Buletin eksepsi edisi II periode 2015-2016

Page 1

ISSN: 2089-340X

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

1


Eksepsi ISSN 2089-340X

AAN/EKSEPSI

PENERBIT: LEMBAGA PERS MAHASISWA HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

Salam Redaksi

PELINDUNG: Dekan PENASIHAT: Wakil Dekan III PENDAMPING UKM: Birkah Latif DEWAN PEMBINA: Anwar Ilyas; Muh. Sirul Haq; Muh. Alam Nur; Muh. Ali Akbar Nur; Wiwin Suwandi; Muh. Arman KS; Ahmad Nur; Solihin Bone; Nurul Hudayanti; Irfan Amir; Ahsan Yunus; Nasril; Hardianti Hajrah S; Irwan Rum; Rezki Alvionitasari. DEWAN PERS: Ainil Ma’sura Ramli Rezky Pratiwi PEMIMPIN UMUM: Mohammad Supri PEMIMPIN REDAKSI: Nurul Hasanah SEKRETARIS UMUM: Satriani Pandu BENDAHARA UMUM: Puspitasari REDAKTUR PELAKSANA: A. Asrul Ashari Indah Sari Nurjannah REPORTER: Ahmad Ishak; A. Muh. Ikhsan; Arief Try DJ; Hutomo M. Putra; Kaswadi Anwar; M. Aldi Sido; M. Ibnu Maulana FOTOGRAFER: Andi Mutmainnah B; Andi Muh. Aksan; M. Abdussalam, M. Farodi Alkalingga LAYOUTER: Andi Asti Sari; Affandy Ahmad; Anriyan Ridwan T; Rachmat Setyawan DIVISI SUMBER DAYA MANUSIA: A. A Fachreza Aswal; Firman Nasrullah; Rio Atma Putra DIVISI JARINGAN KERJA: Diana Ramli Juliandi J. Juni Nurul Amalia

Foto Bersama. LPMH-UH dan Peserta Penyuluhan Hukum dengan tema, “Bebas dan Beretika di Media Sosial” di SMA Negeri 21 Makassar, Sabtu (28/11).

Salam Pers Mahasiswa !

A

lhamdulillah, pada akhirnya kami dapat kembali menyapa pembaca melalui buletin Eksepsi edisi dua. Pada terbitan kali ini, kami menambah jumlah halaman dari 24 halaman menjadi 32 halaman. Dengan harapan dapat memberikan kepuasan lebih kepada pembaca. Proses dibutuhkan dalam menghasilkan suatu karya, sama halnya dengan menerbitkan buletin Eksepsi. Keinginan menampilkan pemikiran-pemikiran kritis yang “berdasar” membuat kami melakukan observasi, pencarian data, serta wawancara untuk menyajikan berita dengan fakta. Karenanya butuh waktu menghimpun data, mengolah dan merampungkannya menjadi suatu karya.

Terkait dengan proses pembuatan edisi kali ini, Kru Eksepsi mencoba mengulik perkembangan Program Studi Hukum Administrasi Negara (Prodi HAN) setelah tiga tahun lebih berjalan, mulai dari kurikulum, akreditasi, kejelasan lulusan Prodi HAN hingga gelar yang dikupas dalam rubrik Laporan Utama. Sedang pada rubrik Laporan Khusus, kali ini kami mencoba mengusut kasus yang hingga kini belum terselesaikan, terkait 29 penerima Bidik Misi yang dituntut oleh pihak Unhas mengembalikan uang yang diterima. Selain itu, mengenai Bidik Misi, kami juga mengangkat permasalahan yang biasa ditemui sehari-hari tetapi seolah dibiarkan begitu saja, yaitu Bidik Misi yang tidak tepat sasaran.

Bukan hanya persoalan seputar kampus, melalui rubrik Wawancara Khusus dengan Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sul-Sel, kami mencari penjelasan terkait reklamasi yang saat ini mewabah di Makassar. Dan guna menambah wawasan pembaca, kami juga menyajikan rubrik Ulasan Hukum, Perspektif, Opini dan Kolom. Tentunya, rubrik dengan sajian lebih ringan juga kami sajikan untuk me-refresh pembaca dalam menikmati sajian Eksepsi. Terakhir, permohonan maaf kami sampaikan atas ketidaksempurnaan yang ada. Dan kami harap buletin ini dapat membawa manfaat bagi kita semua. Selamat membaca! []

Redaksi Eksepsi menerima tulisan berupa opini, artikel, esai, cerpen, puisi, karikatur maupun foto dari pembaca. Tulisan dapat diserahkan di sekretariat LPMH-UH, atau dikirim via e-mail ke: lpmhuh@ymail.com 2

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

ISSN: 2089-340X


Eksepsis Editorial Kata Mereka tentang Prodi HAN Saat Ini

Sebuah prodi dapat diukur keberhasilannya melalui akreditasi. Alhamdulillah saat ini Prodi HAN telah terakreditasi B. Hal itu termasuk luar biasa, karena prodi baru biasanya masih akreditasi C.

Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum [Dekan FH-UH]

Adanya Prodi HAN ini untuk mempersiapkan lulusan sarjana hukum di bidang Administrasi Negara yang handal. Sehingga dapat meningkatkan kredibilitas pemerintah.

Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H., M.H [Ketua Prodi HAN FH-UH]

Harapan saya, teman-teman Prodi HAN sering berkoordinasi dengan Ketua Prodi untuk menyelesaikan semua permasalahan yang dihadapi. Kalau ada yang berinisiatif, pasti semua kebutuhan bisa dipenuhi.

Muhammad Yasin Raya [Mahasiswa Prodi HAN Angkatan 2012]

ISSN: 2089-340X

Reorientasi Prodi HAN (?)

T

erhitung sejak 2012, tiga tahun lebih Program Studi Hukum Administrasi Negara (Prodi HAN) telah berjalan. Bahkan, beberapa mahasiswa angkatan pertama Prodi HAN yang telah melalui ujian proposal. Hal tersebut menandakan akan adanya alumni pertama Prodi HAN dalam waktu dekat.

Prodi HAN dapat dikatakan memiliki prospek ke depan yang baik bagi alumninya. Sebab, tujuan awal didirikannya agar lulusan prodi ini nantinya dapat mengisi sejumlah tempat di pemerintahan. Berbagai upaya pun turut diusahakan pihak fakultas dan universitas guna menjamin terealisasinya prospek Prodi HAN itu. Seperti pertemuan yang baru-baru saja dilakukan Dekan Fakultas Hukum Unhas (FH-UH) bersama Ketua Prodi HAN dan Rektor Unhas dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), guna meminta jaminan adanya rekomendasi bagi lulusan cum laude Prodi HAN untuk mengisi tempat di kementerian maupun instansi pemerintahan. Prospek yang baik tersebut juga ditambah dengan akreditasi Prodi HAN yang kini menyandang predikat “B”. Sebagai satu-satunya Fakultas Hukum yang memiliki Prodi HAN di tingkat strata satu (S1), tentunya menjadi kebanggaan tersendiri.

Namun, jika melihat dari dalam perspektif mahasiswa Prodi HAN sendiri, masih banyak yang perlu diperbaiki dalam rangka meningkatkan kualitas lulusan Prodi HAN nantinya. Agar Prodi HAN tidak semata-mata bagus dari luar, tetapi memang betul-betul menghasilkan calon aparatur negara yang paham dengan bidang ilmunya. Hal ini dapat dimulai dari memperbaiki kurikulum yang selama ini dikeluhkan beberapa mahasiswa. Waktu pelaksanaan beberapa mata kuliah dianggap mem­­­­­­­­­­­­bingung­­­­­­­kan. Mata kuliah dasar yang seharusnya diprogra­­m terlebih dahulu, malah dilaksanakan bersamaan dengan mata kuliah lanjutannya. Belum lagi persoalan klise terkait rasio Dosen dan mahasiswa yang tidak jarang menjadi persoalan tersendiri.

Akan tetapi di luar itu semua, ada hal yang dianggap beberapa mahasiswa mendesak untuk mendapat penjelasan. Seperti gelar untuk lulusan Prodi HAN nantinya, apakah tetap S.H. atau S.HAN. Prodi HAN yang memang memiliki kekhususan dalam kurikulumnya, akan aneh jika bergelar sama dengan Prodi Ilmu Hukum. Diakui oleh mahasiswanya sendiri bahwa, mereka tidak mendalami ilmuilmu hukum lain secara umum, seperti Hukum Pidana, Hukum Perdata, dll, sehingga dianggap perlu gelar khusus untuk menampakkan kekhususannya. Realita penyelenggaraan Prodi HAN sebagai sebuah prodi tersendiri, memang masih menyisakan banyak tanya. Refleksi tiga tahun berdirinya Prodi HAN, semoga dapat dijadikan momentum bagi segenap pihak terkait dalam mengevaluasi kembali orientasi dan prospek HAN sebagaimana khitah didirikannya. Semoga! [] Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

3


LAPORAN UTAMA

Refleksi Tiga Tahun, Prodi HAN Belum Optimal

T

erhitung sejak 2012, tiga tahun lebih sudah Fakultas Hukum Unhas (FH-UH) membuka Program Studi (Prodi) Hukum Administrasi Negara (HAN). Prodi ini merupakan mandatori dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Kemenpan-RB). Terkait prodi sebagai mandatori dari Kemenpan-RB, Prof. Abrar Saleng, yang saat awal pembukaan Prodi HAN menjabat sebagai Wakil Dekan (WD) I FH-UH, menjelaskan Kemenpan-RB dulu berasumsi perlu ada pendidikan khusus mengenai HAN. “Waktu itu Fakultas Hukum kan satu prodi saja (Prodi Ilmu Hukum, red.), namanya monodisiplin, tapi waktu itu di kajiannya mengatakan perlu ada prodi baru, namanya Prodi HAN, jadi ada dua prodi, Prodi Ilmu Hukum dan Prodi HAN,” jelas Prof. Abrar. Ada tiga universitas yang ditawarkan untuk membuka Prodi HAN saat itu, yaitu Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin dan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Na��� mun, hanya Unhas yang siap menerima mandatori dan satu-satunya Fakultas Hukum yang memiliki dua prodi di tingkat strata satu hingga sekarang. Unhas berani menyanggupi mandatori dari Kemenpan-RB karena sumber daya yang dimiliki. “Sumber daya kita kuat, Guru Besar HAN di FH-UH sebanyak delapan orang,” terang Prof. Abrar. Saat itu disepakati Bagian HAN di Prodi Ilmu Hukum tidak ditutup, maka diminta enam dosen dari Bagian HAN Prodi Ilmu Hukum sebagai dosen homebase Prodi HAN. Kurikulum HAN Titipan KemenpanRB Sebelum Prodi HAN dibuka, ada hasil kajian oleh beberapa pihak yang melibatkan Kemenpan-RB dan beberapa Guru Besar lintas universitas. Perwakilan dari FH-UH ialah Prof. Guntur Hamzah. Kajian kemudian menghasilkan kurikulum, serta visi dan misi. 4

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

“Sesudah itu, (kajian, red.) kita adakan lagi seminar di sini untuk merancang kurikulum Prodi HAN sebelum dibuka secara resmi. Karena ini merupakan mandat dari pusat dalam hal ini dari Dikti dan Kemenpan-RB sehingga pasti ada keterlibatan mereka d����������� alam penyusunan mata kuliah,” jelas Ketua Prodi HAN Prof. Achmad Ruslan saat ditemui di ruangannya. Senada dengan itu, Dekan FH-UH Prof. Farida Patittingi menuturkan, “Dulu yang diberikan tugas oleh Dekan pada saat itu (Prof. Aswanto, red.) yaitu Prof. Guntur Hamzah. Kemudian Prof. Guntur Hamzah termasuk saya pernah bersama-sama Rektor dan Dekan saat itu, kita ada tim dan rombongan ke Kemenpan-RB. Sudah ada kurikulum sendiri yang di-mix jadi hukum dan juga administrasi negara. Memang materi muatannya lebih fokus pada Administrasi Negara,” ungkapnya. Mahasiswa Keluhkan Kurikulum Kurikulum yang ditetapkan kini, dikeluhkan beberapa mahasiswa karena dianggap tidak linear antara satu

dengan yang lain.�������������������� Beberapa ������������������� mata kuliah dianggap membingungkan terkait waktu pelaksanaannya. Seperti mata kuliah Ilmu Negara, Hukum Tata Negara (HTN), dan Hukum Konstitusi diprogram di semester II. Disusul mata kuliah HAN di semester III. Berbeda dengan Prodi Ilmu Hukum, di mana pelaksanaan mata kuliahnya mendahulukan dasar-dasar ilmu hukum. Ilmu Negara didahulukan di semester I, disusul HTN di semester II, HAN di semester III, lalu Hukum Konstitusi di semester IV. Masalah lainnya seperti yang dikeluhkan Muhammad Yasin Raya, mahasiswa HAN angkatan 2012, terkait mata kuliah Hukum Pidana Korupsi, “Seharusnya yang dipelajari di awal itu seperti, teori-teori dasar dari tindak pidana. Menjadi masalah jika kita tidak dibekali materi dasar Hukum Pidana kemudian langsung masuk bagian korupsinya. Itu memang sangat susah,” keluh Yasin. Untuk mengatasinya, ia memilih belajar secara otodidak. “Kalau untuk mengatasi hal ini, saya belajar secara otodidak dengan

SUP/EKSEPSI ISSN: 2089-340X


LAPORAN UTAMA

membaca tentang Hukum Pidana dan mempelajari Hukum Pidana Korupsi,” ujar mahasiswa yang telah menempuh ujian proposal tersebut. Mata kuliah HAN memang dirancang khusus, sehingga tidak dapat disamakan dengan Prodi Ilmu Hukum. Hal tersebut dikemukakan oleh Prof. Achmad Ruslan. Selain itu menurutnya, Hukum Pidana cukup ditekankan dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH) dan Pengantar Hukum Indonesia (PHI) sebagai dasar. “Olehnya itu para pengajar di mata kuliah Anti Korupsi, diharapkan memang memulai dari dasar-dasarnya, tidak bisa langsung deliknya. Jadi, dia harus mengelaborasi dulu. Itu harapan kami. Cuma bagaimana praktiknya, memang perlu tetap dievaluasi,” terangnya. Meski memang semestinya dikhususkan ke arah HAN, kurikulum tetap menjadi polemik bagi beberapa mahasiswa. Seperti penuturan Moh. Soleh, mahasiswa Prodi HAN angkatan 2013. “Ini merupakan masalah dilematis ketika mempelajari hukum, kita tahu bahwa hukum itu merupakan satu kesatuan yang harus dikaji secara komperensif. Sedangkan kurikulum Prodi HAN ������������������������������ terlalu mengkhususkan pada aspek HAN saja”, ungkapnya. Belum Komplit, Kurikulum Dievaluasi Setelah tiga tahun berjalan, evaluasi kurikulum HAN akhirnya diadakan, Sabtu sampai Minggu (24-25/10) lalu. Beberapa hari setelah evaluasi, Kru Eksepsi kembali menyambangi Prof. Achmad Ruslan. Berdasarkan penuturannya, salah satu pembahasan terkait mata kuliah pilihan yang belum tercantum dalam kurikulum. Seharusnya minimal enam mata kuliah pilihan, namun hingga saat ini, baru tiga mata kuliah pilihan yang tercantum dalam kurikulum HAN. Maka dengan mengambil ketiganya saja, mahasiswa sudah memenuhi syarat. Menanggapi hal ini, Prof. Achmad Ruslan menambahkan, “Ke depannya perlu ditambah lagi tiga mata kuliah pilihan dan sudah disepekati rancangannya,” tambahnya. Pembahasan lain mengenai penyajian mata kuliah, utamanya mata ISSN: 2089-340X

kuliah yang seharusnya di semester I, tetapi dipelajari di semester II. Persoalan kemudian muncul dikarenakan adanya mata kuliah umum (MKU) di semester I, hal itu akan mengakibatkan berlebihnya satuan kredit semester (SKS) jika ditambah mata kuliah yang jumlah SKS-nya banyak. “Namun begitu, di suatu waktu bisa saja sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh pengajarnya dan mata kuliah lain yang ada di semester II. Seperti Ilmu Negara, biasanya di semester I namun dipelajari di semester II. Karena kalau dimasukkan ke semester I, maka akan kelebihan jumlah SKS-nya,” jelas Ketua Prodi HAN. Lebih lanjut dalam evaluasi, belum adanya alumni, menjadi salah satu

Mahasiswa turut menentukan keberlanjutan prodi HAN ini,”

alasan belum bisa menilai ketepatan mata kuliah yang telah ada, apakah telah sesuai dengan harapan stake holder atau tidak. Berbeda dengan sebelumnya, pembahasan kurikulum kali ini tidak mengikutsertakan Kemenpan-RB. Mepetnya waktu menjadi alasannya, seperti yang dikatakan Prof. Achmad Ruslan, “Karena memang waktunya sangat mepet dan harus dilaksanakan pada saat ini, belum lagi biaya ditanggung oleh negara, sehingga kami hanya melibatkan dari FISIP. Dari FISIP juga mengajukan saran namun mereka tidak bisa menambah mata kuliah. Tapi itu menjadi bahan evaluasi kami ke depannya.” Hasil evaluasi sendiri kemudian akan berlaku setelah dirapatkan di Senat Unhas, karena Senat Unhas yang berwenang menentukan kurikulum. Persoalan Klise, Dosen Kurang Berdasarkan penelusuran Kru Eksepsi menunjukkan adanya persoalan lain di luar kurikulum. Hingga saat ini, Prodi HAN belum memiliki dosen tetap. Prof. Achmad Ruslan saat dimintai konfirmasinya, mengiyakan hal tersebut, “Belum ada dosen tetap, jadi kalau khusus yang diangkat itu baru satu. Namun itu, baru calon dosen, istilahnya CPNS,

tetapi di SK Rektor itu ada enam orang bahkan ada dua puluh yang semacam pembina tetapnya. Tetapi hal tersebut tidak terlalu signifikan,” ujarnya. Beberapa mahasiswa turut mengeluhkan dosen yang beberapa kali tak ada di kelas. Masih berada dalam satu naungan FH-UH, menjadi dasar pertimbangan belum diperlukannya dosen baru. FHUH yang memiliki lima bagian, bukan berarti mengharuskan dosen mengajar di satu bagian saja. Pengadaan dosen, niatnya akan dilakukan bertahap dan tergantung pihak rektorat, seperti yang diutarakan Prof. Farida, “Kami akan melakukan evaluasi yang nantinya akan diserahkan pada pihak rektorat, lama-kelamaan prodi ini akan mandiri, namun bukan berarti dosennya baru semua, karena kan kita satu fakultas dan terdiri dari lima bagian, bukan berarti dosenya hanya boleh mengajar di satu bagian saja, karena kita bertangung jawab atas itu, makanya harus dilihat perimbangan dan keseimbangan antara jumlah mahasiswa dan dosen yang tersedia,” jelasnya.

Prodi HAN Terakreditasi B Saat diresmikan 2012 lalu, Prodi HAN masih terakrerditasi C. Namun hingga saat ini, Prodi HAN kini menyandang akreditasi B sejak kunjungan BAN-PT dalam mengevaluasi perkembangan Prodi HAN 14 Maret lalu. Belum adanya alumni menjadi salah satu alasan Prodi HAN belum berakreditasi A. Prof. Farida sendiri menilai mahasiswa turut memiliki andil dalam menentukan keberlanjutan prodi HAN. “Mahasiswa turut menentukan keberlanjutan prodi HAN ini, karena akreditasi meningkat juga didukung dengan adanya peran mahasiswa. Tapi kenapa kemarin bagus, karena mahasiswa ikut mengawal proses akreditasi sehingga bisa meyakinkan para asesor bahwa memang berjalan dengan baik.” Lebih lanjut, Dekan FH-UH pun mengakui masih adanya beberapa kekurangan, “Memang masih ada kelemahan mungkin di infrastruktur pendukungnya, seperti ruangan, makanya kita coba mix agar tidak selalu di atas. Karena kita satu di bawah FH-UH hanya prodinya yang berbeda, tidak ada yang eksklusif,” jelas Prof. Farida. [] Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

5


LAPORAN UTAMA

F

Prodi HAN Masih Butuh Tindak Lanjut

akultas Hukum Unhas (FH-UH) hingga saat ini menjadi satusatunya Fakultas Hukum yang memiliki Program Studi Hukum Administrasi Negara (Prodi HAN) di tingkat strata satu (S1). Dibentuknya Prodi HAN 2012 lalu bukan tanpa sebab. Prodi yang terbentuk di era dekanat sebelumnya, berdasarkan penuturan Wakil Dekan (WD) I saat itu, Prof. Abrar Saleng, awalnya diharapkan diisi orang-orang pemerintahan, pegawai-pegawai daerah yang belum memiliki gelar sarjana. Hal tersebut, kata dia, guna menghasilkan pegawaipegawai yang paham tentang HAN. Di luar itu, turut diharapkan alumni prodi mandatori nantinya bekerja di pemerintahan. “Supaya dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat yang butuh pelayanan administrasi negara, itu harapan kami,” ujarnya. Meningkatkan kredibilitas pemerintah karena beberapa aparatur dianggap kurang profesional, seperti kata Ketua Prodi HAN Prof. Achmad Ruslan, turut menjadi alasan didesainnya Prodi HAN untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berupa sarjana hukum di bidang administrasi negara. Senada dengannya, Prof. Farida Patittingi membenarkan pentingnya aspek administrasi negara dalam proses penyelanggaraan negara, belum lagi melihat banyak masalah terjadi karena SDM di bidang administrasi negara yang lemah. “Nah ini khusus untuk mencetak itu sesungguhnya,” ujar Dekan FH-UH tersebut. Meski diharapkan mengisi posisi di pemeritahan, lanjut Prof. Farida, tetap tidak menutup kemungkinan lulusan prodi HAN nantinya bekerja pada bidangbidang lain. Guna mewujudkan keinginan menghasilkan calon aparatur negara yang handal, agak berbeda dengan Prodi Ilmu Hukum, selain memfokuskan kurikulum pada HAN juga dilakukan proses pemagangan. Magang dilakukan selain untuk belajar, juga membantu secara langsung aparatur pada instansi peme6

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

rintah. “Kemudian tentu saja kepada mahasiswa belajar dengan baik, karena itulah ada beberapa mata kuliah yang sangat spesifik, kemudian mahasiswanya diharapkan bukan cuma cerdas tapi juga punya keterampilan, oleh karena itu ada magang,” kata Prof. Achmad Ruslan.

Kemenpan-RB Pernah Janji Rekrut 10 Lulusan Terbaik Saat awal terbentuk, kabarnya 10 lulusan terbaiknya akan terikat dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Kemenpan-RB). Beberapa mahasiswa turut menjadikannya sebagai motivasi masuk Prodi HAN. Seperti yang diutarakan mahasiswa Moh. Soleh, “Karena ini merupakan prodi baru, jadi kemungkinan untuk lulus itu sangat besar dan peluang yang dijanjikan pada waktu itu akan ada 10 lulusan yang terikat dengan Kemenpan, dan pada saat itu sempat diterbitkan di koran-koran,” kata mahasiswa tersebut. Ketua Prodi HAN sendiri mengaku sering mempertanyakan hal serupa saat mengantar mahasiswa ke Kemenpan-RB di Jakarta. “Dulu saya pernah dengar katanya malah beasiswa, ternyata tidak,” ungkapnya. Tidak ada dasar pernyataan resmi dalam bentuk surat, maupun semacam memorandum of understanding (MoU), kata dia, menjadi alasan pihak Kemenpan-RB tidak dapat bertindak apa-apa. Nihilnya pernyataan resmi dari Kemenpan-RB, bukan berarti wacana terkait 10 lulusan terbaik tak pernah ada. Prof. Abrar Saleng sendiri membenarkan adanya hal tersebut. “Karena dulu memang ada janji dari Kemenpan bahwa 10 terbaik akan direkrut menjadi PNS,” katanya. Wakil Kemenpan-RB saat itu, Prof. Eko Prasojo adalah orang yang mengutarakan bahwa 10 lulusan terbaik menjadi priori dan diberikan semacam apresiasi menjadi pegawai negeri. Hal tersebut diungkapkan dalam pidato pembukaan pemberian mandatori Prodi HAN. Namun sayang,

saat ini ia tak lagi menjabat di Kemenpan-RB. “Tapi itu tidak bisa dijamin, karena orang yang menjamin sudah lengser dari pemerintahan,” jelas Prof. Abrar. Prof. Eko merupakan lulusan doktor administrasi negara di Jerman, dia kemudian, seperti yang diungkapkan Prof. Abrar menganggap perlu adanya Prodi HAN untuk mengawal kinerja pemerintahan nantinya. Menyoal janji 10 lulusan terbaik Prodi HAN, Prof. Farida yang mengaku tak pernah mendengar langsung hal itu disampaikan. Ia lalu mengatakan akan melakukan usaha lain dengan mengirim nama-nama kepada stake holder untuk diperhatikan. “Misalnya kita kirimkan data alumni terbaik kita ke Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian yang terkait.” Prodi HAN dicita-citakan sebagai pilot project percontohan dan bertujuan menghasilkan aparatur pemerintahan yang betul-betul menguasai bidangnya sebagai administrator negara. Hal tersebut menurut Prof. Abrar menjadi alasan perlunya di­ usahakan janji terealisasi “Saya harus ingatkan bahwa semestinya janji itu ditagih,” ujarnya.

Audiensi dengan Menteri PAN-RB, Menghasilkan Peluang Bagi Alumni Prodi HAN Beberapa waktu lalu, Rabu (11/11), Rektor Unhas Prof. Dwia Aries Tina Pulubuhu, Dekan FH-UH Prof. Farida, dan Ketua Prodi HAN FH-UH Prof. Achmad Ruslan mengadakan audiensi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Yuddy Chrisnandi di Jakarta. Saat ditemui di ruangannya, Prof. Farida menuturkan bahwa dalam audiensi kemarin, Prof. Dwia telah menyampaikan harapan untuk mendapat dukungan dari Menteri PAN-RB terkait alumni Prodi HAN nantinya. “Alhamdulillah Pak Menteri merespon dengan baik,” kata Prof. Farida. Kedepannya, lanjut Prof. Farida, Menteri PAN-RB menjanjikan akan merekrut lulusan terbaik yang cum

ISSN: 2089-340X


LAPORAN UTAMA laude, data lulusan terbaik akan dikirim pada Menteri PAN-RB melalui Deputi Kelembagaan yang kemudian akan diberikan rekomendasi untuk rekruitmen. “Apakah ditempatkan di kementerian atau lembaga pemerintahan yang ditunjuk atau direkomendasikan oleh kementerian.” Akan tetapi hal tersebut tidak menjamin semua alumni langsung direkrut, langsung lulus dan bekerja. “Silahkan berkompetisi, tetapi ada peluang untuk itu, dan yang kedua, bagusnya itu lulusan terbaik akan direkomendasikan atau diprioritaskan,” jelas Dekan FH-UH tersebut. Selain masa depan alumni Prodi HAN, dalam audiensi juga disampaikan proses perkembangan HAN. Terkait akreditasi HAN yang telah menyandang akreditasi B, dan evaluasi kurikulum yang telah dilakukan oleh pihak fakultas.

Menuju Gelar S.HAN Sampai saat ini belum ada gelar khusus untuk Prodi HAN, sementara saat di wawancarai, mantan WD I FH-UH Prof. Abrar memberi penjelasan jika adanya perbedaan gelar antara Prodi HAN dan Ilmu Hukum, memang banyak diinginkan saat diberinya mandat FH-UH untuk membuka Prodi HAN. Namun saat itu belum sampai pada pembahasan gelar dan hanya menyepakati pada gelar sarjana hukum (S.H.). Ia melanjutkan, jika pada prinsipnya lulusan Fakultas Hukum akan memiliki gelar S.H. karena gelar sendiri merupakan urusan Kementerian Pendidikan Tinggi yang saat ini berada dalam Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Kemenristekdikti RI). “Tetap sarjana hukum, karena tidak ada yang namanya sarjana hukum administrasi negara, gelar itu urusannya Kementerian Pendidikan Tinggi, dan yang dibahas di Kemen-

ISSN: 2089-340X

pan itu baru sampai prosedurnya,” terang Prof. Abrar. Seperti yang diutarakan Prof. Abrar, berdasarkan lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 154 Tahun 2014 tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi, gelar untuk jenjang S1 Fakultas Hukum adalah S.H. Dalam lampiran tersebut belum ada gelar khusus untuk prodi di luar Ilmu Hukum selain S.H. yang berarti harus menunggu keputusan dari Kementerian tentang pengkhususan gelar dari prodi HAN. Akan tetapi, melihat kurikulum yang memang berbeda dengan Prodi Ilmu Hukum, Prof. Abrar tidak membantah jika perbedaan gelar bisa diadakan. “Tidak menutup kemungkinan jika ada yang mau mengusahakan hal itu bisa saja,” katanya. Usaha mengadakan gelar khusus Prodi HAN tampaknya telah dilakukan. Dekan FH-UH Prof. Farida mengungkapkan, Fakultas Hukum telah menyurat ke Wakil Rektor (WR) I Unhas untuk dilanjutkan ke Kemenristekdikti, namun belum ada keputusan yang dikeluarkan. Prof Farida sendiri menginginkan adanya gelar khusus untuk prodi HAN yakni S.HAN. Hal serupa diutarakan WD I FH-UH Prof. Ahmadi Miru, “Saya belum tahu tapi Insya Allah berbeda, yakni S. HAN. Sudah ada SK yang dikirmkan ke Jakarta untuk mempertanyakan itu.” Menjadi persoalan kini, mahasiswa Prodi HAN angkatan 2012 tak lama lagi mendekati wisuda, yang merupakan wisuda pertama Prodi HAN, bahkan beberapa telah melalui ujian proposal. Menangani hal tersebut, Prof. Farida mengatakan telah berkordinasi dengan rektorat. “Sebelum itu tejadi pasti sudah saya antisipasi dengan tentu berkoordinasi dan berdiskusi dengan Ibu Rektor dan WR

I. Kita tidak akan membiarkan keluar tanpa gelar,” katanya. Di sisi lain, Prof. Achmad Ruslan berpendapat jika masih belum ada kejelasan gelar, maka gelar yang digunakan adalah S.H. “Tapi kalau misalnya tidak ada mungkin S.H. saja,” ujarnya. Adanya beberapa aturan-aturan dasar yang harus diubah, menurut Prof. Achmad Ruslan, kemungkinan besar menjadi penyebab belum keluarnya jawaban hingga saat ini. Senada dengan Prof. Achmad Ruslan, meski turut mengharapkan gelar khusus, menurut Prof. Abrar gelar S.H. yang akan digunakan jika belum ada aturan yang keluar. “Saya sih berharap beda, tapi agak susah agak lama pengurusannya, jadi sementara pake saja dulu gelar S.H. kekhususan administrasi negara,” kata Prof. Abrar. Solusinya, kata dia, di dalam ijasah nanti dapat dicantumkan nomenklatur yang menuliskan kekhususan itu, agar dapat dibedakan sarjana hukum dari Prodi Ilmu Hukum dan dari Prodi HAN. WR I Unhas, Prof. Junaedi Muhidong saat diwawancarai menegaskan jika pihak universitas masih menunggu keputusan dari Kemenristekdikti terkait gelar tersebut. Menurutnya gelar HAN akan dibahas lebih lanjut untuk dikaji di Kemenristek. Pihak universitas masih menunggu hasil kajian ulang terkait Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 154 Tahun 2014 tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi. Menurutnya, ke depan akan ada perubahan Peraturan Menteri tersebut terutama pada gelar. [] Tim Laporan Utama:

A. Muh. Ikhsan, Kaswadi Anwar, M. Farodi Alkalingga, Muhammad Aldi Sido

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

7


LAPORAN KHUSUS

K

esalahan verifikasi tim yang menangani beasiswa Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi (Bidik Misi) berbuntut panjang. Pihak Universitas Hasanuddin (Unhas) memerintahkan dua puluh sembilan (29) mahasiswa yang dianggap tidak berhak menerima Bidik Misi untuk mengembalikan uang beasiswa yang pernah mereka terima. Sebelumnya, 29 orang tersebut dianggap tidak memenuhi syarat sebagai penerima Bidik Misi berdasarkan hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Perintah pengembalian uang tersebut, dianggap keliru oleh beberapa pihak. “Kasusnya di sini adalah 29 orang ini lulus karena hasil verifikasi dari Unhas,” Jelas Alam Saputra, perwakilan dari Aliansi Unhas Bersatu. Menurut Alam, 29 orang tersebut diloloskan untuk memenuhi kuota Bidik Misi “Pada tahun 2012 kemarin, kuota penerima Bidik Misi dari Unhas kurang, sehingga jika kurang maka kuota penerima Bidik Misi dari Unhas akan dikurangi pada tahun selanjutnya, oleh karena itu tim verifikasi meloloskan beberapa orang yang tidak seharusnya lolos verifikasi,” ujar Alam. Kesalahan verifikasi yang dilakukan oleh Unhas berdampak bagi mahasiswa. Salah seorang dari 29 penerima bidik misi tersebut, sebut saja namanya X, mengatakan ia mendapat intervensi dari pihak Unhas. “Kami sering mendapatkan intervensi dari pihak universitas untuk mengembalikan (uang bidik misi yang telah diterima, red.), kemudian kami juga mendapat intervensi dalam hal akademik,” ungkapnya. Seleksi yang dilakukan oleh tim verifikasi sebagai pihak yang berwenang menetapkan lulus tidaknya calon penerima Bidik Misi, menuai banyak kontrovensi. Kepala Biro Administrasi Kemahasiswaan Unhas, Muh. Ali Mantung mengungkapkan, “Penetapan penerima Bidik Misi tidak tepat sasaran itu karena disebabkan 8

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

Kesalahan Verifikasi, 29 Mahasiswa Jadi Korban data yang dia masukan. Pendapatan bersihnya yang dia masukkan,” ujarnya. Bertolak belakang dengan pernya­ taan Ali mantung, X mengatakan bahwa ia juga memasukkan slip gaji kotor. “Pada saat memasukkan berkas, kami juga memasukkan slip gaji bersih dan kotor dari orang tua, karena itu adalah salah satu persyaratan,” tuturnya. Buntut dari kasus ini, 29 mahasiswa tersebut diwajibkan mengganti beasiswa Bidik Misi yang pernah mereka terima. “Saya termasuk dari 29 orang disuruh menggantikan uang Bidik Misi, saya pernah disuruh membayar ganti rugi sebesar 19.5 juta rupiah tetapi akhir-akhir ini saya dituntut untuk mengganti sebesar 32 juta rupiah,” ungkap Akbarsyah, salah seorang dari 29 penerima Bidik Misi. Ikab Dianggap Lamban Terkait polemik Bidik Misi yang dihadapi beberapa mahasiswa tersebut mendorong Aliansi Unhas Bersatu turun tangan mengadvokasi mahasiswa yang bersangkutan. Aliansi Unhas Bersatu yang terdiri dari beberapa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan organ lain yang berada di lingkup Unhas te­lah melakukan berbagai upaya. Mereka pernah melakukan aksi di depan gedung Rektorat terkait masalah tersebut. Tindak lanjut dari aksi tersebut adalah diadakannya dua kali dialog bersama Wakil Rektor (WR) III Abd.Rasyid Jalil pada 9 dan 15 Oktober lalu. Salah satu mahasiswa yang ikut melakukan aksi, A. Rizki Khairunnisa menyampaikan bahwa polemik yang diadvokasi pihak Aliansi Unhas Bersatu adalah hal penting. ”Kesalahan tidak sepenuhnya ada pada mahasiswa, melainkan adalah kesalahan tim verifikasi yang meloloskan mereka. Oleh karena itu, mahasiswa tidak berkewajiban mengembalikan uang Bidik Misi tersebut,” tukasnya. Menurut X, sudah banyak yang Aliansi Unhas Bersatu lakukan, un-

tuk mengadvokasi polemik Bidik Misi tersebut. Respon cepat yang dilakukan oleh Aliansi Unhas Bersatu sangat membantunya sedangkan Ikatan Ke­luarga Bidik Misi (Ikab) Unhas terkesan acuh tak acuh. “Saya sempat ditelpon oleh Ketua Ikab, untuk menghadap ke WR III, tetapi pada saat itu, hanya saya yang dipanggil dan saya tidak punya data awal, untuk menghadap ke WR III,” ungkapnya. Ia menginginkan perlu ada kajian awal terkait kasus sebelum mendatangi WR III, tetapi ketua Ikab pada saat itu langsung menyarankan X untuk langsung menghadap. “Saya kurang setuju. Dan setelah itu, saya tidak pernah dihubungi lagi untuk tindak lanjut berikutnya.” ungkapnya. Ryan Akmal Suriadi salah satu anggota Aliansi Unhas Bersatu menyatakan bahwa Ikab lamban mengawal kasus Bidik Misi. “Ikab terlambat, baru bergerak setelah didesak oleh Aliansi Unhas Bersatu,” katanya. Mahasiswa angkatan 2013 tersebut, berharap Ikab lebih aktif mengawal anggotanya. “Kalau misalnya ada masalah tentang Bidik Misi harus disikapi,” ujar Ryan. Ketua Ikab mengakui bahwa organisasinya lamban mengawal kasus Bidik Misi. Namun, hal tersebut bukanlah tanpa alasan. Menurutnya, pihak kemahasiswaan terkesan tertutup terkait persoalan ini kepada Ikab. “Kasus ini kesannya disembunyikan dari kami. Kami baru me­ ngetahui kasus ini ketika ada pertemuan antara orang tua penerima Bidik Misi yang berkasus dengan pihak kemahasiswaan,” ungkap Muhammad Jabal. Jabal juga menuturkan Ikab sulit untuk mencampuri langsung otoritas dari bidang kemahasiswaan, “Fungsi kami hanya memediasi. Kami mempunyai grup (grup Facebook, red.). Jadi teman-teman bisa menyampaikan semua keluhan-keluhannya, dan nanti keluhan itu diramu dan akan dibawa ke universitas,” imbuh mahasiswa angkatan 2013 tersebut. Apa yang disampaikan Ketua Ikab,

ISSN: 2089-340X


LAPORAN KHUSUS

ISSN: 2089-340X

kan konsekuensi. “Apapun judulnya di meja hijau pun, adik-adik pasti akan dikatakan bersalah,” tegasnya. Senada dengan itu, Ali Mantung yang sempat ngobrol dengan Kru Eksepsi di ruangannya selepas dialog, mengakui kekhilafan tim verifikasi. “Dari sekian banyak mahasiswa yang terima beasiswa, 29 di antaranya yang ada kekhilafan tim verifikasi karena hanya melihat pendapatan bersih, tidak sempat lagi menghitung pendapatan kotor,” ungkapnya. Akan tetapi, sama seperti WR III, Ia juga merasa ada andil dari mahasiswa. “Ketika anda cocok, silakan mendaftar ketika anda tidak cocok, jangan mendaftar. Kalau dicari salahnya, duadua bersalah. Mahasiswa kalau sudah tahu, kenapa memasukkan berkas. Tim verifikasi juga punya kekurangan,” tutur Ali Mantung. WR III sendiri saat ditemui Kru Eksepsi untuk keperluan klarifikasi di ruangannya menolak memberikan komentar terkait kasus ini. Ganti Rugi Tidak Bisa Dibebankan Kepada Mahasiswa Dianggap memiliki andil kesalahan, Salman Alfarisi, salah satu dari 29 mahasiswa kasus Bidik Misi menyatakan keberatannya. “Ini merupakan kesalahan pihak birokrasi yang tidak jeli, karena saya sendiri tidak memalsukan berkas yang saya lampirkan,” ungkapnya. Melihat persoalan dari kacamata hukum, Dosen Hukum Keuangan Negara FH-UH Nazwar Bohari saat ditemui Kru Eksepsi, menyatakan bahwa mahasiswa dapat menolak ganti rugi jika Unhas tidak mempunyai dasar menuntut. Menurutnya penuntutan ganti rugi dapat dilakukan jika memang mahasiswa terbukti melakukan kesalahan, misalnya pemalsuan. “Jika terjadi karena kelalaian administrasi, alasan apapun, Unhas Tidak berhak menuntut mahasiswa. Kalau saya mahasiswa, saya tidak bayar,” tuturnya. Menur u t

Nazwar, dalam HAN kesalahan administrasi tidak boleh di­limpahkan kepada individu. Mahasiswa tidak tahu apaapa tentang klasifikasi khusus berkas mereka, yang tahu persis adalah pihak Unhas. “Sederhana logikanya, ini termasuk tanggung jawab jabatan administrasi, jadi jangan limpahkan ke individu,” tuturnya. Ia pun berpendapat bahwa solusi untuk menanggung bersama kerugian tersebut, tidak dibenarkan apabila kesalahan tersebut terjadi karena kesalahan Unhas. Nazwar juga mempertanyakan dana yang digunakan Unhas untuk mengganti kerugian negara tersebut. Menurutnya, dana yang digunakan Unhas untuk menalangi ganti rugi tersebut harus ditelurusi. “Ganti rugi itu tidak boleh gunakan dana institusi, tetapi dana pribadi pejabatnya,” ujarnya Pernyataan Dosen Hukum Keuangan Negara tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 59 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan, “Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut.” X berharap kasus tersebut segera selesai. “Kami sudah lumayan stres, karena kasus ini sudah hampir satu tahun,” ujarnya. []

SUP/EKSEPSI

bertolak belakang dengan apa yang diungkapkan oleh X “Saya pernah memposting di grup Ikab terkait kasus ini, untuk memanas-manasi para pengurus. Tetapi, setelah saya berkomentar panjang lebar, postingan itu terhapus, dan akhirnya saya melapor ke Aliansi Unhas Bersatu untuk penyelesaian kasus ini,” ungkapnya. Jabal pun, mempertanyakan pilihan mahasiswa yang bersangkutan yang lebih memilih Aliansi Unhas Bersatu daripada Ikab. “29 orang ini mengapa lebih memilih Uber (Aliansi Unhas Bersatu, red.) daripada kami (Ikab,red.) yang notabenenya sebagai organisasi yang harusnya membantu mereka,” ungkap Jabal. Wakil Rektor III: “Ke Meja Hijau Pun Kita Lanjut.” Terkait kasus ini, WR III dalam dialog dengan mahasiswa menyatakan siap lanjut ke meja hijau. “Kalau ini tuntut­annya bahwa semua dikembalikan ke­salahan ke Unhas, mohon maaf, ke meja hijau pun, kita lanjut,” tegasnya. Dalam dialog tersebut, salah seorang perwakilan dari mahasiswa menyatakan bahwa pihak universitas sudah mengetahui mereka tidak pantas lolos tetapi tetap meluluskan. “Ucapan terima kasih yang sedalamdalamnya kepada pihak Unhas yang telah memberikan kami kesempatan untuk menerima bantuan Bidik Misi pada tahun 2012, meskipun pihak universitas mengetahui kami tidak pantas menerima berdasarkan buku pedoman penerimaan Bidik Misi tahun 2012,” ucapnya. Senada dengan hal itu, Aliansi Unhas Bersatu menganggap bahwa seluruh kesalahan terkait kasus Bidik Misi tersebut, murni kesalahan tim verifikasi yang meloloskan berkas para mahasiswa. Namun, WR III berpendapat berbeda. Menurutnya, 29 mahasiswa tersebut memiliki kontribusi melakukan kesalahan karena memasukan berkas. “Semua orang punya kontribusi yang sama untuk melakukan kesalahan. Kalau tadi kita menjawab bahwa kita manusia biasa, tim verifikasi juga seperti begitu,” ungkap pria yang akrab disapa Pak Cido tersebut. Lebih lanjut dalam dialog, WR III mengatakan, jika sama-sama salah, tentu dua-duanya harus mendapat-

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

9


LAPORAN KHUSUS

Lagi, Bidik Misi Salah Bidik ARF/EK

SEPSI

M 10

emperoleh sebuah pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara. Hak tersebut bahkan telah diakui oleh negara dalam Pasal 28 C ayat (1) UUD NRI 1945. Memperoleh pendidikan bukan hanya milik orang-orang mampu, pun bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomi tetapi memiliki potensi dan kemauan dapat menempuh pendidikan bahkan sampai perguruan tinggi. Jaminan bantuan dari Pemerintah bagi mereka yang tak mampu tetapi ingin menyandang sebutan mahasiswa, bahkan telah tertulis dalam undang-undang khusus. Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi berbunyi, pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Maha-siswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik. Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi (Bidik Misi) merupakan bentuk bantuan yang diberikan guna memenuhi kewajiban Pemerintah. Berdasarkan website resmi Bidik Misi, www.bidikmisi.dikti.go.id, dijelaskan bahwa Bidik Misi merupakan bantuan biaya pendidikan, berbeda dari beasiswa yang berfokus pada memberikan penghargaan atau

dukungan dana terhadap mereka yang berprestasi, Bidik Misi berfokus kepada yang memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi (lihat penjelasan Pasal 76 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi). Adanya syarat prestasi bagi calon penerima Bidik Misi, untuk menjamin penerima bantuan memiliki potensi dan kemauan untuk menyelesaikan pendidikan tinggi, tetapi syarat utama ialah dari segi ekonomi. Seperti yang diutarakan Esan Lamban selaku Kepala Bidang Kemahasiswaan Unhas, bahwa syarat terpenting bidikmisi adalah penghasilan orang tua. “Gaji kotor dibagi dengan anggota keluarga. Tidak bisa lebih dari 750 ISSN: 2089-340X


LAPORAN KHUSUS ribu rupiah. Lebih dari itu, tidak bisa menerima Bidik Misi.” Menurutnya, salah satu tujuan Bidik Misi adalah untuk memutuskan garis kemiskinan.

Pulang Kampung karena Tak Terbidik Bidik Misi Bidik Misi kini nyatanya tidak memberikan jaminan seperti yang diharapkan. Mereka yang semestinya dapat menikmati bangku kuliah terpaksa kembali pulang karena tak terbidik. Hardiyanti Rahmayana mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH) terpaksa pulang kampung karena tak sanggup membayar uang kuliah. Beasiswa Bidik Misi yang ia harapkan memupuskan harapannya. Ia tak lolos. Ia hanya sanggup kuliah selama tiga minggu, hingga akhirnya pulang ke Maros. “Dinyatakan tidak lulus sampai tahap pengumuman di grup Facebook maba Unhas dan tidak ada keterangan dari pihak birokrasi,” tutur Hardiyanti, saat ditemui Kru Eksepsi di rumah sederhananya di Jalan Bantimurung, Maros. Tidak diketahui penyebab tak diterimanya berkas Hardiyanti, padahal jika dilihat dari syarat-syarat utama penerima Bidik Misi, yaitu memiliki potensi dan kemauan serta kurang mampu secara ekonomi, ia memenuhi syarat-syarat tersebut. Setelah kunjungan ke rumah Hardiyanti, Kru Eksepsi menemui

Dekan FH-UH, Prof. Farida Patittingi keesokan harinya. Ia kemudian berjanji akan menidaklanjuti masalah tersebut. Namun, menurut pengakuannya, tidak ada dana khusus fakultas untuk membantu mahasiswa seperti Hardiyanti. “Tidak ada dana dari pihak fakultas untuk membantu mahasiswa seperti ini,” ujarnya.

Saya sebenarnya hampir tidak dapat bidik misi, namun karena adanya orang dalam lebih memudahkan registrasinya,”

Beberapa waktu kemudian, mulai tersebar selebaran kertas “Peduli Hardiyanti”, selebaran tersebut, berisi penjelasan terkait kondisi Hardiyanti dan ajakan untuk memberikan bantuan, hingga akhirnya kasus tersebut mulai dilirik berbagai pihak dan Hardiyanti kini dapat kembali kuliah. Salah Bidik, Ekonomi Mampu Tetapi Memperoleh Bidik Misi Berbanding terbalik dengan nasib Hardiyanti, salah seorang narasumber sebut saja A yang kami temui lebih beruntung. Ia mengaku bahwa orang tuanya cukup mampu.

Gaji orang tuanya tidak masuk dalam standar penghasilan penerima BidikMisi, namun dengan “bantuan” yang didapatnya dari orang dalam Unhas sendiri, ia dapat memperoleh Bidik Misi. “Saya sebenarnya hampir tidak dapat Bidik Misi, namun karena adanya orang dalam hal itu lebih memudahkan registrasinya,” ucapnya. Terkait lolosnya ia dari verifikasi, berdasar pengakuannya, tim verifikasi tidak pernah menyambangi rumahnya. “Tidak pernah ada. Katanya untuk penerima Bidik Misi diverifikasi di rumah dan sekolah, tetapi nyatanya tidak ada.” Ia bahkan menyarankan agar tim verifikasi Bidik Misi harus lebih diperketat. “Kalau bisa tim verifikasi mendatangi rumah dan sekolah penerima Bidik Misi agar dapat memperoleh data yang sebenarnya. Tidak hanya menerima data saja,” katanya. Seperti yang terlihat dalam logo Bidik Misi, ada slogan berbunyi, “Menggapai Asa, Memutuskan Mata Rantai Kemiskinan”. Sesuai dengan yang diharapkan dari kalimat tersebut, semoga saja Bidik Misi tidak menjadi “tidak tepat sasaran”. [] Tim Laporan Khusus:

Andi Muhammad Aksan, Andi Mutmainnah, Hutomo Mandala Putra, M. Ibnu Maulana

Google.com ISSN: 2089-340X

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

11


WAWANCARA KHUSUS Guna Kepentingan Bisnis, Reklamasi Abaikan Kepentingan Rakyat Akhir-akhir ini, kegiatan reklamasi kerap tampak di beberapa sudut Kota Makassar. Timbulnya kontradiksi dikarenakan reklamasi dilakukan saat belum disahkannya Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW). Reklamasi yang semestinya dilakukan guna memperbaiki daerah pesisir yang rusak, berganti fungsi untuk membangun kawasan bisnis. Terkait hal tersebut, Kru Eksepsi Rahmat Setyawan menemui Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan Asmar Exwar, guna memberikan penjelasan lebih lanjut, berikut petikan wawancaranya; Bagaimana perkembangan reklamasi di kota Makassar ? Perkembangan reklamasi sekarang yang pertama awal Desember kan dimoratorium, Januari ya 2015, ar­ tinya semua kegiatan reklamasi dihentikan menunggu adanya Peraturan Daerah (Perda) yang terkait dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota. Melalui Panitia Khusus (Pansus) meminta dia (DPRD, red.) yang bikin semua. Yang mendorong sejak awal diberhentikan reklamasi adalah aliansi teman-teman pesisir dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Mereka meminta reklamasi dimoratorium. Tetapi, waktu itu kita meminta dimoratorium dan juga diaudit lingkungannya. Pansus DPRD sempat memanggil pihak yang melakukan penimbunan. Meskipun demikian, tidak ada kejelasan terkait perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki izin dan sudah menimbun. Kemarin RTRW sudah disahkan padahal kita tahu pembangunan reklamasi Central Point of Indonesia (CPI) masih berjalan. Walaupun begitu Perda nya sampai sekarang belum dimasukkan ke lembaran daerah. Tujuan diadakan reklamasi pantai? Tujuan utama reklamasi di Makassar adalah untuk komersialisasi. Pertama, reklamasi yang dilakukan di Pantai Barat Makassar, dimasukkan ke kawasan yang bernama kawasan bisnis global. Dari namanya saja, kita tahu bahwa ini kawasan bisnis. Reklamasi yang dilakukan adalah reklamasi yang menimbun laut, jadi dari pesisir ke arah laut dilakukan penimbunan. Reklamasi yang dilakukan bukan sebagaimana mestinya, misalnya untuk memperbaiki daerah pesisir yang rusak. Reklamasi dilakukan untuk mendapatkan tanah baru dan akan dibangun kawasan bisnis. Jadi, reklamasi Makassar diperuntukkan untuk kawasan bisnis.

12

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

Dok. Pribadi

Pendapat Walhi terkait tujuan diadakan reklamasi tadi? Pesisir itu bukan open access bisnis, tetapi semua masyarakat bisa mengakses wilayah laut. Tidak boleh ada tindakan yang sebenarnya menghilangkan hak masyarakat mengakses pesisir. Nah, dengan adanya reklamasi, yang pertama, akan menghilangkan akses masyarakat ke pesisir. Kedua, kegiatan reklamasi sekarang sudah menggusur 45 Kepala Keluarga di wilayah Mariso, mengancam nelayan yang ada di sana, dan pedagang ikan yang ada di CPI. Kemudian, menghilangkan akses masyarakat pulau. Menurut kita reklamasi memang harus dihentikan, tidak boleh dilanjutkan. Selain itu, karena lingkungan reklamasi ini milik tambang pesisir Makassar, maka dapat menambah tingkat pencemaran air laut, menghilangkan hutan mangrove dan terumbu karang. Wilayah pesisir Makassar akan semakin hancur karena kegiatan reklamasi.

Syarat-syarat melakukan reklamasi apakah sudah terpenuhi atau belum? Belum, yang pertama, secara regulasi harus ada peraturan, dalam hal ini belum ada. Kedua, reklamasi dilakukan saat RTRW belum disahkan. Ketiga, pesisir Makassar masuk ke dalam wilayah strategis nasional sehingga harus ada izin reklamasi dari Kementerian. Nah, kemudian izin lingkungan juga harus mengacu pada aturan yang lebih tinggi. Sehingga dari segi aturan memang seharusnya tidak boleh ada reklamasi. Dari segi administratif, belum terpenuhi tetapi kegiatan sudah dilakukan. Peran Pemerintah sejauh ini terkait reklamasi di Makassar? Kawasan bisnis global merupakan kawasan bisnis yang dijalankan langsung oleh pemerintah kota. Kemudian, pembangunan CPI ini merupakan proyek dari Pemerintah Provinsi. Jadi Pemda merupakan bagian langsung dari reklamasi ini.

ISSN: 2089-340X


WAWANCARA KHUSUS Apakah Pemerintah tidak mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya sehingga mengesahkan reklamasi tersebut? Seharusnya Pemerintah mempertimbangkan aspek tersebut. Tetapi, jika Pemerintah lebih klop kepada ka­pital, lebih klop pada pemodal, tentu dia akan pilih pemodal dibandingkan masyarakat kecil. Jadi, jika reklamasi dilakukan untuk kawasan bisnis global maka hanya orang-orang bermodal besarlah yang bisa mengelola itu. Dari segi kapital tentu akan merasa diuntungkan, sehingga aspek-aspek sosial ekonomi budaya ini terabaikan. Bagaimana keadaan masyarakat pesisir yang bekerja sebagai nelayan? Ya, tentu beralih pekerjaan, yang jadi masalah siapkah masyarakat nelayan tiba-tiba beralih pekerjaan. Nah, ini tentu persoalan sosial. Reklamasi ini justru melahirkan persoalan-persoalan sosial yang baru dalam masyarakat. Terutama masyarakat di daerah pesisir.

Bagaimana tindakan Pemerintah terkait mata pencaharian masyarakat pesisir yang terkena dampaknya? Sampai saat ini, belum ada tindakan apapun. Malah masyarakat yang berusaha mencari mata pencaharian baru, seperti menjadi pedagang asongan, tukang parkir, ojek, dan lain sebagianya.

INN/EKSEPSI

Bagaimana peran Walhi dalam menyikapi reklamasi tersebut? Aliansi masyarakat pesisir tetap melakukan advokasi

ISSN: 2089-340X

dan mengamati. Kita terus meminta dihentikan adanya reklamasi tersebut dan memperhatikan wilayah pesisir dan hutan mangrovenya, sehingga nelayan-nelayan dapat beraktivitas kembali di lingkungan yang lebih baik. Juga kita melakukan upaya terkait dengan upaya hukum. Apa langkah-langkah yang dilakukan Walhi terkait dengan adanya reklamasi ilegal sebelum terbitnya RTRW? Pertama, Perda ini tidak berlaku surut. Artinya, pembangunan sebelum ada Perda harus diproses secara hukum. Akan tetapi yang terjadi, pihak-pihak yang terkait malah dibebaskan. Kedua, Walhi dan aliansi akan melakukan judicial review terkait dengan Perda tersebut. Harapan kedepannya terkait persoalan ini? Harapannya, reklamasi dihentikan dan dilakukan pemulihan kawasan pesisir dan Pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan yang pro terhadap masyarakat pesisir atau nelayan. Kemudian, juga menyiapkan lahanlahan area publik seperti hutan kota.

Langkah konkrit Walhi bersama aliansi ke depannya terkait masalah ini? Pertama, kita akan judicial review Perda tersebut. Kemudian, kita tetap melakukan advokasi hingga proses reklamasi pantai benar-benar dihentikan. Tentunya itu bukan hanya Walhi dan aliansi tetapi juga masyarakat dan mahasiswa terlibat dalam penolakan reklamasi yang merugikan masyarakat. []

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

13


ULASAN

HUKUM Pemberatan Hukuman

Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Dok. Pribadi

P

Oleh: Prof. Dr. H. Slamet Sampurno Soewondo, SH., MH., DFM (Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)

eristiwa kejadian kekerasan seksual terhadap anak saat ini semakin sulit dikendalikan. Banyaknya predatorpredator yang melakukan kekerasan terhadap anak menunjukkan bahwa mereka itu ada dan sangat berbahaya bagi anakanak kita. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak ini merupakan suatu penyakit kelainan jiwa yang dikenal dengan nama Pedophilia. Istilah Penyakit ini secara umum menjelaskan salah satu kelainan psikoseksual, di mana individu memiliki hasrat erotis yang abnormal terhadap anak.

Berita-berita tentang kekerasan seksual terhadap anak banyak diberitakan, baik di media cetak, media elektronik, dan media sosial, menunjukkan semakin meningkatnya kejahatan tersebut. Hal ini menuntut perhatian seluruh lapisan masyarakat, khususnya Pemerintah (Pusat dan Daerah) dan lebih khusus lagi adalah aparat penegak hukum. Berdasarkan catatan Komnas Perlindungan Anak, pada Bulan Januari-April 2014, tercatat sejumlah 342 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sementara itu, data dari Kepolisian (Polri) mencatat 697 kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi pada tahun 2014. Adapun data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, kasus kekerasan anak di Indonesia hingga April 2015 sebanyak 6006 kasus. Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan seksual anak rata-rata 45 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulannya menurut KPAI. (Davit Setyawan, KPAI, 20 Oktober 2015).

Melihat tren jumlah kasus yang ada, diharapkan peran serta dari organisasi pemerhati anak, misalnya KPAI dan Komnas Perlindungan Anak. Peran mereka harus lebih konkrit lagi dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap 14

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

anak. Pemerintah juga dituntut berperan aktif dan lebih fokus untuk mencegah kejahatan atau kekerasan tersebut. Pemerintah harus memperkuat peran KPAI dengan memberi fungsi mediasi dan investigasi serta melakukan pengawalan khusus terhadap penanganan hukum.

Pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), telah dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak. Inpres ini dikeluarkan sebagai jawaban semakin maraknya kekerasan seksual terhadap anak, khususnya yang terjadi pada Jakarta Internasional School (JIS). Inpres ini menginstruksikan kepada para Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala Lembaga non Pemerintah, Gubernur dan Walikota/Bupati, untuk mengambil beberapa langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masingmasing. Melakukan pencegahan dan pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak melalui Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak (GN-AKSA), yang melibatkan seluruh unsur masyarakat dan dunia. Selain itu pada tahun 2014 juga telah disahkan undang-undang tentang perlindungan anak yang baru, yaitu UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini diharapkan dapat menjadi senjata pamungkas untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Dalam UU ini juga telah mengatur mengenai keamanan anak dalam lingkungan sekolah, dan hukuman bagi pendidik yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak, jumlah hukumannya pun telah diubah jadi lebih lama. Namun nampaknya tidak dapat membuat efek jera bagi para predator-predator

ISSN: 2089-340X


ULASAN

HUKUM

Google.com

anak, terbukti semakin maraknya kekerasan seksual terhadap anak saat sekarang ini. Oleh karena itu banyak pengamat dan pemerhati anak menyatakan bahwa Indonesia sudah “Darurat Kekerasan Seksual Anak�. Keadaan inilah yang menimbulkan pemikiran untuk mengoreksi hukuman atau menambah hukuman bagi pelaku kekerasan seksual anak, berupa hukuman pemberatan. Karena hukuman yang ada dianggap tidak dapat memberi efek jera bagi pelaku. Hukuman pemberatan sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu pada Pasal 58 angka (2). Pasal ini menekankan bahwa pelaku kekerasan seksual (perkosaan terhadap anak) harus dikenakan pemberatan hukuman. Hal inilah sebenarnya tidak diperhatikan oleh pembuat undang-undang, sehingga tidak terakomodir dalam undang-undang yang baru disahkan tentang perlindungan anak. Perlu diketahui, kata pemberatan hukuman yang dimaksud bukan dimaknai sebagai hukumannya diperlama waktunya, melainkan selain hukuman penjara ada tambahan hukuman dalam bentuk lain, misalnya pada korupsi, uang pengganti. Presiden Joko Widodo, merespon posisitf ide tentang hukuman tambahan mengenai pemberatan kepada pelaku kekerasan seksual anak. Terobosan baru dilakukan dengan menginstruksikan untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mengatur tentang hukuman tambahan tersebut. Pembicaraan ini muncul pada Rapat Terbatas Pembahasan Anak, yang dimunculkan oleh Jaksa Agung Prasetyo dan mendapat dukungan dari Ketua KPAI, Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan. Alasan kenapa harus Perppu, karena jika merevisi undang-undang yang ada akan memakan waktu lebih lama dalam prosesnya, sementara tuntutan tentang upaya perlindungan bagi anak ini sudah semakin mendesak. Pemerintah memandang sangat serius kejahatan kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual. Terobosan dengan menerbitkan Perppu tentang pemberatan hukuman, dianggap dapat menyelesaikan atau memberikan perlindungan terhadap anak. Hal inilah yang menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Terlepas dari masalah pro dan konISSN: 2089-340X

tra tersebut, penulis melihat bahwa hukuman pemberatan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, memang patut mendapatkan hukuman tambahan atau pemberatan. Hanya saja hukuman pemberatan tersebut, memang harus dapat membuat jera bagi pelaku. Pemberatan memang dikenal dalam Hukum Pidana, misalnya dalam Pasal 52 KUHP, pasal ini mengenai pemberatan dalam jabatan, yaitu bilamana seseorang melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya. Ada 4 hal keadaan yang menjadi dasar pemberatan, a) melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatan, b) memakai kekuasaan jabatannya, c) menggunakan kesempatan karena jabatannya, d) menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya. Selain itu dalam Hukum Pidana seseorang dapat dikenakan pemberatan hukuman karena pengulangan atau biasa dikenal dengan nama Recidive. Diatur dalam Pasal 486, 487, 488 dan 368, 387 KUHP. Berdasarkan KUHP tersebut, maka hukuman pemberatan bagi pelaku kekerasan terhadap anak, dapat diterapkan. Hal itu karena rata-rata pelaku berumur dewasa yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap anak, bukan malah melakukan semaunya terhadap anak. Dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam konsiderannya, menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia. Dengan demikian bagi yang tidak setuju dengan pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak dalam bentuk pengebirian, dengan alasan melanggar hak asasi manusia, sebe­narnya bukan demikian, karena hukuman pemberatan dijatuhkan sebagai akibat orang tersebut telah melanggar hak asasi seorang anak, di mana orang tersebut harus memberi perlindungan kepada anak, berdasarkan konsideran UU No. 35 tahun 2014. Melihat dari uraian tersebut, penulis setuju dengan hukuman pemberatan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak berupa pengebirian. Namun, pengebirian dapat dilakukan dengan metode ilmiah yang paling menguntungkan dan dapat berakibat membuat efek jera (deterrent effect). [] Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

15


PERSPEKTIF

Dok. Pribadi

Jaminan Kesehatan Nasional: Antara Harapan dan Kenyataan [?]

Oleh: Prof. Dr. Amran Razak, S.E., M.Sc (Guru Besar Administrasi & Kebijakan Kesehatan Unhas)

16

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

P

rogram Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan upaya mengatasi berbagai masalah pelayanan kesehatan yang selama ini dipandang belum adil, tidak merata dan tak layak. Program JKN merupakan implementasi dari UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang mengamanahkan pemberian jaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Program JKN telah berjalan hampir dua tahun, dengan harapan akan memberikan akses kesehatan yang lebih layak, merata, dan adil tanpa membedakan status sosialekonomi. Tak ada lagi orang miskin ditolak di rumah sakit, hingga slogan “Orang Miskin Dilarang Sakit” tak muncul lagi di bumi persada. Akan tetapi kenyataannya masih ditemukan berbagai kendala selama pelaksanaan JKN tersebut. Terutama karena

program ini diluncurkan secara serempak pada semua lapisan masyarakat, yaitu miskin/tidak mampu atau Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan penerima upah/bukan penerima upah (non-PBI), yang tentu saja memerlukan perencanaan yang matang. Baik dari faktor pembiayaan, institusio­­nalisasi, maupun sosialisasi program. Akibatnya, banyak masalah yang terjadi mulai dari registrasi peserta, sistem pembiayaan dan pembayaran kesehatan yang dianggap membingungkan masyarakat yang selama ini sudah terlayani dengan sistem Askes, Jamsostek, Jamkesmas, sampai dengan permasalahan pada pelayanan operasional di fasilitas kesehatan. Demikian halnya, jika ada sistem rujukan yang baru dan bertingkat. Akhirnya pasien kebingungan untuk mengurusi hal ini. Selain itu, petugas JKN di berbagai daerah belum dapat mengakomodasi kebi-

ISSN: 2089-340X


PERSPEKTIF gungan dari peserta JKN. Sistem pembayaran JKN dengan INACBG’s juga terdapat masalah di mana dalam penetapan tarif tidak melibatkan organisasi profesi kesehatan. Sehingga besaran pembiayaan dirasa tidak sesuai dengan pelayanan yang harus diberikan oleh tenaga kesehatan. Hal ini membuat tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan jauh di bawah standar yang pada akhirnya menimbulkan banyak protes dari rumah sakit dan organisasi profesi. BPJS Wacth misalnya, menemukan pasien kerap kali disuruh membeli obat sendiri, membayar biaya perawatan, dan obat karena total biaya sudah melebihi paket INA-CBG’s, membeli darah, menunggu jadwal operasi berbulan-bulan, dan adanya penolakan rumah sakit de­ ngan alasan kamar penuh. Tetapi, kalau pasien umum bisa langsung diterima. Belum lagi, masyarakat yang ingin rujukan ke rumah sakit butuh surat rujukan dari puskesmas, sedangkan puskesmas tidak buka 24 jam. Hal ini membuat masyarakat “pekerja” yang pulang kerja sore atau malam tidak memiliki kesempatan mendapatkan pelayanan kesehatan di tingkat pertama. Ada fenomena, jika semula mitra “sehati” BPJS adalah rumah sakit pemerintah, saat ini ada kecenderungan BPJS

ISSN: 2089-340X

“bermain mata” dengan rumah sakit swasta seperti halnya di Sulawesi Selatan. Kemesraan ini, bisa menimbulkan kecurigaan adanya kecurangan (fraud) yang bisa merugikan pasien. Padahal, setahu saya, rumah sakit swasta membatasi jumlah pasiennya untuk menghindari membengkaknya kerugian akibat melayani pasien BPJS. Ada apa ? Kelihatannya, harapan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, merata, dan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia bakal jauh berbeda dari kenyataan yang terima masyarakat. Apalagi BPJS memiliki kegemaran merugi, tahun ini sekitar 6 triliun rupiah, ditambah tahun 2016 bisa mencapai 11 triliun rupiah. Sebenarnya, sistem BPJS sudah cukup lumayan, karena konsepnya digodok cukup lama dan matang, walau dinilai belum syariah oleh MUI. Meski demikian, masih perlu adanya pendekatan holistik mulai dari perencanaan, pembiayaan sampai ke pelaksanaan dan monev (monitoring evaluasi, red.), sehingga sistem yang bermasalah dapat diperbaiki dan berjalan dengan baik. Faktor utama yang perlu diperhatikan ketersediaan dana dan SDM BPJS berkualitas agar dapat menyelenggarakan JKN secara adil, merata dan berkualitas. []

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

17


OPINI

Koruptor Predator Oleh: Fajlurrahman Jurdi (Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)

Predator bisa tampil moralis, seperti orang yang sangat peduli akan kepentingan rakyat, akan tetapi sesungguhnya pura-pura moralis.

Dok. Pribadi

I

stilah predator penulis gunakan sebagai bentuk identitas atas sebagian besar mereka yang menyalahgunakan kekuasaan. Pada awalnya penulis menonton serangkaian film hollywood yang berjudul “Predator”. Di samping filmnya agak mengerikan, tetapi ada juga adegan-adegan heroik yang mengagumkan. “Predator” adalah film fiksi ilmiah Amerika 1987 yang disutradarai oleh John McTiernan, dibintangi Arnold Schwarzenegger, Carl Weathers, Jesse Ventura, dan Kevin Peter Hall. Ceritanya adalah sebuah tim khusus pasukan elite, yang dipimpin oleh ”orang Belanda” (Arnold Schwarzenegger), dalam misi untuk menyelamatkan sandera dari wilayah gerilya di Amerika Tengah. Tanpa diketahui kelompok, ternyata mereka diburu oleh sebuah teknologi maju yang berada di luar bumi, yang kemudian disebut sebagai predator. Predator itu ditulis oleh Jim dan John Thomas pada tahun 1985, dengan judul Hunter. Syuting dimulai pada April 1986 dan “efek makhluk” diciptakan oleh Stan Winston. Anggaran film adalah sekitar $ 15 juta. Dirilis di Amerika Serikat pada tanggal 12 Juni 1987, dan meraup keuntungan $ 98.267.558. Sejumlah film dengan judul tersebut adalah: Predator 2 (1990) Predator (2010), Alien vs Predator (2004) dan Aliens vs Predator: Requiem (2007). Film-film tersebut telah diproduksi dan ditayangkan di berbagai stasiun televisi di Indonesia. Dengan menonton berbagai film, terutama film-film Hollywood, saya mulai berpikir untuk menjadikan film itu sebagai inspirasi untuk dibawa dalam dunia yang lebih teoritis. Ketika menonton film Triple X, penulis melihat bagaimana rasisme di Amerika menjadi “sekeras baja” yang sulit untuk dibongkar. Cara berpikir ini diawali dengan membaca sejumlah tesis terutama dari Edward W. Said yang menulis Orientalism (1978) dan Yeats and Decolonization (1988), serta Culture and Imperialism (1993) dan sejumlah karyanya yang lain. Atau Homi Bhaba The Location of Culture (1994), Democracy De-Realized (2002), Making Difference: The Legacy of the Culture Wars (2003) On Cultural Choice (2000) dan sejumlah karya lainnya. Istilah predator lebih banyak didekatkan pada binatang pemangsa yang memangsa binatang lain. Misalnya, singa di dalam hutan belantara yang memangsa kancil.

18

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

Jika singa memangsa kancil dengan alasan agar bisa bertahan hidup dan melanjutkan habitat singa dengan mendebinatangisasi kancil, bahkan mungkin dengan perilaku singa tersebut habitat kancil itu punah, maka gelar sebagai “predator” bisa dilekatkan di pundak singa tersebut. Istilah predator bisa juga dijadikan kiasan bagi manusia yang memangsa manusia lain. Dengan kata lain adalah “kanibalisme”. Kanibalisme lebih cocok untuk mendekati manusia yang memakan daging sesamanya, sementara “predator” bisa menembus dan digunakan pada perilaku “buas” manusia dalam konteks yang luas. Eksploitasi dan kolonialisasi yang dilakukan oleh kelompok tertentu terhadap kelompok lain adalah bentuk yang bisa didekati dengan menggunakan istilah “predator”. Penindasan dari elit penguasa kepada rakyat dan perilaku korup bisa disebut sebagai “predator”. Sebagai kata sifat, predator tentu akan dijalankan oleh aparatus tertentu, sehingga ia disebut sebagai predatoris. Predator adalah binatang atau serangga yang memangsa binatang atau serangga lain. Sementara Istilah predatisme adalah suatu bentuk simbiosis dari dua individu yang salah satu diantara individu tersebut menyerang atau memakan individu lainnya, satu atau lebih spesies, untuk kepentingan hidupnya yang dapat dilakukan dengan berulang-ulang. Individu yang diserang disebut mangsa. Pemangsa biasanya karnivora (pemakan daging) atau omnivora (pemakan tanaman dan hewan lain). Pemangsa akan memburu hewan lain untuk dimakan. Contoh pemangsa adalah singa, harimau, buaya, dan ikan hiu. Pemangsa dalam terminologi tulisan ini adalah mereka yang melakukan tindakan di luar batas undang-undang, melanggar etik politik dan mengangkangi kepentingan rakyat. Dalam konteks politik, definisi yang ditulis oleh Vedi R. Hadiz menarik dan cukup kompatibel. Menurut Hadiz (2005: 104) yang dimaksud dengan predatoris adalah aparat negara dan otoritas publik yang menjadi milik dari korps birokratik-politik yang tujuan utamanya adalah kekayaan politik dan ekonomi mereka sendiri. Kehidupan ekonomi dikendalikan dengan penggunaan kekuasaan ketimbang ditata dengan aturan-aturan, dan lebih memikirkan alokasi dari pada regulasi.

ISSN: 2089-340X


OPINI ARF/EKSEPSI

Predator adalah kelas penguasa yang memiliki akses atas kepentingan publik, lalu mereka menguasai dan mengelolanya sekehendak hati tanpa memikirkan akibatakibat sosial bagi rakyat. Predator adalah elite yang memangsa hak-hak rakyat untuk digunakan demi kepentingan mereka, memenuhi ambisi pribadi dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Sebagai pemangsa, elit pemegang kekuasaan tersebut layaknya seperti “binatang” pemangsa, sang binatang tidak mungkin memiliki hati nurani. Predator bisa tampil moralis, seperti orang yang sangat peduli akan kepentingan rakyat, akan tetapi sesunggunhnya pura-pura moralis. Predator juga bisa seperti seorang ustaz, berceramah tentang politik, mengeluarkan ayat-ayat Tuhan dengan sangat fasih, tetapi itu semua hanya tipuan. Predator juga bisa memiliki gelar akademis dan hampir semuanya adalah cerdas, tetapi mereka tidak cukup punya hati nurani. Maka, seorang predator tidak dilihat pada simbol-simbol yang digunakan, bahasa-bahasa yang dilontarkan, pikiran-pikiran yang indoktrinasi kepada orang lain, ia bisa sangat ideologis, ia bisa sangat konservatif, ia bisa sangat liberal, akan tetapi itu semua hanyalah identitas-identitas palsu. Selain itu, predator juga bisa merampas kepentingan rakyat dengan cara-cara sporadis. Jika kita menilik ke masa lalu saat-saat Orde Baru berjaya, sebagai seorang predator, Soeharto memiliki ideologi yang dipatuhi dan dijalani oleh sebagian besar pengikutnya. Kemudian pengikut-pengikut tersebut setelah Soeharto tidak lagi berkuasa, lalu meleburkan diri dalam proses transisi demokrasi pasca Soeharto dan membentuk habitus predator baru. Selain Vedi R. Hadiz, penulis juga mendapatkan satu istilah dari predator ini dalam sebuah penelitian yang berjudul “Research on Corruption: A policy oriented survey”. Riset ini dilakukan oleh Jens Chr. Andvig, Helge Fjeldstad, Inge Amundsen, Tone Sissener, Tina Søreid di bawah Michelsen Institute (CMI) & Norwegian Institute of International Affairs (NUPI). Di dalam laporan penelitian tersebut, salah satu yang menjadi obyek pembahasan adalah tentang neo-patrimonialisme di Afrika. Namun yang mengejutkan adalah istilah predatory yang dijadikan sebagai sub pembahasan kedua setelah pengantar, yakni: Neopatrimonialism and the predatory state in Africa. Penulis

ISSN: 2089-340X

membaca ulang sejumlah laporan tersebut cukup memberikan kerangka dan informasi penting tentang korupsi dan sejumlah masalah lainnya yang menopang kejahatan korupsi di Afrika. Afrika adalah benua dengan negara-negara yang paling korup. Penguasa di benua tersebut lebih banyak membuang duit mereka ke Eropa dan Amerika daripada berinvestasi di negeri mereka. Di Indonesia, para predator ini telah menjelma menjadi semacam sirkus dan mafia. Mereka memiliki “gerombolan” tersendiri, berbicara fasih di hadapan publik dan memiliki kemampuan mengartikulasikan kejahatan mereka dengan cara-cara yang halus. Kelompok para predator ini membentuk oligarki, tidak saja di dalam satu partai, tetapi di lintas partai, juga tidak saja di satu atap kementerian, tetapi melingkar di hampir semua kementerian, bukan hanya dilakukan oleh para politisi murni, tetapi juga oleh mereka yang memiliki gelar sebagai ustaz. Mereka inilah yang membentuk habitus predator. Korupsi Wisma Atlet, Korupsi Hambalang, Perampokan Century yang belum ditemukan juga siapa dalangnya, korupsi pengadaan Al-Qur’an, korupsi pajak serta penyuapan yang terjadi di berbagai institusi. Aktor dan partai menunjukan bahwa korupsi telah menjadi gurita. Uang milik publik diambil dengan cara yang melanggar hukum. Banyak sekolah yang jatuh ambruk, jembatan yang rusak karena anggaran pembangunannya dikorupsi. Silih berganti orang diperiksa di KPK dan Kejaksaan, tiap hari orang bertukar kamar penjara. Korupsi telah menjadi predator yang menakutkan. Saban hari kemiskinan menjadi tontonan serius, tidak ada perbedaan yang mencolok “penjarahan” keuangan negara di masa Orde Baru dengan masa sekarang. Para predator dan sang “penjarah” ini bertransformasi dari rezim lama ke rezim baru dengan melakukan kaderisasi. Kader-kader lama melakukan “pembeliaan” predator untuk menjarah APBN. Anak-anak muda belia seperti Gayus, Danang, Nazaruddin, Angie, Rosa dan sebagainya adalah anak-anak muda yang di akhir kekuasaan Orde Baru mungkin masih di kampus atau baru saja menyelesaikan studi. Justru mereka inilah yang menjadi predator yang lebih ganas daripada para guru mereka. Sampai kapan negeri ini akan seperti ini? Akankah kita hidup dalam langgam kekuasaan yang dipenuhi oleh para geng yang akan melakukan penjarahan secara terus-menerus? [] Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

19


OPINI Spirit Sumpah Pemuda dalam Menyemai Gerakan Mahasiswa “Sejarah dunia adalah sejarah orang muda, apabila angkatan muda mati rasa, maka matilah sejarah sebuah bangsa,” -Pramoedya Ananta ToerOleh:

Muh. Nur Fajrin (Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa FH-UH) Dok. Pribadi

S

ejarah senantiasa bergulir dan meninggalkan cerita di setiap masanya, menyisakan perbandingan bagi generasi lainnya untuk dijadikan bahan pembelajaran. Begitupun dengan sejarah perjalanan gerakan mahasiswa. Berjalan begitu dinamis dan menyelipkan kisah yang berbeda-beda di setiap masanya. Apa yang dikatakan Pram (sapaan akrab dari Pramoedya Ananta Toer), sebagaimana yang penulis kutip di atas merupakan apresiasi dan pengharapan yang begitu tinggi terhadap para pemuda, yang dalam hal ini penulis mengkhususkannya pada pemuda-pemuda yang kini bergelar sebagai mahasiswa. Mahasiswa yang begitu diagung-agungkan sebagai kaum intelektual, yang pada pundaknya melekat sebutan sebagai Agent of Change, Agent of Social Control, The Guardian of Value, dan lain sebagainya. Sebutan-sebutan tersebut bukanlah tanpa alasan. Kita bisa melihat bagaimana peranan mahasiswa mampu merubah wajah perpolitikan dengan gerakan reformasinya. Jauh ke belakang, kita mengenal angkatan gerakan kemahasiswaan dengan segala momentum sejarah kebangsaan di tanah air. Mahasiswa selalu memiliki posisi strategis dalam sejarah bangsa kita sampai saat sekarang ini. Gerakan mahasiswa bukanlah hal baru. Jauh sebelum Soekarno memproklamasikan kemerdekaan bangsa ini, para mahasiswa di kala itu menghimpun diri dalam berbagai perhimpunan pemuda yang pada akhirnya mencetuskan Sumpah Pemuda pada Kongres Pemuda II di Jakarta. Sumpah Pemuda yang lahir pada 28 Oktober 1928 adalah bukti nyata bahwa para pemuda khususnya mahasiswa punya “power” dalam membingkai keberagaman menjadi sebuah persatuan bangsa yang utuh. Sumpah Pemuda menjadi kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya bangsa ini. Pada kongres itu jugalah, lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan. Ini adalah bukti, bahwa tekad para pemuda yang ingin menyatukan bangsa dalam bingkai negara yang merdeka tertanam begitu kuat. Mereka mampu saling membaur satu sama lain, lalu kemudian,

20

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

berikrar untuk menjadi putra-putri yang satu dalam bertanah air, berbangsa, dan berbahasa. Kemudian pada tahun 1945 diproklamasikankanlah bangsa ini menjadi sebuah negara yang merdeka oleh Soekarno, tokoh yang ketika masih berstatus mahasiswa memotori perhimpunan mahasiswa di Sekolah Tinggi Teknik Bandung pada era 1920-an. Sudah 87 tahun berlalu semenjak peristiwa monumental Sumpah Pemuda terjadi. Kini kisah-kisah heroik para mahasiswa di masa itu hanya bersisa di buku-buku sejarah yang berdebu, karena kurang diminati pembaca. Perbincangan-perbincangan santai sambil menyeruput kopi oleh beberapa kawan, atau mungkin kini hanya menjadi bahan dasar para pelaku usaha perfilman untuk meraup keuntungan. Kita tinggalkan sejenak sejarah dan mari berkaca pada kondisi yang kita hadapi saat ini. Kini, gerakan mahasiswa ibarat sebuah kapal tua yang kehilangan penumpangnya. Sebenarnya banyak penumpang, tetapi mereka enggan masuk ke dalam kapal dan hanya menonton sang kapal yang sedang bersandar itu di pinggir pelabuhan. Waktu mereka hanya dihabiskan dengan membincangkan bagaimana sang kapal dulunya begitu gagah membelah samudera, begitu kuat menerjang gelombang pasang. Mungkin mereka lupa bahwa kapal adalah untuk berlayar membawa penumpang sebanyak mungkin, bukan hanya untuk sekadar dijadikan bahan perbincangan dan membiarkannya terus bersandar di pinggir lautan. Sang kapal kehilangan peminat, mungkin ia sudah dianggap sebagai kendaraan kuno yang tidak mampu lagi berlayar menuju pulau harapan. Kita harus menghadapi fakta, di mana rasa persatuan belum begitu dapat diaplikasikan secara menyeluruh dalam kehidupan mahasiswa. Tak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa di masa sekarang terlihat terkotak-kotak dalam bertingkah laku. Tampaknya, ego kepentingan dan golongan begitu melekat dan telah menjadi pakaian sehari-hari. Ini adalah fakta yang tidak bisa kita pungkiri. Mahasiswa yang dalam sumpahnya mengikrarkan diri sebagai suatu kesatuan, justru dalam beberapa ke-

ISSN: 2089-340X


OPINI adaan tidak mampu melepaskan dirinya dari “penjara� kepentingan-kepentingan. Tantangan terbesar dari pergerakan mahasiswa kini adalah bagaimana untuk menyatukan diri dalam satu barisan. Bersatu dalam visi, dalam pandangan, dalam kata, dan dalam perbuatan. Pergerakan tentunya tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Kita harus objektif dalam menghadapi kenyataan bahwa masalah yang mahasiswa hadapi dalam berlembaga semakin kompleks dari masa ke masa. Masalah yang sedemikian rumit ini, harusnya dihadapi dengan semangat persatuan dan kekeluargaan agar pergerakan mahasiswa lebih terarah. Lembaga kemahasiswaan janganlah terus menerus dibenturkan dengan skeptisisme. Bagaimanapun juga, lembaga kemahasiswaan adalah kendaraan bagi para mahasiswa dalam menggerakkan roda pergerakannya. Lembaga kemahasiswaan adalah wadah perjuangan, ladang untuk menanam benih-benih pemuda yang kelak akan menjadi tokoh pada masanya masing-masing. Lembaga kemahasiswaan adalah ruang untuk mengungkapkan kebenaran dalam koridor moralitas dan berlandaskan pada nilai-nilai intelektualitas. Ini adalah ciri mutlak yang harus dimiliki oleh mahasiswa. Bahwa dalam bentuk apapun pergerakan yang mereka perjuangkan, tidak boleh melenceng dari nilai moral dan intelektualitasnya sebagai kaum terpelajar.

Pergerakan mahasiswa eloknya menjadi gerakan moral, pergerakan yang intelektual dan ditunjukkan dengan sikap yang demokratis. Kita harus menunjukkan bahwa proses pembodohan tidak berlaku bagi mahasiswa. Untuk itu, sudah sangat jelas bahwa hanya satu kata perjuangan yaitu bersatu, rapatkan barisan, bahu membahu, dan tegakkan kebenaran di jalan yang benar dan dengan cara yang benar. Akhirnya, idealisme pergerakan mahasiswa harus mampu mengembalikan ruh perjuang­ an Sumpah Pemuda sebagaimana yang telah diikrarkan oleh para pemuda Indonesia 87 tahun yang lalu. Ruh perjuangan yang bertanah air, berbangsa, dan berbahasa yang satu. Bersatu dalam melihat permasalahan secara bersama-sama, bersatu dalam visi, kata, dan perbuatan. Jangan biarkan semangat kepemudaan kita mati suri di tangan ego-ego kelompok yang menjadi sekat. Jangan biarkan ruh Sumpah Pemuda dibungkam oleh sikap-sikap apatis dari para pemuda itu sendiri. Jangan biarkan semangat persatuan itu hanya sekadar menjadi jargon-jargon belaka. Selamat ber-Bhinneka Tunggal Ika, selamat merenungi peringatan Sumpah Pemuda. Dengan cara apapun jalan perjuangan yang tengah kita rintis, selamat berkarya wahai pemuda-pemudi bangsa. Semoga Tuhan senantiasa memberikan perlindungan dan petunjuk-Nya. []

Panjang umur perjuangan pemuda Panjang umur pergerakan mahasiswa Hidup mahasiswa !

Google.com ISSN: 2089-340X

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

21


KOLOM

Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat

Persma Kian Terancam Oleh:

Satriani Pandu

(Pengurus LPMH-UH Periode 2015-2016)

Dok. Pribadi

K

ebebasan Pers adalah hak yang diberikan oleh konstitusi atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebarluaskan, pencetakan dan penerbitan surat kabar, majalah, buletin, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.40 tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers) juga dijelaskan bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Berkaitan dengan itu, kebebasan pers merupakan salah satu indikator negara hukum yang diatur melalui UU Pers. Meski sudah diatur melalui peraturan perundangundangan, namun kemerdekaan pers belum berlaku bagi citizen reporter dan jurnalisme kampus. Hal ini dikarenakan di dalam UU Pers tersebut, tidak mengatur mengenai mekanisme jalannya pers mahasiswa, hanya berkutat di ranah jurnalistik saja yang diakui secara de facto. Sehingga dapat diindikasikan bahwa negara tidak memberi perlindungan hukum kepada pers mahasiswa. Selama ini, pegiat-pegiat pers mahasiswa hanya melakukan aktivitasnya tanpa ada payung hukum yang dimiliki. Tidak adanya payung hukum dalam undang-undang tersebut mengakibatkan timbulnya ancaman kriminalisasi dari pihak kampus. Berdasarkan hal tersebut, muncul berbagai permasalahan-permasalahan, misalnya pembredelan terbitan, pemutihan organisasi sampai ancaman droup out (DO) juga menghantui. Ini mencederai kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat dan kebebasan pers di lingkungan kampus. Tidak adanya perlindungan menyebabkan pers kampus rawan intervensi dari pihak birokrat kampus. Padahal kebebasan berpendapat sudah dijamin oleh Pasal 28 UUD NRI 1945, yang berbunyi, kemerdekaan 22

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Di dalam Declaration of Human Rights (DHR), Pasal 19 dinyatakan pula bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan kebebasan menge­ luarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan cara apapun dan tidak memandang batas-batas. Demikian juga halnya dengan Pasal 23 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa, setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak, elektonik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan Negara. Albert Camus seorang novelis yang terkenal dari Perancis pernah mengatakan bahwa pers bebas dapat baik dan dapat buruk, namun tanpa pers bebas yang ada hanyalah celaka. Oleh karena itu pers melakukan kritik dan koreksi terhadap segala sesuatu yang menurutnya tidak beres dan ada perubahan setelahnya. Pengekangan kebebasan berekspresi dalam kampus

Pers mahasiswa atau yang lebih sering disebut Persma adalah sebuah wadah penyambung lidah antara mahasiswa dengan elite kampus. Persma memiliki peran yang strategis dalam mengawal kebijakan kampus, me­ reka yang selalu berperan membangun kesadaran kolektif mahasiswa untuk lebih memperhatikan dan mengawasi kebijakan elite kampus. Setelah mengeluarkan Keputusan No.028/U/1974 tertanggal 3 Februari tahun 1974, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melahirkan istilah persma itu sendiri dengan salah satu poinnya mengatakan bahwa, pers mahasiswa dibina dan dikembangkan sebagai media tukar-menukar informasi dan pengalaman antar civitas akademik perguruan tinggi yang bersangkutan dalam hubungannya peningkatan pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Namun, yang terjadi saat ini adalah adanya pengekaISSN: 2089-340X


KOLOM ngan terhadap kebebasan berekspresi dalam kampus. Beberapa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang melakukan kritik terhadap kebobrokan kampusnya, malah mendapatkan sanksi dari pimpinan kampus. LPM Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta pada Minggu, 24 Agustus 2014 merasakan ganasnya birokrat. Sebanyak 150 ek-semplar buletin Expedisi dengan tema “Pra Ospek 2014” diberedel oleh pihak rektorat kampus saat penyebaran buletin (HarianJogja.com edisi 1 September 2014). Hal serupa juga dialami oleh LPM Lentera Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) di Salatiga. Majalah Lentera edisi 3 tahun 2015 yang berjudul “Salatiga Kota Merah” yang diterbitkan pada 10 oktober 2015 ditarik secara paksa dari peredaran bahkan ada yang dibakar. Tidak hanya dilakukan oleh pihak Dekan Fiskom UKSW, tetapi juga pihak Polres Kota Salatiga yang turut andil dalam melakukan upaya pemanggilan tidak melalui prosedur yang ada. Tidak hanya itu, Lembaga Penerbitan Mahasiswa LPM Jabal Ghafur dicekal pihak rektorat kerena memberitakan kasus korupsi. Demikian pula yang terjadi dengan LPM yang ada di Makassar, antara lain LPM Watak STIEM Bo­ngaya yang dicekal rektorat karena dituduh mempropaganda mahasiswa dan dianggap terlalu kritis yang ak­ hirnya dibekukan pada tahun 2007. LPM Estetika Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makasar juga dibekukan sejak tahun 2012 oleh pihak fakultas. Ancaman pemberedelan pun, juga dialami LPM Aksara dikarenakan pemberitaannya diasumsikan sebagai bentuk penyebaran aib Fakultas Ilmu Keislaman (FIK) sehingga dianggap tidak menjaga nama baik FIK Universitas Trunojoyo. Maka dari itu, pada 30 September lalu, intervensi kelembagaan dimasifkan terus oleh pihak DPM FIK terhadap LPM Aksara. Pembekuan Organisasi pun, kerap kali dilakukan oleh pihak kampus. LPM Metanoiac PNUP misalnya, dilarang lagi melakukan kerja-kerja organisasi karena memberitakan korupsi pembangunan kampus II Perguruan Ne­ geri Ujung Pandang (PNUP) yang bertempat di BTP pada tahun 2011 lalu. Keberuntungan pun tidak berpihak oleh LPM UKPKM di Mataram, pasalnya pemberitaannya yang tidak sesuai dengan visi kampus Universitas Mataram, sehingga pembekuan lembaga langsung didalangi oleh pihak rektorat. Melihat dari kasus-kasus yang menimpa LPM di atas sangat memperihatinkan bagi kalangan persma saat ini. Kebebasan berekspresi dan berpendapat dibatasi oleh elite kampus. Pemberedelan berita merupakan salah satu faktor untuk mematikan demokrasi. Pemberedelan berita tidak patut dilakukan kepada media karena perlu kita ketahui bersama bahwa media merupakan ujung tombak demokrasi yang memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam menyampaikan informasi. Pers mahasiswa sejatinya merupakan komponen penting dalam kehidupan berdemokrasi di kampus. Namun, apa jadinya jika persma terancam keberadaannya, seperti yang sering terjadi di beberapa perguruan tinggi karena ISSN: 2089-340X

dianggap mencemari nama baik kampus oleh pihak birokrat. Bukankah dalam menyalurkan aspirasi, sebenarnya tidak boleh ada intervensi dan tekanan dari pihak manapun? Karena output dari kebebasan berpendapat adalah untuk memperbaiki sistem yang dirasa tidak memihak kepada mahasiswa.

Peran Pers Mahasiswa dalam Kontrol Sosial Kampus Seorang jurnalis pada hakikatnya berkegiatan menghimpun berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa. Di dalam lingkup kampus sendiri yang berisi mahasiswa dengan berbagai macam latar belakang, ras dan golongan, dapat terkontrol dengan adanya fungsi pers kampus. Sebagaima dalam Pasal 3 UU Pers menyatakan bahwa ada lima fungsi pers, antara lain sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial dan lembaga ekonomi. Adapun peran Persma sebagai media kontrol sosial menjunjung tinggi nilai-niai idealisme sebagai lembaga yang independen. Artinya, tidak berpihak pada golongan tertentu. Namun, memiliki keberpihakan terhadap kaum minoritas yang terkadang suaranya tidak didengar oleh birokrat kampus. Maka dari itu, fungsi utama persma yakni sebagai jembatan antara mahasiswa dan birokrat kampus. Keberadaan LPM di tengah-tengah kampus sangat dibutuhkan karena berpengaruh besar dalam mengontrol kebijakan elite kampus yang terkadang bertindak sewenang-wenang. Penyimpangan-penyimpangan dalam kampus kerap kali dijadikan santapan bagi pegiat persma dalam melaksankan kerja-kerja jurnalistiknya. Tak jarang pula, pemberitaan persma memberikan manfaat bagi elite kampus untuk menunjang atau memerbaiki sistem yang ada. Hanya saja, ketika ada permasalahan pada persma dengan lembaga yang menaunginya, tidak ada undangundang atau peraturan yang mengatur secara konstitutif. Maka dari itu, dibutuhkan asas pers lex spesialis dalam UU pers. Misalnya, undang-undang khusus yang mengatur tentang persma. Khususnya ketika muncul pergesekan kepentingan. Perlindungan hukum terhadap kemerdekaan persma saat ini, menjadi hal yang sangat perlu dan mendesak untuk segera dilakukan. Mengingat bahwa UU Pers tidak melindungi persma. Dengan adanya perlindungan hukum tersebut, maka persma akan lebih aman dan terhindar dari segala ancaman dan kriminalisasi dari pihak tertentu. Agent of social change harus menjadi dasar persma dalam bergerak idealis tanpa adanya intervensi dari pihak manapun, termasuk kampus. Persma juga perlu menajamkan “pisau kritis” melalui medianya. Pasalnya media atau produk pers harus “steril” dari kepentingan politik dan kapitalisme serta mengutamakan indepedensi sebagai ruh dalam membuat produk jurnalistik. Menghormati dan melaksanakan kode etik jurnalistik Indonesia, melakukan check and recheck, dan cross check terhadap setiap pemberitaan yang akan dimuat, serta peliputan yang bersifat cover both side juga perlu untuk diberlakukan. [] Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

23


GALERI FOTO Tangkasaki’: Truk Angkutan sampah Tangkasaki’ sedang dibersihkan di daerah Tanjung Bunga, Rabu (25/11)

Perahu Motor: Selain mengangkut ikan, nelayan ini juga membawa penumpang dari Pulau seberang Pantai Losari, Minggu (29/11)

Mengayuh Sepeda: Pria paruh baya mengayuh sepeda sembari membonceng seorang anak diantara kendaraan bermotor di daerah Tanjung Bunga, Rabu (25/11)

24

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

ISSN: 2089-340X


GALERI FOTO

Memancing: Seorang anak memancing di wilayah reklamasi di daerah Pantai Losari, Rabu (25/11)

Belajar: Berlomba mengangkat tangan untuk bertanya kepada guru dalam proses pembelajaran di sekolah dasar berlangsung.

Kerja: Beristirahat sebelum melanjutkan pekerjaan di Fakultas Hukum Unhas.

ISSN: 2089-340X

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

25


RESENSI Membuka Cakrawala Berpikir, Melalui “Ruang Sadar Tak Berpagar” Oleh: Indah Sari

Judul: Ruang Sadar tak Berpagar Penulis: Alwy Rachman Penerbit: Nala Cipta Litera Kota Terbit: Makassar Tebal: 202 halaman Cetakan: 2015 Dok. Pribadi

B

26

uku karya Alwy Rachman ini merupakan kumpulan 61 pilihan literasi koran Tempo Makassar dari tahun 2013-2015. Buku ini, membahas tentang refleksi-refleksi di sekitar kita. Kata-kata yang digunakan mengalir dengan indah. Pembaca seakan dibawa ke dunia literasi dengan kata-kata yang menarik. Betapa luasnya ruang lingkup jelajah Alwy Rachman dalam membaca dan mengamati berbagai peristiwa yang dialami manusia dan masyarakat diakui oleh Ishak Ngeljaratan. Ngeljaratan bahkan menyamakan buku ini semacam makanan bergizi yang menarik untuk disantap. Dalam buku ini, Alwy mengajak kita melihat perempuan, budaya, media, politik, negara, pemerintahan dan realitas-realitas lainnya dengan bahasa yang indah. Alwy juga mampu melihat pendapat tokohtokoh yang sangat beragam dengan begitu dalam, kemudian menguraikannya dengan bahasa yang lebih ringan dan menghubungkan dengan kejadian nyata di sekitar kita. Pada bagian “Propaganda media dan manufacturing consent” Alwy menyoroti media sebagai propaganda pemerintah dan penguasa dalam melancarkan agenda ekonomi politik serta segenap kepentingan mereka. Tragisnya kita sebagai penonton hanya bisa menerima tanpa bisa menolaknya. Alwy menyebut pembaca dan penonton “penggembira” di pinggirpinggir panggung media. Jurnalis sebagai kuli tinta juga dikulitinya. Para jur-

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

nalis terutama untuk isu ekonomi dan politik, sengaja memilih narasumber untuk mengukuhkan standing position berita dari media yang diwakilinya. Dilarang beropini, betul. Tapi, jurnalis bisa menyampaikan pandangannya lewat pandangan narasumber yang dipilih. Untuk keperluan medianya. Itu anggapan Chomsky yang dirujuk Alwy untuk mengukuhkan pandangannya. Jadi, Tak salah jika Dan Brown berucap “Media adalah tangan kanan anarki”. Bagian lain yang menarik pada buku ini adalah “Dua Lidah Dua Dunia”. Globalisasi, westernisasi dan cyber . Lambat atau cepat menggeser teknologi manusia-manusia lokal. Dicontohkannya petani kini. Pengetahuan lokal tentang kerja-kerja pertanian tercuri dan terampas secara canggih. Bibit, pupuk, pestisida. Bergantung, itulah kata kuncinya. Petani menjadi konsumen sembari kehilangan pengetahuan lokal. Paragraf penutup dari bagian ini sangat menarik bagi penulis, yang berbunyi, “Tak susah menduga siapa yang untung dan siapa yang buntung di bahasa global ini. Tapi, apa yang engkau akan lakukan, jika engkau kehilangan lidah pertama. Padahal engkau tak tahu betul apa yang tersembunyi di lidah kedua, di bahasa asing, begitu tanya Sujata Bhatt.” Beberapa bagian yang penulis tampilkan hanyalah sedikit dari sekian banyak “pemandangan menarik” yang coba dilukiskan Alwy Rachman. Untuk memahaminya secara mendalam dan menyelami kesenangannya haruslah dengan langsung membaca kumpulan literasi tersebut. Jadi, selamat membaca ! []

ISSN: 2089-340X


SOSOK Tak Ada Keluh, Meski Peluh Bercucuran Oleh: Andi Asti Sari

B

uanglah sampah pada tempatnya! Jagalah kebersihan! Kalimat tersebut sering dijumpai di setiap sudut Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH). Berbicara kebersihan berarti berbicara mengenai sosok yang berada di baliknya. Salah seorang yang berperan penting adalah Pak Tarsi, seorang pekerja yang kerap mahasiswa temui di FH-UH yang berprofesi sebagai pelayan kebersihan. Ia dikenal rajin dan bertanggung jawab. Walaupun dari perawakannya terlihat galak, namun Pak Tarsi dikenal sebagai sosok yang baik. “Beliau begitu baik dan sangat disiplin,” ungkap Ishak selaku Ketua Bagian Perlengkapan FH-UH. Upah pertamanya adalah 425.000 rupiah yang ia peroleh pada tahun 2007. Meskipun upahnya terbilang kecil namun, ia tetap bekerja dengan gigih. Baginya, tak ada duka, yang ada hanya suka meskipun tiap hari berjibaku dengan sampah-sampah yang harus dibersihkannya. Tak ada keluh, meski peluh bercucuran. Ikhlas dan mengabdi itulah kuncinya. “Mengeluh itu tak ada gunanya, bekerja itu tentang pengabdian,” ucap Pak Tarsi yang ditemui Kru Eksepsi di sela-sela pekerjaannya.

sekolah dasar. Sebagian upahnya juga ia kirimkan ke orang tua. Tak banyak. Namun, itu sebagai bukti kecintaan terhadap orangtuanya yang ada di Manggarai, NTT. Ia mengakui bahwa semangat kerja yang tetap terjaga kini, berkat dukungan istri dan kedua anaknya. “Hidup bukan tentang materi tetapi bagaimana menyukuri semua garis yang ditakdirkan Tuhan, kuncinya tetap berbuat baik dan bekerja apa adanya,” tutur Pak Tarsih.

Di balik kegigihannya, ada asa yang terus tersimpan di benak Pak Tarsih. Kelak dengan pengabdiannya selama delapan tahun ini, ia berharap bisa diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Harapan tersebut, selalu tersimpan di hatinya, dan harapan itu pulalah yang membuat ia tetap semangat dalam membersihkan FHUH. Semoga kegigihan dan ketulusan Pak Tarsih dapat mewujudkan harapannya menjadi kenyataan. []

Dok. Pribadi

Pada umumnya, jam kerja di FH-UH dimulai dari 07:00–16:00 WITA. Namun, Pak Tarsi sering ditemui masih berlalu lalang di area FH-UH sampai malam hari. Usut punya usut, ia ditugaskan untuk mengecek ruang dekan dan ruang bagian FH-UH. Bekerja sampai malam, salah satu bukti bahwa Pak Tarsih pekerja yang gigih. Kegigihan dari beliau diakui oleh salah seorang mahasiswa yakni Muh. Laode Alkasih. “Pak Tarsih adalah sosok yang patut untuk diteladani. Ia mempunyai kecintaan yang lebih terhadap FH-UH,” tutur mahasiswa yang akrab disapa Al tersebut. Kegigihan dan pengabdian itulah, yang mengantarkan ia mendapatkan penghargaan sebagai pegawai teladan bersama dengan dua orang lainnya pada perayaan hari jadi FH-UH. Tak hanya itu, Pak Tarsih juga diberi kepercayaan penuh untuk menangani kebersihan ruang Dekan FH-UH, Prof Farida Patingtingi. Pak Tarsi adalah sulung dari empat bersaudara. Sebagai putra sulung tentu ia mempunyai tanggung jawab lebih kepada orang tua dan adik-adiknya. Apalagi salah seorang adiknya sedang duduk di bangku kuliah. Sekarang, upah yang diperolehnya sebesar 1,5 juta per bulan, disisihkannya untuk menyekolahkan dua anaknya yang masih duduk di taman kanak-kanak dan di bangku

ISSN: 2089-340X

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

27


CERPEN Saat Pemimpi Jadi Pemimpin Oleh:

Puspitasari

(Pengurus LPMH-UH Periode 2015-2016)

“����������������������������� W���������������������������� aktumu ��������������������� t�������������������� erbatas. Jangan terperangkap dalam dogma di mana kamu hidup dengan apa yang orang lain pikirkan. Jangan biarkan pendapat orang lain menenggelamkan suara batinmu sendiri. Kamu harus punya keberanian untunk mengikuti hatimu dan intuisimu. Mereka kadang tahu akan jadi apa kamu sebenarnya. Yang lainnya hanyalah tambahan.” Steve Jobs. Impian. Setiap orang pasti memilikinya. Begitupun dengan diriku, terlahir dari keluarga sederhana tak membuat semangatku padam untuk mengejar impianku. Seperti halnya dengan ungkapan yang mengatakan bahwa hidup adalah pilihan, tergantung dari kita mau mengarahakan pilihan itu ke mana. Bagiku,�������� ������� begitupun dengan impian. Seberapapun sulitnya, bagaimana pun rintangan yang akan kita lalui, itu semua adalah pilihan. Apakah kita akan berjalan beriringan dengan impian itu ataukah hanya berdiri melihat impian itu menjauh di depan mata kita. Aku hanyalah pemimpi yang berangan menjadi pemimpin. Di-

beri kesempatan mecicipi bangku perkuliahan memberikanku kesyukuran yang begitu besar kepada Sang Pencipta. Dengan beasiswa yang ku terima, aku bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di salah satu universitas terkemuka di Indonesia Timur yaitu Universitas Hasanuddin. Ditambah lagi diterima di Fakultas Hukum, salah sartu jurusan bergengsi dengan peminat yang begitu banyak memberikanku kebanggan sendiri. Dan semakin membuatku optimis untuk meraih mimpi-mimpiku. Setidaknya satu langkah menuju impianku telah ku lewati, tinggal beberapa langkah lagi dan aku akan mencapai puncaknya. Memasuki dunia kampus begitu banyak hal baru yang ku temui. Bertemu dengan banyak orang dengan bermacam karakter dan budaya membuatku betul-betul harus menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut. Terkadang kejenuhan seringkali menghampiri. Pulang pergi kampus terasa tidak terlalu menarik. Awalnya ku coba mengikuti

beberapa kegiatan dalam kampus yang diadakan oleh organisasiorganisasi tertentu bersama ketiga teman-temanku. Dan sepertinya ini begitu menarik dan meberikan warna tersendiri. Setelah itu kami memutuskan untuk terlibat langsung dalam organisasi tersebut. Kesibukan satu demi persatu mulai menghampiri. Begitu banyak pengalaman yang kudapatkan di organisasi ini. Akhirnya melalui organisasi ini aku dapat merasakan menjadi pemimpin sebagaimana yang ku impikan, walau masih dalam skala kecil. Bagiku organisasi ini adalah tempatku berproses, dari orang yang tadinya bukan apa-apa, bisa jadi orang yang setidaknya diperhitungkan oleh orang-orang sekelilingku. Mengamati beberapa hal di sekitar saat perjalanan pulang menuju persinggahan kecilku, aku melihat beberapa anak yang bermain de­ ngan ceria. Tetapi di sekitarnya lagi, ku melihat beberapa anak yang sedang berjuang mencari sesuap nasi. Aku mulai berpikir mengenai

Go

28

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

ISSN: 2089-340X

m e.co

ogl


CERPEN kehidupan mereka. Kehidupan yang berat itu, masih adakah waktu mereka untuk belajar, bermain selayaknya anak lain, bagaimana dengan keceriaan masamasa kecil yang mungkin terlewatkan karena tidak adanya waktu untuk menikmati itu semua. Selain itu kekhawtiranku akan masa depan mereka, melihat banyaknya kehidupan remaja sekarang ini yang berbelok entah kemana, aku berinisiatif untuk membuat sekolah kecil untuk mereka yaitu Sekolah Singgah. Karena kecintaanku terhadap puisi, awalnya di sekolah ini aku hanya berfikir untuk berbagai hal kepada mereka seputar puisi seperti menulis puisi dan membaca puisi. Tapi seiring berjalannya waktu, begitu banyak teman-teman dari organisasiku yang tertarik pula dengan ������������������������������� S������������������������������ ekolah ����������������������� S���������������������� inggah ini. Mereka mulai menyalurkan apa yang mereka miliki kepada adikadik didikan Sekolah Singgah. Bahkan tak sedikit dari mereka yang memberikan bantuan untuk melengkapi keperluan pementasan saat adik-adik didikan Sekolah Singgah tersebut diminta untuk mengisi acara di salah satu kegiatan organisasi kampus. Di minggu-minggu awal berdirinya S������������ ������������� ekolah ����� S���� inggah ini hanya beberapa anak yang turut serta. Namun waktu terus bergulir, makin banyak anak-anak yang ikut bergabung. Semangat belajar mereka pun begitu tinggi. Ku melihat ada impian di mata mereka, impian yang seperti halnya dengan diriku berharap untuk tercapai. Impian yang tidak hanya sekedar impian. Mereka memperlihatkanku bagaimana menghargai hidup. Dengan keterbatasan yang ada, selama masih ada harapan dan keinginan, apapun itu akan terwujud. Asalkan kita mau meyakininya.

ISSN: 2089-340X

Seringkali saat ku merasa lelah dengan rutinitas kampus, aku merasa ingin mengakhiri dan menghilang. Tapi saat ku melihat mereka di Sekolah Singgah, ku mengingat kembali impianku. Aku harus semangat untuk meraih impian itu. Selain itu, ada seseorang di sana yang tidak ingin ku kecewakan. Orang tua yang selalu mendoakanku dengan semua mimpi-mimpiku. Harapan-harapan yang mereka gantungkan kepadaku. Omongan orang-orang yang tak mendukungku, yang memojokkanku karena impianku yang terlalu tinggi. Ingin ku tunjukkan kepada mereka, kepada dunia bahwa aku bukanlah sang pemimpi yang hanya bermimpi. Yang mana di kala pagi tiba, ku akan terba­ngun dari mimpi itu dan semua hanya tinggal kenangan sesaat. Melalui Sekolah Singgah yang ku dirikan bersama teman-temanku, ku letakkan impian bersama mereka yang ada di dalamnya. Di sini, di Sekolah Singgah, aku bisa jadi pemimpi sekaligus pemimpin. Dapat memimpin mereka sejauh ini, dapat berbagi apa yang kumiliki dengan mereka memberikan kebahagiaan tersendiri untukku. Aku sadar perjalananku masih jauh, ini hanyalah proses menuju pemimpin yang sesungguhnya. Proses yang begitu berharga yang menghiasi usia remaja dengan begitu banyak warna. Di kala nanti, saat pemimpi ini tak hanya lagi jadi pemimpi, ingi������������������ n����������������� ku berbagi kepada mereka sang pengejar mimpi, jangan pernah takut bermimpi, teruslah bermimpi, kejar impian itu. Dan jangan biarkan impian itu hanya sekadar mimpi yang selalu menjadi bayang-bayang saja. []

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

29


KOMUNITAS Save Street Children Mengajar dari Hati Oleh: Arief Try Dharma Jaya

S

aat itu matahari belum kembali keperaduannya, tampak anakanak jalanan bercengkrama sambil belajar dengan sekelompok pemuda di sudut barat Pantai Losari. Raut gembira nampak jelas terpancar dari wajah anak-anak yang akhirnya dapat menikmati indahnya belajar. Jangankan menimba ilmu di bangku sekolah, kehidupan di jalan memaksa mereka melepaskan haknya guna mengemis dan meminta-minta kepada orang yang mungkin mau berbagi. Mengajar anak jalanan bukanlah hal baru bagi sekelompok pemuda tersebut, akan tetapi telah menjadi kegiatan rutin. Save Street Children (SSC), merupakan nama perkumpulan mereka. SSC berawal dari tangan dingin Shelila Latif pada Mei 2011 lalu yang berpusat di Jakarta. Komunitas tersebut, kini sudah tersebar di 18 kota, termasuk Makassar. SSC di Makassar dirintis pada 26 April 2013, pendirinya yakni kakak beradik Arini Lestari dan Anis. Saat itu, mereka membentuk dua kelas, kelas Pantai Losari (Pasi) dan kelas Desa Nelayan (Sayan). Berhubung kelas Desa Nelayan dianggap sudah mandiri, maka kelas tersebut dilepas dan dibuat kelas Mall Panakukang (Mapan) sebagai gantinya. Kelas yang aktif kini kelas Pasi dan kelas Mapan. Meski terbilang baru, empat puluh orang telah terdaftar sebagai anggota aktif dari berbagai latar belakang. Latar belakang terbentuknya SSC, tak luput dari bentuk keprihatihan terhadap kalangan kurang mampu, dan banyaknya anak-anak yang tidak diurus oleh orang tuanya. Sebagaimana visinya untuk memanusiakan kem30

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

bali anak jalanan dan memberikan pengetahuan yang bisa bermanfaat. Adhe Gledis selaku penanggung jawab kelas Mapan, mengutarakan tujuan SSC, “Awalnya muncul rasa iba dari kami terhadap anak jalanan yang memiliki nasib kurang beruntung. Kemudian kami berkeinginan menjadikan mereka lebih beretika, bermoral dan berpengetahuan dengan memberikan pendidikan tambahan dan kreatifitas. Agar nantinya mereka tidak sekadar pergi mengamen dan meminta uang, tapi bisa mengolah kreativitas yang telah diajarkan untuk menghasilkan uang,” jelas Adhe. Dalam proses pembelajaran, materi yang dibawakan hampir sama seperti mata pelajaran sekolah dasar (SD) pada umumnya. Tambahan materi yang diberikan SSC yaitu kreativitas dan budi pekerti. Jika pengajaran kreatifitas bertujuan agar anak jalanan dapat mandiri kelak, budi pekerti dianggap sangat penting untuk menanamkan jiwa-jiwa kesopanan terhadap anak jalanan, karena kehidupan jalanan dinilai sangat keras dan jauh dari kata sopan. SSC memiliki struktur kepengurusan yang terdiri dari ketua dan divisi-divisi. Ada empat divisi, divisi hubungan masyarakat, divisi pendanaan, divisi kreatifitas, dan divisi kevolunteer-an. Serta adanya satu orang membawahi seluruh divisi yang dinamakan head all division. Tugasnya untuk mengontrol setiap divisi di bawahnya jika terjadi hambatan dalam tugas-tugas kepengurusan. Penerimaan anggota terbuka setiap saat bagi volunteer yang ingin berpartisipasi menjadi anggota SSC.

Dalam anggota SSC, ada yang dinamakan Peng­ajar Keren (PK), yang kini sudah tiga generasi. PK terlebih dahulu diajarkan cara mengajar dan teknik-teknik pengajaran. Selain PK juga ada open volunteer. Setiap orang yang ingin berpartisipasi dapat bergabung pada SSC, tetapi sebelumnya harus mengikuti teknik-teknik pengajaran terlebih dahulu. Agustan, salah seorang anggota SSC, mengajak siapapun yang ingin berpartisipasi. Bagi dirinya sendiri, mengajar merupakan tuntutan nurani. “Meng­ ajar merupakan tuntutan nurani yang betul-betul berasal dari hati,” tuturnya. SSC, kata Agustan, memberikan ruang untuk berbagi pengetahuan kepada anak-anak yang kurang beruntung dalam pendidikan. “Melihat SCC, saya betul-betul ingin berpartisipasi dalam mengajar dan ingin merasakan bagaimana mengajar anak jalanan itu,” ujar lulusan Stikes Nani Hasanuddin Makassar tersebut. Lebih lanjut katanya, syarat menjadi anggota yaitu siap mengorbankan waktu untuk SSC dan mengajar karena panggilan hati. “Untuk volunteer yang mau bergabung bersama kami bisa datang kapan saja. Kami terbuka setiap saat, asalkan yang mau datang bergabung betul-betul panggilan dari hati,” kata Agustan. Dalam waktu dekat, SSC akan meng­adakan event “Tulisan Bunda” yang ditujukan untuk anak-anak SD. Acara akan diadakan pada 22 Desember bertepatan dengan hari ibu. Konsepnya tidak hanya menulis indah, tetapi anak-anak dibiarkan berkreasi seperti menulis puisi yang ditujukan

ISSN: 2089-340X

Dok. Pribadi


KOMUNITAS pada ibunya. Tentu ada kendala yang dihadapi SSC. Dana salah satunya. Namun kendala dana tak menyurutkan semangat anggota SSC dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan. Bermacam cara dilakukan, seperti mengadakan eventevent yang bisa menghasilkan uang. SSC tidak memiliki donatur tetap, tetapi ada beberapa orang yang turut membantu, baik berupa dana maupun tenaga. Mengubah pola pikir anak jalanan menjadi lebih baik, merupakan harapan yang ingin dicapai. Seperti penuturan Umi Kalsum Anggraeni selaku Ketua SSC saat ini,

“Harapannya mindset adik-adik bisa diubah, dan semoga semakin banyak yang datang ke kelas belajar dengan rajin.” Selain itu ia juga berpesan kepada seluruh anggota, agar tetap semangat mengajar dan membimbing anak jalanan. “Untuk kakak-kakak pembimbing agar selalu semangat mengajar adik-adik dengan memberikan mindset yang positif. Mari kita bergerak dan selalu menggerakkan. Kalau bukan kita, siapa lagi?” ungkap mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Makassar itu dengan lantang. []

AKTIVITAS

Laporan: Workshop on Management and Writing for International Journals

HALREV Menuju Jurnal Internasional

T

raining Division of Hasanuddin Law Review (HALREV) bekerja sama dengan Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Universitas Hasanuddin (LPMH-UH) mengadakan Workshop on Management and Writing for International Journals. Acara yang dipusatkan di Swissbel-inn Hotel, Makassar ini diselenggarakan selama dua hari, 1-2 November 2011. Workshop pengelolaan dan penulisan di jurnal internasional ini merupakan buah dari terpilihnya HALREV menjadi satu dari 53 e-Journal nasional penerima program hibah tata kelola jurnal ilmiah dari DIKTI. Dalam workshop ini, Assoc. Prof. Dr. Istadi, Editor-in-Chief BCREC Undip (Scopus Indexed), Ismail S. Wekke, Ph.D, (Reviewer Asian Social Science, Singapore), dan Prof. Dr. Irwansyah, Editor-in-Chief HALREV Unhas (EBSCO Indexed), masing-masing hadir sebagai Narasumber. Workshop yang dibuka secara resmi oleh Dekan FHUH, Prof. Dr. Farida Patittingi ini diikuti oleh 30 Dosen FHUH. Di sela seremoni pembukaan, Dekan FH-UH yang juga sekaligus Advisory Board HALREV, menekankan pentingnya keberadaan jurnal berkala ilmiah yang diterbitkan oleh FH-UH. “Melalui kegiatan ini, para dosen diharapkan dapat lebih intens lagi dalam melakukan publikasi hasil penelitian, baik di jurnal nasional maupun yang bereputasi internasional,” serunya. Lebih lanjut, Prof. Farida menambahkan, “Selaku pimpinan Fakultas, kami berkomitmen untuk terus mendukung jurnal Hasanuddin Law Review (HALREV, red) untuk lebih maju lagi. Dan kalau bisa, menjadi jurnal hukum Indonesia pertama yang terindeks di Scopus,” tambahnya. Sejak terbit perdana April 2015, HALREV, jurnal yang dikelola Fakultas Hukum Unhas, dipandang mencapai prestasi yang cukup fenomenal. Meski baru memasuki penerbitan ketiga, jurnal ini sukses menjadi wadah 30 artikel ilmiah dari berbagai akademisi dan praktisi hukum lintas kampus se-Indonesia. Di antaranya, tulisan Harifin A. Tumpa, Zainal Arifin Mochtar, dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva. Jurnal ilmiah yang berbasis Open Journal System (OJS) ini terbit dalam 2 versi dengan 2 ISSN, yaitu versi cetak dan online. Menurut Prof. Irwansyah, jurnal ini hadir untuk menindaklanjuti kebijakan DIKTI yang menuntut seluruh jurnal berkala ilmiah wajib berbasis online mulai ISSN: 2089-340X

AAN/EKSEPSI

Workshop. Management and Writing for International Journals yang diselenggarakan di Swissbel-inn Hotel Makassar, Senin (2/11).

tahun 2016. “Sampai saat ini, HALREV sudah terdaftar dan terindex pada 15 lembaga index bereputasi internasional. Dua di antaranya, DOAJ dan EBSCO termasuk index bereputasi internasional yang diakui DIKTI, dan yang tidak kalah pentingnya, menjadi index yang dipersyaratkan untuk melakukan indeksasi sebagai jurnal internasional di Scopus,” ungkap Prof. Irwansyah, Ketua Penyunting sekaligus Asesor Jurnal Akreditasi RISTEKDIKTI. Editorial Team HALREV menargetkan, di tahun 2017 HALREV telah siap untuk mengajukan indeksasi ke Scopus. Dalam skala nasional, terdapat 3 jurnal hukum di Indonesia yang telah memenuhi sebagian syarat Scopus. Selain HALREV, juga Indonesia Law Review yang dikelola Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Capaian ini tentu membanggakan bagi civitas akademika kampus merah yang terus berjuang memperbaiki peringkat dunianya. Untuk menjaga kualitas jurnal ini, sedikitnya ikut terlibat 52 orang dosen dan praktisi hukum sebagai Mitra Bebestari (Peer-Reviewers) dan 9 orang di antaranya berasal dari berbagai negara seperti Republik Ceko, Thailand, Korea Selatan, India, Singapura, Malaysia, dan Australia. [] INN Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

31


32

Eksepsi Edisi II/LPMH-UH/XX/XII/2015

ISSN: 2089-340X


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.