Majalah Sketsa Edisi 36 Februari 2019

Page 1










Sebuah Catatan Kecil untuk Liputan Sejarah

Ilustrasi: Helda Puspitasari

S

ejarah adalah roda yang berputar. Ungkapan itu makin banyak digaungkan belakangan. Mungkin karena melihat sejumlah kejadian-kejadian pada masa lampau seolah terulang kembali. Meskipun terdapat sisi-sisi yang sama, namun tak berarti yang terjadi adalah sama persis. Kejadian-kejadian yang sekilas sama belum tentu merupakan perulangan seutuhnya. Bersamaan sejarah itu, kita menapaki kembali jejak-jejak pemikiran pada era lampau. Seperti kata Hegel, pikiran memproduksi tesis untuk kemudian dilawan dirinya sendiri: antitesis. Pikiran berjalan melawan dirinya sendiri. Dalam sejarah itu pemikiran

diproduksi. Tugas kita belajar dari yang lampau itu sembari mengusahakan yang buruk darinya tak terulang kembali. Dalam sejarah itu pula, kita bisa membaca pola pikir sebuah peradaban. Membaca lanskap pemikiran yang berkembang pada masanya sekaligus menangkap kearifan-kearifan yang tersimpan. Yang menjadi pertanyaan di sini bukanlah siapa yang mengungkapkan, melainkan apa yang diungkapkan dan dalam konteks yang seperti apa. Kami tak hendak berkoar-koar soal Jasmerah “jangan sekali-kali melupakan sejarah� yang sudah kelewat banyak dikutip itu. Namun demikian, kami juga tak menafikan derajat pentingya mempelajari sejarah secara lebih mendalam. Membaca sejarah secara lebih kritis, itu yang kami maksud. Sebab, bukankah tetap ada potensi bahwa penulisan sejarah dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu guna memenuhi kepentingan mereka? Kemungkinan itu selalu terbuka. Sampai sini, kita belum lagi berbicara mengenai pemalsuan sejarah. Kita tak ingin generasi sekarang dan seterusnya menjadi generasi yang lepas dari sejarah. Jangan sampai generasi kita terlepas dari pembacaan kritis atas apa yang terjadi di masa lampau. Hilangnya pembacaan kritis terhadap sejarah membikin kita buta akan konteks mana yang sudah terjadi dan yang sedang berlangsung. Tak ada kata terlambat untuk membuka bukubuku sejarah. Tak terkecuali bagi lembaga pers ini. Namun, untuk sampai ke situ, tidaklah cukup turun


tangan satu pihak saja. Perlu ada upaya sinergis pada hampir semua pihak yang terlibat. Pihak-pihak yang dimaksud meliputi perpustakaan daerah, perpustakaan universitas, media massa, komunitas baca, dan juga publik pembaca sejarah itu sendiri. Bagi lembaga pers ini, pemberitaan berkaitan sejarah adalah hal baru dalam kurun tahun-tahun belakangan. Jenis liputan seperti ini menyimpan tantangan dan kesulitan tersendiri. Barangkali karena kebaruan itu pula, kendala dari berbagai sudut seolah datang berbarengan. Maka, inilah kami. Sebuah lembaga pers yang sedang mencari bentuk barunya dengan memperluas jangkauan isu liputan. Kesemua itu dilakukan demi memperkaya variasi konten. Sudah barang tentu majalah ini tak memuat keseluruhan dari sejarah krisis di Banyumas itu mengingat keterbatasan ruang dan sebagainya. Namun begitu, itu tak lantas berarti kami mengesampingkan roh jurnalisme yang menyawai setiap produk kami. Disiplin verifikasi tak akan demikian murah untuk digadaikan dengan kecepatan pemberitaan begitu saja. Sembari merampungkan liputan ini, kami turut menyadari satu hal penting. Kerja pendokumentasian, utamanya arsip lama, tidaklah sepele nilainya. Baik di tingkat lokal maupun tingkat nasional. Malangnya, pendokumentasian bukanlah kerja yang bisa dirasakan manfaatnya hanya dalam satu atau dua hari. Butuh puluhan tahun agar manfaat kerja tersebut bisa dirasakan. Dalam pemahaman yang lebih sederhana, bukan generasi kita yang merasakan manfaat itu, melainkan generasi anak cucu. Tak ayal apabila tak banyak pihak yang bergairah menggarap kerja seperti ini. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua. Entah perorangan, pegiat sejarah maupun lembaga pemerintah demi menghidupi sengal napas pendokumentasian di Indonesia pada umumnya dan Banyumas pada khususnya. Kurang lebih durasi 1 tahun bukanlah waktu yang pendek untuk merampungkan majalah ini. Itu waktu yang sangat panjang untuk memulai riset isu, perencanaan produk, pengolahan data, dan proses teknis lainnya sampai majalah ini bisa berada di tangan Anda. Tulisan bertema sejarah di produk LPM Skëtsa masih terbilang jarang. Ada banyak faktor yang mendukung pernyataan ini. Berkisar dari rendahnya minat baca publik hingga keengganan reporter kami mengelaborasi topik-topik berkaitan sejarah. Keengganan berkembang semacam itu ternyata tetap merebak, bahkan kepada insan di institusi pers mahasiswa sekalipun! Tidak mengherankan kiranya kalau pijakan awal menuju penggarapan laporan bertema sejarah itu menemui banyak kendala. Secara teknis kami tak punya referensi tekstual tentang bagaimana liputan semacam

ini harusnya dikerjakan. Yang bisa dilakukan hanyalah meraba-raba sistem kerja media yang sudah mapan dan menerapkan hasil perabaan itu. Bekal kami cuma satu: wartawan bertanggung jawab membuat sesuatu yang penting menjadi menarik dan relevan! Pada saat yang sama, terus berkembang anggapan bahwa membaca tulisan bertopik sejarah adalah hal membosankan. Cukup terang bahwa anggapan semacam itu mesti dicarikan obatnya juga. Media massa secara umum memiliki tanggung jawab untuk merespon kondisi tersebut. Dalam konteks ini, media massa harusnya turut andil dalam penyebaran konten yang mengulas sejarah. Media massa menjadi tempat kebenaran sejarah itu diuji. Pada akhirnya, kita mesti sepakat bahwa jurnalisme yang ideal bukanlah jurnalisme yang bersandar pada satu jenis teknik reportase saja. Dengan alasan itulah kami tak lagi terpaku pada bentuk usang jurnalisme itu: jurnalisme lisan. Jurnalisme lisan sangat mengandalkan keterangan lisan narasumber guna menyusun narasi dalam berita. Jurnalisme yang demikian selain terkadang kurang bisa diandalkan kevalidannya, juga kurang bisa memberikan gambaran yang lebih komprehensif pada pemberitaan dalam titik tertentu. Skeptisisme wartawan dituntut kerja berlebih bila tetap mempertahankan model seperti itu. Di majalah ini, kita akan menengok kembali krisis ekonomi yang melanda Banyumas pada 1930-an. Guna menghadirkan gambaran yang lebih utuh, kami sertakan konteks besar yang terjadi di tingkat global pada masa itu. Pada sisi yang lain, kami juga tak menihilkan konteks lokal di Banyumas sendiri. Silakan langsung merujuk rubrik Laporan Utama majalah ini untuk mengetahuinya. Rubrik Laporan Khusus di majalah ini membahas pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas pada 1937. Sejak saat itu, pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas berpindah dari Banyumas ke Purwokerto. Lebih spesifik, kami sertakan beberapa aspek terkait pemindahan tersebut. Akhir kata, kami serahkan “Majalah Skëtsa Edisi 36” ini kepada publik. Silakan disikapi secara kritis. Kami senang tetap menjalankan fungsi institusi pers di kampus. Hendaknya sejalan dengan tujuan lembaga ini: memandu wawasan almamater. Namun demikian, kami tak kalah senang kalau fungsi ini tidak lagi jadi tugas utama kami. Hal itu terjadi manakala publik kampus tak perlu lagi dipandu wawasannya. Mereka bisa mencarinya sendiri. Kami lebih ingin memakai istilah “mendampingi” wawasan almamater. Menjadi kawan yang sejajar. Tabik! Yoga Iswara Rudita Muhammad Pemimpin Redaksi LPM Skëtsa 2018




MALAISE

Ketika Banyumas Diterpa Krisis Oleh: Yoga Iswara Rudita Muhammad

“Sol solami adang se-ons biyung aja bingung anake katokan karung.”

D

emikian lirik sebuah lagu rakyat Banyumas. Isinya curahan keresahan masyarakat Banyumas atas krisis ekonomi yang sempat melanda pada 1930-an. Lewat lagu itu, para ibu diharap tak bingung bila anaknya memakai celana dari karung. Sebabnya, Amerika Serikat (AS) mengalami krisis ekonomi yang publik sekarang menyebutnya “Malaise”. Dampak krisis itu terasa sampai Hindia Belanda (HB). Terkadang, istilah itu dipelesetkan menjadi “Zaman Meleset”. *** Depresi Besar yang melanda AS pada dekade 1930-an adalah episode dramatik dalam sejarah perekonomian dunia. Bagaimana tidak, sepanjang dekade tersebut pasar saham lesu. Bank-bank tersandung pailit, dan spekulasi mata uang tak terkendali menciptakan kondisi krisis tersendiri. Berkilas balik satu dekade sebelumnya, AS mencatatkan jejak gemilang dalam hal perekonomian. Ekonomi tumbuh pesat. Kekayaan negara berlipat ganda. Situasi itu disebut oleh pengamat sebagai “The Roaring Twenties”. Ekonomi yang bergairah memicu terjadinya spekulasi besar-besaran di pasar saham. Indeks saham melejit dan menemui puncaknya pada Agustus 1929. Kondisi itu berbalik pada September 1929. Harga saham perlahan merosot. Turunnya harga saham itu mencapai titik nadir pada 24 Oktober 1929. Terjadi pelepasan saham secara besar-besaran. Hampir 13 juta lembar saham dioper kepemilikannya dalam waktu satu hari. Bahkan, harga indeks saham sekelas Dow Jones Industrial Average tercatat anjlok hingga 11% dalam sehari.

Ekonom Amerika Serikat Ben S. Bernanke dalam bukunya Essays on the Great Depression, terbitan tahun 2000, mencatat bahwa Depresi Besar berdampak nyaris pada seluruh dunia. Namun begitu, dampaknya di tiap negara tidaklah sama. “Negara-negara yang tidak begitu memedulikan sistem standar emas pada saat itu ternyata pulih lebih cepat dari depresi ekonomi,” tulis Bernanke mengutip pendapat ekonom lain, Barry Eichgreen dan Jeffry Sach. Bernanke mencontohkan, hal itu terjadi pada Inggris dan Swedia yang meninggalkan standar emas pada 1931 dan AS menyusul pada 1933. Ketiganya pulih lebih cepat dibandingkan negara yang bertahan pada sistem standar emas. Sayangnya, Belanda tak sigap mengekor kebijakan tiga negara itu. Ujungnya, negara yang segera meninggalkan standar emas cenderung bisa mengendalikan tingkat harga. Sebaliknya, mereka yang bertahan malah kian tertekan oleh deflasi, simpul Bernanke.

Mereka yang Terdampak Depresi Besar Depresi Besar diawali morat-maritnya pasar saham di AS. Pasar saham jadi tak stabil. Rumor penyebabnya ada bermacam versi. Yang paling fatal, dalam catatan ekonom Prof. Boediono, ialah adanya sejumlah bank yang tak bisa membayar uang simpanan nasabahnya. Hal itu membuat publik pasar saham AS panik. Argumen itu termuat di bukunya, Ekonomi Indonesia: Dalam Lintasan Sejarah. Resah uangnya tak bisa diambil, masyarakat AS ramai-ramai menarik simpanannya di bank. Penarikan uang yang masif menimbulkan kesulitan likuiditas berantai pada operasi perbankan yang berbuntut penutupan bank-bank.


Gedung Karesidenan Banyumas dibangun di kota Banyumas tahun 1843. Foto diabadikan pada 1921 dalam rangka pemberian penghargaan pada para bupati dan pamong oleh Patih Danoeredjo VII dari Ngayogyakarta, yang berjasa dalam memberantas busung lapar. Foto: Koleksi Sugeng Wijono.

Buahnya, sektor finansial dan perbankan macet. Kegiatan perdagangan dan produksi ikut mandek. Kondisi itu disusul gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di AS. Dalam waktu relatif singkat, daya beli masyarakat tiba-tiba turun. Barang-barang yang kadung diproduksi tidak lagi bisa terserap pasar. Alhasil, stok menumpuk. Mengetahui kondisi pasar yang demikian, para produsen mencari jalan keluar. Mengurangi volume produksi jadi salah satu pilihannya. Cara lain yang ditempuh yakni menyusutkan jumlah karyawan. Puncak penyusutan karyawan itu terjadi pada 1933, lebih dari 15 juta penduduk AS kehilangan pekerjaannya. Krisis yang awalnya terjadi di lokal AS saja, dengan cepat merembet ke Eropa dan negara-negara lain. Tak terkecuali HB. Ini mengingat adanya hubungan perdagangan antarnegara. Deflasi di AS menjelma deflasi global dan melahirkan depresi ekonomi global, papar Boediono menyoal menjalarnya krisis. HB dibuat terpuruk oleh krisis itu. Komoditas ekspor seperti karet, kopra, kopi, gula, dan timah minim permintaan sehingga harganya anjlok. Sepanjang 1929—1932/1934, kelima komoditas itu tercatat mengalami penurunan harga lebih dari 50%. Seturut Boediono, ketergantungan pemerintah terhadap devisa dari komoditas ekspor yang begitu tinggi membuat dampak krisis lebih berat dirasakan dan lebih cepat merebak di HB. Mulai tahun 1930, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) HB terus merosot dan mencapai titik terendahnya pada pertengahan 1930-an. Dampak depresi ekonomi itu bertahan lebih lama dari negara lain. Salah satu penyebabnya, menurut Boediono, HB memberlakukan kebijakan ekonomi yang intinya mempertahankan sistem standar emas. Buntutnya, kebijakan itu ikut memperparah kon-

disi harga komoditas ekspor HB sehingga kalah bersaing di pasar internasional. Di tingkat masyarakat HB kala itu, harga beras tercatat turun sebesar 36%. Imbasnya dirasakan betul oleh petani tradisional. Sementara itu, sektor ekonomi modern, semisal perkebunan, sempat terjadi PHK besar-besaran. Mereka yang terkena PHK kembali ke kampung halaman sebagai pekerja serabutan. Sebagian lainnya pulang kampung sebagai pengangguran terselubung. Boediono menyorot ada kekeliruan mendasar terkait pengelolaan ekonomi HB. Keliru itu bercokol pada kebijakan menggantungkan pendapatan negara terhadap aktivitas ekspor dan impor komoditas. Hal itu dilakukan tanpa menyiapkan perekonomian dalam negeri yang tahan gejolak. Imbasnya, perekonomian dalam negeri tak berkutik ketika krisis global terjadi. Baru pada 1933, perubahan diinisiasi. Pemerintah banting setir. Mulai saat itu, kebijakan perdagangan bebas yang diterapkan sejak 1870 resmi ditinggalkan. Industri dalam negeri didorong tumbuh dengan pemberlakuan sistem kuota impor berbagai barang kebutuhan. Di samping itu, dalam kacamata Pemerintah, hal itu dilakukan guna melindungi jaringan perdagangan dalam negeri—yang didominasi perusahaan Belanda—dari persaingan negara luar. Saat itu, Jepang dinyana bakal mengalahkan Belanda lewat upayanya membentuk jaringan perdagangan dan strategi banting harga di HB. Upaya-upaya tadi akhirnya membuahkan hasil juga. Selama rentang 1933—1942 sektor industri dalam negeri mulai menjamur. Industri tekstil tumbuh pesat, dengan lokasi utama di Jawa Barat. Nama-nama besar seperti General Motors, Goodyear, Unilever, dan Bata mulai masuk dan membangun pabrik di HB. Sementara itu, produksi barang-barang kebutuhan dalam negeri ikut meningkat pesat. Pangsa sektor


industri olahan dalam PDB meningkat dari 8% pada 1931 menjadi 12% pada 1941.

Banyumas dan Krisis yang Meluas Krisis ekonomi pada 1929 yang diikuti Depresi Besar dalam perekonomian awalnya hanya dirasakan di AS saja. Namun, lama-kelamaan dampaknya sampai HB juga. Pemerintah HB meresponnya dengan menolak segala tindakan yang berkonsekuensi devaluasi gulden. Depresi Besar 1930 bukanlah kejadian sejarah yang muncul tiba-tiba. Ada versi yang mengatakan kejadian itu dilatarbelakangi Perang Dunia (PD) I yang belum lama terjadi. Negara-negara yang terlibat perang itu mengalami defisit keuangan karena membiayai perang. Namun, ada pula versi lain yang mengatakan kalau Depresi Besar terjadi bukan karena kondisi perang. Dalam artikel berjudul “What Ended the Great Depression?”, sejarawan AS Burton W. Folsom menilai bahwa Depresi Besar ekonomi di AS era ‘30-an adalah yang terbesar dalam sejarah negara itu. Merentang dari 1931 sampai 1940, angka pengangguran di AS tercatat membengkak. Dampak krisis dunia akhirnya merambah Banyumas juga. Hal itu dicatat oleh Dizka Meizi Arinda dalam artikelnya berjudul “Krisis Ekonomi di Banyumas 1930—1935 sampai Perpindahan Pusat Pemerintahan dari Banyumas ke Purwokerto Tahun 1937”. Keadaan ekonomi memburuk dan keresahan sosial meluas. Efeknya makin parah menyusul terjadinya krisis pabrik gula 1918, krisis ekonomi 1921, dan kenaikan pajak rakyat. Laporan Meyer Ranneft menyebut bahwa sejak Gubernur Jenderal van Limburg Stirum digantikan Fock pada 1921, pajak rakyat di Pulau Jawa dan Madura dinaikkan sekitar 40%. Keadaan semakin memburuk dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan de Jonge tahun 1931—1936. Di samping itu, ada pula Egbert de Vries yang menyebut Depresi Besar Ekonomi dunia tahun 1929 membawa pengaruh buruk terhadap negeri-negeri seberang lautan, tak terkecuali HB yang dikenal banyak menghasilkan bahan mentah.

Satu Nama Tiga Arti Apabila disebut nama “Banyumas” pada zaman kolonial, ada tiga pengertian yang timbul. Pertama, itu merujuk pada nama wilayah administratif berbentuk distrik di sebelah selatan Sungai Serayu. Kedua, itu adalah nama sebuah regentschap (kabupaten) yang berada di sekitar Lembah Serayu dengan Kota Banyumas sebagai pusatnya. Belakangan status itu masih dipertahankan, hanya yang berpindah pusat administratifnya saja: dulu di Banyumas, sekarang di Purwokerto.

Ketiga, penyebutan itu mengacu pada sekumpulan wilayah di sekitar Banyumas yang tergabung dalam residentie (karesidenan) Banyumas. Wilayahnya terdiri dari Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, Purwokerto, dan Banyumas sebagai pusat pemerintahannya. Secara historis, wilayah Banyumas merupakan hasil alih tangan dari Kasunanan Surakarta. Wilayah Banyumas diserahkan kepada kolonial Belanda sebagai akibat dari Perjanjian Giyanti. Sebagai gantinya, Kasunanan Surakarta mendapat uang kompensasi sebesar f90.000 atau 90 ribu gulden. Nilai itu hampir setara f22 untuk setiap km2nya, mengingat luas Banyumas sekira 5.500 km2. Lepasnya wilayah Banyumas dari Kasunanan Surakarta secara resmi terjadi pada 22 Juni 1830. Sebelum berada dalam kekuasaan kolonial, Banyumas adalah wilayah bawahan (vasal) dari kerajaan-kerajaan Islam: Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Dalam perjalanannya, Kerajaan Mataram hampir menguasai seluruh Pulau Jawa. Pada situasi tersebut, kerajaan itu menerapkan sistem pemerintahan yang membagi wilayah kekuasaannya ke dalam lingkaran-lingkaran dengan ciri khasnya masing-masing. Dari ring terdalam hingga terluar, urutannya seperti ini: Kraton (pusat inti pemerintahan), Kuthagara (ibu kota negara), Negaragung (tempat tinggal bangsawan), Mancanegara (wilayah di luar Negaragung yang tidak berada di pesisir pantai utara Jawa), dan Pasisiran (wilayah di luar Negaragung yang berada di pesisir pantai utara Jawa). Berdasarkan pembagian tersebut, Banyumas dimasukkan wilayah Mancanegara Kilen dan berstatus kabupaten.


Wilayah Kabupaten Banyumas diapit dua jalur pegunungan. Di antara apitan itu, wilayah inti Banyumas terbentang dan membentuk peradaban yang dibelah Sungai Serayu. Konon, karena itu pula Banyumas mendapatkan namanya: Lembah Serayu. Tanah Banyumas terdiri dari lapisan vulkanis muda. Tipikal tanah itu dikenal subur dan dapat dijadikan lahan persawahan yang menghasilkan padi. Sungai Serayu beserta anak-anak sungainya diyakini dapat mengairi lahan pertanian sepanjang musim. Belakangan, hal itulah yang menarik pihak kolonial untuk datang dan berkuasa. Namun, karunia bagusnya kondisi tanah dan sungai itu tak lantas menjadikan Banyumas bebas dari isolasi. Sejarawan Tanto Sukardi mencatat dalam bukunya Tanam Paksa di Banyumas: Kajian mengenai Sistem, Pelaksanaan, dan Dampak Sosial Ekonomi, Banyumas pada zaman prakolonial kesulitan menjalin hubungan dengan pusat kerajaan, baik Demak, Pajang, Mataram, maupun Surakarta. Kesulitan itu dapat terlihat dari citraan peta yang dibuat oleh pemerintah kolonial pada tahun-tahun pertama kekuasaannya di Banyumas, era 1830-an. Kala itu, Banyumas hanya memiliki sebuah alur jalan darat ke arah timur. Jalur itu menghubungkan Wirasaba, Mandiraja, Purwanegara, kemudian sampai di Bagelan. Jalan yang ada berupa lorong-lorong atau jalan setapak yang tak begitu lebar dan tidak mulus. Peta tersebut sampai sekarang masih tersimpan di kantor Arsip Nasional Republik Indonesia. Konsep penguasaan tanah secara tradisional di Banyumas sangat berbeda dari konsep penguasaan tanah yang berlaku di Barat. Di Barat, dikenal konsep kepemi-

PG Kalibagor pasca direnovasi (16/9/2018). Foto: Marita Dwi Asriyani.

likan atau property. Pada zaman kekuasaan Mataram, tanah yang merupakan bagian kerajaan dipercayakan pada pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh raja atau pihak yang berwenang di istana. Pejabat-pejabat itu tak dianggap sebagai pemilik tanah, mereka cuma dibekali hak politis untuk melakukan pengelolaan atas tanah. Secara tradisional, desa-desa di Banyumas bukan hanya sebagai basis ekonomi bagi pemerintah pusat kerajaan. Akan tetapi, ia juga menjadi basis tenaga kerja. Menurut Tanto Sukardi, sejak era Tanam Paksa, Pulau Jawa merupakan daerah penghasil komoditas perkebunan berskala besar. Komoditas itu meliputi indigo, kopi, tebu, lada, teh, tembakau, serta kayu manis. Di Karesidenan Banyumas sendiri, tebu menjadi komoditas kedua yang paling banyak ditanam setelah kopi. Tanaman tebu dibudidayakan pada 13 dari 18 karesidenan yang ada di Pulau Jawa dengan pusatnya ada di Jawa Timur. Semenjak tahun 1930, pabrik gula menduduki tempat penting dalam pengelolaan lahan subur di Pulau Jawa dan sekitarnya. Sejarawan Belanda Pierre van der Eng mencatat dalam bukunya Agricultural Growth in Indonesia, tanaman perkebunan mulai masuk ke Jawa pasca 1862. Tanamantanaman itu awalnya dibudidayakan di Sumatera Utara. Terdapat dua sistem pertanian yang marak dilakukan pada waktu itu: perkebunan dan perladangan. Sistem perkebunan lebih berfokus pada pemenuhan kebutuhan komoditas di pasar internasional. Perkebunan dibangun untuk memenuhi permintaan ekspor semata. Karenanya, naik turun sektor itu sangat dipengaruhi permintaan pasar internasional. Kebanyakan perkebunan hanya menghasilkan satu jenis tanaman saja. Sementara itu, sistem perladangan lebih berfokus pada pemenuhan pasar domestik. Adapun komoditas yang dihasilkan lebih variatif.

Upaya Pemerintah Kolonial Menghadapi Krisis Dekade 1930-an adalah saat-saat terburuk yang dialami warga Banyumas. Di tingkat global, terjadi krisis ekonomi yang belakangan publik sebut sebagai Malaise. Keadaan ekonomi tercatat semakin membelit. Kemiskinan ada di mana-mana. Hampir menyentuh seluruh wilayah Banyumas. Pengemis laki-laki maupun perempuan banyak berkeliaran di jalan-jalan. Mereka berpakaian seadanya. Badan kurus kering, kaki bengkak-bengkak, dan perut buncit menjadi gambaran umum atas fisik mereka. Ada

Rumah Administrator perkebunan karet di Krumput, Banyumas. Foto: Tropenmuseum.nl


Sementara itu, dibangun juga saluran irigasi, pembangkit listrik tenaga air, sebuah jembatan yang sekarang dikenal sebagai Jembatan Cindaga, dan mengadakan pengairan untuk Kawedanaan Kroya, Sumpiuh, dan Cilacap dari aliran Sungai Serayu. Perlahan, dampak krisis mulai bisa ditekan. “Banyumas merupakan daerah pertama yang bisa mengatasi krisis,” ungkap Wijono. Pada waktu itu, muncul juga kebijakan Pemerintah Kolonial untuk menggabungkan bebe- rapa kabupaten di karesidenan yang sama. Alas- annya, pemerintah tidak lagi mampu membiayai wilayah administratif yang terlalu banyak. Banyumas termasuk karesidenan yang terimbas kebijakan tersebut. Karesidenan ini terdiri dari Kabupaten Majenang (Cilacap), Ajibarang (Purwokerto), Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara. Kabupaten Majenang dihapuskan, kemudian sebagian wilayahnya digabungkan dengan Ajibarang. Tersebab Ajibarang sering ditimpa bencana puting beliung, pusat pemerintahannya pun dipindah ke Purwokerto. Wijono menambahkan, penghapusan diikuti penggabungan wilayah itu tidak ada hubungannya dengan krisis ekonomi yang terjadi. Menurutnya, itu hanya menyoal efisiensi penggunaan dana pemerintah. Ilustrasi: Helda Puspitasari

pula beberapa yang menderita busung lapar. Kondisi itu diceritakan ulang oleh Sugeng Wijono, seorang pegiat sejarah Banyumas. Ia dikenal banyak mengumpulkan foto berlatar Banyumas tempo dulu. Gudang pegadaian penuh. Masyarakat ramai-ramai menggadaikan barangnya agar tetap bisa makan. Nahas, tak banyak dari barang itu yang kembali ke tangan pemiliknya. Mereka tak mampu menebus barang yang digadaikan. Sementara itu, lahan pekerjaan di pabrik-pabrik dan perkebunan lenyap. “Rakyat Banyumas jatuh miskin bersama-sama,” ungkap Wijono ditemui di rumahnya pada 10 Oktober 2018. Dalam kondisi itu, pilihan makanan tak banyak. Rakyat yang tak bisa membeli bahan makanan terpaksa mengonsumsi daun aras, bonggol pisang, gaber, hingga ampas ketela pohon. Wijono memaparkan, kondisi demikian terjadi karena perekonomian HB melesu. Pemerintah kolonial menyandarkan pendapatan negara dari hasil ekspor bahan-bahan mentah sementara perekonomian dunia sedang terpuruk. Hal itu mengantarkan masyarakat pada kondisi yang sulit. Guna mengurangi dampak Malaise, pemerintah kolonial membangun lumbung desa. Wijono berujar, hasil pertanian masyarakat disisihkan 10% untuk dimasukkan lumbung guna mengurangi dampak paceklik. Di samping itu, pemerintah juga menyediakan kebijakan Studiefonds berupa dana bantuan pendidikan.

Catatan Pribadi Bupati Gandasubrata Raden Sudjiman Martadiredja Gandasubrata tak bisa dibilang beruntung saat ia menjabat sebagai Bupati Banyumas. Ia mulai menjabat pada tahun-tahun di mana krisis ekonomi di AS mengobrak-abrik perekonomian dunia. Kala itu, kepemimpinan Sudjiman baru berusia 4 tahun. Ia menjabat sebagai bupati pada 1933—1950. Ia mencatat pengalaman-pengalamannya semasa menjadi bupati ke dalam sebuah memoar berjudul Kenang-kenangan 1933—1950. Pada masa kepemimpinannya, sejumlah kebijakan guna mengurangi dampak krisis diberlakukan. Di antaranya mendirikan rumah miskin di Kota Banyumas. Rumah miskin itu berlokasi di Jayengan—semacam tempat tinggal bagi para prajurit Jayengsekar di Karesidenan Banyumas. Di situ, orang miskin dicukupi kebutuhan pangan, sandang, dan dibekali pengetahuan hidup sehat. Di samping itu, mereka yang menghuni rumah miskin juga dilatih membuat kerajinan alat rumah tangga yang dapat dijual. Hasil penjualan itu dijadikan milik bersama.

“Rakyat Banyumas jatuh miskin bersama-sama”


Hidup pada Zaman Malaise tak memberikan banyak pilihan. Akibatnya, selama periode 1934—1936, ribuan keluarga di Banyumas mengajukan permintaan untuk ditransmigrasikan ke luar Jawa. Daerah Lampung menjadi tujuan utama kala itu. Istilah yang digunakan adalah kolonisasi. Warga Dukuh Kalibening Desa Dawuhan bahkan mengajukan dipindah ke Lampung genap beserta perangkat pamong desa. Beriringan dengan Malaise, jabatan wedana kota di Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara dihapuskan pada 1933. Beban kerjanya dikembalikan pada patih seperti sebelum 1926. Hal itu dimaksudkan guna menghemat anggaran. Penghapusan yang sama juga terjadi pada jabatan asisten wedana di ibu kota distrik. Penghematan anggaran itu berlanjut pada 1 Januari 1936. Di Karesidenan Banyumas, Kabupaten Purwokerto Kereta Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS) dan Karanganyar dihapuskan. Melalui Besluit atau Surat melayani kebutuhan transportasi produk pabrik gula. Keputusan Nomor 3, tertanggal 31 Desember 1935, Kota Foto : Tropenmuseum.nl Banyumas ditetapkan sebagai ibu kota karesidenan dan Kabupaten Banyumas. Sejak itu, bekas wilayah Purwokerto sepenuhnya ma- gula yang masih bisa bertahan di Banyumas. Pabrik gula suk wilayah Banyumas. Bekas wilayah Karanganyar di- itu baru setop berproduksi pada 1996 dan setahun berikutmasukkan ke Karesidenan Bagelen. Setahun kemudian, nya resmi ditutup. Tambah Priyadi, wilayah Banyumas selain mengterjadi pemindahan pusat kabupaten dari Banyumas ke Purwokerto. Dengan dehasilkan tebu juga mengmikian, Karesidenan hasilkan komoditas pertaBanyumas membawahi emnian indigo. Keberadaan pat kabupaten: Banyumas, “Selama periode 1934—1936, ribuan keluarga di pabrik indigo sampai seCilacap, Purbalingga, dan karang tak terlacak sebab Banjarnegara. Pembagian Banyumas mengajukan permintaan untuk ditrans- indigo tergolong bahan tersebut masih bertahan mentah dan hasil panenhingga kini. nya langsung diekspor. migrasikan ke luar Jawa” Menyoal upaya Di Mata Sejarawan mengatasi krisis, BupaBanyumas ti Banyumas waktu itu, Beberapa saat menSudjiman Gandasubrata jelang Malaise, Pemerintah kolonial tercatat masih melakukan sejumlah usaha guna melakukan perbaikan menarik pajak kepada rakyat dalam bentuk hasil bumi. kondisi. Di antaranya perbaikan irigasi untuk mengairi Pilihannya dua: bahan mentah atau barang jadi. Un- sawah, pembuatan bendungan-bendungan agar hasil bumi tuk memudahkan urusan transportasi dan mobilisasi meningkat sehingga bencana kelaparan tidak terulang lagi. barang, dibangun rel kereta api Serajoedal Stoomtram Priyadi memandang, pemborosan dana pemerintah Maatschappij (SDS) diikuti dibukanya pabrik-pabrik menjadi alasan utama munculnya kebijakan penggabunggula di sekitar Kabupaten Banyumas. an Kabupaten Banyumas dan Purwokerto pada 1935. Pabrik Gula (PG) Kalibagor adalah pabrik tertua Priyadi juga menyebutkan hal serupa juga terjadi di Kadan terbesar di Karesidenan Banyumas. Pabrik itu su- residenan Bagelen yang sekarang lebih dikenal sebagai dah berdiri bahkan sebelum rel kereta SDS dibangun. Kebumen. Kutoarjo tadinya adalah kabupaten tersendiri Di samping itu, pabrik gula lain itu meliputi PG Pur- di bawah Karesidenan Bagelen. Belakangan, kabupaten itu wokerto, PG Bojong, dan PG Kalireja. Hasil produk- dibubarkan dan wilayah bekasnya dileburkan dengan Kasinya diekspor ke Eropa. Demikian itu dikatakan sejarawan bupaten Purworejo. Prof. Sugeng Priyadi. Ia menulis beberapa literatur terkait Banyumas di antaranya Sejarah Kota Purwakerta dan Sejarah Kota Banyumas. Sembari menjadi peneliti sejarah, ia mengajar di Program Studi Pendidikan SeReporter: Yoga Iswara Rudita Muhammad, Mukti Palupi, jarah Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Muhammad Muflih Rizqullah, Aziz Dwi Apriyanto, Widya Pada saat krisis melanda, PG Purwokerto, Bojong, Marsepti Harista, dan Fahry Ammar Maulidian. dan Kalireja ditutup karena tak bisa lagi beroperasi. Sementara itu, PG Kalibagor menjadi satu-satunya pabrik






mencari jejak perpindahan pusat pemerintahan banyumas Oleh: Mukti Palupi

A

lun-alun Purwokerto tampak jadi pembatas dua bangunan dengan gaya arsitektur yang berseberangan. Di sisi selatan, telah berdiri Rita Supermall yang menjadi simbol modernitas. Sebaliknya, di utara, bertahan sebuah kompleks bangunan megah mencolok yang berdiri kokoh dengan arsitektur Jawanya. Bangunan itu ialah kompleks Kantor Pemerintahan Kabupaten Banyumas dan Pendopo Si Panji yang telah dipindah secara simbolis puluhan tahun lalu, seiring dengan perpindahan pusat pemerintahan kabupaten. Penghematan besar-besaran Pemerintah Hindia Belanda pada 1935 menjadi alasan perpindahan itu. Empat kabupaten di Jawa Tengah dihapus dari nomenklatur kewilayahan Hindia Belanda, dan kemudian diturunkan statusnya menjadi setingkat kecamatan. Keempat kabupaten itu ialah Purwokerto, Karanganyar, Kutoarjo, dan Batang. Setelah diturunkan statusnya, Purwokerto dilebur ke dalam wilayah administratif sekaligus menjadi pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas. Namun, banyak narasi lain yang terbangun terkait sebab-musabab pindahnya pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas.

Tiga Narasi Sebab Pindahnya Pusat Pemerintahan Versi pertama tentang pindahnya pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas datang dari masalah domestik keluarga Bupati. Raden Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata berselisih dengan Kanjeng Pangeran Aria Gandasubrata. Hal itu dijabarkan oleh Prof. Sugeng Priyadi, Guru Besar Ilmu Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Priyadi telah bertahun-tahun menekuni penulisan dan penelitian yang mengangkat lokalitas masyarakat Banyumas. Ia memulai dengan berkilas balik ke zaman Pemerintahan Hindia Belanda. Di Banyumas pada 1937, Bupati Sudjiman melakukan pemindahan pusat pemerintahan kabupaten dari Banyumas ke Purwokerto. Menurut Priyadi, pemindahan Pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas dari posisi awalnya dilatarbelakangi masalah keluarga Bupati Sudjiman. Bupati Banyumas yang menjabat pada 1933—1950 itu, memiliki hubungan kurang baik dengan Gandasubrata—Bupati Banyumas pendahulunya sekaligus ayahnya sendiri.

“Aku kalau baca surat-suratnya (Gandasubrata-red) itu, Sudjiman di-domeih terus nang bapake,� ujar doktor lulusan UGM itu. Yang dalam bahasa Indonesia berarti, Sudjiman selalu dimarahi oleh ayahnya. Ketidakharmonisan ini terjadi lantaran Gandasubrata menganggap Sudjiman lebih banyak mendengar ucapan Siti Subinjei sebagai istrinya ketimbang dia sebagai orangtuanya. Gandasubrata merasa tidak dianggap keberadaannya. Bahkan, hingga Gandasubrata meninggal, Sudjiman tak pulang ke Banyumas dengan dalih sedang di-eksternir atau dibuang ke Jakarta. Berbagai usaha dilakukan Sudjiman untuk dapat memindahkan pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas. Priyadi curiga, alih-alih Sudjiman mengusir Belanda dari tanah Banyumas, ia justru malah melakukan pendekatan kepada Belanda demi merealisasikan keinginannya. Setelah dirasa dekat dan memungkinkan, barulah Sudjiman mengutarakan keinginannya kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk bisa pindah dari Banyumas (yang kini disebut Kecamatan Banyumas) ke Purwokerto.

Tugu Banyumas yang letaknya berdekatan dengan Alun-Alun Banyumas (16/9/2018). Foto: Fahry Ammar Maulidian.


Replika Pendopo “Si Panji” yang berada satu kompleks dengan kantor kecamatan di Banyumas (8/5/18). Foto: Fahry Ammar Maulidian. Gedung Pendopo “Si Panji” di kota Banyumas tahun 1925. Foto: Koleksi Sugeng Wijono.

Kecurigaan Priyadi itu didasarkan pada persetujuan yang tetap diberikan Pemerintah Hindia Belanda. Padahal, pemindahan sebuah pusat pemerintahan bukan perihal sederhana. Dan, pemindahan pendopo juga bukan hal yang lazim dilakukan pada masa itu. Sempat santer sebuah kabar jika krisis Malaise yang terjadi pada 1930-an melatarbelakangi perpindahan pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas. Namun, hal itu langsung dibantah oleh Priyadi, “enggak ada, itu hanya bohong,” begitu tegasnya. Versi kedua diutarakan Sugeng Wijono, seorang kolektor foto sejarah asal Banyumas. Ia sependapat dengan Priyadi bahwa Malaise bukanlah penyebab dipindahkannya pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Purwokerto. Alasan kronologisnya adalah ketika perpindahan terjadi, kondisi Banyumas sudah stabil, dampak Malaise sudah bisa dikatakan tidak terasa lagi. Wijono memiliki versi lain. Ia berpendapat bahwa perpindahan itu semata-mata dilakukan Pemerintah Hindia Belanda hanya untuk memangkas sekaligus mengefisienkan anggaran. “Karena kekurangan keuangan pemerintah yang tidak mampu membiayai pemerintahan di Hindia Belanda ini, maka tiap-tiap karesidenan dikurangi (dihilangkan-red) satu kabupaten,” jelasnya kepada wartawan Skëtsa. Untuk pemangkasan anggaran itu, harus ada satu kabupaten di Karesidenan Banyumas yang dihilangkan. Lalu, dipilihlah Kabupaten Purwokerto untuk digabung dengan Banyumas. Di mana, saat itu juga bertepatan dengan pensiunnya Bupati Purwokerto Raden Arya Adhipati Tjokroadisurjo. Bupati Purwokerto yang menjabat sejak tahun 1924 itu tidak memiliki keturunan. Oleh sebab itu, pada 1937, bupati Banyumaslah yang pindah ke Purwokerto untuk mengisi kekosongan kekuasaan. Dan pada saat itu juga Purwokerto dijadikan ibu kota kabupaten sekaligus ibu kota Karesidenan Banyumas. Versi terakhir dikuak oleh Aris Wahyudi melalui hasil penelitian skripsinya. Makalah penelitiannya yang

berjudul “Perpindahan Pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Kota Purwokerto Tahun 1930—1937” dapat diakses di laman eprints.uny.ac.id. Saripati dari skripsi itu adalah dua alternatif versi perpindahan pusat pemerintahan kabupaten yang berbeda dari dua pendapat sejarawan sebelumnya. Pertama, modernisasi transportasi yang terjadi pada awal abad 20 menjadi faktor pendorong utamanya. Modernisasi itu menjadikan Pemerintah Hindia Belanda menetapkan kebijakan pemindahan pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Purwokerto. Dulu, sebagai ibu kota karesidenan sekaligus ibu kota kabupaten, Banyumas memiliki kedudukan yang sangat penting. Namun, kondisi geografisnya yang terpencil menjadikan Banyumas dianggap kurang berkembang. Banyumas yang dilalui Sungai Serayu dan dikelilingi bukit membuatnya terisolasi dan lambat berkembang. Hal itu dicatat paling tidak oleh dua orang Residen Banyumas dalam memori serah jabatannya. Residen M.J. van der Pauwert mengawalinya. Pada 1925, ia menyampaikan bahwa Sungai Serayu yang membelah Karesidenan Banyumas menyebabkan daerah itu terpencil. Jembatan penghubung di dekat Banyumas prapenggabungan hanya ada satu. Jembatan itu juga menghubungkan daerah di sepanjang Sungai Serayu saja, seperti Kabupaten Cilacap, Banyumas, Purwokerto, dan Purbalingga. Sementara itu, penyeberangan sungai di tempat lain masih harus menggunakan tambang. Selain Pauwert, Residen J.J. Helsdingen pun mendukung pernyataan itu pada 1928. Memori serah jabatannya menyatakan bila keterbelakangan Banyumas disebabkan oleh letaknya yang terpencil. Hal ini terjadi karena tidak adanya jalan penghubung antardaerah. Yang kedua, karena kondisi perekonomian di wilayah Kabupaten Banyumas prapenggabungan yang semakin terpuruk akibat krisis ekonomi global yang terjadi pada 1930-an (Baca Laporan Utama “Malaise: Ketika Banyumas Diterpa Krisis”).


penghapusan kabupaten bisa ditempuh. Balasan surat dari Residen M. J. van der Peuwert baru dikirim pada 16 Maret 1925. Isinya berupa penentangan. Peuwert juga meminta untuk lebih dimatangkan lagi rencana pemindahan itu. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang tertuang dalam Staatsblad tahun 1935 nomor 631 dan 632 menjadi titik terangnya. Kebijakan itu berisi tentang penghapusan Kabupaten Purwokerto yang diikuti penggabungan bekas wilayahnya ke Kabupaten Banyumas.

Boyongan Bupati, Boyongan Pendopo

Ilustrasi: Fahry Ammar Maulidian

Setelah melewati proses yang panjang, Residen Banyumas dan Dewan Kabupaten akhirnya sepakat unSugeng Priyadi, sejarawan tuk memindahkan pusat Pemerintahan Banyumas ke PurBanyumas (10/11/2018). wokerto. Keputusan itu menuntun ke arah digelarnya upacara Foto: Yoga Iswara R. M. perpindahan. Surat Kabar Djawa Tengah memberitakan perPerjalanan Panjang Menuju Pemindahan pindahan itu dalam artikel berjudul “Oepatjara Pemakean Sebelum akhirnya dipindah, usulan mengenai pemin- Kaboepaten Jang Baroe Dibikin Betoel�. Berita itu mengindahan Pusat Pemerintahan Banyumas telah bergulir sejak formasikan bahwa bupati dari Kabupaten Banyumas dan lama. Setidaknya sudah ada empat kali pengajuan. Purwokerto, Raden Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata Ajuan pertama muncul pada 1896. Residen Mulle- beserta istri dan beberapa orang lainnya telah tiba di Purmeister menginisiasi ide itu sebagai bagian dari usulan re- wokerto pada hari Rabu, 6 Januari 1937, jam 8 pagi. organisasinya. Selain pindahnya Bupati ke Purwokerto, Pendopo Usulan reorganisasi itu mulanya dilatarbelakangi ke- Si Panji yang merupakan simbol pusat Pemerintahan Kakosongan kursi Bupati Purbalingga. Kala itu, tak ada kandi- bupaten Banyumas pun turut dipindah. Sudjiman yang dat yang tepat untuk ditunjuk. Guna mengisi kekosongan, memintanya dengan alasan banyak kayu pendopo yang dipilihlah salah satu dari Bupati Banyumas atau Purwoker- keropos dan kemungkinan akan roboh dalam jangka waktu to. Akan tetapi, harus diiringi dengan penghapusan kabu- 1—2 tahun. paten dari bupati yang diangkat. Alasan itu berasal dari klaim Sudjiman, bahwa penHal itu terungkap dalam catatan arsip yang ditulis dopo telah diperiksa ahli bangunan dari Belanda. Namun Residen Banyumas W. Ch. Adrians kepada Gubernur Jawa nyatanya, bangunan yang berusia lebih dari 200 tahun itu Tengah. Namun, tulisan bertanggal 4 Februari 1933 itu be- tidak memiliki kerusakan ketika dibongkar. lum cukup menjadi alasan yang kuat bagi Pemerintah HinDi Banyumas, pemindahan Pendopo Si Panji secara dia Belanda untuk mengeluarkan kebijakan pemindahan. prosesi memang dimulai dari membongkar pendopo lama. Usulan dari Mullemeister itu malah dianggap akan merugikan Kabupaten Banyumas. Sebab, pusat pemerintahan yang sebelumnya masyhur tersebut dikhawatirkan menjadi terasingkan dan terisolasi. Usulan kedua muncul tak lama setelah dibukanya jalur kereta api Cirebon-Kroya yang melewati Purwokerto. Jalur itu mulai beroperasi pada Januari 1928. Keadaan itu menjadikan Purwokerto semakin ramai, sedangkan Banyumas berangsur-angsur sepi. Karena alasan tersebut, Direktur Urusan Dalam Negeri Pemerintah Kolonial Belanda Schippers memberi usulan untuk pembentukan satu daerah afdeeling (wilayah administratif) baru. Wilayah administratif yang setingkat kabupaten itu hendak dibangun dengan menggabungkan salah satu dari Kabupaten Banyumas atau Cilacap. Namun, Residen Banyumas M. J. van der Peuwert tidak menerima usulan itu. Schippers tak habis akal. Pada 18 Juni 1921, ia mengirimkan suratnya yang kedua. Berbeda dengan yang ditulis sebelumnya, suratnya kali ini lebih menekankan pada penghematan pengeluaran pemerintah. Harapannya, opsi


tetap dengan melewati dan menyeberanginya. “Saksi mata menyatakan bahwa semua bagian bangunan Pendopo Si Panji diboyong melalui jembatan Sungai Serayu,” begitu ujarnya. Di Hindia Belanda saat itu belum terdapat truk. Kemungkinan besar pemindahan Pendopo Si Panji hanya menggunakan dokar atau pedati sapi. Akan membutuhkan waktu yang sangat lama apabila pemindahan itu dilakukan dengan mengitari Sungai Serayu. Selain Pendopo, seperangkat simbol-simbol kerajaan pun terkena imbas dari pemindahan itu. “Jadi kalau kerajaan pindah maka simbol pusaka-pusaka juga ikut pindah.” Ungkap Priyadi.

Distrik Banyumas Pascaperpindahan

Jembatan Sungai Serayu di Banyumas, Jawa Tengah. Foto: Koleksi Museum Tropen.

Segala kayu atau yang jadi bahan bangunan kemudian dibawa dari Banyumas ke Purwokerto. Ada dua pendapat besar dalam perdebatan mengenai cara pemindahan Pendopo Si Panji ini ke tempatnya yang sekarang, daerah Kantor Pemerintahan Kabupaten Banyumas di Purwokerto. Pendapat pertama menyatakan bahwa pemindahan Pendopo Si Panji dilakukan tanpa menyeberangi Sungai Serayu. Jadi, pemindahan pendopo itu harus memutar menyusuri tepi Sungai Serayu. Rutenya melalui Wonosobo terus ke utara sampai Karesidenan Pekalongan hingga berakhir di Purwokerto. Cara ini dilakukan lantaran masyarakat setempat memiliki keyakinan memindahkan pendopo tidak boleh sembarangan. Menurut mereka, memindahkan Pendopo Si Panji ke Purwokerto dengan menyeberangi Sungai Serayu merupakan sebuah pantangan dari leluhur. Pendapat kedua mengatakan sebaliknya. Bahwa pemindahan Pendopo Si Panji sebenarnya tetap menyeberangi Sungai Serayu. Jembatan permanen yang sudah tersedia pada 1937 menjadi bukti penguatnya. Jembatan itu merupakan akses langsung menuju Purwokerto. Pendapat tersebut diperkuat oleh Priyadi. Menurutnya, tidak dibolehkannya pemindahan Pendopo Si Panji melewati Sungai Serayu kemungkinan besar atas perintah dari Gandasubrata. Ia berusaha menghalangi perpindahan itu. Pasalnya, Gandasubrata ini memang tidak menginginkan anak dan menantunya untuk pindah dari Banyumas. Itu sebabnya, Priyadi percaya pemindahan Pendopo Si Panji tidak dengan mengelilingi Sungai Serayu, tetapi

Praperpindahan, Distrik Banyumas menjadi wilayah yang amat penting karena statusnya sebagai pusat pemerintahan. Kondisi itu berbalik usai dipindahkannya pusat Pemerintahan Banyumas ke Purwokerto. Daerah itu perlahan kehilangan hiruk-pikuknya Staatsblad nomor 343 tahun 1937 yang mulai berlaku pada 1 Juni 1937 menandai awal keadaan itu. Peraturan itu memuat secara sah bahwa Kota Banyumas tak lagi berstatus sebagai ibu kota kabupaten maupun ibu kota karesidenan. Melainkan hanya sebagai distrik dan Ibu kota Kecamatan Banyumas di bawah Pemerintahan Kabupaten Banyumas. Kantor residen menjadi kantor pemerintahan terakhir yang masih aktif di Kecamatan Banyumas kala itu. Residen Banyumas H.G.F. van Huls masih menempati gedung lamanya sebelum gedung karesidenan yang baru di Purwokerto selesai dibangun. Bekas kompleks kantor pemerintahan kabupaten yang lama dijadikan kantor kecamatan. Kompleks kantor pemerintahan itu tak banyak berubah. Yang berbeda hanya pendopo Si Panji yang diganti dengan pendopo duplikatnya yang dibangun tahun 1977. Menyadari hal tersebut, Priyadi merasa miris, “Jane lucu yah, di tempat yang asli (Kecamatan Banyumas-red), pendoponya palsu,” begitu katanya. Dipindahkannya pusat pemerintahan membuat Kecamatan Banyumas seolah tidak lagi memiliki arti penting bagi Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini berakibat pada semakin terpuruknya perekonomian di wilayah ini. Kantorkantor perusahaan baik milik pemerintah maupun swasta turut berpindah ke Purwokerto yang dianggap memiliki prospek perekonomian lebih baik.

“Kemungkinan besar pemindahan Pendopo Si Panji hanya menggunakan dokar atau pedati sapi”

Reporter: Yoga Iswara Rudita Muhammad, Mukti Palupi, Muhammad Muflih Rizqullah, Aziz Dwi Apriyanto, Widya Marsepti Harista, dan Fahry Ammar Maulidian.



Kunclungan, Permainan Pelepas Lelah dari Serayu Oleh: Mukti Palupi

“Clung plak clung blung gelung gepak mandulmandul.” irik itu merupakan penggalan lagu dolanan khas Desa Plana yang biasa dinyanyikan beriringan dengan permainan tradisional Kunclungan. Kunclungan pula disebut-sebut sebagai permainan khas Desa Plana yang sudah hampir punah. Lantunan musik dapat dihasilkan lewat tepukan dan kayuhan tangan di sungai. Hujan menemani kami untuk sampai di sebuah pedesaan, Minggu (19/11/2017). Papringan yang rimbun kian mendinginkan suasana. Berkendara di atas aspal koyak, akhirnya kami sampai di Desa Plana. Desa Plana merupakan desa terpencil di ujung timur Somagede, Kabupaten Banyumas, yang berbatasan dengan Desa Pelumutan, Kabupaten Purbalingga. Kedua desa itu dipisahkan oleh Sungai Serayu. Dulu, masyarakat Desa Plana biasa bermain Kunclungan di sepanjang Sungai Serayu.

L

Wartawan Skëtsa menyambangi rumah Sarno yang tak jauh dari Sungai Serayu. Ia salah satu tokoh masyarakat sekaligus salah satu Kepala Dusun di Desa Plana. Sarno mulai bercerita soal Kunclungan atau biasa disebut Kuclukan. Dulu, masyarakat Desa Plana percaya jika air sungai dapat menghilangkan rasa lelah, sehingga mereka punya tradisi mandi di sungai selepas bekerja. Kebanyakan dari mereka itu petani. Mereka membersihkan diri di sungai sambil menepukkan tangan di air. Tepukan itu menghasilkan irama yang semarak dan enak didengar. “Jadi ceritanya, orang zaman dahulu senang apabila sepulang dari sawah kemudian mandi di air yang dalam (sungai-red), sehingga mereka sileman dan memainkan tangan kecebak-kecebuk,” tutur Sarno. Kalau kata Ahmad Tohari, seorang budayawan Banyumas, Kunclungan tidak hanya dijumpai di Desa Plana. Hampir semua tempat di Pulau Jawa yang dekat dengan aliran sungai juga mengenal permainan ini dengan beragam

Jembatan Gantung Bralingmas yang menghubungkan Desa Plana di Banyumas dan Desa Pelumutan di Purbalingga (19/11/17). Foto: Mukti Palupi.


istilah. Kunclungan adalah permainan anak-anak desa ketika mandi di sungai yang umumnya dimainkan pada musim kemarau. “Karena saat kemarau airnya lebih jernih. Mainnya di lubuk, bagian terdalam sungai, lebih banyak ramai-ramai. Yang ditiru orang main rebana atau main kendang,” kata Tohari pada Kamis (18/10/2018). Clung, Plak, dan Blung Permainan Kunclungan biasa dimainkan banyak orang meski bisa juga dimainkan satu orang saja. Sarno pun menjelaskan ada tiga jenis bunyi yang dihasilkan tangan ketika bermain Kunclungan: bunyi clung, plak, dan blung. Bunyi yang dimainkan secara berurutan menghasilkan irama “clung plak clung blung”. Begitulah ritme yang dihasilkan dari tepukan dan kayuhan tangan di air. Irama itu dibunyikan secara berulang-ulang dan berselang-seling antara pemain satu dengan yang lain hingga jadilah irama permainan Kunclungan. Bunyi “clung” dihasilkan dengan cara membuka tangan lebar-lebar dan dengan cepat mendorongnya ke dalam air. Arah dorongannya pun harus berlawanan dengan arus dan harus membentuk sudut kemiringan tertentu. Kemudian bunyi “plak” dihasilkan ketika telapak tangan bertemu dengan permukaan air. Cara melakukannya hanya dengan merapatkan jari, lalu menepuknya ke permukaan air. Sedangkan bunyi “blung” ditimbulkan dari jatuhnya tangan yang mendorong air dalam takaran yang lebih banyak. Caranya dengan memasukkan kedua tangan ke dalam air, kemudian membuatnya seakan berpapasan di dalam air. Bunyi yang sempurna dihasilkan dengan teknik khusus yang baik pula. Semangat, penekanan, dan kecepatan menjadi kunci apiknya permainan Kunclungan. Sungai yang dipilih pun harus memenuhi kriteria. Untuk mendukung penciptaan bunyi yang bagus, kata Sarno, biasanya dicari sungai yang cukup dalam. Kriteria sungai

Itu kesenian, seni karena dipilar ke dalam kurun yang cukup lama sehingga mentradisi.

ini dipilih juga karena alasan keamanan. Apabila sungai dangkal, dikhawatirkan jari bisa membentur dasar sungai yang dapat berakibat cedera. Soal batas kedalaman sungai, menurut Ahmad Tohari, minimal satu pusar. “Di kali itu di kedungnya, kedalaman kali paling tidak sebatas pusar. Kalau lebih rendah dari itu susah, suaranya juga kurang bagus.” Permainan atau Kesenian Sarno yang sejak kecil telah mengenal Kunclungan, mengatakan bahwa Kunclungan tidak diketahui sejarahnya. Masyarakat bermain hanya mengikuti pendahulunya saja. Bahkan, ayahnya yang dahulu setiap hari beraktivitas di sungai pun tidak tahu dari mana asalnya permainan ini. Sulitnya melacak asal-usul Kunclungan juga dianggukkan Ahmad Tohari. Tohari bilang, Kunclungan merupakan bagian dari tradisi masyarakat desa yang terbiasa beraktivitas di sungai. “Jangankan mandi, minum di kali saja biasa itu. Jadi, ketika orang menepuk-nepuk air seperti menirukan orang menepuk gendang,” sambung Tohari, “Kemudian berkembang menjadi Kunclungan. Itu sangat sulit untuk tahu kapan dimulainya, mustahil (ditelusuri-red).” Alhasil, Kunclungan hanya dianggap sebagai permainan saja oleh kebanyakan warga Desa Plana. Ia bukan kesenian. Namun, Ahmad Tohari punya pendapat lain. Ia memandang Kunclungan bukan sekadar permainan belaka, tetapi juga kesenian. “Itu kesenian, seni karena dipilar ke dalam kurun yang cukup lama sehingga mentradisi. Itu ya boleh dong dianggap seni, seperti seni main egrang.” Kunclungan Menjelang Punah Ketika Sarno kecil, Kunclungan sangat digemari masyarakat Desa Plana. Dari laki-laki sampai perempuan, anak-anak hingga orang dewasa, semua bermain Kunclungan. Kini, Kunclungan jarang dimainkan. Barangkali kini hanya para sesepuh saja yang tahu dan bisa memainkannya. Kunclungan sudah hampir punah. Bahkan, di desa asal Ahmad Tohari, Desa Tinggar Jaya, sudah tidak ada lagi Kunclungan. “Padahal sungainya masih ada, tetapi orang main Kunclungan sudah tidak ada,” begitu kata Tohari yang juga dikenal sebagai sastrawan kenamaan Banyumas. Lalu, Sarno menduga jika keberadaan fasilitas MCK menjadi satu penyebab hampir punahnya Kunclungan. Dulu, sebelum tiap rumah di Desa Plana ada fasilitas


Ahmad Tohari, budayawan asal Banyumas, saat ditemui di acara pergantian tahun di Cilongok (31/12/2018). Foto: Yoga Iswara Rudita Muhammad.

MCK, aktivitas seperti mandi, mencuci pakaian, sampai membuang hajat biasa dilakukan di sungai. Mereka biasa beraktivitas sembari bermain Kunclungan di sungai. Berbeda dengan sekarang, hampir setiap rumah di Desa Plana memiliki fasilitas MCK. Bapak-bapak yang dulunya setiap hari mandi di sungai sampai ibu-ibu yang biasa mencuci pakaian di sungai, sekarang lebih memilih melakukannya di rumah. Bahkan anak-anak sekarang dilarang bermain atau pun mandi di sungai oleh para orang tua. Takut kena penyakit kulit atau tenggelam terbawa arus. Penyebab lain menurut Sarno, tidak ada transfer pengetahuan tentang Kunclungan seperti pelatihan atau pengenalan kebudayaan kepada kaum muda. Sarno pun merasa miris ketika ada beberapa warga setempat—terutama pemancing ikan—malah melarang permainan ini. Alasannya, jika Kunclungan dimainkan, mereka khawatir ikan-ikan akan kabur, sehingga mereka gagal memperoleh hasil pancingan. Rustam, salah seorang warga Plana, ikutan nimbrung dalam perbincangan kami dengan Sarno. Rustam terbilang tua. Dulu, ia sering bermain Kunclungan ketika kecil. Pada usianya yang sudah senja, ada keinginan Rustam agar kaum muda bisa sadar serta ikut berperan merawat kesenian Kunclungan. Agar Kunclungan senantiasa bisa

eksis dalam perkembangan zaman, menurut Rustam, diperlukan dukungan pemerintah daerah untuk memperkenalkan kesenian ini melalui progam kerjanya. “Seperti memasukkannya ke dalam event-event yang akan dijalankan. Bisa juga dengan memasukkannya ke dalam mata pelajaran muatan lokal. Dengan demikian generasi muda dapat mengenal kesenian ini,” begitu ujar Rustam. Ahmad Tohari pun memandang perlunya upaya pelestarian kesenian Kunclungan. Salah satu caranya seperti pengadaan festival Kunclungan. Menurut Tohari, akan sangat baik kalau Kunclungan hendak dihidupkan kembali. Kunclungan menjadi penting, sebab ia merupakan tradisi yang bisa memberikan hiburan kepada masyarakat. “Saya menganjurkan ada festival Kunclungan di desadesa yang mungkin akan dikumpulkan, misalnya se-Kabupaten Banyumas. Satu desa diminta mengirimkan satu tim terdiri dari tiga sampai empat orang. Bisa di kolam renang. Kalau ada kali, ya di kali,” begitu tandasnya.

“Akan sangat baik kalau Kunclungan hendak dihidupkan kembali.” - Ahmad Tohari -

Reporter: Mochammad Fathurohman, Mukti Palupi, dan Widya Marsepti Harista.





HILANG KARYA, HILANG NAMA

M

Oleh: Yoga Iswara Rudita Muhammad*

iguel bukan bocah biasa. Bocah seumuran dia wajarnya hanya berpikir soal bermain dengan kawan atau pun orang dekatnya. Suatu ketika, ia mulai bermimpi bisa membawakan lagulagu Ernesto de La Cruz—musisi yang karyanya amat dikenang. Itu semua sejak Miguel secara diam-diam memutar kaset yang berisi video musik idolanya itu di loteng rumah. Bagaimana kiranya seorang anak kecil bisa demikian mengagumi sosok de La Cruz? Masih menjadi pertanyaan. Singkat cerita, Miguel terbawa secara tidak sengaja ke alam pos-kehidupan. Ia mengelana alam arwah karena tak sengaja mengambil gitar di kuburan de La Cruz. Namun, cerita tidak lantas berakhir di situ. Malahan, boleh dikata dari situlah petualangan tokohnya dimulai. Ia masih meneruskan “hidupnya”, menjajaki setapak demi setapak peradaban orang mati. Ia bergumul di lanskap kota yang khayali. Film ini sedikit banyak mengangkat fenomena di sekitar kita meskipun secara subtil. Misalnya saja soal sikap konservatif. Film ini menggambarkan dengan terang bahwa orang tak wajib menjadi pintar untuk bisa berpikiran konservatif. Ini misalnya ketika Miguel dilarang untuk membangun relasi dalam bentuk apa pun dengan sesuatu yang bernama musik tanpa alasan yang jelas. Dalam bahasa yang agak kasar, “musik itu haram”, kalau saya menyingkatkannya tanpa bermaksud melarikan konteksnya kepada hal yang lain. Menjadi terang bahwa Miguel menolak tunduk pada larangan itu, meskipun tidak lantas frontal pula. Ya, tidak perlu dalil-dalil filosofis atau pun statistik untuk menjelaskan kepada anak seumuran Miguel, kena-

Judul film Tahun Sutradara Produksi Rating

: Coco : 2017 : Lee Unkrich : Pixar : 8.4/10 (IMDb)

pa tak boleh menikmati musik, karena besar potensinya dia tidak paham. Tidak serumit itu caranya. Miguel berulang kali terkena masalah hanya karena berurusan dengan musik. Yang bisa kita tangkap dari ini adalah, konservatisme itu nyata. Andai saja yang melarang itu bisa memberikan cukup alasan yang dapat diterima Miguel, konflik tokoh utama tentu tak perlu sampai difilmkan. Yang kedua ialah menyoal halperihal kebencian kurang berdasar. Siratan kebencian itu cukup banyak digambarkan melalui dialog antartokoh. Misalnya betapa keluarga Miguel membenci musik dan apa-apa yang menyertainya. Merentang dari menikmati musik hingga mereka yang bermain musik: hanya membikin keributan di keluarga itu. Mendengarkan musik adalah laku tengik.

Namun, janganlah menyandarkan beban realisme itu secara berlebih kepada film ini. Anda bakal kecewa. Perhatikan lebih lanjut soal ini: mahir itu tak berasal dari kerasnya latihan. Tidak ada alah bisa karena biasa. Miguel membuktikannya. Miguel mahir memainkan alat musik sekaligus menyetemnya tepat dikali pertama ia memegang gitar. Modalnya sangat sepele: ungkapan de La Cruz yang diulang-ulang, “seize your moment”, kejar momenmu. Di dunia nyata, penulis malah mendapati bukti yang lebih berupa negasi dari yang Miguel alami. Miguel tak sampai perlu belajar mengubah posisi akor dan mengeluhkan kapalan di ujung jari sepanjang film berjalan. Hal ini tentu mengurangi sense of struggle yang dihadapi tokoh utama. Kurang gereget. Hanya karena film ini bergaya animasi, tidak mutlak berarti film ini lebih dikhususkan buat anak-anak. Serial “Spongebob Squarepants” misalnya, meskipun bergaya animasi, bukanlah murni dibikin untuk kalangan anak-anak. Tentu saja di sini penulis sedang merujuk pada humor-humor yang sebetulnya bukan untuk kalangan anak-anak. Anda bisa mencari sendiri contohnya. Untuk film ini, penulis lebih condong merekomendasikannya bagi segmen penonton remaja atau yang lebih dewasa. Mati, Lalu Apalagi? Latar cerita yang sedikit banyak berkisah soal kehidupan setelah kematian tentu akan menjadi tantangan bila Anda ngotot membawa anak-anak menonton film ini. Dimungkinkan keluar pertanyaan-pertanyaan yang susah dijawab hanya karena kita belum mengalaminya secara pasti. Misalnya, “Apa yang terjadi setelah kita mati?” Belum lagi jika jawaban itu terus dike-


jar hingga muncul pertanyaan, “Kok di filmnya Tuhan tidak kelihatan?” Tak perlu mengajak anak menonton film ini kecuali Anda punya stok jawaban yang melimpah dan cukup arif memberi jawaban. Bahasan mengenai kematian dalam film ini setidaknya membuat mereka yang menonton bisa berefleksi. Sebetulnya yang dimaksud kematian itu apa? Apakah itu ketika jantung dan organ-organ lainnya mulai berhenti bekerja? Ataukah ketika tidak ada yang mengenang masa-masa hidup seseorang sebab tak meninggalkan apa-apa?

digambarkan dengan sinonim: wafat, gugur, meninggal, tewas, atau bahkan modar. Alasan digunakannya salah satu kata itu sangat mungkin dikonstruksi beberapa saat sebelum kematian itu terjadi. Itu bisa diukur dari perkataan, “Semasa hidupnya ....”

cuatkan pertanyaan, lalu di manakah jiwa itu melekat? Lagi-lagi realisme itu jangan dijadikan ukuran mutlak. Di film ini, humor bisa timbul di mana saja. Entah di dunia manusia, entah di dunia orang mati. Saya ambilkan satu saja, suatu ketika, satu roh mengalami bersin karena alergi pada anjing yang terus mengikuti Miguel. Petunjuknya, roh-roh itu cuma kumpulan tulang tak berkulit dan tak memiliki organ hidung.

“Siratan kebencian itu cukup banyak digambarkan melalui dialog antartokoh”

Perihal kematian, tentu menyisakan bermacam pertanyaan. Akan tetapi, sangatlah sulit mencari jawaban yang pasti. Jawaban yang ditemukan seringkali hanyalah mencakup beberapa aspek dari kematian tanpa bisa melihat itu sebagai sesuatu yang utuh. Aspek itu pun barangkali hanya mewakili sudut tertentu tergantung dari segi mana memandang. Entah perspektif apa yang dipakai untuk menyebut sesuatu telah mati, kematian tetaplah kematian. Lebih bijak bila memikirkan sebutan apa yang pantas disemat selama peristiwa ini terjadi. Apakah kematian itu cukup

Kalaupun tidak ketemu jawabnya, belum tentu itu karena kita terlalu bodoh untuk mengambil kesimpulan. Kita hanya belum mengalami apa yang disebut kematian untuk kemudian datang dan berkisah soal kematian yang dialami. Kematian tak meloloskan siapa pun untuk datang dan bercerita banyak mengenai dirinya. Ini membuat versi-versi kisah kematian barangkali tak lebih dari pandangan yang mengawang-awang. Ketika Miguel tiba di dunia orang mati, kita mungkin dikejutkan dengan sosok-sosok yang bentuknya tak banyak berbeda dari manusia. Tak jauh berbeda dari Miguel. Hanya sedikit malih rupa. Jiwa yang ada pada mereka tetap sama seperti semasa hidup. Mereka beragang tulang dan tetap memiliki jiwa. Representasi semacam ini men-

Ini film yang bisa membuat penonton yang serius terhanyut dengan beberapa adegan yang cukup menyayat batin, meskipun tidak di keseluruhan ceritanya. “Coco” seakan ingin mengatakan kalau kematian itu proses berlanjut. Bahwa pos-kehidupan itu benar ada atau pun tidak, memang masih sebatas spekulasi yang berbasis hipotesis. Minim bukti. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama, kalau boleh diperibahasakan. Karya adalah salah satu hal yang membuat nama itu tak gampang luntur.

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2016.


BEIRUT DAN ISLAMOFOBIA Oleh: Lisah Khaerani*

Judul film : Beirut (The Negotiator) Sutradara : Brad Anderson Skenario : Tony Gilroy Rating : 6,4/10 (IMDb);6,7/10 (Rotten Tomatoes); 3/4 (Roger Ebert) Pemain : Jon Hamm, Rosamund Pike, Dean Norris, Larry Pine, Shea Whigham, Leila Bekhti, Mark Pellegrino Genre : Crime, Drama, Thriller.

F

ilm ini dibintangi oleh Jon Hamm sebagai pemeran utamanya. Alur pembuka dalam film mengisahkan situasi kurang baik. Diawali kisah seorang diplomat berkarir cemerlang bernama Mason Skiles (Jon Hamm). Ia mesti menyaksikan istrinya, Nadia Skiles (Leila Bekhti), tewas tertembak oleh salah satu anggota kelompok milisi yang menerobos masuk ke kediaman Mason di Kota Beirut, Lebanon. Mason yang depresi pasca-kematian istrinya, akhirnya kembali ke AS, dan berhenti dari jabatan diplomat.

Kelompok itu menerobos rumah Mason untuk membawa pergi Karim (13 tahun), anak yang semula akan diadopsi keluarga Skiles. Ternyata, Karim adalah adik dari pemimpin kelompok tersebut, Rafid Abu Rajal, seorang buronan paling dicari di dunia. Film “Beirut” memakai latar perang sipil yang melibatkan banyak kelompok milisi. Secara sederhana, perang sipil yang terjadi pada 1980-an, adalah perang atas dasar sentimen antaragama. Kaum nasrani dan muslim terlibat dalam pergesekan sektarian di Lebanon. Perang saudara semakin kompleks ketika Israel berniat melakukan invasi ke Lebanon. “Beirut”, film yang disutradarai Brad Anderson ini, tayang pertama kali di Festival Film Sundance pada 22 Januari 2018. Yang menarik, penulis “Beirut”, Tony Gilroy, menyatakan bahwa “Beirut” merupakan film yang ia tulis 30 tahun lalu, sampai akhirnya berhasil tayang setelah perjalanan panjang dalam pembuatan skrip serta riset. Tentunya itu bukan waktu yang pendek untuk meriset bahan sebuah film. Pada peluncuran teaser perdananya, “Beirut” sudah dikritik oleh banyak orang khususnya politisi-politisi ternama. Seperti politikus Lebanon, Ghattas Khoury, menganggap film “Beirut” sebagai aksi merendahkan citra Kota Beirut. Sejarah tentang Kota Beirut tidak sesuai seperti yang digambarkan pada film, bahkan ceritanya terkesan ceroboh. Ghattas Khoury menyebut film ini sebagai gambaran yang tidak adil bagi Kota Beirut. Seperti yang dikutip dalam artikel berbahasa Inggris milik Najia Houssari di situs ArabNews.com. Sementara itu, pembawa acara Washington Post, Hannah Jewell, sekali waktu menjelaskan bahwa adegan film yang menampilkan wanita berbikini di

pantai sangatlah klise bagi Kota Beirut pada tahun 1970—1980-an. “Beirut” punya judul lain saat perilisan di UK (United Kingdom), “The Negotiator”. Barangkali alasannya, kisah film ini sebagian besar menitikberatkan pada proses negosiasi yang dilakukan Mason. Sepuluh tahun pasca-kematian istrinya, Mason diminta kembali ke Beirut. Rupanya, Mason diminta menjadi “negosiator” oleh kelompok milisi yang menculik agen CIA, Cal Riley (Mark Pellegrino), kawan lama Mason sewaktu ia masih menjadi diplomat di Beirut. Dan Karim ialah dalang penculikan tersebut. Karim berniat memakai Cal Riley untuk ditukar dengan kakaknya, Rafid Abu Rajal, yang dikiranya ditangkap oleh Israel. “Beirut” merupakan film amalgamasi dari banyaknya peristiwa di suatu wilayah, di mana terdapat kemiripan dengan kejadian nyata. Tujuan pembuatan film “Beirut” untuk mengetahui bagaimana kita bisa sampai pada masa sekarang, dimulai tahun ‘70—‘80-an, bagaimana kepentingan pemerintah wilayah lain berjalan, dan solusinya. Pengambilan gambar yang sederhana juga menjadi nilai tambah tersendiri. Namun, banyak penikmat film kecewa karena gambar tidak diambil langsung di Beirut, melainkan di Maroko, Afrika Utara. Penikmat film tidak mendapat bayangan nyata Kota Beirut, khususnya penonton asal Lebanon yang asing dengan latar film itu. Jon Hamm sebagai tokoh utama menegaskan, “Beirut” bukanlah dokumenter. “Maksudku kamu harus mengerti ‘Casablanca’ (film berlatar Perang Dunia II) tidak dilakukan di Casablanca. Dan kamu tahu, ‘Star Wars’ tidak dilakukan di Dagobah,”


ujarnya saat wawancara di The Hollywood Reporter. Jon sudah dikenal sebagai profesional dalam dunia peran internasional, terutama saat dirinya membintangi serial “Mad Men” (2007—2015) dengan hasil yang sangat memuaskan. Salah satu akun di IMDb memberikan penilaian sebanyak delapan bintang. Ia menyebutkan, “Beirut” merupakan thriller padat, menyenangkan, dan harus ada di daftar tontonan. Kinerja Jon Hamm dapat diandalkan. Ada aktor hebat lain dalam film ini, Rosamund Pike misalnya. Namun, performanya kali ini tidak terbilang bagus. Untuk para kritikus, tentu ada benarnya mengenai gambaran Kota Beirut yang tidak sesuai, tetapi sekali lagi, ini adalah film thriller, bukan dokumenter. Jika Anda mencari film mata-mata atau spionase modern, maka “Beirut” pilihan tepat. Film ini akan membuat otak Anda bergejolak. Sebenarnya, sejak awal menonton “Beirut”, film ini tidak sering menampilkan adegan menegangkan. Kebanyakan menampilkan perdebatan serius dan kemampuan bernegosiasi untuk mengubah pemikiran lawannya, seperti itulah daya pikat dalam film “Beirut”.

film ini dilarang tayang (banned). Alasannya, karena “Beirut” dianggap sebagai film propaganda yang mendiskreditkan Islam. Abed Ayoub, Direktur Bidang Hukum dan Kebijakan, Komite Anti Diskriminasi Amerika-Arab, menyebut film “Beirut” mengandung unsur rasisme. Abed memandang, Hollywood menciptakan dan mendorong islamofobia. Alasan Abed berkata

takan kuat bertahan dengan rating di atas lima. Di situs Rotten Tomatoes, hampir 55% penontonnya menyukai film ini. Sebenarnya, sisi apa yang menarik dari diplomat hingga diangkat menjadi sebuah film? Yang menarik tentu saja cara diplomat bernegosiasi dalam menentukan keadaan politik suatu wilayah. Sebagai perbandingan, ada film lain yang mengangkat tema sama berjudul “The Diplomat (False Witness)” garapan sutradara Peter Andrikidis tahun 2009. Film ini menceritakan keterlibatan seorang diplomat asal Britania dalam skandal besar yang dapat mengancam keluarganya. Dougray Scott sebagai pemeran utama mendapat misi untuk mengekspos sindikat terorisme, senjata nuklir, sembari membersihkan namanya. Film “Beirut” dan “The Diplomat” memiliki banyak kesamaan secara keseluruhan, yang membedakan hanyalah kasus yang ditangani dan cara tokoh menyelesaikan masalah. Dari segi rating, “The Diplomat” belum dapat menandingi “Beirut”. Di situs IMDb, “The Diplomat” memperoleh skor 5,6/10, sedangkan “Beirut” 6,4/10. Film bertema politik dan diplomasi khususnya berlatar Timur Tengah memang tidak benar-benar menguntungkan seperti yang ditulis Brian Tallerico di Rogerebert.com. Akan tetapi, jenis film seperti inilah yang membawa suasana baru bagi dunia perfilman internasional.

“Di beberapa negara seperti Lebanon, film ‘Beirut’ terus-menerus dikenai sensor yang ketat”

Propaganda Islamofobia Di beberapa negara seperti Lebanon, film “Beirut” terus-menerus dikenai sensor yang ketat. Beberapa adegan dipotong sampai puncaknya

demikian, ditunjukan adanya adegan penculikan Cal Riley oleh kelompok muslim. Namun, Tony Gilroy selaku penulis membantah. Baginya tidak ada yang namanya melebih-lebihkan mengenai cara sineas mendekati berbagai hal dalam sebuah film. Kesuksesan sebuah film ditentukan oleh keadaan pasar itu sendiri. Habib Battah, dosen jurnalisme di American University of Beirut, menjelaskan keadaan yang sebenarnya di kancah perfilman. Menurutnya, ini terjadi di hampir setiap film Hollywood yang menyangkut Timur Tengah. “Orang Amerika dan orang kulit putih adalah korban. Orang muslim biasanya, untuk sebagian besar, adalah para agresor,” ujar Habib Battah yang dikutip dari tulisan Sopan Deb di New York Times. Sebagai film yang dianggap menyebarkan propaganda, Beirut dapat dika-

*Mahasiswa Hubungan Internasional Unsoed angkatan 2017. Editor : Emerald Magma Audha



Arapaima itu Bernama Investasi Tiongkok

K

Oleh: Nurhidayat*

ebumen divonis sebagai salah satu kabupaten termiskin di Jawa Tengah. Prestasi minor yang sangat tidak prestis. Dan itu melulu. Perlu jalan keluar yang jelas akan status itu. Lalu, Pemerintah Kabupaten terlihat sangat yakin bahwa investasi dari Tiongkok adalah suatu jalan keluar yang paling top. Rencana pendirian KIK (Kawasan Industri Kebumen) seolah tanpa keraguan. Lapangan pekerjaan yang ada, dianggap kurang. Lihat kejadian rutin usai perpisahan SMA sederajat, lulusan terancam menganggur. Dan alasan klasik minimnya serapan tenaga kerja adalah kapital. Kapitalisme sungguh sudah menjadi suatu prinsip menghitung sebuah rencana pembangunan strategis. Alih-alih mengadakan pengendalian dan pengembangan apa yang sudah ada, investasi non-murni seolah ada hanya untuk menjual murah tenaga kerja kepada pemodal asing. Investasi invasif Tiongkok memang menjadi salah satu isu paling top di jagat ekonomi politik dunia. Sebagai contoh, pertarungan kebijakan antara Najib yang proinvestasi Tiongkok dan Mahathir yang antiinvestasi Tiongkok. India, negaranegara Eropa, juga Selandia Baru, posisinya skeptis dengan investasi Tiongkok. Negara adidaya Amerika Serikat bahkan sedang berperang dagang dengan Tiongkok yang tentunya berdampak negatif pada iklim in-

vestasi kedua negara, bahkan di ranah ekonomi global. Rekam Jejak Investasi Tiongkok Di India, investasi Tiongkok ditolak karena masuknya tenaga kerja yang memboncengi kapital itu. Terakhir, Vietnam juga bergeliat. Juga di banyak negara Eropa. Di Selandia Baru lebih parah, negara yang mengakui bahwa mereka adalah negara rasis itu, pemerintahnya sudah menyadari betapa bahayanya jika mereka ketergantungan kepada Tiongkok. Isu rasial akan berkembang karena tidak ada regulasi yang bisa dipakai untuk mencegah kesenjangan. Selain itu, etika bisnis yang buruk soal ketidaktransparansian audit serta pengemplangan pajak marak dilakukan. Hal-hal semacam itu akan sangat mungkin berkembang ke arah yang lebih kelam jika masyarakat objek investasi cenderung korup dan permisif. Apalagi Indonesia, bukan? Pendapatan Asli Daerah Berbanding Kerusakan Lingkungan Kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi salah satu isu yang selalu digaungkan jika KIK didirikan. Namun, berapa jauh ini akan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat? Dalam pengelolaan pemerintahan, PAD adalah pendapatan yang paling fleksibel (baca: mudah diutak-atik, rawan korupsi) karena sulitnya pengawasan. Sedangkan,

Ilustrasi: Helda Puspitasari

banyak sekali kasus bahwa pendapatan sebuah wilayah terhadap pajak, retribusi, dan sebagainya, jauh lebih kecil ketimbang kerugian yang didapat dari dampak adanya suatu industri. Sebagai contoh besar, pertambangan Freeport berpotensi merugikan negara dalam hal kerusakan lingkungan sebesar Rp158 triliun selama periode 2013—2015 (BPK, 2016). Sedang, rerata kontribusi Freeport kepada NKRI hanya pada kisaran Rp10,5 triliun per tahun (Tirto. id, diakses 28 Juli 2018). Padahal, pendapatan rata-rata Freeport mencapai US$3,72 miliar setiap tahun.


paling jelas akan terasa. Harga-harga properti di wilayah terdampak ekonomi industri akan membumbung. Jika tidak diimbangi dengan penyadaran lokal, aset akan mudah sekali berpindah kepemilikan karena letak yang dianggap strategis oleh orang luar, dan dianggap harganya sangat menggiurkan oleh pemilik aset. Akhirnya, akan terjadi perpindahan kepemilikan. Harga pangan akan mengimbangi kebutuhan pangan dan segala sesuatu yang dibutuhkan sehari-hari. Jadi, meski akan ada pekerjaan dan ada gaji yang didapat—juga kegiatan ekonomi yang lain, karena harga kebutuhan ikut naik, kesejahteraan akan sulit dikejar. Masalah lain yang sempat saya lempar ke media sosial adalah masalah cukup sensitif bagi setiap rumah tangga. Ancaman perceraian. Pernahkah kita menganalisis data perceraian Provinsi Jawa Tengah? Wilayah yang terdapat perusahaan-perusahaan yang tidak proporsional menyerap tenaga kerja berdasarkan jender, akan menyebabkan meningkatnya kasus perceraian menjadi sebuah fenomena.

Dampak Sosial Ekonomi yang Negatif Investasi akan menciptakan areaarea kecil jika investasinya kecil. Jika investasinya besar, bahkan bisa menciptakan sebuah kota. Dalam batas tertentu, kegiatan ekonomi yang terpusat pasti memberikan dampak sampingan yang harus dicarikan solusi. Jika dikira tidak akan mampu mengatasi itu, maka sebaiknya investasi dibatalkan. Kita harus belajar banyak dari wilayah-wilayah yang sudah terpapar dampak investasi besar-besaran, dalam kasus ini, kita bicara soal investasi Tiongkok. Inflasi yang tajam adalah dampak sampingan ekonomi yang

dasar permasalahan kita. Sifat permisif dan paham pasifisme cenderung menguasai kemudi Kabupaten. Jika ingin jujur berintrospeksi, hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat kita masih korup. Namun, yang ada, semuanya mencari aman dan kejujuran telah kalah dan tersingkir. Evolusi mental tidak terjadi, apalagi revolusi, bisa jadi akan menjadi dongeng cita-cita belaka. Cara yang paling logis untuk membangun kesejahteraan hari ini adalah dengan menghancurkan dahulu pikiran-pikiran kotor birokrat untuk korupsi. Pimpinan-pimpinan mulai dari kepala desa hingga bupati harus dipecat jika dia koruptor. Dan, anggota masyarakat jangan terlalu dungu dalam memilih pemimpin dan wakil. Mereka yang koruptor jangan dipilih! Kita harus adil sejak dalam pikiran, kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Adil adalah menempatkan sesuatu pada posisi yang tepat. Adilkah jika kita menempatkan kompleks pabrik di desa? Sedangkan desa adalah agraris. Jika, misal saja, dibuka usaha rakyat yang dibantu pemodalannya dan pembebasan lahannya, misal industri garam, mungkin ceritanya akan lain. Mengingat, dampak negatif terhadap lingkungan sangat rendah.

Angka perceraian yang tinggi di Cilacap dan Purbalingga karena urusan ekonomi. Kebanyakan terjadi dengan metode gugat, bukan talak. Mereka kaum perempuan menjadi tulang punggung sehingga posisi suami sebagai PMA (Penanaman Modal Askepala keluarga menjadi sulit. Kapten ing) dijadikan sebagai ajang prestasi? kehilangan kemudi. Ini seperti keluguan dan kebodohan Kesenjangan dan keirian yang oknum yang melepasliarkan ikan akan terjadi layaknya yang terjadi di arapaima raksasa ke sungai kita. Ikan Selandia Baru karena datangnya secara arapaima yang dianggap akan memmasif tenaga asing yang mengendarai perkaya biodiversitas, namun justru investasi juga bisa menimbulkan ma- akan mengancam ekosistem karena salah kecemburuan dan keirian sosial sifatnya yang invasif. Jika ikan kecil ekonomi. Kita bicara soal kebijakan dimakan semua olehnya maka gonTiongkok, bukan soal etnis Tionghoa canglah kelestarian alam sungai lokal. yang sudah menjadi warga negara ki- Lihatlah Purbalingga, meski banyak ta, dilindungi oleh konstitusi. sekali investasi asing di sana, jumlah penduduk miskinnya masih di deretan lima besar tertinggi di Jawa Tengah. Jangan Pertaruhkan Masa Depan Kemiskinan Kebumen disebabkan adanya tata kelola pemerintahan yang *Penulis aktif di Karang Taruna sebuah buruk. Isu KKN seharusnya masih di- desa di pesisir pantai selatan Kebumen dan bercita-cita menjadi petani, bukan ulas lebih dalam. Permukaan gunung buruh investor asing di negeri sendiri. es korupsi di Kebumen yang ditindak oleh KPK nyatanya belum menyentuh


Prof. Moeljarto Tjokrowinoto: Kekuasaan Ekonomi Menentukan Mekanisme Politik1

P

rof. Dr. Moeljarto Tjokrowinoto M.P.A.2 ialah guru besar ternama dari Fisipol UGM. Ternyata Prof. Moeljarto pernah mengajar di FISIP Unsoed sebagai dosen luar biasa. SkĂŤtsa menerbitkan ulang hasil wawancara bersama Prof. Moeljarto seputar kondisi ekonomi, sosial, dan politik pada masa Orde Baru. Kami melakukan penyuntingan minor pada diksi dan bahasa tanpa mengubah substansi tulisan. Berikut artikel dengan judul asli “Seolah-olah Demokrasiâ€?. 3 *** Sosok sederhana ini mengawali kariernya sebagai asisten Dr. Moh. Hatta dalam Ilmu Kepartaian menjelang selesai studinya di Fisipol UGM (1960). Gelar Master of Public Administration diperoleh dari University of Pittsburgh tahun 1963. Pada 1978, di Universitas yang sama, beliau menyelesaikan disertasinya dengan judul The Green Revolution In Meaning of Technological Diffusion: The Green Revolution in Eight Javanese. Buku berjudul Politik Pembangunan: Sebuah Analisa, Konsep, Arah, dan Strategi merupakan salah satu karyanya. Beragam jabatan struktural pernah diembannya mulai Dekan Fisipol UGM, Staf Menteri Urusan Peranan Wanita (UPW), Kepala Pusat Studi dan Pengembangan Pariwisata dari tahun 1994 sampai tulisan ini terbit. Di sela-sela kesibukannya, reporter Sketsa, Lilik dan Sudarman berhasil mewawancarai dosen luar biasa di FISIP Unsoed tersebut. Krisis saat ini ada yang memandang sebagai kegagalan dari paradigma pembangunan yang lebih berorientasi pada ekonomi. Pembangunan menurut Bapak? Itu bisa sebagai kegagalan paradigma, tetapi kita juga bisa mengatakan kegagalan menerapkan suatu paradigma tertentu. Paradigma di dalam proses penerapannya memerlukan persyaratan tertentu. Agaknya persyaratan ini tidak sepenuhnya dipenuhi. Ada semacam distorsi-distorsi di dalam menerapkan suatu paradigma tertentu. Diakui atau tidak, titik tekan paradigma ini lebih pada paradigma pertumbuhan. Akan tetapi, paradigma pertumbuhan itu didukung pada suatu mekanisme pasar. Dalam mekanisme pasar itu terjadi distorsi-distorsi dalam pelaksanaannya, antara lain korupsi, proteksionisme

yang mengacu pada kepentingan sempit, nepotisme. Jadi, pasar mengalami distorsi karena banyak intervensi yang didukung oleh kepentingan sempit untuk golongan tertentu.

Bagaimana seharusnya orientasi negara, haruskah mengikuti mekanisme pasar ataukah menjadi regulator sosial untuk mengatasi kesenjangan? Pasar bisa mengalami distorsi karena intervensi negara yang merugikan. Tetapi, pasar juga berfungsi dengan baik kalau aturan main yang diletakkan negara itu aturan yang sifatnya objektif. Jadi, bukan berorientasi pada kepentingan-kepentingan tertentu. Katakan saja bahwa mekanisme pasar tidak menjamin sepenuhnya pemerataan. Negara perlu melakukan intervensi sepenuhnya pemerataan. Negara perlu melakukan intervensi tertentu untuk mengarahkan pasar yang berpihak kepada masyarakat. Di dalam aturan-aturan tadi sering terjadi kerancuan-keranan Kampus Salinan Kor cuan dalam melaksanakan tugas untuk melakukan pemerataan dengan mencari keuntungan. Contohnya kasus BPPC, di satu pihak ingin melindungi petani, di lain pihak mencari keuntungan. Inilah kendala-kendala untuk melaksanakan mekanisme pasar. Pasar itu bebas, tetapi aturan mainnya jangan sampai dilanggar.


s SkĂŤtsa

Berarti antara pertumbuhan dan pemerataan bisa berjalan beriringan? Oh, bisa sekali. Contoh Taiwan, ekonomi tumbuh pesat, pemerintahannya juga hebat. Korea Selatan juga demikian. Di dalam proses industrialisasi Taiwan terjadi hubungan interdependensi antara industri besar dengan industri menengah dan kecil. Di Jepang maupun di Taiwan saling tergantung, industri supply dan output industri kecil. Juga tidak ada pertentangan di antara pertumbuhan dan pemerataan. Masalahnya kita seringkali terjadi monopoli. Dari industri hulu sampai hilir dikuasai oleh satu kelompok industri besar tertentu. Kalau penguasaan itu selalu berakibat negatif .... Itu tergantung, kalau penguasaan oleh negara dan secara objektif itu mungkin saja, seperti pasal 33 (UUD 1945 sebelum amandemen-red) kan juga untuk memenuhi hajat hidup orang banyak pun dikuasai oleh swasta. Dan belum-belum itu, sudah mencari keuntungan. Suatu contoh, listrik juga dikuasai oleh orang-orang tertentu, belum-belum sudah menaikkan harga, jalan tol pun demikian. Apakah ini merupakan akibat pembangunan politik kita yang gagal? Jelas, kita seringkali mengatakan bahwa seolah-olah penyakit kita itu disebabkan oleh nilai rupiah yang turun. Padahal nilai rupiah yang turun hanyalah salah satu akibat dari keseluruhan proses yang menyangkut 98. ptember 19 Se IX n masalah-masalah politik. hu ta edisi 16 Yang jelas social control yang lemah. Mengapa social control bisa lemah, karena mekanisme pemilihan kita lemah. Mekanisme pemilih direkayasa sedemikian rupa sehingga hanya kemapanan saja. Partisipasi politik kita lemah, bahkan ada kecenderungan bahwa seolah-olah kegiatan politik itu haram. Contoh demonstrasi-demonstrasi, pertama, dilarang karena memiliki muatan politik. Memangnya warga tidak

boleh melakukan kegiatan politik? Itu kan hak warga negara. Arah pembangunan kita terasa lebih mengarah ke kapitalis. Lalu, kapitalis macam apa? Ada crony capitalism (kapitalisme kekerabatan-red). Bayangkan, presiden mengatakan bahwa kita tidak menjual kekayaan untuk mengatasi krisis. Akan tetapi, seandainya Busang jadi, rakyat itu dapat 10%, Bob Hasan menerima 30%, dan sisanya perusahaan asing. Kita kebingungan. Pada waktu krisis, kita kembali ke UUD ‘45. Tetapi, selama ini, pasal 33 itu sudah kita langgar terus-menerus. The fact, bahwa kita menandatangani APEC, AFTA, NAFTA, dan sebagainya. Kita memang tidak bisa menginterpretasikan secara sempit. Karena konteksnya sudah berubah, tetapi jangan lalu interpretasi menghilangkan pasal 33 sama sekali. Rusia sudah berubah. Vietnam, RRC (sekarang Tiongkok-red) berubah, tetapi batas-batas perubahan itu jangan menghilangkan esensi bahwa itu untuk kesejahteraan rakyat. Problem pembangunan terbesar adalah rapuhnya pondasi akibat kesenjangan secara struktural .... Karena tidak adanya kontrol menimbulkan konsentrasi-konsentrasi kekuasaan ekonomi pada orang-orang tertentu. Tetapi, celakanya kekuasaan ekonomi menentukan mekanisme politik. Ini yang berbahaya. Reformasi politik amat-amat penting, misalnya menempatkan pemilu pada yang benar. Efeknya besar sekali, karena representasi di parlemen akan merefleksikan kepentingan-kepentingan luas. Kelihatannya kalau Orde Lama gagal menjadikan politik sebagai panglima, dan Orde Baru gagal menjadikan ekonomi sebagai panglima. Mungkin ada tawaran panglima baru? Sebenarnya kegagalan bukan masalah ekonomi atau politik. Kegagalan itu karena tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Jadi pembangunan politik kita dalam keadaan pseudo-demokrasi (seolah-olah demokrasi).

Catatan kaki: 1 Artikel tidak seluruhnya termuat dalam majalah dengan alasan keterbatasan ruang. Laporan selengkapnya baca di Beritaunsoed.com dengan judul artikel yang sama.

Pada 2007, Prof. Moeljarto adalah satu dari dua belas guru besar UGM yang menerima penghargaan Anugeraha Sewaka Winayaroha dari Dirjen Dikti, Departemen Pendidikan Nasional. Ia meninggal pada tahun 2004.

2

3 Tulisan ini pertama kali terbit di Koran Kampus Sketsa Edisi 16 | September 1998 pada rubrik Wawancara Khusus, namun tanpa keterangan yang jelas terkait waktu wawancara.


Ilustrasi: Fahry Ammar Maulidian



GERAKAN MAHASISWA UNSOED BELUM USAI Oleh: Mushanif Ramdany

K

risis moneter dan rezim Orde Baru yang dinilai represif jadi biang munculnya peristiwa reformasi 20 tahun silam. Merespon kondisi tersebut, maka timbul gelombang demonstrasi yang memaksa rezim turun. Demonstrasi besar-besaran terjadi di Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Namun begitu, kota kecil seperti Purwokerto pun tak kalah bergejolak. Mahasiswa Unsoed turut menjadi motor gerakan mahasiswa di kota ini. Jalan HR. Bunyamin pernah menjadi saksi bisu atas garangnya pergerakan mahasiswa Unsoed. Pada 7 Mei 1998, terjadi bentrokan antara mahasiswa dan aparat saat mahasiswa menggelar aksi di depan Kampus Unsoed, di depan patung Soedirman berkuda. Gas air mata disemprotkan ke kerumunan massa. Sepatu lars dan tongkat aparat menghujam badan demonstran. Setidaknya ada 70 mahasiswa pingsan dan 21 lainnya masuk rumah sakit.1 Pascareformasi, keran kebebasan berekspresi dan berpendapat mulai dibuka. Walaupun demikian, tidak lantas membuat sikap kritis mahasiswa Unsoed mengendur. Sikap kritis mahasiswa dimanifestasikan dalam berbagai bentuk. Aksi massa adalah salah satunya. Berikut ini rentetan beberapa aksi massa yang terjadi di Unsoed pascareformasi.

soed. SN diduga telah melakukan pelecehan seksual terhadap enam mahasiswinya. Tak pelak, peristiwa ini memancing sorotan media nasional seperti Kompas. Pada 17 Juli 2006, Harian Kompas pernah menerbitkan laporan berjudul “Dosen Santun Tersangkut Masalah Perempuan�. Tidak lama setelah kasus tersebut mencuat ke publik, muncul aksi solidaritas diinisiasi oleh Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) FISIP. Mahasiswa menggelar sebuah arak-arakan, dimulai dari Kampus FISIP, lalu berlanjut ke FEB, FH, sampai menyambangi Gedung Rektorat (GR) Unsoed. Aksi tersebut sebagai bentuk kecaman keras terhadap perbuatan SN. Dekanat FISIP meresponnya dengan bersedia mengadakan rapat dengar pendapat pada 27 Juli 2006, yang dihadiri oleh Tim Pembinaan Aparatur (BINAP), Forum Dosen Sosiologi, dan Dewan Presidium KBM FISIP. Keesokan harinya, Senat FISIP mengadakan rapat untuk mengusut kasus tersebut. Keputusannya, SN mesti mengundurkan diri sebagai dosen sekaligus PNS. Jika tidak, maka Senat akan meminta rektor untuk memberhentikannya secara tidak hormat. Pada akhirnya, SN bersedia untuk mengundurkan diri, sebelum pihak rektor memberhentikannya.2

Aksi Tolak Pelecehan Seksual Dosen FISIP Pernah terjadi kasus pelecehan seksual di Unsoed. Tersangka utamanya ialah pengajar berinisial SN, dosen Jurusan Sosiologi FISIP Un-

Aksi Tolak BOPP Selasa, 31 Maret 2009, puluhan mahasiswa yang terdiri dari BEM Unsoed dan aliansi BEM se-Unsoed menggelar aksi menolak

komersialisasi pendidikan. Massa menggelar arak-arakan dengan mengambil rute Jalan Dr. Soeparno, Jalan Kampus, sampai ke muka GR sebagai titik akhir. Kenaikan nominal BOPP (Bantuan Operasional Pendidikan dan Pembangunan) yang telah diberlakukan dari tahun 2007 hingga 2009 menjadi pemicu aksi. Sayangnya, mediasi dengan pihak rektorat gagal terwujud.3 Bulan berikutnya, aksi dengan tuntutan yang sama berlanjut pada Rabu, 28 April 2009, yang digelar di depan patung Soedirman berkuda Unsoed. Massa terdiri dari organisasi mahasiswa seperti HMI, FMN, KAMMI, GMNI, PMKRI. Pada hari yang sama, Menteri Pendidikan, Muhammad Nuh menghadiri pelantikan rektor terpilih Unsoed, Prof. Edy Yuwono.4 Save Soedirman: dari Menduduki Gedung Administrasi Pusat hingga Petasan Asap Pada 12 Desember 2012, sekitar 1.500 mahasiswa yang tergabung dalam gerakan Save Soedirman menggelar aksi damai dengan menduduki Gedung Administrasi Pusat Unsoed selama 5 hari. Aksi tersebut merupakan bentuk perlawanan mahasiswa menolak nominal UKT. Kemudian, pada 17 Desember 2012, Rektor Unsoed Edy Yuwono menandatangani perjanjian bermeterai tentang pelibatan mahasiswa dalam penyusunan UKT. Meski telah dibuat kesepakatan tertulis, ternyata rektorat secara sepihak menetapkan UKT pada 15 April 2013. Nominal UKT yang ditetapkan berkisar Rp2,4 juta hingga Rp15 juta.5 Save Soedirman merespon penetapan UKT secara sepihak tersebut dengan melakukan aksi turun ke jalan

Aksi mahasiswa Unsoed menolak uang pangkal (12/07/2018).


.

pada 28 April 2013. Sebuah aksi teatrikal dimulai dari pertigaan Jalan Kampus hingga ke TPU Grendeng. Rombongan aksi mengenakan pakaian serba hitam dan menggotong peti mati. Mayat buatan itu akhirnya dikubur sebagai simbol hati nurani rektorat.6 Hari berikutnya, 29 April 2013, mahasiswa melayangkan somasi kepada rektorat Unsoed. Lantaran somasi tidak kunjung ditanggapi pihak rektorat, belasan mahasiswa pun nekat menerobos GR Unsoed. Lantas, mereka pun menyalakan petasan asap—yang biasa digunakan suporter bola—di lantai tiga. Salah seorang mahasiswa berteriak, “Rektor pengkhianat!” ketika asap warna-warni memenuhi ruang. Kejadian petasan asap itu terjadi pada Kamis, 2 Mei 2013.7 Somasi Unsoed Aksi ratusan mahasiwa yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa (Somasi) Unsoed di depan GR Unsoed berakhir ricuh pada 17 Desember 2014. Mahasiswa menuntut agar rektor menemui mereka guna membahas permasalahan UKT 2014. Rektor tak kunjung hadir, maka mahasiswa berusaha masuk ke GR sampai terjadi aksi saling dorong dengan pihak satpam. Pintu kaca pecah dan terjadi pemukulan oleh satpam terhadap seorang mahasiswa yang berhasil merangsek masuk.8 Kemudian, rektorat mengadakan audiensi dengan mahasiswa pada 9 Januari 2015 di lantai satu GR. Namun, Rektor Unsoed Achmad Iqbal menolak menandatangani berkas tuntutan mahasiswa yang isinya terkait penghapusan level 6 dan 7 pada UKT 2014. Alasannya, Rektor perlu mempelajari dulu berkasnya, meskipun

dari jauh hari Somasi telah menyerahkan berkas kepada rektorat.9 Soedirman Melawan: Aksi Tolak Kenaikan UKT dan Uang Pangkal 2016 Pada 16 Juni 2016, aliansi Soedirman Melawan (SM) menggelar aksi penolakan kenaikan UKT dan Uang Pangkal. Seribuan lebih mahasiswa dari berbagai elemen turut meramaikan aksi SM. Puncaknya ketika massa berusaha memasuki GR Unsoed, sehingga aksi saling dorong pun tak terhindarkan. Akibatnya, pintu kaca pun pecah dan seorang mahasiswa terluka di kepala terkena pecahan kaca. Namun, sepanjang hari tersebut, rektor belum juga muncul, bahkan hingga mahasiswa menginap di GR. Dialog antara Rektor Achmad Iqbal—beserta staf ahli hukum dan jajarannya—dengan tim riset aliansi SM sebagai perwakilan massa baru dilaksanakan keesokan harinya. Dialog berlangsung alot, hingga akhirnya Rektor mencabut Uang Pangkal dan menyamakan nominal UKT 2016 dengan UKT 2015.10 Soedirman Melawan Jilid II: Aksi Tolak Uang Pangkal 2018 Ketika Peraturan Rektor tentang Uang Pangkal mencuat kembali, aliansi SM mengambil sikap tegas untuk menolak. Pada 12 Juli 2018, ratusan mahasiswa berkumpul di GR dengan berorasi meminta Rektor Prof. Suwarto untuk hadir melakukan audiensi dengan massa. Namun, Rektor absen. Ia sedang bertugas di Semarang. Massa hanya ditemui oleh Wakil Rektor II dan Wakil Rektor III. Aksi massa hanya bertahan sampai pukul 13.36, lalu membubarkan diri. Jumlah massa dalam aksi ini pun tak lebih dari dua ratus orang. Tuntutan aksi soal pencabutan Uang Pangkal belum terpenuhi. Kebijakan Uang Pangkal masih berlaku sampai sekarang.11 *** Gerakan mahasiswa tak melulu soal turun ke jalan. Fenomena masifnya penggunaan media sosial dimanfaatkan mahasiswa Unsoed Aksi mahasiswa Unsoed menuntut pemecatan SN.

sebagai media penyalur sikap kritis sekaligus menggalang lebih banyak simpatisan. Salah satunya dengan gerakan tagar seperti #SaveSoedirman, #SomasiUnsoed, #SoedirmanMelawan, hingga #SelamatkanSlamet yang memenuhi berbagai platform media sosial. Catatan kaki: Lihat artikel “Kisah Drs Suhari MJ Memimpin ‘Sarang Mahasiswa Radikal’”, terbit di Koran Radar Banyumas pada Minggu, 26 Desember 1999. 1

Baca Laporan Khusus, “Mereka Bilang Dosenku Cabul”, dalam Majalah Skëtsa Edisi 24 | Oktober 2006. 2

3 Lihat Laporan Utama, “BEM se-Unsoed Menggelar Aksi Menolak Pendidikan Mahal”, dalam Buletin InfoSkëtsa Edisi 6 | April 2009. 4 Lihat tulisan Asty, “Mendiknas Datang, Disambut Aksi Mahasiswa”, terbit di Beritaunsoed.com. Diakses melalui beritaunsoed.com/berita/mendiknasdatang-disambut-aksi-mahasiswa/. 5 Baca “Pengasapan Gedung Rektorat Buntut Kebuntuan Pembahasan UKT” yang ditulis Gregorius Magnus Finesso. Artikel ini terbit di Kompas.com. Diakses melalui regional.kompas.com/ read/2013/05/03/20214673/Pengasapan.Gedung.Rektorat.Buntut.Kebuntuan. Pembahasan.UKT.

Baca laporan “Menanggapi SK UKT, #SaveSoedirman Aksi Teatrikal”, terbit di Beritaunsoed.com. Diakses melalui beritaunsoed.com/berita/menanggapisk-ukt-savesoedirman-aksi-teatrikal/. 6

Lihat “Aksi Petasan Asap Unsoed Diancam Sanksi Akademik” yang terbit di Tempo.co. Artikel ini ditulis Aris Andrianto. Diakses melalui nasional. tempo.co/read/477768/aksi-petasanasap-unsoed-diancam-sanksi-akademik/ full&view=ok. 7

Baca “Audiensi Ricuh, Kaca Rektorat Pecah”, terbit di Beritaunsoed.com. Diakses melalui beritaunsoed.com/berita/ audiensi-ricuh-kaca-rektorat-pecah/. 8

9 Baca Laporan Utama, “Mencari-cari Transparansi Perguruan Tinggi”, dalam Majalah Skëtsa Edisi 33 | Januari 2016. 10 Lihat Laporan Utama, “Catatan Kemenangan Mahasiswa”, dalam Buletin InfoSkëtsa Edisi 32 | Juli 2016.

Lihat Laporan Utama, “Setelah Uang Pangkal Berlaku”, dalam Buletin InfoSkëtsa Edisi 35 | Agustus 2018 11




HOAKS...

T

he Washington Post, edisi 28 September 1980. Ada sebuah artikel di “front page” berbentuk features investigatif dengan penulis Janet Cooke. Ia adalah seorang jurnalis perempuan kulit hitam yang memaparkan kisah keluarga yang kecanduan heroin. Pada awal tulisannya, ia menulis, “Jimmy is 8 years old and a third-generation heroin addict, a precocious little boy with sandy hair, velvety brown eyes and needle marks freckling the baby-smooth skin of his thin brown arms. He nestles in a large, beige reclining chair in the living room of his comfortably furnished home in Southeast Washington. There is an almost cherubic expression on his small, round face as he talks about life —clothes, money, the Baltimore Orioles and heroin. He has been an addict since the age of 5.” Dalam “opening” kisahnya, ia mengungkap ada satu keluarga yang kecanduan heroin. Bahkan sampai kepada generasi ketiga dan yang menjadi korban paling terakhir adalah Jimmy berusia 8 tahun. Bahkan, konon Jimmy

Oleh: Liliek Dharmawan*

telah menjadi pecandu sejak usia 5 tahun. Janet mampu mendeskripsikan bagaimana rumah Jimmy dan kelakuan anak kecil itu. Janet juga menggambarkan ekspresi wajah Jimmy. Benar-benar sebuah penggambaran seorang jurnalis lapangan. Pada features investigatif yang dituliskan di salah satu harian terkemuka di AS dan bahkan dunia itu, dengan gamblang, Janet menuliskan kehidupan Jimmy, yang kemudian dijadikan judul “Jimmy’s World”. Jelas, kisah itu mengguncang publik. Bahkan Walikota Washington, D.C., Marion Barry memerintahkan anggota polisi dan petugas kesehatan untuk mencari anak bernama Jimmy itu. Hasilnya nihil. Koran Washington Post juga menggunakan amandemen pertama untuk menolak mengungkapkan keberadaan anak tersebut. Kisah menggemparkan kala itu akhirnya mendapat ganjaran The Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi karya jurnalistik dunia. Janet Cooke menerimanya pada 13 April 1981. Hanya beberapa saat Pulitzer Prize di tangan Janet Cooke, sebab

pada 16 April 1981, The Washington Post melalui editor eksekutifnya, Ben Bradlee dengan berat hati mengembalikan penghargaan bergengsi ke Komite Pulitzer. Meski pahit, Bradlee mengungkapkan kalau laporan Janet Cooke merupakan sebuah cerita rekaan. Hoaks telah diproduksi. Bagaimana mungkin, media massa berkelas internasional yang terbit sejak 1877 itu memproduksi sebuah cerita rekaan dan bukanlah fakta. Padahal, The Washington Post telah menjadi media massa yang membongkar berbagai kasus besar yang ada di AS. Sebut saja skandal “Watergate” yang diungkap oleh dua jurnalis muda The Post yakni Carl Bernstein dan Bob Woodward. Kasus Watergate yang heboh itu pada akhirnya membuat Presiden Richard Nixon “lengser keprabon”. Kisah investigasi yang kemudian dibukukan dan menjadi film dengan judul yang sama, “All The President’s Men” membuktikan bagaimana kredibelnya koran itu. Ada lagi, saat The Washington Post membongkar kebohongan perang Vietnam melalui


bocornya “Pentagon Papers”. Bahkan, kisahnya beberapa waktu lalu telah difilmkan dengan judul “The Post” de-ngan sutradara beken Steven Spielberg serta aktor dan aktris kawakan Tom Hanks dan Meryl Streep. Film itu mengisahkan bagaimana media massa membongkar sebuah kebohongan perang dan harus melawan upaya penyensoran. Kembali ke pertanyaan semula, mengapa koran sekaliber The Post juga bobol dan menyiarkan berita hoaks macam “Jimmy’s World”? Mereka menyadari lemah dalam verifikasi laporan yang disampaikan wartawannya. Bahkan, Bradlee dalam sebuah rilis di harian itu menyebutkan kalau kredibi- litas adalah sebuah aset paling berharga sebuah surat kabar dan itu hampir bergantung sepenuhnya pada integritas reporternya. Ternyata setelah sekian tahun berjalan, hoaks menjadi sesuatu yang begitu meluas, terutama setelah zaman post-truth atau seperti kata Ralph Keyes dalam bukunya The Post-Truth Era. Dalam situsnya, Keyes berujar, “This is post-truth. In the post-truth era, borders blur between truth and lies, honesty and dishonesty, fiction and nonfiction. Deceiving others becomes a challenge, a game, and ultimately a habit.” Secara umum, dia menyatakan kalau saat sekarang adalah post-truth atau era pasca-kebenaran. Di era ini, batasan antara kebenaran dan kedustaan, kejujuran dan kebohongan, fiksi dan nonfiksi begitu “blur” atau tidak jelas. Menipu orang lain menjadi tantangan, permainan, dan akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Tahun 2016, Oxford Dictionary menyebut post-truth era sebagai “Word of The Year”. Kenapa demikian, karena kata itu merepresentasikan keadaan dunia selama setahun. Setidaknya ada dua peristiwa besar pada tahun tersebut yakni peristiwa Brexit dan pemilihan Presiden AS. Dalam wawancaranya dengan BBC dan dipublikasikan di BBC.com edisi Januari 2017, filsuf Prof. A. C. Grayling mengingatkan bahwa saat sekarang fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk

Liliek Dharmawan Foto: Dok. Pribadi.

opini publik jika dibandingkan dengan emosi dan kepercayaan personal. Inilah salah satu muatan inti dari post-truth. Dalam era itu, Grayling menyatakan kalau media apapun dipakai untuk mengirim pesan yang lebih menonjolkan opini ketimbang fakta. Dan setiap orang bisa memublikasikan opininya sendiri melalui sosial media. Tiap orang menawarkan tafsirnya terhadap fakta dan yang paling repot, setiap orang mengeklaim tafsirnya paling benar. Opini itulah yang kemudian diangkat sebagai “kebenaran”, bukan faktanya. Dalam era post-truth, media sosial yang begitu cepat berkembang juga menjadi produsen berita yang entah benar atau tidak. Bahkan, dari survei yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada 7-9 Februari 2018 lalu terhadap 1.116 responden, 44,3% masyarakat menyatakan menerima berita hoaks setiap harinya. Bahkan ada 17,2% yang menerima lebih dari sekali. Survei yang dilaksanakan Edelman Trust Barometer 2018 menyebutkan, 70% masyarakat di dunia merasa khawatir jika berita palsu digunakan sebagai “senjata”. Di Indonesia, presentasenya sekitar 76% hingga 80% masyarakat khawatir pemanfaatan hoaks sebagai senjata un-

tuk menciptakan ketidakstabilan dalam negeri. Lalu bagaimana peran media “mainstream” menyikapi hoaks yang masih begitu masif ? Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya The Elements of Journalism menyebutkan bahwa beberapa hal yang menjadi patokan seorang jurnalis adalah menyajikan kebenaran dan disiplin verifikasi. Dalam konteks perkembangan media sosial yang begitu menggurita, media mainstream berperan penting sebagai verifikator. Pengamat komunikasi Ignatius Haryanto menyatakan media massa harus bekerja dengan kaidah-kaidah jurnalistik profesional dan menjadi rujukan informasi bagi publik. Upaya untuk menciptakan sebuah hoaks jauh lebih mudah ketimbang melakukan verifikasi dengan fakta yang benar. Jadi, media massa tak lagi hanya sekadar menyajikan sebuah informasi, tetapi juga menyajikan fakta sebenarnya berpegang pada kaidah jurnalistik. Di sisi lain, seperti dikatakan oleh Art Silverblatt dalam bukunya Media Literacy: Keys to Interpreting Media Messages, ada gerakan literasi media. Literasi media adalah memberikan kesadaran kritis bagi khalayak. Warga harus bisa mengontrol informasi yang diterima. Literasi media memberikan panduan bagaimana mengambil kontrol atas informasi dengan kemampuan memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan itu ditujukan agar konsumen media memiliki kesadaran dalam menghadapi informasi. (***)

*Penulis, alumnus LPM Skëtsa. Pernah menjadi anggota dewan redaksi LPM Skëtsa tahun 1999.









Ilustrasi: Lisah Khaerani

Rambut Panjang Billy

Oleh: Muhammad Muflih Rizqullah*

D

i akhir hari kau berkeringat bercucuran sampai netes-netes basah ke bagian punggung, betis, perut, wajah, dan hidung, di mana hidungmu yang paling besar di keluarga ini dibenci sampai dendam kesumat oleh kumpulan manusia yang tidak menyukai hidung besar. Mereka adalah manusia neurotik yang bau dan yang babu sampai jadi buruh migran di Malaysia dan Kamboja, di mana Polpot membantai jutaan orang demi isi perutnya yang banyak sekali berisi makanan yang enak-enak sampai kekenyangan terpenuhi oleh penderitaan miliaran makhluk di muka bumi yang memprotes kegilaan istrinya dan burungnya yang sangat dia cintai. Apalagi saat malam pertama di bulan madu pertama di mana laku penciuman, peniupan, pembelaian, dan pembelekan terjadi tak tahu adat dan aturan, sampai burungnya berubah jadi debu dan abu berserakan hingga perlu disapu karena tamu terhormat akan datang mengacak-acak seisi rumah dan hati manusia yang ada di dalamnya, bagaikan Pak Polisi Lalu Lintas berperut botol dalam aksinya mengobrak-abrik seisi Jakarta sendirian dengan dalih mengatur jalanan protokol Jakarta diiringi gaya tidak becus sampai persimpangan Thamrin kacau balau oleh bermacam-macam oto yang tabrak-menabrak hingga bertumpuk-tumpuk membentuk taman rongsokan dadakan di jalan yang raya. Namun, di senja hari saat perenungan dan kontemplasi sedang terjadi dengan sangat hebat-hebatnya, Polpot senantiasa bahagia karena perut dan burungnya senantiasa terpenuhi oleh cairan hangat penderitaan miliaran makhluk. Diserang letih dan kecapekan membuat kamu berbaring di kasur empuk berisi bunga kembang busa, di mana terjadi penggenjotan di dalamnya yang melompat juga melepas-lepas raga dan jiwa damai heretic tempat pemujaan

dewa-dewa di batu menjulang seperti burung menjulang setinggi 200 dikali 5 meter, tempat kamu mengusap batu itu lalu menyembah Tuhan dengan kecapekan luar biasa sehingga merasa lebih baik mati daripada hidup bernapas dengan uluran tangan dewa yang meminta untuk diusap-usap dalam pengasoan dan kesejukannya di teras rumah, tempat kamu membaca buku antologi dan pramologi cerpen Seno Gumira Ajidarma yang banyak menulis untuk koran, untuk kertas, dan banyak kain polos. Namun, di senja hari saat perenungan dan kontemplasi terjadi dengan sangat hebat-hebatnya, Luka Modric berlenggak-lenggok penuh kegemilangan dibarengi keangkuhan sebab pada akhirnya tim sepak bola itu-itu juga yang menang. Menolak bangun di pagi hari untuk pergi ke pemakaman ibu kamu yang kemarin masih membangunkanmu yang menolak bangun di pagi hari untuk pergi ke tempat tidur, kau dengan sengaja menampilkan gestur menggeliat-liat dahsyat tanda memprotes berat aktivitas membangunkan diri tersebut karena hal itu tidak lebih sebagai pernyataan bahwa saya sangat lelah setengah mampus sampai-sampai kamu menyerah, lalu memilih untuk berlari saja mengitari Lapangan Sempur 24 putaran dibarengi dengan presiden dan walikota bersama ribuan juta menteri dengan ribuan juta istri-istrinya dikawal oleh ribuan juta anggota kabinetnya agar istri-istri itu tidak kena tembak dan kena cumbu. Massa mengejar dari belakang dan mencoba menggapai-gapai, menarik-narik kerah jaket Pak Presiden sampai ia terjungkal penuh senyum-senyum membuat kita lupa diri bahwa kita sedang


samping-menyamping dan papas-memapas di lingkaran luar arena lari, di mana kamu memutarinya sambil mengejek-ejek siapapun yang pingsan di pinggir Lapangan Sempur yang kental dengan sejarah perbencongan. Namun, di senja hari saat perenungan dan kontemplasi berlangsung dengan sangat hebat-hebatnya, seorang profesor kimia terbahak ngakak karena sukses merumuskan penyelesaian terbaru dalam masalah-masalah prostitusi termutakhir. Pagi harimu kau isi dengan melempar kulit-kulit pisang ke tanah agar tanah itu subur-menyubur, ditumbuhi beraneka ragam pohon pepaya dan salak untuk membantu kelancaran peredaran darah dan pencernaan ayahmu yang tersumbat oleh ambeien, sehingga ayahmu tidak lupa untuk meringis setiap kali bongkahan tahi melewati lubang anusnya yang mengatup karena penetrasi luar biasa tak tahu malu sang tahi. Kamu iba dengan penderitaannya, namun yang bisa kamu lakukan hanyalah melempar kulit pisang karena kamu tidak mampu untuk membunuh Hitler dan menghabisi seluruh bala tentara Axis sendirian di belantara hutan Rhine dengan sebuah golok hitam legam pemberian Ki Aji Benggala yang sudah diberi kutukan 12.000 tahun untuk siapapun yang tercium olehnya. Misimu untuk menguliti Hitler dan Mussolini secara bersamaan agar jutaan Yahudi dan pantat ayahmu bisa dikurangi sedikit penderitaannya sampai takaran yang membahagiakan dan melenakan adalah sebuah tugas yang hampir mustahil karena harus mengandalkan koordinasi dengan berbagai lembaga pemerintahan yang bergerak di bidang akademis, budaya kontemporer, dan hak asasi gay dalam bercinta. Namun, di senja hari saat perenungan dan kontemplasi berlangsung dengan sangat hebat-hebatnya, sebuah gelas pecah membentuk kolase indah bergambar mantan pacarmu yang kau gasak di pekuburan cina pada malam Kamis Wage. Kebal kutukan menyebabkan tindakmu tidak bekerja dalam tatanan kosmis yang berjarak jutaan tahun cahaya. Kutukanmu itu hanya bernilai sehelai bulu karpet bermotif macan tutul, di mana ia selalu iri dengan macan loreng karena hukum alam tidak bekerja kepadanya, sehingga macan loreng bebas melakukan apa saja yang dia mau seperti mencabik, mencuri, menjilat, menggonggong, mengeong, dan mencampuri urusan rumah tangga sepasang kera tanpa menghormati alam dan para leluhur serta hukum Tuhan yang berlaku di seluruh seisi rumah miring, tempat kamu bingung kenapa ada rumah yang tidak seperti rumahmu yang aturan-aturannya sudah paling bagus sejagat raya bahkan dibanding rumah di dunia lain di bawah tanah, tempat perlindungan manusia-manusia yang takut akan hari kiamat dan fobia Alkitab, sehingga memilih untuk mati terlebih dahulu dari rekan-rekan manusia lain yang mendambakan umur panjang dan banyak anak banyak rezeki yang dapat diperoleh melalui syarat dan kriteria yang ketat seperti celana Jimmy Page, saat ia membawakan tembang harmonik abadi di aula simfoni kehidupan bernama lubang suci tempat bersemayam jabang bayi. Namun, di senja hari saat perenungan dan kontemplasi berlangsung dengan

sangat hebat-hebatnya, Nyai Ontosoroh mendapatkan orgasme pertama sejak ratusan tahun lalu oleh astronot yang tidak sanggup menahan berahi karena tidak menemukan jablay di Planet Mars. Kusni Kasdut terperangkap tanpa jalan keluar kecuali melalui pintu besar besi dengan gagang emas berlian yang akan terbuka lebar jika Saudara berhasil mengalahkan Drubiksa penjaga, yang tidak lain tidak bukan adalah Kusni Kasdut sendiri dalam corak yang lain. Melalui perkelahian sengit macam Rommel melawan sekutu, pintu akan terbuka luas mengantar pada pemandangan baru berupa seonggok gedung lama yang dulu biasa dipakai Rohingya berekreasi melihat tanding ayam. Onggokan tersebut ditinggalkan karena kebakaran hebat lagi menyunyikan dan menggosongkan seperti kebakaran di dalam dada, saat pertama kali kamu bertualang ke Cibinong dan melumat leher Ijah sampai biru kemerahan yang mengartikan darah yang mengalir di leher menuju kepala untuk menyuplai udara ke otak menjadi tersumbat mengakibatkan Ijah dan para Rohingya pucat pasi termegap-megap karena kecupan mautmu itu hampir membunuh Ijah dan ratusan Rohingya. Sementara pasukan jin berdesak mengantre untuk mendapat kebahagiaan sesaat yang ditawarkan Ijah, pengembara-pengembara tidak tahu adat Jawa―terutama adat Jawa pascakolonial―menangis kegirangan saat Ijah malang tak dapat nasi goreng panas malam itu. Jikalau ia tidak menjadi pemalas dan memperbaiki semangat kewanitaan yang dicurahkan sepenuhnya kepada pelanggan agung―satu kompi pasukan jin―sehingga petualang-petualang lain akan mendapatkan sebuah hibah dari semesta berupa keluar sebelum satu jam. Namun, di senja hari saat perenungan dan kontemplasi berlangsung dengan sangat hebat-hebatnya, kepala seorang Kusni Kasdut dengan sukses menggelinding dari gundukan eksekusi memasuki centong sayur dengan ketepatan yang sangat mengasyikkan. Kamu tutup kumpulan kolase tersebut dengan menyalak-nyalak bagaikan unit kere menyerbu Istana Merdeka demi bulir nasi. Namun, di senja hari saat perenungan dan kontemplasi berlangsung dengan sangat hebat-hebatnya, di negeri yang jauh di atas langit, simposium raja-raja setan bersepakat untuk mengutuk para prawira. Seno Gumira bertanya-tanya di teras rumahnya, “Bagaimana nasib cicak jika semua dinding di dunia ini lenyap?” Di bagian dunia lain, di akhir garis waktu, Polpot, Luka Modric, ayahmu—yang beraknya masih keras, Mussolini, Nyai Ontosoroh, dan Seno Gumira Ajidarma ketar-ketir, khawatir bumi mereka—shelter yang menawarkan ketetapan—bisa tiba-tiba saja runtuh.

*Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2017, sekarang berkuliah di Universitas Indonesia.


“JURNALISME” BARANG HILANG

C

Oleh: Emerald Magma Audha*

ontoh ilustrasi konten persma. “Telah hilang dompet sawo matang. Berisi KTM, duit, milik Si Anu. Hilang di sekitar jalan raya pada siang bolong, hubungi nomor ...”. Biasanya barang hilang karena dua hal: kelalaian pemilik (seperti tertinggal, terlupa, terjatuh) atau dimaling. Barang hilang yang saya maksud dalam tulisan ini barang pribadi serupa KTP, KTM, dompet, gawai, dan lainnya. Dulu, sejak saya masih baru dalam kehidupan pers kampus, konten-konten semacam itu acap menjejali linimasa media persma di Unsoed. Persma fakultas. Hampir aben pekan, ada. Ramai. Dan laku. Kalaupun menyajikan berita, kadang beritanya tak layak konsumsi−menurut standar kami. Berita yang tendensius, bukan menjernihkan. Atau, kontennya masih parsial, tidak komprehensif. Dan sajian penulisannya bikin mata sakit: kacau dan berantakan. Beberapa persma sini begitu. Mengabarkan barang hilang. Beberapa lainnya sekarat. Ia seperti menjadi napas pemberitaan persma sini yang sedang terengah-engah. Dalam kecemasan persma akan ketidaklakuan yang hiruk pikuk. Saya menyebut gejala itu sebagai tren “Jurnalisme” Barang Hilang. Saya kutip pada frasa jurnalisme sebab masih ada keraguan menamakan gejala tadi sebagai bentuk jurnalisme. Syahdan, ada pertanyaan yang perlu diajukan. Apakah “Jurnalisme” Barang Hilang merupakan bagian dari jurnalisme? Apakah ia termasuk proses kerja jurnalistik yang baik? Konten-konten serupa ilustrasi tadi, sama sekali bukan jurnalisme. Ia anomali. Ketika persma asal mengabarkan barang hilang, ketika itu pula hakikat jurnalisme hilang. Ada esensi jurnalisme yang ia abaikan. Saya maksudkan soal proses kerja jurnalistik. Ia bermasalah. Dan serampangan. Tak jarang persma hanya langsung memuat kabar barang hilang tanpa proses verifikasi yang layak. Seperti minimal memverifikasi pemilik barang telah melaporkan ke kantor polisi terdekat dan mengurus surat keterangan hilang. Itu penting untuk memastikan kabar yang mereka terbitkan bukan kabar kibul. Saya ragu mereka melakukan itu, terlihat dari sajian konten mereka yang masih mentah tanpa diolah. Padahal disiplin verifikasi inti dari kerja jurnalistik. Ia menjadi diametral kerja jurnalistik dan yang bukan. Dan ia pula seringkali dilupakan dalam praktik jurnalistik wartawan (kampus).

Cara kerja mereka kurang lebih begini: ada laporan barang hilang masuk ke redaksi, “Telah hilang ATM atas nama ... bla bla bla”, kemudian teks tadi tinggal disalin persis, paste di kolom unggahan, terakhir klik “terbitkan”. Sudah. Selesai begitu saja. Dan, jadilah konten-konten jurnalisme barang hilang dihidangkan kepada pembaca yang kebanyakan mahasiswa. Jika cara kerja media pers hanya sekadar post dan share tanpa terlebih dulu verifikasi, apa bedanya ia dengan media sosial? Memang ihwal persma keliru dalam bersikap dan berlaku terhadap laporan barang hilang bukan merupakan satu-satunya pemicu. Ada pemicu lain. Mahasiswa (dan masyarakat umumnya) beranggapan bahwa menyerahkan urusan kehilangan barang ke kantor polisi kadang bikin repot. Ribet. Lebih merepotkan lagi ketika mengurus laporan barang hilang karena dimaling. Terlalu birokratis. Itu pun belum tentu pelayanannya baik dan tanggap. Sampai ada yang bilang begini, “Mengurus laporan kehilangan lebih mengesalkan ketimbang kehilangan itu sendiri.” Ada pesimisme laporan tadi bakal ditindaklanjuti. Toh, tak ada jaminan barang hilang akan kembali ketika sudah melapor. Alhasil cuma bisa menanti kebaikan hati penemu barang atau taubatnya si maling. Alternatif lain, masyarakat memilih yang instan: menyebarluaskan informasi kehilangan di media sosial—termasuk meminta bantuan media pers(ma) untuk ikut-ikutan. Berangkat dari pemicu-pemicu tadi, muncullah jurnalisme barang hilang yang dianggap sebagai jawaban atas masalah barang hilang. Meski saya kira ia bukan jawaban yang tepat dan solutif. Ada contoh baik. Di Jepang, kepolisian punya departemen khusus mengurus barang-barang hilang, Lost and Found Center, yang memiliki banyak pos di titik-titik keramaian. Fungsinya mengamankan barang-barang hilang maupun barang yang ditemukan orang lain. Kehilangan barang sepele semacam payung, sarung tangan, hingga uang dan dompet akan ditindaklanjuti. Bahkan recehan 1 yen yang hilang pun tetap ditangani. Dalam laporan Tirto.id, Tokyo Metropolitan Police Department’s Lost and Found Center, pada 2016, menangani uang hilang total 3,67 miliar yen (439,6 miliar rupiah). Dan tiga perempatnya berhasil dikembalikan ke pemilik. Jangan heran, Jepang bisa begitu tak lepas dari faktor kejujuran,


sistem dan regulasi yang teratur, dan tentunya kinerja pelayanan badan publik yang baik. Saya rasa badan pelayanan publik sini perlu segera melakukan satu dari dua pilihan ini. Pilihan pertama, silakan lekas edit slogan-slogan “reformasi birokrasi” yang terpampang di kantor-kantor, sekaligus ganti jargon “revolusi mental” ala birokrat yang nyaring digaungkan tetapi kosong isinya. Atau. Pilihan kedua, segeralah benahi sistem dan pelayanan publik yang masih buruk dan lamban, dan yang terpenting mental abdi negaranya. Tinggal pilih yang mana. Bagi yang waras tentu pilihan kedua merupakan jawaban yang tepat dan solutif atas masalah barang hilang dan lainnya. Jika pilihan itu diseriusi, masalah barang hilang bisa diatasi tanpa perlu melibatkan jurnalisme. Dan, pers(ma) pun bisa fokus menyajikan topik lain yang jauh lebih penting ketimbang laporan mentah barang hilang. Dan, dengan pilihan itu juga bisa mewujudkan “reformasi birokrasi” yang nyata dan menyeluruh. Semoga frasa tadi tidak melulu sebagai slogan yang memilukan. Jurnalisme dan Kemanusiaan Saya pikir mengabarkan barang hilang bukan tugas utama jurnalisme. Lebih utama tugas jurnalisme adalah mengabarkan hilangnya kemanusiaan. Kemanusiaan bukan sekadar ditakar dari rasa kasihan melihat barang seseorang hilang. Mengabarkan kebusukan pejabat-pejabat yang mengorupsi uang negara (uang rakyat). Ada bencana kelaparan menimpa suatu daerah, kemudian mewartakannya agar menjadi perhatian pemerintah. Itu kerja kemanusiaan. Kebijakan kampus yang cenderung lebih banyak memunculkan mudarat ketimbang manfaatnya, dan pers kampus mencoba menguliknya. Dan sebagainya. Itu semua adalah kerja-kerja kemanusiaan. Jurnalisme bagi saya merupakan manifestasi dari kerja-kerja kemanusiaan. Dan Skëtsa memilih ideologi yang berpijak pada kaki kemanusiaan: humanisme. Bukan pada kaki belas kasihan. Saya mengamini Gabriel García Márquez, penulis Amerika Latin itu, ketika dia bilang jurnalis merupakan pekerjaan paling bagus sedunia. Dan itu bukan profesi yang mudah. Tantangannya bukan sekadar mewartakan sesuatu yang terjadi. Mengolahnya dalam berbagai perspektif tetapi objektif, kemudian menyajikannya dalam kerangka kepentingan publik, baru mewartakannya secara jernih dan komprehensif, tapi menarik. Itulah peran jurnalis, lewat wartanya membantu masyarakat menentukan sikap dengan bijak tentang suatu hal. Dan, dari ciri tadi, saya kira sama sekali absen dalam praktik jurnalisme barang hilang yang bersliweran di kampus sini. Komitmen jurnalisme? Nihil. Sebab ia memang bergerak bukan dengan bingkai jurnalisme. Jurnalisme barang hilang adalah jurnalisme kacangan. *** Praktik jurnalisme barang hilang memang tidak lagi jamak dilakukan persma. Entah karena telah insaf atau me-

i

si:

ra ust

ta ari

Dw

ni

ya

ri As

M

Il

mang tak ada lagi laporan kehilangan yang masuk. Namun, belakangan gejala itu mulai nampak lagi. Sebelum itu mewabah lagi, maka saya putuskan menyajikan tulisan ini, sebagai kritik saya sekaligus weling. Agar kita sesama persma mempertimbangkan dulu dengan bijak sebelum mengambil langkah. Kalau persma tetap memilih mewartakan barang hilang dengan berbagai pertimbangan, ya silakan. Asal jangan abai terhadap disiplin verifikasi, dan itu mesti dijalankan dengan serius. Atau, alternatif lain, kita bisa membikin sebuah media forum khusus yang fungsinya fokus mewadahi segala macam laporan mentah barang hilang. Mahasiswa yang merasa kehilangan barang atau yang menemukan barang bisa saling mengunggah info lewat forum tadi. Saya paham benar bila geliat kebanyakan persma sini kuyu. Entah itu krisis keanggotaan, atau pejabat kampus yang masih alergi terhadap persma, atau anasir lain. Itu membuat persma jarang menerbitkan berita. Skëtsa pun begitu. Namun, kami tetap pada prinsip: lebih baik menyetop pemberitaan ketimbang menerbitkan berita buruk atau cacat. Dan kami tidak akan melacurkan mutu jurnalisme demi mengemis remah-remah klik pembaca. Begitu.

Purwokerto, Juni 2018. *Penulis, Pemimpin Umum LPM Skëtsa 2018.




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.