Menanti Solusi Tepat untuk Pasar Legi • Persoalan Lidah di Pusaran Roda Perdagangan Tertua • Pariwisata Munculkan Sisi Lain Pasar Solo
ISSN: 1410-0517
L P M V I S I . C O M • E D I S I X X X V I • TA H U N 2 0 1 9
VISI
MUARA PEMIKIRAN KAMPUS
REALITA PASAR KOTA
EDITORIAL
Representasi Sebuah Peradaban Ditilik dari sejarah, pasar tradisional merupakan perwujudan awal dari manusia yang memenuhi kebutuhan fisik hidupnya. Sehingga terciptalah ruang publik yang mewadahi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup fisik serta mempertemukan penjual dan pembeli dalam satu tempat dan waktu. Seperti ungkapan “ada gula ada semut,” tak mengherankan jika di mana ada pasar maka ada kehidupan manusia yang mengelilinginya. Berkumpulnya banyak orang dalam satu waktu tentunya menjadikan pasar sebagai ruang publik yang multikultural. Keberadaan pasar pada suatu daerah seolah merangkum perilaku dan kebiasaan masyarakat sekitarnya. Sebut saja Pasar Gede di Kota Solo yang sudah berdiri semenjak tahun 1929, berada di lingkungan budaya yang kompleks mengakibatkan karakteristik pasar yang sangat beragam, mulai dari komoditas barang dagang maupun penjual dan pembelinya. Pada akhirnya pasar akan memiliki citranya sendiri yang bisa jadi memang dicitrakan maupun hasil rangkuman kebiasaan masyarakat seiring berjalannya waktu, Pasar Triwindu contohnya. Pada awalnya, pasar tersebut merupakan pasar sederhana yang menyediakan bahan pokok akan tetapi seiring berjalannya waktu berubah menjadi pasar penjualan barang antik. Berawal pada masa penjajahan Jepang yang mengakibatkan krisis ekonomi sehingga bangsawan pada masa itu menjual benda-benda antik untuk menghidupi diri dan berlanjut
LPM VISI FISIP UNS Sekretariat LPM VISI Gedung 2 Lt. 2 FISIP UNS Jl. Ir. Sutami No. 36A Surakarta 57126
hingga kini. Tidak bisa dipungkiri, sejarah juga mempengaruhi terbentuknya jati diri pasar. Akan tetapi manusia tetap menjadi aktor utama dari berkembangnya pasar tradisional. Hal ini bisa tercermin dari pasar sebagai tempat jual beli, ruang publik maupun wajah kebudayaan bagi sebagian masyarakat. Tata kelola pasar tradisional merupakan hal yang paling bisa diperjuangkan manusia. Semua pihak, dari berbagai sisi memang hendaknya memiliki kesadaran tersendiri untuk menjaga pasar karena kompleksitas fungsi pasar tersebut. Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dalam sebuah acara pernah mengungkapkan bahwa denyut nadi perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari pasar-pasar (tradisional) rakyat, Kalimantan Barat (Setab RI, 29/12/2017). Akan tetapi lebih dari itu, Pasar Tradisional merupakan representasi dari sebuah peradaban. Salam, Redaksi LPM VISI
redaksilpmvisi@gmail.com
@LPM_VISI
lpmvisi
www.lpmvisi.com
lpmvisi.com
@gwi5930m
Redaksi LPM VISI menerima kritik, tulisan dan karya lainnya. Artikel, karya sastra, maupun tulisan lain yang telah masuk ke redaksi, menjadi hak penuh kami untuk diedit tanpa mengubah esensi. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan pengutipan pernyataan, Redaksi LPM VISI menerima hak jawab sesuai UU Pers No. 40 Th.1999 Pasal 1 Ayat 1.
VISI • EDISI 36 • 2019
3
DAFTAR ISI PEMIMPIN REDAKSI Rachma Dania REDAKTUR PELAKSANA MAJALAH Fajrul Affi Zaidan Al Kannur EDITOR Banyu Visandi Pangestu, Fajrul Affi Zaidan A. K., Lailaurieta Salsabila Mumtaz, Rachma Dania REPORTER Ade Uli, Aldo Rendhy Dewantoro, Anggi Alfionita, Aulia Billqis, Dina Yunitasari, Fajrul Affi Zaidan, Febrian Alif S., Fitri Ana Rahmawati, Gede Arganelrian, Lucky Ikhsanul, Lutfi Hamidanizat, Mayang Falillah, Prissilia Novi Sanjaya, Rachma Dania, Rif’atush Sholihah, Syamsiyah Kulabuhi, Tiara Gustiani Ajeng S, Yuni Pri Antini, Zulfatin Naila
8 LAPORAN UTAMA Menanti Solusi Tepat untuk Pasar Legi
FOTOGRAFER Gede Arganelrian PENELITIAN & PENGEMBANGAN Bidang Penelitian & Pengembangan LAYOUT & SAMPUL Banyu Visandi Pangestu, Rachma Dania Yuni Pri Antini
LAPORAN UTAMA
14
Persoalan Lidah di Pusaran Roda Perdagangan Tertua
ILUSTRASI Banyu Visandi Pangestu, Rachma Dania, Lailauriteta Salsabila Mumtaz Yuni Pri Antini IKLAN Bidang Usaha PRODUKSI & SIRKULASI Bidang Usaha
LAPORAN UTAMA
20
Harmonisasi Budaya Jawa-Arab di Pasar Kliwon
Kepengurusan LPM VISI 2018-2019: PELINDUNG: Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si | PEMBIMBING: Sri Hastjarjo, S. Sos., Ph.D | PEMIMPIN UMUM: Yuni Pri Antini | SEKRETARIS UMUM: Rif’atush Sholihah | STAF DEPARTEMEN KOMUNIKASI INTERNAL: Reni Dwi Pratiwi | STAF DEPARTEMEN ADMINISTRASI: Anggi Alfionita | BENDAHARA UMUM: Syamsiyah Kulabuhi | STAF BENDAHARA UMUM: Ulfah Almunawaroh | PEMIMPIN REDAKSI: Rachma Dania | REDAKTUR PELAKSANA MAJALAH: Fajrul Affi Zaidan Al Kannur | REDAKTUR PELAKSANA BULETIN: Lailaurieta Salsabila Mumtaz | REDAKTUR PELAKSANA PORTAL ONLINE: Alif Nurmardiyanto | REDAKTUR PELAKSANA FOTO & DESAIN TERBITAN: Banyu Visandi Pangestu | PEMIMPIN USAHA: Siswi Diyan Kusumaningsih | STAF DEPARTEMEN IKLAN: Nafila Nurizzuha | STAF DEPARTEMEN PENGGALIAN DANA MANDIRI: Rifki Rositasari | STAF DEPARTEMEN PRODUKSI & SIRKULASi: Adika Sandra P. P. | PEMIMPIN PENELITIAN & PENGEMBANGAN: Ade Uli Fitriyani | STAF DEPARTEMEN PENDUKUNG TERBITAN: Mardatilana Aini Kurnia | STAF DEPARTEMEN PEWARCANAAN EKSTERNAL: Anggytha Putrie Alvio M. G. | PEMIMPIN KADERISASI: Ika Agustina | STAFF DEPARTEMEN SKILL & LEADERSHIP: Nurkhasanah | STAFF DEPARTEMEN KAJIAN & DISKUSI: Febrian Alif Shalahuddin
4
VISI • EDISI 36 • 2019
LAPORAN KHUSUS Menyoal Pasar Tanggul yang Ramah Disabilitas
24
42
SOSOK Pejuang Multigenerasi di Pasar Gede
28
SEKAKEN Warna Baru untuk Pasar Panggungrejo
SPEKTRUM Fungsi Car Free Day yang Kian Beralih
3 6 32 34 37
EDITORIAL SURAT PEMBACA INFOGRAFIS POTRET DETAK
54 40 51 52 56 58
TEROPONG PUISI REFLEKSI
47 LAPORAN KHUSUS Pariwisata Munculkan Sisi Lain Pasar Solo
59 60 61
MUSIK FILM BUKU
CERPEN PODIUM VISI • EDISI 36 • 2019
5
Ketika Kritik Dianggap Sebuah Perlawanan Oleh: Galang Restu Gusti Morajaela Mahasiswa Administrasi Publik 2018
A
dalah sebuah cekak pikir jika kita mendukung suatu kekuasaan lantas membenarkan segala macam fatwa yang dikeluarkan olehnya. Mendukung bukan berarti selalu membenarkan. Kritik dan skeptis terhadap sistem juga merupakan sebuah bentuk dukungan. – Puthut EA Saya merupakan salah satu mahasiswa yang dulunya pernah aktif di sebuah lembaga. Namun, setelah berjalannya waktu saya memutuskan untuk berhenti berkontribusi karena bebe- rapa alasan. Salah satunya adalah permasalahan kritik. Saya tak akan menjelaskan detail permasalahannya tapi pada intinya, ketika kritik dianggap sebuah usaha untuk menjatuhkan, di situlah nilai-nilai nurani dan logika mulai terpinggirkan. Layaknya sebuah lembaga, bukan hal yang tabu jika ada sistem yang cacat, kebijakan yang naif dan keputusan yang tak masuk akal. Dan bukan hal yang tabu pula jika ada sebagian masyarakat yang mengkritisi beberapa hal tersebut. Sebagai manusia yang berakal, kita pasti akan menganggap hal tersebut biasa saja. Namun, pada beberapa lembaga terjadi anomali yang sungguh membuat perut lawannya sakit karena terlalu banyak tertawa. Dalam menghadapi kritik, seseorang seharusnya dapat menerimanya secara dewasa. Tentu apabila kritik tersebut disampaikan dengan benar dan objektif. Namun pada praktiknya, masih banyak dijumpai beberapa oknum yang anti kritik dan menganggap semua yang kontra dengan pendapatnya adalah musuh. Sikap anti kritik seperti ini secara perlahan akan membentuk kepribadian autokrat atau otoriter. Bicara soal kritik, saya teringat almarhum 6
VISI • EDISI 36 • 2019
Gus Dur yang gemar menyampaikan kritik melalui komedi. Karena dalam suatu teori humor politik, ketika masyarakat semakin tertindas oleh kebijakan penguasa maka akan semakin kreatif pula masyarakat mengemas kritik dalam bentuk humor. Karena kritik secara terbuka adalah bunuh diri yang terstruktur. Gus Dur, yang juga merupakan seorang Ulama Nahdliyin besar di lingkungan NU yang tidak spaneng tur kalem pada masa kepemimpinan orde baru pernah berseloroh. �Kalau anak orang biasa ulang tahun hadiahnya paling sebuah televisi, tapi kalau anak penguasa ulang tahun hadiahnya adalah stasiun televisi itu sendiri.� Dari kalimat tersebut dapat dipahami bahwasanya kondisi ekonomi saat itu hanya dikuasai oleh elit penguasa sehingga bukan hal yang tabu jika mereka pula yang memiliki sumber daya-sumber daya termasuk stasiun televisi. Masuknya unsur komedi dalam kritik akan menajamkan pisau kritik itu sendiri. Namun, alangkah baiknya sebelum mengkritik orang lain kita juga harus mawas diri terlebih dahulu. Jangan sampai ketika akan menyerang pertahanan orang lain, justru malah pertahanan kita yang lemah. Kritik yang disampaikan juga harus bersifat objektif tanpa ada kepentingan pribadi yang diikutkan. Terakhir, sebagai seorang manusia yang berakal kita harus terbuka akan adanya masukan dari orang lain. Masukan dari orang lain itu penting walau memang kadang disampaikan dengan cara yang menyakitkan. Manusia tidak akan bisa hidup tanpa orang lain. Belajarlah menghargai mereka yang ada di sekitarmu. Kritik itu baik, jangan takut apalagi sampai bersembunyi di bawah kuasa tirani!
SURAT PEMBACA
Bagaimana Cara UNS Berusaha Mencetak Pengusaha?
R
asio jumlah pengusaha terhadap populasi Indonesia tergolong masih rendah. Hanya 3,1 persen jauh di bawah Singapura dengan angka 7 persen dan masih di bawah Malaysia, Thailand dan Vietnam. Rendahnya jumlah pengusaha di Indonesia bukan tanpa sebab, individu di Indonesia dianggap minim keterampilan menjadi salah satu alasan. Minimnya keterampilan disebabkan oleh sistem pendidikan Indonesia yang kurang mendukung terlebih karena kurikulum yang lebih berfokus ke teknis dan teori. Beberapa kampus sudah menerapkan sistem yang dikira dapat mendukung calon entrepreneur. ITB misalnya, di samping memang sudah memiliki fakultas yang disebut sebagai Sekolah Bisnis Manajemen, kampus ini juga menargetkan menjadi Entrepreneurial University. Fasilitas yang disediakan juga tak main-main, berbagai program dijalankan oleh Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan kampus tersebut, seperti Call for Tenant dan Business Plan Contest. Atau UGM dan ITS, yang sewaktu saya studi banding ke sana–kebetulan saya merupakan mahasiswa jurusan manajemen UNS–sedang “memamerkan” program-program himpunan mahasiswanya yang membuat kami sedikit membatin “waduuuh” di dalam hati. Universitas Sebelas Maret (UNS) sendiri bukan tanpa program sebenarnya, saya pernah mengetahui tentang Program Mahasiswa Wirausaha atau PMW. Namun tidak terlalu terdengar jelas di telinga saya. Program ini adalah program di bawah Pusat Pengembangan Kewirausahaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (PPKwu LPPM UNS). Program Mahasiswa Wirausaha sebenarnya merupakan program yang bagus untuk mengasah skill wirausaha mahasiswa,
Oleh: Achmad Aldair Febrianto Mahasiswa Manajemen 2016 program ini juga mendanai mahasiswa yang lolos, infonya sebanyak 80 proposal siap didanai sekitar tujuh hingga delapan juta. Program pun dilakukan dengan baik, banyak pelatihan manajerial, keuangan, pemasaran dan lain-lain. namun kurangnya publikasi rupanya harus menjadi evaluasi. Banyak mahasiswa yang belum tahu-menahu soal kegiatan tersebut. Bahkan ada isu-isu bahwa tahun ini adalah tahun terakhir diadakannya kegiatan PMW tersebut. Sangat disayangkan apabila isu tersebut benar terjadi, apalagi kampus seharusnya menyesuaikan zaman, di mana kita butuh banyak lapangan pekerjaan yang bisa dihasilkan dari para pengusaha muda ini. Sebaiknya universitas sebagai lembaga pendidikan mulai berfokus pada output mahasiswanya sebagai pelaku industri kreatif, tidak lagi meluluskan mahasiswa dengan pola pikir pencari lapangan kerja. Apabila kegiatan seputar wirausaha tersebut berlanjut, alangkah baiknya apabila publikasi soal kegiatan lebih digencarkan. Karena banyak sekali mahasiswa yang tidak tahu padahal berminat akan kegiatan tersebut. Pemanfaatan instagram dan media sosial lain harus lebih dimaksimalkan karena generasi kita juga lebih sering mencari informasi melalui media sosial. Akhir kata, saya sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis juga berharap agar laboratorium di fakultas saya ini dimanfaatkan lebih maksimal lagi dibanding hanya dibiarkan kosong tanpa kegiatan. Bahkan mungkin fasilitas di fakultas lain atau fasilitas milik UNS lebih dimaksimalkan kegunaannya dibanding hanya berwujud bangunan yang bahkan mahasiswanya tidak tahu fungsi dan kegunaannya.
VISI • EDISI 36 • 2019
7
Menanti Solusi Tepat untuk Pasar Legi Lalu-lalang kendaraan dan gemuruh suara klakson semakin menambah ruwet suasana siang itu. Usai dilanda kebakaran, aktivitas di Pasar Legi hingga kini seolah tampak pincang dan belum berjalan normal. Terdengar berbagai keluhan penjual tak merasa nyaman, pembeli pun tak berminat datang untuk berbelanja di pasar. Bisa dibilang hingga kini, permasalahan Pasar Legi usai kebakaran tak kunjung terpecahkan.
8
VISI • EDISI 36 • 2019
LAPORAN UTAMA
PASAR LEGI - Suasana Pasar Legi setelah satu tahun kebakaran, ketika dihampiri siang itu masih terlihat sisa-sisa rangka besi pasar yang belum dibenahi sepenuhnya. (Dok.VISI/Mayang)
VISI • EDISI 36 • 2019
9
P
asar Legi yang dikenal aktif dari pagi hingga dini hari, merupakan salah satu pasar tradisional kuno di Kota Solo. Menurut penuturan Retno Tanding, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sebelas Maret (UNS), Pasar Legi didirikan pada masa pemerintahan Mangkunegaran I dan menjadi pusat perekonomian masyarakat Kota Solo saat itu. Retno mengungkapkan bahwa Pasar Legi dikenal sebagai pasar utama yang menjual hasil bumi, sehingga banyak pedagang di sekitar Kota Solo yang datang ke pasar tersebut. Pasar Legi menjadi tempat untuk memasarkan dan mendapatkan barang dagangan yang kemudian dijual ke daerah lain. Letaknya yang strategis juga menjadi daya tarik tersendiri bagi pedagang atau pembeli dari daerah lain karena tidak terlalu jauh dari Terminal Tirtonadi maupun Stasiun Solo Balapan.
Kebakaran Melanda Pasar Legi
Nahas, nasib kurang baik menimpa Pasar Legi ketika sebagian besar kios ludes terbakar pada Senin (29/10/2018). Beredar kabar bahwa pihak tertentu sengaja membakar Pasar Legi. Namun, pengelola pasar menepis hal tersebut, ditambah lagi dengan temuan penyelidikan forensik dari Polda Jateng yang menyebutkan penyebab kebakaran di Pasar Legi ialah konsleting dari arus jaringan besar langsung dari tiang. “Jadi disemprot pake 40 tabung nggak mati, apinya kan runut kabel itu terus netes-netes di bawahnya banyak kardus dan lain-lain yasudah kayak disebar gitu terus ditambah anginnya besar sekali,� jelas Marsono, Lurah Pasar Legi saat ditemui VISI di kantornya (13/5). Pasca kebakaran, pemerintah telah membuat pasar darurat di sekitar Pasar Legi guna menjadi tempat sementara para pedagang berjualan. Pasar darurat ini berada di beberapa titik di sepanjang Pasar Legi. Titik tersebut ada di Jalan Sabang arah ke Pasar Alpabes, kemudian di Jalan Lumban Tobing arah ke kelurahan, Jalan Raden Saleh dan Jalan S. Parman, kemudian yang terbanyak berada di halaman Pasar Legi. Adapun pembagian untuk pasar darurat, yang pertama yaitu apabila pedagang memiliki dua toko dengan nama yang sama, maka pedagang mendapat kan satu tempat begitu juga sebaliknya. Kemudian ada lagi yaitu klasifikasi los dan kios. Ada pula pem10
VISI • EDISI 36 • 2019
bagian zonasi yang terdiri dari zona sayuran, zona daging, zona makanan ringan, zona alat memasak dan zona ikan asin. Pedagang yang diprioritaskan menempati kios ialah pedagang yang memiliki surat penempatan (SHP), sedangkan pedagang yang tidak punya SHP mereka tetap diakomodir untuk menempati pasar darurat dengan dimasukkan ke pedagang pelataran. Di pasar darurat ini pedagang tidak dikenakan sewa seperser pun, termasuk biaya listrik dan retribusi sebagai bentuk keringanan dari pemerintah.
Problematika Pasca Kebakaran
Suara ketidakpuasan sempat terdengar terkait pembagian zonasi ini, dikarenakan lokasi yang jauh dan sulit dijangkau. “Kurang nyaman lah mbak, sepi, kalau malam kan naruh barang-barang aman
SISI PASAR PASCA KEBAKARAN - Sisa-sisa tiang penyangga pasar di salah satu bagian lantai atas Pasar Legi. Pada 28 Oktober 2018 api melahap bangunan pasar kini Pasar Legi akan dibangun satu lantai saja. (Dok.VISI/Mayang)
sekarang mungkin banyak yang sering hilang kurang tenang,� tutur Supriyadi, salah satu pedagang di Pasar Legi saat ditemui VISI pada Sabtu (18/5). Harapan dari pedagang yang ada di Pasar Legi kepada Pemerintah yaitu adanya tempat yang nyaman, aman serta dekat dengan pembeli. Hal senada juga disampaikan Tugiman, Ketua Ikatan Keluarga Pedagang Pasar Legi (Ikkapagi). menurutnya, sistem zonasi yang diterapkan dinilai kurang tepat, alasannya karena pedagang besar yang bertindak sebagai agen dan pedagang kecil sebagai pengecer bila disatukan akan terjadi persaingan harga. Akibat perbedaan pasokan barang baku justru akan mematikan pedagang kecil sebagai pengecer. Karenanya, hal ini perlu menjadi bahan pertimbangan pemerintah.
Perpindahan pedagang ke pasar darurat tampaknya masih menyisakan beberapa persoalan, misalnya penurunan omzet pedagang. Pihak pengelola pasar berujar bahwa sistem zonasi tersebut malah memudahkan pengunjung untuk berbelanja. Namun kenyataannya, banyak penjual yang kehilangan pembelinya karena lokasi baru yang belum diketahui pembeli. Sebaliknya pembeli jadi kebingungan untuk mencari pedagang yang sudah menjadi langganannya. Hal ini membuat pendapatan pedagang berkurang akibat sepinya pembeli. Selain itu, pedagang juga khawatir dengan keamanan barang dagangannya yang sering hilang semenjak pindah ke pasar darurat. Namun, pedagang perlu sadar bahwa pasar darurat ini didirikan untuk mengatasi permasalahan darurat dan haVISI • EDISI 36 • 2019
11
nya digunakan sementara, oleh karenanya fasilitas yang ada hanya pas-pasan dan belum bisa memuaskan. Terlepas dari pro-kontra tentang pasar darurat ini, usaha Pemerintah Kota Solo ini patut di apresiasi sebagai langkah awal penanganan pasca kebakaran Pasar Legi.
Sudut Pandang Pembangunan Kembali
Langkah selanjutnya yang perlu dipikirkan setelah mendirikan pasar darurat ialah perencanaan pembangunan Pasar Legi ke depan akan seperti apa. Pembangunan kembali Pasar Legi dilakukan sebagai rencana jangka panjang pasca kebakaran yang memerlukan desain pengembangan untuk mendorong fungsi Pasar Legi yang baru nantinya. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 43 tahun 2019 pembangunan kembali Pasar Legi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat lewat Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dilansir dari kumparan.com (28/8/2019), 12
VISI • EDISI 36 • 2019
Kepala Pusat Pengembangan Sarana Prasarana Pendidikan, Olahraga dan Pasar Kementrian PUPR, Iwan Supriyanto menyebutkan anggaran pembangunan Pasar Legi sebesar Rp 150 Miliar, nantinya pembangunan akan mengadopsi konsep gedung hijau untuk meminimalisir ongkos pemeliharaan. Pihaknya juga berjanji akan membangun pasar sesuai dengan standar SNI Permendag untuk meningkatkan proteksi kebakaran. Namun, setelah hampir satu tahun pasca kebakaran, wacana pembangunan ini masih belum jelas tindak lanjutnya. Pendapat berbeda dikemukakan Retno. “Idealnya, Pasar Legi yang baru nanti tidak hanya menjadi ruang komersil untuk berdagang dan aktifitas jual-beli saja, namun di dalamnya juga perlu ruang sosial untuk interaksi masyarakat di mana terdapat fasilitas umum dan fasilitas sosial sebagai penunjangnya,� ungkapnya saat ditemui VISI pada Kamis (16/5). Sehingga, nantinya pengunjung datang ke Pasar Legi tidak hanya untuk berbelanja tetapi juga
RELOKASI PASAR - Peristiwa terbakarnya Pasar Legi menimbulkan banyak kerugian, terutama bagi pedagang. Pemerintah pun menyediakan relokasi bagi para pedagang sebelum merevitalisasi kembali. (Dok.VISI/ Mayang)
bisa untuk berwisata dan mencari hiburan. Mungkin ini adalah konsep yang tepat untuk Pasar Legi baru nanti. Namun, pembangunan kembali biasanya juga memunculkan permasalahan terkait harga sewa kios yang melonjak tinggi. Retno memiliki pandangan ketika ada pembangunan kembali Pasar Legi dampak yang muncul ialah harga sewa kios yang lebih mahal. Hal ini akan berpengaruh pada pedagang lama yang sudah berjualan di situ terancam tidak memiliki kios, karena harga sewa yang mahal. Maka dari itu, perlu adanya pendataan untuk para pedagang yang sudah lama berjualan di Pasar Legi. Sehingga keberadaannya dapat diprioritaskan dan dapat memiliki kios. “Jangan sampai orang luar yang masuk tapi mereka hanya sekadar menyewakan nantinya. Ini harus orang-orang yang benar bekerja di situ, mereka yang bener-bener buka warung, buka kios, itu yang memenuhi kebutuhan konsumennya.� Ujar Retno.
Dikhawatirkan nantinya pembangunan kembali Pasar Legi ini justru menjadi ladang investasi para pemilik uang dan tidak berpihak kepada para pedagang lama. Padahal, seyogianya pasar adalah tempat untuk para penjual mencari nafkah dan pembeli bisa membeli barang kebutuhan sehari-hari. Fajrul, Mayang, Kikis
VISI • EDISI 36 • 2019
13
Persoalan Lidah di Pusaran Roda Perdagangan Tertua Hewan makan, manusia makan, tumbuhan makan, semua makhluk makan, bedanya hanya manusia yang bisa berlaku bijak pada sebuah makanan. Sheila Graham, kolumnis kelahiran Inggris bertuah bahwa, makanan adalah bentuk paling primitif dari kenyamanan. Sungguh mudah menghargai makanan, dengan berbagai cara orang akan sesegera mungkin jatuh cinta pada makanan.
14
VISI • EDISI 36 • 2019
LAPORAN UTAMA
SISI BARAT PASAR GEDE - Saat pagi, sisi barat Pasar Gede cukup ramai dipadati masyarakat yang berlalu-lalang, namun disana juga terdapat banyak kuliner yang patut dicoba. (Dok.VISI/Ade)
VISI • EDISI 36 • 2019
15
B
erbicara mengenai kausalitas kenyamanan milik Graham, salah satu Budayawan asal Solo yakni Mufti Raharjo pernah mengungkapkan bahwa daya tarik sebuah kota nyaman dan utuh memiliki tiga unsur pembangun. Pertama, yakni something to see (sesuatu untuk dilihat–red). Kedua, something to do (sesuatu yang bisa dilakukan di sana–red). Terakhir dan yang tidak kalah penting yakni something to eat (sesuatu untuk dimakan di sana–red). Menurut pengamatan VISI, untuk menemukan something to eat di kota yang pernah dijuluki sebagai Spirit of Java ini bukanlah perkara yang pelik. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Mufti. ”Kalau ada something to eat yang menjadikan sebuah kenangan, imej dan menjadi sebuah memori tersendiri yang tidak terlupakan, pasti mereka (pengunjung–red) lagi dan lagi akan berkunjung.” Bisa dibilang romantisme Kota Solo terhadap kuliner, maupun aspek lain tak terjadi begitu saja. Mufti mengungkapkan bahwa Kota Solo memang didesain sedemikian rupa untuk menjadi sebuah kota yang holistik, komprehensif dan komplit. “Solo dirancang sebagai kota dengan daya tarik, sebuah destinasi, kota sebagai sebuah aktivitas, sarana tapak sejarah, serta sebuah ikon peradaban dari waktu ke waktu,” ujarnya pada Selasa (21/5).
Kuliner Pasar Gede Hardjonagoro
Menyoal something to eat di Solo, tak lengkap rasanya apabila tak menyebutkan Pasar Gede Harjonagoro. Dikutip dari berbagai sumber pasar tersebut memliki luas 10.421 hektare dan secara infrastruktur setidaknya terdapat 636 kios, 106 los dan 200 oprokan, dengan jumlah pedagang kurang lebih 942 orang. Dengan banyaknya jumlah pedagang tersebut, tak sedikit pula pedagang yang juga menjajakan kuliner khas Solo. Pasar yang berlokasi di seberang Balai Kota Solo ini berada di perkampungan warga keturunan Tionghoa, yang dikenal dengan 16
VISI • EDISI 36 • 2019
daerah Balong di Kelurahan Sudiroprajan. Hal itulah yang dianggap Mufti sebagai alasan hadirnya ragam kuliner di pasar tersebut. Dari perkawinan berbagai budaya tersebut maka lahirlah tahok, ampyang, jamu-jamuan hingga dawet dan gempol pleret yang tetap eksis hingga kini. Ia mengungkapkan bahwa akulturasi budaya dalam bentuk makanan merupakan metode terbaik untuk menciptakan keharmonisan yang coba dilestarikan di bangunan bernama Pasar Gede tersebut. Mufti menegaskan bahwa keberadaan aneka kuliner di Pasar Gede yang juga khas Solo dipe-
TAHOK - Salah satu kuliner khas Tionghoa yang patut dicoba jika mengunjungi Pasar Gede. (Dok.VISI/ Ade)
ngaruhi sejarahnya dulu sebagai kerajaan yang disebut Keraton Kasunanan Surakarta. Kiprahnya dulu sebagai satu kerajaan terbesar di Asia Tenggara mengakibatkan Kasunanan Surakarta menjadi pusat pemerintahan serta terjadinya interaksi dari pelbagai negara. “Di situlah berinteraksi banyak etnis, banyak bangsa sehingga ada Jawa, China, Londho (Belanda–red), ada Inggris, Perancis, Spanyol, Portugis dan Arab juga Bombay,” tutur Mufti. Kemudian ia menambahkan bahwa peristiwa itu bak peribahasa ada gula ada semut, di mana sebuah peradaban berkembang maka pen-
duduk akan melakukan sebuah bisnis untuk pemenuhan kebutuhan. “Nah, kebutuhan yang paling mendasar adalah pangan,” tegas Mufti. Maka dari situlah muncul aneka penyesuaian rasa makanan yang lahir dan diciptakan oleh masyarakat yang sedang berniaga dari berbagai etnis dan negara tersebut. Bila ditilik lebih lanjut, tiap sajian kuliner memiliki sejarahnya sendiri. Begitu juga dengan tahok, salah satu kuliner khas Solo yang kerap dijual di Pasar Gede pada pagi hari. Menurut berbagai sumber yang dihimpun VISI, secara etimologis tahok berasal dari dua kata dalam VISI • EDISI 36 • 2019
17
bahasa Tionghoa yakni tao atau teu yang berarti kacang kedelai dan hoa atau hu yang berarti lumat. Jadi dapat diketahui bahwa tahok adalah makanan tradisional khas Tionghoa yang berwujud kedelai yang dilumatkan. Berbeda dengan tahu, tahok lebih terasa lembut dan penyajiannya menggunakan kuah bening agak kecoklatan yang berasal dari rebusan air jahe, gula aren dan rempah lainnya. Di pasar yang mengusung slogan Pasar Gede ora sare (Pasar Gede tidak pernah tidur –red) ini, tahok Pak Citro seakan bukan nama yang asing. Tahok Pak Citro adalah satu-satun18
VISI • EDISI 36 • 2019
ya penjual tahok yang masih bertahan di Pasar Gede hingga saat ini. Mewarisi usaha keluarganya, Maryanto atau biasa dipanggil Sentot biasa menjajakan tahok dengan gerobak peninggalan bapaknya dulu tiap pagi hari. Sentot menyatakan bahwa untuk peminat tahok sendiri tidak turun drastis tapi justru bertambah karena khasiat yang dimiliki tahok sangat beraneka ragam. Namun, hal ini berkebalikan dengan jumlah penjual yang menjajakan tahok. Menurut Pak Sentot, salah satu alasan penjual tahok terus menerus berkurang hingga hanya menyisakan dirinya di Pasar Gede adalah
CABUK RAMBAK - Ketupat tipis-tipis disiram dengan saus wijen dan beberapa potong kerupuk karak. Kuliner tradisional yang cukup langka ini juga dapat ditemukan di Pasar Gede. (Dok.Pribadi)
karena proses pembuatan yang tidak semudah memasak nasi. “Ini awalnya kedelai mentah, direndam, dihilangkan kulitnya lalu diambil sarinya, terus direbus, dikasih tepung maizena. Ini kuahnya gula, jahe dan rempah rempah,” jelas Pak Sentot saat ditanya proses pembuatan makanan tersebut pada Minggu (27/7). Di lain kesempatan, VISI berhasil menemui Citro Suwito sang empunya tahok legendaris di Pasar Gede, ayah kandung Sentot. “Sepuluh tahun lebih saya belajar bikin ini (tahok–red) kepada orang Tionghoa dulu,” ungkapnya, Sabtu (31/8). Ia juga menambahkan. ”Namanya dulu
cari makan, kita butuh makan, ya sudah ada kesempatan belajar bikin, saya coba, saya jual sendiri akhirnya.” Terhitung hingga saat ini Pak Citro telah 45 tahun berdagang tahok di Pasar Gede. Tak hanya makanan hasil akulturasi, Pasar Gede juga turut menyemarakkan cita rasanya dengan kuliner autentik khas Solo. Di antaranya adalah nasi liwet, tengkleng, timlo, lenjongan, brambang asem hingga cabuk rambak dan masih banyak lagi. Mufti mengungkapkan bahwa cabuk rambak pada awalnya adalah makanan favorit yang selalu disajikan saat perayaan perayaan besar pada zaman Sultan Paku Buwono IX dan X. Komponen dari cabuk rambak sendiri adalah berupa ketupat nasi yang diiris tipis-tipis, kemudian disiram dengan saus wijen yang dicampur kemiri dan kelapa parut yang terlebih dulu disangrai. Selanjutnya penyajian biasanya ditambah dengan beberapa potong karak (sejenis kerupuk yang terbuat dari nasi kering dan bleng). “Saya bukan asli orang Solo, saya pendatang dari Jogja, tapi saya bangga jualan cabuk rambak, saya menjaga warisan biar tidak hilang,” ujar Yanti yang diwawancarai VISI pada Minggu (27/7). Ia merupakan salah seorang penjual cabuk rambak yang telah berjualan 10 tahun lamanya. Yanti selanjutnya mengungkapkan bahwa hingga kini masih ada cukup banyak yang membeli cabuk rambak, biasanya dari kalangan turis maupun warga lokal. Sejalan dengan itu, Mufti menambahkan ”Oke, kita mengukuti perkembangan peradaban zaman, tapi suatu saat pasti muncul kerinduan akan hal-hal tradisional semacam ini. (makanan tradisional–red).” Ade Uli, Fitri Ana
VISI • EDISI 36 • 2019
19
Harmonisasi Budaya Jawa-Arab di Pasar Kliwon Berada di kawasan masyarakat keturunan Arab, tak mengherankan jika Pasar Kliwon lekat dengan nuansa Timur Tengah yang kental, bahkan mendapat julukan Kampung Arabnya Solo. Akan tetapi, berada di Solo tentu tak akan lepas dari masyarakat Jawa yang sudah lebih dulu tinggal di sana. Menghadapi perbedaan, dua etnis dengan budaya yang berbeda ini menghasilkan harmonisasi ragam kebudayaan di Pasar Kliwon.
20
VISI • EDISI 36 • 2019
LAPORAN UTAMA
SUASANA PASAR - Wajah depan Pasar Kliwon siang itu tampak sepi, hanya bebeberapa orang yang terlihat sedang makan siang. (Dok.VISI/Gede) VISI • EDISI 36 • 2019
21
B
agi orang Jawa, mendengar Pasar Kliwon, mungkin akan terngiang Pasar Legi dan Pasar Pon. Karena tak beda jauh dengan Pasar Legi, Pasar Kliwon juga mengadopsi salah satu nama pasaran Jawa, dengan alasan pasar ini ramai saat hari pasaran Kliwon.
Pasar yang berdiri sejak tahun 1980 ini awalnya menjual komoditas hewan, terutama kambing yang merupakan bahan dasar makanan khas Timur Tengah yang sesuai untuk masyarakat sekitar yang beretnis Arab. Seiring kian padatnya masyarakat di lingkungan pasar, menjadikan Pasar Kliwon ini bertransformasi menjadi pasar pada umumnya yang menawarkan kebutuhan pokok sehari-hari. Meskipun berada di tengah masyarakat Arab, pasar tradisional ini tidak banyak menampakkan adanya nuansa khas Timur Tengah. Selain komoditas yang dijual bukan khas Arab, pedagang yang ada pun mayoritas orang Jawa yang asli Solo. Sedangkan pembelinya memang sebagian dari masyarakat keturunan Arab. Jadi jika ingin menelisik lebih dalam nuansa Arab, maka Pasar Kliwon yang dimaksud adalah nama kawasan, kecamatan dan kelurahannya bukan pasar tradisionalnya.
Kilas Balik
Menilik sejarahnya, masyarakat Arab di sekitar Pasar Kliwon yang datang sejak abad 19 ini sebagian besar berasal dari Yaman, bukan Arab Saudi ataupun Uni Emirat Arab. Mahendra Wijaya, salah satu pengamat budaya, menjelaskan bahwa masyarakat etnis Arab yang ada di Pasar Kliwon dulunya terbagi atas dua golongan, yaitu golongan yang masih keturunan rasul (Ba alwi) dan golongan yang bukan keturunan rasul (syekh). Meskipun berbeda status, kedua golongan ini bersatu dan berbaur dalam kesehariannya. Dengan tujuan awal berdagang sembari berdakwah agama Islam, orang Arab ini mampu mempengaruhi dan menyebarluaskan agamanya kepada masyarakat Jawa. “Dulu antara orang Arab dengan orang pribumi itu agak terpisah, tapi karena orang Jawa banyak yang beragama Islam dan karena banyaknya masjid yang berdiri, akhirnya sekarang ini bisa menyatu.” Jelas Mahendra, Jumat (19/7). Selanjutnya ia turut menambahkan bahwa pemuka aga22
VISI • EDISI 36 • 2019
ma Islam tidak cuma orang Arab tapi juga orang pribumi, sehingga kini keduanya bisa menyatu. Selain itu masjid juga bisa menjadi media untuk memperlancar interaksi orang Arab dan pribumi. Fatimah Farhana (20) atau kerap disapa Hana, salah satu masyarakat Pasar Kliwon keturunan Timur Tengah, menjelaskan bahwa mayoritas masyarakat keturunan Timur Tengah yang tinggal di Pasar Kliwon berasal dari etnis Hadramaut, yaitu salah satu lembah di Yaman. Hana juga menuturkan bahwa menurut sejarah yang didapat dari nenek moyangnya, orang-orang Timur Tengah sudah datang ke Indonesia sejak lama dan menetap di Solo untuk berdagang atau menikah dengan orang Jawa, yang kemudian oleh Pemerintah di tempatkan di Pasar Kliwon. “Mereka datang ke Solo itu sudah sangat lama dan karena datang sebagai orang asing, jadi ditempatkan sendiri. Nah tempatnya di Pasar Kliwon ini, jadi tinggal di Pasar Kliwon itu karena sudah ditetapkan pada masa penjajahan dulu,” imbuhnya saat ditemui VISI, Selasa (8/10)
PASAR KLIWON - Tampak plang besi berisikan nama pasar yang tertulis cukup besar beserta nama dinas yang mengelolanya. (Dok.VISI/Gede)
Harmonisasi budaya Arab-Jawa
Dari asal usulnya tentu masyarakat etnis Arab dan Jawa memiliki nilai dan kebudayaan yang berbeda. Mulai dari perawakannya, logat bahasa, pakaian, sikap hingga hal-hal kecil dan kebiasaan yang dilakukan. Namun dengan hidup berdampingan, perbedaan budaya yang ada tidaklah menjadi penghalang untuk saling berinteraksi dalam aktivitas sehari-hari, terutama di pasar tempat paling banyak terjadi interaksi sosial. Rahesli, dosen Sosiologi FISIP UNS menerangkan jika budaya yang dianut masyarakat akan mempengaruhi interaksi seseorang dalam beraktivitas, tak terkecuali jual beli di pasar. “Ya bisa saja mempengaruhi. Kalau masyarakatnya memiliki budaya yang sama, misal sama-sama orang Solo, atau kalau di Pasar Kliwon orang Arab dan orang Jawa merasa punya paham yang sama, seperti sama-sama Islam itu nanti akan membuat interaksi jual belinya cocok antara pedagang dan pembeli. Sebaliknya kalau merasa budayanya beda itu nanti juga akan mempengaruhi
interaksi sosialnya.” Terangnya kala ditemui VISI (19/07) Harmonisasi yang terlihat dari budaya Arab dan Jawa ditunjukkan dengan sikap saling menghargai, menghormati dan bisa beradaptasi satu sama lain. Jika mengamati lebih dalam masyarakat Arab di Pasar Kliwon, banyak dari mereka yang berinteraksi dengan bahasa Indonesia bercampur Arab. Ini banyak terjadi di sekitar Masjid Assegaf, Masjid Riyadh ataupun di sekitar Jalan Kapten Mulyadi yang banyak penjual Arab menawarkan oleh-oleh haji khas Arab. Namun melihat Pasar Kliwon sebagai pasar tradisional yang penjualnya mayoritas orang Jawa, orang Arab akan menyesuaikan bahasa yang digunakan untuk dapat beriteraksi dengan penjual. “Ya walaupun orang Arab, bahasa yang dipakai kadang bahasa Indonesia kadang bahasa Jawa, ndak pake bahasa Arab, ya nanti kalo pake bahasa Arab penjualnya gak ada yang tahu,” ujar Darni, penjual di Pasar Kliwon. Hana menambahkan, walaupun dia keturunan Yaman, namun karena dia lahir di daerah Pasar Kliwon, maka bahasa ibu yang dimilikinya adalah bahasa Indonesia. “Bahasa sehari-hari ya pake bahasa Indonesia atau bahasa Jawa. Tapi kadang pake satu atau dua kata yang bahasa Arabnya, karena di Pasar Kliwon itu kan masyarakatnya campur, nggak hanya yang dari keturunan Arab aja, tapi ada yang asli Jawa, dari China dan lainnya.” Ungkap Hana. Selain bahasa, faktor kepentingan juga mempengaruhi interaksi dari dua etnis yang berbeda ini. Bahwa selama kepentingan itu terpenuhi, maka interaksi akan berjalan dengan baik dan hal ini bisa berdampak pada adanya adaptasi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Rahesli melihat ada sisi negatif dari dampak sosial yang timbul. Dalam penuturannya, dijelaskan bahwa apabila masyarakat setempat (Jawa) yang terus menyesuaikan budaya pendatang (Arab), tidak menutup kemungkinan jika budaya Jawa yang akan hilang. Oleh karenanya perlu ada keseimbangan dan akulturasi yang baik. “Sekarang bahkan orang Jawa yang mungkin menyesuaikan dengan orang Arab karena agamanya sama-sama Islam. Misal ada yang berulang tahun seringkali mengucapkannya pakai bahasa Arab, kayak barakallah fil umrik,” imbuhnya.
Anggi, Gede, Rian
VISI • EDISI 36 • 2019
23
Jumadi
Pejuang Multigenerasi di Pasar Gede
P
asar Gede pagi itu terlihat sama seperti biasanya, orang-orang terbenam dalam aktivitasnya. Ada yang berbelanja untuk mengisi dapur, ada juga wisatawan yang datang berkunjung untuk nostalgia masa lalu. Di kios Sari Buah, dikelilingi aroma mangga, pisang, jeruk, anggur yang siap dijual, VISI berkesempatan mewawancari Pak Jumadi, salah satu penjual buah tertua di Pasar Gede.
Jumadi adalah salah satu pedagang buah Pasar Gede yang mampu bertahan dari generasi ke generasi. Pada awalnya Jumadi mengungkapkan bahwa ia tidak pernah berkeinginan untuk menjadi pedagang khususnya pedagang buah di Pasar Gede. Tahun 1983 ia tercatat sebagai salah satu guru SMA Muhammadiyah di Sragen. Akan tetapi profesi tersebut tidak berlangsung lama, tahun 1988 ia memutuskan berhenti dan melanjutkan studi S1 Ekonomi. Pada saat sedang melanjutkan studi S1-nya, Jumadi juga pernah terlibat dan aktif dalam kegiatan Partai Golkar. Bahkan saat itu ia juga berkeinginan untuk berkarir di bidang politik, akan tetapi karena kekurangan dana ia memutuskan untuk tetap menjadi guru. “Sebenarnya bidang saya di partai, di kecamatan saya ditarik menjadi pegawai partai sama kepala Golkar. Tetapi saya di partai tidak ada uangnya, jadi pilih ngajar perjam (dibayar-red) Rp 2.500,-” ujarnya. Ia pun berujar, setelah lulus S1 dan menikah, datanglah masa-masa sulit karena tak kunjung memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Masa sulit itulah yang menjadi pintu masuk Jumadi untuk banting setir mengikuti jejak keluarga besar sebagai pedagang yang kemudian ia fokuskan 24
VISI • EDISI 36 • 2019
untuk berdagang buah. Memiliki pengalaman dan dasar ilmu ekonomi yang didapat selama menempuh studi S1, pria kelahiran 6 Juli 1961 ini yakin dan memutuskan untuk berjualan buah di Pasar Gede.
Mengabdi ke Pasar Gede
Jumadi menjelaskan, lama berkecimpung dalam dunia perdagangan dan menjadi anggota paguyuban, kini ia dipercaya menjadi ketua paguyuban. Pemilihan itu terjadi pada tahun 2006, hasil musyawarah dan diakhiri dengan voting. Terhitung Jumadi telah menjabat 4 kali berturut-turut dengan lama tiap periode 4 tahun. Jabatan sebagai ketua paguyuban tentunya memiliki keterikatan dan tanggungjawab yang besar. Ia bercerita, sejak pertama kali menjabat fokus utama kegiatan yang akan dilakukan adalah mempersatukan pedagang. Hal tersebut dipilih karena pada dasarnya sifat para pedagang disana hanya fokus berjualan sehingga solidaritas sosial yang muncul tidak bergitu erat. “Kalau kita amati orang itu hanya sebatas bekerja untuk diri sendiri, justu sekarang dibalik, saya menciptakan kegiatan-kegiatan membentuk pedagang menjadi satu.” Ujar Jumadi. Dalam rangka menjalankan misinya, ia
SOSOK
JUMADI - Sosok penjual yang diwawancarai oleh VISI. Pak Jumadi sudah berjualan buah di Pasar Gede sejak tahun 2011 silam. (Dok.VISI/Lucky)
berfokus kepada kegiatan yang bersifat kultural seperti latihan tembang kenangan, latihan gamelan, latihan keroncong setiap hari Selasa dan juga wedangan. Ia menceritakan, latihan biasanya dilakukan malam hari di lantai 2 gedung barat Pasar Gede dan terbuka bagi semua pedagang baik laki-laki dan perempuan. Alat-alat musik yang digunakan untuk latihan merupakan sumbangan dari para pedagang sendiri ditambah dengan satu set gamelan hasil kerjasama paguyuban dan pemerintah Kota Solo. Tak berhenti di situ, Jumadi bersama lurah Pasar Gede dan bendahara pasar mendirikan koperasi simpan pinjam yang diberi nama Koperasi Pasar Gede. Ia mengungkapkan hal ini merupakan upaya untuk menyatukan sekaligus meningkatkan kesejahteraan para pedagang. Koperasi menjadi pemersatu pedagang secara struktural yang diimplementasikan melalui keanggotaan koperasi yang mengikat dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah
Tangga (AD/ART.) Berdiri sejak tahun 2011 sampai saat ini kurang lebih telah berumur 8 tahun. Modal yang telah terhimpun mencapai hampir 2 miliar. Uang ini berasal dari hasil simpan pinjam para anggota koperasi yang nantinya akan dimanfaatkan oleh mereka sendiri dan juga digunakan membantu para pedagang yang kesulitan modal. Pasar Gede merupakan pasar kelas satu dan satu-satunya pasar di Solo yang dikaterogikan sebagai warisan cagar budaya. Menanggapi fakta ini, Jumadi mengungkapkan bahwa pihak paguyuban memang memiliki tugas khusus yakni menjaga keotentikan dari Pasar Gede tersebut. Oleh karena itu, pedagang yang berjualan dilarang untuk mengubah bentuk bangunan baik di luar dan di dalam pasar. Di sinilah peran Jumadi diperlukan, yakni mensosialisasikan serta mengawasi para pedagang agar menjaga bangunan pasar tetap seperti apa adanya. Para pedagang dilarang merusak tembok seperti memasang paku atau spanduk, mengubah warna banguVISI • EDISI 36 • 2019
25
nan dan hal lain yang nantinya akan mengubah mengubah struktur bangunan Pasar Gede.
Prinsip Berdagang
Semenjak memantapkan hati untuk berjualan buah sejak 1992 hingga sekarang, Jumadi seakan telah mencicipi berbagai asam garam di dunia perdagangan. Jumadi mengungkapkan, dalam berdagang selalu mengutamakan kepuasan pelanggannya, ia punya kesulitan tersendiri untuk selalu memegang prinsip itu. Ia bercerita bahwa yang paling sulit adalah terus menjadi buah yang dijual itu tetap segar. “Pedagang fresh (makanan segar-red) itu paling nggak bisa santai, penjual daging, ikan, sayur, buah sama saja. Kalau saya nggak ada da26
VISI • EDISI 36 • 2019
gangan gimana cara-nya dapat dagangan. Kalo sudah dapat dagangan gimana caranya segera dijual agar tidak rusak. “ Sejak awal berdagang, Jumadi sudah memiliki prinsip yang berbeda dengan para pedagang lain, beberapa orang bisa jadi berfikiran untuk “kulaan semurah-murahe, di dol selarang-larange” (membeli barang semurah-murahnya menjual semahal-mahalnya-red) itu merupakan pemikiran umum para pedagang. Akan tetapi beliau menerapkan sebaliknya, “golek barang seapik-apike, didol semurah-murahe.” (mencari barang sebagus-bagusnya dijual semurah-murahnya-red). Pemikiran seperti itu didapatkan beliau selama membantu orang tuanya menjaga kios
yang segar dan buah-buahan yang di datang harus terjual dalam waktu singkat. Buah-buahan yang dipajang untuk dijual juga harus melewati pengecekan terlebih dahulu oleh pegawai untuk memastikan buah tidak rusak.
Tidak Pernah Merasa Sukses
KIOS BUAH - Tampak depan kios buah Sari Buah milik Pak Jumadi ramai diisi buah-buahan yang masih segar. (Dok.VISI/Ade)
Setiap pedagang yang dapat bertahan dari zaman ke zaman pasti memiliki prinsip yang kuat dalam hal berdagang. Jumadi yang telah berdagang buah selama 27 tahun pun demikian. Memegang teguh prinsip ini juga yang mengantarkan Jumadi sukses seperti sekarang ini. Jumadi bercerita sampai sekarang telah memiliki 33 kios buah yang tersebar di Solo Raya dan beberapa daerah di Jawa Timur. Di Solo Raya sendiri selain di Pasar Gede juga ada di hampir semua mall yang ada di Solo. Untuk Kawasan Jawa Timur Meliputi Madiun, Ponorogo, Wonogiri dan Cilacap. Jumlah pegawai tetap saat ini ada 17 orang karyawan dan sales kecil yang tidak terhitung. Walau sudah dibilang cukup sukses, Jumadi merasa masih banyak yang perlu diperbaiki dalam sistem penjualannya. Selain itu masih berusaha melebarkan pangsa pasar agar lebih besar lagi. Jumadi merasa apa yang dicapainya ini masih hal yang biasa saja dan ia belum mau disebut sebagai salah satu pedagang sukses. “Sebenarnya tidak sukses, belum sukses, yang lain bilang gitu, tapi saya dan istri saya nganggep biasa (tidak sukses juga tidak merugi-red).”
Lucky, Prissilia, Syamsiyah dulu dan itu masih diterapkan sampai sekarang. Menjaga transparansi dalam berdagang juga selalu dilakukan Jumadi sampai sekarang. Transparansi ini dilakukan dengan nota penjualan dapat diakses oleh semua pegawai kios. Selain itu, setiap hari setelah kios tutup diadakan pelaporan setiap pegawai baik itu langsung maupun di grub WhatsApp perusahaan. Pemasangan CCTV di setiap kios juga menjadi prioritas agar terciptanya lingkungan kerja yang kondusif dan aman. Agar tetap dipercaya pelanggan, Jumadi selalu menjaga citra kios Sari Buah agar selalu mendapat kepercayaan pelanggan. Hal ini dilakukan dengan selalu menjual buah-buahan VISI • EDISI 36 • 2019
27
H
itungan tahun tak menjamin keberhasilan dari suatu relokasi. Nampaknya ungkapan tersebut cukup relevan bila disandingkan dengan keadaan Pasar Panggungrejo yang merupakan hasil relokasi 10 tahun yang lalu. Keadaan stagnan hingga kini masih terasa, apakah Pasar yang berlokasi di belakang Universitas Sebelas Maret (UNS) tersebut masih sama saja?
28
VISI • EDISI 36 • 2019
Pertanyaan tersebut langsung dijawab oleh Kayadi, Kepala Pasar Panggungrejo. Ia mengungkapkan bahwa pasar yang berdiri sejak tahun 2009 ini, bisa dikatakan bahwa Pasar yang berada di wilayah Jebres ini masih begitu-begitu saja. “Lebih baik (baik kualitasnya-red) sih tidak, tapi ya tetap jalan,” ungkap Kayadi kepada VISI pada Selasa (1/10). Kayadi mengungkapkan alasan Pasar Panggungrejo berdiri bertujuan untuk menampung Pekerja Kaki Lima (PKL) yang dulu ada di sisi belakang UNS. Ia turut mengungkapkan bahwa awal mula berdiri para pedagang menentukan kios dengan cara undian. “Ya memang sih, dulu ada yang protes mengenai lokasi kios di
SEKAKEN
Warna Baru untuk Pasar Panggungrejo ujarnya menambahkan. Perihal kondisi pasar yang kerap terlihat sepi Kayadi berpendapat bahwa bisa jadi hal tersebut didukung faktor lingkungan. Ia mengungkapkan bahwa lingkungan hidup mahasiswa yang serba instan mengakibatkan layanan jasa yang lebih laku, namun tidak semua orang butuh jasa setiap waktu.
Terbantu oleh Zaman
WAJAH PASAR PANGGUNGREJO - Tampak depan bangunan pasar yang sudah menua ditambah cahaya sore tak menyurutkan pedagang untuk berjualan disana. (Dok. VISI/Gede)
awal dan dari pihak pasar sendiri menyarankan untuk ganti dagangan,” ungkapnya saat ditanya mengenai protes yang dilayangkan pada awal pemindahan. Menurut penuturannya, kini Pasar Panggung memiliki 71 kios yang berisi pedagang aktif dari 201 kios yang disediakan. Menyiasati hal tersebut, pihak pasar sendiri sudah berusaha melakukan beberapa hal untuk melakukan promosi Pasar Panggungrejo, namun belum ada perubahan yang signifikan. “Dulu pada tahun 2017 kita pernah mengadakan kerja sama dengan Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) UNS untuk melakukan promosi pasar, pada saat itu ada live musik juga di depan (Pasar Panggungrejo-red),”
Walaupun pasar terlihat sepi dan kosong, bukan berarti membuat Pasar Panggungrejo menjadi mati. Pasar tersebut juga memiliki beberapa hal yang bisa diunggulkan, salah satunya adalah makanan yang dijual pada lingkungan pasar. “Yang paling diunggulkan ya kuliner, coba mbak datang ke sini pas sore pasti di depan pasar rame sekali jual berbagai makanan,” ujar Kayadi. Seakan mulai bangkit dari keterpurukan, di tengah stagnansi pasar dari tahun ke tahun, kini Pasar Panggungrejo sudah lebih baik semenjak adanya sistem penjualan online. Kayadi berujar bahwa dengan adanya ojek yang berbasis online sudah banyak orang masuk ke pasar dan meramaikan aktifitas jual beli di pasar tersebut. Hal ini pun disepakati oleh Firda (23), salah seorang penjual barang di Pasar Panggungrejo. Ia mengungkapkan dengan adanya online memang sangat membantu perkembangan Pasar Panggungrejo sendiri. “Aku juga basic-nya online kok, cuma karena banyak yang minta COD (Cash On Delivery-red) makanya aku buat kios di sini,” ungkapnya. Selanjutnya ia mengungkapkan bahwa kebanyakan memang orang ke Pasar Panggungrejo VISI • EDISI 36 • 2019
29
E-COMMERCE - Teknologi turut mempengaruhi berkembangnya Pasar Panggungrejo menjadi lebih baik, seperti bermitra dengan pengemudi ojek online. (Dok.VISI/Dania)
karena memang mempunyai tujuan dan biasanya untuk mengambil barang yang sudah terlebih dahulu dipesan secara online. “Yah karena berawal dari online, sekitar 80%-90% memang pelanggannya tahu lewat instagram. Baru 10%-20% tahu dari banner di depan atau memang ingin melihat-lihat secara langsung,” ungkapnya menambahkan. Selaras dengan fenomena tersebut, menurut terbitan Solopos pada Rabu (6/3/2019) R. Wulandari, Praktisi Bisnis Alumnus Akademi Keuangan dan Perbankan Indonesia, Bandung mengungkapkan memang benar adanya bahwa Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) perlu melakukan digitalisasi guna menghadapi era revolusi 4.0 yang kini sedang digencarkan di Indonesia. Ia mengungkapkan dengan hadirnya UMKM berbasis online di Indonesia maka UMKM bisa memperluas target pasar dengan dana yang seminimnya menggunakan platform media sosial yang tersedia. Kedua, interaksi dan transaksi yang lebih cepat karena digitalisasi yang melewati batas-batas geografi. Ketiga, efisiensi proses jual beli karena dibantu oleh aplikasi online. Keempat yakni penjual bisa mendapatkan profil pelanggan dengan online lebih akurat dan detail. Tanpa bisa dipungkiri, teknologi kini
30
VISI • EDISI 36 • 2019
membantu Pasar Panggungrejo menuju arah yang lebih baik. Akan tetapi keadaan kontras masih terasa, selain Firda, masih terdapat pula penjual lain yang lebih berumur dan memang tidak mengerti menyoal jual beli online yang kini kian eksis di masyarakat. Sebut saja perempuan yang akrab disapa Mbah Saminah, yang telah berjualan dan turut pindah ke Pasar Panggungrejo sedari awal pasar tersebut diresmikan pada tahun 2009. Ia mengungkapkan bahwa dua tahun pertama berjualan di pasar memang sempat ramai, namun setelah itu tidak lagi. Hal itu diperburuk dengan lokasi berjualannya yang ada di bagian atas sehingga sulit untuk dijangkau dan dirasanya tak cocok untuk toko serba gunanya. “Dulu awal saya sempat stres mbak, dua tahun memang laris terus kok malah roda kehidupan yang saya kira bisa di atas, di bawah. Lah ini malah mandek,” ungkapnya sambil mengenang masa lalu. Ia pun turut mengamini bahwa penjualan online kini sudah mulai meramaikan pasar kembali. “Ya sekarang sudah mulai ramai lagi, karena sudah di online-kan. Kalo punya saya (dagangan-red) sih enggak,” tuturnya, pada Jumat (27/9).
Rachma Dania
VISI • EDISI 36 • 2019
31
32
VISI • EDISI 36 • 2019
INFOGRAFIS
VISI • EDISI 36 • 2019
33
Potret Kecil Kehidupan Pasar Gede
POTRET
Foto oleh: Gede Arganelrian
Pagi itu VISI menyambangi wajah Pasar Gede yang tua namun tetap terawat. Pasar Gede Harjonagoro didirikan pada tahun 1923 oleh Pakubowono X dan menjadi pasar tradisional tertua di Kota Solo.
Masuk ke dalam pasar, kami menangkap citra dua orang ibu yang salah satunya sedang memotong daging ayam.
34
VISI • EDISI 36 • 2019
Selanjutnya terlihat ibu yang menjual banyak snack yang terpajang rapi siap untuk dijadikan oleh-oleh.
Potret lansekap bagian dalam Pasar Gede dan kehidupan para penjualnya menunjukkan sisi indah dari Pasar Gede.
Layaknya pasar tradisional pada umumnya, ada banyak penjual yang menjajakan makanan khas pasar. Mulai dari tempe-tahu, bakwan hingga lentho yang wajib dicoba.
Pasar Gede sudah lama menjadi pasar tradisional terbesar di Kota Solo sehingga banyak kebutuhan pokok seperti sayuran segar dan bumbu masak dapat ditemui di bagian tengah pasar berlantai dua ini.
VISI • EDISI 36 • 2019
35
36
VISI • EDISI 36 • 2019
DETAK
Menyemai Konsep Ruang Publik Pasar Oleh: Fajrul Affi Zaidan Al Kannur Redaktur Pelaksana Majalah
P
asar tradisonal selalu identik dengan kegiatan transaksi jual beli yang mempertemukan penjual dan pembeli. Aktivitas distribusi, promosi dan tawar menawar untuk mendapatkan barang menjadi identitas sebuah pasar. Mengacu pada penyataan itu, bisa ditarik sebuah silogisme bahwa pasar memang lekat dengan kegiatan ekonomi yang menghadirkan ruang komersil di dalamnya. Tak pelak, timbul sebuah stigma di masyarakat jika pasar ialah ruang komersil yang mempertemukan penjual dan pembeli. Namun eksistensi pasar tradisional akhir -akhir ini mulai meredup, menurut data yang dihimpun dari Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKKAPI) jumlah pasar tradisional turun drastis dari 13.540 menjadi 9.950 pasar dalam kurun waktu 2013 hingga 2017. Maka dari itu perlu dilakukannya usaha pengembangan pasar untuk mengembalikan eksistensi pasar tradisional. Bila dilihat lebih lanjut, di dalam pasar tradisional kedekatan antara penjual dan pembeli lebih terasa karena interaksi dilakukan berulang-ulang dan mendalam, namun fakta ini tidak pernah dicoba untuk dikembangkan justru yang lebih ditonjolkan hanyalah kepentingan komersilnya. Padahal, jika ditelisik lebih jauh fungsi pasar tidak hanya sebagai ruang komersil, pasar juga berfungsi sebagai ruang publik di mana semua orang memiliki hak yang sama
untuk mengakses atau mengadakan berbagai kepentingan dan kegiatan publik. Ruang publik juga bisa diartikan sebagai ruang terbuka yang memungkinkan terjadinya pertemuan antar manusia untuk saling berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama. Jadi, dalam sebuah ruang publik terdapat dua unsur yang ditekankan yaitu aktivitas dan interaksi. Selain itu, ruang publik harus mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat akan tempat bertemu, berkomunikasi, atau sekadar untuk tempat refreshing bersama. Lingkup gerak ruang publik berkaitan dengan bidang sosial, ekonomi dan budaya. Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan jika pasar merupakan ruang publik maka harusnya pasar tidak hanya memuat kegiatan ekonomi, namun juga harus ada kegiatan sosial dan budaya. Oleh karena itu, idealnya pasar tidak hanya menjadi tempat transaksi jual beli namun juga harus bisa menjadi tempat hiburan sekaligus wahana wisata untuk masyarakat. Untuk itu, pasar harusnya mampu dikembangkan menjadi ruang publik yang berguna bagi masyarakat. Di sinilah diperlukan peran besar pemerintah guna mewujudkan konsep pasar sebagai ruang publik. Pemerintah selaku pemangku kebijakan memiliki kewenangan yang dapat memudahkan kita mewujudkan konsep pasar sebagai ruang publik. Beberapa kewenangan tersebut ialah soal pembentukan payung hukum sebagai dasar pembentukan
VISI • EDISI 36 • 2019
37
konsep pasar sebagai ruang publik Perlu diingat bahwa pengimplementasian konsep pasar sebagai ruang publik ini pastinya akan menemui beberapa permasalahan yang mungkin terjadi. Permasalahan yang akan muncul ketika kita berbicara tentang pasar dan ruang publik ialah kurangnya infrastruktur yang memadai dan penataan ruang yang tidak tepat. Menurut data dari Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo) sebanyak 70 persen dari 13.000 bangunan pasar sudah berumur lebih dari 20 tahun. Karena konsep pasar sebagai ruang publik berbeda dengan konsep awal pasar sebelumnya, maka diperlukan fasilitas dan tata kelola baru yang sesuai dengan konsep pasar sebagai ruang publik. Termasuk bangunan baru hingga fasilitas modern lainnya. Fakta ini perlu menjadi perhatian jika kita ingin mewujudkan konsep pasar sebagai ruang publik. Persepsi pasar tradisional yang kotor, kumuh dan bau membuat masyarakat enggan berlama-lama di pasar. Bagaimana persepsi masyarakat tentang pasar yang kotor, kumuh dan bau harus bisa kita ubah menjadi pasar yang bersih, indah dan nyaman untuk dikunjungi menjadi persoalan besar yang akan kita hadapi. Jadi, pengunjung tidak hanya masuk untuk membeli barang dan selepas itu akan langsung pergi. Namun, datang untuk membeli barang lalu bersantai sejenak atau bahkan datang ke pasar hanya untuk bersantai. Padahal dalam konsep ruang publik, pasar harusnya bisa membuat pembeli nyaman dengan berbagai fasilitasnya seperti taman, area bermain anak, gedung pertemuan, spot foto, pusat kuliner, cafĂŠ atau bahkan museum sejarah tentang pasar. Dengan berbagai macam fasilitas tersebut dapat dipastikan sedikit demi sedikit persepsi masyarakat mengenai pasar akan berubah dan motif orang untuk datang ke pasar akan mulai bergeser, tidak hanya untuk membeli barang namun juga untuk mencari hiburan, bersantai dan lain sebagainya.
38
VISI • EDISI 36 • 2019
Konsep pasar sebagai ruang publik sebetulnya juga menguntungkan bagi para pedagang, dengan menawarkan berbagai macam fasilitas yang ada membuat daya tarik sebuah pasar akan meningkat dan membuat jumlah pengunjung pasar akan meningkat. Hal ini membuat peluang dagang akan meningkat karena jumlah pengunjung pasar juga meningkat, sehingga pedagang akan memperoleh keuntungan dari hal ini. Maka dari itu, konsep ruang publik tidak akan mengubah fungsi pasar sebagai ruang komersil, tapi justru menjadi pelengkap dan penunjang keberjalanan pasar sebagai ruang komersil. Namun, perlu diingat setiap membangun ruang publik perlu juga memikirkan elemenelemen pendukung. Karena fasilitas dapat mempengaruhi pengunjung menuju obyek ruang publik. Ketersediaan fasilitas ini dapat menjadi bagian daya tarik bagi masyarakat seperti akses jalan yang memadai, tempat parkir yang luas, sistem keamanan yang baik, tempat ibadah dan toilet yang bersih. Harapannya konsep pasar sebagai ruang publik dapat membawa perubahan kearah yang lebih baik sekaligus memberikan keuntungan bagi masyarakat dan para pedagang di pasar. Karena pasar sebagai aset publik harusnya bisa dinikmati dan bermanfaat bagi semua orang. Terlebih lagi pasar sebagai pusat aktivitas manusia diharapkan mampu menunjang kehidupan masyarakat baik secara ekonomi, sosial dan budaya.
ilustrasi: Dania
VISI • EDISI 36 • 2019
39
TEROPONG
Menjadi Bangsa Bermartabat Oleh: Dr. M. Saekan Muchith, S.Ag, M. Pd Pemerhati Sosial Agama dan Politik IAIN Kudus
Dari perspektif sosial politik, kesadaran bangsa Indonesia untuk membangun bangsa yang baik dan benar (bermartabat) sudah dilakukan 111 tahun yang lalu sejak Dr. Soetomo mendirikan organisasi pemuda bernama Boedi Oetomo pada tanggal 20 mei 1908 yang akhirnya ditetapkan sebagai hari kebangkitan nasional. Tujuan yang ingin diwujudkan oleh Boedi Oetomo adalah membangun tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang unggul, berwibawa dan berkualitas sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Lalu bagaimana keberhasilan cita-cita yang diharapkan Boedi Oetomo setelah berjalan 111 tahun? Apakah bangsa Indonesia sudah dapat dikategorikan sebagai bangsa yang bermartabat? Setidaknya ada tiga “penyakit kebangsaan” yang patut dicermati agar bangsa Indonesia tidak semakin terpuruk dan tertinggal dari bangsa lain di dunia. Pertama, penyakit pada level elit. Para elit bangsa belum sepenuhnya bisa dijadikan panutan (uswah) bagi rakyat kecil. DPR yang notabenenya harus memperjuangkan rakyat ternyata belum mendapat kepercayaan dari rakyat. Hasil survei Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi (Y-TIME) pada tahun 2017 menunjukkan bahwa kepuasan mahasiswa terhadap kinerja DPR hanya mencapai 11 persen. Sedang sisanya 89 persen menyatakan tidak puas terhadap kinerja DPR. Di tahun 2018, Y-TIME juga melakukan survei tentang persepsi masyarakat terhadap Partai Politik. Hasilnya sangat mengejutkan, hanya 2 persen yang menyatakan bahwa partai politik (parpol) berjuang untuk aspirasi rakyat. Sebesar 62 persen mengatakan parpol berjuang hanya untuk dirinya sendiri. Sedangkan yang 31 persen menyatakan parpol sering berjanji 40
VISI • EDISI 36 • 2019
tapi tidak ditepati. Sisanya 5 persen menyatakan tidak tahu. Dari perspektif sosiologis, faktor penyebab rendahnya kepercayaan terhadap elit bangsa lebih disebabkan tidak konsisten antara apa yang di ucapkan dengan perilaku. Para tokoh bangsa belum banyak yang memiliki kesantunan dalam berbicara. Masih banyak kita jumpai para elit bangsa lebih mengedepankan emosional dari pada rasional dalam mensikapi persoalan bangsa ini. Hal ini juga bisa dilihat proses revisi perundang undangan seperti RUU KPK, RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan dan RUU lainnya. Kedua, penyakit kebangsaan pada level konstitusi. Bangsa yang sudah merdeka selama 74 tahun ternyata masih ada sebagian elemen yang belum bisa menerima pancasila sebagai dasar negara. Berlindung dibalik alasan berdakwah mereka mengajak untuk mendirikan sistem negara Islam (khilafah) yang secara otomatis tidak menerima pancasila sebagai dasar negara. Namun, pemerintah telah bergerak dengan cepat dan tegas melarang ormas yang nyata nyata tidak setuju dengan pancasila sebagai dasar negara. Pelarangan ormas tersebut dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tanggal 7 mei 2018. Terlepas dari pro dan kontra, apapun alasanya jika ingin menjadi bangsa yang besar dan bermartabat maka diskursus tentang dasar negara harus dianggap final (selesai). Artinya ruang untuk mendiskusikan mengganti dasar negara harus ditiadakan. Sedikit aja dibuka ruang untuk mendiskusukan tentang kemungkinan mengganti dasar negara berarti sudah membuka pintu gerbang untuk memulai suatu perpecahan antar suku, etnis, agama dan golongan. Pada tahun 2017 Y-TIME melakukan survei kepada 483 pelajar yang tersebar di 14 kabupaten di Jawa Tengah tentang Pandangan pelajar
terhadap dasar negara. Hasilnya 69 persen Pelajar menjawab menghendaki Indonesia Berdasar Pancasila dan NKRI, sedangkan 31 persen menghendaki Indonesia berdasar sistem khilafah atau negara Islam. Angka 31 persen bukanlah angka yang kecil, tetapi harus mendapat perhatian serius agar tidak semakin besar atau bertambah. Pandangan yang menginginkan pergantian dasar negara berimpliaksi kepada aksi kriminal yang berkedok agama yang biasa disebut terorisme. Ketiga, penyakit kebangsaan pada level akar rumput (grassroot). Realitas menunjukan, mudahnya masyarakat melakukan penyimpangan etika dan aturan. Tidak sedikit ge- rakan yang bertujuan mulia berakhir dengan kejahatan kriminal. Seperti aksi unjuk rasa mahasiswa menentang RUU perundang undangan di pusat ibu kota dan berbagai wilayah Indonesia. Masih sering terjadi konflik atau tawuran antar kelompok, antar desa, antar pelajar serta antar organisasi yang ternyata disebabkan hal yang ringan, kecil dan sepele. Hubungan antar orangtua dan anak sudah tidak lagi harmonis. Sering terjadi orangtua membunuh anak kandung, anak kandung menyiksa orang tua. Orang tua membuang bayi yang baru dilahirkan. Komunikasi antara siswa dengan guru sering tidak berdasar etika. Belum hilang dari ingatan kita, di Surabaya ada pelajar menghajar gurunya sampai tewas. Tidak sedikit juga oknum guru sering melakukan pelecehan seksual kepada anak didiknya, padahal guru seharusnya membimbing, membina serta mengembangkan potensi intelektual, moral dan spiritual para peserta didiknya. Selain itu, pragmatisme dalam berpolitik juga masih memperihatinkan. Hasil survei Y-TIME kepada masyarakat Jawa Tengah pada tahun 2018 tentang Politik uang dalam pemilu, diperoleh informasi bahwa 16 persen masyarakat akan menerima uangnya tetapi pilihan terserah saya, 48 persem mengatakan uang dalam pemilu merupakan ganti transport menuju TPS dan 36 persen mengatakan
apapaun alasanya politik uang adalah haram. Data ini menunjukan bahwa orientasi materi (uang) dalam pemilu masih cukup tinggi dan layak menjaid keprihatinan bersama.
Bangsa bermartabat
Bangsa bermartabat adalah masyarakat yang memiliki sikap dan perilaku taat pada aturan dan norma baik yang berlaku. Bangsa yang bermartabat disebut juga bangsa yang berbudaya (tamadun) pertama kali diperjuangkan oleh Rasulullah SAW saat berada di Kota Madinah pada tahun 622 M. Masyarakat Madinah yang pluralistik dari aspek agama, suku dan kelompok bisa hidup rukun, damai dan sejahtera karena diikat dengan suatu regulasi yang disebut Piagam Madinah. Piagam ini bertujuan mengatur pola hidup bersama antara kaum muslimin di satu pihak dengan kaum non muslim dipihak lain. Piagam Madinah yang terdiri dari sepuluh bab, 47 pasal dan 63 ayat ini mengatur tata cara hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang menekankan pentingnya doktrin satu ikatan dan satu keluarga walaupun masyarakatnya sangat pluralistik. Kemajemukan masyarakat Indonesia memiliki kesamaan dengan kemajemukan masyarakat Madinah saat itu. Jika masyarakat Madinah mampu menjadi bangsa yang bermartabat sudah seharusnya masyarakat Indonesia mampu menjadi bangsa yang lebih bermartabat. Kuncinya satu yaitu, sejauhmana bangsa Indonesia memiliki komitmen untuk membangun atau mewujudkan doktrin satu ikatan dan satu keluarga sebagai suatu bangsa (ummah). Ego sektoral yang berdasarkan agama, suku, etnis, apa lagi kepentingan politik sesaat harus dibuang jauh jauh. Manakala doktrin satu ikatan dan satu keluarga masih dibangun atas dasar agama, keyakinan, ideologi, suku, etnis dan kelompok politik tertentu maka selama itu pula bangsa Indonesia akan semakin jauh dari harapan untuk menjadi bangsa yang bermartabat.
VISI • EDISI 36 • 2019
41
Menyoal Pasar Tanggul yang Ramah Disabilitas
42
VISI • EDISI 36 • 2019
LAPORAN KHUSUS
Jenuh, mungkin kata itulah yang mampu menggambarkan kenampakan pasar saat ini dalam benak sebagian besar orang. Tak khayal, animo untuk berkunjung ke pasar pun berkurang. Tantangan ini mau tidak mau menuntut pasar untuk mampu menghadirkan suasana baru. Pelbagai, usaha terus dilakukan salah satunya melalui modernisasi pasar.
PASAR TANGGUL - Penampakan Pasar Tanggul Surakarta yang dijadikan percontohan sebagai pasar ramah disabilitas. (Dok.VISI/Rifa)
VISI • EDISI 36 • 2019
43
J
enuh, mungkin kata itulah yang mampu menggambarkan kenampakan pasar saat ini dalam benak sebagian besar orang. Tak khayal, animo untuk berkunjung ke pasar pun berkurang. Tantangan ini mau tidak mau menuntut pasar untuk mampu menghadirkan suasana baru. Pelbagai, usaha terus dilakukan salah satunya melalui modernisasi pasar. Pasar Tanggul di Kota Solo seolah menjadi bukti nyata modernisasi pasar yang mampu menghadirkan suasana baru. Pasar disulap menjadi bersih dan rapi dengan mengusung konsep ramah disabilitas. Pada tahun 2014, Pasar Tanggul menjadi salah satu dari 13 pasar yang masuk kedalam daftar revitalisasi pasar di Kota Solo. Menurut data yang dihimpun VISI, Pemerintah pusat berencana merevitalisasi 10.000 pasar. Pada periode pertama tahun 2014, 5000 pasar di Indonesia telah usai di bangun dan direvitalisasi. Revitalisasi Pasar Tanggul menelan total anggaran dana sebesar 15 milliar dibantu dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Tengah. Lurah Pasar Rakyat Tanggul Solo, Dwi Prasetya Wibowo mengungkapkan bahwa tujuan pemerintah untuk merevitalisasi pasar ialah agar pasar tradisional dapat bersaing dengan pasar modern. Tak hanya itu, pemerintah juga bertujuan menyeimbangkan insfrastruktur pasar guna peduli kaum penyandang disabilitas. Ia mengungkapkan awal mula Pasar Tanggul Solo didaulat sebagai pasar yang ramah disabilitas di Indonesia karena telah memperoleh penghargaan berupa sertifikat berlabel Standar Nasional Indonesia (SNI) pada bulan Oktober tahun 2017 dari Kementrian Perdagangan Indonesia. “Penerbitan SNI pertama pada tahun 2015. Kemudian tahun 2016 sendiri masih fokus pada perlombaan pasar tingkat provinsi dan menang sebagai pasar tradisional juara satu, � ujar Dwi Prasetya Wibowo saat ditemui VISI, Sabtu (11/05). Pada awal tahun 2017, kepengurusan Pasar Tanggul mendapatkan pendampingan 44
VISI • EDISI 36 • 2019
dari Kementerian Perdagangan Indonesia selama 3 bulan dan mengikuti diklat mengenai standardisasi menjadi pasar yang bersertifikat SNI. Kemudian pada tahun 2019 Pasar Tanggul kembali mendapatkan penghargaan sebagai pasar ramah disabilitas. Dwi mengungkapkan bahwa konsep ramah disabilitas di Pasar Tanggul bisa tampak dari berbagai macam fasilitas yang dapat digunakan untuk membantu penyandang disabilitas. Seperti parkir disabilitas, hand grill, kursi roda, tongkat, toilet duduk dan elevator datar. Pintu masuk Pasar tanggul juga didesain memiliki ramp (jalur menaik menurun) dan toilet yang didesain memiliki pintu lebih besar dibandingkan pintu pada umumnya. Pasar Tanggul juga menyediakan dua buah kursi roda serta tiga buah tongkat untuk
SARANA BAGI DIFABEL - Pasar Tanggul menyediakan sarana bagi para difabel, di antaranya adalah kursi roda. (Dok.VISI/ Rifa)
membantu mobilitas para kaum disabilitas. Eskalator juga didesain untuk kenyamanan kaum disabilitas. “Fasilitas-fasilitas tersebut tentu sangat membantu menunjang kegiatan penyandang disabilitas ketika akan berbelanja di pasar dengan mendapatkan berbagai kemudahan akses sarana dan prasarana.” Tegas Dwi Prasetnya Wibowo. Mengusung ramah disabilitas, tak mengherankan Pasar Tanggul mendapat respon yang cukup baik dari masyarakat. “Menurut saya dengan adanya pasar seperti Pasar Tanggul kaum disabilitas akan menjadi lebih mudah dalam berbelanja. Terutama melihat pemerintah yang saat ini memang ingin membangun berbagai macam fasilitas yang membantu,“ jawab Fatimah Putri (21) warga setempat saat diwawancarai
VISI di Pasar Tanggul, Kamis (3/10). Walaupun Pasar Tanggul terkesan mendapat banyak kesan positif, akan tetapi ada pula beberapa orang yang merasa pasar ini masih belum tepat sasaran. Di antaranya Anita Putri (27) seorang pengunjung Pasar Tanggul yang mengungkapkan perasaan serupa. “Jarang melihat kaum disabilitas belanja di sini. Jadi fasilitas yang ada juga jarang digunakan. Sepertinya sosialisasinya kurang kepada masyarakat sekitar, jadi mungkin banyak mereka (disabilitas-red) yang nggak tahu kalau ada pasar yang kaya di sini, ” ungkapnya, Kamis (3/10). Sebagai orang yang sering berbelanja di Pasar Tanggul Anita menyatakan bahwa jarang ada kaum disabilitas yang berbelanja di sana. VISI • EDISI 36 • 2019
45
Karena itu berbagai macam fasilitas yang tersedia jarang terpakai. Ia juga berpendapat bahwa akan lebih baik jika pemberitahuan kepada masyarakat sekitar dan sosialisasinya mengenai Pasar Tanggul lebih ditingkatkan. “Kalau mau fasilitas yang ada berguna, akan lebih baik jika masyarakat di sekitar Pasar Tanggul diberi informasi, atau kalau tidak sosialisasinya dilakukan ke berbagai macam komunitas atau organisasi yang merawat atau melindungi kaum disabilitas. Nantikan jadi banyak yang tahu,” tambah Anita Putri. Pendapat ini juga disetujui oleh Sulistio (43), salah satu penjual di Pasar Tanggul. “Biasanya yang beli lebih sering masyarakat sekitar pasar, jadi jarang kalau mayarakat yang disabilitas dari daerah lain belanja di sini,“ jawab Sulistio saat diwawancarai oleh VISI mengenai jenis pembeli di Pasar Tanggul, Kamis (3/10) Sulistio juga menambahkan apabila memang Pasar Tanggul diperuntukkan untuk kaum disabilitas agar lebih mudah berbelanja, informasi yang ada harus lebih tersebar dengan meningkatkan sosialisasinya. Pemerintah Indonesia mulai memperhatikan kepentingan hak-hak kaum disabilitas, hal itu tercermin lewat peraturan yang dibuat yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016. Semua fasilitas publik termasuk pasar, memang sudah seharusnya ramah disabilitas demi terciptanya hak yang sama tanpa terkecuali. Dalam pasal tersebut, kaum disabilitas di Indonesia berhak mendapatkan hak untuk beragama, hak berpariwisata, hak berpendidikan, hak pekerjaan dan segala macam hak yang sama untuk semua orang. “Pemerintah harus semakin meyadari karena banyak fasilitas-fasilitas untuk disabilitas tetapi terkadang mereka tidak paham bagaimana menerapkannya, jadi banyak penempatan fasilitas disabilitas yang salah tempat,” tutur Mulyanto Utomo, salah satu dari pendiri Solo Raya Accessible Tourism (SRAT) saat ditemui VISI, Jumat (4/10). Menurut Mulyanto Utomo, harus ada kerjasama antara pemerintah dengan suatu lembaga disabilitas dalam pembuatan fasilitas yang membantu kaum disabilitas tersebut. Dengan adanya perlibatan orang-orang yang 46
VISI • EDISI 36 • 2019
paham akan kebutuhan disabilitas akan lebih memaksimalkan fasilitas yang dapat terealisasi sesuai dengan karakter-karakter disabilitas yang berbeda. “Pasar Tanggul memfasilitasi orang disabilitas memakai kursi roda. Disabilitas bukan hanya itu, banyak sekali jenis disabilitas itu, makanya yang dimaksud inklusi itu adalah bahwa kebijakan itu seharusnya untuk semua orang, tidak membedakan dia disabilitas atau tidak.” Ujar Mulyanto Utomo mengenai pendapat fasilitas di Pasar Tanggul. Menurutnya, jika ingin memberikan fasilitas untuk disabilitas sebaiknya tidak tanggung, baik untuk kepentingan kaum disabilitas. Seperti untuk yang netra dibuat guiding block, dibuat sistem zonasi bagi penjual, paling tidak dikasih braille sebagai penunjuk. Sedangkan untuk kaum disabilitas tuli ada tulisan-tulisan digital. “Harapan untuk pemerintah harus semakin menyadari karena banyak fasilitas-fasilitas untuk disabilitas tetapi mereka tidak paham bagaimana menerapkan. Jadi pemerintah harus paham betul bagaimana karakter-karakter disabilitas itu kemudian sarana apa yang mereka perlukan.“ Pungkas Mulyanto Utomo di akhir wawancara.
Dina, Rifa, Tiara
LAPORAN KHUSUS
Pariwisata Munculkan Sisi Lain Pasar Solo Tawar menawar dan transaksi jual beli menjadi aktifitas paling lumrah yang seringkali terjadi di sebuah pasar. Dirunut dari sejarahnya, pasar telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia sejak dulu kala. Meski fungsi utama sebuah pasar menjadi tempat pertemuan antara penjual dan pembeli, namun kini pasar dapat pula menjadi destinasi tujuan berwisata.
PASAR TRIWINDU - Di salah satu sisi pasar terdapat banyak pernak-pernik barang antik yang siap untuk dikoleksi. (Dok.Pribadi/Dhidik Ridwan Sururi)
VISI • EDISI 36 • 2019
47
B
erbicara tentang Solo rasanya tak berlebihan apabila kota ini identik dengan warisan budaya Jawa yang seakan memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung. Mulai dari keberagaman kuliner, bangunan bersejarah, batik, hingga beragam barang antik.
Banyaknya pilihan wisata di Kota Solo membuat wisatawan yang datang dapat secara bebas memilih jenis hiburan yang akan mereka nikmati. Di antara berbagai macam pilihan, salah satu hal yang menarik bagi para wisatawan ialah keberagaman pasar yang turut ditawarkan oleh Solo. Hal ini turut dirasakan Joko, salah satu kolektor barang antik saat ditemui VISI di Pasar Triwindu. “Saya emang niat si pergi ke Solo (Surakarta-red) untuk membeli lampu antik. Paling habis ini juga lanjut ke Pasar Klewer,” ujarnya pada Minggu (1/9). Sejalan dengan itu, menurut berbagai sumber yang dihimpun VISI, satu dasawarsa terakhir Pemkot Solo memang sedang gencar menata dan merevitalisasi pasar demi terwujudnya konsep pasar wisata. Salah satu bukti hasil konsep pasar wisata yakni Pasar Triwindu, yang dikenal sebagai pusat barang antiknya wong Solo.
Kenangan Masa Lalu dari Barang Antik
Tanpa bisa dipungkiri Pasar Triwindu memang memiliki ciri khas tersendiri. Saat dikunjungi oleh VISI deretan kios yang menjajakan barang-barang antik tertata hampir di semua sudut pasar. Hal itu seolah membawa pengunjung pada nuansa masa lalu yang kental. Terdapat berbagai jenis barang yang mewakili perkembangan zaman, sejak masa kerajaan hingga masa penjajahan belanda dapat ditemukan di pasar tersebut. Pada mulanya, Pasar Triwindu yang disebut sebagai Windu Jenar merupakan pasar yang dibentuk pada masa kerajaan Mangkunegaran pada perayaan tahta raja yang ke tiga windu. “Pada perayaan naik tahta ke tiga windu, Raja Mangkunegaran memberikan hadiah kepada putrinya berupa sebuah pasar dengan nama Windu Jenar,” jelas Dody Sudarsono, ketua Paguyuban Pedagang Pasar Triwindu yang ditemui VISI di Pasar Triwindu, Rabu (24/07). 48
VISI • EDISI 36 • 2019
Selanjutnya Dody menjelaskan bahwa letak pasar Triwindu dekat dengan Pura Mangkunegaran, di mana pada masanya pernah menjadi bagian dari pecahan Kerajaan Mataram hasil dari Perjanjian Salatiga bersama Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Sehingga tak mengherankan ketika Pasar Triwindu ini, pengunjung akan mudah menemui barang antik yang berasal dari tiga kerajaan tersebut. “Barang milik keraton kan tidak semua di-
KONSER MUSIK - Penampilan musik yang meriah menghibur pengunjung yang datang di Ngarsopuro Night Market. (Dok.VISI/Gede)
kuasai oleh keraton, dalam arti secara institusi. Kadang Raden atau Ndoro itu punya barang-barang, itu bisa dikatakan sebagai barang keraton.” Tutur Dody. Meski Pasar Triwindu ini menjadi pusat barang-barang antik, di sini terdapat pula ornamen-ornamen dengan nuansa antik yang sengaja diproduksi dan diperjualbelikan. Biasanya orang-orang menggunakannya sebagai hiasan di rumah atau rumah makan bernuansa lampau.
Dody mengungkapkan bahwa harga barang tidak selalu diukur berdasarkan usia barang tersebut. Kandungan dalam barang, nilai seni serta kualitas barang itu turut memberi andil pada variasi harga barang. “Barang paling tua pasti keris. Kadang barang dengan usia tua, tidak mesti mahal. Tergantung material bahannya, misal bahannya perak, itu bisa mahal, bisa dilihat dari bahan, usia dan nilai seni,” imbuh Dody. VISI • EDISI 36 • 2019
49
Ngarsopuro Malam Minggu
Tak berhenti di Pasar Triwindu, Solo juga memiliki pasar wisata lain yakni Ngarsopuro Night Market, yang buka khusus pada malam Minggu. Sepanjang jalan Ngarsopuro disulap menjadi deretan tenda yang menjual berbagai barang hasil produksi masyarakat. Menurut penuturan Sugiarjo, salah seorang pedagang Batik di Ngarsopuro Night Market mengungkapkan bahwa pasar tersebut sudah berdiri sejak 9 Februari 2009. Ia mengungkapkan kala itu Joko Widodo yang masih menjabat sebagai Walikota Solo meresmikan pasar ini sebagai wadah ekonomi kreatif masyarakat. Saat ini, Ngarsopuro Night Market dikelola oleh Paguyuban Pedagang Ngarsopuro Night Market di bawah Dinas Koperasi Kota Solo. “Dulu, bapak Walikota Jokowi membantu usaha-usaha kecil menengah. Awalnya, di sini untuk promosi usaha masyarakat,” ungkap Sugiarjo. Selain rutin beroperasi pada malam Minggu, pasar ini juga beroperasi pada hari-hari besar lainnya seperti perayaan tahun baru atau Hari Raya Idul Fitri. Hal tersebut dilakukan karena peningkatan pengunjung cenderung terjadi pada hari-hari besar dan libur panjang. “Kalau lebaran, buka selama delapan hari berturut-turut, H-3 sampai setelahnya (hari raya idul fitri-red),” ujar Rubiyanto, sekretaris paguyuban Ngarsopuro Night Market saat ditemui VISI di Ngarsopuro Night Market, Sabtu (14/09) Selain itu, disebutkan oleh Muhamad Khalik penjual kaos lukis bahwa pedagang berjajar sepanjang jalan Ngarsopuro tak kurang dari 200 Pedagang dengan berbagai jenis dagangan. “Di sini ibaratnya seperti mall, apa-apa ada. Sebelah sini kerajinan, sebelah sana makanan, sebelah sana baju-baju,” ungkap Muhamad Khalik sembari menunjuk ke arah penjual-penjual lain. Benar saja, dari pintu masuk pasar, pengunjung akan disuguhkan dengan deretan penjual pakaian. Mulai dari pakaian tradisional bercorak batik, hingga pakaian modern hasil produksi masyarakat. Selain itu pada bagian ini, terdapat pula tas-tas dan aksesoris fashion lainnya. Menuju ketengah pasar terdapat stand-stand makanan. Mulai dari stand jajanan hingga makanan berat dan oleh-oleh. “Yang datang kesini, kadang beli banyak 50
VISI • EDISI 36 • 2019
untuk oleh-oleh juga,” ungkap Hesti, penjual makanan di Ngarsopuro Night Market. Lalu disisi dalam, terdapat penjual kerajinan-kerajinan tangan. Biasanya pengunjung membeli kerajinan tangan ini sebagai buah tangan untuk sanak keluarga.
Minat Wisatawan
Ramainya wisatawan yang datang, ke Kota Solo rupanya tidak hanya berasal dari dalam kota. Berdasarkan pengakuan beberapa pedagang di Ngarsopuro Night Market, mereka seringkali menemui pengunjung dari luar kota, bahkan manca negara. “Kesini (Kota Solo-red) jalan-jalan. Cari batik untuk oleh-oleh. Kalau di PGS (Pusat Grosir Solo-red) atau BTC (Beteng Trade Center) kan bukanya siang, disana panas.” Ungkap saras, yang datang bersama sudaranya dari Kota Jakarta saat ditemui VISI di salah satu kios batik di Ngarsopuro Night Market, Sabtu (14/09). Dody mengungkapkan bahwa keunikan pasar di Kota Solo menarik pula bagi wisatawan mancanegara. Seringkali, mereka sengaja mampir untuk mencari barang antik atau kain batik sebagai kenang-kenangan dari Indonesia. Meski mengalami keterbatasan bahasa dengan wisatawan asing, namun para pedagang memiliki caranya tersendiri untuk melakukan transaksi. “Kalau dia bawa guide mungkin bisa membantu men-translate bahasa, kalau tidak kita pakai bahasa inggris semampu kita, atau senjata pamungkasnya pakai kalkulator, hanya untuk menunjukan angka atau harga,” pungkas Dody. Lutfi, Naila, Yuni
PUISI
Kotak Musik Puisi oleh: Rif’atush Sholihah, Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Universitas Sebelas Maret Aku menetap dalam helaian nafas sejenak Bersenandung ikuti irama kabur dari kotak musik yang usang Aku kembali menyusun not balok di atar kertas putih penuh cerita Ceritaku dan ceritamu Penuh dengan puisi tawa dan tangis yang kurakit saat bersamamu Kini tak ada lagi ceritamu Tak dimainkan lagi lagu tentangmu Hanya diriku yang mengingatmu dalam melodi sendu Karena kau telah menjauh penuhi memoriku Tinggalkanku dengan kotak musik berdebu dalam rasaku
Ilustrasi: internet
VISI • EDISI 36 • 2019
51
Ilustrasi: Ola
Duka Lautan Indonesia Oleh: Yohanes Andika
Mahasiswa Administrasi Publik UNS
D
ewasa ini Indonesia sedang berduka dikarenakan lautannya sedang dipenuhi oleh berbagai sampah khususnya sampah plastik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total jumlah sampah yang memenuhi lautan Indonesia saat ini berjumlah 6,4 juta ton dan 3,2 juta ton dari total sampah tersebut merupakan sampah plastik. Berangkat dari data tersebut jelas menandakan bahwa lautan indonesia kini sedang dijajah oleh berbagai sampah khususnya sampah plastik yang kian hari kian bertambah volumenya. Hal ini akibat ketidakmampuan Indonesia dalam mengolah sampah dan minimnya kesadaran akan dampak membuang sampah ke perairan maupun langsung membuangnya ke lautan. 52
VISI • EDISI 36 • 2019
Sampah plastik yang menumpuk di lautan tersebut memberikan dampak negatif terhadap keseimbangan ekosistem dalam bidang kesehatan serta bidang ekonomi. Ekosistem alam saat ini telah rusak, ditandai dengan masuknya plastik kedalam rantai makanan di lautan yang juga menyebabkan berbagai mahkluk hidup mati akibat tersangkut sampah plastik yang ada. Sebagai contoh, sebanyak enam kilogram plastik ditemukan di dalam tubuh paus sperma yang meninggal di Kepulauan Wakatobi. Terumbu karang juga menjadi sasaran sampah plastik, plastik yang tersangkut menghambat pertumbuhan terumbu karang tersebut. Sampah plastik di laut juga berdampak pada kesehatan manusia karena adanya
REFLEKSI
mikro plastik yang termakan oleh hewan kecil yang dapat termakan oleh manusia. Mikro plastik merupakan plastik yang telah masuk kedalam proses penguraian sehingga ukurannya menjadi kecil yang akibatnya hewan di lautan mengira bahwa mikro plastik adalah makanannya. Selain kedua dampak tersebut, sampah plastik ini juga berakibat pada penurunan bidang ekonomi yang ditandai dengan menurunnya sektor pariwisata dan perikanan. Banyaknya sampah di laut membuat pariwisata bahari menjadi kehilangan para wisatawannya, banyaknya timbunan sampah baik dilaut maupun di pesisir pantai akan mengubah warna air laut sehingga menghalangi estetikanya. Sampah plastik itu pun membuat bidang perikanan di Indonesia mengalami kemunduruan di mana ikan menjadi terkontaminasi zat-zat dari sampah plastik yang ada, sehingga ikan tidak lagi dalam kondisi segar saat ditangkap. Permasalahan banyaknya volume sampah yang menumpuk dilautan tersebut jelas harus segera diatasi dan dalam mengatasinya diperlukan tindakan yang mencakup hulu hingga hilir. Hal ini jelas memerlukan adanya sinergi dan kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan dan masyarakat. Hal pertama yang segera perlu dibenahi adalah perihal kebijakan mengenai penggunaan plastik baik bagi produsen maupun konsumen. Pemerintah harus segera menerapkan kebijakan tentang pembatasan dan pengawasasan penggunaan plastik sebagai kemasan barang produksi industri. Hal ini karena produk kemasan plastik hasil industri merupakan penyumbang sampah plastik dengan jumlah terbesar di lautan. Kebijakan tersebut juga harus mampu mendorong produsen pengguna bahan plastik untuk terus berinovasi menciptakan kemasan yang ramah lingkungan dan dapat di daur ulang. Lalu dengan mengalokasikan dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan yang menggunakan bahan plastik guna membantu proses pengolahan sampah plastik. Selain itu, pemerintah harus menerapkan mekanisme Public Private Partnership dalam pembuatan tempat pengelolaan sampah plastik tersebut seperti pembuatan bank sampah di setiap rukun warga, di mana dengan adanya bank sampah tersebut berbagai jenis sampah rumah
tangga dapat dipilah kembali yang selanjutnya hasilnya akan diteruskan ke tempat pengolahan sehingga dapat di daur ulang. Sampah plastik tersebut dapat di daur ulang menjadi bahan pembuat aspal, sumber energi listrik atau menjadi plastik kemasan kembali dan dalam prosesnya dapat mengadaptasi berbagai cara daur ulang yang dilakukan di negara lainnya seperti Swedia yang telah berhasil mengelola sampahnya menjadi energi listrik. Berikutnya, demi pembatasan penggunaan plastik pemerintah daerah harus berani dalam pembuatan kebijakan terkait penggunaan kantong plastik yaitu dengan menerapkan biaya yang lebih tinggi bukan hanya 200 rupiah karena harga tersebut dirasa masih sangat murah bagi banyak orang. Atau bahkan pemerintah harus berani menerapkan kebijakan pelarangan penggunaan kantong plastik bukan hanya di ritel modern saja melainkan di toko tradisional juga. Selain perlunya kebijakan yang tepat guna membatasi dan mengawasi, hal yang juga diperlukan ialah tindakan langsung dari pemerintah yang juga bekerja sama dengan berbagai LSM terkait guna memberikan sosialisasi dan mengadakan berbagai kegiatan pelestarian alam, misalnya gerakan membersihkan sampah di laut dan pesisir. Dalam pemberian sosialisasi dan informasi terkait pelestarian alam kita dapat memanfaatkan teknologi yang ada, yakni dengan membuat aplikasi yang berisi berbagai informasi tentang data perkembangan jumlah plastik, cara mendaur ulang plastik, hingga informasi mengenai gerakan cinta lingkungan. Tindakan tersebut dilakukan agar meningkatkan kesadaran masyarakat indonesia untuk mengontrol dan membatasi penggunaan plastik Laut indonesia adalah lautan yang kaya sumber daya, sangat bermanfaat bagi kehidupan bangsa, ada tiga hal yang harus diperhatikan di dalam segala tindakan dalam menanggulangi sampah plastik yaitu sinergi, kolaborasi dan inovasi. Hal itu demi mewujudkan lautan indonesia yang bersih karena lautan indonesia bukanlah tempat pembuangan akhir melainkan emas bangsa yang bermanfaat bagi kehidupan negara.
VISI • EDISI 36 • 2019
53
SPEKTRUM
KERAMAIAN - Sepanjang Jalan Slamet Riyadi dipenuhi banyak orang yang mengikuti Car Free Day. (Dok.VISI/Nurkhasanah)
Fungsi Car Free Day yang Kian Beralih Siapa yang tak kenal dengan istilah Car Free Day? Hampir setiap kota di Indonesia memiliki kawasan bebas kendaraan bermotor atau yang dikenal dengan nama Car Free Day (CFD). Tentunya di Kota Solo, kampung halaman Presiden Joko Widodo ini, CFD juga rutin diadakan di setiap hari minggu. Gelaran CFD di kota Solo selalu ramai dikunjungi warga, mulai dari kelompok usia anak-anak hingga dewasa sekalipun. Udara segar tanpa polusi kendaraan bermotor seolah menambah gairah warga untuk mengunjungi kegiatan CFD Solo yang berada di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, yang dibuka mulai pukul lima hingga sembilan pagi. Kegiatan CFD menjadi salah satu wadah berkumpul, bercengkrama dan beraktivitas bersama. Seperti kegiatan CFD di kota lainnya, CFD di Kota Solo diisi dengan berbagai aktivitas olahraga mulai dari lari, bersepeda, senam, ataupun hanya sekadar berjalan kaki menyegarkan badan. 54
VISI • EDISI 36 • 2019
Seiring waktu, kegiatan CFD di kota Solo kini mirip pasar dadakan atau pasar kaget. Terbukti dengan banyaknya pedagang di sepanjang Citywalk Slamet Riyadi. Pedagang yang ada pun bermacam-macam layaknya pasar tradisional mulai dari makanan, pakaian, aksesoris, hingga mainan anak-anak. Makanan yang dijajakan juga beraneka ragam, seperti nasi rames, nasi pecel, cabuk rambak hingga jajanan pasar yang sangat khas di Kota Solo. Pada dasarnya, para pedagang yang ingin
berjualan di CFD seharusnya mengurus izin ke dinas-dinas terkait seperti Dinas Perdagangan dan Dinas Perhubungan Kota Solo. Namun menurut penuturan salah satu pedagang yang akrab disapa Jiwo, untuk berdagang di CFD Solo ini hanya menggunakan sistem siapa cepat dia dapat, karena kemudahan tersebut pedagang jadi beramai-ramai untuk menjajakkan dagangannya di CFD Solo. Selain itu, para pedagang juga menuturkan bahwa keuntungan berjualan di CFD dapat meningkatkan omzet mereka beberapa kali lipat. Jiwo sendiri merupakan salah satu penjual pakaian batik yang rutin berjualan di CFD Slamet Riyadi. Lelaki ini mengungkapkan kerjaannya sebagai pedagang merupakan warisan dari kedua orang tuanya. Awalnya ia memproduksi pakaian batik dan menjualnya secara mandiri, namun seiring dengan berkembangnya pamor CFD ia turut berjualan di sana semenjak setahun yang lalu. “Pertama, memang secara marketing berjualan di hari minggu dengan memafaatkan hari libur cukup menguntungkan. Kedua, untuk mengenalkan ke masyarakat ini lho produk Solo itu ada yang awet, murah tapi awet.” Ungkap lelaki yang bernama lengkap Jimin Prabowo yang ditemui VISI di CFD Solo (8/9). Selama ini CFD Solo banyak menjadi tujuan warga hanya untuk beraktivitas olahraga dan jual beli. Namun lebih dari itu, sebenarnya CFD dapat dimanfaatkan untuk hal-hal lain yang membangun kebersamaan, kerukunan dan rasa memiliki dan mencintai kota Solo. Berkaitan dengan hal tersebut, seorang akademisi yakni Sri Yuliani dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP UNS, mengungkapkan ada beberapa cara yang baik untuk mengelola kegiatan CFD. Pertama, Pemerintah kota tidak hanya menetapkan CFD dengan sekadar membebaskan ruas jalan utama dari sepeda motor, tapi harus bisa memanfaatkan CFD untuk membangun soliditas warga kota. Kedua, merancang program atau kegiatan yang melibatkan interaksi antar berbagai lapisan masyarakat dengan menyelenggarakan acara-acara budaya, olahraga, ataupun berbagai
macam lomba yang bisa menumbuhkan rasa mencintai budaya kotanya. “Pemkot Solo perlu memperhatikan agar kegiatan CFD tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, seperti disalahgunakan untuk kepentingan kampanye politik atau kepentingan lain yang mengganggu kerukunan dan keutuhan warga,” tutur Sri Yuliani saat ditemui VISI (4/9) Seperti kegiatan lainnya, kegiatan CFD di Solo ini pun masih perlu pembenahan di beberapa hal, seperti penataan pedagang atau UMKM. Di mana tempat berdagang yang dirasa kurang rapi dan apik yakni berada di bagian utara dan selatan. Hal ini mengakibatkan jalan yang dilewati pengunjung terlampau sempit dan berdesakan untuk dua arah sekaligus. Dian dan Jiwo pun sama-sama mengungkapkan harapannya agar pemerintah setempat mengatur dan melakukan penataan tempat atau stand berdagang agar tidak terkesan semrawut dan apik. Sri Yuliani mengungkapkan bahwa Solo dinilai perlu mengembalikan roh CFD sebagai wahana beraktivitas bersama warga kota, aktivitas yang sehat dan ramah lingkungan. Aktivitas PKL tetap bisa dilakukan karena dapat membantu UMKM, namun perlu diatur agar tidak memenuhi semua ruas citywalk misalnya dipusatkan di beberapa spot dan diatur dengan rapi. Selain itu, badan jalan juga harus diberi space khusus yang ingin bersepeda, jangan semua badan jalan dipenuhi oleh aktivitas komunitas untuk promosi atau senam bersama. Nurkhasanah, Siswi Diyan
VISI • EDISI 36 • 2019
55
CERPEN
Berkaca Diri Oleh: Tiara Unggul Herawati Mahasiswa D3 Komunikasi Terapan, Universitas Sebelas Maret Suasana hati Ratna tak karuan. Dia membenci kedua orang tuanya. Teramat membenci. Alasannya? Dia tidak boleh melihat konser grup band negeri gingseng kesukaannya. Dia sudah pernah melihat konser itu tujuh kali, itulah mengapa orang tuanya tak memperbolehkannya lagi. Tapi bagi Ratna itu semua belumlah cukup. Tujuh kali bukanlah angka yang bisa membuatnya berpuas diri. Dia selalu suka dengan rambut berwarnawarni itu, dia selalu suka kulit putih pucat dan bibir dengan pewarna mirip seperti milik ibunya melekat pada idolanya. Tapi apa daya orang tuanya sudah berkata tidak, itu berarti tak ada lagi kesempatan untuknya. Jadilah sekarang ia di sini, di kamar. Mengurung diri. Sang surya telah usai dengan tugasnya pada sore itu. Tidak ada lagi semburat jingga yang dipuja-puja oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai pecintanya. Memang sedari siang ia tak melakukan tugasnya dengan optimal, karena tertutup awan hitam yang sudah siap menumpahkan air yang ditampungnya. Adzan maghrib sebentar lagi berkumandang. Lampu-lampu sudah mulai dinyalakan sebagai pengganti sang surya yang telah hilang tenggelam. Kilat petir bergantian menunjukan 56
VISI • EDISI 36 • 2019
diri, memberi tanda hujan turun sebentar lagi. Bersamaan dengan itu seseorang mengetuk pintu. Siapa tamu yang datang tak tahu waktu? Batin Ratna yang ada di kamarnya pada saat itu. Saat pintu dibuka ternyata bocah lelaki gembul yang usianya masih pada tingkat sekolah dasar dengan nampan berisi sambel pecel di kepala. Dengan nafas terengah yang tak ia pedulikan ia menawarkan sambel pecel yang tersisa lima biji kepada Ratna dengan senyum terkembang. Bersamaan dengan itu hujan mulai mengguyur. Saat ditawari untuk masuk kerumah ia menolak dengan sopan. Takut merepotkan katanya. Padahal Ratna bersedia membukakan pintu. Namun akhirnya bocah itu masuk juga. Karena penasaran ditanyailah dia dari mana asalnya. Dan pantas saja tadi nafasnya terlihat terengah-engah, ternyata dia berasal dari daerah Pokak. Itu artinya ia telah mengayuh sepeda sejauh sembilan kilometer untuk sampai di desa ini. Di mana orang tuanya? Kenapa membiarkan anaknya berjualan sejauh dan semalam ini? Batin Ratna saat itu. “....kula neng omah kalih mbahe. Ibu kalian bapak mboten ten griyo,
Ilustrasi: Dania
Dia bercerita bahwa ia dirumah hanya tinggal bersama neneknya. Ibu dan bapaknya tidak dirumah dan dia tidak tahu di mana. Ia bercerita sambil menghitung uang hasil dagangannya yang ludes hari ini. Tidak ada raut sedih atau kecewa karena ibu bapaknya yang pergi. Tak ada dendam kepada nasib yang membiarkannya bekerja sekeras ini. Tak ada aksi mengurung diri seperti yang ia lakukan hari ini. Yang ada hanyalah raut khawatir yang ditampakkannya karena uang sambel pecel dagangannya yang hitung gesreh (jumlahnya tidak pas). Ketika hujan berhenti,dan malam yang gelapnya semakin menjadi ia memilih untuk pulang dan enggan untuk diantar. Bocah itu mengayuh sepeda kecilnya dengan bersemangat, dengan satu tangan pada kemudi dan satunya memegangi nampan. Dinginnya malam tak ia pedu-
likan. Ia hanya ingin pulang. Ingin memberikan kabar gembira pada neneknya bahwa dagangannya ludes hari ini. Bahwa besok masih ada harapan untuk dia dan neneknya untuk makan sesuap nasi. Seketika itu juga Ratna merasa ter-tampar, tak mampu bersuara lagi. Matanya memanas, tenggorokannya tercekat, sesak yang dadanya rasa. Malam itu dihabiskannya untuk menangis, meruntuki kebodohannya selama ini.
VISI • EDISI 36 • 2019
57
PODIUM
ilustrasi dan cerita oleh
Banyu & Dania 58
VISI • EDISI 36 • 2019
BUKU
Petuah Hidup Yang Tidak Biasa Saja
JUDUL: Of Mice And Men PENULIS: John Steinbeck PENERBIT: Gramedia Pustaka Utama TAHUN: 2017 TEBAL: 226 halaman ISBN: 978-602-0337-81-4
P
ada dekade 1930-an, Amerika Serikat pernah mengalami krisis perekonomian. Orang-orang menyebutnya sebagai masa Depresi Besar. Masa kelam ini memaksa para kelas pekerja, bekerja tanpa ada jaminan bahwa masa depan mereka akan membaik. Tetapi bukankah mereka berhak untuk memiliki impian utopis di kepala mereka? Seperti halnya persahabatan antara dua pekerja serabutan bernama George Milton dan Lennie Small. Perbedaan mereka sangat mencolok: George bertubuh kecil dan cerdas, sebaliknya Lennie bertubuh besar namun memiliki keterbelakangan mental. Dua sahabat karib ini punya impian yang sama, menjadi tuan atas sepetak tanah pertanian yang mereka miliki sendiri dan hidup bersama di sebuah pondok. Impian itu selalu George ceritakan berulang kali setiap Lennie memintanya dan Lennie sangat menyukai serta mengingat janji-janji manis
George. Lennie menyukai hal-hal yang lembut, seperti gaun, bulu tikus, kelinci atau anjing. Mengingat Lennie memiliki keterbelakangan mental yang membuatnya bersikap seperti anak-anak, ia sering membawa dirinya dan George ke dalam masalah. George dan Lennie kabur dari Weed, tempat peternakan sebelumnya, saat Lennie dituduh memerkosa seorang wanita hanya karena menyentuh rok gaunnya. George dan Lennie tiba di sebuah perternakan Soledad Selatan, lembah Salinas di bagian lain California. Di tempat kerja yang baru, George lebih berhati-hati mengawasi Lennie. George mengatur Lennie untuk mengerjakan apa yang telah George perintahkan. Di rumah peternakan tersebut, mereka ditugaskan untuk mengangkat karung-karung gandum. Pekerjaan tersebut mampu Lennie kerjakan dengan baik, lebih baik dari siapapun. Di tempat itu mereka tinggal bersama dengan Candy si pekerja cacat yang bertugas untuk bersih-bersih, Slim, Carlson, Whit dan seorang Negro bernama Crooks yang diasingkan karena warna kulitnya berbeda. Mereka mewakili kelas pekerja yang memiliki kesamaan, hidup sendiri dan kesepian. Kisah persahabatan sederhana antara George dan Lennie ini secara gamblang menggambarkan kondisi sosial yang terjadi pada masa Depresi Besar Amerika Serikat. Kelas pekerja yang dirugikan pada masa itu harus hidup seadanya, bekerja untuk orang lain demi upah kerja yang tak seberapa. Impian sederhana George dan Lennie kerap ditertawakan oleh orang lain, menganggap bahwa mimpi itu mustahil terjadi. Setidaknya, impian tersebut yang membangkitkan hasrat mereka untuk hidup dalam keterbatasan dan saling membutuhkan satu sama lain. Novel klasik ini juga mengangkat isu rasial mengenai perbedaan warna kulit, status tuan dan pekerja, bahkan hingga orang yang memiliki cacat fisik dan mental. Secara jujur, John Steinbeck menelanjangi perbedaan status sosial yang terjadi pada masa itu. Meski novel ini dirilis pada tahun 1937, relevansinya masih bisa dirasakan hingga saat ini. Sebuah pergulatan kaum pekerja atas impian utopis yang mereka ciptakan di tengah kerasnya pekerjaan yang hanya mendatangkan upah segelintir demi sekadar bertahan hidup. Tak dipungkiri, kalau kerja keras John Steinbeck ini ikut membantunya mendapatkan penghargaan Nobel Kesusastraan pada tahun 1962. Vikharis Chris Addison
VISI • EDISI 36 • 2019
59
FILM
Lebih Dari Sekadar Menjelajah Angkasa
JUDUL: Ad Astra PRODUSER: James Gray SUTRADARA: James Gray PEMERAN: Brad Pitt, Tommy Lee Jones, Ruth Negga, Liv Tyler, and Donald Sutherland TAHUN: 2019 DURASI: 124 Menit
A
d Astra merupakan bagian kalimat ad astra per aspera, rangkaian kalimat bahasa Latin yang artinya “menuju bintang melalui jerih payah.” Karya film bergenre science fiction pertama James Gray yang dikategorikan sebagai space thriller. Ad Astra adalah karya fenomenal yang memadukan ketidakterbatasan kosmos dengan pertanyaan abadi yang tidak memiliki jawaban sejati: “Apa yang tersembunyi dalam ruang yang hampa serta gelap tersebut?” Di minggu pertamanya, Ad Astra berhasil berada di posisi kedua dari sisi pendapatan secara domestik. Film yang telah ditayangkan di 3.460 studio ini berhasil meraih pendapatan sekitar 19,2 juta dolar atau sekitar 270 miliar rupiah. Menempatkannya pada posisi teratas Box Office Hollywood akhir pekan. Ad Astra ialah salah satu film penjelajahan luar angkasa yang menarik untuk diikuti, film ini menitikberatkan ceritanya pada karakter Roy McBride yang diperankan Brad Pitt. Film yang juga diproduseri olehnya ini berhasil ditayangkan perdana dalam Festival Film Venice. Film ini bercerita tentang Roy McBride, seorang astronot yang melakukan sebuah perjalanan luar angkasa dengan membawa tujuan menemukan ayahnya dan mengungkap suatu misteri. 16 tahun silam seorang astronot bernama Clifford McBride (Tommy Lee Jones) ayah dari Roy, dinyatakan hilang saat men60
VISI • EDISI 36 • 2019
jalankan misi yang bernama Proyek Lima misi itu bertujuan untuk mencari kehidupan canggih di luar angkasa. Peristiwa ini membuat Roy terobsesi dan memutuskan untuk mengejar karir sebagai angkasawan. Dalam perjalanannya ia mengalami fenomena The Surge, istilah bagi loncatan kosmik yang menghantam langit. Roy menjadi korbannya yang menyebabkan dirinya terlempar ke bumi dan tak sadarkan diri. Fenomena ini ternyata menyebabkan kehancuran di berbagai lokasi dan mengancam semua kehidupan di bumi. Suatu hari ada informasi yang beredar masuk dari atasan Roy, bahwa ada dugaan Clifford merahasiakan sebuah material dalam misinya di Proyek Lima. Material itu bisa merusak tatanan tata surya. Informasi ini akhirnya terdengar oleh Roy yang kemudian ditugaskan untuk menyibak misteri yang ada. Ada ciri yang khas dari film-film luar angkasa, pada umumnya kamu akan dipertontonkan pengalaman visual menarik seperti rasa mengawang-ngawang di ruang hampa. Lebih dari itu. Visual Ad Astra memanjakan mata, bagaimana tidak pergerakan kamera yang diberikan sangat berbeda dan James Gray begitu berani memainkan hal tersebut. Khususnya terasa pada di bagian pertempuran di bulan. Gerakan-gerakan senyap di luar angkasa yang digambarkan sangat indah. Visual luar angkasa yang biasanya gelap dan kemudian putih karena interior dan kostum astronot tetap ada. Namun ada pergerakan kamera yang akhirnya membuat film ini menjadi sangat menarik, warna-warna merah yang menampilkan ruang bawah tanah planet Mars juga dikemas dengan apik. Walau film ini memiliki alur permainan yang sama pelan dengan film bertema luar angkasa lainnya, namun Ad Astra menampilkan banyak kejutan bagi penontonnya, sulit rasanya untuk tidak membandingkannya dengan film lain yang berlatar di luar angkasa seperti Interstellar dan Firstman. Yang menarik adalah ketiga film itu memiliki kesamaan isu yang diangkat yaitu tentang fatherhood, yakni menggambarkan hubungan antara ayah dan anak. Karakter Roy mulai menyembunyikan kegelisahannya dari awal film. Brad Pitt berhasil memainkan kegelisahan dan kesendirian dalam satu waktu. Gestur tubuh, tatapan mata dan gaya bicaranya menggambarkan semua dengan sempurna. Taufik Ardiansyah S/Kine Klub FISIP
MUSIK
Memperingati Setahun Mantra-Mantra
ALBUM: Mantra-Mantra ARTIS: Kunto Aji Wibisono GENRE: Pop LABEL: Juni Records TAHUN: 2018 DURASI TOTAL: 45 menit PRODUSER: Ankadiov, Anugrah S., Barn M., Petra S., Stevano LAGU: Sulung, Rancang Rencana, Pilu Membiru, Topik Semalam, Rehat, Jakarta-Jakarta, Konon Katanya, Saudade, Bungsu
K
unto Aji Wibisono atau yang akrab dipanggil Kunto Aji, musisi solois berambut keriwil asal Yogyakarta yang lahir 32 tahun silam ini sudah tak asing lagi bagi para pendengar musik tanah air. Ia sendiri memulai karir nasionalnya melalui sebuah ajang pencarian bakat menyanyi “Indonesian Idol” di tahun 2008 silam meskipun pada saat itu ia hanya berhasil menyelesaikan kompetisi pada posisi keempat. Setelah keluar dari ajang pencarian bakat tersebut namanya belum santer terdengar kembali ke permukaan industri musik Indonesia. Momen munculnya nama Kunto Aji ke permukaan industri musik Indonesia adalah saat di mana ia meluncurkan single bertajuk Terlalu Lama Sendiri. Lagu tersebut sukses nongkrong lama di berbagai radio, televisi dan berbagai platform lain. Bahkan tercatat video klipnya sudah 17 juta kali dilihat. Kesuksesan single perdananya ini bukan sebuah aji mumpung yang datang tiba-tiba dari atas langit. Kunto Aji bercerita bahwa saat ia memutuskan untuk mengorbitkan single tersebut ia mempertaruhkan segala tabungan yang ia miliki. Sebuah pertaruhan yang amat berat untuk sebuah karir musisi yang sukses atau tidaknya tak ada orang yang tahu. Anggaplah jika lagu tersebut tidak pernah booming, maka kita hanya akan tahu nama Kunto Aji sebagai juara harapan Indonesian Idol. Buah dari suksesnya single pertama bermuara
pada menetasnya album debut Kunto Aji bertajuk Generation Y yang diluncurkan pada 17 Desember 2015. Selanjutnya mari melangkah ke pokok permasalahan. Konon, album kedua adalah momok bagi musisi. Bagaimana tidak, dari segi waktu pengerjaan album pertama memiliki waktu pengerjaan seumur hidup. Tapi ketika album pertama sudah rilis, musisi akan selalu terbayang akan pertanyaan: “Kapan album kedua rilis?” Secara tak langsung, ketika seorang musisi memutuskan untuk membuat sebuah karya, maka kontinuitas seorang musisi itu juga diuji. Kemudian dari segi kualitas tentu akan selalu dibentrokkan dengan album pertama. Seperti sebuah keharusan di mana album kedua harus lebih baik dari album pertama dari segala sisi. Hal ini yang akan menghantui album keduanya. Mantra-Mantra dirilis pada 14 September 2018, kurang lebih setahun yang lalu saat tulisan ini dibuat. Dari segi arah musiknya, Kunto Aji memutuskan untuk menyebrang dari yang sebelumnya industrialis menjadi idealis. Ide-ide yang diangkat dalam album ini berbeda jauh dengan album pertama di mana album ini lebih mengangkat masalah-masalah kehidupan yang dialami setiap orang seperti bagaimana kita mengapresiasi diri sendiri atas apa yang telah kita perbuat disaat apresiasi tidak datang dari orang lain seperti yang terdapat di lagu “Rehat”. Pada umumnya, karya seseorang selalu dikenang karena dirasa ide yang diangkat oleh musisi tersebut dekat dengan permasalahan yang dialami pendengar sehingga muncul anggapan “lagu ini aku banget”. Disaat industri disibukkan dengan lagu asmara romantis nan mendayu, Kunto Aji melihat lebih dalam tentang sebuah ide keresahan dari masalah kehidupan manusia yang sudah pasti dialami semua orang. Ide brilian tersebut tidak datang dari dirinya semata, di beberapa wawancara ia tuturkan bahwa ia meminta bantuan psikiater untuk menemukan inti permasalahan yang akan diangkat dalam tiap lagu di album tersebut. Pada akhirnya, album ini sudah diputar lebih dari 24 juta kali pada platform Spotify saat tulisan ini dibuat. Sebuah angka yang dapat menggantikan kata “sukses” dalam album kedua Kunto Aji ini. Sembari terus menikmati karya-karyanya, mari ucapkan selamat ulang tahun untuk album Mantra-Mantra, semoga panjang umur dan segera diberikan “adik” lagi. Albesya Iqbal VISI • EDISI 36 • 2019
61
62
VISI • EDISI 36 • 2019
VISI • EDISI 36 • 2019
63
64
VISI • EDISI 36 • 2019