Buletin Edisi III/2016 (Mei-Juni)

Page 1

Edisi III/2016 (Mei-Juni)

H Buletin Refleksi Intelektualitas

Struktur Organisasi Dan Tata Kelola Undip Disesuaikan Setelah menyandang status PTN-BH, berbagai perubahan di Universitas Diponegoro (Undip) mulai terlihat satu persatu. Mulai dari pengembangan kerjasama sampai penyesuaian statuta. Sebelum Berbadan Hukum, jajaran pejabat Undip terdiri dari Pembantu Rektor I (PR I) yang bertugas di bidang akademik, PR II di bidang keuangan dan administrasi umum, PR III di bidang kemahasiswaan, dan PR IV di bidang pengembangan dan kerjasama. Kini, struktur dan tugas-tugas tersebut resmi berubah dan mengalami penyesuaian setelah disahkannya Peraturan Rektor No. 4 tahun 2016. Setelah Peraturan Rektor tersebut terbit, nama Pembantu Rektor pun berubah menjadi Wakil Rektor (WR). Tak hanya itu, tugasnya pun

mengalami sedikit perubahan. Wakil Rektor I bertugas di bidang akademik dan kemahasiswaan, II di bidang keuangan dan kemahasiswaan, III di bidang komunikasi dan bisnis, dan IV di bidang kerjasama dan jaringan. Setiap Wakil Rektor juga memiliki beberapa jajaran di bawahnya, yaitu direktur, wakil direktur satu dan wakil direktur dua yang bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya di masing-masing bidang. Mengenai perubahan tersebut, Muhammad Zaenuri yang kini menjabat Wakil Rektor I, mengatakan “itu (untuk, red) memenuhi kaidah dan struktur kerja PTN-BH.� Ia juga menyampaikan bahwa menjadi perguruan tinggi dengan status Berbadan Hukum (BH) menuntut Undip berbenah. Terutama dalam mengelola segala sesuatu yang dimiliki secara mandiri, seperti dana masyarakat. Hal tersebutlah yang menjadikan adanya bidang komunikasi yang ditugaskan kepada Wakil Rektor III. Bidang baru ini didasari oleh peraturan pemerintah seperti yang diungkapkan Zaenuri saat ditemui di ruangannya, “Karena kembali kan ke peraturan pemerintah ya, bahwa sifat PTN-BH itu kan bersifat kemandirian. Nah, kemandirian itu masuk ke dalam pengelolaan dana masyarakat. Nah, dana masyarakat itu bisa mengalir kalau

itu dalam bentuk banyak cara, salah satunya adalah bidang komunikasi dan bisnis�. Perubahan yang cukup mencolok memang terjadi pada bidang I dan III. Jika pengelolaan dana masyarakat menjadi alasan adanya tugas baru yang dimiliki Wakil Rektor III. Maka penambahan tugas untuk memegang bidang kemahasiswaan pada Wakil Rektor I dikarenakan keputusan menteri untuk meningkatkan daya saing dan pembentukan karakter yang merupakan bagian dari pembinaan kompetensi dan pengembangan keilmuan. Hal yang sama juga terjadi di tingkat fakultas. Struktur di tingkat Dekanat mengalami penyesuaian dengan di tingkat universitas. Sebab hal tersebut, sekarang bidang kemahasiswaan tidak lagi ditangani oleh Alamsyah. Setelah dilantik di Gedung Prof. Soedarto dalam Pelantikan Pejababat Baru di Lingkungan Undip, 2 Mei silam, dirinya kini menempati posisi sebagai Wakil Dekan IV yang menangani masalah riset dan inovasi. Sedangkan Wakil Dekan III diisi oleh Arido Laksono yang sebelumnya merupakan Pembantu Dekan IV. Membentuk Departemen Selain jajaran Dekanat, perubahan juga (Bersambung halaman selanjutnya)

1| Buletin Edisi III/2016


PENERBIT: Lembaga Pers Mahasiswa Hayamwuruk Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. PEMIMPIN UMUM: Deviana Kurniawati SEKRETARIS UMUM: Risma Widyaningtyas PEMIMPIN REDAKSI: Hendra Friana REDAKTUR PELAKSANA: Resza Muztafa REDAKTUR ARTISTIK: Chandra Dewi Shelli EDITOR: Intan Larasati A SEKRETARIS REDAKSI: Danik Indri ST STAF REDAKSI: Iftaqul Farida Alya Lubna Ganis Asa Fiqhia Aditya Ray Muhammad Nurul Maulina W.Z Fia El Milla Feeby Syilvi Nabila Azza Devi Ayu Anggraeni PEMIMPIN LITBANG: Listi Athifatul Ummah STAF LITBANG: Faidah Umu Sofuroh Qonita Azzahra Wawan Wiyanto Ahmad Zainal Arifin Meutia Mega Prahara Achmad Mubarok Nia Aeniyah PEMIMPIN PERUSAHAAN: Novi Handayani STAF PERUSAHAAN: Dianira Rizki Kinasih Pitri Amalia Safrida Rohmah Ummi Kholifatul Lulu Fitria Aniskuri STAF KHUSUS: Fakhrun Nisa Ayu Mumpuni Muhammad Habib Indah Zumrotun Farida Sukma Dewi Diah Wahyu Asih Dinni Ariska ALAMAT REDAKSI: Gedung A (Lantai 3) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Jalan Prof. Soedarto S.H., Tembalang, Semarang.

Redaksi menerima sumbangan artikel/opini untuk diterbitkan di buletin. Diketik rapi 4000-6000 karakter (termasuk spasi) halaman folio dilengkapi identitas pribadi (KTP/KTM). Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengubah maksud dan isi tulisan. Naskah dapat dikirim ke alamat redaksi atau via surel: lpmhayamwuruk@gmail.com Nara Hubung: 087886484377

(Sambungan halaman sebelumnya) mulai dilakukan di tingkat jurusan. Kedepan, semua jurusan akan berubah menjadi Departemen . Di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) sendiri, konsepnya masih coba dimatangkan dengan membentuk panitia Ad Hoc yang diketuai Wakil Dekan I, Singgih Tri Sulistyono. Ditemui Hayamwuruk di ruangnya, ia mengatakan bahwa dengan adanya perubahan SOTK universitas, mau tak mau peninjauan kembali terhadap existing stuktur di tingkat fakultas harus dilakukan. “Tetapi juusan ini tidak serta merta dikonversi menjadi departemen. Kita harus lihat dari sisi legalitas maupun substansi keilmuannya”. Pria yang akrab disapa Prof. Singgih itu juga menjelaskan lebih jauh mengenai tim Ad Hoc yang ia ketuai. Terdapat tiga seksi yang bekerja dengan masing-masing tugas. Pertama, seksi kajian regulasi yang memastikan regulasi seperti apa terkait departemen. Kedua, seksi kajian existing kondisi di FIB yang melakukan pemetaan bidang keilmuan yang realitasnya ada di FIB. Dan ketiga, seksi bench marking yang bertugas melakukan perbandingan dengan yang ada di beberapa universitas lain". Penyebutan jurusan dengan departemen, bukanlah suatu hal yang baru. Di universitas lain, seperti Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI) depatemen telah lama terbentuk di tingkat fakultas. Menurut Singgih, tenggat waktu tiga bulan yang diberikan universitas untuk mengubah jurusan menjadi departemen akan terpenuhi selama tidak ada perubahan di tingkat program studi. “(Kalau, red) ada Prodi yang hanya khusus mengkaji linguistik misalnya, atau ada prodi yang hanya sastra saja. Nah ini kan terjadi perubahan total. Karena selama ini linguistik dan sastra jadi satu di dalam Prodi, baik dalam Sastra Inggris, Indonesia atau Jepang”. Tapi, jika hal itu terjadi, “maka perubahan jurusan ke problam studi akan mengalami masa transisi yang penuh problematika” tandasnya. (Ayu Mumpuni & Hendra Friana)

“Saiki Nganggo Jarik Wes Rak Jaman” Pasar Bandungan, Sabtu (21/5), sekitar pukul 10.30, seorang lelaki paruh baya menggelar sehelai jarik—sebutan orang jawa untuk kain bermotif batik. Nampaknya ia adalah seorang pedagang keliling yang sedang mejajakan dagangannya. Penasaran, kami mendatangi lelaki tersebut untuk sekedar bertanya, mengapa jarik? “Kalau nggak ada yang jualan kan, itu musnah.” Afan Riyanto (42) ternyata telah bekerja sebagai penjual jarik dan baju selama 20 tahun. Setiap hari ia berkeliling pasar dan berpindahpindah mulai dari Jogja, Magelang, hingga Semarang. “Yang beli di sini biasanya ibu-ibu,” ungkapnya. Setelah diperhatikan, memang kebanyakan ibu-ibu (jika tidak bisa dipanggil orang sepuh) yang mengenakan jarik sebagai busana bawahan mereka. Ayah dari tiga anak tersebut lalu berujar hanya sedikit anak-anak muda yang mau membeli jarik. Itu pun tak digunakan sebagai busana, melainkan sebagai penutup paha ketika mereka duduk. Rasa penasaran kemudian menuntun kami untuk mendatangi Painem (70), ibu penjual pisang yang menyambut kami di pintu masuk. “Wong tuwo yo nganggone jarik, nek wong enom yo nganggo koyo ngono

2| Buletin Edisi III/2016

kae,” ujarnya sambil menunjuk seorang yang lewat menggunakan celana jeans. Painem mengutarakan perihal mengapa ia masih mengenakan jarik di tengah banyaknya trend fashion yang ada. Menurutnya, anak-anak muda jaman sekarang, terutama perempuan, lebih cocok mengenakan rok atau c e l a n a ka re n a m e m a n g s u d a h seharusnya. Hanya orang tua yang masih mau mengenakan jarik, itu pun hanya beberapa. Keluar dari Pasar Bandungan, waktu menunjukkan pukul 11.00 siang. Matahari mulai rembang. Seketika mata kami seperti terpanggil ke arah ibu-ibu yang mengenakan jarik. Dan seperti apa yang dikatakan Painem, memang hanya beberapa yang m e n g e n a k a n j a r i k , s e l e b i h nya kebanyakan memakai celana atau rok. Perut kami terasa lapar. Kami menghampiri seorang ibu yang menjual jajanan di luar pasar. Terlihat oleh kami, ia juga mengenakan jarik. Mbah Tris (61), begitu ia dipanggil, mengaku telah berjualan selama 30 tahun di tempat tersebut. Tertarik, kami bertanya pendapatnnya tentang jarik. “Saiki nganggo jarik wes rak jaman,” tuturnya. (Oleh: Ulfaturrofiah, Tatik K & Umi W. K. Ditulis dalam Magang Madya LPM Hayamwuruk)


PSA Minim Sosialisasi Pusat Studi Asia (PSA). Mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah tentu tak asing dengan ruangan yang terletak di ujung lantai 2 gedung B FIB ini. Dari namanya, dapat ditebak bahwa keberadaannya dimaksudkan sebagai tempat segala riset dan kajian isu-isu seputar Asia ditumpukan. Namun, tak seperti pusat studi di Undip lainnya yang bernaung di bawah LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat), PSA berada di bawah komando jurusan Ilmu Sejarah dan juga Pembantu Dekan IV bidang kerja sama (sebelum peralihan nomenklatur). Yetty Rochwulaningsih, ketua PSA, mengatakan bidang keilmuan yang ditekuni dalam PSA tidak melulu soal sejarah tapi juga dari disiplin ilmu lain. “Nanti mungkin yang berangkat bukan teman-teman PSA, tapi dari sana dari perspektif multi ya, banyak perspektif teman-teman dari sastra, dari linguistik”. Ia juga menambahkan, disiplin ilmu yang dikaji tak hanya dari bidang kebudayaan, tapi juga dari eksak seperti Teknik. Lembaga riset yang didirikan tahun 2006 dan diresmikan dengan Surat Keputusan (SK) Fakultas ini mewadahi banyak program termasuk field trip, student exchange, dan lecture exchange. Sejauh ini, sudah ada beberapa peneliti bahkan mahasiswa yang melakukan kajian di luar negeri sebagai salah satu wujud program PSA. Yetty juga mengklaim bahwa PSA adalah satusatunya pusat studi yang memiliki Memorandum of Understanding (MoU) dengan universitas di luar negeri. “Karena di Undip ini yang punya MOU dengan Universitas Nagoya itu PSA, gitu. Bahkan dengan Universitas Tokyo. Beberapa Universitas di luar negeri lah,” imbuh dosen jurusan Sejarah ini. Sayangnya, kesempatan yang ditawarkan PSA ini kurang diimbangi dengan sosialisasi kepada civitas akademika FIB terutama mahasiswa. Ichsan Gifari, mahasiswa Sastra Jepang 2014, mengaku tak tahu soal PSA. “Oh, ada ya? Setahu gua PSA itu yang di ICT itu, yang banyak kursus bahasa-bahasanya.” Kabar Kampus

Semarang

Sajak

Tak hanya Ichsan. Siti Ulinnuha, mahasiswi Ilmu Sejarah 2014, juga tidak sepenuhnya tahu tentang pusat studi ini. “Sosialisasi PSA? Selama aku kuliah disini nggak ada ya sosialisasi PSA. Aku tahu dikit-dikit tentang PSA ini aja juga tau dari temen-temen sama dari kakak-kakak tingkatku kok” ujarnya sambil terkekeh. Hal ini tak ditampik oleh Yetty. Ia mengatakan sudah ada sosialisasi PSA via online, namun ia tidak tahu apakah hal tersebut masih ada atau tidak. “Nah, sebenarnya aneh kalau pada nggak tahu. Atau mungkin karena sudah rusak kali ya,” tukasnya. Pusat Studi Asia FIB ini tentunya banyak berkontribusi sejak didirikan satu dekade ke belakang. Namun akan lebih baik jika ada sosialisasi yang masif agar keberadaanya dapat dioptimalkan oleh seluruh sivitas akademika baik di FIB maupun di Undip. Dalam hal ini, tentu peran fakultas sangat ditunggu. (Deviana Kurniawati)

Refleksi Negeri

English Corner

Resensi

Opini

Kolom

03| Buletin Edisi III/2016


Gita Bahana Arisatya

Sabet Medali Perak Di USM

Masalah Klasik Parkir FIB Masalah keamanan parkiran memang sudah lama menjadi persoalan bagi mahasiwa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Undip. Tak pelak, banyak mahasiswa yang sudah jenuh dengan masalah ini. Seakan-akan masalah kehilangan helm ataupun motor sudah tak menjadi masalah bagi mahasiswa FIB. Wakil Dekan (PD) II, Suharyo, mengatakan “memang sulit mengcover kejadian-kejadian kehilangan helm atau sepeda motor karena yang pertama di sebabkan oleh tempat yang belum memadai dan yang kedua karena keterbatasan SDM” Sementara Dani, mahasiswa jurusan Sastra Indonesia 2015, pernah mengalami kehilangan helm dua kali dalam seminggu. Ia mengatakan sempat melapor ke pihak kemanan kampus tapi tak ada respon yang baik. ”Jadi ini sedikit cerita jadi saya lapor ke pihak keamanan di pos, pihak keamanan acuh tak acuh. Setelah saya lapor tidak ada tindak lanjut entah itu pemasangan cctv atau keamanan yang diperketat, jadi antara keamanan dan pihak-pihak yang bersangkutan kurang tanggap terhadap isu kehilangan helm atau sepeda motor” ujarnya, ketika diwawancarai Hayamwuruk. Lain cerita dengan yang dialami Tiyak. Mahasiswa jurusan Sejarah angkatan 2014 ini sempat mengalami kehilangan sepeda motor di FIB. “Pernah dulu, saya waktu semester yang lalu, saya pernah kehilangan motor. Saya masih parkir di situ (parkiran di gedung B, red), masih dibuka. Ya karena salah saya sendiri tidak kunci stang dan tidak

4| Buletin Edisi III/2016

ada pengawasan di sana kan yah. Ada dua motor yang hilang motor saya dan motor kakak tingkat saya“ paparnya. Tiyak sendiri ketika diwawancarai sempat memberi saran terkait parkiran di FIB. “Saya inginnya sebenarnya sih satpam, setidaknya satpam keliling buat memeriksa parkiran kalau tidak ada kartu parkir, dan helmnya dikasih sticker”, ujarnya. Menanggapi hal tersebut, Suharyo mengatakan bahwa harus ada saling kerjasama antara pihak keamanan FIB dan pengguna sepeda motor, dalam hal ini mahasiswa.“Artinya, bisa jadi kalu kita sering berkaca di luar itu kan misalnya ada kunci ganda, kunci helm. Tetapi sekali lagi, hanya sebagai salah satu upaya untuk mengurangi jumlah korban yang selama ini terjadi di FIB. Jadi intinya adalah kerja sama antara petugas keamanan dan mahasiswa”. Sementara itu, pihak keamanan di FIB sendiri mengatakan bahwa keamanan parkiran bukanlah tanggung jawab mereka. Hal ini karena di FIB tidak ada petugas khusus yang menangani parkiran seperti di fakultas lain. ”Kami bertugas hanya untuk keamanan seluruh FIB, bukan untuk parkiran”. Bisa jadi, kehilangan helm maupun sepeda motor di FIB akan kembali terulang, jika tidak ada solusi lain yang ditawarkan dan kesadaran dari mahasiswa maupun pihak keamanan di FIB. (Magang Hayamwuruk: Ulil Albab Alshidqi, Pramest Putri Hutami &

Kelompok Paduan Suara (KPS) FIB, Gita Bahana Arisatya (GBA), berhasil menyabet medali perak dalam gelaran Lomba Paduan Suara Sapta Gita Universitas Semarang IX pada Sabtu lalu(21/5). Medali perak tersebut mereka raih lewat lomba kategori folklore (lagu rakyat) yang diikuti oleh 11 kelompok paduan suara seIndonesia. “Kalau untuk semua kategorinya itu sekitar enam puluh KPS. Kalau kemarin itu yang kategori kita (yang diikuti, red.) ada tiga belas KPS tapi mundur satu,” tutur Hendrike Priventa, salah satu anggota GBA saat diwawancarai di Kantor Redaksi Hayamwuruk (23/5). Dalam ajang dua tahunan tersebut, GBA membawakan tiga lagu yakni Soleram, Dorven Dalai (lagu rakyat Mongolia), serta Jaranan. Alfi Luthfiana, ketua GBA, mengatakan proses latihan efektif untuk mengikuti lomba ini memakan waktu sekitar 4 bulan. Ia pun tak menampik adanya berbagai kendala yang dihadapi baik dalam proses latihan maupun saat pentas di hari-H. “Transportasi (menuju tempat lomba, red.), terus anak-anaknya (latihan, red.) molor,” jelasnya. Mengenai proses latihan yang terkendala, ia menambahkan, hal itu disebabkan oleh anggota yang dikirim untuk lomba berasal dari berbagai angkatan baik 2011 sampai 2015, sehingga penyesuaian waktu lebih sulit dilakukan. Selain itu, dana yang dibutuhkan untuk mengikuti lomba juga menjadi masalah tersendiri. “Biaya pendaftaran lomba itu biasanya minimal satu juta,” papar mahasiswi Sastra Jepang semester enam itu. Setelah mengikuti Sapta Gita, Alfi mengatakan rencana GBA selanjutnya adalah gathering dengan beberapa PSM Undip. Saat ditanya tentang mini konser, Alfi dan Hendrike menjawab dengan tersenyum. “Iya, pengennya tahun ini ada lagi. Pengennya di GSG,” kata Alfi. Meskipun GBA sudah memenuhi target minimal mengikuti satu kompetisi tiap tahun, GBA akan mengikuti lomba serupa apabila sumber d aya d a n s u m b e r d a n a d i n i l a i memungkinkan. Harapan kita semua tentu paduan suara kebanggan FIB ini dapat berjaya di ajang-ajang bergengsi lainnya. Selamat, Gita Bahana Arisatya! (Deviana Kurniawati)


bernama Ana. Dalam kehidupan Nova, bumi sudah kehilangan habitat aslinya. Banyak flora dan fauna yang telah musnah dan beberapa negara sudah tenggelam. Kerusakan terjadi akibat pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim di bumi. Generasi Nova menjadi generasi yang menyalahkan para pendahulunya sebab keserakahan mereka dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan mengakibatkan rusaknya bumi. Kemudian dalam m i m p i nya i t u , s a n g n e n e k menggunakan kekuatan cincin untuk memberikan Nova satu kesempatan lagi agar dapat mempertahankan flora dan fauna Oleh: Diah Wahyu Asih yang ada di bumi. Seketika itu juga Ana pun terbangun dari mimpinya. DUNIA Anna merupakan sebuah Penyelesaian dari novel filsafat semesta yang berisi masalah yang muncul dituangkan tentang renungan eksistensi dalam pemikiran Ana dan diskusi manusia di dunia. Buku karangan dengan kekasihnya yang bernama Jonas. Jostein Gaarder yang terkenal dari buku Sebelum masuk kedalam proses Judul : Dunia Ana Dunia Sophie ini menghadirkan pandangan Penulis : Jostein Gaarder penyelesaian masalah, Gaarder selalu filosofis yang dituangkan kedalam cerita Penerjemah : Irwan Syahrir memunculkan pertanyaan filosofis yang fiksi. Sama seperti karya lainnya, Gaarder Penerbit : Mizan mendasari pemikiran manusia untuk mulai selalu menyertakan pertanyaanTahun terbit : 2015 berbenah. Dalam buku ini, Ana mencari pertanyaan filosofis yang menjadi pokok Tebal buku : 244 halaman kliping tentang kerusakan lingkungan dan bahasan dalam cerita. Kali ini, pertanyaan No. ISBN : 978-979-433-842-1 membaginya kedalam dua kotak pertanyaan filosofis yang muncul dalam Dunia Anna filosofis. Yang pertama adalah Apa arti berkaitan dengan kelangsungan hidup alam dunia? dan yang kedua adalah Apa yang harus dilakukan? di bumi. Dengan tokoh utama seorang gadis berusia 16 Beranjak dari dua pertanyaan ini, Ana dan Jonas mulai tahun bernama Ana sekaligus Nova, Gaarder mencoba berpikir serta menciptakan ide untuk mencegah untuk membuka mata seluruh orang di dunia untuk mulai terjadinya kemusnahan flora dan fauna. Dalam kehidupan Nova di jalanan, stasiun peduli dengan habitat alam di bumi. Dia menulis banyak hal tentang perubahan iklim dan dampaknya pada maupun bandara di seluruh dunia, terdapat sebuah mesin kemusnahan habitat flora dan fauna di bumi, serta yang disebut mesin otomat hijau dimana orang-orang mengolahnya dalam sebuah kemungkinan yang dapat dapat mendonasikan uangnya untuk kehidupan salah satu terjadi di masa depan jika manusia tidak memperdulikan fauna yang dipihnya. Sedangkan di kehidupan Ana, mesin a l a m . L e w a t t o k o h b e r n a m a N o va , G a a r d e r itu sebenarnya adalah sebuah ide dari Jonas yang mereka menggambarkan dunia dimana berbagai macam flora dan didiskusikan saat berada di pondok milik keluarga Ana. fauna hanya bisa disaksikan lewat video dan hologram Mesin itu adalah salah satu hasil dari pemikiran Ana dan Jonas dalam usaha melestarikan kehidupan di dunia karena keberadaannya yang telah punah. Dunia Ana menceritakan kisah Ana yang memiliki untuk generasi mendatang. Menurut saya, novel ini cukup sulit untuk imajinasi aktif dan mimpi-mimpi yang begitu terasa nyata dialaminya. Menjelang ulang tahunnya yang ke 16, ia dipahami karena pergantian tokoh yang cukup sering. mendapat hadiah berupa cincin batu rubi berwarna Bahkan pembaca mungkin harus membalik ulang untuk merah pekat dari ibunya. Cincin merupakan warisan mengetahui siapa tokoh yang sedang dibicarakan. Selain turun-temurun dari keluarganya. Konon benda itu berasal itu, pilihan kata yang dipakai penerjemah kurang pas dari jin Aladin yang masih dapat mengabulkan satu sehingga sulit memahami beberapa kata istilah yang dimaksud. Namun, terlepas dari itu semua, novel ini permintaan. Seolah memiliki kekuatan magis, setelah memberikan dorongan yang positif bagi para pembaca mengenakan cincin itu Ana bermimpi menjadi Nova, untuk lebih sadar akan kelestarian lingkungan alam dan cucunya di masa datang. Dalam mimpinya ia adalah Nova filosofi hidup manusia. yang memiliki nenek buyut yang berusia 86 tahun

Resensi Buku

pa rti

A Dunia ?

5| Buletin Edisi III/2016


Seminar Opini:

Sikap Media Penyiaran Indonesia Terhadap Intervensi Politik Dalam memperingati hari jadinya yang ke-31, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Opini menyelenggarakan seminar yang bertajuk “Sikap Media Penyiaran Indonesia Terhadap Intervensi Politik”, Sabtu (4/5). Seminar tersebut dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama diisi oleh Amirudin, Komisioner KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) sebagai pembicara dan dimoderatori oleh Triyono Lukmantoro Dosen Ilmu Komunikasi Undip. Sedangkan sesi kedua Yogi Arief Nugraha, Wakil Pimpinan Redaksi Kompas TV dan dimoderatori oleh Pinastika mahasiswa tingkat akhir jurusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Undip. Di Indonesia, menurut Amir, media telah mengalami setidaknya tiga kali transformasi, “Pada tahun sembilan puluhan atau bisa disebut era monopoli, di masa ini, media dijadikan sebagai cermin tugas negara (aparatur negara). Lalu ada era industrialisasi, di mana media dijadikan sebagai semi layar dan pasar politik. Dan yang terakhir, era pasca reformasi menjadikan media sebagai ragam wajah dalam kompetisi pasar”. Sementara, Triyono Lukmantoro mengungkapkan, adanya intervensi di sebuah media pasca reformasi dilatarbelakangi oleh beberapa faktor diantaranya karena pemimpin media tersebut mempunyai dua peran yakni sebagai penguasa sekaligus pengusaha, dan lantaran media tersebut mempunyai pasukan langsung yang duduk di kursi DPR. Menanggapi hal tersebut, Amir berpendapat bahwa media yang baik paling tidak harus ramah terhadap dua hal: Pertama, keberagaman budaya

6| Buletin Edisi III/2016

(Cultural Pluralism Friendly) dan Kedua, ramah terhadap politik (Political Pluralism Friendly). Untuk meminimalisir adanya intervensi, kata Amir, maka KPI memberikan batasan 20% ruang penyiaran dipakai untuk pemiliknya, sedangkan 80% untuk ruang kebudayaan. Selain pembatasan ruang komersial, KPI juga mempunyai regulasi dalam hal pembatasan media, yakni suatu media harus mempunyai kemanfaatan, keadilan serta keamanan. Media juga dilarang mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan (Non Partisanships), tambah Amir. Tapi, ketika Amir mengatakan Kompas TV, media tempatnya bekerja, adalah media yang paling minim kemungkinan mengalami intervensi, di sesi kedua Yogi Arif Nugraha mengatakan “Terlalu sombong nampaknya kalau saya mengatakan Kompas bersih dari intervensi, karena menurut saya intervensi itu tetap ada, semisal intervensi pasar”. Ia karena itu lebih menekankan pada konsumen media itu sendiri, “Jangan sampai hanya menjadi konsumen”, ujar lelaki berkacamata itu. Terlepas dari itu semua, Annisa Septiningrum, salah satu peserta yang berasal dari jurusan Kedokteran Umum Undip berpendapat, cara paling efektif untuk menanggulangi adanya intervensi di media. “Kita bikin kayak rules, supaya kita nanti bisa menyeleksi jikalau ada pengaruh yang negatif”, ucapnya ketika diwawancarai Hayamwuruk setelah seminar selesai. (Nurul Maulina W Z)


Ngrungkebi Bumi Mina Tani Memperingati Hari Kebangkitan Nasional 2016, sebanyak 2000 petani di Lereng Pegunungan Kendeng Utara melakukan aksi long march “Ngrungkebi Bumi Mina Tani”, Kamis malam (19/5). Dengan membawa obor, aksi jalan kaki berjarak tempuh 20 kilometer itu dimulai dari lokasi petilasan Nyai Ageng Ngerang di Kecamatan Tambakromo menuju ke alun-alun kota Pati. Pemilihan lokasi untuk memulai perjalanan dari kecamatan Tambakromo cukup beralasan. Pasalnya Kecamatan tersebut disinyalir akan menjadi salah satu lingkungan yang terkena dampak dari rencana pendirian pabrik dan pertambangan semen oleh PT. Indocement. Aksi tersebut, sejatinya dilakukan untuk menyuarakan keresahan masyarakat yang akan terkena dampak langsung dari berdirinya pabrik semen di Pati. Selain itu, long march bisa juga dikatakan sebagai upaya mengawal, seperti yang diungkapkan oleh Joko Prianto. Pemuda Tani asal Rembang yang juga mengajukan gugatan mewakili warga Rembang di PTUN Semarang beberapa waktu lalu ini, mengatakan bahwa kesempatan ini sekaligus digunakan untuk mengawal gugatan izin lingkungan PT. Sahabat Mulia Sakti yang berkompromi dengan pihak bupati Pati yang saat ini kasusnya masih bergulir panas di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya. “Melalui perjuangan dengan aksi long march ini, kami berusaha menggugah nurani pemerintah”, ujarnya. Bertolak belakang dari pendapat yang diungkapkan oleh Joko, Sugiono (26) warga daerah Gajahmati pemilik warung angkringan nasi kucing di jalan sekitar alun-alun kota, justru mengkritisi adanya aksi long march 20 km. Menurutnya, aksi tersebut dilakukan guna menjadi alat provokasi beberapa pihak. Baginya aksi tidak murni dari kemauan warga, melainkan karena ada hal lain yang melatarbelakanginya, yaitu karena dibayar. “Saya kasihan, Mas. Itu aksi dilakukan sama ibuibu tua yang kebanyakan usianya di atas 40 tahunan. Saya dan kawan-kawan yang nongkrong di angkringan dari tadi curiga, mana ada di zaman sekarang kok mau jalan jauh-jauh kayak gitu. Ngurusi hidupnya sendiri aja susah, ini kok malah ngurusi urusan hidupnya orang lain. Sok-

sok an berjuang. Itu pasti ada provokatornya, ada pihak yang mengkomandoi dan membayari bagi yang mau melakukan aksi. Terlebih temanku Edi tadi kan bilang dan dengar sendiri waktu perjalanan sampai di Gabus ada celetukan yang bicara soal duit.” Menanggapi hal tersebut, Joko Prianto dari JMPPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) yang mengkoordinir aksi long march malam itu berkata siapapun berhak beranggapan terhadap yang ia dan masyarakat lakukan. “Ya, itu hak mereka untuk berbicara. Mereka punya mulut, ya digunakan buat bicara. Entah itu bicaranya benar atau salah, bohong atau tidak, itu kan urusannya dengan Tuhan. Biar nanti kenyataan yang menjawab itu benar atau tidak. Dibilang sok-sokan berjuang, ya kami memang berjuang. Terserah mereka mau percaya atau tidak”. Aksi long march 20 km dari Tambakromo sampai ke alun-alun kota Pati sendiri, menjadi tanggapan penolakan terhadap rencana intens PT. Sahabat Mulia Sakti (SMS), sebagai anak perusahaan PT. Indocement Tu n g g a l P r a k a r s a , ya n g h e n d a k m e l a k u k a n pembangunan pabrik semen dan penambangan di wilayah Kecamatan Kayen dan Tambakromo. Sebelumnya, tepatnya pada tanggal 17 November 2015 lalu warga juga melakukan aksi long march sejauh 144 km, dari Pati hingga Semarang. Hal itu dilakukan dalam rangka mengawal gugatan ijin dan penambangan pabrik semen di Pati, yang akhirnya dimenangkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Penolakan warga Kendeng terhadap rencana pembangunan pabrik semen di lingkungan mereka bukan tanpa alasan. Gunretno, tokoh samin dari Sukolilo, Pati, mengatakan bahwa pertambangan semen di Pegunungan Karst Kendeng Utara berpotensi memutus fungsi karst sebagai pendistribusi air melalui goa. Hal tersebut juga telah diteliti oleh Cahyo Rahmadi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Terputusnya distribusi air dapat menyebabkan hilangnya mata air, dan pemulihannya seperti sediakala akan sangat sulit. Hal tersebut akan sangat merugikan, sebab karst memiliki jaringan goa sebagai “pipa” air alami yang menghubungkan zona resapan, zona simpanan, dan mata air yang penting bagi masyarakat di kawasan itu. (Resza Mustafa)

7| Buletin Edisi III/2016


Setelah Intel Dan Polisi DI ruang Pusat Studi Asia, di ujung lorong lantai 2 gedung B Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang sepi, Rabu sore (11/5), seorang perempuan telah menunggu kami. Ia berwajah bayi. Perawakannya kecil tapi badannya sintal. Sehari sebelumnya, melalui media sosial ia mengirimkan pesan bernada genting. “Selamat malam, Apakah saya bisa meminta nomor kontak Pimred Hayamwuruk? Ada yang hendak saya sampaikan kepada ybs. Saya sudah menghubungi Devi tapi blm ada jawaban sampai sekarang. Saya mohon jika anda menghubungkan saya dengan pimpinan HW”. Noor Naelil, dosen Program Studi Sejarah yang juga pembina LPM Hayamwuruk, hari itu mengatur waktu bertemu dengan saya dan Devi—Pemimpin Umum LPM Hayamwuruk. Ia meminta kami menemuinya bukan karena berita yang kami buat, apalagi penambahan dana organisasi. Tapi soal Bincang Buku dan Diskusi: Pram Dalam Tungku. Dalam pertemuan singkat itu, Neli, sapaan akrabnya, menyampaikan hal yang kurang-lebih sama seperti yang telah ia sampaikan via telepon kepada Devi. Katanya, Dekan mewantiwanti kalau diskusi yang akan Hayamwuruk selenggarakan pada Selasa, 17 Mei itu sedang diawasi. Hal itu disampaikan Dekan dalam rapat koordinasi antara Dosen Pembina Organisasi dan Bidang Kemahasiswaan beberapa jam sebelum Neli menghubungi kami. Diawasi? Intel? Saya tertegun dan bertanya saya dalam hati. Belum lama, di dekat Dekanat FIB, saya memang melihat dua pria berbadan tegap, mirip postur tentara. Tapi kalau benar mereka intel, untuk apa kami diawasi? Kami bukan penjahat. Kami hanya sekelompok mahasiswa yang ingin berdiskusi dan mengulas buku “Pram Dalam Tungku”. Kumpulan tulisan tentang Pramoedya Ananta Toer. Lagi pula, jika hal ini berkaitan dengan sosok Pram yang pernah menjadi bagian dari Lekra—lembaga kebudayaan yang pada masanya berafiliasi erat dengan PKI—bukankah semua sudah selesai? Orde Baru sudah tumbang dan tentara sudah lama menyingkir dari panggung politik. Lagi-lagi pertanyaan itu muncul di benak saya. Untuk apa?

8| Buletin Edisi III/2016

Untungnya, acara tetap diizinkan. Kepada kami, Neli hanya menyarankan agar lebih berhati-hati dan mengambil salah seorang dosen FIB sebagai pembicara. “Untuk meng-counter tekanan dari luar,” katanya. Kami tak ambil pusing, karena kebetulan memang sudah mengontak Redyanto Noor, Dekan FIB, untuk menjadi salah satu pembicara. Setelah pembicaraan selesai, kami lantas berpamitan dan meninggalkan ruang Pusat Studia Asia. Selesai? Belum. Besoknya, ketika mengurus surat peminjaman tempat, kami harus menghadap ke Wakil Dekan 1, Singgih Tri Sulistiyono. Di ruangannya, kami ditanya perihal konsep acara: untuk apa dan siapa saja yang akan jadi pembicara. Pria yang kini juga memangku jabatan bidang kemahasiswaan itu lalu meminta kami membuat rincian kegiatan. Belakangan, proses tersebut juga diwajibkan ke semua organisasi mahasiswa di FIB. Hal yang niscaya menjengkelkan bagi para pengurus organisasi mahasiswa. *** INI tentu bukan pertama kali terjadi di FIB. Dua bulan lalu, Setengah Abad Supersemar: Sampai Manakah Keadilan yang dihelat BEM FIB juga mengalami hal serupa. Nugroho Mulat Jati yang menggagas acara tersebut bahkan sampai disamperi intel di tempat magangnya. Dan kabarnya hal ini tidak hanya terjadi di FIB. Fakultas Hukum pun mengalami hal yang sama: diawasi. Masalah ini kemudian merebak dan ditanggapi serius oleh beberapa aktivis organisasi mahasiswa. Sampai-sampai, dalam forum konsolidasi isu UKT dan SPI di Pendopo Student Center (SC), Sabtu malam (14/5), aliansi dari kedua fakultas tersebut meminta isu ini juga dimasukkan ke dalam tuntutan yang akan disampaikan ke Rektorat. Poinnya adalah kebebasan berekspresi di kampus. Tapi malam itu, tentu tak semua setuju. Kebebasan berekspresi masih sangat multitafsir. Urgensinya juga dianggap belum terlalu besar oleh sebagian fakultas. Alasannya sederhana: belum adanya kajian terkait isu tersebut. Perdebatan pun berlangsung. Cukup lama. Sampai akhirnya, sekitar pukul 23.30, beberapa fakultas yang tak sependapat seperti Kedokteran, Teknik, Perikanan dan Ilmu Kelautan, Sains dan Matematika, serta Peternakan dan Pertanian, menyatakan walk out dari forum. Mereka menganggap aliansi sudah menjadi kepentingan beberapa pihak. Tak lama berselang, BEM Undip akhirnya juga memutuskan walk out dan menyarankan untuk menunda forum karena satpam sudah memperingatkan jam malam. Satu persatu mahasiswa lalu mulai meninggalkan SC. Saat forum tak lagi kondusif dan nyala mesin sepeda motor menderu-deru di parkiran, mendadak Samuel Rajagukguk maju ke tengah pendopo seraya berteriak “Ini benar-benar gila, satpam yang seharusnya melindungi malah memanggil polsek ke sini... ruang publik telah diredusir...”. Lalu tiba-tiba seorang pria berbadan tegap berjaket hitam menyergapnya. Sebentar kemudian, tangan pria itu sudah mendekap Samuel dari belakang. Buyar. Forum terpaksa bubar. Orang-orang berteriak. Samuel dilepaskan, tapi umpatan-umpatan masih dilontarkan. Beberapa mahasiswa kemudian berkerumun melindungi Samuel. Saya yang berada di antara kerumunan malam itu terkesiap ketika menyadari sejumlah polisi dan satpam ternyata sudah berkeliaran di sekitar SC. Beberapa terlihat berjaga di depan gedung Teknik Sipil. Setelah intel dan polisi, tanya saya dalam hati: lalu apa lagi? (Hendra Friana)


Artikel Pilihan

M

engintip 4

usim Di Jerman Oleh: Putri Daryanti

Apa yang ada di pikiran Anda ketika mendengar kata Jerman? Negara maju, kota industri kah, atau negara pembuat mobil terkenal BMW? Yaps, ketiganya benar semua. Tetapi disini saya akan memberi informasi mengenai 4 musim di Jerman. Telah kita ketahui bahwa di benua Eropa mempunyai 4 musim, begitu pula dengan negara Jerman ada 4 musim juga yaitu, Der FrĂźhling (musim semi), Der Sommer (musim panas), Der Herbst (musim gugur) dan yang terakhir Der Winter (musim dingin). Der FrĂźhling adalah musim yang paling indah. Musim ini berlangsung antara bulan Maret sampai bulan Mei setelah musim dingin berakhir. Der FrĂźhling ditandai dengan meningkatnya suhu udara berkisar 10 sampai 20 derajat Celcius. Matahari di musim ini juga mulai bersinar lebih lama. Menjadikan siang hari terasa lebih panjang dari pada musim sebelumnya. Bagi orang Jerman yang suka berkebun, musim ini adalah musin yang sangat cocok untuk menanam berbagai macam bunga dan tanaman. Selain itu, kegiatan favorit yang dilakukan orang-orang di Jerman ketika musim ini adalah membuat barbeque. Kegiatan ini biasanya dilakukan di taman kota atau teras rumah bersama keluarga dan kerabat lainnya. Pada musim semi ini, suhu udara memang menghangatkan tapi harus tetap waspada. Ada baiknya tidak terlena dengan peningkatan suhu udara karena bisa saja terjadi penurunan suhu secara tiba-tiba. Jadi, lebih baik untuk selalu menyiapkan jaket atau baju hangat dan jangan lupa untuk selalu melihat perkiraan cuaca.

Musim panas atau disebut Der Sommer terjadi kira-kira pada bulan Juni sampai Agustus. Musim ini membuat hari lebih lama karena matahari bersinar lebih panjang dan cuaca sangat terik. Biasanya, musim ini adalah musim yang sangat dinantikan oleh para pelajar. Karena tiba saatnya libur panjang sekitar 5 sampai 6 minggu: libur sekolah , libur semester di universitas maupun cuti para pegawai di Jerman. Karena itu banyak orang Jerman yang bepergian di bulanbulan ini atau hanya sekedar melakukan kegiatan-kegiatan ringan seperti berenang di pemandian terbuka, berolahraga ringan, berjalan-jalan di taman kota atau bahkan hanya duduk-duduk bersama keluarga hingga malam hari. Tidak sedikit pula orang Jerman yang pergi untuk menjemur badannya di pinggir sungai Isar. Hal yang biasa mereka sebut Sonnenbaden. Der Herbst atau musim gugur merupakan berakhirnya musim panas dan masa liburan. Anak-anak mulai kembali ke sekolah. Musim ini berlangsung pada bulan September sampai November. Pada bulan-bulan ini suhu di Jerman mulai turun ke bawah 20°C. Di musim ini matahari juga lebih singkat dibandingkan dengan musim panas. Khususnya pada tanggal 22 atau 23 September, biasanya lama waktu siang dan malam sama. Setelah itu, matahari akan bersinar lebih singkat dari sebelumnya, sehingga malam hari akan lebih panjang dibandingkan siang. Sering kali, suhu di musim ini juga terasa dingin dan lembab karena disertai curah hujan juga tinggi. Dedaunan warna-warni, hijau, kuning, keemasan yang berguguran mempunyai keindahan

te r s e n d i r i s e h i n g ga m e n a r i k perhatian banyak orang dan membuat kebanyakan orang senang berjalan-jalan atau bersepeda. Der Winter adalah musim yang berlangsung pada bulan Desember sampai Februari. Ini adalah musim dingin di mana suhu sampai di bawah 0° C dan terkadang j u ga t u r u n s a l j u . B aya n gka n beraktivitas di suhu minus nol derajat selama lebih-kuang 3 bulan. Tetapi orang Jerman tidak begitu khawatir dengan keadaan ini, karena di setiap kantor, rumah, stasiun, bis bahkan mobil pribadi dan tempattempat umum lainnya terdapat pemanas ruangan yang sangat penting untuk musim ini atau dalam bahasa Jerman disebut Heizung. Dinginnya Der Winter bukan menjadi penghalang untuk orangorang melakukan berbagai aktivitasnya. Mereka masih tetap bisa bekerja, pergi ke sekolah dan lain sebagainya. Kebanyakan orang mengenakan pakaian yang tebal, misalnya baju yang terbuat dari wol, kemudian jaket yang tahan air, sehingga badan tidak basah ketika turun hujan atau salju. Selain itu, mereka juga memakai penutup kepala, sarung tangan, kaus kaki tebal dan sepatu bot agar rasa dingin tidak begitu terasa menusuk di badan. Bagi pecinta olahraga ski, selancar di atas salju, inilah musim yang tepat untuk melakukannya. Begitulah sedikit gambaran mengenai empat musim di Jerman. Apakah Anda tertarik untuk tinggal di sana dan merasakan 4 musim tersebut? Semoga dengan ini dapat menambah pengetahuan Anda! *Penulis adalah mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta

9| Buletin Edisi III/2016


Opini

Memoar Perlawanan

Oleh: Dinar Fitra M*

D

ewasa ini, sistem dan biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) telah melahirkan 3 angkatan (tercatat angkatan 2013, 2014, dan 2015). Sebelum UKT, biaya kuliah hanya berada pada iuran SPP (tanpa golongan) dan uang gedung. Saat itu saya sebagai mahasiswa jurusan Sejarah, masuk lewat jalur undangan maka nominal SPP saya adalah Rp. 1.000.000 per semester dan Rp. 8.840.000 untuk uang gedung. Mungkin berbeda beberapa puluh ribu rupiah dengan jurusan lain dan berbeda nominal yang lebih tinggi pada fakultas lain. Ya itu tentu. Pada masa itu, banyak pula calon mahasiswa yang terhambat kuliahnya karena tidak sanggup membayar uang gedung yang begitu mahal, mereka memutuskan untuk tidak kuliah dan bekerja. Saya mencoba membuka ingatan-ingatan lama. Mendekati pertengahan tahun 2012, mahasiswa sering mengadakan kajian rutin terkait isu pengesahan RUU UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Diskusi baik di tingkat fakultas maupun universitas selalu membicarakan mengenai tingginya biaya kuliah karena “Sistem UKT” dan dampak sistem UKT bagi minat siswa SMA untuk menjadi mahasiswa, serta tuntutan-tuntutan progresif untuk sepakat menolak. Kajian sering dilakukan dan aksi digalakkan. Demonstrasi mahasiswa serentak BEM-SI Jogloseto digelar di depan gedung DPRD, mahasiswa menyuarakan tuntutannya agar sepakat menolak pendidikan mahal, menolak UU No. 12 Tahun 2012. Tetapi nampaknya sistem selalu punya banyak dalih. Dikatakan bahwa jika sudah ada sistem UKT maka

10| Buletin Edisi III/2016

biaya justru semakin murah. Semua akademisi (pejabat dan mayoritas dosen) serentak mengatakan seperti itu. Bahwa semua biaya sudah diakomodir oleh biaya UKT. Tak ada biaya-biaya lainnya. Sebuah kalimat rayuan nan “menenangkan” menjadi virus hegemoni mahasiswa saat itu. Sehingga memunculkan pihak-pihak yang pro dan yang kontra. Pihak yang kontra tetap dengan semangat non kompromisnya, pihak yang pro berbicara dengan wajah “percaya”. Akhirnya UU No. 12 disahkan, UKT diterapkan. Sempat ada demonstrasi di Undip saat itu namun hanya meminta gerbang “transparansi”biaya. Tentu Rektorat punya dalih dan mengatakan bahwa sistem ini sudah ditetapkan pada tingkat nasional, jadi kita harus menyesuaikan. Mahasiswa sempat terpecah-belah jadi dua kubu saat itu, karena kekecewaan pada satu pihak yaitu BEM KM Undip dan akhirnya massa pulang dengan berat hati. Pada tahun 2013, penerapan UKT pertama kali tidak menggoyahkan semangat mahasiswa untuk terus berdiskusi, organisasi intra tetap dengan semangat kajian dan aksinya. Tetapi idealisme tersebut memasuki tahun 2014-2015 tertumpuk dengan isu lokal maupun nasional, yang datang karena direncanakan dan atau bersifat mendadak. Permasalahan biaya mahal ini lalu perlahan mulai kabur dan hanya sesekali menjadi kegiatan rutin “riwa-riwi” kesma (Kesejahteraan Mahasiswa) dalam “banding UKT”, obrolan, kasak-kusuk, dan pernah menjadi poin acuan dalam menantang visi calon rektor. Selebihnya adalah kesedihan mahasiswa baru dan orangtuanya saat diterima di Undip dengan biaya yang tinggi. *** Kini “Sistem UKT”, wajah pendidikan mahal sudah memasuki 3 Angkatan, isu ini digenjot pula dengan bergantinya status Undip menjadi PTNBH, yang katanya butuh peningkatan di segala lini dan tentu membutuhkan biaya yang tinggi. Ibu tiri sistem pendidikan ini pun mendapat kabar singkat dari (yang katanya) Kampus Rakyat, Universitas Diponegoro bahwa di tahun 2016 (tahun ini) akan ada kenaikan lagi biaya UKT dan kemunculan SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi), bagi mahasiswa yang mendaftar melalui jalur UM (Ujian Mandiri). Ini mengulang kisah pertengahan 2012 lalu yang menghadirkan isu kenaikan biaya (lagi), semangat penolakan pendidikan mahal (lagi), menghadirkan dua sikap pro dan kontra (lagi), memunculkan dalih-dalih birokrasi(lagi), dan terpecahnya mahasiswa (lagi) ? Ditambah pula dengan aksi represif dari aparat kampus yang membubarkan diskusi-diskusi malam mahasiswa di kampus dengan dalih karena banyaknya anak muda yang pacaran. Saya pikir, tak masuk akal jika harus “diskusi mahasiswa” yang dijadikan kambing hitam permasalahan jam malam. Rasionalitas yang dibuat-buat. Birokrasi akan terus bertahan dengan keinginan awal dan pola sistemnya yang sudah menggurita pada penerapannya di tahun 2013 hingga sekarang ini. Sementara setiap mahasiswa terus silih berganti. Mahasiswa berganti semester. Organisasi berganti periode. Tetapi sistem UKT masih congkak berdiri mem”permanen”kan diri. Akankah kita bertahan dengan


cita-cita mulia pendidikan murah ? Atau justru diombang-ambingkan, dipecah-benturkan dengan sesama mahasiswa ? Mari kita rawat ingatan-ingatan ini, kita rawat perjuangan yang telah lalu, kita bentuk perjuangan hari ini, rangkul mereka yang telah jatuh lalu berdiri lagi, rangkul mereka yang hilang dan kembali lagi, kita belajar dari kesalahan, kita berjuang dengan belajar pada ingataningatan lama. Kita berjuang dengan daya upaya bahwa kita semua harus MENOLAK LUPA. Bahwa pendidikan mahal, komersialisasi pendidikan adalah masalah semua pelajar, bahwa pelajar adalah orang yang belajar, maka semua orang belajar, maka pula masalah ini milik semua manusia, dan harus berada di ujung semua permasalahan yang ada. Pantang pulang sebelum menang. Tolak Komersialisasi Pendidikan. *Penulis adalah mahasiswa Sejarah angkatan 2011 dan mantan ketua BEM FIB 2014

#ObrolanJogloBudaya H : Kemarin Konsol Aliansi Mahasiswa Undip dibubarin Polisi? W: Iya. Undip sekarang udah berubah.. H : berubah gimana? W: Bukan Rumah Kita H: Eh tau nggak, ada organisasi ngajuin proposal studi banding ke Jepang... W: itu organisasi apa istri anggota Dewan? H: Gita Bahana Arisatya abis menang lomba? Dapet apa? W: Dapet Sekre kali ya.. H: Diskusi LGBT pernah dilarang. Katanya karena Undip kampus Akhlakul Karimah W: Foam Party BEM Undip kok enggak dilarang ya?

English Corner

What's with Labors? By: Diah Wahyu Asih Entering May, as always this month is welcomed by commemoration of International Labor Day on May 1, 2016. On the first day of the month, there were commemorations that were moved by labors who tried to speak out their pretension. Their demands usually the demands are usually about salary increase and better deals. This year, their demands contained rejections of Government Regulation (PP) number 78 of 2015 about wages, termination of employment, tuition increase of BPJS, etc. It seems that labors are never satisfied with governments' decision and protest their pretensions through demonstration which have become annual habit. International Labors Day or usually known as May Day was started from labor strike incident in Haymarket, Chicago, United States on May 1, 1886. Labors asked for working hours reductions from 16 hours into eight hours per day. They forced entrepreneurs and government to give what labors wants or they will dismiss from working and stop the industrial activities. This condition could make companies went bankrupt, so that company asked to governor to stop the labor strike. Government settled the protesters by sending hundreds of police to dissolve the labor strike. Unfortunately, the peaceful strike turned into chaos since there was a bomb explosion which made the polices blindly shot the protesters. Many people were injured and some were dead due to this accident. Because of this moment, the protesters would revenge to had strike by arming themselves in the next demonstration. Three years later on 1889, the accident was established as International Labor Day in a council that was held in Paris. In some countries, every first day of May is set as national holiday including Indonesia; although government started to set it as national holiday since 2013. Before it is set as national holiday, many labors protest about several things including make May Day as national holiday. Now after it became holiday, people are still protesting to the government; no longer asking for holiday but asking for others things like prosperity, day off during pregnancy, and many other things. In fact, government has made several policies to make labors get a better treatment and wages. That's just what labors usually do on May 1’st every year to “celebrate� may day, but isn't there any other way to convey this day? Demonstration is just one of it, and its impact does not just affect the governments who could not always fulfill their demands, but also affect others. Demonstration usually make the traffic jam worse and disrupt the other road users. Moreover, after their strike, protestors just leave many wastes everywhere and create a dirty public places. Well, it's not that demonstration is bad, but it will be better if protestors can create a peaceful demonstration without creating any bad impacts for others. We're all respecting each others, and without labors, companies are not that matters.

11| Buletin Edisi III/2016


Anda Melihat Ironinya?

Iklan layanan masyarakat ini dipersembahkan oleh LPM Hayamwuruk 12| Buletin Edisi III/2016


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.