SETELAH UANG PANGKAL BERLAKU SKETSA/FAHRY AMMAR MAULIDIAN
Oleh: Mukti Palupi
Suasana aksi tolak Uang Pangkal di Gedung Rektorat (GR) Universitas Jenderal Soedirman (12/07).
Pemberlakuan kebijakan Uang Pangkal di Unsoed menimbulkan reaksi beragam dari mahasiswa. Ada yang sepaham tetapi tidak sedikit yang tegas menolak. Kamis, 3 Mei 2018, Prof. Suwarto resmi menjabat sebagai Rektor Unsoed periode 2018-2022. Baru 25 hari menjabat, Prof. Suwarto sudah berani mengeluarkan produk kebijakan nonpopuler berupa Peraturan Rektor terkait pemberlakuan Uang Pangkal. (Bersambung ke halaman 4)
SEPERTI MEMBERSIHKAN CENDAWAN DI MUSIM HUJAN
K
amus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata bijak sebagai selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir. Kata bijak artinya menggunakan segenap akal budi dalam laku hidup. Dalam berpikir maupun bertindak. Bijak melahirkan kata kebijakan. Kebijakan butuh kebijaksanaan. Selang 25 hari usai pelantikan, Rektor Unsoed Suwarto meneken peraturan yang mengejutkan mahasiswa. Peraturan Rektor (PR) Unsoed bernomor KEPT. 945/UN23/
PP.01.00/2018 melegalkan Unsoed menarik dana dari mahasiswa baru jalur mandiri dalam bentuk penarikan Uang Pangkal (UP). Besaran yang sudah ditentukan terdiri dari empat kelompok, dengan sertaan kelompok kelima yang bebas diisi nominalnya. Rektor mensyarahkan bahwa besaran UP didasarkan pada kesanggupan mahasiswa. Di sinilah arti bijak itu dipertanyakan. Mahasiswa menilai besaran UP tidak ramah pada konteks kondisi ekonomi yang berlaku. Muncul juga dugaan PR itu cacat hukum. Di pihak lain, Rek-
tor beralasan penerapan UP untuk meningkatkan sarana-prasarana, aktivitas pembelajaran, dan kegiatan mahasiswa. Nominal UP berbeda tiap fakultas. Besarannya ditentukan dengan pertimbangan dekan. Itu karena kebutuhan terkait sarana-prasarana di masing-masing fakultas berbeda. Dalam aksi menolak UP (12/7) di muka Gedung Rektorat Unsoed, mahasiswa menuntut dua hal. Pertama, pencabutan PR terkait UP. Kedua, mendorong terciptanya transparansi anggaran Unsoed. Jika memang kebijakan UP tidak bisa tidak diberlakukan, tentu pimpinan mesti turut menimbang kembali filosofi pendirian Unsoed itu sendiri. Unsoed pada awal berdirinya dimaksudkan untuk memperluas akses
pendidikan masyarakat Banyumas dan sekitarnya yang waktu itu didominasi kaum petani. Kalau prinsip ini tak lagi diacuhkan, tentu muncul pertanyaan besar. Ditujukan kepada siapa pendidikan tinggi di Unsoed? Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada mulanya diterapkan dengan maksud agar tidak ada pungutan lain di luar UKT dalam hal pembiayaan pendidikan tinggi. Seluruh pembiayaan dicakup dalam satu tagihan. Dengan adanya UP, makna ketunggalan biaya itu cedera. Kemenristekdikti dalam hal ini menjadi inkonsisten terhadap kebijakannya sendiri dengan membolehkan PTN memungut biaya pendidikan di luar UKT. Sejauh pantauan lembaga pers ini, mayoritas perwakilan mahasiswa di fakultas-fakultas cenderung menolak Uang Pangkal. Namun, ada pula perwakilan mahasiswa fakultas yang menyetujui Uang Pangkal diberlakukan. Aksi menentang UP vokal digemakan. Di sisi lain, narasi berupa dukungan terhadap UP tidak nyaring bunyinya. Kecenderungan aksi menolak Uang Pangkal pada 2016 dan 2018 menunjukkan pola serupa. Tuntutannya sama: pencabutan peraturan rektor yang melegalkan UP. Namun begitu, tidak muncul tuntutan mencabut peraturan di atasnya yaitu Permenristekdikti yang menjadi dasar lahirnya peraturan rektor tentang UP. Kalau hal semacam ini terus dibiarkan, mahasiswa hanya
akan mengulang kesalahan yang sama. Mendapat lelah tetapi belum tentu mendapat hasil. Kalaupun hasilnya ada, mestilah cuma sementara. Misalnya, Aksi Tolak Uang Pangkal 2016. Aksi itu tak ubahnya membersihkan cendawan pada musim hujan. Usai aksi, SK Uang Pangkal memang dicabut. Namun, setelah aksi itu, tak ada gerakan mahasiswa menyinggung peraturan di atasnya yang berupa Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2016. Pasca-Aksi 12 Juli kemarin, UP di Unsoed masih berlaku. Alih-alih menuntut pihak kampus, mahasiswa lebih perlu mengkritik Kemenristekdikti. Mahasiswa perlu menggalang kekuatan berskala nasional untuk mencabut Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2017 kepada Menteri yang mengesahkannya. Peraturan itu menjadi landasan hukum sistem pembiayaan pendidikan tinggi di Indonesia yang memungkinkan adanya penarikan Uang Pangkal oleh PTN. Mungkin tidak mudah. Tetapi, kalau permasalahan ini dianggap serius, tentu gerakan harus segera diinisiasi. Terlepas dari bagaimana akhirnya kebijakan Uang Pangkal di Unsoed, penerapannya sekarang ini wajib dikawal. Kita mendamba pelayanan publik yang lebih transparan. Kita mendamba pelayan publik yang lebih terbuka. Kalau hal ini muncul dari kesadaran institusi, maka sudah saatnya kata keterbukaan itu boleh digaungkan ke mana-ma-
na. UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mewajibkan setiap badan publik untuk berlaku transparan dalam kerjanya. Masyarakat berhak mengakses informasi dari badan publik dengan perkecualian informasi yang dapat membahayakan negara, informasi berkaitan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat, menyinggung hak-hak pribadi, rahasia jabatan, dan informasi publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan. Informasi penggunaan anggaran Unsoed sama sekali tidak masuk perkecualian itu sehingga tidak ada alasan menutupinya dari publik. Transparansi bagi Unsoed tak ubahnya pil pahit yang mesti ditelan. Pada awalnya, barangkali tidak mengenakkan, namun ia bisa membantu penyehatan. Rektor mesti menyadari kalau penyakit birokrasi bisa muncul salah satunya karena intransparansi. Obatnya tentu saja transparansi. Transparansi barangkali bukan panasea, tetapi ia bisa meringankan gejala sakit birokrasi yang terus-terusan muncul. Pemimpin Redaksi Yoga Iswara Rudita Muhammad. Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah sikap Redaksi LPM SkĂŤtsa. Pembaca yang cerdas harus paham jika pers boleh dan harus berpihak pada situasi tertentu.
SETELAH UANG PANGKAL BERLAKU (Sambungan dari halaman 1)
K
ebijakan itu menyasar pada mahasiswa jalur mandiri mulai angkatan 2018. Pasal 8 ayat (1) huruf d Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2017 menjadi dasar penetapan Peraturan Rektor tersebut (baca “Wawancara Rektor: Rencana 4 Tahun ke Depan hingga Polemik Uang Pangkal” di halaman 7). Pada 2016, ketika Achmad Iqbal menjadi Rektor Unsoed, peraturan semacam ini sempat ditetapkan dan menimbulkan reaksi penolakan dari mahasiswa. Bahkan, sempat terjadi aksi besar-besaran sampai pada akhirnya Achmad Iqbal urung mengeksekusi kebijakan itu. Ketika libur lebaran, fail salinan Peraturan Rektor Nomor: KEPT. 945/UN23/ PP.01.00/2018 tersebar di berbagai media sosial dan mendapat perhatian dari kalangan mahasiswa Unsoed. Pasalnya, Uang Pangkal ini akan berimbas pada pembengkakkan biaya yang harus dikeluarkan mahasiswa baru untuk masuk Unsoed. Jadi, selain membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) di setiap semester, mahasiswa baru jalur mandiri juga dibebankan Uang Pangkal yang dibayarkan tunai di muka masa studi.
Pro Kontra Uang Pangkal Pemberlakuan Uang Pangkal mendapat sambutan beragam dari mahasiswa Unsoed. Ada yang sepakat tetapi tak sedikit yang memprotes. Sikap menolak ini memicu timbulnya konsolidasi pada 29 Juni lalu. Bakda isya, bertempat di Pendopo Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unsoed, acara yang difasilitasi BEM Unsoed ini dihadiri ra-
“Unsoed masih kalah dalam memainkan politik anggaran di Kementerian Keuangan.” tusan mahasiswa dari berbagai fakultas dan elemen. Sujada Abdul Malik dan Andre Soaduon menjadi pemantik. Beberapa mahasiswa mewakili fakultas masing-masing juga menyampaikan pandangan dalam lingkar diskusi terbuka itu. Para penentang Uang Pangkal menganggap Rektor melangkahi kewenangan Menteri Keuangan. Salah satunya Andre Soaduon, mahasiswa Fakultas Hukum Unsoed. Ia berpendapat penarikan Uang Pangkal harus dengan dasar kewenangan Menteri. “Yang berwenang itu Sri Mulyani,” terang Andre.
Lukas, mahasiswa Fakultas Hukum Unsoed, pun menolak. Ia berpandangan nominal Uang Pangkal yang dibayarkan mahasiswa seharusnya memerhatikan kemampuan ekonomi. Dalam hal ini pendapatan per kapita. Sedangkan, dalam Peraturan Rektor, penarikan Uang Pangkal didasarkan pada kesanggupan. Menurutnya, indikator kesanggupan ini masih kurang jelas. Andre Soaduon pun menambahkan bahwa Uang Pangkal bahkan UKT tidak memberikan sumbangsih terhadap sarana dan prasarana (sarpras) yang ada, karena sudah ada anggaran tersendiri berupa Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang ditanggung pemerintah. Sementara itu, Sujada, Presiden BEM Unsoed, berpandangan Uang Pangkal termasuk dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sehingga tarif itu masuk ke kas negara dan dikelola negara, bukan langsung masuk ke Unsoed. Setelah itu baru dibagi ke tiap perguruan tinggi melalui porsi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Dengan demikian, menurut Sujada, Uang Pangkal tidak berdampak secara langsung kepada Unsoed.
SKETSA/FAHRY AMMAR MAULIDIAN
“Di sini masalahnya, Unsoed masih kalah dalam memainkan politik anggaran di Kementerian Keuangan,” jelasnya. Reaksi sepakat terhadap Uang Pangkal awalnya dianggukkan Muhammad Maulana Rifqy, seorang mahasiswa kedokteran. Ia menjelaskan bahwa Universitas berkewajiban mengembangkan setiap fakultasnya sesuai kebutuhan. Sekarang ini, mahasiswa kedokteran merasakan fasilitas yang ada di Fakultasnya tidak sebanding dengan UKT yang terbilang besar. “Dengan UKT yang cukup besar itu rupanya mikroskop masih banyak yang buram dan masih banyak lagi hal-hal yang buat kami kecewalah istilahnya,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa kebutuhan Fakultas Kedokteran sangat tinggi yang ditambah dengan rencana biaya anggarannya yang cukup besar. Sehingga, dengan adanya Uang Pangkal perbaikan fasilitas diklaim bisa dilakukan. “Permenristekdikti dan Peraturan Rektor ini membuat kami mendapat iming-iming. Bahwa dari Dekanat akan mengajukan Uang Pangkal. Bahwa 20% untuk Rektorat dan 80% untuk kami, dengan alokasi untuk sarpras dan kemahasiswaan,” kata Rifqy meski akhirnya menolak Uang Pangkal dengan berbagai pertimbangan. Terkait presentase tersebut, Rifqy menambahkan bahwa dikabarkan tidak ada tindak lanjut dari rektorat terkait Peraturan Rektor yang berupa petunjuk pelaksanaan dan teknis, sehingga terjadi ketidakjelasan dalam pelaksanaan
Massa aksi berkumpul di muka Gedung Rektorat Universitas Jenderal Soedirman (12/7).
Uang Pangkal. Hal tersebut diungkapkan Rifqy setelah Sketsa konfirmasi. Di akhir konsolidasi, hampir semua partisipan sepakat untuk menolak kebijakan Uang Pangkal. Tuntutan Aksi Tak Terkabul, Uang Pangkal Tetap Berlaku Temu teknis lapangan digelar 11 Juli 2018, malam sebelum aksi. Mahasiswa dari berbagai fakultas, juga ragam elemen mengikuti acara yang dimulai pukul 19.30. Mereka satu suara menolak pemberlakuan Uang Pangkal. Esok harinya, pada Kamis (12/7) pukul 09.59 massa aksi dari deretan kampus belakang mulai melangkah dari Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) menuju Gedung Rektorat (GR). Dengan mengenakan jas almamater dan membawa spanduk, massa aksi bersorak-sorai meneriakkan penolakan Uang Pangkal. Terdapat dua tuntutan pokok dalam aksi, yakni pencabutan Peraturan Rektor Uang Pangkal dan terwujudnya transparansi anggaran di Unsoed.
Sampai pada pukul 10.52, seratus lebih mahasiswa Unsoed yang menyebut dirinya Aliansi Soedirman Melawan (SM) menduduki muka GR Unsoed. Latar GR menguning karena massa aksi kompak mengenakan jas almamater. Mereka memiliki satu tujuan yaitu bertemu Suwarto, orang nomor satu Unsoed. Namun, sang Profesor absen. Ia tidak ada di gedung berlantai tiga tersebut. Kabarnya simpang siur. Mulai dari pergi ke Semarang, ada yang bilang sedang di Tasikmalaya, sampai ada kabar bahwa Rektor sedang di Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan (FIKes). Koordinator SM, Muchamad Dias Anang Setiawan juga sempat menyambangi kediaman Rektor. “Nah, di rumah itu dia enggak ada, adanya anaknya doang,” katanya. Pukul 11.24, Prof. Hibnu Nugroho bersama Kuat Puji Prayitno menemui massa aksi sambil membawa surat tugas dan mengonfirmasi bahwa Rektor sedang berada di Semarang. “Sesuai dengan surat tugas
yang dibuat tanggal 9 Juli 2018, Pak Rektor, Pak Warek I, kemudian Pak Warek IV berada di Semarang. Surat tugasnya ini. Mulai Kamis sampai Jumat,” jelas Prof. Hibnu Nugroho, Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan, sembari menunjukkan surat yang dimaksud. Kuat Puji Prayitno, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, menambahkan sebelum mengeluarkan Peraturan Rektor, Unsoed telah melakukan kajian dan telaah. Begitupun mahasiswa. Ia kemudian mengajak mahasiswa untuk mengadakan forum ilmiah dalam bentuk audiensi, sehingga bila terbukti adanya kesalahan, bisa secara bersama-sama meminta pencabutan Peraturan Rektor tersebut. Akan tetapi, tawaran audiensi ditolak lantaran tidak terjadi kesepakatan antara pihak rektorat dengan massa aksi terkait teknis pelaksanaan audiensi. Pihak rektorat menginginkan audiensi hanya diikuti beberapa perwakilan mahasiswa saja, sementara massa menghendaki audiensi diikuti semua mahasiswa yang tergabung dalam aksi damai tersebut. Massa aksi juga menolak sebab mereka hanya mau menemui Rektor, bukan yang lain. Massa menganggap jika diadakan audiensi selain dengan Rektor, tak ada jaminan tuntutan mereka terpenuhi. Sebab, kewenangan membuat atau
Ilustrasi: Yoga Iswara Rudita Muhammad
membatalkan Peraturan Rektor hanya di tangan Rektor. “Terhadap persoalan ini maka ada dua cara saya kira. Pertama, yang lebih diutamakan adalah kita duduk, kemudian kita berdiskusi untuk membicarakan sejauh mana putusan-putusan Rektor itu adalah cacat secara hukum. Itu harus dibuktikan secara ilmiah. Nanti kita duduk bareng saya kira, bagaimana menyelesaikan atau membicarakan masalah,” Kuat kembali mencoba mengajak massa untuk audiensi. Akan tetapi, dari pernyataan tersebut, Sujada sebagai perwakilan massa menafsirkan bahwa Kuat menjanjikan untuk mempertemukan massa aksi dengan Rektor. “Dari statement yang saya tangkap, berarti menjanjikan kami semua untuk bertemu dengan Rektor,” tegasnya. Pada pukul 11.48, kedua Wakil Rektor meninggalkan massa dengan berpesan, “Buat surat resmi dulu, mau bertemu (Rektor-red) di mana, pukul be-
rapa,” tutup Prof. Hibnu Nugroho. Massa tetap melanjutkan aksi hingga pada pukul 13.36, lalu membubarkan diri. Aksi kali ini tak sebesar dua tahun lalu. Waktu itu, tekanan massa aksi terhadap rektorat begitu kentara. Seribu lebih mahasiswa menguningi muka GR. Massa mendesak masuk, namun dihadang satpam. Bentrok fisik tak terelakkan. Pintu kaca pecah. Beberapa orang luka-luka. Massa berdebat sengit dengan rektorat soal dasar hukum Uang Pangkal. Rektor goyah. Sampai akhirnya, ia memaklumkan pencabutan SK Uang Pangkal (baca laporan “Catatan Kemenangan Mahasiswa” di Beritaunsoed.com). Sedangkan dalam aksi kali ini, wartawan Sketsa memperkirakan massa tidak lebih dari dua ratus orang. Mereka gagal bertemu Rektor dan tuntutan belum terpenuhi, sehingga Peraturan Rektor Uang Pangkal tetap berlaku sampai tulisan ini dibuat. Meski begitu, Dias, Koordinator Aksi SM, menyampaikan tuntutan akan terus diperjuangkan. Ia juga mengatakan bahwa akan diadakan konsolidasi dan evaluasi guna menentukan langkah selanjutnya.
Reporter : Mukti Palupi, Fahry Ammar Maulidian, dan Selly Angelina.
RENCANA 4 TAHUN KE DEPAN HINGGA POLEMIK UANG PANGKAL Foto: Fahry Ammar Maulidian
Oleh : Fahry Ammar Maulidian
Rektor Prof. Suwarto saat diwawancarai di ruangannya (2/7).
U
sai dilantik pada 3 Mei 2018, Prof. Suwarto resmi menjadi Rektor Unsoed periode 2018-2022 menggantikan posisi Achmad Iqbal. Sebelum menjadi rektor, Prof. Suwarto sempat menjabat Ketua Senat sekaligus Ketua LPPM Unsoed. Senin (2/7) sekitar jam makan siang, awak Sketsa bersua Prof. Suwarto di ruangannya, di lantai tiga Gedung Rektorat. Ia membeberkan rencana kepemimpinannya 4 tahun ke depan hingga bicara menyoal isu top Unsoed, kebijakan Uang Pangkal. Berikut petikan wawancara tersebut. Sebagai rektor baru, apa yang akan Bapak lakukan 4 tahun ke depan? Yang pertama adalah bagaimana meningkatkan kualitas kelembagaan yaitu mening-
katkan akreditasi perguruan tinggi. Sekarang masih B, itu harus A. Kemudian meningkatkan akreditasi prodi-prodi, mudah-mudahan kita harapkan 80% itu terakreditasi B dan A. Kemudian meningkatkan kualitas SDM, terutama tenaga pengajar. Kita dorong yang S2 ambil S3, yang sudah lulus S3 harus cepat menjadi guru besar. Kemudian juga meningkatkan kinerja di bidang publikasi, baik itu jurnal maupun buku. Caranya bagaimana? Merangsang dosen bersama mahasiswa supaya dilibatkan. S1, S2, S3 kan wajib publikasi. Kita dampingi, kita biayai supaya menghasilkan publikasi internasional. Selain itu juga menghasilkan inovasi-inovasi yang bisa dimanfaatkan oleh dunia industri atau masyarakat. Jadi, sekarang mahasiswa pun kalau punya inovasi hasil karya nanti akan kita
fasilitasi, kita bantu supaya nanti inovasi itu bisa bernilai ekonomi. Kemudian dari segi proses belajar mengajar. Saya punya keinginan untuk bagaimana meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan kegiatan kemahasiswaan. Menurut Bapak, apa saja capaian yang paling realistis? Capaian realistis? Pertama, akreditasi institusi, yang kedua publikasi internasional kita meningkat. Tahun 2017 itu 120 publikasi. Tahun ini kita target 150 dan tiap tahun nanti meningkat. Kemudian target yang terukur adalah percepatan masa studi. Untuk S1 kan target masa studinya 4 tahun. Nah sekarang, setelah didata lebih rinci masih ada yang di atas 4 tahun. Kemudian guru besar kita meningkat. Target kita sampai tahun 2022, kira-kira dari seribu dosen yang ada, nanti kita target 8-10% itu guru besar. Nah sekarang baru 3% kurang, dari seribu dosen itu yang guru besar baru sekitar 26 dosen. Kemudian jumlah mahasiswa pascasarjana meningkat. Kita sekarang lebih banyak membuka program parcasarjana. Sarana dan prasarana (sarpras) selalu jadi permasalahan bagi mahasiswa, bagaimana pendapat Bapak? Nah, terkait dengan sarpras ini kita kesulitan. Dana dari pemerintah untuk sarpras beberapa tahun ini nol. Sumber dana
Unsoed ada tiga macam. Pertama, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Dari mana? (Salah satunya-red) sumbangan masyarakat, di peraturan boleh. Masyarakat yang merasa mampu jika ingin menyumbang, boleh. Silakan. Tapi nyumbangnya kan harus ke rekening rektor. Rekening rektor Unsoed bukan rekening pribadi, ya. Jadi dana PNBP artinya dana rupiah murni. Itu dana untuk sarpras. Itu sekarang (dana yang dari pemerintah-red) nol. Yang kedua adalah BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri). Ini untuk operasional pendidikan, kegiatan kemahasiswaan. Nah, yang jadi masalah sekarang adalah karena dana sarpras dari pemerintah enggak ada. Kita kan terpajak nih, untuk bangun gedung enggak ada dananya. Kalau kita punya, boleh menggunakan dana PNBP tadi. Tapi itu kan terbatas. SPP (UKT-red) kita kecil. Terus bisa juga mencari sumbangan dari swasta, kerjasama. Itu boleh. Itu bisa untuk mengadakan sarpras, tapi sangat terbatas. Sekarang BOPTN kita sedikit. Jadi tidak bisa untuk menunjang keseluruhan biaya operasional pendidikan maupun kemahasiswaan. Itu terbatas. Dalam mengatasi ini, kita mencoba supaya dapat dana sarpras untuk itu. Atau, kita mencari sumbangan dari masyarakat yang diizinkan peraturan untuk itu. Sumber yang lain adalah meningkatkan kinerja BPU
(Badan Pengelola Usaha). Kita diberi keleluasaan untuk mengelola tim atau mengelola sumber daya yang ada di Unsoed, tapi kuncinya satu: tidak boleh terjadi pengalihan aset seperti jual gedung, jual tanah. Tapi kalau kerja sama Unsoed, misalkan kemarin, BPU mencoba membuat produk air minum supaya nanti seluruh Unsoed khususnya mahasiswa enggak usah beli (menyebutkan salah satu merek air kemasan ternama) di luar, tapi beli produk Unsoed. Jadi itu kendalanya. Saya ce-
di Peraturan Menteri (Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017red) itu, yang boleh untuk menerima sumbangan masyarakat yang dikaitkan dengan mahasiswa, di mana? Hanya di mahasiswa yang jalur mandiri. Di SNMPTN, SBMPTN, yang bukan mandiri, itu mahasiswa masuk tanpa pungutan apa-apa kan. Tanpa sumbangan apa-apa kan. Jadi pertanyaan, apakah orang tua mereka itu boleh menyumbang Unsoed? Mereka nyumbang dalam bentuk alatalat lab, boleh enggak? Boleh.
Sekarang BOPTN kita sedikit. Jadi tidak bisa menunjang keseluruhan biaya operasional pendidikan.
rita supaya nanti Saudara paham bahwa itu toh kenapa sampai sekarang kita meningkatkan sarpras itu sulit. Terkait kebijakan Uang Pangkal yang sedang hangat, sebenarnya apa dasar pemberlakuannya? Dasar pertama adalah kondisi riil. Ingin meningkatkan kualitas sarpras. Terutama sarpras seperti laboratorium, praktikum, dan sebagainya. Kemudian keterbatasan mahasiswa untuk melakukan aktivitas-aktivitas. Sekarang kan banyak kegiatan mahasiswa yang tidak bisa didanai. Karena tidak ada dana dan mengandalkan dari BOPTN itu kurang. Dana sarpras kan enggak ada. Di sisi lain ada masyarakat kaya, tapi kalau diterima masuk Unsoed mau membantu. Nah,
Tapi di Peraturan (Peraturan Rektor Unsoed No: KEPT. 945/ UN23/PP.01.00/2018) itu, Unsoed tidak mengimbau, tidak meminta. Hanya khusus lewat yang mandiri, Unsoed meminta kepada masyarakat mampu yang mau anaknya di Unsoed. Kalau mampu untuk memberikan sumbangan dalam bentuk uang. Misalnya berapa? Uang pangkal kelompok (pilihan-red) 1, 2, 3, 4 kan per fakultas beda-beda nominalnya. Ada pilihan ke-5, mereka mengisi sendiri. Kalau mereka tidak mampu boleh enggak? Boleh. Isinya berapa? Nol. Mereka mampunya nyumbang 10 ribu boleh enggak? Boleh. Asal memiliki kemampuan akademik atau nonakademik, seperti juara lomba tingkat nasional, hafidz Quran, pernah juara MTQ, itu yang kita prioritaskan.
Kemudian kalau dia ranking satu (di seleksi jalur mandiri-red), nilainya bagus, dia berani nyumbang 300 juta, kita terima enggak? Kira-kira sebagai mahasiswa diterima enggak? Diterima kan. Jadi bagi masyarakat yang mau menyumbang Unsoed untuk kegiatan, kita tampung. Sekarang penggunaannya untuk apa? Pertama tadi, (untuk) sarpras, kegiatan olahraga, kemahasiswaan. Jadi penggunaan Uang Pangkal tadi semuanya akan dikembalikan kepada masyarakat. Ada beberapa pilihan nominal Uang Pangkal, nominalnya didasarkan pada apa? Kemampuan mereka. Besarannya yang sekian juta itu kan dari dekan. Artinya begini. Misalkan fakultas X kan rata-rata mahasiswanya dari golongan masyarakat bawah. Dia Uang Pangkalnya rendah, paling 3 juta, 4 juta. Padahal ada (juga yang-red) nol (pilihan ke-5-red). Tapi kalau yang Fakultas Kedokteran, itu kan mereka biaya operasionalnya tinggi. Nah, kalau ada masyarakat ingin nyumbang untuk anaknya kuliah, kita terima kan. Yang merasakan siapa? Seluruh mahasiswa. Mahasiswa baru, mahasiswa lama, mahasiswa yang akan lulus akan merasakan itu. Setelah Peraturan Rektor terkait Uang Pangkal ini ditetapkan, timbul gelombang protes dari mahasiswa. Bagaimana tanggapan Bapak?
Itu karena ketidaktahuan. Ketidaktahuan entah bagaimana filosofinya, bagaimana kemanfaatannya. Mereka kan tidak tahu. Pertama, tidak tahu itu uangnya ke mana larinya dan untuk siapa. Mereka pasti tanya ke situ. Wajar kan. Di perguruan tinggi milik rakyat, milik negara, kalau ada uang masuk harus tahu, jelas sumbernya, atau ke mana larinya. Saya kira itu. Dan kemungkinan ada mahasiswa yang kepenginnya selalu bedalah, mungkin menunjukkan eksisnya. Seperti contoh, saya baca itu, “UANG PANGKAL 300 JUTA, REKTORNYA SAKIT?” gitu kan. Yang disorot itu. Coba kalau mereka lihat prodinya, ada yang Uang Pangkalnya hanya 2 jutaan, Uang Pangkal pilihan ke-5 kosong (bebas mengisi nominal-red). Itu mestinya mahasiswa mengimbau kepada masyarakat, “Ayo masyarakat, nyumbang sebesar-besarnya untuk kami. Supaya proses pembelajaran dan aktivitas kami sebagai mahasiswa menjadi bertambah.” Toh, uang itu masuk dan penggunaannya jelas. Mestinya kan begitu. Mosok ada mahasiswa kuliahnya pakai (menyebut salah satu merek mobil), orang tuanya kaya raya, masuk Unsoed jalur mandiri bayar UKT 2 juta. Masa dimintai sumbangan, mau nyumbang enggak boleh. Nah, kira-kira gitu lah. Maka dari itu, kita komunikasi memberikan penjelasan. Tapi saya yakin, kalau mahasiswa sudah dapat informasi
yang seperti ini, pasti justru akan mengimbau kepada masyarakat, “Silakan UKT, Uang Pangkal sebesar-besarnya, supaya nanti kami lebih maju,” gitu kan. Berkaitan transparansi anggaran? Transparansi anggaran itu ada prosedurnya. Ada pengawasnya. Transparansi untuk per itemnya, untuk beli apa, dan berapa harganya, itu ada yang mengawasi. Ada SPI, ada BPK, dan Inspektorat. Jadi sekarang mungkin pertanyaan, mahasiswa boleh enggak sih melihat transparansi penggunaan anggaran? Ya memang SOP-nya kan tidak seperti itu. Nanti mahasiswa tanya, ini beli bolpoin berapa? Ini kuitansinya. Kacau nanti negara ini.
Reporter: Yoga Iswara R.M, Muhammad Muflih Rizqullah.
Catatan Redaksi: Hasil wawancara tidak seluruhnya termuat dalam buletin dengan alasan keterbatasan ruang. Laporan selengkapnya baca di Beritaunsoed.com dengan judul artikel yang sama.
Oleh Helda Puspitasari*
aulidian ry Ammar M Ilustrasi : Fah
Visi
Salam mimpi yang terbaca lewat gerak desir nadi yang mencabangkan akar-akar kehidupan, merapalkan senyum harapan mengalun bersama napas angin Diftong-diftong keras menggapai puncak boma melodi sarat hasrat emosi Pori-pori harum Pertiwi memekikkan seruak bumi pekuburan Detak-detak sanggul buana raya Tercium engkau pada cemerlang wajah purnama nan juwita Serbuk sari dipermainkan ia ke pucuk-pucuk rindang tubuh kokoh menopang langit Siluet dominan di kanvas agung ini Sindhung yang sembunyikan Titipkan jasadnya pada semerbak harum bangkai, samar debu yang lahap ruhnya, atau pada gemerisik tarian klorofil mengalir
*Penulis, Mahasiswa D3 Bahasa Mandarin Unsoed angkatan 2017.
@wdi8716f
0895379124152