DUGAAN TRANSAKSI BERAHI DOSEN
SKETSA/MARITA DWI ASRIYANI
Oleh: Emerald Magma Audha
Suasana patung kuda Universitas Jenderal Soedirman, Selasa (25/7).
Pada awal semester gasal lalu, ada sebuah selentingan yang ramai diperbincangkan. Selentingan mulai tersebar sejak Agustus 2017. Foto screenshot percakapan salah satu dosen Fakultas Hukum (FH) dengan seorang yang diduga “wanita panggilan� via direct message di Instagram mulai beredar di kalangan mahasiswa Unsoed, terlebih di FH. (Bersambung ke halaman 4)
@wdi8716f
0895379124152
CITRA I
su yang kami angkat dalam laporan bertajuk “Dugaan Transaksi Berahi Dosen” memanglah isu lama. Reportase dalam laporan itu pun sudah lama kami lakukan. Kendati begitu, ia bukanlah isu yang usang. Kami memandang isu ini masih penting untuk kami angkat. Di antara pertimbangan lain, ada beberapa pertimbangan yang jadi pegangan kami untuk tetap menyajikan isu ini. Pertama, sejauh pengamatan kami, belum ada satu pun media—baik itu persma, media lokal, maupun media lain—yang mewartakan isu ini. Entah dalam bentuk laporan lempeng ataupun laporan panjang. Yang ada, isu ini direproduksi melalui gosip-gosip yang tak jelas juntrungnya kemana. Kabar angin demikian yang kadung meniup isu ini ke berbagai arah: dari
Unsoed sampai ke luar Unsoed. Kami yakin, hampir mayoritas sivitas Unsoed—mahasiswa, dosen, hingga birokrat—tahu isu ini, dari mulut ke mulut. Isu yang dibingkai melalui seliweran gosip belaka cenderung hanya memungut remah-remah informasi. Reproduksi isu yang demikian bisa berpotensi memunculkan misinformasi. Atas dasar itu, kami berusaha menyajikan laporan terkait isu ini secara jernih agar masyarakat (kampus) tak lagi terjebak dalam arus misinformasi. Melalui laporan tersebut pula, ada harapan kami, pembaca bisa terbantu dalam menyikapi isu secara bijak dan kritis. Dalam penyajian laporan pun sebisa mungkin tidak memuat tendensi menghakimi atau menjatuhkan nama baik. Penambahan frasa “dugaan” serta tidak menyebut
nama dosen dan wanita secara gamblang dalam laporan adalah salah satu cara menghindari tendensi tersebut. Kami berusaha berlaku sesuai etika jurnalistik. Kami menilai soal transaksi berahi dengan pekerja seks bukanlah bentuk pelecehan seksual. Ini lebih pada urusan citra moral dosen. Meski bisnis prostitusi terkait isu seksisme atau termasuk bentuk eksploitasi tubuh perempuan, tapi ini soal lain. Hanya dari ulahnya hendak bertransaksi berahi, kami tak ingin langsung menyebut moral dosen terkait sebagai moral “buruk”. Apa yang moral tak lantas begitu saja bisa disederhanakan “hitam” dan “putih”. Sebab, tulis Goenawan Mohamad dalam caping “The Joker”, apa yang moral justru menerima “nuansa”. Sebagai personal dirinya, kami bahkan tak ambil pusing soal bagaimana perangainya, atau sudah berapa kali lendir-lendir berahi yang ia hendak beli, ataupun apa-apa saja lakunya dalam
kehidupan pribadi sehari-hari. Tentu itu haknya sebagai pribadi. Namun begitu, karena ia menyandang status “dosen”, tentu menjadi lain. Dosen sebagai salah satu keprofesian selalu ada tuntutan berkode etik. Dosen pula sebagai tenaga pendidik—ada amanah untuk menyelipkan ajaran moral kepada mahasiswa, bukan cuma keilmuan. Apalagi profesi dosen selalu bersinggungan dengan kepentingan banyak mahasiswa, dengan banyak pihak. Bisa dibilang, dosen itu semacam sosok figur: jadi contoh sekaligus panutan banyak orang—terkhusus mahasiswa. Entah siapapun dosennya, tuntutan-tuntutan demikian yang akan selalu melekat selama seseorang berstatus dosen, bahkan setelah purna sekalipun. Dan itu mesti ditunaikan. Sebagaimana kata Prof. Maman, betapa pentingnya citra moral bagi setiap dosen. Di sisi lain. Dari isu transaksi berahi dosen barangkali jadi pemantik bagi mahasiswa untuk berani membuka isu lain: pelecehan seksual yang kerap mereka alami. Salah satunya terlihat dari aksi simbolik pada 19/9/2017. Suara dalam aksi bukan sekadar nonsens. Ia menjadi tengara: seksisme dan misogini yang bisa berujung pelecehan seksual masih terjadi di kultur akademik sini. Ini pengalaman, contoh bentuk nyatanya, ada seorang dosen menggunakan candaan begini dalam kuliahnya: “Itu mahasiswi yang telat, perkosa saja!”. Dan, hampir seisi ruang kelas terta-
wa. Mereka jelas menyadari itu semua, tapi mereka cenderung memilih permisif. Kenapa masih bisa tertawa? Rupanya kultur akademik sini masih nyaman dalam dekapan patriarki. Masalah begini yang harus jadi perhatian sekaligus koreksi bagi kampus Unsoed. Kampus mesti mampu mewujudkan proses akademik bebas dari segala kontaminasi seksisme dan misogini hingga pelecehan. Baik dosen, mahasiswa, maupun stakeholder lain ikut bertanggung jawab menciptakan kondisi ini. Ini pertimbangan kedua kami, agar kampus segera mengambil langkah. Ada banyak cara melawan penyakit seksisme dan misogini. Diskursus seputar feminisme yang hingga sekarang masih dijumpai di lingkaran mahasiswa, adalah salah satu cara mahasiswa melawan penyakit ini. Upaya Kampus bagaimana? Narasi lain. Kampus mesti paham bahwa relasi antara dosen dan mahasiswa begitu timpang. Dosenlah yang berkuasa menentukan nasib hasil akademik mahasiswa. Jika kuasa itu tak dibarengi kearifan dosen, maka bisa muncul perlakuan diskriminatif sampai pelecehan mahasiswa. Posisi mahasiswa cenderung lebih rentan sebagai korban. Bisa jadi kita pernah dengar kabar dari kampus lain, ada oknum dosen memakai dalih semacam ini: “Mau nilai bagus? Ena-ena dulu sama saya”. Hal demikian bukan barang baru di dunia akademik. Ketimpangan relasi itu yang perlu jadi perhatian sekaligus pengawasan kampus. Semoga di Unsoed tak
ada seperti itu. Namun, siapa tahu? Melalui laporan itu pula tak ada tendensi merusak citra kampus. Ia justru berguna sebagai koreksi bagi Unsoed agar berbenah membangun kembali citra yang kadung tercemar oleh seliweran gosip. Juga agar masyarakat luar ikut mengawasi Unsoed dalam menyelenggarakan proses akademik. Pengawasan terhadap potensi-potensi pelecehan (yang barangkali masih ada yang tersembunyi, semoga tidak) di kampus ini, adalah tanggung jawab semua stakeholder terkait. Dan, satu pesan untuk mahasiswa yang mungkin pernah mengalami perlakuan diskriminatif hingga bertendensi seksisme dan misogini bahkan pelecehan: jangan takut bersuara! Mendiamkan sama saja melanggengkan penyakit ini. Satu weling lagi. Unsoed jangan terlalu sibuk mengurusi citra bagian luar. Sementara citra bagian dalam saja—seperti intransparansi, birokrasi lamban, dan sebagainya, tampaknya masih bermasalah. Apa gunanya berkutat menjaga citra bagian luar sedangkan citra bagian dalam saja masih terlihat noda-noda, dan usaha membersihkannya pun belum tampak maksimal. Begitu. Emerald Magma Audha Pemimpin Redaksi LPM Skëtsa 2017 Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah sikap Redaksi LPM Skëtsa. Pembaca yang cerdas harus paham jika pers boleh dan harus berpihak pada situasi tertentu.
DUGAAN TRANSAKSI BERAHI DOSEN (Sambungan dari halaman 1)
W
anita tersebut mengunggah foto screenshot itu di akun Instagramnya sambil menandai akun Instagram Unsoed, lokasi Fakultas Hukum Unsoed, serta memakai bermacam tagar yang berlabel Unsoed. Ia juga menandai akun Instagram dosen bersangkutan. Selentingan itu sudah mulai terdengar di lingkaran dosen kampus FH, bahkan sudah sampai di telinga para dekanat dan jajaran rektorat. Tak pelak, kendati belum ada bukti kebenaran dari selentingan tadi, sudah mulai bermunculan berbagai kritik dan pernyataan sikap dari para mahasiswa. Saya mulai tahu selentingan itu pada medio Agustus 2017. Lantas, saya pun langsung menilik akun Instagram wanita tadi. Unggahan foto screenshot tersebut masih ada, tertanggal 6 Agustus 2017. Dalam screenshot percakapan antara dosen berinisial A dengan wanita tersebut, berisi transaksi berahi seperti jumlah harga yang harus dibayar dan “servis” yang diberikan, juga lokasi “main”-nya. Pada akhir Agustus, saya mencoba mengecek unggahan itu lagi di Instagram. Namun, ternyata unggahan itu sudah dihapus. Akun Instagram wanita tersebut tak dapat lagi dilacak.
Kemudian, Skëtsa pun meminta klarifikasi perihal selentingan tadi kepada dosen A. Dengan santai, ia menyangkal bahwa ia terlibat percakapan dalam screenshot tadi, “Ya enggak mungkin sama sekali, saya juga orang Purwokerto,” begitu katanya saat ditemui di kampus FH pada Senin (4/9/2017). Ia pun mengaku jika percakapan yang termuat dalam screen-
(Presiden BEM FH 2017),” katanya. Laporan itu berisi bukti screenshot percakapan. Prof. Maman juga sudah mengobrol dengan Rektor Achmad Iqbal soal dugaan transaksi berahi yang dilakukan salah satu dosen di Fakultasnya. Mengenai tindak lanjut dari laporan tadi, ia masih perlu berkonsultasi lagi dengan Rektor. Mahasiswa pun sudah menanyakan terkait tin-
“Sudah membenarkan. Apa yang ada di dalam viral itu memang beliau yang melakukannya, bukan orang lain.” shot itu bukanlah dirinya. “Ya itu keliru, logikanya kan enggak mungkin seperti itu,” sambungnya lagi, “kalau saya bodoh amat ada isu seperti itu.” Syahdan, wartawan Skëtsa menjumpai Dekan FH pada Senin (11/9/2017) siang di ruang kerjanya di kampus FH. Ialah Prof. Ade Maman Suherman, Dekan FH yang baru dilantik pada 14 Juli 2017. Terkait selentingan tadi, Prof. Maman sudah mengetahuinya. Bahkan dosen-dosen lain pun sering menanyakan itu kepadanya. Ternyata, ia pun sudah menerima laporan tertulis dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH. “Laporan itu dari Fathur
dak lanjut dari laporan itu. Sebagai dekan, ia keberatan dengan kelakuan wanita yang memviralkan screenshot percakapan tersebut. “Masalah siapa yang terlapor (dosen A) ya masalah lain,” lanjut Maman, “cuman yang memunculkan nama FH Unsoed itu kan perempuan itu.” Soal sanksi, dosen terkait akan mendapat sanksi minimal sedang jika kasusnya terbukti benar. “Kalau (sanksi) ringan ini tidak mungkin. Saya sendiri mengatakan (kasus) ini (berupa sanksi) berat,” tegas Maman. Adakah laporan lagi selain dari BEM FH? Ia mengatakan belum ada, “Cuma satu itu (dari
BEM FH).” Jika ingin kasus tersebut cepat ditindaklanjuti, ia menyarankan kepada mahasiswa atau pihak lain agar ikut mengajukan laporan tertulis. Organisasi mahasiswa dari fakultas lain atau di tingkat universitas juga bisa mengajukan laporan. Sebab, kata Maman, kasus itu tidak hanya berpotensi mencemarkan nama baik FH, tetapi juga nama Unsoed. “Kalau ada satu lagi (laporan), kan lebih kuat lagi. Itu akan saya tunjukkan pada yang bersangkutan (dosen A).” Isi laporan dari BEM FH, sebagaimana diungkapkan Presiden BEM FH Arrizal Fathurrohman, pada intinya juga berupa nota keberatan BEM FH. Inisiasi laporan tadi bermula dari keresahan sebagian mahasiswa FH—bahkan mahasiswa fakultas lain—yang BEM FH terima. Bukan cuma dari desakan mahasiswa, keberatan dari “... beberapa dosen (FH) terutama dosen yang selama ini vokal terhadap masalah gender,” kata Fathur (14/9/2017), juga BEM FH tampung. Atas pertimbangan itu, pada akhir Agustus 2017, BEM FH melayangkan laporan tersebut langsung kepada Dekan FH. Skëtsa kembali menemui Dekan pada Jumat (15/9/2017) guna menanyakan progres tindak lanjut dari kasus dosen A. Prof. Maman berniat memanggil dosen terkait secara formal melalui surat pemanggilan. “Kita manggilnya secara mediasi aja,” katanya.
Aksi simbolik “Penolakan Pelecehan Seksual di Kampus” pada Selasa (19/9/2017). Foto diambil dari akun ofisial Line BEM FH Unsoed.
Kode Etik Dosen dan Dewan Etik Ada aturan kode etik dosen berlaku di Unsoed: Peraturan Rektor Nomor 09 Tahun 2013 tentang Kode Etik Dosen (PR). Bentuk pelanggaran kode etik dalam aturan tadi, di antara hal lain: bersikap dan bertindak mencemarkan nama baik Universitas dan melakukan pelanggaran susila dalam bentuk perkataan, tulisan, gambar, ataupun tindakan. Kode Etik tadi mewajibkan dosen untuk memberi teladan kepada mahasiswa. Salah satu amanat lain: menjaga kehormatan diri dengan berkata dan bertindak tidak melanggar norma susila, kesopanan, dan kepatutan dalam masyarakat. Mengenai hubungan dosen dengan mahasiswa hingga dosen dengan Universitas pun diatur dalam Kode Etik. Dalam PR, ada sebuah lembaga independen untuk mengawasi pelaksanaan kode etik dosen: Dewan Etik. Anggota Dewan Etik berjumlah lima dosen tetap dengan jabatan guru
besar atau minimal lektor kepala. Keanggotaan Dewan Etik dipilih oleh rektor. Terang Prof. Maman, rektor yang membentuk Dewan Etik. Bentuk kelembagaannya bersifat ad hoc, “Komisi (Dewan-red) Etik baru dibentuk ketika ada kasus pelanggaran kode etik atau bersifat ad hoc,” jelas Prof. Maman yang juga menjabat sebagai Sekretaris Senat Unsoed. Kewenangan Dewan Etik hanya sebatas pada menerima, memeriksa, memproses dan/atau memutuskan dugaan pelanggaran kode etik dosen Unsoed. Adapun kewenangan menjatuhkan sanksi terhadap dosen pelanggar etik ada di tangan rektor. Sebagaimana penjelasan Prof. Maman, “Komisi (Dewan-red) etik (hanya) merekomendasikan (soal penjatuhan sanksi) kepada rektor.” Sanksi bisa berupa teguran lisan atau tertulis, peringatan keras, pengurangan dan/ atau pencabutan hak-hak akademik, hingga penundaan kenaikan pangkat. Atau, jika dosen bersangkutan sudah pernah
melanggar kode etik dan dijatuhi sanksi, Dewan Etik bisa mengusulkan sanksi penurunan pangkat, percepatan pensiun, bahkan pemecatan. Sebaliknya, Dewan Etik juga bisa merekomendasikan rehabilitasi nama baik dosen bersangkutan kepada rektor, apabila Dewan Etik berkeyakinan tidak terjadi pelanggaran kode etik.
hukum berat.” Terlepas dari terbukti tidaknya kasus dosen A, kata Fathur, kampus harus tetap bebas dari segala bentuk pelecehan seksual baik yang dilakukan antarmahasiswa, dosen dengan mahasiswa, antardosen, maupun stakeholder terkait. Kemudian pada Tempelan kertas simbolik di salah satu papan pengumuman kampus FH. Jumat (22/9/2017), Skëtsa menanyakan tuk menindak tegas dosen yang Sikap Mahasiswa lagi progres tindak lanjut kasus melakukan pelecehan dan tinSebagian mahasiswa menge- dakan asusila, juga penjatuhan kepada Prof. Maman. Pemangcam kelakuan dosen A, kenda- sanksi bila terbukti. gilan dosen terkait sudah dilakuti masih berupa dugaan. Sikap Tuntutan lain, mereka me- kan, kata Maman, “Ini sudah kecaman itu disuarakan salah minta dibuatkan MoU atau nota konfirmasi. Bisa ketemu hari satunya dalam bentuk aksi sim- kesepahaman antara mahasiswa Senin besok, berdua (dengan bolik pada Selasa (19/9/2017) dan dosen yang isinya untuk ti- dosen A).” sore. Aksi singkat tersebut diini- dak melakukan pelecehan seksuDalam pertemuan tersebut siasi mahasiswa yang tergabung al, tindakan asusila, dan segala nanti, ia akan meminta klarifidalam aliansi dari BEM FH, be- upaya merendahkan derajat pe- kasi dari dosen bersangkutan terberapa UKM FH dan organisasi rempuan. lebih dulu sebelum menaikkan kampus, juga sebagian mahaUsai aksi, kertas-kertas ber- kasus ini ke tingkat universitas. siswa FH. Mereka menilai ke- tuliskan simbol penolakan di- Terlepas dari penyangkalan ataulakuan dosen A sebagai tindakan tempel di papan-papan informa- pun pengakuan dosen terkait, dosen cabul sekaligus salah satu si kampus FH. Esoknya, ketika kata Maman, ia lebih fokus pada bentuk pelecehan seksual dan saya ke kampus, semua tempelan institusi FH yang menurutnya, tindakan asusila. “sudah tercemar, ternodai dekertas simbolik sudah hilang. Selain soal itu, mereka pun Sikap serupa muncul dari ngan viral. Dan terlapor utamamenyebut bahwa masih kerap Presiden BEM FH. Fathur lebih nya si perempuan itu karena dia terjadi pelecehan lain dalam ben- menekankan agar FH bisa mem- yang memviralkan (dosen) bertuk verbal saat perkuliahan mau- beri jaminan rasa aman terha- sangkutan.” pun bimbingan penelitian. Klaim dap relasi antara mahasiswa dan Soal aksi simbolik mahatersebut didasarkan atas laporan dosen. Dari kabar miring dosen siswa, Maman menilai itu hanya mahasiswa yang kerap mereka A yang sudah kadung viral, da- sebatas pengungkapan ekspresi terima. lam bahasa Fathur, “Menanda- seperti kekecewaan atas perisDua puluh lebih mahasiswa kan bahwa kampus sudah dalam tiwa-peristiwa yang barangkaberkumpul di lapangan Gedung tataran bahaya pada umumnya.” li pernah dialami mahasiswa. Justitia 1, lalu menyerukan peKalau kabar miring itu me- Hal itu tidak dianggap sebagai nolakan segala bentuk pelecehan mang terbukti, menurut Fathur, bentuk pengaduan ataupun seksual dan tindakan asusila di “Jelas bahwa hukum secara kode pelaporan. kampus. Mereka menuntut Rek- etik yang ada, agar ‘si person’ diKetika muncul ekspresi sepertor Unsoed atau Dekan FH unti itu, menurutnya, akan menim-
bulkan hal-hal yang tidak kondusif, “Dalam artian dosen-dosen lain pun merasa terhakimi.” Ia menilai dalam aksi itu ada semacam generalisasi bahwa perilaku dosen FH sama seperti dosen terkait kasus, “Padahal kan ya mungkin satu atau dua orang,” katanya. Ia mengimbau kepada mahasiswa FH untuk tidak ada lagi penyampaian ekspresi semacam itu. Kami pun menanyakan, apakah dekanat mencopot semua tempelan kertas simbolik atau tidak? Jawaban Dekan, “Saya sih enggak merintah, tapi yang memasang dan mencopot juga saya enggak tahu.” Namun, bagi Maman, pesan dalam kertas simbolik itu bukan hanya ditujukan kepada dirinya saja, melainkan juga kepada semua dosen. “Khususnya dosen yang punya kecenderungan punya perilaku seperti itu. Jadi biar pesan itu sempat dibaca,” sambung Maman, “itu yang makanya saya tidak mengambil sesuatu yang represif.” Mendapat Teguran Lisan Dekan FH menyampaikan bahwa dosen A sudah memenuhi panggilan dan klarifikasi. Dalam klarifikasi tersebut, Maman menyebutkan bahwa dosen A telah membuat pengakuan: ia membenarkan chat dalam screenshot yang viral. “Sudah membenarkan. Apa yang ada di dalam viral itu memang beliau yang melakukannya, bukan orang lain,” tutur Maman kepada Skëtsa, Rabu (22/11/2017). Kemudian, jelas Maman,
Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani
dari arahan pimpinan Universitas agar permasalahan tersebut cukup diselesaikan di tingkat Fakultas saja. Rektor pun tidak membentuk Dewan Etik untuk menyelesaikan kasus ini. Alasannya, jelas Maman, “Karena dari sini (FH) juga enggak mengajukan.” Dari pimpinan FH sendiri sudah memberi teguran lisan secara formal kepada dosen terkait, sebagai halnya penjelasan Maman, “Jadi kita (memberikan) teguran paling teguran-teguran lisan dulu lah, karena itu kan berjenjang. Ada yang lisan, tertulis, sampai bentuk yang paling berat.” Ketimbang itu, Maman menilai sanksi sosial lebih memberatkan bagi dosen bersangkutan. “Sanksi ini kan sudah terjadi secara sosial. Dan secara teman sejawat, mahasiswa, itu sudah paham semua. Dan mereka mempunyai assessment atau penilaian yang relatif sama lah,” katanya. Dalam screenshot percakapan
yang viral terlihat ketikan balasan “MO” sesaat setelah si Wanita menawarkan jenis servis plus biaya. Terkait balasan itu juga diklarifikasi oleh dosen A kepada Maman. Dosen A mengaku salah ketik saat mengetik “MO”. Niatnya menolak “penawaran” si Wanita dengan mengetik “NO”, bukan “MO”. Dalihnya, pada keyboard gawainya, huruf “M” dan “N” berdekatan. “Niatnya ‘NO’ tapi jadi ‘M’,” kata Maman terlihat menahan tawa. “Dan itu visualnya sangat jelas. Ketika dia meng-closing itu dengan kata ‘MO’ kan diartikan ‘mau’, yang terakhir. Tapi, menurut klarifikasi yang bersangkutan, katanya ‘NO’ atau ‘tidak’,” kata Maman, “Ya wallahualam, saya enggak tahu.” Dari kasus tersebut, Maman menekankan betapa pentingnya citra moral bagi setiap dosen. Menjadi suatu ironi, menurut Maman, ketika perihal kode etik mahasiswa begitu ditekankan kampus sampai mengatur bagaimana mahasiswa harus berkode etik. Namun, malah menjadi tidak fair ketika dosen yang tidak berkode etik. “Justru malah harusnya yang memberi contoh kan dosennya,” tandasnya. Reporter : Intan Rifiwanti, Marita Dwi Asriyani, dan Emerald Magma Audha.
Darom Sebul Oleh: Yoga Iswara Rudita Muhammad*
K
eringatnya mengucur deras. Kerut di dahinya bukannya berkurang, malah bertambah. Bibir yang tadinya mati tiada gerak mendadak bergoyang liar. Tetesan liur kadang muncrat dari gerakan lidah yang ditimbulkan. Darom masih sibuk mengurusi orang yang ada di depannya. Jantungnya berdegup tak terkendali. Yang diurusi tidak tambah tenang, malah makin kencang teriak. Darom belum selesai. Lenguhan menjelma jadi teriakan. Tapi pekerjaan belum jua kelar. Wanita itu masih beradu antara hidup dan mati. Ia tidak kalah berkeringat dari Darom. Darom cuma membatin, apa yang ia lakukan cuma sebatas yang ia bisa. Itu semua di luar kehendak dan jangkauannya. Ia sadar, salah-salah bertindak bisa bonyok ia digebuk warga satu desa. Dinding rumah yang terbuat dari gedek tidak mampu menahan suara nyaring tidak tembus ke luar. Tidak banyak lapis yang Darom bisa pasangkan pada dinding itu. Cukup dengan satu lapis saja. Angin besar menerobos apabila musim angin telah tiba. Di siang hari, cahaya akan
merambat masuk pedalaman rumah. Lebih-lebih pada musim hujan, bocor atap membuat rumah itu tak ubahnya genangan air. Penantian yang Darom tunggu akhirnya selesai. Sebiji orok baru keluar dari rahim ibunya. Belum bisa melihat dunia tapi sudah bisa merasakan bahwa ibunya ada di sekitarnya. Orok itu menangis, membuka jalan napas yang selama ini tak begitu difungsikan. Ibu itu lega, bayinya lahir selamat. Ternyata ia dikarunia seorang putra. Rambutnya tidak begitu lebat, Darom bilang pada ibu si bayi dalam pengucapan yang lembut. Darom baru saja merampungkan satu misi: membantu kelahiran orok itu di rumahnya. Sebuah tiupan kecil ia arahkan pada perut yang baru berkurang isinya itu. Si ibu lega, Darom tak kalah lega. *** Tanpa berselang lama, kabar tentang keberhasilan Darom begitu cepat menyapu Kampung Rowogeni, tempat Darom mendirikan gubuknya. Tak ada yang mengira bahwa Darom punya keterampilan setara seorang dukun bayi. Ibu-ibu, dan tak ketinggalan para bapak di kam-
pung itu ramai-ramai membicarakan kebetulan yang menimpa Darom. “Bu, pernah dengar kalau Darom berhasil membantu lahirannya Yu Kawi?” tanya seorang wanita paruh baya pada tetangga rumahnya. “... Saya dengar dia minta bantuan pada Dewi,” timpal tetangga lainnya. Demikianlah, bahwa dianggap bertuahnya Darom hanyalah akibat dari apa yang orang percayai telah sengaja dilakukan Darom. Segala keseganan warga pun bermuara kepada dia. Barangkali karena hal itu pula ia mendapat julukan “sebul” di belakang namanya. Sebelum kejadian di gubuknya itu, Darom tidak lebih dari seorang bocah muda yang tidak begitu jelas mulanya. Yang warga tahu, pada suatu sore, Darom muncul begitu saja dari balik kumpulan pohon bambu. Begitu ia ditemukan oleh warga, tidak ada yang bisa mengorek muasal lebih lanjut dari lelaki yang selalu memakai ikat kepala itu. Kiranya tidak mengagetkan bahwa berita ihwal Darom pun dengan cepat tersiar hingga ke kampung-kampung sebelah. Jamak orang kemudian mendatangi Darom sebagai bentuk penguji-
Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani
an atas kelebihan yang disangkakan ada padanya. Modelnya bermacam-macam, mulai dari meminta petunjuk nomor yang bisa “tembus” dalam perjudian togel, pemuda yang putus asa mengejar pengasihan, istri yang mencari suaminya yang hilang, hingga mereka yang minta hartanya digandakan. Ada-ada saja warga yang sowan pada Darom, berhitung pertambahan atau pengurangan pun belum tentu bisa kok bisa meminta hartanya digandakan. Tidak lama lagi, Kampung Rowogeni akan memilih pemimpin mereka. Kampanye yang terang-terangan maupun terselubung datang sekali waktu. Akan tetapi, tidak ada satu pun selebaran ataupun spanduk yang terpasang guna menarik atensi warga untuk memilih. Di sini, penggunaan benda semacam itu tidak terlalu berpengaruh pada hasil pemilihan. Kita sebut percuma karena tidak ada warga yang cakap baca tulis di sini. Begitu ada, jumlahnya pun hanya satu-dua. Warga desa lebih
suka metode getok tular. Sering warga lihat seorang calon yang menjanjikan sesuatu hingga berbuih-buih. Namun begitu, sama sekali tidak ditemui politik uang dibuat mainan di desa itu. Pak Bandot pagi-pagi sekali, ia menampakkan diri di depan pintu gubuk Darom. Diketuknya beberapa kali daun pintu yang tak lebih tebal dari batang singkong itu. Bicaranya agak keras dan berat. Dari omongan warga, diketahui bahwa dia akan mencalonkan diri kembali jadi pemimpin desa tahun ini. Dia langsung duduk di kursi, tanpa sang empunya rumah mempersilakan. Darom menyusul dan duduk berhadapan dengan Pak Bandot. Sorot matanya tajam dan mengintimidasi. Dengus napasnya bisa terdengar dari posisi Darom. Tapi Darom tak gentar, ia beranikan diri untuk bertanya. “Ada perlu apa panjenengan datang kemari?” ucap Darom agak terpotong-potong. “Tidak penting keperluanku apa. Bukan urusanmu juga.
Kudengar kau dukun sakti di kampung ini. Aku ingin membuktikan kabar itu.” “Ya, mungkin. Dengan hal apa aku bisa membantu njenengan?” “Aku mau jadi kepala desa lagi, tapi sepertinya warga tidak lagi percaya padaku. Kau bisa membantuku?” “Kenapa kau yakin warga tidak lagi percaya padamu?” “Begini .... Jadi, diam-diam kukemplang uang proyek pembangunan di desa. Kurasa kau bisa menjaga rahasia ini. Asal kau bisa urus perkara ini, kuberi kau apa yang kau mau.” Darom diam agak lama. Raut mukanya mengguratkan ketertarikan atas tawaran itu. Pak Bandot tegang menunggu jawaban. Kedua tangan ia silangkan di atas lututnya. “Kukira kau pergi ke orang yang salah .... Tidak perlu kau seret aku kepada masalahmu. Tapi aku punya jalan keluar untukmu. Berpura-puralah menjadi orang gila karena cepat atau ...” Belum rampung mulut Darom berucap, belati Pak Bandot telah tunai menyambar leher Darom. Kepala desa itu segera berlari ke arah hutan desa. Sayang, rapalan mantra Darom tak bisa mencegah putus jalan napasnya.
*Penulis puisi dan cerita pendek.
Perempuan Oleh: Marita Dwi Asriyani*
Anak perempuan kini dapat bebas. Kerinjangnya tak dikungkung oleh kolot tetua. Anak perempuan kini bisa bernapas lega. Ia dapat menghidu aroma kebebasan. Hak laki-laki dan perempuan telah sama katanya. Derajatnya sama tinggi. Perempuan belajar. Perempuan bekerja. Perempuan dapat melakukan apapun yang ia suka. Yang ia inginkan. “Nduk, jangan bekerja di lain kota. Berbahaya!� kata Bapak dan aku mengangguk pasrah. *Penulis, mahasiswa D3 Bahasa Inggris Unsoed angkatan 2016.
Ilu
ani sriy Dw iA
i
stra
si:
Ma
rita
yan
Asri
Pria Berkerah Biru Ilu
ar
si: M
a ustr
wi ita D
Oleh: Mushanif Ramdany*
Kala sore berjalan menyusuri alun kota binar kesunyian kian melambai Ia datang sampai ketika jalan dipenuhi duri tajam seraya bertanya: “Tahukah kamu pria berkerah biru itu?” seketika mengerut dahi sang pawang UU Lama dalam jeruji Asal ketuk jadi Sang pawang angkat bicara: “Aku tak kenal dia, tapi aku kenal orang yang bersepatu pantofel hitam itu.” *Mahasiswa Hubungan Internasional Unsoed angkatan 2016.