Didaktika 1
Didaktika 2
Redaksi
S
yukur kami haturkan kepada semua pihak yang masih mendukung majalah DIDAKTIKA 45 untuk terbit. Tentu saja banyak cerita dan masalah yang membuat majalah DIDAKTIKA 45 telat terbit. Kendati demikian, itu semua tidak menyurutkan semangat kami untuk memberikan informasi kepada pembaca melalui majalah kami. Pada edisi kali ini, kami membahas tema Kurikulum 2013 sebagai Laporan Utama. Meski sudah hampir tiga tahun dilaksanakan, kurikulum ini tak surut dari kontroversi sejak pertama kali digagas. Akan tetapi, kami coba menyuguhkan pembahasan Kurikulum 2013, tidak seperti yang banyak diberitakan oleh media mainstream seperti telatnya pengadaan buku. Kami beranggapan bahwa sukses atau tidaknya sebuah kurikulum salah satunya ditentukan oleh kemampuan guru di dalam kelas. Namun, ternyata Kurikulum 2013 tidak memanusiakan guru. Mulai banyaknya penilaian yang harus diisi oleh guru hingga metode ajar yang sudah ditentukan oleh kurikulum. Dengan kata lain, posisi guru dalam Kurikulum 2013 hanya sebagai pelaksana teknis. Pada rubrik Nasional, kami membahas perlawanan petani Rembang, Jawa Tengah yang menolak didirikannya pabrik semen. Kebijakan pemerintah yang lebih menguntungkan korporasi besar ini, menggerus lahan pertanian yang menjadi penghasilan para petani selama ratusan tahun. Tak hanya itu, petani pun harus vis a vis dengan tentara yang bertugas ‘mengamankan’ negara dari gerakan mereka. Meski tidak seberuntung petani Pati, Jawa Tengah yang berhasil memenangkan penolakan pendirian pabrik semen melalui jalur hukum, sekecil apa pun perjuangan rakyat harus dicatat. Bukankah pembangkangan bagi mereka yang pernah membaca sejarah adalah kualitas terbaik manusia? Melalui pembangkanganlah kemajuan dicapai, melalui ketidakpatuhan dan pemberontakan. Pada rubrik Suplemen, kami mengurai wacana tentang sekolah alternatif yang banyak bermuculan saat ini. Sekolah alternatif memiliki sejarah melawan sistem pendidikan yang tidak mengakomodir kebutuhan masyarakat baik dari segi konten maupun finansial, namun saat ini sekolah alternatif cenderung mengikuti sistem pendidikan Indonesia, hanya menawarkan beberapa metode yang jarang digunakan sekolah kebanyakan dan mengganjar biaya yang amat tinggi sebagai imbalannya. Sedangkan pada rubrik Kampusiana, kami membahas tentang krisis orientasi kampus-kampus Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)—termasuk Universitas Negeri Jakarta— dan problematika Uang Kuliah Tunggal (UKT). Selain itu, masih banyak rubrik dan artikel menarik lainnya yang kami sajikan dalam majalah DIDAKTIKA 45 kali ini. Akhir kata, kami mengucapkan selamat membaca dan berdialektika. Kami selalu menerima kritik dan saran dari pembaca, demi meningkatkan kualitas terbitan kami. Salam
.
Didaktika 3
Daftar Isi REDAKSI
3
SURAT PEMBACA
5
LAPORAN UTAMA
6-21
KAMPUSIANA
22-27
OPINI 28-35 SUPLEMEN
36-47
LAPORAN KHUSUS
48-53
TAMU KITA
54
KARYA
56-57
RESENSI
58-59
RUANG SASTRA
60-61
KONTEMPLASI
62
SUPLEMEN 23 TAFSIR PENDIDIKAN ALTERNATIF Upaya untuk menjadi berbeda dilakukan mulai dari inovasi kurikulum, metode belajar, hingga atribut pendidikan. Meski demikian, sekolah alternatif tak pernah menjadi antitesis sekolah negeri
.
Didaktika 4
Surat Pembaca
B
Mencari Keberadaan Rektor
elakangan ini, kampus kita dihebohkan oleh kasus pencabulan yang dilakukan oleh oknum dosen UNJ terhadap mahasiswinya. Sebagian mahasiswa tahu, mungkin juga sebagian tidak tahu bahkan justru memilih tak peduli, acuh tak acuh. Tetapi terlepas dari semua itu, kenyataan yang ada adalah kejadian ini terjadi di lingkungan kita, di lingkungan kampus yang katanya menjujung tinggi filosofi “pendidikan” di dalamnya. Kasus ini terus berlanjut dan berbuntut panjang sampai hari ini karena tidak adanya keseriusan dan ketegasan pihak kampus dalam menyelesaikan masalah ini. Kasus ini justru menjadi sebuah ajang unjuk gigi sang dosen tersebut, Andri justru melaporkan balik FN kepada pihak Polres Metro Jakarta dengan tuduhan Pencemaran Nama Baik atau Penghinaan pada 24 April dengan No. Pol: 427/K/IV/2015/ Res. JT. Sang korban yang menuntut pertanggung jawaban justru harus dihadapkan dengan permasalahan hukum. Korban masih berstatus sebagai mahasiswa UNJ, sang pelaku juga adalah dosen UNJ, tapi selama kasus ini terus bergulir, nampaknya saya belum melihat kehadiran sosok sang rektor UNJ di dalamnya. Mungkin bapak rektor sedang tidak ada di tempat sehingga tidak mendengar keriuhan mahasiswa yang berdemonstrasi mengenai kasus ini? Mestinya rektor memberikan sikap atau perhatian terhadap kasus ini saya rasa itu perlu dan wajib bagi seorang rektor yang notabennya adalah “pemimpin” di dalam kampus kita ini. Keamanaan dan kehidupan mahasiswa yang ada di dalam kampus, sudah semestinya menjadi perhatian utama rektor sebagai “kepala keluarga” di kampus. Kita bisa berkaca kepada rektor-rektor terdahulu semasa UNJ masih bernama IKIP Jakarta yang mampu menampilkan bagaimana seharusnya sosok seorang rektor bertindak. Masih kita ingat bagaimana Winarno, rektor IKIP Jakarta Tahun 19761980 menolak dengan keras pemberlakuan NKK/BKK karena baginya itu sama dengan memasung kebebasan berpendapat mahasiswa. Atau Conny Semiawan, rektor perempuan IKIP Jakarta tahun 1984-1992 yang mengundang kalangan militer ke kampus agar tidak ada mahasiswa IKIP Jakarta yang menjadi korban kebringasan militer ketika itu. Ancaman terbesar bagi mahasiswa mereka kala itu adalah pihak luar kampus. Bagimana denganmu bapak rektor? Arif Nur Ridwan Pendidikan Sejarah 2011
D
Menolak Kebijakan Balsem
i kampus saya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sedang demam tinggi untuk mendiskusikan Entrepeneurship. Dari bangku taman,kursi seminar hingga meja kuliah seperti tak pernah lupa diobrolkan. Entrepreneurship mewabah, birokrasi kampus sekaligus kebijakannnya hingga mahasiswa juga aktivitasnya lekat dengan kewirausahaaan. Entah dapat ilham dari mana sehingga birokrat kampus saya menetapkan Enterpreneurship sebagai mata kuliah. Bukan cuma di fakultas Ekonomi dan Bisnis sebagaiamana mafhum, tapi juga di fakultas lain seperti Dakwah dan Ushuluddin. Ini langkah yang cukup berani, jika di kampus lain Entepreneurship baru sebatas level seminar di sini telah jadi mata kuliah! Meski (andaikan benar) kampus menggunakan dua alasan di atas sebagai senjata, rasanya tak bisa begitu saja melegitimasi Entrepreneurship menjajah wilayah kelas formal –dalam sektor yang lebih serius; kurikulum. Sebab sebagai sebuah alternatif, jika bukan kebijakan yang latah, ia telah duduk pada lantai dasar Pendidikan Tinggi kita. Susah untuk membayangkan mahasiswa filsafat yang tugasnya berpikir kritis dan mendalam dipaksa belajar cara sukses jualan soto,atau gadget, atau sepatu. Bagaiamana pula jika seluruh kelas di UNJ ada matkul Entrepreneurship. Calon-calon guru itu, yang fokusnya mengkaji dan menelaah pendidikan kita (yang dari contoh ini tampak absurd) dipalingkan kepada wirausaha. Bisa bubar institusi pendidikan negeri ini. Dari kacamata swastanisasi kampus, penggelontoran isu Entepreneurship sungguh relevan. Motif swastanisasi yang melepas tanggungjawab Negara sektor pendidikan yang berefek mahalnya Pendidikan Tinggi,harapannya disokong oleh mahasiswa yang mau bekerja dan membayar pendidikannya sendiri. Jadilah Entrepreneurship solusi praktis bagi Pendidikan Tinggi kita. Di sisi lain, lahan-lahan pertanian produktif kini rawan dari serobotan investor. Telah banyak kejadian, dari pabrik semen hingga bandara, menampakkan bagaimana modal utama masyarakat agararis kita tergadai demi kepentingan pemodal. Sialnya lagi, salah satu sponsor utama yang melegalkan adalah institusi pendidikan sendiri. Dengan maraknya kasus, sudah seharusnya mahasiswa juga turut serta mengawalnya. Berbicara ekonomi dan kesejahteraan dalam konteks saat ini tentu tak lepas dari persoalan ini. Maka, akan naïf rasanya jika ngomongin kemakmuran dan kemajuan ekonomi masyarakat banyak hanya lewat Enterprenuership-ah, mengucapkannya aja sudah sulit. Entrepreneurship bukan lah resep yang bisa menjadi solusi persoalan ekonomi Indonesia. Ia hanya serupa salep, obat murah meriah yang sekedar mengoles permukaan. Tak bisa menyembuhkan. Karena itu, jika pendidikan kita memprioritaskan Entrepreneurship sebagai kajian dan senjata ekonomi maka salah besar. Ia takkan jadi solusi tepat, alih-alih masalah baru. Maka, apabila ada bapak atau ibu birokrat yang berpaham balsem semacam itu, sudah semestinya kita undang turun ke jalan. Bukan untuk demo. Tapi buat jual asongan
.
Jamaludin A. Mantan Pemimpin Umum LPM ARENA UIN Sunan Kalijaga
Didaktika 5
Foto Komunitas Serrum
Komunitas Serrum membuat karya seni mural sebagai wujud penolakan Kurikulum 2013 Didaktika 6
Beranda
KURIKULUM SEUMUR JAGUNG
B
eberapa waktu lalu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) sempat mengeluarkan wacana untuk memberhentikan pelaksanaan kurikulum 2013 di sekolah-sekolah. Berbagai alasan muncul di antaranya kurang siapnya guru, sekolah hingga penyediaan buku. Masalah tersebut sejatinya sudah terlihat sejak awal perencanaan pelaksanaan kurikulum 2013. Pada 2012 lalu, kala masih bernama Kemeterian Pendidikan Nasional (Kemediknas) pemerintah menginginkan perubahan kurikulum. Alasan Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional ingin mengganti kurikulum ialah rendahnya posisi pendidikan Indonesia di dunia. Tolok ukurnya didasari oleh survei yang dilakukan oleh Trends in International Math and Science (TIMS) pada 2007. Survei itu menyebutkan hanya 5 persen siswa Indonesia yang mampu mengerjakan soal berkategori sulit yang memerlukan penalaran. Tolok ukur lainnya ialah Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2009 menempatkan Indonesia pada peringkat 62 dari 65 negara peserta PISA. Oleh sebab itu, demi meningkatakan kualitas pendidikan Indonesia di dunia, pemerintah ingin mengganti kurikulum. Harapannya dapat meningkatkan daya berpikir siswa, meningkatkan kreativitas, dan pendidikan karakter. Pertanyaannya, apakah rendahnya kualitas pendidikan Indonesia hanya terletak pada kurikulum? Jika kemudian pemerintah ingin membandingkan pendidikan dengan Finlandia, apa pemerintah hanya membandingkannya secara head to head pada sisi kurikulum? Padahal ada sisi lain yang mesti diperhitungkan seperti guru dan sarana prasarana. Satu hal yang pasti, ketika membicarakan pendidikan, kita tak bisa lepas dari guru. Tanpa kemampuan guru yang baik, kurikulum hanya menjadi barang tak berguna. Cara pemerintah mempersiapkan guru hanya sebatas pada pelatihan-pelatihan. Pelatihan tersebut hanya terpaku bagaiamana
guru mengelola kelas agar murid ingin memiliki rasa ingin tahu tanpa mengerti apa tujuan kurikulum 2013. Pelatihan guru untuk sosialisasi kurikulum tentu membutuhkan dana yang sangat besar. Oleh sebab itu, bagi kalangan aktivis pendidikan, perubahan kurikulum hanya proyek menghamburkan dana. Pelatihan guru hanya membuktikan bahwa pemerintah ingin jalan praktis dalam mempersiapakan guru dan meningkatkan pendidikan. Pemerintah jelas melupakan institusi penghasil guru yakni LPTK. Semestinya, perbaikan kualitas guru harus dimulai dari institusi penghasil guru bukan hanya sekadar mengadakan pelatihan. Tak hanya itu, posisi guru terhadap kurikulum pun patut dipertanyakan. Pada pelaksanaan pelatihan guru, semua materi dan metode sudah dipersiapkan oleh pemerintah. Guru tidak diperkenankan keluar dari kaidah yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam panduan kurikulum 2013. Jika demikian, maka pemerintah memosisikan guru hanya sebagai operator kurikulum. Guru hanya menjadi sekrup terkecil dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Kemudian, sarana dan prasarana pun memiliki peran penting dalam berjalannya kegiatan belajar mengajar. Banyak sekolah di Indonesia tidak mememiliki bangunan yang layak untuk menjalanjakna pembelajaran. Tak hanya itu, hingga saat ini masih banyak sekolah yang belum mendapatkan buku pelajaran untuk kurikulum 2013. Guru dan sarana prasarana menjadi dua aspek yang diabaikan pemerintah dalam upaya meningkatakan kualitas pendidikan Indonesia. Tanpa memerhatikan dua aspek tersebut, sebagus apa pun kurikulum, tidak akan banyak berpengaruh bagi pendidikan Indonesia. Hal ini sudah terbukti, Indonesia merupakan negara yang paling sering mengganti kurikulum pendidikan. Namun, tidak ada perubahan yang signifikan dari perubahan kurikulum tersebut
.
Didaktika 7
LAPORAN UTAMA
Aliansi Revolusi Pendidikan melakukan aksi penolakan kurikulum 2013 di depan gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudaya Foto Istimewa
Didaktika 8
aan
Didaktika 9
LAPORAN UTAMA
JALAN BUNTU IN Oleh Virdika Rizky Utama
K
ementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah hampir dua tahun menerapkan kurikulum 2013. Namun, berbagai masalah masih belum lepas dari pelaksaannya. Mulai dari buku teks hingga pelatihan yang diberikan untuk guru. Masalah tersebut sudah tentu berimbas di ruang kelas, terutama guru yang merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran. Guru dalam Kurikulum 2013 diharapkan hanya sebagai fasilitator, tapi juga sebagai sosok yang dapat mengarahkan pengetahuan kepada peserta didik. “Kurikulum ini, guru bukan hanya aktif memberi ceramah tapi juga diharapkan mampu berkreasi bersama murid,” ucap Wiwi Rahayu, Guru SMA N 96 Jakarta. Tak hanya itu, menurut guru pelajaran Bahasa Indonesia ini, guru dituntut harus bisa mengembangkan metode yang berbeda-beda disetiap kelas. Permasalahannya, tuntutan tersebut menjadi kurang terlaksana baik lantaran disebabkan banyaknya jumlah jam mengajar dalam seminggu dan tugas adminitrasi yang harus diselesaikan. “Sebenarnya bagus untuk membentuk kerativitas guru, tapi sayangnya tuntutan mengajar 24 jam seminggu membuat terkendala. Bahkan, suka keteteran, harus mikirin nanti mengajar kelas A dan B bagaimana dan harus meneyelesaikan rpp dll,”, imbuhnya. Sependapat dengan Wiwi Rahayu, Dewi Elvi guru kimia SMA N 2 Jakarta, juga merasa tuntutan mengajar 24 jam selama seminggu membuatnya harus memiliki waktu lebih untuk menyiapkan materi di kelas.“Tuntutan program sertifikasi guru mengajar minimal 24 jam seminggu. Jadi walaupun, saya hanya mengajar di satu sekolah, jumlah jam mengajar tersebut menyebabkan seorang guru tidak dapat maksimal membuat persiapan, melakukan pembelajaran, dan menyusun evaluasi secara maksimal,” ungkapnya. Ia mencontohkan, jika pelajaran kimia diberikan di kelas 11 sebanyak 4 jam pelajaran seminggu. Maka idealnya, saya mengajar hanya 4 kelas (4 hari mengajar) dan satu hari digunakan untuk kegiatan Musyawarah
Foto Istimewa
Aliansi Revolusi Pendidikan melakukan aksi penolakan kurikulum 2013 di depan gedung DPR Guru Mata Pelajaran (MGMP), persiapan mengajar atau penyusunan program evaluasi. Hal ini justru membuat guru menjadi sibuk mengurusi hal-hal administratif. Imbas dari hal tersebut membuat guru tak mempunyai waktu lebih untuk memperdalam materi yang akan diajarkan. “Ibu sebenarnya masih lemah di penguasaan materi. Kan waktu menajar dll banyak. Saat pelatihan kurikulum saja, hanya dijelaskan hal teknis menyampaikan kurikulum 2013, tidak ada penguatan materi,” ucap Wiwi Rahayu. Sementara itu, Ramon Mohandas, Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) menegaskan bahwa posisi
guru dalam kurikulum hanya sebagai pelaksana. “Dalam kurikulum, guru adalah pelaksana. karena kurikulum adalah standar yang harus dicapai. Nah guru harus menuju ke standar itu. Kalau bisa dia melebihi standar, jangan di bawah standar,” tegasnya. Sebagai pelaksana kurikulum, guru harus mengikuti apa yang diinginkan oleh pemrintah untuk mewujudkan standar pendidikn yang diinginkan oleh pemerintah. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan kemampuan guru melaksanakan kurikulum 2013 maka pelatihan guru dianggap sebagai jalan keluar dari permasalahan yang ada. “Kurikulum itu kan sebenarnya adalah standar yang dibuat untuk kita, jadi pemerintah
Didaktika 10
NOVASI KURIKULUM
membuat standar agar mutu pendidikan kita meningkat. Untuk meningkatkan itu maka guru harus diberi pelatihan,” ucapnya. Ia melanjutkan, banyak sekali kenyataannya guru-guru sampai saat ini banyak yang belum pernah ikut pelatihan. Banyak guru itu yang mengajar hanya dengan apa yang dia peroleh puluhan tahun yang lalu. Oleh sebab itu, guru harus selalu dikembangkan dan itu hanya mungkin dilakukan kalau gurunya secara rutin mengikuti pelatihan. Dengan rutin diikutkan pelatihan, harapannya guru akan meningkat kualitasnya. “Sekarang tugas kita sebenarnya bagaimana membuat guru itu mengikuti perkem-
bangan-perkembangan itu.,” ungkapnya. Melihat fenomena ini, guru besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Soedjiarto mengatakan bahwa penetapan kurikulum 2013 sangat terburu-buru. “Kalau sudah jalan lebih dari satu tahun tapi masih ada masalah artinya pemerintah terburu-buru menetapkan kurikulum,” imbuhnya. Oleh sebab itu, Soedjiarto merasa setuju dengan langkah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan menghentikan sementara kurikulum 2013 pada 5 Desember 2014 dengan nomor surat 179342/ MPK/KR/2014. Mestinya, kurikulum yang akan diterapkan harus diuji coba terlebih dahulu.
“Segala sesuatu yang baru mestinya harus diujicoba terlebih dahulu, apalagi ini menyangkut kurikulum yang menentukan nasib bangsa Indonesia kelak,” ucapnya. Menurutnya, jika ada penggantian kurikulum mestinya yang harus dipersiapkan paling utama selain membahas arahan pendidikan Indonesia ialah guru. Guru menjadi tokoh sentral dalam pembelajaran di kelas. “Berhasil atau tidaknya kurikulum itu diawali dengan pemberdayaan gurunya. Sedangkan, kurikulum 2013 ini hanya untuk memenuhi tuntutan Undang-Undang (UU),” ucap pria yang membidangi kurikulum 1975. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan perlu diselaraskan dengan dinamika perkembangan masyarakat, lokal, nasional, dan global guna mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Ini yang merupakan dasar pemerintah untuk mengganti kurikulum. Soedjiarto menjelaskan, setiap penggantian kurikulum berarti ada arah tujuan pendidikan Indonesia. “Kurikulum dalam bahasa aslinya jalan menuju. Menuju kan harus punya tujuan,kalau tidak ada tujuan ya gimana?” tegasnya. Menurutnya, pemerintah harus terlebih dahulu memperbaiki kualitas guru daripada harus mengganti kurikulum, terlebih sudah ada UU tentang profesionalitas guru. “Perbaikan kualitas guru harus menyeluruh, bukan parsial dengan menadakan pelatihan,” ucapnya. Jika mengacu pada kata profesional, artinya kurikulum mau diganti seberapa sering pun guru tidak perlu pelatihan. Sebab, seorang profesional itu mempunyai kemampuan merancang, mengembangkan, mengelola, mengevaluasi, dan mendiagnosis. Menurutnya, perubahan kurikulum akan sia-sia jika guru dan fasilitas penunjang pembelajaran tidak mendukung. “Selama fasilitas, kemampuan guru, dan sistem evaluasi tidak mendukung, sebagus apa pun kurikulum dirancang, tidak akan pernah mencapai sasaran. Terlebih jika guru hanya sebagai pelaksana kurikulum,” tutupnya
.
Didaktika 11
LAPORAN UTAMA
BUKAN GURU, MELAINKAN TUKANG CATAT Oleh Kurnia Yunita Rahayu
S
epanjang jam pelajaran berlangsung, Besmiati hanya duduk di pinggir kelas memperhatikan murid-muridnya yang sedang mempresentasikan beberapa materi Sejarah. Sesekali, guru Sejarah Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 39 Jakarta itu menoleh pada tumpukan kertas yang ada di atas mejanya lalu menulis beberapa catatan disana. Pada lembaran kertas itu pula, perempuan lulusan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta ini mencatat seluruh kegiatan siswa-siswinya selama menyampaikan materi pembelajaran lalu memberikan penilaian. Selain kesesuaian antara konten informasi yang sedang dipresentasikan para murid dan materi yang tertera dalam kurikulum, Besmiati juga memperhatikan betul beberapa aspek teknis belajar yang dilaksanakan oleh siswa-siswi kelas XI program peminatan Ilmu-Ilmu Sosial (IIS) tersebut. Maklum, dalam Kurikulum 2013 yang mulai tahun ajaran 2014 diterapkan di seluruh sekolah negeri di Indonesia, sudah terdapat ketentuan ajeg ihwal berlangsungnya kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Paling awal, Kurikulum tersebut menetapkan pendekatan saintifik sebagai cara yang harus dilaksanakan guru dan murid untuk mendapatkan pengetahuan. Menurut Staf Pusbangprodik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Agus Sujarwanta, pendekatan saintifik diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan dan pengetahuan peserta didik. “Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuwan lebih mengedepankan penalaran induktif (inductive reasoning) dibandingkan dengan penalaran deduktif (deductive reasoning),” ujar Agus saat ditemui di Serpong, Banten beberapa waktu lalu. Dosen Kopertis Wilayah II DPK pada Universitas Muhammadiyah Metro itu menambahkan, pendekatan saintifik juga menuntut siswa-siswi harus dapat menggunakan metode-metode ilmiah. Yaitu menggali pengetahuan melalui proses mengamati, mengklasifikasi, memprediksi, merancang dan melaksanakan eksperimen. “Setelah itu,
Ramon Mohandas, Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk)
hasilnya dikomunikasikan menggunakan keterampilan berpikir dan menggunakan sikap ilmiah seperti ingin tahu, hati-hati, objektif dan jujur,” kata Agus. Untuk mewujudkannya, Kemendikbud menerbitkan Permendikbud Nomor 81 A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Umum Pembelajaran Lampiran IV, yang menyatakan dalam Kurikulum 2013 terdapat dua modus pembelajaran yakni proses pembelajaran langsung dan tidak langsung. Di dalamnya, disusun pula lima pengalaman belajar pokok yang mesti dilaksanakan selama pembelajaran di kelas berlangsung. Yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi dan mengomunikasikan. Pada bagian mengamati dan menanya, Besmiati kerap menampilkan sebuah gambar tanpa keterangan yang berkaitan dengan materi belajar. “Misalnya, sedang membahas mengenai Kerajaan Hindu dan Buddha di Indonesia, saya akan memberikan gambar candi-candi peninggalan kerajaan tersebut untuk memancing pertanyaan murid,” tutur perempuan yang sudah lebih dari 15 tahun mengajar di SMA itu. Sedangkan pada tahap mengumpulkan informasi, guru Sejarah yang akrab disapa Bes ini membebaskan peserta didiknya dalam mencari referensi. “Bisa dari internet, atau buku-buku yang bisa mereka dapatkan
di perpustakaan sekolah,” tandasnya. Kemudian pada bagian mengasosiasi dan mengkomunikasikan, Besmiati membiarkan dua pengalaman tersebut muncul secara alami saat para peserta didiknya mendapat kesempatan mempresentasikan tugas mereka masing-masing. Menurut Besmiati, ketika itu tugas guru hanyalah memastikan bahwa kegiatan diskusi kelompok berlangsung kemudian memberikan penilaian. Sedangkan fungsi menjelaskan materi hanya dilakukan apabila ada kekeliruan atau kekurangan dalam presentasi murid. Ia pun menjelaskan, semua tahapan serta langkah teknis yang ia terapkan di dalam kelas merupakan materi yang diajarkan dalam pelatihan Kurikulum 2013 untuk guru. Dari kegiatan itu pula masing-masing guru mendapat modul yang berisi acuan teknis pembelajaran di kelas. Yang perlu dilakukan oleh mereka kemudian hanya menyesuaikan acuan tersebut dengan materi yang dibutuhkan. Tidak berhenti pada tahapan kegiatan tersebut, model pembelajaran yang boleh dipilih oleh seluruh kelas di Indonesia pun sudah ditetapkan dalam Kurikulum 2013. Diantaranya pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning), pembelajaran penemuan (Discovery Learning), pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning). Seluruhnya meliputi konsep, langkah-langkah belajar hingga sistem penilaian yang sudah ada detil-detil ukurannya. Guru Masa Kini, Bekerja Laiknya Buruh Pabrik Menurut sosiolog Amerika Serikat Michael Apple, dengan model kurikulum yang sudah memenuhi seluruh konfigurasi tugasnya, posisi guru dalam pendidikan tak ubahnya seorang buruh pabrik yang mesti bekerja dalam koridor yang amat ketat. Sebab, perangkat pendidikan yang ada sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai sepaket ‘pengetahuan resmi’ tanpa menyisakan ruang eksplorasi bagi guru. “Alih-alih meningkatkan otonominya, pada banyak negara kegiatan sehari-hari guru di dalam kelas justru menjadi lebih dikontrol, terlebih wacana untuk menanamkan logika administratif nampak terus dilakukan untuk memperbesar celah antara mengajar dan kurikulum,” kata Michael Apple dalam Ideology and Curriculum.
Didaktika 12
“Pengembangan, kerjasama serta penguatan kapasitas guru mungkin jadi salah satu perbincangan. Namun, sentralisasi, standardisasi dan rasionalisasi merupakan tendensi terkuat, bahkan dengan meningkatkan fokus pada privatisasi, pemasaran dan desentralisasi,” lanjutnya. Hal tersebut nampak jelas pada prakondisi pelaksanaan Kurikulum 2013. Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Ramon Mohandas menekankan, sebelum menerapkan kurikulum, para guru wajib mengikuti pelatihan. “Salah satu persyaratan kurikulum ini bisa diterapkan di sekolah, gurunya harus mendapatkan pelatihan terlebih dahulu,” kata Ramon kepada Didaktika ketika ditemui di Gedung Puskurbuk, Jakarta. Mantan Atase Pendidikan Indonesia untuk India ini melanjutkan, kebijakan tersebut diambil guna memastikan segala yang dirumus pemerintah dalam Kurikulum 2013 akan sampai ke dalam kelas. “Dengan konsep kurikulum yang sekarang ini, semua guru yang akan berdiri di depan kelas menggunakan Kurikulum 2013 harus melalui pelatihan. Karena kalau tidak, apa yang akan terjadi di kelas tidak sesuai dengan apa yang menjadi ruh dari kurikulum baru ini,” tegas Ramon Mohandas. Pengontrolan kemudian berlanjut saat guru sudah beranjak dari ruang pelatihan ke dalam kelasnya masing-masing. Pemerintah membuat pula program pengawasan secara berkala dan menugaskan beberapa perwakilan guru untuk menjadi pengawas di wilayahnya masing-masing. Pada akhir 2014, Besmiati sempat didaulat jadi salah satu pengawas untuk wilayah Cijantung, Jakarta Timur dan sekitarnya. “Saya datang ke beberapa sekolah untuk mengawasi kegiatan pembelajaran disana, apakah sudah berlangsung sesuai dengan Kurikulum 2013 atau tidak,” ungkap Be-
smiati. Ia melanjutkan, penilaian yang ia berikan pada setiap guru di kelas yang ia awasi berdasar pada kesesuaian antara teori yang sudah diberikan pemerintah dan praktik yang ada di lapangan. Setelahnya, ia pun melaporkan temuan tersebut kepada pemerintah. Maka, tidak heran jika Michael Apple menyimpulkan kegiatan pendidikan telah berjalan serupa dengan operasi industri, yang menekankan pencarian keuntungan sebesar-besarnya serta menerapkan kontrolketat untuk para pekerja. Menurut sosiolog Negeri Paman Sam ini, akibat selanjutnya akan terjadi proses penghilangan kemampuan (deskilling) dalam diri guru. Sebab, pembagian kerja dalam proses pendidikan sudah dikonstruksi sedemikian rupa untuk memisahkan pekerjaan yang bersifat kompleks dengan yang sederhana. Dalam hal ini Puskurbuk serta Kemendikbud mendapat jatah merumuskan beragam konsep pendidikan sedangkan para guru, tinggal melaksanakannya secara teknis administratif. “Guru adalah pelaksana kurikulum, karena kurikulum adalah standar yang harus dicapai. Nah, guru harus mencapai standar itu, kalau bisa melebihi jangan di bawah standar,” ucap Ramon Mohandas mengenai posisi guru dan Kurikulum 2013. Sebagaimana dikatakan sosiolog Meg Maguire, akhirnya guru masa kini hanya berpikir melulu mengenai teknis bagaimana cara menerapkan kurikulum. “Konsekuensinya, guru lebih mementingkan metode pengajaran ketimbang belajar itu sendiri, praktik-praktik tanpa landasan berpikir yang jelas, lebih menghargai keterampilan daripada nilai-nilai pendidikan itu sendiri,” tulis Maguire dalam Towards Sociology of Global Teacher. Kecendrungan adanya upaya menjadikan guru sebagai pelaksana administrasi pen-
didikan dan mendapuk Puskurbuk sebagai perumus konsep pendidikan nampaknya sejalan dengan rekomendasi kebijakan dari Bank Dunia untuk Indonesia pada masa awal reformasi. Sebagaimana diketahui, pascakrisis moneter pada akhir pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia mendapat suntikan dana yang cukup besar dari lembaga dunia tersebut. Maka, menjadi sangat logis bila rekomendasi kebijakan dari Bank Dunia diterapkan oleh Indonesia. Dalam Laporan Bank Dunia berjudul Education in Indonesia From Crisis to Recovery, 9 Desember 1998 dikatakan bahwa kurikulum memang perlu diintegrasikan secara vertikal dan horizontal serta tidak hanya terkait dengan konten buku teks tapi juga pada pelatihan guru dan penilaian. Selain itu, guna meningkatkan kualitas pendidikan dasar, Bank Dunia juga merekomendasikan Indonesia agar membuat kebijakan agar kurikulum lebih efektif dan terintegrasi. “Mempertimbangkan agar menempatkan kurikulum, buku teks, pelatihan guru dan penilaian di bawah satu direktorat di Kementerian Pendidikan untuk mendukung integrasi,” tulis Bank Dunia dalam laporannya. Caranya, dengan mengevaluasi Kurikulum 1994, mengintegrasikan kurikulum dengan buku teks, pelatihan guru dan penilaian, serta meningkatkan atau menyesuaikan kurikulum secara rutin melalui proses yang berulang-ulang bukan melakukan perubahan dalam periode yang terus menerus sama yaitu selama 10 tahun sekali. Bila sudah begini, pantas saja bila Besmiati dan guru-guru lainnya di seluruh penjuru negeri hanya akan sibuk mengisi lembar penilaian siswa di dalam kelas serta membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sehari-harinya. Di bawah payung Kurikulum 2013, para guru akan bertransformasi dari pelaku perubahan menjadi tukang catat nilai siswa
.
Didaktika 13
LAPORAN UTAMA
K
ehadiran Kurikulum 2013 sebagai terobosan baru dalam upaya memperbaiki kualitas pendidikan dasar menemui banyak kritik. Mulai dari landasan teori yang dipertanyakan, hingga teknis penyusunan yang dinilai terlalu cepat. Meski demikian, pemerintah percaya diri bahwa substansi Kurikulum 2013 mampu mengubah pola belajar siswa menjadi lebih sesuai dengan kodrat dan juga lebih berbobot secara akademis. Untuk memperjelas, berikut petikan wawancara dengan Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Ramon Mohandas dengan reporter DIDAKTIKA, Kurnia Yunita Rahayu dan Virdika Rizky Utama di ruang kerjanya, Gedung Puskurbuk, Jalan Gunung Sahari Raya Nomor 4 Jakarta Pusat.
: JANGAN KURIKULUM YANG NGALAH, GURUNYA HARUS MENYESUAIKAN
RAMON MOHANDAS
Apa yang menjadi dasar dari pengubahan sebuah kurikulum? Yang jelas yang namanya kurikulum itu harus diubah sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Perkembangan peradaban, teknologi. Saya kira yang namanya kurikulum itu menjadi pertanyaan kalau tidak berubah, sementara peradaban berubah, teknologi berubah, macam-macam lah. Ada perkembangan-perkembangan teknologi, di bidang kehidupan sosial. Perubahan kurikulum itu selalu diikuti dengan ketetapannya. Nah mengenai kurikulum 2013 itu sebenarnya di dalam RPJMN tahun 2009-2014, itu ada tuntutan untuk penyempurnaan kurikulum yang sebelumnya. Oleh sebab itu, dari dalam perkembangannya kurikulum 2006 perlu ditelaah kembali kesesuaiannya dengan zaman, setelah itu disepakati waktu itu adalah kurikulum 2013 perlu penyesuaian-penyesuaian. Sehingga, dibuatlah tim untuk membuat kurikulum yang seperti sekarang. Nilai-nilai seperti apa di dalam kurikulum 2006 yang sudah tidak relevan lagi dengan zaman? Ada beberapa alasan misalnya begini, tuntutan dari segi berbagai studi yang pernah dilakukan. Contohnya gini, Indonesia sudah pernah mengikuti studi komparatif internasional mulai dari Kelas 4 SD. Itu studi mengenai literasi yang namanya PIELTS? Itu kelas 4 SD. Kemudian ada juga TIMSS, Trends International Mathematic Science Study. Kita mengikutinya sebenarnya sejak tahun 1995, itu namanya TIMSS juga, tapi yang waktu tahun 90-an itu namanya bukan Trends, tapi Third. Jadi itu seri ketiga, Third International Mathematic Science Study. Kemudian tahun 2000 namanya menjadi TIMSS Repeat (TIMSS-R), nah kemudian pada tahun 2003 T-nya itu sudah menjadi Trends. Nah itu perkembangan sebelumnya.
Kemudian ada lagi yang namanya PISA, kalau TIMSS tadi untuk kelas 2 SMP, kalau PISA itu untuk kelas, hm, anak usia 15 tahun. Dalam tiga seri (standar) itu, capaian Indonesia sangat di bawah. Nah kemudian setelah kita analisis beberapa konten di dalam kurikulumnya, kita melihat bagaimana kurikulum kita, kemudian materi-materi yang ada dalam test itu, ternyata banyak sekali konten di kurikulum kita yang tidak ada. Dalam apa yang ditanyakan dalam test test tersebut, banyak sekali konten yang tidak ada di kurikulum kita. Misalnya seperti, data, bagaimana anak diajarkan membaca data, merepresentasikan data, itu ditanya di dalam test. Atau ada di kurikulum kita, namun diajarkannya misalkan dia kelas 3. Sementara dalam test itu, materi tersebut diberikan kepada anak kelas 2. Atau mungkin ada beberapa materi yang dilihat belum waktunya diberikan kepada anak SD. Seperti di PPKn itu, sering sekali anak kita ditanyakan dalam pembelajaran misalnya, isi dari Undang-Undang. Atau anak disuruh mengemukakan mengenai struktur organisasi di tingkat desa. Yang seperti itu mungkin anak kelas 4 SD belum bisa lulus sebenarnya. Nah oleh sebab itu perlu ada penyesuaian-penyesuaian yang perlu dilakukan. Ada materi yang masih relevan itu tetap dipertahankan, ada materi yang kalau dibandingkan dengan test itu tidak kita miliki, kita masukkan. Atau materi yang mungkin tidak diperlukan ya tidak kita masukkan. Sebab kalau kita akomodasi semua, itu kan tidak akan mungkin bisa terakomodasi semua. Nah jadi dari dari segi materi ada yang diakomodasi, dimasukkan kembali. Karena kalau dikaitkan dengan perbandingan isi soal kan bagaimanapun kita harus melihat
dunia internasional itu seperti apa standarnya. Baru kita bisa bersaing dengan dunia internasional. Nah itu yang isi materi, kemudian juga dari segi kalau kita lihat undang-undang pendidikan, di dalam tujuan pendidikan itu kan dijelaskan, malah yang utama adalah menjadikan manusia indonesia beriman dan bertaqwa sebagai yang utama. Baru kemudian pintar, berakhlak mulia, kreatif dsb. Jadi yang ditekankan pertama disitu adalah menjadikna manusia Indonesia beriman dan bertaqwa. Nah oleh sebab itu ada tiga hal yang mesti diajarkan yaitu adalah sikap, keterampilan dan pengetahuan. Nah kalau kita bandingkan dengan kurikulum yang, 2006 misalnya, disitu memang ada disebutsebut nilai sikap. Tapi kalau dilihat di kurikulumnya itu tidak secara eksplisit dicantumkan di dalam kurikulum sehingga tidak terjadi tagihan yang harus dilaksanakan oleh guru. Sehingga sering terlupakan, sehingga guru lebih fokus kepada mengajarkan pengetahuan saja. Atau ada segi keterampilan hm maksud saya sikap karena tidak ada tuntutan jadi seolah tidak jadi tanggung jawab dari semua pihak. Nah, di dalam kurikulum 2013 kita mendasarkan tujuan itu, kompetensi dasar disusun dengan mengacu empat kompetensi inti. Kompetensi inti pertama itu adalah kompetensi sikap spiritual, bagaimana anak diajar untuk bertaqwa kepada Tuhan, bersyukur kepada Maha Pencipta apapun agamanya. Nah itu yang disebut dengan KI1. Kemudian ada kompetensi inti yang kedua, yaitu sikap sosial, bagaimana anak ini diajarkan untuk hormat pada orang tua, hormat kepada sesama, menghargai perbedaan, jujur, adil dsb yang terkait dengan sikap sosial. Itu dimunculkan sebagai kompetensi inti yang kedua adatu KI2. Nah baru KI3 nya itu ilmu pengetahuan yang berbentuk materi-materi
Didaktika 14
yang harus diajarkan kepada siswa. Sedangkan yang KI4 itu keterampilan, bagaimana siswa terampil untuk mengimplementasikan yang sudah dia pelajari. Untuk KI1 dan KI2 yang berhubungan dengan sikap, spiritual maupun sosial, itu sesuatu yang tidak diajarkan langsung tapi sesuatu yang akan diperoleh siswa selama guru memberikan pelajaran mengenai pengetahuan dan sikap. Di dalam guru mengajarkan pengetahuan dan sikap itu, akan terben-
tuk pembiasaan-pembiasaan di dalam kelas, sehingga sikap anak itu terbentuk berdasarkan pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan oleh anak pada waktu guru memberikan materi atau keterampilan. Jadi sikap itu tidak diajarkan langsung, tapi akan terbentuk dalam proses pembelajaran. Ini yang jadi, hmm, kalau saya bilang mungkin perbedaan yang agak konseptual lah, karena itu tagihan yang dimaksud. Sehingga yang namanya sikap itu menjadi tugas
dan tanggung jawab semua guru, apapun mata pelajaran yang diberikan, di kelas manapun dia mengajar. Karena setiap materi yang dia berikan pada waktu dia mengajar, dia selalu harus mengaitkannya dengan sikap. Nah jadi mengenai sikap ini kalau kita lihat di tingkat yang paling bawah, SD, di SD itu guru mestinya lebih banyak membuat anak itu belajar sambil melakukan. Jadi seperti bermain sambil belajar, nah jadi dari proses belajar seperti itulah anak bisa terbentuk melalui tugas-tugas, melalui permainan-permainan. Oleh sebab itu di SD, porsi pembentukan sikap itu menjadi sangat dominan, sekitar 70-80% waktu, itu diutamakan untuk membentuk sikap anak. Melalui permainan dan tugas-tugas. Kemudian sisanya baru untuk porsi pengetahuan dan keterampilan. Nah semakin tinggi tingkat pendidikan anak, porsi sikapnya dikurangi tapi porsi pengetahuan dan keterampilannya ditambah. Sehingga di SMA itu menjadi terbalik nantinya. Pada saat dia di SMA, porsi pembentukan sikap itu sangat kecil karena sudah terbentuk di SD. Nah tapi porsi pengetahuan dan keterampilan yang harus diperbesar, sehingga di tingkat SMA itu mestinya sudha digenjot dengan materi-materi pengetahuan dan keterampilan. Nah disitulah mungkin nanti anak-anak itu pada saat dia SMA, lebih banyak belajar pengetahuan dan keterampilan. Nah jadi kita mengharapkan, anak di tingkat SD itu lebih banyak membentuk sikap antusiasme dalam pelajaran. Jadi membuat suasana belajar itu suasana yang menyenangkan membuat anak belajar ingin tahu dan punya sikap untuk belajar. Ini yang kita tekankan. Bagaimana penjelasan mengenai pendekatan tematik integratif? Di SD, itu mata pelajarannya, hmm mungkin kita cerita dari bagaimana buku itu ditulis ya. Di SD buku itu ditulis, hmm ini juga yang kita katakan perbedaan dari yang lain, selama ini buku itu ditulis dengan berbasis konten. Itu hanya memberikan rumusan-rumusan atau definisi-definisi ini apa. Nah di dalam buku yang kita kembangkan sekarang, kita mengembangkan buku yang berbasis aktivitas. Jadi kalau di SD buku itu lebih banyak bentuknya bukan uraian-uraian tapi lebih banyak berbentuk gambar dan berbentuk perintah-perintah. Jadi kalau kita lihat piramida belajar, learning pyramid, daya serap kalau anak itu disuruh membaca atau hanya mendengar itu paling yang bisa diserap atau lengket di
Didaktika 15
LAPORAN UTAMA kepala anak itu hanya 10%. Kalau gurunya itu mendemonstrasikan, atau anak disuruh audio visual itu akan lebih meningkat daya serapnya, mungkin 20 atau 25%. Tapi yang lebih banyak lagi daya serap anak itu kalau kita memberikan pengetahuan itu dia bukan disuruh mendengar atau membaca, tapi dia disuruh melakukan. Kalau anak disuruh melakukan, daya serap anak itu akan jauh lebih banyak bisa mencapai 60 atau 65%. Sehingga buku yang kita kembangkan adalah buku yang berbasis aktivitas sehingga konsep yang kita berikan kepada anak, diberikan dengan bentuk anak disuruh mengerjakan tugas. Nah itu konsep yang berbasis aktivitas yang kita kembangkan. Nah kemudian di SD itu kita kenal dengan istilah tematik terpadu. Di tingkat awal, anak-anak diberikan konsep tidak berbasis mata pelajaran tapi hanya berbasis pengetahuan-pengetahuan umum yang biasa dilihat anak sehari-hari di alam sekitarnya. Jadi buku yang dikembangkan untuk SD itu dalam bentuk tema. Katakanlah dia saat sekolah itu diberi buku dengan judul Diriku, misalnya. Di dalam buku yang bertema Diriku itu, semua konsep yang kita kenal selama ini sebagai mata pelajaran, itu masuk semua disitu. Pada waktu anak disuruh untuk mengenalkan dirinya, disitu ada unsur mengajari anak menggunakan bahasa yang baik dan benar, mengajari anak untuk ada unsur IPS atau sosialnya, atau pada waktu anak disuruh berdiri di depan kelas, satu orang dua orang tiga orang disitu, itu sudah ada unsur pengenalan angka dari berapa orang itu berarti sudah ada pengenalan Matematikanya. Atau saat anak itu dusuruh mengenalkan bagian tubuh dan apa fungsinya, itu juga sudah masuk nilai IPA. Dan bermacammacam disitu. Atau disuruh mengenalkan dengan nyanyian atau lagu, itu sudah masuk nilai kesenian. Jadi kalau kita lihat konten dari buku itu, mengenalkan konsep-konsep itu tidak dengan pendekatan mata pelajaran, tapi berdasarkan konsep saja. Itu di dalam satu aliran. Kalau dilihat buku itu, mungkin kalau diperagakan tidak cukup seharian, karena buku itu untuk dikerjakan oleh anak, bukan untuk dibaca. Sebab kalau Cuma dibaca, mungkin buku itu tiga hari saja akan selesai. Nah tapi buku itu bukan untuk dibaca tapi untuk dilakukan. Apa tujuan dari penggunaan pendekatan tematik integratif? Pertama agar terjadi di dalam kelas itu, membuat anak itu proses belajar sambil bermain dengan cara melakukan itu berarti mereka sambil bermain itu. Kemudian bagi
seorang anak itu juga konsepnya itu masih sangat umum jadi belum perlu diperkenalkan bahwa sekarang itu matematika, sekarang bahasa indonesia. Jadi mengalir saja anak-anak itu, yang penting bagaimana anak-anak itu bisa merasakan kenyamanan belajar di sekolah. Nah itu yang diharapkan sehingga terbentuk sikap-sikap itu. Jadi anak tidak diberikan sebuah konsep secara terpisah, tapi masih di dalam konsep yang berkaitan. Kenapa pendekatan tematik integratif hanya diterapkan untuk SD? Kalau dia sudah mencapai SMP itu baru ada proses dia harus mengenal berbasis mata pelajaran. Jadi kalau di SD itu masih mengenal tematik tadi, nah di SMP dia sudah mulai mengenal berdasarkan mata pelajaran, ada matematika, bahasa indonesia, tapi IPS pun masih terintegrasi. IPS misalnya, masuk disitu ada sejarahnya, geografinya, ada ekonomi. Jadi di dalam buku yang kita buat itu, kumpulan materi IPS itu dalam sebuah alur cerita dimana yang menjadi temanya itu geografi. Jadi dalam bercerita geografi suatu daerah itu, dalam suatu daerah itu ada unsur sejarahnya bagaimana sebuah kejadian kejadian disana. Kemudian ada juga di daerah itu masuk bagaimana kemampuan ekonominya atau mungkin dari segi ekonomi. Nah jadi sejarah itu juga terpadu. Jadi tidak perlu dibuat IPS ada subbidang sejarah, dulu kan dikenal gitu kalau IPS ada subbidang sejarah, ekonomi, geografi ya. Kalau sekarang itu menjadi satu kesatuan. IPA juga begitu, pada waktu anak belajar IPA itu ada kandungn biologi, kimia dan fisikanya. Nah yang kita gunakan untuk menggerek IPA itu adalah biologi. Pada waktu kita membahas sebuah tanaman sebagai unsur IPA nya disitu kita bicara misalnya air bagaimana bisa sampai ke daun, nah itu ada unsur fisikanya disitu. Ada juga disitu bicara mengenai makanan-makanan tumbuhan disitu juga bicara kimia. Jadi kalau kita bicara IPA itu menyatu semuanya. Nah baru kemudian pada saat dia sudah SMA baru diperlukan kemahiran khusus yang lebih spesifik mengenai kimia, fisika, sehingga itu lebih mengarah kesitu. Nah apalagi kalau sudah di perguruan tinggi, itu pasti lebih spesifik lagi. Integrasi nilai-nilai agama dalam seluruh mata pelajaran dinilai bermasalah, sebab dapat meminggirkan agama minoritas. Bagaimana pendapat Anda? Ya mestinya kalau seorang guru, mestinya harus fokus pada pembahasan biologinya, kalau agama kan beda lagi disiplin ilmunya. Nah mestinya kalau seorang guru memberikan pelajaran mengenai biologi ya biologi
Sejumlah guru yang tergabung dalam Aliansi Revolu sebagai suatu ilmu. Kalau dikaitkan disitu kan mungkin, kalau yang dikaitkan semestinya bukan dari segi ayat-ayat penciptaan manusianya, tapi dari segi bahwa setiap pelajaran itu harus dikaitkan dengan masalah sikap itu tadi, sikap spiritual. Bukan dengan pengertian dari ayat ini, manusia diciptakan seperti ini, kalau seperti itu kan sudah menyimpang dari kaidah keilmuannya itu tadi. Berarti kalau itu mencampuradukkan dengan agama. Tapi yang kita maksud disini tadi itu kalau kita belajar biologi, disitu ada tertanam masalah, mungkin dengan adanya materi tentang penciptaan manusia nah ini mungkin bisa dikaitkan dengan kita membuat anak itu punya keyakinan terhadap agama, apapun agamanya. Jadi itu agak berbeda sebenarnya. Kalau yang seperti kamu bilang itu agak mencampur aduk sebenarnya. Apakah mungkin Kompetensi Inti yang ditetapkan menjadi sumber kerancuan? KI1 dan KI2 itu kan memang sikap spiritual dan sikap sosial, tapi itu jangan dikaitkan dengan mata pelajaran,. Tapi itu adalah sesuatu yang timbul sebagai akibat saja. Jadi tidak ada materi pelajaran yang terkait KI1 dan KI2 itu yang punya materi pelajaran adalah KI3 dan KI4. KI3 itu kan pengetahuan, nah kalau kita belajar biologi ya mungkin kontennya pada saat dia jam tertentu dia belajar mengenai anatomi tubuh. Kemudian keterampilannya adalah bagaimana dia bisa
Didaktika 16
usi Pendidikan menolak kurikulum 2013 di depan gedung Kemendikbud Jakarta memanfaatkan ilmu itu untuk hal lain. Tapi sebenarnya di dalam waktu mendiskusikan itu, guru bisa memberikan gambaran bagaimana dari setiap ilmu pengetahuan itu kaitannya dengan kekuasaan Tuhan. Tapi itu tidak langsung diajarkan. Namun dalam praktik sering muncul seperti itu? Nah itu sebabnya kenapa kalau kita bandingkan dengan kurikulum sebelumnya, salah satu persyaratan kurikulum ini untuk bisa diterapkan di dalam sekolah, gurunya harus mendapatkan pelatihan terlebih dahulu. Nah ini juga sebuah perbedaan yang besar kalau dibandingkan dengan yang lalu. Yang lalu lalu kurikulum berubah, tapi tidak ada keharusan untuk ikut pelatihan seperti sekarang. Akibatnya, kurikulumnya berubah tapi gurunya mengajar ya seperti itu-itu lagi. Walaupun kurikulumnya ada, tapi gurunya tidak dituntut untuk mengikuti kurikulum. Nah kalau sekarang dengna konsep kurikulum sekarang ini, semua guru yang akan berdiri di depan kelas menggunakan Kurikulum 2013, harus melalui pelatihan. Sebab kalau tidak, akibatnya apa yang akan terjadi di kelas tidak sesuai dengan apa yang menjadi ruh dari kurikulum yang baru ini. Saya kira itu permasalahan yang sangat besar. Sebab, kalau sekarang dikatakan guru itu tidak terampil, kan memang selama ini pelatihan-pelatihan yang khusus dihadirkan
untuk memahami kurikulum itu juga kurang dilakukan. Saya sering melihat guru SD itu sudah 35 tahun mengajar, dalam karirnya selama 35 tahun mengajar itu baru satu kali ikut pelatihan dan itu di Jakarta dan banyak sekali guru yang selama karirnya itu tidak pernah ikut pelatihan. Karena memang selama ini tidak ada tuntutan, tidak ada program yang memberikan syarat bahwa semua guru itu harus pelatihan. Makanya untuk sekarang ini, persyaratan utama untuk bisa menggunakan kurikulum adalah gurunya harus ikut pelatihan. Kalau tidak ikut pelatihan ya guru akan kembali mengajar seperti maunya saja. Boleh dikatakan gini ya secara kasarnya, guru yang menggunakan kurikulum lama itu kan mengajar suka-suka saja karena tidak ada pelatihan, tidak ada yang mengarahkan ya dia suka-suka saja. Sehingga, saya khawatirnya guru yang seperti itu ada juga waktu kurikulum 2006 karena tidak ada pelatihan juga sebelumnya. Ya gurunya ceramah saja, muridnya ngapain gitu. Kalau diobservasi, di sekolah-sekolah yang di SD misalnya yang menerapkan kurikulum 2013 dengan benar, karena ada juga guru yang canggih tapi mungkin belum paham kurikulum 2013 ya, tapi kalau diikuti sekolah-sekolah yang menerapkan kurikulum 2013 dengan benar, karena gurunya paham, bisa dilihat keceriaan anak-anak itu sangat terasa sekarang. Karena anaknya
itu disuruh lebih aktif, dan guru juga tersadar bahwa yang paling penting di kelas itu adalah bagaimana membuat murid itu nyaman. Bagaimana membuat anak itu memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Selama ini yang kurang dari guru kita adalah guru kita itu jarang memuji anak, jarang misalnya membuat anak itu nyaman. Saya bisa mengatakan seperti ini karena, kalau kita melihat anak-anak yang pernah belajar di luar negeri, terutama teman-teman kita yang pernah belajar di luar negeri kemudian membawa anak ya, itu perbedaan mereka sangat nyata. Mereka itu kalau datang ke sekolah itu antusiasnya luar biasa tinggi. karena yang terbayang saat ia mau berangkat ke sekolah itu adalah dia mau bermain, itu di SD ya. Jadi yang terbayang pada dirinya adalah nanti permainan apalagi yang akan saya lakukan. Sementara kalau disini, bayangan kalau dia ke sekolah adalah stres. Gurunya marah kalau Prnya tidak dikerjakan, guru tidak memberikan sebuah kenyamanan pada anak sehingga anak itu datang ke sekolah dengan perasaan tertekan. Nah ini yang ingin kita hilangkan, ini yang kita katakan pada guru kita, bagaimana guru itu membuat anak datang ke sekolah dengan antusiasme tinggi, bagaimana anak diajar untuk punya rasa PD sehingga buat anak ujian itu adalah hal yang biasa. Kebiasaan guru kita adalah guru mengajukan pertanyaan, nah biasanya guru kita itu punya kunci jawaban, kalau jawabannya yang diberikan oleh anak tidak sama dengan yang dia pegang, itu langsung disalahkan. Bagi seorang anak, dikatakan salah itu saja sudah langsung menciutkan nyali yang tadinya sudah tumbuh. Nah praktik-praktik seperti ini yang kita hindari untuk terjadi pada guru, bahwa yang penting adalah kita membuat anak itu punya rasa bangga, punya rasa PD dalam berkomunikasi dengan orang, nah itulah yang ingin kita capai dan itu yang menjadi tantangan utama kita untuk bisa mewujudkan seperti itu. Karena yang menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri pada anak ini berhubungan dengan bagaimana gurunya berinteraksi dengan mereka. Kalau yang keluar dari guru itu, SALAH, tidak seperti itu, wah itu membuat anak itu yang tadinya berani kemudian jadi takut. Seringkali kita itu kalau guru membuat pertanyaan, itu sudah ada jawaban standar yang benar, selain itu dikatakan salah. Nah kalau yang baik itu, anak mestinya diberikan pertanyaan, apapun jawaban anak itu bagus, hebat, walaupun mungkin dalam pandangan kita itu masih
Didaktika 17
Foto Istimewa
Aliansi Revolusi Pendidikan melakukan aksi penolakan kurikulum 2013 di depan gedung DPR belum betul, tapi dibesarkan dulu dia. Lebih baik kalau dia memberikan jawaban kita tanya, kenapa dia sampai menjawab seperti itu. Nah itu yang jarang ada di guru kita. Misalnya memberi pertanyaan, jawabannya lain dari yang dia punya ya sudah salah. Nah ini juga satu skill yang harus ditingkatkan bagaimana membuat pertanyaan sehingga apapun yang dijawab oleh murid itu oke bagus, kenapa kamu katakan begitu? Bagaimana posisi antara guru dan kurikulum dalam Kurikulum 2013? Kurikulum itukan sebenarnya adalah standar yang dibuat untuk kita, jadi pemerintah membuat standar agar pendidikan kita itu, hmmm. Kalau kita ingin meningkatkan mutu pendidikan, itu standarnya harus kita buat tinggi, kalau kita ingin anak itu pintar, standarnya jangan rendah. Karena kalau standarnya rendah, itu siapapun bisa. Kalau untuk SD, disuruh loncat tinggii hanya diberikan 10cm, semua orang pasti bisa buat. Kesimpulannya dikira hebat semua anak kita. Padahal standarnya memang terlalu rendah. Oleh sebab itu, kalau ingin meningkatkan mutu pendidikan kita, standarnya dinaikkan. Dengan standar pendidikan itu, kita lihat kemampuan guru itu yang bagaimana. Kalau ternyata banyak guru kita yang tidak sesuai standar ini, tidak berarti standarnya yang harus diturunkan, tapi kemampuan gurunya yang harus ditingkatkan. Sebab, kalau standarnya yang mengalah, berarti kita tidak akan pernah meningkatkan mutu pendidikan kita. Oleh sebab itu itu kita lihat, kita
buat standar segini, kita lihat kemampuan gurunya, kalau ternyata kemampuan gurunya masih di bawah ini bukan standarnya yang harus diturunkan tapi kemampuan gurunya yang harus dinaikkan agar bisa melewati itu. Jangan kurikulumnya yang ngalah, gurunya yang harus menyesuaikan. Oleh sebab itu, kurikulum itu adalah standar yang dibuat oleh pemerintah pusat untuk dilaksanakan oleh guru. Nah pelatihan itu juga ingin melihat seprti itu, jangan sampai kita punya standar tapi ternyata gurunya tidak satupun yang bisa melewati standar ini. Oleh sebab itu, pelatihan ini ditujukan agar semua guru yang mengajar nanti bisa melewati standar ini. Kalau standarnya ketinggian, ya jangan diturunkan tapi guru yang ditingkatkan kemampuannya sehingga dia bisa melewati standar itu. Nah standar kita pun itu sebenarnya standar minimum. Sehingga bisa dicapai oleh semua sekolah, tapi nanti kalau memang ada sekolah yang lebih hebat, itu nggak papa dia jauh melebihi standar. Tapi jangan ada sekolah yang di bawah standar. Nah yang di bawah standar itu yang harus kita pacu. Jadi kalau fungsi dari kurikulum adalah standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Itu yang harus bisa kita sampai. Jadi posisi guru adalah pelaksana kurikulum? Ya, guru adalah pelaksana, karena kurikulum adalah standar yang harus dicapai. Nah guru harus menuju ke standar itu. Kalau
bisa dia melebihi standar, jangan di bawah standar. Jika begitu, pengalaman guru di lapangan tidak akan dijadikan pertimbangan dalam menyusun kurikulum? Perbaikan kurikulum iya, tapi juga itu tadi, kalau gurunya tidak mampu melaksanakan itu pertanyaan saya tadi, kalau guru tidak bisa mencapai standar apakah kurikulumnya mengalah? Kalau kurikulumnya mengalah berarti itu direndahkan kurikulumnya, ya kapan kita bisa meningkatkan mutu pendidikan kita. Nah oleh sebab itu kita yang harus lakukan adalah gurunya disiapkan, guru nya yang harus lebih tepat. Kalau kita punya standar segini ternyata gurunya masih disini, jangan kurikulumnya yang diturunkan, kemampuan gurunya yang ditingkatkan. Oleh sebab itu, itu lah pentingnya training, itu lah pentingnya meningkatkan kemampuan guru. Dan oleh sebab itu lah mengapa yang namanya pelatihan guru itu menjadi sangat penting. Karena banyak sekali kenyataannya guru-guru kita sampai saat ini banyak yang belum pernah ikut pelatihan. Banyak guru itu yang mengajar hanya dengan apa yang dia peroleh puluhan tahun yang lalu. Masa yang zamannya begini yang diajarkan apa yang ada di masa 30 tahun yang lalu? Itu kan nggak masuk akal. Oleh sebab itu kan yang namanya guru harus selalu dikembangkan dan itu hanya mungkin dilakukan kalau gurunya secara rutin mengikuti pelatihan. Nah rutin diikutkan pelatihan itulah yang kita inginkan karena gurunya ya dibiarkan aja
Didaktika 18
begitu saja. Sekarang tugas kita sebenarnya bagaimana membuat guru itu mengikuti perkembangan-perkembangan itu. Karena yang konsentrasi utama kan, seperti yang dikatakan pak menteri kita yang sekarang, yang pelaku utama kan guru, jadi guru yang harus ditingkatkan kemampuannya. Guru yang harus dilatih secara intensif supaya dia bisa. Tapi kalau kita sudah menerapkan standar, tapi guru belum mampu ya itu tadi jangan standarnya diturunkan. Sehingga saya pikir itu yang utama, jangan berpikir untuk menurunkan standar hanya karena gurunya nggak mampu, kalau itu yang kita lakukan, pendidikan kita tidak akan pernah maju. Saya kita poin yang sangat penting disitu. Tapi kalau guru mengeluhkan, wah itu sulit, tidak mungkin diajarkan ya sebenarnya itu kenapa, bukan karena apa ya, misalnya karena kemampuannya kurang, ya berarti kemampuannya yang harus ditingkatkan. Nah sekarang yang terjadi seperti itu, contohnya kalau ada waktu kita adakan review buku matematika, guru yang meriview itu mengatakan, wah ini nggak mungkin ini anak SMA kita belajar ini karena sangat sulit. Nah itu tidak berarti materinya yang diturunkan tapi kemampuan anda harus ditingkatkan. Pengetahuan apa saja yang akan diberikan dalam buku Kurikulum 2013 dan ditentukan oleh apa? Yang namanya buku itu harus mengacu pada kompetensi dasar, jadi kita mengembangkan konsep dulu, kemudian kita melihat misalnya gini rujukan kita adalah tujuan pendidikan yang ada dalam UU Sisdiknas. Nah jadi tujuan itu yang tadi saya katakan, menciptakan manusia Indonesia yang beriman bertaqwa, cakap, segala macam, itu yang jadi tujuan utama kita. Kemudian dari situ kita turunkan menjadi Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Jadi kalau seorang anak lulus SD, kemampuan apa yang harus dicapai, waktu SMP kemampuan apa yang harus dicapai, merujuk pada tujuan pendidikan itu. Oleh sebab itu, setelah kita melihat tujuan pendidikan, kemudian kita rumuskan standar kompetensi lulusan. Kalau SD harus bisa apa, SMP harus bisa apa. Nah itu yang kita sebut dengan SKL. Kemudian itu dibuatkan dokumennya dalam bentuk peraturan menteri yang berkaitan dengan SKL. Kemudian setelah SKL itu untuk bisa mengisi kemampuan itu harus ada yang namanya standar isi, nah standar isi itu lah yang menentukan apa saja yang perlu dijadikan sebagai materi pembelajaran. Dalam bentuk yang bermacammacam tadi. Ada yang kontennya matema-
tika, bahasa indonesia dan segala macam. Jadi ada SKL kemudian ada standar isi yang menentukan apa yang harus diberikan kepada siswa, ada standar proses bagaimana proses yang harus terjadi supaya isi tadi bisa dipahami oleh siswa. Kemudian ada standar penilaian, bagaimana menilai bahwa apa yang dijadikan materi dalam proses ini bisa sampai pada siswa. Jadi ada SKL, Standar Proses, Standar Isi dan Standar Penilaian. Kemudian dari semuanya ini, yang namanya taid SKL diturunkan menjadi Kompetensi Inti, KI1 sampai KI4. Nah yang ada tadi, sikap spiritual, sosial, pengetahuan dan keterampilan. Nah semua ini diturunkan lagi menjadi Standar Kompetensi, disitulah akan muncul semacam indikator apa apa yang harus dikuasai siswa. Nah dari SK ini baru bisa ditulis bukunya. Jadi buku yang ditulis, harus mengacu pada KI dan KD. Jadi buku yang ditulis, harus mengacu pada KI dan KI nah itulah yang menjadi dasar buku yang digunakan di kurikulum apapun. dulu juga sama, standar yang digunakan adalah kompetensi apa yang harus dikuasai oleh siswa, nah itu menjadi acuan menyusun buku. Bagaimana pendapat Anda mengenai penundaan pelaksanaan kurikulum 2013 di sekolah-sekolah? Nah ini kalaui dibaca peraturan menteri terkait, poin pertama adalah bahwa sekolah yang sudah tiga semester mengimplementasikan kurikulum 2013, silakan dia menggunakan terus. Tapi bagi sekolah yang diantara tiga semester itu ada yang kemudian merasa belum siap, boleh kembali memakai kurikulum 2006, nah itu poin pertama. Poin kedua, bagi sekolah yang baru seatu semester melaksanakan kurikulum 2013, prinsipnya distop dulu. Kembali ke kurikulum 2006. Tapi, seandainya dari sekolah-sekolah yang baru satu semester itu ada yang merasa siap dengan pembuktian oleh kepala sekolah, karena yang menjadi dasarnya adalah sekolahnya harus siap, oleh sebab itu yang sudah siap itu harus menyatakan kesiapannya yang ditujukan ke pak menteri. Kalau dia merasa siap, dia jalan terus. Itu pun sebenarnya, stop itu, berhenti itu hanya sementara. Jadi karena dia belum merasa siap dia boleh pindah lagi ke kurikulum 2006 tapi dia tetap harus menyiapkan dirinya untuk siap menggunakan kurikulum 2013. Karena dalam waktu tiga tahun dia tetap harus kembali menggunakan kurikulum 2013. Berarti akan diterapkan secara serempak kembali nantinya? Iya, betul, jadi kalau kita urut paling akhir,
pada tahun 2020 semua sekolah dari semua tingkatan harus sudah melaksanakan kurikulum 2013. Pada tahun 2020, semua tingkatan. Tapi kan implementasinya biasanya tidak sekaligus tapi bertahap, berarti tahun 2018, siswa SMP misalnya pada tahun 2018 paling lambat anak kelas satu di semua SMP harus sudah menggunakan kurikulum 2013. Jadi 2018 paling lambat ya, kemudian itu baru kelas satu menerapkan, berarti kelas dua dan tiganya masih kurikulum 2006 misalnya. Nah pada tahun 2019, kelas satu dan dua. Kelas satu kan yang baru masuk nih, kelas dua yang sudah lebih dulu. Jadi kelas satu dan dua harus sudah menggunakan kurikulum 2013. Nah pada tahun 2020, adalagi kelas satu yang baru masuk, berarti satu dua dan tiga sudah menerapkan kurikulum 2013. Kini dikatakan sedang ada evaluasi, apa yang dievaluasi dari Kurikulum 2013? Iya kita sambil berjalan, kita menyempurnakannya sambil berjalan. Apa yang kurang ya kita perbaiki, ada masukan-masukan ya kita perbaiki. Tapi konsepnya tetap 2013. Artinya, Kurikulum 2013 diproyeksikan masih akan diterapkan sampai 2020? Oh ya, ya itu, di dalam peraturan menteri sudah dikatakan seperti itu. Jadi pengehentian yang dimaksud itu penghentian untuk yang massif. Karena kalau dilihat cerita dari awal, pada waktu menteri itu sudah dilantik sudah mengumpulkan semua kepala dinas di Jakarta, kemudian beliau mengatakan, dari segi konsep beliau tidak mempermasalahkan. Yang beliau permasalahkan adalah kenapa baru di tahun kedua sudah massif semuanya. Itu beliau yang tidak setuju, karena kalau massif kan dikhawatirkan masih banyak orang yang belum paham betul tapi sudah harus menimplementasikan, itu yang dia permasalahkan. Oleh sebab itu, beliau mengatakan, ya sudah ini jangan masif, yang satu semester stop dulu. Balik ke 2006. Tapi kan ada juga klausul yang kedua itu, tapi sekolah yang merasa sudah siap ya silakan untuk melaksanakan terus. Jadi intinya distop itu untuk memberikan waktu kepada mereka untuk siap. Jadi bukan stop selamanya dia, dia stop sementara. 2014 dia stop, tapi selama distop itu, pemerintah wajib melatih mereka agar dia siap. Sehingga pada 2018 nanti, semua murid kelas satu di kelas itu, sudah menggunakan kurikulum 2013. Tahun berikutnya naik lagi satu dua, tahun berikutnya lagi satu dua tiga sehingga tahun 2020 sesuai dengan PP no 32 sudah akan menerapkan kurikulum 2013. Jadi intinya yang dikatakan stop itu, stop
Didaktika 19
LAPORAN UTAMA untuk mereka agar lebih banyak waktu untuk menyiapkan diri untuk menerapkan. Nah soal evaluasi, itu kanb kita lihat mana yang jadi permasalahan, contohnya masalah buku PJOK yang ada istilah pacaran disitu, soal konten, itu kan kita segera kita review dan kita perbaiki. Itu intinya. Apakah ada target usia dari sebuah kurikulum akan dipertahankan hingga berapa lama? Itu tidak ada rumusannya. Tapi biasanya ya paling tidak dalam waktu 10 tahun pasti ada perubahan-perubahan. Apalagi kalau dalam zaman teknologi sekarang, perubahan bisa lebih cepat lagi. Bagaimana jika sebelum tahun 2020 sudah dirasa tak relevan? Nah gini, jadi yang namanya perubahan kurikulum itu bisa dua macam, bisa berubah semua atau perubahannya hanya parsial. Katakanlah misalnya kita sekarang mengenal bidang-bidang IPA, atau sosial lah nah ternyata ada perubahan yang sangat besar di bidang sosial, ya mungkin bidang sosialnya saja yang kita adakan perubahan. Tidak semuanya. Jadi yang dikmaksud dengan evaluasi secara berkala adalah termasuk evaluasi seperti itu. Materi-materi yang tidak sesuai ya kita sesuaikan. Sekarang banyak sekali kontenkonten yang sudah tidak relevan lagi. Yang memang perlu penyesuaian-penyesuaian itu kita lakukan penyesuaian secara parsial tidak menyeluruh. Kalau untuk pengubahan menyeluruh, prakondisi seperti apa yang mengakibatkan kurikulum harus diubah? Ya itu kan secara kesepakatan dari tim waktu membahas saja, misalnya kalau kita bandingkan dengan negara lain jam belajar kita masih rendah, kalau gitu mungkin kita butuh tambahan jam belajar. Atau mungkin dirasa kok mata pelajaran kita banyak sekali, nah dibutuhkan penciutan-penciutan. Nah itu kan perlu perubahan secara mendasar. Mengubah struktur kurikulum, itu mengubah secara mendasar. Tapi kalau masalah konten, materi, nah itu bisa secara parsial saja sesuai dengan masing-masing bidangnya saja. Sebenarnya apa visi dari Kurikulum 2013? Ya bagaimana menyiapkan anak untuk bisa bersaing dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Bagaimana menjadikan akan yang kreatif, ya kreatif itu kan tergambar dari bagaimana interaksi yang terjadi di dalam kelas. Bagaimana anak itu bisa punya rasa PD, punya rasa antusiasme sehingga kreativitas itu bisa muncul. Nah ini bisa tercipta
kalau mereka bisa merasa nyaman di sekolah. Nah anak-anak itu yang kita butuhkan untuk bisa bersaing secara global, termasuk yang tadi itu materi-materi yang diajarkan di tempat lain kok kita tidak. Sehingga kita bisa memunculkan anak-anak yang kreatif yang bisa bersaing ya sehingga kita bisa punya keterampilan yang dibutuhkan dalam tuntutan zaman. Apalagi menyongsong apa yang dikatakan bonus demografi, ya bonus itu kan bisa dikatakan sebagai bonus kalau SDM yang akan melimpah itu betul-betul punya skill yang dibutuhkan sehingga bisa bekerja dan bersaing. Tapi kalau tidak, kalau malah sebaliknya tidak bisa dididik untuk punya keterampilan, itu justru akan jadi musibah. Akan banyak pengangguran, ya jumlahnya banyak, tidak punya keterampilan, kemudian dikaitkan dengan era global era terbuka apalagi MEA, kita akan dibanjiri oleh pekerja dari negara lain yang tidak bisa dibendung. Kalau kita bicara mengenai employer, tentu dia akan memilih orang yang punya skill, nah dia itu datang dari mana sementara daerah kita daerah terbuka sekarang. Sehingga yang namanya persaingan itu semakin tinggi, nah kalau kita tidak bisa atau gagal menyiapkan anak yang punya kompetensi yang dibutuhkan, bonus demografi itu bukan lagi bonus tapi musibah demografi yang akan kita dapatkan. Jadi tantangan kita disana. Secara teoritis, penyusunan Kurikulum 2013 mengacu pada teori apa? Ya saya kira mengacu pada perkembangan abad ke-21, abad ini kan anad teknologi, yang kita andalkan tidak lagi teknologi tapi peradaban. Karena peradaban itulah yang akan dibutuhkan nanti. Jadi teknologi sangat pest jumlahnya oleh sebab itu yang kita butuhkan adalah bukan anak-anak yang pintar menggunakan suatu alat, tapi bagaimana dia menciptakan sesuatu yang lebih besar. Jadi mungkin yang menjadi dasar adalah tuntutan abad ke-21. Itu yang lebih terlihat dari perubahan peradaban manusia. Sehingga yang dibutuhkan dari seseorang adalah bagaimana mencipta sesuatu, jadi tidaklagi menguasai teknologi tapi menciptakan sesuatu. Itu tuntutan abad ke-21. Anak-anak tidak perlu bisa menghitung sekian digit, karena ada kalkulator, nah tapi bagaimana justru dia bisa menciptakan itu jadi bukan penguasaan teknologi yang dibutuhkan. Tidak perlu anak itu hebat menghitung soal soal sekian digit, ada komputer, kalkulator. Karena ada penundaan implementasi
Kurikulum 2013 di beberapa sekolah, apakah berarti dalam beberapa tahun ke depan akan ada dua kurikulum yang diterapkan bersamaan? Iya, itu tidak bisa dihindari. Karena sekarang pun terjadi seperti itu. Yang namanya perkembangan bertahap seperti itu, sekarang pun belum ada anak anak kelas tiga, enam, sembilan dan 12 yang menggunakan kurikulum 2013, belum ada. Jadi memang di dalam sebuah perkembangan yang bertahap, poasti ada dua macam yang dijalankan. Tahun kedua sekarang tetap ada dua proses, kurikulum 2013 dan kurikulum 2006. Bagi sekolah yang tiga semester pun, pasti ada anak kelas tiga, anak kelas enam, sembilan dan 12 yang masih menggunakan kurikulum 2006. Jadi tak masalah lah. Itu justru merupakan konsekuensi logis dari implementasi yang bertahap. Tidka bisa dihindari itu. Satu lagi yang mungkin penting adalah, tadi saya cerita kan salah satu syarat penerapan kurikulum 2013 itu kan pelatihan guru, setelah itu adalah buku. Selama ini buku itu diserahkan kepada swasta untuk menerbitkannya. Kemudian orang tua harus membeli dan harga buku itu sangat mahal sehingga beban orang tua luar biasa mahalnya. Dan itu biasanya yang terjadi pihak penerbit langsung menawarkan ke sekolah dan yang jadi masalah yang sering terjadi adalah sekolah memilih buku bukan berdasarkan kualitas bukunya tapi melihat dulu berapa persen yang akan didapat. Sekarang buku itu ditulis oleh pemerintah, dicetak oleh pemerintah, apapun sumber dananya bisa BOS bisa DAK, kemudian orang tua atau siswa menerimanya gratis. Ini yang berbeda. Dan ini lah yang menjadi permasalahan kenapa buku itu tidak sampai ke sekolah karena banyak pihak yang tidak suka dengan ini, karena bisnisnya terganggu. Anda bisa bayangkan selama ini untung yang didapat luar biasa, sekarang kesempatan itu hilang. Sehingga mungkin ada penjegalan-penjegalan dari beberapa pihak yang dirugikan sehingga menyebabkan buku itu tidak sampai-sampai di sekolah. Itu yang menjadi ribut ribut terakhir ini, karena ada pihak yang tidak suka dengan cara ini. Sementara kita maunya buku sampai di tangan siswa itu gratis. Sekarang orang banyak ngomong soal pendidikan gratis tapi nyatanya apa, buku yang harga cetaknya hanya 30-40 ribu itu harganya 50 ribu di pasaran. Nah sekarang kita cetak buku dengan harga yang murah seperti itu. Lalu ada juga yang ngomong pemerintah hanya bikin proyek buku triliunan untuk
Didaktika 20
Foto Istimewa
Aliansi Revolusi Pendidikan melakukan aksi penolakan kurikulum 2013 di depan gedung DPR macam-macam. Angka triliunan itu, hanya ada di atas kertas. Kenapa hanya di atas kertas? Untuk tahun 2014 ini, karena diterapkan di semua sekolah itu berarti kita butuh untuk 33 juta siswa yang harus menerima buku. 33 juta siswa, kalau bukunya ada 9 atau 10 dikalikan dengan 70.000 saja itu berapa triliun, bisa mencapai dua koma sekian triliun. Tapi kalau menggunakan sistem yang lama satu orang siswa minimal harus menyediakan uang 600.000 untuk seluruh buku dikali 33 juta, itu bisa 20 triliun, wah makin tersedot masyarakat kalau menggunakan cara lama. 20-an triliun itu minimal karena 33 juta dikali 600.000, itu minimal lho. Ada yang sampai dua juta malah satu orang di sekolah. Jadi, kalau dengan sistem yang lama, itu masyakarat akan tersedot kira-kira sebanyak 20-an triliun. Nah sekarang dengan sistem yang dilakukan pemerintah hanya mengeluarkan dua triliunan tapi diduga proyek. Padahal itu hanya di atas kertas. Uangnya itu sudah teresbar kepada 210.000 sekolah dalam bentuk BOS. Banyak uangnya memang, tapi sudah di sekolah-sekolah uangnya. Jadi hitungan triliunan, itu hitungan di atas kertas, karena uangnya sudah menyebar di sekolah. Jadi, pengadaan bukunya kita adakan lelang terbuka pemenangnya kemudian nyetak buku tapi pemenang yang nyetak buku itu mendapatkan uangnya secara recehan dari sekolah-sekolah yang ada di seluruh indonesia itu. Nah ini yang saya katakan kadang orang
tidak memahami, dianggap ini proyek pemerintah, triliunan rupiah. Ya memang iya tapi Cuma di atas kertas itu. Uangnya kan sudah di sekolah-sekolah nah sekolah membayar itu dengan dana BOS. Hanya beberape persen dari dana yang mereka terima. Kalau di BOS itu kan satu orang anak SD itu mendapat sekitar 600 ribuan, yang diperlukan hanya 60 ribu dari sekolah itu. Nah tapi kan banyak orang ngomongnya ini hanya proyek pemerintah ini, apalagi ICW mengatakan ada korupsi pengadaan buku di sekolah. Ini kan ya, bagaimana korupsi? Uangnya saja sudah ada di sekolahsekolah dalam bentuk BOS. Ada yang melihat uangnya sekian triliun? Iya saya bilang memang sekian triliun itu uangnya tapi hanya di atas kertas. Alokasi dana untuk buku itu didapat dari dana BOS? Dana BOS itu kan untuk operasional sekolah, nah dari dana BOS yang diterima sekolah mereka arus menyisakan sekiran persen untuk membeli buku nah jadi buku ini harus dibeli kepada pemenang lelang. Buku yang kita terbitkan ini, itu lah yang akan mereka beli dengan dana BOS. Sehingga siswa tidak akan lagi terbebani karena gratis itu. Tapi itu tadi, banyak yang menjegal karena bisnis mereka terganggu. Bisa bayangkanlah uang LKS selama ini yang ecek ecek itu kan 20.000 apa fungsinya itu LKS hanya untuk dicoret-coret siswa. Nah itu yang hilang sekarang. Nah jadi pasti ada reaksi yang terjadi.
Dari mana referensi penyusunan Kurikulum 2013? Ya kalau kita lihat ini memang belum ada yang membuat integratif, kalau tematik iya. Kalau kemarin kita lihat ada pameran buku di Frankfurt, itu masih terpisah-pisah yang membuat seperti ini belum ada. Malah kemarin saya dengar waktu pak wakil menteri yang lama ngomong dengan atase kita di India, India malah mau belajar juga dari kita ini, kok bisa membuat seperti ini. Ini mungkin memang belum banyak yang menerapkan seperti ini. Jadi kita tidak melihat ke siapa-siapa, ini justru rumusan dari tim kita. Apakah dasar pertimbangan dari penerapan pendekatan tematik integrative? Ya psikologis, seorang anak itu di SD levelnya baru pengetahuan-pengetahuan yang sifatnya sangat lokal, dia juga hanya perlu mengetahuan apa yang sudah diketahui oleh dia. Pada saat di SMP, itu meningkat ia memahami berdasarkan apa yang diketahui dan juga apa yang sudah diberi dan diajari tentang.. tapi di tingkat SMA, ilmunya itu tidak hanya apa yang sudah diberi tahu tapi dia juga harus sudah bisa memanfaatkan sumber-sumber lain. Kalau perlu sumber lain yang berbeda pandangan, nah sehingga dia punya metakognisi yang lebih tinggi. SD hanya faktual saja, SMP faktual plus referensi yang seirama, SMA ah itu sudah metakognisi, dia bisa menggabung-gabungkan informasi sehingga lebih tinggi tingkat pemahamannya
.
Didaktika 21
KAMPUSIANA
DARURAT REVIT Oleh Virdika Rizky Utama
Ilmu pendidikan dipandang sudah lama kembali ke haribaan-Nya. A Didaktika 22
Foto Didaktika
TALISASI LPTK
Adakah gagasan untuk memanggilnya kembali? Didaktika 23
KAMPUSIANA
Diskusi bertema Revitalisasi LPTK menghadirkan Kurnia Yunita Rahayu (Kiri), H.A.R Tilaar, Muchlis, Tri Agus Susanto dan Jimmy Paat.
D
alam rangka menyambut Dies Natalis ke-51 Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) DIDAKTIKAmengadakan diskusi pendidikan bertema ‘Revitalisasi Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK)’. Menurut moderator acara tersebut, Kurnia Yunita Rahayu, tema itu diangkat berdasarkan pandangan umum bahwa selama ini kampus penghasil guru kerap dianggap ‘kampus kelas dua’ oleh masyarakat. Pemimpin Redaksi DIDAKTIKA ini menambahkan, hal tersebut tidak bisa lepas dari sistem kebijakan nasional, terutama konversi Institusi Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) menjadi universitas pada 1999. “Saat konversi, Pak Tilaar sudah mewanti-
wanti akan ruh pendidikan yang selama ini melekat pada IKIP untuk tetap dijaga,” selorohnya. Diskusi yang dilaksanakan di Aula Daksinapati, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) ini menghadirkan H.A.R. Tilaar (Guru Besar Emiritus UNJ), Jimmy Ph Paat (Dosen Jurusan Bahasa Prancis dan Aktivis Pendidikan), Tri Agus Susanto Siswowiharjo (Alumni IKIP Jakarta), dan Muchlis R. Luddin (Pembantu Rektor I UNJ). H.A.R. Tilaar mengatakan, revitalisasi LPTK merupakan hal yang sangat penting terutama bila ditempatkan pada perubahan zaman. “Ini sangat penting, dunia semakin berubah ke arah materialisme, akan tetapi peningkatan mutu guru ternyata masih sangat lemah. Konversi IKIP menjadi universi-
tas tidak menghasilkan apa-apa,” tegasnya. Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 93 Tahun 1999 ,seluruh kampus bekas IKIP mendapat wewenang untuk menambah tugasnya sesuai dengan mandat lembaga pendidikan tinggi yakni menyiapkan tenaga pendidik dan kependidikan, seni, vokasi, dan tenaga lainnya. Oleh sebab itu, LPTK mengemban dua tugas pokok yakni, bidang kependidikan dan non-kependidikan. Tetapi, lanjut Tilaar, kampus eks IKIP justru terjebak dengan perluasan mandat tersebut. “Ilmu kependidikannya tidak dikembangkan, ingin menjual non kependidikan tapi kalah dengan Universitas yang bukan bekas IKIP,” keluhnya. Menurut suami Martha Tilaar ini, hal tersebut telah merusak hakikat IKIP. Ditam-
Didaktika 24
Foto Didaktika
bah dengan pemberlakuan Program Profesi Guru, semua sarjana dari berbagai macam jurusan dapat menjadi guru. “Kalau sudah seperti ini jangan ada lagi kampus LPTK, bubarkan saja jurusan kependidikan ganti ilmu murni. Sejak 1983 saya sudah katakan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia sudah mati,” tegasnya. Hal senada diungkapkan oleh Jimmy Paat, menurutnya ada kesan ketidakpercayaan pemerintah terhadap lembaga penghasil guru. Buktinya, agenda peningkatan mutu guru saat ini tidak pernah diprioritaskan pada LPTK. “Baru beberapa hari yang lalu saya diskusi dengan staf Anies Baswedan, ada satu poin yang menjadi perhatian yakni guru. Tidak hanya itu, mereka mengangungkan program Indonesia mengajar sebagai
jalan keluar permasalahan hilangnya mutu penghasil guru akibat matinya ilmu pendidikan di Indonesia,” ucapnya. Jimmy melanjutkan, matinya ilmu pendidikan di Indonesia terjadi lantaran adanya relasi yang timpang antara pejabat kampus, dosen, dan mahasiswa. Sehingga, kampus tidak berfungsi sebagai laboratorium yang mampu mencipta dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dampaknya, diskursus ilmu pendidikan menjadi tidak populer. Menurut Jimmy, sejak puluhan tahun lalu, hanya Tilaar yang konsisten mengelaborasi ilmu pedagogik di Indonesia. “Ke mana muridnya Tilaat? Tidak ada satu pun yang meneruskan gagasannya,” ucap Jimmy. Namun, Pembantu Rektor I UNJ, Much-
lis R. Luddin memiliki pandangan berbeda mengenai LPTK. Baginya, persoalan konversi sudah tidak perlu dibahas, peristiwa itu sudah lewat belasan tahun lalu. “Saat ini yang terpenting adalah bagaimana kewajiban membangun ilmu pendidikan menjadi koridor utama UNJ,” tutur Muchlis. Ia melanjutkan penyebab mandeknya pengembangan ilmu pendidikan di LPTK lebih besar disumbang oleh masalah birokratisasi. Salah satunya adalah ketiadaan otonomi dalam ranah pengembangan ilmu pengetahuan. “Ruang otonomi mulai hilang, karena semua diatur oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti),” tandas Muchlis. Oleh sebab itu, lanjut Muchlis, peran serta sinergi sivitas akademika amat penting dalam perjalanan UNJ. “Revitalisasi tanggung jawab kita semua,” ucapnya. Krisis Tradisi Akademik Sementara itu, Tri Agus Susanto menyoroti tentang tradisi akademik yang ada. Menurutnya, UNJ yang dianggap kampus kelas dua tak lain disebabkan hilangnya tradisi akademik. Padahal, tradisi akademik adalah landasan sebuah perguruan tinggi. “Penyebabnya, di satu sisi staf pengajar terjebak pada rutinitas mengajar tanpa inovasi dan kreativitas. Di sisi lain, birokrasi kampus mendukung segala sesuatu yang cepat, instan, dan kurang mempertimbangkan konten,” ungkap Tri Agus. Sekretaris Jurusan Ilmu Komunikasi APMD Yogyakarta ini menambahkan hampir di semua kampus kini lebih mementingkan urusan teknis administratif, prasarana fisik, dan kepangkatan akademik, kemudian “mengalahkan” output akademik yang dibutuhkan masyarakat. Alhasil, penelitian yang berbobot, penulisan buku, dan pengembangan ilmu makin langka. Tak hanya itu, budaya akademik juga menghilang disebabkan adanya pembatasan masa studi dan biaya kuliah yang sangat tinggi. “Jika seperti ini, mahasiswa hanya belajar di ruang kelas dan ingin cepat lulus. Celakanya, banyak mahasiswa ingin cepat lulus tanpa memikirkan kualitas keilmuannya,” tandasnya. “Jika makin banyak mahasiswa lulus tanpa memikirkan kualitas, dan pihak kampus menganggap hal ini bukan masalah besar, sesungguhnya perguruan tinggi ini sedang menggali kuburnya sendiri,” tegas Tri Agus. Sejatinya, lanjut mantan Pemimpin Umum DIDAKTIKA ini, kampus butuh mahasiswa kreatif dan bergerak secara dinamis. Selain itu, perguruan tinggi juga butuh dosen-dosen yang kritis. Universitas butuh rektor dan pejabat kampus yang demokratis dan mampu memelihara tradisi akademis yang kompetitif, bukan sebagai administrator kampus yang terjebak pada urusan rutin administrasi. “Kampus harus kembali ke “tradisi akademis”-nya,” tutupnya
.
Didaktika 25
KAMPUSIANA
Foto Didaktika
Para mahasiswa UNJ yang sedang menyelusuri jalan terpasang gambar gedung baru kampus.
LIKA-LIKU IMPLEMENTASI UANG KULIAH TUNGGAL
Oleh Latifah
Sistem baru pembayaran uang kuliah ini membuka peluang penyelewengan di berbagai lini.
K
ementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerapkan sistem baru dalam penyetoran biaya kuliah di seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang bertajuk Uang Kuliah Tunggal (UKT) sejak 2013. Dalam sistem tersebut, tiap mahasiswa akan menyetor sejumlah uang dengan nilai yang sama setiap semester sejak awal hingga perkuliahan selesai. Nilai yang mesti dibayar tiap semester itu didapat dari penjumlahan seluruh biaya operasional yang dibutuhkan mahasiswa selama empat tahun, kemudian dibagi kedalam delapan semester. Penghitungan tersebut mengasumsikan durasi studi ideal mahasiswaa dalah empat tahun. Dan dengan model penghitungan itu pula, Kemendikbud menetapkan bahwa tidak dibenarkan ada biaya lain yang mesti dibayar mahasiswa di luar UKT. Meski demikian, jumlah uang yang diba-
yarkan setiap mahasiswa tidak sama di seluruh universitas. Sebab, setiap kampus tingkatan golongan pembiayaan. Secara nasional, pada 2014 Kemendikbud menetapkan UKT hanya akan hadir dalam lima golongan. Namun, pada 2015, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sudah menambahnya menjadi delapa golongan. Pengubahan tersebut menunjukkan adanya kenaikan nilai biaya kuliah. Padahal, pada peluncurannya Kemendikbud yakin UKT merupakan terobosan yang dapat meniadakan kenaikan tersebut. Lantaran dengan sistem ini, pemerintah menyertakan bantuan Biaya Operasional PTN (BOPTN) yang besarnya disesuaikan dengan prestasi kampus masing-masing. Selain itu, beberapa prinsip dasar dari UKT pun nampak tidak berjalan. Seperti persoalan biaya di luar UKT. Hal ini nampak pada kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang kebanyakan mengharuskan
mahasiswa untuk mengeluarkan biaya tambahan. Seperti terjadi pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI), Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). Memasuki 2014, JBSI sempat mencanangkan KKL ke Malaysia untuk mahasiswa angkatan 2012 dengan biaya Rp 5 juta perkepala. “Hal ini sangat aneh, karena pernah dijelaskan dalam penghitungan UKT sudah ada nominal yang dianggarkan untuk KKL dan prinsipnya, kegiatan yang hanya sekali dilakukan seperti uang gedung, KKL atau pembelian jaket almamater itu akan dicicil,� tutur Tsalis Sakinah, mahasiswi JBSI 2012. Berdasarkan asumsi tersebut, Tsalis pun menghimpun teman-teman angkatannya untuk meminta kejelasan status pembiayaan kepada jurusan. Dialog antaramahasiswa dan dosen pun terlaksana. Hingga rencana KKL ke Malaysia pun Batal. Pembantu Dekan III FBS, Sri Suhita mengata-
Didaktika 26
1) Sumber: Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaaan (Permendikbud) No. 55 tahun 2013 tentang UKT dan BKT
2) 1. Komaruddin, Pembantu Rektor II UNJ 2. Sri Suhita, Pembantu Dekan III FBS UNJ
kan, penetapan Malaysia sebagai destinasi KKL sebenarnya merupakan inisiatif dari mahasiswa. Pemilihan tujuan tersebut memang memiliki konsekuensi penambahan biaya. Namun, setelah mengevaluasinya, lokasi KKL pun diubah lantaran harus menyesuaikan dengan biaya yang memang tersedia dari UKT, yaitu ke daerah Bromo, Jawa Timur. Kemudian, penetapan golongan UKT pada tiap mahasiswa juga kerap salah sasaran. Akibatnya, banyak pihak yang merasa tidak mampu membayarkan sejumlah nilai yang ditetapkan. Sebagaimana terjadi pada beberapa mahasiswa Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Melalui Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan (BEMJ) Geografi, mereka pun mencoba mengajukan keberatan pada kampus. Namun, pengajuan mereka ditolak, permohonan penurunan biaya tidak terkabul. Dekan Fakultas Teknik (FT), Riyadi menjelaskan, kejadian serupa memang benar adanya. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi pengulangan kasus, setiap calon mahasiswa dilibatkan dalam menentukan biaya UKT mereka masing-masing. “Oleh karena itu,
kami mengundang orang tuamahasiswauntuk datang pada verifikasi data dalam lapor diri. Hal ini juga untuk mengetahui kesanggupan orang tua (secara ekonomi),” ujar Riyadi kepada DIDAKTIKA. Namun, jalan tersebut tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Sebab, kejanggalan lain kembali muncul pada awal 2015. Beberapa mahasiswa mengaku, nominal UKT yang sudah disepakati saat verifikasi data berbeda dengan yang harus mereka bayar secara riil. Nahasnya, hal ini mereka ketahui saat akan membayar uang kuliah di bank, tanpa ada pemberitahuan dari pihak kampus sebelumnya. “Ada mahasiswa yang ketika verifikasi dinyatakan masuk golongan satu. Tapi ketika ingin membayar, bank menyatakan bahwa ia masuk golongan tiga,” terang Ketua BEMJ Sejarah, Izhar. Ia melanjutkan, mahasiswa tersebut kemudian memimta surat keterangan dari bank terkait untuk meminta advokasi dari BEMJ. BEMJ Sejarah pun membawa kasus ini pada Dekanat FIS. Sesudah diteliti lebih jauh, ditemukan telah terjadi kesalahan pada administrasi kampus. Kemudian, Dekanat FIS menerbitkan surat rekomendasi kepada bank agar memperbolehkan mahasiswa tersebut membayar UKT sesuai kesepakatan awal dengan kampus. Namun, kesalahan administrasi tidak terjadi pada satu orang. Berdasarkan data Tim Advokasi BEM UNJ yang masih dihimpun hingga saat ini, kejadian serupa banyak dialami mahasiswa baru angkatan 2015. “Lebih dari satu jurusan,” kata Joko, staf BEM UNJ. Ia melanjutkan, contoh lain terjadi di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Keluarga (IKK), Fakultas Teknik. Bahkan, ketidaksesuaian itu tidak diklarifikasi sebagaimana terjadi di FIS, sehingga mahasiswa tetap membayar
UKT yang tak sesuai dengan kesepakatannya. Dekan Riyadi pun mengaku tidak mengetahui kasus tersebut. Ia berjanji, jika benar terjadi kesalahan administrasi tentu akan segera ditindaklanjuti. “Jika memang ada, silakan bawa datanya kepada kami. Selanjutnya akan kami evaluasi,” tegasnya. Staf Biro Administrasi Akademik Kampus (BAAK), Octo Rianto pun tidak menyangkal kesalahan administrasi tersebut. Menurutnya, jumlah mahasiswa yang begitu banyak telah membuka peluang tersebut. “Pasti ada (kesalahan). Dari lima ribuan mahasiswa, sekitar 20-an ada saja yang salah,” ujar Octo mengakui. Sederet kejanggalan yang terjadi selama penerapan UKT membuat transparansi pengelolaannya menjadi penting. Hingga kini, mahasiswa memang hanya mengetahui satu nominal yang harus dibayar tanpa tahu detil penggunaannya. Mengenai transparansi Pembantu Rektor II UNJ, Komaruddin pun mengaku belum dapat memenuhinya. “Saya masih butuh waktu untuk menyiapkannya,” kilah Komaruddin. Menyadari beragam potensi penyelewengan, Kementerian Riset danTeknologi (Kemenristek) yang menaungi seluruh perguruan tinggi di Indonesia pun memberi lampu kuning untuk penyelenggaraan UKT. Melalui Surat Edaran Nomor 01/M/SEIV/2015 tanggal 20 Mei 2015, Kemenristek meminta seluruh PTN untuk menunda implementasi UKT. Meskidemikian, UNJ masih menerapkannya. Komaruddin mengatakan, hal tersebut terjadi karena Surat Edaran Kemenristek terbit setelah mahasiswa baru diterima. “Surat itu baru turun ketika kami telah meneri mamahasiswa baru dengan jalur SNMPTN. Jadi kami masih menerapkan sistem UKT seperti sebelumnya,” pungkas Komaruddin
.
Didaktika 27
Opini
Kebebasan A
Oleh Muchlis R. Luddin & Agung Premono*
Academic freedom is the freedom to teach and do researc new ideas no matte
P
etikan diatas sengaja ditulis ulang dalam opini ini berkaitan dengan sebuah kondisi yang terjadi pada awal tahun 2016 di kampus tercinta, Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Opini ini tidak dalam rangka memberikan penguatan ataupun pembenaran terhadap kondisi yang terjadi di awal tahun ini di kampus kita, melainkan untuk mengingatkan kembali seluruh sivitas akademika UNJ tentang makna kemerdekaan akademik dikampus. Kampus memang sebuah institusi pendidikan yang unik, yang tidak bisa dikekang dalam pemahaman penjelajahan dunia ilmu pengetahuan sehingga dikenal istilah kemerdekaan akademik (academic freedom). Menurut Kent M. Keith [2], ada tiga elemen dalam definisi kemerdekaan akademik, yaitu (1) kemerdekaan untuk melaksanakan penelitian dan mempublikasikan hasil penelitian; (2) kemerdekaan dalam pengelolaan materi perkuliahan di dalam kelas; dan (3) kemerdekaan untuk berbicara dan menulis sebagai warga negara. Yang perlu kita perhatikan bersama adalah sampai sejauh mana interaksi dosen dan mahasiswa dalam melaksanakan elemen kemerdekaan akademik seperti yang ditulis oleh Keith. Nampaknya, perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang terlahir dari gerakan generasi pendiri bangsa saat itu, sangat memberikan corak yang dominan dalam memaknai kemerkedaan akademik saat ini. Perlu diakui bahwa lahirnya bangsa Indonesia tidak terlepas dari kegiatan politik pada pendiri bangsa Indonesia. Atas dasar sejarah itulah, gerakan politik di dunia kampus nampak cukup memberikan warna yang signifikan dari sisi lain dunia ilmu pengetahuan yang ada di kampus Indonesia saat ini. Sejarah mencatat bahwa beberapa kampus di negara lain, yang kehidupan kampusnya lebih didominasi oleh nuansa politik, akan membuat kampus tersebut “terkungkung� dalam dinamika politik yang kemudian menyebabkan kualitas penelitian dan publikasi ilmiahnya cukup tertinggal, walau-
pun secara usia kampus tersebut tergolong tua. Sementara, perguruan tinggi yang lebih memaknai kemerdekaan akademik dalam ranah riset dan pembelajaran, umumnya kampus tersebut memiliki kualitas penelitian, publikasi, dan pembelajaran yang jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan perguruan tinggi yang lebih memaknai kemerdekaan akademik dalam ranah politik[3]. Sepanjang hampir puluhan tahun bekerja sebagai dosen di UNJ, makna kemerdekaan akademik dalam ranah yang pertama (kemerdekaan meneliti dan publikasi) sudah mulai tumbuh dan terbangun walaupun belum maksimal. Kondisi yang menyebabkan lambannya pertumbuhan “kemerdekaan� dalam ranah penelitian, menurut hemat kami lebih disebabkan oleh terjadinya birokratisasi dan administrasi penelitian yang dilaksanakan di Indonesia, khususnya yang didanai dari sumber pemerintah. Penyusunan administrasi pelaksanaan penelitian jauh lebih sulit dibandingkan dengan pelaksanaan penelitian itu sendiri. Kondisi ini hampir dirasakan oleh para dosen yang menerima dana penelitian dari Pemerintah. Selain berbelitnya administrasi penelitian yang diterapkan oleh Pemerintah, budaya meneliti dari para dosen dengan melibatkan mahasiswa masih perlu ditingkatkan. Prosentase dosen yang melakukan penelitian dan publikasi bersama mahasiswa, masih tergolong kecil bagi UNJ yang memiliki jumlah mahasiswa hampir tiga puluh ribu orang. Jika kemerdekaan akademik dalam ranah penelitian ingin dinaikkan, maka pemangkasan birokrasi dan administrasi penelitian serta peningkatan budaya meneliti bersama yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa, harus dilakukan dengan sistematis, terencana dan terprogram. Hampir tidak ada di dunia akademik, sebuah hasil penelitian dihasilkan hanya oleh seorang peneliti semata. Seorang guru besar sekaliber Einstein juga dibantu oleh para mahasiswa, khususnya pada jenjang Doktoral, untuk meneruskan ide penelitian yang sedang dilakukan. Guru besar biasanya berusaha memancing mahasiswa
Didaktika 28
Akademik
*
ch in any area without constraint, to discover and promulgate er how controversial [1]
untuk menjelajah dunia ilmu pengetahuan dengan ide, dan pembuktian dari ide yang dilontarkan guru besar itulah yang kemudian akan menjadi tugas mahasiswa. Kondisi ini memungkinkan adanya perdebatan ide bahkan pembantahan ide dari seorang guru besar oleh mahasiswanya, manakala data yang diperoleh mahasiswa selama melakukan penelitian, dapat menggugurkan hipotesis yang ditelorkan oleh seorang guru besar. Dan inilah makna kemerdekaan akademik dalam ranah penelitian. Kemerdekaan akademik dalam ranah pengelolaan materi perkuliahan maupun mata kuliah, pada saat ini dirasakan masih juga belum berkembang dengan baik. Kondisi ini lebih disebabkan karena kebijakan pengelola pendidikan tinggi di Indonesia yang bisa intervensi ke dunia kampus sampai ranah (muatan) mata kuliah. Dosen harus patuh dalam memberikan materi perkuliahan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Kondisi ini tidak salah, hanya sedikit mengukung makna kemerdekaan akademik dalam pengelolaan materi maupun mata kuliah. Selain itu, budaya diseminasi pemikiran dosen kepada mahasiswa yang berdasarkan pengamatan, hipotesis, dan akhirnya dilakukan penelitian, belum nampak dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh dosen. Pada hemat kami, kondisi ini nampaknya tidak terlepas dari ketergantungan Indonesia dengan teknologi yang didatangkan dari negara lain sehingga civitas akademika terkena dampak terhadap impor teknologi. Efek lebih lanjut dari impor teknologi adalah dunia kampus tidak bisa memiliki ruang kebebasan dalam menjelajah ilmu pengetahun karena adanya kecenderungan pemikiran bahwa kebanyakan ilmu yang dipelajari dalam kampus, tidak
digunakan dan diimplementasikan dalam dunia kerja di Indonesia sehingga penjelajahan ilmu baru didunia kampus seolah tidak diperlukan lagi dalam dunia kampus. Sementara, untuk kemerdekaan akademik dalam ranah kemerdekaan berbicara dan menulis sebagai warga negara nampak lebih dominan dalam dunia kampus di Indonesia. Kondisi ini tidak terlepas dari euforia demokratisasi seluruh elemen masyarakat, termasuk kampus. Pemilihan pejabat dikampus bahkan dimodelkan mirip dengan pemilihan pejabat politik. Begitupun dengan kemerdekaan berbicara yang dilakukan oleh civitas akademika yang nampak lebih didominasi oleh unsur politik, bukan akademik. Kemerdekaan berbicara oleh civitas akademika haruslah dimaknai bahwa semua pembicaraan dan tulisan yang dibuat oleh civitas akademika harus berbasis data. Berbicara atau tulisan tanpa data dapat dimaknai sebagai fitnah ataupun isu, dan itu bukan makna dari kemerdekaan akademik dalam ranah berbicara dan menulis. Untuk itulah, mumpung masih dalam suasana tahun baru 2016, marilah kita bersama untuk merenung dalam-dalam tentang makna kemerdekaan akademik yang akan kita tempuh di kampus UNJ tercinta. Jika UNJ memiliki cita-cita menjadi kampus berkelas dunia yang dibuktikan dengan hasil penelitian dan publikasi ilmiah, marilah kita tumbuh kembangkan makna kemerdekaan akademik dalam ranah penelitian, publikasi, dan proses pembelajaran dengan tetap menghargai kemerdekaan akademik dalam ranah berbicara sebagai warga negara. Semoga bermanfaat. Amin. * Wakil Rektor Bidang Akademik UNJ dan Staf
Daftar pustaka: [1] Robinson, G., and Moulton, J., “Academic Freedom”, Smith College, 2002. [2] Kent M. Keith, “Academic Freedom: New, Narrow, and Fragile”, The Center for Higher Education Policy Analysis, School of Education, University of Southern California, 1997 [3] Soedijarto, “MANAJEMEN PERGURUAN TINGGI KELAS DUNIA DI INDONESIA DALAM ERA GLOBALISASI”, makalah yang disajikan dalam diskusi dengan tema “Menuju Perguruan Tinggi Kelas Dunia”, di Universitas Negeri Jakarta, 1 Desember 2015.
Didaktika 29
Opini
P
endahuluan Sejak lima tahun terakhir, saya menjadi staf pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi (S1) Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta. Sesungguhnya, saya baru mengalami semacam migrasi dari orang lapangan ke dunia akademik. Mata kuliah yang saya ampu tak jauh dari pengalaman saya di lapangan, seperti jurnalistik, komunikasi politik, dan teknik fasilitasi. Sebagai staf pengajar tentu saya sering mengikuti seminar, diskusi, call for paper bidang ilmu komunikasi dan pertemuan lainnya terutama di ASPIKOM (Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi). Setiap bertemu dengan kolega baru dari perguruan tinggi lain, saya selalu ditanya lulus S1 dimana. Di situ saya merasa sedih. Mau tak mau saya selalu teringat dengan almamater, IKIP Jakarta atau sekarang Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Setiap ada laporan peringkat perguruan tinggi di Indonesia saya selalu prihatin. Pasalnya UNJ peringkatnya selalu tercecer di urutan bawah. Tahun 2014, saat UNJ genap berusia setengah abad, UNJ justru kehilangan magnet reputasinya di Indonesia. Posisi UNJ di ibu kota negara, tidak memberi sumbangan berarti pada pencapaian prestasi di antara perguruan tinggi lain. Hasil riset Tahun 2013 dari 4ICU (4 International Colleges & University) menempatkan UNJ berada di peringkat ke-55 untuk perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Peringkat UNJ bahkan di bawah Universitas Negeri Papua (46) yang baru berdiri tahun 2000, atau Universitas Terbuka (42). Daftar Peringkat Universitas Terbaik di Indonesia Tahun 2015versi Webometrics (update Januari 2015), menempatkan UNJ di urutan 94 dari 100 perguruan tinggi [1]. UNJ di bawah UPI (9), Universitas Negeri Semarang (14), Universitas Negeri Malang (15), Universitas Negeri Yogyakarta (17),Universitas Negeri Gorontalo (47), Universitas Negeri Medan (49), Universitas Negeri Surabaya (51), Universitas Negeri Padang (54), Universitas Negeri Makassar (70), dan Universitas Negeri Manado (85). Peringkat lima besar perguruan tinggi di Indonesia adalah UGM, UI, ITB, Universitas Brawijaya, dan IPB. Peringkat Universitas menurut Webometrics adalah inisiatif untuk mempromosikan dan membuka akses publikasi ilmiah guna meningkatkan kehadiran akademik dan lembaga-lembaga penelitian di Situs Web. Peringkatan dimulai 2004 dan didasarkan pada gabungan indikator yang memperhitungkan baik volume maupun isi web, visibilitas dan dampak dari publikasi web sesuai jumlah pranala luar yang diterima. Peringkatan diperbaharui setiap Januari dan Juli. Mengapa UNJ yang berada di Ibukota negara peringkatnya terpuruk? Saya kira penyebab utama sebuah kampus terpurukkarena kehilangan tradisi akademiknya.Tradisi akademik adalah landasan sebuah perguruan tinggi. Penyebabnya, di satu sisi staf pengajar terjebak pada rutinitas mengajar tanpa inovasi dan kreativitas. Di sisi lain, birokrasi kampus mendukung segala sesuatu yang cepat, instan, dan kurang mempertimbangkan konten. Lebih mementingkan non-akademik diband-
Tradisi Akademik I Oleh Tri Agus Susanto* ing akademik.Urusan teknis administratif, prasarana fisik, dan kepangkatan akademik telah “mengalahkan” output akademik yang dibutuhkan masyarakat. Penelitian yang berbobot, penulisan buku, dan pengembangan ilmu makin langka. Saya tak akan membahas UNJ saat ini, tapi angin bercerita atau berbagi pengalaman sebagai mahasiswa IKIP Jakarta tahun 1980an. Bagaimana tradisi akademik saat itu. Bagaimana mahasiswa memanfaatkan iklim akademik. Tradisi Akademik IKIP Jakarta 1980an Tahun 1980an adalah tahun di mana mahasiswa mengalami imbas kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus – Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK-BKK) dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef pada 1978. Melalui kebijakan ini kekuatan kritis mahasiswa dibonsai. Mahasiswa yang melakukan gerakan moral (dan mencoba gerakan politik) pada 1970an, kemudian digiring kembali ke kampus. Melalui perangkat sistem kredit semester (SKS) mahasiswa dipaksa untuk hanya kuliah dan cepat selesai. Mereka tak lagi berhadapan dengan tentara atau pemerintah pusat, tapi berhadapan dengan birokrasi dan penguasa kampus. Pada 1980an ada dua pemecatan terhadap para mahasiswa yang masih melakukan kegiatan kritis di kampus. Di Universitas Indonesia (UI) Rektor Nugroho Notosusanto memecat mahasiswa pada 1982 yang mencoba ingin membangkitkan Dewan Mahasiswa [2]. Di InstitutTeknologi Bandung (ITB), Rektor Wiranto Arismunandar memecat delapan mahasiswa menyusul protes mahasiswa saat kedatangan Menteri dalam Negeri Rudini, 5 Agustus 1989 [3]. Pasca NKK-BKK ada kecenderungan mahasiswa menjadi kontemplatif dan partisipatif. Mereka yang kontemplatif masuk ke arena politik yang disediakan oleh Daoed Joesoef yaitu politik sebatas konsep. Dari sanalah kemudian bermunculan fenomena kelompok studi yang dibentuk mahasiswa. Irine Gayatri mendefinisikan kelompok studi sebagai “suatu bentuk kegiatan sekelompok mahasiswa di luar kampus yang masih tetap mempertahankan posisi mahasiswa sebagai pelaku utama dan sekaligus kelompok sasaran yang dituju, dengan penekanan pada intelektualisme, khususnya pengkajian pada masalah-masalah teoritis [4].” Kegiatan kelompok studi ini mulai tumbuh pada 1982, dan menjamur di tiga kota utama Jawa yakni Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, Di Jakarta ada Kelompok Studi Proklamasi, Lingkaran Studi Indonesia, dan Kelompok Studi Relata. Di Bandung ada Kelompok Studi Fokal dan Kelompok Studi Dago Pojok. Di Yogyakarta kelompok studi tumbuh cukup subur, di antaranya Kelompok Studi Palagan, Kelompok Studi Teknosofi, Kelompok Studi Dasakung, Kelompok Studi Lingkungan dan Forum Studi Sosial Demokrasi. Selain tiga
kota di atas, kelompokstudi juga muncul di Bogor, Kelompok Studi Socionomica dan Salatiga Kelompok Studi 17 November [5]. Di IKIP Jakarta, suasana “normal” kehidupan mahasiswa mulai terlihat. Sistem pembinaan mahasiswa ternyata menghasilkan orang-orang apatis. Jangankan melibatkan diri dalam proses politik, berpendapat dan berdiskusi secara kritis tentang kemasyarakatan dan politik pun mahasiswa tidak bersedia. Muncul jenis mahasiswa kupu-kupu alias kuliah-pulang kuliah pulang. Namun di tengah ribuan mahasiswa yang apatis, toh tetap saja ada segelintir mahasiswa yang berjenis mahaIlustrasi Agung siswa kura-kura atau kuliah-rapat kuliah-rapat. Mahasiswa yang tergabung dalam kelompok studi mempelajari berbagai teori yang dapat dikategorisasi sebagai bersifat ‘kritis’. Teori ketergantungan Andre Gunder-Frank, pendidikan pembebasan Paulo Freire, antihegemoni Antonio Gramsci, kritik struktural kapitalisme dari neomarxis Mazhab Sekolah Frankfurt (Max Horkheimer, Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas) [6] . Tokoh dalam negeri yang banyak dibahas dan diserap energinya adalah demonstran ‘legendaris’ Soe Hok Gie dan pejuang ‘misterius’ Tan Malaka. Pada 1980an Rektor IKIP Jakarta Prof Conny Semiawan sangat memberi ruang bagi mahasiswa untuk melakukan kegiatan kritis. Selain ada kelompok studi di FPIPS, FIP, dan LPM Didaktika, sebagian mahasiswa IKIP Jakarta juga bergiat di kelompok studi di luar kampus misalnya Kelompok Studi Proklamasi (berdiri 1983, didirikan Deny J.A dan kawan-kawan). KSP beranggotakan dari berbagai kampus seperti UI, Unas, STF Driyarkara, IAIN Syarif Hidayatullah dan IKIP Jakarta [7]. Beberapa kelompok kecil mahasiswa IKIP Jakarta bahkan secara intens berdiskusi dengan tokoh nasional (internasional) seperti Soedjatmoko. Didaktika edisi No.1/XIII/1989 menulis laporan utama “Menuju Kampus Lebih Ilmiah”. Salah satu narasumber yang dikutip adalah Prof. Dr. Haryadi Supangat pada ceramah ilmiah di Teater Besar IKIP Jakarta, 14 Februari 1989. Perguruan tinggi harus di-
Didaktika 30
IKIP Jakarta 1980an
pandang sebagai masyarakat belajar, semacam kekerabatan dari pribadi-pribadi yang berkumpul untuk secara bersama mempelajari dan mengembangkan ilmu berdasarkan metode ilmiah, baik karena minat pribadi, keinginan untuk memanfaatkannya bagi kemashalatan masyarakat, atau pun keinginan untuk lebih memahami ciptaanNya yang agung. Lebih lanjut Haryadi Supangat mengatakan, “Suasana akademik yang diciptakan dan tradisi akademik yang dijunjung suatu perguruan tinggi sesungguhnya mencerminkan aspirasi yang hidup dalam masyarakat belajar perguruan tinggi itu. Tentang pandangannya mengenai kedudukan manusia dalamkesemestaan serta kewajiban manusia terhadap masyarakatnya, tentang pandangan mengenai masa depan dan peran yang diberikan pada diri sendiri untuk menghadapi masa g Rizki (Uban) depan itu, wawasannya tentang peran ilmu dalam usahanya untuk mengenal lebih dalam lingkungannya, serta peran seni, teknologi, dan seni dalam memajukan masyarakat dan kehidupan bangsa” [8]. Didaktika edisi ini juga menulis tentang tentang acara “Tatap Muka” mahasiswa dan dosen IKIP Jakarta dengan Rektor Conny Semiawan yang saat itu sedang diterpa kontroversi buku “Adik Baru”. Umumnya warga kampus mendukung Conny Semiawan. Salah satunya dukungan dari Alfa Hidayat, mahasiswa Jurusan Sejarah, FPIPS, “Saya tidak suka dengan rektor kayak ayam sayur. Ibu harus tetap tegar, jalan terus kalau perlu seperti Copernicus yang rela digantung atau Socrates yang rela lebih baik minum racun demi kebenaran,” kata Hidayat yang kini aktif sebagai pemberdaya masyarakat dan tinggal di Bandung. Laporan Didaktika di atas sedikit menggambarkan bagaimana iklim akademik pada saat itu. Mahasiswa aktif dalam kelompok diskusi dengan topik-topik kritis, sementara rektor yang sedang menerima ‘cobaan’ berkaitan dengan kebebasan akademik, dibela oleh mahasiswa. Antara mahasiswa dan pimpinan pada saat itu seolah tak ada jarak, mereka tahudan mengakui tugas dan posisi masing-masing. Dari kegiatan di tingkat jurusan, fakultas, dan unit kegiatan mahasiswa, pada akhir 1980an aktivis mahasiswa IKIP Jakarta mempunyai inisiatif menyelenggarakan seminar nasional tentang pendidikan. Sugeng Supar-
woto, yang saat itu menjadi Ketua Senat mahasiswa FIP dipercaya menjadi Ketua Panitia. Seminar nasional ini menjadi kegiatan berskala institute (perguruan tinggi), sehingga banyak aktivis mahasiswa dan dosen yang terlibat. Seminar ini selain membuktikan IKIP Jakarta sebagai salah satu LPTK ternama, saat itu, juga merupakan alat konsolidasi bagi mahasiswa. Bukan saja mahasiswa di lingkungan IKIP Jakarta, tetapi juga mahasiswa dari beberapa kampus di Jakarta. Usai kegiatan seminar nasional di IKIP Jakarta, beberapa mahasiswa, dari IKIP Jakarta dan beberapa kampus di Jakarta, menggelar aksi di kantor Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan di Senayan. Penutup Para senior, terutama dari Didaktika, selalu menekankan: tugas mahasiswa adalah membaca, menulis dan berdiskusi.Dari sana mahasiswa bisa berpikir kritis dan merdeka.Baca, tulis, diskusi merupakan budaya akademik. Budaya akademik tidak hanya hidup di ruang kuliah. Di sebuah organisasi pun budaya akademik bisa tumbuh dan berkembang. Akademik itu bagian dari suatu proses mencari, menemukan dan membagikan ilmu secara menyeluruh tanpa terikat tempat. Kegiatan akademik pada dasarnya tradisi berpikir yang dimulai dari kegiatan membaca,menulis dan mempublikasi, serta mendiskusikan untuk merekonstruksi suatu kebenaran. Proses itulah yang merupakan tempat membangun kesadaran tentang kebenaran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.Budayaakademik tidak dapat berjalan mulus tanpa dukungan dari kampus atau kebijakan pimpinan perguruan tinggi. Pembatasan
masa studi dan biaya kuliah yang tinggi, misalnya, akan mendorong mahasiswamenjadi mahasiswa kupu-kupu dengan aktivitas 3K (kost, kuliah, kampus). Ia hanya belajar di ruang kelasdan ingin cepat lulus. Celakanya, banyak mahasiswa ingin cepat lulustanpa memikirkan kualitas keilmuannya. Kampus butuh mahasiswa kreatif dan bergerak secara dinamis. Perguruan tinggi juga butuh dosen-dosen yang kritis. Universitas butuh rektor dan pejabat kampus yang demokratis dan mampu memelihara tradisi akademis yang kompetitif, bukan sebagai administrator kampus yang terjebak pada urusan rutin administrasi. Kampus harus kembali ke “tradisi akademis”-nya. Karena itu, kampus juga butuh “orang bersih” untuk bisa lebih maju. Dengan demikian kampus menjadi tempat pergulatan sikap kritis, kreatif, bahkan inovatif. Jika makin banyak mahasiswa lulus tanpa memikirkan kualitas, dan pihak kampus menganggap hal ini bukan masalah besar, sesungguhnya perguruan tinggi ini sedang menggali kuburnya sendiri! Yogyakarta, 1 Juni 2015 * Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika 1988-1989 dan 1989-1990, kini, Sekretari Prodi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” Yogyakarta
Daftar Pustaka [1] http://id.m.wikipedia.org/wiki/Peringkat_Universitas_di_Indonesia_menurut_Webometrics Diakses 31 Mei 2015. [2] Nugroho Notosusanto, Menegakkan Wawasan Almamater, UI Press, 1985, hal 118 [3] Seta Basri, Mereka yang Berani Menantang Risiko, Teplok Press, 2008, hal 69. Ke-sembilan mahasiswa tersebut adalah: Arnold Purba, Amarsyah, Bambang Sugiyanto, Enin Supriyanto, Moh. Fadjroel Rachman, Moh. Jumhur Hidayat, Lendo Novo, dan Syahganga Nainggolan. [4] Irine Gayatri, ‘Arah Baru Gerakan Mahasiswa 1989-1993’ dalam Muridan S. Widjoyo (et al) Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa ’98. Jakarta: Sinar Harapan [5] Didik Supriyanto, Perlawanan Pers Mahasiswa, Protes Sepanjang NKK/BKK, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1998, hal 46 [6] Pada akhir 80an atau awal 90an buku yang paling banyak dibaca aktivis mahasiswa (terutama Didaktika) adalah “Dilema Usaha Manusia Rasional” karya Sindhunata terbitan Gramedia 1982. Mahasiswa yang sering membahas kajian pemikiran kritis antara lain Sugeng Suparwoto, Hidayat, Adri, Andre Donas, Memet Nurahmat, Khatibul Umam Wiranu dan lain-lain. Sementara yang mengusung isu pendidikan antara lain Suparman dari Jurusan Sejarah [7] Mahasiswa IKIP Jakarta yang aktif di KSP adalah Nazrina Zuryani. Ia mahasiswa FPTK yang juga aktif di Didaktika, kini Nazrina Zuryani, Ph.D mengajar di sebuah universitas di Bali. [8] Laporan utama ini dibuat Indah Fitriati (IF), Sugeng Suparwoto (SS), dan Memet Nurahmat/Ment). Sugeng Suparwoto di halaman lain menulis laporan hasil diskusi dengan Budhy Munawar Rahman yang mengkaji tokoh pendidikan pembebasan Poulo Freire
Didaktika 31
Opini
Kaki-kaki Mungil di P Oleh Wahyudin K*
H
alaman Indonesia sangat luas membentang, rangkaian pulau-pulau telah menjadi gugusan kebhinekatunggalikaan yang membangun entitas kebangsaan. Pendidikan telah menjadi tiang pancang bagi paradigma yang berkembang di dalam kehidupan bangsa Indonesia. Isu-isu serta kenyataan yang terjadi dalam lanskap layar kehidupan bangsa Indonesia dipengaruhi oleh pendidikan yang dikenyam setiap individu masyarkatnya. Ini adalah cerita anak-anak usia sekolah dasar dari gugusan pulau-pulau kecil yang dalam peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya menyerupai titik di tengah dalamnya lautan Samudera Pasifik. Kaki-kaki Mungil, tak henti-hentinya belajar di sekolah, setiap hari datang mengenakan seragam kebanggaan sambil membawa buku tulis serta pena yang tidak ada tutupnya. Mereka tahu, hasil informasi yang didapat dari orang tuanya bahwa harapan itu muncul di lembaga pendidikan kofarkor(sekolah). Mereka masih muda belia, masih kanak-kanak belum tahu betul tentang arti dari kedwitunggalan di atas tiang bendera. Nyanyian keceriaan selalu melengking menyentak di pulau kecil yang tengadah di tengah lautan lepas. Lari-larian mereka tidak menimbulkan debu tanah, karena tidak ada tanah yang mereka pijak setiap harinya, semuanya pasir. Kaki-kaki itu tak henti melangkah, ingin terus tahu bahwa apa yang terjadi di luar pulaunya. Bagaimana kehidupan manusia yang hidup dibelahan tanah besar seperti yang mereka
Ilustrasi Agung Rizki (Uban)
lihat dalam bola dunia dan peta. Kaki-kaki mungil tinggal di pulau yang sangat jauh jaraknya dari ibu kota kabupaten, apalagi dengan ibu kota negara. orangorang di negara ini belum tahu banyak
tentang keberadaan pulau tempat kaki-kaki mungil tinggal. Padahal, wilayah kabupatennya sering diikrarkan oleh pemerintah daerah maupun pusat sebagai destinasi wisata bahari yang berkelas internasional.
Didaktika 32
Pulau Kecil Papua Dengungan promosi wisata tersebut adalah nyanyian masa silam yang terus berulang rimbanya. Kaki-kaki mungil enggan menyapa kegundahan serta tak ingin tengadah mengharap pada kekosongan, kaki-kaki mungil diibaratkan semacam buah matoa yang manis. Puluhan pasang kaki-kaki mungil ini harus rela menanggung kepedihan, harapan kosong, serta lantunan janji-janji pemimpin daerah maupun pusat mengenai merangkai mimpi yang harus dibangun dan diwujudkan. Sumber belajar bagi mereka di lembaga yang mereka sebut kofarkor seperti wujud rimba yang bias. Mereka sadar bahwa dirinya belum memiliki inisiatif, mereka terlatih untuk menghapal dan mesti dipancing keaktifannya. Mereka tak memahami bahwa hidup yang baik adalah hidup yang penuh inisiatif, pembelajaran yang pernah mereka ikuti belum sempat pada tahapan itu. Kaki-kaki mungil tidak memiliki cara untuk menyampaikan aspirasinya, kepada siapa mereka harus berkata bahwa keinginan untuk bersekolah harus direnggut oleh sang waktu yang tidak memiliki guru. Aspirasi adalah cara terpenting yang harus disampaikan, kaki-kaki mungil belum paham betul tentang makna dari kata itu, dalam hati setiap kaki-kaki mungil ada batu tapal yang ingin disampaikan, rasa kesal dan amarah yang berlanjut setiap harinya. Karena usianya bermain, kaki-kaki mungil sering melupakan keamarahan itu, mereka tak sadar betul bahwa aktivitas setiap hari yang harus pulang ke rumah karena tak ada sang guru mengajar di sekolah menyebabkan otak mati. Menjadi realitas yang harus diketahui
oleh banyak orang, kealfaan proses pembelajaran di sekolah tentunya menyebabkan ketumpulan dalam keterampilan membaca, menulis dan berhitung. Di pulau mereka tinggal hal tersebut tak menjadi masalah berarti, tetapi saat kaki-kaki mungil akan melanjutkan rangkaian pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi, hal tersebut menjadi hambatan. Karena mereka harus keluar dari pulaunya, menyatu dengan rimba masyarakat yang baru, serta ikut serta berkompetisi dalam pembelajaran di sekolah, jika ketiga keterampilan tadi tidak mampu dimiliki, maka kaki-kaki mungil akan pulang kembali ke pulaunya, tidak jadi memutus mata rantai kebelengguan melalui pendidikan. Sekejap, senyum merah kaki-kaki mungil dapat menggetarkan jiwa setiap orang dewasa yang melihatnya. Suara nyaring nyanyian membikin kesyahduan dalam terik matahari atau gelap malam hari, kaki-kaki mungil senang sekali menyanyi, menyanyi mengajarkan kepada mereka arti kesopanan dan makna kebesaran Tuhan. Setiap pagi, kaki-kaki mungil senang sekali membersihkan halaman kofarkor, karena bagi kakikaki mungil kofarkor merupakan lembaga kehidupan yang harus selalu dijaga kebersihannya. Pada saatnya kaki-kaki mungil ingin berbicara, mereka senyum dalam keceriaan permainan tradisional anak-anak suku Biak Papua, namun dalam hati yang paling dalam kaki-kaki mungil mengaharapkan sosok guru yang setia hadir mengajari mereka manisnya madu ilmu pengetahuan dan harmoninya cita rasa humaniora disetiap harinya. Ini adalah cerita tentang aktivitas anakanak usia sekolah di pulau terluar sebelah
utara bumi Cenderawasih, pulau kecil yang banyak orang tidak mengetahui keberadaannya, dari pulau kecil ini harapan dibentuk. Realitas yang terjadi di hampir seluruh Tanah Papua (kecuali kota besar) mengenai sering mangkirnya guru-guru dalam mengajar di sekolah, sarana dan prasarana pendidikan yang belum ideal dan sumber belajar yang terbatas harus dinyatakan bahwa memang benar adanya. Seperti yang terjadi di Kepulauan Ayau, Papua Barat. Segala kerisauan ini, tentang segala keterlambatan keterampilan belajar yang harus dimiliki oleh setiap individu siswi-siswa nyatanya dapat ditutupi oleh karakter yang telah terbentuk mengenai sopan-santun, menjaga kebersihan, dermawan terhadap alam, serta keakraban yang terjalin antar sesama manusia. Hal tersebut tak terlepas dari upaya pembelajaran yang dilaksanakan di Sekolah Minggu, merupakan upaya mandiri yang dilakukan oleh segenap himpunan masyarakat di Kepulauan Ayau demi terbentuknya karakter generasi muda Kepulauan Ayau yang bijaksana. Kekurangan guru adalah kuantitas konkret yang solusinya merupakan jalan paling substansial yang harus dipikirkan bersama oleh pemerintah dan masyarakat, namun dibalik berlubangnya kenyataan pendidikan tersebut, kaki-kaki mungil berusaha menjadi insan yang senantiasa mencintai tanah airnya walau lirikan kebangsaan itu harus terus digerus ketimpangan pendidikan di pulaunya
.
* Relawan Guru Sobat Bumi SD Inpres 13 Reni, Distrik Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat (2014/2015)
Didaktika 33
Opini
Membangun Literasi Ak
Oleh Sudarya Permana*
K
amus Cambridge Advanced Learner’s Dictionary (2008: 837) memaknai kata literasi sebagai: (a) the ability to read and write, dan (b) knowledge of a particular subject, or a particular type of knowledge. Dengan demikian, seseorang yang ingin mengembangkan kemampuan literasi dalam dirinya, yaitu membaca, menulis dan memiliki pengetahuan khusus tentang suatu bidang ilmu. Perguruan Tinggi (PT) sangat berkepentingan dengan pengembangan literasi. Sebab, PT bertugas menjadikan mahasiswa individu mandiri dan kreatif yang mampu menyikapi masalah dirinya, khususnya masalah akademis selama perkuliahan. Kegagalan mahasiswa mesti disikapi sebagai kegagalan PT dalam pengembangan diri mahasiswa. Sebaliknya, keberhasilan mahasiswa merupakan “medali emas” karena telah berhasil memainkan perannya sebagai ‘agen perubahan sosial’ dalam masyarakat. Sementara itu, lawan dari literasi adalah nirliterasi, yakni kondisi sosial yang masyarakatnya tidak memiliki tradisi kuat akan budaya baca tulis dan kesungguhan dalam menyuburkan keanekaragaman pengetahuan. Bekaitan dengan ini, Freire & Macedo (1987) telah lama mengingatkan bahwa golongan nirliterat umumnya cenderung tidak mampu mengambil keputusan. Mereka pun tidak sanggup mengambil peran-peran politis yang ada dalam lingkungannya. Menurut Freire & Macedo, nirliterasi sangat berbahaya, bahkan dapat membunuh prinsip-prinsip demokrasi yang ada dalam masyarakat, di mana di dalamnya
terdapat hak dan kewajiban anggotanya, sangat dijunjung tinggi dan dihargai. Membaca Kata, Membaca Dunia Sewaktu mengikuti pendidikan magister, seorang profesor pernah menegur penulis karena ia sering tidak mendapatkan jawaban yang dimau. Penulis lebih sering mengandalkan logika-logika berpikir daripada segudang fakta yang ada dalam buku teks. Sang profesor berujar, “Anda tidak bisa menjawab dengan baik pertanyaan saya sebab Anda belum membaca. Jika Anda tidak membaca, Anda tidak akan ke mana-mana”. Membaca, menurut Freire & Macedo, bukanlah sekedar menemukan makna kata-kata dalam teks tulis, melainkan mengaitkannya dengan pengetahuan dunia, yakni segala kemelut sosial yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari. perlu kiranya manajemen PT, mulai dari tingkat universitas sampai jurusan atau prodi meninjau ulang dan mengarahkan kebijakan-kebijakan yang ada untuk mendukung terciptanya budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai literasi akademik. Sehingga seluruh komponen PT, dapat kembali berkontribusi sesuai dengan kapasitas yang diembankan kepadanya. Budaya baca tulis yang kuat mesti dikedepankan dan pemberian apresiasi tinggi bagi berkembangnya keanekaragaman spesialisasi keilmuan, demi terwujudnya penguasaan ilmu pengetahuan secara mumpuni. Sebagai bentuk dukungan terciptanya literasi akademik, Manajemen PT mesti menyediakan fasilitas yang memadai sebagai menunjang aktivitas baca tulis. Oleh sebab itu eksistensi perpustakaan yang ideal menjadi penting, maka per-
Ilustrasi Agung R
pustakaan mesti dikelola secara profesional yang melibatkan para pengelola profesional, tidak asal-asalan. Selain itu koleksi-koleksi perpustakaan, baik berupa buku ataupun jurnal ilmiah semestinya diperbarui secara periodik dengan kualitas standar nasional dan internasional. Hal ini bertujuan supaya aktor-aktor literasi akademik, khususnya dosen dan mahasiswa, bisa memperoleh informasi yang cukup yang diperlukannya untuk mampu berpartisipasi dalam persaingan global.
Didaktika 34
kademik Perguruan Tinggi
Rizki (Uban)
Kegiatan menulis sangat menuntut kegiatan membaca. Karena sebetulnya, yang dilakukan ketika menulis adalah mereproduksi pengetahuan yang diperoleh dari sumber bacaan. Ferris & Hedgcock (2005) menegaskan bahwa seseorang tidak akan menjadi penulis yang mumpuni dalam bahasa apa pun tanpa juga mengembangkan sebilangan keterampilan literasi, yang di dalamnya terdapat kemampuan memahami berbagai teks tulis secara efisien dan efektif. Hal ini disebabkan informasi yang diperoleh
dari bahan bacaan mengandung pesan di samping petunjuk tentang bagaimana perangkat pesan yang bersifat gramatikal, leksikal, semantik, pragmatik, dan retorik menyatu menjadikan pesan tersebut bermakna. Mengingat di mana ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) selalu direka-ulang untuk dikontekstualisasikan dengan semangat perubahan zaman, PT sebagai lembaga yang berkepentingan dengan pengembangan literasi pada level tertinggi berkewajiban memelopori kegiatan menulis. Kegiatan menulis pada tingkat PT seyogyanya diarahkan pada kemampuan melakukan transformasi pengetahuan yang dalam dunia literasi berada pada level tertinggi yang disebut literasi epistemik. Hal ini dapat dilakukan dengan “mewajibkan” Sivitas Akademika PT, terlebih dosen dan mahasiswa, untuk aktif, di antaranya, mengadakan berbagai penelitian, baik berskala besar atau kecil, dan melaporkannya dalam bentuk tulisan. Tulisan-tulisan berbasis penelitian ini, sesederhana apapun bentuknya, sangat efektif untuk pengembangan reproduksi pengetahuan. Alwasilah (2006) mengatakan, “Yang terjadi selama ini adalah berjubelnya lulusan PT yang bernasib ‘setengah literat’, yakni memiliki kemampuan membaca, tapi tidak diimbangi oleh kemampuan menulis. Sayangnya, fenomena ini kurang menjadi kepenasaranan para birokrat kampus”. Hal ini bisa dilihat, misalnya, dari minimnya jurnal-jurnal ilmiah kampus kita, baik yang terakreditasi maupun tidak terakreditasi. Spesialisasi Ilmu sebagai Upaya Menuju Kepakaran
Undang-Undang RI tentang Guru dan Dosen mengamanatkan: “Kualifikasi akademik dosen … diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian”. Dalam pada itu, mengacu pada Undang-Undang di atas, seorang dosen dapat meningkatkan kepakarannya melalui pendidikan tinggi pada program pascasarjana dengan mengambil program studi yang sesuai dengan bidang keahliannya. Sebagai implikasinya, dosen-dosen yang akan mengambil studi lanjut di jenjang magister (S2) atau doktor (S3) pada program pascasarjana semestinya “diwajibkan” mengambil program studi yang sesuai dengan latar belakang keahlian yang diperolehnya pada pendidikan sebelumnya (S1). Hal ini semata-mata sebagai upaya untuk mendorong meningkatkannya kepakaran/keahlian dosen yang bersangkutan dalam bidang tugas yang diembankan. Mantan Kepala Pusat Komputer (Puskom) UNJ Profesor Dali S. Naga pernah merisaukan minimnya publikasi tulisan, baik buku ajar ataupun artikel ilmiah di lingkungan UNJ. Menyikapi masalah ini, beliau menyarankan agar para dosen menekuni, setidak-tidaknya, satu bidang saja keilmuan yang diminatinya, dan kemudian menggelutinya dengan baik, di antaranya, melalui berbagai sumber bacaan yang relevan dengan keilmuan yang dipilihnya sampai betulbetul menguasainya, sehingga orang lain mengenal dirinya sebagai pakar atau ahli dalam bidang itu * Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FBS UNJ
.
Didaktika 35
Foto Istimewa
[Tan Malaka]
PENDIDIKAN UNTUK MEMERDEKAKAN Oleh Ferrika Lukmana Sari
Didaktika 36
Cenderung digunakan sebagai alat untuk melancarkan kepentingan penguasa, sekolah formal sudah dikritik sejak masa pergerakan. Didaktika 37
SUPLEMEN
P
ada 1921, Tan Malaka, aktivis pergerakan nasional Indonesia, tidak ragu untuk meniti jalan perjuangan dalam ranah pendidikan. Ia yang dikenal aktif sebagai tokoh gerakan bawah tanah, rupanya melirik pula penyebaran gagasan kemerdekaan dan antikolonial melalui sekolah. Kecendrungan pola perjuangan tersebut mewujud dalam pendirian sebuah lembaga pendidikan yang bernama Sarekat Islam (SI) School di Semarang. Sekolah milik organisasi Sarekat Islam cabang Semarang ini berdiri sebagai jawaban atas kebutuhan pendidikan anak-anak buruh yang tak bisa masuk ke sekolah pemerintah kolonial. Kala itu, Belanda memang menerapkan politik segregasi masyarakat berdasarkan ras, dan hal tersebut turut diimplementasikan pula dalam ranah pendidikan. Tokoh pergerakan yang memiliki latar belakang pendidikan guru ini ingin anakanak miskin mampu membekali dirinya untuk menghadapi perkembangan dunia dengan ilmu pengetahuan tapi juga bisa membebaskan bangsa Indonesia dari para penjajah. Oleh karena itu, tujuan utama dari SI School adalah soal pembebasan dan kemerdekaan, mulai dari tataran individu
hingga bangsa. Dalam pembukaan brosur SI School Semarang dan Onderwijs Tan Malaka menuliskan, sekolah ini tak hanya bertujuan membuat anak menjadi pintar tapi juga hendak, “bangunkan hati merdeka sebagai manusia.� Pemuda asal Minangkabau ini menambahkan, dirinya juga bercita-cita kelak para murid tidak akan lupa pada berjuta-juta kaum kromo yang hidup dalam kemelaratan. Berpijak pada cita-cita tersebut, Tan Malaka kemudian menyusun kurikulum pendidikan yang amat berbeda dari sekolah pemerintah saat itu. Pertama, dengan memberi senjata yang cukup untuk mencari penghidupan di dunia kemodalan, dalam poin ini Tan Malaka menjelaskan materi yang mesti didapat para murid adalah berhitung, menulis, ilmu bumi serta Bahasa Belanda. Pemberian materi Bahasa Belanda juga menjadi satu hal unik dilakukan kepada para murid yang seluruhnya merupakan pribumi. Menurut Tan Malaka, Bahasa Belanda penting diajarkan sebab banyak anak pribumi yang pintar namun tak bisa berbahasa Belanda. “Padahal perlawanannya ialah kaum modal yang memakai bahasa Belanda, maka perlu sekai kita ajarkan betul bahasa itu,� jelas penulis buku Madilog itu.
Poin kedua dalam kurikulum SI School adalah memberi hak murid yakni kesukaan hidup dengan jalan pergaulan. Sebagai seorang guru, Tan Malaka tahu betul betapa pentingnya bermain bagi anak-anak. Ia begitu paham bahwa anak punya hak untuk merasakan kegembiraan dengan bermain bersama sebayanya. Oleh karena itu, hak tersebut tidak boleh dibatasi oleh jam belajar di sekolah yang begitu padat. Selanjutnya adalah menunjukkan kewajiban kelak kepada berjuta-juta kaum kromo. Hal ini diwujudkan dengan mewajibkan murid untuk senantiasa ikut serta dalam kegiatan rapat organisasi (vereniging) Sarekat Islam. Selain dapat pergaulan yang luas, kegiatan ini juga mampu mengasah kesadaran politik para siswa. Sebab dalam vereniging, seluruh anggota akan menyampaikan situasi paling baru mengenai nasib rakyat. Pada saat itu, kualitas pendidikan SI School terbilang sangat maju, sehingga dalam waktu beberapa bulan saja permintaan pembukaan SI School di beberapa daerah lain begitu banyak. Namun, upaya pemerdekaan jiwa setiap anak miskin ini tidak dibiarkan begitu saja oleh pemerintah kolonial Belanda. Lewat berbagai media massa, pihak pemerintah kolonial menulis kritik un-
Foto Istimewa
1) 1) Ki Hajar Dewantara 2) Perguruan Taman Siswa
Didaktika 38
Foto Istimewa
tuk SI School. Selain itu, pemerintah juga melakukan penjegalan terhadap kegiatan “pasar derma” yang dilakukan murid-murid SI School untuk mengumpulkan donasi masyarakat untuk biaya keberlangsungan sekolah mereka. Hambatan terhadap laju roda SI School mencapai titik kulminasi pada 1922. Saat itu, pemerintah kolonial memutuskan untuk memberikan hukuman pengasingan kepada Tan Malaka. Tokoh progresif yang hidup lajang hingga akhir hayatnya ini dibuang ke Belanda. Bersamaan dengan itupula, SI School mesti ditutup. Dalam periode yang sama dengan Tan Malaka, di Yogyakarta terdapat pula sekolah lain yang punya gagasan menentang mainstream pendidikan Belanda, yakni Taman Siswa. Suwardi Suryaningrat atau yang lebih populer dengan nama Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa pada 1922. Penamaan sekolah yang terbuka bagi seluruh bumiputera ini terkait dengan prinsip yang dijunjung, yakni tidak ingin membatasi lingkungan belajar dengan temboktembok yang kaku serta hubungan antara guru dan murid yang hirarkis. Karenanya, sekolah ini dinamakan taman, baik sebagai istilah maupun dalam bentuk fisiknya. Taman Siswa merupakan sebuah sekolah yang memiliki visi memerdekakan jiwa setiap anak didiknya serta mendekatkan mereka dengan budaya lokal sebagai identitas bangsa. Dalam menggagas Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara juga banyak terpengaruh pemikiran Maria Montessori untuk menjadikan murid sebagai subjek dan guru hanya sebagai fasilitatordalam kegiatan pembelajaran. Salah satu prinsip yang paling terkenal diterapkan oleh Ki Hajar Dewantara adalah “guru harus menghamba kepada anak”. Selain itu, upaya pemerdekaan jiwa anak didik yang dilakukan Ki Hajar Dewantara mewujud pada tidak adanya konsep hukuman bagi para siswa yang melakukan kesalahan. Iamenekankan, hukuman tidak dapat membuat jera siswa yang bersalah justru akan menanamkan rasa dendam lantaran mereka terlanjur menanggung malu untuk dihukum di hadapan kelas. Ia mencontohkan, bagi siswa yang telat datang ke kelas, ia tak perlu dihukum untuk berdiri sepanjang pelajaran berlangsung atau menulis kesalahannya hingga puluhan kali di atas kertas, melainkan diberi tambahan waktu belajar usai kelas berakhir.
2) Dengan model pendidikan tersebut, jumlah peminat Taman Siswa pun meningkat dari tahun ke tahun. Namun, perkembangan ini tidak membuat hati pemerintah kolonial Belanda tenang. Mereka mengkhawatirkan terdapat infiltrasi gagasangagasan kemerdekaan di tubuh bumiputera semakin meluas. Untuk mencegahnya, pada 1932 pemerintah mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar (Wildescholen Ordonantie). Dalam peraturan ini, seseorang atau lembaga yang hendak melangsungkan pendidikan mesti mendapat izin dari pemerintah. Selain itu, kegiatan pembelajaran khususnya para guru juga mesti dilaporkan secara rinci. Sehingga bila terdapat kegiatan yang melenceng, sekolah akan segera ditutup dan gurunya akan dikenakan hukuman penjara selama delapan hari atau membayar denda sebesar 25 gulden. Namun, Ki Hajar Dewantara tidak bergeming melihat peraturan tersebut. Ia mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal De Jonge untuk menentang Ordonansi Sekolah Liar dan mengancam akan melakukan pembangkangan bila ketentuan tersebut tidak dicabut. Isi telegram tersebut kemudian diterbitkan pada majalah Timboel, 6 November 1932. Dalam telegram tersebut Ki Hajar mengatakan, “Excellentie! Ordonantie jang disadjikan amat tergesa-gesa dan didjalankan dengan tjara paksaan… Bolehlah sadja memperingatkan, bahwa walaoepoen machloek jang ta’ berdaja mempoenjai rasa asali berwadjib memangkis bahaja oentoek mendjaga diri dan demikianlah djoega boleh djadi kami karena terpaksa akan mengadakan perlawanan sekoeat-koeatnja dan selama-lamanja.” Meski ordonansi tersebut tetap dilaksanakan Taman Siswa terus berkembang ke luar Jawa Tengah. Menurut catatan
Frances Souda dalam Dutch Cultures Overseas hingga September 1932 Taman Siswa sudah mendirikan 166 sekolah dengan perkiraan jumlah murid 11.000 orang di seluruh Jawa. Sekolah liar ini begitu diminati lantaran keadaan ekonomi dunia pasca Perang Dunia I dan depresi ekonomi pada 1930an mengakibatkan adanya pemotongan subsidi pemerintah untuk pendidikan. Akibatnya, biaya sekolah tinggi dan banyak orang di Hindia Belanda menyekolahkan anaknya di sekolah liar. Tokoh pergerakan lain yang memiliki gagasan perlawanan terhadap sistem persekolahan Belanda adalah Haji Agus Salim. Pimpinan Sarekat Islam ini menolak sistem pendidikan Belanda yang diskriminatif dan tidak membuka aksesnya kepada setiap warga bumiputera dengan mendirikan sekolah rumah untuk anak-anaknya. Mantan Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS), Moehammad Roem dalam 100 Tahun Agus Salim menjelaskan, Agus Salim memberikan pendidikan bagi anak-anaknya sedari lahir dengan menyediakan ruang belajar dan bermain di rumah tanpa dibatasi waktu. “Anak-anak itu tidak sekolah tetapi pandai berbahasa Belanda dengan baik, lancar dan bagus,” tulis Roem. Menurut Roem, sekolah yang didirikan oleh Belanda bagi kaum pribumi hanya bertujuan mendapatkan tenaga kerja murah serta menciptakan watak tunduk kepada segala perintah mereka. Masalah tersebut mampu dipecahkan dengan model pendidikan yang dilakukan Agus Salim. Model ini pun bukan dilaksanakan secara spontan melainkan didasarkan pada prinsip Agus Salim bahwa setiap orang harus dapat mandiri menghidupi dirinya sendiri agar dapat memimpin rakyat tanpa bantuan penjajah Didaktika 39
.
SUPLEMEN
Foto Istimewa
Y.B. Mangunwijaya
YOGYAKARTA DAN EKSPERIMENTASI PENDIDIKAN IDEAL Oleh Kurnia Yunita Rahayu
Beragam cara diwujud untuk menyatukan pendidikan dengan konteks hidup masyarakat.
Y
ogyakarta, 1987, usia Yusuf Bilyarta Mangunwijaya sudah 58 tahun, tidak muda lagi. Meski begitu, semangatnya untuk melakukan pembaruan tak pernah luntur. Mantan anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
Batalyon X Divisi III pada masa kolonial ini mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (DED) sebagai manifestasi atas perhatiannya terhadap pendidikan nasional. Melalui yayasan ini, Mangunwijaya bercitacita untuk mewujudkan pendidikan dasar yang sama sekali berbeda dengan apa yang
sudah dilaksanakan pemerintah Orde Baru. “Romo Mangun mengawali gerakan kemanusiaannya di beberapa tempat, ada di Code, Grigak, untuk memperjuangkan kaum yang lemah dari sisi finansial maupun sisi hak-haknya yang tidak terpenuhi. Kemudian, dari gerakan yang mencoba men-
Didaktika 40
gangkat masyarakat lemah dari keterpurukannya itu, Romo Mangun menemukan suatu kunci bahwa permasalahan yang ada itu bisa diperjuangkan melalui pendidikan khususnya di tingkat dasar, ” tutur Eka Adi Santosa, pengurus Laboratorium DED. Di bawah rezim Soeharto, sesungguhnya pendidikanSekolah Dasar (SD) mendapat cukup perhatian. H.A.R. Tilaar dalam 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945 – 1995 mengatakan,sejak akhir Pelita I (1969 – 1974) Indonesia mendapat masukan dana yang cukup besar akibat lonjakan harga minyak bumi, salah satunya digunakan untuk memperluas kesempatan memperoleh pendidikan SD. “Untuk pertama kali muncullah program-program INPRES (Instruksi Presiden) termasuk program INPRES bantuan pembangunan Sekolah Dasar,” kata Tilaar. Sejak pencetusan program INPRES pertama, pemerintah sudah mengeluarkan anggaran sebesar Rp 23 triliun untuk sektor pendidikan. 24 persen dari dana tersebut pun dialokasikan bagi pembangunan SD dalam rangka membuka kesempatan bagi anak-anak usia 7 – 12 tahun untuk memperoleh pendidikan. “Sekitar Rp 5,5 triliun telah dimanfaatkan dan sebagai hasilnya ialah pada akhir Pelita III, pendidikan universal sekolah dasar telah dapat dicapai. Pengakuan dunia terhadap suskes Indonesia di dalam melaksanakan pendidikan universal ialah pengakuan UNESCO dengan memberikan penghargaan Bintang Aviciena kepada Presiden Republik Indonesia,” lanjut Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu. Meski demikian, kesenjangan dan pemerataan pendidikan di kalangan masyarakat masih dipertanyakan. Salah satu buktinya keberadaan masyarakat di sepanjang bantaran Kali Code yang hampir digusur pada medio 1980-an oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Yogyakarta lantaran mendirikan hunian kumuh dan punya kebiasaan membuang sampah sembarangan, sehingga berpotensi memunculkan masalah bagi lingkungan. Dalam konteks tersebut, Romo Mangun memulai perjuangannya membela kaum yang lemah. Ia memutuskan diri untuk tinggal bersama masyarakat Kali Code selama enam tahun untuk memberdayakan serta mengubah mentalitas kumuh mereka agar tak ada lagi alasan penggusuran yang akan mampir, dengan cara melaksanakan pendidikan yang kontekstual bagi masyarakat setempat.
Menurut Eka Adi Sunarso, pilihan bergerak melalui jalur pendidikan dan mendirikan Yayasan DED merupakan salah satu strategi Romo Mangun agar perlawanannya dapat terus berlangsung dan tidak terancam dihentikan pemerintah. “Kalau zaman Pak Harto itu kan yang namanya pergerakan selalu diasosiasikan dengan hal negatif, selalu dicurigai, akhirnya untuk gerakan itu bisa dihaluskan dengan berdirinya yayasan ini,” ucapnya. Romo Mangun kemudian memperkenalkan paradigma pendidikan seumur hidup kepada anak-anak Kali Code. Mereka diajarkan tidak hanya wacana pendidikan dalam ragam mata pelajaran dengan konten-konten yang sesuai dengan usia dan lingkungan sekitar anak, tapi juga melakukan latihan keterampilan sebagai senjata untuk mampu meneruskan hidup. “Gambaran Romo Mangun, ketika lulus SD mereka sudah bisa membekali hidup, belajar apapun harus bisa membuat anak itu bertahan untuk hidup,” kata Eka. “Karena tidak mungkin melanjutkan sekolah ke tingkat selanjutnya, aksesnya mereka kan minim sekali.” Upaya Romo Mangun membuahkan hasil, perlahan kondisi perekonomian masyarakat Kali Code menguat. Stigma wilayah tersebut sebagai daerah kumuh pun perlahan hilang, seiring dengan terobosan rohaniwan yang pernah belajar arsitektur di Rheinisch-Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jermanitu untuk merancang konsep rumah serta tata letak permukiman yang layak huni dalam jangka panjang. Beranjak dari Kali Code, pada 1994 Y.B. Mangunwijaya mulai mengelola SD Kanisius Mangunan yang hampir ditutup oleh Yayasan Kanisius karena tak ada murid. Di dalam sekolah formal tersebut, Romo Mangun mengeksperimentasikan gagasan-gagasan mengenai pendidikan yang ideal untuk anak. Sehubungan dengan misi tersebutlah, gedung tersebut ia beri nama Sekolah Dasar Kanisius Eksperimen (SDKE) Mangunan. Di samping punya cita-cita membebaskan masyarakat lemah, gerakan pendidikan Y.B. Mangunwijaya juga merupakan upaya melawan penyeragaman yang dilakukan rezim Orde Baru. Sebagaimana model pemerintahan Presiden Soeharto yang sentralistik, pendidikan nasional juga dilaksanakan dalam kerangka yang sama. Hanya ada satu sistem yang digunakan, satu kurikulum yang diterapkan, satu jenis buku
yang digunakan, satu model seragam yang mesti dikenakan. Ihwal penyeragaman, pandangan Romo Mangun tertuju pada kurikulum. Bagi pastur yang secara spiritual berguru pada Uskup Soegijapranata ini, pemberlakuan kurikulum secara nasional merupakan sebuah praktik penindasan tidak hanya bagi para murid tapi juga kepada guru. Sebab, melalui mekanisme kurikulum nasional tersebut kegiatan sekolah dari Sabang hingga Merauke dipaksa untuk berjalan dengan cara yang sama, dalam derap langkah yang nyatanya tidak mungkin seirama. “Romo Mangun kan tidak setuju dengan hal yang seperti itu, intinya Romo ingin mewujudkan sekolah yang sejati, anak-anak yang sejati,” tegas Eka Adi Sunarso seraya menjelaskan sistem pembuatan kurikulum yang dibangun Mangunwijaya beserta rekanannya di DED. Sejak pendirian SDKE Mangunan, gerakan pendidikan ini melaksanakan model pembagian kerja antara perumusan kurikulum dan pelaksanaan teknis pembelajaran. Adapun kendali konseptual dipegang oleh DED sedangkan para guru, bertugas melaksanakannya di kelas. “Disini di DED memikirkan semua konten pembelajaran, kemudian dilakukan oleh guru, kemudian guru mencatat temuan-temuan apa yang sudah dilakukan disana dan kendala apa yang ditemukan disana, kemudian diolah kembali di laboratorium itu,” terang Eka. Ranah kerja DED bukan saja merumuskan konten, tapi juga mencakup metode serta penentuan alat peraga. Leo Febrianus dalam Pendidikan Pemerdekaan Menurut Romo Mangun menjelaskan, fokus kerja Yayasan DED adalah mencari ‘kurikulum aletrnatif ’ yang menghargai ‘anak sebagai anak’ dan menemukan bentuk ‘guru sejati’ yang tidak hanya menjadi indoktrinator. “Bagi Romo Mangun, guru merupakan pihak pertama yang mesti diantar pada paradigma pendidikan yang memerdekakan,” tulisnya. Namun, setelah Romo Mangun wafat pada 1999, laboratorium DED dan SDKE Mangunan kembali merumus jati diri. Mereka menghapus model pembagian kerja antara DED dan guru. Sebab, mekanisme kerja semacam itu dianggap melanggar visi humanisasi manusia di sisi guru. “Kalau dulu laboratorium dengan guru ini kan kelihatan ada jenjang, satu yang memikirkan dan satu lagi yang pelaksana. Nah kalau yang sekarang ini lebih setara. Bahkan sekarang kegiatan pembelajaran
Didaktika 41
SUPLEMEN Foto Istimewa
itu didesain oleh guru, kemudian laboratorium ini lebih ke teman diskusi jadi tidak saklek,” kata Eka. Selain itu, upaya memerdekakan manusia tidak lagi berfokus pada masyarakat yang kesulitan finansial, melainkan pada anak-anak berkebutuhan khusus. Dari Mendidik Hingga Pemberdayaan Ekonomi Selain diterapkan langsung di DED, gagasan pendidikan Y.B.Mangunwijaya ingin pula disebarkan secara massif ke seluruh wilayah Indonesia. Y. Dedy Pradipto dalam Belajar Sejati Versus Kurikulum Nasional Kontestasi Kekuasaan dalam Pendidikan Dasar mengungkapkan, untuk menyebarluaskan hasil eksperimen di SDKE Mangunan, terdapat kegiatan diseminasi dan program Sanggar Guru yang terbuka untuk umum sebagai wadah diskusi dan berbagi diantara para guru. Di samping cara tersebut, penyebaran ide juga nampak lewat interaksi langsung antara Romo Mangun dan para aktivis yang turut membantu pemberdayaan masyarakat Kali Code sejak 1980-an. Salah satu aktivis sosial itu adalah Sri Wahyaningsih, pendiri Sanggar Anak Alam (Salam) yang juga berlokasi di Yogyakarta. Alih-alih mengujicoba gagasan alternatif dalam bentuk sekolah formal seperti yang dilakukan Y.B. Mangunwijaya, perempuan lulusan Akademi Keuangan dan Perbankan Yogyakarta ini justru memulai praktik pendidikan pemerdekaannya dengan lebih luwes. Dilaksanakan di rumah, tanpa mengajukan izin kepada Dinas Pendidikan setempat. “Awalnya pendirian Salam ini dari Lawen, Banjarnegara, itu kami mulai dari 1988 karena keadaannya disana banyak pernikahan dini dan anak putus sekolah. Kegiatan itu awalnya pendampingan remaja, jadi anakanak masih belajar di sekolah formal kemudian setiap sore berkumpul dengan kami. Waktu itu kami punya program jurnalistik, sosial budaya dan lingkungan hidup,” kata Sri Wahyaningsih mengisahkan. Perempuan yang akrab disapa Wahya ini melanjutkan, keterlibatan remaja Lawen di sekolah formal sempat menjebak kegiatan sanggar yang ia buka. Alilh-alih membahas urgensi pemberdayaan diri dan lingkungan, mereka malahsecara rutin mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah.
Perumahan di Kali Code, Yogyakarta yang dirubah YB Mangunwijaya “Tapi justru dari situ kami juga tahu bagaimana PR-PR di sekolah itu. Kami semakin mengetahui kalau sebenarnya yang dipelajari di SD itu bukan hal-hal yang mendasar, banyak yang sebenarnya belum saatnya diajari. Misalnya tentang kebijakan publik, tugas-tugas MPR DPR,” tegasnya. “Akhirnya kami mulai berpikir, ini kenapa sih kok pendidikan dasar yang dibicarakan bukan hal-hal mendasar.” Berbekal pandangan tersebut, pada 2000 setelah berpindah domisili dari Banjarnegara ke Yogyakarta, Sri Wahyaningsih mendirikan Salam di kota Gudeg itu. Empat tahun berikutnya, Salam membentuk sekolah untuk anak-anak usia dini. Kemudian pada 2006, Salam percaya diri untuk menyelenggarakan SD dan pada 2012 membuka pendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Wahya menjelaskan, Salam mengembangkan sendiri kurikulum serta metode pembelajaran. Penekanannya ada pada masalah pangan, lingkungan hidup dan sosial budaya. “Karena ini kan masih sekolah dasar, saya lebih condong kepada nilai yang lebih mendasar seperti karakter dan tentang nilai tersebut kan tidak bisa dihapalkan tapi harus terapan dan diulang
terus. Makanya, dengan perspektif pangan, lingkungan hidup dan sosial budaya kami mengembangkan proses pembelajaran,” ucapnya. Di setiap jenjang, Salam melaksanakan pembelajaran berbasis riset yang dibagi secara tematik. “Misalnya, saya dapat bocoran dari guru itu untuk anak SD kelas 4 akan meriset soal penetasan telur ayam semester ini,” kata Wahya. Tema tersebut kemudian akan dibahas secara interdisiplin sehingga apa yang dipelajari anak akan lebih holistikdan riil. Model belajar berbasis riset itu juga mengharuskan keterlibatan aktif orang tua murid. Oleh karena itu, pertemuan rutin antara orang tua dengan pihak Salam dilaksanakan setiap bulan untuk perkelas, serta dua bulan sekali melaksanakan pertemuan akbar antarjenjang. Selain membahas riset, orang tua juga terlibat penuh dalam operasional harian Salam. Hal ini berkenaan dengan komitmen mereka terhadap wacana utama yang digaungkan yakni soal pangan, lingkungan hidup dan sosial budaya. Ketiga wacana tersebut diwujudkan dengan mengupayakan pangan lokal dan sehat untuk anakanak. Semua elemen yang terlibat di Salam
Didaktika 42
menyepakati perjanjian untuk senantiasa menggunakan bahan lokal untuk makan sehari-hari. Menurut Wahya, kegiatan tersebut merupakan cara yang dilakukan untuk meningkatkan kecintaan terhadap potensi lokal. Pasalnya, Indonesia merupakan negara agraris yang kini terlalu banyak mengimpor bahan makanan, sehingga kondisi ekonomi warga lokal jalan di tempat dan secara budaya cenderung tak bisa lagi mempertahankan identitas keIndonesiaan. “Anak-anak harus sejak dini diberi pemahaman supaya mereka lebih kritis dan kemudian lebih mengenal, misalnya terigu yang terbuat dari gandum itu tidak bisa ditanam di Indonesia. Nah bagaimana kita bisa mengurasi makanan yang berbasis terigu. Kemudian apa sih pengganti terigu. Tenyata di Indonesia itu kan banyak umbiumbian yang bisa menggantikan terigu. Tetapi karena tidak dilirik dan pemerintah juga tidak memberi perhatian khusus, makanya kita sulit mendapatkan tepung dari umbi-umbian. Lebih muda kita mencari terigu yang jelas-jelas 100 persen impor,� ucap Wahya geram. Secara praktis, Salam membuat program makan bersama yang disiapkan bergantian oleh para murid bersama orang tuanya.
Meski tidak memasaknya secara langsung, dari program ini anak dibiasakan untuk menyiapkan makanan, alat makan, hingga mencuci piring. “Jadi ada etos kerja disitu. Ada kerja sama antarteman antarkelompok dan nanti dirolling setiap minggu, ganti siapa yang piket, ada yang di kebun ada yang di dapur, ada yang di kelas. Hal hal seperti itu menjadi proses pembelajaran disini. Jadi kita belajar dari hal hal yang sehari hari,� tutur perempuan yang lahir di Klaten pada 1961 itu. Dari program makan siang itu pula banyak peranan yang mampu disebar ke pihak lain, seperti menyediakan bahan belanjaan setiap hari, sayuran dan mendapatkan penghasilan dari kegiatan tersebut. Selain itu, penanaman kebiasaan untuk mengurangi penggunaan plastik di lingkungan Salam juga mendorong mereka untuk senantiasa mengumpulkan sampah untuk didaur ulang. “Kebetulan ibu RT disini aktif mengumpulkan sampah, jadi kami lakukan program bank sampah setiap Rabu dan dikumpulkan dengan beliau. Sekarang, hasil dari sampah itu bisa digunakan untuk program empat bulan sekali, giliran kita untuk memberi gizi kepada anak-anak balita,� ujar Wahya bangga. Selain itu, Salam juga memiliki kope-
rasi yang menyediakan bahan makanan produksi lokal. Seperti sabun mandi, shampoo, kopi, teh, jamu, hingga beberapa kaos. Wahya menjelaskan, komoditas seperti teh dan kopi diambil dari hasil produksi para alumni Salam generasi pertama di Lawen, Banjarnegara sedangkan kaos, merupakan hasil kreativitas seni murid-murid Salam di Yogyakarta. Keuntungan penjualan tersebut nantinya akan dikembalikan kepada para produsen serta digunakan untuk membiayai operasional Salam. “Dari Salam, kita bisa menggerakkan roda perekonomian, bisa menggerakkan roda persaudaraan, bagi saya itu sudah cukup. Jadi, sekolah ini juga ada maknanya bagi tetangga, bagi komunitas, bisa juga menumbuhkan perekonomian disini. Jadi bukan menjadi menara babil yang eksklusif,� ungkap Wahya haru. Ketika Salam masih berlangsung di Lawen, Romo Mangun pernah berkomentar bahwa model pendidikan seperti itulah yang sesungguhnya ingin ia bangun. Seandainya penggagas Teologi Pemerdekaan ini masih hidup, mungkin ia akan ikut bangga, dengan praktik pendidikan yang tidak hanya dapat memerdekakan pikiran anak tapi juga ikut serta membangun kemerdekaan masyarakat secara ekonomi
.
Didaktika 43
Perumahan di Kali Code, Yogyakarta yang dirubah YB Mangunwijaya
Didaktika 44
SUPLEMEN
TAFSIR PENDIDIKAN ALTERNATIF Oleh Kurnia Yunita Rahayu
Upaya untuk menjadi berbeda dilakukan mulai dari inovasi kurikulum, metode belajar, hingga atribut pendidikan. Meski demikian, sekolah alternatif tak pernah menjadi antitesis sekolah negeri.
S
ebuah spanduk berukuran 3x1 meter membentang di tembok depan rumah di Jalan Gejayan, Gang Kuwera 14, Mrican Yogyakarta. Desainnya tidak menarik, hanya menampilkan latar putih yang melandasi beberapa huruf serta ornamen segitiga dengan berbagai varian warna. Meski sederhana, ia mampu menyita perhatian siapapun yang melihatnya. Bagaimana tidak, di atas spanduk itu bertuliskan sebuah pertanyaan, “ingin tahu dunia pendidikan alternatif ?” Setelahnya tertera sebuah alamat situs yang barangkali memang ditujukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. www.dinamikaedukasidasar.org. Dinamika Edukasi Dasar (DED) merupakan sebuah yayasan pendidikan yang didirikan budayawan Y.B. Mangunwijaya pada era 1980-an. Yayasan ini mengemban misi sang penggagas untuk mewujudkan pendidikan yang memerdekakan. Sebuah kegiatan pendidikan yang rasanya kala itu tidak mampu diberikan oleh sekolah-sekolah negeri. Di bawah rezim Orde Baru, akses sekolah bagi masyarakat miskin hampir tertutup. Sekolah-sekolah negeri yang dibuka pemerintah menetapkan biaya pendidikan yang barangkali tidak terjangkau bagi semua kalangan. Selain itu, seragamnya sistem dan konten pendidikan cenderung menjauhkan masyarakat dari konteks lokal tempat ia bernaung. Mencoba meretas itu semua, Yayasan DED mengenalkan cara belajar yang sama sekali berbeda dengan apa yang disediakan pemerintah. “Sebetulnya perbedaan yang terlihat jelas adalah metode pembelajaran yang kita gunakan,” ujar pengurus Laboratorium DED, Eka Adi Sunarso. Secara terlembaga, di sekolah negeri pembelajaran berlangsung satu arah.
“Kalau di Mangunan, teman-teman guru mengupayakan bagaimana agar anak lebih aktif, jadi guru hanya berperan sebagai fasilitator, pencipta kegiatan dan anakanak yang berkegiatan,” lanjut Eka, sapaan arabnya. Selain pendekatan active learning, pendidikan yang dilaksanakan di atas landasan pemikiran Romo Mangun ini juga menyusun tujuh materi yang dikategorikan sebagai pembelajaran khas. “Ada membaca buku bagus, komunikasi iman, kotak pertanyaan, musik pendidikan, matematika realistik, perspektif dan majalah meja,” terang Eka seraya mengatakan seluruh pelajaran tersebut didesain agar anak dapat mencapai jiwa eksploratif, kreatif, integral dan komunikatif. Dari ketujuh pembelajaran khas tersebut, tak satupun kandungan nilai yang mudah kita temui di sekolah negeri. Misalnya saja pengayaan materi lewat buku-buku di luar teks yang sudah dikeluarkan oleh Pusat Kurikulum. Selain itu, dengan komunikasi iman, gagasan yang diterapkan di Sekolah Dasar Eksperimental Mangunan ini juga tidak menyertakan pelajaran agama dalam kegiatannya. “Jadi kita tidak mempunyai pelajaran agama, kita menggunakan komunikasi iman untuk menjembatani semua agama yang dianut anak-anak, kemudian mencoba melihat peristiwa yang dialami dan kita mencoba mengambill nila-ilai agamanya,” kata Eka. Kemudian, anak dibiasakan untuk dapat melontarkan pertanyaan otentik dari dalam dirinya melalui kotak pertanyaan. Juga mempelajari harmonisasi hidup dari musik pendidikan dan menggali pengetahuan di lingkungan sekitar melalui materi matematika realistik. “Mangunan itu kan terletak di sebuah dusun, jadi banyak sekali sumber belajar yang bisa kita gunakan disana. Ada kolam, jadi anak bisa belajar bagaima-
na menyebutkan bagian-bagian dari ikan, mengukur luas kolam, mengukur volume air. Bahkan dari situ, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) nya juga kita bisa belajar seperti sumber daya alam yang ada di Mangunan itu apa saja, kemudian memunculkan profesi apa saja dan kegiatan ekonominya bagaimana,” ujar alumni Universitas Sanata Dharma itu. “Jadi sungguh apa yang dihadapi anak konkret disitu,” tandasnya. Upaya mendekatkan konten pembelajaran yang dekat dengan lingkungan juga dilakukan oleh Sanggar Anak Alam (Salam). Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) yang terletak di tengah area persawahan Yogyakarta ini menggunakan pembelajaran berbasis penelitian yang temanya diambil dari kegiatan sehari-hari. Adapula program penguatan identitas budaya lokal yakni Pesta Panen bersama para petani. Menurut pendiri Salam, Sri Wahyaningsih, dalam ritual pesta panen atau yang sering disebut wiwit, terdapat nilai-nilai yang amat penting untuk dipahami anak-anak. “Jadi bagaimana kalau kita mau memulai dan kita berterima kasih, petani hanya bisa menanam dan merawat tetapi yang menumbuhkan padi adalah Allah sendiri. Nah ini sebagai ucapan syukur. Dan kita juga percaya tidak hanya yang makrokosmos tapi juga mikrokosmos, ada yang tidak nampak tapi ikut juga bersama sama merawat atau menjaga padi-padi ini,” ungkap ibu yang akrab disapa Wahya ini. Selain itu, ritual makan bersama juga mampu memahamkan anak akan pentingnya berbagi kepada sesama. “Tidak semua orang punya panenan, tidak semua orang bisa punya sawah dan tidak semua anak anak bisa makan. Nah itu saatnya makan bersama di sawah membagi nasi gudangan kayak gitu, nasi wiwit ya dimakan bersama
Didaktika 45
SUPLEMEN
Foto Istimewa
Wisma Kuwera di Yogyakarta sebagai tempat singgah YB Mangunwijaya sama di sawah,” imbuhnya. Mulai dari Tak Berseragam Hingga Eksklusivitas Beberapa sekolah yang ingin mempraktikkan pendidikan di luar pola resmi pemerintah juga bereksperimen ihwal pakaian. Hal tersebut tampak mencolok ketika mengunjungi sekolah Tumbuh yang berlokasi di lingkungan Jogja National Museum (JNM). Anak-anak sekolah yang berkegiatan menggunakan pakaian bebas, anak laki-laki berambut gondrong, bukanlah pemandangan yang asing di sekolah milik menantu Sri Sultan Hamengkubuwono X. “Itu merupakan bentuk akomodasi atas ekspresi anak,” ujar Andi Purnawan, guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tumbuh 2. Menyoal kebebasan berekspresi, murid Sekolah Dasar (SD), SMP dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Tumbuh tidak hanya mendapatkannya dalam aturan pakaian sekolah tapi juga dalam berbagai kegiatan pembelajaran. Andi mengatakan, para guru membebaskan murid untuk memilih cara mereka dalam mengartikulasikan pengetahuan. “Kalau presentasi mata pelajaran itu tidak harus dalam bentuk tulisan, tapi boleh juga dengan gambar, atau bentuk
yang lain sebagaimana kemampuan murid,” ungkapnya. Selain itu, metode evaluasi yang digunakan juga unik. Guru mesti membuat beragam jenis soal ujian sesuai dengan kapabilitas anak didik. Andi mencontohkan, bila dalam satu kelas terdapat 15 murid dengan kecendrungan akademis yang seluruhnnya berbeda, maka guru harus membuat 15 jenis soal pula. Terlebih sekolah ini menerapkan model inklusif, menggabungkan anak-anak berkebutuhan khusus dengan yang lainnya dalam satu kelas. “Pembacaan kapasitas dan kebutuhan siswa sudah dimulai sejak awal pendaftaran. Kami meminta orang tua untuk menyertakan rekam medis dan psikologis dari setiap anak,” kata Andi Purnawan. Namun, seluruh keunikan tersebut harus dibayar mahal. Berdasarkan keterangan Firsty Relia Renata yang hendak menyekolahkan anaknya di SD Tumbuh pada semester ganjil 2011, rincian biaya pendaftarannya sebagai berikut, Uang Pangkal Rp 7.500.000, Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) Rp 450.000, Uang Tahunan Rp 725.000 dan Uang Seragam Rp 400.000. Peneliti Kunci Cultural Studies Centre
(KCSC), Antariksa memandang, mahalnya biaya pendidikan di sekolah yang sejak mula ingin melawan konstruksi pendidikan pemerintah merupakan sebuah ironi yang membuat mereka tampil tak menarik lagi. “Jadi mereka bilang itu sekolah inklusif kan, nah sekolah inklusif yang eksklusif, karena masuknya mahal, nggak semua orang bisa masuk.” Selorohnya. “Nah itu kan ironi sebenarnya. Untuk masuk sekolah alternatif tetapi cara merekrut siswanya tidak alternatif.” Menurut Antariksa, klaim subsidi silang yang digaungkan Sekolah Tumbuh nampak semu. Alasannya, proporsi antara mereka yang membayar dengan nilai yang amat tinggi dan murid yang membayar murah atau bahkan tidak mengeluarkan uang sama sekali tidak seimbang. “Menurutku, sekolah-sekolah inklusif itu kemudian melahirkan eksklusivitas baru, sekarang di Jojga ada banyak sekali yang seperti itu,” ucapnya. Di samping perihal pembiayaan, Andi Purnawan mengaku para siswa juga kerap kesulitan untuk berbaur dengan lingkungan di luar Sekolah Tumbuh. “Anak biasanya terkaget-kaget dengan lingkungan luar yang punya norma ketat,” ungkapnya. Hal
Didaktika 46
ini pula yang menjadi latar belakang mengapa Sekolah Tumbuh menyediakan semua jenjang pendidikan dari Taman KanakKanak (TK) hingga SMA, padahal awalnya hanya sebuah TK. “Jenjang selanjutnya didirikan sebab anak-anak merasa lebih cocok di lingkungan Tumbuh yang memberi kebebasan berekspresi,” lanjut Andi. Kesulitan serupa rupanya juga dialami oleh lulusan Salam. Sri Wahyaningsih mengisahkan, akhir semester genap 2015, salah satu muridnya lulus dan diterima di SMP Negeri di Yogyakarta. Di sekolah tersebut, ia mesti menghadapi peraturan yang mewajibkan seluruh anak perempuan muslim untuk berjilbab. “Kebetulan memang anak itu muslim, dia tidak bermasalah untuk berjilbab kalau atas kesadaran pribadi, tapi ini kan karena sekolah negeri kenapa mewajibkan untuk memakai jilbab? Itu sampai berdebat,” tutur Wahya. Menurut Wahya, apapun keputusan yang dipilih alumni Salam tersebut pasti akan menyulitkan posisinya dalam pergaulan. “Seandainya ia tetap disana dan dengan berat hati menggunakan jilbab pasti ia akan dipandang oleh guru sebagai anak yang pantas dikucilkan dan seandainya dia diizinkan untuk tidak berjiilbab, kan passti digitukan juga,” keluh ibu dari tiga anak ini. Bagi perempuan lulusan Akademi Keuangan dan Perbankan ini, nalar kritis yang berkembang dalam otak muridmuridnya memang memberi keuntungan dalam menganalisa serta memahami sebuah peristiwa di masyarakat, namun belum tentu hal tersebut akan mendatangkan faedah dalam pergaulan. “Apakah kekritisan itu bisa membawa kenyamanan buat mereka? Nah ini kan masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) berat bagi kami,” ucap Wahya. Selama ini, Salam menyiasatinya dengan menambah komunikasi serta mempererat hubungan dengan orang tua. Untuk memberi pengertian jika anak-anak mereka nampak kesulitan untuk membaur dengan lingkungan yang atmosfernya kuat ditentukan oleh norma-norma yang berlaku umum, itu bukan sebuah kesalahan. “Untungnya orang tua itu menyadari kenapa dulu mereka menyekolahkan anakanak mereka disini. Karena itu memang pilihan, jadi konsekuensi-konsekuensi mereka memang menyadari,” pungkasnya. Bukan Antitesis Sekolah Pemerintah Meski beberapa pihak mencoba mengartikulasikan pendidikan ideal yang nampak berbeda dari segi konten, metode belajar dan pembiayaan, ini tidak berarti ada
upaya radikal untuk meruntuhkan konsep sekolah yang sudah didirikan pemerintah. Buktinya pendekatan yang dilakukan dalam inisiasi penyelenggaraan pendidikan pun masih sama, yakni dari atas ke bawah. Menurut Antariksa, apa yang dilakukan oleh pendiri Salam pun tidak dapat dikategorikan berasal dari inisiasi massa. Sebab, posisi para pendiri sanggar ini, Sri Wahyaningsih dan Toto suaminya belum tentu mencermikan posisi masyarakat pada umumnya. “Gagasan mengenai atas dan bawah ini agak bermasalah sebenarnya, kalau kita mengatakan bawah itu masyarakat dan atas itu pemerintah, ya Salam itu muncul dari bawah karena dia muncul dari inisiatif warga, karena Mas Toto dan Mbak Wahya tinggal disitu (tempat Salam berdiri),” ungkap pendiri lembaga penelitian Kunci Cultural Studies Centre ini. Namun, tambah Antariksa, posisi kedua pendiri Salam itu di masyarakat juga tak bisa masuk dalam kelas bawah. “Karena mereka itu kan intelektual, aktivis, mereka punya gagasan sendiri yang berbeda dengan orang-orang di kampungnya. Jadi kita tidak bisa menyebut sepenuhnya dari bawah.” “Kalau bayangan kita bawah itu grass root dalam arti massa, setahuku sekolah yang muncul dari massa itu tidak ada,” ujar Antariksa. Selama ini kecendrungan dari pendidikan yang muncul di luar pemerintah, melalui model inklusi, metode pembelajaran yang terpusat pada anak, konten belajar yang dekat dengan alam sekitar, ingin mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang setara. Sehingga model transmisi pengetahuan yang terjadi adalah secara pemberdayaan dan pertukaran. “Seperti pendidikan yang dilakukan oleh Non Government Organization (NGO) yang lebih baru dan lebih baik kan mereka sudah punya metode yang lebih canggih (dengan melakukan pemberdayaan). Jadi pemberdayaan itu bukan bagaimana aku memberikan nilai tertentu supaya kamu lebih berdaya, lebih beradab seperti aku, tapi berangkat dari bawah. Yuk kita cari tahu sama-sama sebenarnya masalah kita apa yang kita butuhkan apa. Sekarang kan modelnya begitu tuh,” jelas Antariksa. Di tingkatan praktis, lanjut Antariksa, yang dilakukan oleh NGO hanyalah mendekati masyarakat. “Misalnya, punya gagasan untuk membuat sekolah pertukangan di Kali Code, kita belajar bagaimana mereka membangun rumah dengan bahan yang seadanya, cara yang sederhana
itu bagaimana mereka bikin sambungan kayu. Kita belajar teknik tertentu kepada mereka, tapi kita juga memberikan keterampilan tertentu kepada mereka. Nah, yang ada pertukaran dan pertukaran itu bertujuan untuk menciptakan satu kondisi yang sama,” ujar lelaki yang pernah belajar di Universitas Gajah Mada ini. Menurut lelaki yang kini aktif di komunitas seni Punkasila ini, tradisi transmisi pengetahuan secara pertukaran dan pemberdayaan itu mungkin melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh NGO di era 1970an. Dengan membalik nalar bahwa pengetahuan itu harus datang dari lembaga pendidikan kemudian turun ke masyarakat, menjadi kegiatan penggalian pengetahuan otentik masyarakat. “Karena, jika masyarakat bisa bertahan hidup sedemikian lamanya selama ribuan tahun, mereka pasti punya pengetahuan, nah ini yang digali secara bersama-sama dengan warga,” kata Antariksa menjelaskan. Dalam The Ignorant School Master, ilmuwan Prancis Jacques Ranciere mengemukakan gagasan radikal. Tidak seperti praktik pendidikan di Indonesia yang cenderung menjadikan kesetaraan sebagai tujuan, Ranciere justru menyaratkan kesetaraan sebagai prakondisi sebelum melaksanakan pendidikan. Berdasarkan landasan tersebut, ia ingin membongkar gagasan tentang pedagogi yang memosisikan ada yang lebih tahu dan tidak tahu sehingga disanalah terjadi transmisi pengetahuan. Ranciere mencontohkan sebuah kegiatan belajar yang dilakukan oleh seorang professor dari Belgia pada abad ke-19, Joseph Jacotot. Saat itu, seorang Profesor memang harus bisa mengajarkan apapun lantaran belum ada pembagian disiplin ilmu secara spesifik. Ketika ia dan para mahasiswanya sepakat untuk belajar Bahasa Prancis, yang bahkan Jacotot pun sama sekali tak punya pengetahuan atasnya, mereka mencoba belajar bersama dengan membahas sebuah novel. “Salah satu metode yang digunakan Jacotot adalah repetisi. Repetisi dengan berbagai macam cara seperti melihat, mendengar, menulis dan seterusnya,” ungkap Antariksa. Kemudian mereka berkenalan dengan bahasa Prancis secara visual yakni bagaimana mereka ditulis, kemudian belajar membunyikan, serta dibahas dengan banyak orang. “Sesudah dua semester, seluruh kelas itu termasuk Jacotot itu mahir berbahasa Prancis,” imbuh Antariksa. “Nah, itu contoh yang radikal dan gila, di Indonesia tidak ada tradisi pendidikan seperti itu,” pungkasnya
.
Didaktika 47
Laporan Khusus
Foto Didaktika
SERBUAN DEBU SEMEN D Oleh Indra Gunawan
Segala cara ditempuh untuk memuluskan izin pembangunan pab [Para perempuan asal Rembang melakukan aksi penolakan pembangunan Pabrik Semen di Rembang]
Didaktika 48
DI KABUPATEN REMBANG
brik semen. Menerabas kaidah lingkungan dan kemanusiaan. Didaktika 49
Laporan Khusus
A
bu Sofyan tidak pernah lupa bagaimana pembangunan pabrik semen di lingkungan pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah itu dimulai. Kisah tersebut, paling tidak mampu ia urai sejak 2006 ketika Pemerintah Kabupaten (Pemkab) setempat menyosialisasikan agenda penghijauan serta penanaman pohon Jarak sebagai bahan dasar energi alternatif. Menurutnya, pemerintah kala itu amat gencar berkampanye ihwal energi fosil Indonesia yang hampir habis dan mesti segera diperbarui dengan jalan pelaksanaan agenda tersebut. Oleh karena itu, penjualan tanah warga untuk program Pemkab tersebut menjadi setengah wajib. “Warga banyak yang menjual tanahnya ke aparat desa yang juga makelar tanah,” kata Abu Sofyan yang akrab disapa Beno. Enam tahun berselang, warga Rembang kebakaran jenggot. Pohon Jarak yang sudah menahun tumbuh dan menunggu dibeli dengan harga mahal oleh pemerintah terbengkalai. Alih-alih menjadi bagian dari penghijauan, agenda tersebut rupanya hanyalah modus pembebasan tanah untuk membangun pabrik semen. Mulanya, warga berharap kabar pembangunan tersebut hanyalah desas-desus. Untuk mendapat kejelasan, delapan orang warga menginisiasi pencarian informasi lebih lanjut mengenai program yang telah mengambil tanah mereka lebih dari enam tahun. Mereka adalah Joko Suprianto Parmin Suprstianto Abdullah, Nardi, Rusman, Sumarno dan Joko. Pencarian informasi mereka mulai dari Kepala Desa Tegaldowo, Suyanto kemudian pada Camat Gunem, Teguh Gunawarman. Namun, warga Rembang tak mendapat hasil apapun dari kedua pejabat desa tersebut. Sesudah berusaha kesana-sini, akhirnya diadakan sebuah pertemuan antara warga, pihak Komando Distrik Militer (Kodim) dan Badan Pembangunan Daerah di kediaman Adi Purwoto, tokoh masyarakat Desa Tegaldowo. Menurut salah satu peserta pertemuan dari pihak warga Rembang, Muslihin, dalam rapat tersebut bukan informasi yang mereka dapat melainkan ancaman penculikan. “Di pertemuan itu, warga dilarang melakukan penolakan terhadap pembangunan pabrik semen. Kalau warga membutuhkan sesuatu atau kegiatan, bikin proposal saja,” ujar Muslihin mengingat. Belum selesai mencari informasi, masyarakat Rembang kembali dikejutkan dengan hadirnya kebijakan pemerintah. Pada
Foto Istimewa
Aksi sejumlah orang menolak pembangunan Pabrik Semen di Rembang
15 Februari 2013, Bupati Rembang mengeluarkan putusan Nomor 545/230/2013 mengenai pemberian IUP Operasi Produksi Batuan Tanah kepada PT Semen Indonesia. Telak dengan berbagai kejutan yang diberikan pemerintah, masyarakat pegunungan Kendeng, Rembang, kembali pada pekerjaan utama mereka sebagai petani. Mereka kemudian mendirikan paguyuban bernama Katentreman untuk kegiatan pengembangan pertanian, memberantas hama, serta inovasi pemukupan guna meningkatkan produktivitas pertanian. Namun, kejutan kembali datang, pemerintah desa menganggap Katentreman sebagai perkumpulan subversif yang ingin menentang pembangunan pabrik semen. Joko Suprianto mengatakan, reaksi pemerintah terhadap keberadaan Katentreman sungguh tidak wajar. Sebab, masyarakat setempat tidak pernah mengetahui hal tersebut secara jelas. “Dari sana kami sadar, ternyata keberadaan PT Semen Indonesia itu ditutup-tutupi,” tegas Joko Suprianto kepada DIDAKTIKA. Joko melanjutkan, pada 22 Juni 2013 memang diadakan sosialisasi oleh Pemerintah Daerah (Pemda) di Kantor Desa Tegaldowo ihwal pembangunan PT Semen Indonesia. Namun, hanya empat orang warga desa yang diundang yaitu Sumarno, Supristianto, Sunardo dan Sujito. “Pertemuan ini selalu dijadikan justifikasi bahwa seolah-olah pembangunan pabrik semen telah disosialisasikan kepada warga. Bahkan saya dianggap ikut tanda-tangan pertemuan, padahal saya waktu itu sedang di Pontianak,” paparnya.
Imbasnya, muncul dua kelompok masyarakat yang memiliki keputusan berbeda terhadap pembangunan PT Semen Indonesia. Mereka yang keberatan dengan pembangunan PT Semen Indonesia melakukan beragam upaya mulai dari inisiasi dialog, demonstrasi di halaman gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Rembang, membubarkan acara peringatan ulang tahun PT Semen Gresik, hingga menutup jalur Pantura dengan blockade ratusan warga. Dalam atmosfer pembangunan pabrik semen, tensi warga dari hari ke hari kian tinggi. Pasalnya, pihak masyarakat yang kontra akan pembangunan PT Semen Indonesia mendapat laku intimidasi dari mereka yang mendukung pembangunan tersebut. Abu Sofyan mengaku, pernah didatangi seorang pemilik kafe dari Desa Timbrangan dengan membawa sebilah pedang lantaran dituduh sudah merusak spanduk dukungan pembangunan PT Semen Indonesia. Untuk meredakan ketegangan yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun, lahir pula Solidaritas Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). JMPPK menginisiasi pembuatan surat tuntutan kepada Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada pertengahan 2014. Namun, upaya tersebut belum menghasil apa-apa. Hanya sebulan setelah pengiriman tuntutan tersebut, peletakan batu pertama pabrik semen dilakukan. Rencana berikutnya mereka susun. Mulai Juni 2014, masyarakat membangun tenda di sepanjang lokasi pembangunan pabrik. Ra-
Didaktika 50
tusan petani laki-laki dan perempuan tinggal di dalamnya sebagai tanda perjuangan mempertahankan tanah. Di lingkungan tenda itu pula masyarakat Rembang kerap mengadakan demonstrasi. Naasnya, aksi mereka kerap mendapat perlakuan represif dari aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi yang bersenjata lengkap, serta para preman bayaran. “Ada yang diseret, dicekik, bahka ada dua orang ibu-ibu yang dilempar ke semak-semak hingga pingsan,” ungkap Murtini, salah satu petani yang tinggal di tenda Desa Watu Putih, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kejadian tersebut menambah daftar motif warga untuk kian giat menolak kehadiran pabrik semen. Merekapun melaporkan tindak kekerasan itu kepada Komnas HAM, kemudian disambut dengan pemberian surat rekomendasi gugatan izin pabrik semen ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Berbekal rekomendasi Komnas HAM, warga secara resmi menggugat pendirian pabrik semen ke PTUN Semarang. Dengan gugatan No. 046/G/2014/PTUN, mereka ingin menggagalkan izin No. 660.1/17 tahun 2012 yang dikeluarkan Gubernur Bibit Waluyo untuk mendukung pembangunan pabrik semen. Sementara warga sibuk dengan perjuangannya, PT Semen Indonesia bergeming. Pembangunan terus berlanjut meski proses sidang di PTUN masih berlangsung. Bahkan, proses ini juga tidak menghiraukan beberapa protes yang hadir dari berbagai pihak. Seperti Komnas HAM yang kembali mengirim surat rekomendasi kepada Bupati Rembang untuk menghentikan aktivitas dan menarik alat berat dari Kecamatan Gunem, Rembang, kemudian rekomendasi penghentian pembangunan dari Majelis Permusyawaratan Pengasuh Pesantren se-Indonesia (MP3I). “Mereka (PT Semen Indonesia) tidak menghormati proses hukum. Padahal ini sedang disengketakan dan warga takut pada dampak pembangunan pabrik ini,” tegas Joko Priyanto saat ditemui di halaman Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta beberapa bukan lalu. Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron pun menyesalkan sikap PT Semen Indonesia. Menurutnya, mesti ada tekanan yang lebih kuat untuk menghetikan kegiatan perusahaan tersebut di Rembang. “Memang harus ada upaya lebih khususnya dari Komnas HAM,” tutur Nurkhoiron. Hingga saat ini, sudah lebih dari setahun warga yang mayoritas ibu-ibu tinggal di tenda perjuangan. Alih-alih mendapatkan tanggapan yang berpihak pada meraka, pada 16
April 2014 gugatan mereka justru ditolak PTUN Semarang. Hakim Susilowati Siahaan mengatakan, gugatan yang dilayangkan warga sudah kadaluwarsa, sebab sudah lewat batas waktu yang diatur yakni 90 hari sejak izin lingkungan dikeluarkan. Namun, Munhur Satyahaprabu, pegiat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), salah satu lembaga swadaya masyarakat yahng mendampingi warga Rembang menganggap keputusan hakim janggal dan bersifat naif. Mengasumsikan bahwa warga sudah mengetahui rencana pembangunan pabrik sejak 2012. Padahal, masyarakat hanya menerima kesimpangsiuran dari berbagai pihak. “Apakah pengumuman di kantor kecamatan, balai desa dan situs website BLH Jateng dianggap sosialisasi atau bukan? Argumentasi hukum hakim lebih banyak dipenuhi asumsi formalitas, bukan substansial. Faktanya, proses hukum hanya menyampaikan formalitas hukum. Hakim tidak pernah menggali pikiran lebih cerdas agar tidak melanggar hak-hak masyarakat,” kata Munhur. Ia pun meenyangsikan keadilan dari keputusan dan pertimbangan PTUN Semarang. Menurutnya, sosialisasi yang ada tidak mampu memberi pemahaman mendasar kepada masyarakat. Misalnya saja perihal Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang tidak terlalu dimengerti oleh warga Rembang. “Sosialisasi yang ada hanya terkait aturan pemberian pabrik semen. Tidak ada mengenai dampak lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi masyarakat pegunungan Kendeng Utara,” ucap Munhur. Kepentingan Modal yang Mengancam Alam Pembangunan pabrik semen yang diprakarsai PT Semen Indonesia itu rencananya akan melakukan penambangan karst di sekitar Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih, pegunungan Kendeng, Rembang untuk menyediakan bahan dasar. Wilayah tersebut memang menyimpan batu gamping yang berlimpah. Namun dari kegiatan itu pula, muncul bayang-bayang ancaman lingkungan terhadap 28 desa di empat kecamatan pada dua kabupaten yaitu Rembang dan Blora. Sebab, batu gamping yang merupakan bahan dasar semen itu terhimpun dalam kawasan karst yang berfungsi sebagai wilayah resapan air. Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Surono menegaskan, CAT Watu Putih merupakan daerah resapan air yang dilindungi negara melalui Keputusan Presiden No. 26 Tahun 2011.
Penambangan, tentu saja akan melibas wilayah resapan ini. Akibatnya, menurut Surono, warga akan terkena berbagai dampak yang amat merugikan seperti bahaya longsor dan yang paling uama adalah menghilangnya pasokan air. “Penambangan karst untuk bahan baku produksi semen tidak sebanding dengan harga yang harus dibayar ketika sumber mata air di pegunungan Kendeng hilang,” kata Surono. Sayangnya, pertimbangan ihwal lingkungan tersebut mungkin bukan bagian dari prioritas perusahaan dan pemerintah. Sebagaimana proses penyusunan AMDAL yang dilakukan PT Semen Indonesia tidak pernah muncul di hadapan publik, namun pada tiba-tiba 2012 sudah terbit dokumen resmi yang merestui pembangunan pabrik tersebut dari perspektif lingkungan. Gubernur Ganjar Pranowo pun menantang warga yang menggugat pembangunan pabrik semen untuk menemukan kesalahan yang terdapat pada dokumen AMDAL milik PT Semen Indonesia. “Ibu-ibu seperti sudah baca AMDAL saja, silakan gugat,” kata Ganjar seperti ditirukan Sukinah, aktivis masyarakat Rembang yang mendengarnya langsung dari mulut Gubernur saat berkunjung ke tenda perjuangan mereka. Menurut penelitian beberapa pihak pendamping warga Rembang, dokumen AMDAL yang dikantongi PT Semen Indonesia memang memiliki beberapa kekurangan. Seperti pengabaian terhadap data lapangan yang terkait keberadaan ponor, mata air serta goa-goa yang memiliki sungai bawah tanah atau menjadi habitat satwa langka. Beragam kekurangan tersebut nampaknya dimaklumi oleh pemerintah yang mendukung ekspansi modal perusahaan. Direktur PT Semen Indonesia, Suparni pun mengatakan pihaknya tak mau tertinggal dari perusahaan lain untuk melakukan ekspansi modal di pegunungan Kendeng. “Kalau kami tidak membangun pabrik baru, banyak perusahaan lain membangun di Indonesia, termasuk perusahaan asing,” ucapnya seperti dikutip dari KOMPAS, 20 Agustus 2014. Muhnur Satyahaprabu menilai, sikap pemerintah dan perusahaan yang mengabaikan dampak lingkungan amat tertinggal ketimbang negara-negara lain. Ia menjelaskan, produsen semen terbesar di dunia, Tiongkok sudah jauh-jauh hari menutup 762 pabrik semen lantaran mencemari lingkungan. “Ini yang aneh, di Tiongkok saja sudah mau dibuang industri ekstraktif begini, di Indonesia kok justru gampang sekali dibangunnya,” tutup Munhur
.
Didaktika 51
Foto Istimewa
Aksi sejumlah orang menolak izin lingkungan PT Semen Indonesia di Rembang
GERAKAN DAN KONFLIK SEPUTAR PEMBANGUNAN PABRIK SEMEN Oleh Indra Gunawan
Muncul perbedaan sikap mengenai pembangunan pabrik semen. Tuan pemilik modal berjalan melenggang di atas gesekan para warga.
W
ajah Tarmidzi pucat saat belasan pemudamemaksanya turun dari mobil kontainer yang sedang ia kendarai. Ia digiring ke tenda tempat tinggal orangorang tersebut untuk dihakimi, lantaran kendaraan yang ia kemudikan telah merusak beberapa umbul-umbul milik mereka yang terpsang di jalan. Tarmidzi pasrah, ia pun gugup, nampak dari keringat yang bercucuran dari dahinya. Sesampainya di dalam tenda, alih-alih dimintai pertanggungjawaban atas rusaknya umbul-umbul, Tarmidzi justru diperlakukan dengan baik. Para penghuni tenda mempersilakannya duduk, ibu-ibu yang ada di dalam pun menyuguhkan sepiring kudapan untuknya. “Bapak sarapan dulu, biar nyopirnya ndak sempoyongan,” ucap Suwarni, petani dari Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah yang tinggal di tenda
tersebut. “Terima kasih ibu-ibu, saya mohon maaf sekali atas kejadian tadi,” jawab Tarmidzi penuh sesal. Supir asal Palembang itu tidak menyangka akan disambut hangat setelah merobohkan umbul-umbul berbentuk pocong, simbol perlawanan warga Rembang terhadap pembangunan pabrik yang dilakukan PT Semen Indonesia. Keberadaan pocong-pocong tersebut memang jadi tantangan tersendiri bagi para pengemudi container pengangkut bahan baku pembangunan pabrik semen. Bagaimana tidak, mereka terpasang di setiap halaman tenda warga yang berdiri di atas jalur dengan tikungan-tikungan tajam. Maka, di jalan tersebut, kendaraan pembawa paku beton sepanjang 10 meter itu kerap menabrak umbul-umbul pocong milik warga. Benda itu juga menjadi amat penting bagi warga karena merupakan simbol ‘kematian keadilan’. Pasalnya, PT Semen Indonesia
tidak berhenti melaksanakan pembangunan pabrik selama proses hukum atas gugatan warga di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang berlangsung. Sopiyon, salah satu petani penggugat pembangunan pabrik semen Rembang menilai, PT SI tidak pernah menghargai keberadaan warga setempat. “Harusnya PT Semen Indonesia menghormati kami gitu lho. Kan proses hukum sedang berjalan,” protes pemuda yang hampir memukul Tarmidzi saat pocong buatannya roboh tertabrak truk container. Ia melanjutkan, bukan hanya siap membuat simbol, warga Rembang juga sedia melakukan blokade terhadap kegiatan PT Semen Indonesia meski akan mendapat tindak kekerasan dari aparat keamanan negara. “Warga disini yang kontra pada pembangunan pabrik semen siap perang jika perlu. Tidak takut-takut lagi,” tegas lelaki asal desa Tegaldowo itu.
Didaktika 52
Buktinya, ratusan warga sudah bulat tekadnya untuk tidak kembali ke kediaman masing-masing dan tetap berdiam di tenda perjuangan mereka hingga pabrik semen berhenti beraktivitas. Keyakinan tidak pernah luntur dalam hati mereka lantaran tidak mau kehadiran pabrik merusak lingkungan hujau mereka. Berdasarkan Peta Zona Konservasi Air Tanah terbitan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Tengah, 90 persen luas Cekungan Air Tanah Watuputih, Rembang merupakan wilayah perlindungan air. Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM), Surono pun menyetujui hal tersebut dan mengimbau agar membebaskan wilaya tersebut dari aktivitas pertambangan. Namun, data tersebut tidak cukup kuat meluluhkan niatan PT Semen Indonesia dan Pemerintah setempat untuk membangun pabrik. Bahkan, mereka tak segan menggunakan cara kekerasan untuk memuluskan agenda tersebut. Perempuan petani penolak pabrik semen, Sukinah masih ingat beberapa rekannya diseret dan dibanting ke semak-semak oleh aparat keamanan pemerintah lantaran mengikuti demonstrasi pada peletakan batu pertama pabrik. Meski demikian, tambah Sukinah, semangat kaum perempuan Rembang tak akan surut untuk memperjuangkan lahannya. Ia memastikan akan tetap berada di garis terdepan perlawanan. “Kalau laki-laki kan gampang marah dan berujung kekerasan. Makanya, kami para ibu bertekad untuk berjuang dengan lebih sabar dan akan terus di depan,” kata perempuan yang akrab disapa Mbok Nah ini. Gunratni, tokoh Komunitas Samin, Pati, Jawa Tengah yang turut mendampingi perjuangan petani Rembang pun mengajak seluruh warga untuk tetap bersatu. Sebab, masalah yang sedang dihadapi akan berdampak pada semua pihak masyarakat. “Bapak-bapak berjuang untuk anak cucu, ibu-ibu juga harus ikut,” tegas Gunratni. “Karena air adalah masalah bersama, kalau sumber air hilang, ibu-ibu yang susah juga begitu pula anak-anak.” Konflik Horizontal Selain persoalan kerusakan lingkungan, warga Rembang juga menyadari adanya ancaman terhadap komunitas mereka secara sosial dan budaya berkat pembangunan pabrik semen. Secara turun temurun, mereka sudah hidup sebagai masyarakat agraris, yang setiap laku hidupnya terkait dengan alam. Bagi para petani Rembang, kegiatan agraria bukan sekadar upaya menggerakkan roda ekonomi melainkan urusan spiritual. Menurut Gunratni, alam merupakan ibu pertiwi yang senantiasa memenuhi kebutuhan hidup manusia. Bagai seorang ibu dengan potensi susu berlimpah untuk anaknya, pertanian pun mampu menjami kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. “Sudah terbukti kalau hidup kita ini bisa baik
sampai saat ini, berkat upaya orang tua dan nenek moyang kami melestarikan dan merawat bumi,” ucapnya tenang. Namun, pandangan hidup tersebut kerap dianggap sebuah keterbelakangan pemikiran. Staf Biro Hubungan Masyarakat (Humas) PT Semen Indonesia, Abimanyu mengatakan, keberadaan pabrik mampu menghadirkan beragam jenis pekerjaan yang lebih menjanjikan bagi masyarakat seperti usaha jasa indekos atau bidang kuliner. Gambaran akan peluang usaha tersebut pula yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan masyarakat Rembang. Menurut warga yang menginginkan keberadaan pabrik semen, penolakan hanyalah hal picik yang akan menghambat kemajuan wilayah. “Harusnya mereka yang menolak pabrik semen itu lebih bijaksana. Kan pegawainya nanti pasti masyarakat kita juga. Masa daerah kita mau begini-begini saja,” ungkap Umi, warga desa Tegaldowo kepada DIDAKTIKA. Bagi Joko Priyanto, terlepas ada kemajuan desa atau tidak, pembangunan pabrik jelas memberikan dampak yang nyata. Ia menyebutkan, pertanian cabe di Desa Tegalselo sontak mengalami kerusakan setelah pabrik dibangun. ”Dulu bisa panen tiga sampai empat kali, sekarang cuma sekali saja karena seterusnya busuk akibat debu pabrik. Ini itungannya baru berdiri pabriknya ya,” terang salah satu pionir gerakan tolak pabrik semen ini. Di samping itu, lanjut Joko, pendukung pabrik semen biasanya berasal dari kalangan pejabat dan makelar tanah yang jelas mendapat keuntungan pribadi dari kehadiran pabrik tersebut. Joko pun yakin, tawaran lapangan pekerjaan yang terbuka setelah pembangunan pabrik selesai hanyalah janji palsu. Pasalnya, dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) milik PT Semen Indonesia, tercatat pabrik akan membutuhkan paling sedikit 171 pekerja 1200 diantaranya adalah pekerja kostruksi. Perusahaan pun tercatat wajin untuk mempekerjakan 50 persen warga Ring 1 dengan kriteria no skilled. Di dalam dokumen Amdal PT SI sendiri, mereka membutuhkan setidaknya 1751 pekerja, 1200 diantaranya adalah pekerja konstruksi. Padahal, penduduk desa Tegaldowo kini jumlahnya sudah mencapai 5000 orang dan 4000 diantaranya adalah petani. Maka, terlihat adanya kejomplangan jumlah lapangan pekerjaan dengan angkatan kerja yang ada. Dengan demikian, kata Joko Priyanto, semangat pengentasan kemiskinan yang dibawa oleh PT Semen Indonesia tidak akan terwujud. Menurutnya, hal tersebut juga belakang dengan kondisi ekonomi masyarakat setempat yang sudah mapan dengan pertanian. “75 persen warga ring satu sudah cukup
secara materi karena paling tidak memiliki setengah hingga satu hektar tanah. Belum lagi mereka minimal mempunyai kendaraan bermotor tiap keluarga,” tutur Joko. “Seharusnya PT Semen Indonesia menghormati tanah leluhur kita, karena dengan melihat tanaman kita hijau saja itu sudah cukup senang.” Fragmentasi sikap warga juga nampak dari mural-mural dan spanduk di beberapa desa yang masuk dalam area ring satu yaitu Tegaldowo, Timbrangan dan Pasucen. Disana banyak terdapat bangunan bertuliskan ‘Warung Pro Semen’, begitupula lukisan dinding yang bertuliskan ‘Tolak Pabrik Semen’, serta spanduk-spanduk yang menunjukkan pernyataan ‘Anda Memasuki Wilayah Tolak Pabrik Semen’. Akibatnya, hubungan kekeluargaan diantara para warga pun merenggang. Dampaknya pun makin terasa lantaran banyak warga yang merupakan pionir gerakan penolakan pembangunan pabrik semen merupakan kerabat dekat dengan pihak pendukung pabrik. Seperti Joko Priyanto yang merupakan sepupu dari Suntono, Kepala Desa Tegaldowo pendukung semen, juga Sukinah yang memiliki adik pendukung pabrik semen. Meski sudah berupaya untuk tidak membawa perselisihan pendapat ihwal pabrik semen ke dalam ruang keluarga, ketidakharmonisan tetap nampak diantara mereka. “Kalau ada pernikahan anak warga yang kontra semen, pasti sekaran orang pro tidak mau ikut membantu. Kalau ada pembangunan rumah pun, ya kami hanya dibantu oleh warga yang sependapat saja soal semen,” kata Joko Priyanto. “Sudah sampai sebegitunya di desa kami.” Ia melanjutkan, dalam gerakan hal itu juga nampak. “Sudah biasa kalau kita aksi demonstrasi, pasti dua atau tiga hari berikutnya warga pro semen juga aksi. Cuma, kenapa jika mereka aksi yang orasi bukan warga sini,” ungkap Joko Priyanto. Hingga saat ini, pembangunan industry ekstraktif di Indonesia nampak banyak memberi kerugian pada masyarakat. Mulai dari penggusuran tanah, hingga dampak kerusakan lingkungan yang muncul dari aktivitas pertambangan. Hal ini nampak jelas dalam kasus PT Freeport di Papua atau PT Semen Indonesia di Tuban. Maka, tidak heran jika banyak masyarakat di luar Rembang yang ingin terlibat untuk mendukung gerakan penolakan semen. Seperti Komunitas Samin, berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat, serta tokoh-tokoh nasional seperti KH. Mustofa Bisri dan Alisa Wahid. Hanya saja, kata Gunratni, gerakan semacam ini masih menjadi kabar yang negatif bagi media massa. Mereka pun jarang memberitakan perihal kerusakan sosial dan ekologis yang dialami warga. Beberapa media justru memberitakan kasus penolakan pembangunan secara diskriminatif
.
Didaktika 53
Tamu Kita
Ber-Islam Secara Kritis Oleh Ferrika Lukmana Sari
Menjadi seorang yang beragama bukan berarti hanya patuh terhadap ajaran yang tertulis melainkan juga boleh mengkritisinya.
S
Kunci dari cara berpikir Islam Liberal adalah mengutamakan kritik, rasionalitas, serta pluralisme. Ulil memandang, ketiga hal tersebut perlu digunakan guna menjauhkan pemahaman dogmatis dan fanatic terhadap suatu agama, khususnya Islam sebagai mayoritas di Indonesia. “Islam liberal bukan organisasi massa seperti Nadhatul Ulama dan Muhammadiyah, juga bukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), partai politik atau sekte Sunni-Syiah. Lebih tepatnya mahzab pemikiran untuk memahami ajaran Islam secara kontekstual sehingga cocok dengan keadaan modern sekarang. Maka, Islam Liberal mendakwakan cara berpikir kritis sebagai syarat mutlak bagi setiap agama untuk mengajak masyarakat kembali menanyakan ajaran Islam,” kata Ulil saat ditemui DIDAKTIKA di Utan Kayu, Jakarta beberapa waktu lalu. Ia menambahkan, pemikiran rasional juga dibutuhkan untuk memandu manusia menerjemahkan teks-teks dalam Al Quran dan Hadis yang sulit ditafsir secara ilmiah. Misalnya, membantu tafsir dengan cara mengkontekstualisasikannya berdasarkan akal sehat serta keadaan sosial politik yang sedang berlangsung di masyarakat. Sebagai contoh, Pakistan yang menerapkan syariat Islam dalam aturan negaranya tidak memilih untuk melaksanakan Qisas yang berarti hukum pembalasan atau sederhananya ‘hutang nyawa dibayar dengan nyawa’. “Untuk menafsirkan hukum Qisas negara Pakistan mempertimbangkan aka l sehat dan nilai kemanusiaan,” lanjut Ulil. Selanjutnya, Islam Liberal menyandarkan pemikirannya pada pluralisme. Menurut Ulil, sejatinya Islam itu beragam lantaran dipengaruhi konteks budaya tempat ia berkembang dan dikembangkan, namun tetap memiliki nilai fundamental. Untuk itu, perspektif pluralism amat penting selain sesuai dengan kondisi Indonesia yang multikultur, juga demi menghindar dari salah satu pandangan mengenai Islam, misalnya Islam Timur Tengah yang cenderung memonopoli kebenaran. “Jadi pandangan Islam Liberal cocok dengan Islam Indonesia yang bersinergi dengan budaya lokal. Kita mengampanyekan Islam yang warna-warni, tapi tetap bersandar pada tauhid, monoteisme dan keadilan sosial,” paparnya. Maka, tegas Ulil, menjadi muslim liberal
Foto Istimewa
elama dua dekade terakhir, marak terjadi kasus intoleransi agama di Indonesia. Mulai dari kemunculan beberapa kelompok fundamentalis agama yang agresif, perusakan rumah-rumah ibadah, pengggunaan nilai agama sebagai dasar penyerangan terhadap penganut keyakinan tertentu, hingga penyebaran kebencian terhadap sebuah keyakinan dengan cara-cara mutakhir. Keadaan ini tentu saja memprihatinkan, karena bukan saja mengancam keberadaan segelintir pihak, tapi juga keutuhan bangsa yang menjadi taruhan. Kasus-kasus tersebut sejatinya juga melanggar konstitusi Indonesia yang mengamanahkan kebebasan beragama, serta kebebasan berpikir dan berekspresi bagi seluruh warga negara. Ulil Abshar Abdala, merupakan salah satu intelektual muda muslim yang ikut prihatin atas kondisi keberagamaan di Indonesia. Menurutnya, salah satu agama atau keyakinan ataupun kelompokmasyarakat tidak memiliki hak untuk mendominasi kelompok lainnya, karena dari sikap dominan tersebutlah akan muncul penindasan terhadap minoritas. Persoalan itu, ia soroti dari sudut pandang agama. Lelaki yang lahir dan besar di tengah keluarga Nahdlatul Ulama (NU) ini menganggap kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya didominas ioleh nilainilai Islam ortodoks. Bagi lulusan Fakultas Syariah LembagaI lmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) ini, dominasi tersebut sejatinya juga mampu mereduksi nilai-nilai yang ada di dalam Islam serta menimbulkan ketidaknyamanan di kalangan penganut agama lain. Oleh karenanya, ia kerap berkumpul dan bertukar pikiran dengan intelektualintelektual yang memiliki perhatian pada kondisi keberagamaan di Indonesia seperti Goenawan Mohamad, Ayu Utami, dan Luthfi Assyaukanie. Dari diskusi mereka itulah tercetus sebuah pemikiran yang ditujukan sebagai perlawanan terhadap dominasi Islam ortodoks. Pemikiran tersebut kini akrab dengan sebutan Islam Liberal. Ulil menjelaskan, Islam Liberal bukan sebuah organisasi masyarakat apalagi organisasi politik. Islam Liberal adalah sebuah pisau analisa untuk memahami berbagai persoalan sesuai dengan tuntutan zaman.
Ulil Abshar Abdala sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan untuk memahami ajaran Islam yang lebih dalam, dansesuai dengan konteks zaman. Karena menjadi seorang yang beragama bukan berarti hanya patuh terhadap ajaran yang tertulis tapi juga boleh mengkritisinya. “Tidak ada cara lain ber-Islam selain dengan cara liberal. Agama tak mungkin diterima begitu saja tanpa penelaahan yang kritis. Kesimpulan saya, menjadi muslim liberal adalah keniscayaan,” ujar pria yang menuntaskan pendidikan dasarnya di pesantren ini. Perlawanan terhadap kelompok ekstrimis agama, menurut Ulil juga tidak cukup untuk dilakukan oleh warga Negara secara individual, tapi juga butuh dukungan dari negara. Ia mengimbau pemerintah untuk mewujudkan model Negara sekuler untuk mewujudkan Islam yang independen, demokratis, serta mencegah domina i salah satu agama. “Dominasi itu akan menindas agama yang lain, sehingga harus dipisahkan antara beragama dengan kekuatan politik,” tandas Ulil Abshar Abdala
.
Didaktika 54
Didaktika 55
Karya
Foto Istimewa
Beberapa mahasiswa Seni Rupa UNJ menampilkan performance art menggunakan pakaian dari karung Goni di Plaza Indonesia.
Goni Project: S eb u a h K r i t i k Pe n j a j a h a n Oleh Daniel Fajar
“Udah terlalu banyak orang yang ngomong. Kan, sekarang waktunya ngedenger.”
L
ima orang memasuki sebuah mal. Mereka berkeliling di dalamnya. Sesekali berhenti di depan toko, sambil berpose layaknya model dalam pameran busana. Pengunjung dan pekerja mal mungkin keheranan melihat tingkah lima pemuda tersebut. Lebih heran lagi, melihat busana yang mereka kenakan; karung goni. Hanya sedikit permak yang mereka lakukan pada karung tersebut, sehingga masih
menyisakan bentuk aslinya. Kalimat-kalimat yang ditulis dengan spidol seakan menjadi motif tambahan bagi pakaian goni mereka. Misalnya, kutipan kalimat dari Mahatma Gandhi yang berbunyi, “kebebasan individu dan saling-ketergantungan keduanya penting dalam hidup bermasyarakat”. Pakaian dari karung goni tersebut bukan produk fesyen yang hendak dipasarkan lima orang tadi. Mereka, yang ternyata merupakan mahasiswa Jurusan Seni Rupa Uni-
versitas Negeri Jakarta (SR-UNJ),sedang melakukan perfomance art yang diberi judul Goni Project. Penggagasnya adalah M Haryo Utomo, mahasiswa SR angkatan 2008. Karya ini sekaligus diajukan sebagai tugas akhirnya di SR. Karung goni sengaja dipilih karena objek tersebut memuat banyak makna. “Tanpa gua pake, sebenernya (karung goni) udah “ngomong” banyak sih. Tanpa gua intervensi jadi karya, performance, lu naro di ruang galeri
Didaktika 56
Foto Istimewa
aja udah “ngomong” banyak,” ucap pemuda yang akrab dipanggil Tomo itu. Dia mencontohkan pengalaman sejarah pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Saat itu, saking sulitnya mendapatkan pakaian yang layak, banyak Romusha (pekerja paksa) yang kemudian terpaksa mengenakan karung goni sebagai penggantinya. Dengan pengalaman pahit itu, benda yang biasa digunakan untuk membungkus gabah kering tersebut bertransformasi menjadi suatu simbol penjajahan. Bukan tanpa alasan Tomo menghadirkan kembali simbol itu di tengah-tengah masyarakat melalui perfomance art. Menurutnya, penjajahan masih berlanjut, hanya saja dengan bentuk baru, yaitu model produksi. Seperti yang diketahui, produk-produk fesyen luar negeri sangat gencar mengekspansi pasar Indonesia. Bukan kebetulan jika pabrik-pabrik produksinya juga ditempatkan di Indonesia. Sebab, standar upah buruh di Indonesia amat kecil ketimbang
di negara asal perusahaan-perusahaan tersebut.Sehingga membuka peluang untuk menekan biaya produksi dan memperoleh keuntungan lebih besar. Kondisi seperti ini ironis bila dibandingkan dengan mahalnya harga komoditas tersebut ketika dipasarkan. Harganya bisa melebihi gaji bulanan buruh-buruh yang terlibat langsung dalam kegiatan produksi. Praktik ini pernah didokumentasikan John Pilger dalam The New Rules Of The World (2001). Dalam film tersebut diperlihatkan juga buruknya kondisi kerja para buruh, mulai dari jam kerja yang panjang dan lingkungan pabrik yang tidak sehat.Jadi, “Bukan lagi soal Jepang ngejajah kita. Tapi udah jadi tren pola produksi kita,” ucap Tomo memberi kesimpulan. Performence art akhirnya menjadi medium yang dirasa tepat untuk menyuarakan kritik ini. Ruangnya adalah mal, tempat komoditas-komoditas yang diproduksi secara tidak adil tersebut dipasarkan. Di sana, Tomo dkk coba mengacak-acak kemapanan mal dengan berpakaian goni. Aksi ini sempat membuat mereka diusir petugas keamanan. Namun, pengusiran tersebut justru membuktikan bahwa mereka telah berhasil mengganggu kemapanan. Tidak puas dengan mal, Tomo mencari ruang lain, pasar tradisional. Berbeda dengan sebelumnya, di tempat ini dia malah mengadakan lomba balap karung. Pesertanya adalah para pengunjung dan pedagang pasar. Sebelum berlomba, para peserta diharuskan menulis pendapat mereka seputar Freedom, tema besar dari Goni Project. Ini merupakan bagian di mana Tomo mengajak orang lain berpartisipasi dalam karyanya. Sekaligus, dia bisa mengetahui apa yang dipikirkan orang mengenai Freedom. Menurutnya, sudah banyak orang yang berbicara. “Kan, sekarang waktunya ngedenger,” katanya. Untuk “mendengar” lebih banyak, dia meneruskan Goni Project hingga Thailand, Malaysia dan Republik Dominika. Sebelum pergi, Tomo menghubungi komunitaskomunitas performence art setempat yang telah dikenalnya melalui media sosial. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan bantuan selama dia mempresentasikan karyanya di sana. Untuk membiayai akomodasinya, dia menggunakan dana bantuan dari Galeri Nasional dan sebagian dari kocek pribadi. Menurutnya, dana yang dimiliki sangat minim. Beruntung selama di sana dia bisa menumpang tinggal di sekretariat masing-masing komunitas. Dengan begitu bisa sedikit menghemat pengeluaran.
(Atas) Karung Goni yang berisi pesan (bawah) M Haryo Utomo Tema freedom yang disematkan pada Goni Project memiliki kecocokan dengan isu-isu setempat. Misalnya, Thailand yang pemerintahannya otoriter. Sedangkan di Malaysia, pemerintah menerapkan pembatasan atau larangan suatu genre musik tertentu eksis di negaranya. Di negara-negara tersebut Tomo melakukan hal yang sama, mengumpulkan coretan di karung goni. Karung-karung yang telah dipenuhi coretan itu dibawa pulang ke Jakarta, dipermak dan ditampilkan kembali di mall-mall
.
Didaktika 57
Resensi Foto Istimewa
Ref eo dali sasi M edi a d a n Jebakan R ati ng Oleh Virdika Rizky Utama
P
ascareformasi, perkembangan arus teknologi dan informasi semakin cepat. Hal ini kemudian beriringan dengan banyaknya media massa yang muncul setelah reformasi. Baik itu media cetak, media elektronik maupun online. Namun, perkembangan media terutama televisi ternyata hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Lebih dari itu, media yang mestinya independen menjadi partisan pemilik modal yang juga politisi untuk berkampanye. Hal ini terlihat pada pemilu 2014 lalu, banyak stasiun televisi yang mendukung partai dan calon presiden tertentu. Setelah Orde Baru runtuh, kekuaasaan modal semakin tak terelakkan. Para pemilik modal tahu betul bahwa apa yang disasksikan oleh masyarakat akan mempunyai dampak yang cukup serius. Bagi pemilik modal, televisi adalah alat yang disengaja dikembangkan oleh para penguasa untuk menipu dan membuat masyarakat hanya berpikir tentang hal-hal remeh,merasa dunia “baik-baik saja�, dan televisi juga dapat mengakomodasi kepentingan pemilik modal (hlm.3). Oleh sebab itu, pemilik modal televisi enggan meniayai program yang memiliki nilai budaya tinggi, medorong orang untuk berpikir secara serius tentang persoalan bangsa. Celakanya, masyarakat tak bisa menolak siaran-siaran tersebut.
Masyarakat diposisikan sebagai konsumen pasif, padahal televisi menggunakan udara (frekuensi) publik (hlm.5). Penguasaan frekuensi publik oleh satu korporasi televisi merupakan bentuk Refeodaliasi Media (hlm.186). Sebelumnya, pada masa Orde Baru, TVRI telah mempraktikkan sistem feodal dalam pertelevisian. Hal ini dapat dibuktikan bahwa saat ini, dari hampir 20 televisi nasional dikuasai oleh 10 orang. Pemilik media bagaikan raja-raja kecil di Indonesia yang dapat sesuka hati mengatur masyarakat. Jebakan Rating Dalam dunia liberal dan kapitalisis, kemunculan televisi swasta erat hubungannya dengan bisnis. Keuntungan merupakan harga mati bagi televisi untuk tetap bisa hidup. Keuntungan diperoleh dari selisih pemasukan iklan dengan biaya produksi (hlm.3). Menurut Media Scene, stasiun televisi terbesar seperti RCTI dan SCTV dapat memperoleh pemasukan iklam Rp 9-10 Triliun per tahun (hlm.4). Penghasilan iklan tersebut tak lain karena biaya produksi acara pada televisi tersebut sangat rendah. Alhasil, mereka dapat surplus besar. Di sini, peran lembaga rating sangat vital. Lembaga rating seperti lembaga yang berhak menentukan tayangan televisi apa yang sering disaksikan. Kemudian, Nielsen melaporkannya kepada televisi untuk memberikan saran dan masukkan agar dapt menaikkan jumlah penonton. Mereka tak peduli isi tayangan tersebut berkualitas dan berguna untuk masyarakat atau tidak. Pertimbangan pasar melalui rating menembus semua tingkat pengambilan keputusan dan sering kali mengabaikan kualitas estetika, sosial dan psikologi tontonan (hlm.204). Alhasil, lagi-lagi masyarakat yang dikorbankan. Buku yang terdiri dari 37 kumpulan
Judul Buku: Orde Media Penulis: Tim Remotivi Editor: Yovantra Arief, Wisnu Prasetya Utomo Penerbit: Insist Press Tahun terbit: Cetakan Satu, Juni 2015 Tebal: viii + 296 halaman, ISBN 978-602-0857-00-8 tulisan ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama, praktik jurnalisme dalam menyajikan berita kepada publik. Bagia kedua, teks, bagian ini memuat tulisan yang lingkup pembahasannya mengenai apa yang terjadi di media seperti komodifikasi kemiskinan. Bagian ketiga, konteks, melihat konteks sosial,ekonomi yang melatari televisi. Bagian empat, khalayak, bagian ini menekankan pentingnya gerakan melek media bagi masyarakat. Sebagai sebuah kajian media pasca Orde Baru, buku ini cukup penting untuk dibaca. Buku ini menggambarkan pasca Orde Baru, kuasa negara dalam mengatur industri media jatuh ke tangan kaum pemilik modal dan politisi. Kalau rezim otoriter menggunakan tentara sebagai aparatnya, para pemilik modal kini menggunakan media. Maka kita telah tiba pada sebuah rezim baru, di mana sekelompok orang memerintah melalui media. Mereka menentukan selera busana dan mendikte cara mengisi waktu luang: memilih presiden dan mengarahkan ke mana kebijakan publik harus bermuara. Media tidak saja hidup sebagai ekosistem, ia telah menjadi order. Ia memerintah dan berkuasa (hlm.9)
Didaktika 58
Foto Istimewa
Leonardo DiCaprio dan Kolonialisme di Amerika Oleh Ferrika Lukmana Sari
P
ada awal abad ke-19, kedatangan bangsa Inggris dan Prancis ke wilayah Amerika khususnya Dakota Selatan dan Monata telah mengganggu ketentraman hidup penduduk setempat. Para pendatang menguasai tanah dan sumberdaya alam di daerah tersebut. Akibatnya, muncul kisruh dalam kehidupan Suku Indian, hadir kecurigaan di antara mereka, saling berebut wilayah, bahkan saling membunuh. Salah satu orang yang terkena dampak kisruh tersebut adalah Hugh Glass. Setelah menikah dengan penduduk setempat dan memiliki seorang anak, ia tinggal di wilayah Suku Indian Pawnee. Namun kebersamaan dengan keluarga kecilnya segera berakhir, ketika bangsa Prancis bersenjata api menyerang kampong tempat tinggalnya. Sebagian besar penduduk tewas, termasuk istri Glass. Kehidupan Glass dan anak lelakinya, Hawk makin buruk seiring dengan berlangsungnya konflik antaretnis yang kerap terjadi di pedalaman Amerika. Sentimen diantara mereka begitu tinggi sehingga kerap menjadi pemicu konflik dan kekerasan fisik meski tidak ada masalah substansial yang terjadi. Buktinya, Glass beserta kelompok berburunya menjadi tertuduh dalam kasus penculikan anak gadis Kepala Suku Indian Ankara, meski sebenarnya mereka tak tahu apa-apa. Kisah kehidupan masyarakat Amerika yang dirundung konflik etnis setelah adanya kolonialisme bangsa Eropa ini disajikan apik oleh Sutradara Alejandro Gonzales Innaritu dalam film The Revenant. Dalam 2,5 jam durasinya, film ini juga menampilkan acting luar biasa Leonardo DiCaprio sebagai tokoh utama, Hugh Glass yang harus bertahan hidup dengan luka berat akibat serangan beruang Grizzly serta terpaan cuaca ekstrim khas pedalaman Amerika. Perjuangan Glass untuk hidup bersama Hawk makin renyah dengan kemunculan tokoh John Fitzgerald yang diperankan Tom
Judul Film: The Revenant Sutradara: Alejandro G. Iùårritu Skenario: Mark L. Smith, Alejandro G. Iùårritu Pemain: Leonardo DiCaprio, Tom Hardy, Domhnall Gleeson Produksi: 20th Century Fox Tayang: 8 Januari 2016 Hardy. Sosok licik dan gila uang asal Negara colonial ini kerap menghina Glass dan Hawk. Sebagaimana watak bangsa kolonial yang pernah ada di berbagai belahan dunia, ia menganggap penduduk pribumi wilayah jajahan tak lebih dari seekor binatang. Bila ia berkeinginan untuk membunuh, tak perlu pikir dua kali untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, Fitzgerald dengan mudah membunuh Hawk dan mengubur Glass hiduphidup hanya karena alasan sepele. Sejak kejadian tersebut, alur film terus maju dengan bergesernya orientasi hidup tokoh utama. Hugh Glass tidak lagi hanya ingin bertahan hidup tapi juga sudah bertekad bulat untuk membalas dendam. Membunuh Fitzgerald untuk membayar kematian anak kesayanangannya. Urusan akting, DiCaprio memang juaranya. Ia benar-benar total menampilkan amarah membara seorang lelaki dewasa yang kehilangan istri dan anaknya. Aktor yang lahir 41 tahun silam ini memperlihatkannya dengan aksi berguling di hamparan salju, berenang di air sungai yang hampir beku, makan hati seekor bison dan ikan mentah, hingga tidur di dalam bangkai kuda. Balutan konteks penderitaan masyarakat akibat kolonialis memenjadi suplemen yang cukup menambah kesan dramatis pada film ini. Alejandro Gonzales Innaritu me-
nampilkan dengan detil bagaimana Prancis melakukan kejahatan kemanusiaan kepada pribumi Amerika. Mereka merampas harta, membunuh masyarakat, juga memperkosa perempuan-perempuan Indian. Sayangnya, film ini hanya berfokus mengurai perjuangan Glass bertahan hidup di pedalaman Amerika yang dingin dan penuh ancaman binatang buas. Alejandro Gonzales Innaritu Nampak ingin memberikan pengalaman visual yang mendetil mengenai Amerika kepada penonton. Namun, beberapa potongan cerita yang mampu membuat alur film lebih jelas agak diabaikan. Misalnya, kisah mengapa Hugh Glass yang notabene orang Inggris bias menikah dengan perempuan Indian. Bagaimana ia sebagai warga asing mampu diterima dan hidup bersama dengan pribumi yang sejatinya amat membenci para pendatang. Penjelasan-penjelasan tersebut tak mampu didapat penonton dari The Revenant, penonton harus membaca novel rujukan film ini, The Revenant: A Novel Revenge karya Michael Punke untuk mengetahui jalan cerita secara detil. Meski demikian, The Revenant mampu buktikan kualitasnya. Film ini sukses meraih penghargaan Golden Globe 2016 untuk tiga kategori sekaligus, yaitu film terbaik, aktor drama terbaik untuk Leonardo DiCaprio, serta sutradara terbaik tentu saja kepada Alejandro Gonzales Innaritu. Sejumlah kritikus pun memprediksi, The Revenant bakal memboyong lebih banyak penghargaan di gelaran Piala Oscar pada Februari 2016
.
Didaktika 59
Ruang Sastra
Si Kem
Oleh Rahmi Fitria*
“
Bencong!” “Ahaha.”Hampir semua siswa tertawa, sisanya tersenyum. Lelaki mungil itu menanggapinya dengan tawa dan memukul pelan anak lelaki dan anak perempuan yang menggodanya. “Sialan loh!”Hanya itu yang keluar dari bibir kecilnya. Namanya Anjas. Ia murid kelas empat di sekolah Harapan. Jarinya lentik dan tubuhnya agak gemulai. Suaranya pelan dan agak manja. Itulah yang menyebabkan iya sering digoda oleh yang lain. Bencong. Aku sering mendengar kata itu terlontar dari mulut teman-temanku untuknya. Kata yang sebenarnya tak enak ditelinga. Parahnya, baru sekarang aku sadari. Sembilan tahun setelahnya. Pada kala itu, aku masih menggunakan rok merah dan masih menjadi bagian yang lainnya. Bagi kami, hal itu merupakan lelucon biasa. Namun, aku tidak tahu.Satu kata itu bisa mempengaruhi hidupnya. Si lelaki kemayu. Terkadang aku merasa bersalah padanya. Mengapa dulu tak kuterima saja ia. Biar tak suka, yang penting bisa menyelamatkan satu muka. Bukan karena pura-pura baik, melainkan untuk bisa, setidaknya, membuat lelaki itu tak merasa sendirian apalagi kesepian. Ditambah, rasa suka bisa muncul kapan saja. Akan tetapi, dahulu aku masih kecil. Tidak suka cinta, sukanya olahraga. Aku belum bisa berpikir sejauh itu.Nyatanya, yang kulakukan saat itu adalah sebaliknya. Ketika Anjas mengambil bukuku dan melemparnya keluar, aku hanya berkata, “bencong, sini bukunya!” Lalu ia terdiam dan mengembalikannya tanpa tawa. Aku salah menanggapi cara ia berkelakar. Seminggu kemudian, aku baru tahu dari temanku jika ia menyukaiku. Oleh sebab itu, lelaki itu terus mencari perhatianku. Aku benar-benar tak tahu. “Dia suka kamu,” ujar Bella. “Siapa?” aku bertanya. “Si bencong,” jawabnya. “Mengapa bencong? Jahat sekali.” “Ya habisnya laki-laki yang menyerupai perempuan itu disebutnya apa?” “Tidak tahu.” *** Waktu berjalan, rok yang kukenakan telah berubah warna menjadi abu-abu. Aku sudah menjadi siswi Sekolah Menengah Atas. Kala itu,aku mulai belajar hal-hal baru. Membaca buku lalu menulis dan juga mencoba-coba meretas akun sosial media seseorang. Tanpa sengaja, wajah lelaki kemayu itu terlintas di pikiranku. Aku coba mencari akun facebooknya. Di halaman informasi, ia mencantumkan alamat surelnya. Aku tersenyum. Untuk pemula, memang masih membutuhkan alamat email jika ingin meretas se-
buah akun. Aku mulai mencoba. Berhasil. Lalu setelah melihat isinya aku menyesal. Aku mencoba bertanya kepada Rei, kakak laki-lakiku tentang apa yang baru saja kulihat. “Kak?” tanyaku. “Ya,” jawabnya. “Wajarkah jika seorang lelaki bermesraan dengan laki-laki meski hanya dalam sebuah tulisan?” Jidatnya mengerenyit. Ia tersenyum simpul dan berkata, “kau bisa menilainya sendiri.” *** Dua minggu setelah aku melihat privasi si lelaki kemayu, aku melihat ada undangan reuni SD Harapan di menu pemberitahuan facebookku. Sebulan setelahnya, kami bertemu. Saling berbagi kisah, saling berbagi pengalaman selama tak berjumpa. “Lama tak berjumpa”, “Apa kabar?”, “Apa yang kau lakukan sekarang?”, “Kekasihmu masih yang dulu?” adalah kalimat yang paling banyak diucapkan saat itu. Kujawab dengan semangatseakan-akan aku tertarik meskipun sebenarnya tidak. Hanya satu orang yang membuatku penasaran saat ini. Namun, ia yang kutunggu tak kunjung datang. Aku terdiam. Setengah jam menunggu, akhirnya aku melihatnya. Lelaki kemayuku datang. Tapi yang kulihat adalah pria yang berbeda. Ia sudah berubah menjadi lelaki yang mungkin diidamkan. Postur tubuhnya tegap dan suaranya berat. Apa yang ia tampilkan adalah sosok yang kuat. Semuanya tercengang. “Kau berbeda sekali sekarang,” ujar Egi, salah satu dari kami. “Iya, aku tidak mau terjebak masa lalu” jawabnya sambil tertawa. “Berarti, sekarang kau sudah menyukai wanita?” Egi bertanya. “Sejak dulu aku juga sudah suka. Hanya saja kalian tidak percaya,” jawabnya tetap diiringi tawa. Semuanya tertawa. Sekarang laki-laki itu menunjukan kepercayaan diri yang amat kuat. Berbeda dengan yang kulihat tujuh tahun yang lalu. Bentuk tubuhnya, aksesoris mahal yang melekat pada dirinya, kecerdasannya dalam berkomunikasi membuat teman-teman terkesan. Akan tetapi, tiap kali yang lain berdecak kagum tentang kisah dirinya yang sekarang, yang kudengar dan menggema di kepalaku adalah suara-suara halus teks percakapan yang pernah ku lihat. Di akun miliknya. Dasar. Perempuan lancang. Aku bertanya-tanya. Apakah hanya aku yang mengetahui banyak tentang dirinya? Apakah benar apa yang kulihat? Apakah itu serius? Apa dia hanya berseloroh saja? Lalu, bagaimana bisa? Apakah itu karena diriku dulu yang menolaknya dan sempat kasar
Didaktika 60
Muhamad
mayu
d Ridwan
terhadapnya? Apa karena teman-teman lain yang dengan ringannya mengucapkan kata ‘bencong’ untuk mendeskripsikan bagaimana ia? *** Aku ingin tahu. Oleh karena itu aku mendekatinya. Mencoba menjalin kembali hubungan yang sempat renggang. Siapa sangka, ia tetap menerimaku dengan hati terbuka. “Kau makin lama makin tampan,” ujarku. “Oh ya?” tanyanya tak percaya. Lalu kami tertawa. Melanjutkan pembicaraan-pembicaraan lain yang juga mengundang tawa. Kami menjadi semakin dekat. Sering membahas dan saling bertanya mengenai apapun, mulai dari hal yang penting hingga hal-hal yang sama sekali tidak penting. Kami mengunjungi museum, tempat wisata, tempat hiburan, bahkan mencari refrensi universitas yang sama. Dia ingin, jika bisa, kami masuk di universitas yang sama. Alasannya agar tetap bisa melewati hari bersama. Dia memperlakukanku dengan baik dan menghujaniku dengan kata-kata yang indah. Aku percaya padanya. Satu tahun telah bersama. Meskipun ternyata kita di universitas yang berbeda, aku tetap merasa bahagia. Ia selalu sibuk bersama ku. Namun, di suatu malam saat kami bertemu, ia tak acuh terhadapku. Asik dengan telepon genggamnya. “Siapa?” tanyaku. “Teman,” jawabnya. Tak tahu mengapa rasa penasaranku timbul untuk tahu dengan siapa ia berhubungan. Sesampainya di rumah, aku iseng membuka lagi akun miliknya dengan cara yang sama. Lancang. Lagi-lagi aku menyesal karena mendapatkan informasi yang tak mau kuketahui. “Kau sedang apa?” “Jalan-jalan dengan pacarku.” “Perempuan?” “Iya, perempuan.” “Kau sudah menyukai perempuan?” “Sejak dahulu. Namun tidak ada yang percaya.” “Haha. Kasihan. Aku juga kasihan.” “Kenapa?” “Pria yang kusuka sedang bersenang-senang dengan seorang perempuan.” … Hubungannya dengan dunia luarnya masih berjalan bahkan
lebih intim dibandingkan dengan yang kuliah setahun yang lalu. Ditambah, percakapan itu terjalin bukan hanya dengan satu orang. Aku tidak ingin bertanya. Lebih tepatnya, tidak bertanya karena takut menyakitinya. Aku mencoba mencari informasi di internet. Sebuah artikel cukup menjawab pertanyaanku. Salah satu faktornya adalah hubungan yang buruk dengan perempuan dan laki-laki dimasa kecil. Sesuai dengan apa yang terjadi. Entah, aku merasa jika aku tak bisa menyimpan masalahini sendiri. Orang lain. Mana yang lain? Aku butuh seseorang untuk berbagi. Akhirnya kuputuskan untuk menceritakannya ke salah satu teman SMA ku. Felisa. Teman sebangkuku yang selalu memberiku sontekan Bahasa Inggris. Aku pikir ia cukup cerdas dan terbuka untuk memahami hal ini, oleh sebab itu memutuskan untuk berbicara padanya. Bertemulah kita di kedai itu. Tiga hari setelah aku membuka akun milik Anjas tanpa sepengetahuannya. “Hai, apa kabar? Long time no see.” “Iya, Fel. Kangen. Baik, alhamdulillah. Sendirinya?” “Baik juga, alhamdulillah. Omong-omong, ada apa?” Aku menceritakan kepadanya apa yang terjadi dari pertama hingga yang terjadi baru-baru ini. Ia menatapku tajam. Mendengarkan tiap kata yang ku ucapkan. Menghela napas sesekali. Lalu tersenyum. Ia berkata jika hal seperti itu selalu ada dalam tiap lingkungan. Dia menjelaskan tentang faktor-faktor yang mendasarinya, pergulatan yang dialami pelakunya, dan orang-orang yang rentan menjadi seperti itu, dengan lancar. Apa yang ia katakan sama dengan apa yang pernah ku pikirkan. Kami terdiam sejenak hingga akhirnya Felisa membuka pembicaraan. “Kau anti dengan hal itu?” “Tidak, hanya saja aku tidak menyangka bahwa itu terjadi pada teman dekatku” “Benarkah?” “Iya.” “Kaisa,” “Ya, Fel?” “Tidak jadi..” “Fel, tidak usah berbicara sekalian jika tujuannya hanya untuk membuat penasaran orang lain.” Ia tertawa dan menghela napas lalu berkata, “Sebenarnya aku sama seperti kekasihmu,” ia menjawab dengan nada datar. Aku terdiam. Menatapnya yang menatapku tajam. Tetap diam karena aku memang tidak punya kata-kata lagi untuk dikatakan. *Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa Prancis 2011
Didaktika 61
KONTEMPLASI
Senjakala Persatuan Indonesia Oleh Virdika Rizky Utama
S
Kita tidak bertujuan bernegara satu windu saja, kita bernegara seribu windu lamanya. Bernegara untuk selama-lamanya -Soekarno
ejak Indonesia digagas untuk merdeka oleh para pendiri Kini setelah 70 tahun Indonesia, persatuan yang dulu dijadikan alat bangsa, Indonesia ditujukan bagi seluruh rakyat yang untuk bersatu mulai memudar. Di beberapa daerah, bermunculan gerhidup di dalamnya. Bangsa dan negara Indonesia didi- akan disintegrasi. Mereka ingin memisahkan diri dari Indonesia dan rikan tidak hanya mementingkan kelompok tertentu, membentuk negara sendiri. Penyebabnya, tak lain adalah kesenjangan agama terntu maupun ras tertentu. Menurut Soekarno ekonomi dan tidak meratanya pembangunan di daerah. Ini tentu dadalam buku Di Bawah Bendera revolusi, Bangsa dan Negara Indo- pat dipahami, di berbagai daerah yang memiliki Sumber Daya Alam nesia bisa disebabkan adanya Le desir d’etre ensemble. Adanya kehendak (SDA) melimpah, justru tidak pernah dapat merasakan hasil kekayaan bersatu dari rakyat untuk bersatu melawan penjajah dan karena adanya alamnya sendiri. ikatan dengan tanah air. Orang-orang perlu merasa diri bersatu dan Hampir di seluruh daerah yang memiliki SDA melimpah, kekayaan mau bersatu. Bangsa adalah satu jiwa, une nation est un grand soli- alam bukan anugerah melainkan petaka. Di Papua, Freeport telah darite, satu bangsa adalah satu solidariteit (kesetiakawan) yang besar, mengambil tembaga, emas, dan uranium yang ada di tanah Papua. begitu menurut Soekarno. Celakanya, rakyat Papua tidak pernah meraProses penyatuan ini tentu saja tidak lepas sakan hasil penambangan emas tersebut. dari konteks zaman saat itu. Kehendak menjadi Tak hanya itu, negara yang semestinya bangsa yang satu, disebabkan adanya musuh melindungi rakyat malah bersekutu dengan bersama yakni kolonialisme. Dengan adanya korporasi asing bernama Freeport. Negara musuh bersama, ada semangat kolektif yang melalui militer membantu mengamankan tumbuh untuk melawan kolonialisme. Meskikerja-kerja Freeport dan menggusur tanah pun sebenarnya rasa persatuan tersebut bukan adat di Papua. Pun demikian di daerah lainnhanya hadir karena adanya ciri-ciri alamiah yang ya. Pemerintahan dan sistem ekonomi liberal melekat dan given pada suatu komunitas, melyang dianut oleh pemerintah saat ini, jelasainkan suatu konstruksi sosial. Menurut Ben jelas tidak berpihak kepada rakyat dan meniAnderson dalam buku Imagine Communities, perhilkan poin demokrasi ekonomi. 70 Tahun satuan sebuah bangsa merupakan sesuatu yang Indonesia, belum berdaulat atas kekayaan Ilustrasi Agung Rizki (Uban) diimajinasikan, dibentuk, diciptakan oleh para alamnya sendiri. anggotanya sendiri sebagai gejala kultural modernitas dari print capiTak heran jika Sosiolog, Tamrin Amal Tomagola menyebut Indotalism. nesia sebagai Republik Kapling. Seluruh tanah, air, dan udara IndoTetapi, setidaknya Soekarno dan pendiri bangsa lainnya berhasil nesia sudah dikuasai oleh negara-negara asing. Indonesia tidak bermemainkan perannya sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Soekarno daulat lagi atas kekayaan alamnya. Padahal, para pendiri bangsa sudah berhasil menggelorakan roh merdeka dalam proses perjuangannya mengatur agar kekayaan alam Indonesia yang menyangkut hajat hidup memersatukan Indonesia. Soekarno dan para pendiri bangsa meyakini orang banyak, dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Konbahwa pada suatu perjuangan sangat dibutuhkan landasan yang kukuh stitusi hanya sekadar menjadi cita-cita tanpa ada upaya untuk mewubagi setiap usaha dan perbuatan dalam mencapai Indonesia merdeka. judkannya. Landasan tersebut adalah Roh Merdeka dan Semangat Merdeka. Persatuan Indonesia sebagai negara dan bangsa, tidak hanya terRoh dan semangat tersebut harus dihidupkan dan digelorakan di ancam dari gerakan disintegrasi, tetapi juga gejala sektarian. Gejala dalam hati seluruh rakyat untuk keberhasilan perjuangan mencapai sektarian ini tentu saja membuat rakyat Indonesia terkotak-kotak. sebuah kemerdekaan yang berlandaskan kebangsaan Indonesia. “Se- Contohnya, banyak kelompok dari kalangan agama mayoritas menglama roh dan semangat yang berada di dalam hati sanubari kita masih inginkan Indonesia menjadi negara Islam. Hasil ini tentu saja membamati, selama roh itu masih roh perbudakan, maka selama itu pula akan hayakan kelompok minoritas yang berada di Indonesia. sia-sia perbuatan dan usaha kita,� ucap Soekarno. Jika ini terjadi, maka mereka sudah pasti merasa terancam dan tidak Roh dan semangat merdeka itu kemudian yang didengungkan kepa- dapat lagi memiliki Indonesia. Dan, negara melakukan pembiaran da seluruh rakyat Indonesia sebagai alat perjuangan. Ketika rakyat su- terhadap kelompok-kelompok tersebut. Padahal, negara dan bangsa dah memiliki semangat dan roh merdeka, itu menjadi alat perjuangan Indonesia seperti dijelaskan sebelumnya terlahir dari adanya kehendak rakyat. Kemudian, rakyat mempunyai perasaan senasib dan sepenang- untuk bersatu. Roh dan semangat merdeka sebagai sebuah bangsa gungan, meski mereka tidak pernah bertemu langsung dan mengalami dan negara Indonesia untuk bersatu kini hilang. Kepentingan pribadi penderitaan yang sama. Para pendiri bangsa dan rakyat Indonesia dan golongan kini lebih diutamakan dalam kehidupan berbangsa dan menyampingkan semua kepentingannya untuk sebuah persatuan. bernegara. Dengan modal persatuan ini, rakyat Indonesia berhasil memerdekaJika, gejala-gejala yang memicu gerakan disintegrasi bangsa dan kan diri dan dengan tegas menyatakan sebagai sebuah negara bangsa negara Indonesia terus terjadi. Maka, bukan tidak mungkin Indoneyang merdeka dan sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. sia sebagai sebuah bangsa dan negara akan kembali menghilang dari Kemudian, setelah Indonesia merdeka, timbul pemikiran untuk dunia seperti pada zaman kolonial Belanda. Terlebih sistem perekomengatur perekonomiannya sendiri. Perekonomian yang adil dan nomian yang Indonesia jalankan masih sama seperti zaman kolonial bukan lagi seperti zaman penjajahan. Perekonomian Indonesia ber- yakni kapitalisme dan liberalisme. landaskan semangat anti-kapitalisme, penguatan peran negara, dan Dengan sistem tersebut, di Indonesia masih terdapat eksploitasi penegakan kedaulatan ekonomi. Soekarno ingin adanya demokrasi dan penindasan yang dilakukan oleh negara bersama korporasi asing ekonomi di Indonesia dengan adanya partisipasi rakyat dalam setiap terhadap rakyat Indonesia. Tidak berdaulat secara ekonomi dan banekonomi. Sistem perekonomian ini dibentuk untuk kesejahteraan se- yaknya kalangan yang ingin lepas dari Indonesia, maka dapat dikaluruh rakyat Indonesia dan agar tidak ada lagi Exploitation de l’homme takan bahwa Indonesia sedang mengalami fase senjakala persatuan. par l’homme dan exploitation de nation par nation. Dengan demikian, setelah 70 tahun Indonesia merdeka, Indonesia *** masih dalam suasana vivere pericoloso
.
Didaktika 62
Didaktika 63
Ilustrasi Muhammad Ridwan
Didaktika 64