Buletin

Page 1

DITERBITKAN OLEH LEMBAGA PERS MAHASISWA HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

Buletin

ISSN 2089-340X

Eksepsi Bagi Demokrasi Untuk Keadilan

Edisi III/LPMH-UH/XIX/V/2015

DANA ORGANISASI KEMAHASISWAAN Alokasi Minim, Persepsi Peruntukan Berbeda

Ilustrasi: Supri


Eksepsi ISSN 2089-340X

PENERBIT: LEMBAGA PERS MAHASISWA HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

Salam Redaksi Menjelang Regenerasi

PELINDUNG: Dekan

PENASEHAT: Wakil Dekan III

PENDAMPING UKM: Birkah Latief, S.H., M.H DEWAN PEMBINA:

Anwar Ilyas, S.H, Muh. Alam Nur, S.H, Muh. Sirul Haq, S.H, Muh. Ali Akbar Nur, S.H, Wiwin Suwandi, S.H, Nurul Hudayanti, S.H., M.H, Muh. Arman KS, S.H, Ahmad Nur, S.H, Solihin Bone, S.H, M.H., Irfan Amir, S.H, Nasril, S.H, Hardianti Hajrah S, S.H, Ahsan Yunus, S.H, M.H, Irwan Rum, S.H., Rezki Alvionitasari, S.H. DEWAN PERS: Amiruddin Farit Ode Kamaru M.N Faisal R. Lahay, S.H. PEMIMPIN UMUM: Ramli

PEMIMPIN REDAKSI: Rezky Pratiwi SEKRETARIS UMUM: A. Asrul Ashari BENDAHARA: Nurjannah

REDAKTUR PELAKSANA: Icha Satriani Azis Nurul Hasanah Mohammad Supri

REPORTER: Indah Sari, Putri Reztu A.J., Nurul Amalia, Puspitasari, Diana Ramli, & Anggota Magang FOTOGRAFER: Rio Atma Putra

LAYOUTER: Firman Nasrullah

DIVISI KADERISASI Muh. Syahrul Rahmat, Ainil Masura

DIVISI JARINGAN KERJA Satriani Pandu DIVISI LITBANG A. Azhim Fachreza A.,

DIVISI DANA & USAHA Julandi J. Juni

Foto bersama pengurus dan anggota magang LPMH-UH selepas materi nonfiksi yang dibawakan Aan Mansyur di sekretariat Komunitas Kata Kerja, Sabtu (14/3).

Salam Pers Mahasiswa etelah melalui proses panjang, dengan rendah hati, kami bersyukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas terbitnya Buletin Eksepsi Edisi III ini. Kami pun bangga dapat berkontribusi positif melalui tulisan kritis nan mengkritik. Sebagai jurnalis kampus, kami menyajikan fakta-fakta untuk direfleksikan bersama-sama. Dari itu, besar harapan kepada pihak terkait untuk mengambil langkah perbaikan terkait permasalahan yang kami soroti. Pada terbitan kali ini, kami mengetengahkan persoalan dana organisasi kemahasiswaan yang belakangan memunculkan tanda tanya di kalangan mahasiswa, terutama masalah jumlahnya yang minim dan mekanisme peruntukannya. Kami pun mengangkat persoalan itu di rubrik Laporan Utama. Persoalan rendahnya kuantitas mahasiswa Fakultas Hukum Unhas (FH-UH) yang bergabung di organisasi intra fakultas dibanding keseluruhan mahasiswa, tak kalah pentingnya. Sama halnya dengan permasalahan kualitas skripsi mahasiswa FH-UH dan manfaatnya bagi kehidupan praktis. Untuk itu, kedua persoalan itu pun kami ulas di rubrik Laporan Khusus. Buletin ini juga mengulik pandangan Budayawan Unhas Alwi Rachman terkait disorientasi peran mahasiswa dalam kehidupan sosial. Selanjutnya, sampel kegiatan organisasi kemahasiwaan kami muat di rubrik Aktivitas sebagai gambaran bahwa organisasi kemahasiswaan FH-UH masih aktif berkegiatan. Rubrik penulisan kritis pun konsisten kami sajikan sebagai ruang berbagi pengetahuan dan perspektif. Di sisi lain, kami tetap menyajikan beberapa rubrik hiburan untuk memberikan penyegaran jiwa kepada pembaca. Kami akui, buletin ini tidak lepas dari kekeliruan. Kenyataan itu tidak lepas dari kodrat kami selalu manusia biasa yang penuh keterbatasan dan tidak lepas dari kekhilafan. Untuk itu, kritik dan saran kami harapkan dari pembaca untuk perbaikan terbitan kami selanjutnya. Akhirnya, kami harap buletin ini memberikan informasi, pendidikan, dan hiburan, serta berperan dalam perubahan sosial menuju perbaikan. Selamat membaca.

S

Redaksi Eksepsi menerima tulisan berupa opini, artikel, e sai, cerpen, puisi, karikatur maupun foto dari pembaca. Tulisan dapat diserahkan di sekretariat LPMH-UH, atau dikirim melalui via e-mail ke: lpmhuh@ymail.com 2

Eksepsi

Edisi III/XIX/LPMH-UH/V/2015


Eksepsis Kata Mereka tentang Pembagian Dana Organisasi Kemahasiswaan “Jadi yang penting kami bantu. Jumlahnya disesuaikan dengan kegiatan. Saya hanya pesan ke PD III dan PD II, sebisa mungkin dibantu setiap kegiatan mahasiswa. Besar kecil itu tidak ada masalah, karena harus ada bentuk perhatian dari fakultas. Tentu beda-bedalah. Di situlah letak keadilan distributif. Karena memperlakukan sama untuk hal yang tidak selevel, itu tidak adil namanya. Jadi tidak ada penjatahan dana, tapi tergantung kebutuhan. Keuangan itu sesuai kegiatan.” Prof Farida Patittingi, S.H., M.H. (Dekan Fakultas Hukum Unhas)

“Kalau saya sangat perlu diposkan, karena kita harus menghilangkan pandangan birokrasi bahwa semua mahasiswa berhak untuk mengelola dana. Tapi harus ada wadahnya. Wadahnya itu adalah BEM. Kalau mi­ salnya kecurigaan akan penyalahgunaan anggaran, kita buatkan saja aturan internal Fakultas Hukum bahwa yang mau mengambil anggaran harus sepengetahuan BEM. Saya harapkan ke depan ada pos-pos untuk ma­ sing-masing UKM, sehingga tidak ada lagi bentrokan antar UKM. Maka harus dibagi rata. Bukan lagi per kegiatan, tetapi per UKM. ” Dhian Fadlhan Hidayat (Mantan Presiden BEM Periode 2014-2105)

“Tiap mahasiswa berhak menikmati dana (organisasi kemahasiswaan, Red), karena tiap bayar SPP per semester, diperoleh dana itu dari per kepala secara otomatis, untuk digunakan mahasiswa Fakultas Hukum. Kalau mengenai dana, tergantung UKM masingmasing, kalau memang digunakan dana itu sesuai kegiatannya, Jadi tergantung kegiatan. Kalau UKM tidak ada ke­ giatan, untuk apa diposkan dananya. Jadi tergantung dari UKM, mau ada kegiatan atau tidak.” Ahmad Tojiwa Ram (Presiden BEM FH-UH Periode 2015-2016)

Editorial Menuntut Dana (Organisasi) Mahasiswa

P

erguruan tinggi bertanggung jawab membentuk mahasiswa melalui kerangka Tri Dharma Perguruan Tinggi. Orientasinya tidak sekadar pencapaian prestasi bidang akademik, tetapi juga pengembangan mahasiswa agar peka dan peduli terhadap keadaan sosial. Keluwesan memba­ngun relasi dan berkomunikasi merupakan modal utama menuju pengabdian kepada masyarakat itu. Di sini, organisasi kemahasiswaan memegang peran penting, yaitu membentuk mental dan keterampilan sosial mahasiswa. Organisasilah tempat mahasiswa belajar meleburkan ego individunya ke dalam ego universal, yaitu kemanusiaan. Secara tegas, Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan hak setiap orang untuk mengembangkan diri dan mendapat pendidikan. Perguruan tinggi pun bertanggung jawab memberi dukungan kepada organisasi kemahasiswaan untuk mewadahi bakat, minat, dan potensi mahasiswa. Dukungan itu ditegaskan Pasal 77 ayat (4) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yaitu penyediaan sarana dan prasarana, serta dana. Dukungan terhadap organisasi kemahasiswaan, terutama dukungan dana, sangatlah penting agar mahasiswa berkembang secara positif. Sebaliknya, mengabaikan kebutuhan dana organisasi kemahasiswaan ibaratnya menggunduli hutan yang merupakan habitat binatang buas. Untuk itu, pengelolaan dana harus dilakukan secara baik dan transparan demi kepentingan mahasiswa. Terlebih, sumber dana perguruan tinggi berasal dari APBN yang sebagian besar pajak masyarakat. Lainnya, ditarik dari iuran SPP mahasiswa. Belakangan, pembangunan fisik digalakkan di Unhas, terutama Fakultas Hukum Unhas (FH-UH). Tidak ada salahnya, asalkan pengembangan mahasiswa juga tak terlupakan. Optimalisasi peruntukan dana untuk pengembangan mahasiswa sangatlah perlu dilakukan. Sarana dan prasarana hanyalah instrumen, sehingga tidak tepat jika menganggapnya sebagai tujuan. Fungsi penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah memastikan mahasiswa mendapatkan pendidikan seutuhnya, termasuk berorganisasi. Namun apa mau dikata, perguruan tinggi, termasuk Unhas, masih memporsikan dana yang minim untuk kegiatan organisasi kemahasiswaan. Buktinya, dari besarnya iuran SPP mahasiswa per semester, hanya ditarik Rp. 27.500,- per mahasiswa untuk kegiatan organisasi kemahasiswaan. Di sisi peruntukan dana, pihak birokrat kampus harus mengerti dan menghargai entitas organisasi kemahasiswaan yang bersifat intra dan berisifat nonstruktural pada organisasi perguruan tinggi, sebagaimana dinyatakan dalam Kepmendikibud No. 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi dan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Itu penting diperhatikan sebagai pedoman dalam penyaluran dana organisasi kemahasiswaan. Mengingat persoalan dana sensitif dan mahasiswa sebagai komponen terpenting perguruan tinggi, maka butuh formulasi baik untuk menjamin dana diprioritaskan untuk pengembangan diri mahasiswa, terutama melalui organisasi kemahasiswaan. Dalam hal ini, harmonisasi antara birokrat kampus dan mahasiswa harus diciptakan demi meminimalisir konflik internal. Kondisi itu hanya dapat terwujud jika ada rasa saling peduli dan saling percaya. Sudah saatnya perguruan tinggi lepas dari problem internal, sehingga fokus berperan untuk kepentingan masyarakat. Dengan begitu stereotip bahwa kampus adalah kandang kaum elit yang buta batin akan musnah. Eksepsi

Edisi III/LPMH-UH/XIX/V/2015

3


LAPORAN UTAMA

BERPACU MENGAIS DANA

P

engembangan diri mahasiswa adalah tujuan pokok pe­nyelenggaran perguruan tinggi. Tidak hanya pengembangan aspek akademik melalui perkuliahan, tetapi juga keterampilan sosial dengan berorganisasi. Untuk itu, perguruan tinggi dituntut memberikan dukungan bagi kegiatan organisasi kemahasiswaan, sebagaimana ditegaskan Pasal 77 ayat (4) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dukungan tersebut berupa penyediaan sarana dan prasarana, serta dana. Mencari Sumber Pendapatan Terbatasnya dana kegiatan organisasi kemahasiswaan lingkup Fakultas Hukum Unhas (FH-UH) sering kali membuat semangat mahasiswa berkegiatan surut. Diutarakan Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan FH-UH Hamzah Halim, dana organisasi kemahasiswaan diperoleh dari iuran SPP mahasiswa per semester, yaitu Rp. 27.500,- per mahasiswa. Besaran itu kemudian dikalikan dengan jumlah mahasiswa FH-UH. Jumlah tersebut dinilai Hamzah masih minim, bahkan tak mencapai 1% dari iuran per semester mahasiswa. Menurutnya, besaran Rp. 27.500,- merupakan kebijakan lama yang perlu diperbaharui. Di forum Rakor Unhas, ia pun telah meminta agar ditingkatkan hingga 5%. Meski begitu, usulan itu katanya harus dibicarakan di tingkat senat univeritas pada tahun ajaran baru. Terkait hal itu, ia pun menyarankan agar pihak organisasi kemahasiswaan berinisiatif mengadakan dialog dengan pihak kampus menyangkut besaran dana kegiatan kemahasiswaan. Berdasarkan data dari Dekan FHUH Prof Farida Patittingi, total iuran SPP untuk mahasiswa program studi S1 FH-UH tahun ajaran 2014/2015 adalah Rp. 2.590.000.000,-. Dari akumulasi SPP tersebut, untuk memperoleh alokasi dana organisasi kemahasiswaan FH-UH, maka jumlah mahasiswa S1 sebanyak 1721 orang dikalikan Rp. 27.500,-. Hasilnya, ha­ nya diperoleh dana Rp. 94.655.000,dari dua semester. Wakil Dekan II Bidang Keuangan FH-UH Syamsuddin Muchtar pun mengakui jumlah dana

4

Eksepsi

Edisi III/XIX/LPMH-UH/V/2015

untuk organisasi kemahasiswaan FHUH sekitar Rp. 100 juta masih minim. Dana itu dialokasikan untuk seluruh kegiatan organisasi kemahasiswaan, tidak termasuk ke­giatan yang dilakukan pihak kampus, seperti Penerimaan dan Pembinaan Mahasiswa Baru (P2MB) serta Basic Character and Study Skill (BCSS). Sebagai upaya penanggula­ngan, pihak dekanat pun berupaya mencari sumber dana. Di antaranya, bekerja sama dengan instansi lain dan memanfaatkan kontribusi forum alumni di bawah naungan Ikatan Alumni (IKA). Prof Farida pun menuturkan tengah berupaya mendata alumni. “Kita mau, mereka (alumni, Red) memberikan kontribusi apapun kepada almamater. Apakah dalam bentuk kebijakan misalnya pengalokasian beasiswa, termasuk juga komunikasi langsung untuk membantu kegiatan organisasi mahasiswa,” ucapnya. Alternatif sumber dana lain diungkapkan Hamzah Halim, yaitu membentuk koperasi berupa unit kewirausahaan yang akan menghasilkan keuntungan untuk menyokong dana kegiatan kemahasiswaan. Koperasi ini akan menjadi wadah kreativitas mahasiswa dalam mencari dana. Jika pembentukannya sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) terkendala aturan di tingkat organisasi kemahasiswaan, ia membentuknya di luar format UKM, misalnya sebagai unit usaha. Unit kewirausahaan ini pun nantinya dikelola anggota UKM lainnya untuk mendapatkan pemasukan dana bagi UKM-nya. Ia pun telah menyurati setiap UKM untuk me­ ngutus anggotanya sebagai pengurus awal. “Setiap akhir tahun, kita hitung sisa hasil usaha yang kemudian dibagi ke UKM-UKM berdasarkan jumlah anggotanya yang masuk anggota koperasi. Yang tidak terserap di UKM akan saya distribusikan lagi untuk menalangi kegiatan yang bagus, namun posnya tidak ada,” tuturnya. Sekretaris Umum Hasanuddin Law Study Centre (HLSC) Baroni Affif Brahman menilai penting memaksimalkan peran alumni untuk menyokong dana kegiatan kemahasiswaan. Pendanaan kegiatan organisasinya selama ini pun diakuinya berasal dari

donasi alumni dan sponsor. Di sisi lain, Presiden BEM FH-UH periode 2015-2016 Ahmad Tojiwa Ram pun menilai kontribusi alumni perlu dimanfaatkan. Terkait pembentukan unit kewirausahaan sebagai UKM, menurutnya perlu ditinjau kembali. “Saya sepakat dibentuk dengan alasan tujuannya, ketika mahasiswa tidak memiliki dana, bisa pinjam di kewirausahaan yang bekerja seperti koperasi. Untuk sebagai UKM, perlu kajian lebih lanjut apa kelebihan dan kekurangannya jika jadi UKM,” tuturnya. Senada dengan Ahmad Tojiwa, Direktur UKM Asian Law Students Association (ALSA) LC Unhas Zul Kurniawan Akbar menyatakan ke­ sepakatannya atas pembentukan unit kewirausahaan. Namun pembentukannya sebagai UKM menurutnya terkendala aturan Konstitusi Keluarga Mahasiswa (Kema) FH-UH yang menyatakan pembentukan dan pembubaran UKM ditetapkan dalam kongres. Sedangkan persoalan tersebut tidak dimasukkan dalam agenda kongres saat ini. Persyaratan dalam Peraturan Kema FH-UH No. 2 Tahun 2015 tentang UKM juga harus dipenuhi, termasuk penetapan se­ bagai calon UKM ditetapkan dalam kongres Kema dan uji coba selama setahun kepengurusan. Pandangan lain pun diungkapkan Ketua Umum LD Asy-Syariah MPM FH-UH Ahmad Asyraf. Meski menilai positif, pengurus unit kewirausahaan yang nantinya adalah anggota UKM ditakutkannya mengganggu kinerja UKM bersangkutan. Terbatas di Fakultas, Rektorat Jadi Tumpuan Dituturkan Wakil Rektor II Bidang Keuangan Unhas Prof Muhammad Ali, dana kemahasiswaan ling­ kup Unhas diperoleh dari rupiah murni atau APBN, Penerimaan Ne­ gara Bukan Pajak (SPP, kerjasama, mitra, penelitian, pengabdian masyarakat, dll), hibah, maupun sumber lain yang tidak mengikat. Dari data yang diperoleh, Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Unhas tahun 2013 sebesar Rp. 943.151.772.000,- dan tahun 2014 sebesar Rp. 937.971.110.000,Dari akumulasi itu, termasuk dana


LAPORAN UTAMA

Sejumlah pengurus UKM beraktivitas di pelataran sekretariat organisasi kemahasiswaan FHUH, Rabu (6/5). [RTW]

untuk kegiatan kemahasiswaan yang dikelola oleh bidang kemahasiswaan Unhas. Kepala Biro Administrasi Kemahasiswaan Unhas Ali Mantung pun menuturkan bahwa dana kemahasiswaan yang dikelola pihak rektorat tahun ini sejumlah 50 milliar. Namun khusus untuk kegiatan organisasi kemahasiswaan berjumlah 9 milliar, meningkat dari tahun sebelumnya 3,7 milliar. Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa selama ini, Fakultas Hukum disusul Fakultas Ilmu Budaya adalah pengguna terbesar dana untuk kegiatan kemahasiswaan di rektorat. Terbatasnya dana di tingkat fakultas memaksa mahasiswa mencari sokongan dana ke rektorat. Diakui Prof Farida, kegiatan mahasiswa yang membutuhkan dana besar, turut disokong rektorat. Namun pengawasan agar tidak terjadi soko­ ngan dana ganda pun dilakukannya. “Di rektorat ada dana. Makanya saya kasi tahu WD III, tolong lihat, ja­ngan sampai double funding, sudah dikasi dari fakultas, dikasi juga di sana (rektorat, Red), akhirnya melampaui dari kebutuhan. Itu tidak boleh,” tuturnya. Besarnya pos dana di tingkat rektorat menurut Hamzah Halim perlu didayagunakan untuk kebutuhan kegiatan kemahasiswaan di tingkat fakultas. Menurutnya, dana kemahasiswaan selama ini masih menumpuk di rektorat, sedangkan ragam kegiatan kemahasiswaan

tingkat fakultas butuh dana. Untuk itu, Jika sebelumnya pihak dekanat hanya menyetujui surat permohonan dana ke rektorat untuk kegiatan mahasiswa tingkat fakultas, mulai tahun ini, jumlah dana per kegiatan organisasi mahasiswa ditentukan wakil dekan III. “Uang yang ada di rektorat itu uang dari fakultas, dan mahasiswa ini ada di fakultas. Kalau mau desentralisasi, seharusnya juga uang didesentralisasi. Pihak rektorat tinggal melakukan koordinasi, pengawasan, dan supervisi,” tuturnya. Kebijakan baru itu diakui Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Abdul Rasyid. Alasan karena pihak rektorat tidak mengetahui secara rinci kebutuhan dana per kegiatan organisasi kemahasiswaan tingkat fakultas. Lebih lanjut, berbeda dengan dana UKM tingkat Universitas dan BEM yang dananya dijatah di rektorat, dana untuk UKM fakultas dan himpunan disalurkan berbasis pada kebutuhan kegiatan. “Ke fakultas itu saya tidak mengalokasikan, tapi tergantung pada program,” jelasnya. Direktur UKM ALSA Zul Kurniawan Akbar pun menuturkan bahwa selama ini, rektorat jadi alternatif untuk memperoleh dana kegiatan organisasi. ”Kalau selain di fakultas, ke rektorat pasti. Juga ke instansi luar yang kita ajak kerja sama. Juga dari alumni kami,” jelasnya. Transparansi Masih Dikeluhkan Terkait pengelolaan dana kemahasiswaan, Abdul Rasyid me-

nyatakan telah menerapkan prinsip transparansi. Ia menilai telah terbuka kepada setiap mahasiswa yang mempertanyakan pengelolaan dana kemahasiswaan. Baginya, era sekarang menuntut transparansi untuk saling melakukan koreksi. Selain itu, pengetatan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pengelolaan dana kemahasiswaan ia lakukan demi akuntabilitas pengelolaan. “Saya pikir apa yang saya lakukan sudah cukup transparan, karena semua anggaran itu ditahu semua orang,” tuturnya. Hamzah Halim menuturkan tekad yang sama. Ia mengatakan terbuka dalam pengelolaan dana kemahasiswaan. “Ketika dana kemahasiswaan dianggap tidak transparan, saya minta masukan, hal yang mana yang dianggap tidak transparan. Kalau itu betul, saya akan transparankan. Setiap saat silahkan cek ke bendahara terkait uang kemahasiswaan,” tuturnya. Di sisi lain, Zul Kurniawan Akbar mengatakan bahwa komunikasi terkait transparansi pengelolaan dana kemahasiswaan masih belum baik. Selama ini, untuk mengetahui dana kemahasiswaan tuturnya, harus atas inisiatif mahasiswa sendiri untuk mencari tahu. Untuk itu, ia menginginkan agar pihak dekanat menyampaikan pengelolaaan dana kemahasiswaan kepada lembaga kemahasiswaan. “Untuk tahu keluarmasuknya dana, selama kita tidak cari tahu, kita tidak akan tahu. Jadi saya sarankan kepada pihak dekanat, perlu ada pelaporan setiap bulannya ke organisasi intra terkait pengelolaan dana tiap bulan,” tuturnya. Senada dengan Zul, Ketua Lembaga Debat Hukum dan Konstitusi (LeDHaK) Unhas Raniansyah menilai sistem sudah sangat baik untuk mewujudkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dana kemahasiswaan. Ia pun menyarankan agar besaran anggaran dan peruntukannya dipampang di website fakultas. “Jangan cuma kita (mahasiswa, Red) yang diwajibkan untuk memperlihatkan laporan pertanggungjawaban, tetapi pihak birokrasi juga memperlihatkan bahwa tahun ini ada sekian dana keamahiswaan dan peruntukan kegiatan apa, agar arah penggunaan dana kemahasiswaan lebih terarah,” harapnya. Eksepsi

Edisi III/LPMH-UH/XIX/V/2015

5


LAPORAN UTAMA

PERSEPSI KEADILAN PEMANFAATAN DANA

M

ahasiswa memiliki kebebasan untuk berkreasi dalam organisasi kemahasiswaan dalam rangka mengembangkan bakat, minat, dan potensinya. Merujuk pada Pasal 77 ayat (3) UU PT dan Pasal 3 Kepmendikbud No. 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, organisasi kemahasiswaan didefinisikan sebagai organisasi intra perguruan tinggi yang dapat dibentuk di tingkat perguruan tinggi, fakultas dan jurusan. Di lingkup Fakultas Hukum Unhas (FH-UH) sendiri, organisasi kemahasiswaan terdiri dari tiga lembaga kemahasiswaan dan sembilan UKM. Wadah mahasiswa FH-UH mengembangkan diri itu tentunya membutuhkan dukungan birokrasi kampus. Tetap, Pembagian Didasarkan Kebutuhan Beredar isu di lingkup FH-UH bahwa penyaluran dana organisasi kemahasiswaan tidak lagi berdasarkan kebutuhan, tetapi dijatah untuk setahun. Sejumlah pengurus UKM pun meyakini kebijakan itu telah diterapkan. Implikasinya, setiap organisasi harus menyesuaikan kegiatan berdasarkan dana jatahnya. Selain itu, ketika dana satu organisasi kemahasiswaan telah habis pada pertengahan tahun, maka tidak ada lagi bantuan dana dari fakultas. Isu tersebut membuat sejumlah orga­ nisasi kemahasiswaan membatalkan sejumlah kegiatan karena khawatir pos dananya habis. Ketua UKM Lembaga Dakwah Asy-Syariah MPM FH-UH, Ahmad Asyraf, menilai dana organisasi kemahasiswan lebih baik dikucurkan berdasarkan kebutuhan, yaitu me­ ngacu pada program kerja yang akan dilaksanakan. Di sisi lain, Presiden BEM FH-UH Periode 2015-2016 Ahmad Tojiwa Ram menilai bahwa penjatahan dana tidak tepat karena membatasi kreativitas berkegiatan organisasi kemahasiswaan. Ba­ginya, pemberian dana berdasarkan pertimbangan kebutuhan per kegaiatan, lebih baik. “Kalau UKM tidak ada kegiatan, jadi untuk apa pos-pos dana. Jadi baiknya tergantung kegiatan. Saya kurang sepakat (dana di-

6

Eksepsi

Edisi III/XIX/LPMH-UH/V/2015

jatah, Red) karena itu tergantung dari UKM, mau ada kegiatan atau tidak,” terangnya. Menanggapi isu yang beredar, Dekan FH-UH Prof Farida Patittingi membantah adanya sistem penjatahan dana. Ia menuturkan bahwa pengalokasian dana organisasi kemahasiswaan diserahkan pada Wakil Dekan (WD) III, dengan berdasarkan kebutuhan kegiatan. WD III Bidang Kemahasiswaan FH-UH Hamzah Halim pun menegaskan bahwa pe­ ngucuran dana organsasi kemahasiswaan didasarkan pada kebutuhan per kegiatan, tidak diposkan untuk setiap organisasi. Dasar penentuan jumlah bantuan menurutnya didasarkan pada kualitas dan kemanfaatan kegiatan. Namun untuk menghindari kesenjangan pemberian dana antar organisasi, pihaknya telah mengumpulkan data program kerja setiap organisasi kemahasiswaan sebagai dasar pertimbangan peruntukan dana secara proporsional. “Tidak ada dana yang diposkan. Perhitungnya bukan UKM, tapi proker (program kerja). Silahkan UKM kreatif merancang kegiatan sesuai target yang ada. Silahkan mahasiswa berkegiatan dan Wakil Dekan III yang menilai, la­ yaknya berapa (kebutuhan dana, Red) sesuai dengan kualitas kegiatannya,” jelasnya. Pengucuran Dana Mengutamakan Kegiatan Ilmiah & Kompetisi Sejak suksesi kepemimpinan di tingkat Unhas dan FH-UH, terjadi beberapa kali perubahan sistem admi­ nistrasi permohonan bantuan dana organisasi kemahasiswaan. Jika di awal kepengurusan dekanat FH-UH penentuan kebutuhan dana ditentukan WD II bidang keuangan, namun sistemnya dikembalikan, sehingga penentuan alokasi dana organisasi ditentukan WD III bidang kemahasiswaan. Permohonan dana pun harus dengan persetujuan dekan. WD II FH-UH Prof Syamsuddin Muchtar menjelaskan, pengajuan permohonan bantuan ditujukan kepada dekan. Setelah didisposisi dekan, lalu diarahkan ke WD III untuk menetapkan alokasi dana. Selanjutnya WD II mengesahkan pencairan dananya di bendahara pembantu FH-UH. Di sisi

lain, bantuan dana per kegiatan di atas lima juta ditetapkan oleh dekan. Di tingkat rektorat, juga diberlakukan kebijakan baru. Sebelumnya, proposal permohonan dana ditujukan kepada WR III yang juga menentukan besaran bantuan dana. Namun saat ini, berdasarkan penjelasan Kepala Bagian Administrasi Kemahasiswaan Ali Mantung, proposal yang masuk ke rektorat akan dikembalikan ke WD III untuk menetapkan besaran bantuan dana kegiatan UKM, himpunan, maupun BEM. WR III Unhas Abdul Rasyid menyatakan dasar sistem tersebut karena WD III mengetahui kegiatan mahasiswa di tingkat fakultas secara rinci.“Yang tahu banyak (perihal kegiatan mahasiswa di fakultas, Red) WD III masingmasing. WR III hanya tahu di bagian permukaannya,” tuturnya. Mengenai peruntukan dana organisasi kemahasiswaan, menurut WD III Hamzah Halim lebih memprioritaskan kegiatan bernuansa ilmiah. Selain itu, pertimbangan lain adalah skala kegiatannya dari lokal hingga internasional, serta kemanfaatan kegiatan tersebut bagi mahasiswa dan citra FH-UH. “Ada penekanan dari pimpinan di rektorat dan saya harus menjalankan, bahwa skala prioritas kegiatan sekarang didorong pada kegiatan bernuansa ilmiah,” tuturnya. Kegiatan penalaran atau kompetisi sebagai prioritas dalam pemberian bantuan dana juga dianut pihak rektorat. Untuk itu, kegiatan bersifat kompetisi yang diikuti mahasiswa atas nama universitas lebih diutamakan, terutama tingkat internasio­ nal. Proses permohonan dan besaran bantuannya pun langsung ditangani pihak rektorat, tanpa harus kembali ke WD III. Biaya transportasi dan akomodasi peserta kompetisi akan ditanggung pihak rektorat. Meski begitu, Abdul Rasyid menyatakan tidak mengabaikan kegiatan minat dan bakat lainnya selain kompetisi. “Tetap ada skala prioritas. Ada prioritas utama. Semua kegiatan mahasiswa dibantu, yang berbeda nominalnya,” jelasnya. Pada kepengurusan dekanat sebelumnya, kabarnya, dana kegiatan mahasiswa FH-UH yang bukan atas


LAPORAN UTAMA nama organisasi kemahasiswaan tidak diambil dari anggaran organisasi kemahasiswaan, melainkan dari pos anggaran fakultas yang lain. Selain itu, dana kegiatan kompetisi yang ditujukan kepada seluruh mahasiswa FH-UH diperoleh dari dana pengembangan mahasiswa, bukan dana organisasi kemahasiswaan. Polemik Dana Organisasi Ekstra Persoalan boleh tidaknya organisasi ekstra memperoleh dana kemahasiswaan masih menimbulkan polemik. Sejumlah mahasiswa menilai bahwa dana kemahasiswaan di FH-UH seharusnya hanya untuk organisasi kemahasiswaan yang bersifat intra. Alasannya karena Kepmendikibud No. 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi hanya mengakui satu organiasasi kemahasiswaan yang bersifat intra di tingkat jurusan, fakultas, maupun universitas. Organisasi yang ditafsir sebagai Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tersebutlah yang menaungi semua aktivitas kemahasiswaan. Menanggapi persoalan di atas, Wakil Ketua Umum HLSC Andi Suharmika menilai semua organisasi mahasiswa di lingkup FH-UH harus didukung, baik materi maupun nonmateri. Menurutnya, kegiatan organisasi ekstra FH-UH juga mengtasnamakan dan untuk membanggakan FH-UH. Sejalan dengan itu, Ketua

LeDHaK Unhas Raniansyah menilai setiap organisasi yang dijalankan oleh mahasiswa FH-UH, berhak me­ ngajukan permohonan dana. “Kalau berkegiatan (organisasi ekstra, Red) tetap berhak mengajukan permohonan dana di fakultas, karena yang memiliki hak terhadap keuangan adalah Kema itu sendiri, jadi setiap mahasiswa punya hak,” tuturnya Di sisi lain, Dekan FH-UH Prof Farida Patittingi menyatakan organisasi ekstra perlu didukung karena status anggotanya sebagai mahasiswa FH-UH. Menurutnya, minimal bantuan yang diberikan berupa fasilitas berkegiatan. Senada dengan itu, WD III FH-UH Hamzah Halim menilai organisasi mahasiswa ekstra FH-UH juga memiliki hak atas dana. Alasannya karena dana organisasi kemahasiswaan diperoleh dari iuran SPP setiap mahasiswa per semester, yaitu sebesar Rp. 27.500. Untuk itu, setiap mahasiswa pun berhak menikmati dana tersebut tanpa batasan jenis organisasi yang digeluti. Meski begitu, ia menyatakan organisasi intra lebih dipriotitaskan daripada organisasi ekstra. Ketidaksepakatan jika organisasi ekstra memperoleh dana organisasi kemahasiswaan bukan tanpa alasan. Ditakutkan banyak organisasi masuk mengeruk dana organisasi kemahasiswaan FH-UH untuk mengadakan kegiatan, meskipun pengurus organisasi bersangkutan tidak hanya mahasiswa FH-UH atau kedudukannya bukan sebagai organisasi Kema FH-UH. Untuk itu, pembe-

rian bantuan dana menurut Direktur UKM ALSA LC harusnya mempertimbangkan status pelaksananya. “Dalam Konstitusi Kema tidak ada aturan bagaimana untuk organisasi ekstra. Konsepnya dalam melihat kegiatan, harus melihat dari substansi kegiatannya, dan siapa yang mela­ ksanakannya. Jika dilihat dari kegiatannya saja, berarti siapapun bisa meminta dana,” tuturnya. Mantan Presiden BEM FH-UH Periode 2014-2015 Dhian Fadlhan Hidayat pun menyatakan bahwa organisasi ekstra FH-UH tidak seharusnya mendapatkan dana kemahasiswaan. Alasannya, tidak ada aturan terkait proses pertanggungjawaban penggunaan dana oleh organisasi ekstra kepada BEM sebagai pucuk organiasai kemahasiswaan lingkup fakultas. Baginya, kegiatan orga­ nisasi mahasiswa harus dapat dipertanggungjawabkan kepada BEM. Ia pun mengharapkan agar ke depan, BEM diberi kepercayaan untuk megelola organisasi kemahasiswaan lingkup FH-UH. “Kita tidak mengetahui organisasi ekstra bertanggung jawab kepada siapa. Dia bertanggung jawab kepada birokrasi sebatas pertanggungjawaban administratif, tapi pertanggung jawab morilnya kepada siapa? BEM-lah seharusnya yang menganalisis dan mempertimbangkan substansi kegiatannya,” tuturnya. Pada laporan penggunaan dana organisasi kemahasiswaan FH-UH dari Januari hingga Desember 2014, dari total dana Rp. 121.800.000,-, sebanyak 74 kali pencairan. Tercatat tujuh kali pe­ ngucuran dana bagi lima organisasi ekstra, termasuk untuk dua organisasi ekstra pe­ nyelenggara ko-kurikuler. Selebihnya diperuntukkan bagi organisasi intra, serta beberapa kompetisi yang diikuti mahasiswa namun tidak termasuk ke­giatan yang diselenggarakan organisasi mahasiswa FH-UH.

Tim Liputan Laporan Utama Ramli Nurul Hasanah Rachmat Setyawan* Andi Mutmainnah* Andi Asti Sari*

Ilustrasi: Supri

*Anggota Magang LPMH-UH

Eksepsi

Edisi III/LPMH-UH/XIX/V/2015

7


Laporan khusus KADER UKM TERDEGRADASI

S

embilan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) lingkup Fakultas Hukum Unhas (FH-UH) tak lagi menarik bagi mahasiswa baru. Berdasarkan data yang diperoleh kru Eksepsi, mahasiswa yang menjadi anggota UKM sangat minim jika dibandingkan keseluruhan jumlah mahasiswa. Kurangnya minat mahasiswa terhadap UKM diakui Wakil Ketua UKM Gojukai Fahri Ramadhan. Imbasnya, anggota baru UKM Gojukai pun mengalami penurunan. “Kebetulan tahun ini menurun. Kalau angkatan 2012 ada sekitar 20 orang, terus tahun lalu sekitar 15 orang, nah tahun ini, menurun hanya 11 orang,” ujarnya. Fahri menuturkan, keterlambatan pelaksanaan Pengaderan Mahasiswa Hukum (PMH) oleh pihak BEM akibat ketidaksamaan konsep dengan birokrasi kampus, juga menjadi penyebab menurunnya anggota UKM Gojukai. Alasannya karena anggota UKM berdasarkan Konstitusi Keluarga Mahasiswa (Kema) FH-UH adalah mahasiswa Kema Biasa, yaitu telah melalui tahapan PMH. “Kemarin dari pihak BEM terlambatki PMH, jadi terlambat juga ACC-nya kapan kita bisa jalankan semuanya (penerimaan anggota, Red). Tidak mungkin kita duluan kan, sementara PMH saja belum,” terangnya. Di sisi lain, Direktur UKM ALSA LC Unhas Zul Kurniawan Akbar menilai minat mahasiswa melibatkan diri dalam UKM masih tinggi. Diutarakannya, jumlah anggota ALSA meningkat sekitar 20 orang. Meski begitu, ia berharap agar pelaksanaan PMH ke depannya diperbaiki karena mempengaruhi keinginan mahasiswa baru ber-UKM. “Kalau dari segi minatnya, ya sangat luar biasalah. Hanya saja, yang menjadi faktor masalahnya adalah mereka terlambat merasakan awal kelembagaan di fakultas karena keterlambatan PMH,” ujarnya. Dukungan birokrasi kampus, terutama dekanat, juga dinilai berpengaruh terhadap regenerasi UKM. Termasuk menyokong UKM untuk berprestasi sehingga menarik minat mahasiswa lain bergabung. Untuk itu, secara internal organisasi yang dipimpinnya, Zul mengapresiasi dukungan pihak birokrat kepada UKM

8

Eksepsi

Edisi III/XIX/LPMH-UH/V/2015

ALSA. “Kalau terkait dukungan birokrasi terhadap kegiatan ALSA sendiri, alhamdulillah sampai saat ini luar biasa. Terlebih lagi terhadap MCC, kita sangat di-support,” imbuhnya. Tidak dipungkiri juga, hak untuk bergabung dalam UKM, sangat membutuhkan inisiatif mahasiswa sendiri. Di lingkup FH-UH pun, masih terdapat mahasiswa yang menilai berorganisasi bukan hal yang me­ narik. “Saya belum berminat masuk UKM karena saya masih merasa nyaman kuliah pulang-kuliah pulang,” ujar Muhammad Idris Sardi, yang juga nggota KEMA biasa. Senada dengan itu, mahasiswa angkatan 2014 Prodi HAN FH-UH yang disapa Aan juga enggan berkecimpung di dunia UKM karena khawatir kegiatan akademiknya terganggu. “���������������������� UKM itu bisa mengganggu kuliah kita, sehingga dapat menyebabkan kita selesai lebih lama,” katanya. Pandangan berbeda diungkapkan Mahasiswa angkatan 2014 Muh Yusran. Baginya, menjadi anggota UKM berdampak positif, termasuk memberikan pengaruh baik terhadap kapasitas akademik. “Dengan Ikuti UKM, cukup membantu saya dalam mengerjakan berbagai tugas yang diberikan oleh dosen, karena banyak senior yang dapat membantu memberi arahan dalam penegerjaan tugas. UKM juga memperluas jaringan dan ilmu yang tidak diajarkan di dalam kelas, sehingga memudahkan kita dalam menjalani perkuliahan,” tegasnya. Mantan Menteri Kaderisasi BEM FH-UH Muhammad Ansar menilai paradigma mahasiswa perlu dibentuk agar menyadari organisasi sebagai kebutuhan. Untuk itu, menurutnya perlu adanya konsep pengaderan yang jelas. “Saya tawarkan solusi kepada generasi selanjutnya untuk membentuk kader ideal melalui konsep pengaderan yang jelas (menetapkan buku putih pengaderan, Red), serta strukturasi dan koherensi antara BEM dan UKM terkait dengan nilai apa yang ingin ditanamkan pada mahasiswa baru sebagai kader mahasiswa FH-UH,” terangnya.

Organisasi Ekstra Semakin Populer Minimnya peminat UKM berbanding terbalik dengan ekstra di FH-UH lingkup FH-UH. Kenyataan itu pun diamini Ketua Lembaga Debat Hukum dan Konstitusi (LeDHaK) Unhas Raniansyah. “Saya lihat perkembangan lembaga eksternal akhir-akhir ini cukup pesat. Cuma kurangnya, kita tidak mendapatkan dukungan dana secara formil dari fakultas, berbeda dengan UKM internal,” tutur mahasiswa angkatan 2013 tersebut. Naiknya popularitas LeDHaK dibuktikan dengan banyaknya mahasiswa yang dinaungi sebagai anggota. Sekarang, LeDHaK memilki 50 orang anggota. Jumlah tersebut cukup fantatis untuk organisasi yang berdiri pada tahun 2012 tersebut. “Yang tercatat sebagai anggota untuk sekarang ini ada sekitar 50 orang. Ada yang aktif dan ada beberapa yang tidak aktif, karena mengingat ada kesibukan kuliah masing-masing,” ungkap Raniansyah. Semakin meningkatnya peminat LeDHaK membuat pihak dekanat FH-UH menggadang-gadang menjadikannya UKM. Rencana tersebut diakui Raniansyah. “Sebenarnya pihak fakultas telah menawari untuk bergabung masuk UKM fakultas. Cuma dari awal kita niatnya harus jadi UKM universitas karena di konstitusi (Konstitusi LeDHaK, Red) itu kan untuk semua,” ungkapnya. Tak hanya LeDHaK, organisasi ekstra Gerakan Radikal Anti Tindak Pidana Korupsi (Garda Tipikor) juga diminati mahasiswa baru. “Saya tertarik masuk organisasi, khususnya Garda karena menurut saya, Garda adalah organisasi yang berhubungan dengan mata kuliah saya yaitu membahas tentang tindak pidana korupsi. Jadi mungkin itu bisa membantu saya dalam perkuliahan,” tutur mahasiswa Prodi HAN FH-UH Ahmad Fauzy. Selain itu, Ahmad Fauzy pun mengakui ketentuan Konstitusi Kema FH-UH bahwa anggota UKM adalah anggota Kema Biasa FH-UH, yang melulusi tahapan PMH, menjadi halangan tersendiri baginya bergabung dalam UKM. “Yang saya tau UKM itu, cuma mahasiswa yang ikut pengaderan yang bisa masuk. Ke­


Laporan khusus betulan saya tidak mengikuti pengderan,” tandasnya. Menaggapi minimnya kader organisasi intra, Wakil Dekan III FHUH Hamzah Halim menilai para

pengurus intra harus membenahi sistem pengaderan dan menunjukkan eksistensinya dalam berkegiatan. “Apa yang membuat mahasiswa lari ke ekstra? Pasti ada yang kurang di

mereka (organisasi intra, Red). Ha­ rusnya dilakukan evaluasi. Apalagi kan ekstra tidak punya kekuatan memaksa ketimbang intra,” tuturnya.

MENUJU SKRIPSI BERKUALITAS DAN BERMANFAAT

S

etiap tahun Fakultas Hukum Unhas (FH-UH) melahirkan sarjana hukum baru. Untuk menyandang gelar itu, tentunya perlu melewati proses berdasarkan kurikulum yang berlaku. Dari lamanya proses perkuliahan, mahasiswa harus merampungkan skripsi sebagai tugas akhir. Syarat wajib melulusi empat mata kuliah pilihan atau 8 SKS pada salah satu Bagian Prodi Ilmu Hukum yang akan dipilih sebelum mengajukan judul skripsi, kembali ditegaskan dekanat. Menurut Wakil Dekan (WD) III Hamzah Halim, diterapkannya aturan tersebut untuk menghindari ketidaksingkronan antara mata kuliah pilihan yang dipilih de­ngan judul skripsi mahasiswa. “Tidak mungkin dia ahli di pidana, tetapi disebut lulusan sarjana hukum perdata. Jadi apa yang dipilih harus se­suai dengan apa yang dilulusi. Yang lalu memang kurang diperhatikan,” tuturnya. Menurut mahasiswa angkatan 2011 A Dzul Ikhram Nur yang telah menyandang gelar sarjana hukum, kebijakan empat mata kuliah pilihan yang ditetapkan pihak dekanat terkesan mendadak. Akibatnya, terdapat sejumlah mahasiswa yang kesulitan karena judul skripsinya telah diterima di bagian tertentu, namun mata kuliah pilihannya tidak mencukupi. “Kebijakan kemarin (empat mata kuliah pilihan, Red), terburu-buru dan kurang sosialisasi. Tapi tujuannya bagus,” tutur Ketua Angkatan Mediasi 2011 FH-UH tersebut saat ditemui di FH-UH, Kamis (16/4) Selain aturan mata kuliah pilihan, untuk menjaga kualitas skripsi mahasiswa, dahulu di FH-UH juga diadakan tim penilai judul skripsi. Persoalan itu diakui Wakil Dekan I Prof Ahmadi Miru. Namun menurutnya, kebijakan tersebut kurang tepat karena dosen tim penilai judul yang berasal dari berbagai bagian, kurang memahami arah pembahasan skripsi berdasarkan judul. Untuk itu, penilaian dan penetapan judul layak diterima atau ditolak dikembalikan

Tumpukan skripsi di Ruang Baca FH-UH kurang dilirik mahasiswa . [Ash]

ke setiap bagain. “Kendalanya (tim penilai judul, Red), banyak orang yang tidak tahu apa yang dibahas. Makanya dikembalikan ke ketua bagian jurusan masing-masing untuk menilai dan mengukur judul skripsi itu layak atau tidak, serta menilai ada kesamaan atau tidak dengan skripsi lain yang ada sebelumnya,” ungkapnya. Pendapat lain diungkapkan A Dzul Ikwhram Nur yang menilai perlu ada tim penilai judul di FH-UH. Tim itu menurutnya akan menilai judul yang diajukan mahasiswa FHUH, sehingga ada standar atau tolok ukur tentang judul yang layak atau tidak untuk seluruh bagian. “Sebenarnya banyak yang mirip judulnya tapi dimodifikasi, sehingga kesannya berbeda padahal intisarinya sama. Jadi harus ada tim penilai judul supaya skripsinya lebih variatif,” ungkapnya. Lebih lanjut, baiknya kualitas skripsi dinilai sejumlah pihak perlu diupayakan agar diaplikasikan bagi kepentingan masyarakat. Selama ini, skripsi mahasiswa diarsipkan secara baik dan mudah ditemukan di perpustakaan. Meski begitu, mahasiswa, masyarakat, dan pemerintah kurang berinisiatif menjadikan skripsi sebagai referensi dalam penyelesaian masalah. Saat ditanyai persoalan tersebut, Prof Ahmadi Miru meng-

harapkan agar mahasiswa membuat skripsi yang solutif dan implementatif, sehingga dapat didayagunakan, terutama bagi pemerintah. “Kalau itu tergantung lagi dari skripsinya. Jika mahasiswa membuat skripsi dengan mengarahkan dan memberikannya kepada pemerintah, pastilah akan diterima dan diteliti oleh pemerintah, selagi skripsinya memang mendukung dan patut untuk dikaji. Memang banyak mahasiswa hukum yang telah lulus dan bekerja di pemerintahan, bahkan menjadi orang yang besar bagi bangsa Indonesia, namun belum ada yang saya lihat datang melihat-lihat skripsi di Fakultas Hukum ini, ataupun menggunakan skripsi di sini sebagai bahan penelitian mereka,” tutur Prof Ahmadi. Di sisi lain, A Dzul Ikhram Nur menilai publikasi ide dalam skripsi melalui jurnal adalah salah satu cara agar skripsi dapat dimanfaatkan. “Baiknya dibuatkan jurnal, supaya bisa dilihat dan bermanfaat untuk orang banyak. Di sisi lain, ada harapan Jurnal ini dapat menekan angka plagiat di penulisan skripsi,” ujarnya. Tim Liputan Laporan Khusus

Indah Sari, Diana Ramli, Kaswadi Anwar*, Kun Arfandi Akbar A.*, Hutomo Mandala Putra*, Arief Try Dhana Jaya*, A. Muh. Ikhsan W. R.*

*Anggota Magang LPMH-UH

Eksepsi

Edisi III/LPMH-UH/XIX/V/2015

9


W Wawancara awancara khusus

Mahasiswa Butuh Ruang Demokratis

F

enomena kekinian terkesan memperlihatkan mahasiswa telah kehilangan orientasi. Dasar dan tujuan perjuangannya buram. Dipertanyakan kembali, posisi mahasiswa sebagai pembela kepentingan masyarakat. Ketakutan juga muncul, bahwa mahasiswa tidak akan mampu menjalankan roda kepemimpinan bangsa secara baik ke depannya. Mahasiswa seperti tersesat memaknai kehidupan di dunia kampus. Bagaimana peran dan pengaruh birokrasi kampus dalam membentuk mahasiswa sejati serta bagaimana mahasiswa bersikap sebagai pribadi yang merdeka? Kru Eksepsi Kaswadi Anwar mencoba mengulik pandangan Budayawan Alwy Rachman di Ruang Lephas Unhas, Jumat (3/4), untuk menjawab persoalan tersebut. Bagaimana perkembangan mental mahasiswa sekarang? Mental yang dimiliki mahasiswa adalah mental pemimpin, karena kampus yang hebat adalah kampus yang bukan hanya melahirkan sarjana, tetapi juga itu melahirkan pemimpin. Tapi bagaimana mahasiswa mempunyai sifat kepemimpinan kalau ruang ekspresinya dibatasi? Maksudanya adalah mestinya kampus tidak perlu sensitif terhadap kritikan mahasiswa, karena mahasiswa merupakan anak didiknya sendiri, daripada mereka turun (unjuk rasa, Red) secara anarkistis. Pembatasan yang dimaksud seperti kalau mahasiswa melakukan aksi demonstrasi, tiba-tiba harus dihadapkan dengan berbagai pihak. Kenapa mereka tidak diajarkan baik-baik, tidak diminta untuk duduk bersama, dan kenapa tidak ada kesediaan birokrat kampus untuk mendengarkannya? Saya memilih menjaga mahasiswa kritis. Saya beri mereka ruang dan tempat untuk belajar secara serius. Mahasiswa ibarat anak kandung sendiri. Kalau saya mendidik anak kandung saya dengan penuh curiga, maka mereka akan muncul sebagai pribadi pencuriga. Kalau saya mendidiknya secara tidak demokratis, maka saya akan mendapatkan anak yang tidak demokratis. Tapi kalau saya didik dia dengan demokratis maka saya akan menemukan anak yang demokratis. Begitulah logika sederhannaya mengenai mental mahasiswa. Apa yang salah dengan pembentukan mental mahasiswa? Kampus kehilangan kultur. Jadi tidak ada budaya bersama dan tidak ada aktivitas bersama. Padahal budaya kampus itu harus tumbuh. Yang dimaksud budaya adalah pengalaman hidup bersama, pengalaman belajar bersama, ataupun pengalaman belajar berpendapat bersama.

10 Eksepsi Edisi III/XIX/LPMH-UH/V/2015

Mahasiswa sekarang sekarang tidak dirawat, tidak dimentori, dan tidak diedukasi dengan baik, kecuali di kelas. Tidak ada ruang dialog yang memadai bagi mahasiswa, kecuali di kelas. Meskipun di kelas juga untung-untung kalau diberi kesempatan berdialog secara kritis. Bagaimana anda melihat pembangunan kepedulian sosial mahasiswa? Kepedulian mahasiswa tergantung dari kampus. Maksudnya, ketika kampus mempunyai kepedulian dan pengabdian, maka mahasiswa pun turut. Namun kampus sekarang seperti milik perusahaan. Maksudnya, kampus bekerja seperti proveider, yaitu penyedia ilmu pengetahuan, dan mahasiswa seperti konsumen. Tantangan apa yang dihadapi mahasiswa sekarang? Ada dua elemen yang dapat mengubah situasi, yaitu tentara dan mahasiswa. Kedua-duanya ini masuk kandang. Tentara masuk barak dan mahasiswa masuk kampus. Mahasiswa pun dilarang beraktvitas kritis di kampus. Memang sejarah mahasiswa dipotong habis oleh sistem pendidikan, padahal sistem pendidikan seharusnya menciptakan pemimpin. Kampus menjadi benteng terakhir dari sebuah leadership bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan kampus adalah wakil dari suara rak­ yat, kampus adalah gambaran moral masyarakat, sehingga harusnya kampus punya kultur yang melampaui kultur-kultur suku ataupun etnik. Pola gerakan mahasiswa harusnya bagaimana? Banyak hal yang dapat dilakukan. Tapi langkah pertama yang harus dilakukan adalah mempersahabatkan para

pimpinan mahasiswa dari berbagai kampus. Kalau hal ini dilakukan, potensi untuk bentrok akan hilang dan pergerakan mahasiswa menjadi kuat. Seharusnya kerja PD III (Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan, Red) mempersahabatkan para aktivis. Namun pada kenyataan, para aktivis antar jurusan ataupun antarkampus tidak pernah dipersahabatkan. Kita harusnya belajar dari Hongkong di mana revolusi payung terjadi dari hasil persahabatan aktivis, sehingga dapat melawan China. Apa yang salah dalam memperkuat pergerakan mahasiswa sekarang? Yang salah adalah perawatan mahasiswa. Antara pergerakan mahasiswa dahulu dan sekarang, apa yang berbeda? Dahulu adalah zaman rezim. Sekarang gerakan mahasiswa berada pada situasi di mana demokrasi belum terkonsolidasi. Konsolidasi demokrasi memang berat. Oleh karena itu, mahasiswa harus diyakinkan. Saya kecewa kalau kampus main DO (Drop Out) saja terhadap mahasiswanya. Waktu mendaftar diterima

Foto: Dok. Eksepsi


Wawancara khusus baik-baik, lalu kenapa main DO. Anak-anak masuk kampus dari kampung di kabupaten yang notabenenya baik semua. Semester 1 masih baik, kenapa semester 4 sudah ganas, jadi ini salah siapa? Waktu di kampung baik-baik, waktu baru masuk sopan, lalu ketika masuk kampus kenapa suka tawuran dan suka berkelahi? Pasti ada yang salah. Berarti ada perawatan yang tidak jalan. Ada sistem edukasi yang macet. Terbukti kenapa anak-anak yang tadinya baik, menjadi ganas, suka berkelahi, dan bertempur. Suasana kampus membuat mahasiswa broken home di kampusnya dan latah kepada kampusnya. Bagaimana pendekatan yang harusnya dilakukan terhadap mahasiswa? Bentuk komunitasnya, rawat mereka, temani mereka berdiskusi, dan temani mereka membicarakan hal penting terutama menyangkut negara. Persahabatkan para pemimpinnya. Mestinya ada koalisi PD III se-Makassar yang mempersatukan para aktivis. Kita mendidik generasi pelanjut. Suka atau tidak, mahasiwa akan mengambil alih. Namun, pertemuan antar PD III se-Makassar saja tidak pernah terjadi. Cukupkah dukungan birokrasi kampus terhadap perkembangan mahasiswa? Yang penting pendidikan bagus,

jangan terlalu banyak kurikulumnya supaya ada waktu untuk mahasiwa berorganisasi, dan kurangi kredit SKS. Selanjutnya mahasiswa dilatih keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan masyarakat, misalnya keterampilan mendesain penelitian, keterampilan pengembangan masyarakat, dan keterampilan media. Ini semua serba komunitif, tidak ada keterampilan yang terpaku pada pendidikan di kelas saja. Ada hal-hal yang memang ditangani birokrasi, tapi yang tidak bisa ditangani oleh bi-

“Mahasiswa sekarang sekarang tidak dirawat, tidak dimentori, dan tidak diedukasi dengan baik, kecuali di kelas.â€? rokrasi, mahasiswa diberi ruang untuk menanganinya sendiri. Misalnya Saya di Unhas mendirikan sekolah menulis dan sekolah pemikiran kritis yang melibatkan mahasiswa dari berbagai kampus di Makassar. Hal seperti ini tidak terdapat di dalam kelas, sehingga dilakukan di luar kelas. Tapi ini butuh dosen yang sedikit gila dan pejabat untuk mau mengerti.

Bagaimana seharusnya birokrat kampus dalam membentuk mahasiswa yang sejatinya? Pertama, usahakan bentuk modelmodel komunitas. Dengan komunitas itu, mahasiswa dapat berdiskusi dengan baik dengan komunitasnya. Akhirnya akan terbentuk masyarakat akademik. Kedua, persahabatkan para pemimpinnya. Ketiga, beri ruang berdialog dan diskusi terhadap isu-isu yang menyangkut negara. Mahasiswa adalah usia muda yang menyala, seperti gunung api yang ingin menyelesaikan masalah dengan cepat. Jadi kita ajari mereka untuk berdiskusi dengan baik. Apa harapan anda terhadap mahasiswa? Mahasiswa harus meramalkan dirinya sebagai kelompok yang kelak akan bertanggung jawab kepada negara ini. Makanya mahasiswa harus mengelola kemampuannya sendiri kalau tidak bisa ditangani oleh birokrasi kampus. Jangan mengantungkan diri 100% (pada birokrasi kampus, Red) karena itu tidak bisa. Bikin kelompok-kelompok belajar, menulis, dan kelompok diskusi. Tarik narasumber dari berbagai kalangan untuk ajarkan keterampilanketerampilan penting, terutama yang dibutuhkan di masa depan.

ilustrasi: suryadikalasenja.blogspot.com

Eksepsi

Edisi III/LPMH-UH/XIX/V/2015

11


Kolom Lema FH-UH di Ujung Tanduk untuk melegalkan PMH. BEM yang saharusnya taat terhadap aturan, nyatanya lembaga yang melalaikan aturan. Tegas dalam konstitusi bahwa BEM berhak mengajukan rancangan Perma. Tak pelak, lemah dan lalainya BEM menimbulkan pertanyaan di benak kita, ada apa dengan BEM? Sudah lelahkah BEM mempertahankan maruahnya?

Indah Sari

J

Pengurus LPMH-UH Periode 2014-2015

ajaran pengurus Badan eksekutif Mahasiwa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Hukum unhas (FH-UH) telah dilantik. Tugas berat menunggu para pemangku jabatan di lembaga eksekutif dan legislatif tersebut. Mereka diharapkan bisa menghidupkan kembali kehidupan kemahasiswaan yang kini seakan hidup segan mati tak mau. Melihat kembali ke belakang, di periode kepengurusan sebelumnya, kita disuguhi karut-marutnya ki­nerja lembaga mahasiswa (Lema) Fakultas Hukum Unhas (FH-UH). Kenyataan itu dapat dilihat dari molornya Pe­ ngaderan Mahasiswa Hukum (PMH) dari jadwal yang ditentukan. Akibatnya, Peraturan Keluarga Mahasiswa (Perma) dilanggar sebab mengamanahkan PMH dilaksaankan selambat-lambatnya dua bulan setelah penerimaan mahasiswa baru. BEM sebagai pelaksana berdalih keterlambatan tersebut karena himbauan dari birokrat yang melarang pengaderan dilaksanakan sebelum P2MB dan BCSS berakhir. Dalih dari BEM tersebut, dianggap mencerminkan lemahnya daya tawar BEM ketika berhadapan dengan birokrat. Tak hanya itu BEM juga dianggap lalai melaksanakan konstitusi. BEM lupa mengajukan revisi Perma

12 Eksepsi Edisi III/XIX/LPMH-UH/V/2015

Tidak sampai di situ, BEM berwenang mewakili Keluarga Mahasiswa (Kema) FH-UH, baik di tataran internal maupun eksternal. Namun nyatanya, BEM gagal mengawal isu lingkup kampus maupun isu na­ sional. Belum hilang di benak kita, bagaimana ko-kurikuler dicaplok oleh organisasi ekstra. Tidak juga terlihat semangat perjuangan BEM menyikapi penerapan status PTNBH di kampus merah. Bukan hanya BEM yang kinerja­ nya dipertayakan, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) juga dianggap kehilangan taji dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Lembaga ini seharusnya menjadi pengawas kerjakerja BEM, namun malah ikut latah dan lupa akan tugas mulianya. DPM lupa atau memang enggan menegur BEM terkait molornya PMH. Bisa jadi DPM juga lalai mewanti-wanti BEM untuk melaksanakan PMH sesuai dengan Perma yang ada. Padahal dalam Konstitusi Kema FH-UH, DPM diberi wewenang untuk memberikan pendapat, saran, dan teguran kepada Presiden BEM. Jangankan untuk mengawasi BEM, memaksimalkan kinerjanya internalnya saja, DPM gagal. Kosongnya jabatan pasca ditinggal sarjana seorang perangkatnya menimbulkan permasalahan baru. Entah gagap konstitusi atau memang tak ambil pusing, DPM mendiamkan hal tersebut. Padahal secara jelas diatur dalam Pasal 25 ayat (2) Konstitusi Kema bahwa jika terjadi kekosongan keanggotaan, maka keanggotaan diberikan kepada calon anggota DPM FH-UH yang memperoleh suara terbanyak berikutnya pada Pemilu

KEMA FH-UH. Di lain persoalan, berlarut-larutnya pelaksanaan Kongres Kema merupakan tanggungjawab dari wakil-wakil kita di DPM sebagai penyelenggara kongres. Di sisi lain, ketika ada yang mengajukan permohonan revisi ke Mahkamah Keluarga Mahasiswa (MKM), lagi-lagi keraguan timbul di benak Kema FH-UH. Bagaimana tidak, MKM dianggap kurang tanggap dan terkesan lamban dalam mehadapi permohonan yang masuk. Lagi dan lagi, kredibilitas Lema FH-UH dipertanyakan. Karut-marutnya Lema FH-UH periode kemarin membuat sebagian pihak menger­ nyitkan dahi. Tidak heran jika ada yang berteriak kinerja periode tersebut buruk. BEM, DPM, dan MKM ibarat miniatur negara dalam kampus. Jika ketiganya berjalan sesuai dengan konstitusi yang ada, maka tujuan dari organisasi Kema bisa tercapai. Kita tentu berharap, Lema FH-UH bisa lebih bertaji. Kita mengharapkan, dua peran utama mahasiswa yang tercantum dalam Mukadimmah Konstitusi Kema FH-UH, yaitu sebagai agen pengubah (agent of change) dan agen pengontrol sosial (agent of social control), tidak sebatas teori manis pada saat pengaderan. Melihat setumpuk masalah tersebut, Tak salah jika kita berharap banyak pada periode kepengurusan tahun ini. BEM diharapkan bisa lebih bertaring agar terlepas dari cengkraman birokrat yang terlalu mencampuri independensi Lema. Biarkanlah kalem hanya terpatri di jiwa, tapi pergerakan harus selalu berapi. BEM harus menjadi garda terdepan dalam menjalankan amanah konstitusi. Selain itu, DPM harus lebih gahar dalam melaksanakan fungsi pengawasan agar yang diawasi tidak salah arah. Pada akhirnya, seluruh Kema FH-UH harus bersatu dan merapatkan barisan untuk memerahkan kembali Lema. Hidup mahasiswa!


Opini Menguji Konstitusionalitas Pembatasan Dinasti Politik Pilkada

Damang Averroes Al-Khawarizmi Aumnus FH Unhas; Mahasiswa PPS Hukum UMI Makassar; Peneliti Republik Institute & Owner negarahukum.com

D

inasti politik merupakan sisa-sisa pemerintahan bercorak oligarki yang mampu beradaptasi serta bercokol di arena demokrasi. Oleh karena itu, dalam menjernihkan kembali pemerintahan yang menjunjung tinggi segala hak dan kedaulatan rakyat atas sistem pemerintahan yang selalu diperta­ hankan berdasarkan sanak keluarga, wajib dihindari melalui pembatasan hukum. Beberapa fakta telah menjadi kesimpulan menarik, baik berdasarkan penalaran ilmu sosial (politik) maupun berdasarkan penalaran ilmu hukum (ketatanegaraan), pada hakikatnya dinasti politik bertentangan dengan “clean government principle”. Tidak hanya itu, sistem penyelenggaraan demokrasi yang dibingkai dalam pemilihan kepala daerah agar berlangsung secara fair: langsung, umum, bebas, rahasia, dan jujur tidak ada guna-gunanya tanpa pembatasan dinastik politik. Hal ini turut dibenarkan berdasarkan riset Querubin di Philipina “bahwa efek petahana yang selalu diberikan kesempatan secara membabi buta, akan banyak incumbent yang melakukan segala cara, agar diri dan keluarga­ nya terpilih dalam proses demokrasi. Entah dengan praktik money politic secara telanjang maupun dengan penguasaan sumber daya negara (pork barrel, patronase, dan kebijakan

pragmatik) untuk mengelabui rakyat (Muhtadi: 2013).” Sejarah kelam demokrasi, ketika orang-orang selalu belajar dari kegagalan. Maka sebuah kesyukuran ketika UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (UU Pilkada), pada ak­ hirnya membatasi mereka yang memiliki konflik kepentingan dengan petahana, tidak mudah untuk memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Pertanyaan selanjutnya, apakah mereka yang memiliki konflik kepentingan dengan petahana, ketika dibatasi waktunya untuk mengajukan diri sebagai calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945? Pertanyaan ini kiranya perlu diulas secara cemat dan teliti dengan semata-mata mengujinya secara konstitusional. Masih Konstitusional Pemilihan kepala daerah yang mewajibkan untuk diselenggarakan secara demokratis dalam kerangka UUD NRI 1945 tunduk pada dua prinsip fundamental, sebagaimana telah “diturunkan” dalam Pasal 1 ayat 2 dan ayat 3 UUD NRI 1945. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Postulat tersebut harus dimaknai “tidak sembarang” diletakkan di awal ketentuan UUD NRI 1945 saja. Tetapi merupakan “legalitas principle” untuk mengisi sekaligus menyelenggarakan berfungsinya setiap organ-organ pemerintahan yang ada saat ini. Prinsip negara hukum dan prinsip demokrasi harus disandingkan dalam kedudukan yang sederajat (equal). Oleh karena itu, ketika dinasti politik dicari relevansinya dengan prinsip negara hukum dan prinsip demokrasi. An sich, mutlak dinasti politik tidak lagi mendapatkan tempat.

Bukan namanya pemerintahan yang dipimpin oleh segenap kedaulatan rakyat jika ada pemerintahan daerah yang terpilih karena ditentukan berdasarkan turun-temurun. Reformasi hukum ketatanegaraan kemudian menghendaki agar pembatasan dinasti politik tidak terkesan absurd---tanpa ada ketentuan hukum yang membatasinya. Prinsip negara hukum tidak boleh absen untuk bersanding dengan penghormatan terhadap asas daulat rakyat. Ketentuan dalam UUD NRI 1945 sesungguhnya telah memproteksi campur tangan oligarki terhadap panggung demokrasi. Itulah dasar falsafatinya Pasal 28J UUD NRI 1945 yang menegaskan “dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Sehingga mereka yang dari keluarga petahana ketika cermat membaca dan memahami UUD NRI 1945. Lalu masih memiliki “syahwat kuasa” untuk memenuhi persyaratan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah, tidaklah berarti hakhak mereka dirampas oleh negara secara “sewenang-wenang”. Kepadanya masih diberi kesempatan untuk mengajukan diri sebagai calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah setelah “petahana” melewati jeda satu kali masa jabatan. Kepada­ nya harus bertarung secara fair tanpa ada lagi faktor dominan yang bisa menimbulkan diskriminasi terhadap calon kepala daerah dan calon wakil kepala derah lainnya. Pada hakikatnya setiap orang memang memiliki hak dan kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan (vide: Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 28D ayat 3 UUD NRI 1945). Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepasEksepsi

Edisi III/LPMH-UH/XIX/V/2015

13


tian hukum serta perlakukan yang sama di hadapan hukum (vide: Pasal 28H UUD NRI 1945), namun tidak ada salahnya ketika UU membatasi hak dan kebebasan setiap orang. Jadi, kendatipun Pasal 7 poin r UU No. 8 Tahun 2015 menegaskan “syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” bukanlah sesuatu yang dapat dimaknai inkonstitusional. Di sana tidak ada perampasan hak warga negara yang memiliki hubungan keluarga dengan petahana. Hanya pembatasan terhadap hak warga negara, agar sistem pemilihan kepala daerah tetap utuh, penuh, dan berdaulat semata-mata untuk rakyat, bukan karena kepen­ tingan oligarki. Tafsir Ganda Perdebatan lain yang terkait dengan pembatasan dinasti politik dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yaitu munculnya tafsir ganda terhadap penjelasan dalam frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan calon petahana”. Adapun yang dimaksud tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana dalam pasal a quo, “adalah tidak memiliki

hubungan darah, ikatan perkawinan dan atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.” Pertanyaannya, bagaimana kalau kepala daerahnya sudah menjabat dua periode? Apakah konflik kepentingan yang dimaksud dalam pasal itu, dari kepala daerah yang menjabat dua periode sudah terhitung “jeda satu kali masa jabatan” pada jabatan pertamanya, sehingga keluarganya yang tidak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah bukan lagi termasuk dalam tafsir pasal a quo? Jawabannya, tidaklah demikian. Harus dipahami bahwa yang dimaksud “jeda” secara literlijk dalam ketentuan itu “pernah berhenti”. Sehingga terpenuhinya maksud tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana, hubu­ ngan keluarga antara calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah dengan “petahana” sudah pernah berhenti (bukan lagi Dia menjabat) dalam batas “satu kali” masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah.*

*Catatan: Kepala daerah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Gubernur, Bupati dan Wali Kota, sebagaimana UU No 1 Tahun 2015 yang mengatur tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Digunakan kata “kepala daerah” hanya untuk menggunakan kalimat sederhana (singkat) atas jabatan yang diklasifikasikan sebagai kepala daerah.

Ilustrasi: Supri

ULASAN HUKUM

Soal Hak Prerogatif Itu! Naswar Bohari

P

ertanyaan publik, apakah ‘Kapolri terpilih’ Komjen Pol. Budi Gunawan jadi dilantik atau tidak, sudah terjawab kala Presiden Joko Widodo mengumumkan pembatalan atas pencalonan yang bersangkutan sebagai calon Kapolri sekaligus menetapkan Komjen Pol. Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri pengganti, 18 Februari 2015 lalu. Pengumuman tersebut menuai beragam pendapat (hukum) baik yang pro maupun kontra. Di tengah pro kontra pembatalan Komjen Pol. Budi Gunawan dilantik, pakar hukum tata negara, Refli Harun menilai langkah presiden tersebut murni hak prerogatif. Presiden mempunyai hak untuk melantik atau tidak melantik, ataupun mengganti dengan calon lainnya. Apakah sesungguhnya hak prerogatif itu, benarkah presiden mem-

14 Eksepsi Edisi III/XIX/LPMH-UH/V/2015

Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unhas punyai hak prerogatif untuk melantik mendapat kekuasaan dari hubungan atau tidak melantik Kapolri? darah sebagai penerus pemegang kekuasaan terdahulu yang digambarHak Prerogatif kan sebagai pengganti Tuhan, namun Istilah hak prerogatif sesungguh- terbatas dalam urusan negara. nya merupakan warisan dari monarki Pasca munculnya doktrin kekepada pemegang kekuasaan peme­ daulatan hukum dan kedaulatan rintahan dalam pertumbuhan sejarak­ yat, perlahan ide kekuasaan abrah sistem demokrasi. Dahulu, di solut itu mengalami retriksi. Kekuakala monarki absolut berdiri di aras saan harus tunduk kepada hukum doktrin kedaulatan Tuhan (teokrasi), yang merupakan consensus, general pemegang kekuasaan dinisbatkan agreement atau manifestasi kehendak sebagai wakil, bayangan atau penjelrakyat. Tercetuslah constitutionalism, maan Tuhan yang berhak mengatur monarki absolut mengalami metamorkehidupan dengan menerima manfosa menjadi monarki konstitusional, dat dari Tuhan. Kekuasaan yang dikekuasaannya tidak lagi absolut, pegangnya bersifat mutlak dan tidak tetapi dibatasi dengan menyeparasi terbatas. Kemutlakan dan ketidakteratau mendistribusi kepada pemegang batasan kekuasaan ini terus berlanjut kekuasaan lainnya. sampai dengan munculnya doktrin Uniknya, kekuasaan yang makedaulatan raja dan kedaulatan negara. Pemegang kekuasaan dinisbatkan sih melekat pada pemegang kekua-

7


saan -in casu raja atau sebutan lainnya- tetap diakui sebagai kekuasaan yang bersifat mutlak, tidak dapat diganggu gugat, dipengaruhi, ataupun dikendalikan oleh cabang kekuasaan atau lembaga negara lainnya. Ia tidak diciptakan melainkan diakui dan dihormati oleh hukum (konstitusi) sebagai ‘hak prerogatif’, bersifat mutlak, tidak dibatasi oleh hukum (konstitusi), kecuali pemegang hak prerogatif itu sendiri membatasinya (self restrain) karena penghormatan terhadap sistem demokrasi.

lembaga negara termasuk lembaga kepresidenan. Semua kekuasaannya bersumber dari hukum (konstitusi), tidak ada kekuasaan warisan dari kekuasaan kolonial, ataupun kekuasaan monarki Nusantara. Kekuasaan presiden, jadinya bersifat konstitusional, bukan prerogatif sebagaimana dipahami dalam negara monarki konstitusional. Karena itu rancu dan keliru jika menyebutnya sebagai hak prerogatif. Sebutan yang tepat adalah ‘hak konstitusional presiden’. Terbatas, tidak penuh, apalagi mutlak. Misalnya presiden mengangkat duta dan kon-

Hak Konstitusional Berbeda dengan negara monarki konstitusional, Negara RI tidak mengenai warisan kekuasaan yang bersi“Kekuasaan presiden, fat prerogatif itu. Negara ini lahir jadinya bersifat konstitumelalui deklarasi kemerdekaan yang sional, bukan prerogatif menghapus atau meniadakan sistem kekuasaan kolonial dan menggantisebagaimana dipahami nya dengan sistem kekuasaan Indodalam negara monarki nesia merdeka. Deklarasi pembentukonstitusional.” kan negara itu merupakan konsensus seluruh rakyat, the first constitution. Oleh karenanya, kekuasaan Indonesia dianggap bersumber dari rakyat, yang sul, tetapi tidak dapat meniadakan diorganisasikan ke dalam UUD (NRI jabatan duta dan konsul. Mengangkat duta dan konsul harus memerhatikan Tahun) 1945, the second constitution. pertimbangan DPR. Jadi dibatasi oleh UUD yang menciptakan atau lembaga negara lainnya. Presiden bemengatribusikan kekuasaan kepada bas menentukan individu pemangku

jabatan menteri, namun tidak bebas membentuk, mengubah, dan membubarkan kementerian. Presiden juga berhak mengangkat (melantik) Kapolri, namun tidak tanpa persetujuan DPR. Ada campur tangan dewan itu sebagai bentuk kendali terhadap hak presiden tersebut. Kewajiban Konstitusional Di kala DPR telah menyetujui calon Kapolri (Komjen Pol. Budi Gunawan), presiden tidak ada pilihan lain untuk melantik jika dalam waktu bersamaan pemberhentian Kapolri lama (Jenderal Pol. Sutarman) juga telah disetujui DPR dan presiden telah telah memberhentikannya. Di saat itu, pengangkatan ‘Kapolri terpilih’ sudah berubah menjadi kewajiban konstitusional presiden yang tunduk pada rezim sumpah jabatan presiden Pasal 9 UUD NRI Tahun 1945. ‘Kapolri terpilih’ wajib dilantik. Status konstitusionalnya sama dengan pasangan presiden terpilih, yang telah ditetapkan KPU dan telah melalui proses di MK. MPR harus segera melantiknya. Begitu pula dengan ‘Kapolri terpilih’, jika tidak dilantik presiden, itu akan menjadi preseden buruk bagi MPR ke depan untuk tidak melantik atau membatalkan pelantikan pre­ siden yang telah dilakukannya. foto: poskotanews.

8

Eksepsi

Edisi III/LPMH-UH/XIX/V/2015

15


Resensi Euthanasia: Antara Hak Hidup dan Belas Kasihan Oleh: Nurjannah Judul Penulis Penerbit Kota Terbit Tebal Cetakan

M

anusia diciptakan oleh Sang Maha Kuasa dan akan kembali kepada-Nya. Begitu pula yang menentukan hidup mati seseorang merupakan kehendakNya. Tindakan seorang dokter yang mengobati seorang pasien hingga sembuh merupakan tugasnya yang selalu bertujuan untuk menyembuhkan penyakit dan menyelamatkan jiwa sang pasien. Hal ini tercantum dalam Bab II Nomor 9 Kode Etik Kedokteran Indonesia: Kewajiban Dokter terhadap Pasien: Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Akan tetapi, bagaimana jika seorang dokter melakukan pengobatan terhadap seorang pasien yang tidak sesuai dengan prosedur dan tata cara yang berlaku dan diakui oleh kalangan kedokteran, dan tindakan tersebut malah mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain? Euthanasia adalah tindakan menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja, baik atas permintaan si pasien sendiri, atau keluarganya, maupun tanpa permintaan. Tindakan ini bertentangan dengan tujuan dilakukannya pengobatan, dan dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana pembunuhan sebagaimana dinyatakan Pasal 338 Kitab

16 Eksepsi Edisi III/XIX/LPMH-UH/V/2015

: Euthanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam : Drs. H. Ahmad Wardi Muslich : PT Raja Grafindo Persada : Jakarta : 102 hlm : Juni 2014

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam syariat Islam pun, hak hidup manusia dijunjung tinggi. Mempertahankan hidup merupakan salah satu maqashid syari’ah yang tergolong dharuri (pokok). Oleh karenanya, setiap tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, baik orang lain maupun oleh dirinya sendiri, dilarang dengan tegas sebagaimana dinyatakan Surah Al-An’am ayat 151 dan Surah Al-isra ayat 33. Buku karangan Drs. H. Ahmad Wardi Muslich berjudul Euthanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam membahas perbandingan antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam terkait masalah euthanasia. Sebagai pengantar, penulis dalam bukunya mengemukakan beberapa contoh kasus euthanasia di berbagai negara di dunia yang menggambarkan betapa beratnya penderitaan seorang pasien melawan penyakitnya, yang membuat ia koma untuk waktu yang sangat lama dan akhirnya dokter melakukan mercy killing atau euthanasia terhadapnya. Penulis selanjutnya mengulas sejarah euthanasia, pengertian euthanasia, macam-macam dan bentuk euthanasia, serta euthanasia dalam kode etik kedokteran sebagai pembahasan utama dalam buku ini. Berdasarkan kerangka itu, pembaca akan lebih mudah memahami arti euthanasia sebelum masuk ke ranah euthanasia dalam pandangan hukum positif dan hukum Islam. Untuk lebih memperjelas perbandingan hukum positif dan hukum Islam terhadap euthanasia, penulis membahas sekilas tentang pembunuhan disertai dengan

pandangan hukum Islam yang erat kaitannya dengan euthanasia, yang karena akibat ditimbulkannya sama, yaitu menghilangkan nyawa manusia. Dalam buku ini, penulis me­ nerangkan bahwa euthanasia dalam pandangan hukum positif telah tercantum pada pasal 344 KUHP: Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Akan tetapi, unsur pasal tersebut sulit untuk dibuktikan, sehingga sulit untuk melakukan penuntutan di pengadilan. Alasannya, kata “permintaan orang itu sendiri (pasien)” sulit dibuktikan karena pasien telah meninggal atau kadang-kadang berada dalam keadaan koma berkepanjangan. Di sisi lain hukum Islam memandang bahwa jika seseorang dalam keadaan koma berkepanjangan, maka penyelesaiannya diserahkan kepada dokter yang mengobatinya dan pasien atau keluargannya. Apabila dokter berdasarkan hasil ijtihadnya meyakini bahwa penyakit tersebut sudah tidak dapat disembuhkan lagi, dan pihak pasien atau keluarganya meminta atau menyetujui dihentikannya upaya pengobatan, maka hukumnya dibolehkan meskipun akibatnya pasien akan meninggal (euthanasia pasif). Namun dalam kondisi tersebut, dalam ajaran Islam dianjurkan kepada pasien dan keluarganya untuk bersabar dan tawakal, serta berdoa kepada Allah: “Ya Allah, hidupkanlah aku selagi kehidupan itu baik untukku, dan matikanlah aku apabila kematian itu lebih baik untukku

9


(hadist Jama’ah dari Anas)”. Di akhir bukunya, penulis mengemukakan sanksi hukum euthanasia menurut hukum Islam, bahwa jika euthanasia dilakukan atas inisiatif dokter atau tenaga medis lainnya tanpa permintaan dari pasien atau keluarganya, maka perbuatannya itu jelas merupakan pembunuhan dengan sengaja dan si pelaku dapat dikenakan hukuman qishash. Apabila kel-

uarga korban mengampuni, maka diganti dengan hukuman diat. Namun, jika diat juga dibebaskan oleh keluarga, maka hakim masih berwenang untuk menjatuhkan hukuman ta’zir, baik berupa denda, penjara, atau hukuman lainnya. Terkait sanksi euthanasia, ada beberapa pendapat yang berbeda, baik dari hukum positif maupun hukum Islam (ulama). Namun perbuatan

euthanasia aktif atau pasif tetaplah perbuatan yang dilarang karena hidup-matinya seseorang hanya Tuhan yang berhak menentukan, dan harus dilindungi oleh negara serta agama. Buku ini sangat menarik dibaca dan dijadikan referensi bagi semua kalangan yang ingin mengetahui lebih dalam tentang euthanasia. Selamat membaca.

KAMUS HUKUM Abus de droit (Perancis): Misbruik van recht (Belanda): penyalahgunaan hak. Sangat terkenal kasus cerobong asap di Belanda. Hanya untuk menganggu tetangga supaya tertutup pemandangannya melalui jendela si pelaku memasang cerobong asap di depan jendela tersebut. Hoge Raad memandang perbuatan tersebut penyalahgunaan hak dan memutuskan untuk membongkarnya. Afdreiging (Belanda): Pemaksaan dengan ancaman. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara tidak sah, memaksa orang dengan ancaman akan menista atau menista dengan surat atau dengan ancaman akan membuka rahasia, supaya orang itu menyerahkan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang ketiga, atau supaya orang itu membuat utang atau menghapuskan suatu piutang, ia pun bersalah melaKukan delik ex pasal 369 KUHP yang dikualifikasikan sebagai “afdereiging”. Istilah padanannya ialah pengancaman. Causa Cause Causa est Causate (Latin): Sebab yang menimbulkan suatu sebab pula dari suatu akibat, adalah sebab juga daripada akibat itu. Dolus indirectus (Latin): Sengaja tidak langsung. Dalam hal pembunuhan, Code Penal menganut ini. Suatu perbuatan yang mengakibatkan akibat yang tidak dimaksud atau diduga dianggap sebagai disengaja. Factum probans (Latin): Kenyataan yang membuktikan sesuatu. Hak Utama: Hak yang diberikan undang-undang yang memberikan kedudukan istimewa kepada kreditur untuk memperoleh pembayarannya terlebih dahulu daripada yang lain (previlege, prefrence); 1133 dan seterusnya BW; pasal 316, 317 WvK. Hak dan kewajiban pemilik pekarangan; 625 BW. Inkontestabel: Tidak dapat dibantah, tidak dapat diberantas. Jabatan Struktural: Jabatan yang menunjukkan secara tegas kedudukan dalam rangkaian jabatan yang ada dalam

organisasi. Judicis Estjus Dictare Non Dare (Latin): Hakim harus bertindak menurut hukum, tidak menciptakan hukum. Kriminalisasi: Menjadikan sesuatu perbuatan menjadi dapat dipidana (yang sebelumnya tidak demikian). Lawannya: dekriminalisas, suatu perbuatan yang sebelumnya dapat dipidana menjadi tidak dapat dipidana. Legalistis: Suatu pandangan yang mendasarkan segala sesuatu kepada peraturan perundang-undangan hukum positif Notoir Feiten (Belanda): Kenyataan-kenyataan yang sudah diketahui umum. Berdasarkan itu hakim dapat menarik kesimpulan. Nuc Aut Nunquam (Latin): Sekarang atau tidak pernah. Perikatan Kumulatif: Suatu perikatan yang memuat beberapa prestasi di dalamnya, yang semuanya harus dijalankan, sehingga yang berutang baru bebas setelah memenuhi semua prestasi itu. Lawannya: perikatan alternatif. Pia Fraus (Latin): Tipu muslihat yang halus. Psy War (Inggris): Perang urat syaraf, yang dapat berupa komentar-komentar maupun tindakan. Respondeat Ouster (Latin): Biarkan dia menjawabnya. Biarkan dia menjawabnya dengan cara yang lebih baik. Samenweefsel Van Verdichtsels (Belanda): Penjalinan kata-kata bohong. Merupakan suatu upaya dalam melakukan kejahatan penipuan, yaitu apabila berbagai kebohongan saling melengkapi, sehingga satu sama lain saling mendukung suatu kebenaran yang sesungguhnya tidak benar. Lihat pasal 378 KUHP. Suum Cuique Tribuere (Latin): Setiap orang diberikan bagiannya berdasarkan haknya.

Sumber: Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Eksepsi

Edisi III/LPMH-UH/XIX/V/2015

17


Aktivitas Sempat Tertunda, Liga Futsal Hukum Akhirnya Digelar

L

iga Futsal Hukum kembali digelar di Lapangan Futsal BTP, Sabtu (11/4). Kegiatan ini merupakan program kerja tahunan Divisi Liga dan Futsal UKM Sepak Bola Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH). Dituturkan Ketua UKM Sepak Bola FH-UH Laode Al Kasih, kegiatan tersebut rencananya dilaksanakan tanggal 4-5 April, namun diundur ke tanggal 11-12 April akibat kekurangan peserta. Ketua Panitia Kegiatan Muhammad Yusuf menyatakan penyebab kurangnya peserta adalah persiapan yang kurang matang akibat padatnya kegiatan internal UKM Sepak Bola. Akhirnya, sebanyak sembilan tim ikut berkompetisi dalam Liga Futsal Hukum Tahun ini. Mereka adalah ALSA FC, LT 3, AK 48, Pare-pare FC, Djafa FC, HAN 13, Laghontoghe FC, Diplomasi FC, dan Jantan FC. Jumlah tim peserta mengalami penurunan dibanding tahun lalu yang sebanyak 12 Tim. Untuk itu, sistem pertandingan pun membagi tim dalam dua grup saja, yaitu Gup A dan Grup B. Setelah pembukaan, pertandingan pertama di Grup A mempertemukan LT 3 Vs HAN 13. Skor akhir 3-4 untuk kemenangan HAN 13. Selanjutnya partai pembuka di Grup B mempertandingkan antara Jantan Vs AK 48 yang berakhir dengan kemenangan AK 48 dengan skor 1-2.

Diungkapkan Yusuf, pertandingan selama dua tersebut memperebutkan hadiah untuk juara I, II, dan III berupa piala dan uang pembinaan. Laghontoghe Juara Setelah melalui babak penyisihan Grup pada Minggu (12/4), akhirnya 4 tim melaju ke babak semifinal, yaitu Djafa FC Vs HAN 13 dan AK 48 Vs Laghontoghe FC. Pertandingan yang sengit di babak semifinal akhirnya menyisakan Laghontoghe FC VS HAN 13 untuk bertanding di babak final. Selama 2x10 menit pertandingan berlangsung, Laghontoghe yang dipimpin oleh Jus Hardianto berhasil mengalahkan HAN 13 dengan skor 4-3. Hal itu menobatkan Laghontoghe sebagai juara I. “Hal itu tidak lepas dari kebersamaan, kekompakan, dan saling pengertian antar pemain,” ungkap Jus selaku kapten Laghontoghe FC sembari berharap ke depan makin banyak tim yang turut. Senada dengan Jus, peserta Liga Futsal Hukum Unhas dari Tim Djafa FC Mulyadi berharap agar sosialisasi kegaiatan tahunan ini ditingkatkan untuk menarik lebih ba­ nyak peserta. “Publikasinya harus diperbaiki lagi agar tim-tim yang mendaftar makin banyak turut serta,” tuturnya. (M Ibnu MR)

Tim Basket Putra FH-UH Juara I Red Campus VI Sehari sebelumnya, Senin (27/4), tim putra dan putri FH-UH berhasil lolos ke babak final setelah mengalahkan lawannya. Tim putra berhasil menundukkan tim Fakultas Ekonomi dengan skor 87: 50, sementara tim putri dinyatakan menang walk out atas tim Fakultas Kedokteran yang tidak dapat bertanding karena mengikuti event lain. Kompetisi basket yang dilaksanakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Bola Basket Unhas tersebut diikuti oleh 10 fakultas untuk cabang basket putra dan 8 fakultas untuk cabang basket putri. Ketua Panitia Kegiatan Nurdiansyahal me­ngungkapkan bahwa Red Campus VI adalah wadah silaturahmi antar fakultas yang ada di Unhas. Untuk itu, ia mengharapkan ke depannya, Tim basket putra FH-UH dan FISIP berfoto bersama sebelum berlaga. [Aldi] tim-tim dari fakultas lain yang belum ikut dapat turut serta. im basket Putra Fakultas Hukum Unhas (FH-UH) “Kedepannya diharapkan tim-tim dari fakultas lain akhirnya dinobatkan sebagai juara I pada kompetejuga bisa ikut, seperti fakultas Farmasi dan Fakultas Kesi Red Campus VI di Lapangan Basket PKM Unhas, dokteran Gigi yang saat ini belum sempat ikut,” ungkap Selasa (28/4). Mereka berhasil mengalahkan tim basket mahasiwa yang disapa Anca itu. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) pada partai Setelah kompetisi tahun keenam ini, pada tahun sefinal dengan skor 71:63. Sementara tim basket putri FHlanjutnya, kembali akan dilangsungkan kompetisi Red UH harus mengakui keunggulan tim Fakultas Ekonomi Campus VII. (Aldi sido) dengan selisih skor 75:35.

T

18 Eksepsi Edisi III/XIX/LPMH-UH/V/2015


Aktivitas Aklamasi, Somad Terpilih Jadi Sekjen PPMI Nasional

Serah terima jabatan dari Presidium KLB kepada calon Sekjen PPMI Nasional terpilih Abdus Somad. [Str]

M

andeknya roda kepengurusan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional memaksa sejumlah pengurus Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) menyelanggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) di Balai Desa Kepuharjo, Karangploso, Malang, Jawa Timur. Kegiatan itu berlangsung Jumat-Minggu (17-19/4). Agenda utamanya adalah pemilihan Sekertariat Jenderal (Sekjen) PPMI Nasional yang sebelumnya dijabat Dedi Nur Cahyo setelah terpilih pada saat kongres PPMI XII di Mataram. Pada Minggu (19/4), prosesi pemilihan pun dilaksanakan mulai pukul 11.00 WIB. Mekanismenya, setiap LPM mengusulkan nama calon beserta asal kotanya. Dari peserta sebanyak 64 LPM dari 5 wilayah di indonesia, terseleksi 11 nama sebagai bakal calon. Sesuai mekanisme pemilihan, bakal calon disahkan sebagai calon jika didukung minimal tiga suara atau LPM. Setelah diverifikasi, terpilih tujuh bakal calon yang kemudian diuji sesuai

persyaratan dan kriteria calon. Proses pengujian akhirnya membuahkan empat nama sebagai bakal calon. Tahap selanjutnya, dipilih�������������������������� ������������������������� lagi tiga nama dengan suara terbanyak untuk ditetapkan sebagai calon. Ketiganya dengan suara masing-masing adalah Abdus Somad dari Yogyakarta (21), Ismail dari Pakalongan (10), dan Muchammad Toyyib dari Madura (7) suara. Irfan Sangadji dari Makassar akhirnya gugur setelah memperoleh 3 suara. Setelah kongres di-skorsing untuk mengadakan lobi antara para calon dan sekjen kota, Ismail menyusul Toyyib menyatakan mengundurkan diri. Akhirnya Abdus Somad terpilih menjadi Sekjen PPMI Nasional secara aklamasi. Somad menuturkan bahwa langkah awalnya sebagai sekjen adalah melakukan konsolidasi di tiap-tiap kota untuk menguatkan setiap LPM dan mengajak LPM lain untuk bergabung dalam PPMI. “Saya akan berkonsolidasi dengan LPM, terutama yang masih ‘mati’, dalam artian LPM yang tidak ada aktivitas sama sekali di kota tersebut, dengan harapan roda kepengurusan PPMI berjalan lebih baik,” ungkapnya Tak hanya itu, struktur kepengurusan PPMI pun me­ngalami perubahan, yaitu penghapusan Dewan Etik Nasional (DEN). Selain itu, diadakan juga penambahan unsur Koordianator Wilayah (Korwil) untuk mengkonsolidasikan LPM di tingkat kota dan membantu Sekjen PPMI Nasional dalam menjalankan roda kepengurusan. Sekjen PPMI Kota Jember Mohammad Sadam Husaen mengharapkan terpilihnya Sekjen PPMI Nasional baru dan perubahan struktur PPMI dapat berdampak pada perkembangan LPM anggota PPMI itu. “Jangan membuat program kerja yang muluk-muluk, agar PPMI Nasional nantinya dapat berjalan dengan mulus,” tandasnya. (Str)

UKM Karate-Do Gojukai Melantik Pengurus

Pelantikan pengurus UKM Karate-Do Gojukai oleh Preiden BEM Ahmad Tojiwa Ram. [Ash]

D

engan mengangkat tema Meningkatkan Kerjasama dalam Mempertahankan Eksistensi Organisasi, UKM Karate-Do Gojukai FH-UH melaksanakan prosesi pelantikan enam orang pengurus peri-

ode 2015-2016 di Aula Harifin A Tumpa FH-UH, Jumat (1/4). Pelantikan ini dihadiri Dewan Pembina UKM Gojukai Winner Sitorus, serta Presiden BEM FH-UH Ahmad Tojiwa Ram yang juga sekaligus melantik jajaran pengurus baru. Dalam sambutannya, Winner Sitorus menyampaikan harapannya kepada pengurus baru untuk menyeimbangkan antara organisasi dan akademik. “Dalam berorganisasi, program yang jelas harus sesuai dengan kondisi yang ada, sehingga roda keorganisasian dapat berjalan dengan baik. Kemudian disusul dengan keseimbangan antara organisasi dan prestasi akademik,” ungkapnya. Ketua UKM Karate-Do Gojukai, Apriyodi Ali bertekad menjalankan roda kepengurusan sesuai citacita organisasi. “Diharapkan ke depannya, UKM ini bisa meningkatkan dan mempertahankan cita-cita organisasi yaitu menghasilkan kader-kader yang baik dalam lingkup organisasi sesuai yang diamanatkan oleh Almarhum Ahmad Ali, sehingga pembeda akan muncul dibanding periode-periode sebelumnya,” tutunya. (Ash) Eksepsi

Edisi III/LPMH-UH/XIX/V/2015

19


CERPEN

Menari Perlahan ilustrasi: fiksi.kompasiana.com

Oleh: Meli Agustin*

M

ungkin saat ini aku adalah orang yang membenci fajar. Fajar yang selalu terlihat memakiku tanpa mempersilahkan aku tersenyum terlebih dahulu atau sekadar menyapa dengan kata “Hai...” saja. Aku benci permulaan hari seperti itu, seolah mengatakan bahwa hariku hingga fajar selanjutnya datang akan menjadi musuh besarku. Hei, aku benci itu! Pukul 12.00 tepat, terik matahari berteriak. Seolah memahami apa yang sedang aku alami. Ah, aku yang terlalu bodoh atau dia yang terlalu jeli melihat radarku? Aku tak mengerti. Dia selalu datang di saat yang tidak diinginkan. Bukan, tapi seluruh waktu yang ada sebe­narnya tak mengizinkannya datang. Siapa pun itu. Hanya saja dia akan selalu ada untuk membakarku, menjatuhkanku, bahkan menikamku. Menyiratkan pesan bahwa siang tak selalu menghangatkan. “Dunia mengajakku serba salah,” ucapku pada langit. Entahlah, aku seolah tenggelam dalam rasa ini. Rasa yang tak bisa dijelaskan walau bom nuklir sekalipun mengancam di depan mataku. Membuatku bingung, ini efek dari fajar atau siang? Entahlah. Senja pun tak luput datang menjatuhkanku. “Hei, kau wanita pemilik harapan yang layaknya cerita fiksi! Kau adalah hantu yang tersudut sepi. Tak berarti,” sindir sang senja. Aku tersentak, dan tanpa sadar berlari mencari malam. Aku butuh itu. Berharap seakan semua membangunkan aku dari pencarian jejak makian fajar yang selalu sudi menghampiri. Aku butuh jawaban agar rasa asing dengan diriku sekarang pudar atau menghilang. Hingga senja mulai bosan terhadapku, lalu pergi.

20 Eksepsi Edisi III/XIX/LPMH-UH/V/2015

Malam yang kunanti kini menghantamku hingga berniat mencekikku yang di antara kebimbangan. ”Berhenti,” ungkapku. Seberusaha mungkin menyelesaikan resahku. Malam tersenyum dan berkata, “Jangan berfikir terlalu bodoh. Pasti ada celah untuk mengubah ini,” ujarnya. “Apa? katakan kepadaku!” aku berteriak. Malam tersenyum sinis. “Mudah saja, kau hanya perlu mengajak fajar menari, menikmati hangatnya siangmu, memuji indahnya senja, dan mendekap aku pula,” saran sang malam lalu tersenyum hangat. Sejenak terdiam, lalu aku tersadar. Seakan berhasil menghentikan bom nuklir yang siap menghancur leburkanku kapan saja. Ternyata, setiap masalah yang kulalui dapat kuselesaikan dengan sederhana. Dan sekarang aku tersenyum puas. “Hei, masalah! Pergilah sebelum aku memutar bom nuklir ini kearahmu.” Aku tertawa karena masalah sebenarnya kuperlukan untuk jadi pelecut, bahwa mereka hanya titik-titik yang mewarnai kosong, yang harus dipilah untuk menghiasi atau harus dihapus jika mengganggu. Sekarang, aku mulai meninggalkan malam. Dan yakin bahwa fajar esok akan menantiku dengan pelukan pembuka hari yang tentu saja luar biasa. Itu saja. *Penulis adalah anggota magang LPMH-UH


Dikatakan Tak Berujung, Tetap Saja Cinta Oleh: Andi Asti Sari* “Pejamkan mata lalu menangislah,” tulisku di blog. Bukan tentang hal aku gemari, tetapi hal yang kubutuhkan, Dia. Dia perempuan yang begitu gemar tertawa dan tersenyum kepada siapa saja yang ia temui. Ia berhasil memabukkanku. Sena, Sena Anindya namanya. Di setiap seminarku, selalu kukatakan bahwa aku bukanlah pujangga yang mahir merangkai kata-kata. Aku hanyalah seorang lelaki dewasa yang sedang tergila-gila pada cinta diamdiam, yang berhasil membuat aku kembali hanyut dalam tulisan tak pandai berucap. Bibirku keluh jika membahas tentang cinta pada orang yang mengenalku, tetapi�������������������������� anganku ������������������������ meluas jika berhadapan dengan secarik kertas atau keyboard laptop. Aku bukannya takut, tetapi aku memang hanya gemar menatapnya dengan seulas senyum. Dia pembaca setia sebuah blog. Aku tahu sejak awal kami kuliah. Sejak saat itu juga aku tahu dia adalah seorang penikmat kopi. Akhirnya aku sungguh menyukainya. Khaidan Tama. Itulah nama blogku. Sejak aku sadar begitu menyukainya, kubuat ia terpukau merasakan indah dan pahitnya cinta diam-diam melalui tulisanku. Aku mengibaratkannya seperti kopi hitam pekat. Akhirnya Sena berkomentar tak sependapat denganku. Kami pun bisa bertegur sapa dalam dunia angan penuh terkaan, dunia maya. Ia semakin tidak setuju hingga nekat menghadiri seminarku untuk melihat langsung wajahku. Itu kuketahui lantas, lantas kubatalkan seminarku begitu saja. Pagi ini, ia memakai dress selutut berwarna merah muda tak berlengan. Ia menjinjing tas hitam dan map di tangannya. Wajahnya dihiasi make-up tipis, hingga nyaris tak terlihat membingkai mata bulat, hidung mancung, dan bibir mungilnya. Begitu manis. Namun belakangan ini, selalu saja aku mendapati dirinya dalam keadaan mengantuk. Kantung matanya begitu hitam. Pertanyaan demi pertanyaan muncul begitu saja. Selelah itukah dia? “Yos, deadline majalah kapan?” tanya Sena “Minggu depan. Santai aja. Biar gue yang ngerjain.” “Gak bisa gitu dong, gue bantu yah?” ia memelas “Lu nanti bawa kepercetakan aja. Lu udah terlalu capek terus tidur.” “Care banget lu. Haha. Ya udah. Kalo ada apa-apa, gue di ruang OB yah. Istirahat dulu. Takut nanti gue nggak mampu gue nyetir.” Seperti luapan rasa cemas yang selama ini tertahankan. Aku tak tega melihat dia tak tidur untuk penerbitan majalah. Tanpa berfikir panjang, kutarik lengannya tanpa mendengarkan nada protes darinya. Sejauh ini, aku memang berusaha memutuskan mematahkan hatiku sebelum dia patahkan. Terlalu munafik jika aku berkata tak ingin memilikinya. Cinta diam-diam ini telah membuatku mengisi semi-

nar luar kota. Hanya luar kota saja agar dia tak pernah tahu bahwa Khaidan Tama sebenarnya adalah Yosi Aidan Pratama, seatap kantornya sendiri. Aku yang hanya menganggapnya sebagai angan tanpa pernah menjadi nyata, tetapi kuumbar pada penikmat seminarku. Hanyut dalam pikiran membuatku kadang enggan memulai percakapan dengannya. “Bego! kenapa gue lakuin ini sih?” gusarku dalam hati. Awalnya aku mengira melihat Sena hanyalah rasa simpati remaja pada umumnya. Namun jika memang seperti itu, bukankah tak wajar jika hingga saat ini diusiaku yang ke 24 tahun, aku masih saja mengaguminya? Membuat blog dan mencari tahu tentang kegemarannya menyeduh kopi? Bahkan dengan semua itu, aku menjadi Khaidan Tama yang dikenal orang sebagai penulis blog romantic, yang paling digemari pembaca remaja. Detik ini, dapatkah aku menyebut semua itu adalah cinta? “Hallo Yos.” “Hai, udah ngantor aja.” “Yoi. Ini aja gue telat. Lu udah makan siang?” “Belum. Nggak sempat. Kerjaan gue nanggung. Duluan aja.” “Makan bareng yuk, itung-itung terima kasih gue karena kemarin lu udah care banget, terus nganterin gue pulang.” ”Lu mau traktir gue? Boleh sih kalo gitu.” “Dasar lu, dari kuliah sampe sekarang lu masih aja suka gratisan,” tuturnya dengan wajah ceria. Sentilannya barusan membuatku besar kepala. “Kuliah? Dia inget gue waktu kuliah? Oh Sena,” aku membatin sendiri hingga anganku melayang. Lagi-lagi itu membuatku mabuk kepanyang. Sejak saat itu, aku dan Sena mulai bertukar pikiran tentang apapun. Sesekali Sena membahas kegemarannya tentang kopi, kesan di kantor majalah, juga tentang blog Khaidan Tama. Situasi itu membuatku berbagi seulas senyum dengannya. Sena bagai keajaiban Tuhan yang dapat membuatku kembali tersenyum setelah tangisan luar biasa. Sikapnya kini membuatku berharap ada secercah harapan terhadapnya. Tetapi aku tersadar bahwa kedekatan dengan Sena kini, justru bisa membuatnya tahu pemilik blog Khaidan Tama. Dia juga akan tahu semua tulisan itu tentang dirinya dan cinta diam-diamku. Tak akan kubiarkan dan akan kuakhiri kisah bahagiaku ini. Cinta diam-diam akan hanya jadi cinta diam-diam. Untuk cinta diam-diamku, selamat tinggal. Aku mencintaimu. Akan kurangkai tulisan terakhirku, juga besok akan jadi seminar terakhirku. “Yos, titip semua kerjaan ke lu yah. Gue buru-buru nih.” “Tapi Nin...” “Sampe ketemu senin depan Yos, byeeeee.” Dia segera berlalu. Eksepsi

Edisi III/LPMH-UH/XIX/V/2015

21


“Senin depan?” tanyaku pada diri sendiri. Tepat pukul 14.55, di Surabaya, seminarku akan dimulai lima menit lagi. Seminar yang terakhir sebelum semuanya berakhir. Konferensi pers ini juga jadi yang pertama dan terakhir. “Menjelang seminar terakhir saya ini, terlalu banyak yang menanyakan kenapa saya memutuskan berhenti menulis di blog. Saya hanya ingin mewujudkan cinta diam-diam saya. Tapi yah, gak sekarang,” jawabku atas pertanyaan wartawan. Salah satu dari mereka pun menanyakan nama cinta diam-diamku. “Setelah saya menjawab pertanyaan saudara wartawan di sana sekaligus pertanyaan terakhir, saya akan meninggalkan tempat seminar ini yah. Masih ada urusan soalnya,” pintaku lalu hening sejenak. “Dia adalah Sena Anindya. Selamat sore dan terima kasih semua.” Senin depan Sena? Mungkin akan jadi senin tahun depan, dua tahun, atau bahkan bertahun-tahun ke depan. Berbahagialah Sena, kelak tanpa cinta diam-diamku. “Maaf Mbak, seminarnya udah selesai yah?” tanya Sena pada salah seorang wartawan. “Waduh, iya Mbak. Kali ini seminar mas Khairan lebih singkat. Katanya mau berhenti jadi penulis blog. Ini juga jadi seminar terakhirnya.” “Makasih ya…” “Terus tadi Mbak tau nggak, mas Khairan sebut nama cinta diam-diamnya itu lo. Kalo nggak salah namanya Sena Anindya. Bagus yah namanya. Pasti orangnya juga cantik. Saya duluan yah Mbak. Udah ditungguin di sana, malah keasyikan ngobrol di sini,” tutur perempuan itu lalu beranjak pergi. “Sena Anindya? Kenapa mirip banget sama

nama gue? Masa iya gue? Berhenti nulis blog? Kenapa?” tanyanya membatin sendiri. “Mbak, itu cepet banget sih ngilangnya, mana ngomong mulu lagi,”. Sena berdecak kesal. Lu jangan kecapean lagi yah Sena Anindya. Lu nggak usah sok kuat, pejamkan mata lalu menangislah. Kopi bukan tentang aroma dan rasa kan? Tapi tentang racikan. Cinta diam-diam dan akan hanya jadi cinta diam-diam. Untuk cinta diam-diamku, selamat tinggal. Aku mencintaimu. Sena Anindya Sampe ketemu senin nanti Khaidan Tama “Yosi Aidan Pratama” “Yosi mana? Aidan mana?”dengan butiran air mata dipipi Sena. “Aidan ngundurin diri. Lu gak tahu?” jawab salah seorang karyawan. Sena hanya terdiam dan berdialog dengan dirinya sendiri. “Sesuai permintaan lu, Pejamkan mata lalu menangislah. Sekarang gue ngelakuin itu Yos. Khaidan Tama, yang pergi ninggalin gue tanpa penjelasan apapun. Pengecut lu!” sena lalu menangis untuk semua kisah yang tak berujung pada apapun. Karyawan kantor mereka mulai mengerti bahwa Sena dan Yosi dalam diam atau berucap pun tetap saja itu cinta. To be continue…. *Penulis adalah anggota magang LPMH-UH

PROFIL

SOKOLA KAKI LANGIT

Memberi Harapan Menggapai Langit Nurul Hasanah Suasana Fort Rotterdam cukup ramai Sabtu sore (2/5). Benteng peninggalan Kerajan Gowa-Tallo yang dibangun pada tahun 1545 ini memang sering dijadikan tempat melepas kepenatan. Letaknya dekat Pantai Losari, sebelah Barat Kota Makassar. Di sana-sini, pengunjung hilir mudik mencari lokasi berfoto selfie atau sekedar menikmati suasana. Sejumlah kelompok kecil pe­ ngunjung juga nampak sedang asyik berbincang-bincang. Di Pelataran Bastion Bone, gerombolan muda-mudi terlihat sibuk menata pataka berisi sorak

22 Eksepsi Edisi III/XIX/LPMH-UH/V/2015

problematika pendidikan. Mereka pun merangkai lembar foto berlatar bukit yang membingkai senyum polos anak-anak berseragam sekolah dasar. Tulisan di selebaran juga mereka persiapkan untuk memperkenalkan kelompok mereka, sekaligus menggambarkan betapa memprihatinkannya kondisi pendidikan Indonesia. Ya, mereka tergabung dalam perkumpulan peduli pendidikan bernama Sokola Kaki Langit. Perkumpulan ini aktif mengirim relawan untuk menggajar anak sekolah di daerah pelosok. Rencananya, sore itu mereka akan berarak menuju

Pantai Losari untuk berunjuk rasa memperingati Hari Pendidikan Nasional. Kami tak melewatkan kesempatan itu untuk berbincang dengan salah satu dari tujuh orang pencetus Sokola Kaki Langit, Andi Mey kumalasari. Bagi perempuan lulusan UNM berusia 25 tahun ini, perkumpulan tersebut adalah aksi nyata bagi perbaikan pendidikan. Nama Sokola Kaki Langit pun mengisyaratkan tekad untuk berbagi pengetahuan, terutama terhadap anak di daerah terpencil pegunungan. “Kaki langit itu sendiri adalah gunung-gunung

15


yang dekat dengan langit. Anakanak itu dekat dengan langit, tetapi tidak tahu bagaimana cara ke langit. Untuk itu, kita datang untuk memberi mereka jalan agar bisa ke langit,” andainya. Sokola Kaki Langit dirintis di Makassar pada 28 Desember 2014 tersebut. Meski terbilang masih muda, sekitar 63 orang terdaftar sebagai relawan di perkumpulan ini. Mereka gabungan angkatan I-IV yang pernah dikirim ke daerah. Para relawan itu berasal dari berbagai latar belakang. Di antaranya mahasiswa dan dosen dari berbagai kampus di Makassar, dokter, konsultan, wartawan, dan freelance. Sebagaimana visinya untuk mencerdaskan anak di daerah terpencil, setiap bulannya sejak Januari 2015, para relawan akan diutus mengajar di desa binaan. Selama satu tahun ini, Sokola Kaki Langit fokus membina murid SD di Desa Umpungeng, desa adat di Kabupaten Soppeng. Mey menuturkan, dari Desa Gatareng, relawan harus berjalan kaki sekitar tujuh jam untuk mencapai satu-satunya SD di Umpungeng itu. Hanya ada tiga guru honorer di sekolah binaan itu yang sering datang mengajar. Beberapa guru

berstatus PNS jarang datang dengan alasan terhambat sarana-prasarana jalan yang buruk. Setelah tamat, para siswa pun harus memilih, merantau menjadi TKI atau melanjutkan pendidikan di kota dengan jarak 40 KM. Selain itu, tidak memadainya fasilitas kesehatan dan penerangan yang masih menggunakan kincir menambah runyam permasalahan warga desa. Pemberangkatan relawan ke lokasi binaan diagendakan sekali dalam sebulan. Dalam durasi satu bulan, akan dilakukan sosialisasi dan penerimaan relawan baru, pembekalan kepada relawan yang akan di­ berangkatkan, pemberangkatan dan proses pengajaran di lokasi selama empat hari, serta evaluasi kegiatan. Pada 14-17 Mei 2015, akan dilakukan pemberangkatan relawan angkatan V. Rencananya juga akan diadakan pameran hasil karya anak binaan di Makassar untuk menggalang donasi bagi anak sekolah Desa Umpungeng. Selain mengajarkan pelajaran formal di kelas, relawan juga menyajikan pembelajaran nonformal. Ada banyak kelas setiap sore. Mey menuturkan, sejumlah anak binaan akan datang ke basecamp relawan untuk memperoleh pengajaran tambahan. Di antaranya bahasa Inggris, keagamaan, dan hapalan. Di sela kegiatan, para relawan pun kreatif menyuguhkan hiburan dan permainan tradisional untuk menghilangkan kebosanan. Mey pun berharap

Lembaran foto hasil jepretan relawan Sokola Kaki Langit selama berada di desa binaan dirangkai untuk memperingati Hardiknas. [RTW]

masyarakat, terutama mahasiswa, berkontribusi nyata demi perbaikan pendidikan di Indonesia. Kesan mahasiswa Makassar gemar tawuran dan berdemonstrasi secara anarkistis, menurutnya harus ditepis. Tujuan itu pula yang memotivasinya mendirikan Sokola Kaki Langit untuk menyalurkan semangat mahasiswa kepada hal positif. “Anak muda Makassar sebenarnya kreatif, yang mau bekerja dan bergerak. Dari situ, kami terinspirsi untuk membuktikan kepada orang di luar sana bahwa Makassar jauh lebih baik dari yang dilihat di televisi,” tutur perempuan kelahiran Soppeng ini penuh semangat. Di akhir perbincangan, Mey mengajak kepada siapapun juga untuk bergabung menjadi relawan. Syarat menurutnya, asalkan calon relawan siap berkorban waktu dan materi. “Ayo jadi relawan di Sokola kaki Langit. Setidaknya ada waktu empat hari untuk menyedekahkan ilmunya untuk anak-anak di daerah terpencil,” tutup Mey. Suryaldy Hurman mengungkapkan kesannya sebagai relawan. Baginya, proses sebagai relawan penting untuk memupuk jiwa kepedulian sosial. Ia pun berharap orang lain tertarik bergabung. “Kita akan merasakan suasana kekeluargaan, berinteraksi dengan anak-anak, serta dapat memberikan sedikit ilmu kita yang bernilai sangat besar bagi mereka,” tutur mahasiswa angkatan 2011 Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Ujung Pandang ini.

Foto bersama pengurus dan relawan Sokola Kaki Langit. [RTW] Eksepsi

Edisi III/LPMH-UH/XIX/V/2015

23


GALERI Foto

Puisi Pemimpi Handal Kucoba untuk menggoreskan pena Tentang mimpi Pada kertas putih tak bergaris Dengan secercah nyali Tetapi sebongkah harapan Walau mimpiku sederhana Hanya dengan imajinasi menggunung Dan kosa kata tak terbendung Aku hanya berharap menjadi penulis Bersembunyi, membingkai semua rasa Dan asa dengan goresan pena Pengecut? Tidak. Bukan.

Menuntut Pendidikan: Massa aksi Aliansi Unhas Bersatu menuntut transpa足ransi Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Hardiknas, di Pintu I Unhas, Sabtu (2/5). [Ash]

Nampak atau tidak Nyatanya tak seorang pun peduli Dan tanpa siapa pun tahu Riangkah rasaku saat itu? Atau bahkan asaku teramat memberontak? Selepas dunia khayal Tanpa sadar, akan ada kisah nyata Dan aku tersadar Aku hanya pemimpi yang teramat handal

Andi Asti Sari*

Engkau Diam dalam Tangisku

Buah Berbuah Uang: Wanita paruh baya merapikan buah jualannya di Pasar Malino, Minggu (8/3). [Kun]

Menatap ke jendela kamar Seakan penuh tanya, kemana kalian? Engkau yang dulu bisingkan kotaku Namun yang terlihat Hanyalah ingar-bingar kesepian Jam dinding belum tegak lurus Detik itu, kalian sudah tidak terlihat Apakah kalian letih dengan aktivitas? Namun tidak biasanya seperti ini Tersedu, rupanya ulah bocah kecil Menenteng tas berpakaian tertutup Berbekal karet dan besi bekas Tak segan engkau hilangkan nyawa Aparat, kalian jangan tidur! Penguasa, Kalian tidak dengar rintihan wargamu? Tidakkah engkau sadari itu?

Ahmad Ishak* Menyaring Kapur: Di Antang, Kamis (26/6/14), seorang perempuan mengisi saringan untuk menghaluskan batu menjadi kapur. [Ash]

Renovasi Perahu: Seorang nelayan memperbaiki perahu tuanya di RammangRammang, Maros, Kamis (12/2). [Ash]

*Anggota Magang LPMH-UH


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.