DUGAAN TRANSAKSI BERAHI DOSEN SKETSA/YOGA ISWARA RUDITA M.
Oleh: Emerald Magma Audha
PERMENRISTEKDIKTI 55/2018: NKK/BKK JILID II, RADIKALISME KAMPUS, DAN KECEMASAN-KECEMASAN LAINNYA Oleh: Mukti Palupi
Organisasi mahasiswa ekstra kampus berunjuk rasa di dekat Alun-alun Purwokerto pada Hari Buruh (1/8/2018).
“Ketika mereka (ormek-red) yang punya darah politik itu beraktivitas di dalam kampus, apalagi dalam satu wadah (UKM PIB-red), apa bisa mereka ada dalam visi yang sama, sementara mereka mempunyai visi dan misinya masing-masing?� Apa yang ditanyakan Kuat Puji Prayitno boleh jadi menyiratkan keraguannya dalam menyikapi hadirnya Permenristekdikti 55/2018. Keraguan yang muncul di benak Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni (WR III) Unsoed itu memang beralasan. Pasalnya, kata Kuat, ormek (organisasi mahasiswa ekstra kampus) itu memang dekat dengan unsur politik. (Bersambung ke halaman 4)
KUDA-KUDA UNSOED MELAWAN RADIKALISME
B
ulan-bulan belakangan, ruang publik kita dihantui kecemasan pada sesuatu yang bernama radikalisme. Dugaan mengenai adanya kelompok-kelompok yang terpapar radikalisme menyeruak ke pemberitaan berbagai media. Pemerintah tak henti-hentinya menggaungkan bahaya radikalisme yang katanya bisa mengintai siapa saja. Tindak radikalisme berpotensi mengganggu stabilitas negara. Isu radikalisme telah menjadi kecemasan tersendiri bagi pemerintah beserta jajarannya. Terbukti, pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) pada Oktober tahun lalu mengesahkan peraturan baru menyangkut pembinaan ideologi
bangsa. Hal itu diatur dalam Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018. Seturut Menristekdikti Mohamad Nasir, Peraturan ini menjadi upaya menekan berkembangnya paham radikal dan intoleran di kampus. Disahkannya Permenristekdikti ini bak kejutan menjelang akhir tahun 2018. Bagaimana tidak, dalam peraturan tersebut, terdapat sebuah klausul yang secara substansi berubah dari peraturan yang lebih dulu berlaku: SK Dikti Nomor 26 Tahun 2002. Perubahan substansi itu terkait dilegalkannya kembali organisasi mahasiswa ekstra kampus (ormek) masuk wilayah kampus dengan catatan tak melakukan politik praktis. Dalam Peraturan lama, ormek dan
partai politik dilarang mendirikan kantor sekretariat dan bahkan dilarang memasuki wilayah kampus. Kedua Peraturan tadi melarang adanya kegiatan politik praktis di wilayah kampus. Anjuran pembentukan Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM PIB) di tiap-tiap perguruan tinggi menjadi wacana yang ramai dibahas selepas diundangkannya Permenristekdikti ini. UKM PIB diproyeksikan sebagai wadah pembinaan ideologi bangsa dan bertanggung jawab kepada pemimpin perguruan tinggi. Adapun keanggotaannya dapat melibatkan perwakilan ormek. Hingga tulisan ini terbit, belum ada kepastian dari Rektorat menyangkut bakal dibentuk
atau tidaknya UKM PIB di Unsoed. Namun demikian, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Kuat Puji Prayitno menyinyalir besar kemungkinan UKM PIB tidak akan dibentuk (Baca Laporan Utama “Permenristekdikti 55/2018: NKK/ BKK Jilid II, Radikalisme Kampus, dan Kecemasan-Kecemasan Lainnya”). Kami memandang urgensi pembentukan UKM PIB di Unsoed tidak begitu besar untuk saat ini. Oleh karenanya, UKM tersebut tidak perlu sampai dibentuk. Alasannya, untuk keperluan mewadahi pembinaan ideologi bangsa, Unsoed sebetulnya sudah memiliki sistem yang mencukupi. Misalnya, kegiatan orientasi mahasiswa baru di awal masa perkuliahan. Itu pun masih ditambah adanya mata kuliah pendidikan karakter seperti Jati Diri Unsoed, Pendidikan Pancasila, dan Kewarganegaraan. Cukup banyak ormek yang tidak sepakat dengan beberapa ketentuan yang ada dalam Permenristekdikti ini. Ketidaksepakatan itu bercokol pada klausul teknis penentuan struktur anggota UKM PIB dan klausul pertanggungjawaban organisasi secara langsung kepada pemimpin perguruan tinggi. Kalau ketentuannya demikian, tak ada garansi bahwa nantinya UKM PIB akan terbebas dari potensi pendiktean oleh pihak perguruan tinggi. Pendiktean menghanguskan ruang dialektis yang semestinya tercipta. Membentuk UKM PIB di Unsoed pada akhirnya akan menambah total pengeluaran untuk kegiatan UKM di tingkat
universitas secara keseluruhan. Tak ada kegiatan yang benar-benar tak butuh biaya, bukan? Kita juga perlu berprakira jika UKM PIB ini dibentuk, akan muncul juga kebutuhan baru yaitu menyediakan kantor sekretariat bagi UKM bersangkutan. Sampai di sini, kita perlu bertanya, ada berapa UKM tingkat universitas yang sampai sekarang tak memiliki kantor sekretariat?
“Ada satu sikap radikal yang tak ada salahnya dipraktikkan: radikal dalam berpikir.” Pada perjalanannya, bila UKM PIB jadi dibentuk di Unsoed, kuat kemungkinannya menghadapi tantangan besar: perbedaan pandangan antar-ormek. Masing-masing ormek berangkat dari pandangan yang berbeda. Kalaupun direalisasi, UKM PIB jangan sampai hanya menjadi organisasi yang anggotanya dari “situ-situ” saja. Alih-alih memikirkan rencana pendirian UKM PIB yang belum begitu mendesak, Unsoed lebih perlu berfokus pada masalah-masalah menahun yang tak kunjung terselesaikan. Di antaranya menyangkut pengupayaan institusi pendidikan yang ramah gender, optimalisasi fasilitas kampus, dan transparansi informasi perguruan tinggi. Menyoal sikap ormek di Purwokerto yang beragam, hal tersebut adalah wajar. Itu menanda-
kan demokrasi masih berjalan. Memilih untuk berserikat dan berkumpul, itu adalah hak. Akan tetapi, memilih untuk tidak berserikat dan berkumpul, adalah juga hak. Pada titik ini, keikutsertaan ormek dalam UKM PIB mesti dikembalikan pada derajat kemendesakan yang hanya diketahui masing-masing ormek. Sekilas, keluarnya Permenristekdikti tentang Pembinaan Ideologi Bangsa ini bak angin segar. Di tengah gonjang-ganjing meributkan pihak mana yang radikal dan intoleran, muncul alternatif langkah preventif. Pemerintah seolah membaca pikiran publik: musuh bersama kita adalah radikalisme! Namun begitu, tidak lantas berarti semua niatan baik itu membawa dampak yang sepenuhnya baik pula. Sejauh yang kami yakini, ada satu sikap radikal yang tak ada salahnya dipraktikkan: radikal dalam berpikir. Hal ini bermakna membawa persoalan yang dihadapi sampai tingkatan yang paling asasi. Kita tak butuh terlalu banyak mengangguk. Lebih perlu perbanyak gelengan. Namun begitu, kami sepakat bahwa radikal dalam tindakan yang berbuntut membahayakan keselamatan orang lain, itu yang harus diperangi. Pemimpin Redaksi Yoga Iswara Rudita Muhammad. Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah sikap Redaksi LPM Skëtsa. Pembaca yang cerdas harus paham jika pers boleh dan harus berpihak pada situasi tertentu.
PERMENRISTEKDIKTI 55/2018: NKK/BKK JILID II, RADIKALISME KAMPUS, DAN KECEMASAN-KECEMASAN LAINNYA (Sambungan dari halaman 1)
P
eraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 55 Tahun 2018 tentang Pembinaan. Ideologi Bangsa dalam Kegiatan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi (Permenristekdikti 55/2018) ini diundangkan pada 26 Oktober lalu. Kemudian, sehari pasca perayaan 90 tahun Sumpah Pemuda, Kemenristekdikti menggelar peluncuran Permenristekdikti ini sebagai bentuk sosialisasi. Pada acara itu, hadir perwakilan dari berbagai ormek, mulai dari GMNI, PMII, HMI, IMM, KAMMI, sampai GMKI. Jika mendalami isi Permenristekdikti ini, maka ada dua poin penting yang diatur. Pertama, kewajiban perguruan tinggi melakukan pembinaan ideologi bangsa dalam kegiatan kemahasiswaan. Pembentukan wadah bernama Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM PIB) jadi realisasinya. Nantinya, UKM PIB ini berada di bawah naungan pemimpin perguruan tinggi. Dalam keanggotaannya pun terdiri atas perwakilan dari tiap ormek di kampus. Kedua, hadirnya Permenristekdikti ini menggantikan aturan yang lama, yaitu Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional Nomor 26/DIKTI/ KEP/2002 tentang Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus (SK Dirjen Dikti 26/2002). Ini berarti SK Dirjen Dikti 26/2002 sudah tidak berlaku lagi. Meski terkait poin kedua tadi tidak diatur secara eksplisit dalam Permenristekdikti, namun hal tersebut sudah ditegaskan Menristekditkti Mohamad Nasir. Jadi, adanya Permenristekdikti ini sebagai bentuk pelegalan ormek beraktivitas di dalam kampus. Asalkan, ormek tidak membawa politik praktis—termasuk simbol ormek seperti bendera—ke kampus. Dilansir dari laman ristekdikti.go.id, Mohamad Nasir bilang, Peraturan ini diterbitkan sebagai upaya untuk menekan paham radikalisme dan intoleran yang berkembang di kampus. Hal itu turut diafirmasi melalui sebuah laporan BNPT pada Februari tahun lalu. Laporan tersebut secara gamblang menyebutkan tujuh kampus ternama yang terpapar paham radikalisme. Menyusul berlakunya Permenristekdikti ini, banyak tanggapan beredar terkait dampak berlakunya Peraturan ini. Kalau kata Rindha Widyaningsih, dosen Pancasila Unsoed, ormek selama ini me-
mang bergerak lebih bebas di luar kontrol kampus. Sulit bagi kampus—yang tidak mengenal ormek—untuk melakukan pengawasan. Justru adanya Peraturan ini malah dikhawatirkan akan memicu tumbuhnya bibit radikalisme. Selain itu, tentu ada tanggapan dari narasumber lain yang memenuhi tulisan ini. Berikut uraiannya. Ragam Sikap Ormek Purwokerto
Terbitnya Permenristekdikti 55/2018 mendapat sambutan beragam dari kalangan aktivis ormek. Tanggapan pro maupun kontra meruap. Permenristekdikti 55/2018 hanya sebuah ilusi seperti kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) pada masa rezim Soeharto. Hal itu diutarakan Prianggo Adam Kuncoro, Ketua Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Purwokerto. “Seolah-olah demokratis, seolah-olah kampus memberikan ruang, seolah-olah pemerintah menjamin kebebasan berorganisasi,” kata Adam ketika ditemui di Kantor Sekretariat FMN Cabang Purwokerto, Selasa (25/12/2018). Menurutnya, kampus harus membuka ruang seluas-luasnya terhadap kehidupan demokrasi.
Adam masih ragu pada implementasi Peraturan ini nantinya, apakah segala aspirasi mahasiswa terhadap kampus akan dipenuhi. Ia juga khawatir, kampus masih akan menskors mahasiswa yang mengkritisi kebijakan. Baginya, Permenristekdikti bukanlah jaminan tidak akan ada pembubaran kegiatan diskusi. Jika UKM PIB ini benar-benar diadakan, seturut Adam, bisa menimbulkan kanalisasi bagi setiap ormek yang berhimpun di dalamnya serta rawan diadu domba. “Secara keorganisasian kita (FMNred) tidak akan ikut di dalamnya (UKM PIB-red),” begitu tegasnya. Berseberangan dengan FMN, tanggapan kontras dilontarkan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Diponegoro (HMI Dipo) Cabang Purwokerto Romi Fredyanto. Romi menilai Permenristekdikti ini tidak bisa disamakan dengan kebijakan NKK/BKK yang dicanangkan pada masa Orde Baru (Orba). Bagi Romi, NKK/BKK kala itu lebih bersifat membatasi pergerakan mahasiswa. Kebijakan ini malah cenderung memisahkan antara pemerintah dan mahasiswa. Sehingga, hal tersebut menimbulkan kesan seolah-olah pemerintah dan mahasiswa merupakan dua hal yang sangat berbeda.
“(Akhirnya-red), NKK/BKK yang diaplikasikan terus-menerus (dampaknya-red) terngiang di pemikiran mahasiswa sekarang bahwa organisasi eksternal itu terlarang, sesat, memiliki image yang jelek,” urainya. Hal demikian berdampak pada kaderisasi ormek. Tentu kebijakan NKK/BKK ini berbeda dengan Permenristekdikti. Kendati mahasiswa terikat dengan Permenristekdikti, tetapi peraturan tersebut tidak bisa mengikat kebebasan ber-
Ilustrasi: Helda Puspitasari
pikir mahasiswa. Dalam bahasa Romi, “Kita bebas memegang ideologi yang kita yakini.” Hal lain yang membedakan, kebijakan NKK/BKK— yang didasarkan pada SK 0156/1978 tentang NKK dan SK 037/U/1979 tentang BKK—itu terbit pada masa pemerintahan otoritarian. Sedangkan, Permenristekdikti 55/2018 muncul di era pemerintahan demokrasi. Secara garis besar, HMI Cabang Purwokerto memang
sepakat dengan Permenristekdikti. Alasannya, HMI-lah salah satu ormek yang ikut merumuskan Peraturan itu. Kendati begitu, Romi bilang, HMI sepakat dengan catatan UKM PIB mesti dikelola sendiri oleh perwakilan ormek yang berhimpun di dalamnya. “Pihak luar tidak berwenang menjalankan UKM PIB ini. Rektor hanya sebagai fasilitator,” ujar Romi, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto, menutup percakapan, Rabu (26/10/2018) siang. Rupanya sikap Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Cabang Purwokerto serupa dengan sikap FMN. Itu terlihat dari pernyataan tegas Arrizal Fathurohman Nursalim selaku Kepala Departemen Kebijakan Publik KAMMI. Ia bilang, melalui pertimbangan untung dan rugi, KAMMI Cabang Purwokerto menolak Peraturan baru itu. Sikap penolakan KAMMI—khususnya terhadap UKM PIB—dilatarbelakangi adanya perbedaan visi dan misi dari setiap ormek. Fathur was-was akan ada pendiktean pemerintah. Seturutnya, lewat UKM PIB, ormek seakan dikurung dalam satu ruang yang disediakan penguasa dan di situ sangat rawan terjadi pendiktean.
“Kita itu (menjadi-red) tidak bebas dalam mengkritisi pemerintah,” kata Fathur, Kamis (27/12/2018) sore. Melihat iklim demokrasi di Unsoed yang ramai dengan ormeknya, Fathur pun khawatir gerakan-gerakan yang mengkritisi pemerintah akan dimusnahkan. Akibatnya, marwah aktivisme mahasiswa meredup. Kekhawatiran yang sama juga diucapkan dosen Ilmu Politik Unsoed Lutfi Mukhsin. Ia mengharuskan adanya kesepakatan antara mahasiswa dan perguruan tinggi bahwa tidak boleh ada penyeragaman pendapat. Mahasiswa harus diberi ruang berpendapat. Di samping ketiga ormek itu, Skëtsa juga menyambangi Kantor Sekretariat GMNI Cabang Purwokerto pada Jumat (4/1). Ornamen dinding bergambar Bung Karno menghiasi tempat kami melakukan wawancara. “Belum ada pembahasan internal (terkait Permenristekdikti-red) secara keseluruhan di Cabang GMNI Purwokerto,” kata Ketua GMNI Cabang Purwokerto Rezky Ichwan petang itu. Kendati demikian, Rezky bilang, ia pernah membahasnya bersama GMNI Jawa Tengah sebelum Produk Hukum itu terbit. Dari hasil mengawang-awang, bahasan itu melahirkan dua aspirasi. Pertama, struktur organisasi seharusnya diserahkan kepada perwakilan ormek yang berhim-
tuk dimintai analisisnya. Lutfi berkilas balik ke tahun 1978. Kala itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Jusuf memberlakukan kebijakan NKK. Lalu, kebijakan BKK menyusul setahun berikutnya. Kebijakan itu muncul dilatarbelakangi dua hal. Pertama, usaha Orba menghalangi kegiatan politik praktis dilakukan di kampus, tetapi substansinya melarang ormek masuk kampus. Yang kedua, menyoal ideologi. Lutfi bilang, saat itu kekuatan-kekuatan kiri sangat ditakuti rezim Orba. Salah satu penyebabnya, pergerakan mahasiswa yang didominasi paham-paham kiri sangat kukuh bergejolak menentang kebijakan rezim. Contohnya saja peristiwa Malari, gerakan golput, dan Dari Kiri Menuju Kanan banyak peristiwa lain sebelum Berbicara UKM PIB, keluarnya radikal. kebijakan NKK/ Dulu, kekuatan kirike-dianggap banyakan narasumber yang BKK. Belakangan, kekuatan kanan malah lebih “(Jadi-red), pendorongnya adaSkëtsa temui menyangkutpautdicurigai. kannya dengan kebijakan NKK/ lah aktivis kampus yang banyak BKK. Mereka khawatir UKM dipengaruhi gagasan-gagasan PIB menjadi bentuk kontrol pe- kiri,” ungkap Lutfi. Lutfi pun membeberkan, merintah seperti NKK/BKK di pada tahun ‘60-an, muncul zaman Orba. Kemudian, Skëtsa meminta gerakan CGMI (Consentrasi dosen Pancasila dan dosen Gerakan Mahasiswa Indonesia) Ilmu Politik untuk membagi yang dikenal dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Ia perspektifnya terkait hal ini. Skëtsa menemui Lutfi menjadi salah satu ormek yang Mukhsin, M.A., Ph.D. di Ruang sangat kuat pengaruhnya, termaDosen Jurusan Ilmu Politik pada suk di Unsoed. “Ada beberapa tokoh senior Kamis (27/12/2018) sore. Dosen Unsoed yang juga terafiliasi lulusan Australian National University ini tampak siap un- dengan CGMI,” ujar Lutfi tanpa merinci nama-nama tokoh itu. pun di dalamnya. Hal ini dilakukan demi menghindari konflik horizontal antar-ormek. Caranya, kepengurusan dibentuk sendiri oleh presidium murni yang beranggotakan perwakilan setiap ormek. Perwakilan itu merupakan hasil musyawarah tiap ormek. Kedua, mengenai jalannya organisasi, urusannya dikembalikan kepada setiap perwakilan yang ada dalam struktur organisasi UKM PIB itu. “Jadi, pergerakannya ditentukan oleh kita (perwakilan ormek-red) sendiri yang mengisi UKM PIB itu,” tutup Rezky.
“Dulu, kekuatan kiri dianggap radikal. Belakangan, kekuatan kanan malah lebih dicurigai.”
Ia menyoroti adanya pergeseran makna radikal antara rezim Orba dan sekarang. Dulu, kekuatan kiri dianggap radikal. Belakangan, kekuatan kanan malah lebih dicurigai. Ia menambahkan, matinya ideologi kiri di kampus pada era Orba secara tidak langsung melahirkan kekuatan tandingannya. Saat Orba berkuasa, mahasiswa yang berorganisasi dianggap radikal. Mereka yang tidak ingin dicap radikal, mencari tempat lain yang tak tersentuh kekuasaan pemerintah. Misalnya tempat ibadah. Perlahan, gerakan ini tumbuh bak cendawan di musim hujan. “Karena diskusi-diskusi tentang marxisme, gagasan-gagasan progresif-revolusioner itu dipecahpecah,” sambung Lutfi, “kemudian ada satu (gerakan-red) yang tidak akan ditakuti yaitu gerakan untuk menjadi ‘saleh’.” Terkait gerakan itu, ia mencontohkan gerakan Shalahuddin di UGM, Salman di ITB, dan Arif Rahman Hakim di UI. Gerakan-gerakan tersebut berbasis di masjid yang kemudian melahirkan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan KAMMI. Kali ini, giliran dosen Pancasila Unsoed Rindha Widyaningsih, S. Fil, M.A. memberikan pandangannya. Ditemui di Fakultas Ilmu Budaya Unsoed, ia mengapresiasi adanya Permenristekdikti baru itu. Cuma, ada kritik terhadap Peraturan ini yang ia nilai masih kurang penjelasan secara mendetail terkait wujud UKM PIB. Sarannya, bagian implementasi dari Peraturan itu mesti diperjelas.
Apabila menilik segi historisnya, Rindha bilang, ada semacam trauma terhadap kebijakan NKK/BKK. Alih-alih menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, ketika itu rezim Orba malah menjadikannya sebagai tafsir tunggal. Padahal, menurut Rindha, adanya asas tunggal Pancasila ini sebenarnya diperlukan untuk menangkal masuknya ideologi luar. Sebab, ketika sebuah ideologi masuk akan sangat sulit dihilangkan. “Ideologi itu ada di hati dan pikiran, meskipun organisasinya dihapus, ideologi itu tetap ada. Jadi, kalau mau memberantas ideologi, itu (harus-red) dengan ideologi, tidak bisa represif,” jelasnya. Radikalisme di Kampus Unsoed Di penghujung 2018, Skëtsa mewawancarai Kuat Puji Prayitno, WR III, di ruang kerjanya di lantai tiga Gedung Rektorat Unsoed. Skëtsa bertanya kepada Kuat soal sikap Unsoed dalam merespon Permenristekdikti 55/2018. Ternyata belum ada bahasan dalam rapat di tingkat rektorat. Sehingga, Unsoed belum bisa menentukan sikap. Meski demikian, Kuat mengatakan, besar kemungkinan Unsoed tak bakal membentuk UKM PIB. Alasannya, sifat mengikat dari pembentukan UKM PIB hanya berupa anjuran. Seturut Kuat, Unsoed masih perlu menimbang dari berbagai aspek. “Kita akan mempertimbangkan urgensinya, kemanfaatannya,
tingkat keseriusannya, tingkat kebutuhannya,” sambung Kuat, Senin (31/12/2018). Kalau memang urgensi Permenristekdikti ini untuk menangkal radikalisme dan intoleransi di kampus, Kuat menilai Unsoed masih dalam keadaan yang kondusif. Kemunculan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada radikalisme pun ia nilai masih belum mencapai tingkatan yang mengkhawatirkan. Pernah santer sebuah kabar jika ada dosen Unsoed yang ikut bergabung ISIS pada 2015 lalu. Terkait hal itu, Kuat menjabarkan, dosen tersebut menyadari bahwa pahamnya itu tidak bisa dihidupkan di lingkungan Unsoed, sehingga dengan sendirinya ia pergi keluar. Untuk menangkal radikalisme, Unsoed punya beberapa program pendukung. Ia mencontohkan program orientasi mahasiswa di awal masa perkuliahan. Selain itu, Unsoed juga mengadakan mata kuliah berupa pendidikan karakter seperti Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan, dan Jati Diri Unsoed. “Jika kita sudah punya alat yang efektif, kenapa tidak dikuatkan saja itu, daripada mengambil sesuatu yang kita belum tentu tahu efektivitasnya,” tandasnya menutup percakapan siang itu.
Reporter: Mukti Palupi, Yoga Iswara Rudita Muhammad, Aziz Dwi Apriyanto, dan Widya Marsepti Harista.
Ahmad Tohari: Saya Berpolitik dalam Karya Sastra Oleh: Mukti Palupi
A
hmad Tohari terbilang tua. Pria kelahiran 13 Juni 1948 ini identik dengan karya-karya yang selalu mengangkat tema lokalitas. Trilogi terkenal Rongggeng Dukuh Paruk membuat namanya ikut melambung. Berbagai penghargaan telah diraihnya, mulai dari nasional sampai tingkat ASEAN. Kendati sudah menginjak usia 70 tahun, ia masih aktif di dunia kesusasteraan. Terakhir, Tohari menerbitkan buku Sastra Itu Sederhana. Selain itu, ia pun sedang mengasuh majalah Ancas, sebuah majalah berlanggam Banyumasan. Pada Juni lalu, ia diberi apresiasi berupa pembangunan Taman Sastra Ahmad Tohari di Agro Karang Panginyongan, Cilongok, Kabupaten Banyumas.
.
ita M Rud ara a Isw : Yog Foto
Budayawan Ahmad Tohari
Kamis (18/10), kami berkesempatan untuk menemui Ahmad Tohari di kantor Ancas, di Pancurawis, Purwokerto. Ia membagi perspektifnya seputar sastra dan tahun politik. Berikut petikan wawancara kami dengan Ahmad Tohari. Sejak kapan Anda mengenal sastra? Saya mengenal sastra sejak amat dini. Percaya (kalau) saya mengenal sastra sebelum sekolah? Dongeng itu sastra. Sastra lisan. Dan anak-anak sekarang, ibu-ibu sekarang, guru-guru sekarang tidak suka mendongeng. Tradisi mendongeng sudah habis. Padahal tradisi dongeng itu langkah pertama menuju literasi sastra. Kemudian bicara soal warna, warna sastra Indonesia sekarang seperti apa? Kalau saya melihat, sastra Indonesia sekarang itu lebih ke arah melebar. Artinya luas tetapi tidak mendalam. Begini, tidak mendalam itu, tidak mengenai pikiran-pikiran yang besar. Yang menyenangkan saja atau yang menggembirakan saja, seperti sastra populer, tetapi pembacanya banyak. Sementara dulu, zaman saya kan ada idealisme. Jadi, pengin yang bisa memberikan pengkayaan jiwa kepada pembaca. Jadi, sekarang lebih melebar. Ibarat cor-coran satu ember, kalau zaman saya itu dibikin pilar,
jadi masuk ke dalam. Kalau sekarang itu disebar jadi melebar. Lalu, lebih ke arah pragmatis, tanpa idealisme. Sing penting payu, sing penting ana penerbit yang menerima. Lalu, menjual atau diterbitkan sejenis, sing penting payu, bagaimana selera pasar. Apakah itu salah? Ya, tidak (salah). Jadi, orang menulis itu diniati cari uang banget gitu. Saya pernah ngeri, dan kaget ketika seorang penulis muda mengatakan,“Bagi saya menulis itu setiap kata harus jadi uang.� Haduh, ya haknya dia, tetapi saya ngeri. Menurut Anda seberapa penting sastra itu tidak berjarak dengan realitas, karena ada yang menganggap kalau sastra harusnya tidak berjarak dengan realitas? Oh, tidak. Sastra macam-macam. Aliran saya memang aliran realisme namanya. Jadi, memang tidak berjarak. Kelihatan itu ada kemungkinannya terjadi di alam nyata. Ronggeng Dukuh Paruk itu kan memang dari pengalaman peristiwa G30S, itu hal yang nyata. Tetapi saya kemas menjadi teks fiksi. Ada yang sepenuhnya lamunan. Banyak kok. Misal, cerita-ceritanya Pak Budi Dharma, cerpen-cerpennya itu banyak yang memang surealis. Itu juga bagus juga kok karena teks-teksnya juga kadang mengejutkan jiwa kita. Walaupun itu tidak mungkin terjadi pada alam nyata. Nah, macam-macam. Jadi ndak papa. Juga ada misalnya FLP (Forum Lingkar Pena), itu kan sastra jilbab, sastra islami. Ya, silakan saja. Silakan kembangkan menurut apa maumu. Nanti masyarakat yang akan
menilai. Nah, masyarakat yang menjadi hakim. Bagaimana Anda sebagai seorang sastrawan memandang orisinalitas? Karena apa yang kita kerjakan pernah juga dikerjakan oleh orang lain. Betul. Jadi orang enggak usah sok origin. Saya ini dicetak oleh sekian puluh sastrawan yang karyanya saya baca. Mengerti? Ngomong asli, apane yang asli, gitu lo. Kalau kamu sempat beli, baca namanya The Tortilla Flat atau Dataran Tortilla (oleh) John Steinbeck. Lalu, baca Ronggeng Dukuh Paruk, akan terasa nuansa yang sama. Akan terasa gayanya akan mirip-mirip. Apa itu plagiat? Ya, sama sekali tidak karena Tortila Flat terjadi di Amerika, Pantai Barat. Ini terjadi di Dukuh Paruk. Namanya lain, tetapi gayanya sama. Terutama gaya soal kemiskinan dan kepornoan. Gaya bahasa saya itu, kalau kamu baca Mochtar Lubis, kalimatnya pendek-pendek, sangat nalar, sangat logis, dan mempertimbangkan irama. Kadang saya meniru Chairil Anwar, kalimatnya gagah. Tetapi, kadang-kadang saya meniru si penyair Sumatera Timur yang sangat halus lembut bahasanya, Buya Hamka. Nah, saya murid mereka, kenapa? Orisinalitas tahi kucing. Ndak ada. Di bawah langit itu enggak ada sesuatu yang baru. Peribahasanya begitu. Jadi, begitulah kesusasteraan. Tapi jangan nyontek, jangan plagiat dong. Plagiat itu kalimat-kalimatnya sama, jalan ceritanya sama, ya, plagiat kalau itu. Pekerjaan busuk.
Banyak yang bilang karya Anda mengangkat lokalitas. Kenapa? Ya, saya kira itu pengalaman hidup saya. Jadi saya sangat akrab dengan masa anak-anak saya yang tentu saja lokalitas banget. Padang gembalaan, lumpur sawah, belalang. Itu muncul kembali ketika saya menulis, satu. Yang kedua, saya santri. Itu tanaman, itu binatang, itu bahkan tahi sapi, ya milik Allah. Lahuu maa fissamaawaati wa maa fil ardh. Itu capung, itu milik Allah lo, ya. Sadar enggak kamu? Siapa yang menggerakan capung itu? Nah, sadarkan pembaca. Jadi, ketika saya melukiskan latar alam yang sangat detail itu karena saya sedang memuji Allah. Bedakan dengan pengarang yang ateis. Jadi, tulisan Anda itu kejadian nyata? Bukan begitu. Berangkat atau terinspirasi oleh kejadian nyata. Yang benar begitu. Bicara tentang Ronggeng Dukuh Paruk, belakangan ini komunisme sedang ramai. Apalagi berkaitan dengan tahun-tahun politik. Menurut Anda bagaimana? Jadi, pada pra-‘66, Partai Komunis Indonesia ini partai legal. Partai yang sah. Dibubarkan pada tahun ‘66 karena peristiwa ‘65. Jadi, saya melihat dari aspek kemanusiaan, bukan dari aspek politik. Yang saya sangat sedih adalah orang-orang PKI atau yang dianggap PKI dibunuhi dengan sangat kejam. Saya memberontak. Walaupun saya orang NU. Kenapa harus dibunuh seperti itu?
Walaupun saya SMA kelas sebelas, sudah nonton orang dibunuh. Peristiwa pembunuhan atau eksekusi itu luar biasa kejamnya, hanya bisa dibandingkan dengan kekejaman NAZI. Makanya saya ndak nonton “The Act of Killing”. Saya enggak mau. Pasti kalah dengan apa yang saya lihat secara nyata. Film itu kan rekayasa, saya melihat yang nyata. Gila. Indonesia gila. Jadi, saya atas nama kemanusiaan saya seperti memberikan simpati kepada orangorang komunis yang dibunuh tanpa pengadilan. Atas nama kemanusiaan, bukan atas nama komunis, saya orang NU kok. Walaupun saya tetap dituduh PKI oleh tentara. Anda berpolitik untuk sastra atau bersastra untuk politik? Saya orang yang tidak percaya kepada semua partai, saat ini. Makanya saya nanti pemilu tidak akan memilih legislatif. Tidak. Saya hanya akan memilih presiden saja. Jadi, kalau begitu saya berpolitik dalam karya sastra. Itu dari softpolitics. Politik untuk kemanusiaan, politik untuk keadilan, bukan politik untuk mencari kuasa dan untuk mencari duit. Jelas, ya?
Reporter: Mukti Palupi dan Yoga Iswara Rudita Muhammad
Catatan Redaksi: Hasil wawancara tidak seluruhnya termuat dalam buletin dengan alasan keterbatasan ruang. Laporan selengkapnya baca di Beritaunsoed.com dengan judul artikel yang sama.
Oleh: Emerald Magma Audha*
Gejala pamrih makin hiruk. Manusia mengutuki diri sebagai makhluk yang pamrih. Selalu. Beriman sejatinya bisa jadi penawar. Tapi muskil sebagai penawar yang jernih. Ia dipakai sebagai pembenar yang pamrih. Mulailah. Kelokan-kelokan dogma menjabarkan sejak surga bagai yang mengasyikkan: bersungai susu. Berkolam madu. Aliran arak dan biduan bidadari. Yang, baunya. Dan suaranya, liuk lampainya sudah bikin gejolak. Dan seperti puasa, sembahyang. Tersembunyi pretensi tanpa tepi dalam lakunya. Atau dalam yang radikal, apa saja akan ditunaikan: meledakkan diri dan membunuh sesama. Demi hadiah yang memikat itu, yang memajalkan jiwa: Surga. Ibadah jadi laku yang pamrih. Bertuhan penuh kalkulasi. Ketaatan berorientasi investasi. Doa-doa mentah merapalkan pretensi. Dendang munajat terselip hipokrisi. Fiil-fiil demikian adalah kelaziman dan dilazimkan. “Akan kubakar hadiah surga, dan kupadamkan api neraka,“ Rabiah al-Adawiyyah bersajak, “mereka menghalangi jalan ke Allah.”
Ilustrasi: Helda Puspitasari
Pamrih
Sajak ia menyentak kelaziman, ia penyadaran berbalut ironi. Ia mendedahkan ibadah yang pamrih: iman yang kekanak-kanakan. Keikhlasan kepada Tuhan telah lingsir, bersujud tak sepenuhnya cinta, ketulusan ditelan resesi. Kepamrihan meluruhkannya. Jika sajak yang kutulis ini sebuah dosa. Akan kupersembahkan dosa yang ikhlas ini untuk Tuhan. Tuhan Maha yang tak pamrih. Seorang ateis pun menceletuk, “Sudahlah, tak perlu ruwet, yang penting kita beramal baik sajalah. Bantulah sesama dengan ikhlas. Itu sudah cukup,” nasihatnya seraya bermimik bangga, dan memelas pujian.
Purwokerto, 5 Juni 2018. *Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Unsoed yang sedang belajar bikin puisi.