Buletin InfoSketsa Edisi 40

Page 1

Pemberian gelar profesor hukum pidana kepada Jak­­sa Agung, Sanitiar Bur­­­hanuddin atau yang biasa dikenal dengan ST Burhanuddin di­ s­­­­am­­but dengan aksi yang digelar oleh mahasiswa Uni­versitas Jenderal Soedir­ man (Unsoed) pada Jumat (10/9). Aksi tersebut bertu­ juan un­­tuk menuntut ST Bur­­hanuddin a­gar me­nyel­ esaikan kasus-ka­­­­­­­sus pe­lang­ garan HAM be­rat yang ada di Indonesia. Mahasiswa ju­ ga masih mem­ pertanyakan alasan di balik ke­­­­­­putusan ini, mengingat so­ sok Jak­ Foto: Rofingatun Hamidah sa Agung yang pernah me­ “Lapar, lapar, lapar keadilan. Kami lapar keadilan, usut tuntas nuai kontroversi melalui kasus HAM.” Senandung yel-yel da­ri mahasiswa di tengah aksi mereka pernyataannya. menyambut kedatangan Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kampus Soe­ (Bersambung ke halaman 4) dirman. Suara mereka tetap terdengar lantang meski tertutup masker.

IKLAN


EDITORIAL

BUKAN SEKADAR SELEBRASI Sanitiar Burhanuddin atau yang dikenal dengan ST Burhanuddin res­ mi diangkat menjadi Dosen Tidak Te­­­tap dan Profesor Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (FH Unsoed) pada 10 September 2021. Fakultas Hukum mengusulkan na­ ma ST Burhanuddin karena melihat pencapaiannya selama menjabat di kejaksaan. Sebagian besar kasus yang berhasil ditanganinya adalah kasus korupsi seperti kasus Djoko Tjandra, kasus korupsi Jiwasraya, dan kasus korupsi Asabri. Menurut Prof. Hibnu Nugroho selaku Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuanan serta dosen FH Unsoed, ST Burhanuddin juga dianggap kompeten dalam menangani masalah internal kejaksaan seperti penangkapan Kasi Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Cilacap. Alasan lainnya adalah kebutuhan sumber daya manusia yang kompeten secara praktik di bidangnya. Kampus berharap dengan diangkatnya ST Burhanuddin selaku Jaksa Agung dapat memberikan pengalaman belajar bagi mahasiswa FH Unsoed, khususnya dalam hal praktik. Kemudian, tak lupa dengan gelarnya sebagai Jaksa Agung, nama Unsoed akan melekat padanya karena posisinya sebagai profesor. Ya. Kampus sedang berupaya untuk menaikkan nama Unsoed agar lebih dikenal masyarakat. Salah satunya dengan mengangkat tokoh penting menjadi profesor. Namun, pengukuhan ST Bur­ha­ nuddin sebagai profesor menjadi perbincangan atas pernyataannya pa­­da 16 Januari 2020 dalam rapat kerja antara Komisi III DPR RI dan Jak­sa Agung RI. Pernyataan tersebut dimuat dalam laman berita Tirto.id

dengan tulisan berjudul “Keluarga Korban Semanggi Ajukan Kasasi atas Pernyataan Jaksa Agung”. Dalam rapat tersebut, ST Burhanuddin me­ ngatakan bahwa Tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukanlah pe­ langgaran HAM berat serta tidak harus ditindaklanjuti oleh Komnas HAM. Karena pernyataannya, ke­ luarga korban menggugat ST Bur­ hanuddin. Salah satu isi gugatannya yaitu pernyataan dari ST Burhanuddin termasuk tindakan melawan hukum. Gugatan tersebut dikabulkan o­­ leh Pengadilan Tata Usaha Ne­ ga­­­­­­­­ra (PTUN) serta mewajibkan ST Burhanuddin untuk membuat pernyataan mengenai Tragedi Se­ manggi I dan Semanggi II sesuai ke­ adaan yang sebenarnya. Tidak terima dengan gugatan tadi, ST Burhanuddin mengajukan banding yang kemudian diterima oleh PTUN. Pada November 2021, dalam Harian Kompas, ST Burhanuddin menginstruksikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) un­tuk segera mengambil langkah strategis guna mempercepat pe­nye­ lesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Aktivis HAM sekaligus ke­ luarga korban Tragedi Semanggi I, Ma­ria Catarina Sumarsih memandang ini hanya bentuk pencitraan mengi­ ngat terdapat perayaan hari HAM serta festival HAM dalam waktu yang berdekatan. Sebab, Presiden Joko Wi­dodo telah memberikan instruksi untuk segera menuntaskan kasus HAM berat masa lalu dalam Rapat Koordinasi Teknis Kejaksaan pada De­sember 2020. Seharusnya ST Bur­ hanuddin segera memprosesnya se­ telah instruksi turun. Namun, ia baru menginstruksikan Jampidsus pada

2

No­­vember 2021. Terlalu lama dari waktu diberikannya instruksi oleh presiden. Masalah lain muncul setelah ber­ edar kabar mengenai perbedaan data riwayat pendidikan yang tercantum di website Kejaksaan Republik Indonesia (RI) dengan buku pengukuhannya se­­bagai profesor di Unsoed. Da­ lam buku pengukuhan sebagai pro­ fesor, latar belakang pendidikan ST Burhanuddin yaitu lulusan sar­ jana di Universitas 17 Agustus Se­ marang, magister di Sekolah Tinggi Manajemen Labora Jakarta, dan dok­­toral di Universitas Satyagama Jakarta. Jika dilihat dari Buku Laporan Tahunan Kejaksaan Agung 2012 yang menjadi bahan perbincangan, tertera bahwa ST Burhanuddin merupakan Sarjana Hukum Pidana Universitas Di­ponegoro tahun 1983, Magister Manajemen Universitas Indonesia tahun 2001, dan meraih gelar doktor di Universitas Satyagama tahun 2006. Kurang puas dengan data yang ditampilkan, kami menelusuri kembali Buku Laporan Tahunan Kejaksaan A­gung di tahun berikutnya. Dalam Bu­ ku Laporan Tahunan Kejaksaan Agung 2013, nama almamater kampus para petinggi kejaksaan tidak dicantumkan, hanya tingkatan pendidikan dan ta­­ hun kelulusan. Tidak hanya ST Bur­ hanuddin, pimpinan lain pun sama. Begitu pula ketika kami melihat profil pimpinan lain pada Buku laporan Tahunan Kejaksaan Agung di tahun berikutnya. Dengan munculnya perdebatan mengenai latar belakang pendidikan, akhirnya pihak Kejaksaan Agung mem­­berikan klarifikasi pada Sep­ tember 2021. Seperti dikutip dari vi­­­va.co.id, dalam tulisan yang ber­­­ judul “Heboh Latar Belakang Pen­ didikan Jaksa Agung, Kejagung Kla­ rifikasi”, Kepala Pusat Penerangan Hu­­kum Kejaksaan RI, Leonard Eben


Ezer Simanjuntak memberikan pen­­­­ jelasan bahwa latar belakang ST Burhanuddin yang tercantum da­ lam dokumen Biro Kepegawaian Ke­­­jaksaan Agung RI sama dengan da­ta yang digunakan pada acara pe­­ngukuhannya sebagai profesor di Unsoed. Dia juga menyebutkan bahwa data yang selama ini tersebar di media adalah “salah” dan tidak pernah dikonfirmasikan secara resmi kepada instansi Kejaksaan Republik Indonesia. Pengangkatan ST Burhanuddin se­­bagai profesor yang bertepatan dengan diperingatinya September Hitam ini dimanfaatkan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Bersama mahasiswa, mereka memanfaatkan momen ini untuk menuntut ST Bur­ hanuddin terkait pernyataannya yang cukup menjadi kontroversi. Aksi tersebut menuntut ST Burhanuddin untuk segera menuntaskan kasus pe­­langgaran HAM berat masa lalu. Mereka juga menggelar pengukuhan tandingan dengan memberi ST Bur­ hanuddin gelar profesor abai HAM. Menanggapi permasalahan di a­tas, nampaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, baik mengenai latar belakang pendidikan, maupun pernyataan Jaksa Agung. Menyoal perbedaan latar be­ lakang pendidikan, pihak kejaksaan telah mengeluarkan pernyataan ter­ kait alasan dari ketidaksinkronan da­ta yang ada. Meski demikian, me­­ngapa bisa terjadi kesalahan in­­ formasi terkait latar belakang pen­ didikan? Padahal berkaitan dengan informasi mendasar dari data se­ seorang. Mengapa bisa terjadi ke­ salahan sampai sejauh ini? Dari ma­ na data latar belakang pendidikan yang salah itu berasal? Serta, sejak kapan informasi tersebut muncul? Kenapa bisa tercantum di dalam Buku Laporan Tahunan Kejaksaan?

Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang seharusnya bisa langsung terjawab tanpa harus ditanyakan lagi. Kami yakin, penyusunan buku tersebut di­ lakukan dengan sungguh-sungguh dan tidak asal. Mestinya, kesalahan se­fatal ini bisa dihindari. Sudah semestinya pihak ke­ jak­­­saan dapat secara transparan mem­berikan keterangan mengenai masalah ini. Jika masalah ini dibiarkan terus menerus, simpang siur me­ ngenai latar belakang pendidikan sang Jaksa Agung akan menjadi celah bagi kejaksaan itu sendiri. Setidaknya, keterbukaan dari pihak kejaksaan da­pat mengembalikan kepercayaan masyarakat. Kita kembali lagi ke pernyataan Jaksa Agung yang menjadi kontroversi. Pernyataan tersebut tidak sepatutnya keluar dari seseorang yang dianggap top di bidangnya. Keluarnya per­ nyataan tersebut justru dapat me­ lukai semangat para aktivis HAM, khu­ susnya keluarga dari korban Tragedi Semanggi I dan Semanggi II. Sesuai dengan tulisan VOA Indonesia yang berjudul “Keluarga Korban Semanggi Kecewa Atas Putusan PTUN Jakarta”. Salah satu keluarga korban menilai bahwa pernyataan Jaksa Agung ber­ potensi menghambat proses hu­kum untuk menyelesaikan dugaan pe­ langgaran HAM berat dalam Tragedi Semanggi I dan Semanggi II. Tindak lanjut penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu perlu dibahas dengan serius. Selama ini telah banyak janji yang diberikan kepada para pejuang HAM. Perlu waktu berapa lama lagi para keluarga korban menunggu kasus ini benarbenar dituntaskan? Perlu berapa banyak lagi aksi kamisan terselenggara untuk mendapat keadilan? Apabila kasus HAM berat masa lalu tidak segera dituntaskan, buktibukti serta saksi akan “menghilang”

3

EDITORIAL secara perlahan karena termakan wak­tu. Ingatan orang-orang yang ter­libat dalam kasus tersebut juga a­kan memudar dan para saksi ke­ mungkinan sudah meninggal. Per­ juangan para keluarga korban yang memperjuangkan keadilan se­lama 15 tahun melalui aksi kamisan a­kan siasia. Kemudian, apabila BEM memang berkomitmen menuntut Jaksa Agung untuk menyelesaikan kasus-kasus pe­langgaran HAM berat masa lalu, inilah saatnya perjuangan dimulai. Tak bisa dipungkiri, bahwa Unsoed belum begitu dikenal masyarakat luas. Sehingga, kampus memerlukan tokoh penting untuk mengangkat eksistensinya. Jika ST Burhanuddin merupakan satu-satunya pilihan un­ tuk meningkatkan eksistensi kampus, kita bisa memanfaatkan peluang yang ada. Bisa mulai memantau kelanjutan dari komitmen kejaksaan dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat. Ikut berpartisipasi da­­ lam memantau penanganan ka­sus HAM berat masa lalu. Pun, me­ mastikan bahwa kasus tersebut ma­ suk ke dalam agenda yang sedang dilaksanakan oleh kejaksaan. BEM dan mahasiswa perlu bergerak se­ cara berkelanjutan dan senantiasa “mengingatkan” Jaksa Agung, bahwa Indonesia memiliki sejarah kelam di masa lalu yang sampai saat ini belum juga terselesaikan. Para keluarga yang ditinggalkan menunggu keadilan ser­ ta kejelasan mengenai kebenaran dari kasus-kasus tersebut. - Pemimpin Redaksi Tulisan ini adalah sikap Redaksi LPM Skëtsa. Pembaca yang cerdas harus paham jika pers boleh dan harus berpihak pada situasi tertentu.


LAPORAN UTAMA (Sambungan dari halaman 1) Aksi ini diikuti oleh lebih dari 150 massa aksi yang terdiri dari berbagai lembaga Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang ada di universitas, kecuali BEM Fakultas Hukum (FH). Dari Pu­ sat Kegiatan Mahasiswa (PKM), mereka berjalan menuju Graha Widayatama, tempat diku­ kuh­ kannya Jaksa Agung sebagai pro­ fesor. Dalam perjalanan menuju ti­­ tik aksi, kericuhan sempat terjadi antara mahasiswa dengan pihak kepolisian. “Kan, kita berangkat ternyata udah diblokade dari per­ tigaan Queen Kampus. Kita sempat negosiasi dulu sama polisi yang di sana,” ujar Fakhrul Firdausi, Presiden BEM (Presbem) Unsoed 2021. Di tengah negosiasi ter­ sebut, datang pasukan lain dari kepolisian dengan menaiki ken­ daraan bermotor serta membawa pistol gas air mata. Situasi semakin memanas ketika pasukan yang diketahui dari Brimob tersebut saling dorong dengan mahasiswa. Salah satu massa aksi, yakni Presbem Fakultas Peternakan, U­­ sup Supriatna mengaku dirinya sempat didorong oleh pihak kepo­ li­­sian. “Terus ada yang turun dari motor, sebenernya aku di posisi di belakang Afdal (wakil Presbem). Salah satu dari mereka (Brimobred) langsung pegang pundak aku, dibanting tapi enggak sampai jatoh, didorong, aku enggak sadar pukulan apa bukan pokoknya ke arah pundak.” Adu mulut kedua pihak ber­­­­­­­­­­­­­­­ lang­­­ sung sekitar 30 menit. Se­ telahnya disepakati bahwa aksi a­­­­kan berlangsung sampai sebelum

waktu salat Jumat. Mahasiswa kembali melan­ jutkan perjalanan yang sempat ter­­ henti. Kali ini, situasi lebih kondusif dari sebelumnya. Ren­ cana awal untuk melakukan aksi di depan Graha terpaksa harus diubah karena dari kepolisian sudah memblokade jalan dengan pagar kawat berduri. Blokade dilakukan di persimpangan antara Jalan Kampus dengan Jalan Pro­­ fesor DR. HR. Boenyamin. Lo­­ kasi tersebut akhirnya menjadi titik aksi para mahasiswa. Massa aksi berdiri mengelilingi mobil komando dengan menjaga jarak satu sama lain. Presbem Unsoed, Menteri Koordinator dan Pergerakan BEM Unsoed, dan Presbem masing-masing fakultas mewakili organisasi mereka me­ nyam­ paikan orasi. Kegiatan ke­ mu­di­an di­lan­­jutkan dengan pem­ bacaan puisi berantai oleh BEM Unsoed, dan berakhir dengan aksi pe­ngu­­kuhan tandingan. Sa­ lah se­ orang per­ wakilan massa aksi memperagakan pengukuhan tandingan untuk memberikan ge­ lar profesor abai HAM kepada ST Burhanuddin. Di lokasi yang sama, se­ ke­ lompok orang yang mengatas­ namakan masyarakat Banyumas turut mengadakan aksi tandingan. Dalam orasinya, mereka menyebut bahwa Unsoed bukan hanya milik mahasiswa, melainkan juga milik seluruh masyarakat Banyumas. Menanggapi hal ini, Fakhrul mengatakan bahwa sebelumnya ia juga telah dikirimi beberapa pesan serupa sebelum ia melakukan aksi. “Ya pesan seperti itu, menurutku sekelompok orang yang sengaja dimobilisasi,” ujarnya.

4

Pengukuhan Jaksa Agung sebagai Profesor BEM Unsoed masih mem­ per­­ tanyakan alasan di balik ke­ putusan pemberian gelar ini. “Ti­dak ada pemberitahuan sebe­ lumnya kepada mahasiswa ka­ re­­­­­na pihak Unsoed harus juga menjelaskan alasan pemberian i­ tu,” jawab Alfan Maulana Ak­­bar, Men­teri Analisis Isu Strategis BEM Unsoed 2021 saat dimintai pendapatnya mengenai pengukuhan Jaksa Agung. Selain menjabat sebagai Jaksa Agung, Prof. Hibnu Nugroho Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan sekaligus dosen FH menyampaikan bahwa pemikiran ST Burhanuddin mengenai res­ torative justice menjadi salah satu alasan Unsoed memberikan ge­ lar profesor. Selain itu, Satgas 53 Kejagung telah berhasil me­ nangkap Kasi Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri (Kejari) Cilacap atas tindakan pemerasan terhadap saksi dalam kasus tindak pidana korupsi yang ditangani Kejari Cilacap. Kemampuan Jaksa Agung dalam menata internal kejaksa­ annya ini juga menjadi indikator lain dalam menilai kelayakan pemberian gelar pada Jaksa Agung. Pernyataan tersebut sejalan dengan Peraturan Menteri Nomor 40 Tahun 2012 Tentang Peng­ angkatan Profesor/Gu­ru Be­­ sar Tidak Te­tap Pada Per­guruan Tinggi Pasal 1 ayat (2) yang ber­ bu­nyi “Seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat sebagai dosen tidak tetap dalam jabatan akademik tertentu pada perguruan tinggi.” Kemudian pada pasal 2 berbunyi,


“Menteri dapat menetapkan sese­ orang yang me­ mi­ liki keahlian dengan prestasi luar biasa untuk diangkat sebagai profesor/guru besar tidak tetap pada perguruan tinggi berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.” Prof. Dr. Muhammad Fa­uzan se­ laku Dekan FH mengatakan fakultas mengusulkan nama ST Bur­ hanuddin karena beberapa alasan. Selain dilihat dari se­­ gi aka­de­mik ya­ng telah me­nempuh pendidikan strata 3 dan memiliki karya ilmiah, fakultasnya juga membutuhkan Sumber Daya Manusia yang kom­ peten secara praktik. “Ke­ be­ tulan dia menjadi praktisi yang paling top di institusinya, kebetulan beliau juga berkenan, ya, tidak ada salahnya,” ujarnya. Dalam wawancara yang dila­ kukan pada Kamis (21/10), Prof. Hib­ nu mengatakan bah­ wa pengukuhan ini sudah me­ lalui proses yang matang. Me­ kanisme yang dilalui sudah se­ suai standar. Selaras dengan per­­­nyataan tersebut, Prof. Fauzan juga menjelaskan mekanisme pe­­­­ ng­ang­katan Jaksa Agung ST Bur­­ hanuddin sebagai profesor di FH. Nama ST Burhanuddin di­ usulkan oleh FH yang kemudian dibawa dalam rapat senat fakultas. Usulan ini lalu diteruskan ke rektorat untuk dinilai oleh Komisi I Senat Universitas. Mereka yang biasa disebut de­ ngan Komisi Guru Besar akan menilai kembali kelayakan ST Burhanuddin sebagai guru besar. Pemberian gelar akan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi,

LAPORAN UTAMA

Ilustrasi: Rofingatun Hamidah

oleh karenanya, rektor akan berkirim surat setelah mendapat persetujuan dari universitas. Mekanisme pengangkatan pro­fe­sor ini te­lah di­atur dalam Peraturan Rektor Universitas Jenderal Soedirman Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pengangkatan Profesor Tidak Te­ tap. Pada pasal 4 dijelaskan bahwa tata cara pengusulan profesor tidak tetap dilaksanakan dengan 4 tahap, yaitu pengusulan, pemeriksaan dan pengajuan oleh fakultas, penilaian oleh tim reviewer, dan persetujuan senat universitas. Se­ lan­jut­nya pengangkatannya dia­ tur pa­­ da pasal 10 ayat (1) yang ber­ bunyi, “profesor tidak tetap pada universitas diangkat oleh menteri”. Banyak tanggapan yang mun­ cul atas keputusan ini, khususnya dari kalangan mahasiswa. Pada malam sebelum pengukuhan di­ lakukan, beberapa organisasi ma­­­­­­­­­­­­­­­­­ha­­siwa mengi­ku­ti press confe­ rence ya­ng menyatakan dukungan mereka terhadap pengukuhan

5

ini. Diantaranya adalah Him­ punan Mahasiswa Ilmu Politik (Himapol), BEM Fakultas Eko­ nomi dan Bisnis (FEB), dan BEM FH. Awak Sketsa berusaha un­­­­ tuk me­ nemui perwakilan ke­ tiga organisasi tersebut un­tuk­dimintai keterangan. Na­­­­­­mun, setelah ber­ kali-kali ka­mi co­ba meng­hubungi, pi­ hak dari Himapol dan BEM FH menyatakan ke­tidaksediaan me­reka un­­­tuk di­wa­­­­­­­­­­­wan­carai. Da­­­­­­ lam per­­­­­­­­nya­­­­­­­taan sikap yang di­ri­­­­ lis me­ lalui akun Instagram @hi­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­ mapolUnsoed, menjelaskan bah­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­ wa mereka tidak berpihak kepada siapa pun. Mereka ju­ ga me­ nyayangkan pencantuman na­­ma yang dilakukan secara se­ pihak. Hampir mirip dengan ka­ sus di Himapol, pencatutan na­­ma sepi­ hak juga terjadi pada BEM FEB. “Kita menyayangkan lah tindakan cautan nama kelembagaan tapi tidak ada ko­munikasi gitu,” ujar Putra Galih Rahmawan, Presbem FEB 2021. Track Record Jaksa Agung ST Burhanuddin Dr. H. ST Burhanuddin, S.H., M.M dilan­ tik menjadi Jaksa A­­ gung pada 23 Oktober 2019, dia menggantikan M. Prasetyo yang menjabat pada periode sebelumnya. Burhanuddin me­ng­­ a­­wali ka­rirnya sebagai staf Ke­ jaksaan Tinggi Jambi se­jak 1989. Jabatan terakhirnya sebelum men­ jadi Jaksa Agung adalah sebagai Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun). Karirnya di dunia kejaksaan dimulai melalui pendidikan pem­ bentukan jaksa dan beberapa kali sempat menjabat sebagai Kepala


LAPORAN UTAMA Kejaksaan Negeri di se­ jum­ lah da­ erah seperti Bangko (Jambi) dan Cilacap. ST Burhanuddin juga sempat menjabat sebagai Direktur Eksekusi dan Eksaminasi Kejaksaan Agung dan karirnya terus berlanjut di Kejaksaan Tinggi Kejati Maluku Utara pada tahun 2008 hingga tahun 2009. Selain itu dia juga pernah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Pada masa jabatanya di Ke­ jak­ saan Kejati Sulawesi Se­ latan dan Barat pada tahun 2010, kasus yang dia tangani se­ bagian besar merupakan kasus korupsi. ST Burhanuddin juga sempat menangani kasus korupsi Bupati Gowa yaitu Ichsan Yasin Limpo. Beberapa kasus lain yang ditangani Kejaksaan Agung adalah kasus Djoko Tjandra, ka­ sus ko­rup­­si Jiwasraya, dan kasus korupsi Asabri. Namanya menjadi sering dise­but sete­­lah pernyataannya ten­­­tang Tra­gedi Se­manggi I dan II menu­ ai kontroversi. ST Burhanuddin mengatakan bahwa tragedi tersebut bukan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Pernyataan tersebut disampaikan dalam rapat kerja antara Komisi III DPR RI dan Jaksa Agung RI pada 16 Januari 2020. Merasa tidak terima, ke­ luarga korban Semanggi menga­ jukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Desember 2020, PTUN Jakarta memutuskan bahwa Burhanuddin telah melanggar hukum. Kini giliran Jaksa Agung yang tidak terima dengan keputusan PTUN.

Ia kemudian mengajukan banding dan hasilnya, PTUN Jakarta me­ nolak gugatan pihak keluarga korban. Dikutip dari news.detik.com, da­­­­ lam be­ri­ta­­nya yang ber­­judul “Ke­ luarga Korban Tra­gedi Se­manggi Kecewa MA Me­ nangkan Jaksa Agung”, Sumarsih, keluarga kor­ ban Semanggi I meng­ung­kapkan keprihatinannya akan su­ litnya men­­­­cari kebenaran dan keadilan yang telah ia perjuangkan selama 23 tahun. Keputusan PTUN di­ nilainya te­­lah me­­nutup harapan

nyataan tentang kasus Semang­gi tersebut. Sementara menurut Prof. Fa­­u­zan, pelanggaran HAM be­ rat ma­upun bukan, dengan a­­­da­ nya nya­wa manusia yang hilang maka hal tersebut harus diusung. Namun, terlepas dari pernyataan kontroversial tersebut, secara akademik Jaksa Agung te­ lah memenuhi kriteria untuk di­ berikan gelar profesor. Baru-baru ini juga muncul pemberitaan mengenai perbedaan riwayat pendidikan Jaksa Agung

“Udah tahu pernyataannya kon­­­­­­­­­­­­­­tro­­­ver­si, kok Unsoed masih tetap terabas dan seberani itu buat kasih gelar profesor hukum ke jaksa agung,” ujar Alfan saat diminta pen­dapatnya mengenai pernyataan tentang kasus Semang­gi tersebut. yang tumbuh pada hasil putusan sebelumnya. Kasasi yang diajukan oleh Sumarsih juga dito­ lak oleh Mahkamah Agung. Sebelumnya Komnas HAM te­lah melakukan penyelidikan pro jus­­­­­titia. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 disimpulkan bahwa dalam peristiwa Semanggi terjadi pelanggaran HAM berat. Hal ini dijelaskan oleh Hairansyah, Wakil Ketua Komnas HAM bidang Internal yang dikutip dari Kompas. com dalam tulisan beritanya yang berjudul “Saat Jaksa Agung dan Komnas HAM Berse­berangan So­­ al Tragedi Semanggi”. Dirinya me­ nya­­yangkan pernyataan terse­but apalagi dilontarkan oleh se­orang penegak hukum. “Udah tahu pernyataannya kon­­­­­­­­­­­ tro­­­ver­si, kok Unsoed masih tetap terabas dan seberani itu buat kasih gelar profesor hukum ke Jaksa Agung,” ujar Alfan saat di­ minta pen­dapatnya mengenai per­

6

Burhanuddin yang dilansir dari laman news.detik.com, dalam tu­­­­­­­­­ lisan yang ber­ judul “Beda-be­ da Penjelasan Soal Rekam Je­jak Pendidikan Jaksa Agung Bur­ hanuddin” Dalam buku Laporan Ta­ hun­­ an Kejaksaan Agung (Ke­ jagung) 2012, ST Burhanuddin menyelesaikan pendidikan Sarja­ na Hukum Pidana Universi­ tas Diponegoro tahun 1983, Magister Universitas Indonesia tahun 2001, dan Doktor Universitas Satyagama Jakarta tahun 2006. Sementara pada buku Laporan Tahunan Ke­ jaksaan Agung (Kejagung) 2013, ri­­wa­yat pen­di­dikan ST Bur­ hanuddin hanya tertulis gelar dan tahun yang sama dengan 2012 tanpa disebutkan almamaternya. Namun, gelar magister yang dida­ pat dari Universitas Indonesia (UI) diban­tah oleh pihak UI ketika mereka menelusuri database UI. Nama ST Burhanuddin sebagai


lulusan magister manajemen UI tahun 2001 tidak ditemukan. Dikutip dari viva.co.id dalam tulisan yang berjudul “Geger Gelar Pendidikan Jaksa Agung Berbeda dari Database UI”, Ma­ riana, Humas UI mengatakan de­­ ngan kata kunci Burhanuddin dan lulusan program studi magis­ ter mana­jemen, hanya satu na­ ma yang muncul yaitu Ikhsan Burhanuddin yang lulus tahun 2018. Data yang berbeda juga mun­ cul saat pengukuhan Jaksa Agung sebagai guru besar tidak tetap dalam bidang ilmu hukum pidana di Unsoed. Pada acara ini, data yang digunakan adalah riwayat pendidikan Sarjana di Uni­ver­­si­­tas 17 Agus­tus di Semarang, Magister di Sekolah Tinggi Manajemen Labora di Jakarta, dan Doktor di Universitas Satyagama di Jakarta. Perbedaan data ini memun­ culkan berbagai respon. Dalam wawancaranya, Alfan meminta pihak kampus untuk bersuara mengenai hal ini. Sementara Prof. Hib­ nu mengatakan bahwa perbedaan data yang ada dikare­ nakan adanya simpang siur infor­ masi yang tidak diralat. Sedangkan data yang Unsoed gunakan saat acara pengukuhan merupakan data yang sama dengan yang ada di Biro Sumber Daya Manusia yang ada di Kejaksaan Agung. “Jadi saya tahu persis, sepanjang kita on the track enggak, datanya data spesifik semua, termasuk kartu keluarga kita cek semua. Sehingga, Unsoed tenang,” jelasnya. Sementara itu, pihak kejagung sendiri telah memberikan per­ nya­ta­an. Per­nyataan tersebut

di­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­mu­­at dalam viva.co.id yang berjudul “Heboh Latar Belakang Pendidikan Jaksa Agung, Ke­ jagung Klarifikasi”. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan RI, Leonard Ebenr Ezer Siman­ juntak menyatakan bahwa latar belakang ST Burhanuddin yang tercantum dalam dokumen Biro Kepegawaian Kejaksaan Agung RI sama dengan data yang digunakan pada acara pengukuhannya seba­ gai Guru Besar Tidak Tetap di Unsoed.

LAPORAN UTAMA negatif akan berimbas pula bagi Unsoed. “Mungkin kalau dampak negatif itu ya karena sentiment publik di media cenderung negatif ya otomatis pihak Unsoed terkena imbasnya, apalagi belakangan itu muncul berapa persoalan terkait latar belakang pendidikan beliau, terakhir sekarang juga ada isu yang lain.” tuturnya. Saat kami melakukan wawan­ cara dengan Alfan pada Senin (25/10), dirinya meminta Unsoed untuk mempertimbangkan lagi kepu­­ tusan pemberian gelar ini. “Dari kami mahasiswa Unsoed tetap berharap dari pihak Unsoed mempertimbangkan la­ gi pem­ berian itu. Kalau bisa bahkan kami minta keberanian Unsoed untuk mencabut kembali gelar profesor itu kalau misalkan dimung­ kin­ kan,” ujarnya. Menanggapi pernyataan terse­ but, Prof. Fauzan mengatakan bahwa tidak ada kemungkinan untuk mencabut atau melakukan pembatalan pemberian gelar pro­ fe­sor hukum pidana ini. “Kecuali dia menyatakan mundur atau apa namanya, dia sudah tidak bersedia lagi menjadi dosen tidak tetap di FH, itu persoalan lain. Tapi itu tidak bisa kita cabut, karena yang bisa mencabut itukan kewenangan dari yang mengangkat, yang mengangkat itu kan menteri,” jelasnya.

Dampak bagi Unsoed Keputusan untuk memberikan gelar profesor kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin berdampak ba­ gi Unsoed. Prof. Fauzan me­ nga­­­­takan dengan dikukuhkan se­­­­ba­­­gai profesor di fakultasnya, ST Burhanuddin menjadi ber­ ke­ wajiban untuk memberikan ku­ liah. Hal ini direspon positif oleh Yudo F. Sudiro, alumni magister FH Unsoed. Yudo mengatakan a­ kan ada dampak positif yang dirasakan dengan adanya Jaksa Agung yang mengajar di FH, yaitu jaringan yang bertambah, dan ju­ ga kesempatan untuk belajar lang­ sung baik secara praktik maupun teori dengan Jaksa Agung. Sejalan dengan itu, menurut Prof. Hibnu, pemberian gelar ini juga akan meningkatkan reputasi Unsoed. Peristiwa dikukuhkannya Jaksa Agung membuat nama Unsoed semakin dikenal. Memberikan gelar guru be­ Reporter: Aprilia Ani Fatimah, sar ke pejabat publik juga mem­ Firliana Indah Safira, Alil Saputra, buat Unsoed harus meneri­ ma­ Rofingatun Hamidah, Aminannisa konsekuensi lain. Salah sa­tu do­ Rahmatika Hayati, Atika Sekar sen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Andita, Alif Saviola Rakhman, Politik (FISIP) Unsoed, Bowo Erannisa Kusuma Firdaus, Nur Su­ giarto mengatakan sentimen Komariah, Anggi Fahreza Yulianti. pub­­lik di media yang cenderung

7


OPINI

Tidak Ada Hak Asasi Bagi Korban Oleh: Anggi Fahreza Yulianti*

Kasus kekerasan seksual di Indo­nesia pada saat ini semakin me­ ningkat. Entah karena barubaru ini isu dan desas-desus penge­sahan Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang tak kun­­­ jung berada pada titik sah atau karena memang semakin banyak pelaku yang tega mela­ kukan kekerasan seksual. Data dari United Nations (UN) Women (2021)­menunjukkan bahwa terdapat se­kurang-kurangnya 736 juta pe­ rempuan pernah menjadi korban kekerasan. Hal ini jika dibandingkan, ada satu dari setiap tiga perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam lingkunganya. Jika data di atas dipaparkan se­ cara global, mari kita menelisik data yang lebih spesifik yaitu data nasional dari Komnas Na­­­­sional Anti Kekera­ san Terhadap Perempuan. Dalam catatan tahunan 2020 Komnas Perempuan, telah terekam pe­nga­ duan langsung kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 2.389 kasus. Hal ini bukan berarti kasus pada tahun 2021 jumlahnya lebih sedikit dari tahun 2020 lalu. Bicara tentang kekerasan sek­ sual, sebenarnya tidak berhenti pada perempuan saja melainkan hal ini dapat terjadi pada laki-­ laki. Seperti beberapa waktu lalu telah terjadi kasus kekerasan seksual terhadap pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

pusat yang korbanya adalah se­ orang laki-laki. Kasus kekerasan ini berlangsung di lembaga pe­ merintahan yang seharusnya da­ pat memberikan contoh perlin­ dungan kepada pegawainya se­ hingga bisa ditiru oleh lembaga lainnya. Apakah kasusnya sudah selesai? Tentu saja belum. Apa­ kah korban mendapatkan kea­ dil­an? Tentu tidak. Masa depan dan kehidupanya telah rusak ­aki­­­­­­bat perbuatan tak bermoral dari rekan-rekan kerjanya, yang mungkin saja hanya beralaskan “bercanda”. Tidak hanya itu, ada banyak kasus kekerasan seksual yang sanksinya justru merugikan kor­­­­­­­­­­­ ban. Kita lihat saja kasus pe­ lecehan seksual yang dialami oleh Mahasiswi Universitas Riau (UNRI). Dalam kasus tersebut korban sudah berani menyatakan bahwa di­ rinya mengalami kekerasan sek­sual yang dilakukan oleh dosen pembimbingnya sendiri. Lantas apakah korban mendapatkan keadilan? Tidak. Korban jus­ tru dituntut balik oleh si pela­ ku pelecehan. Dilihat dari ka­­­­­­sus ini berarti statement mengenai “Kekerasan seksual, korban a­­­da­lah saksinya” tidak ber­laku. Kesaksian korban jus­tru diragukan oleh pelaku. Bagai­ mana respon pihak ber­ wajib? Tentu saja korban dan pelaku diadukan di meja hijau. Korban seolah-olah tersudut dan menjadi

8

tersangka. Tidak ada hak asasi bagi korban kekerasan seksual adalah benar. Perempuan, laki-laki, bah­ kan waria pun jika mengalami kekerasan seksual, mereka pantas disebut korban. Seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) pun jika dari dirinya tidak mengamini bahwa dia bersedia melakukan hubungan seksual atau melayani pelaku, itu sudah bisa disebut kekerasan seksual dan pelecehan. Tidak perlu memandang bulu korban itu seorang mucikari, waria, atau pekerja seks, korban tetaplah korban. Mereka semua adalah manusia dan manusia punya hak. Pemenuhan atas hak harus setara untuk semua orang dan bebas dari diskriminasi. Bukankah korban kekerasan sek­ sual harus diberikan keadilan seadil-adilnya? Hak tetaplah hak dan kewajiban lembaga berwajib adalah untuk memberikan sebuah keadilan itu bagi korban. Perlindungan terhadap mere­ ka semua diperlukan. Tidak per­­­­lu memperhalus sebuah pemberi­ taan yang di dalamnya terdapat kasus pemerkosaan. Diksi “diper­ kosa” sudah sesuai dengan Ka­ mus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tidak perlu menggantigantinya dengan diksi yang asing dan sulit dimengerti oleh kalangan umum. Pun itu adalah hak korban untuk mendapatkan pembelaan. Hal ter­­sebut


OPINI In­­ donesia terhadap korban ke­ ke­ rasan seksual juga harus di­­ kurangi, karena memiliki dam­ pak yang buruk bagi korban. Hal ini disusul dengan sikap masyarakat yang banyak me­ nyal­­ ahkan korban dan ikut mengecap jelek perilaku korban. Padahal hal itu tidak sewajarnya dilakukan. Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi norma, seharusnya menghormati kor­­­­­ ban dan menghargai privasi kor­ ban. Keluarga dan masyarakat sebagai lingkungan pertama yang dijadikan trauma healing bagi korban seharusnya menunjukkan sikap suportif kepada kor­­­­­­­­ban. Misalnya dengan mem­­­­­­be­­rikan dukungan moral dan pendampingan psikologis ba­gi korban. Selanjutnya, lem­ baga yang berwenang harus mem­berikan sanksi yang seadiladilnya bagi pelaku. Jika pe­ nanganan terhadap kekerasan seksual semakin baik, bukan tidak mungkin akan ada banyak korban kekerasan seksual yang terselamatkan dan teringankan beban mentalnya. Dengan begini, akan semakin banyak safe space bagi korban kekerasan seksual khususnya perempuan.

Ilustrasi: Muhammad Fajar Maulana

sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No 23 tahun 2004 pasal 10, yang menyebutkan bahwa korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) berhak mendapatkan lima hal yaitu men­ dapatkan perlindungan dari pi­­­h­­­­­ak keluarga, kepolisian, ke­ ja­k­­­­­­­­­­­­­­­saan, pengadilan, advokat, lem­­­­­­­­­­­­baga sosial, atau pihak la­ innya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Mendapatkan hak untuk ti­ dak selalu tersorot sebagai kor­ ban adalah suatu perbaikan men­ tal yang sudah sepatutnya didapatkan. Mengganti dengan

menyorot pelaku bukanlah kesa­ lahan dan memang hal tersebut pantas didapatkan oleh si pelaku kekerasan. Berikan ruang dan hak yang perlu didapatkan o­ leh korban kekerasan seksual. Kewajiban korban adalah me­­­­­­­­­­­­­ laporkan tindakan yang di­ alami dan hak korban adalah mendapatkan penanganan atas laporan yang dia berikan, bukan *Penulis adalah mahasiswa Fakultas hanya butuh didengarkan. Kasus kekerasan seksual, Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas penanganannya harus berorien­ Jenderal Soedirman angkatan 2020. tasi pada korban dengan cara ti­ dak menyudutkan korban dan pub­ likasi pelaku. Selain itu, budaya kepo yang ada di masyarakat

9


PUISI

Keluhku Untukmu, Bung

Apakah kau tahu, Bung? Bahwa petani di negerimu . . . . masih sama sengsaranya dengan zaman penjajah? Bagaimana tidak . . . . Gabah yang harganya bak sampah Harga sayurannya bahkan lebih parah Hanya seharga gulali buat bocah

Oleh: Alil Saputra*

Coba kau lihat negerimu, Bung Masih samakah dengan negerimu yang dulu? Negeri di mana bambu runcing dan parang digunakan sebagai senjata perang Negeri yang kau juangkan 75 tahun lalu Negeri yang kau bacakan proklamasi itu

Ada lagi, Bung . . . . Negerimu masih belum bebas dari rodi Belum bebas dari romusha Ah, kau tak tahu saja, Bung Buruh di negerimu dipekerjakan bagai lembu Gajinya hanya cukup untuk beli nasi dengan lauk tahu Ketika rodi dan romusha . . . . Rakyat bekerja dengan terpaksa dan digaji agar perutnya tak bersuara Kini buruh, bekerja dengan sukarela Digaji agar mulutnya tak bersuara

Bung, nyatanya, negerimu masih sama Dulu darah tumpah karena penjajah Sedangkan kini, air mata yang tumpah Bukan karena penjajah, juga bukan karena penjarah Tapi kelakuan para bajingan bedebah

Pemimpinnya berkata kalau ini negara demokrasi Tapi nyatanya, dia sendiri ingin membuat oligarki Menterinya dari kapitalis negeri Bukan dari kalangan ahli Janjinya hanya untuk menarik simpati Bukan untuk direalisasi 10


PUISI

Apa kau tahu, Bung? Bahwa rakyatmu kini hanya digunakan sebagai alat? Alat untuk mendapat kursi pejabat kursi yang penuh dengan manusia keparat

Ilustrasi: Kusumalady Linta Beauty Azizi

Kenapa, Bung? Kenapa jadi begini negerimu? Apa ini makna dari teriakan MERDEKA? Ah, rancu sekali negerimu, Bung

Ah, Bung, kasihan betul rakyatmu Apa kau tahu, Bung? Dijadikan korban dari pelampiasan nafsu Keluh rakyat tak pernah sempat dibahas dalam rapat Dengan dalih untuk kepentingan umat Paling hanya dicatat Mereka membuat maklumat dan berakhir sebagai arsip berkarat dan meminta rakyat menerima dengan penuh Beda lagu dengan keluh konglomerat semangat Ditulis dengan tinta emas dua puluh empat karat Disimpan di tempat terhormat Untungnya, rakyatmu yang sekarang berbeda dengan Dibahas dengan antusias dan senyum hangat rakyatmu yang dulu, Bung Rakyatmu yang sekarang sudah berani untuk berdebat Bung, kini negerimu bergejolak lagi Rakyatmu yang sekarang bukan lagi jadi keledai Rakyat bagaikan anak tiri pemuat Sedangkan asing dijadikan anak emas bumi ini Tapi sudah jadi kuda hitam bermartabat Kini negerimu bukan lagi Ibu Pertiwi Yang tak terima jika haknya dibabad Sekarang sudah berubah jadi ibu tiri... Apalagi oleh para penjilat hanya karena ulah para pemilik kuasa Yang serakah dengan harta dan dunia *Penulis adalah mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2020.

Yang lupa untuk apa mereka duduk di singgasana 11


Lembaga Pers Mahasiswa


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.