Majalah Sketsa Edisi 35 | Oktober 2017

Page 1




Awak Skëtsa

PENERBIT: Penerbitan Lembaga Pers Mahasiswa Skëtsa PEMBINA: Sulyana Dadan, M.A. PENGURUS Lembaga Pers Mahasiswa Skëtsa PERIODE 2017 PEMIMPIN UMUM/PEMIMPIN REDAKSI: Emerald Magma Audha WAKIL PEMIMPIN UMUM: Aziz Dwi Apriyanto EDITOR SENIOR: Nurhidayat KEPALA BAGIAN PERSONALIA/WAKIL REDAKTUR PELAKSANA BERITAUNSOED.COM: Dara Nuzzul Ramadhan (Diberhentikan) KEPALA BAGIAN KESEKRETARIATAN DAN ADMINISTRASI: Faida Nasiroturrohmah (Diberhentikan) REDAKTUR PELAKSANA MAJALAH Skëtsa DAN BULETIN INFOSkëtsa: Yoga Iswara Rudita Muhammad REDAKTUR PELAKSANA BERITAUNSOED.COM: Intan Rifiwanti REDAKTUR ARTISTIK: Marita Dwi Asriyani STAF RISET DAN DOKUMENTASI: Rachmad Ganta Semendawai (Nonaktif) PEMIMPIN PERUSAHAAN: Reza Yahya STAF KEUANGAN: Nabila Dezty Anggraeni STAF IKLAN: Agil Tri Hastopo, Anggita Rachmi Farida STAF REPRODUKSI DAN SIRKULASI: Mushanif Ramdany KOVER: Marita Dwi Asriyani EDITOR: Emerald Magma Audha, Yoga Iswara Rudita Muhammad REPORTER: Yoga Iswara Rudita Muhammad, Intan Rifiwanti, Aziz Dwi Apriyanto, Rachmad Ganta Semendawai (Nonaktif), Dara Nuzzul Ramadhan (Diberhentikan) LAYOUTER: Marita Dwi Asriyani ILUSTRATOR: Marita Dwi Asriyani, Reza Yahya TIM IKLAN: Reza Yahya, Agil Tri Hastopo, Anggita Rachmi Farida, Nabila Dezty Anggraeni, Mushanif Ramdany REPRODUKSI DAN SIRKULASI: Mushanif Ramdany KEUANGAN: Nabila Dezty Anggraeni

@beritaunsoed @wdi8716f Kantor Redaksi: Kompleks PKM Unsoed Jl. Dr. Soeparno, Karangwangkal, Purwokerto Utara Kode Pos 53122





BERSIH(-BERSIH) I

ni cerita lama. Terkisahlah Cicero, seorang orator ulung, filsuf, cendekiawan politik dan hukum. Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), nama utuhnya. Suatu ketika di Roma, di hadapan para senat dan rakyat, Cicero bersyarah, ada pepatah lama di kalangan pedagang Pasar Marcellum: ikan membusuk mulai dari kepala sampai ekor. Lalu, terang-terangan Cicero mengatakan, “Kebusukan itu dimulai di kepala. Kebusukan itu dimulai di puncak. Kebusukan itu dimulai di Senat.” Bagi Cicero, kepala itu bengkak akibat racun korupsi dan menggembung oleh sikap angkuh dan pongah.1 Cicero agaknya benar, namun sedikit keliru. Kebusukan bisa bermula dari mana saja—bukan cuma dari kepala. Meski rupanya cerita itu masih relevan dengan realitas masa ini. Korupsi. Racun kuno itu tidak hanya masih menjangkiti para elit politik, namun menjalar hampir di setiap sendi kehidupan kebermasyarakatan. Di keluarga. Ayah—seorang pegawai negeri—bertamasya berbareng keluarga pakai mobil dinas. Di lingkup lain. Uang damai dengan polisi saat ditilang. Atau, uang pelicin untuk mempercepat proses administrasi seperti pembuatan KTP atau KK. Bahkan juga di lingkup pendidikan. Di sekolah. Bocoran soal dan jawaban ujian nasional dijadikan komoditas. Syahdan, perguruan tinggi. Ada mahasiswa titipan, ada pegawai titipan, dan istilah titipan lainnya. Sudah jadi rahasia umum praktik itu masih terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Lalu, apa kabar dengan kampus berpatung Jenderal Soedirman? Apakah Unsoed sudah “bersih” dari praktik-praktik semacam itu? *** Pada Maret 2018 nanti merupakan masa penghabisan Achmad Iqbal sebagai Rektor Unsoed. Unsoed harus mulai ancang-ancang dari sekarang soal penyelenggaran pemilihan rektor. Hati-hati, ajang pemilihan rektor bisa jadi potensi kebusukan di situ. KPK mengendus ada dugaan kecurangan dalam proses pemilihan rektor, seperti praktik suap dan makelar jabatan. Ombudsman membeberkan ada dugaan permainan uang dalam pemilihan rektor di sejumlah perguruan tinggi negeri. Menristekdikti, Mohamad Nasir sampai pernah lakukan pembatalan empat pemilihan rektor di universitas negeri, lantaran ada pelanggaran di sistem pemilihan. Bukan cuma itu, data ICW menunjukkan, sejak tahun 2013 hingga 2016 tercatat 13 rektor dan wakil rektor sudah divonis melakukan korupsi— itu baru yang ketahuan. Ironi. Tampaknya perguruan tinggi—yang sepatutnya jadi wadah pencerah pemikiran dan budi, malah menjadi ladang subur bagi tumbuhnya korupsi. Lantas, bagaimana mengatasi kebu-

sukan yang sudah terlanjur mengkronis itu? “Potong kepalanya, lalu membuangnya”, seperti yang ditawarkan Cicero? Tidak, bukan itu. Salah satu obat mujarab untuk menangkal kebusukan, yaitu: Transparansi! Sebenarnya sudah ada regulasi yang mendukung upaya transparansi, contohnya saja UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan ciri penting negara demokratis—sebagaimana dituangkan dalam konsiderans UU tersebut. Dari kehadiran UU itu, pemerintah maupun badan publik lainnya wajib memberikan informasi kepada publik secara berkala, seperti informasi mengenai kegiatan dan kinerja badan publik serta laporan keuangan. Itu fardu hukumnya bagi badan publik—mendasarkan pada UU tadi. Dan, tentunya itu juga mengikat universitas (termasuk Unsoed) sebagai badan publik. Dari UU tadi pula lahir sebuah lembaga pemantauan dan pengevaluasi terkait pelaksanaan UU tersebut, yakni Komisi Informasi Pusat (KIP). Komisi Informasi dapat melakukan evaluasi pelaksanaan layanan Informasi Publik oleh badan publik, sekali dalam setahun—Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, pasal 37. Evaluasi itu kemudian disampaikan pada badan publik dan diumumkan pada publik. Sebagai bentuk evaluasi akhir, KIP juga melakukan pemeringkatan keterbukaan informasi badan publik. KIP pun telah memublikasikan laporan hasil pemeringkatan tahun 2016, dengan pemantauan selama 9 bulan, dimulai dari April-Desember 2016. Ada tujuh kategori badan publik yang jadi lingkup kegiatan ini: kementerian; pemerintah provinsi; lembaga negara & LPNK; lembaga non struktural; BUMN; perguruan tinggi negeri (PTN); dan partai politik nasional. Lalu, ada empat indikator penilaian yang digunakan, seperti mengumumkan informasi publik, menyediakan informasi publik, pelayanan permohonan informasi publik, serta pengelolaan informasi dan dokumentasi. Adapun PTN yang menduduki peringkat 10 besar tahun 2016, dari peringkat sepuluh ditempati Universitas Andalas (nilai 41,01), sampai peringkat satu oleh Universitas Indonesia (nilai 97,92). Rentang nilai <39 s.d. 100 dengan urutan kualifikasi dari yang terendah: Tidak Informatif; Kurang Informatif; Cukup Informatif; Menuju Informatif; dan Informatif. Rata-rata keterbukaan informasi PTN yaitu 56,00 dengan kualifikasi “Kurang Informatif”. Sementara hanya Universitas Indonesia yang berkualifikasi “Infomatif”.2


Ilustrasi: Reza Yahya

Jelaslah dalam pengelolaan keterbukaan informasi PTN saat ini bisa dikatakan masih buruk—melihat data tadi. Posisi sepuluh saja nilainya hanya 41,01. Sudah pasti tak sedikit PTN lain di bawahnya. Unsoed bagaimana? Tentu saja di bawah Universitas Andalas yang berlabel kurang informatif. Inilah PR yang harus serius digarap Rektor Unsoed, Achmad Iqbal—yang dalam hitungan beberapa bulan lagi habis—dan juga rektor baru selanjutnya, yakni mewujudkan pengelolaan Unsoed ke arah “Transparansi Perguruan Tinggi”.3 Kita harus paham, segala kebusukan seperti korupsi sejatinya bermula dari kondisi intransparansi. Sebab, kondisi demikian cenderung membuka peluang bagi pejabat berbuat curang. Dari kondisi itu pula ada tendensi pejabat bisa menyelewengkan kekuasaan karena sulit terawasi. Bagi kami, korupsi adalah laku keji. Pada mulanya barangkali karena kesempatan. Tidak ketahuan, lantas mencobanya lagi, lagi, dan lagi. Makin lama makin candu. Kemudian jadi kebiasaan. Akhirnya menjadi suatu kewajaran. Sampai titik ini, nurani akan lingsir ditelan ketamakan. Malah itulah yang menjadi imanen. Meminjam istilah Goenawan Mohamad, “Korupsi adalah sebuah privatisasi—tapi yang selingkuh”. “Kekuasaan sebagai amanat publik telah diperdagangkan sebagai milik pribadi, dan akibatnya,” tulis Goenawan, “ia hanya merepotkan, tapi tanpa kewibawaan.”4 Sepakat dengannya, pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan demi kerakusannya belaka, sama saja telah mengingkari amanat banyak orang. Pejabat-pejabat yang culas seperti itu adalah biadab. Rektor sebagai “kepala” Universitas mesti sadar bila ketidaktransparansianlah yang menjadi sumber penyebab segala “penyakit” di tubuh perguruan tinggi. Rektor harus menjadi agonis yang menegakkan transparansi demi pengelolaan Unsoed yang “bersih”. Dalam statutanya pun Unsoed berprinsip

transparan.5 Kiranya Unsoed perlu “bersih-bersih” menyingkirkan intransparansi di tubuhnya. Ini sekaligus sebagai weling bagi rektor baru kelak. Pejabat maupun birokrat yang alergi terhadap sikap transparan dan terbuka, boleh jadi sedang mencoba menyembunyikan fiil buruk. Jangan lupa, citra Unsoed sudah terlanjur kusam oleh noda korupsi (kasus Edy Yuwono) pada 2012 silam. Itu baru noda yang tampak, bagaimana dengan “noda-noda” yang samar dan tak terlihat? Pilihannya cuma dua: berikhtiar “membersihkannya”, atau “melestarikannya”.

Emerald Magma Audha – Pemimpin Redaksi LPM Skëtsa 2017

Catatan kaki: Lihat tulisan Trias Kuncahyono, “Roma, Suatu Senja”, Harian Kompas Edisi 29 Januari 2017. 1

Data diambil dari Laporan Hasil Pemeringkatan Tahun 2016, diakses melalui laman https://www.komisiinformasi.go.id/news/ view/laporan-hasil-pemeringkatan-2016. 2

Baca Majalah Skëtsa Edisi 33 Tahun XXVII Januari 2016 bertema “Transparansi Perguruan Tinggi”. 3

Goenawan Mohamad, “Korupsi”, Catatan Pinggir dalam Majalah Tempo Edisi 20-26 Oktober 2003. 4

Berdasarkan pasal 5 yang termaktub dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017 tentang Statuta Universitas Jenderal Soedirman. 5


Ilustrasi: Reza Yahya


Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani


NAMA-NAMA ITU BELUM MUNCUL

M

Oleh: Yoga Iswara Rudita Muhammad dan Emerald Magma Audha

aret 2018 adalah bulan terakhir Achmad Iqbal menjabat sebagai Rektor Unsoed. Dalam waktu dekat ini pemilihan rektor Unsoed periode 2018-2022 bakal digelar. Menjelang itu, banyak kabar beredar terkait nama-nama yang boleh jadi berpotensi meramaikan kontestasi ini. Nama-nama kandidat pada pilrek sebelumnya seperti Achmad Iqbal dan para pesaingnya dikabarkan bakal nyalon lagi. Ada pula nama-nama potensial selain mereka, misalnya saja para mantan dekan. Bahkan, nama Ketua Senat ikut dibicarakan dalam isu, juga nama Direktur Pascasarjana Unsoed. Ketika diwawancarai, Achmad Iqbal bilang bahwa ia tak akan maju lagi, kendati masih ada kemungkinan maju. Menambah ketidakpastian, nama-nama yang mencuat pun masih enggan berbagi lebih jauh ihwal rencana ikut berkompetisi dalam ajang pilrek nanti. SkĂŤtsa pula mewawancarai salah satu mantan Rektor Unsoed, ialah Prof. Rubiyanto Misman. Ia membagikan welingnya untuk rektor baru kelak berdasarkan pengalamannya sebagai rektor dua periode. Selain itu, tentu ada tanggapan dari para narasumber lain yang memenuhi tulisan ini. *** Tidak sembarang dosen bisa mencalonkan diri menjadi rektor. Setidaknya, ada beberapa persyaratan administratif yang mesti dipenuhi sebelum bisa bergelut dalam kontestasi menuju jabatan struktural tertinggi di universitas itu. Secara

umum, yang dipersyaratkan di antaranya ialah: memiliki jabatan fungsional paling rendah sebagai lektor kepala, berusia paling tua 60 tahun saat rektor petahana habis masa jabatannya, memiliki pengalaman manajerial sekurang-kurangnya 2 tahun, dan minimal berpendidikan doktor. Sejumlah persyaratan tambahan yang lain sedianya mengikuti sebagaimana yang dituangkan dalam Peraturan Menristekdikti Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri. Dari peraturan tadi, terdapat rangkaian mekanisme pilrek yang meliputi tahap awal penjaringan bakal calon, lalu penyaringan calon, pemilihan calon, dan terakhir tahap penetapan dan pelantikan. Pada tahapan awal itu mesti sudah dilaksanakan paling lambat 5 bulan sebelum masa jabatan Rektor Petahana berakhir. Jika mendasarkan pada aturan tadi, maka tahapan awal pilrek nanti paling lambat akan mulai digelar pada Oktober tahun ini. Rangkaian pilrek tadi diselenggarakan oleh panitia yang dibentuk oleh senat universitas. Untuk mengetahui sejauh mana persiapan yang telah dilakukan senat menjelang pilrek, SkĂŤtsa pun menemui Ketua Senat Unsoed. Menunggu Oktober Rabu, 12 Juli 2017, reporter SkĂŤtsa bergegas menuju Gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)

Suasana Patung kuda Universitas Jenderal Soedirman, Selasa (25/7). Foto: Marita Dwi Asriyani.


Unsoed. Gedung itu terletak di Karangwangkal, berdampingan dengan kompleks Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unsoed. PKM dan Gedung LPPM cuma dipisahkan sebaris pagar yang tingginya tidak lebih dari dua meter. Gedung LPPM bercatkan putih pada dinding luarnya. Berbeda dari eksteriornya, warna hijau lebih mendominasi wilayah interior gedung. Setelah bertanya pada resepsionis, pewarta Skëtsa pun diarahkan ke lantai dua. “Ruang Ketua ada di lantai dua,” kata lelaki penerima tamu. Sepanjang langkah menuju lantai dua, tampak beberapa foto yang dipajang berderet pada dinding yang bersikuan dengan tangga. Beberapa dari foto tersebut mengabadikan temuan penelitian yang dihasilkan oleh Unsoed. Prof. Suwarto, Ketua Senat Unsoed, menyambut pewarta Skëtsa begitu pintu kantornya diketuk. Ia mempersilakan masuk. Sekilas, ruangan kerjanya terlihat cukup besar. Orang yang datang harus melewati dua lapis pintu untuk sampai di ruang kerjanya. Selain sebagai Ketua Senat, Suwarto juga menjabat sebagai Ketua LPPM Unsoed sejak 2015. Skëtsa mendapati beberapa informasi yang berkaitan dengan persiapan pilrek dari Suwarto. Soal pilrek belum mendapat tempat untuk dibahas dalam rapat senat universitas. Diujarkan oleh Suwarto, bahasan terkait dengan pilrek baru akan dibahas pada bulan Oktober tahun ini. Meski demikian, ia tidak sungkan memberikan gambaran lebih jauh mengenai persiapan pilrek mendatang. Persiapan pilrek dimulai dengan pembentukan panitia pemilihan. Kepanitiaan ini disusun oleh senat universitas. Panitia tadi yang membuat peraturan terkait tata tertib pemilihan—yang setelah jadi nanti, kelak disahkan sebagai peraturan senat. Peraturan ini merupakan petunjuk teknis serta prosedur pelaksanaan pemilihan yang melandaskan pada Permenristekdikti Nomor 19 Tahun 2017. “Jadi, Peraturan Menteri adalah induknya, sedangkan peraturan teknisnya adalah peraturan senat,” jelas Suwarto.

Menyoal teknis pelaksanaan yang lebih rinci, Suwarto mengatakan masih perlu mengoordinasikannya dengan Kementerian Ristekdikti serta anggota senat yang lain. “Apakah penyaringan calon rektor dengan (melibatkan-red) Menteri, nanti langsung pemilihan. Atau penyaringan dulu, setelah beberapa hari baru pemilihan, ini yang belum jelas. Perlu dikomunikasikan dengan Sekretariat Jenderal Kementerian (Ristekdikti),” ujar Suwarto. Ia pun merinci penjelasan sebelumnya, bahwa tata tertib mengenai kampanye calon juga akan diatur dalam peraturan senat. Suwarto kemudian sedikit bercerita soal pilrek pada tahun 2009 silam. Dikisahkannya, pilrek waktu itu terbilang ramai, sebab adanya kampanye yang dilakukan oleh para bakal calon rektor. Ini terjadi pada tahap penyaringan. Kala itu, bentuk kampanye yang paling umum, hadir dalam wujud penyebaran foto kandidat. Tidak tanggung-tanggung, bahkan foto-foto para kandidat yang dipasang tergolong berukuran besar. Ramai. Hampir mirip seperti masa menjelang pemilu. Foto-foto tersebut banyak dijumpai di fakultas yang menjadi tempat asal para bakal calon rektor waktu itu. Hal itu dilakukan bukan tanpa alasan. Pada masa tersebut, di tahap penyaringan, dosen mempunyai suara untuk memilih. Suara dosen merupakan penentu agar para bakal calon bisa lolos ke tahap pemilihan sebagai calon rektor. Buntutnya, para bakal calon berlomba menggalang dukungan dari dosen-dosen di fakultasnya. Hal demikian sontak membuat suasana beberapa fakultas jadi “menghangat”. Masing-masing fakultas sibuk mendukung calon rektor yang diusungnya. Akan tetapi, tidak semua dosen di fakultas kala itu memiliki hak suara, terdapat kriteria-kriteria khusus untuk itu. Adapun kriterianya ditentukan oleh panitia pemilihan. Tidak sampai di situ, keramaian rangkaian pilrek 2009 bertambah tatkala terjadi perbedaan antara suara senat dan suara dosen. Setelah diusut, ternyata hasil pemeringkatan delapan


bakal calon terbagi menjadi dua versi: versi suara dosen dan versi suara senat. Kedua versi punya pemeringkatan yang berbeda. Kemudian, Suwarto pun bersedia membagikan perkiraan jadwal untuk pilrek Unsoed mendatang. Awal Oktober 2017 akan dibentuk panitia pemilihan. Sepanjang bulan Oktober hingga November rencananya akan dilangsungkan penyusunan tata tertib pemilihan. Kemudian sosialisasi pada November, setelah aturan tata tertib tadi rampung digarap. Selepas itu, pendaftaran bakal calon baru bisa dilakukan. Hal-hal tersebut tadi merupakan rangkaian kegiatan dalam tahap penjaringan. Dan terakhir, sebelum masa kepemimpinan Achmad Iqbal usai, harus sudah ada rektor baru terpilih. Maka dari itu, pemilihan calon rektor ditargetkan bisa dilaksanakan paling lambat pada Februari 2018. Suwarto pernah menjadi tim penyusun tata tertib pemilihan pada pilrek sebelumnya. Ia bilang hanya ada sedikit kendala terkait perencanaan pilrek 2018. Menurutnya, kesulitan terbesar adalah menyesuaikan jadwal pemilihan di universitas dengan kesanggupan Menteri Ristekdikti. Menteri dikenal sebagai orang yang sibuk, sehingga senat universitas lah yang harus menyesuaikan waktu dengan jadwal menteri. Lalu, perihal persyaratan administratif untuk calon rektor tetap mendasarkan pada Peraturan Menteri. Menurut Suwarto, calon rektor dimungkinkan bisa berasal dari PTN lain. Ini merupakan celah, kata Suwarto. Kendati demikian, menurutnya yang jelas calon rektor harus mempunyai pengalaman manajerial. Soal calon rektor dari luar kampus pernah terjadi pada pemilihan rektor Universitas Indonesia periode 2014-2019. Kala itu, dari 27 nama yang mendaftar, ada nama-nama yang berasal dari kampus lain seperti dosen dari Institut Pertanian Bogor, juga dari Universitas Diponegoro dan Universitas Katolik Parahyangan. Bahkan, ada juga nama dari International Islamic University Malaysia yang ikut mendaftar bursa pilrek UI. Sampai kini, untuk pemilihan rektor di Unsoed sendiri, menurut data yang dihimpun, belum pernah ada calon yang berasal dari luar Unsoed. Istilah “perbaikan harus dilakukan oleh orang luar” tidak pernah mewacana. Menebak Nama-nama Potensial Kira-kira, siapa saja nama-nama yang bakal maju pada ajang pilrek nanti? Soal itu sempat Skëtsa tanyakan pada Ketua Senat. Namun, Suwarto bilang, belum ada calon potensial yang muncul. “Yang berminat mungkin ada, cuma mungkin belum declare. Pendaftaran (bakal calon) saja belum,” katanya. Anggota senat dibolehkan nyalon dalam ajang pilrek. Dari situ, pewarta Skëtsa menceletuk pada Suwarto, “Bapak mau nyalon enggak?” Suwarto tampak mesem. Tunggu saja nanti saat pengumuman dan sosialisasi pilrek, kata Suwarto menanggapi. “Sekarang kerja dulu.” Suwarto pun melanjutkan, sebelum ia berniat men-

calonkan diri, ia perlu mempertimbangkan banyak hal. Misalnya, ia pun menguraikan, “Satu, saya mampu enggak. Dua, ada yang dukung enggak. Tiga, apakah prestasi saya dinilai memenuhi.” “Ya realistis deh, saya pun dulu waktu jadi dekan juga gitu kok,” ujar Guru Besar Fakultas Pertanian itu. Kali ini, Adhi Iman Sulaiman (salah satu dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik—FISIP) Skëtsa jadikan narasumber. Ia seorang pengajar Komunikasi Politik di Jurusan Ilmu Politik. Sekarang, ia dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi. Ditemui di Ruang Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi pada Kamis (14/7) sore, Adhi Iman tampak siap untuk Skëtsa mintakan pendapatnya. Wawancara pun berlangsung lempeng menuju inti pembicaraan. Ia menuturkan, di kalangan dosen, belum ada nama-nama potensial yang secara terang-terangan menyatakan bakal maju pada pilrek mendatang. Belum ada nama yang mengumumkan secara konkret akan mencalonkan diri. Meski begitu, Adhi Iman mengaku sudah memiliki prediksi daftar nama yang akan muncul. Hanya saja, ia enggan membagikannya. “Cuma, nanti kalau saya ungkap, nanti menjadi rumor,” ujarnya. Sebelumnya, Skëtsa telah menemui narasumber lain untuk dimintakan pendapatnya. Namanya Bambang Widodo. Ia seringkali berperan dalam berbagai acara yang diselenggarakan Unsoed. Ia juga seorang dosen dari Jurusan Ilmu Komunikasi. Skëtsa menyambangi rumahnya di Teluk, kecamatan Purwokerto Selatan pada Rabu (12/7) malam. Rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari tepian Jalan Sultan Agung. Dari cukup jauh, tampilan rumah Dodit—begitu ia kerap disapa—tampak cukup berbeda dari rumah-rumah di sekitarnya. Gaya arsitektur Jawa cukup kental menghiasi bagian depan rumahnya. Ia sepertinya penikmat seni. Terlihat di bagian ruang tamu di rumahnya, berjejalan benda-benda seni. Ada patung, lukisan, guci, hingga kain bermotif batik. Menurut Dodit, kabar yang bertebaran terkait nama-nama yang akan mencalonkan diri masih sebatas isu saja. Isu tersebut beredar beriringan dengan beberapa nama calon potensial yang mulai banyak disebut. Ada beberapa nama yang digadang-gadang akan mencalonkan diri pada pilrek mendatang. Rektor Petahana Achmad Iqbal dan Wakil Rektor Bidang Akademik Prof. Mas Yedi Sumaryadi menjadi nama potensial. Ada pula nama-nama dari para mantan dekan seperti Angkasa (Fakultas Hukum—FH), Pramono Hari Adi (Fakultas Ekonomi dan Bisnis—FEB) dan Prof. Imam Santosa (FISIP). Bahkan nama Ketua Senat Prof. Suwarto ikut disebut, juga Direktur Pascasarjana Prof. Totok Agung Dwi Haryanto dikabarkan bakal ikut meramaikan pilrek 2018. Ingin mendapat penjelasan yang lebih terang dari kabar yang beredar, Skëtsa kemudian mencoba menemui nama-nama yang diisukan akan maju guna meminta konfirmasi dari yang bersangkutan. Respons yang Skëtsa peroleh pun beragam.


Suasana Gedung Rektorat (GR) Unsoed di sore hari, Selasa (25/7). Foto: Marita Dwi Asriyani.

Ada yang langsung menampik, ada pula yang menanggapi dengan santai. Prof. Imam Santosa misalnya. Dulu, ia pernah bersaing dengan tiga bakal calon lain dalam ajang pilrek 2014. Namun, ia tak lolos pada tahap penyaringan. Ia pun pernah menjabat Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan pada masa Rektor Edy Yuwono. Saat Skëtsa menghubungi Guru Besar FISIP ini, ia menangkis sangkaan terkait pencalonan dirinya pada pilrek mendatang. Melalui aplikasi berbagi pesan Whatsapp, ia langsung menampik kabar tadi. “Saya enggak maju,” balas dia manakala dimintai konfirmasi pada Kamis (13/7) malam. Hari esoknya, Jumat, 14 Juli 2017, Skëtsa menemui Prof. Totok Agung Dwi Haryanto. Direktur Pascasarjana merupakan posisi yang sedang ia jabat saat ini. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai Ketua LPPM Unsoed. Pada pilrek 2014 lalu, mulanya Totok berencana ikut mencalonkan diri. Tetapi, niat itu ia urungkan lantaran ada koleganya yang maju nyalon, ialah Achmad Iqbal, Dekan Fakultas Pertanian kala itu. Alasannya, Totok ingin memberikan kesempatan pada Achmad Iqbal juga agar situasi di Fakultasnya tetap kondusif. Ketika ditanya, adakah rencana untuk maju pada pilrek nanti, Totok tersenyum. Ia malah balik bertanya kepada wartawan Skëtsa, “Menurut Anda bagaimana?” Ia sendiri masih menimbang-nimbang soal ia bakal maju atau tidak pada pilrek nanti. Menurut dia, jabatan sebagai rektor adalah tugas yang berat. “Rektor itu harus bersedia mewakafkan diri untuk jabatan yang diembannya,” begitu ungkapnya. Masa jabatan rektor PTN adalah 4 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Achmad Iqbal terpilih menjadi Rektor Unsoed periode 2014-2018 setelah menyisihkan dua calon rektor lainnya pada pilrek 2014. Kala itu, Prof. Mas Yedi Sumaryadi dan Haryadi menjadi pesaing Iqbal. Dari total 72 suara (47 suara senat dan 25 suara Kementerian), Iqbal mendapat 35 suara, sementara Mas Yedi mengantongi 27 suara, dan sisa 10 suara bagi Haryadi. Iqbal tengah menjabat sebagai Dekan Fakultas Pertanian ketika ia

terpilih menjadi rektor. Ketiga nama tadi—yang menjadi kandidat pada pilrek sebelumnya, kerap disebut sebagai nama potensial. Maka dari itu, Skëtsa mencoba meminta konfirmasi pada mereka. Suatu petang di hari Senin (17/7). Skëtsa menyambangi kediaman Prof. Mas Yedi Sumaryadi di Perumahan Griya Limas Permai di Jalan Dr. Soeparno. Jaraknya cukup dekat dari Fakultas Peternakan, tempat ia mengajar. Di akhir 2013, semula Mas Yedi sebagai Pembantu Rektor Bidang Akademik, kemudian ia diangkat menjadi Rektor ke-9 Unsoed menggantikan Edy Yuwono yang tersandung kasus korupsi. Pada pilrek 2014, sebenarnya ia berpeluang besar menjadi rektor lagi. Sebagian besar senat menginginkannya menjadi rektor. Tetapi, ia kalah perolehan suara dengan Achmad Iqbal yang memperoleh suara Kementerian. Dan, saat ini ia masih menjabat Wakil Rektor Bidang Akademik. Adakah kemungkinan untuk mencalonkan diri lagi? Mas Yedi belum mau angkat bicara soal itu. Ia pun enggan berkomentar terkait pilrek nanti. Alasannya, ia orang birokrat, ada etika birokrasi. “Enggak etis kalau ngomong komentar pilrek, tapi belum ada diskusi dengan atasan,” begitu katanya. Rektor Achmad Iqbal turut pula Skëtsa mintakan konfirmasinya, akankah ia mencalonkan diri untuk yang kedua kalinya. Pasalnya, banyak kabar yang berembus terkait hal tadi. Meskipun dalam berbagai acara, ia kerap menyatakan tidak akan maju lagi pada pilrek mendatang. Disambangi di rumah dinasnya pada Kamis (13/7), Iqbal mengaku tidak akan maju pada ajang pilrek 2018. Kendatipun secara administrasi masih memenuhi kriteria, ia ingin memberi kesempatan kepada calon-calon lain yang lebih muda. “Secara pribadi, saya itu rencananya sudah tidak akan mencalonkan diri lagi,” tutur Iqbal kepada pewarta Skëtsa. Ia pun berterus terang sebenarnya dirinya sudah tidak berminat untuk nyalon lagi. Apalagi keluarganya pun mendukung ia tidak maju. Walaupun begitu, masih ada kemungkinan Iqbal maju lagi. Jika memang ternyata masih banyak dukungan terhadap dirinya untuk maju, ia tidak bisa langsung menyanggupi.


Ia mengaku tetap perlu istikharah terlebih dahulu. Hasil istikharahnya nanti yang akan menentukan maju tidaknya Iqbal pada pemilihan nanti. (Baca juga: “Achmad Iqbal: Saya Enggak Maju Lagi” di halaman 16). Niat untuk menemui Haryadi akhirnya Skëtsa urungkan. Pasalnya, setelah ditelusuri, usia mantan Dekan FEB (sebelum Pramono Hari Adi) itu telah melampaui 60 tahun. Ia kelahiran tahun 1954. Sedangkan persyaratan administatif seperti batas usia maksimal 60 tahun. Sehingga hampir bisa dipastikan ia tidak bisa maju pada pilrek 2018. Sebenarnya masih ada dua nama lagi yang diperkirakan akan maju di pilrek nanti. Keduanya adalah mantan Dekan FH Angkasa dan mantan Dekan FEB Pramono Hari Adi. Sayangnya, kedua nama tersebut tidak berhasil Skëtsa mintakan konfirmasinya. Selain kedua nama mantan dekan tadi, ada lagi mantan dekan lain yang namanya ikut disinggung dalam isu. Ialah Prof. Akhmad Sodiq, mantan Dekan Fakultas Peternakan (Fapet) Unsoed. Skëtsa sudah beberapa kali menyambangi kampus Fapet untuk menemui Akhmad Sodiq, namun ia selalu tak ada di tempat. Salah satu dosen di situ bilang bahwa Akhmad Sodiq memang sudah jarang sekali terlihat di kampus Fapet sejak ia sibuk sebagai Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Purwokerto. Ternyata, Akhmad Sodiq pun merupakan salah satu pendiri perguruan tinggi baru itu. UNU Purwokerto memang belum lama ini berdiri. Ia resmi berdiri sejak Menristekdikti Mohamad Nasir menyerahkan SK Pendirian UNU Purwokerto kepada Rektor Akhmad Sodiq saat pertengahan Februari lalu.

Siluet Patung Kuda Unsoed, Selasa (25/7). Foto: Marita Dwi Asriyani.

Pekerjaan Rumah Buat Rektor Suatu kali, Skëtsa mendatangi kediaman Prof. Rubiyanto Misman di Jalan Kampus, sebelah barat lapangan Grendeng. Kamis (12/7) sore itu, Prof. Rubi banyak berbicara tentang Unsoed. Dulu, alumnus pertama Fakultas Biologi Unsoed itu pernah memimpin almamaternya: menjadi Rektor ke-6 selama dua periode (1997-2005). Berdasarkan pengalamannya itu, ia membagikan perspektifnya tentang hal-hal yang perlu diperhatikan bagi rektor Unsoed, juga rektor baru kelak. Menurut pengalaman Rubi, sebagai rektor harus bisa adaptif, cepat menyesuaikan diri. Responsif terhadap perubahan merupakan sikap yang mesti dipunyai rektor, juga bertanggungjawab terhadap perubahan tadi. “Selalu ada gejolak pada mahasiswa untuk menuntut perubahan setiap waktu,” sambung Rubi, “baik pelayanan, fasilitas, dan segala macam.” Rubi mengingatkan tugas rektor masa ini tidaklah mudah. Persaingan antarperguruan tinggi begitu luar biasa, apalagi sudah ada ribuan perguruan tinggi di Indonesia, baik berstatus negeri ataupun swasta. Harus berhati-hati dalam menjaga kredibilitas agar Unsoed bisa berkembang. Lalu, bagaimana dengan perkembangan Unsoed saat ini? “Saya melihat biasa-biasa saja Unsoed sekarang. Datar-datar saja, belum ada sesuatu.” “Walaupun saya tahu ada beberapa dosen punya reputasi bagus,” kata Rubi, “cuma ya, belum bisa mengangkat citra Perguruan Tinggi Negeri menjadi melambung.” Rubi pun menyayangkan terkait peringkat Unsoed yang merosot. Berdasarkan “List Peringkat 100 Besar Perguruan Tinggi Indonesia Non-Politeknik Tahun 2017” yang dirilis oleh Kemenristekdikti, Unsoed menempati peringkat ke-25, satu peringkat di bawah Universitas Sriwijaya dan satu peringkat di atas Universitas Negeri Jakarta. Ia pun melanjutkan, ada hal yang menurutnya perlu jadi sorotan: semangat dalam hal penelitian dan publikasi terbilang lesu. Ia menggarisbawahi bahwa ada penurunan semangat sivitas akademika Unsoed untuk membuat penelitian yang bergengsi guna diterbitkan sebagai jurnal ilmiah. “Jurnal internasionalnya kurang, guru besar banyak yang pensiun, tapi regenerasi guru besarnya susah,” paparnya. Rubi pula menyebutkan ada beberapa indikator yang bisa digunakan untuk menakar kualitas sebuah universitas. Indikator yang dimaksud antara lain, performa kampus, output dari lulusan, pekerjaan lulusan, durasi waktu mahasiswa dalam menempuh studi, kualitas sumber daya manusia, hasil riset, dan publikasi jurnal internasional. Juga menurut penuturan Rubi, ada pula indikator tambahan, semisal berapa banyak lulusan yang jadi tokoh hebat. Mengangkat citra universitas dengan berpedoman pada indikator-indikator tersebut, seperti diujarkan oleh Rubi, adalah tugas rektor periode berikutnya. Rubi juga berpandangan bahwa visi Unsoed harus fokus pada cikal bakalnya di bidang pertanian. Terutama persoalan pangan mesti jadi perhatian Unsoed dalam perkembangannya sebagai “pabrik pengetahuan”. “Supaya kita tidak bergantung lagi pada impor.” Rubi pun melanjutkan, “Ini yang menjadi tantangan Unsoed sebagai knowledge factory. Kita harus mandiri, berdikari,” imbuhnya lagi, “apalagi kita sebagai negara agraris terbesar.”


Sosok Rektor Idaman Kepada Skëtsa, Prof. Totok menyampaikan harapannya untuk rektor yang terpilih di Pilrek 2018. Ia mengharapkan, rektor yang terpilih nantinya adalah orang yang paham benar keadaan Unsoed saat ini. Rektor yang baru juga harus bisa membina komunikasi dengan mantan-mantan rektor periode sebelumnya, dalam hal ini menjadikannya sebagai penasihat. “Rektor yang terpilih harus bisa mengidentifikasi kelebihan-kelebihan apa yang sudah dilakukan rektor (periode sebelumnya-red). Kemudian dia akan melihat kelemahan mana yang harus diatasi,” begitu terang Totok. Riyan juga menyampaikan pandangannya tentang kriteria rektor yang ideal baginya, ialah sebagai representasi dari mahasiswa. Menurut Riyan, seorang rektor mesti memiliki komitmen yang tinggi terhadap ilmu. Komitmen Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani yang tinggi itu akan tampak dari tindakan-tindakannya, demikian kata dia. Pada intinya, sikap-sikap yang ditunItulah pekerjaan rumah serta tugas untuk rektor baru jukkan oleh rektor haruslah didasari oleh kaidah ilmu. kelak. Ia harus bisa mengangkat citra Universitas dengan berSeorang rektor, menurut Riyan juga harus mengganpedoman pada indikator tadi. Dan, terkait visi tadi, tidak bisa drungi hal-hal yang berbau keterbukaan. Riyan menuntut hanya ditumpukan pada rektor semata, melainkan juga pada sikap pemimpin universitas yang lebih demokratis. Rektor adaseluruh pimpinan Universitas. “Banyak sekali yang mesti diang- lah figur yang mesti punya pandangan visioner, sehingga dia kat. Dan itu yang menjadi tantangan seorang rektor ke depan- selalu punya perspektif terhadap kampus yang dipimpinnya. nya,” tutur Rubi. “Bukan melulu semata soal pendidikan, tetapi mendidik anakSaat Skëtsa mewawancarai Prof. Totok, ia juga sempat anak bangsa,” kata Riyan. menyinggung tentang sejumlah hal yang perlu segera dibenahi Kendati Adhi Iman enggan membagikan daftar perkiraan Unsoed. Selaras dengan Prof. Rubi, Direktur Pascasarjana ini nama calon rektor potensial, Dosen Komunikasi Politik itu mau pun memandang publikasi jurnal internasional masih terbilang menyampaikan pandangannya soal kriteria rektor yang bisa lemah. Selain itu, ia pun menguraikan sejumlah persoalan lain dijadikan sebagai acuan bagi Unsoed ke depannya. Kriteria yang perlu jadi perhatian Unsoed. Contohnya seperti kemam- menurutnya yaitu rektor menyandang status pendidikan paling puan untuk menghasilkan paten dalam hak kekayaan intelek- tinggi, mampu membuka media komunikasi dengan pihak sivitual, pembuatan buku yang berkaliber (nasional maupun in- tas akademika, serta punya kredibilitas akademik. ternasional), serta penambahan jumlah mahasiswa asing. Sementara Prof. Rubiyanto Misman berpandangan bahSyahdan, pewarta Skëtsa juga mewawancarai Presiden wa seorang rektor harus memiliki jiwa kepemimpinan, manaBadan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsoed 2017 untuk dimintai jerial, dan juga berani mengambil suatu terobosan. Seorang pandangannya. Ialah Adhyatma Riyanto, mahasiswa FISIP ang- rektor baginya tidak cukup hanya duduk dan tinggal diam. katan 2013. Kamis malam, 13 Juli 2017, pewarta Skëtsa me- Lebih penting, rektor harus bisa berkolaborasi, menjalin kerja nemuinya di depan sekretariat BEM Unsoed di PKM Unsoed. sama dengan pihak luar seperti pemerintah daerah setempat, Wawancara berlangsung santai sembari duduk bersila. pihak-pihak luar negeri, industri-industri dan tokoh masyarakat. Riyan, begitu ia kerap disapa, menegaskan bahwa rektor Terakhir, Rubi mengingatkan tantangan rektor masa ini Unsoed nanti mempunyai sejumlah pekerjaan rumah yang begitu luar biasa. Masalah keuangan, manajemen, suasana mesti segera dituntaskan. Pekerjaan rumah tersebut khusus- kampus yang tidak kondusif, gejolak ekstrem anti-Pancasila, nya menyoal transparansi hingga penciptaan iklim kampus intoleransi, dan segala persoalan lainnya, jelas Rubi, semua yang demokratis dan transparan. Transparansi menyangkut penyelesaian itu kuncinya ada di tangan rektor. “Rektor harus keterbukaan anggaran dan permasalahan lainnya harus men- hati-hati. Enggak bisa santai-santai, dan harus rajin turun ke jadi perhatian. fakultas-fakultas, mengamati, komunikasi dengan mahasiswa,” Kampus menurut Riyan harus bisa memberikan banyak pesannya. kontribusi kepada masyarakat, setidaknya kontribusi pemikiran. Berikutnya, rektor diminta menghidupkan kembali semangat akademik di Unsoed. Menyoal pembangkitan semangat akademik di Unsoed yang mesti digiatkan oleh rektor, Riyan memberi permisalan, “Contoh, diskusi yang bermanfaat dan ilmiah Reporter: Yoga Iswara Rudita Muhammad, Intan Rifiwanti, yang mampu memberi usulan bagi pemerintah.” Rektor yang Aziz Dwi Apriyanto, Rachmad Ganta Semendawai dan terpilih nantinya harus bisa menciptakan iklim kampus yang Dara Nuzzul Ramadhan. demokratis dan transparan.


ACHMAD IQBAL: SAYA ENGGAK MAJU LAGI

Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani

M

asa kepemimpinan Achmad Iqbal sebagai Rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) akan usai pada Maret 2018. Tinggal menanti hitungan bulan lagi pemilihan rektor (pilrek) digelar. Secara syarat administrasi—seperti batas usia, Iqbal masih bisa ikut bergelut dalam pesta demokrasi itu. Namun, belakangan tersiar kabar bahwa ia tak akan nyalon lagi pada ajang pilrek mendatang. Kamis (13/7) jelang zuhur, kami menjumpai Achmad Iqbal di rumah dinas rektor di Jalan Kampus. Sambutan hangat kami terima. Dengan busana dominan biru bergaris putih, lengkap dengan peci yang menutupi rambutnya yang memutih. Hari itu, ia terlihat siap untuk diwawancarai. Ia membagi perspektifnya tentang seputar pilrek. Soal wacana pelibatan presiden dalam pilrek juga menjadi topik perbincangan. Berikut nukilan wawancara kami dengan Achmad Iqbal: Harian Suara Merdeka mengabarkan Bapak tidak akan maju lagi dalam ajang pilrek mendatang. Benarkah demikian? Ya, pada saat itu (21/6) pimpinan sedang buka bersama mengundang wartawan Banyumas. Saya diminta berbicara

apalah sedikit, sepatah dua patah kata. Lalu diberi pertanyaan, “Pak, apakah dalam pemilihan rektor tahun depan ini, Bapak mau nyalon enggak?” Oke, saya jawab begini, untuk pemilihan rektor seperti biasa, syaratnya usia maksimal 60 tahun. SK (tentang pengangkatan sebagai rektor) saya kemarin tanggal 28 Maret (2014). Saya lahirnya tanggal 31 Maret. Nanti tanggal 28 Maret 2018, usia saya 60 tahun kurang tiga hari, artinya masih memenuhi syarat administrasi. Untuk mencalonkan rektor tahun depan masih memenuhi syarat, karena masih ada lebih tiga hari. Bapak akan mencalonkan diri lagi? Kalau dilihat dari penilaian saya secara pribadi, saya kan melihat umur saya 60 tahun kurang tiga hari. Walaupun memenuhi syarat secara administrasi, saya menyadari sudah tidak selincah yang muda-muda, kan gitu? Oleh karena itu, secara pribadi saya itu rencananya sudah tidak akan mencalonkan lagi. Dari pewarta Suara Merdeka, ada kemungkinan Bapak bakal mencalonkan diri lagi. Itu bagaimana? Kalau saya pribadi, saya itu menyadari, enggak usah mencalonkan lagi.

Hati saya (menunjuk dada), karena batas maksimalnya “tinggal tiga hari” (dengan penekanan). Yang muda-muda kan masih banyak. Yang kedua, sebagai manusia biasa kan wajar lah ada kejenuhan di dalam memimpin lembaga. Kamu tahu, sebelum saya (menjadi) rektor, (sudah menjabat) dekan Faperta (Fakultas Pertanian) dua periode: 8 tahun. Tambah lagi ini (masa rektor 4 tahun), jadinya 12 tahun. Jadi wajar sebagai manusia mengalami kejenuhan. Yang ketiga, termasuk keluarga mendukung saya tidak maju. Kenapa? Istri saya kan dosen, kalau saya rektor, kan (istri) banyak ditinggal. Anak saya kan udah enggak di rumah sekarang. Anak cucu ada di Semarang. Anak yang kedua mau kuliah S2. Nah, kalau nyalon rektor lagi, ditinggal-tinggal terus kasihan toh, ibunya sendirian di rumah, walaupun dia dosen. Nah, itu saya sampaikan kepada wartawan. Itu kalau kepentingan pribadi, terus terang saja saya sudah enggak berminat. Cobalah pengertian, gantian lah. Tapi, kalau secara dukungan dari pihak luar bagaimana, Pak? Nah, makanya itu, ada pertanyaan dari wartawan. Kan pemilihan rektor ada


dua (dukungan suara) toh, dukungan dari senat dan dari menteri. Pertanyaannya, “Gimana kalau dukungan dari bawah, dari anggota senat banyak, masih mengharapkan bapak maju lagi, mencalonkan lagi?” Nah, saya menyadari, bahwa kita saling berdoa, panjangkan usia kami, tentu usia yang bermanfaat. Ngapain usia panjang tapi tidak bermanfaat, kan gitu? Saya sampaikan, kalau masih ada dukungan dan dukungannya banyak, saya tidak bisa bilang “iya”. Saya harus istikharah. Wajib saya istikharah. Sebabnya kenapa? Kalau dalam istikharah katanya Tuhan, Allah, memberi jalan maju, saya maju, bismillah. Kenapa? Saya yakin kalau saya akan diizinkan Allah (untuk maju), Allah akan melindungi saya selama saya menjabat. Tapi, kalau dalam istikharah (hasilnya) enggak, ya enggak maju. Ngapain? Kepemimpinan Bapak masih 8 bulan lagi. Apa yang belum tercapai di program kerja Bapak? Ya gini, kalau program kan tidak hanya tergantung kepada kita, banyak yang menentukan. Cita-cita saya, sebelum saya lengser, akreditasi institusi (Unsoed) harus A. Harus A. Tapi kan tidak hanya tergantung kepada saya. Kenapa? Sebetulnya gini. Saya masuk jadi rektor, itu akreditasinya masih B. Saya bilang, B kan jangka waktunya 5 tahun, saya minta maksimal 2 tahun sudah harus A. Oke, buat tim! Tapi kendalanya apa? Kita enggak punya statuta. (Statuta) terakhir 2004, sudah enggak (relevan). Iya, kan? Saya buat statuta. Harus statuta lebih dulu. Statuta itu adalah rohnya perguruan tinggi. Nah, sementara statuta bukan kita yang menentukan, (tapi) Menteri (Ristekdikti). Walaupun kita yang membuat, Menteri yang tanda tangan. Tapi kan enggak semudah itu, kan harus ada dialog. Nah, barulah sekarang ini, (statuta) baru turun. Statuta itu salah satu langkah menuju target akreditasi A? Coba kamu (pikirkan), bagaimana kalau enggak punya statuta itu. Kalau mau mengajukan akreditasi, (tapi) enggak punya statuta, dapat B itu syukur alhamdulillah. Enggak punya arah, enggak

punya roh, mau ke mana? Oleh karena itu, harus statuta dulu. Mudah-mudahan sebelum saya lengser, institusi akreditasinya bisa A. Tapi enggak mungkin akreditasinya A kalau statuta enggak ada. Jelas? Makanya statuta itu saya genjot. Udah ada sekarang, enak. Yang menggantikan saya enak. Terkait mekanisme pemilihan rektor, sudah idealkah porsi hak suara Menteri sebesar 35%? Ideal atau tidak ideal sudah aturan dari atas. Kita enggak bisa membantah, enggak bisa. Kita sebagai bawahan, ya harus patuh kepada aturan. Saya enggak mau mendiskusikan ideal tidak ideal. Yang penting itu aturan dari atas, harus tunduk dan patuh kepada itu. Karena jika tidak tunduk, tidak patuh, pemilihan rektor tidak sah. Bagaimana tanggapan Bapak terkait wacana pilrek akan melibatkan presiden? Saya ada di sana (halaman Gedung Kemendagri), pas upacara hari lahir Pancasila itu kan (1/6), Menteri Dalam Negeri sambutan. Nah, sambutannya kok seperti itu, salah satu diantaranya, isinya bahwa presiden terlibat dalam pemilihan rektor. Kalau menurut saya, terlalu jauh kalau presiden mau terlibat langsung dalam pemilihan rektor. Lah, ngapain punya Menteri? Menteri kan membantu presiden. Memangnya perguruan tinggi di Indonesia ada berapa? Ratusan! Kapan Presiden mikirin yang lain, mikir negara? Enggak usah ikut-ikutan (pilrek) lah, Menterinya aja. Saya juga heran, kenapa Mendagri yang nyampein. Tjahjo Kumolo ngapain? Harusnya Menristekdikti, Pak Nasir (yang menyampaikan). Kan tupoksinya sendiri-sendiri. Ngapain Menteri Dalam Negeri? Logikanya kan begitu. Terkait pandangan Bapak dalam pilrek nanti, persaingan bakal ramai atau tidak? Kalau dilihat dari aturan itu (Peraturan Menristekdikti No. 19 Tahun 2017), paling tidak lima bulan sebelum habis, sudah ada proses, berarti pilrek nanti mulai Oktober. Sekarang bulan Juli, tinggal tiga bulan, tapi masih sepi-sepi saja. Saya heran juga, kenapa ini?

Harusnya sudah ramai? Bukan ramai. Seharusnya kan, sudah ada suhu politik hangat, tapi ini enggak, ini sepi. Dulu (pilrek 2014), wah, udah ramai, dua tahun sebelumnya sudah mulai bisik-bisik tetangga. Ini tiga bulan masih sepi-sepi aja. Dan saya belum dengar, belum ada yang bisik-bisik ke saya: “Pak, saya mau maju”. Apa harapan Bapak kepada rektor baru nanti? Apa yang harus dilakukan rektor baru? Jadi, Rektor ke depan itu, reforma birokrasi harus tahu, statuta harus tahu, sehingga arahnya Unsoed ke mana itu, di situ. Harus belajar! Sudah cape-cape bikin statuta. Reformasi birokrasi, harus patuh, koridornya itu. Di samping harus taat, patuh kepada aturan yang berlaku, juga jangan merekayasa aturan. Kita harus bertindak yang benar, bukan pembenaran! Ada wejangan Bapak untuk rektor baru kelak? Ya itulah, kalau menurut saya, pemimpin itu sebagai manusia biasa kan, pasti ada baik, ada kelemahannya. Harapan saya, pemimpin yang baru itu, apa yang sudah saya lakukan menurut umum itu baik, ya dilanjutkan. Kalau enggak baik, jangan. Saya merasa enggak sempurna. Wong saya manusia biasa, bukan malaikat, masih makan, masih punya nafsu, keinginan. Itu harapan saya yang nomor satu. Nah, yang kedua, nanti siapapun yang memimpin harus mempunyai sifat mengayomi, adil. Jangan membeda-bedakan si A, si B, si C, suku A, suku B, suku C, agama A, agama B, agama C. Karena memimpin adalah seni. Seni bagaimana? Bagaimana meyakinkan Anda misalnya, iya kan? Seni bagaimana mengayomi, seni melayani, bukan merasa pemimpin minta dilayani. Seni memecahkan masalah, bukan bagian dari masalah. Mencari kebenaran, bukan pembenaran.

Reporter: Intan Rifiwanti dan Rachmad Ganta Semendawai.


“Hukum tak lagi pandang bulu, tetapi pandang dulu!�

Ilustrasi: Reza Yahya



Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani



KALAU ADA SUARA PRESIDEN Oleh: Emerald Magma Audha dilakukan oleh senat bersama Menteri. Di tahap ini, Menteri punya hak suara, yakni 35 persen hak suara dari total pemilih yang hadir, 65 persen selebihnya dimiliki oleh senat, yang mana masing-masing anggota senat memiliki hak suara yang sama. Dalam melaksanakan haknya (hak suara 35 persen), Menteri dapat memberikan kuasa kepada pejabat yang ditunjuk. Ihwal porsi 35 persen itu yang sampai sekarang masih jadi polemik di kalangan sivitas akademika, lantaran banyak yang menilai porsi itu terlalu besar. Selanjutnya, calon yang mendulang suara terbanyak ditetapkan sebagai calon Pemimpin PTN terpilih. Terakhir, pada tahap penetapan dan pelantikan, calon yang terpilih akan ditetapkan dan dilantik oleh Menteri sebagai pemimpin PTN (Rektor). Dari wacana tadi—yang dilontarkan oleh Mendagri, Skëtsa berniat mendalaminya melalui tulisan ini. Untuk itu, Skëtsa pun mengumpulkan berbagai pandangan dari para

Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani

A

chmad Iqbal tergemap ketika ada kabar bahwa presiden akan dilibatkan dalam pemilihan rektor menyesaki rongga telinganya. Ia mengingat betul bahwa kabar itu disampaikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, dalam pidatonya saat upacara peringatan hari lahir Pancasila, Kamis (1/6). Upacara itu digelar di halaman gedung Kemendagri, dihadiri oleh 63 rektor—termasuk Achmad Iqbal (Rektor Unsoed)—perguruan tinggi (negeri dan swasta) se-Indonesia. Achmad Iqbal pun heran, kenapa malah Mendagri yang menyampaikan hal itu, kenapa bukan Menristekdikti (Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi)? “Tjahjo Kumolo ngapain? Harusnya Menristekdikti, Pak Nasir (yang menyampaikan). Kan tupoksinya sendiri-sendiri. Ngapain Menteri Dalam Negeri? Logikanya kan begitu,” ujar Iqbal, 13 Juli lalu (Baca juga: “Achmad Iqbal: Saya Enggak Maju Lagi” di halaman 16). Kendati sudah ada klarifikasi dari Tjahjo Kumolo bahwa itu baru sekadar usulan yang akan dikonsultasikan dulu ke Presiden, wacana ini pun banyak menuai pro-kontra. Pun soal wacana itu, belum jelas teknis mekanismenya bakal seperti apa. Tjahjo tidak menjabarkan itu. Namun, Tjahjo memastikan bila proses pemilihan rektor tetap melalui proses seleksi di senat perguruan tinggi bersama Menristekdikti. Alasan Tjahjo mewacanakan itu? Tjahjo bilang untuk menangkal paham radikal tumbuh di dunia kampus. Bahkan Tjahjo mengungkapkan sudah ada seorang dekan yang baru ketahuan terindikasi jaringan ISIS ketika menjelang pelantikannya sebagai rektor di sebuah PTS. Itu berdasarkan informasi dari Menristekdikti, kata Tjahjo. Soal mekanisme pemilihan rektor, telah diatur dalam Peraturan Menristekdikti Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri. Dalam peraturan tadi, ada rangkaian mekanisme pilrek meliputi tahap penjaringan bakal calon, penyaringan calon, pemilihan calon, dan terakhir tahap penetapan dan pelantikan. Di tahap penjaringan bakal calon dilakukan oleh senat perguruan tinggi. Pada tahap ini harus menghasilkan minimal empat bakal calon. Selanjutnya, pada tahap penyaringan calon, mulai ada pengerucutan dari empat bakal calon menjadi tiga calon. Setelah itu, senat menyampaikan tiga nama calon itu kepada Menteri. Pada tahapan inilah Kemenristekdikti mulai masuk. Meski begitu, dalam penilaian dan penetapan tiga calon oleh senat dalam rapat senat tertutup, pejabat Kementerian yang hadir tak mengantongi hak suara. Kemudian, masuk ke tahap pemilihan calon. Dalam pasal 9 ayat (2), pemilihan dilakukan dalam rapat senat tertutup yang


dosen yang ahli di berbagai kajian ilmu. Selain itu, Skëtsa pula mewawancarai salah satu mantan Rektor Unsoed, Prof. Rubiyanto Misman untuk dimintai tanggapannya. Tanggapan dari narasumber lain juga ikut dinukilkan dalam laporan ini. *** Selasa (12/7) menjelang zuhur, Skëtsa menjumpai Dr. Abdul Aziz Nasihuddin, S.H., M.M., M.H. di Ruang Bagian Hukum Administrasi Negara di kampus Fakultas Hukum Unsoed. Ia dosen Hukum Administrasi Negara. Dengan warna kemejanya yang sama dengan rambutnya yang cepak: putih, ia tampak siap untuk diwawancarai. Tuturnya tenang dengan nada yang pelan selama ia membagikan perspektifnya seputar pilrek, dari awal sampai akhir. Abdul Aziz melihat ada intervensi dari pemerintah dalam pemilihan rektor (selanjutnya saya singkat pilrek), tampak dari hak suara Menteri yang cukup besar—35 persen. Gedung Rektorat (GR) Unsoed, Selasa (25/7). Foto: Marita Dwi Asriyani. Bila benar wacana dari Tjahjo itu jadi diterapkan, maka ada peningkatan intervensi pemerintah. Hal ini akan tangan senat perguruan tinggi. Bentuk partisipasi mahasiswa bisa dengan menyuarakan menghilangkan nilai otonomi kampus. kriteria-kriteria rektor yang didamba mahasiswa itu apa saja, Dia menyatakan kampus sebagai pencetak generasi begitu juga kriteria rektor menurut karyawan dan dosen itu penerus harus selalu independen dalam menjaga keilmuanseperti apa. Dari berbagai masukan tadi bisa dijadikan pertimnya, agar tidak terpengaruh oleh politik. Sambungnya, presibangan bagi Senat dalam memilih rektor. “(Dengan) merekam den adalah jabatan politis, dipilih rakyat melalui partai tersuara sivitas akademika itu, bisa dibawa ke senat universitas. tentu, sehingga kental nuansa politis. Mekanisme pilrek yang Ini loh, kriterianya mahasiswa, karyawan, dosen. Dengan begisekarang—dengan melibatkan Menteri—pun sudah politis. tu kampus (menjadi) lebih harmonis.” Apalagi jika rektor dipilih oleh pejabat politis seperti presiden, Ia pula mewanti-wanti, wacana yang dilontarkan Menkampus akan semakin bernuansa politis. “Tapi, kalau Menteri dagri malah bisa menyulut gejolak di semua kampus. Menuruttidak memiliki (hak suara) 35 persen, saya yakin kampus tidak nya, jika rektor hanya dipilih presiden, kemungkinan akan ada akan politis seperti ini,” tegasnya. daya tolak tinggi dari sivitas akademika. “Kan bisa jadi pilihan Apakah wacana pilrek yang melibatkan presiden akan presiden itu tidak sesuai dengan (keadaan) sivitas akademika, menambah panjang jalur birokrasi? Menurut Abdul Aziz, jelas sehingga akan terjadi penolakan.” jalur birokrasinya akan lebih panjang. Walaupun wacananya *** rektor akan dipilih presiden langsung, namun dia menduga Di Ruang Rapat jurusan Ilmu Administrasi Negara di kamproses pilrek dalam wacana itu tetap akan melalui jalur Menpus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed, ada teri dulu, baru kemudian sampai ke tingkat presiden. Dia pun pria tengah duduk di depan komputer. Usianya kira-kira sukembali menekankan, “Kan tidak mungkin dipilih oleh presiden dah ada setengah abad, walakin dia masih tampak sumringah. tanpa melalui Menteri. Pasti kan tetap melalui Menteri.” Dialah Dr. Sukarso, M. Si., salah satu pengajar di jurusan Ilmu Ketika ditanya soal sikap dia dengan wacana tadi, dengan Administrasi Negara FISIP. Dia pun ramah saat menjawab perlugas dia menjawab tidak setuju. Pilrek jadi kurang demokratis. tanyaan-pertanyaan dari awak Skëtsa. Bahkan, Abdul Aziz menyatakan, hak suara Menteri dalam pilTidak sedikit yang khawatir, jalur birokrasi yang harus rek juga harus dicabut, “Jangan ada intervensi. Biarkan senat, dilalui akan semakin panjang bila wacana pilrek dipilih oleh biarkan!” ujarnya mantap. Dia pun beranggapan terlalu jauh presiden jadi diterapkan. Sukarso malah berpendapat sebila presiden harus terlibat dalam pilrek. Banyak hal lebih penbaliknya, proses birokrasi yang ditempuh justru akan lebih ting yang mesti diurusi presiden, “Memang presiden kurang pendek dibanding dengan proses pilrek yang sekarang. Sukerjaan? Kepentingan negara lebih banyak toh, (kok) ngurusi karso lebih lanjut menerangkan, di dalam birokrasi terdapat kampus-kampus.” stratifikasi, di setiap stratifikasi ada diskresi. Dari diskresi itu, Apabila dalam perkembangannya ada tuntutan yang setiap unit punya kebebasan untuk menafsirkan peraturan menghendaki proses pilrek lebih demokratis dari yang seyang ada di atasnya. Misalnya, Presiden membikin aturan, karang, menurut Abdul Aziz, malah mahasiswa bisa ikut dilimenteri di bawahnya punya kebebasan untuk menafsirkan batkan. Bentuk pelibatannya seperti apa? Dari pendapatnya, peraturan tadi sepanjang tidak bertentangan, begitu seterusketerlibatan mahasiswa bukan berarti kudu ikut “mencoblos” nya. calon rektornya siapa, kewenangan memilih rektor tetap ada di


Ilustrasi: Reza Yahya

Kesimpulannya, menurut Sukarso mekanisme pilrek yang sekarang secara birokrasi malah justru lebih panjang. Kalau wacana tadi benar diberlakukan, yang hilang itu kebebasan-kebebasan tadi. Artinya, ketika presiden memilih rektor langsung, kebebasan-kebebasan tadi tidak lagi diberikan kepada menteri, dirjen, dan perguruan tinggi. “Bukannya memperumit, memperumit itu aturan yang dulu (mekanisme yang sekarang-red). Kalau dipilih presiden malah jauh lebih sederhana, enggak pakai menteri dan seterusnya,” jelas Sukarso, kala ditemui pada Jumat, 13 Juli 2017. Sukarso pun melanjutkan, yang menjadi masalah adalah kebebasan senat. Senat tidak lagi bebas memilih rektor seandainya wacana itu jadi. Hal tersebut bisa menjadi tengarai ketidakpercayaan presiden kepada apa yang ada di bawahnya, begitu kata Sukarso. Pengajar Analisis Kebijakan Publik itu juga menerangkan, memang sejak awal pilrek sudah menjadi kewenangan presiden secara formal. Itu bisa dilihat dari surat keputusan presiden tentang pengangkatan rektor. Sehingga secara formal tidak akan menambahi kewenangan presiden. Kemudian pada perkembangannya hingga sekarang, Menristekdikti punya hak suara 35 persen. Itu artinya perguruan tinggi merupakan subordinat dari kewenangan presiden. “Ya, kalau mau diminta lagi (haknya), ya terserah (presiden). Kalau memilih rektor itu memang sudah menjadi hak presiden.” Walau begitu, ada kekhawatiran kalau model pilrek seperti yang diwacanakan itu sudah diafiliasi dengan partai politik. Sukarso pun mencontohkan, seperti jabatan menteri yang bukan jabatan netral. Menteri dipilih berdasarkan partai politiknya, makanya pertimbangannya itu politis, “Jadi, kalau menteri itu bodoh, ya enggak papa, yang penting bisa “dipake”. Ia (menteri-red) pejabat publik yang dipilih berdasarkan pertimbangan politik, bukan pertimbangan pinter,” begitu ucapnya. Idealnya, menurut pendapat Sukarso, perguruan tinggi merupakan sumber pengembangan ilmu yang harus independen. Ilmu tidak berafiliasi dengan kekuasaan. Presiden seringkali kesulitan membedakan perannya antara sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Posisi demikian yang menurut Sukarso menjadikan presiden sulit dalam menentukan sikap. Jika sebagai kepala pemerintahan, berarti bisa berafiliasi dengan kekuatan pemerintahan sekarang, “Jokowi, misalnya, dia dekat dengan PDI-P, PKB. Nah, kekuatan itu yang ikut menentukan sia-

pa yang jadi rektor. Tapi, kalau Jokowi sebagai kepala negara, itu yang lebih netral, bebas pengaruh.” *** Pada suatu Kamis, 12 Juli 2017 di kampus FISIP. Pukul 1 siang di Ruang Dosen Jurusan Ilmu Politik, Drs. Syah Firdaus, M. Si. menerima pewarta Skëtsa dengan terbuka. Dosen yang mengajar Sistem Politik Indonesia itu bersedia untuk diwawancara. Kemungkinan proses pilrek bakal seperti apa ketika presiden ikut dilibatkan? Syah Firdaus beranggapan, ketika wacana keterlibatan presiden dalam pilrek akan diterapkan, proses penyaringan calon rektor tetap ada di tangan senat perguruan tinggi. Kemudian, dari dua sampai tiga calon rektor yang sudah “digodok” oleh senat, senat tinggal mengajukannya ke presiden. Jadi, presiden tinggal memilih rektor dari calon-calon rektor yang sudah diajukan senat. Biarpun demikian, dia berpandangan, proses pilrek yang melibatkan presiden malah akan berlawanan dengan semangat desentralisasi saat ini. “Masa iya, sekarang mau dikembalikan lagi (ke sistem sentralisasi-red). Itu yang menjadikan anomali, ironis banget! (Namun), saya bisa jawab, itu bisa disiasati dengan pemilihan rektor yang ending-nya kualitas, berpengalaman. Biarpun (rektor yang dipilih) masih muda, asalkan berkualitas tidak masalah, daripada tua tapi ngomong doang,” begitu pendapat dosen yang juga mengajar Teori Desentralisasi. Tatkala ditanya, adakah kemungkinan wacana pilrek tadi jadi ajang politisasi suara, Syah Firdaus lantas menjawab tidak akan. Sebab presiden jelas akan lebih mengutamakan sosok calon rektor yang nasionalis, ketimbang pada sosok yang berlatar golongan tertentu. “Karena perguruan tinggi negeri, maka harus berpandangan negeri. Kecuali,” lanjutnya, “kalau universitas Muhammadiyah atau NU, (rektornya) itu harus dari kalangan itu.” Soal proses pilrek yang sekarang, dia mengatakan bahwa mekanisme pilrek harus transparan. Senat sebagai utusan para dosen, tidak boleh hanya mewakili kelompoknya saja. Sebaliknya, senat harus mewakili suara para dosen dalam proses memilih sosok rektor. *** Dr. Tedi Sudrajat, S.H., M.H. masih terbilang cukup muda. Malah, usia dosen Hukum Kepegawaian itu belum genap 4 dekade. Senin, 17 Juli 2017, Skëtsa menemuinya di Ruang


Jurnal Dinamika Hukum di kampus FH. Wawancara dengannya berlangsung santai. Dia menjelaskan, jika melihat pada aturan Permenristekdikti No. 19 Th. 2017, secara legal formal kewenangan memilih dalam proses pilrek tetap melekat pada Menteri. Namun, apabila ada yang tak sepakat dengan aturan tersebut, bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung. Tak sedikit yang menolak wacana proses pilrek dipilih presiden lantaran bisa menghilangkan demokrasi di perguruan tinggi. Terkait perihal tersebut, Tedi menerangkan sambil menukil pendapat dari Prof. Jimly Asshiddiqie—yang pernah dimuat di pemberitaan di beberapa media. Ada kekhawatiran pada sistem pemilihan rektor yang diberlakukan secara demokratis seperti sekarang, justru memberikan dampak politis pada perguruan tinggi. Sedangkan proses penunjukan rektor oleh presiden dinilai lebih transparan, kendati presiden merupakan tokoh politik. Di Amerika Serikat, jelas Tedi, rektor perguruan tinggi ditunjuk langsung oleh presiden tanpa melalui proses pemilihan. Sebab perguruan tinggi adalah lembaga teknis, bukan lembaga politis. Makanya Prof. Jimly (Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara FH Universitas Indonesia) berpendapat sebaiknya rektor ditunjuk oleh presiden, tidak perlu melalui proses pemilihan. “Seharusnya kita menggunakan atau mengadopsi sistem di Amerika Serikat,” begitu kata Tedi. Tedi beranggapan, proses pilrek dipilih oleh presiden bukanlah suatu permasalahan bila dilihat dari segi administratif. Lanjutnya, secara konstitusional pun Menteri merupakan pembantu presiden dalam penyelenggaraan pemerintah. Ketika kewenangan Menteri—dalam hal memilih rektor sebagaimana diatur dalam Permenristekdikti No. 19 Th. 2017—akan ditarik lagi ke presiden, tidak akan menjadi persoalan, sebab kekuasaan tertinggi tetap melekat pada presiden. Menurut Tedi, yang menjadi persoalan adalah peraturan yang memberikan wewenang tersebut kepada Menristekdikti, “Nah, kalau memang pengin dirubah mekanismenya, buat peraturan baru,” terangnya. Tedi menguraikan, ada tiga pola macam proses penentuan rektor yang bisa digunakan dalam pilrek: full otonomi kampus (pemilihan rektor diserahkan sepenuhnya kepada perguruan tinggi); lalu, penentuan rektor menjadi kewenangan penuh pemerintah (seperti di Amerika Serikat); atau, mekanisme titik tengah yang merupakan gabungan dari dua pola tadi. Mekanisme titik tengah inilah yang saat ini tengah diadopsi di Indonesia, karakteristik itu tampak dari proses pilrek yang sekarang: hak suara 65 persen dimiliki oleh senat dan 35 persen dimiliki Menristekdikti. Dari ketiga pola itu, menurut Tedi sama-sama memiliki potensi. Jika menerapkan full otonomi kampus, pemilihan rektor akan bercirikan demokrasi penuh, namun cenderung bisa menimbulkan gesekan panas pada atmosfer proses pemilihannya. Lalu, pada penentuan rektor seperti di Amerika Serikat, yang

mana otoritas penuh ada di tangan pemerintah juga bisa menimbulkan kecurigaan di kalangan perguruan tinggi. Sedangkan, pada proses pilrek yang sekarang pun ada potensi celah seperti yang pernah diisukan oleh KPK tahun lalu. KPK waktu itu mengindikasikan pemilihan rektor di PTN tidak transparan, sehingga rentan suap dan permainan makelar jabatan. Tedi menambahkan, ada kemungkinan potensi politik yang cukup tinggi pada pola full otonomi kampus. Kalau penunjukan rektor diserahkan sepenuhnya pada presiden, malah ada potensi subjektivitas di situ. Selain itu, ada kecemasan apabila profil rektor yang dipilih presiden tidak sesuai dengan keadaan perguruan tinggi. Setelah menimbang berbagai potensi dari ketiga pola tadi, Tedi menyatakan lebih mendukung pada pola mekanisme titik tengah seperti pilrek waktu ini. Walakin dia mempertanyakan apa dasar pertimbangan dalam penentuan porsi hak suara 35 persen yang dipunyai Menteri. “Tetapi, presentasenya, saya tidak menemukan dasar filosofis angka 35 persen itu dari mana? Seharusnya angka 35 persen itu muncul karena apa?” Tedi lanjut menjelaskan, proses pilrek sekarang sudah ada pengawasan melalui Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Ketika ada kesalahan prosedur atau mekanisme yang disimpangi, maka ada peran dari KASN untuk mengawasi proses itu. Dia pun menekankan, pengawasan dari internal perguruan tinggi juga perlu diperkuat, “Jangan hanya melibatkan Komisi Aparatur Sipil Negara, tapi juga ada pengawasan internal yang kuat, kemudian pengawasan dari sivitas akademika.” Terkait bentuk pengawasan, menurut Tedi, bisa dengan penggalian informasi sejak dini tentang rekam jejak serta profil dari masing-masing bakal calon rektor pada saat tahap penjaringan bakal calon, “…. (Lalu), berikan laporan-laporan tentang empat bakal calon itu,” jelasnya begitu. *** Kira-kira pukul 4 sore Kamis (12/7), Skëtsa menemui Dr. Adhi Iman Sulaiman, S.Ip., M.Si. di Ruang Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed. Ia merupakan Dosen Komunikasi Politik. Menurut pandangannya, tentang wacana tadi apabila diterapkan, kurang begitu bagus untuk demokratisasi kampus. Adhi Iman berpikiran, jangan sampai kekuasaan politik tingkat negara masuk ke ranah perguruan tinggi dari segi kewenangan. Sekalipun perguruan tinggi saat ini belum bisa netral sepenuhnya, keadaan perguruan tinggi akan kurang sehat apabila presiden ikut terlibat dalam proses pilrek. “Apa fungsinya otonomi daerah jika diberlakukan seperti itu? Menurut saya, ini sebuah kemunduran. Bahkan Menteri, menurut saya juga jangan ikut campur”, begitu pendapatnya. Sementara itu, Syah Firdaus malah berpandangan, di era desentralisasi seperti sekarang, dia setuju jika wacana pelibatan presiden dalam pilrek diterapkan di perguruan tinggi yang masih berstatus Badan Layanan Umum (BLU) seperti Unsoed. Akan tetapi, apabila diterapkan di perguruan tinggi yang telah berstatus Badan Hukum, dia tak sepakat.


“Ada tiga pola macam proses penentuan rektor yang bisa digunakan dalam pilrek: full otonomi kampus; penentuan rektor menjadi kewenangan penuh pemerintah; atau, mekanisme titik tengah yang merupakan gabungan dari dua pola tadi.” Pertimbangannya, perguruan tinggi BLU memang belum mampu dalam hal pengelolaan usaha secara mandiri. Berbeda dengan perguruan tinggi berbadan hukum seperti Universitas Gadjah Mada yang telah mandiri dalam pengelolaan usaha. *** Skëtsa menjumpai Prof. Rubiyanto di kediamannya—arah barat dari lapangan Grendeng, pada Kamis (12/7) sore. Kediaman salah satu mantan Rektor Unsoed itu dekat dari kampus Unsoed, tepatnya pinggir jalan Kampus. Ia pun bersedia membagikan pandangannya terkait wacana pelibatan presiden dalam pilrek. Menurut Prof. Rubi, perguruan tinggi negeri mesti diberi kebebasan dalam mengelola kampusnya. Menteri, apalagi presiden tidak perlu mencampurinya. “Kalau saya pikir universitas itu sudah tidak perlu direcoki lah. Universitas itu tempatnya profesor, masa sih masih direcoki presiden, menteri,” sambung Prof. Rubi, “Menteri (Menristekdikti-red) aja belum tentu pernah jadi rektor. Biarin aja lah perguruan tinggi negeri diberikan kebebasan.” Alasan radikalisme dalam wacana yang diusulkan Mendagri, menurut Rubi adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan. “Yang memilih rektor kan senat sendiri. Senat, saya kira tahu calon yang ikut aliran radikal. Kalau tahu,” kata Prof. Rubi, “kayaknya juga enggak bakal laku di kampus. Masyarakat kampus udah tahulah. Ketahuan dari tingkahnya, dan itu juga tidak disukai oleh rekan sejawatnya. Mahasiswa pun juga begitu.” Rektor ke-6 Unsoed itu menyebutkan, internal perguruan tinggi seperti senat dan para dosen yang lebih paham terpaut pribadi serta sepak terjang dari calon rektor. Sebaliknya, Menteri cuma tahu nama-namanya saja. “Seorang dosen memilih calon, seorang senat memilih calon pastikan udah tahu kualitasnya. Kalau Menteri kan enggak ngerti,” ungkap Prof. Rubi. Secara terpisah, kala Achmad Iqbal dimintai tanggapan, menurutnya terlalu jauh kalau presiden dilibatkan langsung dalam pilrek. Presiden tidak perlu terlibat langsung, sebab sudah ada peran Menteri sebagai pembantu presiden dalam proses pilrek. Rektor Unsoed itu pun berujar, “Memangnya perguruan tinggi di Indonesia ada berapa? Ratusan! Kapan presiden mikirin yang lain, mikir negara? Enggak usah ikut-ikutan lah, Menterinya aja.” Sekitar pukul 11 menjelang solat Jumat. Pada 14 Juli 2017, di Gedung Pascasarjana, di Ruang Direktur, Skëtsa menemui Prof. Totok Agung Dwi Haryanto. Di hari itu, Prof. Totok baru saja menghadiri pelantikan lima dekan baru Unsoed di Gedung

Soemardjito. Direktur Pascasarjana Unsoed itu pun bersedia untuk dimintai tanggapannya. Menurut Prof. Totok, pelibatan presiden dalam pilrek terlalu berlebihan, sebab banyak pekerjaan presiden yang mesti diurusi sebagai kepala negara. Dengan porsi hak suara 35 persen yang dimiliki Menteri dalam proses pilrek, menurut Prof. Totok itu sudah mewakili presiden. Menteri pun yang paling tahu keadaan perguruan tinggi ketimbang presiden. Dengan begitu, kata Prof. Totok, Menteri pun sudah memadahi untuk memilih rektor. “Jadi, bapak presiden jangan terlalu memikirkan soal pemilihan rektor. Pak presiden urusan yang besar-besar saja,” begitu tutur Guru Besar Fakultas Pertanian Unsoed itu. Terkait alasan menangkal radikalisme di perguruan tinggi, menurut Prof. Totok, tidak harus dengan melibatkan presiden dalam proses pilrek. Prof. Totok berpandangan, benih-benih radikalisme bisa terjadi di semua lapisan masyarakat, baik di kampus maupun di luar kampus. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, di kampus Unsoed pun ada benih radikalisme. Penyebaran paham radikalisme bisa terjadi secara nasional lantaran belum ada pola pembinaan kemahasiswaan yang efektif. Dia menyampaikan, mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang sedang mencari identitas, sehingga rentan terpengaruh paham radikal, “Ketika identitas itu tidak didapat oleh institusi pendidikan, maka akan diisi oleh pihak-pihak lain yang ada dalam masyarakat.” Untuk mencegah radikalisme, Prof. Totok memaparkan, lebih baik dilakukan dengan cara memperbaiki kurikulum pendidikan yang mampu menumbuhkan nilai kebangsaan dan cinta tanah air. “Kalau itu sudah mantap, maka nilai-nilai yang tidak sesuai dengan ideologi negara akan tereliminasi dengan baik.” Lantas, dalam upaya menangkal radikalisme di dunia kampus, lanjut dia, bukan hanya peran dari Kementerian saja, tetapi diperlukan sinergi yang baik dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat. Salah satu cara preventif yang baik untuk mencegah paham radikal di kampus, jelas Prof. Totok, yaitu dengan menghidupkan banyak kegiatan kemahasiswaan yang positif dan mengasyikkan. Seperti misalnya, ia lalu mencontohkan, perbanyak riset dan penelitian untuk mahasiswa dan dosen. Untuk non-kurikulum, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) juga memiliki peran. Namun, Prof. Totok menyayangkan, memang jumlah UKM itu banyak, tetapi peminatnya sedikit. UKM harus bisa didorong agar menjadi daya tarik bagi mahasiswa, “Ini harus didukung dengan dana kemahasiswaan yang memadai,” ujar Prof. Totok. Kemudian, organisasi kemahasiswaan tingkat nasional lainnya, menurut Prof. Totok juga harus diberi peluang untuk hidup di kampus, “Seperti GMNI, HMI, PMII, nah itu harus diberi kesempatan hidup di dalam kampus, supaya paham radikal lain tidak bisa masuk,” kata Prof. Totok begitu.

Reporter: Yoga Iswara Rudita Muhammad, Intan Rifiwanti, Aziz Dwi Apriyanto, Rachmad Ganta Semendawai dan Dara Nuzzul Ramadhan.


Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani


Ilustrasi: Reza Yahya


IKHTIAR MENGHIDUPKAN (KEMBALI) MARWAH MAHASISWA Oleh: Nurhidayat*

M

ahasiswa pernah menjadi garda utama perubahan keadaan bangsa Indonesia. Beberapa pencapaian mahasiswa—bersama pelajar, buruh, dan komponen pemuda yang lain—yang pada tahun 1908 melahirkan Boedi Utomo, 1928 melahirkan Sumpah Pemuda, 1945 menculik Soekarno guna mempercepat proklamasi kemerdekaan NKRI, 1974 melawan isu korupsi, dan akhirnya pada 1998 menurunkan Soeharto sekaligus melahirkan reformasi. Meski menurut Pramoedya Ananta Toer, dalam sebuah wawancara, gerakan 1998 gagal menciptakan people power karena tidak bisa menarik angkatan bersenjata untuk bergabung (contoh baiknya ada di Filipina), nyatanya kekuatan yang dibangun bisa meruntuhkan kekuasaan yang sudah tertanam kukuh sepanjang lebih dari tiga dekade. Gerakan yang saya sebutkan terakhir, ada dan besar karena krisis moneter yang semakin parah, selain karena adanya proses normalisasi kampus semenjak awal 90-an yang membuat mahasiswa jengah. Juga perlu dicatat dengan cermat bahwa beberapa di antara keberhasilan menyebabkan ceceran darah dan lenyapnya nyawa. Itulah beberapa bukti empiris yang selalu diagung-agungkan mahasiswa ketika memberikan wejangan kepada adik kelas yang baru masuk. Jelas, yang bicara sekalipun tak pernah merasakan masa-masa itu. Hanya saja, mahasiswa tetaplah mahasiswa. Gerakan itu adalah

gerakan mahasiswa. Semua yang berstatus mahasiswa berusaha dibawa kepada nuansa kekuatan. Penanaman pemahaman bahwa mereka adalah sebuah komunitas besar yang seharusnya tetap garang melawan ketidakadilan, selalu dipupuk. Intinya, mahasiswa ingin selalu diberi label “agen perubahan” dan “iron stock” untuk bangsa ini. Namun, apa daya? Mahasiswa pasca-1998 tak punya lagi apa yang dinamakan semangat zaman. Tak ada musuh, tak ada tantangan, selain tantangan guna demitosisasi fungsi dan peranan dalam tatanan kehidupan berbangsa. Tak ada larangan berorganisasi dengan beraneka ideologi, meski akhir-akhir ini muncul beberapa. Namun, yang sedang dilarang bukanlah organisasi yang kritis pada kesengsaraan rakyat, melainkan sebatas karena intoleransi dan isu makar. Mahasiswa yang menulis lalu diberedel juga akan selalu dibela. Sayang, sepertinya mahasiswa telah kehilangan arah dan tujuan dalam proses pengembalian kepercayaan itu. Daya tawar sudah tak ada karena mahasiswa tak sanggup lagi meyakinkan rakyat bahwa mereka adalah sosok agen perubahan. Akhirnya, sebagian besar mahasiswa menjadi sekadar penyandang status akademik kosong. Cukup tinggal di ruang kuliah dan kosan, yang penting IPK tinggi, lulus cepat, dan segera kerja. Tak terlihat lagi keringat perjuangan mahasiswa sebagai penggagas perubahan. Hal ini yang akan membuat, tanpa bunuh diri

sekalian pun, kelas mahasiswa sebagai agen perubahan perlahan mati. Memang tak semua, ini kecenderungan saja. Lalu siapa yang salah? Menurut saya nihil. Mahasiswa adalah korban dari perjalanan reformasi. Hanya mahasiswa yang ikut reformasilah yang merasakan reformasi. Mahasiswa sesudahnya tak begitu terpakai. Contohnya: pers mahasiswa kini tak laku dibaca. Media alternatif bernama pers mahasiswa kini kembang kempis, beberapa harus berjualan gorengan untuk sekadar bisa mencetak buletin 12 halaman. Juga demonstrasi mahasiswa yang kini pun hanya menjadi sekadar proker, tak sedikit berupa titipan. Kebijakan-kebijakan politik mahasiswa sangat tertebak. Gerak mahasiswa hampir tak pernah lagi menghiasi laman pertama media massa nasional, tidak memiliki nilai jual. Tulisan mahasiswa pun akan sulit sekali menembus relung pemikiran di opini atau kolom koran nasional. Tidak ada ruang yang disediakan kecuali kolom-kolom tulisan klise tanpa esensi yang benar-benar. Pemerintah atau siapapun sekarang, juga tak begitu takut kepada opini mahasiswa yang memang sudah tak sekuat dahulu. Kini, ketika gerak mahasiswa sangat leluasa, harusnya banyak yang harus dikerjakan. Namun, bentuk konsolidasi gerakan mahasiswa seringkali tidak logis dan terburu-buru. Sedikit-sedikit ingin menurunkan presiden. Yang berdemo pun kelompok-kelompok itu saja. Kelompok yang cenderung kritis


Ilustrasi: Reza Yahya

dan dialektis sekarang justru terserang penyakit konflik intern, meskipun konflik yang konstruktif lebih baik ketimbang hegemoni ketokohan. Meski jika suatu saat negara dalam keadaan mendesak, mahasiswa harus kembali memadati jalan, menunjukkan suara, keringat, dan perjuangan, semuanya harus dengan strategi yang matang. Gerak mahasiswa harus melihat keadaan, bukan sekadar mengada-ada. Tentu saja jika cara-cara seperti sekarang masih dipertahankan, akan kurang efektif untuk meyakinkan publik, terlalu gegabah. Dan media, tentu saja tak akan benar-benar memberi ruang untuk aksi tendensius yang dilakukan tanpa mewakili seluruh elemen mahasiswa alias hanya kelompok tertentu.

Meski mengaku lepas dari belenggu senior yang kini jadi politisi, mereka tak terkesan independen. Namun, apa yang dimiliki mahasiswa saat ini ketika mereka tak punya daya tawar? Idealisme mereka pun kini tak sanggup mencegah sikap koruptif, bahkan dari hal paling sederhana, tak banyak yang jujur di ruang kelas. Tentu jika kita melihat mahasiswa sebagai representasi pemuda, petuah Tan Malaka, pahlawan perjuangan kemerdekaan kita, masih berlaku. “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda,� katanya. Lalu, dengan apa lagi mereka berjuang jika idealisme yang paling sederhana saja sudah langka? Mahasiswa saat ini harus mulai demitosisasi fungsi dan peranan dengan mengubah pola perjuangan, harus ber-

sabar dan jangan gegabah. Mulailah dari hal kecil untuk meyakinkan bangsa ini bahwa mahasiswa adalah penerus bangsa yang seharusnya dipercaya. Caranya bagaimana? Usul saya, mahasiswa harus memulai merubah tatanan masyarakat kita yang koruptif dengan memberikan contoh, mulai dari kelas. Lalu, buatlah tulisan dan lakukan aksi-aksi damai yang menginspirasi. Hindari cara-cara lama dalam menggalang dana, juga beretikalah ketika melakukan tindakan apapun. Dengan perubahan pola tersebut, saya kira marwah mahasiswa akan kembali hidup, dengan versi lain, menjawab tuntutan demitosisasi peran dan fungsi mahasiswa. Semua langkah bangsa ini ada di dalam pemikiran dan tindakan angkatan pemuda, terutama mahasiswa. Dan ada satu hal lain yang menjadi tugas mahasiswa dalam mengendalikan kemerdekaan warisan leluhur: pendidikan politik. Demokrasi yang hancur adalah demokrasi yang tanpa adanya pendidikan politik dalam masyarakatnya. Lihatlah apa yang menjadi masalah di sana? Lihatlah ketika antarpaham saling mencaci, yang seagama mulai saling mengkafirkan, apalagi yang beda. Sesama miskin saling menyerang demi yang kaya dan agung. Rasio gini seperti layang-layang terkena angin barat, membumbung jauh menuju surga. Di mana-mana berjualan dua hal yang tetap laku sampai sekarang: uang dan agama. Pendidikan politik adalah salah satu kunci dan penggeraknya adalah kita, yang tumbuh bersama teknologi informasi. Nah, bisakah mahasiswa diharapkan untuk menjadi pendidik politik di desa-desa, kampung-kampung, kota-kota, dan pusat-pusat peradaban korup yang lain, ketika mereka masih menganggap bahwa kampus adalah menara gading: tempat suci untuk memuja-muja dan menyembah-nyembah nilai dan gelar akademik secara buta?

*NURHIDAYAT Aktif dalam LPM SkĂŤtsa, menulis beberapa esai dan cerita pendek, serta puisi ringkas.


LAUTAN PLASTIK, GUNUNG SAMPAH

P

ersoalan sampah memanglah hal yang klise. Meski begitu, masalah sampah masih saja menjadi polemik di berbagai negara, tak terkecuali di Indonesia. Sampah “menyebar” di daratan, menumpuk, lalu menjadi gunungan-gunungan sampah yang menjulang tinggi di setiap peradaban manusia. Sampah yang tak terkelola dengan baik, menghasilkan aroma tak sedap dan jadi sarang berkumpulnya bibit penyakit, juga berbagai lain masalah. Masalah sampah bukan hanya di daratan, namun tak sedikit sampah yang “berlayar” di lautan. Sadar atau tidak, Indonesia menempati urutan kedua sebagai penyumbang sampah plastik lautan terbesar di dunia setelah China, sedangkan urutan ketiga ditempati Filipina. Prestasi luar biasa miris yang “sukses” diraih Indonesia. Itu berdasarkan hasil penelitian Jenna Jambeck—peneliti asal Universitas Georgia, Amerika Serikat. Hal semacam ini harus ditanggapi dengan serius mengingat sampah plastik adalah sampah yang sulit terurai. Masalah sampah seakan menjadi PR bersama tiap negara. Banyak yang mengeluhkan besarnya volume sampah yang makin hari makin meruah. Belum lagi sampah yang berserakan tak karuan, sampah yang dibuang sembarang. Mungkin di beberapa negara, budaya buang sampah sembarangan sudah bisa dikikis, tetapi belum dengan negeri kita. Budaya buang sampah sembarangan yang tanpa berpikir panjang akibat darinya masih sering dijumpai. Dengan santainya, masyarakat—barangkali termasuk kita—membuang sampah seenaknya. Kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya terasa masih jauh dari harapan. Tak Terbendung Bahkan, ada pelesetan pepatah

Oleh: Aziz Dwi Apriyanto*

Ilustrasi: Reza Yahya

untuk menggambarkan fenomena perilaku manusia yang berbunyi demikian, “Gajah mati meninggalkan gadingnya, harimau mati meninggalkan belangnya, sementara manusia mati meninggalkan sampahnya”. Pelesetan ini mungkin akan tetap relevan sampai kapanpun, melihat kondisi manusia yang selalu memproduksi limbah sampah. Populasi manusia yang selalu bertambah akan berdampak pula pada produksi sampah yang terus menjulang. Akhirnya, sampah-sampah itu menggunung tinggi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa ada pengolahan yang layak. Menengok infografik tirto.id, pada tahun 2015, volume sampah di Indonesia mencapai kisaran 175.000 ton/hari atau 64 juta ton/tahun. Sebelumnya, pada tahun 2010, berdasarkan riset komunitas pecinta lingkungan, Greeneration Indonesia, di kota-kota besar, satu orang rata-rata menggunakan kantong plastik sebanyak 700 buah per tahunnya.

Sampah plastik di lautan juga menjadi problem bersama. Terlebih, Indonesia adalah negara kepulauan yang diapit lautan luas dari dua samudera. Asal muasal sampah plastik di lautan itu jelas, dari sampah yang mengalir di sungai, kemudian bermuara di pantai, lalu bergerak mengikuti arus laut. Kebiasaan masyarakat pesisir yang membuang sampah langsung di bibir pantai juga menjadi sorotan. Belum lagi nelayan dan kapal-kapal yang membuang sampah ke laut. Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, dalam kunjungannya di Kolaka, Sulawesi Tenggara, meminta kepada masyarakat setempat untuk turut menjaga ekosistem laut, dengan tidak membuang plastik dan menggunakan bom ikan. Persoalan sampah di laut memang sangat serius. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jenna Jambeck, menunjukkan bahwa pada tahun 2010, 275 juta metrik ton (MT) sampah plastik diproduksi oleh 192 negara di seluruh dunia. Dari estimasi tersebut, sekitar 4,8-12,7 juta MT sampah mengalir ke lautan lepas. Indonesia sendiri “sukses” menyumbang sampah plastik ke lautan sebanyak 3,2 juta metrik ton (MT). Biang Persoalan Biang persoalan paling utama adalah buruknya kesadaran masyarakat akan arti penting membuang sampah pada tempatnya. Ketika kita bandingkan dengan orang luar negeri, misalnya orang Jepang, mereka akan sangat malu apabila kedapatan membuang sampah sembarangan. Mereka selalu membiasakan mengantongi sampah mereka sambil mencari-cari tong sampah, baru kemudian mereka membuangnya ke tempat sampah. Beda dengan orang Indonesia, ketika barang yang digenggamnya tinggallah sampah, mudah ditebak, mereka


segera membuangnya tanpa peduli ada tempat sampah atau tidak. Tanpa pikir, malu, atau merasa berdosa. Kemudian, persoalan selanjutnya adalah kurangnya ketersediaan tempat sampah. Banyak sekali ruang terbuka yang kekurangan tempat sampah. Perbandingan antara luas suatu wilayah tidak sebanding dengan bak sampah yang disediakan. Hal ini menimbulkan sampah berserakan di setiap sudut kota, di jalanan, di pusat perekonomian, dan di manapun. Kondisi demikian barangkali bisa dijadikan dalih pembenaran bagi masyarakat yang membuang sampah di sembarang tempat. Pengolahan sampah yang buruk juga memperparah keadaan. Dimulai dari pemilahan sampah organik dan anorganik yang buruk. Usaha warga untuk memisahkan antara sampah organik maupun anorganik dirasa sia-sia lantaran petugas pengangkut sampah langsung memasukkan kedua jenis sampah itu ke dalam tempat yang sama (truk atau gerobak sampah). Setelah itu, sampah dibawa ke TPA setempat. Percuma warga mengelompokkan sampah tersebut, jika akhirnya sampah itu sama saja tercampur. Hal ini pula yang mempersulit proses pemilahan sampah. Mengurai Benang Kusut Negara maju seperti Singapura telah memberlakukan larangan ketat bagi warganya yang membuang sampah sembarangan. Ada denda yang tinggi bagi warga yang melanggar aturan tersebut. Penegakan aturan di sana juga efektif dan tegas. Di Indonesia sebenarnya juga sudah ada beberapa peraturan terkait larangan semacam denda di Singapura (umumnya berupa Perda). Namun, soal penegakan aturan di Indonesia masih buruk. Selain itu, upaya penyadaran kepada masyarakat tentang dampak baik dan buruk sampah, serta cara pengelolaan sampah yang baik melalui sosialisasi harus masif digalakkan. Pengefektifan pengolahan sampah dan limbah secara terpadu juga harus terus diperbaiki. Dalam hal kontrol sampah, menurut saya ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan guna mencapai Indonesia yang berhasil mengolah sampah. Secara sistematis saya akan menguraikannya dari

poin ke poin. Pertama, perlunya penambahan tempat sampah yang jumlahnya proporsional disesuaikan dengan luas tempat dan kepadatan penduduk. Lalu, sebar tempat sampah itu di setiap titik tempat. Perbanyak tempat sampah di titik yang banyak dilalui orang. Setiap rumah juga harus mempunyai bak sampah sendiri. Catatan, semua bak sampah sudah menyediakan tempat untuk sampah organik maupun anorganik. Kedua, petugas pengangkut harus mengangkut sampah sesuai dengan pengelompokannya. Karena itu perlu alat pengangkut sampah yang punya wadah sampah terpisah, agar tidak tercampur. Tidak boleh dicampur karena akan mempersulit proses pemilahan sampah. Ketiga, tahap selanjutnya yaitu pemindahan ke tempat pengolahan sampah. Di sini, sampah organik dan anorganik ditempatkan di wadah yang berbeda. Sampah organik yang terkumpul kemudian bisa diolah menjadi kompos atau briket sebagai pengganti arang kayu bakar. Atau, bisa diolah menjadi barang yang bernilai guna lainnya. Sampah anorganik dikelompokkan lagi menjadi beberapa kelompok sesuai bahan bakunya seperti dari kaca, plastik, karet, dan lainnya. Sampah plastik bisa didaur ulang jadi plastik lagi. Bekas-bekas kaleng pun, masih bisa didaur ulang dengan dicacah dijadikan partikel yang paling kecil, kemudian dilebur dan dicetak menjadi kaleng lagi. Limbah kain perca juga bisa dimanfaatkan kembali menjadi keset yang berguna. Setiap kecamatan saya kira harus mempunyai minimal satu tempat pengolahan sampah sendiri yang diolah secara mandiri. Hasil pengolahan sampah nantinya dikembalikan ke masyarakat lagi, misal, pupuk kompos yang terkumpul bisa dimanfaaatkan untuk menyuburkan lahan pertanian di wilayah itu. Hasil pengumpulan sampah plastik bisa dijual kembali ke pabrik pembuatan plastik yang nantinya menambah pemasukan kecamatan. Begitu juga sampah yang lain. Sehingga sampah yang semula tak bernilai, sekarang bernilai guna juga ekonomis. Secara langsung kuantitas sampah yang nanti dibawa ke TPA pasti berkurang, karena hanya sisa-sisa saja yang kemudian diangkut ke TPA. Membaca laman The Times of In-

dia, saya banyak menemukan artikel terkait pemanfaatan limbah sampah. Yang mengejutkan, adalah sampah plastik disulap menjadi pengganti aspal sebagai bahan baku pembuatan jalan. Ternyata, di India, sudah banyak jalan raya yang terbuat dari sampah plastik. Mengutip laporan di laman The Guardian, Jalan Jambulingam, Chennai, merupakan jalan plastik yang pertama kali dibuat di India, dibuat pada tahun 2002. Kabarnya juga, pemerintah Indonesia akan mempertimbangkan pemanfaatan sampah plastik sebagai bahan baku jalan raya. Semoga saja benar, karena ini merupakan pemanfaatan sampah yang tepat guna. Tirto.id pernah melaporkan, menurut klaim pemerintah, hasil uji coba kantong plastik berbayar tahun lalu mampu menurunkan penggunaan plastik hingga 82,90%. Kalau memang benar, program ini pun bisa segera diberlakukan, asal payung hukum diperjelas. Sementara, pemakaian bioplastik seperti plastik berbahan dasar singkong pun bisa menjadi alternatif pengganti plastik berbahan polyethylene, karena lebih ramah lingkungan. Laporan BBC Indonesia juga menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia sedang dalam usaha untuk mengurangi sampah plastik di lautan sebanyak 70% hingga tahun 2025. Ikhtiar Bersama Sampah bukanlah masalah kecil dan sepele. Sampah adalah masalah besar yang sebenarnya bisa kita pikul bersama. Maka perlu langkah konkret dan menyeluruh dari semua elemen masyarakat untuk menuntaskannya. Saya berharap setiap masyarakat sadar benar persoalan sampah serta bersedia mewujudkan kehidupan yang sehat dan bersih. Masalah sampah, masalah dunia. Kebaikan peradaban manusia akan dinilai dari cara ia memperlakukan bumi yang dipijaknya. Maka dari itu, perlu menjaga keasrian bumi, pengolahan limbah sampah lah salah satunya. Sekali lagi, demi anak cucu kita, demi peradaban yang lebih baik. Mari, tebang gunung sampah, kuras lautan plastik! *Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2015.


Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani


II I II I II I

SEBELUM PEMBACA BOSAN...

A

pa jadinya kalau berita yang lazimnya kaku dan taat pakem berita lempeng (straight news) disusun ulang sehingga menjadi sebuah laporan nan menarik untuk dibaca? Itu sedikit gambaran yang saya dapatkan dari apa yang disebut gaya penulisan feature. Selebihnya, silakan Anda baca buku Goenawan Mohamad yang satu ini. Sudah bukan rahasia lagi kalau Goenawan Mohamad adalah seorang wartawan ulung. Berpuluh-puluh tahun sudah tokoh itu menekuni bidang yang mengangkat namanya, jurnalisme. Namanya kian melambung bersamaan dengan munculnya Tempo, perusahaan pers yang ia rintis bersama mendiang Yusril Djalinus. Kala itu dia didapuk menjadi pemimpin redaksi. Tempo menelurkan produk berupa majalah berita mingguan (MBM). Bersama Goenawan Mohamad, Tempo menawarkan ide segar untuk diaplikasikan kepada produk jurnalistik masa itu. Tempo memperkenalkan ragam baru dalam menulis berita di jagat jurnalistik Indonesia. Berita yang lazimnya dikemas dalam bentuk berita lempeng dan kolom, diubahnya menjadi tulisan yang lebih punya “kisah”. Ragam tulisan feature namanya. Perkembangannya bermula dari dunia barat. Gaya penulisan Tempo yang seperti sekarang tidak muncul begitu saja. Perlu usaha dan riset lapangan yang serbaekstra untuk membikin konsep yang ada menjadi berwujud. Tempo belajar banyak dari Time, MBM kenamaan asal Amerika Serikat yang bermarkas di New York. Dari sini, muncul sebuah anekdot, apakah nama Tempo merupakan nama Time yang disulihbahasakan? Tulisan berita berbalut kreativitas bersastra tidak hanya menghiasi laporan-laporan GM—panggilan singkat Goenawan Mohamad―melainkan sudah menular hingga ke Catatan Pinggir,

Oleh: Yoga Iswara Rudita Muhammad*

Judul buku : Seandainya Saya Wartawan Tempo Penulis : Goenawan Mohamad Tebal : vii+98 halaman (versi format pdf) Edisi : Edisi revisi cetakan keempat Tahun : 2015 Penerbit : Tempo Publishing rubrik esai khusus GM di Tempo. Kumpulan esai di Catatan Pinggir kini bisa ditemukan dalam bentuk antologi yang berjilid-jilid. Ada banyak jalan guna menyampaikan kebenaran. Kebenaran bisa disalurkan melalui gaya yang lempeng, tetapi bisa pula dengan gaya alternatif: menyampaikan kebenaran secara komprehensif lagi rinci. Soal yang belakangan ini bisa terjawab melalui gaya penulisan feature. Sebagai ragam dari teknik menulis, feature mencoba menutup kelemahan pada jurnalistik bergaya lempeng yang tumpul dalam mengangkat segi kisah dari sebuah peristiwa. Jurnalisme bergaya lempeng sering abai akan hal-hal yang menarik berpatok pada sebuah peristiwa.

Akan sangat jarang Anda tangkap kemenarikan dari satu peristiwa kecuali hal yang menjadi inti berita itu sendiri. Contoh konkretnya, sebuah berita lempeng dari proses pengadilan seorang nenek yang mencuri di kebun akan menaruh pusat perhatian pada “vonis pengadilan” yang dijatuhkan terhadap terdakwa. Sebaliknya, feature malah mungkin akan berfokus pada sebab musabab yang mendorong nenek tadi terpaksa mengutil. Dengan perkataan lain, gaya feature cenderung mengangkat sudut yang berbeda demi mendapat visi yang lebih menarik. Kreativitas membangun tulisan feature yang baik sejalan dengan kemampuan bersastra yang mumpuni. Bukan, yang saya maksud bukan bersastra dalam artian memasukkan hal-hal utopis ke dalam tulisan nang jelas-jelas nonfiksi sekelas berita. Yang saya maksudkan di sini adalah memanfaatkan kaidah keindahan yang ada pada sastra dan memadukannya dengan hasil reportase. Kita menukil sedikit keindahan sastra untuk menciptakan tulisan yang di samping menggugah atensi, juga menjanjikan lebih banyak informasi. Bukankah itu salah satu elemen jurnalisme versi Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, membuat sesuatu yang penting menjadi menarik untuk dinikmati? Semua itu mesti dilakukan sembari memastikan laku pewarta tetap selajur dengan kode etik jurnalistik. Meski tidak ada deskripsi yang paling memuaskan menyoal apa itu feature—bahkan penulisnya sendiri mengakuinya―hal yang paling konkret darinya adalah mengenai keberceritaan. Itu yang mampu menyeret mata pembaca untuk tetap setia pada apa yang ada di hadapannya. Hal itulah yang berdaya membikin pembaca tidak sadar bahwa mereka telah membaca berlembar-lembar hasil liputan. Tulisan bergaya feature lebih bisa mengakomodasi sudut yang mungkin luput jikalau sebuah berita cuma dimun-


Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani

culkan sebagai berita lempeng. Seorang GM mampu menelanjangi struktur sebuah laporan feature dengan begitu apik. Dalam tulisan, ia tak ubahnya sedang bercerita dengan kawan sendiri. Ketakutan terhadap struktur tulisan yang seringkali menjadi momok bagi wartawan pemula—saya juga tentunya—sedikit bisa diobati setelah menyelesaikan buku ini. Menyinggung soal konten, disebutkan bahwa pada dasarnya anatomi feature itu terdiri dari tiga hal: kepala, tubuh, dan ekor. Lebih sederhana lagi: pembuka, isi, dan penutup. Masing-masing punya nilai signifikansinya sendiri teruntuk tulisan yang dihasilkan. Bagian pembuka misalnya, ia bisa dibayangkan sebagai umpan ketika kita memancing. Gunakan umpan yang bagus, maka ikan akan tertarik untuk mendekat dan vice versa. Membikin pembaca bosan sedari awal sama saja dengan mempersilakan mereka buru-buru pergi meninggalkan meja baca. Kalimat lead atau pembuka tidak perlu berpanjang-panjang. Penulis perlu menjaga hubungan baik dengan prinsip berkomunikasi yang efektif, KISS―keep it short and simple. Mengulang salah satu pengandaian sang penulis, “Kaldu yang kental bisa menjadi sup yang hambar bila terlalu banyak air.” Rangkaian kalimat dalam lead amat disarankan untuk mampu menggambarkan isi dari keseluruhan tulisan. Pembaca yang mulai buyar sudah seharusnya disegarkan kembali melalui sajian yang lebih mendetail dalam tulisan. Kebuyaran boleh jadi muncul se-

bab fokus tulisan yang tidak jelas, gaya penulisan yang membosankan, ataupun kesalahan teknis sejenisnya. Penulis berita bisa menggunakan empat jurus guna mengatasi hal ini, yaitu dengan memeriksa: fokus, deskripsi, anekdot, dan kutipan dalam tulisan. Melawan Hegemoni Struktur Piramida Terbalik Sepanjang manusia dan konflik masih ada, mungkin sepanjang itu pula berita bergenre lempeng masih tetap eksis. Beritanya ringkas, padat, lagi jelas. Itu bisa menyesuaikan dengan gaya hidup manusia zaman sekarang yang— meminjam istilah dari Alvin Tofler— rentan terhadap information overload. Terlalu banyak informasi yang berputar dalam kehidupan manusia modern. Ini mengharuskan sebagian informasi mesti disimplifikasi. Imbasnya, orang-orang sekarang cenderung lebih suka informasi yang tidak belibet walaupun seringkali justru cetek dalam hal esensi. Informasi tidak lagi cukup disampaikan dengan gaya konvensional nan membosankan. Orang-orang membuat terobosan guna mengakali hal ini. Dibuatlah infographic, animasi, dan berbagai media lain yang lebih piawai menarik atensi audiens tanpa menghilangkan segi informatifnya. Gaya penulisan feature ini mungkin salah satunya. Paket Lengkap Demo Menulis Ibarat demo memasak yang acap kali tayang di televisi, buku karya Goenawan Mohamad ini memiliki persa-

maan dengannya dalam berbagai aspek. Keduanya menampilkan bahan untuk diolah, teknik mengolah, dan hasil akhir yang diperlihatkan. Bedanya, yang pertama adalah demo memasak, sementara yang kedua adalah demo menulis. Bukan tanpa alasan saya mengaitkan buku ini dengan acara demo memasak. Ini semata karena ada kesamaan dalam satu dan lain hal. Singkatnya, saya katakan buku ini merupakan paket lengkap. Ada bahan untuk diolah, yaitu ide, teknik pengolahan yang berupa outline, dan hasil akhir yang dicontohkan langsung oleh penulis. Goenawan Mohamad merangkumkan kesemua hal itu ke dalam sebentuk buku. Goenawan Mohamad menyajikan komposisi yang berimbang antara teori dan praktik—dua hal yang selama ini didikotomikan karena sering senjang satu sama lain. Tidak lagi perlu diributkan perihal “ini buku terlalu teoretis,” atau malah sebaliknya. Setiap masakan yang enak punya resep tersendiri, begitu pun dengan tulisan. Menurut Goenawan, rahasia sebuah tulisan bisa begitu memikat terletak pada unsur yang menyusun tulisan itu sendiri. Anasir-anasir ini tidak lantas berdiri sendiri melainkan saling membangun untuk membentuk kesatuan tulisan yang memiliki power to engage. Buku ini pada awalnya ditujukan hanya bagi intern Tempo tetapi akhirnya diterbitkan juga untuk umum. Saya sepakat dengan pesan penulis, “Bukan sekadar keterampilan menulis, tetapi juga jiwa yang bebas.” Akhir kata, buku ini layak untuk masuk daftar baca Anda. Saya merekomendasikannya bagi Anda, baik itu praktisi jurnalisme, mahasiswa jurnalistik, ataupun orang awam yang menaruh minat pada jurnalisme. Sebuah bacaan yang mudah dicerna. Patut untuk dijadikan pegangan atau sekadar buku sampingan.

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2016, kini dipercaya menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Skëtsa.


REVOLUSI DIGADANG, PERS DIKEKANG Oleh: Aziz Dwi Apriyanto*

M

engapa Sukarno malah memilih ingin membungkam pers? Padahal, sewaktu pemerintahan kolonial Belanda, ia sering “memanfaatkan” pers untuk menyuarakan kritik. Lantas, kenapa Sukarno hanya sudi diwawancarai oleh Cindy Adams, si wartawati asal Amerika Serikat itu? Sedangkan Sukarno bilang sendiri, ia sangat benci dengan laku wartawan Amerika Serikat. Sukarno berkali-kali melantangkan, ia tidak akan memberi kebebasan pers. Sikap Sukarno yang keras ini boleh jadi bermula lantaran kekecewaan mendalam terhadap wartawan luar negeri, terutama pada wartawan Amerika Serikat yang menurutnya selalu menuliskan berita yang menghujat dirinya. Kekecewaan itulah yang pernah ia bagikan kepada John F. Kennedy—Presiden Amerika Serikat waktu itu—dalam suatu perbincangan intim. Seperti merasakan hal yang sama, Kennedy pun menanggapi, bahwa ia merasa dikutuk di negaranya sendiri akibat kebebasan pers. Meski seperti mengeluh, Kennedy mengakui, entah menguntungkan atau merugikan dirinya, kebebasan pers adalah bagian dari warisan Amerika. Dengan alasan menjaga harga diri seorang pemimpin bangsa, Sukarno tidak segan membungkam pers. Bila memang hanya sebab itulah yang membuat Sukarno tak sudi membuka keran kebebasan pers di negeri sendiri, saya kurang sepakat. Bukankah Sukarno masih ingat, jika Sukarno muda pernah menulis kritik terhadap pemerintah kolonial, lalu dia kirim kritiknya lewat media massa? Apa Sukarno sudah lupa, karena perslah, dia mampu menyuarakan kritiknya terhadap kolonial? Apakah Sukarno tidak sadar,

sebuah rezim otoriter. Lantas, apakah niat Sukarno yang ingin membungkam pers, berarti ingin pula membungkam segala kritik terhadap dirinya? Makanya, menurut saya, zaman Sukarno adalah zaman otoriter, dengan melihat sikap antipersnya sebagai salah satu manifestasi dari sifat otoriter. Atau, barangkali memang dia sudah berubah setelah dia jadi penguasa? Apakah sikap antipersnya itu merupakan upaya untuk mencegah munculnya “Sukarno lain” yang sarat kritik itu? Entahlah, siapa yang tahu. Guna tidak memecah belah arah revolusi, begitulah kiranya alasan Sukarno membelenggu pers di negeri sendiri. Perubahan yang cepat telah dilakukan, maka dari itu, untuk memperoleh revolusi yang seutuhnya kebebasan pers haruslah dibelenggu terlebih dahulu. Jangan ada Judul buku : Bung Karno: Penyambung pers yang mengecam suatu perubahan Lidah Rakyat Indonesia Judul Asli : Sukarno: An Autobiography besar ini. Jangan ada pers yang mengutuk negerinya sendiri. Biarkan revolusi berko as Told to Cindy Adams bar di seluruh nusantara. Tumbuhkan sePenulis : Cindy Adams mangat kebangsaan dan cinta tanah air Penerjemah: Syamsu Hadi Cetakan : Keempat, Edisi Revisi Tahun ke semua lapisan masyarakat. Garis besar pemikiran Sukarno seperti itu. 2014 Dari sekian banyak wartawan, keUkuran : 16x24 cm pada Cindy Adams lah akhirnya Bung Tebal : xvi+416 halaman Karno mau menuturkan kisahnya untuk Kategori : Autobiografi dijadikan autobiografi. Berkali-kali ia Penerbit : Yayasan Bung Karno—Media dibujuk oleh siapapun, kalau yang menu Pressindo lis bukan Cindy Adams, Bung Karno tak Penerbit Asli: The Bobbs-Merrill Company, akan pernah mau. Alasannya? Sukarno Inc, New York, 1965 cuma mengaku, wawancara dengan Cindy itu menyenangkan sekali dan tidak ketika pers dibungkam, maka tidak ada menyakitkan hati. Atau, mungkin karena lagi kritik untuk penguasa. Tidak ada lagi paras Cindy yang ayu? Ya, Sukarno dikekontrol, tidak ada lagi yang mengawasi nal sebagai penakluk wanita. Namun, kali laku penguasa. ini, hanya Cindy lah yang mampu menakDari situlah, mulai tercipta benih- lukkan kekecewaan Bung Karno terhabenih kesewenang-wenangan. Itulah dap wartawan Amerika Serikat. yang kemudian menjadikan lahirnya Lalu, mengenai konsep dikekangnya


“Kita susah sekali mengakses data publik sedangkan sangat mudah menemukan persekusi, juga pembobolan data privasi seperti kasus ‘chatting’ dan ‘private video collection’ yang pernah muncul dan bisa saja dipidanakan.” pers ketika masa pemerintahan Sukarno, menurut saya terlalu berlebihan. Ia terlalu mementingkan suatu figur, sehingga melupakan tentang esensi dalam prinsip pers. Padahal, gagasan seperti itu sama sekali bertolak belakang dengan konsep empat pilar demokrasi, yaitu legislatif, eksekutif, yudikatif, dan pers. Kebebasan pers harus diberikan agar pers punya perlindungan dan bisa memantau kinerja ketiga pilar tersebut dengan profesional. Pers dilarang di Indonesia, secara teori, ini merupakan kecacatan sistem. Secara praktik, jelas, tidak adanya pers sebagai kontrol pemerintah akan menumbuhkan pemerintahan yang otoriter. Bila ada yang bilang Sukarno tidak otoriter, itu sangatlah keliru. Seperti yang saya bilang di awal, Sukarno itu otoriter. Sekalipun otoriternya untuk mencegah perpecahan dan cita-cita menuju revolusi yang sepenuhnya. Meski pers menjadi salah satu tonggak tegaknya demokrasi, sampai sekarang masih saja banyak oknum yang menghalang-halangi dan mempersulit kerja jurnalis, bahkan ada yang sampai memidanakannya. Langkah memidanakan jurnalis sangat tidak sesuai dengan UU Pers. Dalam UU Pers menyebutkan apabila ada ketidakpuasan dalam pemberitaan, dapat diselesaikan melalui hak jawab dan hak koreksi, yakni memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan yang dikira merugikan nama baik narasumber atau pembaca. Redaksi wajib memberikan ruang untuk hak-hak itu. Bila masih belum puas, yang merasa dirugikan bisa mengajukan sengketa itu ke Dewan Pers untuk diselesaikan secara kode etik. Bukan malah main pidana, sedikit-sedikit main lapor, macam orang tak tahu etika saja. Ancaman dalam berbagai bentuk kepada jurnalis pun sering terjadi. Keterbukaan mendapatkan informasi

juga masih dipertanyakan meski kini sudah banyak gembar-gembor “open data” dari pemerintah pusat. Saya cukup heran, di Amerika, asal dari jurnalisme modern, privasi sangat dilindungi, namun pemerintah bisa saja ditelanjangi. Di sini, justru sebaliknya. Kita susah sekali mengakses data publik sedangkan sangat mudah untuk menemukan persekusi, juga pembobolan data privasi seperti kasus “chatting” dan “private video collection” yang pernah muncul dan bisa saja dipidanakan. Namun, kasus besar laiknya kasus E-KTP tak kunjung jelas siapa aktor busuknya. Pers pun belum ada yang benar-benar bisa menguak, seakan hanya menunggu kotak pandora terbuka dengan sendirinya. Kendatipun ada beberapa pemikiran Sukarno yang saya kurang sepakat—khususnya soal sikap antipersnya, saya kagum dengan Sukarno mengajarkan kita tentang hakikat gotong royong. Dia memperkenalkan budaya gotong royong kepada dunia sebagai nilai dan budaya asli yang bersemayam di bumi pertiwi. Ia mengajarkan dan memberi contoh tentang prinsip-prinsip gotong royong kepada rakyatnya. Dengan patuh, rakyat pun selalu mengikuti instruksinya. Ia selalu memberikan pertolongan kepada teman juga rakyat, apabila mereka memerlukan bantuan. Sebaliknya, ketika Sukarno kesusahan, maka teman dan rakyatnya pasti akan membantu. Tentu tanpa pamrih. Itulah budaya asli Indonesia. Seperti contoh, suatu ketika di rumah Sukarno disambangi seorang tamu, tapi dia tidak mempunyai pangan untuk disuguhkan. Lalu, Sukarno meminta makanan kepada tetangga sebelahnya, langsung dikasihlah sedikit penganan. Rasa saling tolong-menolong begitu terasa digulirkan oleh Sukarno. Namun, di era kini yang serba modern, prinsip ini seakan hilang ditelan zaman. Semua dihitung dengan jasa, dan

jasa itu dibayarkan dengan uang. Hampir semua kegiatan sekarang berpangkal pada uang. Semua serbamaterialistis. Sudah jarang lagi ditemukan sistem gift economy, sekalipun ada paling hanya ada di masyarakat desa. Masyarakat desa pun sekarang mulai dipapar penyakit individualistis, sudah terlihat gejalanya. Rasa gotong royong pun akhirnya mulai terkikis. Buku ini merupakan autobiografi rekam jejak kehidupan Bung Karno dari kecil sampai ia tua. Pertama kali terbit, pada 1965, versi orisinal autobigrafi ini memakai bahasa Inggris. Meski termasuk buku lawas, isi buku ini masih layak dan relevan untuk dibaca hingga kini. Seperti air pegunungan yang turun mengairi sawah-sawah, penulisan autobiografi versi terjemahannya pun terasa mengalir ketika dibaca. Meski secara fisik cukup tebal, namun karena cara penulisannya yang mengalir, buku ini pun jadi terasa ringan untuk dibaca. Buku ini mampu menyedot kita sebagai pembaca, seakan berada di dalam kehidupan Sukarno dan ikut merasakannya. Saya akui Syamsu Hadi berhasil menjaga keluwesan terjemahannya. Bahasanya yang kenyal dan diksi yang tidak ribet membuat buku ini sangat enak untuk dibaca. Menurut saya, buku ini sangat cocok untuk jadi rujukan baca. Bahkan saya anjurkan, ini serius! Apalagi bagi yang mengaku dirinya sebagai Sukarnois, Nasionalis, ataupun Marhaenis. Jelas, apabila mereka yang mengaku salah satu dari ketiga golongan itu, tetapi tidak membaca buku ini, malulah! Juga untuk yang ingin tahu catatan sejarah versi Sukarno, ya inilah bukunya. Bacalah, sehingga menjadikan kita sebagai satu dari sekian banyak manusia yang selalu merawat sejarah.

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2015. Sedang menggeluti dunia jurnalistik di Lembaga Pers Mahasiswa Skëtsa Unsoed.


Wajah Baru Logo Unsoed Oleh: Intan Rifiwanti

Logo Lama Unsoed

Logo Baru Unsoed

Perbandingan logo lama dan logo baru Unsoed. Foto: Diambil dari unsoed.ac.id dan Permenristek Dikti Nomor 28 Tahun 2017 tentang Statuta Unsoed.

B

elakangan santer kabar tentang logo baru Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Logo anyar itu tersebar di media sosial, terlebih di grup-grup kalangan mahasiswa Unsoed. Statuta Unsoed terbaru sebagai dasar pemberlakuan logo baru pun turut tersiar. Dulu, ada mahasiswa Unsoed yang mengikuti sebuah event tingkat nasional. Dalam kegiatan kemahasiswaan itu, masing-masing logo perguruan tinggi dipampang dalam spanduk yang besar. Banyak dari logo-logo perguruan tinggi lain dibubuhi tulisan nama perguruan tingginya selain memuat lambang khas. Orang awam sekalipun akan mudah mengenali identitas logo-logo tersebut dari perguruan tinggi mana saja. Lalu, ketika mahasiswa itu memerhatikan logo Unsoed yang polos tanpa mencantumkan tulisan “Universitas Jenderal Soedirman”, ia sadar jika orang luar Unsoed akan kesulitan untuk bisa mengidentifikasi logo Unsoed. Cerita mahasiswa tadi menjadi latar

belakang perubahan logo Unsoed. Hal tersebut dituturkan langsung oleh salah satu tim revisi Statuta Unsoed, Kuat Puji Prayitno saat ditemui pada Selasa (20/6). Saat ditanyai, adakah hal lain yang melatarbelakangi perubahan logo Unsoed, Kuat hanya menjelaskan, adanya revisi Statuta Unsoed menjadi momentum yang tepat untuk merevisi logo Unsoed. Ia menandaskan bahwa dasar pemberlakuan logo baru Unsoed adalah Statuta Unsoed yang baru. Statuta Unsoed merupakan peraturan dasar pengelolaan Unsoed yang digunakan sebagai landasan penyusunan peraturan dan prosedur operasional di Unsoed. Sebelumnya, Unsoed berpedoman pada statuta yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 090/O/2004 tanggal 29 Juli 2004 tentang Statuta Universitas Jenderal Soedirman. Kini, Statuta Unsoed yang baru telah resmi berlaku sejak Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 28 Tahun

2017 tentang Statuta Universitas Jenderal Soedirman diundangkan pada 8 Mei 2017. Logo baru Unsoed diatur dalam peraturan tadi dalam pasal 7 ayat 1. Ada beberapa perbedaan antara logo lama dan baru. Tulisan “Universitas Jenderal Soedirman” dan “1963” tercantum di logo baru, berbeda dengan logo lama yang polos tanpa tulisan tersebut. Pun, warna dasarnya mengalami perubahan menjadi kuning muda, lebih cerah dari logo lama. Kemudian, lambang ‘bintang bersudut lima’—di atas siluet ‘Panglima Besar Jenderal Soedirman’— menjadi berwarna kuning emas. Selain itu, garis tepi hitam yang berpola “lima mahkota bunga teratai” pada logo anyar dibuat lebih tebal. Kini, sivitas akademika Unsoed sudah diperbolehkan menggunakan logo baru. Misalnya, untuk mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi sudah bisa menggunakan logo baru untuk kover skripsinya. Hal ini sah-sah saja sebab logo baru sudah diatur dalam Statuta Unsoed.


“Ya itulah dengan peraturan itu (Statuta Unsoed baru-red), (penggunaan logo baru) sudah dapat berjalan,” kata Kuat. Meski begitu, penggunaan logo lama pun masih diperbolehkan. Alasannya, Unsoed masih dalam tahap penyesuaian dengan statuta baru, jelas Kuat. Ditanya soal kapan selesainya tahap penyesuaian, Kuat mengatakan, penyesuaian ditargetkan akan selesai sebelum tahun 2017 berakhir. “Deadline-nya pada tahun 2017 ini, semua penyesuaian ini harus sudah selesai,” ujarnya. Kuat juga menerangkan, sosialisasi resmi terkait penggunaan logo baru untuk kalangan sivitas akademika Unsoed belum dilakukan. Sosialisasi logo akan segera dilakukan dalam waktu dekat ini. Berubahnya logo Unsoed menurut Kuat tidak akan memberikan pengaruh secara signifikan bagi masyarakat eksternal Unsoed. Pernyataan ini turut diamini oleh salah satu dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Unsoed, Petrus Imam Prawotojati. Menurutnya, yang paling berkepentingan

dengan logo Unsoed justru adalah Unsoed itu sendiri. “Tapi itu risiko bagian dari tugas Unsoed sendiri untuk mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa logonya baru,” begitu terang Petrus. Petrus juga menerangkan bahwa dengan adanya perubahan logo, secara otomatis semua penggunaan logo mulai dari setiap plang instansi di Unsoed, bendera setiap fakultas di Unsoed, administrasi surat-menyurat, seragam-seragam identitas Unsoed, hingga kegiatan-kegiatan mahasiswa yang mencantumkan logo Unsoed, semuanya ganti. Perubahan logo universitas tidak selalu membuahkan respons yang manis. Tidak jarang kalangan sivitas akademika merasa tidak puas dengan perubahan logo yang terjadi. Hal ini pernah terjadi pada University of Warwick dan Loughborough University di Inggris Raya. Mengutip The Guardian, media terkemuka di Inggris, University of Warwick pada 2015 dihujani lebih dari 4000 petisi yang ditandatangani mahasiswanya, yang isinya menuntut pembatalan logo baru

dari perguruan tinggi tersebut. Penggantian logo itu memakan biaya hingga 80.000 poundsterling. Logo baru itu sendiri berharga 16.000 poundsterling plus PPN. Sementara Independent menyebut, penolakan serupa terjadi di Loughborough University di tahun yang sama, berujung pada pengajuan petisi menolak penggantian logo yang ditandatangani oleh 12.000 orang. Para peneken petisi beralasan, logo yang baru terlihat aneh, tidak profesional, dan tidak mencerminkan identitas lembaga. Sedangkan untuk kehadiran logo baru di Unsoed sendiri, sampai laporan ini selesai ditulis, belum ada semacam penolakan baik dari mahasiswa maupun unsur sivitas akademika yang lain. Reporter: Intan Rifiwanti dan Yoga Iswara Rudita Muhammad.


ADA WAYANG DARI SUKET Oleh: Dara Nuzzul Ramadhan

Salah satu Wayang Suket buatan Badriyanto (22/6). Foto: Aziz Dwi Apriyanto.

P

ernahkah Anda membayangkan jika wayang ternyata bisa terbuat dari suket? Bukan dari kulit ataupun kayu. Lalu, bagaimanakah cara pembuatannya? Diikat atau dilipat? Mari beranjangsana ke Purbalingga. Di sana, Anda akan menjumpai pembuat wayang suket dengan cara dianyam layaknya kursi rotan atau tikar rumahan. Purbalingga adalah kabupaten yang letaknya di timur laut Purwokerto. Purbalingga menyimpan karya bermuatan lokal yang khas, ialah Wayang Gepuk, istilah dari wayang suket buatan Mbah Gepuk. Wayang Gepuk berbeda dengan wayang suket lain. Ia dibikin bukan dengan cara diikat atau dilipat, tetapi dianyam. Alhasil, wujudnya pun terlihat lebih rapi ketimbang wayang suket lain. Banyak seniman dan budayawan yang menganggap Wayang Gepuk merupakan karya bernilai seni tinggi. Wayang Gepuk memiliki kekhasan tersendiri. Mbah Gepuk disebut-sebut sebagai penemu teknik menganyam pada wayang suket. Bahkan banyak yang menjulukinya “sang maestro wayang suket”. Pesona Wayang Gepuk mulai dikenal publik ketika diangkat lewat laporan Sindhunata—pe-

warta sekaligus budayawan asal Yogyakarta. Lantas, Wayang Gepuk pertama kali dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta pada 1995. Sang maestro itu meninggal di tahun 2002. Sampai saat ini, hanya ada dua orang yang mampu membuat wayang suket ala Gepuk. Merekalah Badriyanto dan Ikhsanudin. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai wayang suket ini, pada Kamis (22/6), Skëtsa mendatangi kediaman Badriyanto, cucu dari Mbah Gepuk. Badriyanto menyambut kedatangan kami saat berhasil menyambangi rumahnya. Laki-laki berperawakan sedang itu tinggal di Desa Wlahar, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga. Wlahar bersebelahan dengan desa kelahiran Jenderal Soedirman: Bantarbarang. Pekerjaan Badri adalah tukang kayu. Rumahnya sederhana, tersusun oleh kayu dilapisi cat berwarna hijau muda. Di ruang tamu, foto anak Badri terpajang. Di sebelah foto itu, terpajang pula piagam penghargaan dari Dewan Kerajinan Nasional serta sertifikat dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Ketika kami dipersilakan duduk, ada sebuah wayang berukuran sepanjang lengan tergeletak di meja. Warnanya kuning keemasan dan agak mengilap. Badri bilang, jika sudah lama, warna wayang akan berubah menjadi kecokelatan. Selain warna yang mengesankan, rupanya juga apik sekali. Sampai-sampai, kami tak menyangka bila wayang itu terbuat dari suket. Berkat dari detail yang disusun secara tekun, bentuk tokoh mudah dikenali seperti ketika kita melihat wayang kulit. Rapi. Kendati anyaman wayang itu belum utuh sepenuhnya, ia mulai mewujud sebagai salah satu tokoh Pandawa Lima. Wayang itu sedang dalam proses anyaman Badri. Badri hanya membikin wayang dengan suket kasuran, suket yang biasa tumbuh pada bulan Sura—bulan pertama dalam penanggalan Jawa Badri mulai berkisah soal Mbah Gepuk. Mbah Gepuk memiliki nama asli Kasanwikrama Tunut. Ia lahir pada tahun 1905 di Desa Wlahar. Mbah Gepuk dulu adalah pekerja serabutan. Ia petani juga seniman. Segala hal dipelajari oleh Mbah Gepuk secara autodidak, mulai dari mengolah kayu, bertani, sampai membuat wayang suket. Bakat kesenimanannya alami. Ia tak pernah mengenyam pendidikan seni di institusi manapun. Biar begitu, ia diriwayatkan pernah menjadi dalang ebeg dan wayang golek menak ketika remaja. Konon, Mbah Gepuk suka menyendiri dan menyepi ketika masa mudanya. Saat bocah, ia dikenal sebagai cah angon, anak gembala. Pada suatu siang, di tahun 1928. Waktu itu Mbah Gepuk sedang menggembalakan kambing-kambingnya. Di sekitarnya tumbuh suket kasuran. Suket kasuran hanya dianggap


gulma oleh banyak orang. Ia tak bernilai. Namun, di tangan Mbah Gepuk, suket itu bisa mewujud sebagai suatu keindahan. Intuisinya mulai bermain. Tangannya mengambil dan dengan asyik memainkan suket itu. Suket demi suket mulai ia anyam. Wujud wayang terlihat. Wayang Wisanggeni menjadi wayang suket pertama hasil olahtangan Mbah Gepuk. Mengapa malah suket yang dijadikan bahan untuk membuat wayang? Badri tidak mempunyai jawaban atas pertanyaan itu. Yang ia lakukan hanya meneruskan karya kakeknya itu. Namun, dari tuturan Badri, ide kakeknya membuat wayang suket bermula dari rasa penasaran. Berdasarkan laporan Sindhunata dalam katalog “Pameran Wayang Rumput Karya Pak Gepuk dari Bantar Barang, 1-8 September 1995, Bentara Budaya Yogyakarta”, ada kisah dari Mbah Gepuk. Dulu, Singadirana—kakek Mbah Gepuk, pernah bilang jika wayang bisa dibuat dari suket. Kendati berkata demikian, Singadirana sendiri tidak bisa membuat wayang dari suket. Kemudian, ketika Mbah Gepuk bermain suket, hatinya bertanya-tanya, bisakah ia membuat wayang dari suket? Nyatanya, dari olah tangannya, ia berhasil membuat wayang suket. Ia terkejut, tak menyangka bisa menghasilkan suatu karya tanpa diajarkan oleh siapapun. Wayang Gatotkaca merupakan salah satu wayang buatan Mbah Gepuk yang Badri simpan. Wayang itu dibuat tahun 1993. Badri memasukkan wayang itu ke dalam bingkai berlatar merah dan dipajang di dinding ruang tamu di rumahnya. Warnanya sudah berubah jadi cokelat. Di dalam bingkai, nama Kasanwikrama Tunut merekat pada sehelai kertas putih di samping wayang. Kondisi fisik dari wayang itu pun masih terawat. Badri berujar, membuat wayang suket bukanlah aktivitas rutin yang dilakukan kakeknya. Kakeknya membuat wayang hanya ketika ia ingin membuatnya. Dalam seminggu kadang ia hanya membuat dua atau tiga wayang. Akan tetapi, selepas ada seorang wartawan—yang juga budayawan—meliput hasil karyanya, ia mulai aktif membuat wayang suket. Selama hidup, setidaknya Mbah Gepuk sudah dua kali mengikuti pameran, di

“Orang yang memiliki hak cipta atas

suatu karya pasti memiliki pengetahuan tentang karya tersebut. Pengetahuan

itu hanya diketahui oleh dirinya sebagai pencipta atau keluarganya sebagai ahli

waris. Jadi, pembuktian mengenai hak cipta bukanlah melalui sertifikat.”

Yogyakarta pada 1995 dan di Jakarta pada 1997. Pada umur 97 tahun, Mbah Gepuk tutup usia. Kepandaian menganyam suket menjadi wayang dengan tidak sengaja terwariskan dalam diri Badri. Perkara Hak Cipta Badriyanto mulai berkisah soal pengalamannya. Ia pertama kali menerima pesanan wayang suket di tahun 1997. Pada tahun itu, seorang laki-laki pernah menemui Badri untuk memesan wayang suket bikinannya. Lama kemudian, pada 2014, laki-laki itu datang lagi untuk memesan wayang. Ia juga minta diajarkan cara membuat wayang suket. Badri pun mengajarinya. Rupanya, laki-laki yang datang kepadanya tempo itu adalah anggota dari sebuah komunitas wayang suket. Badri mengetahui hal tersebut dari temannya. Ketika Badri membuka laman komunitas tersebut, ia melihat foto wayang suket bikinannya dipajang tanpa mencantumkan namanya ataupun nama kakeknya. Badri pun merasa seolah-olah komunitas tersebut mengaku-ngaku bahwa wayang suket itu adalah karya mereka. Badri memang tak kecewa, tetapi ia berharap komunitas tersebut segera sadar atas perilakunya. Badri mengaku berniat membuat hak cipta atas wayang suketnya. Akan tetapi, Badri masih bingung perihal instansi mana atau siapa yang harus ia datangi, dan bagaimana prosedurnya. Suatu ketika Badri akan mengikuti suatu pameran. Ada seorang pegawai dinas datang ke rumahnya. Ia dari Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Purbalingga. Badri sempat bertanya kepada pegawai itu mengenai pembuatan hak cipta. Badri pun meminta dibuatkan hak cipta untuk wayang suketnya. Namun, sampai saat ini belum ada kelanjutan ataupun kabar mengenai permintaannya. Berbicara mengenai hak cipta, sudah ada regulasi yang mengaturnya. Ialah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam pasal 1 ayat 1 aturan tadi menyebutkan bahwa “Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Untuk mengetahui lebih lanjut soal hak cipta, Skëtsa pun menemui salah satu dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Dr. Raditya Permana, S.H., M.Hum. Ia adalah pengajar Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Ia juga mengajar HKI di fakultas lain seperti Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unsoed. Ia menjelaskan bahwa perlindungan hukum atas hak cipta sudah ada ketika suatu karya sudah berwujud. Pendaftaran hak cipta hanya bersifat administratif. Menurutnya, sertifikat hak cipta akan berguna untuk mempermudah penyelesaian sengketa hak cipta di pengadilan niaga. Sebab kebanyakan pada kasus sengketa hak cipta, biasanya dimenangkan oleh pihak yang mempunyai sertifikat tersebut. Para penegak hukum masih beranggapan bahwa seseorang baru bisa dikatakan terbukti memiliki hak cipta atas suatu karya tertentu apabila mampu menunjukkan sertifikat hak cipta. Namun menurut Radit, pemahaman seperti itu adalah keliru. Ia menegaskan sekali lagi bahwa sertifikat hak cipta sifatnya hanya administratif, bukan untuk mendapatkan per-


lindungan hukum ataupun sebagai bukti. Untuk membuktikan seseorang adalah pencipta dari suatu karya tertentu, menurut Radit caranya sederhana. Logikanya, orang yang memiliki hak cipta atas suatu karya pasti memiliki pengetahuan tentang karya tersebut. Pengetahuan itu hanya diketahui oleh dirinya sebagai pencipta atau keluarganya sebagai ahli waris. Jadi, pembuktian mengenai hak cipta bukanlah melalui sertifikat. “Walaupun punya sertifikat, (jika) suatu saat nanti ada yang gugat, ya kita harus tetap bisa membuktikan (karya milik kita). Jadi tidak semata-mata, ada sertifikat (hak cipta) terus urusannya beres. Enggak. Dia juga harus bisa membuktikan,” tutur Radit saat ditemui di kantornya di Fakultas Hukum, Senin (3/7). Kesimpulannya, Radit menyarankan lebih baik wayang suket itu didaftarkan hak ciptanya. Lebih lanjut, ia pun mengusulkan yang dihak-ciptakan itu bukan wayang suketnya, tetapi teknik pembuatannya: teknik menganyam pada wayang suket. Pendaftaran hak cipta bisa melalui Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual di Jakarta Selatan, atau Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang tersebar di seluruh Indonesia, ataupun bisa melalui Kuasa Hukum Konsultan HKI terdaftar. Dari Wlahar, Bantarbarang, Hingga Amerika Serikat Suatu kali, Badriyanto pernah melihat kakeknya dikerumuni orang-orang. Rupanya, orang-orang itu sedang melihat Mbah Gepuk membuat wayang sambil bercerita. “Mbah Gepuk tahu semua cerita. Dari anak-anak sampai orang tua mendengarkan. Dari zaman Belanda, cerita apa aja dia tahu,” kenang Badriyanto. Awalnya, Mbah Gepuk tidak mempunyai niat untuk menjual wayang suketnya. Tetapi, ketika ia mulai menua, ia mulai berpikir ke arah sana. Saat ia suah berumur delapan puluhan tahun, ia mulai menjajakan wayang-wayang suket bikinannya. Ia berdagang keliling. Wayangnya juga ia jajakan di pasar tradisional dengan harga Rp1.500. Seorang pemuda dari desa Bantarbarang melihat wayang Mbah Gepuk dengan antusias. Namanya adalah Ikhsanudin. Pemuda itu menginginkan Wayang Gepuk. Sayangnya, Rp1.500 baginya merupakan uang yang cukup besar kala itu. Karena ia tidak mampu membeli, maka ia bertekad akan membuatnya di suatu hari nanti. Ikhsan lulus SMA pada 1997. Waktu itu, pascapameran di Yogyakarta, Mbah Gepuk seringkali membagikan katalog Wayang Gepuk ke masyarakat sekitar. Lantas, Ikhsan memperoleh katalog itu. Sejak kecil Ikhsan mengagumi sosok Mbah Gepuk. Namun, ia segan jika harus belajar langsung kepada Mbah Gepuk. Dari foto-foto Wayang Gepuk di katalog itulah, ia belajar menganyam Wayang Gepuk secara autodidak. Akhirnya, ia bisa membuat sendiri wayang suket, meski tidak sebagus hasil olahtangan Mbah Gepuk. Dan suket yang digunakan juga bukan suket kasuran, tetapi suket biasa yang gampang diperoleh. Suket kasuran langka. “Kalau Badri kan pakai rumput kasuran yang ditanamnya sendiri. Saya enggak pakai rumput itu. Makanya saya hanya pakai rumput-rumput seadanya di pinggir jalan atau ladang,” terang Ikhsan saat ditemui di rumahnya pada Kamis sore (22/6). Di desanya, ia dikenal sebagai seniman pinggiran. Ikhsan

Yoso, ia kerap dipanggil demikian. Selain mengayam wayang suket, ia juga melukis dan menggambar. Foto karya-karya buatannya ia unggah ke akun media sosialnya. Dari situ, seorang dosen asal University of South Carolina, Amerika Serikat, mengontaknya lantaran tertarik pada wayangnya. Geoffrey Cormier namanya. Bahkan, Cormier sampai bertandang ke rumah Ikhsan dan Badri pada awal Februari 2013. Cormier juga meminta dikirimkan wayang suket untuk dipertunjukkan dalam sebuah pameran boneka. Ikhsan mengaku saat itulah terakhir kali ia menerima pesanan wayang suket. Berbicara soal peminat, Badri mengatakan bahwa peminat wayang suket terdiri dari dua jenis, yaitu pebisnis dan penikmat seni. Ia mengaku mengalami kesulitan dan minder jika yang ia hadapi adalah pebisnis. Wayang suketnya sering ditawar murah oleh para pebisnis. Sedangkan jika yang memesan adalah penikmat seni, Badri tak akan pusing memasang harga. Berapa pun harga yang ia pasang, pembeli jenis ini tetap akan mengambil wayangnya. Wayang Gepuk, Panggung Pameran, dan Kelesuan Badri mengaku Wayang Gepuk tidak mengalami perkembangan yang hebat. Perkembangannya terbilang lesu. Eksistensinya hanya ada di pameran. Setelah mengikuti pameran di Yogyakarta, wayang suket Badri sering mengikuti pameran-pameran lain di Jakarta. Malahan, wayang Badri dan Ikhsan pernah menampang di pameran National Day of Puppetry pada 2012 lalu. Ketika dipamerkan, biasanya ada yang memesan. Jika tidak ada pameran, Wayang Gepuk mungkin akan semakin hilang eksistensinya. Apalagi tidak ada perajin Wayang Gepuk selain Badri dan Ikhsan. Kalau keadaan tetap demikian, lambat laun wayang ini bisa punah. Badri pun terkendala ketersediaan suket kasuran. Jika ada pemesan ketika suket kasuran belum panen, Badri biasanya akan menanyakan kesediaan pemesannya untuk menunggu suket panen. Nyatanya, meskipun terkendala bahan baku, masih ada pemesan yang setia menunggu. Menurut Badri, Wayang Gepuk harus tetap dilestarikan karena merupakan kebudayaan khas Purbalingga. Pemerintah daerah juga sudah mengakuinya. Namun, sekedar pengakuan dari Pemda dirasa tidak terlalu solutif untuk menjaga wayang ini tetap eksis. Wayang suket Badri hanya menjadi pajangan di museum atau ruang-ruang pameran. Jika banyak yang bisa membikin Wayang Gepuk, mungkin perkembangannya bisa lebih baik lagi ketimbang sekarang.

Reporter: Aziz Dwi Apriyanto dan Dara Nuzzul Ramadhan. Editor: Emerald Magma Audha


SUMPAH BARU*

Foto Koran Kampus Skëtsa Edisi IX Februari Tahun 1994 (23/9). Foto: Marita Dwi Asriyani.

S

ebagai salah satu tokoh besar milik bangsa kita sampai saat ini, Sutan Takdir Alisjahbana, seorang filsuf, sastrawan, budayawan, dan sekaligus sebagai seorang pendidik, berkesempatan ditemui oleh K.K. (Koran Kampus-red) Skëtsa di rumah kediamannya, di Bilangan Mampang, Jakarta Selatan. Kondisi fisiknya masih lumayan segar pada usia 85 tahun, terhitung dari tanggal lahirnya pada 11 Februari 1908, di Natal, Tapanuli. STA, begitu panggilan akrabnya, masih tetap bersemangat dalam memaparkan pandangan-pandangannya terhadap fenomena masyarakat dunia, kebudayaan serta mutu pendidikan kita. Berikut petikan wawancara dengan tokoh kita. Kita mulai dari yang global. Bagaimana pendapat Anda tentang keadaan masyarakat dunia yang sampai saat ini masih dilanda konflik yang berlarut-larut? Keadaan sekarang berbeda dengan dulu. Dulu, orang berperang dengan tombak, dan sekali digunakan paling banyak satu orang mati. Sekarang, dengan bom atom, walaupun harganya mahal, tapi sekali digunakan seluruh umat manusia

Wawancara Sutan Takdir Alisjahbana bisa lenyap dari muka bumi ini. Oleh karena itu saya berpikiran bahwa kita harus menuju kepada terbentuknya “Federasi Dunia” seperti dalam karangan terbaru saya, “Deultimate Solution of The Social and Cultural Crisis of Our Time”. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa kita telah mengadakan sumpah baru yaitu satu bumi, satu tanggung jawab, satu umat, dan satu masa depan. Dalam pembentukan Federasi dunia ini, bagaimana pengaruh negara kuat, seperti AS, terhadap negara berkembang dan terbelakang? Ya, memang AS negara kuat. Tapi sebenarnya AS telah gagal. Sebenarnya dalam Perang Dunia I dan II memang AS adalah satu-satunya negara yang menang. Namun pikirannya tidak maju ke depan. Maksud Anda “tidak maju ke depan”? Artinya, setelah menang ia mengundurkan diri. Sekarang, ia menjadi polisi saja. Sebenarnya bentuk federasi seperti AS itu sudah bagus, kalau semua negara menjadi anggota dan namanya berubah menjadi Federasi Dunia. Tapi orang Amerika belum berpikir sejauh itu. Se-

lanjutnya, seandainya Federasi Dunia terwujud, alangkah banyak uang yang tersimpan daripada terhambur untuk biaya angkatan perang. Lalu fenomena yang di Indonesia bagaimana? Kita malah menjadi contoh yang paling baik. Coba simak, sekitar 17.000 pulau, 400 sampai 500 suku bangsa, kebudayaan, dan bahasa, dapat kita satukan. Presiden Soeharto mempunyai kedudukan yang penting dengan usahanya menghimpun 108 negara nonblok. Mudah-mudahan Indonesia bisa menjadi pelopor. Peran serta PBB bagaimana nantinya? PBB harus tumbuh menjadi parlemen dunia. Berubah fungsi, nantinya? Ya. Semuanya harus berubah fungsi. Kita pun harus berubah. Dari nasionalisme menjadi universalisme. Coba lihat, zaman dulu ketika orang memakai kuda pertama kali, itu merupakan zaman yang amat penting (kira-kira abad ke-5 SM). Ketika itu di China bangkit Konghuchu, di Timur Tengah para Nabi Yahudi,


dan di Yunani para filsuf. Itulah poros sejarah. Kita masih hidup di bawah bayang-bayangnya. Orang yang tidak bertemu dengan China, Timur Tengah, Yunani, atau India, sampai sekarang masih primitif. Fungsi-fungsi itu berubah dari manusia yang berjalan kaki menjadi orang yang menunggang kuda. Seorang ahli Jerman, Alfred Weber, pernah berkata bahwa pada abad tersebut orang yang duduk di atas kuda akan lebih cepat dan mempunyai kepercayaan diri yang lebih besar dari yang berjalan kaki. Apa bisa diartikan dengan simbol kemajuan teknologi sekarang ini? Benar. Kalau dulu kita berada dalam poros sejarah yang kecil, sekarang kita berada dalam poros sejarah yang jauh lebih besar. Penyesuaiannya bisa dengan pembentukan Federasi Dunia tadi. Sekarang kita masih berada di dalam zaman nasionalisme yang bangkit di abad lalu. Kemudian, pandangan Anda tentang hancurnya sosialisme di Rusia, Rumania, atau di negara-negara Eropa Timur? Begini, sosialisme itu ada di dalam jiwa kita semua. Tapi, dalam keadaan dunia yang terpecah, individualisme pertama kali muncul, akibatnya gaji buruh menjadi rendah. Kemudian buruh bersatu, jadilah sosialisme. Padahal, sebenarnya kita ingin sosialisme itu memasyarakat. Dan masyarakat yang individunya mati, tidak ada gunanya itu. Artinya, bahwa satu dunia baru sedang bangkit, kapitalisme, dan sosialisme ada dalam jiwa kita semua, dan kita membuat suatu sintesis dan kapitalisme itu sikap manusia yang bertanggung jawab terhadap sesamanya. Kan kapitalisme itu kekreatifan dan inisiatif pribadi. Kita harus mengadakan perjuangan baru, yaitu kombinasi dan keseimbangan antara sosialisme dan kapitalisme. Semasa hidupnya, STA begitu banyak menekuni berbagai pendidikan formal dengan beragam disiplin ilmu, diantaranya pernah menuntut ilmu di HKS (Bandung), Hoofdacte (Jakarta), Sekolah Hakim Tinggi, dan juga pada fakultas sastra dalam bidang filsafat dan kebudayaan.

Sebagai seorang budayawan, bagaimana pendapat Anda tentang kebudayaan yang menjadi subordinasi politik? Teori saya mengatakan bahwa politik itu cuma sebagian dari kebudayaan. Saya fokuskan pada nilai kebudayaan, yaitu ada enam nilai. Antara lain nilai ekonomi yang mau kegunaan, nilai agama yang mau kekudusan, nilai seni yang mau keekspresifan, nilai politik yang mau kekuasaan, dan yang terpenting di zaman sekarang yaitu nilai solidaritas yang mengandung cinta, kasih sayang, kooperasi, kerjasama, dan tolong-menolong (kemungkinan nilai yang keenam adalah nilai ilmu-red). Enam nilai ini ada pada semua orang, tapi pada seorang yang kuat nilai agamanya ia akan menjadi ulama, yang lain kuat nilai ilmunya akan menjadi ilmuwan, yang kuat nilai kekuasaan akan menjadi poltician. Pada zaman dulu, nenek moyang kita dikuasai oleh nilai agama dan seni, sedangkan sekarang kebudayaan modern dikuasai oleh ilmu dan ekonomi yang melahirkan teknologi. Kemudian, orang-orang politik mau berebut kekuasaan, jelas politik itu kekuasaan, pedang, yang merupakan sambungan tangan politician. Tapi, sekarang ini, kalau golongan politician berebut kekuasaan dan dibiarkan, maka bom atom akan meletus, jadi para politician harus sadar bahwa kekuasaan (yang) begitu besar bisa melenyapkan diri sendiri. Kemudian, di tengah realita persaingan politik tersebut, di mana hak asasi rakyat dapat diwujudkan? Nah, di mana hak asasi rakyat itu terjelma, itu masih sebuah perjuangan. Kalau bagi saya, hak asasi itu dapat terjelma, ya itu tadi, Federasi Dunia. Lihat saja, di mana-mana di belahan dunia ini mulai merasakan perlunya persatuan, sudah kelihatan kan, di Eropa (MEE), atau di Asia (ASEAN)? Di samping terkenal sebagai filsuf, budayawan serta sastrawan, beliau juga dikenal sebagai mantan rektor dari salah satu universitas swasta tertua di Indonesia, yaitu Universitas Nasional Jakarta. Pendapat Anda mengenai sistem pendidikan yang kualitasnya dapat dikatakan mundur? (Merenung agak lama). Ya, mun-

durnya begini. Bila dibandingkan dengan zaman Belanda dulu, sekolah kita ini terlalu cepat bertambah. Universitas di zaman dulu hanya ada dua atau tiga. Sekarang lebih dari seribu Perguruan Tinggi, Institut, atau Akademi. Nah, di mana kita mencari-cari profesornya? Di mana kita mencari bukunya? Yah, dengan sendirinya kita harus terima itu semua. Tapi kita juga harus meningkatkan mutunya. Dan terutama sekali saya katakan, universitas yang sesungguhnya adalah buku. Dan tugas terpenting bagi bahasa Indonesia sekarang ini adalah menerjemahkan semua buku yang penting dalam sejarah umat manusia. Mestinya dengan bahasa Indonesia, kita bisa membaca semua pikiran dan kemajuan seluruh dunia. Sekarang ini banyak sekali buku-buku penting yang tidak dapat dibaca karena belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sebab itu, saya menganjurkan penerjemahan buku secara besar-besaran. Sekadar contoh, pada masa perang dunia dulu, waktu itu Komodor Perry King datang ke Jepang dengan angkatan perangnya, dan Jepang angkat tangan. Jepang tidak punya meriam, tidak punya kapal perang. Tapi orang Jepang itu mengerti bahwa semuanya itu dibuat oleh otak. Maka otaknyalah yang harus direbut. Maka Jepang pun mengirimkan pemuda-pemudanya untuk belajar di luar negeri dan diterjemahkannya secara besar-besaran semua buku. Jadi, yang terpenting adalah bacalah buku sebanyak-banyaknya. Selain itu, selalulah bersikap positif, konstruktif, optimis, serta idealis. (Sastro)

*Tulisan ini pernah terbit di Koran Kampus SkĂŤtsa Edisi IX Februari Tahun 1994, namun tanpa keterangan yang jelas terkait waktu wawancara. Agar tetap bisa diakses oleh sidang pembaca Majalah SkĂŤtsa, tulisan ini dirilis ulang dalam “Artikel Lawasâ€? dengan perubahan kecil seperti perbaikan redaksional tanpa mengubah struktur penulisan sama sekali.


CALON REPORTER DAN AMPLOP

K

Oleh: Sucipto*

enyataan yang ia terima di bulan Agustus yang muram, membuatnya membayangkan empat puluh tahun kemudian: duduk bersama anak-cucu dan menceritakan bagaimana seorang jurnalis harian lokal bertahan hidup tanpa menerima amplop atau pemberian uang dari narasumber. Jika semesta berkehendak lain, ia berharap arsip tulisan ini sampai kepada mereka, bukan sebagai kesenduan tapi agar mereka bisa menentukan sikap, apapun profesinya. Ingatannya kembali pada sebuah pagi, dua puluh satu hari sebelum gelar sarjana disandangnya. Ia–yang sering dipanggil Gondrong–sumringah. Gondrong teringat perkataan Gabriel García Márquez tentang profesi jurnalis. Gabo, demikian orang mengenal penulis Amerika Latin itu, menganggap jurnalis adalah pekerjaan paling bagus sedunia. Dan, Gondrong akan melakoni profesi tersebut sejak pagi itu, di awal Mei. Gondrong resmi jadi calon reporter harian lokal di sebuah kabupaten di bagian selatan kaki Gunung Slamet. Sebelum bertugas, ia beberapa kali diberi pelatihan singkat soal bagaimana politik redaksi tempatnya bekerja. Tidak ada praktik mewawancarai narasumber atau menulis reportase di dalamnya. Hanya obrolan dan tulisan singkat “multi angle micro people” di papan tulis dari Wakil Pemimpin Redaksi. Setelah itu, ia langsung liputan lapangan. Redaktur Pelaksana waktu itu bilang, “Pengalamanmu sebagai pers mahasiswa sudah cukup. Langsung liputan saja.” Meski merasa bekal yang diberikan sangat minim, Gondrong menurut saja. Lantaran bingung mau meliput apa, sementara ia berkewajiban kirim tiga berita setiap harinya, Gondrong putuskan untuk meliput hal yang dekat dengannya semasa kuliah: literasi, seni, dan budaya. Ia rasa itu menarik dan relatif mudah. Hari pertama menjadi calon reporter, ia hanya bisa mengirim satu berita tentang persiapan Festival Film Purbalingga, sebuah festival film yang menyajikan tontonan alternatif dengan berkeliling ke desa-desa. Kebetulan Gondrong pernah berhubungan dengan beberapa anggota komunitas itu. Meski berita yang dikirim jauh dari kewajibannya sebagai calon reporter, tidak ada teguran dan arahan dari redakturnya. Bulan Juni, Gondrong ditugaskan untuk meliput berita hanya di Purbalingga sampai batas waktu yang belum ditentukan. Waktu itu ia sudah terbiasa mengirim tiga sampai empat berita dalam sehari lantaran jaringan sumber informasi sudah mulai ia dapat. Benar kata Putu Wijaya soal bagaimana wartawan diperlakukan di masyarakat. Dalam wawancara Putu dengan panajournal.com, ia bilang bahwa menjadi wartawan banyak dapat perlakuan khusus. “Memotret segala macam, dimaafkan. Wartawan juga selalu dikasih jalan. Apa-apa didahulukan, sementara orang lain mengantre,” katanya. Gondrong menyaksikannya. Dan ia malu akan hal itu. Gondrong dengar cerita dari kawannya. Mereka buat SIM cepat

Sucipto salah satu alumni Skëtsa yang pernah menjadi Pemimpin Umum LPM Skëtsa 2014. Foto: Dok. Pribadi

tanpa harus antre. Bahkan, mereka selalu aman dari operasi penilangan. Hal yang tidak bisa dialami penyapu jalan, tukang becak, atau ibu rumah tangga yang suaminya tidak punya kedudukan. Adakah kebenaran dari sekian banyak kemudahan yang Gondrong hadapi? Ia teringat kata Goenawan Mohamad, bahwa kerja jurnalistik adalah merajut serpihan sejarah. Tulisan jurnalis atawa wartawan alias reporter bisa jadi rujukan siapa saja yang memerlukan. Meresapinya, Gondrong pikir menyajikan fakta melalui berita bukan hanya soal memberi informasi. Selain presisi terhadap fakta, sebagai calon reporter ia ingin belajar jadi pewarta yang baik dan pantas: mesti berusaha mengolah dan menyajikan fakta dengan menarik supaya pembaca bisa menentukan sikap terhadap sesuatu yang terjadi. Bukan hanya soal kebaikan, tapi juga kesedihan, penderitaan, dan sesuatu yang tidak beres. Menjalani tugas profesi yang wajar macam itu bukan perkara mudah. Gondrong tidak boleh sembarangan percaya informasi. Ia harus penuh keragu-raguan. Ia mesti mengumpulkan ingatan-ingatan orang yang sudah terbawa oleh waktu, kemudian menenunnya menjadi cerita yang akurat, gamblang, dan utuh. Mewawancarai satu narasumber saja tidak cukup. Butuh ketelatenan untuk mengecek kebenaran ingatan yang ia dapat. Untuk membebaskan diri dari segala yang mengganggu kerja tersebut, laku Gondrong mesti beriringan dengan kode etik profesinya. Masih terngiang di dalam ingatannya soal wartawan yang tidak boleh menyalahgunakan profesi dan menerima suap. Bagaimana wartawan menerima suap? Gondrong menemukan jawabannya saat liputan. Suatu kali, setelah siaran pers sebuah instansi, ia dan wartawan yang hadir diundang masuk ke sebuah ruangan kepala bagian. Udara di dalam ruangan terasa dingin. Kursi kepala bagian terlihat empuk dengan sandaran sampai kepala. Kursinya


Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani

bisa dinaik-turunkan, bisa berputar. Wartawan–termasuk Gondrong–duduk berjejer di depannya. Setelah berterima kasih kepada para jurnalis karena sudi meliput, sang kepala bagian mengambil tumpukan amplop putih kecil di mejanya. Ia berkeliling membagikannya kepada wartawan seraya tersenyum dan menyalami satu persatu. Si gondrong ada di jajaran kedelapan. Pikirannya berkecamuk. Kepalanya memanas sedangkan suhu ruangan dingin. Kakinya bergetar. Jika menolak terang-terangan, pikir Gondrong, ia bisa dicibir sebagai wartawan baru yang sok suci, sok idealis. Jika kenyataan seperti yang gondrong pikirkan, ia akan kehilangan dua hal: teman wartawan dan narasumber. Kemungkinan terburuk yang ada di pikirannya adalah kehilangan narasumber dan akses informasi. Bagi calon reporter itu menyakitkan. Ia intip amplop. Selembar seratus ribu rupiah. Uang di saku gondrong untuk biaya hidup sampai akhir bulan tinggal lima puluh ribu rupiah. Gondrong menelan ludah. Getir. Ia hubungi redakturnya. “Kembalikan kepada yang memberi,” kata redaktur. “Posisinya sulit tadi,” “Ya sudah, temui orang di bagian keuangan kantor.” Bagian keuangan mengarahkan ke bagian iklan. Direktur iklan menawarkan amplop itu sebagai biaya iklan. Jadi, berita yang ia tulis akan diberi keterangan advertorial. “Kantor tidak bisa mengembalikan kepada narasumber?” Namun Gondrong hanya berteriak di dalam hati. Kawan Gondrong mendengar cerita ‘amplop pertama itu’. Si kawan juga punya sikap tidak terima amplop. Kawannya bilang, tak apa mula-mula terima amplop seperti itu. “Lain kali, menghindar,” kata sang kawan. Kawan yang lain bilang, pada titik tertentu nanti, Gondrong mesti punya sikap yang tegas. Ia mesti menolak, dengan cara apapun. Kawan yang lain memberi alternatif. Jika narasumber memberi uang, kawannya menyarankan, liputan yang sudah diniatkan mesti ia tulis, bukan sebagai advertorial. “Itu liputanmu, Bung. Kalau dia memberi uang, tawarkan saja uang

itu untuk advertorial, tapi dengan informasi lain, bukan liputanmu,” katanya. Si Gondrong baru mengerti, selain menerima amplop, wartawan di tingkatan lokal ternyata sangat mungkin mencari iklan sebagai tambahan penghasilan, karena upah wartawan media lokal kecil. Rata-rata senilai upah minimum kabupaten. Bagi Gondrong yang masih membujang, mungkin cukup. Namun bagi wartawan lain yang sudah berumah tangga, sangat sulit hidup dengan uang segitu. Beberapa wartawan lain yang punya sikap tidak menerima amplop, menyiasatinya dengan ikut lomba, fellowship, menulis esai, atau menjadi pemateri di berbagai pelatihan menulis. Ada pula yang menjadi kontributor untuk beberapa media Jakarta. Sikap tidak menerima amplop mereka lakukan dengan alasan: untuk menjaga independensi wartawan dari sumber berita demi kepentingan publik, menjaga kode etik. Ada yang bertanya, “Lantas bagaimana bila amplop diterima sedangkan berita tetap terbit sesuai fakta?” Yang lain menimpali, “Hidup dari mana jika tidak terima amplop? Gaji wartawan kecil!” Seorang wartawan yang esais, Abdul Aziz Rasjid, dalam sebuah perbincangan santai punya jawaban sendiri. Ia menjabat sebagai sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Purwokerto. Ia diundang ke Ubud Writers and Readers Festival pada Oktober 2017 mendatang sebagai salah satu emerging writers. Menurutnya, pada titik tertentu nanti, bila wartawan yang menerima amplop dari narasumber tahu bahwa narasumbernya itu berkasus, atau ia mengetahui ada yang tidak beres dengannya, ada rasa sungkan untuk menuliskan fakta itu. Jika begitu, korbannya adalah publik. Informasi yang diterima publik bisa jadi fakta dengan framing yang aman bagi pemberi amplop, atau bisa saja kasus itu tidak menjadi berita. Akibatnya, masyarakat tidak bisa menentukan sikap dengan baik untuk menanggapi sebuah kasus yang berdampak bagi mereka. *** Upah wartawan di Indonesia banyak yang belum layak, apalagi media lokal dan regional. Kerja intelektual wartawan dengan berbagai risiko di lapangan dihargai murah. Perusahaan media lokal memilih aman untuk memberi upah minimum bagi wartawan baru. Tidak ada tunjangan transportasi dan pulsa. Tahun 2011, AJI pernah melakukan survei upah layak jurnalis di 16 kota. Kota Semarang menjadi salah satu kota yang disurvei di Jawa Tengah. Upah riil jurnalis di Semarang saat itu berkisar antara Rp700 ribu sampai Rp1,8 juta. Sementara, berdasarkan survei mereka, kebutuhan hidup layak jurnalis kota Semarang tahun 2011 adalah Rp3.240.081. Rincian kebutuhannya sebagai berikut: makanan dan minuman Rp1.260.800, perumahan dan fasilitas Rp250.000, sandang Rp186.528, aneka kebutuhan lain Rp1.248.200, dan tabungan (10% dari total upah) Rp294.553. Pada poin aneka kebutuhan lain mencakup dana sosial–seperti sumbangan untuk kerabat


atau rekan yang sakit atau menikah, rekreasi, transportasi, dan komunikasi. Persoalan upah layak berkelindan dengan profesionalisme dan kebebasan pers. Bagaimana seorang jurnalis bisa profesional jika ia masih harus menahan lapar dan terpaksa menerima pemberian uang dari penguasa? Sedangkan, kita tahu bahwa salah satu tugas jurnalis adalah “memantau kekuasaan”. Gondrong, selama menjadi calon reporter sampai bulan Juli 2017, banyak menulis feature tentang sosok yang menurutnya inspiratif. Ia senang melakukannya karena jauh dari kemungkinan berhadapan dengan amplop dari narasumber. Feature yang ia tulis sering terbit di halaman pertama. Liputan yang ia kerjakan dengan serius selama jadi calon reporter hanya dua berita panjang. Keduanya soal sampah dan menjadi headline di laman Purbalingga. Beberapa kejadian besar yang ia liput juga menjadi headline di halaman pertama. Tanggal 31 Juli 2017 adalah masa akhir Gondrong sebagai calon reporter. Hari itu ada rapat redaksi pukul empat sore di kantor. Gondrong hadir terlambat setengah jam. Setelah rapat, Gondrong menemui bagian personalia. “Ini hari terakhir saya bertugas sebagai calon reporter. Selanjutnya bagaimana, Pak?” “Kami belum dapat rekomendasi dari redaksi. Tunggu sebentar ya.” Gondrong menghampiri Pemimpin Redaksi. “Nanti ya,” Pemred bilang. Sesaat kemudian, Gondrong dipanggil bagian Personalia. Pemred menghampiri bagian Personalia dan membisikkan sesuatu. Pemred langsung pergi. Bagian Personalia bilang bahwa Gondrong belum bisa bergabung di perusahaan media itu. “Bisa minta rapor saya beserta alasan saya tidak bisa diterima?” kata Gondrong. “Rapor tidak ada. Untuk alasan, itu sudah keputusan atasan.” Dahi Gondrong mengernyit tapi Gondrong tidak mau ambil pusing. Setelah itu, ia mengambil upah beserta uang pesangon. Gondrong pulang dan menghubungi redakturnya. “Apa iya? Belum diputuskan kok apakah kamu diterima atau tidak. Personalia masih harus menunggu keputusan redaksi, dan redaksi belum memberikan rekomendasi apa-apa. Kalau belum ada kejelasan, kamu jangan kirim berita dulu,” kata redaktur. “Nanti kalau ada kejelasan, tolong kabari, Mas. Aku juga mau tahu rekomendasi dan evaluasi buatku,” kata Gondrong. Sampai keesokan hari, Gondrong belum dapat kabar. Ia bertanya kepada Pemimpin Redaksi melalui pesan singkat, sekadar ingin mengetahui evaluasi dan rekomendasi bagian Redaksi untuknya. Nahas, ia tidak mendapat jawaban apa-apa. Ia tanya kepada Wakil Pemimpin Redaksi. “Ok, nanti saya sampaikan,” jawab Wapemred. Dan, setelah itu Gondrong tidak mendapatkan jawaban apa-apa. Rasa penasaran Gondrong belum terobati karena belum mendapat alasan kenapa dirinya tidak diterima sebagai wartawan tetap. “Aku belum juga dapat penjelasan. Karena kalau dari penilaianku, tulisanmu bagus. Aku gak tau pertimbangan manajemen apa. Aku cukup kecewa. Maksudku, kenapa aku tidak

dimintai pertimbangan. Kan aku editornya,” kata Redakturnya. Gondrong bisa terima jawaban itu. Namun Gondrong belum menerima keterangan resmi dari media tempatnya bekerja. Gondrong berasumsi bahwa keuangan media tempatnya bekerja sedang guncang. Mungkin bisnis di luar target. Solusinya, pikir Gondrong, kantor mesti memangkas karyawan. Yang sangat mungkin dipangkas adalah calon reporter yang hanya berjumlah satu orang. Media tempatnya bekerja, pikirnya, butuh wartawan yang bisa menghasilkan uang untuk kantor. Gondrong bukan wartawan macam itu. Gondrong teringat kisah The Daring Young Man on the Flying Trapeze yang ditulis William Saroyan, tentang perjuangan seorang penulis untuk menorehkan imajinasinya kala musim dingin menyelimuti San Fransisco. Setiap kali tokoh dalam cerita mencoba menuliskan kisah yang ada di dunia imajinasinya, dingin selalu merusak suasana. Ia mandek menulis. Giginya gemelutuk dan ia nyaris beku. Ia siasati untuk merokok tanpa putus hingga persediaan rokok yang ia punya habis. Malang, usahanya menghangatkan tubuh gagal. Ia tetap menggigil. Tidak ada yang bisa ia gunakan untuk menghangatkan tubuh. Tiba-tiba, ia teringat buku-buku yang menurutnya buruk. Buku-buku tidak berguna itu ingin dibakarnya demi mendapat kehangatan. Ketika hendak membakar buku Inez: A Tale of the Alamo–yang baginya adalah buku buruk–ia iseng membuka dan membacanya. Beberapa paragraf awal yang ia baca, merubah pikirannya. Ia menyimpulkan bahwa deretan kata itu adalah ‘tulisan buruk yang baik’, dan ia memutuskan untuk membacanya hingga selesai. “Banyak sekali yang bisa dipelajari penulis muda dari para penulis buruk. Sungguh destruktif jika membakar buku buruk, nyaris lebih destruktif ketimbang membakar buku bagus,” katanya. Gondrong pikir, cerita itu bisa ia kaitkan dengan pengalaman yang mengguncang batinnya. Jikapun menjadi calon reporter adalah pengalaman buruk, ia tidak ingin melenyapkan dari ingatan, sebab ia punya pilihan untuk memaafkan keadaan, tapi tidak untuk melupakannya. Kenyataan semakin terlihat jelas di matanya, bahwa berusaha untuk menjadi wajar selaiknya menoleh ketika leher memar. Sulit. Sakit. Betapapun sakitnya itu, ia tidak membunuh, pikir Gondrong. Ia tetap bisa melihat ke kanan kiri meski harus memutar pinggangnya. Atau tetap menoleh meski sakit. Kita tahu, sakit yang berulang-ulang akan menjadi hal biasa, bukan? Pembaca yang baik... Kisah Si Gondrong adalah kisah seorang lulusan Jurusan Sastra, menamatkan kuliahnya selama enam tahun delapan bulan. Si Gondrong adalah saya. Sebagian kisah ini boleh jadi dialami reporter muda lain yang mulai meniti karir jurnalistiknya.

*Penulis adalah alumnus LPM Skëtsa, mantan calon reporter media lokal di kaki Gunung Slamet.




Sastra Ilustrasi: Reza Yahya


Judul Penulis Muda Oleh: Nurhidayat*

A

walnya dia bercita-cita jadi wartawan, namun karena gajinya kecil dan dia tentu sudah membaca kasus Udin, dia ngeri juga. Lalu setelah jadi sarjana sastra, dia ingin menjadi penulis saja. Harapannya, dia bisa mengkritik masyarakat dengan tulisan-tulisannya. Penulis lebih aman lah, ingat bahwa wartawan yang kritis bisa jadi akan dibunuh seperti Udin. Konon, wartawan Jogja itu kena batangan besi di bagian kepala. Tapi sungguh, dia ingin jadi wartawan. Ketika dia bertemu seorang wartawan, apalagi wartawan yang independen, dia selalu menyorongkan proposal tanda tangan. Wartawan adalah profesi paling mulia, karena bekerja dalam senyap untuk mengungkap tabir. Tentu bukan yang malah suka jualan iklan. Dan dia kini mulai akan menulis, tepat seminggu sejak euforia kelulusan. Dia harus dekat dengan cita-cita, maka dia segera saja mengawali debutnya. Ada ribuan ide yang menghantui jarinya. Ribuan yang lain adalah ketakutan akan ide itu sendiri. Dia yakin bisa menuliskannya dengan cepat. Namun, dengan cepat pula niat mengetik itu diredam kekhawatiran. Dia takut apa yang pertama dia tulis akan menjadi cap sejati dan abadinya. Makanya dia benar-benar memilih frasa pertama dari jenis tulisan yang sudah dia tentukan: cerpen. Dari ratusan buku yang dia baca, dari yang paling barat sampai yang

Ilustrasi: Reza Yahya

paling timur, dari paling merah sampai yang paling hitam, atau paling putih, dari yang kiri, kiri tengah, kanan tengah, sampai yang paling kanan. Sudah khatam semuanya. Tak ada yang belum dibaca. Seminggu dia khatam dua setengah buku sejak lulus SMA, dan kini dia sudah sarjana. Hitung sendiri berapa buku yang sudah dia makan? Jika dia seorang penulis senior, atau penulis yang hidup di zaman susah, maka dia hanya perlu ide dan atau keberanian. Jika dia seorang penulis karena dia seorang pengembara, maka dia hanya perlu menulis untuk menggambarkan perjalanan, dengan sedikit dramatisasi. Jika dia adalah penulis yang lahir dari orang kaya atau keturunan bangsawan, dia cukup saja menulis dan semuanya akan baik-baik saja, karyanya tidak akan dilupakan orang. Jika dia adalah penulis yang dibayar oleh orde baru, dia cukup menulis apa saja yang disiarkan TVRI dan buku-buku departemen. Selesai sudah dan dia akan hidup dengan layak. Yang jadi masalah adalah sebaliknya. Dia hidup di era semua orang sudah bisa menulis. Semuanya ingin bisa menulis hingga ada grup Facebook yang isinya ratusan ribu orang milik suami seorang penulis wanita. Dia, penulis yang tulisannya jelek itu. Oh ya, jika dia penulis yang semacam Dia, maka dia cukup menulis dan dia akan dielukan oleh penghuni grup Facebook Komunitas Bisnis Menulis. Semuanya aman. Yang ti-


Ilustrasi: Reza Yahya

dak aman hanyalah penulis yang satu ini. Ketika dia ingin menulis tentang sejarah, maka dia bukanlah orang yang benar-benar mengerti sejarah. Mungkin tahu, tapi dia tahu kalau sejarah tak boleh diluruskan. Ketika dia bercerita berdasarkan buku plat merah, dikiranya antek rezim, dia ogah disebut dengan itu. Ketika dia ingin bercerita dengan dasar buku-buku alternatif, maka ia akan dianggap makar. Jika menulis berdasarkan napas Islam, maka ia akan banyak cabang tuduhan: liberal; Syiah; Wahabi; radikal. Jika dia menulis dengan napas Kristiani maka dia akan disebut misionaris. Dan jika dia menulis dengan mencampurkan beberapa kebaikan agama, maka dia akan disebut penista, bid’ah, kafir, dan lain-lain. Jika dia menulis dengan pandangan ateis, maka bukunya akan dibakar oleh umat. Itu pun masih beruntung jika pribadinya tak ikut dibakar. Di tengah kebingungannya memilih tombol huruf apa yang ditekan, ada kemajuan. Ide berkilat-kilat muncul. Namun tak lama, dia menghapusnya lagi. Hanya tersisa kursor yang berkedip menyedihkan. Di saat itulah dia sejenak melupakan calon isi tulisan. Dia mulai memikirkan jalur apa yang akan digunakan untuk menyalurkan tulisannya. Dibagikan di sosial media seperti teman-temannya? Pasti banyak yang membaca. Dia punya ribuan teman dan minimal enam ratus pengikut di sana. Tapi, dia ngeri membayangkan dia akan dirisak dan cemoohan itu pasti akan lebih panjang dari tulisannya sendiri. Sudah ada contohnya, anak dari Banyuwangi yang masih lugu itu. Katanya banyak yang ingin membunuh gadis tak berdosa itu. Jika memang menulis bukanlah dosa.

Bagaimana jika tulisannya dijadikan buku kumpulan cerpen? Nah ini, katanya sekarang justru penulislah yang harus membayar sendiri ongkos cetaknya. Penerbitan sudah terlalu banyak naskah. Dia yang baru saja lulus jurusan sastra tak punya ongkos itu. Menurutnya tak logis lagi, masa pengarang harus membiayai pencetakan padahal dia mengatasnamakan penerbitan? Tapi ini masih menjadi pertimbangan. Lebih mulia mencetak sendiri daripada tidak sama sekali. Namun, dia menuntut supaya penerbit yang bertanggung jawab atas biaya percetakan, tentu hanya dalam hati. Namun dia segera insaf siapa dirinya, penulis baru yang belum punya portofolio. Akhirnya dia menentukan untuk mengirimkannya ke koran. Meski honornya tak seberapa, namun lumayan jika sebulan ada satu atau dua cerpennya yang dimuat. Belum lagi jika ada bonus jadi cerpen pilihan terbaik koran itu. Diundang untuk duduk di kursi yang dilapisi kain, dan mendapat tepuk tangan saat pembacaan pengumuman. Luar biasa, meski baru dalam bayangan. Dia bahkan tersenyum meski belum satu huruf pun yang terketik, kecuali yang sudah dihapusnya lagi itu dan meninggalkan kursor berkedip seperti mata ayam yang sakit flu burung. Belum juga dia mulai mengetik, dia mewawas diri. Dia tak mungkin mampu bersaing dengan Seno, Laksana, atau si tua Pardi dan Hari. Kecuali jika redakturnya segera insaf bahwa koran itu bukan milik komunitas, tidak mungkin tulisan sebagus apapun dari jari jemari penulis muda ini akan dicetak dan kemudian honor ditransfer kepada penulis muda ini. Mereka seperti keluarga yang saling menulis cerpen untuk anggota mereka juga. Bisa saja salah satu dari mereka akan menulis cerpen enam kata dan dimuat oleh koran, seperti penulis legendaris penyandang Nobel, Ernest Hemingway, dengan taruhan beberapa Dollar. Kalau Hemingway bertaruh bahwa cerpen enam katanya bisa membuat orang menangis, mungkin komunitas ini akan bertaruh, “Redaksi berani menolak cerpen Seno atau tidak?” Tiba-tiba ide judul datang dan penulis muda itu mengetik keras: “UNTUK APA MENULIS?”. Namun dia buntu, hanya judul saja yang keluar. Kemudian dia berganti ke fail baru dan menuliskan lamaran kerja. Ada sebuah bank yang sedang melakukan rekrutmen terbuka. Toh, dia itu punya orang dalam di sana.

*Nurhidayat, Pemimpin Umum LPM Skëtsa 2015, menulis esai dan cerita pendek juga puisi bebas.


Pintu Besi Oleh: Nurhidayat*

Pintu besi baru saja terinstal pada sudut presisi Penuh kalkulasi, semua dikerjakan tukang las terakreditasi Pak tua yang sudah seharusnya dikremasi justru mencaci hasil produksi Kala menyiapkan lidah untuk mengkritisi Dadanya sesak terisi frustasi Pergulatan sengit dalam isi pangkal uban, meski tak ada serapah tumpah Si Bangka protes perihal warna terlalu cerah “Warnanya terlalu menyala. Tak seperti besi tua,” keluhnya dengan sisa nafas orang tua yang payah Mata pengelas mencelik, persis penis anak SD belum disunat yang dimain-mainkan Urat-urat merah di bagian putih mata mencekik orang tua yang renta beruban

Si pengelas enggan merevisi, dia hanya mau membuat yang terlihat gres Pengelas yang idealis berpikir dua menit lalu membuyarkan stres “Kakek tunggu saja sewindu, pasti pintunya sudah sesuai pesananmu.” Kakek tua pilu tanpa tepi Pintu mengkreasi sendu sore tadi Dia hanya menunggu. Memuatluarkan kesabaran secara maksimalis “Sang pengelas hanya berpikir bisnis,” gumamnya sinis dia tua seorang diri sederhana nan lugu hanya hidup dengan menjual kelapa dari gelugu di buritan Ada dua puluh tujuh gelugu dan rata-rata berbuah sebelas Dan, untuk membuat pintu besi yang itu, dia harus menebang satu kesayangan

*Nurhidayat, Pemimpin Umum LPM Skëtsa 2015, menulis beberapa puisi, cerita, dan esai pendek. Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani

Dan dia sudah bernazar untuk tidak lagi pada sembilu Anaknya yang semata wayang akan datang suatu saat, dan mewarisi rumah beserta gelugu-gelugunya yang menjulang Siapa tahu Dan Sewindu kemudian, anaknya pulang Membawa mobil ceper warna merah Dan menangislah dia melihat pintu besi yang terpalang Besi tua yang karatan menyedihkan sudah menyerah


Pantun

Rumah Sawah Oleh: Aziz Dwi Apriyanto*

Ilustrasi: Marita

Dwi Asriyani

Sengaja ke Bali memburu turis Minum bir makannya tahu kupat Kita hidup di negeri agraris Kebun dan sawah di setiap tempat

Aduh manis bikin hati terpana Gadis cantik mengunyah permen Papan sudah, sandang macam mana? Bukalah lahan, bangun pabrik garmen!

Jidat profesor sangatlah terang Di tempat gelap bisa menyala Tapi miris kondisi sekarang Impor pangan merajalela

Ada yang unik dari si nyonya Pakai cadar layaknya ninja Soal pangan, apa kabarnya? Sekali lagi, diimpor saja!

Ke kondangan membuat ulah Atasan rapi, tapi tak bercelana Tambah penduduk, tambah masalah Permukiman warga taruh di mana?

Tradisi wisuda melempar toga Toga terbang tak tentu arahnya Kebun mulai tak subur, sawah juga Terpaksa, petani menjual tanahnya

Hujan deras bercampur petir Tanda cuaca sedang tak ramah Jangan bingung, usah khawatir Sawah ditanami rumah mewah

Jalan-jalan ke kota Paris Untuk menjemput Putri Syahrini Masihkah relevan kata agraris? Sawah dan kebun habis begini

Murid pacaran sebut mama papa Ketahuan, disidak kepala sekolah Rumah aman, lalu kerja apa? Bikinlah toko, belilah sawah sebelah

Pensiunan guru pergi berkemah Lupa simpul tali, atas atau bawah? Sawah disulap jadi bangunan rumah Rumah mewah penggusur sawah

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2015, sedang mencoba menulis pantun.


Oh, Indonesia Oleh: Emerald Magma Audha*

Pok ame-ame, belalang hidung belang Siang makan nasi, malam kenyot susu Duit negara banyak yang menghilang Dimaling para koruptor, dasar asu! Orang gila mendapat wangsit Untuk ibadah salto tiap pagi Aben tahun, keuangan defisit Solusinya? Utang terus utang lagi Jalan-jalan ke Kota Malaga Pesawat mogok kehabisan oli Pandai nian, aparat berniaga Jabatan pula dijual-beli Sambil menyelam cari ikan kakap Tak dapat kakap, adanya tongkol Pejabat-pejabat pada ditangkap Korupsi melulu, membikin dongkol Ibu guru memberi PR Murid marah lalu bubar Hai KPK, Halo DPR E-KTP apa kabar? Yang bersisa gading, itu gajah mati Manusia mati, tinggallah utang Masa Pemilu tinggal menanti Waspada politik SARA dan uang! Bagai punuk di punggung unta Bagai kecebong dalam comberan Isu SARA jangan dicinta Sebab mengancam kebinekaan Ada kacang yang melupakan Ada kulitnya yang terlupakan Lucu, keberagaman dirayakan Tapi, permusuhan diragakan

Disuruh papa pesan kutis Sudah kebelet ena-ena Bermain medsos mesti skeptis Hoaks ada di mana-mana Bocah panti sedang berbaris Tunggu giliran jatah opor Ini negeri laut, negeri agraris Garam impor, gula impor Dua sejoli berbagi napas Jangan kesusu, nanti keselak Ada petani lahannya dirampas Ada petani dikibuli tengkulak Kolam beriak tanda tak dalam Bolehlah kiranya untuk berenang Negeri ini kaya raya akan alam Bolehlah dibabat, biar bapak senang Diputus pacar di Sabtu malam Disuruh makan tak berselera Bolehlah kita merusak alam Asal demi kepentingan negara Tak kunjung lulus, aktivis sengsara Mengharap toga, jadi rajin puasa Eh, benarkah kepentingan negara? Atau, keuntungan penguasa? Kuku kakiku kaku-kaku Susu sasi soe sia-sia Ya, inilah negeriku Rumahku, oh, Indonesia

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2014.


Ilus

tra

si:

Rez

aY

ahy

a

SOLILOKUI BENIH POHON

S

Oleh: Emerald Magma Audha*

esungguhnya aku hanyalah sebintik semi, tumbuh di selingkung batang berserak. Kala merasai sekeliling, dadaku sesak. Koyak. Lantas itu menuai getir yang merisak. Lalu mendesak. Sudahnya aku cuma terisak. Meski terisak, suasana tetap nyenyak. Paling hanya bunyi kersak. Ingin rasanya aku berteriak. Supaya getir ini bisa usak. Tubuhku masih lunak, tapi cuma aku yang khali dari tebasan. Banyak sesamaku suah dicacah. Mandala ini, lama-lama bisa gersang. Aku malah ngeri membayangkan bila aku menebal sebagai pokok kayu kelak, apa nasibku bakal sama? Ah, aku bahkan ragu mampu menebal, lebih-lebih melebat. Uhh! Aku jadi ingat sesamaku, aku kembali sesak. Namun, aku sekadar memendam, lantaran aku bisu. Memang hadirku di sini masih anyar, tapi aku tahu ini ulah siapa. Dari segala gema suara di mandala ini, bisa aku rasai. Selain dari tuturan sesamaku yang mendahuluiku. Aku memang tak kelewat paham benar, tetapi aku cukup tahu apa yang sedang terjadi di sini. Ini jelas ulah kalian! Ingin sekali aku menyentak, memburaikan segala berang yang terbenam. Lagi-lagi aku sadar, aku bisu. Kalau aku bisa bicara, pasti, tentu pasti akan aku sulihkan segala apa yang terpendam di dada ke bahasa suara, seperti ini: “Hei, kalian! Sudah tidak waraskah kalian, atau memang sengaja menumpulkan waras kalian? Kewarasan dibuat tumpul dengan proyek menggiurkan semata demi keuntungan? Atau, sebenarnya memang masih waras, namun nurani kalian yang membatu? Ya, semua waras kalian berkiblat pada nalar ekonomi. Nurani kalian dibuat batu oleh nalar ekonomi yang

menghamba borjuasi bangsai yang hanya acuh pada labanya?” “Apa telinga kalian tuli, atau malah kalian yang menulikannya? Tidak terdengarkah jeritan-jeritan penolakan di kuping kalian? Kuping kalian kotor, sesak oleh congek-congek bercampur nanah dengan janji-janji manis kesejahteraan dan kelayakan hidup di dalam nanah itu? Bau anyir nanah itu pula yang kalian hirup dalam-dalam, diisap sekuat-kuatnya oleh hidung peyek beringus itu. Kalian anggap bau anyir itulah yang membuat kalian bisa bernapas lega seperti sekarang? Tidak sadarkah kalian malah itulah yang sebenar-benarnya membikin kalian sesak napas, yang menyumbat rongga paru kalian, yang menghentikan aliran oksigen di udara?” “Mata kalian sudah buta, atau memang kalian butakan? Rabun oleh bayangan gemilang hidup bahagia yang kental keegoan, kilauan uang yang paling mengikat, memenuhi isi ininya kalian sendiri, lalu semuanya itu mengerak menjadi katarak di mata kalian? Oleh sebab itukah pandangan kalian sepekat gulita, menjadikan kalian tidak memeka pada sesama kalian yang mulai memelas pilu?” “Kalian masih saja menjadikan nyala mesin-mesin penghancur jenggala bertuah yang menjadi jantung yang menyawai bermacam siklus kehidupan di atasnya. Deru mesin-mesin itu begitu memekikkan sampai mampu membungkam teriakan sendu. Jenggala itulah senantiasa berdenyut, mendetakkan nadi segala ekosistem di punggung Slamet. Segala siklus itu telah hidup sebelum Soekarno melantangkan teks naskah proklamasi, sebelum Multatuli menyuarakan karya penentangan terhadap tanam paksa ala Van den Bosch, sebelum Cornelis de Houtman melabuhkan kapalnya di Banten,


bahkan jauh sebelum itu, sudah berlangsung sejak beratus-ratus abad silam. Maka itulah jenggala itu dituahkan, dari zaman baheula hingga sekarang masyarakat lokal sekitar punggung Slamet itu yang setia bersusah pikir dan berpeluh raga untuk menjaganya, merawatnya. Mereka-mereka tahu, dedaunan hijau bersemak di ranting juga berbelukar di batang-batangnya itu yang mengaliri sungai-sungai supaya tetap deras dan jernih. Air itu yang membasahkan lalu menggenangi lahan-lahan mereka agar tidak mati kerontang. Sebagaimana pula bagi mereka ambil manfaatnya mulai dari sekadar membasuh jelaga di muka periuk nasi, untuk dimasak lalu dimasukannya ke dalam mulut dan diteguknya yang berguna menggantikan tiap keringat mereka selepas mencangkul. Atau, dimasak untuk membikin kuah sayur asam. Juga untuk cebok sehabis buang air kecil sampai buang air besar dan mandi kecil sampai mandi besar. Bahkan, orang-orang zaman dulu telah biasa menggunakan air untuk bercermin diri lantaran saking beningnya. Sekarang? Terlalu keruh meski hanya sekadar memantulkan bayangan.” “Mereka-mereka juga tahu, akar-akarnya berjenjang lagi selebar paha yang mengokohkan tanah supaya tidak lebur dan tercerai berai. Akar-akar yang menembus masuk ke tanah lalu mengaitkannya dengan erat dan melilitkannya dengan kencang supaya tanah-tanah itu tidak hanyut diseret oleh gerimis deras yang lama-lama bisa menjadi arus yang keras. Hidup akar-akar itu yang paling berjasa menahan tanah supaya tidak gugur dan meluncur cepat ke bawah. Semua itu karena tanah senantiasa diteguhkan oleh akar-akar. Makanya kawasan jenggala itu terlindung dan mesti dilindungi, namanya saja kawasan lindung. Disebut kawasan lindung sebab melindungi beraneka mata rantai kehidupan. Mereka-mereka yang kalian anggap niradab dan serba kekolotan itu malah paling mafhum soal itu. Mereka tidak dungu macam kalian!” “Sudah dungukah kalian? Barangkali akal budi kalian lenyap ditelan ketamakan? Ah, tidak, bukan begitu. Tidak mungkin orang dungu tak berakal akan sanggup menebas terlampau habis pepohanan di kawasan lindung. Lalu, kalian biarkan bangkai-bangkainya meranggas sampai rontok daunnya, luruh kering batangnya, akarnya menciut kisut, dan sangat kecil kemungkinan kalian akan sudi menghijaukannya lagi. Bukan akal kalian yang lenyap, tapi budi kalian berhasil dijarah oleh ketamakan. Atau, pura-pura dungu? Ya, benar, ini yang paling mungkin terjadi pada kalian. Kepandaian kalian simpan di mana? Di dengkul kalian yang kopong keropos itu? Keropos lantaran dengkul yang menjadi wadah kepandaian itu sering digunakan untuk berlutut. Lantas lidah kalian julurkan keluar dari batas bibir, lalu menjuntai ke bawah sambil meliuk-liuk hingga melebihi pangkal kerongkongan. Sampai-sampai liur yang mirip riak itu terlepas dari lidah, jatuh mengental pekat. Kemudian kalian berebut menjilati ketamakan kalian, sesekali saling menyikut bahkan mencakar. Kalian hinakan diri kalian demi menyenangkan rasa tamak masing-masing.” “Apa kalian juga berlagak tak tahu menahu jika kawasan lindung itu adalah surgaloka nutrisi bagi segala organisme berjasad hidup di situ? Celeng, tikus, ular, kera, kadal, biawak, kera, bisa mengenyangkan hasrat laparnya berkat segenap berkah yang disajikan surgaloka nutrisi. Kawasan itu juga jadi

habitat paling layak bagi hewan-hewan itu untuk melepaskan laku kebinatangannya secara liar: memburu atau diburu, memangsa atau dimangsa, menerkam atau diterkam, atau untuk sekadar kawin dan berbiak. Apa jadinya bila kalian merenggut jenggala yang mulanya rimbun lagi riuh aktivitas hewani, kini kalian ratakan semua menjadi sebatas onggokan yang tak sampai melebihi batas mata kaki? Banyak satwa hutan turun ke lereng dekat permukiman. Petani-petani di lereng, rautnya selalu suntuk, tapi tak membuat kendur otot-otot jemarinya, tegang menggenggam tongkat kayu, harus selalu siaga dan terjaga kalau tak mau lahan garapannya gagal panen lagi lantaran diserbu gerombolan kera yang lapar. Sudah banyak lahan yang berserakan, mulai dari lahan yang ditanami tanaman padi, palawija, jagung, pisang hingga ketela, semuanya rusak. Hal tersebut kerap terjadi belakangan. Lalu, celeng-celeng juga ikut-ikutan turun menyeruduk kebun, malah pernah sampai mengais pakan di rumah petani. Ada pula yang mengaku harimau juga menampakkan belangnya. Meski hewan-hewan itu cuma mengandalkan insting bertahan hidup. Kalian tahu kan, kalianlah yang merampas sumber penghidupannya!” “Hah, kalian bilang, semua yang kalian lakukan benar dan dibenarkan demi memuluskan proyek setrum itu? Atas nama legitimasi hukum, kalian lumat kawasan lindung yang telah menghidupi macam peradaban selama beratus-ratus abad itu menjadi remuk dalam sekejap dengan mesin-mesin raksasa penghancur jenggala, terus kalian cabik remukannya menjadi potongan-potongan paling kecil dan paling lembut, tak bersisa? Sergah kalian, proyek setrum itu ramah dengan alam Slamet? Saking ramahnya sampai kalian rapuhkan segala mata rantai kehidupan di sini! Kalian mengaku, jika semua laku kalian semata demi tujuan mulia, yakni kesejahteraan masyarakat sekitar, kemakmuran negeri ini bersama rakyat, iya, begitu? Yakin, bukan demi asing? Tapi, cara kalian untuk mencapai tujuan itu, muliakah? Muliakah cara yang menjadikan derita terhadap sesama itu? Tidak! Lantas, masih muliakah sebuah tujuan bilamana tujuan mulia itu dicapai dengan cara yang tidak mulia? Jawab! Hah? Apa kata kalian? Ahhh… Omong kosong!” Kalian selalu saja berusaha menggenggam semuanya di tangan kalian! Mencoba mengendalikan semuanya semau kalian! Itu benar-benar membuatku merasa tercekik! Perih! Lebih menikam dada dan menusuk hati ketika aku menyadari, aku merasa tak berdaya apa-apa. Purwokerto, 4 Juli 2017.

*Emerald Magma Audha, pegiat Lembaga Pers Mahasiswa Skëtsa Unsoed. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2014. Penulis cuma mau bilang, “Selamatkan Hutan Lindung di Gunung Slamet.”


MENERA ANGAN, LALU MERAWATNYA Oleh: Emerald Magma Audha*

S

eperti Émile Zola yang sedang tercekik, ketika karbon monoksida mulai menyesaki rongga paru-parunya, itulah yang sedang saya rasakan. Bedanya, otak saya yang tercekik, berbagai macam pikiran menyesaki. Saya tengah mencari sesuatu, lebih benar, tepekur. Dalam proses itu, sekelebat, ada yang merentas di rongga pikiran. Itulah ingatan. Saya jadi terkenang pada obrolan dengan kawan sejawat saya—kawan di lembaga Skëtsa, bercerita tentang angan masing-masing. Ada yang berangan besar seolah bernafsu pretensi, ada pula yang angannya penuh hal utopis sekalipun. Bahkan, angan tentang lembaga ini, lembaga yang sedang saya kulum amanahnya. Layar lembaga ini mau dikembangkan ke arah mana? Akan seperti apa jadinya? Agaknya seperti itu. Hasilnya, dari perembukan itu, ada beberapa pengandaian yang sama-sama kami amini, khususnya tentang angan untuk lembaga ini. Bolehlah saya sedikit berbagi tentang itu. Baiklah. Jadi, begini... *** Perihal angan atau mimpi atau cita atau apalah, apapun sebutannya, memiliki kekuatan sendiri. Semacam daya untuk menggerakkan daging manusia. Menggerakkan manusia untuk berlaku. Berlaku untuk terus menyempitkan ruang antara status quo dan harapannya. Setiap anak Adam berhak berangan. Itu adalah manusiawi. Namun, tidak saban orang bernyali untuk berangan besar, lantaran takut gagal. Bahkan, ada kekhawatiran dalam diri Edgar Allan Poe—tersurat dari karyanya yang berjudul The Raven—yang membayangkan jikalau nanti tak ada lagi manusia yang berani bermimpi. Angan itu beraneka rupa. Ada angan yang remeh, angan yang sekadar bayangan. Ada angan yang cukup realistis untuk direngkuh. Atau, angan besar yang penuh hal utopis yang kiranya bertele. Sampai angan yang busuk sekalipun, ada. Dari berupa-rupa angan tersebut, kiranya seperti ini angan yang kami dambakan untuk lembaga ini—juga pers mahasiswa. Kami berangan, suatu saat, Skëtsa sebagai lembaga pers mahasiswa (persma), bisa terlepas dari kungkungan kampus— Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), tidak lagi terikat dengan rektorat sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Unsoed, melainkan berdiri secara berdikari. Berdikari secara utuh dalam hal pendanaan, tidak lagi dibebani dana dari rektorat, agar bisa lepas dari jerat birokrat. Tidak lagi bergelantung pada ruang sekretariat yang luasnya sekira 7x4 meter. Legalitas lembaga tidak lagi hanya berlandaskan SK Rektor. Semua itu bukan tanpa esensi, melainkan demi Skëtsa agar bisa menjadi lembaga pers yang lebih independen dalam segala hal. Ya, kami mendamba Skëtsa bisa keluar dari Unsoed,

menjadikan Skëtsa sebagai badan usaha penerbitan pers mahasiswa yang berbadan hukum. Untuk apa? Agar posisi Skëtsa menjadi lebih layak untuk diwajibkan menaati kode etik dan UU Pers (40/1999). Itu bila mengikuti perspektif Dewan Pers dalam menyikapi status persma. Menjadi lembaga yang berbadan hukum untuk melakoni kegiatan pers adalah pilihan paling logis bagi kami, bagi persma, jika persma ingin diakui Dewan Pers dan dilindungi UU Pers. Dan yang terpenting, persma—yang saat ini statusnya masih “lemah”—jadi lebih dilindungi dari beraneka macam ancaman misalnya upaya pemberedelan, seperti yang sudah dialami oleh banyak persma sewaktu “kemarin”.1 Kenapa? Sebab bagi mereka, persma seperti kami baru bisa menikmati buah UU Pers bilamana persma memenuhi syarat sebagai perusahaan pers, yakni berbadan hukum. Barangkali aroma dari manisnya buah UU Pers pun tidak bisa kami hirup, meski kami selalu berusaha memenuhi kode etik jurnalistik dan UU Pers dalam hal pemberitaan sekalipun. Menjadi badan hukum adalah pilihan terakhir yang mau tidak mau harus dicapai persma, jika apa yang tertuang dalam UU Pers soal syarat perusahaan berbadan hukum tidak ditiadakan. Lalu, mempunyai gedung milik kami sendiri, agar tidak lagi menumpang di ruang sekretariat milik kampus itu, juga kami angankan. Gedung yang bukan cuma untuk menggaya supaya pantas disebut kantor redaksi. Karena memang butuh lebih dari sekadar ruangan 28 meter2 untuk melakoni kegiatan pers. Paling tidak, biar tidak sesak untuk rapat. Kami juga memimpikan, Skëtsa yang telah menjadi badan usaha, mampu “menggaji” wartawannya. Ketika para awak melakukan pekerjaan dengan baik, paling mentok mereka hanya mendapat reward berupa pujian untuk menukar segala peluh yang menetes. Kami ingin melakukan lebih dari itu. Sudah sepantasnya bagi yang bekerja serius, mau belajar dengan sungguh, atas peluhnya, patut diganti dengan penghargaan yang selayak mungkin. Nilai humanisme yang dianut lembaga ini akan jadi lebih terasa, dalam hal ini, memanusiakan para awaknya. Benar, kami belum puas dengan keadaan lembaga yang sekarang, yang penuh serba-keterbatasan. Ruang yang terbatas, dana yang terbatas, awak yang terbatas pula, fasilitas yang kurang, bahkan sebuah kamera pun kami tak punya! Tidak hanya lembaga kami saja, banyak UKM lain di Unsoed pun dalam keadaan serupa, yang paling kentara: krisis keanggotaan. Apalagi krisis keanggotaan itu akan makin parah jika draf Peraturan Rektor tentang Tata Laksana dan Organisasi Kemaha-


Sepertinya, angan tadi itu, kelewat utopis, ya? Ya, mungkin ada benarnya, mungkin juga tidak. Kendati itu terkesan terlampau utopis, tetapi, bukankah hal yang utopis sekalipun, bila itu baik, tak masalah? Banyak hal besar yang pernah terjadi, berasal dari orang-orang yang menghasratkan angan yang utopis sekalipun. Dulu, sebelum Neil Amstrong berjaya menapaki muka bulan, mengangankan bisa pergi ke bulan merupakan bualan konyol. Sekarang? Lalu, mungkin juga Indonesia tak kan pernah ada jikalau para pejuang terdahulu tak pernah memimpikan Indonesia merdeka. Mereka-mereka yang menciptakan sejarah itu, mereka mengawalinya dari angan besar. Orang hidup boleh berangan apapun. Namun, jangan sampai hidup diperbudak angan. Menilik masa lalu, apa yang dilakukan Skëtsa, bermula dari sebuah angan, Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani mimpi. Dari situ, kami yang melanjutkan cita para pendahulu sampai sekarang. siswaan tetap ngotot diberlakukan—meski banyak penolakan Tentu saja cita itu bukan tanpa ada kebaruan. Dalam perjalanannya pula, banyak hal yang telah Skëtsa dari pegiat UKM.2 Bisa dibayangkan, geliat kegiatan mahasiswa jelas akan makin lesu. Lambat laun kerontang, dan akhirnya lakukan, berakar dari angan. Angan-angan yang gila, bermacam ide terliar pun disuarakan. Banyak pencapaian yang dituai, mati layu. Dengan segala keterbatasan itu, tidak lantas jadi kewajaran berawal dari angan. Tidak, pencapaian yang kami maksud bukan bagi kami untuk menurunkan standar kualitas pemberitaan. Kami sekadar pencapaian seperti membanggakan piala kosong atau tetap berusaha menjaga bahkan meninggikan standar pemberi- menjuarai perlombaan. Tidak sesederhana itu. Segala hal yang kami lakukan, kami anggap berhasil, manakala apa yang kami taan kami. Ya, kami belum puas dengan keadaan yang sekarang. Itu hasilkan bisa berguna bagi orang banyak. Dalam hal ini, salah bukan berarti tidak bersyukur atas apa yang telah kami punyai, satunya, selalu mencipta produk jurnalistik yang bermutu—dan ataupun mengeluh. Bila makna syukur adalah menjadikan diam tentu saja sesuai kaidah jurnalistik yang baik, agar masyarakat lantas tidak berbuat apapun untuk mengubah agar keadaan bisa tercerahkan setelah melahap sajian kami. Hingga kini, Skëtsa terus hidup bersama angan-angan belebih baik lagi, bukankah itulah kufur yang sesungguhnya? Namun, tentu saja bukan sebatas berangan, beragam sia- sarnya. Dan selalu mengejar itu. Jika tidak, bila sekadar hidup sat ataupun macam cara sedang kami usahakan untuk men- tanpa angan, hidup akan terasa boyak. Lalu, tinggal merawatcapai itu. Mungkin dengan lebih memperkencang pencarian nya dan tak lelah untuk menyawainya, agar tidak hilang ditelan iklan dan usaha lainnya, lalu hasilnya ditabung sedikit-sedikit. lupa. Atau, yang lainnya. Siapa tahu, pada suatu masa, kelak Skëtsa Purwokerto, 26 Juni 2017. bisa mencapai angan-angan tadi. Kemudian esensi lembaga ini *Emerald Magma Audha adalah Pemimpin Umum dan sebagai media yang menjalankan fungsi jurnalistik, lebih terePemimpin Redaksi LPM Skëtsa 2017. jawantahkan lagi. Soal alasan kami berangan untuk keluar dari Unsoed? Tentu yang paling utama agar kami lebih leluasa dalam melaCatatan kaki: koni kerja jurnalistik. Kami pun juga punya angan yang mesti diraih, sebelum keluar dari Unsoed. Seperti, mampu mencer- 1Lihat tulisan Nurhidayat, “Lemahnya Pers Mahasiswa”, dalam daskan sivitas akademika Unsoed dengan laporan jurnalistik Majalah Skëtsa Edisi 33 Tahun XXVII Januari 2016 pada Rubrik Analisis. kami. Lalu, berusaha mengidealkan kondisi lingkungan kampus, seperti mendorong birokrat pengelola Unsoed menuju ke arah 2Lihat Laporan Utama, “Balada Jam Malam Unsoed”, dalam yang selalu dinantikan: Transparansi Perguruan Tinggi3—yang Majalah Skëtsa Edisi 34 Tahun XXVIII April 2017. saat ini masih jauh dari frasa itu. Kemudian, berusaha men- 3Baca Majalah Skëtsa Edisi 33 Tahun XXVII Januari 2016 bertejadikan persma sebagai laboratorium ideal yang berperan ma “Transparansi Perguruan Tinggi”. menempa “generasi penerus pers nasional” di masa kelak.





Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.