Majalah VISI Edisi 35 "Eksistensi Warna Solo"

Page 1

Sejarah Kota dalam Ragam Corak • Campur Tangan Keraton Dalam Semarak Budaya Solo • Merangkai Harmoni Dalam Perbedaan

ISSN: 1410-0517

L P M V I S I . C O M • E D I S I X X X V • TA H U N 2 0 1 8

VISI

MUARA PEMIKIRAN KAMPUS

EKSISTENSI WARNA SOLO



EDITORIAL

Mengajak Melestarikan melalui Tulisan ini Beribu tahun silam, Keraton Kartasura mencari ibukota baru untuk kerajaannya. Pilihannya jatuh pada kota kecil di pedalaman Jawa Tengah. Kota Solo. Sejak saat itu, Keraton Kartasura pindah dan berubah menjadi Keraton Surakarta. Sebagai ibukota baru kerajaan, Solo dijadikan sebagai pusat pemerintahan Jawa. Kekuasaan keraton kemudian terpecah menjadi dua. Satu kekuasaan di Solo, dan kekuasaan lainnya berada di Yogyakarta. Berbeda dengan Yogyakarta yang mengagungkan keistimewaannya melalui Daerah Istimewa Yogykarta (DIY), Solo menampakkan keistimewaannya melalui keberagaman budaya yang dimiliki. Dengan mengusung slogan The Spirit of Java, Solo benar-benar ingin menjadi pusatnya Jawa. Solo ingin merepresentasikan budaya Jawa di mata nasional bahkan internasional. Kota ini terus melestarikan kebudayaan lokal. Inovasi-inovasi terus dilakukan demi mempertahankan keelokan budaya lokal. Beragam budaya disajikan dengan membaurkan kearifan lokal dan kemajuan zaman. Melalui acara-acara budaya seperti Solo Batik Carnival, Solo International Performing Arts (SIPA), dan lain sebagainya, mampu menarik wisatawan untuk berkunjung dan menikmati kreasi putra-putri bangsa. Budaya Jawa kental juga masih lestari di Kota Solo. Perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan bunyi gamelan selama tujuh hari penuh, dan acara sacral penyucian benda pusaka merupakan salah satu upaya untuk

LPM VISI FISIP UNS Sekretariat LPM VISI Gedung 2 Lt. 2 FISIP UNS Jl. Ir. Sutami No. 36A Surakarta 57126

menonjolkan citra budaya yang terus eksis di tengah arus global yang kian menggerus kearifan lokal di mata generasi penerus. Dengan anggapan itulah, VISI menjatuhkan pilihan untuk mengangkat kebudayaan sebagai tema majalah edisi ini. Dengan menghabiskan segala ide dalam otak dan mengursa seluruh tenaga yang ada, VISI tidak dapat disandingkan dengan berbagai media terkenal yang telah lama menghasilkan karya dengan beragam penghargaan. Namun tak salah bila VISI mencoba untuk menggapai tujuan yang sama, meski level yang tak sebanding bagai danau dan laut. Memiliki iklim ramah dan budaya yang kental, VISI menjadikan hal tersebut sebagai landasan dalam membuat karya yang penuh kecacatan ini. Dipilihnya Kota Solo sebagai landasan dalam mengulik kebudayaan, juga membuat penulis berharap bahwa tulisannya dapat mengedukasi dan mengingatkan tentang kebudayaan itu sendiri. Semoga setelah membaca hingga lembar terakhir, kepala yang menghadap keatas bisa mengamini pikiran kami, bahwa kebudayaan adalah jati diri dari setiap makhluk yang berjalan di dunia yang fana ini. Salam, Redaksi LPM VISI

redaksilpmvisi@gmail.com

@LPM_VISI

lpmvisi

www.lpmvisi.com

lpmvisi.com

@gwi5930m

Redaksi LPM VISI menerima kritik, tulisan, dan karya lainnya. Artikel, karya sastra, maupun tulisan lain yang telah masuk ke redaksi, menjadi hak penuh kami untuk diedit tanpa mengubah esensi. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan pengutipan pernyataan, Redaksi LPM VISI menerima hak jawab sesuai UU Pers No. 40 Th.1999 Pasal 1 Ayat 1.

VISI • EDISI 35 • 2018

3


DAFTAR ISI PEMIMPIN REDAKSI Kurniandi Darmawan Al Rasyid REDAKTUR PELAKSANA MAJALAH Nabilah Puspita EDITOR Banyu Visandi Pangestu, Kurniandi Darmawan Al Rasyid, Nabilah Puspita, Widyadewi Metta, Yuni Pri Antini REPORTER Ade Uli, Aprilia Ningsih, Ainaya Azkabening, Anggi Alfionita, Anggytha Putrie, Ayunindya Zainab A., Banyu Visandi P. Dea Putri Krisanti, Dela Novita, Dian Anggita Pratiwi, Dita Annisa, Ditya Lestari, Febrian Alif S., Ghozi Alwandria, Hanif Wida, Kurniandi Darmawan A. R., Laila Mei Harini,Mardatilana Aini, Meilly Aindini, Nabilah Puspita, Rachma Dania, Rifki Rositasari, Reni Dwi Pratiwi, Siswidiyan Kusumaningsih, Ulfah Almunawaroh, Yuni Pri Antini

Sejarah Kota dalam Ragam Corak dan Guratan Cerita

LAPORAN UTAMA

Campur Tangan Keraton dalam Semarak Budaya

LAPORAN UTAMA

FOTOGRAFER Febrian Alif Shalahuddin

8

14

PENELITIAN & PENGEMBANGAN Bidang Penelitian & Pengembangan LAYOUT & SAMPUL Banyu Visandi Pangestu ILUSTRASI Banyu Visandi Pangestu, Diah Nur Indah Yuliana, Laila Mei Harini, Nurmaya Sinta Permatasari IKLAN Bidang Usaha

Campur Tangan Komunitas dalam Gelaran Kegiatan Kota

LAPORAN UTAMA

20

PRODUKSI & SIRKULASI Bidang Usaha

Kepengurusan LPM VISI 2017-2018: PELINDUNG: Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si | PEMBIMBING: Sri Hastjarjo, S. Sos., Ph.D | PEMIMPIN UMUM: Laila Mei Harini | SEKRETARIS UMUM: Dita Annisa Puspaningtyas | STAF DEPARTEMEN KOMUNIKASI INTERNAL: Ika Agustina | STAF DEPARTEMEN ADMINISTRASI: Rif’atush Sholihah | BENDAHARA UMUM: Mardatilana Aini Kurnia | STAF BENDAHARA UMUM: Irma Santika Nugroho | PEMIMPIN REDAKSI: Kurniandi Darmawan Al Rasyid | REDAKTUR PELAKSANA MAJALAH: Nabilah Puspita | REDAKTUR PELAKSANA BULETIN: Erna Wati | REDAKTUR PELAKSANA PORTAL ONLINE: Widyadewi Metta Adya Irani | REDAKTUR PELAKSANA FOTO & DESAIN TERBITAN: Banyu Visandi Pangestu | PEMIMPIN USAHA: Rachma Dhania | STAF DEPARTEMEN IKLAN: Ghalang Chandra | STAF DEPARTEMEN PENGGALIAN DANA MANDIRI: Arif Miftah | STAF DEPARTEMEN PRODUKSI & SIRKULASI: Pitaloka Kusuma Palupi | PEMIMPIN PENELITIAN & PENGEMBANGAN: Yuni Pri Antini | STAF DEPARTEMEN PENDUKUNG TERBITAN: Ade Uli | STAF DEPARTEMEN PEWARCANAAN EKSTERNAL: Diah Nur Indah Yuliani | PEMIMPIN KADERISASI: Nurmaya Sinta Permatasari | STAFF DEPARTEMEN SKILL & LEADERSHIP: Syamsiyah Kulabuhi | STAFF DEPARTEMEN KAJIAN & DISKUSI: Ghozi Alwandria

4

VISI • EDISI 35 • 2018


SOSOK Pendobrak Seni dengan Gaya Baru

42

LAPORAN KHUSUS Festival Kuliner Rakyat, Merah Putih Awal Kehidupan

SEKAKEN Harmoni Budaya dalam Kampus

47

Menilik Lemah Lembutnya Kota Solo

LAPORAN KHUSUS

VISI BERTANYA

EDITORIAL SURAT PEMBACA INFOGRAFIS POTRET DETAK

59

Merangkai Harmoni Dalam Perbedaan

Menjaga Warisan Budaya dengan Mendekatkan Seni pada Masyarakat

3 6 32 36 39

28

LAPORAN KHUSUS

SPEKTRUM Ajari Yang Muda Untuk Melestarikan

52

24

51 57 61 63 67

PUISI REFLEKSI

64 68 69

MUSIK FILM

CERPEN PODIUM BUKU VISI • EDISI 35 • 2018

5


Tolong Benahi Fasilitas Kampus Oleh: Wahyu Yulianto Mahasiswa Administrasi Negara 2016

M

enginjak tahun ketiga kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNS, saya merasa tak ada perbaikan fasilitas yang sudah buruk. Mengingat, hal tersebut sebagai penunjang kegiatan belajar mengajar, lantas bukan berarti hal tersebut tidak perlu dievaluasi. Fasilitas yang selalu dipandang sebelah mata, seharusnya harus diutamakan. Selain materi yang relevan dengan perkembangan zaman, fasilitas kampus juga harus memadai demi mendukung kelancaran kegiatan selama dikampus. Hal yang sering saya temui, yakni pada alat pendingin ruangan dan proyektor yang kondisinya entah terbengkalai atau memang tidak digubris keadaanya. Beberapa kasus yang menurut saya tergolong kategori parah adalah pada beberapa ruang kelas, alat pendingin ruangan justru tidak berfungsi atau mengeluarkan suara bising yang sangat mengganggu saat perkuliahan diadakan. Selain itu saya juga pernah menemui juga di beberapa ruangan lainnya, proyektor untuk menampilkan materi oleh dosen juga kurang baik. Terkadang perlu langkah manual dalam pengaktifan proyektor tersebut. Langkah manual yang dilakukan, dengan menaiki salah satu kursi dan menekan tombol power pada proyektor. Selain kedua masalah tersebut, di beberapa titik di FISIP juga dalam proses pembangunan toilet dan pembenahan ruang kelas. 6

VISI • EDISI 35 • 2018

Hal ini, menurut saya terkadang menganggu kegiatan perkuliahan, karena suara palu yang menghantam tembok serta suara mesin pemotong ubin juga sering menimbulkan suara yang tidak mengenakkan. Padahal menurut saya, beberapa ruangan kelas yang sedang dibenahi, malah kondisinya masih layak digunakan, sehingga seharusnya tidak perlu dibenahi total. Seharusnya beberapa kelas yang lebih parah, dibenahi terlebih dahulu. Saat saya ingin mengadukan keluhan perihal fasilitas, pada petugas ruang transit yang biasanya digunakan untuk membuka ruang kelas, yang saya dapat hanya jawaban ngambang tanpa ada kejelasan kapan akan dibenahi. Sangat disayangkan, jika para petugas ruang transit tidak mengetahui hal tersebut, padahal jika terdapat informasi yang jelas tentang pembenahan fasilitas, maka akan saya apresiasi dan sabar menunggu hal tersebut hingga terrealisasi. Jadi intinya, demi mencapai kegiatan belajar mengajar yang optimal, saya berharap adanya pembenahan atau perbaikan fasilitas kampus yang signifikan. Hal ini nantinya akan sangat membantu baik dari segi kenyamanan maupun penyampaian materi oleh dosen, sehingga tidak terhambatnya kegiatan tersebut.


SURAT PEMBACA

Kurangi Konsumsi Air SPAM Oleh: Prasetio Aji Nugroho Mahasiswa Fakultas Hukum 2016

A

wal masuk ke Universitas Sebelas Maret (UNS), saya tercengang dengan adanya air minum gratis yang disedikan oleh pihak kampus. Biasa disebut dengan Air SPAM (Sistem Pengolahan Air Minum), saya dulu tertarik untuk menggunakannya tanpa ada rasa curiga ataupun canggung. Meski berbeda dengan air mineral pada kemasan, ya seharusnya saya sudah cukup bersyukur telah disediakan fasilitas air minum oleh kampus. Selain saya, saya juga pernah melihat beberapa mahasiswa lain yang menggunakan fasilitas tersebut. Terkadang saya juga menemukan mahasiswa yang membawa botol berukuran besar untuk diisi dengan Air SPAM tersebut, lalu dibawa pulang. Setelah beberapa waktu, ada perubahan yang terjadi dengan fasilitas tersebut. Mulai dari perubahan warna, rasa, dan bau. Mulai dari situ, saya mengurangi untuk mengkonsumsi Air SPAM tersebut. Semenjak itu, saya mengikuti perkembangan dari fasilitas “air gratis� ini. Pada waktu liburan semester, saya sempat melakukan kegiatan di kampus, lalu terbesit dipikiran saya untuk melihat perkembangan air SPAM. dan setelah saya lihat, air tersebut malah tidak berfungsi secara normal, bahkan tidak mengeluarkan air sama sekali. Dengan alasan tersebut, saya mencoba melihat alat air SPAM di beberapa lokasi lain di kampus. Lantas hal yang sama juga saya alami di lain tempat. Air tersebut tidak merjalan dengan

baik bahkan tidak berfungsi sama sekali. Saat memasuki semester baru, saya mencoba untuk menggunakan fasilitas tersebut. hasil yang saya dapat bahkan lebih buruk dari yang sebelummnya. Dengan alasan tersebut, saya berhenti untuk menggunakan fasilitas air SPAM. Meski begitu, saya ingin melihat bagaimana kelanjutan dari air SPAM. Setelah melihat beberapa berita online mengenai air SPAM, fakta yang saya dapatkan adalah kandungan dari air SPAM milik UNS, yakni sebesar 469 ppm. Mungkin, beberapa orang masih asing mendengar hal tersebut. angka tersebut memiliki makna bahwa baku mutu air minum milik SPAM UNS, yakni sebesar 469 ppm. Hal ini cukup mengejutkan. Padahal baku mutu air minum di Eropa, tidak lebih dari 40 ppm. Perbandingan yang sangat jauh. Dengan melihat angka tersebut, semakin menambah keyakinan saya untuk tidak mengkonsumsi air SPAM yang telah disediakan oleh kampus. Apalagi semakin kesini, kondisi semakin parah dengan kurang terawatnya alat untuk menyalurkannnya dan kondisi air yang semakin buruk. Mungkin dengan ini dapat menjadi evaluasi bagi pihak kampus, untuk selalu membenahi dan memantau fasilitas yang ada serta selalu menerima saran dan masukan dari civitas akademika sebagai target dari fasilitas tersebut.

VISI • EDISI 35 • 2018

7


Sejarah Kota dalam Ragam Corak dan Guratan Cerita Solo, kota yang didapuk sebagai kota budaya, menanggung beban berat untuk mempertahankan budaya asli sesuai pakem-pakemnya. Solo pun dituntut untuk mampu berinovasi agar eksistensi ragam warisan leluhur tidak pudar dimakan zaman.

8

VISI • EDISI 35 • 2018


LAPORAN UTAMA

SOLO BATIK CARNIVAL - Salah satu finalis yang tampil pada gelaran acara Solo Batik Carnival. Pada puncaknya biasanya ditampilkan beberapa kontestan yang melenggang mengenakan kostum buatannya sendiri termasuk yang bernuansa batik. (Dok.Pribadi)

VISI • EDISI 35 • 2018

9


B

atik, warisan budaya yang telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Non-bendawi (Masterpiece of The Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi, menjadi salah satu bukti bahwa kepemilikan batik telah diakuisisi. Kota Solo mendapat kehormatan untuk menjadi salah satu rumah dari ikon bangsa tersebut. “Sejarah mencatat, batik Solo mulai berkembang setelah adanya perpecahan kekuasaan antara Keraton Ngayogyakarta dan Surakarta yang ditandai dengan adanya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Namun, pada awal abad 20, terjadi monopoli pada industri batik oleh pedagang keturunan Tionghoa serta Belanda. Juragan batik yang mayoritas pribumi pun dibuat kelimpungan. Dari situlah, Rekso Rumekso−Organisasi Masyarakat (Ormas) yang dididirikan oleh KH Samanhoedi di Laweyan−berkembang pesat dan menjadi salah satu masa kejayaan Batik Solo. Hampir sepanjang tahun, perhelatan bertajuk budaya tak henti-hentinya diadakan. Mulai dari Grebeg ala keraton hingga festival yang digelar Pemerintah Kota (Pemkot) Solo. Sebagai kota yang didapuk menjadi rumah batik, Solo tak berhenti berbenah dan berinovasi. Beragam ornamen batik dapat kita temukan di beberapa jalanan kota, hotel, hingga gedung-gedung perkantoran di Solo. Agar lebih semarak, Pemkot Solo pun menggelar perhelatan besar tahunan bertajuk Solo Batik Carnival (SBC). Perhelatan yang digadang-gadang menjadi ajang mempromosikan batik sebagai ikon Kota Solo tersebut pertama kali diselenggarakan pada tahun 2008. Diprakarsai oleh Ir. Susanto dan Pemkot Solo, SBC menjadi pergelaran yang mengkreasikan batik−sebagai warisan budaya leluhur−menjadi sebuah mahakarya busana dengan beragam model dan corak. Grand Festival dalam SBC menjadi ajang yang paling ditunggu-tunggu untuk menyaksikan para peraga busana melenggang dengan balutan kreasi busana batik di sepanjang Jalan Slamet Riyadi dengan iringan musik gamelan. SBC pun selalu terselenggara dengan sukses di setiap tahunnya. 10

VISI • EDISI 35 • 2018

Batik merupakan suatu budaya. Secara harfiah, budaya akan terus berkembang. Seorang pemerhati budaya, Sugiyanto, membenarkan bahwa budaya akan terus berkembang. Namun, laki-laki yang akrab disapa Mbah No tersebut menjelaskan bahwa budaya akan terus berkembang, namun terdapat pakem-pakem yang tak boleh ditinggalkan, begitu pula dengan batik. “Setiap motif batik itu mengandung petunjuk, pengharapan, dan pawibawan. Kapan akan dipakai, siapa yang memakai, semua ada maksud dan tujuannya,” sambung Mbah No.


BATIK PANDONO - Seorang pria melukis batik produksi Pandono menggunakan canting, terlihat warna-warni yang menyala begitu menarik (Dok.Pribadi)

Dibalik gegap-gempita perhelatan batik berkelas internasional seperti SBC, rupanya meninggalkan tanda tanya bagi pengrajin batik konvensional. Eko Margiyono, selaku Humas Batik Mahkota di Kampung Batik Laweyan, pun angkat bicara. “SBC gak ngefek dalam hal, baik dari sisi edukasi, tidak jalan. Sekarang itu orang awam hanya menganggap batik sebagai motif dan kita ingin batik dihargai sebagai proses.” Ujarnya ketika diwawancara VISI. Keresahan itu pun ditangkap oleh Mbah No

selaku pemerhati budaya sekaligus Abdi Dalem Keraton Surakarta. Ia menuturkan bahwa seharusnya SBC dapat mengedukasi sekian banyak pengunjung yang hadir. Baik dari pengenalan motif, karakter kain, cara penggunaan, hingga siapa saja yang boleh menggunakannnya. Lebih lanjut, Mbah No menyebutkan, penyelenggaraan SBC tidak sesuai dengan tatanan karena terkesan mirip dengan branding Kota Banyuwangi yang memiliki konsep serupa. “Seharusnya ada kontribusi untuk membuat

VISI • EDISI 35 • 2018

11


dan melestarikan batik,” ujar Mbah No. Sariyatun, Kepala Program Studi Magister Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS), memiliki pandangan yang berbeda. Ia berpendapat, pada sektor ekonomi, batik klasik hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu. Selain dikarenakan harganya yang terlampau tinggi, batik klasik tidak dapat digunakan secara sembarangan. Lain halnya dengan bidang akademik, pengenalan batik dapat dijumpai pada identitas seragam pelajar di Kota Solo. “Motif kawung digunakan untuk seragam SMP Negeri 1 Surakarta, kemudi12

VISI • EDISI 35 • 2018

an SMP Negeri 2 Surakarta menggunakan motif wahyu tumurun,” jelas Sariyatun. Menanggapi beragam komentar mengenai SBC, Aditya Putra Pratama, selaku Koordinator Pusat Media dan Informasi SBC, menyampaikan bahwa kini banyak dari peserta SBC yang menjadi pengrajin kostum batik. Tak hanya membuatkan kostum untuk calon peserta SBC saja, mereka juga menerima pesanan dari berbagai kota. Pria yang akrab disapa Bang Nemmo ini pun menjelaskan bahwa SBC memiliki ciri khas yang berbeda dari kota-kota lainnya. Keunikan SBC terletak pada


MEWARNAI BATIK - Tahap yang penting dalam pembuatan batik adalah mewarnainya dengan agar tampil menarik. Tampak seseorang mewarnai batik menggunakan Canting Cap. (Dok.Pribadi)

sulur yang biasa tersemat pada pinggang serta ukiran motif batik pada sayap-sayapnya. “Karena untuk kepentingan pariwisata dan biasanya desainer cenderung suka batik kontemporer. Kalau motif klasik kan warnanya seperti itu (monoton –red) jadi kurang up to date,” ujar Sariyatun. Ia pun mengungkapkan bahwa SBC dapat membawa penonton untuk mengenal Batik. Terlepas dari pro-kontra tentang SBC, usaaha Pemkot Solo memang pantas diapresiasi. Perhelatan SBC, yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2008, telah menjadi ajang berkumpulnya insan kreatif dari berbagai wilayah. Melalui SBC, pemerintah pun mampu

men-ggiatkan pemuda Solo untuk turut berpartisipasi. “Kita harus mempertahankan karakteristik dari batik klasik namun dapat diberi sentuhan-sentuhan inovasi. Perlu ada sinergi antara pengrajin, desainer, dan pihak penyelenggara,” pungkas Sariyatun. Atta, Dian, Meilly

VISI • EDISI 35 • 2018

13


Campur Tangan Keraton dalam Semarak Budaya Menilik Kota Solo lebih jauh beserta semarak budayanya yang masih hidup di tengah masyarakat, tentu tak lepas dari kiprah dan sejarah adat Keraton Surakarta. Bagaimana asalusul budaya Kota Solo hingga proses pelestariannya yang hingga detik ini masih dilaksanakan?

14

VISI • EDISI 35 • 2018


LAPORAN UTAMA

JINGGO SOBO - Penampilan sanggar seni Jinggo Sobo (Banyuwangi) pada gelaran Solo International Performing Arts (SIPA) 2017. SIPA digagas oleh seniman dan koregrafer tari yang juga seorang penari tetap Istana Mangkunegaran Keraton Surakarta, Raden Ajeng Irawati Kusumorasri. (Dok.VISI/Laila)

VISI • EDISI 35 • 2018

15


S

ebagai kota yang dijuluki ‘The Spirit of Java’, Solo kerap kali disangkutpautkan dengan segala hal yang berbau Jawa. Slogan yang mengandung arti “Solo merupakan jiwanya Jawa”, dapat dikatakan bahwa Kota Solo adalah representasi dari Jawa, baik dari segi ciri khas budaya, pakaian, hingga unggah-ungguh masyarakatnya. Kota Solo yang telah berdiri lebih dari 250 tahun ini memiliki rekam jejak yang terkandung di pelbagai aspek sosial. Sejarah kebudayaan masih kental terlihat di bangunan-bangunan tua yang memenuhi sudut kota. Kita dapat melihat gapura khas dengan Radya Laksana di beberapa lokasi terutama daerah yang berdekatan dengan Keraton Surakarta. Radya Laksana yang berarti Jalan Negara merupakan makna harfiah dalam konsep-konsep menjalankan negara yang dalam hal ini dari zaman kerajaan hingga perkembangan budaya Kota Solo dijalankan oleh Keraton Surakarta. Semarak budayanya pun tak diragukan lagi, melihat rentetan event budaya yang membanjiri Kota Solo di sepanjang tahunnya. Hal ini kemudian menjadi perbincangan mengenai peran keraton itu sendiri, dalam melestarikan budaya yang ada. Hal ini turut disampaikan pula oleh Tundjung Wahadi Sutirto, selaku dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (FIB UNS) yang menjelaskan mengenai eksistensi keraton. Bahwa Keraton pada masa pra kemerdekaan RI adalah sebuah Praja Kejawen yang mempunyai kekuasaan politik. Keraton Praja Kejawen adalah sebuah negara dengan warga negaranya yang disebut kawuladalem (masyarakat). “Tetapi, dukungan terhadap pelestarian budaya keraton masih berlangsung sampai saat ini. Misalnya, dalam hal pemakaian busana adat Jawa dalam pernikahan adat,” terangnya kepada VISI. Antara yang menguasai dan dikuasai sangat jelas hubungannya, termasuk dalam hal ini 16

VISI • EDISI 35 • 2018

adalah kebudayaanya. Wujud kebudayaan keraton menjadi acuan, dalam tata kehidupan dan pergaulan warga negara. Misalnya, dalam hal penaggalan untuk setiap peringatan upacara adat mengacu pada tanggal yang dikeluarkan oleh keraton. Dalam perkembangannya, keraton tak lagi menjadi pusat kekuasaan politik. Mengingat pasca kemerdekaan, keraton hanya menjadi entitas budaya. Masyarakat tidak lagi mengacu kepada kebudayaan keraton sebagai satu-satunya acuan untuk pergaulan dan tata hidup bermasyarakat. Dominasi kebudayaan masih dipegang oleh


FASHION UMBRELLA - Salah satu pertunjukan Fashion Umbrella (Wastra Sumba mahakarya Dian Oerip) dalam Festival Payung Indonesia di keraton Mangkunegaran, Solo. (Dok.Pribadi)

keraton di masa lalu, dimana keraton mendapat julukan the great tradition (tradisi agung), yaitu perspektif yang berkembang di masyarakat bahwa budaya keraton yang dianggap budaya unggul. Sedangkan budaya yang berkembang di masyarakat dianggap little tradition (tradisi kecil), kurang lebih seperti ini yang dipaparkan oleh Tunjung.

Keraton Sebagai Sumber Budaya Itu Sendiri

Dalam kesehariannya, keraton memang tak

lepas dari penggiat keraton atau abdi dalem yang setia menjalankan detak hidup keraton itu sendiri. Bagaimana campur tangan keraton dalam setiap kegiatan budaya maupun sebagai pihak pelaksana, sudah pasti hal ini bersangkutan. Abdi dalem yang menjabat sebagai Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta, Kanjeng Pangeran (KP) Aryo Winarno Kusumo atau akrab disapa Kanjeng Winarno turut memberikan penjelasannya tentang peran keraton dalam sosial masyarakat. VISI • EDISI 35 • 2018

17


Sampai sekarang, masyarakat masih meyakini bahwa keraton Surakarta itu sumbere budaya. Mengingat sudah adanya sanggar pasar panengguoro, tari, tembang jowo, masih.� Jelasnya. Melihat pagelaran hajat mantu salah satu cucu Paku Buwono XII, yaitu B. R. Aj Dyah Ayuningrum pada 2015 silam, royal wedding ala keraton ini menjadi bukti bahwa budaya keraton masih lestari dan belum mati tergerus arus modernisasi. Pernikahan adat tersebut dilakukan kirab temanten dengan menggunakan kereta pusaka milik keraton Solo dengan diiringi prajurit keraton berpakaian seragam lengkap. 18

VISI • EDISI 35 • 2018

Melihat pesatnya perkembangan zaman yang sebagian orang terus dimanjakan dengan kemodernan, kemudian muncul pertanyaan: sampai kapan ritual budaya yang terbungkus dalam kehidupan keraton ini bertahan? Tunjung menambahkan bahwa keraton saat ini berfungsi sebagai lembaga budaya yang kiprahnya sebagai lambang kebudayaan Jawa masa lampau. Keraton berperan menjaga nilai-nilai kebudayaan yang pernah ada, dan diekspresikan sesuai dengan kondisi saat ini. Keraton memerankan fungsi lembaga pelestari kebudayaan. Tujuannya, untuk


partisipasi para prajurit keraton untuk mengamankan jalannya kirab. Dimulai dari venue karaton Hadiningrat Surakarta yang kemudian dilanjutkan dengan menyambangi jalanan kota Solo. Menurut Nur Wahid Rizki, selaku mahasiswa yang sering memperhatikan acara-acara budaya di Solo membenarkan hal tersebut. Andil keraton dalam setiap kegiatan budaya memang begitu jelas. “Seperti gerebeg, kirab Solo kan merupakan event budaya yang juga digalakkan oleh keraton Solo. Ini menunjukan partisipasi keraton dalam melestarikan budaya yang ada di kota Solo kan,” pungkasnya. Selama manfaat pelestarian kebudayaan keraton itu dapat dirasakan oleh masyarakat, maka untuk selanjutnya akan tetap dilestarikan. Setidaknya, setiap pergelaran tradisi keraton masih punya pengaruh efek berkelanjutan. Seperti meningkatnya kunjungan wisatawan, kemudian bisnis akomodasi seperti hotel, dan dampak ekonomi terhadap kota Surakarta masih akan terjadi. Dalam hal ini Tundjung juga menambahkan bahwa event yang diselenggarakan keraton masih dapat dikembangkan lagi kemudian dijadikan sebagai pedoman event budaya lain. “Misalnya, setiap peringatan adeging Karaton Surakarta dapat digelar berbagai event pendukung dari masyarakat dan pemerintah kota dalam sebuah wadah peringatan bersama.” mengintegrasikan para pendukung kebudayaan keraton yang tidak lain adalah kerabat besar Keraton Surakarta dalam melestarikan nilai-nilai luhur yang pernah ada.

Ayunindya, Laila, Rian

Andil Keraton di Setiap Gelaran Budaya

Kini setiap acara budaya di Solo dengan mudahnya dapat dinikmati oleh masyarakat yang ada, seperti contohnya kirab malam satu sura, kiran pusaka dalem, dan lain sebagainya, setiap arak-arakanya disertai dengan VISI • EDISI 35 • 2018

19


Campur Tangan Komunitas dalam Gelaran Kegiatan Kota Sepanjang Jalan Slamet Riyadi dipadati ribuan manusia. Semakin malam, semakin gemerlap saja lampu-lampu dari deretan panggung dan kerlap-kerlip dari hiasan kepala pengunjung. Tepat tengah malam, terdengar sahut menyahut suara gong yang dipukul. Malam itu, masyarakat Solo bersukacita menyambut pergantian tahun.

20

VISI • EDISI 35 • 2018


LAPORAN UTAMA

CAR FREE NIGHT - Pemukulan gong oleh salah satu perwakilan dari kelurahan Joyosuran dalam gelaran perayaan pergantian tahun di Car Free Night. (Dok.VISI/ Yuni)

VISI • EDISI 35 • 2018

21


N

Memulai tahun 2018 saja, Kota solo telah diawali dengan gelaran tahunan Car Free Night pada Minggu (31/12/2017) malam hingga Senin (01/01/2018) dini hari. Peringatan tahun baru 2018 yang dimeriahkan dengan pemukulan 75 gong dari berbagai komunitas budaya di Kota Solo ini, menjadi daya tarik tersendiri dari Kota Solo.

Car Free Night, bukan satu-satunya gelaran akbar yang dinantikan masyarakat Kota Solo. Ada sederet perhelatan tahunan lain yang tidak kalah meriah, misalnya bertepatan dengan peringatan berbagai hari besar. Salah satunya Grebeg Soediro yang telah ada sejak tahun 2007, yang digelar untuk memperingati perayaan tahun baru Imlek. Gelaran tersebut menjadi akulturasi kebudayaan masyarakat Jawa dengan kebudayaan Etnis Tionghoa. Ada pula Kirab Satu Suro yang diselenggarakan setiap satu Muharam di setiap tahunnya. Peringatan ini diselenggarakan oleh keraton kasunanan Surakarta, berupa iring-iringan Kebo Bule -kerbau yang di keramatkan, yang dianggap dapat membawa berkah dan keselamatan hidup. Sebagai kota dengan kebudayaan yang kental, berbagai acara yang diselenggarakan di Kota Solo tidak lepas dari segala bentuk kebudayaan. Dari musik, tari, batik, hingga kulinernya, Kota Solo menyajikan berbagai pilihan kemasan seni dan budaya. Gelaran Solo Internasional Performing Art (SIPA) misalnya, mengemas kebudayaan dalam pagelaran yang megah. Setiap tahunnya SIPA menghadirkan berbagai seni dan budaya dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari mancanegara. Bagi pecinta kuliner, Solo Indonesia Culinary Festival menyediakan berbagai pilihan kuliner tradisonal yang tidak hanya kuliner khas Kota Solo, namun juga beragam kuliner khas dari segala penjuru Nusantara. Selain untuk menarik wisatawan ke Kota Solo, gelaran ini juga menjadi wadah bagi penggiat Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang bergerak dibidang kuliner tradisional. Selain itu, ada pula Festival Jenang Nusantara yang menjadi 22

VISI • EDISI 35 • 2018

surga bagi para pecinta jenang. Bukan hanya jenang khas Kota Solo yang dihadirkan, jenang khas dari berbagai daerah lain di Indonesia juga menjadi buruan pengunjung festival ini. Selain gelaran tahunan, terdapat pula gelaran-gelaran yang diselenggarakan oleh komunitas-komunitas budaya di Kota Solo. Salah satu komunitas yang aktif menghadirkan gelaran seni dan budaya di Kota Solo adalah Bentara Budaya Balai Soedjatmoko. Menempati bekas kediaman Dr Saleh Mangudiningrat (1888-1952), Bentara Budaya Balai Soedjatmoko menjadi ruang bagi banyak perhelatan serta apresiasi seni dan budaya di Kota Solo. Disana, disajikan seni dalam berbagai jenis dan bentuk, baik pertunjukan, pameran maupun musik. Dari namanya sebagai Bentara Budaya-yang artinya utusan budaya Balai Soedjatmoko juga menghadirkan seni dan kebudayaan tradisional seperti klenengan, macapatan, serta sesekali menggelar pertunjukan tari. “Seni mungkin luas ya, kita tidak menentukan atau mengkategorikan masing-masing, karena di balai ini kan ada pameran, ada acara musik yang menjurus ke anak muda (seperti -red) blues, jazz� sebut Aryani Kusumastuti Wahyu Lestari, Pengelola Bentara Budaya Balai Soedjatmoko saat ditemui VISI (09/08).


KLENENGAN SELASA LEGEN - Gelaran budaya di Bentara Budaya Balai Soedjatmoko yang diselenggarakan rutin dua bulan sekali menampilkan Karawitan Bengawan Laras dari Kota Solo, Senin (22/10). (Dok.Pribadi)

Balai Soejatmoko menyediakan wadah bagi banyak seniman dan komunitas seni di Kota Solo untuk tetap dapat berkarya. Yani menyebutkan, pihaknya aktif bekerjasama dengan berbagai komunitas seni dan budaya di Kota Solo. Biasanya mereka memiliki tim curator tersendiri yang mencari komunitas-komunitas untuk diajak bekerja sama. Yani menyebutkan bahwa bentara budaya merupakan lembaga non-profit, yang tidak menarik bayaran secara formal. Meskipun kerap terjadi keterbatasan dana, komunitas-komunitas atau seniman yang bekerjasama dengan Balai Soedjatmoko tetap merespon dengan baik keberadaan mereka. Menurutnya masalah pendanaan dapat didiskusikan diantara kedua belah pihak. Banyaknya deretan gelaran seni yang diselenggarakan Soedjatmoko, membawa macam-macam cerita dibaliknya. Yani menceritakan, ketika masa-masa awal Balai Soedjatmoko berdiri, jumlah penonton masih sangat sedikit. “Misalkan awal Keroncong Bale pertama kali dibikin. Kita perhatikan yang datang ya ituitu saja” tuturnya. Keroncong Bale adalah salah satu pertunjukan rutin Bentara Budaya Balai Soedjatmoko pada Selasa, pekan ketiga di setiap bulannya.

Namun Yani juga tidak dapat memetakan antusiasme penonton hanya dari sekedar jumlah. Menurutnya seni bisa sangat tersegmentasi. Kota Solo yang memiliki banyak pilihan gelaran budaya, juga menyebabkan terjadinya fluktuasi pada jumlah penonton. “Solo kan kota event ya, sering kali event kita bersamaan (dengan event lain di Kota Solo -red)” imbuhnya. Walau begitu tidak jarang ruang yang disediakan Balai Soedjatmoko menjadi penuh sesak oleh pengunjung. Keterbatasan dana, hingga jumlah pengunjung yang fluktuatif tidak lantas menjadi hambatan bagi Bentara Budaya Balai Soedjatmoko untuk terus menyediakan wadah bagi kehidupan seni dan budaya di Kota Solo. Yani mengakui, bertemu dengan orang-orang baru dengan berbagai karakteristiknya, justru membuatnya menikmati apa yang ia kerjakan. “Karena seni kan dari hati, kalau sudah dari hati tidak sulit, karena kita senang. Kalau bicara tentang seni itu hiburan. Kita (Bentara Budaya Balai Soedjatmoko -red) berusaha bahwa kita adalah pelayanan.“ pungkasnya. Bening, Dela, Yuni

VISI • EDISI 35 • 2018

23


Eko Supriyanto

Pendobrak Seni Dengan Gaya Baru

T

erik yang menyengat kala itu terasa biasa saja, meski matahari seperti di ujung kepala. Lama menanti, suara deru sebuah mobil menghampiri tempat motor kami terparkir, lantas keluarlah sosok berpakian serba hitam. Eko Supriyanto, begitulah nama lengkap dengan sosok berpakaian serba hitam tersebut.

Eko Supriyanto atau yang kerap disapa Eko Pece merupakan seorang penari, koreografer sekaligus dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Jenis tarian yang menjadi fokus beliau saat ini adalah tari kontemporer dengan dasar tarian tradisional Jawa yang dimilikinya. Ia menawarkan pola-pola baru dalam karyanya dengan mendiskusikan serta mengembangkan tarian tersebut tanpa menghilangkan akar tradisinya. Ia juga salah satu tangan jenius dibalik upacara pembukaan dan penutupan Asian Games 2018 yang melibatkan hampir 2000 penari, serta membuat decak kagum penonton tak hanya dari dalam negeri tetapi juga mancanegara. Pada mulanya, pria kelahiran Banjarmasin tersebut masuk ke dunia seni atas paksaan sang kakek. Di usianya yang ketujuh, Eko mulai mempelajari silat dan tarian Jawa dari sang kakek. Hingga pada saat kakeknya meninggal ia memutuskan untuk tetap menari dan melanjut24

VISI • EDISI 35 • 2018

kan silat. Ia bercerita tentang pengalamannya, dirinya sempat mendapatkan stereotip buruk tentang penari laki-laki saat duduk dibangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Ketika itu, ia diwajibkan untuk memilih salah satu diantara tiga ekstrakulikuler: sepakbola, basket atau tari. “Kalau sepak bola nggak mungkin karena saya benci, kalau basket tinggi (badan -red) nya nggak nyampe, maka saya putuskan untuk mengambil (ekstrakurikuler -red) tari. Sampe dibilang banci karena laki-laki kok nari.� pungkasnya. Selama meniti karirnya, Eko tak selalu menemui jalan yang mulus, pahitnya kehidupan perkuliahan pernah ia rasakan. Saat mengenyam pendidikan S1-nya di ISI pada semester ke empat, orang tuanya tak mampu membiayai sewa kamar kostnya sehingga akhirnya ia memutuskan untuk tidur di pendopo. Namun, keadaan yang serba sulit tak lantas meruntuh-


SOSOK

EKO PECE - Sosok seorang penari tradisional, koreografer, sekaligus dosen Institut Senin Indonesia (ISI) Surakarta. Ia berlatih tari Jawa dan silat sejak kecil dan semua ini lantas memengaruhi karya-karyanya. (Dok.Pribadi)

kan semangtnya untuk berkarya, selama menempuh perkuliahannya tersebut, beliau aktif membuat koreografi dan membuahkan hasil dengan mengantarkan dirinya tampil di beberapa festival nasional maupun internasional. Setelah menyelesaikan pendidikannya di ISI, beliau kemudian mendapatkan beasiswa dan melanjutkan gelar master di Departement World Arts and Culture di University of California, Los Angeles (UCLA). Kerja keras memang tak pernah mengkhianati hasil, di sinilah Eko berkesempatan untuk menjadi penari di konser penyanyi pop Amerika Serikat, Madonna, dalam tour Eropa dan Amerikanya yang berjudul Madonna’s Drowned World di tahun 2001. “Saya ditawari teman untuk membantu ujiannya untuk nari dikarya teman saya terus ada agensi yang nawari untuk mengikuti audisi, hanya iseng saja,” tuturnya. Sepulangnya dari Amerika, Eko mendapat

serta terlibat dalam acara-acara bergengsi seperti Opera Diponegoro (2002), Shakti (2002), hingga ke panggung internasional Asian Contemporary Dance Festival di Osaka dan masih banyak yang lainnya. Tak puas hanya dengan tampil di panggung saja, Eko pun mulai mendirikan Solo Dance Studio di tahun 2003 sebagai tempat berkarya bagi almamaternya. Disanalah ia berbagi ilmunya kepada para penari-penari muda sekaligus sebagai tempat workshop, pembelajaran, berdiskusi serta untuk menyiapkan team untuk tampil diberbagai acara festival. Kemudian disusul dengan berdirinya Eko Dance Company sebagai tim manajemen dalam mengurusi keperluan festival mulai dari produksi hingga mencari sponsor dana yang dibutuhkan oleh tim.

Keluar Dari Zona Nyaman

Menurut Eko, seorang seniman harus dapat keluar dari zona nyaman agar tertantang untuk VISI • EDISI 35 • 2018

25


membuat karya yang baru. Melihat dari sejumlah karyanya yang dapat dibilang anti mainstream seperti tarian yang berjudul “Cry Jailolo”, salah satu masterpiece-nya yang pernah tur keliling dunia dan sudah bertahan selama 5 tahun. Tarian ini berasal dari daerah Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara. Maka dari itu, Eko pun mengungkapkan diperlukan waktu satu tahun untuk melakukan riset dalam menggarap tarian ini. Selain itu, Eko juga memberdayakan para penari dari pemuda setempat yang merupakan korban koflik agama yang pernah terjadi di daerah tersebut pada tahun 90an. “Mereka 26

VISI • EDISI 35 • 2018

umurnya ketika pertama kali tur 15 sampai 16 tahun, tidak ada yang sudah dewasa dan tidak ada yang menari bagus (professional -red).” Imbuhnya. Selain itu, Cry Jailolo juga digunakan untuk mempromosikan pariwisata bawah air serta mengusung misi untuk menjaga kelestarian terumbu karang di daerah tersebut. Unsur berbeda juga ditonjolkan dikaryanya yang lain dalam tarian likurai dari Belu, Atambua, Nusa Tenggara Timur. Tarian ini ditampilkan oleh ibu-ibu setempat dengan mengangkat tema perbatasan negara yang bercerita tentang perebutan perbatasan dan konflik yang disebabkan terpisahnya mereka


TARI BALA-BALA - Lima orang penari perempuan asal Jailolo, Halmahera Barat ditangkap secara monokrom oleh kamera melakukan koreografi perang Cakalele dan Soya-soya. (Dok.Pribadi)

dinikmati di dalam maupun luar negeri. “Kalo saya bikin karya dengan anak-anak ISI lagi, ya wes do pinter. Saya tidak tertantang untuk melakukan itu. ga ada challenge untuk bikin karya yang baru. Saya selalu pingin keluar dari zona nyaman.” Tambahnya.

Pandangan Indonesia

oleh batas negara antara Indonesia dan Timor Leste. Hal-hal unik yang berbeda di setiap karyanya menjadi nilai plus tersendiri di mata penikmat seni. Tak mengusung penari yang professional seperti mahasiswanya kebanyakan, dan memilih untuk memberdayakan penari dari penduduk setempat serta dibutuhkan satu tahun untuk melakukan ini membuatnya merasa tertantang dan ingin selalu mencoba hal baru. Selain itu, pesan atau misi khusus yang diusung di setiap tariannya juga menambah keunikan bagi setiap karyanya untuk dapat

Terhadap

Seni

Tari

Saat ditanya mengenai perbedaan apresiasi, Eko mengungkapkan hal ini merupakan sesuatu yang klise jika mengatakan orang manca negara lebih mengapresiasi daripada masyarakat lokal. Baginya, setiap karya seni harus diperuntukkan dengan konsekuensi karya tersebut, sesuai dengan konsep dan target penontonnya. Geliat seni tari khususnya kontemporer di Indonesia sudah lebih maju daripada negara-negara di Asia Tenggara lainnya seperti Thailand dan Filipina. “Masyarakat sekarang sudah mulai (mengapresiasi -red) baik, pemerintah juga mulai sadar bahwa yang kita banggakan dari negara kita kalo gak kesenian apa coba?” Ucap Eko sambil terkekeh. Baginya, hanya seni yang bisa menyatukan banyak hal. Contohnya ketika Indonesia dan Australia bersitegang perihal perbatasan, kesenianlah yang dapat mengadakan ruang diplomasi. Dukungan dari pemerintah juga penting mengingat sering kali mereka mudah disepelekan oleh pemerintahnya sendiri ketika bertanding ke luar negeri. “Suara saya mulai didengar, pemerintah mulai mengerti, seniman yang dibutuhkan support bukan intimidasi atau intervensi. Dukungannnya ya baru-baru ini sekitar tiga sampai lima tahun terakhir seperti dari pariwisata,” Imbuhnya

Mardatilana, Ratna

VISI • EDISI 35 • 2018

27


M

erebaknya budaya barat dan K-pop di era yang serba canggih ini, tak lantas menjadikan generasi millennial lupa akan jati diri dan budaya Indonesia. Menjadi mahasiswa di salah satu kampus utama di kota Solo, yang notabene lekat dengan unsur budaya menggugah jiwa muda-mudi untuk melestarikan budaya peninggalan nenek moyang agar tak tandas dimakan zaman.

28

VISI • EDISI 35 • 2018

Banyaknya mahasiswa UNS dari berbagai daerah menciptakan adanya keanekaragaman budaya dalam kampus. Melalui acara kampus berunsur budaya, mahasiswa menciptakan harmonisasi ragam budaya di dalamnya. Festival Seni Budaya (Fesenbud) merupakan salah satu event usungan BEM UNS yang mewadahi mahasiswa UNS untuk menampilkan berbagai kebudayaan daerah yang ada di Indonesia. Selain menyuguhkan penampilan dari Komunitas Mahasiswa Daerah (Komda), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), pertunjukkan wayang, teater, serta kesenian lainnya, festival tahunan yang digelar sejak 2014 silam dengan nama Festival Mahasiswa ini juga menciptakan ikon baru untuk UNS, yaitu de-


SEKAKEN

Harmoni Budaya dalam Kampus

WARNA BUDAYA 13 NEGARA - Perwakilan dari 13 negara usai menampilkan peragaan busana di UNS Cultural Night yang berlangsung di Auditorium UNS. Kamis (10/05) (Dok.VISI/Nabilah)

ngan pemilihan Mas-Mbak UNS. Selain mewadahi kebudayaan di Indonesia melalui komda-komda, tujuan diselenggarakannya Fesenbud sendiri untuk menciptakan iklim harmonis antar mahasiswa UNS. Ketua Penyelenggara Fesenbud 2017, Bagas Audi Ginting, menerangkan jika tujuan digelarnya Fesenbud untuk mengkolaborasikan segala elemen yang ada di UNS, juga menciptakan hubungan yang baik antara mahasiswa UNS dengan BEM UNS dan menjadi ajang perpisahan pamitan BEM UNS. Berbeda dengan Fesenbud yang menyuguhkan budaya lokal, UNS Cultural Night (UCN) yang diselenggarakan sejak tahun 2009 oleh International Office (IO) UNS ini menja-

di ajang untuk mahasiswa asing memamerkan kebudayaannya kepada masyarakat Indonesia, khususnya Solo. Tak sampai di situ UCN juga sebagai media pertukaran dan perayaan keberagaman budaya. Sekitar 20-an negara tampil tiap tahunnya di acara yang bertempat di auditorium UNS tersebut. Tak hanya mempersembahkan tarian, musik, busana, dan budaya, mereka juga menyajikan kuliner khas negaranya. Tak kalah dengan Fesenbud yang mampu mengundang banyak penonton dengan sistem gratis, UCN berhasil menjual ludes tiket hanya dalam beberapa hari. Yudi Sastroredjo, selaku Program Direktor UCN, menuturkan bahwa harapan pengunjung pun sebenarnya tidak sekedar menonton pertunjukan tapi juga berinteraksi lintas budaya dengan mahasiswa asing, seperti menyantap kuliner dengan mahasiswa asing, bernyanyi dan berfoto bersama. Hal ini dapat dilihat saat penutupan UCN. “Closing tahun ini yang paling dapet (berkesan -red), karena ada mahasiswa Jepang, Vietnam, dan Vanuatu yang berkolaborasi menyanyikan lagu Jepang, dan lagu sini, yang sedang hits semua orang tau, lagu sayang yang diawali dengan versi Jepang dan di medley dengan versi sini. Dan ini yang menarik dan membuat penonton heboh dan ikut bernyanyi,” ujar Yudi kala diwawancarai VISI (18/05). VISI • EDISI 35 • 2018

29


MENARI - Salah satu penampilan di panggung UNS Cultural Night 2018 (Dok.VISI/Ghozi)

Yudi juga menambahkan sebenarnya pemahaman lintas budaya yang paling jujur adalah yang orang asing temui, misal saat gamelan, keroncong, karawitan dan yang lainnya terngiang dibenak kita sebagai bagian budaya Solo, tidak bagi orang asing. karena orang asing sering mendengarkan musik dangdut dan koplo maka itulah yang mereka anggap sebagai budaya solo. Kebudayaan tiap provinsi di Nusantara yang dibawakan komda dalam Fesenbud dan Kebudayaan berbagai negara yang diusung mahasiswa asing UNS dalam UCN dapat dilihat sebagai sisi lain etalase wajah ragam kebudayaan UNS dan kota Solo “Menurut saya sebagai orang luar Solo (Banjarnegara -red), Solo itu masih kental sekali budayanya, saya jadi bisa menemukan hal baru yang tidak ada di Banjarnegara, seperti keraton dan kebudayaan lain yang baru saya lihat, dan ini menjadi hal yang menarik,” ungkap Mierza Prizka Camelia, mahasiswi FKIP saat ditemui VISI di gedung sekretariat Unit Pengembangan Kesenian Daerah (UPKD) FKIP UNS Tampil membawakan tari gambyong bersama tiga penari lain dari UPKD FKIP UNS sebagai pembukaan Fesenbud 2017, membuat mierza ingin terus melestarikan kebudayaan

30

VISI • EDISI 35 • 2018

yang saat ini rentan hilang. “Harapannya agar semua anak muda dapat melestarikan kebudayaan indonesia yang banyak sekali. Dan sayang sekali jika kebudayaan harus berhenti sampai disini dan hilang begitu saja. Dan kalau pun tidak bisa melestarikan setidaknya dengan mengapresiasi itu sudah cukup, karena itu bisa membuat seniman lebih bersemangat untuk terus berkarya.” Imbuhnya. Senada dengan Mierza, Bagas berpendapat agar budaya dapat dilestarikan dan diapresiasi oleh kawula muda saat ini. “Budaya adalah hal yang sekarang lagi rentan-rentannya untuk dilupakan di zaman milenial ini, apalagi oleh mahasiswa, karena banyaknya unsur budaya eropa dan barat yang masuk sekarang. Sehingga kita yang ada di kota berbudaya seperti solo kurang mengapresiasi kebudayaan. Sehingga perlu adanya acara seperti fesenbud dan ucn.” Pungkasnya. Anggi, Rifki


VISI • EDISI 35 • 2018

31


INFOGRAFIS

32

VISI • EDISI 35 • 2018


VISI • EDISI 35 • 2018

33


34

VISI • EDISI 35 • 2018


VISI • EDISI 35 • 2018

35


Foto Oleh: Febrian Alif

Teks Oleh: Banyu Visandi

Melihat Bukti Budaya dari Masa Lampau

36

VISI • EDISI 35 • 2018


POTRET

Keris merupakan salah satu bukti bendawi yang dimiliki Nusantara bagian barat dan tengah, ia unik karena selain bernilai seni juga menjadi senjata yang banyak digunakan di zaman dahulu. Di Solo sendiri kita dapat melihat beberapa keris dan peninggalan senjata masa lampau lain di Museum Keris Nusantara yang terletak di Jalan Bhayangkara, tepat bersebelahan dengan Stadion bersejarah, Sriwedari R. Maladi. Selain keris juga terdapat alat musik gamelan, meski tak lengkap serta beberapa koleksi mandau, tombak bahkan disajikan diorama pembuatan keris yang lengkap. Sebagai kawula muda kita patut bangga oleh warisan peninggalan satu ini, yang menjadi bukti bahwa Indonesia beragam dan berbeda, karena di tiap keris memiliki motif atau pamor yang berbeda-beda. VISI • EDISI 35 • 2018

37


38

VISI • EDISI 35 • 2018


DETAK

Budaya sebagai Sarana Soft Diplomacy Indonesia Oleh: Nabilah

Redaktur Pelaksana Majalah

M

asih segar di ingatan kita tentang bagaimana tarian Ratoeh Jaroe yang dibawakan oleh 1600 penari yang berasal dari siswi 18 SMA se-Jakarta, sukses menghebohkan Gelora Stadion Bung Karno (GBK) dalam pembukaan acara perhelatan akbar Asian Games 2018–selang sehari setelah hari kemerdekaan kita. Gerakan serta ritme tarian yang kompak dan cepat, tarian berkelompok dengan massa ribuan tersebut menuai decak kagum penonton tak hanya di ranah negara sendiri, namun hingga ke ranah internasional. Tanggapan dan sanjungan positif turut mengalir memenuhi beranda dan kolom komentar berbagai sosial media. Tak hanya tertuju sebatas satu penampilan, pertunjukan tarian dan penampilan spektakuler lain yang identik dengan ragam warna kebudayaan yang ada di Indonesia pun ikut mendapatkan apresiasi serupa yang memuaskan di acara tersebut. Dalam ranah panggung pembukaan acara berkelas internasional seperti Asian Games 2018, menonjolkan sisi kebudayaan yang dimiliki oleh suatu negara tuan rumah dalam panggung pembukaan dan penutup mempunyai nilai tambah tersendiri, salah satunya mendongkrak kualitas dari segi jalan cerita dan konsep yang dibangun untuk menghidupkan acara pembukaan tersebut. Jika menilik kembali sejarah pada beberapa tahun sebelumnya, Indonesia juga pernah men-

jadi tuan rumah pesta olahraga terbesar di kawasan Asia Tenggara atau biasa dikenal dengan SEA Games pada tahun 2011. Opening ceremony SEA Games 2011 yang juga berlangsung di GBK pada 11 November 2011–meski terdapat beberapa kekurangan pada lighting–menyuguhkan kemegahan dari kreatifitas visual dan art yang ditampilkan. Jalan cerita serta tata panggung yang juga diracik identik sekali dengan kebudayaan Indonesia memberikan hasil dan kesan yang menakjubkan terhadap penonton dari berbagai kalangan. Unsur kebudayaan yang ditonjolkan dalam pertunjukan-pertunjukan tersebut sebenarnya secara tidak langsung juga digunakan oleh Pemerintah sebagai sarana soft diplomacy Indonesia. Unsur-unsur budaya yang diangkat dalam pembukaan Asian Games 2018 lalu misalnya, dapat menjadi representasi dari keberagaman yang ada. Seperti apa yang dikatakan oleh Wakil Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian dalam pergelaran opening dan closing ceremony Asian Games 2018, bahwa dengan segala perbedaan yang ada dalam budaya Indonesia, semua saling membantu mewujudkan kesuksesan Asian Games 2018. Sebagai sarana soft power diplomacy, tujuan lain yang dapat kita lihat adalah aktualisasi nation branding yang turut serta hendak dicapai Indonesia, dengan menjadikan perhelatan pesta olahraga terbesar se-Asia pada 2018 itu

VISI • EDISI 35 • 2018

39


sebagai momentum dalam mewujudkan hal tersebut. Dengan adanya lebih dari 5.000 media yang meliput baik di dalam acara pembukaan dan penutup, maupun selama berlangsungnya pertandingan di Asian Games 2018, kita dapat menegaskan kembali secara utuh mengenai identitas diri bangsa Indonesia. Umumnya, diplomasi budaya adalah salah satu cara dalam diplomasi dengan menggunakan ide, nilai, tradisi dan aspek lain dari budaya atau identitas. Akar tujuan utamanya adalah untuk mempromosikan budaya sebagai jalan dalam membangun perdamaian dan stabilitas keamanan di dunia internasional. Selain itu juga sebagai senjata dalam meningkatkan hubungan kerjasama dan meraih kepentingan nasional tiap negara dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan lainnya di luar negeri. Beberapa contoh diplomasi budaya yang berhasil mendunia yang kita ketahui sekarang ini adalah seperti industri hiburan Korea Selatan yang kita kenal sebagai Hallyu wave atau dengan salah satu alatnya yaitu Korean Pop. Bermula ketika Korea Selatan mengalami instabilitas ekonomi berat kala krisis ekonomi di Asia melanda pada 1997, lahirnya industri hiburan mereka dalam skala yang berbeda dari sebelumnya berhasil menempatkan peran dan posisi penting dalam pemulihan krisis ekonomi Korea Selatan. Kemudian contoh lain berasal dari tetangga Korea Selatan, yaitu Jepang yang juga berhasil menggunakan anime dan manga sebagai alat diplomasi budaya yang mereka lakukan. Selain itu, Amerika Serikat yang sudah terkenal lebih dulu dengan Hollywood-nya juga telah lama berhasil mendapatkan tempat, bagi dominasi dari kebudayaan serta mengedepankan kekuatan hegemoni mereka di hampir seluruh kawasan di dunia. Di Indonesia sendiri, budaya sebagai

40

VISI • EDISI 35 • 2018

sarana dalam soft power diplomacy juga telah mulai didorong dan dikembangkan untuk digunakan di dalam skala internasional. Seperti pada festival Indonesia yang dilaksanakan oleh KBRI di Moscow bertemakan ‘Visit Wonderfull Indonesia: Bali and Beyond’ pada 2016 silam. Dengan berfokus pada panggung kesenian, tujuan penyelenggaraan festival ini adalah untuk mempersembahkan budaya, kerajinan, komoditas, sampai pariwisata Indonesia kepada masyarakat Rusia, termasuk meningkatkan hubungan bilateral antara kedua negara. Salah satu pihak dari Indonesia yang terlibat adalah Prof. Andrik Purwasito, selaku Kepala Prodi Hubungan Internasional UNS. Beliau diminta untuk menjadi dalang dalam pagelaran wayang serta mengajarkan falsafah karakter wayang di sekolah Indonesia yang berada di Moscow. Pengaplikasian budaya oleh Indonesia sebagai sarana dalam berdiplomasi memang belum se-mentereng diplomasi budaya yang dilakukan oleh negara lainnya. Namun dengan banyaknya keberagaman yang dimiliki dalam kebudayaan di Indonesia, kedepannya spesifi kasi budaya yang dijadikan sebagai alat diplomasi tentunya akan terus berkembang dan dapat membantu Indonesia guna mencapai kepentingannya di kancah internasional.


Ba��� Ind��e�i� , ��bag�� Bud�y� y�n� M�n���i� I�us�ra��: L��l�

VISI • EDISI 35 • 2018

41


JENANG - Salah satu dari 273 stan yang tersebar disekitar benteng Vestenburg sedang melayani pengunjung yang hendak mencicipi Jenang. pada hari Sabtu (17/02/2018) (Dok.VISI/Erna)

42

VISI • EDISI 35 • 2018


LAPORAN KHUSUS

Festival Kuliner Rakyat, Merah Putih Awal Kehidupan Setiap tanggal 17 Februari sejak tahun 2012 bukanlah hari yang biasa bagi Kota Solo. Masyarakat berkumpul tumplek blek menikmati dua puluh empat ribu takir berisi jenang hingga ludes tak bersisa. Berbagai kalangan tak memedulikan perbedaan etnis, umur dan agama, membaur menjadi satu menikmati semarak pestane wong Solo.

VISI • EDISI 35 • 2018

43


P

esta dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, itulah penggambaran yang paling sesuai dengan Festival Jenang. Sebelum tahun 2012 peringatan hari jadi Kota Solo hanya dirayakan oleh aparatur pemerintah dan anak sekolah melalui Upacara Hari Jadi Kota Solo di instansi masing-masing. Peringatan yang hanya berupa upacara tersebut terasa kurang mengena di hati masyarakat, terutama jika kita melihat kota lain di Indonesia yang menyambut hari jadinya melalui gelaran acara menarik. “Orang Solo asli yang lahir dan tinggal disini nggak pernah memperingati dan merasakan euforia ulang tahun,” ujar Septando Hijri Shafara ketua Festival Jenang tahun 2017 saat ditemui VISI, Senin (3/9) di Lembaga Studi Dosen. Atas dasar kegundahan tersebut, beberapa tokoh masyarakat di Kota Solo mencetuskan Festival Jenang sebagai salah satu bentuk peringatan hari jadi Kota Solo. Hal tersebut disambut baik oleh Joko Widodo, Wali Kota Solo saat itu. Festival Jenang melibatkan berbagai pihak di Kota Solo dalam keberlangsungannya. Septando yang biasa dipanggil Ando menambahkan, “Ibu-ibu PKK (Pembinaan Kesehatan Keluarga -red) perwakilan dari 51 kelurahan, komunitas, Dharma Wanita dan juga kantor-kantor menyediakan jenang secara sukarela dan diambil secara cuma-cuma juga oleh masyarakat” Festival Jenang pada mulanya berasal dari ide Susena Hadi Parwono, salah satu budayawan dan pengamat kuliner Kota Solo. Susena tersinspirasi dari sebuah desa di Wonogiri yang memperingati bulan besar dengan acara sedekah desa, dimana banyak makanan tersaji untuk masyarakat dengan jenis paling banyak berupa jenang. Saat ditemui VISI, Selasa (28/8) di rumahnya, Susena yang akrab dipanggil Mbah Sena mengatakan, “Jenang menggambarkan sedekah, pemberitahuan, ucapan terima kasih, 44

VISI • EDISI 35 • 2018

dan yang paling penting sebagai simbol”.

Jenang Sebagai Simbol Kehidupan

Hadirnya Jenang pada awalnya dibuat untuk orang sudah tua yang tidak bisa memakan makanan keras. Selain itu dari sisi ekonomi, harga pangan yang mahal pada zaman dahulu memaksa mereka untuk berinisiatif mengolah makanan yang sedikit untuk bisa dimakan orang banyak. Misalnya dengan memasak beras menggunakan air yang lebih banyak dari


FESTIVAL JENANG - Karnaval seni pertunjukan merupakan salah satu rangkaian acara yang hadir di setiap Festival Jenang Solo. (Dok. Internet)

biasanya, hal inilah yang kemudian disebut Jenang. Jenang diibaratkan sebagai sebuah simbol yang memiliki makna. Misalnya ketika ada bayi yang lahir maka dibuatkan jenang merah putih yang melambangkan ibu dan bapak, sebagai lambang kehidupan. “Pada saat benih bapak dan telur ibu gathok atau bersatu maka dalam sebulan itu ada jenang sebagai lambang awal mula terjadinya kehidupan manusia,” ujar Mbah Sena menambahkan. Mbah Sena juga menyebutkan

bahwa di Indonesia ibu dipandang lebih berjasa dari laki-laki karena sembilan bulan telah mengandung dan toh pati (bertaruh nyawa -red) untuk melahirkan. Maka dari situ bendera Indonesia menempatkan merah di atas putih. “Jenang yang paling penting iku jenang sangkang paraning dumadi, melambangkan koe urip seko endi lan mati koe mati arep ningdi,” ujar Mbah Sena.

VISI • EDISI 35 • 2018

45


Begitu pula dengan kelahiran Kota Solo yang ditandai dengan peristiwa Boyong Kedhaton yang diiringi arak-arakan 17 macam Jenang, yaitu Jenang Warna Papat, Jenang Katul, Jenang Salaka, Jenang Majemukan, Jenang Koloh, Jenang Grendu, Jenang Pati, Jenang Sum-Sum, Jenang Lahan, Jenang Ngangrang, Jenang Tamim, Jenang Timbul, Jenang Puputan, Jenan Lemu, Jenang Procotan, Jenang Sengkala, dan Jenang Abang Putih. Dimana ketujuh belas jenang ini juga dihadirkan dalam Festifal Jenang Solo.

Solo Kota Tanpa Identitas

“Macam jenang itu kan banyak, disetiap kota berbeda-beda, kalo dari segi sejarahnya jenang di Solo menandai pemindahan Surakarta dari Kartasura,” ujar Mayor Haristanto salah satu perwakilan dari Yayasan Jenang Indonesia (YJI) kepada VISI, Jumat (24/8) di sebuah rumah makan. Dari segi ekonomi Festival Jenang ini tentu akan meningkatkan pendapatan daerah, menarik para wisatawan untuk datang ke Kota Solo, dan juga mengenalkan ragam kuliner yang ada di Kota Solo. Sebenarnya jenang tidak bisa dikatakan khasnya Kota Solo karena banyak daerah lain yang sama-sama memiliki jenang, hanya saja dengan istilah yang berbeda. Meskipun terdapat makanan lain khas Kota Solo yang lebih terkenal, seperti timlo dan tengkleng misalnya, namun jenang tetap menjadi makanan yang memiliki simbol tertentu. “Sebenarnya Solo dan jenang tidak bisa dijadikan ukuran. Festival jenang ini lebih ke pulau jawanya,” ujar Ando. Mbah Sena menganggap Solo sendiri terlalu serakah dengan pengakuan identitasnya. Seperti contoh, Solo Kota Gamelan, Kota Pramuka dan masih banyak lagi istilah lain, baik yang dikeluarkan secara resmi maupun sekedar pamflet yang terpasang di jalan. Sehingga tidak aneh jika Kota Solo tidak memiliki identitas yang cocok atau belum memiliki jati diri yang sesungguhnya.

46

VISI • EDISI 35 • 2018

Masih Jadi Primadona

Festival Jenang memiliki beberapa hal yang ingin disampaikan, salah satunya adalah nilai tradisi yakni tradisi Boyong Kedhaton, sebagai peringatan perpindahan Kota Solo yang asalnya dari Kartosuro. Bagi masyarakat nilai budaya dalam jenang adalah simbol arti permohonan tertentu. Bukan menjadikan jenang sebagai hal syirik atau ritual tertentu. Menurut Mbah Sena beberapa masyarakat masih memandang negatif perayaan yang menggunakan jenang karena ada beberapa orang menganggap jenang sebagai klenik. Salah satu cara untuk menyangkal pernyataan tersebut maka diadakan lah Festival Jenang. Lain dengan festivalnya, jenang merupakan salah satu jenis makanan mainstream yang pasti sudah kebanyakan orang tahu. “Tergantung mood kalau panas ya cari es kalau dingin, mudah laper ya cari jenang. Dibilang layu sih engga, cuma musiman saja,” ujar Ando. Pada kenyataannya memang jenang merupakan salah satu makanan khas Kota Solo, namun banyak juga ditemui di tempat-tempat lain, dengan istilah yang mungkin berbeda. “Saya pikir di deket kampus itu juga sering beli jenang kacang ijo dan jenang ketan hitam, cuma kita nyebutnya bubur saja,” ujar Ando.

April, Dania, Ditya


LAPORAN KHUSUS

Menilik Lemah Lembutnya Kota Solo BERBAGI KISAH - Putri Indonesia Pariwisata sedang melakukan sharing moment dengan para Putra-Putri Solo sehari setelah dilakukan Grand Final Putra-Putri Solo (PPS) 2018. (Dok.Pribadi)

VISI • EDISI 35 • 2018

47


S

undari Soekotjo, penyanyi keroncong yang kenamaan, menyisipkan satu karya bertajuk Putri Solo. Lagu yang memiliki lirik keseluruhan berbahasa jawa itu, memunculkan pujian-pujian melodis bagi sang Putri Solo. Tersirat maksud didalamnya tentang bagaimana lemah lembutnya sang wanita namun begitu cekatan dalam mengerjakan sesuatu. Jika menengok sejarah, Putri Solo mungkin banyak terngiang di telinga para lelaki. Dikisahkan sang putri yang Bernama Gusti Nurul, kala itu mematahkan banyak hati para lelaki hebat. Sri Sultan Hamengku Buwana IX, Sutan Syahrir, bahkan Presiden Soekarno adalah mereka yang begitu mengidamkan sang putri, dan harus merasakan patah hati karena sang Putri Solo tersebut. Gusti Nurul inilah yang digadang-gadang sebagai tokoh dibalik legenda kecantikan putri Solo, dia lah yang merepresentasikan ciri khas adat dan kemodernan wanita Jawa kala itu. Dengan popularitas dari gelar yang tersematkan tersebut, secara tersirat Putri Solo menjadi ikon tersendiri bagi Kota Solo. Terlepas dari gubahan lagu dan legenda diatas, eksistensi Putri Solo pada akhirnya turut digaungkan oleh pemerintah kota Solo hingga saat ini. Adalah ajang pemilihan Putra Putri Solo sebagai duta Pariwisata di Kota Solo. Terlepas pula dari gelar kebangsawanan Keraton Surakarta. Putri Solo bertransformasi seiring berkembangnya zaman. Di era modern saat ini sejak belasan tahun lalu dilaksanakan ajang pemilihan Putra dan Putri Solo setiap tahunnya, mereka itulah yang kemudian memiliki peran penting sebagai duta wisata dan menjadi representasi dalam mewakili Kota Solo mempromosikan potensi dan aset wisata kota. Serupa dengan pemilihan duta wisata pada daerah lain, seleksi yang ketat dan panjang diberlakukan pula pada ajang duta wisata Solo ini. Hal utama dan menjadi sangat penting adalah masalah domisili, calon Putri Solo haruslah orang asli Kota Solo. Mengingat ke depannya mereka akan banyak berkecimpung 48

VISI • EDISI 35 • 2018

untuk pariwisata Kota Solo. Ditambah lagi keberlangsungan ajang ini juga menggunakan dana APBD Kota Solo. Pendaftaran ajang ini biasanya dibuka setiap tahunnya di awal bulan Mei. Serangkaian tes harus dilewati para calon pemilik gelar Putri Solo nantinya. Mulai dari tes tulis seputar pariwisata, sejarah, kebudayaan Solo serta seluk beluk Kota Solo lainnya kemudian dilanjutkan dengan tes Public speaking. Sedikit menyinggung tes ini dalam prosesnya peserta diminta untuk menyampaikan visi dan misi mereka ke depannya ketika menjabat sebagai Putri Solo. Seleksi berlanjut kepada tahap wawancara perihal lima bidang yaitu wawancara dalam bahasa inggris, bahasa Jawa, seputar Pariwisata dan pengetahuan umum, dan yang terakhir adalah kepribadian.


TERHARU - Penobatan Putra-Putri Solo 2017 yang berlangsung di Balai Kota Surakarta mengundang haru dan senang para pemenang (Dok.Pribadi)

Dari tahap wawancara diatas terpilihlah 10 pasang finalis Putra Putri Solo. Mereka kemudian masuk dalam karantina untuk beberapa minggu dan mendapat pembekalan seputar Putra Putri Solo. “Pembekalan (red-karantina finalis) itu selama dua minggu kita benar-benar ditempa banget, jika kita terpilh nanti kita akan jadi figur (Putri Solo -red) yang seperti apa, kita diberitahu nanti ke depannya apa saja yang akan kita hadapi,” jelas Okfied, Putri Solo 2016. Tugas Putri Solo sebagai Duta Wisata “Selain akan menjadi duta wisata, yang memperkenalkan pariwisata Kota Solo, Putri Solo juga banyak berkecimpung dalam kegiatan pelestarian budaya, promosi wisata, kegiatan

sosial kemanusiaan, juga sebagai panutan bagi anak muda,” ujar Anggila Permatasari, yang merupakan Putri Solo 2017. Lebih rinci lagi Okfied juga menjelaskan tugas-tugasnya selama ia mengemban jabatannya tersebut. “Tugas pertama adalah maju ke MasMbak Jateng,” tuturnya. Dengan kata lain dirinya harus mewakili Solo dalam ajang tersebut, karena Mas dan Mbak Jateng merupakan ajang serupa ditingkat provinsi, khususnya Jawa Tengah. Kemudian mereka juga diamanahkan untuk menyelenggarakan satu event tahunan yang cukup besar bersama paguyuban Putra-Putri Solo. ”jadi memang kita berperan untuk memasarkan pariwisata pada umumnya, dan kebudayaan pada khususnya. Kalau tahun saya (red-2016),

VISI • EDISI 35 • 2018

49


kami ada event Enggar-Enggar Penggalih Ing Kutho Solo,” jelasnya. Kegiatan tersebut adalah city Tour yang tentu saja dapat menjadi upaya pengenalan budaya dan pariwisata Kota Solo. Pada dasarnya bentuk event yang akan mereka selenggarakan tidak dibatasi dalam hal cara mengemasnya, namun perlu ditegaskan bahwa event tersebut haruslah bermuara pada budaya dan pariwisata Kota Solo. Tugas lain yang menjadi kewajiban adalah mengawal dan membersamai Putra-Putri Solo periode selanjutnya. Dalam hal ini Putri Solo bersama Putra Solo akan diamanahkan menjadi bagian dari panitia ajang pemilihan Putra-Putri Solo tahun berikutnya. Belum paripurna sampai disitu, setelah Putra-Putri periode selanjutnya terpilih, Putra dan Putri tahun sebelumnya bertanggung jawab mendampingi program kerja Putra-Putri tersebut, begitu seterusnya dalam setiap pergantian masa jabatan Putra-Putri Solo. Diluar program kerja mereka yang secara teknis telah diatur, Putri Solo memiliki peran pribadi tersendiri. Ciri khas yang disematkan dalam gelar mereka identik dengan tata krama dan kesopanan wanita Jawa, maka dari itu dalam keseharian mereka harus mencerminkan minimal dua ciri tersebut. “Kalau saya pribadi di keseharian aktif menggunakan bahasa jawa kromo,” Okfied memberikan contoh. Tugas lain yang menjadi kewajiban adalah mengawal dan membersamai Putra-Putri Solo periode selanjutnya. Dalam hal ini Putri Solo bersama Putra Solo akan diamanahkan menjadi bagian dari panitia ajang pemilihan Putra-Putri Solo tahun berikutnya. Belum paripurna sampai disitu, setelah Putra-Putri periode selanjutnya terpilih, Putra dan Putri tahun sebelumnya bertanggung jawab mendampingi program kerja Putra-Putri tersebut, begitu seterusnya dalam setiap pergantian masa jabatan Putra-Putri Solo. Diluar program kerja mereka yang secara teknis telah diatur, Putri Solo memiliki peran pribadi tersendiri. Ciri khas yang disematkan dalam gelar mereka identik dengan tata krama dan kesopanan wanita Jawa, maka dari itu dalam keseharian mereka harus mencerminkan minimal dua ciri tersebut. “Kalau saya pribadi di keseharian aktif menggunakan bahasa jawa kromo,” Okfied memberikan contoh. Dalam menjaga gelar tersebut, dirinya tidak 50

VISI • EDISI 35 • 2018

hanya menjaga sikap ketika menyandang tugas sebagai Putri Solo. Melainkan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Ia berharap, ketika Putri Solo dianggap baik dari kepribadiannya maka akan menjadi cerminan bahwa Kota Solo adalah kota yang baik pula. Okfied mengatakan, saat ia terlibat berbagai event, baik dalam maupun luar kota atau bahkan mancanegara, ia mengaku bahwa sosoknya sebagai Putri Solo menjadi bayang-bayang yang kuat dalam dirinya. Itulah mengapa ketika semua orang tau bahwa dialah sang Putri Solo 2016 ia harus mampu membawa dirinya menjadi satu bagian penting yang berpengaruh dalam eksistensi Kota Solo. Dengan mampu sepenuhnya menjadi representasi pemudi Solo yang baik dalam berbudi, cakap, cerdas, dan cekatan. Satu lagi yang juga teramat penting, adalah mampu sepenuhnya melayani siapa saja yang ingin tahu tentang Kota Solo, khususnya soal budaya dan pariwisatanya. Hadirnya para Putri Solo di sepanjang era modern ini diharapkan mampu menjadi salah satu fasilitator, khususnya bagi para pemuda sebaya mereka untuk mengenal budaya. Dengan hadirnya mereka, diharapkan mampu menghilangkan stigma masyarakat yang menilai kebudayaan adalah sesuatu yang tertinggal dan kolot bagi para milenial. Lebih khusus adalah agar mereka mengikuti peran para Putri Solo terpilih untuk mengembangkan kebudayaan dan pariwisata di tengah gempuran pengaruh asing saat ini. Lebih jauh lagi diharapkan, sosok Putri Solo saat ini mampu menjadi teladan para pemudi khususnya daerah Solo dalam menjadi wanita Jawa yang modern. Artinya tetap mengutamakan kesopanan atau yang biasa disebut unggah-ungguh, santun dalam sikap dan perkataan atau tatakrama. Alhasil peran ganda para Putri solo selain sebagai duta wisata yang menjadi tugas resminya, ia adalah sebagai panutan bagi para remaja dalam bertingkah laku. Melalui re- presentasi sang putri yang begitu tengiang di banyak hati masyarakat, Putri Solo sang duta Wisata pun menjadi wanita Solo yang memiliki unsur spesial layaknya Putri Solo tempo dulu. Ade, Ulfah, Umroh


PUISI

Senja Puisi dan ilustrasi oleh: Arif Miftah

Semakin merahlah pancaranmu Menyinari ruang demi ruang Memaksa kita terselimut keheningan Lalu membawa kita dalam kegelapan Sentuhan angin sore kala itu Memberi tanda datangnya senja dipenghujung waktu

Lihatlah senja itu Senja yang tak mungkin terulang Senja yang sekejap akan hilang Meninggalkan bekas merah dalam hati Terisi makna oleh kenangan tadi Meninggalkan segala apa yang terlukis Dan mengharap kehadiran malam yang manis

VISI • EDISI 35 • 2018

51


Merangkai Harmoni dalam Perbedaan

52

VISI • EDISI 35 • 2018


LAPORAN KHUSUS

KEMERIAHAN GREBEG SUDIRO - Perhelatan Kirab Grebeg Sudiro menarik ribuan masyarakat untuk memadati kawasan Pasar Gede Solo, Minggu (11/02) (Dok.VISI/Uum)

VISI • EDISI 35 • 2018

53


D

alam hitungan menit, gunungan itu hanya bersisa kerangka penyusunnya saja. Hal itu dilakukan karena masyarakat percaya bahwa isi dari gunungan tersebut dapat membawa berkah bagi yang mendapatkannya. Meski tabrakan dan desakan tak dapat dihindari, namun hal tersebut menjadi ciri dari acara grebeg itu sendiri.

Grebeg Sudiro, acara yang dilaksanakan di kompleks Pasar Gede itu sangat menarik untuk dilihat. Bertaburan lampion yang digantungkan di sebuah tali yang memanjang dari sisi satu ke sisi lain jalan, menampilkan gemerlap cahaya kemerahan yang indah saat malam hari. Grebeg Sudiro sudah ada sejak tahun 2007, dan telah menjadi agenda rutin di Kota Solo. Perayaan ini dimulai dari festival lampion yang dipasang di kompleks Pasar Gede, hingga dipungkasi dengan arak-arakan gunungan yang berisi berbagai hiasan, makanan, hingga sayur dan buah yang telah dibuat oleh masyarakat sekitar Pasar Gede. “Nah Grebek Sudiro itu, kenapa disebut grebek, karena akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa,” ungkap Candra Halim, Hubungan Masyarakat (Humas) Klenteng Tien Kok Sie Sudiroprajan saat ditemui VISI, Senin (27/8) di Klenteng­­. Perayaan Grebeg Sudiro, sebenarnya adalah acara yang menggambarkan akulturasi dari etnis Tionghoa dan suku Jawa. Pelaksanaan acara tersebut juga melibatkan seluruh lapisan masyarakat, mulai dari ibu-ibu rumah tangga hingga aparat keamanaan seperti polisi dan tentara. Tak hanya itu, budaya di luar Kota Solo pun ikut memeriahkan perayaan tersebut. Tari payung, Reog Ponorogo, hingga cosplayer dari tayangan acara “Kera Sakti” ikut dalam gelaran tersebut. “Budayanya itu bener-bener kayak masih menganut banget begitu lho, maksudnya nggak meninggalkan budaya dia sendiri, budaya daerahnya sendiri,” ungkap Tiara 54

VISI • EDISI 35 • 2018

Kusuma Ayuningtyas yang akrab disapa Tiara, Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) dari Tarakan, Kalimantan Utara saat ditemui VISI, Rabu (17/9) di UNS Grebeg Sudiro adalah contoh nyata dari berbaurnya dua budaya atau lebih yang ada di Kota Solo. Percampuran budaya paling kentara pada gelaran tersebut adalah antara etnis Tionghoa dan suku Jawa. Namun jika menilik lebih dalam lagi, suku dan etnis yang ada di Kota Solo sesungguhnya sangat lah beragam.


GUNUNGAN - Potret Gunungan yang diarak dari keraton Kasunanan Hadining rat dalam acara Grebeg Maulud. Gunungan biasanya terdiri dari hasil bumi berupa sayur dan palawija. (Dok.VISI/Bima)

Kedatangan Suku dan Etnis Luar ke Kota Solo Sejak zaman dulu, saat kita belajar dibangku sekolah selalu diberi tahu jika kepulauan Indonesia -yang kala itu di sebut Nusantara terkenal sebagai tempat singgah para pedagang. Kedatangan mereka juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan bangsa Indonesia, terutama masalah budaya. Percampuran ini melewati berbagai pintu masuk seperti para pedagang dan para pemuka agama yang ingin

menyebarkan agamanya. Seiring berjalannya waktu, populasi pendatang yang melakukan akulturasi, asimilasi hingga pernikahan campuran atau amalgamasi semakin bertambah. Etnis Tionghoa menjadi kelompok yang paling dominan dan tersebar di seluruh Indonesia, seperti daerah Pontianak, Semarang, Surabaya, Jakarta, serta tak luput Kota Solo. Dalam kehidupan bermasyarakat yang berdampingan dan kental akan nilai Bhinneka Tunggal Ika, muncul seorang tokoh dari etnis VISI • EDISI 35 • 2018

55


Tionghoa yang dapat menjadi tauladan. Go Tik Swan namanya, atau yang biasa dikenal dengan K.R.T Hardjonagoro. “Go Tik Swan, salah satu orang Tionghoa yang diberikan gelar oleh Pakubuwono XI, dengan gelar Panembahan Hardjonegoro,” tutur Candra. Kecintaannya dengan budaya, telah melewati batas suku, ras dan agama. Sebab, Go Tik Swan lahir dikalangan keluarga yang ber-etnis Tionghoa. Bemula dari lingkungan masa kecilnya yang tumbuh besar bersama pekerja batik hingga sering mendengar mereka menyanyikan dan mendongeng berbagai cerita tradisional Jawa. Dari situ, ia belajar mengenal mocopat, pedalangan, hanacaraka, dan berbagai tarian Jawa. Dedikasinya terhadap budaya Jawa, bahkan sampai mengantarkannya bertemu dengan Presiden Soekarno, kemudian mendapakan rekomendasi dari beliau untuk membuat Batik Indonesia. Go Tiek Swan belajar langsung di Keraton Surakarta, hingga akhirnya lahir Batik Indonesia dengan motif yang telah dikembangkan namun tetap menjaga ciri dan maknanya yang hakiki, serta dibalut dengan warna-warna yang cerah khas kain dari negeri tirai bambu.

Hasil Lain dari Akulturasi

Akulturasi terutama antara etnis Tionghoa dan masyarakat Indonesia sudah teramat banyak. Berbagai hasil dari akulturasi ini, mulai dari bahasa yang digunakan, hingga makanan tidak jarang telah menjadi keseharian sebagian masyarakat Indonesia. Penggunaan bahasa IndoTionghoa, mulai digunakan meski berkembang diluar lembaga resmi setelah zaman orde baru. Sadar atau tidak, makanan sehari-hari yang biasa kita temui, banyak pula yang mendapat pengaruh dari kebudayaan etnis Tionghoa. Tidak dapat dipungkiri jika cita rasa dari bakso, bakmi, siomay, batagor hingga kecap sebagai tambahan rasa yang ada, menjadi salah satu makanan yang lumrah untuk dikonsumsi. Terlena dengan rasa, padahal berbagai makanan tersebut, adalah hasil akulturasi dari budaya Tionghoa dan Indonesia. “Kemudian seni membuat kecap, kecap itu orang Tionghoa punya,” tambah Candra.

Peran Masyarakat dalam Menjaga Kerukunan

Dalam ingatan masyarakat Indonesia, akan selalu membekas tentang kejadian pada tahun 1998. Penjarahan, penganiayaan, hingga pembunuhan etnis Tionghoa yang terjadi saat itu, bahkan menjadi isu internasional. Meski bukan hanya dari kalangan etnis Tionghoa, banyak korban yang berjatuhan dalam peristiwa itu. Kerugian material dan luka psikis juga masih membekas dalam benak para korban. Kota Solo menjadi salah satu tempat yang merekam kejadian mengerikan tersebut. Meski begitu, seiring berjalannya waktu, luka yang lama akan luluh dengan sifat toleransi dari masyarakat Kota Solo. Hal ini dibuktikan dengan hasil survey dari SETARA Institute, yang menempatkan Kota Solo pada peringkat ke-10 dari 94 kota lainnya dalam Indeks Kota Toleran (IKT) pada tahun 2017. Dapat disimpulkan bahwa tingkat toleransi masyarakat kota solo tergolong tinggi, meski banyak etnis menjadi bagian dari Kota Solo. “Relevan dengan keadaan Solo sekarang ini yang aman-aman saja. Hari Minggu ada ibadah, toh yang lain CFD (Car Free Day -red) lewat depan gereja itu juga biasa saja,” ungkap Angga Ferdinandito, salah satu masyarakat Kota Solo saat ditemui VISI, Jumat (28/9) di UNS. Namun, banyaknya isu dan permasalahan yang berbau suku, ras, dan agama (SARA) semakin memenuhi kolom berita, diperparah dengan berita hoaks yang semakin merajalela. Selain itu, adanya pemilihan presiden ditahun 2019 nanti, kebhinnekaan milik Indonesia bakal semakin diuji. “Cara mengatasinya yo pinter aja memilih berita, kalau ada yang di share ini ya cari berita dari sisi lain, benar apa enggak,” imbuh Angga Terlepas dari banyaknya isu yang memecah bangsa, kerukunan masyarakat yang ada di Kota Solo patut dijadikan teladan. Dengan berbagai etnis, suku, dan agama, mereka dapat hidup rukun berdampingan dan membuat Bhinneka Tunggal Ika semakin nyata. “Nggak usah mudah terprofokasi, nggak usah saling mengurusi hal-hal yang kiranya itu nggak merugikan kita,” pungkas Tiara.

Andi, Fio, Krisan 56

VISI • EDISI 35 • 2018


REFLEKSI

I�us�ra��: B����

Krisis Panjang di Venezuela Obsesi Hugo Chavez dan “Bom Waktu“ yang Meledak di Tangan Maduro Oleh: Tayo (samaran) Mahasiswa UNS

N

egara yang besar dan kuat merupakan negara yang memiliki tempat tersendiri di dalam hubungan internasional. Bila di era perang dingin negara yang besar dan kuat selalu identik dengan kekuatan militernya, lain halnya di abad 20 yang sebagian besar peran militer mulai tergeser oleh faktor-faktor lainnya yang bersangkutan dalam politik internasional. Menurut buku Politik Luar Negeri Indonesia: di Tengah Arus Perubahan Politik Internasional, kekuatan suatu negara ditentukan oleh tiga

hal: kekuatan politik (pengaruh dan dominasi), ekonomi (pertumbuhan ekonomi dan penguasaan pasar), dan militer (kualitas dan penguasaan teknologi persenjataan modern). Apabila sebuah negara tidak memiliki salah satu atau bahkan lebih dari ketiga faktor diatas, berarti negara tersebut belum layak dicap sebagai negara yang benar-benar kuat. Adapun hal yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan penguasaan pasar disebut-sebut sebagai salah satu faktor penentu kekuatan suatu negara.

VISI • EDISI 35 • 2018

57


Sejak ditemukannya cadangan minyak bumi yang melimpah di tahun 1920-an, Venezuela menjadi primadona minyak mentah bagi negara-negara besar terutama sepanjang terjadinya Perang Dunia kedua. Pasca berakhirnya Perang Dunia, peranan Venezuela dalam kancah internasional juga tidak bisa diremehkan begitu saja. Berbekal kekayaan sumber daya alam berupa minyak bumi, ia menjadi salah satu negara pelopor OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi) pada tahun 1960 bersama dengan Arab Saudi, Iran, Irak dan Kuwait. Tahun 2013 adalah tahun duka bagi Venezuela, karena pemimpin saat itu yakni Hugo Chavez telah meninggal dunia. Hugo Chaves, akan selalu dikenang oleh rakyat Venezuela karena karismanya dan kebijakannya pro pada rakyat serta disegani oleh pemimpin negara yang lain. Akibat kematiannya, kursi kepemimpinan Venezuela selanjutnya dipercayakan kepada Nicolas Maduro. Sayangnya pada tahun 2014, negara ini jatuh dalam jeratan krisis ekonomi akibat harga minyak mentah terjun bebas dipasaran internasional sehingga menurut laporan CNN, pendapatan nasional Venezuela anjlok hingga dua kali lipat dibanding tahun-tahun sebelumnya yang berujung pula pada krisis politik dan kemanusiaan di negara tersebut. Resesi ekonomi di Venezuela yang diakibatkan ketergantungan negara tersebut hanya pada satu komoditas yakni minyak bumi, membuat tingkat inflasi meningkat tajam. Menurut laporan dari Council on Foreign Relations, tingkat inflasi Venezuela mencapai angka 800% dalam kurun dua tahun terakhir, sedangkan harga minyak pada kurun waktu yang sama mengalami kejatuhan yang cukup serius ($111 per barel pada 2014 menjadi $27 per barel pada 2016). Di sisi lain, utang luar negeri pemerintah pada tahun 2017 mencapai $150 miliar, sedangkan kas negara untuk membayar hutang hanya tersisa $10 miliar. Masalah ini menjadi kunjung tak terselesaikan akibat lambatnya respon otoritas nasional dan melahirkan gerakan ketidakpuasan oleh rakyat pada kepemimpinan Nicholas Maduro yang semakin masif hingga berujung pada krisis masal seantero negeri. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab dibalik krisis berkepanjangan tersebut. Pertama, ketergantungan Venezuela pada minyak bumi yang dijadikan satu-satu nya komoditas dalam ekspornya menjadi faktor terpenting untuk mengetahui akar krisis yang terjadi hingga hari ini. Jatuhnya harga minyak bumi pada tahun 2014 seakan menjadi blunder terbesar yang tidak 58

VISI • EDISI 35 • 2018

disadari Maduro sepeninggal Hugo Chavez setahun sebelumnya. Sebenarnya, baik Maduro maupun Chavez sama-sama ‘sembrono’ menjadikan minyak bumi sebagai andalan pendapatan negaranya. Berdasarkan laporan Council on Foreign Relations, sebesar 95% pendapatan ekspor dan 25% PDB Venezuela didapat dari penjualan minyak bumi. Terlebih, Chavez menggunakan pendapatan minyak bumi untuk kepentingan sosial rakyatnya secara berlebihan dan beberapa kebijakan yang gagal langsung ditutup sementara dengan hutang luar negeri. Berdasarkan laporan CNN, Maduro merespon keadaan ini dengan cara menyalahkan Amerika Serikat yang sebelumnya telah menerapkan deretan sanksi terhadap Venezuela. Kedua, ketidaksukaan Chavez terhadap keberadaan bisnis asing di Venezuela, berubah menjadi bumerang bagi rakyatnya sendiri ketika Maduro mewarisi kepemimpinannya. Diusirnya aset-aset asing dari Venezuela menyebabkan pengangguran meningkat. Selain itu, Nasionalisasi besar-besaran di era Chavez membuat negara memiliki control penuh atas aset-asetnya. Ketiga, masih merujuk pada laporan CNN baik pemerintahan-pemerintahan sebelumnya hingga pemerintahan Maduro dianggap gagal melakukan transformasi dan diversifikasi komoditas nasional secara efektif. Hal ini tercermin pada gagalnya para pemimpin Venezuela untuk membangun sektor pertanian dengan serius sehingga berdampak pada naiknya status minyak bumi sebagai komoditas tunggal Venezuela. Keempat, kondisi politik nasional mengalami ketidakstabilan. CNN melaporkan, bahwa Maduro mendapat perlawanan dari dalam tubuh peme rintahannya sendiri yaitu Parlemen Venezuela yang mayoritas diisi oleh kubu oposisi. Bahaya krisis di Venezuela sejatinya sudah dapat dilihat sejak negara tersebut mulai menggantungkan perekonomiannya pada sektor minyak saja. Dilihat bagaimanapun, rakyat dan loyalis pemerintah tetap tunduk dan seakan terbuai dalam mimpi dan retorika pemimpinnya, Hugo Chavez. Kenyataannya, sepeninggal Hugo, impian akan terangkatnya derajat rakyat miskin di Venezuela perlahan terkubur dengan tata kelola pemerintahan yang salah akibat tubuh organisasi yang semakin menggendut dan perkembangbiakkan korupsi tak terhalangi apapun. Di sisi lain, Maduro selaku pewaris Chavez terlihat ‘apes’ karena mewarisi estafet kursi nomor satu di Venezuela yang sudah rapuh dimakan rayap. Dan siapa yang akan menduga kalau “bom waktu” yang sejak lama ditanam itu meledak di tangan Maduro.


SPEKTRUM

BERWARNA-WARNI - Beberapa penari muda dari Sanggar Seni Metta Budaya sedang berpose (Dok.Pribadi)

Ajari yang Muda untuk Melestarikan Penampilan pada malam itu, sangat mengagumkan. Meski hanya berlatar minimalis dengan hiasan lngkaran putih dan beberapa lampu berwarna kuning, namun hal tersebut tidak menurunkan rasa takjub penonton, dengan tarian yang disajikan. Penampilan wanita-wanita muda itu mulai mementaskan tariannya, dengan berbekal busana coklat yang menutupi dari lutut hingga dibawah lehernya. Hal tersebut dipadukan dengan latar yang dihiasi lingkaran putih dengan beberapa titik kuning disekitarnya, serta iringan musik latar yang menggelegar dan menegangkan. Hal tersebut dapat menciptakan atmosfir yang membuat penonton fokus pada ceritanya. Dengan judul Wanita, Wanita dan Perempuan, Tarian tersebut mengundang decak kagum dari penonton yang melihat. Muslimin Bagus Pranowo, selaku koreografer, ingin menarasikan perjalanan hidup

perempuan tiga generasi dalam perjuangannya mengarungi kekangan masyarakat patriaki. Tarian yang tampil saat serangkaian acara ARTJOG di Yogyakarta ini, menggaet dua sanggar sebagai peserta dalam tarian tersebut. Dua sanggar tersebut yakni Sanggar Seni Metta Budaya yang berasal dari kota Solo dan Metta Birawa. Sanggar Seni Metta budaya, sudah ada dari tahun 1989, yang telah menghasilkan berbagai penari handal yang telah dididik sejak masih usia belia. Sanggar Seni Metta Budaya dibentuk, berawal dari niat para alumni Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI)-sekarang menjadi VISI • EDISI 35 • 2018

59


SMK 8 Surakarta untuk mengembangkan ilmu yang mereka dapatkan dan dapat disalurkan ke generasi penerusnya. “Dengan adanya proses belajar mengajar akan timbul penerus yang nantinya akan semakin berkembang jadi ilmu itu tidak mandek untuk kita sendiri tapi disalurkan kepada anak-anak,” ucap Suparti Joko Sudiyono selaku Ketua Sanggar Seni Metta Budaya saat ditemui VISI, Senin (23/7) di Radio Republik Indonesia (RRI) Dalam pembuatan sanggar ini, banyak lika-liku yang harus ditempuh demi keberlangsungan organisasi tersebut. Masalah yang pertama dihadapi oleh sanggar ini yakni kepemilikan tempat. Dalam perjalananya, sanggar yang sudah berumur hampir tiga dekade ini, sering berpindah-pindah. Pada awal pembentukkannya, sanggar ini bertempat di Prangwedanan, hingga akhirnya menetap di Sriwedari. Namun, adanya proses pembangunan untuk membenahi tempat tersebut, menjadi salah satu kekhawatiran dari keberlangsungan kegiatan Sanggar Seni Metta Budaya. “Sekarangpun Sriwedari sedang dalam taraf pembangunan dan penataan kembali jadi kita harus keluar dahulu. Walaupun memungkinkan untuk kembali lagi, namun proses pembangunan tidak akan sebentar,” tambah Suparti. Selain tempat, kendala finansial juga selalu menghantui sanggar ini. Dengan mengandalkan uang dari iuran para anggota, yang tentu hanya mampu menjadi dana transportasi para pelatih yang ada di sanggar tersebut. “Memang kita semua sudah legowo dengan pemasukan yang hanya sedikit, tetapi ini (penghasilan -red) kita memperoleh sesuatu secara finansial itu dari job merias, menyewakan baju, dan berbagai pentas,” ucap Suparti. Meski begitu, Suparti menambahkan bahwa tujuan utama pembentukan Sanggar Seni Metta Budaya yakni untuk melestarikan budaya dan untuk mendidik anak-anak agar mengenal budaya sendiri, khususnya tarian Jawa. ‘

60

VISI • EDISI 35 • 2018

Dengan beberapa hal yang menjadi permasalahan, tidak menyurutkan niat dari Sanggar Seni Metta Budaya dalam melaksanakan visi yang telah ditetapkan. Dengan jadwal latihan sebanyak tiga kali dalam seminggu, membuat para peserta sanggar mampu untuk menampilkan tarian yang mengagumkan. Lain cerita saat akan mengikuti festival, para peserta akan mendapat bimbingan lebih dari sanggar sehingga dapat tampil dengan maksimal. “Anak-anak digembleng lebih keras dari latihan rutin biasanya karena memang untuk festival. Dan kadang dalam latihan itu pelatih kewalahan karena harus nyambi mengajari yang rutin,” tambah Suparti. Dengan pelatihan yang diberikan oleh Sanggar Seni Metta Budaya ini, harapannya dapat melestarikan kebudayaan, khususnya pada bidang seni tari. Dengan begitu, budaya yang telah lama tercipta, akan selalu diregenerasi oleh kamu muda, sehingga budaya tersebut tidak hilang. “Dengan adanya sanggar ini mengedukasi juga untuk masyarakat sekitar untuk ikut serta berlatih yang memang tujuannya untuk pentas tapi dengan demikian, akhirnya mereka ini juga mengenal seni budaya sendiri dan mencintai seni budaya sendiri,” pungkas Suparti. Reni, Siswidiyan


CERPEN

An Old Magic Shop Oleh: Fitri Ana Rahmawati Mahasiswa Administrasi Negara, Universitas Sebelas Maret

G

adis kecil itu berjalan mendekati toko tua yang berpenerangan minim dengan kaki-kaki mungilnya. Nampak noktah kebiruan di lengan dan betisnya. Ia juga memeluk sebuah tongkat dari kayu yang tebalnya tak sampai satu ruas jari. Gadis kecil itu berjinjit mencoba meraih bel yang ada di atas etalase. Rambutnya yang di kepang dua terjatuh kebelakang saat ia berusaha keras menggapai benda logam berdenting tersebut. Tak lama sosok berjubah hitam datang menghampirinya. Tubuh mungil gadis itu tak mampu melihat dengan penuh figur misterius yang ada di depannya. Ia hanya dapat merasakan kulitnya bergidik dari balik pakaian yang ia kenakan saat sosok itu mendekat. “Apa yang ingin kau tukar?” Tanya suara wanita tua dari balik jubah. Gadis tersebut dengan susah payah menyerahkan sebuah tongkat kayu dari atas kepalanya. Dengan jemari kurus, keriput dan berkuku hitam, penjaga toko itu segera mengambil benda yang ada di atas kaca etalase. Ia membawa kayu itu masuk ke dalam toko yang gelap gulita. Berkat jubah hitamnya pula, ia terlihat seolah-olah di lahap kegelapan. Si gadis kecil menunggu di depan toko dengan penuh kesabaran. Ia sesekali mengamati dekorasi toko dibalik etalase yang tertutup debu tebal dan sarang laba-laba. Terkadang ia menatap ke jalanan yang sepi dan kosong. Toko-toko lain telah tutup, atau lebih tepatnya bangkrut. Hanya toko dengan aura gelap yang sedang ia kunjungi satu-satunya yang masih buka di deretan pertokoan tua tersebut. “Hei bocah!” Panggil suara laki-laki dari balik punggungnya. Gadis kecil itu terlonjak sebelum akhirnya menoleh dengan takut. Di hadapannya kini ada seorang pria muda dengan tinggi yang mungkin 3 hingga 4 kali dari tinggi tubuh kecilnya. “Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya pria muda itu. Ia menggunakan jeans usang dan kaos oblong warna maroon. Sepatunya lusuh dan kotor.

Karena takut gadis kecil itu memalingkan wajahnya kembali mendongak ke dalam toko. Merasa kesal karena diabaikan oleh anak kecil yang baru ditemuinya, pemuda tersebut bersiap untuk kembali menyeru padanya. Sayangnya tepat sebelum kata keluar dari bibirnya yang terbuka, sosok berjubah itu kembali muncul dari dalam kegelapan. Gadis kecil yang telah menantikannya kembali berjinjit dengan antusias, sedangkan si pria muda hanya membulatkan wajahnya terkejut, bibirnya kembali terkatup dan menyaksikan apa yang ada di hadapannya dengan hening. Ia melihat sosok tersebut memberikan sebuah selimut tebal pada si gadis kecil yang langsung diambilnya tanpa pikir panjang. “Terimakasih” Suara cadelnya terdengar terlalu pelan di tengah area pertokoan yang mati. Gadis kecil yang hendak kembali kerumahnya itu berbalik dan bersiap meninggalkan bangunan usang tersebut. Ia memeluk erat selimut tebal pemberian penjaga toko. Gadis kecil itu sempat menundukkan kepala pada si pemuda yang berdiri di belakangnya tadi sebelum akhirnya berlari menjauh dan hilang di tikungan jalan. Sementara laki-laki yang memasang wajah bingung itu, mendekati etalase tempat sosok berjubah itu berjaga. “Apa yang dilakukan bocah tadi?” Tanyanya menatap langsung penjaga toko tepat di wajah. Ia menggunakan topeng porselen warna putih bercorak ukiran tanaman. “Apa yang ingin kau tukar?” Ucap penjaga toko balik bertanya. Pria muda yang tengah memasukkan tangannya di dalam saku itu menunjukkan wajah tak mengerti. “Apa maksudmu?” “Jika kau tak ingin menukar apapun, pergi Tempat ini hanya menerima mereka yang ingin menukar benda pembawa kesakitan bagi mereka dan menggantinya dengan benda baru layaknya obat yang menyembuhkan” VISI • EDISI 35 • 2018

61


Dok.Internet

“Aku tak paham” Aku pria itu menampakan wajah bodoh. “Mereka yang tak pernah terluka dan berdarah, tak mungkin mengerti” Penjaga toko berjubah itu berbalik arah dan kembali masuk ke dalam kegelapan toko. “Lalu apa yang di lakukan bocah itu tadi?” “Tentu saja menukar benda miliknya” Jawabnya tak sabar dengan suara kesal. Sosok berjubah itu kini benar-benar lenyap dalam kegelapan. Meninggalkan pria muda yang masih mematung di depan toko tuanya. Sambil terus memikirkan perkataan si penjaga toko, pemuda itu kembali berjalan menyusuri trotoar. Hingga tiba-tiba ia menghentikan langkah kakinya di tengah jalan. Serasa ada lonceng yang berdentang tepat di dekat daun telinganya. Kepalanya yang bekerja keras memproses banyak informasi terasa berputar-putar. Ia mengangkat wajahnya yang sebelumnya tertunduk. Ia bergegas memutar badan dan berlari kembali ke bangunan tua tadi. Dengan nafas yang terenggah-enggah, ia menekan bel berulang kali. Dan ketika sosok bertopeng kembali hadir di hadapannya, tanpa menunggu tawaran si penjaga toko ia langsung berseru, “Ada yang ingin kutukar!”. 62

VISI • EDISI 35 • 2018

Ia menatap kepada sosok berjubah di hadapannya dengan penuh keyakinan, lalu segera merogoh celananya dan menyerahkan benda yang berhasil ia tarik keluar. Sebuah cincin logam polos kini ada di tangan kumal milik penjaga toko. Tanpa mengulur waktu lagi si penjaga toko segera membawanya masuk. Setelah menunggu cukup lama, penantiannya membuahkan hasil. Kini ditangannya tergenggam buku dongeng ukuran tangan yang telah kusam. Judulnya yang tercetak timbul dengan warna emas telah mengelupas sebagian. Bahkan ditepi halamannya telah digerogoti rayap. “Terimakasih” Ucapnya merasa lega dan bergegas meninggalkan toko. Kakinya terus berjalan menjauh dari toko, tanggannya menggenggam erat buku dongeng dan sesekali ia menghembuskan nafas lega. Ia sempat menarik senyum ketika menengadah ke langit malam. Kini kesendirian tak lagi menakutkan baginya.

•••


PODIUM

-Dania, Mae, Laila

VISI • EDISI 35 • 2018

63


Menjaga Warisan Budaya dengan Mendekatkan Seni pada Masyarakat

S

eni budaya memang selayaknya mampu dinikmati oleh masyarakat luas, bukan sebatas seniman saja. Untuk menjembatani para seniman dengan masyarakat luas, Heru Prasetyo berinisiatif mendirikan Mataya Arts and Heritage guna menjadikan seni budaya sesuatu yang mampu dinikmati semua kalangan. Seniman asal Solo yang akrab disapa Heru Mataya itu pun membagi kisahnya pada VISI. 64

VISI • EDISI 35 • 2018

Bagaimana awal mula Anda dapat terjun ke dunia budaya sampai Mataya Arts and Heritage Solo dapat terbentuk? Sekitar 20 tahun yang lalu, saya memiliki pemikiran bagaimana agar dunia kreativitas maupun karya-karya seniman itu bisa sampai ke masyarakat luas. Dari sana saya mendirikan Mataya Arts and Heritage untuk menjadikannya sebagai jembatan antara kehadiran karya-karya kreatif para seniman dengan masyarakat. Mataya Arts and Heritage mencoba hadir di sana untuk menjadi jembatan kehadiran karya-karya itu ke masyarakat yang lebih luas, artinya bukan hanya


VISI BERTANYA

sekarang menghadirkan kegiatan kesenian, festival, dan sebagainya di ruang-ruang publik masyarakat budaya, misalnya di taman kota, kampung, pasar tradisional, dan di ruang-ruang publik yang memang dekat dengan masyarakat awam. Sekarang bukan lagi seni untuk seni, melainkan seni untuk masyarakat yang lebih luas. Kita pun memang mengharapkan seni memiliki peran yang statis di tengah-tengah masyarakat dan dapat diminati oleh anak-anak muda dan masyarakat luas. Jadi seni tidak hanya dinikmati kalangan seniman maupun orang-orang tertentu tetapi juga diminati oleh masyarakat luas.

Bagaimana pandangan Anda mengenai budaya yang ada di Solo dan perbedaannya (budaya) antara dulu dengan sekarang?

HERU MATAYA - Sosok seorang bernama asli Heru Prasetyo (kiri) penggagas Mataya Arts and Heritage Solo yang melahirkan Festival Payung (Dok.Internet)

seniman tetapi juga masyarakat umum yang berasal dari lintas budaya, usia, maupun profesi. Event itu kita mulai dari festival-festival seni. Sejak 1998, festival-festival Mataya Arts and Heritage banyak hadir di Taman Budaya, Sekolah Tinggi Seni Indonesia −yang sekarang bernama ISI Surakarta, dan lebih pada kantongkantong seni budaya. Mataya Arts and Heritage hadir di sana untuk menjembatani aktivitas atau kelahiran seni agar diterima di masyarakat. Setelah itu dalam sepuluh tahun terakhir ini saya mencoba untuk mengubah semua itu. Mataya Arts and Heritage yang dulunya menghadirkan event di ruang-ruang publik budaya seni,

Jadi, kembali pada Mataya Arts and Heritage, kami memang menggelar kegiatan kesenian dengan memilih tempat-tempat yang memiliki nilai-nilai sejarah, ruang-ruang publik yang penting bagi masyarakat, misalnya taman-taman kota yang bernilai sejarah, pasar tradisional, benteng, serta kampung-kampung yang mempunyai nilai-nilai sejarah. Kami berharap melalui kegiatan atau festival itu kita dapat mengingatkan masyarakat bahwa kita mempunyai ruang-ruang sejarah yang seharusnya kita lestarikan dan kita kreasikan. Jadi, melalui festival kami dapat mengenalkan kesenian yang kami tampilkan sekaligus mengenalkan ruang-ruang yang bersejarah itu. Kami juga ingin mengajarkan kepada anak-anak muda untuk kembali pada pasar tradisional, kembali mencintai cagar budaya yang kita miliki, dan menjaga ruangruang publik yang ada di tengah-tengah kota.

Bagaimana perkembangan dari Mataya Arts and Heritage dalam pengembangan event-event budaya yang ada di Solo?

Jadi kita memang konsistennya itu lebih pada festival. Festival itu kan banyak acaranya, ada pertunjukan seni, workshop, pameran, dan sebagainya. VISI • EDISI 35 • 2018

65


Tetapi, sebenarnya tema besarnya yaitu festival-festival dan memang dari tahun ke tahun kami selalu mempunyai festival yang memang kami jaga. Sepuluh tahun terakhir ini kami mempunyai dua festival yang selalu kami adakan setiap tahun, namanya Festival Pesona Pasar Tradisi serta Festival Payung Indonesia. Festival Pesona Pasar Tradisi diselenggarakan di pasar tradisional di kota Solo, jadi pasar menjadi panggung dari festival tersebut. Sedangkan Festival Payung Indonesia rutin diselenggarakan setiap tahun di tempat-tempat yang bernilai sejarah dan nilai budaya sehingga kami dapat sekaligus mengkondisikan kota Solo menjadi kota yang memang sarat dengan nilai-nilai budaya.

Bagaimana peran dari masyarakat dalam mengikuti penyelenggaraan eventevent budaya yang dilaksanakan oleh Mataya Arts and Heritage?

Sebuah festival memang tidak lepas dari kehadiran masyarakat. Dalam sepuluh tahun ini kami mencoba untuk selalu melibatkan masyarakat. Kami jadikan masyarakat menjadi bagian dalam festival, baik masyarakat sebagai penonton maupun masyarakat yang terlibat langsung dalam festival. Jadi, dua-duanya selalu bersinergi. Di samping itu, kami juga mengundang para kreator untuk menjadi bagian dari festival. Sei-

ring dengan perkembangannya, bagaimana dampak dan pengaruh dari festival budaya yang diselenggarakan terhadap citra budaya yang ada di Solo itu sendiri?

Sebenarnya, citra Solo sebagai kota budaya sudah sangat terkenal di dunia. Solo mempunyai banyak maestro-maestro budaya yang tersohor di dunia internasional dan Solo merupakan kota yang penting, menjadi kota budaya. Apa yang Mataya Arts and Heritage lakukan ini hanyalah sesuatu yang sangat kecil dibandingkan apa yang telah dilakukan oleh maestro-maestro budaya dari Solo. Jadi, Mataya Arts and Heritage itu hanya bagian kecil saja yang terus berusaha menjadikan kota Solo sebagai kota yang mampu memiliki kontribusi nasional, khususnya yang terkait seni budaya. Mataya Arts dan Heritage sendiri lebih fokus untuk sesuatu yang berkaitan dengan wari-

66

VISI • EDISI 35 • 2018

san budaya, baik yang teraga maupun tidak teraga. Teraga itu misalnya pameran-pameran sejarah itu, sedangkan yang tidak teraga itu misalnya tari, musik, dan sebagainya. Adakah kerjasama yang dilakukan oleh Mataya Arts and Heritage dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta? Festival kami dibangun dengan kemandirian, jadi kami tidak bergantung pada siapapun. Kami juga berproses merencanakan sebuah kegiatan secara mandiri dan berusaha mencari sponsor secara mandiri juga. Akan tetapi, tidak lupa bahwa sebuah festival itu harus selalu bersinergi dengan pemerintah maupun stakeholder yang lainnya. Pemerintah menjadi mitra dari penyelenggaraan festival kami, baik secara langsung maupun tidak langsung. AKami selalu bersinergi dan berkoordinasi karena memang festival ini kami harapkan bisa memberikan kontribusi bagi kota Solo maupun Indonesia.

Selain di Solo, adakah penampilan atau kerja sama dalam hal budaya yang dilakukan oleh Mataya Arts and Heritage di luar negeri?

Mataya Arts and Heritage memang tidak dikhususkan di kota Solo saja. Mataya banyak menjadi inisiator serta penggerak festival-festival budaya dalam lingkup nasional. Kami membantu mengonsep dan menghadirkan festival-festival di daerah juga. H Jadi, festival selain menyiapkan konten-kontennya juga menyiapkan SDM panitia, juga membangun jaringan-jaringan budaya secara nasional maupun internasional. Karena Mataya ini memang tidak berskala nasional tetapi juga internasional. Festival internasional yang kami adakan misalnya Festival Payung Indonesia. Sejak awal hingga yang terakhir diselenggarakan, penampilnya dari berbagai negara. Publikasinya pun kami lakukan secara internasional. Kebetulan, Festival Payung Indonesia kali ini terpilih sebagai sepuluh festival terbaik tahun 2018 yang akan didukung oleh Kementrian Pariwisata.

Anggita, Metta


BUKU

Petuah Hidup Yang Tidak Biasa Saja

B

JUDUL: Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya PENULIS: Rusdi Mathari PENERBIT: Buku Mojok TAHUN: 2016 TEBAL: 226 halaman ISBN: 978-602-1318-40-9

uku ini berkisah soal kehidupan suatu kampung berlatar saat bulan ramadan. Kisahnya diceritakan secara menarik dan humoris tapi mengandung pesan-pesan yang cukup menyentil dan cara penyampaian yang tidak terduga-duga. Namun untuk pembaca yang belum terlalu terbiasa membaca buku bergenre seperti buku ini, buku ini tergolong bacaan yang berat sebab jika salah mengartikan konteks apa yang di maksud, bisa saja menimbulkan pemahaman berbeda dengan apa yang sebenarnya di maksud di dalam buku tersebut. Di kampung tersebut, tinggalah seorang sufi bernama Cak Dlahom bersama Mat Piti, Pak RT, Pak Lurah, Romlah, Istri Bunali dan Sarkum. Cak Dlahom adalah seorang duda miskin dan sebatang kara yang tinggal dekat kandang kambing milik Pak Lurah. Seiring dengan berjalannya waktu warga kampung mulai menyadari bahwa yang di lakukan oleh Cak Dlahom adalah benar,

namun cara penyampaiannya saja yang berbeda. Sampai suatu ketika Cak Dlahom tidak mau berbicara, warga kampung merasa kehilangan sosoknya yang kritis dan berilmu. Cerita-cerita yang disajikan bertema religius namun berisi fenomena sederhana yang dekat dengan kita sehingga bisa menjadi lebih peka dengan masalah-masalah sepele di sekitar kita. Suguhan ceritanya pun nyaman dibaca diselingi dengan humor-humor ringan dan segar. Karena itu, meski berisi petuah-petuah hidup yang mengandung nilai religius, namun pembaca seakan diajak menikmati cerita tanpa merasa sedang diceramahi. Ditambah lagi cerita yang memotret kisah hidup sehari-hari orang biasa, berlatar belakang masyarakat desa yang bersahaja. Salah satu cerita yang cukup mengena dalam ingatan ialah cerita berjudul “Menghitung Berak dan Kencing”. Kisahnya mungkin soal remeh temeh, tapi cukup menyentil. Kala itu, Cak Dlahom memberikan penggambaran mengenai keikhlasan. Suatu waktu, Mat Piti mengingatkan saat memberikan sarung dan peci kepada Cak Dlahom sebulan lalu. Kemudian, Mat Piti ditanya apakah ikhlas dengan apa yang dilakukannya. Cak Dlahom mengatakan kepada Mat Piti dengan mengibaratkan keikhlasan seharusnya seperti kencing dan berak, mengeluarkannya tanpa menahan-nahannya dan segera melupakannya.Kutipan singkat cerita tersebut merupakan salah satu gambaran saat cak Dlahom mempertanyakan rasa keikhlasan seorang manusia saat beramal.Begitupun dengan kutipan “Batu tak sanggup jadi manusia karena merasa kalah keras di banding hati manusia” yang tentu menyinggung dengan dalam diri seorang manusia yang memiliki hati keras. Pada akhirnya buku ini berhasil menyajikan sisi religi dari perkspektif yang menarik. Sesuatu yang sulit untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat apalagi bernilai religius namun buku ini melakukannya dengan baik. Dian Anggita Pratiwi

VISI • EDISI 35 • 2018

67


Menikmati Bunyi Tradisional Dengan Gaya Baru

ALBUM: Sound of Java ARTIS: Eka Gustiwana GENRE: Electronic Pop LABEL: Tnjdr Records TAHUN: 2018 DURASI TOTAL: 30 menit PRODUSER: Eka Gustiwana LAGU: Berpijak, Breath, Mapaes Hate, Memori, Puspito, Sanubari, Suara, Tersimpan dalam Hati, The Reason Why

I

ndonesia, beragam pulau dan lautan yang membentang dari Sabang di barat hingga Merauke di timur. Beribu pulau namun nyatanya semua yang ada berpusat di Pulau Jawa. Terpisah dari hal yang menjadi percekcokan hingga sekarang, keindahan Indonesia patut untuk diapresiasi melalui beragam cara. Salah satu apresiasi muncul dari Eka Gustiwana. Penulis lagu, Produser Rekaman dan Komposer Ucapan ini melirik berbagai keindahan di pulau Jawa. Perjalanannya selama 20 hari itu, membuahkan sembilan lagu yang didalamnya terdapat perpaduan berbagai bunyi yang ia dapatkan selama menjelajahi pulau Jawa. Selain dari bunyibunyi yang didapat, ia juga menggaet beberapa kelompok musik seperti; Hanya Tera dari Majalengka, Kentungan dari Purwokerto, dan masih banyak lagi. Buah hasil perjalanannya tersebut, dituangkan dalam album yang berjudul Sound Of Java, yang dirilis di akhir Oktober 2018 lalu. Pertama mendengarnya, kita disuguhi dengan lagu bertajuk Berpijak. Lagu yang memiliki irama pelan diawal ini, mengharuskan pendengar untuk memahami lirik yang disuguhkan. Dipertengahan lagu, pendengar disuguhkan dengan irama dari perpaduan electronic mu68

VISI • EDISI 35 • 2018

MUSIK

sic dan gamelan. Selain itu, penggunaan bahasa Jawa dan Sunda dalam liriknya, menambah keindahan perpaduan lagu ini. Untuk ukuran lagu pembuka, kita diajak untuk mengingat keindahan Indonesia serta menguatkan rasa cinta pada negeri kita ini. Suara Prince Husein, dalam Memori menjadi awal dari lagu tersebut diputar. Suara ringan dari alat tradisional dan suara dari turntable dipadukan menghasilkan nada yang mudah diingat oleh pendengar. Lagu yang menceritakan kenangan indah pasangan yang tersimpan dalam ingatan mereka. Lain lagi dalam lagu Sanubari. Lagu yang menjadi soundtrack dari film berjudul Impian 1000 Pulau ini, bercerita tentang mengejar impian hingga hal tersebut tercapai. Makna lagu ini dapat menjadi motivasi pendengar melalui isi lagu tersebut. Alunan instrumen modern serta tradisional yang dipadukan, saling mengisi dan menyelaraskan satu sama lain. Dalam lagu Tersimpan Dalam Hati, berbagai bunyian dicampurkan, mulai dari suara batuan yang dipukul, suara yang dihasilkan dari tumbukan padi hingga gamelan dan turntable, yang juga menjadikan lagu yang dihasilkan benar-benar indah dan membuat merinding pendengarnya. Disatu sisi, terkadang suara dalam alunan lagu ini, terdengar seperti lagu kolosal yang menjadi lagu latar dalam pertunjukkan wayang tradisional. Penambahan lirik rap yang mencampurkan bahasa Inggris dengan bahasa Jawa, menjadikan lirik tersebut memiliki kesan tersendiri di telinga pendengar. Meski Indonesia memiliki beragam warna budaya yang masing-masing memiliki keindahannya tersendiri, namun bukan berarti hal tersebut digunakan untuk memecah belah antar masyarakat. Melalui album ini, kita diingatkan untuk tetap melestarikan budaya yang telah ada, meski cara untuk menikmati itu dapat berbeda-beda. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Eka Gustiwana, memadukan budaya yang kini sedang booming seperti Electronic Dance Music, dengan lagu dan alat musik tradisional hingga menjadi karya yang indah dan enak untuk didengarkan. Kurniandi Darmawan Al Rasyid


FILM

Ikatan Tak Terbatas Indera

JUDUL: Sekala Niskala PRODUSER: Ifa Isfansyah SUTRADARA: Kamila Andini PEMERAN: Ayu Laksmi, Ni Kadek Thaly Titi Kasih, Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena TAHUN: 2018 DURASI: 86 Menit

S

ekala Niskala adalah film kedua karya Kamila Andini yang bergenre drama. Secara filosofis sekala berarti “tampak” dan niskala berarti “tidak tampak”. Puluhan tahun lalu, di Bali terdapat hukum adat “awig-awig” yang menganggap bahwa anak kembar buncing (kembar dengan jenis kelamin berbeda) dianggap sebagai pembawa petaka sehingga kedua bayi dan orangtua harus diasingkan demi menjaga kesucian desa. Tantri dan Tantra adalah saudara kembar buncing berusia 10 tahun yang selalu melakukan kegiatan bersama sampai akhirnya Tantra mengidap penyakit kelumpuhan saraf yang secara perlahan melemahkan otak sekaligus kemampuan indrawinya. Tantri senantiasa menemani dan menghibur Tantra dengan mengajaknya menari dan bermain. Semuanya dilakukan di rumah sakit tempat Tantra dirawat. Hingga akhirnya Tantra yang semakin parah tidak bisa lagi bangun untuk bermain bersama Tantri. Kerinduan dua saudara kembar ini kemudian disalurkan dengan terjalinnya koneksi

mereka di dunia lain. Ketika tengah malam, Tantri akan bangun dan melihat Tantra. Di bawah bulan purnama, Tantri bermain dan menari bersama makhluk tak kasat mata seolah menceritakan kisah hidupnya kepada bulan. Ketika siang tiba, ia kembali dihadapkan pada kenyataan bahwa Tantra hanya bisa terbaring tak berdaya di atas dipan rumah sakit. Pemilihan Bali sebagai latar dilandasi oleh alasan bahwa Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia yang masih sangat kental menjaga tradisi antara yang kasat mata dan tidak secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Banyak semiotika-semiotika yang muncul dalam film ini. Contohnya telur sebagai awal dari kehidupan. Terdapat adegan dimana Tantri dan Tantra berbagi telur, Tantra mendapat kuning telur dan Tantri mendapat putih telur yang secara simbolik menunjukkan bahwa mereka adalah saudara kembar yang berbagi selalu berbagi, di dalam kandungan maupun di luar. Juga adegan ketika Tantri tidak menemukan bagian kuning telur dalam telur yang dimakannya, menunjukkan bahwa Tantri merasa kehilangan dan rindu pada Tantra. Selain itu, bulan yang selalu muncul menjadi lambang bagi siklus yang turut mengatur keseharian masyarakat Bali. Film ini menunjukkan kedekatan saudara kembar baik dalam niskala maupun sekala. Ikatan jiwa yang mereka miliki begitu kuat. Tata musik, sinematografi dan surealis yang ada berhasil menambah kesan gelap dan misterius yang kemudian berhasil membawa penonton untuk terseret masuk kedalam dunia mistisnya. Penonton diajak untuk berfikir secara out of the box dan harus pandai-pandai menafsirkan semiotika-semiotika yang muncul di dalam film. Film ini menyajikan paduan apik dari seni budaya dan mistis. Film ini berhasil membuat penonton untuk melihat sisi lain Bali yang selama ini dikenal dengan ingar bingar pariwisatanya. Ghozi Alwandria

VISI • EDISI 35 • 2018

69


70

VISI • EDISI 35 • 2018


VISI • EDISI 35 • 2018

71


72

VISI • EDISI 35 • 2018


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.