Skëtsa
AWAK Skëtsa
PENERBIT: Penerbitan Lembaga Pers Mahasiswa Skëtsa PEMBINA: Sulyana Dadan, M.A. PENGURUS Lembaga Pers Mahasiswa Skëtsa PERIODE 2016 PEMIMPIN UMUM/PEMIMPIN REDAKSI: Mustiyani Dewi Kurniasih KEPALA STAF PERSONALIA/EDITOR SENIOR: Nurhidayat REDAKTUR PELAKSANA: Intan Rifiwanti KEPALA STAF RISET DAN DOKUMENTASI: Emerald Magma Audha PEMIMPIN PERUSAHAAN/KEPALA STAF ADMINISTRASI: Yenny Fitri Kumalasari PENGURUS Lembaga Pers Mahasiswa Skëtsa PERIODE 2017 PEMIMPIN UMUM: Emerald Magma Audha WAKIL PEMIMPIN UMUM: Aziz Dwi Apriyanto KEPALA BAGIAN PERSONALIA/ EDITOR SENIOR: Nurhidayat STAF BAGIAN PERSONALIA: Dara Nuzzul Ramadhan KEPALA BAGIAN KESEKRETARIATAN DAN ADMINISTRASI: Anggita Rachmi Farida PEMIMPIN REDAKSI: Intan Rifiwanti REDAKTUR PELAKSANA MAJALAH Skëtsa DAN BULETIN INFOSkëtsa: Faida Nasiroturrohmah REDAKTUR PELAKSANA BERITAUNSOED.COM: Yoga Iswara Rudita Muhammad REDAKTUR ARTISTIK: Marita Dwi Asriyani STAF RISET DAN DOKUMENTASI: Rachmad Ganta Semendawai PEMIMPIN PERUSAHAAN: Reza Yahya STAF KEUANGAN: Nabila Dezty Anggraeni STAF IKLAN: Agil Tri Hastopo STAF REPRODUKSI DAN SIRKULASI: Mushanif Ramdany EDITOR: Nurhidayat, Mustiyani Dewi Kurniasih, Intan Rifiwanti, Emerald Magma Audha, Yoga Iswara Rudita Muhammad, Faida Nasiroturrohmah, Aziz Dwi Apriyanto, Dara Nuzzul Ramadhan, Rachmad Ganta Semendawai REPORTER: Mustiyani Dewi Kurniasih, Intan Rifiwanti, Emerald Magma Audha, Faida Nasiroturrohmah, Yoga Iswara Rudita Muhammad, Rachmad Ganta Semendawai , Dara Nuzzul Ramadhan, Anggita Rachmi Farida, Marita Dwi Asriyani LAYOUTER: Yenny Fitri Kumalasari, Marita Dwi Asriyani ILUSTRATOR: Yenny Fitri Kumalasari, Mustiyani Dewi Kurniasih, Marita Dwi Asriyani, Reza Yahya, Anggita Rachmi Farida TIM RISET: Rachmad Ganta Semendawai TIM IKLAN: Yenny Fitri Kumalasari, Reza Yahya, Agil Tri Hastopo, Nabila Dezty Anggraeni, Mushanif Ramdany REPRODUKSI DAN SIRKULASI: Mushanif Ramdany KEUANGAN: Nabila Dezty Anggraeni
@wdi8716f Kantor Redaksi: Kompleks PKM Unsoed Jl. Dr. Soeparno, Karangwangkal, Purwokerto Utara Kode Pos 53122
Ilustrasi: Yenny Fitri Kumalasari
MENOLAK JAM MALAM K
ini, isu jam malam kembali menggugah atensi untuk mengulik kisah penerapan aturan berkegiatan mahasiswa di kampus berpatung Jenderal Soedirman berkuda. Istilah jam malam sebenarnya cukup membingungkan apabila hanya diartikan secara harfiah. Pasalnya, penggunaan istilah tersebut hanya lazim digunakan tatkala sebuah wilayah tengah mengalami keadaan genting. Namun, sekarang, ketika kondisi darurat sudah jarang ditemukan di Indonesia, istilah jam malam justru lebih sering digunakan untuk menyebut aturan yang membatasi waktu berkegiatan di malam hari, misalnya batas maksimal pulang ke rumah indekos. Dalam dunia keorganisasian mahasiswa juga seperti itu, pembatasan waktu berkegiatan di malam hari pun dinamakan jam malam. Isu pengefektifan jam malam mencuat beberapa bulan ini. Perumusan kembali peraturan rektor (PR) terkait kegiatan mahasiswa mempertegas itu. Hadirnya satuan pengaman (satpam) di pos jaga Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unsoed serta perbaikan gerbang PKM membuat desas-desus semakin santer. Rencana pengefektifan jam malam bukanlah tanpa alasan. Alasan keamanan menjadi yang paling sering diungkapkan. Namun, apakah pimpinan Unsoed senaif itu? Ada yang menganggap bahwa ini adalah bentuk represivitas birokrat terhadap kekritisan mahasiswa akhir-akhir ini. Bagaimana sikap pegiat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) aktif (termasuk DLM dan BEM) Unsoed? Berdasar survei yang dilakukan Tim Riset Skëtsa, dari 28 UKM yang aktif, 21 UKM Unsoed (75%) menolak adanya jam malam (14 ‘tidak setuju’ dan 7 ‘sangat tidak setuju’) sedangkan yang menyatakan ‘setu-
ju’ hanyalah 7 UKM (25%) (dengan 0% jawaban ‘sangat setuju’). Sebanyak 60,7% responden merasa bahwa waktu berorganisasi tidak cukup jika ada jam malam. Bahkan, mereka berkomitmen untuk bertindak (baca: protes) jika aturan ini benar-benar diberlakukan. Sebanyak 10 UKM (35,7%) mengaku berinisiatif akan melakukan protes dan 8 responden (28,6%) siap melakukan protes jika ada yang mengajak untuk itu. Tentunya, harus dipahami bahwa mahasiswa memiliki kewajiban perkuliahan dengan standar kehadiran yang cukup tinggi, 70%. Jika mahasiswa mengambil kredit penuh, apalagi jika ada praktikum, kapan waktunya untuk mengurusi organisasi, jika bukan pada malam hari? Apakah mahasiswa sudah tidak dibolehkan lagi berorganisasi? Jika ruang dan waktu mahasiswa dibatasi oleh aturan jam malam, rentang waktu berkegiatan mahasiswa menjadi lebih sedikit. Lama-lama hal ini akan mematikan eksistensi dari organisasi mahasiswa itu sendiri. Sangat sulit bagi kita untuk membayangkan peran-peran besar mahasiswa dalam dinamika berbangsa jika ada jam malam. Universitas merupakan tempat tumbuh berkembangnya kaum intelektual. Jika media berkembangnya saja sudah dipapar benih penyakit represifitas, bagaimana mahasiswa akan menghasilkan gagasan yang progresif dan melahirkan pemikiran kritis terhadap kondisi sosial yang ada? Di mana lagi mahasiswa bisa menjadi sebenar-benarnya mahasiswa? Di mana lagi jika di rumahnya saja sudah dikekang? Mari mengingat masa silam ketika ide pembatasan ini dilegalisasi. Tahun 2011, PR tentang Tata Tertib Kegiatan Ma-
hasiswa disahkan. Peraturan Rektor Nomor 009 Tahun 2011 pasal 4 ayat 1 mengatakan bahwa semua kegiatan di kampus hanya boleh berlangsung antara pukul 05.00-22.00 WIB. Ayat selanjutnya menyebutkan bahwa kegiatan mahasiswa yang dilakukan di kampus maupun yang di luar kampus harus mendapat izin dari pimpinan universitas atau pimpinan fakultas. Peraturan rektor ini menjadi asal mula diefektifkannya jam malam secara menyeluruh, baik di fakultas maupun tingkat universitas. Kegiatan mahasiswa lah yang menjadi sorot utama kebijakan ini. Beredarnya draf PR yang belum bernomor pada awal tahun ini mengindikasikan bahwa kebijakan yang disahkan Edy Yuwono (rektor kala itu) telah rampung digodok ulang oleh pimpinan Unsoed. Dua draf PR tersebut ialah PR tentang Kode Etik dan Tata Tertib Kegiatan Mahasiswa dan PR tentang Tata Laksana dan Organisasi Kemahasiswaan. Mari tunggu kejutannya. Sekarang ini bukanlah masa-masa darurat untuk melakukan pembatasan untuk berorganisasi. Jika masalahnya adalah keamanan internal Unsoed, kami yakin mahasiswa mau apabila ada protokoler keamanan yang manusiawi. Misalnya, mahasiswa harus menunjukkan kartu identitas setiap masuk dalam kawasan tertib jam malam, sedangkan untuk tamu silakan lakukan hal yang mungkin lebih ketat. Jika perlu, adakan kamera pengawas di setiap tempat strategis seperti pintu gerbang, tempat parkir, dan lain-lain yang dicurigai sebagai tempat terjadinya aksi-aksi pencurian. Toh, pencurian tidak hanya terjadi pada malam hari, justru banyak terjadi pada siang dan sore hari. Pembatasan kegiatan atas dasar keamanan sungguh membuat kita harus membandingkan kondisi pendidikan prareformasi, saat diberlakukannya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/ BKK). Tentang pemaksaan aturan pembatasan, alasan tak substansial lagi-lagi disampaikan oleh salah satu pimpinan Unsoed. Dia menyampaikan bahwa layaknya kantor, ruang-ruang sekretariat harus memiliki waktu tutup. Bayangkan, karena ruangan ini dianggap kantor, maka harus ada waktu tutupnya. Sangat tidak rasional. Tidak semua kantor memiliki kebutuhan yang sama. Misalnya, kantor media cetak, justru mereka merampungkan pekerjaan kala malam. Dan yang paling perlu dipahami adalah: jika organisasi dianggap sebagai sebuah perusahaan dan anggota adalah karyawan kantornya, maka UKM Unsoed hanya memiliki karyawan sif malam, karena semua karyawan kuliah pada siang hari. Mereka terpaksa—ada juga yang senang hati—harus bekerja pada malam hari. Pagi hari? Kantor tutup hingga jam kuliah usai! Perlu diketahui bahwa dalam draf PR yang baru dan belum bernomor itu, pembatasan tidak hanya pada waktu berkegiatan. Banyak hal yang mereka atur semena-mena, misalnya, salah satu syarat untuk menjadi pengurus UKM adalah mahasiswa ber-IPK minimal 2,75. Perumus kebijakan kampus lupa bahwa UKM bukanlah lembaga yang secara struktur di bawah mereka. UKM bukanlah wilayah struktural universitas, melainkan organisasi yang independen dan dilindungi. Jika universitas memiliki otonomi, posisi UKM adalah otonom dalam otonomi itu.
LPM Skëtsa sebagai pengawas kebijakan kampus menimbang kebijakan ini sebagai suatu polemik yang harus segera dicari solusinya bersama. Transparansi informasi dalam merumuskan kebijakan kampus menjadi fondasi untuk mencapai budaya keterbukaan di kalangan sivitas akademika. Melalui majalah ini, LPM Skëtsa mencoba mengulas lebih dalam pelaksanaan aturan jam malam dan usaha rektorat mengefektifkan aturan yang dinilai akan mematikan kreativitas mahasiswa. Apalagi, jika dipikir lebih jauh, jika mahasiswa dibatasi geraknya, maka mereka akan mencari tempat lain yang memungkinkan untuk berkegiatan. Mahasiswa akan menyebar ke banyak tempat (entah yang lebih baik atau justru tempat yang tidak baik) karena PKM tidak memfasilitasi kegiatan mereka di malam hari. Akhirnya, jika mahasiswa menyebar, fungsi-fungsi ruang PKM akan mengecil, PKM tidak lagi menjadi “pusat kegiatan mahasiswa”. Rektorat sebagai pemangku jabatan harusnya tidak gegabah dan harus bisa merasakan banyaknya penolakan terhadap usaha pengefektifannya aturan jam malam. Terlihat jelas, mahasiswa membutuhkan tempat untuk bebas beraktivitas, berkreasi, berekspresi, dan bergagas tanpa ada kekangan. Ketika mencari tempat tersebut, organisasilah yang seharusnya menjadi destinasi. Untuk itu, perlu pemahaman yang holistik akan kembang pikir mahasiswa (anggota organisasi) dengan kebijakan kampus, juga fasilitas. Kini kita merasakan bahwa dana organisasi kampus sangatlah minim, ditambah peralatan dan fasilitas yang juga sangat terbatas. Apanya yang terbatas? Ruangan yang tak cukup untuk rapat, tak ada lapangan untuk latihan Marching Band dan membuat seisi PKM keberisikan, tebing panjat yang sudah mengkhawatirkan untuk dipanjat, pers mahasiswa yang tak punya kamera juga komputer yang selalu nge-lag ketika me-layout majalahnya, internet yang sering mati, kamar mandi yang tidak layak, dan banyak lagi yang urgen untuk dibenahi. Ditambah lagi, banyak sekali organisasi yang harus menjual berkardus-kardus kue risoles demi berjalannya kegiatan organisasi, itu pun setelah mereka membayar iuran wajib pengurus dan iuran wajib kepanitiaan. Berorganisasi dengan banyak keterbatasan fasilitas saja sudah sangat memusingkan, janganlah ditambah-tambahi batas-batas itu.
Redaksi
Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani
Oleh: Emerald
B
eberapa bulan sebelum semester gasal kemarin tutup, sempat santer kabar angin di lingkaran mahasiswa—terlebih mahasiswa yang aktif berkegiatan di organisasi mahasiswa yang berkedudukan di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM). Kabar burung itu meruap dari mulut ke mulut. Desas-desus mulai menyusupi telinga para aktivis PKM itu, menyinggung dugaan soal wacana jam malam akan mulai diefektifkan di lingkungan PKM. Bukan tanpa alasan bila ada yang menduga perihal tersebut, pintu gerbang PKM—yang sebelumnya tidak bisa difungsikan—suah rampung direnovasi. Ada pula yang berceloteh bila isu jam malam diperoleh dari kepala satpam di kantor pusat—dekat tempat patung Soedirman berkuda berpijak. Ditambah lagi, mulai awal Desember 2016, ada yang mengisi pos jaga PKM nan terjadwal dari pagi hingga sore—meski intensitas keberadaannya tak melulu terkonfirmasi. Walau kedengarannya seperti tak ada benang merah, namun dari hal-hal tersebut, tak sedikit mahasiswa yang mengira jika isu pengefektifan jam malam memang benar hendak terjadi di mandala PKM. Lantas, pengefektifan jam malam yang seperti apa? Istilah jam malam sudah ada sejak lama dan tak asing di kehidupan masyarakat. Jam malam bisa jadi diterapkan mulai dari lingkup terkecil: keluarga, di rumah ada aturan jam malam untuk anak—terutama gadis—agar tak pulang terlalu larut; hingga kota atau daerah tertentu ada pemberlakuan jam malam. Penerapan jam malam bisa berbeda di tiap daerah,
tergantung kebijakan daerah masing-masing. Sebagai contoh, pada pertengahan tahun 2015 silam, di kota Banda Aceh, sempat nyaring di pelbagai pemberitaan terpaut istilah jam malam: aturan melarang perempuan keluar berduaan dengan lelaki nonmuhrim di atas pukul 21.00 WIB. Namun, aturan itu menuai banyak polemik kala itu. Menilik makna istilah jam malam, banyak sumber yang membahas. Penjelasan dari kebanyakan sumber itu pun hampir semuanya bersubstansi sama. Sebagai rujukan percontohan, mengutip historia.id, jam malam berarti larangan berkegiatan di luar rumah pada malam hari di jam tertentu. Jam malam, terekam dalam sejarah, sejak zaman kongsi dagang dari Belanda—VOC—bercokol. Jam malam biasanya diberlakukan dalam kondisi bahaya dan atau perang. Makna tersebut tak jauh berlainan dengan laman wikipedia.org—jam malam merupakan sebuah perintah dari pemerintah agar sekelompok orang atau masyarakat kembali ke tempat tinggal masing-masing sebelum waktu yang ditentukan, tujuannya untuk menjaga keamanan umum atau membatasi gerak-gerik kelompok tertentu. Definisi lain namun serupa maknanya menyatakan bahwa jam malam berarti larangan keluar rumah pada malam hari karena keadaan tidak aman, seperti itu bunyinya bila kita mengulik istilah jam malam di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dari berbagai ulasan tersangkut istilah jam malam, lantas bagaimana dengan jam malam di kampus Soedirman—khususnya di PKM?
Foto: Yenny Fitri Kumalasari
Magma Audha *** Peraturan Rektor tentang Tata Tertib Kegiatan Mahasiswa Unsoed terbilang suah cukup lama, ditetapkan pada 22 Agustus 2011 oleh Edy Yuwono—mantan rektor Unsoed. Meski begitu, sukar sekali mencari peraturan itu dalam bentuk file digital, saya telah mengubek-ubek laman unsoed.ac.id, tetap saja tak ketemu. Waktu itu masih pagi, jarum jam masih berbentuk siku-siku. Selasa yang mendung, namun cukup hangat, saya dengan rekan Skëtsa lain, menjajal bertamu, memasuki gedung Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kearsipan Unsoed. Saya baru pertama kali bertandang, lain dengan rekan saya. Maksud langsung kami sampaikan, yakni mencari berkas Peraturan Rektor Nomor 009 Tahun 2011 tentang Tata Tertib Kegiatan Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (selanjutnya saya singkat PR No. 009/2011 untuk memudahkan penulisan). Lalu, pegawai itu lekas mencari berkas yang dimaksud. Sembari menanti, saya menatap sekeliling ruangan, ada berjibun berkas tertumpuk, namun tertata rapi, sampai pandangan berhenti pada kalender dinding. Hampir saja lupa, kami ke situ saat 22 November 2016. Sepertinya pegawai itu kesulitan, lalu menghubungi Pusat Administrasi. Kemudian dia mengarahkan kami, menuju ke Pusat Administrasi. Ternyata, setelah lebih dari selustrum diterbitkan, belum ada wujud PR itu di UPT Kearsipan. Jaraknya tak jauh. Cuma dengan beberapa puluh langkah, kami sudah mencapai Pusat Administrasi. Langsung saja kami
menuju ruang Sub Bagian Hukum dan Tata Laksana di lantai dua Pusat Administrasi. Pegawai di sana sudah menunggu kami, tahu tujuan kami, mereka segera mencari berkas yang kami maksud. Ternyata benar ada, kami dipersilakan untuk menggandakan peraturan rektor tersebut. Walhasil, dapat juga salinan peraturannya. Menilik PR No. 009/2011, tidak secara eksplisit disebutkan lema “jam malam”. Namun, dengan terang tersurat frasa “kegiatan mahasiswa”. Pasal 4 adalah pasal yang secara spesifik mengatur batasan waktu kegiatan mahasiswa. Ayat 1 berbunyi “Semua kegiatan di kampus berlangsung antara pukul 05.0022.00 WIB,” ayat 2 berbunyi “Semua kegiatan mahasiswa yang dilakukan di kampus maupun yang di luar kampus harus mendapat ijin dari Pimpinan Universitas/Pimpinan Fakultas,” ayat 3 berbunyi “Kegiatan di kampus dapat dilaksanakan di luar waktu sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) atau pada hari libur/hari besar,” dan ayat 4 berbunyi “Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus mendapatkan ijin dari Pimpinan Universitas/Pimpinan Fakultas.” Peraturan Rektor tersebut terdiri dari 17 pasal, berbagai hal diatur dalam 6 bab, meliputi: ketentuan umum; hak dan kewajiban mahasiswa; pelanggaran dan pelaporan; komisi disiplin; sanksi; dan penutup. Meski berlaku untuk seantero wilayah Unsoed, berdasarkan amatan Skëtsa, setiap fakultas memiliki penerapan yang berbeda-beda, tergantung dari kebijakan masing-masing (Baca juga: “Mereka pun Sibuk Berpatroli...” di halaman 22).
*** Suatu hari di masa liburan, tangisan langit belum sepenuhnya tuntas. Rinai-rinai air masih berjatuhan. Sore itu, awan kelabu pun masih bergelantungan di angkasa Purwokerto. Alfian Kasmyir Hi Hasyim berleseh di pendopo PKM saat itu, Jumat (27/1). Mahasiswa berambut kribo itu lagi ber-wifi ria sambil menanti hujan reda. Dia berujar, PKM adalah tempat mahasiswa untuk berkegiatan atau berekspresi, “Kalau memang (akan-red) diterapkan jam malam, fungsi PKM (sebagai tempat berkegiatan mahasiswa-red) itu (jadi-red) bergeser gitu, lo.” Alfian yang juga beralias Alfonso itu menambahkan, “Banyak mahasiswa yang menginap di sekre sampai malam. Jika memang mereka harus diusir dari sekretariatnya, maka itu akan berimbas pada prestasi (kegiatan-red) mahasiswa itu sendiri,” kalimatnya meluncur cenderung lambat ketika ditanya pendapatnya bila jam malam di PKM akan efektif berlaku. Pada Jumat 3 Februari 2017, pukul setengah sembilan, Asnan Sasmita telah bersiaga di pos jaga PKM. Pagi hari, ia sambi merokok, rokok pabrikan dia isap. Dia memang sudah mengantongi surat tugas berjaga di sana sejak awal Desember 2016. Tugasnya adalah menjaga kawasan PKM mulai Senin sampai dengan Jumat. Saya melihat ada surat tugas bernomor 199/UN23.18.5/ TU.00/2016 tertempel di kaca jendela pos jaga, tertulis seperti berikut. “Menindaklanjuti Perintah Wakil Rektor III Unsoed. Supaya kegiatan di PKM Unsoed lebih terpantau, terdata, terkoordinir, lebih tertib dan aman....” Penjagaan di pos PKM dimulai sejak Kamis (1/12) dengan rincian jadwal sebagai berikut. Asnan Sasmita menjaga pos tetap reguler pagi dari Senin sampai dengan Jumat, satu orang dari pos Grendeng I pada 16.00-21.00, dan satu orang dari pos Grendeng II bertugas pada pukul 21.00-07.00. Surat itu juga menyebutkan bahwa PKM harus tetap dipantau dengan patroli meski pada hari libur kantor. Surat tersebut dibubuhi paraf Kepala Satuan Pengaman (Satpam) Unsoed, Rido, tertanggal 1 Desember 2016. “Iya. Itu surat tugas saya,” terang Asnan kala saya menunjuk surat tersebut. Asnan mulai berjaga dari pukul setengah 8 pagi hingga 4 sore, lewat 4 sore dibantu satpam lain dari pos regu, “Orangnya nggak pasti, kalo saya di sini pasti (tetap).” Terkait penjagaan malam hari, ada juga penjaga malam yang sudah lama bertugas di PKM, Sutrisno namanya. Berdasarkan pengamatan Skëtsa, pos jaga PKM tak selalu ada orang, terlebih waktu siang hingga sore. Asnan menanggapi, “Kalau siang kadang memang saya jenuh Mas, ya muter-muter lah, keliling.” Asnan berseru agar pihak satpam diberitahu bila mahasiswa mengadakan suatu kegiatan di PKM. “Wong mau pada demo pun silakan, Mas. Saya bukan dibayar Unsoed, tapi dibayar negara. Intinya memberi pengamanan, bukan kepada pimpinan saja, tapi juga mahasiswa,” katanya begitu. Dia menegaskan bahwa dia di sini adalah untuk menjaga keamanan, bukan membatasi kegiatan. *** Beragam tanggapan muncul dari Pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa tingkat universitas (UKM-U) perihal jam malam
di PKM. Sejak akhir Januari hingga Februari 2017, tim riset Skëtsa melakukan sensus dengan sasaran seluruh UKM-U yang terdaftar. Setiap perwakilan UKM-U diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan melalui kuesioner daring (online). Dari total 32 UKM-U (termasuk BEM dan DLM, juga sudah terhitung dua UKM baru, Skëtsa tidak masuk hitungan) yang terdaftar, 28 UKM di antaranya suah menanggapi kuesioner, sisanya missing, karena tidak bisa ditemui (juga tidak aktif). Ketika ditanya apakah waktu berkegiatan antara pukul 05.00-22.00 sudah mencukupi atau belum, opsi jawaban “tidak memadai” paling banyak dipilih UKM—sejumlah 17 UKM, lalu 5 UKM menjawab “sangat tidak memadai”, sisanya, 6 UKM memilih “memadai”, tak ada UKM yang memilih jawaban “sangat memadai”. Banyak UKM keberatan jika jam malam akan berlaku efektif di PKM, terlihat dari jawaban yang diisi dalam kuesioner, pada pertanyaan “Apakah Anda setuju dengan pengefektifan jam malam tersebut?”. Ternyata, 75% UKM menolak jam malam, dan 25 % permisif dengan kebijakan itu. Dari 75 % total (mahasiswa yang menolak), 2/3-nya menyatakan “sangat tidak setuju” dan sisanya “tidak setuju”. Dari 25% total (yang sepakat), kesemuanya hanya “setuju”, 0 % yang “sangat setuju”. UKM yang menjawab tidak setuju atau sangat tidak setuju, kebanyakan beralasan kalau jam malam merupakan pembatasan hak dan kegiatan mahasiswa, juga karena mahasiswa yang cenderung berkegiatan pada malam hari. Para pegiat UKM menerangkan, waktu pagi hingga sore habis untuk aktivitas akademik yang padat seperti kuliah, sore sampai malam lah masa yang digunakan mahasiswa untuk berkreativitas, salah satunya untuk berorganisasi. Beberapa UKM bela diri pula mempunyai jadwal latihan rutin di malam hari, bahkan dini hari. Berlainan, jawaban bersifat normatif terlihat dari pegiat UKM yang setuju dengan pengefektifan jam malam. Mereka beranggapan bahwa pengefektifan jam malam sudah menjadi aturan yang sebaiknya dipatuhi, dengan catatan harus ada pengkajian ulang terkait kejelasan PR No. 009/2011 tentang mekanisme perizinan agar mahasiswa (organisasi mahasiswa) bisa melaksanakan kegiatan yang melewati batas jam malam. Mereka pula mengimbuhi, bahwa memang butuh suatu batasan jam kegiatan mahasiswa, alasannya demi keamanan dan ketertiban, menghindari kriminalitas seperti pelecehan seksual serta lainnya. Namun, ada pula berpendapat, tidak perlu ada pengefektifan jam malam, tetapi cukup pemberlakuan aturan terkait keamanan dan tata tertib saja (Baca juga: “75% UKM Tolak ‘Jam malam’” di halaman 21). *** Ada klaim bahwa kegiatan mahasiswa di PKM yang berlangsung hingga larut malam mengusik ketenangan masyarakat sekitar. Rasa skeptis mendesak awak Skëtsa mengorek tanggapan warga. Dekat PKM di Karangwangkal, sebelah utara, ada sebuah tempat fotokopi, letaknya di pertigaan Jalan Gunung Muria dengan Jalan Dr. Soeparno, seberang Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Namanya fotokopi Kencana, Mashab nama si empunya. Wanita berumur itu juga mengelola toko kecil yang menyatu
cukup dekat dengan PKM, ia tak pernah mendapat keluhan dari warga, terkhusus hal keberisikan mahasiswa. Kawasan PKM berada di Kelurahan Karangwangkal, Kecamatan Purwokerto Utara. Walakin, letak PKM berbatasan langsung dengan Kelurahan Grendeng. Hudoyo, Lurah Karangwangkal, yang dijumpai di Kantor Kelurahan, mengatakan, hingga kini tak ada laporan keresahan warganya berkenaan dengan kegiatan mahasiswa di PKM (31/1). Ketika ditanya hal tersebut, ia malah menyampaikan sesalnya akan hubungan mahasiswa dengan masyarakat lokal. “Baik pendatang maupun (yang) didatangi (harusnya) saling memahami,” ajaknya. Lurah menganggap mahasiswa sekarang berbeda dengan mahasiswa tempo dulu, yang masih sering membantu serta ikut berpartisipasi dalam kegiatan warga sekitar. Dia juga meminta mahasiswa untuk menjunjung tinggi adab setempat. Awalnya, wartawan Skëtsa hendak menemui Lurah Grendeng. Namun, yang ditemui di pendopo kelurahan justru Didiet, terbungkus seragam polisi. Dia bercerita bahwa daerah kampus Unsoed merupakan daerah rawan, salah satunya dibuktikan dengan tingginya angka pencurian kendaraan bermotor dan helm, seperti di Fakultas Pertanian dan PKM. Didiet adalah anggota Kepolisian Sektor (Polsek) Purwokerto Utara, bagian Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat). Warga sering mengobrol dengannya, tetapi dia belum pernah menerima keluhan dari warga terkait kegiatan mahasiswa yang sering berlangsung hingga larut. “Setiap ada kegiatan (acara besar-red) izin keramaian, harus minta izin perizinan dari kapolsek dan kelurahan,” terang Didiet pada Rabu (25/1). Namun, kata dia, penghuni perumahan dosen (perdos) yang sering merasa terganggu. Soal keamanan, dia bertutur bahwa pihak polisi sudah meminta Unsoed untuk memasang CCTV (kamera pengawas) di tempat-tempat rawan, lamun belum semuanya terealisasi. Dia juga banyak mengimbau berkenaan hal keamanan. Perdos terletak dekat dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), pun Graha Widyatama. Lingkungan RT yang terdekat dengan FISIP adalah RT 5, RT-nya perdos. Ketua RT 5, Trusto Subekti, menerangkan bahwa warganya resah, “Ini keresahan dari warga RT 5 di perdos Unsoed, itu banyak kegiatan anakanak muda yang sering berakibat (buruk) pada citra Unsoed, karena mereka ada yang melakukan kegiatan pacaran, asusila, dan (minum) minuman keras, pas lagi kalo ada event-event itu,” getun Trusto (26/1). Pandangannya tajam, suaranya bariton khas lelaki berumur. Dia suah purnatugas sebagai pengajar di FH pada pertengahan 2015 lalu. Ketika ditanya apakah yang mengganggu itu mahasiswa Unsoed atau bukan, dia tidak lugas menjawab. “Saya tidak berani ngomong begitu, karena dari polisi meredam itu, tapi banyak orang-orang justru dari luar wilayah sini (perdos-red),” pungkasnya. Harun, si Lurah Grendeng dengan baju hitam melekat, dia menimpali beberapa pertanyaan dari awak Skëtsa dengan
Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani
dengan fotokopi—yang juga menyatu dengan tempat tinggalnya. Obrolan dengannya berlangsung renyah, Sabtu (28/1). Ia tak mempermasalahkan kegiatan mahasiswa di PKM dengan segala keributannya. Sudah terbiasa. “Kasihan mahasiswanya (jika dibatasi).” Bunyi suara alat musik—tak jarang sampai malam—Marching Band (salah satu UKM-U) saat latihan serta bunyi sound system ketika FIB mengadakan suatu event yang ia persoalkan, cukup menganggu. “Saya sih nggak papa, tapi misal (jika-red) anak saya datang ke sini, (dia—anaknya) nyuruh saya pindah, katanya udah nggak layak tinggal di sini (karena bising-red).” Kendati demikian, ia akan tetap bertahan di sana untuk menjaga usahanya, selain karena lokasi tinggalnya ada di tempat favoritnya, dekat dengan masjid, tempat ibadahnya. Sahutan serupa pun datang dari Diah, pemilik rumah makan Pondok Jogja—dekat Masjid Fatimatuzzahra. Dia mempermasalahkan suara alat musik dari Marching Band yang bising. Selain itu, tiada lagi hal yang dikeluhkan terkait kegiatan mahasiswa di PKM. Kemudian, reporter Skëtsa mewawancarai pemilik toko kelontong Rauf (31/1). Meski letak tokonya tak jauh dari PKM, tepat dipinggir Jalan Dr. Soeparno, Murwan, si pemilik toko, tak merasa bermasalah dengan adanya kegiatan mahasiswa di malam hari. Hal senada disampaikan Wayan Mustika, Ketua RT 7, RW 7 Grendeng (26/1). Meski RT 7 merupakan RT yang jaraknya
Suasana Pendopo PKM Unsoed saat malam hari, Sabtu (25/2). Foto: Yoga Iswara Rudita Muhammad.
ramah, meski sepertinya dia ingin lekas-lekas usai, maklum, jam kerja kelurahan memang suah habis. Belum ada laporan keluhan masyakarat di Kelurahan Grendeng, begitu terangnya. Namun, dia beriwayat, dari RW 7 pernah melayangkan keluhan kepada dekanat Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Namun, itu bentuknya lisan, bukan surat keluhan atau semacamnya. Terangnya lagi, bila RT atau RW ada masalah dengan Unsoed, mereka akan bertindak sendiri tanpa perlu meminta pihak kelurahan untuk menyelesaikan. Kawasan yang jaraknya paling pendek dengan FEB dan Fakultas Hukum (FH) adalah RW 7, makanya Skëtsa mendatangi ketuanya. Waktu magrib segera datang, sinar lampu rumah pun mulai berpancar. Perbincangan dengan Rudjangi— Ketua RW 7—berlangsung menyenangkan, sore itu. Orangnya ramah juga, cocok untuk mengobrol dengan anak muda. Dia berkisah tentang warga belakang FEB yang pernah memasang spanduk bertuliskan “KAMI PENGEN ISTIRAHAT”. Dia mengatakan bahwa yang sering ribut itu FEB. Dia bilang, tak pernah ada masalah dengan FH. Sebab, bila di FH ingin mengadakan acara dari jam 7 hingga 11 malam, mereka selalu meminta izin. Karena lingkungan RT 4 yang paling dekat dengan FH, mahasiswa FH pun izin ke RT tersebut. Lagi, bulan Desember lalu, kiranya empat orang warga mengadu kepadanya lantaran bunyi berisik di FEB sampai jam 11 malam. Obrolan pun berhenti, dia hendak salat di masjid. Bagaimana tanggapan UKM Marching Band? Memang bukan cuma dari warga sekitar PKM Karangwangkal yang mengeluh soal kebisingan mereka saat latihan, teman satu kompleksnya— UKM-U lain—pula begitu, mengeluh, demikian sahutan Mita Destriana. Dia salah satu pengurus Marching Band, dijumpai ketika Jumat, (17/2). Dia pun bingung mesti bagaimana solusinya,
“Sebenarnya nggak enak sama warga juga UKM,” katanya bimbang. Latihan juga merupakan kebutuhan Marching Band untuk agenda seperti lomba. Marching Band pernah mengajukan permohonan ke pihak rektorat. Dalam permohonan, mereka ingin pindah kantor sekretariat, salah satu usulannya agar pindah ke area belakang Graha Widyatama, dekat TK Soedirman. Namun, belum ada tanggapan dari rektorat. “Ya mohon maaf, mohon pengertiannya aja. Kita sering dikomplain sama UKM, kita tuh udah usaha kok nyari tempat....” *** Ada kisah dari Rido. Kepala Satpam itu melisankan cerita tentang komplain masyarakat terkait kegiatan mahasiswa. Terkait komplain, tidak ada laporan kepadanya secara tertulis seperti berbentuk surat, tapi warga langsung mengadu secara lisan. Rido pun menirukan komplain warga, salah satunya seperti ini, “Tolong itu, Pak, suaranya mengganggu kami, sudah malam (kok) masih ada suara-suara.” Sebagai seorang satpam, Rido telah mengabdi selama 30 tahun. Namun, baru 3 tahun belakangan ini ia memikul tanggung jawab sebagai Kepala Satpam Unsoed. Menyinggung soal jumlah satpam di Unsoed, jelas Rido, totalnya 114 personel dengan rincian 51 satpam berstatus PNS dan selebihnya pegawai honorer. Ia berikhtiar agar setiap kegiatan UKM itu terkontrol, terdata, lalu juga ada batasan waktu. Dia menyayangkan, para pegiat UKM berkegiatan bisa sampai dini hari, “Yah mungkin sih diskusi atau apa, tapi kan itu nggak boleh, kegiatan apaapa wong namanya kan ada batasnya.” Dia pun menegaskan, ruangan sekretariat UKM bukanlah tempat untuk menginap, sebab seolah-olah tidak ada batasan waktu. “Padahal kan ada aturan dari rektor (PR No. 009/2011-red).” Tambahnya lagi,
selama belum ada peraturan baru, peraturan rektor tersebut masih digunakan. Kantor Satuan Pengaman Unsoed berdekatan dengan Gedung Rektorat (GR)—tempat orang nomor wahid Unsoed. Kantor kecil itu memunggungi sebuah kolam berukuran lumayan, angsa-angsa biasa mandi di sana. Di kantor itu, Rido mengatakan bahwa pernah ada mahasiswa keberatan atas jam malam (25/1). “Loh kok dibatasi,” ucap Rido menirukan protes si mahasiswa dalam ceritanya. Rido beralasan jam malam perlu diberlakukan karena selain memang berisik juga biar aman, mengantisipasi perbuatan kriminal. Rido yang berkumis cukup lebat itu mengatakan, pintu gerbang kawasan Unsoed Pusat ditutup pada 12 malam. Dia juga menyampaikan hal penting: jam malam, dengan alasan keamanan, akan diefektifkan di seluruh kawasan Unsoed, termasuk PKM. Pengefektifannya dilakukan secara bertahap. Dia ingin kegiatan mahasiswa sejalan dengan PR No. 009/2011, peraturan yang sedang dia tegakkan. Dia cemas akan muncul persepsi negatif dari mahasiswa jika jam malam langsung diefektifkan, makanya dilakukan secara bertahap. “Jika memang harus menginap di sekre, lagi garap rencana kegiatan atau apa, tolong laporan ke satpam,” imbau Kepala Satpam yang khawatir dikira otoriter ini. Namun, hingga kini belum ada target nyata kapan pengefektifan jam malam di kawasan PKM akan benar-benar ditegakkan. “Mungkin mereka (pengurus UKM-U) belum tahu ada aturan ini, jadi selama ini, seolah-olah (waktu kegiatan-red) tidak ada batasannya.” Dia lalu menyudahi diskusi sambil menekankan, bila satpam tak bermaksud menghalangi mahasiswa, tapi memfasilitasi. *** Surya lama-lama meninggi, agak terik, sudah hampir jam sepuluh, saya bergesa mengarah lantai tiga GR, ditemani salah seorang rekan saya. Ada rapat koordinasi UKM dengan Rektorat di hari Rabu itu (11/1). Rapat dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni (biasa disingkat WR III), V. Prihananto, beserta jajarannya. Para perwakilan UKM-U pun datang, membahas seputar UKM, membahas pula soal penggunaan PKM di Karangwangkal. Berkenaan dengan masalah keamanan dan ketertiban di PKM Karangwangkal, WR III mengabarkan rencana akan dipasangnya kamera pengawas di PKM, juga penugasan satpam untuk menjaga kompleks PKM. Dalam forum itu, Kepala Biro Akademik dan Kemahasiswaan—Krisnhoe Maya Woelandari—mengimbau UKM supaya menaati PR No. 009/2011. “Mohon ini diinformasikan pada pengurus dan anggota (UKM-red), apabila akan berkegiatan, jam 10 malam harus sudah selesai. Dan nanti jika diingatkan oleh satuan pengaman, tidak boleh marah,” serunya sambil menampakkan berkas peraturan rektor tersebut. Imbuhnya, banyak kegiatan mahasiswa berlangsung melebihi batas pukul 10 malam.
Imam Gumay—kala itu masih jadi Ketua DLM Unsoed— menanggapi imbauan tersebut, alasan kegiatan mahasiswa serta akitivitas di sekretariat melebihi jam 10 malam karena mahasiswa produktif pada malam hari. Lalu, Prihananto menyahut, “Jadi, kalau kita ada di suatu institusi, di dalam tata kelola organisasi, pasti kita juga sebagai organisasi yang baik, harus mencoba mentaati tata kelola yang ada. Kita tidak bisa (melanggar), kalau kita nanti seperti itu, sebetulnya dalam proses pembentukan karakter, itu sebetulnya sudah tidak pas, karena kita melakukan suatu pelanggaran.” WR III juga menjelaskan bila suatu kegiatan yang memang kondisinya tidak mungkin berhenti sampai jam 10 malam, bisa izin melalui surat, “Tentu bisa saudara (mahasiswa-red) mengajukan surat bahwa ‘kegiatan hari ini, akan melebihi jam ini, karena tidak mungkin selesai jam 10.’” Tambah Prihananto lagi bila dalam kondisi normal, harus coba mentaati aturan yang ada. Presiden BEM terpilih 2017, Adhyatma Riyanto, pun membalas, terkait batasan jam 10 malam akan jadi kendala bagi beberapa UKM yang biasa rapat atau berkegiatan malam. Alasannya waktu pagi hingga sore padat akitivitas kuliah. Riyan meminta agar kebijakan soal semua kegiatan mahasiswa harus rampung di atas jam 10 malam perlu ditinjau ulang. Dia pula mempertanyakan kegiatan mahasiswa yang dimaksud, apakah untuk semua UKM di Unsoed atau hanya lingkungan PKM saja. Prihananto pun memberi jawaban, peraturan rektor tersebut berlaku untuk kegiatan kemahasiswaan di Unsoed. Ia juga mengatakan yang jadi kendala adalah kepengurusan UKM yang selalu berganti, sehingga transfer informasi serta pengetahuan terkait peraturan rektor tersebut tidak berjalan. “Tetapi apa yang jadi pemikiran saudara Riyan, itu sudah bagus. Tapi nanti kita lihat, misalnya (batas waktu kegiatan mahasiswa) menjadi setengah 11 (malam), (atau) jadi jam 11 (malam), nanti kita lihat. Sementara peraturan rektor seperti itu, ya harus coba taati.” *** Saya pernah mengobrol dengan teman saya ketika satu bulan sebelum 2016 berakhir. Dia adalah pegiat UKM-U, UPL MPA—Mahasiswa Pecinta Alam. Dia beriwayat bahwa kantor sekretariat UPL MPA pernah beberapa kali kemalingan. Hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan UPL MPA, beberapa pengurus secara giliran bermalam sekaligus menjaga barang yang ada di sekretariatnya. Sekretariat mereka terpisah dari kawasan PKM Karangwangkal, posisinya di Jalan HR. Bunyamin. Jumat pagi, 3 Februari 2017, saya menyambangi GR bersama rekan saya, niatnya bersua WR 3, Prihananto. Ketika diizinkan masuk ke ruangannya, saya lihat dia sedang sibuk mengerjakan sesuatu, lalu dia menerima kami, menyilakan kami duduk di ruangannya, di lantai tiga GR. Dia menjelaskan bila PR No. 009/2011 bukan hanya berlaku untuk PKM saja, tetapi untuk seluruh kegiatan mahasiswa yang ada di Unsoed, “Kayak di jalan raya, kalau nggak ada marka-marka, kan nggak
bisa teratur.” Lanjutnya, “Kalo kamu menanyakan keefektifannya (Peraturan Rektor-red), kita belum melakukan evaluasi terkait peraturan tersebut.” Banyak mahasiswa, terutama pegiat UKM, keberatan akan peraturan rektor tentang kegiatan mahasiswa yang harus dihentikan sampai jam 10 malam. Kebanyakan mahasiswa beralasan waktu pagi hingga sore padat untuk aktivitas kuliah, sehingga banyak kegiatan mahasiswa yang berlangsung pada malam hari. Bahkan, beberapa UKM seperti UKM bela diri, rutin melakukan latihan di malam hari. Prihananto pun menanggapi, “Kalau di kampus kegiatannya semakin hidup, itu memang kita harapkan, tapi yang menjadi masalah, kalau kita tidak tata, tidak kita atur, siapa sih yang bisa menjamin keamanan, kondisi yang ada di dalam kampus?” Dia lalu menjelaskan serta mencontohkan, “Yang justru jadi pertanyaan kan bukan kegiatan rutinitas, tapi justru kegiatan yang misalnya sedang ada event. Misalnya dalam suatu kompetisi, kalau memang dalam aturan, masih ada satu event yang jam 10 (malamred) tidak bisa cukup, terus selesai jam 11 (malam-red), itu kan dua hal yang berbeda, bisa dikomunikasikan kepada pimpinan, ini memang ada kegiatan harus sampai jam sekian karena tidak mungkin untuk dihentikan.” Mengenai adanya pegiat UKM yang menginap di sekretariat, sahutan Prihananto, bahwa sekretariat itu bukan tempat untuk menginap, “Sekre itu adalah kantor, kantor itu untuk apa, ya kerja. Sekre itu kan kantor, kantor yang untuk melakukan suatu aktivitas, aktivitasnya apa? Ya kegiatan mahasiswa,” paparnya. Dia juga mengatakan, bahwa sekarang memang banyak mahasiswa yang bermalam di sekretariat, makanya harus dibenahi bersama-sama dengan mahasiswa.
Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani
Saya bercerita, salah satu pertimbangan banyak pegiat UKM bermalam di sekretariatnya untuk menjaga barang-barang yang ada di sekretariat, agar tidak hilang. Saya pula menuturkan cerita, sekretariat UPL MPA pernah kecurian, hal itu menjadi salah satu alasan pengurus UPL MPA sering bermalam di kantor sekretariatnya. “Karena kamu memberikan informasi begitu kan, saya nanti bisa mengonfirmasi, supaya kita tata bersama-sama, bukan hanya institusi, kita kalau mau nata, tetapi juga dari yang ditata nggak ada komitmen bersama, tidak bisa berjalan secara mulus,” ucapnya begitu. Terakhir, Prihananto menuturkan, jika bisa, idealnya peraturan bisa efektif semuanya. Ihwal sekretariat itu bukan tempat menginap, komentar Riyan—sapaan Presiden BEM 2017, “Beda lah, sekre dalam terminologi kantor, misal kantor untuk orang kerjaan profesional, sama orang sekre dalam terminologi mahasiswa, itu beda.” Riyan beranggapan, jika aturan soal sekretariat seperti itu caranya, mungkin tidak akan ada namanya perubahan-perubahan besar, misal seperti reformasi tahun 1998. “Kenapa baru menerapkan jam malam sekarang-sekarang ini? Kenapa nggak dari dulu? Kalo soal keamanan, dari dulu emang PKM sering ilang (kehilangan barang-red), tapi nggak pernah di-follow up,” kata Riyan terheran-heran. Sekretariat BEM pun pernah beberapa kali kehilangan barang, seperti proyektor, beberapa jaket, dan lainnya. Malar-malar, kejadiannya bukan malam hari, malam tak pernah, biasanya pagi, begitu papar Riyan. Dia ditemui di burjo Goban saat Kamis (23/2) hampir berganti hari Jumat. Soal keamanan, cuma perlu koordinasi saja dengan penghuni sekretariat, pun kalau ada satpam tak masalah, malah bagus, tapi tak perlu ada jam malam, pendapatnya seperti itu. “Memang cuma itu (jam malam) metodenya?” Sebab ada kebijakan jam malam, mahasiswa berasumsi negatif tentang motif rektorat mengefektifkan jam malam. Banyak mahasiswa yang mengira jam malam merupakan cara kampus memperkecil, menghambat laju gerakan mahasiswa, “Apalagi, kalo konsol (konsolidasi-red) seringnya di PKM, ya itu asumsi... ,” ujar Riyan. Tentang asumsi adanya upaya pelemahan gerakan mahasiswa, dia mengutarakan hal tersebut masih perkiraan, “Spekulasi, karena kita belum nemuin bukti, walau kuat sebenarnya ke arah sana.” Tetapi, pada akhirnya, mahasiswa jadi bercuriga seperti itu, apalagi jam malam mulai digemborkan di tengah geliat mahasiswa sedang kencang-kencangnya, “Ini kebijakan 2011 (PR No. 009/2011-red), baru diaktifin (diefektifkan-red) 2017, ada gap enam tahun.” Sikap Riyan jelas menolak pengefektifan jam malam. Bahkan dia sudah menyiapkan langkah jika memang akan ada jam malam. Dia akan mencoba menjaring aspirasi mahasiswa. Jika mahasiswa sepakat bahwa seharusnya kampus bebas dari jam malam (dengan catatan mahasiswa harus bertanggung jawab, dari hal yang bisa mencoreng nama kampus, juga nama mahasiswa), BEM akan membuat analisis atau kajian terkait jam malam, selanjutnya mengajak bersama pihak birokrat untuk audiensi. “Ya harapannya tanpa harus aksi lah, saya juga kalo aksi (demonstrasi) juga capek, ibaratnya tenaga yang dikeluarin banyak...,” kata Riyan begitu. Persoalannya, kebanyakan audiensi seringkali berakhir buntu, ketika mahasiswa punya kajian
atau analisis dalam bentuk kertas posisi, tapi tidak pernah selesai didiskusikan, waktu audiensi malah habis, “Bahkan, seringkali, saat audiensi, analisis atau kertas posisi kita belum terbantahkan. Belum dibantah, (namun) audiensi selesai. Karena kita butuh ruang yang bebas untuk dialog, makanya dialognya dengan aksi.” Menurut Riyan, PR No. 009/2011 sudah tak relevan lagi dengan kondisi saat ini, mahasiswa berbeda dengan pelajar. Mahasiswa tidak perlu diatur sedemikian rigid karena telah dewasa serta harus bertanggung jawab. Jika misal alasan diefektifkan jam malam karena ada mahasiswa yang berlaku asusila atau kriminal lainnya, Riyan justru meminta birokrat untuk membuktikan, dan jika sudah terbukti, tangkap. Namun, Riyan keberatan jika mahasiswa digeneralisasi seolah-olah itu laku semua mahasiswa. “.... Ya itu harusnya (dianggap) oknum. Ya kayak sekarang, militer melakukan kekerasan, polisi melakukan kekerasan, kan nggak pernah dianggap general. Dianggapnya pasti oknum.” Akan tetapi, menurutnya, tidak ada mahasiswa berlaku asusila di PKM. Harapan Riyan, ketika ada suatu kebijakan, sebelum dikeluarkan, seharusnya ada dialog dulu dengan mahasiswa. Riyan juga meminta pihak Birokrat Unsoed untuk bisa terbuka menerima segala saran dari mahasiswa karena toh untuk kebaikan bersama-sama. Bertalian soal keamanan di PKM, dua motor anggota Marching Band pernah kecurian. Mita meriwayatkan, lenyapnya dua motor itu terjadi pada tahun lalu. Dua motor tersebut justru hilang ketika waktu sore, bukan malam. *** Kepala satpam kembali Skëtsa temui pada Selasa siang (31/1). Rido menuturkan bahwa PKM Karangwangkal sudah mulai rutin dijaga satpam dari Senin sampai dengan Jumat dengan waktu jaga sesuai dengan jam kantor. Seusai jam kantor seperti waktu sore atau malam hari pun masih tetap disambangi oleh satpam. Ada beberapa UKM yang memiliki sekretariat di luar PKM Karangwangkal, seperti UPL MPA, SEF, Menwa, dan Racana Soedirman. Lalu, apakah kawasan kantor sekretariat tersebut dijaga juga? “Tidak,” kata Rido. Dia terus menyambung “Mungkin dari anggota di UKM tersebut, paling nggak ada yang standby di situ”. Jumat, 17 Februari 2017, Rido sekali lagi ditemui, ini ketiga kalinya sekaligus terakhir. Rido membenarkan ujaran Didiet (polisi dari Polsek Purwokerto Utara, bagian Bhabinkabtimnas), memang PKM itu termasuk kawasan yang rawan. Dari pihak satpam tidak bisa membatasi siapa saja yang mengunjungi PKM lantaran begitu sukar membedakan mana mahasiswa Unsoed atau yang bukan. Dia juga mengatakan bahwa ada orang dari luar ikut memakai PKM, seperti untuk latihan. Terkait perbaikan gerbang PKM, Rido mengungkapkan bahwa itu adalah saran dari pihak keamanan Unsoed. Waktu pengerjaan gerbang pun langsung dia pantau. Perihal sekretariat UKM di luar PKM Karangwangkal juga disinggung. Pihak satpam masih bisa toleransi jika memang harus ada pegiat UKM yang bermalam, jika alasannya untuk menjaga keamanan sekretariat, asal harus betul-betul anggota
Dia berkisah tentang warga belakang FEB yang pernah memasang spanduk bertuliskan “KAMI PENGEN ISTIRAHAT".
UKM tersebut, “Misal Menwa. (Kantor sekretariat) UPL (MPA), juga karena dekat dengan jalan raya, rawan di situ kalo sampai kosong. (Mereka harus) menjaga peralatan-peralatan anggota yang di situ.” Jadi tidak apa-apa jika mereka menginap? Rido bilang tidak apa. “Kan resmi memang dari Ketua UKM tersebut, memberikan rekomendasi, memang banyak barang-barang sih di UPL (MPA),” ujarnya. Para pegiat UKM di PKM juga ada yang bermalam, salah satu alasannya untuk menjaga keamanan barang-barang, lantas bagaimana, boleh atau tidak? Rido menjawab yang penting satpam butuh informasi dari UKM, memastikan mahasiswa yang menginap di sekretariat jelas anggota resmi dari tiap UKM. “Tapi, kalo barang-barang biasa ya nggak perlu sampai ada yang bermalam setiap hari ada di situ.” Dia khawatir jika nanti sekre berubah fungsi, “Sekre kok jadi kayak tempat kos.” Memang, selama ini, Rido mengamati bila ada pegiat UKM—yang sekretariatnya di luar PKM—yang bermalam. Namun, sepanjang jelas jika mereka anggota UKM tersebut, bertanggung jawab terhadap barang-barangnya, untuk keamanan, dia menoleransi. Jelasnya lagi, bila memang dari para pegiat UKM perlu bermalam di sekretariat karena kepentingan keamanan, untuk memberitahukan ke satpam, agar tercatat dengan rapi, “Kan jelas, nanti kalo ada kejadian apa-apa kan kita punya datanya.” Terkait jumlah personel satpam yang berjumlah 114 personel, menurut Rido itu masih kurang. Sebab, dari total personel tersebut sudah ditempattugaskan di seluruh wilayah Unsoed. Pungkasannya, dia mengajak para mahasiswa agar bekerja sama untuk keamanan, agar tertib, juga melaksanakan aturan yang ada. Dia hanya melaksanakan tugasnya saja agar kampus aman dan kondusif. *** Ada empat UKM yang kantor sekretariatnya di luar kawasan PKM Karangwangkal, UPL MPA di seberang FISIP
persis, selebihnya sekretariat tiga UKM (Menwa, Racana Soedirman, dan SEF) di dekat Gedung Soemardjito, belakang Graha Widyatama. Racana Soedirman serta SEF juga punya sekretariat di kompleks PKM. Ada yang bilang, sekretariat di depan FISIP juga di dekat Gedung Soemardjito itu masih termasuk kawasan PKM, cuma letaknya saja di luar PKM di Karangwangkal. Saya mengajak berbincang salah satu pengurus UPL MPA, kala Rabu (15/2), Arizal Maulana namanya. Hampir selalu ada orang di sekretariat UPL MPA, dia salah satunya yang sering berdiam di situ, termasuk bermalam. Alasannya memang banyak barang-barang yang perlu dijaga, termasuk macam peralatan untuk outbound. Sekretariatnya sering dijaga, setiap malam pasti pengurus UPL MPA ada yang piket, menginap. Beberapa kali sekretariat UPL MPA pernah kecurian, terakhir saat pertengahan 2016. Waktu kejadiannya malah bukan malam, seringnya ketika pagi hari, cerita Arizal begitu. Perihal kebiasaan menginap di kantor sekretariat, dia mengaku belum pernah ada teguran dari satpam. Ketika ditanya tanggapannya jika jam malam diefektifkan, merepotkan bilangnya. “Kenapa,” tanya saya. Arizal menyahut, kegiatan UPL biasanya rampung lebih dari pukul 10 malam, terutama rapat. Dia berpendapat, batasan waktu kegiatan mahasiswa yang diatur PR No. 009/2011 tidak akan cukup bagi mahasiswa yang aktif berkegiatan. Dia juga keberatan bila setiap kali kegiatan melebihi jam 10 malam, harus ada izin, “Kalo kegiatan kayak rapat ya, menurutku kurang efektif, terlalu ribet sih (terkait izin-red).” Kegiatan pegiat UPL MPA sering dilakukan sampai malam, bahkan sampai harus menginap, karena susah untuk mengambil waktu selain malam. Waktu luang mereka cuma pada malam hari, selebihnya penuh untuk kuliah dan atau praktikum. Dirinya juga keberatan bila PR No. 009/2011 diefektifkan, kegiatan akan kurang produktif katanya. Dari UPL MPA sering menerima tamu di malam hari, tamu dari Mapala lain yang menanya seputar Gunung Slamet. Afrizal memandang, malah lebih efektif jika kantor sekretariat dijaga sendiri oleh pegiat UKM. “Meskipun ada satpam, susah. Dia nggak bakal bisa jagain per UKM. Kalo orangnya sendiri kan jelas, ada yang jaga di sini. Kalo paginya ilang kan nanya ke orang yang jaga,” pendapatnya begitu. Pandangannya soal peraturan rektor tersebut sudah tidak relevan lagi, “Karena memang aku liat, jam malam itu dimana waktu kita bisa kerja, semua orang (mahasiswa-red).” *** Selentingan mulai menyebar sejak awal Februari lalu. Foto halaman muka draf peraturan rektor (PR) beredar di kalangan mahasiswa. Cuma segelintir aktivis mahasiswa yang tahu. Draf PR tersebut memang benar ada. Kamis (8/12/2016), diadakan acara “Lokakarya Peraturan Rektor Tentang Kegiatan Kemahasiswaan”, bertempat di GR (sumber: unsoed.ac.id). Ada dua draf PR yang dibahas: Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa dan Tata Laksana dan Organisasi Kemahasiswaan. Skëtsa pun menemui Ketua Tim Penyusun Peraturan Rektor Tentang Kegiatan Kemahasiswaan, Kuat Puji Prayitno, pada Jumat (17/3). Kuat mengaku tak tahu kapan kedua draf PR tersebut akan diberlakukan. Namun, hal yang pasti, saat kedua draf PR mulai ber-
Pos Keamanan di Kompleks PKM Unsoed, Sabtu (25/2). Foto: Yoga Iswara Rudita Muhammad.
laku, saat itu pula PR No. 009/2011 dinyatakan tidak berlaku lagi. Meskipun yang paling disoroti adalah soal jam malam, ada hal-hal yang akan membatasi mahasiswa yang diatur dalam draf PR tersebut. Selain batasan waktu berkegiatan, ada batasan lain, seperti adanya persyaratan bagi mahasiswa yang ingin menjadi pengurus organisasi kemahasiswaan (ormawa). Hanya mahasiswa ber-IPK minimal 2,75 yang bisa menjadi pengurus ormawa. Itu merupakan salah satu persyaratan umum menjadi pengurus ormawa yang diatur dalam draf PR tentang Tata Laksana dan Organisasi Kemahasiswaan. Ada syarat lain, menjadi pengurus ormawa dibatasi untuk mahasiswa sekurang-kurangnya semester 3 dan setinggi-tingginya semester 6. Ormawa yang dimaksud, adalah DLM, BEM, UKM (baik di tingkat universitas maupun fakultas) serta Himpunan Mahasiswa (jurusan, program studi, dan profesi). Lalu, diatur pula dalam draf PR tersebut, bersinggungan dengan batasan waktu semua kegiatan mahasiswa, berlangsung antara pukul 06.00-22.00 WIB. Batasan waktu tersebut lebih singkat ketimbang yang diatur dalam PR No. 009/2011: pukul 05.00-22.00 WIB. *** Karangwangkal terus berair, tanah PKM tetap basah, hujan masih saja merintik, awet sedari siang. Cukup lama berbincang dengan Alfonso, dia pegiat mahasiswa yang aktif, ketua umum UKI FIB salah satu posisi yang dia sandang. Dia tak sepakat bila PKM diberlakukan jam malam, selain karena bisa berimbas pada prestasi kegiatan mahasiswa, juga tidak adil katanya. “Maksudnya sepenglihatan saya, banyak temanteman tuh mengerjakan tugasnya hingga larut malam. Ini kan juga fasilitas kampus juga, kita kan udah bayar UKT yang ditentukan, masa fasilitas tersebut dibatasi ya Allah.” Petang mulai bergulir, suaranya terdengar kecewa. Reporter: Yoga Iswara Rudita M., Rachmad Ganta Semendawai, Intan Rifiwanti, Faida Nasiroturrohmah, Emerald Magma Audha, dan Mustiyani Dewi Kurniasih.
Bu Entin Lompat Jendela Oleh: Mustiyani Dewi Kurniasih
2 1
3
4
75% UKM Tolak “Jam Malam” Oleh: Rachmad Ganta Semendawai Isu pengefektifan Peraturan Rektor Nomor 009 Tahun 2011 (PR No. 009/2011) tentang Tata Tertib Kegiatan Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman begitu nyaring terdengar di kalangan mahasiswa beberapa bulan belakangan. Kabarnya, PR tersebut akan diefektifkan untuk seluruh kegiatan mahasiswa di seantero Unsoed, termasuk di kawasan Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unsoed. Pengefektifan PR menuai beragam tanggapan. Isi pasal 4 (1) yang berbunyi, “Semua kegiatan di kampus berlangsung antara pukul 05.00-22.00 WIB,” menjadi sorotan mahasiswa. Tim Riset Skëtsa telah melakukan riset untuk mengetahui bagaimana pandangan dan sikap para pegiat Unit Kegiatan Mahasiswa tingkat universitas (UKM-U) terhadap wacana pengefektifan jam malam. Seluruh UKM-U berjumlah 32 UKM, termasuk Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Legislatif Mahasiswa (DLM) tingkat universitas serta dua UKM baru. Data jumlah UKM-U diperoleh dari Bagian Pengembangan Mahasiswa dan Alumni, Pusat Administrasi Unsoed. Riset ini menargetkan 32 responden untuk dimintai pendapatnya. Mahasiswa yang menduduki jabatan tertinggi pada masing-masing organisasi mahasiswa (ormawa) dipilih menjadi responden sebagai perwakilan dari setiap ormawa untuk mengisi kuesioner. Namun, menurut pantauan, hanya ada 28 lembaga yang layak diambil datanya. Tanggapan dari ketua atau perwakilan UKM, BEM, dan DLM tingkat universitas, sisanya dinyatakan missing sebab kepengurusan sulit dilacak atau tidak memiliki kantor sekretariat. UKM yang tidak terdeteksi kegiatannya, juga lembaga yang mengadakan riset (Skëtsa), tidak dijadikan objek. Mari kita bahas hasil sensus berdasarkan data yang kami peroleh. Mayoritas responden telah sadar isu pengefektifan jam malam di PKM. Sebesar 78,6% responden mengaku “tahu”, hanya 21,4% yang menjawab “belum tahu”. Lalu, bagaimana sikap UKM terhadap pengefektifan jam malam? Sebagian besar responden menolak adanya jam malam. Hal itu dibuktikan dengan tingginya respon negatif mereka terhadap isu. Separuh dari total tanggapan (14 responden) menyatakan “tidak setuju” serta seperempatnya menyatakan “sangat tidak setuju”, sisanya memilih jawaban “setuju”, tak ada yang menjawab “sangat setuju”. Itu berarti, 75% menolak jam malam. Apa alasan yang muncul dari sikap UKM? Kami menyediakan pertanyaan semi terbuka untuk mengetahui respon UKM. Dua opsi jawaban telah disediakan ditambah kolom jawab tambahan untuk responden yang memiliki alternatif jawaban sendiri. Responden boleh memakai semua pilihan jawaban pada seksi pertanyaan ini. Pertanyaan mengenai alasan responden yang menjawab “setuju” pada pertanyaan kedua (berjumlah 7 responden) disediakan pilihan jawaban: keamanan dan ketertiban; menghindari protes dari masyarakat; dan yang lain (opsi jawaban “yang lain” diisi sendiri oleh responden). Dari ketiga pilihan tersebut, opsi pertama paling banyak dipilih yakni sebanyak 6
responden, tidak ada responden yang memilih alasan “menghindari protes dari masyarakat”, lalu 2 responden mengisi kolom jawaban “yang lain”. Alasan responden yang sepakat dengan jam malam adalah karena peraturan itu sudah menjadi ketetapan yang sebaiknya dipatuhi, sebagai bentuk kedisiplinan. Meski begitu, ada catatan bahwa PR No. 009/2011 harus dikaji lagi terkait kejelasan tentang mekanisme perizinan apabila mahasiswa terpaksa melaksanakan kegiatan hingga melewati batas waktu. Alasan lain yang muncul ialah karena jam malam dianggap efektif untuk menghindari kriminalitas, pelecehan seksual, dan lain sebagainya. Responden yang menjawab “tidak setuju” atau “sangat tidak setuju” pada pertanyaan kedua (berjumlah 21 responden), mereka diberi pilihan jawaban: merupakan pembatasan hak dan kegiatan mahasiswa; kebiasaan mahasiswa berkegiatan pada malam hari; dan “yang lain”. Opsi pertama paling banyak dipilih responden, 15 responden. Kemudian, 5 responden memilih alasan “kebiasaan mahasiswa berkegiatan pada malam hari”, serta 6 responden mengisi kolom “yang lain”. Alasan lain yang muncul terkait ketidaksepakatan akan adanya jam malam disebabkan karena padatnya aktivitas perkuliahan, waktu pagi hingga sore padat untuk aktivitas akademik. Salah satu UKM bela diri bahkan menyampaikan jika jadwal latihan mereka sudah permanen: dari malam hingga dini hari. “Dalam PR No. 009/2011, pada pasal 4 (1) mengatur bahwa semua kegiatan di kampus berlangsung antara pukul 05.0022.00 WIB. Jika diasumsikan semua kegiatan dihentikan pada pukul 22.00-05.00 WIB, apakah waktu untuk kegiatan sudah memadai?”, begitulah pertanyaan ke-3 kuesioner kami. Tersedia opsi jawaban sangat memadai; memadai; tidak memadai; dan sangat tidak memadai. Separuh lebih dari total responden (60,7%) memilih mengatakan “tidak memadai”, lebih dari seperlima (21,4%) responden malahan mengatakan bahwa waktu yang disediakan untuk berorganisasi “sangat tidak memadai”. Hanya ada 17,9% responden yang mengatakan waktu itu “memadai” untuk berorganisasi. Opsi “sangat memadai” sama sekali tidak dipilih responden alias nihil. Jadi, 82,1% responden mengaku waktu yang disediakan untuk berorganisasi dalam PR tidaklah cukup untuk berkegiatan. Lalu, “Jika Anda menolak pengefektifan jam malam, akankah Anda melakukan protes?”, begitulah pertanyaan pamungkas kami. Sebanyak 10 responden (35,7%) akan melakukan protes inisiatif (tanpa perlu diajak). Jumlah yang sama (35,7%) mengatakan akan melakukan protes jika ada yang mengajak untuk itu. Sisanya, 8 responden (28,6%) mengatakan tidak akan melakukan protes jika memang jam malam akan diefektifkan. Jadi, mayoritas UKM akan melakukan protes, baik yang inisiatif ataupun yang bergerak jika ada ajakan UKM yang lain.
Ilustrasi: Yenny Fitri Kumalasari
Mereka pun Sibuk Berpatroli…
Ilus
tras
i: Y
enn
yF
itri
Kum ala
sar
i
Oleh: Intan Rifiwanti
k
edua jarum jam mulai bergeser dari angka dua belas. Para pegiat organisasi mahasiswa di Fakultas Pertanian (Faperta) tetap anteng pada agenda, kendati waktu sudah berganti hari. Sorot-sorot senter penjaga malam tegas menembus celah-celah sudut gedung. Mereka sibuk merangkai kalimat santun guna menegur mahasiswa yang tak kunjung bubar. Putus asa, mereka bergegas mencomot telepon genggam. Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni (WD III) harus tahu kesulitan mereka membubarkan kegiatan mahasiswa. Jam berorganisasi memang dibatasi sampai dengan tengah malam. *** Senin (30/1) waktu duha, saya dikawani Yoga Iswara, wartawan Skëtsa, beranjangsana ke kompleks sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa (UKM-Hima) Faperta. Pegiat UKM Bezper dan LPM Agrica menyambut ramah kami dengan suguhan dua gelas susu sapi murninya. Niat awal kami yang sebenarnya hanya ingin menanyakan letak Gedung Dekanat Faperta malahan menjadi obrolan panjang tentang jam malam. Mereka mengaku tidak terlalu terpengaruh
dengan adanya peraturan tentang kegiatan mahasiswa. Pengamatan kami membuktikan bahwa markas-markas organisasi di fakultas berbendera hijau ini nyaris tak pernah sunyi penghuni. Faperta adalah salah satu fakultas yang cukup memerdekakan mahasiswanya dalam berkegiatanUKM Bezper misalnya. Kamis (2/3), Skëtsa mengamati kegiatan di kompleks sekretariat UKM-Hima Faperta. Kala itu hampir pukul 12 malam, UKM Bezper tengah melakukan latihan rutin jelang pertunjukan. Hubungan kerja sama antara pegiat UKM dengan pimpinan fakultas tampak segendang sepenarian. Mahasiswa pegiat UKM dari fakultas lain pun mengamini. Melalui media percakapan daring Line, Ketua UKM Teksas Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Mahesa Admi Putra Munggaran mengatakan, “Kegiatan mahasiswanya (Faperta-red) jalan terus. Sekre-nya juga banyak banget, kan? Hima aja punya sekre.” Dipandang dari segi kegiatan mahasiswa, kekompakan antara mahasiswa dan WD III tampak begitu kentara kemesraannya. Aktivis UKM-Hima mendapat kemudahan akses untuk berkegiatan dari WD III Dr. Ir. Siswantoro, M.P. Kendati demikian, tidak selalu permintaan mahasiswa diloloskan izinnya. Pada malam penutupan sebuah pertunjukan di kampus, dia menolak rencana penyulutan kembang api, dengan alasan keselamatan. Menurut WD III lulusan program doktoral UGM ini, mudahnya berkegiatan bagi mahasiswa fakultas tertua di Unsoed terjadi lantaran adanya komitmen bersama. Siswantoro mengungkapkan bahwa mahasiswa sudah menjaga kepercayaan yang diberikan pimpinan fakultas. Lebih jauh, ia menerangkan betapa aktif dan berjibunnya kegiatan mahasiswa Faperta hingga larut malam. Lantaran hal tersebut, ia mengaku sering disoroti WD III dari fakultas lain di Unsoed ketika rapat koordinasi antar-WD III. Ia menegaskan bahwa mahasiswa harus bertanggung jawab dalam kegiatannya. Siswantoro tidak keberatan memberikan izin kepada mahasiswa untuk bermalam di kampus. Namun, pasal perizinan pun tak semudah mengedipkan mata, semuanya harus dengan syarat. “Izin saya itu kamu tepati dengan kegiatan yang betul-betul memang tidak bisa dilaksanakan (tanpa menginap-red),” tegasnya dengan nada serius. Sejalan dengan sekretariat UKM-Hima Faperta, fakultas-fakultas lain serupa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) pun ramai aktivis UKM kendati sedang libur panjang. Mereka berkegiatan siang malam. Hal tersebut berdasarkan amatan Skëtsa kala hari-hari awal libur panjang (11/01), be-
berapa mahasiswa masih keluar masuk gerbang depan FISIP pada jam-jam menjelang pergantian hari. Kamis (19/1) yang terik, bakda duha, wartawan Skëtsa menyambangi Dekanat FISIP Unsoed. Kala itu, tujuan kami ialah mewawancarai WD II dan atau III FISIP. Resepsionis mempersilakan kami menunggu di lobi. Kami mengantre, kami bukan tamu tunggal kala itu. Tidak berselang lama, giliran kami pun tiba. Saat diperkenankan memasuki ruang WD II, setumpuk berkas pekerjaan membuktikan bahwa sang tuan rumah tidaklah menganggur. WD II FISIP Dr. Muslih Faozanudin, M.Sc. menolak penggunaan istilah “jam malam” untuk menyebut pembatasan waktu berkegiatan mahasiswa dalam Peraturan Rektor Nomor 009 Tahun 2011 tentang Tata Tertib Kegiatan Mahasiswa (selanjutnya disingkat PR No. 009/2011). “Jangan pake istilah jam malam, seolah-olah kita tidak boleh keluar malam, padahal kan kita tidak melarang, hanya untuk mengatur kegiatan,” tolaknya dengan nada jenaka. Per 1 Januari 2017, FISIP memberlakukan kebijakan pintu tunggal, hanya ada satu pintu yang dijadikan akses keluar dan masuk ke area kampus pada malam hari. Pintu yang lain dikunci oleh petugas. Sebelumnya, 16 Desember 2016, kebijakan pengefektifan ini pernah dibahas dalam public hearing yang diinisiasi oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik. Audiensi publik yang berlangsung di Ruang Rapat Dekanat FISIP dihadiri oleh perwakilan UKM, BEM, DLM, dan perwakilan Dekanat FISIP. Muslih hadir dalam audiensi publik kala itu. Dia menggantikan WD III yang berhalangan hadir karena sedang mengikuti sebuah konferensi di Brunei Darussalam. Penerapan kebijakan pintu tunggal di FISIP menuai reaksi yang berwarna-warni. Ada yang pro, ada yang kontra. Melalui Line, pernah ada seorang mahasiswa baru FISIP (angkatan 2016) yang berceloteh, “Jam malam? Represifitas pihak kampus? Kebebasan bersuara yang bisa dipertanggungjawabkan dibutuhkan.” Senjang dengan kicauan mahasiswa, WD II mendukung kebijakan itu dengan alasan penertiban, keamanan, dan pengondusifan kampus. Senjang dengan Faperta dan FISIP, ada beberapa kampus yang sudah ketat mengefektifkan PR No. 009/2011, antara lain FIB, Fakultas Peternakan (Fapet), Fakultas Teknik (FT), Fakultas Hukum (FH), dan Fakultas Kedokteran (FK). Berdasarkan bincang Skëtsa dengan salah satu anggota satuan pengaman (satpam) di FK, gerbang sisi kanan FK ditutup pada pukul 23.00. Hanya gerbang sisi kiri yang dibuka untuk akses masuk dan keluar para dokter muda yang berdatangan pada
malam hari. Sedangkan, di Fapet, sesuai Peraturan Rektor, kampus disterilkan dari kegiatan mahasiswa mulai pukul 22.00, gerbang digembok. Namun, mahasiswa masih diperbolehkan masuk jika penjaga malam Fapet ditunjuki perizinan dari dosen berwujud memo. Menurut ujaran WD III FIB Imam Suhardi, M.Hum., PR No. 009/2011 ditetapkan rektor untuk dipatuhi, “Semua institusi di bawah rektorat perlu mematuhi, termasuk FIB.” Ia menambahkan pula bahwa sebenarnya aturan itu sudah diterapkan sejak awal FIB berdiri (2014). Akan tetapi, menurut amatan Skëtsa, aturan itu baru efektif sejak 2016. Sebelum menjadi Fakultas Ilmu Budaya, waktu itu bernama Jurusan Ilmu Budaya FISIP, mahasiswa masih diperbolehkan masuk ke area kampus sampai tengah malam untuk berkegiatan. Saat ini, menurut keterangan ketua UKM Gema FIB (Periode 2016) Andhika Herdiyanto, masih ada perpanjangan waktu berkegiatan sampai pukul 24.00. Namun, perpanjangan hanya bisa didapat dengan izin prosedural sesuai yang ditetapkan dekanat. Beberapa fakultas lain juga diketahui menggunakan mekanisme yang sama. Kontras dengan mahasiswa Faperta yang mesra dengan WD III-nya, pasal tak mengenakkan sempat terjadi di salah satu UKM FIB. UKM Teksas pernah mengadakan agenda tahunan Musyawarah Anggota (Musang), yang sedianya dilaksanakan di ruang B.105, terputus karena kehabisan waktu peminjaman ruangan. Selanjutnya, pegiat Teksas mencari ruang guna melanjutkan Musang. Malam itu, Pemimpin Umum LPM Skëtsa pun didatangi aktivis Teksas yang bermaksud meminta izin peminjaman ruang sekretariat Skëtsa, meski Pemimpin Umum LPM Skëtsa Emerald Magma Audha tidak mengabulkan pinta karena ruangan Skëtsa juga sedang digunakan. Akhirnya, Teksas melanjutkan agendanya di teras Gedung A FIB. Saat dikonfirmasi, Imam Suhardi menyatakan bahwa dirinya tidak tahu kejadian itu. Ia mengaku tidak pernah mendapat laporan menyoal Musang Teksas di teras Gedung A FIB. Mahesa, Ketua UKM Teksas (Periode 2017) merasakan perbedaan pengefektifan PR No. 009/2011 di FIB dengan fakultas lain Faperta. Perbedaan ini dapat dilihat dari jumlah UKM di kedua fakultas. FIB hanya memiliki empat belas UKM-Hima, sedangkan Faperta memiliki tujuh belas UKM-Hima. Pun mengenai teknis penyelenggaraannya, di FIB, mahasiswa tidak diwajibkan untuk berkegiatan di lingkar UKM-Hima. Lain dengan FIB, Dekanat Faperta atas usulan DLM justru memberlakukan Surat Keputusan Dekan Faperta Nomor 122/H.23.4.FP/ PP.06.01/2011. Kartu kendali berupa SK Dekan
Pos Jaga di Fakultas MIPA, Kamis (16/3). Foto: Marita Dwi Asriyani.
yang ditandatangani oleh Dekan Faperta masa itu Dr. Ir. Achmad Iqbal, M.Si. (sekarang rektor), mengharuskan mahasiswa untuk aktif berkegiatan. Setiap mahasiswa yang aktif dalam organisasi atau kepanitiaan tertentu berhak mendapatkan besaran poin sesuai ketentuan yang tercantum dalam SK. Gelar sarjana dapat diraih dengan sedikitnya 100 poin yang harus dikantongi mahasiswa, sedangkan untuk mendapat gelar diploma, mahasiswa cukup mengantongi 70 poin saja. Kebijakan ini ditujukan untuk mengubah atmosfer di Faperta yang masa silam sepi dalam kegiatan mahasiswa. Siswantoro lalu mengujarkan adanya pemaksaan terhadap mahasiswa untuk berkegiatan. “Orang itu kalau nggak dipaksa, semua akan cari enaknya aja,” tegasnya. Ia lebih jauh menegaskan tujuan kartu kendali yang diusulkan DLM Faperta adalah agar mahasiswa memiliki keterampilan tidak sekadar hardskill, tetapi juga softskill. “Untuk apa pintar tapi sosialisasi, organisasi, nggak bisa?” tanyanya beretorika. Patroli Keamanan Kampus Berdasar hasil wawancara dengan satpam di fakultas-fakultas yang dilakukan Skëtsa pada 7 Januari-17 Februari, ihwal keamanan menjadi alasan seragam dalam upaya pengefektifan PR No. 009/2011. Menyoal kondisi keamanan kampus, setiap fakultas memiliki rekam kisahnya masing-masing. Di FISIP, WD II Muslih acap mendapatkan laporan pencurian pada malam hari, misalnya laptop. Sejalan dengan Muslih, WD III FISIP Ahmad Sabiq, M.A., menuturkan bahwa rawannya keamanan di FISIP ialah pada jam-jam menjelang tengah malam. Ia mengungkapkan, pada awal 2013, beberapa tumpuk buku milik UKM Rhizome raib. Novita Sari, Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan UKM Rhizome masa itu, mengamini pernyataan Sabiq. “Waktu itu (saat pencurian-red), malam, (kantor sekretariat Rhizome-red) nggak dikunci, kita pikir aman aja karena lagi libur panjang,” ujar Novita saat dimintai keterangan melalui WhatsApp. Senada dengan FISIP, kampus-kampus yang berlokasi di dekat GOR Soesilo SoedarmanFakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) dan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan pun mengalami pencurian. Pada 2015, di pelataran Gedung Jurusan Kesehatan Masyarakat terjadi aksi pencurian sepeda motor. Hal yang tak diinginkan itu terjadi sekitar pukul 21.00. Pada tahun yang sama, di FPIK pun terjadi hal serupa. Padahal, petugas jaga malam selalu berkeliling karena di FPIK belum ada pos satpam. Namun, faktanya, pencurian tidak hanya terjadi pada malam hari, siang hari pun ada. Di Faperta, pernah terjadi pencurian laptop dan motor pada jam kerja. Di Masjid Baitul Matsur Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) pun laptop raib pada siang hari, bahkan itu terjadi waktu zuhur. Setala dengan itu, di FIB, beberapa mahasiswa juga sempat kehilangan helm pada sore hari, menjelang jam kerja habis. Menurut Ketua Satuan Pengaman Rektorat, di tempat parkir Gedung Pusat Administrasi Unsoed pun pernah terjadi pencurian helm pada jam kerja. Begitu pula di FK, meski penjagaan tempat parkir sangat ketattelah dipasang CCTV di berbagai sudut, pencurian helm masih acap terjadi. Ada keluhan terkait jumlah satpam di fakultas yang
Suasana Sekretariat Bersama Fakultas Pertanian, Senin (30/1). Foto: Yoga Iswara Rudita Muhammad.
bersebelahan dengan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Fuad Rasifudin, salah satu tenaga satuan pengaman FK telah melayangkan usul ihwal kurangnya awak satpam di FK. Ia mengusulkan penambahan personel kepada pihak dekanat untuk diajukan kepada Ketua Satuan Pengaman Rektorat. Protes Warga Beberapa gedung fakultas di Unsoed berdiri di atas lahan yang berbatasan langsung dengan area pemukiman warga, seperti Fapet dan FIB yang bersinggungan dengan warga Karangwangkal. Sebelum adanya PR yang mengatur tata tertib kegiatan mahasiswa, sempat ada protes warga yang terganggu dengan aktivitas mahasiswa pada malam hari. Menurut ujaran Tarlam, penjaga malam Fapet, dulu pernah terjadi penggerebekan yang dilakukan oleh warga sekitar kampus Fapet. Masa itu, suara gaduh terdengar dari seretan kursi saat mahasiswa membereskan ruangan usai berkegiatan di kala malam. Bising yang mengganggu tersebut mengundang warga untuk mendatangi Fapet. Saat ditanyai menyoal kronologinya, sang penjaga malam mengaku telah lupa. Seingatnya, warga mendatangi kampus dan melakukan protes adanya kebisingan aktivitas mahasiswa di malam hari yang mengganggu warga. Namun, warga yang berbatasan langsung dengan FIB mengaku tidak keberatan dengan kegiatan malam di FIB. Mereka justru memaklumi segala kegiatan yang dilakukan mahasiswa. Hanya saja, terdapat satu kegiatan yang sempat meresahkan warga, yakni pertunjukan Rumah Hantu. Menurut warga, bunyi-bunyi menyerupai hantu di FIB itu mengganggu kenyamanan mereka. Salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya berkata, “Sampein aja itu (tentang keluhan warga mengenai pertunjukan rumah hantu-red), Mbak,” begitu keluhnya saat dimintai keterangan Skëtsa. Dia tidak mempermasalahkan kegiatan maupun keberisikan lain, selain rumah hantu yang bunyinya menyeramkan. Setali tiga uang, aksi protes warga juga pernah terjadi di RW 7 Grendeng, kawasan yang paling dekat dengan FEB dan FH. Rudjangi, sang ketua RW, dengan ramah bercerita bahwa belum lama ini, warga yang bermukim di dekat FEB sempat memajang spanduk bertuliskan “KAMI PENGEN ISTIRAHAT”. Keluh kesah warga timbul tenggelam menyesaki pendengaran
ketua RW yang sebelumnya pernah menjabat sebagai ketua RT. Pada Desember silam, sekira pukul 11 malam, empat orang warga mengadu kepadanya lantaran riuh di FEB mengganggu kenyamanan mereka. Kegiatan Mahasiswa Bukan Kuliah PR No. 009/2011 tentang Tata Tertib Kegiatan Mahasiswa Unsoed, menyebutkan dalam pasal 4 ayat 1 bahwa, “Semua kegiatan di kampus berlangsung antara pukul 05.00-22.00 WIB.” Siswantoro menekankan kegiatan yang dimaksud bukanlah kegiatan kuliahtermasuk praktikum, melainkan kegiatan akademik dan nonakademik di luar perkuliahan. “Kalau kuliah kan sebenarnya nggak masuk ke kegiatan mahasiswa,” terangnya penuh penekanan sembari menunjuk-nunjuk bundel peraturan yang ditandatangani Edy Yuwono itu. Secara terminologi, tidak ada uraian langsung jenis kegiatan mahasiswa yang tertera dalam PR. Dalam butir-butir pasal, tidak ada penjabaran rinci tentang apa yang dimaksud dengan kegiatan mahasiswa. Apakah kegiatan akademik atau nonakademik semacam kuliah dan praktikum masuk dalam hal yang dibatasi itu? Tidak dijelaskan. Sementara itu, WD III Faperta yang akrab disapa Pak Sis memiliki pemahaman tersendiri tentang maksud “kegiatan mahasiswa” dalam PR No. 009/2011. Menurutnya, kegiatan akademik dan kegiatan nonakademik berada pada dua ranah yang berbeda. Kegiatan kuliah masuk ke ranah Wakil Dekan Bidang Akademik, sedangkan kegiatan mahasiswa masuk ke ranah Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni. Pun hal ini senada dengan penjelasan Kabag Pengembangan Mahasiswa dan Alumni Drs. Akhmad Suheli, M.A. Dia menekankan bahwa kegiatan mahasiswa yang dimaksud dalam PR adalah kegiatan organisasi. Menyoal implementasi PR yang mulai ditetapkan pada
2011 silam, WD III Faperta berniat membuat regulasi tambahan terkait kegiatan mahasiswa yang sebelumnya tidak diatur secara rinci dalam PR No. 009/2011. Selayang pandang, Siswantoro memamerkan catatan kecil hasil rapatnya dengan jajaran Dekanat Faperta terkait akan diadakannya pemantauan pembina UKM-Hima Faperta. “Akan ditambahi (regulasi tambahan yang berlaku-red) di Faperta (yaitu) monitoring pembina,” ujar Siswantoro. Hal ini menjadi salah satu upaya meminimalkan kejadian yang tidak diinginkan. Ia mencontohkan kasus yang terjadi di universitas lain tentang berita wajah buruk organisasi mahasiswa yang kegiatannya berujung hilangnya nyawa. Ada kabar beredar di segelintir aktivis mahasiswa bila PR No. 009/2011 akan diganti dengan peraturan yang baru. Dugaan tersebut muncul lantaran beredarnya foto draf PR tentang Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa yang belum bernomor. Dilansir dari laman unsoed.ac.id, draf PR tentang Kode Etik dan Tata Tertib Kegiatan Mahasiswa serta Tata Laksana dan Organisasi Kemahasiswaan telah dibahas dalam sebuah lokakarya. Skëtsa sempat kesulitan saat hendak mengonfirmasi kebenaran draf tersebut. Tatkala saya menghubungi Akhmad SuheliKabag. Pengembangan Mahasiswa dan Alumni, dia merekomendasikan saya untuk menemui Kabag. Akademik Kusja, S.IP. Dalam selisih waktu yang relatif sebentar, saya menemui Kabag. Akademik. Kusja menolak berpendapat menyoal PR No. 009/2011. Dia berujar, saya salah orang. Seketika saya kembali menemui Suheli. Saat dimintai argumen, dia hanya berujar, draf tersebut tidak seharusnya beredar sekarang. Skëtsa berikhtiar menemui Ketua Tim Penyusun PR tentang Kegiatan Kemahasiswaan Dr. Kuat Puji Prayitno, S.H., M.Hum. Tiga kali Skëtsa gagal menemui dia. Jumat (17/3), akhirnya Skëtsa bersua dengan Kuat di meja kerjanyaKantor Badan Pengelola Usaha. Ia menyatakan bahwa draf yang beredar itu adalah benar. Ia lebih jauh menegaskan bahwa dirinya tidak tahu tindak lanjut dari PR yang telah selesai digodok dalam lokakarya. “(Kelanjutan draf-red) bukan kewenangan saya, tugas saya sudah selesai,” terangnya singkat. *** Menilik dari sudut pandang implementasi, perbedaan penerapan jam malam pada tiap fakultas sangatlah kentara. Lain fakultas, lain ketegasan, lain pula batas-batasnya. Namun, bagaimanapun ketat dan longgarnya pengefektifan PR No. 009/2011, kegiatan mahasiswa masih tetap berjalan, nyaman maupun tidak dengan adanya batas. Di lain sisi, para satuan penjaga malam tetap berpatroli saben ari. Reporter: Intan Rifiwanti, Yoga Iswara Rudita Muhammad, Faida Nasiroturrohmah, dan Rachmad Ganta Semendawai.
Ilustrasi: Yenny Fitri Kumalasari
MEMILIH MAKNA BIROKRASI UNTUK UNSOED Oleh: Nurhidayat*
A
da dua makna birokrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Makna yang pertama menjelaskan bahwa birokrasi merupakan sistem, sedang makna kedua mengartikan bahwa birokrasi adalah cara kerja. Makna pertama menggambarkan dengan netral tentang sebuah sistem. Sedangkan, makna kedua punya sedikit kemenarikan, di mana birokrasi disebut sebagai cara kerja yang “serba lambat”. Berikut apa yang kita lihat di KBBI: birokrasi /bi·ro·kra·si/ n 1 sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan; 2 cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak likulikunya dan sebagainya. Mana yang bisa kita labelkan untuk Unsoed? Beberapa tahun terakhir muncul kembali slogan-slogan kampanye mengenai reformasi birokrasi, setelah dulu pernah terjadi. Reformasi tersebut muncul sebagai puncak dari kebobrokan sistem dan cara kerja pemerintahan di segala bidang. Budaya KKN yang tertanam berpuluh-puluh tahun bahkan tak mempan hentakkan reformasi 1998. Orba mati, KKN tetap kembali. Pesimisme berkembang hingga semua hal absurd harus dilakukan. Bahkan, sempat ada Presiden RI yang membubarkan DPR/MPR karena budaya KKN sudah menggurita di sana, meski akhirnya Kabinet Presiden lah yang justru bubar. Hingga kini hampir 2 dekade pascareformasi, sudahkah reformasi birokrasi terjadi? Nyatanya belum terjadi secara nyata, meski sudah ada. Kita lihat kepala-kepala daerah yang paling populer saat ini, mereka tak berjarak dari reformasi birokrasi. Sebut saja Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Walikota Bandung
Mochamad Ridwan Kamil, Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo, dan tentunya Bupati Tegal yang nyentrik Ki Enthus Susmono. Semuanya terkenal dengan reformasi birokrasi yang paling mencolok. Mereka adalah people and media darling. Menurut saya itu menunjukkan bahwa sebenarnya yang masyarakat butuhkan adalah yang seperti mereka, tanpa kompromi kepada KKN. Namun, sungguh miris jika kita mengingat kasus yang sempat santer di awal Pemerintahan Joko Widodo. Salah satu kementerian, yang justru bernama reformasi birokrasi, tersandung kasus katebelece. Ironi di atas ironi. Lalu, bukan cerita baru ketika banyak PNS titipan, polisi titipan, tentara titipan, dan lain-lain. Bahkan, meski mengharapkan keadilan, masyarakat masih bisa dengan bangga jika punya “orang dalam”. Padahal, urgensi birokrasi yang baik sangat kentara dengan terbentuknya banyak sekali aturan-aturan tentang sistem kerja birokrat, sebut saja 1) UU Pelayanan Publik; 2) UU Administrasi Pemerintahan; 3) UU Etika Penyelengara Negara; 4) UU Kepegawaian Negara; 5) UU Kementerian Negara; 6) UU Tata Hubungan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 7) UU Badan Layanan Umum/Nirlaba; 8) UU Sistem Pengawasan Nasional; 9) UU Akuntabilitas Penyelenggara Negara, dan lain-lain yang lebih spesifik berdasar lingkup kerja birokrasi. Lalu, lebih fokus, apa ini juga terjadi di dunia pendidikan tinggi? Jika ditanya masih ada atau tidak, tentu masih ada. Munculnya isu permainan suara kursi rektor oleh Menristekdikti beberapa waktu silam salah satu contoh adanya indikasi. KPK mencium masalah di sana. Entah sedang dalam tahap apa kasus ini diselidiki. Intinya, ada indikasi rusaknya birokrasi pendidikan tinggi. Proses rekrutmen sekelas rektor saja berma-
salah, apalagi pegawai yang di bawahbawah? Apakah praktik ini terjadi di Unsoed? Semoga saja tidak. Namun, siapa tahu? Bongkar Budaya Lama! Waktunya sudah tiba. Birokrat harus membuat bangga dirinya sendiri. Jangan sampai ketika kalian bercerita pekerjaan kalian yang dilihat orang hanya soal gaji (dan potensi korupsi) dan kedudukan saja. Buatlah ketika kalian bercerita mereka paham bahwa peran kalian penting dan kalian adalah abdi negara yang baik. Buat setiap orang tidak peduli pada gaji kalian, namun buatlah orang segan dengan tindakan serta kerja kalian. Orang cerdas selalu dinilai dari kerjanya, bukan gaji maupun jabatannya. Jika alasan budaya yang korup menghambatmu, maka bongkar saja! Contohkan dan konsistenlah. Ajari rekan seruanganmu untuk kembali pada kredo,
Ilustrasi: Mustiyani Dewi Kurniasih
pada aturan, pada prinsip. Bukan hanya sekadar melayani pimpinan yang suka menyalahgunakan wewenang. Kalian digaji untuk bekerja, bukan untuk menjadi antek mereka. Terkadang, untuk menjadi pegawai publik yang baik, seseorang harus dimusuhi oleh banyak orang di tempat kerja. Jika ada yang mengalami hal seperti itu, saya sebagai pribadi sangat menghargai. Bahkan, jika dibutuhkan, saya akan mendukungnya sebisa saya. Kenapa? Saya sangat menghargai orang yang bekerja sesuai aturan. Ingat, yang Anda butuhkan adalah pekerjaan, bukan kursi apalagi sekadar gaji. Dan, bagi Anda yang mendapat pekerjaan mulia sebagai bagian birokrasi dan bukan karena orang dalam, berbahagialah kalian, kalian adalah orang pilihan. Bekerjalah sebaik mengerjakan tes masuk. Jika sudah kadung salah prosedur masuk, pilihannya dua: keluar dengan terhormat atau berbenah agar pantas. Keluar karena taubat nasuha, atau berbenah agar dosa kalian berkurang, karena Tuhan Maha Pengampun. Terkait bongkar-membongkar, ada sebuah contoh epik untuk kalian yang ingin membuat perubahan. Dialah Inu Kencana Syafii, sang pembongkar STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) yang kini bernama IPDN. Dia be-
rani mengatakan pada wartawan tentang kebusukan-kebusukan yang terjadi di almamater dia mengajar. Berbekal keyakinan agamanya yang kuat, dia selalu berusaha membeberkan kebusukan STPDN agar segera berbenah. Berdasar Firman Tuhan dan Hadis Nabi lah dia menjalankan aksi pembongkaran. Namun, ini yang berat. Inu dimusuhi se-STPDN (kecuali beberapa kawannya). Intimidasi-intimidasi menghiasi hari-hari, ancaman pembunuhan rutin menghampiri. Namun, dia berkukuh pada ajaran agama, juga aturan yang ada, bahwa kebenaran harus ditegakkan. Status dosennya akhirnya mati syahid, dia keluar tanpa kekayaan, tanpa apa-apa. Dia dipecat dengan alasan-alasan yang mengada-ada. Namun, keyakinannya pada agama membuatnya kuat. Apalagi, keluarga yang setia selalu mendukungnya. Akhirnya, dia berubah haluan. Dia datang ke seminar-seminar memberikan motivasi dan kesaksian, juga menulis beberapa buku tentang perjuangannya. Banyak yang menganggap dia sok pahlawan, namun, dalam hal ini, menurut saya dia adalah pahlawan sejati. Pembaca pastilah akan terinspirasi jika membaca. Saya sarankan kalian untuk membaca buku-bukunya, untuk menghargai perjuangannya, juga agar kita tertular keberaniannya melawan kebobrokan mental sejawat.
ka tidak mengerti tugas kami sebagai wartawan kampus yang dituntut untuk mendapat konfirmasi, memberikan ruang kepada mereka yang berkepentingan dalam berita. Sudah lama menunggu, wawancara hanya berlangsung beberapa detik. Birokrat takut dan juga antikritik. Orang antikritik tak akan berkembang. Harusnya, bahkan ketika kita menunjukkan kartu pers, mereka harus membantu kerja wartawan. Kerja wartawan dilindungi oleh undang-undang yang menyebutkan bahwa mereka tidak boleh dihambat. Menghambat kerja wartawan dengan sengaja adalah tindakan kriminal. Jika wartawan kampus dianggap selalu memberitakan hal buruk mengenai universitas, maka perbaiki, bukan malah menghalangi kerja mereka. Lalu, saya juga mendengar selentingan, jangan mengurus masalah administrasi pada jam tanggung, soalnya mereka– birokrat–hampir pasti tidak sedang di tempat. Ini adalah penyakit yang memboroskan keuangan negara. Sepertinya mereka belum sadar jika mereka itu bertugas untuk melayani. Mereka belum termotivasi untuk bekerja sesuai tugas pokok dan fungsi mereka masing-masing. Ada satu lagi yang penting untuk disorot, bagaimana mahasiswa yang akan mengurus sesuatu, atau ingin bertemu seseorang dalam birokrasi, akan masuk dalam labirin. Kita dilempar ke berbagai celah antah-berantah. Sungguh membuat mahasiswa malas. Perlu diketahui bahwa imaji birokrasi yang seperti ini sepertinya mewakili anggapan kinerja birokrat di universitas ini. Sebagai warga negara, tentu kita berharap uang negara yang dikelola oleh dan untuk birokrasi sebisa mungkin efektif dan efisien. Juga, yang akhir-akhir ini diminta oleh kita: transparansi. Mana ada efektivitas jika jam setengah dua tak ada di meja? Mana ada transparansi jika birokrat alergi terhadap persma? Siapa yang mampu menjawab pertanyaan di awal tulisan ini jika bukan kalian, birokrat Unsoed yang kita muliakan. Saya akan segera mengedit tulisan ini jika memang reformasi birokrasi bisa terjadi di Unsoed secara menyeluruh.
Good Government: Efektivitas, Efisiensi, dan Transparansi Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan dengan jelas bahwa “Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip: a. akuntabilitas; b. transparansi; c. nirlaba; d. penjaminan mutu; dan e. efektivitas dan efisiensi”. Sebenarnya, Rektor pun selalu bilang soal perbaikan Unsoed untuk mencapai manajemen universitas yang baik. Namun, apa ada dari kita yang bisa bicara jika birokrasi Unsoed sudah baik, atau minimal menuju baik? Sangat susah, sepertinya. Kemarin, saya mendengar curhatan anak-anak di lembaga saya, LPM Skëtsa. Anak-anak yang punya urusan untuk wawancara pejabat kampus, harus membuat surat permohonan dan prosesnya bisa berminggu-minggu. *Penulis adalah Editor Senior LPM Skëtsa. Mereka begitu menjemukan, mere-
NIAT MULIA SANG PEMASAR NARKOBA Oleh: Ahmad Pradhana Adiputra*
Judul film Sutradara Produser Narator Genre Bahasa Durasi Tanggal rilis
D
: Deep Web : Alex Winter : Alex Winter, Glen Zipper, Marc Schiller : Keanu Reeves : Dokumenter : Bahasa Inggris : 85 Menit : 15 Maret 2015
eep Web menceritakan sebuah situs internet yang sangat fenomenal di jagat raya internet gelap: Silk Road. Silk Road adalah salah satu pasar gelap dalam jaringan (daring) modern yang terdapat dalam deep web, bagian dari internet yang tidak terindeks oleh mesin pencari konvensional laiknya Google, Bing, dan lain-lain. Didirikan pada Februari 2011, Silk Road terus tumbuh menjadi situs yang masif dan penting di dunia perdagangan ilegal. Banyak sekali ragam komoditas yang dijual di Silk Road, 70% dari sekian banyak itu berupa narkoba. Semua transaksi dalam pelayanan situs ini menggunakan mata uang terenkripsi bernama Bitcoin. Bitcoin inilah yang membuat segala transaksi ilegal di sana
hampir mustahil untuk dilacak oleh penegak hukum. Selain menjadi tempat penjual dan pembeli melakukan transaksi tanpa tatap muka, menurut salah satu penjual di Silk Road, situs tersebut juga menjadi tempat diskusi tentang banyak hal, terutama soal politik dan filosofi. Hal tersebut terlihat dari banyaknya kiriman terkait kedua bahasan tersebut di sana. Dikatakan juga bahwa Silk Road adalah tempat berkumpulnya para pemikir. Jika bicara soal Silk Road, maka tak akan bisa lepas dari sosok Ross Ulbricht, pria asal Austin, Texas, yang merupakan pendiri sekaligus administrator situs Silk Road. Dia adalah seorang insinyur Universitas Pennsylvania di bidang teknik dan sains material lulusan tahun 2009. Namun, setelah lulus, Ross kehilangan hasrat pada bidangnya. Ross berubah haluan, dia malah tertarik dengan Teori Ekonomi Libertarian—Teori Ludwig von Mises. Ross berkeinginan menjadi seorang entrepreneur. Bersama seorang temannya, dia pernah membuka toko buku daring. Namun, ternyata usaha yang baru saja dia rintis tak banyak berbuah hasil. Lalu, dia mencari-cari format wirausaha yang mungkin akan lebih berpeluang mendulang hasil. Sebab usaha toko daringnya yang tak berhasil, ditambah lagi kegagalan hubungannya dengan seorang wanita, Ross merasa tak puas dengan hidupnya. Ini yang menarik dari Ross: dia tertarik pada jual beli narkoba secara daring. Tingginya angka kematian akibat narkoba seperti di Afghanistan dan Meksiko membuatnya gelisah. Bisnis narkoba yang sangat rawan akan kekerasan bahkan pembunuhan mendorongnya untuk menciptakan Silk Road. Dia ingin mengeliminasi kekerasan dalam dunia transaksi narkoba. Menurutnya, seharusnya tidak ada seorang penjual maupun
pembeli yang mati dengan luka tembak di sekujur tubuhnya, dan tidak akan ada lagi opsir polisi yang tewas dalam tugas menumpas narkoba di jalanan. Inilah alasan yang mengejutkan dan mungkin dianggap terlalu naif. Namun, petugas keamanan setempat pun mengamini bahwa kekerasan hingga pembunuhan sangat banyak terjadi dan alasan Ross sangat masuk akal. Dia membuka toko daring narkoba untuk mengurangi kekerasan yang terjadi. Sungguh sebuah niat yang mulia jika dipikirkan lebih jauh. Menggunakan nama samaran merupakan hal yang wajib dilakukan dalam deep web. Ross pun memilih Dread Pirate Robert sebagai nama alias. Tidak sembarangan, nama itu adalah nama tokoh fiksi yang dia ambil dari film The Princess Bride yang memiliki makna filosofis dalam. Jika sudah menonton The Princess Bride, pembaca akan mengerti alasan Ross mengambil nama tersebut. Semacam Robin Hood lah‌. Ross telah menjalankan Silk Road selama dua tahun (2011-2013) sebelum akhirnya FBI menangkapnya di Perpustakaan Umum San Fransisco pada Oktober 2013. Dia dituduh mengotakutamai situs Silk Road. Ross digugat banyak tuntutan berat meliputi pencucian uang, peretasan komputer, konspirasi dalam perdagangan narkoba, hingga pembunuhan. Namun, tuduhan pembunuhan disingkirkan karena lemahnya bukti. Pada 29 Mei 2015, Ross dijatuhi hukuman seumur hidup tanpa adanya kemungkinan pembebasan bersyarat. Sekarang, dia menjalani hukuman di penjara Federal Metropolitan New York. Sutradara Alex Winter mengajak penonton melihat realitas yang ada, tetapi tidak pernah terlihat, tersentuh, bahkan dirasakan kehadirannya oleh masyarakat luas. Di awal film, sang sutradara memberikan penjelasan ringan apa itu deep
web, peramban Tor, situs Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani onion (situs bawang merah), bitcoin, dan berbagai macam hal yang berkaitan dengan deep web. Bagian awal film dapat digunakan sebagai bekal para penonton awam untuk menyaksikan film hingga selesai, tanpa meninggalkan kebingungan, bahkan dapat menambah rasa penasaran akan kasus ini. Selain itu, dikisahkan juga perjuangan Ross untuk lepas dari kasus hukum yang menjeratnya. Ia harus menghadapi proses peradilan yang dirasa tidak adil dan banyak kejanggalan dalam proses hukum seperti ketika ada beberapa saksi dan bukti yang tidak boleh dihadirkan oleh pihak tergugat—Ross. Dukungan untuknya datang dari keluarga, teman, serta aktivis. Ross mencoba untuk lepas dari jerat hukum yang tak masuk akal dan mengada-ada. Keakuratan film ini ditunjang oleh tulisan Andy Greenberg—wartawan Wired—yang menulis berita tentang Silk yang berimbang dengan mewawancarai Road. Dia bahkan telah berkomunikasi kedua belah pihak. Winter mewawandengan Dread Pirate Robert yang ketika carai orang tua Ross, teman-temannya, itu belum terungkap identitasnya. Andy dan orang-orang yang ingin membantu telah menulis beberapa artikel tentang mengungkap fakta dari kasus Silk Road. Silk Road, salah satunya berjudul The Silk Birokrat yang terlibat langsung dengan Road’s Dark-Web Dream is Dead. Dalam kasus Silk Road pun dimintai keterangan. proses produksi film dokumenter ini, Bahkan, keterangan dari penegak hukum Andy berperan sebagai konsultan pro- pun masuk dalam kisahnya. Tentunya, duser sekaligus menjadi salah satu sum- keterangan narasumber dari kalangan ber utama dalam film dokumenter ini. ahli dan wartawan kian memperjelas kiAda hal lain yang menarik dalam sah secara detail dan objektif. kisah ini. Hal ini terlihat semacam paraBanyak sekali artikel yang membahas doks di dalam kasus Silk Road, yakni para Silk Road. Namun, Winter menjadi orang agen federal melanggar hukum demi pertama yang menyatukan seluruh cerita menegakkan hukum. Mereka membobol dan mengubahnya ke dalam bentuk ausistem Silk Road untuk mendapatkan in- diovisual yang atraktif. Deep Web adalah formasi sedetail mungkin untuk menang- tontonan yang penting dan mengagumkap Dread Pirate Robert, sang administra- kan. Sebuah film dokumenter yang tor. Padahal, hal semacam itu (baca: menarik karena terbukti dapat memmeretas) dilarang keras oleh konstitusi bawa penonton masuk ke dalam dunia amandemen ke-4 di mana privasi per- yang diceritakan. Bahkan, film ini secara sonal sangatlah dijaga dan dilindungi. halus mendorong hasrat penonton unAlex Winter menyajikan argumen tuk lebih ingin tahu dan banyak belajar
tentang deep web. Sutradara Deep Web Alex Winter telah membuktikan bahwa film ini memberikan dorongan halus kepada penonton untuk membayangkan pentingnya privasi di internet di masa mendatang yang akan berdampak pada kehidupan kita. Film dokumenter ini mempunyai ide cerita yang menarik, cerita yang belum banyak diketahui oleh khalayak umum, terutama menyangkut deep web. Guna menambah kesan misterius dari film ini, Alex Winter mengajak partnernya, Keanu Reeves—aktor dalam film Bill & Ted’s Excellent Adventure—untuk menarasikan cerita. Menurut saya, film ini layak untuk ditonton khalayak karena dapat meluruskan pemahaman yang keliru dan tendensius seputar deep web yang selama ini diyakini oleh masyarakat. Bahkan, film ini berpotensi mengubah persepsi bahwa tidak semua pendiri pasar gelap daring yang ada di deep web mementingkan dirinya sendiri dan kelompoknya. Ross Ulbricht ialah contoh pendiri pasar gelap daring yang memperjuangkan hak privasi—hak setiap individu. Dan di balik tindakannya yang dianggap sebuah kejahatan, ada sebuah niat baik: mengurangi jumlah korban kekerasan dalam transaksi narkoba.
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2016.
DOSA SANG KULI TINTA Oleh: Aziz Dwi Apriyanto*
Judul film Sutradara Penulis Bahasa Durasi Tanggal Rilis
F
: Shattered Glass : Billy Ray : Buzz Bissinger, Billy Ray : Bahasa Inggris : 94 Menit : 26 November 2003
ilm Shattered Glass berasal dari kisah nyata tentang Stephen Glass, seorang jurnalis dari salah satu majalah terkenal New York, The New Republic. Kariernya yang semula bersinar terang, meredup seketika tatkala dia dikabarkan menulis berita hoaks. Bukan fakta yang ditulis, tapi fiksi belaka. Kebusukan Stephen mulai terbongkar ketika artikel “Hack Heaven” terbit. Mengetahui artikel tersebut, editor majalah online The Forbes Digital kesal karena wartawannya tidak bisa mengangkat kasus serupa, sedangkan medianya konsen pada pemberitaan terkait hal digital. Salah satu jurnalis The Forbes pun penasaran, lalu menelisik artikel itu. Berdasarkan analisis jurnalis The
Forbes, tulisan Stephen adalah artikel yang mengada-ada. Adam Penenberg ialah jurnalis The Forbes yang menemukan kejanggalan tersebut. Dengan bantuan Andy Fox—teman sekantornya, dia mengecek ulang semua “fakta” dalam artikel. Ternyata benar, data yang tertulis tidak bisa dibuktikan kesahihannya. Adam lalu memberitahukan kejanggalan itu kepada editornya. Dengan semangat, sang editor memerintahkan Adam untuk menindaklanjuti artikel itu. Singkat cerita, Adam dan editornya berbicara dengan Stephen dan editor The New Republic. Perbincangan dilakukan melalui telepon dari ruang redaksi masing-masing. Jurnalis The Forbes pun memulai pembicaraan dengan berbagai pertanyaan. Tatkala menjawab pertanyaan, terlihat gelagat aneh dari Stephen, jawabannya tidak meyakinkan, berbelit, dan sering memutar pembicaraan. Hal itu semakin menguatkan indikasi artikel Stephen tidak faktual. Melihat situasi tersebut, Chuck Lane—editor baru The New Republic—menelepon balik editor The Forbes, berharap agar permasalahan ini tidak disebarluaskan. Akan tetapi, editor The Forbes kukuh dan tetap akan menindaklanjuti artikel “Hack Heaven”. Mendengar kabar tidak menyenangkan, Chuck lantas memaksa Stephen untuk membuktikan kebenaran tulisan kepadanya. Alhasil, ketika Chuck menanyakan semua fakta yang ada di dalam tulisan, semuanya palsu. Stephen mengarang cerita, bahkan sampai menjadikan saudaranya sendiri sebagai pengisi pesan suara pada saluran telepon, berlagak sebagai pemimpin perusahaan perangkat lunak Jukt Micronics, sebuah perusahaan fiktif bikinan Stephen. Jukt Micronics digambarkan sebagai perusahaan perangkat lunak besar yang dibobol oleh hacker bernama Ian Restil—peretas usia remaja—dalam artikel “Hack Heaven”. Kasus yang terjadi pada majalah
besar The New Republic ini benar-benar memalukan. Bagaimana bisa berita fiksi yang ditulis Stephen Glass sampai terbit? Bahkan, dia telah menulis 41 artikel dan 27 diantaranya ternyata merupakan karangan sendiri (baca: fiksi). Begitu banyak berita rekayasa yang sudah terlanjur terbit. Hal tersebutlah yang memprakarsai Chuck Lane untuk menulis permohonan maaf kepada pembaca yang kemudian ditandatangani oleh para wartawan The New Republic lainnya. Stephen pun dipecat oleh Chuck. Saya heran, bagaimana bisa sebuah media profesional sampai kecolongan menerbitkan berita fiksi. Apakah waktu itu mereka tidak sempat melakukan disiplin verifikasi sebelum menerbitkan berita? Atau mereka terlalu percaya kepada Stephen Glass, sampai-sampai mengabaikan sikap skeptis yang harusnya diteguhi oleh wartawan? Michael Kelly, editor lama The New Republic, sangatlah konyol. Ia selalu berusaha membela penulisnya, apapun keadaan dan permasalahannya. Ini pembelaan yang buta, menurut saya, pembelaan yang tidak beralasan. Dia membela bukan karena profesionalitas pekerjaan, melainkan hanya untuk menjaga perasaan penulis. Teman-teman Stephen juga bertindak serupa, sama alotnya dalam membela Stephen. Bahkan, salah satu jurnalis The New Republic mengancam untuk mengundurkan diri sebagai pernyataan sikap pembelaannya terhadap Stephen Glass. Sangat disayangkan, hal itu terjadi pada majalah yang terkenal selalu mengkritik kebijakan pemerintah. Kekonyolan yang sempurna terjadi ketika semua rekan kerja termakan oleh tipu muslihat Stephen Glass. Semua temannya terkesan selalu berada di pihaknya. Ironis, mereka seorang jurnalis, tapi tidak menggunakan sikap skeptis dan disiplin verifikasi. Jurnalis-jurnalis The New Republic ini tidak bisa skeptis dengan teman sendiri, mereka merasa
Stephen sangat baik dan menyenangkan sehingga tidak mungkin melakukan hal yang dilarang dalam dunia jurnalistik. Benar-benar aneh menurut saya, editor dan teman kerja hanya membela secara subjektif, tidak objektif. Meski akhirnya, Michael pun meragukan tulisan Stephen. Pada suatu kesempatan mereka saling bertemu dan bercakap. Michael bertanya kepada Stephen, “Apakah kau pernah menulis berita bohong ketika aku menjadi bosmu?” Stephen terdiam dan tidak menjawab. Teman jurnalis Stephen juga mulai terkikis kepercayaannya ketika Chuck Lane memperlihatkan sebuah kenyataan pahit bahwa ternyata bukan hanya artikel “Hack Heaven” saja yang dia karang. Itu membuat semua rekan jurnalisnya tersadar dan menandatangani surat permohonan maaf kepada pembaca yang diajukan oleh editor baru The New Republic, Chuck Lane. Sosok Stephen Glass sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang jurnalis yang harusnya berpaku pada kebenaran. Dia justru sengaja membohongi pembaca melalui cerita fiksi. Itu dilakukan agar kariernya dalam dunia jurnalistik terus terdongkrak. Sama sekali tak terlihat adanya loyalitas Stephen kepada masyarakat. Tulisan berita yang dia buat, boro-boro untuk kemaslahatan umat, mencerdaskan masyarakat saja tidak. Para pembaca akan mencari alternatif pilihan sebagai sumber informasi ketika kepercayaan terhadap media cetak terkikis. Salah satu pilihannya adalah jurnalisme internet. Dengan keunggulan biaya akses lebih murah, lebih cepat, dan dianggap lebih faktual beritanya, membuat jurnalisme internet mulai digandrungi masyarakat. Meski tidak sepenuhnya beralih ke jurnalisme internet, setidaknya, karena kasus Stephen Glass lah jurnalisme internet mulai terangkat. The Forbes Digital ialah perintis pengenalan jurnalisme internet kepada khalayak yang dampaknya sampai sekarang kita nikmati dan rasakan. Berita daring berkembang pesat. Bahkan, kini banyak yang menganggap bahwa media daring adalah penggusur media cetak. Saya sempat membaca tulisan
Andreas Harsono yang bertajuk “Kebebasan Pers” di blognya. Andreas menulis, “Karena salah satu kerja media adalah memantau kekuasaan. Kekuasaan di sini bisa berarti pemerintah, pers, tentara, agama, dan sebagainya. Akan tetapi, terhadap sesama media, tidak pernah dipantau dengan standar yang sama.” Setiap media harus melakukan fungsi saling pantau. Hal inilah yang sudah dilakukan The Forbes, budaya saling kritik antarmedia. Budaya kritik yang saya maksudkan di sini adalah budaya kritik ke luar dan ke dalam. Budaya kritik ke luar adalah kebiasaan kritik antarmedia, sedangkan budaya kritik ke dalam adalah kritikan atau tindakan klarifikasi terkait pemberitaannya sendiri, jika ada yang salah. Sayangnya, budaya
Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani
kritik belum sepenuhnya terbangun dalam dunia permediaan di Indonesia. Keadaan ini berbanding terbalik dengan media luar seperti di Amerika Serikat. Di sana, budaya saling kritik antarmedia sudah terbangun. Bahkan, sebuah media bisa saja dikritik oleh media lain ketika menerbitkan berita yang salah. Dengan cepat, media yang dikabarkan menulis berita salah itu akan mengklarifikasi dan atau menyatakan permohonan maaf kepada pembaca. Andreas menceritakan, “Bahkan, BBC London pernah membuat kesalahan sehingga seorang narasumber bunuh diri. Itu diberitakan oleh BBC sendiri.” Kebiasaan ini belum terbangun pada media massa di Indonesia. Mereka berani mengkritik pemerintah, tetapi lemah untuk mengklarifikasi pemberitaannya sendiri, bahkan jarang sekali mau memberitakan kebobrokan medianya sendiri. Masih jarang kita jumpai antarmedia saling mengkritik, apalagi mengkritik pemberitaannya sendiri. Padahal, langkah ini bisa meningkatkan kredibilitas media di
mata pembaca. Film Shattered Glass akan membuat penonton geram dengan ulah Stephen. Dia memberikan fiksi demi fiksi kepada The New Republic, lalu majalah itu mencetak semuanya seolah-olah sebagai fakta, benar-benar menyesatkan masyarakat. Penonton tidak akan bosan, malah akan kesal menyaksikan betapa hebatnya ia berkelit dalam mempertahankan kebohongan. Namun, saya takjub dengan Chuck, ia tegas pada setiap jengkal kesalahan, juga masih teguh menerapkan disiplin verifikasi. Dia selalu skeptis serta tidak mudah percaya begitu saja dengan retorika Stephen yang membius banyak orang. Chuck juga selalu mempertanyakan keaslian data yang dituliskan oleh Stephen sebagai wujud dari sikap skeptis serta disiplin verifikasi. Film ini sangat menarik untuk ditonton dan dicermati, terlebih bagi penonton yang memiliki ketertarikan akan dunia jurnalistik, juga masyarakat luas selaku konsumen media agar lebih melek akan khazanah permediaan. Masyarakat juga dituntut untuk cerdas, skeptis, serta teliti pada setiap pemberitaan yang dibaca. Meski film ini termasuk lawas, konten dan pesan yang disampaikan masih relevan dengan keadaan dewasa ini. Billy Ray pun sangat pintar dalam mengambil komposisi pemain sehingga peran-peran dimainkan dengan apik. Film ini mengajarkan kunci seorang jurnalis, yaitu memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip jurnalisme. Hal itu akan membantu Anda dalam pekerjaan jurnalistik. Juga, akan menghindarkan kita dari penyelewengan profesi wartawan. Jadilah jurnalis yang jujur!
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2015.
Oleh: Yenny Fitri Kumalasari
Oleh: Marita Dwi A.
Tulisan Anak Baru
Ilustrasi: Anggita Rachmi Farida
HIDANGAN ISTIMEWA TROTOAR JALAN SOEDIRMAN Oleh : Rachmad Ganta Semendawai Terkadang, trotoar bisa menjadi lebih dari sekadar jalur pedestrian. Beberapa orang bahkan menjadikan luasan milik publik ini sebagai penggerak roda perekonomian bagi hidupnya. Ialah mereka, pedagang kaki lima (PKL) yang meramaikan persaingan bisnis di pesisir jalan, kala lepas petang. Warung-warung PKL di pinggiran jalan raya tersebut menjajakan sesuatu yang sulit ditemui
pegawai kantoran, tukang parkir, polisi, hingga mahasiswa bersua di tempat yang sama, meramaikan warung lemprakan yang sering disebut oleh pelanggannya “Warung Lemprakan Ndog Lo”.
Suasana di Warung Lemprakan Lik Surip (25/11/2016). Foto: Yoga Iswara Rudita Muhammad.
gerainya di pusat perbelanjaan modern. Malam yang sejatinya gelap membutakan, disulap menjadi remang keramaian oleh keberadaan PKL. Cara yang berbeda dalam melayani pelanggan menjadi ciri khas masing-masing warung makan kaki lima. Ada yang berjualan menggunakan gerobak, menyediakan bangku atau kursi untuk pelanggannya, hingga mengajak pelanggannya berlemprak. Warung lemprakan adalah sebutan bagi warung penjaja makanan yang menyediakan menu sederhana dengan ciri khas pengunjung yang makan di meja dan bangku yang tingginya tak jauh beda bak pembeli yang berleseh. Warung Lemprakan Lik Surip adalah fokus utama tulisan saya kali ini. Sedikit Keraguan Awalnya, saya sempat meragukan warung makan di Simpang Giri Suman Purwokerto ini. Namun, keraguan yang menyelimuti mulai pudar ketika saya melihat antrean yang mengular. Meja kecil tak lebih dari setengah meja pingpong itu dikelilingi pembeli di luar kapasitas bangku yang ada. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya saya dapat duduk tepat di sebelah pemilik sekaligus pe-
layan warung lemprakan sederhana ini. Lik Surip, pria berkumis tebal ini, melayani saya dengan ramah. Saya pun mencoba salah satu menu andalan dari warung ini, ialah Sega Ayam Opor. Menu pilihan saya. Tak perlu merogoh kocek dalam-dalam, cukup dengan sembilan ribu Rupiah, saya dapat mencicipi nasi ayam komplet dengan sayur, tempe, bihun, dan sambal. Aroma hidangan ini begitu menggoda. Saya langsung menyambar sepiring nasi ayam yang tersaji di hadapan. Benar saja, keraguan saya sepenuhnya hilang. Setelah mengecap suapan pertama, potongan ayam opor yang saya lahap seakan menari di lidah. Terbesit dalam diri saya untuk mengantongi nama warung ini sebagai destinasi makan selama merantau di Purwokerto. Warung yang berada di Jalan Jenderal Soedirman, depan Bengkel Sakura Motor ini, tak pernah sepi akan pengunjung. “Dalam sehari, kalo tidak hujan, dagangan saya bisa habis dalam 2 jam,” ujar Lik Surip (25/11/2016) yang juga menjadi peracik di balik cita rasa khas dari warung yang buka mulai pukul 19.00 WIB ini. Pelanggan yang hadir pun berasal dari berbagai kalangan, mulai dari
Olahan Ndog Lo Istilah ndog lo mengacu pada menu telur yang direbus selama satu hari penuh bersama dengan bumbu khusus. Dibantu
sang istri, Lik Surip memasak ndog lo yang menjadi ciri khas warungnya. Ia masih setia memakai kayu bakar dalam memasak guna menjaga cita rasa. Saya cukup tergelitik saat mendengar asal-usul nama olahan telur dari warung lemprakan ini. Ndog lo, menurut empunya resep merupakan nama julukan yang didapatkan dari pengunjung warung itu sendiri. Nama tersebut merupakan hasil kombinasi dari bahasa Jawa, yaitu ndog yang artinya telur dan lo yang dalam bahasa Mandarin memiliki arti hitam. “Pembeli keturunan Tionghoa suka menyebutnya ndog lo karena lo itu bahasa Mandarin, yang artinya hitam. Tapi, kalo pembeli Jawa ya bilangnya telur pindang,” jelas Bu Yumiibunya Lik Suripsaat ditemui di kediamannya (19/11/2016) yang berlokasi di Kranji, Purwokerto. Usut punya usut, ternyata ada pula warung lemprakan yang memiliki menu serupa dengan Lik Surip. Ialah Bu Yumi, sang senior Lik Surip. Justru, Bu Yumi lah yang memulai bisnis keluarga ini sejak 1972. Dari tangan wanita yang sudah berumur inilah tercipta berbagai resep andalan yang hingga kini masih dijajakan, baik di Warung Bu Yumi maupun Warung Lik Surip.
Masa lalu Menyigi sedikit sejarah unik dari warung makan ini, ternyata Ibu Yumi ialah orang tua dari sosok Lik Surip, sekaligus pencetus warung lemprakan ini. Awalnya, warung ini berlokasi di AlunAlun Purwokerto. Akan tetapi, tatkala terjadi tragedi sterilisasi alun-alun pada masa Bupati Mardjoko (2009), Lik Surip dan pemilik warung-warung lainnya harus menerima kenyataan bahwa mereka tak dapat berjualan lagi di sana. Ketika masih berdagang di alun-alun, merekaBu Yumi dan Lik Suripmenggunakan sistem pelayanan sif. Kala itu, Surip muda berjualan dari pukul 23.0004.00 WIB menggantikan Bu Yumi yang berjualan pada pukul 18.30-23.00. Bisa dikatakan bahwa warung ini merupakan usaha keluarga, sebelum akhirnya pada 2003, Lik Surip membangun warungnya sendiri. Usaha Bu Yumi mencapai kejayaannya pada 2007. Masa itu, 30 kg nasi bisa habis dalam waktu kurang dari semalam. Terbayang sudah seberapa ramai warung yang dikelola Bu Yumi itu. Sebagai info pelengkap, sekarang Bu Yumi berjualan di Jalan Jenderal Soedirman (depan Toko Surya Jaya). Namun, karena tak semuda dulu, sekarang ia sering dibantu Puji yang juga adik kandung Lik Surip.
hanya menyediakan meja atau bangku kecil dan tikar. Contohnya Ratna Indahwati, ia mengatakan bahwa makanan di warung ini selain murah, enak, juga memiliki tempat yang bersih. Awalnya, ia tidak mengetahui keberadaan warung ini. “Saya baru tahu warung ini karena diajak suami saya,” ujar Ratna (19/11/2016). Dedi Setyosuami Ratnamenerangkan bahwa awalnya ia hanya iseng mampir ke warung ini karena melihat ramainya antrean pengunjung warung. Namun, setelah mereka merasakan gurihnya racikan santan ala Lik Surip, pasangan tersebut seringkali menghentikan kendaraan untuk sekadar memanjakan lidah di warung ini. Warung ini bisa dibilang lumayan terkenal di kalangan masyarakat Purwokerto. Faktanya, bila Anda mengetik kata kunci “lemprakan Purwokerto” pada mesin pencari Google, nyaris seluruh hasil pencarian mengarah pada Warung Lemprakan Lik Surip. Akan tetapi, karena jauh dari lokasi kampus, Warung Lemprakan Lik Surip masih terdengar asing di telinga mahasiswa Unsoed, khususnya mahasiswa perantau, apalagi yang baru masuk. Kalau kebanyakan mahasiswa Unsoed masih asing dengan Warung Lik Surip, lain halnya dengan seorang mantan mahasiswa Unsoed satu ini, Adi Iman atau yang biasa disapa Kang Dimen. Kang Dimen memiliki cerita tersendiri Pendapat Pengunjung saat membicarakan Warung Lemprakan Berbagai alasan yang berbeda Lik Surip. Kala saya menjumpainya pada dilontarkan oleh para pembeli yang rela 27 November 2016 lalu, ia menjelasmengantre untuk makan di warung yang kan bahwa warung ini telah lama buka. Pengalaman pertama dirinya berkunjung ke warung tersebut terjadi ketika ia diajak oleh teman-temannya. Namun, setelah habis masa studinya, Kang Dimen jarang mendatangi tempat ini, kecuali bila ada teman lama yang mampir ke Purwokerto. Lemprakan Lik Surip lah tujuan Kang Dimen untuk bernostalgia bersama teman-temannya. Proses memasak ndog lo dengan tungku tradisional (12/2). Kali ini, tangFoto: Marita Dwi Asriyani. gapan berasal dari Nugraha, seorang lulusan Fakultas Per-
tanian Unsoed tahun 2014. “Uniknya itu karena bukanya kan malam, otomatis masaknya dari sore, berarti beda dengan yang lain, kan? Kalau yang lain cuma dipanas-panasin, sedangkan ini masakannya baru dan masih hangat,” jelas Nugraha (19/11/2016). Di tengah kesibukannya mengerjakan proyek di Unsoed, Nugraha sering menyempatkan diri mengunjungi warung makan ini untuk melepas lapar. Nugraha berpandangan bahwa suasana di Lemprakan Ndog Lo berbeda, karena buka di malam hari dan harganya yang terjangkau. Ia pun menambahkan alasannya tidak memilih daerah Unsoed sebagai destinasi makan malamnya karena ia jarang menemukan menu sayur. “Paling, saya cuma ketemu lamongan dan nasi goreng, padahal saya kurang suka. Apalagi harganya berkisar Rp8.000,00 ke atas, yah. Kalo di sini paling berapa,” tutupnya. Perjuangan Membangun Usaha perintisan Warung Lemprakan Lik Surip tidak berjalan terlalu mulus. Lik Surip mengakui, saat pertama kali dirinya membuka usaha ini, pengunjungnya tidak seramai sekarang. Namun, karena keteguhan dan kesabaran yang ia miliki, usahanya kian hari kian mekar. Akhirnya, warung lemprakan tersebut pun dapat selaris sekarang. Lik Surip tidaklah seorang diri dalam mengembangkan usaha ini. Bersama istri dan seorang pegawainya, Lik Surip tak kewalahan menangani warung lemprakan-nya. Merupakan tontonan lidah yang menarik, tatkala panasnya persaingan pisau dapur di tepian jalan negeri ini terjadi. Meski jatuh bangun, usaha rakyat ini sudah menjadi tradisi turun-temurun. Kendati demikian, masih banyak warung jalanan yang bertahan kokoh, seperti lemprakan Lik Surip yang bertahan selama 13 tahun di antara gempuran persaingan yang makin kencang. Bersenjatakan rasa yang memanjakan lidah, suasana yang khas, dan tentu saja harga yang bersahabat, menjadikan tempat ini layak untuk dimasukkan ke dalam daftar warung langganan Anda. Berani mencoba? Reporter: Rachmad Ganta Semendawai, Nabila Dezty Anggraeni, dan Marita Dwi Asriyani.
Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani
APA KABAR UKM UNIVERSITAS? Oleh: Yoga Iswara Rudita Muhammad
A
rea Pusat Kegiatan Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (PKM Unsoed) tampak lebih lengang dari biasanya. Kalau pekan-pekan sebelumnya hampir selalu ramai oleh kegiatan mahasiswa, pekan keempat November ini berbeda suasananya. Tepatnya 26 November 2016, Pendopo PKM Unsoed kehilangan fungsi regulernya sebagai tempat berkegiatan mahasiswa. Tidak ada kegiatan mahasiswa yang diadakan di sana pada hari itu. Beberapa pintu kantor sekretariat UKM tingkat universitas (UKM-U) tampak terkunci rapat. Tidak terlihat adanya tanda-tanda bahwa empunya kantor sekretariat UKM-U sedang beraktivitas di dalamnya. Hanya satu-dua pintu kantor sekretariat yang menganga, menandakan penghuninya tengah berkegiatan di dalamnya. *** Tidak dipungkiri, UKM-U merupakan salah satu muara terbesar dari segala aliran pemikiran kaum mahasiswa pada tingkat universitas. Heterogenitas mewarnai setiap jengkal ranahnya, begitulah sebagaimana disampaikan oleh salah seorang pegiat UKM-U ketika ditanya kenapa harus memilih UKM-U. Di sana tempat bersua beragam mahasiswa dari fakultas yang ada, kata dia. UKM-U terdiri dari beragam jenis. Berdasarkan data kepengurusan UKM-U pada 2016, di Universitas Jenderal Soedirman, setidaknya terdapat tiga jenis UKM, terdiri dari
kategori penalaran dan keilmuan; kategori bakat, minat, dan kemampuan; dan kategori kerohanian. Kategori penalaran dan keilmuan diduduki oleh UKM Penalaran dan Riset (UKM PR). Kategori bakat, minat, dan kemampuan terbagi ke dalam bidang olahraga, kesenian, dan bidang khusus. Bidang olahraga diisi oleh UKM Bola Basket, Marching Band Bahana Putra Soedirman (MBBPS), Sepak Bola, Bulu Tangkis, Karate Gokasi, Bandung Karate Club (BKC), Bela Diri Kempo, Merpati Putih (MP), Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT), Tenis Lapangan, Catur, Tenis Meja, Bola Volly, Atletik, Panjat Tebing, Futsal, Lembaga Seni Bela Diri Hikmatul Iman Indonesia (LSBD-HI), dan Taekwondo Dojang. Bidang kesenian diisi oleh Paduan Suara Mahasiswa Gita Buana Soedirman (PSM GBS). Bidang khusus terdiri dari UKM Pramuka Gudep 26-1953 dan 26-1954, Resimen Mahasiswa (Menwa), Unit Pandu Lingkungan Mahasiswa Pecinta Alam (UPL MPA), Korps Sukarela Palang Merah Indonesia (KSR PMI), Student English Forum (SEF), dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) SkĂŤtsa. UKM kategori kerohanian meliputi Unit Kegiatan Kerohanian Islam (UKKI), Unit Kegiatan Mahasiswa Khatolik (Umaka), dan Persekutuan Mahasiswa Kristen Protestan (PMKP). Untuk menjaring anggota baru UKM-U yang potensial, hampir semua UKM memiliki cara yang sama. Cara yang digunakan adalah memperkenalkan UKM-U bersangkutan kepa-
“Jangan takut untuk berorganisasi karena organisasi merupakan salah satu wahana pembelajaran kita untuk menggapai cita-cita,”
da para mahasiswa baru. Sesi Expo UKM yang diadakan tiap penerimaan mahasiswa baru menjadi ajang bagi mahasiswa baru untuk mengenal lebih jauh seluk-beluk UKM-U yang tersedia. Gelaran saban tahun itu diselenggarakan oleh panitia Soedirman Student Summit (S3)—rangkaian acara penerimaan mahasiswa baru. “Expo UKM-U yang dilaksanakan di sisi luar Gedung Auditorium Graha Widyatama Unsoed menjadi ajang bagi mahasiswa baru untuk mengenal lebih jauh UKM-UKM yang ada,” ucap Nanang Eko Setyawan, Ketua Dewan Racana Soedirman periode 2016—UKM Pramuka universitas—ketika ditanya apa peranan Expo UKM bagi UKM-U. Terhitung empat ribu lebih mahasiswa baru angkatan 2016 dari berbagai jalur penerimaan mahasiswa mengikuti sesi Expo UKM pada S3 2016 silam. Awak Skëtsa telah menemui hampir semua UKM-U yang ada di Unsoed. Tidak sedikit dari mereka mengungkapkan keluhan dari masing-masing UKM. Karena itu, penulis telah menyarikan inti dari wawancara dengan sejumlah narasumber ke dalam tulisan ini. Kebimbangan Mahasiswa Baru Jarum jam menunjukkan pukul 13.00 pada Selasa, 15 November 2016 tatkala Affiu Adha Rochmakhorizi—mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unsoed angkatan 2016— sedang duduk setengah bersandar di bawah gazebo yang berdiri tak jauh dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan Unsoed. Ia tidak sendiri, ditemani seorang teman puan, juga
seorang mahasiswi di universitas yang sama. Laki-laki berkacamata ini mengatakan bahwa ia tengah sibuk fokus pada UKM fakultas yang diikutinya. “Sebenernya alasan saya nggak ikut UKM tingkat universitas sih, bukan karena saya nggak mau. Saya pengen fokus dulu sama UKM fakultas yang udah saya ikuti. Entar, kalau yang di fakultas udah bisa jalan lancar, saya baru mau nyoba yang tingkat universitas,” tuturnya. Ia menguraikan, berfokus pada satu organisasi (yang dipilih) terlebih dulu itu lebih penting ketimbang memaksa nyambi tetapi sebenarnya masih keteteran. Kebingungan mahasiswa satu ini bertambah lantaran sedikitnya informasi terkait UKM yang ia dapatkan. “Lagian saya juga masih bingung mau milih UKM tingkat universitas yang seperti apa, apalagi kan pas Expo UKM, mahasiswa baru dikasih waktu yang nggak banyak. Jadi, saya cuma bisa nanya sedikit doang di stan-stan UKM yang saya kunjungi,” imbuh Affiu. Mulanya, Affiu—begitu panggilan akrabnya—sudah berminat untuk mengikuti UKM-U. Namun, ia belum yakin dengan pilihannya. Akhirnya, ia urung mewujudkan niatnya itu. “Kan tahun depan masih bisa ikut. Mending yang ada dulu kita jalani, nanti kalau keadaannya memungkinkan, saya juga pengen nyoba UKM tingkat universitas,” ucap Affiu. Pernyataan yang hampir serupa juga disampaikan oleh Anggit Cahyadi, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya. Ia menegaskan bahwa UKM-U maupun fakultas bukanlah fokus utama untuk menyalurkan bakatnya. Dia ingin memahami lebih jauh bidang apa yang ingin dia kembangkan. “Menurutku, saat ini aku belum pengen terikat dengan UKM manapun karena aku anaknya bosenan dan nggak suka terlalu dikekang. Aku pengin ngeliat kepenginanku yang sebenernya di mana, biar pas masuk ya betah, nggak pengin keluar,” ujarnya saat ditanya lebih lanjut perihal alasannya bertahan tanpa mengikuti UKM apapun. Kebingungan mahasiswa baru dalam menentukan pilihan UKM-U membuat mereka pada akhirnya urung untuk memilih berkegiatan di UKM-U. Mereka dihadapkan kepada pilihan antara memilih UKM tingkat universitas atau UKM tingkat fakultas. Belum mantapnya pilihan mahasiswa baru terhadap UKM-U menjadi salah satu sebab kenapa mahasiswa baru enggan mengikuti kegiatan UKM. Expo UKM-U Masih Perlu Perbaikan Nanang Setyawan memberikan komentarnya terkait Expo UKM-U kala ditemui di Kantor Sekretariat Racana (23/11). Ia menyoroti ihwal manajemen waktu. “Expo UKM (tingkat universitas-red) yang diselenggarakan kemarin (2016-red) secara keseluruhan memang baik, terlebih kami juga mendapat jumlah pendaftar yang cukup banyak. Tetapi, satu hal yang kami sayangkan adalah (yang) berkaitan dengan sistem batas waktu yang diterapkan oleh panitia. Karena dibatasinya waktu bagi pengunjung untuk mampir ke stan-stan UKM, kebanyakan pengunjung di stan kami kurang memiliki waktu yang cukup untuk mengenal secara lebih jauh UKM kami,” ujarnya. Komentar lain datang dari Yusnita Nanda, Presiden Student English Forum (SEF) periode 2016—UKM bidang bahasa Inggris tingkat universitas. Ia menyampaikan keluhannya terhadap jalannya Expo UKM-U 2016. “Kalau boleh jujur, penerapan sistem cap dari UKM yang telah dikunjungi sebenarnya tidak
perlu,” sesal mahasiswi Sastra Inggris itu. “Dengan adanya Sebagian besar UKM-U menuntut agar stan UKM-U pada rangsistem yang kayak gitu, itu menyebabkan maba (mahasiswa kaian acara penerimaan mahasiswa baru diletakkan di jajaran baru) yang berkunjung ke stan merasa dipaksa dan jangan stan depan. Berkaca dari pelaksanaan pada tahun 2016, stan heran kalau abis itu muncul semacam ‘kejar cap’. Jadi, maba fakultas menempati jajaran stan depan, disusul berikutnya stan cuma fokus dapetin tanda tangan (dan cap stempel) sesuai UKM-U. Perdebatan itu selalu muncul tiap tahun. Begitulah kijumlah yang telah ditentukan oleh panitia,” sesalnya. ra-kira penggambaran oleh Nurhidayat mengenai stan UKM Perempuan berbalut kerudung itu melanjutkan pen- pada tahun 2016. jelasannya dengan memberikan data perbandingan terkait jumlah pendaftar di ajang Expo UKM tahun 2015 dan 2016. UKM di Ambang Kepunahan “Di Expo UKM 2015 lalu sih, kita bisa dapet sampe seratus Sebuah pertemuan yang menghadirkan Wakil Rekorang pendaftar. Tapi, di tahun berikutnya jumlah itu mero- tor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni (WR III) Unsoed, V. sot jadi delapan puluh nama pendaftar saja. Padahal, jumlah Prihananto, Kepala Bagian Pengembangan Mahasiswa dan itu semua udah termasuk mahasiswa D-3,” tutur perempuan Alumni, dan sejumlah perwakilan dari UKM, BEM dan DLM yang menjabat sebagai Presiden SEF itu. Sebagai tambah- tingkat universitas pernah dilakukan (11/1). Bahasan utama peran informasi, SEF menerapkan ketentuan khusus bagi calon temuan itu adalah perkembangan terbaru dari masing-masing pendaftar, untuk program S-1 maksimal mahasiswa angkatan UKM-U. Dalam kesempatan itu, LPM Skëtsa yang diwakili oleh 2015 (pada 2016), sementara pendaftar dari program D-3 ha- Emerald Magma Audha turut menjadi peserta pada acara yang nya dibatasi untuk mahasiswa baru. berlangsung di lantai tiga Gedung Rektorat Unsoed. Penurunan jumlah mahasiswa dari tahap pendaftaran WR III menyampaikan kegelisahannya akan salah satu hingga tahap pelantikan turut dialami oleh UPL MPA. Penurunan UKM-U. Sempat dipertanyakan perihal masa depan UKM Bela jumlah yang signifikan mewarnai jalannya rangkaian perekrutan Diri Kempo. Dari keterangan WR III itu, didapati informasi anggota baru UKM-U itu. Ketua UPL-MPA 2016 Mifta Marup bahwa UKM Kempo sama sekali belum mengajukan proposal Nur menyampaikan perbedaan jumlah itu. Terdapat perbe- kegiatan selama tahun 2016. “Ada kemungkinan untuk tahun daan jumlah pendaftar saat Expo UKM dibandingkan jumlah 2017, UKM Kempo tidak akan kita (rektorat-red) keluarkan pendaftar yang mengikuti proses perekrutan anggota baru. (dana kegiatan dan atau SK-red) karena tidak ada aktivitas dan ”Jumlah pendaftar yang tercatat ketika Expo UKM-U kemarin kemajuan apapun,” tegas Prihananto. Konsekuensinya, apasekitar 500 orang dan yang ikut pendidikan dasar dan menjadi bila UKM Kempo tidak juga mengajukan proposal kegiatan, anggota muda ada 28 orang di tahun ini (2017-data terbaru),” ruangan yang kini dipakai oleh UKM Kempo juga terancam diungkapnya. Kondisi tersebut tentunya terpaut cukup jauh da- alihkan untuk digunakan sebagai kantor sekretariat UKM lain lam hal jumlah dengan yang terjadi pada saat pendaftaran di yang belum memiliki kantor sekretariat. Expo UKM. Dijelaskan olehnya lebih lanjut, jumlah 28 orang Tak lama setelah itu (17/1), Rektor Unsoed mengeluarkan tadi belum berubah semenjak proses pendidikan dasar. sebuah surat berisi keterangan kepengurusan UKM-U. Dalam Pembenahan sistem yang menunjang kinerja segenap surat bernomor Kept.56/UN23/KM.03.02/2017 itu disebutUKM-U turut diusahakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM-U), seperti pengusahaan sarana publikasi UKM-U yang memadai dalam bentuk stan UKM-U pada gelaran acara tertentu. Nurhidayat, seorang pengamat UKM-U—yang juga wartawan kampus senior di salah satu LPM di Unsoed, memberikan tanggapannya soal pembenahan sistem yang dimaksud oleh BEM-U. Menurut dia, BEM-U yang turut hadir dalam rapat antar-UKM telah menjanjikan perbaikan sistem. Presiden BEM kala itu, Abdullah M. Ihsan menyatakan bahwa mereka sangat serius dalam hal memfasilitasi UKM-UKM universitas. Janji itu bukan sekadar isapan jempol, teknis pelaksanaan yang lebih rapi jadi bukti keseriusan BEM-U. Namun, ada satu hal yang terus menjadi perdebatan tetapi Pendopo kompleks PKM Unsoed (25/2). Foto: Marita Dwi Asriyani. tidak pernah dikabulkan oleh BEM.
kan sejumlah UKM-U yang terdaftar sebagai UKM aktif beserta informasi pemberhentian dan pengangkatan tim pembina UKM-U. Sebanyak 30 UKM-U terdaftar sebagai UKM aktif pada periode 2016. Hanya saja, ada beberapa nama UKM-U tidak tercantum sebagai UKM aktif, di antaranya adalah UKM Fotografi Sinar, UKM Teater, dan UKM Renang (UKM yang tidak tercantum pada surat keputusan rektor tadi belum bisa diminta konfirmasinya secara langsung karena keberadaan mantan pengurus/anggota UKM yang tidak terlacak). Meningkatkan Minat Calon Anggota Potensial Saiful Faizin, Ketua UKM Merpati Putih, menyampaikan cara UKM yang dipimpinnya untuk meningkatkan minat calon anggota potensial. “Kita laksanakan oprec (open recruitmen-red) setiap bulan, karena kan biasanya kalo awal-awal banyak yang datang, nanti (lama-kelamaan-red) kendor. Nanti bakalan kita oprec lagi, sampai mendekati pengukuhan. Intinya, kita lakukan oprec berkala,” terangnya. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pada pertengahan jalannya proses latihan, banyak anggota yang mulai kendur latihannya. Katanya, kebanyakan anggota yang seperti itu beralasan tengah sibuk di UKM fakultas atau karena mengikuti kepanitiaan di fakultas. Ketua UPL MPA periode 2016 mengakui kalau UKM yang dipimpinnya mengalami kekurangan anggota. Meski begitu, ia tidak terlalu khawatir akan kondisi itu. “Sebenernya, kita (UPL MPA) juga masih kekurangan anggota, padahal acara kami (UPL MPA) tergolong padat. Meski begitu, yang terpenting dari usaha tersebut adalah memberdayakan anggota yang ada seoptimal mungkin,” terangnya ketika diwawancara sembari berleseh di teras Kantor Redaksi Skëtsa pada Jumat, 25 November 2016. Mifta menyampaikan pandangannya berkaitan dengan inovasi pada jalannya Expo UKM. “Ketimbang cuma bertanya-tanya di stan UKM, kenapa tidak langsung maba diajak berkunjung ke sekre-sekre UKM atau bisa dikatakan Safari Sekre. Jadi, mahasiswa baru dapat melihat secara langsung bagaimana kegiatan UKM berjalan, dan yang lebih penting itu memberi pengalaman yang lebih berkesan,” jelasnya. Menurut mahasiswa Fakultas Ilmu Perikanan dan Ilmu Kelautan ini, program Safari Sekre dapat menjadi alternatif bagi penyelenggara Expo UKM pada tahun-tahun mendatang. Dian Adi Saputra—salah satu pegiat UKM PR—menjelaskan pentingnya membuat variasi dari kegiatan UKM. Tahun 2016 UKM PR memberi warna baru pada pelaksanaan perekrutan anggota baru. Jika pada 2015 pelatihan membuat proposal Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dilaksanakan setelah malam keakraban, tahun ini untuk menarik lebih banyak minat mahasiswa baru, UKM PR melaksanakan Training Soedirman 1 (pelatihan membuat proposal PKM) lebih awal. “Kalau biasanya diadakan setelah makrab, kini dilaksanakan sebelum makrab UKM kami,” ungkap Dian Adi. Seharusnya Bagaimana Sikap Mahasiswa Baru? Lalu, bagaimana seharusnya mahasiswa bersikap? Para ketua UKM-U memberikan saran kepada mahasiswa baru. Berikut pesan mereka, sekaligus menutup tulisan ini. “UKM universitas menyediakan tempat bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri. Terlepas dari bidang yang dige-
luti mahasiswa, semua UKM universitas dapat menjadi media penyaluran minat dan bakat. Di situ lah anggota UKM dapat belajar dan berkembang bersama dengan orang yang memiliki ketertarikan pada hal yang sama, meskipun mereka berasal dari jurusan (perkuliahan) yang berbeda-beda,” tutur Mifta Marup Nur. Saiful Faizin memberikan sarannya kepada mahasiswa baru terkait pemilihan UKM. “Memilih UKM jangan hanya karena coba-coba, tapi benar-benar harus sesuai minat dan bakat. Jadi, kita mencari kesibukan benar-benar ada manfaatnya, agar kita bisa ikut berkontribusi bagi UKM dan ada manfaatnya juga buat kita,” ujar Saiful Faizin. “Organisasi itu penting dalam menentukan seperti apa kita besok untuk ketemu dengan masyarakat, baik orang yang lebih dewasa maupun orang yang lebih muda, dan waktunya kapan lagi (kalau bukan sekarang-red)?” Tutur Imam Taufik Hidayatullah, Ketua Bandung Karate Club, mewejang mahasiswa baru. Lebih jauh lagi ia menambahkan bahwa berorganisasi itu tidak kalah penting dari kegiatan akademik. “Jangan takut untuk ikut serta di UKM atau event atau organisasi lain karena organisasi merupakan salah satu wahana pembelajaran kita untuk menggapai cita-cita,” tegasnya. “Memanfaatkan waktunya dengan mengasah minat dan bakat, yaitu dengan cara mengikuti UKM. Soalnya, kalau kalian (mahasiswa baru) nggak ikut UKM, kalian mau ngapain? Waktunya dianggurkan percuma,” ungkap Dian Adi Saputra. Oto Dwi Wibowo—Ketua UKM PSM GBS 2016—memberikan pandangannya terkait tanggung jawab yang menyertai seorang anggota baru ketika ia masuk ke dalam sebuah UKM, khususnya di PSM GBS. “Misalkan ada kepanitiaan atau kompetisi, ya mereka harus tahu konsekuensinya. Jadi, di sini (PSM GBS), mereka ibaratnya sudah terbiasa dengan tanggung jawab juga risiko yang ada karenanya (mengikuti organisasi),” tegas Oto. Ia menuturkan bahwa agar kegiatan di luar akademik tidak mengganggu, mahasiswa harus punya keterampilan membagi waktu.
Reporter: Faida Nasiroturrohmah dan Yoga Iswara Rudita Muhammad.
HIKAYAT PARA REKTOR Oleh: Anggita Rachmi Farida
U
niversitas Jenderal Soedirman kini hampir berusia 32 tanggal 20 November 1961. Kemudian, Yayasan Pembina 54 tahun jika dihitung sejak diterbitkannya Kepu- Unsoed berhasil membuka Fakultas Pertanian Negeri sebagai tusan Presiden Nomor 195 Tahun 1963 tentang cabang dari Universitas Diponegoro (Undip) berdasarkan Surat Pendirian Universitas Jenderal Soedirman. Semenjak berdi- Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan ri, Unsoed sudah mengalami sebelas kepemimpinan. Sejarah (PTIP) Nomor 121 tanggal 20 September 1962. mencatat bahwa Unsoed pernah dipimpin oleh sebuah dewan Dorongan moral maupun material datang dari berbagai presidium, 9 rektor sejati, dan 1 rektor pengganti. Awalnya, Un- penjuru Karesidenan Banyumas (Kabupaten Banyumas, Cilacap, soed dikelola oleh sebuah yayasan dan dipimpin oleh Dewan Purbalingga, dan Banjarnegara). Pengurus Yayasan Pembina Presidium. Dewan Presidium terdiri atas lima orang, seorang Unsoed dan tokoh masyarakat juga berusaha menghubungi toketua dan empat orang anggota. koh-tokoh perguruan tinggi dari UGM, ITB, dan Undip, Pimpinan Ketua Presidium waktu itu ialah Residen Banyumas R. Departemen PTIP, para Pimpinan Daerah Tingkat I Jawa Tengah, Soemardjito. Ia memimpin Unsoed dari 1963 hingga 1965. Pimpinan Angkatan Darat, serta instansi-instansi lain yang berSetelah Soemardjito lengser, Unsoed berturut-turut dipimpin hubungan dengan usaha mendirikan suatu universitas. oleh rektor berikut: Brigjen TNI RF. Soedardi, S.H. (1965-1974), Kini, Unsoed sudah berusia lebih dari lima dekade. Unsoed Brigjen TNI Drs. Soedaman Hadisoetjipto (1974-1982), Prof. telah melalui berbagai masa kepemimpinan. Masing-masing drh. R. Djanuar (1982-1986), Prof. Drs. Roedhiro (1986-1992), pemimpin Unsoed memiliki cerita unik dan menarik. BerdasarProf. Dr. Soebardi (1992-1996), Prof. Drs. Rubijanto Misman kan data yang didapat, ternyata pemimpin Unsoed ada yang (1997-2005), Prof. Dr. Ir. Sudjarwo (2005-2010), Prof. Edy Yu- bukan rektor, ada yang langsung dipilih oleh presiden, ada yang wono (2010-2013), Prof. Dr. Ir. Mas Yedi Sumaryadi (2013- tersandung kasus korupsi, dan ada juga yang menang suara 2014), dan Dr. Ir. Achmad Iqbal, karena menteri. Jadi, silakan ikuti M.Si (2014-sekarang). saja alurnya. Dahulu, Purwokerto adalah kota sepi dengan banyak Sebelum Ada Rektor lahan kosong berupa sawah “Awalnya, yang mimpin dan kebun. Letak yang strateUnsoed ini (disebut) Presidium, gis hanya menjadikannya kota belum rektor, (Ketua Presiditransit, waktu itu belum banyak um) namanya Pak Soemardjipembangunan. Mayoritas warga to,” ungkap Umar, Kasubag Tata Purwokerto menggarap sawah Usaha Fakultas Kedokteran (FK) dan kebun, meski sebatas dengan Unsoed, ketika ditanya sejarah ilmu turun-temurun. Bagi mereRektor Unsoed (18/11). Sebagai ka, yang penting adalah bekerseorang pegawai senior Unsoed, ja guna memenuhi kebutuhan. Umar telah mengalami sembilan Ternyata itu tidak cukup, mereka pemimpin, mulai dari Soedaman juga butuh akan pendidikan. Jadi, sampai dengan Achmad Iqbal. dibentuklah sebuah lembaga Meski tak mengalami langsung pendidikan tinggi guna mengemkepemimpinan presidium, dia bangkan potensi. Fakultas Pertabanyak tahu soal sejarah Unnian (Faperta) adalah yang pertasoed. ma dibentuk, sesuai kebutuhan. Dewan Presidium dibentuk Oleh pimpinan masyarakat, demi kelancaran pendirian unibaik formal maupun informal, versitas. Anggota-anggota predibentuklah Panitia Pendiri Fapersidium diangkat oleh Menteri ta pada 10 Februari 1961 sebagai PTIPsekarang Menteri Riset, modal dasar berdirinya Unsoed. Teknologi, dan Pendidikan TingKemudian, tugas pendirian gimelalui Surat Keputusan Faperta diserahkan kepada Menteri Nomor 10200/UP/63, Yayasan Pembina Unsoed yang kemudian diperbarui Ilustrasi: Mustiyani Dewi Kurniasih melalui Akta Notaris Nomor dengan Surat Keputusan Menteri
Nomor 12242/UP/63. Mereka resmi bekerja per 17 Agustus 1963. Sesuai dengan SK tersebut, jabatan Ketua Presidium dipercayakan kepada R. Soemardjito, Residen Banyumas kala itu. Soemardjito didampingi empat orang anggota, yaitu Letkol Soegiharto (Danrem 071/Wijayakusuma), R. Soeroso, S.H. (Koordinator Kejaksaan Negeri Karesidenan Banyumas), R. Kriharto (Kepala Inspektorat Kepolisian Daerah Banyumas), dan Dr. HR. Boenjamin (Dekan Faperta). Saat ini, Soemardjito dikenal sebagai nama sebuah gedung di belakang Gedung Graha Widyatama. Begitu pula dengan nama Dr. HR. Boenjamin yang dijadikan nama jalan di depan Unsoed sampai Simpang GOR Satria. “Untuk apresiasi mereka, gitu,” ujar Umar terkait Gedung Soemardjito dan Jalan H.R. Boenjamin.
demisi atas nama Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tertanggal 13 Mei 1981, FH Unsoed diizinkan untuk menerima mahasiswa pada tahun akademik 1981/1982. Selanjutnya, FH resmi diakui sebagai bagian dari Unsoed dalam Keppres nomor 50/1982 tentang Susunan Organisasi Universitas Jenderal Soedirman. Selain meresmikan FH, Soedaman juga membuka tiga Program Diploma yaitu Diploma Pendidikan Ahli Administrasi, Diploma Pendidikan Ahli Kesekretariatan, dan Pendidikan Ahli Ternak Unggas dan Perah. Kemudian, Soedaman mengesahkan pula Rencana Induk Pengembangan (RIP) Unsoed, rencana yang salah satu isinya berkaitan dengan pembangunan gedung-gedung Unsoed. Identitas, logo, dan himne Unsoed juga ditetapkan pada masa kepemimpinan Brigadir Jenderal ini.
Rektor Pertama dan Kedua: Era Militer Unsoed Kisah berlanjut ke 1965 di saat Brigjen TNI RF. Soedardi, S.H., ditunjuk menjadi rektor pertama di Unsoed melalui Surat Keputusan Menteri Nomor 5400/Sekret/BUP/1965 tanggal 18 Juni 1965 sebagai rektor. Selama menjabat, Soedardi didampingi tiga Pembantu Rektor (PR), yaitu Djanuar (PR I), Dra. Siti Markati (PR II), dan Drs. RB. Darbohusodo (PR III). “Pak Soedardi itu rektor pertama Unsoed, karena (pemimpin Unsoed-red) sebelumnya (disebut-red) Presidium,” ucap salah satu mantan Rektor Unsoed, dialah Prof. Rubijanto Misman, Rektor ke-6 Unsoed. Dia banyak bercerita soal rektor-rektor sebelum dan sesudahnya. Berdirinya Fakultas Peternakan (Fapet) Unsoed pada 3 Desember 1965 membuktikan bahwa perkembangan Unsoed terus berlanjut di kepemimpinan perwira itu, meskipun sebenarnya fakultas tersebut merupakan “pemberian” dari Universitas Islam Indonesia (UII). Sesuai Surat Keputusan Menteri PTIP Nomor 275/65, serah terima Fapet dilakukan oleh UII pada 10 Februari 1966. Tahun 1974 menjadi tahun pertama kepemimpinan rektor kedua Unsoed, Brigjen Drs. Soedaman Hadisoetjipto yang menggantikan Soedardi. Pada masa ini, nuansa militer sangat kentara dengan dibentuknya kebijakan baru berupa Latihan Dasar Keprajuritan dan P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila) bagi mahasiswa baru Unsoed. Kala itu, mahasiswa baru dilatih dasar-dasar keprajuritan di lapangan depan Gedung Administrasi Unsoed. Banyak pro dan kontra terkait hal tersebut, namun nyatanya tetap dijalankan. “Dulu, mahasiswa disuruh lari keliling lapangan, sama push-up,” tutur Rubijanto sesaat sebelum menyeruput tehnya. Dalam hal perkembangan lembaga, sebagai seorang pemerhati hukum, Soedaman menginginkan Unsoed memiliki Fakultas Hukum (FH). Hal itu diusahakan melalui Surat Keputusan Rektor nomor 022/PT30.Y/E.1979 tentang pembentukan panitia untuk menjajaki kemungkinan berdirinya FH. Panitia tersebut kemudian berkonsultasi dengan FH UI, Unpad, UGM, dan Undip untuk membuat rencana lengkap pendirian FH. Menimbang jumlah fakultas yang ada di Unsoed sampai saat itu baru ada 3 fakultas eksak dan 1 fakultas noneksak, pemerintah menyetujui pembentukan FH Unsoed untuk menyeimbangkan kedua lingkup keilmuan itu. Melalui surat kawat dari Direktur Pembinaan Sarana Aka-
Mulainya Era Akademisi Arus kepemimpinan selanjutnya beralih ke kalangan sipil, tepatnya pada para akademisi di Unsoed. Pilihan jatuh pada Guru Besar Fapet Prof. Djanuar. Untuk pertama kali, Rektor Unsoed ditunjuk berdasarkan rapat. Dulu, zaman Soedardi, Djanuar sempat menjabat menjadi PR I, pernah juga memimpin Fapet. Semasa menjabat, Djanuar dibantu oleh tiga Pembantu Rektor yaitu Prof. Dr. Narsum (PR I), Iswanto S.H. (PR II), dan Soeyatno Wongsokenongo (PR III). Sesuai dengan RIP, Djanuar kemudian memanfaatkan lahan-lahan yang ada di Kelurahan Karangwangkal untuk dibangun gedung-gedung Unsoed. Pembangunan gedung-gedung itu kini dijadikan Gedung Fapet, MIPA, Biologi, dan Pertanian. Djanuar juga mengesahkan Rencana Universitas Lima Tahun Pertama (Reunlita) 1983-1988. Salah satu kebijakan di dalamnya memprogramkan pendirian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) untuk tahun akademik 1984/1985. Dalam rangka pencapaian tujuan, Djanuar membentuk panitia pendirian atau pembukaan FISIP dengan surat Keputusan Rektor Nomor 81/PT30.Y/X Tahun 1983. Usaha penjajakan juga diadakan dengan melakukan konsultasi kepada universitas negeri yang mempunyai FISIP seperti UI, UGM, Undip, Unpad, Unair, dan Konsorsium Ilmu-Ilmu Sosial. Sebagai hasil akhir, meskipun pendirian FISIP belum terlaksana, setidaknya Unsoed bisa membuka dua Program S1 yaitu Administrasi Negara dan Sosiologi di bawah naungan FH. Kedua Program S1 tersebut disahkan melalui SK Dirjen Dikti Nomor 29/DIKTI/Kep/1984 pada tanggal 17 Mei 1984 dan mulai berjalan pada tahun akademik 1985/1986. Pencapaian ini adalah penutup masa kepemimpinan Djanuar. Kursi rektor beralih dari Djanuar ke Prof. Roedhiro. Sebelumnya, pada edisi majalah ke-32 tahun XXVI, Skëtsa sempat membahas kehidupan semasa Roedhiro menjadi Rektor Unsoed. Liputan itu berdasarkan wawancara Skëtsa dengan Lis (istri Roedhiro), riset, dan testimoni kesaksian aktivis kampus kala itu, seperti Nasihin Masha. Pada majalah Skëtsa tersebut, berkisahlah Lis tentang sosok yang dari dulu hingga kini dicintainya itu. Lis juga menunjukkan beberapa foto semasa suaminya menjabat. Salah satu foto yang ditampilkan pada majalah Skëtsa adalah foto demonstrasi mahasiswa yang menuntut didirikannya FISIP. Mahasiswa mendesak agar Rektor meminta pada Menteri segera
mengesahkan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dipisahkan dari FH. Kala itu, Roedhiro mengajak perwakilan mahasiswa untuk melakukan pertemuan. Dalam pertemuan, Roedhiro menyampaikan bahwa dirinya juga menginginkan berdirinya FISIP, dan dia bersama tim sedang mengusahakannya. Lepaslah Program Studi Administrasi Negara dan Sosiologi dari FH. Bentuk dari penghargaan kepada Roedhiro datang dari Fakultas Ekonomi (FE). Fakultas itu membangun Gedung Auditorium di area Kampus Pusat Unsoed yang dinamakan Gedung Roedhiro. Pemakaian nama Roedhiro ini adalah bentuk penghargaan pada mantan Dekan FE sekaligus Rektor ke-4 Unsoed itu. Pascamasa jabatan Roedhiro, amanat Rektor Unsoed diemban oleh Prof. Soebardi. Begitu menjabat, Soebardi langsung terbebani pekerjaan rumah yang belum sempat terlaksana di masa Roedhiro: pengesahan FISIP. Melihat perkembangan FISIP dari jumlah pendaftar lulusan SMA/sederajat, Menteri akhirnya luluh dan izin pun diberikan pada Unsoed. Melalui Permendikbud Nomor 0377/O/1993 tanggal 21 Oktober 1993, Program Studi Administrasi Negara dan Sosiologi resmi menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Masa itu, peminat Unsoed tidak hanya dari lulusan SMA/ sederajat, mereka yang sudah sarjana pun ikut menaruh minat. Menimbang hal tersebut, dibukalah Program Magister tahun 1996 berdasarkan SK Dirjen Dikti Depdikbud Nomor 205/Dikti/ Kept/1996 tanggal 10 Juli 1996. Dibangunnya Program Magister ini berimbas pada kenaikan biaya SPP mahasiswa. Protes mahasiswa pun tak bisa dihindari. Mahasiswa berdemonstrasi di depan Gedung Rektorat menolak kenaikan SPP. Melalui negosiasi dengan perwakilan mahasiswa akhirnya kenaikan SPP tidak lagi jadi masalah. Mahasiswa akhirnya menyetujui kenaikan SPP dengan syarat nominalnya tidak melebihi Rp100.000,00. “Kenaikannya ya nggak banyak, hanya mungkin mahasiswa kaget bayar SPP-nya nambah,” begitu terang Umar. Dia mengungkapkan bahwa kenaikan SPP tidak lebih dari Rp100.000,00. Reformasi Indonesia turut menapaki bumi UnIlustrasi: Mustiyani Dewi
soed. Demonstrasi besar-besaran terjadi di depan Gedung Rektorat kala itu. Era Reformasi “Saya dipilih mewakili produk lokal, sebagai alumni pertama Fakultas Biologi, saya diminta teman-teman untuk nyalon jadi rektor, ya sudahlah saya mau saja dan ndilalah kena apes saya. Periode pertama langsung ketemu demo besar-besaran (masa reformasi-red), ya sudah saya jadi kurang fokus di periode pertama itu, baru lancar mimpin di periode kedua,” ungkap Rubijanto sambil memamerkan album berisi foto semasa demo di tahun 1997. Terlahir dengan nama Rubijanto Misman 74 tahun silam, putra Cilacap ini ditunjuk melalui rapat senat sebagai Rektor ke-6 Unsoed. Mantan Dekan sekaligus alumnus pertama Fakultas Biologi ini menjadi saksi bagaimana dampak reformasi di Unsoed. “Patung kuda Jenderal Soedirman dibungkus pakai tisu toilet sampai kaya mumi...” ungkap Rubi bersemangat. Memori keisengan mahasiswa yang berujung ketakutan ini masih diingat jelas oleh Rubi. Mahasiswa-mahasiswa yang menutupi patung kuda Jenderal Soedirman dengan tisu toilet diancam akan ditahan oleh pihak berwajib. Saat itu, mahasiswa langsung panik dan segera membersihkan patung kuda. Sambil tertawa, Rubi mengungkapkan bahwa sebenarnya pihak berwajib tidak mengetahui soal patung kuda yang terbungkus tisu toilet. Akan tetapi, dia tidak terima dengan ulah mahasiswa yang terkesan tidak menghormati jasa Jenderal Soedirman. Sehingga, dia dengan iseng menakut-nakuti mahasiswa dengan membawa nama pihak berwajib. Pada periode pertama, Rubi mengaku dirinya tidak terlalu konsen dalam pengembangan Unsoed karena begitu banyak polemik dalam negeri yang terjadi, seperti demo reformasi. Memasuki periode kedua, pengembangan Unsoed kembali dijalankan. Melihat perkembangan pesat teknologi dan tingginya minat masyarakat terhadap mesin, Rubi memutuskan untuk mendirikan kampus teknik (dalam bentuk Program Sarjana Teknik). Saat itu, Pemerintah Daerah (Pemda) Purbalingga tertarik untuk menghibahkan sebidang tanah di Blater. Pembangunan kampus teknik di Blater sempat mendapat protes dari Pemda Kabupaten Banyumas. Mereka meminta agar kampus teknik tetap berada di lingkup Kabupaten Banyumas. Akan tetapi, karena Pemda Purbalingga telah memberikan tanah secara gratis, Rubi lebih memilih membangun kampus teknik di Blater. Sebelumnya, sempat juga didirikan Program Pendidikan Dokter. Waktu itu, kedua program tersebut sama-sama berdiri berdasarkan Keputusan Rektor dan belum disahkan oleh Menteri. Surat Keputusan Menteri baru turun setelah jumlah peminat yang mendaftar membeludak. Dulu, pembangunan dua program itu dianggap amat spekulatif. Begitu semangat
Kumpulan foto para rektor Unsoed yang ada di dinding dalam Gedung Rektorat.
dan beraninya membangun, banyak yang menganggapnya gila dalam artian keren. “Bahkan, sampai dikatakan sebagai rektor gemblung...” ungkap Komari. Mantan Wakil Rektor sekaligus Dosen FH itu masyuk bercerita tentang Rubi semasa memimpin. Namun, nyatanya, spekulasi itu bukan tanpa banyak pertimbangan. Dia juga sebenarnya ragu dan khawatir, namun program harus tetap dijalankan. “Sebenarnya saya ada rasa khawatir, tapi ya sudah, siap saja sama konsekuensinya, yang penting maju saja...” jawab Prof. Rubi tentang tindakan pembangunan kampus kedokteran dan teknik yang kini sudah ramai pendaftar. Bahkan, sebenarnya dia memiliki rencana untuk membangun kampus di Nusakambangan, Cilacap. Fakultas yang direncanakan adalah setara dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) kini. “Kalo di Cilacap kan jadi nggak jauh-jauh dari tempat praktik, dan mahasiswa juga bisa belajar lewat masyarakatnya, tapi ya itu, Pemda sana maunya (tanahnya-red) dibeli waktu itu. Nah, sekarang, setahu saya, bisa sebenarnya, cuma Rektor ya harus lebih giat (menjemput bola-red),” ungkap Prof. Rubi. Pembangunan FPIK di Cilacap inilah yang masih belum tercapai selama dia memimpin. Pembangunan berdampak pada SPP mahasiswa kala itu. Lalu, Prof. Rubi mengadakan pertemuan dengan perwakilan dari mahasiswa. Dia menjelaskan bahwa kenaikan SPP terjadi karena proses pembangunan Unsoed. Sebagai penyeimbang, kuota beasiswa sebanyak 1400-an disiapkan. Konyolnya, beasiswa hanya dipakai 550, kurang dari setengah kapasitas. Prof. Rubi mengatakan bahwa mahasiswa waktu itu masih malu-malu untuk mengambil beasiswa. Bahkan, ada yang enggan mendaftarkan diri pada program beasiswa karena alasan gengsi kepada kekasih. Alur yang Tenang Pada masa ini, Unsoed diibaratkan seperti air sungai yang dalam, mengalir namun tenang. Begitulah, Prof. Sudjarwo sebagai rektor selanjutnya lebih memfokuskan diri pada eksekusi kebijakan yang sudah ada. Selama kurang lebih empat tahun berturut-turut tercatat satu Program Pascasarjana, sepuluh Program Sarjana, satu Profesi, dan empat Diploma telah diresmikan. Era Unsoed Tertutup Awan Gelap “Kesalahannya ketika itu, belum ada hasil tapi sudah beli barang-barang baru semua...” perbincangan Skëtsa dengan Prof. Rubi menyinggung sedikit tentang masalah korupsi yang menimpa Rektor ke-8 Unsoed Prof. Edy Yuwono. Pada 2013, Guru Besar Faperta ini tiba-tiba menjadi sangat populer. Begitu pula dengan Unsoed, baik media elektronik maupun cetak, lokal maupun nasional bahkan internasional mengabarkan berita yang sama. Sayangnya, bukan citra baik yang terekspos, melainkan kasus korupsi dana CSR (Corporate Social Responsibility) PT Aneka Tambang. Rubi sangat menyayangkan kejadian memalukan ini terjadi di universitasnya, Unsoed. Semula, Rubi percaya bahwa Edy bisa menata dan mengelola Unsoed dengan baik. “Sebenarnya dia (Prof. Edy-red) itu cekatan, kerjasama dengan luar negerinya juga bagus,” tutur Rubi selepas menyeruput tehnya.
Akhir tahun 2014, Prof. Yedi Sumaryadi diangkat menjadi rektor menggantikan Prof. Edy Yuwono. Citra Unsoed yang sempat tercoreng mau tak mau harus dipulihkan olehnya. Maka, sibuklah dia memerbaiki. Meskipun Prof. Mas Yedi Sumaryadi hanya memimpin Unsoed kurang lebih satu tahun, dia tetap dinyatakan sebagai Rektor ke-9 Unsoed. Sebenarnya dia memiliki peluang besar untuk menjadi rektor lagi. Harapannya menjadi rektor kala itu kandas karena suara Dikti memenangkan Achmad Iqbal meskipun mayoritas senat menghendaki Yedi menjadi Rektor. Kini, Yedi masih menjadi Wakil Rektor Bidang Akademik. Rektor Kini Pada 2014, pemilihan rektor berlangsung dramatis antara dua dari tiga kandidat, yakni Prof. Mas Yedi Sumaryadi dan Dr. Ir. Achmad Iqbal, M.Si. Berdasarkan Rapat Senat, suara terbanyak diperoleh Prof. Mas Yedi Sumaryadi. Akan tetapi, keunikan terjadi. Dr. Ir. Achmad Iqbal, M.Si. menang 35 suara dari 72 suara keseluruhan (total 47 suara anggota senat dan 25 suara kementerian), Yedi hanya mendapat 27 suara. Sementara itu, Dr. Hariyadi yang juga ikut berkontes hanya menjadi penggembira dengan 10 suara saja. Jadi, terpilihlah Dr. Ir. Achmad Iqbal, M.Si. sebagai Rektor ke-10 Unsoed (2014-2018), dibantu oleh Prof. Dr. Ir. Mas Yedi Sumaryadi, M.S. (Wakil Rektor I), Drs. Nurul Anwar, M.S., Ph.D. (Wakil Rektor II), Dr. Ir. V. Prihananto, M.Si. (Wakil Rektor III), dan Drs. Sigit Wibowo Dwi Nugroho, M.M. (Wakil Rektor IV). Ada sedikit kisah pada masa Achmad Iqbal menjadi rektor. Tahun 2015 lalu, sempat terjadi protes mahasiswa tentang kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Setahun kemudian, sebuah kebijakan baru dibuat tentang uang pangkal untuk mahasiswa baru angkatan 2016. Mahasiswa menyebutnya sebagai pungutan liar (pungli), hal ini juga menuai protes mahasiswa. Meskipun kebijakan tersebut tidak berdampak pada mahasiswa angkatan sebelumnya, mereka tetap kukuh untuk melindungi hak adik angkatannya. Sekarang ini sedang berlangsung pula isu pengefektifan “jam malam” di Unsoed. Terkait perkembangan kampus, kebijakan besar terjadi pada struktur fakultas di Unsoed. Surat Keputusan Nomor 1600/UN23/OT.01/2014 tentang Penetapan Fakultas-Fakultas Baru Universitas Jenderal Soedirman yang memecah beberapa fakultas sehingga bertambah menjadi 12 fakultas. Sebelum ada pemisahan itu, Unsoed hanya memiliki 8 fakultas.
Swalinting: Kepul Asap Keberpihakan Oleh: Dara Nuzzul Ramadhan Jika pabrik rokok skala kecil dan menengah terpaksa gulung tikar karena kenaikan cukai, lain halnya dengan pabrik rokok besar. Dilansir dari situs berita ekonomi bisnis.com (28 April 2016), perusahaan rokok terbesar di Indonesia, PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. atau yang lebih dikenal dengan nama Sampoerna Group, 92,5% kepemilikan sahamnya telah dikuasai oleh perusahaan rokok Amerika terbesar di dunia, Philip Morris International Inc. Larangan bagi petani tembakau untuk menanam tembakau tidak disebutkan dalam PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Akan tetapi, jika industri rokok nasional dimatikan perlahan—lewat kebijakan cukai, kelangsungan hidup petani tembakau yang memproduksi bahan utama rokok, akan terancam. Hal Seorang calon pembeli tengah melinting tembakau di salah satu kios itu menjadi alasan Aosa untuk beralih dari rokok tembakau curah di Pasar Wage (11/2). Foto: Yenny Fitri Kumalasari. pabrik—yang sahamnya sudah dikuasai pihak asing—ke tembakau curah, demi kelangsungan hidup petani asyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa, tembakau. telah mengenal akrab istilah linting dhewe. Linting dhewe adalah bahasa Jawa yang artinya melinting sendiri. Biasanya, frasa ini digunakan untuk menyebut proses Rokok Swalinting Harus Dibudayakan Dulu, Aosa menganggap bahwa rokok swalinting itu kuno. pembuatan rokok yang mereka isap. Jika dialihbahasakan ke Akan tetapi, karena melihat fenomena yang ada, ia menjadikan bahasa nasional, kata yang tepat mungkin adalah swalinting, rokok swalinting sebagai pilihan. Pemuda yang biasa dipanggil layaknya swasembada, swafoto, swakarya, dan istilah lain yang Aosa itu mulai mengenal rokok saat ia duduk di bangku SMA. menggunakan awalan ‘swa’. Cara pembuatan rokok swalinting Awalnya, ia mengonsumsi sigaret kretek tangan (SKT) atau adalah dengan melinting tembakau curah menggunakan tangan sigaret kretek mesin (SKM) untuk diisap. Setelah lewat masa atau alat pelinting. Kebanyakan, rokok swalinting dinikmati oleh SMA, dia mulai tertarik untuk menggunakan tembakau curah orang tua di desa yang masih mempertahankan cara tradisional yang dilinting sendiri. di kehidupan. Namun, rokok swalinting kini mulai populer di Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unsoed ini komunitas pemuda-pemuda, seperti di kalangan mahasiswa biasa mengonsumsi tembakau asal Banyuwangi atau WonosoUnsoed. bo. Tembakau kelas berat yang gemar Aosa nikmati berbeda “Tidak merokok itu baik,” tutur Nashir Aosa Zaeni, seodengan rokok yang diisap kebanyakan sebayanya. Tembakau rang penikmat tembakau kelas berat. “Tetapi, jika ingin meroyang biasa dikonsumsi Aosa memiliki aroma yang luar biasa kok, cerdaslah dalam merokok!” lanjutnya ketika ditanya untuk menyengat. Akan tetapi, pemuda yang pernah tinggal di Bekamemilih rokok swalinting atau tidak merokok sama sekali pada si ini sudah siap dengan segala konsekuensi atas pilihannya. Ia Minggu malam, 27 November 2016. Mengapa tidak mengonsangat menghormati orang lain yang tidak merokok dengan sumsi rokok pabrik? Alasan keberpihakan kepada petani temmembuat jarak ketika merokok. Paling tidak itulah yang ia lakubakau, katanya. kan pada saat wawancara. Dalam hal ini, Aosa tidak pernah merasa salah jalan, Rokok, Tembakau, dan Alasan Keberpihakan malah ia mengharuskan dibudayakannya rokok swalinting. Dalih kesehatan menjadi alat pemerintah untuk melakuTeman-teman Aosa yang lain juga tidak sedikit yang memilih kan pembatasan penggunaan tembakau, salah satu caranya rokok swalinting untuk diisap. Selain alasan keberpihakan keadalah menaikkan cukai rokok. Kenaikan cukai ini membuat pada petani tembakau, harga yang murah dan keaslian temlebih dari 3.000 pabrik rokok berskala kecil dan menengah bakau menjadi alasan lain mahasiswa Unsoed sekarang beralih (IKM) di Indonesia gulung tikar, terhitung sejak 2010 sampai mengonsumsi tembakau curah untuk dibuat rokok swalinting. dengan 2015. Fakta tersebut didapatkan dari data Kamar DaPembentukan grup pelinting tembakau curah di aplikasi bertugang dan Industri (Kadin) Indonesia pada tahun 2015.
M
kar pesan Line pun mengindikasikan sudah mulai terbentuknya komunitas pelinting tembakau curah. Grup Line berawal dari keisengan Adhi Bangkit Saputra, salah seorang fanatis tembakau. Dia mengumpulkan teman-temannya yang juga mencintai tembakau curah dalam sebuah grup daring untuk saling berkomunikasi. Konon, ia juga “guru” Aosa dalam hal linting-melinting tembakau. Kebanyakan anggota grup tersebut adalah kawan-kawan di lingkaran pertemanan mereka juga. Satu per satu kawan yang memiliki minat pada tembakau curah diundang, dan mereka kemudian mengundang kawan yang lain untuk bergabung dalam komunitas dunia maya ini. Kini, grup tersebut sudah terisi lebih dari tiga puluh orang. Rencananya, mereka akan segera berkopi darat untuk saling cicip masing-masing tembakau. Namun, sekali lagi, ini masih dalam rencana yang belum bisa dikonfirmasi kepastian waktunya. “Kan asik, ya, ngelinting santai, bertukar tembakau sambil minum teh poci atau tumbukan kopi, sembari ngobrol-ngobrol,” ujarnya santai sambil membayangkan hangatnya suasana kopi darat (15/1). Alasan keberpihakan itu memang ada. Namun, Bangkit tidak mau menjadikannya sebagai alasan utama atau sebagai pembenaran ilmiah bagi dia untuk mengonsumsi tembakau curah. “Kalau ada orang yang bilang merokok itu nggak baik untuk kesehatan, ya, silahkan. Aku pun kalau pernyataan itu bener, ya aku terima kebenaran itu. Sebenernya, penasaran aja, sih. Kok bisa ada melinting, kok bisa ada tembakau, kok bisa ada pabrik rokok, sampai ada sponsor rokok masuk kampus, pemberian beasiswa buat mahasiswa, iklan rokok bisa ada dimana-mana, sebegitu masifnya. Sebegitu diminati orang banyak, penasaran aja,” kata Bangkit memperjelas alasan ia menggunakan rokok swalinting. Awalnya, ia hanya sekadar iseng. Ia tertarik melihat budaya melinting yang dilakukan oleh bapak-bapak di daerah Purwokerto. Bahkan, ia mengatakan ketika ia mendaki gunung, di kaki Gunung Sumbing banyak anak SD melinting tetapi tidak ditegur oleh guru atau orang tua. Hal itu terjadi karena di sana, melinting adalah budaya dan berguna untuk menghangatkan badan. Akan tetapi, ia tidak memungkiri bahwa pilihan dia menggunakan rokok swalinting juga untuk membantu menyelamatkan kesejahteraan petani tembakau. Ia pernah menemukan sebuah buku berjudul “Ngudud: Cara Orang Jawa Menikmati Hidup” karya Iman Budhi Santosa. Meski Bangkit belum membaca buku tersebut secara utuh, ia mengaku sudah membaca beberapa artikel bersangkutan. Buku itu semakin membuat Bangkit tertarik dengan rokok swalinting karena buku itu membahas keunikan dari ngudud. Seiring dengan rasa iseng dan penasarannya terhadap budaya swalinting di pedesaan, Bangkit memahami ada ironi dalam kehidupan petani tembakau Indonesia. Meski masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris yang mayoritas terdiri dari kaum tani, kondisi petani belum dapat dikatakan sejahtera. Sambil melinting tembakau curahnya, ia mengatakan bahwa pentingnya tembakau bagi masyarakat tidak serta merta membuat petani tembakau dipentingkan. “Petaninya tidak menarik, sama sekali tidak dilihat. Padahal, rokok yang diisap para perokok itu mereka (petani-red) yang tanam tembakaunya. Apalagi, sistem ketengkulakan yang ada sangat menggencet
kaum tani. Bayangkan, jika harga tembakau sepuluh ribu seons di pasaran, berapa harga yang ditetapkan petani sebelum itu? Kurang dari sepuluh ribu, mungkin (hanya-red) tiga atau empat ribu Rupiah.” Mahasiswa Fakultas Hukum ini mengaku sudah menggunakan rokok swalinting sejak lima tahun yang lalu. Saat pertama kali mencoba, ia asal saja dalam memilih tembakau curah karena tidak tahu-menahu tentang rasa tembakau yang enak itu seperti apa. Oleh penjual, ia diberi tembakau kelas berat pada masa-masa perdana ia mencoba rokok swalinting, tembakau Wonosobo. Tembakau Wonosobo yang memiliki efek ‘nendang’ membuat Bangkit semakin mantap untuk mengonsumsi tembakau curah. Perihal rokok swalinting yang dinyatakan lebih murah, ia tidak mengatakan itu 100% benar. Banyak juga tembakau yang harganya lebih mahal daripada rokok pabrik, sebab rasanya yang lebih enak bagi perokok. Ia berpesan kepada mahasiswa yang masih menggunakan rokok pabrikan untuk sekali-kali mencoba swalinting. Menurut pengalamannya, sensasi nikmat tembakau curah sangat perlu untuk dicoba.
Tren dari Mulut ke Mulut Obrolan dari mulut ke mulut sampai saat ini merupakan salah satu cara yang manjur dalam memopulerkan suatu hal. Koh Cucung, seorang penjual tembakau curah di Pasar Wage, saat ditemui di kiosnya pada Jumat (13/01) mengatakan hal senada mengenai populernya budaya melinting di komunitas mahasiswa. “Dari temen, trus mulut ke mulut, (akhirnya-red) banyak yang dateng. Awalnya satu orang, terus (dia-red) ngajak temennya, nyoba, terus jadi booming. Jadi, pas nyoba di sini, pembeli-pembeli baru itu kayak semacam wisata kuliner aja gitu, kuliner tembakau,” ujar lelaki setengah baya yang mewarisi usaha tembakau keluarganya itu. Kemudian, ia melanjutkan bicaranya dengan nada sedikit kecewa, “Tapi, terakhir-terakhir (ini-red) memang berkurang. Mungkin waktu baru banyak yang suka, (disebar-red) dari mulut ke mulut (dan akhirnya banyak dari-red) mereka coba. Tapi, lama-kelamaan, ada yang mungkin bosen, (atau-red) ada yang nggak cocok. Nah, mungkin mereka balik lagi ke rokok pabrik,” tutur laki-laki yang bertubuh tambun itu. Sebagai orang yang mencetuskan terbentuknya grup penikmat rokok linting, Bangkit berujar jika komunitas yang ada berjalan, jumlah konsumen rokok swalinting nanti pasti akan bertambah, meskipun akan ada yang bosan atau tidak cocok. Apalagi, menurutnya, orangorang yang ada di komunitas tersebut adalah orang-orang Lapak Koh Cucung, penjual tembakau yang suka mengobrol dan berFoto: Yenny Fit
cerita. Hal itu sangat berpotensi untuk mengajak lebih banyak orang untuk bergabung. Menurut Koh Cucung, konsumennya tersebar merata ke banyak fakultas di Unsoed, meski jumlahnya cuma satu atau dua. Sedangkan data yang diperoleh Skëtsa, aktivis-aktivis top Unsoed juga menggunakan rokok swalinting. Sebut saja Riyan−presiden BEM Unsoed tahun 2017, Ihsan−presiden BEM Unsoed tahun 2016, Aosa−Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa Memi, Bangkit−aktivis Front Mahasiswa Nasional, Sucipto− pendiri komunitas Goban, Andes−ketua teater se-Purwokerto, Muflih−aktivis LMND, dan banyak lagi mahasiswa yang tergabung dalam grup pelinting. Beberapa dari mereka juga aktif berbelanja di kios Koh Cucung. Tidak Berpengaruh Sejak beredarnya isu kenaikan harga rokok pada 2016, rokok swalinting menjadi tren di kalangan mahasiswa Unsoed. Sebelum isu itu ada, pembeli tembakau curah tidak seramai sekarang. Bagi penjual tembakau curah, isu kenaikan harga rokok sedikit menguntungkan mereka, karena banyak orang yang beralih dari rokok pabrik ke tembakau curah. Akan tetapi, penambahan keuntungan tersebut tidak terlalu signifikan, hanya sekitar 10%. Toh, mereka yang mencoba swalinting biasanya akan kembali ke rokok pabrik, tembakau curah hanyalah sampingan. Ujaran Koh Cucung juga diamini oleh sesama pengecer tembakau curah di Pasar Wage, salah satunya Ani. “Tidak ada yang berbeda dengan munculnya isu kenaikan rokok, setelah isu itu beredar orang tidak berpikir untuk membeli tembakau asli, tetapi orang-orang lebih memilih untuk menyetok rokok pabrikan lebih banyak lagi. Mungkin karena masih terjangkau, Mbak. Naiknya (harga-red) hanya sedikit-sedikit saja.”
Tembakaunya Mahasiswa Indonesia dengan iklim yang baik dan didukung oleh letak geografisnya mampu menghasilkan tembakau-tembakau berkualitas. Banyuwangi, Temanggung, Wonosobo, bahkan Lombok dan banyak daerah lain mempunyai jenis-jenis tembakau yang khas. Ada yang ringan, ada yang berat. Koh Cucung berkata bahwa tembakau kelas berat biasanya akan menimbulkan efek ‘nendang’ dan pusing bagi orang yang tidak terbiasa mengonsumsinya. Tembakau jenis ini banyak dihasilkan oleh petani di Wonosobo dan tembakau lainnya yang berasal dari Jawa timur, sedangkan tembakau-tembakau ringan banyak dipasok dari Semarang, Mranggen, dan wilayah lain di Jawa Barat. Sekitar 80% konsumen Koh Cucung membeli tembakau jenis ringan. Sisanya membeli tembakau kelas berat. Tembakau yang dibesaru curah, di Pasar Wage, Sabtu (11/2). kan oleh tangan petani ini tidak tri Kumalasari.
dianggap istimewa ketika belum panen. Bahkan, orang-orang yang merawat emas hijau ini tidak terjamin hidupnya. Akan tetapi, ketika datang masa panen, entah sedikit entah banyak, rezeki mengalir dari kelihaian tangan-tangan pengolahnya. Mulai dari pemanen, perajang, grader (penyortir), pengecer tembakau curah, sampai perempuan-perempuan pabrik yang melinting rokok, mendapat pemasukan dari tembakau. Jangan lupa juga dengan kas negara yang terisi penuh. KNPK (Koalisi Nasional Penyelamat Kretek) memperkirakan, dari hulu hingga hilir, sekitar 30-35 juta orang yang bekerja dalam rangkaian produksi tembakau, cengkeh, industri rokok, serta dalam perdagangan tembakau dan rokok, termasuk efek ganda (multiplier effect) dari keberadaan produk-produknya. Bayangkan jika produksi tembakau ini diberhentikan, masalah apa yang akan terjadi? Perdebatan Berbagai Kalangan Menurut data dari Global Adult Tobacco Survey (GATS), pada tahun 2014, setidaknya ada 190.260 orang Indonesia meninggal dunia karena rokok. Akan tetapi, di balik itu semua, industri rokok adalah sumber pemasukan kas yang lumayan besar untuk negara. Pada 2013, setoran cukai yang diberikan industri rokok adalah sebesar Rp101,2 triliun. Jauh lebih besar daripada setoran pajak dari PT Freeport Indonesia yang hanya sebesar Rp5,6 triliun. Melihat fenomena yang ada, tembakau mempunyai sisi baik dan buruk yang luar biasa. Pemerintah pun terkesan bingung dengan situasi ini. Kemudian dari berbagai kalangan, mulai dari budayawan, sastrawan, sampai seniman versus dokter dan Kementerian Kesehatan berdebat. Bangkit sebagai konsumen sejati berusaha menanggapi fenomena ini, “Kalau negara belum menjamin kesejahteraan kaum tani, dari mulai penguasaan lahan pertanian, pengelolaan lahan pertanian, dan distribusi hasil produksi pertanian, kalau itu belum dijamin oleh negara, dan hari ini, kaum tani di pedesaan nggak punya tanah, mau apapun komoditasnya, kaum tani nggak bakal sejahtera. Jadi, yang debateable (sebenarnya) bukan masalah tembakau bikin sakit dan oleh karenanya harus diganti, bukan itu! Kita negara agraris, ada 60% lebih penduduk adalah petani, tapi mereka tidak sejahtera. Kalau ada mahasiswa yang bilang ‘nggak juga’ itu karena (mereka) kurang main ke desa mungkin,” papar Bangkit panjang lebar. “Coba aja kita gelar tikar bareng di desa, ngopi bareng, cari tau kehidupan mereka sehari-hari, cari tau bagaimana mereka membiayai kuliah anak-anaknya dan ngasih makan keluarganya. Adakah kesengsaraan yang dialami sehari-hari? Bagaimana hasil produksi pertaniannya?” lanjut Bangkit mengutarakan sarannya. Menurutnya, jika petani disuruh menanam komoditas selain tembakau, misalnya beras, belum tentu mereka bisa sejahtera, bahkan belum tentu bisa menanamnya.
Pelantikan Bersama: Silaturahmi Kali Pertama Oleh: Yoga Iswara Rudita Muhammad
“Saya yakin, kalau anak aktif di organisasi, kemampuannya beda dengan anak yang katakanlah (sekadar-red) ‘kutu buku’, jauh beda,” ujar Rektor Unsoed Achmad Iqbal.
P
ukul 08.00 WIB (10/2), lobi lantai satu Gedung Rektorat (GR) Unsoed mulai dipenuhi mahasiswa yang mengenakan jaket almamater. Tampak puluhan kursi telah ditata sedemikian rupa, tak jauh dari pintu masuk utama GR. Di sebelah selatan barisan kursi dan sofa, sebuah antrean mahasiswa mengenakan jaket kuning emas tengah mengisi daftar hadir undangan. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, pelantikan pengurus setiap UKM tingkat universitas (UKM-U) yang biasanya dilakukan secara mandiri dan waktu pelantikan yang berbeda-beda, pelantikan pengurus UKM-U tahun ini dilaksanakan serentak dalam satu waktu. Setiap UKM diminta untuk mengirim perwakilannya yang terdiri dari Ketua UKM, Sekretaris, dan Bendahara untuk mengikuti pelantikan bersama. Meski diadakan pelantikan bersama, setiap UKM-U tetap dibolehkan melakukan pelantikan sendiri sesuai kultur masing-masing organisasi. Mengambil tempat di Ruang Rapat lantai satu GR, pelantikan tahun ini turut dihadiri Rektor Unsoed, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni (WR III), tim pembina UKM-U, tamu undangan, dan segenap perwakilan dari UKM-U. Pukul 9 pagi, Rektor beserta segenap tamu undangan dan seluruh peserta berbaris pada tempat yang disediakan, tepat sesuai arahan panitia. Baru pertama kali ini Rektor melantik langsung ketua-ketua UKM tingkat Unsoed dalam satu waktu. “Indonesia Raya” berkumandang pada pembukaan acara, diikuti pembacaan Surat Keputusan Rektor tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Pengurus BEM dan UKM 2017. Presiden BEM Unsoed (BEM-U) 2017, Adhyatma Riyanto ditunjuk guna
Rektor Unsoed Achmad Iqbal melantik perwakilan UKM-U (10/2). Foto: Yoga Iswara Rudita Muhammad.
membacakan janji pengurus BEM dan UKM yang diikuti oleh seluruh perwakilan UKM-U. Rektor melantik pengurus BEM dan UKM secara langsung, dilanjutkan dengan penandatanganan berkas berita acara oleh Rektor dan para Ketua UKM-U. Sebanyak 27 organisasi mahasiswa menandatangani berkas berita acara di hadapan Rektor. Dalam sambutannya, Rektor menyampaikan dukungan dan apresiasinya kepada segenap pengurus BEM dan UKM yang telah bersedia mengikuti kegiatan UKM. “Saya atas nama pimpinan mengucapkan terima kasih bagi Anda yang bersedia menjadi pengurus (UKM dan BEM),” tutur Achmad Iqbal. Harapannya, diadakannya pelantikan bersama dapat mempererat hubungan mahasiswa dengan rektorat dan menambah keakraban antar-UKM. Rektor menekankan pentingnya organisasi bagi mahasiswa. “Menurut
saya, masa depan Anda dimulai dari organisasi. Ada banyak sekali manfaat dari organisasi,” ungkap Rektor. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa salah satu kekurangan mahasiswa sekarang adalah kelemahan pada softskill-nya. “Bagaimana cara mengeluarkan pendapat, mengungkapkan gagasan, mengeluarkan ide. Di dalam organisasi belajar bagaimana merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi. Di dalam organisasi belajar untuk memikirkan orang lain, sehingga Anda tidak egois. Saya yakin kalau anak aktif di organisasi, kemampuannya beda dengan anak yang katakanlah ‘kutu buku’, jauh beda,” jelasnya. Achmad Iqbal mengimbuhi bahwa salah satu cara mengembangkan softskill ialah dengan mengikuti organisasi. Rektor juga mengapresiasi diadakannya acara Pelantikan Bersama yang
diikuti oleh BEM-U dan UKM-U karena baru pertama kali diadakan. Sebelumnya, Rektor sudah berencana untuk menghadiri sebuah undangan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, yang diwaktukan pada hari yang sama dengan pelantikan bersama. Menurut penuturannya, acara yang digelar di IAIN Purwokerto merupakan penandatangan nota kesepahaman (MoU: Memorandum of Understanding) antara Unsoed dan Perpustakaan Nasional. Namun, akhirnya ia memprioritaskan untuk menghadiri terlebih dahulu acara pelantikan bersama. Lalu, perihal undangan untuk hadir di IAIN Purwokerto, Rektor telah mengutus Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerjasama, dan Hubungan Masyarakat (WR IV) untuk menghadiri undangan tersebut. Bila acara pelantikan bersama telah usai, namun acara penandatangan MoU belum rampung, Rektor akan langsung meluncur ke IAIN Purwokerto. Rektor mengajak segenap mahasiswa untuk meningkatkan prestasi. “Saya sangat mendukung kegiatan (ma-
hasiswa) yang mendorong peningkatan. Masalah anggaran, komunikasikan dengan saya,” jamin Rektor. Ia juga mengutarakan harapan untuk Unsoed yang kini menempati urutan ke-16 perguruan tinggi terbaik se-Indonesia (berdasarkan pemeringkatan pada tahun 2015 oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi), ke depan dapat meningkat ke sepuluh besar jajaran teratas. Pemberian ucapan selamat dan berjabat tangan dengan segenap pengurus UKM yang baru dilantik mengakhiri rangkaian Pelantikan Bersama Pengurus UKM. Rektor bersalaman dengan segenap pengurus baru UKM yang hadir. Mengekor Rektor, seluruh tim pembina UKM menyusul menjabat tangan dan memberi ucapan selamat kepada pengurus UKM yang masih dalam posisi berbaris. Pada pelantikan bersama, Jumat (10/2), terdapat beberapa unsur organisasi mahasiswa tingkat universitas yang tidak dilantik. Dewan Legistlatif Mahasiswa (DLM), UKM Catur, UKM Kempo dan beberapa UKM lain, menurut pan-
tauan Skëtsa di lapangan tidak ikut menandatangani berkas berita acara. Menurut Akhmad Suheli, Kabag. Pengembangan Mahasiswa dan Alumni, DLM tidak mengikuti Pelantikan Bersama BEM dan UKM-U karena masih menunggu kepastian dari DLM Fakultas. UKM Catur dan Kempo tidak dilantik karena belum mengajukan draf susunan kepengurusan. Meski begitu, perwakilan UKM Kempo tetap hadir meski tidak ikut dilantik. Sebagai tambahan, ada dua UKM baru yang dilantik pada tahun ini. Kedua UKM itu adalah UKM Seni Islam dan AlQur’an (Usman) dan UKM Prestasi Olahraga. Dua UKM tersebut ikut dilantik bersamaan dengan UKM-U lain.
Reporter: Rachmad Ganta Semendawai dan Yoga Iswara R.M.
Ilustrasi: Yenny Fitri Kumalasari
SAPI GILA K
Oleh: Nurhidayat*
opi keruh malam ini menjernihkan suasana. Dilengkapi dengan asap pekat yang kuisap, ternyata berhasil mengencerkan pemikiran. Keduanya berhasil menjadi kawan lekat obrolan yang rutin ini. Ya, pertemuan dengan Bari Si Kades baru memang bukan hal baru. Aku tak pernah bosan, selalu antusias dengan yang dibahas kala beradu. Bari yang jago pidato dan debat itu memang tak punya banyak kawan bicara, makanya dia sangat bahagia ketika aku bertamu. Aku pun begitu, hilang segala urusan kala bertandang. Dan selalu disambut dengan kopi cap Djempol, meski harus bermodal udud sendiri. Udud kita tak sama, udud adalah prinsip. Oh ya, ini fakta empiris yang cukup penting sebagai alasan kenapa aku selalu hadir Sabtu sore. Hampir lupa aku bercerita bahwa di desa, cuma Dewi, anak Bari, yang matanya berani menantangku untuk beradu. Yang lain tertunduk setiap mataku menghadap kening. Setiap kali aku hadir, anak tunggal yang menurut Bari sangat mirip ibunya itulah yang mengedepankan kopi beserta pacitan. Usia sudah cukup, kukira. Sepertinya, Bari juga menginginkanku jadi menantu melalui Dewi ini. Aku menduga saja, sambil berharap. Tak pernah ada bahasan tentang itu, namun kode kudapat jelas. Diskusi rutin ini sudah berjalan sejak enam bulan, tepat ketika aku hijrah ke desa. Aku yang baru sesemester tinggal, sesungguhnya beruntung karena dengan cepat bisa merapat kepada ilmu asli desa. Dari sore setelah isya hingga pagi-pagi azan subuh, aku selalu mendapat jatah diskusi tentang desa, jika aku mau. Ya, bagi kami, sore bukan saja ketika matahari bersandar pada arah barat. Perlu diketahui, sebenarnya aku menjaga agar diskusi dengan Bari tidak terlalu kerap, takut kehabisan tema, hanya sekitar seminggu sekali aku berkunjung, atau sebaliknya, aku yang harus menggulai kopi jika dia berkunjung ke rumah. Dan tak lupa, hampir selalu, setiap hendak berkunjung, aku mampir untuk membeli dua bungkus udud di warung Lik Slamet. Harus dua, tak bisa satu, karena pasti tak cukup menemani hingga pagi. Tema terbaru diskusi malam ini adalah soal kembalinya ternak sapi di Desa Setrodaya. Yang jika Bari berhitung, delapan tahun pascapenyakit sapi gila–penyakit yang datang dari Eropa–lenyap dari Setrodaya. Warga Desa Setrodaya mulai berani memasukkan sapi putih–yang kebanyakan mereka beli di pasar dekat terminal lawas–ke dalam kandang yang juga baru, meski sebagian ada yang kandangnya tidak baru dan masih ada sisanya. Tapi, ya perlu perbaikan sana-sini. Semua ditata ulang sehingga hampir semua warga desa kembali membangun sebuah gambaran desa lumbung daging yang dulu sudah terkenal hingga tlatah Pasundan sana. Namun, kepala desa idealis yang baru dua bulan dilantik itu, dalam setiap pidatonya, di acara mantenan hingga sunatan, selalu membantah bahwa desa ini adalah lumbung daging. Kepala
desa yang menang tipis dalam pilkades ini tidak suka dengan kemunafikan. Dia hanya menyebut desanya sebagai lumbung sapi. Dengan begitu meyakinkannya, ahli debat itu menyebut bahwa warga desa tak punya daging, hanya punya sapi. Mereka berbeda dengan peternak ayam yang setiap hari bisa makan ternaknya sendiri, bahkan dengan sengaja, bukan hanya karena ayamnya sakit. “Nah, apa kalian pernah sembelih sapi dengan sengaja untuk dimakan?” tanyanya kepada hadirin resepsi nikahan tiga hari lalu, dan diulang kepadaku. Tentu saja tak ada yang sanggup menjawab, kecuali dalam hati sadar bahwa warga hanya memelihara, tak menikmati daging. Aku pun mengulang itu kepada Bari, tak perlu dijawab sudah terjawab. Itu hanya retorika realita. Orang ini, kades baru ini, kemampuan olah bicaranya makin diakui oleh khalayak, semenjak tiga bulan lalu menang dengan mengejutkan, karena Bari tak modal uang. Si Wanto, justru amblas dagangan tokonya karena nekat menandingi si ahli debat. Meski menang tipis, rupanya Bari tak pernah keluar dana, kecuali untuk acara moyog, ya sekedar rokok kretek, penganan kecil, sesekali makan besar–tapi bukan lauk daging sapi, dan tak lupa kopi. Bagi Bari, itu tak begitu mengganggu lumbung padi. “Tak ada sapi yang disembelih di desa ini. Warga lebih
Ilustrasi: Reza Yahya
suka makan daging ayam dengan sambal terasi, atau dengan sambal goreng kangkung, daripada sapi,” ujarnya. “Ah, apa ketika Idul Adha mereka tidak sembelih sapi, tak santap daging hingga kikilnya, Pak Lurah?” tanyaku. Ya, di desa ini, juga desa sekeliling daerah ini, kepala desa tetap saja dianggap lurah, meski jelas adalah kepala desa, dipilih dengan voting rebutan giting. “Ah! Kau memang orang baru, Mas. Tak ada sapi sejak sewindu lalu, mereka lebih suka kambing atau domba. Asal kau tahu, Lebaran Haji kemarin saja masjid itu potong selusin kambing. Tak ada sapi disembelih di desa ini. Takut sapi gila,” ucapnya sambil menunjuk arah masjid terdekat. Ah, benar, aku belum pernah menemui bulan Haji di sini. Dan Bari melanjutkan kuliahnya tentang sapi, tetap dengan artikulasi mantap yang diselingi asap. Dulunya, Lurah Bari berprofesi sebagai blantik. Pekerjaannya sederhana, dia cukup mengambil margin harga antara peternak sapi dan konsumen, si kaya yang doyan menyembelih sapi. Lurah ini pernah kaya karena itu, hingga dikabarkan ngingu tuyul. Maklum, orang desa. Orang desa memang sederhana, mudah ditebak dan selalu begitu. Namun, kini sudah tidak. Tepatnya semenjak lima belas tahun yang lalu, si Bari muda berhenti jadi blantik, ketika ramainya penyakit sapi gila. Namun dia berhenti bukan karena itu. Suatu saat, ketika dia bertemu kawan lamanya yang gila koperasi, mengajak debat Bari, dan ternyata, sehebat-hebatnya Bari berdebat, dia pernah kalah juga. “Pekerjaan kau jadi makelar sapi tidaklah akan berkah,” kata Bari menirukan si fulan yang tak disebutkan namanya. “Lalu aku berhenti jadi blantik. Aku bertani jagung hingga kini. Ternyata hasilnya tak jauh beda, ditambah aku punya sawah, kutanam padi, beberapa petak kutanam beras ketan.” Namun, pada puncak serangan penyakit sapi gila, sembilan tahun lalu, yang warga desa tidak peduli dengan istilah medisnya, Bari dengan segala tabungannya kembali membeli sapi, khusus sapi yang mau mati. Dia bahkan berebut dengan pedagang spesialis sapi sakit. Terutama sapi-sapi yang suka menyeruduk tuannya, dan jika dibuka otaknya telah berkurang dan membusa. Meski berhenti jadi blantik, uangnya hampir habis guna membeli sapi. Yah, dia tak menjual, hanya membeli. Pedagang sapi bangkai marak pada saat itu, meski bangkai sapi gila dilarang pemerintah untuk dijualbelikan, masyarakat tidak mau rugi, atau lebih tepatnya enggan untuk sangat rugi. Dijuallah sapi penyakitan itu kepada pedagang sapi bangkai. Musuh pedagang itu adalah Bari. Bari hanya membeli, kemudian membakar bangkainya di terbis sawahnya. “Aku dianggap gila, Mas. Aku rela bongkar lumbung guna membakar sapi gila. Jangan sampai orang-orang ketularan gilanya sapi.” Namun, warga pun akhirnya tidak enak hati, mereka dengan segera bergunjing kebaikan Bari di setiap sudut Pasar Senin, pasar teramai sekaligus tersenyap di Setrodaya. Banyak yang menyatakan Bari orang yang sangat baik, namun tak usah terlalu heran jika tak sedikit pula yang menganggap sok-sokan. Sekali lagi, ini desa. Orang yang menganggap Bari baik, tanpa disuruh pun mendukungnya, mereka membawa sapi sakit mereka ke sawah
kemudian disembelih dan dibakar. Yang tidak suka dengan Bari, mereka akan tetap menjual sapinya ke orang luar, meski Bari mau membayarnya dua kali lipat dari harga itu. Orang yang netral, tetap saja menjual pada harga tertinggi, sesuai kaidah ekonomi. “Padahal mereka tahu lho, Mas.... Bangkai itu akan dibawa ke pabrik untuk digiling menjadi tepung lalu dijual untuk menjadi pakan, pakan sapi pula. Lagi-lagi ini sebenarnya dilarang oleh pemerintah. Namun, sekali lagi mereka orang desa, negara tidak banyak hadir di desa,” cerita Bari sambil menyindir nasionalisme. Memang, tak kujumpai upacara tujuh belasan di balai desa. Kabar baiknya, menurutku, Bari tak benar-benar berhasil menghabiskan sisa tabungannya, meski dia tetap bisa membakar bangkai banyak sekali. Hampir lima ekor tiap hari. Sebulan penuh. Aku heran kenapa Bari begitu semangatnya dulu untuk membakar sapi, bahkan rela untuk menghabiskan segala tabungan gabah untuk membayar sapi hampir mati. Aku belum menemukan jawaban. Wajar lah, mungkin dia merasa saking perhatiannya dengan warga, sampai segila itu. Sambil menunggu Bari yang sedang ke kamar mandi, aku merenung dan menimbang, juga teringat kopi yang sudah hampir membeku. Aku menyeruput sambil mengencangkan alur pikir, memikirkan soal kewarasan Bari. Bari datang melenyapkan lamunan. Lalu, dia mulai lagi kuliahnya, kali ini kuliah dini hari. Dia bercerita dengan gamblang kenapa dia sangat suka membeli sapi mati, atau setengah mati, waktu itu. Aku mendengar sambil mencari kata-kata yang membuktikan Bari tak pernah sinting, supaya aku tak bermertua sinting juga. “Ketika desa terkena wabah sapi gila, aku pergi ke sana-sini, mencari pakar. Aku bertanya pada semua orang yang dianggap ahli tentang penyakit ini. Intinya, pada kesimpulan bahwa penyakit ini beredar begitu pesat karena sapi diberi pakan gilingan sapi yang penyakitan itu juga. Sama saja, yang gila ternyata tak hanya sapi,” ucapnya menghujat pengusaha sapi giling yang tak manusiawi. Menganibalkan sapi. Bari, yang mengerti, lalu melakukan tindakan yang dianggap tidak waras untuk membuktikan kewarasannya. Dia membeli semua sapi sakit terutama yang terkait sapi gila, yang nama ilmiahnya tak pernah Bari bisa eja. Baginya, ejaan bukanlah esensi. Di ujung diskusi, tanpa direncanakan, aku mendapat sebuah rahasia baru tentang sapi gila. Suatu saat, Bari dan keluarganya, yang ternyata dulunya suka makan sapi, tapi tak pernah memotong sendiri, selalu membeli di Pasar Senin. Tak lama berselang, seorang yang menurut Bari sangat mirip anaknya, sakit keras. Kian lama kian terlihat menderita. Otaknya membusa, berkurang beberapa senti, kata dokter tenar dari kota. Lama-lama mati. Sialnya, Bari baru tahu bahwa penyakit ini bisa menular ke manusia, justru langsung ketika istrinya mati, dengan otak yang membusa. Namun Bari tetap waras.
*Penulis adalah Editor Senior LPM Skëtsa, Pemimpin Redaksi 2014, dan Pemimpin Umum 2015 pada lembaga yang sama.
burung camar menggambar peta bergegas pergi ke utara apa kabar sidang pembaca pantun datang moga gembira
bergegas pergi ke utara sepuluh burung terbang beruntun pantun datang moga gembira sudah lama tidak berpantun sepuluh burung terbang beruntun terkena angin berayun-ayun sudah lama tidak berpantun pantun receh asal berpantun terkena angin berayun-ayun kepak sayap pecah udara pantun receh asal berpantun saya datang ingatkan Saudara
Belalang Bersayap Elang Oleh: Nurhidayat*
di dekatnya merah bata seperti bata buatan paman begitu peka telinga kita sedikit-sedikit penistaan seperti bata buatan paman warnanya oranye sedikit kotor sedikit-sedikit penistaan sedikit-sedikit kita melapor warnanya oranye sedikit kotor kotor namun tak sangat kotor sedikit-sedikit kita melapor mudah sekali termakan kompor kotor namun tak sangat kotor kulihat lagi sambil berpikir mudah sekali termakan kompor bikin merinding kala bertakbir
kepak sayap pecah udara kulihat saja sambil melamun saya datang ingatkan Saudara untuk apa kita berpantun
kulihat pelangi sambil berpikir pelangi buatan Tuhan Yang Esa bikin merinding kala bertakbir semua musuh haruslah binasa
kulihat saja sambil melamun hanya melihat tanpa memandang untuk apa kita berpantun kurang pantun mudah meradang
lupa pelangi ganti yang lain ada layang-layang berbenang senar tak ada tempat untuk yang lain karena kita yang paling benar
hanya melihat tanpa memandang di antara langit berwarna-warni kurang pantun mudah meradang tengoklah Saudara ke sana-sini
ada layang-layang berbenang senar senar nilon di layang-layang karena kita yang paling benar semua nalar hanyalah bayang
di antara langit berwarna-warni warna pelangi terbelah-belah tengoklah Saudara ke sana-sini orang marah tak tahu arah
senar nilon di layang-layang nyangkut di pesawat musafirin semua nalar hanyalah bayang seperti tempo hari kemarin
warna pelangi terbelah-belah yang paling ujung berwarna merah ketika ditanya kenapa ia marah oalah, marah tak tahu arah
kulihat dari sudut kosan layang-layang model klasik ada yang aneh di waktu hujan kulihat hewan berbentuk unik
warna pelangi terbelah-belah paling ujung merah cerah ketika ditanya kenapa ia marah tak ada sebab yang penting marah
layang-layang bukan sembarang layang-layang bermotif kembang ada elang berotak belalang ada belalang bersayap elang!
paling ujung merah cerah di dekatnya merah bata tak ada sebab yang penting marah begitu peka telinga kita Ilustrasi: Reza Yahya
*Penulis adalah Editor Senior LPM SkĂŤtsa.
KESKETSAAN Pemandu WAWASAN ALMAMATER
Ilustrasi: Reza Yahya
OBAT PEMBASMI HOAKS H
oaks adalah bibit penyakit dalam sistem komunikasi massa. Layaknya virus yang menyebar sangat cepat melalui udara, hoaks menyebar cepat melalui jaringan internet, juga bisikan mulut ke mulut. Cara penularannya pun sangat gampang, hanya dengan sekali klik, seperti berbisik-bisik. Lebih parahnya, hoaks bisa diciptakan siapa saja yang terhubung dengan internet. Lalu, bagaimana cara membasminya? Atau, minimal, bagaimana agar kita tidak membantu penyebarannya? Skeptis adalah cara yang cukup efektif untuk itu, apalagi jika didukung dengan minat baca yang tinggi. *** Saya bingung ketika teman-teman seruangan menyuruh saya menyebutkan nama-nama ikan. “Maksude apa, sih?” jawab saya dengan dialek Banyumasan. Bukannya menjawab tanya, mereka malah tertawa terbahak sambil menyuruh saya menonton sepenggal video yang sedang viral. Setelah menonton, saya pun jadi tersenyum sendiri mengetahui alasan ramainya gelak tawa kawan-kawan. Penggalan video menampilkan adegan seorang bocah sekolah dasar (SD) yang salah mengucap nama ikan ketika ditantang menyebutkan nama-nama ikan oleh Presiden Joko Widodo. Dia sempat berhasil menyebutkan tiga nama ikan. Sayangnya, ikan keempat salah disebutnya. Bukannya menyebut nama ikan, bocah ini justru menyebut lema vulgar dalam KBBI. Lugunya anak itu dalam berucap sontak membuat banyak orang tertawa. Ada buntut aneh dalam viralnya video itu. Tak lama berselang, muncul imbauan di media sosial untuk menghentikan penyebarluasan video itu. Menggunakan
Oleh: Mustiyani Dewi Kurniasih* data ngawur, si penyata mengatakan anak kelas tiga SD ini mengidap disleksia. Tanpa hati, mengatasnamakan simpati, menggunakan data yang tidak pasti, pernyataan di media sosial ini mengelabui pembaca yang tak menyadari dirinya sedang dibohongi. Mereka yang pintar, atau masyarakat yang belum bisa cerdas menyikapi informasi? Hoaks kini menjamur di internet setiap saat. Ada yang mengatakan ini adalah dampak sampingan dari kebebasan berekspresi: wajar. Asal masyarakat cerdas, hoaks bukanlah hal yang serius. Meski begitu, masyarakat yang belum bijak menyikapi isu liar, terutama hoaks, membuat para pembuat hoaks meraup banyak rezeki kotor dari sana. Konon, keuntungan yang diraup oleh pembuat berita hoaks bisa mencapai 30 juta Rupiah per bulan. Menyikapi hal demikian, Dewan Pers merasa perlu untuk “mengecap” (memberikan label) media. Dewan Pers akan mendikotomikan media menjadi dua: layak dan tidak layak dikonsumsi masyarakat. Dewan Pers telah melakukan pendataan dan verifikasi media yang meliputi legalitas media, isi pemberitaan, adanya penanggung jawab redaksi yang jelas, bukti kemampuan finansial untuk menggaji jurnalis, adanya kode etik, pedoman perilaku, dan lain-lain.
Ilustrasi: Anggita Rachmi Farida
Verifikasi ini dilakukan dengan alasan untuk melawan hoaks. Media arus utama yang lembaganya bonafide dianggap paling mampu untuk menangkal berita bohong. Namun, apakah cara ini tepat? Menurut saya, langkah itu adalah tindakan yang tidak bijak. Pelabelan seperti itu tidak lagi relevan dengan kebebasan berekspresi. Toh, media arus utama yang dianggap bonafide pun bisa jadi menyalahgunakan posisinya. Ingatlah zaman pilpres 2014, berapa banyak hoaks yang diciptakan oleh mereka? Fenomena hoaks juga mengingatkan saya pada kejadian enam tahun lalu, kala media daring mulai masif. Detikcom menjadi media siber pertama yang memberitakan kematian Imanda Amalia. Kabarnya, ia adalah perempuan asal Indonesia (ada yang menyebut telah menjadi warga negara Australia) sekaligus aktivis Badan Pembangunan Bantuan dan Manusia PBB—United Nation Relief and Works Agency (UNRWA). Ia dikabarkan tewas dalam kerusuhan di Mesir pada 3 Februari 2011. Kemudian, banyak media lain ikut-ikutan memberitakan tanpa memverifikasi dulu kebenarannya. Sumbernya hanya satu: sebuah pos di grup Facebook. Bayangkan! Semua pihak dibuat geger oleh berita tersebut. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia kocar-kacir mencari sosok Imanda, begitu pula UNRWA. Nyatanya, tak ada staf yang bernama Imanda di sana. Tak lama kemudian, muncul berita yang mengatakan bahwa Imanda Amalia adalah seorang mahasiswa Pascasarjana Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM). Kabar baiknya, kondisi Imanda dalam keadaan sehat walafiat. Imanda Amalia yang sempat santer dalam pemberitaan tersebut
hanyalah sosok rekaan pembuat hoaks. Sampai sekarang, si pembuat berita tersebut belum diketahui batang hidungnya. Saya sepakat dengan pernyataan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam e-book “Media Online: Antara Pembaca, Laba, dan Etika”. Pada kasus Imanda Amalia, AJI melihat bahwa yang diberitakan media waktu itu bukanlah hasil dari proses verifikasi suatu informasiyang tujuannya mengecek suatu informasi itu fakta atau bukan. Justru, proses verifikasi informasi itu sendiri lah yang dijadikan berita, bukan hasil verifikasinya. Berita bisa terbit padahal kejelasan informasi belum matang. Hal ini sangat disayangkan karena terjadi hampir di semua media dalam jaringan kala itu. Penting rasanya pembaca mengetahui hal ini, karena pada era internet, siapapun bisa membuat berita mereka sendiri yang filternya ada pada pembaca sendiri. Contoh di atas adalah contoh yang jelas terlihat. Pada kenyataannya, banyak wartawan “profesional” yang keliru dalam pemberitaan, dari segi isi ataupun metode. Bukan cuma media nasional, bahkan ada penerima Pulitzer—penghargaan tertinggi untuk karya jurnalistik—yang ketahuan bohong. Di lain sisi, kami, para pegiat pers mahasiswa, atau mereka, para jurnalis warga, yang tidak benar-benar memiliki lembaga yang bonafide, terkadang tidak mendapat kepercayaan yang kafah, justru memiliki laporan jurnalistik yang bagus. Bahkan, banyak tulisan jurnalisme warga yang akhirnya dibukukan karena memang luar biasa, bahkan bisa jadi mengalahkan kemampuan wartawan kebanyakan. Mari mengingat pepatah lama, konon berasal dari Khalifah Ali, “Lihat isi pembicaraan, bukan siapa yang bicara.” Kudu objektif! Ini bukan tentang siapa, tetapi tentang apa. Syarat verifikasi yang dilakukan oleh Dewan Pers dapat mengancam kebebasan pers itu sendiri. Namun, syarat ini juga jangan sampai mematikan media-media perintis yang sudah bekerja keras menegakkan Kode Etik Jurnalistik. Apalagi jika sampai ada diskriminasi terhadap media yang belum lolos verifikasi, namun sudah bekerja sesuai kode etik dan prinsip jurnalisme. Harusnya, yang menjadi syarat verifikasi adalah konten produk jurnalistiknya saja. Itu pun akan
sangat riskan, karena media meyakini dirinya memiliki self censorship berdasar politik redaksi masing-masing. Yang seharusnya dilakukan adalah pencerdasan pada masyarakat sehingga masyarakat tahu mana yang harus dibaca dan mana yang seharusnya disingkirkan dari lis bacaan. Hal yang menjadi pendukung berkembang dan menyebarnya hoaks sebenarnya adalah masyarakat sendiri. Terutama masyarakat yang kurang bijak, atau tidak paham, dalam menyikapi isu. Mereka cenderung tidak memahami apa yang mereka bagikan di lini masa media sosial mereka. Hanya melirik judul tulisan yang menarik, mereka langsung membagikan tautan tulisan tersebut. Mereka cenderung tak membaca isi tulisan. Entah ini imbas kecerdikan si pembuat artikel hoaks—yang membuat judul provokatif—atau pembacanya yang memang tidak skeptis terhadap setiap pemberitaan. Bahkan, mahasiswa—yang katanya kaum intelektual—pun ada (baca: banyak) yang terjebak melakukannya. Banyak dari mereka yang membagikan artikel atau berita hoaks juga. Hal ini lazim terjadi, malah seperti menjadi kebiasaan di medsos. Kiranya, sikap skeptis belum tertanam kuat di dalam benak mereka. Bisa jadi, media yang sering dijadikan kiblat adalah media penyebar hoaks. Baiknya kita waspada dengan mencari tahu kebenaran berita yang kita baca. Coba bandingkan dengan beberapa media lain. Jadilah pembaca cerdas yang skeptis dalam memilih media tambatan membaca. Jangan sampai kita secara tidak langsung—tanpa sadar—turut andil mengembangbiakkan hoaks di medsos. Mereduksi Hoaks Skëtsa mendidik anggotanya (juga masyarakat pembacanya) untuk mengerti dunia jurnalistik agar nantinya tidak terjebak dalam hal-hal hoaks. Lembaga pers mahasiswa harus diakui memiliki peran sebagai laboratorium wartawan masa depan. Inilah salah satu yang harus dilakukan untuk melawan hoaks: pendidikan kejurnalistikan untuk siapapun, entah untuk wartawan (agar layak menjadi wartawan) maupun masyarakat (agar mereka membedakan sendiri mana yang produk jurnalistik dan
mana yang hoaks). Kenapa? Karena media (baca: wartawan) adalah pemandu wawasan masyarakat pembacanya. Namun, pembasmian hoaks bukan hanya tugas media massa saja, tetapi juga kewajiban pembaca. Media perlu berusaha menyiasati hoaks dengan menyajikan berita akurat dan mendalam. Masyarakat juga harus membuat benteng agar informasi yang diperolehnya adalah informasi yang benar. Di sinilah, masyarakat harus sadar untuk meningkatkan budaya membaca. Mereka harus memiliki sensor internal menghadapi era tsunami informasi. Rendahnya budaya membaca adalah salah satu faktor penyebab banyaknya orang Indonesia yang termakan kabar bohong. Menurut UNESCO (2012) indeks membaca Indonesia hanya 0,001. Angka kecil tersebut berarti bahwa hanya ada satu orang yang serius membaca di antara seribu total penduduk. Hal itu selaras dengan hasil penelitian World’s most Literate Nations yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (2003-2014) yang menyatakan bahwa literasi Indonesia berada di tingkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti. Sangat memprihatinkan, bukan? Budaya baca selaras dengan rasa penasaran (skeptis). Semakin banyak sifat penasaran dan selalu meragukan informasi baru, membuat masyarakat ingin membaca sumber lain yang relevan untuk meyakinkan diri sendiri akan sebuah informasi. Harapannya, jika sudah seperti itu, maka informasi hoaks akan tersaring sendiri. Pembuat hoaks pun akan sia-sia dalam membuat berita hoaks karena masyarakat cerdas dalam menyaring informasi. Sekali lagi, kuncinya adalah skeptis alias tidak mudah percaya terhadap sebuah informasi, bukan dengan cara mengategorisasikan media literasi.
*Penulis adalah Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi LPM Skëtsa 2016.
Melawan “Kepandiran” Pers Mahasiswa Oleh: Emerald Magma Audha*
K
ala membaca sebuah dari pengetahuan mereka. Kalau berita—yang katanya mahasiswa saja masih seperti itu, produk jurnalistik, kening apa kabar masyarakat awam di saya langsung mengernyit, akal muluar sana? Sampai-sampai, mamet. Tulisan itu tertampung dalam sih banyak yang keliru, mengangdua lembar kertas A4, ditautkan gap jurnalisme haruslah netral. dengan staples di garis tengah. Lalu, Jelas saja hal tersebut sangat kertas dilepit dua bagian, jadilah menyendat penegakan pers yang bermutu. Kata Andreas Harsono semacam leaflet delapan halaman. (saya kutip dari blognya), menukil Terbitan itu bernuansa hitam putih. Saya menemukannya beberapa dari pendapat Bill Kovach—guru waktu lalu—menjelang permulaan jurnalisme nan berwibawa, masemester gasal, tergeletak di lobi kin bermutu jurnalisme di dalam kampus sebuah fakultas. Lantas, masyarakat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat saya membawanya ke kantor remasyarakat bersangkutan. Lalu, daksi Skëtsa, memamerkannya ke banyak yang mengartikannya editor senior saya, mengajak dia menjadi, “Semakin bermutu jur“corat-coret” leaflet. Saya masih ingat, sekitar lima bulan yang lalu. nalisme, semakin bermutu pula Ada banyak sekali coretan (baca: kemasyarakatnya.” Peran jurnalisme hampir salahan) dijumpai, hampir di seluruh mirip seperti peran kerasulan. laman, bahkan di setiap paragraf tulisan. Itu baru dari tanda baca, Seorang rasul sebagai utusan salah ketik, atau huruf yang kurang. Tuhan. Selain menganugerahIlustrasi : Reza Yahya kan wahyu, Tuhan juga menaruh Perwajahan produknya pun buruk— terutama layout, konten tulisannya pun sama, tidak kompre- beban di pundaknya untuk memberi kabar kepada umatnya. hensif untuk sebuah berita. Itu menurut kami, berpatok pada Lebih berat lagi, rasul dimandatkan Tuhan, mencerahkan standar Skëtsa. Produk jurnalistik itu bikinan pers mahasiswa umatnya dari kebatilan, kesesatan. Mirip seperti jurnalisme, lain di universitas saya berkuliah. Sebelum menerbitkan pro- perannya bukan semata mengabarkan sahaja. Lebih hakiki duknya, mereka mungkin tidak begitu serius melakukan penya- untuk mencerahkan masyarakat—publik. Pahami! Saya buringan tulisan. Bahkan, mungkin mereka tidak melakoni proses kan bermaksud mengaitkannya dengan agama apapun atau penyuntingan. Itu membuat saya kesal. manapun, bukan itu. Kalau Andreas Harsono bilang, “Agama *** saya adalah jurnalisme.” Judul buku karyanya juga seperti itu. “Kamu ngangkat tentang ini aja lah, propagandain.” Jurnalisme dan agama itu penting, keduanya berguna untuk Banyak kawan saya yang berceloteh begitu, kadang se- orang banyak. Itu kredo yang saya yakini hingga kini. dikit mendesak. Kebanyakan dari mereka adalah aktivis *** kampus, ada juga pegiat persma—sapaan akrab untuk warWaktu itu, saya masih jadi anggota magang Skëtsa. Rekan tawan kampus. Reaksi saya tatkala telinga disusupi ujaran saya, sesama anggota magang, gagal dalam tugas peliputan. itu hanyalah diam sambil mengecutkan raut muka. Kadang, Narasumber menolak wawancara. Alasannya: dia kapok, kami sampai batas tertentu, saya menanggapi dengan nada ke- dikira persma dari fakultas “itu”, yang ucap dia beritanya tidak cewa, “Ternyata kamu belum paham soal kerja jurnalistik.” sesuai dengan apa yang dia nyatakan. Ada pula yang bilang Bukannya mengangkuhkan diri, saya sadar betul kapasi- bahwa pemberitaan persma “itu”, menggunakan kutipan tas saya yang juga belum seberapa. Akan tetapi, nyatanya, ti- pernyataan yang dikarang-karang. Malar-malar, dalam proses dak sedikit mahasiswa yang belum paham jurnalistik, bahkan produksi majalah ini, ada narasumber yang ragu untuk dipegiat persma pun seperti itu. Katanya kaum terpelajar, tapi wawancara. Berulang lagi, kami disangka dari persma (sensor pengertian prinsip dasar jurnalisme saja sepertinya luput oleh penulis) atau dari persma (sensor oleh penulis). Takut
Ilustrasi : Reza Yahya
“dipelintir-pelintir”, kata dia. Namun, akhirnya dia bersedia, syukur. Itu baru beberapa contoh, belum yang lain. Untuk narasumber tersebut (juga dengan narasumber lain), telah memberikan Skëtsa kesempatan, kamsia! Bila pemberitaan kami keliru, Skëtsa menerima hak jawab dan hak koreksi sebagai bentuk pertanggungjawaban pers yang baik, sesuai amanat UU Pers (40/1999). Bagi Anda yang keberatan dengan pemberitaan kami, gunakanlah hak-hak itu. Saya jadi merasa kesal, iya kesal, bila memang benar seperti itu (soal “dipelintir-pelintir” dan yang lainnya). Sebab ulah kalian, jari kami ikut kena getahnya. Karena ulah kalian, semua persma dicap sama: semua persma buruk. Jika keadaan masih seperti ini—pegiat persma tetap abai terhadap kualitas produk jurnalistiknya, bukan tidak mungkin orang-orang akan muskil memercayai persma sebagai media alternatif yang layak dikonsumsi. Seringkali, urusan meyakinkan narasumber untuk bersuara pun jadi hal sukar bagi wartawan kampus. Mereka— sumber—ragu, ragu kalau pemberitaannya buruk, lebih buruk, jauh dari kebenaran. Keraguan itulah penghambat kerja jurnalistik yang dilakoni wartawan kampus. Saya juga prihatin dengan masyarakat (kampus), jarang dari mereka yang benar-benar mengerti soal jurnalistik. Kenapa kesimpulan semua persma itu buruk cepat sekali diambil? Kenapa hak jawab dan hak koreksi jarang sekali digunakan? Permasalahan persma yang buruk tidak akan selesai begitu saja, kalau masyarakat (kampus) juga cuma diam, atau mengumpat di belakang. Saat ini, Skëtsa sedang berikhtiar mengikis keraguan tersebut. Sebagai contoh, untuk membuat produk buletin tahun kemarin, edisi ke-33 di bulan Desember, diperlukan waktu yang tidak sebentar. Kami melakukan reportase berupa wawancara, observasi, riset data, serta penggalian fakta nang dilakukan dengan telaten, teliti, juga awas. Belum lagi soal edit tulisan berita yang melelahkan, bisa berpuluh-puluh kali tulisan diperbaiki. Proses ini malah jauh lebih lama ketimbang penulisan berita itu sendiri. Ternyata, masih ada data yang luput, ada fakta yang belum tergali, juga ada kekeliruan dalam memasukkan informasi. Lalu, dilakukanlah reportase lagi untuk menjaga keakuratan informasi. Tidak bosan, kami rajin untuk melakukan verifikasi fakta berkali-kali secara disiplin. Lalu, cetak biru dibuat, tangan-tangan editor bekerja lagi. Coret-coret lagi, tata letaknya masih cacat, belum rapi lah, masih ada salah
ketik lah. Dicetak lagi, salah lagi, dicetak lagi, masih saja keliru. Terus-menerus, prosesnya begitu, sampai yakin, tiada cacat satu pun. Namun, tetap saja, meski sudah sebegitu selektif, setelah terbit, ada saja kecacatan yang lolos: satu tanda baca keliru. Proses pengerjaan yang ketat pun berlaku pada majalah ini, walakin masih ada kurang sana-sini. Tak ada niat pamer, kami justru tak pernah berpuas diri. Kritikan selalu ada terhadap produk jurnalistik kami, malah kami tunggu. Malahan, berita di buletin kemarin, dikritik oleh alumnus Skëtsa sendiri. Tak masalah, kami menerimanya dengan terbuka. Skëtsa tidak mendidik anggotanya alergi terhadap kritik. Terkait anggapan awam yang mengharuskan wartawan harus netral, Skëtsa tidak memilih itu. Lebih penting independen. Independen berbeda dengan netral yang tidak memihak. Wartawan bisa dikatakan independen bila kerja jurnalistiknya tidak dipengaruhi oleh kepentingan apapun dan siapapun, selain kepentingan publik. Bukan untuk menyeragamkan, namun saya penasaran dan ingin bertanya, “Apakah kalian—media (persma) lain—berusaha seperti itu, independen? Atau, apakah kalian juga berupaya menerapkan disiplin verifikasi? Atau minimal, sudahkah kalian melakukan penyaringan yang layak terhadap produk kalian, sebelum kalian publikasikan?” Penyajian berita nang buruk (dalam penulisan berita), menjadi persoalan banyak media (bukan hanya persma) di Indonesia. Banyak yang lebih mementingkan kecepatan pemberitaan dibanding mutu tulisan. Apalagi di era internet, bergelut dengan tsunami informasi. Sangat sukar menemukan tulisan berita berpostur panjang dan utuh. Kebanyakan persma juga begitu, lebih memilih model berita cepat saji tinimbang berita utuh bermutu. Lebih parah, mereka lebih suka memakai judul bombastis demi merengkuh atensi. Alih-alih tulisannya mencerahkan pembaca, malah membuat keruh. Selayaknya kita tahu, bila pegiat persma adalah generasi penerus pers nasional. Bila sejak di bangku kuliah saja anak persma tidak bisa (baca: tidak mau) berusaha untuk ideal, bisa dikira, ucapkan selamat tinggal untuk keidealan pers nasional lusa nanti. Melihat kepengurusan tahun lalu, 2016, Skëtsa memang sangat jarang menerbitkan berita. Bisa dihitung jari banyaknya. Sedikitnya pengurus Skëtsa yang bertahan, hanya lima awak, menjadi kendala tersendiri, meski hal tersebut tidak bisa dijadikan dalih untuk mewajarkan. Sebenarnya, tidak sedikit berita yang kami kerjakan. Namun, banyak yang tidak bisa kami terbitkan sebab ada kriteria tertentu pada standar kami yang tidak terpenuhi. Lebih baik memang begitu, mending penerbitan disetop daripada menyajikan berita buruk, parsial, tidak lengkap, atau bisa dikatakan berita cacat. Memenuhi kewajiban jurnalisme yang pertama, keberpihakan Skëtsa jelas pada kebenaran, bukan pada mahasiswa, apalagi birokrat. Elemen yang pertama pada The Elements of Journalism, buku ciptaan Bill Kovach bersama Tom Rosenstiel, menyebutkan bahwa kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran fungsional.
Selalu skeptis merupakan sikap yang ditanamkan pada anggota Skëtsa. Sikap skeptis adalah keraguan, keraguan untuk mendorong jurnalis selalu bertanya, mencari, hingga mendapatkan kebenaran. Saat jurnalis kehilangan sikap skeptis, maka kebenaran akan bersembunyi. Menyitir Luwi Ishwara, “Hanya dengan sikap skeptis, sebuah media dapat hidup.” Masa ini, Skëtsa tengah mulai meninggalkan struktur berita piramida terbalik, beralih ke model narasi. Meski berita langsung (straight news) tetap dipakai untuk konten berita tertentu. Berupaya menyuguhkan berita panjang dan utuh, sehingga ketika pembaca selesai melahap sajian kami, pembaca bisa tercerahkan. Ihwal tersebut adalah pengejawantahan Skëtsa dalam menegakkan kebenaran fungsional. Perlu Kritik Sesama Media Kekesalan saya di awal tulisan ini memang tidak bisa dibenarkan. Namun, nyatanya macam itu. Melontarkan kritik sesama media (persma) itu penting dan perlu. Bukankah peran media sebagai pemantau kekuasaan? Kekuasaan itu tidak melulu soal penguasa—pemerintah, atau pemangku jabatan. Pers pun tergolong kekuasaan itu sendiri. Jika ada media lain tulisannya buruk, kritik lah. Bila berita Skëtsa cacat, kritik saja! Kenapa tak membiasakan budaya saling kritik? Karena rikuh? Atau, karena solidaritas? Kesetiakawanan sesama mediakah? Orangorang media itu kritis, bukan pasifis. Kata Andreas, yang juga didikan Kovach, solidaritas yang seperti itu adalah solidaritas yang tidak pada tempatnya. Itu merugikan khalayak. Saya jadi teringat, pernah ada sebuah wacana di aliansi persma se-Purwokerto. Masa itu, saya masih pemukim baru Grup Aliansi Persma di salah satu media sosial. Entah siapa yang memulai (lagi), ada usulan agar aliansi membuat media (dulu sempat ada, sekitar tahun 2013), mengharuskan setiap persma yang tergabung untuk menjadi kontributor, berbagi hasil reportasenya kepada sesama persma. Sederhananya, membuat produk jurnalistik secara bersama, lalu hasil beritanya diklaim bikinan bersama. Ada yang menolak, namun kebanyakan semangat untuk bersepakat, tanpa berpikir lagi. Konyol sekali usulan itu. Padahal jelas, setiap media memiliki dapur redaksi masing-masing yang tidak boleh diusik. Perlahan usulan tersebut memudar, lalu hilang. Seharusnya, persma tidak perlu mengajak persma lain untuk membahas suatu isu bersama-sama. Yang boleh dan yang seharusnya dilakukan adalah membahas isu yang sama di media masing-masing, dengan sudut pandang yang beragam. Isu yang diangkat boleh sama, namun harus dibahas sesuai politik redaksinya masing-masing. Tidak boleh ada keseragaman yang disengaja atau disepakati antarmeja redaksi. Meja redaksi tiap persma tak boleh diintervensi oleh siapapun—termasuk persma lain. Pembuatan berita harus independen dilakukan oleh masing-masing persma. Topik berita sama tiap media persma, tak mengapa. Namun, kehidupan pers di masyarakat akan kacau jadinya bila angle tiap media sengaja diseragamkan. Mutu jurnalisme akan jadi taruhannya, berimbas pada mutu masyarakatnya. Pahami, resapi, dan camkan! Bertalian, Skëtsa jelas menolak usulan tersebut—perihal aliansi persma membuat media. Setiap media harus independen, apalagi berpautan dengan kerja jurnalistik. Itu mutlak
harga mati, tak bisa ditawar! Menyinggung pula nomenklatur “aliansi persma”, itu sebenarnya ialah hal yang keliru, menurut saya. Tidak ada yang namanya aliansi persma, lebih tepat, misal, ‘aliansi wartawan kampus’ antero Purwokerto, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) atau persatuan wartawan lain. Tujuannya jelas, aliansi wartawan kampus bukan untuk berbagi hasil reportase sesama persma, lalu membuat berita secara berjemaah, lebih-lebih membuat media untuk aliansi (yang saya sebut usulan konyol), bukan itu. Saling menjaga independensi wartawan merupakan fungsi aliansi jurnalis. Aliansi wartawan kampus bisa dijadikan wadah untuk mengadakan kegiatan seperti pelatihan jurnalistik bersama. Bentuk solidaritas aliansi wartawan kampus harus dimaknai sebagai wujud penentangan terhadap pengekangan kebebasan persma, melawan ketidakadilan—intimidasi—yang sering dialami wartawan kampus, atau memperjuangkan kelegaan akses segala informasi—yang menyangkut kepentingan publik—bagi wartawan kampus. Lawan segala bentuk pengebirian terhadap pers mahasiswa! Oh ya, saya hampir lupa untuk bercerita. Saya sebenarnya jengah tentang tulisan saya di awal, paragraf kedua, soal kata “propaganda”. Pandir sekali yang bilang semacam itu. Kerja jurnalistik bukan untuk melakukan agitasi, provokasi, atau propaganda. Editor senior saya akan bilang, mereka itu anomali. Propaganda harus diceraikan dari kegiatan jurnalistik. Berita Skëtsa dibahas dan dikerjakan oleh redaksi, bukan berita pesanan dari mahasiswa, apalagi birokrat. Saya bukan bermaksud menjatuhkan, apalagi merendahkan persma lain. Skëtsa ingin turut menyawai perkembangan mutu persma yang sedang lesu. Kami pernah mengangkat berita tentang Oyod Suketh (Persma FIB Unsoed) yang eksistensinya sedang redup. Tak jarang, kami juga menjadi pembicara, mengisi pelatihan jurnalistik, saat diminta oleh persma atau komunitas jurnalistik lain seperti Alpha (FMIPA Unsoed), banyak UKM di berbagai fakultas, serta di tingkat universitas seperti BEM, juga lembaga lainnya. Bahkan persma dari luar Unsoed (seperti ST3 Telkom Purwokerto, Universitas Peradaban) pun kami terima dengan terbuka. Itu merupakan salah satu cara kami, berperan mengawal kehidupan persma, termasuk dengan tulisan saya ini. Menjaga nadi pers mahasiswa tetap berdenyut adalah tugas kita bersama. Kami beberapa kali menerima permohonan saran pendirian atau perbaikan persma. Kami sangat antusias dan senang sekali melayani permintaan semacam itu. Ayolah, berpikirlah dengan terbuka. Solidaritas yang hakiki justru bisa dilakukan dengan cara cerdas ini: saling kritik. Kritik itu selaiknya obat, pahit, tapi ampuh menyembuhkan kepandiran. Sadarlah!
*Penulis adalah Pemimpin Umum LPM Skëtsa 2017.