Maba dan Pak Haryo yang Jenaka BUKAN Suharyo namanya kalau tidak mengundang gelak tawa. Mantan Ketua Jurusan Sastra Indonesia yang kini menjabat Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Budaya (FIB) itu, memang terkenal jenaka. Baik di ruang kelas maupun di mimbar-mimbar, pembawaannya selalu ceria. Selera humornya tinggi. Lawakannya segar. Tak pelak, saat dirinya menggantikan Dekan untuk berbicara dalam “Upacara Penyambutan Mahasiswa Baru” di Gedung Serba Guna FIB, beberapa pekan lalu, ruangan riuh-rendah oleh tawa para mahasiswa yang belum sampai merasakan bangku kuliah itu. Dalam sesi pengenalan struktur dan keanggotaan fakultas, misalnya, tiba-tiba saja lelaki yang akrab disapa Pak Haryo ini... (Bersambung Ilustrasi oleh Toni Malakian
ke halaman 7)
Peksimida yang Sepi Gaungnya
D
ARI tahun ke tahun, entah mengapa, semarak Pekan Seni Mahasiswa tak pernah benar-benar terasa. Bahkan, di fakultas yang menyandang label Budaya ini—Fakultas Ilmu Budaya (FIB)—gaungnya kalah nyaring dengan Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas). Dalam seleksi Pekan Seni Mahasiswa Daerah (Peksimida), misalnya, tak banyak yang tahu kalau beberapa mahasiswa dari FIB berhasil lolos ke tingkat nasional.
Seperti namanya, Peksimida merupakan ajang adu keterampilan mahasiswa dalam bidang kesenian. Mahasiswa yang berhasil menjuarai Peksimida nantinya akan didelegasikan ke Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas), yang acaranya akan dihelat di Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara pada 11 September mendatang... (Bersambung
ke halaman berikutnya)
Edisi Khusus
Buletin Edisi IV/2016
1
Pelebaran Jalan Rp. 1,48 Milyar, Perlukah? UNDIP sedang gencar-gencarnya melakukan perbaikan sarana dan prasarana. Sejak diberlakunya SPI, proyek perbaikan fasilitas seperti makin tidak terbendung. Salah satu contohnya pelebaran jalan arah Widya Puraya (WP). Proyek itu dimulai sejak 20 Juli lalu dan ditargetkan selesai Oktober mendatang. “Proses fisik sudah dimulai 20 Juli dengan target Oktober selesai,” ujar Reza, Kontraktor pelaksana. Proyek pelebaran jalan arah WP itu membutuhkan setidaknya 20 pekerja dan beberapa alat berat. Hal tersebut dijelaskan Hari, selaku konsultan pengurus.
“Kurang lebih ada sekitar 20-an (pekerja, red). Kalau peralatan, ada ekskavator, ada alat berat untuk pemadatan, ada loder untuk mendorong materiar supaya gampang” Ujarnya ketika diwawancarai
Anggaran yang diperlukan untuk proyek perlebaran Jalan Widya Puraya (WP) bisa dibilang fantastis. Kepada reporter Hayamwuruk, Hari mengungkapkan “Rincian dana sekitar 1,488 Milyar.” Anggaran tesebut selain digunakan untuk pelebaran Jalan arah WP, akan digunakan pula untuk pembuatan trotoar dari Fakultas Ilmu
Peksiminas yang Sepi Gaungnya Sambungan halaman sebelumnya....
Di Jawa Tengah, Peksimida atau seleksi tingkat daerah telah berlangsung pada 26-31 Juli lalu. Di Undip, seleksi menuju Peksimida dilakukan beberapa bulan sebelumnya, yakni tanggal 28-29 Mei. Berbeda dari tahun sebelumnya, tahun ini seleksi tak hanya berlangsung di tingkat universitas. Secara khusus, FIB juga melakukan seleksi di tingkat fakultas, tepatnya pada tanggal 19 April. Sayangnya, seleksi tersebut tidak dibarengi dengan penyebaran informasi yang masif, sehingga wajar jika antusiasme di FIB dirasa masih kurang. “Banyak teman saya yang nggak tahu tentang Peksimida,” kata Ina Mardilah, mahasiswi jurusan Ilmu Perpustakaan 2012. Selain kurangnya publikasi, persiapannya juga dinilai belum matang. Tidak adanya kordinasi yang baik antar panitia sangat kentara selama hari-h: panggung baru dipersiapkan pukul sembilan, sementara lomba dimulai pukul sepuluh. Meski demikian, menurut Ina, jumlah pesertanyanya masih lebih banyak jika dibandingkan seleksi tingkat universitas. Hal tersebut senada yang disampaikan oleh Titis Widjayanti. Mantan ketua Teater Emper Kampus ini mengatakan, publikasi di tingkat universitas malah lebih parah jika dibandingkan dengan FIB. Ia bahkan tidak pernah mengandalkan informasi Pesksimida dari universitas karena dianggap sering kali terlambat. Minimnya informasi itulah yang menurut Titis, menyebabkan sedikitnya peserta yang mendaftar seleksi di tingkat universitas. Mulyo Hadi Purnomo, dosen jurusan Sastra Indonesia, mengatakan, apresiasi universitas terhadap kesenian memang masih kurang jika dibandingkan dengan olahraga, yang sampai memakan milyaran rupiah untuk membangun stadion. Dalam hal publikasi kegiatan semacam Peksimida
2
Buletin Edisi IV/2016
Budaya, Fakultas Hukum hingga menuju WP. “Kalau rencana jalan, dari depan sana taman sampai sekitar 250 meter. Kalau trotoar 400 meter,” imbuhnya Kontraktor Pelaksana, Reza mengatakan “alasan pelebaran jalan WP untuk kelancaran perkuliahan secara umum karena di sekitar tanjakan itu rawan terjadi kecelakaan dan jalannya sempit.” Beberapa sopir angkutan kota (Angkot) Undip mengaku tidak merasa terganggu dengan adanya proyek tersebut. Bahkan, mereka merasa terbantu jika jalan arah WP ini dapat digunakan. “Keuntungannya arus lalu lintas lancar, mengurangi kecelakaan lalu lintas di jalan karena trek lokasi yang digunakan lebih lebar dan arus transportasi serta pekerja angkot lebih lancar,” ujar Prayogo, salah satu sopir Angkot. Sementara Wildan, mahasiswa Sastra Inggris 2016, justru mempunyai pendapat lain terkait proyek pembangunan jalan WP. Ia berpendapat, seharusnya fasilitas di fakultas lah yang pembangunannya perlu ditingkatkan. “Lebih penting fasilitas fakultas, daripada pelebaran jalan yang tidak vital karena memang bukan jalan utama,” ujarnya. (Magang Hayamwuruk: Ulil Albab Alshidqi & Faiz Pajajaran) saja, universitas seperti tidak serius. “Surat memang ada, dari universitas. Tapi itu saja kan nggak cukup,” tuturnya. Meski demikan, menurutnya, keseriusan terhadap Peksimida sudah mulai muncul di FIB. Terbukti dengan diadakannya seleksi tingkat fakultas untuk kali pertama. Ketua Dewan Kesenian Semarang ini juga menambahkan, bahwa seni yang menjadi salah satu citra FIB, seharusnya tidak ditingkatkan ketika Peksiminas saja. “Event Peksiminas seyogyanya bukan sekadar sarana untuk menyalurkan bakat, akan tetapi juga sebagai sarana hiburan, misalnya saja dangdutan bersama. Dengan begitu, antusias mahasiswa pun meningkat, tidak hanya mahasiswa itu-itu saja yang ikut lomba,” tuturnya. Ia juga menambahkan, bahwa partisipasi universitas tetap dibutuhkan. misalnya dengan menyediakan panggung pertunjukan yang dapat dimanfaatkan oleh semua fakultas. Karena jika hanya mengandalkan fakultas, sistemnya akan terpecah-pecah. Kemudian, antusiasme mahasiswa dapat juga ditingkatkan, misalnya dengan memberikan hadiah kepada para juara seperti yang telah dilakukan di FIB. Nindya Ayu Pertiwi dari jurusan Sasindo 2015 yang lolos tingkat universitas pada tangkai lomba desain poster karena itu kaget. Sebab, di fakultas ia mendapatkan hadiah setelah lolos seleksi, sedangkan di tingkat universitas tidak. Di luar itu semua, baik Ina, Titis, Nindya, maupun Mulyo Hadi berharap akan ada keseriusan yang lebih dalam mempersiapkan delegasi ke Peksimida dan Peksimnas, baik di tingkat fakultas maupun universitas. Selain itu, tidak melulu harus mengandalkan universitas, seyogyanya mahasiswa juga lebih aktif dalam mencari informasi serta berpartisipasi dalam ajang kesenian tersebut. (Magang HayaMwuruk: Ririn Juli Hardianti & Bianca Marsella)
Foto Oleh: Saung Korea
Kabar Kampus
KORIN SCHOOL;
BERBAGI BUDAYA KOREA-INDONESIA Badan Semi Otonom (BSO) Korin Klub menyelenggarakan acara bertajuk “Korin School” pada Senin-Selasa, 8-9 Agustus 2016. Acara yang berlangsung selama 2 hari dan bertepatan dengan dimulainya Program Penerimaan Mahasiswa Baru (PPMB) Undip itu, bertempat di Ruang A 3.10 Fakultas Ilmu Budaya (FIB).
B
erdasarkan keterangan panitia, acara yang berisi tentang pengenalan serta pertukaran budaya antara Korea dengan Indonesia itu diikuti oleh 50 orang peserta. Dari sekian peserta yang hadir, tujuh di antaranya merupakan warga asli Korea. Ketujuh warga Korea itu didatangkan ke Indonesia berkat bantuan dari Mr. Park yang berperan sebagai “jembatan” penghubung antara Korin dengan pihak volunter dari Korea. Selama dua hari, acara diisi oleh beberapa kegiatan antara lain Korean Day di hari pertama, dan Indonesian Day di hari selanjutnya. Di hari pertama, para peserta diajak belajar dan berkenalan dengan berbagai hal
mengenai Korea, mulai dari bahasa sampai permainan tradisionalnya. Sedangkan di hari selanjutnya, Indonesian Day, giliran para volunter asal Korea yang berkenalan dengan kebudayaan Indonesia. “Pertama itu Korean Day. Jadi all about Korea seperti games dari Korea. Terus belajar bahasa Korea. Terus semua yang berhubungan dengan Korea; belajar pengetahuan tentang Korea. Hari kedua ini hari tentang Indonesia. Orang-orang Korea itu belajar Bahasa Indonesia,” jelas Widianti selaku ketua panitia. Acara ini sebenarnya sudah ada sejak kursus Bahasa Korea muncul di FIB. Awal mulanya, Korin memang merupakan klub yang berada di tingkat universitas. Namun, lambat laun orang yang aktif dalam Korin didominasi oleh mahasiswa yang berasal dari kampus budaya, sehingga terbentuklah Korin Klub FIB ini. Setelah resmi menjadi BSO pada 2013 maka acara-acara seperti “Korin School” dan “Korin Festival” pun mulai muncul. Ketika Bahasa Korea mulai ada dan berkembang di Undip, khususnya di FIB, beberapa orang yang menekuni kebudayaan Korea mulai berharap akan didirikannya jurusan
Bahasa Korea di Undip. Untuk mencapai itu, Korin mulai membangun sebuah hubungan antara Indonesia dengan Korea, salah satunya dengan pengadaan acara ini. Selain belajar dan mengenal budaya dan bahasa, “Korin School” juga mengenalkan tentang makanan khas dari masing-masing negara. Untuk puncak acaranya, diadakan pentas seni di mana para peserta baik Indonesia maupun Korea diharuskan menampilkan pertunjukan kesenian daerah dari masingmasing negara. Menurut Widianti, tidak ada kesulitan yang berarti selama pelaksanaan acara kecuali perbedaan Bahasa. “Kendalanya yaitu Bahasa, soalnya dari anak Korin sedikit (yang bisa) bahasa Inggris dan Korea. Ada satu miskom karena perbedaan Bahasa Inggris,” tuturnya. Meski belum lama ada, dengan jumlah peserta yang mencapai 50 orang itu, Korin School dapat dikatakan ramai peminat. Bukan hanya mahasiswa FIB, mahasiswa dari fakultas lain juga banyak yang mengikuti acaara ini. Mereka tertarik karena Korin mendatangkan orang asli dari Korea untuk berbagi pengetahuan tentang budaya, bahasa serta keseniannya. Keberadaan volunter dari Korea inilah yang menjadi sebuah daya tarik tersendiri bagi peserta dari Indonesia. “Harapannya ya sukses terus, kalo bisa tambah yang muda (orang Korea-nya),” gurau Anisa, mahasiswa administrasi bisnis angkatan 2015 yang menjadi salah satu peserta. Korin School sendiri diselenggarakan secara rutin ketika summer holiday dan winter holiday (hari libur di negara Korea). Jika diselemggarakan pada bulan Agustus, maka namanya dapat disebut “Korin Summer”, sedangkan Korin School selanjutnya akan jatuh pada bulan Januari yakni ketika Korea sedang mengalami libur musim dingin. (Faidah Umu S)
Buletin Edisi IV/2016
3
LAMAS 2016:
Mempertahankan Bahasa Lokal dari Ancaman Kepunahan
eorang wanita paruh baya berjalan menghampiri standing microphone yang disediakan panitia di tengah ruang seminar. Ia memperkenalkan diri sebagai peserta dari suatu daerah di Jawa Barat. Ibu berwajah kalem itu ‘curhat’ tentang anaknya yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Ia bercerita, bahwa si anak yang belum genap 6 tahun itu telah belajar dan menggunakan Bahasa Inggris sejak masuk ke sekolah. Sedangkan di rumah, meskipun seorang guru Bahasa Inggris, kepada anaknya itu ia mengajarkan pula bahasa daerah asalnya—Sunda. Tapi bukan kemampuan dwibahasa yang didapat, sang anak justru mengalami kebingungan dalam berbahasa dan tak mampu menyelaraskan keduanya. Alhasil, Bahasa Inggrislah yang kemudian lebih dikuasai si anak. Dalam seminar internasional bertajuk 6th Language Maintenance and Shift (disingkat LAMAS) yang diselenggarakan di gedung pascasarjana Undip, Selasa, 9 Agustus itu, pertanyaan si ibu memang relevan dengan topik yang sedang diperbincangkan. Sebab persoalan semacam itu memang kerap dialami para orang tua— antara mengenalkan bahasa internasional sejak dini dan mengajarkan bahasa lokal pada anaknya. Mohd Mukhlis bin Abu Bakar, yang menjadi salah satu pembicara saat itu, menjawab bahwa attitude terhadap bahasa lokal dan nasional adalah kunci dalam usaha pemertahanannya. Menurutnya, menguasai bahasa internasional di era globalisasi memang penting, tapi menjaga kekayaan bahasa dan budaya juga tidak kalah perlu. Pengajar Bahasa Melayu di National Institute of Education University Singapura itu juga mengatakan, menghargai bahasa dapat dimulai dengan melestarikannya di lingkungan keluarga. Mengajarkan terlalu banyak bahasa di usia yang sangat dini akan menyebabkan language confusion atau kebingungan berbahasa. Ia menyarankan pula untuk mengajarkan bahasa ibu atau bahasa regional terlebih dahulu kepada anak sampai mahir, baru kemudian berlanjut untuk bahasa kedua dan ketiga. Seluruh hadirin dalam ruangan turut menyimak. Ada beberapa peserta yang juga ikut melontarkan pertanyaan terkait fenomena bahasa lokal dan nasional yang menjadi topik utama seminar internasional 6th Language Maintenance and Shift (biasa disingkat LAMAS).
Kamis Budaya Hidup Lagi 4
Buletin Edisi IV/2016
Foto oleh Deviana K
S
Seminar Pemertahanan dan Pergeseran Bahasa ini diselenggarakan oleh program Magister Linguistik Universitas Diponegoro yang berkolaborasi dengan Balai Bahasa Jawa Tengah. Tahun ini merupakan tahun keenam seminar ini diadakan. Dengan lebih dari 100 peserta yang merupakan peneliti dari berbagai daerah di Indonesia serta negara-negara seperti Malaysia hingga Amerika Serikat, seminar LAMAS diharapkan menjadi salah satu upaya mempertahankan bahasa-bahasa lokal melalui riset dan ilmu pengetahuan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Herudjati Purwoko, ketua panitia LAMAS, dalam rangkaian pembukaan di plenary hall gedung pascasarjana Undip pada hari Selasa (9/8). Sesuai tema yang diangkat yakni “Memberdayakan Keluarga, Sekolah, dan Media dalam Rangka Pemertahanan Bahasa-bahasa Lokal”, harapan dari seminar ini adalah membangun sikap menghargai bahasa lokal maupun nasional yang saat ini semakin tergerus oleh bahasa yang lebih “populer”. Menurut data Badan Pusat Bahasa, puluhan bahasa di berbagai daerah, utamanya luar Jawa, telah masuk kategori terancam punah. Dadang Sunendar, pembicara dari Badan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, karena itu mengajak para hadirin untuk kembali melestarikan bahasa Indonesia agar bisa bertahan atau malah menjadi bahasa internasional. Apalagi bahasa Indonesia adalah satu bukti kuat aset pemersatu bangsa yang berharga. Bila menengok negara-negara tetangga yang juga multi-etnis, tidak semua bisa dengan sepakat memiliki satu bahasa nasional secara mutlak. Seminar yang dilangsungkan selama dua hari ini kemudian secara resmi ditutup oleh ketua seksi sidang, Deli Nirmala pada Rabu (10/8) sore. (Deviana Kurniawati)
Sore hari, di halaman kampus yang sering disebut mahasiswa FIB cropcircle, persis di depan pintu lobi kampus FIB, sekelompok mahasiswa terlihat duduk melingkar membentuk sebuah forum. Salah satu dari mereka bertindak sebagai pembuka acara sore itu. Setelah acara dibuka,
satu demi satu mahasiswa melontarkan problematika yang mengendap atau belakangan terjadi di kampus mereka. Tanggapan-tanggapan lalu bermunculan: kadang sebuah bantahan, kadang juga hal-hal yang bisa ditertawakan. Dan tanpa memakan waktu lama, mereka telah asik den-
Kabar Kampus
Foto Oleh Wahyu Dwi A
gan diskusi yang mereka lakukan. Sore itu, Kamis, 18 Agustus 2016, “Diskusi Kamisan” atau yang dikenal dengan “Kamis Budaya”, hidup kembali. Beberapa mahasiswa yang baru saja menyelesaikan kuliah sore, berlalu-lalang. Sebagian dari mereka terlihat heran dengan Kamisan yang sedang berjalan. Sebagian lainnya merasa aneh setelah dipanggil oleh salah satu peserta untuk ikut serta dalam diskusi tersebut. Memang, tak banyak yang tahu tentang apa dan bagaimana forum diskusi itu berjalan. “Kamisan? Aku gak tahu ik,” ujar Kholidatul Ulum, Sastra Inggris Angkatan 2014. Dhini Lestari, mahasiswi Ilmu Perpustakaan 2013, yang hadir dalam forum tersebut mengatakan, Kamisan merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Dinar Fitra Maghiszha ketua BEM FIB tahun 2014. “Jadi tuh dulunya yang aku denger, mas Dinar tuh lagi kumpul sama temannya berdua di sekre HM Sejarah, terus berawal dari dua orang itu yang pada ngobrol-ngobrol tentang kampus, nah akhirnya pindah ke cropcircle, nah di cropcircle itu mereka ngobrol santai aja, sampai akhirnya tercetuslah kamisan ini.” Di luar forum tersebut, Dinar sendiri menceritakan bahwa ketika menjabat sebagai ketua BEM, ia merasa dibutuhkannya suatu wadah untuk menampung aspirasi atau uneg-uneg mahasiswa FIB secara umum. Maka, setelah berdiskusi dengan Badan Pengurus Harian (BPH) BEM FIB waktu itu, dibuatlah Forum Bebas Mahasiswa (FBM). Setelah FBM terbentuk, banyak pendapat yang muncul dari beberapa mahasiswa di dalam forum tersebut yang mengatakan bahwa kegiatan organisasi mahasiswa hanya milik mahasiswa organisatoris. Sangat sedikit mahasiswa di dalam Lembaga Kegiatan Mahasiswa (LKM) yang merangkul mahasiswa non-organisatoris untuk peduli pada kampusnya sendiri. Oleh karena itu, banyak mahasiswa non-organisatoris yang terkesan acuh pada masalah-masalah yang terdapat di kampus. mereka pun banyak yang mengeluhkan bahwa seringkali mereka hanya menjadi peserta dalam
kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh organisasi. Bahkan, beberapa tahun lalu dalam FBM itu, seorang mahasiswa non-organisasi mengatakan tidak suka disebut apatis. “Kami itu bisa nyanyi, bisa lukis, bisa banyak jenis olahraga, tapi tidak ada ruang bagi kami untuk mengembangkan minat dan bakat kami. Seringkali organisasi yang kami ikuti menerapkan ‘seleksi’ diantara kami, sehingga yang paling hebatlah yang diambil, yang sedang ingin membangun bakat tersisih. Yang paling tahu informasilah yang bisa masuk, sedangkan kami yang jarang mendapat info, justru disiplin kami yang disalahkan. Inilah kami yang sering kalian sebut sebagai mahasiswa apatis,” Dinar mengisahkan. Berawal dari masalah itulah, FBM pun sepakat untuk membentuk Kamis Budaya dengan tujuan agar menjadi jalan tengah bagi seluruh mahasiswa FIB dari berbagai latar belakang. “Dalam Kamis Budaya, berisi mahasiswa dengan kutu bukunya, dengan gitarnya dan beraneka ragam jenis mahasiswa,” kata Dinar. Selain menjadi wadah aspirasi, Kamis Budaya juga merupakan sebuah forum untuk merumuskan bersama, ide, gagasan, konsep dan segala hal lainnya untuk kemajuan kampus budaya. Hal itu dilakukan dalam suasana yang cair dan tidak kaku, “Kami berdiskusi bersama, jika bosan kami bernyanyi bersama. Tidak ada undangan resmi, tidak ada waktu yang mengikat.”
Awalnya memang tidak mudah. Banyak kesulitan yang dihadapi terutama dalam mengundang mahasiswa untuk masuk ke dalam forum tersebut. Hal ini disebabkan tidak adanya sistem yang jelas dan bergantungnya mahasiswa pada seorang inisiator. Tidak adanya pemantik serta budaya ‘ketokohan’ yang ada saat itu membuat forum menjadi tidak aktif lantaran jarang ada mahasiswa yang berani speak up. Tapi, setelah beberapa waktu berjalan dan telah menghadapi banyak hambatan, Kamis Budaya pun dapat dibuktikan tidak hanya menjadi sebuah forum diskusi bebas belaka, tetapi juga mampu menghasilkan beberapa hal yang terealisasi seperti Nobar (Nonton bareng) Liga Champions di FIB secara gratis, terbentuknya Gerakan Mahasiswi Ilmu Budaya (Gemaia) serta kegiatan-kegiatan lainnya. Di akhir, mantan Ketua BEM itu berpesan agar organisasi mahasiswa jangan sampai lupa dari mana dan untuk siapa ia dibentuk. “Tidak semua mahasiswa suka diskusi, bahkan ada beberapa mahasiswa jika mendengar nama “diskusi” saja sudah tutup mata. Saya pikir, Kamis Budaya harus lebih fleksibel. Sekali waktu diskusi, sekali waktu nobar, main catur, lukis, mini konser, dan lainlain. Tujuannya tetap satu: persatuan dan kolektifitas mahasiswa. Caranya beragam. Kamis Budaya ingin membangun budaya,” terangnya. (Magang Hayamwuruk: Wahyu Dwi A dan Bimo Indarto)
Buletin Edisi IV/2016
5
English Corner
What Laid Behind
I
T was not the first time for Turkey to have a coup attempt and a trial of overthrowing the government. Millitary blocked the bridges over the Bosphorus strait in Istanbul, and planes flew over the Ankara, Turkey’s capital city, on Friday, July 15 evening local time. Soon after, Prime Minister Binali Yildirim announced that an attempt to overthrow the government was under way. The government TV station (TRT) and other media were also raided by soldiers to announce that they had seized power to protect Turkey’s democracy from President Recep Tayyip Erdogan, who was not in Ankara at that time but having a holiday in Marmaris. Soon after he returned and arrived at Attaturk Istanbul airport, the media managed to on air again. The coup attempt was officially finished as Erdogan’s supporters were asked to take to the streets in protest before he could go back to Istanbul. In the early hours of Saturday morning, groups of soldiers involved began to surrender. Troops abandoned their tanks with their hands up. Scores of people have been killed and more than 1.400 people wounded, but the coup attempt itself remains unclear. The government has blamed Fethullah Gulen, a reclusive US-based Muslim cleric whom it accuses of fomenting unrest. Mr Gulen denied the claims and has condemned the coup. ` As what has been mentioned before, this coup attempt was not the first time to happen in Turkey. In 1960, the first coup attempt has been done by military junta against Prime Minister Adnan Menderes for his Islamization program. This Islamization started when Demokrat Partisi (DP) won the 1950 election and let Cumhuriyet Halk Partisi (CHP), the party which always won the election before, in great loss. CHP, with “Tur-
6
Buletin Edisi IV/2016
key’s Father” Mustafa Kemal Attaturk as its founder, was the only one party that was exist in Turkey when the single party system was still in charge. At that time, Turkey was the most seculer country in the world. Islamic and Arabian stuff were removed. Mosques were closed and re-opened as museums or werehouses. Women were not allowed to wear hijab in public, and religion subjects were deleted from school curriculums. Right after 1945, this single party system ended and a multy party system started to raise. Election then was held in 1950 and let DP as the winner. From that on, Islamization started to grow up by taking back adzan to its original language, Arabian. The military junta then commited a coup and bring Menderes to gallow a year after. The coup attempt continued to happen every decade with different reasons. The 1971 coup commited, again, by military junta due to economical recession that made people angry. Prime Minister Suleyman Demirel then was substituted by Prime Minister Nihat Erim. Coup again happened in 1980 and 1997, and all the four remains the same: the decrease of Turkey’s social-economic situation. The decrease then guided Turkey to have a new winner, but still not the CHP. All of the winners, with different names and different people, have the same spirit, that is to bring
Islam to its glory. Then why the coup attempt at July 15 could happen? Let’s see what was going on in Turkey before July 15. Even though there were decline on Turkey’s currency, but it was still tolerated. Its economical condition was totally fine, so that it was impossible to have the coup due to economic situation. Politically, Turkey didn’t have a big deal about it. There were people argued about the change of governance system from parliamentary to presidential, but usually it will be finished by having a referendum among its people. Turkey has just upgraded its relations with Russia since the firing to Russian jet cople time ago. Actually, both of them need each other. Turkey need Russia’s gasoline, and Russia need to sell more of it. There are also some possible theories regarding to who will take the responsibility of this coup. One of them is the one that come from Kurdi’s leader. Kurdi is the socialist that represents about 18% of Turkey population consists of Kurdi ethnic people that occupied South East Turkey. It is about a trapping that Kemalist (seculer faction, Mustafa Kemal Attaturk supporter) has done to Gullenist in the coup. Kemalist and Gullenist allied against AKP, Erdogan’s party, in the last election. Kemalist clearly know that the coup will be fail, but keep pressing Gullenist to move
Maba dan Pak Haryo yang Jenaka Sambungan dari halaman 1
Doc. internet
(Hendra Friana)
Buletin Edisi IV/2016
7
Doc. internet
in military. The fail of this coup later will bring a loss to Fethullah Gullen itself with the cleaning of its supporter. Kemalist will be in a winning position because seculer and religious faction wiold never unite. The second theory is about the arrest of Gullenist. There was a news mentioned that the government will do a great arrest to Gullenists. This operation actually has been operated since two years ago, started from the cleaning of Police from Hizmet shympathizers and will continue to judges and prosecutors on July 16. Unfortunately, this news seemed to be heard by the Gullenist so they start to have a coup attempt without any proper preparation. This military Gullenists tried to take over the country and take the generals as their hostages. They took over the media to get more support from Turkey’s people. The coup finally failed because they were lack of preparation and supporters, and also the little number of the soldiers involved in this coup. Despite of those possible theories, this fifth coup attempt seemed to be fail because Turkey’s people completely realized that to change the governance by doing a coup attempt is wrong, and they don’t want the coup to be happened. (Magang Hayamwuruk: Ulfaturroifah & Nur Khakimah)
...mengeluarkan selembar 50 ribuan dari dompetnya. Setelah Jumlah Mahasiswa Baru FIB cuap-cuap sedikit, asal saja ia tun- 2016 dari tiap Program Studi juk satu Maba yang duduk di barisan depan: laki-laki. “Maju, ke sini,” Sastra Indonesia: 69 81 ujarnya. Setelah si mahasiswa naik Sastra Ingris: : 46 ng pa Je a str panggung, terjadilah percakapan Sa ah: 67 Sejar singkat yang intinya si mahasiswa Ilmu Perpustakaan: 77 disuruh menunjukkan salah satu Antropologi Sosial: 62 dosen yang ia sebut namanya. D3 Bahasa Ingris: 35 23 D3 Bahasa Jepang: Beruntung, si mahasiswa D3 Kearsipan: 59 memperhatikan betul saat Suharyo Informasi: 40 D3 Perpustakaan & menyebutkan nama-nama staff dan a Baru: 559 pejabat di fakultas. Maka tanpa Total Seluruh Mahasisw pikir panjang, mahasiswa itu langsung mengetahui orang yang dimaksud. “Yang ini,” kata si mahasiswa Gagal menjawab tantangan tersebut, sambil menunjuk si empunya nama. sambil menahan mesem, si mahasiswi Tepat! 50 ribu rupiah yang ada di tan- pun turun panggung dengan tangan Suharyo pun berpindah ke saku gan hampa. Di dekat mixer sounds mahasiswa itu. Seisi ruangan tertawa yang berada di luar ruangan, seraya bertepuk tangan. seorang staf fakultas terkekeh samSelesai? Belum. Lembar ked- bil berujar “Tukul... Tukul...” ua Suharyo keluarkan dari dompetSetiap tahun, FIB memang nya yang berwarna coklat—masih 50 punya cara sendiri untuk menyamribu rupiah. Kali ini, ia yang ditunjuk but mahasiswa baru. Dan pagi itu, adalah seorang mahasiswi di barisan kursi sebelah timur. Seperti rekan se- sebanyak 559 mahasiswa baik dari angkatannya yang sudah lebih dulu jurusan dan program studi dismaju, mahasiswi itu pun akhirnya memberanikan diri dan naik ke panggung. Dari jauh, langkahnya terlihat agak ragu. Ketika sampai di atas... “Coba kamu cari, nyalami, mohon maaf dan sungkem sama Ibu Dewi Yuliati!” Modar. Seisi ruangan kembali tergelak. Dengan mimik kebingunambut dengan serangkaian acara, gan, si mahasiswi lalu mulai mener- mulai dari laporan pengenalan ka-nerka siapa orang yang dimakkehidupan kampus, sampai pemsud Suharyo. Setelah yakin, segera ia berian penghargaan kepada mahamenghampiri salah seorang pejabat yang duduk di bangku bagian depan siswa berprestasi yang diharapkan di atas panggung. Belum habis riuh dapat menjadi inspirasi bagi para tawa para mahasiswa, Suharyo kontan mahasiswa baru. Dibandingkan tahun lalu acara penyambutan maba bertanya, “Benar?” memang tak banyak yang berbeda, “Salah...” kecuali sumber keceriaannya. Kali “Ora sido!” ini ia adalah Wakil Dekan II. Suasana semakin meriah.
Opini
Organisasi Mahasiswa; Wadah Pergerakan atau EO (Event Organizer) Oleh: Reshza Mustafa
28 OKTOBER 1928, Gedung Oost-Java Bioscoop di Jalan Merdeka Utara, Jakarta diramaikan oleh rapat yang digelar para pemuda bangsa Indonesia. Tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesian (PPPI), mereka membahas masalah pendidikan. Sampai pada seorang pemuda bernama Sarmidi, tampak vokal menyuarakan pendapatnya. “Anak harus mendapat pendidikan kebangsaan! Harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan si rumah! Anak juga harus dididik secara demokratis!�, serunya. Budi Utomo, telah bertuah. Budi Utomo merupakan organisasi pemuda Indonesia yang pertama, kebanyakan anggotanya berasal dari kalangan para mahasiswa.Dengan adanya konggres pemuda yang telah berhasil melahirkan sumpah pemuda sebagai pijakan awal langkah menuju kemerdekaan, Budi Utomo terbukti mampu menjadi wadah yang ampuh guna menampung kemampuan yang dimiliki anggotanya. Keberadaan Budi Utomo sama saja dengan menyimbolkan sumbu semangat perjuangan dari para pemuda revolusioner bangsa. Kemunculan Budi Utomo sebagai sebuah organisasi, mulai dipelajari dan berkembang di dunia kemahasiswaan setelah adanya politik etis yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Salah satu dari politik etis tersebut adalah membuka kesempatan lebih banyak pada pemuda pribumi untuk menuntut ilmu ke jenjang pendidikan tinggi. Pemuda pribumi dari kalangan pedagang kaya dan priyayi diperbolehkan untuk menuntut pendidikan tinggi di Stovia maupun sekolah tinggi ilmu teknik di Bandung (baca: cikal bakal dari Institut Teknologi Bandung). Masuk di masa pasca kemerdekaan 45, organisasi mahasiswa berkembang semakin dinamis dan menempatkan posisinya sebagai salah satu pilar demokrasi. Memunculkan nama tenar semisal Soe Hok Gie, sebagai salah satu tokoh aktivis mahasiswa Indonesia. Kehadiran universitasuniversitas besar seperti ITB, UI, UGM, sangat berpengaruh pada masa itu di mana para aktivis mahasiswanya fokus menyuarakan perjuangan revolusi pemerintahan melalui media pers, seperti yang dilakukan Gie. Pada masanya, gerakan mahasiswa pasca kemerdekaan 45’, lahir dari sumbangsih keberadaan organisasi mahasiswauniversitas yangberhasil menjalankan fungsinya sebagai wadah untuk berpikir kritis. Gerakan pasca kemerdekaan 45’ disebut-sebut mencapai puncak keberhasilannya setelah menghasilkan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), yang akhirnya mengakhiri rezim orde lama. Setelah itu, gerakan mahasiswa Indonesia melalui organisasinya akhirnya mengalami puncak semangat revolusionernya ketika memasuki masa orde baru. Ketidakadilan, dan pembungkaman hak kebebasan berpendapat oleh pihak pemerintah membuat gerakan mahasiswa menjadi
8
Buletin Edisi IV/2016
semakin gencar dan massif. Organisasi mahasiswa yang pada watu itu dikenal sebagai Dewan Mahasiswa (DEMA)--sekarang BEM (Badan Eksekutif Mahasiwa)--di setiap universitas memiliki peranan penting dalam melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah karena memiliki kekuatan yang besar apabila disuarakan melalui presidium nasional DEMA. Presidium nasional DEMA (baca: sekarang disebut BEM SI) merupakan lembaga yang mewadahi DEMA universitas di seluruh Indonesia sehingga pengaruhnya sangat besar terhadap pemerintah. Pimpinan perguruan tinggi tidak bisa campur tangan terhadap kebijakan DEMA di tiap universitas. Bahkan di internal universitas, seluruh ormawa yang ada, tergabung dalam DEMA sehingga kekuatannya di tingkat universitas pun cukup besar. Dampaknya, setiap presidium nasional DEMA memprotes kebijakan pemerintah maka seluruh mahasiswa di Indonesia juga bersuara sama. Satu suara. Bentrokan mahasiswa dengan pemerintah yang didukung militer, menjadi puncak kejengahan mahasiswa terhadap perlakuan semena-mena dari pemerintah, sampai mengakibatkan Peristiwa Malari(lima belas januari). Kebijakan pembangunan pemerintah untuk mendatangkan produk luar negeri tidak sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat dan mengakibatkan ketergantungan terhadap negara lain, diantaranya produk Negara Jepang. DEMA mengadakan unjuk rasa untuk menolak produk-produk Jepang dan bertepatan dengan kunjungan perdana menteri Jepang ke Indonesia. Setiap ada kebijakan yang menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat, DEMA selalu mengadakan unjuk rasa. Besarnya kekuatan DEMA bagi pemerintah dianggap bisa mengganggu stabilitas dan menghambat pembangunan sehingga perlu ada aturan yang bisa mengebiri kekuatan DEMA. Pada tahun 1978, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membekukan DEMA (SK No. 037/U/1979) dan mengeluarkan peraturan tentang Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (SK No.
0156/U/1978). Tujuan utama peraturan ini adalah untuk mengebiri kekuatan DEMA yang tadinya bersifat nasional menjadi bersifat lokal universitas (HRW: 1998). Siasat pengontrolan pemerintah orde baru kepada gerakan mahasiswa terjadi pada tahun 1982, di mana pemerintah mengeluarkan peraturan tentang senat mahasiswa diperguruan tinggi dan diperkuat dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi yang semakin mengubah profil organisasi kemahasiswaan di tingkat universitas (Sudarma: 2005). Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT (senat mahasiswa perguruan tinggi) dan koordinasinya berada di bawah rektor. Dengan peraturan ini, ormawa semakin dikebiri karena dipecah-pecah menjadi kecil. Bahkan untuk tingkat fakultas berada dibawah Pembantu Dekan III. Tujuannya adalah untuk mengurangi kegiatan mahasiswa dalam berpolitik dan mengembalikan mahasiswa ke kampus untuk belajar. Hal ini kita kenal bersama dengan istilah, “normalisasi kampus”. Kebiri yang dilakukan pemerintah pada Ormawa, mengakibatkan realita pahit bagi kesejahteraan masyarakat. Negara semakin melarat (sengsara) karena pemerintah yang tidak becus, dengan hadirnya krisis moneter yang terjadi pada masa akhir 1990-an. Meski dikebiri, gerakan mahasiswa tidak sepenuhnya lenyap. Terbukti dengan hadirnya demonstrasi besar-besaran bersama rakyat pada dekade 98’, membuat peraturan tentang SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) di ranah pendidikan dihapuskan. Sehingga aksi massa pun tambah gencar dilakukan. Organisasi mahasiswa, telah menemukan kembali jalur nafas perjuangannya. Puncak dari jalur nafas perjuangan tersebut ialah gedung DPR RI yang menjadi saksi bisu berakhirnya orde baru, ketika atap hijaunya diduduki ribuan mahasiswa Indonesia hingga memaksa Soeharto turun dari jabatannya. Mahasiswa menganggap kredibilitas orde baru sudah jatuh dan tidak becus mengurus Negara sehingga Negara terpuruk pada krisis multidimensi. Kasus penembakan di Trisakti, Semanggi dan Salemba yang memakan korban mahasiswa menunjukkan bahwa gelombang aksi yang dilakukan mahasiswa tidak bisa dihentikan dengan kekuatan senjata maupun militer. Mahasiswa bersama idealismenya menjadi tokoh sentral terbentuknya era baru bernama reformasi. 26 tahun sudah reformasi berjalan, dan organisasi mahasiswa beserta gerkannya telah mengalami banyak perkembangan. Ada hal-hal lama yang mulai ditinggalkan, dan ada pula hal-hal baru yang dinilai patut jika digunakan. Salah satu hal baru tersebut ialah, wajah organisasi mahasiswa sebagai sarana untuk membuat suatu eventbesar. Pudi JA, mahasiswa sastra Indonesia 2013 yang juga menjabat sebagai ketua KMSI (Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia) FIB Undip, memberikan sedikit pandangannya
terkait wajah organisasi mahasiswa yang digunakan sebagai sarana untuk membuat event-event besar di lingkungan kampus. “Aku kok agak bingung ya, di himpunan mahasiswa sastra Jepang kita setiap tahun punya rutinan Orenji (baca: event tahunan yang dibuat dengan kemasan budaya populer Jepang oleh Himawari dan Sakura, himpunan mahasiswa sastra Jepang, FIB Undip). Tapi, kalau melihat sejarah gerakan organisasi mahasiswa, rasa-rasanya jadi gimana gitu. Mungkin hal seperti ini dianggap menjadi wajar jika melihat pengaruh pasar dan kondisi tren yang dibentuk anak-anak muda kita sekarang.”, ujarnya. Kehadiran Orenji (sastra Jepang), Libration (ilmu perpustakaan), E-Day (sastra Inggris), Bulan Bahasa (sastra Indonesia), maupun Mahakarya (BEM) memang bisa dibilang hasil dari buah karya organisasi mahasiswa FIB Undip yang berorientasi sebagai bagian dari EO. Memang secara pasar atau promosi, acara-acara tersebut bisa dibilang sangat menarik antusiasme pengunjung yang kebanyakan dari kalangan anak muda. Budaya populer yang berkembang di Indonesia sekarangterutama budaya populer dari luar negeri tanpa bisa kita tolak telah menjangkiti gaya hidup, cara berpikir, dan sistem sosial anak-anak muda. Organisasi mahasiswa yang bisa membuat event besar dan sukses di pasar, dalam artian dikenal sampai ke anak-anak muda luar daerah, secara langsung akan dikenai anggapan sebagai sebuah organisasi mahasiswa yang mumpuni untuk diikuti dan dicap prestise. Berbeda jauh tentunya, jika ditilik dari segi sejarahnya di mana organisasi mahasiswa pada masa sebelum kemerdekaan sampai pada akhir era orde baru, dijadikan sebagai wadah/ sarana untuk mengawal perjuangan bersama-sama dengan rakyat. Jika memang dengan adanya orientasi bahwa menjadi EO merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan dan sesuatu yang prestise karena masa sekarang sudah bukan masanya perjuangan. Lalu bagaimana dengan long march 144 km ibu-ibu Pati untuk memenangkan tuntutan melawan pabrik semen? Ibu-ibu Rembang yang sesak nafas karena bertahan di tenda kecil selama tiga tahun lebih untuk menghentikan pembangunan pabrik semen? Para nelayan di Batang, Kebumen yang kehilangan mata pencahariannya karena tiang-tiang PLTU? Dan masih banyak masalah lain yang dialami rakyat selama ini. Idealnya sekarang, tidakkah lebih bijak jika Sakura dan Himawari membuat acara menggambar anime bareng dengan tema-tema yang mengawal perjuangan rakyat? Tidakkah lebih bijak jika KMSI datang ke tenda ibu-ibu Rembang guna membacakan puisi untuk menyemangati perjuangan mereka ketika Bulan Bahasa tiba? Tidakkah lebih bijak jika Libration tersebut merupakan Libration yang membagi-bagikan buku untuk anak-anak kampung yang tidak bisa membaca dan menulis? Kembali kepada apa yang telah dikatakan oleh Arif Budiman, pengertian dari mahasiswa ialah “sebagai sebuah lapisan masyarakat yang belum banyak dicemari kepentingan-kepentingan praktis dan pragmatis, alam fikiran mahasiswa berorientasi pada nilai-nilai ideal dan pembelaannya pada kebenaran, sebagian ahli memasukkannya ke dalam EO”. Oh maaf salah tulis, maksudnya ialah “cendekiawan”.
Buletin Edisi IV/2016
9
Kolom
Doc. internet
Keharyapatihan di Tengah Eropa Oleh: Iqbal Firmansyah
P
ada awal tahun 2016 yang lalu di Jakarta, Presiden RI Joko Widodo melantik 13 orang Duta Besar (Dubes) Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Republik Indonesia untuk negara-negara sahabat. Salah satu dari duta besar tersebut, terdapat Dubes LBBP RI untuk Kerajaan Belgia merangkap Keharyapatihan Luksemburg, Uni Eropa, dan organisasi-organisasi internasional lainnya di Brussel, yang berkedudukan di Brussel, Belgia. Dari wilayah-wilayah tersebut, terdapat wilayah keharyapatihan. Mungkin bagi sebagian orang masih asing dengan kata keharyapatihan. Nama tersebut terdengar seperti nama latar tempat dalam sandiwara tradisional Jawa. Yang pasti nama tersebut terdengar unik dan Jawa banget. Lalu apakah keharyapatihan itu? Jika dicari terjemahannya dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia (KBBI), Balai Pustaka edisi ketiga 2005, tidak ditemukan kata keharyapatihan. Namun apabila keharyapatihan diurai menjadi dua kata yaitu “harya” dan “patih”, kata “harya” tidak ditemukan. Sementara, kata “patih” terdapat dua terjemahan, yaitu pertama: menurut (mendengarkan) perintah; patuh. Kedua: wazir; bendahara; mangkubumi; wakil bupati; sebutan orang besar berarti tuan. Rohman Budijanto, dalam
10
Buletin Edisi IV/2016
majalah Tempo (edisi 23-29/9/2013) menunjukkan, bahwa keharyapatihan merupakan istilah resmi yang dipakai oleh Pemerintah Indonesia untuk menyebut sejumlah wilayah di Eropa. Di dunia diplomasi, Indonesia tidak hanya menjalin hubungan dengan negara republik, kerajaan, atau persemakmuran, tapi juga dengan keharyapatihan. Di beberapa negara, Keharyapatihan Luksemburg memiliki sebutan, misalnya, Inggris: grand duchy; Prancis: grand-duché; Jerman: Großherzogtum; Luksemburg: Groussherzogtum. Menurut Budijanto, jika diamati dari akar katanya, duchy, lebih dekat ke kadipaten, yaitu wilayah besar (seperti provinsi) yang dipimpin duke atau adipati. Luksemburg merupakan negara monarki konstitusional, dengan sistem demokrasi parlementer, tetapi menurut Budijanto, memang lebih terasa seperti pertunjukan ketoprak kalau Luksemburg dijuluki sebagai kadipaten agung. Selain Luksemburg, negara lain yang dijuluki keharayapatihan adalah Liechtenstein. Istilah keharyapatihan untuk Liechtenstein merupakan penafsiran dari sebutan principality (Inggris) dan Fürstentum (Jerman). Menurut Budjianto, jika dilihat dari istilah principality, tafsir yang lebih mendekati adalah kepangeranan, wilayah yang dipimpin prince (pangeran), seperti Monako dan Andorra. Liechtenstein adalah negara monarki berdaulat, tetapi mengurus kepentingan luar negerinya dengan
menitip pada Swiss. Oleh sebab itu, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Konfederasi Swiss, dirangkapkan dengan Keharyapatihan Liechtenstein. Di sampaing itu, dalam dunia olahraga terutama sepak bola, keberadaan negara-negara keharyapatihan tersebut dapat diamati pada keikutsertaan mereka pada kualifikasi Piala Eropa 2016. Pada babak kualifikasi, Luksemburg tergabung dalam grup C bersama dengan negara-negara seperti Spanyol, Slovakia, Ukraina, Belarusia, dan Macedonia. Akan tetapi Luksemburg gagal lolos karena dikalahkan Spanyol dengan skor 4-0 di Stadion Estadio Municipal Las Gaunas, Spanyol, pada Sabtu (10/10/2015) lalu. Luksemburg berada pada posisi dua terbawah klasemen dengan 4 poin, satu tingkat di atas Macedonia. Hal itu membuat Luksemburg tidak lolos ke babak final Piala Eropa 2016. Sementara Liechentein tergabung dalam grup G bersama Austria, Russia, Swedia, Montenegro, dan Moldova. Pada hasil akhir, Liechentein hanya menempati posisi 5 klasemen dengan poin 5 di atas Moldova. Dengan begitu, Liechentein juga gagal lolos ke babak final Piala Eropa 2016. Luksemburg dan Liechtenstein, dua wilayah yang terlentak di tengah Benua Eropa, sama-sama secara resmi disebut oleh Indonesia sebagai keharyapatihan.
CERPEN
Kembang Kemlandang karya: Umi Ibroh
OPINI Tentang Keindonesiaan dan Sudut Pandang (Destya Pusparani) Membaca Manusia: Selalu Ada Sesuatu, di Balik Sesuatu (Anisa Intan Pratiwi) Tantangan untuk (kampus) Budaya Kita (Ridwan Nanda M) Globalisasi dan Apatisme Budaya (Adkha Bukhori)
Globalisasi dan Apatisme Budaya Oleh: Adkha Bukhori* Sebagai legalitas warisan dunia, budaya menjadi bukti identitas di dalam ranah kebangsaan. Simbol peradaban negara sebagai wujud karakter masyarakat. Pasalnya, kemajuan negara (state) tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kultur yang berkembang. Maka, pelestarian warisan mutlak diwujudkan. Demi menjaga nilai kearifan dan keluhuran yang terkandung didalamnya. Tidak sebatas sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Indonesia yang dikenal ‘kaya nan makmur’. Ternyata memiliki kekayaan kultural yang luar biasa dan beraneka ragam. Seperti adat-istiadat, tradisi, bahasa dan lain sebagainya. Tidak dapat dinafikkan, jika dahulu bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, santun dan menjunjung tinggi nilai kebhinekaan. Bangsa Indonesia tidak hanya tersusun atas etnis tunggal belaka, namun sangat variatif. Hal tersebut penting untuk dipegang teguh sebagai perwujudan ukhuwah (persatuan). Disisi lain, kini identitas tersebut semakin tergerus oleh pengaruh pesatnya globalisasi. Implikasinya, moralitas bangsa pun dipertaruhkan. Sekalipun globalisasi berpengaruh besar terhadap runtuhnya budaya bangsa. Akan tetapi, untuk mengklaim bahwa globalisasi sebagai satu-satunya penyebab bobroknya moralitas. Bukan kesimpulan yang tepat. Maka, Kesalahpahaman tersebut harus diluruskan. Pada dasarnya globalisasi harus digunakan secara positif. Kehadiran globalisasi semestinya dijadikan sebagai sarana untuk mengeksplorasi pengetahuan, meningkatkan efektifitas kinerja, dan hal manfaat lainnya. Namun, jika perkembangan tersebut disalahgunakan. Maka tindak perilaku kejahatan (madharat) semakin merajalela dan merebak luas. Oleh sebab itu, setiap orang (masyarakat) diharapkan mampu membentengi diri secara bijak. Selain itu, ‘westernisasi’ juga masuk beriringan dengan pesatnya perkembangan globalisasi. Hal tersebut semakin menyisihkan integritas budaya Indonesia. Istilah westernisasi diartikan sebagai pemujaan terhadap budaya ke-Baratan yang berlebihan (baca: KBBI). Sehingga karakter budaya sopan santun dan kebhinekaan (ciri khas NKRI) terkontaminasi oleh produk westernisasi yang kian merebak. Akibatnya ialah muncul paham individualisme, apatisme, kapitalisme dan lain sebagainya. Seharusnya masyarakat ikut andil dalam menumbuhkan kepedulian budaya. Jika bukan kita yang melestarikan, lalu ingin bergantung kepada siapa lagi. Oleh sebab itu, nguri-nguri budaya perlu ditumbuhkan sejak dini. Jangan sampai warisan tersebut diklaim oleh negara
12
Buletin Edisi IV/2016
lain. Seperti halnya, kasus wayang kulit, keris, batik, lagu ‘Rasa Sayange’, reog ponorogo, dan tari pendet. Produk warisan bangsa yang sempat diklaim oleh Malaysia. Lalu, bagaimana kita dapat menjaga dan melestarikan budaya bangsa, agar tidak ada lagi kasus demikian? Berdasarkan Memory of the World yang dibentuk oleh UNESCO tahun 1992. Bahwa hingga kini terdapat beberapa budaya Indonesia yang telah berhasil mendapatkan pengakuan dunia internasional sebagai warisan dunia, yang penting untuk dilestarikan serta dipelajari oleh masyarakat dunia. Harap penulis, seluruh warisan budaya Indonesia dapat diakui oleh seluruh negara di dunia (go international). Sehingga tidak ada lagi klaim dari negara lain terhadap budaya Indonesia. Beberapa warisan terbagi atas dua kategori yakni dokumenter dan budaya tak benda (Intangible Cultural Heritage (ICH)). Diantara warisan dokumenter tersebut ialah Arsip VOC (2003), Teks Puisi Klasik I La Galigo (2011), Babad Diponegoro (2013), Kitab Negarakertagama (2013) dan Arsip KAA (2015). Begitu pula, warisan budaya tak benda (ICH) yakni Wayang dan Keris (2008), Batik dan Pelatihan Batik (2009), Angklung (2010), Tari Saman (2011), Noken (2012), serta Tiga Genre Tradisi Tari Bali (2015). Maka berbagai kegiatan edukatif perlu dilakukan untuk mengenalkan dan melestarikan budaya. Contoh saja, rumah adat, pakaian adat, bahasa lokal, tarian,
nyayian (tembang), alat musik, dolanan tradisional (jawa: permainan), dan lainnya. Warisan tersebut wajib kita jaga bersama. Hal tersebut menjadi kekayaan negeri yang tidak ternilai harganya. Jangan sampai terjadi apatisme budaya. Pasalnya, fenomena perubahan tatanan sosial membuktikan bahwa budaya bangsa ini rawan atas pengaruh westernisasi. Indonesia bukanlah tanah Jawa, bukan Melayu, bukan pula Borneo saja. NKRI merupakan kesatuan masyarakat yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Sebagaimana semboyan Pancasila kita yakni “Bhineka Tungal Ika�. Peran Pemuda Menurut Alfin Tofler, ia menjelaskan bahwa dunia ini akan digoda dengan tiga hal, yakni food (makanan), fun (hiburan), dan fashion (pakaian). Perkiraan tersebut seakan membenarkan tentang fenomena sosial yang kini tengah Doc. internet menjangkiti kehidupan sosial masyarakat. Relitasnya, kebanyakan orang lebih suka jika makan atau membawa bingkisan dari Restoran Asing (western food), ketimbang membawa ubi rebus atau masakan tradisional lainnya. Begitu pula, saat ini orang lebih memilih tempat hiburan di night club, karaoke, dan sejenisnya. Sebaliknya, mereka menjauhkan diri dari kegiatan berbau kajian keilmuan dan keagamaan yang meningkatkan spiritualitas diri. Selain itu, ketika gejala fasihon tengah menggejala. Orang lebih bangga memakai pakaian atau produk asing, daripada merek dalam negeri. Misalnya mereka lebih memilih berbelanja sepatu made in Singapura, daripada cap Cibaduyut. Ironis, negeri yang kaya potensi sumber daya dan budaya, namun miskin mentalitas. Oleh sebab itu, perlu rekonstruksi paradigma dan peran riil dalam menghadapi penyakit tersebut. Jika tidak, maka apatisme budaya kian menjalar tak terkendali. Sehingga keadaan demikian harus segera dicegah sejak dini. Terutama di kalangan pemuda, karena mereka lah para penerus bangsa. Generasi muda adalah sosok pewaris tongkat estafet kepemimpinan bangsa di masa mendatang. Sehingga negara akan maju, jika seorang pemuda memiliki karakter yang kokoh. Diantaranya ialah teguh pendirian, bersikap patriotis dan nasionalis, serta moralitas tinggi (akhlaqul karimah). Pertama, sikap teguh pendirian. Pergeseran budaya
yang tengah marak harus dicegah. Sehingga para pemuda harus memiliki komitmen tinggi. Alasannya, sosok pemuda harus bermental teguh pendirian. Sehingga tidak tergoyahkan oleh iming-iming yang berpengaruh pada kemadharatan. Kedua, menanamkan patriotik dan nasionalis. Virus hedonis yang menggejala menjadi penyebab bobroknya bangsa. Sehingga rasa cinta tanah air harus ditanamkan. Hal tersebut guna menuntaskan polemik bangsa. Salah satunya menjauhkan diri dari sifat apatisme budaya. Ketiga, moralitas yang tinggi. Pergeseran budaya yang tengah marak, sangat rawan menculnya demoralisasi. Budaya sebagai karakter bangsa semakin luntur dan terkikis oleh ramainya produk globalisasi. Maka moralitas menjadi hal elementer yang harus dibina sejak awal. Sebab berpengaruhnya moralitas yang baik, akan tercipta lingkungan yang aman dan nyaman. Tak khayal, jika bangsa yang dikatakan baldatun thayibatun, pasti sejalan dengan moralitas masyarakat yang baik pula. Oleh sebab itu, perkembangan arus globalisasi harus difilterisasi. Sehingga budaya bangsa tidak terkena dampak buruk globalisasi. Jangan sampai produk budaya dari warisan peradaban sirna, akibat sikap apatisme masyarakat. Selain itu, pemuda sebagai penerus bangsa diharapkan mampu berperan aktif dalam melestarikan warisan tersebut. Bukan sebaliknya, acuh dan melupakannya. Dengan demikian, semoga menjadi muhasabah bagi kita bersama tentang urgensitas budaya sebagai identitas bangsa. Sehingga terwujudlah bangsa yang makmur, maju dan beradab.
*Penulis Aktif di Media Massa, Kru SKM (Surat Kabar Mahasiswa) AMANAT UIN Walisongo Semarang*
#ObrolanJogloBudaya H : Ada spanduk “menggugat� di Crop Circle FIB... W: Yang digugat tau ga? H : Ga tau deh...
H : LKMM Madya dimulai sebentar lagi, dari FIB yang lolos seleksi siapa aja sih? W: Hanya BEM FIB dan Tuhan yang tahu.
H: Jadi mahasiswa realistis aja, ga usah neko-neko. Mumpung masih Maba, tinggiin IP. Organisasi cukup formalitas. yang penting lulus cepet dan Cum laude. W: Kalau gitu ngapain kuliah. Mendingan beli ijazah. Cepat dan murah.
Buletin Edisi IV/2016
13
Membaca Manusia: Selalu Ada Sesuatu, di Balik Sesuatu Oleh: Annisa intan Pratiwi Doc. internet
Manusia, pada tempatnya sebagai homo humanus dan homo aesteticus, seringkali memadukan keindahan dan realitas interaksi antar sesamanya ke dalam suatu bentuk karya. Tidak jarang agar suatu karya sarat estetika tanpa mengabaikan substansi, menghasilkan bentuk yang rumit. Terlebih jika yang dibahas adalah manusia itu sendiri, baik sebagai persona maupun figur spesifik yang memegang kontrol atas manusia lain. Dapat diibaratkan sebagaimana tangan yang menelanjangi tuannya, mencari refleksi dengan jalan menguliti aib sendiri. Salah satu sastrawan yang tampak gemar mengeksplorasi kemanusiaan manusia dalam karyanya adalah Budi Darma. Sastrawan sekaligus akademisi kelahiran 1937 tersebut telah dikenal luas terutama sejak novel pertamya, Olenka, memenangkan beberapa penghargaan bergengsi antara lain Sayembara Mengarang Roman DKJ (1983) dan Hadiah Sastra ASEAN (1934). Eksistensinya di dunia sastra senantiasa kukuh dengan menerbitkan bukubuku, baik karya sastra dan esai serta kritik terhadap literasi Indonesia beberapa dekade terakhir. Dalam tulisan-tulisannya, Budi Darma memberikan sensansi kontemplatif yang mendalam. Pembaca seolah diajak berbicara pada dirinya yang lain, mengenai pikiran-pikiran paling privat yang tak pernah terkatakan. Tak seperti kebanyakan penulis pada zamannya, Budi Darma menampilkan ironi dari suatu realitas individu dan sosial, tanpa mengumbar sarkasme dan sinisme berlebih. Kata demi kata disusun semacam pertunjukan kejujuran yang mendedah prespektif pribadi terhadap kenyataan sekitar. Dengan gaya penulisan yang demikian, tidak mengherankan jika Budi Darma pernah menyabet Anugrah Seni Pemerintah RI. Pemikiran Budi Darma mengenai manusia dalam hierarki, salah satunya dituangkan dalam cerpen “Presiden Jebule” yang dimuat koran Kompas pada 5 Juni 2016. Pemilihan judul itu sendiri jika dicermati sudah merupakan clue besar terhadap keseluruhan cerpen. Sangat representatif baik secara filosofis maupun subtansi. Pembaca dimudahkan dengan tak perlu menebak apa yang akan dihadapi, alih-alih dipancing rasa penasarannya terhadap konstelasi di balik kedaulatan si Jebule. Sebuah bidikan cerdas untuk cerita yang bernas. Bila anda orang Jawa, ‘Jebule’ tentu terdengar familiar, yang dalam faktanya memiliki arti ‘ternyata’. Sekali lagi, pemilihan Jebule sebagai nama karakter bisa jadi merupakan clue atas “apa” di balik “siapa”, atau “ternyata” di balik “bagaimana”. Dalam hal ini, Budi Darma menen-
14
Buletin Edisi IV/2016
tukan dirinya sebagai pengarang yang menggunakan kode dibanding bertele-tele dalam metafora. Kemampuan meletakkan suatu diksi tepat pada tempat, adalah suatu ciri baginya. Terbukti, mengisbatkan Jebule sebagai tokoh utama berhasil mewadahi ide bahwa ‘ternyata’ membaca selalu penting dalam konteks apapun, termasuk manipulasi. Budi Darma memberikan penekanan khusus pada membaca dalam artian paling harfiah, yakni melihat dan memahami. Ia menyisipkan pengetahuan tentang itu dari berbagai manusia, mulai dari Napoleon dengan teknik memimpin perang, hingga rombongan kuda lumping dengan teknik menelan beling dan kaca. Jelas, Budi Darma memenuhi darmanya sebagai akademisi yang tak membiarkan teks terbedah tanpa hikmah. Setidaknya, pembaca dibuat mengerti bahwa segala sesuatu tidak begitu rahasia sampai kita mau membaca, mencerna suasana. Adalah kepiawaian Budi Darma dalam memapah pembaca pada dugaan adanya fakta dalam cerita, kemudian membiaskan ke arah imajinasi sepenuhnya. Ia melekatkan peran khusus pada karakter utama, dan mempotret figur tertentu bersama latar sosial yang tak asing. Pada titik ini, Budi Darma hampir mirip sosialis yang mengoreksi realita melalui cerita. Pembaca dibuat bertanyatanya apakah karakter Jebule sungguh personifikasi figur real, atau sekadar wayang pengarang dalam menyerukan ide bahwa pemerintahan represif adalah penghinaan terhadap hak asasi manusia. Trauma bangsa terhadap ordeorde yang tak segan memaksa, membuat “Presiden Jebule”
PENERBIT Lembaga Pers Mahasiswa Hayamwuruk Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
secara otomatis terbingkai prasangka. Semacam film tua yang digarap ulang kemudian kita tonton bersama dengan penuh tanda tanya. Namun, untuk sampai pada asumsi itu, dibutuhkan studi interteks yang akurat demi menghormati hakikat imajinatif sastra. Tidaklah bijak menjadikan gejala sosial sebagai parameter lalu melonjati batasan formal yang ada. “Presiden Jebule” hanyalah satu di antara puluhan karya Budi Darma yang tidak hanya kontemplatif, tetapi juga reflektif akan nilai kemanusiaan, akan makna-makna yang dalam. Budi Darma demikian mantap dengan gaya penulisan yang seolah tak peduli angin dan badai: cuek, tetapi impresif sekaligus kontradiktif secara bentuk. Pada dua novel ternamanya, Olenka dan Rafilus, Budi Darma menegaskan gaya bertutur yang jujur hingga nyaris liar. Pemikiran-pemikirannya tentang kehidupan yang berputar di sekitar homo sapiens ini, membanjir dan beresonansi sebagai sesuatu yang absurd. Mengetuk-ngetuk naluri manusia dalam posisinya sebagai subjek yang termakan perspektif objeknya. Tokohtokoh diperlakukan sebagai individu yang utuh namun terpengaruh, segala tindakan hampir saling melibatkan tiap karakter secara simultan. Anehnya, absurditas yang ditawarkan Budi Darma justru membuat tercenung, lantaran menyentuh sisi-sisi kemanusiaan paling keramat. Layaknya segenggam katarsis dibungkus sesuatu yang demikian abu-abu. Sedikit berbeda dari Olenka dan Rafilus, “Presiden Jebule” terkesan lebih mimesis. Bangungan ceritanya sangat fokus dan lurus. Seperti rol film yang merekam perjalanan tokoh secara integral, mulai dari membuka mata hingga titik paling kritis dalam hidupnya. Barangkali, jika ada yang bisa dikambinghitamkan dalam cerpen ini, adalah plot yang stagnan dan minim eskalasi. Tidak ada kejutan berarti bila dibandingkan stereotipikal cerpen koran. Tampaknya pengarang menitikberatkan pada subtansi, dilihat dari bagaimana ia menyambungkan simpul-simpul yang membentuk makna. Terlepas dari keunggulannya Budi Darma yang mampu menyisipkan pengetahuan dan sejumput rahasia, dalam “Presiden Jebule” setiap kata seolah diukur untuk menunjang tema besar. Alhasil, seperti ada sekat-sekat tak terlihat yang seakan membatasi imajinasi khas Budi Darma. Atau justru sebaliknya, cerita dibuat realis untuk membangunkan ingatan pada hal-hal yang pernah menjadi trauma bersama? Entah. Yang perlu dicatat, karya dari sastrawan yang berkali-kali mendulang penghargaan, jelas tak pernah mengecewakan.
Buletin Edisi IV/2016
PEMIMPIN UMUM: Deviana Kurniawati SEKRETARIS UMUM: Risma Widyaningtyas PEMIMPIN REDAKSI: Hendra Friana REDAKTUR PELAKSANA: Reshza Mustafa REDAKTUR ARTISTIK: Chandra Dewi Shelli EDITOR: Intan Larasati Aeny STAF REDAKSI: Nurul Maulina W Z Alya Lubnaganis Iftaqul Farida Devi Ayu Anggraeni Asa Fiqhia Aditya Ray Muhammad PEMIMPIN LITBANG: Listi Athifatul Ummah STAF LITBANG: Faidah Umu Sofuroh Qonita Azzahra Wawan Wiyanto Ahmad Zainal Arifin Meutia Mega Prahara PEMIMPIN PERUSAHAAN: Novi Handayani STAF PERUSAHAAN: Dianira Rizki Kinasih Safrida Rohmah Lulu Fitria Aniskuri STAF KHUSUS: Fakhrun Nisa Ayu Mumpuni Muhammad Habib Indah Zumrotun Farida Sukma Dewi Diah Wahyu Asih Dinni Ariska surel: lpmhayamwuruk@gmail.com website: lpmhayamwuruk.org Alamat Redaksi: Gedung A lantai 3 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Jalan Prof. Sudharto, S.H., Tembalang, Semarang.
15
Redaksi menerima sumbangan artikel/opini untuk diterbitkan di buletin. Diketik rapi 4000-6000 karakter (termasuk spasi) halaman folio dilengkapi identitas pribadi (KTP/KTM). Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengubah maksud dan isi tulisan. Naskah dapat dikirim ke alamat redaksi atau via surel: lpmhayamwuruk@gmail.com
Tantangan untuk (Kampus) Budaya Kita Oleh: Ridwan Nanda Mulyana*
Ceritanya, saat redaksi mengajak penulis untuk mengirimkan tulisan tentang “budaya”, maka penulis pun merasa bingung hendak menulis apa, dan memotretnya dari sisi yang mana. Mengingat budaya itu merupakan bidang yang sangat luas, yang dapat menyangkut seluruh kebiasaan hidup kita. Meski belakangan ini ada kecenderungan penyempitan makna, ketika oleh sebagian kalangan budaya sering dianggap sekadar rupa-rupa tarian, nyayian, atau objek dan aktivitas lain yang saat ini identik dengan sesuatu hal yang bisa dijual, utamanya atas nama: (industri) pariwisata! Sedangkan sisi kehidupan yang mewujud dalam kebiasaan sehari-hari seperti, budaya: baca, menulis, disiplin, sopan santun, gotong royong (kebersamaan), dsb. Sering tak diajak bergabung ke dalam bingkai kebudayaan yang harus dipelajari, dibentuk, dan dipertahankan. Belum lagi sederet tantangan dan serangan dari arus jaman yang semakin modern dan bebas ini, yang meskipun membawa implikasi positif yang tak sedikit, namun tak lupa pula membawa dampak negatif yang juga tak sedikit. (Budaya) mental instan, ingin menang dan untung sendiri, ikut-ikutan tren, pemuja kebebasan yang sering kebablasan, hedonistis, konsumeristis, dsb. Bisa jadi tak kita anggap sebagai bagian dari (pem)budaya(an), namun disadari atau tidak, hal-hal tersebut tengah, bahkan telah merasuk menjadi karakter kita yang diterima sebagai bagian dari budaya hidup saat ini. Belum lagi permasalahan laten tentang kebudayaan asli (lokal) yang terpojok, terancam kehilangan pewaris dan penikmat. Namun sampai batas tertentu sering dijadikan sebagai komoditas dalam industri pariwisata atau “proyek” pengembangan dan pelestarian, termasuk oleh sebagian civitas akademika yang menjadikannya sebagai objek kajian penelitian dalam wujud “proyek-proyek” (proposal) penelitian. Atas nama “kemajuan dan kebutuhan jaman” yang mengharuskannya “beradaptasi”, saat ini kebudayaan atau yang secara sempit disebut kesenian, memang cenderung dilihat sebagai komoditas, yang dinilai bukan dari apa dan seberapa penting Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bisa berdampak bagi masyarakat, melainkan lebih dilihat dari sisi apa yang bisa dijual, dan seberapa besar keuntungan yang didapat dari “pelestarian” kebudayaan tersebut. Kebudayaan kita saat ini seakan telah ditarik oleh magnet “mentalitas/mekanisme pasar”: tergantung pada tren, gengsi dan permintaan. Sialnya, hal yang demikian pun mungkin berlaku juga bagi dunia pendidikan yang (semestinya) bertanggung jawab dalam pengembangan
16
Buletin Edisi IV/2016
kebudayaan, yakni kampus penghasil sarjana dan pegiat bidang kebudayaan (humaniora): Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Meski tak berlaku secara umum dan tak sepenuhnya benar, namun diakui dan disukai atau tidak, FIB pada era pendidikan yang cenderung dikapitalisasi ini, seakan menempati posisi “kelas yang lain” di bawah fakultas yang dinilai lebih menawarkan “masa depan yang menjanjikan” semacam fakultas eksakta, atau dengan FISIP, FEB, dan FH. Hal ini antara lain dapat dilihat dari minat masyarakat untuk memasuki (memasukan putera/i nya) ke FIB, yang biasanya hanya dijadikan sebagai “pilihan kedua”.
Kemudian muncul lah kategorisasi “gengsi” pada pendidikan kita, dimana disiplin ilmu secara gencar dipelajari atau diajarkan lebih berdasarkan pada seberapa besar gengsi dan “transaksi” yang dapat dihasilkannya, bukan demi pengembangan ilmu dan masyarakat itu sendiri. Pada suatu titik, jangan heran jika ilmu yang mendukung kebudayaan atau peradaban kita akan menjadi sesuatu yang langka, karena dianggap tak sesuai dengan “tuntutan pasar”. Di sini menarik untuk mengetengahkan tulisan
Fadly Rahman (sejarawan lulusan pascasarjana UGM) berjudul “Senjakala Humaniora” di harian Kompas (14/3/16). Mengambil rujukan yang dilansir oleh www. timeshighereducation.com, Fadly mengungkapkan bahwa pemerintah Jepang pada September 2015 memerintahkan untuk menutup fakultas-fakultas ilmu sosial dan humaniora, dengan dalih sebagai langkah untuk mempromosikan lebih banyak pendidikan “yang lebih baik” dalam mengantisipasi ”tantangan dan kebutuhan masyarakat”. Dari 60 universitas nasional di sana, 26 diantaranya telah mengonfirmasi akan menutup atau menimbang kembali perintah dari pemerintah itu. Sungguh ironi saat bangsa (negara) seperti Jepang sekali pun, yang sejak akhir abad ke-19 kemajuannya dipupuk dengan nilai-nilai luhur filosofi, sejarah dan budayanya, kini perlahan terkikis oleh kemajuan itu sendiri. Dalam konteks yang sama, hal ini tentu bisa saja terjadi pada Indonesia. Namun menurut hemat penulis, Jepang masih lah tergolong beruntung, karena meskipun di negaranya peminat sastra dan kebudayaan Jepang cenderung menurun, namun di negara lain (baca: Indonesia), peminatnya justru cenderung meningkat. Ini lah yang mungkin bisa disebut sebagai kesuksesan “diplomasi budaya”. Hal yang sama sepertinya juga akan dinikmati oleh Korea Selatan. Nah, bagaimana dengan (sastra dan kebudayaan) Indonesia? Namun bagaimana pun, sungguh ironi jika pengkaji dan peminat kebudayaan bangsa sendiri, bukan putera/i dari negerinya sendiri. Dari sisi keilmuan, Terry Eagleton dalam The Death of Universities (2010), sebagaimana yang dikutip oleh Fadly, menyebut bahwa jika disiplin humaniora (sejarah, filsafat, sastra, linguistik, arkeologi) hanya menjadi “artefak pengetahuan”, maka sejatinya fenomena ini telah mengingkari landasan historis dan filosofis universitas itu sendiri. Kita bisa melihat ketika Revolusi Industri bergerak di Eropa pada abad ke-18, dimana saat itu disiplin humaniora sengaja dikembangkan untuk mengimbangi (mengontrol) laju kapitalisme dan modernisme. Posisi dan fungsinya adalah untuk menjaga nilai-nilai dan ide-ide kemanusiaan. Namun saat ini, bukannya menjadi pengontrol kemajuan, humaniora malah menjadi komoditas dari kemajuan itu sendiri. Tanggung jawab atau peran dari FIB memang bu-
kan lah sekadar tempat untuk mengajarkan mahasiswa/i nya tentang sastra, sejarah, kepustakaan, atau seni semata. Lebih mendalam dari itu adalah pemaknaan atas Humaniora itu sendiri, yakni: kamanusiaa! Kampus ini harus lah mampu untuk menginternalisasikan nilai-nilai yang dapat membentuk mahasiswa/i nya menjadi “manusia seutuhnya”, yang bisa memanusiakan manusia, dengan prinsip dan sikap hidup yang bermoral dan beretika, jujur, toleran dan memiliki kesadaran untuk merasakan dan berkeinginan menyelesaikan permasalahan yang ada di sekitarnya. Pendeknya, kampus ini harus lah mampu untuk (benar-benar) melahirkan sarjana-sarjana humaniora (S. Hum), bukan sekadar lulusan-lulusan S-1 yang pernah kuliah di Fakultas Ilmu Budaya. Para sarjana humaniora yang memahami bahwa dia memiliki tanggung jawab terhadap keberlangsungan dan pengembangan kebudayaan, para sarjana yang tidak hanya sekadar ingin lulus cepat, menyandang cum laude dan pencapaian pribadi semata, namun harus juga memiliki apa yang oleh Mohammad Hatta sebut sebagai “Tanggung jawab Moril Kaum Intelegensia” bagi masyarakat dan bangsanya. Pada titik ini, selaku warga dari kampus budaya, sudah menjadi keharusan bagi kita untuk mau dan mampu mengevaluasi diri, melihat dan mengkaji kembali apa yang telah, bisa dan harus kita lakukan, sembari memaknai pesan “apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran”dari Soe Hok Gie. Artinya, segenap warga Kampus Budaya (terutama dosen dan mahasiswa) hendaknya bisa jujur pada dan tentang dirinya sendiri, lalu bisa –bersama-sama- merumuskan apa yang bisa dan harus dilakukan ke depan! Sejatinya, kita patut berbangga telah menjadi bagian dari kampus ini, karena kita adalah orang-orang terpilih yang memikul tanggung jawab besar untuk menjaga dan menghidupkan kebudayaan bangsa beserta nilai-nilai kemanusiaannya. Mengawal kemajuan jaman, mengontrol modernisasi dan kapitalisasi, merupakan tugas mulia yang tidak semua orang mau dan mampu untuk melakukannya, dan beruntung lah kita karena diberikan kesempatan untuk belajar di kampus ini. Ada pepatah, tulisan yang sempurna adalah tulisan yang tak pernah ditulis. Jadi, pembaca boleh tidak sepakat dengan tulisan ini. Semoga saja baik kesepakatan maupun ketidak sepakatan yang ada akan melahirkan dialog intelektual yang sehat, sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh seorang (calon) intelektual. Wallahu’alam bish shawab *Mahasiswa Jurusan Sejarah, angkatan 2012
Buletin Edisi IV/2016
17
Tentang Keindonesiaan dan Sudut Pandang Oleh Destya Pusparani Provinsi DKI Jakarta sedang dalam proses mencari pemimpin baru. Seperti sering terjadi dalam persaingan politik, selain mengedepankan kelebihan diri sendiri, cara yang dilakukan adalah menonjolkan kekurangan lawan. Bisa saja ditolerir, jika akhirnya tak merembet ke masalah SARA. Bukan rahasia jika faktor suku bangsa, ras, dan agama selama ini punya peran penting dalam permainan perebutan kekuasaan di Indonesia. Orang tentu ingat kampanye perebutan kursi presiden 2014 lalu. Kali ini, isu SARA lebih kencang bertiup karena kandidat yang diterpa isu ini bukan pemeluk agama mayoritas dan bukan suku asli Indonesia. Maka, perlu ada pertanyaan ini: apakah keindonesiaan itu dan pada keadaan apa hal itu penting? Mari kita mulai dengan budaya. Ada perdebatan tanpa akhir soal keberadaan apa yang bisa disebut “budaya Indonesia”. Sebagian orang beranggapan tak ada yang bisa disebut “budaya Indonesia”, yang ada hanyalah budaya-budaya etnis yang sangat banyak jumlahnya, dan satu sama lain bisa sangat berbeda. Masalahnya adalah, kadang masyarakat tak berpikir objektif, logis, atau pun reflektif jika menyangkut soal budaya. Ketika orang marah saat rendang diakui Malaysia, misalnya, tak terpikirkan bahwa mungkin ada kesamaan tradisi kuliner antara Malaysia dan Sumatra Barat, yang memang dekat secara geografis. Isu budaya lain yang sangat seksi adalah bahasa. Dalam artikelnya “Satu Nusa Satu Bahasa Dua Languages”, Remy Sylado berpendapat bahwa usaha untuk ‘memurnikan’ bahasa Indonesia adalah sesuatu yang sangat ngawur. Menurutnya, bahasa Indonesia adalah bahasa ‘gado-gado’ yang sedari awal memang terbentuk dari campuran berbagai macam bahasa. Keragaman bahasa yang memberi sumbangan perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia mencerminkan sejarah Indonesia yang menjadi tempat bertemunya berbagai bangsa selama berabad-abad. Namun, bicara mengenai bahasa, mungkin menarik juga untuk dikemukakan disini bahwa banyak dari para tokoh nasional adalah mereka yang menguasai setidaknya satu bahasa asing. Dalam masa-masa perjuangan meraih kemerdekaan, atau hak atas kesejahteraan dan pendidikan lebih, penguasaan bahasa Belanda memegang peranan penting sebagai alat dialog dengan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, bahasa tersebut dibatasi penyebarannya sebisa mungkin. Yang aneh adalah, sebagian orang di masa sekarang bersifat anti terhadap bahasa asing dengan alasan ‘nasionalis’, ‘cinta bahasa Indonesia’, atau ‘itu bahasa penjajah’. Bahasa dapat merepresenta-
18
Buletin Edisi IV/2016
sikan dunia masyarakat penuturnya. Mempelajari suatu bahasa, secara tidak langsung dapat mencerminkan kerendahan hati seseorang dan kemauannya untuk mengenal masyarakat penutur bahasa itu. Pada gilirannya, dengan bahasa asing itulah orang akhirnya dapat menjelaskan dunia dan semesta budayanya sendiri. Setelah budaya, hal penting lain yang perlu dipikirkan ulang adalah generalisasi, atau kepercayaan bahwa hal-hal buruk seperti kolonialisme dan imperialisme mewujudkan dirinya dalam suatu ras atau bangsa tertentu. Pikirkan kapitalisme yang identik dengan Amerika dan konspirasi yang identik dengan Yahudi. Lalu, pikirkan Aceh dan Timor Timur. Berapa lama pergolakan di kedua daerah itu terjadi dan berapa banyak kasus pelanggaran HAM selama masa konflik disana? Mungkin, pada masa konflik, Indonesia bagi kedua daerah itu, sama seperti Belanda bagi Indonesia dulu. Eksploitasi, represi militer, pejabat setempat yang hanya sibuk memperkaya diri. Tentu tak terbayangkan bagi banyak orang bahwa Indonesia bisa menjadi negara penjajah. Namun, bagaimana hal tersebut bisa disangkal, jika melihat kembali kerugian dan penderitaan yang telah ditimbulkan? Pada akhirnya, jawaban atas pertanyaan soal definisi keindonesiaan tetap tidak mudah dirumuskan. Namun, paling tidak dengan melihat sejarah Indonesia secara objektif, tanpa tendensi apa pun, orang tidak akan terburu-buru untuk menilai, minimal tidak melihat soal keindonesiaan secara hitam putih. Goethe pernah berkata bahwa orang yang tidak bisa belajar dari masa tiga ribu tahun, berarti ia tidak dapat memanfaatkan akalnya. Apa yang membuat Indonesia menjadi “Indonesia” seperti sekarang, tak selalu berasal dari penduduk setempat, dan orang harus dengan rendah hati mengakuinya. Inti dari argumen yang ingin penulis sampaikan adalah, orang hendaknya tidak terbelenggu oleh nasionalisme, ketika mencoba melihat kenyataan dengan objektif. Lebih dari itu, orang harus selalu dapat berpikir di luar batas-batas kebangsaan. Ada sebuah peribahasa Latin yang berbunyi ‘cara patria, carior libertas’. Artinya adalah, saya cinta negara saya, namun saya lebih mencintai kebebasan. Akan tetapi, kebebasan apa yang lebih penting dari rasa cinta terhadap negara? Kebebasan untuk berpikir logis, kebebasan untuk mencintai sesama manusia, kebebasan untuk meyakini hal yang berbeda, dan kebebasan untuk mengatakan kenyataan, untuk menyebut sebagian diantaranya. Apakah itu mudah didapat? Tentu saja tidak. Dalam Dunia Sophie (1991), Jostein Gaarder menceritakan apa yang terjadi pada dua tokoh penting dunia yang
Doc. internet
sangat gigih menyuarakan pentingnya akal dan cinta kasih. “Ketika kita berbicara tentang Socrates, kita tahu betapa berbahayanya menggugah akal masyarakat. Dengan Yesus, kita tahu betapa berbahayanya menuntut rasa persaudaraan tanpa syarat dan ampunan tanpa syarat. Bahkan di dunia sekarang ini, kita dapat melihat bagaimana kekuatan besar dapat terpecah-belah jika dihadapkan pada tuntutan sederhana akan perdamaian, cinta kasih, penyediaan makanan bagi kaum miskin, dan ampunan bagi musuh negara.” Tentu ribuan tahun telah berlalu sejak Socrates dan Yesus, dan masyarakat tidak lagi menuntut orang dengan pendapat berbeda untuk meminum racun atau memaku orang tersebut di kayu salib. Cara-cara barbar seperti itu telah banyak ditinggalkan. Namun, pada era informasi dan era digital sekarang ini, ada bahaya lain: kurangnya sudut pandang. Kuantitas informasi sungguh melimpah, memanjakan apa yang sering disebut Generasi Z atau @Generation. Namun, hal yang sama tidak terjadi pada sudut pandang. Walau informasi berlimpah, generasi ini tidak dapat memanfaatkannya untuk mengakomodir atau mengembangkan cara-cara pandang yang berbeda dari cara pandang umum. Mungkin itu menjadi salah satu sebab Radhar Panca Dahana berkomentar dalam artikelnya “Generasi Digital” seperti berikut: “mereka tahu banyak. Mungkin terlalu banyak. Namun, tetap dalam paradoks: mereka juga tidak tahu banyak.” Keragu-raguan selalu dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Akan tetapi, kadang sangat penting untuk selalu meragukan pendapat kita sendiri. Penting untuk berhenti sebentar dan memikirkan ulang pendapat kita, mengapa kita menganggap suatu hal tertentu benar dan yang lain salah. Simone de Beauvoir, seorang feminis Prancis, pernah berkata bahwa perempuan tidak dilahir-
kan sebagai perempuan, namun ia menjadi perempuan. Sebenarnya ini dapat berlaku bagi manusia secara umum. Manusia dan keyakinan-keyakinan yang dimilikinya tidak dibawanya sejak lahir; hal-hal tersebut berasal dari lingkungan tempat ia tumbuh. Orang telah melihat bagaimana pendapat yang mutlak bisa jadi sangat berbahaya. Ribuan Yahudi dibunuh oleh Nazi, orang-orang mati dibakar pada masa Inkuisisi, ratusan ribu anggota PKI dibantai pasca 1965 (jumlah pastinya masih menjadi perdebatan), ribuan orang etnis Tionghoa mati saat Geger Pacinan, sejumlah gadis remaja dibiarkan mati terbakar dalam gedung karena tak memakai hijab sesuai syariah di Arab Saudi. Yang terjadi mungkin akan berbeda jika orang-orang yang memegang senapan, pedang, tali guillotine, atau kekuasaan (sebagai senjata yang paling berbahaya) dapat berhenti sejenak dan berpikir: mengapa saya melakukan ini? Mengapa saya tak dapat memandang si terhukum sebagai manusia? Apa hal yang telah ia lakukan dan mengapa saya menganggapnya salah? Penulis tidak sedang menghimbau orang untuk menjadi pengikut jejak Descartes, berpendapat bahwa segala sesuatu di dunia ini perlu diragukan. Tujuan penulis mengemukakan pendapat disini ialah agar kita semua dapat memiliki sudut pandang yang lebih beragam. Memang bukan hal yang nyaman berpikir melawan arus, bukan hal yang nyaman pula meragukan kebenaran diri sendiri. Namun kita hanya manusia, dan hanya sedikit yang bisa kita ketahui dalam umur kita yang singkat dalam dunia yang sangat luas dan berumur sangat panjang. Lalu, jika anda punya agama dan percaya Tuhan, tentunya anda juga percaya bahwa hanya Ia-lah yang mengetahui kebenaran sejati, bukan?
Buletin Edisi IV/2016
19
Doc. internet
Kembang Kemlandang Oleh: Umi Ibroh Ia lelara yang menyiksa raga. Menikam. Menghujam pada baris-baris waktu yang berlalu lewat cibir-cibir perempuan di warung. Juga obrolan lewat kopi dan papan catur para lelaki di ranggon, perempatan jalan. Ia yang mereka keluarkan layaknya bayi iblis yang siap menjerumuskan siapa saja pada padang kenistaaan. Ia adalah anak gunjingan. Buah bibirbibir gosip yang menyayat. Ia hanya suara. “Ternyata bocah itu cantik juga yah,” ucap seorang lelaki, sambil menggeser pion ke pada kotak hitam. Lelaki lainya ikut mengiyakan dengan anggukan kepala. “Wong dipaesi peri, ya pantes cantik.1” “Ibarat kembang, anak itu mekar dengan sempurna. Cantik.” *** Sunyi mengisi musim dan merajuk manja. Membiarkan daun-daun dan reranting mengering. Juga tanah-tanah yang turut merekah. Sepertinya sang 1 Orang didandani peri (mahluk halus) ya, pantas cantik. 20
Buletin Edisi IV/2016
dewi tengah menukar senyumnya dengan hawa bara. Gadis itu menatap kosong pada jendela kaca yang mulai menangkap gurat cahaya dan siap menghantarkannya pada sebuah ruang yang semula pengap. Lagi. Coba dingatnya bayang-bayang kemarin siang, pada bilah-bilah waktu yang perlahan terus bergeser. Pikirnya mencari secarik gambar orang-orang yang berdiri di lapangan menyaksikan lenggak-lenggok tubuhnya. Ah, susah sekali ! Tak bisa jua ia temukan bayangan yang ia cari di balik pikirnya. Hitam. Hanya itu yang membayang tak kala dipejamkanya kedua mata indah itu. Memori hari kemarin begitu singkat dilaluinya. Bahkan ia tak merasakan apa-apa yang telah dilakukanya ketika berpasang-pasang mata katanya menatap dirinya di tempat itu. Tempat yang terakhir diingatnya. Ah ! Ia tak menemukan apapun. Tak juga merasakan apapun.
“Apa yang kulakukan kemarin siang?” Gadis itu menatap bayang dirinya pada cermin yang tengah memperlihatkan wajah pucatnya. Rambunya acak-acakan, namun itu tak sedikit pun mengurangi kecantikanya. Cermin adalah sejujurnya benda. Tak pernah ada kebohongan yang tergambar di sana. Mungkin jika benda itu bisa berbicara ia akan berkata pada gadis itu. “Hay, kau. Ketahuilah seperti apapun keadaanmu, sesungguhnya kau adalah gadis yang cantik.” Sayangnya benda itu selalu membisu pada bayangan di dalamnya. Tak pernah bersuara barang sedetik. Ia masih kosong dan mempertanyakan hal yang sama. Tak berubah sejak tadi. Pada bayangannya. Juga pada kekosongan itu. Sesekali terdengar mulutnya komat-kamit seperti mengatakan sesuatu namun terdengar samar. Lalu bibirnnya yang mungil memoleskan sebuah senyuman. Tawa-tawa kecil berloncatan dari bibir manis itu, yang lama kelamaan makin mengeras. Ia lenyap dalam tawanya sendiri. Tawa yang terdengar tak ada bedanya dengan tangis. Ia ditelan ketidakjelasan itu. Lalu menjerit entah untuk apa. *** Nyai Kasri, tengah meracik kinang2 di belakang rumah ketika sebuah jeritan seorang gadis melolong pagi itu. Buru-buru ditengoknya sumber suara itu. Ditinggalkanya racikan kinang yang siap diusapkan pada deretan giginya yang kemerahmerahan. Pasti si Tiah kumat maning3, gumamnya setengah berlari sambil mengangkat tanggung tapih4 batik yang dikenakanya agar tak mengganggu laju kakinya. Langkahnya terhenti di depan jendela usang di samping kamar Tiah. Pada celah-celah jendela nako mata tua itu mengintai, gadisnya menyungkur di pojokan ruang sambil sesenggukan. Segera ia bergegas masuk. Mendobrak pintu yang rapat terkunci. Selimut, bantal, dan seisi kamar berserakan di lantai. Nyai Kasri mendengus kesal. “Koen lagi kening apa sih?5” Pelan-pelan gadis itu mendongakan kepalan2 Kapur sirih yang ditumbuk dengan apu gambil dan tembakau kering yang digunakan untuk membersihkan gigi. 3 Lagi 4 Jarik atau Kain panjang yang dipakai wanita. 5 Kamu ini kenapa?
ya sambil tersenyum kecut. “Wis mangsa rendeng, nyai. Bisane durung ana udan?6” “Kamu itu bicara apa? Ora usah ngerumyang sing ora jelas!7” “Udan. Kapan udane?8” “Udan, udan sing wingi takonanmu mung kue tok. Angger wis wayahe ngko neng udan.9” Tangan wanita tua dengan terampil memunguti bendabenda yang berantakan. Menata kasur dan selimut seperti sedia kala. Gadis itu masih berkomat-kamit entah berucap apa. Wanita tua itu tak mempedulikannya. Ia terus berkutat dengan ruang. Lalu pergi. “Nyai!” Tiah mencegah. “Aku ingin menari seperti mak Siti.” Wajah gadis itu berpaling pandang pada gambar wanita berkemben dan bertopeng di tembok kamar. Nyai Kasri terdiam sejenak. Lalu diusapnya rambut gadis itu yang acak-acakan. “Angger wis wayahe.10” ucapnya. Lalu berlalu. Gadis itu lantas berseru. “Aku ingin bertemu mak Siti.” Nyai Kasri tetap berlalu. Sementara jeritan Tiah kembali melolong. Diikuti kalimat-kalimat yang tak begitu jelas yang diucapnya. Ia tahu, gadis itu masih menunggu. Sesuatu yang dianggapnya sebagai janji. Tapi diyakini wanita tua itu bukan semacam itu. Yah, bukan. Yang diucapkan Siti bertahun-tahun silam bukanlah sebuah janji. *** Wanita tua itu menahan duka di lembar masa lalunya. Betapa ia tak dapat membuat anak itu mengenal siapa dirinya hanya karena sebuah olokolokan yang sering dikeluhkannya dulu ketika ia masih sangat bocah. “Nyai, kenapa aku pesek dan hitam?” ia masih ingat dengan suara lima belas tahun yang lalu. Ketika Tiah kecil merengek di pangkuannya. Mengadu lantaran teman-teman sekelasnya terus meledeknya. Mengatai Jaliteng pada dirinya. “Tuhan, tidak adil padaku. Jarene11 Emak Siti, simbah, atau pun kerabat yang lain cantik-cantik, kenapa aku tidak?” Anak itu terus saja menangis, sementara 6 Sudah masuk musim hujan, nyai. Kenapa belum ada hujan? 7 Tidak usah bicara yang tidak jelas! 8 Hujan, kapan turun hujan? 9 Hujan, hujan dari kemarin pertanyaanmu itu-itu saja, kalau sudah saat nanti juga turun huja. 10 Kalau sudah waktunya. 11 Katanya Buletin Edisi IV/2016
21
Nyai Kasri tak mengatakan sepatah kata pun. Tentang emaknya juga tentang dari mana asal warna hitam dalam dirinya. Bocah itu tak pernah mendapatkannya dari emaknya atau pun simbahnya. Ia mewarisi itu dari lembaran pahit kehidupan penari topeng yang ia anggap sebagai emaknya. Waktu itu, jauh sebelum bocah itu dilahirkan, Nyai Kasri adalah seorang kemlandang dan juga tukang paes12 yang biasanya mendandani para pemain topeng endel, siti salah satunya. Ia adalah penari yang hidupnya diramalkan akan makmur. Dan memang demikian yang terjadi, hingga suatu saat seorang lelaki jahanam datang memutar balik ramalan itu. Ia merampas segalanya yang berharga miliknya lewat manis kata-katanya. Atas nama cinta ia mengambil Semuanya. Termasuk kesuciannya. Keluarga Siti sangat terpukul mendengar putri kebanggannya hamil tanpa seorang suami. Mereka lantas mengusirnya. Kabarnya sejak itu Siti menjadi gila. Nyai kasri lah yang menampungnya di rumah itu hingga bayinya lahir. Tiga tahun, setelah bayi itu lahir siti menggelandang, entah ke mana. “Aku mau pergi mencari kekasihku.” Begitu katanya. “Aku titip bayi itu, jika ia menanyakan emak-bapaknya karanglah cerita sesukamu. Aku tak mau merawatnya jika tanpa kekasiku. Aku mau mencarinya sampai ketemu, aku akan pulang angger wayah rendeng.13” Sejak saat itu Nyai Kasri selalu menyumpal telinga Tiah dengan cerita-cerita bohong tak kala anak itu mulai rewel menanyakan emak dan bapaknya. Namun kenyataan bahwa Siti adalah seorang penari tak pernah difiktifkannya, juga pernyataan siti bahwa ia akan kembali saat musim penghujan. Pun ketika ia menanyakan kulitnya yang hitam. Wanita itu lantas bercerita bahwa ada seorang penari sintren yang sewaktu kecil tak begitu cantik, namun setelah menjadi sintren ia menjelma bagai bidadari. Maka sepanjang umurnya bocah itu lantas terobsesi menjadi seorang sintren agar menjadi cantik dan bertemu hujan juga mak Siti. *** Hari itu masih kemarau, panas menjilat isi bumi. Gadis itu berada diantara tikungan musim yang merajuk. Orang-orang menjadikan dirinya sebagai jembatan pemanggil roh, agar hujan mau mengguyur desa yang makin hari makin gersang. Meski ia tak pernah tahu sebenarnya apa yang telah 12 13 22
Tukang rias Saat musim hujan Buletin Edisi IV/2016
dilakukan raganya untuk mendapatkan itu. Hanya beberapa slide yang diingatnya. Tanah lapang yang penuh sesak oleh orang-orang yang selalu membayang di jendela pikirnya juga bau kemenyan dan pedupaan yang menyeruak masuk ke rongga hidungnya. Cuma itu. Bahkan bayangan lelaki gagah yang katanya menjadi bodor14nya pun tidak. Ia kembali menebar pandang pada ruang di balik kaca jendela. Dari situ ia bisa membaca hari dan pikiran orang-orang lewat gosip ibu-ibu di warung dan obrolan para lelaki di sebuah ranggon pos kampling di seberang rumahnya. Ia tak pernah ke luar dari kamar sempitnya. Semua kabar didapatnya dari orang-orang yang bergunjing di seberang sana. Hanya sering kali Nyai Kasri berdendang, bercerita ketika hatinya dilanda gelisah oleh pikiranpikiran negatif yang menyandera kesadarannya. “Gadis itu semakin cantik saja,” ucap seorang lelaki di pos kampling. “Siapa?” “Putune15 Nyai Kasri.” Seorang perempuan yang tengah memilihmilih kangkung di warung ikut menimpali. “Anak itu jika di bandingkan dengan anak gadisku jelas tak ada apa-apanya. Dia kelihatan cantik begitu kan karena ada yang merasuki. Dulu kan dia bujig nemen 16 sekarang saja dia cantik.” Seorang perempuan lain, ikut nimbrung. “Heh, yu. Semua orang itu pasti berubah, kalau seseorang bujig bukan berarti ia akan begitu sepanjang hidup. Apa lagi perempuan pasti mengerti cara berdandan.” “Memang kebanyakan Sintren ya begitu, yu. Meskipun dulunya jelek kalau sudah jadi sintren pasti jadi cantik.” Gadis itu menutup kembali kaca nako di jendela kamarnya. Kesal. Tak mau lagi didengarnya suara-suara itu. Suara-suara itu tak ubahnya bagai tusukan belati yang menghunjam lubang telinganya. Panas. Olok-olokan lima belas tahun silam seakan kembali menyeruak. Menendang-nendang gendang telinganya. “Dasar jaliteng !!” Jaliteng. Aku. Bukan. Bukan. 14 15 16
Lawan menari dalam tarian sintren Cucunya Dekil sekali
“Kalau bukan karena kerasukan, ia tak akan bisa menari, atau pun mau berlenggak-lenggok.” Ditutupnya rapat kedua kupingnya seakan ia tengah mendengar sebuah ledakan yang mahadahsyat. Ia kembali berkomat-kamit lalu mengerang. Meronta bak orang kesetanan. Ia berteriak. Histeris. Nyai kasri yang mendengar itu di belakang rumah segera menemuinya. “Duh, Gusti. Ada apa lagi ?” Didekapnya dengan erat tubuh Tiah yang meronta itu, diusapnya wajah itu dengan tak hentinya, sambil terus berkomat-kamit membaca doa. Perlahan gadis itu mulai tenang. Namun matanya masih saja kosong menatap hampa pada langit-langit. Seolah teringat akan sesuatu. “Hujan. Yah, hujan. Kapan desa ini akan hujan? Kenapa kemarau masih saja melanda desa ini. Sudah sekian lama, katanya jika seorang Sintren telah menari di lapangan hujan akan segera turun.” Seingatnya sudah berhari-hari, ia mencium pedupaan Nyai Kasri di lapangan. Pun sudah berkali-kali pula ia menginjakan kakinya di atas rumput lapangan. Kadang-kadang terdengar samar alunan tetabuhan bumbung dan buyung yang tak pernah sempat didengarnya hingga selesai. “Ah, hujan.” Nyai Kasri masih mendekapnya erat, khawatir kalau-kalau gadisnya akan kumat lagi. Sementara Tiah masih berada diambang kesadaran. Dillihatnya sosok mak Siti dalam bayangnya, dirinya menjelma balita tiga tahun yang merengek dalam dekapan emaknya. “Emak.” Pelan-pelan mata yang menerawang kosong itu mulai mengatup. Putih warna langit-langit kamar pun berubah menjadi hitam pekat, tanpa bayangan. Ia terlelap. Seiring dengan dendangan manis dari bibir Nyai Kasri. “Tidurlah nak, jangan lagi kau ingat apa yang ingin kau ingat. Lihat ini bagai mimpi. Dan berhentilah sadar.” *** Ketika ia terbangun, Nyai Kasri sudah tak lagi di sana. Dirasanya sentuhan halus tangan mak Siti yang tengah mendekapnya mesra di pojokan kamar. Suara-suara gosip di luar sana berganti bercerita tentang sintren. Dan sebuah lagu khas tarian itu. Turun sintren, sintrene widadari Nemu kembang yona-yono, kembange si Jaya Endra
Kopi Jaya, kopi Ratih. Sing nganjingi Sing dadi Ia menganggap itu mimpi atau batas pandangnya yang kabur hingga sosok Nyai Kasri berubah Mak Siti. Mak siti tersenyyum dan berkata-kata tentang lelaki yang cintainya. Kekasihnya. “Lelakiku gagah.” Bisiknya. “Aku memilikinya, ketika aku seusiamu. Wajahnya teduh bagai danau yang berlimpah airnya, hingga aku selalu ingin berada dalam keteduhan itu. sepanjang waktu. Siang, pagi, malam. Padang utawa peteng17. Aku menyukai itu seperti kau ketika bayi menyukai air yang melimpah ruah menyiram tubuhmu yang telanjang.” “Mak, apa yang kau bicarakan ?” “Kau, sudah dewasa harusnya kau punyai pengalaman semacam itu. Siraman cinta yang hangat menggelora. Hingga larut khayalmu di dalamnya. Hening. Bening. Begitu indahnya” Gadis itu beringsut, hingga tangan tua itu berhenti mengelus rambut anaknya. “Kenapa emak bicara seperti itu ?” Wanita itu lantas menyeringai. “Kenapa nak, emakmu memang demikian adanya.” “Kau sangat menjijikan, kau bukan emak!!!” jeritnya. “Emak tidak begitu!” Tiah kembali merunduk di lantai. Menangis, sesenggukan. Disadari atau tidak. Perlahan tangannya merayap diam-diam pada sebilah pisau yang tergeletak di kolong amben. Meraihnya dan dihujanmkanya pada tubuh wanita itu. Ia menjerit. Gadis itu kembali. Memasuki alam sadarnya dengan sebuah seringai. Nyai Kasri sudah terkulai di atas lantai. Berlumur darah. Dicabutnya sebilah pisau dari tubuh renta yang mendekapnya. Hingga darah segar mengucur, membasahi kebaya dan tapih batik yang dikenakanya. Pusing. Ia bahkan tak dapat mengingat apa saja yang sangat ingin ia ingat. Semua kabur begitu saja seperti khayalannya tentang mak Siti, juga semua ingatannya saat ia menari tak, sadarkan diri.
17
Terang tau gelap. Buletin Edisi IV/2016
23
24
Buletin Edisi IV/2016