ZAMAN
Acta Diurna No.30/XII/2019 Bidikan Utama
Ladang Usaha Dalam Bayang Problematika
Bersahabat dengan Quarter-Life Crisis Profil
Sederhana Saja; Setiap Kejadian Punya Makna
EDITORIAL Dalam kehidupan agaknya sulit menemukan orang yang selalu bahagia pun selalu bersedih karena tiap manusia memiliki hati yang memang semudah itu untuk dibolak-balik. Akan tetapi agaknya kita perlu menyepakati bahwa hidup haruslah seimbang. Seorang penulis besar, Pramodya Ananta Toer pernah mengungkapkan pada sebuah karyanya “kehidupan ini harus seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja dia gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja dia sakit.” Kita perlu untuk bahagia namun bukan berarti harus terus menerus bahagia, kadang juga kita bisa menjalani krisis identias yang bisa terjadi kapan saja termasuk juga krisis 20 tahunan atau yang biasa disebut dengan Quarter Life Crisis. Tak perlu bingung, sakit hati itu pasti ada akan tetapi kita harus menyoroti bagaimana kita mengatasi permasalahan tersebut. Karena hal itu bukanlah musibah, hal itu adalah tranformasi karena sesungguhnya pada saat kita merasa sakit pun merasakan perasaan “krisis” sejatinya kita sedang dibentuk menjadi pribadi yang jauh lebih kuat.
SURAT PEMBACA Buletin Acta Diurna 29 Terbit 9 Oktober 2019
BACA DI SINI
Berpesta Sendiri Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, dari namanya saja sudah politik sekali namun pada praktiknya ketika saya akan memilih salah satu pentolan Student Governance calonnya hanya satu. Mana bisa kita berpesta demokrasi, kalau hanya berpesta sendiri? Ardhea Ningtyas Y, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNS 2016
Wacana untuk Sekolah baru Wacana sekolah vokasi kini semakin memanas bersamaan dengan pembangunan gedung yang semakin terlihat wujudnya. Akan tetapi bersamaan dengan itu administrasinya malah semakin membingungkan wacana kurikulum yang belum diuji pun semakin santer. Sudah siapakah wacana ini diimplementasikan? Ulfah Almunawaroh Mahasiswa D3 Perpustakaan UNS 2017
LPM VISI FISIP UNS Sekretariat LPM VISI Gedung 2 Lt. 2 FISIP UNS, Jl. Ir. Sutami No. 36A Surakarta 57126
redaksilpmvisi@gmail.com
@lpmvisi @gwi5930m http://www.lpmvisi.com/ @LPM_VISI Lpm Visi Fisip Uns
Susunan Redaksi Pelindung Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Redaktur Pelaksana Editor Reporter Ilustrasi dan Tata Letak Riset
: Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si : Yuni Pri Antini : Rachma Dania : Lailaurieta Salsabila Mumtaz : Banyu Visandi Pangestu, Lailaurieta Salsabila Mumtaz, Rachma Dania : Azizah Diah Wulandesi, Bintang Surya Laksana, Lucia Daniella, Nabila Darin Fakhira, Nasyaatur Rosyidah, Nova Nurlaila, Olivia Sophire, Rizka Awalina Afida, Stella Maris, Ummi Masrufah : Banyu Visandi Pangestu, Rachma Dania, Yuni Pri Antini : Bidang Litbang
Redaksi menerima kritik dan saran serta tulisan, artikel, informasi, ataupun karikatur. Naskah atau gambar yang dikirim menjadi hak penuh redaksi. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan pengutipan pernyataan, Redaksi LPM VISI menerima hak jawab sesuai UU Pers No. 40 Tahun 1999 pasal 1 ayat 11. Kirim ke: Sekretariat LPM VISI Gd. 2 Lt. II FISIP UNS Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, email: redaksilpmvisi@gmail. com
2
Acta Diurna No.30/XII/2019
BIDIKAN UTAMA
Ladang Usaha Dalam Bayang
Ilustrasi: Dania
Menyandang gelar “maha-nya� siswa, terkadang menuntut para mahasiswa menjadi manusia yang multiguna. Mulai dari menjadi aktif di berbagai organisasi kampus, memenuhi panggilan turun ke jalan, hingga mulai untuk mandiri secara finansial. Kegiatan-kegiatan tersebut tentunya masih harus dilakukan bersamaan dengan kewajiban pokok mahasiswa, yang kadang malah sering dikesampingkan, yakni untuk belajar dan tentunya mengerjakan tugas akademisnya. Berbagai macam tugas lazim diberikan para dosen untuk meningkatkan mutu akademis mahasiswa. Akan tetapi banyaknya tugas yang diberikan sering kali membuat mahasiswa kewalahan. Selain itu mahasiswa juga terkadang malas mengerjakan tugas karena menganggap tugas yang diberikan tidak meningkatkan pemahaman mereka terhadap materi perkuliahan atau bisa jadi memang sedang malas saja. Berangkat dari fenomena tersebut, beberapa mahasiswa yang lain justru melihatnya sebagai peluang emas. Sehingga terbentuklah jenis pekerjaan baru yang memanfaatkan kemalasan para mahasiswa dalam mengerjakan tugas. Pekerjaan ini biasa disebut dengan joki tugas.
Pada dasarnya, pekerjaan seorang joki tugas adalah mengerjakan tugas dari mahasiswa lain dengan imbalan berupa uang ataupun barang sesuai permintaan si joki tugas, rokok misalnya. Slamet (bukan nama sebenarnya), adalah salah satu mahasiswa semester tiga yang menyediakan jasa joki tugas mahasiswa di Universitas sebelas Maret (UNS). Saat ditemui VISI, ia membeberkan bahwa alasannya menggeluti pekerjaan gelap tersebut awalnya hanya dari keisengan belaka. Berawal dari melihat kemalasan teman sekelasnya mengerjakan tugas yang diberikan dosen, Slamet nekat menawarkan jasanya. “Ya, sebenarnya saya cuma iseng buat ngerjain (tugas teman -red). Tapi dira-
Acta Diurna No.30/XII/2019
3
sa-rasa kok lumayan nambah uang jajan, jadi ya keterusan sampai sekarang,” bebernya. Ia menganggap joki tugas ini ibarat sebuah celah atau strategi untuk mendapatkan uang. Saat melakoni pekerjaan joki tugas yang sudah ia geluti sejak semester satu ini, Slamet mengungkapkan bahwa dirinya tidak terlalu banyak mengambil pelanggan. Biasanya pelanggannya hanya berasal dari teman satu program studinya, itu pun tidak banyak. Dalam menawarkan joki tugas, Slamet menggunakan aplikasi chatting WhatsApp untuk menghubungi para pelanggan. “Biasanya saya cuma berani ambil tugas yang sejenis makalah, paper, atau esai. Saya nggak berani ambil risiko ngerjain tugas yang nggak mampu saya kerjakan,” ungkapnya. Perihal harga, ia biasa mematok antara 50-150 ribu rupiah per tugas. Selama menggeluti pekerjaan sebagai joki tugas, Slamet mengungkapkan bahwa dirinya tidak menemukan kendala yang berarti. Ia mengungkapkan bahwa mengatur waktu adalah strateginya. Meskipun Slamet juga kerap diberikan tugas oleh dosennya, ia tidak merasa kesulitan karena sudah menargetkan kapan mulai mengerjakan tugas-tugas dari pelanggannya. Selain itu, ia mengatakan bahwa ia tidak berniat untuk menawarkan joki tugasnya sampai ke program studi lain karena takut kuliahnya akan terbengkalai. Bukan hanya menguntungkan para penjaja, jasa joki tugas ini juga dianggap menguntungkan bagi para pengguna, yaitu para mahasiswa yang tidak punya waktu untuk mengerjakan tugas. Dikemukakan oleh Dinar (bukan nama sebenarnya) salah satu mahasiswa UNS, keberadaan joki tugas cukup membantunya dalam mengerjakan tugas kuliah. Apa lagi saat tugas tersebut datang bersamaan dengan kegiatan lain yang ia sedang jalani. “Ya saya pernah pakai (jasa joki). Jasa itu cukup membantu saya dalam mengerjakan tugas,” ungkap Dinar. Alasan lain baginya untuk menggunakan jasa joki adalah karena sempitnya tenggat pengumpulan tugas yang diberikan.
Menjadi hal yang lumrah
Fenomena joki tugas yang kian menjamur kini seolah dipandang sebagai hal yang sah-sah saja untuk dilakukan oleh mahasiswa, bahkan menjadi rahasia umum hingga sekarang. Tak sepakat dengan itu, Septiana Riski Endira Murti, salah satu dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS mengemukakan bahwa dengan dikumpulkan tugas hasil joki pencapaian mahasiswa dalam penguasaan materi akan dianggap gagal serta keterampilan yang seharusnya diasah tidak dapat berkembang dan maraknya plagiarisme. Keberadaan jasa joki tugas tentunya juga akan berdampak kepada permasalahan integritas di
4
Acta Diurna No.30/XII/2019
Universitas, bukan hanya soal segi akademik tetapi juga moral mahasiswa. Dengan praktik sikap curang dan kurangnya kompetisi yang sehat maka akan menjadi faktor yang merugikan nantinya. “Menurut saya sekarang ini daya juang mahasiswa itu sangat rendah. Jika diberi tugas yang sedikit ekstra, langsung mengeluh. Mereka merasa tidak mampu mengerjakan,” tutur Septiana. Selanjutnya Septiana menambahkan bahwa faktor lain yang menyebabkan maraknya jasa joki tugas karena uang atau materi menjadi momok mahasiswa saat ini. Segala sesuatu diukur dengan uang, padahal uang tidak selalu menjadi tolok ukur terhadap keberhasilan. Pengalaman dan ilmu pengetahuan yang didapat di kampus tidak dapat ditukar dengan materi apa pun. “Faktor lain yang mendasari adanya fenomena ini karena para mahasiswa merasa memiliki uang, sehingga mampu menggunakan uangnya untuk segala hal, termasuk menggunakan jasa joki tugas,” ujarnya. Septiana turut mengemukakan bahwa menggunakan jasa joki tugas bukan hanya sekadar melakukan kecurangan tetapi juga pembohongan. Tugas-tugas yang diberikan bukan murni hasil pemikiran dan kerja keras mahasiswa itu sendiri, tapi hasil orang lain. Menurut Septiana, fenomena ini jelas merupakan hal yang merugikan baik bagi kalangan dosen terlebih mahasiswa yeng menggunakan jasa tersebut. “Terutama di era sekarang di mana komunikasi semakin cepat, otomatis pelaksanan joki tugas juga semakin mudah. Sulit juga bagi dosen untuk benar-benar melacak kecurangan yang dilakukan mahasiswa pada tugasnya,” ungkap Septiana. Baginya, ilmu pengetahuan yang didapat mahasiswa tidak sebanding dengan kemudahan dan uang yang didapat dengan menjalankan atau menggunakan joki tugas. Ia berharap mahasiswa sadar akan konsekuensi yang menunggu mereka, terutama pertanggungjawaban terhadap gelar yang akan mereka sandang nanti. “Pesan saya untuk pengguna jasa agar tidak mengulangi hal ini lagi, karena semua hal yang besar dimulai dari hal yang kecil. Jika hanya untuk tugas saja dia masih malas dan memilih untuk mempekerjakan orang lain, bagaimana nanti ketika harus mengerjakan tugas-tugas besar yang lebih berisiko tinggi.” pesan Septiana. Sejalan dengan itu, Sofi, mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi 2018 juga menyatakan ketidaksetujuannya dengan adanya jasa joki tugas. Menurutnya keberadaan jasa itu malah menjadikan mahasiswa semakin malas. “Pemikiran murni mahasiswa itu tidak bisa disuarakan dengan jelas. Jelas dengan memakai joki tugas berarti juga melakukan kecurangan.” ujarnya.
Bintang, Darin, Lucia
PROBLEMATIKA
Bersahabat dengan Quarter-Life Crisis
Ilustrasi: Dania, Pulung
Menjelang usia 20 tahun, tak jarang masalah di dalam hidup seseorang semakin kompleks, fase ini tampaknya dirasakan oleh kebanyakan orang menjelang masa kedewasaannya. Sebuah film berjudul Twenty mengambil ide pengalaman orang-orang yang berada di fase menuju kedewasaan ini. Tiga sahabat di dalam film tersebut harus melewati kisah sulit mereka masing-masing di usia 20-an. Film ini ditutup dengan manis menggunakan narasi “Tak peduli apapun itu, kami sama sekali tidak takut karena kami masih muda.� Memasuki umur 20 tahun, seorang individu seolah memasuki gerbang kehidupan baru. Seiring dengan bertambahnya usia, beban tanggung jawab terasa semakin sulit dan kompleks. Berangkat dari fenomena tersebut maka munculah istilah Quarter-Life Crisis (QLC) atau krisis usia seperempat abad pada diri seseorang. Menurut data yang dihimpun VISI, bisa dikatakan bahwa sebenarnya QLC adalah suatu fase di mana seseorang memiliki kecemasan terhadap masa depannya. Kebanyakan takut jika tahun-tahun berikutnya berjalan tidak sesuai dengan harapan.
Menemui Berliana Widi Scarvanovi, Dosen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (FK UNS), VISI membahas lebih lanjut mengenai hal ini dan kaitannya dengan mahasiswa. Menurutnya, biasanya QLC terjadi pada masa dewasa awal yaitu umur 20 hingga 40 tahun. Walaupun begitu, ada juga orang-orang yang menghadapi krisis ini pada usia 18 tahun. Biasanya, fase ini dimulai ketika seseorang lulus dari pendidikan terakhirnya. Menurut Berliana, penyebab QLC pada setiap orang bisa berbeda-beda. Utamanya, krisis ini terjadi karena masalah finansial bagi mereka yang sudah berpenghasilan,
Acta Diurna No.30/XII/2019
5
penyebab lainnya bisa terjadi ketika seseorang berusaha mendapatkan sesuatu tapi tidak berhasil mendapatkannya. Hal ini juga berhubungan dengan bagaimana perspektif masyarakat terhadap seseorang di umur tertentu. Setiap mahasiswa punya tujuan yang berbeda. Contoh, ada mahasiswa yang kuliah dan mengikuti berbagai organisasi di kampus hanya untuk memenuhi keinginan orang tua, tapi juga dituntut untuk mencapai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) minimal tiga. Lalu pada akhirnya mahasiswa ini tidak bisa memenuhi ekspetasi orang tuanya. Akhirnya ketika mahasiswa ini tidak bisa memenuhi keinginan orang di sekitarnya, maka ia akan menjadi cemas, stres, dan kehilangan arah karena merasa usaha yang dilakukan olehnya sia-sia. Tak ayal, problema QLC pun juga dialami oleh mahasiswa FISIP UNS. Kebanyakan dari mereka memiliki rasa galau ketika ditanya mengenai masa depan baik itu masalah pendidikan, karier, sampai percintaan. ”Aku sering mikirin ketiga hal tersebut, terutama pas malam hari. Di umur segini, aku sering memikirkan soal masa depan mau ke mana, setelah kuliah mau ke mana, dan hal lain yang bersinggungan dengan kehidupanku,” ungkap Nuha, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional 2018. Hal serupa juga diutarakan oleh Duta, Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2017. “Aku anak sulung, jadi merasa punya tanggung jawab besar ke keluargaku. Cuma selama ini aku merasa masih santai-santai saja. Di saat ini aku sedang berpikir gimana caraku untuk membanggakan keluarga,” ujarnya. Ada juga hal-hal yang membuat beban pikiran dan rasa khawatir. Nisa, mahasiswa Perpustakaan 2017 mengungkapkan, ”Kadang aku bingung terhadap cara apa yang harus aku tempuh untuk menyelesaikan berbagai urusanku, tapi aku cuma diem aja dan gak melakukan apaapa. Aku baru mau melakukannya kalo lagi ada mood,” ujarnya. Menanggapi hal tersebut Khalis, mahasiswa Sosiologi 2017 mengungkapkan, “Ketika aku merasa khawatir dengan diri sendiri, aku akan sharing dengan orang lain. Dengan ngobrol sama orang-orang, aku merasa punya sudut pandang lain untuk menyelesaikan kekhawatiranku, dan aku bisa mempertimbangkan dengan lebih matang,” jelasnya. Menurut penuturan Berliana, QLC sebenarnya bukan gangguan psikologis, melainkan fase normal yang dilalui setiap orang. Jadi fase ini tidak memerlukan diagnosis seperti penyakit pada umumnya. Fase ini memiliki efek berbeda pada setiap individu,
6
Acta Diurna No.30/XII/2019
tergantung bagaimana individu tersebut menanganinya. Ada individu yang dapat melewatinya dengan mudah dan ada juga yang sebaliknya. Bagi yang sulit melewati fase QLC, hal ini dapat menjadi hal buruk jika dibiarkan karena dapat berakibat kepada kesehatan batin seperti depresi, kehilangan arah, dan stress berat. Berliana menjelaskan penyebab seseorang mengalami hal tersebut, salah satunya adalah karena ia tidak bisa mengaktualisasi diri sendiri. Padahal sebenarnya setiap individu dibekali kemampuan untuk menangani krisis yang terjadi pada dirinya, tergantung bagaimana mereka mengatur pikiran mereka. Ia mengungkapkan bahwa sebenarnya hal yang harus dilakukan ketika mengalami QLC adalah refleksi diri mengenai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki. Dengan merefleksi diri, kita dapat mengevaluasi alasan mengapa kita tidak bisa mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu, hal yang perlu diingat bahwa setiap orang memiliki timeline hidup masing-masing. Jadi jika merasa orang lain lebih dulu berhasil, bukan berarti kita tertinggal di belakang. Ia menegaskan bahwa setiap orang memiliki kesempatan dan waktu baik yang berbeda-beda. Jika menemukan orang lain yang sedang menghadapi QLC seperti teman atau saudara, Berliana menyarankan agar kita dapat memberikan dukungan pada mereka dengan meyakinkan mereka bahwa fase ini adalah normal dan dilewati setiap manusia. “Bukan hanya kebahagiaan yang membentuk kehidupan kita, tapi juga penderitaan dan perjalanan dalam hidup kita, yang membentuk kita menjadi manusia yang lebih potensial dari sebelumnya.” pungkasnya.
Nova, Stella, Rosyi
Ilustrasi: Banyu
SUPLEMEN
QUARTER LIFE CRISIS QLC Mahasiswa FISIP UNS Survey dilakukan terhadap 100 mahasiswa Aktif FISIP UNS Quarter Life Crisis adalah fenomena yang awalnya berkembang di masyarakat Amerika yang diderita oleh banyak orang dewasa muda di usia 20-an dan 30-an, ditandai dengan stres, ketidakstabilan, dan perubahan besar dalam hidup, terjadi ketika banyak orang muda merasa ragu akan masa depan mereka dan merasa seperti terjebak dalam masa depan mereka pilihan hidup. (Thorspecken: 2005)
Rata-rata 4 indikator Quarter Life Crisis *Skala 1-5, dengan 1= sangat tidak setuju, dan 5= sangat setuju
3,9
4,5 4,0 3,5 3,0
3,3 2,7
2,6
2,5
77%
2,0
Responden cemas tak bisa membanggakan orang tua mereka
2,0 1,5 1,0
39%
0,5
Masalah Studi
Karier Masa Depan
Percintaan
54% dari mereka sering merenung dan menyesali kesalahannya terdahulu
Masih mengaku mengalami kecemasan Akibat Quarter Life Crisis
46%
Responden setuju bahwa nasehat orang tua medominasi kehidupan mereka
Hubungan dengan Orang Lain
54%
49%
Responden Mengaku tengah berusaha mencukupi kebutuhan finansial mereka untuk meringankan beban orang tua
79% Responden masih mempertanyakan Tujuan dan makna kehidupan yang dijalani saat ini
62% Responden masih sering mempertanyakan idealisme/prinsip hidupnya sendiri
indikator
Mudah tertekan melihat keberhasilan orang seumurannya Berambisi terlalu berlebihan hingga menghabiskan banyak pikiran dan tenaganya Sering terlarut memikirkan peluang-peluang hidup yang telah terlewat Sering membandingkan diri dengan orang lain yang lebih hebat atau lebih sukses
“Lambat bukan berarti gagal.” -V3 “Saya mengatakan kepada diri saya sendiri, bahwa ada orang2 yang mencintai saya, ada orang2 yang menunggu saya, ada orang2 yang telah saya bantu untuk menghadapi permasalahan hidup saya.” -Azzura “Aku adalah aku. Cukup aku yang tau susahku dan perjuanganku tapi jangan sampai kesuksesanku hanya untuk kunikmati sendiri.” -Anggin “Yang punya masalah di dunia ini bukan aku doang, yang lagi galau dunia ini banyak. Gak usah merasa paling sedih sampe ganggu kerjaan aku.” -Rr “Engga tau .” -F
“
“
Tindakan memotivasi diri sendiri ketika sedang berada di fase Quarter Life Crisis
Acta Diurna No.30/XII/2019
7
PROFIL
Sederhana Saja; Setiap Kejadian Punya Makna Baqiyyatush Sholihah namanya, perempuan hangat dan ramah yang VISI wawancarai pada Jumat (25/10). Akrab disapa Baqi, dirinya baru saja menamakan studi psikologi pada Agustus 2019. Berbekal gelar sarjana psikologi tak membatasi ruang geraknya untuk berkarya di bidang lain, salah satunya adalah dalam berdagang. Kepada VISI, Baqi menuturkan kisahnya ketika mencoba peruntungan di dunia wirausaha. Sekitar tahun 2015, ia memulai usaha bookmate.id, usaha pembuatan buku catatan dengan desain kover yang disesuaikan dengan permintaan pembeli. Menggunakan media sosial sebagai sarana penjualannya, bookmate.id hingga kini ramai pembeli, bahkan kerap mendapat pelanggan dari luar pulau. Di tahun awal kemahasiswaannya, Baqi cukup aktif dalam berbagai kegiatan keorganisasian dan kerelawanan. Selain itu, Baqi juga bergabung dalam organisasi non-pemerintah, Rifka Annisa Women’s Crisis Center di Yogyakarta. Keinginan untuk dapat mandiri secara finansial menjadi salah satu alasannya untuk berwirausaha. Ia ingin dapat membiayai hidup dengan uang sendiri tanpa meminta pada orang tua. “Selain ingin mandiri dan mendapat keuntungan untukku sendiri, aku harap usaha bookmate.id juga bisa membuat manfaat bagi pelanggan. Buku yang kovernya yang bisa di-custom bisa bikin pelanggan jadi lebih suka menulis,” ujar Baqi. Baqi menceritakan bahwa bookmate.id berawal dari keisengannya dengan teman sekosnya. “Aku punya teman yang bisa desain, lalu aku coba ajak dia untuk bikin usaha. Jadi temanku mengerjakan desainnya, dan aku pegang akun sosial media bookmate.id dan nentuin target pasar,” jelasnya. Usaha ini tentu tidak lepas dari berbagai hambatan, mulai dari sulitnya komunikasi dengan rekan usahanya hingga masalah terkait percetakan. “Temanku sekarang tinggal di Purbalingga, sementara aku di Solo. Proses percetakannya juga di Purbalingga, jadi barangnya harus dikirim ke Solo dulu. Jadi cukup rumit. Kami dulu juga sempat gonta-ganti percetakan,” jelasnya. Baqi menuturkan bahwa bookmate.id ini adalah hobi yang terbayarkan. Ia menikmati setiap proses dan menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Hingga saat ini
8
Acta Diurna No.30/XII/2019
“Bukan diriku sendiri yang berjuang, namun semua orang juga sedang berjuang dengan caranya sendiri juga dengan tujuannya sendiri.”
bookmate.id masih diurus berdua bersama temannya, meskipun terkadang kewalahan jika pesanan sedang banyak. Ia juga menuturkan bahwa usaha ini sempat berhenti setahun lantaran alasan tipikal anak muda, malas. Kemalasan menjadi alasan klasik yang membuat Baqi dan temannya seakan tak memiliki waktu dan tenaga untuk mengurus usahanya itu. Namun, di tahun berikutnya, keduanya mulai menghidupkan kembali usaha bookmate.id.
Setiap Kejadian Punya Makna
Setiap hari, setiap orang dan setiap kejadian pasti akan memberi makna. Makna ini kemudian membentuk pribadi bahkan menuntun seseorang untuk lebih mengenali dirinya. Makna yang didapat dari berbagai kejadian setiap harinya akan diolahnya untuk menjadi nilai kehidupan yang menunjukan kebahagiaan. Menurut Baqi, kebahagiaan tidak diukur dari seberapa banyak materi yang dimiliki, namun dirinya menitikberatkan pada makna kehidupan dari setiap kejadian. Dalam menghadapi berbagai permasalahan yang terjadi selama perjalanannya membangun usaha, Baqi selalu meyakinkan pada dirinya bahwa setiap hal pasti memberi makna. “Aku selalu bersyukur dengan yang aku dapat sekarang, aku selalu ingat bahwa mungkin ada orang yang memimpikan posisiku saat ini. Bahwa bukan diriku sendiri yang berjuang, namun semua orang juga sedang berjuang dengan caranya sendiri juga dengan tujuannya sendiri.” Tutur Baqi.
Di usia yang masih terbilang muda, Baqi pun tak terlepas dari masa-masa krisis yang mendatanginya. Ia menambahkan bahwa saat menginjak usia 20-an, kebanyakan orang malah memaknai Quarter-Life Crisis (QLC) dengan menjadikannya tameng untuk memaklumi keadaan, di mana pada usia ini timbul perasaan “It’s okay to be like that because I’m on a QLC stage, which means I could do anything I want,” ungkapnya. Bagi mengatakan bahwa setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri, diri sendirilah yang bertugas untuk bangun dari keterpurukan. Usia 20-an sering dikaitkan dengan masa keterpurukan dan kebingungan seseorang akan identitas dirinya, tahap ini sekaligus menjadi jembatan menuju kedewasaan. Menurut Baqi di masa muda tersebut, lebih baik digunakan untuk menemukan dan menekuni passion. Memiliki motto hidup ‘setiap hal yang terjadi menjadi charger diri’, Baqi percaya bahwa hubungan horizontal dan vertikal harus seimbang. Baqi juga ingin menjadi orang yang berguna bagi orang lain, memberi pengaruh yang positif bagi lingkungan di sekitarnya. Untuk Baqi, orang-orang di sekelilingnya memberi pengaruh dalam membentuk karakter. Baqi berpesan, “Carilah sahabat, istimewakan mereka. Jadi maksudnya itu, cari sahabat buat kerja, sahabat buat diskusi, sahabat buat main, sahabat buat jalan-jalan.”
Azizah, Oliv
Acta Diurna No.30/XII/2019
9
RETORIKA
Tiada yang Salah dengan Rebahan Ilustrasi: Dania
“M
impi aku tinggi banget. Tapi apa yang bisa aku lakukan sekarang? Kemampuan apa yang harus aku persiapkan? Hal apa yang harus aku prioritaskan? Nanti aja deh, mikirnya. Rebahan dulu ah....� Pikiran semacam itu bisa muncul pada siapa saja, dan seakan kian menjadi trending topic ketika seseorang duduk di bangku perkuliahan. Kebanyakan anak muda merasa ada jarak yang cukup jauh antara diri mereka saat ini dengan konsep diri ideal yang dibayangkan di masa depan. Hal tersebut biasa terjadi karena mereka tidak mengetahui hal apa yang harus dilakukan saat ini. Mereka terlalu sibuk menentukan mimpi-mimpi yang besar. Namun, luput menentukan target-target kecil yang seharusnya menjadi bagian penting ketika ingin mencapai mimpi yang besar. Luput dalam menentukan target kecil itu membuat anak muda tampak jauh dengan mimpi yang sebenarnya. Alhasil, mereka menjadi ragu apakah mimpi itu nantinya bisa tercapai. Karena ragu dengan mimpinya, selanjutnya menjadi ragu untuk melangkah. Akhirnya karena ragu, tidak jadi melakukan apa-apa. Diam. Tidak bergerak. Istilah yang saat ini sedang ramai dipakai oleh anak muda untuk mendeskripsikan posisi diamnya itu adalah rebahan. Rebahan itu berarti tiduran di kasur di lantai, atau di mana pun, yang kegiatannya hanyalah berbaring dan tidak melakukan apa-apa. Mungkin sambil main gawai, melihat-lihat status hingga story Instagram orang. Walaupun terkesan membuang waktu, akan tetapi tidak ada yang salah dengan rebahan karena hidup juga perlu istirahat, perlu rehat dari sibuknya dunia yang berjalan dinamis. Sekali-dua kali kita perlu melepaskan diri dari tekanan dan tuntutan hidup sehari-hari, yang mungkin terasa diulang-ulang dan monoton.
10
Acta Diurna No.30/XII/2019
Oleh: Rizka Awalina Afida Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi 2018
Sekali lagi tidak ada yang salah dengan rebahan, yang salah adalah ketika intensitas rebahan itu sendiri yang berlebihan. Bahkan kini rebahan mengalami perubahan arti menjadi semacam kegiatan wajib. Kalau ditilik kembali, apa yang bisa didapatkan dari proses rebahan yang lama? Paling-paling hanya akan dapat informasi dari media sosial kalau para kawan terlihat sudah mewujudkan mimpinya satu persatu. Namun rebahan mungkin masih lebih baik daripada manusia-manusia lain yang bergerak hanya demi citra diri dan popularitas. Mungkin di antaranya adalah mereka yang tergabung dalam banyak organisasi dan memandang rendah orang lain yang tak sesibuk dirinya. Lalu saat lelah, semua orang dibiarkan tahu atau bahkan mengganggap dirinya yang paling menderita di dunia dan terus-terusan mengeluh di media sosial. Sepertinya kita perlu merenung sekali lagi, memeriksa lagi niat hati yang sesungguhnya agar tidak menuruti nafsu dan ego semata. Agar tidak terjadi fenomena diamnya bukan karena mencari ide, tapi memang karena tidak punya ide. Bergeraknya juga bukan karena ingin menebar manfaat, tapi memanfaatkan pergerakan. Sebagai manusia terutama anak muda, kita memang masih harus banyak belajar agar mendapat ilmu dan pengalaman. Walaupun masih sering dianggap kurang dan sok tahu, anak muda memiliki punya lebih banyak kesempatan. Anak muda punya lebih banyak hari esok daripada hari kemarin. Jadi, tentukan betul mimpimu. Jangan diam. Bergerak dengan benar. Tentukan target kecil untuk menyusun tangga menuju mimpi yang besar. Dan nantinya mimpimu tidak hanya akan tercapai. Mimpimu akan terlampaui.
RESENSI
Hakikat Menemukan Kembali Jati Diri Oleh: Ummi Masrufah Judul Penulis Bahasa Penerbit Tahun Terbit Tebal Buku
“S
ejatinya ke mana kita akan pergi setelah tahu definisi pulang tersebut? Apa yang harus dilakukan? Berangkat ke mana? Bersama siapa? Apa ‘kendaraannya’? dan ke mana tujuannya? Itulah persimpangan hidupmu sekarang, Bujang. Menemukan jawaban tersebut. ‘Kamu akan pergi ke mana’, nak?” Setelah lama tidak muncul di dunia kepenulisan, Tere Liye kembali mengepakkan sayapnya dengan mengajak para pembacanya bernostalgia. Novel “Pergi” merupakan sekuel dari buku Tere Liye sebelumnya, “Pulang”. Diceritakan, seorang pemuda bernama Bujang, sang tokoh utama telah menjadi orang besar di daerahnya. Banyak hal yang ia lewati sejak masa kecilnya sampai beranjak remaja hingga menjadi tukang pukul nomer wahid keluarga Tong. Perjalanan inilah yang akan mengantarkan Bujang mengenal siapa dirinya di masa lalu. Orang-orang yang pernah terlibat tanpa ia tahu siapa, dan kenangan yang ia lewatkan sebelum menjadi bagian dari keluarga Tong. Novel ini menceritakan tentang misi keluarga Tong untuk menjalin aliansi bersama keluarga sekutu seperti keluarga Yamaguchi, dan Bratva untuk menjatuhkan si licik Master Dragon, kepala penguasa Shadow Economy yang berpusat di Hong Kong. Dibekali dengan kecerdasan dan sikap pertimbangan yang matang, Bujang selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan sekecil apa pun. .Sampai akhirnya ia tahu jawaban akan dibawa ke mana keluarga Tong pergi. Dalam beberapa bagian di novel ini juga dipermanis dengan kisah cinta Samad, bapak Bujang. Jangan takut bosan. Jika kalian pernah membaca novel “Hujan” karya Tere Liye, pasti tahu bagaimana khasnya pembawaan Tere Liye terhadap cerita
: Pergi : Tere Liye : Indonesia : Republika : 2018 : 459 halaman
asmara. Bukan Tere Liye namanya jika tidak membawakan alur yang membuat jantung berdebar-debar. Setiap bagiannya mengundang rasa penasaran para pembaca. Bahasa yang digunakan pun sangat ringan dan mudah dipahami. Lembar demi lembar diisi dengan adegan yang membuat bulu kuduk berdiri, seolah berada di dalam gedung bioskop menyaksikan film aksi. Bukan hanya adrenalin, alur cerita novel ini juga akan membuat pembacanya terlarut dalam emosi. Adegan yang mengocok perut sampai membuat mata berkaca-kaca, semua ada dalam novel ini. Dalam novel ini terdapat anjuran bagi pembaca usia di atas 15 tahun, karena terdapat adegan kekerasan dan penggunaan benda-benda tajam. Tokoh cerita yang muncul dalam novel “Pergi” tidak jauh berbeda dengan tokoh dalam novel “Pulang”, tetap Bujang sebagai tokoh utama. Tokoh pendukungnya seperti; Salonga-guru menembak Bujang, White, dan si kembar: Yuki dan Kiko dengan sifat centil dan menggemaskan, Togar, dan lainnya. Semoga resensi singkat ini bisa memberikan sedikit gambaran untuk kalian yang ingin menikmati petualangan Bujang dalam menemukan makna pergi.
11
Acta Diurna No.30/XII/2019