Edisi I
WARTA MPA
DITERBITKAN OLEH LEMBAGA PERS MAHASISWA DIDAKTIKA
BIAYA MAHAL BERNAMA UKT
Warta MPA 2014 Edisi I
1
Dari Redaksi
J
ika Agustus sudah datang, itu berarti sibuk juga sudah tidak malu-malu menghampir. Bukan, bukan pada kami, melainkan pada Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang sedang dalam periode penerimaan mahasiswa baru. Bagaimana tidak, kampus mesti mengelola ribuan lulusan sekolah menengah atas dengan tumpukan administrasi dan uang masuk yang siap mereka setorkan. Selain kampus dalam artian para birokratnya, ada juga beberapa pihak lain yang tidak kalah sibuk. Siapa lagi kalau bukan jajaran badan eksekutif dan organisasiorganisasi sejenis yang
punya tanggung jawab tahunan menyelenggarakan agenda penyambutan mahasiswa baru. Selanjutnya kita akan mengenal dengan nama Masa Pengenalan Akademik (MPA). Sudah jauh-jauh hari agenda tersebut disiapkan. Semoga berlangsung maksimal, sebagaimana diusahakan. Namun, pernahkah para pembaca sekalian meluangkan waktu untuk merenung sejenak, mengapa kegiatan penyambutan mahasiswa baru mesti dilaksanakan? Apa urgensinya? Sampai sejauh manakah signifikansinya terhadap sederet tujuantujuan akademis? Bagaimana keterkaitannya dengan kehidupan mahasiswa? Melalui buletin ini, kami ingin mengajak pembaca meluangkan waktu, merenungkan
beberapa pertanyaan tersebut. Setelah sibuk dengan berbagai bentuk perayaan atas kelulusannya di perguruan tinggi negeri, setelah repot mengerjakan banyak tugas yang diberikan panitia penyambutan mahasiswa baru, ada baiknya kita merelaksasi otot, tapi tetap menggenjot kerja otak. Akhir kata, semoga buletin yang kami hadirkan dapat menjadi medium perkenalan sebagai sesama mahasiswa yang ingin menjadi manusia secara utuh. Kami akan sangat senang bila pembaca sekalian mau membagi ide, tanggapan, saran dan kritik untuk membuat produk kami tetap layak dibaca. Selamat datang, mari menjadi manusia!
Daftar Isi
Susunan Redaksi Pemimpin Redaksi: Kurnia Yunita R. Sekertaris Redaksi: Ahmad Zulfiyan Reporter: Tsalis Sakinah, Ferika Lukmana Sari, Aditya Chandra Editor: Virdika Rizky Utama Desain Grafis: Harsaid Yogo Fotografer: Indra Gunawan Sirkulasi: Daniel Fajar dan Binar Murgati
Visual Arts Wacana I Wacana II Liputan Khusus Wacana III
3 4 8 14 18
Alamat Kantor Redaksi Sekretariat: Kampus A UNJ, Gedung G, Lantai 3, Ruang 304. Email: lpm.didaktikaunj@ yahoo.com, Telp/Hp: 02147865543/083894266589
2
Warta MPA 2014 Edisi I
Keterangan gambar: Mahasiswa UNJ sedang melaksanakan rangkaian kegiatan MPA
PUNYA BAKAT BERSELFIE?? TUNJUKAN BAKATMU DENGAN MENGIRIM FOTO SELFIE BERSAMA WARTA MPA KE @LPMDIDAKTIKA, DENGAN HASHTAG #BacaDidaktika ADA HADIAH MENARIK MENANTI!!!
Warta MPA 2014 Edisi I
3
Wacana I
Cliff, Ki Hajar Dewantara dan Ospek Oleh: Kurnia Yunita Rahayu
4
Warta MPA 2014 Edisi I
Ospek
C
liff Muntu, seorang praja (sebutan untuk mahasiswa di institut yang memiliki ikatan dinas dengan pemerintah) tingkat II Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) masih berumur 19 tahun saat kehilangan nyawanya pada 2007. Ia meninggal ketika masih menunaikan tugas belajar di institut milik negara tersebut. Kepada khalayak, pihak IPDN mengumumkan kematian mahasiswa di dalam kampus ini bukan disebabkan kecelakaan atau hal lain, melainkan Cliff, sapaan akrabnya, sudah lama menderita penyakit liver. Namun, diam-diam perawat Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung yang sempat membaca hasil otopsi mayat Cliff mengungkap hal lain. Ia menyebutkan, terdapat bekas-bekas penganiayaan dalam hasil otopsi praja muda tersebut. Seperti jantung yang menghitam, retak di dada dan ada bekas-bekas tinju yang masih tersisa di dada dan jantungnya. Dari bukti hasil otopsi, ketidakwajaran dalam kasus kematian Cliff mulai terendus. Apalagi beberapa saksi pembina dan petugas keamanan IPDN mengatakan, tengah malam sebelum praja asal Manado ini dibawa ke rumah sakit, ia menderita sejumlah luka pada bagian kepala dan memar di bagian tubuh lainnya. Akibatnya, semalaman ia terkapar di barak Kesatrian IPDN Desa Cibeusi, Jatinangor, Jawa Barat. Selain itu, Dosen IPDN Inu Kencana Syafii belakangan mengetahui ada rencana penyerangan yang akan dilaksanakan praja tingkat II kepada para seniornya. Inu menjelaskan, rencana ini muncul bukan tanpa alasan. Para praja tingkat II, ingin
membalas dendam atas penganiayaan yang mengakibatkan melayangnya nyawa kawan seangkatan mereka. Kasus kematian Cliff Muntu memang bukan pertama kali terjadi pada para praja. Pada 2003, Inu pernah mengungkap kasus praja Wahyu Hidayat yang tewas secara tidak wajar. Mereka dibunuh senior sesama praja lewat kegiatan perploncoan oleh senior kepada mereka yang baru saja bergabung di IPDN kemudian menjadi junior. Tradisi penyambutan mahasiswa baru di IPDN menampakkan gejala kekerasan bahkan berpuncak pada pembunuhan sering terjadi dalam sebuah institusi pendidikan. Sebagaimana nampak dari data yang dihimpun Inu Kencana Syafii, sepanjang tahun 2000 – 2004 terjadi 35 kasus penganiayaan berat yang menyebabkan delapan praja terkait kasus ini kemudian dikeluarkan. Di samping itu, tercatat 125 kasus narkoba dan lima praja dikeluarkan. Serta terdapat 9.000 kasus penganiayaan ringan, namun tidak satupun pihak terkait dengan hal tersebut dikeluarkan dari kampus. Pada institusi yang dikelola Kementerian Dalam Negeri ini, penggunaan cara kekerasan dalam momen penyambutan para praja baru tampak sudah membudaya. Terbukti, kasus penganiayaan yang berujung kematian tidak berhenti pada Cliff. Di tahun berikutnya, putra Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Rinra Sujiwa Syahrul Putra tewas akibat kekerasan yang dilakukan praja seniornya. Upaya pengungkapan kasus-kasus ini ke muka publik pun ternyata tidak menghentikan tindak kekerasan di da-
Warta MPA 2014 Edisi I
lam IPDN. Pada Januari 2013, Yonoly Untayana, tewas karena dianiaya saat mengikuti kegiatan Orientasi Lapangan di Kampus IPDN Desa Tampusu, Ramboken, Minahasa. Penganiayaan yang terjadi dalam momen penyambutan mahasiswa baru di IPDN hanya sebuah contoh dari maraknya kasus serupa terjadi di Indonesia. Dalam sebuah situs ensiklopedi disebutkan, Indonesia merupakan satusatunya negara yang melaksanakan model penyambutan anggota baru pada jenjang sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Semuanya menggunakan pola serupa: menghadirkan sistem paternalistik yang diiringi kekerasan dan harus mengenakan atribut-atribut yang di luar akal sehat. Padahal, dalam situs yang sama disuguhkan model-model penyambutan mahasiswa baru dari berbagai negara, mulai dari Asia, Australia, Eropa hingga Amerika. Di negara-negara Barat, kegiatan tersebut sudah dicitrakan menyenangkan sejak awal. Seperti penamaan kegiatan yang nampak bersahabat dengan WoW (Week of Welcome), Frosh, Freshmen, dsb. Para mahasiswa senior di negara Barat juga biasa menyambut juniornya hanya dengan kegiatan olahraga, outbond dan ‘minum’ bersama sebagai perayaan mereka yang sudah berusia di atas 18 tahun telah dilegalkan untuk mengonsumsi alkohol. Biar begitu, masih ditemukan pula beberapa kasus perploncoan. Namun, tidak dibarengi aksi kekerasan apalagi hingga menyebabkan korban tewas. Sebab, kegiatan tersebut ditujukan sebatas lelucon. Lantas, mengapa penyambutan mahasiswa baru di
5
Indonesia nampak dijalankan begitu serius, terstruktur dan sistematis? Pada dasarnya memang tidak ada hal yang bebas nilai, termasuk kegiatan yang di Indonesia populer dengan nama Orientasi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) ini. Secara historis, kita dapat melacak pelaksanaan OSPEK sudah dilaksanakan sejak masa Sekolah Dokter Jawa (STOVIA). Saat itu, para mahasiswa baru diharuskan untuk menjadi anak buah seniorsenior untuk membersihkan ruang kelas.
6
Pascakemerdekaan, OSPEK masih dilaksanakan. Paling tidak, dalam Catatan Seorang Demonstran sebuah otobiografi mahasiswa Indonesia Soe Hok Gie, kita mendapati kisah bagaimana Gie, sapaan akrabnya berkisah tentang keseruannya sebagai anggota Senat dalam menyambut mahasiswa baru. Ia biasa meminta mahasiswa baru untuk membawa coklat, untuk diserahkan kepada para senior. Namun, keseruan tersebut mulai bergeser pola dan maknanya setelah Indone-
sia ada di bawah rezim Orde Baru. Presiden Soeharto, punya keinginan mewujudkan stabilitas dalam seluruh lini kehidupan negara. Karenanya, diterapkan segala bentuk pendisiplinan ala militer (hanya ala-nya saja), termasuk dalam dunia pendidikan. Baik untuk visi dan misi, kegiatan belajar mengajar, hingga agenda penyambutan mahasiswa baru. Nampak pula bahwa Rezim Orde Baru senantiasa menjalankan cara-cara tersebut dalam atmosfer budaya feodal. Pada tingkatan selanjutnya, feodalisme yang erat dengan budaya Jawa ini diterapkan Soeharto seiring dengan upaya Jawanisasi terhadap seluruh kawasan Indonesia. Dalam budaya Jawa yang sarat dengan feodalisme, pelaksanaan pola paternalistik merupakan konsekuensi logisnya. Tanpa butuh penjelasan dan rasionalisasi, mereka yang ada di posisi bawah harus tunduk (bukan hormat!) pada ia yang di atas. Hal ini terepresentasi oleh semboyan OSPEK yang lestari hingga kini, “Pasal 1: senior selalu benar; Pasal 2: apabila senior salah, silakan kembali pada pasal sebelumnya.� Pola di atas sangat strategis untuk dilakukan dalam rangka melanggengkan penjajahan yang dilakukan oleh segelintir pihak kepada pihak lainnya. Oleh karena itu, dibutuhkan pemeliharaan mental terjajah di dalam diri mereka yang berposisi di bawah. Hal ini penting untuk melanggengkan dominasi para senior atas juniornya, dalam hal ini di dalam institusi pendidikan. Sebagaimana dalam konteks Orde Baru, sudah banyak teori yang mengemukakan bagaimana Orde Baru selama 32 tahun berupaya merepresi kemerdekaan masyarakat demi langgengnya kekuasaan
Warta MPA 2014 Edisi I
Ospek Soeharto beserta kroninya. Kemudian hal serupa dipertahankan, hingga saat ini. Hapuskan Ganjaran, Lupakan Hukuman! Persoalan penjajahan memang bukan hanya soal bagaimana berpuluh bahkan beratus tahun Belanda mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia Indonesia. Sebab, di dunia pendidikan lewat kegiatan OSPEK kita pun bisa mengendus bau-bau praktik penjajahan. Oleh karena itu, sudah sejak jauh-jauh hari pakar pendidikan asal Yogyakarta, Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa pendidikan mestinya dapat memerdekakan tiap pesertanya secara utuh. Sebab, kemerdekaan adalah hak asasi dari setiap manusia yang berbudaya. Kemerdekaan menurut Ki Hajar Dewantara memiliki dua sifat dalam dirinya yakni ‘bebas’, lepas dari paksaan atau perintah orang lain. Selanjutnya, yaitu ‘mandiri’, dapat berdiri sendiri. Berdiri sendiri dalam urusan kemerdekaan ini mesti dimaknai sebagai kekuatan untuk berdiri serta pula bertindak untuk mengurus diri sendiri. Namun, bukan berarti kita dapat hidup seenaknya melainkan harus dimaknai mengurusnya dengan beres: yaitu dapat mewujudkan tertib dan damai di dalam hidup dan penghidupannya. Ki Hajar Dewantara, dalam buku Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan berulang kali menekankan, pendidikan merdeka itu menolak perkataan perintah dan paksaan. Baginya, perintah itu mesti ditolak agar peserta didik sepenuhnya lepas dari watak instruktif. “Jangan sampai anak hanya biasa bertenaga karena perintah saja, tetapi hendaknya
ia bertenaga karena merasa wajib bertenaga,” tulis Dewantara. Sayangnya, dua hal tersebut justru yang identik dalam OSPEK. Tentu bukan pemandangan asing bagi kita bagaimana saat senior memberi perintah-perintah yang harus dilaksanakan meskipun tak pernah ada rasionalisasinya. Selanjutnya, bila ada kesalahan, hukuman-hukuman dijatuhkan dengan kekerasan. Mulai dari kekerasan verbal hingga fisik. Mulai dari makian hingga pukulan tinju yang mendarat di bagian tubuh junior. Ki Hajar Dewantara memang menekankan bahwa ganjaran dan hukuman dalam ilmu pendidikan merupakan sebuah syarat untuk mengertikan pada anak, bahwa ada resiko yang ditanggungkan kepada tiap orang atas perbuatannya. Barangsiapa bersalah, tentulah akan mendapat hukuman. Dengan cara itu pula, akan muncul rasa keadilan di dalam diri manusia. Namun, ada beberapa syarat yang mutlak harus dipenuhi dalam rangka pemberian hukuman. Pertama, mesti selaras dengan hukumannya. Ki Hajar Dewantara mencontohkan, bila ada anak yang telat mengikuti kegiatan belajar berikanlah ia tambahan jam pelajaran sesuai dengan durasi keterlambatannya saat teman-temannya sudah selesai belajar. Bukan dengan hukuman menyuruhnya menuliskan dirinya terlambat belajar sebanyak puluhan kali di atas kertas. Karena hukuman seperti itulah yang bersifat siksaan, pembalasan dengan kekejaman. Apalagi dengan melakukan kontak fisik yang menyiksa seperti pukulan, tendangan dsb. Kedua, hukuman harus dilakukan dengan adil. Tidak
Warta MPA 2014 Edisi I
pandang siapa dan apa kesalahannya. Ketiga, hukuman harus lekas dijatuhkan. Signifikansi poin ketiga ini adalah untuk membuat anak mengerti akan kesalahannya, sebab bila ditunda penyesalan sudah hilang. Apabila tetap saja dilakukan, anak pun akan menganggapnya sebagai ‘permainan’. Sayangnya, selama 32 tahun bahkan berlanjut hingga saat ini, pemerintah berhasil mereduksi Ki Hajar Dewantara menjadi hanya dua hal: Bapak Pendidikan Nasional dan Tut Wuri Handayani. Masyarakat Indonesia tidak pernah dikenalkan dengan pemikiran-pemikirannya dalam kurikulum sekolah, bahkan buku-buku karyanya jarang tersedia di perpustakaanperpustakaan. Sebagaimana di awal sudah saya sebutkan, tidak ada hal yang dilakukan secara bebas nilai, termasuk tindak-tanduk pemerintah dalam menyusun agenda pendidikan. Seandainya saja Cliff Muntu dan kawan-kawan seangkatannya curi-curi pergi ke perpustakaan lalu mendapati buku Ki Hajar Dewantara, saya yakin mereka akan beramai-ramai menolak pelaksanaan OSPEK. Sebab, kegiatan yang dilaksanakan di dunia pendidikan mestilah bersifat memerdekakan dan bersih dari tindak kekerasan. Tabik!
7
Wacana II
Membaca dan Menulis Jembatan untuk Menjadi Intelektual Organik Oleh: Virdika Rizky Utama
M
enjadi mahasiswa tentu tidak bisa lepas dari lingkungan ilmiah. Hal Itu disebabkan, mereka memang berada dalam ruang lingkup keilmuan. Pada posisi tersebut, mahasiswa dituntut untuk lebih sering membaca mau pun menghasilkan sebuah karya tulis seperti menulis laporan praktikum, penelitian, karya ilmiah dan skripsi. Sayangnya, hingga saat ini kemampuan menulis ilmiah oleh mahasiswa masih tergolong rendah. Hal itu Berdasarkan data Indonesian Scientific Journal Database, yakni terdata sekitar 13.047 jurnal di Indonesia yang berkategori ilmiah, sangat tertinggal jauh dari Malaysia 55.211 dan Thailand 58.931. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya kemampuan menulis mahasiswa terutama dalam menulis karya ilmiah. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya minat membaca mahasiswa Indonesia. Membaca dan menulis tentu tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Mustahil seseorang bisa
8
menulis kalau yang bersangkutan tidak suka membaca karena kedua kegiatan tersebut saling beriringan. Dimaksudkan dengan membaca, mahasiswa dapat menambah wawasan pengetahuan dan juga untuk menambah referensi untuk menulis karya ilmiah yang dikerjakannya. Padahal membaca buku atau literatur adalah sumber referensi yang sangat penting bagi mahasiswa. Sayangnya, minat baca mahasiswa saat ini terlihat sangat minim. Perkembangan teknologi informasi membuat mahasiswa lebih sering mencari informasi dari internet dibanding buku. Rendahnya minat baca mahasiswa dapat dilihat dari jumlah kunjungan yang ada di setiap perpustakaan kampus. Perpustakaan biasanya akan terlihat sangat ramai menjelang ujian karena banyak mahasiswa yang mencari buku untuk sumber referensi tugas mereka. Sebaliknya, pada hari-hari biasa perpustakaan akan cenderung sepi pengunjung. Biasanya yang banyak terlihat hanya maha-
siswa yang sedang mengerjakan skripsi. Jika kita kembali melihat sejarah. Tentu kita tahu, Soekarno, Hatta, Syahrir dkk, terlahir sebagai mahasiswa yang tidak puas jika hanya berdiam diri. Mereka lalu Keluar dari zona nyaman dengan menciptakan gerakan perlawanan. Tanah airnya tak memberikan imbalan apa-apa selain buku dan pena. Mereka hanya bermodal buku. Dari setiap aksara yang ada di dalam bukunya lalu memunculkan ide. Idealisme seorang mahasiswa tumbuh dari gagasan dan kemudian dituliskannya kembali sebagai tradisi intelektual. Keintelektualan itu tak hanya singgah gagah di dalam otaknya. Mereka meneruskannya dengan tanggung jawab. Sebab, seorang intelektual adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa bebas disegala arus-arus masyarakat yag kacau (Soe Hok Gie, 1983 : 78) Status intelektual pada hakikatnya tidak mudah di-
Warta MPA 2014 Edisi I
Baca dan Tulis
emban. Ada syarat-syarat tertentu yang mengekslusi kaum intelektual. Syarat itu adalah setia pada buku. Intelektual merupakan sosok yang tak pernah selesai dengan sekali tahu. Ia akan terus merasa haus selagi status intelektualnya berlaku. Buku hanyalah oase di tengah kehausan. Barangkali kita tak perlu berlebih-lebih, kobaran api revolusi selalu tersulut dari gesekan-gesekan sejumlah ide yang memanas di otak kepala. Ide itu tumpah rak buku. Saya jadi teringat Banda Neira. Di pulau itu, ada cerita keintelektualan Hatta. Pagi itu, 1 Februari 1942, Hatta mengemasi buku-bukunya ada 16 kotak. Ia berniat membawa “istri setianya” itu dari tempat pengasingan. Sayangnya, ini yang sangat disesalkan Hatta, pesawat MLD-Catalina tidak muat. Hatta kesal. Terpaksa ia mengembalikan 16 kotak buku ke tempat semula. Ia tak membawa buku (Sutan Syahrir, 1990: 189). Namun, syarat keintelektualan sudah tumbuh dalam dirinya. Ruh buku telah menyatu dalam kepalanya. Pada suatu hari, ia mem-
persembahkan buku karyanya sendiri (Alam Pikiran Yunani) sebagai mas kawin pernikahan dengan istrinya. Tugas keintelektualan Hatta berhasil. Ia sanggup menyumbang gagasan untuk anak bangsa melalui buku. Hari ini, jauh setelah generasi Soekarno, Hatta dan Syarir tiada, narasi kebukuan mencipta tanda-tanda menuju kebekuan. Buku terpajang, sesekali dipandang—agar tugas-tugas harian dari dosen segera terjelang. Tak pernah timbul semangat untuk membaca buku. Apalagi berlama-lama sampai mata lelah. Jika pun ada, tak lebih dari sekedar terpaksa. Inilah kenyataan pahit yang tengah menjangkit. Betapa pun pahitnya, harus diakui, mahasiswa sekarang kelihatan “PD” unjuk gigi meski sebenarnya otaknya miskin isi. Mereka berdiskusi hanya dalam urusan memuluskan transaksi. Sindrom “K3” (kelas,kantin,kosan) tampaknya menjadi tren dewasa ini. Buku hanya menjadi pajangan untuk dipandang, bukan untuk dibaca apalagi dicerna. Mereka sibuk mengerjakan tugas hanya demi mendapat
Warta MPA 2014 Edisi I
nilai A. Setelah itu, selesai urusan. Ada juga mahasiswa yang bertahan menjaga tradisi ilmiah dengan gagah, tetapi jumlahnya tak seberapa. Kalau dihitung, akan jauh lebih banyak mahasiswa yang suka beli gadget dibanding buku. Cerita para pendiri bangsa, salah satunya Hatta, selalu mengingatkan kita pada ruang intelektual yang luas. Intelektual sejati, memang, tidak selesai dengan buku. Ia butuh menumpahkan beban pikirannya. Namun, perlu terus diingat tumpahan pikiran akan segera layu tanpa diabadikan dalam buku. Buku yang ditulis harus senantiasa diberi kesempatan untuk berdialog dengan manusia-manusia di zaman yang berbeda. Sebab dalam mata kuliah psikologi perkembangan dijelaskan bahwa seorang psikolog bernama Carl Gustav Jung berkata, buku menjadi semacam horizon arketipe (Bayang-bayang primordial dan mitologis) yang merangkum sejarah ide-ide purba hingga paling purna. Dari hal tersebut, manusia bisa belajar bagaimana arketipe-arketipe bertaut dan
9
menciptakan garis yang menghubungkan manusia satu dengan yang lainnya. Buku hanyalah tamsil bagi tempat arketipe yang tak terengkuh. Berkat arketipe itu, manusia bisa belajar tanpa diajari. Tiba-tiba mereka suka keindahan, kedamaian dan seterusnya. Padahal satu sama lain tidak pernah mengadakan kongres untuk memutuskan rumus tentang itu semua. Namun benar juga kata Takashi Shiraishi bahwa, setiap zaman punya semangatnya sendiri. Jika generasi terdahulu gila buku, kini gila baju dan HP baru. Tak mudah memang untuk menghakimi zaman. Tetapi kalau kita mau, sedikit saja membuka mata hati, di sana akan terdengar bisikan-bisikan kecemasan dan kesementaraan yang mencoba menarik-narik kita berdiri di tengah-tengah bundaran budaya instan. Lalu, kita diajak lupa pada makna keabadian. Benar saja. Di saat orang sudah tak kenal arti kesementaraan, buku-buku akan menjadi pajangan. Ia dibeli
10
tapi tak dibaca atau dibaca tapi tak tau apa maksudnya atau, dan ini yang lebih mengerikan, orang-orang hanya sibuk beli gadget dan baju daripada buku. Apa yang telah dikerjakan oleh Soekarno, Hatta, Syahrir dkk telah membuatnya menjadi seorang intelektual organik dari kegiatan membaca dan menulis. Intelektual organik merupakan gagasan Antonio Gramsci untuk menjadikan pengetahuan sebagai alat penggerak perubahan di masyarakat. Gramsci membedakan intelektual organik dengan intelektual tradisional, yang baginya hanya duduk di tempat (Nezar Patria, 1999 : 115). Intelektual organik tidak bisa menjadi alat penggerak perubahan. Intelektual ini lebih menekankan pada profesionalitasnya, misal sebagai dosen, insinyur atau pun profesor. Mahasiswa hari ini, dalam pandangan Gramsci, masih sebagai intelektual tradisional. Mahasiswa tidak lagi menjadi intelektual yang bisa mewujudkan perubahan di masyarakat. Kesibukankesibukan di dalam kampus. Bahkan, hedonisme yang memenjarakan mahasiswa sudah tidak asing lagi di sekitar kampus. Justru kampus menjadi kosong, tidak ada kegiatankegiatan yang berorientasi kepentingan perubahan di dalam diri mahasiswa. Mahasiswa duduk di tempat sebagai mahasiswa, bukan bagian dari masyarakat. Ironisnya, sangat jarang mahasiswa menyadari akan hal demikian. Jangankan untuk membangun negeri,
membangun dirinya sendiri mahasiswa belum bebas dan emansipatoris. Mahasiswa sudah terperangkap ke dalam jangkar kemunafikan sistem, sehingga pergolakan pemikiran menjadi stagnan dan tidak berkembang. Ada banyak cara mahasiswa membangun kesadaran kritis dan memiliki intelektual organik di dalam dirinya, misal dengan membaca. Hasil riset menyebutkan bahwa tingkat kesadaran membaca di Indonesia berkisar 21%. Budaya membaca di elemen mahasiswa saat ini sudah mengalami degradasi. Kemauan mahasiswa membaca lebih berorientasi pada nilai. Bukan untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan. Membaca tidak akan berdampak kolektif jika tidak ditumpangi dengan menulis. Mahasiswa dituntut menulis untuk merealisasikan keilmuannya di dalam masyarakat. Menulis juga menjadi lokomotif sebagai kritik terhadap kebijakan pemerintah. Sehingga, keberadaan mahasiswa secara substansial akan dirasakan oleh masyarakat. Dalam hal ini, mahasiswa tentunya mempunyai tanggung jawab yang besar membangun negeri yang bermartabat. Di tengah karut-marutnya kehidupan bangsa dan negara yang lebih disebabkan oleh birokrat yang serakah dan tamak, mahasiswa harus bangkit dan keluar dari koridornya sebagai mahasiswa (intelektual tradisional) yang duduk di tempat.
Warta MPA 2014 Edisi I
Wacana II
Biar Kenal, Saya pun Menyapa Oleh: Daniel Fajar Harianto
S
elamat datang mahasiswa baru! Jika tulisan ini memang berada di tangan kawan-kawan. Bagi yang bukan, jangan berkecil hati. Kesempatan terbuka lebar untuk siapa pun yang mau membaca. Karena memang untuk itulah tulisan ini dibuat. Sebelumnya, perkenankan saya berterima kasih kepada DIDAKTIKA yang memberi kesempatan untuk menyapa kawan semua. Melalui tulisan tentunya. Ya, tulisan. Medium yang menjembatani jarak ruang dan waktu. Sehingga ko-
munikasi secara luas bisa dilakukan, tanpa perlu bertatap muka. Setidaknya kesimpulan ini berangkat atas perkenalan saya dengan Arok, pendiri Kerajaan Singasari. Pramoedya Ananta Toer-lah yang memperkenalkannya melalui novel Arok Dedes (2005, Lentera Dipantara) yang ditulis pada 1999. Arok bukan keturunan raja. Seperti yang diceritakan Pram, ibunya, Ken Endok (Endok=telur), menandakan ketidakjelasan asal usulnya.
Warta MPA 2014 Edisi I
Tapi semasa kecil dia diasuh oleh keluarga dari golongan Sudra. Kemudian dititipkan pada Lohgawe, seorang Brahmana untuk belajar ilmu agama Hindu. Menjelang kelulusannya sebagai Brahmana, Arok mengumpulkan teman-temannya untuk melakukan kudeta terhadap penguasa Tumapel, Tunggul Ametung. Karena selama berkuasa Tunggul Ametung bertindak semenamena terhadap penduduk Tumapel, usaha Arok mendapat banyak dukungan. Bahkan dari gurunya sekalipun, yaitu Lohgawe. Rencana kudeta ini berhasil dengan terbunuhnya Tunggul Ametung di tangan panglimanya sendiri, Kebo Ijo. Kebo Ijo pun mendapat hukuman atas perbuatan tersebut. Sedangkan Arok, dalang di balik kudeta, dinobatkan menjadi penguasa Tumapel berkat jasanya menangkap pelaku pembunuhan. Memang, Pram menulis kisah tersebut dalam bentuk novel. Sangat mungkin jika kisah Arok Dedes sarat dengan unsur fiksi. Tapi sosok Arok sendiri tercatat dalam kitab Pararaton, kitab yang memuat silsilah raja-raja Singasari dan Majapahit. Teks-
11
teks semacam ini seringkali dibuat untuk mengukuhkan kekuasaan raja-raja. Para penulisnya adalah para sastrawan kerajaan, posisi yang hanya bisa diduduki oleh golongan tertentu pada masa itu. Golongan kasta yang didasarkan pada garis keturunan. Karena ikatan kasta itu juga, para sastrawan ini menitipkan kepentingannya melalui tulisan. Pengukuhan posisi raja yang berdampak pada mapannya posisi mereka sebagai sastrawan kerajaan, lengkap dengan fasilitas dan waktu luang bagi mereka menumpuk pengetahuan sebagai kaum terdidik di tengah
12
masyarakat. Sebagai penulis, Pram tidak terikat dengan hubungan itu. Dia lahir di zaman yang berbeda, yaitu pada 1925. Tujuh abad melewati kehidupan Arok dan dua puluh tahun lebih setelah Belanda memperlebar kesempatan penduduk jajahannya, Hindia Belanda, mengenal baca-tulis. Usaha ini dikenal dengan Politik Etis. Ini membuka kesempatan orang-orang seperti Pram, keturunan bangsawan yang biru darahnya tak lagi kentarakarena hubungan silsilah persaudaraan makin jauh dengan
raja-menikmati budaya baca dan tulis. Pram pun memilih menyertakan dirinya bersama orang-orang yang tertindas, baik di bawah kolonialisme maupun pemerintah Indonesia yang menyelewengkan kekuasaannya. Makanya, agar tidak hanya sekadar memperkenalkan silsilah raja, Pram menuliskan ulang kisah Arok dalam perspektif yang berbeda. Sebuah kisah yang diklaim olehnya sebagai kudeta pertama dalam sejarah politik Nusantara. Arok Dedes memperkenalkan warna selain hitam dan putih mengenai sejarah
Warta MPA 2014 Edisi I
Baca dan Tulis
bangsa. Bahwa bukan karena jabatannya, kebenaran otomatis melekat pada diri penguasa. Bahwa perubahan tidak melulu diantarkan melalui kebajikan pahlawan imajiner ciptaan Marvel seperti Captain America. Ada detaildetail rumit yang memengaruhi setiap tindakan manusia. Delapan tahun lalu, tepat pada tanggal 30 April, Pramoedya Ananta Toer menghembuskan nafas terakhir. Namun, hingga kini, melampaui makamnya, dia masih berbicara dan dibicarakan. Itu berkat pemikiran yang dituangkannya dalam tulisan. Budaya menulis memang telah mengiringi sejarah bangsa. Kebiasaan ini punya andil dalam membidani lahirnya Indonesia. Takashi Shiraishi mencatat fakta ini melalui bukunya, Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926 (terjemahan Hilmar Farid, 2005, Grafiti, Jakarta). Kebanyakan tokoh yang diceritakan Shiraishi aktif menulis di surat kabar. Tidak jarang artikel-artikel tersebut menyebabkan para penulisnya ditangkap, lalu dipenjara atau diasingkan. Misalnya saja artikel dalam surat kabar De Expres, 13 Juni 1913, berjudul “Als ik eens Nederlander was” (Andaikan aku seorang Belanda) yang ditulis Soewardi Soerjaningrat atau dikenal juga Ki Hajar Dewantara. Dalam tulisannya, Ki Hajar menyindir niat pemerintah Hindia Belanda yang berencana merayakan pesta kemerdekaan Belanda dari penjajahan Perancis. Perayaan tersebut akan diadakan di daerah jajahan Belanda sendiri, Hindia. Di
tahun itu juga, karena kejujurannya Ki Hajar ditangkap dan dibuang ke Belanda hingga kembali pulang ke tanah air pada 1919. Ada juga Haji Mohammad Misbach. Kawan kita yang satu ini mungkin kurang dikenal. Tapi Shiraishi tampaknya punya pemaknaan berbeda. Misbach lahir 1876 di Kauman, Surakarta. Nuansa keagamaan yang cukup kental di tempat tinggalnya, ikut membentuk karakternya, yaitu sebagai aktivis muslim. Dia pun mendirikan jurnal Medan Moeslimin pada 1915 dan Islam Bergerak 1917 untuk mewadahi perjuangannya. Kedua jurnal ini pun menjadi ruang bagi kaum muda Islam untuk menyuarakan pendapat keagamaannya. Dalam terbitan kedua jurnal tersebut terbuka kemungkinan memuat artikel yang saling bertentangan dengan artikel lain. Misbach sendiri menyuarakan idenya melalui tulisan. Dengan menulislah Misbach memperkenalkan gagasannya yang kontroversial. Yaitu adanya kesinambungan antara Islam dan Komunisme. Pertentangan keduanya tidak perlu terjadi. Karena tujuan keduanya sama, yaitu memerangi fitnah serta praktik penindasan yang dilakukan pemerintah kolonial, sehingga membuat rakyat melarat. Mungkin idenya yang berani ini membuat Misbach terpinggir dari deretan nama tokoh semasanya, seperti Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan yang lainnya. Bahkan, mengingat latar belakang pendidikannya yang hanya pesantren, tidak sampai perguruan tinggi. Misbach punya
Warta MPA 2014 Edisi I
keberanian untuk menulis pemikirannya ini secara serius. Melalui artikel berjudul “Islam dan Komunisme”, ide Misbach diterbitkan melalui Medan Moeslimin secara berkelanjutan selama 1924 sampai 1925. Seperti yang ditulis Shiraishi mengenai Misbach di bagian penutup tulisannya, “Ia adalah muslim putihan Jawa yang coba membuktikan kemurnian Islamnya dengan berjuang melawan fitnah sebagaimana diungkapkan kepadanya oleh toean Karl Marx.” Lanjut dalam kalimat penutupnya, “Akhirnya kita pun sekarang masih dapat melihat dunia mereka dengan mengikuti kata dan perbuatan mereka yang tergores dalam tulisan-tulisan yang mereka tinggalkan.” Tidak semua yang diceritakan di atas pernah berkesempatan untuk belajar di perguruan tinggi. Terlepas dari sejauh apa jenjang pendidikan yang telah ditempuh, umumnya mereka adalah pelajar. Bukti yang paling nyata adalah jejak pemikirannya. Apa yang paling mungkin disumbangkan para pelajar bagi dunianya selain ide? Dan cara yang paling mudah tidak lain dengan menulis. Seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
13
Liputan Khusus
BIAYA MAHAL BERNAMA UKT Oleh: Ahmad Zulfiyan
Periode baru, pemerintah menambah penggolongan UKT menjadi delapan golongan
D
alam rangka menyesuaikan amanat Undang-Undang (UU PT) No. 12 Tahun 2012 tentang penetapan satuan biaya operasional perguruan tinggi dikeluarkanlah kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti). Dengan UKT, mahasiswa hanya membayar satu nilai yang sama per semesternya selama empat tahun. Sistem bayaran mahasiswa ini juga diatur dalam Peraturan Menteri (permen) Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2013. Permen ini menjelaskan bahwa sistem UKT sah dan wajib dilaksanakan oleh perguruan tinggi pada tahun 2013. Namun beberapa kampus sudah melaksanakan tahun sebelumnya, seperti Universitas
14
Negeri Jakarta (UNJ). UKT yang dimaksud sudah mencakup pembiayaan uang gedung, SPP, Sistem Kredit Semester (SKS), Kuliah Kerja Lapangan (KKL), bahkan wisuda. “Pemerintah berharap biaya yang ditanggung mahasiswa per semesternya lebih rendah dan mudah dikendalikan,” ujar Patdono Suwignyo, Sekretaris Jenderal Dikti. UKT juga disokong oleh subsidi pemerintah berupa Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Namun, adanya UKT nyatanya malah membuat mahasiswa kalang kabut. Apalagi dengan adanya kebijakan dari Dikti untuk menambah penggolongan UKT dari lima golongan ke delapan yang dimulai tahun ini. Meski sudah ada kebijakan dari Dikti, nyatanya masih ada universitas yang belem menerapkannya. Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan Universitas Padjadjaran (Unpad) masih menerapkan lima golongan UKT untuk mahasiswa baru tahun 2014. Penggagasan delapan golongan ini terbilang tergesa. Terbukti dengan tak sepakat-
nya semua PTN menerapkan kebijakan tersebut. Apalagi melihat sikap Dikti yang tak mempermasalahkan ini. “Kami membebaskan pihak universitas untuk menentukan golongan UKT. Kami hanya membatasi maksimal sampai delapan golongan. Kan tergantung penghasilan orang tua jadi tak masalah,” ucapnya ketika ditemui sebelum menghadiri rapat pimpinan di Dikti. Biaya operasional naik, UKT pun membuntuti Adanya penambahan golongan UKT ini tak lepas dari bertambahnya biaya operasional yang diemban kampus. Pembantu Rektor II UNJ, Komarudin mengamini kenaikan tersebut. “Pertimbangan banyaknya kelompok UKT karena biaya kuliah meningkat. Yang menghitung itu pemerintah, kita ikut peraturan pemerintah. Dan pola yang ditentukan oleh Dikti hanya golongan satu dan dua. Setelah itu (golongan tiga sampai delapan-Red) tergantung perguruan tinggi,” akunya kepada DIDAKTIKA.
Warta MPA 2014 Edisi I
Mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial itu melanjutkan, perguruan tinggi yang tak menerapkan UKT delapan golongan akan menanggung risiko sendiri. “Itu tergantung mereka. Tapi risiko ditanggung sendiri ketika biaya operasional menjadi naik. Kita mengikuti peraturan menteri. Karena BKT (Biaya Kuliah Tunggal-Red) meningkat. UNJ memanfaatkan peluang itu,” ucapnya BKT adalah akumulasi seluruh biaya kuliah selama delapan semester yang meliputi UKT dan BOPTN. Patdono menjelaskan, kenaikan BKT juga disebabkan oleh naiknya inflasi, meski ia tak menjelaskan rinci tentang itu karena terburu-buru menghadiri rapat pimpinan di Gedung D, Kompleks Dikti, Jakarta Pusat. Kepala Departemen Advokasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM UNJ), Sandy
Lesmana menilai adanya kenaikan golongan UKT dari lima ke delapan golongan tidak sesuai dengan tujuan utama UKT. “Menurut peraturan Kemendikbud No. 55 Tahun 2013, (pembayaran UKT-Red) harus sesuai dengan perekonomiannya. Kenyataannya banyak pengaduan ke kita tak bisa bayaran karena tak sesuai penghasilan orangtua,” jelas mahasiswa Pendidikan Bahasa Perancis 2010 itu. Sampai berita ini ditulis, pihak Advokasi BEM UNJ enggan memberikan data mahasiswa baru (maba) yang sulit bayaran. “Masih dalam pendataan,” akunya. “Biayanya mahal,” singkat Sefriyana, mahasiswa baru jurusan Manajemen Pendidikan yang tersaring dari jalur mandiri. Hal itu juga turut membebani wali mahasiswa. Esti, wali salah satu maba Fakultas Teknik 2014 mengatakan kesulitan
Warta MPA 2014 Edisi I
membayar biaya UKT sebesar 6,14 juta rupiah. “Minta keringanan tapi nggak boleh sama pihak BAAK karena anak saya dari jalur mandiri (Penmaba-Red). Komarudin membenarkan adanya perbedaan antara mahasiswa dari jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) dan jalur tulis nasional (SBMPTN) dengan jalur mandiri. “Penmaba itu ujian mandiri. kita arahkan penmaba untuk mereka yg pembiayaannya mandiri, tidak di kategori satu atau dua”, terangnya kepada DIDAKTIKA. Menyoal kuota golongan satu dan dua yang tak boleh kurang dari lima persen, Komarudin memastikan hal itu tak akan terjadi lagi di UNJ. “Tahun ini golongan satu dan dua kalau ditotal 10 persen. Masih bisa bertambah. Jadi kuota itu akan terpenuhi,” yakinnya. Tahun 2012 ketika
15
KELOMPOK UKT UNJ TAHUN 2013
No
GOLONGAN UKT RENTANG PENGHASILAN ORANG TUA
1
1
KURANG DARI RP 500 RIBU
2
2
RP 500 RIBU – RP 2 JUTA
3
3
RP 2 JUTA – RP 3,5 JUTA
4
4
RP 3,5 JUTA – RP 5 JUTA
5
5
RP 5 JUTA KE ATAS
Sumber: Litbang Didaktika
UKT pertama kali dijalankan di UNJ, kuota lima persen untuk golongan satu dan dua tak terpenuhi. Merujuk data tim pengembang UKT, kuota lima persen yang seharusnya diisi 260 mahasiswa hanya terisi 67 mahasiswa. Di UNJ, menurut Komarudin, kenaikan biaya kuliah lewat penambahan golongan UKT itu akan dialokasikan untuk pengembangan kampus. “(Dana-Red) Nanti akan dialokasikan untuk kebutuhan mendesak dan pengembangan, termasuk kegiatan kemahasiswaan yang belum dianggarkan, juga untuk pegawai honorer,” jelasnya. UKT, yang awalnya sebagai gerakan penolong mahasiswa miskin untuk mengenyam pendidikan, nyatanya dalam perkembangannya malah membuat mahasiswa semakin tercekik. Jika dikalkulasikan, UKT lebih tinggi dari pembiayaan sebelum adanya UKT. Galih Dirza Safir, maha-
16
siswa Unsoed 2010 pernah menghitungnya. “Jurusan saya uang pangkal Cuma Rp 3,6 juta kemudian semester satu dan dua membayar Rp 1,1 juta. Tapi dari semester tiga membayar Rp 850 ribu. Sedangkan dalam UKT, bayar normalnya Rp 2,85 juta,” ujarnya. Jika dikalkulasikan, Galih hanya mengeluarkan Rp 10,9 juta selama delapan semester. Sedangkan mereka yang masuk UKT harus membayar Rp 22,8 juta. (Majalah Didaktika edisi 43, halaman 37) Ditambah lagi dengan banyaknya pengaduan karena kesulitan membayar biaya kuliah. “Pengaduan maba paling banyak dari ujian mandiri, kalau dari SNMPTN dan SBMPTN juga ada dan itu dari semua fakultas,” aku Sandy Lesmana. Ia menjelaskan, angka pengaduan kemungkinan akan bertambah. Pihak kampus memang menjatah maba jalur mandiri untuk membayar UKT di
golongan lima sampai delapan. Komarudin menuturkan bahwa hal itu lumrah. “Itu (bayaran mahal jalur mandiriRed) biasa karena untuk subsidi silang bagi kategori satu dan dua,” tegasnya. Masalah lama belum kelar, muncul masalah baru Dalam perjalanannya, UKT penuh pelanggaran. Nur Aliah Janah, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia 2012 nyatanya tetap membayar biaya KKL yang harusnya sudah masuk dalam UKT. “(KKL-Red) wajib bayar. Padahal angkatan 2012 sudah (menerapkan-Red) UKT. Saya sudah komplain ke Pembantu Dekan III FBS (Fakultas Bahasa dan Seni) tapi katanya UKT baru di angkatan 2013,” geramnya. Menurut konsepnya, UKT adalah biaya tunggal dan tak boleh ada lagi pungutan lainnya. UNJ menerapkan UKT sejak 2012 meski kala itu Ke-
Warta MPA 2014 Edisi I
KELOMPOK UKT UNJ TAHUN 2014 No
KELOMPOK UKT
RENTANG PENGHASILAN ORANGTUAN
1
1
KURANG DARI RP 500 RIBU
2
2
RP 500 RIBU – RP 2 JUTA
3
3
RP 2 JUTA – RP 5 JUTA
4
4
RP 5 JUTA – RP 7,5 JUTA
5
5
RP 7,5 JUTA – RP 10 JUTA
6
6
RP 10 JUTA – RP 15 JUTA
7
7
RP 15 JUTA – RP 20 JUTA
8
8
DI ATAS RP 20 JUTA
Sumber: BEM UNJ
mendikbud hanya memberi surat edaran kepada pihak kampus. Penambahan golongan UKT ini menambah masalahmasalah terkait UKT yang belum selesai. Adanya pungutan liar (pungli) diluar biaya UKT dan naiknya biaya kuliah mengindikasikan bahwa kampus belum bisa memelihara mahasiswanya. Meski Patdono mengaku pemerintah telah membentuk tim evaluasi ihwal UKT ini, kebijakan baru tak membantu mahasiswa dan malah menyulitkan mahasiswa. “Saya kira kuliah di negeri murah. Nyatanya mahal,” ujar Eka, orangtua Andika, maba jurusan Manajemen 2014. Niat awal untuk memu-
dahkan mahasiswa kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan melalui subsidi silang, sistem pembiayaan tunggal ini rentan dijadikan lahan bisnis. Bagaimana tidak, dalam penentuan range tiap golongan UKT, Dikti membebaskan pihak kampus untuk mengaturnya. Terbukti dengan semakin mahalnya biaya kuliah dan banyaknya mahasiswa yang mengaku kesulitan dalam membayar biaya pendidikan tingginya. Dengan adanya sistem baru penggolongan UKT di perguruan tinggi negeri, mahasiswa semakin tercekik demi memeroleh pendidikan yang merupakan kebutuhan primer di Indonesia. Meski pendidikan bagi masyarakat
Warta MPA 2014 Edisi I
dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, sistem baru dari UKT ini semakin menyulitkan akses ke pendidikan tinggi, apalagi dengan adanya kenaikan BKT yang diteruskan dengan pembuatan kebijakan penggolongan UKT sampai delapan golongan. “Yang penting bagaimana kuliah bisa terjangkau. Harusnya besarannya bisa lebih adil bagi mahasiswa,” ujar Reza Indrawan, ketua BEM UNJ.
17
Wacana III
Organisasi sebagai Wahana Aktualisasi Mahasiswa Oleh: Binar Murgati
K
ampus bukan saja tempat mahasiswa untuk berkuliah di dalam kelas. Namun juga harus memberikan ruang seluas- seluasnya dalam mengakomodir kegiatan mahasiswa yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, keberadaan organisasi mahasiswa menjadi hal wajib yang mesti dimiliki setiap perguruan tinggi. Organisasi mahasiswa di Indonesia telah menorehkan sejarah penjanganya, mulai dari berdirinya Boedi Utomo. Ada pula perkumpulan yang dibentuk oleh mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda. Dengan nama Indische Vereeniging yang kemudain berubah menjadi Perhimpunan Indonesia pada 1925 dengan salah satu tokoh utamanya Mohamad Hatta. Katakanlah kebangkitan Nasional Indonesia disimbolisasi dengan kelahiran Boedi Utomo sebagai organisasi gerakan pertama yang didirkan oleh sembilan orang mahasiswa pribumi di STOVIA.
18
Sebuah perkumpulan dari sebagian kecil mahasiswa yang kemudian menjadi simbol lahirnya kebangkitan nasional. Perhimpunan dan organisasi mahasiswa terus memeberi andil dalam kehidupan politik Indonesia. Misal, angkatan 1966 yang kemudian menggulingkan orde lama dengan perhimpunan mahasiswanya. Kemudian pada 1978, kala itu iklim politik terasa terlalu represif pada ruang gerak mahasiswa yang praktis mematikan gerakan besar mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa. Kebijakan yang disahkan oleh Daoed Yusuf pada 1979 itu dilakukan dalam usaha mengarahkan mahasiswa agar sibuk dalam kegiatan akademik kampus semata. Tanpa menghiraukan iklim politik Indonesia dan tidak membahaykan rezim. Dalam
kondisi yang apolitis didalam kampus, mahasiswa kemudian mengeser pola gerakannya pada kegiatan ekstra kampus yang diwadahi berbagai Lembaga Swadaya masyarakat (LSM). Awal 1990-an NKK/BKK dihapuskan maka mahasiswa mulai dapat membentuk organisasi dengan kelembagaan yang lebih independen walaupun rezim kala itu tetap berlaku secara represif. Hingga pada 1998 muncul gerakan mahasiswa yang berasal dari berbagai organisai intra dan ekstra kampus dan kembali berhasil menggulingkan orde baru kemudian membuka gerbang reformasi. Deretan panjang sejarah gerkan mahasiswa yang dimotori oleh berbagai perhimpunan mahasiswa menjadi catatan penting sejarah negeri ini. Mahasiswa sebagai intelektual muda banyak mengambil peranan dalam kehidupan berbangsa. Tak hanya sibuk sebagai akademisi yang berkutat didalam kelas tapi juga
Warta MPA 2014 Edisi I
Organisasi
membuka ruang untuk melihat pada kehidupan masyarakat luar dan tidak terjebak pada universitas yang seakan menjadi menara gading di tengah masyarakat. Hal tersebut dapat dihubungkan dengan teori Jurgen Habermas bahwa kehidupan publik demokratis hanya berkembang subur manakala institusi -institusi memungkinkan warga negara, untuk memeperdebatkan masalahmasalah yang menjadi kepentingangn publik. Habermas menggambarkan jenis ideal dari situasi “komunikasi ideal�, yaitu ketika para aktor secara setara dibekali dengan kapasitas, mengakui persamaan sosial dasar anatar satu dengan yang lain, dan pembicaraan mereka tidak terdistorsi oleh ideologi. Habermas optimis tentang kemungkinan menghidupkan kembali ranah publik. Ia melihat harapan bagi masa depan di era baru komunitas politik, yang melampaui negara-negara yang berdasarkan pada
hak-hak setara dan kewajiban warga negara yang melekat secara hukum. Teori diskursif tentang demokrasi ini menyaratkan komunitas politik, yang secara kolektif dapat merumuskan kehendak politiknya dan mengimplementasikan kehendak politik itu menajdi kebijakan di tingkatan sistem legislatif. Artinya, di tengah iklim refromasi yang mengedepankan kehidupan yang demokratis setiap individu berhak mengeluarkan kehendak politiknya yaitu dengan menghidupakan ranah publik yang sehat. Hal tersebut dilakukan dengan membentuk komunitas ataupun organisasi dalam usaha mengimplementasikan tujuan dan kehendak politiknya. Apalagi hal tersebut telah terangkum dalam UndagUndang Dasar 1945 Pasal 28 E ayat 3 yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dalam hal ini ber-
Warta MPA 2014 Edisi I
organisasi disebutkan dalam kata berserikat yang artinya kegiatan berorganisasi sudah dijamin langsung oleh UUD 1945. Bahkan secara legal fungsi organisasi mahasiswa telah termaktub dalam pasal 5, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 155/u/1998. Tidak kurang ada tujuh fungsi organisasi kemahasiswaan yakni sebagai: (1) Perwakilan mahasiswa tingkat perguruan tinggi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa, menetapkan garis-garis besar program dan kegiatan kemahsiswaan;(2) Pelaksana kegiatan kemahasiswaan ; (3) Komunikasi antar mahasiswa : (4) Pengembangan potensi jati diri mahsiswa sebagai insan akademis, calon ilmuwan dan intelektual yang berguna di masa depan; (5) Pengembangan keterampilan organisasi, manajemen dan kepemimpinan mahasiswa; (6)Pembinaan dan
19
pengembangan kader-kader bangsa yang berpotensi melanjutakan kesinambungan pembangunan nasional; (7)Untuk memelihara ilmu dan teknologi yang dilandasi oleh norma-norma agama, akademis, etika, moral, dan wawasan kebangsaan. Pengembangan Diri melalui Organisasi Bukan hanya sebagai wadah mahasiswa dalam mengaspirasikan kehendak politiknya. Organisasi memberi dimensi yang lebih luas dari ruang- ruang perkuliahan dalam kelas. Wadah ini memepersilakan setiap anggotanya untuk mengembangkan potensi, bakat dan kegemaran yang dimiliki. Karena sering kali kegiatan perkuliahan di kelas tidak memberi ruang seluas-luasnya
20
untuk mahasiswanya terus mnegembangkan potensi-potensi yang ada. Ranah-ranah publik yang tercipta di luar kelas menjadi wahana yang tepat bagi mahasiswa untuk terus mengaktualisasi diri dan merupakan bagian dari upaya pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak sempat terbahas di dalam kelas. Keberadaan organisasi di dalam kampus berbanding lurus dengan usaha menjaga terus berkembangnya ilmu pengetahuan di dalam sebuah universitas yang memang merupakan pusat intelektualitas. Usaha tersebut tentu mesti terus dihidupkan dengan adanya kesadaran mahasiswa untuk berperan aktif didalamnya. Hal itu bisa dikatakan sebagai kewajiban moral yang mesti
dipenuhi mahasiswa sebagai agen perubahan. Dan Universitas sebagai institusi terkait berkewajiban memberikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan setiap mahasiswa dalam proses pengembagan diri. Bukan justru membatasi ruang gerak mahasiwa dengan pembatasan masa studi ataupun memberlakukan jam malam bagi kegiatan di dalam kampus. Maka meluangkan waktu untuk berdialektika dalam ruang-ruang organisasi menjadi hal yang esensial . Bahkan bukan hanya sebagai tempat pengembangan potensi diri namun juga mencipta sebuah ruang dimana terjalinnya komunikasi antar individu.
Warta MPA 2014 Edisi I
Wacana iii
Organisasi dalam Kondisi Sosial-Budaya
Organisasi mahasiswa yang diisi oleh intelektual kampus, harus punya komitmen moral yang kuat: dalam arti punya keprihatinan yang nyata terhadap nilai-nilai (budaya) inti masyarakat. – Daoed Joesoef
Oleh: Yogo Harsaid
B
eberapa dekade belakangan ini, isu-isu sosial dan budaya masih sering terdengar di telinga kita. Seperti diskriminasi sosial, serta intoleransi budaya. Kita masih menyaksikan nenek tua di penjara lantaran mencuri buah mangga. Sementara manusiamanusia berpakaian rapi yang telah banyak mengambil hak orang lain kini masih sering muncul di ruang-ruang publik. Manusia berpakaian rapi ini tampak bahagia. Seakan-
akan hati dan akal sehatnya tidak bisa menjangkau perasaan penderitaan yang dialami nenek tua di dalam penjara. Ini adalah diskriminasi sosial yang sangat keji. Status sosial diselewengkan untuk membeli hukum. Dalam ranah budaya juga masih banyak persoalan bersama yang harus kita selesaikan secara bersama-sama. Kini kita semakin dipusingkan dalam mencari budaya yang mengajarkan kebenaran.
Warta MPA 2014 Edisi I
Betapa tidak, masing-masing golongan selalu menganggap budayanyalah yang paling benar. Masing-masing golongan secara blak-blakan mengkalaim hal itu. Bahkan, ada sebagian golongan yang menghujat golongan lain hanya karena berbeda prinsip budaya. Dan lebih parahnya lagi, ada yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk menghancurkan budaya lain. Bila sudah sampai tahap kekerasan, berarti kemanusiaan sudah dikebiri! Tapi di sisi lain, para intelektual kampus masih terluntang-lantung terhadap pikiran keadilannya. Akal berpikirnya masih menemui jalan kebuntuan. Seolah-olah ketidakadilan seperti, diskriminasi sosial dan intoleransi budaya, tidak bisa diselesaikan. Tentu ini menggelikan memang. Sejatinya kampus adalah ruang yang digunakan untuk menemukan dan memecahkan permasalahan ketidakadilan sosial tersebut. Patut diakui juga, tidak semua kampus memiliki intelektual kampus yang menemui jalan kebentuan tersebut.
21
Kita masih disajikan oleh ideide kreatif intelektual kampus dalam membantu masyarakat. Tapi itu hanya berskala kecil bila dibandingkan intelektual kampus yang sibuk dengan kehidupan individualnya. Mereka masih berkutat mengerjakan sesuatu yang hanya bisa menguntungkan kehidupan duniawinya. Mereka selalu bertanya, “apa keuntungan untuk saya? Apakah IP saya menjadi 4?� Ketika ditugaskan mengabdi kepada masyarakat. Perilaku seperti inilah yang harus dibenahi. Berawal dari skup terkecil dari kampus, seperti situasi organisasi kampus. Sejarah mencatat, organisasi mahasiswa kerap kali dengan lantang menyuarakan perlawanan ketidakadilan atas manusia. Sangat jelas bagaimana posisi organisasi mahasiswa kala itu dalam menyuarakan keadilan ditengah kesenjangan sosial. Diawali dengan perkumpulan Boedi Utomo yang diisi oleh intelektual-intelektual muda, dalam hal ini adalah mahasiswa STOVIA. Mereka mengenyam pendidikan bukan untuk kepentingan individu, tapi untuk kepentingan kemanusiaan. Mereka tergugah ketika melihat manusia ditindas oleh sesama manusia. Inilah organisasi pertama mahasiswa yang memantik api semangat kemerdekaan manusia. Setelah itu, muncul secara berangsur-angsur perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisasi yang memiliki visi yang sama seperti Boedi Utomo. Yaitu membebaskan manusia dari penderitaan. Alhasil, kemerdekaan pun diraih. Masyarakat Indonesia terbebas dari penjajahan kolonial yang memenjarakan manusia untuk berkembang
22
ke arah sebuah kebenaran Penjajahan kolonial telah lepas. Tanpa diduga, yang terjadi pascapenjajahan kolonial adalah justru penjajahan pribumi. Sebagaian masyarakat Indonesia justru menjajah sesama masyarakatnya sendiri. Inilah tantangan terbesar bagi bangsa Indonesia. Organisasi mahasiswa kala itu mengkritik presiden Soekarno yang dianggap gagal membangun pondasi dasar bangsa Indonesia. Soekarno pun lengser dari jabatan kepresidenannya. T a p i sungguh disayangkan, lengsernya Soekarno bukan sebuah solusi. Presiden pengganti Soekarno, yakni Soeharto, justru malah memperburuk suasana kebangsaan Indonesia. Di zaman Soeharto atau yang dikenal zaman Orde Baru, terjadi pergolakan organisasi mahasiswa yang sangat kencang. Organisasi mahasiswa dibuat tentram dan nyaman. Pemerintah sengaja membentuk kondisi itu, agar mereka tidak melawan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kebijakan NKK/BKK menjadi bukti nyata. Mahasiswa disuruh untuk kembali ke kampus. Mahasiswa tidak boleh ikut-ikutan mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah yang sifatnya politis. Organisasi mahasiswa didorong untuk melakukan kegiatankegiatan pure keilimiahan di dalam kampus. Istilah kampus dicap sebagai ‘menara gading’ –pun terlontar. Mahasiswa hanya bisa melihat permasalahan sosial, tapi tidak bisa merasakan. Oleh sebab
Warta MPA 2014 Edisi I
Organisasi
itu, solusi yang ditawarkan oleh intelektual kampus kurang berdampak signifikan terhadap kemajuan bangsa. Mahasiswa telah jauh dari cita-cita awal seorang intelektual. Mahasiswa tidak mampu membantu memecahkan persoalan masyarakat. Hal ini terjadi lantaran mahasiswa tidak pernah berbaur langsung dengan masyarakat. NKK/BKK tidak memiliki umur panjang. Seiring turunnya Daoed Joesoef sebagai menteri pendidikan kala itu,
dianggap sebagai alasan hilangnya kebijakan NKK/BKK. Setelah itu, pergolakan organisasi mahasiswa terus berlangsung. Tidak sedikit korban berjatuhan dalam proses pergolakan tersebut. Puncaknya pada tahun 1998. Mahasiswa yang aktif dalam keorganisasian sudah sadar betapa kebobrokan pemerintahan Soeharto, yang mengakibatkan kesenjangan sosial yang curam. Akhirnya mereka pun bersatu padu menggalang kekuatan. Tujuannya ialah untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Alhasil, Soeharto pun lengser dari kursi presidennya. Itulah sekilas pergerakan mahasiswa yang aktif dalam keorganisasian. Satu benang merah yang bisa diambil dari serangkaian peristiwa itu adalah bagaimana organisasi berproses dalam membela hak-hak masyarakat. Pada saat itu dipercaya bahwa dengan runtuhnya rezim Soeharto, maka runtuh pula praktik-praktik mencuri hak-hak orang lain: Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). KKN yang telah menjadi penyebab atas kesenjangan sosial masyarakat. Sudah tentu, tanggungjawab moral berada pada pundak organisasi mahasiswa yang hidup di zaman reformasi. Nyatanya tanggungjawab moral itu terlihat begitu terbebani. Karena begitu bebannya, cita-cita awal keintelektualan pudar. Setiap organisasi berjalan masing-masing. Jika dulu organisasi berperan dalam menyatukan bangsa, kini justru malah menjadi faktor
Warta MPA 2014 Edisi I
terjadinya perpecahan. Alhasil, konflik horizontal pun terjadi. Hal itu tidak lepas dari organisasi yang terjun ke politik praktis. Ambil saja contoh Pilpres beberapa waktu silam. Ada sekelompok mahasiswa yang secara terang-terangan mendukung salah satu capres. Perguruan tinggi yang seharusnya netral, akhirnya terciderai. Inilah yang dikhawatirkan oleh Daoed Joesoef. Beliau berpendapat kalau mahasiswa bisa menjadi mangsa politik licik jika tidak memahami makna seorang intelektual. Saya akan memberikan beberapa contoh konkret yang terjadi di sekitaran kira. Pertama, pada pemilihan rektor Univeristas Negeri Jakarta, mahasiswa dan dosen tidak diberi hak memilih. Padahal mahasiswa dan dosen adalah bagian integral kampus yang nantinya akan menjalankan segala kebijakan kampus. Kedua, pada tahun 2013 ada beberapa mahasiswa yang tidak mampu bayaran kuliah. Ketiga, jurnal-jurnal yang dihasilkan UNJ, tidak pernah tembus ke jurnal Internasional, padahal mottonya saja sudah menggunakan istilah internasional: building, future, leader. Keempat, kampus masih tidak aman. Terbukti dengan maraknya kehilangan benda, seperti hp, laptop, serta motor. Organisasi mahasiswa, pada dasarnya dibentuk tidak hanya untuk mengembangkan ide-ide kreatif (minat dan bakat), tapi juga mengawal berbagai kebijakan kampus, seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Bila kondisi UNJ yang ternyata masih menyimpan masalah, di mana organisasi mahasiswa selama ini?
23
24
Warta MPA 2014 Edisi I