Majalah
EDUKASI Ajang Pergulatan Intelektual Mahasiswa
EDISI XLIX/TH.XXIII
DESEMBER 2014
Salam Pers! Alhamdulillahirobbil ‘alamin. Hanya dengan kuasa-Nya, kita semua terbebas dari segala belenggu yang menawan kebebasan pikiran dan tindakan. Sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi semesta alam, Nabi Muhammad SAW. Berkat kegigihan beliau dalam menegakkan panji-panji Islam, kini umat Islam terbebas dari kegelapan dunia. Seperti dikatakan oleh Bapak Proklamator, Ir.Soekarno bahwa pemikiran, tindakan, dan karya adalah indikasi orang “merdeka”. Mengaca pada hal tersebut, segenap kru tiada lelah mendedikasikan diri demi hadirnya sebuah karya. Hingga pada akhirnya majalah Edukasi edisi 49 ini dapat sampai ke tangan para pembaca sekalian. Selamat! Hanya itulah kata yang pantas mewakili kegembiraan seluruh civitas akademika atas tercapainya hajat terbesar selama ini, yakni konversi IAIN menjadi UIN Walisongo Semarang. Dengan wajah baru bernama “universitas” itu, semoga benar-benar dapat mentransformasikan segala dimensi kehidupan ilmiah di kampus Walisongo. Jadi bukan hanya sekadar transformasi kelembagaan dan bangunan, tetapi juga transformasi keilmuan.
dari kami
Tidak terlepas dari suasana bahagia warga UIN Walisongo Semarang, tema majalah Edukasi edisi 49 kali ini mengusung tema “Konsep Unity of Sciences di PTAIN”. Nah, jauh sebelum kabar gembira mengenai pergantian wajah datang, IAIN Walisongo sudah merancang konsep keilmuan semacam apa yang akan diterapkan. Hanya saja, konsep yang dinamakan wahdatul ulum itu baru booming setelah kabar konversi ke UIN kian menemui kepastian. Kini, saat benar-benar menjadi UIN, seminar-seminar dan diskusi terkait wahdatul ulum kian marak digalakkan. Jika UIN Walisongo baru saja berganti wajah, berbeda dengan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, maupun PTAIN lainnya yang sudah lama bertransformasi menjadi UIN. Sebab terbilang baru itu, maka majalah ini akan membahas liputan yang tim redaksi lakukan di dua UIN di wilayah Jawa Tengah dan DIY, yakni UIN Maulana Malik Ibrahim dan UIN Sunan Kalijaga. Pembaca sekalian dapat menelusuri pemikiran tokoh-tokoh besar penggagas konsep keilmuan di dua UIN tersebut, diantaranya Prof. DR. M. Amin Abdullah dan Prof. DR. Imam Suprayogo. Selain menyajikan bahasan terkait unity of sciences, disajikan pula rubrik-rubrik lain yang menyegarkan. Akhir kata, “tiada gading yang tak retak”. Begitupula dengan sajian tim redaksi majalah Edukasi edisi 49 ini. Oleh karena itu, kami menerima kritik dan saran yang membangun. Pembaca yang budiman, selamat menjelajah cakrawala pengetahuan! Wassalamu’alaikum Warohmatulah.
Redaksi
IZIN TERBIT SK Dekan No.IN/D-3/HK.005/1021/1992 PELINDUNG Dekan FITK IAIN Walisongo Semarang PEMBIMBING Dr. Abdul Wahib M.Ag., Dr. Fatah Syukur, M.Ag., Dr. Syamsul Ma’arif, M.Ag. Ismail SM., M. Rikza Chamami, M.SI. PENANGGUNG JAWAB (Pimpinan Umum) Malikhah PEMIMPIN REDAKSI Lutfiyah Nur Zain SEKERTARIS REDAKSI M. Fikri Huda Bakhtiar TATA LETAK Ahmad Fahmi Ash Shiddiq REDAKTUR PELAKSANA Ahmad Basuki, M. Ali Maksum, Solikhatul Umami, Adin Nadia Ifati, Sulis Istianah, Ummu Habibah, Oftiana Irayanti W., Hayik Nikmatul Zainah, Novia Uswatun Hasanah, Mike Novia Indriyani, Eli Kusuma, Yaqutun Nafisah, Ahmad Faris Novianto, Laelatul Mukarromah, Purwowidodo, M. Fikri Nadzif, Syamsul Kharis, Slamet Lukman Chakim, M. Chusnul Fuad, Dina Kamalia, Lu’lu’ Fiddariyah, Lailatus Sa’adah, Ni’matussyifa. ALAMAT REDAKSI Gedung Student Centre Lnt. 2 Kampus II FITK UIN Walisongo Jl. Prof. Hamka KM. 01 Ngaliyan Semarang 50158 | TELEPON 024 7601296 | CONTACT PERSON 0899552608 | EMAIL mail@lpmedukasi.com | WEBSITE www.lpmedukasi.com | FACEBOOK LPM Edukasi | TWITTER @LPM_edukasi
DOK. EDUKASI
SURAT PEMBACA
Jaringan Wifi Belum Merata Proyektor Rusak Air yang tidak lancar sempat membuat bi-ngung para mahasiswa. Mahasiswa yang akan melaksanakan shalat harus bolak-balik mencari air untuk berwudlu, padahal waktu itu sedang musim hujan tapi kampus 2 malah krisis air. Selain itu, LCD proyektor yang ada di beberapa ruang kelas kondisinya tidak cukup baik sehingga menjadi kendala saat kegiatan perkuliahan berlangsung. Sering mati sendiri, tidak dapat dinyalakan, warna layar yang berubah-ubah, tidak terlihat jelas, bahkan ada ruangan yang tidak ada LCD nya. Hal tersebut sangat mengganggu mahasiswa maupun dosen ketika perkuliahan berlangsung. Fitri Zakiyyah TB 2013 Terima kasih saudari Fitri, memang disadari pada saat itu kampus kekurangan air karena bebarengan dengan pembangunan gedung samping Ma’had. Jadi untuk kedepannya air tidak akan kekurangan lagi. Kemudian masalah LCD memang ada beberapa kerusakan yang terjadi di beberapa kelas. Perbaikan pasti akan dilakukan, dan ada rencana untuk melengkapinya. Sehingga setiap kelas akan memiliki LCD. Namun hal itu juga memerlukan dana yang tidak sedikit, perlu pengkajian anggaran lagi.
Jaringan Wifi yang disediakan oleh kampus tidak dapat dinikmati semua mahasiswa. Sinyal yang tersedia hanya ada di beberapa titik, padahal terkadang kita membutuhkannya di ruang kelas. Terkadang juga tidak dapat diakses atau tiba-tiba mati sendiri. Sebaiknya, wifi disediakan di setiap gedung, sehingga mahasiswa tidak usah berkumpul di taman atau perpustakaan untuk berebut sinyal wifi. Zakaria Ahmad TBI 2013 Infrastruktur untuk akses internal akan ditingkatkan, baik secara kuantitas melalui peningkatan jumlah sarana (oleh Institut dan Fakultas), maupun dengan penerapan manajemen bandwith dan pengelolaan akses. Wenty Ketua PTPID
Ngaseri Kabag Rumah Tangga FITK
DOK. INTERNET
4 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
DOK. EDUKASI
Perpustakaan FITK Amburadul Perpustakaan FITK masih amburadul, mulai dari buka-tutup yang tidak sesuai dengan jadwal, buka terlambat dan tutup terlalu cepat. Kegiatan perkuliahan yang sampai sore seharusnya perpustakaan juga bisa buka sampai sore sehingga pelayanan dapat dinikmati. Selain itu, penataan buku yang kurang efektif sehingga menyulitkan mahasiswa untuk mencari buku. Jarak antara rak buku satu dengan rak yang lain terlalu sempit sehingga susah untuk bergerak dan mencari buku.
KRITIK SARAN IDE GAGASAN
Faizatun Nikmah KI 2011 Pantauan kami selama ini sudah berjalan sebagaimana mestinya, sehingga pengguna harus mencermati jam pelayanan, khususnya waktu istirahat karena untuk shalat jamaah dan jumat pagi yang bukanya jam 08.30. Mengenai perpustakaan yang buka sampai sore bahkan malam sudah diusulkan namun belum ada kebijakan dari fakultas karena perlu pengkajian lebih dalam lagi terkait SDM dan pendanaannya. Diakui memang jarak antara rak masih belum ideal, oleh sebab itu adanya kesadaran kepada pengguna untuk tidak membaca/duduk di antara rak. Juga perlu adanya perluasan perpustakaan sehingga pelayanan dapat maksimal. Fahrurozi Kepala Perpustakaan FITK
Kirim ke mail@lpmedukasi.com
Redaksi menerima kiriman untuk rubrik surat pembaca berupa pertanyaan, keluhan dan gagasan seputar kampus Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang. Surat yang dikirim dilengkapi identitas diri ke email: mail@lpmedukasi.com EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 5
DAFTARISI
LAPORAN UTAMA
12 UIN WALISONGO
MEMBANGUN KEMBALI BUDAYA DAN SEJARAH KAJIAN ISLAM
LAPORAN KAMPUS
30 ISLAM INDONESIA; SEBUAH SINTESA
WAWANCARA PROF. DR. M. AMIN ABDULLAH, MA. GURU BESAR UIN SUNAN KALIJAGA
20 PROF. DR. H. IMAM SUPRAYOGO GURU BESAR UIN MALIKI MALANG
22
36 PIMPINAN BARU, MENJEMPUT HARAPAN DAN MENYIKAPI TANTANGAN
01 DARI KAMI 02 SURAT PEMBACA 04 DAFTAR ISI 05 EDUSKET 06 FOKUS 10 MUQODDIMAH 26 ARTIKEL 34 OPINI
50 56 58 61 66 72 72
RAGAM SAINTIFIKA PUJANGGA CERPEN DIORAMA NUSANTARA SILUET
KOLOM // GEBER 08 // CINTA 44 // BAHASA // INGGRIS 46 // ARAB 49 // INFOGRAFIS
// MAKNA FILOSOFIS LOGO UIN WALISONGO 17 // // PIMPINAN BARU FITK UIN WALISONGO 38 // 6 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
RESENSIBUKU
// JATI DIRI ISLAM RAHMATAN LIL 窶連LAMIN 68 // // MENGENAL LEBIH DEKAT HOME SCHOOLING 70 //
KAMAL | EDUKASI
EDUSKET
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 7
FOKUS
Unity of Sciences: Branding UIN Agama dan sains dipandang sebagai dua entitas yang mustahil dipertemukan, memiliki wilayah sendirisendiri, dan terpisah. Untuk menepis anggapan dikotomi tersebut, upaya integrasi keilmuan marak dilakukan. Pada setiap wajah baru UIN, upaya tersebut menjelma dalam sebuah konsep bernama Unity of Sciences. Namun sayang, popularitas konsep tersebut baru sebatas branding, belum menjadi paradigma. Allah memerintahkan manusia untuk beriman dan berilmu pengetahuan (Q.S Al-Mujadalah/58:11). Ilmu pengetahuan yang dimaksud tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu umum. Jadi meskipun ada perennial knowledge dan acquired knowledge, secara ontologis, ilmu itu satu, bersumber dari Allah. Diimaginasikan, bangunan keilmuan itu “utuh”. Seperti pemikiran Al-Ghozali, jika hukum sholat lima waktu fardhu ‘ain, sedangkan hukum sholat jenazah fardhu kifayah, maka tidak boleh ada sekelompok orang menjalankan fardu ‘ain, sementara kelompok lainnya menjalankan fardhu kifayah. Orang yang bertugas menjalankan sholat lima waktu, ketika ada kematian, maka sebagian orang berkewajiban menjalankan sholat jenazah. Tidak boleh ada sekelompok orang yang memilih hanya menjalankan sholat jenazah, tanpa sholat lima waktu. Dari pemikiran Al-Ghozali dapat diartikan bahwa semua orang fardhu ‘ain mempelajari Al-Qur’an dan hadits, dan fardhu kifayah mempelajari salah satu disiplin ilmu, misalnya ilmu psikologi. Apabila telah mendalami ilmu psikologi, karena hukum mempelajari ilmu tersebut adalah fardhu kifayah, maka terbebas dari beban mempelajari disiplin ilmu lainnya. 8 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
Akan tetapi realitasnya umat Islam ada yang keliru memahami kewajiban menuntut ilmu. Ada yang mengira bahwa mempelajari ilmu agama yang fardhu ‘ain dapat dipisahkan dari ilmu umum. Ada juga yang memprioritaskan ilmu agama karena dipandang sebagai kunci kejayaan akhirat. Sikap semacam itulah yang membuat sekat (gap) antara ilmu agama dan sains. Parahnya, sekat tersebut semakin tajam dengan adanya pembedaan jenis institusi. Sekolah dan perguruan tinggi umum dipandang hanya memiliki misi mengembangkan ilmu-ilmu umum, sedangkan pesantren dan perguruan tinggi Islam dipandang hanya memiliki misi mengembangkan ilmu agama. Alhasil, praktek dikotomi ilmu seolah dilegalkan. MEMBACA SEJARAH Islam pada masa pra-imperialisme Barat tidak mengenal konflik apalagi dikotomi ilmu. Yang ada hanyalah hubungan harmonis, dimana ilmu agama dan sains saling terintegrasi dan berdialog. Namun pasca kejayaan Islam runtuh, dan renaissance di Barat membawa sekulerisme dan westernisasi menjalar ke penjuru dunia, termasuk dunia Islam,
akhirnya umat Islam mengalami kemunduran. Yang paling fatal adalah kemunduran dalam keilmuan dan pendidikan. Akibatnya, Islam yang pada dasarnya tidak mengenal istilah dikotomi, lambat laun terpengaruh ideologi Barat. Pendidikan agama tercerai dari ilmu-ilmu sekuler/umum, dan pendidikan sekuler tercerai dari agama. Buktinya di Indonesia, pada era kolonial, pondok-pondok pesantren hanya berorientasi pada pendidikan spiritual (agama) dan cenderung menegasikan ilmu non-agama. Agar pendidikan agama dan sains balance, muncullah gerakan modernis yang mengusung visi “ulama-intelek dan intelekulama” (Amin: 1968). Visi pembaharuan itulah yang kini tengah ramai digalakkan oleh institusi pendidikan tinggi Islam. Untuk merealisasikan visi tersebut, beberapa institusi pendidikan tinggi Islam memilih bertransformasi menjadi UIN. Beberapa diantaranya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan UIN Walisongo Semarang. MODEL INTEGRASI “Ilmu tanpa agama, buta. Agama tanpa ilmu, lumpuh.” Itulah mengapa agama dan sains harus berdialog dan membangun satu kesatuan. Namun fakta bahwa hubungan keduanya merenggang dan tidak lagi bertegur sapa membuat para cendekiawan muslim sepakat melakukan integrasi keilmuan. Beragam pendekatan digunakan dalam merumuskan paradigma integrasi keilmuan. Misalnya Prof. Amin Abdullah dengan pendekatan integrasi-interkoneksi yang mempertemukan ilmu-ilmu agama Islam (hadlarah al-nash), ilmu-ilmu umum (had-
larah al-’ilm), dan filsafat (hadlarah al-falsafah), sehingga tidak ada pemisahan apalagi konflik. Dengan pendekatan tersebut muncullah scientific spider web sebagai visualisasi konsep Unity of Sciences di UIN Sunan Kalijaga. Untuk konsep Unity of Sciences di UIN Malang, Prof. Imam Suprayogo menggunakan pendekatan Al-Ghazali bahwa “ilmu itu satu kesatuan” dan sumbernya dari Allah. Adapun visualisasi konsep Unity of Sciences melalui sebatang pohon mengandung gagasan, agama sebagai pengembangan sains, dan sains merupakan bagian dari kajian keagamaan Islam. Menggunakan pendekatan yang sama dengan UIN Malang, para penggagas konsep Unity of Sciences atau lebih dikenal wahdatul ulum di UIN Walisongo memvisualisasikan konsep integrasi keilmuan dengan diamond, dimana sumbu dan sisinya saling berhubungan layaknya ilmu pengetahuan. Adapun strategi untuk mengimplementasikan paradigma Unity of Sciences, UIN Walisongo memilki tiga strategi yakni humanisasi ilmu-ilmu keislaman, spiritualisasi ilmu-ilmu modern dan revitalisasi local wisdom. Masih menggunakan pendekatan yang sama dengan UIN Malang dan UIN Walisongo, UIN Jakarta menggunakan paradigma integrasi ilmu dialogis dari Ian G. Barbour. Tidak ada visualisasi konsep Unity of Sciences di UIN Jakarta seperti beberapa UIN lainnya. Namun spirit integrasi ilmu tersebut dituangkan secara operasional dalam kebijakan kurikulum, mulai dari penyusunan silabus, perumusan pokok bahasan, sampai cara penyajian materi kuliah. Dari segi konsep, konsep Unity of Sciences milik UIN Sunan Kalijaga terlihat lebih moderat, memiliki spektrum lebih luas, dan tidak hanya memandang relasi-integrasi ilmu agama-sains (integrasi-interkonektif) namun juga memperhatikan relasi-integrasi antarsesama ilmu agama
(integrasi-intrakonektif). Sementara model integrasi UIN Jakarta terlihat lebih bersifat taktis pragmatis (tampak dari program studi dan bidang keilmuan yang sangat beragam), menekankan pada aspek aksiologi, dan tidak dijabarkan lebih jauh menjadi bagian dari sistem akademik dan kurikulum yang rigid maupun dalam sistem penjaminan mutu. Bila dibandingkan dengan dua model integrasi keilmuan tersebut, model integrasi UIN Malang lebih konsisten, baik secara ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Terlepas dari keunggulan dan kelemahan, sejatinya semua konsep Unity of Sciences memiliki tujuan yang sama, yakni mengakhiri dikotomisasi ilmu, dan mencetak sarjana muslim yang master sains dan agama (intelekulama) maupun master agama dan sains (ulama-intelek). Hanya saja setiap lembaga berbeda dalam menvisualisasikan konsep integrasi. PENERAPAN KONSEP Menilik implementasi konsep Unity of Sciences di UIN, kendala yang umumnya dijumpai adalah persoalan konsep integrasi keilmuan yang masih sebatas wacana (belum aplikatif) di kalangan mahasiswa, mungkin juga di kalangan sebagian tenaga pendidiknya. Meskipun dapat dimaklumi karena transformasi menjadi UIN belum lama, dan untuk menanamkan sebuah paradigma memakan waktu yang tidak sebentar, pihak yang bersangkutan hendaknya mengembangkan pemahaman konsep terlebih dahulu di kalangan internal (stakeholders dan sivitas akademika kampus) sebelum mensosialisasikan kepada eksternal kampus. Persoalan lain yang dapat dipelajari dari implementasi konsep integrasi keilmuan di UIN Sunan Kalijaga adalah persoalan teknis dalam implementasi di berbagai program studi karena luasnya spektrum model kajian integrasi. Akibatnya hasil imple-
mentasi yang lebih konsisten sulit dicapai. Meskipun konseptualisasi integrasi keilmuan telah diterjemahkan menjadi bagian dari kebijakan akademik dan pengembangan keilmuan (terlihat dari konten kurikulum, SAP perkuliahan, dan sistem penjaminan mutu), namun proses supervisi dan evaluasi terhadap capaian implementasi integrasi keilmuan belum menjadi prioritas perhatian. Dari persoalan di atas, konsep Unity of Sciences yang ada seolah hanya menjadi penghias bukubuku kurikulum, filosofis katakatanya namun sulit dimengerti maknanya. Alhasil, konsep rentan menimbulkan kendala dalam penerapan, tidak dihayati secara mendalam sebagai paradigma keilmuan, dan akhirnya hanya menjadi branding atau project konversi UIN. Jika enggan demikian, penyelarasan makna dari konsep di kalangan sivitas akademika maupun stakeholders kampus mutlak diperlukan. Selain itu, berkaca pada lembaga lain yang sudah berhasil menerapkan konsep juga diperlukan. Ini bertujuan untuk memacu spirit pengembangan konsep sehingga dapat memaksimalkan pencapaian. Dalam hal ini yang patut dicontoh adalah UIN Malang. Konsep integrasi keilmuannya matang secara konseptual dan kuat dalam implementasi. Hal itu karena penerapan konsep didukung oleh kepemimpinan yang kuat, administrasi akademik dan kurikulum yang sistematis, serta penjaminan mutu yang konsisten. Keberhasilan tersebut dapat terlihat dari pembangunan Ma’had al-Jami’ah yang diwajibkan bagi seluruh mahasiswa/i baru untuk semester satu dan dua, berkembangnya unit pengembangan bilingual (Arabic-English) dan unit khusus pembelajaran Tahfidz Al-Qur’an, serta produk karya ilmiah dosen dan mahasiswanya. [E] -Pemred –
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 9
EDUKASI
Kolom
GEBER
OLEH : HAYIK NIKMATUL ZAINAH | MAHASISWI TBI 2011
“JIKA SEKAT YANG DICIPTAKAN OLEH SEBUAH PINTU TERLALU KAKU, MAKA SEBUAH TIRAI BISA MENGGANTIKANNYA.”
K
amus bahasa Indonesia memaknai geber sebagai tirai atau layar dalam pertunjukan wayang. Ia berperan sebagai si pencipta siluet. Hamparan geber yang putih bersih diantara riuhnya lampu sorot mengukuhkan eksitensinya di malam pentas pertunjukan wayang. Duduk di barisan penonton dan menghayati kisah Mahabharata atau Ramayana dari balik geber, kita akan merasakan nuansa magis dalam visualisasi hitam putih. Menikmatinya di malam yang semakin larut diselingi sedikit kantuk. Geber adalah tirai itu Dalam sejarah wayang yang saya kenal, kita seharusnya menikmati ceritanya dibalik geber. Jika bisa jadi penikmat yang baik niscaya kita akan terbenam dalam kisahnya meski hanya berupa bayangan di hamparan layar. Tapi benarkah kita adalah penonton dibalik layar? Penonton macam apa yang disuguhi pertunjukan dibalik layar? Memang begitu kenyataannya. Saat kita berada di balik sesuatu maka kita berada di belakangnya. Berada di balik geber maka kita menonton di belakang layar. Jika penonton di belakang layar lalu dimana dalang beserta para penabuh gamelan bertugas? Saat Pandawa dan Kurawa sedang beradu laga, dhalang, yang 10 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
tugasnya ngudhal piwulang memainkan peran sentralnya sebagai narator dibalik hamparan geber. Dalang adalah sang sutradara. Sudah sewajarnya ia berada di balik layar bersama krunya. Ya, dibalik layar. Bersama penonton. Sebenarnya tidak benar-benar bersama penonton. Jika dalang dan penonton berada di balik layar, berarti ada dua pihak yang berada di balik layar. Benar. Dalang dan penonton berada dibalik geber yang sama. Hanya saja masing-masing berada di sisi yang berbeda. Begitulah Siapa dibalik siapa. Siapa berada di sisi yang mana. Kita sering terlalu serius memaknai tirai itu. Tirai berarti sekat. Memandang dari salah satu sisi yang ini, mengabaikan sisi yang itu. Bahkan kita sering menciptakan sekat-sekat yang lain sepanjang hidup. Merasa sudah puas tinggal di sisi sekat yang ini dan memicingkan mata terhadap kehidupan dibalik sekat yang lain. Entah itu urusan sosial atau soal pakaian yang akan dipakai. Selalu ada sekat yang menyertainya. Rupa sekat tak melulu senyata geber di pentas wayang. Ia bisa saja serupa garis Walache yang memisahkan fauna Sumatera dan Papua. Seperti ekuator yang akhirnya beranak pinak menjadi garis lintang dan garis bujur di
sekitarnya. Meski tak kasat mata efeknya sangat nyata. Berkat garis itu tak akan ada daerah yang memiliki koordinat yang sama di muka bumi ini. Karena garis itu pula masyarakat Bali dan Banyuwangi harus mengatur jam dinding mereka sesuai garis yang disepakati, meski bertetangga. Di belahan bumi lain ‘geber’ tak selalu bermakna tirai. Di era kekhalifahan Harun Ar Rasyid, Geber justru nama seorang cendekiawan yang berpengaruh di masanya. Kita memanggilnya Abu Musa Jabir ibnu Hayyan. Keharuman namanya tak hanya tercium di kalangan Timur, namun juga merebak hingga ke Barat. Tak ayal lagi ketika nama Jabir sampai di barat, lidah mereka terpeleset menjadi Geber. Beruntunglah Geber. Ia hidup semasa khalifah yang termasyhur akan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan. Di bawah kepemimpinan Harun, tegaklah sinar keilmuan lembaga Baitul Hikmah ciptaan sang khalifah. Untuk itu tak ada ruginya sama sekali ketika Geber yang asli Khurasan (Iran) hijrah menuju Baghdad. Negeri itu bak magnet yang menarik keinginan para pecinta ilmu untuk datang. Negeri seribu buku. Negeri seribu satu ilmu. Sebuah negeri yang pancaran keilmuannya ibarat mercusuar dalam kegelapan bangsa-bangsa di sekitarnya. Memungkinkan
kemakmuran hidup sang alkemis seperti Geber dan kawan-kawannya. Memungkinkan peradaban Islam dikagumi dan tersiar hingga ke barat. Membuat bangsa lain di Eropa cemburu karena masih saja terpuruk dalam kelamnya atmosfer keilmuan di sana. Setelah itu, tak terlihat lagi cahaya yang terpancar dari mercusuar. Cahayanya tak padam. Ia hanya beralih ke sisi lain. Cahaya itu meninggalkan Baghdad. Menyisakan nama harum Harun setelah ia wafat. Menyisakan nama Geber yang dipuja di Barat karena ratusan karyanya di bidang filsafat, astronomi, farmasi, fisika, dan juga kimia. Mewariskan The Book of the Composition of Alchemy kepada dunia. Masa-masa setelahnya muncullah geber bernama ‘ilmu’ dan ‘agama’ yang menjadi sekat generasi penerusnya dengan era emas peradaban moyangnya. Ia muncul bak tembok raksasa yang memisahkan dua sejoli yang tak terpisahkan. Tapi toh sejak sekat itu ada, dua sejoli akhirnya terpisah juga. Sekat itu kuat dan semakin kuat. Saking kuatnya, ia bahkan bisa menyumbat akal orangorang yang hanya hidup di salah satu sisinya saja. Orang-orang yang hanya mempercayai bahwa firman-Nya hanya ada di masjid dan kitab suci-Nya. Mereka tak tertarik untuk menemukan universalitas firman-Nya di hamparan rumput, gugusan bintang, luasnya lautan atau di dalam ceruk gua penuh stalagmit. Mereka acuh mengenai firman Sang Maha Esa yang bisa mereka temukan di laboratorium, di gravitasi nol, bahkan di satelit bernama Bulan. Kaki mereka yang tak pernah dipakai ‘berjalan’ untuk memahami ciptaan-Nya itu pun mengerdil. Mereka akhirnya jatuh saat berjalan. Di sisi yang lain dari tirai itu sekelompok orang berjalan den-
gan langkah tegap dan angkuh. Meski buta, mereka telah memperhitungkan setiap langkah yang akan mereka ambil. Hanya saja mereka tak tahu bahwa sebuah batu bisa saja dilemparkan di sebuah jalan yang mereka lewati. Ketika seseorang memberitahunya lewat isyarat tangan bahwa batu itu ada di depannya, si buta tadi tak mampu memahaminya. Ia pun jatuh. Keduanya tersungkur dibalik sekat-sekat itu. Salah satu dari mereka adalah kita. Yang tersungkur dibalik tirai dan hanya puas jadi penonton saja. Dibalik tirai itu, dengan dalih mengagungkan Tuhan, kita justru mengkultuskan yang selain Tuhan. Memuja pemimpin sebagaimana memuja dewa-dewa. Di balik tirai itu pula kita mencaci dunia dan menafikan peran kita untuk dunia itu sendiri. Alih-alih mengkultuskan kehidupan di salah satu sisi tirai tempat kita berada. Kini cahaya mercusuar memancar ke Barat. Revolusi melawan kebodohan telah ditegakkan. Ilmu pengetahuan yang lahir di negeri Timur diboyong ke sana. Peradaban Islam muram. Yang tersisa hanya puing-puing kecilnya saja. Ketika penjajah mencium aroma tropis dan wanginya rempah-rempah Indonesia, mereka membawa serta ilmu pengetahuan ke dalamnya. Dari sanalah sekat itu semakin terlihat. Ironisnya, bertahan hingga kini. Mereka, walanda itu, membawa paradigma baru. Namun orangorang pribumi tak menyadari bahwa dibalik keangkuhan mereka ada ilmu pengetahuan yang dibawa serta. Berawal dari kebencian terhadap mereka, maka serta merta yang dijajah menolak globalisasi. Menolak metode ilmiah. Menolak memahami firman-Nya lewat sistem kelas buatan asing. Habislah sudah. Karena terlalu
sinis, kita bangga hanya dengan menduduki sisa-sisa kejayaan dalam cerita. Malangnya, kita tak mau mencari material untuk membuat bangunan kokoh yang mantap jaya. Dimanapun kita berada, entah di sisi yang ini atau yang itu dari tirai yang kita letakkan sendiri di kehidupan ini, kita telah memilih. Sang alkemis bernama Geber itu telah memilih hidup di kedua sisi tirai. Atau mungkin ia sama sekali tak mengenal ada tirai dalam pejalanannya sebagai manusia. Ia mempelajari isi dalam kitab sucinya melalui kitab kimianya. Bagaimana dengan kita? Di sisi mana kita memilih peran? Geber adalah tirai itu Kita adalah penonton dalam pertunjukan wayang. Kita boleh cukup puas menikmati siluet wayang hanya dari sisi geber di kursi penonton. Namun jika goresan warna-warni dalam tubuh wayang akan membuat kita semakin mencintai pertunjukannya, maka lihatlah dari sisi yang lainnya. Masyarakat berubah, cara menikmati wayang pun berubah. Kini masyarakat lebih senang menonton wayang dari depan. Lebih asik, katanya. Apapun itu, pemahaman menyeluruh terhadap serangkaian elemen dalam pentas wayang -dhalang, sindhen, nayaga- semoga semakin menggugah kita tentang nilai ceritanya. Pemahaman terhadap ayat-ayat-Nya lewat beragam keindahan jagat raya, semoga mengukuhkan pondasi spiritualitas kita terhadap-Nya. Jika sekat yang diciptakan oleh sebuah pintu terlalu kaku, maka sebuah tirai bisa menggantikannya. Jangan terlalu kaku. Sibaklah. Temukan keindahan dibaliknya. Selamat menonton. [E]
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 11
MUQODDIMAH
M
asih ingatkah Anda? Saat duduk di bangku sekolah dasar (SD), guru Anda pernah menjelaskan tentang “Teori Darwin”. Apa yang dikatakan guru Anda mengenai teori tersebut? Guru Anda pasti mengatakan bahwa menurut teori tersebut, manusia mengalami perubahan fisik secara evolusi, dari mirip kera hingga berwujud sempurna seperti manusia modern saat ini. Nah, pernahkah terbersik dalam benak Anda sebuah pertanyaan mematikan? Apalagi bila Anda seorang muslim. Anda tentu berpikir, bukankah Islam mengajarkan bahwa asal mula manusia di bumi itu dari Adam dan Hawa? Keduanya diciptakan dalam bentuk sempurna, dan bukan seperti kera.
12 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
Bagaimana bisa Darwin mengatakan demikian? Manakah yang benar? Lalu apa kata guru Anda setelah mendengar pertanyaan semacam itu? Ya, tepat sekali! Guru Anda akan tercengang alias tak habis pikir. Hal itu karena sang guru mengalami kegalauan yang sangat. Ia sebenarnya juga tidak tahu bagaimana menjelaskan dua hal yang sangat berbeda. Akhirnya, Anda pasti mendapat penjelasan yang kurang memuaskan seperti ini, “Wallahu a’lam bis shawab, hanya Allah yang tahu kebenarannya, Nak.” Dari fenomena itu, tampak sekali ketidakharmonisan antara ilmu agama dan ilmu umum seperti biologi. Diantara keduanya seolah-olah ada sekat pemisah yang begitu besar sehingga seakan-akan berdiri sendiri-sendiri. Pada-
hal, ilmu-ilmu itu hakikatnya berasal dari Allah karena sumbernya berupa wahyu. Jika memang demikian, mengapa terjadi pemisahan, pembedaan, ketidakharmonisan, atau disebut “dikotomi” ilmu agama dan ilmu umum? Mari kembali ke historis abad 15 M, dimana kala itu terjadi konflik agama dan sains. Galileo, seorang ilmuwan yang berani mengatakan hal yang berlawanan dengan fatwa gereja. Ia menentang dogma gereja bahwa bumi merupakan pusat tata surya (geosentris). Sejak itulah kemudian hubungan agama dan sains menjadi tidak harmonis. Hubungan itu semakin tidak harmonis atau mengalami puncak konflik setelah Charles Darwin (abad 19) meluncurkan buku The Origin of Species (terkenal dengan Teori
TRANSFORMASI STAIN KE IAIN, MAUPUN IAIN KE UIN ADALAH SALAH SATU PENCAPAIAN DARI UPAYA PENYATUAN SEKALIGUS HARMONISASI AGAMA DAN SAINS DI INSTITUSI PTAI
Evolusi Darwin). Memasuki abad 20, konflik agama dan sains mulai mereda. Hingga abad 21, orang-orang justru berusaha mengkaji hubungan agama dan sains, kemudian menyatukan kembali hubungan antara keduanya. Seperti dilakukan para pemikir Islam di lembaga pendidikan tinggi agama Islam (PTAI) misalnya. Transformasi STAIN ke IAIN, maupun IAIN ke UIN adalah salah satu pencapaian dari upaya penyatuan sekaligus harmonisasi agama dan sains di institusi PTAI. Mengapa demikian? Ini berkaitan dengan fenomena guru dan teori Darwin. PTAI seperti STAIN dan IAIN misalnya. Selama ini masyarakat memandang STAIN atau IAIN hanya mampu
mencetak lulusan yang ahli ilmu ukhrawi tanpa berbekal pemahaman terkait ilmu duniawi, sehingga apabila dimintai penjelasan tentang kaitan agama dan sains, lulusan masih ragu. Contohnya saat ditanya tentang persoalan teori Darwin dan kaitannya dengan agama. Inilah yang kemudian mengharuskan para pemikir di STAIN ataupun IAIN untuk merumuskan konsep keilmuan yang tepat sehingga mampu bertransformasi menjadi “universitas�. Tujuannya tidak lain agar tercipta nuansa harmonis antara ilmu agama dan sains. Goal akhirnya tentu pada lulusan yang ahli agama juga ahli sains atau ahli sains juga ahli agama. [E]
KAMAL | EDUKASI
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 13
UIN WALISONGO MEMBANGUN KEMBALI BUDAYA DAN SEJARAH LAPORAN: PURWOWIDODO - FIKRI HUDA - NOVIA KOMPLEKSITAS PROBLEMATIKA YANG LAHIR DARI DAMPAK MENJAMURNYA DIKOTOMI KEILMUAN AGAMA DAN SAINS TAK AYAL MENIMBULKAN KEPERIHATINAN MENDALAM DARI BERBAGAI KALANGAN ILMUWAN. KEHADIRAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) DENGAN VARIAN PARADIGMA, METAFORA SERTA STRATEGI IMPLEMENTASI SEDIKIT MEMBERI ANGIN SEGAR ADANYA UPAYA UNTUK MENGELIMINASI KEILMUAN YANG CENDERUNG BERCORAK DIKOTOMIK.
14 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
Majalah
EDUKASI
A
LAPORAN UTAMA
DOK. INTERNET
Ajang Pergulatan Intelektual Mahasiswa
min Abdullah, mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dalam acara seminar tentang “Islam, Science, and Civilization, Prospect and Challenge for Humanity” yang digelar oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Walisongo bekerjasama dengan Universitas Teknologi Malaysia pada Rabu, (19/11) di Hotel Pandanaran, mengatakan, agama dan ilmu pengetahuan (sains-red) selama ini memang terkesan tidak berdialog dan saling meninggalkan satu sama lain. Diakui atau tidak, hingga saat ini hubungan antara agama dan sains masih ibarat dua jalur yang antara satu sama lain belum menemukan titik perjumpaan. Keterpisahan (dikotomi-red) antara dua disiplin itu pada akhirnya menelurkan suatu justifikasi yang sempit di tengah masyarakat, bahwa keduanya memang tidak pernah dan tidak akan bertemu sampai kapanpun. Hal ini tak ayal memiliki implikasi yang cukup buruk bagi eksistensi perguruan tinggi islam. Sehingga nampak sekali dijumpai pada lembaga pendidikan islam terkesan masih menampilkan diri sebagai perguruan tinggi yang kolot, tertinggal dari peradaban modern, lamban dalam merespons kemajuan, kurang kompetitif, kurang dinamis, dan tidak mampu menarik perhatian kalangan yang lebih luas. Tidak heran, kini agama nampak jauh tertinggal dibandingkan dengan pesatnya kemajuan sains. “Tidak bisa dipungkiri bahwa keilmuan agama memang belum bisa berkembang dengan baik. Namun jika dibiarkan, agama akan sangat tertinggal. Semisal 20 (agama) banding 80 (sains), maka sangatlah bahaya sekali,” tutur Amin Abdullah, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga. Berangkat dari kegelisahan
itulah, maka upaya reintegrasi antara dua kubu keilmuan merupakan suatu keniscayaan. Sebagaimana dilansir oleh situs resmi www.uinsby.ac.id, Nur Syam, mantan Rektor UIN Sunan Ampel, Surabaya mengatakan, transformasi IAIN ke UIN merupakan keharusan sejarah, sebab pengaruhnya besar sekali bagi masyarakat. Dengan nada yang sama, Amin, sapaan akrabnya menambahkan, bangunan ilmu pengetahuan yang dikotomik antara sains dan ilmu agama harus diubah menjadi bangunan keilmuan baru yang lebih holistik-integralistik. Hadirnya upaya perubahan beberapa perguruan tinggi agama islam untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum menandakan sebuah proses kesadaran yang lebih maju. Dimana selama ini IAIN memang masih dianggap sebagai kampus yang hanya memproduksi guru-guru agama atau calon-calon ustad. Akhirnya ada stigma bahwa alumni atau lulusan dari IAIN merupakan ustad atau guru agama. Sehingga dalam dekade terakhir ini adanya transformasi IAIN menjadi UIN merupakan bagian dari usaha mengintegrasikan beragam keilmuan untuk mengeliminasi dikotomi antara sains dan ilmu agama. Dalam hal ini, Imam Suprayogo, mantan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang memberikan kritikan, selama ini perguruan tinggi dengan label islam masih terkesan hanya melahirkan para sarjana yang berkutat dalam ranah kemodinan semata (Modin adalah sebutan untuk pegawai masjid atau orang yang mengurus suatu pekerjaan bertalian dengan agama islam). Oleh karenanya, lanjut Imam, sapaan akrabnya, STAIN atau IAIN harus dirubah menjadi UIN. “Hal ini sebagai upaya agar tidak memberikan kesan bahwa islam itu hanya moEDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 15
Majalah
EDUKASI
LAPORAN UTAMA
Ajang Pergulatan Intelektual Mahasiswa
Perubahan IAIN menjadi UIN selain karena adanya keinginan untuk memberikan peluang yang lebih besar kepada para lulusan UIN untuk berkiprah di tengah masyarakat, juga karena ingin menghilangkan paradigama dikotomi ilmu yang diwariskan abad pertengahan. ABUDDIN NATA din. Kasihan, islam akan terkesan hanya menyiapkan tenaga-tenaga kemodinan saja, maka islam akan terbelakang,” ujar Imam, Guru Besar UIN Maliki. Dalam kesempatan yang berbeda, Amin, mantan Wakil Direktur Program Pascasarjana (PPs) UIN Sunan Kalijaga menjelaskan, dalam catatan perjalanan antara tahun 1980 sampai 2000 dapat dilihat kemajuan ilmu nampak terus berkembang begitu pesatnya. Di sisi lain, mulai terasa bahwa keilmuan agama belum bisa berkembang dengan baik. Dia, lanjut Amin, masih dalam corak yang lama. “Inilah tantangan terus-menerus yang harus dipikirkan, kalau tidak dia pasti punya implikasi dalam kehidupan sosial, kehidupan politik, dan kehidupan masyarakat pada umumnya,” tandas Amin, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Komisi Kebudayaan. Kesadaran itulah yang akhirnya memunculkan perlu adanya upaya secara serius untuk mengintegrasikan keilmuan agama dan sains. Amin mencontohkan, semisal kajian fiqh sekarang tidak hanya dipelajari fiqh yang ada secara umumnya, tapi harus coba diintegrasian dengan sosiologi. Permisalan lain dalam kajian aqidah, bagaimana pemahaman-pemahaman aqidah harus ada nuansa-nuansa sosial, budaya, dan sains.“Nuansa itu harus terintegrasi, karena tanpa hal itu, kita akan terbelakang terus dengan perkembangan nasi16 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
onal,” tegas Amin, mantan Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga. Abuddin Nata, Guru Besar Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagaimana dilansir dari situs resmi www.uinjkt. ac.id mengatakan, perubahan IAIN menjadi UIN selain karena adanya keinginan untuk memberikan peluang yang lebih besar kepada para lulusan UIN untuk berkiprah di tengah masyarakat, juga karena ingin menghilangkan paradigama dikotomi ilmu yang diwariskan abad pertengahan. Nampaknya upaya untuk benar-benar mengeliminasi dikotomi keilmuan bukan hanya sekadar wacana dan benar-benar mendapat sambutan yang positif dari berbagai elemen. Hal ini terbukti di penghujung akhir tahun 2014 lalu, tepatnya pada Jum’at (19/12), Presiden Joko Widodo telah meresmikan transformasi tiga IAIN, yaitu IAIN Raden Fatah Palembang, IAIN Sumatera Utara, dan IAIN Walisongo Semarang. Di Semarang sendiri, pasca IAIN Walisongo resmi bertransformasi menjadi UIN Walisongo, maka kampus tersebut akan dihadapkan pada tantangan baru untuk bagaimana menyelaraskan landasan filosofis bagi fakultas dan jurusan yang berada di bawah naungannya. Tantangan baru ini dapat dianggap sebagai kelanjutan dari masalah dualisme pendidikan dan dikotomi ilmu yang telah berlangsung selama ini. Dalam
hal ini UIN Walisongo ditantang untuk mampu mengintegrasikan ilmu-ilmu agama islam dan ilmuilmu umum serta sains modern dalam tataran filosofis maupun praktis. RAMBU INTEGRASI UIN Maulana Malik Ibrahim hadir dengan paradigma integrasi ilmu dalam islam dan pohon ilmu sebagai metafora yang menggambarkan pola integrasi kampus tersebut. Sedangkan UIN Sunan Kalijaga menghadirkan paradigma integrasi-interkoneksi dengan metafora yang tervisualisasi dalam bentuk spider web (jaring laba-laba). Berbeda dengan kedua UIN tersebut, transformasi UIN Walisongo hadir dengan menggagas paradigma integrasi unity of science (wahdatul ‘ulum). Paradigma ini secara apik tervisualisasi dalam metafora diamond (intanberlian). Sholihan, yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua LP2M UIN Walisongo dalam acara Stadium General Faukultas Dakwah dan Komunikasi pada tanggal 3 Maret 2014 lalu menyampaikan, UIN Walisongo dalam merumuskan blue print pengembangan akademik telah melewati waktu yang sangat panjang. Awalnya, lanjut Sholihan, konsep integrasi tersebut bermula dari gagasan Abdul Muhayya, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin. Kemudian konsep tersebut mendapatkan banyak masukan dari berbagai pihak. “Akhirnya disepakati, pengembangan keilmuan di UIN Walisongo
Majalah
EDUKASI
LAPORAN UTAMA DOK. INTERNET
Ajang Pergulatan Intelektual Mahasiswa
GEDUNG PERPUSTAKAAN UIN SUNAN KALIJAGA JOGJAKARTA didasarkan pada paradigma unity of science (wahdatul ‘ulum) dengan metafora diamond (intan-berlian),” tutur Sholihan, mantan Wakil Rektor bidang kerja sama UIN Walisongo. Secara umum, meskipun memiliki model dan pola integrasi berbeda, semua UIN ingin mewujudkan rancang bangun keilmuan integratif yang mampu menjabarkan nilai-nilai islam secara universal. Dalam aspek ontologi, berbagai model integrasi di UIN tersebut menjadikan Al Qur’an dan Hadis sebagai landasan dan pondasi bagi kajian-kajian dan pengembangan keilmuan. Amin Abdullah saat ditemui oleh crew LPM Edukasi di kediamannya yang berlokasi di Cupuwatu, Purwomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta menjelaskan, setidaknya ada tiga rambu yang menandai hubungan antara ilmu dan agama bercorak dialogis dan integratif. Tiga rambu tersebut, lanjut Amin, yaitu semipermeable, intersubjective testability, dan creative imagination. Menurut Amin, semipermeabel jika digambarkan bisa berupa pori-pori dalam membran sel. Lebih jelas lagi, pori-pori tersebut ibarat lubang angin pada dinding (ventilasi) yang berfungsi sebagai pengatur sirkulasi keluarmasuknya udara dan saling tukar informasi antar berbagai disip-
lin keilmuan. Masing-masing disiplin ilmu masih tetap dapat menjaga identitas dan eksistensinya sendiri-sendiri, tetapi selalu terbuka ruang untuk berdialog, berkomunikasi, dan berdiskusi dengan disiplin ilmu lain. Indikator kedua adanya intersubjective testability (keterujian intersubjektif). Kata Amin, keterujian intersubjetif muncul ketika semua komunitas keilmuan ikut bersama-sama berpartisipasi menguji tingkat kebenaran penafsiran dan pemaknaan data yang diperoleh peneliti dan ilmuwan dari lapangan. Karena kehidupan, lanjut Amin, begitu sangat kompleks untuk dapat diselesaikan dan dipecahkan hanya dengan satu bidang disiplin ilmu. Kolaborasi antara berbagai disiplin ilmu sangat diperlukan untuk memecahkan berbagai macam kompleksitas kehidupan. Masukan dan kritik dari berbagai disiplin (multidicipline) dan lintas disiplin ilmu (transdicipline) menjadi sangat dinantikan untuk dapat memahami kompleksitas kehidupan dengan lebih baik. Sedangkan parameter ketiga bahwa ilmu telah dikatakan integratif yaitu adanya creative imagination (imaginasi kreatif). Lebih lanjut Amin menjelaskan, creative imagination ini seringkali dikaitkan dengan upaya untuk memperjumpakan dua
konsep framework yang berbeda. Ia mensintesakan dua hal yang berbeda dan kemudian membentuk keutuhan baru, menyusun kembali unsur-unsur yang lama ke dalam adonan konfigurasi yang fresh. Bahkan, kata Amin, seringkali teori baru muncul dari upaya yang sungguh-sungguh untuk menghubungkan dua hal yang sebenarnya tidak berhubungan sama sekali. Amin mencontohkan, misalnya Newton menghubungkan dua fakta yang sama-sama dikenal secara luas, yaitu jatuhnya buah apel dan gerak edar atau rotasi bulan. Ketiga rambu tersebut penting untuk dijadikan sebagai parameter apakah antara ilmu agama dan sains telah benar-benar memiliki corak integratif atau belum. “Berhasil tidaknya implementasi integrasi me-ngacu pada tiga kata kunci di atas. Jika memang belum, maka belum dikatakan berhasil,” tegas Amin, yang pernah mendapatkan penghargaan The Most Dedicated Rector of The State Islamic University in Developing and Transforming The Islamic Higher Education dari Kementerian Agama Republik Indonesia. INOVASI AKADEMIK Perjuangan dalam melahirkan paradigma integrasi ilmu tentunya merupakan salah satu langkah kemajuan untuk menghasilkan EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 17
Majalah
EDUKASI
LAPORAN UTAMA FOTO: AAM/EDUKASI
Ajang Pergulatan Intelektual Mahasiswa
PEMBANGUNAN GEDUNG BARU UIN WALISONGO DI BELAKANG MA’HAD WALISONGO suatu inovasi akademik. Belajar dari apa yang telah dibangun oleh UIN Maliki selama hampir satu dekade. Dalam tataran praktis, integrasi yang dibangun UIN Maliki berpedoman pada strategi arkanul jami’ah (rukun universitas) yang terdiri dari sembilan pilar. Menurut Imam, sembilan pilar tersebut terdiri dari tenaga pengajar atau dosen, masjid, ma’had, perpustaaan, laboratorium, tempat-tempat pertemuan ilmiah, tempat pelayanan administrasi kampus, pusat pengembangan seni dan olah raga, dan pemikiran yang diekspresikan pada berbagai media cetak yang telah disiapkan di dalam maupun di luar kampus. Diantara sembilan pilar yang ada, pada aspek ma’had kebijakan yang ditempuh ialah mewajibkan seluruh mahasiswa baru bertempat tinggal di Ma’had al-Aly Sunan Ampel. “Wajib bagi seluruh mahasiswa apapun jurusannya,” tegas Imam, yang pernah mendapatkan penghargaan Rekor Muri atas konsistensinya menulis di blog selama tiga tahun tanpa jeda. Bagi Imam, posisi ma’had di dalam kampus memiliki peran yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pasalnya, ia sangat mempercayai statement dari sosok Mukti Ali, Menteri Agama di Kabinet Pembangunan II era Pre-siden 18 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
Soeharto. Katanya, dengan menirukan ungkapan dari Mukti Ali, tidak pernah ada ulama yang lahir dari lembaga selain dari pesantren. Hingga pada saat itu, selain me-ngusulkan alih status dari STAIN ke UIN, di dalamnya Imam juga me-ngusulkan agar dibangun pesantren untuk para mahasiswa. “Sehingga ulama tumbuh, karena di dalam UIN itu ada pesantren. Intelektual juga tumbuh, karena di situ ada universitas. Maka akan lahirlah generasi intelektual yang ulama dan ulama yang intelektual,” tutur Imam, yang meraih gelar doktornya pada tahun 1998 dari Universitas Airlangga, Surabaya dalam bidang sosiologi. Senada dengan apa yang dikatakan Imam, Abuddin Nata, Doktor lulusan McGill University, Montreal, Kanada, sebagaimana ditulis dalam situs resmi www.uinjkt.ac.id mengatakan, saat ini masyarakat menginginkan lahirnya ulama yang bercorak intelek. Seseorang yang mendalami ilmu agamanya, tapi juga memiliki ilmu-ilmu umum sebagai pisau analisisnya yang memungkinkan ajaran islam mampu memberikan respon terhadap problema masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia pada umumnya. Lebih lanjut di tataran praktis, ma’had tersebut selain dijadikan
sebagai wadah untuk mendukung pengembangan aspek-aspek kultural seperti kebiasaan shalat berjamaah, membaca Al Qur’an, shalat malam, kajian pemikiran islam juga difokuskan untuk menciptakan iklim atau suasana yang mendukung kemampuan berbahasa asing (arab dan inggris-red). Dalam mendukung implementasi konsep integrasi agama dan sains tersebut, UIN Maliki mempersyaratkan mahasiswanya untuk menguasai dua bahasa asing tersebut. Dalam kurikulum UIN Malang, sebagaimana tervisual pada “Pohon Ilmu”, bahasa arab dan bahasa inggris diposisikan sebagai alat atau instrumen untuk melakukan kajian sumber ajaran islam dan juga disiplin ilmu pilihan masing-masing. Atas dasar konsistensi pada strategi arkanul jami’ah tersebut, pasca alih status dari STAIN, kini UIN Maliki telah menunjukan perubahan yang begitu pesat. Bahkan bersama dengan UIN Jakarta, UIN Maliki telah diproyesikan untuk menuju word class university. Imam menceritakan, dulu kampus tersebut hanya didatangi oleh mahasiswa yang berasal dari Malang, Blitar, dan Kediri. Tapi sekarang, sudah tercatat mahasiswa datang dari Aceh sampai Papua. Bahkan, lanjut Imam, sekarang sudah tercatat ada 30 negara yang kuliah di UIN
1 AGAMA DAN HUMANIORA AYAT-AYAT QUR’ANIYAH
2
ALLAH SWT.
NS SAI M ALA
AYAT-AYAT KAUNIYAH
SAI SOS NS IAL
3 MATEMAT IKA & SAINS KO MPUTER
PROFESI & SAINS TERAPAN
4
ILMU-ILMU BARU
1 2 3
4
Logo UIN Walisongo mengambil konsep “Lentera Pengetahuan”, melambangkan ilmu pengatahuan yang menyinari kehidupan. Gunungan wayang karya Walisongo, menandakan UIN Walisongo yang menggali dan mengembangkan kearifan lokal. Empat simpul geometri, menunjukan aspek utama UIN Walisongo: theoantroposentris, humanisasi ilmu-ilmu keislaman, spiritualisasi ilmu modern dan revitalisasi local wisdom. Kitab terbuka membenuk tulisan UIN menandakan dasar ilmu pengetahuan.
Konsep awal blue print pengembangan paradigma keilmuan UIN Walisongo berasal dari Dr. H. Muhayya (Mantan Dekan Fakultas Ushuludin UIN Walisongo). UIN Walisongo Menggunakan Paradigma Unity of Sciences/Wahdah al ‘Ulum (Kesatuan Ilmu) dengan metafora Diamond (intan-berlian) dan Strategi Pengembangan keilmuan theoantroposentris, humanisasi ilmu-ilmu keislaman, spiritualisasi ilmu modern dan revitalisasi local wisdom.
11 UIN DI INDONESIA UIN AR RANIRY BANDA ACEH
Visi: Menjadikan UIN Ar-Raniry Banda Aceh sebagai Pusat Studi Islam yang kontemporer dan bertaraf internasional.
UIN SULTAN SYARIF KASIM RIAU Moto: “Change Towards Advance” Visi: Terwujudnya UIN Sultan Syarif Kasim Riau sebagai Perguruan Tinggi yang unggul dalam mengintegrasikan sains dan teknologi serta seni dengan nilai-nilai keislaman di Asia tahun 2018.
UIN RADEN FATAH PALEMBANG
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UIN WALISONGO SEMARANG
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Visi: Menjadi universitas Islam yang unggul dan kompetitif.
Visi: Menjadi pusat pengembangan ilmu-ilmu keislaman multidisipliner yang unggul dan kompetitif.
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
Moto: “Pencerdasan, Pencerahan & Prestasi.” Visi: Pusat Pencerahan dan Transformasi IPTEKS Berbasis Peradaban Islam.
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Visi: Menjadi Universitas Yang Berstandar Internasional, Berwawasan nasional dan Berkarakter Islami
Moto : “Knowledge, Piety, Integrity” Visi: Berdaya saing tinggi dan terdepan dalam mengembangkan dan mengintegrasikan aspek keilmuan, keislaman dan keindonesiaan.
UIN SUMATERA UTARA
Visi: Universitas Islam Riset Terdepan Berbasis pada Kesatuan Ilmu Pengetahuan untuk Kemanusiaan dan Peradaban
Visi: Menjadi Pusat Pencerahan dan Transformasi IPTEKS Berbasis Peradaban Islam.
Moto: “Bilingual University, Menciptakan Professional Yang Ulama’ dan Ulama’ yang Professional” Visi: Menjadi universitas Islam terkemuka dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan profesional, dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang bernafaskan Islam serta menjadi penggerak kemajuan masyarakat.
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
Moto: “Building Character Qualities: for the Smart, Pious, Honorable Nation” Visi: Menjadi Universitas Islam yang unggul dan kompetitif bertaraf internasional
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 19
Dalam bangunan keilmuannya, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang memakai konsep ‘Pohon Ilmu’. Bangunan keilmuan, bagaikan sebatang pohon harus dilihat secara utuh sebagai sebuah kesatuan, yaitu mulai dari akar, batang, dahan, ranting, daun akan menghasilkan buah. Buah pohon itu dalam kontek universitas, digambarkan sebagai lulusannya, yaitu orang-orang yang beriman, berilmu, beramal saleh dan berakhlakul karimah. Akhirnya, dengan metafora sebatang pohon itu maka menjadi tampak, ada integrasi antara bagian-bagian pohon itu. Sekalipun antara berbagai dahan, cabang, ranting dan daun tumbuh sendiri-sendiri, tetapi pertumbuhannya selalu serempak, karena semua itu berasal dari batang yang sama.
AL QUR’AN AS SUNNAH SIRAH NABAWIYAH PEMIKIRAN ISLAM TAMADDUN ISLAM
KIMIA FISIKA BIOLOGI PSIKOLOGI INFORMATIKA ARSITEKTUR MATEMATIKA TARBIYAH EKONOMI ISLAM AHWAL AL SYAKHSIYAH ILMU-ILMU KESEHATAN HUMANIORA DAN BUDAYA
(Pohon ilmu)
AL
R PLUELIGIO RAL N ISM
ON ATI ERN AW L
LA
M
AN T SO HR CI OP O OL LO O G GY Y
DIS
ODS
HA
P
POLITICS/ CIVIL SOCIETY
(C
S)
IE
UL C TU UL R T U A L RE ST UD
SY C
GH
TS
HISTORY
F
TH
PHENOMENO LOGY
RI
Y
U AW TAS
C
AN
SO
HO
HI
M
VIR
LO GY
ET
HU
ILO
FA H
SA
FA L
PH
ME
PH
AT IC
EM
OLOGY
TECHN
MA TH
AH
ES
EN
ICS
ES
OM
PHYSIC Y CHEMISTR BIOLOGY
GH
LU
QUR’AN & SUNNAH
ON CS TI
ND AP
A
IR
R ISSU
EC
FIQ H
EU
IKH
TAR
S TAF
GENDE
GY
EN RM
20 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
OLO
ROACH
Core Values: Integratif-Interkonektif: Sistem keterpaduan dalam pengembangan akademik, manajemen, kemahasiswaan, kerjasama, dan entrepreneurship. Dedikatif-Inovatif: Bersikap dedikatif, amanah, pro mutu, berpikir dan bergerak aktif, kreatif, cerdas, dan inovatif; tidak sekadar bekerja rutin dan rajin. Inklusif-Continuous Improvement: Bersifat terbuka, akuntabel, dan komit terhadap perubahan dan keberlanjutan.
PHIL
P
UIN Sunan Kalijaga memakai paradigma integrasi interkoneksi spyder web (jaring laba-laba), mensyaratkan adanya upaya untuk mendialogkan secara terbuka dan intensif antara hadlarah an-nas, hadlarah al-ilm, dan hadlarah al-falsafah. Pemaduan dan pengaitan kedua bidang studi yang sebelumnya dipandang secara dimatral berbeda memungkinkan lahirnya pemahaman Islam yang ramah, demokratis, dan menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Y
LOG
HEO
ARC
HE
O ISS NM UE ENT AL S
INT
KA
TREE OF SCIENCE
PANCASILA BAHASA ARAB DAN INGGRIS FILSAFAT ILMU ALAMIAH DASAR ILMU SOSIAL DASAR
Spider Web (Jaring SPIDER WEB Laba-laba) Diolah dari berbagai sumber Infografis: Fahmi Ash Shiddiq
Majalah
EDUKASI
LAPORAN UTAMA
Ajang Pergulatan Intelektual Mahasiswa
Selain mengembangkan integrasi melalui strategi theoantroposentris, humanisasi ilmu-ilmu keislaman, dan spiritualisasi ilmu-ilmu modern, para tim Kelompok Kerja (Pokja) UIN Walisongo juga telah berhasil merumuskan isu-isu sains dan agama dalam konteks pengalaman Indonesia, yaitu menambahkan poin strategi revitalisasi local wisdom. Maliki, diantaranya Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Timur Leste, Turki, Maroko, Syiria, Afganistan, Kanada, China, Australia, Jepang, Kamboja, Papua Nugini, Madagaskar, Yaman, Sudan, Libya, Rusia, Slowakia, Ukraina, Bulgaria, Bosnia, Tajikistan, Saudi Arabia, Amerika Serikat, Australia, Tanzania, danjuga Vatikan. “Kalau jadi universitas, cakupannya luas. Kemudian peminatnya juga akan semakin lebih luas,” ujar Imam, yang pernah menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Muhammadiyah Malang pada tahun 1983 hingga 1996. Bagi Imam-profesor yang ahli dalam pengembangan pendidikan islam, secara sederhana tolak ukur berhasilnya implementasi konsepsi integrasi dapat ditilik pada sudah dijumpainya setiap wisuda tidak kurang dari 50 mahasiswa yang telah berhasil menghafalkan Al Qur’an dari berbagai macam disiplin ilmu. Selain itu, juga sudah banyak mahasiswa yang menulis skripsi dalam tiga bahasa. Bahkan ada mahasiswa di Fakultas Adab dan Humaniora telah berhasil menulis skripsi dengan sembilan bahasa, yaitu Korea, Mandarin, Jepang, Arab, Rusia, Inggris, Jawa, Indonesia, dan Bahasa Daerah. TANTANGAN Integrasi ilmu agama dan sains sangat diperlukan, apa lagi di zaman modern yang ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat. Hal ini penting, agar masyarakat tetap eksis meskipun menghadapi berbagai
tantangan, baik berupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya akibat perubahan-perubahan yang terjadi, serta diharapkan dapat menimbulkan ketentraman dan kenyamanan dalam kehidupan manusia baik kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat. Oleh karena itu, tutur Abuddin Nata, mantan Wakil Rektor Bidang Sarana dan Prasarana UIN Jakarta dalam situs resmi www. uinjkt.ac.id, integrasi ilmu umum dan agama merupakan keniscayaan dalam dunia akademik pada khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya dalam menyelesaikan persoalan. Tantangan kedepan, pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik ini dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti psikologi, sosiologi, antropologi, social work, lingkungan, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum, peradilan, dan sebagainya. Diakui memang, konversi IAIN menjadi UIN bukanlah satu-satunnya solusi dari berbagai problem yang dihadapi oleh perguruan tinggi islam. Sekadar ganti baju saja tidak cukup. Mengaca dari apa yang telah dibangun oleh UIN Maliki melalui strategi arkanul jami’ah-nya, maka segala aspek harus benarbenar diperhatikan dengan betul, mulai dari konsep keilmuan dan perangkat metodologinya, manajemen perencanaan (grand design), tenaga pengajar, fasilitas atau sarana-prasarana, serta input
maupun output-nya. Menilik kampus Walisongo, kini berubahnya status IAIN menjadi UIN dengan paradigma unity of science dan metafora diamond, patut mendapatkan sambutan dan apresiasi yang tinggi dari berbagai elemen yang ada. Karena selain mengembangkan integrasi melalui strategi theoantroposentris, humanisasi ilmu-ilmu keislaman, dan spiritualisasi ilmu-ilmu modern, para tim Kelompok Kerja (Pokja) UIN Walisongo juga telah berhasil merumuskan isu-isu sains dan agama dalam konteks pengalaman Indonesia, yaitu menambahkan poin strategi revitalisasi local wisdom. Revitalisasi kearifan lokal ini, kata Muhibbin, Rektor UIN Walisongo dikutip dari tulisan artikelnya di laman www.walisongo.ac.id, merupakan upaya untuk menggali, mengembangkan, dan menerapkan nilai-nilai kearifan lokal. Pada akhirnya, Amin menegaskan, upaya untuk mengintegrasikan dua keilmuan agama dan sains sesungguhnya butuh waktu yang tidak sebentar, ia merupakan long life project atau long life education. Pada prinsipnya, implementasi integrasi bukanlah hanya kerja kepemimpinan. Akan tetapi, hal itu adalah kerja budaya atau kerja sejarah. “Karena kita saat ini memang berupaya membangun budaya dan sejarah,” pungkas Amin, yang pernah menjabat sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga selama dua periode berturut-urut (2002-2010). [E]
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 21
WAWANCARA
Tiga Kunci Suksesi Integrasi-Interkoneksi DOK. INTERNET
LAPORAN: NOVIA | MAHASISWA TADRIS BAHASA INGGRIS 2011
PROF. DR. M. AMIN ABDULLAH, MA. GURU BESAR UIN SUNAN KALIJAGA
P
rof. DR. M. Amin Abdullah adalah rektor ke-9 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta yang dinobatkan sebagai The most dedicated rector of the State Islamic University in developing and transforming the Islamic Higher Education in the Department of Religious Affairs. Perintis konsep keilmuan “Integrasi-Interkoneksi” yang kemudian dijelmakan dalam wujud spider web atau jaring laba-laba itu welcome saat tim redaksi LPM Edukasi menemuinya di kediaman tercinta, di Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta. Terjadi diskusi panjang antara tim redaksi dengan beliau. Adapun cuplikan diskusi tersebut seperti berikut ini:
Adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum membuat banyak kalangan mengupayakan unity of sciences. Bagaimana pandangan Prof. Amin mengenai hal ini? Ilmu-ilmu agama itu diinstitusionalisasikan, pada level negeri menjadi IAIN, atau STAIN, atau bahkan UIN. Tapi kalau di masyarakat kan sudah sejak zaman dulu, namanya pesantren. Kemudian setelah Indonesia menjadi republik muncullah madrasah. Ya itu baik-baik saja, tetapi masalahnya apakah keilmuan agama itu berkembang atau tidak. Inilah yang menggelisahkan semua orang. “Ilmu-ilmu umum” seperti natural sciences dan social sciences terus berkembang, terlebih lagi teknik penelitiannya. Sementara sejak dulu ilmu agama itu tercirikan lebih menekankan pada hafalan (memorizing). Padahal ilmu itu penelitian, bukan hafalan. Ketika agama dilembagakan,
22 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
maka secara otomatis masuk pada pergumulan keilmuan. Jadi tidak hanya berkutat pada pendidikan dan pengajaran, tetapi ada penelitian, pengabdian masyarakat dan sebagainya. Nah, kalau memang ilmu-ilmu agama itu bersanding dengan kelembagaan keilmuan pada umumnya, maka ia harus menandakan perkembangan. Pemikiran semacam itu sebenarnya sudah ada sejak tahun 60-an, 80-an. Contohnya Pak Harun Nasution dan Pak Mukti Ali yang saat itu berupaya, apalagi ada tantangan dari LIPI. Lalu ada SK 1982 yang menyatakan bahwa ilmu agama itu berkembang, dan jadilah semacam IAIN. Maka kemudian ada aliran modern dalam Islam. Nah disitulah, ketika ilmu berkembang, lalu ada penelitian, ada jurnal, lalu sah disebut sebagai ilmu yang tidak statis. Tetapi dalam perjalanan 19802000 perkembangan ilmu sangat signifikan, lalu ada terasa, bahwa keilmuan agama masih dalam
WAWANCARA
“
Jadi tidak hanya merubah nama saja dari IAIN ke UIN. Melainkan harus ada transformasi keilmuan yang lebih penting daripada konversi IAIN ke UIN. PROF. DR. M. AMIN ABDULLAH, MA
corak lama. Inilah tantangan yang terus menerus harus dipikirkan. Dari situlah kemudian muncul ide untuk mengintegrasikan dan menginterkoneksikan ilmu-ilmu agama yang ada, dan sifatnya lebih empirical, bukan doktrinal. Kesadaran itulah yang memunculkan, semisal fiqh dikaitkan dengan sosiologi, kemudian pemahaman aqidah, syari’ah itu bernuansa sosial, budaya, sains. Nuansa itu harus terintegrasi. Karena tanpa hal itu, kita akan terus terbelakang dengan perkembangan nasional. Pemilu kemarin itu kan nampak sekali terbelakangnya, terutama dalam hal merumuskan bagaimana agama di dalam nation state. Contohnya black campaign yang menandakan bahwa ilmu agama belum bisa memasuki era nation state. Nah, itulah.. kita para pemikir di STAIN, IAIN, UIN berfikir bagaimana agar tidak tertinggal. Jika agama sangat tertinggal, semisal 80 (ilmu umum) berbanding 20 (ilmu agama) bisa bahaya sekali. Sudah ada istilah “integrasi”, mengapa masih disandingkan dengan “interkoneksi”? Integrasi itu, saya memahaminya terlalu absolut (mutlak), makanya perlu disandingkan dengan interkoneksi. Nah, catatan untuk konsepsi wahdatul ulum jangan sampai ada mentalitas absolut. Apa saja indikator bahwa
suatu ilmu sudah terintegrasi?
atau merubah.
Ada tiga syarat atau ciri integrasi (tiga kata kunci). Pertama, semipermeable artinya antara ilmu itu bisa saling menembus. Misalnya fiqh menembus antropologi dan sosiologi. Antara pendidikan agama dan sosiologi agama. Kurikulum jangan mengikuti madrasah, karena perguruan tinggi adalah higher education. Hal ini, dalam konsepsi integrasi-interkoneksi yang tervisualisasi dalam spider web terdapat garis putusputus. Itulah yang dimaksudkan dengan semi permiabel. Kedua, intersubjective tastebility artinya ilmu tidak otonom. Jadi ilmu itu harus berani dikritik atau dites oleh ilmu lain. Bahkan ilmu agama sekalipun. Karena antara agama dengan ilmu agama itu berbeda. Jika agama berasal dari Tuhan, sedangkan ilmu agama berasal dari manusia (budaya). Ketiga, creative imagination artinya orang beragama harus mempunyai imaginasi yang kreatif. Imaginasi yang sehat. Namun, realita saat ini orang-orang beragama kehilangan imaginasi kreatifnya. Contohnya keterbukaan dengan golongan lain. Contohnya orang NU bagaimana memahami menjadi Muhammadiyah, begitu pula sebaliknya. Pengajar/ dosen harus bisa melakukan revolusi ilmu pengetahuan, agar supaya ilmu agama tidak tertinggal. Walaupun itu sesuatu yang jangka panjang, tetapi kita berani mengupayakan untuk bergerak
Apa saja indikator ketercapaian dari konsep “integrasi-interkoneksi”? Ya long life project atau long life education. Prinsipnya, implementasi integrasi-interkoneksi bukanlah kerja kepemimpinan. Akan tetapi kerja budaya atau kerja sejarah. Karena kita saat itu memang berupaya membangun budaya. Berhasil tidaknya konsepsi integrasi, mengacu pada tiga kata kunci tadi. Jika memang belum. Maka belum dikatakan berhasil. Bagaimana pandangan Prof. Amin tentang konversi IAIN menjadi UIN? Jadi tidak hanya merubah nama saja dari IAIN ke UIN. Melainkan harus ada transformasi keilmuan yang lebih penting daripada konversi IAIN ke UIN. Sebenarnya konsepsi integrasi atau Unity of Science itu tidak harus dibarengi dengan konversi lembaga. Namun substansinya baik itu STAIN, IAIN, maupun UIN harus menerapkan konsepsi tersebut. Itu hanya sekedar momentum saja, bagi saya tidak masalah. Sebuah momentum karena untuk menciptakan peristiwa sejarah. [E]
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 23
WAWANCARA
UIN; TRANSFORMASI MINDSET Segala Ilmu Bersumber pada Wahyu Agama sebagai Pengembangan Sains LAPORAN: LUTFIA NZ. | MAHASISWA TADRIS MATEMATIKA 2011
DOK. INTERNET
U PROF. DR. H. IMAM SUPRAYOGO GURU BESAR UIN MALIKI MALANG
niversitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang merupakan salah satu contoh perguruan tinggi Islam yang sudah bertransformasi menjadi UIN. Dengan mengusung konsep keilmuan “Pohon Ilmu”, perguruan tinggi Islam lainnya yang sedang, akan, dan/atau sudah bertransformasi menjadi UIN patut berguru pada UIN Maliki. Dalam kesempatan yang langka, tim redaksi LPM Edukasi berhasil melakukan perbincangan ekslusif terkait “Konsep Keilmuan di UIN” dengan salah satu guru besar di UIN Maliki, yaitu Prof. Dr. H. Imam Suprayogo. Petikan wawancara dengan beliau, sang penggagas konsep pohon ilmu itu disajikan sebagai berikut: Berawal dari gagasan Ian G. Barbour pada era 90-an tentang “Empat Tipologi Hubungan Agama dan Sains” (konflik, independensi, dialog, dan integrasi). Bagaimana Prof. Imam memandang teori tersebut? Kalau saya memandang hubungan agama dan sains tidak seperti teori tersebut. Saya melihat agama (Islam) dan sains itu dari Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur’an. Di Qur’an itu ada konsep yang namanya ‘ulul albab. Penjelasannya Alladzina yadzkurunallah; ada 16 ayat dalam AlQur’an yang terdapat kata ‘ulul albab. Namun yang menjelaskan tentang ‘ulul albab adalah QS. Ali Imran ayat 190. Diperjelas lagi dengan; “Ingat Allah itu tatkala sedang duduk, berdiri, dan berbaring.” Implementasinya seperti sholat, haji, berdzikir, puasa. Terusannya, yatafakkaruna fii kholqis samaawati wal ‘ardl artinya “memikirkan dan merenungkan penciptaan langit dan bumi”. Implementasinya ialah belajar
24 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
matematika, fisika, biologi, kimia, sosiologi, psikologi, sejarah, filsafat, bahasa, sastra, dan sebagainya. Jadi untuk mengenal Tuhan ya lewat makhluk-Nya, ciptaan-Nya. Sama halnya dengan mahasiswa di UIN Malang ini. Sekitar 20% mahasiswa bisa bahasa Arab, maka banyak yang hafal Qur’an. Nah, tatkala mempelajari fisika, kimia, biologi, pemahaman mahasiswa pada ayat-ayat Al-Qur’an akan berbeda. Misalnya dalam menafsirkan surat Maryam, terutama saat Maryam melahirkan, ia menyendiri, menyandar, lalu kejatuhan rutob (kurma muda). Apa maksud jatuhnya rutob ini? Nah, kyai-kyai yang tidak mengenal laboratorium, tidak dapat menjelaskan. Lain halnya dengan mahasiswa kimia yang akrab dengan Qur’an lalu penasaran akan rutob dan peristiwa Maryam melahirkan. Mahasiswa tersebut membawa rutob ke laboratorium. Dan ternyata rutob itu mengandung zat yang khas. Apabila
WAWANCARA dikonsumsi oleh wanita yang sedang melahirkan akan menghentikan pendarahan. Kemudian dari sikap “menyandar” Maryam yang dikisahkan dalam Qur’an, ternyata setelah diteliti oleh mahasiswa Biologi, posisi wanita melahirkan itu sebaiknya menyandar. Jadi belajar ilmu alam dan ilmu sains itu untuk mengenalkan makhluk kepada Tuhan. Bahkan dalam hadits juga disampaikan bahwa man arofa nafsahu, faqod arofa robbahu, yang artinya “untuk mengenal Tuhan harus mengenal diri sendiri”. Ini semua adalah yatafakkaruna fii kholqis samaawati wal ‘ardl. Jadi umat Islam yang sehari-hari mempelajari sains dan ilmu umum jangan hanya sebatas di sekolah, tetapi harus melakukan perenungan juga. Hal ini karena Qur’an mengimbau manusia untuk mempelajari dan mengembangkan sains. Selanjutnya, ada ayat yang berbunyi Robbana ma khalaqta hadza batila yang artinya semua yang diciptakan oleh Allah itu tidak ada yang sia-sia. Karena itu, kemudian diciptakanlah teknologi. Namun yang menciptakan bukan umat Islam, melainkan orang barat. Sementara umat Islam baru dalam fase yadzkurunallah, yang dipikirkan baru sebatas ibadah, belum memikirkan yatafakkaruna fii kholqis samaawati wal ‘ardl, apalagi Robbana ma khalaqta hadza batila. Karena itu ketika bicara Qur’an, bicara Islam, maka di situ sudah ada agama, ilmu, dan teknologi. Ini dinamakan included. Kalau dikatakan integrasi ya keliru. Kata “integrasi” itu seolaholah Islam sendiri, ilmu sendiri (independen). Padahal Qur’an itu sudah include di dalamnya. Jadi tidak ada independensi, dialog, integrasi, apalagi konflik. Janganjangan orang sudah lupa ya kalau ilmu itu sudah ter-include di dalam Al-Qur’an.
Gambarannya begini. Di Jawa tengah ada muddin, tugasnya menikahkan, mengurusi jenazah, dan hajatan. Sementara lurah, tugasnya mencakup keseluruhan kehidupan. Sama halnya dengan Nabi Muhammad. Beliau diutus bukan untuk menjadi muddin, melainkan lurah. Nah, oleh karena itu sesungguhnya Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang hanya meliputi Fakultas Syari’ah, Fakultas Ushulludin, harus direform menjadi universitas agar tidak memberikan kesan bahwa Islam itu hanya muddin. Kasihan PTAI kalau kesannya hanya menyiapkan tenaga-tenaga ke-muddin¬-an. Islam akan terus terbelakang jika bertahan pada fase yadzkurunallah. Meskipun begitu, bukan berarti syari’ah tidak penting. IAIN Walisongo Semarang itu penting, tetapi jangan berhenti sampai di IAIN saja, harus jadi Universitas Walisongo. Nah, betul itu yang dilakukan Rektor Anda, Prof. Muhibbin. Secara historis, ilmu pengetahuan pernah berjaya pada era Abbasiyah. Namun setelah itu mengalami dikotomi. Saat ini, banyak upaya untuk menyatukan kembali hubungan ilmu agama dan sains, salah satunya integrasi. Bagaimana menurut Prof. Imam melihat hal ini? Saya tidak melihat hubungan ilmu agama dan sains itu dikotomi. Jadi saya tidak selaras dengan istilah integrasi. Saya menggunakan istilah include karena pada dasarnya Al-Qur’an itu sumber, dan konsep pohon ilmu yang saya gagas bukan berdasarkan dikotomi ilmu. Jika Al-Qur’an adalah sumber segala ilmu pengetahuan. Mengapa pada pohon ilmu itu akarnya bukan Al-Qur’an, tetapi justru Bahasa Arab? Penempatan Al-Qur’an pada
akar itu adalah persfektif kurikulum. Sedangkan dalam konsep pohon ilmu, Al-Qur’an ditempatkan pada batang, bukan pada akar. Hal itu karena sebelum orang memahami Al-Qur’an, orang harus bisa menguasai alat untuk memahami Al-Qur’an terlebih dahulu, yaitu Bahasa Arab. Nah, saya melihat hal yang salah di Indonesia. Wong belum bisa Bahasa Arab kok diajari tafsir, masailul fiqih, hadis. Kalau 20-40 sks pun ya tidak akan bisa, pemahamannya dangkal, wong bahasa itu alat. Maka dari itu, mahasiswa di UIN Malang diwajibkan belajar Bahasa Arab pada tahun pertama, setiap hari lima jam, saya asramakan sehingga bisa belajar Bahasa Arab. Lalu kemudian di situ sumbernya ayat-ayat kauliyah (Al-Qur’an dan Hadits) dan ayat-ayat kauniyah (observasi, eksperimen). Secara realitas, ilmu agama dan sains itu saat ini seolah-olah terpisah, Prof… Ya realita itu harus diubah. Yang memisah-misah itu kan orang-orang, karena pemahamannya kurang. Dulu memisah, sekarang maunya jadi satu. Kalau saya ingin memperbarui pemikiran Islam, tanpa menyalahkan yang lama. Kedepannya kita harus makin komprehensip dalam memahami Al-Qur’an. Apa yang menjadi kegelisahan Prof. Imam sehingga melatarbelakangi munculnya konsep pohon ilmu? Yang saya gelisahkan adalah Islam hanya dipahami sebatas wilayah muddin. Kemudian lulusan PTAI yang semestinya menjadi khalifah fil ‘ard (mengurus kehidupan umat), kok hanya mengurus manten dan jenazah. Inilah yang saya gelisahkan. Setelah saya pelajari, akhirnya EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 25
WAWANCARA
“
“ISLAM IS NOT ONLY A RELIGION, BUT A COMPLETE CIVILIZATION” PROF. HAMILTON ALEXANDER ROSSKEEN GIBB
saya temukan konsep pohon ilmu. Sedikit flashback, kenapa dibikin IAIN? Karena para tokoh-tokoh Islam di Indonesia belum puas dengan pesantren, akhirnya mendirikan pendidikan seperti IAIN. Setelah saya cari dokumennya, ternyata tujuan berdirinya IAIN untuk melahirkan sosok manusia ideal dengan identitas intelek yang ulama, atau ulama yang intelek. Setelah IAIN tumbuh, mulai dari Jogja, Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan, melalui waktu yang panjang, saya membaca (red: kondisi) tidak ada orang yang puas. Dari berbagai menteri agama selalu menggelisahkan hal itu, apalagi masa Prof. Mukti Ali. Beliau mengatakan ada 2 kelemahan pokok lulusan IAIN, yaitu lemah di bahasa asing dan bidang metodologi. Lalu beliau membuat program pengembangan Bahasa Arab dan menggalakkan kajian-kajian penelitian. Akan tetapi setelah Prof. Mukti Ali berhenti dan berganti dengan menteri-menteri agama yang lain, belum juga ada perbaikan. Saya lalu membaca ini, kemudian pikir saya jika fakultasnya hanya ituitu saja, sampai kapanpun juga akan hanya melahirkan muddin. Kalau modelnya seperti itu, maka tidak akan bisa melahirkan ulama yang intelek. Lagi-lagi saya membaca bukunya Prof. Mukti Ali. Dalam bukunya ada statement, “tidak pernah ada ulama yang lahir dari lembaga selain pesantren”. Jadi kalau menyebut ulama, ya mesti pesantren. Disitulah kemudian 26 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
saya tangkap, kalau IAIN tidak bisa melahirkan ulama-intelek atau intelek-ulama, maka lembaganya harus saya rubah. Atas dasar kegelisahan itu, STAIN harus dirubah menjadi UIN, dan saya mempercayai statement Prof. Mukti Ali kalau di dalamnya harus didirikan pesantren. Oleh karena itu, selain saya mengusulkan menjadi universitas, saya juga mengusulkan di dalamnya ada pesantren (ma’had). Sehingga ulama tumbuh karena di dalam UIN itu ada ma’had. Sedangkan orang intelektual tumbuh karena disitu ada universitas. Terciptalah ulama-intelek. Apa yang menjadi faktor pendukung ketercapaian gagasan pohon ilmu? Ya karena saya punya gagasan tentang pengembangan itu dan saya mimpin alias punya kewenangan, jadi bisa. Umpama saya punya gagasan dan saya tidak jadi rektor mungkin tidak bisa. Indikator apa yang menjadi tolok ukur keberhasilan implementasi konsep pohon ilmu? Indikator tersebut misalnya dengan banyaknya mahasiswa yang menulis skripsi dengan tiga bahasa. Setiap wisuda tidak kurang dari 50 orang. Kemudian yang hafal Al-Qur’an dari berbagai macam disiplin ilmu mencapai lebih dari 20%, berarti sekitar 2000 mahasiswa mengikuti majlis penghafal alqur’an dari total 11.000 mahasiswa. Kemudian masyarakat menyambut baik keberadaan UIN. Dulu ketika
mau menerima 500 yang daftar hanya 450. Tapi sekarang mau menerima 2500 yang mendaftar 25.000. Dulu yang kuliah di UIN Malang hanya orang Malang, Blitar, dan Kediri. Sekarang dari Aceh sampai Papua, bahkan sudah berasal dari 29 negara. Inilah tolak ukurnya. Kalau sudah menjadi universitas cakupannya luas, kemudian peminatnya juga akan lebih luas. Kendala apa yang dialami selama 10 tahun menjadi UIN? Saya tidak pernah berbicara kendala, jadi tidak ada kendala. Agar orang percaya kendala itu tidak ada, jika di kamus ada kata kendala, maka saya suruh sobek. Kenapa? Agar orang tidak melulu berfikir tentang kendala sehingga tidak mau melangkah. Dalam rangka konversi ke UIN, kampus kami mengusung wahdatul ulum sebagai konsep keilmuan. Bagaimana Prof. Imam memandang hal ini? Ya biarkan saja pemahaman terhadap konsep keilmuan seperti itu, supaya beragam. Yang penting, seperti kata H.A.R Gibb “Islam is not only a religion, but a complete civilization”. Maka dari itu para dosen dan mahasiswa harus diajak untuk hijrah cara berfikir. Nanti kalau jadi universitas, tapi cara berfikirnya tetap, ya masih sama saja. Sementara ini kita hanya terjebak bahwa Islam itu agama, kelembagaan itu juga agama, makanya melahirkan dikotomik itu. Padahal di AlQur’an sendiri itu sudah include. [E]
majalah
EDUKASI BACAAN
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 27
ARTIKEL
METAFORA UNITY OF SCIENCES: ANTARA GADIS CANTIK YANG SUCI DAN INTAN PERMATA
D
alam tulisan ini, saya terinspirasi pada kalimat beberapa teman aktifis sosial, berbunyi “betapa besar pengaruh alumnus perguruan tinggi Agama Islam di tengah gerakan sosial politik, sosial budaya, perkembangan ilmu pengetahuan dan rekayasa teknologi�.Pengaruh ini didasarkan pada peran aktifis, ilmuwan, dan Ulama yang terbentuk daridampingan dosen PTAI.Sehubungan dengan pengaruh para alumnus PTAI mengawal relativitas pengetahuan dan upaya pengembangan keilmuan ini, telah memotivasi para pimpinannya terpacu untuk memikirkan ulang: bagaimanadesain bangunan keilmuan lembaga perguruan tinggi agama Islam? Fenomena ini, juga mengundang kepedulian beberapa aktifis lembagakajian dan penerbitan LPM Edukasi FITK UIN Walisongo Semarang.Dalam dua minggu setelah diumumkan perubahan status IAIN Walisongo menjadi UIN Walisongo, saya diminta mendiskusikannya dengan beberapa peserta kajian dan Crew LPM Edukasi.Dalam kesempatan ini, saya telah menyampaikan, bahwa saya belum memahami logika desain keilmuan yang dibangun di beberapa UIN, diantaranya di UIN Walisongo. Meskipun demikian, saya sudah menangkap ada semangat yang luar biasa dan bersifat positif, bahwa di lingkungan pimpinan PTAI telah berupaya melakukan langkah perubahan, baik secara manajemen maupun pengembangan keilmuan.
28 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
Dalam kesempatan ini, saya telah mencoba mengambil studi kasus, yang bisa saya jadikan pijakan untuk mengisi pada diskusi ini, yaitu mengenai teori gaya grafitasibumi. Jika membaca gaya grafitasi bumi ini, maka kita akan bisa mengambil sudut pandang yang berbeda-beda: bisa dengan perspektif keislaman, bisa dengan perspektif keilmuan, dan bisa dengan perspektif keindonesiaan (budaya jawa). Dalam perspektif keislaman, gaya grafitasi bumi bisa diartikan sebagai bentuk ketentuandari Allah Jalla Jalaluhu. Dalam perspektif keilmuan,gaya grafitasi bumi bisa dipahami secara rasional dan empiris. Misalnya, sebagai bentuk simpulan ilmiah yang dijelaskan secara teoritik-akademikyang disebut dengan istilahgaya grafitasi bumi. Sedangkan, dalam konteks kejawaan, gaya grafitasi bumi dapat dipahami sebagai sebuah bentuk fenomena yang dapat menunjukkan, bahwa keberadaan manusia merupakan bentuk keberadaan yang bukan siapa-siapa lagi dan tidak bisa berbuat apa, kecuali hanya mengikuti darma kehidupan dan keputusan yang telah diputuskan melalui lisan orang-orang suci yang disucikan Allah dan wahyu kenabian. Jadi, fenomena adanya gaya grafitasi bumi menunjukkan, bahwa adanya bidang keilmuan bisa bertemu dengan bidang keislaman. Secara spesifik, gaya grafitasi bumi bisa dipahami melalui keilmuan dan keislaman. Fenomena ini menunjukkan, bahwa persoalan integrasi bidang
Oleh : Ubaidillah Achmad *
Lingkar As Syuffah Pamotan Rembang keilmuan dan apa pun bentuk desain bangunan keilmuan akan kembali pada minat manusia terhadap objek kejadian.Demikian juga dengan semua peristiwa kealaman, secara kosmologis akanterikat dengan kekuatan yang Esa yang tidak terfikirkan oleh rasio dan pengalaman manusia. Karenanya, jika dikaitkan dengan pola penelitian, seorang peniliti itu harus melihat lapangan penelitian, baru kemudian menentukan metodologi yang akan digunakan dalam penelitian. Dari hasil penelitian ini, baru ditentukan kekhasan biadang keilmuannya. Fenomena rancangan keilmuan yang sekarang menjadi isu visi dan misi UIN ini berbeda dengan kemunculan perkembangan filsafat pada abad pertengahan. Ulama dan tokoh agama “langit� pada abad pertengahan tidak pernah memikirkan bentuk pengembangan bidang keagamaan, apakah dengan pola integrasi atau menjadi satu kesatuan dengan bidang keilmuan yang lain. Para agamawan abad pertengahan lebih menekuni pada prinsip kebenaran hidup dan bagaimana memaknai objek kajian. Objek kajian ini akan menjadi pijakan berfikir untuk mencari kebenaran, baik dari perspektif keislaman, keilmuan, dan kosmologi. Dengan kata lain, sungguh setiap subjek akan mengalami kesulitan melakukan pengembangan keilmuan, apabila berhenti pada kerangka teoritik sebuah desain keilmuan. Bukankah, akan lebih mudah jika memasuki terlebih dahulu kawasan atau objek
DOK. EDUKASI
kajian, lalu baru memikirkan kerangka teoritik atau desain keilmuannya. Karenanya, saya bisa memahami bagaimana konsep pembelajaran yang dapat membentuk perspektif subjek mengenai prinsip kebenaran kewahyuan, keilmuan, dan penelitian.Sedangkan, adanya desain bangunan keilmuan yang menjadi visi dan misi UIN, saya kira masih memerlukan pembahasan lebih lanjut: apakah desain ini akan diterjemahkan hanya cukup melalui membuka fakultas dengan jurusan sebagaimana yang telah dibuka di UI, UGM, IPB, Airlangga, dan UNDIP? Atau dengan langkah dirimenambahan fakultas seperti yang berlangsung di perguruan tinggi umum dengan menambahkan pada kurikulum bidang studi, berupa Al Qur’an dan Hadis. Sehubungan dengan membuka fakultas dan menambahkan kurikulum dengan bidang studi Al Qur’an dan Hadis, apakah sudah bisa memenuhi desain bangunan keilmuan yang akan diterapkan di UIN? Atau dengan memasukkan kurikulum 50 % materi PTAI dan 50% materi PTU?Jika dengan pola pengandaian yang terakhir, maka bagaimana dengan optimalisasi keahlian yang telah mengerucut dengan spesialisasi bidang keilmuan? Atau dengan cara yang revolusioner mengembalikan spesialisasi bidang keilmuan pada induk ilmu-ilmu pengetahuan, yaitu pada bidang filsafat dan agama.
Fenomena rancangan keilmuan yang sekarang menjadi isu visi dan misi UIN ini berbeda dengan kemunculan perkembangan filsafat pada abad pertengahan.
Jadi, jika seputar pertanyaan EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 29
ARTIKEL
// METAFORA UNITY OF SCIENCES//
ini belum terjawab secara teoritis dan praktis, maka adanya desain keilmuan yang trend di UIN hanya akan menjadi slogan pengembangan keislaman saja. Saya mengkhawatirkan, jika yang dimaksud dengan desain keilmuan di UIN akan berujung pada pengembangan ilmu keislaman terpadu seperti yang telah berkembang di SMP dan SMA terpadu, maka akan membuka peluang alumnusnya untuk bersikap mengkafirkan kedua orang tuanya atau menjadikan pengembangan keilmuan yang bersifat absolut.
HORIZON KOSMOLOGI SUBJEK Dalam rangka menghindari kekhawatiran tersebut, maka diperlukan langkah strategis untuk membentuk kesadaran subjek,yaitu bersedia mempertanggungjawabkan bidang keahlian atau keilmuan yang dimilikinya, baik kepada Allah, sesama umat manusia dan lingkungan kesemestaan.Kerangka kesadaran kosmologis ini yang seharusnya menjadi kerangka bangunan kesatuan ilmu yang menjadi prinsip dasar pengembangan bidang keilmuan di UIN Walisongo Semarang.Karenanya, setiap jurusan dari masing-masing fakultas di UIN Walisongo perlu dipersiapkan bidang kosmologi perspektif keislaman dan keilmuan.Dengan demikian, pandangan kosmologi ini akan menjadi kekuatan berfikir alumnus UIN Walisongo membangun kesatuan ilmu, sebagaimana yang ditawarkan di UIN Walisongo. Dari fenomena kemunculan desain bangunan keilmuan yang ditawarkan di UIN se-Indonesia, telah melupakan realitas perkembangan ilmu keislaman yang sampai sekarang belum bisa “berdiri sendiri secara mandiri”. Artinya, telahbanyak ditemukan astronom, antropolog, sosiolog, 30 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
dan teknolog, yang telah menerima prinsip kebenaran kewahyuan dan kenabian, bukan dari desain bangunan keilmuannya, namun bermula dari kesadaran subjektif. Sama halnya dengan pimpinan UIN, saya kira masih banyak yang berhenti pada tataran subjektifitas angan-angan pengembangan keilmuan dan perumpamaan pengembangan keislaman, sehingga belum melalui penelitian yang matang: bagaimana desain bangunan keilmuan untuk UIN yang dipimpinnya lebih realistis untuk pengembangan keislaman dan keilmuan. Fenomena ini dapat dibaca pada hasil proseding seminar-seminar dan buku tentang desain bangunan keilmuan di UIN yang trenakhirakhir ini. Dalam perspektif sufistik, keahlian bidang keislaman sangat memerlukan subjek yang telah mencapai martabat insan kamil. Dengan demikian, ilmu yang dijadikan dasar untuk menterjemahkan bukan ilmu yang didasarkan pada rasio dan pengalaman saja, namun juga didasarkan pada keseimbangan unsur jiwa dan kepribadian yang baik.Subjek ilmu keislaman yang baik, yang telah dicontohkan dalam Al Qur’an, adalah para Al Anbiya’, Syuhada’ Shalikhiin, wal Ulama’ Al ‘Amiliin Al Muthahhiriin.Oleh karena itu, tidak ada lembaga pendidikan yang terbaik, selain yang telah mampu membentuk kepribadian sempurna, baik dari aspek keislamannya maupun dari aspek keilmuannya. Kerangka filosofis ini memberikan pemahaman mendasar mengenai kawasan keislaman dan keilmuan.Kawasan keislaman terkait dengan rahasia kewahyuan, kealaman, dan kekhalifahan di bumi menyatu dengan kesatuan kebahagiaan surgawi mencapai satu kesatuan ilahiyah. Sedangkan, dalam kawasan keilmuan: bagaimana seseorang
dapat memaknai perkembangan suatu objek yang terfikirkan sesuai dengan kaidah pemahaman logis (rasio) dan pengalaman inderawi (empiris). Jadi, keislaman itu terkait: bagaimana menggali potensi yang bersumber dari ketiga rahasia kewahyuan, kealaman, dan kekhalifahan? Berbeda dengan keislaman, bidang keilmuan itu terkait: bagaimana menggali potensi yang bersumber dari pikiran dan pengalaman subjek? Perspektif keilmuan ini akan dapat menjadi arti atau makna yang terbahasakan secara teoritik dan menjadi alat ukur (instrument) pemahaman subjek. Pemahaman subjek, berupa: subjek yang memahamkan dan subjek yang memahami. Jika menganalisis dari potensi keislaman dan perspektif keilmuan, maka kedua kawasan telaah ini memerlukan proses perkembangan secara alamiah dari subjek yang memahamkan dan subjek yang memahami. Kedua kawasan ini tidak bisa direkayasa atau dipaksakan, baik secara integratif maupun secara included. Pola yang bisa dilakukan, jika ada lembaga yang bervisi dan misi keduanya, maka yang mendesak harus dilakukan, adalah memberikan ruang pemotensian dan telaah yang terkait dengan perkembangan keduanya.Upaya pengembangan keduanya ini sangat memerlukan subjek yang telah mencapai predikat Ulama. Yang dimaksud dengan Ulama dalam tulisan ini, adalah subjek yang telah mampu mempotensikan kualitas keislaman dan mampu mengkaji secara lebih mendalam dalam bidang keilmuan, baik secara normatif, teoritis, dan sikap atau perilaku keulamaan.Bidang keilmuan Ulama ini, secara normatif terkait dengan penguasaan pada bidang prinsip kewahyuan, secara teoritis terkait dengan pengua-
DIPERLUKAN UPAYA DARI ARSITEKTUR UIN WALISONGO UNTUK MENSOSIALISASIKAN KEMBALI DESAIN KESATUAN ILMU INI SAMPAI PADA TINGKAT ORGANISASI KEMAHASISWAAN DAN KEPADA MAHASISWA BARU. saan kesadaran dan kemampuan mengidentifikasi pada peristiwa atau kejadian penting secara rasional dan empiris tentang “apa yang terfikirkan” pada kosmologi ini.Secara perilaku terkait dengan penguasaan kemampuan diri untuk mencapai martabat insan kamil.
IMAJINASI BANGUNAN ILMU
Dalam sub bab ini, perlu kiranya mengkaji titik singgung beberapa PTAI yang telah menjadi Universitas Islam Negeri. Misalnya, perspektif Prof. Dr. Amin Abdullahyang telah menetapkan konsep bangunan keilmuan dengan sistem “integrasi-interkoneksi dengan metafora yang tervisualisasi dalam bentuk spedir web (jaring laba-laba).” Sehubungan dengan metafora ini, Prof. Amin Abdullah ini telah memberikan rambu untuk melangsungkan proses dialogis dan integrasi dalam keilmuan, berupa: pertama, semipermeable, intersubjective testability, creative imagination. Secara terminologis, dari ketiga istilah ini yang pertama, dapat dipahami sebagai fungsi untuk menjaga kekhasan bidang keilmuan yang masih berintegrasi dengan pola dialogis yang komunikatif. Kedua, dapat dipahami sebagai bentuk peluang masingmasing pihak bidang keahlian untuk bisa saling menguji pola kebenaran kekhasan perkembangan bidang keilmuan.Sedangkan, yang ketiga, bermakna memperjumpakan dua konsep yang berbeda.Karena ketiga konsep ini berada pada ranah akademik, maka keberlangsungan bidang keislaman yang dibangunnya harus didasarkan pada penelitian
yang mendalam.Jika dicermati, paradigmaProf. Amin Abdullah ini masih menegaskan adanya isu perbedaan antara ilmu agama dan ilmu umum (natural sciences dan social sciences). Berbeda dengan Prof. Amin, Prof. Imam Suprayogo menolak istilah integrasi. Istilah integrasi ini, selain menjadi bangunan kesadaran keilmuan Prof. Amin, juga telah menjadi inspirasi pengembangan pola kekhasan kelembagaan bidang ilmu keislaman yang akan dikembangkan di UIN Walisongo Semarang. Dalam pandangan Prof. Imam Suprayogo, istilah integrasi mengindikasikan adanya pola dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Karenanya, Imam menggunakanistilah include(dalam satu kesatuan yang tidak bisa dibedakan). Dalam keilmuan, tidak ada pola independensi, dialog, integrasi, apalagi konflik.Kerangka berfikir saperti ini didasarkan pada sebuah prinsip, bahwa keseluruhan ilmu sudah ada dalam kesatuan pembahasan dalam wahyu Al Qur’an. Berbeda dengan kerangka filosofis yang diusung oleh UIN Sunan KalijagaJogjakarta dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengambil desain dan bentuk integralistik dalam disiplin keilmuan, keislaman, dan keindonesiaan. Artinya, bidang keislaman tidak sedang berada antara integrasi atau include, namun tidak sedang berusaha memisahkan dengan istilah ilmu agama dan ilmu umum serta tidak sedang mengaku-aku dengan berkeyakinan, bahwa keseluruhan ilmu pengetahuan
dan teknologi sudah ada pada al Qur’an. Lalu, bagaimana dengan desain kesatuan ilmu (wahdatul ‘ulum) yang akan dibangun di UIN Walisongo? Sehubungan dengan desain bangunan kesatuan ilmu UIN Walisongo ini sudah disosialisasikan, namun belum secara keseluruhan dari para dosen memahaminya. Jika bertanya kepada mahasiswa pun, belum semua mahasiswa juga berupaya untuk memahaminya. Karenanya, diperlukan upaya dari arsitektur UIN Walisongo untuk mensosialisasikan kembali desain kesatuan ilmu ini sampai pada tingkat organisasi kemahasiswaan dan kepada mahasiswa baru. Selain itu, di UIN Walisongo ini, juga diperlukan mentor institut dan fakultas yang akan memberikan pemahaman kepada dosen dan mahasiswa tentang kekhasan desain UIN Walisongo dan hal yang penting yang harus diperhatikan para dosen dalam membentuk pola kesatuan ilmu di tengah pengembangan keislaman, keilmuan, dan keindonesiaan. Kesatuan ilmu tidak hanya berhenti pada imajinasi kreatif, sementara konsep aplikasi yang lebih spesifik pada tataran praktis di tengah pembelajaran belum bisa diterapkan secara baik.Setidaknya, ditengah pendampingan dosen kepada mahasiswa, baik di kelas pada saat diskusi maupun di luar kelas, bisa diterapkan untuk dapat membentuk karakter kepribadian yang berwawasan keislamanyang mencirikan visi dan misi kelembagaan UIN Walisongo. Bersambung ke halaman 54
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 31
KAJIAN ISLAM
ISLAM INDONESIA; SEBUAH SINTESIS
OLEH: NOVITA NUR INAYAH | KETUA FORUM SILATURAHMI MAHASISWA PAI JATENG PERIODE 2013-2014
“WAHYU BUKANLAH SESUATU YANG BERADA DI LUAR KONTEKS YANG KUKUH TAK BERUBAH. WAHYU SELALU BERADA DALAM KONTEKS YANG MENGALAMI PERUBAHAN DEMI PERUBAHAN”.
DOK. INTERNET
32 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
Masjid Al Aqsha di Kudus, perpaduan arsitektur Islam dan Hindu-Jawa
ELAKANGAN ini, Indonesia kembali digegerkan dengan fenomenafenomena gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam. Salah satunya adalah Islamic State in Iraq and al-Sham atau yang lebih familiar dikenal dengan (ISIS). Gerakan yang dimotori oleh Abu Bakar al-Baghdadi ini mempunyai cita-cita untuk membangun Negara Islam. Dengan segala usaha dalam mewujudkan cita-citanya ISIS melakukan rekruitmen anggota secara massive di berbagai Negara, tak terkecuali Indonesia. Seketika itu juga ISIS menjadi perhatian masyarakat Indonesia, berbagai macam usaha dilakukan guna menghalau derasnya gerakan ISIS di Indonesia, sebab gerakan ISIS dianggap meresahkan masyarakat. Sebenarnya, gerakan radikal semacam ISIS ini sudah pernah bergejolak di Indonesia. Gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam untuk membunuh sesama dengan dalil jihad fi sabilillah pernah menjamur di Indonesia. Dahulu kita pernah digegerkan dengan NII atau Negara Islam Indonesia yang tujuanya pun senada dengan yang dicitacitakan ISIS, yaitu membentuk Negara Islam. Sangat jelas sekali, apa yang mereka (red, gerakan radikal) lakukan sangat menciderai ideologi bangsa kita, yaitu pancasila. Pancasila dengan nilai-nilai yang dikandungnya mempunyai harapan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung
tinggi nilai-nilai toleransi. Kita tahu bahwa masyarakar Indonesia sangat heterogen, dalam hal agama, suku, ras serta budaya. Kita harus tetap menjaga warisan masing-masing leluhur kita. Sehingga kita harus berdiri diatas perbedaan tersebut dan bersatu padu menjadi Indonesia. Hal ini pun senada dengan semboyan bangsa Indonesia yaitu bhineka tunggal ika, yang artinya walaupun berbeda tetapi tetap satu jua. Maka dari itu sebagai warga Negara yang baik, kita harus selalu berpegang teguh pada nilai-nila pancasila, serta tidak mudah terpengaruh oleh kelompok-kelompok atau organisasi yang tidak jelas ideologinya serta menyimpang dari ideologi luhur bangsa DIALEKTIKA ISLAM Islam meupakan agama rahmatan lil alamin yang mampu berdialektika dengan berbagai budaya pada tiap lokusnya. Ajaran-ajaran Islam mampu berkolaborasi baik dengan budaya dan peradaban disuatu daerah. Hingga dalam sebuah diktum dikatakan al-adah muhakkamah, adat masyarakat bisa dijadikan sumber Islam. Artinya hukum Islam itu dipengaruhi oleh kultur setempat. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syari’at seperti kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan serta bentuk bangunan masjid. Islam itu adalah agama rahmat, jadi jangan EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 33
dibuat seram dan menakutkan sebagaimana yang dilakukan oleh para teroris yang mengatasnamakan Islam, dan seolaholah mereka adalah pejuang Islam. Islam masuk dan berbaur dalam suatu daerah tentu saja tidak dalam keadaan budaya yang kosong. Arab misalnya, Islam pertama kali dibawa oleh Nabi Muhammad di daerah ini. Secara historis semua orang mengetahui bahwa Arab pada masa itu sudah memiliki budaya yang kuat dan mengakar, yaitu budaya kaum-kaum jahiliyah. Dalam konteks ini Islam mampu berdialektika dengan budaya Arab pra Islam, sedikit demi sedikit ajaran Islam masuk dan berbaur dengan budaya tersebut. Pada saat itu Nabi tak lantas langsung memberangus budaya pra Islam dan menggatikannya dengan budaya sebagaimana Islam mensyari’atkannya. Islam itu datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju sebuah kehidupan yang dinamis dan harmonis. Dengan demikian, Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut sebuah masyarakat, akan tetapi Islam menginginkan agar umatnya jauh dan terhindar dari hal-hal yang tidak bermartabat dan membawa madlarat didalam
34 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
kehidupannya. Sehingga dalam hal ini Islam perlu meluruskannya dan membimbing kebudayaan yang berkembang dimasyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan dengan merujuk pada al-Qur’an dan hadits. Islam itu ramah bukan marah, begitulah ungkapan yang sering kita dengar dari sang guru besar kira, Gus Dur. Ungkapan tersebut sederhana namun mengandung makna yang dalam, bahwa Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk saling membenci, menyakiti, atau saling membunuh. Islam selalu mengajarkan umatnya untuk selalu bersikap ramah, saling mengasihi, saling menyayangi terhadap semua ciptaan Allah. SEBUAH SINTESIS Ketika Islam masuk ke Indonesia, sudah ada budaya Hindu Budha yang terlebih dahulu singgah dan mengakar pada kehidupan masyarakat Indonesia. Namun Islam mampu berdialektika dengan budaya sebelumnya sehingga menghasilkan sintesa baru berupa Islam Indonesia dan tentunya tidak sedikitpun mengurangi hal-hal yang bersifat ushuliyah atau hubungan kita dengan Tuhan karena itu merupakan esensi Islam. Sesuatu yang bersifat ushuliyah tersebut, manusia tidak punya
slam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk saling membenci, menyakiti, atau saling membunuh. Islam selalu mengajarkan umatnya untuk selalu bersikap ramah, saling mengasihi, saling menyayangi terhadap semua ciptaan Allah.
DOK. INTERNET
Sekaten atau upacara Sekaten (berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat) adalah acara peringatan ulang tahun nabi Muhammad s.a.w. yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (Rabiul awal tahun Hijrah) di alun-alun utara Surakarta dan Yogyakarta. Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam (id.wikipedia.org)
wewenang untuk merubahnya, karena hal tersebut mutlak adanya, dan perubahan daripadanya akan menghilangkan esensi dari Islam. Berbeda halnya dengan sesuatu yang bersifat furu’iyah, unsur lokalitas sangat mempengaruhi sesuatu yang bersifat furu’iyah. Sebuah contoh, bahwasanya Islam Indonesia merupakan sebuah sintesa antara wahyu dan tradisi lokal. Sholat adalah merupakan perintah dari Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an (red, wahyu), dan dalam hal ini sholat bersifat ushuliyah karena merupakan bentuk hubungan langsung antara seorang hamba dan sang pencipta. Dalam sholat kita diwajibkan untuk menutup aurat yang merupakan syarat sahnya sholat. Namun, sesuatu yang kita gunakan untuk menutup aurat itu bersifat furu’iyah yang tentunya sangat memperhatikan unsur lokalitas. Di negara Arab menutup aurat bisa dilakukan dengan memakai sarung tangan, kaos
kaki, busana muslim, jubah, sorban serta cadar. Berbeda halnya dengan Indonesia kita mengenal adanya mekena, baju koko, sarung dan juga peci yang semuanya itu juga dapat kita gunakan dalam sholat, dan esensinya pun sama yaitu menutup aurat, dan itu adalah merupakan identitas masing-masing bangsa tergantung dimana kita tinggal. Bentuk lain dari proses dialektika Islam dengan budaya lokal adalah tradisi sedekah bumi atau nyadran. Dahulu sebelum Islam datang di Indonesia tradisi ini dilakukan dengan ritual-ritual penyembahan, namun ketika Islam datang pemujuaan-pemujaan tersebut ditujukan hanya kepada dzat yang maha suci yaitu Allah SWT, tidak lagi pada pohon atau batu besar. Tradisi-tradisi seperti ini yang merupakan identitas dari Islam kita yaitu Islam Indonesia yang merupakan sintesis dari adanya wahyu dan budaya bangsa. [E]
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 35
OPINI
Menjadikan Berjiwa Indonesia Oleh: M. Mudhofar*
M
ungkin pembaca akan bertanyatanya maksud dari judul di atas. Bukankah kita memang orang Indonesia, lahir dan hidup di Negara yang berlambang Garuda Pancasila. Lantas apa masalahnya? Memang benar kita lahir dan hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga secara otomatis kita menjadi warga Indonesia. Berdasarkan data statistik Indonesia (datastatistik-indonesia.com), jumlah penduduka negeri ini tahun 2014 berjumlah 244.814.9000 jiwa dengan rincian laki-laki 122.486.3000 jiwa dan perempuan 122.328.6000 jiwa. Nah, pertanyaannya apakah dari semua penduduk itu berjiwa Indonesia? Orang berjiwa Indonesia dimaknai sebagai orang yang memegang teguh budaya ketimuran, ala Indonesia tentunya. Budaya ketimuran di sini dapat diartikan budaya yang menjunjung toleransi, kesopanan, gotong royong, dan grapyak antar satu dengan yang lainnya. Bukan sikap mengekang, acuh, dan antipati terhadap budaya asli bangsa ini. Semua pasti sudah tahu jikalau Indonesia tetap eksis sebagai NKRI karena menjunjung nilainiai budaya ketimuran tadi. Agama Hindu, Budha, Kristen, 36 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
Islam dan Konghucu saling menghormati. Suku Jawa, Madura, Batak, Sunda, Dayak, dan lain sebagainya saling gotong royong membangun bangsa ini dengan tujuan yang sama yang termaktub dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Alangkah indahnya budaya ketimuran di Indonesia ini. MULAI PUDAR Sekali lagi penulis katakan “alangkah indahnya budaya ketimuran di indonesia ini�. Layaknya macam-macam warna yang mewakili tiap-tiap golongan dan bersatu membentuk pelangi. Pelangi akan nampak elok jika tersusun atas berbagi macam warna bukan hanya satu warna. Namun alangkah disayangkan budaya ketimuran kita mulai pudar. Budaya yang menjadikan kita sebagai orang Indonesia kini secara pelan namun pasti mulai tergerus dari dalam diri orang Indonesia. Maraknya kekerasan yang terjadi dewasa ini menjadi salah satu indikasi pudarnya budaya tersebut. Mulai dari lokus atas nama agama, pendidikan, maupun lokus atas nama suku. Beberapa kasus pudarnya nilai-nilai ketimuran masih bisa kita temukan dari dulu hingga sampai saat ini. Dalam konteks atas nama agama misalnya kasus sweeping oleh FPI di kabupaten
Kendal Jawa Tengah tanggal 18 Juli 2013 silam. Meskipun dengan dalih sweeping karaoke dan togel tapi cara yang digunakan sangat jauh mencerminkan sebagai orang Indoneisa. Kasus serupa terjadi di Sleman, Yogyakarta pada tanggal 1 Juhi 2014. Namun kali ini pelakunya masyarakat Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman bukan FPI. Mereka merusak banguan yang digunakan untuk Ibadah umat Kristen (regional.kompas.com, 1 Juni 2014) Kasus lain juga menimpa anakanak IAIN Walisongo (Sekarang UIN) Semarang. Tepatnya 31 anak dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Abdurrahman Wahid Komisariat Walisongo (http://www.pmiigusdur.com/2014/06/interfaithjourney-menebar-pluralisme. html). Mereka mendapat kecaman dan makian di media sosial karena disangka melakukan penistaan agama dan pencemaran nama baik IAIN Walisongo. Hal itu dikarenakan kegiatan Interfaith Journey yang dilaksanakannya. Dalam kegiatan itu mereka mengunjungi ke beberapa tempat ibadah non-muslim di wilayah Semarang untuk belajar arti pluralisme dan kebetulan ada foto yang tersebar di media ketika mereka di dalam gereja. Entah mereka salah atau benar tentang
“Sayangnya, pendidikan kita sekarang justru mencetak anak agar berjiwa non-Indonesia”
kegiatan yang dilaksanakannya, saya lebih menyoroti bagimana cara menyampaikan kritik dan teguran yang jauh dari nilai-nilai budaya ketimuran. Sempat menilik beberapa akun yang mengatai mereka (PMII Abdurrahman Wahid) sebagai iblis laknat, orang jahiliyah, Yahudi, kafir, dengan disertai dalil agama ‘ala Google’. Apakah ini budaya orang Indonesia yang terkenal ramah, santun, dan toleran? Bahkan Muhammad SAW. sebagai pembawa Islam diutus bukan untuk menilai benar tidaknya agama sebelumnya. Dia diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak, tak lebih. Parahnya dosen yang notabenya sebagai seorang pendidik, orang yang cerdas, juga ikut arus utama menyikapi isu. Ada dosen yang memaki lewat media sosial ada juga yang melakukan intimidasi secara face to face, ataupun menggunjingkannya di dalam kelas saat perkuliahan. Bahkan pihak kampus secara institusi pun ikut-ikutan juga. Ada isu berhembus pemanggilan orang tua, ada juga isu mau di-Drop Out (DO). Sekali lagi pertanyaanya, apakah ini yang diajarkan budaya kita? Bukankah keberagaman di bangsa ini sebuah keniscayaan dan kita harus menghormatinya sebagaimana pasal 29 UUD 45. Terlebih lagi ini dalam kaca mata
akademis, kajian tentang pluralisme. Sebagai lembaga akademis yang menjunjung tinggi ilmiah, diniyah, dan ukhuwah, harusnya IAIN khususnya Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) dan dosen-dosennya tidak pantas melakukan itu. Alasannya pertama, intimidasi adalah bagian dari kekerasan secara psikis dalam pendidikan dan itu melanggar kemanusian serta konstitusi dalam pendidikan. Kedua, jika mereka di DO apakah itu akan menyelesaikan masalah? Tentu tidak. Justru yang terkena dampak malah IAIN secara umum bukan hanya FITK. Terlebih masalah tersebut sebenarnya sudah selesai sejak adanya klarifikasi dengan jajaran petinggi FITK pada hari Kamis, 5 Juni 2014. Kalau dalam pandangan saya kenapa isu-isu di atas menjadi sangat booming sebenarnya karena dibesar-besarkan saja. Ada unsur like and dislike dari satu kelompok ke kelompok yang lain dengan tendensi politik di dalamnya. Satu hal disini yang paling penting ialah cara berfikir dan cara yang digunakan oleh Institusi ataupun dosen tidak mencerminkan sebagai seorang yang terdidik dan sudah melenceng jauh dari nilai-nilai budaya ketimuran. Jadi wajar kalau saya menyebutnya mereka tidak mem-
punyai jiwa Indonesia. HARUSNYA LEWAT PENDIDIKAN Salah satu cara untuk merevitalisasi nilai-nilai luhur budaya ketimuran bisa dilakukan lewat jalan pendidikan. Entah itu dalam ranah formal, non-formal, ataupun informal. Namun sayangnya, pendidikan kita sekarang justru mencetak anak agar berjiwa non-Indonesia. Kalau pendidikan berbasis Islam lebih condong mencetak anak menjadi “seorang Arab” dibanding seorang Indonesia. Jika pendidikan itu berbasis umum, lebih condong mencetak anak menjadi seorang “Barat”. Karena alasan itulah Suwardi Surjaningrat atau lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa. Ia menilai sekolah yang didirikan Belanda untuk rakyat bumi putera berdampak hilangnya nilai-nilai ketimuran. Mereka didik menjadi seorang Belanda, cenderung bersifat elitis dan kehilangan jiwa merakyatnya (Darsiti Suratman: 1981) Sayang, cita-cita Dewantara yang dituangkan dalam wujud Taman Siswa tidak diteruskan oleh pendidikan saat ini. Hanya slogan Tut Wuri Handayani yang dipajang di tembok sekolah, atau di dasi dan topi siswa, tapi kehilangan esensinya. Bersambung ke halaman 74 EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 37
Laporan
Kampus
Pimpinan Baru, Menjemput Harapan dan Menyikapi Tantangan Tahun 2014 lalu bagi kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo merupakan tahun estafet kepemimpinan. Empat pimpinan yang baru saja mengisi di masing-masing post fakultas di lingkungan UIN Walisongo telah resmi menjadi Dekan pasca dilantik oleh Rektor Muhibbin pada Senin (27/10).
38 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
S
aat ini Dekan di Fakultas Syariah (FS) dijabat oleh Akhmad Arif Junaidi, Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) dipegang oleh Awaludin Pimay, Fakultas Ushuluddin (FU) diemban oleh Mukhsin Jamil, dan di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) dijabat oleh Darmuin. Sedangkan pada awal tahun sebelumnya, tepatnya Jum’at (17/1) Imam Yahya telah lebih dulu dilantik menjadi Dekan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI). Hadirnya lima wajah pimpinan baru ini tentunya membuka pintu harapan bagi kemajuan kampus UIN Walisongo ke depan. “Setelah dilantiknya Dekan baru ini, kami berharap IAIN (UIN-red) Walisongo akan semakin maju dan berkembang,� tutur Muhibbin sebagaimana dilansir dari situs resmi walisongo.ac.id. Di lingkungan FITK sendiri, terpilihnya Darmuin sebagai Dekan baru nampak memakan waktu yang cukup panjang. Dimulai dari tahap sosialisasi hingga sampai tahap pemilihan oleh Senat Fakultas menelan waktu hampir tiga pekan. Namun, saat momentum diseleng-
FOTO: AAM/EDUKASI
Laporan
Kampus
garakannya pemilihan Dekan baru pada Rabu (27/8), Darmuin dapat mengantongi suara terbanyak. Ia menang telak mengalahkan tiga calon lainnya, Fatah Syukur, Muslih, dan Raharjo. “Saat pemilihan Dekan baru kemarin jumlah pemilih ada 24 anggota senat, dari 24 tersebut, 20 orang memilih saya,” ujar Darmuin, yang dulu pernah menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan. Sosok Darmuin memang tidak begitu banyak dikenal oleh mahasiswa FITK. Ia mengakui, hanya para mahasiswa yang diajarnya sajalah yang mengenal sosok beliau. Hal ini terbukti dari jajak pendapat yang dilakukan oleh tim Pusat Data dan Analisa (Pusda) LPM Edukasi pada 04-09 Nopember 2014 lalu. Dari sebanyak 100 responden, hanya 22 persen yang menyatakan mengenal beliau. Saat diwawancarai secara terbuka oleh crew edukasi tentang respon atas data tersebut. Ia menuturkan, baginya menjadi Dekan tidak harus dikenal dan terkenal. “Tidak seperti selebritis yang harus dikenal, tidak dikenal tidak apa-apa yang penting pekerjaan baik. Saya lebih mengedepankan tugas dan kewajiban saya dibanding pencitraan diri,” tambah Darmuin, yang pernah mengambil studi magister di IAIN Padang, Sumatera Barat. STYLE MEMIMPIN Meskipun tak banyak dikenal oleh sebagian besar mahasiswa, namun bagi beberapa mahasiswa yang pernah mendapat perkuliahannya mengenal sosok Darmuin sebagai dosen yang humoris. Ulfa, mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI) mengatakan, beliau adalah dosen yang lucu.
“Kalau mengajar di kelas selalu penuh dengan humor,” ujar Ulfa. Terlepas dari sosok Darmuin dengan selera humorisnya, kini ia telah benar-benar dikenal sebagai sosok leader di FITK. Jika dipahami, pemimpin merupakan tombak utama dalam pembentukan karakter suatu organisasi (fakultas-red). Pemimpin pulalah yang menyetir suatu kendaraan yang bernama “lembaga atau oragnisasi” menuju jalan yang akan dituju sesuai dengan visi dan misi organisasi tersebut. Berkenaan dengan hal ini, ada banyak gaya memimpin yang dimiliki oleh seorang leader, seperti halnya gaya kepemimpinan karismatik, diplomatis, diktator atau otoriter, demokrtais, transformatif, dan moralis. Dari jenis gaya kepemimpinan tersebut, style atau cara memimpin yang diinginkan oleh mahasiswa berdasarkan hasil jajak pendapat menunjukkan, tak kurang dari 26 persen responden lebih menginginkan sosok Dekan baru dapat memimpin FITK dengan gaya kepemimpinan transformatif. Menurut Anggun Nur Hapsari dalam penelitiannya tentang pemimpin transformatif, ia menjelaskan, kepemimpinan transformatif adalah kepemimpinan yang mampu mengontrol, memanage, membimbing dan mengarahkan orang lain kepada perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik dan inovatif untuk menuju suatu sasaran tertentu yang ditandai dengan empat ciri, yaitu karismatik, inspirasional, stimulasi intelektual dan perhatian individual. Bagi FITK, kehadiran sosok pemimpin dengan gaya transformatif sangatlah tepat. Pasalnya, kehadirannya diharapkan dapat siap menghadapi banyak pe-
“
Bagi FITK, kehadiran sosok pemimpin dengan gaya transformatif sangatlah tepat. Pasalnya, kehadirannya diharapkan dapat siap menghadapi banyak perubahan, baik di sektor internal maupun eksternal.
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 39
INFOGRAFIS
DEKAN FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN WALISONGO SEMARANG PERIODE 2014-2018 Dr. H. DARMUIN, M.Ag.
TINGKAT PENGENALAN TERHADAP SOSOK KEPRIBADIAN DEKAN BARU
HARAPAN TERHADAP GAYA KEPEMIMPINAN DEKAN BARU
1%
6%
OTORITER
SANGAT MENGENAL
36 %
22 %
TIDAK MENGENAL
MENGENAL
36 % KURANG MENGENAL
25 % TRANSFORMATIF
26 % KARISMATIS
23 % 24 % MORALIS
DIPLOMATIS
Metode penelitian yang digunakan oleh tim Pusat Data dan Analisa (Pusda) LPM Edukasi ini melalu dua cara, wawancara dan survei. Wawancara dilakukan secara langsung dengan narasumber Darmuin, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) pada Selasa, 11 Nopember 2014. Sedangkan metode survei atau jajak pendapat dilakukan melalui penyebaran angket ini diselenggarakan pada 04-09 Nopember 2014. Sebanyak 100 responden minimal berada pada semester tiga dipilih secara acak menggunakan metode random sampling. Responden adalah mahasiswa dari berbagai latar belakang jurusan di FITK UIN Walisongo Semarang. Menggunakan metode survei ini, para tim berupaya mengambil sampel secara proporsional dari berbagai jurusan yang ada agar dapat memiliki keterwakilan dalam menyampaikan pendapat. Namun demikian, hasil jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh populasi mahasiswa di FITK. Tulisan ini pernah dimuat di laman web www.lpmedukasi.com
INFOGRAFIS: FAHMI ASH SHIDDIQ/EDUKASI 40 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
PRIORITAS PERUBAHAN DI FITK DALAM JANGKA DEKAT
MENJEMPUT HARAPAN MENYIKAPI TANTANGAN
1%
8%
PERTAMANAN
KERJA PEGAWAI
7%
8%
KEBERSIHAN
ADMINISTRASI
30 %
46 %
SARANA PRASARANA
AKADEMIK
URGENSITAS EKSISTENSI TAMAN FAKULTAS
IMPLEMENTASI KULTUR ILMIYAH, DINIYAH DAN UKHUWAH
2%
11 %
11 %
1%
KURANG PENTING
TIDAK PENTING
SANGAT SUDAH
38 %
50 %
30 %
PENTING
SANGAT PENTING
TIDAK MENJAWAB
SANGAT BELUM
1%
56 % BELUM
SUDAH
TINGKAT PENGELOLAAN PARKIR KENDARAAN
KELENGKAPAN DAN PERAWATAN FASILITAS/SARANA PRASARANA
64%
60%
60%
29 %
28 %
26 % 13%
8%
1% SANGAT BAIK
OPTIMALISASI PEMANFAATAN MASJID AL FITRAH
0% BAIK
KURANG BAIK
BURUK
SANGAT BAIK
BAIK
9%
2% SEDANG
BURUK
SANGAT BAIK
BAIK
KURANG BAIK
BURUK
TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENYALURAN BEASISWA
0%
11%
56%
30%
TIDAK SETUJU
KURANG SETUJU
SANGAT SETUJU
SETUJU
PERHATIAN KHUSUS TERHADAP KEBERSIHAN LINGKUNGAN FAKULTAS
0%
1%
53%
46%
TIDAK SETUJU
KURANG SETUJU
SANGAT SETUJU
SETUJU
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 41
Laporan
Kampus rubahan, baik di sektor internal maupun eksternal. Tak hanya itu, hadirnya transformasional leader nantinya dapat menggandakan motivasi dan bisa dijadikan sosok panutan bagi seluruh sivitas akademika FITK. Hal ini terbukti dari publikasi hasil research pada laman resmi lib.uin-malang.ac.id yang dilakukan pada tahun 2012 oleh Anggun Nur Hapsari, mahasiswa Jurusan Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, tentang hubungan antara kepemimpinan transformatif dengan motivasi kerja karyawan PT. PLN (persero) di area Malang. Hasil penelitiannya menunjukkan, 10 karyawan (16,67%) menilai kepemimpinan transformatif yang tinggi, 42 karyawan (70%) menilai kepemimpinan transformatif yang sedang, dan 8 karyawan (13,33%) menilai kepemimpinan transformatif yang rendah. Kemudian terdapat 10 karyawan (16,67%) merasakan motivasi kerja yang tinggi, 41 karyawan (68,33%) merasakan motivasi kerja yang sedang, dan 9 karyawan (15%) merasakan motivasi kerja yang rendah. Berdasarkan analisa product moment yang ia lakukan, ia menemukan terdapat hubungan positif antara kepemimpinan transformatif dengan motivasi kerja dengan r = 0,574 p = 0,000, artinya semakin tinggi tingkat kepemimpinan transformatif maka akan semakin tinggi pula tingkat motivasi kerja karyawan. Darmuin, dalam hal ini tidak begitu memberikan tanggapan yang cukup serius terkait gaya kepemimpinan transformasional. Namun dalam ranah praktik, ia mencontohkan tentang prinsip kepemimpinannya. Menurutnya, ia sangat tidak suka dengan kewajiban-kewajiban yang ditunda-tunda. 42 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
“Di setiap ada pekerjaan, hari itu juga saya akan selesaikan,� tutur Darmuin, yang dulu pernah mengemban amanah sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Maka, lanjut Darmuin, tidak ada tumpukan pekerjaan di meja. Maka tidak ada pekerjaan sekarang dikerjakan besok. “Jadi tidak ada istilah nanti, besok, gampang, mudah,� tambahnya. PR DEKAN BARU Selama masa kepemimpinan Sudjai sebagai Dekan di FITK, diakui telah banyak perubahan yang ditorehkan baik di sektor fisik maupun non fisik. Meskipun demikian, tak lantas menjamin fakultas ini selalu berbangga diri dan bebas dari kritik kelemahan. Pasalanya, berdasarkan analisa hasil jajak pendapat, masih ada sejumlah titik permasalahn yang ada di fakultas dengan stampel ilmu tarbiyah dan keguruan ini. Misalnya masih dijumpai kurang apiknya tingkat manajemen parkir kendaraan, khususnya kendaraan roda dua. Tak jarang jika berjalan ke beberapa titik tempat di mana sepeda motor diparkir, seringkali nampak semrawut dan tak tertata dengan baik. Tak heran jika 60 persen responden menilai tata kelola parkir di FITK masih nampak kurang baik. Daftar masalah lain menunjukkan, angka kelengkapan fasilitas atau sarana dan prasarana masih terlalu minim. Bahkan tak sedikit dijumpai beberapa fasilitas yang telah rusak dan tak layak pakai. Hal ini mengindikasikan masih rendahnya tingkat perawatan fasilitasfasilitas yang ada. Dari data yang ada, tak kurang dari 64 persen responden memberikan penilaian kurang baik (sedang-red) fasilitas yang ada, baik dari segi kuantitas
maupun segi perawatan. Selain itu, sampai detik ini pun implementasi tri etika kampus di FITK juga masih terkesan dilakukan setengah hati. Pasalnya, dari 100 responden yang ada, lebih dari 50 persen menyatakan, culture diniyah, ilmiah, dan ukhuwah belum tergarap secara sungguhsungguh. Catatan permasalahan berikutnya muncul dari masjid alfitrah, tak sedikit para mahasiswa mengeluhkan rendahnya tingkat manajemen dan optimalisasi masjid tersebut. Berdasarkan data hasil jajak pendapat di samping, tak kurang dari 60 persen reponden menilai masjid alfitrah kurang termanfaatkan dengan baik. Pasalnya, masjid tersebut seringkali masih sebatas digunakan untuk aktivitas ibadah shalat saja. Padahal jika menengok aktivitas di masjid kampus lain, misalnya di Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Negeri Semarang (Unnes), dan Laboratorium Agama di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta sangat jauh
Laporan
Kampus
FOTO: AAM/EDUKASI
berbeda dengan masjid yang berlokasi di kampus dua ini. Di sana masjid betul-betul dijadikan sebagai center of civilization islam, kegiatan-kegiatan keislaman, seperti kajian keislaman tumbuh subur dari sana. Setidaknya daftar panjang problem yang tertulis dalam catatan merah FITK tersebut mengindikasikan fakultas ini masih belum dikatakan baik secara keseluruhan. Meskipun dari segi pembangunan fisik sudah sedikit banyak menampakkan perubahan, namun di dalamnya masih terdapat sejumlah masalah yang tidak bisa dipandang sebelah mata bagi civitas akademika, khususnya para stakeholder FITK, lebih-lebih bagi Dekan baru. Sehingga hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi Dekan baru dan para jajarannya untuk membenahi dan membereskan satu persatu daftar panjang masalah tersebut. LANGKAH KEDEPAN Saat ditanya oleh crew mengenai langkah strategis yang akan diambil dalam membangun FITK
kedepan, Darmuin menjelaskan, pada tahun pertama ini akan coba dilakukan penataan dan pembenahan ke dalam. Seperti perbaikan dalam penataan administrasi fakultas, melatih dan mengajak semua pihak untuk bersama-sama membudayakan disiplin, dan mengerjakan tugas masing-masing. Sehingga lambat laun fakultas akan tertata rapi, disiplin, tanggung jawab, dan tidak ada orang yang lari dari tugasnya. “Atau bahasanya, kita pada step awal ini mencoba meletakkan terlebih dahulu landasan budaya akademik yang ada di fakultas,� ungkap Darmuin, yang pernah menjabat sebagai Kepala Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) UIN Walisongo. Kalau setiap orang, lanjut Darmuin, mengerjakan tugas pokok dan perannya masing-masing, menjaga kejujuran, dan tanggung jawab atas tugas mereka, maka semuanya akan nampak indah. Hadirnya Darmuin sebagai new leader di fakultas pendidikan ini tentunya menjadi tumpuan hara-
1. MASJID AL FITRAH KAMPUS II UIN WALISONGO 2. TAMAN FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN WALISONGO
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 43
Laporan
Kampus
PERPUSTAKAAN FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN WALISONGO SEMARANG
pan bagi seluruh sivitas akademika FITK. Survei tentang prioritas perubahan FITK dalam jangka dekat ini menunjukkan, sebanyak 46 persen responden menginginkan adanya perbaikan dalam sektor akademik. Selanjutnya secara berturut-urut sebanyak 30 persen responden menginginkan perbaikan pada wilayah sarana dan prasarana, masing-masing 8 persen responden menginginkan perbaikan di ranah administrasi dan mutu kerja para pegawai, diikuti 7 persen responden menginginkan perbaikan dalam kebersihan, dan terakhir 1 persen responden menginginkan perbaikan di bidang pertamanan. Melihat hasil data berikutnya, meskipun perbaikan pada aspek kebersihan dan perawatan taman secara berturut-urut nampak menduduki posisi kelima dan keenam berdasarkan pilihan responden. Namun, kedua aspek tersebut tak lantas dikebirikan. Nampak dari data di atas, sebanyak 53 persen responden menyatakan sangat setuju jika
tingkat kebersihan kampus menjadi sebuah prioritas. Sedangkan 50 persen responden menilai keberadaan taman fakultas sangatlah urgen. Tak bisa disangkal, angka kebersihan dan keberadaan taman fakultas selalu memberikan pengaruh terhadap kenyamanan aktivitas sivitas akademika. Tinggi rendahnya tingkat kebersihan dan perawatan taman kampus sangat berpengaruh secara signifikan terhadap kenyamanan para masyarakat kampus. Jika lingkungan kampus nampak bersih dan lingkungan kampus banyak ditumbuhi pepohonan, serta di sana-sini banyak dijumpai taman-taman yang membuat sejuk pandangan. Bisa dipastikan akan banyak mahasiswa yang merasa betah untuk tinggal berlama-lama di kampus, begitu pula sebaliknya. Menanggapi sajian data tersebut, Darmuin menuturkan, kedepan pengelolaan kebersihan kampus UIN Walisongo akan diserahkan kepada jasa outsourcing. Saat ini banyak perusahaan yang FOTO: AAM/EDUKASI
44 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
Laporan
Kampus memang menyediakan jasa untuk kebersihan. Jadi, lanjut Darmuin, pegawai kampus yang terbatas bisa ditarik untuk membantu di bagian tenaga administrasi. “Sedangkan kebersihan dikerjakan oleh outsourcing,” imbuhnya, yang pernah menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) pada tahun 1991. Dalam hal pengelolaan taman fakultas, Darmuin menginginkan, taman fakultas kelak bisa dibuat kavling perjurusan atau perlembaga. Taman itu taman milik kita, bisa diartikan taman adalah milik pimpinan, pegawai, dan juga para mahasiswa. Sehingga untuk perawatan nantinya menjadi tanggung jawab masing-masing jurusan, sedangkan untuk keperluan pembelian pupuk dan bunga tetap menjadi tanggung jawab fakultas. “Saya berkeinginan betul, misalnya berapa meter persegi miliknya prodi atau lembaga tertentu. Mungkin nanti di situ bisa ditulis, taman LPM edukasi,” ujar Darmuin, yang dulu pernah mendapatkan predikat cumlaude tingkat strata satu di UIN Walisongo (dulu masih IAIN). Selain itu keinginan mahasiswa yang tak kalah pentingnya adalah harapan terhadap manajemen penyaluran beasiswa. Hal ini tampak kentara sekali ketika ada informasi beasiswa Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dari Kementerian Agama (Kemenag) RI. Sudah menjadi rahasia umum, tak jarang dalam penyalurannya, beasiswa tersebut sering tak tepat sasaran. Banyak mahasiswa yang sesungguhnya tidak miskin, tetapi mendapatkan jatah beasiswa. Sebaliknya, mahasiswa yang benar-benar miskin malah tidak mendapatkannya.
Dari total 100 responden, 56 persen menyatakan sangat setuju jika dalam pengelolaan beasiswa untuk para mahasiswa dilakukan secara transparan dan akuntabel. Tanggal 27 Oktober 2014 telah lewat, artinya hingga hari ini, Ahad (30/11) Darmuin selaku pimpinan baru di FITK tercatat telah resmi menjalankan tugasnya sebagai Dekan selama kurang lebih setengah dari 100 hari awal masa kerja. Meskipun perubahanperubahan besar belum begitu nampak dan tentunya butuh proses. Namun, para mahasiswa sangat berharap, hadirnya ia benar-benar mampu membawa wajah baru FITK ke arah yang lebih baik. Salah satunya, Afina Rusydah, mahasiswa Jurusan Tadris Matematika (TM), mengharapkan Dekan baru dapat benar-benar melaksanakan tugas secara profesional, dan tak hanya sekadar menjalankan tugas. Dalam kesempatan terpisah, Nur Laila, mahasiswa Jurusan Tadris Biologi (TB) berharap, semoga Dekan baru sanggup mengampu jabatannya dengan baik, mampu meningkatkan prestasi-prestasi di FITK, disiplin dan tegas dalam bertindak. Tak hanya itu, Zulia, mahasiswa Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) sangat mengharapkan Dekan baru bisa membangun FITK menjadi fakultas yang lebih maju di segala bidang. Hal senada juga diungkapkan oleh Bakhtiar Abidin, mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), ia menginginkan kepemimpinan yang dipegang Darmuin ini bisa membawa FITK lebih maju dan dikenal oleh semua Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia. Lebih lanjut, Dwi Susanti Putri, mahasiswa Jurusan
Tadris Kimia (TK) mendambakan, hadirnya pemimpin baru di FITK mampu membawa perbaikan dan kemajuan baik di kancah nasional maupun internasional. Sebuah keniscayaan, jika pemimpin baru akan selalu identik dengan nuansa baru, wajah baru, dan harapan baru, karena dengan harapan itulah cahaya optimisme bisa menyala dengan terang. Sebagaimana yang dituliskan oleh Anis Baswedan dalam situs resminya www.anisbaswedan. com, pemimpin adalah dirigen yang menghadirkan energi, nuansa, dan aurora dalam sebuah orkestra. Setiap pemain memiliki peran, dan tanpa dirigen pun instrumen musik bisa dijalankan, tapi orkestra itu tidak ada jiwanya. Pemimpin hadir membawa suasana. Memberikan arah dan greget. Pemimpin membawa misi dan menularkannya pada semua. Pemimpin meraup aspirasi dan energi dari semua yang dipimpinnya, lalu mengkonversinya menjadi cita-cita kolektif dan energi besar untuk semua bekerja bersama meraihnya. Pada akhirnya, harapan itu tentunya akan tertuju dan tertumpu kepada Dekan baru Darmuin, mampukah ia secara sungguh-sungguh merangkul seluruh sivitas akademika FITK dan berupaya mengkonversikan cita-cita kolektif FITK dalam wujud nyata. [E] DIOLAH OLEH TIM PUSAT DATA DAN ANALISA (PUSDA) LPM EDUKASI. PERNAH DIPUBLIKASIKAN DI WEBSITE WWW. LPMEDUKASI.COM
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 45
EDUKASI
Kolom
Cinta Siapa sangka cinta itu butuh pengetahuan? Mothers owe a ‘thinking love’ to their children -Charlotte Mason-
DOK. INTERNET
I OLEH : HANITA MASITHOH MAHASISWI TBI 2012
46 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
ngatan tak pernah solid dan stabil ; ingatan dengan mudah melayang. Ibarat daun yang berguguran meninggalkan sang ranting dan dahan. Tak lain halnya dengan cinta. Cinta bisa begitu kuat, bahkan dengan cinta seorang manusia yang konon kata pemikir semasa Nazi Jerman adalah benda atau komoditas bisa menghebat. Namun, dengan cinta pula seseorang bisa berbuat nekat. Jika kebanyakan mengatakan “Love is blind” pun ada benarnya juga. Sebab, cinta buta karena ia tak berdampingan dengan pengetahuan. Bisa dikatakan cinta yang paling luhur adalah cinta orang tua pada anak, selain cinta kita pada Yang Maha Kuasa tentunya. Anak, di situ mengandung banyak tanya. ‘Apakah dia?’ ‘Bisa menjadi apakah dia kelak?’ dan sederet pertanyaan klasik lainnya. Semua orang tua tahu pasti bahwa kehadiran anak dapat merubah segalanya, entah merubah visimisi, prioritas hidup, hingga sikap dan tingkah laku. Seketika, ingatan saya melayang pada film Lost in Translation besutan Sofia Coppola. Tokoh Bob Haris mengungkapkannya dengan bahasa
yang sangat apik, “Setelah mereka (anak) datang, hidup kita tak pernah sama lagi!’. Bagaimana itu mungkin? Imam Al-Ghazali menjelaskan mengenai konsep kehadiran anak. Bahwa anak itu bisa menjadi qurrota a’yun (penyejuk jiwa) dan perhiasan dunia akhirat, namun tak jarang pula bisa menjadi musuh, bahkan musibah. Lebih jauh, peran orang tua sangatlah menentukan kehadiran sang anak. Jika orang tua beranggapan bahwa anak merupakan aset milik pribadi yang bisa ditempa sedemikian rupa. Charlotte Mason, seorang edukasionalis yang menyuarakan pendidikan liberal pada zamannya berpendapat bahwa anak merupakan harta paling agung titipan sang pencipta. Ibu dan ayah mempunyai tanggung jawab lebih untuk memastikan anak-anaknya tumbuh dalam kebaikan di dunia ini. “Menjadi orang tua itu luar biasa: tidak ada promosi, kehormatan yang bisa dibandingkan dengannya. Orang tua seorang anak bisa jadi membesarkan sosok yang kelak terbukti sebagai berkat bagi dunia”. Kata-kata itulah yang terselip dalam buku pertama dari
enam volume buku karya perempuan progresif berkebangsaan Inggris tersebut. Bahkan, ia mengatakan bahwa orang tua merupakan profesi paling penting di dunia. Tiga Sumber Berbekal peran tersebut, setiap orang tua wajib mempunyai sangu dalam mengasuh anak. Sangu tersebut dapat termanifestasikan dalam bentuk rasa cinta kasih pada sang anak. Namun, bermodal cinta saja tidak cukup. Sebab, dewasa ini fenomena relasi orang tua dan anak semakin merenggang. Acapkali, media mempertontonkan cerita-cerita vulgar tentang tindakan gila orang tua pada anak yang membuat bulu kuduk berdiri. Psikolog Kerry Frost menganalisa penyebab orang tua tega melakukan tindakan yang membabi buta pada buah hatinya tersebut. Diantaranya karena trauma dan beban pahit yang diterima orang tua, keadaan ekonomi yang tak kunjung membaik, dan ada pula orang tua yang mengidap gejala kejiwaan seperti schizophrenia atau manic depression. Begitulah, menjadi orang tua memang tidak mudah. Selain berbekal cinta dan kasih sayang, tak akan lengkap tanpa bumbu kesadaran dan pengetahuan. Idealnya, setiap orang tua wajib melakukan masa penggodogan terlebih dahulu dengan banyak membaca dan mengamati alam sekitar. Sebab, alam menyediakan apa yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak. Paling tidak, orang tua menguasai
dasar fisiologi dan psikologi sebagai bekal minimal mengasuh anak. Semenjak masa kehamilan hingga perkembangan sang anak. Mulai dari makanan dan pengetahuan untuk menjalani kehamilan sehat, memfasilitasi anak bertumbuh optimal semasa bayi hingga dewasa, mengetahui perkembangan psikologi sang anak, serta mengamati sikap dan perilaku kesehariannya. Naomi Aldort, seorang konselor parenting mengatakan bahwa raising children, raising ourselves. Yang berarti mendidik anak berarti sama saja dengan mendidik diri sendiri. Sebab, tanpa kualitas yang mumpuni, orang tua tak akan bisa mendidik dan mendampingi tumbuh kembang anak. Charlotte mason menyuguhkan tiga sumber ideal yang dapat menempa pribadi seorang anak. Secara vertikal dapat melalui ajaran agama. Ajaran-ajaran dalam kitab suci dijadikan rujukan dalam bermoral. Secara horizontal dengan mengambil pelajaran dari tokoh-tokoh ternama dunia dan sosok yang inspiratif. Dengan mempertemukan anak pada mereka, akan menambah motivasi dan semangat yang tak terduga. Secara internal berasal dari refleksi pribadi. Untuk menjadi pribadi yang baik, anak-anak perlu mengenali diri mereka sendiri. Agaknya demi kehidupan yang lebih baik bagi anakanak, -a thinking love bisa menjadi solusinya. [E]
Mendidik anak berarti sama saja dengan mendidik diri sendiri. Sebab, tanpa kualitas yang mumpuni, orang tua tak akan bisa mendidik dan mendampingi tumbuh kembang anak NAOMI ALDORT
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 47
BAHASA INGGRIS
Why Are They Acted Unfair?
DOK. PRIBADI
H OLEH: LAELATUL MUKAROMAH MAHASISWI TBI 2011
48 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
ave you heard the term JIS? Of course, if its word reflexes in our mind, we will think in rape cases that have been done to children. Yes, that’s right! JIS stands for the Jakarta International School. International schools open places of learning for kindergarten and elementary school. It has full facilities including the teaching that has been supplied from abroad. But what happened? School which was said by people as International school, it becomes a warm conversation lately because rape cases that was conducted by the Principal and teachers Jakarta International School (JIS) Timothy Carr and Murphy. Starting from the teachers who may not have a wife or husband so that they have the heart to vent his lust for young children. Though, it has already described in one hadith is saying ”Barang siapa menguasai sesuatu dari anak ini, kemudian ia berbuat baik kepadanya, maka anak tadi menjadi penutup baginya dari api Neraka”The hadith suggest to adults in order to maintain and care for their children properly and was given the provision of science that will be useful for their future.
Based on the the examination of the accused of sodomy in the Jakarta International School (JIS), it was known that the sodomy was performed in packs and when he found the victim, the suspect communicated with other suspects. “There are 12 toilets, if a suspect saw no potential victims to the toilet, then this will look the other suspects contacted by phone,” said Head of Public Relations Jakarta Police, Sr. Comr Rikwanto, Tuesday (29/04/2014) at the Metro Jaya Police Headquarters . We can imagine that the term only if the child still golden age, they served things like that are more appropriate for adults served. Soul and thoughts of children is growing in golden case at the moment. Golden age Early childhood are often called preschool children has a sensitive period in the development, and it was occurring maturation of the functions physical and psycholyogical that was ready to respond to various stimuli from the environment. So if they served it like that thing, they will likely come do the immoral thing later in adulthood. Because the children in the golden age
BAHASA INGGRIS experienced two important terms that cannot be avoided, namely the development and growth. The development may also be regarded as a sequence of systemic change, it means that they were interdependence and mutual affect between aspects of the physical and psychic as a harmonious whole. For example, children are introduced how to hold a pencil, write letters. The ability of teaching writing is as growth. Whereas, development is a change into the physical aspect of Anomalies such as bone structure, teeth, height and weight, and other body tissues. So it is more quantitative growth. Hurlock (1995), suggests that growth may also covers the psychological aspects that led to the emergence of something new functions such as the ability to think, symbolic, abstract thinking ability, as well as the emergence of lust towards the opposite sex. Based on existing servey, the suspect was asked in investigation, that one of them had once treated it as such. It is evident that the symbolic relationships in that growth occurs. The suspects do such things as learn from his past, when they are treated as such by others. Disorder Women and Children Services (PPA) Jakarta Police has checked the Principal and Teacher Jakarta International School (JIS) Timothy Carr and Murphy, stated that they had sex pedophilia, which is one
of the disorders of sex. Consultant Dr Ferryal Loetan sex ASC & T SpRM Kes-MMR say, pedophilia is an adult man or woman sexually attracted to the liver or with small children who do not show their sexuality. Ferryal say, pedophilia is a sexual disorder (and psychological) to a person who has an interest to minors. The word pedophilia is derived from the Greek term meaning that paidophilia, pais (the children) and philia (love, friendship). Meanwhile, a psychologist at the University of Indonesia, Zoya Amirin Dianaesthika MPsi or Zoya Amirin MPsi say, a true pedophilia is unable to have a couple. Because interpersonal relationships with other adults just cannot afford. In addition, he said, the average age of young adult patients with pedophilia and up (25 years) Zoya also explained, including pedophilia paraphilia or deviant sexual behavior. The reason for the failure occurs when the individual adjustment to the social environment, interpersonal relationships fail. “Especially people with pedophilia, they’ve trauma or upset and not capable of coping (tackle) so that individuals choose to express their sexuality with weak and easily fooled like a child,” Solving Sexual harassment case was eventually invited the attention of the Minister of Women Empowerment and Child Protection (PPPA) Linda Gu-
melar. She will revise the Law on the protection of children to prevent re-occurrence of such cases. He said he would handle the case as soon as possible, the ministry will continue to monitor the process of psychological recovery of victims. In addition to the efforts made by the PPPA, the parents should also have to be careful to entrust their children in his study. Children are God’s deposit must be guarded and cared for as possible. If care is not done well, it means that the parents plant the bad thing in their child. Moreover, many cases of violence are often done by their own parents. As if they were slaves who was purchased from the Lord, then they are free to do anything to them. It was not Term care if the child is treated like that. Children are a gift from God, which in essence is livelihood to their parents. If parents can educate and take good care, then the fruit will be picked by them later. We can conclude that there is relationship between teaching and formation of students’ behaviour. It was different from the adult. The golden age period is the advantage time for them, because the sensitive knowledge is wonderful. So that the treatment in this period must be careful. The wrong attitude in adult is also caused by their bad past. Child is not a doll that can be played by children. But a child is to be maintained by guard to be sold at a high price. Children need justice not violence. [E] EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 49
BAHASA ARAB
EDU KAS I KAM AL |
( ،)proوأن ُي ْحس َن ال ُـم َو ّظفون ُج ْو َد َة ْ أمورهم ُ ويسهلوا َ خد ِمتهم للطالب ّ والي َع ِ ّس ُروها .ثانيا، ِ ْ َ َْ ْ ّ ْ ُ ْ التسهيالت فى أسر ِع وق ٍت مم ِك ٍن مثل زيادة املباني واع أن بناء ن م الجامعة هذه لرجال البد ِ ِ ِ ِ ِ ً َ ْ ْ ْ ُ س املعهد العالي للبنين تكميال ملعهد الجامعة السالف الـمخصوص وتأسي الجدد ِ ِ ُ َ للطالبات ،وكذلك َ الوسائط ال ُـم ِع ْينة األخرى .ثالثا ،على ّ كل من املحاضرين والطالب تقوية ٍ ُ وترقية الروح ّ الب ُ ُ الحديثة ِب َن ًاء على القرآن الكريم وث ح اء ر بإج ا�سي ر الد التقاليد العلمية َ ِ َ ِْ ِ ِ َ َ ّ والحديث الشريف .باإلضافة إلى ذلك ال ُبد لهم م ْن تطو ْير َ البرامج لتنم َية اللغة ْ األجن ِب َّي ِة ِ ِ ِ ِ ِ َّ ِ ُ َ َ َ َ ْ ََ ِ َ َّ ً َ ْ ْ خاصة اللغة اإلنجليزية والعربية لمِ ا ِفيهما ِمن دو ِر ِهما املهم ِة لِـمواجه ِة العولـم ِة .وقال قريش َّ َ الت ْح َت ُ إقام َة الجامعة اإلسالمية الحكومية م َن َ شهاب ّأن َ اج إلى الع َم ِل الث ِق ْيل ال ُـم ْت ِعب التي ِ ِ َُ َ ُ َ ْ واملكتبات وسائرالتسهيالت َ ْ ّ َ العلماء والخبر ِاء والـمتخ ِص ِصين وجود ِ بناء املباني ُ ٌ ِ ِ فحسب ،بل ِ َ ّ ْ َ ْ ْ ّ ْ ْ َ َّ الدي ِنية والعامة. الذين لهم قدرة فى دم ِج وتو ِحي ِد العلوم ِ وع ْن َد َما ْاه َت َّم ْ كل ْ االه ِت َ جام َع ُتنا والي سونجو اإلسالمية الحكومية َّ نواح َس ِاب ٍق، بثالثة ام م ت ِ ِ ٍ َّ َ َْ َ َِ ُ ً ُ َ َِ ّ َ ً ُ َ َ َ ُ ْ ْ َ ْ دة ومركزاالم ِتي ِاز(�center of excel ستكون ْجامعة متف ِوقة( ( )superiorذا جودة عالية جي ّ ُ ْ ٍ َ َ ِ ٍ ٌ ٍْ َ )lentلتط ِو ْيرالعلوم ُالدينية والعامة حتى ينشأ مجتمع ِعلمي-ديني (religious-scientific ُ س على َّ )communityالذي أ ِ ّس َ عال ْيم الدينية .وت ْرجى جامعة والي سونجو اإلسالمية الت ِ الحكومية فى ال ُـم ْس َت ْق َبل ْأن ال َ يكون َم ْ ص َن ًعا َلت ْكو ْين ال ُـم ِّ العلوم الدينية فى والعلماء ين س در ِ ِ العلماء الخبراء فى َت ْدب ْيرال َـم َ ِع ِاهد َ صرية التي لها برامج َلت ْطويرْ الع ِ ْ تكوين فحسب ،بل ِ ِ ِ ِ ِ ِ ْ ِ ً الس َماكة ّ والز َر َ َ مجالاَّ ِت ّ اعة ّ وغيرها ان ِطالقا من املجاالت األكادميكية املفتوحة ناعة والص ِ ِ ِ الح ًقا. فى جامع ِتنا املحبوبة ِ ِ *Penulis adalah alumni PBA UIN Walisongo .& Rais ‘Am NAFILAH tahun 2013 50 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
BAHASA ARAB
َ َ ْ َ ً َ َّ جامع ِتي! تطو ِري س ِريعاِ ، اعداد :محمد يوسف الفاروق*
DOK. EDUKASI
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 51
َل َق ْد َت َح َّق َق َت َح ُّ ُ جام َع ِتنا والي سونجو ()conversion ل و ِ ً مرور اإلسالمية الحكومية سمارنج إلى ‘ ’UINأخيرا. وذلكَ َبعد ِ ْ َ اوالت ّ الكبيرة التي بذلها ر ُ جال والجهود القوي ِة واع من ال ُـم َح أن ِ ِ ِ ِ ٍ ُُْ َ َ وأخ َذ ْت َجام َعة والي سونجو ُت َكافئُ َ َ ات. هذه الجامعة منذ سنو ٍ َ ِْ ِ ِ ِ َ الساب ِق الجامعات اإلسالمية الحكومية األخرى نفسُها ِب ِ ِ َ ت َح ُّولها .وهي جامعة شريف هداية هللا جاكرتا وجامعة سونان
كالي جاكا جوكجاكرتا وجامعة موالنا مالك إبراهيم ماالنج َ وغيرها من الجامعات اإلسالمية الحكومية .و ت َح ُّو ُل’ ‘IAINإلى ْ َّ ‘ ’UINالذي َس َع ْينا ِل َت ْح ِق ْي ِقه ليس َلتغ ِي ْي ِرالل ْو َح ِة ()nameplate ْ ُ ْ ّ ُ لترقية ُّ الر ْو ِح ال ِعلمي الجامعي التحو ُل فحسب ،بل ُي ْه َدف ِ َّ اإلجتماعي َّ والت َن ُافس َّية وإدارة ُ ْ الج ْو َد ِة الش ِاملة (total ِ ِْ واإلسهام ِ ِ ِ َ ْ ْ ُ والخدمات .كذلك ِلجع ِلها كمو ِد ٍيل ِ )qualityْ management ُ إلعادة َّ َ الد ْ )reintegrationالتي تد ُّل of (science ي م ل ع ال ج م ِ ِ ِ ِ ْ َ ُ ْ ًّ ْ ّ ً ومه ِنيا. وتنمية تطوير على ِ ِ الحاالت األكادميكية أكثر ِنس ِبيا ِ ِ َ ِولك ْو ِنها كجامعة إسالمية حكومية ،ال ّبد لجامعة والي سونجو والت ْجو ْيدات فى نواح ّ الت ْحس ْي َنات َّ تقوم بأنواع من َّ أن َ شتى. ِ ِ ٍ ُّ َ ْ ْ ُ ٍ ُْ ْ َ اطي ()bureaucracy system البيروق َّر َ ِ أهمها ْ تص ِلَّي ْح النظام َ ْ ِ ْ َ ْ َ ّ ْ هيالت وتق ِوي ِة التق ِاليد ال ِعلمية. وتج ِدي ِد التس ِ قوموا ّ ّأوالّ ، البد لرجال هذه الجامعة ْأن َي ُ ظام بالن ِ ِ ِ ِ البيروقراطي الخالص السالم م ْن ُك ّل َن ْوع اإلختالسْ . وأن ِ َ َ ُ ْ َ َ ّ َِ ِِ ِ ِ ُِ َ ُ السياسات ( )policyالتي تدا ِفع عن الطالب يضعوا أنواع ِ
DOK. EDUKASI
RAGAM
MAHAKARYA DARI LIMBAH LOGAM LAPORAN: LAILA DAN LUTFI
BERKAT KEAHLIAN DAN KREATIVITAS INDARYANTO (37), BENDA BEKAS BERBAHAN LOGAM DISULAP MENJADI KARYA SENI BERDAYA JUAL TINGGI.
L
imbah, apapun jenisnya dapat mendatangkan masalah dan membuat orang resah. Namun bagi Indaryanto, berkutat dengan limbah atau barang bekas justru mengasyikkan dan berpotensi mendatangkan rupiah. Namanya sempat booming pada tahun 2009 silam berkat naga dan burung hasil kreativitasnya bersama Ardianto terendus media. Sebagaimana dilansir oleh liputan6.com (30/06), keduanya sukses menyulap limbah dapur seperti kulit bawang putih menjadi produk bernilai seni dan berdaya jual tinggi. Sayangnya, saat ditemui tim laporan (07/06/14) di kediaman sekaligus tempat kerjanya di Jl. Anjasmoro Tengah VI/48, Karangayu, Semarang, Indaryanto mengatakan bahwa dirinya sudah tidak lagi berkreasi dengan kulit bawang putih. “Jika dulu saya memanfaatkan limbah kulit bawang putih, sekarang saya memanfaatkan logam bekas,� katanya. Saat ditanya perihal alasan hijrahnya dari usaha kerajinan kulit bawang putih 52 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
ke usaha kreasi limbah logam, pengusaha LILO Art and Handycraft (Seni dan Kerajinan Logam Kreatif) itu menjelaskan dengan lugas. “Sebenarnya tidak sulit untuk mendapatkan bahan kerajinan dari kulit bawang putih. Namun untuk menjadikannya sebuah produk seni membutuhkan kreativitas dan kesabaran yang tinggi. Selain itu, karena daya tahan kulit bawang tidak lama dan nilai jualnya pun masih kalah saing bila dibandingkan dengan produk kriya atau ukir dari Jepara. Maka beralihlah saya ke kerajinan logam dan menetap hingga sekarang,” terang pria 37 tahun itu. SULAPAN TANGAN Keseriusan Indaryanto dalam menekuni dunia industri kerajinan logam terbukti oleh segudang prestasinya. Selain banyak diliput oleh media lokal maupun nasional, Indaryanto juga sering menjuarai lomba usaha kreatif dan inovatif. “Baru-baru ini produk saya meraih juara tiga tingkat Propinsi Jawa Tengah di Java Mall. Saya juga pernah diundang ke salah satu acara di TransTV,” bebernya sambil menunjukkan CD rekaman dari TransTV kepada tim laporan. Tidak hanya diburu awak media, Indaryanto mengatakan bahwa dirinya juga banyak didatangi oleh orang yang ingin belajar membuat kreasi dari logam bekas, dan mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Melihat popularitas pria tamatan SMP tersebut, tim lapo-
ran semakin penasaran terhadap handmade-nya. Setelah menelusuri isi ruang kerja Indaryanto, tim laporan menjadi yakin akan bakat, kreativitas, ketekunan, dan ketelitian Indaryanto. Di dalam ruang kerja yang minimalis, tangan canggih Indaryanto menyulap barang-barang logam bekas menjadi beragam bentuk yang menarik dan bernilai. Produk kerajinan logam buatan Indaryanto tampak khas bila dibandingkan dengan produk kerajinan pada umumnya. Bahan baku yang digunakan adalah logam sehingga untuk membentuk sesuatu yang diinginkan harus menggunakan teknik patri. Selain itu, bentuk karyanya rata-rata berupa robot dengan desain rumit sehingga memerlukan keahlian khusus, kesabaran, ketekunan, ketelitian, dan selera seni yang tinggi. “Saya itu suka ngutak-ngatik barang bekas sejak kecil, jadi sudah hobi,” ungkap Indar. Mengenai ide karyanya, Indaryanto terinspirasi oleh tokoh robot yang digandrungi anak-anak, yaitu robot jenis transformers. Saat tim laporan berkunjung ke ruang kerjanya, Indaryanto menunjukkan dua robot transformers berwarna silver berukuran sedang. Salah satu robot tersebut dapat berfungsi sebagai emergency lamp dan cocok juga dijadikan penerang saat tidur di malam hari. Selain robot, adapula bentuk lain seperti motor Harley, pedagang, mobil-mobilan, dan yang menarik ialah lampu gantung warna-warni. Lampu tersebut tergantung tepat di
“
Mengenai ide karyanya, Indaryanto terinspirasi oleh tokoh robot yang digandrungi anak-anak, yaitu robot jenis transformers.
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 53
[1]
tengah-tengah ruang kerja. “Itu dari korek gas bekas,” jelasnya. Harga per-satuan produk itu sendiri beragam, mulai dari puluhan, ratusan, hingga jutaan rupiah. Harga tersebut tergantung dari besar-kecilnya produk, bahan, keunikan, dan tingkat kerumitannya. “Tapi untuk lampu warna-warni ini tidak untuk dijual,” ucapnya seraya tersenyum. PERAKITAN Usaha daur ulang limbah logam Indaryanto berawal dari sebuah gasper atau kepala sabuk yang terbuat dari logam. Gasper itu sudah bekas dan tergeletak begitu saja di dalam sebuah laci miliknya. Saat melihat gasper, timbul pula hasrat Indaryanto untuk merakit mobil-mobilan. Rupanya hasrat tersebut berlanjut hingga menghasilkan karyakarya lainnya. Untuk bahan baku dari gasper, bisa Indaryanto dapatkan dari penjual sabuk seharga Rp 7.000,00 maupun 54 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
membeli gasper bekas di pasar loak atau dari pemasok barang bekas dengan harga Rp 3.000,00. Mengenai perbedaan harga bahan baku kerajinan logam tersebut, Indaryanto tidak mempersoalkan. Menurutnya, pembelian bahan baku tergantung dengan banyak pesanan. “Kalau pesanan banyak dan bahan bekas tidak mencukupi, ya harus beli baru,” terangnya. Apabila bahan baku logam sudah tersedia, Indaryanto langsung mewujudkan ide dalam kepalanya melalui solder atau alat las tanpa menggambar desain terlebih dahulu. Sementara untuk mengawetkan produk yang sudah jadi, ia menggunakan pistur dan piloks. “Tujuannya agar produk menarik dan tidak cepat berkarat,” katanya. Menurut penuturan Indaryanto, selama ini ia bekerja seorang diri sehingga untuk merakit sebuah produk berukuran kecil biasanya memakan waktu satu hari. Sedangkan untuk ukuran besar bisa sampai satu minggu, tergantung
[2]
ukuran dan kerumitannya. “Ingin sih punya pegawai, atau komunitas yang menggeluti kerajinan logam bekas kreatif, tetapi untuk sekarang belum,” ungkap Indar. Selain permasalahan tenaga kerja, ada dua hal lagi yang diperlukan Indaryanto untuk mengembangkan sayap usahanya, yaitu ketersediaan alat produksi dan alat pengemasan. “Sementara ini alat rakit yang saya miliki hanya bisa untuk membuat produk minimalis, belum bisa membuat produk ukuran besar. Pengemasan produk saya pun terbilang sederhana, kedepannya harus lebih menarik lagi agar semakin diminati,” cetusnya. INTERVENSI PEMERINTAH Indaryanto membeberkan bahwa selama ini pemerintah belum membantu permodalan, baru sebatas bantuan alat produksi dan pemasaran. “Kalau untuk pemasaran, bantuan itu berbentuk izin mengikuti pameran produk di pasar.
1. ROBOT TRANSFORMER DARI LIMBAH LOGAM. DAPAT BERFUNGSI SEBAGAI EMERGENCY LAMP DAN COCOK JUGA DIJADIKAN PENERANG SAAT TIDUR DI MALAM HARI. [4]
2. ROBOT MAINAN DARI LIMBAH LOGAM 3. LAMPU GANTUNG WARNAWARNI 4. INDARYANTO. PENGUSAHA LILO ART AND HANDYCRAFT. PERNAH MERAIH JUARA TIGA TINGKAT PROPINSI JAWA TENGAH DI JAVA MALL.
Contohnya pameran di Citra Mall Semarang, di Jakarta, maupun luar Jawa.” Paparnya. Dengan kesempatan yang diberikan pemerintah tersebut, wilayah promosi produk Indaryanto tidak lagi terbatas pada pesanan dan toko-toko. Selain itu ia juga dapat mempertebal pundi-pundi rupiah. Menurut perkiraannya, omset dari pameran beragam. “Pernah mencapai lima juta rupiah,” katanya. Hal itu karena pengunjung di pameran banyak yang menyukai produk minimalis sehingga selalu sold out. “Kalau di pameran pasti ada yang laku terjual dan tidak pernah sepi,” sambungnya. Peminatnya pun tidak hanya
datang dari dalam namun juga luar negeri, dimana rata-rata dari mereka ialah golongan menengah ke atas. “Banyak juga orang mancanegara. Mereka suka dengan karya dari logam seperti ini. Apalagi jarang sekali pengrajin yang memiliki kreativitas tinggi.” pungkasnya. [E]
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 55
DOK. EDUKASI
[3]
ARTIKEL
// METAFORA UNITY OF SCIENCES//
JIKA KESATUAN ILMU DI UIN WALISONGO SUDAH TERBANGUN SECARA MATANG, MAKA PERLU ADANYA KERANGKA TEORITIK ATAU INSTRUMEN PENGETAHUAN YANG MENJELASKAN TENTANG POLA KESATUAN ILMU, SEHINGGA SELURUH INSAN AKADEMIK DI UIN WALISONGO INI DAPAT MERASAKAN KEKHASANNYA DI TENGAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI.
Jadi, kesatuan ilmu tidak hanya berupa kulit UIN Walisongo, namun juga harus menjadi isi kulit keilmuan dan keislamannya. Hal yang memerlukan penelitian, adalah bagaimana membuat rekayasa keilmuan “kesatuan ilmu” yang akan menjadi kekhasan UIN Walisongo, sehingga antara kulit dan isi benar-benar bersimetris dan benar-benar ada dan nyata di tengah perkembangan keilmuan. Jika kesatuan ilmu di UIN Walisongo sudah terbangun secara matang, maka perlu adanya kerangka teoritik atau instrumen pengetahuan yang menjelaskan tentang pola kesatuan ilmu, sehingga seluruh insan akademik di UIN Walisongo ini dapat merasakan kekhasannya di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekhasan desain bangunan keilmuan di UIN Walisongo ini dapat menjadi dasar untuk membedah studi apapun yang akan dikaji atau diteliti di UIN Walisongo Semarang. Dengan demikian, rasa kesatuan ilmu (wahdatul ‘ulum) ini akan sangat berimplikasi pada karakter keilmuan dosen dan mahasiswa UIN Walisongo Semarang.
RELASI MAKNA METAFORA DIAMOND
Sebagai pengantar sub bab ini, penulis hendak menguraikan makna simbol dan intan permata, dan bagaimana keterkaitan istilah simbol dan intan permata dengan desain kesatuan ilmu (wahda56 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
tul ‘ulum). Yang dimaksudkan dengan simbol (symbol [Inggris], symbolicum [Latin], symbolon dan symballo [yunani]), bermakna memberi kesan yang berarti dan menarik. Objek yang menjadi Simbol, berupa: kata, tanda, isyarat tentang arti, kualitas, abstraksi, gagasan, dan objek. Dalam mengartikan objek yang berbentuk simbolik biasanya bersifat subjektif atau tergantung pada kesepakatan atau kebiasaan lingkungan dan masyarakat. Jika objek yang berbentuk secara simbolik tidak dapat dimengerti secara langsung, maka seseorang bisa mendekatkan objek simbolik dengan zaman kemunculannya dan kecenderungan aktifitas sang pembuat simbol. Intan permata sebagai sebuah simbol mempunyai manfaat emosional yang bisa dinikmati manusia.Seorang manusia yang telah menyukainya akan membeli dengan harga yang tinggi. Dalam dunia periklanan yang banyak melupakan isu kesetaraan jender, telah menegaskan adanya perempuan dan intan permata sebagai media ekpresi diri. Keduanya telah menjadi simbol dan subkultur peradaban manusia. Dalam konteks keindonesiaan, ada tiga peristiwa budaya yang penting: kelahiran, perkawinan, dan kematian. Karenanya, dalam budaya Indonesia, ada acara-acara kegiatan penting yang selalu mengiringi ketiga hal ini. Dari ketiga hal tersebut, yang membutuhkan anggaran terbesar, berupa acara pernikahan yang
identik dengan pemberian emas dan intan permata. Secara simbolik, emas diartikan sebagai simbol cinta.Berbeda dengan emas, intan permata diartikan keabadian (immortality). Jika emas dihiasi batu permata, berarti cinta dan keabadian. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sekarang ini telah berkembang bentuk intan permata. Karenanya, dalam memahami intan permata memerlukan keahlian pengetahuan mengenai beberapa hal berikut: keaslian, kekhasan, warna, pola bahan. Intan permata menyimpan cinta dan keabadian yang dirasakan secara langsung para pengguna (Moments of life). Dalam konteks tertentu, intan permata bisa menjadi kenangan yang indah, harapan yang indah, kesucian, dan kesetiaan. Hampir semua raja dan ratu di seluruh dunia ini menghiasi mahkota mereka dengan intan. Meskipun penulis belum memahami desain bangunan kesatuan ilmu, namun menjadi terbantu memahaminya setelah memahami metafora diamond. Dalam konteks kegunaan, pola penggunaan intan permata tergantung pada para pemakainya, yaitu manusia. Manusia merupakan pelaku penggerak keindahan intan permata, prakarsa yang melahirkan pengertian dan perkembangan harga intan permata, baik yang sudah dibentuk sesuai imajinasi dan fungsi kegunaannya.Peran manusia dalam membentuk keindahan imajinatif
desain intan permata ini, telah menandai makna intan permata yang bisa digunakan manusia. Dibalik keindahan intan permata, ada banyak hal yang terlupakan, yaitu subjek yang menggunakannya.Intan permata menjadi tidak berarti bagi pengguna yang tidak menyesuaikan suasana dan kondisi penggunaannya. Jadi, intan permata akan terlihat pada posisi tepat pandangan, karena mengacu pada kesempurnaan kepribadian subjek yang baik dan tepat (Ulul Albab: QS. Ali Imran [3]: 190) dalam memfungsikannya.Oleh karena itu, intan permata sebagai sebuah studi kasus, masih memerlukan ketajaman manusia memahami ciptaan Allah Jalla Jalaluhu mengenai intan permata (yatafakkaruna fi khalqissamawati wal ardli). Karenanya, persoalan keilmuan yang diibaratkan intan permata masih sangat memerlukan ketajaman manusia menyelaraskan landasan filosofis bangunan keilmuan mengenai kosmologi dan teori ilmu pengetahuan. Jadi, jika mengacu pada simbol intan permata, maka intan diletakkan dimanapun tergantung pada subjektifitas manusia. Jika sebuah intan permata menjadi simbol pasif, yang tidak bisa tumbuh dan berkembang mengisi ruang dan waktu sendiri, maka untuk mengawal perkembangan intan permata akan sangat tergantung pada peran aktif manusia: bagaimana manusia bisa tetap eksis menjaga keindahan dan ketepatan fungsi kegunaan intan permata? Bagaimana subjek memiliki banyak pengalaman mempotensikan bidang keilmuan yang diibaratkan intan permata menjadi lebih elegan, elok, indah, dan serasi dengan keseimbangan jiwanya? Dengan demikian,
intan permata memerlukan rasio, indera, dan batin subjek yang benar-benar berkarakter, sesuai dengan karakter literalis-ideologis, tradisionalis, modernis, leberalis, pluralis. Sehubungan dengan intan permata yang telah dijadikan simbol UIN Walisongo membentuk perspektif unity of sciences, telah mengingatkan saya pada teks Al Qur’an. Teks Al Qur’an telah menawarkan prinsip nilai dan relasi yang bersifat rahasia maupun yang bersifat terbuka melalui hamparan kesemestaan atau kealaman (kosmologi) ini. Dalam analog Maulana Jalaluddin Rumi mengenai Al Qur’an itu, seperti gadis suci nun cantik yang tertutup rapat oleh hijab surgawi. Jika hijabhijab kecil yang menutupi rupa ayu dan cantik surgawi ini telah dibuka sedikit demi sedikit, maka pada saat berhenti membukanya akan semakin menumbuhkan rasa penasaran yang tertambat di dalam hati. Jika adegan penghentian upaya membuka hijab-hijab kecil ini tidak berlanjut, maka akan menyakitkan penggemar rupa surgawi. Lalu, bagaimana dengan perspektif bangunan kesatuan ilmu yang disimbolkan UIN Walisongo? Bisakah menjadi intan permata bagi gadis suci nun cantik yang telah dimaksudkan Maulana Jalaluddin Rumi? Jika memang bisa, maka seseorang belum mencapai kesempurnaan membaca keelokan dan kecantikan teks suci wahyu tanpa membaca terlebih dahulu sebuah rahasia intan permatanya. [E]
“
PERSOALAN KEILMUAN YANG DIIBARATKAN INTAN PERMATA MASIH SANGAT MEMERLUKAN KETAJAMAN MANUSIA MENYELARASKAN LANDASAN FILOSOFIS BANGUNAN KEILMUAN MENGENAI KOSMOLOGI DAN TEORI ILMU PENGETAHUAN.
*) PENULIS ADALAH JURNALIS LPM EDUKASI IAIN WALISONGO SEMARANG 1995-1998. TULISAN-TULISAN KANG UBAID TENTANG REFLEKSI KRITIS KEHIDUPAN DAPAT DIBACA PADA RUBRIK FALSAFATUNA DI WWW.LPMEDUKASI. COM.
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 57
SAINTIFIKA
S
MATAHARI DAN KEKHUSUSAN POSISINYA
etiap pagi dan sore hari kita menyaksikan matahari terbit dan terbenam dalam alunan warna yang indah. Bintang bercahaya pada hakikatnya bergerak dilangit bagaikan parade sepanjang malam. Kita bahkan tidak menyadari revolusi bumi mengelilingi matahari dan gerakan spesifik dari planet lain serta bintang-bintang di galaksi kita, ketika kita sibuk dengan kehidupan kita sehari-hari. Jika kita dapat melihat lebih dekat di galaksi Bimasakti yang tampaknya tak bergerak, kita akan menyaksikan setiap manuver yang menakjubkan dari miliaran bintang dan planet. Galaksi Bimasakti memiliki diameter sekitar 200 ribu tahun cahaya dalam bentuk cakram raksasa yang berputar dan meliputi tujuh lengan galaksi berbentuk spiral. Galaksi Bimasakti menjadi rumah bagi hingga 100 milyar bintang seperti matahari. Diperkirakan bahwa ada sekitar 125 miliar lebih galaksi lain seperti galaksi Bimasakti berada di alam semesta ini. Sama seperti bagaimana matahari kita terdiri dari planet bulan, galaksi kita juga memiliki bulan galaksi yang lebih kecil. Sekitar sepuluh atau lebih galaksi yang lebih kecil tersebut berputar perlahan-lahan di sekitar Bimasakti bagaikan roda-roda sebuah mesin. Berbagai 58 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
galaksi mengatur jarak satu sama lain, planet-planet beredar di sekitar bintang, bintang mengitari satu sama lain dan bintang-bintang mengorbit pada galaksinya ‌.. betapa agungnya menyaksikan kesemuanya ini! GALAKSI DAN MATAHARI Radiasi gelombang radio sepanjang 21 cm yang dipancarkan dari gas hidrogen yang berada di dalam debu padat dan awan gas dari lengan galaksi memungkinkan kita untuk mengetahui struktur galaksi. Informasi ini membuat kita menyimpulkan bahwa galaksi kita memang bukan benda padat yang menampilkan gerakan melingkar berkecepatan 250 km per detik. Sistem tata satu revolusi mengelilingi galaksi dalam waktu sekitar 200 juta tahun. Pada titik ini pertanyaan penting yang mungkin hadir di benak kita adalah bagaimana orbit tata surya dipertahankan dan dilindungi selama perjalanan ini dimana tata surya pada saat bersamaan harus melewati gravitasi dan efek dari benda-benda angkasa yang kuat tanpa menimbulkan gangguan dan tabrakan. Bumi tidak akan menjadi tempat layak huni hanya dengan mempertimbangkan kandungan planetnya saja. Kita mungkin perhitungan mengenai tata surya kita dan galaksi lain,
karena sistem tata surya memiliki hubungan yang sangat sensitif dengan sistem benda angkasa lainnya di galaksi kita. POSISI MATAHARI DI GALAKSI BIMASAKTI Triliunan komet di galaksi Bimasakti mengisi ruang angkasa dan meliputi sistem tata surya dalam mode globular. Salah satu kelompok komet yang mengorbit sistem tata surya disebut awan Oort atau Opic- Oort. Sekitar seratus miliar komet diperkirakan berada pada awan Oort ini. Komet-komet tersebut mengikuti orbit-orbit yang dilaluinya hingga mereka meninggalkan orbit karena gravitasi dari benda langit lain yang kuat, yaitu matahari. Bintang dan massa Bimasakti merupakan sebuah pusat globular dengan lengan- lengan spiral di mana lenganlengan ini diperlebar keluar dari pusatnya pada bidang galaksi yang sama. Ada sejumlah sistem dalam jumlah terbatas yang terletak di ruang antara lengan lengan spiral galaksi ini. Bahkan, inilah tempat di mana sistem tata surya kita berada. Dengan kata lain, patut mendapat perhatian kita bahwa matahari tidak berada di bagian sentris (pusat) yang padat dari lengan galaksi Orion (pemburu) tapi berada di dekat ruang tengah
DOK. INTERNET
SISTEM TATA SURYA BERJARAK 28.000 TAHUN CAHAYA DARI PUSAT GALAKSI. JIKA GALAKSI KITA DIANGGAP 200 RIBU TAHUN LUAS CAHAYA, MAKA DAPAT DIKATAKAN BAHWA KITA BERADA RELATIF DEKAT DENGAN PUSATNYA. galaksi yang jarang populasinya. Sistem tata surya yang telah ditempatkan pada posisi yang paling tepat di dalam galaksi Bimasakti ini perlu juga dilindungi dari bahaya yang mungkin ditemui (seperti persimpangan dengan lengan spiral padat) selama perjalanannya di sekitar pusat Bimasakti. Ilmuwan yang mempelajari tentang posisi dari sistem tata surya kita di dalam peta galaksi secara khusus menunjukkan bahwa kita berada jauh dan aman dari pengaruh badai kosmik yang sangat menghancurkan. Jika tata surya itu memang berada di lengan di mana bintangbintang terdapat sangat padat dan dekat satu sama lain, maka gaya gravitasi dapat mengakibatkan perubahan pada orbit-orbit planet. Misalnya, di lengan spiral galaksi, komet akan mudah meninggalkan orbitnya dan membombardir bumi dalam seketika di bawah pengaruh gaya gravitasi yang kuat dari bintang-bintang di lengan ini. Namun ternyata langkah-langkah yang luar biasa telah diambil untuk melindungi hal ini! Salah satunya adalah nilai kecepatan Matahari. Misalnya, untuk menghasilkan komunikasi yang efektif, sebuah satelit diposisikan di orbit bumi dan diberikan kecepatan yang sama dengan bumi untuk berputar di sekitar porosnya. Matahari kita diberi kecepatan yang sesuai untuk bergerak dengan kecepatan yang hampir sama dengan yang dimiliki oleh lengan-lengan galaksi tanpa bertabrakan satu sama lainnya, sehingga menghasilkan lintasan yang aman. Namun hal
ini tidak terjadi pada sekitar 95% dari bintang-bintang, dan lengan spiral di galaksi kita tidak seperti yang ditentukan untuk sistem surya kita. Ini adalah suatu hal yang patut kita pikir dan renungkan. Ukuran lain yang mencegah matahari dari saling berpotongan dengan lengan- lengan spiral adalah karena ia memiliki orbit melingkar bukan dalam bentuk elips seperti bintang bintang lain pada usia yang sama. Juga dalam hal ini, kita mengamati bahwa matahari kita diberikan sebuah gerakan khusus yang memungkinkan Bumi untuk menjadi tempat layak huni bagi kehidupan. Sang Maha Bijak dan Pencipta yang Maha Perkasa menjalankan galaksi-galaksi seperti sebuah mesin roda raksasa dengan hukum ketetapan-Nya. Bintang-bintang di lengan spiral mungkin pada waktunya akan terhisap ke bagian dalam struktur, dan tidak akan mampu mempertahankan posisi mereka untuk jangka waktu lama. Hal ini juga berlaku bagi matahari. Pada keadaan ini kekuatan Ilahi telah mengantisipasi sehingga menempatkan matahari pada zona yang terlindungi. Matahari terletak di “radius rotasi umum galaksi� di mana efek lengan spiral yang kuat tidak ada. Selanjutnya, dikarenakan ketika ledakan Supernova berlangsung, puing-puing bintang raksasa bisa mencapai beberapa ribu tahun cahaya jauhnya, maka hal ini memungkinkan matahari tidak akan terkena dampak negatif dari ledakan tersebut karena ia berada di daerah luar lengan. BAHAYA KOSMIK DI PUSAT GALAKSI
Sistem tata surya berjarak 28.000 tahun cahaya dari pusat galaksi. Jika galaksi kita dianggap 200 ribu tahun luas cahaya, maka dapat dikatakan bahwa kita berada relatif dekat dengan pusatnya. Lokasi di galaksi ini cukup jauh untuk melindungi tata surya dari efek negatif yang bisa timbul dari pusat galaksi. Apa yang akan terjadi jika sistem ini lebih dekat jaraknya? Jika hal itu terjadi maka kita akan terus-menerus terkena bahaya radiasi gamma, sinar X, dan sinarkosmik, dan itu berarti tidak akan ada kehidupan di Bumi! Belum lagi lubang hitam di pusat galaksi yang memiliki massa 3 juta kali lebih banyak sebagaimana matahari. Jika matahari berada di dekat lubang hitam, kehidupan di bumi akan mendapat pengaruh negatif karena gaya gravitasinya yang kuat. Langkahlangkah luar biasa yang telah diambil bagi sistem tata surya kita, penempatan penyesuaian yang sangat sensitif, dan pemeliharaan keseimbangan yang luar biasa serta kompleksitas yang tinggi, kesemuanya ini menampilkan sebuah ilmu yang sempurna dan kekuatan Ilahi berada dibaliknya. Semua peristiwa ini menunjukkan dengan jelas bahwa tidak ada satupun peristiwa yang kebetulan dan tidak teratur di alam semesta ini. Tugas yang paling rumit dan sensitif diselesaikan dengan cara yang terbaik, karena itu menampakkan pengaturan yang begitu sempurna. Kita telah melihat bagaimana terjadi sebuah ketertiban yang sangat sempurna antara Bimasakti, sistem tata surya dan bumi. [E] SUMBER: WWW.MAJALAHMATAAIR.COM EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 59
Pujangga
KH. BISRI MUSTHOFA
Kiai Serbabisa OLEH: UMMU HABIBAH | MAHASISWI TBI 2011
... Lirboyo, masihkah penghuni-penghunimu percaya pada percikan Sawab-sawab Mbah Mahrus Rahimakumullah Ataukah seperti dimana-mana itu tidak mempunyai arti apa-apa Kecuali bagi dikenang sesekali dalam upacara haul yang gegap gempita ... 60 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
DOK. INTERNET
Puisi di samping merupakan potongan puisi yang berjudul Lirboyo, Kaifa Haal? Kenangan dalam pesantren Lirboyo menjadi inspirasi pembuatan puisi tersebut oleh salah satu santri yang sekarang menjadi orang besar. Bukan hanya kiai pesantren, tapi juga seorang sastrawan, seniman, budayawan dan politikus.
SANTRI DAN SASTRA Lahir dari pasangan KH. Mustofa Bisri dan Marafah Cholil yang merupakan keluarga santri, dari kecil Ahmad Mustofa Bisri dididik agama dengan ketat. Namun, pendidikan dasar dan menengah kiai kelahiran Rembang, 10 Agustus 1944 ini terbilang kacau. Hanya setahun di Tsanawiyah, ia berhenti dan merantau ke Pesantren Lirboyo, Kediri. Dua tahun kemudian ia pindah ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta dalam asuhan KH. Ali Maksum. Setelah tiga tahun, ia kembali ke Rembang untuk mengaji langsung pada ayahnya. Saat nyantri di Krapyak itulah, Ahmad Mustofa Bisri remaja, yang lebih akrab dipanggil Gus Mus, mulai mengasah bakat melukisnya dengan sering berkunjung ke rumah-rumah pelukis. Salah satunya adalah sang maestro seni lukis Indonesia, Affandi. Seringkali setiap ada waktu luang, ia mencoba meniru-niru apa yang Affandi lakukan meski hanya sekadar coret-coret dengan menggunakan spidol, pena atau cat air. Hal ini kemudian berkembang menjadi lukisan di atas kanvas. Pun hingga kini lukisannya sudah puluhan, bahkan ratusan dan beberapa kali digelar dalam pameran baik tunggal maupun bersama seniman lain seperti Amang Rahman dan D. Zawawi Imron. Seperti pada tahun 1998, Gus Mus memamerkan sebanyak 99 lukisan amplop, 10 lukisan bebas, dan 15 kaligrafi di Gedung Pameran Seni Rupa. Jim Supangkat, kurator seni rupa, mengatakan bahwa kekuatan ekspresi Gus Mus terdapat pada
garis grafis yang menimbulkan kesan ritmik menuju dzikir. Hal tersebut membuat karya lukisan Gus Mus berbeda dengan kaligrafi yang biasanya merupakan tulisan yang diindahindahkan. Tidak hanya kepiawaiannya dalam melukis yang mengagumkan, Gus Mus juga pandai merangkai kata. Ayahnya dan KH. Ali Maksum merupakan guru yang paling memberi pengaruh dalam perjalanan hidupnya. Karena dua sosok tersebut merupakan kiai yang memberikan kebebasan berseni pada santri. Tahun 1964, Gus Mus berangkat ke Kairo, Mesir untuk belajar di Universitas Al Azhar dengan mengambil jurusan Studi Keislaman dan Bahasa Arab hingga selesai pada tahun 1970. Sejak belajar di Kairo itulah persahabatannya dengan Abdurrahman Wahid yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. PERJALANAN HIDUP Penyair, novelis, pelukis, budayawan, dan cendekiawan muslim juga kiai merupakan sederet kelebihan yang dimiliki Gus Mus. Ratusan sajaknya dihimpun dalam lima buku kumpulan puisinya: Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (1988), Tadarus Antologi Puisi (1990), Pahlawan dan Tikus (1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (1994), dan Wekwekwek (1990). Juga kumpulan prosa dalam buku Nyamuk Yang Perkasa dan Awas Manusia (1990). Menurutnya, bersastra merupakan kegiatan manusia yang paling tinggi, melibatkan rasio dan perasaan, juga merupakan tradisi ulama sejak dulu. BahEDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 61
MENARI BERSAMA INUL
Gus Mus bersama lukisan karyanya DOK. INTERNET
kan ketika dikatakan nyleneh lantaran hobinya bersastra, ia kemudian mengatakan bahwa orang-orang yang mengatainya nyleneh-lah yang sebenarnya nyleneh. Sastra diajarkan di pesantren, paling tidak seminggu sekali setiap malam Jumat para santri di pesantren membaca Qashidah Burdah dan Barzanji yang merupakan karya satra agung. Selain tentu saja, Al Qur’an sendiri merupakan mahakarya sastra yang paling agung. Jadi pada dasarnya kehidupan santri dekat sekali dengan sastra. Darah seni Gus Mus agaknya dialirkan dari kakeknya, H. Zaenal Mustofa, seorang penulis yang cukup produktif. Hal itu kemudian menurun kepada ayahnya, KH. Bisri Mustofa yang tidak hanya berkiprah dalam dunia tulis menulis tapi juga dalam pemerintahan dan kebudayaan. Menuruni ayahnya, Gus Mus juga menekuni dunia seni, kebudayaan dan pemerintahan. Adapun kiprah Gus Mus dalam organisasi dimulai sekembalinya ia dari Mesir dengan menjadi salah satu pengurus NU (Nahdlotul Ulama) Cabang Kabupaten Rembang. Tahun 1977, ia menduduki ja62 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
batan Mustasyar atau semacam Dewan Penasihat NU Wilayah Jawa Tengah. Pada Mukhtamar NU di Cipasung, Jawa Barat 1994, ia dipercaya menjadi Rais Syuriah PBNU (Pengurus Besar Nahdlotul Ulama). Selain sederet kesibukannya dalam mengurus NU, ia juga menjadi Anggota Dewan Penasihat DPP PKB (Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa). Dalam pemerintahan di Indonesia, ia pernah tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah tahun 1987-1992 mewakili PPP (Partai Persatuan Pembangunan), juga pernah sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakya (MPR) mewakili PPP. Namun kiprahnya dalam dunia politik sama sekali tidak menonjol lantaran ia lebih menekuni dunia sastranya. Ditambah lagi, ia seringkali mengundurkan diri begitu saja ketika merasa tidak cocok di dalam suatu lembaga. Seperti dalam Pemilu Legisllatif 2004, meski namanya ditetapkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jawa Tengah, ia kemudian memilih mengundurkan diri sebelum pemilu tersebut digelar. Sebagai cendekiawan muslim
yang juga pimpinan pondok pesantren Roudlotut Tholibin di Rembang, Gus Mus juga produktif dalam menulis bukubuku keagamaan dengan gaya yang berbeda dari buku para kiai lain. Tahun 1979, Gus Mus bersama KH. M. Sahal Mahfudz menerjemahkan buku ensiklopedia ijmak. Ia juga menyusun buku tasawuf berjudul Proses Kebahagiaan (1981), juga tiga buku tentang Fikih yaitu Pokok-pokok Agama (1985), Saleh Ritual, Saleh Sosial (1990), dan Pesan Islam Sehari-hari (1992). Pada akhirnya, ia kembali menekuni hobinya bersastra, menulis, dan melukis. Tulisannya banyak ditemukan di berbagai media massa Indonesia seperti Intisari, Ummat, Amanah, Ululul Qur’an, Panji Masyarakat, Media Indonesia, Detak, Bali Pos, Dumas, Jawa Pos, Republika, Tempo, Kompas, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat dan Horison. Sambil terus berkarya tiada henti, ia mengurus pondok pesantren Roudlotut Tholibin di Rembang ditemani sang istri, Siti Fatimah. [E]
CERPEN
Oleh: Dina Kamalia Mahasiswi TBI 2011
DI AWAL CERITA INI AKU INGIN MENYAMPAIKAN MAAF TERLEBIH DAHULU. MAAF. AKU BUKAN SEORANG YANG AHLI. MUNGKIN KATA-KATA DALAM CERITA INI TAK AKAN MEMBERI KESAN. NAMUN AKU BERHARAP MEMBERI MAKNA BAGI KAMU. BAGIKU PEKERJAAN INI TERGOLONG PEKERJAAN BERAT. MENGUMPULKAN KATA-KATA UNTUK KUSAMPAIKAN PADAMU. KARENA AKU TIDAK SEPERTI TOKOH YANG TAK AKAN PERNAH KUTAHU SIAPA DALAM CLARA ATAWA WANITA YANG DIPERKOSA*, YANG SUDAH BERTAHUN-TAHUN BERTUGAS SEBAGAI PEMBUAT LAPORAN. BAHKAN PENYULAP KENYATAAN MELALUI KATA-KATANYA. NAMUN, AKU TIDAK! AKU HANYA SEORANG PENEMU SEBUAH CERITA DARI CATATAN SEORANG ANAK SEHINGGA JADILAH CERITA INI. UNTUK ITULAH, KENYATAAN AKAN SELALU PAHIT, BAGIKU. KARENA JIKA AKU MENGINGATNYA AKU AKAN SELALU MENANGIS. *) Kisah selengkapnya tentang cerpen Clara atawa Wanita yang diperkosa, karya Seno Gumira Ajidarma bisa dibaca di duniasukab.com
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 63
Akan selalu teringat ketika aku duduk di bangku kecil dan meja kecil itu. Mungkin selamanya akan bersarang di memoriku. Takkan bisa dihapus meski aku mencoba untuk menghapusnya. Barang kali hanya malaikat Izrail yang bisa membantuku untuk menghapuskannya. Sekarang apakah aku akan merasa tenang? Tidak. Eh, mungkin sedikit tenang. Entahlah. Aku sendiri juga tak tahu. Namun, sekarang aku lebih tenang karena tak ada yang memaksaku untuk bermain lagi.
MUNGKIN PANTAS JIKA AKU MENYEBUT LELAKI ITU DENGAN SEBUTAN ANJING. ANJING ITU SELALU MEMBUATKU TAKUT. DAN AKU SELALU TAK BISA MENOLAK PERINTAHNYA
64 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
Setiap pagi ia memaksaku untuk berangkat ke sekolah namun kadang juga melarangku sekolah. Aku tak ingin menyebut siapa dirinya. Aku malu semalu-malunya. Nanti kau akan tahu dengan sendiri. Aku hanya hidup bersama dirinya di rumah kayu beralas lantai alami berwarna cokelat. Sementara itu, aku sudah tidak ingat lagi apakah aku mempunyai ibu atau tidak? Entah kemana dan dimana, aku tak tahu dan aku tak berharap aku akan mengingat seseorang yang bisa dipanggil ibu olehku. Mungkin pantas jika aku menyebut lelaki itu dengan sebutan anjing. Anjing itu selalu membuatku takut. Dan aku selalu tak bisa menolak perintahnya karena mata itu selalu tajam menyorot mataku yang kemerah-merahan dan sayu. Ia selalu memaksa. Walau kukatakan padanya kepalaku pusing dan tubuhku lemas sempoyongan. Jadi, mau tak mau aku harus menurutinya. Kalau nantinya aku tak bergeming, anjing itu akan memarahiku dengan mengeraskan suara di telingaku.
Mengambil sapu lidi untuk dilandaskan di punggung, paha, dan tanganku. Pernah sekali ia melakukannya padaku. Dan yang bisa kulakukan hanyalah menangis sekencang-kencangnya sampai air mataku mengering. “Cepat sana berangkat, anak tuyul!� Begitu kadang yang kudengar dari mulutnya. Seperti mengusir ayam tetangga yang tak diharapkan kedatangannya di teras rumah. Tak tegap langkahku seperti anak-anak yang berseragam putih merah lainnya. Kali ini aku tak bohong, aku tidak sedang berakting karena bagiku dunia akting adalah dunia yang penuh dengan kebohongan. Apalagi dunia di layar kaca yang belakangan ini hanya dipenuhi hiburan belaka. Badan kecilku terasa lemas dan kepalaku sangat pusing. Kadang teman-temanku menirukanku. Mereka sempoyongan sembari masuk ke dalam kelas. Lagi-lagi aku tak bisa marah. Aku baru kelas I SD, dengan walikelas Bu Tati. Saat itu badanku tak sekuat sekarang. Yang bisa membontang-banting seekor anjing sampai tak terdengar gonggongannya. Bu Tati sedang menjelaskan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Masih segar peristiwa itu di kepalaku. Ia menjelaskan dengan begitu lihainya sehingga bisa dimengerti oleh teman-temanku. Tidak denganku yang sedang duduk di bangku kecil nomor dua dari belakang sebelah kanan. Saat itu, rasanya aku tak bisa membuka
mata. Ngantuk, mungkin saja iya tapi mungkin saja tidak. Jelasnya, kepalaku terasa sangat berat. Pusing sekali sampai-sampai beberapa kali kepalaku jatuh ke meja kecil di depanku. Tak ada yang memperhatikanku. Namun, sesekali hanya Bu Tati yang matanya memastikan apa yang terjadi denganku. Aku tak bisa membalas tatapan mata itu. Aku hanya menggeleng karena samar-samar suaranya sampai di telingaku. “Apakah kamu sakit, Le?”
DAN DARI KEJAUHAN AKU MELIHAT SEEKOR ANJING. ANJING ITU SEMAKIN MENDEKAT DENGAN GONGGONGAN YANG KUKENAL. AKU INGIN SEGERA PERGI DARI TEMPAT ITU. NAMUN, KAKIKU TERASA KAKU
Namun, tiba-tiba kapur yang ada di tangan Bu Tati kulihat berubah menjadi sesosok wanita. Yang perlahan datang ke arahku. Ibu, lirihku. Ya, aku ingat warna kemerahan yang ada di pipi ibu. Tak beberapa lama kepalaku jatuh kembali ke meja. Namun, aku merasa tanganku digenggam ibu. Hangat. Seperti kehangatan terakhir yang kurasakan saat ibu membawaku ke rumah Mbak Dar untuk menitipkanku. Ibu mengajakku keluar kelas tanpa menghiraukan seisi kelas, tak terkecuali Bu Tati. Ibu membawaku ke tempat yang sama sekali belum pernah kukunjungi. Dimana bunga bermekaran di tempat itu, pohon-pohon hijau berdiri kokoh tak tersentuh tangan penebang liar, dan sungai masih mengalir jernih, tidak sebagai tempat pembuangan akhir. Di sana kami berkejar-kejaran dan bermain-main sesuka hati. Bukan permainan yang setiap malam ia −anjing di rumahku− paksakan. Ibu datang secara tiba-tiba, dan ia sekarang juga tiba-tiba mendadak menghilang bagitu
saja. Aku sendirian di tempat itu. Sunyi. Dan dari kejauhan aku melihat seekor anjing. Anjing itu semakin mendekat dengan gonggongan yang kukenal. Aku ingin segera pergi dari tempat itu. Namun, kakiku terasa kaku. Tertahan di tempat. Aku menjerit dan menangis. Seketika anjing itu hilang entah kemana. Namun, aku merasa tanganku hangat kembali. “Ale, bangun. Bangun, Ale.” Kuangkat kepalaku. Di depanku ada Bu Tati. “Apakah kamu sedang sakit, Le?” Aku tak bergeming dan tak kutahu harus berbuat apa. Aku menggeleng. Air mataku jatuh satu persatu. Kutahan suara tangisku supaya tak keluar. Namun tak bisa. Aku sesenggukan. “Lalu kenapa?” tanyanya lagi. Kini tangisku semakin menjadi. Bu Tati mengelus punggungku mencoba menenangkanku. Tetap saja aku tak bisa menahannya. Karena sekarang terdengar lolongan anjing yang semakin memekakkan telinga. Segera kututup rapat telingaku dengan kedua tangan. Barulah beberapa menit aku diam. Suara itu sudah hilang. Sosok Bu Tati masih berada di depanku. Hanya Bu Tati, tak kulihat di sekelilingku selain dia. “Ceritakanlah pada Ibu, Le.” Aku diam sesaat. Awalnya aku ragu untuk menceritakannya. Bu
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 65
Tati pasti akan menghukumku kalau aku menceritakan permainanku semalam, pikirku. “Tadi malam aku bermain dengan Bapak.” “Bermain apa? Kok sampai di sekolah mengantuk begitu?” “. . . .sampai larut malam, Bu.” “Iya, permainan apa?” “Main Kartu. Yang kalah disuruh minum minumannya Bapak, Bu.”
TEMANI AKU BERMAIN! MALAM INI KITA AKAN BERMAIN SAMPAI PAGI. HAHAHA…
66 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
“Kamu kalah?” Aku mengangguk. Bu Tati mungkin sudah paham. Ia tak melanjutkan pertanyaannya. *** Ya. Waktu itu aku sedang berada di rumah Mbak Dar, saudara dari anjing itu yang dititipi ibu untuk menjagaku setelah ibu minggat dari rumah. Biasanya aku menghabiskan waktu di sana. Bahkan tidur pun di sana. Namun, malam itu. Malam tanpa bintang. Saat anjing gila itu memaksaku untuk pulang. Ia menyeret-nyeret tubuhku yang kecil karena aku tak mau pulang. Aku berontak. Kutendang-ten-
dang tubuhnya yang besar. Tapi, sama sekali tak kulihat ia kesakitan. Aku pasrah dan aku tak bisa melihat bintang karena langit sepi. Mbak Dar dan suaminya tak bisa berbuat apa-apa. Anjing gila itu membawa pecahan botol yang runcing. Entah dari mana ia mendapatkannya. “Kamu di rumah saja. Aku bisa mengurusmu sendiri, anak tuyul.” Aku masih menangis. Tapi, aku masih bisa melihat dengan jelas tubuhnya sempoyongan masuk ke dalam rumah. Aku mengikutinya. Tampak ia hendak duduk di kursi ruang tamu. Lalu ditariknya tubuhku dan mengisyaratkanku untuk duduk berhadapan dengannya. Aku tak mau duduk. Ia bangkit dengan mata yang sangat merah yang membuatku takut. Hingga mau tak mau aku harus duduk berhadapan dengannya. Mencium bau asam yang keluar dari mulutnya juga. Aku tak suka itu. “Temani aku bermain! Malam ini kita akan bermain sampai pagi. Hahaha…” Ia mengeluarkan beberapa kartu dari saku celananya. Dikocoknya semua kartu itu dan diletakkannya di meja. Ia membagi rata denganku. Aku mengi-
kuti apa yang dilakukannya. Ia mengambil kartu-kartu yang ada di atas meja kemudian membukanya. Aku juga. Dan matanya yang masih merah melirik ke kartu-kartu yang ada di tanganku. “Ingat, Anak tuyul!! Yang kalah harus minum. Hahaha.â€? Kulirik sebotol minuman yang berwarna gelap. AN-KER. Begitu yang bisa kubaca saat itu dengan mengeja. Entah, minuman apa itu. Aku rasa minuman itu tak seperti minuman yang biasa kuminum dengan teman-temanku di sekolah. Permainan berlangsung. Kartu-kartu yang ada di tangan anjing gila itu sudah hampir habis. Kupandangi kartu yang ada di tanganku, masih separuh lebih. “Kamu hampir kalah anak tuyul. Siap-siaplah minum bir ini. Hahaha‌â€? Aku tak akan menceritakan apa yang terjadi setelah itu. Sangat memalukan. Hanya anjing gila itu yang melakukannya padaku. Sampai akhirnya aku tak tahan lagi. Tubuhku lemas. Kursi ruang tamu kujadikan sebagai alas tidurku. Lantas, aku tak peduli lagi. Kudengar anjing gila itu masih menggonggong.
*** Mungkin sekarang kau tak bisa melihat seperti apa keadaannya. Aku puas. Tubuhku sekarang tak sekecil dulu. Bantingan pertama pada anjing gila itu sedikit membuatnya lemah. Setidaknya tidak menggonggong lagi. Darah keluar dari mulut dan hidungnya. Aku tak peduli. Dulu ia memaksaku untuk bermain dan minum bir. Dan sekarang aku juga ingin memaksanya menderita. Kalau ia berontak dan menyerang, akan kutandaskan pecahan botol bir runcing yang selalu ia bawa ke perutnya. Untung saja ia tak menyerang. Baru beberapa bantingan saja ia sudah tak bisa melawan. Napasya sudah terengah-engah. Terdengar kembang kempis. Darah pun keluar dari beberapa lubang tubuhnya. Aku tak membantingnya lagi karena aku sudah tak mendengar napasnya yang kembang kempis itu. *** Sekarang aku tak bisa memaksamu untuk menangis akan cerita yang kusampaikan. Namun, aku akan selalu menangis. Dan setidaknya aku bisa menyampaikan cerita ini untukmu supaya engkau menjadikannya pelajaran. Tentang seorang wanita yang dua lelakinya takkan pernah mem-
buka mata lagi. Entah sebesar apa dendam Ale pada suamiku dan entah setan dari mana yang mengikutiku atau aku hanya mengambing hitamkan setan. Entahlah. Gunting yang ada di tanganku telah beberapa kali kutusukkan pada tengkuk seorang lelaki yang tertawa lepas melihat suamiku tak bernyawa lagi. Sempat ia berbalik dan kedua mata kami beradu dan kutusukkan lagi gunting ini tepat di dadanya. Seketika aku meraung mengetahui siapa lelaki itu. Saat itu aku memutuskan kembali ke rumah yang kuharapkan akan membawa kedamaian, namun justru kedamaian itu tidak akan pernah terjadi. Kau tahu apa yang kulihat ketika pintu rumah kubuka? Bukan sambutan hangat seperti pelukan seorang suami dan kerinduan seorang anak, namun dendam membara seorang anak kepada bapaknya. Dan aku lah seorang ibu yang dengan tega menusukkan gunting ke tengkuk darah dagingnya sendiri. [E] Ngaliyan, 02 Desember 2012
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 67
DIORAMA
Dialog Ragam Problema (Diorama) akan memberikan solusi permasalahan kehidupan Anda. Rubrik ini diasuh oleh Dr. Abdul Wahib, M.Ag., pakar psikologi agama Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang. Kirim pertanyaan Anda seputar pencarian jati diri, akademik, agama, keluarga ataupun cinta ke email: mail@lpmedukasi.com DOK. EDUKASI
Ortu Otoriter - ADIB (22) Assalamualaikum, Pak Wahib yang baik. Kali ini saya mau minta pendapat dan saran bapak. Saya mahasiswa umur 22 tahun tapi ruang lingkup saya masih dibatasi oleh orang tua saya yang notabene membiayai kehidupan saya. saya sempat berfikir - saya harus produktif seumuran saya. Tapi terbentur dengan segala aturan yang diberikan orang tua saya. Seperi harus bicara ini, pakai baju ini. Bahkan harus bertindak seperti apa yang dikatakan orang tua. Apa saran bapak? bagaimana yang harus saya lakukan? Terimaksih. Wassalamu’alaikum. Wa’alaikumussalam Wr. Wb. Buah yang masak tentu akan lepas dari induk batang atau ranting pohonnya. Demikian juga kehidupan kita, cepat atau lambat, kita mesti lepas ketergantungan pada orang tua dan juga sebaliknya orang tua tidak bisa sepenuhnya mengatur kehidupan anak-anaknya untuk selamanya. Anak mesti dididik untuk bisa hidup mandiri atau anak harus berlatih untuk bisa hidup mandiri secara finansial maupun secara psikhis. Ayo berlatihlah untuk bisa hidup mandiri dan tunjukkan itu pada orang tuamu. Wassalam.
Hutang demi Teman - IMAM Assalaamualaikum Wr. Wb. Pak wahib yang saya mulyakan. Saya mahasiswa semester V. sering kali saya terbelit hutang baik pada teman atau orang terdekat saya. Namun tiap kali saya berhutang tidak pernah saya gunakan untuk pribadi saya, melainkan untuk membantu orang lain. Hingga teman-teman saya memanggil saya sengan sebutan ‘raja bon’, tapi saya cuek. Bagi saya hutang bisa mencerdaskan saya dan bisa belajar manajemen ekonomi, selain itu juga bisa bermanfaat bagi orang lain. Namun niat tulus saya sering dikatakan teman teman sebgai orang gila. Benarkah tindakan yang saya ambil? Bagaimana baiknya? Terimakasih. Wassalamualaikum. Wa’alaikumussalam Wr. Wb. Kita mengenal zakat, infaq dan sedekah. Itu semua dilakukan bila kita memang memiliki sesuatu yang lebih untuk kita berikan. Minimal (dan ini wajib kita lakukan) zakat. Jika ada yang lebih maka infaq dan sedekah. Lha kalau tidak ada yang bisa disedekahkan kok kemudian hutang untuk bersedekah, maka secara normatif, tindakan ini patut dipertanyakan. Mau jadi Super Hero, begitu kah? Memang Allah menjanjikan bahwa setiap kebaikan akan dibalas secara berlipat ganda tapi hendaknya juga kita ingat bahwa Allah melarang kita memberikan sesuatu karena berharap nanti pasti ada return yang lebih banyak. Falaa tamnun tastaksir.. bahwa dengan hutang kamu malah jadi cerdas secara finansial dan lebih kreatif itu tidak berarti bahwa kamu boleh menggantungkan hidupmu pada hutang. Berat nanti jadinya. Wassalam. 68 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
SELAMAT DAN SUKSES Dr. Darmu’in, M.Ag. Dekan FITK Periode 2014-2018
Drs. Wahyudi, M.Pd.
Wakil Dekan I FITK Periode 2014-2018
Ahmad Muthohar, M.Ag. Wakil Dekan II FITK Periode 2014-2018
Dr. Fatah Syukur, M.Ag. Wakil Dekan III FITK Periode 2014-2018 Semoga Amanah dan Membawa FITK Lebih Baik Majalah
PRESENTED BY:
EDUKASI Ajang Pergulatan Intelektual Mahasiswa
PROMOTE YOUR ADS HERE ! HOTLINE IKLAN 085642536587 (SAMSUL)
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 69
Majalah
EDUKASI
RESENSI
Ajang Pergulatan Intelektual Mahasiswa
Jati Diri Islam Rahmatan Lil 窶連lamin Wa Maa Arsalnaaka Illa Rahmatan lil 窶連alamiin. Kami mengutus kau (Muhammad) semata-mata sebagai rahmat bagi seru sekalian alam.
JUDUL BUKU : ISLAM TANPA DISKRIMINASI, MEWUJUDKAN ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN PENULIS : MOHAMAD GUNTUR ROMLI PENERBIT : REHAL PUSTAKA JAKARTA TAHUN TERBIT : JUNI 2013 JUMLAH HALAMAN : 206 HALAMAN RESENSATOR : MUHAMMAD FAKHRUR RIZA
SI
UKA
M/ED : AA
FOTO
70 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
Majalah
EDUKASI
RESENSI
Ajang Pergulatan Intelektual Mahasiswa
BUKU INI SANGAT COCOK UNTUK DIBACA OLEH KAUM MUSLIM MUDA MAUPUN TUA KARENA CUKUP BERMANFAAT UNTUK MENGEMBALIKAN JATI DIRI SEORANG MUSLIM YANG SESUNGGUHNYA. NAMUN DI SISI LAIN BUKU INI MUNGKIN AKAN MENIMBULKAN KONTROVERSI BAGI SEBAGIAN KALANGAN. KARENA KURANG SEJALAN DENGAN PEMIKIRAN SANG PENULIS YANG BISA DIKATAKAN LIBERAL DAN MODERN.
Dalam QS. Al Anbiya’ (21) : 107 dijelaskan, Nabi Muhammad Shollallahu ‘alai wasallam diutus sebagai rahmat seluruh alam. Syaikh Muhammad Thahir bin Asyur seorang ulama’ dari Tunisia dalam kitab tafsirnya AlTahrir wa Al-Tanwir mengartikan tentang makna “sebagai rahmat” pada dua arah, yaitu karakter Nabi Muhammad SAW yang penuh kerahiman dan syariat islam sebagai ajaran kasih sayang. Dengan demikian Nabi Muhammad SAW dan Islam sebagai ajaran yang beliau emban tentunya identik dengan kasih sayang. Dewasa ini, Islam yang dianggap sebagai agama rahmatan lil ‘alamin ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Kasus-kasus pun banyak bermunculan di Indonesia yang dikenal negeri berpenduduk mayoritas muslim, seperti kasus pelanggaran kebebasan, diskriminasi, intoleransi, pengusiran, kekerasan sampai penyerangan yang berujung pada kematian, tak jarang menggunakan doktrindoktrin keislaman sebagai dalih dan pembenaran. Buku “Islam tanpa Diskriminasi” ini sendiri terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, membahas mengenai ikhtiar untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin dengan mengakui enam
rukun, yaitu keimanan pada Tuhan (al-ilahiyah), kemuliaan manusia (al-insaniyah), kebebasan dan penghargaan pada pilihan (al-hurriyah), kesetaraan dan keadilan (al-musawa wal ‘adalah), kasih sayang dan tanpa kekerasan (al-rahmah), serta kepedulian, keberpihakan dan keterlibatan dalam perjuangan (al-jihad). Pada bagian kedua buku ini mengulas mengenai lima jalan menuju Islam tanpa diskriminasi yang termuat dalam bab-bab berikut, yaitu tanpa diskriminasi terhadap keragaman agama dan kepercayaan, tanpa diskriminasi terhadap keragaman gender dan transgender, tanpa diskriminasi terhadap keragaman orientasi seksual, tanpa diskriminasi terhadap perbedaan kelompok etnik, agama dan politik, serta tanpa diskriminasi terhadap perbedaan status sosial dan ekonomi. Kemudian di akhir buku ini berisi penutup yang merupakan kesimpulan penegasan dan ajakan untuk menuju islam rahmatan lil ‘alamin. Secara ringkas, buku ini berisi upaya penafsiran tentang bagaimana Islam merespon keragaman agama dan keyakinan. Apakah Islam mengakui keselamatan dalam agama lain, bagaimana Islam menyatakan pengakuan terhadap keragaman gender dan transgender, apakah
ada perbincangan yang positif tentang isu homoseksualitas dalam Islam. Selain itu juga ada penafsiran tentang bagaimana Islam memandang perbedaan etnik dan kelompok minoritas serta perbedaan status ekonomi dan sosial, serta ikhtiar memahami Islam untuk tujuan rahmatan lil alamin, dengan meramu ayat-ayat Al-Quran, Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW dan tafsir-tafsir ulama yang otoritatif. Buku yang ditulis Guntur Romli ini memberikan perspektif baru, penting untuk menumbuhkan demokrasi dan hak asasi manusia di negara dengan mayoritas muslim. Tentunya dengan prespektif yang demikian, buku ini sangat cocok untuk dibaca oleh kaum muslim muda maupun tua karena cukup bermanfaat untuk mengembalikan jati diri seorang muslim yang sesungguhnya. Namun di sisi lain buku ini mungkin akan menimbulkan kontroversi bagi sebagian kalangan. Karena kurang sejalan dengan pemikiran sang penulis yang bisa dikatakan liberal dan modern. [E] TULISAN INI PERNAH DIMUAT DI WWW.LPMEDUKASI.COM
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 71
Majalah
EDUKASI
RESENSI
Ajang Pergulatan Intelektual Mahasiswa
MENGENAL
HOMESCHOOLING LEBIH DEKAT
Jika sebagian besar masyarakat memandang pendidikan hanya terjadi di sekolah, di sebuah ruangan bersekat bernama kelas, berlangsung secara formal, dan dilengkapi oleh kehadiran guru, maka pendidikan akan terhenti di sekolah saja.
72 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
ntuk meningkatkan kualitas diri di era globalisasi yang penuh kontestasi, pendidikan dianggap cara paling efektif. Namun setiap kali mendengar kata “pendidikan�, secara sadar atau tidak, pikiran masyarakat pada umumnya akan langsung tertuju pada pendidikan formal yang terlembaga dan berjenjang bernama “sekolah�. Bila ada yang tidak bersekolah, orang itu dilabeli tidak berpendidikan. Pada dasarnya pendidikan merupakan sebuah proses agar seseorang terdidik dan tidak terbatas oleh apapun. Jika sebagian besar masyarakat memandang pendidikan hanya terjadi di sekolah, di sebuah ruangan bersekat bernama kelas, berlangsung secara formal, dan dilengkapi oleh kehadiran guru, maka pendidikan akan terhenti di sekolah saja. Padahal, pendidikan sejatinya dapat terjadi dimanapun, kapanpun, dan dengan siapapun. Seperti halnya pendidikan di rumah atau di dalam keluarga. Sejak kecil hingga dewasa, pendidikan akan terus berlangsung dan tidak mengenal batas. Jadi, rasanya kurang tepat bila pendidikan diidentikkan dengan sekolah.
Perlu disadari pula bahwa pendidikan yang diakui di Indonesia bukan hanya pendidikan formal, namun juga ada pendidikan non-formal dan pendidikan informal. Salah satu contoh pendidikan informal adalah homeschooling (sekolah rumah) atau disebut juga home education (pendidikan di rumah). Pendidikan berbasis keluarga yang sedang ramai dibicarakan saat ini itu diakui keberadaannya oleh negara. Legalitas atas eksistensi Homeschooling tersebut termaktub dalam Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 27. Di dunia, banyak keluarga yang memilih homeschooling untuk anaknya. Jumlahnya tidak hanya ribuan, tetapi jutaan. Di Indonesia sendiri, homeschooling juga menjadi primadona dan peminatnya terus bertambah dari waktu ke waktu. Namun di lain sisi homeschooling juga memunculkan banyak tanda tanya. Bagaimana mungkin anak mendapatkan pendidikan yang maksimal di rumah, sementara fasilitas pendidikan di rumah tidak selengkap di sekolah? Siapa yang menggantikan peran guru di rumah?
Majalah
EDUKASI
RESENSI
DOK. EDUKASI
Ajang Pergulatan Intelektual Mahasiswa
JUDUL BUKU Apa Itu Homeschooling “35 Gagasan Pendidikan Berbasis Keluarga”
PENULIS Sumardiono
PENERBIT PandaMedia
CETAKAN Cetakan 1, Maret 2014
TEBAL BUKU xiii + 178 hlm
ISBN 979-780-709-6
HARGA BUKU Rp. 41.000,00
RESENTATOR Lutfiyah Nurzain
Apakah orang tua yang akan mengajari anak pelajaran susah seperti Kimia, Fisika, Kalkulus, dan pelajaran susah lainnya? Bagaimana pula sosialisasi anak yang homeschooling? Bagaimana jika anak ingin melanjutkan studi? Jika tidak sekolah, jadi apa anak di masa depan? Seretentan pertanyaan itulah yang sering muncul di benak masyarakat. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut mengindikasikan bahwa sejatinya masyarakat ingin mengenal tentang homeschooling. Hanya saja tidak banyak yang menularkan pengetahuan tentang homeschooling kepada masyarakat luas. Alhasil, pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul. Sumardiono atau Aar ialah orang yang akan menjawab serentetan pertanyaan tersebut. Ia adalah praktisi Homeschooling sekaligus penulis buku Apa itu Homeschooling? ini. Aar bersama istrinya Mira Julia (Lala) menjalani homeschooling bagi ketiga anaknya sejak lahir. Blogger www.rumahinspirasi.com itu banyak menulis tentang Homeschooling di blog-nya. Ia menulis tentang teori, konsep, hingga praktik Homeschooling. Namun karena melihat tidak banyak orang yang mengakses internet, maka Aar juga menulis buku. Apa itu Homeschooling? merupakan produksi ketiga setelah sebelumnya terbit buku yang bergenre sama yang berjudul Homeschooling Lompatan Cara Belajar dan Warna-warni Homeschooling.
Buku Apa itu Homeschooling dapat memberi pengetahuan bagi masyarakat, khususnya orang tua yang berniat menempuh Homeschooling bagi buah hatinya. Dalam buku ketiganya ini, Aar menulis 35 gagasan pendidikan berbasis keluarga atau homeschooling. Aar mengawali pembahasan dengan gagasan berjudul “Titik Nol”. Pada point ini penulis seperti menginginkan agar pembaca memahami titik tolak tentang pendidikan jenis apa yang tepat untuk anak. Selain itu point ini juga memahamkan pembaca bahwasanya homeschooling itu berangkat dari asumsi dasar bahwa setiap keluarga memiliki kemerdekaan untuk menentukan dan mengejar mimpi terbaiknya (termasuk dalam hal pendidikan). Dengan penggunaan bahasa yang lugas dan sistematika penyampaian gagasan yang runtut menjadikan gagasan semakin mudah dipahami oleh pembaca. Dengan selingan gambar dan warna yang fresh membuat mata pembaca tidak cepat bosan dan dapat langsung menangkap inti gagasan. Selain itu, setelah membaca lembar per lembar dari buku Apa itu Homeschooling, pembaca akan digugah rasa ingin tahunya sehingga muncul pertanyaan “Gagasan apa lagi yang akan ada pada halaman berikutnya?”. Dalam hal ini penulis berhasil membuat penasaran pembaca tentang apa itu Homeschooling sebenarnya. [E]
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 73
NUSANTARA
DOK. INTERNET
FLORENCE OLEH: UMI HANIK KETUA LPSAP 2012-2013
DAN KEBEBASAN BERJEJARING SOSIAL
D
alam era globalisasi ini, dapat digambarkan bahwa masyarakat dunia semakin dinamis dan begitu kompleks karena berbagai penemuan-penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Contoh nyata dari fenomena tersebut adalah terbukanya komunikasi tanpa batas yang berdampak pada kemajuan dan pertukaran informasi yang sangat cepat. Dengan adanya kemajuan dalam bidang tersebut, menjadikan semuanya lebih mudah dan efisien, sehingga menuntut manusia untuk bersikap terbuka dengan adanya perkembangan dan kemajuan tersebut. Hal ini berdampak positif umumnya, karena dengan adanya kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, memudahkan manusia mendapatkan informasi-informasi yang sangat cepat dengan sedikit hambatan. Kemudahan manusia dalam memperoleh informasi menjadikan manusia terus membuat terobosan-terobosan baru untuk mempermudah komunikasi diantara sesama. Salah satu yang sedang digandrungi masyarakat saat ini adalah sosial media atau jejaring sosial. KEBEBASAN BERJEJARING SOSIAL Dewasa ini perkembangan jejaring sosial sangatlah pesat. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingkat intensitas yang tinggi dalam penggunaannya. Selain itu, semakin banyak pula pengguna internet yang mengakses berbagai jejaring sosial dengan menggunakan berbagai platform maupun browser yang berbeda. Pada tahun 2005, jejaring sosial mulai menjadi bagian dari strategi bisnis dengan varian yang sangat banyak dan berbagai fitur yang ditawarkan. Diantara varian tersebut adalah my space, friendster, facebook, twitter, path, instagram, google plus, dan yang lainnya. Tentu ini akan semakin mempermudah manusia untuk berkomunikasi dan mengekspresikan hasil cipta, rasa dan karsanya melalui akun-akun tersebut.
74 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
Pada dasarnya, pemakaian sosial media itu tidak terbatas dan tidak di batasi, namun tetap ada etika yang harus diperhatikan. Terlebih dalam penggunaan di negara hukum seperti di Indonesia. Perlu diperhatikan etika dalam penulisan, berbahasa dan etika dalam berbicara sebelum memposting sesuatu di sosial media. Salah-salah memposting bisa berujung penjara atau tuntutan. Seperti yang dialami oleh Florence Sihombing. Florence Sihombing adalah salah seorang mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) yang ditahan setelah berstatus tersangka karena dianggap menghina warga Yogyakarta melalui salah satu akun yang dimilikinya. Meskipun ia akhirnya bebas, namun kasus ini sempat mencuri perhatian penduduk dunia atas kebebasan berekspresi di jejaring sosial. Kasus ini bermula saat Florence mengisi bahan bakar minyak (BBM) di sebuah Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) di Lempuyangan Yogyakarta. Meski mengendarai motor, ia mengantre di barisan mobil. Alasannya karena ia ingin mengisi motornya dengan BBM jenis pertamax. Petugas SPBU menolak mengisi pertamax di motornya, dan Florence pun kesal. Kekesalan Florence tak selesai di SPBU itu. Dia kemudian mengunggah sebuah tulisan di sebuah akun jejaring sosial path-nya .“ Postingan itulah yang dianggap menghina warga Yogyakarta. Pengguna jejaring sosial kemudian bereaksi keras. Beberapa diantaranya bahkan
menghujat mahasiswa ini. Akhirnya, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melaporkan Florence ke polisi. Dia di tahan pada Sabtu 30 Agustus yang lalu. Dia di jerat dengan pasal 27 ayat 3 jo pasal 45 ayat 1, pasal 28 ayat 2 jo pasal 45 ayat 2 tahun 2008 UU ITE. Selain itu juga pasal 310 KUHP dan atau pasal 311 KUHP. Setelah mengajukan penangguhan penahanan, akhirnya Florence dibebaskan pada Senin 1 September lalu. Kasus ini tidak hanya menjadi perhatian masyarakat negeri. Bahkan sejumlah media asing juga turut memuat kasus tersebut. Diantaranya Wal Street Journal dengan tulisannya “Social Media Backlash Ebbs into Support for Indonesian Student” dan Australia Plus dengan tulisannya “Indonesian Student could be Jailed After Calling Yogyakarta City “Stupid” on Socia Media.” Tidak hanya Florence yang merasa heran dengan tindakan yang diambil kepolisian di Indonesia, akan tetapi masyarakat dunia juga merasakan hal yang sama. Betapa tidak, jejaring sosial yang seharusnya menjadi salah satu wadah bagi manusia untuk menyampaikan ekspresi yang ia alami, malah berujung petaka. Hal ini seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi pengguna jejaring sosial untuk menggunakan akunnya secara bijak. Kritik terhadap fasilitas pemerintahan, kinerja dewan, sarana prasana di negara kita, hingga kritik individu terhadap kebobrokan politikus negeri sering dilakukan pengguna jejaring sosial melalui akun pribadi
“
Pada dasarnya, pemakaian sosial media itu tidak terbatas dan tidak di batasi, namun tetap ada etika yang harus diperhatikan. Terlebih dalam penggunaan di negara hukum seperti di Indonesia.
EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 75
mereka. Ini sebenarnya menunjukkan kepedulian mereka terhadap keadaan sosial. Hanya saja untuk mengekspresikan hal tersebut, banyak dari mereka yang kurang pandai dan bijak memaksimalkan fasilitas yang ada dalam akun jejaring sosial. Disinilah pentingnya peranan dari semua pihak. Baik itu keluarga, masyarakat hingga institusi pendidikan untuk terus membekali anak terhadap perkembangan teknologi. Kita seharusnya memberikan edukasi kepada anak tentang bagaimana menyikapi perkembangan teknologi yang sangat
cepat untuk dapat digunakan sebagaimana fungsinya. Jejaring sosial tidak hanya dilihat sebagai jaringan yang khusus saja. Artinya, media ini tidak hanya menjadi wadah bagi para penggunanya untuk bebas mengunggah segala ekspresinya. Akan tetapi, jejaring sosial juga dapat memperlihatkan bagaimana karakteristik dari hubungan-hubungan yang ada sehingga kemudian dapat dipergunakan untuk menginterpretasikan tingkah laku sosial dari penggunanya. Sebagai pengguna jejaring sosial, seharusnya mampu
menggunakan akun yang ia miliki semaksimal mungkin dan tentunya digunakan dengan sebijak mungkin. Menjalin silaturahim antara sesama dimana saja tanpa harus bertatap muka atau kontak fisik langsung dengannya, mendapatkan banyak teman dan jaringan, mempromosikan hasil-hasil karya, menambah ilmu pengetahuan dan tentunya mempemudah komunikasi serta mendapatkan informasi dengan sedikit hambatan merupakan beberapa manfaat yang bisa kita dapatkan dari penggunaan jejaring sosial dengan benar. [E]
OPINI // MENJADIKAN BERJIWA INDONESIA// Sejak pendidikan Indonesia dimasukkan dalam World Trade Organizaion (WTO) dalam kategori perdagangan jasa tahun 1994, khasanah budaya ketimuran ala Indonesia secara nyata dilunturkan. Pihak investor mendirikan sekolah dengan label sekolah internasional karena adanya jalinan kerjasama dengan pihak asing. Dimana di dalamnya siswa pun di-didik sesuai dengan budaya asal sekolah itu. Meskipun mereka tetap belajar Bahasa Indonesia tapi mereka tidak berjiwa Indonesia. Terlebih munculnya sekolah model Boarding School (sekolah sistem berasrama) yang notabenya semakin mengasingkan anak dari pergaulan masyarakat. Tidak hanya sekolah berlabel internasional, sekolah-sekolah berstandar nasional pun juga sama. Entah itu sekolah negeri, swasta, berbasis Islam ataupum umum. Berdasarkan apa yang saya amati di beberapa sekolah dan di kampus sendiri, siswa atau mahasiswa hanya mendapat pengajaran tanpa mendapat didikan. Mereka disetel hanya untuk mengejar nilai tapi melupakan akal budi. 76 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
Adanya susupan ideologi yang dibawa gerakan Islam Transnasional juga semakin memperpuruk ancaman budaya bangsa ini. Kita tahu agenda utama dari gerakan ini adalah Khilafah Islamiyah (Mendirikan Negara Islam) dengan mengganti Pancasila menjadi Piagam Jakarta. Mengganti NKRI menjadi NII. Cerdasnya mereka mengincar sektor-sektor strategis di masyarakat. Mereka mengincar wahana-wahana basis pendidikan. Baik pendidkan formal (sekolah), maupun masjid-masjid sebagai basis pendidikan nonformal (Ilusi Negara Islam: 2009). Walhasil akibatnya anak didik untuk menjadi seorang arab bukan menjadi seorang Indonesia. Pergantian mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) semakin membuat gambaran nyata hilangnya budaya ketimuran kita. Pancasila yang seyogyanya mengajarkan kita akan jati diri bangsa Indonesia kini telah dihapus di bangku sekolah. Padahal kita sudah ber-Pancasila tanpa nama selama
lebih tujuh abad lamanya dalam wadah Bhinneka Tunggal Ika (Gus Dur dalam Kick Andy) Alangkah baiknya jika mata kuliah Pluralisme atau apa lah yang berkaitan dengan menghargai keberagaman diajarkan di Fakultas Pendidikan, baik itu di FIP atau FITK. Tujuannya tak lain agar kelak saat mereka (baca: mahasiswa FIP & FITK) menjadi guru bisa mengajarkan menghargai keberagaman, toleransi antar pemeluk agama kepada muridmuridnya. Dimana nilai-nilai tersebut merupakan salah satu unsur dari budaya timur. Selain itu mata kuliah etnografi juga nampaknya perlu diajarkan pula. Agar mereka tahu betapa pluralnya bangsa ini. betapa kayanya bangsa ini dengan berbagai macam suku, kepribadian, ras, bahasa, budaya serta kepercayaan masing-masing. Agar mereka sadar bahwa kita ini hidup di negara bernama Indonesia, dan yang terakhir agar mereka berjiwa Indonesia. [E] *) REDAKTUR SENIOR LPM EDUKASI
Siluet Menempatkan Bahasa ... “Nak kalau berpidato nanti gunakan ritme, intonasi dan jeda ya...” pesan seorang guru SD kepada muridnya yang akan mengikuti lomba pidato kemerdekaan. Tak lama berselang tiba saatnya anak itu naik ke podium dan memulai pidatonya. Pembawaannya sudah sangat bagus untuk anak seusianya. Namun sampai pada inti pidato, ada kejadian unik yang membuat para juri dan gurunya tersenyum sipu. “Teman teman yang saya cintai, mari kita gunakan ritme, intonasi dan jeda untuk mengisi kemerdekaan bangsa ini,” ajak anak itu dengan lantangya. .... Pada kesempatan yang lain, beberapa teman SMA mengajak reuni kecil-kecilan sekedar melepas rindu setelah lama tak bertemu. Sebagian ada yang sudah malang melintang di dunia kerja meski dengan ijazah SMA, beberapa anak masih kuliah dan sebagian ke-
ILUSTRASI: FAHMI/EDUKASI
Oleh: Aziz Nur Kholiq
cil masih mencari-cari kesibukan di rumah. Setelah ngobrol ngalor-ngidul salah seorang teman nyeplos, “Wah, guru-guru SMA kita tambah berkompeten.” “Ya betul, gurunya juga pinter-pinter,” sahut yang lain. ... Kalau kita cermati, penggalan cerita di atas menunjukkan adanya permasalahan mispersepsi dalam memahami bahasa yang dipakai. Bahasa sebagai alat komunikasi hendaknya bisa betul-betul dipahami oleh penuturnya. Jika tidak, pesan yang dimaksud tidak akan tersampaikan dengan baik. Bahasa kita –bahasa indonesia- banyak mengambil istilah bahasa lain seperti Arab, Inggris, Jawa, dll, yang kemudian mengalami pembakuan. Hal ini berarti semakin besar kemungkinan terjadinya beragam tafsir terhadap setiap kata yang dipakai. Salah memilih kata, bisa memunculkan anggapan bahwa kita tidak ‘nguwongake uwong’- seperti cerita di atas. EDISI XLIX/TH.XXIII/2014 | EDUKASI| 77
BAHASA MENUNJUKKAN BANGSA Ungkapan tersebut tentu sudah tidak asing lagi bagi kita. Dengan memperhatikan tutur kata atau ucapan yang digunakan oleh penuturnya kita dengan mudah dapat mengetahui asal usul orang tersebut. Ini menunjukkan bahwa bahasa merupakan deskripsi bacground pemakainya. “Hipotesis Whorf-Sapir” menyatakan bahwa bahasalah yang menentukan corak suatu masyarakatnya. Pola komunikasi yang terbentuk di kalangan akademisi cenderung menggunakan bahasa-bahasa ilmiah, karena hampir tiap hari berkutat dengan buku-buku referensi. Hal ini sangat berbeda ketika kita berkumpul dengan para pekerja pabrik, yang dominan dengan kata-kata kasar. Berbeda lagi ketika masuk di lingkungan pesantren yang mengedepankanrasa ‘ta’dhim’ terhadap orangorang tertentu. Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa bahasa menjadi identitas kelompok. STRATIFIKASI BAHASA Adanya identifikasi kelompok lewat bahasa, memunculkan bentuk-bentuk stratifikasi bahasa bagi para penuturnya. Seperti dalam bahasa jawa, ada 78 | EDUKASI | EDISI XLIX/TH.XXIII/2014
Siluet
POLA KOMUNIKASI YANG TERBENTUK DI KALANGAN AKADEMISI CENDERUNG MENGGUNAKAN BAHASABAHASA ILMIAH, KARENA HAMPIR TIAP HARI BERKUTAT DENGAN BUKU-BUKU REFERENSI. HAL INI SANGAT BERBEDA KETIKA KITA BERKUMPUL DENGAN PARA PEKERJA PABRIK, YANG DOMINAN DENGAN KATA-KATA KASAR.
basa krama inggil, kromo alus, maupun ngoko. Masing—masing memiliki fungsi tersendiri. Ketika seorang anak berbicara dengan teman sebayanya ia akan menggunakan basa ngoko. Namun, berbeda dengan ketika ia berbicara dengan orang yang lebih tua hendaknya ia memakai basa krama. Bentuk stratifikasi bahasa ini tampaknya dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan budaya. Sebagai contoh orang yang “meninggal dunia”, jika korbannya adalah seorang tokoh agama atau ulama’ kata yang lebih sering digunakan “wafat”, berbeda lagi jika korbannya adalah pahlawan atau tentara “gugur”, dan jika korbannya pelaku kejahatan umumnya istilah yang dipakai “tewas”. Dengan demikian, dalam bertutur hendaknya setiap orang peka terhadap lingkungannya. Menggunakan bahasa yang lazim dipakai dilingkungan tersebut jauh lebih arif, disamping mempermudah dalam berkomunikasi juga menghilangkan kesan “sok”. Lebih penting lagi, menghindari mispersepsimakna bagi orang yang mendengarkannya. Karenanya kita harus Cerdas Berbahasa. [E] *) REDAKTUR SENIOR LPM EDUKASI)