Quo vadis UUPA1960

Page 1


2 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017


HAYAMWURUK REFLEKSI BUDAYA DAN INTELEKTUALITAS MAHASISWA

LEMBAGA PERS MAHASISWA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO

Majalah Hayamwuruk diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Hayamwuruk Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Terbit Perdana: 1985 ISSN: 0215-1553 Izin terbit S.K. Rektor No. 57/SK/PT09/1987 Alamat Redaksi: Gedung A lantai 3 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Jalan Prof. Sudharto, S.H., Tembalang, Semarang. Surel: lpmhayamwuruk@gmail.com website: lpmhayamwuruk.org Ilustrasi sampul oleh Toni Malakian Penata letak: Hendra Friana

PEMIMPIN UMUM: Deviana Kurniawati SEKRETARIS UMUM: Risma Widyaningtyas PEMIMPIN REDAKSI: Hendra Friana REDAKTUR PELAKSANA: Resza Mustafa REDAKTUR ARTISTIK: Chandra Dewi Shelli EDITOR: Intan Larasati Aeny STAF REDAKSI: Nurul Maulina W Z, Alya Lubna Ganis, Iftaqul Farida, Devi Ayu Anggraeni, Asa Fiqhia PEMIMPIN LITBANG: Listi Athifatul Ummah STAF LITBANG: Faidah Umu Sofuroh, Qonita Azzahra, Meutia Mega Prahara PEMIMPIN PERUSAHAAN: Novi Handayani STAF PERUSAHAAN: Dianira Rizki Kinasih, Safrida Rohmah, Lulu Fitria Aniskuri Redaksi menerima sumbangan naskah/artikel. Diketik rapi maksimal 2500 kata, dilengkapi foto identitas pribadi (KTP/KTM) yang masih berlaku, isi tulisan tidak harus sesuai dengan pendapat redaksi. Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengubah maksud dan isi tulisan. Naskah bisa langsung dikirim ke alamat redaksi atau via surel.

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 3


SURAT PEMBACA

Sarang Semut di Lantai 3 Ilmu Budaya Shalom, mahasiswa-mahasiswi sekalian. Tahukah kalian semua mengapa semut selalu mencari gula sisa di gelas-gelas bekas Ovaltine? Tahukah kalian mengapa Ovaltine enak sekali rasanya jika dicampur dengan adonan sisa pisang molen? Tahukah kalian mengapa anak-anak kecil tidak pernah terlihat lagi mempotek kumis semut bakot dan mengadunya dengan anak tetangga? Tahukah kalian mengapa semut tidak pernah terlihat di lantai-lantai Paragon? Jika kalian ingin mengetahuinya, mungkin kalian harus memperhatikan sarang semut yang baru-baru ini kawan saya lihat di lantai 3 kampus kita. Kawan saya itu fans berat Justin Bieber, dia juga gemar sekali mendengarkan lagu-lagu lawas macam “Diobokobok” kepunyaan Joshua. Baru-baru ini kegilaannya betul-betul nampak di mata saya. Sebelumnya maaf sekali, kawan saya memang tidak memiliki KTP, karena KTPnya hilang dibawa kabur kecoa, ia mengganti namanya menjadi Sulaiman. Alasan ia mengganti namanya menjadi Sulaiman itu karena ia sangat menggemari kartun Pada Zaman Dahulu. Sesudah namanya berganti, kawan saya merasa dapat melihat sisi kebatinan binatang, salah satunya aktifitas semut-semut yang baru-baru ini sering ia perhatikan di lantai 3 itu. Menurut kawan saya, terdapat dua sarang semut di lantai 3 kampus Ilmu Budaya. Letaknya saya tidak tahu pasti, yang jelas menurutnya salah satu dari sarang semut yang ia perhatikan akhir-akhir ini penuh dengan ilmu dan hikmah. Sementara satunya lagi bagaikan mesin cuci. Apabila kalian memperhatikan sarang semut yang kawan saya sukai, ia mempercayai kalau kalian pasti akan menjadi mahasiswa-mahasiswi yang berguna bagi sesama kalian. Suatu hari di hari kamis, kawan saya memperhatikan sarang semut A. Menurut kawan saya melihat sarang semut A akhir-akhir ini membuat ia seringkali mengunyah plastik bekas ciki Cuba. Ia menguyah plastik itu serasa menguyah Ayam Geprek. Mengapa? Karena setiap hari kamis kawan saya melihat semut-semut di sarang A bergerombolan pergi meninggalkan sarang. Tidak pulang sampai bertemu senin lagi. Kawan saya bahkan sampai pernah menginap di kampus untuk menunggunya sambil menghitung rumus fisika menggunakan kapur serangga di lantai. Agaknya itu adalah salah satu rumus dalam Political Physic. Kurang lebih seperti ini: Graf: -strruktur komunitas>kesetimbangan komunitas - Kesetimbangan kelompok

4 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

kecil>Pengelompokan berdasarkan sentimen individual Sekali lagi, kawan saya ini memang spertinya sudah fix gila. Dia akhirnya membuntuti kelompok semut dari sarang A dan menemukannya sedang mencari gula di sarang semut Fakultas Sebelah. Walau menurut kawan saya yang dilakukan semut-semut sarang A agak lumayan baik (mengatur strategi memberantas hama) akan tetapi ia menyayangkan dan menimbulkan pertanyaan dibenaknya, “Kenapa semut-semut itu tidak menyerbu gula-gula di warung bu Romli power ranger pink?” Ya, menurutnya bu Romli nampak terlihat seperti Rose Ortiz atau Katherine Hillard yang memerankan power ranger pink di serial power ranger. Selain sarang semut A tadi, kawan saya juga memberitahukan aktifitas yang terjadi pada semut-semut di sarang B. Konon menurut tesis kawan saya, oleh sebab semut di sarang A keluar di hari kamis, semut-semut di sarang B keluar di hari Selasa. Penjelasannya, karena hari selasa tidak jauh dengan awal pekan, dan mahasiswa pasti jajan es teh. Selain di kantin, joglo kampus pastilah ramai mahasiswa wara-wiri. Maka dari itu semut di sarang B lebih memilih bergerombolan kelar menyerbu joglo kampus. Saya hendak bertanya kepada kawan saya itu, dari keduanya, aktifitas mana yang paling ia sukai? Kawan saya lebih memilih aktiftas sarang semut B. Mengapa? Kawan saya menjawab karena di joglo kampus ia dapat bertemu dengan mahasiswa-mahasiswi yang sedang melakukan diskusi perihal literasi. Alah persetan dengan kawan saya. Menurut saya itu kebohongan yang ia buat-buat saja. Kawan saya itu memang malas sekali berolahraga, makannya ia tidak suka aksi seperti banyak kawan saya yang lain di fakultas sebelah. Kentrung memang dia itu. Pemalas. Alasan paling kacangannya lagi karena ia tidak mau menyebrang karena takut ketabrak angkot. Bagi kawan mahasiswa-mahasiswi Ilmu Budaya, tolong dicek lantai 3. Apakah kawan saya itu sedang membual saja atau memang benar kalau di sana terdapat dua sarang semut. (Perimus, Mahasiswa Sastra Indonesia Angkatan Akhir Banget)

Dosen Pembina Organisasi, Buat Apa ‘Sich’? Dosen Pembina Organisasi. Apakah manfaat yang kita ambil daripadanya? Apakah ia adalah solusi, atau bagian dari masalah itu sendiri? Saya selalu ingin menanyakan langsung hal ini ke-


pada birokrat atau siapa pun yang punya ide awal tentang “pembinaan” organisasi mahasiswa. Tapi karena majalah Hayamwuruk dipastikan terbit, maka saya putuskan untuk menuliskannya di kanal surat pembaca. Jujur saja, setelah tiga tahun saya berorganisasi, tak pernah sekalipun saya melihat ada pembinaan yang baik dari para dosen itu. Kendati kalau pun ada, dan sifatnya instruksional, saya akan jadi orang yang paling semangat dan keras menolaknya. Sebab, untuk apa mahasiswa berorganisasi kalau masih direcoki oleh dosen atawa birokrat kampus. Cukup—yang mulia dan terhormat—Bu Win saja yang bertugas untuk itu. Lagi pula, saya yakin, para dosen pembina itu juga sudah cukup sibuk dengan tugasnya mengajar, menulis jurnal (kalau bisa dan biasa) serta hal-ihwal akademik lainnya. Apalagi, penempatan mereka “di mana” tidak didasarkan atas musyawarah kepada organisasi yang bersangkutan. Mana ada perwakilan organisasi yang sebelumnya ditanya: “Nak, kamu mau enggak organisasimu dibina sama dosen A? atau kamu maunya sama si Mas B?” Saya berani jamin: tidak ada! Nah, terus gimana kalau dosen pembina itu tak pernah tahu atau jadi bagian dari organisasi yang dipilihkan untuknya? Ibarat seorang guru agama yang tiba-tiba diangkat jadi komisasis perusahaan tambang, saya yakin, beliau-beliau itu nantinya akan sulit memberikan masukan-masukan lantaran tak mengerti budaya atau iklim organisasi yang bersangkutan. Daripada nanti enggak ada kerjaan dan akhirnya BT sama anak-anak di organisasinya, mendingan tidak usah ada sekalian, iya kan? Selain itu, menurut saya, sistem pembinaan organisasi ini sama juga buruknya dengan dosen wali untuk mahasiswa. Hampir tak pernah ada interaksi antara yang dibina dengan yang membina. Kecuali untuk memberi sambutan pada acara-acara seremonial, saya rasa fungsi dosen pembina ini tidak pernah dibutuhkan. Karena itulah, duhai, dosenku yang sudah cukup sibuk dengan urusan biroktarik dan akademik, kalau kalian selesai membaca surat ini, tak perlulah lagi repot-repot menempatkan Mas dan Mbak—karena sekarang mereka kebanyakan dosen muda—itu pada posisi pembina. Toh mahasiswa sudah dewasa. Mahasiswa tahu siapa yang bisa dipercaya untuk memberikan pembinaan kepada organisasi mereka. Di luar itu, Bu, Pak, sebetulnya yang dibutuhkan mahasiswa bukan pembinaan. Yakinlah, mereka cuma butuh keleluasaan untuk bisa memakai ruangan dan waktu untuk bebas dan aman selama 24 jam berada di kampus. Kalau itu saja tak mengerti, lalu buat apa selalu bilang kalau mahasiswa adalah subjek? Semoga bapak dan ibu selalu dirahmati sang Hyang Widhi. Amin.

Mahasiswa Tidak Punya Sikap “Jika ada isu sosial yang sedang ramai diperbincangkan, maka isu sosial tersebut akan segera dibahas pula, baik secara individu maupun kelompok. Dan jika ada isuisu sosial baru sedang diperbincangkan, maka isu sosial yang sedang dibahas tanpa disadari akan ditinggalkan karena membahas isu-isu sosial yang baru.” Dengan berat hati saya berpendapat seperti itu, dan pendapat tersebut berdasarkan dari empiris saya terhadap apa yang sedang terjadi di mahasiswa kebanyakan saat ini. Menurut saya, mahasiswa kebanyakan saat ini terlihat reaksioner. Bukan saya menyalahkan sikap tersebut akan tetapi lebih kepada dasar mereka. Seringkali yang terjadi adalah mahasiswa dalam melakukan suatu pembahasan isu-isu sosial baik secara individu maupun kelompok hanya mengikuti tren saja. Sehingga yang terlihat adalah kebanyakan mahasiswa saat ini tidak punya sikap dan hal tersebut terjadi karena kurangnya dasar serta inkonsistensi dalam membahas ataupun mengawal suatu isu. Ketiadaan sikap ini terjadi karena sisi reaksioner kebanyakan mahasiswa tidak bisa dikontrol. Hal itu dikarena kurangnya literasi, diskusi, atau bahkan karena ketergesa-gesaan yang ingin sesegera mungkin berargumen terhadap suatu isu, tetapi di lain sisi tidak sadar bahwasannya dasar yang digunakan saat memberikan argumen masih kurang, yang mana akan mengakibatkan argumen yang disampaikan akan terdengar cacat logika, baik cacat logika jenis fallacy of dramatic, argumen ad hominem, atau post hor ergo propter hoc. Lalu apa yang seharusnya dilakukan? Belajar konsisten serta memperkuat dasar kita dengan memperbanyak literasi dan diskusi bagi saya adalah solusi. Rakyat tidak butuh suara sumbang, suara yang terucap karena kurangnya dasar, suara yang seolah membela mereka tetapi pada akhirnya mereka dilupakan lantaran inkonsistensi mahasiswa! “Murid yang cerdik juga insyaf, bahwa kalau dia sudah tahu satu cara, satu undang, satu kunci buat menyelesaikan satu golongan persoalan, maka tiadalah ia mengapal berpuluh-puluh persoalan atau jawabannya puluhan atau ratusan persoalan itu, tetapi dia pegang cara atau kuncinya persoalan tadi saja.” Madilog, Tan Malaka (Akbar Ridwan, Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah FIB Undip Angkatan 2014)

(Identitas pengirim ada pada Redaksi)

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 5


DARI REDAKSI

Masih Ingin Terbit! Selamat Meneruskan Estafet Perjuangan Ulil Albab Alshidqi Muhammad Habibburahman Ririn Juli Hardianti Shilfina Fauziah Mohammad Nor Faiz Wahyu Dwi Astuti Nur Hakimah Indarto Bimo Nadzir Cahyo Layyinatusshifayifa Arifah Umi Wakhidah Tatik Kundrianti Ulfa Roifah

Semoga kalian lebih baik! -Keluarga Besar LPM Hayamwuruk

“Buat apa masih terbitin majalah? Cetaknya mahal. tenaganya enggak ada. Sudah lah, majalah Hayamwuruk itu cuma romantisme masa lalu,” kata seorang alumni. Barangkali, kalimat bernada sinis itu ada benarnya. Di era ketika penetrasi internet semakin tinggi seperti sekarang, mempertahankan produk dengan medium kertas dan tinta memang bukan pilihan yang tepat. Kami sadari itu. Jangankan Pers Mahsiswa, media sekelas Kompas saja sudah beralih ke ruang online lantaran oplahnya terus turun. Tahun ini, mereka meluncurkan Kompas.id—kanal digital yang berbeda dari Kompas.com—yang kontennya sama dengan Harian Kompas. Tapi toh Majalah ini terbit juga. Peduli setan dengan romantisme. Sebab kami masih percaya, yang membuat majalah mahasiswa kian tersisih bukan hanya mediumnya, melainkan juga isinya. Itulah kenapa, bagi kami, pertanyaan yang kerap kali membuat resah adalah: apakah yang kami kerjakan ini akan dibaca—minimal oleh mahasiswa tempat majalah ini lahir—atau sekedar jadi media mastrubasi, yang dibuat dan dinikmati oleh kami sendiri? Jujur saja, di kantor redaksi kami, beberapa edisi majalah Hayamwuruk masih menumpuk dan belum terdisitribusikan. Padahal, melalui media sosial, telah kami umumkan bahwa majalah bisa didapat secara gratis hanya dengan menunjukkan KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) Universitas Diponegoro. Kami khawatir, hal tersebut mengindikasikan bahwa kehadiran majalah ini sudah tidak dibutuhkan. Tentu kami berharap hal itu tak terjadi pada edisi kali ini. Sebab, terbitnya majalah ini tak semata urusan idealisme, tetapi usaha kami untuk tetap “waspada” dan berhenti mendekam di balik nyamannya menara gading universitas. Kami keluar, melongok, bertemu langsung dengan masyarakat, dan belajar dari awal—membaca puluhan artikel, menghatamkan buku-buku dan mewawancara banyak narasumber. Pembaca, meski tema yang kami angkat ini cukup jauh dari kehidupan mahasiswa, bukan berarti kami bermuluk-muluk menjadi media alternatif. Bagi kami, bisa membuka wawasan dan memenuhi aspirasi mahasiswa saja sebenarnya sudah cukup. Kalaupun majalah ini nantinya bisa menjadi pemantik bagi naluri kritis anda, itu hanya bonus. Demikianlah, meski kepayahan, kami selalu ingin dan berusaha menghadirkan majalah ini ke hadapan anda, pembaca. Kendati di luar itu, kami juga harus berjibaku dengan penggarapan buletin, mading, website, serta tugas-tugas di luar keredaksian seperti mendidik anak magang dan mengadakan diskusi bulanan yang, kadang-kadang, membuat kami keteteran dengan skripsi atau jadwal kuliah yang membosankan. Ketidaksempurnaan pada edisi kali ini sepenuhnya kami sadari. Sebab, kami yakin, seperti halnya buku, majalah yang sempurna adalah majalah yang tak pernah diterbitkan--begitu orang bijak pernah dikutip. Kritik, komentar dan saran karena itu sangat kami harapkan dari pembaca sekalian. Selamat membaca. Hendra Friana (Pemimpin Redaksi)

6 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017


SIASAT MEMBEKUKAN HUKUM AGRARIA NASIONAL

Mangkirnya pemerintahan Orde Baru dalam penerapan UUPA 1960 berdampak pada ketimpangan lahan dan konflik agraria yang berlangsung hingga sekarang

WAJAH PERUPA MUDA SEMARANG

Mengungkap fenomena lirihnya gema kesenian di Semarang dan ‘mitos’ sebagai kuburan seni.

10 35

63 58

HARI-HARI MENJEMPUT KEADILAN

Perjuangan para petani di Jawa Tengah melawan korporasi dan pemerintah untuk mempertahankan tanah dan kelestarian lingkungan.

SOESILO TOER & DERMA SEPIRING NASI

Cerita hidup Soesilo Toer, adik Sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang penuh penglaman: dari seorang juru ketik Bahasa belanda sampai kuli di Siberia.

DAFTAR ISI 4 6 9 10

Surat Pembaca Dari Redaksi Opini Redaksi Laporan Utama Siasat Membekukan Hukum Agraria Nasional Karpet Merah untuk Investor dan Revolusi Hijau Bola Salju Ketimpangan Lahan di Sektor Pertanian Membuka Lahan Sawah; Membunuh Malind Anim

24 29 30 35

Wawancara Utama English Corner Opini & Kolom Laporan Khusus Melindungi Rembang dari Baya Tambang Yang Berjuang dan Berpulang untuk Petani Ketika Petani Melawan Perhutani 42 Perspektif 50 Wawancara Lepas

55 60 65 68

Artikel Lepas Sosok Budaya Jaring Bukan Memadamkan Nyala Lilin Banding UKT untuk Siapa 73 Sastra 78 Resensi 82 Obrolan Joglo Budaya

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 7


Iklan layanan masyarakat ini dipersembahkan oleh LPM Hayamwuruk


OPINI REDAKSI

KONFLIK YANG TAK KUNJUNG PADAM

K

onflik agraria yang terjadi di Indonesia bak sinetron tak berkelas: membosankan dan tak kunjung padam. Sialnya, meski telah berlangsung lebih lama dari usia republik ini, belum juga ada keseriusan dari pemerintah untuk mengakhirinya. Padahal, Hal itu telah berdampak ke lebih dari satu juta kepala keluarga dan mengalami eskalasi sangat cepat—yang lama belum terselesaikan, tapi sudah muncul lagi konflik yang baru. Data KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) menyebutkan, dalam kurun 11 tahun (2004-2015) terdapat 1.772 titik konflik yang setara dengan 6,2 juta hektar tanah di Indonesia. Sementara itu, setelah dua tahun pemerintahan Jokowi, terjadi 285 kasus konflik agraria atau rata-rata 124 kasus pertahun. Selisih hanya 10 kasus dengan rata-rata pemerintahan SBY selama satu dekade. Lantas, apakah yang menyebabkan konflik agraria terus terjadi sampai sekarang? Ada beberapa jawaban terkait hal ini. Tapi yang jelas, dan cukup akurat, lantaran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 tak pernah diterapkan secara kafah. Saat Soeharto memegang tampuk kekuasaan, UUPA langsung di-peti eskan, dan apa yang dicita-citakan para founding fathers untuk memperbaiki hukum agraria nasional kandas. Orde Baru tak merasa perlu melakukan land reform karena berpikir produktifitas lahan bisa digenjot melalui Revolusi Hijau. Dengan sokongan dana IMF dan Bank Dunia, intensifikasi lahan pertanian dilakukan secara masif hingga mencapai puncaknya, yakni swasembada beras di tahun 1983. Namun, karena strukturnya rapuh, revolusi hijau hanya mampu mengantarkan Indonesia berswasembada selama lima tahun. Setelah itu, Indonesia jatuh jadi importir beras lagi dan kelesuan melanda sektor pertanian. Pada tahun 1993, ketika Industri menyumbang 22,5% Produk Domestik Bruto (PDB), pertanian melalui subsektor perkebunan hanya menyuplai 17,6%, anjlok dibandingkan tahun 1970 yang masih sekitar 45% Di sisi lain, prinsip-prinsip “hak menguasai negara” yang terdapat dalam UUPA (pasal 2) dinterpretasikan secara serampangan oleh Soeharto. Hal itu dijadikan dasar bagi lahirnya Undang-Undang sektoral yang memberi kekuasaan kepada pemerintah

untuk mengeluarkan izin konsesi hutan dan tambang—misalnya UU Pokok Kehutanan dan UU Pokok Pertambangan. Ketimpangan lahan pun terjadi di Indonesia. Jutaan hektare tanah jatuh ke tangan segelintir orang, sementara jutaan petani tak punya tanah. Di kemudian hari, izin-izin itu menjadi penyebab dari maraknya konversi lahan dari pertanian dan hutan menjadi pemukiman, industri atau kepentingan-kepentingan lainnya seperti infrastruktur. Begitulah pembaca. Bagi kami, meski membosankan, hal-hal ini sangat penting untuk tidak dilupakan. Sebab, tanah menjadi medan perang antar kelas dan kekuasaan yang terus berkecamuk. Kasus pabrik PT. Semen Indonesia di Rembang, Konversi jutaan hektare hutan menjadi sawah di Merauke, serta kasuskasus lainnya di Indonesia adalah contoh nyata yang tidak bisa kita elakkan. Ia tidak akan pernah selesai jika aturan hukum tidak mampu menjadi payung untuk melindungi pihak-pihak yang paling rentan—petani dan masyarakat adat. Restrukturisasi lahan harus disegerakan, bukan hanya sekadar pencatatan aset alias sertifikasi yang tidak membantu para landless folks di negeri ini. Lewat majalah ini kami sajikan potret “perang” atas tanah dan lemahnya sistem agraria kita. Tentu tak sekedar urusan politik belaka, tapi juga hal-hal di luar domain pertarungan kelas dan kekuasan. Itu sebabnya, kami menurunkan laporan tentang sosok Soesilo Toer, adik dari sastrawan Pramoedya Ananta Toer, dari sisinya yang—menurut kami—humanis. Selain itu, kami turunkan pula laporan lama tentang “Wajah Perupa Muda” di Semarang, juga masalah seputar kampus Fakultas Ilmu Budaya dan Universitas Diponegoro dalam rubrik “Jaring”. Semoga bisa menjadi pemantik pemikiran dan bermanfaat. Sapere Aude! | Redaksi

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 9


SIASAT MEMBEKUKAN HUKUM AGRARIA NASIONAL Upaya Indonesia melakukan Land Reform lewat Undang-Undang Pokok Agraria kandas saat Orde Baru Berkuasa.

K

EPIAWAIAN Mohammad Hatta sebagai seorang ekonom memang tak bisa diragukan. Ia bukan hanya pandai dalam merumuskan gagasan dengan dingin dan mendalam, tapi juga visioner. Sebelum negeri ini merdeka, ia sudah punya bayangan cetak biru ekonomi Indonesia. Dalam Dasar Pre-advis kepada Panitia Penyelidik Adat Istiadat dan Tata-usaha Lama, tahun 1943, ia memberikan pandangan yang melampaui zaman. Untuk mencapai kemakmuran di masa mendatang, kata Hatta, “politik peerkonomian haruslah disusun atas dasar yang ternyata sekarang, yaitu Indonesia sebagai negeri agraria.” Tiga tahun kemudian, pada 3 Februari 1946, hal itu ia tegaskan dalam Pembukaan Konferensi Ekonomi di Yogyakarta, lewat pidato berjudul “Ekonomi Indonesia di Masa Depan”. Dalam pidatonya, Hatta kembali mengatakan bahwa sebagai negeri agraris, pondasi ekonomi Indonesia harus dimulai dari pembangunan pertanian. Ia mengajukan sejumlah prinsip yang intinya antara lain: tanah tak boleh jadi alat kekuasaan dan memeras; tanah-tanah yang dipakai oleh perkebunan besar sejatinya adalah milik rakyat; dan terakhir, perusahaan yang menggunakan tanah

10 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

luas harus diatur sebagai koperasi di bawah pengawasan pemerintah. Memang, pidato Hatta itu tak langsung berbuah kebijakan. Namun, di sana tercermin tekad bersama para pendiri bangsa untuk mengubah sistem agraria kolonial menjadi sistem agraria nasional. Maklum, waktu itu Indonesia memang masih tersandra oleh sistem ekonomi kolonial pasca-Agrarische Wet 1870. Apalagi, sebagian besar penguasaan tanah di Indonesia masih berada di tangan pengusaha Belanda dan etnis Tionghoa. Tak hanya berhenti pada gagasan, pemerintah lalu merintis pelaksanaan land reform skala kecil di wilayah terbatas. Dimulai dengan menghapus desa perdikan dan tanah partikelir, sampai menghapuskan “hak-hak conversie” dari perusahanperusahaan tebu di kesultanan Yogya dan Solo, untuk didistribusikan kepada petani tunaksima. Selanjutnya, pada 21 Mei 1948, Presiden Soekarno membentuk tim khusus untuk mempersiapkan UU Agraria Nasional. Diketuai Sariman Reksodiharjo dari Kementerian Dalam Negeri, tim yang kemudian dikenal dengan nama Panitia Yogya itu ditugaskan Soekarno untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran yang akan

dirumuskan dan disusun menjadi hukum agraria baru. Namun, baru tiga tahun berjalan, pembahasan oleh Panitia Yogya terpaksa berhenti akibat agresi militer Belanda ke-II. Panitia Yogya lalu dibubarkan, dan pada 1951, pembahasannya dilanjutkan kembali dengan dibentuknya panitia baru sebagai pengganti, yakni Panitia Agraria Jakarta. Di tengah-tengah kelanjutan pembahasan RUU Agraria Nasional, kabar tak sedap datang dari Konfe-


LAPORAN UTAMA

Mohammad Hatta dalam Konferensi Meja Bundar

rensi Meja Bundar (KMB). Dalam KMB, diplomasi Indonesia dianggap gagal lantaran salah satu kesepakatannya mengharuskan Indonesia mengembalikan perkebunan-perkebunan besar kepada pemegang haknya semula, yakni pemilik modal swasta dan Belanda. Artinya, rakyat harus kembali terusir dari tanah-tanah perkebunan yang sudah terlanjur mereka duduki. Titik balik bagi politik dan kebijakan agraria yang tengah dicita-citakan.

Dalam kondisi politik semacam itu, semuanya berubah menjadi serba dilematis dan ambigu bagi pemerintah, terutama dalam hal kebijakan agraria. Di satu sisi, Indonesia ingin kembali pada kebijakan yang telah digariskan sejak 1946, namun di sisi lain perjanjian KMB telah mengikat dan mutlak untuk dilaksanakan. Hasilnya, gejolak pun terjadi di beberapa daerah khususnya di wilayah-wilayah perkebunan. Di Tanjung Morawa, Sumatera Timur

(sekarang Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara), Barisan Tani Indonesia dan sejumlah buruh tani melakukan perlawanan karena enggan meninggalkan lahan yang sudah mereka tempati. Pada 16 Maret 1953, eksekusi pengosongan pun terpaksa dilakukan dengan beberapa unit traktor serta pengerahan Brigade Mobil (Brimob) polisi. Lazimnya aksi-aksi pengosongan paksa, bentrokan antara petani dan polisi pun tak terhindarkan. Dalam insiden tersebut, aparat melolongkan senapan

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 11


yang memakan korban sebanyak 21 orang. Enam orang dinyatakan tewas dan sisanya luka-luka. Akibat tragedi Morawa, pemerintah akhirnya mengeluarkan UU Darurat No. 8 tahun 1953 tentang pemakaian tanah perkebunan sebagai hak erfpacht (Hak Guna Usaha) oleh rakyat. Pendudukan lahan kini tak lagi dianggap sebagai pelanggaran hukum, dan selanjutnya, pemerintah mengupayakan penyelesaian masalah melalui pemberian hak dan perundingan di antara pihak-pihak yang bersengketa. Tahun 1955, Pemilihan Umum melahirkan kabinet baru dan Panitia Agraria kembali mengalami bongkar-pasang dan pergantian: mulai dari Panitia Soewahjo (1955), Panitia Negara Urusan Agraria, Rancangan Soenarjo (1958), hingga Rancangan Sadjarwo (1960). Pada 1957, lantaran Irian Barat tak kunjung diserahkan kepada Indonesia, pemerintah membatal-

kan perjanjian KMB secara sepihak yang diikuti dengan nasionalisasi perkebunan-perkebunan asing. Namun, entah karena pertimbangan apa, hampir semua perusahaan asing yang diambil-alih itu kemudian dipimpin oleh militer. “Inilah awal mula dari masuknya peranan tentara ke dalam ekonomi,� tulis Gunawan Wiradi dalam Seluk Beluk Maslah Reforma Agraria. Gunawan Wiradi adalah ahli agraria yang juga ketua Panitia Uji Rancangan Sadjarwo di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia. Setahun kemudian, pemerintah mengeluarkan UU No 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir. Menurut Idham Arsyad, mantan Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tanah pertikelir merupakan tanah yang disewakan atau dijual oleh penguasa kolonial kepada orang-orang kaya dengan disertai hak-hak pertuanan (landheerlijke rechten), yakni berkuasa atas tanah beserta orang-orang di dalamnya.

Misalnya, hak mengangkat dan memberhentikan kepala desa, menuntut rodi atau uang pengganti rodi, dan mengadakan pungutanpungutan. “Hak dipertuanan itu seperti negara dalam negara,� ujar Arsyad. Dengan UU tersebut hakhak pertuanan hanya boleh dimiliki oleh negara. Untuk meminimalisasi konflik, upaya peralihan tanah dari elit Belanda ke rakyat itu, dipandu oleh negara dan dilakukan dengan skenario ganti rugi. Naskah Rancangan UndangUndang (RUU) baru dapat disusun setelah panitia ad hoc DPR bekerja sama dengan Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada. Rancangan terakhir ini lah yang kemudian diuji di perguruan tinggi, termasuk Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (sekarang Institut Pertanian Bogor). Setelah pergulatan selama 12 tahun, pada 24 September 1960, RUU itu diundangkan dalam Lembaran Negara No.104 Tahun 1960, sebagai UU no.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Dikenal sebagai UUPA).

Dibenamkan dalam Peti Es

Ketua Presidium Kabinet Letjen Soeharto saat mengumumkan Kabinet Ampera I, Juli1966.

12 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

Sejak dikeluarkannya UUPA, maka semua peraturan perundanganundangan yang didasarkan pada hukum agraria kolonial (Agrarische Wet) 1870 secara otomatis dinyatakan tidak berlaku. Namun demikan, UUPA yang baru disahkan sebenarnya belum komprehensif dan hanya berupa prinsip-prinsip pokok. Hal itu, menurut Gunawan Winardi, disebabkan oleh terbatasnya waktu dan beragamnya kepentingan partai politik selama proses perumusan. Dalam penerapannya, pokok dari UUPA perlu dijabarkan lagi ke dalam aturan-aturan pelaksanaan seperti, salah satunya, Undang-Undang Nomor 56/1960 tentang Penetapan Batas Luas Tanah Pertanian (dikenal sebagai Undang-Undang Landreform).


LAPORAN UTAMA Di sinilah kemudian terlihat sikap pemerintah yang mulai kompromis. Dalam UU Nomor 224/1961 tentang objek landreform, misalnya, pembagian tanah baru menyentuh tanah kelebihan, tanah guntai, bekas tanah swapraja dan partikelir. Sedangkan objek lainnya seperti tanah perkebunan, hutan, dan pertambangan masih tertunda dan belum terlaksana. Hal itu diduga lantaran perkebunan-perkebunan besar

izin konsesi hutan dan tambang bagi eksploitasi hutan dan sumber mineral di Indonesia. Parahnya, kedua UU tersebut kemudian membuat UUPA hanya berlaku sebagai peraturan bagi tanah non-hutan, yang total luas lahannya hanya sekitar 33% di Indonesia. Pada titik ini, Goenawan Wiradi mengangap kebijakan-kebijakan Orde Baru telah bertentangan dengan tekad dan prinsip para pendiri

Kebijakan-kebijakan Orde Baru telah bertentangan dengan tekad dan prinsip para pendiri RI—khususnya Hatta—bahwa bagi bangsa Indonesia, tanah tidak boleh dijadikan dagangan dan objek spekulasi. bekas Belanda berada di bawah kendali militer (AD). Kendati belum sempurna, toh UUPA tetap menjadi milestone untuk membebaskan Indonesia dari sistem feodal pra-kolonial yang pernah digunakan untuk mengeksploitasi petani. Sebab, UUPA melarang monopoli sumber-sumber agraria, kecuali oleh negara sesuai dengan perannya sebagai perwakilan kepentingan rakyat. Sayangnya, belum sempat undang-undang tersebut dijalankan dengan baik, Soekarno dimakzulkan dan kekuasaan berpindah ke tangan rezim militer Orde Baru. Di bawah kuasa Soeharto, prinsip-prinsip “Hak menguasai Negara” yang terdapat dalam pasal 2 UUPA dinterpretasikan secara serampangan dan dijadikan dasar bagi lahirnya bagi lahirnya Undang-Undang Pokok Kehutanan, Pertambangan serta Undang-Undang sektoral lainnya yang membuat berbagai peraturan dan undang-undang tumpang tindih. Undang-Undang Pokok Kehutanan dan Pertambangan, misalnya, memberi kekuasaan kepada pemerintah untuk mengeluarkan

RI—khususnya Hatta—bahwa bagi bangsa Indonesia, tanah tidak boleh dijadikan dagangan dan objek spekulasi. Pemerintah Orde Baru tak merasa perlu mekukan landreform karena menganggap produksi pangan bisa digenjot lewat jalan pintas Revolusi Hijau. Orde baru membenamkan UUPA ke dalam “peti es”, dan begitu dikeluarkan pada 1978, hutan terlanjur dikalpling-kapling lewat hak pengusahaan hutan (HPH) dan konsesi-konsesi lain. Berbagai kebijakan negara yang lahir kemudian pun akhirnya harus bertentangan dengan UUPA. Pasca krisis ekonomi, 1997-1998 dan runtuhnya rezim Soeharto, alih-alaih mengembalikan marwah UUPA, pemerintah justru menggenjot pendapatan negara melalui peningkatan ekspor hasil tambang dan budidaya tanaman komersial seperti sawit, karet dan coklat dengan eskpansi jutaan lahan perkebunan dengan sokongan dana IMF dan Bank Dunia. Agenda Reforma Agraria yang dituntut gerakan agraria diabaikan

dan pemerintah lebih fokus pada sertifikasi tanah yang dianggap para aktifis sebagai “Reforma Agraria Palsu” dan “Tidak sama dengan Reforma Agraria” Ketimpangan kepemilikan dan penguasaan lahan pun terjadi. Para petani hanya memiliki lahan gurem lantaran sawah-sawah mereka beralih fungsi menjadi pabrik, perumahan, sampai bandara internasional. Sensus pertanian tahun 1963-2003 mencatat, rata-rata penguasaan lahan oleh petani sangat kecil yakni hanya 0,81 sampai 1,05 hektar. Di beberapa tempat, hal itu lah yang kemudian memicu konflik agraria hingga saekarang—perlawanan rakyat terhadap negara dan pemodal. Sepanjang tahun 2015, KPA melaporkan telah terjadi sedikitnya 252 kejadian konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 400.430 hektar dan melibatkan sedikitnya 108.714 kepala keluarga (KK). Sementara itu, belum ada langkah-langkah kongkrit yang dilakukan pemerintahan Jokowi-Jk untuk melaksanakan reforma agraria. Bahkan, berdasarkan laporan akhir tahun KPA, pemenuhan hak-hak dasar warga atas sumber-sumber agraria, pemulihan hak-hak korban konflik serta upaya penyelesaian konflik agraria nyaris tak tersentuh sepanjang tahun 2015. Menurut anggota Komisi II DPR RI, Diah Pitaloka, penyebab tersandranya pemerintah dalam persoalan-persoalan agraria itu adalah kentalnya kepentingan korporasi dan tumpang tindihnya perundanganundangan di disektor sumber daya alam—hal yang diwariskan Soeharto kepada generasi sekarang. |Hendra Friana & Listi Athifatul Ummah

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 13


KARPET MERAH UNTUK INVESTOR & REVOLUSI HIJAU

L

EWAT sebuah artikel di harian Kompas, Soe Hok Gie, tokoh intelektual yang turut menumbangkan Soekarno, pernah menggambarkan situasi pemerintahan Orde Baru dengan judul “Betapa tak Menariknya Pemerintahan Sekarang”. Artikel itu dimuat pada 19 Juli 1969, enam bulan sebelum ia wafat, dan hampir keseluruhan isinya merupakan keprihatinan terhadap rezim yang—secara kritis—ia dukung itu. Kendati begitu, toh dia masih menyimpan harapan pada pemerintahaan Soeharto. Pada artikelnya itu, ia menulis “Jika Soeharto dan pemerintahannya berhasil menunjukkan bahwa ada kesungguhan pemerintah dalam menegakkan rule of law, maka dukungan masyarakat akan bertambah terasa.” Sayangnya, apa yang diharapkan sang demonstran itu tak pernah terjadi. Bahkan, sepanjang 3 dekade kemudian, apa yang dikeluhkannnya itu kian berkembang dan sewenangwenang. Alih-alih memperkuat penegakkan hukum, Soeharto justru mengubah wajah pemerintahannya menjadi otoriter. Untuk menumpas segala bentuk oposisi dan kekuatan masa radikal—yang selalu diasosiasikan sebagai PKI—ia memainkan politik stabilitas dan keamanan, yang tujuan besarnya tak lain adalah memberikan kepastian hukum bagi investor. Di sektor riil, pintu bagi investor asing saat itu memang sedang dibuka selebar-lebarnya oleh Soeharto. Di bawah payung Undang-Undang Penanaman Modal Asing (1967), beberapa perusahaan yang pernah dinasionalisasi pada masa Orde

14 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

Lama bahkan dikembalikan lagi kepada pemiliknya semula. Kebijakan “berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan” yang pernah dicanangkan Soekarno, berbalik arah menjadi “bertumpu pada yang kuat, mengendalikan utang luar negeri, dan mengundang modal asing”.

Didukung oleh bantuan ekonomi dan pangan Amerika Serikat, Soeharto menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi daripada pembangunan ekonomi nasional. Ia juga menjalin kembali hubungan dengan lembaga donor internasional seperti IMF dan Bank Dunia, yang sempat putus pada zaman Soekarno. Dari IMF dan Bank dunia itu lah, Indone-

Mantan Presiden Indonesia, Soeharto, dan Ronald Reagan (Presiden Amerika Serikat ke 40)


LAPORAN UTAMA sia mendapat pinjaman untuk membiayai defisit di awal pemerintahannya yang ketika itu naik dari 17% mencapai 63%. Meski demikian, Soeharto sadar bahwa untuk menggerakkan pembangunan, ia tak bisa hanya mengandalkan utang luar negeri. Sumber pendapatan dari dalam negeri, menurutnya, juga perlu untuk digenjot. Karena itulah, pada 1970-an ia mulai menggenjot pembangunan di sektor pertanian. Namun, bukan Undang-Undang Pokok Agraria (1960) yang ia jadikan acuan, melainkan “jalan pintas” Revolusi Hijau. Dengan melakukan intensifikasi pertanian, pemerintah Orde Baru yakin bahwa produksi pangan bisa

and Agriculture Organization), Eddouard Saouma menyebut Soeharto sebagai lambang perkembangan pertanian Internasional. Pada Juli 1986, Edduard tiba di Jakarta untuk menyerahkan penghargaan berupa medali emas FAO bertuliskan “From Rice Imoprter to Self-Sufficiency”. Sayangnya, keberhasilan itu tak serta-merta membawa kesejahteraan bagi petani. Bahkan, sejumlah studi menunjukkan, revolusi hijau yang bersandar pada penggunaan teknologi pertanian baru justru telah meningkatkan biaya produksi dan menciptakan ketergantungan petani terhadap kredit. Alhasil, petani-petani kecil pun melepaskan tanah mereka ketika tak lagi sanggup untuk

Juli 1986, FAO memberikan penghargaan berupa medali emas bertuliskan “From Rice Imoprter to Self-Sufficiency”, kepada Indonesia. digenjot tanpa harus melakukan land reform. Apalagi, bantuan keuangan dari Bank Dunia telah tersedia untuk proyek tersebut. Seiring berjalannya waktu, revolusi hijau terbukti mampu meningkatkan produktivitas dengan panen beras sampai dua kali lipat per-hektare. Indonesia yang dikenal sebagai negara pengimpor beras terbesar pada tahun 1966, tiba-tiba mampu berswasembada dengan produksi 12,2 juta ton beras, dan terus meningkat hingga 1984 mencapai 25,8 juta ton. Atas keberhasilan swasembada itu, Direktur Jenderal FAO (Food

memikul beban biaya produksi dan membayar hutang-hutang. Dalam keadaan seperti itu, tanah yang mereka jual atau gadaikan seringkali jatuh ke tangan para pemilik tanah luas, tuan tanah tradisional, atau investor dari kota. Di sisi lain, selama kurun 19831993, persentase kenaikan jumlah petani pengguna lahan tak sebanding dengan pertambahan areal pertanian—yang secara keseluruhan sangat kecil (hanya sekitar 300 ribu hektar saja). Hal ini juga terkait dengan aktivitas konversi tanah pertanian untuk tujuan-tujuan non pertanian. Sementara, penyerapan

tenaga kerja per unit tanah mengalami penurunan akibat program revolusi hijau. Akibatnya, tenaga kerja yang ‘melimpah’ di pedesaan tak dapat tertampung dengan baik. Pola penyerapan tenaga kerja pertanian pun berubah ke model perekrutan tenaga kerja yang berbasis upahan. Pada tahun 1993, proporsi landless-tenants atau petani penyakap kembali mengalami penurunan dibandingkan dengan sensus tahun 1983. Selain beberapa hal tadi, ‘kelesuan’ pasar penyakapan ini juga patut diduga karena perubahan pola penyewaan lahan dari dari model bagi hasil ke model sewa dengan harga tetap untuk satu musim tanam—dimana resiko usaha sepenuhnya akan ditanggung oleh petani penyewa lahan. Tak heran, ketika Industri menyumbang 22,5% Produk Domestik Bruto (PDB), pertanian melalui subsektor perkebunan hanya menyuplai 17,6%, anjlok dibandingkan tahun 1970 yang masih sekitar 45%. Sementara itu, proses industrialisasi yang tidak mengakar dan tumbuh dari pedesaan membuat penduduk di pedesaan meninggalkan sektor pertanian. Ekonomi pedesaan semakin senjang dengan perkotaan yang menjadi basis besar industri. Pendapatan di daerah jomplang dengan Jakarta dan jurang antara golongan kaya dan miskin semakin lebar. Revrisond Baswir, pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada karena itu mengatakan bahwa keberhasilan Orde Baru dalam mengentaskan kemiskinan merupakan kesuksesan palsu. Kebijakan Orde Baru, menurutnya telah menciptakan banyak kesenjangan. “Bahkan diwariskan sampai sekarang,” katanya seperti dikutip Gatra (edisi khusus, Agustus 2005). |Hendra Friana

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 15


BOLA SALJU KETIMPANGAN LAHAN DI SEKTOR PERTANIAN

A

PARAT kepolisan mulai menembakkan gas air mata ke arah kerumunan warga. Tembakan itu diarahkan kepada mereka yang mayoritas perempuan dan mengenakan caping. Cuaca terik tak menyurutkan langkah mereka menyusuri pematang dan merangsek ke tengah sawah untuk aksi menolak pengukuran lahan. Mereka adalah para petani Sukamulya, Majalengka, yang tengah berusaha mempertahankan sawah mereka yang hendak dikonversi menjadi bandara internasional oleh Pemerintah Provinsi Jawa barat. Proyek bernama Bandara Internasional Jawa Barat yang pembangunannya melahap tidak kurang dari 32 ribu hektar lahan itu mulai diukur pada 17 November 2016. Karena merasa tak pernah ada sosialisasi, para petani lalu melakukan aksi di tempat pengukuran dan berhadapan dengan aparat gabungan yang terdiri dari Polda Jawa Barat, Polres Majalengka, TNI dan Satpol PP, dengan jumlah sekitar 1.500 personel. Hasilnya, sebanyak enam orang ditangkap. Tiga orang akhirnya dibebaskan, namun sisanya harus tetap ditahan. Konflik agraria seperti yang terjadi antara petani Majalengka dengan Pemprov Jawa Barat bukan sekali dua kali di Indonesia. Maraknya kasus-kasus tersebut tidak lepas dari kecenderungan konversi lahan pertanian untuk kepentingan lain. Dan yang lebih disayangkan adalah, konflik lahan ini lebih dominan terjadi antara pemerintah dan warga negaranya. Boleh dikatakan, konversi la-

16 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

han-lahan itu banyak dilakukan atas nama program pembangunan yang dicanangkan pemerintah—seringkali program-program dimodali oleh para investor swasta. Selain program-program pemerintah, laju konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian juga dilatarbelakangi beberapa hal lain. Di pulau Jawa, misalnya, konversi lahan lebih disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk. Hal ini, secara otomatis, berbanding lulus dengan tingkat kebutuhan lahan untuk perumahan yang terus meningkat. Bayangkan saja, lebih dari 50% populasi penduduk Indonesia terpusat di satu pulau yang luasnya tak lebih dari 6% total luas Indonesia— pulau Jawa. Angka ini masih akan terus meningkat seiring dengan cepatnya laju pertumbuhan penduduk tiap tahun. Maka tak heran, jika semakin hari lahan-lahan pertanian akan habis karena banyak dirambah para pengembang untuk dijadikan perumahan. Nilai tukar tanah—apalagi untuk bangunan— yang semakin tinggi bahkan membuat investor tak segan “membuka” areal pinggiran. Di luar Jawa, tantangannya berbeda lagi. Konversi lahan yang terjadi ialah dari hutan menjadi kawasan industri, pertambangan dan perkebunan monokultur. Kawasan hutan semakin tergerus dengan maraknya perizinan konsesi lahan untuk berbagai bidang industri pengerukan sumber daya alam. Berdasarkan data Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA), jumlah luas lahan untuk konsesi ini nyaris 33.7% dari total

daratan di Indonesia. Artinya, satu pertiga tanah di Indonesia sudah “dijual” kepada korporasi. Selama bertahun-tahun, proses alih lahan ini pula lah yang menjadi penyebab terjadinya konflik agraria.

Pola Konflik Agraria di Indonesia Konflik agraria di Indonesia setidaknya dapat dibedakan menjadi tiga pola. Pertama, konflik horizontal antar masyarakat. Hal ini misalnya dapat dilihat dari kasus sengketa tanah antar sesama masyarakat. Dibandingkan dengan pola konflik lain, pola ini kecil presentasinya baik dari segi kuantitas konflik maupun kuantitas lahan yang disengketakan. Kedua, adalah konflik vertikal yang terjadi antara masyarakat dengan


LAPORAN UTAMA

Aksi warga Pati dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) saat mengantar memori kakasi atas izin lingkungan PT. Sahabat Mulia Sakti ke PTUN Semarang.

korporasi. Dalam pengertian ini, masyarakat bisa dipecah lagi menjadi petani, komunitas lokal dan masyarakat adat. Dan ketiga—yang paling banyak terjadi—adalah konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah. Pola kedua dan ketiga sebenarnya berkaitan erat. Contohnya adalah kasus yang telah disebutkan di awal. Konflik Sukamulya, adalah konflik yang terjadi antara masyarakat petani dengan korporasi, atau lebih tepatnya korporasi negara yang berstatus BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah). Dalam kasus yang berbeda, pemberian izin konsesi kepada pihak swasta juga merupakan contoh dari pola kedua dan kegita. Sebab pemerintah adalah aktor tunggal yang berwenang dalam hal

pemberian izin konsensi. Ironisnya, hingga sekarang, konflik yang terbagi ke dalam tiga pola tersebut masih terjadi dan belum dapat terselesaikan. 1960. Data KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) menyebutkan selama kurun 11 tahun (2004-2015) ada sekurang-

provinsi Riau mencatatkan diri menjadi provinsi dengan konflik lahan paling banyak dengan 52 sebaran konflik. Sedangkan di pulau Jawa, semua provinsi kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta masuk 10 besar sarang konflik agraria pada tahun yang sama. Ketimpangan penguasaan lahan antara korporasi dengan masyarakat terus meningkat. Semakin hari semakin banyak masyarakat—terutama petani—yang kehilangan akses terhadap sumber daya tanah. Namun, alih-alih menyelesaikan permasalahan tersebut, pemerintah justru kerap melakukan pembenaran dengan dalih pembangunan infrastruktur, kepentingan umum, mendorong percepatan ekonomi, dan sebagainya. Padahal, negara berkewajiban memastikan agar setiap sumber daya alam, dalam hal ini lahan, terdistribusi secara adil kepada masyarakat. Hal itu diamanatkan dalam Undangundang Pokok Agraria (UUPA) yang disahkan di era Soekarno berkuasa, tahun 1960. Land reform, sebagaimana Soekarno tegaskan dalam pidatonya “Jalannya Revolusi Kita”, adalah pondasi utama revolusi Indonesia. Prinsipnya adalah tanah untuk penggarap ‘land is for the tiller’ dan tanah untuk rakyat ‘land is for the people’ seperti yang termaktub dalam UUPA. Land reform juga menjadi benteng kepemilikan tanah berlebihan satu pihak alias pencegahan ketimpangan penguasaan lahan.

Data KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) menyebutkan selama kurun 11 tahun (20042015) ada sekurang-kurangnya 1.772 titik konflik yang setara dengan 6,2 juta hektar tanah dan berdampak ke lebih dari satu juta kepala keluarga kurangnya 1.772 titik konflik yang setara dengan 6,2 juta hektar tanah dan berdampak ke lebih dari satu juta kepala keluarga. Tahun 2014,

Soekarno sendiri sebenarnya telah memulai agenda redistribusi itu sejak tahun 1961. Salah satu kebijakan agrarianya ialah redistribusi tanah perkebunan gula warisan Be-

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 17


landa. Pelaksanaannya bertujuan untuk melindungi masyarakat yang tak punya tanah. Dengan kata lain, menyediakan akses terhadap sumber daya kepada mereka. Sayangnya, agenda pendistribusian tanah itu terhenti ketika Soeharto naik ke tampuk kekuasaan. Keluarnya kebijakan Undang-undang Penanaman Modal (UUPMA) tahun 1967 seolah menjadi antitesis bagi UUPA. Kebijakan pro-investasi lainnya seperti undang-undang pertambangan dan kehutanan, yang la-

Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2013, 55,53% dari total jumlah rumah tangga petani di Indonesia merupakan petani gurem. hir dari rahim kekuasaan Soeharto, juga menjadi penyebab penguasaan lahan oleh korporasi saat itu menjadi tidak terbendung. Pemilik modal bisa memiliki ribuan hektar tanah, dan para petani yang kehilangan lahan harus beralih profesi menjadi buruh upahan. Bola salju dari ketidakadilan penguasaan lahan itu pun akhirnya harus berdampak pada urusan pangan. Program Revolusi Hijau tahun 1980, yang dicanangkan untuk mencapai swasembada dengan meng-

18 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

gantungkan produktifitas pertanian pada intensifikasi lahan, tidak bertahan lama. Swasembada beras hanya bertahan empat hingga lima tahun. Setelahnya, unsur hayati pada tanah menjadi rusak akibat penggunaan pupuk yang berlebihan. Munculnya jenis hama baru yang lebih resisten membuat tanah tak bisa lagi ditanami. Pertanian pun mandek karena akibat kejenuhan teknologi dan Indonesia jatuh jadi importir beras lagi. Hingga saat ini, kebijakan warisan Soeharto masih menyisakan ancaman bagi kedaulatan pangan di Indonesia. Selain agenda-agenda “pembangunan� yang menggusur sawah-sawah, ancaman itu datang dari semakin berkurangnya hasil produksi petani di Indonesia. Menurut Irwan Nurdin, Sekjen KPA, hal itu lantaran lahan yang digarap petani Indonesia sangat kecil. “Petani indonesia ini termasuk petani yang paling produktif di dunia. Tapi karena lahannya gurem, ya hasilnya hanya sedikit,� katanya saat ditemui reporter Hayamwuruk di kantor KPA, Pancoran, Jakarta Selatan. Pernyataan tersebut sesuai dengan data Badan Pusat Statistik tahun 2013 yang mengatakan bahwa 55,53% dari total jumlah rumah tangga petani di Indonesia merupakan petani gurem. Angkanya mencapai 14.250.000 rumah tangga. Sedangkan, dari hasil sensus perta-

nian tahun 1963-2003, tercatat bahwa rata-rata penguasaan lahan oleh petani sangat kecil yakni 0,81 sampai 1,05 hektar. Padahal dari tahun 2003-2012, total keseluruhan alih fungsi lahan defisit sebanyak 298.125 hektar. Artinya, kemungkinan jumlah kepemilikan lahan per petani akan semakin berkurang dan petani gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar akan bertambah. Hal-hal tersebut semakin menegaskan bahwa agenda ketahanan pangan tidak bisa berjalan jika land reform sebagai pondasinya tidak ditegakkan. Redistribusi tanah sesuai prinsip UUPA serta penyediaan lahan bagi masyarakat absolute landless harus segera diselesaikan pemerintah. Termasuk tumpang tindih regulasi pertanahan nasional. Adanya lembaga seperti Badan Pertanahan Nasional seharusnya bisa jadi agen utama pendistribusian lahan-lahan negara kepada masyarakat untuk keluar dari kemiskinan. Dalam Renstra 2015-2010 yang dikeluarkan BPN, target reforma agraria sampai tahun 2019 sejumlah 9 juta hektar lahan. Namun, separuhnya hanya berupa legalisasi aset yang sudah memenuhi syarat. Sedangkan separuhnya lagi berupa redistribusi lahan. Untuk penyelesaian sengketa lahan, hal itu ditargetkan berkurang minimal 50%. | Deviana Kurniawati


LAPORAN UTAMA

MEMBUKA SAWAH; MEMBUNUH MALIND ANIM “Seperti surga kecil yang jatuh ke bumi.”

D

EMIKIAN kata Jokowi dalam pidatonya di lapangan terbuka Hasanap Sai yang berangin di Merauke, Papua Barat, sehari sebelum pergantian tahun ke 2016. Bagi masyarakat adat Malind, suku mayoritas di wilayah administratif Kabupaten Merauke, barangkali kata-kata itu hanya menambah kegetiran yang mereka alami. Pasalnya, surga kecil yang disebut Jokowi itu justru sedang terancam oleh proyek yang ia canangkan sendiri. Di Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, pada 10 Mei 2015, Jokowi mengatakan akan membuka lahan seluas 1,2 juta hektare untuk “memberi makan Indonesia, lalu memberi makan dunia”. Secara terang, hal itu dapat dibaca sebagai tekad Jokowi untuk menghidupkan kembali rencana pendahulunya membangun MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), proyek kebun pangan dan energi yang terintegrasi di Merauke. Sebuah proyek yang oleh banyak kalangan, telah dianggap sebagai slow genocide bagi masyarakat Malind. Bahkan, ia tak tanggung-tanggung. Jika pada 2010 Soesilo Bambang Yudhoyono mengalokasikan 1,2 juta hektare untuk dikembangkan hingga tahun 2030, Jokowi men-

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 19


gatakan ingin mengembangkannya hanya dalam kurun 3 tahun. Baginya, 1,2 juta hektare itu masih merupakan tahap awal dari sebuah rencana yang pada akhirnya akan mencakup wilayah seluas 4,6 juta hektare (sebuah wilayah yang lebih luas dari Swiss, Belanda atau Denmark). *** ORANG MARIND adalah salah satu suku asli yang mendiami Merauke. Selain Marind, ada beberapa suku asli yang mendiami wilayah selatan Provinsi Papua Barat itu, antara lain Muyu, Mandobo, Mappi, dan Asmat. Diantara suku-suku asli tersebut, Orang Marind merupakan suku yang jumlah populasinya paling tinggi. Menurut sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2010, jumlah orang Marind sekitar 52.000 jiwa dari total populasi warga Merauke yang berjumlah sekitar 173.000 jiwa. Orang Marind menyebut diri mereka sebagai Marind-Anim atau Malind-Anim. Pada dasarnya, Marind Anim dan Malind Anim adalah sama. Hanya saja, kata Marind digunakan oleh orang-orang Marind yang hidup di daerah pesisir, sedangkan Malind diucapkan oleh orang-orang Marind yang tinggal di daerah pedalaman. Dalam bahasa Marind, kata Anim memiliki arti orang. Jadi, Marind-Anim dapat diartikan sebagai orang Marind. Kata Anim sendiri sering dirangkai dengan kata ‘Ha’, sehingga menjadi Anim-Ha yang berarti manusia sejati atau manusia seutuhnya. Begitulah orang Anim menggambarkan identitas mereka, yaitu sebagai manusia sejati. Dalam sejarah Orang Marind, suku mereka tersebar dan digolongkan berdasarkan empat arah mata angin. Empat arah mata angin tersebut antara lain: Marind Ezam (Utara), Marind Sosoom (Timur), Marind Mayo (Selatan), dan Marind Imoh (Barat). Nama-nama tersebut

20 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

diambil dari nama aliran yang mereka anut. Orang Marind memuja Totem yang merupakan penjelmaan dari dema. Tidak ada yang pernah menggambarkan dema secara pasti karena dianggap tabu oleh masyarakat setempat. Hanya orang-orang tertentu yang boleh menyampaikan tentang dema karena dalam kepercayaan masyarakat, hal-hal yang berkaitan dengan dema tidak boleh disampaikan sembarangan. Bagi orang Marind dema adalah asal mula kehidupan mereka. Mereka meyakini bahwa semua yang ada di sekitar mereka, meliputi makhluk hidup, benda mati, bahkan peristiwa yang terjadi di alam adalah penjelmaan dari dema-dema. Orang Marind dibagi menjadi empat marga inti, yaitu Gebze, Mahuze, Kaize, dan Basik-basik. Empat marga inti tersebut terkait dengan totem mereka masing-masing. Suku Gebze mempunyai totem tanah, manusia, kelapa, pisang, tumbuhtumbuhan hutan, kanguru, tebu, dan umbi-umbian. Suku Mahuze mempunyai totem orang laki-laki, matahari, bulan purnama, anjing, cendrawasih, elang, ular hitam, lipan, sagu, dan bambu. Suku Kaize memiliki totem api, akar wati, dan kasuari. Sementara suku Basik-basik memiliki totem air, orang perempuan, ayam hutan, pinang, ikan, buaya, petir, dan bulan sabit. Kehidupan spiritual tersebut membuat orang Marind selalu menjaga dan menghormati alam di seki-

dari berburu hingga upacara-upacara penting untuk menentukan batasbatas wilayah yang jelas dilakukan di tengah hutan. Orang Marind menganggap bahwa hutan bukan hanya tempat bergantung untuk kehidupan seharihari mereka tapi menggambarkan siapa mereka sebenarnya: bahwa mereka adalah manusia yang sejati. Jika hutan mereka menghilang, maka simbol-simbol setiap marga yang mereka miliki hanya akan menjadi sejarah yang menyedihkan, dan itu berarti eksistensi mereka sebagai manusia sejati juga akan hilang. Mereka bukan lagi manusia sejati yang semestinya. *** DENGAN adanya Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, pemerintah Provinsi Papua menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang berlangsung selama tahun 2006-2011. Target dari ditetapkannya RPJM ini adalah agar kualitas hidup masyarakat Papua lebih meningkat, khususnya bagi orang-orang asli Papua. Pada saat yang sama, Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman. Banyak yang menduga, tujuan dari Peraturan Pemerintah ini adalah untuk mengakomodasi kepentingan perusahaan swasta. Dalam hal ini adalah sebagai bentuk penguasaan lahan dan pembangunan pertanian

Presiden Joko Widodo membuka lahan sawah seluas 1,2 hektare di Merauke. Tahap awal dari sebuah rencana yang pada akhirnya akan mencakup wilayah seluas 4,6 juta hektare. tar mereka. Bagi mereka, bumi atau tanah tempat mereka tinggal adalah ‘ibu’ yang senantiasa memberikan kehidupan dan mengingatkan mereka pada dema-dema yang mereka puja. Seluruh kehidupan orang Marind berlangsung di hutan, mulai

dan perkebunan skala besar, atau sering disebut dengan Food Estate. Menteri Pertanian berpendapat bahwa, Food Estate perlu dikembangkan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional dan kekuatan ekspor Indonesia.


LAPORAN UTAMA Merauke merupakan wilayah yang tergolong luas. Setelah dilakukan pemekaran, luas Kabupaten Merauke adalah 45.071 km2 atau sekitar 4,5 juta Ha, termasuk di dalamnya adalah lahan kering dengan luas sekitar 0,6 juta Ha dan 1,9 juta lahan cadangan potensial. Luas lahan cadangan potensial ini lah yang membuat Kementerian Pertanian memilih Kabupaten Merauke sebagai tempat pelaksanaan program Food Estate. Selain itu, Kementerian Pertanian memilih Merauke karena pada saat kolonial Belanda masih memerintah, Kabupaten Merauke pernah dijadikan lumbung beras untuk wilayah Pasifik Selatan, yaitu pada 1939-1958. Pada tahun 2007, Gubernur Merauke, John Gluba Gebze, menggagas sebuah program yang bernama MIRE (Merauke Integrated Rice Estate). MIRE merupakan program pengembangan pertanian padi dengan skala luas. Program ini tidak berjalan lama karena adanya krisis ekonomi yang melanda dunia pada tahun 2009. Tidak berhenti sampai di situ, pada 11 Agustus 2010, Presiden

Jalan tanah di Kampung Kaliki, Distrik Kulik

Susilo Bambang Yudhoyono menjalankan kembali program yang telah berhenti ini dengan mengganti namanya menjadi Merauke Integrated Food and Energy Estate atau yang dikenal dengan MIFEE. Dengan luas lahan yang akan digunakan sekitar 1,283 juta Ha berupa lahan potensial. Kegiatan produksi MIFEE hanya akan terfokus pada beberapa komoditi, misalnya padi, sagu, jagung, kedelai, umbi-umbian, kelapa sawit, tebu, buah-buahan (terutama mangga, jeruk, dan pisang), serta ternak sapi. Dengan dilaksanakannya program MIFEE, diharapkan bahwa kelak Indonesia dapat membantu mengatasi krisis pangan dan energi yang terjadi di seluruh dunia. Selain itu, MIFEE juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara dan menjadi salah satu penghasil devisa. Dalam menjalankan program ini, pemerintah bekerja sama dengan investor-investor baik dari dalam maupun luar negeri. Sedikitnya ada empat puluh enam perusahaan besar yang akan ikut terlibat dalam program ini dan tujuh diantaranya sudah memulai kegiatan pertanian

skala luas. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain: Wilmar Internasional, Medco Grup, Murdaya Poo Grup, PT. Bangun Tjipta Sarana, Sinar Mas Grup, dan Artha Graha Grup. Selain itu, ada juga BUMN, seperti PT. Sang Hyang Seri, PT. Pertani, PT. Perkebunan Nusantara, PT. Padi Energi Nusantara. Menurut Kepala Badan Penanaman Modal Kabupaten Merauke, Chaeruddin, semua perusahaan yang akan berinvestasi sudah memiliki izin lokasi dengan masa berlaku selama tiga tahun. Jika masa berlaku izin habis maka Pemerintah Kabupaten Merauke akan mengevaluasi lagi, apakah perusahaan yang bersangkutan akan memperpanjang izin atau tidak. Sementara untuk jenis investasi yang dilakukan, kebanyakan dari perusahaan tersebut akan berinvestasi pada perkebunan tebu, kelapa sawit, dan tanaman pangan (padi, umbi-umbian, dan jagung). *** SECARA resmi MIFEE diluncurkan pada 11 Agustus 2010 oleh Menteri Pertanian era Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bertempat di Kampung Sirapu, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, kegiatan itu rencananya akan dihadiri pula oleh Presiden SBY. Namun, karena suatu hal SBY tidak jadi menghadiri acara ini. Secara tak langsung, hal tersebut menunjukkan bahwa MIFEE belum jelas dukungan dan komitmennya dari berbagai pihak. Terlebih lagi, banyak masyarakat yang berpendapat bahwa program ini terkesan sangat memaksa dan pelaksanaannya cenderung tergesa-gesa. Beberapa hari setelah acara peluncuran MIFEE usai, baru diketahui bahwa sebagian besar masyarakat kampung Sirapu menolak kehadiran program ini. Selain itu, masyarakat kampung pun tidak tahu tentang acara peluncuran program ini. Pada saat yang sama, masyarakat sipil di seluruh Indonesia, ten-

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 21


gah mempertimbangkan baik dan buruknya program ini. Bahkan ada pihak yang sudah mengambil keputusan menolak program ini. Hal ini semakin menunjukkkan ketidakmatangan penyelenggaraan MIFEE. Bahkan, beberapa waktu sebelum peluncuran program MIFEE, harian Kompas menerbitkan beberapa hasil reportase yang dikemas dalam sebuah tajuk besar berjudul “MIFEE Berkah Atau Kutuk?� Berbagai pendapat tentang dampak yang ditimbulkan oleh MIFEE telah banyak dipaparkan oleh berbagai pihak sebagai bentuk kritik dari program ini, baik dari segi ekologis maupun sosial. Jika dilihat dari segi ekologis, dengan adanya MIFEE, 200.000 Ha hutan alam akan terancam hilang. Ancaman genosida karena arus banjir juga bisa saja terjadi kapan saja. Sementara dampak sosial dari masuknya program ini adalah munculnya kesenjangan sosial antara masyarakat pendatang dengan Orang Papua Asli (OPA), yang sudah sejak awal tinggal di daerah tersebut. Dampak sosial yang terburuk adalah hilangnya jati diri orang Malind. Pada awal keberjalanannya, orang Malind sama sekali tak mengenal apa itu MIFEE. Sebelum mereka dapat memahami apa itu MIFEE, orang-orang dari perusahaan berbondong-bondong datang ke kampung. Dengan berbagai janji akan adanya perubahan pada kehidupan warga, pihak perusahaan mengajukan sebuah penawaran kepada warga kampung, yaitu untuk menyerahkan tanah mereka untuk diolah perusahaan. Selain janji-janji manis yang mereka berikan, perusahaan juga memberikan uang yang disebut uang tali asih kepada warga. Upacara adat bunuh babi menandai sahnya penukaran uang tali asih dengan tanah warga. Medco Grup dan Rajawali Grup adalah contoh perusahaan besar yang dengan mudahnya dapat mengakuisi tanah warga. Dengan pemberian uang tali asih sebanyak 300 juta

22 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

rupiah, serta pemberian genset dan pembangunan gereja, Medco Grup dapat mengakuisi tanah Zenegi seluas 300.000 Ha di empat distrik di Kabupaten Merauke: Kurik, Kaptel, Animha, dan Muting. Sementara Rajawali Grup dapat mengakuisi tanah warga Domande seluas 40.000 Ha dengan memberikan uang tali asih sebanyak 3 miiar rupiah, ditambah pembangunan berbagai sarana kampung sebesar 4 miliar rupiah. Selain tanah warga Domande, Rajawali Grup juga berhasil mengakuisi tanah di Kampung Kaliki seluas 13.800 Ha dengan memberikan uang tali asih sebesar 3,5 milyar rupiah. Sialnya bagi warga, tanah yang sudah ditukar itu hanya akan dikembalikan apabila masa perjanjian telah habis. Dalam hal ini, Medco Grup akan meminjam tanah selama 60 tahun. Rajawali Grup hanya akan memakai tanah selama 35 tahun. Meskipun dalam perjanjian tanah akan dikembalikan, namun hal tersebut tetap saja merugikan warga kampung. Selama 35 atau 60 tahun yang akan datang, keturunan warga kampung tersebut tidak bisa lagi mengolah dan memanfaatkan tanah mereka sendiri Jika ditilik kembali, kehidupan orang Malind sebelum dan sesudah MIFEE dilaksanakan, serta perusahaan-perusahaan mulai berdatangan, tentu kehidupan mereka yang sebelumnya jauh lebih baik. Mereka hidup dengan berburu di hutan, mengolah hasil hutan serta memanen tanaman yang mereka tanam di kebun. Kini, hutan mereka sudah dibabat habis oleh perusahaan-perusahaan raksasa tersebut. Hewanhewan buruan sudah pergi karena habitatnya tidak ada lagi. Dengan keadaan seperti itu, mau tidak mau warga harus berganti pekerjaan agar kebutuhan hidup mereka dapat tercukupi. Namun, ketika Medco Grup mulai beroperasi, Bupati Gebze yang kala itu sedang menjabat, pernah berjanji bahwa suatu saat Zenegi

akan menjadi kota kecil. Beliau berjanji akan mengolah alam yang ada di Zenegi beserta sumber daya manusianya, dengan cara menyekolahkan dan memberi pelatihan. Namun, hingga akhir tahun 2011, hanya 49 warga kampung yang dapat bekerja di perusahaan. Itu pun hanya sebagai buruh lepas atau pegawai kasar dengan upah 50.000,00 sehari. Tak ada warga kampung yang bekerja sebagai operator alat berat atau menjadi pegawai dengan komputer di muka. Dengan upah sebesar itu dan hutan yang sudah tidak ada lagi, maka kini kehidupan orang Malind mulai memprihatinkan. Banyak anakanak yang menderita busung lapar karena setiap harinya mereka hanya memakan mie instan dan ikan kalengan. Begitu halnya dengan orangorang dewasa, banyak dari mereka yang terserang penyakit tuberculosis (TBC) karena banyaknya asupan tembakau dan rokok yang mereka konsumsi. Tidak jauh berbeda dengan kampung Zenegi, di Buepe, hampir semua warga kampung yang bekerja di perusahaan diberhentikan. Pada tahun 2012, Medco Grup membuat kebijakan, karyawan yang bekerja harus mempunyai ijazah minimal SMA dan melakukan tes kesehatan. Hal itu tentu menjadi masalah besar

Lambat laun, kehidupan sosial budaya serta ekonomi orang Malind dikhawatirkan akan semakin tergusur oleh maraknya transmigran dari proyek MIFEE.


LAPORAN UTAMA bagi warga, karena Ijazah adalah barang yang jarang dimiliki oleh warga Buepe. Mereka yang bisa bersekolah hingga SMA, belum tentu memiliki Ijazah karena mahalnya biaya untuk mengambil ijazah tersebut. Sejak awal, kehadiran MIFEE memang sudah melanggar hak-hak OPA yang tersebar di 20 Distrik di Merauke tersebut. OPA memiliki hak kekhususan otoritas yang otonom dan bebas yang di atur dalam UU No. 21 Tahun 2001. Warga berhak untuk memberikan persetujuan kepada perusahaan yang masuk ke wilayah Anim-Ha, karena ini bersangkutan dengan hidup mereka secara langsung. Tapi pada kenyataannya Pemerintah mengabaikan hak-hak tersebut. Tak ada musyawarah bersama warga, melainkan hanya keputusan sepihak yang diambil. Informasi mengenai manfaat dan dampak dari program ini pun tidak pernah disampaikan kepada warga.

Dalam hal ini, Pemerintah dan perusahaan sudah melanggar hak atas tanah, pembangunan, serta informasi yang dimiliki oleh orang Malind. Hadirnya MIFEE juga akan diikuti oleh arus migrasi secara besarbesaran yang terjadi di tanah Malind. Para transmigran datang untuk bekerja di perusahaan-perusahaan besar di sana, tidak hanya sebagai buruh harian tentunya. Perbedaan budaya juga akan semakin terlihat. Kebudayaan modern yang dibawa oleh para transmigran akan semakin memperlihatkan kebudayaan orang Malind yang masih tradisional dan primitif. Lambat laun, kehidupan sosial budaya serta ekonomi orang Malind dikhawatirkan akan semakin tergusur. Dalam hal ekonomi, sosial, dan budaya, Pemerintah memiiki kewajiban untuk memenuhi hak pangan secara progresif. Selain itu, Pemerintah wajib menghormati, melindungi,

dan memenuhi hak-hak OPA. Namun, hal yang terjadi adalah Pemerintah membiarkan saja satu-satunya sarana penghidupan orang Malind hilang, bahkan, saat ini pola produksi pangan mereka pun ikut terampas. “Seharusnya Pemerintah membuat pengadilan khusus untuk mereview izin-izin yang diduga melanggar UU, cacat hukum, dan melanggar hak hidup Orang Asli Papua. Ini mandat UU Otsus (Otonomi Khusus) pasal 40 yang tidak pernah dilaksanakan.” Jelas Y.L. Franky, selaku ketua Yayasan Pusaka. Franky juga menjelaskan bahwa situasi di tanah Malind saat ini semakin memburuk. Konflik dan ketegangan vertikal antar masyarakat, pemerintah, dan perusahaan terus meluas. Termasuk ketegangan antar masyarakat dengan buruh yang baru datang. Masyarakat juga tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan yang layak dan memadai karena sumber pangan dari dusun sagu, rawa dan sungai sebagai sumber ikan, serta hutan sudah hilang dan rusak. Sementara, pendapatan dari buruh harian yang bekerja di perusahaan pun tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Maka tak heran jika salah seorang tetua di Kampung Domande mengatakan, “Kami juga mau kami punya hidup maju. Tapi kalau hutan ditebang habis, baru kasuari, buaya, kemana?” Ungkapan tersebut sangat penting karena menyiratkan makna yang sangat dalam. Hutan, kasuari, dan buaya merupakan totem-totem yang menjadi simbol dan dasar dari identitas mereka. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, jika ‘hutan, kasuari, dan buaya’ itu hilang maka totem-totem itu hanya akan menjadi symbol saja. Karena identitas orang Malind akan hilang bersama ‘hutan, kasuari, dan buaya’ itu. |Qonita Azzahra

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 23


IWAN NURDIN:

“KONFLIK AGRARIA TERUS MENINGKAT�

R

ABU 27 Juli 2016. Tak seperti biasanya, siang itu aktivitas Irwan Nurdin terlihat lenggang. Ditemani harian The Jakarta Post ia duduk di kursi teras Kantor KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) di Jl. Pancoran Indah 1, Pancoran, Jakarta Selatan. Sejak menjadi Sekjen KPA pada 2014, sehari-hari Irwan sibuk mengadvokasi dan mengkonsolidasi gerakan-gerakan permbaharuan agraria di Indonesia. Kini, ia menjabat sebagai ketua Dewan Nasional KPA untuk periode 20162019. Kepada reporter Hayamwuruk, Faidah Umu Sofuroh dan Iftaqul Farida, ia menjelaskan pelbagai isu

24 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

dan persoalan agraria yang ada di tanah air. Selama hampir dua jam, diselingi gorengan dan air mineral, ia meladeni pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan itu: mulai dari penyebab konflik, gerakan masyarakat sampai model pelaksanaan reforma agraria di negara lain. Berikut petikan wawancara reporter kami:

Dalam satu tahun ini, sudah berapa banyak konflik agraria yang terjadi di Indonesia? Yang pasti konflik agraria itu terus menerus meningkat jumlahnya, kemudian sempat turun di tahun 2015.

Itu turun bukan karena konflik itu ditanggulangi pemerintah, bukan. Tapi karena kita mengalami kelesuan (ekonomi, red) kemudian investasi di bidang tambang juga menurun. Perkebunan juga menurun karena harga komoditas tambang, sawit, dan kehutanan itu menurun. Kalau kamu mempelajari ekonomi sepanjang tahun 2015, barang-barang ekspor komoditas kita itu harganya sangat melorot, termasuk dengan harga migas sebenarnya. Dulu biasanya kan revenue negara kita itu migas, mineral, batu bara, dan hasilhasil komoditas perkebunan, seperti sawit, kopi, kakao, dan seterusnya. Nah, sepanjang 2015 itu semuanya drop harganya karena ekonomi du-


WAWANCARA UTAMA berapa? Itu kan lama, tapi belum selesai. Tapi akan tumbuh lagi yang baru. Contohnya di Gombong juga karena pabrik semen. Nah itulah yang disebut dengan ekspansi kapital, yang lama belum terselesaikan yang baru berdatangan. Karena apa? Karena difasilitasi penyediaan tanah hanya untuk kepentingan ekonomi yang pro pertumbuhan dan yang besar-besar itu aja.

Jadi tidak pernah terselesaikan? Ya bagaimana cara menyelesaikan konflik agraria itu, jika yang lama terus ada dan tidak selesai sementara yang baru terus tumbuh? Sedangkan penyelesaian yang ditawarkan pemerintah itu kan selalu lewat cara hukum. Sementara, hukum itulah yang menjadi faktor penyebab perampasan tanah. Jadi, hukum investasi, kemudian hukum perkebunan itulah yang mewujudkan adanya undang-undang itu; UU penanaman

nia memang sedang melesu, jadi ekspansi perkebunan itu tidak ada. Itu yang menyebabkan jumlah konflik yang ada itu menurun.

Berarti ada sangkut pautnya dengan faktor ekonomi? Kalau sekarang apakah konfliknya sudah meningkat lagi dibandingkan tahun lalu? Sekarang, konflik agraria itu besarlah. Dan gini, konflik agraria itu yang baru-baru itu tumbuh sedangkan yang lama enggak terselesaikan. Misalnya itu kasus yang di Jateng, Rembang, Kendeng. Itu kasus tahun

batu bara sudah ada dalam tanah, kamu keruk, lalu kamu jual. Terus apa pintarnya? Batu bara itu sudah ada di dalam tanah. Ketika kamu mendapatkan izin dari Menteri ESDM, batu bara itu sudah ada, terus kalau kamu enggak punya modal, semua orang akan mendatangi kamu. “Kamu punya alat berat enggak? Saya pinjemin bayarnya bulan depan yang penting langganan sama saya�. Terus kalau alat beratnya enggak ada solar, pasti akan ada pemasok solar. Terus apa pinternya pengusaha-pengusaha begitu? Jadi maksudnya itu kita hanya terilusi, mereka itu seolah-olah hebat. Pernah nanem jati atau apa aja enggak, tiba-tiba bisa panen kayukayu di hutan Papua dan Kalimantan. Pinter darimana pengusaha begitu? Mereka itu hanya karena dekat sama kekuasaan. Mereka kurang modal? Hanya dengan secarik kertas kemudian tinggal telpon lagi “Tolong dong

Apa yang dilakukan di Kendeng, di tempat-tempat lain, itu adalah cara masyarakat mengkonsolidasikan dirinya dalam organisasi. Ragam perlawanan untuk merubah situasi dari yang tadinya mereka dikalahkan dan disalahkan lalu menjadi situasi dimana mereka mendapat suatu perhatian dari masyarakat banyak untuk dimenangkan. modal, UU perkebunan, UU minerba. Semua undang-undang itu justru memfasilitasi mereka yang besarbesar. Saya selalu bilang kalau ada acara di kampus-kampus, kita itu seolaholah menganggap bahwa industri Minerba itu pengusaha-pengusahanya pintar-pintar, mampu menciptakan lapangan kerja, enterpreneur yang hebat dan lain sebagainya. Kamu aja bisa gitu loh, kan kamu enggak nanem apa-apa, tiba-tiba

bank BUMN-nya keluarkan kredit�. Itu yang namanya dengan jenis-jenis hukum yang memfasilitasi para pengusaha skala besar itu. Mereka akan semakin mudah mengambil kekayaan alam. Lalu semakin mudah lagi kenapa? Karena ketika dia mendapat keuntungan besar, dia bisa meluaskan lagi dengan cara menyuap bupati, gubernur, dan lain sebagainya. Lalu ketika ada pemilihan lagi bupati dan gubernur bisa membeli lagi pemilik-pemilik itu. dengan uang suap. Hasilnya apa? Hasilnya adalah satu

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 25


putaran modal yang fondasinya itu adalah pengerukan kekayaan alam.

Selain konflik, implikasinya apa lagi? Kerusakan lingkungan yang luar biasa. Belum lagi kalau kamu mempelajari bagaimana mereka mencuri pajaknya, sudah mereka mendapatkan izin dengan cara menyuap, lalu ketika izin itu dijalankan, mereka merampas tanah-tanah masyarakat lalu menghasilkan konflik. Ketika mereka mendapatkan itu, mereka enggak membayar pajak dengan benar.

Bagaimana caranya? Itu namanya isu transfer pricing. Jadi kamu bisa membuat perusahaan defend waktu, dimana gitu ya, lalu didaftarkan. Perusahaan kamu sendiri gitu ya, terus kamu punya perusahaan juga di sini, lalu seolaholah dua perusahaanmu ini menjalani agreement bahwa kamu akan menjual batu baramu pada perusahaan defand waktu namanya. Ekspor dengan harga dipasaran internasional disebut 1000 tiba-tiba dengan

26 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

sesama perusahaanmu kamu bilang yo wis 800, jadi yang dipajakin kan cuman 800. Bagaimana mereka mencuri pajak-pajak itu? Dengan mereka mempunyai perusahaan dimana-mana. Dan menjual di perusahaannya sendiri di luar sana dengan agreement bahwa itulah yang dipajakan. Mereka selalu mendirikan perusahaan di negara-negara yang istilahnya surga pajak, Islandia atau bahkan Singapura atau dimana. Banyak yaa masalah di Republikmu ini.

Berarti penyebabnya itu kan oknum-oknum di pemerintahan, lalu rakyat kecil harus bagaimana? Kalau sebagian konflik agraria memang disebabkan dengan yang disebut perselingkuhan pemodal dengan penguasa menggunakan alat legal yang namanya hukum. Kemudian proses itu telah memudahkan mereka mengambil dan menguras sumber-sumber kekayaan alam, khususnya tanah, batu bara, hutan, dan seterusnya. Lalu bagaimana dengan masyarakat sebagai korban? Ia harus melakukan apa? Kalau yang disebut dengan korban, memang kita men-

dorong supaya mereka itu melakukan suatu bentuk yang disebut dengan mengonsolidasikan dirirnya ke dalam suatu organisasi, suatu kelompok yang mendorong perubahanperubahan hukum di republik ini, dan terus memperjuangkan agar perampasan tanah di arealnya tidak terus terjadi. Apa yang dilakukan di Kendeng, di tempat-tempat lain, itu adalah cara masyarakat mengkonsolidasikan dirinya dalam organisasi. Ragam perlawanan untuk merubah situasi dari yang tadinya mereka dikalahkan dan disalahkan lalu menjadi situasi dimana mereka mendapat suatu perhatian dari masyarakat banyak untuk dimenangkan. Nah, proses aksi-aksi mereka itu supaya dimenangkan, dilihat dari orang yang tidak tahu supaya tahu “oh ada masalah di sana.� Setelah dilihat, menjadi nampak, mereka kemudian menjadi didukung apa-apa yang mereka perjuangkan. Itu adalah proses pembalikan yang butuh keuletan dan keorganisasian yang kuat. Bayangkan, dari orang yang dianggap enggak ngerti apa-apa, cukup dengan menerima ganti rugi kemudian pembangunan itu memang untuk semuanya, mereka bisa bersimpati bahwa merekalah yang mewakili kepentingan rakyat banyak. Merekalah yang harus didukung. Mereka mampu menjelaskan bahwa pabrik semen itu akan mengambil banyak sekali bukan hanya karst, tapi juga ekosistem, merubah air, dan mengancam keselamatan banyak jiwa. Sehingga, keadaan berbalik. Nah, itulah yang dilakukan oleh orang-orang yang menyadari bahwa mereka punya kesempatan dan peluang dari setiap keadaan kalau dalam bahasa simplenya gini: kalau terjadi perampasan tanah, masyarakat harus melakukan upaya konsolidasi dan perlawanan. Kenapa? Karena kalau mereka diam, perampasan tanah itu berarti terjadi. Kalau mereka melawan belum tentu mereka menang, tetapi belum tentu juga mereka ka-


WAWANCARA UTAMA lah. Jadi ada pilihannya.

Kalau konfliknya pembangunan sarana dan prasarana umum atas nama kepentingan publik, itu kan masyarakat seperti kalah. Bagaimana cara melawannya? Cara melawan sesungguhnya memang relatif sama ya dimana-mana, seperti kasus Kendeng tadi. Nah, banyak orang tidak menyadari apa yang disebut kepentingan umum itu sesungguhnya haruslah dirumuskan dengan rinci bukan hanya karena keinginan pemerintah semata. Kepentingan umum itu menurut kami itu sekurang-kurangnya ada tiga hal, apa yang disebut dengan kepentingan umum? Kepentingan umum itu yang paling pertama itu adalah lintas batas segmen sosial. Artinya apa? Kepentingan umum itu bisa diakses oleh semua kalangan kalau orang menyebut pendidikan, belum tentu kalau sekolah elit. Karena dia tidak lintas batas segmen sosial. Kesehatan? Oh rumah sakit, belum tentu, kalau rumah sakit elit swasta bukan rumah sakit pemerintah. Nah, kepentingan umum itu pertama sekali indikatornya adalah lintas batas segmen sosial. Ciri yang kedua dari kepentingan umum itu adalah non-profit oriented. Mana ada disebut ke-

kepentingan umum itu adalah dia dibiayai, lalu setelah dibangun operatornya juga pemerintah. Jadi dia menggunakan uang, dibangun, lalu setelah itu dipakai, operatornya itu ya pemerintah. Itulah yang disebut dengan kepentingan umum. Kalau dibangun oleh swasta, dioperatori oleh swasta ya itu totally bukan kepentingan umum. Lah kenapa harus begitu? Karena setiap kalimat kepentingan umum di dalam undang-undang tanah itu dia boleh mengambil secara paksa, makanya kepentingan umum itu wajib didefinisikan secara kongkret, atau yang dikatakan bisa mengambil secara paksa itu. Karena dalam teori negara dimana pun, negara dibenarkan mengambil satu tindakan paksa atau represif demi kepentingan umum. Karena itu jika kepentingan bisnis pasti menggunakan skema izin yang dinamakan izin lokasi. Kalau kepentingan umum skemanya penetapan lokasi, jadi sudah dibedakan penetapan lokasi untuk non-bisnis. Untuk bisnis namanya izin lokasi. Kata penetapan lokasi itu menandakan jika negara turun tangan mengambil tanah demi kepentingan umum. Jadi di negara kita masalah utama yang disebut kategori kepentingan umum adalah kepentingan umum itu dinyatakan sebagai kepentingan umum, tetapi sesungguhnya itu adalah kepentingan bisnis yang memakai jubah atau

Land-reform itu adalah fondasi dari pembangunan sebuah bangsa. Hampir semua negara yang berhasil menjalankan land-reform, maka industrialisasinya pasti berhasil. pentingan umum, namun mencari keuntungan? Jadi kalau proyek itu mencari keuntungan, ya dia harus tidak disebut atau wajib tidak disebut sebagai kepentingan umum, bahasa pendeknya bukan kepentingan umum. Ciri nomor tiga dari

memakai baju yang namanya kepentingan umum. Jadi ada 3 kategori di luar itu sebaiknya masuk gerbong atau masuk ruangan yang namanya kepentingan bisnis. Kategorinya adalah izin lokasi. Penetapan lokasi

itu lain lagi.

Reforma Agraria telah masuk ke dalam Prolegnas, lalu untuk sampai pada undang-undang itu akan ada hambatan-hambatan apa saja? Bukan RA yang Prolegnas ya, tapi RUU pertanahan menjadi Prolegnas. Di dalam RUU Pertanahan itu ada chapter ada bab terkait dengan reforma agraria. Apa hambatannya? Banyak hambatan reforma agraria itu. Yang paling banyak hambatannya adalah dari kelompok yang menginginkan tanah itu terkonsentrasi ke mereka-mereka aja, yang menginingkan agar anggaran, kebijakan fiskal, kebijakan perbankan ya itu mereka-mereka aja, bukan ke petani, atau bukan ke yang lainnya. Jadi hambatan paling utama itu dari kelompok yang kita istilahkan itu ya kontra-reform. Hambatan yang kedua mengapa itu belum juga disahkan, karena inisiatif atau keinginan parlemen sendiri juga sesungguhnya enggak terlalu kuat. Perlemen kita itu tidak merepresentasikan masyarakat yang semacam ini. Mungkin parlemen kita ini lebih banyak diwakili oleh kelompok usahawan, kelompok yang pro terhadap perkebunan besar, dan segala macam. Kenapa? Karena menjadi perlemen itu kan butuh modal besar, dan yang punya modal besar itu bukan rakyat. Jadi kayak ini kan bulet aja muter-muter aja di situ.

Kalau di negara lain contoh reforma agraria yang berhasil dimana? Banyak. Banyak sekali di ASEAN. Vietnam berhasil, Thailand berhasil, Malaysia berhasil. Di Asia Timur, Korea Selatan, Taiwan, Jepang, China. Di Eropa hampir semua Eropa itu pernah menjalankan reforma agraria. Yang nggak pernah berhasil itu ya Indonesia, ada undang-undangnya

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 27


enggak berhasil. Bahkan katanya itu komunis. Land-reform itu komunis. Komunis itu anti Tuhan. Anti Tuhan itu masuk neraka. Kenapa? Karena dulu tahun 60-an yang banyak mendorong reforma agraria itu PKI. Salah satunya GTI (Gerakan Tani Indonesia) mendorong agar terjadi land-reform. UU No. 5 Tahun 1960 tentang pokok agraria itu kan dituduh “wah itu PKI”, karena apa? Karena yang paling getol saat itu mendorong land refornm itu adalah GTI. Tapi undang-undang pokok agraria itu bukan produk PKI, buktinya sampai saat ini masih kita gunakan. Lagian PKI itu dulu bukan partai besar, Masyumilah partai terbesar. Jadi landreform itu selalu dituduh PKI, komunis. Intinya, semua negara yang saya sebutkan tadi memangnya mereka negara komunis? Ada kaya Vietnam, China. Tapi Malaysia? Thailand kan kerajaan. Terus Jepang, Korea Selatan? Land-reform itu adalah fondasi dari pembangunan sebuah bangsa.

semuanya. Kalau dia kaya, industri akan tumbuh. Kenapa? Kan dia akan beli pakaian lebih banyak, dia akan ganti TV-nya, dia akan ganti cangkulnya dengan traktor. Itukan industri yang sedang tumbuh, karena tercipta pasar baru. Nah itulah bahwa negara yang kuat pasti pertanian dan industrinya bagus. Kamu pernah nggak belajar di SD, apa ciri-ciri negara maju? Adalah negara industri yang menghasilkan barang-barang. Ciri-ciri negara berkembang? Menghasilkan pertanian. Lah kita apa? Pertanian impor, produksi? Industri? Enggak ada. Kita negara apa? Negara Amerika adalah pengimpor pangan terbesar. Australia adalah pengimpor sapi, susu. Jadi tidak ada negara yang kuat industrinya, sudah pasti pertanian itu sangat-sangat kuat. Sekarang apa barang dari Amerika yang enggak ada? Barang makanan? Kedelai, Amerika. Bibit-bibit, Amerika. Sampai industri. Australia sama. Uni Eropa penghasil pertanian yang terbesar. Keju, susu, daging, sampai industri

UU No. 5 Tahun 1960 tentang pokok agraria itu kan dituduh “wah itu PKI”, karena apa? Karena yang paling getol saat itu mendorong land reform adalah GTI. Hampir semua negara yang berhasil menjalankan land-reform, maka industrialisasinya pasti berhasil. Besar. karena dalam ilmu pembangunan itu sebenarnya simpel aja, perkuat masyarakat yang daya belinya banyak, daya beli itu akan melahirkan saving, saving itu akan melahirkan investasi. Investasi melahirkan produksi, produksi melahirkan income. Income, saving lagi. Selalu itu aja putar-putarnnya. Jadi ilmu ekonomi itu hanya gitu aja. Nah, bagaimana orang bisa saving kalau enggak ada duit? Harus produksi. Siapa yang harus berproduksi? Kita lihat, petani. Siapkan tanahnya, sediakan

28 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

yang paling tinggi, pesawat terbang. Jepang pertanian maju. Vietnam penghasil beras. Thailand industrinya semakin maju, hasil pertaniannya semakin kemana-mana. Apa yang enggak ada dari hasil pertanian Thailand yang masuk ke Indonesia? Jadi, menjadi negara industri itu bukan meninggalkan pertanian. Jadi negara industri itu menghubungkan industri dengan pertanian, saling menopang saling kuat. Desa kota saling kuat. Itu baru negara yang maju. Kalau hanya menghisap desa yaa.. wow.

A CREATOR TO THE BONE By: Deviana Kurniawati

A

link of an article passed through my Facebook timeline. It said that a new historical Korean drama is taking over the rating lead there. I opened it just to know what made it tops the rating list. It is generally known that Korean wave is a huge success in introducing what South Koreans have. It includes culinaire repertoire, language, life style and so on and so forth. It is an enormous power contributing to introduce South Korea to the world. I sometimes imagine how those entertainment segments benefits each other and create advantages in promoting local culture. Let’s just say that the Korean wave popularity are paid more from its dramas. Every weekly drama lasts for about 4 to 5 months. Producing a drama, a production house will usually make an album of its original soundtracks. Yes, per drama. Imagine how many songs and singers being promoted in each drama. Per week, per time slot. You just multiply them. Not only South Korean wave that succeeded in injecting its influence via pop culture, Japanese culture had done that earlier with its anime wave existing until now. Even the impact is greater, because of what anime offers is more than just a character. In 2016, one of the most popular anime characters, Pokemon had just out that year and became very booming. It is not about only a character of Pikachu and his friend, but also the multi-platform that support it. Once, they were only characters in a manga, and then being remade into an animation graph. But it didn’t stop there, there are lots of games that also use Pokemon characters so


ENGLISH CORNER that the number of the content users is growing higher. The advantage of having multi-platform context brings a content into higher vitality. In media nowadays where internet is becoming more dominant than any other media such as radio and television, it enables everyone to both access and create contents. The freedom to create content made various models appear. For example, social media. There are many kinds of social media that uphold certain main features. For video sharing platform, Youtube still at the top although recently Periscope and Snapchat also becomes more prominent. For micro or macro blogging, Facebook, Blog and Twitter dominates the area. Instagram, Vine and Path offers photo and video sharing featured with captions. The thing is that most people using social medias by taking it for granted. Instagram filled with selfies and Path filled with check-ins. People create those kinds of contents, without stories and randomly updated. Maybe that is why people still consider social media does not contribute to anything. It stopped only as the tool to escape and play around in the digital world. Not many people realize that those social media could be their experiment laboratory. Instead of treating them as a mere place to post selfies, we can actually make some certain contents. There are many people that have seen this opportunity and make the most of it. Creating contents by doing things with our skills, we actually do branding on ourselves. Wahyu Ichwandardi—also well known as Pinot—a 2D animator, said that creating content needs at least four things to fulfill. The first, it should contain a story. From what I realize, story does not have to be long and detail. A photograph will just be a photograph if the people can’t draw any meaning. We can come up with a simple storyline, making a series photographs becoming gif version. It is only a matter of “more” effort. The more unique the story, the more catching the content. Stories we made could define ourselves. Maybe some people go well with jokes, some other with mellower one. Next, make our own character. A character also doesn’t have to be sophisticated. A man once went viral in social media since his joke-stories on Facebook getting popular. The focal attention is that the main character of his story, Mukidi, is unique enough and easy to remember. This imaginary Mukidi is one example of a good character making. Mukidi isn’t clearly defined; he can be a cheeky boy or an old man—that’s up to the author. Yet it does

not matter because the name Mukidi itself has been the marker of the content despite the story and characterization. If we already have a good story and unique character for our content, steadiness is the next step. Being consistent in posting our content may not be easy. Some people feel that it is hard to keep thinking about concept when it comes to only post something on Facebook timeline, or Instagram. However, branding isn’t something we can gain in an instant. People need to be reminded. Again and again. Constant working will also improve our character. Possibly we may have more ‘likes’ and ‘loves’; but it’s not the thing. The key is steadiness no matter how many appreciation we get. The last but not least, effort will slay them all. By means, we have to do what people may feel lazy to do. A simple thing perhaps can be done by most people. But then again, how many people are actually willing to do it— with a serious attempt? Not many. In the end, there will be a classification. Some people act as the designers and the creators while some other remained as the adorers. Taking a broader point of view, the adorers would always be the market target of the creators. Doesn’t it explain why Indonesia is only the market of foreign products—food, fashion, movies, techno stuff and the rest? It is because we do not have that creator spirit. Starting from educational system, the accommodating space of being creator has been limited. We are designed to be the listener of that the teacher says. The proportion of learning by doing is much less that learning by sitting. As we are not shaped to be the one to find the knowledge, but simply accept what is written on the book. There may be a change but it’s not enough. So, empowering people to create something is not simple. We may think that making something means we have to create a grand and outstanding stuff. No, it does not have to be so. Again, internet has provided us so many free-accessed platforms for us to create distinctive contents. Starting from our everyday lives when we love to play social media, we can actually make them our stage to promote ourselves in term of skill and creativity. Thus, as being creative is the habit of our community, there will be a massive movement when local creators can break the limit. Could it be possible if we create the trend ourselves without being the market? Of course, it is achievable by starting to not only consuming but also inventing and producing; furthermore, making a habit of being creative—until it immerses to the bone.

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 29


OPINI Selama ini kesenian masih dipandang sebelah mata. Meskipun kalangan eksekutif maupun legislatif berkalikali menegaskan mengenai penting dan strategisnya kesenian sebagai sarana pembentukan karakter bangsa, namun dalam tataran implementasinya sering melempem. Hal ini berbeda dengan olahraga yang mendapatkan perhatian lebih dibanding kesenian. Olahraga bagaikan anak emas, sedangkan kesenian seperti anak tiri. Olahraga memiliki payung hukum yang kuat berupa undang-undang, tetapi kesenian hanya punya instruksi menteri dalam negeri, yaitu Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 5A tentang Pembentukan Dewan Kesenian, yang dalam sistem perundang-undangan tidak ada. Akibatnya, bantuan dana hibah Oleh: Gunoto Saparie * dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Tengah untuk olahraga bisa puluhan miliar esenian di Provinsi Jawa Tengah sampai hari ini, rupiah, sedangkan bagi kesenian cukup beberapa ratus harus diakui, belum memiliki payung hukum. Pa- juta rupiah saja. dahal payung hukum yang kuat bagi kesenian sangat diperlukan, agar kebijakan pembinaan dan pengem- Empat Wilayah Budaya bangan bidang ini tidak hanya tergantung kepada kepala daerah secara individual. Anggaran untuk kesenian diberi- Wilayah Jawa Tengah dapat digolongkan dalam empat kan bukan hanya karena belas kasihan, tetapi memang pa- wilayah budaya (cultural area). Pembagian wilayahnya sebagai berikut: (1) wilayah budaya Jawa, meliputi daerahyung hukumnya menyatakan demikian. daerah Kota Surakarta, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karena itu, Peraturan Daerah (Perda) tentang PembiKaranganyar, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Boyolali, naan dan Pengembangan Kesenian menjadi sangat mendeKabupaten Sragen, Kabupaten Blora, Kabupaten Grobosak. Beberapa tahun lalu Dewan Kesenian Jawa Tengah gan, dan Kabupaten Rembang. Dalam wilayah budaya (DKJT) pernah melontarkan wacana itu, tetapi ternyata Jawa ini terdapat dua ciri kesenian, yaitu Jawa Tengahan kurang mendapatkan tanggapan serius dari eksekutif maudan Jawa Timuran; (2) wilayah budaya Banyumasan, mepun legislatif. Padahal, dengan adanya perda kesenian ini, liputi daerah-daerah Kabupaten Banyumas, Kabupaten maka akan memberikan landasan hukum bagi pemerintah Cilacap, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Banjarnegara, daerah dan masyarakat dalam penyelenggaraan kesenian Kabupaten Wonosobo, dan Kabupaten Purbalingga; (3) di Jawa Tengah. wilayah budaya Tegalan, meliputi daerah-daerah Kota Provinsi Jawa Tengah memiliki kekayaan kesenian Tegal, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes; (4) wilayah tradisional beragam yang tersebar di 35 kabupaten dan budaya Islam pesisir, meliputi daerah-daerah Kabupaten kota. Keragaman kesenian ini merupakan suatu realitas Pemalang, Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Kayang tidak dapat dielakkan. Ia merupakan kenyataan dari bupaten Batang, Kabupaten Kendal, Kota Semarang, Kasistem sosial masyarakat Jawa Tengah. bupaten Demak, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, dan Sehubungan dengan realitas ini, pembangunan di sek- Kabupaten Pati. tor kesenian dan kebudayaan harus bertumpu pada sistem Pembagian wilayah ini berpengaruh pada perkembansosial yang penuh keragaman itu. Karena itu, Pemerintah gan kesenian yang ada. Masing-masing wilayah memiliki Provinsi Jawa Tengah perlu memberi ruang yang seluas- jenis kesenian tradisional yang menjadi ciri khas daerahnluasnya terhadap tumbuhnya pemahaman multikultural- ya. Misalnya, kesenian yang menggunakan media topeng isme di mana memberi peluang sama bagi setiap kelompok seperti reog Ponorogo dan wayang ada di daerah subetnis sosial yang berbeda-beda itu untuk secara bebas mengem- Jawa Tengahan. Wilayah subetnis Jawa Timuran memiliki bangkan kreativitas keseniannya. kesenian bercerita seperti kentrung. Sedangkan subetnis Dalam Rapat Kerja Daerah (Rakerda) DKJT dan Per- Islam Jawa pesisir lebih menonjolkan seni terbang rebana. temuan Para Pemangku Kepentingan Kesenian beberapa Dilihat dari unsur artistik dan fungsi sosial, kesenian kali muncul wacana tentang pentingnya perda yang me- tradisional meliputi kesenian yang berupa musik saja, tari nyatakan secara tegas bagaimana strategi kesenian dan ke- dengan musik sebagai pengiring atau sebagai mitra berdiabudayaan di Jawa Tengah dalam menghadapi zaman yang log, pertunjukan drama dengan iringan musik, pertunjuterus berubah ini. Wacana ini pertama kali dilontarkan kan drama dengan tari diiringi musik, pertunjukan drama oleh Bambang Sadono yang kini menjadi Ketua Kelompok diiringi musik yang dipimpin oleh dalang yang mengguDewan Perwakilan Daerah RI. nakan wayang untuk mewakili tokoh-tokoh dan kesenian

KESENIAN DI JAWA TENGAH BUTUH PAYUNG HUKUM

K

30 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017


yang menjadi bagian dari sebuah tata cara atau upacara keagamaan. Menghadapi persaingan dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, tak membuat kesenian tradisional semakin berkembang di masyarakat. Tugasnya yang memberikan hiburan pada masyarakat telah tergantikan oleh keberadaan televisi dan media elektronik lainnya. Hal ini karena masuknya pengaruh luar terhadap kebudayaan yang kita miliki. Selain serangan budaya luar, kendala bahasa juga menjadi faktor kurang diminatinya kesenian tradisional. Penggunaan bahasa Jawa membuat pendukung kesenian tradisional Jawa Tengah semakin terbatas. Tak banyak orang yang dapat memahami bahasa Jawa. Sejak lama masyarakat telah melakukan berbagai hal untuk memajukan atau mengembangkan kesenian tradisional, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memberikan dukungan nyata dalam pengelolaan sumber-sumber budaya. Kemitraan berbasis masyarakat didasarkan tidak hanya pada hak dan kewajiban masyarakat untuk turut mengembangkan kesenian tradisional, tetapi juga pada kenyataan fisik bahwa sumber-sumber budaya memang berasal dan berada dalam pengelolaan masyarakat/komunitas pemilik atau pendukung budaya yang bersangkutan.

memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Dari rumusan pasal tersebut, konstitusi secara tegas mengamanatkan kepada pemerintah selaku kepanjangan tangan dari negara untuk memajukan kebudayaan nasional, termasuk memelihara dan mengembangkan kekayaan budaya bangsa. Tanggung jawab untuk memajukan budaya Indonesia tersebut antara lain meliputi: pertama, merumuskan kebijakan yang jelas mengenai kebudayaan dan menentukan konsep, visi, dan misi yang tegas mengenai kebudayaan Indonesia. Kedua, memperhatikan kajian dan penelitian budayawan dan pengawas budaya yang merekomendasikan upaya memajukan budaya Indonesia serta memberikan usulan konstruktif terhadap kebijakan pembangunan budaya. Ketiga, melakukan inventarisasi dan pendokumentasian budaya sebagai data base atau sumber rujukan budaya untuk generasi yang akan datang.Keempat, mendorong, mengembangkan, dan memfasilitasi peran serta masyarakat dalam mengelola aktivitas budaya di masyarakat. Kelima, mengintegrasikan pendidikan etika dan budaya dalam kurikulum pendidikan formal maupun nonformal. Keenam, memelihara nilai-nilai atau kearifan lokal yang dimiliki masyarakat. Menunggu Perda Kesenian Tanggung jawab pemerintah juga menjadi kewajiban pemerintah daerah sesuai dengan amanat Pasal 22 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 32 ayat (1) menyatakan bahwa: “Negara Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 huruf m bahwa

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 31


dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban melestarikan nilai sosial budaya. Oleh karena itu, desentralisasi merupakan tantangan bagi daerah untuk mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang aspiratif bagi berkembangnya kebudayaan lokal. Sesuai dengan semangat otonomi daerah yang menyerahkan tugas pengembangan kebudayaan kepada daerah, maka pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan pelimpahan tugas dan wewenang tersebut sebagai peluang untuk memajukan masyarakat di daerahnya. Dalam kaitan inilah, memang perlu adanya landasan pengaturan berupa perda yang menjamin upaya pembinaan, pengembangan, dan pelestarian kesenian. Pengaturan tersebut meliputi upaya-upaya perlindungan, pengembangan, pembinaan, dan pemanfaatannya. Dengan demikian dapat memungkinkan terwujudnya suatu keadaan yang memberi dorongan seluas-luasnya bagi seniman untuk mencipta, dan bagi masyarakat luas untuk menikmati, memahami, dan menghargai karya seni. Keberagaman kesenian di Provinsi Jawa Tengah sesungguhnya dapat menjadi sebuah sarana untuk menyatukan elemen-elemen masyarakat di wilayah ini dengan lebih mengedepankan persamaan-persamaan ekspresi budaya tradisional yang berkembang karena proses akulturasi dan asimilasi budaya selama ribuan tahun. Keberagaman kesenian tersebut seharusnya dapat digunakan sebagai sumber inspirasi bagi pembentukan identitas dan jatidiri Jawa Tengah. Ia juga bisa menjadi sumber inovasi dalam meningkatkan produktivitas masyarakat Jawa Tengah. Perangkat hukum yang berkaitan dengan kesenian dan kebudayaan di Indonesia selama ini dinilai belum mencukupi kebutuhan masyarakat, terutama di Jawa Tengah, akan perlunya pelestarian kesenian tradisional. Menilik cakupan pengaturan dan bobot kepentingan materi yang dicakup, pengaturannya idealnya berbentuk peraturan daerah, yang kemudian pelaksanaannya diikuti dengan peraturan gubernur. Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka perlu adanya kajian dan diskusi lebih lanjut guna memperkaya materi sehingga menyempurnakan rancangan naskah akademik dan draf raperda kesenian. Penyusunan naskah akademik perlu mendapatkan prioritas tinggi, karena ia sangat penting untuk membangun argumentasi akan perlunya perda kesenian melalui penjelasan dan analisis teoritis, serta penemuan fakta empiris kebijakan penanganan kebudayaan dan kesenian di Jawa Tengah. Tujuannya adalah untuk membentuk rumusan perda kesenian yang komprehensif dan integratif, serta efektif sebagai acuan bagi setiap pihak yang melaksanakan kegiatan pengelolaan kesenian di Jawa Tengah. *Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT)

32 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

CATATAN AKHIR Oleh: Annas Cheirunisa L *

M

enimang-nimang masa kuliah yang—semoga saja memasuki—tahun terakhir, rasanya banyak sekali pikiran-pikiran yang perlu dicurahkan lewat tulisan agar tercatat dengan rapi. Menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah. Menulis untuk mencatat atau menulis agar dicatat? Entahlah si penulis ini ingin menyampaikan keresahan atau sekedar cari perhatian.

Anak Mahal Hampir empat tahun lalu masih terang betul dalam ingatan saya ketika seorang gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA, didamprat seorang birokrat Dekanat ketika memohon keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Tiga kali ia memohon, tiga kali ia ditolak tanpa mendapat payung cantik. Kenyataan bahwa kelak ia harus menghabiskan Rp 44.000.000 untuk membiayai perkuliahannya di jurusan yang notabene bukan favorit calon mertua—Sastra Indonesia—harus ia telan bulat-bulat dengan atau tanpa lapang dada. Di benaknya hanya terlintas bagaimana keluarganya akan bekerja keras untuk membiayai perkuliahan serta biaya hidupnya di ibu kota provinsi Jawa Tengah ini. Ia yang seumur hidup tak pernah mengajukan permintaan aneh-aneh atau barang-barang mahal, naik meja operasi ataupun menginap di paviliun rumah sakit, mendadak merasa menjadi beban hidup tiada terperi bagi kedua orang tuanya, bagi keluarga besarnya. Di saat sang bapak hendak menyongsong masa pensiun, ia menimpakan beban material setara dua kali gaji seorang pegawai negeri golongan IVA . Sistem uang kuliah yang diklaim berkeadilan ini justru membuatnya mendadak menerima label “anak mahal” di keluarganya. Pasrah, ia pun memulai masa perkuliahan bersama ratusan, bahkan ribuan, mahasiswa baru dengan nasib serupa. Tujuh semester berlalu, ia telah menyaksikan ruparupa kehidupan mahasiswa dan kampus. Bermacam karakter mahasiswa dan dosen, siklus kehidupan keuangan mahasiswa, benang kusut birokrasi dan bobroknya fasilitas kampus, hingga letupan demonstrasi menolak sistem uang kuliah yang telah ia prediksi jauh ketika menerima vonis golongan uang kuliah tertinggi.

Tentang Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Bukanlah sebuah dosa jika mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya


KOLOM (FIB) justru lebih nyaman ketika bertandang ke Widya Puraya dibanding perpustakaan fakultas. Nama yang berarti “tempat sumber pengetahuan” itu memang menyediakan fasilitas memadai bagi mahasiswa yang hendak mengerjakan tugas. Baik tugas mata kuliah maupun tugas akhir atau skripsi. Buku-buku dengan beragam judul, durasi peminjaman yang lebih lama, koneksi jaringan internet yang stabil, sinkronisasi mesin pencarian dengan lokasi buku, hingga loker penyimpanan barang, semua tersedia di sana. Sekarang, mari kita tengok perpustakaan di rumah sendiri. Terletak di gedung B, perpustakaan FIB memang bukanlah tempat yang bisa langsung menarik perhatian karena letaknya yang nyempil di sudut lantai satu. Tempat ini akan dikunjungi mahasiswanya jika mereka sudah butuh referensi tambahan untuk mengerjakan tugas kuliah atau skripsi. Jarang sekali ditemukan euforia forum diskursif atau sepasang mahasiswa memadu kasih di antara harum buku. Koran-koran langganan yang tersedia pun lebih sering dikonsumsi oleh dosen dan staff karyawan. Jaringan internet pun sering tersendat. Pencarian judul buku di komputer informasi tidak diiringi dengan keterangan lokasi keberadaan buku yang dicari. Koleksi buku yang ada belum bisa dikatakan “surga” bagi pembaca sastra atau hal-hal terkait dengan ilmu budaya. Pun, jumlah buku yang boleh dipinjam dan durasi peminjaman terasa sangat minimalis. Memang deskripsi ini nyinyir, sebab tanpa komentar miring dari seseorang manusia akan kehilangan motivasi untuk berubah ke arah lebih baik. Lantas apa yang bisa kita lakukan? Kadang hal ini terasa seperti ironi. Mengeluhkan kondisi perpustakaan di mana ratusan mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan menimba ilmu. Tentu saja hal ini bukan semata-mata menjadi tanggung jawab mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan saja, melainkan juga seluruh sivitas akademika FIB. Sebab, kebutuhan akan literasi yang baik dan berkualitas tidak hanya milik kelompok tertentu melainkan telah menjadi kebutuhan bersama. Semoga saja kegiatan “menghidupkan” perpustakaan di FIB ini bukanlah sesuatu yang utopis. Tak ada salahnya membayangkan mahasiswa-mahasiswa FIB suatu hari nanti akan mendengungkan kalimat meet me at the library, dari pada suatu hari nanti kembali terdengar cerita dari seorang kawan bahwa ia sengaja mencuri salah satu seri Penguin Classic sebab tak tega membiarkan buku itu teronggok di salah satu rak perpustakaan.

Tanggung Jawab Moral (Mahasiswa) FIB Angka melek huruf belum tentu berbanding lurus dengan angka melek literasi. Melek huruf berhenti pada ke-

mampuan seseorang untuk membaca aksara, sedangkan secara harfiah literasi adalah kemampuan untuk berbahasa baik secara lisan maupun tulisan. Collins Dictionary menerjemahkan kata literacy sebagai the ability to read and write dan the ability to use language proficiently. Literasi, sebuah kemampuan yang semestinya dimiliki oleh mereka yang mengenyam pendidikan formal di Fakultas Ilmu Budaya. Meski sudah rahasia umum bahwa tidak semua mahasiswa FIB berkuliah di jurusan terkait dengan sukarela, namun bukan berarti para mahasiswa boleh mengabaikan ilmu-ilmu yang telah mereka terima selama mengikuti perkuliahan. Profesor Mudjahirin Thohir dalam salah satu mata kuliah yang beliau ampu pernah menyampaikan bahwa, jika mahasiswa fakultas kedokteran setidaknya bisa melakukan injeksi, mahasiswa sastra setidaknya harus bisa menulis. Iklim penulisan di kalangan mahasiswa FIB masih belum begitu baik. Nyatanya LPM Hayamwuruk masih kalang kabut mencari kontributor untuk mengisi rubrik yang telah mereka sediakan. Jika untuk mengisi rubrik Surat Pembaca saja sudah sulit, lantas bagaimana dengan kolom yang membutuhkan nalar kritis dan narasi taktis? Bagaimana dengan lomba penulisan lomba karya tulis ilmiah dan penulisan karya sastra? Jangan dijawab! Seluruh dunia telah mengetahui bahwasanya berdasarkan survei Central Connecticut State University, Indonesia menduduki peringkat ke 60 dari 61 negara terkait minat baca. Hanya satu dari seribu orang di Indonesia yang memiliki minat baca. Suatu hal yang memprihatinkan, sebab melalui kemampuan literasi yang baik dari warganyalah sebuah negara bisa berkembang, terutama di bidang ekonomi. Survei yang diterapkan pada siswa sekolah itu menunjukkan bahwa kegiatan membaca perlu digalakkan. Bacaan-bacaan yang menunjang pengetahuan dan daya pikir perlu disebarluaskan supaya anak-anak tumbuh menjadi pribadi cerdas dan kritis. Memang, Indonesia masih belum memiliki standar yang jelas tentang apa saja buku yang harus menjadi bacaan wajib bagi siswa sekolah. Kembali lagi pada tanggung jawab moral. Setiap mahasiswa ataupun sarjana ilmu budaya sudah seyogyanya, secara otomatis, menjadi duta literasi tanpa mengikuti seleksi semacam Pemilihan Duta Bahasa atau Duta Baca. Fresh graduate dari Fakultas Ilmu Budaya memang bukanlah John Wood yang bisa serta merta resign dari jabatannya di Microsoft lantas bergerilya mendirikan ribuan perpustakaan di Nepal. Namun setidaknya mereka bisa melakukan seperti apa yang telah dilakukan oleh Pustaka Bergerak. Memberi akses pada masyarakat untuk mendapatkan bacaan yang layak.

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 33


34 | Hayamwuruk | No 2. XXV/2016


LAPORAN UTAMA

HARI-HARI MENJEMPUT KEADILAN

Perjuangan para petani di Jawa Tengah melawan korporasi dan pemerintah untuk mempertahankan tanah dan kelestarian lingkungan.

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 35


N

yaris tengah malam, tapi air muka Joko Prianto sama sekali belum menampakkan kesan lesu. Di gedung Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Senin, 27 Juni 2016, sekitar pukul 23.50 WIB, ia masih berkutat dengan atribut-atribut demonstrasi. Spidol permanen dan beberapa karton berserakan di lantai. Di sekitarnya, tiga orang pria terlihat sibuk menggoreskan tinta di atas kertas tersebut. “Rada singkat tapi yang mengena ngono loh. Kasar sithik ndak papa. ‘Penipu’, gak apa-apa,” ujarnya. Pangkal kegusarannya itu, apalagi kalau bukan karena mesin-mesin berat yang masih meraung di Desa Kadiwono, Kecamatan Bulu, Rembang, Jawa Tengah. Sejak PT. Semen

36 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

MELINDUNGI REMBANG DARI BAHAYA TAMBANG Gersik (sekarang menjadi Semen Indonesia) masuk ke daerahnya, berkali-kali sudah ia dan warga melakukan perlawanan. Tapi hasilnya? Hampir-hampir tidak ada. Terakhir, demonstrasi yang dilakukan ibu-ibu dengan mengecor kaki di depan Istana Negara, April lalu, hanya berbuah janji dari Teten Masduki. “Kita akan segera atur pertemuan dengan Presiden,” begitu kira-kira kata Kepala Staf Kepresiden itu ketika menemui ibu-ibu dari Rembang. Wajar jika kemudian ia marah. Janji itu, sudah 4 bulan lebih tak tentu rimbanya. Sementara di dekat tempat tinggalnya, beberapa crane terus bergerak menyusun bangunan-bangunan bertulang beton. Mereka seperti diburu waktu. Sebagian besar bangunan kini sudah

berdiri kokoh, sisanya masih berupa rangka. Kompleks bangunan itulah yang nantinya akan mengola batu gamping dan tanah liat yang dikeruk dari pegunungan Kendeng. Prin—sapaan akrab Joko Prianto—adalah salah satu motor penggerak aksi-aksi penolakan tambang dan pabrik semen di Rembang. Malam itu, ia beserta ibu-ibu Pegunungan Kendeng akan kembali berdemonstrasi dengan membangun tenda di dekat Istana Negara. Upaya tersebut dilakukan agar mereka dapat segera bertemu Presiden seperti dijanjikan Teten pada aksi sebelumnya. Aksi tersebut sekaligus ingin menunjukkan bahwa Amdal yang digunakan Semen Indonesia untuk mendapatkan izin lingkungan dipenuhi manipulasi.


LAPORAN KHUSUS

Ibarat api dan asap, Amdal dan izin lingkungan memang dua hal yang tak bisa dipisahkan. Dalam Undang-Undang PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) pasal 36 (1), dinyatakan bahwa “setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan”. Artinya, setiap penerbitan izin tanpa disertai dengan dokumen Amdal merupakan pelanggaran dan dapat diancam dengan pidana 3 tahun serta denda maksimal tiga milyar rupiah. Dalam proses perizinan, Surat Keputusan Gubernur Jateng Nomor 660.1/17 Tahun 2012 tentang izin penambangan PT. Semen Gresik di Kabupaten Rembang, memang telah disertai dengan dokumen Amdal. Masalahnya adalah, sejak awal Amdal tersebut tidak memenuhi asas keterbukaan sehingga dianggap cacat prosedur. Warga karena itu menduga ada fakta yang sengaja

ditutup-tutupi oleh pihak Semen Gresik dalam pembuatan Amdal. Hal ini disampaikan oleh Marno, warga Tegaldowo, dalam sidang gugatan Izin Lingkungan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, 16 april 2015. Dalam kesaksiannya, Marno menceritakan bahwa awalnya kabar pembangunan pabrik semen di desanya masih menjadi desas-desus di kalangan warga. Kecurigaan baru muncul ketika pada awal tahun 2013, pagelaran wayang kulit yang dihelat di lapangan Tegaldowo banyak dihiasi atribut PT. Semen Gresik. Sejak itulah, Marno dan warga lalu mencoba meminta penjelasan kepada pemerintah daerah tentang kabar tersebut. “Kami sudah bersurat ke DPRD Kabupeten Rembang, DPR RI, pemerintah provinsi Jateng, bupati, camat, kepala desa dan ke pihak pabrik semen, namun tidak ada respon. Surat itu permohonan kami agar adanya penjelasan pembangunan pabrik semen. Tidak ada balasan,” tuturnya. Sayangnya, dalam persidangan tersebut, majelis hakim menolak gugatan warga lantaran Joko Prianto selaku penggugat dianggap telah menghadiri sosialisasi yang dilakukan Semen Indonesia (SI). Sehingga, dihitung dari hari sosialisasi, tenggat waktu gugatan sudah lebih dari 90 hari dan dinyatakan kadaluwarsa.

Manipulasi Data Lapangan Dugaan adanya manipulasi data pada Amdal dibuktikan oleh warga dengan melakukan peninjauan langsung ke lapangan. Kepada reporter Hayamwuruk, Prin mengungkapkan, banyak data di lapangan seperti keberadaan goa, ponor dan mata air yang tidak dimasukan ke dalam Amdal. Misalnya, dari hasil pendataan warga setidaknya terdapat 49 gua, 125 mata air dan 28 ponor di daerah yang akan dieksploitasi. Sedangkan,

dalam dokumen Amdal hanya tercantum 9 gua, 8 di antaranya masuk Izin Usaha Penambangan (IUP); 49 mata air, 5 di antaranya masuk IUP; dan tidak ada ponor sama-sekali. “Ini kan fatal,” katanya. Padahal, menurut pakar hukum dan lingkungan hidup, Deni Bram, Amdal merupakan instrumen ilmiah yang memiliki peran penting saat menggambarkan korelasi antara kaidah ilmiah dan kebijakan penguasa. “Sebagai dokumen ilmiah (scientific evidence) pada tataran hulu, Amdal sangat menentukan validitas dan keabsahan kebijakan hukum (legal evidence) di hilir,” jelasnya seperti dilansir situs Mongabay.co.id . Awalnya, warga tidak tahu-menahu masalah Amdal. Mereka baru mempelajari dokumen tebal itu setelah Gubernur jawa Tengah yang baru, Ganjar Pranowo, menanyakan hal tersebut di tenda perjuangan yang mereka dirikan dekat lokasi pembangunan pabrik. Saat itu, Ganjar juga menyarankan warga untuk mencari sejumlah ahli yang dapat membuktikan bahwa Amdal tersebut tidak layak, dan menjanjikan akan mengadakan audiensi antara warga dengan pihak SI. Sayangnya, upaya audiensi yang dilakukan bersama pihak SI tidak menghasilkan apapun bagi warga. Menurut Eko Teguh Paipurno, salah satu ahli dari pihak warga, hal itu dikarenakan waktu dan tempat audiensi tidak ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama, melainkan secara sepihak oleh Gubernur. Alhasil, ketika pertemuan itu berlangsung, hanya ada beberapa ahli dari pihak warga yang bisa hadir. “Beda dengan orang perguruan tinggi yang bekerja untuk semen, mereka bisa kapan saja karena mereka sudah mengalokasikan waktunya untuk itu.” Namun demikian, ia mengatakan bahwa dalam pertemuan itu, para ahli dari warga tetap menghimbau pemerintah untuk meninjau ulang izin yang telah dikeluarkan. Pasal-

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 37


nya, ada persepsi resiko di masyarakat yang tidak dipikirkan dalam pembuatan Amdal. “Kita sampaikan bahwa masyarakat dengan sumberdayanya, aset yang ada, yang berpotensi terkena resiko itu mau di taruh di mana? Mengelolanya gimana? Itu ga ada...” seolah-olah, lanjut Eko, “pengambilan keputusan itu dilakukan di ruang kosong”. Dari sisi kebijakan, disampaikan pula bahwa rencana penambangan batu gamping di wilayah Pegunungan Kendeng akan melanggar Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang ada. Misalnya, disebutkan rencana penggunaan lokasi penambangan Batu Gamping di Desa Tegaldowo, Kajar, Kecamatan Gunem akan menggunakan luas lahan 520 hektar. Padahal, dalam RTRW Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011, pasal 27, dinyatakan bahwa peruntukan yang diatur untuk kawasan industri pertambangan di kecamatan itu hanya seluas 205 hektar. Selain itu, Amdal juga bertentangan dengan Perda RTRW Jawa Tengah, Nomor 6 Tahun 2010, yang menyatakan bahwa Cekungan Watu Putih adalah kawasan lindung geologi: imbuhan air. Jika sudah begini, seharusnya Amdal dianggap tidak layak karena bertentangan pula dengan Peraturan Presiden Nomor 27 tahun 2012, tentang izin lingkungan. Dalam pasal 4 peraturan tersebut, dengan jelas disebutkan bahwa “dalam hal lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dokumen Amdal tidak dapat dinilai dan wajib dikembalikan kepada Pemrakarsa.” Hal senada juga disampaikan Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Surono. Ia mengatakan, batu gamping di kawasan yang akan ditambang oleh SI, telah ditetapkan sebagai kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011, tentang CAT Indonesia.

38 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

Secara hidrogeologi, menurutnya, akuifer di CAT Watuputih juga dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran lewat celahan, rekahan dan saluran, dengan produktivitas sedang serta penyebaran yang luas. Akuifer itu terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran1. Dan menururut tim survei dari Badan Geologi, di lokasi IUP terdapat enam goa dan sejumlah mata air yang alirannya mengarah ke mata air Brubulan di bagian utara tapak dengan debit mata air 150 liter perdetik. Sebanyak 6 mata air terdapat di lokasi IUP dan sisasnya berada di luar. Padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 tahun 2008 tentang Air Tanah, imbuhan air tanah harus dijaga dengan mempertahankan dan melarang pengeboran, penggalian, ataupun kegiatan lain radius 200 meter dari lokasi kemunculan mata air. Disebutkan dalam pasal

40 PP tersebut, kegiatan yang dianggap mengganggu sistem akuifer antara lain pembuatan terowongan atau penambangan. “Untuk menjaga kelestarian akuifer CAT Watuputih, kami merekomendasikan tak ada kegiatan penambangan di batu gamping itu,” kata Surono seperti dilansir harian Kompas. Menyusul kajian tersebut, pada 1 Juli 2014 silam, pihaknya juga telah mengirimkan surat rekomendasi ke Gubernur, agar rencana penambangan batu gamping di kawasan tersebut dibatalkan. “Rekomendasi ini kami buat setelah kami mengirim tim ke lapangan dan kajian berdasarkan perundang-undangan yang ada,” kata Surono. Kajian dan rekomendasi itu, menurutnya, adalah bagian dari tugas pokok dan fungsi Badan Geologi untuk menanggapi masalah dan keresahan masyarakat terkait rencana penambangan di Rembang.


LAPORAN KHUSUS

KAWASAN KARST KETIKA penelitian oleh Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Tengah, pada Maret 1998, dilakukan sejumlah bukti menjelaskan bahwa secara fisiografis Gunung Watuputih dan sekitarnya tergolong ke dalam tipe bentang alam karst. Pada 2014, hasil penelitian tersebut kemudian

sia Caver Society (ICS). Di sana disebutkan, bahwa proses karstifikasi di daerah Rembang telah berlangsung sejak batu gamping tersebut tersingkap di daratan hingga sekarang. Terbukti dengan ditemukannya gua-gua alam dan sistem sungai bawah tanah. Dari hasil pendataan, misalnya, terdapat 49 gua yang tersebar di sekitar wilayah Cekungan Air Tanah Watuputih, 4 diantaranya merupakan gua yang memiliki sungai aktif. Anehnya, kata Eko Teguh, oleh kementerian ESDM, area tersebut tidak dimasukkan ke dalam Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK). “Jadi bentuknya karst tapi ga masuk dalam KBAK. Jadi de facto-nya Karst, de jure-nya bukan.” Sebab itulah, dalam Amdal, pembaca dapat melihat “rona lingkungan awal itu mengarahkan publik bahwa (daerah lokasi penambangan, -red) itu bukan karst.” Padahal, Eko menambahkan, rona lingkungan awal merupakan bacaan pertama. “Kalau itu belok, maka yang lain itu udah salah.” Kekhawatiran warga karena itu bukan tak beralasan. Pasalnya, kegiatan penambangan sangat berpotensi merubah morfologi karst yang berdampak pada hilangnya daya serap terhadap air. Jika hal itu terjadi, maka resapan air CAT Watuputih yang menjadi sumber mata air di sekitar kawasan Pegunungan Watuputih akan hilang. Sementara 607.188 jiwa dari 14 kecamatan ber-

Berdasarkan PP Nomor 43 tahun 2008 tentang Air Tanah, imbuhan air tanah harus dijaga dengan mempertahankan dan melarang pengeboran, penggalian, ataupun kegiatan lain radius 200 meter dari lokasi kemunculan mata air diperkuat oleh fakta-fakta yang ditemukan dalam kajian potensi kawasan yang dilakukan oleh Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), Acintyacunyata Speleological Club (ASC), Semarang Caver Associaton (SCA), dan Indone-

gantung dari pasokan mata air tersebut. Di hilir, air yang tidak terserap itu akan menjadi aliran permukaan yang menambah debit sungai Lusi, Tuyuhan dan Bengawan solo,

sehingga potensi banjir yang selalu terjadi di setiap tahunnya akan lebih tinggi “resiko bencana akibat pertambangan, seperti banjir.” Belum lagi, “debu yang dihasilkan dari penambangan akan menurunkan hasil panen dan harga jual,” tambahnya. Menurut catatan Hayamwuruk, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan, area karst jelas tak boleh dijadikan area pertambangan. Selain itu, fungsi hidrologi di Kawasan CAT Watuputih merupakan pengontrol utama sistem ekologi yang meliputi hubungan antara komponen-komponen abiotik, biotik, dan culture yang saling berinteraksi satu sama lain, dan membentuk suatu ekosistem dimana karst sebagai kontrol utamanya. Lalu pertanyaannya: bagaimana Indonesia memasok semen kalau pertambangan dilarang? Sedangkan menurut Sekretaris Perusahaan PT. Semen Indonesia, Agung Wiharto, saat ini perusahaan semen di Indonesia dikuasai asing dan swasta hingga 65 persen. Apalagi, kata Agung seperti dilansir Koran Tempo (8/82016), “kami berkomitmen penuh menjaga kelestarian lingkungan.” Mengenai hal tersebut, Eko berpendapat bahwa penambangan dan industrialisasi memang suatu keniscayaan. Namun, pemanfaatan ruang yang baik merupakan modal awal untuk usaha-usaha pengurangan risiko bencana. Dalam hal ini, lanjut Eko, tentu perusahan harus mampu mengidentifikasi, memahami, dan mengambil tindakan dalam menangani risiko bencana. “Bukan ga boleh (ada, -red) tambang. Yang ditambang itu yang bukan karst. Jadi selama dia ga merusak fungsi lingkungan, itu boleh aja. Tapi kalau karst, itu fungsi lain yang lebih besar dari sekedar harga kiloannya gamping” ujarnya. |Hendra Friana

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 39


S

GMPK DAN LIATNYA PERLAWANAN PETANI REMBANG

enin, 2 Januari 2017. Ruang tengah Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang terlihat sesak. Malam itu, sekitar pukul 19.30, lebih dari dua puluh mahasiswa lintas perguruan tinggi di Semarang menghadiri rapat untuk menyikapi kasus PT. Semen Indonesia (SI) di Rembang yang kian pelik. Sebabnya, hingga hari itu Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, belum melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan gugatan warga, yakni membatalkan Izin Lingkungan, Penambangan dan Pendirian Pabrik Semen yang dikeluamelalui SK No. 660.1/17 tahun k2012. Padahal, putusan tersebut telah keluar sejak 5 Oktober 2016 dan merupakan upaya hukum luar biasa sekaligus terakhir. Sejak 19 Desember, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Semarang untuk Kendeng sebenarnya telah mengambil sikap cukup tegas, yakni menuntut dipatuhinya putusan MA oleh Ganjar dan membangun solidaritas untuk warga Rembang penolak pabrik seman. Beberapa dari mereka menggalang bantuan dan menemani perjuangan warga yang memutuskan untuk bertahan di depan Kantor Gubernur setiap hari sampai putusan tersebut dilaksanakan. Namun, itu saja ternyata belum cukup. Menurut Samuel Bona Rajaguguk, volunter di LBH Semarang, massa mahasiswa harus hadir dan memberikan tekanan kepada Ganjar agar segera mengambil sikap dan mematuhi putusan hukum. Jika tidak ada tekanan, ia khawatir, Ganjar akan menegasikan putusan MA dan melanggengkan pendirian pabrik semen di Rembang. Apalagi, di berbagai media, Ganjar semakin menunjukan keberpihakannya kepada PT.

40 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

SI. “Tidak cukup jika aksi-aksi yang dilakukan masih sebatas solidaritas, dan sifatnya individual. Ada ruang kosong yang harus diisi di sini (antara tanggal 2-17 Januari), kita mau ngapain?” ujarnya. Dari situlah kemudian muncul inisiasi untuk membangun gerakan bersama bernama Gerakan Mahasiswa Pembela Kendeng (GMPK). Gerakan ini ditargetkan melakukan beberapa aksi dengan tekanan massa yang terus meningkat semakin harinya. Tak hanya di Semarang, GMPK diharapkan dapat menjangkau kotakota lain seperti Salatiga, Jogja dan sekitarnya. Sebab, kantong-kantong solidaritas untuk perjuangan melawan pabrik PT. SI di Rembang memang telah melampaui batas-batas administrasi daerah. Mereka datang dari berbagai kalangan, mulai dari seniman, akademikus, mahasiswa, sampai aktvis LSM. Di Jakarta, hal itu dapat dilihat saat warga melakukan aksi “dipasung semen” dan “amdal abal-abal rakyat jadi tumbal” di depan Istana Merdeka. Untuk urusan logistik misalnya, waktu itu warga dibantu dengan sokongan dana yang berasal dari iuaran kolektif beberapa seniman di Jakarta. Tempat tinggal dan hal-hal lain seperti transporasi pun sama—didapat dari hasil solidaritas. Belakangan, solidaritas semacam itu kian solid dan meluas di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia. *** SENIN pagi (16/1), Gerakan Mahasiswa Pembela Kendeng (GMPK) kembali mengadakan aksi menuntut Ganjar Pranowo mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA). Sebelumnnya, beberap kali mereka juga mengadakan aksi, tapi untuk kali

ini, aksi dihadiri pula oleh mahasiswa dari luar Semarang seperti dari perguruan tinggi UMS, UNS UGM serta organisasi Mahasiswa Pencinta Alam se-Jawa Tengah. Di depan Kantor Gubernur, aksi diisi dengan berbagai penampilan mulai dari orasi hingga teatrikal sengketa pendirian pabrik semen di pegunungan Kendeng. Terlihat pula berbagai macam atribut aksi seperti keranda mayat, pocong dan spanduk-spanduk dengan beragam tulisan: tuntutan dan sindiran terhadap Ganjar Pranowo. Selain itu, mahasiswa juga menggalang tanda tangan sebagai bentuk solidaritas penolakan pabrik semen. Sayang aksi tersebut tak dijawab langsung oleh Ganjar. Sekitar pukul 13.10 WIB, lantaran merasa pemerintah tidak hadir, massa mahasiswa mulai merangsek masuk ke dalam halaman kantor Gubernur dan sempat menimbulkan kericuhan. “Kami tidak anarkis, kami hanya ingin bilang bahwa ada rakyat disini dan kami minta tolong ditemui, karena tadi di dalam hanya ada pak polisi dan Pamong Praja,” ujar Julio Haryansah mahasiswa Universitas Negeri Semarang yang tergabung dalam aksi GMPK hari itu. Akhirnya, Asisten 1 Gubernur Jawa Tengah pun turun dan menemui mahasiswa. Karea merasa pemerintah tak berpihak pada rakyat, mahasiswa lalu memberikan piring berisi semen kepada perwakilan Gubernur itu. “Mungkin makanannya Ganjar itu semen. Maka dari itu kita berikan secara simbolis dalam piring dan tadi diterima oleh Asisten 1 Gubernur Jawa tengah” ujar Nico Wauran selaku koordinator GMPK seusai aksi. ***


WARTAWAN dari berbagai media memasuki Wisma Perdamaian di Jalan Pemuda, Kota Semarang, Senin malam (16/1). Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, dikabarkan akan melakukan konferensi pers terkait putusan MA yang memenangkan gugatan warga Rembang. Beberapa minggu sebelumnya, 20 Desember 2016, usai mempertemukan warga pro dan kontra pembangunan pabrik semen, Ganjar berjanji akan mengambil keputusan terkait putusan tersebut selambat-lambatnya pada 17 Januari 2017. Untuk urusan itu, ia sampai membentuk tim supervisi penyusunan dokumen adendum yang terdiri dari 16 orang dengan berbagai latar belakang, akademisi, birokrat dan isnsiyur. Dalam konfferensi pers tersebut, Ganjar mengatakan bersedia mematuhi putusan MA dan mencabut izin lingkungan kegiatan penambangan bahan baku dan pengoperasian pabrik semen PT. SI di Rembang. Pencabutan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur No 6601/4 Tahun 2017 tertanggal 16 Januari 2017. Secara otomatis, SK Gubernur nomor 660.1/30 Tahun 2016 tentang

Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan Baku dan Pembangunan serta Pengoperasian Pabrik Semen PT. SI yang ia keluarkan sebelumnya sebagai adendum dicabut. Sayangnya, hal itu tak serta-merta membuat pabrik PT. Semen Indonesia di Rembang hengkang. Setelah menyatakan mamtuhi putusan MA, ganjar memberikan sinyal kepada perusahaan plat merah itu agar bisa terus beroprasi. Ia mengatakan, diktum dalam putusan pengadilan PK MA mensyaratkan beberapa hal agar Amdal dapat memenuhi kualifikasi dan pabrik tetap bisa beroprasi, di antaranya berkaitan dengan partisipasi masyarakat dan tatacara penambangan, kebutuhan air bersih warga, irigasi, dan pelestarian tempat penampungan air di bawah tanah atau akuifer. “Pabrik harus memenuhi putusan Peninjauan Kembali (PK), kalau enggak bisa memenuhi putusan PK maka nggak bisa beroperasi. Maka ada kewajiban dia (PT SI) memenuhi PK,” tegas Ganjar. Menurutnya, sesuai putusan MA, Gubernur diharuskan memerintahkan penyempurnaan dokumen adendum Amdal dan RKL-RPL (Rencana

Pengelolaan Lingkungan/Rencana Pemantauan Lingkungan) kepada PT. SI. Perbaikan tersebut, nantinya akan dinilai oleh Komisi Penilai Amdal Provinsi di Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jawa Tengah. Beberapa minggu setelahnya, PT. Semen Indonesia pun memlakukan perbaikan Amdal dan diajukan kepada tim Komisi Penilai Amdal. Dalam sidang penilaian dokumen Adendum Amdal dan RKL-RPL di BLH Jawa Tengah, Kamis, 2 Februari 2017, para pakar dari Komisi penilai Amdal Provinsi pun menyatakan dokumen tersebut memenuhi syarat kelayakan. Sementara itu, tujuh orang perwakilan warga penolak pabrik semen yang diundang dalam sidang meninggalkan ruangan sidang karena menganggap keputusan MA sudah berkekuatan hukum tetap dan bersifat final. “Izin lingkungan dicabut, masih berkelit dan bersiasat melalui adendum agar pabrik semen beroperasi kembali. Bukannya Gubernur lulusan hukum,” kata Joko Prianto, salah satu perwakilan warga penolak semen. Tak butuh waktu lama, pada 23 Februari 2017, sebagai tindak lanjut atas rekomendasi komisi penilai Amdal, Ganjar Pranowo akhirnya mengeluarkan Izin Lingkungan baru bagi PT. Semen Indonesia. Penerbitan izin dituangkan dalam Keputusan Gubernur Nomor 660.1/6 Tahun 2017. Para warga yang menolak pembangunan pabrik semen kembali merapatkan barisan. Solidaritas kembali digelorakan. Senin, 13 Maret 2017, para petani kembali ke Jakarta dan “memasung kaki” mereka dengan semen. Aksi tersebut menurut Joko Prianto, tak akan dihentikan sampai pabrik semen angkat kaki dari Rembang. |Ulil Albab Alshidqi & Hendra Ftriana

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 41


ALUNAN lagu Indonesia Pusaka mengepung halaman Museum Ronggowarsito, Semarang, Selasa, 17 November 2015. Pagi itu, matahari belum rembang tapi panasnya menikam kulit. Ribuan petani dari 3 kecamatan—Tambakromo, Kayen dan Sukolilo—di Kabupaten Pati berkumpul untuk mengawal putusan sidang gugatan izin pertambangan PT. Sahabat Mulia Sakti (anak perusahaan PT. Indocement Tunggal Prakarsa) di wilayah mereka.

42 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017


| PERSPEKTIF |

Mengawal putusan gugatan izin lingkungan PT. Sahabat Mulia Sakfi di PTUN Semarang

Ada lelah dan keringat yang menyeruap di sana. Sebelumnya, selama dua hari, mereka melakukan long march dari kawasan hutan Sonokeling, Pati, menuju Semarang. Perjalanan sejauh 122 kilometer itu, kata Joko Prianto, ditempuh untuk “menjemput keadilan dan mengampanyekan pentingnya menjaga lingkungan agar tetap lestari, terutama bagi Gunung Kendeng�.

Joko Prianto adalah Koordinator JMPPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) Rembang. Hari itu, meski bukan warga Pati, ia bersama ratusan petani dari empat wilayah: Kudus,Blora, Rembang, dan Grobogan, serta mahasiswa dari berbagai kampus di Semarang, hadir sebagai bentuk solidaritas.

Bagi mereka, penolakan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara bukan soal nasionalisme belaka, melainkan tanggungjawab menjaga alam, juga keberlangsungan hidup di masa mendatang.

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 43


YANG BERJUANG DAN BERPULANG UNTUK PETANI

A

DA pemandangan menarik di ruang tengah Kantor LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Semarang. Di tembok sebelah kanan setelah pintu masuk, sekuntum mawar merekat pada sebuah foto yang bingkainya dilapisi kaca. Dalam bingkai itu, seorang lelaki berbaju hijau kusam tampak seperti sedang berorasi. Di kepalanya, terpasang sebuah caping bertuliskan “Tolak Pabrik Semen”. Lelaki itu adalah Atma Khikmi Azmy, pengacara LBH Semarang yang selama hampir dua tahun mendampingi para petani dalam kasus hukum melawan PT. Semen Indonesia di Rembang. Dan foto itu, memang diambil ketika ia bersama beberapa petani Rembang melakukan aksi “tolak pabrik semen” di depan Istana Negara, Jakarta, pada penghujung Juli 2016. Tapi, tak ada yang menyangka bahwa setelah aksi itu sosoknya tak akan pernah terlihat lagi di barisan perlawanan para petani. Ia pergi begitu cepat. Pada Minggu, 23 Oktober 2016, lulusan Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung (FH Unissula) itu menghembuskan nafas terakhirnya setelah mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju Semarang. Atma lahir di Kendal, 29 Desember 1992, dari pasangan Achmad Khoiry dan Muslihatun. Ia mengawali pengabdiannya di LBH Semarang setelah mengikuti Kalabahu (Karya Latihan Bantuan Hukum) pada September 2014. Ia dan Etik Oktaviani, sahabatnya, adalah dua orang terakhir yang tersisa dari sekian banyak peserta Kala-

44 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

bahu waktu itu. Etik menceritakan, ajakan untuk mengikuti Kalabahu datang dari kakak tingkatnya di Himpunan Mahasiswa Islam. Kebetulan, waktu itu, Atma baru saja kalah dalam kontestasi pemilihan Ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) FH Unissula. Karena tak lagi memiliki kesibukan di organisasi kampus, akhirnya keduanya pun mendaftar untuk ikut Kalabahu. “Jadi waktu itu kita masuk ikut Kalabahu. Terus ditawarin untuk pre-volunter kita ambil. Kemudian dari itu deh kita mulai sibuk di LBH dan mulai meninggalkan kampus,” kata Etik. Setelah resmi menjadi relawan di LBH Semarang, Atma mulai ditugaskan untuk mendampingi kasus petani melawan pembangunan industri penambangan PT. Sahabat Mulia Sakti di Kecamatan Kayen dan Tambakromo, Kabupaten Pati. Berdasarkan keterangan Etik, kasus tersebut merupakan kasus yang pertama kali Atma tangani. Namun, seiring berjalannya waktu, Atma kemudian juga menangani kasus serupa di Rembang dan Gombong. Belakangan, ia juga sempat menjadi pendamping hukum untuk tiga petani di Desa Surokonto Wetan, Kendal, yang dikriminalisasi oleh Perum Perhutani. Di mata para aktivis, Atma memang sosok yang terkenal militan. Ia adalah seorang pejuang HAM, aktivis lingkungan sekaligus pendamping hukum bagi mereka yang terdiskriminasi dan terenggut haknya. Ia adalah pemuda yang amat kuat dalam memegang prinsip dan idealisme, tapi hidup sederhana dan rileks dalam urusan personal. Ke-

sederhanaan yang melekat pada penampilannya bukan untuk cari sensasi, melainkan laku hidup yang ia kembangkan dari ajaran orang tuanya. Orang-orang yang kenal dekat dengan sosoknya mungkin hafal betul dengan penampilannya yang itu-itu saja—baju hijau kusam dan celana panjang hitam—dan jarang berpenampilan mewah. Atma sepertinya memang tak merasa perlu untuk memilki pakaian-pakaian yang baru dan mahal. Bahkan, dalam perjalanan hidupnya, barangkali ia sudah lupa kalau dirinya berhak atas hal-hal semacam itu. Pada Mei 2015, menjelang wisuda sarjananya, orang tuanya bahkan sampai harus merajuk agar ia mau dibelikan sepatu baru untuk dipakai di acara wisuda. Waktu itu, mereka meminta Atma untuk memilih sepatu apa pun yang bagus tak peduli berapa harganya. Maklum, Atma adalah wisudawan terbaik dan orang tuanya ingin pula memberikan sesuatu yang terbaik. Tapi setelah melihat harganya yang cukup mahal, anak sulungnya itu kemudian menolak untuk dibelikan sepatu baru. “Sampe ibunya itu dlengsot di lantai. Baru dia mau,” kenang Muslihatun, ibunya, kepada Hayamwuruk, di rumahnya, akhir November silam.

***

TELEPON genggam milik Atma Khikmi berdering-dering sepanjang siang itu, Sabtu 22 Oktober 2016. Panggilan itu berasal dari para petani dan beberapa koleganya di LBH Semarang. Seharusnya, hari itu, ia berada di kantor LBH Semarang untuk rapat rutin internal. Tapi, sudah dua hari belakangan ia hanya ber-


LAPORAN KHUSUS

Atma Khikmi Azmy (Berbaju Putih) bersama warga dan petani di Pati

diam di rumahnya di Desa Gebang, Kecamatan Gemuh, Kabupaten Kendal. Kepada ayahnya, Achmad Khoiry, ia mengaku butuh istirahat karena mengalami sakit di bagian dada. Setelah merasa kembali sehat, Minggu siang, sekitar pukul 12.30 WIB, Atma pamit kepada orang tuanya untuk berangkat ke Semarang. Hari itu, ia harus sampai di kantor LBH sebelum pukul 13.30 WIB karena janji bertemu dengan Nur Aziz— petani Surokonto Wetan, Kendal yang dikriminalisasi oleh Perhutani lantaran dianggap melakukan pembalakan liar. Namun, hanya beberapa menit berselang, sebuah kabar memekakan sampai ke telinga keluarganya di rumah. Sepeda motor yang dilajunya dengan kecepatan tinggi menabrak mobil pick up yang hendak memutar arah dengan memotong lebar jalan. Atma telah mengalami kecelakaan. Menurut keterangan warga di

lokasi kejadian, tubuh Atma sempat terbujur di tengah jalan selama beberapa menit. Waktu itu, warga yang menyaksikan kejadian itu tak langsung mengambil tindakan kecuali mengangkat mobil pick up yang menjepit Atma dan motornya. Penyelamatan baru dilakukan setelah ada warga yang berani mengangkat tubuh nahas itu dan kemudian melarikannya ke rumah sakit. Sayang, hal itu terlambat. Di dalam perjalan, denyut nadi Atma berhenti. Di Rumah Sakit Baitul Hikmah, Kendal, Achmad Khoiry mendapati anak sulungnya itu sudah tak bernyawa. “Saya sempat stress mas... ‘duh anak sudah ga ada nyawanya, padahal dua hari dia di rumah sehat.’ Dia sehat, saya obati di rumah itu dia sembuh,” katanya. Muslihatun, ibunya, tak punya firasat apapun menjelang kepergian sang anak. Minggu pagi, Atma masih menikmati ikan bandeng yang ia buatkan. “Malah dia pas makan

itu ngomong, ‘mah ayo kita usaha makanan kaya gini’. Nanti kalau kamu sudah S2 rampung, ta’ turuti kemauanmu” katanya. Atma memang sedang menempuh program pasca sarja Ilmu Hukum di Unissula, dan setelah lulus nanti, ia sudah bertekad untuk menggunakan seluruh ilmunya itu untuk membela masyarakat kecil. Tapi setelah 23 Oktober 2016, harapan-harapan itu harus pupus. Atma pergi mendahului keluarganya dan orang-orang yang membutuhkannya. Muslihatun mengenang, dua bulan sebelum kecelakaan, Atma sempat berkata bahwa ia tak ingin memiliki harta kedua orang tuanya, “nanti biar buat adek,” katanya. Dan kini, ia baru sadar bahwa kata-kata anak lanangnya itu ternyata menyimpan sebuah kabar kesedihan. | Hendra Friana & Listi Athifatul Ummah

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 45


Dok: simpulsemarang.org

KETIKA PETANI MELAWAN PERHUTANI

P

ENGADILAN Negeri Kendal menjadi saksi, betapa hukum di Indonesia masih digunakan untuk menindas yang lemah. Selasa, 13 Desember 2016, setelah melalui proses hukum selama empat bulan, warga Surokonto Wetan dikejutkan dengan dakwaan yang dibacakan kepada Nur Aziz (44 tahun), Sutrisno Rusmin (63 tahun) dan Mujiono (39 tahun). Tiga petani tersebut adalah tersangka kasus pembalakan liar di desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal. Dalam sidang ke-19 itu, Arjuna Budi S Tambunan selaku Jaksa Penuntut Umum menuntut ketiganya dengan pidana delapan tahun penjara dan denda sebesar 10 mi-

46 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

lyar rupiah. Tuntutan itu dijatuhkan lantaran tersangka dianggap telah melanggar pasal 19 (a) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Samuel Bona Rajagukguk, pendamping hukum warga dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Semarang, menilai tuntutan jaksa tidak didasari dengan pertimbangan sosial masyarakat atau terdakwa. Seharusnya, kata dia, Jaksa memberikan tuntutan seminimun mungkin. “Bagaimana bisa sesorang yang kesehariannya sebagai petani dan buruh tani yang sudah berkeluarga dituntut 8 tahun dan denda 10 M? Ini menandakan jaksa hanya melihat perspektif perbuatan melawan hukum. Seha-

rusnya, perbuatan melawan hukum itu tidak berdiri sendiri.” Merespon hal tersebut, Rabu siang (28/12), lebih dari seratus petani yang tergabung dalam Front Rakyat untuk Agraria Kendal (FRAK) melakukan long march dari Terminal Pasar Kendal menuju Kantor DPRD Kota Kendal. Mereka merangsek ke depan gerbang DPRD Kendal sembari membentangkan spanduk bertuliskan “Hentikan Kriminalisasi 3 Petani Penggarap di Surokonto Wetan”. Aksi di depan Kantor DPRD itu dilakukan sebab warga menilai dewan legislatif daerah abai terhadap kasus hukum yang dialami warga Surokonto Wetan. Namun, Siti Hindun, sekretaris DPRD Ken-


LAPORAN KHUSUS dal yang menemui massa aksi mengatakan bahwa hari itu keempat puluh lima anggota DPRD tak bisa ditemui karena sedang tidak berada di tempat. “kami akan sampaikan aspirasi ibu-ibu dan akan segera atur waktu supaya kita bisa adakan audiensi,” katanya. Sementara itu, di Pengadilan Negeri Kendal, sidang ke-20 yang seharusnya berlangsung dengan agenda pembacaan pledoi dari terdakwa, hari itu terpaksa ditunda karena berkas pledoi dari pihak terdakwa belum siap. Atas permohonan terdakwa, sidang diundur selama sepekan dan akan kembali dilaksanakan pada Rabu, 4 Januari 2017. *** SEBELUM Republik ini berdiri, lahan di Surokonto Wetan tercatat pernah dimiliki dua perusahaan Belanda yakni Culture Maschapij dan NV. CultuurMaatschapij yang berkedudukan di Rotterdam dan Amsterdam. Mereka mengelola perkebunan kopi, karet randu dan tanaman budidaya lainnya di atas lahan seluas 127 hektar. Pada 23 Desember 1952, dalam rangka dekolonialisasi, Indonesia membeli tanah tersebut dengan Akte Jual Beli Nomor 45 yang disahkan oleh notaris RM. Soeprapto. Setelah disahkan Menteri Kehakiman dan didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri Semarang, hak kelola tanah tersebut lalu diserahkan pada NV. Sekecer atau Wiringinsari pada tanggal 28 Desember 1956. Namun, pada 22 Juli 1966, NV Sekecer dibekukan karena dinyatakan terlibat G30S—pembunuhan jenderal yang diduga didalangi PKI. Intstruksi pembekuan tersebut didasarkan pada SK (Surat Keputusan) Menteri Perkebunan Nomor: 160 tahun 1965, tentang penguasaan manajemen perkebunan swasta dan koperasi daerah yang terbukti terlibat G30S. Setelahnya, 3 Maret 1966, hak kelola diserahkan kepada Komuved

Jateng melalui SK. Panglima Kodam VII/Diponegoro selaku Peperda (Penguasa Perang Daerah) Jawa Tengah dan Yogyakarta. Enam tahun kemudian, PT. Sumurpitu Wringinsari, perusahaan dibawah naungan Yayasan Rumpun Diponegoro (Kodam IV/Diponegoro), mendapatkan HGU (Hak Guna Usaha) di atas lahan tersebut. HGU itu berlaku sampai 31 Desember 1997 dan diperpanjang hingga 31 Desember 2022. Pada 12 Maret 2012, Sumurpitu menjual saham berupa lahan perkebunan seluas 610 hektar yang di kelola di wilayah Desa Surokonto

HGU atas lahan 127 hektare yang dimiliki PT. Sumurpitu Wringinsari berdiri diatas tanah negara yang hak miliknya tidak bisa diperjualbelikan. Wetan. Tanpa sepengetahuan warga, 400 hektar tanah itu lalu dibeli oleh PT. Semen Indonesia dengan harga 75 milyar rupiah di tahun 2013. Padahal, menurut PP (Peraturan Pemerintah) No. 40 tahun 1996, HGU hanya bisa dialihkan pengelolaannya kepada perusahaan yang bergerak di bidang pertanian, perikanan, atau peternakan. Warga yang tak mengetahui transaksi tersebut pun kaget ketika status lahan garapan mereka berubah menjadi milik PT. Perhutani KPH Kab. Kendal yang dikukuhkan oleh Menteri Kehutanan (SK 3021/MenhutVII/KUH/2014).Karena PT. Semen Indonesia tak bergerak di bidangbidang itu, warga lalu mempertanyakan kesahihan jual beli tersebut. Apalagi, HGU atas lahan 127 hektare yang dimiliki PT. Sumurpitu Wringinsari berdiri diatas tanah negara

yang hak miliknya tidak bisa diperjualbelikan. Mereka lalu mendatangi Nur Aziz, Ketua Paguyuban Petani Kendal, dan memintanya untuk mencari tahu terkait jual beli lahan tersebut. “Setelah itu kami audensi dengan pihak mereka, dan banyak hal yang kami tanyakan. Tapi mereka tak mau menjelaskan yang sebenernya. Semua penuh rekayasa,” kata Nur Aziz. Dari sanalah kemudian konflik lahan di Surokonto Wetan mencuat. Pada Selasa, 3 Mei 2015, Nur Aziz menerima surat panggilan dari Polsek Pageruyung yang isinya adalah penetapan status tersangka terhadap dirinya. Dua personil kepolisian yang mengantarkan surat tersebut juga mengaku telah mengantarkan surat serupa kepada dua orang lainnya di kediaman yang berbeda, yakni Sutrisno Rusmin (64 tahun) dan Mujiyono (40 tahun). Polisi menetapkan ketiganya sebagai tersangka setelah mendapat laporan dari Rovi Tri Kuncoro (Wakil Adm Perum Perhutani KPH Kendal) dengan tuduhan penguasaan kawasan hutan seluas 70 hektare. Sebelum akhirnya ditersangkakan, Nur Aziz beberapa kali diundang ke Polres Kendal untuk dimintai keterangan. Ia memberikan klarifikasi mengenai aktivitas warga menggarap lahan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar keterlibatannya dalam menggagas terbentuknya kepengurusan paguyuban warga.Dengan berbagai catatan dan dokumen yang dimilikinya, ia juga membantah keabsahan SK Menteri Kehutanan terkait penetapan kawasan hutan di Surokonto Wetan itu. *** SEJAK lama, Warga Desa Surokonto Wetan sebenarnya telah mengelola sebagian lahan perkebunan tersebut. Hal itu dilakukan dengan terlebih dahulu membuat kesepakatan bersama pihak-pihak perusahaan. Di tahun 1972, misalnya, PT. Sumurpitu Wringinsari mengizinkan warga

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 47


Dok: simpulsemarang.org

menggarap lahan perkebunan dengan sistem bagi hasil. Syarat, warga harus bergabung dengan Sekber Golkar dan hasil akan dibagi 1/3 untuk pihak perusahaan dan 2/3 untuk pihak penggarap. Namun, pernah juga beberapa kali penggarapan lahan oleh warga pernah mengalami pemberhentian. Hal itu lantaran lahan disewakan kepada PG Cepiring yang bergerak di bidang penanaman tebu untuk produksi gula di akhir tahun 1970an hingga 1980-an. Dengan adanya penyewaan pengolaan lahan tersebut, warga Desa Surokonto Wetan akhirnya menyiasati dengan cara bekerja borong harian di PG Cepiring. Beberapa tahun setelah masa kontrak PG Cepiring habis, peng-

48 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

garapan lahan juga kembali terhenti karena disewakan kepada PT. Ulat Sutra dari kurun waktu 1984-1990, dan ditanami pohon murbei untuk kemudian dijadikan pakan ternak ulat sutera. Setelah kontraknya habis, barulah warga desa meminta izin untuk menggarap kembali lahan tersebut. Penggarapan berjalan sekitar 4 tahun hingga akhirnya terhenti kembali karena lahan disewa oleh PT. Kayu Manis untuk ditanami pohon tebu yang berlangsung selama belasan tahun. Di tahun 2009-an, setelah masa sewa lahan oleh PT. Kayu Manis habis, barulah warga kembali menggarap lahan tersebut. Kendati sempat terjadi kekisruhan dan ketimpangan pengelolaan lahan antar warga, warga bisa menyelesaikannya me-

lalui musyawarah mufakat. Lahan garapan perkebunan pun akhirnya dibagi rata dengan luas 1250 meter per kepala keluarga. Kini situasi telah berubah. Lahan seluas 127 heketare tersebut telah ditetapkan oleh SK Menhut sebagai “Kawasan Hutan Produksi Pada Bagian Hutan Kalibodri Seluas 127.821 Hektar di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah�. Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan tak hanya mengancam Nur Aziz, Sutrisno Rusmin dan Mujiyono, tapi juga 460 petani yang telah lama menjadikan lahan tersebut sebagai sumber penghasilan. | Resza Mustafa, Intan Larasati & Hendra Friana


| INFOGRAFIK |

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 49


50 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017


| WAWANCARA LEPAS |

Zaenal Arifin:

GUBERNUR HARUS BERPIHAK!

T

ENDA perjuangan masih kokoh berdiri. Di tapak jalan menuju lokasi pendirian pabrik PT. Semen Indonesia di Desa Kedowo, Kecamatan Bulu, Rembang, Jawa Tengah, setiap harinya, secara bergantian warga datang dan pergi untuk bekerja dan bertahan di tenda. Mereka, yang mayoritas perempuan itu, terus melawan kendati hingga saat ini, pembangunan senilai 3,7 triliun tersebut masih berjalan bahkan hampir rampung. Pabrik itulah yang nantinya akan mengolah batu gamping dan tanah liat yang ditambang dari pegunungan Kendeng. Dengan estimasi produksi 3 juta ton semen pertahun, perusahaan milik negara itu mengimingimingkan kesejahteraan; membuka lapangan kerja dan menggerak2an roda perekonomian. Maka wajar bila selama ini, pemerintah dan perusahaan kerap mengaggap perlawanan terhadap industri semen sebagai ketakutan yang tanpa alasan. Tapi, benarkah demikian? Apakah kesejahteraan itu harus selalu didorong oleh industrialisasi—terutama dalam kasus ini industri ekstraksi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, reporter Hayamwuruk, Alya Lubna Ganis mewawancarai Zaenal Arifin. Ia adalah Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang dan anggota Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah, yang telah melakukan advokasi dan pendampingan hukum terhadap warga Rembang dan Pati beberapa tahun belakangan. Berikut kutipanya:

Bisa dijelaskan kronologi masalah penambangan di Rembang? Yang bertanggung jawab dalam kasus itu adalah PT Semen Indonesia. Nah, siapa PT. Semen Indonesia itu? Sebelumnya, PT Semen Indonesia ini bernama PT. Semen Gresik yang merupakan bagian dari beberapa semen, semacam BUMNlah. Nah, Semen Indonesia itu sekitar tahun 2008 mau melakukan rencana penambangan di (Pegunungan) Kendeng, Sukolilo, Pati. Lalu kemudian pada tahun 2009 dibatalkan dan dimenangkan oleh warga. Akhirnya Semen Gresik itu pindah ke Rembang. Memang di Pati itu masih ada lagi kasus yang sama, seperti yang ada di jalur Kayen-Tambakromo dengan PT. SMS (Sahabat Mulia Sakti), anak perusahaan dari Indocement. Sementara itu PT. Semen Gresik yang pindah ke Rembang tidak lagi menggunakan nama itu, tapi menjadi PT. Semen Indonesia. Nah itu. Semen Indonesia di Rembang itu mendapatkan izin pada tahun 2012, tapi memang pada faktanya, masyarakat baru mendengar isunya sekitar tahun 2013. Kemudian sampailah pada tahun 2014 ketika Semen Indonesia melakukan peletakan batu pertama. Pada tahun 2014 itu peletakan batu pertama untuk mendirikan pabrik di kawasan ini mendapatkan respon penolakan dari masyarakat, yang akhirnya berujung pada perlawanan ibu-ibu dan didirikannya tenda perjuangan.

Alasan warga menolak? Sejak 16 Juni 2014 sampai sekarang, 2 tahun ibu-ibu bertahan di depan pabrik semen. Nah, kemudian apa alasan kami menolak, alasan penolakannya ada beberapa hal yang pertama bahwa izin pembangunan lingkungan yang waktu itu yang dikeluarkan gubernur pada tahun 2012 yaitu, Bibit Waluyo bertentangan dengan tata ruang wilayah. Yang di situ ditekankan bahwa di kawasan tersebut merupakan kawasan lindung, yaitu kawasan lindung cekungan air tanah watu putih. Cekungan air itu berdasarkan Perpres Nomor 16 tahun 2011, kalo enggak salah ya, itu merupakan kawasan lindung yang tidak boleh ada aktivitas pertambangan di situ. Di sisi lain, ternyata ditemukan juga bahwa kawasan tersebut adalah kawasan karst. Hal itu didasarkan apa? Didasarkan pada penelitian tahun 98 yang dilakukan kementrian ESDM atau Dinas ESDM Jawa Tengah, di kawasan pegunungan Watu Putih itu. Diketahui bahwa kawasan tersebut memiliki karakteristik karst. Bahkan, di kesimpulan penelitian itu dinyatakan bahwa kawasan tersebut memilki ciri-ciri epikarst. Sehingga selain memiliki fungsi resapan penampung air, cekungan air tanah Watu Putih juga merupakan kawasan karst yang merupakan juga kawasan peresap air; penyimpan cadangan air, itu yang pertama. Yang kedua, kalo ini rusak apa implikasinya? ‘Kenapa memang kalau itu karst,’ katanya? Kalo itu ru-

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 51


sak maka air yang seharusnya ditampung ke pegunungan tersebut: diresap, kemudian dialirkan kembali ke lekungan air, itu tidak terjadi. Akhirnya dia land off. Maka bencana yang sangat mungkin adalah bencana banjir. Karena air tidak bisa masuk ke gua-gua, kemudian masuk ke sungai-sungai bawah tanah yang kemudian dikucurkan dalam mata air. Itu, dalam konteks bencana. Dan implikasi yang kedua dalam konteks bencana ya kalo musim kemarau maka akan terjadi kekeringan. Karena enggak ada air yang mengalir. Keliatannya aja gersang. Pegunungan karst itu memang topologinya kayak gitu, gersang. Cuma, di dalamnya menyimpan air dalam bentuk sungai-sungai bawah tanah yang kemudian mengalir menjadi mata air, memang ciri khas kawasan karst begitu. Sejauh ini, menurut anda, bagaimana peran Ganjar selaku gubernur? Peran Ganjar Pranowo ya? Sebenarnya masyarakat baru tahu desas-desus kasus semen Rembang ini tahun 2013 ya. Kemudian tiba-tiba ada peletakan batu pertama 16 Juni 2014 yang direspon dengan penolakan ibu-ibu, sampai berujung pada tenda perjuangan itu. Nah, sempat Ganjar itu datang dan menyampaikan bahwa izin pembangunan ini bukan dia yang mengeluarkan. Tapi dalam konteks ketatanegaraan, dia kan datang sebagai gubernur. Bibit Waluyo pada waktu itu menandatangani izin, mengeluarkan izin Surat Keputusan izin itu kan juga bukan dia sebagai personal, bukan persoalan keperdataan, tapi ini adalah persoalan keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat Negara, oleh pejabat TUN, Tata Usaha Negara. Makanya kemudian posisinya ini ya tidak bisa dijadikan alasan ‘itu bukan masa saya’. Nah sekarang pertanyaannya, siapa gubernurnya? Setelah

52 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

16 Juni, mereka bertanya-tanya ‘lho kok ini sudah ada peletakan batu pertama?’ kemudian mereka mencoba mengakses izin. Izin kemudian diakses dan didapatkan. Kemudian masyarakat mengajukan penolakan, melakukan upaya keberatan. Sebenarnya atas keberatan masyarakat ini gubernur memiliki hak untuk melakukan pencabutan. Konsekuensinya apa kalau dicabut? Dia akan digugat perusahaan. Tapi pada waktu itu gubernur memilih untuk tidak mencabut; membiarkan, mengabaikan keinginan masyarakat. Konsekensinya apa? Dia digugat oleh masyarakat. Sehingga konsekuensinya ada dua. Jika dicabut, maka akan digugat perusahaan, dan masyarakat ada di pihak dia. Masyarakat akan ada di pihak gubernur yang pro lingkungan. Tapi, Ganjar memilih yang lain. Dia memilih di posisi membela perusahaan. Berarti dia tidak melakukan apa pun? Lalu bagaimana dia dapat meredakan protes masyarakat? Tidak melakukan apa pun. Dia sempat datang ke tenda perjuangan ibu-ibu. Cuma kemudian ya itu tadi, dia menjanjikan kepada ibu-ibu akan mempertemukan dengan pihak semen. ‘yaudah nanti kita akan pertemukan’. Dia sebagai gubernur menyatakan bahwa bukan masanya dia sewaktu diminta mengeluarkan izin lingkungan itu. Bukan jamannya dialah, itu yang pertama. Yang kedua, dia menjadi pihak yang seakan-akan netral, seakanakan pemerintah netral yang memfasilitasi pertemuan dua pihak. ‘silahkan ini akan kita undang ahliahli dari semen. ‘Ibu-ibu sudah baca Amdal?’ Amdal itu apa, kan enggak tahu ibu-ibu. Ini kan yang ahli-ahli. ‘Nah ibu-ibu silahkan warga cari ahli untuk dibandingkan dengan ahlinya semen’. Waktunya ‘kalau bisa seminggu’. Warga bingung karena hanya mendapat waktu seminggu

untuk mencari ahli. Waktu itu Ganjar datang hari Jumat, tanggalnya 22. Pikiran masyarakat, perspektifnya kalau seminggu ya Jumat depan berarti. Catatannya, satu, dalam konteks tata negara yang baik, apakah pantas dia (Ganjar) sebagai gubernur, kepala daerah? Ketika kemudian ada suatu pembangunan proyek yang membawa dampak yang berpotensi menimbulkan gejolak di masyarakat, harusnya dia yang kemudian membawa ahli untuk melakukan penelitian apakah benar atau tidak. Tapi tidak, dia melempar ke masyarakat untuk mencari ahli. Itu satu. Dalam konteks itu, dia gagal sebagai gubernur. Kedua, dia pemerintah seakanakan sebagai fasilitator yang netral. Ya enggak bisa! Pemerintah harus intervensi dalam perusakan-perusakan sumber daya alam yang berhubungan dengan publik. Enggak bisa dia kemudian bersikap netral, memfasilitasi, ‘silahkan hukum yang menyelesaikan’. Itu menunjukkan ketidakmampuan dia sebagai kepala daerah, dalam konteks terhadap perlindungan sumber saya alam dan dalam konteks perlindungan pada masyarakat, itu. Tindakan dia yang tidak pro terhadap lingkungan, tidak berpihak kepada masyarakat di Rembang, otomatis dia berarti pro tambang. Bukankah untuk menghormati proses hukum pemerintah harus netral? Tidak ada konteks netral dalam hal ini. Netral yang bagaimana? kok pemerintah netral? Pemerintah enggak bisa netral, pemerintah harus intervensi, masuk. Terhadap suatu keputusan yang dibuat, ternyata ada gejolak di masyarakat, terus ada potensi, dia harus melakukan peninjauan kembali terhadap itu. Dan kalau benar itu adalah kawasan karst, ya dicabut. Persoalannya, pernahkah dia


| WAWANCARA LEPAS |

melakukan itu, penelitian terhadap kawasan karst? Kalau pernah mana datanya? Apakah tambang itu ada di kawasan karst atau tidak? Apakah di dalamnya ada mata air? Lha wong kita sediakan bukti data kok. Yang kita sampaikan di pengadilan, ada gua, mata air, ada sungai-sungai bawah tanah. Kita punya kok datanya. Sekarang kalau misalnya gubernur tidak terlalu tinggi hatinya ya, tidak terlalu tinggi, tidak terlalu sombong dan congkak, dia turun ke masyarakat kemudian menerima laporan masyarakat. Data-data tersebut dilihat, dibaca dan dibuktikan sendiri. Silahkan datang ke lapangan. Saya kira, ah mudah-mudahan dia akan mendapat hidayah lah di bulan Ramadhan. Kalau misalnya nanti di persidangan masyarakat Rembang menang, apakah ada kemungki-

nan hal serupa terjadi di tempat lain? Ya ada. Karena sebenarnya persoalannya itu kan bukan persoalan siapa penambangnya bukan persoalan BUMN, swasta, atau asing. Tapi negara yang membuka ruang dalam kebijakannya untuk terbukanya para investasi tambang, untuk melakukan penambangan di kawasan kawasan yang karst itu. Seharusnya negara melakukan peneitian terhadap kawasan karst. Yang benar-benar terkaji harus di lindungi. Tidak boleh ada penambangan itu dari konteks kawasan karst. Kemudian yang kedua, dalam konteks sosial, misalkan terjadi penambangan itu apakah dampaknya hanya terdapat pada kawasan karst saja? Tidak. Karena juga berdampak pada sosial masyarakatnya. Ini ada kaitannya dengan masyarakat yang hingga saat ini masih menggantungkan diri pada gunung kend-

eng, dan pertanian petani produktif. Ketika ditanya saja untuk daerah Pati, berapa nilai pendapatan daerah kabupaten Pati? Yang paling banyak itu 45% dari pertanian. Terus, 45% dari pertanian itu menyumbangkan 35%. Berarti itu kan besar. Sementara pertambangan berapa? Tidak ada 5%. Berarti ini negara sudah mengeluarkan kebijakan yang terbalik. Harusnya pertanian ini yang digenjot, yang difasilitasi bagaimana mereka bisa hidup mandiri. Bukan malah lahan pertanian dialihfungsikan untuk pertambangan atau kemudian pertambangan mematikan lahan-lahan pertanian, karena airnya kan dari kendeng. Apakah ada kaitannya dengan kepentingan asing dan nasional? Lha, itu seringkali yang di gembor-gemborkan ya, bahkan oleh kami sendiri. Mengenai semen asing

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 53


dan semen nasional. Kalau (katanya) kepentingan kita menolak semen Indonesia adalah ditunggangi oleh semen asing. Kita sih mana perduli dengan persoalan asing maupun nasional. BUMN pun kalau dia perusahaan kan tetap perusahaan, nalar yang digunakan kan bukan nalar kesejahteraan, tapi untung-rugi, karena dia pintar. Kecuali Semen Indonesia diperuntukkan untuk sosial. Mengapa dalam hal ini, dalih pemerintah selalu untuk meningkatkan kesejahteraan? Nah sebenarnya ini, konflik yang ada di sumber daya alam ini kan ada kaitannya dengan benturan persepsi dan konsepsi dalam pemahaman Sumber Daya Alam (SDA). Setiap orang memiliki pemaknaan tersendiri terhadap SDA. Pemaknaan SDA sendiri digunakan untuk menambah pendapatan daerah lewat pajak. Kemudian perusahaan tentu saja membicarakan untung rugi, dalam memaknai SDA untuk ekspektasi mereka. Sementara masyarakat memiliki pemaknaan sendiri. Nah, akhirnya pemaknaan-pemaknaan ini bertarung, berbenturan, dan semuanya berpijak pada plan-plan sehingga lahir teori-teori kesejahteraan. Nanti kalau ditambang maka menambah PAD, nah, nanti PAD itu akan dimebalikan kepada masyarakat. Kayak nilai tukar tambah. Perusahaan juga berpijak pada itu. Bahwa pertambangan ini akan menyerap tenaga kerja, sedangkan masyarakat ia tetap menjaga lahan kehidupannya. Persoalannya adalah, selama ini negara tidak pernah menghitung dalam konteks kesejahteraan, tidak pernah menghitung upaya standar negaranya untuk pelaku menyejahterakan hidup mereka sendiri, misalkan dengan pertaniannya. Hitungannya seperti apa? Sekarang kita hitung-hitungan. Gini: kau bisa hidup sendiri dengan

54 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

lahan pertanianmu itu tidak dihitung oleh negara. Yang dihitung negara adalah ketika kamu bayar pajak, yang masuk itung-itungan itu. Ketika masyarakat menyejahterakan dirinya sendiri, dia tidak masuk hitungan. Sekarang begini, kalau kita berbicara perbandingannya, kalau itu barang ditambang dari gunung berapa yang didapat negara, berapa yang didapat perusahaan, berapa yang di dapat masyarakat? Harus dihitung. Harus dirupiahkan. Kalau kemudian terjadi bencana berapa yang harus ditanggung perusahaan, berapa yang harus ditanggung negara, dan berapa besar yang harus ditanggung masyarakat kalau itu tetap menjadi lahan pertanian? Tadi soal tambang ya, kalau ini jadi lahan pertanian berapa yang didapat masyarakat dan berapa yang didapat negara kita seperti itu. Sekarang tenaga kerja. Butuh berapa sih tenaga kerja? 3000, 4000, 5000? Tenaga kerja dari mana? Masyarakat. Dan masyarakat akan menjadi tenaga kerja di sektor apa? Buruh kasar pasti, karena dia tidak memiliki ijazah, yang jadi petinggi? Ya anak-anak Undip lah, hahaha. Atau anak UGM yang dosennya ikut pro tambang, itu pertama. Kedua, selama ini kemudian berapa ya (hasil tenaga kerja) yang diserap? Sementara kalau dari lahan pertanian yang menjadi taraf petani berapa yang diserap dari 1 hektar pengelolaan lahan? Menghasilkan buruh berapa? Nah kita hitung-hitungan gitu. Itu baru soal buruh. Sementara, kalau ada tambang, potensi apa saja yang hilang? Segala macam. Tanah itu di atasnya ada rumah atau yang lainlah. Di atasnya kira-kira apa yang akan hilang semuanya? Jambu atau kelapa lah (misalnya). Kelapa itu satu pohon, atau contoh pohon jambu lah, berapa kali panen? setiap panennya itu dijual berapa? Harganya mbuh, semuanya dikali tiga. Rentang waktu

penambangan seratus tahun, dikalikan aja. Itu baru pohon jambu, belum pohon-pohon yang lain. Itu baru fisik, baru ekonomi, belum hubungan sosialnya harus dihargai. Kalau kita mau hitung-hitungan. Lha (nanti) kemudian akan muncul lagi perbandingannya, evaluasi ekonomi, berapa sih yang didapat negara? Berapa sih yang didapat perusahaan? Baru saja ngomong PAD sudah kelihatan jelas berapa hasil daerah dari tambang, berapa pendapatan hasil dari sektor pertanian. Jadi selama ini belum pernah ada hitung-hitungan dari negara? Belum ada, selama ini masyarakat yang menghitung sendiri. Masyarakat mulai kritis sebenarnya. Mereka menghitung sendiri hasil panennya. Misalkan saya memiliki tanah 2 hektar atau ½ hektar, panen tiga kali setiap panennya itu menghasilkan berapa ton atau berapa kwintal, itu harga pasarnya segini, itu baru 1 tahun 1 panen, dikali 3 kali setahun dikali lagi 100 tahun berapa? itu baru tanah. Belum kemudian kalau mata air yang hilang, dampaknya apa, misalkan air minum galon sendiri berapa? Aqua berapa? Menghabiskan berapa botol dalam sehari? Botolan ya, di kali aja 100 tahun itu baru air minum, belum air mandi. Sekarang kita hitung-hitungannya gitu. Jadi nanti akan terlihat mana kesejahteraan yang masih mitologi dan kesejahteraan yang sudah kebumi, hahaha. Nah ini masyarakat mensejahterakan dirinya sendiri. Kalau di konteks itu ya. Karena kemudian tuduhannya adalah antara nasionalisme dan asing. Karena Semen Gresik yang mendirikan Soekarno. Lha apa urusannya dengan Soekarno. Kalau dia merusak ya ditentang lah. Kecuali itu lembaga sosial.


| ARTIKEL LEPAS |

MENGURAI PEREMPUAN DAN PEMBANGUNAN; STUDI KASUS KARTINI KENDENG Abstrak Sudah hampir tiga tahun masyarakat Pengununan Kendeng, di Jawa Tengah, dihadapkan pada persoalan bagaimana sebenarnya konsep yang tepat dalam merumuskan masyarakat yang dicita-citakan. Tidak lebih, perdebatannya adalah siapa yang akan merumuskan ataupun mendeskripsikan bentuk sebuah masyarakat ideal. Hal ini kemudian dihadapkan pula oleh kekuasaan dan sifat mendasar dari manusia Indonesia itu sendiri. Definisi pembangunan guna mencapai masyarakat yang dicitakan menjadi program sentral pemilik modal, kuasa dan pula budaya-budaya patriarki manusia Indonesia. Masyarakat kecil termarjinalkan, masyarakat adat dihilangkan, kaum minoritas dianggap tidak ada, hingga persoalan lainnya. Tebakannya: mungkin saja Indonesia masih sebuah proses “menjadi”. Tetapi, nilai fundamentalnya adalah menjadi apa? Konsep kaum urban kah, pandangan kaum Andropsentris-kah, atau lainnya untuk mencapai masyarakat yang dinginkan. Kemudian pertambangan dan industrialisasi sering kali yang menjadi korban adalah perempuan. Apakah dalam pengetahuan perempuan menolak pertambangan dan/atau industrialisasi? Kata Kunci: Pembangunan, Pertambangan, Industrialisasi, Perempuan.

Pendahuluan Melewati dua tahun, tenda perjuangan di Rembang masih kokoh berdiri. Dengan kasat mata dapat disimpulkan jaringan-jaringan solidaritas masih tetap bertumbuh, semakin kokoh, dan memantapkan bahwa keberpihakan pada penolakan pabrik semen harus tetap dikumandangkan. Berpihak pada kasus pembangunan pabrik semen di Rembang memang harus dilakukan. Dari jaringan Kendeng juga dapat dilihat bagaimana isu ini menjadi isu bersama. Lihat saja, sampai-sampai festival seni, yang katanya sebagai acara yang tidak boleh dilewatkan oleh seniman-seniman Indonesia, mendapatkan surat dari Ibu-ibu Kendeng1. Lihat pula, bagaimana 1 Surat lengkapnya dapat dilihat di http://www. gookoteka.web.id/2016/07/surat-ibu-ibu-penghunitenda-untuk.html , diakses terakhir 1 Oktober 2016, bila ingin melihat perdebatannya polemikinya dapat melihat http://serunai.co/pratayang/2016/07/15/336/ , diakses

para musisi meciptakan lagu yang berbicara tentang Kendeng. Dari Jogja misalnya, ada Sisir Tanah yang saat manggung sering menyampaikan: “lagu ini dipersembahkan untuk ibu-ibu Kendeng”. Lalu ada Kepal (Keluarga Seniman Pinggiran Anti Kapitalis) Jogja, Marjinal dengan lagu “Kartini-kartini Rembang Pasti Menang”, bahkan ada juga Navicula dengan lagunya Kartini Kendeng, serta beberapa musisi lainya2. Tidak hanya audiovideo, dalam hal visual juga kita lihat misalnya Dewi Candraningrum dengan lukisannya yang mengambarkan Kartini Kendeng, dan lain sebagainya. Sampai-sampai artis ternama seperti Dian Sastro pun ikut mampir ke tenda perjuangan, dan masih banyak jaringan solidaritas lainnya. Konsistensi perjuangan untuk menolak pabrik semen, khususnya pada Gunem Rembang juga telah menginspirasi masyarakat-masyarakat lainnya dalam mengorganisasir massa dan membentuk jaringan perlawananan. Menariknya lagi, daerah-daerah yang akan dibangun pabrik semen di Jawa juga membentuk jaringan. Ada Gombong, Batang, Kendal, Sukolilo Pati, dan lainnya. Mereka sepakat bahwa pembangunan pabrik semen harus ditolak. Perjuangan Kendeng telah menjadi simbol dan mendapatkan tempatnya di dalam masyarakat itu sendiri. Tetapi, tidak diketahui sampai kapan itu akan berlangsung. Akan berakhir kah konflik pabrik semen ini dengan dihentikannya operasi dan tambang semen PT . Semen Indonesia atau malah justru sebaliknya. Dalam perkembangannya, kasus TUN (Tata Usaha Negara) atas izin lingkungan yang diberikan oleh Gubernur Jawa Tengah kala itu, perkaranya sedang dilimpahkan ke Mahkamah Agung atas permohonan Peninjauan Kembali oleh Pengugat. Substansi Peninjauan Kembali, telah ditemukan bukti baru atas perkara tersebut. Bahwa, dalam perkara tersebut ada pertimbangan hakim yang menyebutkan saat itu Joko Prianto menghadiri sosialisasi atas akan dibangunnya pabrik semen di Rembang. Dan, pertimbangan itu pula yang digunakan hakim memutus perkara TUN tersebut. Padahal, bertepatan dengan hari yang sama, Joko Prianto sedang melakukan perjalanan ke suatu tempat dengan pesawat Garuda Indonesia. Tidak tahu bagaimana nantinya putusan hakim atas terakhir 1 Oktober 2016. 2 Dapat dilihat di youtube, dengan judul yang disebutkan.

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 55


bukti-bukti baru yang dihadirkan oleh tergugat, mengingat hukum di negara Indonesia, tidak kunjung memihak pada masyarakat banyak, atau keadilan. Adapun yang menarik perlawanan masyarakat Rembang atau Pegunungan Kendeng yang melawan atau melakukan penolakan terhadap pembangunan pabrik semen adalah upaya mereka dalam mewujudkan pemahaman pembangunan itu yang kembali kepada Alam. Pun yang menarik lainnya adalah pemahaman tentang pembangunan tersebut lahir dari Kartini-Kartini Kendeng. Bila dideskripsikan, tawaran mereka tentang konsep pembangunan adalah menjaga relasi dengan alam. Dalam gerakan misalnya, wacana terhadap pembangunan pabrik semen di Rembang menurut pengamatan penulis sudah sampai pada tataran filosofis, bagimana sebenarnya hubungan antara manusia dengan alam, atau lingkungan, atau hewan, atau pepohonan, atau lainnya yang sejenis. Kemudian, pemahaman tersebut merupakan kerangka tawaran tentang memahami pembangunan dari aspek perempuan atau feminis. Hal itu bila dikaitkan dengan negara Indonesia saat ini, khususnya sebagai negara berkembang, dapan menjadi dasar argumentasi bahwa banyak program pembangunan di negara berkembang yang merugikan perempuan. Dan proses pembangunan itu, cenderung mengabaikan peran produktif yang secara tradisional dimainkan oleh perempuan.3

Pembahasan Setiap wacana atau tawaran masyarakat Rembang, ataupun pemahaman-pemahaman yang mereka kemukakan selalu sampai refleksi (terdalam) terhadap alam. Pemahaman akan alam tidak boleh dirusak, karena alam tidak akan memberi jika merusaknya. Memberi pada alam, maka akan menerima pula dari alam. Merusak alam berarti tidak memikirkan anak cucu dihari depan; merusak alam sama saja menyakiti Ibu kita sendiri. Misalnya saja dalam acara kupatan Kendeng yang baru-baru ini dilakukan di tahun kedua, 2016. Ada momen, saat warga Rembang berjalan keliling desa, lalu naik ke bukit sambil memegang obor dan juga membawa beberapa persembahan, seperti ayam, nasi, air, sayursayuran dan lain sebagainya. Setelah diatas bukit. Mereka berjalan melingkar, berjalan membentuk lingkaran sambil pemimpin ritual tersebut menyebutkan kalimatkalimat. Setelah itu, mereka duduk bersama, menempatkan Kang Gunretno berada di tengah. Beberapa kalimat yang terdengar jelas dalam bahasa jawa kira-kira seperti ini, “Malam ini kita berkumpul di sini, mengungkapkan kesalahan kita. Kita telah lalai dalam menjaga alam, kita 3 Saparinah Sadli, dkk. ‘’Jurnal Perempuan, Pengetahuan Perempuan’’, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2006), hal. 120

56 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

sudah merusak alam, dan kehadiran kita disini sebagai permohonan maaf kepada alam, bahwa kita telah merusaknya”. Demikian pula yang diucapakan oleh Joko Prianto, saat ditanyai maksud dari acara kupatan Kendeng, ia menuturkan bahwa “Kupatan Kendeng merupakan permohoanan maaf sebagai manusia kepada manusia, dan khusus pada alam. Karena telah lalai dalam menjaga alam dan manusia sebagai perusak alam”.4 Pada kegiatan-kegiatan yang lain, dapat juga ditemui pendapat-pendapat mereka atas pemahaman terhadap alam serta argumen-argumen yang mereka bangun: alam tidak boleh dirusak, alam harus dapat dinikmati oleh anak cucu nanti, alam adalah sumber kehidupan, tiada alam; maka akan mati, menjaga alam berarti berjuang dijalan Tuhan, dan masih banyak pemaknaan lainnya. Tidak mudah sampai pada pemahaman seperti itu. Pemahamanya memunculkan pertanyaan, bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan alam, baik dalam perlakuan ataupun pandangan. Permohonan maaf kepada alam sebagaimana diungkapan oleh Joko Prianto ataupun semangat kegiatan Kupatan Kendeng yang telah dilaksanakan dua kali dalam dua tahun belakangan atas dasar “permohonan maaf kepada alam” sudah menempatkan alam sebagai suatu entitas, yakni pemahaman berangkat bahwa alam adalah sesuatau yang “ada”. Ada, berarti nyata dalam realitas, dan bersifat inklusif bila ditarik pada kehidupan. Dalam Kamus Besar Bahasa 4 Kupatan Kendeng tahun kedua dilakukan pada tanggal 9-10 Juli 2016, dituliskan berdasarkan penafsiran kata-kata penulis.


| ARTIKEL LEPAS | Indonesia (KBBI), dapat dilihat atau maksud dari kata entitas, bagi alam. Dituliskan “Entitas” berarti berwujud. Alam sebagai sesuatu yang berwujud merupakan realitas yang ada. Dengan melihat atau mengamati fenomena yang tampak itu, entitas menjadi petunjuk untuk memahami alam sebagai fenomena. Walaupun yang tampak itu bukan realitas seutuhnya, karena masih ada realitas tersembunyi. Heidegger, seorang tokoh fenomenologi menuturkan, bahwa dengan merangkul entitas yang ada, kita dapat memaknai pertanyaan mendasar atas ontologi bagaimana seharusnya manusia dengan alam, dan metode yang ditawarkannya adalah Fenomenologi.5 Pemahaman terhadap alam, makhluk hidup lain, atau lain sebagainya merupakan pemaknaan terhadap alam yang berangkat dari pertanyaan ontologis hubungan manusia dengan alam. Pemahaman yang dimaksud di sini adalah berangkat dari pengalaman si-subjek terhadap alam sebagai objek.6 Penolakan pembangunan pabrik semen di Rembang dapat menjadi contoh atas hal tersebut. Bagaimana mereka begitu memahami alam itu berdasarkan pengalaman dan kedekatan mereka terhadap alam. Kehidupan beserta eksistensi mereka semuanya dimulai dengan alam dan juga seperti seruanseruan mural Kartini Kendeng misalnya, Sukinah: Alam rusak kami mati; Alam adalah tempat kebahagian kami sebagai petani; Alam memberi segalanya dan selalu ada; dan seruan-seruan lainnya. Sikap dari Sukinah atas pesan-pesan itu, merupakan hasil relasi subjek dengan alam. Mustahil rasanya seruan-seruan seperti itu bisa lahir dari pemahaman yang tidak memiliki relasi dengan alam. Hal ini sejalan dengan pemikiran Marleau-Ponty, Filsuf lingkungan hidup. Ketidakpekaan terhadap alam, menurut Merleau-Ponty, 5 Metode Fenomenologi lingkungan digunakan untuk melihat alam melalui titik pandang yang baru, meskipun teori etika dan moral lebpopuler mengangkat persoalan lingkungan, teori ini juga telah menyumbangkan pemikiran penting bagi pembahasan ekologi, lihat Sarasdewi, Ekofenomenologi:Mengurai disekuilibrium relasi manusia dengan alam, ( Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2015) hal.9 6 Pengertian objek, bukan objek sebagai suatau yang dikuasai keberadaannya oleh subjek, tetapi objek sebagai sesuatau yang dikuasai keberadaannya oleh subjek, atau sesuatau yang dipersepsikan subjek. Alam memang diluar subjek, dalam arti alam memiliki kualitas sendiri di luar penilitian subjek, dalam pengertian Objek, Husserl menekankan ada dua dunia objek yang mustahil diketahui secara total dan kontinyu oleh subjek. Objek selalu berubah dan perubahan itu menandakan objek memiliki kekayaan dimensi terlepas dari intervensi subjek., lihat Saras Dewi, ibid, hal. 150

karena berjaraknya subjek dari dunianya.7 Empati dan simpati terhadap alam lahir dari rasa dekat dan akrab dengan alam. bahkan lebih jauh, Meleau-Ponty menolak dualisme Cartersian yang membedakan kesadaran dengan tubuh dan dunia luarnya. Argumennya, betapa pentingnya tubuh dalam memahami dirinya dan dunianya. Melalui tubuhnya, subjek tidak saja memikirkan tentang alam tetapi ia merasakan alam, mengeluti dirinya ditengah alam.8 Dari Sukinah dan Meleau-Ponty, dapat lahir kosensus bahwa dekatnya relasi dengan alam, dapat mengantarkan pada pemahaman bagaimana manusia dengan alam. Kemudian, Sukinah bersama dengan delapan perempuan Kartini Kendeng lainnya, telah menjadi simbol perlawanan masyarakat Rembang dalam menolak Industrialisasi di Kendeng. Pemahaman-pehamanan, mereka sebagai perempuan menjadi menarik dan mendasar. Sukinah menyebutkan, alam memberikan segalanya pada warga Rembang. Saat itu, penulis sedang menghabiskan waktu bersama Sukinah di rumahnya. Penulis sempat bertanya, “Mbah, darimanakah semua pangan ini. Bukankah Mbah, dua tahun belakangan ini menghabiskan waktu menjadi aktivis perlawanan tolak pabrik semen di Rembang?” Jawabannya adalah, memang benar kesehariannya yang dihabiskan belakangan ini tidak di pertanian, pangan tersebut merupakan simpanan masyarakat, yang secara swadaya disisihkan. Kemudian, aktisvisme dalam penolakan pabrik semen, menurut Sukinah, itu merupakan suatau keharusan bagi penduduk Gunem Rembang. Bila tidak menolak maka alam akan dirusak. Dan mengapa perempuan menjadi tokoh atau lakon yang diperankan sebagai simbol perlawanan? Hal itu didasari pada anggapan bahwa apabila ibu-ibu sudah keluar dari dapur, maka hal itu menandakan bahwa sudah keadaan gawat. Dan, ditambahkan oleh Sukinah, alam itu adalah ibarat Ibu kita sendiri. “Jadi, menyakiti alam adalah menyakiti Ibu kita,” katanya. Bicara tentang pengetahuan, antara perempuan dalam kebudayaan Indonesia yang masih Androsentris9 dan Feodal, representasinya; dari mana kita bergerak dan untuk siapa. Dalam wacana ilmu sosial, sejarah pembangunan ilmu pengetahuan adalah ajang pergulatan wacana, mereka dikumpulkan, dianalisis, dan disimpulkan berdasarkan kacamata rezim ilmuwan yang androsentris: berpusat pada laki-laki.10 Ketika rumusan pengetahuan tersebut kemudian dipergunakan sebagai 7 Saras Dewi, ibid. hal.17 8 Saras Dewi, ibid. hal.16) 9 Kata ini diperkenalkan oleh F.Ward dalam bukunya Pure Sociology, terbit tahun 1903. Menurut Lester, ‘’ Teori androsentris melihat jenis kelamin laki-laki sebagai yang terpenting dan perempuan no dua. 10 Saparinah Sadli dkk, ibid. hal. 9

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 57


acuan untuk membaca gejala-gejala yang tampak dalam hidup sehari-hari, maka tampaklah kesenjangan menyolok antara kelompok laki-laki dan perempuan.11 Tidak hanya tentang konsep yang ditawarkan oleh Androsentris, kini konsepnya juga dibarengi kuasa, yang biasanya menjadi pemilik kuasa selalu berkutat pada pemimpin laki-laki. Budaya Patriarki, yang berpusat pada laki-laki. Padahal bila kita menilisik dengan penelitian di daerah lain, di mana perempuan menjadi korban utama dalam Pembangunan, baik pertambangan ataupun Industrialiasasi, perempuan-perempuan di sekitar areal pertambangan (sebut Rembang) harus tergusur dari wilayah kelolanya. Dampaknya, terjadi pemiskinan terhadap perempuan yang mengakibatkan perempuan harus menggantungkan hidupnya pada anggota keluarga yang lain.12 Hal, ini sangat berkorelasi dengan masyarakat Rembang, di mana perempuan bertindak sebagai pengelola di ladang ataupun di sawah. Artinya kemudian, ruang-ruang perempuan pun berpotensi menjadi hilang. Ruspini dalam Longitudinal Research in the Social Sciens, menemukan bahwa kemiskinan struktural yang menyebabkan ketergantungan, pegabaian sosial (social exlussion), dan ketiadaan akses dalam perubahanperubahan sosial, berakar pada 3 sistem utama yaitu:13 Pertama, dalam ruang privat rumah tangga. Kekuasaan dalam rumah tangga dan keluarga serta kaitannya dengan kontrol terhadap sumber keuangan dan partisipasi perempuan dipasar kerja. Umumnya, laki-laki atau suami memiliki akses yang lebih besar terhadap dunia kerja sementara perempuan lebih diarahkan untuk mengelola sektor keluarga yang “tidak produktif �. Hasil berbagai penelitian, ditemukan banyak fakta bahwa, kemiskinan pun tidak dibagi secara biasanya menyerahkan pengelolaan keuangannya pada perempuan, sementara keuangan keluarga dengan kemampuan ekonomi yang baik selalu berada dibawah kontrol laki-laki. Studi yang lain menunjukkan, perempuan yang memiliki beban pembagian bagi anak-anak atau anggota keluarga yang lain dalam mengkonsumsi sisa-sisa pembagian tersebut. Tak mengherankan jika kualitas hidup perempuan lebih buruk dari laki-laki dalam keluarga. Kedua, dalam pembagian kerja secara seksual (sexual division of labour) ketika perempuan lebih banyak mengerjakan tugas-tugas yang tersembunyi dan tidak dibayar. Mereka adalah kelas kedua dalam susunan pasar kerja. Sementara kehidupan perempuan dibentuk oleh tanggung jawabnya terhadap keluarga baik ketika melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dibayar maupun 11 Ibid. 12 Haris Retno dkk, Jurnal Perempuan; Perempuan di Pertambangan, (Yayasan Jurnal Perempuan; Jakarta Selatan, 2003) hal. 7-8. 13 Haris Retno, ibid hal 11

58 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

tidak. Itulah sebabnya, perempuan tetap terbebani oleh tanggungjawab moral untuk mendedikasikan hasil kerjanya pada keluarga. Dan, terakhir, globalisasi. Dampak negatif globalisasi adalah terbentuknya sistem ekonomi yang terintegrasi dalam sebuah pasar dunia. Sistem ekonomi menjadi lebih banyak mengabaikan program-program kesejahteraan, mengurangi pengeluaran-pengeluaran untuk kemaslhatan publik, dan menekan biaya kesejahteraan keluarga yang berakibat pada beban-beban tambahan bagi perempuan.14 Menurut penulis, Ada beberapa poin yang menjadi syarat utama untuk melakukan pembangunan. Hal ini merupakan syarat mutlak agar suatau pembangunan dapat terarah pada manusia seharusnya menerapakan tiga prinsip15. Pertama, pembangunan harus menghormati hak-hak asasi manusia. Dengan hak-hak asasi manusia karena martabatnya, dan bukan karena pemberian masyarakat atau negara. Dalam hak-hak itu terumus segi-segi kehidupan seseorang yang tidak boleh dilanggar karena ia seorang manusia. Hak-hak asasi merupakan sarana perlindungan manusia terhadap kekuatan politik, sosial, ekonomis, kultural, dan ideologis yang akan melindasnya kalau tidak dibendung. Maka, hormat terhadap hak-hak asasi manusia merupakan prasyarat agar pembangunan tetap berperikemanusiaan dan beradab. Dan kemudian, penghormatan terhadap hak asasi manusia tentulah sangat partikural atau dengan pendekatan kultural. Dengan demikian, pendekatannya tentulah memperhatikan hak-hak masyarakat minoritas dan kemudian penghormatan terhadap kaum perempuan, dan pandanganya bukan lagi penempatan, tetapi sudah masuk pada partisipasi perempuan dalam perumusan masyarakat yang dicitakan. Kedua, pembangunan harus demokratis dalam arti bahwa arahnya ditentukan oleh seluruh masyarakat. Pola demokrasi pembangunan merupakan implikasi penentuan manusia sebagi tujuannya. Apabila manusia kongkret betul-betul menjadi tujuan pembangunan, pembangunan harus direncanakan dan dilaksanakan bersama dengan segenap masyarakat. Tidak mungkin ditentukan dari atas saja. Bertanya pada masyarakat apa yang diinginkan merupakan unsur konsitutif dalam proses pembangunan. Proyek-proyek pembangunan tidak didrop dari atas saja melainkan direncanakan bersama dengan seluruh desa, sesuai dengan keinginan dan harapan desa itu sendiri. 14 Imam Cahyono dkk. Jurnal Perempuan; Mengurai Kemiskinan, Dimana Perempuan? ( Yayasan Jurnal Perempuan; Jakarta Selatan, 2005), hal. 119-120 15 Hal ini dikemukan oleh Frans Magnis Sususeno, Kuasa dan Moral; Etika Pembangunan, (Gramedia Pustaka; Jakarta) 2000. Hal. 46-47


| ARTIKEL LEPAS | kebenaran akan bisa dicapai. Kemudian, jika bertolak dari paradigma Samir Amin- Development of underdevelopment atau apa yang oleh Robert Chambers disebut sebagai putting the last first (mendahulukan yang terkahir), paradigma ini menempatkan kelompok yang paling rentan, yakni kaum perempuan, anak-anak, dan manusia lanjut usia, pada kedudukan yang istimewa. Artinya, memberikan prioritas kepada kelompok tersebut untuk mengembangkan diri dan keluarganya agar kelak mereka dapat terbebas dari ketidakberdayaan, kemiskinan, kebodohan, dan lain sebagainya. Ini merupakan pilihan bijak, karena sesungguhnya kemiskinan yang mendera lebih dari satu milyar manusia itu sebagaian besar dirasakan oleh kaum perempuan.16 Maka, para pengembang ataupun kaum pemilik modal, dengarkanlah suara perempuan dan janganlah sesekali berkata dapat memahami alam, bila tidak memiliki relasi dan pengalaman terhadap alam.

DAFTAR PUSTAKA Ketiga, prioritas pertama pembangunan harusnya menciptakan taraf minimun keadilan sosial. Kalau kedua syarat diatas sudah dapat diterapkan, makan keadilan sosial termasuk sasarannya. Secara singkat, kalau pembangunan mempunyai tujuan untuk menciptakan prasarana-prasarana kesejahteraan segenap anggota masyarakat, maka prasarana-prasaran itu pertama-tama harus diciptakan bagi mereka yang paling lemah. Itulah yang dituntut oleh keadilan sosial.

KESIMPULAN Masyarakat Rembang telah memulianya, Kartini Rembang tetap melawan perusak alam. Kendeng telah menawarkan pemahamannya terhadap alam. Sebagaimana seharusnya bersikap pada alam, telah ditawarkan. Pemakanaan terhadap alam dapat lahir dari dekatnya kita kepada alam. Tawarannya adalah, pengalaman sebagai subjek dengan objek; atau lahir dengan kedekatan terhadap alam. Mustahil rasanya dapat memahami alam tanpa adanya kedekatan dengan alam. Dengan demikian, tawaran masyarakat Rembang sudah jelas, yakni menjaga relasi dengan alam. Sebab perubahan dalam sebuah pembangunan tentulah akan sangat berdampak pada masyarakat itu sendiri, yakni ketika lahan pertanian berubah menjadi lahan pertambangan. Maka, seharusnya pembangunan yang dicitacitakan adalah menjadi Rembang yang dulu. Artinya, menempatkan Rembang dengan standar pencapaian masyarkat yang dicita-citakan. Dan, mengapa perempuan menjadi penting? Karena, meminjam istilah Rocky Gerung, ketika perempuan sudah berkata, maka

Haris Retno dkk, Jurnal Perempuan; Perempuan di Pertambangan, (Yayasan Jurnal Perempuan; Jakarta Selatan, 2003). Imam Cahyono dkk. Jurnal Perempuan; Mengurai Kemiskinan, Dimana Perempuan? ( Yayasan Jurnal Perempuan; Jakarta Selatan, 2005). Saparinah Sadli, dkk. ‘’Jurnal Perempuan, Pengetahuan Perempuan’’, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2006). Saras Dewi, Ekofenomenologi:Mengurai disekuilibrium relasi manusia dengan alam, ( Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2015). Magnis Frans Sususeno, Kuasa dan Moral; Etika Pembangunan, (Gramedia Pustaka; Jakarta, 2000).

Biodata penulis Samuel Bona Tua Rajagukguk, lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Saat ini aktif berkegiatan di Lembaga Bantuan Hukum Semarang. Email: samuelrajagukguk242@gmai.com.

16 Murniati Ruslan, ‘’ Pemberdayaan Perempuan Dalam Dimensi Pembangunan Berbasis Gender, makalah tidak terbit, 2010.

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 59


| SOSOK

Merangkum hidup Soesilo Toer memang bukan perkara mudah. Jalan hidupnya teramat panjang. Ialah penulis yang telah melampaui empat zaman. Di usia yang telah memasuki 79 tahun, penampilannya jauh dari kesan lelaki tua yang renta. Ingatannya tajam. Perkataannya lugas. Ia bukan hanya dapat mengingat dengan rinci setiap pengalaman yang telah dilaluinya, tapi juga mengisahkannya dengan baik: dari menjadi juru ketik Bahasa Belanda, sampai kuli di Siberia. Di bawah rezim Soeharto ia pernah dijeruji dengan tuduhan komunis. Dan seperti kebanyakan korban politik pasca 1965, ia tak pernah diproses di pengadilan. Rabu malam, 15 Juni 2016, di rumahnya yang sunyi, adik kandung sastrawan Pramoedya Ananta Toer ini membuka lembaran-lembaran hidupnya kepada Hayamwuruk.

Soesilo Toer &

DERMA SEPIRING NASI

R

UANGAN seluas 5x4 meter persegi itu disesaki buku. Sebagian berjejer rapi, lainnya bertumpuk tak tertata. Temboknya penuh dengan berbagai gambar dan foto berbingkai. Ada Kartosoewirjo, Soekarno, Samin Surosentiko, dan

60 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

lain-lain. Di samping meja baca yang menghadap langsung ke jendela, seorang laki-laki meluruskan punggungnya di kursi. Cahaya di ruangan begitu suram, tapi kami masih bisa melihatnya cukup jelas. Ia berkaos putih bergam-

bar, dan mengenakan sarung sebagai bawahan. Rautnya keras. Rambutnya putih tak tersisir. Sesekali helaan nafasnya terdengar. “Itu Optima. Hadiah Pram buat adiknya supaya orangnya optimis,� katanya sambil menunjuk sebuah mesin tik tua.


Laki-laki itu adalah Soesilo Toer. Kami menemuinya di PATABA, perpustakaan yang ia bangun di jalan Sumbawa 40, Jetis, Blora, pada suatu malam. Letaknya agak menyamping dan menyatu dengan bangunan rumah yang dibangun di atas tanah seluas 3.250 meter persegi. Diberi nama PATABA—akronim dari Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa—untuk mengenang almarhum Pram, kakak kandungya. Soesilo Toer lahir di Jetis, Blo-

ra pada 17 Febuari 1937. Ketika umurnya masih belasan, atas ajakan Pram, ia pindah ke Jakarta bersama beberapa saudaranya yang lain. Tapi di Jakarta, hidupnya ternyata tak seperti yang diiming-imingkan oleh sang kakak. “Dulu, Pram ngajak ke Jakarta bertiga. ‘Kamu nanti saya sekolahkan dari mister-mister, dokter-dokter.’ Tahu-tahu tuh sebulan cuma dikasih uang 10 rupiah. Sisanya? Cari sendiri,” kenangnya. Maka, untuk mencukupi kebutu-

han dan biaya pendidikannya ketika itu, ia mulai bekerja sebagai penulis. “Tadinya disuruh jadi tukang jual rokok, tapi tukang jual rokok di Jakarta kan sudah dimiliki orang-orang Betawi... Mau jaga sepeda, juga sudah dikuasai orang Betawi. Kemana lagi? jalan satu-satunya ya nulis,” katanya. Sejarah kepenulisan Soesilo Toer teramat panjang. Ia telah mengerjakan berbagai tulisan sejak usia 13 tahun, mulai dari cerpen hingga nasihat perkawinan. Hingga kini, tak

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 61


| SOSOK terhitung lagi berapa jumlah karyanya yang telah terbit, baik di media massa maupun dalam bentuk buku. Ia juga pernah bekerja sebagai redaktur di majalah IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) bersama Emil Salim dan Mahbub Junaidi. Kegemarannya membaca buku membuatnya memiliki banyak bahan untuk ditulis. Sebuah buku berjudul “Hectormelot” karya Sugiarmo yang ia pinjam dari perpustakaan Pram, merupakan salah satu yang paling berpengaruh dalam dunia kepenulisannya. “(Buku, red) itu menceritakan seorang anak kecil yang dijual kepada pemain monyet keliling. Zaman itu, saya dapat bahan cerita dari situ. Semacam ide lah,” kenangnya. Suatu ketika, pernah ia menulis tentang keluarga Pram. Tulisan itu dimuat di Lembar Indonesia, koran pimpinan HB. Jassin, dengan honor tertinggi. Oleh Pram, tulisannya lalu dibilang bagus, “pendek-pendek kayak Thomas Man, padat kayak Gorky.” Tapi sayang, tak lama kemudian kakak sulungnya itu meradang, karena merasa dikritik. “Kamu ngritik saya ya? Kalo kamu nggak suka, pergi kamu dari rumah!” kata Pram seperti dikisahkannya. Dalam kesusastraan, nama Soesilo Toer memang tak sementereng Pram, tapi pengalaman dan pengetahuannya dalam banyak hal boleh jadi melampaui sang kakak. Ia pernah menempuh master ekonomi dan politik di universitas Patrice Lumumba dan meraih gelar doktor untuk bidang yang sama di Institut Plekhanof, Uni Soviet (sekarang Rusia) pada kurun 1962-1971. Hal itu tentu bukan perkara mudah. Untuk meraih gelar doktor saja, ia mengatakan disertasinya harus diujikan di empat perguruan tinggi. “Kalo cuma satu gak akan dikasih. Gak akan lulus saya,” ujarnya. Makanya, ia sempat marah ketika disertasinya—Republik Jalan Ketiga—oleh seorang wartawan di-

62 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

anggap menjiplak “The Third Way”, karya Antony Giddens. “Giddens bicara masalah sosiologi, saya bicara masalah ekonomi, kan beda. Dia nulis tahun 80, saya nulis tahun 67, kok saya jiplak?” Pada sebuah wawancara yang dimuat di harian Suara Merdeka, dirinya menjelaskan bahwa disertasi tersebut merupakan kritik sekaligus sintesis dari sosialisme dan kapitalisme. Menurutnya, kedua ideologi itu tidak harus berseberangan tetapi saling menguatkan. Karena tujuannya sama: menyejahterakan. Jika sosialisme menekankan pembangunan masyarakat dari industri ringan ke berat, sedangkan kapitalisme sebaliknya, maka jalan ketiga yang ia tawarkan adalah melalui industri lokal yang sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas wilayahnya. Ia mengambil contoh Cina dan Rusia sebagai negara sosialis yang menerapkan sistem kapitalistik—dengan memberlakukan zona ekonomi bebas. Sebaliknya, ia mengatakan, Amerika dan negaranegara Skandinavia yang mengelola ekonomi industri secara kapitalistik, justru memberlakukan sistem sosialis dalam distribusi pendapatan, misalnya lewat jaminan sosial, kemudahan mengakses pendidikan, pelayanan kesehatan, dan lain-lain. Lebih lanjut, dalam kritiknya, ia mengatakan bahwa kapitalisme telah berkhianat dan berubah menjadi

seperti di Indonesia, tapi diajak kerjasama.” Sebab jika tak diperbaiki, lanjutnya, kapitalisme tak ubahnya sedang “menggali kuburnya sendiri.” Sebelum berangkat ke Rusia, Soesilo Toer menyelesaikan pendidikannya di Akademi Keuangan di kota hujan, Bogor. Saking semangat-

Soesilo Toer percaya bahwa kata-kata Buddha telah berlaku dalam hidupnya: berbuatlah darma, dan anda akan dibimbing oleh darma itu seumur hidup. imperialisme lantaran mengabaikan kesejahteraan, memberlakukan jam kerja lebih panjang, mengurangi pendidikan, dan sebagainya. Namun kini hal itu disadari oleh orang-orang kapitalis. “Makanya di Amerika itu ada orang-orang kiri. Dibiarkan mereka. Bukan dimusuhi

nya, waktu itu ia bahkan juga sempat menjadi mahasiswa Universitas Indonesia (UI) dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta, serta mengambil pendidikan nonformal: kursus perbukuan. “Di UI dulu satu tahun, terus di IKIP. Dulu


Kediaman Soesilo Toer di jalan Sumbawa 40, Jetis, Blora, Jawa Tengah

namanya B1, terus berubah jadi IKIP. Sekarang kan jadi universitas negeri kan,” ucapnya. Di Rusia, Soesilo termasuk mahasiswa yang unggul. Ia menyelesaikan tesisnya lebih cepat setengah tahun dari tenggat waktu yang ditentukan universitas. Padahal, ia merupakan salah satu yang datang terlambat saat permulaan tahun ajaran baru. Ia sampai di Rusia pada akhir oktober, sementara kuliah telah berjalan sejak memasuki September. “Mereka sudah cas cis cus, saya masih ngowoh aja, enggak ngerti. Jadi saya paling terbelakang waktu itu. tapi ternyata waktu akhir tahun pelajaran, saya paling duluan ujian.”

PASCA 1965 SEBELUM G30S meletus, Soesilo Toer dan anak-anak Indonesia lainnya merupakan anak emas di kam-

pus Lumumba. Ia menceritakan, seorang tokoh Rusia bernama Kursov yang pernah berkuliah di Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, telah membangun kampus itu karena melihat antusiasme orang Indonesia yang besar terhadap pendidikan. “Tapi ketika 65 terjadi, kita dari anak emas jadi anak tiri,” kata Soesilo. Sejak itu, dengan seketika polarisasi terjadi di kalangan mahasiswa Indonesia. Suasana memanas, terlebih setelah dicabutnya paspor para mahasiswa Indonesia yang dianggap “kiri” atau simpatisan Soekarno. Soesilo sendiri sebenarnya bukan golongan manapun, “Saya orang netral,” ujarnya. Tapi tiba-tiba saja, oleh rezim Soeharto paspornya juga ikutan dicabut. Hal itu, menurutnya, salah satunya karena waktu itu ia tidak mengikuti tahlilan untuk mengenang para jendral yang terbunuh di Jakarta. Sebabnya sepele: ia tidak

menerima surat undangan acara tersebut. Selain itu, barangkali lantaran seorang bernama Tantyo yang merupakan keponakan Njoto, wakil ketua CC PKI, pernah mendatangi kamarnya pada suatu malam. “Tantyo itu bawa ajudannya Aidit ke kamar. Saya sendiri gak kenal. Datang bawa apel sekilo, ngobrol. Apa maksudnya ini? Nah itulah, kemudian saya dituduh pro Cina, karena Aidit kan pro Cina.” Setelah tak memiliki paspor, anak ketujuh dari sembilan bersaudara keturunan Mastoer itu lalu mencari suaka ke pemerintah Rusia. Dan ketika masa studinya selesai, agar bisa kembali ke Indonesia, Soesilo wajib melapor selama dua tahun seperti mantan narapidana. Setelah itu, baru ia mendapat paspor Indonesia dengan masa berlaku tiga bulan. Ia mengakui, dalam tempo tiga bulan itu, sebenarnya ia bisa saja pergi dan menetap di Belanda. Apalagi, secara historis, sebenarnya ia merupakan warga negara Belanda— Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia pada 1947, sehingga orang Indonesia yang lahir sebelum tahun tersebut dianggap sebagai warga negara Belanda—tapi ia menolak. “Dulu saya masuk Trikora mau ngelawan Belanda, kok sekarang ngemisngemis di sana? kan kayak apa rasanya. Makanya saya enggak mau. Saya pilih pulang.” Tahun 1973, pesawat sipil bernomor PU114 yang membawanya pulang mendarat di Bandara Internasional Kemayoran. Ia ingat betul ketika baru mendarat saat itu, ia langsung dibekuk oleh beberapa petugas dan digiring ke tempat penahanan. Di antara para petugas itu, ia mengenali wajah salah satu teman sekampusnya di Lumumba. Belakangan, saat meraka bertemu dalam acara perkumpulan lulusan Rusia, sang temannya itu mengaku kalau dirinya terpaksa melakukan hal tersebut “ya kalo saya gak nangkap kamu ya, saya

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 63


yang ditangkap,” katanya. Tapi baginya, tak pernah ada bara dalam sekam. Bahkan di masa Orde Baru, meski telah berkali-kali dimangsa tuduhan dan prasangka, ia tetap pasrah dan bersikap biasa. “Jadi semua yang merendahkan saya, saya nikmati sebagai kekuatan,” ucapnya. Misalnya, ia bercerita, suatu waktu di tahun 1998, ia pernah disoraki orang-orang dengan nada hinaan “PKI-PKI...” Hal itu terjadi ketika tanah negara yang ia manfaatkan sebagai taempat usaha di Bekasi, hendak dijual oleh Lurah setempat. Awal ceritanya bermula saat Kementerian Pekerjaan Umum memperbolehkan masyarakat untuk memanfaatkan tanah-tanah negara yang terbengkalai. Soesilo kemudian menggambil satu lokasi di daerah Bekasi, namun, menurut tradisi di tempat itu, hak pakai tanah diberikan kepada orang yang tinggal atau memiliki tanah bersebelahan dengan tanah yang terbengkalai itu. Mau tak mau, akhirnya Soesilo bekerjasama dengan lurah di daerah tersebut. Tapi pada suatu waktu, lantaran membutuhkan uang, sang lurah lalu ingin menjual tanah tersebut dan membatalkan perjanjian secara sepihak. Ia meminta Soesilo untuk pindah, tapi permintaan itu ditolak oleh Soesilo. Adu mulut terjadi dan orang-orang pun berkerumun menyaksikan peristiwa emosional itu. “Becak, taksi, semua pada berhenti. Mereka nonton, dengerin. Ya kalau dia bilang gua pukul terus mukul, kan malu sendiri orangnya. Dia gede saya kecil. Ya kan? Hitung aja pakai psikologi. Terus dibawa ke (kantor) RW, kira2 jalan 100 meter.. Ooh disoraki itu. PKI, hore... PKI!” kisahnya.

SEPIRING NASI CERITA lainnya datang dari seorang bernama Chan Chen Pui. Ketika itu, Soesilo masih dipenjarakan di daerah Kebayoran Lama. Selama

64 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

hampir enam tahun, berangsurangsur statusnya meningkat dari tahanan isolasi hingga kepala blok. Kerjaannya adalah mencuci piring dan mengisinya dengan nasi untuk para narapidana. Sementara Chen yang datang dari Kalimantan entah bagaimana suatu waktu mengalami kelaparan. Soesilo lalu membantunya mencuci piring sehingga Chen bisa mendapatkan sepiring nasi untuk sarapan. Uniknya, sepiring nasi ini kemudian menjadi darma yang sangat berarti dalam hidupnya hingga sekarang. Ketika bebas dari penjara, pada suatu hari secara tak sengaja mereka kembali bertemu. Soes yang ketika itu tak memiliki pekerjaan lalu ditawari oleh Chen untuk menjualkan produk dari pabrik buku tulis di daerah Grogol. Seketika, tawaran itu lalu diterima. Selama setengah tahun, ia kemudian bekerja sebagai penjual buku dan berbagai alat tulis. “Saya pernah jualkan satu gudang map. 220.000 map. Ditawarkan pada saya 23 rupiah, saya jual laku 28 rupiah. Tak hitung lagi untung satu juta.” Dari hasil penjualan itu, ia pun dapat membeli beberapa meter tanah di Bekasi dan Bogor. Ia lalu mempercayai bahwa kata-kata Budha telah berlaku dalam hidupnya: berbuatlah darma, dan anda akan dibimbing oleh darma itu seumur hidup. “Jadi saya hidup dari 1980 sampai sekarang itu dari sepiring nasi, karma saya sepiring nasi pada orang tionghoa tadi,” ungkapnya. Selain pekerjaan tadi, semasa hidupnya Soesilo geluti telah menggeluti banyak pekerjaan: dari juru ketik Bahasa Belanda sampai kuli di Siberia. Yang disebut terakhir itu, ia lakukan ketika libur musim panas di Rusia. Ia bersama timnya yang berjumlah tiga puluh orang mengambil proyek pembangunan rel kereta Trans-Siberia yang dicanangkan pemerintah Uni Soviet itu dalam tempo dua bulan.

“Kami ambil proyek membetulkan rel kereta api trans Siberia. Rel kereta api terpanjang di dunia, dari Moskow sampai Hanoi, Vietnam. Iya, Vietnam. (Perjalanan MoskowHanoi) Naik kecepatan kereta api seratus kilo per jam itu setengah bulan. Bayangin aja!” Ia juga pernah menjadi dosen di Universitas 17 Agustus, Jakarta. Kepada Hayamwuruk bahkan, ia mengaku pernah menjadi Rektor, singkatan dari ngorek yang kotor-kotor. “Jadi dosen kan budak saya, harus berangkat tepat waktu, pulang tepat waktu, nggak enak. Jam 12 saya keluar nanti malam, tahu mas? Cari sampah, santai. Kalo mau makan enak ya kerja yang keras, gitu aja kok. semua pekerjaan mulia buat saya, bentuknya apapun yang penting kerja yang menciptakan nilai tambah atau nilai lebih,” ungkapnya. Kini, pekerjaan itu ia lakoni hampir tiap malam selama sekitar dua jam. Sesekali pula ia menjual hasil ternak yang ia pelihara di halaman rumahnya yang luas. Untuk lelaki seumurannya, Soesilo masih jauh dari kesan lelaki tua yang renta. Apalagi dengan embel-embel ringkih. Bersama anak semata-wayangnya, Bene Santoso, ia masih suka berpergian ke luar kota—Jogja, Magelang, Semarang dan sebagainya ia tempuh dengan mengendarai sepeda motor. Di akhir wawancara, adik bungsu Pram ini mengatakan bahwa salah satu obsesinya adalah hidup lebih lama dari sang kakak. “Saya dulu sama pram bedanya kan 12 tahun. Pram meninggal umur 81, sekarang saya 79, sebentar lagi 80. Tingal satu lompatan lagi kan? Walaupun cuma satu hari Pram harus saya kalahkan dalam umur, itu obsesi saya.” Jika telah mencapai umur seratus tahun, “saya mau panen jati,” lanjutnya sambil terkekeh. | Hendra Friana, Fia El Milla F, Pipit M


BUDAYA |

“Faraway So Close”, Semarang Contemporary Art Gallery, April 2013

S

WAJAH PERUPA MUDA SEMARANG

emarang itu biasa-biasa saja, Semarang tidak pernah telihat mencolok dibandingkan dengan kota besar lainnya. Semarang ya Semarang: lunpia, Tugu Muda, Lawang Sewu. Semarang ya begini ini, Semarang atas panas, Semarang bawah banjir. Begitulah kesan masyarakat kebanyakan ketika ditanya soal Semarang. Agaknya memang Semarang tidak pernah terlalu terlihat “bombastis” jika dibandingkan kota besar lainnya di Indonesia. Semarang lebih dikenal sebagai kota dagang dengan adanya pelabuhan Tanjung Emas yang pastinya sangat meng-

giurkan bagi kapal-kapal dagang asing untuk singgah. Infrastruktur dan letak Semarang yang strategis seolah melambai-lambai pada pada investor untuk datang. Namun bagaimana soal keseniannya? Selama ini jika berbicara mengenai kota seni maka tersebutlah kota-kota seperti Jogja, Bandung, dan Jakarta. Semarang sendiri tidak terlalu dikenal sebagai kota seni. Mungkin karena kesenian Semarang memang kurang berkembang, sehingga tidak terlalu terlihat. Anak mudanya tidak terlalu peduli soal seni karena pelaku seni yang tersisa sudah berangsur tua sehingga anak

mudanya memilih untuk nongkrong saja dengan anak muda lainnya. Tapi benarkah demikian? Bagaimana jika keadaan ini kita balik, bahwa kesenian Semarang tidak terlihat karena kita saja yang tidak terlalu mau menoleh untuk melihatnya? Semua dari kita tentu ingat Dora, gadis petualang berransel ungu tersebut selalu bertanya “apa kalian melihat Swiper?” tanpa mau menoleh sekeliling hingga dia akan bertanya kembali “dimana? Aku tidak melihatnya”. Barulah saat ia menoleh dan mengetahui bahwa Swiper benar-benar sedang ada di sekitarnya dia akan terkejut. Sama

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 65


halnya dengan masyarakat Semarang, kita mungkin selalu bertanya mengenai keberadaan kesenian di Semarang tanpa mau mencari tahu, namun saat kita mengetahuinya nanti barulah kita akan terkejut dan mungkin dapat ikut berbangga atas kesenian Semarang atau bahkan ingin terlibat didalamnya. Lirihnya gema seni rupa di Semarang juga dipengaruhi oleh klaim bahwa Semarang adalah kota dagang. Sama halnya dengan pohon yang tertutupi oleh pohon lain karena ukurannya yang kalah besar, kesenian Semarang tidak terlalu terdengar karena deru perdagangan di kota Semarang lebih bising dibanding kegiatan lainnya di Semarang. Gedung kesenian tertutupi dengan pusat perdagangan dan industri. Namun klaim ini jika dapat disikapi dengan bijak, maka klaim tersebut tidak menjadi halangan melainkan kekuatan untuk seni rupa Semarang. Dengan kekuatan dagang yang amat tersohor membuat Semarang menjadi kota yang menakutkan bagi kota-kota lain jika saja seni rupanya bangkit. “Orang-orang luar Semarang ketakutan kalau seni rupa Semarang maju, karena dengan Semarang punya kekuatan dagang, kalau Semarang bangkit semua kota bisa kalah”, ucap Eko Tunas, seorang pelaku dan kurator seni asal Semarang ini dengan bersemangat. Tak banyak yang tahu bahwa di Semarang terdapat galeri seni rupa bertaraf internasional yang terletak dikawasan kota lama bernama Semarang Contemporary Art Gallery. Dibangun sejak tahun 2001, galeri seni kontemporer ini telah banyak memperkenalkan seniman seniman muda. Pada tahun 2008 letaknya dipindah di daerah kota lama, tepatnya di Taman Srigunting. Pemiliknya adalah seorang pemuda Semarang bernama Chris Darmawan. Tak dipungkiri galeri dengan arsitektur jaman kolonialisme Belanda ini letaknya memang sedikit terse-

66 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

mbunyi, namun siapa sangka, di tempat tersebut sudah banyak terselenggara pameran ataupun seminar seni rupa yang banyak mengundang perupa ulung baik dari negeri sendiri maupun luar negeri. Seperti pada bulan April 2014, di galeri ini terselenggara pameran Indonesia Press Photo Service atau IPPHOS. Pameran ini bercerita mengenai sejarah Indonesia melalui fotografi. Sesekali luangkanlah waktu untuk berjalan-jalan menyusuri bagian kota lama yang agak tersembunyi ini, letaknya di dekat taman Gereja Blenduk, sedikit masuk ke jalan samping taman dan akan terlihat gedung putih bergaya kuno dengan keadaan yang terawat bertuliskan Semarang Contemporary Art Gallery. Keadaan di dalamnya masih sangat tertata dan tentu saja banyak karya seni rupa yang dapat dinikmati. Sayangnya, belum banyak masyarakat mengetahui bahwa kotanya memiliki galeri seni rupa seperti ini. Mungkin kepedulian akan seni rupa bisa dimulai dari menyorot keberadaan galeri ini sehingga masyarakat dapat melihat dan berbangga. Sebenarnya ada banyak seniman besar yang berasal dari Semarang, hanya saja memang untuk orang yang tidak bergelut dalam dunia seni rupa akan kurang mengenal namanama perupa Semarang. Hal ini mungkin juga didasari oleh ciri dan sifat dasar para seniman Semarang seperti yang Eko Tunas lontarkan. “Yang orang tanyakan kan popularitas, sementara ciri seniman Semarang adalah low profile dan pemalu serta tidak gila popularitas.” Di kota yang menjadi ibukota provinsi Jawa Tengah ini banyak potensi yang bisa digali dalam bidang seni rupa, karena Semarang bagaikan “melting pot” dimana budayabudaya luar daerah masuk dan saling mempengaruhi sehingga terjadi asimilasi yang anggun. Seperti terlihat pada pasar semawis, pecinan Semarang dikatakan sebagai pecinan

terbesar di Indonesia, beberapa budaya Tionghoa juga mempengaruhi kebudayaan Jawa. Budaya Jawa juga mendapat pengaruh dari kebudayaan Arab, bahkan budaya Arab dan Cina juga ber-asimilasi di sini. Semarang dengan latar belakang sejarahnya yang kuat juga bisa menjadi modal yang baik dalam dunia seni rupa. Karena hal-hal tersebut tadi dapat menjadi kekuatan, ciri khas, maupun inspirasi tersendiri bagi para pelaku seninya, terlebih lagi pemudanya yang tentu dapat lebih berkembang dengan ide-ide segar dan bebas. Eko Tunas menuturkan bahwa pemuda dapat menjadi kunci geliat seni rupa di Semarang. Selain karena pemuda dapat memberi pengaruh besar, dalam hal eksplorasi seni pemuda mengalami pembebasan yang mempengaruhi munculnya gaya seni rupa baru seperti dalam seni rupa mural, fashion, desain maupun kreatifitas yang tampak pada seni digital. Pemuda juga merupakan generasi yang menguasai teknologi sehingga seni rupa dapat lebih berkembang lagi tanpa dibatasi ruang dan waktu. Aryo Sunaryo, seorang dosen seni rupa Unnes ketika ditanya mengenai perkembangan seni rupa

Lirihnya gema seni rupa di Semarang juga dipengaruhi oleh klaim bahwa Semarang adalah kota dagang. di Semarang dan regenerasinya, beliau banyak menyarankan komuni-


BUDAYA | rupa di Semarang sangat baik, terlebih lagi regenerasinya. Banyaknya komunitas seni rupa menunjukan keragaman, bahwa seni rupa di Semarang tidak hanya itu-itu saja tapi masing-masing komunitas memiliki khasnya sendiri. Ini juga dapat menjadi tolak ukur bahwa pemuda Semarang tidak pasif akan seni rupa. Pertunjukan wayang yang diadakan setiap malam Jum’at kliwon di Taman Budaya Raden Saleh pengunjungnya juga banyak yang dari kalangan pemuda. Jika saja kita mau menoleh dan lebih memperhatikan soal kesenian di Semarang maka sebenarnya kita akan melihat hal-hal besar di sana. Selama ini mungkin kita yang bertanya-tanya mengenai kesenian Pameran Indonesia Press Photo Service (IPPHOS di Contemporary Art Gallery Semarang.

tas seni rupa yang beranggotakan pemuda Semarang. Kebanyakan dari mereka berkembang seiring dengan perkembangan media sosial. Diantaranya adalah Kubu Rupo Art Genk, ORArt ORET, Semarang Urban Sketcher, Semarang Art Emergence (SAE), dan arsiSKETur. Masing-masingnya memiliki ciri khas masing-masing dan cara tersendiri dalam membangun seni rupa Semarang. Ada yang berkonsentrasi pada lukisan, sketch, patung dan berbagai hal. Awal tahun 2014 silam, Semarang Contemporary Art Gallery bekerja sama dengan arsiSKETur dan ORArt ORET menyelenggarakan pameran Sketsa Lanskap dan Bangunan Kota Lama Semarang. Tema ini diambil atas dasar bahwa menurut mereka gedung-gedung tua di kota Semarang menyimpan keindahan artistik tersendiri juga nilai sejarah yang mendalam. Pameran ini juga merupakan wujud apresiasi atas pemuda Semarang yang tekun melakukan sketsa gedung-gedung kuno di Semarang.

Ada pula komunitas seni rupa yang bisa dikatakan paling baru di kota Semarang, Lumpia Komik. Seperti namanya komunitas ini berfokus pada seni rupa berupa gambar komik. Anggotanya adalah para pecinta komik baik yang mahir menggambar ataupun yang sekadar menyukai komik. Sudah banyak karya yang ditelurkan dari komunitas ini, para anggotanya sudah banyak yang berkiprah dalam dunia komik lokal. Komunitas memang menjadi tempat untuk berkembang. Dalam komunitas, anggota yang kuat membantu anggota yang masih lemah sehingga mereka dapat berkembang bersama-sama. Setiap komunitas punya cara sendiri untuk menghidupkan seni rupa di Semarang. Pameran-pameran sudah sering dilakukan sebagai usaha untuk memasyarakatkan seni rupa di kota Semarang. Banyaknya komunitas seni di Semarang ini menggambarkan bukti bahwa sesunguhnya seni rupa di Semarang tidak seredup kelihatannya. Nyatanya perkembangan seni

“Orang-orang luar Semarang ketakutan kalau seni rupa Semarang maju, karena dengan Semarang punya kekuatan dagang, kalau Semarang bangkit semua kota bisa kalah,� -Eko Tunas di kota lunpia ini, dan kita yang menganggap kesenian di Semarang tidak berkembang adalah karena kita termasuk warga yang terbawa klaim Semarang sebagai kota dagang. Jangan-jangan kita saja yang tidak mau menoleh sementara banyak hal terjadi di belakang kita. Daripada menunggu hal yang bombastis dulu untuk membuat kita menoleh, akan lebih baik kalau kita ikut berkembang dan menjadi bagian atau paling tidak saksi dari hal bombastis berikutnya yang akan terjadi. | Suci Rahayu

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 67


| JARING

Membentuk Sekolah Vokasi

Bukan Memadamkan Nyala Lilin

D

I masa transisi ini, agaknya Universitas Diponegoro memang tengah menggebugebu. Setelah ditetapkan sebagai PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) pada 17 Oktober 2014, aktivitas para pejabat rektorat seperti tak pernah senggang menata birokrasi. Apalagi, setelah Peraturan Pemerintah No. 52/2015 tentang statuta “Berbadan Hukum” itu diteken oleh Presiden Jokowi. Perubahan Struktur dan Tata Kelola Organisasi dari PTN-BLU (Badan Layanan Umum) ke PTN-BH terus dikebut, baik di tingkat fakultas maupun universitas. Kamis, 1 September 2016 lalu, misalnya, Rektor Undip, Yos Johan Utama secara resmi melantik Imam Buchori sebagai Dekan Sekolah Vokasi pertama di Undip. Selain Buchori dari Fakultas Teknik, rektor juga melantik Ida Hayu Dwimawanti dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sebagai Wakil Dekan I, dan Agus Purwanto dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis sebagai Wakil Dekan II. Pelantikan itu, menurut anggota Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa, Yanfa’uni Ade, hanya berselang sehari setelah Senat Akademik mengadakan rapat pleno penetapan Sekolah Vokasi. Dalam statuta yang baru memang disebutkan bahwa sebagai PTN-BH, Undip mengelompokkan penyelenggaraan pendidikan menjadi tiga jenis: akademik, profesi dan vokasi. Adanya pengelompokan tersebut kemudian membuat pendidikan di tingkat fakultas terbatas pada penyelenggaraan program akademik

68 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

seperti Strata 1 (S1), Strata 2 (S2), Strata 3 (S3) dan program profesi mono-disiplin. Artinya, penyelenggaraan pendidikan lainnya harus dilaksanakan oleh unit di luar fakultas yang disebut dengan istilah Sekolah. Misalnya, penyelenggaraan pendidikan pasca-sarjana multidisiplin disebut Sekolah Pasca Sarjana, sedangkan untuk program vokasi disebut Sekolah Vokasi. Dari situlah kemudian, program Diploma III yang semula terintegrasi dengan fakultas dan merupakan jalur pendidikan akademik, mulai ditata kembali kelembagaannya dan berubah menjadi sebuah institusi bernama Sekolah Vokasi—jenjang pendidikan tinggi yang setara dengan Politeknik, namun tata-kelolanya masih dalam naungan universitas. Menurut Yanfa’uni Ade, secara keilmuan jenjang kedua program tersebut sebetulnya sama saja. Yang membedakan adalah: jika program Diploma III difokuskan pada orientasi pengembangan riset secara keilmuan, Sekolah Vokasi lebih kepada pengembangan pendidikan dan riset terapan. Sedangkan dalam hal struktur organisasi, ia menambahkan, baik Sekolah Vokasi maupun Sekolah Pasca-sarjana hanya dipimpin oleh Dekan dan dua Wakil Dekan. Tugas pokok dan fungsi dari masing-masing Wakil Dekan itu pun berbeda dengan yang ada di fakultas. “Kalau sekolah, baik itu sekolah vokasi maupun sekolah pasca, itu dia hanya punya dua wakil dekan: bidang kemahasiswaan sama wakil dekan sumber daya inovasi. Jadi yang satu tu kayak WD I, akademik kemahasiswaan digabung jadi satu.

(Kalau, red) kayak sumberdaya, inovasi, komunikasi diwakili oleh WD II,” katanya.

Harus Mampu Mandiri Mengubah Diploma menjadi Sekolah Vokasi memang tak semudah memadamkan nyala lilin: sekali tiup mati. Pasalnya, ada beberapa hal yang harus dipenuhi di antaranya tenaga pengajar, kurikulum hingga pengelolaan keuangan yang harus dilakukan secara mandiri.


Dalam hal tenaga pengajar “kita perlu dosen-dosen yang spesifikasi lulusannya bukan lulusan S1 riset, tapi memang S1-nya emang lulusannya vokasi�, komentar Ade. Selain alasan itu, menurutnya dosen-dosen yang mengampu vokasi saat ini belum tepat karena riwayat pendidikannya merupakan lulusan S1 dan S2 riset, jadi pemahaman mengenai dunia industri masih sangat kurang. Kemudian mengenai belum tepatnya penerapan kurikulum bagi DIII. Kurikulum yang dipakai

DIII selama ini hanyalah hasil dari pemendekan kurikulum S1. Padahal jika menganut standar kurikulum, seharusnya kurikulum yang dipakai Vokasi terdiri dari 30% teori dan 70% praktik. Terlihat sangat signifikan perbedaannya antara kurikulum fakultas dan sekolah. Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohammad Nasir pun turut menghimbau bahwa nantinya dosen-dosen Vokasi harus 50% berasal dari kalangan industri. Jadi, singkatnya Sekolah Vokasi ti-

dak terfokus pada laboratorium atau pun penelitian, melainkan kesiapan menghadapi dunia industri dengan keahlian-keahlian dalam bidang terapannya. Selain masalah dosen dan kurikulum, kemandirian program studi Diploma untuk lepas dari Fakultas asal pun perlu dipertanyakan kesiapannya. Sebagai anak sapihan fakultas, nantinya Sekolah Vokasi perlu meningkatan akreditasi beberapa jurusannya. Hal itu lantaran dari 21 jurusan, saat ini baru ada

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 69


| JARING lima yang berhasil mengantongi nilai A, sementara 12 jurusan lainnya terakreditasi B dan sisanya ada 4 jurusan yang masih menyandang status akreditasi C. Jika ingin diselaraskan dengan indikator PTN-BH yang mengharuskan memiliki sekurangkurangnya 80% jurusannya terakreditasi A, maka hal tersebut menjadi tugas yang serius bagi jurusan yang masih terakreditasi B dan C untuk meningkatkan nilai akreditasinya. Tak sampai di situ, kemandirian dalam hal pengelolaan keuangan dan administrasi juga merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Sekolah Vokasi. Hal itu dikatakan oleh Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Budaya, Undip. Sebab menurutnya mulai tahun 2017, semua tanggungjawab itu tidak lagi menjadi wewenang pihak fakultas. “Termasuk masalah keuangan, terhitung mulai tahun ini sudah dialihkan atau sudah menjadi tanggungjawab Sekolah Vokasi, Sedangkan yang angkatan lama, masih dititipkan di tingkat fakultas”, katanya kepada Hayamwuruk. Transisi administrasi dan keuangan Prodi dari fakultas induk ke Sekolah Vokasi memang perlu dilaksanakan sesegera mungkin agar tidak membingungkan mahasiswa yang mengurus administrasi akademik. Selain itu, Dekanat Vokasi bersama dengan Pimpinan Universitas juga perlu merancang dan mengeksekusi rencana kampus satu atap agar seluruh administratif bisa terpusat.

Pindah ke Polines? Selain masalah birokrasi, transisi DIII menjadi Sekolah Vokasi juga mengundang desas-desus di telinga mahasiswa. Ada kabar bahwa nantinya Sekolah Vokasi akan dipindahkan dan berlokasi di gedung Politeknik Negeri Semarang (Pollines). Hal itu lantaran pada tanggal 3 Agustus 2016, Rektor Undip mengunggah sebuah foto di laman akun Facebooknya usai mengadakan rapat

70 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

rencana pemindahan kampus Polines. “Rapat pertama persiapan rencana pemindahan kampus Polinnes. Semoga Allah Swt meridhoi dan memudahkan niat baik ini. amin,” tulisnya menerangkan foto tersebut. Apakah kemudian Polines akan pindah dari tempatnya yang sekarang? Tentu tak semudah itu. Hal ini cukup rumit karena Polines belum memiliki lahan dan bangunan baru untuk pindah. Sementara, lahan yang ditempati sekarang masih disengketakan kepemilikannya oleh Undip dan Polinnes. Jika menilik pada sejarahnya, Hertanto Wahyu Subagio selaku Pembantu Rektor I periode lalu menceritakan, awalnya Politeknik merupakan program yang diinisiasi oleh pemerintah pusat sekitar tahun 1987-an. Pendiriannya kemudian diserahkan kepada universitas yang berkemauan dan sanggup mengelola Politeknik. Karena saat itu Undip menyanggupi program tersebut, maka terbentuklah FNGT (Fakultas Non Gelar Teknologi) dan pemerintah memberikan bangunan yang saat ini ditempati Polines. Namun, memasuki tahun 2000an, Wardiman yang saat itu menjabat sebagai Menristek Dikti mengeluarkan memorandum bahwa semua program pemerintah harus bisa cepat pakai, termasuk salah satunya FNGT yang kemudian berganti nama menjadi Polines. Karena alasan itu, maka Menristek Dikti memberikan pilihan kepada Polines: apakah Polines ingin memisahkan diri, atau tetap bergabung dengan universitas induk. Sejak saat itulah kemudian, Polines memilih untuk mandiri dan terpisah dari Undip. “Konsekuensi berdiri sendiri itu, artinya semuanya serba mandiri.”, ungkap Hertanto. Ia menuturkan, Polines tak akan mungkin melanjutkan proyek untuk pengembangan, karena setiap kali mengajukan pengembangan itu, salah satu hal yang harus dipenuhi adalah kepemilikan lahan. Sedan-

gkan, menurutnya, lahan yang ditempati saat ini merupakan milik Undip. Tak hanya sampai di situ, ia juga mengklaim bahwa rencana penempatan Sekolah Vokasi di gedung Polines tidak membutuhkan persetujuan dari pihak Polines, sebab hal itu merupakan suatu konsekuensi ketika Polines memilih jalur mandiri. “Kalau berani mengatakan (saya mandiri), harus punya sertifikat, harus punya lahan, ya begitulah”, pungkasnya. Poniman, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Direktur III Polines, menanggapi pernyataan tersebut. Menurutnya, lahan yang ditempati Polines saat ini adalah milik Kementerian Keuangan bukan Undip. Maka, Undip tidak bisa serta-merta menginstruksikan agar Polines pindah. Ia juga menyampaikan bahwa permasalahan ini tidak bisa selesai dalam kurun waktu satu atau dua tahun. Ia menyonthokan misalnya, kasus sengketa tanah yang dialami Politeknik Negeri Malang (Polinema) dengan Universitas Brawijaya (Unibraw) yang hingga saat ini urung pindah dari lingkup Unibraw karena SOP (Standard operational Procedure) untuk membeli tanah harus membentuk panitia yang terdiri dari 9 orang. | Nurul Maulina Wakhidah Z


BANDING UKT UNTUK SIAPA?

U

ANG selalu membawa persoalan pelik bagi mahasiswa. Apalagi Uang Kuliah Tunggal (UKT). Di Universitas Diponegoro, hampir tiap tahun uang kuliah itu bikin gaduh jagat mahasiswa karena nominalnya yang fluktuatif. Sialnya, alih-alih meringankan beban mahasiswa dengan memberikan subsidi uang kuliah, tahun 2016 lalu Yos Johan Utama, rektor Undip yang baru terpilih, malah membuat kebijakan yang makin menyusahkan: menaikkan UKT dan menarik Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) untuk mahasiswa baru. Untuk hal SPI, memang tidak dibebankan kepada mahasiswa dari semua jalur masuk. Kecuali jalur mandiri dan PSSB DIII, rektor meyakinkan, semua mahasiswa baru 2016 tetap akan membayar UKT sesuai dengan Permendikbud no. 55 tahun 2013, tanpa uang pangkal atau SPI. Tapi, tetap saja, hal itu sulit diterima oleh mahasiswa. Di beberapa fakultas, kebijakan baru itu segera jadi perbincangan hangat. Kajian-kajian seputar UKT dan SPI dibuat dan dikritisi. BEM

(Badan Eksekutif Mahasiswa) Undip, dengan Bidang Sosial-Politiknya, tak mau ketinggalan. Di pendopo Student Center, beberapa kali mereka mengundang perwakilan mahasiswa dari tiap fakultas untuk berkumpul dan berdiskusi. Hasil dari diskusi, baik di tingkat fakultas maupun universitas, itu pun akhirnya satu suara: sepakat menolak dan konsolidasi untuk aksi bersama. Tak butuh waktu lama, aksi pun dilancarkan. Pada Selasa pertama di bulan April (5/4), lapangan Widya Puraya Undip penuh oleh ratusan mahasiswa beralmamater hijau tua. Mereka membawa spanduk dan poster dengan tuntutan seragam: tolak kenaikan UKT dan SPI. Sayangnya, aksi “besar” di tahun 2016 itu nihil hasil. Rektorat tetap berkukuh dan Ketua Bagian Keuangan Undip yang sempat menemui massa aksi mengatakan bahwa ia tak dapat berbuat apa-apa karena tidak memiliki wewenang memutuskan kebijakan. “Tapi, kita bisa menyampaikan ke Pak Rektor, Insya Allah Selasa depan”, ujarnya. Sementara untuk nominal UKT, ia mengatakan bahwa kenaikan

adalah hal yang wajar karena mengikuti peraturan di Kemenristek Dikti. “Biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) itu dihitung per-semester. Nanti adik-adik bisa download ya. Aturannya ada di Menteri Pendidikan Tinggi, Permenristek Dikti nomor 5 tahun 2016. Itu untuk penghitungan UKT. Mengapa UKT bisa naik tiap tahunnya.” Koordinator aksi yang awalnya keras lambat laun pun melempem. Setelahnya, hampir tak ada penolakan kecuali keluh-kesah yang disampaikan langsung kepada rektor dan jajarannya melalui forum audiensi. Itu pun sangat normatif. Hampir tak ada yang tak setuju saat harus face to face dengan jajaran rektorat— termasuk mereka yang bersuara lantang saat aksi. Soal bahwa kemudian ada sebagian mahasiswa yang tak puas dengan aksi tersebut, lambat laun hilang dan hanya jadi api dalam sekam. UKT dan SPI kembali hilang dalam perbincangan. *** KAMIS, 25 Agustus 2016, Rektor Universitas Diponegoro membuka kesempatan banding UKT bagi mahasiswa baru tahun ajaran 2016/2017 menyusul dikeluarkannya SK Rektor beromor 70/UNJ.P/PENG/2016. Banding diperuntukkan bagi mahasiswa jalur mandiri yang merasa tak sesuai dengan golongan UKT yang ditetapkan oleh universitas. Namun di lapangan, banding

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 71


UKT ternyata tak hanya dibutuhkan oleh mahasiswa baru melainkan juga mahasiswa angkatan di atasnya (2013-2015). Beberapa mahasiswa yang dulunya dibebankan UKT golongan tertinggi meminta banding salah satunya lantaran keluarganya kehilangan mata pencarian. Atas dasar itulah kemudian, beberapa fakultas memperbolehkan mahasiswa di luar angkatan 2016 untuk melakukan banding. Apalagi, ada pernyataan dari Wakil Rektor I, Muhamad Zainuri, yang memersilahkan masing-masing dekan fakultas untuk mengatur mekanisme banding UKT mahasiswa non-2016. Di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), mekanisme banding difasilitasi oleh bidang Kesejahteraan Mahasiswa (Kesma) BEM FISIP, termasuk mahasiswa dari angkatan 2013-2015. Mereka mendata mahasiswa yang akan banding UKT dengan mengadakan seleksi berkas dan wawancara pada 24 September 2016. Menurut Mustofa, Kepala Bidang (Kabid) BEM FISIP, sebanyak 23 mahasiswa non-2016 tercatat lolos mekanisme banding UKT. Mahasiswa tersebut berasal dari tiga angkatan: angakatan 2013 sebanyak dua orang, angkatan 2014 sebanyak delapan orang, dan angkatan 2015 sebanyak 13 orang. UKT tersebut rata-rata turun satu sampai dua tingkat. Keberhasilan BEM FISIP tersebut agaknya menjadi salah satu pemantik bagi Kesma BEM FIB untuk melakukan hal serupa. Sebab, menurut Achmad Chairul Rais, Kabid Kesma BEM FIB saat itu, banyak mahasiswa yang keberatan dengan biaya UKT yang menjadi tanggungan mereka. Hal itu ia ketahui dari hasil wawancara para mahasiswa yang ingin banding UKT, baik angkatan 2016 maupun angkatan di atasnya. Beberapa dari mereka, kata Rais, bahkan sampai bekerja paruh waktu untuk untuk menambal biaya kuliah maupun biaya hidup. “Tapi ada juga be-

72 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

berapa mahasiswa yang nggak jelas alasannya. Ya seperti, hanya pengen saja banding UKT,” tuturnya Kendati demikian, toh keputusan bukan di tangan BEM FIB. Kesma BEM hanya dapat melakukan seleksi berkas dan wawancara, lalu memberikan hasilnya ke birokrat. Di sana lah kemudian harapan sebagian mahasiswa untuk keluar dari masalah uang kuliah harus pupus. Di atas atas meja dekanat FIB, semua berkas selain angkatan 2016 ditolak. Wakil Dekan II, Suharyo, mengatakan bahwa jika mau banding UKT seharusnya mereka melakukannya saat di tahun pertama mereka masuk. Menurutnya, pernyataan Wakil Rektor tidak mengikat dan hanya berupa himbauan. Ia pun menuturkan bahwa mahasiswa di luar 2016 dapat banding hanya jika orang tuanya mengalami kecelakaan atau meninggal. “Kalau ada yang orang tuanya meninggal, silahkan menemui saya,” kata mantan Kepala Jurusan Sastra Indonesia itu. Ketika dikonfirmasi mengenai imbauan tersebut, Wakil Rektor I justru menyatakan bahwa banding UKT bukanlah kewenangannya, melainkan kewenangan Wakil Rektor II. Meskipun tak menolak bahwa yang dikatakan olehnya terkait mekanisme banding UKT untuk angkatan non-2016 hanya himbauan. Sementara itu, saat dihubungi oleh Hayamwuruk, rektor mekatakan bahwa mahasiswa selain angkatan 2016 dapat melakukan banding, asalkan dapat dibuktikan bahwa orang tua mahasiswa tersebut meninggal dunia atau mengalami kecelakaan. “Boleh asalkan dibuktikan bahwa orang tua yang bersangkutan benar mengalami kecelakaan atau meninggal dunia,” katanya melalui pesan Whats-app. Senada dengan Suhayo, Gayatri, Kepala Bagian Kemahasiswaan FIB juga menjawab bahwa yang dapat diterima dalam mekanisme banding UKT hanya mahasiswa baru angka-

tan 2016. “Kita hanya mengikuti peraturan dekan,” ungkapnya kepada Hayamwuruk. Ia beranggapan bahwa FISIP tidak bisa dijadikan perbandingan untuk FIB. Hal itu menurutnya lantaran UKT FISIP lebih tinggi dibandingkan FIB. Bahkan, ia menyatakan, FIB adalah fakultas dengan UKT terendah se-Undip. Artinya, dengan dana yang lebih besar tersebut, FISIP bisa menurunkan UKT non-2016 dengan subsidi silang, tak seperti FIB yang memiliki dana minim. Namun, di luar itu, Gayatri mengatakan bahwa fakultas memberikan solusi melalui beasiswa kepada mahasiswa yang benar-benar membutuhkan. Ia justru menyayangkan rendahnya respon mahasiswa terhadap beasiswa yang ditawarkan fakultas. Beasiswa Sampoerna, misalnya. Gayatri mengatakan, tidak ada satu pun mahasiswa yang mendaftar atau sekadar bertanya ketika beasiswa itu ditawarkan. “Sampai saya memanggil komting kelas untuk mendata siapa saja yang akan kami rekomendasikan untuk mendapatkan beasiswa,” tandasnya. Rais, yang kini menjabat ketua BEM FIB, sempat mengaku kecewa atas sikap Dekanat yang menolak berkas permohonan banding yang telah diajukan para mahasiswa non2016. Menurutnya, ada beberapa mahasiswa yang berhak atas penurunan UKT seperti yang terjadi di FISIP. Di sisi lain, ia juga menyayangkan sikap mahasiswa yang dulunya lantang menolak kenaikan UKT dan pengadaan SPI, kini adem-ayem dan tak merasa perlu untuk mengawal SPI dan mekanisme banding UKT. | Ririn Juli Hardianti & Hendra Friana


SASTRA | CERPEN

LELAKI PELUKIS KATA Oleh: Umi Ibroh

S

ejenak Marissa terdiam, mengunci rapat bibir mungilnya dari deretan kosakata yang ingin dimuntahkan pada sosok lelaki itu. Hari ini ia melihatnya di sebuah warung remang-remang, dikelilingi perempuan-perempuan pembawa bir. Riuh. Lewat butir-butir kacang yang berserakan kulitnya, mereka melontarkan tawa-tawa yang manja, juga candaan centil yang bersemakna khusus pada sesuatu. Entah apa. Lelaki itu tampak menikmatinya seakan dunia bak lampulampu gantung yang berkedap-kedip di matanya.

Tak ada yang berubah darinya, meski berwinduwindu waktu telah membawanya menjauhi tenangnya malam, menenggelamkan kepalanya yang setengah botak pada kesibukan dan tumpukan kisah barunya. Hal itu rupanya tak membuatnya lupa dengan malam yang hingar-bingar yang selalu menyajikan berbotolbotol bir atau kekehan wanita jalang yang selalu ditemuinya di tempat itu, menawarkan minuman dan butirbutir kacang kesukaannya.

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 73


Caranya mengapit rokok tak pernah berubah. Juga bagaimana ia mengepulkan asap yang mulai penuh dirasa dadanya ketika ia menghisap tembakau. Ah, itu selalu membuatnya tampak begitu gagah. Ia tak pernah berubah. Meski botak di kepalanya terlihat lebih lebar dari terakhir yang Marissa lihat bertahun yang lalu. Saat kakinya yang mulai terlihat jenjang mencoba melangkah dengan sebatang kuas di tangannya. Juga ketika beberapa bagian tubuhnya mulai berbentuk dan berisi. Ia masih mengingat itu. Bagaimana ia mengenalkannya pada masa yang ia sebut sebagai fase kedewasaan lewat sebuah kuas dan cat warna-warni. Matanya yang cokelat jernih, selalu mengingatkannya pada lukisan kata yang pernah terpampang di sebuah gedung pemerintahan dengan simbol-simbol yang sengaja diukir pada bingkainya. Cerita jendela. Ia menamainya demikian. Lelaki itu melukiskan deburan ombak yang menyentak-nyentak di bibir pasir. Seperti yang pernah dilantunkan oleh seorang pemuda dalam sebuah pentas puisi pada malam pertengahan musim dua dasawarsa silam.

***

LELAKI itu sengaja menenggelamkan kepalanya yang setengah botak pada lautan yang menghitam diterpa hujan. Berteriak dalam kegamangan. Dibiarkannya ombak menghantam tubuhnya hingga retak. Lalu remuk. Berpuing-puing. Mengapung bersama buih lautan dan akhirnya menyatu lagi dengan ruang kosmik yang ia sebut sebagai kehidupan. Sambil berdendang lagu kepahitan ia berdialog pada debu bisu dan langit yang menyatu dengan laut di ujung horizon. Bertanya sesuatu akan hidupnya yang selalu diterpa ombak seperti karang yang berjajar di pinggir lautan sana. “Hum na na na na, ratu menitahkan laut. Juga bebatuan. Gunung, pasir juga air menunduk patuh pada kata. Ia membawanya pada lautan harta. Haruskah aku mengikuti mereka? Menyumbang tetes keringat untuk mengayakannya tanpa upah?” Ia berteriak gamang. Namun alam bisu tak bersuara. “Oh, apa seharusnya tak kugoreskan pena pada dinding gedung itu, hingga ia runtuh oleh dendam pengemis dan gelandangan.” Lelaki itu masih berontak dengan deburan ombak. Tubuhnya tak sekuat karang namun ia tetap tegak. Memecah suara laut yang jelas-jelas menelan getar pita suaranya yang hampir putus. “Inikah nasib? Wahai Tuhan, bukankah engkau maha mengetahui kenapa tak kau tampakkan saja segala yang telah Kau ketahui sejak zaman Azzali?” “Hum nana nananannaaaa hum humm...” Debur ombak menghantamnya lagi.

74 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

Gelap. Marissa membuka matanya. Riuh tepuk tangan menggema di sana. Seorang pemuda berhenti di tengah panggung. Lalu menunduk. Sementara bola mata itu menangkap sosok lelaki itu yang tengah tersenyum mantap. Malam ini ia mendapat sebuah penganugerahan untuk karyanya yang menghanyutkan. Dan marissalah yang merasa paling berbangga diantara mata-mata yang menatap wajah itu. Sebab hanya dirinyalah yang bisa bersanding satu atap dengannya. Lelaki pelukis kata itu. Meski hal itu tak lantas membuat dirinya menyatu dengan lautan pikir lelaki itu. Juga tak mampu membuat lelaki itu yakin atas cintanya selama ini. “Apa yang membuat diksimu bak belati?” Marissa berbinar memeluk lelaki itu. Tangan mungilnya bergelayut manja pada lengannya yang kokoh. Lelaki itu mematung bisu. Menciptakan kedinginan dalam bongkahan waktu yang menemani langkah mereka. Begitu yang selalu dilakukannya pada orang-orang, juga pada Marissa. Lelaki itu seakan memendam rahasia. Ada selembar hitam yang menutup pandangnya, hingga ia tak bisa menatap jernih lukisan dalam batok kepala lelaki itu. Pernah suatu ketika Lelaki itu bersandar di sudut ruang selepas sembahyang. Tak biasanya ia memutar tasbih dan bersenandung doa setelah ritual pertemuanya dengan tuhan. Marissa mendekatinya, mencium tangannya lantas bertanya tentang ombak dan mantramantra yang selalu dilukiskanya dalam lembar-lembar kertas puisinya. Lelaki itu tak menjawab. Ia hanya beringsut menatap ombak hitam dan tetesan hujan yang tergantung di tembok luar tempat ia bersembahyang. “Jika aku meminta dituliskan sebilah puisi kepadamu apakah kau akan mau? Aku ingin melukis tiap jengkal diksimu di depan jala retina agar aku tahu apa yang membuatmu sedingin salju.” Bisik hatinya. Lelaki itu masih bungkam. Lalu menarik tangan Marissa pada sebuah kuas yang tergeletak di kolong meja ruang tengah. “Ini, ini...” Lelaki itu menggetarkan giginya. Matanya merah menyala. “Lukis semua yang kutulis! Kau akan mengerti semuanya sebab tak ada yang lebih mampu membuatmu mengerti selain cat-cat warnamu, bukan?” Marissa bisu tak mengerti. Namun dari nyala matanya Marissa bisa menangkap setitik bara. “Aku tak pernah memberimu apa-apa seperti yang cat-catmu berikan padamu. Bahkan untuk sesuap nasi yang kau makan tiap hari.” Marisa tertegun. Pikirnya berlarian ke mana-mana mencari makna yang tersirat dari deretan kata yang baru saja tertangkap daun telinganya. “Apa kau ingin kita berpisah saja?” Wanita itu mem-


buat telaga di matanya. Tubuh lelaki itu bergetar hebat. Menahan sesuatu yang mendesak dalam pikirannya. Ia tak dapat mengendalikan itu. Lalu digigitnya telapak tangannya hingga berdarah. Marissa terperanjat. “Apa yang kau lakukan?” Sepertinya lelakinya tengah sakit jiwa.

***

WAKTU itu, ia bahkan belum genap tujuh belas tahun dan belum menyadari kekuatan magic yang dimilikinya. Ditangannya kuas tak ubahnya seperti tongkat sihir jika bertemu dengan cat warna dan singgah di lembaran kanvas. Beberapa kali lukisannya menyabet medali emas tiap ada kompetisi lukis antarsekolah. Namun itu tak membuatnya berhenti bergeming. Tiap warna adalah kekosongan, kebekuan yang ia dapatkan dalam emosi puisi lelaki itu. Lelakinya. Kebekuan memenjara Marissa dalam sekat-sekat warna tak bersuara. Meski sebagian orang menyebut itu sebagai kelebihan. “Kamu punya bakat yang bisa dikembangkan.” Begitu kata kepala sekolah ketika membujuk Marissa untuk mengikuti pameran di sebuah galeri ternama. “Siapa tahu ada yang berminat dengan lukisanmu. Kamu bisa terkenal dan sekolah ini akan ikut terbawa. Akan banyak beasiswa untukmu melanjutkan studi di sekolah seni.” Ia mengiming-imingi. Namun lagi-lagi ia tetap bergeming. Menangkap ucapan kepala sekolah itu seperti menyecap kapas yang ia kira arum manis. “Kenapa saya harus berbangga dengan kebekuan gambar?” “Yang kau lukis itu lebih dari sekedar gambar, nak. Ada ruh yang hidup di sana. Kau berhasil menyeret mata-mata penikmat warna pada dimensi yang lain.” Kalimat jelas bukanlah sebuah pujian baginya. Jauh di dalam hatinya Marissa seakan dipaksa untuk menjerit memamah kalimat-kalimat itu yang sama artinya dengan nyanyian pemandu sorak yang terus memaksanya untuk terus menyepi dalam lubang kegelapan. Dan membeku, memaknai bungkam lelakinya. Orang-orang melihat ruh yang hidup dalam lukisan Marissa sayangnya mereka tak dapat membaca betapa ruh yang tinggal di dalamnya terkurung dalam kegelapan dan kesepian. Pelan-pelan bayangan lelaki itu muncul di balik batok kepalanya. Dengan raut muka yang murung dan dingin. Sesenggukan. Lalu memaki-maki dirinya. “Kau membuatku nampak tak berguna di mata orang!” Tiba-tiba Marissa berdiri di hadapan kepala Sekolah. “Saya tetap tak mau.” Setengah berteriak Marissa beru-

cap. “Lukisan itu adalah kalimat seseorang yang sangat saya cintai.”

Kepala sekolah terdiam seketika. ***

LAGI. Lelaki itu memhempaskan asap dari mulutnya. Kali ini perempuan-perempuan pembawa bir tak lagi mengelilinginya. Satu per satu mereka meninggalkan lelaki dengan botol bir yang kini telah kosong itu. Mungkin mereka berpindah melayani bos-bos yang berkantong lebih tebal darinya. Marissa masih memperhatikannya. Lelaki itu sudah menghabiskan sebotol bir di genggamannya. Matanya yang terlihat memerah lelah membidik sesuatu di luar sana. Mungkin ia tengah menunggu seseorang. Kembali Marissa tersapu kuas lukisnya. Dua dasawarsa silam. Sebatang kuas diusapnya diantara deretan puisi yang dituliskan lelaki itu pada kanvas kosongnya yang benar-benar polos. Seorang gadis menangisi setangkai mawar. Saat itu lelaki setengah botak itu dirundung amarah. Namun kata tak berbicara. Hanya suara tangis seorang wanita yang menggema. Lalu perabotan yang pecah terbanting. Jerit wanita itu yang diiringi tamparan. Marissa merekamnya dengan cat warna-warni. Hingga warna biru yang biasa bercerita tentang ketenangan berubah menjadi kesenduan. Lelaki itu keluar dari bilik rumah wanita itu dengan langkah yang memburu. Kesal. Ia lantas menyapu ujung matanya yang merah berair. Gadis di kanvas Marissa menangis. Lalu bak orang yang kesetanan lelaki itu kemudian bersenandung sesal atas yang baru saja ia lakukan pada wanitanya. “Aku tak mau membuatnya menangis.” Kata lelaki itu. Menyeru pada kekosongan. “Bahkan untuk hutang-hutang dan syetan yang bersemayam dalam perut. Yang membuat kami keroncongan dan buta. Jika penyakit yang terkutuk itu nyata, sesungguhnya bukan dia yang penyakitan. Tapi aku. Budak kat-kata. Gila harta. Lupa segalanya.” Kuas di tangannya jatuh. Wanita itu benar-benar menangisi setangkai mawar yang baru saja menancapkan duri beracun. Wanita itu istrinya, istri lelakinya. Sejak itu lelakinya tak pernah pernah lagi muncul di rumahnya atau pun di rumah istrinya. Meski waktu itu istrinya sakit-sakitan. Marisaa sering menjumpai ia berkeliaran di pinggiran kota. Namun ia bersikap seolah tak melihatnya. Ia berjalan ke sana ke mari entah untuk apa. Jika hari gelap lantas ia mencari kesenangan lain yang mungkin tak ia dapatkan dalam bilik-bilik rumahnya. Ia mendatangi sebuah warung remang-

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 75


remang dan menghabiskan berbotol-botol bir di sana. Marisa tak memberitahukan hal ini pada istrinya. Ia sengaja menutupnya dengan lukisan dusta hanya untuk sebuah alasan konyol. Ia mencintainya. Pernah suatu ketika Istri lelaki itu menangis menanyakan suaminya. Marissa hanya mampu membisu. Menyembunyikan kalimat jujurnya di balik kisah warna cerita jendela. “Aku tak tahu yang ada di pikirannya. Sama sepertimu, selama ini aku pun mencari-cari makna yang mungkin saja dapat kutemukan itu dalam bait puisinya.” Marissa melukiskan lagi lembar kebohongan yang tak terendus wanita itu. “Dia kecewa denganku.” “Kecewa untuk apa?” Seharusnya Marissa yang kecewa padanya. Wanita tua itu membesarkannya tanpa mengenalkannya siapa dia juga siapa lelaki itu padanya. Hingga ia tumbuh dewasa dan mengenal cinta. Sialnya ia justru jatuh cinta pada lelaki itu yang jelas-jelas sudah beristri dan istrinya menganggap Marissa sebagai anak. “Dia tak pernah menginginkan seorang bayi lahir dari rahimku.” Lirih wanita itu. Hambar. “Kau tahu sebabnya? Dia bilang tak ada yang bisa dipakainya mencukupi kebutuhan kami berdua, apalagi ditambah seorang bayi.” Ujung mata wanita itu meleleh. Lagi, ia menyaksikan sendiri betapa wanita yang pernah ada dalam lukisannya menangis. “Saat aku menemukanmu. Dia memintaku untuk membuangnya lagi. Aku menolak. Kau tahu kenapa, karena ada kekosongan yang harus kau isi di sini.” Ia menunjuk dadanya sendiri. Seketika itu juga ujung mata Marisa basah berair.

***

SUNGGUH tak ada yang bisa ia sesali. Bahkan untuk tangisan bocah yang terperangkap dalam gua di lukisanya. Betapa bocah itu terkurung dalam kebisuan dinding-dinding gua. Ia seakan dipaksa untuk mencari makna dalam semiotik dinding terjal hingga celah cahaya ditemukanya dan ia bisa keluar dari sana. Menatap hijau dedaunan. Ah, bukan untuk itu. Tapi waktu dimana wanita itu memungutnya dari jalanan waktu masih bayi. Seharusnya biar saja ia tergelatak di sana. Biar orang orang lain yang merawatnya. Biar ia tumbuh menjadi orang asing bagi lelakinya. Biar ia bisa mencintai lelaki itu tanpa sekat ayah dan anak. Ah, takdir memang menyebalkan. Kenapa ia membiarkan dirinya jatuh cinta pada lelaki itu. Argggh! Sehari setelah dialognya dengan wanita itu tersiar kabar kalau wanita tua yang merawatnya sejak bayi itu sudah pergi menemui Tuhan. Marissa pergi mengasing-

76 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

kan diri. Dan meninggalkan sebuah jejak lukisan berkabung yang tergeletak di kolong meja rumahnya bertahun-tahun hingga warna suramnya semakin kusam tercium debu yang berterbangan.

***

MARISSA tak lagi memandangi lelaki itu. Ingatannya yang buram membuatnya muak mengartikan puisi-puisi lelaki itu yang sebagian besar adalah rasa kecewanya. Oh, ia bahkan tak lagi melukis kata-kata yang dipahatkan lelaki itu pada bait-bait puisi yang selalu muncul di surat kabar. Sekarang yang ia gambar adalah apa yang ia lihat dan rasa, bukan apa yang ia baca. Hanya sebuah kebetuan Marissa bertemu dengannya di tempat itu. Ia pula meyakini itu suatu kebetulan ketika mata itu bertemu pandang dengan matanya. Pada sebuah detik yang sama sebelum lelaki itu lenyap dan seorang pelayan di warung itu mendekatinya dengan sebuah kertas yang terlipat. Ibunda tercinta, dimanakah engkau? Apakah setan telah melumpuhkanmu? Apakah telah ditutupnya matamu dengan cadar yang tebal? Apakah telah dirusaknya wajahmu dan digantinya namamu?1 Hingga aku tak lagi merasa ada nyawa yang pantas memelukku. Ia kembali teringat lukisan suram yang tegeletak di kolong meja berlapis debu yang semakin hari semakin tebal. Mungkin Lelaki itu telah menghapus debudebu itu dan berusaha mengartikan sebuah bahasa di lukisannya. Kali ini hati Marissa berbisik. Bukan ibunda, tapi kau. Ah, rasanya cinta itu begitu mengiris hatinya.

BIODATA PENULIS Umi Ibroh, lahir di Tegal, 12 Februari 1993, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. E-mail umi.ibroh@ gmail.com, fb umi ibroh, twitter @umee12.

1 Petikan dalam novel “Love in the kingdom of oil” karya Nawal El Saadawi


SASTRA | PUISI Oleh: Yasir Dayak

PABRIK TELAH BERDIRI, PETANI BERSAWAH DI JALAN ASPAL Apa pula hendak dikata Sawah-sawah telah disulap jadi pabrik semen raksasa Tak Tak Tak Tak

adalagi adalagi adalagi adalagi

padi nasi sawah orang-orangan sawah

Seekor manusia Telah lupa diri Dan petani Bersawah di jalan aspal Pulau Jawa Suara pabrik menggelegar Bak halilintar Di musim penghujan Dan di dalamnya Anak petani sakit Sambil menangis Menanggung lapar Sebentar lagi Waktu akan meninggalkan bulan Desember Hari baru akan tiba Di mana kita Tak lagi makan nasi Tapi semen! Jogja, 18/12/16.

SEPETAK SAWAH DI JALAN RAYA

Musim panen telah berakhir Petani-petani musti angkat kaki dari desa Sebab desa akan dijadikan kota Penggusuran pun jadi cerita ironis tuk anak-cucu Di jalan raya Petani-petani meleburkan aspal Dengan empat kaki kerbau Dan cangkul bermata baja Dewi Drupadi menangis Menyaksikan nasib tragis petani Di sepasang bola matanya Tampak petani menanam padi di dalam aspal Usai menanam padi Polisi tentara tiba Dan menghancurkan sawah itu Lantaran mengganggu kenyamanan umum Kembali lagi Petani-petani musti angkat kaki Sebelum timah panas melubangi dada mereka Jogja, 19/12/16.

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 77


MERINDUKAN KEDAMAIAN ANTARA LANGIT DAN BUMI “Sabar dan dermawanlah seperti bumi. Dia kauinjak, kauludahi. Namun tak hentinya memberimu makanan dan minuman.”

B

ARANGKALI, kalimat dalam kutipan di atas merupakan pesan utama yang ingin disampaikan Nh. Dini dari keseluruhan isi novelnya yang berjudul Langit dan Bumi Sahabat Kami. Sebab, novel ini memang bercerita tentang masa kecil Nh. Dini dan keluarganya yang hidup serba kekurangan, terkekang dan menderita, tapi tetap sabar dan tabah menjalani kehidupannya. Novel ini, merupakan yang ketiga dari seri cerita kenangan Nh. Dini yang disajikan secara kronologis; sejak ia kecil hingga dewasa. Seri cerita kenangan Nh. Dini lainnya masing-masing adalah sebagai berikut: Sebuah Lorong di Kotaku, Padang Ilalang di Belakang Rumah, Sekayu, Kuncup Berseri, Kemayoran, Jepun Negerinya Hiroko, Dari Parangakik ke Kampuchea, Dari Fontenay ke Magallianes, La Grande Borne, Argenteuil, Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang, Pondok Baca Kembali ke Semarang, dan Dari Ngalian ke Sendowo. Nh. Dini lahir di Semarang pada 29 Februari 1936. Dia adalah anak

78 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

bungsu dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Menikah dengan dengan seorang diplomat bernama Yves Coffin pada tahun 1960, beberapa kali ia sempat berpindah tempat tinggal seperti ke Jepang, Prancis hingga Amerika Serikat. Berkat itu pula dalam beberapa novelnya, latar bahasa maupun kebudayaannya negara-negara tersebut sedikit banyak mempengaruhi setting cerita yang ia tulis. Selain itu, Nh. Dini juga dikenal sebagai pelopor sastra feminis Indonesia. Hal itu lantaran dalam novelnovelnya, ia kerap menyuarakan kritik terhadap budaya patriarki dan ketidakadilan gender menggunakan tokoh utama wanita. Novel berjudul Pada Sebuah Kapal, misalnya, selain sangat dipengaruhi oleh latar belakang Dini yang bersuami orang Prancis, juga mengandung unsur kesetaraan gender yang dimanifestasikan oleh tokoh utama wanitanya: Sri. Dalam novel Langit dan Bumi Sahabat Kami, ia menempatkan namanya sebagai tokoh utama—sama seperti kebanyakan novel ciptaan-

nya yang menggunakan sudut pandang wanita. Tokoh-tokoh lain yang juga disebutkan dan sangat berpengaruh dalam pergerakan alur maju novel ini adalah tokoh Ayah-Ibunya, saudaranya yakni Nugroho, Teguh, Maryam,dan Heratih, serta beberapa kerabatnya: Kang Marjo, Yu Saijem, dan Yu Kin. Kisah dalam novel ini berawal dalam masa kekacauan alih pemerintahan. Pada masa itu bahan makanan sulit didapatkan meskipun hanya sekedar jagung penuh ulat, kacang hijau penuh serbuk dan gaplek yang busuk. “Selama beberapa waktu tentara sekutu berada di kota, dalam kekacauan alih pemerintah, bahan makanan menghilang dari pasaran,” tulisnya. Hal itu disebabkan oleh kekeringan yang melanda berbagai tempat saat musim panas. Karena sukarnya bahan makanan itulah kemudian, orang-orang menyembunyikan persediaan makanan supaya


BUKU |

Judul Penulis Tebal Penerbit ISBN

: Langit dan Bumi Sahabat Kami : Nh. DIni : 144 halaman : Gramedia Pustaka Utama : 9794033960

tidak diambil oleh serdadu asing. Kondisi tersebut kian diperparah dengan melemahnya aliran listrik. Bahkan, tidak ada aliran listrik sama sekali di kampung tempatnya tingal. Dini berhenti bersekolah dan Ayahnya juga menolak bekerjasama dengan pemerintahan, baik ketika kota di tangan tentara sekutu maupun ketika diambil-alih Belanda. Penolakan kerja sama ini kemudian dijadikan alasan oleh pemerintahan untuk tidak memberikan uang pensiunan sehingga ekonomi keluarga mereka makin sulit. Di rumahnya, Dini juga menerima pengungsian beberapa kerabat yang butuh pertolongan. Hal itu dikarenakan Ibunya tidak sampai hati membiarkan kerabatnya tinggal di rumah orang lain. Ketika pemerintahan kota diserahkan kepada tentara Belanda, sempat timbul kekhawatiran jika perang akan berlangsung lama. Sebab, dengan tidak adanya listrik, akan sulit untuk mendengarkan berita dari Radio Autralia. Akibatnya, semua kabar datang kepada kampung berupa desas-desus dari mulut ke mulut atau pamflet yang dijatuhkan dari udara. Tapi, disebutkan pula bahwa Pemerintah akan membuka sekolahsekolah dan menjanjikan kehidupan penduduk segera kembali makmur. Hal diawali dengan dibukanya pintu perbatasan oleh pemerintahan, sehingga petani-petani dapat menjual sayur dan jenis makanan sendiri. Pasar pun kembali ramai dan masyarakat dapat kembali melakukan barter. Sekolah mulai dibuka, dan

Dini kembali ke sekolah. Sejak itu, jalanan menjadi ramai dan kesempatan ini dijadikan sebagai peluang usaha orang-orang. Kemakmuran seperti merengkuh kembali kehidupan kota. Namun, tiba-tiba tersiar kabar telah datang serdadu NICA menggeledah rumah-rumah dan melakukan penangkapan. Kabarnya mereka melakukan pemeriksaan kaum pemberontak. Orang-orang yang ditangkap tidak boleh bertemu dengan orang luar. Ketika itu Ayah Dini sempat tertangkap, namun dibebaskan kembali setelah beberapa hari. Sejak itulah kemudian kota kembali menjadi seperti barang rebutan, dari pemerintahan satu ke pemerintahan lainnya. “Kota yang semula makmur dan sejahtera namun, berubah menjadi buruk akibat dari jajahan Belanda. Warga banyak yang pergi meninggalkan kota sehingga keadaan pada saat itu sepi.” Keadaan-keadaan yang tidak pasti ini harus senantiasa diwaspadai oleh Dini jika sewaktu-waktu sesuatu terjadi dengan keluarganya. Karena Dini dan keluarganya selama ini hidup dalam kondisi memprihatinkan di tengah pemerintahan yang bergejolak. Mereka selalu merindukan kehidupan damai, memimpikan kehidupan yang sejahtera, meski kenyataannya tidak selalu sesuai dengan keinginan. Di sinilah kemudian Ibu Dini menunjukkan betapa luas serta tawakal hatinya, selalu memberikan nasihat kepada keluarganya untuk selalu bersyukur dan tawakal dengan

apa yang mereka dapat. Seperti yang dapat pada kata-katanya berikut ini: “Ibu yang selalu ingat kepada Tuhan, mengingatkan kami wajib bersyukur kepada-Nya atas anugerah yang berlimpah-limpah itu. Ibu mengingat bahwa selagi kami makan makanan pantas dan tidak busuk, barang kali di tempat lain masih banyak orang yang sulit mendapat makanan.” Fiksi Berbumbu Sejarah Yang menarik adalah, membaca novel ini seperti membaca karya sejarah; memoar hidup seorang Nh. Dini. Dan, tentu saja, pembaca juga akan dibawa ke suasana pra kemerdekaan—di mana perang, kelaparan dan kemiskinan masih menyelimuti kota-kota di Indonesia—dengan bahasa yang ringan dan bergaya sastrawi. Dalam novel ini, sesekali sastrawan angkatan 50 itu juga memadukan beberapa kosa kata Bahasa Jawa dengan Indonesia. Namun, karena novel ini murni sebuah karya fiksi, tentu mengkritisi sisi historis dalam novel ini bukanlah hal yang tepat. Jika anda tertarik, mau tak mau, anda harus menelisik sendiri fakta-fakta sejarah yang menjadi latar dalam novel ini. Kendati demikian sebagai sebuah karya sastra, novel ini sudah memenuhi unsur dulce et utile. Nilai-nilai yang terkandung dalam novel ini cukup banyak, seperti nilai sosial, nilai moral dan nilai religius. Langit dan Bumi Sahabat Kami menggambarkan banyak sekali pengalaman masa lalu sebagai pelajaran hidup. | Devi Ayu Anggraeni

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 79


MENINGGALKAN BUMI YANG SAKIT Judul Film: Elysium Sutradara: Neill Blomkamp Durasi: 109 menit Studio: TriStar Pictures, Alpha Core, Media Rights Capital Pemain: Matt Damon. Jodie Foster, Sharlto Copley, Alice Braga, Diego Luna, Wagner Moura, William Fichtner

E

LYSIUM adalah salah satu film bergenre fiksi sains yang mengangkat tema kehidupan bumi di masa depan. Berlatar tahun 2154, bumi digambarkan sebagai kawasan kumuh yang dipenuhi polusi dan radiasi. Kondisi sosial di tahun itu juga digambarkan sama mengenaskannya dengan lingkungan tempat tinggal mereka di mana kemiskinan, wabah penyakit, tindak kriminal, dan perang menjadi sesuatu yang sudah wajar. Ironisnya, tak ada penanganan yang serius untuk mengatasi kekacauan dunia pada waktu itu. Pelayanan publik seperti sekolah dan rumah sakit dibiarkan ala kadarnya dan terbengkalai. Singkatnya, Bumi saat itu benar-benar tak layak lagi untuk dihuni. Hal tersebut lalu mendorong para ilmuwan dan para konglomerat membuat tempat bernama Elysium. Tempat tersebut berupa satelit yang sangat besar, berbentuk cakram dan mengorbit di sekitar bumi. Di Elysium orang-orang tinggal dengan nyaman tanpa derita pencemaran udara. Semua yang dibutuhkan dilayani oleh robot-robot, bahkan orang-

80 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

orang tak perlu takut sakit ataupun menjadi tua sebab di Elysium, terdapat alat peninjau kesehatan yang dapat memperbaharui sel-sel tubuh agar senantiasa baru. Sayangnya, Elysium tidak sebesar bumi yang dapat menampung seluruh manusia. Ia hanya menampung orang-orang pilihan. Eksklusif. Hanya yang benar-benar kaya dan mendapat izin dari Dewan Pertahanan dan Pemerintahan Elysium, yang dapat hidup di sana. Kontrasnya kondisi bumi dan Elysium, membuat setiap penduduk bumi berlomba-lomba untuk dapat berpindah ke sana, tak terkecuali Max (dibintangi Maxwell Perry Cotton) dan Frey kecil (Alice Braga). Setiap malam, keduanya selalu memandangi indahnya Elysium dari bumi. Hingga Max berjanji kepada sahabanya itu bahwa suatu hari, ia akan membawanya ke Elysium. Tapi, lambat-laun waktu memisahkan mereka. Frey kecil tumbuh menjadi seorang pelajar tekun sampai akhirnya ia bisa bekerja sebagai seorang perawat di rumah sakit. Sementara Max, yang mencoba bertahan hidup dengan mencuri, merampok dan berkelahi, telah berkali-kali keluarmasuk penjara. Cerita berlanjut ketika Max muda (Matt Damon) mencoba menata kembali hidupnya dengan bekerja

sebagai buruh di pabrik perakitan robot. Sayang, nasib baik belum berpihak padanya. Ia mengalami kecelakaan saat kerja. Tubuhnya terpapar gelombang radiasi yang mematikan. Tidak ada obat di bumi yang bisa menghilangkan pengaruh radiasi itu. Max sekarat. Ia hanya punya lima hari untuk bisa bertahan hidup. Dan satu-satunya cara agar Max bisa selamat adalah dengan pergi berobat ke Elysium. Namun, pimpinan perusahaan tempatnya bekerja (William Fichtner) seolah-olah lepas tanggung jawab dan ingin membiarkan Max meninggal karena radiasi itu. Ketika Max hampir putus asa, Julio (Diego Luna) temannya membawanya ke Spider. Spider (Wagner Moura) adalah seorang hacker yang biasa menyelundupkan penduduk bumi ke Elysium. Kondisi finansial Max yang tidak memungkinkan untuk membayar jasa Spider membuatnya mau tidak mau harus terlibat kesepakatan. Spider bersedia membantu Max untuk terbang ke Elysium, dengan syarat, Max harus bisa membawakan data-data penting seperti kode penduduk Elysium dan password rekening bank milik pimpinan perusahaan tempat dulu Max bekerja untuk Spider. Max tidak punya pilihan lain, akhirnya ia menyutujui persyaratan


FILM | yang diberikan Spider. Untuk menopang tubuhnya yang lemah akibat radiasi dan mengantisipasi serangan dari robot penjaga super canggih di Elysium maka dipasanglah Exoskeleton di tubuh Max. Misi max dimulai dengan menghadang pimpinan perusahaannya yang hendak kembali ke Elysium. Aksi pengambilan data-data tersebut bukanlah hal yang mudah karena pimpinan tersebut dijaga oleh robot-robot penjaga. Tanpa ia ketahui, ternyata pimpinan perusahaan tersebut juga menyimpan data yang dapat mereset ulang seluruh sistem di Elysium. Akibatnya Max tak hanya berhadapan dengan para robot, tetapi juga agen khusus dan Menteri Pertahanan Elysium. Mereka turun langsung menghadapi max untuk menghindari terjadinya kebocoran data. Setelah kejadian itu Max menjadi buron. Ia sempat bersembunyi di rumah Frey sahabat kecilnya. Frey ternyata telah memiliki seorang putri bernama Matilda. Sama dengan dirinya, Matilda juga tak punya waktu lama untuk hidup karena ia menderita Leukimia. Ia lalu teringat janjinya terhadap Frey dan bertekad untuk membawa mereka berdua ke Elysium. Mereka pun pergi bersama. Tapi perjalanan mereka tak mudah. Sesampainya di Elysium, mereka juga harus bertarung lagi dengan para robot polisi. Hampir semua orang yang ada di pesawat mereka langsung diringkus polisi. Max berhasil kabur namun ia masih berada dalam kejaran agen Kruger. Beberapa saat kemudian Max pun diberi tahu spider bahwa di otaknya terdapat data yang dapat mereset ulang seluruh sistem di Elysium, namun untuk membuka datanya otak max harus tidak beraktivitas dalam kata lain max harus mati. Max pun memilih mati untuk menyelamatkan semua orang yang terbang bersa-

manya ke Elysium. Sebelum ia mati ia sempat mengingat janjinya kepada Frey untuk membawanya ke Elysium, akhirnya ia berhasil mewujudkannya. Kini pemerintahan Elysium tidak lagi berda di bawah kekuasaan Delacourt. Dengan sistem Elysium yang baru Spider mengubah Elysium menjadi bebas untuk bisa dikunjungi oleh manusia dari Bumi. Cerita dalam Film Elysium ini sendiri sebenarnya sudah sangat umum digunakan oleh film-film bergenre science fiction lainya. Namun Neill Blomkamp sang sutradara sengaja menampilkan sisi-sisi yang berbeda dengan menonjolkan pesanpesan kemanusiaan dalam film ini. Film ini memiliki latar waktu 150 tahun lagi, akan tetapi gambaran sosial yang di tampilkan dalam film ini adalah realita sosial yang terjadi sekarang dimana setiap orang sudah tidak menghargai lingkungan, Indvidualis, petinggi-petinggi yang kapitalis, kesenjangan sosial, penyalahgunaan kekuasaan dan sebagainnya. Neill Blomkamp seakan-akan ingin memberikan sindiran halus kepada para penonton filmnya. Selain efek CGI yang sudah tertata apik, kualitas sound dan pengambilan gambar yang dapat membuat

film semakin dramatis film ini juga didukung oleh kemampuan akting dari para pemainnya yang sangat mumpuni dalam memainkan karakter mereka. Akan tetapi sayangnya alurnya berjalan terlalu cepat dan terlalu banyak cerita dalam film sehingga penonton mungkin akan kurang menikmati inti dari ceritanya. Ada dua kesalahan utama yang diciptakan Blomkamp pada film ini. Pertama, tidak punya tokoh protagonis yang menarik, punya power untuk mampu menjadi pusat cerita. Ketimbang menjadi sosok heroik dalam upaya menghancurkan dinding pembatas yang dipisahkan galaksi, Max justru lebih terlihat sebagai sosok lemah yang dipenuhi dengan masalah dan memori kelam. Begitupula dengan Delacourt yang fungsinya sendiri tidak punya impact yang berkualitas pada cerita. Kedua, ia terlalu luas dalam membangun cerita, menciptakan banyak bagian yang tidak diolah dengan baik. Dari kedua kesalahan itu Elysium masih bisa dikategorikan film yang cukup bagus untuk ditonton. | Asa Fiqhia

No 1. XXV/2017 | Hayamwuruk | 81


Selamat atas diwisudanya kawan kami:

Fakhrun Nisa, S. Hum | Indah Zumrotun, S. Hum | Diah Wahyu Asih, S. Hum

Terimakasih atas kontribusinya -Keluarga besar LPM Hayamwuruk

Obrolan Joglo Budaya H: Eh, tau enggak? Katanya Undip mau bikin Gedung H: Aliansi Mahasiswa Pembela Rakyat (AMPerpustakaan dan Arsip di kawasan Tembalang PERA) abis jalan-jalan sama PT. Semen IndoneW: FIB yang ada jurusan arsip dan perpustakaannya, sia dan makan-makan sama Bupati Rembang kapan? W: Hush.. Ngawur. wong iku pembela pemerinH: Duh, suram... tah, bukan rakyat. H: Sebentar lagi ada mahasiswa baru nih, kok kampus sepi-sepi aja ya? UKT & SSPI apa kabarnya? W: Udahlah, yang penting mah kita lulusnya cepat.

82 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017

H: Pulang Yuk! W: Lha, baru jam sembilan... H: Sebentar lagi lampu joglo dimatiin



84 | Hayamwuruk | No 1. XXV/2017


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.