Buletin sketsa edisi 34

Page 1

SKETSA/MARITA DWI ASRIYANI

RUSUNAWA PUNYA CERITA Oleh: Faida Nasiroturrohmah

Suasana Rumah Susun Sederhana Sewa Universitas Jenderal Soedirman (07/05).

Azan zuhur tengah berkumandang ketika saya tiba di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Kamis (4/5). Di lantai satu, beberapa mahasiswa duduk bercengkerama, ada pula yang duduk sambil bermain game online di laptop. Lainnya sedang menonton televisi. Satu lantai di atasnya, suasana lebih lengang, terlihat ada mahasiswa yang lewat di lorong-lorong kamar. Ketenangan Rusunawa terasa pada siang itu. Sesekali riuh gelak tawa memecah ketenangan. Saling senyum dan saling sapa antarpenghuni menggambarkan seolah tidak ada masalah di lingkungannya. Namun, bila ditelisik lebih lanjut, Rusunawa menyimpan sejumlah masalah.

IKLAN

(Bersambung ke halaman 4)


RUSUNAWA HARUS SEGERA BERBENAH! Pepatah lama mengungkapkan ada harga ada rupa, semakin mahal uang yang harus dibayar, semakin elok rupa nan apik kualitasnya. Begitu pula dengan wajah Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Unsoed, baru-baru ini, santer kabar bahwa tarif sewanya mengalami penaikan. Namun, sudah layakkah tarif sewa rusunawa dinaikkan? Jika menilik ke masa silam, pernah terjadi kenaikan tarif, sementara perubahan yang signifikan masih terbilang langka. Badan Pengelola Usaha (BPU) Unsoed mengeluarkan surat undangan bernomor 06/UN.23.24/ RUSUNAWA/KM02.01/2017 tentang Tarif Baru Rusunawa. Undangan tersebut terbungkus dalam bingkai

sosialisasi yang berlangsung pada hari Sabtu (25/3 dan 1/4). Tarif sewa Rusunawa dinaikkan 250 ribu Rupiah untuk mahasiswa penerima Bidikmisi dan 500 ribu Rupiah untuk non-Bidikmisisemula tarif sewa 750 ribu Rupiah per semester. Koordinator Rusunawa Siti Kunarti saat sosialisasi berujar, penaikan tarif dilakukan berdasar pada Keputusan Rektor Unsoed nomor: KEPT.275/UN23/ RT.00/2017 tentang Tarif Layanan Penggunaan Lahan, Gedung, dan Ruangan Unsoed. Sebelum sosialisasi, Rusunawa tampak adem ayem. Namun, ketika sosialisasi berlangsung, Rusunawa terbuka huru-haranya. Keluhan demi keluhan terlontar dari penghuni, tak terkecuali pula dari pengelola. Kelu-

han lama menyoal fasilitas semakin santer dengan adanya kenaikan tarif sewa Rusunawa. Fasilitas di Rusunawa masih begitu-begitu saja. Dua buah televisi yang tersedia di lobi tiap lantai hanya satu yang berfungsi, bahkan ada yang tidak menyala sama sekali, sinyal wifi sering hilang-timbul, mayoritas kamar mandi sudah tidak layak gunabanyak cat yang mengelupas juga pintu kamar mandi yang bolong, lantai keramik yang retak-retak, dan masih banyak lagi. Menanggapi keluhan-keluhan tersebut, pihak pengelola beralasan bahwa kelambanan perbaikan fasilitas Rusunawa dikarenakan banyaknya penghuni yang belum membayar sewa. Ironi memang, ada penghuni yang kabur tanpa membayar. Ada pula yang menunggak tagihan dari semester sekian hingga wisuda, juga tanpa membayar. Akan tetapi, boro-boro penghuni menaati aturan, semisal membayar sewa te-


pat waktu, ketentuan yang tertulis tegas saja tidak ada. Tidak ada batas waktu kapan penghuni harus membayar. Pun tidak ada sanksi bagi penghuni yang telah diketahui menunggak tagihan sekian semester. Oleh sebab itu, menjadikan sangat mudah bagi mereka keluar masuk Rusunawa secara sembarang, tanpa ada ketentuan yang mengikatnya. Polemik mengenai sistem pembayaran sewa Rusunawa tak luput

dak masalah jika pembayaran dilakukan melalui bank, yang penting jelas siapa yang sudah membayar dan siapa yang belum, bukan justru merugikan nama baik mahasiswa yang tertagih padahal sudah membayar. Jika kita merunut Rusunawa sebagai salah satu dari tiga asrama mahasiswa di Unsoed, mestinya Rusunawa memiliki fungsi untuk membina penghuninya. Namun, di setiap kampus pun memiliki kebija-

menjadi topik pembicaraan. Kali pertama Rusunawa difungsikan pada 2010, pembayaran dilakukan secara kontan. Mahasiswa membayar secara langsung ke bagian resepsionis. Kemudian mereka diberi kuitansi berstempel resmi. Namun, sejak pengelolaan Rusunawa diambil alih oleh BPU pada 2014, pembayaran secara langsung dihapus, digantikan dengan pembayaran melalui bank. Sistem pembayaran sewa Rusunawa melalui bank ini pun memunculkan reaksi yang berwarna-warni. Terdapat anggapan ketidakjelasan sistem pembayaran melalui bank. Bukti mahasiswa sudah membayar sewa adalah fotokopi slip pembayaran dari bank yang dikumpulkan ke Senior Resident (SR). Sementara mahasiswa yang tidak atau belum mengumpulkan fotokopi slip pembayaran dari bank berstatus “tertagih”. Seharusnya, pengelola memiliki catatan pembayaran dari pihak bank, bukan hanya dari fotokopi-fotokopi slip pembayaran dari penghuni. Ti-

kannya masing-masing. Di Institut Pertanian Bogor (IPB) misalnya. Di sana, bagi mahasiswa semester pertama wajib tinggal di asrama. Ada banyak program baik bersifat wajib maupun pilihan di asrama mahasiswa IPB. Ada program pembinaan mental dan spiritual, ada pula program mahasiswa cinta perpustakaan. Ada penilaian bagi yang taat pada aturan, pun ada sanksi bagi yang melanggar. Lebih dari itu, ada semacam apresiasi berupa sertifikat berpredikat bagi setiap penghuni. Mestinya, Unsoed tidak menutup mata dengan adanya perbandingan ini. Kami tidak bermaksud mendikte Rusunawa Unsoed agar menjadi seperti asrama mahasiswa di IPB, tetapi kami memandang Unsoed memang harus berkaca pada asrama di kampus yang lain juga. Kita mendambakan aturan main di Rusunawa yang jelas dan tegas. Pengelola berhak untuk membuat kebijakan tersebut. Malah harus! Pun dalam pembuatannya, wajib ada

perundingan antara pengelola dan penghuni. Tujuannya, agar terlahir kesepakatan bersama. Sehingga saat terjadi pelanggaran, baik pengelola maupun penghuni dapat menuntut pertanggungjawaban. Bagi kalian para penghuni seharusnya memiliki kesadaran untuk mematuhi. Janganlah sedikit-sedikit menuntut hak, sedangkan kewajiban dilalaikan. Sebagai media, lembaga pers mahasiswa tidak boleh diam mengetahui sistem yang buruk di Rusunawa. LPM Skëtsa tidak memihak kepada pengelola, penghuni, apalagi sistem. Dalam hal ini, LPM Skëtsa menjalankan fungsi kontrol sosialnya mengawal perubahan ke arah yang lebih baik bagi Rusunawa. Pembenahan di Rusunawa tidak hanya bagi pengelola tetapi juga penghuni. Perjelaslah siapa saja pengelola Rusunawa beserta tugas pokok dan fungsinya. Perjelas pula siapa saja yang berhak menjadi penghuni dan segala ketentuan yang mengikatnya. Bagi pengelola segerakan perbaikan fasilitas. Bagi kalian penghuni yang buruk, hilangkan budaya menghindar dari tagihan-tagihan. Jadilah penghuni yang patuh pada ketentuan yang berlaku. Di saat-saat seperti ini, sudah selayaknya semuanya bergerak bersama, membenahi Rusunawa.

Pemimpin Redaksi Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah sikap Redaksi LPM Skëtsa. Pembaca yang cerdas harus paham jika pers boleh dan harus berpihak pada situasi tertentu.


RUSUNAWA PUNYA CERITA (Sambungan dari halaman 1) Rusunawa merupakan salah satu dari tiga asrama mahasiswa Unsoed, terletak di sebelah utara GOR Soesilo Soedarman, Karangwangkal, Purwokerto Utara. Berdasarkan keterangan di laman unsoed.ac.id, Rusunawa mulai difungsikan Juli 2010. Gedung asrama tersebut terdiri atas 5 lantai, tiap lantai memiliki 2 lobi, 24 kamar, dan 8 WC dan kamar mandi. Tiap kamar disediakan 4 buah tempat tidur, 4 lemari, meja belajar dan kursi. Awalnya, Rusunawa dimanajemeni oleh beberapa dosen yang berstatus pengelola kontrak. Pengelola tersebut terdiri dari enam orang, masing-masing memiliki tupoksi yang berbeda. Struktur pengelola kontrak Rusunawa terdiri atas ketua, sekretaris, bendahara, bagian komunikasi dan pengembangan keputrian, bagian pembinaan karakter mahasiswa, dan bagian pengembangan dan perbaikan infrastruktur. Kemudian, sejak tahun 2014 sampai dengan sekarang, pengelolaan Rusunawa dipegang oleh Badan Pengelola Usaha (BPU) Unsoed. Saat Rusunawa mulai difungsikan, Dwi Susilowati, penghuni lama Rusunawa yang Skëtsa wawancarai pada Kamis (4/5) menjelaskan bahwa saat itu keadaan bangunan Rusunawa masih baik, termasuk perabot di dalamnya. Namun, akses jalan untuk keluar dan masuk asrama masih sulit. Ilalang di sekitar Rusunawa masih tinggi, suasananya pun sepi dengan penerangan yang masih

minim. Fasilitas seperti kantin dan wifi belum ada. Pun ketersediaan air bersih untuk MCK (mandi, cuci, kakus) masih sulit. Waktu itu, kondisi air berwarna kecokelatan serta terdapat cacing di dalamnya. Beberapa bulan setelah difungsikan, ada penambahan fasilitas kantin, disusul pembuatan jalan sebagai akses keluar dan masuk. Selang setahun kemudian, di periode kepemimpinan Eddy Tri Sucianto, Rusunawa mengalami penambahan fasilitas lain seperti pemasangan wifi, pembuatan portal di pintu masuk, pemasangan teralis besi di tempat parkir penghuni, dan lain-lain. “Tapi untuk renovasi, perbaikan, pemeliharaan lah istilahnya itu nggak ada,” ujar Susisapaan Dwi Susilowatisaat ditanya perihal pemeliharaan oleh pengelola lama. Pada Jumat (12/5), Skëtsa menemui Endro Yuwono yang mengemban posisi sekretaris Rusunawa pada masa Eddy menjadi ketua. Endro menjelaskan, pada masa Eddy, telah mengupayakan pembenahan seperti perbaikan pompa air, pengecatan tandon air, hingga pembuatan sumur baru. Hal tersebut dilakukan untuk menyelesaikan masalah ketersediaan air bersih di Rusunawa. Namun, ternyata tidak membawa perubahan secara signifikan. Tujuan awal pengelolaan diberikan kepada para dosen menurut Endro karena Edy YuwonoRektor kala itu, menginginkan Rusunawa bukan

hanya sebagai tempat tinggal saja, melainkan juga sebagai tempat untuk membangun karakter penghuninya. “Jadi, kita konsepnya sebagai sarana menginap sekaligus pembinaan, makanya dosen (dijadikan sebagai pengelola). Sehingga sebenarnya konsep kita ada acara-acara pembinaan sikap mental mahasiswa,” ungkap Endro. Beberapa bentuk kegiatannya adalah kegiatan kerohanian dan pelatihan keterampilan bagi penghuni Rusunawa. Untuk membantu tugas pengelola Rusunawa, pengelola mengangkat empat penghuni di tiap lantai Rusunawa menjadi Senior Resident (SR). Keberadaan SR sudah ada sejak pengelolaan Rusunawa diketuai oleh Eddy. SR bertugas sebagai kepanjangan tangan pengelola dalam mengurus penghuni Rusunawa. “Membantu pengelola agar kepentingan-kepentingan mahasiswa (penghuni Rusunawa-red) bisa terjembatani,” ujar Endro. Lebih lanjut, Wakil Dekan I Fakultas Peternakan itu menjelaskan bahwa pengelola tidak selalu berada di Rusunawa, sehingga apabila ada hal-hal yang ingin dikeluhkan atau disampaikan pada pengelola, bisa melalui SR. Selain itu, SR juga bertugas menyebarkan informasi mengenai peraturan atau kebijakan baru dari pengelola. Meski pengelolaan telah diambil alih oleh BPU, keberadaan SR masih ada hingga kini. Mulai tahun 2012, tugas SR bertambah. Selain membantu penye-


baran informasi antara penghuni dengan pengelola, mereka juga mengoordinasi kegiatan bersihbersih setiap Sabtu. Kegiatan ini wajib diikuti oleh seluruh penghuni, lantaran kondisi kebersihan Rusunawa semakin memprihatinkan. Menurut cerita Susi, mulanya lobi dan teras Rusunawa dibersihkan oleh petugas kebersihan, lalu entah mengapa sudah tak ada lagi petugas yang membersihkan. Berdasarkan penuturan Toro, Kamis (4/5), salah seorang Pramu Kantor Rusunawa, hal ini terjadi karena petugas kebersihan Rusunawa hanya berjumlah tiga orang. Mereka kerepotan apabila harus membersihkan semua bagian Rusunawa. Oleh karena itu, Toro menginginkan penghuni ikut membantu petugas kebersihan dengan mengadakan kerja bakti rutin setiap Sabtu. Hingga kini, kegiatan tersebut masih rutin dilaksanakan dan wajib diikuti oleh penghuni Rusunawa. Apabila penghuni ada yang tidak mengikuti, maka mereka akan mendapat denda sebesar 5.000 Rupiah dari SR. *** Pada tahun 2014, pengelolaan Rusunawa diambil alih oleh BPU. Masa itu belum ada koordinator pengelola Rusunawa. Kepala BPU, Kuat Puji Prayitno menyatakan bahwa pengelolaan Rusunawa kala itu dipegang langsung olehnya. Tetapi, Toro mengatakan pada masa itu, para pegawai Rusunawa tidak mengetahui siapa yang bertanggungjawab terkait pengelolaan Rusunawa. Mereka hanya mengetahui bahwa pengelolaan Rusunawa telah diambil alih BPU. Kemudian, saat dikonfirmasi via telepon (12/5), Kuat mengakui bahwa dirinya membutuhkan

Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani

koordinator pengelola Rusunawa. “Prinsipnya, selama kepemimpinan saya di BPU, baik manajemen dan layanan, maka perlu ada pengurus yang fokus (untuk mengelola Rusunawa),� terang Kuat. Dia merasa tidak efektif bila hanya satu orang yang mengelola semua aset Unsoed. Maka, pada awal 2016 lalu, Siti Kunarti diberi amanah menjadi Koordinator Pengelola Rusunawa. Sebagai koordinator pengelola baru, Kunarti mengakui saat pertama kali meninjau langsung keadaan Rusunawa, kondisinya kurang terurus. Rusunawa terlihat kotor. Padahal berdasar ujaran Susi, sebelum kedatangan Kunarti, SR dan seluruh penghuni sudah berusaha membersihkan. *** Sejak pengelolaan Rusunawa diambil alih oleh BPU, terdapat kebijakan baru mengenai mekanisme pembayaran. Awalnya, pembayaran sewa Rusunawa dilakukan secara tunai. Kini, pembayaran harus melalui Bank Mandiri yang sebelumnya

melalui Bank BNI. Sayangnya, kebijakan ini tidak diikuti dengan ketentuan pembayaran yang jelas. Banyak penghuni yang tak tahu menahu tentang jangka waktu pembayaran. Perihal itu menyebabkan banyak penghuni yang memanfaatkan ketidaktahuannya dengan membayar sewa semaunya sendiri, baik nominal maupun waktu pembayarannya. Pun mahasiswa dapat menjadi penghuni baru kapan saja selama masih tersedia kamar untuk dihuninya. Mengenai biaya sewa, kenaikan tarif sewa telah terjadi dua kali. Pada tahun 2010, tarif Rusunawa untuk per orang Rp1.200.000/tahun dengan ketentuan satu kamar berisi empat orang penghuni. Lalu, tahun 2013, tarifnya naik menjadi Rp1.500.000/tahun dengan ketentuan satu kamar berisi tiga orang penghuni. Terakhir, tahun 2017, tarif sewa menjadi Rp1.000.000/semester untuk penghuni penerima Bidikmisi dan Rp1.250.000/semester untuk penghuni non-Bidikmisi. Penaikan tarif untuk tahun 2017 didasarkan pada Keputusan Rektor Universitas Jenderal Soedirman Nomor: KEPT.275/UN23/RT.00/2017 tentang Tarif Layanan Penggunaan Lahan, Gedung, dan Ruangan Universitas Jenderal Soedirman. Menurut keterangan Kunarti, pembedaan tarif terjadi karena Kunarti ingin mengembalikan fungsi awal pendirian Rusunawa sebagai tempat tinggal yang harganya terjangkau serta nyaman bagi mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Penaikan tarif ini akan diberlakukan pada semester ganjil besok bersamaan dengan perubahan ketentuan jumlah penghuni dalam satu kamar


menjadi dua orang. Menurutnya, lebih baik penghuni sedikit, namun administrasi tertib, ketimbang banyak namun runyam. *** Matahari tingginya baru sepenggalah. Ketika saya menemui Kunarti pada Selasa (5/5), dia menyatakan dari sebelum kepengurusannya hingga awal tahun 2017, banyak mahasiswa yang belum membayar sewa Rusunawa. Tidak sedikit pula yang telah meninggalkan Rusunawa tanpa melunasi pembayaran. Sebenarnya SR sudah melaporkan hal ini kepada pengelola, tetapi tidak ada tindak lanjut dari pengelola seperti pemberian sanksi atau lainnya. SR pun tak bisa berbuat banyak. Setelah ditelusuri lebih lanjut, Dwi Imam Subarkah, pegawai bagian administrasi Rusunawa itu menjelaskan bahwa pengelola Rusunawa tidak memiliki data mahasiswa yang belum dan yang sudah lunas terkait pembayaran sewa, baik dari pihak bank maupun pengelola lama. Oleh karena itu, pada Kamis (4/5) Imam mengatakan bahwa pengelola meminta bantuan SR untuk mengumpulkan fotokopi slip pembayaran mahasiswa. Pihak SR awalnya cukup keberatan karena mendapat tugas yang mendadak serta cukup sulit. Padahal, selama ini mereka belum pernah berurusan dengan administrasi Rusunawa. Perihal lis penagihan sewa Rusunawa, ditemukan ketidaksesuaian data yang ada di lis. Terdapat beberapa penghuni sudah membayar sewa, namun masih tercantum dalam lis penagihan. Ketika ditelusuri, berdasarkan penjelasan Dwi Imam Subarkah, lis penagihan hanya ber-

dasarkan dari fotokopi slip pembayaran yang dikumpulkan oleh SR. Sehingga apabila terdapat ketidaksesuaian data, dia meminta bukti fotokopi slip pembayarannya untuk memastikan keakuratan data. Sementara, menurut penuturan Kunarti, lis penagihan tersebut memang berasal dari SR, tetapi belum dicek dengan data dari pihak bank. Karena tidak adanya protes dari mahasiswa, maka Kunarti menganggap bahwa lis tersebut memang sudah benar datanya. Eddy menyatakan hal tersebut tidak terjadi pada masa kepengelolaannya. Eddy mengaku, kala dia menjadi pengelola, administrasi keuangan berjalan dengan tertib. Mahasiswa membayar sewa secara kontan kepada resepsionis Rusunawa. Kemudian, resepsionis menyetorkan kepada bendahara yang saat itu dijabat oleh Krisnoe Maya Woelandari. Eddy merasa bahwa sistem pembayaran seperti itu lebih rapi karena dapat memeriksa data pembayaran dengan mudah. Saat SkĂŤtsa mengonfirmasi hal ini kepada Endro, dia menjelaskan lebih lanjut bahwa bendahara akan menyetorkannya ke rekening rektor, karenanya ihwal pendanaan menjadi kewenangan rektorat. Pada masa peralihan pengelola, pengelola lama sudah menyerahkan laporan kinerja dan data-data administrasi ke BPU. Endro dan beberapa pengelola lama yang lain sudah menyerahkan semua berkas yang berkaitan dengan Rusunawa. Sehingga semua data yang diperlukan mengenai pengelolaan sebelum BPU, semuanya sudah dipegang oleh BPU yang saat itu secara simbolik

diterima oleh Kuat. *** Sehabis UTS semester genap ini, SR lantai lima, Siti Khikbayani, sempat bingung ketika mengetahui dua penghuni baru melakukan pembayaran sewa Rusunawa secara kontan sebesar Rp900.000 per orang, bukan transfer lewat bank. Padahal tarif tersebut tidak masuk ke dalam kategori tarif lama maupun baru. Saat ditanya alasannya, Eka Nurhayati, salah seorang penghuni baru tersebut mengatakan bahwa mereka memang diminta membayar biaya sebesar itu. Lantaran mereka tidak memiliki rekening, akhirnya pembayaran dilakukan secara kontan. Kemudian wartawan SkĂŤtsa mengonfirmasi ihwal ini kepada Kunarti. Dia membenarkan telah terjadi transaksi tersebut, namun hal tersebut dilakukan dengan persetujuan kedua calon penghuni saat itu. Alasannya, masa itu, keputusan rektor tentang tarif Rusunawa telah turun, meskipun dia belum menerapkannya untuk seluruh penghuni. Sehingga saat ada penghuni baru, dia menawarkan pilihan, apakah ingin mengikuti tarif “tengah-tengahâ€? atau tarif baru. Kunarti bercerita bagaimana dia merasa geram dengan mantan penghuni yang belum melunasi hutang pembayaran. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang mahasiswa tidak memiliki beban moral ketika meninggalkan Rusunawa tanpa melunasinya. Padahal, tarif sewa yang dipatok di bawah tarif sewa asrama mahasiswa di universitas lain. Kunarti menginginkan seharusnya mahasiswa tidak hanya menuntut haknya untuk peningkatan fasilitas, namun kewajiban membayar sewa


SKETSA/MARITA DWI ASRIYANI

Kondisi WC di lantai empat Rusunawa Universitas Jenderal Soedirman (07/05).

malah dilalaikan. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran mahasiswa yang telah menggunakan fasilitas Rusunawa, namun tidak mau membayar sewa. Untuk mengakali agar kejadian tersebut tidak terulang di masa pengelolaannya, sekarang, Kunarti memberlakukan sistem wawancara kepada mahasiswa calon penghuni Rusunawa. Tujuannya untuk mengetahui keseriusan dan mengenal lebih jauh calon penghuninya. *** Ketika sosialisasi tentang Tarif Baru Rusunawa pada Sabtu (25/3 dan 1/4), banyak keluhan dari para penghuni Rusunawa terkait buruknya fasilitas seperti permasalahan kondisi air yang kotor dan terdapat cacing, lantai yang retak-retak, televisi yang mati, sinyal wifi yang tidak sampai kamar-kamar penghuni, dan lainnya. Salah satu penghuni, Septi Nurwarasati menyatakan bahwa pengelola telah berjanji akan menindaklanjuti segala kerusakan fasilitas Rusunawa. Tetapi, menurut Septi, pengelola terlalu lama merealisasikan janjinya. Salah satu contohnya seperti peng-

adaan air bersih yang menurut Septi adalah janji yang sudah sangat lama. “Menurutku air (bersih-red) itu udah janji yang udah lama banget...â€? ungkapnya saat ditemui oleh SkĂŤtsa pada Rabu (3/5). Komentar penghuni lain, Siti Khikbayani, juga mengeluhkan hal yang sama. Yani menginginkan hal-hal tersebut untuk diprioritaskan perbaikannya karena kerusakan cukup mengganggu kenyamanan penghuni. Realisasi janji perbaikan fasilitas Rusunawa dari Kunarti memang sedang dilakukan, terlihat dari pengurasan bak penampungan air dengan kaporit yang diintensifkan tiap dua bulan sekali. Hasilnya, air semakin bersih dan cacing mulai berkurang. Kunarti pun saat ini telah mengajukan rencana perbaikan lantai keramik yang pecah-pecah, pengecatan bangunan Rusunawa, dan pemasangan wifi tambahan di tiap lantai. Kunarti mengetahui bahwa banyak orang dari luar yang bukan penghuni juga ikut memanfaatkan wifi di Rusunawa. Penghuni pun merasa cukup terganggu lantaran seringkali konek-

si wifi menjadi lambat. Makanya, Kunarti juga akan mengatur hal ini dalam kebijakan barunya nanti. Berkaitan dengan lamanya tindak lanjut perbaikan fasilitas dari pengelola, Kunarti menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan oleh mekanisme sistem yang ada, membuat penghuni harus bersabar. Permintaan penghuni untuk perbaikan fasilitas Rusunawa akan ditampung oleh pengelola, lalu diajukan kepada BPU setiap tahunnya. Dari BPU akan mengusulkannya ke pihak rektorat. Lalu, pihak rektorat lah yang akan menentukan besarnya dana yang diterima Rusunawa. Setelah besaran dana sudah ditentukan, rektorat lantas memberikan dana kepada BPU. Kemudian BPU menyalurkan dana tersebut kepada Rusunawa sesuai dengan prioritas kebutuhan Rusunawa. Kini, Kunarti berencana mengubah kebijakan Rusunawa secara menyeluruh. Dia sedang menggarap rancangan kebijakan yang akan diajukan kepada Rektor. Targetnya, kebijakan tersebut bisa diterapkan pada semester ganjil di tahun ini. Ketika dimintai keterangan lebih mengenai kebijakan apa saja yang diubah, dia hanya memberi gambaran secara umum, yaitu kebijakan mengenai hak dan kewajiban penghuni, termasuk SR, mekanisme dan ketentuan menjadi penghuni Rusunawa, serta sanksi bagi yang melanggarnya. Reporter: Faida Nasiroturrohmah, Intan Rifiwanti, Yoga Iswara R. M., Rachmad Ganta S., dan Dara Nuzzul R.



BACA-TULIS DAN ONANI Oleh: Emerald Magma Audha* Ini soal hasrat. Onani, sebuah lema vulgar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang artinya pengeluaran mani (sperma) tanpa melakukan sanggama, istilah lainnya masturbasi. Masturbasi atau onani, keduanya bermakna setara, bisa disematkan untuk lelaki atau puan. Meski umumnya istilah onani lebih lekat untuk aktivitas lelaki. Kalau kaum muda akrab menyebutnya “asyik main sendiri” atau dalam bahasa slang, mereka fasih melafalkan dalam kata “coli”. Saya lebih suka memakai istilah onani dalam tulisan ini. Bagi saya, macam istilah tersebut semua sama, tak lebih dari cara mencapai derajat kepuasan seksual secara berdikari. Dalam kebermasyarakatan, banyak yang memandang onani sebagai laku lucah, dursila, atau segala serapah lainnya. Orang berlaku onani adalah ihwal menjijikan yang sejajar dengan batas kehinaan, atau mungkin lebih, apalagi jika sampai ketahuan. Namun, ada yang beranggapan, beronani lebih baik ketimbang mendekati zina. Cukup, bahasan seputar onani. Saya yakin pembaca lazim dengan kata tersebut, atau, barangkali pembaca sudah sering melakukannya pada barang kalian, kan? Oh ya, dalam tulisan ini, saya tak bermaksud untuk mesum atau cabul, lebih-lebih mengajak pembaca beronani selazimnya beronani. Percayalah, saya ini orang baik-baik seperti kalian, wahai pembaca yang budiman! Akan saya beritahu cara “beronani” yang beradab. ***

Dahulu, masyarakat Indonesia lebih kental dengan budaya bertutur. Bisa diketahui, begitu banyak cerita rakyat seperti legenda, dongeng, atau lainnya, tersebar di masyarakat seluruh nusantara tanpa tahu siapa penciptanya. Jelas saja, saya kira hampir semua cerita-cerita rakyat diwariskan turun-temurun hanya dari mulut ke mulut. Masyarakat kita cukup tertinggal dalam budaya keberaksaraan (membaca dan menulis) dibanding bangsa lain, bahkan hingga kini. Budaya membaca di masyarakat Indonesia sungguh rendah, sangat. Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia jauh terbelakang soal minat membaca. Indonesia menduduki posisi kedua terendah, yakni peringkat ke-60 dari 61 negara. Itu berdasarkan hasil penelitian “The World’s Most Literate Nations (WMLN)” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University yang dirilis pada Maret 2016 lalu. Bacalah! Membaca adalah perintah Tuhan, setidaknya itu dalam ajaran agama saya. Membaca itu akan melepas sekat-sekat ketidaktahuan yang ada dalam pikiran. Pemahaman terhadap sesuatu akan makin lawas. Orang akan berpikiran lebih terbuka dengan membaca. Alasan membaca bukan untuk menjadi pandai, tetapi melawan kebodohan. Kebodohan adalah bahaya laten, wujud kesesatan paling nyata yang dihadapi manusia. Apakah kita ingin mengulang zaman kejahilan? Lalu, soal budaya menulis. Menu-

lis tidak luput dari budaya membaca. Ahmad Tohari (sastrawan kenamaan Banyumas) pernah bilang dalam suatu acara kesusastraan, membaca merupakan prasyarat sebelum melangkah ke budaya menulis. Tohari benar, lebih banyak membaca, lebih banyak pula yang bisa dituliskan. Semakin kerap membaca, tulisan yang diciptakan kian kaya makna serta rasa. Antara baca-tulis dan onani itu mirip, ada kesamaan. Bagi saya, baca-tulis bukan hobi, bukan sekadar keinginan, bukan pula soal minat. Ini soal hasrat, laiknya onani. Ketika melihat atau membayangkan sesuatu yang merangsang berahi, libido timbul menggebu. Ada hasrat untuk bercinta. Jika tak ada “lawan main”, bisa tuntaskan hasrat itu secara berdikari lewat beronani. Kalian tahu atau pernah rasakan, betapa gelisahnya hasrat yang tertahan, menyesaki setiap relung pikiran. Begitu gelisah, mungkin sampai hanya tersisa satu hal dibenakmu: lakukanlah! Kenikmatan pun mulai terasa seiring dengan irama beronani. Perlahan-lahan hasrat mulai tersalurkan. Sampai pada klimaks, mencapai titik kepuasan, hasrat pun tertuntaskan. Hasrat beronani bisa muncul lagi kapan saja, tak peduli di mana pun. Bahkan, ada yang menjadikan onani sebagai candu. Sama, seperti baca-tulis. Saat melirik buku atau bacaan yang menarik atensi, timbul hasrat untuk menilik isi. Penasaran kala membuka setiap halaman, seperti apa wujud


isinya. Kata demi kata, setiap mata melahap tulisan yang tersaji. Pikiran yang menikmati bagaimana rasanya. Kadang sambil merenung. Sesekali mengkhayal, mencoba mengimaji maksud dari setiap rangkaian kata. Begitu seterusnya. Ketika usai membaca, di situlah sampai pada titik kepuasan: ah, ini mengikis ketidaktahuan, mencerahkan pemahaman, menumpulkan kebodohan, serta kepuasan lainnya. Namun, tidak selesai sampai di situ. Setelah membaca, akal kini bertafakur: antara sepakat atau menolak terhadap gagasan si penulis, entah meyakini atau justru ingin membantah isi tulisan. Atau, ah itu keliru, bukan seperti itu, harusnya begini. Boleh jadi malah kalian yang tak sepakat dengan tulisan saya ini. Ya, silakan saja. Tak masalah. Jika seperti itu, maka itu salah satu pertanda bahwa kalian sedang bertafakur. Begitu juga dengan menulis. Sebab gelisah melihat realitas yang terjadi tidak sebagaimana mestinya. Mungkin dari keadaan sosial budaya, atau kebobrokan hukum dan politik, barangkali juga soal krisis ekonomi, tentang kekerasan atas dasar primodialisme, etnosentrisme, sektarian yang berujung pada laku diskriminasi rasial, atau lainnya. Ketidakadilan, kesewenangan penguasa, kesengsaraan, korupsi, birokrasi yang buruk dan tidak transparan, realitas-realitas semacam itulah yang mendatangkan kegelisahan. Dari kegelisahan itu, timbul hasrat untuk bertindak, salah satunya hasrat untuk menulis. Alasan saya menulis tulisan ini pun sebab gelisah, gelisah melihat banyak masyarakat mudah dibodohi dengan hoaks picisan. Geli-

sah dengan kaum—katanya—intelektual muda yang alergi dengan bacaan bermutu, justru doyan memelototi banyak pos sampah di media sosial (medsos) yang tidak berfaedah. Gelisah karena ramai dijumpai perdebatan konyol tapi diskusi sehat malah sepi. Soal hasrat membaca dan menulis, tak setara dengan rasa ingin, suka, ataupun minat. Tingkatan hasrat jauh berada di atas dibanding ketiga hal tersebut. Hasrat itu kehendak kuat, sulit tertahan, dan sebisa mungkin harus disalurkan. Jika ditahan, yang muncul adalah penyakit hati: gelisah berkelanjutan. Memang tidak semua hasrat yang ada dalam diri manusia mesti disalurkan. Namun, pada yakin saya, hasrat keberaksaraan adalah hasrat yang layak (kalau bisa harus) disalurkan. Nah, jika sudah mampu merangsang hasrat keberaksaraan, maka tinggal memikirkan selera membaca dan menulis. Saya kira baca-tulis merupakan salah satu ciri berpikir. Mana mungkin Karl Marx mampu menciptakan Das Kapital yang menjagat tanpa berpikir. Mustahil akan lahir Madilog bila Tan Malaka dianggap sebagai orang tak berpikir. Soekarno, Hatta, dan banyak tokoh menjadi besar, diawali dengan budaya keberaksaraan yang mumpuni. Berpikir adalah untuk beribadah. Tuhan Mahabijak, makanya orang sinting dibebaskan dari kewajiban beribadah sebab tak mampu berpikir waras. Akal untuk berpikirlah yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Manusia yang tak mau memakai akalnya untuk berpikir waras, layak diragukan kemanusiannya. Semoga saja kita senantiasa dalam kewarasan.

Membaca dan menulis kapanpun serta di manapun yang perlu dibudayakan, mumpung sekarang masih dibebaskan untuk itu. Meski pelarangan atau pembubaran agenda literasi masih kerap terjadi belakangan ini. Dalangnya siapa lagi kalau bukan aparat berwatak Orba. Ingatlah, dahulu, menulis—terutama yang isinya mengkritik penguasa—itu pernah dilarang. Gara-gara menulis, Pram ditangkap. Tetralogi Buru karya Pram pun dihasilkan saat dia di penjara tempo Orba. Menulislah sebelum menulis akan dilarang lagi. Menulislah yang bertanggung jawab. Menulis itu merupakan upaya untuk membangun peradaban, kata Tohari. Saya menulis bukan berniat menjadi besar. Saya pun sedang belajar membudayakan baca-tulis yang baik. Tulislah apapun yang ingin ditulis. Hasilkan tulisan yang selayak mungkin untuk dibaca, agar bisa mencerahkan bagi yang membaca. Dan ketika ada (syukur banyak) yang tercerahkan, maka itulah salah satu wujud upaya membangun peradaban. Minimal menulis untuk konsumsi pribadi. Setidaknya dengan menulis, saya telah meninggalkan jejak dalam sejarah. Baca-tulis itu laiknya onani. Saya sudah bilang, ini soal hasrat. Budaya beronani seperti itulah yang beradab. Beronani seperti itulah yang layak dijadikan candu. Jadi, “beronanilah”!

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum angkatan 2014.



IKLAN


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.