2 minute read
Teman Seperjuangan
Aku Daisha, seorang mahasiswi baru Jurusan Kedokteran Universitas Cakrabuana. Ini adalah sebagian cerita mengenai bagaimana aku bisa menemukan sahabat yang sangat berperan penting dalam dunia perkuliahanku.
Pagi ini, semua siswa diminta menentukan jalan setelah lulus SMA. Kuliah atau bekerja, dua pilihan yang belum bisa aku putuskan. Akhirnya, aku menanyakan hal ini pada keluargaku. Seperti dugaan awal, lagi-lagi jalan hidupku ditentukan oleh orang tuaku. Tak bisa mengelak, aku mengikuti semua keputusan mereka.
Advertisement
Drrt...drrt... (suara dering gawai).
Gawaiku menerima notifikasi dari salah satu kampus.
“Ahh, kenapa aku lolos di kampus ini sih?!” keluhku setelah membaca notifikasi itu.
Bukannya kurang bersyukur, hanya saja berat rasanya menerima takdirku kali ini. Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, aku mencoba berdamai dengan diriku dan mulai menerima apa yang menjadi jalanku.
Satu bulan telah berlalu. Aku masih belum merasa nyaman dengan keadaan ini. Dengan kesendirianku, alih-alih ingin mandiri, aku malah sering merasa kesepian. Sampai akhirnya, kesendirian ini berpengaruh pada nilai kuliahku. Sering kali aku merasa down, sebab belum mampu sepenuhnya menguasai materi. Tak ingin terjebak dalam situasi ini, aku mengambil kesibukan dengan mengikuti organisasi.
Setelah mengikuti organisasi, aku banyak menghabiskan waktu di luar. Hingga akhirnya, aku bertemu dua anak kembar yang peduli terhadapku. Mereka bernama Laskara dan Sangkara, yang juga mahasiswa baru di Jurusan Kedokteran, tetapi berbeda kelas denganku.
Sore itu setelah rapat himpunan tiba-tiba ada yang memanggilku dengan sedikit berteriak.
“Daisha,” panggil Laskara dan Sangkara dengan sedikit berlari kecil menghampiriku.
“Iya? Ada apa?” tanyaku sambil memasang wajah heran.
“Kamu kenapa sih dari tadi melamun terus? Ada masalah ya?” tanya Laskara.
“Oh, itu. Aku lagi sedih aja. Ujian mata kuliah neurosainsku dapat nilai C,” ungkapku dengan sedikit rasa sedih.
“Kok bisa?” tanya mereka bersamaan.
“Aku masih kesulitan memahami materi itu,” jawabku.
“Kita belajar bareng aja yuk. Kebetulan aku dan Laskara dapat nilai A kemarin,” ajak Sangkara.
“Oke boleh. Nanti aku shareloc aja ya lokasi kosku biar bisa berangkat bareng.”
“Oke. See you Daisha.”
Sore itu mereka menjemputku di depan kos dengan mobil warna putihnya.
Kringgg… (suara telepon masuk).
“Daisha aku sudah di depan,” suara Laskara dari balik teleponnya.
“Iya, aku keluar dulu,” jawabku.
Di dalam mobil, kami membahas banyak hal. Mulai dari kegiatan himpunan, mata kuliah, hingga dosen yang cukup menyebalkan. Aku sangat senang berteman dengan mereka, karena mereka ramah dan menyenangkan. Setelah 30 menit perjalanan, kami sampai di perpustakaan kota yang terkenal dengan kelengkapan bukubuku yang dimilikinya.
“Yuk, turun!” ajak Sangkara.
“Kalian masuk duluan saja, aku parkir mobil dulu ya,” tutur Laskara.
Aku melangkah masuk ke dalam perpustakaan itu. Sembari menunggu Laskara yang sedang memarkirkan mobil, aku dan Sangkara menunggu di lobi perpustakaan sambil mengisi buku tamu yang telah disediakan oleh penjaga perpustakaan.
“Yuk, kita ke rak nomor tiga! Buku-buku kedokteran ada disana,” ajak Sangkara.
Aku bergegas mengikuti mereka ke rak nomor tiga. Benar apa yang orang-orang katakan, buku-buku di sini sangatlah lengkap. Ada segala jenis buku, mulai dari buku kedokteran, ensiklopedia, novel, bahkan alat peraga ilmu sains ada disini. Setelah lima menit mencari, akhirnya aku menemukan buku yang berjudul “Neurosains” di rak itu.
“Aku sudah menemukan bukunya nih. Yuk kita belajar,” ujarku.
Laskara dan Sangkara sangat detail dalam mengajariku. Kami juga membahas soal ujian kemarin yang belum aku pahami, hingga aku merasa bahwa saat ini aku cukup menguasai materi Neurosains. Tak terasa, dua jam telah berlalu. Kami pun memutuskan untuk pulang karena hari sudah sangat sore.
“Terima kasih ya sudah mengajakku belajar bersama,” kataku sebelum turun dari mobil.
“Sama-sama Daisha. Lain kali kalau kamu ada kesulitan jangan enggan untuk cerita ya, pasti aku dan Laskara akan bantu kok,” tutur Sangkara sambil tersenyum.
“Lain kali kita belajar bersama lagi ya,” sambung Laskara.
Aku mengangguk dan turun dari mobil.
“Sekali lagi terima kasih. Hati-hati ya,” kataku sambil melambaikan tangan kepada mereka.
“Dah, Daisha!” ucap mereka.
Tak kusangka, setelah belajar dengan mereka nilai-nilaiku membaik. Aku mendapatkan nilai akhir A di mata kuliah Neurosains. Dosenku pun mengatakan bahwa perkembangan nilaiku sangat memuaskan. Mereka juga banyak sekali membantu menyelesaikan tugas kuliahku. Proses belajarku yang sempat menjadikan nilaiku rendah, sekarang sudah lebih baik semenjak bertemu mereka yang menjadi sahabat terbaikku selama di kampus.