Pabelan Pos Edisi 112

Page 1

Harga : 4.000,-

D

I

N

A

M

I

K

A

I

N

T

E

L

E

K

T

U

A

L

M

A

H

A

S

I

S

W

A

Edisi 112/November 2016

SEJARAH DALAM BINGKAI SASTRA Sastra menyajikan retorika, menggambarkan peristiwa dan menyuguhkan kisah manusia. Bahkan, peristiwa sejarah turut disentuhnya hingga muncullah perspektif berbeda.

Spesial seblak... rasakan pedasssnya... mak nyuussss Bisa di Booking Untuk Acara


2

Edisi 112 - November 2016

GARASI FOTO

Fotografi

Canting Kampung Laweyan Foto dan Teks oleh Hammam Nur Bagaskara dan Widy Setyawan

M

enyusuri jalan di kampung Batik Laweyan bisa dibilang unik. Mata kita akan disuguhi rumah-rumah lawas dengan pagar tembok yang tinggi dan tertutup rapat. Teringat akan novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Novel yang mengangkat latar peristiwa usaha pengusaha batik pada masa itu yang tengah bersaing dengan industri pasar Barat. Canting hadir sebagai wujud keseriusan pengarang dalam melestarikan budaya membatik. Keseriusan tersebut terlihat dengan eksistensi batik pada masa kini. Rumah luas dibentengi tembok tebal kediaman Raden Ngabehi Setrokusumo disebut ndalem Ngabean Setrokusuman bisa ditemui di Laweyan. Industri Batik di daerah tersebut berkembang. Hal itu ditandai dengan adanya industri batik skala rumah. Salah satunya adalah Batik Putra Laweyan di Jl. Sidoluhur, No 6 Laweyan, Solo. Aroma malam menyeruak ke rongga hidung ketika memasuki lorong-lorong yang menghubungkan jalan ke tempat pembuatan batik. Aura masa lalu terasa ketika cahaya masuk melalui celah-celah genteng tua. Tiga pekerja laki-laki dan tujuh perempuan terlihat lihai dalam melukis kain. Dengan cekatan dan ketelatenan, ukiran Batik terpasang rapi di kain dan menjadi ciri khas Batik itu sendiri. Di sana, batik tulis dikerjakan oleh pekerja perempuan, sedangkan batik cap dikerjakan oleh laki-laki. Setiap ukiran canting menandakan sebuah jati diri. Bagi mereka, batik adalah kehidupan. Berikut rekaman gambar Fotografer Pabelan Pos di Kampung Batik Laweyan.

percaya!

berjaya harus dengan karya Iklan Layanan Masyarakat Ini Dipersembahkan Oleh: - Jaya dengan Karya 39 tahun LPM Pabelan 1977-2016

LPM PABELAN LEMBAGA PERS MAHASISWA PABELAN


3

Edisi 112 - November 2016

BERANDA Editorial

LPM PABELAN

Sastra, Buka Fakta Sejarah

Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan

Pemimpin Umum Verlandy Donny Fermansah Sekretaris Umum Rizki Pemimpin Redaksi Pabelan-online.com Ratih Kartika Pemimpin Redaksi Koran Pabelan Ritmika Serenady Pemimpin Redaksi Tabloid Pabelan Pos Depi Endang Sulastri Pemimpin Redaksi Majalah Pabelan Dwi Astuti Pemimpin Penelitian dan Pengembangan Aisyah Arminia Pemimpin Perusahaan Daryanti Manajer Hubungan Masyarakat Syarifudin Aji Pamungkas Manajer Teknologi dan Informasi Achmad Midun Sanjaya Manajer Logistik Dendy Pratama Manajer Personalia Muhammad Taufik Manajer Pelatihan Hammam Nur Bagaskara Manajer Diskusi Darlin Rizki Manajer Data dan Penelitian Putri Muthmainah Manajer Iklan dan Pemasaran Ummu Azka Amalina Manajer Produksi dan Distribusi Afif Abdurrahman

D

I

N

A

M

I

K

A

I

N

T

E

L

E

K

T

U

A

L

M

A

H

A

S

I

S

K

ebenaran atau fakta terkadang menyakitkan. Tak ayal, beberapa orang menyembunyikan kebenaran. Mereka yang tak menerima kebenaran karena menimbulkan lara menyembunyikan fakta, menimbun, mendaur ulang, dan membelokkan sejarah yang ada. Lalu, mereka yang tahu ihwal kebenaran sejati menuangkannya dalam kisah. Manakala suara dibungkam, penalah yang berbicara. Hal ini disebabkan goresan pena terkadang lebih tajam dari letupan pita suara seseorang. Menulis menjadi medium untuk berkisah. Tuturan serta suara yang dibungkam itu kemudian beralih menjadi aksara dan menghasilkan karya sastra. Seturut apa yang diungkapkan oleh Seno Gumira Ajidarma (1997) “Jika jurnalisme dibungkam maka sastra Ilustrasi: Kurnia Siti Maharani / Olah LPM Pabelan yang harus berbicara”. Maka sewaktu jurnalisme yang menjadi alat untuk mengungkapkan fakta tersebut ditenggelamkan Sejarah dapat digambarkan mela-lui maka sastralah yang harus berbicara. Tak sastra, meski berbalut fiksi. Sastra meterkecuali, penggambaran peristiwa se- miliki beberapa kelebihan. Salah satunya, jarah. ia dapat bersembunyi di balik batu besar W

bernama subjektifitas dan imajinasi pengarang. Proses imajinasi itu tak terlepas dari realita. Indonesia pernah mengalami zaman dimana fakta dibelokkan dan sejarah nyata ditimbun dalam lubang hitam kegelapan yang dalam. Orang-orang yang terlibat dalam sejarah ini disumpal mulutnya, yang lebih sial dibuang nun jauh di pulau seberang. Mereka-mereka yang menjadi kapiran lantas hanya dapat berkisah. Era mereka telah dirampas. Jiw a gelegak dan gairah pun telah sirna. Mereka ingin melawan tapi tak bisa. Dan jadilah mereka hanya bias berkisah. Dan hiduplah sastra dalam lipatan sejarah yang kelam itu. Kekelaman sejarah dapat diungkap melalui karya sastra karena sifatnya yang dapat mencipta dan bernos-talgia. Tak perlu lagi jika saling meng-hakimi karya karena muatan ideologis maupun politiknya. Sudah saatnya kini kita mengamini apa yang diungkapkan Chairil Anwar, “Hopya, Selamat Tinggal Kegelapan.”

A

Dari Redaksi

Pemimpin Redaksi Depi Endang Sulastri

S

Redaktur Pelaksana Zulfa Rahmatina Tim Isu Aisyah Arminia Muhammad Taufik Ratih Kartika Ritmika Serenady Syarifuddin Aji Pamungkas Verlandy Donny Fermansah Editor Depi Endang Sulastri Ratih Kartika Ritmika Serenady Muhammad Taufik Zulfa Rahmatina Reporter Afif Abdurrahman; Aisyah Arminia; Dariyanti; Depi Endang Sulastri; Dwi Astuti; Dziya Ulhikmah; Eling Widiatmoko; Hammam Nur Bagaskara; Hanifah Indriyanti; Indra Hartanto;Intan Juli Astuti; Livia Purwati; Metanisha Rofti Hamtani; Muhammad Taufik; Pipit Ernawati; Putri Muthmainah; Ratih Kartika; Ritmika Serenady; Rizki; Sofi Filda Izzati; Ummu Aska Amalina ; Verlandy Donny; Widy Setiawan; Yusmi Dwi Putri; Zulfa Rahmatina Fotografer Widy Setiawan Hammam Nur Bagaskara Intan Juli Astuti

astra tak sekadar hal yang membuat senang dan terhibur. Sastra membuat kita berfikir. Ada cerita dalam karya sastra tersebut. Cerita yang ditimbun dalam narasi yang belum tersingkap dapat diangkat melalui karya sastra. Ada sejarah yang belum terungkap dalam sebuah karya. Dan ada pula sastra yang mampu mengungkap sejarah. Berbagai permasalahan kehidupan diungkapnya. Sastra hadir sebagai respon pengarang terhadap lingkungannya. Meski harus diakui, sastra, terkhusus prosa merupakan karya imajiner dan estetis pengarang. Dikatakan oleh Abrams, hal itu merujuk pada karya yang tidak menyaran pada kebenaran sejarah. Kebenaran tersebut bersesuaian dengan kebenaran yang diyakini oleh pengarangnya. Tentu, latar belakang sosial budaya pengarang bermain dalam hal tersebut. Di pihak lain, telah berkembang sastra sejarah. Sastra yang mengungkap sejarah yang sengaja ditutup-tutupi. Karya tersebut terikat oleh fakta-fakta yang dikumpulkan melalui penelitian. Meski terikat oleh fakta, ruang gerak fiksionalitas masih tetap ada bahkan

berkembang dengan adanya tokoh-tokoh yang dihadirkan. Ia hadir sebagai alternatif penggambaran peristiwa sejarah. Tak ayal, peristiwa yang disajikan serupa dengan peristiwa yang menjadi sejarah. Edisi ini, Pabelan Pos memaparkan realita kesastraan Indonesia. Berangkat dari polemik kebudayaan antara kemudian turun ke karya sastra yang dihasilkan. Karya sastra yang memperkaya khasanah kesastraan nusantara. Karya-karya tersebut dikelompokkan menjadi dua hal. Pertama, sastra yang mampu menciptakan sejarah, misalnya Tirani dan Benteng karya Taufik Ismail. Kedua, sastra yang mampu merekam sejarah, misalnya Pulang karya Laela S. Chudori. Di tambah lagi pembahasan terkait perkembangan sastra Indonesia dan karakter pembaca. Pembaca adalah mereka yang mau mengeluarkan uang dan membeli karya sastra yang akan dibacanya. Tak dipungkiri, saat ini dikuasai oleh pembaca Tere Liye dan Pidi Baiq. Terkiat hal-hal di atas, wawancara secara lengkap dengan Gunawan Tri Atmodjo, nomine Kusala Sastra Khatulistiwa ke-16 disajikan dalam ruang

Ilustrator: Kurnia Siti Mahaniyah Nur Hanifah

tersendiri. Ada pula rubrik yang membahas sastrawan kenamaan Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Selain bahasan-bahasan tersebut, kami hadirkan #KampusFiksi, sebagai rujukan tepat bagi pembaca yang berkeinginan untuk mampu menulis dan menerbitkan tulisan tersebut. Wisata alam, Bukit Cumbri untuk menambah koleksi foto selfie pembaca. Terlebih sedang booming foto ala Up and Up. Latar Cumbri bisa dijadikan salah satu background foto tersebut. Atau, pembaca sedang menjalani proses diet, kami hadirkan Diet Mayo, alternatif diet sehat. Wajib dicoba! Tentu, rubrik-rubrik lain telah menunggu untuk dibaca. Masih ada rubrik lain yang disajikan Pabelan Pos edisi 112, selain yang telah dikenalkan di atas. Kami sadari bahwa penyelesaian tabloid menyisakan kekurangan, kami mohon dapat dimaklumi dan saran membangun tentu diharapkan. Bacalah Sastra, Maka Mata akan Terbuka!

Cover Tabloid Pabelan Pos edisi 112 November 2016 Sejarah dalam Bingkai Sastra Ilustrator Yunia Maharani Utami; Kurnia Siti Mahania Layouter Dina Ayu Lestari Ide Tim Layout Pabelan Pos

Layouter: Dina Ayu Lestari Achmad Midun Sanjaya Afif Abdurahman Indra Hartanto Syarifuddin Aji Pamungkas Verlandy Donny Fermansah

Keterangan Sastra menyajikan retorika, menggambarkan peristiwa, dan menyugguhkan kisah manusia. Bahkan, peristiwa sejarah turut disentuhnya hingga muncullah perspektif berbeda.

Diterbitkan Oleh Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan Universitas Muhammadiyah Surakarta Terbit setiap tiga bulan berdasarkan SK Rektor No. 103/1/2000 Alamat Student Center Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. Ahmad Yani Tromol Pos 1 Pabelan, Kartasura, Surakarta 57102.

Terang Redupnya Kesastraan Indonesia Terus terang, terang terus ...

Kampus Literasi bersama #KampusFiksi Yuk ngampus : D lpm pabelan

@infopabelan

@lpmpabelan

lpmpabelanums@gmail.com

Usaha Sehat dengan Katering Diet Sehat Diet Ndut ... : O


4

Edisi 112 - November 2016

KILAS KAMPUS Kunjungan

Mata Najwa Sambangi UMS Reporter: Sofi Filda Izzati Presenter program Mata Najwa, Najwa Shihab dan penulis buku Mantra Layar Kaca, Fenty Effendi, hadir dalam acara Meet and Greet Mata Najwa di Aula Gedung Induk Siti Walidah Universitas Muhammadiyah Surakarta, Kamis (6/10). Presenter yang akrab disapa Nana tersebut mengajak mahasiswa untuk bersikap kritis terhadap para pemegang kekuasaan yang duduk sebagai wakili rakyat.

M

ahasiswa merupakan garda terdepan bangsa yang harus mampu bersikap aktif, kritis, tidak diam saat melihat ada sesuatu yang dianggap salah, melainkan harus bertindak untuk memperbaikinya. Melalui organisasilah kekritisan itu dilatih. “Kuliah itu tak hanya tempat mencari IPK (indeks prestasi kumulatif-red) tetapi juga tempat mencari pengalaman, skill, serta networking. Saya sukses menjadi presenter di

Foto: Widy Setyawan / Pabelan Pos

Foto: Widy Setyawan / Pabelan Pos

Pemilihan Rektor

Dialektika Pemilihan Rektor UMS Reporter: Metanisa Rofi Hamtina

Foto: Dok. LPM Pabelan / Pabelan Pos

Mata Najwa sebagian besar didapatkan dari organisasi,” akunya sembari tersenyum. Acara talkshow yang mengangkat isu sosial politik tersebut, tambah Nana, telah menjadi tontonan yang membawa dampak perubahan dalam penentuan kebijakan publik. Salah satunya, ketika Mata Najwa mengangkat isu keadaan di balik jeruji. Setelah penayangan tersebut, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham)

Jabatan rektor UMS, Bambang Setiaji akan segera berakhir. Namun, dengung pemilihan rektor belum juga terdengar. Bahkan, pihakpihak yang bersangkutan seakan bersembunyi di balik setiap aktivitasnya.

Foto: Widy Setyawan / Pabelan Pos

T

ersiar kabar bahwa masa jabatan rektor saat ini akan diperpanjang sampai bulan Maret 2017. Reporter Pabelan Pos berusaha menghubungi Badan Pengurus Harian (BPH) UMS, Dahlan Rais, sebagai salah satu pihak yang bersangkutan, namun tak membuahkan hasil. Diketahui bahwa Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir dan jajaran rektorat UMS pada Kamis-Minggu (20-23/10) terbang ke Korea untuk melakukan pembahasan kerja sama dengan Kyungdong University. Kerja sama tersebut dinilai sebagai berimbas pada perpanjangan jabatan rektor UMS sampai Maret 2017.

berencana menambah jumlah sel di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). “Kami ingin Mata Najwa membawa dampak dan pengaruh tidak hanya untuk pejabat. Tapi juga untuk orangorang di pelosok manapun agar hak dan martabatnya bisa terus diangkat,” ungkap Nana dengan semangat.

Foto: Widy Setyawan / Pabelan Pos

“Alasannya ya, kerja sama itu, serah terima mahasiswa, serah terima gedung sekitar bulan Maret 2017,” terang Tri Santoso saat menjadi pembicara diskusi di Kantor LPM Pabelan, Kamis (20/10). Disisi lain, terlepas dari kerja sama yang telah disepakati, menurut Muhammad Isnan yang turut menjadi pembicara dalam diskusi tersebut mengatakan hal tersebut merupakan konsekuensi logis. “Itu kinerja dari sebuah Universitas Muhammadiyah Surakarta,” ungkapnya. Isnan mengungkapkan pula, dengung pemilihan rektor tak terdengar karena mahasiswa terlelap dengan prestasi yang telah dicapai oleh rektor sekarang.

Peresmian Gedung UMS

Rektor Umumkan Peresmian Gedung Baru UMS Reporter: Putri Muthmainah Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) rayakan milad ke-58 pada Oktober 2016. Pada sambutannya rektor umumkan jadwal peresmian gedung baru UMS.

P

ada saat memberikan sambutan dalam acara Jalan sehat 16 Oktober 2016, Bambang Setiaji selaku Rektor UMS memberikan pengumuman kepada peserta jalan sehat bahwa UMS akan segera melakukan peresmian beberapa gedung baru yang sedang dibangun. “Bulan desember akan meresmikan ru-

mah sakit gigi dan mulut yang berada di depan Gand Mall, kemudian bulan Maret (2017 -red) akan meresmikan kerja sama dengan Korea. Pada bulan Desember berikutnya atau Oktober akan meresmikan masjid Sudalmiah,” tuturnya. Pada akhir sambutannya, rektor mengatakan bahwa hal itulah yang menjadi bagian perjalanan UMS, “Kita doakan semoga UMS terus lebih baik dan terus berkarya untuk bangsa sesuai dengan tema milad ke-58. Selamat Bergembira dan tidak luput dari Allah,” tutupnya. Foto: Widy Setyawan / Pabelan Pos

Pembangunan

UMS Bangun Masjid Baru Reporter: Yusmi Dwi Putri UMS sedang melakukan pembangunan masjid yang berada di kampus 2. Masjid yang memakan biaya sebesar 15 miliar rupiah itu diharapkan tidak hanya digunakan sebagai tempat beribadah (salat-red) tetapi bisa digunakan pula untuk diskusi atau pun tempat mentoring.

M

asjid yang rencananya akan diberi nama Masjid Sudalmiyah itu diperkirakan akan selesai pada tahun 2017 mendatang. Masjid tersebut dibangun agar dapat menampung lebih banyak jamaah dari sebelumnya. “Ada sekitar 2000 jamaah yang bisa ditampung nanti dengan luas 1024 meter,” kata Sarjito selaku Wakil Rektor (WR) II UMS.

Selain itu, membangun prinsip-prinsip yang membudayakan hidup berjamaah, taat dan disiplin dalam salat, dirasa penting selain misi untuk menumbuhkan tingkat pengetahuan intelektual mahasiswa. Karena menurut Sarjito, orang yang disiplin dalam salat sudah pasti kerjanya disiplin, begitu pula sebaliknya. Sarjito berharap dengan adanya Masjid Sudalmiyah tersebut dapat mengubah perilaku civitas kampus. Ketika ada tempat ibadah, kita harus bisa menjaga sikap. “Contohnya saja di depan-depan masjid atau geraja itu kan ada tanda dilarang membunyikan klakson dan harus pelan-pelan dalam berkendara, itu kan mengubah perilaku lingkungan,” harapnya.

Foto: Widy Setyawan / Pabelan Pos


5

Edisi 112 - November 2016

GRIYA WACANA Suara Sastra

Antara Fiksi dan Fakta-fakta P Reporter: Pipit Ernawati

eristiwa dalam kehidupan manusia dapat direkam oleh sejarah. Ahli sejarah mengenal adanya proses pemindahan fakta ke dalam teks-teks berbentuk sejarah, meskipun proses pemindahan fakta ke dalam bentuk teks seringkali dimanipulasi (red:kekuasaan). Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa sastra tetap bagian dari peradaban, dan peradaban adalah benteng yang agung dari kebudayaan. Teks-teks dalam buku sejarah, dikategorikan sebagai bukti peristiwa, tokoh, tempat dan lainlain. Bukti kemudian digeneralisasi sebagai karyai lmiah, bukan fiksi. Apakah teks-teks dalam karya

sastra dapat membingkai sejarah? Kuntowijoyo menulis kedekatan antara sejarah dengan sastra dapat dilihat dari berbagai macam produk karya sastra. Kenyataan ini mengindikasikan jarak disiplin keilmuan sejarah dengan sastra sangat tipis. Di dalam kesimpulannya, sastra bisa berakhir dengan sebuah pertanyaan. Berbeda dengan sejarah yang harus memberikan informasi yang tegas, lengkap dan tuntas. Berikut beberapa pendapat mengenai isu klasik sejarah dalam balutan sastra.

Foto: Intan Juliastuti/ Pabelan Pos

A

ntara sejarah dan sastra mempunyai dua cara yang berbeda untuk mengungkapkan semacam perspektifnya secara luas, sedangkan menurut Soe HookGie sejarah adalah siapa yang menang yang ber-hak membuat sejarah. Makanya sejarah ber-sifat kontroversi sedangkan sastra bersifat memperhalus jiwa. Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, lahir dua aliran yakni Lembaga Kesusastraan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) dimana Lekra menganggap seni itu untuk rakyat dan Manikebu menganggap seni untuk seni itu sendiri, untuk keindahan. Karena dua aliran ideologi yang berbeda ini akhirnya itu muncul dalam karya-karya sastra Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Mochtar Lubis dengan Harimau-Harimau. Itu merupakan pertarungan dua perspektif dan pertarungan yang terjadi adalah pertarungan ideologi yang sampai sekarang masih berlangsung. Disini sastra mencoba untuk mengurai ideologi-ideologi yang bertarung. Indonesia masih belum fair terhadap sejarah yang masih menjadi kontroversi. Seperti karya Pramoedya Ananta Toer itu kan menceritakan peristiwa yang jauh dari Partai Komunis Indonesia (PKI) tapi orang-orang Orde Baru melarang novel-novelnya untuk diterbitkan. Ini bukti bahwa sejarahnya dulu yang harus dibenarkan. Ketika sejarah sudah benar maka sastra akan mengikuti. Dan mau tidak mau sastra harus menampilkan sejarah-sejarah yang memang berangkat dari kebenaran-kebebaran yang sebenarnya itu seperti apa. Sastra itu sifatnya luwes, dia bisa melampaui sejarah ketika dia mampu mengimajinasikan masa depan seperti Multatuli yang mengangkat sistem politik etis di Banten. Sastra tidak menampilkan sejarah secara detail, lebih kepada membongkar paradigma yang selama ini dipimpin oleh otoritas kekuasaan politik itu sendiri. Sejarawan Taufik Abdullah, ketika mengangkat Siti Nurbaya yang dia angkat konteks sosialnya bukan alur cerita sejarahnya. Dan dia tidak hanya mengambil referensi dari Siti Nurbaya tapi juga dari bukubuku Minangkabau lainnya. Sastra memang asik, tinggal generasi saat ini bagaimana memadukan antara konteks sejarah pada waktu itu dan sastra itu sendiri ke dalam konteks sekarang.[]

Cindy Pricilla Muharara Mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB)

Orville Faiz Wahyudy Pelatih Teater Wejang UMS

Aditya Yoga Pratama Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan UMS

S

astra adalah hasil dari proses kreatif atau karya yang berupa tulisan atau teks yang menggunakan media bahasa untuk menggambarkan kehidupan, kemanusiaan, atau kenyataan. Sedangkan, sejarah adalah kejadian di masa lalu yang dapat dibuktikan dengan fakta. Peristiwa seringkali menjadi latar belakang peristiwa yang diungkapkan oleh karya sastra seperti novel, cerpen, naskah, dll. Tapi dalam hal ini sejarah dan sastra seperti tak berjarak. Akan tetapi, tetap ada perbe-daan antara sejarah dan sastra. Menurut yang saya baca "Sejarah itu bukan sastra, sejarah itu harus faktual merupakan kenyataan sedang sastra adalah hasil dari imajinasi pengarang." Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan, sedang sejarah itu harus memberikan informasi yang tegas, jelas, dan tuntas dalam kesimpulannya. Karya sastra yang mengangkat sejarah pastilah masih disisipi tokoh fiktif, hal ini untuk membuat cerita jadi lebih menarik. Sebelumnya sastra itu merupakan hasil imajinasi dari pengarang pastilah ada tokoh-tokoh fiktif yang dimasukkan untuk membuat cerita itu lebih menarik. Ada karya sastra yang menyajikan sejarah secara detail dan tidak detail, ini tergantung seberapa cakap atau seberapa dalam penulis itu melakukan observasi novel sejarah yang dituliskannya. Seperti novel "Gajah Mada" karya Langit Kresna Haryadi yang menyajikan sejarah secara detail. []

S

ejarah menurut saya merupakan hal-hal yang berada di masa lampau, sedangkan sastra merupakan tulisan yang erat kaitannya dengan seni yang fungsi utamanya untuk dinikmati. Sastra dapat membingkai sejarah ketika tulisan mengikuti kronologis waktu suatu peristiwa. Tentunya harus melalui riset dulu dan pastikan sejarah tersebut sesuai fakta, tidak mengada-ada, atau hanya berimajinasi. Sejujurnya saya jarang membaca novel sejarah atau yang mengangkat tema sejarah secara gamblang. Sebagai contoh, saya pernah membaca novel Pulang karya Leila S. Chudori. Buku tersebut menceritakan peristiwa sejarah Paris, peristiwa 30 September 1965, hingga kerusuhan Mei 1998. Tapi karena ini buku fiksi, tentu saja ada imajinasi sang penulis dalam menentukan cerita para tokohnya. Hanya saja latar belakang tokoh berada pada peristiwa sejarah tersebut. Sehingga pembaca pun merasa semakin dekat dan bisa merasakan peristiwa sejarah yang terekam. Beda halnya dengan nonfiksi yang hanya menceritakan peristiwa sejarah secara apa adanya itupun kalau ditulis secara baik dan benar. Mungkin untuk karya sastra agak sulit menceritakan sejarah secara detail. Apalagi jika peristiwa sejarah itu sangat kompleks. Hanya beberapa penulis hebat yang mampu menuliskannya. Kembali lagi, kuncinya di riset. []

Sri Lestari Mahasiswa Pascasarjana UNS

S

astra lebih ke simbol-simbol sejarah saja, pengarang tidak mungkin secara terang-terangan menceritakan sejarahnya seperti apa. Pramoedya Ananta Toer, Laksmi Pamuntjak, Laila S. Chudori berusaha menguak sedikit demi sedikit sejarah seperti pada peristiwa G30S-PKI. Dalam karya sastra mengandung fakta-fakta tapi juga mengandung cerita fiksi yang merupakan campur tangan dengan imajinasi pengarangnya. Pramoedya mengenai sejarah pembuangannya, Amba karya Laksmi, dan Pulang karya Laila, tidak ada yang bisa dikatakan benar atau salah. Setiap karya sastra itu saling melengkapi.[]

Foto: Intan Juliastuti/ Pabelan Pos


6

Edisi 112 - November 2016

TEROPONG Jurnalisme Sastrawi

Reporter: Verlandy Donny Fermansah

Foto: Verlandy Donny / Pabelan Pos

Sebuah Daihatsu merah hati meluncur pelan, menjinakkan keramaian lalu lintas kawasan Senen, Jakarta. Di sekitar Kwini, tak jauh dari toko buku Gunung Agung, Abbas menginjak pedal rem. Tiga orang turun dari kendaraan. Mereka adalah Dany, Agung, dan Abdullah. Dany berjalan duluan setelah menyambar kantong plastik dari tangan Agung.

S

ampai di emplasemen Atrium Plaza, mereka berpencar, masing-masing menuju tiang-tiang beton. Ada lima tiang di situ. Dany berhenti di tiang kedua gerbang masuk. Abdullah berada di sisi kiri di tiang jauh pertama dekat lobi, mengawasi pintu keluar. Jarak mereka sekitar lima meter. Sedangkan Agung mengambil posisi di tiang keempat berjarak sekitar 10 meter dari Dany—hampir tepat berhadapan dengan pintu masuk yang terpisahkan oleh ruas lintasan taksi. Dari balik kacamata minusnya, sejenak Dany memeriksa keadaan. Ditaruhnya kantong plastik itu di atas conblock, beberapa centimeter dari kaki kanannya. Seraya menunggu komando, dia menyandarkan punggungnya ke tiang beton. Kaki kirinya ditekuk, bagian tumitnya menempel ke dinding. Badannya miring ke kanan tepat menghadap pintu masuk utama. Tampak olehnya gerai Pizza Hut yang mulai surut pengunjung. Selang beberapa waktu, Abbas melintas di hadapan Dany dan memberi isyarat dengan gelengan kepala. Dany tak melihat. Demikian pula isyarat melalui gerakan tangan dari Abdullah yang mengekor Abbas. Semuanya berlangsung serba cepat. Lalu-lalang orang keluar masuk Atrium mulai berkurang. Dany melirik jam tangan. Masih ada waktu, pikirnya. Matanya kembali liar memeriksa keadaan. Ketegangan mulai merayapi sekujur tubuhnya. Dia mendekati kotak telepon umum, pura-pura sedang menunggu giliran. Tiba-tiba saja, blaaarrr ... Tubuh Dany terguncang dan mental. Lampu-lampu mati. Sejumlah plafon langitlangit terkelupas dan sebagian di antaranya

Penulis buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, Andreas Harsono, pernah mengungkapkan bahwa di Indonesia tidak banyak surat kabar yang bisa memuat narasi panjang dan utuh. Harsono juga heran mengapa jurnalisme sastrawi tak berkembang di kalangan wartawan, sastrawan, dan cendekiawan Indonesia. Mengapa? Berikut nasib masa depan Jurnalisme Sastrawi di Indonesia.

rontok berikut kap lampunya. Pecah kaca, terutama dari gerai Pizza Hut, berceceran di lantai. Dinding-dinding kayu pelapis tembok jebol. Orang-orang di dalam Atrium Plaza menghambur keluar. Jerit histeris massa membahana. Chaos. Begitulah cuplikan reportase yang ditulis Agus Sopian dan Taufik Andrie, wartawan Jakarta Post, yang berjudul “Taufik bin Abdulah Halim: Jejak Petualangan Terpidana Kasus Teror Bom di Jakarta”. Reportase ini dimuat lengkap dalam buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Karya jurnalisme sastrawi tersebut, Agus dan Taufik kumpulkan datanya dan ditulis dengan khas sastra sepanjang November 2002 hingga November 2003. Robert Vare yang pernah berkerja untuk majalah The New Yorker dan Rooling Stone mengungkapkan pertimbangan untuk menulis narasi yang menjadi dasar jurnalisme sastrawi. Jurnalisme adalah menyucikan fakta. Walapun menggunakan kata dasar “sastra” ia tetap produk jurnalistik. Detail kejadian atau peristiwa merupakan fakta. Wolfe dan EW. Johnson (1973) dalam antologinya yang berjudul The New Journalism, mengungkapkan jurnalisme sastrawi merupakan genre jurnalisme yang berbeda. Reportase dalam jurnalisme sastrawi menggunakan cara bertutur dari adegan demi

Jurnalisme sastrawi menggunakan cara bertutur dari adegan demi adegan secara detail, reportase yang menyeluruh, serta menggunakan sudut pandang ketiga, adegan secara detail (scene by contruction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), serta menggunakan sudut pandang ketiga (third person point of view).

Genre ini menjadi jawaban media cetak terhadap serbuan berita dari online media. Media elektronik tidak mampu mengejar kedalaman dengan media cetak. Penulis buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, Andreas Harsono, pernah mengungkapkan bahwa di Indonesia tidak banyak surat kabar yang bisa memuat narasi panjang dan utuh. Harsono juga heran mengapa jurnalisme sastrawi tak berkembang di kalangan wartawan, sastrawan, dan cendekiawan Indonesia. Kunjungan Harsono ke Universitas Harvard untuk mengikuti program Nieman Fellowship on Journalism matakuliah nonfiction writing membuka matanya bahwa media di Indonesia masih tertinggal dalam menerapkan jurnalisme sastrawi. Ia membandingkan media besar Amerika dan Indonesia yang dinilai mempunyai kekuatan yang sama namun masih lemah dalam penerapan jurnalisme sastrawi. “Kalau di Amerika Serikat mereka punya majalah Time, Newsweek, dan sejenisnya, kita juga punya Tempo, Gatra, dan lain-lain. Kalau Amerika punya harian The New York Times, The Washington Post, kita juga punya harian sejenis. Tapi mengapa kita ompong di jurnalisme sastrawi?” Di lain pihak berbeda dengan Harsono, Seno Gumira Ajidarma yang dikenal dengan bukunya Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, membantah pernyataan yang menyebutkan bahwa jurnalisme sastrawi tidak berkembang di Indonesia. Menurutnya, para reporter Indonesia sudah sering menggunakan salah satu teknik penulisan tersebut. “Coba lihat di korankoran mingguan itu gayanya feature semua.

Sastra

Babak Baru Majalah Horison Reporter: Verlandy Donny Fermansah Foto: Istimewa

S

emua tersentak ketika sastrawan sekaligus dewan pendiri majalah Horison, Taufik Ismail, mengumumkan berhentinya cetak majalah sastra senior di Indonesia tersebut. Tepat pada perayaan setengah abadnya, Horison mengambil langkah untuk konsen pada media online dan menyudahi edisi cetak untuk tetap konsisten menjaga geliat sastra di Indonesia. Langkah tersebut diambil karena Horison tak lagi mampu menutup cost cetak majalah yang ter-

lampau tinggi. Beralih karakter, kata Taufik Ismail, ini bukan menjadi akhir namun babak baru bagi Horison. Pemimpin Redaksi majalah sastra Horison, Jamal D. Rahman melaui laman resmi Horison-online.com, mengungkapkan dalam 50 tahun perjalanannya, Horison telah melalui masa pembentukan diri sebagai majalah sastra. Horison telah memilih sastra sebagai arena memperjuangkan nilai-nilai demokratis, kemerdekaan, dan martabat

manusia. “Majalah Horison kami harapkan akan mendapat dorongan kegiatan-kegiatan kreatif dan pemikiran-pemikiran kreatif yang penuh kebebasan dan nilai-nilai konstruktif,” kutip Jamal dari pendiri senior majalah Horison, Mochtar Lubis. Kutipan dari Mochtar Lubis tersebut meruapakan tujuan lawas Horison pada masa awal karirnya. Setelah memuat karya-karya kreatif seperti cerpen, puisi, esai, serta kri-

Ada lagi contoh majalah seperti Tempo,” kata Seno saat dihubungi reporter Pabelan Pos. Senada dengan Seno, Goenawan Mohamad menulis, “Sebelum ada Tempo, hanya ada dua jenis penulisan dalam koran dan majalah di Indonesia: berita langsung (straight news) seperti di koran atau artikel, seperti “kolom”. Tempo lahir dengan menyajikan cara penulisan yang berbeda sama sekali, dan sekarang menjadi pola penulisan jurnalistik Indonesia (dan sering tidak dipakai pada tempatnya): bagaimana menyusun sebuah kejadian sebagai sebuah cerita pendek.” (Seandainya Saya Wartawan Tempo, 1997:4) Mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja, mengungkapkan dalam testimoninya untuk buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat bahwa jurnalisme sastrawi sulit diterapkan di Indonesia ke depan. Hal tersebut mengingat kebanyakan media di Indonesia bermodal kecil dan memiliki sedikit pewarta. “Media massa kita lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas, yang lebih banyak waktu untuk membuatnya. Mengingat sangat kurang wartawan, walaupun sejumlah kecil media seharusnya sudah mampu menyisihkan sebagian wartawannya untuk lebih memusatkan perhatian pada peliputan penyidikan, peliputan berkedalaman, dan jurnalisme baru,” kata Astraatmadja. Genre ini sebenarnya mampu menjadi jawaban media cetak terhadap serbuan berita dari online media. Hari ini praktis tidak ada yang menghandalkan breaking news dari surat kabar. Semuanya mengandalkan media elektronik dan online media. Media cetak akan sulit mengejar kecepatan dengan media elektronik dan online media. Namun media elektronik tidak mampu mengejar kedalaman dengan media cetak. Media cetak bisa berkembang dengan menyajikan berita yang dalam dan analitis. Genre ini makanya disajikan panjang dan dalam (Harsono:2005). []

tik dan Horison menegaskan posisinya sebagai pengerak gerakan literasi di Indonesia. Munculnya Gerakan Literasi pada akhir 2015 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi suntikan tenaga dan benih baru dalam mengeliatkan literasi di Indonesia pada masa mendatang. “Tapi bagaimanapun, dalam 20 tahun bukan saja gerakan menumbuhkan budaya membaca, melainkan juga gerakan menumbuhkan budaya menulis. Inilah babak kedua sejarah Horison dalam 50 tahun usianya,” tutup Jamal. Menanggapi peristiwa ini, Seno Gumira Ajidarma sebagai penulis yang namanya turut dilejitkan lewat karya-karyanya di majalah Horison berpendapat bahwa langkah yang diambil Taufik Ismail sudah sangat tepat. Menurutnya, media juga harus selalu mengikuti perubahan zaman dan perkembangannya. “Memang sekarang orang-orang sudah mulai meninggalkan media cetak. Ya karena praktis, kita ikutinlah perkembangan zaman, ” tutur Seno saat ditanya tentang eksistensi media sastra Horison. []


7

Edisi 112 - November 2016

LIPUT Liputan Utama

Terang Redupnya Kesastraan Indonesia

S

ejak abad ke-19, telah ada hasilhasil sastra berbahasa Melayu yang ditulis oleh bukan orang yang berasal dari Riau atau Sumatra. Sastra tersebut masih sulit dipahami bahasanya, karena bukan berasal dari bahasa Melayu tinggi melainkan dari bahasa Melayu rendah atau pasar. Selain itu, Melayu tinggi juga banyak diciptakan, seperti hikayat, syair, pantun, dan karya sastra klasik lainnya yang memiliki umur tua. Pada 1920-1942, muncullah sastra Balai Pustaka, dikendalikan oleh pemerintahan Belanda. Sastra pada masa itu ditulis bertujuan untuk mendidik bangsa Indonesia agar menjadi pegawai negeri sipil yang patuh kepada pemerintahan Belanda dan tidak ambisius. Oleh karena itu, pada 14 September 1908 Belanda membentuk komisi bacaan rakyat dan pendidikan pribumi yang dimaksudkan untuk memberikan pertimbangan ke p a d a D i re k t u r Pe n d i d i k a n u n t u k mengutamakan karangan-karangan yang baik untuk dipakai di sekolah dan dijadikan bacaan rakyat. Pada 1933-1942 masuklah Angkatan Pujangga Baru berkuasa di tataran kesastraan Indonesia. Pada masa itu lahirlah majalah Poedjangga Baroe yang menjadi tempat berkumpul kaum budayawan, seniman, dan cendekiawan Indonesia pada masa itu. Kelahirannya membawa gagasan baru dalam bidang kebudayaan. Masuk pada tahun 1945, khasanah sastra Indonesia memasuki babak baru. Hal tersebut ditandai dengan munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia yang memberikan warna baru. Pada tahun tersebut menjadi masa penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia, termasuk kesastraannya. Sejak tahun tersebut, perubahan besar dan mendasar terjadi dalam masyarakat, kebudayaan dan kesenian. Revolusi kebudayaan dimulai tahun itu. Setelahnya, muncullah Angkatan Kisah.

Reporter: Ratih Kartika Sejak tahun 1953 kehidupan sastra hanya bertumpu pada majalah-majalah, maka oleh Nugroho Notosusanto dinamakan istilah sastra majalah.

Periodisasi sastra Indonesia sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan. Namun, pembabakan yang telah umum dipakai selalu kembali pada nama-nama angkatan. Angkatan demi angkatan muncul setiap 10 atau 15 tahun sekali dalam kesastraan Indonesia. Menurut Soemardjo (1992), sejarah sastra Indonesia modern dibagi menjadi lima, yaitu Sastra Awal, Sastra Balai Pustaka, Sastra Pujangga Baru, Sastra Angkatan 45, dan Sastra Generasi Kisah.

Pada tahun 1953 sampai 1966. Tidak ada penamaan angkatan secara pasti. Ajip Rosidi menamai angkatan ini sebagai Angkatan Sastra Terbaru dalam Simposium Sastra di Jakarta tahun 1960. Namun tak hidup di masyarakat, karena sering didengungkan Angkatan Sastra 50-an. Di tahun 1966, H.B. Jassin menamai sastrawan angkatan 19531966 sebagai Angkatan '66. Tetapi penamaan tersebut ditentang banyak orang, meski sampai sekarang masih tetap beredar. Sejak tahun 1953-1957, muncullah majalah sastra pertama di Indonesia yaitu Majalah Kisah. Majalah tersebut dijadikan tempat berkumpul para sastrawan muda secara rohaniah. Menurut Majalah Kisah mereka dinamakan Angkatan Kisah. Memasuki 1950, tidak ada lagi ancaman dari Belanda, maka terbukalah bagi para pemimpin Indonesia menjalankan sistem pemerintahan liberal. Ketidakstabilan politik nasional menimbulkan krisis ketidakpercayaan, krisis kebudayaan, dan suatu frustasi nasional. Selama tahun 1950-1957 keadaan nasional rapuh dengan berbagai pemberontakan. Situasi ini, berpengaruh pada kesastraan Indonesia. Krisis sejak tahun 1950 rupanya menjadikan sebab dari hancurnya para penerbit buku sastra sejak zaman revolusi, seperti Pembangunan, Gapura, Tintamas, dan lainnya. Sejak tahun 1953 kehidupan sastra hanya bertumpu pada majalah-majalah, maka oleh Nugroho Notosusanto dinamakan istilah sastra majalah. []

Ilustrasi: Vector Istimewa / Pabelan Pos

Foto: Intan / Pabelan Pos

Liputan Utama

Perkembangan Sastra Saat Ini Reporter: Ratih Kartika

D

i dunia, perkembangan sastra sangat pesat, yaitu aliran realisme sosialis yang dicetuskan oleh Maksim Gorki dengan karyanya Mother, yang kemudian diilhami sebagai aliran Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Pramoedya Ananta Toer sebagai salah satu yang terinspirasi. Lalu romantisme revolusioner yang dicetuskan oleh Liu Xiung dari Republik Rakyat China (RRC) dengan karyanya Orang Gila. Ada lagi ekstensialisme atau marxisme yang dicetuskan oleh Jean Paul Sartre berkebangsaan Perancis dengan karya berjudul Kata-Kata. Kemudian aliran realisme magis yang diprakarsai oleh Gabriel Garcia Marques dengan karyanya 100 Tahun Kesunyian. Seno Gumira Ajidarma mengungkapkan bahwa perkembangan sastra Indonesia biasa saja, mengikuti arusnya. Sastra Indonesia didominasi oleh Tere Liye dan Pidi Baiq karena banyak orang yang menyukai bacaan tersebut. Meskipun begitu, perkembangan sastra Indonesia tidak mengalami krisis. Hal tersebut dapat dilihat dari produktivitas seorang dalam menulis. Dahulu, orang tidak bebas dalam menerbitkan buku, sekarang meskipun tidak diterbitkan oleh pener-

Dahulu, orang tidak bebas dalam menerbitkan buku, sekarang meskipun tidak diterbitkan oleh penerbit, penulis dapat mengunggah tulisannya ke akun pribadi masing-masing. bit, penulis dapat mengunggah tulisannya ke akun pribadi masing-masing. “Sekarang orang-orang produktif yang dulu sudah berhenti menulis karena kesulitan penerbit, karena kesulitan apa, itu sekarang sudah mulai lagi. Mencetak bukunya lagi, menerbitkan lagi, sekarang kan menerbitkan buku gampang sekali. Tinggal diterbitkan saja. Masalahnya kan tinggal cari pembacanya to? Saya tidak percaya krisis sastra ada di Indonesia sekarang ini, terang penulis asal Solo, Gunawan Tri Atmodjo. Al-Ikhlas Kurnia Salam mengomentari

bahwa dulunya, Indonesia menganut aliran kepercayaan humanisme universal yang dianut oleh kelompok organisasi sastra Manifesto Kebudayaan (Manikebu), yang dipelopori oleh Gunawan Muhammad. Pun Indonesia juga menganut aliran sastra realisme sosialis dengan mengedepankan ideologi pengarang dan kesastraan. Sekarang aliran ini dihancurkan oleh teknologi. Maka muncullah aliran sastra populer, sastra teenlit karena tidak adanya patokan seperti zaman dahulu (Lekra dan Manikebu). “Makanya semuanya bebas-bebas, bahkan

karya sastra yang nggak layak pun, sering banget dipublikasi. Nggak bagus mutunya, karya sastra nggak bagus untuk anak SD yang diterbitkan di buku-buku bahasa Indonesia. Kalau dulu Ini Ibu Budi, kalau sekarang puisipuisi yang jorok masuk. Nggak ada sensor dan terus berkembang,” terangnya ditengahtengah diskusi bersama Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pabelan. [] Refrensi: Rosidi, Ajib. 1986. iIkhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bipta. Ÿ Soemardjo, Jakob. 1992. Lintasan Sastra Indonesia Modern Jilid 1. Bandung: Citra Aditya Bakti. Ÿ


8

Edisi 112 - November 2016

LIPUT Liputan Utama

Sastra, Perekam dan Pencipta Sejarah Reporter: Depi Endang Sulastri

Sekilas Polemik Kebudayaan - Berbicara

mengenai sastra tak terlepas dari sejarah. Pasalnya, karya sastra diciptakan pengarang tidak terlepas dari masyarakat dan dinamika kebudayaan sebuah bangsa. Dinamika kebudayaan tersebut telah lama berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda digunakan sebagai alat politik.

P

ermasalahan politik misalnya, dinyatakan oleh Ajib Rosidi (1968) bahwa dinamika sastra Indonesia telah menunjukkan perhatian khusus terhadap politik. Hal tersebut dapat dilihat pada awal tahun lima puluhan. Pada tahun tersebut terjadi polemik antara penganut realisme sosialis dengan humanisme universal. Penganut realisme sosialis menganggap bahwa 'seni untuk rakyat', sedangkan humanisme universal menganggap bahwa 'seni untuk seni'. Lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang pada 18 Februari 1950, mendorong D.N Aidit, Njoto (Iramani), M.S. Ashar, dan A.S. Dharta membentuk sebuah organisasi yang concern di bidang budaya. Organisasi tersebut bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat dan berpandangan bahwa 'seni untuk rakyat'. Adanya perbedaan paham tersebut dalam jangka waktu panjang menimbulkan polemik. Sastrawan yang tidak sependapat dengan hal itu kemudian mengeluarkan pernyataan dalam Manifestasi Kebudayaan. Menurut Goenawan Mohamad, motif dasar Manifes Kebudayaan adalah untuk memperoleh ruang yang lebih longgar bagi ekspresi kesenian yang mandiri dan independen dari desakan politik. Sementara di pihak lain, Joebaar Ajoeb, Sekretaris Umum Lekra (1990) menyatakan bahwa semboyan tersebut tidak berarti politik suatu partai harus dijadikan panglima. “Lekra tidak pernah mengikat diri pada pengertian demikian. Jadi, Lekra tidak melakukan vulgarisasi terhadap pekerjaan politik,”

Apakah sastra sejarah mampu dijadikan acuan sejarah, sementara karya sastra a dalah fiksi? tulisnya dalam Sebuah Mocopat Kebudayaan (1990). Ajoeb pun menjelaskan bahwa semboyan tersebut digunakan karena pada 1950-an ada semacam propaganda yang hendak mengusir seniman dan sastrawan keluar dari gelanggang politik. “Lekra menentang propaganda yang bertentangan dengan semangat kebangkitan nasional,” terang Ajoeb (baca:Asep Sambodja Menulis). Polemik tersebut sempat menyusut hingga paruh pertama masa pemerintahan Soeharto. Namun, kembali mencuat saat paruh

Liputan Utama

Sastra Pencipta dan Perekam Sejarah Infografis: Verlandy Donny / Pabelan Pos

Ilustrasi: Kurnia Siti Mahania / Pabelan Pos

kedua masa pemerintahan Soeharto (1995) yaitu saat Pramoedya Ananta Toer memperoleh penghargaan Magsaysay (Nobel Asia –red). Menanggapi permasalahan penghargaan Pram, Goenawan Tri Atmodjo, penulis Tuhan Tidak Makan Ikan berpendapat bahwa polemik tersebut terkait dengan polemik masa lalu. Pada masa itu, kelompok Manikebu menjadi kelompok kuat karena pro Orde Baru (Orba), sedangkan kelompok Lekra mendapat represi di zaman Orba. “Ketika Pram mendapatkan penghargaan itu, Orba masih kuat. Coba sekarang, tidak ada yang komplain. Karena Orba sudah jatuh. Maka, mereka berani komplain terhadap

penghargaan yang diterima Pram, karena mereka mempunyai benteng yang kuat saat itu,” terang Goenawan saat diwawancarai Pabelan Pos di Car Free Day Solo. Sastra Sejarah dan Pencipta Sejarah Sastra yang besar diliputi oleh suatu tindakan historis (historical acton), karena mengekspresikan suatu imaji yang global mengenai manusia dan alam semesta (Gold man, 1981). Hal tersebut tercermin dalam novel Pergolakan karya Wildan Yatim (1974), Sri Sumarah dan Bawok karya Umar Kayam (1975), trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1982, 1985, 1986), dan Larung karya Ayu Utami (2001).

Selain itu, ada novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan (2002), Gadis Kretek karya Ratih Kumala (2012), Amba karya Laksmi Pamuntjak (2013), dan Pulang karya Leila S.Chudori (2014). Novel-novel tersebut merupakan beberapa novel Indonesia dengan latar belakang sejarah tahun 1965. Di samping itu, tentu masih ada karya sastra lain. Apakah sastra sejarah mampu dijadikan acuan sejarah, sementara karya sastra adalah fiksi? Pertanyaan tersebut disampaikan Goenawan di tengah-tengah wawancara dengan Pabelan Pos. Nomine 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa Ke-16 tersebut mengungkapkan bahwa sastra tidak bisa dijadikan sebagai bahan sejarah. “Sejarah itu kan fakta. Sementara sastra fiktif. Apakah sastra sejarah itu bisa dijadikan acuan untuk sejarah, sementara dia adalah fiksi? Kalau kita berbicara sejarah, sastra tidak bisa dijadikan bahan sejarah. Kita tidak bisa mengandalkan sastra untuk melihat sejarah. Yang dilakukan sastrawan-sastrawan sejarah adalah dia menulis alternatif sejarah,” jelasnya. Novel-novel tersebut lahir sebagai alternatif penggambaran sejarah peristiwa pada masa 1965. Adanya novel tersebut telah membuktikan bahwa sastra mampu merekam peristiwa sejarah. Namun, permasalahannya adalah menilai bahwa peristiwa 1965 masih kontroversional karena penulisan sejarah bersifat subjektif. Di samping perekam sejarah, sastra turut menjadi kritik sosial sekaligus pencipta sejarah. Misalnya pada 1966, lahirlah sajaksajak perlawanan terhadap Tirani sebagai wujud protes sosial dan politik. Sajak perlawanan terpenting adalah Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail. Sajak tersebut kemudian menjadi Antologi Puisi Tirani dan Benteng. Sastra kritik sosial terlihat dari karya Ramadhan K.H, Kelurga Permana. Keluarga Permana mengungkap fenomena sosial yang mengandung unsur keagamaan. Selain itu, mengkritik pernikahan berbeda agama di Bandung, khususnya daerah Jatiwangi dan Ciateul pada 1970-an. Selain itu, Kuntowijoyo Khotbah Di Atas Bukit (1976), sebuah karya alegoris yang menyajikan gagasan tasawuf. Dinyatakan oleh Memen Durachman dalam tesisnya bahwa Khotbah di Atas Bukit merupakan `teks tasawuf puitik' yang mengandung sebuah gagasan. Adapun gagasan yang dimaksudkan adalah pengarang menggambarkan kehidupan yang tidak selaras dengan norma agama dan tuntutan masyarakat yang beradab. Sastra mengandung beragam gagasan dan dapat melihat beragam perspektif. Ketika Ramadhan K.H menyuarakan perlawan terhadap pernikahan berbeda agama, Wiji Thukul menyuarakan fakta sosial yang tidak pernah diungkap dalam sajak-sajaknya. Ditangannya, kata-kata menjadi alat perjuangan untuk merontokkan sebuah rezim. Inilah salah satu puisi Wiji Thukul yang mewarnai keruntuhan orba. []


9

Edisi 112 - November 2016

LIPUT Liputan Utama

Karya Sastra dan Karakter Pembaca Reporter: Daryanti Sastra mampu berperan dalam pembentukan karakter. Hal itu cukup beralasan karena, sastra mengandung nilai estetika dan moral yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Dalam dunia sastra berbicara tentang segala sesuatu yang ada, seperti berbicara pada diri sendiri (psikologis), berkaitan dengan Tuhan (religiusitas), alam semesta (romantic), dan juga masyarakat (sosiologis). Sastra mampu mengungkap hal dari berbagai segi.

Foto: Intan Juliastuti/ Pabelan Pos

P

a n d a n ga n H . B J a s s i n (1983) bahwa bacaan ( k a r ya s a s t ra ) memengaruhi tanggapan dan pikiran, serta sikap dan pan-dangan hidup, yang rasanya tidak perlu dije-laskan. Karena itu perlulah tradisi membaca dan tradisi membina perpustakaan sendiri digiatkan. Bagi pengarang kreatif makanan rohani ini lebih-lebih lagi perlunya disamping pengala-man badani. Karya sastra disebut sebagai karya imajinatif dengan berlandaskan kesadaran kreativitas sebagai karya seni. Hasil imajinatif dalam karya sastra berfungsi sebagai hiburan dan berguna untuk menambah pengalaman batin dari pembaca karya tersebut. Pengarang menciptakan karya sastra untuk dinikmati, dipahami, serta dimanfaatkan oleh masyarakat (pembaca-red) dengan mengambil nilainilai penting dalam karya tersebut. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang diungkapkan melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya.

Karya sastra lahir dari kesatuan utuh antara getaran jiwa penulisnya dengan alam semesta, lingkungan dan obyeknya Rampan (2009) menyatakan bahwa karya sastra lahir dari kesatuan utuh antara getaran jiwa penulisnya dengan alam semesta, lingkungan dan obyeknya. Sastra mencakup prosa, puisi, dan drama. Salah satu jenis prosa adalah novel. Novel muncul karena pengaruh filsafat John Locke yang menekankan pentingnya fakta dan pengalaman serta memandang berpikir terlalu fantastis adalah sesuatu yang ada bahayanya (Herman J. Waluyo:2002). Pada tahun 80-an, novel banyak diterbitkan, sehingga para pengamat mengklasifikasikan menjadi dua jenis, novel pop atau pupuler dan novel serius (literer). Herman J. Waluyo (2002) berpandangan bahwa novel serius (literer) adalah novel yang dipandang bernilai sastra tinggi, sedangkan novel pop atau populer adalah novel yang nilai sastranya diragukan (rendah-red) karena tidak ada unsur kreativitasnya. Sementara Cecep Syamsul Hari (2005) menyatakan bahwa novel pop atau populer memiliki ciri arbitrasi yang seragam, baik dari aspek lingkungan sosial, kultural, psikologis,

maupun lingkungan kebahasaan. Burhan Nurgiyantoro menjelaskan bahwa novel pop atau populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya di kalangan remaja. Kegandrungan novel jenis ini bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya. Di sisi lain, novel literer selalu memperlihatkan kesungguhan penulisnya dalam menggarap suatu persoalan. Karya sastra ini lahir dari kesatuan utuh antara getaran jiwa penulisnya dengan alam semesta, lingkungan dan objeknya. Penulis novel dan cerpen sastra tidak kompromi dengan selera pasar atau massa. Tidak masalah apabila yang ditulis itu tidak disukai oleh pembaca. Sastra Populer dan Literer Menghibur Hal tersebut dibenarkan oleh Agus Budi Wahyudi, Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Surakarta (PBI UMS) bahwa karya sastra populer akan mengikuti perkembangan zaman dan tentunya populer dianggap memberi pengalaman pada dunia kekinian, sehingga dapat mewarnai zamannya dan memiliki space sendiri dalam dunia karya sastra. “Sampai saat ini pembaca karya sastra sangat banyak. Baik itu sastra populer maupun sastra literer, dibanding dengan buku-buku berat seperti filsafat. Kalau dalam politik perbukuan novel populer dipegang oleh para orang berduit, karena memang politik dan Indonesia akan dibawa kearah budaya popular. Fenomena sastra saat ini berpedoman pada aspek bisnis, bahkan orang tidak tahu sastra juga akan berminat membaca karya sastra, karena lebih kekinian,” paparnya saat ditemui Pabelan Pos. Menurutnya, sastra populer dan literer memiliki tujuan sama yaitu untuk menghibur. Populer dan literer sama-sama hidup berdampingan, dan tidak mungkin melebur menjadi satu-kesatuan. “Karena apabila melebur menjadi satu maka identitas dari sebuah karya sastra akan hilang,” terangnya. Di samping itu, menurut penulis buku Sundari Keranjingan Puisi, dominasi pembaca di Indonesia saat ini adalah sastra populer. Dikatakan bahwa pembaca adalah mereka

Foto: Intan Juliastuti/ Pabelan Pos

yang mengeluarkan uang untuk membeli buku dan didominasi oleh bacaan Tere Liye dan Pidi Baiq. Bacaan dua pengarang tersebut (Tere Liye dan Pidi Baiq –red) laku dan menguasai pasar Indonesia karena ada pembacanya.

Fenomena sastra saat ini berpedoman pada aspek bisnis, bahkan orang tidak tahu sastra juga akan berminat membaca karya sastra, karena lebih kekinian “Sebagai perbandingan saja setiap kali cetak, sastrawan-sastrawan hebat itu paling maksimal itu 3000 buku. Bayangkan ketika Pidi Baiq, penjualannya di Gramedia saja dalam satu bulan laku 16.800 eksemplar. Itu cuma di Gramedia, belum di jaringan buku lainnya. Bayangkan saja itu sesuatu yang timpang. Kita bisa melihat pembaca Indonesia, pembaca di sini adalah pembaca yang

mau mengeluarkan uang untuk membeli buku, didominasi oleh orang-orang seperti Tere Liye, oleh Pidi Baiq. Jadi dominasi sastra kalau dilihat dari pembaca memang itu, sastra-sastra populer. Yang agak sastra sedikit ya Dewi Lestari, itu nilainya sudah agak cenderung ke sastra. Kalau untuk dominasi pembaca, ya memang sastra populer,” terangnya. Secara kualitatif mahasiswa sama-sama berminat membaca karya sastra baik populer maupun literer. Apabila dilihat secara kuantitatif karena faktor bisnis, penikmat salah satu sastra lebih banyak. Hal tersebut tergantung dari kegemaran pembaca, sebagai hiburan. Kegemaran jangan dianggap sebagai sebuah kegelisahan, namun sambutlah keduanya jika memang bermanfaat. “Saya selalu mengajarkan kepada anak-anak muda dalam bersastra terjadi perubahan global dan matrealistis di bidang sastra sehingga sastra literer tidak mungkin dijamah oleh para pemilik modal, hal tersebut bukan berarti mati. Orang yang berduit tidak mau mencetak secara besar-besaran karena setiap dicetak besar-besaraan maka akan memiliki nilai yang semakin rendah. Jadi mutiara tidak perlu sebesar gajah, kecilpun sangat bernilai,” tambahnya. []


10

Edisi 112 - November 2016

JELAJAH Foto: Intan Juli Astuti / Pabelan Pos

Bukit Cumbri

Pesona Tersembunyi di Perbatasan Provinsi Reporter: Afif Abdurrahman dan Intan Juli Astuti

I

ndonesia kaya akan pesona keindahan alam. Kekayaan tersebut menyebar di se-tiap daerah. Potensi daerah bisa dimanfa-atkan untuk membuka peluang dalam segi apapun. Hal itu akan berdampak pada me-ningkatnya pendapatan asli daerah dari sek-tor pariwisata dan sektor turunan lainnya. Keindahan alam di setiap denyut tersembunyi daerah selalu menjadi pusat perhatian bagi setiap orang yang melihatnya. Kekayaan alam Indonesia ada yang telah dikenal luas dan ada pula yang masih tersembunyi. Bagi sebagian orang, pesona alam bukit Cumbri yang ada di perbatasan daerah Ponorogo, Jawa Timur dan Wonogiri, Jawa Tengah bisa dibilang belum banyak dijamah oleh orang. Bukit dengan ketinggian 638 mdpl ini terletak di perbatasan antara Ponorogo dan Wonogiri, tepatnya di Desa Pagerukir, Ke-

Bosan dengan tugas-tugas menumpuk dari dosen? Mari sejenak simak liputan perjalanan bersama Pabelan Pos. Edisi ini, tempat yang dikunjungi adalah dataran tinggi dengan panorama keindahan alam menakjubkan. Apa nama tempat tersebut? Nah, simak bersama liputan penjelajahan berikut ini. camatan Sampung, Kabupaten Ponorogo dan di Dusun Sumber Beji, Desa Biting, Kabupaten Wonogiri. Dulunya, Cumbri ini hanya dinikmati oleh anak-anak sekitar desa. “Pada awalnya anakanak di sekitar desa sering naik ke gunung itu setelah salat subuh lalu mereka mengajak teman-teman mereka ke situ,” jelas Sunar, Kepala Dusun Temon, Ponorogo. Perbukitan di sebelah tenggara Gunung Lawu tersebut mulai ramai dikunjungi oleh pengunjung atau pendaki setahun lalu. Keindahan alam yang ditawarkan oleh bukit tersebut tidak kalah dari puncak-puncuk gunung

yang sudah tersohor namanya. Pasalnya, di puncak bukit tersebut keindahan bentang alam wilayah Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Ponorogo terlihat nyata dan jelas. Selain itu, bidang tebing batu-batuan tegak lurus menjadi daya pikat tersendiri. Puncak Cumbri bisa didaki dengan menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam dari pos perjalanan. Di sepanjang perjalanan, pengunjung atau pendaki akan melihat keindahan pemandangan alam yang dihiasi perkebunan mete di kanan-kiri jalan setapak. Dibutuhkan kehati-hatian dalam menaiki maupun menuruni bukit ini. Terlebih bi-

la cuaca kurang mendukung. Adapun rute pendakian bukit Cumbri dibagi menjadi empat jalur. Pertama, pos 1 yang berada di dukuh Prongkol. Kedua, pos 2 di dukuh Sumber. Ketiga, pos 3, di dukuh Purgo dan pos terakhir di dukuh Temon. Pos empat tersebut merupakan satu-satunya pos yang berada di kawasan Ponorogo. Pos-pos tersebut beberapa sudah ada penjaganya sehingga bagi yang ingin menitipkan kendaraan bisa dititipkan di pos tersebut. Pengunjung atau pendaki hanya perlu membayar Rp.2.000,- untuk penitipan motor siang hari, Rp.3.000,- untuk penitipan motor malam hari dan Rp.5.000,- untuk kendaraan roda dua yang ditinggal untuk menginap. “Pos satu dan pos tiga saya kurang tahu tetapi untuk pos dua dan empat sudah ada penjaganya,” terang Sunar.

Pesona Alam

Keindahan Bukit Cumbri

K

ami (Reporter Pabelan Pos –red) memilih jalur pendakian dari pos empat, yaitu dari dukuh Temon, dusun Pagerukir, Kecamatan Sampung. Hal tersebut kami pilih karena jalurnya lebih dekat, sekitar 750 meter. Selain itu, jalur ini lebih mudah dilalui. Perjalanan tersebut kami mulai dari Solo dengan berkendara sepeda motor. Adapun jalan yang kami lalui untuk sampai di Cumbri adalah jalan arah SoloPurwantoro kemudian berbelok arah ke Ponorogo. Perjalanan memakan waktu dua jam. Rute perjalanan memanjang dan berkelokkelok membuat kering tenggorokan. Oleh karena itu, bagi yang ingin berkunjung jangan lupa membawa air mineral, ya. Dari pos empat, awal perjalanan, dominasi hutan jati dan pepohonan mete terlihat samar-samar. Gelak tawa para pendaki di sekitar terdengar. Derap langkah membelah sunyi hutan di kaki Bukit Cumbri. Terpaan angin melumuri kulit, menembus tulang. Peluh-peluh bercucuran. Langkah kaki pun dipercepat memadu waktu diantara sinar matahari yang menerobos masuk dari celah dedauan. Akar-akar pohon melintang di jalur. Akar-akar tersebut saling melilit sehingga menyulitkan langkah. Sementara nafas mulai tersengal-sengal karena harus mengatur ritme. Estimasi perjalanan menuju puncak memakan waktu satu jam dari Dusun Pagerukir.

Foto: Intan Juli Astuti / Pabelan Pos Foto: Intan Juli Astuti / Pabelan Pos

Foto: Intan Juli Astuti / Pabelan Pos

Akhirnya, setelah melewati dan mengikuti arah panah yang digambar pada bebatuan kanan kiri jalan setapak, sampailah kami di bukit Cumbri. Rasa lelah pun terbayarkan. Lautan hijau tampak memanjang di depan mata. Pemandangan perbukitan menyerupai 'chocolate hills' di Filipina bisa kita jumpai. Pemandangan serangkaian bukit-bukit kecil berbentuk kubah. Bangunan-bangunan Kota seperti Ponorogo, Wonogiri, Karanganyar, nampak seperti ornamen terlihat menggelikan sehingga

menjadi daya pikat untuk mengenang. Momen Selfie dan Wefie pun menyebar. Di puncak Cumbri terdapat bebatuan besar berbentuk unik. Untuk sampai ke sana tidak begitu sulit, namun berhatihatilah karena di samping kanan kirinya tebing terjal. Jika menyukai keramaian, datanglah pada hari Sabtu dan Minggu atau liburan panjang. Biasanya, pada hari-hari tersebut digunakan camping bagi anakanak sekolah atau kelompok pencinta alam.


11

Edisi 112 - November 2016

WAJAH Foto Istimewa

Perempuan mana yang sanggup menata nafasnya kembali setelah membaca untaian sajak berjudul Aku Ingin di atas? Perempuan mana yang sanggup memandang ke arah semula seperti tidak terjadi sesuatu setelah mendengarkan bait demi bait sajak pujangga satu ini? Bagaimanapun, badai seketika menjadi semilir angin yang menenangkan dan lebat hujan akan menjadi gerimis yang merindukan.

Sastrawan

Sajak Sederhana Sapardi Djoko Damono

I

alah Sapardi Djoko Damono, mula dari semua, pujangga kawakan yang karyakaryanya telah melanglang buana di Nusantara. Sajak-sajaknya bahkan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa antara lain Arab, China, Jepang, Korea, Thailand, Hindia, Malayalam, Portugis, Perancis, Inggris, Belanda, Jerman, Italia, Jawa, dan Bali. Bagi pecinta sastra, nama ini tentu menjadi salah satu tokoh yang telah memiliki persemayaman di hati mereka. Dalam liputan TEMPO, Sapardi mengungkap kegemarannya terhadap puisi sedari ia duduk di Sekolah Dasar. Katanya, waktu itu ia sudah gemar membaca karya sastra penyair nasional dan dunia. Apalagi setelah bersama keluarga pindah dari tengah kota yang ramai ke pinggiran Kota Solo yang sepi, ia punya banyak waktu luang karena tak memiliki teman. Kepiawan Sapardi dalam menulis puisi pun dimulai ketika ia menginjak usia remaja. Pria kelahiran Solo, 20 Maret 1940 ini telah menulis puisi sejak tahun 1957, ketika itu ia masih duduk di bangku SMA. “Saya masih ingat betul, bagaimana saya harus menyembunyikan puisi yang saya buat di bawah buku, bila ayah datang dan melihat saya belajar,” katanya dalam wawancara TEMPO. Bagi Sapardi, menulis puisi diibaratkan sebagai orang yang sedang melukis. Jika pelukis memaknai hasil karyanya dengan coretan demi coretan, maka Sapardi menyusun kata demi kata hingga tersusun huruf atau kata itu menjadi bermakna. Kehebatannya dalam menulis itu kemudian tidak hanya dibiarkan saja, melainkan ia tuangkan dalam sebuah buku antologi puisi. Buku pertamanya terbit pada tahun 1969 dengan judul Duka-Mu Abadi. Kemudian menyusul buku-buku puisi karyanya yang tidak kalah terkenalnya. Tidak hanya sajak-sajak yang dituangkan dari pikirannya ke dalam sebuah buku, Sapardi pun piawai menulis cerita yang kemudian juga dijadikan sebuah buku. Salah satu novel yang ia adopsi dari puisi ciptaannya sendiri adalah novel Hujan Bulan Juni. Foto Istimewa

Reporter: Aisyah Arminia “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu dengan api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada” –Sapardi Djoko Damono (1989)-

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu (1989)

segan-segan menggadaikan sepedanya untuk membiayai pementasan. Hal itu membuktikan kecintaan Sapardi terhadap seni. Namun, jodoh Sapardi yang sebenarnya adalah Wardiningsih. Gadis jelita yang dipinang Sapardi ini tidak lain adalah mantan adik tingkatnya di UGM. Sapardi meminangnya pada tahun 1964, setahun setelah ia lulus kuliah pada tahun 1965. Orang menyangka gadis yang mampu merebut hatinya itu juga berkutat dengan sastra sama halnya dengan Sapardi, namun pada kenyataannya Wardiningsih ternyata Sapardi memang berjodoh dengan tidak menyukai sastra. Walau begitu sastra. Saat menempuh studi di perguruan keduanya mampu menyatukan perbedaan tinggi, ia mengambil jurusan Sastra Barat di dan membangun bahtera rumah tangga. Universitas Gajah Mada (UGM). Katanya, Belakangan Sapardi memang terkenal p e n g u a s a a n b a h a s a ya n g i a m i l i k i sebagai salah satu penyair terkemuka di menjadikannya bisa langsung menikmati Indonesia. Sulung dua bersaudara ini pun dan berhubungan dengan sastra asing. banyak menerima penghargaan, salah Kegiatannya berkutat di sekitar kesenian, satunya adalah anugerah “Puisi Putra II” dari teater mahasiswa, musik, mengisi acara Gabungan Persatuan Penulis Nasional sastra RRI, sehingga hal itu cukup (Gapena) Malaysia pada tahun 1983 melalui mendukung proses kreatifnya. Tak hayal jika kumpulan puisinya, Sihir Hujan yang pada waktu itu ia sering keliling daerah memuat 51 sajak. Pada kesempatan itu hadir untuk bermain sandiwara. pula istri tercinta menemani Sapardi Sapardi juga pernah bergabung dengan menerima hadiah itu meskipun sebelumnya grup teater yang dipimpin Rendra, yaitu Wardiningsih tidak pernah mau diajak Bengkel Teater. Pernah suatu ketika ia tidak menghadiri acara sastra.

Sastrawan

Catatan Sapardi Djoko Damono

Penghargaan yang pernah diperoleh Sapardi: Ÿ Cultural Award (1978) dari Australian Cultural Council Ÿ Anugerah Puisi Putra (1983) dari Dewan Bahasa dan Sastra Malaysia Ÿ Hadiah Sastra (1984) dari Dewan Kesenian Jakarta Ÿ SEA-Write Award (1986) dari Thailand Ÿ Anugerah Seni (1990) dari Pemerintah Republik Indonesia Ÿ Kalyana Kretya (1996) dari Pemerintah Republik Indonesia Ÿ Penerjemah terbaik untuk novel John

Ÿ Ÿ

Ÿ

Steinbeck, The Grapes of Wrath (1999) dari Yayasan Buku Utama Setyalencana Kebudayaan (2002) dari Presiden Republik Indonesia Khatulistiwa Literary Award (2004) untuk buku Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan Penghargaan Pencapaian Seumur Hidup dalam Sastra dan Pemikiran Budaya (2012) dari Akademi Jakarta.

Buku puisi Sapardi: Mata Pisau, Akuarium, duka-Mu Abadi, Perahu

Ternyata bahwa kata yang kita bawa seperti pasukan yang kita tata kemudian kita imajinasikan, Sapardi mampu menata itu, Kini, Sapardi berprofesi sebagai pensiunan guru besar Universitas Indonesia (UI) sejak tahun 2005 dan guru besar tetap pada Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (2009). Ia pun mengajar dan membimbing mahasiswa di Pascasarjana UI, Institut Kesenian Jakarta, Universitas Diponegoro, Universitas Padjajaran, dan Institut Seni Solo. Sajak Sederhana Sapardi Sapardi dikenal sebagai penyair yang memiliki bahasa-bahasa sederhana dalam karyanya. Bahasa yang digunakan dalam sajak-sajaknya sederhana namun bermakna dalam. Hal inlah yang menjadikan karyanya dekat dengan pecinta puisi. Agus Budi Wahyudi juga berujar demikian. Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra FKIP UMS ini mengatakan kata yang dipakai Sapardi sederhana dan tidak berat. “Kehebetannya (Sapardi-red) adalah menata kata,” tuturnya pada Pabelan Pos. Menurut Agus kesederhanaan tulisan Sapardi diperlihatkan pada pembagian baitbait dalam sajaknya, konsep enjambemen dan kerapian tulisannya selalu konsisten. Sapardi diakuinya sebagai penyair yang cerdas dalam mengambil titik yang sederhana dengan bahasa yang sederhana tapi memiliki makna mendalam. “Ternyata bahwa kata yang kita bawa seperti pasukan yang kita tata kemudian kita imajinasikan, Sapardi mampu menata itu,” ujar Agus. Kesederhanaan Sapardi diakui Agus tidak hanya ada pada sajak-sajaknya, melainkan melekat pula pada sosoknya. Menurutnya, Sapardi adalah sosok sastrawan yang konsisten dan rapi. Jika seniman sering diidentikkan dengan orang yang berpenampilan tidak rapi, Sapardi selalu tampil dengan rapi. Dari situlah ia mengambil pelajaran bahwa seniman juga bisa berpenampilan rapi. “Lha yang saya dapatkan dari Sapardi seperti itu, seniman bisa dengan sebuah kerapian. Menariknya kan seperti itu, wong rapi neng iso gawe puisi (orang rapi tapi bisa membuat puisi),” tutup Agus. []

Kertas, Sihir Hujan, Hujan Bulan Juni, Arloji, Ayatayat Api, Mata Jendela, Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?, Kolam, Namaku Sita, dan Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita. Buku Fiksi Sapardi: Pengarang Telah Mati, Membunuh Orang Gila, Sup Gibran, Pengarang Belum Mati, Pengarang Tak Pernah Mati, Pada Suatu Hari Nanti/Malam Wabah, Jalan Lurus, Arak-arakan, Hujan Bulan Juni, Bilang Begini Maksudnya Begitu, dn Trilogy Soekram. (sumber: novel Hujan Bulan Juni cetakan kesembilan Agustus 2016). []


12

Edisi 112 - November 2016

GAYA HIDUP Foto Ilustrasi: indianexpress.com

Visualisasi

Ide Imajinatif dari Jejak-jejak Visualisasi Reporter: Dziya Ulhikmah

M

engapa video yang dirancang seimajinatif mungkin ini mampu melampaui batas logika manusia? Pasalnya, dalam video clip tersebut, terdapat perpaduan potongan-potongan video yang mengandung surealisme seperti manusia yang berenang di dalam mesin cuci, elang yang terbang di dasar laut, mobil yang melaju di atas cincin planet Saturnus dan masih banyak lagi yang membuat video ini mempunyai daya tarik tersendiri. Bahkan beberapa orang terinspirasi untuk mengedit foto Apa yang telintas di benak kalian saat melihat video clip Up and Up dari Coldplay? Unik mereka dengan model ala Up and Up lalu dibukan? Visualisasi dengan menggambarkan unsur surealisme ini terbukti mampu upload di sosial media. membuat yang melihatnya berdecak kagum. Surealisme atau beberapa orang Coldplay merupakan grup musik rock almenyebutnya surealis merupakan salah satu aliran seni yang mengacu pada suatu ternatif yang berasal dari Inggris dan mulai kebebasan kreativitas hingga melampaui batas logika serta memiliki unsur kejutan menapakkan karir di tahun 1996. Salah satu sebagai bentuk ungkapan gerakan filosofis. groupband ternama itu baru saja merilis album yang berjudul Up and Up dan merupakan single dari album yang berjudul A Head Full of “Punya banyak foto tapi kalau di-upload di Dreams. Video clip tersebut dirilis 16 Mei IG biasa banget, makanya iseng-iseng nambah 2016 dan mengundang perhatian penonton objek yang unik,” tuturnya. Seketika serta mendapatkan apresiasi dari berbagai piMahasiswa bernama lengkap Dwinanda hak yang telah melihat langsung video clip jejaring sosial seperti Setiya Hardayi ini menunturkan bahwa diritersebut. Sentuhan surealisme membuat mata Instagram, Facebook, Twitter nya hanya ingin mengedit fotonya agar lebih para penonton dibuat tak berkedip. dan media sosial lainnya menghibur. Hanya saja, kebetulan video itu Seketika jejaring sosial seperti Instagram, dibanjiri oleh foto memang sedang sangat booming dan hashtagFacebook, Twitter dan media sosial lainnya nya ramai di sosial media. Ia hanya ikut mebertemakan Up and Up dibanjiri oleh foto bertemakan Up and Up, seramaikan. “Pengennya yang lihat itu berfikir, akan semua ikut berlomba-lomba dalam menkok bisa kayak gitu, nggak mungkin banget,” ciptakan efek visual berupa surealisme pada ia mengaku bahwa foto imajinatif yang di- terang Nanda. foto mereka. Namun, berbeda dengan salah unggahnya melalui Instagram berawal dari Nanda yang mengambil konsentrasi D3 seorang mahasiswa yang akrab disapa Nanda, keisengan belaka. Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa

dan Design, Universitas Sebelas Maret itu mengungkapkan bahwa foto yang diunggahnya tersebut menggunakan konsep digital imaging. Konsep ini sudah umum dipakai untuk membuat poster dan lain sebagainya. Digital imaging merupakan teknik desain grafis yang memudahkan seseorang membuat gambar khayalan dari stok foto yang ada lewat proses editing digital. Aplikasi yang digunakan pun bermacam-macam, bisa melalui Photoshop ataupun aplikasi editing image lainnya. Mahasiswa UNS tersebut menjelaskan bahwa hal pertama dalam proses pengeditan foto adalah menentukan konsep yang ingin diambil. Semisal jika menginginkan foto ala Up and Up, maka harus mencari bahannya terlebih dahulu. Kemudian tentukan background yang diinginkan, serta seperti apa objek yang akan dipakai. Misalnya saja objek dapat berupa paus, burung elang, ataupun objek-objek hewan lain yang semuanya bisa disesuaikan dengan selera masing-masing. Tahap selanjutnya yaitu menggabungkan background dan objek yang sudah ditentukan di awal. Proses berikutnya agar lebih terlihat realistik, menyamakan tone warna, arah cahaya, gelap-terangnya. Tahap ini dinilai sulit, sebab selain butuh pengetahuan mengenai tool-tool yang ada, juga harus memainkan rasa dan sense of art agar hasil yang didapatkan bisa mendekati realistik. []

Aktualisasi Diri

Up and Up , Sarana Aktualisasi Diri

V

ideo klip Coldplay berdurasi sekitar empat menit sepuluh detik tersebut berhasil menyita perhatian para viewer YouTube dengan perolehan 24 juta penonton, 600 ribu likers, serta respons positif dari berbagai pihak. Hal tersebut membuktikan bahwa konsep surealisme yang ditampilkan Coldplay berhasil membuat para viewer takjub. Sontak, keberadaan video ini langsung menjadi viral dan kebanyakan orang langsung mengikuti gaya foto bertajuk Up and Up. Fenomena yang terjadi tersebut berkaitan erat dengan istilah aktualisasi diri. Nanda sendiri mengungkap bahwa salah satu kebutuhan manusia ialah adanya pengakuan dari orang lain atas dirinya. Dengan sikap seseorang yang selalu mengikuti trend yang ada, harapannya tidak lain agar dikenal sebagai seseorang yang selalu up to date. “Apapun motivasinya itu, termasuk untuk memamerkan kemampuan dalam hal editing. Ada juga yang hanya sekadar ikutikutan trend tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Nanda mengakui bahwa foto bertema Up and Up yang telah diunggah di Insta-gram, pada dasarnya bisa dikategorikan sebagai ajang aktualisasi diri sebab keinginan untuk mendapatkan pengakuan bahwa dirinya mempunyai kemampuan dalam hal desain grafis. “Ada banyak foto yang menggunakan tema itu, tapi tentunya kualitas foto termasuk salah satu yang dipertimbangkan. Karena aku basicnya di desain grafis, jadi aku harus menunjukkan yang lebih baik dari segi pemilihan background dan objek yang pas,

termasuk juga pencahayaannya sehingga foto dapat terlihat serealistis mungkin,” tambah mahasiswa yang mempunyai panggilan lain Nobe ini. Sebuah artikel menyebutkan bahwa aktualisasi diri merupakan kemampuan seseorang dalam menempatkan diri sesuai dengan kemampuan yang ada dalam dirinya. Seorang yang memiliki aktualisasi dalam dirinya cenderung menjadi pribadi yang mempunyai pikiran jernih, bisa dikatakan bahwa ia adalah seseorang yang mampu mempertimbangkan segala sesuatu dengan objektif. Dikatakan juga bahwa ciri aktualisasi diri yaitu seseorang dapat menerima dirinya apa adanya, menerima segala kekurangan dan kelebihan diri sendiri tanpa ada rekayasa dan tanpa harus menggunakan topeng di depan orang lain. [] Foto Ilustrasi: indianexpress.com

Foto Ilustrasi: indianexpress.com

Foto Ilustrasi: indianexpress.com


13

Edisi 112 - November 2016

LIPSUS Foto: Istimewa/ Pabelan Pos

Sastrawan

Realitas Sejarah dalam Sastra Reporter: Ritmika Serenady Karya sastra merupakan media untuk menyalurkan aspirasi atau gagasangagasan kepada khalayak. Karya sastra kerap menjadi bingkai dari suatu peristiwa sejarah. Beberapa karya sastra berhasil Pabelan Pos rangkum dengan setting waktu abad 19, di mana peristiwa besar sejarah Indonesia terjadi pada masa itu serta implikasinya terhadap pembangunan nasional.

P

ertama, Ambak arya Laksmi Pamuntjak dibuka dengan lanskap sebuah hu-tan di Pulau Buru, gelap dan gerimis serta diliputi kejadian penusukan yang dilakukan oleh seorang wanita yang merupakan penduduk asli pulau setempat terhadap Amba di depan makam suaminya sendiri, Bhisma, sebagai saksi bisu dari kejadian itu. Amba Kinanti, yang tentu saja menjadi tokoh utama, beralur mundur, mengisahkan perjalanan hidup dari sebuah pertemuan berkesan hingga perpisahan yang paling pahit dengan Bisma Rashad, tokoh pendampin novel ini. Meskipun kisah dalam novel tidak jauh dari perputaran asmara kedua tokoh ini, namun ada yang lebih penting dari sekadar jatuh cinta dan kehilangan. Novel ini

berlatar sejarah peristiwa 1965 dan turut membentuk persepsi atas tahanan politik (tapol) pada rezim orde baru. Saat rezim orde baru tumbang, media menjadi berani dalam mengungkap fakta yang bergulir di masyarakat. Kebebasan ini dimanfaatkan para sastrawan untuk mengekspresikan suatu peristiwa secara terbuka setelah sekian lamanya dikungkung oleh rezim itu. Tak jarang mereka menelurkan karya dari tema-tema yang sudah lazim hingga yang belum pernah diangkat. Menurut Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Sri Lestari menjelaskan bahwa karya sastra merupakan hasil dari pemikiran, khayalan, dan imajinasi seseorang yang disampaikan kepada khalayak melalui tulisan. Melalui tulisan

Sastrawan

Sastra dan Pembangunan Nasional Reporter: Ritmika Serenady

K

Menurut Murniati (dalam Maria Endah, 2014:3), dalam sistem patriarki, laki-laki berkuasa untuk menentukan. Sistem ini kerap dianggap wajar sebab disejajarkan dengan pembagian kerja berdasarkan gender.

secara langsung. Tapi melalui karyanya, para sastrawan ingin mengetahui sejauh mana kritik sastra itu bisa mengkritik karya sastra yang telah disajikan kepada pembaca,” jelas Tari kepada Pabelan Pos saat dikunjungi di kediamannya.

tetap dianggap sebagai selir semata. Setelah menikah, Gadis Pantai pindah ke kediaman Bendoro di daerah kota. Semakin lama tinggal bersama suaminya, semakin Gadis Pantai merasa diacuhkan olehnya. Terlebih saat usia pernikahan mereka memasuki tahun ke dua, dan Gadis Pantai tengah mengandung anaknya yang pertama, Bendoro sama sekali tidak menunjukan kepeduliannya, bahkan jarang pulang ke rumah untuk sekadar memastikan keadaan sang istri. Selama itu beban penderitaannya ia tanggungkan sendiri.

hidup Eropa dalam busana juga percakapan sehari-hari, bahkan melakukan aktivitas per-gundikan. Dominai sistem ini turut dirasa-kan dampaknya oleh Gadis Pantai.

…Ia ingat tetangganya –b aru sekali istrinya melahirkan, suaminya berjaga siang malam di luar rumah. Dan waktu bayinya lahir menangis kencang, ia tubruk pintu. Lupa pada wajahnya yang yang bercorengan airmata. “Sekarang pada siapa anak ini kuserahkan kalau tidak pada bapaknya sendiri? Barangkali Bendoro tak pedulikan anaknya sendiri? Tidak, tidak mungkin. Dia bapaknya. Tapi mengapa tak juga datang, sekalipun cuma buat menengok?”

Ilustrasi: Vector istimewa/ Pabelan Pos

edua, Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan besar Indonesia. Pram telah banyak menelurkan karya sastra yang mengangkat realitas sosial dan berimplikasi terhadap pembangunan nasional. Salah satu karyanya adalah Gadis Pantai yang mengangkat realitas sosial pada masa itu. Novel tersebut terinsirasi dari kisah neneknya. Pram, melalui ideologinya, ingin menyampaikan kritik atas sistem feodal terhadap wanita sebagai korban dari budaya

tersebut, pengarang menceritakan kehidupan yang telah pengarang lihat, alami, dan rasakan ke dalam suatu karya sastra. Karya sastra memang kerap bersifat imajinatif, namun merupakan cermin dari realitas yang ada di masyarakat. “Unsur fiksi itu tetap ada. Tapi latar belakang dari cerita itu juga nyata adanya. Tapi tetap ada campur tangan dari pengarang. Latar belakang pengarangnya gimana, dia keadaan sosiologinya seperti apa, itu pasti akan sangat memengaruhi (karya sastrared). Mengapa dia memilih G30S/PKI mungkin karena dia berfikir harus ada yang terungkap dari sejarah G30S/PKI tersebut meskipun hanya lewat karya sastra. Untuk memberitahu kepada masyarakat kan nggak bisa

patriarki yang digaung-gaungkan pada masa itu. Kisah Gadis Pantai berlatar di sebuah daerah pesisir di Karesidenan Rembang, Jawa Tengah pada masa kolonialisme di Indonesia akhir abad 19. Ia seorang anak perempuan nelayan yang hidup di daerah setempat. Kisahnya terus berlanjut setelah menikah dengan Bendoro, seorang priyayi Karesidenan Rembang yang bekerja sebagai pegawai Belanda. Tanpa disadari sebelumnya, pernikahan tersebut menjadi awal dari penderitaannya sebagai wanita yang hidup dalam suatu masa, di mana derajat antara laki-laki dan perempuan terlihat begitu kentara. Pernikahan mereka tidak dirayakan sebagaimana pernikahan antara priyayi dengan wanita bangsawan. Hal ini karena Gadis Pantai bukanlah putri seorang bangsawan. Status pernikahan yang terjadi pun hanya pernikahan percobaan. Itu artinya, sang istri tidak akan naik derajat, juga kedudukannya

Apa yang ditanggung oleh Gadis Pantai merupakan gambaran umum yang mewakili nasib perempuan Indonesia pada saat itu. Negara mengalami sebuah system feodalisme, yaitu kekuasaan berada di tangan para tuan tanah dan pemilik modal yang pada kemudian hari semakin menguatkan sistem pengelompokan masyarakat patriarki yang telah lama ada di Indonesia. Menurut Murniati (dalam Maria Endah, 2014:3), dalam sistem patriarki, laki-laki berkuasa untuk menentukan. Sistem ini kerap dianggap wajar sebab disejajarkan dengan pembagian kerja berdasarkan gender. Ketika keadaan sosial masyarakat yang hidup sederhana berubah menjadi masyarakat dengan sistem feudal, maka semakin kuatlah budaya patriarki tersebut. Sistem feodal telah memberikan pengaruh pada karakteristik masyarakat Jawa, khususnya para bangsawan dan priyayi. Mereka merasa memiliki kekuatan dan kekuasaan dominan terhadap kaum masyarakat biasa. Para priyayi ini mengikuti gaya

Unsur fiksi itu tetap ada. Tapi latar belakang dari cerita itu juga nyata adanya. Dia keadaan sosiologinya seperti apa, itu pasti akan sangat memengaruhi

Lebih dua tahun aku tinggal di kota, sampai akhirnya kau datang. Dan baru sekarang ini aku tahu, orang-orang kota, orang-orang berbangsa itu, begitu takutnya kalau orang tidak lagi menghormatinya. Dan mereka begitu takutnya kalau terpaksa menghormati orang-orang kampung. Sastra dan Pembangunan Nasional Selain kritik sosial, karya sastra turut berfungsi sebagai media yang bisa mencetuskan ide-ide dan gagasan-gagasan yang dapat dikomunikasikan ke arah pembangunan nasional. Pada 17 tahun yang lalu, Presiden ke-4 Republik Indonesia, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengundang Pramoedya Ananta Toer untuk datang ke Wisma Negara, Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta. Undangan tersebut tak lain untuk membicarakan ihwal kelautan di Indonesia. “Presiden banyak tanya soal pendapat saya tentang laut dan perikanan. Dalam kabinet yang dibentuk beliau ada Departemen Kelautan dan Perikanan. Mungkin dalam sejarah pemerintahan di Indonesia baru kali ini ada departemen yang khusus mengurus laut dan ikan,” kata Pram saat itu, seperti dilansir dari kompas.com 25 Oktober 2016. Menurut Pram, saat itu Gus Dur tertarik dengan tulisannya yang berbicara mengenai laut. “Saya menulis yang berkaitan dengan laut dalam novel Gadis Pantai,” ujarnya lagi. Beberapa hari usai pertemuannya dengan Gus Dur, Pram melihat ketertarikan orang luar negeri termasuk para wisatawan terhadap Indonesia, terutama pada lautnya. Gagasan yang telah Gus Dur terima dari Pram merupakan bentuk dari proses tersebarnya suatu inovasi ke dalam sistem sosial melalui saluran komunikasi. Karya sastralah yang menjadi channel dari berlangsungnya proses difusi inovasi tersebut. Refrensi: Pramesthi, Masistha Dewi. 2015. Kontruksi Identitas Tahanan Politik Orde Baru dalam Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak. Journal Unair. Surabaya: Universitas Airlangga.


14

Edisi 112 - November 2016

LIPSUS Sastra yang Hilang

Politik Kebudayaan dan Karya Apkir Pasca 1965 Reporter: Muhammad Taufik Sastra memiliki dua ladang garapan yang dianggap berbahaya dan dicap berseberangan dengannya, yakni agama dan politik. Jika terkadang agama dinilai rawan meluruskan subjektifitas dan imajinasi dari produk kesenian, maka politik dianggap sarat kepentingan dan sastra rentan ditunggangi muatan politik. Foto: Istimewa / Pabelan Pos

D

i Indonesia, kasus antara sastra dengan dua hal tersebut pernah terjadi. Dalam Antara Imajinasi dan Hukum karangan Darsjaf Rahman, tercatat bahwa H.B Jassin pernah diadili dan dituntut atas tuduhan pencemaran agama. Begawan Sastra Indonesia itu, diperkarakan oleh pihak-pihak yang tak terima dengan pemuatan Cerpen Langit Makin Mendung di Majalah Sastra yang digawanginya. Cerpen tersebut dianggap menistakan agama dengan menggambarkan Tuhan dan Nabi Muhammad SAW. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Lekra dekat dengan Soekarno dan PKI memiliki musuh bersama dalam diri seniman-seniman Manikebu (Manifes Kebudayaan). Sastrawansastrawan Lekra pada masa itu mengambil

peran sebagai polisi sastra. Mereka bertindak dan bereaksi tatkala terdapat karya sastra yang memiliki nilai keindahan tak sesuai dengan standar yang dicanangkan. Pernah di harian Lentera, asuhan Pramoedya Ananta Toer menggempur karya Hamka, Teng-gelamnya Kapal Van Der Wijck. Pada satu ulasan buku yang ditulis oleh Abdoellah M., Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dituduh memplagiasi karya dari penulis Arab, Mustafa Lutfi al-Manfaluthi. Tak tanggung-tanggung judul yang termaktub adalah, Aku Menuduh Hamka Plagiat, Lentera, 3 Maret 1963. Keras, langsung, dan tanpa basa-basi. Seniman maupun sastrawan-sastrawan Lekra menjadi anak emas pemerintahan Soe-

Lekra sering pula diberi sarana untuk berkreasi dan berjejaring antarsesama seniman di tingkat Internasional. Karya-karya Pada ujungnya, dominasi pengarang Lekra membuat para pengukir aksara yang mereka dikritik tergabung dalam kelompok Manikebu dan digempur oleh Lekra. tenggelam. Pengarang macam Sapardi Djoko Nahasnya lagi, kesempatan Darmono, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamuntuk berkarya pun mad, Arif Budiman, dan lain-lain, tergusur dari kancah kesastraan Indonesia. Karyaterbentur oleh cita-cita karya mereka dikritik dan digempur oleh LeManipol-Usdek. kra. Nahasnya lagi, kesempatan untuk berkarya pun terbentur oleh cita-cita Manipolkarno. Mengusung jargon, Manipol-Usdek, Usdek. [] sastrawan Lekra seperti diberi angin segar oleh Soekarno untuk membabat musuh intelektualnya. Di lain hal, seniman-seniman

Sastra yang Hilang

Karya-karya (yang) Dilarang Reporter: Muhamad Taufik

D

i masa demokrasi terpimpin, kelompok Manifes Kebudayaan dengan asas Humanisme Universal membuat gebrakan kala menyelenggarakan Konferensi Pengarang se-Indonesia yang disuporteri Angkatan Darat (Darsjaf Rahman:1996). Namun, mereka bukanlah kelompok unggul. Lekra berhasil menghimpun dukungan Soekarno untuk menyerang kelompok Manikebu dengan asas politik sebagai panglima. Pascalengsernya Soekarno, segala hal yang berbau komunisme ditumpas oleh pemerintahan baru yang dinahkodai oleh Jenderal Soeharto. Punggawa-punggawa Lekra seperti Pramoedya Ananta Toer, Hersri Setiawan, Putu Oka Sukanta dibuang ke pulau Buru. Sedangkan pengarang Lekra yang cukup beruntung, Utuy Tatang Sontani menjadi eksil di luar negeri dan dijadikan dosen sastra di Uni Soviet. Para punggawa Lekra tak lagi berdaya. Mereka tak memiliki kuasa dalam jagad sastra di negaranya sendiri. Lalu, para seniman Manikebu mendapat perhatian dan tempat di pemerintahan Soeharto, Orde Baru. Sastrawan bekas musuh Lekra ini seperti yang diungkapkan Fernando Baez dalam Penghancuran Buku (2013) mendapatkan lampu hijau untuk membantai musuh intelektualnya. Aksi-aksi pembuangan para tulang punggung Lekra menjadi penanda awal bibliosida—istilah untuk penghancuran buku. Bibliosida ala pemerintahan Soeharto tak hanya menghilangkan karya sastra namun mencampakkan pula para pengarangnya. Misalnya, karangan prosa Sitor Situmorang yang berjudul Sastra Revolusioner, dilarang terbit dan Sitor dijebloskan ke Rutan Salemba.

Tak berhenti sampai di situ, Taufiq Ismail dan D.S Moelyanto menulis buku Prahara Budaya yang didaku oleh pengarangnya sebagai pelurusan sejarah yang telah bengkok. Takar buku yang ditulis oleh Zen Rs di Majalah Basis, Januari 2009 menjabarkan bahwa buku ini tak lebih dari buku yang menodai nama Lekra. Nama Lekra yang telah bopeng pascatragedi G30S semakin hitam. Usaha dua budayawan ini layaknya segepok ikhtiar dari kaum cerdik cendikia Indonesia yang mempunyai motif untuk semakin menenggelamkan nama Lekra. Mereka yang pernah dilukai, disakiti dan dirampas hak berkeseniannya membalaskan luka lama dengan cara yang berada dalam ranah kerja mereka, menulis. Dari pihak aparat, kejaksaan telah melarang buku Tetralogi Buru yang dibuat oleh Pramoedya Ananta Toer atau yang kerap disebut Pram. Dengan dalih mengandung ajaran-ajaran subversif. Pun kejaksaan, tangan panjang Soeharto melarang buku itu beredar. Kendati demikian, Pram maupun Sitor adalah sastrawan-sastrawan yang karyanya telah diakui di luar negeri. Bahkan mesin tik Pram diberikan oleh filsuf tenar dari Perancis, Jean Paul Sartre. Dua nama ini merupakan elit Lekra yang sudah malang melintang di dunia sastra Indonesia. Di luar itu, masih ada lain sejak terjadinya usaha kup yang dilakukan oleh Letkol Untung pada akhir September 1965 tersebut. Namanama seperti Sobron Aidit, Agam Wispi, Ira Iramanto turut tenggelam bersamaan dengan tenggelamnya Lekra. Karya Agam Wispi yang populer seperti Matinya Seorang Petani sulit ditemui pada masa Orde Baru. Prosa panjang karangan Ira Iramanto sampai

Info Grafis

Beberapa Karya Eksil

Pulang karya Leila S. Chudori (2012) Kumpulan cerpen Menuju Kamar Durhaka: Sepilihan Cerita Pendek karya Sastrawan Eksil (2002)

Buku Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil (2002) yang berisi 15 penyair yang dianggap ‘eksil’ Info Grfais: Verlandy Donny/ Pabelan Pos

Kumpulan cerpen Di Pengasingan karya Syarkawi Manap (2007) Tiga kumpulan cerpen karya Soeprijadi Tomodihardjo, yaitu Kera di Kepala (2006) Cucu Tukang Perang (2011) Lelaki Pencari Langit (2012) Puisi-Puisi Agam Wispi pada Kumpulan Puisi Eksil di Negeri Orang

kini masih sulit ditemukan. Penulis yang namanya masuk dalam nomine anugerah Kusala Sastra Khatulistiwa Ke-16, Gunawan Tri Atmodjo mengungkapkan bahwa karya-karya para sastrawan eksil ini merupakan karya yang gemilang dan ditulis oleh para penulis dan sastrawan papan atas. Tetapi karena mereka terindikasi terlibat dengan Lekra, jadi terusir bersama karya-karyanya. Di kalangan grass root Lekra, terdapat nama pengarang yang tak begitu tenar namun cukup produktif menghasilkan karya prosa, dia adalah Sugiarti Siswardi, salah satu penulis perempuan Lekra. Sugiarti memang tak sepopuler Pram, Utuy, maupun Sitor. Tetapi, ia juga salah satu seniman yang menjadi korban kekerasan budaya pasca1965. Setelah tragedi tersebut karyanya semakin

jarang ditemui, bahkan bisa dikatakan hilang. Fairuz Mumtaz, penulis Sugiarti Siswardi: Hayat Sastrawan Lekra, melakukan riset kontinyu untuk melacak jejak-jejak karya Sugiarti yang hilang. Usaha penulis buku ini selain untuk menunjukkan pada masyarakat terkait karya pengarang perempuan yang terselip di zaman prahara budaya. Pun menyajikan bahwa masyarakat tak harus pilihpilih dalam mengapresiasi karya sastra. Budayawan Seno Gumira Ajidarma tatkala diwawancarai reporter Pabelan Pos mengatakan bahwasanya semua karya sastra itu baik, tak perlu memandang sastra yang mayoritas ataupun minoritas, ”Semua karya sastra itu baik, karena setiap penulis pasti mengusahakan yang terbaik. Kan gitu tho?”” ujarnya melalui saluran telepon. []


15

Edisi 112 - November 2016

WIRAUSAHA (M)Ayo Diet Sehat

Usaha Sehat dengan Katering Diet Sehat (M)Ayo Diet Sehat

Reporter: Hanifah Indriyanti dan Ummu Azka Amalina Diet Mayo yang berasal dari negeri Paman Sam bermula dari sebuah klinik kesehatan yang didirikan oleh Dr. William Worrall Mayo yang terkenal dengan nama Mayo Clinic. Konsep Diet Mayo adalah Healthy Weight Pyramid, sebagaimana bentuk piramid yang merupakan panduan untuk pilihan makanan yang sehat.

P

erkembangan industrialisasi dan budaya konsumerisme di negara-negara barat yang dengan cepat menyebar ke berbagai penjuru dunia telah membentuk citra tubuh dan standar tubuh ideal bagi kaum wanita (Featherstone, 1982). Tidak jarang, wanita rela menderita dan menyiksa tubuhnya sendiri demi mendapatkan bentuk tubuh yang diinginkan. Kebiasaan menyimpang (eating disorder) sempat menjadi fenomena di era 1980-an karena telah merenggut nyawa penyanyi Karen Carpenter yang terjangkit anorexia nervosa (Kendal, 1999). Anorexia nervosa dikategorikan sebagai masalah kesehatan jiwa karena pengidapnya terobsesi untuk memiliki tubuh kurus dan merasa takut jika mereka terlihat gemuk (Alodokter.com). Penelitian terbaru telah menyebutkan bahwa paham 'tubuh langsing itu ideal' telah meluas di berbagai negara, terutama yang negara-negara yang telah mengadakan kontrak dengan media dan budaya Barat, misalnya Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang. Di Indonesia, mengacu hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 angka kelebihan berat badan dan obesitas meningkat. Saat ini jumlah penderita obesitas mencapai 40 juta terkhusus orang dewasa. Fenomena tersebut mendorong berkembangnya usaha-usaha diet. Tak terkecuali di Solo. Diet Mayo, katering diet cepat dengan menghindari konsumsi garam, nasi, dan air es. Di tangan K i n a n t i Handayani tercipta menu-

Kinanti Handayani

menu diet yang menggiurkan. Ciri khas diet ini adalah menghindari penggunaan garam pada setiap makanan yang dikonsumsi, mengganti makanan pokok nasi menjadi makanan berkabohidrat yang rendah gula, juga berhenti mengkonsumsi air dingin atau air es. Hal tersebut menjadi bagian-bagian penting pada program Diet Mayo. Adapun pengganti makanan yang mengandung karbohidrat, misalnya nasi, diganti dengan kentang atau ubi. Menu yang terdapat pada Diet Mayo lebih banyak direbus atau dikukus. Misalnya, telur kukus, kentang rebus, bayam ikat rebus, ayam kukus dan masih banyak macam menu lainnya. Wanita berparas ayu tersebut mampu mengembangkan bisnisnya lewat El-Catering. Hal tersebut bermula dari pengalaman pribadinya. Profesi sebagai Sales Promotion Girl (SPG) di sebuah Brand Recenter mengharuskannya memiliki penampilan fisik yang ideal menuntutnya untuk diet. Diet selama beberapa minggu pun sempat dia jalani.

Diet Mayo, katering diet cepat dengan menghindari konsumsi garam, nasi, dan air es. Di tangan Kinanti Handayani tercipta menu-menu diet yang menggiurkan. Ia pun mengikuti program Diet Mayo. Kinanti yang semula memiliki badan kurang ideal berhasil mencapai proporsi badan yang diinginkan. Sejak saat itulah, ide katering Diet Mayo muncul. Usaha tersebut dirintisnya de-ngan usaha sendiri, mulai dari mema-sak sampai pengantaran pesanan sampai tujuan. ”Awalnya saya masak sendiri, dibantu teman saya berempat, makin kesini kalau masak sendiri belanja sendiri capek, pelanggannya nambah terus, jalan dua batch doang, batch ketiga udah pakai orang, jadi kita cuma nungguin,” terangnya saat ditemui di kediamannya. Dok. Pribadi

Lebih Dekat (dengan) Diet Mayo

Dok. Pribadi

Reporter: Hanifah Indriyanti dan Ummu Azka Amalina

D

iet Mayo yang berasal dari negeri Paman Sam bermula dari sebuah klinik kesehatan yang didirikan oleh Dr. William Worrall Mayo yang terkenal dengan nama Mayo Clinic. Konsep Diet Mayo adalah Healthy Weight Pyramid, sebagaimana bentuk piramid yang merupakan panduan untuk pilihan makanan yang sehat. Gambaran pada piramida bagian bawah merupakan buah dan sayur sebagai konsumsi utama. Semakin ke atas merupakan menu-menu yang harus dihindari. Proses menjalani program diet seseorang harus mengikuti anjuran dan peraturan mengenai makanan yang dikonsumsinya. Selama 13 hari, konsumen harus mengikuti peraturan pola makan yang telah disediakan. Pada pagi hari, konsumen dian-jurkan untuk mengonsumsi teh atau kopi dengan gula rendah kalori. Hal itu akan membantu membersihkan dan melancarkan pencernaan di lambung. Menurut pengalaman yang dialami Kinanti dengan beberapa konsumen yang sudah merasakan Diet Mayo, biasanya mereka mengalami perubahan berat badan dari empat sampai sepuluh kilogram selama 13 hari mengonsumsi menu Diet Mayo. “Ada pelanggan saya, dia benar-benar rutin selama 13 hari dan akhirnya turun sepuluh kilo, ada juga yang sempet minta stop karena rasanya,” jelasnya. El-Catering menyediakan jasa pengiriman atau delivery untuk tiap harinya selama program diet berlangsung. Di awal pengiriman, konsumen mendapatkan 13 kantong teh dan kopi dengan 13 gula rendah kalori. Dikemas dengan luncbox yang dimasukkan dalam paperbag sehingga menjaga makanan tetap rapi dan higienis selama pengiriman. Jasa pengantar sendiri memanfaatkan mahasiswa yang sedang mencari pekerjaan baik laki-laki maupun perempuan. Jangkauan pengiriman baru sebatas Solo sekitarnya, Boyolali kota, dan Sukoharjo kota dikarenakan tenaga yang kurang memadai. Adapun menu-menu katering Diet Mayo akan diantarkan sebelum jam istirahat makan siang, sekaligus menu makan malamnya. Konsumen diharuskan makan siang tepat pukul 12.00 WIB, serta makan malam sebelum pukul 18.00 WIB. Aturan tersebut telah ditetapkan dalam penggunaan Diet Mayo. Di dapur berukuran sedang dalam rumah yang dihuninya, Kinanti membuat beberapa modifikasi pada menunya. Tentu tetap mengacu pada aturan Diet Mayo itu sendiri. Misalnya saja untuk menu Diet Mayo dengan penyajian direbus, beberapa menu dimodifikasinya menjadi tumis atau bakar. “Sebenarnya, patokan menu Diet Mayo sudah ada. Semisal hari ini telur dan kentang rebus, cuman untuk telur saya dadar pakai

olive oil. Tapi saya kombinasikan dengan jamur atau jagung, asalkan masih mengikuti aturannya,” jelasnya. Sistem pemasaran usaha tersebut memanfaatkan bisnis online seperti Instagram atau Facebook. Harga yang ditawarkan Rp.800.000,- tiap paketnya selama 13 hari. Pemesanan paket Diet Mayo bisa dilakukan melalui online dengan mengisi formulir yang telah disediakan. “Mencantumkan nama, alamat tujuan dan makanan apa saja yang tidak boleh dikonsumsi. Misal menunya daging sapi, tapi kosumennya alergi sama daging sapi, nanti kami ganti sama daging ayam,” tambahnya. Pendaftaran katering Diet Mayo dibuka per-batch, saat ini sudah sampai batch ke-13 dengan jumlah konsumen 23 orang. Biasanya, setelah program diet selama 13 hari selesai, ada jeda waktu beberapa hari yang digunakan untuk mengumpulkan konsumen baru sekaligus libur pegawai. Di samping paket diet 13 hari, El-catering menyediakan paket diet seminggu, untuk membantu konsumen yang ingin coba-coba dan hanya mempunyai budget terbatas, ”Sebenarnya aturannya sih gak tujuh hari, buat orang-orang yang pengen nyoba dulu atau belum ada biaya,” jelasnya. Harga yang cukup tinggi menjadi kendala dalam menjangkau konsumen tingkat menengah ke bawah, karena harga yang ditawarkan kurang sesuai dengan kantong konsumen, “PR-nya itu sih sebenarnya, Diet Mayo itu, nyari orangnya soalnya ini ngga semua orang bisa jadi sasaran, kalau reguler semua orang bisa, kalau ini kan tertentu aja. Aku pengennya bisa jangkau ke mahasiswamahasiswa juga, cuma kalau buat harga segitu kayaknya masih terlalu tinggi,” pungkasnya.


16

Edisi 112 - November 2016

INVESTIGASI Situs Live Streaming

Merayang, Merinding Live Situs Reporter : Eling Widiatmoko dan Hammam Nur Bagaskara Bigo live nampaknya sudah mewabah di kalangan muda-mudi Indonesia. Lewat aplikasi live streaming ini, para broadcaster (pengguna) mengumbar aktivitas sehari-hari dan bisa langsung ditonton oleh semua pengguna Bigo live saat itu juga. Namun, semakin larut malam aplikasi ini mulai disalahgunakan oleh pengguna Bigo live untuk ajang sex live streaming.

S

eiring menurunnya popularitas Pokemon Go, netizen Indonesia mulai dihebohkan dengan hadirnya sebuah media sosial bernama Bigo Live. Bigo Live masuk dalam daftar aplikasi terpopuler untuk sistem operasi iOS dan Android. Saat ini, penggunanya telah mencapai 10 juta member. Sebenarnya,aplikasi ini bukanlah aplikasi baru, aplikasi ini mulai diluncurkan Maret 2016. Apa itu Bigo Live? Bigo Live adalah aplikasi dalam bentuk video live streaming berbasis Android dan iOS. Aplikasi ini digunakan untuk menyiarkan kegiatan sehari-hari penggunanya secara online melalui kamera smartphone dan dapat disaksikan oleh seluruh pengguna aplikasi tersebut saat itu juga. Seiring kegandrungan terhadap aplikasi tersebut muncul sejumlah masalah lantaran sejumlah penggunanya atau broadcasternya (penyiarnya) didominasi perempuan. Tak jarang, mereka (perempuan–red) memamerkan keindahan lekuk tubuh yang dimilikinya. Selain itu, akses masuk ke aplikasi tersebut juga mudah dengan menggunakan akun masing-masing, entah Facebook atau Twitter. Ilustrasi: Istimewa Hal-hal tersebut mendorong perbuatan/ Olah Pabelan Pos perbuatan negatif timbul. Terlebih halaman muka Bigo Live menampilkan beragam pilihan broadcaster yang sedang melakukan live streaming. Sebagian dari mereka mengenakan pakaian minim. Tentu, hal tersebut Muatan pornografi lazimnya berupa tergolong muatan pornografi. eksploitasi dan komersil seks yaitu penggambaran ketelanjangan baik sebagian atau penuh, penggambaran gerakan-gerakan erotis, serta penggambaran aktivitas seksual Para penyiar memakai sosok perempuan dan laki-laki (Giles, 2003). baju seksi bahkan sampai Berdasarkan data dalam Ictwatch.com ditemukan beberapa hal terkait akses pornografi mempertontonkan di internet, diantaranya diperkirakan ada 111 sebagian anggota juta blog, 157 gambar, 568 ribu video, 662 juta tubuhnya untuk situs, dan ada 26 milyar halaman pornografi di internet. Ditambah lagi, kurang lebih setiap mendapatkan gift 5 menit sekali muncul situs porno baru dan dari penonton sebanyak 60% kunjungan internet adalah me-

Situs Live Streaming

Fulgar Raup Rupiah dari Situs Broadcast Ilustrasi: Istimewa / Olah Pabelan Pos

Ya kalau mau dapet gift, kita harus merayu penonton dengan buka–buka dikit agar mau ngasih gift ke kita

nuju situs porno. Di samping itu, setiap detiknya terdapat 28.258 orang melihat pornografi di internet dan ada 39.000 lebih komunitas 'dewasa' di Yahoogroups. Data tersebut berdasarkan populasi pengguna di seluruh penjuru dunia. Hal tersebut mendorong Tim Pabelan Pos menelusuri Bigo Live, yang acapkali berbau pornografi. Temuan yang dihimpun dari beragam broadcaster yang ada menunjukkan bahwa sebagian besar broadcaster didominasi oleh perempuan. Semakin larut malam, viewer akan menjumpai para broadcaster tampil

S

aat ini ada Bigo Live dan bisa menghasilkan uang. Fela menerangkan untuk men-dapat gift harus merayu penonton. ”Ya kalau mau dapet gift, kita harus merayu penonton dengan buka–buka dikit agar mau ngasih gift ke kita,” bebernya. Adanya gift tersebut menyebabkan para broadcaster rela melakukan halhal unik dan terkadang melampaui batas, dengan menunjukkan bagian intim mereka. Tujuannya, tentu mengumpulkan diamond dan akan ditukarkan dengan uang. Semakin banyak pengunjung yang memberi gift, maka semakin banyak diamond terkumpul. Pada akhirnya, diamond tersebut dapat ditukarkan dengan uang cash. Diamond inilah yang menyebabkan banyak para broadcaster melakukan hal-hal berbau-bau pornografi. Orang-orang yang memiliki keahlian khusus tentu akan memanfaatkan keahlian mereka untuk menghasilkan uang di aplikasi ini dengan cara positif. Salah satunya Dimas, ia menggunakan Bigo Live untuk hal-hal yang positif. “Buat promosi aja sih, kebetulan saya memiliki grup bandlah,” akunya. Bagaimana yang tidak memiliki keahlian? Jalan pintas bagi para pengguna tentu menjual keseksian tubuh mereka. “Ya gimana

dengan pakaian seksi dan terlihat menunjukkan bagian vital mereka ke publik. Video para broadcaster Bigo live berbau pornografi turut beredar di Youtube. Salah satu pengguna aplikasi Bigo Live, sebut saja Kukuh, nama samaran membenarkan adanya unsur pornografi dalam media sosial tersebut. Menurutnya aplikasi ini telah disalahgunakan oleh para broadcaster untuk ajang live sex via streaming. “Ketika kamu masuk Bigo Live dan menyaksikan interaksi para broadcaster dengan penonton maka tak segan–segan dari mereka para penyiar memakai baju seksi bahkan sampai mempertontonkan sebagian anggota tubuhnya untuk mendapatkan gift dari penonton,” tuturnya saat ditemui reporter Pabelan Pos. Kukuh menambahkan bahwa awal ketertarikannya terhadap aplikasi Bigo Live karena iklan-iklan yang beredar di media sosial mempertontonkan iklan Bigo Live berbau porno. “Saya tau dan mulai tertarik sama Bigo karena iklan di instagram di situ menampilkan cewek–cewek cantik dan menampilkan keseksiannya,” imbuhnya. Seorang mahasiswi Solo dan juga pengguna aktif Bigo Live, Fela, nama samaran membenarkan pernyataan Kukuh dan mengungkapkan alasannya menggunakan aplikasi tersebut adalah untuk menambah teman dan ingin mendapatkan uang dari aplikasi tersebut. “Ya awalnya coba-coba dan ikut-ikut temen biar kekinian dan katanya gift-nya bisa diuangkan,” terangnya. Serupa dengan Fela, Tek (brodcaster Bigo, nama samaran) mengungkapkan menggunakan aplikasi bigo untuk mengikuti tren yang berkembang. “Nggunakne bigo, yo gur nggo iseng-iseng (menggunakan bigo, ya, cuma untuk iseng-iseng),” terangnya kepada Reporter Pabelan Pos dengan berkelakar. Adanya hal tersebut dipengaruhi oleh kebutuhan eksistensi dan pengakuan oleh setiap individu. Pada tahun 2010 lalu masyrakat Indonesia dihebohkan dengan manisnya tingkah laku dua wanita yang dikenal setalah lipysinc lagu Keong Racun dan menjadi viral di Youtube. Gagahnya aparat keamanan pun bisa menjadi viral di Youtube juga karena lipysinc lagu India. Dan tentu makin banyak, kreatif dan variatif sampai sekarang.

kita bisa dapat uang dari cuma gituan. Terus uangnya bisa dipake buat apa aja,” tutup Fela. Keadaan semakin mengkhawatirkan mengingat video berbau pornografi para broadcaster Bigo dapat dengan mudah dijumpai di Youtube. Berdasarkan informasi yang tim Pabelan Pos dapatkan dari Youtube, sebagian besar pengguna aplikasi ini adalah kalangan anak muda dan cukup mencengangkan ada pelajar SMP juga memamerkan aksi mereka di aplikasi Bigo. Sebagian mahasiswa juga menyayangkan maraknya video live streaming berbau pornografi yang lagi tren ini. “Saya sangat menyayangkan hal ini karena pengguna aplikasi ini tidak hanya orang dewasa saja tetapi dari kalangan pelajar mulai dari SMP sampai mahasiswa menggunakannya,” terang salah satu mahasiswa yang tidak mau disebutkan namanya. Terkait hal tersebut, Yayasan Nawala Project selaku penyedia layanan penampisan konten internet mengakui konten pornografi memang ada di dalamnya. Pihak Nawala telah melakukan blokir terhadap alamat melalui DNS Nawala. Hadirnya aplikasi Bigo Live memang menghasilkan dua sisi yang berbeda. Sekarang tinggal pengguna ingin memilih sisi gelap atau sisi terang?


17

Edisi 112 - November 2016

WAWANCARA Foto: Verlandy Donny / Pabelan Pos

Sejarah dalam Bingkai Sastra Reporter: Zulfa Rahmatina

S

astra sejarah. Adalah hal klasik sepanjang masa jika kita membicarakannya. Sejarah merupakan sebuah fakta, sedang sastra sudah jelas-jelas berupa fiksi. Lalu apakah sastra sejarah dapat dijadikan acuan sebagai sejarah sementara itu adalah fiksi? Dan bagaimana perkembangan sastra sejarah sendiri di Indonesia? Berikut adalah wawancara Pabelan Pos pada suatu pekan pertama di bulan Oktober dengan salah satu sastrawan Solo, Gunawan Tri Atmodjo, penulis buku Tuhan Tidak Makan Ikan yang masuk dalam 10 besar nominasi penghargaan Kusala Sastra Nusantara Ke-16.

B

agaimana perkembangan sastra di Indonesia saat ini? “Saya kira perkembangan sastra Indonesia saat ini menyenangkan. Terutama setelah Orde Baru tumbang, ada kemudahan ketika kita ingin membuat buku. Itu sangat membantu sekali. Abad internet itu pertama. Internet membuat kita menulis dengan mudah, membuat kita gam-panglah. Saya kira perkembangan sastra itu, entah di luar kualitas ya, secara kuantitas itu menggembirakan.” Apakah didominasi oleh sastra populer atau sastra literer? “Ya sekarang dominasinya populer. Sebagai perbandingan saja, masyarakat baca kita itu masih masyarakat baca sekelas Tere Liye, Pidi Baiq dan sebagainya. Sebagai perbandingan saja setiap kali cetak, sastrawansastrawan hebat itu paling maksimal itu 3000 buku. Contohnya, Pidi Baiq, penjualannya di Gramedia saja dalam satu bulan itu laku 16.800 eksemplar. Kita bisa melihat pembaca Indonesia, pembaca di sini adalah pembaca yang mau mengeluarkan uang untuk membeli buku.” Melihat fenomena tersebut, adakah krisis sastra di Indonesia? “Saya kira tidak ada. Itu hanya proses yang alamiah saja. Kalau dibilang krisis, kita ini dalam segi sastra itu apa? Sebenarnya sastra itu adalah sesuatu yang ditulis kemudian dicetak sampai ke masyarakat. Teknologi semacam ini, tidak ada krisis sastra.” Genre sastra yang mendominasi saat ini apa? Realisme sosialis? “Ya itu buku-buku Tere Liye tadi. Realisme sosialis banyak. Tapi bagaimana melihat dominasi kan juga melihat dari pembaca, buku-buku yang laku. Ya suka tidak suka kita harus mengakui bahwa Tere Liye dan sebagainya itu memang menguasai pasar Indonesia. Boleh saja novel Pulang itu diterjemahkan ke berbagai bahasa. Tapi di Indonesia, berapa banyak yang membaca novel itu? Itu 3000 orang pembaca, bukunya laku saja sudah bagus. Berapa banyak tulisan-tulisan Eka Kurniawan, sementara mereka mendapat penghargaan di luar negeri?” Bagaimana perbedaan proses kreatif sastrawan masa kini dan masa dulu? “Lagi-lagi saya harus mengatakan, internet itu berpengaruh sekali. Betul dulu itu turba (turun ke bawah) istilah untuk Lekra. Mereka turun ke bawah untuk melihat betulbetul penderitaan rakyat kemudian ditulis. Sekarang kita tidak perlu ke mana-mana untuk melihat penderitaan rakyat. Kita cukup menghidupkan televisi, kita tinggal melihat berita di internet, kita sudah sampai di situ. Jadi sekarang kita duduk saja, kita terkoneksi dengan internet, kita mau menulis tentang apa tinggal klik, tinggal tab tab tab tab gitu kan?”

itu, ini terjadinya di masa lalu, sejarah itu dirangkai dari membaca karya-karya sastra, terutama di Yunani, pembaca karya-karya sastra itu dinukil, ‘Oh ini asli, ini benar-benar Kalau nyata’. Kemudian dari berbagai potongankita berbicara potongan karya sastra entah itu drama, prosa tentang sejarah atau puisi, itu diambil, disarikan dan kronologinya disusun. Jadi karya-karya di Yunani itu sebetulnya sastra menjadi sejarah saat itu. tidak bisa dijadikan Kita jadi bisa tahu perang Kroya, tahu bahan untuk berbagai perang di Yunani tentang sejarah dewa-dewa, itu juga dari sana. Dari karyamelihat sejarah. karya sastra itu kemudian disusun. Yang Kroya, Romawi, bahkan kisah-kisah tentang Sejauh mana sastra mampu menggamYesus pun banyak ditulis. Untuk melengkapi barkan sejarah? biografi Yesus itu banyak diambilkan dari “Kalau kita berbicara tentang sejarah novel dari prosa, dan puisi saat itu.” sebetulnya sastra tidak bisa dijadikan bahan untuk melihat sejarah. Yang dilakukan sasSastra eksil sendiri, menurut Anda batrawan-sastrawan yang menulis sejarah itu gaimana eksistensinya? adalah dia menulis alternatif sejarah. Sejarah “Sastra eksil itu memang betul-betul ada itu adalah sesuatu yang tidak tetap. Dia itu dan dia memang pengaruhnya juga besar. dijalankan pemerintah dan mungkin sekali Terlebih dengan kemajuan teknologi semasejarah itu akan bergerak, mengalami peru- cam ini. Saya membaca bukunya Sobron Aidit bahan-perubahan. Lalu fungsi sastrawan me- itu, dia lari ke luar negeri dan menulis di sana, ngadakan alternatif itu. Jadilah novel sejarah kemudian dikirim ke sini, baca bukunya, ya itu sebagai perlawanan sejarah yang telah memang betul-betul ada sastra eksil itu dan textbook (ditetapkan) oleh pemerintah. Itu pengaruhnya besar. Karena di luar negeri pandangan umumnya semacam itu.” mereka mendapat kebebasan menulis. Itu sama seperti di novel Pulang itu betul-betul Ada pernyataan bahwa, “Mau sefakta apa terjadi. pun, kalau dia sudah terbingkai dalam fiksi, Seperti Soeprijadi Tomodihardjo, dia rajin fakta itu telah menjadi fiksi.” Apakah benar menulis di Kompas, sementara dia di luar demikian? negeri. Dia korban kekerasan G30S dan terusir “Betul. Fakta, namanya juga menjadi fiksi. dari negaranya sendiri. Salman Rushdie itu di Itulah yang menjadi problematis. Ketika kita India, dia juga dari India itu difatwa hukuman sudah meyakini umpamanya dari segi kreator mati karena dia menulis tentang Ayat-ayat ya, dari segi penulis, kalau kita ingin Setan yang menyinggung Nabi Muhammad. menyatakan sesuatu ya kita tulis dalam Dan Indonesia kaya akan itu karena beban bentuk essai umpamanya. Itu akan lebih sejarahnya. Sejarah G30S itu membuat peaman. Kalau godaan ketika menuliskannya nulis-penulis hebat Indonesia terutama yang menjadi novel, pasti dia akan menjadi karya beraliansi ke Lekra (Lembaga Kebudayaan fiksi dan layak diragukan oleh banyak orang. Rakyat), terusir. Hilang. Itu tantangan sih.” Saya jadi ingat tentang Martin Aleida. Dia penulis Indonesia yang banyak menulis G30S. Jadi sudah pasti fakta-fakta itu tercemar? Tentang sejarah versi dia. Dia itu selamat dari Tidak murni lagi karena ada imajinasi dari penculikan, dari penyiksaan, itu gara-gara penulis? ketika dia diciduk oleh aparat, di dalam saku “Ya betul, pengolahan imajinasi itu yang bajunya itu ada surat dari ayahnya yang menjadikan fakta itu tercemar. Ya karena sedang naik haji. Kemudian dibaca oleh memang mau diapakan lagi? Kita tidak bisa penyiksanya itu kan, “Wah ini bapakmu termenjadikan novel sebagai sumber data nyata sangat muslim sekali, sangat alim sekali,” sejarah. Tidak bisa dijadikan semacam itu. Ya gitu. Dan dia dibebaskan. Dan mulai saat itu itu saja. Sebagai pengetahuan umum, sebagai hingga ini dia terus menulis sejarah-sejarah alternatif sejarah. “ tentang korban G30S. Dan kita masih bisa membacanya di Kompas.” Apakah karena sudah pasti akan ada banyak manipulasi? Sejauh mana sastra eksil tersebut mampu “Iya, itu karena fakta itu akan dioplos dan menggambarkan sejarah? dikelindankan dengan imajinasi. Kemudian “Ya bagaimana pun juga kan sejarah itu belum lagi, ada subjektivitas penulis tersebut. tergantung dari orang yang menulisnya. SejaAda subjektivitas sejarah yang diakui benar rah versi seorang eksil dengan sejarah versi penulis bermain di situ.” Nugroho Notosusanto umpamanya, seorang penulis yang berafiliasi ke Orde Baru itu ber“Sastra tidak hanya mencatat sejarah, beda. Jadi sejarah dari orang eksil itu adalah tapi juga menciptakan sejarah.” Bagaima-na sejarah dari satu versi saja, versi mereka. Jadi dengan hal tersebut? memang sejarah itu sekarang dalam multi“Itu bisa terjadi. Karena banyak sejarah tafsir semacam ini, memang sangat sulit.”

Jadi itu termasuk sastra minoritas bukan? “Sekarang sastra minoritas dan mayoritas itu sangat sulit dibedakan. Sastra ya sastra saja. Karena apa yang dimaksud sastra pun sekarang gamang. Orang menyatakan Tere Liye, Pidi Baiq itu bukan sastra. Tapi ada juga yang menganggap itu karya sastra. Itu kan sebatas abu-abu.” Bagaimana sastra kontekstual itu? “Sastra kontekstual adalah sastra yang mengejar hal yang sedang hangat saat itu. Dan dia punya rujukannya. Umpamanya Pemilihan Umum, secara kontekstual itu mengacu pada sastra itu. Ada fakta yang sedang hangat saat itu. Umpamanya ini tentang PILKADA Jakarta hangat, kemudian dia menulis tentang pilkada. Apakah hal semacam itu dapat abadi? Sastra kontekstual menghadapi masanya sendiri. Menghadapi perjalanan-perjalanan waktu sendiri.” Mengapa karya sastra tidak lepas dari lingkungan budaya dan masyarakat tempat berpijaknya? “Ya itu kan pembaca. Sebenarnya karya sastra itu adalah feedback pengarang terhadap lingkungannya. Ini banyak terjadi di Rusia. Orang-orang menerima ketidakadilan semacam itu kemudian mereka mengeluarkan karya sastra yang menjadi konter terhadap pemerintah. Itu terjadi di Orde Baru. Kenapa karya sastra kita mengkritik Orde Baru? Ya karena para pengarang itu mendapat represi dari lingkungannya.

Ketika kenyataan lebih dahsyat daripada fiksi. Apakah fiksi bisa menggoncangkan kita lebih dahsyat daripada kenyataan ? Lalu masihkah ada istilah seni untuk seni dan seni untuk rakyat? “Nah itu juga problem klasik. Ada yang masih percaya seni untuk seni. Ya seni ya seni saja, tidak bisa dicampurkan dengan politik dan sebagainya. Tapi juga masih ada orang yang berpendapat bahwa seni yang baik adalah seni yang merakyat. Tapi dalam perkembangannya ke sini, seni untuk seni itulah yang saya kira lebih menang. Karena media massa sudah sedemikian masifnya menghajar kita dengan realitas kayak gitu. Untuk apa novel ditulis ketika kenyataan lebih dahsyat daripada fiksi. Apakah fiksi bisa menggoncangkan kita lebih dahsyat daripada kenyataan semacam itu? Itu kan menjadi sebuah tamparan untuk seni untuk rakyat.” []


18

Edisi 112 - November 2016

OPINI Opini

Sastra dan Gerakan Mahasiswa Oleh : Al Iklas Kurnia Salam * * Al Iklas Kurnia Salam Penulis adalah peminat sastra, sejarah dan kajian sosial.

Hidup tidak hanya dibangun oleh kekuasaan saja, tapi juga mimpi-mimpi (Martin Luter King)

D

ahulu, ada suatu masa antara mahasiswa dan sastra begitu dekat. Mahasiswa dan sastra ibarat dua kepingan uang logam, tidak bisa terpisahkan. Di mana ada mahasiswa disitu pula tumbuh gerakan sastra. Sastra dan mahasiswa adalah anak kandung sejarah revolusi Indonesia. Sastra dan mahasiswa dibicarakan dalam satu helaan nafas. Namun sekarang, ingatan pada masa itu kian pudar. Mahasiswa dan sastra telah banyak berubah. Para mahasiswa kini sibuk untuk mematut diri dengan segala tampilan modern. Gaya kekinian merupakan orientasi yang selalu dikejar. Kurang pergaluan dan tidak modis adalah suatu kutukan yang harus dihindarkan. Sastra pun demikian. Sastra telah banyak berubah haluan. Dari haluan yang mengajar gerak sadar nasionalisme menjadi suatu gerakan yang hanya berorientasi pada popularitas dan pasar. Sastra kini ibarat investasi keuangan. Siapa yang mampu membuat puisi dan prosa yang bisa dijual di pasaran ia yang akan mendapat banyak keuntungan. Sastra kini telah banyak kehilangan roh perjuangan. Nilai-nilai kemanusiaan dalam sastra direduksi menjadi sebatas kapital yang laku di pasaran. Manusia dalam sastra dikerdilkan dalam kubangan cinta picisan yang hanya berorientasi pada kenikmatan perkawinan. Sastra telah kehilangan sosok Mas Marco yang bukan hanya terpelajar, na-mun berani menentang kezaliman. Sastra tidak lagi melahirkan sosok sebesar Semaoen yang menjabarkan kejahatan kolonial dengan estetika yang menawan. Dunia sastra kita juga kehilangan sosok muda Mohammad Hatta yang membentangkan kerin-

Sastra kini telah banyak kehilangan roh perjuangan. Nilai-nilai kemanusiaan dalam sastra direduksi menjadi sebatas kapital yang laku di pasaran. Manusia dalam sastra dikerdilkan dalam kubangan cinta picisan yang hanya berorientasi pada kenikmatan perkawinan. duan pada Ibu Pertiwi yang hendak merdeka dari penjajahan. Hatta adalah sosok terpelajar yang bukan hanya jago ber-organisasi tapi juga jago menyusun puisi. Keterlibatannya di organisasi Jong Sumatra Bond tidak lantas membuatnya sibuk dan melupakan semangat bersastra. Lain Hatta, lain pula Mohammad Yamin. Yamin muda adalah sosok yang banyak minat sekaligus bakat. Minat Yamin muda membentang dari kegiatan organisasi sampai pelbagai kajian studi. Tak heran, jika Yamin muda kelak akan berubah menjadi sosok yang multitalenta. Yamin ialah seorang negarawan ulung, pakar hukum tata negara, budayawan dan sastrawan, sampai sejarawan yang mampu merekontruksi wajah Gajah Mada. Lalu hilang pula dalam khasanah kesastraan kita sosok sekaliber W.S. Rendra, Pramoedya Ananta Toer, dan Wiji Thukul. Mereka adalah tokoh-tokoh sastra yang tidak menjual tampangnya. Mereka memperkenalkan sastra bukan dari tampilan fisik atau perawakan badan melainkan lewat karya yang bermutu tinggi dan mendobrak kesadaran kemanusiaan. Bacalah karya-karya mereka. Mereka tidak memperkenalkan cinta-cintaan yang sebatas nafsu yang dipengaruhi faktor kepemudaan. Mereka memperkenalkan cinta yang lebih luas. Cinta pada kejujuran, pada kemanusiaan universal, dan pada gagasan kemerdekaan dari tirani.

Tirani memang selamanya musuh dari sastrawan yang pernah berhubungan dengan gerakan pemuda dan gerakan mahasiswa. Tirani dikecam bukan hanya karena merenggut kebebasan individu, tapi juga kebebasan berkreasi, dan kebebasan untuk mendapatkan keamanan. Tirani juga melanggengkan kemiskinan dan kebodohan. Dengan kemiskinan dan kebodohan tirani dapat mempertahankan kekuasaan. Lalu, sastrawan muncul untuk menentangnya. Sastrawan menerbangkan imajinasi pemuda dan aktivis mahasiswa tentang suatu negeri yang lebih indah. Yang bebas dari tirani dan kemiskinan. Suatu negeri yang bebas dari rasa takut dan kelaparan. Suatu negeri dimana hak-hak kemanusiaan dipegang teguh dan dihormati. Kritik dan protes pada kekuasaan menjadi jalan sastrawan untuk mewujudkan mimpi perubahan. Panggung-panggung terbuka diciptakan. Di jalanjalan raya, di sudut-sudut kampus maupun di rumah-rumah kontrakan. Di tempat-tempat seperti itu pernah diadakan pentas seni kerakyatan, di mana kekuasaan ditentang dan dipertanyakan. Karikaturkarikatur sindiran, puisi-puisi protes dan balihobaliho kecaman dipajang. Pengunjungnya para mahasiswa dan aktivis muda. Mereka menyatu dan larut dalam gelombang zaman yang ingin mencipta sejarah gemilang. Namun lihatlah kini, kampus-kampus terasa sunyi. Jangankan diskusi sastra kerakyatan dan menerbangkan imaji perubahan, mengenal sosok Mas Marco atau Besuki Resbowo pun tidak. Yang dikenal para mahasiswa kini adalah aktor-aktis tampan dari Korea Selatan. Atau biduan-biduan dangdut yang menjual erotisme murahan. Maka sangat wajar bila kampus sunyi dari mimpi besar. Mimpi-mimpi mahasiswa kini sangat sederhana dan dangkal. Mahasiswa kebanyakan hanya bermimpi punya pekerjaan mapan, bergaji besar, punya pasangan yang rupawan dan rumah

mewah dengan kendaraan berlimpah. Tidak terpikirkan oleh mahasiswa kebanyakan untuk hidup bermartabat dengan nilai-nilai agung yang dijunjung. Kini diperlukan suatu dobrakan besar untuk menghantam kebekuan. Ruang-ruang kelas yang selama ini sunyi dari diskusi dan ekpresi seni harus segera dibongkar. Pasanglah gambar-gambar para tokoh sastra dan pahlawan. Bukan yang bertampang beku dan menjemukan tapi yang membangkitkan gairah, imajinasi dan emosi. Foto Bung Tomo yang sedang lantang berorasi atau foto W.S. Rendra yang gagah dalam deklamasi puisi bisa dipilih. Selain itu, ruang-ruang terbuka di kampuskampus yang selama ini hanya berisi ucapan selamat dan pengumuman harus dirombak total. Kegiatankegiatan seni bisa kembali digalakkan. Baca puisi massal, pemasangan karikatur-karikatur kritik pada sistem pendidikan dan diskusi-diskusi sastra harus mulai dijalankan. Keberhasilan dari perebutan itu berarti terciptanya kampus yang demokratis, imajinatif dan berkesenian. Sudah cukup rasanya kampus dijadikan tempat menjenuhkan yang berisi manusia-manusia bermuka lesu dan beku. Kini, saatnya kampus kembali diisi api dan semangat perjuangan. Nilai-nilai kemanusiaan di kampus yang selama ini redup, harus mulai kembali digairahkan. Sastra adalah jalan yang masih bisa ditempuh untuk menghidupkan nalar dan nilai-nilai kemanusiaan. Kinilah saatnya, kita semua menyadari bahwa sastra dan gerakan mahasiswa adalah saudara kandung perubahan yang tanpa keduanya, tidak mungkin tercipta kebaikan. Sastra dan gerakan mahasiswa adalah api yang membakar zaman dan menerangi setiap kegelapan. Sastra dan mahasiswa ibarat langit dan bumi akan selalu berpasangan hingga akhir zaman.

Opini

Sastra dan Pencipta Sejarah Alif Syuhada *Penulis adalah Mahasiswa Aktif di Universitas Muhammadiyah Surakarta

A

da pengalaman menarik bagi saya saat berbicara tentang sastra. Pada mulanya saya tidak begitu menyukai sastra. Saya melihat sastra adalah pekerjaan orang lemah, cengeng, alay dan tidak maskulin sama sekali. Saya tidak mengerti mengapa orang harus membuat puisi, novel, cerita pendek kecuali karena mereka tidak mampu mengubah keadaan atau ingin membuat rayuan. Presepsi ini begitu melekat dalam benak saya hingga mengenal banyak karya sastra. Presepsi tersebut mulai runtuh ketika saya mengenal karya Pramoedya Ananta Toer saat memasuki semester IV. Bumi Manusia karya pertama Pram yang saya baca. Ada hal yang menggugah selera intelektual saya ketika melihat sebuah kutipan tertulis di belakang sampul novel tersebut. Kutipan tersebut berbunyi seorang terpelajar harus sejak adil dalam fikiran. Sekilas saya heran karena hampir tidak pernah saya jumpai sebuah novel yang memuat kata bijak dan kritis sebelumnya. Rasa heran dan penasaran ini memaksa saya untuk membuka lembar demi lembar Bumi Manusia. Saya terkagum dengan cara Pram menulis sastra baik dalam gaya bahasanya dan caranya menggambarkan kehidupan. Ternyata novelnya bukanlah novel cengeng yang memuat kisah-kisah picisan. Belakangan saya ketahui, bahwa karya tersebut diadopsi dari kisah pelopor pergerakan bangsa Indonesia Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Berkat novel tersebut bangsa kita bisa mengenal sosok tersebut yang hampir hilang dalam ingatan bangsa ini. Puas dengan karya Pram, saya mencoba mencari novel sejenis. Novel Multatuli berjudul Max Havellar menjadi novel berikutnya yang saya cari. Novel tersebut juga sering disebut oleh Kartini

Oleh : Alif Syuhada *

Bukan hanya sastra bangsa kita yang mampu menciptakan perubahan. Kita dapat menengok sastrawan besar Rusia Leo Tolstoy. Karya-karyanya yang bercorak realis bijak sangat berpengaruh dan menginspirasi berbagai gerakan. dalam beberapa suratnya. Saya tertarik mengapa Max Havellar memiliki pengaruh besar bagi Pram dan Kartini. Tidak heran, karya tersebut memicu kesadaran kritis beberapa tokoh kemerdekaan. Belakangan saya juga ketahui, berkat Max Havellar maka muncullah kebijakan politik etis Kolonial Belanda yang berperan dalam menyemai kesadaran dan pergerakan nasional. Penilaian saya tentang sastra selama ini ternyata tidak adil. Namun, itu bukan kesalahan saya semata karena bangsa kita kurang memperkenalkan karya sastra yang berkualitas dalam pendidikan. Pencipta Sejarah. Tidak berlebihan jika kita menyebut sastra adalah pemegang kunci sejarah. Keberadaan sastra tidak hanya untuk merawat ingatan dan

menyediakan filosofi kritis sebagaimana yang ada dalam karya sastra Pram. Namun sastra juga dapat menciptakan perubahan dan menentukan masa depan. Sastra membidani kelahiran sejarah. Novel Max Havellar merupakan salah satu contoh karya sastra pencipta sejarah. Gerakan protes atas kekejaman kolonialisme terjadi setelah karya Multatuli mendapat respon luas masyarakat Internasional. Goresan sastra Multatuli ternyata mampu memenangkan rasa muak dan benci dunia terhadap kolonialisme. Sastra akhirnya mampu menutup sejarah kolonialisme dan menciptakan sejarah kemerdekaan. Kemerdekaan bangsa kita diinspirasi oleh sastra. Mengagumkan! Begitu pula dengan puisi sastrawan aktivis ‘98 Wiji Thukul. Puisi-puisinya yang kritis realis sering membuat kuping panas para penguasa yang selalu ia kritik. Kesederhanaan kata tanpa “muluk-muluk� dalam puisinya mencerminkan kebenaran yang selalu ditakuti oleh penguasa. Satu kata fenomenalnya, Lawan!, dalam karyanya berjudul Peringatan mampu menginspirasi gerakan rakyat untuk melawan rezim Orde Baru (ORBA) yang otoriter. Sastra mampu memaksa sejarah ORBA tutup usia dan mencipta sejarah baru reformasi. Bukan hanya sastra bangsa kita yang mampu menciptakan perubahan. Kita dapat menengok sastrawan besar Rusia Leo Tolstoy. Karya-karyanya yang bercorak realis bijak sangat berpengaruh dan menginspirasi berbagai gerakan. Konon di Rusia ada sebuah anekdot tentang tiga hal yang memegang kehidupan di Rusia yaitu Tsar, Gereja Ortodok, dan Tolstoy. Karyanya yang paling terkenal adalah Anna Karenina dan Perang dan Damai. Karya-karya Tolstoy mengilhami lahirnya gerakan perlawanan tanpa kekerasan Ahimsa yang dipelopori Mahatma Ghandi. Gerakan tersebut berhasil mengantarkan India menuju pintu

kemerdekaan dan memaksa Inggris untuk malu terhadap dirinya karena bangsa yang ia jajah lebih beradab daripada dirinya yang selalu berbicara tentang kebijaksanaan. Tugas Sastra. Masih banyak contoh nyata perubahan sejarah yang dibuat oleh karya sastra seperti karya Maxim Gorky, Ibunda, Kejahatan dan Hukumannya Dostoyevsky, maupun karya Gabriel Gracia Marquez yang mempengaruhi gerakan perlawanan di Amerika Latin. Namun tidak semua sastra mampu melahirkan sejarah seperti sastra murahan yang hanya bersifat menghibur. Kekuatan sastra tergantung seberapa dalam kesungguhan pengarangnya menghayati dan merenungi kehidupan. Bagi Sastrawan, menulis bukanlah sekedar menulis. Ada tiap nafas dan darah dalam setiap bait dan tintanya. Sastrawan menukar nyawanya dengan setiap kalimat yang ia tulis hingga kata-katanya tidak pernah mati. Begitu intimnya hubungan sastrawan dengan karyanya hingga kita tidak perlu heran jika Pram menganggap karyanya sebagai anak-anaknya. Tugas sastra adalah memberi inspirasi, kesadaran, dan makna bagi kehidupan sehingga terbungkus dalam kejujuran dan keberpihakan kepada kebenaran serta kemanusiaan. Sastra harus mampu membidani kelahiran sejarah. Jika sastra lumpuh maka lumpuh pula sejarah. Lumpuhnya sastra merupakan ancaman bagi bangsa dan kehidupan. Oleh karena itu sastra harus selalu bergerak. Sastra bergerak!


19

Edisi 112 - NOVEMBER 2016

TEKNOLOGI Teknologi

Google dan Dunianya Reporter: Indra Hartanto Hasil produk hebat tergantung pada orang-orang yang hebat pula. Siapa yang tak mengenal Google, mesin pencari atau penelusuran tercepat? Di balik alat-alat hebat tersebut, ada lebih 40.000 karyawan Google bekerja di balik alat yang digunakan manusia di setiap harinya, mulai dari penelusuran hingga Chrome.

Foto: cdn.mos.techradar.com

L

arry Page, salah satu pendiri Google menyampaikan bahwa Google adalah mesin telusur sempurna. Teknologi yang Google ciptakan mempermudah semua orang dalam menemukan informasi yang diperlukan sehingga cepat terselesaikan. Tak mengherankan, jika Google berhasil menciptakan teknologi-teknologi modern yang memanjakan kehidupan manusia. Beberapa bulan lalu, Google telah meluncurkan fitur Symptom Search (pencarian gejala) atau Google Search yang dirancang untuk menunjukkan diagnosa penyakit yang diderita oleh seseorang. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh search engine google yang menampilkan hasil pencarian yang banyak ketika pengguna mencari sebuah gejala masalah yang dideritanya. Misalnya, ciri-ciri penyakit diabetes.

Secara langsung, Google akan menampilkan beragam link terkait ciri penyakit diabetes. Tentu, pengguna merasa kesusahan untuk memilah informasi terkait hal tersebut. Oleh karena itu, aplikasi tersebut dinilai membantu pengguna dalam mencari diagnosa penyakit secara mandiri. Aplikasi tersebut dapat digunakan untuk iOS atau Android. Aplikasi ini mencakup pendeskripsian sebuah penyakit, pilihan pengobatan sendiri, dan saran untuk tindakan lebih lanjut (Apakah harus pergi ke dokter atau tidak?). Selain itu, Google akan memberikan ringkasan dari berbagai penyakit yang memiliki gejala tersebut. Terkait hal itu, Google menggandeng para ahli di Harvard Medical School dan Mayo Clinic. Seperti yang disebutkan oleh CNET, saat pencarian penyakit, Google akan mengarahkan pada situs khusus medis seperti WebMD,

Mayo Clinic, dan Medline Plus. Namun, untuk mencari hal yang diinginkan, pengguna harus membaca banyak halaman. Fitur ini dimaksudkan untuk menyederhanakan pencarian terkait penyakit. Di sisi lain, Google telah membuat daftar gejala yang bisa dicari oleh pengguna. Google mencocokkan pula antara gejala tersebut dengan informasi medis yang telah dikumpulkan dari dokter Knowledge Graph. Sayangnya, fitur tersebut hanya tersedia di AS dengan bahasa Inggris dan pengguna harus menghubungi dokter untuk mengkonfirmasi terkait penyakit yang mereka alami dengan hasil yang telah mereka temukan di Google. “Kami memiliki staf ahli di Harvard Medical School dan Mayo Clinic untuk mengevaluasi hubungan antara gejala dengan gangguan, sehingga kami dapat terus memperbaiki daftar kami,� terang seorang juru

bicara Google. Selain itu, Google terdorong oleh interaksi dokter-pasien melalui dunia maya. Interaksi tersebut dianggap menjadi saluran yang lebih dipercaya oleh pasien. Kepercayaan tersebut terjadi karena relasi tradisional antara dokter-pasien tidak mampu menyeleraskan konsepsi illnes dari pasien. Konsep illnes adalah konsep yang terkonstruksi dalam diri seseorang terhadap keluhan kesehatan (Sobo dalam Ember, 2013:3). Menurut penelitian Arief Priyo Nugroho, kecenderungan masyarakat memilih konsultasi secara online, akan mengakibatkan dokter di klinik maupun rumah sakit tidak lagi menjadi sumber pengetahuan dan informasi tunggal dalam bidang kesehatan.

Foto: icare4autism.org

Teknologi

Google Peduli Penderita Autisme

S

ebelumnya, Google telah mengembangkan Aplikasi Google Glass untuk mendeteksi emosi bagi penderita Autisme. Dilansir dari National Geographic Indonesia, Periset Universitas Stanford, Grosshans mengatakan bahwa perangkat teknologi Google Glass memungkinkan membantu anak-anak penderita autisme. Selain fitur di atas, fitur lain yang belum dikenal masyarakat luas, diantaranya Menge-

tik dengan Suara, Riset di Dokumen, Eksplor Spreadsheet, Mode Offline, dan Template di Google Dokumen. Fitur Mengetik dengan Suara memungkinkan pengguna untuk mengedit dan memformat dokumen tanpa mengetik atau menghapus teks yang tidak diperlukan karena Google Dokumen telah menggunakan teknologi pengenalan suara (speech recognation). Riset di Dokumen memungkinkan pengguna melakukan penelusuran tanpa meninggalkan dokumen yang dicari. Adapun Eksplor Spreadsheet dimaksudkan untuk membantu menganalisis data. Sementara Mode Offline bisa melihat dan mengubah file tanpa terhubung dengan jaringan internet, misalnya Google Docs, Sheets, dan Slides. Template di Google Dokumen diperuntukkan bagi pengguna untuk mendesain suatu pekerjaan. Referensi: Arief Priyo Nugroho. 2016. “Dokter Google: Interaksi Dokter-Pasien di Era Teknologi Informasi�. jps.fisipol.ugm.ac.id. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Foto: socialcubix.com


20

Edisi 112 - November 2016

INSIGHT Dok. #Kampus Fiksi

Komunitas

Ngampus Literasi bersama #KampusFiksi Reporter: Livia Purwati “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian,” begitu kutipan dari Pramoedya Ananta Toer. Menulis merupakan tempat mencurahkan segala gundah gulana, rasa bahagia, pendapat, ide dan banyak hal kepada khalayak umum. Jika sudah menulis, otomatis orang tersebut sudah bisa disebut sebagai penulis. Penulis merupakan pencipta di dalam karyanya, seseorang yang berkuasa penuh akan apa yang ditulisnya.

B

a n y a k p e n u l i s t e r k e n a l Indonesia yang sering kita d e n g a r n a m a m a u - p u n karyanya atau bahkan sebagian dari kita juga sudah membaca buku-buku mereka. Bernard Batubara, misalnya. No-velis muda asal Borneo ini merupakan sosok di balik sebuah karya berjudul Kata Hati. Atau, pernahkah kalian melihat bahkan membaca novel Puya Ke Puya karya Faisal Oddang yang sedang berjejer di rak-rak toko buku? Agaknya, banyak dari kita yang pernah bermimpi menjadi penulis seperti Bernard dan Faisal, namun skill maupun pe-ngetahuan dalam dunia tulis menulis masih minim. Komunitas #KampusFiksi yang berdiri dengan tujuan memberikan pengetahuan mengenai hal-hal teknis maupun non teknis kepenulisan kepada calon penulis dan juga penulis muda ini bisa menjadi jawaban atas kegundahan-kegundahan di atas. Komunitas yang sudah berdiri sejak 27 April 2013 itu didirikan oleh Edi Mulyono atau yang biasa dikenal dengan Edi Akhiles, bersama teman-temannya yang merupakan sastrawan, penulis dan marketing. #KampusFiksi memiliki kegiatan reguler dua bulan sekali di Gedung Khusus Kampus Fiksi, Yogyakarta. Kegiatan yang tidak dipungut biaya sepeserpun tersebut memberikan edukasi mengenai teknik menulis, mindset, state of mind, dan pasar buku Indonesia kepada peserta.

Dok. #Kampus Fiksi

Dok. #Kampus Fiksi

Menulis berbeda dengan menjadi penulis. Yang pertama bisa sendirian. Yang kedua, butuh teman ... Dok. #Kampus Fiksi

Edi Akhiles selaku CEO Diva Press mengu n gka p ka n b a nya k ya n g m e n ga j a r d i kegiatan reguler, namun ada pengajar tetap yaitu Aconk Diego yang mengajar tentang pengenalan marketing buku dan Edi sendiri mengajar teknik kepenulisan. Kemudian sisanya adalah penulis-penulis dan sastrawan senior yang diundang secara khusus. Jika ingin bergabung dalam #KampusFiksi, syarat yang diberikan tidak banyak. Selain umur maksimal mengikuti kegiatan ini adalah 30 tahun, syarat lainnya ialah cukup mengirim cerpen ciptaan sendiri lewat email, kemudian pengumuman lolos seleksi akan diumumkan di website kampusfiksi.com.

Dari awal didirikan hingga sekarang, #KampusFiksi sudah memiliki 17 angkatan dari kegiatan reguler. Kegiatan yang berada di bawah naungan Diva Press ini sempat mengalami perbedaan perihal teknis pada metode pembelajaran angkatan 1 sampai 3, namun pada angkatan selanjutnya sudah lebih matang. Meski mengambil nama kampus, kegiatan ini tidak mengadakan acara wisuda karena setiap peserta yang sudah selesai mengikuti seluruh kegiatan selama dua hari tersebut akan dianggap lulus. “Selebihnya, kami bisa membimbing mereka berkarya langsung, menerbitkannya jika mereka minat dan tidak ada kontrak khusus dengan kami,” tutur Edi. Setiap peserta yang lulus akan berstatus sebagai alumni #KampusFiksi. Sebagai wadah agar para alumni tetap terhubung diadakan kegiatan reuni yang diselenggarakan secara formal. Kegiatan tersebut diberi nama “Kampus Fiksi Emas”, selain ajang silaturrahmi diadakan pula penerbitan kumpulan cerpen terbaik ciptaan para alumni. Komunitas yang juga bertujuan ingin mengirim pesan moral kepada negara yang abai pada dunia literasi ini memiliki kegiatan nonregular. Di antaranya #KampusFiksi Roadshow, yang bisa dilakukan kapan saja

dan dimana saja. Hingga sekarang, kegiatan yang hanya diadakan sehari ini sudah pernah menyentuh kota-kota besar sekitar pulau Jawa dan yang terjauh diadakan di Makassar. “Kita juga ada edisi khusus #KampusFiksi Non Fiksi yang mewadahi para penulis yang ingin menulis genre nonfiksi. Sudah dua kali diadakan tiap setahun sekali,” ungkapnya. Farrah Zanetam salah satu alumni #KampusFiksi kegiatan regular angkatan tiga memaparkan alasan ia mengikuti kegiatan tersebut agar bisa bertemu teman yang memiliki hobi yang sama sehingga bisa saling tukar pikiran. Perempuan yang sedang menyelesaikan pendidikan D3 Vokasi jurusan Akuntansi di Universitas Gajah Mada ini mengaku mendapat informasi mengenai #KampusFiksi dari media sosial, yaitu Twitter. Farrah mengaku bahwa ia menyukai semua momen saat mengikuti kegiatan tersebut pada tahun 2013 lalu. Alumni dan panitia saling bergaul dan sering mendapatkan kenalan baru ketika ada angkatan baru. “Banyak manfaat yang saya rasakan setelah mengikuti kegiatan ini. Selain mendapat kenalan baru, banyak juga informasi-informasi seputar komunitas maupun event lite-

rasi dan tempat berbagi masalah seputar kepenulisan. Dan yang paling penting, saya bisa belajar dan berkembang,” ujar Farrah. #KampusFiksi memberikan fasilitas bimbingan menulis novel dan fasilitas penerbitan yang boleh diambil atau tidak, tergantung pilihan dari setiap peserta. Selain itu, peserta juga akan mendapat tambahan ilmu dan sekardus buku. Farrah mengambil fasilitas yang diberikan oleh #Kampus Fiksi, hingga sekarang ia telah berhasil menerbitkan empat novel secara mayor. Tiga novel di antaranya terbit di Diva Press pada Lini De Teens dengan judul Beautiful Nightmares, Alles Liebe dan Partitur Dua Musim. Novel yang lain dengan judul Perfection terbit di Penerbit KPD, lini Ice Cube. “Bagi saya, #KampusFiksi adalah keluarga dan tempat pulang,” akunya. #KampusFiksi memberikan ruh yang sangat mendalam pada persahabatan dan kekeluargaan antar panitia, alumni dan peserta. Hal inilah yang Edi usahakan agar terawat selalu. Ada sebuah kutipan dari #KampusFiksi, “Menulis berbeda dengan menjadi penulis. Yang pertama bisa sendirian. Yang kedua, butuh teman ...”. []


21

Edisi 112 - November 2016

RESENSI Foto: Istimewa

Resensi Film

Kau, Editor of Genius Oleh: Rizki Sebuah batu, selembar daun, sebuah pintu tak berdasar Dari batu, daun, pintu. Dan semua wajah yang terlupakan

Jenis Drama Biografi Produser James Bierman, Michael Grandage, John Logan, Tracey Seaward Sutradara Michael Grandage Penulis John Logan Produksi Michael Grandage Company, Desert Wolf Productions, Riverstone Picture; 10 Juni 2016 istrinya, Aline Bernstein harus bekerja keras agar buku pertamanya bisa diterbitkan. Buku tersebut telah ditolak oleh seluruh penerbit di New York, akhirnya Aline mengirimkan buku ter-sebut pada penerbit Charles Scribner's and Son. Di tangan penerbit itulah, ntaian kata tersebut menjadi awal Look Home-ward Angel menjadi populer. Tak berlangsung lama, Thom, begitu ter-bentuknya rentetan cerita film Genius. Film yang diadopsi dari novel akrabnya dalam film tersebut, mampu Max Per-kins: Editor of Genius, karya A. Scott mener-bitkan buku ke duanya. Tentu dengan Berg. Ber-kisah tentang kehidupan seorang kerja keras. Terlebih pada masa itu, belum penulis, Thomas Wolfe dan editor, Maxwell ada tek-nologi yang memadai. Kemarahan Evarts Perkins di New York tahun 1929. dan ke-lelahan pun tak ayal menghampiri. Namun, kelelahan seperti terkalahkan Thomas Wol-fe, seseorang yang sepanjang hidupnya hingga bertemu Max, tak pernah dengan hadirnya penutup bagain IV buku. Eugene melihat seorang wanita, matanya bemempunyai teman. Cerita dimulai dengan kegembiraan Tho- gitu biru. Begitu cepat ia jatuh kepadanya, mas Wolfe yang berhasil menerbitkan buku- hingga tak satu pun orang di ruangan mennya. Hasil jerih payah selama empat tahun, dengar suaranya. Petikan kalimat penutup akhirnya membuahkan hasil, Look Homeward tersebut menjadi nyawa bagi Thom dan Max, Angel. Dikisahkan bahwa Thomas dan hingga akhirnya memilih jalan sendiri. Thom

U

meninggalkan acara penting istrinya, sedangkan Max memilih tidak merayakan liburan bersama anak-anaknya. Dan buku ke dua Thom terbit pada bulan Oktober. Sebelum buku masuk ke percetakan, Thom memberikan sebuah kalimat terkahir untuk diletakkan di awal buku. Buku ini didedikasikan kepada Maxwell Evarts Perkins, Orang yang berani dan jujur, yang tetap mendampingi dalam penulisan buku ini, melewati masa sulit keputusasaan. Penulis berharap buku ini akan membuktikan kepercayaan beliau. Lima edisi buku dengan tiga puluh ribu kopi akhirnya terbit. Menurut Max, pada masa itu, belum ada penerbit yang menerbitkan bu-ku setebal Of Time and the River, buku ke dua Thom. Kesuksesan buku ke dua Thom ini men-jadi klimaks dari film Genius. Kesuksesan yang mengantarkan pada per-tikaian antara Thom dan istrinya. Ditambah ketidakpercayaan Thom pada Max sehingga mereka pun memilih sama-sama tidak me-ngenal. Hingga akhirnya Thom pergi karena menderita penyekit tuberkolosis otak, Thom masih bisa menyempatkan menulis surat un-tuk Max sebagai wujud penghargaan atas jasa Max kepada dirinya. Max, Aku mendapat fi-rasat, aku sudah melakukan perjalanan pan-jang dan datang ke negara yang aneh ... dan aku melihat orang kegelapan

sangat dekat. Film ini mengisahkan keutuhan proses menulis. Seorang penulis tak mampu menghasilkan tulisan baik tanpa dibantu seorang editor. Scott seorang novelis terkenal pada masa itu, penulis The Great Gatsby yang sudah tak mampu merangkai satu pun kalimat bagus dalam sehari. Namun atas motivasi dari Max untuk membuat otobiografi, akhirnya ia mam-pu bangkit dan menulis otobiografi dengan ju-dul Max Perkins: Editor of Genius. Film ini disarankan untuk ditonton terutama para pegiat dunia literasi. Banyak hal yang diperoleh dari film ini mulai dari profesionalitas dalam menjalankan sebuah pekerjaan dan keseimbangan dalam menata kehidupan, sikap kerja keras, pantang menyerah, godaan dan ujian. Tentu dapat dijadikan motivasi dan pelajaran. Disayangkan di akhir film ini tidak diperlihatkan deskripsi tokoh sebenarnya. Sehingga walau telah dijelaskan dalam alur cerita, identitas dari sosok aslinya masih kurang jelas. Selain itu dalam cerita juga tidak dijelaskan periode waktu dari setiap pembuatan buku. Meski begitu film ini cukup menarik dengan kesan ketradisionalannya. Atau harus kukatakan, dia seperti orang yang berdiri di tepi bukit di samping kota yang dia tinggalkan, bukannya berkata-kata sudah dekat tapi justru membalikkan matanya pada pandangan yang luas. Selesai.

Resensi Buku

Berani Keluar Dari Tempurung Oleh: Dwi Astuti “Seperti sebuah peribahasa fatalistik tentang seekor katak yang menjalani hidupnya di bawah tempurung, tak sampai lama si katak pun mulai merasa tempurung itu mencakup keseluruhan semesta. Penilaian moral dalam gambaran ini adalah bahwa si katak itu berpikiran sempit, picik, diam terus di rumah dan tanpa alasan yang jelas merasa berpuas diri. Sementara saya tak pernah berlama lama di manapun untuk menetap di satu tempat saja, tidak seperti katak dalam peribahasa tersebut. (p.25)�

S

epenggal intisari tersebut tertulis dalam buku Hidup di Luar Tem-purung. Buku autobiografi kajian akademik dan politik oleh seorang pengkaji politik, Ben Anderson. Pada penggalan tersebut, ia menganalogikan dirinya dengan seekor katak yang diilhami dari judul bukunya, ingin hidup di luar tempurung. Ben tak ingin hidup di dalam tempurung, hanya menetap di dalam satu daerah yang ia tinggali selama hidupnya. Ia ingin berpindah untuk mengajar dan meneliti, mengikuti jejak George Kahin, guru sekaligus sahabat peneliti saat di Universitas Cornell dalam orientasi akademik dan politik. Ia menarasikan perjalanan hidupnya di lembaran kertas yang tersusun dalam enam bab autobiografi Hidup di

Luar Tempurung. Pada setiap bab, Ben merincikan perjalanan akademik dan proses pencapaian dalam studi komparatifnya tentang kajian wilayah yang kala itu dianggap awam oleh para peneliti barat. Benedict Richard O'Gorman Anderson dikenal sebagai ilmuwan politik, lahir pada 26 Agustus 1963 di Kunming, Tiongkok menjelang invansi besar-besaran oleh Jepang atas Tiongkok utara, tiga tahun berselang sebelum Perang Dunia II. Masa kecil hingga remajanya, ia habiskan di Eropa. Hingga kemudian, Ben masuk di Universitas Cambridge untuk mendapatkan gelar B. A. sebelum akhirnya ia mendedikasikan dirinya di Cornell University, Amerika Serikat untuk menyelesaikan pendidikannya. Perjalanan akademiknya berawal ketika ia melanjutkan pendidikan di Universitas Cornell. Kajian wilayah yang ia bawa sebagai sebuah penelitian menjadi tantangan dan masalah baginya. Salah satu keputusan Ben yang keluar dari tempurung adalah keputusannya untuk menekuni bidang studi yang terbilang cukup baru di masa itu (kajian wilayah) meninggalkan studi klasik (bahasa dan sastra) yang ditekuninya saat di Universitas Cambridge. Keberaniannya meruntuhkan dindingdinding etnosentrisme yang berkembang pa-

da ilmuan sosial barat dengan mengakui kelebihan-kelebihan bangsa Asia Tenggara, menjadi pelajaran berharga. Ia membuka pandangan dunia melalui studi komparatifnya, tidak seperti umumnya para orientalis atau bahkan sarjana pribumi yang telah merasakan pendidikan barat. Dalam hal ini, studi komparatifnya di Indonesia tentang kajian wilayah yang ia tekuni agaknya menemui sedikit problematika. Ia didepak dari negara yang akan ia teliti ini. Ia kemudian berpindah di Siam (Thailand) dan Filipina, mengalihkan studinya ke negara tersebut. Ia harus berpikir ulang untuk melakukan studi komparasinya dengan wilayah yang berbeda. Imagined communities (1983) adalah karya fenomenalnya, buah hasil dari studi desertasinya, yang sebelumnya corak nasionalis-sentris dalam satu wilayah yang terlalu sempit mendominasi, namun ia memutar balik studi komparasinya melalui karya tersebut. Ada hal menarik yang tersaji di luar dari isi buku Hidup Di Luar Tempurung ini, terutama dalam penerjemahan buku yang di-lakukan oleh pemimpin redaksi Marjin Kiri, Ronny Agustinus. Penggunaan kata Ayah dan Ibu dalam buku tersebut diganti menjadi bo-kap dan nyokap yang cukup aneh, pun jarang ditemukan dalam penyampaiannya. Kebiasa-

Judul Hidup di Luar Tempurung Penulis Benedict Anderson Penerbit Marjin Kiri Cetakan Pertama, Juli 2016 Tebal x + 205 halaman ISBN 978-979-1260-59-6

an Ben Anderson yang tergila-gila de-ngan orisinalitas dan atraksi dalam peng-gunaan kata dan bahasa mungkin saja mem-buat Rony tak ingin mengubah bahasanya. Sama seperti Eka Kurniawan yang mengatakan tak mau membunuh kata-kata, sehingga ia kerap membubuhkan kata yang dianggap tabu dalam tulisannya. Terlepas dari itu semua, sebagai akhir penjabaran buku autobiografi tersebut, Ben mengulas kembali analogi katak dalam kesimpulan bukunya. “Katak-katak dalam perjuangan mereka untuk emansipasi hanya akan kalah dengan mendekam dalam tempurungnya yang suram. Katak sedunia, bersatulah!�


22

Edisi 112 - November 2016

SASTRA Cerpen

Di Kaviar Dea Oleh: Reza Nufa Kuciduk secuil kaviar dari piring lebar di depan mukaku. Kujilat sedikit, lalu kumuntahkan lagi. Piringnya bagus sekali, pikirku, sambil merabai tepinya, mengetuk-ngetuknya dengan kuku hingga muncul bunyi yang membuatku terkekeh geli. Kupindahkan sisa kaviar dan kawankawannya ke wadah lain. Bisa kulihat pantulan wajahku di sana, tak kalah tampan oleh si piring meski agak lesu karena sebelum ke sini sempat merancap tujuh kali. Jangan tanya kenapa harus tujuh kali.

D

i sisi lain meja, Dea menadah dagu dengan tangan kanannya. Dia sudah memasang posisi itu selama hampir satu jam dan aku yang menanggung rasa pegalnya. Dia menatapku seperti bocah perempuan yang melihat boneka beruang untuk kali pertama. “Mukamu kelihatan bego,” kubilang. Dia malah balas tersenyum. “Kursimu kurang maju satu jengkal, makanya makananmu jadi nggak enak,” balasnya tanpa menarik tatapan itu. Dia benar, kukira, tapi tak mau kugeser kursi itu sebab dengan begitu aku bakal menyesal. Aku akan sangat menyesal. Jadi kubiarkan saja pikiran itu mengganjal di batok kepalaku, cukup lama, dan selama itu pula aku tidak bisa memikirkan hal lain dengan utuh, dan sejak hari itulah aku tidak bisa bahagia. Berulang kali kupikirkan perkara sepele ini. Mungkin aku kena kutukan gara-gara menuduh kaviar itu tak enak. Mungkin juga sebetulnya aku menyesal karena sempat terlalu takut pada penyesalan. Harusnya kugeser saja kursi itu. Begitu, mungkin. Masih di meja yang sama, sepuluh tahun sudah berlalu, aku bertanya pada Dea apa aku bisa sembuh. Apa aku bisa kembali menjadi diriku yang mencicipi kaviar untuk pertama kalinya. Dia bilang tidak. Aku akan begini terus sampai mati. Begitu juga dia. “Kita sedang menjalani karma,” dia bilang. “Di kehidupan sebelumnya kita terlalu banyak tertawa.” Aku cuma bisa cengengesan mendengar itu. Untuk mewakili setiap emosi yang kupunya, cuma itu ekspresi yang tersisa. Keesokan harinya, Dea menikah dengan lelaki yang baru dikenalnya selama satu bulan. Dia bilang, dia tak tahu apakah bisa senang dengan menikah. Dia tidak pernah tahu bakal ada apa di depan sana. Dia perempuan bodoh. Tapi, katanya, dia ingin menjalani sesuatu. Dia tak ingin lebih lama bersamaku di meja itu. Itu pertemuan paling panjang sekaligus paling singkat. Dengannya waktu berputar pada ukuran-ukuran yang tak kupahami. Dunia berada dalam sebuah kelambu yang tidak saja menolak serangga dan ekor cicak, tapi seisi dunia—seluruh peluang untuk belajar, jatuh, merangkak, merasakan sesuatu, tidak pernah ada bahkan tidak terpikirkan bahwa hal semacam itu ada. Kulepas Dea sebab begitu, dan kubilang padanya baik-baik, “Kalau kita berdua terus, kita akan berakhir

Mungkin juga sebetulnya aku menyesal karena sempat terlalu takut pada penyesalan.

dengan bunuh diri sama-sama.” Dia tertawa. Itulah satu-satunya ekspresi yang dia punya. Dua puluh satu tahun yang lalu ketika masih tinggal di pesantren, ada kawanku yang berwajah lebih tampan dariku, bahkan lebih tampan dari piring kaviar itu. Dia hafal beberapa kitab kuning, punya buku mantra yang lebih tebal dari kitab suci, bisa duduk semalaman sambil berdzikir, pernah melanglang buana ke berbagai makam dan goa untuk menyambangi tetua dan pusaka. Selanjutnya kulihat dia berak di piring, lalu dengan bangga membawa kotorannya keliling kampung. Dua minggu kemudian dia dibawa ke rumah sakit jiwa dan secara rutin disuntik penenang. Jangan tanya kenapa dia begitu. Tak ada penjelasan yang memadai tentang bagaimana rupaku ketika Dea menghilang. Kaviar yang sempat kubuang telah jadi jamur kuping. Piring-piring tak lagi cermin. Meja dan kursi berbaring dan para pelayan melayang seperti ruh yang melayani tamu-tamu yang datang dari masa lampau. Kubilang pada mereka bahwa aku memesan kaviar yang lain, yang masih segar, sama seperti yang pertama kali kupesan. Tapi tak pernah ada kaviar lain yang datang. Dan aku mulai berpikir untuk mencicipi jamur itu. Aku juga ingin menjalani sesuatu, kubilang pada kursi kosong di seberangku yang dulunya diduduki perempuan manis itu. Kursi itu lalu berderit mendekat ke tepi meja, seolah hendak mulai menyantap sesuatu. “Ayo kita makan sama-sama,” katanya. “Kau mau pesan apa? Mau kaviar lagi? Atau sarang burung walet? Anak gajah albino? Ubur-ubur beracun? Sebut saja. Tidak ada yang tidak ada selama aku yang memesan.” Kaviar, kubilang, lalu kugeser kursiku, satu jengkal mendekat ke meja. Salah satu kaki kursi itu patah dan hampir membuatku terjungkal. Kugeser lagi lebih dekat, lebih rapat ke meja. Kali ini pasti rasanya enak,

kataku pada diri sendiri. Wajah Dea samarsamar mencuat di seberang sana, dengan baju merah marun, dia menopang dagu dan menatapku dengan mata yang mengandung sesuatu yang berbeda. Jangan tanya itu apa.

Tak ada penjelasan yang memadai tentang bagaimana rupaku ketika Dea menghilang.

Ilustrasi: Picame / Olah LPM Pabelan

PUISI

Lama-lama matanya mekar dan pipiku retak. Tepian bibirnya melompat seperti lumba-lumba dan kelopak mataku terkatup lambat laun semacam telah tiba pada kedipan terakhirnya. Dia berkata, “Ini perpisahan paling lama sekaligus paling pendek dalam hidupku.” Lalu kubalas dengan lantang bahwa kali ini akan kucicipi dengan benar. Dia mendengar dan cuma diam. Lalu kuciduk secuil kaviar di depan mukaku. Kurabai piringnya. Kurabai meja. Dan sendok, labalaba, udara. Kurabai semua yang masih menyisakan dia.

Simbol yang Tercermin Oleh: Ratih Kartika

Angin berdesir dari Bengawan Solo yang bergelombang Lokomotif berbunyi nyaring memecahkan hening Suara-suara kehidupan mulai memekakan gendang Diantara sawah dan kayuhan sepeda usang Dua sudut mata mulai mengernyit lihai Impuls jiwa ingin berteriak namun tak sampai Nurani artikulasikan kemerduan tak berperi Gramatikalnya luluhkan kosakata sumbang diri

Tentang Penulis

Reza Nufa, lahir 26 tahun lalu pada 18 November, senang menulis karena kurang percaya pada lidahnya sendiri, sedang jatuh cinta pada Midori dalam Norwegian Wood, dan membenci buncis dengan alasan-alasan yang tidak pernah dirumuskan. Perkara lainnya bisa diintip di rezanufa.wordpress.com.

Kemerduan ciptakan keindahan irama Bak keraton Kasunanan yang polos logatnya Bagaikan sepasang kekasih saling mencinta Memadu kasih dalam balutan tutur berirama Cinta kasih mana yang tak terucapkan? Bukti mana yang akan terbantahkan? Saat semesta bertekuk sujud dan aminkan Dan entitas Yang Maha Kuasa kabulkan Aku, kamu, dan kita lestarikan Bahasa Jawa simbol diri yang tercermin


D

I

N

A

M

I

K

A

I

N

T

E

L

E

K

T

U

A

L

M

A

H

A

S

I

S

W

A



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.