang menjadi penanda bagi para nelayan? Mereka kan tidak punya alat semacam GPS,” ujar Hendra. Lagi pula, Hendra menjelaskan biota yang ditangkap ketiga nelayan asal Kecamatan Sumur tersebut tidak termasuk sebagai hewan yang dilindungi. Dan tidak ada pidana yang perlu diberlakukan atas penangkapannya. Hakim memberi kesempatan bagi para terdakwa mengoreksi kesaksian Abud. Rahmat menyangkal bagian ketika dirinya dikatakan sedang menyisihkan kerang dari jaring. Dia mengatakan dirinya sedang memasak air. Yang pada saat itu, memang ditujukan untuk memasak kerang ketika mereka beristirahat di pulau. Tidak ada pilihan lain, kondisi cuaca buruk saat itu. Di penghujung persidangan, dengan emosional Misdan juga membatah sejumlah pernyataan saksi. Bahkan tidak sadar berbicara dengan bahasa Sunda. Misdan mengulang pernyataannya dengan bahasa Indonesia. “Kerangnya juga kamu makan, kan,” tanya Misdan dengan nada tinggi. Abud mengakuinya dengan beralasan agar timnya tidak mabuk laut karena ombak begitu besar. Mendengar itu, peserta sidang langsung menyorakinya, “Wooooo.” **** Penangkapan Damo, Misdan dan Rahmat mengundang reaksi dari masyarakat, khususnya warga Ujung Kulon. Misalnya, Gusroni (26), penduduk Desa Ujung Jaya. Di sela-sela kesibukannya mencari nafkah dan mengurus keluarga, Gusroni menyempatkan diri terlibat aktif dalam gerakan membela rekan sekampungnya. Tentu rasa solidaritas itu tidak muncul tiba-tiba. Sebelumnya, dia mengumpulkan keterangan dari sejumlah pihak mengenai kronologis kejadian.
48
Kebetulan, sehari sebelum persidangan kelima digelar, tim DIDAKTIKA menginap di rumah Gusroni. Pada kesempatan itu dia menceritakan hasil penelusurannya mengenai kronologis penangkapan. Menurutnya, Damo, Rahmat dan Misdan bukan ditangkap oleh petugas TNUK yang sedang berpatroli di laut. Kedua pihak telah membuat kesepakatan. Petugas bersedia melepaskan ketiga nelayan tersebut, dengan syarat seluruh hasil tangkapan mereka diserahkan kepada petugas. Damo dan kawan-kawan memilih untuk menghindari masalah. Mereka setuju dengan usulan tersebut. Mereka pun berangkat pulang tanpa membawa 23 kepiting bakau, 1 kepiting bintang, 4 udang lobster, serta kerang yang sebelumnya dipersiapkan untuk dimasak. Tetapi, dalam perjalanan pulang, mereka bertemu dengan polisi hutan (polhut) di pantai. Kesialan kembali terulang. Sambil menunjukkan seekor burung yang sedang terperangkap dalam jebakan, polhut menuduh mereka bertiga melakukan perburuan liar di kawasan Taman Nasional. Tanpa perlu berdebat panjang, polhut segera membawa mereka ke kantor polisi. Keesokan harinya, 4 Oktober, Damo dan kawan-kawan dibawa ke rutan Pandeglang. Mereka tidak diberi kesempatan untuk bertemu kerabat atau keluarga. Gusroni menduga reaksi polhut yang terlalu cepat tersebut dipicu kasus hilangnya kamera pengintai yang dipasang di Taman Nasional. Belakangan, hal itu sering terjadi. “Mereka mengaitkan kasus ini dengan aktivitas perburuan burung,” ucapnya. Namun, tuduhan tidak terbukti. Damo dan kawan-kawan tidak terlibat sama sekali dengan perburuan burung. Sehingga, tuduhan mengenai hal tersebut dihapus dalam pemberkasan sidang. Bahkan, tidak pernah dibicarakan lagi. Meski begitu, Damo, Misdan dan Rahmat tetap ditahan. Mereka dipersalahkan atas tindakannya sebelumnya, yaitu menangkap sejumlah biota laut. Atas tindakan ini, mereka dianggap melanggar pasal 33 Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati. Hal ini membuat mereka terancam hukuman penjara lima tahun serta denda sebesar Rp 100 juta. Selain Gusroni, Penasihat hukum tersangka, Hendra Supriatna juga melihat kejanggalan dalam kasus tersebut. Misalnya, polisi tidak memberikan Surat Tugas dan Surat Perintah Penangkapan ketika melakukan penangkapan. Padahal, ketentuan itu tercantum dalam pasal 18 ayat 1 KUHAP. Selain itu, pembuatan berkas juga tidak melibatkan penasihat hukum tersangka. Karena itu, Hendra sempat mengajukan permohonan pra peradilan. Namun, permohonan tersebut ditolak oleh hakim.
Daniel Fajar
Suplemen
Foto: Istimewa
Lonceng Peringatan Dari Meja Pengadilan
K
asus penangkapan Damo dan kawankawan menjadi peringatan bagi warga Ujung Kulon. Mereka tidak tinggal diam. Sejumlah gerakan untuk menuntut pembebasan Damo dan kawan-kawan diadakan. Sebab, warga menyadari kasus tersebut berakar pada persoalan yang selama ini menghantui mereka. Yaitu, penetapan status Ujung Kulon sebagai Taman Nasional. Hal ini menyebabkan sengketa lahan antara warga dan pemerintah. Desa Ujung Jaya merupakan salah satu permukiman yang sudah berdiri sejak masa kolonialisme Belanda. Pemerintah kolonial memberikan lahan tersebut sebagai imbalan bagi para pekerja pembangunan Lapangan Banteng. Kemudian,
sejak 1921, daerah tersebut dijadikan kawasan Cagar Alam. Belanda memberikan sertifikat cap singa atau yang biasa disebut girik kepada masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Penetapan Ujung Kulon sebagai kawasan Cagar Alam disebabkan karena, terdapat sejumlah hewan langka yang hidup di sana. Yang terkenal di antaranya adalah Badak Jawa. Keadaan tersebut tidak banyak berubah hingga Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 1945. Pada 1992, melalui SK Menteri Kehutanan nomor 284/Kpts-II/1992, status Cagar Alam Ujung Kulon berubah menjadi TNUK. Luas arealnya mencapai 120.551 Ha. Perubahan ini menyebabkan ketegangan antara pemerintah dan masyarakat. Sebab, luas wilayah konservasi yang EDISI 46
49
Tetapi, gerakan masyarakat tidak berhenti sampai di situ. Bahkan, ketika sebuah musibah menimpa warga saat dalam perjalanan menuju kantor Badan Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK), pada 8 Desember. Mobil bak terbuka yang ditumpangi 20 warga Ujung Jaya tergelincir dan terbalik di daerah Cigeulis. Beruntung insiden itu tidak sampai memakan korban jiwa. Namun, sejumlah warga mengalami luka parah. Usup (40), salah satu korban, mengatakan bahwa sopir mobil mengemudi dalam keadaaan mengantuk. Karena kecelakaan tersebut, mereka membatalkan unjuk rasa yang rencananya akan digelar keesokan hari. Korban lainnya, Opur, mengalami luka parah. Dia sempat tidak sadarkan diri selama beberapa hari di rumah sakit. Bahkan, ketika pulang ke rumah, tubuhnya masih belum dapat digerakkan dengan leluasa. Sebenarnya, luka yang diderita Opur belum sembuh benar. Tapi petani tua itu lebih memilih pulang karena takut tagihan rumah sakit semakin membengkak. Ketika tim DIDAKTIKA mengunjungi rumahnya, dia sedang terbaring lemas di atas kasur. Opur hanya mengandalkan pengobatan alternatif dari sesepuh tua di kampungnya. Dari sesepuh itu, dia mendapatkan sebotol air mineral yang baru saja didoakan. Air itu yang menjadi obat tambahan bagi Opur. Meski begitu, dia mengaku tidak menyesal telah bergabung dalam aksi tersebut. “Mereka yang menembak saudara saya. Ini tidak bisa dibiarkan terus,” ucap Opur lemas. Saudara yang dimaksud ialah Komaruddin, pria yang tewas ditembak polhut TNUK pada 2007 lalu. “Dia cuma mengambil kayu dari kebun miliknya,” tambahnya lagi. Menggantikan aksi yang batal, warga menggelar Konsolidasi Rakyat Ujung Kulon pada 21 Desember. Eman, salah satu penggagasnya mengatakan acara tersebut disiapkan hanya
Foto: Didaktika
ditetapkan pemerintah meliputi lahan pertanian dan perkebunan warga. Tidak hanya itu, warga juga dilarang melakukan aktivitas di dalam areal tersebut. Hal ini memicu ketegangan antara warga dan pemerintah. Pada 2006, seorang warga Ujung Jaya tewas karena timah panas yang dilepaskan polhut TNUK. Warga yang kesal atas kejadian tersebut segera merusak kantor petugas TNUK. April 2009, tiga orang dari desa yang sama ditangkap aparat kepolisian karena menebang kayu di kawasan TNUK. Empat bulan berikutnya, juga dari desa yang sama, lima warga ditangkap dengan tuduhan perambahan hutan. Terakhir, penangkapan Damo dan kawankawan pada 3 Oktober 2014. Sejumlah warga merasa perlu kembali campur tangan agar persoalan seperti ini tidak terulang kembali. Selain menuntut pembebasan Damo dan kawan-kawan, warga juga meminta persoalan sengketa dengan TNUK segera diselesaikan. Mereka bahkan mendatangi kantor kementerian kehutanan di Jakarta, Selasa 18 November. Saat itu, mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyuarakan keluh kesah. Sejumlah elemen masyarakat, baik yang berasal dari Banten mau pun Jakarta, ikut dalam aksi tersebut. Pihak kementerian merespon dengan mengajak perwakilan massa aksi berdialog. “Dalam dialog kami sepakat untuk mengirimkan surat kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti,” ucap Hendra Supriatna, yang pada saat itu ikut berdialog. Surat itu berisi dua tuntutan yaitu mendesak pihak kementerian segera membebaskan Damo, Misbat dan Rahmat. Kemudian segera mengusut tuntas persoalan batas wilayah TNUK yang menjadi penyebab konflik. Pemenuhan tuntutan itu diberi tenggat hingga 5 Desember 2014 terhitung sejak dilakukannya aksi.
50
dalam dua hari. Tidak perlu lama memang. Acara dikemas cukup sederhana. Mereka memanfaatkan tanah lapang yang biasa digunakan masyarakat Desa ujung jaya melakukan kegiatan. Sebuah panggung kecil didirikan. Di sisi kiri panggung, terdapat tiga baris kursi yang disusun dengan terpal biru sebagai atap. Di sisi kanan panggung, terdapat baliho yang memuat tuntutan warga. Isinya; “hentikan intimidasi dan kriminalisasi rakyat UK; bebaskan Damo, Rahmat, dan Misdan sekarang juga; kembalikan hak-hak rakyat UK atas tanah yang dirampas TNUK; laksanakan reformasi agraria sejati.” Meski terkesan tidak menarik, warga antusias menghadiri konsolidasi terbuka tersebut. Banyak dari mereka yang merupakan petani. Mereka datang setelah mengurus ladangnya. Membiarkan matahari siang mengeringkan lumpur yang menempel di kaki mereka. Karena konsepnya mimbar bebas, sebuah podium diletakkan di atas panggung. Dari podium itu, sejumlah elemen yang mengawal kasus agraria di Ujung Kulon angkat bicara. Tidak ketinggalan, sejumlah pemuka masyarakat menyampaikan pendapatnya. Seperti Kepala Desa Ujung Jaya Kamirudin. Dibantu mikrofon yang disambungkan ke sound, Kamirudin berbicara kepada warga. Baginya, betapa pun tingginya riwayat pendidikan pejabat TNUK, menjadi percuma jika mereka tidak berpihak kepada masyarakat. Tokoh Banten Selatan, Ali Balfas, juga hadir dalam acara tersebut. Dalam pidatonya, dia menceritakan ada pihak yang memintanya diam atas kasus penangkapan Damo dan dua kawannya. Namun, permintaan itu segera ditolak. Dia lebih memilih mendukung rakyat UK mendapatkan hak-haknya. Salah satu warga Ujung Jaya, Fauzan Adimah, mengatakan bahwa Ali Balfas telah berupaya menyelesaikan konflik tersebut. “Beliau bahkan sampai membantu pembiayaan perjuangan kita,” ucapnya. Selama acara berlangsung, Dedi Supriadi mengingatkan kepada warga untuk tidak terpaku pada kasus penangkapan Damo dan kawankawan saja. Mereka harus melihat pokok permasalahan yang lebih jauh. Yaitu, upaya TNUK mengasingkan mereka dari tanah penghidupan mereka sendiri. Hal itu diperkuat Tokoh Banten Selatan Muhammad Syahri dalam pidatonya. Merujuk AlQuran, Syahri berceramah bahwa Allah tidak akan memberikan perubahan tanpa usaha dari manusia. Makanya, masyarakat harus berjuang mempertahankan tanah mereka yang telah diwariskan leluhur. “Selama batasnya belum jelas, wilayah itu berarti masih bebas,” serunya lantang, disambut tepuk tangan hadirin. Koordinator Tim Advokasi Rakyat Ujung Kulo, Fauzan Adimah, mengatakan jika sengketa tidak kunjung diselesaikan, maka kasus Damo dan
kawan-kawan akan terulang. “Persoalan ini akan kita wariskan ke anak cucu kita. Bapak ibu tidak mau kan?,” menyambut pertanyaan Fauzan, secara serempak warga menjawab, “tidak.” Fauzan juga menjelaskan bahwa sebelum TNUK berdiri, desa mereka telah memiliki kebudayaannya sendiri. Kebudayaan itu telah mengatur kehidupan masyarakat. Perwakilan Front Perjuangan Pemuda Indonesia Satrio P. Hutomo mengingatkan contoh kebudayan tersebut, yaitu ajaran yang telah diwariskan salah satu leluhur mereka, Abah Pelen. Isinya mengenai konsep hutan tutupan dan hutan titipan. Di wilayah yang pertama, masyarakat dilarang melakukan aktivitas. Sedangkan hutan titipan boleh dimanfaatkan warga untuk penghidupannya dengan menaati sejumlah peraturan. Salah satunya, dilarang menebang pohon sembarangan. “Kita tidak perlu didikte taman nasional,” teriak Satrio. Ujung Jaya ternyata bukan satu-satunya desa yang mengalami sengketa denga Taman Nasional. Budi, dari Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (AGRA) menjelaskan terdapat 50 Taman Nasional di seluruh Indonesia. 32.000 desa yang terdapat di taman tersebut terancam disingkirkan. Pemerintah berdalih tindakan tersebut dilakukan demi melindungi satwa-satwa langka yang terdapat di kawasan tersebut. Misalnya badak. “Yang namanya badak itu barang jualan,” tegas Budi. Menurutnya, satwa yang populasinya kini tinggal 50 ekor tersebut hanya dijadikan objek wisata. Padahal, warga yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional juga harus diperhatikan. **** 116 hari sudah Damo, Misdan dan Rahmat mendekam di rutan Pandeglang. Terpisah dari keluarga dan kawan-kawan. Mereka tidak dapat menahan syukurnya, langsung bersujud setelah mendengar putusan Mejelis Hakim pada 28 Januari 2015. Mereka dinyatakan tidak terbukti bersalah atas tuduhan pencurian biota laut. Sebab, dalam UU nomor 5 tahun 1990 tidak menyebutkan secara jelas mengenai jenis biota yang dilarang untuk ditangkap. Selain itu, batas wilayah konservasi tidak jelas. Apalagi di laut. Tidak ada penanda yang membantu warga membedakan antara wilayah konservasi dan non-konservasi. Pada hari itu juga, mereka bertiga pulang. Mereka dijemput orang-orang yang selama ini mendukung pembebasan mereka, diantaranya keluarga, warga Ujung Jaya dan sejumlah organisasi masyarakat. Mereka kembali ke Ujung Jaya, kampung yang mereka tinggalkan selama tiga bulan. Dan hingga saat itu, masih dibayangi persoalan sengketa agraria. Tanpa langkah cepat dari pemerintah, serta kebijakan yang berpihak pada masyarakat, kejadian serupa bukan tidak mungkin akan terulang.
Daniel Fajar
EDISI 46
51
Karya
Hak Paten dan Cat Anti-Radar dari Rawamangun “ Meneliti itu bukan untuk terkenal tetapi meneliti itu untuk senang “
A
da pemandangan menarik pada salah satu sudut Gedung Fakultas Ilmu Matematika dan Pengetahuan Alam (FMIPA). Pemandangan tersebut berupa spanduk bertuliskan “Selamat dan Sukses atas perolehan Hak Paten Material Magnetik”. Di gedung bekas tempat berkegiatan mahasiswa FMIPA tersebut terdapat sebuah ruang dosen. Ruangan tersebut tidak begitu luas, berukuran 4x4 meter. Ruangan tersebut dibagi menjadi enam ruangan hanya dibatasi oleh kayu coklat. Dari subruangan tersebut, keluar seorang pria dengan berkaca mata tebal dengan rawut wajah sdikit mengantuk. Dia adalah Erfan Handoko, Dosen Program Studi Fisika. Erfan bukan dosen biasa, ia merupakan salah satu fisikawan yang mendapat Hak Paten tentang Material Science pada 2015 lalu. Ketertarikannya dengan Material Sciense dimulai sejak menyusun skripsi dan lulus dari Universitas Indonesia pada 1997. Bagi dirinya, Material adalah ladang buat ia mengeksplorasi. “Semua barang elektronik yang kita gunakan tidak lepas dari material magnetik bahkan tangan pun mengandung magnet,”ucap Erfan sambil tersenyum. Aplikasi dari bahan magnetik, lanjutnya, sangat luas dan tidak hanya digunakan pada motor serta sensor. Magnetik dapat menyerap gelombang dengan frekuensi tinggi, meski dengan modifikasi. Seperti diketahui. jenis bahan magnet sangat banyak. Akan tetapi, Erfan fokus meneliti bahan magnetik oksida. Bahkan dalam
52
Erfan Handoko
Material Magnetik
Hak patennya masih menggunakan bahan magnetik oksida. Sepanjang perjalanan penelitian Erfan terus
menggali potensi-potensi di bidang material magnetik. Salah satu penelitiannya pengaruh bahan kemagnetan terhadap panas yang ia beri judul “Subtitusi Cobal Terhadap Material Magne-
tik Nd-(Fe,Co)-B”. Penelitian yang dilakukan oleh tidak hanya sampai situ tetapi dia meneruskan dan mengembangkan penelitiannya hingga Strata tiga (S-3). Kendati demikian, ketika kuliah Strata satu (S-1) hanya meneliti magnet kuat tetapi. Namun, sejak 2010 hingga sekarang, ia mencoba mengembagkan fungsi magnet untuk fungsi absober. Dari kedua penelitian tersebut masih memiliki satu ruang lingkup yaitu fisika material. Yang membedakan adalah variabel-variabel yang digunakan. Penelitiannya yang terus menerus membuahkan hasil. Ia mendapat Hak Paten di tahun 2015 yang berjudul “Material Magnetik Ba〖Fe〗_10 TiCoO_19 untuk Aplikasi Penyerap Gelombang Frekuensi Tinggi”. Metode pembuatan dan aplikasi bahan Ba〖Fe〗_10 TiCoO_19 denan menggunakan pasir besi (〖Fe〗_3 O_4) sebagai bahan utama yang dalam proses pencampurannya menggunakan ultrasonik 40 kHz. Bahan sesuai dengan invasi ini memiliki kemampuan untuk menyerap gelombang elektro magnetik frekuensi tinggi pada orde giga hertz (11,5-13,5 Ghertz). Ia menceritakan bahwa ide-ide penelitiannya berasal dari jurnal-jurnal ilmiah di dunia dan diskusi-diskusi antar dosen. Penelitian Hak Patennya dikerjakan secara bersama dengan mangasi salah satu dosen kalkulus. Aplikasi dari penelitian hak patennya dapat diterapkan di cat anti-radar. Fungsinya adalah agar suatu benda tak bisa dilacak oleh radar. Rencananya ia akan berkerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI ) karena berguna untuk kepentingan militer dan fasilitas di Markas TNI AU lengkap. Bukan Bangga, Melainkan Ajakan untuk Meneliti Menurut Erfan mendapatkan hak paten bukanlah suatu kebanggaan, melainkan hak paten tersebut dapat menginspirasi dan mengajak civitas akadeika UNJ untuk lebih aktif meneliti. “Meneliti itu adalah suatu kesenangan tersendiri karena dari meneliti kita tahu ada yang menarik dari suatu ilmu,” ujarnya. Ia berharap mahasiswa punya semangat untuk meneliti, bukan hanya sekadar skripsi atau penelitian biasa. “Bagaimana kita mau world class kalo penelitian kita aja gitu-gitu aja,” jelasnya. Mahasiswa tidak perlu takut dengan hasil tidak sesuai karena dari hasil tersebut bisa diditeksi kesalahan dan keakuratan. Dalam penelitian tidak ada yang gagal tetap hasil yang kurang optimal. Sebab, dalam pendidikan bukan hasil yang terpenting, melainkan prosesnya.
Annisa Nur Istiqomah
EDISI 46
53
Foto: Istimewa
Profil
Nakal dan Berakal
M
encari opini, maka kita harus membeli koran atau majalah nasional. Barangsiapa yang telah mampu menembus media cetak tersebut, maka telah pantas diagung-agungkan. Seperti yang selama ini kita pikirkan, media-media tersebut memiliki pekerja yang professional dan akan melakukan kurasi ketat terhadap tulisan yang akan mereka terbitkan. Tapi itu dulu. Ketika hegemoni berita hanya milik mereka, rak-
54
sasa-raksasa media yang meraih oplah berlimpah. Teknologi berbasis internet telah berkembang pesat. Perlahan tapi pasti, mulai menginjakinjak industri media yang tak terbuka terhadapnya. Kini, kita bisa dengan mudah membaca opini dari siapa saja. Mulai dari mereka yang disebut pakar, doktor, mahasiswa, ibu rumah tangga, pedagang, bahkan tukang becak. Media sosial telah memberi ruang bagi mereka yang ingin bicara dan dibaca tanpa proses seleksi ketat. Era digital mengubah prestis para penulis. Sekarang, penulis yang terkenal bukan lagi dilihat dari seberapa sering namanya muncul di media cetak atau media lainnya. Tulisan yang bisa disebut keren adalah yang mampu disukai dan dibagi oleh ribuan orang. Situs soclab.co menyebutkan, pengguna internet Indonesia pada 2015 telah mencapai angka 93,4 juta jiwa dengan penetrasi sebesar 56%. Melihat pertumbuhan ini, membuat sosok Puthut EA tertarik untuk terjun di dunia digital. “Era sekarang dan masa depan adalah dunia siber,” ucapnya. Penulis novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu ini membangun beragam situs daring dengan beragam spesifikasinya. Situs tersebut ialah Mojok, minumkopi, pindai, jombloo dan fandom. Ia membangun situs-situs ini untuk memberikan variasi media sehingga pembaca memiliki pilihan. Tiap situs memiliki tujuan yang berbeda-beda. “Ada yang supaya pembaca punya informasi yang memadai. Ada yang mengajak pembaca berpikir kritis. Namun ada juga yang menghibur pembaca,” jelasnya. Fitur media sosial membuat interaksi dan arus berita berjalan cepat. “Sehingga tidak terjadi monopoli informasi,” kata pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah tersebut. Ia juga
tidak menolak ketika media buatannya disebut sebagai media alternatif. “Bolehlah disebut begitu. Kalau dalam marketing disebutnya diferensiasi.” Sebut saja mojok.co. Alumnus fakultas filsafat Universitas Gadjah Mada ini menggandeng Agus Mulyadi, penulis buku Jomblo tapi Hapal Pancasila, sebagai redaktur. Sebagian besar, topik yang diangkat dalam mojok.co yaitu sosial, politik, hiburan, hingga keagamaan. Puthut menyebutkan siapa saja bisa menjadi penulis di mojok.co. Tentu tulisan yang dimuat telah melalui proses seleksi dari redaktur. Sedangkan sebagai sasaran, Puthut menyasar pembaca usia 25 sampai 40 tahun. “Dari fresh graduate sampai dengan karier mapan,” lanjut pria berusia 37 tahun ini. Mojok.co dikenal dengan gaya penulisan yang satir. Ciri khas ini yang kemudian menarik pembaca untuk selalu menunggu tulisan terbaru. Namun Puthut menyangkal bahwa satir merupakan keharusan. Menurutnya, tidak semua gaya penulisan di mojok.co berupa satir. Hanya saja satir memang merupakan gaya yang menantang secara intelektual. “Tetap saja, subtansi lebih diutamakan dari sekadar gaya,” katanya. Seperti yang dikatakan di awal, mojok.co sendiri merupakan media yang memberi ruang bagi siapa saja untuk dapat menuangkan pikirannya –walaupun tetap ada proses seleksi tersendiri guna kesesuaian konten pada sasaran. Puthut pun membaca sasarannya
Bahwa yang dibutuhkan netizen saat ini bukan lagi artikel ilmiah dengan istilah-istilah asing, melainkan bacaan yang ringan.
yang kemudian ia terapkan pada situs ini. Bahwa yang dibutuhkan netizen saat ini bukan lagi artikel ilmiah dengan istilah-istilah asing, melainkan bacaan yang ringan. Adapun yang dimaksud ringan tersebut ialah penggunaan bahasa sehari-hari dan sudut pandang terhadap masalah secara sederhana. Hal tersebutlah yang kemudian membuat mojok.co berbeda dari situs-situs pendahulunya seperti malesbanget.com atau hipwee. com. Kedua situs tersebut lebih bicara tentang gaya hidup anak muda kekinian. Kita dapat melihatnya dari judul-judul yang dikemukakan. Lima artikel yang terpopuler yaitu, ‘Tiga Alasan Kenapa ICJ Perlu GoNasional’, ‘Dari Didi Kempot Hingga Angkot’, ‘Tentang Kuntilanak dan Nenek Tua yang Selalu Muncul Setiap saya bertemu Puthut EA’, ‘Madura Swasta vs Madura Ori’, dan ‘Antara FPI, Si Jayus Pandji, dan Kegenitan Kelas Menengah Intelektual Kita’. Webmaster mojok.co, Aditya Rizki dalam laman hitsss.com membeberkan jumlah pengunjung laman dengan jargon Sedikit Nakal Banyak Akal ini telah mencapai 10.000 perharinya dengan jumlah klik 50.000. Tentu angka terebut merupakan capaian yang terbilang besar untuk situs yang belum mencapai setahun kala itu. Latifah Fawwaz
EDISI 46
55
Cerpen
Bang Mamat Gagal Ningkat
J
auh di balik aduhainya gedung - gedung mol, jauh di seberang lihainya mobil-mobil melintasi tol, jauh dari keemasan puncak monas pada megahnya ibu koa, air kali bekasi tumpah ruah. Sepasang suami istri terjebak di loteng rumah mereka. “Abang...sampai kapan kita tinggal di sini... sampai kapan kita seperti ini? aku pusing bang....“ Di dalam loteng buatan sang suami, mereka saling tatap, di kanan-kiri berserakan tumpukan pakaian, ada yang tertindih televisi, ada juga yang terhimpit priring-piring, betapa pengap loteng itu. “ .......... “ Tanpa kata, sang suami memeluk istrinya. “bang...tahun depan kita harus pindah! Atau paling engga abang tingkat rumah ini! pak randi saja sudah meningkat rumahnya, aku capek bang terus-terusan begini.. ” “...........” tanpa kata sang suami mencium kening istrinya. Sementara itu, di bawah mereka genangan air itu masih terus datang bersama lumpur, bagai tumpahan bajigur dari plastik raksasa. Lambat laun air banjir itu menenggelamkan habis seisi kamar dan menguasai sepenuhnya ruang rumah mereka. “Bruaaakkkkkkk....!” Jendela rumah mereka yang rapuh itu akhirnya tumbang, hanyut terbawa arus. Kemudian, di pojok ruang tamu, meja kayu terjungkil, pada pucuk meja kayu sang suami melihat sesuatu mengambang. Tiba-tiba sang suami melepas pakaian, lalu perlahan terjun dari loteng. “Abang ...! mau ngapain.. Hati-hati ah...awas licin! “
**** Seperti yang sudah sudah, kalau lagi musimnya banjir, rumah warga Kampung Pegepe biasa terendam hingga pintu rumah tak nampak mata. Rutinitas banjir tahunan yang melanda kam-
56
Ilustrasi: Istimewa
pung Pegepe ini tiap tahun selalu besar volume airnya bahkan makin meningkat. Banjir saat ini memang banjir tertinggi dalam sejarah kebanjiran Pegepe yang pernah ada. Tak bisa dipungkiri, dalam hati penduduk Pegepe pun banjir itu memang terasa layaknya musibah, membuat mereka susah. Penduduk kampung Pegepe khususnya di gang Q, memiliki satu hal lain yang menjadi kekhawatiran ketika banjir terjadi. Selain deras air mengancam nyawa dan harta benda, juga selain bakteri penyakit dari sampah-sampah, penduduk gang Q juga khawatir dengan si Mamat. Bagi mereka, banjir bukan cuma menjadi bencana materil, namun pristiwa ini bisa menjadi
serangan psikis, si Mamat-lah contohnya. Biasanya, setiap kali banjir pikiran Mamat jadi tak karuan, tensi darah si Mamat seakan naik total, ia menjadi lebih emosional. Banyak warga gang Q, panik kelau melihat Mamat waktu banjir. Perilaku tak wajar Mamat bagi mereka memang wajar, sebab akibat banjir Mamat yang melarat ini terpaksa libur narik ojek, belum lagi istrinya juga otomatis cuti dari dagang nasi uduk. Ketika banjir sudah surut, Mamat yang belum punya anak ini juga harus menjadi lelaki kuat, seorang diri berhadapan dengan lumpur, sisa-sisa sampah dan keamburadulan rumahnya, maka mendidihlah perasaanya, kesal hatinya, tapi entah kesal kepada siapa.
Yang jelas di mata Mamat ketika kebanjiran, wajah orang orang seketika nampak menyebalkan semua. Untungnya Mamat sangat tunduk dengan istrinya, sehingga kalau-kalau warga terlibat masalah dengan Mamat ketika situasi banjir, biasanya seseorang akan memanggil istrinya untuk menjinakan, lantas membawa pulang si Mamat. Saat motornya terendam ketika banjir dua tahun lalu, si Mamat pernah bikin seorang pemulung lari terbirit – birit. Mamat sedang menyeroki lumpur pasca surut banjir di teras rumahnya, tak sengaja melihat sosok pemulung sedang tersenyum senyum memilah - milah barang hanyutan di gunungan sampah depan EDISI 46
57
rumahnya. Tiba-tiba si Mamat jadi naik pitam, ia lalu berteriak sambil menghunuskan golok, mengusir pemulung. Ketika banjir besar tahun lalu Ria si pembantu muda sebelah rumahnya pun sempat dibikin heran plus ketakutan oleh si Mamat. Pasalnya, majikannya Ria sedang mengungsi ke rumah lainnya, sedangkan di rumahnya itu air mineral tidak cukup tersedia. Maka, Ria yang merasa menjadi langganan genit-genitannya si Mamat mencoba membuat taktik. Ketika banjir surut sampai selutut, ria melihat Mamat di ujung gang, membopong sekerdus air mineral dari posko banjir. Mengetahui si Mamat akan jalan melewati rumahnya, Ria langsung menggosok pagar rumahnya, lantas sengaja menegakan tubuhnya sedemikian rupa sehingga lekukan tubuhnya nampak lebih nyata. Ria juga menggemulaikan liukan lengan tangannya. Namun kalakuan si montok Ria itu tak membuat Mamat sesenti pun menengok, tidak juga menggodanya, apa lagi menawarkannya air mineral tersebut. Puncaknya, Ria merasa kehilangan daya tarik, ia pun berinisiatif menciptakan bunyi-bunyian batuk dari tenggorokan, berharap menarik perhatian si Mamat. Mamat pun mulai sadar akan suara batuk Ria yang tak menentu nadanya itu, lantas Mamat melotot sambil membentak, “berisik ah! dasar babu! “. Sejak itu banyak warga gang Q berpkesimpulan kalau banjir tiba sebagian urat saraf si Mamat akan hanyut entah kemana. Sudah lebih dari 3 tahunlah si Mamat jadi cemberutan kalau banjir, dan berlangsung bisa sampai satu mingguan, sampai situasi kampung sudah kondusif kembali. Anehnya, Banjir kali ini gelagatnya si Mamat beda. Dia nampak begitu legowo dan ceria. Mamat mampu bergembira seperti pada situasi normal. Mamat berenang keliling kampung dengan galon kosong untuk mengapung, memburu biawak, merakit perahu dari jebolan pintu rumah. Ketika air banjir sudah mulai surut, mamat juga membuatkan bendungan kecil di selokan depan rumahnya. “Ayo..ibu – ibu, bapak-bapak, tua muda siapa saja! ambil saja air ini, lumayan untuk membilas dinding. Selagi listrik belum nyala “ Mulanya banyak tetangganya takut untuk menggunakan bendungan itu, ibu-ibu tercengang melihat kelakuan si Mamat, mereka masih belum yakin. Sebagai pancingan si Ria disuruh lebih dulu turun membawa ember kosong, ibuibu khawatir kalau si Mamat kumat lagi stres banjirnya. Ternyata belum juga Ria bergegas, si Mamat langsung menggoda, “Wuahh eneng Ria! Jangan ngedekem di rumah aja, nanti ga laku-kalu loh! Hahah.” “Sini ah turun ambil air “ Seketika ibu-ibu tetangga tertawa girang.
58
Kemudian keluar dari rumahnya. Memburu air bendungan buatan si Mamat. Sore itu menjelang magrib, surutnya air sudah sampai sebetis, para warga mulai mendorongi lumpur keluar rumah. Penduduk gang Q saling bergunjing tentang si Mamat yang berubah dratis. Mamat bukan lagi si penderita banjir yang sinis, aneh dan amukan. Namun hati Mamat seperti dilapisi energi mistis, mamat tetap bertahan sebagaimana Mamat biasanya. Di sela waktu mereka orbrol sana-sini sambil menyantap bingkisan nasi dari relawan. “ ....mestinya tanggul kali diperlebar lagi...” “Hemmmm...pohon - pohon ditebang mulu sih...” “Halah..banjirnya malah makin tinggi nanti kalau jebol...” “Makanya jangan buang sampah sembarangan dong! “ “Eh eh , bapak-bapak kapan ya kita digusur? “ “Dijadikan waduk!?!? Memangnya pemerintah punya dana sebrapa? “ Seperti sidang para ahli pembangunan, bapak - bapak gang Q kampung Pegepe bergaya bag tokoh publik. Di atas sana, mamat nangkring di genteng rumahnya, menikmati rokok sambil menahan tawa menyimak tetangganya itu. Bagi si Mamat solusi banjir tak ubahnya sesuatu yang gaib, tak bisa dijangkau siapa saja, mustahil untuk digapai. Celoteh bapak-bapak itu palingan hanya selingan menunggu air bersih karena listrik masih padam, pikir Mamat. “Sssttt...liat tuh bang Mamat! Malah ngopi coba, rumahnya masih berantakan gitu..” “Hehh berisik loh!! Nanti si jenggo banjir mamat ngamuk baru tau rasa ....“ “Ohiya.. denger-denger Si Mamat sudah enggak alergi banjir lagi?” “Masak sih?” “Iyaya..aneh, padahal kasurnya ludes kerendem loh itu “ “Heuh bener, tadi dia malah nawarin ane rokok, kesurupan apa yeh bang Mamat, kok nggak kumat “ Sebuah mobil truk datang ke dalam gang Q, dari dalam supir mengumumkan dengan toa, “air bersih! “air besih....“ Tidak lebih dari limat menit warga gang Q sudah menyemuti mobil tersebut. Sedangkan si Mamat masih asik lehaleha di atas genteng rumahnya. “ abang.......! ” Tiba tiba suara bergetar dari bawah rumah. Layaknya tentara mendengar komando, atau tak ubahnya kiai yang mendengar azan, si Mamat sigap, tanpa babibu langsung beranjak, meninggalkan genteng, turun merosoti pohon jambu, menyelinap masuk lewat jendela yang sudah jebol, lalu menuju ke sumber suara. “Itu air bersih ambil ! ngapain sih di genteng
lama-lama? ngintipin si Ria !?! ” “Ah...astri..astri...ada-ada saja kamu ini. Kirain apa, orang-orang juga masih antri tuh..” “Nanti kalau kehabisan gimana bang? Itu lantai kamar kita belum dibilas, mau tidur di loteng lagi? Kasur kita juga kotor banget itu!” “Hahahha iya sayang..sabar sabar..” “Abang ini aneh. Udah mulai bisa cengegesan pas banjir, ada angin apaan sih?“ “Hhm...abang janji banjir tahun depan kita sudah bisa ngungsi di lantai dua. Abang janji sayang! bulan ini juga kita bakal ningkat rumah !” “Hah?!? Abang mau ngepet dimana?” “Wahhh....tenang aja sayang, percaya deh, abang lagi dapet rejeki yang tak terduga dari alloh!” “Au ah! Sana ambil air!..awas jangan bikin ulah yang enggak-enggak lagi!” “Hahahha okey sayang...” **** Malam menjelang, listrik masih padam. Banjir sudah surut, terlihatlah Kampung Pegepe carut marut, bagai kapal pecah. Kursi tersangkut di pepohonan, juga kaleng kerupuk nyangsang di batang pohon jambo. Belum lagi di pinggiran jalanan utama banyak hanyutan kasur, perabotan rumah, juga lumpur-lumpur tercecer menjajah jalanan. Sementara itu di gang Q pemuda - pemuda sedang berceloteh ria di pos kamling. “Istrinya Bu Sabirin masuk koran yak?“ “ ...gila! melahirkan di atap rumah...” “Pasti itu mukjizat Tuhan...” “Anaknya namanya siapa yak kira kira? “Hmm ...Banyu Putro, kalo batak Ucok si airair!“ “....Hhahaha ....” Malam makin larut, gelap tanpa lampu, membuat teras pos itu seperti tempat perserikatan kunang-kunang. Bintik cahaya merah dari bara rokok para pemuda menjadi kesatuan artistik. Tiba-tiba dari kejauhan terpancar cahaya lain, berwarna kuning, bergerak mendekat. “Loh loh...liat...bang Mamat ke sini...” “Waduh...mampus kita! Ayo pulang..pasti bang mamat kumat nih!” Si Mamat datang menghampiri mereka. Mamat memang senang bergaul dengan pemuda kampung, iya anggap mereka seperti anaknya sendiri. Di hari-hari normal , si Mamat juga masih aktif begadang bersama pemuda kampung, menghabiskan malam dengan kartu remi. Beberapa pemuda kampung panik melihat kedatangan Mamat. Sebagian lagi mencoba menenangkan.
“Yaampun..mana lumpur rumahnya tadi masih numpuk...pasti kacau banget bang Mamat nih..” “Gue pulang duluan deh..” “Heh ngapain...kata ibu-ibu, bang Mamat udah waras, udah kuat ngadepin banjir.“ “Bener nih?” Belum selesai mereka bersiap-siap hengkang dari pos, si Mamat sudah menyambit senternya kepada rumunan pemuda, kemudian gelas kopi para pemuda ditendangnya sampai terpental jauh. “Heh...mau pada kemana kalian?! “Siapa yang ngambil guci di atas pot rumah saya?!? “Hah??! Ngga tau bang...” seketika para pemuda lari tunggang langgang, ngacir ke arah rumah masing-masing. Mamat makin berang, lalu mencoba mengejar mereka. Kang Dadang penjaga poskamling yang sedang mengitari gang melihat kejadian itu dari kejauhan. Setelah menyorotkan cahaya senternya sesaat, kang dadang lalu bergegas menuju rumah Mamat memanggil istrinya. Beberapa jenak kemudian.. “Abang....kenapa lagi sih kamu?!?” “Ini...begundal begundal kampung pasti yang ngambil barang abang...” “Barang yang mana? “Yang di dalem guci, di atas genteng.“ “Oh emang itu apaan? Guci jelek aja! Tadi aku buang ke kali.. abis bau pesing ! “Astaga....astri ! “ “Memang kenapa?” “Itu buat ningkat rumah kita !! di dalamnya ada amplop coklat, isinya uang, ratusan ribu! Banyak sampe jutaan! Ya Alloh astri...!” “Yaampun..kenapa abang ga bilang!!!!!” Kang Dadang pelan-pelan menjauh, sambil pura-pura berbicara kepada hate-nya. Gang Q makin sepi. Sunyi, hanya ada Mamat dan Istrinya melangkah lemah, pulang kembali ke rumah.
Bekasi 2016-04-28 Marendra Agung
EDISI 46
59
Kampusiana
Jalan Berliku Pembangunan UNJ Pembangunan diharapkan menambah kenyamanan dalam proses pembelajaran, bukannya justru memberatkan mahasiswa
D
i bawah kepemimpinan Djaali, UNJ berusaha melanjutkan pembangunan tiga gedung yang sempat terhenti sebelumnya. Pembangunan ini sendiri dimulai sejak zaman rektor Bedjo (tahun 2011). Menurut Komarud-
60
Foto: Didaktika
din Hidayat, selaku wakil rektor bidang admistrasi, pembangunan ini meliputi tiga gedung, yaitu Gedung Eks-Sarwahita (berubah nama menjadi gedung CWNB/ Civil Work New Building) yang terletak di depan gedung Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), gedung Pascasarjana, dan gedung parkiran. Menyangkut kelanjutan pembangunan tiga gedung ini, Wakil Rektor bidang Kerjasama dan perencanaan, Ahmad Ridwan, menjelaskan bahwa pembangunan ini mengikuti block plan dan master plan yang sudah disusun sejak rektor Sutjipto (sekitar awal 2000). “Lahan UNJ yang sempit hanya memungkinkan pembangunan ke atas dan ini sudah dirancang sejak pak Sutjipto, sekitar 16 tahun lalu,� ujarnya. Targetannya tahun 2020 UNJ mampu menampung 40.000 mahasiswa. Sekarang baru
mampu 30.000-an. Harapannya supaya makin banyak masyarakat yang mampu masuk ke perguruan tinggi yang lumayan murah (UNJ-red) dibandingkan UI. Selain itu mudah diakses, karena berada di pusat kota dan satu-satunya universitas negeri.” tambahnya. Ridwan melanjutkan, pembangunan yang telah dirancang sejak lama ini sering mengalami kemandekan. Seperti melambatnya perekonomian Indonesia secara keseluruhan, sedangkan untuk dana pembangunan sebagian besar berasal dari Anggaran Pendapatan Negara (APBN). “Tahun 98 kita dapat dana untuk membangun laboraturium teknik 4 lantai, tapi semuanya habis karena kondisi kacau, dan dari tahun 98 sampai 2004 pertumbuhan ekonomi sangat pelan, sehingga semua perencanaan yang ada itu gagal.” ungkapnya. Ridwan merasa UNJ sebagai kampus Lembaga Pencetak Tenaga Kependidikan sering dinomor duakan. “Bayangkan saja gedung – gedung kita rata-rata dibangun tahun 57 atau bekas gedung UI, jadi notabenenya kita tidak punya gedung baru, sampai rektor Tjipto hanya mampu membangun laboratorium FMIPA 3 lantai.” ujarnya. Lalu, hal ini diperparah dengan kebijakan dari pemerintah yang sering berganti-ganti, sedangkan untuk menjalankan pembangunan suatu gedung membutuhkan waktu yang lama dikarenakan rumitnya administrasi. “Prosesnya itu panjang, dimulai dari pengajuan rancangan ke kementrian pendidikan dan kebudayaan (kalau sekarang dialihkan ke kementrian riset dan teknologi), jika di kementrian sudah ok, maka usulan tersebut dibawa ke Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS) untuk dimasukkan ke dalam daftar proyek yang membutuhkan bantuan dari luar negeri (blue book), setelah itu semuanya duduk bersama (UNJ, Ristek Dikti, BAPPENAS, dan pihak yang dituju) untuk membahas apakah proyek ini visible atau tidak, sekaligus besarnya biaya yang dibutuhkan,” jelasnya. Kemudian. jika semuanya setuju proyek akan dibawa ke kementrian keuangan untuk
disesuaikan dengan anggaran, lalu barulah secara resmi BAPPENAS mengajukan proposal ke pihak yang dituju. “Setelah itu proyek ini harus mendapatkan persetujuan dari DPR untuk dimasukkan ke dalam RAPBN, jika mendapat izin dari DPR maka proyek baru bisa dilelangkan.” ujar Mukhlis R Luddin selaku wakil rektor bidang kerjasama periode sebelumnya. Senada dengan itu Ridwan membenarkan lamanya proses administrasi ini. “Untuk membangun sebuah gedung itu tidak bisa dirancang tahun ini dan selesai dalam setahun. Untuk IDB I dan II saja yang diajukan sejak zaman Pak Tjipto baru bisa direalisasikan zaman pak bedjo (sekitar 16 tahun)” ujarnya. Untuk mencapai targetan pembangunan, UNJ melalui Negara meminjam dana dari Islamic Development Bank (IDB). IDB dipilih karena biaya cicilan yang ringan dan bunga yang kecil. Hal ini dianggap tidak terlalu membebani keuangan Negara. Sebelumnya, UNJ telah bekerjasama dengan IDB dalam pembangunan gedung IDB I dan gedung IDB II yang terealisasikan pada 2013. Untuk pembangunan 3 gedung ini pemerintah menganggarkan sekitar Rp. 127 Miliar. Untuk gedung CWNB mendapatkan jatah kira-kira Rp. 50 Miliar, gedung pascasarjana sekitar Rp. 40
Foto: Didaktika
EDISI 46
61
Gedung Civil Work New Building
Miliar, dan gedung parkiran sekitar Rp.37 Miliar. Keseluruhan dana pembangunan ini berasal dari Rencana Anggaran Pendapatan dan Pengeluaran Negara (RAPBN). Komaruddin menambahkan, terkait teknis pelaksaan pembangunan tidaklah secara bersamaan. Hal ini mengingat dana yang diberikan oleh pemerintah dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama, pemerintah menganggarkan 100 Miliar, sehingga hanya cukup untuk melanjutkan pembangunan gedung CWNB dan pascasarjana. Itupun belum termasuk lift dan fasilitas penunjang.
62
“Perhitungan awalnya, dana segitu (100 Miliar – red) cukup untuk semuanya, ternyata setelah dihitung kembali masih kurang karena harga rupiah sempat anjlok, karena barang-barangnya rata-rata impor,” ujar mantan dekan FIS. Selain masalah dana, waktu yang dibutuhkan pun bertambah untuk pemasangan lift dan fasilitas penunjang seperti kursi dan meja. Kemudian untuk tahap kedua, pemerintah menganggarkan 37 Miliar untuk melanjutkan pembangunan gedung parkir. “Untuk parkiran kita mendapatkan 37 Miliar, namun itu masih kurang, nantinya pembangunan akan dilakukan secara bertahap sesuai anggaran yang ada,” imbuhnya. Terkait pemakaian gedung CWNB akan dijadikan room sharing seperti penggunaan gedung IDB I (R.A. Kartini) dan IDB II (Dewi Sartika) dibuat 10 lantai. Sehingga, nantinya di sini akan dibuat ruang kelas, ruang teater/pementasan, kantor, laboraturium dan keperluan lainnya. Tapi jika Fakultas Ilmu Matematika dan Pengetahuan Alam (FMIPA) jadi dipindahkan dari kampus B UNJ, maka akan ditempatkan di CWNB. Sedangkan kampus B UNJ akan dibangun menjadi Sport Centre dengan bantuan dari pemerintah daerah (Pemda) DKI Jakarta. Nantinya akan dibangun asrama olahraga, rumah sakit khusus atlet, dan fasilitas olahraga tambahan. Pembangunan kampus timur ini direncakan akan dimulai awal tahun 2017. Lalu, untuk gedung pascasarjana akan dibangun menjadi 8 lantai yang terdiri dari ruang kelas, ruang dosen dan mahasiswa, kantor administrasi dan ruang seminar, ruang perpustakaan. Hal ini mengingat keinginan UNJ untuk memperbanyak jurusan dan mahasiswa pascasarjana. Namun dua gedung ini menyisakan pemasangan lift dan fasilitas pendukung yang direncanakan bisa digunakan di akhir 2016. Dan untuk gedung parkir akan dibangun menjadi 6 lantai yang diperuntukan untuk
Foto: Didaktika
parkiran (5 lantai) dan lapangan tenis (1 lantai). Lapangan tenis tersebut akan dibangun di lantai teratas yang didesain seperti dome (kubah). “Jika mahasiswa bertambah maka kendaraan pun bertambah. Kalau sekarang masih belum cukup, sehingga dibutuhkan ruangan tambahan,” imbuh Komaruddin. Untuk pengerjaannya sendiri direncanakan awal tahun 2017. “Sekarang baru mencapai tahap pelelangan,” tambahnya. Sayangnya kekurangan dana untuk pembangunan ini menjadi tanggungan dari pihak kampus. Hal ini dikarenakan lamanya menunggu turunnya dana dari pemerintah. Jadi pihak kampus (rektorat – red) mengambil dari dana yang berasal dari Biaya Operasional Perguruan Tinggi (BOPTN) dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang salah satunya berasal dari Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa. “Supaya tahun ini selesai dibutuhkan dana PNBP, sekarang kan lift, gondola, dan genset masih belum karena dana yang ada pemakaiannya tidak maksimal, jadi kira-kira dibutuhkan total dana Rp. 29 Miliar untuk kedua gedung tersebut,” ujar Komaruddin. Dana BOPTN sebenarnya diperuntukkan untuk kegiatan akademik, pembelian barang, dan manajemen building (perawatan gedung). Akibatnya sebagian kegiatan akademik seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN) dihilangkan, karena dialihkan untuk pembangunan gedung. “Sebagian pengadaan-pengadaan dikurangi, seperti
yang lalu kan ada KKN sekarang sudah dihilangkan.” ungkapnya. Menanggapi hal ini, Revi Alamsyah, mahasiswa Program studi (Prodi) pendidikan sejarah menyanyangkan kejadian seperti ini. “Ini tentunya menghambat jalannya kegiatan mahasiswa, lagi-lagi mahasiswa yang dikorbankan,” ujarnya. Ketika ditanya menyoal kemungkinan kenaikan UKT untuk menutupi biaya perawatan yang semakin besar nantinya, Komaruddin menyatakan bahwa besaran UKT bukan hanya keputusannya atau rektor. “Besaran UKT merupakan kesepakatan dari semua pimpinan baik ditingkat fakultas maupun universitas, nantinya disesuaikan dengan kebutuhan kampus.” imbuhnya. Adanya isu kenaikan UKT ini mendapat respon negatif dari mahasiswa. Seperti yang diungkapkan Revi. “Jangan sampai ada kenaikan UKT-lah, kasian mahasiswa,” tutur pengurus BEM FIS ini. Menurut Revi kenaikan UKT akan memberatkan mahasiswa karena rata-rata yang kuliah di UNJ adalah kalangan ekonomi menengah kebawah. Hal yang sama diungkapkan oleh Andika Baehaqi, Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah 2013. “Pembangunan emang penting, soalnya kelas udah sempit banget, tapi jangan pakai UKT. Nanti UNJ tambah mahal,” ujarnya.
M. Fahri dan Naswati
EDISI 46
63
64
“DAYAK ON THE STREET” Oleh: Imas Fuji Koswara (KMPF)
EDISI 46
65
Resensi Buku
Sastra dan Masyarakat
Sampai suatu waktu, ia mendapati perubahan yang terjadi oleh orang-orang di sekitarnya. Bos yang selama ini selalu angkuh, tiba-tiba memintanya berkunjung ke rumah. Datang pula sepucuk surat dari sang kakak kandung yang telah lama menganggapnya tak ada. Surat tersebut berisi permohonannya meminjam sejumlah uang. Begitu pula sang ibu yang kemudian mengganti menu makanannya dengan yang lebih meLatifah Fawwaz wah. Sampai pernikahannya yang dilaksanakan Di zaman kita ini orang lebih mudah ke- secara mendadak. Kuzmich dengan santainya hilangan kepercayaan daripada sarung tangan mengambil sejumlah uang yang bukan haknya tua; dan saya sudah kehilangan kepercayaan itu! untuk memenuhi itu semua. –hlm.1 Namun datang masa di mana orang-orang mulai mencurigai gerak-geriknya telah melakukan korupsi. Istri, kakak, dan semua orang arya sastra sebagai cerminan dari terdekat mengecamnya. “...kemarin saya orang masyarakat nampaknya tak perlu baik-baik, jujur, terhormat di mata orang bandiragukan lagi ketika kita yak, tetapi hari ini saya penipu, melihat kumpulan cerpen pengecoh, pencuri…” (hlm.10). Pengakuan, karya Anton Konflik percintaan namChekhov. Ia menyerukan kepada paknya juga menarik untuk masyarakat untuk memandang diangkat oleh Chekhov. Tetap kembali diri mereka, bahwa kehidudengan kritik sosialnya, Wanpan ini betapa busuk dan muram. ita dengan Anjing merupakan Chekhov merekam kebobrokan salah satu kisah percintaan tersebut dalam ratusan judul ceryang ditulisnya. Pertemuan pen. Sebab itu ia mendapat julukan antara laki-laki dan peremRaja Cerpen Rusia. puan yang berujung pada Pada Pengakuan, kita disuguhperselingkuhan dari pasankan dua puluh lima judul cerpen gannya masing-masing. Sang dengan judul diantaranya, Munafik, laki-laki yang telah beruban Pengakuan, Wanita dengan Anjing, tapi baru bisa merasakan jatuh Kegembiraan, Pergi, dan sebagainya. cinta pada seorang perempuan Tema yang diangkatnya berupa keyang sedang mencoba lari munafikan, iri hati, korupsi, birokradari kehidupannya. Keduanya si, dan tak luput juga prihal cinta. saling membohongi diri sendiIa mengisahkannya sebagaimana ri untuk merasa tidak apa-apa. Judul Buku: Pengakuan keseharian manusia pada umumnBerprofesi sebagai dokter, Penulis: Anton Chekhov ya, sehingga kita sendiri nampak tak lantas menyurutkan seakrab dengan kisah tersebut. Penerbit: Kepustakaan Populer mangat menulis Chekhov. JusGramedia Dalam judul Munafik, Chektru dari jiwa sastrawi, memhov menceritakan pertemuan seTahun Terbit: April 2016 bawanya ke berbagai daerah orang pimpinan kantor dengan menjelang abad XX yang kala Tebal Buku: xv+143 hlm anak buahnya di sebuah trem itu dianggap sebagai tempat kuda. Di mana pimpinan kantor penderitaan. Tulisannya pula tak menyangka bahwa anak buahnya yang se- yang kemudian mengantarkannya pada penjaralalu berwajah murung, bertubuh bungkuk, dan penjara . selalu gemetar apabila berhadapan dengannya, Selain membaca Chekhov, untuk merepredapat bicara politik dengan orang di sebelahnya. sentasikan Rusia kala itu kita dapat membaca Penampilannya pun berbeda dengan di kantor. karya Maxim Gorky. Keduanya terdapat per“Cobalah, apa sesudah itu saya bisa memper- bedaan yang cukup signifikan. Chekhov tidak cayai bunglon-bunglon yang memperlihatkan tu- menempatkan diri dalam politik atau bisa disebuhnya yang mengibakan itu! (hlm.4) but apolitis. Ia banyak mengemukakan sifat-sifat Sedang pada cerita lain, Pengakuan, Chekov buruk manusia dari bermacam golongan. Sedanmenunjukan betapa kerdilnya manusia bila uang gkan Maxim Gorky keras mengkritik pemerintah sudah disembah olehnya. Chekhov menghad- dan kaum kapitalis terhadap buruh sebagaimairkan tokoh Grigorii Kuzmich, seorang pegawai na kaum komunis kebanyakan. yang baru saja diangkat menjadi kasir. Kuzmich Lepas dari keyakinan politik yang dianut, sangat yakin tidak akan melakukan praktek ko- sudah semestinya sastra menjadi bagian dari rupsi seperti apa yang dikatakan orang lain atau masyarakatnya. yang dilakukan kasir-kasir sebelumnya.
K
66
Resensi Buku
Panca Sila Bercabang Dua J. Sumardianta
S
epasang turis asyik menikmati kopi di kafe terkenal Venesia, Italia. Tak lama kemudian, datanglah seorang pria paruh baya, duduk di salah satu bangku kosong. Ia memanggil pramusaji “Kopi dua cangkir. Yang satu untuk di dinding”. Turis itu merasa heran mendengar kalimat tersebut. Pria paruh baya itu hanya disuguhi satu cangkir kopi tapi membayar k dua cangkir. Setelah pria tersebut pergi, si pramusaji menempelkan selembar kertas kecil bertuliskan “Segelas Kopi” di dinding kafe. Suasana kafe kembali hening. Tak lama kemudian masuklah dua orang pria. Kedua pria tersebut pesan 3 cangkir kopi. Dua cangkir di meja. Satu untuk di dinding. Mereka membayar tiga cangkir kopi sebelum pergi. Pramusaji melakukan hal yang sama. Menempelkan kertas bertulis “Segelas Kopi” di dinding. Pemandangan aneh di kafe sore itu membuat pasangan turis heran. Mereka meninggalkan kafe dengan menyimpan pertanyaan atas kejadian ganjil yang disaksikannya. Mereka tidak sempat bertanya apa maksud kopi di dinding. Minggu berikutnya, mereka mampir kembali di kafe yang sama. Mereka melihat, seseorang lelaki tua masuk ke dalam kafe. Pakaiannya lusuh dan kotor. Setelah duduk ia melihat ke dinding dan berkata kepada pelayan. “Satu cangkir kopi dari dinding”. Pramusaji segera menyuguhkan segelas kopi. Lelaki lusuh tadi, setelah menghirup habis kopinya, lantas pergi tanpa membayar. Tampak si pramusaji menarik satu lembar kertas dari dinding lalu membuangnya ke tempat sampah. Pertanyaan turis terjawab sudah. Begini rupanya cara penduduk kota ini menolong sesamanya yang kurang beruntung dengan tetap menaruh respek kepada orang yang ditolongnya. Kaum papa bisa menikmati secangkir kopi tanpa perlu merendahkan harga diri dengan mengemis. Mereka bahkan tidak perlu tahu siapa yang “mentraktir”. Suatu tatanan hidup bermasyarakat yang amat menyentuh. Kita tidak bisa hidup lebih baik tanpa memberi cinta, perhatian, dan bantuan dari orang lain. ***
Penulis : Audrey Yu Jia Hui Penerbit : Bentang Pustaka-Yogyakarta, Oktober 2015 Tebal : XXIV + 162 halaman Bangsa Indonesia sedang mengalami krisis cinta. Pancasila sudah lama mandeg sebagai slogan. Buku Mencari Sila Kelima, karya terbaru Audrey Yu Jia Hui, menawarkan utopia (terobosan baru) perihal kesederajadan Tong Bao (sesama warga negara). Ditulis seorang gadis berbakat luar biasa dengan gagrak impulsif, agak meledak-ledak. Ketuhanan dan kemanusiaan, sila pertama dan kedua Pancasila, saling bertabrakan di Indonesia. Bangsa Indonesia yang sudah 70 tahun merdeka, terjun bebas ke jurang terdalam krisis keteladanan. Panca Sila, sebagai common ground (kesepakatan bersama) dibuang sayang, diamalkan jarang. Jalan emas kemerdekaan menjadi bercabang dua. Pertama, jalan sama dapat, sama bahagia. Gerbang Tol bagi segelintir orang yang hidup berkelimpahan. Kedua, jalan sama ratap, sama nestapa. Jalan terjal bagi kebanyakan orang Indonesia yang hidupnya kecingkrangan. Stretegi politik makin maju. Etika politik makin mundur. Prosedur demokrasi makin berkembang. Tapi budaya demokrasi masih tetap nepotis-feodalistik. Pemerintahan orangEDISI 46
67
orang berprestasi (meritokrasi) belum kunjung hadir. Pemerintahan sedang-sedang saja (mediokrasi) terus berjaya. Indonesia jadi negeri gemah ripah loh korupsi. Keragaman yang mestinya jadi wahana saling mengenal, menghormati, menyempurnakan, berbagi, dan melayani untuk menguatkan persatuan justru menjadi ajang saling menyangkal, mengucilkan, dan meniadakan yang mengarah pada kehancuran dan kelumpuhan. Inilah peringatan Audrey Yu Jia Hui. Indonesia bisa menjadi negeri kaum pecundang bila terus mencampakkan Panca Sila. Generasi muda Indonesia, menurut Audrey, tak ubahnya Hanafi, tokoh novel Salah Asuhan, karya Abdoel Moeis. Tokoh yang tidak jelas identitasnya justru karena mendapat pendidikan terbaik pada zamannya. Sejak kecil diasuh dan didik di lingkungan borjuasi Belanda. Pendidikan tidak membuatnya mengenali kebenaran, keadilan, kasih, dan kemanusiaan. Ia merendahkan istrinya sebagai orang kampungan tidak terpelajar. Sampai sekarang pendidikan sejati yang menyantuni Tong Bao belum dipraktikkan. Pendidikan menyuburkan prasangka, kebencian, dan memecah-belah. Di Surabaya, kota kelahiran Audrey, perpustakaan memadai tidak banyak jumlahnya. Pusat perbelanjaan mewah tak terhitung. Kota Liyang, Jiangsu, RRC punya perpustakaan umum dengan 200 ribu koleksi buku. Kota kecil yang tidak tampak di peta RRC ini sistem transportasinya lebih maju ketimbang Surabaya. Tidak ada pengemis di lampu merah. Kehidupan di RRC tampak maju karena warganya, yang tidak mengenal agama itu, terbimbing visi dan nilai berkat falsafah klasik Tiongkok. Audrey, sebagai gadis berbakat, mengalami keterasingan dari lingkungannya sejak masih belia justru karena kegeniusannya. Ia juga sering di-bully dengan ungkapan dan gesture yang tidak menyenangkan (hate speach) hanya karena keturunan Tioghoa. Pengalaman buruk yang menimpa dirinya justru membuatnya sangat mempromosikan pluralisme sebagai salah satu spirit luhur Panca Sila. Tidak semua anak genius mencapai kesuksesan. Boby Fischer, pemain catur cemerlang AS, menderita paranoid, berperilaku tidak lazim, dan kewarganegaraannya dibatalkan. Chiang Ti Ming, warga Malaysia, pada usia 13 diterima kuliah di California Insttute of Tecnology, salah satu universitas ternama di AS. Chiang menggoldol gelar doctor di Cornell University AS. Kabar terakhirnya tragis. Ia meninggal karena depresi dalam usia 31 pada 2007. Sofiah Yusof, gadis Inggris, diterima Universitas Oxford pada usia 13. Ia gagal studi dan terperangkap prostitusi. David Hartanto Widjaya, mahasiswa NTU Singapura meninggal tidak jelas, dibunuh atau bunuh diri. Audrey, memperoleh gelar sarjana fisika
68
Keragaman yang mestinya jadi wahana saling mengenal, menghormati, menyempurnakan, berbagi, dan melayani untuk menguatkan persatuan justru menjadi ajang saling menyangkal, mengucilkan, dan meniadakan yang mengarah pada kehancuran dan kelumpuhan
dari William and Marry College, AS, pada usia 16 ini sering merasakan adanya jurang antara diri dengan lingkungannya. Audrey sendiri tidak pernah masuk rumah sakit karena depresi atau mencoba bunuh diri. Dia seorang pembelajar sepanjang hayat. Penderitaan dan kesulitan tak terperi justru menempanya menjadi manusia yang selalu berpengharapan. Audrey, kendati bermukim di RRC, sangat mencintai Pancasila. Dia menderita karena cinta beratnya pada Panca Sila. Gadis yang fasih berbahasa mandarin ini sedang memperdalam pengetahuan tentang kebudayaan Tiongkok. Buku ini lebih bercorak pemikiran diskursif. Agak berbeda dengan kedua buku Audrey sebelumnya, Patriot (2011) dan Mellow Yellow Drama (2013), yang cenderung biografis. Bertaburan kisah-kisah inspiratif yang menjadi suri teladan bagi Audrey. Salah satunya kisah tentang Dong Yu yang hidup pada zaman Tiga Kerajaan (220280 M). Keluarga Dong Yu miskin. Sejak kecil, ia dan kakaknya bekerja sebagai pengumpul kayu bakar di pegunungan. Dong Yu selalu membawa buku untuk dipelajari pada waktu senggang. Dong Yu menggunakan tiga “kesempatan lebih� guna memaksimalkan waktu belajar. Saat musim dingin ketika tidak banyak pekerjaan di sawah. Saat malam hari ketika tidak ada pekerjaan mengolah tanah. Pas hujan deras ketika tidak ada pekerjaan mengumpulkan kayu. Kearifan Tiongkok kuno itulah yang membuat Audrey yakin bangsa Indonesia bisa menjadi maju seperti RRC bila mengindahlan falsafah Pancasila dalam kehidupan nyata keseharian.***
Kontemplasi !
Meniru Yogo Harsaid
I
lmu psikologi selalu mengatakan, pada hakikatnya manusia memiliki sifat meniru. Manusia meniru sesuatu yang dianggapnya bagus. Sudah tentu, ukuran bagus atau tidaknya sudah ditentukan dari media massa, baik itu elektronik maupun cetak. Mereka yang berada di balik media massa itu ialah kaum-kaum kapitalis yang memiliki kepentingan bisnis. Dengan kata lain, kaum kapitalis menciptakan ukuran bagus atau tidak untuk memperoleh kekayaan dan kekua-
Ilustrasi: Dwi Zaka Maulana
saan. Meskipun demikian, tulisan ini akan membahas hakikat manusia sebagai makhluk peniru. Tenggelamkan Akal Anak seusia Sekolah Dasar (SD) sudah bisa “goyang itik� layaknya penyanyi dangdut. Remaja seusia Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah berpakain ketat yang menyiksa pernapasannya sendiri. Remaja seusia Sekolah Menengah Atas (SMA) sudah berpelukan-ciuman di EDISI 46
69
ruang publick layaknya suami-istri. Selanjutnya, bisa terka dengan mudah. Semua yang mereka lakukan tidak lepas dari proses peniruan yang telah mereka lihat dari siapapun, kapanpun dan di manapun. Sebenarnya, setiap agama dan kepercayaan juga menyuruh umatnya untuk meniru. Umat Islam meniru Muhammad, Umat Kristen meniru Yesus, Umat Budha meniru Sidharta dan seterusnya. Jadi meniru bukan hanya disebabkan sifat hakiki manusia, melainkan proses meniru juga diperintahkan oleh agama ataupun kepercayaan. Dengan demikian, manusia memanglah makhluk peniru. Namun, menurut Paulo Freire, meniru juga bisa berdampak buruk. Peniruan dapat melestarikan situasi penindasan. Freire mengatakan dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas, ”dalam keterasingan mereka (kaum tertindas), kaum tertindas akan berusaha sekuat tenaga agar dapat menyerupai, meniru, dan mengikuti si penindas. Gejala tersebut terutama sekali terjadi di kalangan kelas menngah, yang ingin menjadi sejajar dengan manusia “unggul” dari kelas atas.” Lebih lanjut Freire mangatakan, kalau peniruan ini merupakan efek dari ketidakpercayaan diri kaum tertindas atas kemampuan yang dimilikinya. Sehingga kaum tertindas meniru kemampuan kaum penindas—kaum yang dianggapnya kaum yang lebih maju dan beradab. Kaum tertindas tidak sadar bahwa mereka memiliki kemampuan yang telah merakan pelajari dalam pengalaman hidupnya. Persoalannya adalah proses peniruan kerap menenggelamkan nalar berpikir, bahkan hati nurani. Manusia kerap meniru permukaan, tanpa menggunakan akal untuk memikirkan isinya. Tak heran bila kita sering melihat manusia meniru gaya pakaian dan sikap perilaku Muhammad, Yesus, Sidharta, tanpa memikirkan substansi mengapa para tokoh tersebut berpakaian dan bersikap demikian. Hal inilah yang dimaksud sebagai penenggelaman nalar berpikir. Jika nalar sudah tenggelam, tidak dibiasakan digunakan, maka manusia kehilangan esensi ke-makhlukannya: makhluk berakal. Oleh sebab itu, tidak usah kaget kalau kita menjumpai remaja hari ini berpakaian dan bersikap ala Korea, Barat, serta Arab. Kadang mereka meniru tanpa memikirkan apakah yang mereka tiru itu relevan atau tidak dengan makna konteks ruang dan waktu. Misalnya, mereka pergi ke kampus dengan penampilan ala Korea. Akan tetapi, mereka sendiri alpa akan permasalahan kampus. Kampus seharusnya menjadi ruang dan waktu untuk berdiskusi bagaimana memproduksi ilmu; menemukan inovasi-inovasi baru untuk memcahkan persoalan masyarakat, kini hanya menjadi ruang dan waktu untuk pencarian jodoh; menjalin kasih; serta pamer-memamer ke-
70
kayaan. Mereka lebih sibuk dan pusing memikirkan pakaian apa yang cocok untuk ke kampus, ketimbang harus memikirkan bagaimana memecahkan persoalan masyarakat. Abu Nawas, tokoh suif terkemuka, pernah mengkritik manusia yang tidak bisa memahami sebuah makna ruang dan waktu. Alkisah diceritakan Abu Nawas diundang ke acara resepsi pernikahan anak Baginda Raja. Ketika Abu Nawas sampai di lokasi acara, Abu Nawas dilarang masuk oleh penjaga keamanan. “Mengapa saya tidak boleh masuk?” Tanya Abu Nawas. “Yang boleh masuk ke acara ini hanyalah orang yang berpakain dengan menggunakan jas,” jawab penjaga keamanan. Karena Abu Nawas tidak memakai jas, Abu Nawas langsung bergegas meninggalkan lokasi acara. Selang beberapa menit kemudian Abu Nawas kembali ke acara tersebut. “Hai Abu Nawas, mengapa jasnya kamu tidak kamu pakai?” Tanya penjaga yang tidak melarang Abu Nawas masuk. “Bukankah yang kamu butuhkan hanyalah jasnya? “ ujar Abu Nawas sembari memberikan jasnya. Kemudian tanpa berkata-kata lagi, Abu Nawas bergegas pergi meninggalkan lokasi resepsi pernikahan anak Baginda. Abu Nawas tidak masuk ke acara tersebut. Inilah kritik Abu Nawas terhadap mereka yang tidak menggunakan akal pikirannya untuk memikirkan sebuah ‘makna’ ruang dan waktu. Mereka hanya meniru teknis resepsi dari masa ke masa, tapi tidak memahami makna substansi dari resepsi itu sendiri.. Bagi Abu Nawas, resepsi adalah ruang dan waktu untuk bersilaturahmi antar sesame, bukanlah ajang untuk pamer-memamerkan penampilan. Karena untuk apa mengundang banyak orang kalau bukan untuk saling mengenal? Di era modern ini, sebuah era yang ditandai dengan serbaca kecepatannya, manusia makin cepat pula melakukan peniruan-penurannya. Kecepatan ini makin menggilas akal untuk bernalar. Terakhir, perkataan cendekiawan Emha Ainun Najib—atau yang lebih dikenal dengan sapaan Cak nun—sekiranya bisa menjadi tambahan kontemplasi kita dalam meniru. Secara implicit Cak Nun mengatakan kalau peniruan bisa menghilangkan kedaulatan diri kita sebagai manusia. Cak Nun mengatakan, ”Maka kalian harus berdaulat atas diri kalian sendiri, agar siap juga mendaulati saya. Mengatasi saya dalam diri kalian. Menjadikan saya hanya sebagai tambahan unsure, misalnya alat bercermin, di dalam diri kalian. Jangan sampai saya mendominasi kedalaman jiwa kalian.”
EDISI 46
71
72