8 minute read

SALAM REDAKSI

Assalamualaikum wr.wb. Salam Pers Mahasiswa!

Pers sejatinya hadir sebagai wadah ekspresi diri dan media dokumentasi kebenaran suatu fenomena. Atas izin Allah SWT, kami LPM Perspektif FEB USK menyatakan bahwa kami dengan bangga kembali menerbitkan majalah perspektif di tahun 2022 dengan tema “Panggung Kreativitas Bumi Serambi Mekkah”, bersamaan dengan kepengurusan yang dipimpin oleh M.Yodi Agam selaku Pemimpin Umum LPM Perspektif FEB USK tahun 2022.

Advertisement

Provinsi Aceh dengan segala keanekaragamanya merupakan provinsi istimewa yang menerapkan langsung nilai-nilai syariah Islam ke dalam peraturan-peraturan daerah. Aturan-aturan syariah ini diharapkan dapat memberikan keamanan dan kenyamanan pada setiap masyarakat Aceh baik muslim maupun non-muslim. Seiring perjalanannya membersamai Provinsi Aceh, pemerintah dengan tegas berusaha menerapkan syariah Islam dengan sebaik-baiknya. Dibalik itu terdapat beberapa fenomena yang membuat Aceh akhirnya dipandang secara berbeda, hingga dugaan membatasi potensi dan daya kreativitas masyarakat yang ada hingga akhirnya mereka yang belum pernah singgah menjadi enggan untuk datang ke kota Serambi Mekkah yang indah. Dari buah karya ini kami berharap dapat memberikan gambaran bagaimana keadaan terkini Ruang Kreativitas Bumi Serambi Mekkah.

PENASEHAT

DEKAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS USK

PEMBINA

SAID MUNIRUDDIN SE.Ak, M.Sc

PEMIMPIN UMUM

M.YODI AGAM

SEKERTARIS UMUM

FAHMI RIZKI

BENDAHARA

AISYAH DASFANIA FITRI

PIMPINAN REDAKSI

FARHANA ATIKAH

SEKRETARIS REDAKSI

MIFTAHUL JANNAH

PIMPINAN PERUSAHAAN

M.RIFQI AUFAR

SEKRETARIS PERUSAHAAN

ANASTASYA DELLA M.

REDAKTUR MAJALAH

M.DAFFA AQMAL

SEK.REDAKTUR MAJALAH

SATIANIHDA UMRI

REDAKTUR DESAIN

JIHAN LATIFAH

SEK.REDAKTUR DESAIN

YUKHA RAMZIAN

REDAKTUR FOTO

M.FITRAH RAMADHANA

SEK.REDAKTUR FOTO

MUSLIADI

EDITOR

PUTRI NADYA

PUTRI AMALIA

REPORTER

ANA ZAKIA,ANASTASIA DELLA M.,ANNA SHATILA K.,DINDA SYAHRANI,DWI MAHAYANA K.,JIHAN ZAHIRAH,MAULA FATHIN,M. RAYYAN AL GHIVARI,M.RIFQI AUFAR,PUTRI AMALIA H.,PUTRI MALIKAH H.,PUTRI NADYA,RAHMAN DHAFA,RAIHAN ATHIYYA,RENADA MAGHFIRA,SAVINATUNNAJAH,SYAKIRA RAHMATIKA,SYIFANI ANDIRA,ULA ARISKA, RIZKI RAMADHANA,NOVI RAHMAWATI, ALIYA SYAHIRA, MUHAMMAD SYUJA’, SYIFAUL HUZNI

FOTOGRAFER

AL HAFIZ AKBAR,M. ALIEF NUGRAHA,M. HARIZ,RIFQI SYAHPUTRA,TEUKU HAYYUN N.

Syariat Islam merupakan nafas dalam setiap sendi kehidupan masyarakat Aceh, hal ini berkaitan dengan aspek historis yang dilalui Aceh di masa lampau. Masyarakat bukan hanya menjadikan Islam sebagai agama, tetapi juga identitas. Sehingga, Islam dan Aceh merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tidak heran mengapa segala jenis tindak tanduk kegiatan di Aceh minim berbenturan dengan syariatnya. Sebagaimana terefleksikan dari judul, hal ini tentu menimbulkan pertanyaan banyak pihak terutama para pelaku seni yang ingin mengembangkan karya seni dari bidang yang digelutinya, benarkah aturan syariat ini membelenggu kreativitas terutama yang bersinggungan dengan seni di Aceh?

Seyogyanya seni adalah bentuk pemenuhan keperluan emosional. Sebagaimana yang diucapkan Ki Hajar Dewantara bahwa seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari perasaan dan sifat indah sehingga menggerakan jiwa perasaan manusia. Seni dapat dikatakan mampu memengaruhi jiwa suatu masyarakat untuk menjadi lebih ekspresif.

Lantas bagaimana dengan Aceh? Apakah identitas negeri syariat ini membawa pengaruh yang kuat atau bahkan memberi keunikan tersendiri pada perkembangan ruang kreativitas seni yang tak terbatas?

Perkembangan seni dan budaya Aceh berlangsung sedemikian pesat hingga sekarang. Seni telah membentuk dan memengaruhi kehidupan masyarakatnya.

Aceh dikenal sebagai daerah yang kaya akan seni dan budayanya, tak jarang mendapat pujian dari masyarakat luar. Fasilitas dan wadah yang dibangun Pemerintah bagi para seniman membuktikan adanya dukungan untuk mereka agar selalu mengembangkan kreativitas kesenian di Aceh.

Salah satu pelaku seni senior Aceh bidang kesenian tradisional, Dek Gam menuturkan bahwa Aceh sudah saatnya lebih membuka diri dengan mengharmonisasikan kesenian tanpa menghilangkan unsur syariatnya. Dalam wawancara dengan tim LPM Perspektif, Dek Gam juga turut menceritakan ketika pembukaan Fesyar (Festival Syariat) Aceh, banyak ibuibu turut merasa senang bercampur haru menyaksikan penampilan Rapai yang begitu syahdu.

“Sudah lama saya tidak melihat penampilan seperti ini, sangat merinding,” ujar Dek Gam menirukan kalimat yang diucapkan langsung oleh salah satu penonton dari kegiatan Rapai Geleng ketika pembukaan Fesyar di Mesjid Raya Baiturrahman 4 Agustus lalu.

Ini turut menjadi bukti bahwa masyarakat Aceh justru menikmati kesenian-kesenian semacam ini. Sudah saatnya, Pemerintah membuka kesempatan sebesar-besarnya bagi pelaku seni untuk mengembangkan keseniannya dengan tetap berada pada irisan syariat. Sinergitas antara Dinas Kebudayaan dan Ulama merupakan kunci untuk mengembangkan hal ini di Aceh. Harmonisasi antara Dinas Kebudayaan dan Ulama diharapkan dapat menjembatani muda-mudi yang tampaknya ‘haus’ akan hiburan, namun tetap dalam kendali aturan syariat. Merealisasikan hal-hal semacam itu tentu saja perlu kerja sama yang solid dan penerapan konkrit dari Pemerintah dan masyarakat serta komponen pendukung lainnya.

Pemerintah Aceh Berkomitmen

Mengembangkan Kesenian

Pemerintah Aceh sendiri sangat berkomitmen dalam melaksanakan pembangunan berkesenian yang meliputi upaya pelestarian, pengembangan dan pemanfaatannya.

Mengacu kembali pada pernyataan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh yang dikutip dari AJNN. net mengatakan bahwa mereka senantiasa berusaha mewujudkan keselarasan antara kebudayaan dengan masyarakat yang akan membias dalam wujud inovasi-inovasi kesenian. Oleh karena itu, dalam rangka mempersiapkan sarana pengembangan bagi generasi berbakat dalam menumbuhkan keberanian berkreasi serta membuka banyak kesempatan bagi pementasan karya, maka dibutuhkan suatu wadah. Selama ini pembinaan karya seni dirasakan kurang memikat minat generasi muda disebabkan karena terlalu monoton dan tidak adanya kreativitas atau pembaharuan.

Salah satu bentuk komitmen Pemerintah dalam mengembangkan kesenian di Aceh adalah dengan terbukanya untuk penyelenggaraan berbagai kegiatan seni seperti, Fesyar (Festival Syariat) Aceh, Carnival Putroe Phang yang diselenggarakan baru-baru ini dan berbagai kegiatan kesenian lainnya. Ini turut menjadi bukti bahwa Pemerintah serius dalam mengiramakan kreativitas di Aceh dengan tetap menyelaraskan sesuai penerapan syariat. Meski pada beberapa kesempatan seperti konser dan semacamnya, dalam anggapan masyarakat merupakan sebuah ke-ria-an dan buang-buang waktu namun kiranya perlu kebijaksanaan lebih jauh dalam menafsirkan maksud penyelenggaran kegiatan ini.

Namun berkaca dari banyak kejadian, kita masyarakat Aceh mulai menghadapi realitas kehidupan dimana moral muda-mudi sudah banyak terpudarkan oleh pengaruh zaman. Tidak bisa dipungkiri, perkembangan teknologi mengambil peran penting dalam mengubah cara pandang muda-mudi Aceh terhadap seni itu sendiri, hal ini dapat terlihat dari banyaknya kaum muda yang lebih menggandrungi kesenian modern yang sarat pengaruh budaya barat dibanding kesenian tradisional yang masih melekat dengan nilai-nilai syariatnya. Generasi muda selalu menginginkan sesuatu yang lebih ‘segar’, terutama mereka yang hidup di era teknologi. Ini tentu menjadi tugas utama bagi Aceh untuk terus mengingatkan generasi mudanya bahwa kesenian Aceh tak kalah menarik dan mendorong mereka agar tetap melestarikannya sebagai bentuk melindungi tradisi.

Aceh dan Ritme Seni dalam Kesehariannya, Seperti Apa?

Menjadi pelaku seni di Aceh faktanya memiliki tantangan tersendiri, ini tentang bagaimana mereka memperjuangkan buah pikiran kepada masyarakat dengan karakteristik non heterogen. Tidak semua pelaku seni mendapat perlakuan yang setara. Beberapa pelaku seni justru mendapat cibiran atas seni yang digaungkannya karena dirasa tidak sesuai dengan prinsip masyarakat Aceh dan dianggap sebagai seni tak berdasar, sebut saja seperti Kamp Biawak yang diusung oleh Iskandar bin Ishak.

Banyak masyarakat justru menaruh rasa curiga atas kehadiran kamp ini. Padahal tujuan pendirian kamp ini sendiri adalah sebagai sarana seni dan ruang diskusi terbuka bagi para pegiat seni. Iskandar mengungkapkan, melalui pendirian kamp ini ia ingin mempelopori perluasan seni di bumi Serambi Mekkah.

Ia memiliki segudang cita-cita dan harapan agar seni terutama bidang Seni Rupa Ornamen di Aceh dapat lebih hidup dan dipandang layak oleh masyarakat. Pemikiran ini membawa ia pada rencana untuk menciptakan beberapa project kedepannya dalam rangka mengenalkan Seni Ornamen kepada masyarakat Aceh. Salah satunya yaitu Aceh Ornamen Festival, ide ini rencana akan ia mulai pada Februari 2023 mendatang. Ia menganggap bahwa ini merupakan upaya murni dalam rangka penghidupan ruang seni agar tidak mati terutama dalam hal Seni Ornamen yang cenderung sudah mulai dilupakan.

Kontra dengan pernyataan di atas, Arnis Muhammad salah satu seniman Mural profesional mengungkapkan sudut pandang yang berbeda dalam wawancara bersama tim Perspektif. Menurutnya, Aceh adalah tempat yang tergolong mudah dalam hal pengembangan seni Mural. Ia berpendapat bahwa hal terpenting dalam mengeksekusikan karya seni adalah tentang bagaimana cara mengkomunikasikan karya seni tersebut ke masyarakat awam. Tentu saja dengan menanamkan persepsi bahwa seni yang dibawakan tidak melanggar syariat.

Berdasarkan perbandingan cerita para pelaku seni tersebut, dapat kita simpulkan bahwa nyatanya masih ada segelintir orang yang belum menerima keberadaan seni dikarenakan adanya pertentangan dengan apa yang ia pikirkan. Lemahnya penafsiran masyarakat memahami seni itu sendiri justru menyebabkan seni kurang diterima dan berkembang secara pesat di Aceh, terlebih lagi yang berkaitan dengan kamp perkumpulan seni atau komunitas-komunitas seni lain yang dibentuk secara informal dan masih dianggap buang-buang waktu oleh beberapa orang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kemampuan setiap orang memahami esensi setiap seni itu berbeda namun, ada baiknya jika kita tidak saling menjatuhkan sebuah karya seni atau buah pikiran seorang seniman yang mungkin kurang kita sukai atau berbenturan dengan apa yang kita yakini.

Pada dasarnya seni itu bersifat subjektif, belum tentu segala hal yang kita sukai akan disukai orang lain maupun sebaliknya, oleh karena itu ada baiknya untuk tetap saling menghargai dan mendengarkan pendapat orang lain.

Dari sisi lain, Pemerintah sebaiknya menerapkan sikap objektif dan menjadi penengah untuk segala pertentangan yang ada. Pendekatan dapat dilakukan dengan langkah persuasif, namun tetap disampaikan dengan jelas dan bebas dari kepentingan apapun. Kita tidak dapat mengabaikan pentingnya penerapan syariat secara konkrit dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan kesenian di Aceh.

Melihat kilas balik, terdapat bentuk kelalaian aturan syariat yang diciptakan Pemerintah seperti kejadian pada beberapa konser yang pernah diselenggarakan di Aceh akhir-akhir ini. Meski sudah ditetapkan zona untuk laki-laki dan perempuan namun, pada kenyataannya hal tersebut tidak berjalan sesuai keinginan, masih ada campur baur laki-laki dan perempuan. Hal ini jelas bertentangan dengan peraturan terkait pengawalan dan kepatuhan syariat yang kemudian menimbulkan perdebatan antar masyarakat yang menghasilkan argumen pro dan kontra.

Khususnya masyarakat yang kontra menanggapi kejadian ini, mereka tentu saja mempertanyakan terkait keefektivitasan penerapan syariat dalam penyelenggaraan kegiatan seni, dalam hal ini konser tersebut. Mereka beranggapan kegiatan tersebut sebaiknya tidak dilakukan karena akan merugikan daerah Aceh. Faktanya, kelalaian tersebut idealnya tidak akan terjadi jika manajemen kegiatan dirancang lebih baik dan diiringi kesadaran individu untuk mengikuti aturan syariat. Pengontrolan dan pengawasan menjadi tolak ukur jika berkaitan dengan penyelenggaraan pertunjukan seni di Aceh ini, oleh karena itu kita tidak dapat menyalahkan salah satu pihak. Jika semua pihak mematuhi aturan dan tidak lalai, maka semuanya akan berjalan dengan baik.

Seni adalah keberagaman akan keindahan yang terus berkembang secara dinamis. Perkembangan ini mutlak menjadi fokus kita, tentang bagaimana menerima, menelaah dan memasukkan unsur budaya baru tersebut dalam ritme kehidupan sehari-hari masyarakat.

Tentunya, dalam proses menerima dan mengembangkan seni-seni baru baik tradisional maupun kontemporer di Aceh tentu perlu keterlibatan banyak pihak dalam mengawal tindakan reprensif pada masing-masing bidang kerjanya. Upaya ini dipandang perlu untuk mencegah berbagai kebobolan lainnya di bumi Serambi Mekkah.

Sejatinya, syariat dapat menjadi pagar yang sangat diperhitungkan. Sejurusnya, kolaborasi dan harmonisasi syariat dan kreativitas yang seiring dan sejalan justru menjadi suatu identitas tersendiri bagi masyarakat Aceh dimana kita akan dikenal karena berhasil membangun ekonomi dan kreativitasnya dengan tetap patuh pada kesyariatan.

Sejatinya, pro dan kontra terkait syariat yang membelenggu kreativitas merupakan fakta keliru, Aceh dengan prinsip syariat sudah menjadi kemutlakan yang harus diakui dan dihormati keberadaannya.

Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memposisikan keinginan pihak pro dan kontra pada suatu keputusan ideal dengan harapan perkembangan kesenian tidak menghancurkan syariat itu sendiri dan syariat tetap menjadi irisan penting dalam perkembangan kesenian di Aceh.

P E R F O R M A N C E S

“ A l u n a n m u s i k t e r c i p t a d a r i j i w a y a n g m e m a s o k b a n y a k c e r i t a , m e n y e l a m i p e r a y a a n s u k a d a n b a h a g i a

T a k j a r a n g , d u k a d a n l a r a t u r u t a n d i l m e n g i l h a m i n y a

M u s i k m e n j a d i p e n y e m p u r n a u n t u k r e n j a n a y a n g m u l a i l a p u k , u n t u k p e r a s a a n r i s a u d a n r e m u k s e r t a u n t u k b a h a g i a y a n g s e d a n g d i p u p u k .

This article is from: