Laporan Utama
Urgensi Peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Unsoed
Editorial Sedia Perlindungan, Sebelum Jatuh Korban
09 Halaman
Ilustrasi: Dera Nafalia
01 Halaman
02 Halaman
Cerita Pendek Baju Loreng
Puisi
Goresan Luka Elaeis
11 Halaman
URGENSI PERATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI UNSOED Oleh: Rofingatun Hamidah
“Belum muncul kesadaran dari pengambil keputusan di universitas terhadap kekerasan (seksual-red).” Begitu ucap Prof. Muhadjir M. Darwin, dalam diskusi daring Lembaga Pers Mahasiswa Sketsa (LPM Sketsa), menanggapi soal fenomena kekerasan seksual di kampus (31/10/2020). Ketua Tim Perumus Kebi jakan Peraturan Rektor (PR) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Gadjah Mada (PPKS UGM) ini juga menyampaikan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di kampus mana pun, tanpa pengecualian. (Bersambung ke halaman 4)
EDITORIAL
Sedia Perlindungan, Sebelum Jatuh Korban Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, pernah bilang bahwa kekerasan seksual merupakan salah satu dari tiga dosa besar di dunia pendidikan. Namun sialnya, dosa besar itu nyatanya masih terjadi di kampus, di tempat yang semestinya jadi ruang aman bagi semua sivitas akademika menjalankan aktivitasnya. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Tirto.id, The Jakarta Post, dan VICE Indonesia di tahun 2019, sebanyak 174 orang menjadi penyintas kekerasan seksual di 79 universitas di Indonesia. Itu baru kasus yang terdata. Bisa saja kasus yang belum terekspos jauh lebih banyak. Tentu saja, kekerasan seksual juga berpeluang terjadi di lingkungan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).
02
Dengan melihat data kasus tersebut saja, sudah seharusnya perlu dipertegas dan diperinci lagi hukum yang memayunginya. Lalu pertanyaannya, seberapa serius Unsoed dalam mencegah dan mena ngani kasus kekerasan seksual? Bagaimana regulasinya? Wakil Rektor Bidang Kemaha siswaan dan Alumni, Kuat Puji Prayitno, mengklaim bahwa per aturan-peraturan yang ada di Unsoed sudah cukup untuk menga tasi kasus kekerasan seksual di kampus. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Rektor (PR) 9/2013 tentang Kode Etik Dosen, PR 12/2018 tentang Etika dan Tata Tertib Mahasiswa, PR 13/2018 tentang Kode Etik Tenaga Kependidikan, dan yang terakhir PR 11/2018 tentang Etika Akademik Sivitas Akademika.
Namun, menurut Riris Ardhanariswari selaku Ketua Unit Layanan Pengaduan Kekerasan (ULPK) sekaligus dosen Fakultas Hukum Unsoed, peraturan yang ada di Unsoed saat ini justru masih terlalu umum. Ketika kami coba kaji dari keempat peraturan tersebut, kekerasan seksual tidak dibahas secara rinci. Narasi yang berhubungan dengan kekerasan seksual hanya mentok pada kalimat “tidak melakukan perbuatan asusila”. Dari keempat peraturan, yang menyertakan bentuk dari perbuatan asusila hanya ada pada PR 9/2013 tentang Kode Etik Dosen. Bentuk perbuatan asusila yang dimaksud yakni perkataan, tulisan, gambar, ataupun tindakan. Dalam peraturan-peraturan tersebut, tidak dijelaskan pengertian,
EDITORIAL macam, ataupun prosedur yang dilakukan ketika terjadi kasus kekerasan seksual. Tindakan pencegahan bahkan sama sekali tidak disinggung. Kuat bilang bahwa “perbuatan asusila” sebagaimana yang dimaksud keempat peraturan Unsoed tersebut, sudah cukup dijelaskan dengan peraturan yang lebih tinggi, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun yang perlu dikritisi, seberapa efektifkah KUHP dalam menangani kekerasan seksual? Menurut Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani di VOA Indonesia, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Sek sual (RUU PKS) dirancang un tuk menutupi celah hukum dalam mengatasi kekerasan seksual yang tidak tercantum dalam legislasi yang ada sekarang, salah satu nya dalam KUHP. Artinya KUHP sendiri masih belum efektif karena bercelah hukum. Dalam konteks produk legislasi, kita membutuhkan peraturan khusus semacam RUU PKS untuk mengakomodasi detail pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Indonesia. Lalu jika ditarik ke konteks per aturan di Unsoed, maka kita juga butuh merumuskan peraturan baru yang khusus untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual. Menengok sebentar ke UGM, pada tahun 2018, kasus Agni mencuat ke permukaan dan mendapat banyak perhatian. Awalnya, UGM sudah mencoba untuk menangani kasus Agni dengan peraturan
yang sudah ada, yakni Keputusan Rektor 1699/2016 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan di Ling kungan Universitas Gadjah Mada. Peraturan ini sebenarnya sudah cukup menjelaskan mengenai contoh, prosedur, bahkan pencegahan kasus pelecehan di UGM. Namun, peraturan yang sudah khusus ini pun nyatanya masih belum bisa menangani kasus Agni. Oleh karena itu, dibentuklah PR UGM 1/2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) oleh masyarakat UGM. Pengalaman di UGM semestinya menjadi bahan evaluasi bagi semua universitas, termasuk Unsoed, dalam menyikapi kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Di UGM, peraturan yang sudah membahas mengenai pelecehan saja masih tidak cukup. Apalagi di Unsoed hanya mengandalkan peraturanperaturan yang begitu umum. Tak seharusnya kampus meng anggap kekerasan seksual seba gai aib yang tak perlu diumbar. Seperti yang telah disampaikan oleh Prof. Muhadjir, Ketua Tim Perumus Kebijakan PR tentang PPKS UGM, ketika universitas mau secara terbuka menghadapi dan menangani kekerasan seksual secara serius, akan menciptakan rasa aman bagi masyarakatnya. Dengan begitu, nama baiknya akan terangkat. Kami percaya, regulasi atau kebijakan yang khusus membahas kekerasan seksual adalah wujud nyata perlindungan itu. Terakhir, kami ingin menyi
kapi tanggapan Kuat. Ketika kami menanyakan, “Apakah Unsoed sudah memiliki prosedur berupa tahapan-tahapan penanganan kasus kekerasan seksual secara rinci dan tertulis?”, Kuat menanggapi, “Ini nanti dulu, belum ada korban kok. Kan nanti disesuaikan dengan kebutuhan korban.” Dari tanggapan tersebut, apakah artinya Unsoed lebih memilih menunggu terjadinya kasus kekerasan seksual di kampus, baru kemudian mau bergerak untuk merumuskan prosedur khusus terkait penanganan kekerasan seksual? Jika “iya”, artinya kampus memang enggan belajar dari pengalaman UGM di atas. Jika “tidak” demikian, Unsoed harus mau segera bergerak menyusun peraturan baru terkait penanganan kasus kekerasan seksual. Hal ini sebagai bentuk keseriusan Unsoed dalam mengantisipasi ketidakkompatibelan peratur an-peraturan yang ada sekarang, jika muncul kasus kekerasan seksual kelak. Jangan menunggu kasus dulu, baru gerak kemudian! Itu logika terbalik namanya! Semoga saja kampus segera sadar. Tabik. Redaksi Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah sikap Redaksi LPM Sketsa. Pembaca yang cerdas harus paham jika pers boleh dan harus berpihak pada situasi tertentu.
03
LAPORAN UTAMA
URGENSI PERATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI UNSOED (Sambungan dari halaman 1) Selaras dengan apa yang di sampaikan oleh Prof. Muhadjir, kolaborasi “Nama Baik Kampus” yang dilakukan Tirto.id, The Jakarta Post, dan VICE Indonesia menunjukkan terdapat kekerasan seksual di 79 kampus di 29 kota se-Indonesia. Testimoni kekerasan seksual yang didapat tahun 2019 ini menyebutkan terdapat 174 kasus kekerasan seksual yang terjadi berhubungan dengan perguruan tinggi. Kasus-kasuskekerasan seksual tersebut dilakukan oleh sivitas akademika dan terjadi di dalam ataupun di luar kampus, namun masih dalam acara resmi seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN), magang, dan sebagainya. Kasus kekerasan seksual yang pernah disorot adalah kasus Agni. Inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu terbentuknya peraturan khusus di UGM. Agni– nama samaran–seorang mahasiswi UGM yang mengalami keke ras an seksual ketika melaksa nakan KKN di Maluku. Kisah Agni pertama kali dipublikasikan oleh Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM (5/11/2018) de ngan judul “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan”. Hal ini memancing banyak simpatisan. Diar Padmasari (31/10/2020), penanggung
04
jawab forum advokasi UGM tahun 2019–2020, mengungkapkan bahwa mekanisme penyelesaian kasus tersebut hanya berpatok pada Keputusan Rektor 1699/2016 tentang Pedoman Pencegahan Pe lecehan di Lingkungan Universitas Gadjah Mada. Peraturan tersebut ternyata belum mencakup perihal unit pengaduan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Menilik penyampaian Prof. Muhadjir sebelumnya, kekerasan seksual dapat terjadi di kampus mana saja, tak terkecuali di Unsoed. Tyas Retno Wulan saat masih menjabat sebagai Koordinator Pusat Penelitian Gender, Anak dan Pelayanan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman (PPGAPM Unsoed) 2010–2017, mendapati beberapa aduan peri hal pelecehan seksual, baik dari orang terdekat ataupun orang yang memang menargetkannya. Di tahun 2020, tercatat tiga laporan diterima Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsoed melalui program Curhat Bareng Kita (Cubita). Kekerasan seksual terlapor terjadi dalam hubungan pacaran dan kegiatan di luar kampus. Hal tersebut disampaikan Lugas Ichtiar, Presiden BEM Unsoed 2020, saat ditemui awak Sketsa di depan sekretariat BEM Unsoed (27/11/2020).
Riris Ardhanariswari, sela ku Ketua Unit Layanan dan Pengaduan Kekerasan (ULPK) Unsoed, menyampaikan sejak dires mikan ULPK pada Agustus 2020, sudah ada dua laporan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Unsoed. Kasus pertama tidak diketahui secara pasti jenis kekerasannya dan tidak ditindak lanjuti karena bukan penyintas yang melapor. Kasus kedua me rupakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh teman sendiri dan baru sampai tahap pelapor an. Hal itu ia sampaikan melalui pesan WhatsApp pada Minggu, 29/11/2020. Saat wawancara (27/11/2020), Riris juga mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual ini seperti fenomena gunung es. Data atau kasus-kasus yang terlapor baru terlihat di permukaan. Kuat Puji Prayitno, selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, mengungkapkan bahwa data mengenai kasus kekerasan seksual terdapat pada unit-unit pelaporan yang ada di fakultas maupun universitas. Data kasus tidak kemudian diteruskan pada pihak rektorat. “Itu sesuatu yang (sifatnyared) aib kenapa harus banyak diekspos,” ucapnya ketika ditanya soal angka kasus kekerasan seksu-
LAPORAN UTAMA al di Unsoed (27/11/2020). Kekerasan Seksual dan Urgensi Peraturan Khusus di Kampus Dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (2017) dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan), kekerasan seksual merupakan suatu perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang, serta perbuatan lain terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, atau fungsi reproduksi seseorang secara paksa serta bertentangan dengan kehendak dan kondisi seseorang dalam hal memberikan persetujuan dalam keadaan bebas. Sembilan dari lima belas bentuk kekerasan seksual, di antaranya pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, serta penyiksaan seksual. Dituturkan oleh Prof. Muha djir, kekerasan seksual terjadi disebabkan dua faktor budaya, yakni lemahnya consent culture dan kuatnya rape culture. Disebut consent culture, budaya menanyakan persetujuan kepada pihak lain ketika seseorang akan melakukan sesuatu terhadapnya. Dengan menghormati hak otonomi orang lain atas tubuhnya, budaya ini menjunjung tinggi kemanusiaan dari tiap individu. Sedangkan rape culture atau budaya perkosaan merupakan keper-
Tangkapan layar agenda Diskusi Publik “Urgensi Peraturan Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual di Kampus” (31/10/2020).
cayaan yang kompleks, sehingga mendorong agresi seksual laki-laki dan mendukung kekerasan ter hadap pe rempuan. Budaya ini memaafkan terorisme fisik dan emosional terhadap anak dan pe rempuan. Ia berujar bahwa keberadaan peraturan khusus yang membahas mengenai penanganan dan pencegahan kekerasan seksual itu penting. Hal tersebut disampaikan pada sesi diskusi daring LPM Sketsa mengenai Urgensi Peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus bersama Tyas Retno Wulan, Kuat Puji Prayitno, dan Diar Padmasari. Tyas, Ketua Jurusan Sosiologi dan pegiat gender mengutarakan enam poin penting yang menjadi alasan terjadinya kekerasan sek-
sual di ranah kampus. Poin-poin itu ialah akibat adanya hubungan subordinat, adanya relasi kuasa, jika pelakunya dosen maka mahasiswa sebagai penyintas takut tidak diluluskan, tidak ingin memperpanjang masalah, belum ada nya lembaga dan Standard Operational Procedure (SOP) mengenai pengaduan kasus kekerasan seksual, serta masih adanya budaya me nyalahkan korban atau penyintas kekerasan seksual ketika terjadi kasus kekerasan seksual (victim blaming). Ia juga menyampaikan bahwa kebijakan atau peraturan khusus yang membahas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual itu penting, namun jika dilihat dari sudut pandang Sosiologi, bagaimana penguatan gerakan-gerakan
05
LAPORAN UTAMA dana, hal ini menjadi domain dan yuridiksi dari Aparat Penegak Hukum (APH). Menurutnya, cu kup dengan sanksi akademik dan pendekatan kekeluargaan. “Kita melihatnya seperti anak yang perlu dijewer, yang perlu dinasihati, yang perlu diperbaiki. Di kemudian hari, dia masih punya masa depan yang panjang. Jadi, jangan dihancurkan masa depan dia, jangan diputus masa depan Unsoed dan Kebijakannya dia,” begitu ucap Kuat. Sebagai dosen Fakultas HuSedangkan untuk dosen, karkum Unsoed, Kuat menyampaikan yawan, serta tenaga kependidik bahwa ketika kampus hendak an diatur dalam peraturan rektor mengatur sesuatu, tentunya tak mengenai kode etiknya masingbisa lepas dari kompetensi dan masing. Seperti misalnya PR kewenangan, terutama terkait re9/2013 tentang Kode Etik Dosen, gulasi dan sanksi. Hal tersebut mePR 11/2018 tentang Etika Akarupakan rentang-rentang kewe demik Sivitas Akademika, dan nangan yang harus dipikirkan jika PR 13/2018 tentang Kode Etik ingin menyusun sebuah regulasi Tenaga Kependidikan. di kampus. Pada peraturan yang mengDalam sesi diskusi daring a tur mengenai Eti ka dan Tata LPM Sketsa, Kuat mengatakan Tertib Mahasiswa, kalimat yang bahwa Unsoed sudah memilimenyinggung perihal kekerasan ki peraturan yang dapat menca seksual ada pada kup kasus kekerasan sal 18 huruf l seksual di kampus “Kalau dari teman-teman mahasiswa sendiri Pa dan sudah direvisi tidak ada gereget untuk berani lapor juga sama mengenai larangan mahasiswa. Dalam di tahun 2018. Kuat saja, tidak ada manfaatnya undang-undang poin tersebut, ma menyoroti peraturan kebijakan apa pun itu” hasiswa dilarang rektor yang meng melakukan perbuatur tentang perilakuperilaku yang menjadi kewajiban Kuat mengatakan, mengung- atan asusila, tanpa penjelasan le dan larangan mahasiswa. kap perkara ini tidaklah mudah. bih lanjut. Kuat menjelaskan hal tersebut Setelah dikonfirmasi kepada Apalagi tidak menutup kemung Kuat (27/11/2020), peratur an kinan antara pelaku dan penyin- karena peraturan rektor ini teryang dimaksud adalah PR tas kekerasan seksual memiliki kait pada peraturan atau regulasi 12/2018 tentang Etika dan Tata hubungan yang dekat. Kasus yang lebih tinggi, yakni Kitab Tertib Mahasiswa. kekerasan seksual pun termasuk Undang-Undang Hukum Pidana Kuat menambahkan bahwa dalam pelanggaran atau tindak pi- (KUHP). Kuat berargumen, perUnsoed sudah cukup dengan pera- dana yang diatur dalam hukum pi- buatan asusila pada Pasal 18 huruf di level mahasiswa adalah hal yang lebih penting. Hal ini berguna untuk mendorong implementasi kebijakan agar dapat berjalan. “Kalau dari teman-teman mahasiswa sendiri tidak ada gereget untuk berani lapor juga sama saja, tidak ada manfaatnya undang-undang kebijakan apa pun itu,” ucap Tyas.
06
turan yang sudah ada. Bahkan, ia mengklaim bahwa peraturan rektor tersebut memiliki cakupan lebih luas dari sekadar peraturan kekerasan seksual, karena di dalamnya dibahas hal-hal yang tergolong dalam pelanggaran seksual, baik itu kekerasan seksual hingga pornografi. “Unsoed sudah memiliki ketentuan yang bisa mengkover perbuatan (kekerasan seksual-red) yang sedang kita diskusikan, sejak tahun 2013, (dan di-red) tahun 2018 pun sudah dilakukan revisi secara menyeluruh karena perubahan statuta,” ujarnya pada dis kusi daring siang itu. Ia juga menjelaskan bahwa peraturan rektor tersebut merupakan regulasi yang dimiliki Unsoed berikut terkait sanksi di dalamnya. Kewenangan rektor hanya berupa sanksi akademik. Sanksi yang sifatnya pidana bukan kewenangan rektor. Tinggal sejauh mana per aturan rektor ini bisa efektif.
LAPORAN UTAMA l ini dapat dijelaskan oleh KUHP yang mengatur tindak pidana terhadap pelanggaran kesusilaan. Menurutnya, hal ini sudah cukup mencakup kekerasan seksual yang ada di Unsoed. Ketika dimintai pendapat pada 29/11/2020, Riris yang juga dosen Fakultas Hukum Unsoed me ngatakan, perlu adanya peraturan khusus yang mengatur perihal kekerasan seksual, yakni per aturan kekerasan berbasis gender. Menurutnya, peraturan yang ada di Unsoed saat ini masih begitu umum. Sebagai upaya mencegah dan menanggulangi segala bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk di dalamnya kekerasan seksual di lingkungan Unsoed, dibentuk ULPK. Unit layanan ini berada di bawah naungan PPGAPM–Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masya rakat (LPPM) Unsoed. Riris se laku Ketua ULPK, saat diwawancarai (27/11/2020), mengatakan bahwa unit layanan ini tak hanya menangani dan mengadvokasi ka sus saja, namun juga melakukan sosialisasi dan membangun kemitraan baik internal maupun eks ternal kampus, serta melakukan monitoring dan evaluasi. Untuk alur penanganan dan pendampingan bagi penyintas kekerasan seksual, Riris menjelas kan bahwa hal tersebut disesuai kan dengan kebutuhan. Jika membutuhkan psikolog, pihak ULPK akan menyediakannya. ULPK sendiri hanya bertugas memberi-
kan rekomendasi, tidak memiliki kewenangan dalam memberikan sanksi. Rekomendasi tersebut akan diberikan pada rektorat atau tingkat universitas. Jika sudah masuk dalam ranah pidana, pihaknya dapat merekomendasikan ke pihak kepolisian. Persoalan Efektivitas dan Nama Baik Kampus Lugas Ichtiar, Presiden BEM Unsoed 2020, mengatakan jika ingin membuat peraturan diperlukan landasan yang kuat. Salah satunya adalah data. Di Unsoed, belum ada data mengenai kasus kekerasan seksual. Menurutnya, sebagai langkah antisipasi cepat atau lambat peraturan khusus yang mengatur kekerasan seksual ini pasti diperlukan. “Paling enggak, pusat layanan (ULPK-red) itu dikonkretkan dan dimaksimalkan kerja-kerjanya. Karena ketika ngomongin aturan, kita berbicara masalah efektivitas hukum. Ada banyak aturan di Unsoed itu enggak efektif penerapannya,” ujarnya pada awak Sketsa. Bicara soal efektivitas per aturan khusus yang mengatur pe rihal kekerasan seksual, menurut Prof. Muhadjir, berkaitan dengan hasil atau kinerja. Ketika kinerjanya tinggi maka dapat disebut efektif, begitupun sebaliknya. Tujuan dari adanya peraturan yakni terkait dengan sifat dari peraturan itu sendiri. Peraturan memiliki dua sifat, yaitu preventif (pencegahan)
dan kuratif (penanggulangan). Preventif, ketika peraturan sudah ada dan jumlah orang yang melakukan kekerasan berkurang. Ketika menurun berarti sudah efektif. Sedangkan kuratif, artinya ketika peraturan sudah ada, maka kasus-kasus kekerasan seksual ditangani secara serius. Pe nindakan yang lebih serius pada para pelaku dengan hukuman yang pantas. Serta pelindungan kepada penyintas seperti mengenai nama baik dan penanganan trauma. Jika kedua-nya positif, artinya peraturan tersebut sudah efektif. Selain soal peraturan, Prof. Muhadjir menekankan bahwa speak up merupakan poin pen ting. Perlunya membangkitkan kesadaran pada mereka yang menjadi penyintas atau berpotensi menjadi penyintas kekerasan seksual untuk speak up. Jika keberanian speak up tidak ada, peraturan yang ada menjadi tidak efektif. Tyas pun menambahkan bahwa sekuat apa pun kebijakan, jika tak dibarengi speak up, tidak akan berjalan. Kasus kekerasan seksual juga tak lepas dari apa yang disebut dengan nama baik kampus. Prof. Muhadjir menjelaskan bahwa universitas terkadang berpikir, kalau ada kasus kekerasan seksual yang terungkap ke publik, universitasnya yang menjadi tercemar. Sehingga langkah yang dilakukan oleh universitas adalah menutupi, agar tidak terungkap ke publik.
07
LAPORAN UTAMA dan keberanian untuk meng Tapi kemudian tidak melakukan penanganan, hanya menu ungkapkan keputusan nya seUntuk menjaga nama baik, tupi saja. cara terbuka itulah cara yang bukan dengan melindungi pelaku paling baik untuk menjaga Prof. Muhadjir melihat yang salah, namun dengan menghunama baik institusi,” tegas hal tersebut dengan sudut kumnya secara tepat. Prof. Muhadjir. pandang yang berbeda. Ketika universitas mau secara terbuka menghadapinya, menangani namun dengan menghu kumnya Reporter: Dera Nafalia, Rofingatun Hamisecara serius, nama baiknya ma- secara tepat. lah akan menjadi le bih baik. Ia “Mestinya kita perlu meya- dah, Lilit Widiyanti pun menambahkan, untuk men- kinkan kepada para pengambil jaga nama baik, bukan dengan keputusan di universitas, kete- Editor: melindungi pelaku yang salah, gasan di dalam mengambil sikap Lilit Widiyanti, Dera Nafalia
08
BAJU LORENG
C
uaca yang terik siang ini bercampur dengan bising suara teriakan dan isak tangis yang tak ada hentinya. Dengan emosi yang sudah membubung di atas kepala, kubanting gelas kopi yang tinggal menyisakan ampas di meja. Urat leherku sudah menonjol dan tinggal menunggu waktu gelegar suaraku membentak dua bocah nakal di depan sana. “Bapak... Bapak jangan marah, kita kan cuma meminta paket internet,” rengekan anak bungsuku terdengar memelas. Karena mendengar keributan, istriku datang tergopoh-gopoh dari dapur. “Sudah to, Mas... Mereka masih kecil.” Kalau saja tiga pasang mata itu tak menatapku dengan tatapan yang tak bisa kukendalikan, tentunya segala umpatan akan keluar begitu saja dari mulutku. Mengembuskan napas, kucoba kendalikan emosi agar tak tumpah-ruah begitu saja. Di masa-masa seperti ini, tentunya rengekan dari kedua bocah itu hanya memperkeruh suasana. Mereka tak akan mengerti bahkan entah sampai beratus-ratus kali aku jelaskan keadaan keuangan keluarga ini. Yang mereka tahu hanyalah meminta, selayaknya anak pada umumnya. Toh, anak tertuaku baru berumur tujuh tahun dan dengan adiknya hanya selisih dua tahun. Tahu apa mereka tentang kehidupan yang kejam ini? Mengalah. Akhirnya aku beranjak pergi keluar rumah. Mencoba
CERITA PENDEK
Oleh: Rofingatun Hamidah**
menenangkan diri dan mencari jalan keluar. Di perjalanan yang tak tentu arah ini, benakku terus saja memaki. Kondisi sulit seperti ini, paket internet semakin lama semakin mahal saja rasanya. Buat beli makan sehari-hari saja susah. “Halo, Bambang!” Mendengar namaku dipanggil, aku pun menoleh dan menemukan Pak Tukino melambai di belakangku. Pak Tukino adalah teman remajaku. Ia sudah sukses sekarang. Aku yakin, masalahnya bukan lagi soal khawatir tak mampu membelikan paket internet anak yang sudah habis. “Eh Pak Tukino, sedang apa, Pak?” tanyaku basa-basi demi sopan santun. “Oh ini Bambang, lagi mantau sekitar saja. Kan sebagai panitia di masa pandemi ini kudu serius to nanganinnya. Barangkali ada warga yang masih bandel keluyuran keluar rumah.” Jawaban Pak Tukino ini membuatku sedikit tersentil. Memang benar, pandemi ini menuntut kita untuk tetap di rumah. Namun, bagaimana dengan nasib orang kecil seperti aku ini? Di rumah hanya bisa mendengar rengekan dan tangisan anak-istri. Pandemi juga membuat seorang tentara seperti Pak Tukino menjadi orang penting di desa kecil kami ini. Tentunya, orang-orang terpandanglah yang ditugaskan untuk memegang pe ranan penting di tingkat desa. Tak lama setelahnya kami ber-
pisah di perempatan, ia ingin ke RT 04 sedangkan aku hanya mencoba menghindar darinya dan berkata ingin ke RT 03. Yah, aku hanya malu berjalan di dekatnya. Aku pun berpikir, andaikan aku juga seorang tentara. Hidupku akan makmur dan serba berkecukupan. Ah, andai kata juga aku tak berandai-andai, aku pasti akan lebih mensyukuri hidupku ini. Andai oh andai. Tak kusangka, karena sibuk dengan kata andai. Benakku berputar, saling mengait, dan tumpang tindih membentuk sebuah memori lama yang muncul kembali. *** “Woi, Bambang! Ngapain bengong? Oper bolanya ke arahku!” teriakan seorang teman menyadarkanku, dengan gagap aku pun mengoperkan bola tersebut ke arahnya. Karena tak fokus, tembakan bolaku pun salah sasaran. Sedikit miring dan tertangkap oleh lawan. Gawat. Dan benar saja, dia begitu lincah. Tanpa aba-aba lagi sudah berada di depan gawang dan membobol gawang tim kami. Sial. Karena kejadian tadi, temanteman satu timku selalu saja mengolok-olokku sebagai “Tuan berkhayal” ataupun “Tukang nga lamun” dan sebutan-sebutan lain yang sejenis. Aku hanya bisa mengembuskan napas pasrah. Terserahlah apa kata mereka. Sudahlah, aku sudah cape bermain. “Hey, mau ke mana kamu, Bambang?! Belum selesai ini...” melambaikan tangan, kutinggalkan
09
CERITA PENDEK
Ilustrasi: Rofingatun Hamidah
mereka dan duduk selonjoran di pinggir lapangan. Tadi, aku hanya sedang membayangkan seberapa gagahnya aku menjadi bagian dari ABRI. Aku sering melihat mereka berbaris beriringan melewati lapangan ini. Mereka terlihat begitu gagah dan berwibawa. Auranya membuat
mereka begitu memesona. Susah sekali mendapatkan baju atau aksesoris mereka buat orang sepertiku, yang hanya anak seorang petani ini. Tukino, aku memperoleh berbagai macam aksesoris ABRI darinya. Maklumlah, kakeknya seorang pensiunan ABRI. Tentu mudah saja buat Tukino memperolehnya. Usiaku masih belasan tahun, dan aku ingin menjadi seperti mereka. Bicara soal mereka, tum-
10
ben sekali derap langkahnya belum terlihat ataupun terdengar. Biasanya gerombolan dari mereka sudah membuat debu di lapangan ini bertebaran, menyebabkan sakit mata dan batuk-batuk. Ah, mungkin sebentar lagi. Salah seorang di antara temantemanku tadi datang menghampiri, cape juga katanya. Duduk selonjoran di sampingku, ia berujar, “Nungguin mereka lagi, ya? Nanti malam kau ada kumpul hadro, kan? Jangan lupa persiapan.” Pertanyaan Tukino tak kuhiraukan, gerombolan hijau itu sudah muncul di balik rumput ilalang yang bergoyang terkena hembusan angin sore. Itu dia! Itu dia yang aku tunggu-tunggu! Usiaku sudah remaja, namun masih saja suka dengan mereka. Aku ingin menjadi bagian dari mereka dan memakai baju loreng itu. Sebentar, mataku tak salah lihat, bukan? Atau karena debu yang memenuhi la pangan membuat mataku perih dan penglihatanku buram? Mereka bukan lagi gerombolan hijau, namun sudah menjadi gerombolan kuning! Ini tidak salah? Lalu aku pun teringat siaran radio tadi malam dan surat kabar tetangga tadi pagi, yang kuintip sebentar setelah loper koran menggeletakkannya begitu saja di depan rumah. Keduanya sama-sama membahas topik yang sama.
Katanya, ciri khas hijau ABRI sudah berubah menjadi kuning. Karena kesal, aku pikir itu hanya lelucon semata. Apa kata mereka? Berganti warna? Yang benar saja! Namun sekarang, dengan berat hati akhirnya aku percaya dengan kabar dari radio dan surat kabar itu. Dengan berat hati aku terduduk lesu. Ah, mengapa bisa? Batinku terus saja bertanya-tanya, mengapa? Melihatku menunduk lemas, Tukino menepuk bahuku dan bertanya, “Ada apa, Bambang?” “Aku tak lagi ingin menjadi mereka...” ujarku lemas. Hari ini, hari di mana aku masih remaja. Aku sudah melepaskan impian masa kecilku. Usiaku masih remaja, dan aku tak tahu harus menjadi apa? *** “Astaghfirullah” Karena asyik melamun, tak kulihat jalan berlubang di depanku. Sedikit terjungkal, aku mencoba bangun sendiri dengan rasa malu yang kuterima. Wajar saja aku malu, di depan sana, gerombolan bapak-bapak yang sedang bermain karambol tertawa terbahak-bahak melihatku. “Masih seperti dulu saja kamu, Bambang... Bambang. Tukang ngalamun!” Duduk di antara mereka, ku amati ada sekitar tujuh-delapan orang bergerombol di pos ronda ini. “Enggak takut digerebek?” tanyaku heran. “Bentar doang, ndak apa-apa to?” pertanyaanku dijawab enteng saja.
PUISI “Yono, kamu punya uang, ndak? Anakku ngerengek terus ini minta paket internet.” Tanpa malu, aku pun bertanya pada salah satu teman di gerombolan bapak-bapak itu. Sudah kepepet, tak ada gunanya mementingkan gengsi. “Wah, maaf... aku juga lagi pailit ini.” Semua orang di gerombolan itu kutanyai, jawabannya sama saja. Beberapa dari mereka menyarankan tempat-tempat peminjaman uang. Meski begitu, aku masih ragu meminjam uang ke tempat-tempat itu.
“Ah, ya sudahlah...”, ucapku lunglai. Akhirnya aku memutuskan untuk terus berjalan, tentunya tanpa tujuan. Kulihat di ujung sana ada rumah gedongan berwarna abu-abu tua. Ah, masa iya aku harus ke dia? Gengsiku masih tersisa beberapa untuk mengunjungi rumah yang tinggal beberapa langkah itu. Gengsiku pun menuntunku untuk berputar arah, memutuskan untuk kembali ke rumah. Namun rengekan anak-anak seperti terdengar kembali. Belum lagi, tadi
malam istriku bilang beras di rumah tinggal satu kali masak. Untuk mencari pekerjaan lain, tentunya masih membutuhkan lima-tujuh hari lagi. Gengsiku tak akan mampu membuat kenyang anak-istri. Berputar arah, kuketuk pintu putih itu dan memberi salam. “Assalamualaikum, Pak Tukino...” Wonosobo, 1 Juni 2020 *Cerpen ini terinspirasi dari salah satu artikel di Tirto.id **Penulis, Mahasisiwi Jurusan Sosiologi Angkatan 2018
Goresan Luka Elaeis
Ilustrasi: Dera Nafalia
Oleh: Dykaana Okta Wahyono*
Aku ini mati Tak berbicara, tak mendengar, tapi digeladahi Aku ini mati Tapi dipaksa menghidupi Keringat dan luka adalah jiwa pembentuk batangku Tak sengaja, darahnya tersapu pada seratku Mengenang seperti goresan abadi Aku tak bisa menjadi bukti Aku ini mati
*Penulis, Mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia Angkatan 2018
Kau lihat sebelum hilang Kau hantui sebelum tenang Kau ambil sebelum terampas Aku ini mati Melihatmu menggerogoti Aku teringat ulat api dalam diri Bahkan kau jauh lebih berapi Hama ini menyakiti Batang bangsai kutandai Menggantung daun ini bunuh diri Seratku ternodai Bercampur dendam tak berhati Aku ini mati
11
INFOGRAFIS
Oleh: Dera Nafalia