4 minute read

Iskandar, Pegiat Seni Iskandar, Pegiat Seni dari Aceh dari Aceh (Kerja dalam (Kerja dalam Bayangan) Bayangan)

Next Article
SALAM REDAKSI

SALAM REDAKSI

Menjadi pegiat seni merupakan sebuah tindakan membangun kreativitas terutama yang jarang terekspos. Gerbang seni adalah budaya masyarakat itu sendiri. Perlahan tetapi pasti, seni mengambil peran untuk memperjuangkan ruang dan literasi. Sadar akan kehadirannya, dalam kehidupan seni dapat membuka jendela dunia karena seni mampu menggerakkan jiwa dan perasaan manusia. Ketika jendela dunia sudah terbuka, cara berpikir masyarakat kita akan maju dan keluar dari zona kemiskinan menuju kehidupan yang sejahtera.

Salah satu pegiat seni Aceh, Iskandar bin Ishak atau lebih dikenal dengan sapaan Bang Is. Pria kelahiran 06 Juni 1984 di Seulunyok, Kabupaten Aceh Utara ini mengawali karirnya sebagai relawan seni dalam literasi dan ekonomi. Sejak tahun 2017 Bang Is mendirikan Gerakan Surah Buku (GSB) yaitu kelas berbagi ilmu dan mendalami metode untuk memahami isi buku, gerakan ini sudah dilaksanakan saat beliau menempuh studi S-2 di Yogyakarta tepatnya di Institut Seni Indonesia pada bidang Pengkajian Seni setelah sebelumnya menempuh pendidikan S-1 pada bidang Desain Komunikasi Visual (DKV) di Universitas yang sama. Karena kecintaannya terhadap dunia seni, beliau melanjutkan pendidikan Doktoral di ISI Surakarta pada bidang Pengkajian Seni dan saat ini masih berstatus sebagai mahasiswa aktif.

Advertisement

Bang Is kerap kali aktif dalam berbagai organisasi dan pameran seni sehingga pernah dimandatkan sebagai Ketua Tungang Syndicat Yogyakarta (2010-2012) dan Kepala Bidang Seni Rupa di Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Provinsi Aceh (2022). Bicara pameran seni, Bang Is sendiri lebih banyak mengepakkan sayapnya di kota Yogyakarta. Menjadi seorang seniman artinya membangun masyarakat lebih peduli dan memahami pentingnya seni. Hal tersebut merupakan tanggung jawab bagi seorang seniman sekaligus beban moral, oleh sebab itu, Bang Is sepulangnya menyelesaikan S-2 dan kembali ke Tanah Rencong langsung berkontribusi dan menciptakan karya berupa gerakan yang berfokus pada seni, diantaranya:

Kamp Biawak

Melihat kurangnya minat membaca dan mengulik lebih dalam terhadap isi buku, Bang Is terinspirasi untuk melahirkan Gerakan Surah Buku (GSB) yang telah ada di kota Yogyakarta untuk dihadirkan kepada masyarakat Aceh dengan nama Kamp Biawak sebagai wadah menimba ilmu dan mencintai buku. Awalnya, kamp ini sepi peminat namun Bang Is tetap optimis hingga terbukti gerakan ini mulai terdengar akrab ditelinga mahasiswa dan masyarakat yang berada di sekitar lokasi. Banyaknya pengunjung, membuat Bang Is sebagai Founder Kamp Biawak berinisiatif untuk menyediakan menu makanan dan minuman dengan penyajian yang unik.

Terbukti dari suksesnya Kamp Biawak menarik hati masyarakat, menjadikan seni mampu berpijak dan masuk ke dalam ruang yang dinamakan ekonomi kreatif. Bang Is tidak hanya menciptakan eksistensi nama dan merk melainkan salah satu bentuk usahanya agar terus mengobarkan api semangat dan memberi penerangan pada penggiat ekonomi kreatif lainnya. Beliau percaya bahwa kunci dari berekonomi kreatif adalah kolaborasi antara pelaku seni dan pelaku ekonomi.

Terlepas dari ide untuk mengembangkan masyarakat lebih maju, sudut pandang berbeda tercetus dari beberapa golongan. Menurut mereka, Kamp Biawak patut dicurigai sebagai gerakan bawah tanah dengan maksud dan tujuan tertentu yang akan berdampak buruk pada lingkungan sosial masyarakat.

Di sisi lain, dampak dari pandemi Covid-19 mengharuskan Kamp Biawak undur diri sementara waktu dan kehilangan rasa kumpul bersama untuk diskusi maupun rasa cinta pelanggannya. Selama jeda untuk menyambut Kamp Biawak Reborn, Bang Is terus berproses untuk menemukan hal baru melalui metode eksperimental. Hal ini membuktikan kuatnya tekad beliau untuk memajukan seni di Tanah Rencong.

Kamp Konsentrasi Seni

Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar merupakan tempat pertama lahirnya kontribusi seni dari seniman Iskandar bin Ishak. Kamp ini berfokus pada seni rupa disertai dengan produksi ramah akan lingkungan.

Awalnya, beliau mengumpulkan fosil-fosil kayu yang memiliki nilai seni saat memasuki hutan di daerah tersebut. Bang Is mengatakan saat itu kamp juga melakukan kegiatan serupa seperti membedah isi buku, mempelajari seni rupa, ajang menunjukkan bakat dan tempat bersantai yang kerap kali diadakan makan bersama. Respon positif diberikan oleh mahasiswa/i yang menempuh pendidikan di Institut Seni Budaya Seni (ISBI) Aceh. Kamp ini masih aktif dan dioperasikan oleh mahasiswa yang berada di sekitar lokasi tersebut.

Saat ini, selain menjadi seorang dosen di ISBI dan juga sedang melanjutkan program pendidikan doktoral. Bang Is kerap aktif berbagi ilmu dengan memberikan pelatihan seni rupa dan berdiskusi bersama pakar-pakar kreatif dari Aceh maupun Yogyakarta untuk membangun ide baru atau hal menarik sehingga menjadikan ‘Aceh setapak’ lebih maju dalam seni, literasi dan ekonomi.

Kedepannya, Bang Is mengungkapkan bahwa ia akan tetap fokus dengan seni namun ingin mencoba hal baru dengan memperkenalkan ukiran dan pahatan khas Aceh dari zaman dahulu yang dimulai dari batu nisan dan pahatan rumah panggung “Ide ini berangkat dari mural yang sering kita temui di tembok pinggir jalan yang seringkali berbentuk gambaran biasa. Harapannya, dengan ada pameran ini menjadi bahan referensi untuk seniman mural dan desain agar menimbulkan sisi Aceh dalam karyanya.

“Kita tunggu saja niat baik ini dapat terealisasikan tahun depan,” ungkap Bang Is yang memiliki akun Instagram @acehrakitan.

Beliau berpikir bahwa daerah yang melestarikan seni dan budaya akan menumbuhkan perekonomian dan meningkatkan literasi masyarakat itu sendiri. Lebih lanjut, keinginan besarnya adalah menghilangkan julukan ‘seni eksklusif’ sehingga masyarakat merasa seni dapat dinikmati berbagai kalangan. Memegang ideologi seni “Bergerak dan Bertindak”, berbagai tantangan ia jadikan sebagai jargon kunci hidupnya. Menurutnya, mengubah perilaku kebiasaan masyarakat amatlah sulit, sebab perilaku dipengaruhi oleh pola pikir. Maka dari itu, perlu dilakukan pendekatan untuk mengubah keduanya.

(Rahman Dhafa & Ula Ariska)

M E G A

H U N T I N G

M e r e k a m j e j a k , m e n g i n g a t s e b u a h k o t a y a n g t a d i n y a d i a n g g a p s e k a d a r d e s t i n a s i w i s a t a , t e r n y a t a m e n y i m p a n s e g u d a n g k e s e d e r h a n a a n y a n g m e g a h , h i n g g a m e n y e n t u h b a g i a n p a l i n g k e c i l d a r i h a t i m a n u s i a y a n g s e u m u r h i d u p n y a s i b u k m e n c a r i - c a r i d i r i n y a s e n d i r i

C a p t i o n o l e h : U l a A r i s k a

This article is from: