Majalah Hayanwuruk: Wajah Bias Mahasiswa

Page 1


Jika tak ada mesin ketik

aku akan menulis dengan tangan,

jika tak ada tinta hitam aku akan menulis dengan arang

jika tak ada kertas

aku akan menulis pada dinding,

jika aku menulis dilarang

aku akan menulis dengan tetes darah. - Wiji Thukul -


HAYAMWURUK REFLEKSI BUDAYA DAN INTELEKTUALITAS MAHASISWA

LEMBAGA PERS MAHASISWA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO

Majalah Hayamwuruk diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Hayamwuruk Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Terbit Perdana: 1985 ISSN: 0215-1553 Izin terbit S.K. Rektor No. 57/SK/PT09/1987

Ilustrasi sampul oleh Toni Malakian

PEMIMPIN UMUM: Syaiful Romadhon. SEKRETARIS UMUM: Sabrina Widya Ningsih. (nonaktif) PEMIMPIN REDAKSI: Hasna Fuadilla H. SEKRETARIS REDAKSI: Lana Fitria Saida. REDAKTUR PELAKSANA: Syarifudin. (nonaktif) REDAKTUR ARTISTIK: Iqbal Firmansyah. STAF REDAKSI: Novia Rochmawati, Yuli Tri Hastuti.

PEMIMPIN LITBANG: Rizka Novita Rini. (nonaktif) STAF LITBANG: Annisa Intan Pratiwi, Destya Pusparani, Galang Ari Pratama, Hamam Anwaruddin A., Kusdiati, Susanti. PEMIMPIN PERUSAHAAN: Alfu Lailatus Tsaqila. STAF PERUSAHAAN: Choerul Anam, Citra Pertiwi R., Faishal Hidayatullah, Mitra Sari, Riskha Ayu Agustin, Tika Febriani.

surel: lpmhayamwuruk@gmail.com website: lpmhayamwuruk.org Alamat Redaksi: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Gedung A lantai 3 Jalan Prof. Sudharto, S.H., Tembalang, Semarang.

Redaksi menerima sumbangan naskah/artikel. Diketik rapi maksimal 10 halaman folio, dilengkapi foto identitas pribadi (KTP/KTM) yang masih berlaku, isi tulisan tidak harus sesuai dengan pendapat redaksi. Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengubah maksud dan isi tulisan. Naskah bisa langsung dikirim ke alamat redaksi atau via surel.


LAPORAN UTAMA

Kisah “Cinta” Mahasiswa dan Orede Baru

Radikalisme dan Gerakan Mahasiswa (GM), seakan menjadi dua hal yang tak dapat dipisahkan. Tak dapat dipungkiri memang, sejarah GM Indonesia—walau tidak secara keseluruhan—diwarnai aksi radikalisasi.

WAWANCARA UTAMA

Menimbang Pergerakan Mahasiswa

“Idealis sudah hilang karena keadaan sudah dikenal dengan baik oleh kebebasan, ekonomi juga mahasiswa sekarang lebih baik. Juga mahasiswa itu kan ada di pro menengah. Pro menengah sekarang jumlahnya semakin banyak,”

RESENSI

Lampuki: Sebuah Kisah Tanah Tumpah Darah

Lampuki adalah karya sastra pemenang unggulan sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2010. Novel yang terbit pada tahun 2011 ini mengisahkan cerita di balik layar peperangan panjang sebuah provinsi di ujung paling barat Indonesia.

[ DAFTAR ISI ] 4

Dari Redaksi

5

Surat Pembaca

6

Opini Redaksi

7

Budaya Lengger; Dari Erotisme, Politisasi, hingga Modernisasi

Laporan Utama 11 Pergerakan Mahasiswa dalam Urutan Waktu 15 Kisah “Cinta“ Mahasiswa dan Orde Baru Laporan Khusus 20 Rekam Jejak Politik Partai Mahasiswa Undip

Laporan Utama 23 Gerakan Mahasiswa Semarang, Apakah Sekadar Mimpi di Siang Bolong? 28 Wajah Semu Mahasiswa Wawancara Utama 31 Menimbang Pergerakan Mahasiswa

Wawancara Lepas 44 Murnikah Peran Mahasiswa Sosok 47 Andri Topo; Seni adalah Hidup Wawancara Lepas 51 Mahasiswa Harus Speak Out!

38 Perspektif

Resensi Buku 57 Lampuki: Sebuah Kisah Tanah Tumpah Darah Film 57 Kisah Tiga Perempuan dalam Satu Ranah

Wawancara Utama 40 “Kita Sedang Menunggu”

Sastra 59 Tentang yang Terbuang

Jaring 35 KKN; Kuliah Kerja Nyata atau Kuliah Kejar Nilai?

63 Obrolan Joglo Budaya


DARI REDAKSI

NAMA RUBRIK

Di Balik Perjuangan

“J

adi mahasiswa itu nggak usah kebanyakan mimpi, nggak usah macemmacem, realistis saja!” Perkataan seseorang tersebut menggelitik benak kami. Mungkin bila diutarakan oleh orang biasa yang tak kami kenal, ucapan tersebut akan kami anggap angin lalu saja. Namun sayangnya, perkataan itu keluar dari mulut seorang dosen yang seharusnya tahu dan dekat dengan dunia mahasiswa. Kami tak tahu alasan sang dosen mengatakan hal tersebut. Sebabnya, bisa saja karena ia melihat realitas mahasiswa masa kini yang mungkin menurutnya telah mengalami degradasi pemikiran. Akan tetapi, malah bisa jadi karena ia memang “menutup mata” terhadap dunia mahasiswa yang seharusnya tak sekadar berada di lingkup dunia akademis. Namun, perkataan dosen itu membuat kami berpikir ulang. Memang, kami pun melihat hanya segelintir mahasiswa yang masih bertahan untuk bersikap kritis dan “memperjuangkan” pemikirannya. Bahkan, salah seorang narasumber kami berkata bahwa organisasi mahasiswa saat ini tak lebih dari sekadar Event Organizer (EO), tak lagi berfungsi sebagai bagian dari aksi moral maupun politik. Memang, saat ini mahasiswa seolah kehilangan kepedulian terhadap hal-hal di luar lingkup kemahasiswaan. Terlebih lagi dengan terpengaruhnya mahasiswa oleh arus kapitalisme yang mengharuskannya untuk cepat lulus, tak lagi benar-benar dididik untuk tetap mengamalkan kemampuannya sesuai dengan koridor keilmuan. Hasilnya, mahasiswa kehilangan pemikiran kritis dan semangat juang, serta dipaksa untuk berpikir realistis, sesuai dengan perkataan sang dosen tadi. Tak dapat dipungkiri,

degradasi dari semangat juang mahasiswa memang telah kami sadari. Tak usah jauh-jauh, cukup dengan melihat keadaan mahasiswa di kampus kita sendiri, Fakultas Ilmu Budaya. Aturan birokrasi kampus yang semakin ketat seperti pemberlakuan “jam malam” justru dijadikan pembenaran bagi mahasiswa untuk tidak “bergerak”. Ya, mahasiswa memang telah dipaksa untuk lupa terhadap identitasnya oleh sistem yang dibuat para penguasa. Sayangnya kawan, tak banyak lagi mahasiswa yang menyadari hal tersebut dan berani untuk melawan. Menjadi mahasiswa cepat, teratur dan tak neko-neko. Ah, bukankah itu ciri mahasiswa yang telah dibentuk oleh sistem? Pembaca, kami sendiri menyadari bahwa kami pun belum berhasil menjadi mahasiswa pejuang, mahasiswa yang benarbenar melakukan pergerakan. Bagaimana tidak, kami pun terjegal oleh sistem yang mengikat kaki kami. Dapat dikatakan, majalah yang kalian pegang ini merupakan hasil dari suatu proses panjang yang kami lakukan dengan penuh perjuangan. Proses selama satu tahun telah kami tempuh untuk menghasilkan majalah ini. Memang, satu tahun bukanlah waktu yang singkat. Apalagi dengan fakta bahwa sesungguhnya penerbitan majalah ini jauh melebihi deadline yang telah kami tetapkan semula. Keterlambatan tersebut disebabkan oleh berbagai alasan tentunya. Kerasnya perjuangan yang harus dilalui, deadline yang mengikat, ditambah dengan tradisi “ketat” LPM Hayamwuruk membuat sejumlah anggota perlahan mundur karena merasa tak kuat. Ditambah dengan keterbatasan dana yang menghambat proses peliputan dan pencetakan sehingga waktu kami pun banyak dihabiskan untuk HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

mencari uang. Masalah kami tak berhenti di situ saja. Selain “gugurnya” beberapa anggota, ada beberapa anggota “senior” yang telah berada di ujung proses perkuliahan, sehingga harus membagi waktu antara pengerjaan majalah dan skripsi. Untuk mengakali hal tersebut, beberapa anggota terpaksa melakukan double job agar proses keorganisasian LPM Hayamwuruk tetap berjalan. Namun, kami berusaha untuk tak berhenti berkarya. Untunglah kami masih sanggup menerbitkan Hawe Buletin setiap bulan yang dikelola bersama Magang LPM Hayamwuruk. Walaupun pada prosesnya kami terpaksa “pontang-panting” mencari modal untuk membeli kertas dan tinta. Bahkan printer sebagai alat untuk mencetak pun terpaksa meminjam, karena banyak peralatan yang telah rusak dan tak kami perbaiki. Bukan tidak mampu, tetapi karena memang prioritas penggunaan dana kami adalah untuk menerbitkan Hawe Buletin dan majalah Hayamwuruk, sehingga tak banyak lagi tersisa “jatah” untuk melakukan perbaikan peralatan. Pembaca, memang tema yang kami angkat ini bukanlah hal yang asing lagi, bahkan seakan hanya mengulang “romantisme” belaka. Namun kami berharap, tulisan-tulisan dalam majalah ini dapat menjadi peringatan dan pengingat bagi mahasiswa agar tak kehilangannya jati dirinya. Kami sadar, penggarapan majalah kami tidaklah sempurna, terutama dikarenakan oleh keterlambatan terbit. Tapi, kami berharap perjuangan kami ini dapat berguna. Akhir kata, selamat membaca!*** Pemimpin Redaksi Hasna Fuadilla H.

5


NAMA RUBRIK

SURAT PEMBACA

Sajak Tirai Biru dan Kampus Budaya Tirai, kelambu, gorden, mirai, kerai, bidak, layar merupakan kain yang sengaja dipasang di jendela, maupun dipintu untuk menghalangi cahaya. Digantungnya tirai tentunya tidak dapat dibantah lagi berguna menghalangi cahaya yang masuk. Bukankah begitu? Kampus budaya, sebuah kampus ternama berlandaskan semangat Diponegoro, dimana berisi manusia manusia yang dididik untuk berbudaya. Begitukah ? Para pustakawan, sejarawan, sastrawan, bahasawan, dilebur jadi budayawan bergerak, belajar dan dididik melalui ide-ide, aktivitas terpola dan produk yang berbudaya. Tentunya hasil keluaran dari kampus budaya akan cemerlang. Akan tetapi para pendidik ketika mendidik yang dulu dididik apakah sekarang sudah merupakan hal yang diharapkan? Para terdidik tentunya memiliki harapan. Berbicara mengenai permasalahan kampus budaya, sudah melekatkah di nurani sang budayawan maupun calon budayawan? Lalu? 6

Kantin? Fotokopi? Transparansi Dana? UKT? Banding UKT? Keinginan kuliah para mahasiswa namun salah penggolongan status ekonomi? Sistem ekonomi kemahasiswaan terpusat? BOPTN? PHP? LKTI? Dana sisa proposal kegiatan 40%? Dana PMB? Pendidikan Karakter? Pelatihan pembuatan SPJ LPJ? Keramahtamahan pegawai? UMPA bermuka kusam? Kualitas Dosen? Efektifkah Sambung Rasa? Perpindahan Kampus? Hilangnya semangat mahasiswa D3? Kuliah malam? Kemanakah kuliah umum? Fasilitas kampus? Kursi tunggu? AC? Listrik? Air macet? Adakah keadilan? Kemanakah kepedulian? Masih musimkah sopan santun? Rapatnya tirai biru pada daun pintu Dekanat di kampusku, apakah turut mencerminkan “rapatnya� orang-orang di dalamnya. Bisu? Siapa tahu. Tirai Biru? Menurutku itu sajak, menurutmu? Menurut anda? Menurut yang disana? Dan yang di sini menurut. Apakah keadilan kampus perlu diurut? Dari pertanyaan tadi semoga bisa runtut.

Dinar Fitra Maghiszha Jurusan Ilmu Sejarah 2011

HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013


OPINI REDAKSI++

NAMA RUBRIK

Ragam Sisi Gerakan Mahasiswa Oleh: Syaiful Romadhon

G

erakan Mahasiswa (GM), seperti tidak ada habisnya ketika membahas mengenai hal tersebut, terutama mengenai peran serta fungsinya. Mahasiswa yang diyakini oleh sebagian orang sebagai agent of change (agen perubahan) sebagai pelopor dari perubahan, layaknya mampu memberikan perubahan bagi masyarakat. GM di Indonesia pernah mengalami masa jayanya, bahkan mampu berperan sebagai salah satu faktor penyebab tumbangnya suatu rezim. Mengkaji arah GM tak bisa terlepas begitu saja dari sejarah perjalanannya, dimana dinamika GM “melahirkan” beberapa peristiwa sebagai tonggak pergerakan yang terjadi pada GM angkatan1908, 1928, 1945, 1966, dan 1998. Rekam sejarah dari GM berbagai angkatan ini bisa disimak di “Pergerakan Mahasiswa dalam Urutan Waktu” (Laporan Utama hlm. 11). Masa kini bukanlah masa keemasan bagi GM. Puncak GM di Indonesia terakhir terjadi pada tahun 1998 saat mahasiswa berhasil menumbangkan rezim diktaktor Orde Baru. GM kala itu terbentuk karena ketidakpuasan mahasiswa dan rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru. Hal tersebut salah satunya dilatarbelakangi oleh sikap pemerintah Orde Baru yang mentikberatkan pada kekuatan militer dan mengembangkan ideologi developmentalisme. Kekuatan militer digunakan agar masyarakat tunduk, sehingga secara tak langsung membentuk suatu pemerintahan yang otoriter. Di sisi lain, secara ideologis pemerintah Orde Baru berupaya

untuk membetuk pola pikir yang mampu menciptakan anggapan di masyarakat bahwa pemerintah merupakan pelindung serta penyelamat. Uraian lengkap mengenai hal tersebut dapat dilihat di “Kisah ‘Cinta’ Mahasiswa dan Orde Baru” (Laporan Utama hlm. 15). Setelah era Orde Baru tumbang, Indonesia mulai memasuki babak baru: Era Reformasi. Tak hanya perubahan bentuk pemerintahan, era Reformasi ini menghasilkan euforia baru bernama demokrasi. Secara umum, demokrasi melahirkan kebebasan bagi setiap kalangan, baik mahasiswa, pers, hingga personal untuk “berbicara”. Demokrasi merupakan sebuah alat politik, begitupun yang terjadi dalam dunia kampus. Beberapa kampus memang seakan menjadikan bentuk pemerintahan Indonesia sebagai kiblat bagi politik mahasiswa. Salah satunya adalah Universitas Diponegoro (Undip) yang menganut sistem partai dalam kehidupan perpolitikan mahasiswa, seperti dalam yang tertuang dalam “Rekam Jejak Partai Mahasiswa Undip” (Laporan Khusus hlm. 20). Adapun sistem partai digunakan untuk pemilihan anggota legislatif dan ketua badan eksekutif di tingkat universitas. Selain Undip, Universitas Gajah Mada juga menggunakan sistem yang hampir serupa. Tumbangnya era Orde Baru menyebabkan GM seakan kehilangan “musuh bersama”. Paham-paham kapitalis perlahan mulai memasuki ranah pendidikan

HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

serta pola pikir hedonis pada kehidupan mahasiswa. Aura demokrasi yang ada saat ini memang memberikan ruang terbuka dan kebebasan bersuara. Namun, nampaknya kebebasan bersuara tersebut tak mampu memperkuat “jati diri” GM. Realita kehidupan mahasiswa saat ini memang tak dapat dijauhkan dari paham kapitalis yang memiliki orientasi pada tujuan untuk mengambil keuntungan sebesarbesarnya tanpa memperdulikan masalah-masalah sosial. Ditambah dengan tidak ada rasa persatuan yang disebabkan oleh terkotakkotaknya GM di berbagai sisi yang mengakibatkan GM sebagai gerakan moral seakan kehilangan fungsinya sedikit demi sedikit, seperti dalam “Wajah Semu Mahasiswa” (Laporan Utama hlm. 28). Gerakan mahasiswa memang seakan mencari bentuk baru. Setiap generasi memiliki corak sendiri-sendiri yang dilatarbelakangi oleh keadaan sosial dan politik pada masanya. Begitu pula dengan GM masa kini yang memang tak dapat disamakan dengan generasi-generasi sebelumnya. Tak selamanya GM harus dimaknai sebagai gerakan dengan cara radikal namun tak tepat sasaran, seperti yang digambarkan oleh Arbi Sanit ketika menyoroti aksi mahasiswa yang menurutnya justru membela kaum kapitalis dan tidak memberikan solusi pada rakyat. ***

7


NAMA RUBRIK

BUDAYA

Dok. HaWe/Syaiful Romadhon

8

Lengger; Dari Erotisme, Politisasi, hingga Modernisasi Oleh: Destya Pusparani Reporter: Syaiful Romadhon, Galang Ari P., Hasna F. H.

B

anyumas, Minggu (7/4/2013). Jam belum menunjukkan pukul 10.00 pagi di alun-alun Kabupaten Banyumas. Sebuah panggung telah berdiri, lengkap dengan spanduk besar bertuliskan “Banyumas Ekstravaganza� yang terpasang sebagai latar. Belum banyak penonton yang hadir, sementara karpet-karpet merah sebagai tempat atraksi acara pun baru akan digelar di jalan raya depan panggung. Akan tetapi, tiga lengger cantik telah berlenggak-

lenggok dengan semangat di atas panggung tersebut. Para lengger ini sengaja diundang untuk memeriahkan acara ulang tahun Banyumas yang ke-431. Ditingkahi irama gendang dan calung (alat musik pukul dari bambu), mereka terus menari dengan asyik walaupun penonton masih sepi. Ketiga penari tersebut tampak cantik dengan kemben hijau, jarit coklat, selendang merah muda, dengan rambut yang disanggul. Para penari lengger tersebut dapat menari HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

dalam waktu lama tanpa lelah, bahkan salah satu dari mereka pernah mendapatkan rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) untuk menari selama sepuluh jam tanpa henti. Hal menarik lainnya, salah satu dari ketiga lengger tersebut adalah seorang laki-laki. Ia bernama Agus, seorang lengger lanang yang sudah menari sejak masih remaja. Namun, berstatus sebagai lengger lanang justru membuat tarif Agus lebih mahal dari lengger lainnya. Di berbagai daerah di


BUDAYA Indonesia, lengger secara umum lebih dikenal sebagai ronggeng. Ciri khas tarian itu adalah penari ronggeng kerap mengajak salah seorang penonton laki-laki untuk menari. Bagi orang yang diajak, hal itu disebut “ketiban sampur”. Tarian tersebut tersebar di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di pulau Jawa dengan nama yang bermacam-macam. Dalam buku Budiono Herusatoto yang berjudul Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak, disebutkan bahwa masyarakat Betawi (Jakarta) memiliki Ronggeng Betawi. Masyarakat Sunda di Bandung memiliki Ronggeng Blantik, sementara rakyat Subang dan Sumedang (Jawa Barat) memiliki banggreng (terbang dan ronggeng). Rakyat Banyumas, Wonosobo dan Magelang memiliki lengger atau ronggeng. Rakyat Wonogiri, Sukoharjo, Purwodadi, Grobogan, Demak, Blora, Pati, dan Rembang (Jawa Tengah) memiliki tayub. Demikian juga Ngawi, Sragen, Nganjuk, Tulungagung, Kediri, Tuban, dan Bojonegoro (Jawa Timur) yang juga memiliki tayub. Sedangkan rakyat Banyuwangi memiliki osing atau Gandrung Banyuwangi, yang pada tempo dulu disebut seblang, sebagai tarian ritus pemujaan terhadap Dewi Sri. Menurut Ahmad Tohari, seorang budayawan dan penulis Ronggeng Dukuh Paruk, lengger dan ronggeng pada intinya sama, hanya saja ronggeng lebih umum dikenal oleh masyarakat Indonesia. “Ronggeng itu lebih umum, karena sejak dari Sumatra sampe Jawa Timur kata ronggeng itu dikenal. Tetapi kalo lengger hanya di sini, di Banyumas. Pengertiannya kurang lebih sama.” Jelasnya saat Tim Hayamwuruk temui di kediamannya di Kabupaten Banyumas. Ronggeng sendiri telah ada dalam budaya masyarakat Indonesia sejak beberapa abad lalu. Keberadaannya tercatat dalam buku History of Java karya Thomas Stamford Raffles, seorang peneliti kebudayaan Jawa pada masa pendudukan Inggris di Hindia

NAMA RUBRIK

Dok. HaWe/Syaiful Romadhon

Belanda tahun 1811-1816. Ahmad Tohari juga menjelaskan bahwa kemunculan ronggeng berasal dari India. Ia dibawa oleh seorang pendeta Hindu pada abad V masehi. Ia menjelaskan bahwa ronggeng atau lengger diyakini mula-mula sebagai sebuah tarian sakral untuk memuja dewi kesuburan. Ritual pemujaannya sendiri diadakan di kuil serta bersifat sangat tertutup. Dalam upacara tersebut didatangkan perempuan yang menyimbolkan dewi kesuburan. Lalu, dilakukan persanggamaan sebagai bentuk pemujaan. Akan tetapi, ritual ini akhirnya diketahui oleh masyarakat umum dan ditiru pada masa pasca panen. Pada awalnya lengger merupakan simbol wujud syukur kepada Dewi Sri atau Dewi Kesuburan. Tarian ini sering dipentaskan pada acara syukuran panen atau hajatan perkawinan. Disebabkan fungsi ritualnya inilah, lengger menjadi sebuah perangkat publik pada masyarakat agraris Banyumas. Oleh karena itu, banyak desa yang HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

memiliki lengger sebagai salah satu kesenian asli di daerahnya. Zaman dahulu rombongan lengger tidak memasang tarif, namun mendapatkan uang dari hasil saweran. Saweran bagi pemain musik dimasukkan ke dalam dandang yang diletakkan dekat mereka, sedangkan bagi si penari biasanya disisipkan ke dalam kemben. Dalam fase kedua perkembangannya, kesenian lengger beralih fungsi ke hiburan erotis. Seorang lengger boleh disentuh, dipeluk atau dicium di depan umum saat menari. Terkadang terjadi keributan antara sesama pengibing (orang yang ikut menari) dikarenakan pengaruh minuman keras seperti tuak dan ciu. Oleh karena itu, dalam fase tersebut seorang lengger sering diidentikkan dengan pelacur. Pada fase kedua, lengger juga diminati oleh kelas priyayi. Pada hajatan yang diadakan oleh priyayi, maka yang “ketiban sampur” pertama kali adalah pejabat tertinggi yang hadir atau si tuan rumah. Namun, menurut

9


NAMA RUBRIK

10

rebana. Jadi masing masing punya kelompok sendiri. Jelek sekali situasinya. Lucu kayaknya, orang kok di kotak-kotakan. Nah, ketika itu kebanyakan kesenian lengger diklaim sebagai warga Lembaga Kesenian Rakyat atau Lekra.� Demikian menurut budayawan Banyumas Ahmad Tohari. Mengenai sepak terjang lengger pada masa politis ini, Tim Hayamwuruk mendapatkan kesaksian dari Dariah, seorang maestro lengger lanang. Dariah kami temui di tempat tinggalnya di Kecamatan Somagede Kabupaten Banyumas. Saat kami temui, ia berpakaian lengkap laiknya seorang perempuan, dengan memakai kebaya coklat, kain dan tutup kepala hitam. Dengan bahasa Jawa dialek Banyumasan, ia pun menuturkan kisah hidupnya sebagai lengger lanang. Laki-laki yang lebih akrab dipanggil Mbok Dar ini bercerita bahwa zaman dahulu ketika lengger sering digunakan dalam rapat PKI, ia sempat dilarang menari oleh lurahnya. Karena itulah, ketika terjadi insiden pada 30 September 1965 yang menyebabkan banyak penari lengger ditahan atau dibuang ke Nusakambangan, Mbok Dar aman dari penangkapan. Kesenian lengger kemudian mati suri selama

sekitar sepuluh tahun dan baru muncul kembali sekitar tahun 1970-an. Selama puluhan tahun masa absennya sebagai lengger lanang, Mbok Dar hidup sebagai petani. Setelah mengalami mati suri, lengger hidup kembali dan memasuki fase komersil. Lengger beradaptasi mengikuti perubahan zaman, yang berhubungan dengan perkembangan industri, selera pasar, teknologi serta perubahan sikap masyarakat terhadap agama dan nilai moral. Di Banyumas, lengger kemudian menjadi salah satu aset pariwisata dan ditampilkan pada acaraacara resmi pemerintah daerah. Berbeda dengan zaman dahulu, lengger pada masa sekarang, sudah memasang tarif sesuai kesepakatan antara penanggap (orang yang mengadakan pertunjukan) dengan penari. Bahkan Lengger lanang seperti Agus, bisa mendapatkan satu juta rupiah sekali tampil. Selain terjadi komersialisasi, lengger pun mengalami perubahan mengikuti sikap masyarakat terhadap agama dan nilai moral. Si penari tidak lagi boleh dicium, disentuh, apalagi menerima saweran dengan disisipkan ke dalam kemben. Gerakan-gerakan lengger masih sederhana, namun lebih variatif.

Dok. HaWe/Syaiful Romadhon

Clifford Geertz dalam bukunya Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, organisasiorganisasi seperti Perwari (perkumpulan utama perempuanperempuan priyayi) membenci tayuban dan mati-matian menentangnya. Fase ketiga perjalanan lengger di Indonesia adalah fase politis. Kondisi kesenian di Indonesia menjelang tahun 1965 terkotak-kotakkan oleh partai. Menurut M. C. Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern, kesetiaan politik periode 1950-1965 bersesuaian dengan kesetiaan aliran di Jawa. Partaipartai politik yang menonjol waktu itu adalah Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama), PNI (Partai Nasional Indonesia), dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Menurut Ricklefs, Masyumi mendominasi suara populasi muslim di luar Jawa, sedangkan para pendukung NU berasal dari kalangan muslim dan santri pedesaan Jawa, khususnya di Jawa Timur. Basis utama PNI berasal dari birokrasi dan kalangan pegawai kantor, sementara basis PKI terdiri dari kaum buruh perkotaan, kaum tani dan buruh perusahaan pertanian. Lengger yang merupakan kesenian petani dan kental dengan budaya agraris, di masa tersebut akhirnya menjadi identik dengan Lekra atau PKI. “Dulu sebelum tahun ‘65, masyarakat itu terkotak-kotak menjadi warga partai, PNI yang paling banyak, punya lembaga kesenian namanya LKN, Lembaga Kesenian Nasional. Ada sedikit kelompok ronggeng dan lainnya. Wayang kulit biasanya masuk ke situ. Lalu ada Partai Komunis Indonesia, namanya Lekra. Ini sembilan puluh persen kesenian rakyat diklaim, ngerti diklaim? Diakui saja. Mereka sebutnya orang kampung nggak ngerti politik. Kesenian itu dibawa kalo rapat atau meramaikan kampanye. Nah kalo dulu ada satu partai lagi, partai agama itu keseniannya ya itu gambus,

BUDAYA

HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013


BUDAYA Bagian melempar sampur dan mengajak orang untuk menari tetap dipertahankan sebagai ciri khasnya, meskipun ada jarak antara penari dan orang yang “ketiban sampur”. Selain itu, kini tidak ada lagi suasana ribut penonton yang diakibatkan oleh pengaruh tuak dan ciu. Penghilangan segi erotis dari kesenian lengger berkaitan dengan ketegasan masyarakat dalam penerapan agama Islam yang meningkat setelah kejadian 1965. Dalam bukunya, Ricklefs menjelaskan bahwa peningkatan kehidupan beragama sebagian disebabkan oleh alasan politik. Orang takut dianggap komunis atau atheis bila tidak mempunyai agama resmi. Model keagamaan Jawa atau abangan tampaknya mulai memudar. Sehingga dikemukakan dengan yakin bahwa di beberapa daerah, politik aliran lama yang ada pada tahun 1950an dan 1960-an sudah tidak lagi relevan dalam Indonesia yang semakin kental nuansa islamnya. Makin tegasnya penerapan aturan agama juga berpengaruh pada aspek-aspek gaib dalam kesenian lengger. Kini, para penari lengger masih menjalani beberapa ritual walaupun tak sebanyak dulu. Salah satu ritual yang masih dilakukan adalah puasa mutih. Namun, mereka tidak lagi memberi sesajen sebelum pentas, karena hal tersebut bisa dianggap syirik. Aspek gaib lain yang sering menyelimuti pembahasan tentang lengger adalah indang. Seseorang disebut memiliki indang apabila ia memiliki kemampuan menjadi penari lengger secara alamiah. Dari beberapa penari lengger yang Tim Hayamwuruk temui, hanya Astuti dan Mbok Dar yang mengaku menjadi lengger karena indang. Astuti adalah seorang pemilik sanggar lengger yang cukup terkemuka di Banyumas. Bahkan ia pernah diundang ke acara di salah satu stasiun televisi swasta Indonesia. Sayangnya, di balik kelahirannya kembali masih ada banyak persoalan pada lengger

NAMA RUBRIK yang justru luput dari perhatian. Salah satunya adalah stigma lengger sebagai perempuan nakal yang tidak hilang di Banyumas. Santi, pemilik sanggar Banyu Biru di Desa Plana Kecamatan Somagede Kabupaten Banyumas sengaja mengubah nama tarian lengger menjadi Gambyong Banyumasan agar anak-anak setempat mau belajar menari. Gerakan yang dipelajari sebenarnya sama, namun diganti namanya karena lengger masih memiliki stigma negatif di pikiran sebagian masyarakat. Selain soal stigma, hal yang terlupakan dalam usaha untuk menguri-uri (melestarikan budaya) lengger Banyumas ini adalah masalah bahasa. Secara umum, orang-orang berpikir bahwa yang termasuk kebudayaan hanyalah kesenian. Namun menurut Koentjaraningrat, kebudayaan sebenarnya terdiri atas tujuh unsur. Tujuh unsur itu antara lain adalah religi/kepercayaan, sistem organisasi kemasyarakatan, pengetahuan, mata pencaharian, teknologi dan peralatan, bahasa, serta kesenian. Aspek bahasa yang menjadi salah satu unsur kebudayaan dalam lengger yaitu parikan, seolah terlupakan oleh pemerintah daerah, masyarakat dan bahkan para pelakunya sendiri. Kini orang lebih menyukai lagu-lagu campursari daripada parikan Banyumasan asli sebagai salah satu bagian dari pentas lengger. Dalam kiprahnya sekarang, lengger pun kalah dengan organ tunggal yang lebih disukai masyarakat Banyumas. Menurut Ahmad Tohari, dulu bahasa yang digunakan dalam parikan pengiring lengger menggunakan bahasa Banyumasan asli. Dulu, bahasa Banyumasan adalah bahasa yang egaliter, tidak memiliki pembagian berdasarkan struktur hierarkis seperti lazimnya bahasa Jawa di daerah lain yang terkena pengaruh Mataram Islam. Dalam buku Budiono Herusatoto diterangkan bahwa setelah itu baru muncul bahasa Jawa krama, HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

seperti disebutkan pada bagian “Asal-Usul Bahasa Bandhekan”. Bahasa Jawa bentuk krama itu mulai dirintis pada zaman Kerajaan Demak Bintoro (Kerajaan Islam I di Jawa). Hal itu dinyatakan dalam Wawasan Bab Mekaripun Basa Jawi yang disusun oleh R.T. Yasawidagda ketika mengutip penjelasan tulisan Prof. Berg yang menerangkan bahwa penyusunan kata-kata krama itu wiwit bribikbribik (dimulai dari sedikit demi sedikit) pada zaman Demak, dan ditindaklanjuti secara intensif pada zaman Kerajaan Mataram Islam. Itulah kisah panjang lengger di Banyumas. Tersimpan banyak cerita dibalik panggung besar yang gemerlap. Dari pemujaan petani kepada dewi padi, lengger kemudian melangkah ke tujuan lain yaitu hiburan erotis yang mewariskan stigma buruk kepada kesenian tersebut hingga saat ini. Setelah itu, daya tariknya yang besar sempat digunakan untuk kepentingan politis, namun ikut terpuruk seiring dengan “pemusnahan” PKI. Lengger kemudian berhasil bangkit kembali dari mati suri selama sekitar sepuluh tahun. Kesenian tersebut berhasil menyesuaikan diri dengan penerapan aturan agama yang lebih ketat serta dapat bertahan dari hantaman iklim kapitalis yang keras dan selera pasar yang berubah-ubah. Entah sampai kapan lengger akan tetap lestari. Ia telah melalui ujian waktu, berhasil bangkit kembali dari keterpurukan dan menyesuaikan rupa dengan zaman. Seperti tiga penari di atas yang terus menari tanpa lelah, lengger Banyumas terus bertahan dan menyesuaikan diri serta mempertahankan eksistensinya di tengah modernisasi.***

11


NAMA RUBRIK

LAPORAN UTAMA

Pergerakan Mahasiswa dalam Urutan Waktu

12

Ilustrasi oleh Toni Malakian

Oleh: Yuli Tri Hastuti Reporter: Lana Fitria S. dan Iqbal F.

B

erbicara mengenai pergerakan mahasiswa seolah berbicara mengenai romantisme masa lalu. Hal tersebut dikarenakan bentuk perjuangan setiap generasi berbeda-beda. Bila dikatakan sebagai romantisme belaka, bagaimana dengan kelanjutan dari pergerakan mahasiswa? Lalu, bagaimana awal dari terbentuknya gerakan mahasiswa di Indonesia? Sebagai suatu bagian dari sejarah yang kronologis, perjalanan dari pergerakan mahasiswa di Indonesia memiliki

sejumlah “titik” atau “tonggak”. “Titik” atau “tonggak” tersebut merupakan penanda penting dari perjalanan pergerakan mahasiswa yang biasa disebut sebagai “angkatan-angkatan”. Diantaranya adalah angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, dan 1998. Angkatan 1908 merupakan angkatan pertama yang kemunculannya tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui suatu proses yang cukup panjang. Sejarah mencatat bahwa pada abad ke-19 seiring dibangunnya sekolah-sekolah oleh Belanda, di Indonesia telah HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

tumbuh gerakan kaum terpelajar. Dimulai pada tahun 1819 saat Belanda membangun sekolah militer di Bandung yang diikuti dengan pembangunan beberapa sekolah lainnya. Diantaranya adalah Sekolah Tinggi Laiden (1826), Institute Bahasa Jawa Surakarta (1832), Sekolah Pegawai Hindia-Belanda di Delft (1842), Sekolah Guru Bumiputra di Surakarta (1852), dan lain-lain. Akan tetapi, tidak semua rakyat Indonesia dapat menikmati pendidikan di sekolah-sekolah tersebut. Keberadaan sekolah


LAPORAN UTAMA tersebut hanya dikhususkan bagi anak-anak keturunan Belanda dan anak pegawai tinggi pribumi. Pada tahun 1893, sekolahsekolah mulai dibagi melalui dua kategori sesuai dengan peserta didiknya, yaitu sekolah khusus untuk kaum priyayi dan untuk kalangan biasa. Jumlah sekolah yang didirikan semakin meningkat, hingga pada tahun 1920 didirikanlah sekolah tinggi teknik yang merupakan perguruan tinggi pertama. Pembentukan sekolah ini diikuti dengan didirikannya beberapa perguruan tinggi lainnya seperti Stovia dan sekolah tinggi hukum di Jakarta. Kemunculan dan perkembangan sekolah-sekolah tersebuat mendorong lahirnya organisasi-organisasi sosial yang dipelopori oleh mahasiswa. Salah satunya adalah munculnya sarikat priyayi tahun 1906, yang disusul dengan pendirian Boedi Oetomo pada tahun 1908 yang dimotori oleh beberapa tokoh seperti E. Douwes Dekker dan Wahidin Soediro Hoesodo. Mereka adalah mahasiswa dari Stovia. Nasionalisme menjadi topik utama yang diperjuangkan oleh mahasiswa sejak dahulu, termasuk Boedi Oetomo. Boedi Oetomo memandang bahwa intelektualitas dan budaya merupakan bagian dari jati diri sebuah bangsa, serta dari sanalah kebijakan dan wawasan terhadap bangsa ditumbuhkan. Sementara itu, di Bandung pada 6 September 1912 dua mahasiswa lulusan STOVIA, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta seorang Indo (keturunan Indonesia), E.F.E. Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia atau Indische Partij. Tidak hanya itu, pembentukan organisasi mahasiswa juga dilakukan oleh mahasiswa Indonesia di Belanda. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di sana mendirikan organisasi-organisasi pemuda Indonesia, seperti Indische Vereniging, Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) yang berhaluan Marxisme dan lain-

NAMA RUBRIK lain. Kelahiran berbagai macam organisasi pemuda/ mahasiswa tersebut seolah menandakan lahirnya sebuah kelompok pembaharuan yang terdiri dari kaum terpelajar. Organisasi mahasiswa pun terus berkembang, serta menandakan awal dari kebangkitan pemuda, yang mencapai puncak tanggal 28 Oktober 1928 pada Kongres Pemuda II dengan dicetuskannya “Sumpah Pemuda�. Ikrar yang menjadikan seluruh pemuda di Indonesia mengakui bahwa hanya ada satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa, yakni Indonesia. Namun, perjuangan mahasiswa mengalami hambatan pada saat pendudukan Jepang tahun 1945. Sejarah mencatat bahwa pada masa itu organisasi pemuda yang berbau politik dibubarkan. Banyak perguruan tinggi juga ditutup dan pemuda dimasukkan ke dalam organisasiorganisasi yang dibentuk oleh Jepang seperti Seinendan dan Keibodan (Barisan Pelopor), serta PETA (Pembela Tanah Air) untuk dididik politik demi kepentingan fasisme. Dalam keadaan tersebut, para pemuda tak tinggal diam. Adanya pembubaran organisasi tersebut menimbulkan banyaknya organisasi kepemudaan baru yang disebut dengan Gerakan Bawah Tanah (GBT). Organisasi ini bergerak di luar kendali Jepang sebagai bentuk pemberontakan untuk memperjuangkan kemerdekaan pada masa itu yang tidak terlepas dari peran mahasiswa di dalamnya. Selain itu, pada masa itu juga terdapat dua golongan, yaitu golongan tua dan golongan muda yang sama-sama ingin memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tetapi dalam bentuk perjuangan yang berbeda. Dengan adanya dua golongan tersebut, bentuk perjuangan kemerdekaan mulai terpecah. Golongan tua berorientasi pada bentuk perjuangan dengan menggunakan sistem politik atau HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

diplomasi, sedangkan golongan muda berorientasi pada bentuk perjuangan bersenjata. Setelah adanya perpecahan tersebut, akhirnya para mahasiswa sebagai golongan muda memilih melakukan kegiatan berkumpul dan berdiskusi di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah kemerdekaan adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Kebon Sirih, dan Asrama Cikini. Para mahasiswa inilah yang kemudian menjadi pemuda generasi ’45, yang bangkit merebut dan mempertahankan kemerdekaan dengan cara kepemudaan. Lewat diskusi-diskusi bawah tanah di asrama tersebut, berhasil membawa perubahan pada bangsa Indonesia sehingga menemukan kemerdekaannya sendiri. Peran gerakan pemuda tidak habis oleh waktu. Indriyanto, dosen di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Undip mengungkapkan bahwa sejak tahun 1908 hingga 1945, pemuda tetap berkobar dengan pemikirannya yang berani dan kritis untuk memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia. Memang, membutuhkan waktu yang panjang untuk menemukan sebuah kemerdekaan. Namun dengan strategi gerakan yang tepat bangsa ini telah menemukan nasibnya sendiri. Di tangan gerakan pemudalah nasib bangsa ini berubah, dan di tangan pemuda jugalah perubahan terjadi. Berbicara mengenai sejarah pergerakan pemuda, memang masa tersebut merupakan momentum penting dalam gerakan pemuda dan pelajar. Selain melucuti senjata Jepang, para pemuda juga memunculkan organisasi-organisasi seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI), Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi. Pada saat belum ada organisasi pemuda dan pelajar yang berbentuk federasi,

13


NAMA RUBRIK

14

diselenggarakan Kongres Pemuda seluruh Indonesia I (1945) dan II (1946). Lebih lanjut lagi, gerakan dari para pemuda berhasil mendesak Soekarno-Hatta melalui “penculikan” untuk segera memproklamirkan kemerdekaan RI. Dalam buku Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa karya Arbi Sanit, dijelaskan bahwa dalam situasi seperti itu, gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Namun, gerakan mahasiswa yang timbul pascarevolusi didasari pada ideologi yang berbeda-beda. Pada tanggal 5 Februari 1947 diresmikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), diikuti berdirinya Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) pada tanggal 25 Maret 1947 dan kemudian disusul dengan pendirian Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Setelah masa kemerdekaan, banyak sekali muncul aliansi pergerakan mahasiswa. Diantaranya adalah Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Selanjutnya dalam masa demokrasi liberal (1950-1959), seiring dengan sistem kepartaian yang majemuk saat itu muncul berbagai organisasi ekstra kampus, seperti Gerakan Mahasiswa kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos), dan lain-lain. Hal tersebut secara tidak langsung didukung dengan peledakan jumlah mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia antara tahun 1950 hingga 1960. Sebagai gambaran, bila pada tahun 19461947 terdaftar 387 mahasiswa, maka di tahun 1965 terdapat sekitar 280.000 mahasiswa. Pada masa Demokrasi Terpimpin, organisasi-organisasi politik mulai bersaing dengan adu program untuk mendapatkan basis massa yang besar. Pertarungan semakin ramai ketika Soekarno lebih dekat pada organisasiorganisasi yang berideologi komunis dan nasionalis radikal.

LAPORAN UTAMA Organisasi-organisasi mahasiswa yang berbasiskan agama seperti HMI dan PMKRI semakin terpinggirkan. Ketegangan politik di dalam kampus semakin memanas setelah GMNI, CGMI, Germindo, serta Permi semakin mendominasi senat fakultas dan dewan mahasiswa universitas di perguruan-pergurun tinggi yang ada pada tahun 1963. Mahasiswa yang tersingkir pun semakin membenci konsepsi Soekarno tentang Demokrasi Terpimpin yang mereka anggap sebagai penyebab tersingkirnya posisi mereka. Para mahasiswa mendesak agar Soekarno segera turun dari masa jabatannya sebagai presiden. Mahasiswa-mahasiswa ini meyakini bahwa Demokrasi Terpimpin sangat merantai kebebasan mereka dan tidak sesuai dengan teori yang pernah mereka dapatkan. Akhirnya pada tanggal 20 Februari 1967, kekuasaan Soekarno runtuh dan digantikan oleh pemerintahan Soeharto yang dikenal dengan masa Orde Baru. Setelah runtuhnya Soekarno, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan mendirikan Orde Baru, yang dikenal dengan istilah Angkatan ‘66. Banyak pihak yang menganggap gerakan inilah yang menjadi cikal bakal kebangkitan mahasiswa secara nasional. Tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru. Gerakan tersebut berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Untuk membalas “jasa-jasa” mahasiswa pada masa itu, banyak Angkatan ‘66 yang diberi “kursi” di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) / Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) serta diangkat dalam kabinet pemerintah Orde Baru. Akan tetapi setelah masa Orde Baru berlangsung, justru timbul masalah-masalah baru yang HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

membuat kesengsaraan rakyat semakin bertambah. Masalahmasalah tersebut sebagian besar berputar pada banyaknya kasus praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), bahkan melibatkan anggota keluarga presiden. Melihat hal tersebut, mahasiswa kembali berontak, yang bermuara pada peristiwa Malari tahun 1974. Peristiwa itu terjadi tepat pada saat kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei ke Indonesia. Di sisi lain para mahasiswa di ibukota melakukan aksi apel sebagai bentuk aspirasi untuk menolak sistem pemerintahan Soeharto. Aksi apel besar yang dipusatkan di halaman Universitas Trisakti ini tadinya merupakan aksi damai, namun tanpa disangka yang terjadi adalah perbuatan anarki di berbagai tempat di wilayah ibukota. Mobil, motor dan produk elektronik Jepang semuanya dibakar, bahkan gedunggedung dan pusat perbelanjaan pun ikut dibakar sehingga menimbulkan banyak korban. Aksi-aksi mahasiswa yang terus berlanjut membuat Soeharto gerah. Sampai akhirnya pada 19 April 1978, ia mengeluarkan kebijakan sebagai bagian dari upaya depolitisasi kampus dan meredam aktivitas politik mahasiswa, konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/ BKK) diterapkan secara resmi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef, melalui Surat Keputusan Menteri P dan K No. 01/V/1978. NKK/ BKK ini baru diakhiri secara formal oleh Mendikbud Prof. Dr. Fuad Hassan pada 28 Juli 1990, dengan keluarnya Surat Keputusan No. 403/U/1990 tentang Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Setelah NKK/BKK diberlakukan, mahasiswa dilarang berpolitik ataupun melakukan aktivitas yang berbau politik. Kebebasan intelektual kampus di kebiri dan kontrol kepada organisasi-organisasi mahasiswa


LAPORAN UTAMA diperketat. Menurut Indriyanto, pada saat itu kampus menjadi sebuah penjara berpikir bagi kegiatan mahasiswa. Mahasiswa dipaksa kembali ke dunia akademik agar tidak ada lagi kegiatan pemberontakan. Akibatnya, fenomena yang terjadi kemudian adalah demoralisasi di tingkatan mahasiswa. Saat NKK/BKK dicabut pada tahun 1990, Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SM-PT) diakui kembali oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dijabat oleh Fuad Hasan pada saat itu. Namun, hal tersebut malah mendapat reaksi keras dari mahasiswa, karena dianggap mengandung agenda tersembunyi dari pemerintah, yakni ingin kembali mengajak mahasiswa ke dalam kampus dan memotong aliansi mereka yang ada di luar. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri dan bebas dari politisasi antara birokrasi dengan pihak kampus. Dalam pemahaman sejarah pergerakan mahasiswa, Pramoedya Ananta Toer, seorang tokoh budaya Indonesia justru melihat ada lima “angkatan” dalam sejarah modern Indonesia hingga tahun 1970-an. Diantaranya adalah: Angkatan Belasan, yaitu “para mahasiswa yang mendapat beasiswa dari pemerintah kolonial,” dan “bersama dengan para eksterniran Indische Partij di Belanda telah menemukan tanah air dan nasionnya dan mereka namai Indonesia”; Angkatan 20an dengan Sumpah Pemudanya; Angkatan 45 yang “tanpa pamrih siap mengorbankan jiwa dan raga mereka mempertahankan kemerdekaan nasional di setiap jengkal tanah air”; Angkatan 66, yaitu angkatan yang darinya “tak ada sesuatu yang masih perlu dinilai”; dan Angkatan Malari yang menghendaki reformasi dengan pekikan “militer kembali ke barak”. Pergerakan mahasiswa masih terus berlanjut dan kembali menemui salah satu “titik” pentingnya. Pada tahun 1998, gerakan mahasiswa beralih pada

NAMA RUBRIK tujuan menuntut reformasi dan meninggalkan Orde Baru yang telah melakukan banyak KKN. Lewat pendudukan gedung DPR/ MPR oleh ribuan Mahasiswa, akhirnya berhasil memaksa Presiden Soeharto melepas jabatannya. Setelah masa Orde Baru runtuh, mahasiswa dapat sedikit menikmati kebebasan tanpa adanya lagi kebijakan yang mengharuskan mereka untuk tidak beraktifitas di luar kampus. Masyarakat pun kembali diberi kebebasan beraspirasi untuk menuntut hak mereka. Namun, kebebasan tersebut justru memberikan dampak kemunduran bagi pergerakan mahasiswa saat ini. Pergerakan mahasiswa saat ini sudah tidak berorientasi terhadap pembangunan bangsa. Seperti yang dikatakan oleh Turtiyantoro selaku Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undip, bahwa pergerakan mahasiswa saat ini

hanya bersifat insidental. Hal itu disebabkan karena pendidikan politik yang diajarkan di dalam perguruan tinggi sangat lemah. Mahasiswa dituntut hanya mengurusi masalah akademik saja tanpa mempedulikan persoalan kebangsaan. “Gerakan mahasiswa itu memble, anda lihat, memble semua gerakan mahasiswa itu. Kenapa gerakan mahasiswa saat ini seperti itu? Jika ditelusuri gerakan mahasiswa itu lebih diarahkan pada membuat proposal kegiatan, bukan esensi menanggapi suatu masalah kebangsaan.” Turtiyantoro juga menambahkan, persoalan tersebut akhirnya merusak esensi dari gerakan mahasiswa. Pada dasarnya pergerakan mahasiswa itu sebenarnya lebih kepada menentukan nasib bangsanya atau menentukan nasib diri sendiri. Proses akademik dan pergerakan seharusnya dijalankan dengan seimbang oleh mahasiswa agar masalah ketatanegaraan masih bisa diawasi.***

KAMI MAKAN NASI BUKAN MAKAN KAWAN! HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

15


NAMA RUBRIK

LAPORAN UTAMA

Kisah “Cinta” Mahasiswa dan Orde Baru

16

Ilustrasi oleh Toni Malakian

Oleh: Hasna Fuadilla H. Reporter: Syaiful R., Citra Pertiwi, Galang Ari P.

R

Seorang jurnalis dan peneliti asal Australia, Max Lane dalam bukunya “Bangsa yang Belum Selesai: Indonesia Sebelum dan Setelah Orde Baru”, berargumen bahwa radikalisasi di Indonesia adalah warisan sejarah sejak zaman pergerakan dan merupakan bagian dari reaksi ketertindasan akibat penjajahan.

adikalisme dan Gerakan Mahasiswa (GM), seakan menjadi dua hal yang tak dapat dipisahkan. Tak dapat dipungkiri memang, sejarah GM Indonesia—walau tidak secara keseluruhan— diwarnai aksi radikalisasi. Dengan berbagai macam aksi dan tujuan dari GM, telah memberikan banyak perubahan bagi negara. Diantaranya adalah dengan runtuhnya dua rezim otoriter:

Orde Lama (1966) dan Orde Baru (1998). Tak dapat dipungkiri pula, bentuk dan ideologi GM hingga saat ini sedikit banyak mewarisi bentuk GM terdahulu, terutama GM pada masa kekuasaan panjang Orde Baru. GM pada mulanya terbentuk sebagai gerakan moral. Masa Orde Baru merupakan suatu masa dimana GM tumbuh, menyimpang, HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

namun kemudian dikubur secara paksa. Kisah “romantisme” GM dengan pemerintah Orde Baru memang menarik untuk menjadi pembahasan dalam mengkaji sejarah GM di Indonesia. Dalam masa kepemerintahan Orde Baru selama 32 tahun, telah terjadi banyak aksi GM berikut sikap pemerintah dalam menindaklanjutinya, dari mulai


LAPORAN UTAMA tanggapan secara halus hingga keras dengan melibatkan militer. Lalu, bagaimana hubungan mahasiswa dengan pemerintah selama Orde Baru? Tahun 1966 menjadi suatu fase tersendiri bagi GM Indonesia. Pada saat itu, GM yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) menjadi alat oleh militer dan Soeharto untuk menumbangkan kekuasaan lama. Politik Indonesia pascakemerdekaan sendiri diwarnai oleh sengitnya persaingan antara Soekarno dengan militer. Menurut penelitian Max Lane, saat itu mahasiswa KAMI memonopoli jalanan. Saingannya dari kiri, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) sudah dilarang atau dibasmi secara beruntun, sehingga banyak aktivis CGMI dan GMNI yang dibunuh atau ditahan. KAMI dan beberapa sekutunya dengan logistik yang dipasok oleh Angkatan Darat pun menunjukkan keunggulannya. Hal tersebut seolah membuktikan bahwa GM masa itu tidak menjadi suatu unsur paling penting dari tumbangnya Orde Lama, akan tetapi hanya sebagai gerakan yang dipinjam oleh politik dan militer. Pada kenyataannya KAMI sebagai suatu bagian dari GM, pada tahun 1966 hanya didominasi oleh mahasiswa UI (Universitas Indonesia). Desain Orde Baru juga bukanlah hasil keinginan mahasiswa ‘66, tetapi justru dihasilkan oleh Seminar Angkatan Darat (AD) II yang diselenggarakan pada 25 hingga 31 Agustus 1966. Dengan demikian, bahkan Pramoedya Ananta Toer pun mengatakan bahwa Angkatan ‘66 adalah sebuah angkatan yang darinya tidak punya pengaruh bagi perubahan menuju perbaikan yang diinginkan mahasiswa dan rakyat. Asvi Warman Adam, seorang sejarawan Indonesia memberikan pendapatnya mengenai GM 1966 saat Tim Hayamwuruk temui di

NAMA RUBRIK kantornya di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta. Ia berpendapat bahwa Angkatan ’66 tidaklah berjasa sebesar penggambaran sejarah selama ini. “Angkatan ‘66 itu apakah bukan lebih banyak itu, digerakkan oleh tentara. Kita lihat misalnya demonstrasi tanggal 11 Maret 1966, itu kan yang demo bukan hanya mahasiswa, tetapi juga ada pasukan yang tidak dikenal. Jadi mereka berkolaborasi. ... Mereka berdemo tapi bersama tentara.” Gerakan ’66 berbeda dengan GM 1998 yang terbentuk dari akumulasi ketidakpuasan mahasiswa dan rakyat terhadap Orde Baru. Para mahasiswa yang menjadi “pahlawan” pada gerakan ’66 pun segera dipeluk oleh penguasa baru dan diberikan posisi yang cukup baik, salah satunya dengan menjadi anggota parlemen. Dalam posisi terbarunya ini, idealisme mereka seolah begitu cepat patah. Soekarno dan banyak para pejabat pemerintah menilai bahwa gerakan-gerakan yang dilakukan mahasiswa tahun 1966 tidak murni tetapi ditunggangi oleh kelompok kepeningan lain, terutama nekolim dan CIA. Soekarno melihat banyak elemen yang dengan mudah memanfaatkan gerakan mahasiswa tersebut untuk kepentingannya sendiri. Namun, mahasiswa— diwakili oleh aktivis KAMI— menegaskan bahwa gerakan mereka adalah sebagai moral force (gerakan moral). Arief Budiman dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Gerakan Pemuda dan Mahasiswa” berpendapat bahwa generasi ’66 lebih cepat hancur dari generasi sebelumnya, yakni Angkatan ’45. Banyak faktor sosial yang mempengaruhi. Angkatan ’45 dibesarkan pada tahun-tahun sebelum perang ketika Indonesia masih di bawah penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan, pemerintah relatif diatur secara modern. Ada kepastian hukum walaupun hanya menguntungkan bagi orang-orang Belanda saja, HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

serta terdapat stabilitas ekonomi. Berbeda dengan Angkatan 1945, generasi ’66 tumbuh sekitar tahun 50-an dan 60-an dimana kehidupan bermasyarakat mulai rusak. Tidak ada kepastian hukum dan ekonomi berada dalam keadaan begitu buruk. Korupsi pun merajalela. Generasi ’66 dipaksa melihat hari depan sebagai sesuatu yang tidak pasti. Hal tersebut membuat mereka lebih berorientasi kepada masa kini, artinya mereka lebih mementingkan kesempatan yang datang pada masa kini daripada bekerja untuk masa depan, menjadi orang-orang yang oportunis. Pasca 1966, tahun 1970 hingga 1972 merupakan tahun-tahun yang marak dengan protes dan demonstrasi. Namun, protes tersebut lebih mengarah pada permasalahan korupsi dan hanya sedikit yang menyangkut masalah demokrasi. Protesprotes tersebut diantaranya adalah Demonstrasi Mahasiswa Menggugat (1970), Komite Anti Korupsi (1970), gerakan anti TMII, dan demonstrasi Golongan Putih sebagai protes pada UU Pemilu tahun 1971. Keempat gerakan pemuda/ mahasiswa tersebut oleh Arief Budiman kemudian disebut sebagai gerakan korektif dengan mendramatisasi kritik dalam bentuk “konflik”, tidak melembagakan diri sebagai suatu kekuatan yang terorganisir dengan kekuatan massa yang besar. Kekentalan sikap antara mahasiswa dan pemerintah semakin menimbulkan konflik yang oleh Arbi Sanit disebut sebagai pecahnya bulan madu politik antara mahasiswa dengan pemerintah. Konflik tersebut kemudian memuncak pada peristiwa Januari 1974, gerakan anti Soeharto tahun 1978 dan penolakan mahasiswa terhadap asas tunggal Pancasila di awal tahun 1980-an. Pada tahun 1974, terjadi Peristiwa Malari. Kala itu Orde Baru mulai mendapatkan koreksi,

17


NAMA RUBRIK

18

terutama dari kalangan intelektual dan mahasiswa. Peristiwa tersebut dapat dikatakan sebagai wujud perpecahan antara mahasiswa dengan penguasa Orde Baru. Para aktivis organisasi mahasiswa intra kampus memberikan perhatian kepada kebijakan ekonomipolitik Soeharto, terutama kebijakan penanaman modal asing dari kapitalis Jepang dan Amerika. Pada tahun itu pula lah Soeharto mulai membredel media massa dan menangkapi para mahasiswa yang protes terhadap pembangunan ekonomi yang hanya menguntungkan golongan menengah dan atas. Setelah peristiwa Malari, protes dan demonstrasi yang tadinya merupakan gerakan koreksi berubah menjadi gerakan konfrontasi. Perlawanan tak kunjung reda hingga tahun 1980an, meskipun telah dilakukan depolitisasi kampus secara ketat. Depolitisasi tersebut dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah dibentuknya kebijakan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) serta dibentuknya BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan) oleh Soeharto setelah mahasiswa menuntut Presiden Soeharto turun dan tidak mencalonkan kembali menjadi presiden pada 1978. Tuntutan itu kemudian disikapi Soeharto dengan tindakan militer di kampus ITB dan UI. Para pimpinan mahasiswa ditangkap dan diadili. Pemerintah juga membekukan Dewan Mahasiswa/ Senat Mahasiswa se-Indonesia. Gerakan mahasiswa pun mencari muara baru dan mulai berpaling pada realitas di luar kampus dan tergabung dengan berbagai LSM. Gerakan yang semula elitis berangsur-angsur berubah menjadi politis. Tahun 1988, sejumlah aktivis kampus di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Bogor mulai berhubungan. Tanggal 9 Desember 1988, para mahasiswa mendatangi DPR dan menyampaikan pernyataannya pada wakil Orsospol (PPP, Golkar, PDI, dan ABRI). Momentum radikal GM kemudian muncul pada

LAPORAN UTAMA “Gerakan 5 Agustus” tahun 1989. Tahun 1990-an, perlawanan terhadap Orde Baru semakin hari semakin semarak. Berbagai organisasi radikal berdiri di kalangan mahasiswa, buruh, petani, hingga rakyat perkotaan. Tahun 1996, Soeharto sibuk menghalau kekuatan rakyat dengan mencurigai bangkitnya paham Marxisme atas peristiwa kerusuhan 27 Juli. Dalam peristiwa tersebut, pemerintah menuduh bahwa aksi mimbar bebas dan kerusuhan didalangi oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD). Akibatnya, terjadi penangkapan dan penculikan terhadap beberapa petinggi PRD. Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum PRD pada masa itu pun tak luput dari penangkapan. Ia kemudian dipenjara di LP Cipinang dan dibebaskan pada tahun 1999. Aksi GM melawan Orde Baru mencapai puncaknya pada tahun 1998 dengan maraknya aksi-aksi demo. Insiden penting yang sangat berpengaruh pada membesarnya gelombang GM melawan Orde Baru adalah peristiwa terbunuhnya empat mahasiswa Trisakti, yang diikuti oleh kerusuhan massal di pusatpusat kegiatan perekonomian di Jakarta serta kekerasan terhadap warga etnis Tionghoa. Aksi-aksi demo mahasiswa kian masif, hingga mencapai puncak saat ribuan massa mahasiswa menduduki Gedung DPRI RI tanggal 18-22 Mei 1998. Akhirnya, GM tersebut berhasil “memaksa” Soeharto untuk menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden RI. Sikap Pemerintah Orde Baru Menurut Antonio Gramsci, kekuasaan ditegakkan oleh dua pilar. Pertama, pilar ideologi, dan kedua adalah pilar militer. Kekuasaan yang dipertahankan dengan kekuatan militer dilakukan dengan cara mengancam dan menakuti rakyat agar tunduk. Melalui ideologi, kesadaran rakyat dimanipulasi sehingga mereka melihat penguasa bukan sebagai HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

penindas, tapi pelindung, bahkan penyelamat. Ideologi menyajikan realitas sedemikian rupa sehingga realitas itu diterima sebagai sebuah anugerah yang perlu dibela dan dipertahankan. Ideologi tersebut disebarkan melalui pendidikan, pidato-pidato, agama, media massa, berbagai kursus indoktrinasi, dan sebagainya. Hal itulah yang dilakukan Pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.

Dok. Inet

Dalam buku Wacana dan Politik, disebutkan bahwa nafsu ideologis Orde Baru merupakan “ideologi developmentalisme”, ideologi yang bercorak teknokratik dengan menekankan nilai-nilai efisiensi, harmoni dan tertib. Sistem ekonomi dan politik serba terkendali. Oposisi dan pembangkangan dikendalikan dan dimanipulasi dengan hegemoni makna. Posisi hegemonik ditunjukkan dengan mengontrol setiap ruang publik dan kontrol terhadap seluruh wacana kebudayaan. Sejak 1965/1966 penguasa sistem negara telah membangun hegemoni, dengan formulasi ideologi sebagai tiang utamanya. Dasar dari konstruksi hegemoni negara adalah ketertiban, statibilitas dan keamanan nasional. Elite dan massa membutuhkan semacam pengertian bersama mengenai model dan citra negara manakala struktur hegemoni


LAPORAN UTAMA tengah beroperasi. Inti dari sistem negara Orde Baru adalah oligarki. Inti dari jaringan oligarki kepemimpinan itu ada di tangan lembaga kepresidenan. Falsafah tunggal resmi, Pancasila, memaknai negara sebagai entitas totaliter/korporat. Sejak 1985 seluruh organisasi sosial-politik digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila sebagai satusatunya dasar filosofis, sebagai asas tunggal. “Cap durhaka” dibuat mencakup segala hal yang berbeda pendapat dengan ideologi negara. Sejak awal mula Orde Baru, pandangan yang berlawanan (counter-point) dengan pembangunan, sebagai antitesis dari pembangunan dan modernisasi, kerap digolongkan ke istilah Gestapu dan G30S/ PKI. Orde Lama pun digambarkan sebagai periode yang penuh chaos, kekacauan dan penuh kekerasan massal. Pada masa Orde Baru muncul semacam keterputusan wacana politik Indonesia. Konsep politik diganti dengan konsep pembangunan. Kemudian muncullah kategori-kategori baru seperti ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Negara menjadi aktor dominan dalam politik. Kasus ‘65 dimanfaatkan oleh Orde Baru untuk memberikan citra penuh kekacauan pada Orde Lama. Pemerintah Orde Baru kemudian mengadakan “Bersih Lingkungan” dengan membersihkan warga dari anasir-anasir ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Pada tahun 1980, digambarkan bahwa terdapat bahaya terhadap negara yang disebut “Organisasi Tanpa Bentuk” (OTB) dan hanya negara yang dapat memberikan perlindungan kepada rakyat. Kampanye “kebersihan lingkungan” pun diluncurkan. Langkah yang dilakukan adalah lingkungan dibersihkan, ideologi dimurnikan, kelembagaan ditertibkan, politik dinormalkan, legitimasi konstitusional dicocokkan, cara berpikir ditertibkan. Wacana normalisasi

NAMA RUBRIK pun segera dibuat. Lewat wacana normalisasi, banyak anggota kelompok tertentu dalam masyarakat yang dianggap potensial dalam merawankan stabilitas tidak lagi memperoleh status sebagai subjek politik yang normal oleh negara. Misalnya tersingkirnya masyarakat kelompok bawah dari wacana politik normal karena dianggap kurang kompeten. Di dunia kemahasiswaan, tradisi keterbilatan politik mahasiswa seperti ditunjukkan dalam setiap momen penting sejarah kebangsaan tidak lagi dipandang sebagai ukuran kewarasan masyarakat ilmiah, tetapi justru dinilai sebagai sumber kekacauan dan kemunduran dunia akademis. Keterlibatan politik mahasiswa dimasukkan ke dalam katagori “tak normal”. NKK/ BKK pun diciptakan, akar-akar dan jaringan keterlibatan politik mahasiswa digunting. Dunia kampus dijadikan sebagai sumber pasokan “suku cadang siap pakai”, dan menjadi penanda makin berputarnya mesin teknokrasi. Normalisasi kampus tidak membuat kehidupan akademis bergerak ke arah yang lebih baik, tapi justru membuat dunia kemahasiswaan menjadi tidak normal: wacana ilmiah merosot, sikap kritis luluh, kemampuan berorganisasi ambruk, sementara kebiasaan “kumpul kebo” kian lumrah. Lewat NKK dibentuklah subjek-subjek baru di kalangan mahasiswa yang tak lagi terlibat secara langsung dalam politik. Subjek baru tersebut lebih diorientasikan pada pemenuhan keperluan teknokratik dan pasar tenaga kerja yang muncul akibat tuntutan modernitas. Arbi Sanit menyebutkan bahwa kombinasi pendekatan keamanan dengan penataan organisasi mahasiswa intra universitas dan intensifikasi proses mengajar-belajar di kampus, benar-benar melumpuhkan aktivitas politik mahasiswa dalam waktu yang cukup lama. Selain NKK/BKK, HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

pemerintah Orde Baru juga mengeluarkan “kekangan” lain untuk membatasi kebebasan berpendapat mahasiswa. Salah satunya adalah dengan membatasi Pers Mahasiswa (Persma) yang dianggap memiliki peranan penting dalam meningkatkan pemikiran kritis konseptual di kalangan mahasiswa. Hal tersebut dikarenakan Persma kerap mengangkat persoalan demokratisasi, HAM, politik, ekonomi, sosial, budaya sebagai persoalan yang universal. Akibatnya, Persma tidak lagi leluasa untuk menuliskan persoalan di luar lingkup akademik (kampus). Pembatasan tersebut pun menjadikan mahasiswa terkotak-kotak pikirannya. Sebagai gambaran, misalnya mahasiswa FE hanya berbicara tentang ekonomi dan mahasiswa FT hanya berbicara tentang teknik, serta terisolir dari persoalan-persoalan di sekelilingnya. Taktik lain dilancarkan Soeharto dalam masa pemerintahannya, melalui konsep Trilogi Pembangunan dengan tiga tugas pemerintah: pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan pemerataan pendapatan. Soeharto menugaskan militer untuk menciptakan stabilitas politik, sedangkan pengaturan perekonomian diserahkan pada teknokrat ekonomi. Dapat dilihat bahwa Orde Baru seolah ingin memperbaiki tatanan yang telah “diselewengkan” pada masa Orde Lama. Akibatnya jelas, terjadi “penjarahan” besar-besaran terhadap lawan-lawan politik Orde Baru. Pertumbuhan ekonomi yang tampak pada masa Orde Baru adalah pertumbuhan kelaskelas menengah di kota-kota besar. Namun kenyataannya, pertumbuhan tersebut berpusat pada pembangunan fisik dan ekonomi dengan mengabaikan hak-hak politik rakyat dan HAM. “Pembangunan”, adalah ideologi yang diciptakan Orde Baru. Menurut Soewarsono dalam buku Penakluk Rezim Orde

19


NAMA RUBRIK

20

Baru Gerakan Mahasiswa ’98 yang memuat beberapa artikel mengenai GM Indonesia, pada rezim Orde Baru konsep “pemuda” tak lagi mengacu pada batas usia tertentu maupun signifikansi sosiologis dan historisnya. Di bawah Orde Baru, “pemuda” dikonotasikan dengan “pembangunan” dan merupakan kategori sosial yang dapat dikontrol. Orde Baru “mempemudakan” mahasiswa, atau dengan kata lain mendekatkan mahasiswa dengan “pembangunan” dan menjauhkan mereka dari politik. Anjuran agar “mahasiswa belajar saja” dikedepankan sebagai penguat perintah agar para rektor melarang mahasiswa untuk melakukan kegiatan politik di kampus. Dinamika kehidupan GM masa Orde Baru pada umumnya berada di bawah hegemoni negara. Secara umum, keruntuhan pamor lembaga kemahasiswaan ditandai oleh tiga hal. Pertama, pembentukan KNPI pada 1973 sebagai satu-satunya ormas pemuda yang direstui Orde Baru, dimana semua organisasi ekstra kampus harus bernaung di bawah KNPI dengan kontrol Menpora. Kedua, pembekuan Dewan Mahasiswa sejak 28 Januari 1978 yang melumpuhkan organisasi mahasiswa. Ketiga, berlakunya konsep NKK/BKK yang lebih bermuatan politis daipada edukatif. Sejak saat itu pula mahasiswa dilarang melakukan “politik praktis” (mimbar bebas, kuliah umum, workshop, dan lainlain). Pasifnya perhatian mahasiswa terhadap peristiwa sosial politik dipengaruhi pula oleh berubahnya orientasi mahasiswa terutama terhadap pekerjaan. Efek dari perubahan tersebut tercermin dari keinginan mahasiswa untuk segera mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Secara implisit NKK/ BKK berhasil membuat mahasiswa berpikir pragmatis-ekonomis daripada politis. Hal tersebut menjadi salah satu warisan dari rezim Orde Baru terhadap GM masa kini.***

LAPORAN UTAMA

SELAMAT ATAS DIWISUDANYA KAWAN KAMI:

KINANTI LARASATI, S. HUM. NANIK WULANSARI, S. HUM. DESTA AYU WULANDARI, S. HUM. QUR’ANUL HIDAYAT, S. HUM. ACHMAD DWI AFRIYADI, S. HUM.

TERIMAKASIH ATAS KONTRIBUSINYA

KELUARGA BESAR LPM HAYAMWURUK HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013


LAPORAN KHUSUS

NAMA RUBRIK

Rekam Jejak Politik Partai Mahasiswa Undip

Ilustrasi oleh Achmad Dwi A.

Oleh: Citra Pertiwi R. Reporter: Hamam A., Mitra Sari, Faishal H.

P

ada saat pemerintahan Orde Baru, kehidupan kampus sangat dibatasi ruang geraknya. Organisasi yang ada di kampus harus mengikuti aturan pemerintah yang ketat dan dirasa tidak mendukung dinamika kehidupan berorganisasi. Jatuhnya rezim Orde Baru seolah membawa angin segar bagi kehidupan kampus, khususnya bagi sebagian aktivis mahasiswa. Sebelum era Reformasi berjalan, organisasi yang ada di kampus dapat dikatakan terbatas dan belum mengakomodir keinginan mahasiswa untuk berdemokrasi. Di beberapa universitas, pada era Orde Baru memang sudah ada organisasi yang diklaim sebagai wadah bagi mahasiswa, namun tidak lebih dari formalitas yang diatur dan diawasi dengan ketat oleh kampus. Pemilihan orangorang yang berkecimpung di dalam organisasi tersebut juga tidak lepas dari campur tangan pejabat

21

kampus. Memasuki periode Reformasi, dinamika organisasi di kampus berjalan lebih terbuka. Terutama setelah dikeluarkannya keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tentang organisasi mahasiswa nomor 115/U/1998. Keputusan itu menerangkan bahwa dasar prinsip organisasi mahasiswa adalah dari dan oleh mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa. Oleh karena itu, bentuk organisasi kemahasiswaan dapat berbeda satu sama lain, tergantung pada universitas masing-masing. Berakhirnya Orde Baru kemudian membuat kehidupan organisasi kampus berkembang. Dari yang awalnya lembaga legislatif dan eksekutif bergabung di bawah naungan satu organisasi, kemudian berubah dan dibuat terpisah. Organisasi mahasiswa bentukan tidak langsung dari HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan) umumnya disebut Dewan Perwakilan Mahasiswa, yang kemudian berganti menjadi Senat Mahasiswa (Sema) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Perubahan sistem organisasi ini menuntut pula perubahan sistem pemilihan untuk mahasiswa yang akan menjadi anggotanya. Pemilihan umum yang jarang ditemui ketika Orde Baru mulai digunakan setelah masa Reformasi berjalan. Saat ini, hampir seluruh universitas di Indonesia menggunakan sistem pemilihan langsung untuk menentukan calon pemimpin eksekutif di kampus mereka. Ada beragam jenis cara pemilihan yang dilakukan oleh berbagai universitas, dimana salah satunya adalah menggunakan sistem yang serupa dengan pemilihan di negara Indonesia. Salah satunya adalah Universitas


NAMA RUBRIK

22

Diponegoro (Undip) yang menganut sistem partai untuk pemilihan anggota legislatif dan ketua badan eksekutif di tingkat universitas. Seperti sistem pemerintahan Indonesia yang berganti dari sejak berdirinya negara ini hingga pada kepemimpinan sekarang, sistem di universitas pun mengalami dinamika. Sejak tahun 2003, Undip menggunakan sistem partai. Fris Dwi Yulianto, mantan Presiden BEM Undip tahun 2000, menuturkan bahwa dari pertama BEM Undip didirikan pada tahun 1999 setelah lengsernya Soeharto, bentuk pemilihan belum menggunakan sistem partai. Hal tersebut diakui Fris karena sebelumnya tidak ada pendidikan tentang partai politik. Terlebih lagi, saat itu kehidupan kampus sedang dalam masa peralihan orde baru menjadi reformasi, sehingga proses dinamikanya berbeda dengan sekarang. Mahasiswa saat itu baru mengalami euforia karena mendapatkan kebebasan lebih untuk berorganisasi. Sehingga yang terpenting bagi mereka adalah dapat mendirikan organisasi eksekutif tanpa ada campur tangan penguasa melalui kampus. Informasi dari blog (www. bemkmundip.blogspot.com) yang dikelola oleh BEM KM (Keluarga Mahasiswa) Undip tahun 2008 menyatakan bahwa transisi dari bentuk pemilihan langsung yang sebelumnya tidak memakai sistem partai menuju pada penerapan sistem partai menyebabkan kevakuman selama 1,5 tahun di lembaga eksekutif. Hal ini membuat Sema yang sebenarnya adalah lembaga legislatif mendapat peran ganda untuk menjalankan fungsi eksekutif. Peristiwa tersebut merupakan salah satu bukti ketidaksiapan mahasiswa yang berkecimpung di organisasi tersebut dalam penerapan sistem partai. Baru kemudian pada tahun 2003 saat penetapan Handoyo Prihatanto sebagai Presiden BEM Undip, sistem partai digunakan

LAPORAN KHUSUS dan berlanjut hingga sekarang. Penerapan sistem partai ini membawa atmosfer tersendiri pada saat Pemira (Pemilihan Raya). Hal yang sering dijumpai menjelang Pemira universitas adalah adanya baliho di tempat strategis yang memasang foto calon presiden dan wakil presiden BEM. Baliho tersebut bisa dilihat di dekat gerbang masuk Undip, di tiang papan dekat jurusan Teknik Sipil maupun di tempat umum di luar kampus. Posterposter kampanye muncul hampir serentak di berbagai sudut kampus untuk mensosialisasikan calon yang akan dipilih pada Pemira nantinya. Tak ketinggalan pula, gambar partai yang mengusung calon presiden dan wakil presiden ikut serta dalam baliho tersebut. Selain melalui media cetak, kampanye secara langsung juga dilakukan. Mereka bersama para partisipannya mendatangi tiap fakultas untuk melaksanakan kampanye terbuka debat calon presiden dan wakil presiden, dengan masa kampanye ditentukan oleh KPR (Komisi Pemilihan Raya). Di Undip, Pemira diselenggarakan baik di tingkat fakultas maupun universitas. Pemira yang diadakan di tingkat fakultas bertujuan untuk menetapkan presiden BEM. Sedangkan di tingkat universitas, selain pemimpin organisasi eksekutif, Pemira juga memilih partai mahasiswa. Melalui pemilihan partai mahasiswa tersebut, akan didapat mahasiswa-mahasiswa yang akan menjadi anggota legislatif (Sema). Digunakannya sistem partai untuk memilih pemimpin organisasi eksekutif serta anggota legislatif sendiri menyisakan pertanyaan yang menggelitik. Bias terjadi di sini, yaitu tentang bagaimana nantinya mahasiswa dapat menjadi anggota dalam lembaga tersebut. Untuk Sema, anggotanya diambil dari partai pemenang dan ketuanya ditetapkan melalui sidang antar senator terpilih. Sedangkan HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

organisasi eksekutif yang notabene mengadakan perekrutan mandiri atas anggotanya meninggalkan pertanyaan mengenai peran sistem partai, selain untuk mengusung calon pemimpin eksekutif. Pada Pemira Undip yang diadakan untuk masa jabatan eksekutif dan legislatif tahun 2013, partai mahasiswa yang ikut berjumlah sebelas. Pemira periode ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang hanya berjumlah sembilan partai mahasiswa. Kandidat untuk presiden dan wakil presiden BEM pun mengalami penambahan partisipan. Pada periode ini terdaftar tiga kandidat yang tidak pernah terjadi di tahun sebelumnya. Calon pasangan pertama diusung oleh partai Bintang Nusantara yang terdiri dari Fajar Pambudi (FH) dan Aldias Bahatmaka (FT). Dari partai Perkasa mengusung nama Irvandi (FH) dan Chasan Nafi (FPsi.). Pasangan dengan nomor urut terakhir yaitu M. Najibullah Bangun (FEB) dan M. Fatih Askarillah (FT) diusung oleh Partai Semesta. Memang, anggota Sema dan presiden BEM universitas di Undip harus dicalonkan oleh partai mahasiswa. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh elektabilitas kandidat dalam pemilihan umum. Selain itu, alasan tidak dibolehkannya calon independen disebabkan oleh sistem partai yang digunakan untuk pemilihan anggota legislatif (Sema), dimana nantinya harus ada sinergitas dari badan eksekutif dan badan legislatif. Menurut Fahmi Syafaat, Ketua Sema Undip 2011, dikhawatirkan terjadi keberpihakan apabila pemimpin eksekutif tidak diusung oleh partai, mengingat bahwa di Sema nantinya akan ada koalisi dan oposisi. Tidak diperbolehkannya calon independen seolah memperlihatkan bahwa penerapan sistem partai memiliki kemungkinan besar mengakibatkan pengeksklusifan


LAPORAN KHUSUS di lembaga kemahasiswaan. Sistem ini seolah membatasi hak mahasiswa umum yang tidak terlibat partai untuk turut menjadi partisipan. Selain di Undip, Universitas Gajah Mada (UGM) juga menerapkan sistem partai mahasiswa. Namun, sistem di UGM memiliki sedikit perbedaan dengan Undip. Seperti mengenai siapa saja yang berhak mencalonkan diri menjadi bagian anggota legislatif di Sema dan calon pemimpin eksekutif tingkat universitas. UGM membuka kesempatan untuk seluruh mahasiswa yang ingin mengajukan diri menjadi calon pemimpin eksekutif tanpa melalui partai. Seperti pada Pemira UGM tahun 2013, dimana dua dari empat kandidat calon pemimpin eksekutif berasal dari kalangan independen. Namun, diperbolehkannya calon independen untuk masuk dalam pemilihan tidak terlepas dari syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah mendapatkan pendukung dengan jumlah minimal tertentu yang dibuktikan oleh fotokopi KTM (Kartu Tanda Mahasiswa). Dalam kenyataannya, sistem partai mahasiswa tidak banyak diadopsi oleh organisasi di sebagian universitas yang ada di Indonesia. Jauh lebih sedikit universitas yang menerapkan sistem partai. Penerapan sistem partai mahasiswa memunculkan pertanyaan mengenai perannya sendiri dalam kehidupan organisasi mahasiswa. M. Najibullah Bangun, mantan KPR 2011 yang sekarang menjabat sebagai Presiden BEM KM Undip, berpendapat bahwa dengan digunakannya sistem partai seharusnya dapat terjadi pencerdasan politik di kalangan mahasiswa. Menurutnya, efektivitas sistem partai kembali lagi pada masing-masing partai. Dengan adanya partai mahasiswa, seharusnya dapat membuat mahasiswa lebih “melek” terhadap politik. Meski memang diakuinya partai-partai tersebut hanya

NAMA RUBRIK muncul pada saat mendekati Pemira. Namun, dari proses itulah terjadi pencerdasan politik kepada mahasiswa. “Menurut saya, dengan adanya partai ini harusnya terjadi kecerdasan politik. Fungsi partai itu apa? Yang jelas adalah terutama rekrutmen. Terus yang kedua adalah bagaimana kemudian melakukan pendidikan politik.” Jelasnya. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa partai dapat menarik basis massa dalam pemilihan, sehingga jumlah partisipasi mahasiswa dalam Pemira dapat meningkat. Bagi universitas sendiri, pemilihan sistem yang digunakan untuk Pemira adalah sepenuhnya hak mahasiswa selama hal itu mendukung dinamika kegiatan organisasi mereka. Pembantu Rektor (PR) III Undip, Drs. Warsito S.U. menuturkan bahwa yang menjadi pertimbangan penerapan sistem hanyalah potensi sistem itu sendiri untuk mendukung kreatifitas, sinergitas dan dinamika organisasi. Sebelum sistem itu dapat diterapkan, harus ada kesepakatan dan kepatuhan sehingga meminimalisir akan adanya pelanggaran-pelanggaran. Menurut dosen Ilmu Pemerintahan di FISIP Undip, Nur Hidayat Sardini, S.Sos, M.Si., penerapan sistem kepartaian di kampus tidak berjalan dengan baik. Fungsi edukasi dan rekrutmen tidak berjalan. Menurutnya, sistem partai mahasiswa yang digunakan tidak akan efektif. “Tidak akan efektif. Sedangkan di dunia luar saja, fungsi-fungsi partai menurut Robert Michels (sosiolog asal Jerman, red.) itu tidak bagus. Padahal sarana dan prasarana, infrastruktur partai sudah terbentuk. Tapi dunia kampus menurut saya jauh lebih parah. Fungsi edukasi dan rekrutmen apakah berjalan? Saya kira tidak. Belum saatnya untuk jadi politisi. Pencetakan aktor politik dunia kampus adalah kegagalan kita dalam dunia pada umumnya sebagai seorang politisi.” Dosen Undip yang HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

dulunya adalah ketua Banwaslu (Badan Pengawas Pemilu) tersebut membagi mahasiswa menjadi tiga kelompok. Pertama adalah kelompok apatis, yang menempati bagian terbesar dari karakter mahasiswa. Kelompok ini datang ke kampus, kuliah, memiliki keinginan untuk cepat menjadi sarjana dan mengejar IP tinggi. Kelompok kedua adalah kelompok yang seluruh aktifitasnya murni sebagai seorang aktivis. Kelompok ini menempati kedudukan minoritas dan memiliki fokus dalam kegiatan aktivisme, namun kuliahnya terceraiberai. Kelompok ini, mengutip komentar Bung Karno, disebut progresif revolusioner atau creative minority. Kelompok mahasiswa terakhir adalah kelompok yang memadukan antara aktifitas kuliah dan menjadi aktivis. Dia menjalankan kuliahnya, di lain sisi dia juga sangat aware dengan keadaan lingkungannya. Mereka jadi aktivis, tetapi tidak meninggalkan misinya sebagai seorang mahasiswa. Menurut Nur Hidayat, fokus dari pendidikan di kampus seharusnya dapat membentuk mahasiswa yang seperti golongan ketiga. Yaitu mahasiswa yang perhatian pada lingkungannya dan memiliki sikap serta karakter yang mewakili dunia kampus pada umumnya, berbasis pada pemikiran ilmiah. Dapat dikatakan bahwa memang terkadang pendidikan politik dimaknai secara sempit. Dalam arti sempit salah satunya adalah pembelajaran politik dengan menjalankan sistem yang sama dengan kehidupan negara, atau pemahaman bahwa pembelajaran politik harus seperti gerakan mahasiswa zaman dulu yang terlihat aksinya. Luput dari perhatian mahasiswa sekarang bahwa peduli terhadap isu-isu sosial di kehidupan masyarakat dan negara dapat disikapi tidak hanya dengan aksi, namun dengan mengembangkan kajiankajian yang sesuai dengan bidang ilmunya yang juga merupakan pembelajaran politik.***

23


NAMA RUBRIK

LAPORAN UTAMA

Gerakan Mahasiswa Semarang, Apakah Sekadar Mimpi di Siang Bolong? Oleh: Novia Rochmawati Reporter: Yuli Tri Hastuti, Citra Pertiwi, Tika F.

24

Ilustrasi oleh Toni Malakian

S

abtu Sore (02/03/2013), Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Kampus Universitas Diponegoro (Undip) Tembalang, Semarang dipadati oleh sekelompok mahasiswa dari berbagai fakultas. Mereka rupanya menjadi wakil dari fakultas masingmasing untuk menghadiri rapat konsolidasi yang dikoordinasi oleh Kementrian Sosial Politik (Sospol) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa (KM) Undip. Sekitar pukul 16.00 WIB, Joni Firmansyah selaku Menteri Sospol BEM KM pun membuka rapat yang bertujuan untuk membina kosolidasi antar BEM KM dengan perwakilan BEM fakultas. Upaya konsolidasi itu digelar sebagai awal dari pencanangan aksi untuk isu pengawalan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah (Jateng) yang akan dilaksanakan tanggal 26 Mei 2013. Wacana Pers Release mulai diutarakan oleh Joni. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) itu pun mulai mengagitasi mahasiswa-mahasiswa perwakilan fakultas untuk bergabung dalam konsolidasi untuk kemudian mengikuti aksi berbentuk demo yang akan menjadi follow up dari konsolidasi tersebut. Dalam rapat konsolidasi tersebut, Joni mulai membahas ke arah ranah esensi yang menjadi goal setting dari aksi yang direncanakan. “Mahasiswa Undip akan tetap mengawal Pilgub Jateng, itu taglinenya.� Papar Joni kepada seluruh mahasiswa yang mengikuti konsolidasi tersebut. Lalu Joni pun beralih membahas lokasi aksi yang akan mereka lakukan. Beberapa

HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013


LAPORAN UTAMA mahasiswa perwakilan fakultas menanggapi hal tersebut dengan mengusulkan untuk melakukan aksi di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jateng, dan sebagian mahasiswa lainnya memilih untuk melakukkan aksi di dekat videotron di Jalan Pahlawan. “Perlu diingat lagi kawankawan, aksi kita itu sounding media. Ya, sounding media. Nah, esensinya adalah dimana, ini lho Mahasiswa Undip, ini lho bahwa ternyata Mahasiswa Undip itu siap mengawal Pilgub Jateng!” Seru Joni. Joni meminta para peserta rapat untuk menyatukan pendapat perihal tempat pelaksanaan aksi. Najibullah Bangun, Presiden BEM KM tahun 2012-2013 pun turut memberikan masukan. Ia mengatakan bahwa aksi yang akan dilaksanakan seharusnya telah direncanakan siapa yang akan menjadi sasaran dari aksi tersebut, baru kemudian menentukan tempat untuk melakukan aksi. “Kalau kita nembak KPUD sebenarnya agak lucu, karena sampai saat ini pun mereka sedang bekerja. Kalau teman-teman kemarin lihat, kemarin ada aksi ... dan itu tempatnya sudah di KPUD. Itu kan baru hari Jumat. Kalo kita Senin ke KPUD lagi dan esensinya kita mau sounding media, mereka udah yang pertama. Dan jika kita melakukan hal yang sama, nanti kita dikira ikut-ikutan.” Tegas lelaki yang biasa dipanggil Najib tersebut. Mendengar hal tersebut, sekali lagi Joni kembali mengagitasi perwakilan dari fakultas yang terlihat mulai bingung dan agak ragu. “BEM KM mau mengadakan aksi, kenapa kita mau mengadakan aksi? Karena di kepengurusan tahun 2013, BEM KM 2013 itu belum dikenal oleh media. Jadi seluruh wartawan yang ada di Jawa Tengah belum tau Najib ini jadi presiden, belum tau kalo ada yang namanya Kabinet BISA. Mereka masih taunya Kabinet Prestatif dan presidennya Reza Auliarahman Bhaktinegara, gitu. Maka dari itu perlu adanya yang namanya aksi sounding media.” “Yang kedua, seluruh stake holder, termasuk KPU, termasuk

NAMA RUBRIK LSM-LSM yang ada di semarang khususnya, di Jawa Tengah pada umumnya, serta masyarakat itu belum tau kalo BEM KM Undip sudah berganti kepemimpinan, sudah berpindah tangan pemimpinnya. Makanya perlu adanya sounding media. Nah, karena sounding media itulah aksi ini khusus untuk anakanak BEM KM Undip. Anak BEM KM wajib turun aksi ini. Tapi kami mengundang temen fakultas lain untuk ikut serta dalam perhelatan akbar kami ini.” “... Isu yang kita angkat di sini adalah mengenai Pilgub Jateng 2013. Kita meminta bahwasanya Pilgub ini harus dilaksanakan dengan kondusif, transparan, adil, dan merata. Goal setting kita adalah nembak siapa? Oke, tadi kita isunya pertama nembak KPU, kedua kita nembak partai politik. Sekarang temen-temen milih yang mana? Silakan dibahas, monggo!” *** “Demo” atau “aksi”, kata tersebut memanglah akrab di telinga para mahasiwa dan merupakan salah satu bentuk dari Gerakan Mahasiswa (GM). Meskipun bukan satu-satunya jalan untuk menyalurkan aspirasi, namun demo telah menjadi cara terpopuler bagi para mahasiswa. Namun sayangnya, dibalik aksi mahasiswa tersebut, di lain sisi terkadang diselubungi oleh modusmodus lain yang secara tidak langsung dapat direalisasikan pula melalui demo, selayaknya sepenggal fakta yang dinarasikan di atas. Hal itu mungkin menjadi salah satu kendala utama mengapa GM saat ini kurang mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Selain itu, hal tersebut seakan juga turut menjawab pertanyaan mengapa GM kurang mendapatkan geregetnya di masa kini. Namun selain itu, masih ada banyak hal lain yang menjadi faktor mengapa GM saat ini bisa dikatakan mandek, walau tidak secara keseluruhan. Kemandekan tersebut tidak hanya terjadi dalam skala HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

nasional saja. Semarang yang pada masa dahulu sempat mengalami masa “on fire’’, namun kini seakan memiliki mahasiswa dengan gerakan yang “adem ayem, tenang dan damai”. Nyatanya mahasiswa di Semarang jarang menjadi pionir aksi yang berskala nasional. Memang, gejolak GM di Semarang bisa dikatakan naik turun. Lalu, bagaimana suasana GM Semarang pada tahun-tahun terdahulu? Apakah benar GM Semarang sempat mengalami masa “on fire”? Lukas Luwarso, seorang aktivis Forum Mahasiswa Semarang bercerita bahwa tahun 1989, GM Semarang pernah menjadi “tuan rumah” demonstrasi anti pembangunan Waduk Ombo. “Rangkaian aksi gabungan mahasiswa dari berbagai kota itu dipusatkan di lokasi Waduk Kedung Ombo dan dilanjutkan di Kantor Gubernur Semarang.” Papar Lukas yang kini berprofesi sebagai wartawan. Selain itu, momentum GM Semarang lainnya adalah demo anti SDSB (kupon judi/lotre, red.). Mahasiswa menentang Program SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) yang dikelola oleh Dinas Sosial Republik Indonesia (Dinsos RI) yang memiliki aturan main seperti lotre. Demo terkait SDSB ini pun tak hanya dilakukan oleh mahasiswa Semarang, namun juga oleh mahasiswa di kota-kota besar di Indonesia lainnya seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan lain sebagainya. Lukas pun bercerita lebih lanjut bahwa demo kembali dilakukan mahasiswa, dalam hal ini Mahasiswa Undip, ketika Pemerintah Daerah Semarang berniat menggusur Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan di sekitar jalan kawasan Undip. Pada akhirnya, hasil dari demo tersebut mahasiswa dapat menggagalkan aksi penggusuran dan meminta ganti kios-kios permanen untuk menampung para PKL. “Dan yang cukup fenomenal adalah Apel Siaga Golput di Undip pada 1991, yang

25


NAMA RUBRIK

LAPORAN UTAMA

Ilustrasi oleh Iqbal Firmansyah

26

berujung pada penahanan dua mahasiswa,” papar Lukas kepada Tim Hayamwuruk. Dua Mahasiswa yang ditahan yaitu Poltak Ike Wibowo (Unissula) dan mahasiswa yang satunya, tak lain ialah Lukas Luwarso sendiri. Dalam skripsi Aryono di Jurusan Sejarah Undip yang berjudul “Jalan Mendaki Menuju Reformasi Gerakan Mahasiswa di Semarang Tahun 1990-1998” dijelaskan bahwa mereka berdua ditangkap karena dituduh melakukan tindak pidana subversif. Lukas memaparkan bahwa apel tersebut dilakukan sebagai parodi upacaraupacara yang resmi. Apel yang dilaksanakan tanggal 20 Mei 1991 itu secara urutan dan struktural sama seperti upacara resmi,

namun semua materinya sengaja diplesetkan. Pembacaan Pancasila diganti menjadi Panca-Silap (Lima Kesalahan), lagu Indonesia Raya diganti dengan Mars Golput, dan plesetan lainnya. Acara apel tersebut tentunya tak hanya dihadiri oleh mahasiswa Undip saja, tapi juga disemarakkan oleh banyak mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi lain di Semarang, seperti Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo, Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag), Universitas Katolik Soegijapranata (Unika), dan universitas lainnya. Kegiatan yang diprakarsai oleh Forum Mahasiswa Semarang (FMS) itu menjadi bukti atas HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

tekad mahasiswa Semarang—FMS khususnya—yang menyatakan bahwa pertama, Pemilihan Umum (Pemilu) sia-sia dan tidak menjalankan fungsi kegiatan politik. Kedua, jika Pemilu tetap dilaksanakan, maka harus dicabut terlebih dahulu UndangUndang (UU) yang mengatur pengangkatan anggota MPR dan DPR. Ketiga, jadikan mahasiswa sebagai kelompok netral sesuai peraturan bahwa mahasiswa tidak boleh berpolitik praktis serta diberi wewenang untuk menjadi pengawas Pemilu. Tertangkapnya Lukas dan Poltak tak lantas mengendurkan semangat GM Semarang kala itu, walaupun keduanya dikenai pasal pidana karena mereka telah lama menjadi target


LAPORAN UTAMA operasi pihak kepolisian. Dari track record keduanya, mereka terkena pasal 154 KUHP karena dianggap menyebarkan kebencian dan permusuhan terhadap pemerintahan Orde Baru. Kemudian pada tanggal 24 November 1993, Pengadilan Negeri Semarang menjatuhkan vonis bersalah atas keduanya. Akibatnya, seusai vonis dibacakan ratusan pengunjung yang sebagian besar adaah mahasiswa langsung turun ke jalan dengan kawalan aparat keamanan. Aksi tersebut merupakan aksi terbesar yang ada di Semarang kala itu. Aksi solidaritas atas vonis bersalah Lukas dan Poltak tak hanya dilakukan di Semarang. Aksi serupa pun digalang di Kejaksaan Agung RI di Jakarta pada hari Kamis 18 Juni 1992 oleh aktivis Forum Komunikasi Mahasiswa Merdeka (FORKOMM) berjumlah 50 orang yang terdiri dari berbagai elemen mahasiswa. Diantaranya adalah Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), Forum Mahasiswa Jombang (Formajo), Forum Komunikasi Mahasiswa Malang (FKMM), Kesatuan Pergerakan Mahasiswa Bandung (KPMB), dan perwakilan dari Universitas Nasional Jakarta. Lebih lanjut, Lukas yang sekarang berdomisili di Jakarta menerangkan bahwa pasca 1992, GM Semarang yang lebih aktif adalah jaringan yang dibangun oleh SMID (PRD) yang cukup kuat dipengaruhi oleh GM Yogyakarta. SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) di Semarang berkembang di Fakultas Sastra (FS) Undip. Hal tersebut dikarenakan aktivis-aktivis mahasiswanya telah memiliki tradisi GM yang cukup kuat serta telah memiliki jaringan dengan GM di kota-kota lainnya. Selain di FS Undip, SMID juga memiliki basis massa di FISIP Undip dan perorangan seperti dari USM (Rivani Noor), Unissula (Poltak), IKIP-PGRI (Nurul Qomariyah), Unika, dan Untag. Aryono menyebutkan bahwa SMID memiliki beberapa

NAMA RUBRIK tujuan, antara lain: pertama, menyatukan mahasiswa dan gerakan mahasiswa melawan rezim fasis Suharto; kedua, mengkampanyekan dan memperjuangkan kemerdekaan sipil, kebebasan berbicara, kebebasan berorganisasi, kebebasan pers, kebebasan akademik, kebebasan berdemonstrasi, mogok, mengajukan petisi, mencabut UU subversif, mencabut UU ormas, dan membubarkan Bakorstanas; ketiga, bersama gerakan buruh dan tani mengkampanyekan dan memperjuangkan sistem multi partai di Indonesia; keempat, memperjuangkan sistem pendidikan gratis, ilmiah dan demokratis, SPP yang murah, dan pers mahasiswa yang bebas sensor; dan kelima, menyokong solidaritas internasional menentang imperialisme.

Dok. Inet

Selain SMID, beberapa jaringan pun turut lahir meramaikan GM di Semarang. Diantaranya adalah Formasal dan KAMMI. Forum Mahasiswa Sadar Lingkungan (Formasal) ini berdiri pada tahun 1992 di Semarang, tepatnya di kampus IAIN Walisongo. Kampus ini merupakan basis intelektual Islam dari kalangan organisasi mahasiswa PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Pada awalnya, HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

Formasal hanya intens bergerak pada isu-isu lingkungan. Namun, perkembangan politik Indonesia telah mendorong forum ini untuk melebarkan wacana ke arah isu politik lokal dan nasional. Formasal merupakan salah satu aliansi Front Perjuangan Pemuda Indonesia yang memiliki basis di Semarang. Sedangkan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) merupakan organisasi mahasiswa pro demokrasi dari kelompok Islam yang tumbuh dan berkembang di awal reformasi. Kelompok organisasi mahasiswa ini adalah hasil dari Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (LDK) X di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada 29 Maret 1998 dan dihadiri sekitar 200 pimpinan LDK dari seluruh Indonesia. Ketika Tim Hayamwuruk menanyakan kepada Lukas perihal apa yang menjadi ciri khas GM di Semarang, lelaki yang merupakan alumni FS Undip itu menerangkan bahwa yang menjadi ciri khas GM di Semarang ialah Pers Mahasiswa (Persma), “Kalau boleh disebut ciri khas, basisnya adalah aktivis pers kampus. Dan baru di era itu lah (1988–1992, red.) Semarang masuk dalam peta gerakan mahasiswa di Indonesia (pada era 1960-1970an, di Semarang tidak pernah terdengar ada GM, red.).” Untuk Semarang, basis GM yang lebih menonjol berasal dari aktivis Persma, yaitu Manunggal (Undip), Hayamwuruk (FS Undip), Opini (FISIP Undip), Edents (FE Undip), dan juga pers kampus di IAIN Walisongo, Unissula, Untag, IKIP (sekarang bernama Universitas Negeri Semarang), Unika, dan lainlain. Aktivis Persma tersebut sering berinteraksi melalui kegiatan diskusi yang kemudian mengerucut pada pembentukan Forum Mahasiswa Semarang (FMS). Lahirnya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang mematikan kehidupan

27


NAMA RUBRIK

28

organisasi politik di tingkat kampus membuat organisasi ekstra kampus menjadi pilihan tepat bagi mahasiswa untuk berpolitik. Di Semarang, masing-masing organisasi ekstra ini memiliki basis massa di beberapa perguruan tinggi. GMNI memiliki pengaruh kuat di kalangan mahasiswa Untag dan mahasiswa Undip, khususnya FE dan FISIP. PMII memiliki basis massa di kalangan mahasiswa IAIN Walisanga. PMKRI memiliki basis massa di kalangan mahasiswa Unika. HMI-DIPO memiliki mayoritas massa di kalangan mahasiswa Undip dan mampu menguasai kalangan pengurus senat. Melihat sejarah GM di Semarang yang tak bisa dikatakan seadem ayem sekarang, agaknya dapat dianalisis faktor-faktor apa saja yang mampu membangun dan mengembangkan GM di Semarang, serta faktor-faktor yang membuat GM di Semarang terlihat tak bergairah seperti saat ini. Dalam pemaknaannya secara sempit, GM masa sekarang yang dilakukan dengan aksi turun ke jalan dapat dikatakan kurang memiliki esensi dari GM yang seharusnya. Di luar gerakangerakan “pencerdasan bangsa” yang kini marak dan kebanyakan diinisiasi oleh kalangan terpelajar, terutama mahasiswa dengan membuat program pendidikan, aksi turun ke jalan semakin dirasa sekadar menjadi aksi “penggembira”. Organisasi mahasiswa bisa saja menggalang masa untuk melakukan aksi, namun berapa banyak pihak yang paham dan sadar akan tujuan dari aksi tersebut? Ditemui di ruangannya, Turtiyantoro, seorang dosen jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip memaparkan bahwa faktor yang mempengaruhi GM di Semarang sekarang ini adalah komunikasi antar mahasiswa itu sendiri, baik dari unit terkecil yaitu jurusan, maupun sampai lintas perguruan tinggi. Rendahnya tingkat komunikasi itu membuat kegiatan seperti diskusi dan hal-

LAPORAN UTAMA hal lain yang dapat membuat mahasiswa semakin kritis semakin jarang dilakukan oleh mahasiswa. Terlebih dalam unit yang lebih tinggi, tidak ada personal-personal yang mau dan mampu mengikat tali silaturahmi dan menggalang solidaritas antar perguruan tinggi. Berbanding terbalik dengan kegiatan diskusi yang semakin rendah, sifat apatis dari mahasiswa sendiri malah semakin tinggi. Apatis dalam hal berorganisasi, bukan dalam hal yang berhubungan dengan akademik. Turtiyantoro mengatakan bahwa banyak mahasiswa sekarang yang berorientasi pada keinginan untuk lulus tepat waktu dan mendapatkan IP tinggi tanpa adanya keseimbangan dalam menggali soft skill lewat berorganisasi. Budi Setiono, ketua BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa, sekarang Senat Mahasiswa) FISIP Undip tahun 1993 berpendapat bahwa melempemnya GM di Semarang sebenarnya dikarenakan faktor global. Paradigma mahasiswa sekarang amatlah berbeda dengan mahasiswa zaman dahulu. “Zaman dahulu itu kan mahasiswa-mahasiswa tidak disibukkan dengan budayabudaya materialistik, berbeda dengan sekarang, sekarang ini kan contohnya sudah ada internet, facebook. Sehingga konsentrasi mereka adalah ke diskursus yang sifatnya pure. Mahasiswa dahulu itu lebih suka berdikusi, mengaktualisasikan ide-ide mereka. Daripada sekarang ini mahasiswa lebih sering main twitter, facebook.” Jelas Budi. GM zaman dahulu pun bisa dikatakan murni dan belum terkontaminasi agitasi dari berbagai Partai Politik (Parpol). “Dengan kepentingan politik, sehingga organisasi mahasiswa itu sifatnya menjadi underbow ..., mulai membatasi gerak independensi mereka. Kalau zaman dulu, kita kan betulbetul. Ya bukan betul-betul, tapi cenderung lebih idealis dan HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

pragmatis. Tidak ada politik, tapi didasarkan atas kepentingan moral.” Terang laki-laki yang menempuh S2 di Curtin University ini. Jika melihat berbagai gambaran di atas, maka GM di Semarang bisa saja dianologikan sebagai “rumah”. GM Semarang tempo dulu telah membangun fondasi GM yang berbasiskan pemikiran kritis dengan berbagai kegiatan seperti diskusi. Mereka juga masih mampu memperkokoh “bangunan” GM tersebut dengan keberanian mereka yang murni ditunjukkan untuk rakyat. Mereka rela hidup terusik dan dapat saja sewaktu-waktu dijebloskan ke dalam penjara. “Rumah” yang telah mereka bangun dengan susah payah pastilah harus dijaga dan dirawat agar fondasinya tetap kokoh dan dapat berdiri tegak. Sebagai ahli waris yang sah, mahasiswa saat ini adalah pihak yang wajib menjaga “rumah” warisan idealisme yang menyimpan nilai-nilai perjuangan GM Semarang. Namun sayang, satu persatu faktor yang menjadi fondasi dari “rumah” tersebut telah tergerus angin dan dihempas badai materialistik dari kalangan mahasiswa itu sendiri. Keberanian yang murni untuk kepentingan rakyat itu pun sekarang telah berganti platform menjadi kepentingan pribadi maupun golongan. Selain itu, hilangnya kesatuan dari berbagai komponen yang menjadi fondasi “rumah” yang merupakan jaringan komunikasi antar mahasiswa itu sendiri semakin memperlihatkan fenomena mulai lemahnya GM saat ini. Jadi, apakah GM Semarang bisa menjadi lebih baik dan lebih kokoh lagi, bahkan melebihi GM semarang tempo dulu? Tentunya bisa, jika “direnovasi” ulang dan dikuatkan kembali fondasinya. Layaknya seorang arsitek, sudah seharusnya mahasiswa Semarang dapat mendesain dan membangun “rumah” GM yang lebih baik.***


LAPORAN UTAMA

NAMA RUBRIK

Wajah Semu Mahasiswa Ilustrasi oleh Iqbal Firmansyah

Oleh: Hasna Fuadilla H. Reporter: Alfu Lailatus T. dan Yuli Tri H.

P

asca tumbangnya Soeharto tahun 1998, Indonesia memasuki era perpolitikan baru yang yang disebut reformasi. Terjadi desentralisasi besar-besaran yang turut meningkatkan posisi pihak lain di luar lembaga kepemerintahan. Tak dipungkiri, masuknya Indonesia pada era reformasi memberikan angin segar bagi perpolitikan, tak terkecuali bagi kalangan mahasiswa yang dianggap menempati bagian dalam gerakan perpolitikan Indonesia. Sistem demokrasi gencar disuarakan dan diterapkan. Sistem demokrasi merupakan satu bentuk kemerdekaan baru yang dapat dikecap setelah perjalanan panjang dalam menumbangkan rezim Orde Baru. Tidak hanya mahasiswa, media elektronik dan cetak, buruh, bahkan

masyarakat sipil pun gencar bersuara untuk memberitakan dan memperjuangkan haknya. Di kalangan mahasiswa, lembagalembaga intra maupun ekstra yang sebelumnya seolah mengalami mati suri mulai dibangkitkan kembali. Pembelajaran politik tak berhenti di situ saja. Konsep partai politik pun dipilih sebagai salah satu metode pembelajaran politik kampus. Konsep yang menduplikasi sistem perpolitikan negara digunakan mahasiswa di beberapa universitas seperti Undip, UGM ... Bertentangan dengan euforia Gerakan Mahasiswa (GM), hilangnya musuh bersama pasca tumbangnya rezim Orde Baru justru melahirkan bentuk pergerakan baru yang justru tak terkonsep. “Kalo reformasi yang HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

didobrak adalah sesuatu yang dinilai tidak sesuai dengan nilainilai demokrasi. Tapi tidak ada kejelasan perjuangan mahasiswa setelah reformasi berhasil. Setelah itu keberhasilannya sampai sejauh mana tidak ada kejelasan.” Ungkap Indriyanto, Dosen Sejarah Politik Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip), sebagai kritik terhadap keadaan GM era reformasi. Pembentukan konsep GM era reformasi kemudian menjadi tantangan berat bagi mahasiswa yang secara perlahan disisipi oleh kapitalisme dan gaya hidup hedonis. Hal tersebut diperparah dengan terpolanya pendidikan kampus pada aspek formalitas pendidikan. Indriyanto menggambarkan hal tersebut dengan banyaknya fenomena mahasiswa yang berpikir praktis, sejalan dengan kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi informasi. Aura demokrasi dan meluasnya akses demokrasi yang muncul pada masa reformasi memberikan kemudahan bagi mahasiswa untuk “bersuara”. Akan tetapi, kemudahan tersebut nampaknya belum dimaknai secara tepat, sehingga mahasiswa seolah terlena dengan kebebasan, karena tak lagi berada pada ruang sempit yang membatasi geraknya. GM sebagai suatu bentuk “revolusi” yang dimotori oleh mahasiswa menampilkan peranannya menuju arah perubahan masyarakat. Dalam masa kehidupannya, GM mengalami fenomena pasang surut dengan perubahan yang cukup signifikan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi GM dari masa ke masa. Pertama, karena ditindas penguasa, yang implementasinya dapat dilihat dalam NKK/BKK pada masa Orde

29


NAMA RUBRIK

30

Baru sehingga menyebabkan GM mengalami stagnansi. Kedua, karena perubahan situasi, baik sosial ekonomi maupun politik yang mempengaruhi kepekaan sosial mahasiswa. Mahasiswa dikepung oleh berbagai hal; privatisasi pendidikan hingga kapitalisme. Kapitalisme sendiri memiliki tujuan untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya produksi seminimal mungkin. Kapitalisme secara utuh tak berbicara mengenai kesejahteraan masyarakat. Maka kian lama kehidupan mahasiswa semakin berjarak dengan ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat. Realitas sosial masa kini, kaum muda seringkali dijadikan kambing hitam atas biang keonaran. Kurikulum pendidikan di kampus pun seolah menjauhkan mahasiswa dari realitas sosial dan membentuk kepribadian kapitalis. Akibat yang paling jelas terlihat adalah penyempitan intelektualitas. Eksistensi mahasiswa sebagai komunitas sosial pun beralih menjadi komunitas borjuis. Menurut Nurani Soyomukti dalam bukunya Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas, Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme, kapitalisme menindas mahasiswa dengan cara pengasingan mahasiswa dari realitas sosial dan dari kebiasaan berpikir kritis, serta penindasan secara ekonomi dengan tingginya biaya pendidikan. Pernah ada masa dimana mahasiswa dan rakyat bersatu, tanpa saling berprasangka, namun prasangka—serta kebencian dan permusuhan—yang ada diarahkan pada pemerintahan anti-rakyat yang menyebabkan hilangnya kesejahteraan rakyat dan demokrasi di negeri ini. Namun itu adalah kisah masa lalu dimana kaum muda masih mengagungagungkan pentingnya perjuangan dan belum teracuni oleh ide dan perasaan yang terbentuk dari tatanan kapitalis neoliberal yang

LAPORAN UTAMA berpilar pada watak pragmatis, oportunis dan mengagungagungkan hedonisme. Setelah reformasi berjalan, kesadaran mahasiswa seakan menurun dengan munculnya disorientasi, demoralisasi, dan sebagainya. Mahasiswa sejatinya memang berbangga pada sejarah yang bercerita mengenai heroisme mahasiswa pada peristiwa 1998. Namun, sepertinya heroisme tersebut memang telah menjadi romantisme belaka. Seperti pendapat Arbi Sanit, pengamat politik Universitas Indonesia (UI) yang menyatakan bahwa mahasiswa kini memiliki banyak kesalahan. “Pertanyaan dasar, untuk siapa negara ini, untuk siapa ilmu itu, untuk siapa prestasiku, untuk siapa partai politik? Kalian (mahasiswa, red.) salah jawab, itu persoalannya. Kenapa salah jawab? Karena tidak ada diskusi, tidak ada pemikiran, tidak ada ideologi.” Mahasiswa kini hanya sekadar orang-orang yang belajar di kampus, bukan lagi sebutan untuk kaum intelektual maupun agent of social control. GM era reformasi perlu dipahami secara mendalam, tak sekadar aksi “heroik” berupa demonstrasi yang meniru aksi-aksi pada era ’66 atau ’98. Nyatanya, demonstrasi kini tidak lagi dipandang sebagai gerakan fenomenal. Kebebasan pers dalam menjalankan perannya sebagai social control dan kebebasan masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya pada ruang publik tampil sebagai “aksi” yang lebih nyata dan efektif dibandingkan dengan demonstrasi yang sebagian dilakukan sebagai seremonial belaka, jika tetap dilakukan tanpa adanya pemahaman dan pendalaman yang serius terhadap permasalahan yang digugat. GM tidak selalu terjadi dengan aksi massa yang luas dan disertai isu politik nasional, melainkan hanya terjadi pada masa krisis dimana salah satunya dapat terlihat pada aksi ‘98. Kenyataannya, aksi massa yang HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

tidak luas dan dilakukan setengahsetengah tak dapat memberikan pengaruh yang signifikan bagi perubahan. Arief Budiman dalam salah satu artikelnya mengatakan bahwa para mahasiswa dan pelajar hendaknya menghemat tenaga dalam berdemonstrasi, supaya “kesaktian” demonstrasi tidak hilang. Artinya hendaknya demonstrasi digunakan sebagai cara terakhir untuk mencapai sasaran perjuangan, untuk hal-hal yang prinsipil. Turun ke jalan dianggap sebagai suatu keharusan bagi GM untuk mempertahankan daya tawarnya terhadap pemerintah. Fenomena saat ini, GM dengan turun ke jalan tanpa kehatianhatian dan pemahaman mendalam mengenai permasalahan kerap berujung pada aksi ricuh dan bentrok. Aksi massa dan perusakan fasilitas umum yang dijadikan pembenaran bagi GM justru tak mencerminkan mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual. Atas tindakan ini, alih-alih mendapat simpati, GM seringkali justru mendapat cibiran dari masyarakat. Denny J. A. dalam bukunya yang berjudul Gerakan Mahasiwa dan Politik Kaum Muda Era 80-an menyebutkan bahwa minimalnya efek politik gerakan mahasiswa bisa saja besumber pada kesalahan pilihan subyektif aktivis mahasiswa, seperti kesalahan dalam penentuan metode aksi, kesalahan dalam pemilihan isu dan kesalahan dalam memilih patner politik. Atau bisa saja kesalahan itu terletak di luar kontrol aktivis, seperti kondisi obyektif sosial politik yang membuat gerakan mahasiswa tidak lagi mempunyai fungsi. Kesalahan dalam metode aksi ini oleh Arbi Sanit dicontohkan pada beberapa kasus aksi mahasiswa yang justru dinilainya membela kaum kapitalis dan tidak memberikan banyak kontribusi bagi rakyat kebanyakan tanpa memperhatikan pihak mana yang dibela dan yang


LAPORAN UTAMA dirugikan oleh aksi tersebut. “Ya itu (misalnya) karena membela pedagang, itu di Depok. Karena memberikan kebebasan kepada orang kuat, justru itu ya sosialis nggak, kurang mengutamakan keadilan.” Aksi massa kini kerap diartikan sebagai aksi radikal yang berujung pada perusakan atau bentrok dan tidak dilakukan dengan cara yang elegan serta berintelektualitas. Hal tersebut menurut Indriyanto disebabkan oleh penggunaan pola-pola GM pada masa lampau yang diyakini sebagai langkah yang paling tepat, dimana GM dilakukan justru dengan langkah kekerasan tanpa ukuran keberhasilan yang tepat. Mencari Bentuk Baru Mahasiswa merupakan satu golongan dari masyarakat yang mempunyai dua sifat, yaitu manusia muda dan calon intelektual. Sebagai calon intelektual mahasiswa bersifat kritis terhadap kenyataan sosial yang tidak sesuai dengan ide keadilan dan kebenaran, sedangkan sebagai manusia muda mahasiswa sering tidak mengukur risiko yang akan menimpa dirinya. Dengan demikian, mahasiswa termasuk golongan pemuda yang sering melakukan protes dibandingkan dengan golongan pemuda lainnya yang dilakukan melalui GM. Namun, apakah GM merupakan sebuah gerakan murni? Pertanyaan tersebut menjadi tanda tanya besar dalam pembahasan mengenai GM di Indonesia, terutama pada masa reformasi. Terdapat anggapan bahwa GM masa reformasi tumbuh kembali menjadi GM yang sporadis dan seakan hanya menunggu terjadi permasalahan untuk dijadikan ajang eksistensi. Lalu, benarkah GM kini hanya djadikan sebagai ajang eksistensi, bukan lagi berfungsi sebagai gerakan moral? Jika dikaji lebih lanjut, GM tak lagi memiliki “kesakralan” yang dapat mempersatukan mahasiswa untuk

NAMA RUBRIK melakukan aksi nyata penuh perhitungan. GM seolah dimaknai sebagai tindakan insidental yang perlu dilakukan jika terdapat kasus insidental pula, dengan gerakan massa yang justru belum bersatu dalam satu tujuan yang sama. Nampaknya, ada kesan pada mahasiswa bahwa GM hanya berorientasi pada ranah politik kekuasaan. Aktifis mahasiswa bergabung dalam GM untuk memperoleh pencitraan sebagai aktifis politik. Nampaknya, di samping aksi turun ke jalanan sebagai nafas gerakan mahasiswa, perlu ada pertimbangan khusus untuk memberikan diversifikasi gerakan. Pada tahun 1980-an, GM Indonesia sempat menemukan bentuk baru, berupa gerakangerakan intelektual yang diwujudkan dalam kelompokkelompok diskusi. Kelompok diskusi tersebut merupakan “siasat” GM yang tidak berorientasi pada aksi, melainkan melalui jalur pemikiran dengan memanfaatkan intelektualitas mahasiswa. Namun dengan itu, justru pemikiran radikal tumbuh, bahkan mampu menghadirkan utopia. Eksistensi dari kelompokkelompok diskusi oleh Arbi Sanit dianggap sebagai pencerahan bagi GM yang dapat memperkuat ideologi mahasiswa. Senada dengan hal tersebut, Indriyanto menilai bahwa ideologi mahasiswa yang dihasilkan oleh aksi diskusi kritis dapat menghasilkan perlawanan yang membawa perubahan. Namun, Indriyanto menilai bahwa ideologi kritis tersebut belum banyak terlihat pada mahasiswa era reformasi. Hal tesebut direfleksikan pada belum terarahnya GM pada masa kini. GM sangat erat kaitannya dengan iklim kehidupan mahasiswa. Mahasiswa era reformasi hidup dengan kondisi politik, perekonomian, teknologi, dan arus informasi yang berbeda dengan masa sebelumnya. Maka respon mahasiswa dari masa ke masa pun berbeda. Denny J. A. menggambarkan hal tersebut HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

dengan munculnya kelompokkelompok di kalangan mahasiswa kampus yang semakin cenderung bersandar pada tingkat ekonomi mahasiswa. Pada tingkat ekonomi menengah ke bawah muncul kembali antusiasme keagamaan dan kedaerahan yang eksklusif. Kekuatan politik mahasiswa semakin berpencar pada kelompok-kelompok kecil. Hal tersebut mempersulit usaha untuk mempersatukan mahasiswa dalam satu suara dan mempertahankannya. Semakin mengelompok dan terpencarnya politik mahasiswa justru menimbulkan persaingan antar kelompok yang dapat memecah belah mahasiswa serta menyebabkan hilangnya kepekaan sosial dan politik. Kehilangan kepekaan politik menyebabkan mahasiswa lebih terpusat pada gerakan yang mempersoalkan intern kampus dan secara otomatis bersinggungan dengan kepentingan mahasiswa. Seperti menggugat sistem kampus dengan menggugat rektor, kenaikan uang kuliah, hingga birokrasi pendidikan. Indriyanto mengungkapkan bahwa tanpa solidaritas dan persatuan, GM mahasiswa tak lagi memiliki pengaruh. “Jangan mimpi, karena tanpa solidaritas tidak akan bersatu, tidak mempunyai solidaritas tidak akan mungkin muncul demo besar. Ketika demo-demo kecil secara sepihak, demo-demo kecil secara parsial itu tidak akan mampu menggerakkan perubahan.” Mahasiswa sebagai golongan yang dianggap bagian dari kaum intelektualitas, maka sudah sepantasnya bentuk GM diselaraskan dengan sifat intelektualitas mahasiswa dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Jika GM dulu berorientasi pada aksi massa, kini sudah sepatutnya format gerakan disesuaikan dengan aksi informasi dan lebih berintelektualitas disesuaikan dengan zamannya.***

31


NAMA RUBRIK

WAWANCARA UTAMA

ARBI SANIT:

Menimbang Pergerakan Mahasiswa

D

Dok. HaWe/Syaiful Romadhon

32

inamika pergerakan mahasiswa selalu menarik untuk ditelusuri. Kenyataannya, partisipasi mahasiswa dalam pergerakannya beberapa kali sempat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam perjalanan bangsa ini. Tujuan utama pergerakan mahasiswa adalah untuk perubahan. Lalu, seperti apa bentuk pergerakan mahasiswa di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Tim Hayamwuruk (Syaiful R, Galang A P., Citra P.) mendapatkan penjelasan singkat dari Arbi Sanit, seorang pengamat politik Universitas Indonesia (UI) saat ditemui di kediamannya di Komplek Dosen UI Ciputat Tangerang, Banten. Berikut ini hasil wawancara selengkapnya. Bagaimana bentuk pergerakan mahasiswa era sekarang menurut pandangan Bapak? Pergerakan mahasiswa itu menjadi timbul tenggelam, bergelombang indifluktuatiflah aktivitas pergerakan dan juga kekuatan serta pengaruhnya. Ya dapat dimengerti bahwa mahasiswa sama PKI beda zamannya, dengan situasi dimana tekanan penguasa kuat. Jadinya katakanlah militer misalnya zaman Soeharto zaman Soekarno, pergerakan menjadi lebih kuat karena memang cita-cita idealnya mahasiswa kan untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Dan mahasiswa berkepentingan dengan kondisi sekarang karena setelah selesai mereka harus bisa menyesuaikan. Jadi kalau negaranya sudah bebas, negaranya secara ekonomi kesulitan nah itu aktivitasnya mahasiswa juga akan meningkat. Pergerakan mahasiswa

sendiri apakah berbanding lurus dengan tekanan dari pemerintah? Ya berbanding lurus. Kalau ada tekanan dari pemerintah, maka aktivitas mahasiswa tinggi. Ketika tekanan dari pemerintah nggak kuat, nggak keras ya aktivitas jadi melemah. Tapi juga kan faktor-faktor lain misalnya bidang sosial ekonomi. Kalau tekanan dari pemerintah kuat dan mahasiswa kekuatan sosial ekonominya bagus, pergerakan agak terbatas. Tapi kalau duaduanya semakin kencang menekan ya aktivitas semakin tinggi. Menurut pandangan Bapak, pasca orde baru tekanan pemerintah terhadap HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

mahasiswa apakah masih terhitung tinggi? Ya jauh lebih rendah. Lha sekarang ada kebebasan yang luas sekali. Jadi zaman sekarang memang kontra sekali dengan zaman Soeharto. Kebebasan banyak tapi aktivitas mahasiswa sedikit. Zaman Soeharto aktivitasnya tinggi, intensif dan luas, pergerakan mahasiswa itu melebar. Sekarang pergerakan menjadi tidak jelas. Sekarang mahasiswa banyak yang salah kaprah. Ya kasus mahasiswa yang membela para pedagang. Lha itu salah kaprah. Mengapa? Yang dibela kapitalis, sedangkan yang dihalangi adalah penumpang, orang miskin. Untuk apa? Apa pikirannya itu? Tidak


WAWANCARA UTAMA jelas, tidak ada garisnya, Tidak ada lagi ideologinya mahasiswa sekarang. Karena mahasiswa sekarang pun sama dengan yang tua-tua, sudah pragmatis saling pragmatis saja. Idealis sudah hilang karena keadaan sudah dikenal dengan baik oleh kebebasan, ekonomi juga mahasiswa sekarang lebih baik. Juga mahasiswa itu kan ada di pro menengah. Pro menengah sekarang jumlahnya semakin banyak, kekayaannya juga tinggi. Beda zaman Soeharto, pro menengah itu menderita, tidak berani melawan. Apakah pergerakan mahasiswa saat ini hanya sekadar menjadi sebuah tradisi saja? Sekarang ini pergerakan mahasiswa menurut saya, masih ya ada, tapi ya terhitung minim. Kalau malah bergerak, salah kaprah, hehe. Nggak punya garis lagi, nggak punya idealisme lagi karena begitu pragmatis. Untuk pergerakan tahun 1998, menurut analisis Bapak apakah Orde Baru tumbang benarbenar karena mahasiswa atau memang kondisi pemerintahan sudah saatnya tumbang? Ya itu saatnya. Rezim mana mau tumbang. Kalau saatnya kan ya mundur, nggak mundur kan dijatuhkan. Mahasiswa yang bergerak kan ada di Trisakti, Semanggi, di kampus, di daerahdaerah. Lalu pemerintah dan militer salah bertindak melakukan kekerasan, ya perlawanan semakin kuat. Lalu rakyat yang memang pada saat 1997 itu krisis di Asia, jadi orang-orang imigrasi menengah Indonesia, elit Indonesia sudah tak dukung Soeharto lagi tho. Jadi elit pun sudah dipecah karena memang dia sudah kehilangan basis ekonomi, sudah mulai lumpuh, lalu mahasiswa bergerak juga. Kemudian karena masyarakat juga menderita, mereka bergerak juga.

NAMA RUBRIK Melihat hal itu, ada wacana bahwa era reformasi adalah hasil perjuangan yang dimotori oleh mahasiswa, apakah benar? Kalau sudah itu dalam perjuangan menjatuhkan Soeharto, iya, mahasiswa punya andil. Dimana itu kan mahasiswa bersama golongan menengah waktu itu gandengan dengan LSM, kaum wartawan, budayawan, dan sebagainya. Tapi begitu reformasi ini jalan mahasiswa menghilang. Gerakan itu tadi salah malah, salah langkah. Apakah pergerakan mahasiswa sekarang cenderung menjadi kecenderungan emosional? Emosional, ya memang sudah tidak juga kerangka berpikir lagi. Mahasiswa sekarang amat sedikit berdiskusi menurut saya. Dulu pada zaman Soeharto, saya ini capek dalam pengertian satu hari itu bisa dua, tiga, empat kelompok mahasiswa mengundang saya. Bukan besar-besaran di gedung, bukan. Di gang, duduk atau di lantai, begitu diskusinya. Intensifnya itu baru saya, belum teman-teman yang lain juga, begitu sibuk setengah mati kemana-mana. Nah sekarang mana? Hehe. Nggak ada, hampir nggak ada. Dulu kan sempat ada NKK/ BKK walaupun sekarang sudah dibubarkan. Apakah hal tersebut memiliki dampak bagi pergerakan mahasiswa saat ini? Itu kan masalah organisasi. Zaman BKK itu sekalipun dilarang tapi mahasiswa punya banyak kreasi untuk mengatasi kesulitan kebebasan organisasi. Tapi sekarang nggak ada larangan, nggak ada organisasi, atau nggak ada aktivitas, atau aktivitasnya sedikit. Kan itulah yang disayangkan, waktu ada peluang nggak dipakai, waktu nggak ada peluang dibikin cari berkreasi. Itulah keanehan dunia mahasiswa. Sekarang HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

peluang banyak sekali tapi mahasiswa nggak pakai. Mahasiswa sekarang terlalu pragmatis karena mengejar selesai cepat dengan nilai baik supaya dapat kerjaan, terbayar ongkos kuliah. Apakah bentuk pergerakan mahasiswa hanya sekadar demo, protes atau turun ke jalan? Ya itu alat utamanya. Jadi justru yang bernilai tinggi adalah diskusi. Ini yang nggak kalian lalukan sekarang. Karena diskusi itu adalah pencerahan. Coba kalau mereka diskusi. Kalau mereka buntu, undang dosennya. Kan ada pencerahan, bertindak, ayo bergerak! Mungkin supaya dianggap heroik, begitu ya? Ya itu hanya heroik. Ideologinya di situ. Siapa yang dibela dan siapa yang dirugikan, itu pertanyaan dasar untuk siapa negara ini, untuk siapa ilmu itu, untuk siapa ini prestasiku, untuk siapa partai politik. Ini semua pertanyaannya sama, nah kalian salah jawab. Itu persoalannya. Kenapa salah jawab, karena tidak ada diskusi, tidak ada pemikiran, tidak ada ideologi. Untuk pemerintah sendiri saat ini apakah ada ketakutan pada pergerakan mahasiswa? Nggak, dengan mahasiswa nggak ada takut. Demo buruh saja nggak ditakuti kok, apalagi demo mahasiswa. Kenapa? Karena baik mahasiswa maupun buruh nggak bisa menjatuhkan pemerintah. Kalau bisa menjatuhkan SBY, kan udah dicoba berkali-kali itu, nggak pernah. Kenapa? karena SBY dibela oleh golongan menengah yang banyak. Golongan menengah itu sekarang termasuk kalian di dalamnya. Kelas menengah itu ada dua, yaitu yang lama kelas menengah turunan zaman Soeharto, yang sekarang adalah

33


NAMA RUBRIK anak-anak, muridnya, adikadiknya, dan sekarang yang baru yang ini tadi, yang bekerja di sektor ekonomi dan berhasil. Nah yang ini yang lebih banyak dan kaya, yang ini yang nggak mau pemerintah dirobah, nggak mau dijatuhkan, karena ini yang menjamin ya mereka. Eh buruh mau, kenapa? Karena buruh disediakan uang transportnya oleh aktivis. Iya kalau mereka punya gaji Rp15.000 satu hari, satu orang Rp15.000, begitu. Diganti uang penghasilan? Diganti uang penghasilan mereka itu, makanya mereka mau, bukan gratis. Ya seperti mahasiswa aja, sudah kan dibayarkan mereka, demonya. Mana jalan kaki sekarang? Nggak ada dari Depok ke Senayan. Ya jalan kaki gempor, semalam baru nyampe kali.

34

Jadi bisa dikatakan bahwa pergerakan mahasiswa sekarang adalah pergerakan yang memihak? Eh, zaman kapan juga pergerakan mahasiswa memihak. Coba yang dipentingkan memihak kepada siapa? Memihak kepada rakyat itu oke. Memihak kepada orang kaya yang berkuasa, nah itu masalah. Nah, sekarang memihak kepada yang kaya, di situ kesalahannya

WAWANCARA UTAMA dengan yang bisa bekerja, nggak ada itu begitu. Tapi kalau sedikit salah, ada masalah, SBY turun. Padahal ini kan demokrasi, SBY nggak sendiri berkuasa, beda dengan Soeharto otoriter. Ya jatuh Soeharto, sekarang nggak bisa jatuhin SBY, kan bukan dia sendiri yang memerintah. Dia memerintah bersama DPR, dia berselingkuh dengan DPR. Menteri-menterinya dari partai-partai, bukan dia sendiri yang menentukan. Jadi, apa urusannya menjatuhkan SBY. Tapi yang dikejar tetap saja SBY, padahal banyak isu lain yang lebih penting, jangka panjang dan mendasar. Menurut Bapak, pergerakan mahasiswa yang ideal untuk saat ini seperti apa? Menurut saya, pertama adalah mestinya mahasiswa tidak cuma belajar, tapi berdiskusi. Bukan diskusi dalam rangka belajar saja, tapi diskusi dalam rangka masyarakat. Lalu diskusi tentang masalah-masalah aktual, lalu melakukan gerakan sesuai dengan diskusi itu. Gerakannya ya gerakan protes, mendesak pada lingkungannya supaya ada perubahan. Lalu juga mengawasi, mengontrol. Mengontrol jalannya pemerintahan. Bukan saja pemerintahan negara, tapi juga di kampus. Profesor banyak yang korup dibiarin saja. Dosennya

korup ada pidato dia diam saja. Kenapa nggak lari keluar? Nah, di situ mahasiswa nggak punya sikap kalau mahasiswa anti korupsi. Apa itu pembela kebenaran? Ya tinggalin dosen-dosen yang nggak benar, jangan di dengar. Kalau soal nggak lulus, ya nanti ramai-ramai protes dong, haha. Jadi, apakah mungkin mahasiswa sekarang lebih berpikir yang praktisnya saja? Ya itu, nggak ada idealismenya. Ya ini yang rusak. Kalau mahasiswa nggak punya idealisme, apa bedanya sama tukang becak? Kacau itu. Orangorang yang aktivis ya itu bergerak terus, melakukan kontrol, melakukan perubahan Jika dapat dibangkitkan kembali, faktor apa saja yang bisa menjadi penyuluh pergerakan mahasiswa? Penyuluhnya itu tadi. Saya kira pers kampus diperkuat, diintensifkan, dibuat menarik. Lalu diskusi masalah aktual. Diskusi bukan saja membedah apa problemanya, tapi solusinya dicarikan. Ya untuk itu, kalian mesti, senior-senior itu dikumpulkan lagi, dosen-dosen yang aktivis diajak berdiskusi. Untuk pers mahasiswa, apakah

Untuk saat ini apakah mahasiswa punya peran kontrol sosial?

Dok. HaWe/Syaiful Dok. Romadhon HaWe

Ada, cuma mungkin kurang efektif kontrol sosialnya mahasiswa. Ya sekarang yang tinggal itu ya isu terkuat di dalam negara. Isu terkuat itu penguasa jatuh atau tidak, nah ke sana arahnya. Padahal banyak isu yang lain yang lebih penting, isu membangun leadership mahasiswa. Kan harusnya protes, pemimpin-pemimpin kurap yang ada di DPR, yang di kabinet, menteri-menteri nggak becus, suruh turun supaya diganti HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013


WAWANCARA UTAMA memiliki peranan secara khusus juga untuk pergerakan mahasiswa? Itu bagus karena misalnya gagasan-gagasan dimuat, itu kan dibaca oleh mahasiswa. Walaupun dibacanya itu mungkin nggak semua, tapi ada sejumlah mahasiswa yang dicerahkan oleh tulisan-tulisan pers. Dulu itu di jaman 1995, 1996, 1997, 1998 itu memang pers mahasiswa punya peranan yang kuat untuk membangun opini di kalangan kampus-kampus. Apalagi mahasiswa, jadi itu penting. Pers dimana pun penting. Masalah Indonesia itu nggak pernah selesai. kalaupun diperbaiki, hanya sepotongsepotong dan itu campur aduk, nggak pernah substansial, mendasar, sistemik, nggak ada itu, ini sepotong-sepotong. Oleh karena itu, tambah suram ini pemerintahan, politik, ekonomi semuanya tambah suram di lihat dari sistem. Ini sudah menjadi wacana lama. Saat ini gerakan mahasiswa termasuk politik praktis atau gerakan moral? Ya itu sebenarnya hanya kategorisasi saja. Apakah benarbenar terpisah itu kan nggak. Karena itu tadi, kenapa mahasiswa itu bisa salah pilih yang dibela? Membela itu kan praktis. Itu karena dia idealisnya nggak punya. Jadi idealis sama praktis itu bukan hal yang terpisah. Itu hanya strategi saja. Kalau kalian tidak punya idealis, praktis kalian sesat. Tidak punya idealis, kalian tidak punya praktis. Jadi itu nyambung. Apakah BEM dan senat memiliki andil yang sangat besar untuk pergerakan mahasiswa? Ya nggak ada, kurang, hanya itu. Saya kira BEM dan senat itu, ya nggak tau ya. Dulu di tahun 50-an, senat mahasiswa itu dikuasai oleh organisasi-organisasi.

NAMA RUBRIK Misalnya ada organisasi, misalnya organisasi mahasiswa Jakarta, atau HMI. Mereka punya masing-masing kebiasaan. Ada mahasiswa yang kerjanya buku, pesta dan cinta. Ada mahasiswa yang kerjanya ke masjid saja, ke gereja saja, begitu dulu. Jadi ini semua memberikan warna kepada gerakan mahasiswa. Nah, sekarang ini menurut saya ya warnanya nggak jelas gitu. Tapi sekarang mungkin kita nggak bisa lagi mencontoh mahasiswa tahun 50-an tahun 60-an secara persis. Justru kalian mesti kreatif sekarang. Seperti saya katakan tadi, mahasiswa tahun 90-an jatuhkan Soeharto. Nah, sekarang untuk apa kalian jatuhkan SBY? Nggak ada urusan. Kan lebih baik merubah sistem, memperbaiki sistem partai, memperbaiki sistem pemilu. Apakah ideologi mahasiswa sekarang memang sudah berubah? Ya amat berubah. Sekarang ini mahasiswa sudah sama dengan partai politik, pragmatisme. Jadi nggak ideologis lagi ya. Kalau zaman Soeharto pro rakyat, katakanlah dalam pengertian membela rakyat dari penindasan, dari kemiskinan. Sekarang ini, karena garisnya tidak jelas, lalu dimana posisi mahasiswa itu? Jadi sekarang bisa dikatakan bahwa pergerakan mahasiswa itu cenderung ikut-ikutan? Ya mengambang nggak jelas. Ya ada gerakan, tapi gerakannya nggak kuat. Arahnya nggak jelas mengambang, jadi lebih banyak sekarang itu mungkin enjoy aja, ya ramai-ramai senang-senang. Lalu untuk pergerakan mahasiswa apakah hanya sekadar menjadi mitos belaka atau bisa dibangkitkan kembali?

Mestinya bisa HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

dibangkitkan. saya ingat kembali bagaimana saya terlibat mengaktifkan mahasiswa melawan Soeharto dari tahun 1995 apa 1996 sampai 1998, nah itu saya ada dimana-mana, lalu mengatakan secara tajam kepada mahasiswa bahwa Soeharto itu begini. Nah, sekarang saya berpikir inilah saya akan lakukan kembali. Kenapa di kalangan mahasiswa nggak ada aktivis seperti itu? Kita terperangkap oleh kondisi yang bobrok, partai nggak bisa diharap. Partai itu nggak pernah melakukan perubahan, dia mengambil keuntungan dari perubahan yang diambil yang dilakukan mahasiswa, karena dia tidak mempelopori perubahan. Partai mempertahankan kebobrokan. Dari yang revolusi ’45, partai nggak ikut pemuda mahasiswa yang demo, tapi kalau sudah menang dia nanti keluar. Tahun 1998 juga begitu, mana partai politik? 1998 nggak ada. Tapi waktu 1999 pemilu mereka keluar semua kayak jamur musim hujan, mahasiswa pinggirkan. Nah itu nasibnya mahasiswa dengan partai, melakukan perubahan, setelah terjadi perubahan diambil alih oleh partai, nah itu nasibnya. Mungkinkah pergerakan mahasiswa menjadi independen? Oh itu terbukalah kemungkinan itu, jadi bisa independen. Jadi gerakannya antara dua itu kan tergantung dua itu, penentu dua arah itu ya. Nah mahasiswa itu menjadi independen kalau mereka secara ideologi kuat. Artinya punya pemikiran yang jelas. Kalau punya pemikiran yang jelas, bisa punya pendirian yang mantap. punya pemikiran yang mantap berkaitan juga dengan masalah sosial-ekonomi. Kalau mahasiswa perlu banyak beasiswa dari pemerintah, nah itu kan jadi lain ya, hehe. Jadi nggak mau lawan pemerintahlah, netral terhadap pemerintah. Nah iya kan, padahal harus ngelawan.***

35


NAMA RUBRIK

JARING

KKN; Kuliah Kerja Nyata atau Kuliah Kejar Nilai? Oleh: Alfu Lailatus Tsaqila Reporter: Riskha Ayu Agustin dan Choirul Anam

S 36

ejak tahun 1971, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat dengan pendekatan multidisipliner yang didasarkan atas partisipasi mahasiswa. Kuliah Kerja Nyata (KKN) secara resmi telah diberlakukan oleh Universitas Diponegoro (Undip) untuk memberikan bekal kepada mahasiswa baik berupa akademik maupun nonakademik yang dikelola oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM). Dalam pelaksanaan KKN, LPPM menerapkan berbagai sistem berdasarkan evaluasi dari KKN pada periode-periode sebelumnya. Berdasarkan Petunjuk Teknik (Juknis), KKN Undip tahun 2013 menggunakan sistem baru. Sistem tersebut terdiri dari 70% kompetensi program sesuai dengan fakultas masing-masing dan 30% kegiatan interdisipliner universitas. Adanya kebijakan Rektor yang menghendaki Undip harus mengadakan KKN setiap semesternya menyebabkan pihak universitas harus mengevaluasi pelaksanaan KKN tiap periode. Sistem baru tersebut berbeda dengan sistem KKN sebelumnya. Jika sebelumnya program yang disesuaikan dengan tema dilaksanakan secara global di setiap fakultas, untuk KKN Tim II

tahun 2013 tema yang diterapkan harus berbasis kompetensi di bidang ilmu masing-masing. Tujuannya agar mahasiswa dapat menerapkan ilmunya ke masyarakat. Kompetensi itu berisi materi pembekalan yang 70% dilaksanakan oleh pihak fakultas. Namun dibalik semua tujuan tersebut, apakah penerapan sistem baru itu dapat benar-benar menjadikan KKN lebih efektif? Adanya peraturan baru bahwa pelaksanaan KKN harus melibatkan minimal tiga fakultas yang berbeda berdampak pada beberapa fakultas yang sebelumnya melaksanakan KKN sendiri. Salah satunya adalah Fakultas Kedokteran (FK) yang melaksanakan KKN sendiri dengan istilah Program Basic Learning (PBL). Namun pada semester ganjil tahun ajaran 2013-2014 kini FK harus mengikuti KKN universitas. Imam Gozali, ketua LPPM Undip menjelaskan bahwa jika FK ingin mengadakan kegiatan yang bersifat seperti KKN, harus melibatkan dua fakultas lain. “Untuk tahun ini (KKN Tim II 2013, red.) kedokteran belom siap, nanti tahun depan mereka harus gabung dengan fakultas lain.” Terang Imam. Jika ditelaah lebih lanjut dari berbagai sisi, sistem baru tersebut dapat meningkatkan

Salah satu kegiatan KKN di Kendal

sekaligus mengurangi keefektifan KKN. PBL FK sendiri dalam pelaksanaannya dinilai lebih tepat sasaran dan memiliki dampak langsung bagi masyarakat desa, dimana salah satunya adalah program kesehatan ibu dan anak. Namun, jika sistem baru KKN diterapkan, apakah akan menjamin program yang dilakukan lebih fokus dan tepat sasaran? Pertanyaan tersebut muncul karena adanya kemungkinan pelaksanaan program KKN menjadi tidak fokus jika semakin banyak fakultas yang tergabung. Selain FK, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) juga menjadi salah satu pihak yang dulu menganggap program KKN kurang tepat, sehingga lebih memilih Kuliah Kerja Praktik (KKP). “Dulu awalnya ada pilihan boleh ngambil KKN atau menyelenggarakan KKP, itu diperbolehkan universitas. Jadi, makanya FIB merasa KKP lebih pas untuk mahasiswa FIB. Karena kalo KKN itu anak FIB seringkali pekerjaannya atau tugasnya itu tidak sesuai dengan ilmunya. Jarang banget, misalnya anak sejarah. Bidang yang mengenai pariwisata itu kan jarang sekali, tidak setiap daerah yang ditempati itu ada.” Jelas Endang Susilowati, Ketua Jurusan (Kajur) S1 Ilmu Sejarah FIB saat ditemui di ruangannya. Adapun KKP di

Dok. HaWe

HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013


NAMA RUBRIK

Dok. HaWe

JARING

jurusan S1 Ilmu Sejarah hanya dilaksanakan untuk mahasiswa hingga angkatan 2007. Pelaksanaan KKN menimbulkan pro dan kontra. Pro karena pihak universitas menganggap bahwa KKN penting untuk mensinergikan pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi. Pendapat kontra sendiri datang dari sebagian mahasiswa yang menganggap bahwa KKN tidak terlalu penting sebagai sarana pengaplikasian ilmu. Bahkan terkadang KKN hanya dianggap “main-main” oleh mahasiswa sehingga tidak dilaksanakan secara serius. Hal tersebut sesuai dengan pendapat salah satu mahasiswa FIB angkatan 2009 (sebut saja A, nama pada redaksi). Menurutnya pendekatan masyarakat tidak harus dilakukan melalui KKN, tetapi bisa juga dalam kegiatan sehari-hari seperti Karang Taruna dan remaja masjid atau organisasi masyarakat lainnya. “Jadi pelajaran rasa mandiri, tanggung jawab dan tenggang rasa itu dapat dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.” A bercerita bahwa ketika mengikuti kegiatan KKN, kelompoknya sempat mendapatkan masalah dengan petinggi desa dikarenakan adanya kesalahpahaman. “Kalo diajak ngobrol malah (mahasiswa, red.) dolanan handphone, diajak makan iya-iya tapi nggak makan, kan orang tua pasti tersinggung.” Masalah itu kemudian melebar, sehingga Kepala Desa (Kades) memberikan nilai D dan E kepada beberapa mahasiswa yang bermasalah tersebut. Nilai itu akhirnya dimanipulasi oleh Koordinator Kecamatan (Korcam). Akibatnya, masalah semakin rumit

dan berdampak pada nilai KKN akhir mahasiswa di kecamatannya. “Nah, menurutku ini kan yang dirugiin, aku nggak tahu apaapa, jadi nilainya ikut terbawa juga. Harusnya A jadi nilai B. Padahal kerja juga udah sesuai dengan LPK (Laporan Pelaksanaan Kegiatan, red.) ... Banyak juga masalah-masalah KKN yang terjadi, tapi banyak yang nggak terpublikasikan. Ya apa gunanya KKN kalo kita nggak bisa ambil hikmah KKN itu sendiri.” Jelas A. Dalam pelaksanaan KKN, mahasiswa diawasi oleh Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) yang pada tahun 2013 berganti menjadi Dosen KKN. Dosen KKN merupakan dosen yang ditunjuk oleh PD I dari fakultas masingmasing yang diserahkan ke LPPM untuk mendapatkan SK (Surat Keputusan) Rektor. Mereka kemudian mendapatkan pelatihan yaitu ToT (Training of Trainer) Dosen KKN dari pihak LPPM. Pada kenyataannya, banyak Dosen KKN tidak melakukan tugasnya secara maksimal sesuai dengan pelatihan yang telah diikutinya. Dosen KKN dianggap kurang turun tangan saat di lapangan dan tidak terlalu memperhatikan program yang dilaksanakan serta masalah yang dialami mahasiswa saat KKN. “Percuma juga DPL kalo nggak ngontrol secara langsung, jadi bisa dimanipulasikan. Ya tinggal foto, jepret, tempelin kegiatan trus tandatangan Pak Lurah. Udah gitu aja kan beres. Ya semua banyak dimanipulasi aja, trus apa guna KKN itu sendiri.” Tutur A. A juga menambahkan bahwa peran Dosen KKN baginya sangat kurang. Hal tersebut HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

dikarenakan dalam kelompoknya terdapat mahasiswa yang memiliki program tidak sesuai dengan bidang ilmunya. “Ada satu orang itu nggak jalan programnya. Pemberdayaan ikan nila. Padahal dia dari Fakultas Psikologi. Kan nggak cocok banget ya, nah DPL yang ngerekap itu program kerjanya. Kenapa nggak diarahi ini kemana Psikologi, mbok yo jangan pemberdayaan ikan nila.” Jelas A. Kondisi seperti itu menimbulkan suatu pendapat pada kalangan mahasiswa bahwa keberadaan Dosen KKN seolah hanya sebatas formalitas. Ketika Tim Hayamwuruk mencari informasi mengenai kesiapan fakultas-fakultas di Undip terhadap sistem KKN baru, Suradi selaku PD I Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) mengatakan bahwa pihaknya sudah mengetahui adanya perubahan sistem KKN. Namun mereka baru dapat melaksanakan sistem KKN tersebut pada periode berikutnya. Selain itu, Suradi berpendapat bahwa banyak fakultas lain yang belum siap untuk menjalankan sistem KKN tersebut. Hal itu disebabkan belum adanya kesiapan secara khusus mengenai alokasi dana KKN di setiap fakultas. “Nantinya dalam pembekalan KKN mahasiswa FPIK mengikuti dari pihak LPPM. Yang saya tahu FIB malah yang lebih siap. Sehingga sudah disiapkan bahannya.” Jelas Suradi. Mengenai persiapan pelaksanaan KKN di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), jurusan S1 Ilmu Sejarah sudah menjalankan pembekalan KKN untuk TIM II tahun 2013 sejak bulan Maret. “Kalo di jurusan Sejarah sudah. Saya nggak tahu kalo jurusan lain. Karena ternyata yang memasukkan KKN itu sebagai mata kuliah hanya di jurusan Sejarah.” Terang Endang. Uswatun Khasanah, mahasiswa S1 Ilmu Sejarah angkatan 2010 mengungkapkan bahwa ia sudah mendapatkan pembekalan KKN melalui mata kuliah Ilmu Terapan. “Sejarah

37


NAMA RUBRIK

38

KKN, hingga tahun 2013 Undip mengambil lokasi di beberapa kabupaten di Jawa Tengah yang terhitung dekat dengan ibu kota provinsi. Hal tersebut dilakukan mengingat biaya KKN Undip tergolong paling murah dibandingkan dengan universitas lain. Menurut Imam, dengan sistem baru itu penentuan lokasi KKN akan dipilih oleh masingmasing fakultas agar memiliki kompetensi dengan bidang ilmunya. Dewi mengungkapkan bahwa penentuan lokasi KKN di FIB sendiri tidak seperti FK dan FKM (Fakultas Kesehatan Masyarakat) yang memiliki desa binaan. Namun, pihaknya belum bisa menentukan lokasi KKN yang tepat untuk FIB. Selain KKN Reguler, terdapat juga KKN Nonreguler atau yang lebih dikenal dengan KKN Tematik. KKN Tematik merupakan proyek dosen yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti). Untuk pelaksanaan proyek, dosen membutuhkan banyak bantuan terutama dari mahasiswa. Adapun proyek yang diajukan menjadi KKN Tematik harus memiliki programprogram yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Perbedaan KKN Reguler dan KKN Tematik terletak pada waktu pelaksanaannya. Jika KKN Reguler dilaksanakan pada akhir semester, KKN Tematik dilakukan selama tiga bulan pada hari aktif kuliah. Namun pelaksanaannya tidak dilakukan setiap hari, melainkan hanya pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu. Dalam KKN Tematik, mahasiswa dibagi menjadi beberapa cluster (kelompok) untuk menjalankan

program sesuai dengan bidang ilmunya. Imam berpendapat bahwa KKN Tematik lebih efektif dan tepat sasaran. Hal tersebut dikarenakan program yang dijalankan memberikan dampak langsung bagi masyarakat desa. Pada tahun 2012 KKN Tematik memiliki tema pemberdayaan usaha garam di Jepara. Dalam kegiatan tersebut mahasiswa dituntut untuk dapat mengembangkan kemampuan para petani garam agar menghasilkan garam yang bagus, sehingga hasilnya dapat dirasakan langsung oleh para petani. Melihat keefektifan sasaran program KKN Tematik tersebut, Suradi menambahkan bahwa adanya perubahan sistem KKN 2013 dilakukan untuk dapat meningkatkan kualitas kegiatan KKN. Kualitas yang dimaksud adalah kompetensi program yang sesuai dengan bidang ilmunya, sehingga tidak ada lagi mahasiswa yang salah bikin program atau terkesan ikut-ikutan. “Misal mahasiswa FPIK nggak ada yang melaksanakan KKN di daerah gunung, yang mana mahasiswa FPIK tidak dapat menerapkan ilmunya sesuai dengan bidangnya.” Jelasnya. Yusrianti Purwandari, salah satu mahasiswa FPIK yang telah mengikuti KKN Tim I tahun 2013 berpendapat bahwa KKN itu penting. “Tapi kalo dilaksanakan cuma sebulan kurang efektif. Kan banyak tuh mahasiswa yang bikin proker (program kerja, red.) yang gampang-gampang kebanyakan nggak ngelihat feedback ke masyarakatnya.” Ujarnya.***

F R Dok. HaWe

sendiri udah dikasih tugas kelompok (dalam mata kuliah Ilmu Terapan, red.). Kebanyakan mereka membuat tema industri kreatif, tapi kalo program untuk KKN belom buat.” Berbeda halnya dengan Hanifati Masturah, mahasiswa FPIK angkatan 2009. Hani mengaku bahwa ia belum mempersiapkan program untuk KKN Tim II 2013 yang akan diikutinya. “Nggak ngerti mau bikin apa, paling bikin Gemar Makan Ikan.” Celetuknya sambil tertawa. Berbeda dengan jurusan S1 Ilmu Sejarah, Sukarni Suryaningsih selaku Kajur S1 Sastra Inggris mengungkapkan bahwa hingga bulan April 2013 pihaknya belum mendapatkan pemberitahuan mengenai sistem baru KKN. Bahkan jurusan S1 Sastra Inggris pada awal semester genap belum mendengar informasi mengenai pembekalan KKN 70% dari fakultas dan 30% dari universitas. “Tetapi dari pihak kami akan melaksanakan desain KKN tersebut, sehingga prodi baru akan bergerak untuk membicarakan sasaran belajar.” Kurangnya komunikasi yang baik menyebabkan informasi mengenai perubahan sistem KKN baru ini tidak banyak diketahui oleh mahasiswa serta dosendosen. Imam menambahkan pihaknya sudah melakukan sosialisasi ke seluruh fakultas. Faktanya, ketidaksiapan fakultas dalam menghadapi KKN seolah memberikan gambaran mengenai ketidaksiapan pelaksanaan KKN itu sendiri. Hal tersebut tentunya berkaitan erat dengan kesiapan dalam penerapan sistem baru dan keefektifannya dalam pelaksanaan KKN. Menurut Dewi Yuliati selaku PD I FIB, dengan perubahan sistem KKN baru ini diharapkan mahasiswa FIB mempunyai kemandirian dalam menjalankan program saat di lapangan, sehingga mahasiswa FIB tidak hanya ikut-ikutan. Adapun nantinya program-program mahasiswa akan difokuskan ke industri kreatif. Dalam pelaksanaan

JARING

HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

A ( d s P ( K M


PERSPEKTIF PERSPEKTIF

NAMA RUBRIK

39

Foto-foto: Syaiful Romadhon

Aksi dari BEM SI (Seluruh Indonesia) dalam pengawasan sidang Undang-undang Perguruan Tinggi (UUPT) di Mahkamah Konstitusi pada bulan Maret 2013.

HAYAMWURUK, HAYAMWURUK, No.No. 1. XXIII/2013 1. XXIII/2013


NAMA RUBRIK

SAJAK PERTEMUAN MAHASISWA

Matahari terbit pagi ini mencium bau kencing orok di kaki langit melihat kali coklat menjalar ke lautan dan mendengar dengung lebah di dalam hutan lalu kini ia dua penggalah tingginya dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini memeriksa keadaan

kita bertanya kenapa maksud baik tidak selalu berguna kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga orang berkata “kami punya maksud baik” dan kita bertanya “maksud baik saudara untuk siapa ?” ya ! ada yang jaya, ada yang terhina ada yang bersenjata, ada yang terluka ada yang duduk, ada yang diduduki ada yang berlimpah, ada yang terkuras dan kita disini bertanya “maksud baik saudara untuk siapa ? saudara berdiri di pihak yang mana ?”

40

kenapa maksud baik dilakukan tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya tanah - tanah di gunung sudah menjadi milik orang - orang di kota perkebunan yang luas hanya menguntungkan segolongan kecil saja alat - alat kemajuan yang diimpor tidak cocok bagi petani yang sempit tanahnya tentu saja, kita bertanya “maksud baik saudara untuk siapa ?” Kita mahasiswa tidak buta sekarang matahari semakin tinggi lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya : kita ini dididik untuk memihak yang mana ? ilmu - ilmu yang diajarkan disini akan menjadi alat pembebasan ataukah akan menjadi alat penindasan ? kita menuntut jawaban sebentar lagi matahari akan tenggelam dan malam tiba cicak - cicak bernyanyi di tembok rembulan berlayar tetapi pertanyaan pertanyaan kita tidak akan mereda ia akan muncul di dalam mimpi akan tumbuh di kebon belakang dan esok hari matahari akan terbit kembali senantiasa hari baru akan menjelma pertanyaan - pertanyaan kita akan menjadi hutan atau masuk ke kali akan menjadi ombak di samodra di bawah matahari yang ini kita bertanya ada yang menangis, ada yang mendera ada yang habis, ada yang mengikis HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013 dan maksud baik kita W.S. RENDRA memihak yang mana


WAWANCARA UTAMA

NAMA RUBRIK

INDRIYANTO:

S

“Kita Sedang Menunggu�

Pola pikiran mahasiswa dalam pergerakan itu seperti apa? Pola pikir mahasiswa, peran mahasiswa, harapan mahasiswa itu mengalami perubahan. Kalau dulu zaman pergerakan nasionalisme yang ditonjolkan adalah kebangsaan, keinginan untuk merdeka. Itu mahasiswa-mahasiswa, usianya ya, 17-21 tahun. Bung Karno 21 tahun sudah bisa membuat tulisan tentang nasionalisme, marhaenisme dan agama. Yang akhirnya terkenal menjadi Nasakom itu ditulis oleh Bung Karno ketika usianya 21. Kemudian mahasiswa mengalami perkembangan pada masa Jepang. Masa Jepang itu orientasinya bagaimana mereka mempunyai kesempatan untuk bisa dipercaya oleh Jepang, menjadi orang yang mengelola negara. Masa kemerdekaan, orientasi mahasiswa itu upayaupaya mempertahankan kemerdekaan. Itu bisa dibagi dua,

Dok. HaWe/Galang A.P.

ebagaimana sejarah bangsa, “tubuh� pergerakan mahasiswa pun mengalami perubahan. Hal tersebut menyebabkan perbedaan bentuk gerakan, bahkan juga turut menimbulkan pemahaman yang berbeda atau multi tafsir mengenai gerakan yang harus dilakukan oleh mahasiswa. Lalu, seperti apa perubahan tersebut? Tim Hayamwuruk (Hasna F., Alfu L., Yuli Tri H.) pun mendatangi kediaman Indriyanto, Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) untuk berdiskusi dan meminta penjelasan mengenai peran, ideologi dan pola pikir mahasiswa. Berikut ini adalah hasil wawancaranya.

41 satu mereka yang lebih condong ke orientasinya orang tua ya ke kelompok tua. Kelompok tua itu berorientasi untuk menyelesaikan permasalahan di sekitar kemerdekaan menggunakan diplomasi. Tetapi mahasiswamahasiswa, pelajar-pelajar yang muda inginnya melalui perjuangan bersenjata. Nah itu mulai terpecah, orientasi mereka mulai beragam. Ketika muncul perubahan-perubahan di dalam ketatanegaraan, bahwa kabinet presidensial harus diubah menjadi kabinet parlementer sehingga ada perdana menteri, maka orientasi mereka di dalam politik juga mengalami keragaman sehingga mempengaruhi pola mereka berjuang. Pengaruhnya adalah bahwa mereka ternyata mampu memiliki keragaman ideologi ketika memperjuangkan apa yang menjadi tujuan mereka, mahasiswa-mahasiswa itu. Kemudian menginjak ke zaman ekonomi liberal tahun 1950-1959, para mahasiswa itu berupaya HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

supaya mereka pintar ngomong, menjadi anggota parlemen. Orientasi yang dituju oleh mereka begitu, menjadi tokoh-tokoh politisi. Tujuan utamanya apa Pak? Sebenarnya itu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Mereka menjadi seperti itu karena situasi dan kondisi saat itu dibuka partai-partai. Siapa saja boleh mendirikan partai, sehingga suasana kemahasiswaan inginnya memperjuangkan Indonesia melalui partai-partai. Ketika dia masuk partai, maka menjadi politisi. Nah, dadi politisi kudu pintar ngomong, kudu pintar strategi, kudu pintar demo. Orientasinya mahasiswamahasiswa seperti itu. Pada tahun 1950-1959 negara sedang mencari bentuk, maka politisi menjadi sasaran. Kemudian misalnya pada 19591965 setelah mereka mendapat tekanan dari Bung Karno, mereka


NAMA RUBRIK

42

berkeinginan untuk mendobrak sistem yang dianggap tidak baik, yang dianggap bertentangan. Makanya mahasiswa-mahasiswa itu inginnya menjadi tokoh-tokoh demonstran yang pintar-pintar. Itu terus mengalami perkembangan lagi. Mereka setelah berdemonstrasi bisa menjatuhkan Bung Karno, kemudian mereka sebenarnya dimanfaatkan oleh rezim baru Soeharto dengan Orde Barunya. Mereka itu kan mengalami perkembangan waktu setelah tadi jadi demonstran, lulus, kemudian dijadikan menteri, kemudian ditekan lagi dengan sistem yang reglementatif oleh Soeharto. Ya mahasiswa tidak mempunyai peran apa-apa, apalagi ada NKK/BKK sampai kira-kira tahun 1978. Tahun 1978 mengalami perkembangan reformasi. Reformasi tidak ada kejelasan, para mahasiswa itu mau apa, apa yang dituju. Tetapi ketika reformasi menurut saya mahasiswa itu orientasinya pada pendobrakan semua yang bersifat tidak demokratis. Kalau dulu zaman Bung Karno, mahasiswa mendobrak semua sistem yang feodalistik. Semua sistem yang kontra revolusi didobrak. Kontra revolusi itu apa? Waktu itu kontra revolusi itu, satu apabila dia tidak pro dengan rakyat. Kemudian yang kedua adalah para kapitalis. Ketiga, para birokrat yang suka menjilat, yang bekerja sama dengan penguasa-penguasa zaman dahulu. Keempat, feodalisme. Akan tetapi, tidak ada kejelasan keberhasilannya sampai sejauh mana perjuangan mahasiswa setelah reformasi. Kita sedang menunggu kesadaran kembali mahasiswa untuk melakukan sebuah perjuangan yang fokus, yang berbeda. Karena yang diperjuangkan mereka setelah reformasi ini penuh dengan ketidakpastian, penuh dengan kemelencengan dari apa yang diharapkan semula. Kenyataannya semakin terjadi krisis. Sekarang ini menunggu mahasiswa-mahasiswa

WAWANCARA UTAMA itu mempunyai peran lagi, kita sedang menunggu. Bagaimana peran mahasiswa pada intinya? Pada prinsipnya peran mahasiswa yang tidak boleh hilang itu adalah kritis, pro dengan rakyat, pro dengan demokrasi. Apapun bentuknya bahwa dia itu harus bengok-bengok (teriak-teriak, red.), harus gembar-gembor. Tapi kalau yang bisa menulis, menulis secara kritis yang ada di organisasiorganisasi kemahasiswaan. Mereka harus mempunyai satu platform yang sama, meskipun bidang, gerak, corak berbeda. Kalau tidak ada platform yang sama atas perjuangan mahasiswa, maka tidak akan terwujud apa yang kita tunggu-tunggu. Apakah hal itu masih mungkin jika melihat keadaan mahasiswa sekarang? Oh mungkin, selalu mungkin, karena yang namanya mahasiswa itu termasuk kategori pemuda. Pemuda itu karakter dasarnya adalah mereka suka berubah, mudah bergejolak dan mudah meletup. Nah, diantara sekian juta pemuda diharapkan ada yang berkarakter seperti itu, yang konsisten. Tapi yang mau mengubah itu sedikit. Nah, yang sedikit itu diharapkan mampu mempengaruhi mereka, sehingga kalau pengaruh itu berjalan beberapa tahun diharapkan platform itu terbentuk, kesadaran muncul, kemudian diharapkan solidarity. Kalo anda tidak mempunyai solidaritas meskipun mempunyai kesadaran, tidak akan muncul apa yang kita tunggu tadi. Kita itu sekarang sedang menunggu. Saya itu melihat mahasiswa saiki to ngopo tho, iki endi tho sing yang saya lihat nokoh ki ndi toh? Sekarang kuliah harus cepat, maksimal tujuh tahun, berbeda dengan dulu, sehingga mahasiswa lebih terkekang. HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

Apakah itu benar? Itu sebenernya bukan terkekang, tapi bagaimana mahasiswa memanfaatkan peluang dan strategi. Zaman dahulu itu ya sama, sudah ada aturan. Zaman dahulu menjadi mahasiswa abadi itu kenapa? Karena mutu, karena dosen kalau menguji itu dua-tiga kali baru lulus. Kalau tidak bagus betul tidak bakal diluluskan. Sekarang dosen-dosen diseblaki dari atas kudu lulus-kudu lulus. Mahasiswa bodoh diluluskan, akhirnya seperti itu. Sekarang kita mengakui tidak kalau kita bermutu? Mutu kita apa? Mutu kita yang paling menonjol adalah kita punya kebiasaan untuk membeli, membeli, membeli, dan membeli semua produk yang ditawarkan di negara kita. Terbukti kita tidak pernah diajari memproduk, memproduk, memproduk, karena yang memproduk sudah dikuasai oleh negara lain. Kembali pada mahasiswa itu tadi, sebenarnya sama intinya bahwa mahasiswa ketika sekolah ya harus baik IPnya, harus tinggi, tetapi juga tidak melupakan kegiatan mahasiswa. Mahasiswa yang paling bagus itu adalah menjadi aktivis, IP-nya tinggi, hubungan sosial dengan mahasiswa lain dan dosen bagus, kemudian lulus juga tidak terlalu lama, itu yang paling baik. Kita itu selalu dididik untuk cepat, mandiri, berdagang, dan berwiraswasta. Lama-lama kita semuanya jadi pedagang, jadi wiraswasta, tidak menjadi ilmuan sungguhan, karena mereka disuruh berdagang, disuruh berwiraswasta, disuruh menjadi agen-agen penjual produk-produk dari orang yang mempunyai kapitalis. Kita menunggu kesadaran mahasiswa, muncul di atasnya platform, muncul kesamaan, terus muncul solidaritas. Platformnya sama solidaritas ini bisa menjadi sebuah gerakan, karena tanpa solidaritas tidak akan bersatu dan tidak mempunyai solidaritas tidak akan mungkin muncul demo besar. Demo-demo kecil secara sepihak,


WAWANCARA UTAMA secara parsial itu tidak akan mampu menggerakkan perubahan. Demo itu harusnya besar, kompak, dalam waktu yang tepat dan mampu menggoyahkan penguasa, itulah yang akan merubah. Nyatanya demo sekarang memang masih dalam skala kecil, lalu itu bagaimana? Itulah yang saya katakan itu, belum tercapai apa yang dikatakan solidaritas. Jadi mereka itu mempunyai kesadaran parsial, kesadaran mereka masih terputus-putus. Bagaimana cara menyambungnya? Pers mahasiswa bertugas untuk menyambung mereka. Ikatan antar mahasiswa, seminar-seminar, mahasiswa harus tampil menjadi pelaku-pelaku itu, jangan menjadi pembantunya dosen-dosen. Kalau dosendosen mengadakan seminar lalu mahasiswa panitianya, ya tidak bisa maju. Mahasiswa seharusnya seminar sendiri, ngomong, panggil wartawan-wartawan. Siapa yang bisa mengubah itu dalam tataran historis? Pertama, para cendikiawan, bukan dosen. Cendikiawan itu pintar tetapi peduli. Kalau dosen belum tentu peduli. Kedua, para wartawan yang kritis. Tiga, para mahasiswa yang kritis. Empat, lawyer, dan lima para pengusaha. Kalau lima ini bisa bersatu, bisa terjadi perubahan. Dulu Bapak terkena pengaruh NKK/BKK? Saya produk NKK/BKK. Kalian juga, SKS itu kan juga produknya NKK/BKK. Mahasiswa dibuat supaya dia hanya memikirkan bidang ilmunya, selesai, kemudian bekerja di perusahaan, terus dididik untuk menjadi robot. Tidak dididik untuk kritis, tidak diberikan kesempatan untuk kritis, sehingga bisa menjadi kaki tangan-kaki tangan untuk melempar produksi, apapun produknya, anda tidak sadar. Banyak pihak yang mengatakan

NAMA RUBRIK bahwa mahasiswa sekarang tidak usah idealis, melainkan harus realistis. Itu bagaimana Pak? Itulah yang tidak mempunyai idealisme. Idealisme itu penting. Ibarat batu, itu batu mulia. Tidak banyak orang yang mempunyai idealisme. Kalau mau menjadi batu-batu biasa ya seperti tadi, realistis saja. Tapi realitis itu harus dipadu dengan idealis. Mengapa? Karena di situ ada usaha. Kalau kita berpijak pada idealis, ide-ide itu adalah sesuatu yang sangat unggul, jadi itu harus dimiliki. Kalau kita hanya realis, jadilah kita budak-budak produk. Berapa besar kekuatan mahasiswa sehingga aturan NKK/BKK dikeluarkan pemerintah dulu? Dulu ketika Bung Karno bisa dijatuhkan oleh mahasiswa. Kalau mahasiswa bergerak mampu meruntuhkan kekuasaan, itu karena dia mendapat dukungan. Dukungan itu dari siapa saja? Dukungan itu dari partai besar bisa, dari tokoh-tokoh bisa, dari kekuatan bisa. Kalau waktu menjatuhkan Bung Karno itu dukungannya dari Angkatan Darat (AD). Kalau tidak dapat dukungan dari AD, tidak mungkin bisa menjatuhkan Bung Karno. Nah jadi mahasiswa itu memang menjadi salah satu kekuatan, tapi bukan utama, itu yang harus di ingat. Sejak dahulu semua kegiatan kepemudaan kemahasiswaan itu pasti dipengaruhi oleh kekuatan yang lebih besar. Jadi seperti dimanfaatkan? Tidak. Maksudnya, ketika ide-ide murni dari mahasiswa, untuk merealisasikan memang harus ada kekuatan yang mendukung. Hanya kekuatan yang mendukung itu dalam perkembangannya setelah berhasil, mereka memanfaatkan mahasiswa yang kadang-kadang tidak jeli. Munculnya NKK/BKK, Soeharto HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

melihat sejarah. Ini mahasiswa kalau didiamkan bengokbengok terus, kemudian mereka melakukan kritik-kritik kepada pemerintah, membuat mereka itu kehabisan energi. Satu-satunya jalan, dengan alasan baju akademik, supaya mahasiswa lulusnya cepat. Maka mereka digiring masuk kampus lagi, tidak boleh berkeliaran, terus dibuat sistem SKS. Dengan model seperti itu diharapkan kekuatan mahasiswa dalam mengkritisi pemerintah, yang “menentang� rezim itu menjadi berkurang. Lalu ideologi mahasiswa seperti apa Pak? Ideologi mahasiswa itu biasanya kritis. Kalau sudah tidak kritis, itu bukan ideologi lagi. Ketika kritis itu menjadi ideologi, kemudian diaplikasikan menjadi suatu perlawanan. Bentuk perlawanannya antara lain demonstrasi, nulis, bengokbengok, tapi intinya ke ideologi kritis. Kita itu mampu tidak mengkritisi keadaan, mengkritisi pemerintahan, mengkritisi kondisi masyarakat. Kalau kita mahasiswa masih mampu ya berarti masih bisa diharapkan peranannya. Tapi kalau memang kekritisannya itu sudah hilang menjadi realistis, menjadi pragmatis, kehidupan mahasiswa sekarang itu di antara buku, kemudian cinta dan pesta. Tanggapan Bapak mengenai adanya fenomena demo sebagai ajang eksistensi mahasiswa bagaimana? Ya itu artinya tahap pemahaman demo masih tahap seperti itu, belum tahap idealisme. Itulah tahap masa seperti anak remaja untuk mencoba mengenal dirinya sendiri. Tetapi itu jauh lebih baik daripada yang tidak sama sekali, karena mungkin dari situ nanti muncul kesadarankesadaran baru. Ada demo yang lebih bermutu. Demo yang lebih bermutu itu demo yang sopan,

43


NAMA RUBRIK yang bagus, yang konsepnya jelas, kalau ditanya jawab. Demo yang buruk itu demo yang asal demo, balang-balangan (lempar-lemparan, red.)¸ kalau ditanya tidak tahu apa-apa. Nah, itu yang buruk. Mahasiswa jangan begitu, itu tidak bertanggung jawab namanya. Di beberapa kasus, terdapat demo mahasiswa yang merusak fasilitas umum bahkan merugikan masyarakat umum. Apa tanggapan Bapak?

44

Menurut saya, mahasiswa sekarang itu tidak mau belajar masa lalu. Segan, wegah, enggan untuk mau belajar pada masa lalu. Jadi pola-pola yang buruk, pola-pola yang lama itu masih saja digunakan, dan itu diakui, dianggap, diyakini sebagai sebuah kebenaran di dalam berjuang. Padahal itu keliru. Jadi, demodemo yang seperti itu, menurut saya harus mulai diubah pada bentuk-bentuk yang fungsional. Kalau sekarang masih terjadi seperti itu bagaimana? Ya itu sebenarnya semacam revitalisme. Revitalisme itu sebuah keinginan

WAWANCARA UTAMA untuk kembali jaya sebagaimana dilakukan oleh mahasiswamahasiswa zaman dahulu. Apakah gerakan mahasiswa saat ini masih terhitung sebagai gerakan moral? Oh iya. Aslinya gerakan mahasiswa itu gerakan moral, bukan gerakan fisikal. Jangan keliru, kita tidak disuruh untuk perang. Memang moral iya, lha gerakan moral itu gerakan yang membetul-betulkan itu tadi. Tataran moral itu kan variasinya banyak, mulai dari kekuasaan sampai yang nonkekuasaan. Apakah benar dalam kehidupan politik mahasiswa dipengaruhi oleh politik luar? Kalau persoalan pengaruh, ya pengaruh mempengaruhi itu wajar, karena kita itu alamnya terbuka, semua bisa dibaca sehingga tidak ada kita ngomong tidak berpengaruh. Saya jadi dosen itu dipengaruhi guru-guru saya, dipengaruhi oleh buku-buku, dipengaruhi oleh luar negeri,

Ilustrasi oleh Iqbal Firmansyah

HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

dan seterusnya. Tetapi kalau pengaruh itu mahasiswa kemudian merefleksikan, itu yang tidak betul. Ya kalo pengaruhnya bagus tidak apa-apa Kalau pengaruhnya jelek? Jadi kata kuncinya tadi, pengaruh tidak masalah, tapi bagaimana pengaruh itu disaring, difilter, kemudian disesuaikan dengan refleksinya, disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Apakah mahasiswa dapat menjadi pembentuk suatu sistem? Mengkritisi sebenarnya. Karena dalam sejarahnya mahasiswa yang membentuk sistem itu sedikit, kecuali pada zaman kolonial. Itu pun sistem yang dibentuk sebenarnya bukan bentukan mahasiswa. Sistem yang sudah ada diperbaharui oleh para mahasiswa. Tapi, bagaimana bisa mengkritisi kalau sistemnya sendiri tidak dimengerti? Ya itulah, karena tidak mau belajar tentang sistem, makanya yang muncul bentukbentuk demokrasi-demokrasi yang merugikan. Itu tadi karena dia tidak mengetahui sistemnya. Harusnya dia belajar sistem. Akhirnya mahasiswa sering mengatakan, “itu bukan urusan saya, yang penting saya menyuarakan kekritisan saya dan itu saya anggap benar. Tugas saya adalah membukakan pintu.” Nah, kalau hanya membukakan pintu terus kamu tidak masuk, kan tidak bisa. Ada mahasiswa sementara yang berpendapat seperti itu. “Tugas saya membuka pintu biar yang masuk orang lain.” Seharusnya mahasiswa ikut masuk memberikan masukanmasukan.***


WAWANCARA LEPAS

NAMA RUBRIK

Murnikah Peran Mahasiswa? ASVI WARMAN ADAM:

Dok. HaWe/Syaiful Romadhon

D

alam sejarah bangsa, Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa besar, baik dalam usaha memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain, maupun usaha dalam mencapai kehidupan kenegaraan yang stabil. Mahasiswa merupakan salah satu pihak yang memiliki peran besar dalam perubahan yang dialami oleh Indonesia. Akan tetapi, apakah perubahan tersebut merupakan hasil dari gerakan yang dilakukan murni oleh mahasiswa? Asvi Warman Adam, seorang sejarawan Indonesia menyampaikan penjelasan mengenai sejarah pergerakan mahasiswa saat Tim Hayamwuruk (Hasna F., Novia R., Galang A. P.)

temui di kantornya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta. Asvi menyampaikan keraguannya terhadap peranan mahasiswa terhadap perubahan di Indonesia, terutama pada gerakan 1966 yang sering disebut sebagai tonggak pergerakan mahasiswa. Untuk penjelasan lebih lanjut, mari simak hasil wawancaranya. Bagaimana pandangan Bapak mengenai sejarah gerakan mahasiswa? Beberapa waktu lalu saya diminta oleh majalah Prisma untuk menulis tentang angkatan ‘66. Tapi tulisan saya tidak selesai. Pada intinya saya diminta menulis, sebetulnya bagaimana posisi angkatan ‘66 di dalam sejarah HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

Indonesia. Jadi, tidak selesainya itu karena saya punya pemikiran tapi belum dilengkapi data-data yang cukup memadai. Pikiran saya bahwa angkatan ‘66 itu tidaklah berjasa sebesar yang digambarkan selama ini. Saya mempertanyakan tulisan-tulisan yang ada di dalam sejarah Indonesia yang menyamakan saja, ada angkatan 1908, 1928, 1945, 1960, 1966, dan angkatan 1998. saya justru mempertanyakan peran dan jasa dari angkatan ‘66. Seberapa besar sebetulnya jasa mereka, apakah mereka sama dengan angkatan ‘98 yang mendobrak, bisa meruntuhkan sebuah rezim? Angkatan ‘66 itu apakah bukan lebih banyak digerakan oleh tentara?

45


NAMA RUBRIK

46

Saya yakin bahwa tahun ‘98 itu mahasiswa tidak didukung tentara. Artinya, bahwa ada kelas menengah yang membantu memberikan makanan itu iya. Tapi saya percaya bahwa waktu demo itu tidak ada tentara yang ikut. Ini beda dengan tahun ‘66. Mereka berdemo tapi bersama tentara. Jadi saya mempertanyakan jasa atau peran dari angkatan ‘66. Jadi, keraguan tentang peran dan jasa angkatan ‘66 itu yang sebetulnya ingin saya tulis, tapi belum jadi. Tapi paling tidak saya menyampaikan semacam gugatan, mempertanyakan, angkatan ‘66 itu tidaklah seperti yang digambarkan dalam sejarah Indonesia selama ini. Dan angkatan ‘66 juga barangkali yang turut berperan dalam menggulingkan Soekarno. Jadi peran dari angkatan ‘66 ini menjadi nyata karena tentara sendiri tidak ingin pada mulanya berhadapan secara frontal dengan Presiden Soekarno. Jadi yang maju ke depan adalah mahasiswa angkatan ‘66 ini, pemuda dan mahasiswa. Kemudian mengenai angkatan ‘28 Sumpah Pemuda itu juga pernah saya tulis, sebetulnya tentang Soekarno. Soekarno itu apakah termasuk angkatan ’28, apakah dia satu angkatan dengan mereka yang menyampaikan sumpah pemuda? Pertanyaan yang sering diajukan, kenapa Soekarno tidak hadir di dalam sumpah pemuda tahun 1928? Apakah dia tidak diundang? Apakah dia menolak untuk ikut? Nah selama ini sudah ada tiga jawaban terhadap pertanyaan itu. Pertama, Abu Hanifah, seorang tokoh mahasiswa pada waktu itu yang tinggal di Kramat, di tempat Sumpah Pemuda itu dilakukan. Abu Hanifah itu juga seorang pengarang dan seorang tokoh Masyumi. Abu Hanifah kemudian menulis tahun 1972 tentang alasan Bung Karno tidak ikut dalam sumpah pemuda, karena dia ditolak oleh para pemuda. Para pemuda menolak

WAWANCARA LEPAS Soekarno karena dia dianggap tokoh yang tidak menjadi idola pemuda yang saat itu sedang gandrung pada gerakan Swadesi dari Ghandi yang ingin, misalnya, berpakaian sederhana dengan pakaian yang dibuat sendiri. Sedangkan Soekarno itu adalah tokoh yang suka berpakaian bukan hanya sekadar necis, tetapi juga berpakaian yang mungkin kelihatan agak mewah, memakai jas dan lain-lain. Jadi itu menurut Abu Hanifah. Kita tahu bahwa Abu Hanifah ini dari Masyumi yang bersebrangan dengan Soekarno. Jadi mungkin saja dia berpandangan seperti itu. Saya sendiri mempunyai jawaban yang lain kenapa Soekarno tidak hadir tahun 1928. Itu karena dia mendirikan PNI tahun 1927, setahun sebelum Sumpah Pemuda. Karena kegiatan PNI itu bukan hanya sekadar dilahirkan tetapi juga Bung Karno harus mengkampanyekan partai itu, jadi dia berkeliling ke seluruh Pulau Jawa untuk blusukan ke berbagai tempat di Pulau Jawa. Sehingga ketika sumpah pemuda itu diadakan, dia sedang di luar kota. Dia mungkin di Surabaya atau di Bandung pada saat itu. Jadi dia tidak hadir karena memang punya kesibukan, membesarkan partai yang dia dirikan. Jawaban yang ketiga diberikan oleh Ketua Kongres Pemuda tahun 1928, namanya Sugondo Djojopuspito. Sugondo Djojopuspito ini mempunyai anak. Sekarang umur anaknya itu mungkin 80-an. Menurut anaknya Sugondo Djojopuspito, Pak Sugondo mengatakan bahwa Soekarno memang tidak ikut di dalam Sumpah Pemuda karena alasan sederhana, bahwa Soekarno itu sudah sarjana. Jadi Soekarno itu sudah insinyur. Pengertian pemuda menurut dia itu yang masih pelajar dan mahasiswa. Jadi kalau sudah sarjana itu bukan pemuda lagi. Jadi karena itu tidak diundang. Apakah betul mahasiswa HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

angkatan ’66 dijadikan semacam komoditas politik? Pertanyaan itu apakah mahasiswa itu dimanfaatkan, begitu? Dimanfaatkan oleh militer? Ya. Menurut saya itu. Karena apa? Karena militer dalam Angkatan Darat (AD) atau Soeharto tidak mau berhadapan secara frontal dengan Soekarno. Jadi ya melalui tadi, demonstrasi, misalnya pada tanggal 11 Maret itu dan didukung di belakang oleh tentara untuk memberikan tekanan pada Bung Karno. Jadi bahwa mahasiswa itu dimanfaatkan, itu iya. Tapi apakah mahasiswa juga memperoleh manfaat dari apa yang mereka lakukan, iya. Karena sebagian dari mereka kemudian diangkat menjadi anggota DPR. Cosmas Batubara, dan lain-lain, menjadi anggota DPR pada masa awal Orde Baru. Jadi ya saling memanfaatkan antara mahasiswa dengan katakanlah tentara. Bagaimana dengan periode setelah angkatan ’66? Iya saya melihat bahwa bulan madu itu terjadi. Antara rezim yang berkuasa, tentara dengan mahasiswa itu pada tahun 1966, pada masa-masa awal itu. Tapi kan kemudian tentara itu semakin kuat, rezim Orde Baru yang didukung tentara itu semakin kuat. Mahasiswa itu ada yang terserap di dalam rezim itu, tetapi aspirasinya kan sudah tidak tertampung lagi, bahwa apa yang disebut amanah penderitaan rakyat itu dalam perkembangannya sudah bergeser kepada upayaupaya untuk mempertahan eksistensi dari rezim yang berkuasa. Bagaimana hubungan pemerintah dengan mahasiswa pada masa Orde Baru? Apakah pada saat itu pergerakan mahasiswa memiliki posisi yang sangat kuat dan berpengaruh pada pemerintah?


WAWANCARA LEPAS Oh iya. Jadi gerakangerakan mahasiswa, mulai 1908 itu kan mahasiswa ada yang sudah dokter juga bergerak. Jadi tahun 1966 itu mereka membuktikan bahwa mereka juga ikut di dalam upaya pengalihan perebutan kekuasaan. Pemerintah itu sendiri menyadari bahwa di dalam kegiatan pengambilalihan kekuasaan, mahasiswa ikut berperan. Tapi kemudian kita melihat juga mahasiswa masih tetap sebagai pelopor perubahan, dan bukan hanya pada tahun 1966. Tapi kemudian gerakan muncul lagi. Pada tahun 70-an, gerakan yang ada bukan hanya mahasiswa, tetapi gerakan-gerakan kelompok, misalnya yang menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Itu tahun 70-an, Arif Budiman dan kawan-

NAMA RUBRIK kawan. Tapi itu berhasil diredam. Tahun 1974 gerakan mahasiswa berhimpitan juga dengan persaingan dan pertarungan antar dua orang jenderal, antara Ali Moertopo dengan Soemitro. Kemudian terjadi peristiwa Malari. Kemudian tahun 1978 masih ada gerakangerakan mahasiswa, tetapi setelah itu saya melihat bahwa dengan NKK/BKK mahasiswa semakin diredam kegiatannya. Kampus menjadi steril dari kegiatan mahasiswa. Yang boleh itu barangkali cuma pecinta alam. Tapi menarik, pecinta alam ini kan sebetulnya juga suatu gerakan, suatu kegiatan mahasiswa yang mencoba menghadapi represirepresi dari orde baru. Di sisi yang lain ada penelitian, ada disertasi juga

yang sedang dibuat, yang memperlihatkan kreatif mahasiswa untuk menghadapi represi-represi dari pemerintah dengan kegiatan pecinta alam. Mereka bukan sekadar melarikan diri, tapi juga justru di situ ada kontemplasi, perenungan tentang berbagai hal yang dilakukan oleh pecinta alam. Kemudian pada tahun 90an muncul lagi gerakan-gerakan mahasiswa melalui bukan hanya kampus, tetapi juga di tempattempat pemukiman mahasiswa. Gerakan-gerakan mahasiswa yang mungkin agak radikal, kemudian disebut menjadi PRD, itu mengawali diskusi-diskusi di kampus dan lain-lain. Akhirnya bermuara kepada tumbangnya Soeharto pada tahun 1998, membuat Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden.***

Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya, tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini. (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia) HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

47


NAMA RUBRIK

SOSOK

Andri Topo; Seni adalah Hidup Oleh: Hasna Fuadilla H. Reporter: Syaiful Romadhon dan Ayu Mumpuni

C 48

Dok. HaWe/Syaiful Romadhon

uaca mendung ketika Tim Hayamwuruk bertolak dari Semarang menuju Magelang untuk menemui seorang narasumber. Hujan yang membasahi malam di tengah perjalanan tak menyurutkan niat kami untuk memacu kendaraan agar segera tiba ke tempat tujuan. Sekitar pukul 21.00 WIB, kami tiba di sebuah rumah sederhana dengan atap rumbia di bagian teras yang berlokasi di Desa Ngaran kawasan Borobudur. Kami disambut seorang laki-laki berambut gimbal dengan wajah ramah. Melihat kami yang basah kuyup kehujanan, laki-laki tersebut langsung mempersilakan kami untuk masuk ke dalam rumah dan berganti pakaian. Tak hanya itu, ia pun menawarkan kami untuk sekalian menginap di rumahnya. “Di sini memang sudah biasa dijadikan tempat menginap teman-teman.� Ujarnya sambil tersenyum. Tanpa pikir panjang, tawaran itu langsung kami terima. Tak banyak perabotan dalam rumah tersebut. Namun, terdapat beberapa patung aneka bentuk di sudut rumah yang langsung menarik perhatian kami. Selain itu, terdapat pula beberapa lukisan yang dipajang di dinding rumah. Laki-laki tersebut kemudian menjelaskan bahwa karya seni yang dipajang di rumah tersebut merupakan karya miliknya dan temannya. Dalam suasana akrab dan santai, kami pun mulai mewawancarai laki-laki itu. Ia bernama asli Andri Setio Martopo Rustanto, namun lebih dikenal sebagai Andri Topo. Andri adalah seorang seniman yang berkarya dalam berbagai hal, seperti berteater, mematung, melukis, hingga menjadi dalang wayang.

Sejak kecil, Andri memang telah mengenal dunia seni dan pewayangan. Laki-laki kelahiran Magelang, 28 Juni 1983 ini mengaku telah diperkenalkan secara tidak langsung dengan dunia seni oleh mendiang ayahnya. “Bapak saya yang mengenalkan pada kesenian. Dari kecil didongengin. Imajinasinya berkembang kemana-mana dan kebanyakan cerita wayang. Terus saya dibuatin wayang satu peti, HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

persis punya dalang itu komplit. Daripada punya dalang kayaknya komplit punya saya, karena ini lho, mulai dari kancil, kelinci, tokek itu ada semua di situ. Tapi dipangan rayap akhirnya, wong dari kardus itu. Itu tahun 1989, masih ingat saya.� Jelas Andri sembari tertawa. Andri mengaku bahwa dirinya telah memiliki citacita untuk menjadi seniman sejak ia masih kecil. Ia pernah ditanya oleh gurunya mengenai


SOSOK cita-citanya ketika ia duduk di kelas 6 SD. Dengan polos Andri menjawab bahwa ia ingin menjadi seorang pelukis. Jawabannya yang diutarakan tanpa ragu tersebut tak ayal membuat seisi kelas menertawakannya karena dianggap aneh dan sepele. Namun, hal tersebut tak menyurutkan keinginan Andri untuk menjadi seorang seniman, sesuai dengan kata hatinya. Mengenai banyaknya bidang kesenian yang digelutinya, Andri menjelaskan bahwa ia memang ingin melakukan banyak hal dan tak mau terkekang. “Ketika berkesenian, saya pingin apa lakukan saja. Jadi orang kadang bingung, main musik yo main, perkusian, nari. Saya juga nari, terus bikin patung ya patung, ngelukis yo ngelukis, bikin puisi sastra yo puisi dibacakan. Wah, sak karepku kan. Karena menurut saya saat itu, apa sih keinginan saya bebaskan aja.” Jelasnya. Pergi Berkelana Andri pernah tiga kali dimasukkan ke pesantren oleh Ibunya saat SMP, namun ia tak betah dan kabur. Sejak lulus SMP, ia pun sudah pergi dari rumah. Kepergiannya tersebut didasari oleh keinginan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA, namun dilarang oleh keluarganya karena keterbatasan biaya. Bertekad untuk tetap sekolah namun tidak ingin merepotkan orang tua dan keluarga, Andri pun berusaha untuk mencari penghasilan sendiri. Sejak remaja, Andri telah menjalani kehidupan yang tak mudah, jauh dari orang tua dan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Ia mengaku pernah mengamen, mencopet sebanyak tiga kali dan bahkan menjadi bandar. Ketika menjadi bandar, Andri sempat tertangkap polisi. Untung bagi Andri, saat itu belum ada pasal mengenai pelanggaran hukum yang dilakukannya. Ia hanya mendapat peringatan dan masuk sel selama lima belas hari. “Itu saja sudah

NAMA RUBRIK takut aku, tambah diteror terus sama polisi.” Ujar Andri. Pekerjaan menjadi pencopet dan bandar tak diteruskan Andri. Ia kemudian mengajar mengaji untuk anakanak kecil. “Tapi ada dua sisi yang konyol itu. Di sisi lain aku nyari duitnya ya ngamen, dan ngamen itu pasti ada sedikit-sedikit mabuk lah. Tapi tiap sore hari Senin sama Kamis aku ngajar ngaji. Wah, ngeri tho? Tapi yo kadang sirah’e abot angger bar mabuk terus ngajar, wis piye carane gosok gigi macemmacem isih nggandul-nggandul (tapi ya kadang kepalanya berat setiap habis mabuk, mau bagaimana pun caranya sudah gosok gigi tetap saja masih terasa, red.).” Ujar Andri yang membuat kami tertawa. Andri kemudian bercerita bahwa saat kelas 3 SMA ia merenung. Tak ingin menambah dosa, ia pun berganti pekerjaan dengan menjadi sales. Sekolahnya tetap diteruskan, bahkan hingga masuk jenjang perkuliahan di jurusan pertanian, walaupun hanya bertahan selama tiga bulan. Andri memang tak pernah menamatkan kuliahnya. Akan tetapi, ia pernah diberi kepercayaan untuk menjadi salahsatu narasumber yang bertujuan mengkritisi pendidikan di Indonesia. Walaupun sempat tak percaya diri karena merasa bukan siapa-siapa, namun ia berhasil menjadi pembicara dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang dari peserta acara. Setiap orang telah berkesenian dan berteater sejak lahir, hal itulah yang dipahami oleh Andri. Ia sendiri termasuk seniman yang berkarya sebagai proses dari pencariannya sendiri. Ia tak pernah terdidik dalam koridor-koridor keilmuan untuk menghasilkan suatu karya, melainkan mendapat pemahaman melalui pengamatan dan pengalaman. Dalam proses pembelajarannya, Andri “berguru” pada banyak hal. Menurutnya, kunci dalam berkesenian adalah jeli dan kritis. Artinya, ia harus HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

mampu menangkap informasi yang hanya sekilas dan tidak jelas. Selain itu, ia pun banyak berkonsultasi dengan seniman lain dan orang akademisi untuk menambah pengetahuannya. Bermodal nekat, Andri pun belajar untuk berteater. Awalnya ia hanya belajar dengan mengisi acara 17 Agustusan di panggung-panggung kampung dan banyak bertanya ke orang lain. Selanjutnya, ia berguru di Yogyakarta pada Untung Basuki yang sudah empat puluh tahun bersama WS Rendra. Selain banyak berkonsultasi, Andri juga pernah melakukan banyak perjalanan, diantaranya adalah Bali, Jawa Barat dan Sumatra. “Ya itu ketika saya konsultasi sama tementemen yang akademisi, belajar teater itu harus bisa memerankan, memperkaya hidup. Kamu harus memperkaya hidupmu mulai dari merasa orang paling kaya sampai merasa orang paling miskin, merasa orang paling jahat, maka kamu akan menjadi aktor yang hebat.” Terang Andri. Sebagai bagian dari pencariannya, Andri pun berkelana. Awalnya, ia hanya ingin mengenal dunia luar. Namun dari pengalaman berkelana itu lah ia belajar ilmu survive. Ada banyak pengalaman yang Andri dapat dari proses perjalanannya. Ketika di Sumatra, ia pernah lari ke daerah transmigrasi yang ternyata ditempati oleh orang-orang Jawa pengungsian Merapi tahun 1960. Di sana, ia bermalam di rumah Kepala Dusun (Kadus). Tiga hari kemudian, ia melihat ada anak kecil lari-lari sambil berteriak, “Nyang omahku jam papat (Ke rumahku jam empat, red.)!” Ternyata anak kecil tersebut tengah mengumumkan undangan kendurian. Merasa prihatin oleh tidak adanya etika dan sopan santun, Andri pun menawarkan diri menjadi orang yang bertugas mengundang kendurian. Oleh Kadus, Andri diberikan catatan yang berisi daftar undangan. Dengan berjalan

49


NAMA RUBRIK

50

kaki melewati ladang-ladang, ia bersilaturahmi ke setiap rumah dengan cara yang sopan sesuai adat Jawa. “Sampai ada yang menangis mbah tua itu saking kangennya ada anak muda yang bisa basa krama inggil sama orangtua.” Kenang Andri. Hasilnya, dalam waktu singkat ia telah dikenal oleh orang-orang sekampung—bahkan sekecamatan—sehingga ia merasa aman untuk tinggal di kampung tersebut. Bahkan ia dibuatkan kamar di luar rumah Kadus dan dibekali satu unit motor untuk menunjang “pekerjaan” barunya: penyebar undangan kendurian. Selain menjadi penyebar undangan kendurian, Andri pun dipercaya oleh Kadus untuk mengadakan workshop belajar krama inggil bagi anak-anak setempat. “Ilmu itu seperti apa pun ternyata penting, di tempattempat tertentu. Artinya kita tidak boleh menyepelekan ilmu, itu yang aku dapat.” Ujar Andri. Namun, ia pun akhirnya kabur dari kampung tersebut karena Kadus memiliki rencana untuk menjodohkan Andri dengan adiknya.

SOSOK Suatu hari, Andri mendapat pesan dari ibunya yang sudah sepuh, “Le, nek lungo ojo adoh-adoh (Nak, kalo pergi jangan jauh-jauh, red.)!” Akhirnya, setelah sekian lama melakukan perjalanan, Andri pun kembali ke Magelang, tepatnya ke kawasan Borobudur yang justru jarang ia jamahi. Selama dua bulan ia pergi ke Eloprogo untuk mengikuti kegiatan Poetry Camp yang juga diikuti oleh seniman lain dari berbagai kota. Di sanalah ia bertemu dengan Aning, seniman dari Semarang yang kemudian menjadi pasangannya. Kritik Sosial Tim Hayamwuruk tertarik dengan isu sosial yang digelontorkan Andri bersama teman-temannya melalui berbagai acara kesenian yang melibatkannya. Salah satu tujuan Andri dalam berkesenian memang untuk memberikan kritik. “Tentang kritik sosial banyak, karena salah satu fungsi kita sebagai rakyat kan berbicara. Ketika saya ditanya apa harapan

kedepannya, untuk diri saya sendiri harapannya ya tidak berkesenian lagi, bubar. Iya, karena apa, tidak ada yang dikritik lagi. Seperti fungsi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi, red.) kan, KPK cita-citanya apa, pasti bubarkan KPK. Wis ra ono korupsi og (sudah tidak ada korupsi kok, red.). Fungsinya itu tentang kritikkritik pemerintah seperti itu, dan memang harus dikritik pemerintah itu, memang harus.” Jelas Andri. Andri menjelaskan bahwa ia tak sekadar mengkritik. Ia juga berusaha untuk membangun optimisme. “Jangan sampai ketika kita mengkritisi pemerintah terus orang-orang di sekitar kita yang mendengar hanya bilang ‘alah, pancen payah Mas negarane’ (alah, memang payah Mas negaranya, red.)”. Ujarnya. Membangun semangat turut menjadi suatu hal penting dalam proses memberikan kritik. Tak perlu sampai memberi solusi—karena belum tentu sepaham dengan orang lain— tetapi cukup dengan membangun optimisme. Menurut Andri, kritik tanpa membangun optimisme

Dok. HaWe

Salah satu kegiatan Hanacaraka HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013


SOSOK sama saja dengan hanya menjelekjelekan. Memberikan kritik sosial melalui kesenian telah menjadi tujuan Andri. Namun, menjadi seniman sering dipahami sebagian orang sebagai pekerjaan yang tak menghasilkan pendapatan tetap. Ketika hal tersebut kami utarakan, Andri hanya tertawa kecil. “Takut miskin gitu? Kekurangan itu kan sebenere kita yang membuat. Apa sih kebutuhan kita sebenarnya? Nek program pokok itu kan sandang, pangan, papan, yang utama itu. Paling banyak sebenere kebutuhan sosial. Lebih banyak lagi itu bukan kebutuhan, tapi keinginan. Saya setiap hari yang penting beras stok. Jadi apa sih kebutuhan kita?” Andri tidak mau berkesenian untuk kepentingan bisnis. Ia takut tak bisa berkesenian sesuai dengan keinginannya sendiri karena harus mengikuti selera pasar. Hal itu ia anggap sebagai seni yang mewakili orang lain, bukan dirinya sendiri. Karena baginya, seni telah menjadi suatu kebutuhan. Andri mengaku bahwa hingga saat ini ia tidak berkesenian dengan tujuan komersil. Ia ingin agar sebuah seni dapat memberikan manfaat. Banyak kesenian yang hanya menjadi tontonan dan mendapat penghargaan bahwa karya seni tersebut mahal. Namun, menurut Andri kesenian seperti itu belum tentu bermanfaat secara sosial untuk masyarakat. Baginya, kesenian terbangun dengan fungsi edukasi dan harus memiliki wacana yang dapat diambil manfaatnya. “Kita mengisi kesenian ya seperti itu, belajar hidup. Kalau ilmu survive tadi, kalau sudah terjun ke kesenian, takut miskin takut nggak punya duit itu ya mustahil, wong kreator kok. Setiap hari kreatif, mosok nyari duit juga nggak kreatif.” Jelas Andri. Ada banyak kegiatan kesenian yang bertujuan sebagai kritik dan aksi sosial yang pernah dilakukan Andri beserta teman-

NAMA RUBRIK temannya, diantaranya adalah Wayang Onthel, Kloneng, Art for River, dan Hanacaraka. Tahun 2006, Wayang Onthel dibentuk di komunitas VOC—sebuah komunitas pecinta sepeda onthel di Magelang. Ide pembuatan Wayang Onthel berasal dari Agung, kakak Andri. Konsepnya adalah membuat wayang dengan bahan onderdil sepeda onthel bekas. Agung adalah dalang pertama Wayang Onthel. Tahun 2007, Andri mulai ikut menjadi dalang, berkolaborasi dengan Agung. Tak berapa lama, Agung berhenti menjadi dalang sehingga Andri menjadi satusatunya dalang Wayang Onthel hingga kini, ditemani Aning yang bertugas sebagai sinden. Agung sendiri kini menjadi semacam manajer yang mengatur pementasan Wayang Onthel. Cerita yang disampaikan pada pementasan Wayang Onthel berkutat pada kritik sosial, seperti penyuluhan narkoba dan kritik soal kasus jalur lambat di Magelang. Hingga kini, terdapat 20-an pemain beserta kru yang tetap menjalankan Wayang Onthel. Selain Wayang Onthel, Andri dan Aning juga membuat Wayang Infus dengan misi mengenai permasalahan kesehatan. “Harapan saya, ketika siapa pun ingin menggantikan jadi dalang Wayang Onthel, kami persilakan. Saya sangat terbuka, karena saya sadari berangkatnya dari komunitas. Ini milik komunitas, bukan milik saya. Ternyata tidak ada, ya sudah saya kembali lagi ke Wayang Onthel.” Jelas Andri. Tahun 2010 Andri dan empat orang temannya—termasuk Aning—mendirikan grup bernama Kloneng. Kegiatan Kloneng lebih berpusat pada anak-anak, seperti mengajar anak-anak, melukis bersama anak-anak dan bermain teater anak-anak. Selain itu, mereka juga melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan dengan target mulai dari anak-anak hingga para sesepuh. Namun sayang, pada tahun 2012 Kloneng terpaksa bubar. HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

Kegiatan sosial tak berhenti di situ saja. Atas usul Aning, Andri dan kawan-kawannya menggelar acara Art for River. Kegiatan tersebut merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap sungai. Sungai-sungai di sekitar Borobudur adalah sungai purba. Akan tetapi, kini kebersihannya tidak dijaga, padahal sungai adalah salah satu sumber kehidupan masyarakat. “Kalau kita ngomong di forum atau apa, seolah-olah menggurui. Kita buat acara disana, ada sedikit sosialisasi. Konsep acaranya, teknisnya dari sini arak-arakan, ada lima belas grup kesenian. Habis itu ke sungai, di sana pentas satu-satu. Nah, sembari nunggu pentas yang lain, kita kerja bakti ngambilin sampah terutama plastik. Jadi ketika orang nonton, yo kita ajak kerja bakti juga. Di situ tidak ada penonton, semua pelaku. Habis itu ada orasiorasi kebersihan lingkungan, dan sebagainya.” Andri beranggapan bahwa kegiatan Art for River lebih efektif dari sekadar memasang plang bertuliskan “Dilarang Membuang Sampah ke Sungai” karena mendapat apresiasi dari masyarakat. Setelah Art for River, Andri dan Aning kemudian membentuk Hanacaraka. Atas usul Aning, nama Hanacaraka diambil dari huruf tertua di pulau Jawa, selaras dengan konsepnya yaitu belajar membaca. Dalam hal ini, maksudnya adalah belajar membaca lingkungan keadaan, kemudian belajar mensikapi. Seni merupakan kehidupan bagi Andri. Dengan seni, ia belajar untuk hidup, bertahan, dan mengenal berbagai macam sifatsifat manusia. “Manusia itu kan terbagi tiga menurut saya sifatnya. Spiritual, mental, terus intelektual. Coro gampang’e ya bodoh atau pintar, terus sing mental itu pemberani atau penakut, spiritual itu baik atau jahat. Terus tinggal pilih yang mana, yang mana yang mau ditonjolkan.” Ujarnya sembari tersenyum.***

51


NAMA RUBRIK

WAWANCARA LEPAS

Mahasiswa Harus Speak Out! R. SITI ZUHRO:

Dok. HaWe/Syaiful Romadhon

52

K

ehidupan politik dan pergerakan mahasiswa tidak dapat dipisahkan dari situasi politik negara dan pemerintah. Mahasiswa sebagai salah satu pemegang kontrol sosial juga memiliki peranan sebagai pengawas pemerintahan melalui kritik hingga gebrakan besar yang bahkan berdasarkan sejarah, mampu menentukan nasib negara. Lalu, bagaimana hubungan kondisi pemerintahan Indonesia dengan pergerakan mahasiswa? Penjelasan mengenai dinamika politik di Indonesia saat ini beserta hubungannya dengan mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual diungkapkan oleh R. Siti Zuhro, Peneliti Senior di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat Tim Hayamwuruk (Syaiful R., Novia R., Citra P.) temui di kantornya. Mari simak hasil wawancara di bawah ini.

Bagaimana pola dinamika politik tahun 2013 sebagai tahun politik menjelang pemilu 2014? Jadi periode 2013-2014 periode politik, baik partai politik—khususnya sepuluh partai yang akan mengikuti Pemilu Legislatif 2014—sekarang sibuk untuk menyiapkan para Calegnya (Calon Legislatif) yang bagusbagus. Tapi di saat yang sama tidak sedikit partai yang sedang dirundung gonjang-ganjing, baik persaingan atau kompetisi antarelit di internal partai maupun isu suap korupsi dan sebagainya. Apa yang kita saksikan belakangan ini sebetulnya adalah kita mencoba untuk melakukan pembangunan atau melaksanakan demokrasi dengan pilar utamanya yaitu partai politik. Tapi pilar partai politik tadi belum amanah, jadi belum profesional dan belum mampu memperbaiki atau mereformasi dirinya. Sehingga, apa HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

yang terjadi selalu belum mampu untuk melaksanakan tugas pokok fungsinya, yaitu untuk melakukan pendidikan politik, untuk menyerap aspirasi masyarakat, bagaimana melakukan agregasi kepentingan di masyarakat sehingga dibawa oleh partai dan akhirnya nanti dibawa di parlemen. Hal-hal seperti itu yang absen, sehingga apa yang terjadi adalah amanah masyarakat tidak dibawa oleh partai, tidak dibawa juga oleh parlemen yang merepresentasikan rakyat. Sehingga ini yang sebetulnya menjadi puncak ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik. Tentunya dinamika politik digerakkan oleh partai politik. Ketika dinamika politik digerakkan oleh partai politik, apa yang terjadi ternyata partai politik melalui performance atau tampilan dari para kader-kader atau indukinduknya itu kok sebagian besar tidak mencerminkan perilaku yang memberikan pembelajaran


WAWANCARA LEPAS

NAMA RUBRIK

Dok. HaWe/Syaiful Romadhon

R. Siti Zuhro ketika diwawancarai Tim Hayamwuruk kepada masyarakat. Perilaku yang menunjukkan bahwa dia merepresentasikan partai politik yang notabene adalah pilar demokrasi. Ini yang gawat menurut saya. Jadi sekarang ini kita sedang dalam satu taruhan besar dalam berdemokrasi, karena di satu sisi masyarakat sebetulnya mulai jenuh setelah tiga kali Pemilu. Pemilu pertama tahun 1999, Pemilu kedua tahun 2004, Pemilu ketiga tahun 2009. “Apa sebetulnya hasilnya? apa manfaatnya?� Kata masyarakat kan. Lho, kok malah yang namanya eksekutif juga berbondongbondong melakukan korupsi, khususnya di daerah-daerah. Ada 291 daerah yang kepala daerahnya melakukan korupsi dan masuk penjara, dan masih seratusan lebih yang diproses. Kompetisi yang dibolehkan oleh demokrasi mestinya kompetisi

yang positif. Kompetisi karena apa, ini kader-kader yang handal, dikompetisikan karena kelebihan kekurangannya tadi diukur, ditimbang, ditakar. Tapi yang dikompetisikan belakangan ini bukan hanya kehandalan mereka untuk membohongi masyarakat, tapi adalah kehandalan dalam berkorupsi tadi. Jadi kompetisinya bukan kompetisi positif. Kalau terlalu banyak terjadi skandal dan demokrasi dimaknai hanya sekadar uang, yang terjadi adalah nanti akan ada golput yang luar biasa di Pemilu 2014, karena masyarakat sudah sulit percaya dan partai politik juga sulit untuk membangun kepercayaan itu kembali. Jadi, ini efek timbal balik yang sebetulnya tidak boleh terjadi. Tapi kita punya kekuatan yang tersisa, yaitu civil society. Civil society kita harapkan sekarang justru yang memberikan HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

pembelajaran kepada partai politik, kepada para elit, yang memerintah baik di level nasional maupun juga di daerah. Kita harapkan ada soliditas di kalangan civil society yang terdiri atas akademisi, LSM, juga media, baik media cetak, elektronik maupun media sosial untuk bersatu padu solid menggerakkan dan memaksa secara interaktif bahwa butuh perubahan untuk menjadi lebih baik. Jadi, kalau pun partai ingin mendedikasikan dirinya dan ingin berkontribusi, paling tidak harus ber-MoU dengan civil society, melakukan kontrak politik. Kalau tanpa itu kita tidak mengawal. Jadi menurut saya, jika civil society letoi, tetap membiarkan, monggo saja, gitu kan. Partai politik berkompetisi ancur-ancuran seperti itu, jadi menurut saya tidak akan ada perubahan. Apa yang akan dihasilkan oleh Pemilu 2014 tidak beda dengan pemilu sebelumnya, dan apa yang akan kita saksikan pascapemilu 2014 adalah stagnansi pemerintahan. Itu menurut saya periode gawat yang harus kita lalui ketika kita juga gagal mempromosikan penegakan hukum. Menurut saya memang ke depan ini adalah era untuk kita memiliki pemimpin yang memang di dirinya itu kita wajibkan selesai hidupnya, duniawinya ini selesai. Kalau tidak, ia akan membangun kerajaan. Jangan lagi ada kerajaan-kerajaan seperti yang sekarang, katanya ada kerajaan Cikeas, ada Kerajaan Bumi Cendana, kan begitu. Kita kepengin ada betul-betul pemimpin yang karena dia ingin memimpin, betul-betul ingin memajukan Indonesia. Bukan untuk mendirikan sistem monarki, sistem kekerabatan dalam politik. Jadi ini yang harus

53


NAMA RUBRIK

kita mulai, tandai, maknai, dan kita harus sudah mengunci, menyelesaikan untuk tidak lagi membolehkan politik tansaksional itu mendominasi dalam setiap Pemilu dan Pilkada. Untuk mahasiswa, apakah masih memiliki peran dalam politik atau pemerintahan Indonesia?

54

Iya, jadi yang tersisa di kalangan intelektual, khususnya mahasiswa itu harusnya idealisme dan cita-cita. Idealisme, semangat, dan cita-cita itu tidak boleh kendur. Kalau mereka ingin mengkritisi generasi yang sudahsudah, dia wajib hukumnya untuk menunjukkan cita-cita dan idealismenya. Dia adalah pendobrak, yang akan menuntut secara kencang bahwa siapapun yang akan memimpin kita itu harus baik. Jadi di dirinya harus ada itu, bukan lalu menjadi aktivis, mahasiswa menjadi aktivis, dari aktivis itu ngumpulin duit, itu jangan. Itu sama saja bohong. Jadi yang tesisa di kita, intelektual dan mahasiswa itu adalah cita-cita dan idealisme. Dan tentunya, karena saya Islma, beramar ma’ruf nahi mungkar. Mahasiswa jangan sampai terkikis, jangan sampai tergerus nilai-nilai idealisme dan cita-citanya. Karena rohnya itu di situ. Menurut Ibu, bagaimana hubungan mahasiswa dengan pemerintah? Memang punya hubungan? Ya sebenernya mahasiswa ini sebagai kontrol sosial, jadi dia melakukan fungsi sebagai agen perubahan. Agen perubahan yang juga ikut melakukan pengawasan, meskipun bukan DPR. Dengan gagasan-gagasan kritis, itu sebetulnya yang bisa disampaikan dan tentunya masih mendapatkan porsi kepercayaan dari pemimpin, dari penguasa khususnya.

WAWANCARA LEPAS

Saya melihat memang sejak gerakan reformasi tahun 1998 tidak cukup meletakkan gerakan mahasiswa atau mahasiswa itu di posisi, yang mohon maaf, mionir. Karena memang gerakan reformasi yang juga diperankan oleh mahasiswa itu belum mencapai puncaknya ketika dia harus melakukan perubahan. Jadi bangunan yang dicita-citakan oleh gerakan reformasi itu belum terwujud penuh, belum pada puncaknya sudah selesai. Itu yang membuat demoralisasi sebetulnya. Dan mengapa mereka tidak pionir akhirnya? Kalaupun ada tokohtokoh mahasiswa yang dikooptasi, atau ikut dalam pemerintahan, atau ikut di DPR, kita tidak lagi melihat idealisme itu. Lebih menjadi juru bicara yang pasang badan. Itu yang mungkin menyebabkan, sebetulnya kita review, mahasiswa ini di mana sekarang letaknya, peran penting posisinya itu ada di mana? Apakah dia pelengkap penderita sekadarnya saja,tidak lagi kritis seperti mungkin ketika kita ingin menggulingkan Orde Baru? Karena memang dalam teori gerakan massa, semakin represif suatu rezim, akan semakin mengkristal, semakin solid gerakan-gerakan itu, jadi kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat. Ini yang tidak lagi menyemangati mahasiswa. Jadi adik-adik mahasiswa ini jangan sampai lebih pragmatis atau oportunis dari pada pendahulunya. Yang tersisa itu nilai-nilai luhur, itu yang betul-betul harus dikumandangkan, ditonjolkan. Selain partai tertentu, siapa pihak yang dapat beroposisi pada pemerintah? Menurut saya tidak ada single factor ya. Tidak hanya satu lembaga atau satu kekuatan saja. Jadi ini kan sudah terlanjur terfragmentasi, HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

masyarakat terfragmentasi, partai politiknya terfragmentasi, jadi kekuatan-kekuatan ini sudah menyebar. Oleh karena itu agent of changes, agen perubahan, juga yang melakukan peran untuk mengkritik, pengawasan, jadi social change untuk menjadi agen perubahan. Terus bagaimana, siapa yang mengawasi pemerintah, begitu ya. Sebetulnya kalau secara kelembagaan kan sudah ada DPR, ada DPD juga. Jadi check and balance antara legislatif, eksekutif itu mestinya terjadi. Tapi apa yang terjadi, kok tidak ada check and balance pengawasan dari DPR kepada pemerintah. Lalu, siapa yang kita harapkan lagi? Media. Media ini adalah pilar demokrasi juga, mahasiswa pilar demokrasi juga, profesional intelektual. Kalau lebih dirinci lagi kelompok-kelompok atau komunitas buruh, petani, itu semua kekuatan-kekuatan yang seharusnya speak out. Tapi buruh speak out juga kan ketika menyangkut gaji, ketika menyangkut masa depan dirinya, nasibnya. Nah, kita inginkan dalam konteks untuk mengkritisi, sebetulnya semua kekuatan sosial dalam masyarakat. Termasuk kami, anda sebagai mahasiswa, kampus, itu harus melakukan itu. Di negeri ini ada yang tidak benar lho. Harus speak out, tidak terus melakukan pembiaran. Negara sudah melakukan pembiaran, masa kita ikut diam, membiarkan. Tidak ada yang satu tunggal yang bertanggungjawab. Kita semua bertanggungjawab karena kita juga diberikan hak konstitusi. Kita memiliki hak konstitusional sebagai warga negara untuk dipilih, memilih dan ikut bertanggung jawab bagaimana negara ini akan dirunning ke depan. Jadi tidak ada ini tanggung jawabnya presiden saja. Memang iya dia dipilih dan harus mempertanggungjawabkan, tapi tidak semata-mata seperti itu.***


RESENSI

NAMA RUBRIK

Lampuki: Sebuah Kisah Tanah Tumpah Darah Oleh: Destya Pusparani

Dok. Inet

Judul Buku Penulis Penerbit Tahun Terbit Tebal Buku

L

ampuki adalah karya sastra pemenang unggulan sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2010. Novel yang terbit pada tahun 2011 ini mengisahkan cerita di balik layar peperangan panjang sebuah provinsi di ujung paling barat Indonesia. Aceh. Aceh yang menyumbangkan pesawat terbang dan emas di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, namun kemudian menjadi wilayah yang tak pernah berhenti bergolak dalam usahanya untuk merdeka dan memisahkan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dari media, kita banyak mendengar tentang konflik membara di Serambi Mekah ini.

Masyarakat dibuat bergidik mendengar banyaknya korban dan pembakaran yang dilakukan terhadap saranasarana umum. Akan tetapi, apakah yang sesungguhnya terjadi di sana? Lampuki yang ditulis oleh Arafat Nur ini menjawab pertanyaan tersebut. Arafat menceritakan seluk beluk konflik Aceh melalui mata seorang teungku kampung. Lampuki adalah sebuah kampung kecil dekat perbukitan yang termasuk dalam wilayah Pasai. Di kampung inilah tinggal tokoh-tokoh utama dalam cerita ini. Diantaranya adalah Ahmadi, seorang lelaki garang berkumis sangat tebal yang punya jabatan penting dalam gerakan kemerdekaan Aceh, dan Teungku Muhammad, guru agama di kampung yang mengajar anakanak mengaji. Selain mereka berdua, para penduduk Lampuki juga menjadi tokoh-tokoh yang mewarnai kejadian-kejadian absurd di kampung ini. Kisah dimulai ketika suatu malam Teungku Muhammad sedang mengadakan pengajian rutin di balai rumahnya. Suasana HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

: Lampuki : Nur Arafat : PT Serambi Ilmu Semesta : 2011 : 433 hlm.

gaduh anak-anak di balai tersebut seketika senyap ketika Ahmadi menunjukkan wajahnya yang garang berkumis tebal. Ia sengaja datang malam itu dengan maksud meyakinkan anak-anak kampung untuk angkat senjata bersamanya. Sebuah khotbah panjang lebar tentang sejarah tanah Aceh disampaikannya dengan berapiapi, disertai percikan-percikan ludah yang mengenai wajah si Teungku. Sial bagi Ahmadi, khotbah panjangnya itu sia-sia. Bahkan ketika sekolah-sekolah umum ditutup karena ancamannya, tetap tidak ada anak yang mau ikut bersamanya angkat senjata. Beberapa minggu kemudian, Ahmadi datang lagi dan memaksa dua orang anak, Musa dan Harun, untuk ikut berperang. Musa adalah anak paling nakal di pengajian yang ayahnya menghilang setelah diringkus tentara di suatu malam bulan Ramadhan. Dengan mudah ia berhasil dibujuk Ahmadi. Sedangkan Harun gagal dibujuk, sehingga Ahmadi beralih mengincar Jibral, anak penakut tetapi berwajah paling tampan di Lampuki. Jibral tidak berani ikut angkat senjata, jadi ia akhirnya memutuskan membayar uang tebusan sebagai pengganti wajib perang. Namun, ia akhirnya malah diajak bermesraan oleh Halimah, istri Ahmadi yang sering ditinggal

55


NAMA RUBRIK

56

suaminya berjuang. Beberapa waktu kemudian saat keadaan Aceh mulai memanas, sepasukan kecil tentara bermarkas di Lampuki. Meskipun penyerangan banyak terjadi di kampung dan kota lain, tetapi Lampuki selalu aman dan damai sehingga menimbulkan kecurigaan tentara. Karena kecurigaan itulah, tiga penduduk Lampuki tewas dibunuh. Mereka adalah Abdul Gani, Anwar dan Tanjil. Di sini penulis bercerita betapa mudahnya nyawa seseorang melayang saat keadaan mulai memanas. Abdul Gani dan Anwar mati karena kesalahpahaman. Abdul Gani yang sudah tua terpaksa keluar larut malam karena ingin buang air besar, namun ditembaki tentara. Anwar ditembaki karena gondrong dan jarang terlihat di Lampuki. Tanjil sendiri adalah pemuda keterbelakangan mental yang mati karena meledek tentara, lalu dianiaya dan dipukuli sampai mati. Kisah Tanjil adalah salah satu dari kejadian dalam novel ini yang bisa membuat pembaca terdiam dan bergidik. Setelah melalui bulan-bulan berat yang mengharuskannya bersembunyi di hutan, Ahmadi pulang ke Lampuki. Ia mendapatkan banyak anggota baru, sehingga suara letusan bedil di Pasai kembali semarak. Kali ini Ahmadi mengganti taktik perang. Ia tidak lagi menyerang untuk membunuh tentara, tetapi mengadakan penyerangan dan ledakan di banyak tempat umum. Taktik ini menimbulkan kesan tidak ada pemerintahan yang berdaulat di tanah Aceh, dan sangat efektif memengaruhi jiwa tentara. Di sini Arafat juga menceritakan penderitaan tentara, sebagai pihak yang jarang terbela dalam wacana tentang luka psikologis akibat konflik Aceh. Melalui tokoh Teungku, Arafat bercerita bagaimana sebagian tentara itu mengalami gangguan jiwa. Dalam kisah ini, Teungku melihat sendiri banyak tentara muda menangis ketakutan

RESENSI menghadapi pemberontak yang ganas, sementara melihat rekanrekan mereka tewas di depan mata. Angin segar kemenangan bagi gerilya Aceh berhembus makin kencang saat tentara di Aceh, termasuk Lampuki, ditarik mundur ke ibukota. Saat itu terjadi demonstrasi besar-besaran di ibukota negara oleh mahasiswa sehingga tentara harus turun tangan. Ahmadi menyampaikan pidato kemenangannya di pasar Lampuki. Ia mengatakan bahwa pesawat-pesawat tempur Amerika dan Inggris akan segera datang membantu Aceh untuk merdeka dan mengusir kaum penjajah dari seberang laut. Teungku Muhammad hanya mendengarkan dengan rasa ragu. Ia berharap apa yang dikatakan Ahmadi benar, walau ia tahu itu tidak mungkin. Ia sadar, tidak ada lagi yang bisa dimanfaatkan Inggris dan Amerika setelah gas alam hampir habis dikeruk. Keraguan Teungku terbukti benar saat tentara-tentara kembali menginjakkan sepatu lars mereka di Aceh, termasuk Lampuki. Penduduk menyebut pasukan yang baru sebagai “tentara ular” dan presiden yang mengirimkannya sebagai “perempuan ular”, karena ia pernah menjanjikan berhentinya pertumpahan darah selama masa kampanye. Lebih parahnya lagi, “tentara ular” memiliki taktik baru, yang disebut “taktik membinasakan gerilya”. Setiap kali para gerilyawan melakukan penyerangan, tentara memukuli penduduk dan membakar rumah mereka. Dengan cara ini, penduduk kemudian melimpahkan kemarahan dan kebencian pada gerilya. Taktik ini pun menjadi sebuah pukulan hebat bagi gerilya. Selain menghadapi tentara yang lebih banyak, mereka juga dimusuhi masyarakat. Harapan merdeka pun pupus seiring banyaknya pejuang yang tewas atau putus asa sehingga menyerahkan diri setelah pemimpin mereka mati. Di tahun yang sungguh berat bagi gerilya, tanpa diduga HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

tokoh utama kita yang berkumis tebal muncul di Lampuki setelah lama bergerilya di hutan. Namun, kegarangannya luntur tak bersisa, hanya tinggal tubuh kurus dan mata kuyu. Kumis tebal lambang kegarangannya sebagai pejuang pun telah berubah putih seluruhnya, seperti mengabarkan usia perjuangannya yang sudah renta. Ia hanya singgah sebentar dan tak mau bicara apapun, walau penduduk kampung menyambutnya dengan rasa haru. Ahmadi meninggalkan Lampuki pada sore hari ke arah hutan. Saat kemudian terdengar riuh tembakan dari arah Ahmadi pergi, semua orang hanya bisa pasrah dan memendam kecemasan hebat. Ada suatu ungkapan yang berbunyi, “Tidak ada pahlawan di dunia ini, yang ada hanya tindakan-tindakan baik”. Jika kita mengharapkan seorang manusia sepenuhnya baik, kita akan kecewa ketika mengetahui kekurangannya. Seperti yang tersirat dalam gaya penceritaan Arafat di sepanjang kisah ini. Seluruh tokoh dalam kisah ini, baik pejuang maupun tentara, bahkan si Teungku sendiri memiliki dua sisi itu. Ini juga termasuk Soekarno dan Soeharto, yang dicaci-maki tanpa tanggungtanggung dalam khotbah Ahmadi, namun diam-diam dibela dalam hati si Teungku. Keistimewaan dari membaca langsung kisah ini, kita dapat merasakan seperti apa hidup sebagai penduduk Aceh, juga mengerti sudut pandang mereka. Hal ini mungkin menyentak pembaca dari etnis Jawa khususnya, karena adanya kecemburuan sosial dan kebencian pada tentara serta pemerintah, kemudian menyempit menjadi rasa tidak suka yang etnosentris. Di sela-sela tema utama tentang kekerasan yang mengakibatkan hilangnya banyak nyawa, Arafat pun sempat menyisipkan cerita tentang gas alam. Gas alam yang dulu ditemukan di Aceh pada tahun 70-an merupakan cadangan


RESENSI terbesar dunia di masa itu. Melalui si Teungku, Arafat menceritakan perubahan-perubahan drastis dari desa sepi menjadi kota yang gemerlapan. Urbanisasi dan konflik budaya kemudian tak bisa dihindari, bahkan keberadaan gas alam ini akhirnya menjadi salah satu pemicu konflik panjang berlarut-larut. Seperti sindiran Arafat Nur dalam novel ini, sampai sekarang kita masih bernyanyi riang tentang tanah “tumpah darah� tanpa menyadari betapa nyatanya arti kata-kata itu. Tanah negara ini masih lembab oleh darah saudarasaudara sebangsa kita yang bahkan tak sempat mengering, dan putus asa melakukan penggugatan atas kesenjangan serta ketidakadilan yang mereka terima. Setelah membaca kata demi kata dari novel Nur Arafat ini, kita dapat merasakan pahitnya keputusasaan para pejuang Aceh, merasakan bagaimana semangat dan harapan berapi-api untuk merdeka yang kemudian meredup sampai semangat itu sekarat ditimpa pembunuhan dan kekalahan bertubi-tubi. Membaca buku ini menjadi penting, untuk meluruskan anggapan bahwa pemberontak adalah penjahat dan halal untuk dibunuh. Sejak kecil, di sekolah kita tidak pernah diajari tentang sisi lain dari suatu pemberontakan. Dalam pelajaran sejarah di sekolah, sisi kelam dari sejarah bangsa dan pemimpin kita hampir ditiadakan. Sebagai seorang warga negara, kita tumbuh besar dengan menganggap bahwa kita adalah bangsa yang selalu berbudi luhur. Hal ini menjadi salah satu anggapan yang dipatahkan dalam Lampuki. Pada akhirnya Lampuki dapat menjadi salah satu bacaan khusus untuk memahami sisi lain dari perjuangan rakyat Aceh. Dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti, Arafat membawa Lampuki menjadi novel yang menarik untuk dinikmati.***

NAMA RUBRIK

SELAMAT MELANJUTKAN ESTAFET PERJUANGAN KEPADA REKAN-REKAN MAGANG LPM HAYAMWURUK 2012/2013

SEMOGA KALIAN LEBIH BAIK!

DISAMPAIKAN OLEH KELUARGA BESAR LPM HAYAMWURUK HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

57


NAMA RUBRIK

RESENSI

Kisah Tiga Perempuan dalam Satu Ranah Oleh: Annisa Intan Pratiwi Genre Sutradara Pemain Durasi

U 58

: Drama : Garin Nugroho : Marcella Zalianty, Ayu Laksmi, Nadia Saphira, Dwi Sasono, Ikranagara : 95 menit

pemuda (Dwi Sasono) yang menyatakan bahwa dia sangat mirip ibu si pemuda. Di sini terjadi suatu kebetulan, dimana ibu si pemuda ternyata adalah seorang penari, sama seperti ibu kandung Maharani. Padahal Maharani bersikap antipati terhadap profesi itu, bahkan menolak mentahmentah tawaran kerabatnya untuk menari. Di lain pihak, Maharani yang sejak kecil dijual oleh sang ibu justru tak sengaja terseret pada kasus penjualan anak yang melibatkan saudaranya. Kisah selanjutnya datang dari seorang penyiar radio bernama Dewi (Ayu Laksmi). Ia dihadapkan pada dilema untuk memilih menggugurkan kandungannya atau mempertahankan janin hingga lahir meski dengan risiko kematian bayi. Hal ini terjadi karena janin yang dikandungnya mengalami kegagalan pembentukan otak sehingga hanya mampu bertahan beberapa menit setelah dilahirkan. Pilihan yang menyerupai buah simalakama tersebut membuat Dewi menderita tekanan batin, karena apapun yang dipilihnya akan membuahkan risiko yang sama. Konflik psikis pun terjadi padanya, namun dia masih berusaha memperdengarkan HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

Dok. Inet

nder the Tree merupakan film garapan Garin Nugroho yang dirilis tahun 2008. Berlatar budaya Bali, film ini mengangkat kisah tiga orang perempuan dengan permasalahan seputar “benih� dan “akar�. Seperti beberapa film Garin Nugroho lainnya, Under The Tree yang berdurasi 95 menit menghadirkan metafora dan simbolisme yang kental. Salah satu metaforanya terdapat dalam pemilihan judul yang menggunakan pohon sebagai ikon. Pohon banyan yang diilustrasikan pada poster film ini merupakan lambang kehidupan masyarakat India. Mereka melambangkan kehidupan laiknya pohon yang mulai akar hingga buahnya berada dalam satu tubuh secara utuh. Bagian-bagian pohon terkait satu sama lain, seperti simbol benih sebagai keturunan atau anak serta akar yang bermakna asal-usul dan berkaitan dengan leluhur atau orangtua. Film ini dimulai dengan kisah seorang tokoh bernama Maharani (Marcella Zalianty), orang Jakarta berdarah Bali yang berusaha mencari asalusul dirinya. Pencarian tersebut membawa Maharani pada fakta bahwa ia dijual oleh ibunya yang seorang penari Bali. Dalam upaya pencariannya di tanah Bali, Maharani bertemu seorang

suara sewajar mungkin pada saat ditelepon suaminya hanya untuk meyakinkan bahwa semua baikbaik saja. Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Dewi berusaha menghadapi persoalan masa depan janinnya seorang diri dengan melampiaskan kemarahannya melalui tembang-tembang tradisional yang sarat makna. Perasaan tertekan itu terlihat pada ekspresi dan tingkahnya yang tidak biasa saat melantunkan tembang. Kisah terakhir bercerita tentang Nian Nugroho (Nadia Saphira), seorang aktris yang tengah berlibur di Bali dan bertemu dengan seniman laki-laki paruh baya (Ikranagara). Nian mengagumi laki-laki tersebut karena menemukan sosok kebapakan dalam dirinya. Nian yang sejak kecil telah ditinggalkan ibunya sangat membutuhkan curahan kasih sayang orangtua.


RESENSI Akan tetapi ayah kandungnya sendiri membuat ia merasa malu lantaran ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Ternyata kekayaan yang dimilikinya selama ini adalah hasil dari memeras uang rakyat. Kebencian Nian terhadap ayahnya ia ungkapkan dalam kalimat berikut, “Ayah gue nggak punya kepala, nggak punya hati, nggak punya tangan!”. “Kepala” yang ia maksud adalah metafora dari otak, dimana ayahnya lebih memilih uang daripada dirinya. Padahal anak merupakan harta paling nyata yang terkadang tidak disadari orangtua. Sedangkan yang dimaksud “nggak punya hati” adalah pemerasan keringat rakyat dalam bentuk korupsi. Lalu “tangan” dalam ungkapan tadi bermakna sikap lalai ayahnya sebagai orangtua. Ayah Nian meninggalkan sesuatu yang pasti hanya untuk mengejar ketidakpastian. Hingga pada suatu saat Nian memutar kembali tape recorder yang merekam penuturan ayahnya mengenai masa kecil Nian. Rekaman tersebut juga memuat cerita tentang sang ayah yang menganggap bahwa segala hal dapat diatasi dengan uang, termasuk masa depan Nian. Meski akhirnya uang justru menjerumuskannya pada jurang kegelapan. Film ini menjadi semacam penggabungan kisah yang berbeda namun memiliki sisi serupa untuk diangkat bersama. Sebagaimana pernyataan mengenai tiga “benih” yang ditampilkan pada awal film, berupa tiga orang perempuan dengan latar masalah seputar ikatan orangtua-anak. Maharani yang membenci ibunya lantaran dijual, Dewi yang memiliki dilema antara menggugurkan kandungan atau melahirkannya meski dengan risiko kematian bayi, serta Nian yang malu memiliki ayah seorang koruptor. Melalui film ini, sang sutradara seolah-olah ingin mengangkat isu tentang hubungan orangtua-anak dari latar belakang

NAMA RUBRIK berbeda yang belum banyak diangkat ke layar lebar. Isu tersebut disampaikan secara samar melalui berbagai peristiwa yang sebenarnya sederhana tetapi menjadi sulit dimengerti karena adanya simbol-simbol dan metafora. Seperti sikap tokohtokoh yang harus dipahami secara khusus disertai dengan latar belakang budaya yang kental. Sementara tidak semua orang dapat dengan mudah memahami latar budaya yang disuguhkan dalam film ini. Seperti percakapan, ritual dan adat masyarakatnya. Bahkan ada beberapa percakapan yang secara utuh menggunakan bahasa Bali tanpa adanya terjemahan. Sehingga tidak menutup kemungkinan jika penonton memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Akan tetapi hal itulah yang menjadi keistimewaan film ini. Film ini bisa dikatakan memiliki nilai estetika yang lebih. Terutama menyangkut latar budaya yang menjadi warna tersendiri. Banyaknya simbol dan metafora yang menuntut penonton berpikir lebih membuktikan bahwa Under The Tree memang bukan film kacangan. Penggunaan bahasa lokal dan simbol-simbol oleh sutradara justru menjadi tantangan bagi penonton untuk menginterpretasi isi film. Namun jangan khawatir, Under the Tree lebih mudah dipahami daripada film Garin lainnya seperti Opera Jawa yang seluruhnya berisi tembang dan tarian. Walaupun ada beberapa scene dalam Under the Tree yang benar-benar sulit diinterpretasikan. Seperti saat Maharani beradegan erotis dengan si pemuda Bali, juga saat Dewi makan telur menggunakan cara yang “aneh” sambil menyenandungkan tembang berbahasa Bali dengan ritme naik turun. Saya sendiri menginterpretasikannya sebagai ekspresi kemarahan Dewi terhadap takdir. Telur di tangannya merupakan personifikasi “benih” yang keropos bagian dalamnya. HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

Lalu Nian yang menutup kepala dengan kardus saat menemui seniman idolanya sebagai ekspresi rasa malu terhadap kondisi ayahnya. Kelebihan lain film ini adalah pemilihan aktor dan aktris yang tepat. Kesesuaian karakter membuat tokoh menjadi lebih hidup. Seperti Marcella Zalianty yang sudah tidak diragukan lagi kemampuannya dalam memainkan peran wanita tenang namun bermasalah. Selain itu ada Ikranagara seorang seniman Bali yang bermain sebagai cameo, serta maestro tari Bali Ni Ketut Cenik yang dipasang untuk memperkuat latar budaya Bali. Keberadaan mereka seolah menjadi magnet yang mampu menarik perhatian para calon penonton bukan hanya berdasarkan kebesaran namanya saja, tetapi juga kapasitas akting yang mumpuni. Hal unik lain dalam film Under the Tree adalah penggabungan seni drama, tari, musik, ritual, dan busana tradisional dengan latar panorama indah Bali. Salah satunya adalah pentas tari Calonarang, kisah klasik yang menceritakan kasih ibu pada anaknya yang berakhir dengan pertempuran. Secara tidak langsung film ini memberikan semacam rekreasi budaya karena memperlihatkan atmosfer Bali yang kuat. Selain itu juga menyuguhkan pada penonton sisi lain dari berbagai bentuk kesenian Bali yang ternyata membutuhkan proses dan banyak kru. Sehingga memberi pengetahuan lebih tentang beberapa hal yang jarang diungkap media massa. Secara garis besar film ini mengajak penontonnya untuk berpikir tidak hanya dalam lingkup hiburan tetapi juga nilai-nilai luhur kebudayaan. Adegan-adegan penuh simbolisasi serta penggunaan unsur kebudayaan yang kental merupakan jalinan kerumitan yang menuntut interpretasi lebih. Namun semua kembali pada penonton, ingin tontonan berkualitas atau yang sekadar memanjakan mata.***

59


NAMA RUBRIK

CERPEN

Tentang yang Terbuang Oleh: Umi Ibroh

B

60

iar aku bercerita lagi tentang suatu pagi di sebuah desa yang kata orang-orang sangat makmur. Waktu itu sekitar pukul 06.00, entah kurang atau lebih. Aku berjalan-jalan di sebuah padang ilalang yang terhubung dengan area pesawahan. Harum angin menyapa hidung dengan lembutnya, sebagaimana Tuhan menyentuh makhluk dengan ayatayat-Nya. Pada sebuah persimpangan rupa, takdir membawakanku kawan untuk berbincang. Seorang nenek tua yang entah dari mana mulanya. Rupanya mempesona, tubuhnya dibalut kebaya dan kain batik. Rambutnya yang setengah memutih disanggul dengan indah. Sambil menjinjing tas yang sepertinya terbuat dari kulit buaya, ia menghampiriku. Dari penampilanya yang terlihat elegan itu, aku bisa langsung menebak bahwa ia adalah seorang ningrat. “Mau ke mana, Nak?” Nenek itu bertanya. “Jalan-jalan Nek, cari udara segar.” “Aku tak pernah melihatmu, kau pasti bukan orang sini.” “Saya memang bukan orang sini, saya dari desa sebelah. Saya hanya ingin melihat dari dekat seperti apa desa tetanggaku yang kata orang-orang sangat makmur.” Nenek itu tersenyum, entah karena apa. Mungkin ia merasa tersanjung mendengar desanya disanjung olehku. “Ternyata benar yang orang-orang ceritakan. Desa ini sangatlah makmur. Di desaku, tanaman bawang tak pernah sesubur ini. Cabe dan padi-padian tak ada yang tumbuh selebat ini. Bahkan tanaman padi gagal panen karena terlalu banyak wereng dan

gulma.” “Sepertinya kau sungguh tertarik dengan desa ini.” Aku enggan menjawabnya, namun ku berikan sebuah senyum penegasan bahwa aku memang tertarik. Aku dan si nenek berjalan menyusuri jengkal demi jengkal tanah hingga kami tiba di ujung area pesawahan. Tak jauh dari tempat kami, terlihat sebuah gapura kokoh dengan ornamen patung burung garuda. Nenek itu mengajakku masuk. Ternyata, itu adalah gerbang menuju pemukiman desa. Rumah-rumah berjejer rapi dan bersih. Dalam hati aku berdecak kagum. Bagaimana tidak, setiap rumah yang kulihat hampir terlihat seperti istana. Berdiri megah seperti bangunan dalam cerita khayalan. Kami mengitari desa cukup lama, hingga akhirnya si nenek mengajakku berhenti sejenak di sebuah pondok di dekat tempat pembuangan sampah. Baunya sangat busuk hingga lalatlalat yang biasa hinggap di bangkai berterbangan di mana-mana. “Aku ingin mengetahui lebih banyak tentang desa ini, Nek. Maukah kau ceritakan padaku lebih jauh lagi?” Kataku penasaran. Nenek itu terdiam. *** Mungkin kau tak akan percaya, tapi ini benar-benar terjadi pada hari itu. Wajah nenek itu hilang dari pandanganku, entah ke mana perginya. Sepertinya ia mempunyai ajian gaib, semacam halimun. Kau tahu, aku seperti telah dibius dan dibawa lari oleh si nenek lalu kemudian di buang di tempat yang sangat mengerikan. Jika sebelumnya telah kuceritakan aku tengah berada di tempat sampah yang busuk, tempat yang kupijak kini bahkan seribu kali lebih mengerikan dari itu. Tanahnya becek, banyak genangan HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

air di mana-mana. Lalat-lalat hijau berterbangan sesukanya. Banyak bangkai-bangkai yang membusuk yang tergeletak di sudut-sudut jalan. Mengerikan. Aku berjalan hati-hati sekali. Aku takut tergelincir dan jauh. Aku yakin, jika aku tergelincir dan jatuh tak akan ada yang menolongku. Sebab, tanah ini sangat sepi seperti kuburan. Seekor lalat mendekatiku. Karena jijik dengan kakinya yang telah hinggap di bangkai-bangkai yang membusuk dan mungkin juga di atas tai atau comberan, maka ku usir ia. Tapi ia tak mau pergi dan malah hinggap di pipiku, lalu menciumnya, lalu menjilatinya. “Lalat sialan!” Gerutuku. “Hei manusia, apa yang kau katakan? Beginilah cara masyarakat sini memperlakukan sesamanya.” Aku melongo. Bukan karena heran dengan hewan yang berbicara ngeyel, bukan. Tapi, entahlah. Mungkin aku belum begitu terbiasa dengan situasi semacam ini. “Kenapa?” Tanyanya. “Ceritakan padaku, seperti apa orang-orang di sini?” Kataku akhirnya. “Masuklah dan lihatlah sendiri!” Ia menunjukan kepadaku sebuah gerbang pemukiman yang dari jauh nyaris terlihat seperti tong sampah butut. Lalat dan bau busuk langsung menyambutku. “Lihatlah orang tua yang mengayun cangkulnya pada sebuah ladang. Ia berpeluh menebar bibit pada tanah, padahal bumi pertiwi menyungging senyum meski itu hambar.” Kata si lalat. “Ya, beginilah kehidupan yang sebenarnya.” Aku pernah mendengar sebuah cerita tentang negeri yang seperti ini dari pacarku.


CERPEN Asap mengepul di mana-mana. Dari kejauhan kulihat pula bayi yang bernyanyi di bawah pohon beringin. Ia bermain-main dengan pisau yang dilemparkannya ke udara, lalu ditangkap dan digoreskan pada lengan mungilnya. Aku menjerit. Si lalat juga demikian, ia bilang tak sanggup melihatnya meski keadaan seperti ini sudah biasa ia jumpai. Kata si lalat, sang ibu meninggalkan si bayi demi sebarel minyak dan sekwintal kedelai. Kau tahu, padahal si lalat bilang bahwa di bawah setiap jengkal tanah di sini mengalir minyak bumi yang benar-benar murni. Aku masih tak mengerti dengan semua ini. Lalu aku kembali berjalan menyusuri gang-gang kumuh, sementara si lalat masih mengoceh panjang lebar walau aku tak begitu mendengarkanya. “Hei, anak muda!” Aku sepertinya mendengar seseorang memangilku. Tapi aku tak yakin ia memanggilku atau bukan. Aku celingukan. “Hei, kau! Iya, kau anak muda. Mampirlah ke rumah kami barang sejenak.” “Terima kasih, Pak.” Aku berlalu dengan pikiran tak menentu. Lalu si lalat berbisik kepadaku. “Jangan menolak saat di tawari sesuatu.” “Memangnya kenapa?” “Jika kau menolak, kau akan kena karma.” “Tidak...” Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, kakiku tersandung sesuatu. Sontak saja badanku langsung terhuyung dan terguling di jalanan. Kepalaku sakit sekali. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. Saat terbangun, aku tengah berada di sebuah ruangan. Seorang gadis cantik duduk di sampingku. Begitu menyadari aku terbangun, ia menyodorkan teh hangat yang menurutku lebih tepat di sebut sirup sebab warnanya merah pekat seperti sirup Frambozen. “Minumlah.” Kata gadis itu.

NAMA RUBRIK Lalu, sebuah jerit menggema di ruangan. Aku segera bangkit dan berlari ke sumber suara, gadis itu pun demikian. Jeritan kembali terdengar berulang-ulang, terus menerus. Akhirnya aku menemukan sumbernya. Di belakang rumah, di dekat sungai minyak. Suara itu berasal dari seorang bocah yang tengah di iris tangannya oleh seorang lelaki. “Hei, apa yang kau lakukan?” Aku merebut pisau dari lelaki itu, namun ia melawan, sementara si bocah menangis sejadi-jadinya. “Kami butuh makan, dan kami tak punya apa-apa lagi untuk dimakan.” Lelaki itu berteriak. “Kau bahkan punya minyak yang mengalir di belakang rumahmu. Kau orang kaya, kenapa tidak kau olah saja minyakmu atau kau jual ke kota dan hidupi keluargamu dengan layak.” Aku balik membentak. “Ini bukan milik kami.” “Bagaimana bisa ini bukan milikmu? Ini tanahmu, itu

artinya apa pun yang terdapat di bawah ataupun di atasnya adalah milikmu.” “Ya, kau benar. Seharusnya ini memang milik kami. Namun pemimpin kami telah menjualnya kepada orang-orang berambut pirang. Sekarang kami tak memiliki apapun selain tubuh kami ini. Jika kami lapar, kami akan memakan apapun yang kami miliki.” Kata lelaki itu sembari menyeringai. Lalat-lalat berterbangan menyerbu tangan si bocah yang berdarah-darah. Rupanya bau amis darah cepat sekali menyebar, memanggil lalat-lalat. Sekarang aku tahu kenapa rumah-rumah megah di desa tetangga dihuni oleh orang-orang berambut pirang. Mereka itu bukan penduduk asli. Kehidupan desa yang sebenarnya itu disembunyikan dibalik gerbang tong sampah. Apa yang terlihat makmur di depan gerbang patung garuda ternyata adalah orangorang berambut pirang. Hanya mereka.***

BIODATA PENULIS Umi Ibroh, lahir di Tegal, 12 Februari 1993, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, e-mail umi.ibroh@gmail.com, fb umi ibroh, twitter @umee12

HAYAMWURUK, No. 1. XXIII/2013

61


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.