3 minute read

Stigma Sifat People Pleaser

Stigma Sifat People Pleaser: PERLUKAH DIUBAH?

Oleh: Andayani Surani P. | Ilustrator: Adib Faiz | Desainer: Zakiyah

Advertisement

Sebagai makhluk sosial, interaksi merupakan salah satu kebutuhan dasar yang diperlukan oleh manusia. Saat berinteraksi tak jarang muncul suatu masalah atau tantangan, seperti sulit untuk menolak sesuatu hingga merasa dimanfaatkan oleh orang lain. Hal tersebut biasa dikenal sebagai sifat people pleaser.

Dalam artikel berjudul “From ParentPleasing to People-Pleasing” yang dimuat dalam psychologytoday.com, Psikolog Leon F Seltzer menjelaskan bahwa people pleaser merupakan habit dari didikan yang ditanamkan oleh keluarga. Contoh konkritnya adalah tuntutan orang tua yang selalu menekankan anaknya untuk menjadi orang yang bisa diandalkan sejak kecil. Orang tua terkadang memberikan stimulus berupa ucapan-ucapan, sehingga hal itu tertanam di otak sang anak untuk selalu membuat orang lain bahagia dan dapat diandalkan.

Selain didikan orang tua, sifat people pleaser juga bisa berasal dari trauma yang terjadi di masa lalu. Mardliyatus Sa’diah, praktisi mental health, menggambarkan ketika seseorang trauma akan terjadi kilas balik pikiran di masa sekarang hingga menjadi pemicu trauma muncul di otak. Oleh karena itu, sikap menyenangkan orang muncul sebagai akibat dari ketakutan yang berkaitan dengan trauma tersebut, atau yang biasa dikenal dengan defense mechanism(mekanisme mempertahankan diri seseorang). Selain itu, hingga saat ini tidak ada teori yang mengungkapkan bahwa seorang people pleaser berhubungan dengan hereditas atau genetik.

People Pleaser Berbeda dengan Kemurahan Hati

Orang yang memiliki sifat people pleaser bisa terlihat sangat dermawan atau suka menolong. Kesenangan itu sebenarnya berasal dari rasa rendah diri. Sehingga people pleaser cenderung membuat diri mereka tunduk pada orang lain karena kebutuhan akan pengakuan. Sementara sifat kemurahan hati berasal dari hubungan yang sehat hingga menciptakan kebahagiaan pada kedua pihak. Berbeda dengan seorang people pleaser, ia akan terus menuruti kemauan orang lain tanpa mempertimbangkan akibatnya. Terdapat kepuasan tersendiri ketika dirinya mampu memenuhi permintaan orang lain, meskipun hal tersebut tak jarang dapat merugikan waktu atau tenaganya. Selain kesehatan fisik, sifat people pleaser juga berpengaruh pada kesehatan mental seseorang. Hal ini merupakan imbas dari hubungan yang tidak sehat dimana people pleaser yang tidak segan melakukan apapun untuk menyenangkan orang hingga pada batasan tertentu yang ia merasa tertekan oleh keadaan.

Stigma People Pleaser di Lingkungan Kerja

Dikutip dari artikel berjudul “People Pleaser on the Job” yang ditulis oleh Psikolog Suzanne Degges-White, berbagi kantor dengan seorang people pleaser ternyata dapat membuat kehidupan kerja tidak kondusif. Meski memiliki rekan yang membantu dapat membuat pekerjaan berjalan lebih lancar dan mengurangi beban, namun ada sisi negatif yang dirasakan oleh orang Pyang berinteraksi dengannya. Sifat people pleaser yang selalu mencoba menjadi sangat membantu dapat mengganggu karena tidak semua rekan kerja yang ia bantu membutuhkan bantuan. Alih-alih membantu, hal yang dilakukannya bisa merusak fokus, pekerjaan yang tidak sesuai, hingga membuat orang disekitarnya tidak nyaman.

Dibalik pengaruh dan stigma yang melekat pada masyarakat, memiliki sifat people pleaser juga tak sepenuhnya buruk. Pepatah mengatakan bahwa apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai. Ketika membantu dan bersikap baik kepada orang lain, tentu akan ada hal baik lain yang didapatkan seperti bertambahnya relasi hingga kepercayaan. People pleaser mudah disukai karena sikapnya yang ramah, sopan dan perhatian, suka membantu, serta mudah beradaptasi dengan lingkungan. Tak ayal jika people pleaser ini populer secara sosial. Selain itu, kepribadian people pleaser juga bisa menjadi membuatnya jarang atau bahkan tak pernah mengalami konflik dengan orang lain. Karena cenderung penurut dan mengambil keputusan yang mengedepankan kesenangan dan kenyamanan orang-orang di sekitarnya.

Apakah people pleaserperlu diubah?

Sejatinya people pleaser merupakan sikap yang baik. Namun, lebih baik meminimalisirnya sesuai dengan porsi kemampuan masing-masing individu. Ketika ada kesempatan untuk menolong orang, hal yang pertama perlu dilakukan ialah mengutamakan dan mengukur kemampuan diri. Selanjutnya, belajar untuk memikirkan hal yang harus dilakukan dan dampaknya. Hingga terdapat kesadaran agar tidak lagi segan mengatakan ‘tidak’ dan tercipta batas-batas untuk melakukan sesuatu atau berkorban kepada orang lain.

This article is from: