BSE Edisi 18

Page 1



Sekapur Sirih

Merefleksikan Cinta Ilahi Melalui Sastra Ucapan syukur kami haturkan kepada Sang Pencipta. Seperti bunga yang mekar secara perlahan, melalui proses kreatif yang panjang, kami persembahkan kembali Beranda Sastra Edukasi (BSE) Suburkan Taman Jiwa kepada pembaca. Di edisi ke XVIII ini, BSE hadir dengan tema yang dirasa penting untuk diangkat yakni “Merefleksikan Cinta Ilahi Melalui Sastra�. Sastra sufistik merupakan sebuah karya sastra islam yang membahas tentang berbagai aktivitas, hal, kejadian, peristiwa, dan masalah di kehidupan tasawuf. Tasawuf sendiri merupakan ajaran dan cara untuk mengenal dan mendekatkan diri

iii

kepada Allah, sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar denganNya. Tetapi perlu diketahui, penulis sastra yang berhubungan erat dengan tasawuf ini tidak harus orang sufi. Hal tersebut dikarenakan seorang sufi menciptakan karyanya sendiri yang kemudian dikenal dengan sastra sufi. Oleh karenanya, perbedaan antara sastra sufistik dan sastra sufi terletak pada pembuat karya. Namun bukan perbedaan yang akan dibahas lebih lanjut, melainkan pertalian antar keduanya yang kuat. Pun, relevansi antara sastra sufistik dengan sastra sufi ini terlihat pula melalui tema utama yang dijadikan dasar lahirnya sebuah karya, yakni cinta keEdisi XVIII/Th.12/2015


pada Sang Pencipta. Salah satu karya sastra sufistik yaitu puisi fenomenal Aku Ingin karya Sapardi Djoko Damono. Jika dikaitkan dengan cinta kepada Sang Khalik, sajak Sapardi tersebut menggambarkan peleburan terhadap yaitu Allah, dalam ilmu tasawuf dikenal dengan istilah wahdatul wujud. Adapun karya sastra sufi, seperti ratapan cinta yang terurai dalam doa Rabi’ah alAdawiyah juga Rumi melalui sajak-sajak yang mengungkapkan romantika cintanya kepada Sang Pemilik cinta sejati. Melalui esai dan ulasan sastra sebagaimana terkutip di atas, kami mencoba menyajikan pemahaman mendalam tentang cinta Ilahi yang tercermin dalam bentuk karya sastra bernuansa Islam seperti sastra sufistik dan sastra sufi. Ada beberapa cerpen dan puisi, resensi yang kami suguhkan. Dengan hadirnya karya-karya sederhana ini semoga mampu menjadi pelengkap dan barangkali pengisi kehampaan bersastra. Selamat membaca. Tetap memajukan kesusastraan Indonesia. Bravo Sastra!

Edisi XVIII/Th.12/2015

iv


Susunan Redaksi Penanggung Jawab Ahmad Fahmi Ash Shiddiq Direktur Nur Kaokabbuddin Sekretaris Laely Hidayati Bendahara Diyah Suci Redaktur Pelaksana Nur Faizah, Dina Kamalia Ira Wulandari, Laelatul Maghfiroh Erni Handayani, Yuliana Suryantik Risca Dian Pratiwi Yuli Haflatun Nikmah Hanik Maria Husna Miftakhul Asror Ilustrator Ovi Ratmaya Kamal Najih Layouter Ahmad Alfan Alfa v

Edisi XVIII/Th.12/2015


Daftar isi Sekapur Sirih Daftar Isi Susunan Redaksi Esai Sastra Sufi; Refleksi Cinta Ilahi Oleh: Laely Hidayati....................................................1 Cerpen Maria Oleh: Nur Faizah.........................................................6 Setitik Tinta Merah Di Tanggal Pernikahanku Oleh: Yuliana Suryantik.............................................14 Seragam Oleh: Dina Kamalia...................................................22 Ulasan Sastra Napas Cinta Puisi “Aku Ingin� Oleh: Nur Kaukabbuddin...........................................28 Resensi Mawar Pemancar Supernova Oleh: Erni Handayani.................................................34

Edisi XVIII/Th.12/2015

vi


Puisi Masjid di Tengah Kota Oleh: Asror.................................................................40 Jalan Dakwah Oleh: Ela....................................................................42 Sajak Sejak Kau Pergi Oleh: Risca Dian Pratiwi..............................................44 Musafir Oleh: Ahmad Alfan Alfa............................................46

vii

Edisi XVIII/Th.12/2015


Edisi XVIII/Th.12/2015

viii


Esai

Sastra Sufi; Refleksi Cinta Ilahi Oleh: Laely Hidayati

1

Edisi XVIII/Th.12/2015


Sastra Sufi; Refleksi Cinta Ilahi Berbicara tentang sastra selalu saja ada hal baru yang ditemukan terutama ketika karya sastra itu sedang dinikmati, entah itu dari segi keindahannya ataupun makna yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut terjadi karena sastra mengikuti jiwa penulisnya. Berkaitan dengan hal itu Sumardjo & Saini (1997: 3-4) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sehingga sastra memiliki unsur-unsur berupa pikiran, pengalaman, ide, perasaan, semangat, kepercayaan (keyakinan), ekspresi atau ungkapan, bentuk dan bahasa. Pendapat tersebut diperkuat oleh Saryono (2009: 18) yang menyatakan bahwa sastra juga mempunyai kemampuan untuk merekam semua pengalaman yang empiris-natural maupun pengalaman yang nonempiris-supernatural, dengan kata lain sastra mampu menjadi saksi dan pengomentar kehidupan manusia. Melalui pengertian yang diungkapkan oleh beberapa tokoh tersebut jelaslah kalau masing-masing karya sastra mempunyai corak sendiri-sendiri. Corak pribadi pembuat sastra tertuang dalam karya yang dihasilkannya karena karya sastra merupakan ekspresi jiwa dan batin penciptanya (Sastrowardoyo: 1988). Sehingga karya itu muncul sebagai dalam bentuk fisik (bahasa) yang khas. Kekhasan bahasa itu menunjukkan bahwa karya sastra bukanlah komunikasi biasa, melainkan komunikasi yang unik dan dapat menimbulkan multimakna dan penafsiran (A. Teeuw: 1984). Keunikan karya sastra itulah membuat beragam jenis sastra muncul salah satunya yaitu sastra sufi. Sastra sufi merupakan sastra yang di dalamnya memuat 2

Edisi XVIII/Th.12/2015


Esai nafas batiniah, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya atau biasa dikenal dengan hubungan transendental. Menurut Abdul Hadi, sastra sufi menggambarkan pendakian rohani menuju diri hakiki. Sedangkan Nasr (1980: 8) mengatakan bahwa “sastra sufi tidak lain adalah karangan ahli-ahli tasawuf berkenaan dengan peringkat-peringkat (maqamat) dan keadaan-keadaan ruhani (ahwal) yang mereka capai.” Mahabbah menjadi tingkat keruhanian penting setelah digali berdasarkan pengalaman mistik dari ahli tasawuf, Ja’far as-Shidiq yang dianggap sebagai pencetusnya, lalu dikembangkan oleh Syaqiq al-Balkhi, dan Harits al-Muhasibi. Namun, di antara tokoh sufi tersebut yang mendalam dan luas pengaruh konsep mahabbah-nya ialah Rabi’ah al-Adawiyah, yang berprinsip bahwa cinta merupakan landasan ketaatan dan ketakwaan kepada Tuhan. Pandangannya tersebut terlihat dari doanya yang terkenal (Abdul Hadi WM, 2002:41)

Kucintai Kau dengan dua cinta Cinta untuk diriku, dan cinta sebab Kau patut dicinta Cinta untuk diriku ialah karena aku karam Di dalam ingatan kepada-Mu semata, membuang yang lain Cinta sebab Kau patut dicinta, karena Kau singkap Penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu Segala pujian tidak perlu lagi bagiku Sebab semua pujian untuk-Mu semata Gagasan Cinta Ilahi Cinta menjadi konsep yang sangat menarik ketika diangkat ke permukaan karena cinta sangat luas maknanya. Erich Fromm pernah mengatakan bahwa cinta adalah sikap, sesuatu yang dapat menentukan pribadi dengan dunia secara 3

Edisi XVIII/Th.12/2015


Sastra Sufi; Refleksi Cinta Ilahi keseluruhan, bukan menuju pada objek cinta yang mempunyai suatu tindakan yang aktif bukan perasaan yang pasif itu pun harus berdiri dalam cinta, yang tidak jauh ke dalamnya. Dalam sastra sufi bahasannya lebih menekankan pada ungkapan-ungkapan cinta pada Tuhan. Gambaran tentang ungkapan-ungkapan cinta pada Tuhan itu nampak dalam salah satu sajak Rumi berikut ini:

Suatu malam seorang berseru “Allah!” berulang-kali hingga bibirnya menjadi manis oleh pujian-pujian bagi-Nya. Setan berkata, “Hai kau yang banyak berkata-kata, mana jawaban ‘Aku di sini’ (labayka) atas semua seruan ‘Allah’ ini? Tak satupun jawaban yang datang dari ‘Arsy: berapa lama kau akan berkata ‘Allah’ dengan wajah suram?……………………… Dan semangatmu adalah utusan-Ku kepadamu. Ketakutanku dan cintamu adalah jerat untuk menangkap Karunia-Ku Di balik setiap ‘O Tuhan’-Mu selalu ada ‘Aku di sini’ dariku.” Menurut Abdul Hadi, tema utama dalam sastra sufi adalah cinta karena cinta merupakan peringkat keruhanian tertinggi dan terpenting dalam dunia sufi. Melalui cintalah ungkapan-ungkapan perasaan antara seorang sufi dengan Tuhannya dapat tersampaikan. Cinta dalam kehidupan sufi adalah cinta altruis pada yang dicintainya. Dalam setiap munajatnya seorang sufi tidak akan mengatasnamakan dirinya sendiri, seperti yang digambarkan dalam sajak Rumi di atas. Cinta seperti inilah yang disebut cinta sejati, cinta yang terdiri dari; keintiman (uns) seorang pecinta dan yang dicin4

Edisi XVIII/Th.12/2015


Esai tainya, kerinduan (syawq), kecenderungan hati (mahabbah), ketulusan, dan kesabaran (sabr). Gagasan cinta tersebut juga dapat ditemukan dalam sastra sufi di Indonesia salah satunya tertuang dalam karya Hamzah Fansuri yang menurut Teeuw (1994: 44-71) Fansuri adalah pemula puisi Indonesia. Berikut adalah sajak dari Fansuri:

Tuhan kita yang bernama qadim Pada sekalian makhluq terlalu karim Tandanya qadir lagi hakim Menjadikan alam dari Al-Rahman Al-Rahim Rahman itulah yang bernama Sifat Tiada bercerai dengan kuhni Zat Di sana perhimpunan sekalian ibarat Itulah hakikat yang bernama ma’lumat Rahman itulah yang bernama Wujud Keadaan Tuhan yang sedia ma’bud Kenyataan Islam, Nasrani dan Yahud Dari Rahman itulah sekalian maujud Dari paparan di atas jelaslah bahwa cinta menjadi tema utama dalam karya sastra sufi. Cinta menjadi sarana untuk mengekspresikan kedalaman batin seseorang untuk menuju kedekatan dengan-Nya. Melalui ungkapan-ungkapan yang indah larik-larik puisi sastra sufi dapat menentramkan jiwa seseorang dan menghadirkan Tuhan dalam jiwanya. Selain itu, membaca karya sastra sufi membuat seorang muslim lebih mengenal cinta dan mempertebal rasa cintanya kepada Sang Maha Cinta. *Penulis adalah mahasiswa jurusan 5

Edisi XVIII/Th.12/2015


Maria

MARIA

Oleh : Nur Faizah

Edisi XVIII/Th.12/2015

6


Cerpen Kata Ayah aku itu gadis yang cantik. Katanya aku memiliki lesung pipit dikedua pipiku, bibirku mungil dan merah, kulitku kuning langsat dan rambutku hitam ikal. Setiap pagi ayah selalu memujiku. Namun, itu semua kata Ayah. Aku sendiri tidak tahu seperti apakah wajahku. Aku terlahir sebagai seorang anak yang tak sempurna, aku tak memiliki penglihatan seperti yang lain. Kehidupanku serasa hanya dikelilingi kegelapan yang selalu mendera. Ibuku meninggalkan aku dan Ayah, saat ia tahu bahwa anak yang dilahirkannya mengalami kebutaan. Mungkin Ibu tak bisa menerima kondisiku seperti ini hingga ia akhirnya memutuskan meninggalkanku. Entah kemana Ibu pergi, tak pernah ada kabar sedikitpun darinya, sampai sekarang aku berumur 10 tahun Ibu tak pernah menemui aku dan Ayah. Meski Ibu tak pernah peduli kepadaku, namun sedikitpun dihatiku tak ada perasaan marah untuk Ibu. Karena Ayah selalu mengajariku, bahwa seperti apapun Ibu kita, kita sebagai anak harus tetap menghormati Ibu. Karena sejatinya Ibu begitu menyayangi dan mencintai anaknya dengan sangat tulus, mungkin keadaanlah yang membuatnya berubah. Pepatahnya, seekor singa tidak akan mungkin tega memakan anaknya sendiri. Setiap hari, aku hanya menghabiskan waktu bersama Ayah. Melalui Ayahlah, aku dapat merasakan bagaimana kesejukan embun di pagi hari sembari mendengar kicauan burung-burung yang saling bersahutan, aku menjadi tahu ternyata yang namanya matahari mampu menghangatkan jiwa, mampu menyinari seantero dunia, serta yang namanya bulan dan bintang selalu menghiasi langit yang gelap. Meski aku tak dapat melihat dengan pandanganku, namun melalui Ayah aku mampu merasakan itu semuanya. 7

Edisi XVIII/Th.12/2015


Maria “Maria, besok kita ke rumah sakit yah? Ada seseorang yang akan mendonorkan kedua matanya untukmu. Kau akan mampu melihat, nak.” Mendengar ucapan Ayah, aku langsung tersentak. Serasa bagaikan sebuah mimpi di siang bolong, ada seseorang yang baik hati mau mendonorkan kedua matanya untukku. Sungguh aku tak percaya, hati ini serasa mengatakan tak mungkin. Namun tak dinafikan bahwa aku sangat menginginkan donor mata itu. Agar aku dapat melihat wajah Ayahku, Ayah yang selalu menemaniku setiap saat, menjagaku dan merawatku dengan begitu telaten. Nantinya, jika aku sudah mampu melihat yang pertama kali ingin kulihat adalah Ayahku. Dan aku ingin berbaki kepada Ayah, merawat dan menjaga ayah. “Sayang, mengapa kau diam? Sebentar lagi kau akan dapat melihat sayang” ucap Ayah, kurasakan belaian lembut tangannya di kepalaku. “Maria senang Ayah, bahkan sangat senang. Tapi, siapakah orang yang begitu baik ingin mendonorkan matanya untuk Maria, Ayah?” “Ayah juga tidak tahu sayang. Tapi, siapapun dia. Dia pasti orang yang sangat baik hati.” Aku hanya tersenyum sembari menganggukkan kepalaku. Aku tak sabar menunggu hari esok. Hari yang bersejarah bagiku, karena aku akan dapat melihat seperti orangorang. Mampu melihat mentari, burung-burung, pepohonan, bulan dan bintang serta yang paling penting melihat Ayah. *** Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Aku dan Ayah sudah mempersiapkan semuanya untuk operasi. Namun, saat aku dan Ayah akan meninggalkan rumah tiba-tiba 8

Edisi XVIII/Th.12/2015


Cerpen handphonePendidikan Ayah berdering. Guru Ayah Madrasah langsung Ibtidaiyah mengangkat semester tel-6 ephone itu. Begitu lama ayah menerima telephone itu, “Sayang, ayo kita duduk dulu…” ucap Ayah tibatiba sembari merangkulku dan mengajakku untuk duduk “Ayah kenapa kita malah duduk? Ayo Ayah, bukannya kita sekarang harus ke RS? Nanti kita terlambat.” Namun, tak kudengar Ayah bersuara. Ayah membisu. Sepertinya ada sesuatu yang Ayah tutupi dariku. “Ayah kenapa? Pasti orang yang ingin mendonorkan matanya itu membatalkannya lagi kan?”ucapku sok tahu. “Iya, sayang. Tapi percayalah, suatu saat kau akan dapat melihat. Namun mungkin tidak untuk sekarang nak.” “Iya, Ayah…” jawabku dengan mengguratkan senyum, aku berusaha tegar dihadapannya. Aku tak ingin Ayah tahu, bahwa hatiku begitu hancur saat aku tahu bahwa aku gagal lagi untuk operasi donor mata. Memang dulu, saat umurku 6 tahun ada orang yang mau mendonorkan matanya untukku, namun tiba-tiba orang itu membatalkannya. Kemudian beberapa bulan setelah itu, ada lagi orang yang ingin mendonorkan matanya untukku namun lagi-lagi ia mengurungkan niatnya itu. Dan sekarang untuk ke-tiga kalinya hal itu terjadi lagi. Aku termenung. Hatiku hancur. Mataku berkacakaca, tak kuasa aku menahannya. Hingga akhirnya butiranbutiran air mata kecil menetes. Tapi aku sadar, ini semua sudah atas scenario Allah. Aku meneguhkan hatiku untuk bisa menerima semua yang terjadi padaku. *** Kudengar gemerincik hujan turun di pagi ini. Bahkan terdengar letupan-letupan keras petir. Semilir angin menari-nari di sekitar pelupuk mataku. Tak ada yang ber9

Edisi XVIII/Th.12/2015


Maria suara bahkan bergeming, yang terdengar hanyalah suara rintik hujan di atap genting. Aku tetap berdiri mematung di balik jendela. “Sayang, nanti siang sebenarnya Ayah akan pergi ke luar kota. Ada beberapa pekerjaan yang harus ayah kerjakan disana. Namun Ayah tak tega meninggalkanmu sendirian, nak. Sehingga ayah membatalkan keberangkatan Ayah” Ucap Ayah tiba-tiba, sembari menuntunku ke meja makan. “Ayah, aku bisa jaga diri disini. Pergilah Ayah, Bukankah pekerjaan ini sudah Ayah tunggu-tunggu sejak dulu kan? Apa Ayah mau sia-siakan begitu saja. Tak ada kesempatan kedua atau ketiga ayah, manfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya Ayah. Percayalah, Maria bisa jaga diri disini…” Akhirnya, Ayahpun memutuskan untuk ke Bandung guna menyelesaikan pekerjaannya disana dalam waktu 6 hari. Ayah tak tega meninggalkanku sendiri dirumah, akhirnya ayah memutuskan untuk menitipkanku di rumah Bude. Beberapa hari berlalu tanpa bersama ayah rasanya begitu sepi dan tak menyenangkan, rasanya kangen sekali pada Ayah. 6 hari ditinggal ayah kerja di luar kota itu rasanya seperti ditinggal 1 tahun, rindu sekali pada ayah. Waktu berlalu, 6 hari berlalu begitu lama terasa. Dan sesuai jadwal hari ini ayah akan pulang dari Bandung. Dari pagi, siang sampai malam aku menunggu ayah namun tak ada tanda-tanda ayah akan pulang. Perasaan takut dan khawatir berkecamuk di dada. Namun, aku berusaha untuk berpikir positive. Keesokan harinya, tiba-tiba bude mengajakku ke rumah sakit. “Maria, budhe dapat info dari rumah sakit kalau ada seseorang yang mau mendonorkan kedua matanya untukmu…” 10

Edisi XVIII/Th.12/2015


Cerpen “Mendonorkan matanya untuk Maria. Tidak budhe, pasti nanti orang itu membatalkannya lagi seperti yang dulu-dulu.” “Tidak sayang, ini benar-benar kau akan operasi donor mata” seru budhe meyakinkanku “Tapi ayah belum pulang budhe. Maria mau nunggu ayah dulu. . .” “Tidak ada cukup waktu nak. Sudahlah, sebentar lagi ayahmu juga akan pulang. Ayolah, lebih baik kita segera ke rumah sakit” Akhirnya, aku dan budhe menuju ke rumah sakit. Dengan begitu sabarnya ia menuntunku menuju sebuah ruangan operasi. Seketika saat itu juga aku dioperasi. Aku tak sadar begitu lama aku diruangan itu, hingga pada akhirnya suara lembut dari budhe membangunkanku. “Sayang, ayo buka matamu pelan-pelan. . .” seru budhe “Ayah dimana budhe? Maria ingin yang pertama kali Maria lihat Ayah budhe….” “Ayah belum pulang sayang, sebentar lagi pasti pulang” Rasanya aku ingin membuka mataku saat ayah sudah pulang. Namun, sepertinya tidak mungkin. Karena budhe dan dokter yang menanganiku mendesak agar membuka perbannya. Akhirnya, perban penutup kedua mataku dibuka. Pertama penglihatanku tak begitu jelas, namun lama kelamaan setelah semua perban dibuka aku dapat melihat dengan begitu jelas. Saat aku sudah dapat melihat, budhe langsung mengajakku ke suatu tempat. “Kita akan kemana budhe?” “Katanya kau ingin bertemu dengan ayahmu?” “Ayah sudah pulang budhe?” Budhe hanya diam, tak menjawab pertanyaanku. Disepa11

Edisi XVIII/Th.12/2015


Maria njang perjalanan, budhe tak berkata sepatah katapun. Hingga akhirnya kita tiba di suatu tempat. “Ayo Maria, ikuti budhe….” Aku mengikuti budhe dari belakang. Perasaanku sudah tidak karuan, rasanya airmata ini ingin kukeluarkan. Hati ini ingin menjerit. Dan firasatku benar, budhe ternyata mengantarkanku ke sebuah pusaran yang bertuliskan nama Ayah. Aku lunglai, lemas, dan tersungkur di depan pusaran yang masih basah itu. “Budhe. . . . . . ayah . . .” “Iya, nak. Ayahmu kecelakaan saat perjalanan pulang dari Bandung kemarin. Saat budhe menemani ayahmu di detik-detik terakhir, ia ingin agar kedua matanya diberikan kepadamu, nak. Dan menyuruh budhe agar memberitahukanmu saat kau telah selesai operasi. Maafkan budhe sayang. . .” Air mata ini tumpah seketika, aku tersungkur di depan pusaran ayahku. Ayah meninggalkanku, bahkan sebelum aku melihat bagaimana wajahnya. “Ayah, kenapa kau meninggalkanku begitu cepat? Bahkan sebelum aku mampu melihat wajahmu. Aku bahkan belum sempat berbakti kepadamu?” “Sabar, nak. Ikhlaskan kepergian Ayahmu. Sebelum ayahmu meninggal, ia telah menitipkan sepucuk surat pada budhe” sembari memberikan sepucuk surat kepadaku. “Budhe, aku belum bisa membaca sebuah tulisan. Maukah budhe membacakannya untukku?” Akhirnya, di depan pusaran Ayah. Budhe membacakan isi surat yang ayah tuliskan untukku, sesaat sebelum ia meninggal dunia.

Maria anakku tersayang, Edisi XVIII/Th.12/2015

12


Cerpen

Maafkan ayah, ayah belum bisa membahagiakanmu. Maafkan ayah, ayah juga tak bisa terus menjaga dan menemanimu hingga kamu beranjak remaja, dewasa sampai menikah. Namun, yang harus Maria tahu dan ingat bahwa Ayah sampai kapanpun akan selalu menyayangi Maria, karena Maria adalah malaikat bagi Ayah, semangat dan nafas Ayah. Ayah setiap malam selalu merasa sedih, saat Ayah tahu bahwa kau tak mampu melihat. Berkali-kali kau gagal operasi donor mata, membuat Ayah semakin bersalah sebagai orang tua karena tak bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya. Rasanya jika Ayah mampu, Ayah ingin mengambil kedua mata ini untukmu. Namun, saat membaca surat ini. Ayah yakin, Maria sudah akan mampu melihat. Maafkan ayah, ayah tak bisa ada saat kau membuka matamu sayang‌..namun percayalah, ayah selalu ada disaat kau membuka mata. Aku tak kuasa, airmata ini keluar begitu deras, aku langsung memeluk budhe. Begitu besar kasih sayang ayah terhadapku, pengorbanan yang tak bisa ku balas. Hanya do’a yang mampu kupanjatkan, ayah semoga engkau bahagia disana, berada di tempat yang begitu indah, di sisi-Nya. Cinta dan kasih sayangku sampai kapanpun tak akan pernah berkurang Ayah, bahkan akan terus bertambah seiring berjalannya waktu. *Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam semester 6

13

Edisi XVIII/Th.12/2015


Setitik Tinta Merah di Tanggal Pernikahanku

Setitik Tinta Merah Di Tanggal Pernikahanku Oleh: Ury*

Edisi XVIII/Th.12/2015

14


Cerpen “Har, maukah Engkau menjadi pendamping hidupku?” Kalimat itu senantiasa terngiang dalam telingaku. Mencoba membawaku ke bayangan masa yang penuh kebahagiaan. Rasa dalam hatiku laksana perahu yang siap berlayar mengarungi bahtera kehidupan. Berharap pulau yang menjadi persinggahan, akan menjadi ladang keceriaan malaikat-malaikat kecil kami. Bisikan angin rindu seakan membuat hatiku berdesir. Mencoba mendengarkan melodimelodi Qais pada Laila. Disetiap sujud malam, tak pernah alpakuselipkannama calon suamiku itu dalam rinaian doá. Merajuk pada Sang Rahman, agar aku dan Mas Purnomo selalu ada dalam dekapan cinta kasih-Nya. Pertemuanku dengan Mas Purnomo bermula saat aku mengantarkan nasi rantang untuk emak yang bekerja sebagai buruh tani di sawah ayah Mas Purnomo. Walaupun aku tergolong sudah mempunyai pekerjaan yang mapan, menjadi bidan desa. Namun, emak tetap tak mau melepas pekerjaannya. Kata emak, biar selalu ingat dengan almarhum bapak. “Mak, istirahat dulu, Hartanti bawakan sayur sop dan bacem tempe untuk emak,” pintaku setengah berteriak memanggil emak yang masih terlihat lihai menanam padi yang terlihat sejuk dipandang mata. Aku yang sedikit merasakan panas sengatan matahari, berusaha mencari tempat untuk berteduh. Kukibas-kibaskan kerudung yang menutupi kepalaku. Berharap angin segar mampir di sekitarku. Aku merasa ada sosok yang sedang memperhatikanku di dalam gubuk tempat istirahat itu. “Hartanti, berteduhlah di gubuk ini,” laki-laki itu memanggilku dengan suara lantang. “Temuilah laki-laki itu,” tiba-tiba emak sudah berada dibelakangku. 15

Edisi XVIII/Th.12/2015


Setitik Tinta Merah di Tanggal Pernikahanku “Tapi, aku tak mengenal laki-laki itu, Mak.” “Apa kamu selamanya akan menunggu seseorang yang mengenalmu menyapa dan memberikan perlindungan? Tidak semua begitu,Nak.” Kalimat emak memang benar. Dengan perasaan was-was aku menemui laki-laki di gubuk itu. Badannya tegap tinggi, kulitnya sawo matang berbeda dengan kulitku yang putih dan terawat, namun wajahnya selalu menampakkan muka bersahabat. Entah perasaan apa yang tiba-tiba muncul, sehingga aku merasa nyaman dekat dengan laki-laki bernama Purnomo itu. Singkat cerita,bapakku pergi menghadap llahi ketika aku menempuh pendidikan kebidanan dua tahun lalu. Maklumlah aku anak tunggal. Kata bapak, aku anak yang cantik dan cerdas. Hingga bapak menginginkan aku menjadi bidan di desa. Katanya, menjadi bidan desa merupakan pekerjaan malaikat. *** “Mbak Har, kalau sudah selesai mandi kembang segera ke kamar ya,” panggil salah satu wanita berkonde yang parasnya mirip bidadari jawa. “Iya, Mbak,” jawabku dengan nada bergetar menahan gejolak kebahagiaan yang memburu didalam hatiku. Fajar baru saja menepuk hati yang tak mau berhenti menasbihkan kalimat-kalimat cinta, untuk segera terbangun dan hadir dalam kalimat-kalimat suci-Nya. Pagi ini bukan suara ayam berkokok lagi yang setiap harinya membangunkanku, tapi suara ayam disembelih yang terdengar pilu. Ibu-ibu sibuk di dapur, ruang tamu, bahkan ruang pengantin. Perbincangan menarik terlantun dari kalimat keibuannya. Terpancar rona kebahagiaan disetiap sorot mata, walau yang akan bahagia bukanlah dari keluarga mereka. Dan aku menikmati 16

Edisi XVIII/Th.12/2015


Cerpen kebahagiaan itu. Kebaya coklat dengan wangi melati, berpose indah di samping meja rias. Membuatku tergoda untuk segera memakainya.Menggantikan baju warna putih-putih berbau obat yang selalu menempel ditubuhku. Di meja rias, berbagai alat kecantikan berbaris rapi menunggu seseorang menggunakanya. Ah, aku merasa seperti seorang putri kerajaan. Semakin cantik saja wajah yang kini ada di cermin pengantin. Kutatap emak yang duduk di bale-bale tempat tidurku yang sudah berhiaskan bunga-bunga yang semerbak wanginya. Namun, wajah emak nampak menyembunyikan kesedihan dalam kebahagiaan. Aku yang sedang didandanioleh seorang dukun rias kondang, bisa melihatwajahemak dari cermin didepanku. “Emak, apa yang sedang Engkau pikirkan?Apa Engkau sedih karena bapak tak ada disisi kita, gerangan apakah yang membuat Engkau seperti ini,� berjuta pertanyaan mendadak hadir dalam pikiranku. *** Tamu undangan memenuhi rumah dan teras pengantin. Ibu-ibu, bapak-bapak, muda-mudi, serta anak-anak mengenakan baju terbaik mereka. Sajian makanan dan minuman memenuhi meja ruangan itu. Hatiku semakin tak karuan rasanya. Pukul 08.00 WIB.Seharusnya Mas Purnomo telah mengucapkan akad, namun hingga pukul 09.00 WIB dia dan keluarganya pun tak juga nampak. Perasaan khawatir, cemas, sedih, berbaur menjadi satu dalam hatiku. Aku bertanyatanya kenapa Mas Purnomo tega melakukan hal ini di hari bahagianya. Terlalu burukkah aku. Menangis, aku hanya meneteskan air mata. Lebih malu lagi pada Tuhan, karena melihat emak yang diam dan tetap khusyu’ berwirid. 17

Edisi XVIII/Th.12/2015


Setitik Tinta Merah di Tanggal Pernikahanku Suasana berubah menjadi cengang. Bisik-bisik berayun dari mulut ke mulut. Aku minta izin emak untuk mencari Mas Purnomo. “Har tetaplah tenang, Purnomo akan kembali, dia hanya pergi sebentar.�Apa maksud emak, bahwa Mas Purnomo pergi sebentar. Apa Mas Purnomo lebih mementingkan urusan lain daripada sebuah akad pernikahan. Tapi darimana emak tahu bahwa Mas Purnomo sedang pergi? Pertanyaan itu tak begitu kupikirkan lagi. Aku hanya ingin Mas Purnomo kembali dan menjelaskan ihwalkenapa dia pergi. Semua aksesoris yang menghiasiku, kulepastanpa pengecualian. Kuhapus make up yang melukis wajahku dengan face tonic. Gamis ungu dengan kerudung merah muda motif bunga kini menempel di tubuhku. Aku dan emak melangkah menuju rumah Mas Purnomo. Disana kulihat semua keluarga Mas Purnomo berkumpul dan meminta maaf atas kejadian ini. Hal terakhir yang mereka ketahui sebelum Mas Purnomo pergi, tepat setelah menunaikan salat subuh Mas Purnomo meminta izin pergi sebentar, katanya ada urusan dengan klien. Aku menyelonongmasuk ke kamar Mas Purnomo. Tak kutemukan tanda-tanda dia kabur. Lemarinyamasih penuh dengan baju-baju. Baju pengantin pun masih utuh. Tak ada surat tentang alasan kepergiannya. Aku bingung harus bagaimana. Apa yang sebenarnya terjadi. Pikiran bahwa mas Purnomo membatalkan pernikahan denganku datang menghantui. Hatiku sudah letih hari ini. Dipermainkan bagai boneka barbie. Getir aku merasakan kenyataan ini. Hatiku tak bisa berbohong, aku merasa bahwa Tuhan tidak mencintaiku. Kesalahan apa yang telah aku lakukan, hingga kejadian ini menimpaku. Tak cukupkah ibadahku selama ini? 18

Edisi XVIII/Th.12/2015


Cerpen Setelah kejadian itu. Aku bagai bunga desember yang tumbuh di musim kemarau. Emak pun demikian, selalu berkata bahwa Mas Purnomo akan segera kembali. “Lebih baik kamu berprasangka baik pada Tuhan bahwa rencana-Nya lebih baik. Juga di luar sana, banyak orang yang lebih membutuhkan jasamu, Har. Jangan terlalu lama terbelit kesedihan atas kegagalan menikah dengan Purnomo di hari itu.” Kalimat itu bagai penyejuk hatiku yang terasa panas. *** “Nak, terimakasih telah membawa nenek ke rumah sakit, padahal Nak Purnomo sendiri sedang ada urusan yang lebih penting ” “IyaNek, sama-sama. Justru saya akan menyesal jika saya meninggalkan nenek dalam kondisi yang tidak baik.” “Baik budi sekali kamu, Nak. Semoga Tuhan senantiasa memberimu rahmat.” “Amin Ya Rabb.” Sekantong rindu tergenggam erat dalam hatinya. Merasa bersalah atas tindakannya meninggalkan calon istri dan keluarganya tepat dihari pernikahan tanpa berpamitan. Ingatannya baru tersadar, mencoba menghubungi Hartanti. Namun apalah kata, tak ditemukannya ponsel nyentrik di dalam sakunya. Dengan membawa segenggam harapan untuk merajut kisah baru bersama Hartanti. Purnomo berpamitan dengan nenek yang ditolong olehnya dan bergegas kembali ke tempat pernikahanya. Mesin mobil pun dinyalakan dan melaju kencang di aspalan kota Ketapang. Senja semakin tak sabar menyambut malam, namun Purnomo masih berada di tengah hutan. Perjalanan antara Rumah Sakit Fatima dengan desanya memang cukup jauh sekitar 10 jam. Di pertengahan jalan, Purnomo mulai mera19

Edisi XVIII/Th.12/2015


Setitik Tinta Merah di Tanggal Pernikahanku sakan laju mobil tidak stabil. Akhirnya dia turun. Dilihatnya ban mobil bagian depan sebelah kiri terkena paku. Posisi yang tidak memungkinkan untuk meminta bantuan, karena di tengah hutan. Purnomo memilih mengunci mobilnya, dan memilih berjalan kaki. Di depan rumah Hartanti, Purnomo melihat sisa-sisa bunga yang sudah terlihat layu. Didalam rumah sepertinya sudah tidak ada tanda kehidupan dari pemiliknya, gelap. Dengan hati yang penuh kesalahan, Purnomo memilih pulang dan akan menjelaskan kejadian yang sebenarnya terjadi esok hari. Biarkan waktu yang akan membawa cerita baru untuk kita, Har. *** “Hartanti, cepat pulanglah, ada yang ingin bertemu denganmu” “IyaMak, tapi siapa? Maukah dia menunggu? Karena di Puskesmas sedang banyak pasien.” “ Seorang laki-laki yang mau melamarmu” Aku sempat tertegun dengan perkataan emak, belum sempat aku bertanya siapa laki-laki itu, sambungan telepon sudah terputus. Hatiku gusar ingin segera pulang menemui emak, dan bilang kepada laki-laki itu, bahwa aku menolak pinanganya. Sesampai rumah, tak kujumpai seorang laki-laki didalam rumah. Aku merasa sedikit lega. Pukul 18.00 WIB, segera kuambil air wudhu untuk menunaikan salat maghrib. Kubuka Kitab cinta makhluk pada Tuhanya, surah ar-Rahman nyaring terdengar dari lantunan yang kubaca. Hatiku serasa sesejuk embun. Pikiranku mulai merasakan ketenangan yang tiada tara. Tak terasa setetes air mata jatuh pada sajadah cinta-Nya. Sayup-sayup kudengar dari kamar, perbincangan emak 20

Edisi XVIII/Th.12/2015


Cerpen dengan seorang laki-laki. Aku mengenali suara itu, seperti suara Mas Purnomo. Bergegas aku melipat mukena yang menghiasi tubuhku. Dengan tergesa, kuambil kerudung biru besar dari dalam lemari. Di ruang bercat ungu itu, seorang laki-laki bertubuh tegap dan berkemeja biru. Menatapku dengan pandangan mata kerinduan dan harapan. “Hartanti, duduklah kemari,” pinta emak dengan wajah yang sumringah “Bu bidan, maukah engkau mengobati pasienmu yang sedang sakit ini?” sambung laki-laki itu. Aku sedikit tercengang melihat sikap Mas Purnomo. Masih sempat ia menggodaku disaat seperti ini. Ingin aku memukuli badannya yang gagah itu, dan menangis dihadapannya karena membuatku seperti wanita yang terkasihani. Aku duduk disampingemak dengan diam. Akhirnya Mas Purnomo menceritakan ihwal kejadian dihari pernikahan itu. Hatiku sempat malu pada Tuhan setelah mendengar cerita itu. Di akhir kalimatnya, Mas Purnomo mengajukan satu kalimat yang membuatku tak ingin tidur. “Hartanti Maisarah, maukah engkau mengarungi lautan cinta Allah bersamaku ?” “Sucinya jiwamu dan terangnya langkahmu membuatku yakin bahwa engkaulah laki-laki yang sederhana namun mampu menyempurnakanku sebagai hamba yang punya cinta tulus pada sang Rahman.” *Penulis adalah mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika semester 4

21

Edisi XVIII/Th.12/2015


Seragam

SERAGAM Oleh: Dina Kamalia

Edisi XVIII/Th.12/2015

22


Cerpen Sore ini seperti kebanyakan ibu-ibu rumah tangga lainnya, aku merapikan almari pakaian. Lihatlah! Baju-baju yang tergantung di dalam almariku. Baju batik merah hati ini dengan motif mega mendung adalah seragam arisan guru. Ya, kalau tak salah dulu harganya mencapai gajiku selama sebulan sebelum aku diangkat menjadi pegawai negeri. Itu saja masih berupa kain. Maklum, waktu itu aku belum berkeluarga, tepatnya belum banyak tanggungan. Lalu, ada juga kebaya ungu yang menjuntai sampai betisku, seragam keluarga besar yang dipakai ketika keluarga dari mertuaku kumpul. Bisa dimaklumi saja, keluarga mertuaku itu memang sedikit perlente. Belum lagi, kalau ada pernikahan anak saudara yang mengharapkan kami untuk memakai seragam sekeluarga besar. Katanya biar terkesan apik dan menunjukkan keluarga yang solid. Itu juga, kami sebagai saudara terkadang harus membayar setengah dari harga belinya. Namun, kalau-kalau saudara yang punya gawe itu bekerja menjadi kepala pejabat tinggi pemerintah, kami tak perlu repot-repot membayar setengahnya lagi. Gratis. Aih, batik Semarangan dengan gambar tugu muda sebagai icon kota Semarang ini juga seragam. Seragam arisan kompleks yang dijadwalkan sebulan sekali pada tanggal 5. Arisan kompleks ini biasanya dihadiri pasangan suami-istri. Sebenarnya usulan membuat seragam ini sudah lama didengungkan oleh Bu Susilo enam bulan lalu namun baru terealisasi satu bulan kemarin. “Bapak-Ibu sekalian, perkumpulan arisan ini sudah lebih dari 20 tahun, saya selaku Ketua Arisan Kompleks Perumahan Borobudur hanya ingin menawarkan tentang pengadaan seragam arisan. Bagaimana Bapak-Ibu?� tanya Bu Susilo setelah ia dipilih sebagai ketua. Tiba-tiba saja, pikiranku melayang ke peristiwa enam bulan lalu. 23

Edisi XVIII/Th.12/2015


Seragam Mengetahui semua orang saling berbisik saja, Bu Susilo melanjutkan apa yang ada di pikirannya. “Seragam adalah simbol persamaan, Pak-Bu. Dalam arisan ini tidak ada status yang perlu dibanggakan dan dipamerkan. Arisan ini bukan ajang show off kok. Perkumpulan arisan ini bukan kumpul-kumpul thok. Bukan tidak mungkin kita warga perumahan saling kenal-mengenal, saling tolong-menolong to? Maka perkumpulan arisan inilah sebagai wadahnya. Kita harus menghapus anggapan warga perumahan minim sosialisasi, betul?” Dengan gaya Bu Susilo bak sedang mengisi pengajian. Kulihat Mas Aji, suamiku, sudah mengangkat tangan pertanda ia ingin berkomentar, “Saya setuju, Mbak Ratna. Seragam juga menghapus kelas sosial, dengan seragam kita semua sama di sini.” Ah, lagi-lagi Mas Aji memanggil Bu Susilo dengan nama aslinya Mbak Ratna. Memang, saat ini Bu Susilo sudah janda beranak tiga dan usianya terpaut lima belas tahun di atasku. Namun jangan salah, wanita paruh baya itu dandanannya selalu perfect di hadapan semua orang. Kulitnya masih tampak kencang, bibirnya selalu semerah darah, bulu mata panjang yang melengkung ke atas, dan hidung yang sudah mancung selalu diberi garis hidung sehingga tampak lebih mancung. Entah, bagiku, wajahnya selalu menampakkan kesegaran. Tak jarang, ia banyak digoda kaum adam. “Terima kasih, Mas Aji,” balas Bu Susilo. Kucubit perut Mas Aji yang duduk di sampingku. Ia sedikit mengerang karena kesakitan. Sebenarnya bukan apa-apa tapi aku jadi sedikit curiga dengan hubungan Mas Aji dengan Bu Susilo. Sejak meninggalnya almarhum Pak Susilo, suami Bu Susilo, Mas Aji selalu memanggil Bu Susilo dengan nama aslinya. Iya sih, Mas Aji dan Bu Susilo 24

Edisi XVIII/Th.12/2015


Cerpen memang pernah bekerja di kantor pemerintahan yang sama mungkin karena seringnya bertemu di kantor, Mas Aji dan Bu Susilo jadi akrab. “Apaan sih, Mas. Main setuju-setuju aja. Di rumah sudah banyak tuh seragam yang kita punya,” protesku pada Mas Aji. Memang, terkadang pikiranku tidak sejalan dengan Mas Aji. Aku dari kecil dilatih untuk berhemat karena aku tumbuh dari keluarga pas-pasan mau tak mau mempengaruhi kehidupanku saat ini. Ya, walaupun saat ini kehidupanku sudah lebih dari cukup. Namun, alasan utamanya bukan hal itu. Mas Aji tidak kepikiran apa dengan keluarga yang lain? Seperti keluarga Pak Harto dan Bu Harto, keluarga itu sedang tidak sehat ekonominya. Dua hari sebelumnya saja, Bu Harto kan pinjam uang ke rumah. Dasar Mas Aji, batinku. “Bagaimana Bapak-Ibu? Separuh akan diambilkan dari uang kas arisan. Setuju kan?” tanya Bu Susilo lagi. “Ya. . ya. . ya. . .” “Alhamdulillah, semua setuju,” ucap Bu Susilo. Di sudut ruangan, kulihat Pak Harto dan Bu Harto tak berkomentar apa-apa. Mungkin dua orang itu saja yang tidak setuju. Namun apalah arti dua suara dari empat puluh suara. Minoritas selalu disisihkan bahkan mungkin dianggap tidak ada. “Sekalian beli yang bagus saja, Bu. Tanggung, seragamnya kan hanya untuk sekali,” Bu Anwar menambahi. “Bisa diatur, Bu,” jawab Bu Susilo. “Masalah harga harus kesepakatan bersama juga ya Bu ya,” usulku sembari mataku melirik ke Pak Harto dan Bu Harto. “Betul apa yang dikatakan Bu Aji,” Bu Susilo menimpali. Sesampainya di rumah, peristiwa seragam itu membuat 25

Edisi XVIII/Th.12/2015


Seragam aku dan Mas Aji debat sendiri. Kalau bukan Mas Aji yang memulai, siapa lagi? “Bagus juga ya, Mah kalau kita sekeluarga punya seragam keluarga sendiri,” ujar Mas Aji. Aku geleng-geleng dan menepuk jidatku sendiri. Memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, aku jadi ingat mertuaku itu. Ah, tak jauh beda dengan Mas Aji. “Untuk apa, Mas? Biar kelihatan kompak, solid gitu? Seragam saat ini justru malah menunjukkan kelas sosial, Mas,” jawabku. “Ya ndak lah,” ia tetap kukuh dengan pendapatnya. “Coba Mas, liat. Dalam satu kantor saja, apa seragam satpam dan seragam pejabat tinggi sama? Apa seragam sopir dan direktur sama? Beda kan? Nah, tampak kan kelas sosialnya? Saat ini sedikit-sedikit seragam, bahkan mudamudi yang belum berkeluarga pun punya istilah, couple-an. Bukannya uang mereka lebih baik ditabung atau dibelikan buku. Ah, ada-ada saja” tuturku panjang lebar. “Hhmm….Kenapa Mamah jadi ikutan urusan anak muda? Ha ha ha. . .” Mas Aji justru terkekeh mendengar penjelasanku. Aku yang akhirnya terdiam. Memang kalau sudah hidup berdua dengan karakter yang berbeda sering menimbulkan perselisihan. Bisa dari masalah kecil, seperti mau makan dimana sampai tentang anak, mertua, ataupun yang lainnya. Lantas yang dibutuhkan adalah saling mengerti satu sama lain. Butuh penyelarasan untuk bisa berjalan bersama-sama. Bagiku, seperti halnya filosofi sepatu, walaupun berbeda, yang sebelah itu kanan dan sebelahnya lagi kiri namun karena diselaraskan keduanya bisa berjalan bersama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ah, pikiranku jadi melayang kemana-mana. 26

Edisi XVIII/Th.12/2015


Cerpen Oh ya, hari ini hari jum’at, sebentar lagi Mas Aji pulang dari kantor. Seperti biasanya sudah hampir lima tahun, Mas Aji pulang pada hari Jum’at dan berangkat pada hari Ahad atau Senin shubuh. Maklum sekarang Mas Aji dipindah tugaskan menjadi kepala di luar kota. Jadi mau tak mau ia sering di rumah dinas dari pada di rumah sendiri. Namun kalau ada acara di rumah, entah ada hajatan saudara maupun tetangga dekat pasti ia sempatkan untuk pulang. Setelah pakaian-pakaian terlipat dan tertata rapi dalam almari, aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Jimmy, putra pertamaku sedang les dengan guru lesnya selepas maghrib. Biasanya kami bisa berkumpul jam delapan atau setengah sembilan malam. Itupun kalau Mas Aji tidak terjebak macet. Namun kali ini mataku tertuju pada rak buku yang tampak awut-awutan. Jam masih menunjukkan pukul tujuh. Ah, paling butuh beberapa menit saja untuk merapikan rak buku itu, batinku. Belum sampai di dapur, kubelokkan langkahku ke rak buku di samping ruang TV. Biasanya Mas Aji yang paling sering merapikan rak buku. Ya, kebanyakan buku-buku di rak ini adalah milik Mas Aji semasa kuliah. Dan tak sengaja dari dalam buku tebal yang kurapikan itu, sebuah buku agenda terjatuh di atas kakiku. Aku sengaja membuka buku agenda tersebut. Lantas, kedua tanganku bergetar dan lidahku kelu melihat foto yang diselipkan dalam buku agenda itu. Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah, kusebut asma Allah berkali-kali dalam hati. Ada foto Mas Aji berpakaian sarimbit bersama seorang perempuan. *Penulis mahasiswa TBI UIN Walisongo 27

Edisi XVIII/Th.12/2015


Napas Cinta Puisi “Aku Ingin”

Napas Cinta Puisi “Aku Ingin” Oleh: Nur Kaokabbuddin

Edisi XVIII/Th.12/2015

28


Ulasan Sastra

Sastra itu dunia yang unik dan khas, dikatakan unik karena ia selalu bermain dengan aksara dan menjelma melalui perantara kata serta kalimat. Kata-kata yang bagi seorang sastrawan tinggi nilainya laksana manik mestika berharga mahal, karena hanya dengannya pun dapat mengaliri dan merasuki jiwa para penikmatnya. Menyuguhkan kedamaian, ketenteraman, dan optimisme untuk menjalani hidup. Sebagaimana menurut Sapardi (1979: 1) bahwa sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Pun seperti puisinya berikut ini:

Aku Ingin aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada Sebuah puisi sederhana dengan makna yang amat dalam sehingga bagi yang membaca atau mendengarnya pun akan merasakan keindahan puisi tersebut. Sebuah karya dari Sapardi Djoko Damono adalah seoarang sastrawan yang hebat, ia bisa mengemas sesuatu yang rumit menjadi hal yang sederhana. Sesederhana bait demi bait yang tersusun sempurna seperti puisinya di atas, tampak terlihat manis juga mengena. Dengan penggunaan bahasa yang indah, lukisan romantik yang dijadikan sebagai 29

Edisi XVIII/Th.12/2015


Napas Cinta Puisi “Aku Ingin�

suatu kesayuan nyanyian yang memanjakan perasaan orang yang mencinta. Lebih lanjut, dalam buku Tifa Penyair dan Daerahnya karya Dr. H.B Jasisin mengatakan salah satu pengucapan jiwa romantik ialah hasrat pada alam yang luas, tempat segala masih suci bersih, tak ternoda seperti kota. Dilukiskanlah alam itu menurut perasaan sendiri, apabila si pelukis sedang bergirang hati, maka dilukiskanlah alam itu sangat indahnya, warna-warna serba kemilau, awan gemawan berarak-arak, angin samar sepoi membawa harum bunga-bungaan dari jauh. Apabila hatinya sedang sedih, maka sedihlah pula seluruh alam, burung murai tidak berkicau, bulan bersembunyi di balik awan. Dalam kesedihan itu muncullah ucapan yang bersedu sedan karena derita yang tak tertanggungkan dalam dunia yang serba kejam ini. Rumi berkata “Sepertinya butuh pena yang banyak untuk menjelaskan hakikat cinta karena pena patah dan tidak kuasa untuk menulis�. Atau bisa saja tiba-tiba lidah bertulang pas disuruh untuk menjelentrehkan hakikat cinta. Tapi Sapardi dengan lihainya perasaan terdalam dari sang penyair memainkan kata demi kata sehingga tercipta sebuah karya yang mengetuk perasaan sang pembaca untuk mencari hakikat cinta sebenarnya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Leo Tosltoy yang mengatakan bahwa tujuan seni bukanlah untuk memecahkan soal-soal sulit. Tujuan seni adalah mengajak pembaca, audience, apresian, tertawa atau menangis, sehingga mereka dapat menyatakan hidup ini berguna. Seperti puisi tersebut sebagai suatu hasil dari seni sastra, berhasil menEdisi XVIII/Th.12/2015

30


Ulasan Sastra

gajak pembaca untuk tertawa, berbahagia, terharu, atau sampai menangis. Dalam arti paling lugu adalah pembaca menikmatinya. Di awal bait misalnya, pembaca diajak tersenyum simpul dengan pernyataan “aku ingin mencintaimu dengan sederhana”. Tetapi jika pembaca memahami bait-bait seterusnya, pada kata-kata “tak sempat” di bait-bait terakhir, itu menunjukkan kedalaman batin yang sendu. Dengan kata-kata yang indah, puisi tersebut seakan meraba-raba dan membuka horizon intuisi dan perasaan para pembaca. Misalnya pada kalimat “Kayu kepada api yang menjadikannya abu” dan “Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”. Melalui simbol-simbol, samar-samar, dan misterius, kalimat tersebut mengimplikasikan adanya pengharapan hubungan kedekatan antara satu dengan yang lainnya. Jika dikaitkan dengan sajak cinta antara dua insan manusia. Seperti kisah indah Majnun yang tergilagila pada Layla. Walau hanya dalam satu pertemuan. Tapi, pertemuan itu berbekas begitu mendalam pada Majnun. Ia ingin saling mengasih, bersatu dalam satu jiwa. Karena tidak ada restu dari keduanya, dalam derita dan kesedihan mendalam. Majnun mengembara mencari pengharapan pada sepucuk cinta yang tak berbatas yaitu Layla. Hingga sampai ia bertemu satu kali lagi sebelum kematiannya. Sebuah Pengharapan Pengharapan cinta yang sederhana, yang berharap untuk menjadi sebuah kenyataan. Barangkali karena cinta, api dan kayu menjadi abu dan hujan menjadikan awan tiada. Seperti mereguk api cinta pada jiwa yang siap untuk 31

Edisi XVIII/Th.12/2015


Napas Cinta Puisi “Aku Ingin”

terbakar di dalamnya. Sebab tanpanya hidup menjadi kehilangan nilai, mengutip perkataan Rumi: “Barangsiapa tidak memiliki api ini, hendaklah ia tidak ada”. Jika dikaitkan dengan cinta kepada sang pencipta cinta. Dua baris sajak di atas menggambarkan peleburan terhadap sesuatu yang dicintai, dan bisa jadi itu ditujukan kepada Allah. Karena cinta yang paling tinggi tingkatannya juga cinta yang membuat pelakunya bisa merasa menyatu atau melebur dengan sesuatu yang dicintainya tersebut. Dalam ilmu tasawuf kita pun mengenal wahdatul wujud. Cintanya mengantarkan pada penyatuan, sehingga tidak ada cara untuk mencapai keberadaan tanpa mengalami hal itu. Seperti cinta yang membinasakan kayu lalu mengubahnya menjadi abu, atau awan yang menjadikannya hujan. Puisi itu membawa jiwa rasa pada satu titik dimana pencarian hakikat. Selayaknya mengetahui bahwa cinta sebenarnya dan siapa cinta sebenarnya. Pun, “Aku Ingin” adalah sebuah harapan yang bisa dijadikan sebagai jalan menuju lika-liku pertanyaan mendasar. Misalnya, siapakah kita? dari mana kita datang? Apa yang kita lakukan di sini, dan kemana kita akan pergi? Sebab harapan akan membawa sang pengharap untuk berjalan mencari jawaban sampai menyelidiki ke dalam makna batin sampai dalam. Bernapaskan Ketuhanan Puisi Sapardi bisa dikatakan puisi sufistik, pengalaman makrifat cinta dan pengalaman cinta kasih. Dalam puisi sufistik dengan kecenderungan cinta kasih, citraan, dan lambang-lambang banyak diambil dari percintaan Edisi XVIII/Th.12/2015

32


Ulasan Sastra

antara pria dan wanita, atau cinta erotis. Karena dalam pengalaman cinta kasih termasuk cinta kasih terhadap Tuhan, orang dapat mabuk kepayang dan masuk ke dalam keadaan nanar. Hal dimana pengarang mencipta upaya mencari dan mendekatkan diri dengan Tuhan. Demikian juga, puisi Sapardi baik dalam plot maupun dialog merupakan sebuah karya yang membeberkan religiositas atau bernapaskan ketuhanan. Perasaan yang kuat yang ditonjolkan Sapardi pada bait-bait terakhir itu menunjukkan adanya hubungan kedekatan antara Tuhan dan manusia, lebih tepatnya sifat peleburan atau melebur. Atau juga adanya persamaan dan kebersatuan. Tapi, kesatuan dalam hal ini hanya dipandang sebagai wujud kesatuan spiritual saja, bukan kesatuan harfiah antarunsur. Karena di dalam puisi itu peran individu sangat menonjol, sebab yang diutamakan adalah bentukbentuk baru dengan isi kebenaran yang diyakini sang pencipta karya. *Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam semester 6

33

Edisi XVIII/Th.12/2015


Mawar Pemancar Supernova

Mawar Pemancar Supernova Oleh: Erni Handayani

Edisi XVIII/Th.12/2015

34


Resensi Judul Buku (Novel) Pengarang Penerbit Cetakan Tebal Buku Harga Resentator

: Rose In The Rain (Cerita Mawar dan Hujan) : Wahyu Sujani : DIVA Press : 1, Juni 2012 : 546 : Rp. 30.000 : Erni Handayani

Cinta dan perjuangan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Dimana ada perjuangan, disitulah cinta bersemayam. Manusia tidak jatuh ‘ke dalam’ cinta, dan tidak juga keluar ‘dari cinta’. Tapi manusia tumbuh dan besar dalam, cinta,”. Cinta, di banyak waktu dan peristiwa orang selalu berbeda mengartikannya. Tak ada yang salah, tapi tak ada juga yang benar dan sempurna penafsirannya. Karena cinta selalu berkembang, ia seperti udara yang mengisi ruang kosong. Cinta juga seperti air yang mengalir ke dataran yang lebih rendah. Tapi ada satu yang bisa kita sepakati bersama tentang cinta. Bahwa cinta, akan membawa sesuatu menjadi lebih baik, membawa kita untuk berbuat lebih sempurna. Mengajarkan pada kita betapa besar kekuatan yang dihasilkannya. Cinta membuat dunia yang penat dan bising ini terasa indah, paling tidak bisa kita nikmati dengan cinta. Cinta mengajarkan pada kita bagaimana caranya harus berlaku jujur dan berkorban, berjuang dan menerima, memberi dan mempertahankan Mawar di antara Ilalang Selaras dengan wacana di atas, Wahyu Sujani atau yang akrab dipanggil Kang Waway ini mengemasnya menjadi sebuah novel yang apik berjudul Rose In The Rain. Lakilaki kelahiran Bandung, 2 Januari 1982 dan lulus dari FKIP 35 Edisi XVIII/Th.12/2015


Mawar Pemancar Supernova Universitas Pasundan (UNPAS), Program Studi Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah pada tahun 2006 kali ini dia mengambil tema cinta dan perjuangan. Dalam novel ini dikisahkan Mashirah Alexandra, penulis dengan karyanya yang berjudul Ancienne Civilation Egyptienne; Taux de Pharaons aux Cotes du Sahara (Peradaban Mesir Kuno; Detak Fir’aun di Sahara) dan buku teologinya berjudul Oasis In The Midts of Hedonism, mampu menembus di pasar ilmu pengetahuan hingga belahan dunia dan diburu para kritikus andal dan peneliti untuk bahan tesis dan disertasi. Selain sebagai seorang penulis, Shira adalah pendiri Fastest Generations Paris (FGP), sebuah sekolah bimbel yang dibangun dengan uang tabungannyaselama menulis. Tak hayal jika Shira menjadi simbol kecerdasan kaum hawa. Mashirah Alexandra adalah wanita cantik bermata biru seperti mawar yang tumbuh diantara ilalang, penulis berpengetahuan luas, serta pendiri bimbel yang didatangi anakanak dari berbagai mancanegara. Namun siapa sangka, dibalik sederet wewangian yang dia tebar hingga memabukkan orang-orang, ada sesuatu yang patah dan getir yang ia sembunyikan di dalam hati, yaitu cinta. Mahligai yang telah ia bangun dengan Ahmad Hizazul Fikri, seorang seniman pasir terkenal asal Indonesia yang mampu mengambil hatinya harus kandas di tengah jalan. Shira tidak bisa memberikan keturunan kepada Fikri. Dengan sabar dan ikhlas, Fikri menerima kekurangan Shira. Namun masih dalam keegoisan yang tinggi, Shira tetap ingin bercerai dengan Fikri dengan alasan bahwa ia bukan wanita yang sempurna dan tak akan bisa membahagiakan suaminya. Dengan penuh kepasrahan, akhirnya Fikri menceraikan Shira. Shira memilih meninggalkan Indonesia dan menetap di Paris, agar kenangan bersama mantan suaminya itu tidak menambah perih dalam hatinya. 36

Edisi XVIII/Th.12/2015


Resensi Cinta dan hidup Shira bertambah tragis setelah megetahui bahwa mantan suaminya menikah dengan wanita cantik bernama Meyda. Shira tak bisa membohongi dirinya sendiri. Jauh di dalam lubuk hatinya, rasa cemburu terhadap Meyda terasa memburu. Siklus cinta akan selalu berputar, begitulah yang dirasakan oleh Shira. Banyak lelaki yang mengharapkan cintanya, namun tak satupun yang mampu menggoyahkan hati Shira. Hingga suatu saat, Shira dekat dengan seorang dokter asal Jermanbernama Max. Pengetahuan tentang islam yang dimliki Shira membuat Max menjadi mu’alaf dan sering mengajak Shira diskusi mengenai islam. Dari sinilah benih-benih rasa suka antara keduanya tumbuh dan terjalin selama dua tahun dan membuat Max Rahman menjadi yakin untuk segera meminang Shira. Namun hal ini berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Shira. Dengan segala pertimbangan akhirnya Shira memutuskan menolak pinangan Max, dan hal ini membuat hati Max hancur berkeping-keping merasa dipermainkan oleh Shira. Allah Maha Adil dan Kuasa Adakalanya seorang insan mendapat ujian dari penciptanya untuk meningkatkan derajatnya di dunia dan akhirat. Setelah penolakan cinta dengan Max, selang tiga minggu kemudian Shira dikejutkan oleh enam polisi yang datang kerumahnya. Seorang pimpinan polisi itu mengatakan bahwa Shira adalah pelaku teroris dalam peristiwa peledakan bom di Gereja Notre Dam. Kabar soal penangkapan Shira langsung merebak. Hampir semua stasiun TV Perancis dan beberapa negara Eropa tetangga menayangkan aksi penangkapanya. Melihat kejadian tersebut, para orang 37

Edisi XVIII/Th.12/2015


Mawar Pemancar Supernova tua yang anaknya menjadi siswa di FGP langsung menarik keluar dari bimbel. Di Kamp, tempat Shira di penjara, berbagai tindakan yang tidak manusiawi dia dapatkan bertubi-tubi. Berkali-kali Shira mengatakan bahwa dirinya bukan pelaku pengeboman itu, bukannya berhenti tetapi semakin bertambah saja kekerasan yang diterimanya. Di malam yang dingin, saat semua sudah terlelap dalam sunyinya malam, Shira melaksanakan taktik yang sudah dia rencanakan untuk keluar dari Kamp. Berkat kecerdasan dan pantang menyerah yang ia miliki, akhirnya dia terbebas. Setelah terbebas dari Kamp itu hidup Shira terlunta-lunta. Allah memang mencintai hamba-Nya yang taat. Beruntung Shira ditolong oleh laki-laki pembuat parfum yang biasa dipanggil Paman Cozzer dan memperkerjakan Shira. Penyamaran sebagai seorang pengemis yang penuh korengan dan pincang Shira jalani untuk bertemu dengan temanya bernama Zaenab. Berkat sahabatnya itu, Shira bisa menjejakkan kakinya di Indonesia dan bertekad untuk berjuang mengharumkan kembali namanya di mata dunia. Indonesia, kota kenangan dengan mantan suaminya terbaca secara nyata. Cinta yang masih terukir manis tidak bisa terhapuskan. Namun bukan ini yang dia pikirkan, dia harus berpikir keras menunjukkan pada dunia bahwa dia bukanlah seorang teroris. Shira adalah supernova yang pijarnya bisa membuka lorong waktu ke masa empat ribu tahun SM. Berkat bantuan dari Wakil Dubes dari Perancis dan Indonesiaserta para tokoh hebat Perancis, akhirnya nama Mashirah Alexandra harum kembali. Wahyu Sujani tak pernah alpa menyelipkan bait-bait puisi dalam cerita yang disajikan. Hal ini terlihat salah satunya pada akhir cerita, novel ini mengisahkan tentang cinta 38

Edisi XVIII/Th.12/2015


Resensi yang tumbuh kembali antara Shira dengan mantan suaminya, Ahmad Hizazul Fikri setelah Meyda berpulang pada Rabb nya dan Fikri meninggalkan selembar puisi pada Shira sebelum dia kembali ke Indonesia. Novel Rose In The Rain sangat menarik untuk dibaca,menggugah jiwadan memberikan semangat kepada pembaca dalam memaknai ceritanya. Alur dan karakter tokoh yang penuh warna dan kuat menyatu dalam geraknya yang dinamis.Berlatar kota Paris yang eksotis namun tetap islami membuat novel yang cukup tebal ini menarik untuk diselesaikan. Hanya saja mengingat peribahasa “Tidak ada gading yang tak retak�, sejumlah karya manapun juga mempunyai kekurangan. Seperti pada novel ini, pilihan katayang digunakan seharusnya adalah mantan suami, dalam novel ini diksinya menggunakan bekas suami yang tertera pada halaman 22. Terdapat pula kesalahan cetak pada kata kamu menjadi kaum yang terdapat pada halaman 208. Kertas yang digunakan kurang bagus kualitasnya. Layouter untuk sampul yang didesain juga kurang menarik pembaca. Dari novel ini kita dapat mengambil pelajaran barangsiapa yang menegakkan agama Allah maka seluruh intrik yang ada di dunia ini akan menjamunya sebagai tamu Allah yang istimewa. Novel ini menarik untuk dibaca siapa saja, terutama untuk wanita. Sesuai konsepnya yang inspirasional, novel ini memberikan kita banyak inspirasi, pesan dan kesan yang dapat mengalir hingga ke lubuk hati dan pikiran. *Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam semester 6 39

Edisi XVIII/Th.12/2015


Masjid di Tengah Kota

Masjid di Tengah kota Oleh: 窶連rsy

Edisi XVIII/Th.12/2015

40


Puisi

Diantara bangunan-bangunan nan megah Dikelilingi kantor dan pertokoan Kau abdikan dirimu kepada orang-orang yang hanya sejenak peduli padamu Sekarang abadi Tapi entah nanti bagaimana wujudmu Akankah kau tegeser oleh bangunan lain Ataukah..... Kau harus tetap gagah ditempatmu Kau sebagai pengingat manusia kan Tuhanya Kau sebagai saksi hamba yang bertaqwa pada Tuhanya Kau sebagai wadah air mata seorang Taib yang merenungi dosanya terhadap Tuhanya Ramai tapi sepi Banyak tapi sedikit Semoga tak menjadi predikatmu *Penulis adalah mahasiswa jurusan Kependidikan Islam semester 4

41

Edisi XVIII/Th.12/2015


Jalan Dakwah

JALAN DAKWAH Oleh: Ela

Edisi XVIII/Th.12/2015

42


Puisi

Ketika jiwa termenung merajam hati Dan menjebakku dalam suramnya dunia Ku menatap luasnya langit Berharap kan keluar dari dunia yang sempit Sebuah jalan dakwah? Mungkin inilah jalan yang harus ku tempuh Ku harus berjuang tanpa lelah Sampai ku berpijak di pelataran Janah Biarlah dicela mereka Biarlah dihina, dicerca mereka Biarlah hati terluka oleh mereka Namun, jangan pedulikan apa kata mereka Tapi sadarlah, Tuhan setia menemani Ketika tahta menguasai jiwa Bahkan Tuhanpun dianggap tiada Agama hanya jadi bahasa emosi dan perkuat diri Sadarlah wahai jiwa yang zalim Kemenangan yang kau rasa sebenarnya adalah kekalahan Surga yang kau rasa di dunia sesungguhnya jalanmu ke neraka Tidakkah cukup bagimu tertulis, Kematian Fir’aun yang melegenda? *Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Biologi Semester 4 43

Edisi XVIII/Th.12/2015


Sajak Sejak Kau Pergi

Sajak Sejak Kau Pergi Oleh : Pra math

Edisi XVIII/Th.12/2015

44


Puisi

Sejak kau pergi membawa semua Aku semakin terpuruk dalam paradoks yang tak ku inginkan Kau melihatnya bukan? Aku kehilanganmu. Terlepas dari senyum perkasamu Tubuhmu yang kecil tapi liat Kau pergi dan aku tak suka itu Kau dengar, AKU TAK SUKA Aku ingin kau kembali diantara kami Aku tak peduli tuhan mengutuk keinginanku Aku hanya ingin kau peluk Sekali saja seumur hidup Aku hanya ingin menikmati senyummu Sebelum kau pergi ke nirvana Tapi kini hanya lisanmu yang bisa kupandangi Hanya itu pengobat rindu penikung hati. *Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Matematika Semester 4

45

Edisi XVIII/Th.12/2015


Musafir

Musafir Oleh: Arjun

Edisi XVIII/Th.12/2015

46


Puisi

Kau dilahirkan dari rahim seorang ibu, yang kini dewasa Tak seperti bayi dulu, yang menyusu kepada ibu Tak lagi anak - anak, yang mangguk ketika diberi buku Dan bukan seorang remaja, yang tersesat dalam cinta semu. kau lahir bukan untuk hidup, bagi mereka yang mengetahui: baik dan buruk, salah dan benar. jika kau mengetahui, maka kecewalah karena tempat kau berpijak ini, telah rusak. Para penuntut muncul dari segala arah dan golongan arti tidak kepuasan terhadap penguaasa politik dimana - mana serigala berbulu domba. para penuntut pun keracunan tuntutan mereka sendiri seperti halnya, senjata makan tuan. hai pejalan apa yang kini kau cari? kau yang telah mengetahuinya apa yang membuatmu bertahan disini?. keadilankah? kedamaiankah? atau sudah cukup?. seperti yang kau pikir adil hanya ada dalam maya begitupun kedamaian. *Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Matematika Semester 4 47 Edisi XVIII/Th.12/2015




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.